FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BIJI KAKAO DI …
Transcript of FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BIJI KAKAO DI …
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BIJI KAKAO
DI INDONESIA
Oleh:
Qoriyana Nurselvi Prihatini
11150920000013
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1441 H
ii
FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BIJI KAKAO DI
INDONESIA
Qoriyana Nurselvi Prihatini
11150920000013
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pertanian pada Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1441 H
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Qoriyana Nurselvi Prihatini
Tempat, Tanggal
Lahir : Jakarta, 09 September 1997
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Galur No.49 RT.05/06,
Krukut, Limo, Depok
Telepon : 081511392663
Email : [email protected]
vi
RIWAYAT PENDIDIKAN
Formal
2003 – 2009 SDN Cipete Selatan 04 Pagi
2009 – 2012 SMP Negeri 12 Jakarta
2012 – 2015 SMA Negeri 97 Jakarta
2015 –
Sekarang
Mahasiswi Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan
Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI
(*diurutkan dari yang paling baru)
2019 Wakil Sekretaris Dewan Eksekutif
Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta
2018 Wakil Ketua Dewan Eksekutif
Mahasiswa (DEMA) Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta
2017 Kepala Departemen Komunikasi dan
Informasi (KOMINFO) Dewan
Eksekutif Mahasiswa (DEMA)
Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta
vii
2017 Koordinator Div. Acara Closing
Ceremony Pekan Raya Saintek (PRS),
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2017 Koordinator Div. Humas Pengenalan
Budaya Akademik Kampus, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2017 Penanggungjawab Pelatihan Jurnalistik,
Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2016 Anggota Departemen Ekonomi dan
Bisnis (EKOBIS) Dewan Eksekutif
Mahasiswa (DEMA) Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2016 Anggota SSC Basketball Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2016 Anggota Div. Humas KPPS FST –
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2016 Anggota Div. Humas AGRICAMP,
HMJ AGRIBISNIS, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
2016 Koordinator Div. Acara AGRI’S
EVENT, HMJ AGRIBISNIS,
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Jakarta
2016 Anggota Div. Keamanan Orientasi
Pengenalan Akademik Kampus
Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2016 Anggota Div. Humas Duta Saintek
2017, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2016 Anggota Div. Sponsorship FST
Entrepreneurship Week (FEW),
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2016 Anggota Div. Acara Olimpiade Saintek
2016, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2015 Anggota Div. Humas, Rujakustik
Agribisnis, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
ix
PENGALAMAN KERJA
(*diurutkan dari yang paling baru)
2019 Data Entry, Arif & Susanto Law Firm,
Kuningan, Jakarta
2018 Bagian Produksi Ikan Koi, Balai Benih
Ikan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta
x
RINGKASAN
Qoriyana Nurselvi Prihatini, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor
Biji Kakao di Indonesia. Di bawah bimbingan Rizki Adi Puspita Sari, SP, MM
dan Puspi Eko Wiranthi, SE, M.Si.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis pengaruh variabel penelitian
terhadap impor biji kakao di Indonesia secara parsial (Ceteris Paribus), 2)
Menganalisis pengaruh variabel penelitian terhadap impor biji kakao di Indonesia
secara simultan. Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada biji kakao di Indonesia
dengan kode Harmonized System (HS) 1801. Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data primer dan sekunder berupa data time series mulai tahun 2001
hingga tahun 2017. Data bersumber dari UN Comtrade, World Bank, Badan Pusat
Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, The International Cocoa Organization (ICCO), website-website lain
yang relevan, serta beberapa penelitian terdahulu dari tahun 2013 – 2018. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda yang
diolah menggunakan alat analisis SPSS 20.
Variabel independent yang digunakan pada penelitian ini adalah produksi
nasional biji kakao (X1), harga dunia biji kakao (X2), kurs rupiah terhadap dollar
Amerika (X3), GDP Indonesia (X4), dan kebijakan perdagangan (X5). Berdasarkan
hasil Uji F yang telah dilakukan, seluruh variabel independent memiliki pengaruh
yang erat dan memiliki signifikansi terhadap variabel dependent penelitian yaitu
volume impor biji kakao (Y). Nilai F-hitung 22.125 lebih besar dari nilai F-tabel
3.20 dan hasil uji F memiliki nilai signifikansi sebesar .000 yang lebih kecil dari
0.05. Adapun hasil Uji T yang juga telah dilakukan bahwa variabel produksi
nasional biji kakao (X1), berpengaruh positif dengan nilai koefisien 117.051 dan
nilai signifikansi 0.091. Harga dunia (X2), berpengaruh positif dengan nilai
koefisien 20.867 dan nilai signifikansi 0.137. Nilai tukar (X3), berpengaruh positif
dengan nilai koefisien 15.338 dan nilai signifikansi 0.001. GDP (X4), berpengaruh
negatif dengan nilai koefisien -19.515 dan nilai signifikansi 0.000. Kebijakan (X5),
berpengaruh positif dengan nilai koefisien 77.054 dan nilai signifikansi 0.002.
Kata Kunci: Impor Kakao, Produksi Nasional Kakao, Harga Dunia Kakao, GDP
Indonesia, Kurs, Kebijakan Perdagangan.
xi
ABSTRACT
Qoriyana Nurselvi Prihatini, Factors Affecting the Import Volume of Cocoa
Beans in Indonesia. Under the guidance of Rizki Adi Puspita Sari, SP, MM and
Puspi Eko Wiranthi, SE, M.Si.
This study aims to 1) Analyze the effect of research variables on the import
of cocoa beans in Indonesia partially (Ceteris Paribus), 2) Analyze the effect of
research variables on the import of cocoa beans in Indonesia simultaneously. The
scoupe of this research focuses on cocoa beans in Indonesia wih Harmonized
System (HS) code 1801. Data used in this study are primary and secondary data in
the form 2001 to 2017. Data sourced from UN Comtrade, World Bank, Central
Statistics Agency (BPS), Ministry of Agriculture, Ministry of Trade, Ministry of
Industry, The International Cocoa Organization (ICCO), other relevant websites,
as well as some previous studies from 2013 to 2017. The method used in this study
is multiple linear regression analysis which is processed using SPSS 20 analysis
tool.
The independent variables used in this research is the national production
of cocoa beans (X1), world prices of cocoa beans (X2), rupiah exchange rates against
the US dollar (X3), Indonesian GDP (X4), and trade policy (X5). Based on the result
of the F-Test that have been done, all independent variables have a close
relationship and have significance on the dependent variable of the study, namely
the volume of imported cocoa beans (Y). F-test value of 22,125 is greater than the
F-table value of 3.20 and the F-test result has a significance value of 000 wich is
smaller than 0.05. The T-test result have also been carried out that the national
cocoa bean production variable (X1), has a positive effect on the coefficient of
117.051 and a significance value of 0.091. World price (X2), has a positive effect
on the coefficient of 20.567 and a significance value of 0.137. Exchange value (X3),
has a positive effect on the coefficient of 15.338 and a significance value of 0.001.
GDP (X4), has a negative effect on the coefficient of -19.515 and a significance
value of 0.000. Policy (X5), has a positive effect on the coefficient of 77.054 and a
significance value of 0.002.
Keywords: Cocoa Import, Cocoa National Production, Cocoa World Prices,
Indonesian GDP, Exchange Rates, Trade Policy.
xii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia,
dan hidayah-Nya, shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat-Nya. Penyusunan
skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Biji Kakao di
Indonesia” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada
kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada
semua pihak yang telah ikut membantu serta menjadi motivasi penulis, yaitu
kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Lily Surayya E.P, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya.
2. Ibu Dr. Siti Rochaeni, M.Si, selaku Ketua Program Studi Agribisnis
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Rizki Adi Puspita Sari, SP, MM, selaku Sekretaris Program Studi
Agribisnis Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta serta selaku dosen
pembimbing I dan Ibu Puspi Eko Wiranthi, SE, M.Si. selaku dosen
pembimbing II atas setiap bimbingan, arahan, saran, motivasi, waktu, dan
pemikiran yang telah diberikan disela-sela kesibukan Ibu hingga selesainya
skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan untuk Ibu.
Aamiin.
xiii
4. Seluruh dosen Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat
disebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat atas ilmu dan
pelajaran yang diberikan dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.
5. Keluarga tercinta Ibunda Yuli Marantasari, Ayahanda Alm. Endang
Suryana, Kakung Rusman, Uti Alm. Sunarti, Ayah Mahyudin, Mama Sita,
Mama Sinta, Abim, Mega dan Byan yang telah mencurahkan kasih sayang
yang tiada henti, perhatian, dukungan moril maupun materil, nasihat yang
tak ternilai, dan doa yang tak pernah putus, serta adik-adik ku Bilal Suryana
dan Visal Syaivi yang selalu menghibur dan mendukung penuh.
Terimakasih, semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan untuk
kalian hingga penulis dapat meraih kesuksesan untuk membahagiakan
kalian. Aamiin.
6. Anggi, Dwi, Azhia, Riri, Maya, Indri, Maria, Rista, Cindy, Yashel, David,
Donni, Rizki, Andhika yang selalu memberikan semangat dan perhatiannya
agar penulis tidak patah semangat sehingga dapat segera menyelesaikan
penulisan penelitian ini. Terimakasih, semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan dan semoga dalam perlindungan Allah SWT. Aamiin.
7. Putnav, Disti, Faishal, Redno, Ribby, Fadjri, Beta, Nungky, Farah, Sarah,
Ferinna, Tyas, Kun, Shoffan, Luthfan, Mail, Firas kakak dan sahabat
perjuangan dalam mengerjakan skripsi dan sebagai tempat bertukar pikiran
yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi dalam penelitian ini.
Semoga Allah membalas segala kebaikan kalian. Aamiin.
8. Sultan, Ari, Syita, Diana, Ridwan, Firman, Mizan, Sony, Alfi, Hasanu,
Syauqi, Milzam, Panglima sahabat seperjuangan dan adik yang selalu
mensupport, mendoakan serta memberikan masukan yang positif sehingga
penulis merasa beruntung dipertemukan dalam waktu yang singkat. Semoga
Allah SWT membalas segala kebaikan kalian. Aamiin.
xiv
9. Teman-teman Agribisnis 2015 yang selalu memberikan semangat dan
informasi dalam mengerjakan penelitian penulis. Semoga Allah SWT
memudahkan langkah kita menuju kebaikan. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak
yang membutuhkan. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Jakarta, April 2020
Penulis
xv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... xii
ABSTRAK ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xviii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perdagangan Internasional ..................................................................... 9
2.2 Produksi .................................................................................................. 11
2.3 Nilai Tukar ............................................................................................. 11
2.4 Harga ...................................................................................................... 12
2.5 GDP (Gross Domestic Product) ............................................................. 13
2.6 Kebijakan Perdagangan Impor Kakao .................................................... 14
2.7 Penelitian Terdahulu .............................................................................. 17
2.8 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 19
xvi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 21
3.2 Variabel Penelitian ................................................................................. 21
3.3 Metode Analisis Data ............................................................................. 22
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1 Agribisnis Biji Kakao ............................................................................. 32
4.1.1 Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia .............................. 33
4.1.2 Perkembangan Produksi dan Produktivitas Kakao
Indonesia..................................................................................... 35
4.2 Perkembangan Volume Impor Kakao Indonesia ................................... 37
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Biji Kakao di Indonesia
secara Simultan ...................................................................................... 39
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Biji Kakao di Indonesia
secara Parsial ......................................................................................... 40
5.2.1 Pengaruh Produksi Nasional Biji Kakao (X1) terhadap
Volume Impor Biji Kakao di Indonesia ..................................... 42
5.2.2 Pengaruh Kurs Rupiah (X3) terhadap Volume Impor Biji
Kakao di Indonesia ..................................................................... 44
5.2.3 Pengaruh GDP (X4) terhadap Volume Impor Biji Kakao
di Indonesia ................................................................................ 46
5.2.4 Pengaruh Kebijakan (X5) terhadap Volume Impor Biji Kakao
di Indonesia ................................................................................ 48
5.3 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) .................................................... 50
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 51
6.2 Saran ....................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 52
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia ............................................. 3
2. Jenis Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar ... 6
3. Kebijakan Bea Keluar dan Bea Masuk Biji Kakao Indonesia .................... 16
4. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 17
5. Hasil Uji Multikolinieritas .......................................................................... 24
6. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov .................................................................. 25
7. Hasil Uji Glejser ......................................................................................... 27
8. Hasil Uji Autokorelasi ................................................................................ 28
9. Hasil Uji Run Test ....................................................................................... 29
10. Rata-Rata Pertumbuhan dan Kontribusi Luas Areal Kakao ....................... 34
11. Rata-Rata Pertumbuhan dan Kontribusi Produksi Kakao ........................... 36
12. Hasil Uji Hipotesis Simultan (Uji F) .......................................................... 39
13. Hasil Uji Hipotesis Parsial (Uji T) .............................................................. 40
14. Produksi Nasional dan Volume Impor Biji Kakao di Indonesia ................. 43
15. Kurs dan Volume Impor Biji Kakao ........................................................... 46
16. GDP Indonesia dan Volume Impor Biji Kakao di Indonesia...................... 48
17. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) ......................................................... 50
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Perkembangan Luas Areal Kakao .................................................................... 1
2. Perbandingan Luas Areal Kakao................................................................. 2
3. Volume dan Nilai Impor Kakao .................................................................. 5
4. Kurva Ekspor dan Kurva Impor .................................................................. 9
5. Skema Kerangka Pemikiran ........................................................................ 20
6. Grafik Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual .................. 25
7. Grafik Scatterplot ........................................................................................ 26
8. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia ............................................. 35
9. Volume Impor dari Negara Asal Impor Biji Kakao Indonesia ................... 38
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Perkembangan Luas Areal Kakao ............................................................... 54
2. Perbandingan Luas Areal Kakao................................................................. 55
3. Volume dan Nilai Impor Kakao .................................................................. 56
4. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia ............................................. 57
5. Volume Impor dari Negara Asal Impor Biji Kakao Indonesia ................... 58
6. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov .................................................................. 59
7. Hasil Uji Multikolinearitas.......................................................................... 60
8. Hasil Uji Glejser ......................................................................................... 61
9. Hasil Uji Autokorelasi ................................................................................ 62
10. Hasil Uji Run Test ....................................................................................... 63
11. Hasil Uji Koefisien Determinasi ................................................................. 64
12. Hasil Uji Hipotesis Simultan (Uji F) .......................................................... 65
13. Hasil Uji Hipotesis Parsial (Uji T) .............................................................. 66
14. Transkrip Wawancara Kementerian Pertanian Republik Indonesia ........... 67
15. Transkrip Wawancara Kementerian Perdagangan Republik Indonesia ...... 72
16. Transkrip Wawancara Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
Bagian 2 ...................................................................................................... 74
17. Transkrip Wawancara Dewan Kakao Indonesia ......................................... 76
18. Transkrip Wawancara Kementerian Perindustrian Republik Indonesia ..... 78
19. Curriculum Vitae Narasumber Kementerian Pertanian .............................. 79
xx
20. Curriculum Vitae Narasumber Kementerian Perdagangan ......................... 80
21. Curriculum Vitae Narasumber Dewan Kakao Indonesia ............................ 81
22. Curriculum Vitae Narasumber Kementerian Perindustrian ........................ 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai
Gading dan Ghana. Tidak hanya itu, kakao juga berperan bagi pengembangan
wilayah dan pengembangan agroindustri. Perkembangan perkebunan kakao
meningkat pada tahun 2002, areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas
914.051 ha. Gambar 1 menjelaskan perkembangan luas areal perkebunan kakao
mengalami fluktuatif, pada tahun 2014 luas areal mengalami penurunan hingga
akhir tahun 2017. Penurunan ini terjadi dikarenakan beberapa petani sudah beralih
ke tanaman lain. Hal ini disebabkan sulitnya bagi petani untuk merawat tanaman
kakao dan petani tidak memiliki penghasilan yang menjanjikan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari (Kementerian Pertanian, 2017).
Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Kakao Tahun 2000-2017 Sumber: Kementerian Pertanian (2017)
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
1,600,000
1,800,000
2,000,000
Ha
Tahun
PR PBN PBS INDONESIA
2
Gambar 2. Perbandingan Luas Areal Kakao Tahun 2015 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia Kakao (2016)
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa menurut usahanya perkebunan kakao
Indonesia dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu perkebunan rakyat,
perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta dimana perkembangan luas
areal kakao di tiap tahunnya mengalami fluktuatif. Presentasi perkembangan luas
areal biji kakao pada jenis perkebunan berbeda. Perkebunan rakyat sebesar (97%)
mengelola sebagian besar kakao Indonesia dengan sentra produksi utama berada di
Provinsi Sulawesi, Lampung, Aceh dan Sumatera, perkebunan besar negara sebesar
(1%), serta yang perkebunan besar swasta (2%) (Kementerian Pertanian, 2017).
Produksi kakao tiap tahun meningkat, tetapi tetap tidak dapat memenuhi
kebutuhan industri dalam negeri. Agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi
berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat
serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta
masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu
tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan
meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao (Kementerian
Perindustrian, 2019).
PR PBN PBS
3
Tabel 1. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia
TAHUN PR
(ton)
PBN
(ton)
PBS
(ton)
Indonesia
(ton)
2000 363,628 34,790 22,724 421,142
2001 476,924 33,905 25,975 536,804
2002 511,379 34,083 25,693 571,155
2003 634,877 32,075 31,864 698,816
2004 636,783 25,830 29,091 691,704
2005 693,701 25,494 29,633 748,828
2006 702,207 33,795 33,384 769,386
2007 671,370 34,643 33,993 740,006
2008 740,681 31,130 31,783 803,594
2009 741,981 34,604 32,998 809,583
2010 772,771 34,740 30,407 837,918
2011 644,688 34,737 33,170 712,231
2012 687,247 23,837 29,429 740,513
2013 665,401 25,879 29,582 720,862
2014 698,434 11,438 18,542 728,414
2015 562,346 11,616 19,369 593,331
2016 622,516 12,859 21,442 656,817
2017 652,397 13,477 22,471 688,345
Sumber: Kementerian Pertanian (2017)
Produksi kakao nasional umumnya merupakan kakao non-fermentasi
sedangkan kebutuhan industri merupakan jenis kakao yang sudah terfermentasi.
Ketidakseimbangan antara kebutuhan industri dengan kapasitas produksi kakao
4
lokal mendorong pemerintah untuk melakukan impor. Produksi kakao lokal seakan
tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri lokal. Pelaku
industri kakao menyatakan saat ini tengah menghadapi kendala berupa kurangnya
pasokan bahan baku dari dalam negeri. Kekurangan bahan baku menyebabkan
pemanfaatan kapasitas industri menjadi kurang maksimal. Industri membutuhkan
747.000 ton/tahun kapasitas. Kebutuhan industri hanya sebagian yang dapat
dipenuhi dari hasil perkebunan lokal, sedangkan sisanya Indonesia mengimpor dari
Pantai Gading dan Ghana (Kementerian Perindustrian, 2019). Pada tahun 2010
ketika produksi kakao sebesar 837,918 ton masih belum memenuhi kebutuhan
kapasitas terpasang industri sebesar 747.000 ton. Volume impor yang terjadi pada
saat itu sebesar 47.453 ton. Hal ini menunjukkan adanya kelebihan impor. Maka
dapat kita lihat dari tabel diatas bahwa adanya kecenderungan peningkatan produksi
juga diiringi oleh peningkatan volume impor didalamnya.
Kegiatan impor biji kakao untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku
industri. Kondisi nilai tukar rupiah dan dollar Amerika juga memiliki keterkaitan
dalam kegiatan impor kakao. Nilai tukar yang mengalami apresiasi ataupun
depresiasi hal ini berdampak pada kegiatan impor. Pada perdagangan internasional
nilai tukar dibutuhkan untuk memperlancar kegiatan jual beli. Selain nilai tukar,
perkembangan harga kakao Indonesia dan dunia juga dipengaruhi oleh jumlah
permintaan dan penawaran konsumen. Pengambilan keputusan harga patokan
berasal dari CIF New York dan juga dari dalam negeri yaitu dari Kementerian
Perdagangan serta Kementerian Perindustrian (Kementerian Perdagangan, 2014).
Kegiatan ekspor selalu mendapat perhatian lebih dibanding kegiatan impor, dimana
seharusnya impor juga mendapat perhatian yang sama dengan ekspor dikarenakan
kedaulatan ekonomi suatu negara merupakan cermin dari kegiatan impor yang
dilakukan negara tersebut. Berikut merupakan volume dan nilai impor biji kakao
selama beberapa tahun terakhir.
5
Gambar 3. Volume dan Nilai Impor Kakao Tahun 2001 - 2017 Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kakao (2018)
Gambar 3 menjelaskan impor biji kakao mengalami fluktuatif dari tahun ke
tahun. Jumlah terbesar dari volume dan nilai impor biji kakao tertinggi berada pada
tahun 2014 yaitu memiliki volume sebesar 139.990 ton dan nilai sebesar US$
469.005 seperti yang dapat kita lihat pada Gambar 3. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (2018) pada tahun 2017 impor biji kakao Indonesia mengalami
peningkatan menjadi 270.172 ton. Besarnya jumlah impor biji kakao tersebut
mengindikasikan produksi kakao lokal tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan bahan baku industri kakao lokal.
Pada tahun 2017 pemerintah mengeluarkan kebijakan Bea Keluar (BK) dalam
rangka mengembangkan industri pengolahan kakao. Kebijakan tersebut tertuang
dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 13 Tahun 2017 tentang Penetapan
Barang Ekspor yang Dikenakan BK dan Tarif BK. Peraturan tersebut diterapkan
secara progresif. Tujuan kebijakan ini adalah untuk menjamin pasokan kakao dalam
negeri agar industri-industri kakao di dalam negeri berkembang baik. Besaran tarif
BK dan harga patokan ekspor biji kakao ditentukan berdasarkan harga referensi biji
kakao. Harga referensi dimaksud adalah harga rata-rata internasional yang
berpedoman pada harga rata-rata CIF terminal New York (Kementerian
Perdagangan, 2019).
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
450,000
500,000T
ON
TAHUN
Volume Nilai
6
Tabel 2. Jenis Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar
Berupa Biji Kakao
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan (2018)
Selain menetapkan kebijakan bea keluar, pemerintah juga menerapkan
kebijakan tarif bea masuk atas impor biji kakao. Kebijakan ini merupakan salah
satu kebijakan pendukung selain kebijakan bea keluar. Impor biji kakao dan produk
kakao olahan dalam tingkat tarif bea masuk Most Favoured Nation (MFN) dinilai
telah mengalami eskalasi dalam pembebannya. Besaran tarif bea masuk sebesar 5%
merupakan bukti dari kebijakan penetapan tarif bea masuk MFN atas impor biji
kakao yang dimulai pada tahun 2014 hal tersebut saat ini dijadikan sebagai
instrumen kebijakan untuk melindungi petani dalam negeri dari serbuan impor biji
kakao dan menjadikan insentif bagi petani untuk tetap menanam pohon kakao.
Penerapan bea keluar dan bea masuk pada kebijakan perdagangan telah membantu
menurunkan volume impor yang ada di Indonesia. Adanya penentuan kuota tarif
5% tersebut yang menjadikan para pelaku impor menjadi lebih berhati-hati dalam
menentukan jumlah impor yang akan dilakukan. Hal ini sesuai dengan teori
menurut Sudjarmoko (2013) yaitu untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam
negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga
yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional atau
menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.
Namun apabila dicermati persoalan fenomena besarnya impor biji kakao
tidak hanya berkaitan dengan faktor pemenuhan bahan baku biji kakao lokal saja.
Adapun kebutuhan terhadap biji kakao blending. Kakao yang di impor memiliki
ciri khas yang berbeda dari kakao yang diproduksi di Indonesia. Kakao yang berasal
dari Afrika memiliki rasa milky. Hal ini juga menjadi faktor impor biji kakao. Rasa
yang dimiliki kakao impor dapat di blend dengan kakao lokal yang memiliki rasa
fruity sehingga menghasilkan rasa yang unik. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
No. Uraian
Termasuk
dalam Pos
Tarif
Tarif Bea Keluar (%)
Kolom
1
Kolom
2
Kolom
3
Kolom
4
1. Biji Kakao
1801.00.00 0 5 10 15
7
faktor produksi biji kakao lokal bukan merupakan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi besarnya volume impor biji kakao lokal di Indonesia sehingga perlu
dilakukan penelitian untuk membahas faktor-faktor yang mempengaruhi impor biji
kakao secara keseluruhan. Penelitian ini membahas dan berfokus dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi volume impor biji kakao seperti harga kakao dunia, kurs
rupiah, produksi kakao domestik, Gross Domestic Product (GDP), serta kebijakan
perdagangan pemerintah yang mempengaruhi jalannya kegiatan impor biji kakao
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh produksi nasional biji kakao, harga dunia biji
kakao, nilai tukar, Gross Domestic Product (GDP) per kapita, dan
kebijakan perdagangan terhadap volume impor biji kakao di Indonesia
secara simultan?
2. Bagaimana pengaruh produksi nasional biji kakao, harga dunia biji
kakao, nilai tukar, Gross Domestic Product (GDP) per kapita, dan
kebijakan perdagangan terhadap volume impor biji kakao di Indonesia
secara parsial?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah dapat ditentukan tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Untuk menganalisis pengaruh produksi nasional biji kakao, harga dunia
biji kakao, nilai tukar, Gross Domestic Product (GDP) per kapita, dan
kebijakan perdagangan terhadap volume impor biji kakao di Indonesia
secara simultan.
2. Untuk menganalisis pengaruh produksi nasional biji kakao, harga dunia
biji kakao, nilai tukar, Gross Domestic Product (GDP) per kapita, dan
8
kebijakan perdagangan terhadap volume impor biji kakao di Indonesia
secara parsial.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai
pihak, antara lain:
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai:
a. Perbandingan dan acuan untuk penelitian selanjutnya.
b. Syarat untuk lulus strata satu di Program Studi Agribisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan mendapatkan gelar Sarjana Pertanian.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna bagi:
a. Pelaku industri untuk memberikan informasi tentang kondisi yang
sedang terjadi, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat untuk
tetap maju dan untung secara finansial.
b. Pemerintah untuk memberikan informasi yang dapat
dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan tentang impor
kakao serta dapat memberikan keadilan bagi seluruh pihak terkait.
1.5 Ruang Lingkup
Pembahasan diatas memiliki batasan penelitian, yaitu:
1. Penelitian ini berfokus pada biji kakao di Indonesia dengan kode HS
(Harmonized System) 1801. Kode HS 1801 membahas tentang biji
kakao, utuh atau pecah, mentah atau panggang.
2. Penelitian ini menggunakan data pada tahun 2001 sampai dengan 2017.
Pada kurun waktu 17 tahun data yang digunakan masih relevan untuk
dijadikan penelitian dan sudah memenuhi asumsi statistik untuk analisis
regresi linier berganda yang digunakan sebagai metode penelitian.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perdagangan Internasional
Menurut Christianto (2013) pengertian perdagangan internasional secara
sederhana menurut kamus ekonomi yaitu perdagangan yang terjadi antara dua
negara atau lebih. Perdagangan luar negeri merupakan aspek penting bagi
perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional menjadi semakin penting
tidak hanya dalam pembangunan negara yang berorientasi keluar akan tetapi juga
dalam mencari pasar di negara lain bagi hasil-hasil produksi di dalam negeri serta
pengadaan barang-barang modal guna mendukung perkembangan industri di dalam
negeri. Teori perdagangan internasional mulai muncul sejak abad ke 17 dan 18
dimana pada saat itu dikenal sebagai era merkantilisme. Setelah itu muncul
pemikiran Adam Smith yang menyatakan bahwa perdagangan dua negara
didasarkan pada keunggulan absolut. Kedua negara tersebut dapat memperoleh
keuntungan dengan cara setiap negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi
komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkan komoditi lain yang
mempunyai kerugian absolut sehingga setiap negara dapat memperoleh
keuntungan.
Gambar 4. Kurva Ekspor dan Kurva Impor Sumber: Salvatore (2014)
10
Menurut Salvatore (2014) pada Gambar 4 diatas terdapat perdagangan
internasional antara negara A dan negara B. Perdagangan internasional antara
negara A sebagai negara pengekspor dan negara B sebagai negara pengimpor terjadi
keseimbangan harga komoditi relatif. Selain itu perdagangan internasional terjadi
akibat kelebihan penawaran pada negara A dan kelebihan permintaan pada negara
B. Pada negara A harga suatu komoditas sebesar Pa, dan di negara B harga
komoditas B harga komodita tersebut sebesar Pb, Ceteris Paribus. Pada pasar
internasional harga yang dimiliki oleh negara A akan lebih kecil yaitu berada pada
harga P* sehingga negara A akan mengalami kelebihan penawaran (excess supply)
di pasar internasional.
Pada negara B, terjadi harga yang lebih besar dibandingkan harga pada pasar
internasional sehingga akan terjadi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar
internasional. Keseimbangan di pasar internasional kelebihan penawaran harga A
menjadi penawaran pada pasar internasional yaitu pada kurva ES sedangkan
kelebihan permintaan negara B menjadi permintaan pada pasar internasional yaitu
sebesar ED. Kelebihan penawaran dan permintaan tersebut akan menyebabkan
keseimbangan harga sebesar P*. Peristiwa tersebut akan mengakibatkan negara A
mengekspor, dan negara B mengimpor komoditas tertentu dengan harga sebesar P*
di pasar internasional. Penjelasan di atas didapat bahwa perdagangan internasional
(ekspor-impor) terjadi karena terdapat perbedaan antara harga domestik (Pa dan
Pb), dan harga internasional (P*); permintaan (ED), dan penawaran (ES) pada
komoditas tertentu. Selain itu, nilai tukar mata uang (exchange rate) pada pasar
internasional antara suatu negara dengan negara lain secara tidak langsung akan
menyebabkan ekspor dan impor pada suatu negara.
Manfaat perdagangan internasional adalah meningkatkan kemakmuran, yaitu
dengan memberikan kesempatan kepada setiap negara untuk berspesialisasi dalam
memproduksi barang dan jasa yang relatif efisien. Efisiensi relatif suatu negara
dalam memproduksi produk tertentu dapat dijelaskan dari jumlah produk alternatif
lain yang dapat diproduksi dengan input yang sama. Bila ditinjau dari pengertian
ini, efisiensi relatif digambarkan sebagai keuntungan komparatif. Semua negara
11
secara bersama-sama dapat memperoleh hasil dari eksploitasi keuntungan
komparatifnya, juga dari skala produksi yang lebih besar dan pilihan produk yang
lebih beragam yang semuanya dimungkinkan oleh adanya perdagangan
internasional (Christianto, 2013).
2.2 Produksi
Produksi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan optimalisasi dari
faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, dan keahlian oleh suatu perusahaan
sehingga menghasilkan suatu produk berupa barang maupun jasa. Kegiatan
produksi yaitu kegiatan yang melakukan proses, pengolahan, dan mengubah faktor-
faktor produksi menjadi sesuatu yang memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi.
Kegiatan produksi tidak bisa dilakukan jika tidak ada bahan-bahan yang
memungkinkan dilakukannya proses produksi. Bahan yang dibutuhkan untuk
melakukan proses produksi antara lain sumber daya manusia, sumber daya alam,
modal serta keahlian. Menurut Joesron (2012) menjelaskan bahwa produksi
merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan
beberapa masukan atau input untuk menghasilkan output. Faktor-faktor produksi
adalah hal-hal yang sangat berpengaruh agar hasil suatu produksi dapat
menghasilkan kualitas yang baik dengan mengetahui hasil produksi
2.3 Nilai Tukar
Nilai tukar mata uang (kurs) memiliki peranan penting dalam hubungan
perdagangan internasional. Hal ini disebabkan karena perdagangan yang dilakukan
antara dua negara selalu memakai dua mata uang yang berbeda, untuk menghindari
perbedaan dan mata uang tersebut, maka digunakan nilai tukar sebagai tolak ukur
harga suatu nilai mata uang antar dua negara. Kurs antara dua negara adalah tingkat
harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan
(Mankiw, 2006).
Nilai tukar atau kurs merupakan harga mata uang suatu negara yang
dinyatakan dalam mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual. Kegiatan
12
perdagangan internasional antara suatu negara dengan negara lain sangat
dipengaruhi oleh nilai tukar atau kurs valuta asing. Kurs valuta asing memiliki
peranan yang cukup penting dalam menentukan harga relatif dari barang maupun
jasa di negara lain lebih murah atau lebih mahal dibandingkan dengan barang
maupun jasa yang diproduksi didalam negeri.
2.4 Harga
Faktor lain yang mempengaruhi volume impor suatu komoditi adalah harga
komoditi tersebut. Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan atas sesuatu
produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-
manfaat karena memiliki atau meggunakan produk atau jasa tersebut (Kotler dan
Amstrong, 2010). Harga merupakan hal yang terpenting dalam kegiatan bisnis,
karena suatu barang yang dijual harus ditentukan harganya terlebih dahulu sehingga
seluruh pihak bisa memperoleh keuntungan dan mendapakan hasil yang
memuaskan dengan penetapan harga yang disetujui. Harga adalah sejumlah uang
yang dibebankan atas sesuatu produk atau jasa, atau jumlah dari nilai yang ditukar
konsumen atas mannfaat-manfaat karena memiliki atau menggunakan produk atau
jasa tersebut.
Harga memainkan peranan penting bagi perkonomian secara makro
konsumen dan perusahaan (Tjiptono, 2008). Terdapat peranan harga terhadap
perekonomian, konsumen dan perusahaan sebagai berikut:
1. Bagi perekonomian. Tingkat upah, sewa, bunga dan laba mempengaruhi
harga produk. Harga merupakan regulator dasar dalam sistem perekonomian
karena harga berpengaruh terhadap alokasi faktor-faktor produksi seperti
tenaga kerja, tanah, modal dan kewirausahaan.
2. Bagi konsumen. Mayoritas konsumen agak sensitif terhadap harga, namun
juga mempertimbangkan faktor lain (seperti citra, merek, lokasi toko, layanan,
nilai (value) dan kualitas). Selain itu, persepsi konsumen terhadap kualitas
produk sering kali dipengaruhi oleh harga. Dalam beberapa kasus, harga yang
13
mahal dianggap mencerminkan kualitas tinggi, terutama dalam kategori
(specialty products).
3. Bagi perusahaan. Harga produk adalah determinan utama bagi permintaan
pasar atas produk bersangkutan. Harga mempengaruhi posisi bersaing dan
pangsa pasar perusahaan. Dampaknya, harga berpengaruh pada pendapatan
dan laba bersih perusahaan. Dalam kata lain, perusahaan mendapatkan uang
melalui harga yang dibebankan atas produk atau jasa yang dijualnya.
2.5 Gross Domestic Product (GDP)
Gross Domestic Product (GDP) suatu negara juga mempengaruhi kegiatan
jual beli komoditas yang ada. Gross Domestic Product (GDP) adalah suatu
cerminan akan keadaan perekonomian negara yang bersangkutan. Ketika Gross
Domestic Product (GDP) suatu negara semakin besar, maka menunjukkan keadaan
perekonomian suatu negara tersebut semakin baik dengan diiringi oleh pendapatan
negara tersebut yang semakin meningkat. Ketika terjadi peningkatan dalam Gross
Domestic Product (GDP) suatu negara, maka akan semakin meningkatkan
kemampuan kedua negara tersebut dalam kegiatan perdagangan internasional.
Kondisi ini sesuai dengan teori permintaan yang menyatakan bahwa peningkatan
pendapatan per kapita konsumen akan meningkatkan permintaan terhadap
komoditas yang diperdagangkan (Pindyck dan Rubenfield, 2009).
Gross Domestic Product (GDP) merupakan indikator yang mengukur jumlah
output final barang (goods) dan jasa (services) yang dihasilkan oleh perekonomian
suatu negara, dalam wilayah negara tersebut, baik oleh penduduknya (warga
negara) sendiri maupun bukan penduduk (misal: perusahaan asing), tanpa
memandang apakah produksi output tersebut nantinya akan dialokasikan ke pasar
domestik atau luar negeri (Todaro dan Smith, 2003). Gross Domestic Product
(GDP) per kapita dapat mengukur kemampuan suatu negara untuk melakukan
pembelian barang dan jasa. Ketika Gross Domestic Product (GDP) per kapita
penduduk suatu negara meningkat, maka daya beli negara tersebut akan meningkat,
dan pada saat yang bersamaan permintaan penduduk di negara tersebut atas sebuah
14
komoditas impor pun meningkat. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya ekspor
suatu komoditas dari negara mitra dagangnya (Mankiw, 2006).
2.6 Kebijakan Perdagangan Impor Kakao
Perdagangan Internasional merupakan salah satu hal yang dapat membantu
perekonominan negara. Kebijakan ini mengatur jalannya perdagangan internasional
di Indonesia. Berikut merupakan kebijakan perdagangan untuk mengurangi impor
di Indonesia, yaitu:
a. Kebijakan Bea Keluar
Kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menghambat ekspor biji kakao
dan meningkatkan ekspor kakao olahan. Kebijakan bea keluar menetapkan bahwa
besaran tarif bea keluar (BK) dan harga patokan ekspor biji kakao ditentukan
berdasarkan harga referensi biji kakao. Harga referensi yang dimaksud adalah harga
rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata cost insurance freight
(CIF) terminal New York. Besaran harga referensi berikut harga patokan ekspor
(HPE) ditetapkan setiap bulan oleh Menteri Perdagangan. Dasar hukum yang
digunakan: PMK No. 75 Tahun 2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang
Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Tujuan adanya kebijakan ini adalah
pengenaan bea keluar biji kakao dalam rangka penyediaan bahan baku industri
pengolahan kakao dalam negeri; meningkatkan nilai tambah produk pertanian
primer. Instrumen Bea Keluar sebagaimana ditetapkan oleh PP No. 55 Tahun 2008
tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap barang ekspor, dimaksudkan untuk
menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; melindungi kelestarian sumber
daya alam; mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor
tertentu di pasaran internasional; atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di
dalam negeri (Sudjarmoko, 2013).
15
b. Kebijakan Bea Masuk
Industri pengolahan kakao domestik menghadapi kendala keterbatasan atas
pasokan biji kakao sehingga memaksa untuk melakukan importasi dari luar negeri.
Besaran tarif bea masuk tersebut saat ini dijadikan sebagai instrument kebijakan
untuk melindungi petani di dalam negeri dari serbuan impor biji kakao dan
menjadikan insentif bagi petani untuk tetap menanam pohon kakao. Tarif bea
masuk MFN atas impor biji kakao Indonesia pada tahun 2014 ditetapkan sebesar
5% (Kementerian Perdagangan, 2014).
16
Tabel 3. Kebijakan Bea Keluar dan Bea Masuk Biji Kakao Indonesia
No. Bea Keluar Bea Masuk
1.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.67/PMK.011/2010 tentang
Penetapan Barang Ekspor yang
dikenakan BK dan Tarif BK. Peraturan
ini diterapkan secara progresif. Besaran
tarif BK dan harga patokan ekspor biji
kakao ditentukan berdasarkan harga
referensi biji kakao. Harga referensi
yang dimaksud adalah harga rata-rata
internasional CIF terminal New York.
Besaran harga referensi berikut harga
patokan ekspor (HPE) ditetapkan setiap
bulan oleh Menteri Perdagangan.
Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No.208/PMK.011/2012
tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk dalam Rangka ASEAN-
CHINA FREE TRADE AREA
(ACFTA).
2.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.75/PMK.011/2012 tentang
Penetapan Barang Ekspor yang
dikenakan BK dan Tarif BK.
Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No.25/PMK.010/2017
tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk dalam Rangka ASEAN
TRADE IN GOODS
AGREEMENT.
3.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.13/PMK.010/2017 tentang
Penetapan Barang Ekspor yang
dikenakan BK dan Tarif BK.
Bea Masuk Most Favoured
Nation (MFN) atas impor biji
kakao dan produk olahan kakao
dinilai telah mengalami eskalasi
dalam pembebannya. Kebijakan
penetapan tarif bea masuk MFN
atas impor biji kakao Indonesia
pada tahun 2014 yang ditetapkan
sebesar 5%
4.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.164/PMK.010/2018 tentang
Penetapan Barang Ekspor yang
dikenakan BK dan Tarif BK.
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Kementerian Keuangan (2018)
17
2.7 Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para peneliti
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dan impor dari beragam
komoditas. Perbedaan dari penelitian ini mulai dari komoditas yang dikaji, metode
pengumpulan data, serta alat analisisnya. Berikut merupakan beberapa penelitian
terdahulu yang dijelaskan pada Tabel 4.
Tabel 4. Penelitian Terdahulu
No Penelitian Terdahulu
1.
Nama Diah Ayu Iswandari
Tahun 2018
Judul Analisis Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Impor Kedelai
di Indonesia Periode 1997 – 2015
Perbedaan Data yang digunakan mulai dari 1997 – 2015; Metode yang
digunakan adalah Error Correction Model (ECM);
Komoditas yang diteliti adalah Kedelai.
Persamaan Variabel yang digunakan yaitu produksi dan kurs.
2.
Nama Doni Hernadi
Tahun 2016
Judul Analisis Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Impor Jagung
Indonesia Periode 1995 – 2014
Perbedaan Data yang digunakan mulai dari 1995 – 2014; Komoditas
yang diteliti adalah Jagung; Metode yang digunakan adalah
Augmented Dicky Fuller (ADF), Error Correction Model
(ECM).
Persamaan Variabel yang digunakan yaitu harga dunia, produksi, kurs,
PDB per kapita.
3.
Nama Ridwan Umar Hanafi, Netti Tinaprilla
Tahun 2014
Judul Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia di Perdagangan
Internasional
Perbedaan Metode yang digunankan: Indeks Spesialisasi Perdaangan
(ISP), Revealed Comparative Advantage (RCA), Export
Products Dynamic (EPD), Herfindahl-Hirschman Index
(HHI), Concentration Ratio (CR); Menganalisa kondisi
ekspor kakao
Persamaan Komoditas yang digunakan yaitu Kakao
18
Lanjutan Tabel 4. Penelitian Terdahulu
No Penelitian Terdahulu
4.
Nama Christianto
Tahun 2013
Judul Faktor yang Mempengaruhi Volume Impor Beras di
Indonesia
Perbedaan Fokus yang dibahas yaitu jumlah permintaan dan tingkat
konsumsi beras per kapita per tahun. Alat analisis yang
digunakan adalah OLS (Ordinary Least Square)
Persamaan Perhatian terhadap harga komoditas di dunia dengan
pengaruh impor yang dilakukan
5.
Nama Malyda Husna Salsyabilla
Tahun 2010
Judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor
Beras di Indonesia Periode 2000 – 2009
Perbedaan Alat analisis yang digunakan adalah DEA (Data
Envelopment Analysis)
Persamaan Memiliki variabel yang sama yaitu kurs, harga kakao
dunia
6.
Nama Malisa Rachma Handayani
Tahun 2010
Judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Durian
di Indonesia
Perbedaan Data yang digunakan tahun 2000 – 2013; Menganalisa
kondisi impor durian di Indonesia; Menggunakan harga
durian lokal menjadi variabel penelitian
Persamaan Metode yang digunakan Analisis Regresi Linier Berganda
7.
Nama Raditya Audayuda
Tahun 2010
Judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Jagung
di Indonesia
Perbedaan Data yang digunakan tahun 1990 – 2014; Menganalisa
kondisi impor jagung di Indonesia; Menggunakan
konsumsi jagung dan harga jagung domestik menjadi
variabel penelitian
Persamaan Metode yang digunakan Analisis Regresi Linier Berganda
19
2.8 Kerangka Pemikiran
Pengidentifikasian kondisi kebutuhan komoditas serta hubungan antar
variabel-variabelnya merupakan salah satu cara untuk merumuskan kerangka
pemikiran operasional. Berdasarkan hubungan tersebut maka kita dapat
menentukan metode yang akan digunakan. Pemenuhan kebutuhan bahan baku biji
kakao untuk menjalankan industri yang telah banyak berkembang di Indonesia
merupakan langkah awal untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, sehingga
hal ini menjadi hal yang perlu diperhatikan. Informasi yang didapatkan kemudian
divalidasi dengan lembaga terkait. Kerangka pemikiran penelitian ditunjukkan pada
Gambar 5.
20
Gambar 5. Skema Kerangka Pemikiran
Peningkatan Impor Biji Kakao di Indonesia akibat kebutuhan industri
dalam negeri untuk blending.
Variabel Penelitian:
Y : Volume Impor Biji Kakao di Indonesia
X1: Produksi Nasional Biji Kakao
X2: Harga Dunia Biji Kakao
X3: Kurs
X4: GDP Indonesia
X5: Kebijakan Perdagangan (Dummy Variable)
Data Primer:
Wawancara
Terbuka
Data Sekunder:
Tinjauan Pustaka,
ICCO, UN
COMTRADE,
FAO,
DEKAINDO, dan
BPS.
Analisis Deskriptif
Analisis Regresi Linier
Berganda
Pengaruh produksi nasional biji kakao, harga dunia
biji kakao, nilai tukar Rupiah-Dollar, GDP per kapita,
dan kebijakan perdagangan terhadap volume impor
biji kakao di Indonesia
Faktor-faktor pendorong peningkatan volume impor biji kakao di Indonesia.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian
Pertanian Republik Indonesia, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia,
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Dewan Kakao Indonesia, World
Bank, The International Cocoa Organization (ICCO), UNComtrade, serta beberapa
penelitian terdahulu dari tahun 2010 – 2018. Penelitian ini juga menggunakan
metode wawancara terbuka. Hal ini dilakukan untuk validasi data yang telah
didapat dari berbagai sumber diatas. Responden wawancara penelitian bersama
Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian
yang terletak masing-masing di Jakarta. Wawancara ini berlangsung selama 1 – 2
jam bersama narasumber yang berkaitan dengan biji kakao maupun kegiatan
perdagangan internasionalnya.
Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan
menggunakan analisis deskriptif untuk menganalisis pengaruh produksi nasional
biji kakao, harga kakao dunia terhadap impor, nilai tukar rupiah terhadap dollar
(kurs), GDP negara importir serta kebijakan perdagangan terkait meningkatnya
impor kakao Indonesia. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deret
waktu (time series) periode waktu 17 tahun yaitu dari tahun 2001 – 2017. Pemilihan
metode time series untuk melihat perkembangan impor biji kakao dari tiap
tahunnya.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal
tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Variabel yang
terdapat dalam penelitian ini adalah:
22
1. Variabel Independent atau Variabel Bebas, variabel yang mempengaruhi
atau yang menjadi sebab timbulnya variabel dependent (terikat). Pada
penelitian ini yang menjadi variabel bebas yaitu produksi nasional biji kakao
(X1), harga dunia biji kakao (X2), kurs rupiah terhadap Dollar Amerika (X3),
GDP Indonesia (X4), dan kebijakan perdagangan impor biji kakao (X5) yang
menggunakan variabel dummy untuk mengetahui kaitannya, yakni bernilai
0 sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan impor biji
kakao dan bernilai 1 sesudah pemerintah mengeluarkan kebijakan
perdagangan impor biji kakao.
2. Variabel Dependent atau Variabel Terikat, variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah volume impor biji kakao.
3.3 Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan statistik inferensial
menggunakan analisis regersi linier berganda. Analisis deskriptif adalah statistik
yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendiskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud
membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono,
2008). Analisis inferensial digunakan untuk menjelaskan pengaruh antara variabel
yang satu dengan variabel yang lainnya. Analisis regresi linier berganda digunakan
dalam pengolahan data time series. Alat yang digunakan untuk melakukan analisis
ini adalah SPSS 20 pada alat ini kita dapat mengetahui metode yang cocok dengan
peneltian yang kita lakukan. Secara matematis, model yang digunakan pada
penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut:
Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + е
Keterangan:
Y = Volume impor biji kakao di Indonesia
23
X1 = Produksi nasional biji kakao
X2 = Harga dunia biji kakao
X3 = Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika
X4 = Gross Domestic Product (GDP)
X5 = Kebijakan perdagangan (Dummy Variabel)
е = Error
Langkah-langlah estimasi model regresi liner berganda adalah sebagai berikut:
1. Uji Asumsi Klasik, Gujarati (2003) mengemukakan beberapa asumsi
klasik yang harus dipenuhi untuk suatu hasil estimasi regresi linier agar hasil
tersebut dapat dikatakan baik dan efisien. Agar suatu model dikatakan baik maka
dilakukan beberapa pengujian yang meliputi:
a. Uji Multikolineritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independent). Model regresi
yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independent. Uji ini
digunakan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi
antar perubah bebas. Multikolinieritas adalah keadaan jika suatu variabel bebas
berkorelasi dengan satu atau lebih variabel bebas lainnya. Jika terjadi korelasi,
maka dinamakan masalah multikolinieritas. Cara untuk mengetahui adanya
multikolinieritas dapat dilihat dari nilai variance inflationfactors (VIF). Apabila
VIF > 1 maka terjadi korelasi antar peubah bebas. Semakin besar nilai VIF
menunjukkan bahwa kolinieritas semakin besar (Ghozali, 2011). Pada penelitian
ini hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada Tabel 5. Kriteria untuk
mengujinya adalah:
H0 ditolak dan Ha diterima, jika nilai VIF > 1;
H0 diterima dan Ha ditolak, jika nilai VIF < 1;
24
Tabel 5. Hasil Uji Multikolinieritas
Sumber: Kementerian Pertanian (2017), SPSS (diolah)
Tabel 5 memperlihatkan bahwa nilai tolerance untuk produksi, harga dunia, kurs,
GDP, dan kebijakan memiliki nilai tolerance lebih dari 0.10 dan nilai VIF kurang
dari 10. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikolinearitas dalam
data penelitian ini, artinya bahwa variabel independent tidak saling mengganggu
atau mempengaruhi.
b. Uji Normalitas Residual bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali,
2011). Uji normalitas data dilakukan dengan memperhitungkan penyebaran data
(titik) pada normal p plot of regression residual variabel independent dimana:
1. Jika data menyebar digaris diagonal dan mengikuti arah garis diagonal,
maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.
2. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti
arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas.
Model regresi yang baik adalah yang mempunyai distribusi data normal atau
mendekati normal. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat penyebaran data
pada grafik Normal P-P plot of Regression Standarized Residual dengan
menggunakan program SPSS versi 20 dan diperoleh hasil sebagai berikut:
Variabel Independent Colinierity Statistics
Tolerance VIF
Produksi 0.546 1.833
Harga Dunia 0.283 3.534
Kurs 0.520 1.924
GDP 0.347 2.883
Kebijakan 0.245 4.079
25
Gambar 6. Grafik Normal P-P plot of Regression Standardized Residual
Sumber: Kementerian Pertanian (2017), SPSS (diolah)
Gambar 6 menjelaskan bahwa data pada grafik menyebar di sekitar garis
diagonal dan mengikuti arah garis diagonal pada grafik Normal P-P plot of
Regression Standardized Residual. Penelitian ini membuktikan bahwa data telah
memenuhi syarat normal probability plot, sehingga dapat disimpulkan asumsi
normalitas telah terpenuhi. Uji Normalitas dapat dilakukan juga dengan
menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov (K-S). Suatu model regresi
terdistribusi secara normal atau tidak, dapat dilihat apabila nilai signifikansi lebih
besar daripada 0,05 maka dapat disimpukan bahwa data terdistribusi normal,
sedangkan jika nilai signifikansi kurang dari 0,05 maka data terdistribusi tidak
normal (Ghozali, 2011). Hasil uji Kolmogorov-Smirnov untuk penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
Sumber: Kementerian Pertanian (2017), SPSS (diolah)
Unstandardized Residual
N 17
Kolmogorov-Smirnov 0.811
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.527
26
Tabel 6 menunjukkan data hasil Uji Kolmogorov-Smirnov bahwa nilai Asymp. Sig.
adalah sebesar 0.527. Hal ini menunjukkan bahwa nilai signifikansinya lebih besar
daripada 0.05 yang artinya seluruh data pada model regresi terdistribusi secara
normal.
c. Uji Heteroskedastisitas, bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang tidak terjadi
heteroskedastisitas yaitu dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel
terikat (dependent) yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada
tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola
tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y
adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y
sesungguhnya) yang telah di-studentized. Grafik Scatterplot pada Gambar 7
menunjukkan hasil uji heteroskedastisitas.
Gambar 7. Grafik Scatterplot
Pada Gambar 7 dijelaskan bahwa titik-titik yang ada tidak membentuk
suatu pola yang teratur dan menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y,
dapat disimpulkan bahwa hal tersebut data dalam penelitian ini tidak terjadi
Sumber: Kementerian Pertanian (2017), SPSS (diolah)
27
heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas juga dapat dilakukan dengan
menggunakan uji glejser. Uji glejser dilakukan dengan meregresikan nilai absolute
residual terhadap variabel independent lainnya yang apabila nilai signifikansinya
diatas 0.05 maka tidak terdapat masalah heteroskedastisitas (Widarjono, 2013).
Hasil uji glejser dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji Glejser
Sumber: Kementerian Pertanian (2017), SPSS (diolah)
Tabel 7 menjelaskan bahwa variabel independent semuanya memiliki nilai
signifikansi diatas 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hal ini tidak terdapat
masalah heteroskedastisitas pada model regresinya, yang berarti semua variabel
independent pada model regresi ini memiliki sebaran varian yang sama atau
homogen.
d. Uji Autokorelasi biasanya terjadi pada data deret waktu (time series),
namun dapat pula terjadi pada data lintas ruang (cross-section). Observasi dari
error term dilakukan secara independent atau dengan yang lainnya. Dalam
aplikasi ekonomi, asumsi ini merupakan yang terpenting dalam model-model
runtun waktu. Adapun penyebab autokorelasi adalah:
1. Kelembaman baisanya terjadi fenomena ekonomi dimana sesuatu akan
mempengaruhi sesuatu mengikuti siklus bisnis atau saling kait mengait.
2. Terjadi bias dalam spesifikasi yaitu ada beberapa variabel yang tidak
termasuk dalam model.
Variabel Independent t Sig.
(Constant) -0.453 0.659
Produksi 0.779 0.452
Harga Dunia -0.53 0.607
Kurs 0.38 0.711
GDP 0.61 0.554
Kebijakan 0.662 0.552
28
3. Bentuk fungsi yang digunakan tidak tepat seperti semestinya bentuk nonlinier
digunakan linier atau sebaliknya.
Dalam konteks model runtun waktu, asumsi ini menyatakan bahwa suatu
peningkatan error term dalam periode i = 1 sama sekali tidak mempengaruhi error
term pada periode lain. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan Serial
Correlation LM test. Test yang disebut juga dengan Breusch-Godfrey test sebagai
penyempurnaan unit yang dibuat oleh Durbin yaitu h test untuk menguji serial
korelasi. Kriteria pengujiannya adalah:
H0: tidak ada masalah autokorelasi
Ha: ada masalah autokorelasi
H0 ditolak dan Ha diterima, jika Obs*R-square yang merupakan chi-square (X)
hitung lebih besar dari nilai kritis chi-square (X) pada derajat kepercayaan tertentu
(alpha), ini menunjukkan adanya masalah autokorelasi pada model.
Tabel 8. Hasil Uji Autokorelasi
Sumber: Kementerian Pertanian (2017), SPSS (diolah)
Pada penelitian ini memiliki jumlah sampel n = 17, α = 0.05 dan jumlah
variabel independent k = 5, sehingga didapatkan nilai kritis dL = 0.664 dan dU =
3.336. Maka hasil uji autokorelasi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 8 diatas, menyajikan nilai Durbin-Watson sebesai 3.088 yang berarti nilai
dW berada diantara dL (0.664) dan dU (3.336) sehingga dL < dW < dU. Hal ini
disimpulkan bahwa dalam penelitian ini masalah autokorelasi tidak dapat
disimpulkan atau berada dalam keragu-raguan (Ghozali, 2011). Adapula cara untuk
melihat autokorelasi dengan melihat signifikansi menggunakan run test. Apabila
dari run test didapatkan nilai signifikansi lebih dari 0.05 maka tidak terjadi masalah
autokorelasi. Tabel 9 menyajikan hasil run test.
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Durbin-
Watson
1 0.954a 0.91 0.868 18.733 3.088
29
Tabel 9. Hasil Uji Run Test
Sumber: Kementerian Pertanian (2017), SPSS (diolah)
Tabel 9 menjelaskan bahwa nilai Asymp. Sig. sebesar 0.308, nilai signifikansi yang
dihasilkan lebih besar dari 0.05 yang memiliki arti bahwa tidak adanya gangguan
autokorelasi pada penelitian ini, sehingga dapat disimpulkan variabel independent
tidak terganggu atau terpengaruhi oleh variabel pengganggu.
e. Uji Hipotesis terdiri dari:
1. Koefisien Determinasi (R2), koefisien regresi digunakan untuk mengukur
seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi-variasi
terikat. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu (Ghozali,
2011). Jika dalam uji empiris didapat nilai adjusted R2 negatif, maka nilai
adjusted R2 dianggap bernilai nol. Secara matematis jika nilai R2=1, maka
adjusted R2=R2=1, sedangkan jika nilai R2=0, maka adjusted R2 = (1 – k)(n
– k). Jika k > 1, maka adjusted R2 akan bernilai positif (Gujarati, 2003).
Menurut Sugiyono (2012) untuk melakukan proporsi atau persentase
sumbangan variabel independent yang diteliti terhadap variasi naik turunnya
variabel dependent, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kd = r2xy x 100%
Keterangan:
Kd = Koefisien determinasi
r2xy = Koefisien kuadrat korelasi agenda
Kriteria untuk analisis koefisien determinasi adalah:
Unstandardized Residual
Test Valuea 2.85170
Cases < Test Value 8
Cases >= Test Value 9
Total Cases 17
Number of Runs 12
Z 1.020
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.308
30
a. Jika Kd mendekati (0), berarti pengaruh variabel dependent terhadap
independent lemah.
b. Jika Kd mendekati (1), berarti pengaruh variabel independent terhadap
dependent kuat.
2. Uji t (Uji Parsial), digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh antara
variabel X dan variabel Y secara parsial atau dapat dikatakan uji t pada
dasarnya menunjukan seberapa jauh satu variabel independent secara
individual dalam menerangkan variasi-variasi dependent (Ghozali, 2011).
Menurut Sugiyono (2012), uji t digunakan untuk menguji sendiri-sendiri
secara signifikan pemgaruh antara variabel independent (variabel X) dengan
variabel dependent (variabel Y), dengan taraf signifikansi 95% (α = 0,05)
dengan syarat:
a. Jika t hitung > t Tabel, maka variabel independent mempunyai keeratan
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependent.
b. Jika t hitung < t Tabel, maka variabel independent tidak mempunyai
keeratan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependent.
Rumus: t = r ቂξ𝑛−2
ξ1−12ቃ
Keterangan:
r : Korelasi data
n : jumlah tahun
3. Uji F, pada dasarnya menunjukan apakah semua variabel bebas yang
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama
terhadap variabel terikat (Ghozali, 2011). Pengujian hipotesis ini
menggunakan statistik dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai
berikut:
a. Dengan membandingkan nilai F Tabel dengan F hitung,
Apabila FTabel > Fhitung, maka Ho diterima dan Ha ditolak,
Apabila FTabel < Fhitung, maka Ho ditolak dan Ha diterima.
31
b. Dengan menggunakan angka probabilitas signifikansi,
Apabila probabilitas signifikansi > 0,05, maka Ho diterima dan Ha
ditolak, jika signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima.
Rumus: F = 𝑅2 𝑘⁄
(1−𝑅2)/(𝑛−𝑘−1)
Keterangan:
F : Pendekatan distribusi probabilitas (fischer)
R2 : Koefisien korelasi berganda
K : Jumlah variabel bebas
n : Banyaknya sampel
32
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Agribisnis Biji Kakao
Salah satu komoditas perkebunan yaitu Kakao (Theobrema cacao L.)
memiliki peranan yang cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya
sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Peran
lainnya kakao juga mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan
agroindustri. Perkembangan perkebunan kakao di Indonesia mengalami
peningkatan yang cukup pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, pada tahun
2015 luas areal tercatat seluas 1,72 juta ha sebagian besar dikelola oleh perkebunan
rakyat dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Lampung, dan Sumatera Utara (Kementerian
Pertanian, 2017). Adapun kondisi dari Agribisnis kakao saat ini:
1. Kondisi tanaman perkebunan kakao yang sudah tua berdampak pada
penurunan kualitas dan mutu produksi biji kakao yang dihasilkan. Di sisi lain
permasalahan mengenai hama penyakit yang tumbuh subur disekitar kawasan
perkebunan menjadikan pengurangan produktivitas tanaman. Pemerintah
sudah memiliki antisipasi pada kondisi seperti ini dengan cara
mengintegrasikan perkebunan dengan peternakan. Ketika terjadi gagal panen
maka petani masih mendapatkan penghasilan dari ternak yang dipelihara serta
limbah perkebunan tidak terbuang dikarenakan digunakan sebagai pakan
ternak.
2. Pada kondisi pasca panen petani cenderung lebih memilih untuk menjual biji
kakao non-fermentasi daripada biji kakao yang sudah di fermentasi.
Perbedaan harga biji kakao non-fermentasi dengan yang tidak hanya Rp.
3.000,- dan jika melakukan fermentasi petani memerlukan 5-6 hari agar biji
terfermentasi dengan baik. Biji kakao non-fermentasi dapat langsung
diperjual-belikan tanpa harus menunggu 5-6 hari sehingga petani
mendapatkan penghasilan lebih cepat ketika menjual biji kakao non-
fermentasi.
33
3. Tataniaga yang ada pada perkebunan kakao di Indonesia belum terbentuk
dengan baik. Sentra kakao yang tersebar membuat para industri memilih
untuk berinteraksi dengan pedagang pasar daripada berinteraksi langsung
dengan petani perkebunan kakao. Masalah yang timbul merupakan semakin
panjang rantainya maka marginnya juga semakin berbeda. Pada posisi ini
petani berada di posisi yang kurang menguntungkan. Harga tinggi yang
diberikan para pedagang kepada industri tidak dapat dinikmati petani yang
tidak bisa memberikan harga yang tinggi ketika menjual hasil panennya.
4. Beberapa kelompok tani tanaman kakao belum memiliki kelembagaan yang
kuat, sehingga sulit mendapat pinjaman dari bank untuk memenuhi kebutuhan
perkebunan yang di kelola. Pemerintah juga belum mampu memberikan
bantuan hibah/gratis kepada 1,6 juta petani yang ada di Indonesia. Terkait
kelembagaan Kementerian Pertanian memiliki program Penguatan
Kelembagaan Petani Melalui Lembaga Ekonomi Masyarakat. Tujuannya
supaya petani dalam berusaha tani menggunakan skala ekonomi dan
pengelolaannya serupa dengan perusahaan, memiliki jobdesk yang jelas,
sehingga produksinya dapat seragam dan skala ekonomi kebunnya bagus
serta merata. Adanya kelembagaan berbadan hukum yang dibentuk, akan
memudahkan petani untuk meminjam uang kepada bank.
4.1.1 Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia
Pola perkembangan luas areal kakao di Indonesia pada tahun 2000 – 2017
cenderung meningkat, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. Perkebunan kakao di
Indonesia dibagi menjadi 3 menurut status pengusahanya yaitu Perkebunan Rakyat
(PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Pada
Tabel 10 di bawah dapat diketahui bahwa lima tahun terakhir periode 2013-2017
ketiga status pengusahaan mengalami penurunan yaitu PR sebesar 0,51%, PBN
sebesar 12,5% dan PBS sebesar 7,62% (Kementerian Pertanian, 2017).
34
Tabel 10. Rata-Rata Pertumbuhan dan Kontribusi Luas Areal Kakao di Indonesia,
Tahun 1980-2017
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2017)
Penurunan luas areal kakao Indonesia disebabkan oleh tanaman kakao yang
rusak, iklim, serta hama penyakit. Pada tahun 2009-2011 Kementerian Pertanian
melalui Direktorat Jenderal Perkebunan menyusun Program Gerakan Nasional
Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) untuk memperbaiki
tanaman kakao. Banyaknya kondisi tanaman yang tua, rusak, tidak produktif dan
terkena serangan hama sehingga program ini mengacu pada hasil indentifikasi
lapangan pada tahun 2008 dengan luas areal seluas 70.000 ha. Tanaman kakao yang
perlu dilakukan rehabilitasi karena kurang produktif dan terkena serangan hama dan
penyakit dengan tingkat serangan sedang sebanyak 235.000 ha dan Intensifikasi
tanaman kakao yang tidak terawat dan kurang pemeliharaan sebanyak 145.000 ha
(Kementerian Pertanian, 2017).
Tahun Luas Areal
PR PBN PBS Indonesia
Pertumbuhan (%)
1980-2017 15.33 0.95 4.86 11.12
1980-2012 17.81 3.05 6.81 13.01
2013-2017 -0.51 -12.51 -7.62 -0.95
Kontribusi (%)
1980-2017 88.95 5.29 5.76 100.00
1980-2012 85.94 6.82 7.24 100.00
2013-2017 97.13 1.14 1.73 100.00
35
4.1.2 Perkembangan Produksi dan Produktivitas Kakao Indonesia
Produksi kakao Indonesia berfluktuasi dan cenderung meningkat. Produksi
tertinggi selama periode tahun 2000-2017 terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar
837.918 ton. Selama lima tahun terakhir periode 2013-2017, rata-rata pertumbuhan
produksi kakao turun sebesar 0.93% per tahun. Gambar 8 menunjukkan
perkembangan produksi kakao di Indonesia secara rinci.
Gambar 8. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia, Tahun 2000-2017
Sumber: Kementerian Pertanian (2017)
Produksi PR, PBN, PBS dalam kurun waktu lima tahun terakhir periode tahun
2013-2017 mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,44%, 6,03%, dan
3,37% per tahun. Produksi kakao Indonesia juga di dominasi oleh PR dengan
kontribusi terbesar dalam kurun waktu lima tahun terakhir periode 2013-2017 yaitu
94,49%, PBN sebesar 2,22% dan PBS 1,73% dari seluruh produksi kakao di
Indonesia (Kementerian Pertanian, 2017).
Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk menangani
permasalahan yang terjadi pada perkebunan kakao, salah satu diantaranya solusi
untuk perbaikan kebun yang didapat dalam hasil wawancara yaitu Kementerian
Pertanian memiliki 4 program. Pertama, peremajaan yang bertujuan untuk
menggantikan tanaman kakao yang sudah tua. Kedua, perluasan areal dengan
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
200020012002200320042005200620072008200920102011201220132014201520162017
kg /
ha
Tahun
PR PBN PBS Indonesia
36
mengalih-fungsikan lahan yang semula bukan tanaman kakao menjadi ditanami
dengan tanaman kakao, tetapi masih sesuai dengan agroklimatnya. Ketiga,
rehabilitasi, hal ini dilakukan pada tanaman yang masih produktif tetapi tidak
ditebang melainkan disambung atau dicangkok. Jika tanaman tidak menghasilkan,
maka batang lama harus ditebang. Supaya supply nutrisi dapat dialihkan ke batang
yang baru tumbuh. Rehabilitasi dengan kata lain adalah mempertahankan batang
utama dari batang yang lama, rehabilitasi hanya dilakukan pada cabang-cabang
batang tertentu. Keempat, pemerintah memberikan bantuan untuk pembelian
pupuk, pengendalian hama dan penyakit. Keempat syarat ini diperuntukkan dalam
satu kawasan perkebunan. Pertumbuhan dan kontribusi produksi kakao dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rata-Rata Pertumbuhan dan Kontribusi Produksi Kakao di Indonesia,
1980-2017
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2017)
Pada tahun 2006-2017 perkembangan produktivitas kakao di Indonesia cenderung
berfluktuasi, hal ini dapat dilihat pada Gambar 12 Produktivitas kakao pada tahun
2006 sebesar 849 kg/ha kemudian tahun 2015 menjadi 797 kg/ha dan tahun 2017
turun menjadi 785 kg/ha. Pada periode 2006-2016 produktivitas terbesar terjadi
pada tahun 2008 yaitu sebesar 889 ton/ha. Tahun-tahun berikutnya produktivitas
kakao Indonesia belum mampu menandingi produktivitas kakao tahun 2008.
Tahun Luas Areal
PR PBN PBS Indonesia
Pertumbuhan (%)
1980-2017 22,90 3,21 12,27 13,40
1980-2012 26,55 4,65 14,71 15,64
2013-2017 -0,44 -6,03 -3,37 -0,93
Kontribusi (%)
1980-2017 88,13 6,56 5,76 100,00
1980-2012 86,39 7,75 7,24 100,00
2013-2017 94,49 2,22 1,73 100,00
37
4.2 Perkembangan Volume Impor Kakao Indonesia
Pada periode 2000-2017 perkembangan volume impor kakao Indonesia
tampak berfluktuatif dengan kode HS 1801; biji kakao, utuh atau pecah, mentah
atau digongseng. Volume impor pada tahun 2000 sebesar 19,31 ribu ton dan pada
2016 naik menjadi 105,15 ribu ton. Negara asal impor kakao pada tahun 2016
berasal dari 52 negara dengan volume impor kakao sebesar 84,44 ribu ton.
Indonesia dalam memenuhi kebutuhan industri memerlukan pasokan bahan baku
dari negara pendukung penghasil biji kakao dengan kuota yang sudah ditentukan.
Meningkatkan volume impor pada tiap tahunnya dikarenakan pertumbuhan industri
pengolahan kakao semakin bertambah namun produksi kakao nasional tak kunjung
meningkat. Kualitas rasa yang dimiliki kakao negara lain juga menjadi faktor
negara kita untuk mengimpor. Beberapa perusahaan mencampur biji kakao lokal
dan luar negeri untuk menghasilkan kualitas dan rasa yang unik. Gambar 9
menunjukkan bahwa Pantai Gading merupakan negara asal impor kakao Indonesia
terbesar dengan jumlah 4.176.901 ton. Tingginya volume impor biji kakao dari
Pantai Gading dikarenakan produsen utama biji kakao dunia serta biji kakao yang
dihasilkan dari wilayah Afrika terutama Pantai Gading menjadi salah satu biji kakao
yang memiliki kualitas yang tinggi dan memiliki rasa milky yang dibutuhkan
sebagai bahan blending dalam industri kakao olahan dalam negeri, sehingga hal ini
juga menjadi alasan tingginya tingkat impor biji kakao dari negara terebut.
Sementara negara lain asal impor kakao Indonesia adalah Malaysia, Ghana,
Kamerun, Singapura, Papua Nugini, dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
38
Gambar 9. Volume Impor dari Negara Asal Impor Biji Kakao Indonesia,
Tahun 2001-2017 Sumber: UN COMTRADE (2019)
0
10000000
20000000
30000000
40000000
50000000
60000000
70000000
20012002200320042005200620072008200920102011201220132014201520162017
ton
Tahun
Pantai Gading Malaysia Ghana
Singapura Kamerun Papua Nugini
39
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Biji Kakao di Indonesia
secara Simultan
Uji statistik F menunjukan apakah semua variabel independent dalam model
regresi mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependent
yang diuji pada tingkat signifikan 0,05 (Ghozali, 2011). Variabel independent
secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependent apabila
nilai F-hitung lebih besar daripada F-Tabel atau nilai signifikansinya dibawah 0,05.
Hasil uji F dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Uji Hipotesis Simultan (Uji F)
Sumber: Kementerian Pertanian (2017), SPSS (diolah)
Tabel 12 menjelaskan bahwa nilai F-hitung sebesar 22,125. Taraf
signifikansi 95% dan degree of freedom (df) sebesar k = 5 dan derajat bebas
penyebut (df2) sebesar n-k-1 (17-5-1 = 11) adalah sebesar 3,20. Apabila F-hitung
dan F-Tabel dibandingkan maka dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama
atau simultan variabel independent memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel dependent-nya. Hal ini dikarenakan nilai F-hitung (2,125) lebih besar
daripada F-Tabel (3,20). Angka ini menjelaskan bahwa produksi nasional, harga
dunia biji kakao, kurs rupiah terhadap dollar Amerika, GDP dan kebijakan
perdagangan memiliki signifikansi atau pengaruh terhadap volume impor biji kakao
di Indonesia.
Model Sum of
Squares df Mean Square F Sig
1 Regression 38819.799 5 7763.96 22.125 .000b
Residual 3860.083 11 350.917
Total 42679.882 16
40
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Biji Kakao di Indonesia
secara Parsial
Uji statistik t menunjukan ada atau tidaknya dan seberapa jauh pengaruh
satu variabel independent secara individual dalam menerangkan variasi variabel
dependent yang diuji pada tingkat signifikansi 0,05 (Ghozali, 2011). Hasil uji t
dapat dilihat dari nilai signifikansinya atau melakukan perbandingan antara nilai T-
hitung dengan T-Tabelnya. Jika T-Tabel lebih kecil daripada T-hitung atau nilai
signifikansinya diatas 0,05 maka dapat disimpulkan variabel independent secara
individual tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependent. Pada
penelitian ini hasil Uji T disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Uji Hipotesis Parsial (Uji T)
Sumber: Kementerian Pertanian (2019), SPSS (diolah)
Tabel 13 menjelaskan bahwa terdapat nilai t-hitung yang diperoleh dari
setiap variabel. Sebelum membuat kesimpulan, hal yang perlu diketahui adalah
nilai t-Tabel yang akan digunakan. Nilai t-Tabel bergantung pada besarnya df dan
tingkat signifikansi yang digunakan. Taraf signifikansi dalam penelitian ini sebesar
90% serta nilai degree of freedom (df) sebesar n-k (17-5 = 12), maka nilai t-Tabel
pada taraf signifikansi 90% sebesar 1,782. Hal ini dapat dilihat dari model
persamaan regresi linier berganda:
Model
Unstandardized
Coefficients Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error
1 (Constant) -164.422 53.662 -3.064 0.011
Produksi 117.051 63.176 0.227 1.853 0.091
Harga
Dunia 20.867 13.017 0.273 1.603 0.137
Kurs 15.338 3.536 0.546 4.337 0.001
GDP -19.515 2.538 -1.184 -7690 0.000
Kebijakan 77.054 18.384 0.768 4.191 0.002
41
Y = (-164,422) + 117,051 X1 + 20,867 X2 + 15,338 X3 + (-19,515) X4 + 77,054 X5
+ e
Pada pengujian pengaruh setiap variabel independent (X1, X2, X3, X4, dan X5)
terhadap variabel dependent (Y) selama periode 2001 – 2017 adalah sebagai
berikut:
1. Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel produksi nasional biji kakao (X1)
dengan nilai 117,051 memiliki arti bahwa setiap mengalami kenaikan sebesar
1 kg akan menaikan volume impor biji kakao (Y) sebesar 117,051 kg dengan
asumsi variabel independent lainnya tetap. Memiliki nilai t-hitung sebesar
1,853 yang lebih kecil dari t-Tabel yaitu 2,178 tetapi lebih besar dari 1,782.
Angka signifikan untuk variabel produksi nasional biji kakao sebesar 0,091
yang lebih kecil dari 0,1, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel produksi
nasional biji kakao memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf signifikansi
90% terhadap volume impor biji kakao di Indonesia.
2. Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel harga dunia biji kakao (X2)
dengan nilai 20,867 memiliki arti bahwa setiap mengalami kenaikan sebesar 1
rupiah per kg akan menaikan volume impor biji kakao (Y) sebesar 20,867 kg
dengan asumsi variabel independent lainnya tetap. Memiliki t-hitung sebesar
1,603 yang lebih kecil dari 1,782. Angka signifikan untuk variabel harga dunia
biji kakao sebesar 0,137 yang lebih besar dari 0,1, sehingga dapat disimpulkan
bahwa variabel harga dunia biji kakao tidak memiliki pengaruh yang signifikan
pada taraf signifikansi 90% terhadap volume impor biji kakao di Indonesia.
3. Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel kurs rupiah terhadap dollar
Amerika (X3) dengan nilai 15,338 memiliki arti bahwa setiap mengalami
kenaikan 1 Rp / US$ akan menaikan volume impor biji kakao (Y) sebesar
15,338 kg dengan asumsi variabel independent lainnya tetap. Memiliki t-hitung
sebesar 4,337 yang lebih besar dari 2,178. Angka signifikan untuk variabel kurs
rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 0,001 yang lebih kecil dari 0,1
sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kurs rupiah terhadap dollar
42
Amerika memliki pengaruh yang signifikan pada taraf signifikansi 90%
terhadap volume impor biji kakao di Indonesia.
4. Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel GDP (X4) dengan nilai -19,515
memiliki arti bahwa setiap mengalami kenaikan GDP sebesar 1 rupiah akan
menurunkan volume impor biji kakao (Y) sebesar 19,515 kg dengan asumsi
variabel independent lainnya tetap. Memiliki t-hitung sebesar 7,690 yang lebih
besar dari 1,782. Angka signifikan untuk variabel GDP sebesar 0,000 yang
lebih kecil dari 0,1 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel GDP memiliki
variabel yang signifikan pada taraf signifikansi 90% terhadap volume impor
biji kakao di Indonesia.
5. Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel kebijakan perdagangan (X5)
dengan nilai 77,054 memiliki arti jika ada kebijakan perdagangan bea keluar
maupun bea masuk maka akan menaikan impor sebesar 77,054 kg dengan
asumsi variabel independent lainnya tetap. Memiliki t-hitung sebesar 4,191
yang lebih besar dari 2,178. Angka signifikan untuk variabel kebijakan
perdagangan sebesar 0,002 yang lebih kecil dari 0,1 sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel kebijakan perdagangan memiliki variabel yang
signifikan pada taraf signifikansi 90% terhadap volume impor biji kakao.
Berdasarkan pemenuhan asusmsi klasik diatas yang telah dilakukan.
Pembahasan kali ini untuk melihat dengan jelas pengaruh dari tiap-tiap variabel
yang digunakan. Penyesuaian variabel dengan hasil olahan serta teori, penelitian
terdahulu dan kondisi lapangan yang mendukung adanya penelitian ini.
5.2.1. Pengaruh Produksi Nasional Biji Kakao (X1) Terhadap Volume Impor
Biji Kakao Di Indonesia
Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel produksi nasional biji kakao
(X1) menghasilkan nilai t-hitung sebesar 1,853 yang lebih besar dari t-Tabel yaitu
1,782. Angka signifikan untuk variabel produksi nasional biji kakao sebesar 0,091
yang lebih kecil dari 0,1, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel produksi
43
nasional biji kakao memiliki pengaruh positif yang signifikan pada taraf
signifikansi 90% terhadap volume impor biji kakao di Indonesia. Hasil penelitian
ini tidak sejalan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa produksi
berpengaruh negatif terhadap impor dan hipotesis ini bermakna bila produksi naik
maka impor akan turun. Perbedaan penelitian juga terlihat pada penelitian yang
dilakukan oleh Diah Ayu (2018) bahwa diketahui produksi kedelai berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap volume impor kedelai di Indonesia dan juga seperti
pada penelitian Raditya (2010) bahwa diketahui produksi jagung memiliki
pengaruh negatif dan signifikan terhadap impor jagung di Indonesia.
Tabel 14. Produksi Nasional Biji Kakao Indonesia dan Volume Impor Biji Kakao
Sumber: UNComtrade (2019) & Badan Pusat Statistik (BPS) (2018)
Adapun penelitian yang memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu
pada penelitian Malyda (2010) bahwa diketahui produksi beras berpengaruh positif
terhadap volume impor kedelai di Indonesia serta menurut Joesron (2012) bahwa
produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan
Tahun Produksi Nasional Biji
Kakao Indonesia
Volume Impor Biji
Kakao
2001 536,804 11,841
2002 571,155 36,603
2003 698,816 39,226
2004 691,704 46,974
2005 748,828 52,353
2006 769,386 47,939
2007 740,006 43,528
2008 803,594 53,331
2009 809,583 46,356
2010 837,918 47,453
2011 712,231 43,685
2012 740,513 48,220
2013 720,862 63,191
2014 728,414 139,990
2015 593,331 84,438
2016 658,399 105,152
2017 585,246 270,172
44
memanfaatkan beberapa masukan atau input untuk menghasilkan output,
sebagaimana yang terjadi pada realitas kondisi kakao yang ada bahwa produksi
nasional biji kakao memiliki peran dalam impor biji kakao, apabila terjadi
penurunan produksi didalam negeri akan menyebabkan tidak dapat mencukupi
kebutuhan bahan baku industri kakao dalam negeri. Pada Tabel 14 diketahui tahun
2011 – 2014 produksi biji kakao nasional meningkat diikuti dengan volume impor
yang meningkat. Peningkatan volume impor dan produksi yang dihasilkan
perkebunan nasional disebabkan karena jenis biji kakao Indonesia memang dapat
digunakan untuk memenuhi bahan baku industri olahan dengan rasanya yang fruity.
Rasa fruity yang dimiliki kakao Indonesia tidak cukup untuk memenuhi selera
konsumen pada industri kakao olahan. Jenis biji kakao yang memiliki rasa milky
tidak mampu atau tidak dapat diproduksi dalam negeri namun dibutuhkan oleh
pasar domestik juga menyebabkan adanya impor biji kakao yang dilakukan
pemerintah untuk tetap dapat memenuhi seluruh kebutuhan konsumsi pasar.
Blending biji kakao juga merupakan salah satu faktor yang menjadikan Indonesia
mengimpor biji kakao.
Produksi biji kakao Indonesia belum mampu untuk menciptakan rasa unik
tanpa dicampur oleh biji kakao impor. Kakao Indonesia memiliki kelebihan yang
tidak dimiliki oleh kakao impor yaitu rasa fruity yang terdapat didalamnya dan
tingkat leleh yang tinggi sehingga mempermudah untuk diolah. Hal ini tidak cukup
untuk menjadikan kakao Indonesia menjadi salah satu yang diolah untuk memenuhi
cita rasa yang sesuai dengan konsumen. Apabila negara terus menerus melakukan
impor tentu akan membuat pengeluaran devisa negara yang besar secara terus
menerus yang seharusnya devisa negara tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan
lain yang kiranya lebih di perlukan (Kementerian Perdagangan, 2014).
5.2.2. Pengaruh Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika (X3) Terhadap
Volume Impor Biji Kakao Di Indonesia
Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel kurs rupiah terhadap dollar
Amerika (X3) memiliki t-hitung sebesar 4,337 yang lebih besar dari 2,178. Angka
45
signifikan untuk variabel kurs rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 0,001 yang
lebih kecil dari 0,1 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kurs rupiah terhadap
dollar Amerika memliki pengaruh positif dan signifikan pada taraf signifikansi 90%
terhadap volume impor biji kakao di Indonesia. Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa nilai tukar berpengaruh negatif
terhadap impor dan hipotesis ini bermakna bila nilai tukar naik maka impor akan
turun. Perbedaan penelitian juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh
Mallisa (2010) bahwa nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap impor durian di Indonesia.
Adapun penelitian yang memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu pada
penelitian Diah Ayu (2018) bahwa hasil Kurs berpengaruh positif dan signifikan
terhadap volume impor kedelai di Indonesia dan penelitian yang dilakukan Doni
Hernadi (2016) bahwa kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap impor
jagung di Indonesia, serta menurut Mankiw (2006) bahwa nilai tukar (kurs)
memiliki peranan penting dalam hubungan perdagangan Internasional. Aktivitas
perdagangan ini selalu menggunakan dua mata uang yang berbeda, untuk
menghindari perbedaan dan mata uang tersebut maka digunakan nilai tukar sebagai
tolak ukur harga suatu nilai mata uang antar dua negara. Nilai tukar yang mengalami
depresiasi menyebabkan pelemahan pada nilai tukar rupiah sehingga barang impor
menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang lokal, sehingga terjadi
pengurangan impor dari luar negeri. Perbedaan hasil penelitian ini dengan hipotesis
dan penelitian sebelumnya dikarenakan tingginya ketergantungan impor biji kakao
akibat kebutuhan pemenuhan bahan baku industri tinggi yang tidak diimbangi
dengan peningkatan produksi dan produktivitas serta pengelolaan biji kakao dalam
negeri.
46
Tabel 15. Kurs dan Volume Impor Biji Kakao
Sumber: Bank Indonesia (2019) & Badan Pusat Statistik (BPS) (2018)
Tabel 15 menunjukan nilai tukar mata uang antara suatu negara dengan negara
lain memiliki keterkaitan yang erat pada aktivitas perdagangan internasional salah
satunya impor. Pada tahun 2015-2017 nilai tukar mengalami depresiasi dan terjadi
peningkatan volume impor biji kakao. Tingginya permintaan industri terhadap
pemenuhan bahan baku biji kakao, maka fluktuasi kurs atau nilai tukar pada
perekonomian tidak sepenuhnya pertimbangan dalam impor biji kakao. Hal ini
menyebabkan volume impor meningkat beriringan dengan nilai tukar yang
meningkat.
5.2.3. Pengaruh Gross Domestic Product (GDP) (X4) terhadap volume impor
biji kakao di Indonesia
Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel Gross Domestic Product
(GDP) (X4) memiliki t-hitung sebesar 7,690 yang lebih besar dari 1,782. Angka
Tahun Kurs Volume Impor Biji
Kakao
2001 9,440 11,841
2002 10,382 36,603
2003 9,013 39,226
2004 8,617 46,974
2005 9,352 52,353
2006 9,844 47,939
2007 8,995 43,528
2008 9,417 53,331
2009 11,005 46,356
2010 9,377 47,453
2011 9,021 43,685
2012 9,171 48,220
2013 9,733 63,191
2014 12,303 139,990
2015 12,536 84,438
2016 13,967 105,152
2017 13,552 270,172
47
signifikan untuk variabel Gross Domestic Product (GDP) sebesar 0,000 yang lebih
kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Gross Domestic Product
(GDP) memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan pada tingkat signifikansi
90% terhadap volume impor biji kakao di Indonesia. Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa Gross Domestic
Product (GDP) berpengaruh positif terhadap impor dan hipotesis ini bermakna bila
Gross Domestic Product (GDP) naik maka impor akan naik. Perbedaan penelitian
juga terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Mallisa (2010) bahwa Gross
Domestic Product (GDP) suatu negara berpengaruh positif dan signifikan terhadap
impor durian di Indonesia dan menurut hasil penelitian dari Doni Hernadi (2016)
bahwa Gross Domestic Product (GDP) perkapita Indonesia memiliki hubungan
yang positif dan signifikan, serta menurut Mankiw (2006) ketika Gross Domestic
Product (GDP) per kapita penduduk suatu negara meningkat, maka daya beli
negara tersebut akan meningkat dan pada saat yang bersamaan permintaan
penduduk di negara tersebut atas sebuah komoditas impor pun meningkat.
Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 – 2007 Gross Domestic
Product (GDP) mengalami kenaikan tetapi volume impor biji kakao menurun.
Semakin bertambahnya industri, semakin bertambah pula pendapatan negara.
Meningkatnya pendapatan negara membuat Indonesia mampu untuk melakukan
kegiatan perdagangan internasional, salah satunya impor untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku industri. Hal ini dikarenakan bertambahnya pendapatan
negara yang dialokasikan untuk bekerjasama dengan industri pengolahan untuk
membantu mengembangkan potensi petani kakao Indonesia untuk mengadakan
pelatihan dan penyuluhan untuk meningkatkan produksi, produktivitas hingga mutu
biji kakao lokal sehingga dapat membantu menurunkan volume impor biji kakao di
Indonesia.
48
Tabel 16. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia dan Volume Impor Biji Kakao
di Indonesia
Sumber: World Bank (2019) dan UN Comtrade (2019)
Hasil pengujian menerangkan bahwa variabel kebijakan perdagangan (X5)
memiliki t-hitung sebesar 4,191 yang lebih besar dari 2,178. Angka signifikan
untuk variabel kebijakan perdagangan sebesar 0,002 yang lebih kecil dari 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kebijakan perdagangan memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan pada tingkat 90% terhadap volume impor biji
kakao. Data ini diolah dengan bantuan variabel dummy yaitu 1 untuk adanya
kebijakan dan 0 untuk tidak adanya kebijakan pada tahun tersebut.
Pemerintah menetapkan kebijakan perdagangan ini sejak tahun 2010.
Kemudian beberapa revisi dilakukan untuk meminimalisir kerugian antar petani
Tahun GDP Volume Impor Biji
Kakao
2001 19,922 11,841
2002 20,538 36,603
2003 21,231 39,226
2004 22,002 46,974
2005 22,946 52,353
2006 23,888 47,939
2007 25,070 43,528
2008 26,228 53,331
2009 27,080 46,356
2010 28,383 47,453
2011 29,731 43,685
2012 31,100 48,220
2013 32,391 63,191
2014 33,570 139,990
2015 34,764 84,438
2016 36,071 105,152
2017 37,456 270,172
5.2.4. Pengaruh Kebijakan Perdagangan (X5) terhadap volume impor biji
kakao di Indonesia
49
dan pelaku industri. Kebijakan ini diterapkan untuk mengontrol banyaknya volume
impor biji kakao yang dilakukan. Walaupun sebelum diterapkan kebijakan ini sudah
ada kegiatan impor biji kakao di Indonesia untuk menciptakan rasa yang unik pada
coklat yang oleh atau dalam kata lain untuk kebutuhan blending. Hasil dalam
perhitungan diatas menjelaskan bahwa hubungan kebijakan dengan volume impor
berpengaruh positif dan signifikan. Hal ini dikarenakan dengan adanya bea keluar
terhadap biji kakao memang membuat impor biji kakao menurun tetapi adanya
kebijakan bea masuk belum sepenuhnya mengurangi impor biji kakao di Indonesia.
Pengenaan tarif bea masuk atas impor biji kakao yang berasal dari negara-negara
Afrika, Amerika Latin, Papua Nugini dan Eropa sebesar 5%, tetapi untuk bea masuk
dari negara mitra dagang Free Trade Area (FTA) besaran tarif bea masuk preferensi
atas Impor Biji Kakao dari negara mitra dagang FTA (baik dalam ASEAN Trade
in Goods Agreement (ATIGA), ASEAN-China FTA (ACFTA), ASEAN-Korea
FTA (AKFTA), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA),
ASEAN-India FTA (AIFTA), maupun ASEAN-Australia-New Zealand FTA
(AANZFTA) telah mencapai 0% (Kementerian Perdagangan, 2014).
Industri mengambil jalan lain untuk dapat mengimpor bahan baku melalui
negara Free Trade Area (FTA). Hal ini dikonfirmasi oleh wawancara yang telah
dilakukan bersama Divisi Industri Minuman, Penyegar dan Tembakau di
Kementerian Perindustrian. Negara tersebut menjadi tempat transit untuk produk
dari negara-negara yang berasal dari Afrika, Amerika Latin, dan sebagainya supaya
barang yang akan di impor ke Indonesia tidak terkena tarif bea masuk melalui
beberapa negara yang sudah termasuk dalam Free Trade Area (FTA).
50
5.3 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan model regresi dapat menerangkan variasi variabel dependent (Ghozali,
2011). Regresi dengan lebih dari dua variabel independent digunakan Adjusted R2
sebagai koefisien determinasinya. Hasil pengujian koefisien determinasi dalam
penelitian dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Uji Koefisien Determinasi
Sumber: Kementerian Pertanian, SPSS (diolah)
Tabel 15 menunjukan bahwa nilai Adjusted R2 sebesar 0,868 sehingga
memiliki arti 86,6% variabel independent yaitu produksi nasional biji kakao, harga
dunia biji kakao, kurs, GDP, dan kebijakan perdagangan dapat menjelaskan
variabel dependent-nya yaitu volume impor biji kakao di Indonesia. Sisa sebesar
13,4% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model. Korelasi yang
terjadi antara variabel independent dengan variabel dependent-nya berada dalam
kategori pengaruh yang kuat dilihat dari besaran nilai Adjusted R2 yaitu 0,868.
Produksi biji kakao lokal, harga dunia biji kakao, kurs, Gross Domestic
Product (GDP) dan kebijakan bea keluar (BK) dan bea masuk (BM) memiliki
pengaruh yang kuat terhadap volume impor biji kakao. Hal ini diketahui bahwa
seluruh variabel memiliki peran tersendiri sehingga menimbulkan pengaruh
terhadap peningkatan volume impor. Adanya faktor-faktor tersebut dapat
menjelaskan besar pengaruh yang disebabkan pada kegiatan impor biji kakao di
Indonesia.
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 0.954a 0.910 0.868 18.733
51
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang diuraikan pada bab 5 (lima), maka dari hasil
tersebut dapat dirumuskan dan diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaruh variabel penelitian terhadap impor biji kakao di Indonesia secara
simultan memiliki hasil nilai F-hitung sebesar 22,125. Faktor-faktor ini
saling berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga menjadikan satu
kesatuan yang berpengaruh terhadap volume impor biji kakao yang
dilakukan Indonesia.
2. Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap impor biji kakao secara
parsial adalah produksi (X1) (koefisien= 117,051; p-value= 0,091), kurs
(X3) memiliki (koefisien= 15,338; p-value= 0,001), GDP (X4) (koefisien= -
19,515; p-value= 0,000) dan kebijakan perdagangan (X5) (koefisien=
77,054; p-value= 0,002). Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai
Adjusted R2 sebesar 0,868 sehingga berarti 86% variabel independent yaitu
produksi nasional biji kakao, harga dunia biji kakao, kurs, GDP, dan
kebijakan perdagangan memiliki pengaruh yang kuat dan dapat
menjelaskan variabel dependent-nya yaitu volume impor biji kakao di
Indonesia.
6.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka saran untuk penelitian
selanjutnya adalah diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk membahas
variabel kebijakan bea masuk dan kebijakan bea keluar terhadap volume impor biji
kakao di Indonesia maupun volume impor komoditas lainnya secara spesifik.
52
DAFTAR PUSTAKA
Christianto, Edward. 2013. Faktor yang mempengaruhi volume impor beras di
Indonesia. Jurnal ilmiah ilmu-ilmu ekonomi dan bisnis. Vol 7(2): 38-43.
Malang: Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat
(LP3M) STIE ASIA MALANG.
Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometri Dasar. Terjemahan: Sumarno Zain,
Jakarta: Erlangga
Hendaryati. DD., Arianto. Y. (eds) 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2015-
2017. Jakarta : Sekertariat Direktorat Jendral Perkebunan. Kementrian
Petanian.
Joesron, Tati Suhartati, M. Fathorrazi. 2012. Teori Ekonomi Mikro.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kementerian Pertanian. 2019. Outlook Pertanian. Jakarta : PUSDATIN
Kotler. P, Armstrong. 2010. Principles of Marketing, thirteen edition. New Jersey:
Prentice-Hall,Inc.
Mankiw N, Gregory. 2006. Makro Ekonomi, Terjemahan: Fitria Liza, Imam
Nurmawan. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2006,195
Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2018. Penerapan Barang Ekspor yang
dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Jakarta: Kementerian
Keuangan Republik Indonesia.
Nickyta, dkk. 2017. Pengaruh Nilai Tukar Harga Kakao Internasional dan
Produksi Kakao Domestik Terhadap Total Volume Ekspor Kakao di
Indonesia. Malang : Universitas Brawijaya.
53
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor. 164/PMK.010/2018
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor.
13/PMK.10/2017 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea
Keluar dan Tarif Bea Keluar
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri. 2014. Laporan Akhir Analisis
Pembebasan Bea Masuk Biji Kakao. Jakarta : Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia.
Pindyck, R., Daniel L. Rubinfeld. 2007. Mikroekonomi edisi keenam.
Jakarta: Indeks
Salvatore, D. 2014. Ekonomi Internasional. Jakarta : Salemba Empat.
Sudjarmoko. B. 2013. State Of The Art Industrialisasi Kakao Indonesia. Vol 1. No
1. Sukabumi: SIRINOV.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Susanti, AA., Akbar, A. (eds) 2017. Kementerian Pertanian. Jakarta : Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian. Kementrian Pertanian.
Sub Direktorat Statistik Tanaman Perkebunan. 2018. Statistik Kakao Indonesia
2018. Jakarta : Badan Pusat Statistik.
Tjiptono, F. 2008. Strategi Bisnis Pemasaran. Yogyyakarta: Andi
Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid
1. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Widarjono, Agus. 2013. Ekonometrika: Pengantar dan Aplikasinya. Jakarta:
Ekonosia.
54
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perkembangan Luas Areal Kakao Tahun 2000 – 2017
TAHUN PR PBN PBS INDONESIA
2000 641,133 52,690 56,094 749,917
2001 710,044 55,291 56,114 821,449
2002 798,628 54,815 60,608 914,051
2003 861,099 49,913 53,211 964,223
2004 1,003,252 38,668 49,040 1,090,960
2005 1,081,102 38,295 47,649 1,167,046
2006 1,219,633 48,930 52,257 1,320,820
2007 1,272,781 57,343 49,155 1,379,279
2008 1,326,784 50,584 47,848 1,425,216
2009 1,491,808 49,489 45,839 1,587,136
2010 1,558,421 48,932 43,268 1,650,621
2011 1,638,329 48,935 45,377 1,732,641
2012 1,693,337 38,218 42,909 1,774,463
2013 1,660,767 37,450 42,396 1,740,612
2014 1,686,178 15,171 26,088 1,727,437
2015 1,667,337 15,171 26,776 1,709,284
2016 1,659,598 15,101 26,652 1,701,351
2017 1,649,827 15,012 26,495 1,691,334
Keterangan :
PR : Perkebunan Rakyat
PBN : Perkebunan Besar Negara
PBS : Perkebunan Besar Swasta
55
Lampiran 2. Perbandingan Luas Areal / Area (ha)
Perkebunan Rakyat 97%
Perkebunan Besar Negara 1%
Perkebunan Besar Swasta 2%
56
Lampiran 3. Volume dan Nilai Impor Kakao Tahun 2000-2017
Tahun Volume Nilai
2001 11,841 15,699
2002 36,603 64,001
2003 39,226 76,205
2004 46,974 77,023
2005 52,353 82,786
2006 47,939 74,185
2007 43,528 82,786
2008 53,331 113,381
2009 46,356 119,321
2010 47,453 164,607
2011 43,685 175,549
2012 48,220 177,022
2013 63,191 204,730
2014 139,990 469,005
2015 84,438 293,780
2016 73,154 242,496
2017 105,152 350,372
57
Lampiran 4. Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia, Tahun 2000-2017
TAHUN PR PBN PBS Indonesia
2000 363,628 34,790 22,724 421,142
2001 476,924 33,905 25,975 536804
2002 511,379 34,083 25,693 571155
2003 634,877 32,075 31,864 698816
2004 636,783 25,830 29,091 691704
2005 693,701 25,494 29,633 748828
2006 702,207 33,795 33,384 769386
2007 671,370 34,643 33,993 740006
2008 740,681 31,130 31,783 803594
2009 741,981 34,604 32,998 809583
2010 772,771 34,740 30,407 837918
2011 644,688 34,737 33,170 712231
2012 687,247 23,837 29,429 740513
2013 665,401 25,879 29,582 720862
2014 698,434 11,438 18,542 728414
2015 562,346 11,616 19,369 593331
2016 622,516 12,859 21,442 656817
2017 652,397 13,477 22,471 688345
Keterangan :
PR : Perkebunan Rakyat
PBN : Perkebunan Besar Negara
PBS : Perkebunan Besar Swasta
58
Lampiran 5. Volume Impor dari Negara Asal Impor Biji Kakao Indonesia, Tahun
2000-2017
Pantai Gading Malaysia Ghana Singapura Kamerun Papua Nugini
2001 10588375 50000 4100000 0 0 8068302
2002 7050978 748875 4625000 90000 0 7188868
2003 10316437 399937 1649667 163125 0 7406750
2004 20121613 113269 3150649 265000 0 6654968
2005 16630648 1268 2200751 55000 24760 8753938
2006 11013883 58 7207006 45000 1906118 5836253
2007 11086075 9000 1925000 99903 1307144 4861251
2008 13013000 703500 300000 122 4380500 3561000
2009 3407439 120000 10875000 0 1591048 8362004
2010 6401487 0 7946054 0 1988865 4439844
2011 4214150 378306 4300683 0 3065581 3279979
2012 5514147 2070706 3349938 1609691 3892372 5250000
2013 8241025 976330 8250000 0 2941544 5472645
2014 60069043 5231869 9115062 50696 6355787 8586610
2015 25168991 2839312 6200000 367 6141003 4058610
2016 6550208 10500361 10500361 0 1815423 8190713
2017 57358888 55850164 4176901 0 29173857 3408919
59
Lampiran 6. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov
Unstandardized Residual
N
Normal Parametersa.b Mean
Std. Deviation
Most Extreme Differences Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
17
0E-7
15.53239167
.197
.197
-.128
.811
.527 a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
60
Lampiran 7. Hasil Uji Multikolineritas
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
Collinearity
Statistics
B Std.
Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant)
PRODUKSI
HARGA
DUNIA
KURS
GDP
KEBIJAKAN
-164.422
117.051
20.867
15.338
-19.515
77.054
53.662
63.176
13.017
3.536
2.538
18.384
.227
.273
.546
-1.184
.768
-3.064
1.853
1.603
4.337
-7.690
4.191
.011
.091
.137
.001
.000
.002
.546
.283
.520
.347
.245
1.833
3.534
1.924
2.883
4.079
a. Dependent Variable: VOLUME
61
Lampiran 8. Hasil Uji Glejser
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std.
Error Beta
1 (Constant)
PRODUKSI
HARGA DUNIA
KURS
GDP
KEBIJAKAN
-13.853
28.041
-3.931
.765
.882
6.932
30.570
35.989
7.415
2.015
1.446
10.473
.270
-.255
.135
.265
.342
-.453
.779
-.530
.380
.610
.662
.659
.452
.607
.711
.554
.522 a. Dependent Variable: Abs_Res
62
Lampiran 9. Hasil Uji Autokorelasi
Model R R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1 .954a .910 .868 18,733 3.088 a. Predictors: (Constant), KEBIJAKAN, PRODUKSI, KURS, GDP, HARGA DUNIA
b. Dependent Variable: VOLUME
63
Lampiran 10. Hasil Uji Run Test
Unstandardized Residual
Test Valuea
Cases < Test Value
Cases >= Test Value
Total Cases
Number of Runs
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
2.85170
8
9
17
12
1.020
.308 a. Median
64
Lampiran 11. Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model R R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1 .954a .910 .868 18,733 3.088 a. Predictors: (Constant), KEBIJAKAN, PRODUKSI, KURS, GDP, HARGA DUNIA
b. Dependent Variable: VOLUME
65
Lampiran 12. Hasil Uji Hipotesis Simultan (Uji F)
Model Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
1 Regression
Residual
Total
38819.799
3860.083
42679.882
5
11
16
7763.960
350.917
22.125 .000b
a. Dependent Variable: VOLUME
b. Predictors: (Constant), KEBIJAKAN, PRODUKSI, KURS, GDP, HARGA DUNIA
66
Lampiran 13. Hasil Uji Hipotesis Parsial (Uji T)
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
Collinearity Statistics
B Std.
Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant)
PRODUKSI
HARGA DUNIA
KURS
GDP
KEBIJAKAN
-164.422
117.051
20.867
15.338
-19.515
77.054
53.662
63.176
13.017
3.536
2.538
18.384
.227
.273
.546
-1.184
.768
-3.064
1.853
1.603
4.337
-7.690
4.191
.011
.091
.137
.001
.000
.002
.546
.283
.520
.347
.245
1.833
3.534
1.924
2.883
4.079
Dependent Variable: VOLUME
67
Lampiran 14. Transkrip Wawancara Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Transkrip Wawancara
No Pertanyaan & Jawaban
1 Bagaimana perkembangan kondisi komoditas Kakao Indonesia saat ini?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Turunnya luas areal kakao disebabkan oleh tanaman yang sudah tua.
Tanaman tua dikarenakan hampir 97% perkebunan kakao milik rakyat,
sehingga dengan teknologi yang sederhana saprodi artinya pupuk yang
cukup kurang, dan dari segi tanaman yang sudah tua itu yang
menyebabkan kondisi tanaman yang tidak terawat. Implikasinya
produksi akan menurut, tanaman tidak terawat, hama penyakit akan
tumbuh subur kemudian input pupuk untuk pembuahan tidak ada,
sehingga tanaman berkurang produktivitasnya. Itu kondisi kakao saat ini
ya. Belum lagi perubahan iklim, dengan cuaca yang tidak menentu
berdampak pada perkembangbiakan OPT (Organisme Pengganggu
Tanaman). Ada mutasi-mutasi perubahan gen di OPT itu yang semula
tahan jadi gak tahan, yang gak tahan jadi tahan, gitu.
2 Apa saja tantangan yang dihadapi Kakao Indonesia, sehingga tingkat
impor meningkat?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Sekarang ini sejak tahun 2010 ada pemberlakuan penerapan Bea Keluar
Biji Kakao Ekspor. Dengan itu sekarang untuk mengekspor biji kena
pajak 5%, 5% ini dikenakan apabila angkanya antara 2000 sampai 3000
harga internasional ada gradenya. Demikian akhirnya investasi masuk
sehingga orang luar membangun pabrik membesarkan kapasitas.
Harapannya pabrik tidak dijual ke luar negeri tapi diolah di dalam
negeri, kan gitu. Cuma sekarang dengan kondisi tanaman yang tua. Pada
kapasitas yang sudah besar, tapi produktivitas menurun. Ini yang
menjadi tantangan kekurangan bahan baku. Padahal di satu sisi
industri kan tugasnya mengolah nih, makanya dia membutuhkan
bahan baku dengan impor. Jadi, sebenarnya waktu kita belum ada
pemberlakuan bea keluar itu impor juga sudah ada, kenapa? Karena
produk kita tidak bisa diolah untuk hasilkan produk sendiri. Karena apa?
Ada blending. Pencampuran antara keunggulan kakao kita dengan
kakao lain. Jadi walaupun kapasitas rendah dulu tetap ada impor juga,
hanya sekarang kebutuhan bahan baku kurang semakin meningkatkan
impor. Ada dan tidak ada bea keluar impor tetap ada.
3 Apa saja permasalahan terkini yang dialami oleh Kakao Indonesia baik
secara internal maupun eksternal?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
68
Internal, ya jelas tadi kondisi tanaman, umur, kemudian masih banyak
tanaman yang menggunakan klon-klon jaman dulu belum unggul; rata-
rata tanaman kita turun menurun, rata-rata petani kita meneruskan
warisan orang tua. Orang tua dulu asal biji jatuh numbuh, itu yang
digunakan. Padahal secara perbenihan aturan main itu tidak bisa
dijadikan bahan tanam. Karena tidak diyakini mutu tanamannya.
Kemudian dari sisi kelembagaan; petani masih individual, disatu sisi
dengan adanya hama kakao. Hama menyerang kan satu lingkungan,
kalau petani hanya mengendalikan kebun A saja padahal di B,C-nya itu
sama juga tidak efektif. Artinya untuk melakukan budidaya tidak cukup
hanya petani individu, harus dengan kelembagaan. Satu kawasan kalau
pengendalian, semua juga pengendalian. Supaya dapat memutus siklus
OPT (Organisme Pengganggu Tanaman); Kedua dapat meringankan
biaya atau tenaga kerja untuk mengolah; Ketiga, terkait dengan pasca
panen, para petani memilih untuk menjual biji non-fermentasi
dibandingkan dengan biji yang sudah di fermentasi. Karena untuk
memfermentasikan biji kakao diperlukan waktu 5 (lima) hingga 6
(enam) hari sebelum dapat dijual. Petani cenderung memilih untuk
menjual kakao yang belum di fermentasi, karena cepat mendapatkan
uang dan hasil penjualan dapat langsung digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Kondisi seperti ini membuat petani tidak
memikirkan kualitas yang dibutuhkan oleh industri, keadaan seperti ini
cenderung membuat petani untuk mendistribusikan biji campuran,
sedangkan industri sendiri membutuhkan biji kakao yang telah disortir.
Dari sisi penanganan pasca-panen-nya petani belum bagus; Keempat,
tataniaga. Karena industri kita tersebar dibeberapa titik. Padahal sentra
kakao kita tersebar dari Aceh hingga Papua. Keadaan seperti ini
membuat industri tidak ingin repot dengan turun langsung ke sentra
produksi. Industri akan menjalin silahturahmi dengan pedagang-
pedagang desa. Nah, masalahnya dengan rantai yang semakin panjang
marginnya juga makin berbeda. Petani berada diposisi yang tidak
menguntungkan; Kelima, pembiayaan. Petani kita masih sulit untuk
mendapatkan bantuan pinjaman. Pemerintah sendiri memberikan
bantuan hibah/gratis. Gratis itu kan ada batasannya tidak mampu
menjangkau seluruh 1.6 juta petani yang ada di Indonesia. Harapan
pemerintah sendiri disamping adanya bantuan yang belum dapat
bantuan kita bantu akses pinjaman kredit dari bank. Permasalahannya
beberapa petani belum memiliki sertifikat tanah, sehingga mempersulit
bahkan tidak bisa mengajukan pinjaman. Padahal uang pinjaman seperti
ini sangat dibutuhkan oleh petani untuk pemeliharaan kebun (beli pupuk,
obat-obatan untuk pengendalian). Jadi, akses untuk pendanaan
sebenarnya ada lembaga yang mau membiayai namun prosesnya
terkendala dengan sertifikat tanah. Lalu beralih ke faktor eksternal, ya.
Kakao merupakan komoditi pasar bebas internasional ya. Harga lokal
sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga di tingkat internasional. Artinya
69
walaupun kita memberikan acuan harganya tetapi nasib harga
internasional selalu bergantung dengan supply dan demand juga.
4 Bagaimana upaya ………………. Dalam menangani permasalahan
yang muncul pada Kakao Indonesia?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Kalau untuk perbaikan kebun, kita ada 4 program. Pertama adalah
peremajaan, menggantikan tanaman yang tua. Kedua adalah perluasan,
artinya areal yang sebelumnya bukan tanaman kakao kita tanami dengan
tanaman kakao, tetapi masih sesuai dengan agroklimatnya. Ketiga
adalah rehabilitasi, tanaman masih produktif tapi tidak ditebang, kita
sambung atau kita cangkok. Begitu tanaman tidak menghasilkan batang
lama harus ditebang, supaya supply nutrisinya dapat dialihkan ke
tanaman yang baru. Batang utama tetap yang lama, itu yang dinamakan
rehabilitasi. Lalu intensifikasi, yaitu bantuan untuk pembelian pupuk,
pengendalian hama dan penyakit. Ke empat syarat ini harus dalam satu
kawasan perkebunan. Terkait kelembagaan kita memiliki program
Penguatan Kelembagaan Petani Melalui Lembaga Ekonomi
Masyarakat. Tujuannya supaya petani dalam berusaha tani
menggunakan skala ekonomi dan pengelolaannya mirip seperti
perusahaan, memiliki jobdesk yang jelas, sehingga produksinya dapat
seragam dan skala ekonomi kebunnya bagus serta merata. Kemudian
kalau tataniaga kita mendorong petani untuk bermitra, kita pertemukan.
Tetapi kelembagaan terbentuk terlebih dahulu untuk siap dipertemukan
dengan industri, lalu untuk bank kita jembatani dengan membentuk
penjamin, walaupun tidak ada sertifikat. Dengan adanya kelembagaan
yang berbadan hukum tadi, sehingga begitu negosiasi pinjam itu, bukan
individu yang pinjam namun kelembagaan tersebut. Jadi bank lebih enak
jika dengan lembaga. Muaranya bahwa lembaga bank itu percaya bahwa
ada yang dipegang sebagai jaminan. Kalau dampak iklim kita antisipasi
dengan perubahan pola tanam. Artinya selama ini kalau monokultur
ketika ada serangan hama langsung habis, kan. Nah, sekarang kita
terapkan dengan ada beberapa cara yaitu integrasi dengan ternak
harapannya jika tanamannya tidak berhasil maka masih ada penghasilan
dari ternak yang dipelihara. Kedua positifnya kotoran ternak dapat
dijadikan pupuk. Ketiga, ternak masih bisa diberi pakan dari limbah-
limbah kakao; teknologi pola tanam, jarak tanam dibikin rapat. Di
integrasikan dengan tanaman-tanaman yang menghasilkan fungsinya
sebagai penaung tapi juga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Supaya ada
alternatif pendapatan ketika tanaman kakao tidak menghasilkan tetapi
masih ada hasil dari tanaman lainnya.
5 Apa saja keunggulan yang dimiliki Kakao Indonesia?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Keunggulan dari karakteristik biji kakao Indonesia adalah memiliki titik
leleh yang tinggi dan memiliki rasa fruity (buah).
70
6 Bagaimana perbandingan Standarisasi Nasional Kakao Indonesia
dengan Standarisasi Internasional Kakao?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
SNI biji kakao memang berbeda. Walaupun terdapat perbandingan
dengan standar internasional tetapi biji kakao lokal masih banyak
diminati oleh perusahaan.
7 Bagaimana kriteria Kakao yang di Ekspor dan Impor?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Kriteria kita ini ya minimal SNI masih bisa ekspor. Standar internasional
untuk bisa di ekspor hanya kadar air dengan kontminasi.
8 Negara apa saja yang menjadi pemasok biji kakao di Indonesia?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Negara asal impor biji kakao Indonesia adalah Afrika (Pantai Gading
dan Ghana). Impor ada 2 (dua) macam. Impor olahan atau biji. Kalau
impor biji itu pasti dari luar Malaysia. Malaysia bisa jadi transit karena
ASEAN ada free trade area. Biji kakao yang dari Afrika transit dulu di
Malaysia. Seolah-olah kita impor dari Malaysia. Kedua, Malaysia itu
merupakan negara pengolah terbesar. Jadi, kita juga mengimpor bahan
setengah jadi seperti pupuk, powder, menteganya itu nanti kita olah jadi
produk makanan.
9 Bagaimana hubungan dagang antara Indonesia dengan negara pemasok
biji kakao di Indonesia?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Hubungannya apabila menguntungkan pasti, artinya ada kecenderungan
harga impor biji kakao lebih murah dibanding harga produksi biji kakao
Indonesia. Hal ini disebabakan biaya produksinya tinggi, tenaga kerja
tinggi, pupuk tinggi akhirnya harga jual kita lebih tinggi. Makanya
industri sekarang lagi berusaha untuk menurunkan bea impor supaya
banjir impor dari luar. Padahal itu merupakan hal yang kita jaga, kita
ingin meningkatkan produksi dari dalam negeri tapi kalau dibuka keran
impor upaya kita pasti gagal. Karena pasti petani kalah bersaing.
Makanya kita bertahan tidak menurunkan bea impor tersebut.
10 Dimana letak sentra kakao di Indonesia?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Sentara kakao utamanya berada di Sulawesi. Itu sudah hampir 65% area
dan produksi kita di supply dari Sulawesi.
11 Bagaimana teknik pembagian kuota ekspor biji kakao dan untuk
pemenuhan bahan baku industri dalam negeri?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
71
Tidak ada pembagian kuota ekspor. Itu merupakan mekanisme pasar
bebas. Artinya yang penting petani membanjiri pasar dengan produk-
produk mereka. Tetapi begitu di pasar mau di ekspor atau di dalam
negeri itu merupakan urusan dari produsen biji kakao sendiri.
12 Apa yang menyebabkan nilai Impor Kakao meningkat?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Penyebab nilai impor biji kakao meningkat pastinya harga, kemudian
kebutuhan. Industri sekarang mengklaim ada sekitar 747.000 ton
kapasitasnya, namun kemampuan mengolahnya hanya 59% artinya
masih kurang 41% untuk pemenuhan kebutuhan. Industri juga mencari
untuk blending bukan semata-mata menjadi bahan baku dasar.
13 Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Volume impor meningkat setelah tahun 2010. Karena adanya penerapan
bea keluar.
14 Adakah kebijakan terkait impor biji kakao Indonesia?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Kebijakan terkait impor biji kakao yaitu bea masuk sekitar 5%. Kita
bukan menghalangi industri untuk mengimpor karena kita proteksi
terhadap petani.
15 Apa saja indikator yang digunakan untuk membuat kebijakan tersebut?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Indikatornya yaitu untuk melindungi petani dari keterpurukan.
Asumsinya kalau impor dibuka membanjir pasti harga kakao petani
kalah bersaing. Akhirnya petani daya beli turun, tidak mendapat
penghasilan. Berdampak dengan petani tidak mau mengelola kebun lagi.
Kalau tidak dikelola tanaman tidak terawat, jika tidak dirawat tanaman
akan rusak lama-lama semakin habis tanamannya.
16 Bagaimana perbandingan harga kakao nasional dengan dunia?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Jadi kita sekitar 85% dari harga internasional yang dipegang petani.
Karena sekarang merupakan free trade.
17 Apakah perbedaan harga menjadi salah satu penyebab untuk lebih
banyak produksi biji kakao di ekspor?
Bapak Bagus, Kementerian Pertanian Republik Indonesia:
Perbedaan harga tidak berpengaruh terhadap ekspor, tetapi berpengaruh
terhadap produktivitas kebun.
72
Lampiran 15. Transkrip Wawancara Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia
Transkrip Wawancara
No Pertanyaan & Jawaban
1 Bagaimana kondisi perdagangan interasional biji kakao di Indonesia?
Bapak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
Kalau secara impor karena produksinya kurang, kemudian petani
setelah ada pengaturan BK (bea keluar). Dari mulai 3 bulan yang lalu
sampai sekarang BK (Bea Keluar)-nya baru 5%. Padahal sebetulnya
BK bisa dari 0%, 5%, 10% sampai 15% sehingga dengan BK ini petani
merasa keberatan. Karena seharusnya tidak bayar BK petani juga
terkena BK. Secara tidak langsung pengumpul yang mengumpulkan
biji kakao terkena BK juga. Secara industri pengolahan sebenarnya
sudah bagus. Di Indonesia sendiri sudah ada 20 industri kakao. Untuk
hilirisasi BK itu bagus tetapi untuk petani ini merupakan hambatan
karena harus membayar 5%.
2 Adakah kebijakan terkait impor biji kakao Indonesia?
Bapak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
Kebijakan terkait impor biji kakao Indonesia dari mulai adanya harga
patokan tahun 2010. Dari tahun 2000 – 2009 belum ada kebijakan yang
mengatur impor biji kakao di Indonesia.
3 Mengapa kebijakan pemerintah terkait perdagangan Internasional
mengalami perubahan selama beberapa tahun tertentu?
Bapak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
Karena kebijakan itu fluktasional. Istilahnya pemerintah harus
mengambil kebijakan seperti sekarang ini ada bea keluar dan bea
masuk, ini dalam rangka untuk melindungi industri dalam negeri. Jadi
jangan sampai bahan bakunya kalau tidak diatur, semuanya di ekspor.
Padahal didalam negeri membutuhkan bahan baku, hal ini harus diatur
sedemikian rupa. Dalam situasi tertentu pemerintah harus mengatur
kebijakan. Rangka menjaga atau melindungi ketersediaan bahan baku
untuk pengolahan didalam negeri. Industri dalam negeri pun juga
sudah banyak berinvestasi seperti tenaga kerja, waktu. Jadi,
pemerintah tidak langsung merubah kebijakan, filosofi dari perubahan
kebijakan juga ada, tidak sembarang. Kebijakan itu istilahnya jika ada
keadaan yang bergejolak didalam negeri maka pemerintah langsung
mengambil kebijakan lain untuk meredam.
4 Bagaimana perbandingan harga kakao nasional dengan dunia?
Bapak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
73
Ketika mengambil keputusan harga patokan, referensinya mengambil
dari CIF New York dan juga dari dalam negeri yaitu dari Kementerian
Perdagangan juga Kementerian Perindustrian. Jadi nanti di rata-
ratakan baru nanti keluar namanya harga patokan. Jika kita lihat seperti
kakao, ketika kakao diharga dibawah Rp.2000 per metrik ton
dikenakan bea keluar sebesar 0%. Kemudian di angka Rp.2000,- –
Rp.2740,- per metrik ton dikenakan bea keluar sebesar 5%. Lalu di
angka Rp.2750,- - Rp.3.500,- per metrik ton dikenakan bea keluar
sebesar 10%. Diatas Rp.3.500,- per metrik ton dikenakan bea keluar
sebesar 15%. Kebijakan ini progresif dan tidak tetap. Hal ini dilakukan
untuk menjaga ke stabilan harga dan menjaga pasokan biji kakao serta
mendorong hilirisasi. Supaya mereka lebih banyak mengekspor
produk olahan.
5 Adakah hubungan GDP dengan impor biji kakao di Indonesia?
Bapak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
GDP berpengaruh dengan impor karena ketika tingkat pendapatan
masyarakat meningkat maka impor juga ikut meningkat, hal ini
menyebabkan kakao yang ada di petani tidak menyerap, harganya
murah. Sehingga dengan harganya murah maka kesejahteraan dari
petani berkurang. Kita berharap yang ditingkatkan ekspor, karena
dengan ditingkatkannya ekspor maka petani semakin sejahtera. Kalau
dihasil pertanian itu ada namanya mata rantai, rangkaian yang sudah
ada tidak bisa terputus. Karena petani memiliki anak sekolah, petani
perlu makan. Sedangkan kakao panennya beberapa bulan sekali,
sehingga untuk memenuhi kebutuhan harus meminjam uang dengan
pengumpul. Disini terjadi semacam kesepakatan, secara tidak langsung
pengumpul ini telah membantu petani. Karena pemerintah tidak ada
yang menyediakan sebelum panen itu diberi uang. Akhirnya petani
dibantu dengan pengumpul, dengan catatan ketika petani tersebut
panen hasil tersebut harus dijual ke pengumpul terkait dengan harga
yang sedikit kurang bagus.
74
Lampiran 16. Transkrip Wawancara Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia – Bagian 2.
Transkrip Wawancara
No Pertanyaan & Jawaban
1
Pada tahun 2015 – 2017 dimana adanya kenaikan kurs diiringi dengan
peningkatan volume impor biji kakao di Indonesia. Apa yang terjadi
dengan kondisi lapang terkait hal tersebut?
Pak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
Ya, hal ini dikarenakan importasi biji kakao murah dan untuk pemenuhan
bahan baku industri sendiri memang perlu mengimpor. Hal ini tidak
sepenuhnya membuat industri rugi, namun hal ini dapat menjadi peluang
bagi industri juga. Karena ketika biji kakao sudah diolah kemudian
diekspor dalam bentuk setengah jadi maupun jadi. Harga dari kakao
tersebut menjadi lebih tinggi dari harga yang dikeluarkan untuk impor biji
kakao sebagai bahan baku sehingga industri dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan dari hasil kakao yang sudah diolah tersebut.
Kondisi seperti ini masih signifikan bagi industri yang mengimpor bahan
baku.
2
Pada tahun 2011 – 2014 adanya peningkatan produksi biji kakao lokal dan
peningkatan volume impor biji kakao secara bersamaan. Apakah
pengaruh kebutuhan akan bahan baku biji kakao blending juga
mempengaruhi hal tersebut?
Pak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
Ya, karena kakao yang diolah dalam negeri bukan hanya kakao lokal saja.
Tetapi juga dengan adanya campuran dari kakao luar yang memiliki rasa
milky didalamnya.
3 Pada tahun 2015 – 2017 adanya peningkatan GDP tetapi volume impor
menurun secara signifikan. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Pak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
Hal ini terjadi dikarenakan adanya kerjasama pemerintah dengan industri
untuk membantu mengembangkan potensi petani kakao Indonesia untuk
mengadakan pelatihan dan penyuluhan untuk meningkatkan produksi,
produktivitas hingga mutu biji kakao lokal sehingga dapat membantu
menurunkan volume impor biji kakao di Indonesia dan adanya
peningkatan ekspor pada kakao olahan sehingga hal ini menjadi faktor
mengapa ketika adanya peningkatan GDP tetapi volume impor menurun.
4 Mengenai kebijakan bagaimana dengan kenyataan yang ada dilapangan?
Pak Rozak, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia:
Jadi yang dikeluhkan oleh Asosiasi Industri Kakao Indonesia adalah
penerapan Bea Masuk sebesar 5% dianggap berat. Dari sisi industri
75
inginnya peniadaan bea masuk atau sebear 0% untuk pemenuhan bahan
baku industri kakao. Lalu untuk kebijakan bea keluar sendiri setiap yang
akan melakukan eksportasi biji kakao akan dikenakan bea keluar
berdasarkan HPE. Karena pemerintah mengharapkan para petani Kakao
Indonesia memiliki nilai tambah atau adanya pengolahan dari biji kakao
dahulu baru kemudian di ekspor, sehingga dari hal tersebut petani dapat
meningkatkan pendapatannya. Karena harga ekspor kakao olahan lebih
tinggi daripada ekspor biji kakao. Intinya pemerintah mengharapkan
untuk komoditas kakao yang di ekspor sudah dalam bentuk olahan
sehingga ada nilai tambahnya.
76
Lampiran 17. Transkrip Wawancara Dewan Kakao Indonesia
Transkrip Wawancara
No Pertanyaan & Jawaban
1 Apa saja tantangan yang dihadapi Kakao Indonesia, sehingga tingkat
impor meningkat?
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
Tantangan yang dihadapi Kakao Indonesia adalah produktivitas rendah,
mutu rendah sehingga impor meningkat. Produktivitas rendah karena
pengelolaan tanaman kakao berbeda dengan tanaman lain, hal ini
menyebabkan sedikitnya perusahaan besar yang ingin berinvestasi pada
komoditas ini.
2 Apa saja permasalahan terkini yang dialami oleh Kakao Indonesia baik
secara internal maupun eksternal?
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
Permasalahan terkini adalah tataniaga biji kakao masih terlalu panjang.
Produktivitas rendah, tanamannya sudah tua, banyak hama dan penyakit
yang menyerang. Lalu dari sisi kelembagaannya belum kuat dan mandiri,
kurangnya penyuluh dan pendampingan terhadap petani kakao. Segi
pascapanen, biji kakao belum terfermentasi, mutunya masih rendah.
Petani enggan untuk memfermentasi biji kakao karena selisih harga antara
biji kakao fermentasi dan non-fermentasi tidak signifikan. Perbedaannya
hanya Rp.3.000,- sedangkan petani sifatnya ingin mendapatkan uang
yang cepat, apabila di fermentasi diperlukan 5 – 6 hari agar biji
terfermentasi dengan baik. Menunggu hasil fermentasi dengan selisih
harga yang tidak signifikan membuat petani lebih memilih mengelola biji
kakao non-fermentasi. Karena dapat langsung diperjual belikan tanpa
harus menunggu 5 – 6 hari. Kalau di Afrika biji kakao fermentasi sudah
menjadi budaya.
3 Bagaimana upaya ………………. Dalam menangani permasalahan yang
muncul pada Kakao Indonesia?
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
Upaya peningkatan produk dan produktivitas, kementerian pertanian
memberikan bantuan kepada petani berupa benih unggul, pupuk,
pelatihan poktan. Disini diperlukan adanya sinergitas antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah, supaya bantuan dari kementerian
pertanian dapat terdistribusi dengan baik. Pendapingan, karena petani
harus didampingi untuk mengontrol perawatan serta kegiatan pascapanen
supaya dapat menghasilkan biji kakao yang baik. Peningkatan sinergitas
terhadap pelaku usaha terutama perbankan.
4 Apa saja keunggulan yang dimiliki Kakao Indonesia?
77
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
Keunggulan kakao Indonesia memiliki rasa fruity, Afrika memiliki rasa
milky, dan biji kakao Indonesia memiliki melting point yang tinggi tidak
dimiliki oleh biji kakao negara lain.
5 Bagaimana perbandingan Standarisasi Nasional Kakao Indonesia dengan
Standarisasi Internasional Kakao?
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
SNI biji kakao terdiri dari 3 macam. ST01, ST02, ST03 yang
mengakibatkan kita tidak fermentasi dengan wajib. Karena apabila
diwajibkan SNI penentuan kadar air, tingkat serangga dan lainnya harus
sesuai. Jika lebih dari ukuran yang telah ditentukan maka menjadi rumit
untuk diolah atau dijual karena belum sesuai dengan SNI.
6 Bagaimana kriteria Kakao yang di Ekspor dan Impor?
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
Kriterianya karena biji kakao belum memiliki standar yang pasti. Biji
kakao grade apapun di ekspor. Biji kakao yang di ekspor lebih banyak
belum ada yang terfermentasi sedangkan yang terfermentasi hanya 10%
dari volume produksi yang dihasilkan. Biji kakao yang kita impor sudah
pasti terfermentasi. Karena asal negara biji kakao yang di impor berasal
dari Afrika (Pantai Gading, Ghana, Kamerun).
7 Bagaimana teknik pembagian kuota ekspor biji kakao dan untuk
pemenuhan bahan baku industri dalam negeri?
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
Tidak ada pembagian kuota. Biji kakao Indonesia diutamakan untuk
memenuhi bahan baku kebutuhan industri dalam negeri terlebih dahulu,
lalu kemudian ekspor.
8 Apa yang menyebabkan volume impor Kakao meningkat?
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
Volume impor biji kakao meningkat karena produksi biji kakao dalam
negeri menurun sehingga industri kekurangan bahan baku biji kakao
dalam negeri. Akibatnya untuk memenuhi kapasitas kebutuhan industri
dilakukannya impor.
9 Adakah kebijakan terkait impor biji kakao Indonesia?
Ibu Nani, Dewan Kakao Indonesia:
Sejak tahun 2010 ada bea keluar untuk ekspor biji kakao. Tujuannya
untuk membatasi ekspor biji kakao keluar supaya bahan baku industri
dalam negeri dapat terpenuhi.
78
Lampiran 18. Transkrip Wawancara Kementerian Perindustrian Republik
Indonesia
Transkrip Wawancara
No Pertanyaan & Jawaban
1 Faktor-Faktor apa saja yang mempengaruhi impor biji kakao di
Indonesia?
Pak Yogi, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia:
Faktor yang mempengaruhi impor biji kakao oleh industri pengolahan
kakao didalam negeri:
1. Cita rasa dan aroma. Industri membutuhkan campuran/blending biji
lokal dan impor untuk menghasilkan cita rasa dan aroma yang
diinginkan atau sesuai produk yang dihasilkan. Rata-rata impornya
20% - 30% dari kebutuhan masing-masing industri.
2. Kurangnya biji kakao lokal sebagai bahan baku industri kakao. Saat
ini industri mengalami kesulitan bahan baku untuk pemenuhan
kapasitas terpasang industri sebesar 747.000 ton/tahun sedangkan
pasokan biji kakao lokal hanya sekitar 200.000 – 300.000 ton. Rata-
rata kebutuhan biji kakao itu 80% dari kapasitas terpasang.
79
Lampiran 19. Curiculum Vitae Narasumber Kementerian Pertanian Republik
Indonesia
80
Lampiran 20. Curiculum Vitae Narasumber Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia
81
Lampiran 21. Curiculum Vitae Narasumber Dewan Kakao Indonesia Kementerian
Pertanian Republik Indonesia
82
Lanjutan. Curiculum Vitae Narasumber Dewan Kakao Indonesia Kementerian
Pertanian Republik Indonesia
83
Lampiran 22. Curiculum Vitae Narasumber Kementerian Perindustrian Republik
Indonesia