FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN...
-
Upload
trinhquynh -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN...
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN OSTEOPOROSIS DI PUSKESMAS PONDOK
BETUNG TAHUN 2014
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Keperawatan (S.Kep)
OLEH
ROSI PRATIWI
NIM : 1110104000041
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014M/1435
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATA
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Skripsi, 3 Juli 2014
RosiPratiwi, NIM : 1110104000041
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
OSTEOPOROSIS DI PUSKESMAS PONDOK BETUNG TAHUN 2014
ABSTRAK
Osteoporosis menjadi salah satu permasalahan global karena prevalensinya yang
semakin meningkat, termasuk di negara di indonesia. Selain dapat menurunkan
kualitas hidup, biaya kesehatan juga akan meningkat karena terjadinya fraktur. Salah
satu langkah untuk menurunkan angka kejadian osteoporosis adalah dengan
mengetahui dan menghindari faktor-faktor risiko osteoporosis yang dapat
dimodifikasi.
Mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian osteoporosis di
Puskesmas Pondok Betung.
Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan osteoporosis di
wilayah kerja puskesmas Pondok Betung Tangerang Selatan yang diperiksa densitas
tulang menggunakan alat Sahara Quantitative Ultrasound ( QUS). Penelitian ini
menggunakan desain cross sectional. Data yang digunakan adalah data primer melalui
hasil wawancara dengan responden dan data sekunder dari catatan buku kunjungan
responden di Puskesmas Pondok Betung Tangerang Selatan. Data yang terkumpul
diolah dan dianalisis dengan uji univariat dan bivariat.
Total responden yang diteliti adalah 51 responden, yaitu semua pasien dengan
osteoporosis. Variabel yang terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis adalah usia,
jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi kortikosteroid, menopause, aktivitas Fisik
dan merokok. Sedangkan yang tidak terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis
adalah indeks massa tubuh dan riwayat Fraktur
Usia, jeniskelamin, riwayat keluarga, konsumsi kortikosteroid, menopause, aktivitas
Fisik dan merokok merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung
Kata Kunci : Faktor risiko, Osteoporosis
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SCHOOL OF NURSING
Undergraduated Thesis, July 3th 2014
RosiPratiwi, NIM : 1110104000041
FACTORS RELATED TO THE OCCURRENCE OF OSTEOPOROSIS IN
HEALTH CENTER PONDOK BETUNG 2014
ABSTRACT
Osteoporosis is becoming one of the global problem because of its prevalence is
increasing, including in countries in Indonesia. In addition to lowering the quality of
life, health care costs will increase due to the occurrence of fracture. One of the
measures to reduce the incidence of osteoporosis is by knowing and avoiding
osteoporosis risk factors that can be modified.
To determine the factors associated with the incidence of osteoporosis in the Health
Center PondokBetung
Research subjects in this study were all patients with osteoporosis in the region of
South Tangerang Betong cottage health centers were examined using a bone density
Sahara Quantitative Ultrasound (QUS). This study used a cross sectional design. The
data used is primary data through interviews with respondents and secondary data
from the record books at the health center respondents visit PondokBetung South
Tangerang. The collected data were processed and analyzed with univariate and
bivariate test.
The total respondents surveyed were 51 respondents, ie all patients with osteoporosis.
Variables that proved to be risk factors for osteoporosis are age, gender, family
history, corticosteroid consumption, menopause, physical activity and smoking.
While that does not prove to be a risk factor for osteoporosis is the body mass index
and history of fractures
Age, gender, family history, corticosteroid consumption, menopause, physical
activity and smoking are factors associated with the incidence of osteoporosis in the
health center PondokBetung
Keywords : risk factors, osteoporosis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rosi Pratiwi
Tanggal Lahir : Palembang, 19 Nopember 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl.KedukanLaut RT: 19 No : 633 , 5 ULU
KedukanLaut, Palembang
Hp : 081277770534
Email :[email protected]
Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program
Studi Ilmu Keperawatan
Latar Belakang Pendidikan
1 MI Hijriah 2 Palembang 1998-2004
2 SMP Az-zahra Palembang 2004-2007
3 MAN 3 Palembang 2007-2010
5 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010-sekarang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat ridhodan ratmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi . Penulisan Skripsi
ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana
Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Jakarta. Penulis menyadari
sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan proposal sampai dengan
terselesaikannya laporan hasil Skripsi ini. Bersama ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada :
1. Prof. Dr (hc)dr. M.K Tadjudin, Sp . And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu KesehatanUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayahtullah Jakarta.
2. Bapak Ns.Waras Budi Utomo, S.kep. ,M.KM selaku ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Karyadi, P.hd selaku dosen pembimbing I yang telah menyediakan waktu,
tenaga, serta pikiran untuk membimbing penulis dalam penyusunan Skripsi ini.
4. Ibu Gusrina Komara Putri, MSN selaku pembimbing II yang telah menyediakan
waktu, tenaga, serta pikiran untuk membimbing penulis.
5. Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, yang telah memberi doa dan ilmu pengetahuan selama penulis
menjalai perkuliahan
6. Ayahanda Abdul Rahman dan ibunda Fitriyanti, yang selalu menjadi penguat hati
penulis, yang selalu menjadi cahaya ketika penulis dalam kegelapan, yang tiada
henti-hentinya dan bosan-bosannya memberikan kasih sayang kepada penulis.
7. Teruntuk Ayunda Ria Paramitha yang selalu membimbing dan memberikan
support yang luar biasa kepada penulis dan kepada saudara kembar hamba Rosa
Pratiwi yang selalu membuat penulis menjadi rindu dan selalu menjadi
penyemangat dikala penulis lengah dalam mengerjakan skripsi ini, dan teruntuk
adik kesayangan penulis Ricky subagya yang selalu membuat penulis rindu ingin
pulang semoga cita-cita kamu tercapai dan bermanfaat untuk sesama.
8. kepada sahabat saya Pentarti Galuh Utami yang selalu menjadi penyemangat
penulis dalam pengerjakan skripsi dan selalu menjadi tempat curhat yang paling
nyaman diantara yang lain terima kasih telah 4 tahun menemani penulis dalam
berjuang dalam pendidikan ini, semogakitabisabersahabatselamanya.
9. Teruntuk teman seperjuangan SJD SUMSEL 2010, M. Nurchoyin, Tribayu
Purnama, Harun Al-Rasyid, Rendi Hidayatullah, Rustiana, AyuWulansari, Zata
Ismah, Ana Erviana dan lainnya yang tidak bias penulis sebutkan satu-persatu
10. PSIK 2010 teman seperjuangan terutama untuk Gaby Nursila yang selalu
memberikan support dan saling membantu, semoga kita bisa bekerja sama lagi
dilain kesempatan dan di dunia pekerjaan, semoga kita semua menjadi orang
yang bermanfaat dan berguna untuk orang disekitar kita.
11. Staf Akademik Program Studi Ilmu Keperawatan, Bapak Safei dan Ibu
syamsiah.
12. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan beserta seluruh stafnya karena
telah membantu dalam perizinan penulis dalam melakukan penelitian.
13. Kepala Puskesmas Pondok Betung dan semua staf terima kasih banyak atas
masukan dan bimbingannya selama penulis melakukan penelitian.
14. Kepada Para Kader PosbinduPondokBetung yang telah banyak membantu
penulis dalam melakukan penelitian ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis
berharap kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ i
ABSTRAK .................................................................................................. ii
ABSTRACT ............................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAHAN .................................................................. iv
RIWAYAT HIDUP .................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
DAFTAR BAGAN ...................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 4
C. Pertanyaan Penelitian ........................................................... 5
D. Tujuan Penelitian ................................................................. 6
E. Manfaat Penelitian ............................................................... 7
F. Ruang Lingkup Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Osteoporosis ......................................................... 9
B. Epidemiologi Osteoporosis .................................................. 10
C. Klasifikasi Osteoporosis ...................................................... 11
D. Diagnosis Osteoporosis ....................................................... 12
E. Gejala Osteoporosis …………………………………….... 16
F. Patofisiologi Osteoporosis ……………………………...... 17
G. Faktor Risiko Osteoporosis ……………………………. 18
H. Kerangka Teori ………………………………………... 28
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL & HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep …………………………………….. 29
B. Definisi Operasional …………………………………... 30
C. Hipotesis……………………………………………….. 33
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ............................................................. 34
B. Tempat & Waktu Penelitian …………………………… 34
C. Populasi & Sampel …………………………………….. 35
D. Tehnik sampel . ............................................................... 36
E. Tehnik Pengumpulan Data……………………………… 36
F. Ujivaliditasdanreliabilitas …………………………….... 37
G. Pengolahan Data ……………………………………….. 38
H. Analisa Data …………………………………………… 39
I. Etika Penelitian ………………………………………… 40
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Analisa Univariat dan Bivariat……………...................... 42
1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi
.............................................................. ........... 43
2. Distribusi Responden Berdasarkan Status Kesehatan
................................................................... .......... 43
3. Distribusi Responden Berdasarkan Gaya Hidup
................................................................... ......... 45
B. Analisa Bivariat ....................... ................................. 45
1. Hubungan Usia dengan kejadian Osteoporosis
................................................................... .......... 46
2. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Osteoporosis
................................................................... ........ 46
3. Hubungan IMT Dengan Kejadian Osteoporosis
................................................................... ........ 47
4. Hubungan Riwayat Fraktur Dengan Kejadian Osteoporosis
............................................................................. 47
5. Hubungan Riwayat Keluarga Dengan Kejadian Osteoporosis
............................................................................. 47
6. Hubungan Kortikosteroid Dengan Kejadian Osteoporosis
........................................................................... 47
7. Hubungan Menopause Dengan Kejadian Osteoporosis
........................................................................... 47
8. Hubungan Aktvitas Fisik Dengan Kejadian Osteoporosis
………………………………………………. 48
9. Hubungan Kebiasaan merokok Dengan Kejadian Osteoporosis
……………………………………………… 48
BAB VI PEMBAHASAN
1 Analisa Univariat dan Bivariat ……………… 50
2 Keterbatasan Penelitian …………………….. 60
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan …………………………………. 62
2. Saran ………………………………………... 63
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2.1Kerangka teori..................................................................... 28
Bagan 3.1Kerangka Konsep................................................................ 29
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Osteoporosis adalah salah satu penyakit kronis tidak menular yang
dikarakteristikan dengan adanya penurunan kepadatan, kekuatan dan struktur
tulang sehingga menyebabkan penderitanya lebih rentan mengalami patah tulang
(Rachner, 2011). World Health Organization (WHO) memasukkan osteoporosis
dalam daftar 10 penyakit degeneratif utama di dunia.Banyak orang tidak menyadari
bahwa osteoporosis merupakan pembunuh tersembunyi (silent killer). Berbeda
dengan radang pada sendi (artritis), osteoporosis hanya sedikit menunjukkan
tanda-tanda kepada penderita pada keadaan dini dan sering penyakit ini baru
diketahui setelah terjadinya komplikasi berupa patah tulang(Tandra, 2009).
Gangguan kepadatan tulang osteoporosis memberikan dampak pada
disabilitas, morbiditas, mortalitas dan beban biaya yang berkaitan dengan fraktur
yang ditimbulkan. WHO (2007) melaporkan, penyakit tulang yang paling umum
ini menyebabkan lebih dari 8,9 juta kejadian fraktur pertahunnya di seluruh dunia.
Dalam Bartl dan Frisch (2009)dinyatakan bahwa sebesar 20% pada penderita
fraktur panggul diperkirakan akan meninggal dalam jangka waktu setahun dan
50% lainnya tidak dapat hidup secara mandiri. Osteoporosis juga menepati
peringkat tinggi di antara penyakit-penyakit yang menyebabkan seseorang
berbaring di tempat tidur dengan komplikasi yang serius (WHO, 2007). Oleh
karena itu, gangguan kepadatan tulang ini menimbulkan beban ekonomi yang
cukup besar. Biaya perawatan osteoporosis penduduk Amerika diperkirakan
mencapai 18 milyar per tahun (Alexander dan Knight, 2010)
Tercatat lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan
kepadatan tulang. Di Amerika Serikat, kasus fraktur tulang akibat osteoporosis
mencapai > 1,2 juta setiap tahunnya. Sementara di China, menurut data
International Osteoporosis Foundation, terjadi peningkatan osteoporosis sebesar
300% dalam 30 tahun terakhir. Di Inggris, setiap tahunnya sekitar 150.000-200.000
penderita osteoporosis mengalami fraktur tulang. Dengan tingginya kasus fraktur
tulang pada penderita osteoporosis, angka mortalitas yang terjadi pun akan tinggi
yaitu sekitar > 20 % dalam tahun pertama setelah timbulnya fraktur tulang
(Harvey, 2009).
Meningkatnya kejadian osteoporosis akan menjadi masalah kesehatan yang
perlu mendapatkan perhatian dan dukungan yang serius. Berdasarkan hasil analisis
data yang dilakukan Pusat Penelitian Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan
tahun 2002, prevalensi kejadian osteoporosis di Indonesia mencapai 19,7%. Di
provinsi Sumatera Selatan , kejadian osteoporosis sebesar (27,7%), di Jawa Tengah
(24,05%), Yogyakarta (23,5%). Dan di 4 kota lain sebesar 29% yang menderita
osteoporosisdari 100.000 responden. Masalah. Pada tahun 2005, Puslitbang Gizi
dan Makanan Departemen Kesehatan yang bekerja sama dengan PT. Fonterra
Brands Indonesia melakukan penelitian pada 65.727 orang dan didapatkan hasil,
yaitu sebesar 10,3% menderita osteoporosis, 41,8% osteopenia dan 47,9% normal
(Permatasari, 2008).
Dari laporan perhimpunan osteoporosis Indonesia, sebanyak 41,8% laki-
laki dan 90% perempuan sudah memiliki gejala osteoporosis, sedangkan 28,8%
laki-laki dan 23,3% perempuan sudah menderita osteoporosis (Tandra H., 2009).
Untuk memberikan gambaran umum terjadinya osteoporosis di Indonesia, telah
dilakukan pemeriksaan kepadatan tulang menggunakan ultrasound bone density
yang diadakan pada tahun 2002 di 5 kota besar, diantaranya Sumatera Utara
Hasilnya menunjukan bahwa dari keseluruhan masyarakat yang dilakukan
pemeriksaan kepedatan tulang, 35% menunjukkan hasil yang normal, 36%
menunjukkan adanya osteopenia, sedangkan 29% telah terjadi osteoporosis
(Nguyen,1999).
Mengingat peningkatan yang stabil dalam kehidupan masyarakat harapan
dan perubahan dramatis dalam gaya hidup, seperti perubahan dalam asupan
makanan dan pekerjaan (misalnya, sedikit orang terlibat dalam pekerjaan
pertanian), aktivitas fisik berkurang, meningkat perilaku menetap,kita menduga
bahwa osteoporosis dapat menjadi lebih umum dan prevalensi dapat terus
meningkat dalam waktu dekat. Namun, peningkatan kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan asupan makanan dalam beberapa tahun terakhir mungkin terbukti
memperlambat kejadian penyakit ini. Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya
osteoporosis, yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah usia,
jenis kelamin, riwayat keluarga, riwayat fraktur, sedangkan faktor risiko yang
dapat dimodifikasi antara lain adalah indeks massa tubuh, konsumsi alkohol,
merokok, menopause dini, aktifitas fisik, penyakit sistemik dan penggunaan steroid
jangka panjang (Rachner, 2011).
Beberapa hal yang masih menjadi permasalahan sehingga osteoporosis
penting untuk diteliti yaitu paradigma masyarakat khususnya lanjut usia tentang
osteoporosis yang masih dianggap sebagai penyakit karena proses penuaan yang
tidak dapat dihindari (Junaidi, 2007). Puskesmas Pondok Betung merupakan salah
satu puskesmas di Tangerang Selatan yang mengadakan pemeriksaan kepadatan
tulangdengan menggunakan alat Hologic Sahara Quantitative Ultrasound (QUS)
pada tulang calcaneus dan dari hasil analisa dan keadaan di lapangan, kejadian
kasus osteoporosis pada wilayah kerja Puskesmas Pondok Betung prevalensinya
lebih besar di bandingkan dengan puskesmas lain yaitu berjumlah 51 pasien yang
menderita osteoporosis sedangkan kasus osteoporosis di Puskesmas lainnya yang
berada di Wilayah Tangerang Selatan berjumlah kurang dari 40 pasien yang
menderita osteoporosis. Dengan melihat kejadian osteoporosis yang cukup besar
terutama di wilayah kerja Puskesmas Pondok Betung peneliti ingin melakukan
penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
osteoporosisdi Puskesmas Pondok Betung.
B. Rumusan Masalah
Insiden terjadinya fraktur distal meningkat setelah umur setelah umur 40
tahun dan meningkat hingga umur 55 tahun pada laki-laki umur 65 tahun pada
wanita. Rasio terjadinya fraktur distal radius antara wanita dan pria adalah 2:1
(pada umur lebih dari 35 tahun) dan 8:1 (setelah umur 80 tahun) (Dawson dan
Hughes, 2006). Selain itu, penelitian Grosvenor dan Smollin (2002) menjelaskan
bahwa berkurangnya massa tulang pada laki-laki dan perempuan akibat umur di
mulai sekitar umur 40 tahun sampai akhir hayat.
Berdasarkan hasil analisis data risiko osteoporosis oleh Puslitbang Gizi
Depkes bekerja sama dengan Fonterra Brands Indonesia yang dipublikasikan
tahun 2006 menyatakan 2 dari 5 orang Indonesia memiliki risiko osteoporosis.
Namun, penelitian tentang faktor osteoporosis ini sendiri belum pernah dilakukan
di wilayah kerja Puskesmas Pondok Betung. penelitian yang dilakukan oleh
Dawson dan Hughes (2006) yang menyatakan Pada penelitian ini batas minimal
umur yang digunakan adalah umur 35 tahun, hal ini mengacu pada bahwa rasio
terjadinya fraktur distal radius antara wanita dan pria adalah 2:1 (pada umur lebih
dari 35 tahun). Kiranya peneliti ingin melakukan penelitian tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian osteoporosis, melalui beberapa aktivitas
penelitian dan peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan
informasi bagi peneliti selanjutnya.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran karakteristik demografi (usia, jenis kelamin) dengan
kejadian osteoporosis ?
2. Bagaimana gambaran gaya hidup (aktivitas fisik , kebiasaan merokok) dengan
kejadian osteoporosis?
3. Bagaimana gambaran status kesehatan (riwayat keluarga, riwayat fraktur,
IMT,menopause dan penggunaan steroid jangka panjang ) dengan kejadian
osteoporosis ?
4. Apakah ada hubungan demografi meliputi usia dan jenis kelamin dengan
kejadian osteoporosis?
5. Apakah ada hubungan gaya hidup meliputi aktivitas fisik, kebiasaan merokok
dengan kejadian osteoporosis?
6. Apakah ada hubungan status kesehatan meliputi riwayat keluarga, riwayat
fraktur, indeks massa tubuh (IMT) , menopause dan penggunaan kortikosteroid
dengan kejadian osteoporosis?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian osteoporosis di
Puskesmas Pondok Betung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran karakteristik demografi (usia, jenis kelamin), status
kesehatan (indeks massa tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur,
menopause,penggunaan kortikosteroid jangka panjang) dan gaya hidup
(konsumsi alkohol, kebiasaan merokok).
b. Mengidentifikasi hubungan antara faktor demografi (usia, jenis kelamin)
dengan kejadian osteoporosis
c. Mengidentifikasi hubungan antara faktor status kesehatan (indeks massa
tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur,menopause dan penggunaan steroid
jangka panjang)dengan kejadian osteoporosis
d. Mengidentifikasi hubungan antara faktorgaya hidup (aktivitas fisik ,kebiasaan
merokok) dengan kejadian osteoporosis
E. Manfaat Penelitian
1 . Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pertimbangan bagi
Puskesmas mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian osteoporosis di
daerah Pondok Betung. Dengan demikian diharapkan dapat dilakukan upaya
preventif dan promotif terhadap kejadian osteoporosis
2. Manfaat di Bidang Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukkan untuk penelitian berikutnya,
terutama dalam cara mengatasi faktor-faktor risiko osteoporosis yang dapat
dimodifikasi yang terjadi di masyarakat.
3. Manfaat di Bidang Pelayanan
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat
tentang faktor-faktor risiko terjadinya osteoporosis, sehingga pencegahan dan
mengurangi terhadap kejadian osteoporosis dapat ditingkatkan dan angka
kejadian osteoporosis dapat menurun.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan desain studi cross-sectional dan metode
pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer
dengan membagikan kuesioner berisi item-item pertanyaan terkait faktor risiko
demografi (usia, dan jenis kelamin), gaya hidup (aktivitas fisik , kebiasaan
merokok, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang) serta status kesehatan
(riwayat keluarga, riwayat fraktur, indeks massa tubuh (IMT) dan menopause).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita osteoporosis di wilayah kerja
Puskesmas Pondok Betung. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei sampai Juni
2014 di Puskesmas Pondok Betung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarakan tujuan yang telah dipaparkan, penulis mendapatkan sebuah
literatur dilakukan dengan menggunakan (EBSCO), pencarian dilakukan pada sub
bagian yaitu : MEDLINE, CINHL. Kata kunci yang digunakan untuk mencari artikel
atau jurnal adalah osteoporosis atau osteoporosis risk pencarian tahun bebas tapi di
utamakan penulis (2004-2014). Ditemukan 125 artikel yang berkaitan dengan
osteoporosis, dari 125 artikel yang didapatkan 14 artikel dinilai cukup relevan dan
cocok digunakan sebagai bahan rujukan dan bacaan penulis dalam bab ini.
A. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai
dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral
yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang sehingga
terjadi penurunan kekuatan tulang (Lindsay.dkk, 2008). Osteoporosis adalah
gangguan tulang yang ditandai oleh kekuatan tulang yang mengarah kepada
peningkatan risiko fraktur, demikianlah pentingnya kekuatan tulang dalam
terjadinya risiko patah tulang. Sedangkan tulang yang rendah kepadatan tulangnya
adalah salah satu faktor risiko yang paling utama untuk terjadinya
fraktur(Bouxsein, 2004).
WHO (1994) secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan
Bone Mineral Density (BMD) yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -
2,5 SD dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (Bone Mineral
Density T-score < -2,5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai -2,5 SD dari
orang dewasa muda sehat (Lindsay.dkk, 2008). Menurut (WHO,1994) 13-18%
wanita di atas 50 tahun memiliki osteoporosis dan 37-50% memiliki osteopenia.
Kondisi lain yang berkaitan dengan osteoporosis adalah osteopenia yang
merupakan keadaan dimana kepadatan tulang sudah berkurang. Bila kondisi
osteopenia terusberlanjut maka keadaannya dapat berubah menjadi osteoporosis.
Dengan kata lain kondisi osteopenia merupakan tahapan yang sudah berisiko untuk
menajdi osteoporosis. Sebutan lain dari osteoporosis adalah silent
diseasekarenapada stadium awal tidak menimbulkan gejala yang nyata, gambaran
radiologi baru jelas bila penurunan densitas mineral tulang lebih dari 30% (WHO,
2001).
B. Epidemiologi Osteoporosis
Di Amerika Serikat, kira-kira 10 juta orang usia diatas 45 tahun menderita
osteoporosis dan hampir 34 juta dengan penurunan massa tulang yang selanjutnya
berkembang menjadi osteoporosis. Empat dari 5 orang penderita osteoporosis
adalah wanita, tapi kira-kira 2 juta pria di Amerika Serikat menderita osteoporosis,
14 juta mengalami penurunan massa tulang yang menjadi risiko untuk
osteoporosis. Satu dari 2 wanita dan satu dari 4 pria diatas berusia 50 tahun akan
menjadi fraktur yang berhubungan dengan fraktur selama hidup mereka. Di negara
berkembang seperti Cina, osteoporosis mencapai proposi epidemik. Terjadi
peningkatan 300% dalam waktu 30 tahun (Venture, 2004).
Data di Asia menunjukkan bahwa insiden fraktur lebih rendah dibanding
populasi kaukasian. Studi juga mendapatkan bahwa massa tulang orang Asia lebih
rendah dibandingkan massa tulang orang kulit putih Amerika, akan tetapi fraktur
pada orang Asia didapatkan lebih sedikit (Rachmatullah, 2007).
C. Klasifikasi Osteoporosis
Menurut Mulyani (2008), osteoporosis diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Osteoporosis Postmenenopausel
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang
membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.
Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia antara 51-75 tahun, tetapi bisa
muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita mempunyai
risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit
putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita
kulit hitam.
2. Osteoporosis Senilis
Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan
usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan
pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi
pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2
kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis
senilis dan postmenopausal
3. Osteoporosis Sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis. Yang disebabkan oleh
keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit osteoporosis bisa
disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid dan
paratiroid ) dan obat-obatan kortikosteroid,barbiturat, anti kejang dan hormon
tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa
memperburuk keadaan osteoporosis.
4. Osteoporosis Juvelin Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum diketahui. Hal
ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memilki kadar dan fungsi
hormonal yang normal, kadar vitamin yang normal tidak memiliki penyebab
yang jelas dari rapuhnya tulang (Mulyaningsi, 2008).
D. Diagnosis Osteoporosis
Diagnosis penyakit osteoporosi kadang-kadang baru diketahui setelah
terjadinya patah tulang punggung,tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau
patah tulang lainnya pada lanjut usia,baik pria maupun wanita (Lane, Nancy,
2001). Diagnosis osteoporosis dulunya ditentukan dengan sinar-X biasa. Namun
dengan cara ini berkurangnya massa tulang baru terlihat setelah kehilangan 40%
dari massa tulang. Setelah tahun 1980an dikembangkan metode baru yang lebih
akurat untuk mengukur kepadatan tulang yang dikenal dengan “Bone Mineral
Density”(BMD) tes. Metode ini tidak menyebabkan rasa sakit dan noninvasif scan
serta dosis radiasinya sangat rendah. Tes ini sebaiknya dilakukan bagi orang-orang
yang mempunyai faktor risiko tinggi untuk menderita osteoporosis (Sarpini, 2003).
BMD atau tingkat densitas tulang merupakan prediktor paling kuat terhadap
kejadian fraktur. Risiko fraktur pada orang dewasa dua kali rata-rata terhadap
pengurangan SD (standar deviasi) pada variasi pengukuran (tulang rusuk, pinggul
dan pergelangan tangan). Maksudnya adalah risiko fraktur pada seorang individu
dengan BMD dibawah 20% dari populasi adalah lima kali lebih tinggi
dibandingkan dengan individu lain dengan usia dan jenis kelamin yang sama
(Barker & Blumsohn, 2005)
WHO menentukan aturan terhadap pengukuran BMD sebagai diagnosis
penyakit osteoporosis.
(i) Normal : densitas tulang kurang dari 1 standar deviasi dibawah rata-
rata dewasa muda (T>-1)
(ii) Osteopenia : densitas tulang antara 1 standar deviasi dan 2,5 standar
deviasi dibawah rata-rata dewasa muda normal (-2,5< T <-1)
(iii) Osteoporosis : densitas tulang lebih dari 2,5 standar deviasi dibawah
rata-rata dewasa muda normal (>- 2,5)
(WHO, 1994)
Meskipun berbagai kriteria densitometrik digunakan untuk mendifinisikan
osteoporosis, kriteria yang diajukan oleh (WHO,2007) Yang berdasarkan
pengukuran masa tulang, umumnya yang paling banyak diterima dan digunakan.
Beberapa metode BMD tes yang saat ini sering dilakukan antara lain:
1. DXA (Dual energy X-ray Absorptiometry)
Ada beberapa cara untuk mengukur massa tulang, namun yang paling sering
digunakan adala DXA (Dual energy X-ray Absorptiometry). Metode ini mengukur
massa tulang di pinggul, pergelangan tangan, tulang belakang atau seluruh rangka
dan sering disebut dengan scan tulang. Nilai massa tulang yang didapat dari
pengukuran ini disebut kerapatan mineral tulang (BMD=Bone Mineral Density)
sedangkan nama umum untuk pengukuran tulang adalah densitometri tulang
(Compston, 2002)
Untuk mengukur massa tulang dengan scan tulang, pasien perlu berbaring.
Sebuah bantal diletakkan di bagian bawah paha agar tulang belakang bagian bawah
berada dalam posisi selurus mungkin selama pengukuran. Batang logam tipis
bergerak dari atas ke bawah daerah yang diukur dan pasien perlu masuk kedalam
tabung, seperti mesin scan lainnya. Pasien tidak perlu menanggalkan baju, hanya
saja pakaian yang mengandung logam perlu ditinggalkan sebelum pengukuran.
Selain itu, tidak perlu penyuntikan atau prosedur lain yang menyusahkan
(Compston, 2002)
2. QST (Quantitative Computed Tomography)
Dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang bagian bawah
(low spine), tempat dimana biasa mengalami perubahan massa tulang paling sering
pasa usia lanjut. QCT digunakan untuk mengukur kepadatan tulang lengan bawah.
Dosis radiasi pada tes ini lebih besar 10 kali dari pada DXA dan juga lebih mahal
(Sarpini, 2003)
3. QUS (Quantitative Ultrasound)
Tes ini menggunakan gelombang suara, dapat digunakan untuk mengukur
kepadatan tulang tumit, tulang kering (tibia) dan jari-jari (Sarpini, 2003). Massa
tulang juga bisa diukur dengan gelombang ultrasonik, caranya disebut peredaman
gelombang ultrasonik (BUA= broadband ultrasoun attenuation). Cara ini biasa
digunakan untuk mengukur tulang tumit (tulang kalkaneus), biasanya kaki
direndam dalam air. Cara ini tidak menggunakan radiasi, oleh karena itu sangat
aman (Compston, 2002)
osteoporosis dinilai dengan menggunakan Hologic Sahara Quantitative
Ultrasound Densitometry (QUS) pada tulang calcaneus. Alat ini memiliki 2
membran transduksi BUA dengan diameter 19 mm yang ditempelkan pada tumit
melalui bantalan elastomerik yang diolesi dengan gel. Alat ini dapat bekerja pada
suhu lingkungan antara 15°C hingga 37,7° C dan kelembaban relatif 20% hingga
80%. Alat ini menggabungkan pengukuranBUA (desibel per megahertz) dan SOS
(meter per detik) pada zona sentralcalcaneus, untuk mengetahui perkiraan densitas
mineral tulang tumit(Heel Bone Mineral Density) yang kemudian ditampilkan
sebagai skor T yang dihitung berdasarkan persamaan: HBMD (gram/cm2) =
0,002692 × (BUA+SOS) – 3,687 (Lee HD, 2010).
Quantitative Ultrasound mengukur densitas massa tulang dengan mengukur
kecepatan dan jumlah suara yang ditransmisikan ke tulang dan alat ini dapat
digunakan pada tulang dengan jaringan lunak dalam jumlah sedikit seperti
calcaneus atau tumit. Calcaneus terdiri atas 95% tulang trabekular (Guglielmi,
2009). Menurut penelitian ultrasound pada tumit merupakan prediktor risiko
fraktur yang lebih baik dibandingkan ultrasound pada phalanges. Kecepatan suara
lebih tinggi pada tulang yang padat dan lebih rendah pada tulang yang tidak padat
atau tulang yang memiliki banyak rongga (Guglielmi,2013).
E. Gejala Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis
senilis), sehingga pada awal osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Namun,
kemudian muncullah gejala-gejala seperti :
1. Nyeri terus-menerus yang tidak kunjung hilang
Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulangbmenjadi menipis,
timbulah nyeri tulang dan kelainan bentuk. Menipisnya tulang belakang
menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa patah
secara spontan atau terkena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba
dan dirasakan di daerah tertentu di punggung, yang akan bertambah nyeri jika
penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit,
akan tetapi biasanya rasa sakit akan menghilang secara bertahap setelah beberapa
minggu atau bulan (Junaidi, 2007)
2. Tubuh memendek
Ketika beberapa tulang belakang hancur, akan terbentuk kelengkungan yang
abnormal dari tulang belakangyang menyebabkan ketegangan otot dan timbul rasa
sakit. Tulang lain bisa ikut patah, kerap kali disebabkan oleh tekanan ringan atau
karena jatuh (Junaidi, 2007
3. Mudah menderita patah tulang terutama tulang pinggul
4. Disertai gejala menopause: panas, banyak keringat, keputihan, dan susah tidur
5. Pascamenopause : pelupa, nyeri tulang belakang
(Junaidi, 2007)
E. Patofisiologi Osteoporosis
Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan. Tulang
memilki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan
menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk membentuk
tulang) (Comptons, 2002). Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami
keretakan, akan dibentuk kembali. Tulang yang sudah rusak tersebut akan
diidentifikasi oleh sel osteosit (sel osteoblas menyatu dengan matriks tulang)
(Cosman, 2009). Kemudian terjadi penyerapan kembali yang dilakukan oleh
osteoklas dan nantinya akan menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam
(Tandra, 2009). Dengan demikian tulang yang sudah diserap osteoklas yang berasal
dari prekusor di sumsum tulang belakang setelah sel osteoklas hilang (Cosman,
2009).
Menurut (Ganong,2010) ternyata endokrin mengendalikan proses remodeling
tersebut. Dan hormon yang mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resopsi tulang
menjadi lebih cepat ) dan estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan
pada osteoporosis, terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga timbul
ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas sel osteoklas
lebih besar daripada osteoblas. Dan secara menyeluruh massa tulangpun akan
menurun, dan akhirnya terjadilah pengeroposan tulang pada penderita osteoporosis.
(Ganong, 2008).
F. Faktor Risiko Osteoporosis
Faktor risiko osteoporosis pada lanjut usia yang berhubungan dengan
penurunan kualitas hidup dan kepadatan tulang akibat proses penuaan.
1. Faktor Risiko yang tidak dapat Dimodifikasi
a. Faktor Demografi
1) Usia
Usia adalah salah satu dari faktor risiko osteoporosis yang tidak
dapat direkayasa, Pada lanjut usia daya serap kalsium akan menurun
seiring dengan bertambahnya usia (Kemenkes, 2008). Setelah usia 40
tahun, akan terjadi peningkatan risiko fraktur hal ini berkaitan dengan
osteoporosis pada laki-laki juga perempuan. Insiden fraktur distal radius
meningkat setelah usia 40 tahun dan meningkat hingga usia 55 tahun pada
laki-laki dan usia 65 tahun pada wanita. Rasio terjadinya fraktur distal
radius antara wanita dan pria adalah 2:1 (pada usia lebih dari 35 tahun )
sedangkan rasionya menjadi 8:1 (setelah usia 80 tahun)
(Dawson&Hughes, 2006).
Menurut Ilyas (2006), Indonesia pada kurun waktu antara tahun
1990-2050 akan mempunyai kenaikan jumlah lanjut usia (lansia) diatas 50
tahun pada tahun 2015 kelak akan mencapai kurang lebih 24 juta orang
kira-kira 10% dari jumlah total penduduk Indonesia yang ada. Pada tahun
2020 jumlah lansia akan meningkat lagi menjadi 29 juta orang atau
menjadi 11,4% dari total penduduk (Ilyas, 2006).
Menurut Indonesia White Paper yang dikeluarkan Perhimpunan
Osteoporosis Indonesia (Perosi) pada tahun 2007 yaitu osteoporosis pada
wanita yang berusia di atas 50 tahun mencapai 32,3% dan pada pria usia
diatas 50 tahun mencapai 28,8 %. Secara keseluruhan percepatan proses
penyakit osteoporosis pada wanita Indonesia sebesar 80% dan pria 20%
(Junaidi, 2007). Prevalensi osteoporosis pada usia kurang dari55 tahun
lebih tinggi pada laki-laki, tetapi setelah usia diatas 55 tahun ternyata
prevalensi osteoporosis lebih tinggi pada perempuan (Depkes RI, 2008).
2) Jenis Kelamin
Diperkirakan selama hidup, wanita akan kehilangan massa tulang
30%-50% sedangkan pria hanya 20%-30%, namun tidak berarti semua
wanita yang telah mengalami menopause akan mengalami osteoporosis.
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
osteoporosis. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis dari pada laki-laki. Pada osteoporosis primer, perbandingan
antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih
tinggi untuk terjadinya osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%
karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol atau pemakaian
kortikosteroid yang berlebihan (Migliaccio, 2009) Secara keseluruhan
perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1(Foundation, 2011).
3) Ras
Ras atau suku menjadi salah satu faktor risiko terjadinya
osteoporosis. Biasanya ras atau suku yang rentan terkena osteoporosis
yaitu dari kewarganegaraan Eropa Utara, Jepang dan Cina (Asia dan
Kaukasia) dibandingkan dengan kewarganegaraan Afrika-Amerika. Hal
ini dapat terjadi karena ras dari Afrika-Amerika memiliki masa tulang
lebih besar. Dengan besarnya masa tulang dan otot maka tulang akan
semakin besar dan tekanan akan meningkat dan akan memperlambat
turunnya masa tulang ( Lane, 2003). Hal ini disebabkan karena di Asia
lebih banyak mendapatkan sinar matahari (Purwanti, 2008).
b. Faktor Status Kesehatan
1) Riwayat Keluarga
Besarnya puncak massa tulang sangat ditentukan oleh faktor
genetik, terutama diturunkan dari pihak ibu kepada anak wanitanya.
Wanita yang dalam sejarah kesehatan keluarga, nenek atau ibunya, pernah
mengalami patah tulang belakang lebih berisiko mengalami pengurangan
massa tulang (Purwanti, 2008). Osteoporosis juga berhubungan dengan
adanya riwayat keturunan. Jika memiliki riwayat keluarga yang menderita
osteoporosis diperkirakan 60-80% salah satu anggota keluarganya akan
mudah mengalami patah tulang belakang maka anak wanita akan lebih
muda untuk mengalami penurunan masa tulang lebih cepat dan lebih
berisiko mengalami osteoporosis (Mangoenprasodjo, 2005).
2) Riwayat Fraktur
Orang yang pernah mengalami riwayat fraktur akan berisiko terkena
fraktur lagi karena mungkin tulangnya sudah keropos. Pada wanita yang
pernah patah tulang belakang risiko mengalami patah tulang pergelangan
tangan sebanyak 1-2 kali, tulang belakang 4-19 kali dan tulang panggul 2-
3 kali. Pada orang yang pernah mengalami patah tulang pergelangan
tangan akan berisiko mengalami patah tulang pergelangan tangan 3-4kali,
patah tulang belakang 2-7 kali dan patah tulang panggul 1-2 kali. Pada
orang yang pernah patah tulang panggul akan berisiko mengalami patah
tulang belakang 2-3 kali dan patah tulang panggul 1-2 kali (Tandra,
2009). Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa,
riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis (Tebe,
2011).
3) Indeks Masa Tubuh
Berdasarkan penelitian yang adaindeks massa tubuh yang optimal
untuk terhindar dari risiko fraktur atau osteoporosis adalah antara 21-24
kg/m2 (Heaney, 1996). Indeks massa tubuh yang rendah/kurus (<19
kg/m2) menjadi salah satu faktor risiko akanterjadinya osteoporosis
(Sarpini, 2003). IMT dikelompokkan berdasarkan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2005, kekurangan berat tingkat berat (IMT <17
kg/m2), kekurangan badan tingkat ringan (IMT 17-18,4 kg/m
2), normal
(IMT 18,4-24,9 kg/m2), kelebihan berat badan tingkat ringan (IMT 25-27
kg/m2) dan kelebihan berat badan tingkat berat (IMT > 27 kg/m
2)
(Depkes, 2005).
Beberapa penelitian telah menyatakan adanya hubungan antara
ukuran tubuh dan berat tubuh dengan osteoporosis serta kemungkinan
fraktur. Berat badan yang rendah dapat menyebabkan risiko fraktur
pinggul pada wanita. Berdasarkan pengukuran antropometri, (Cumming,
1999) menemukan bahwa berat badan usia 25 tahun menjadi faktor
pelindung yang paling penting sementara tinggi badan pada usia 25 tahun
merupakan faktor risiko. Studi osteoporosis Mediteranian akan fraktur
pinggul di Eropa menyatakan bahwa rendahnya berat badan dan
rendahnya indeks massa tubuh menjadi faktor risiko akan terjadinya
fraktur. (Johnell, 1997 dalam Nurlita 2008)
4) Menopause
Menopause merupakan akhir dari masa reproduktif karena telah
berhentinya masa haid, biasanya terjadi usia 50-51 tahun. Biasanya pada
wanita yang merokok akan mengalami menopause 1 tahun lebih cepat dari
wanita yang bukan perokok. Seorang yang mengalami menopause akan
mengalami fase klimaksterium, yaitu terjadi peralihan dari reproduktif
akhir ke masa menopause. Fase klimaksterium memiliki 3 masa yaitu,
premenopause yang terjadi sekitar 4-5 tahun sebelum menopause, masa
menopause dan pascamenopause yang terjadi sekitar 3-5 tahun setelah
menopause (Purwoastuti, 2008). Menurunnya hormon estrogen saat
menopause berkontribusi pada peningkatan absorpsi kalsium dan
metabolisme tulang yang berperandalam percepatan hilangnya otot-otot
tulang rangka wanita menopause. Osteoporosis jarang terjadi pada laki-
laki daripada perempuan karena sejumlah alasan. Laki-laki memiliki
puncak massa tulang (Preak bone mass) lebih besar dan tidak mengalami
percepatan hilangnya tulang pada wanitasaat menopause. Umumnya lanjut
usia laki-laki kurang berisiko mengalami jatuh dibandingkan perempuan.
Wanita juga memilki massa otot lebih rendah daripada pria (Eleanor S,
2000).
5) Densitas Tulang
Densitas masa tulang juga berhubungan dengan risiko terjadinya
fraktur. Setiap penurunan 1 SD, berhubungan dengan risiko peningkatan
fraktur sebesar 1,5-3,0 kali. Faktorusia juga menjadi pertimbangan dalam
menentukan besarnya risiko menurut densitas tulang(Fatmah, 2008).
6) Kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai
penyakit, terutama penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang
digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya
osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik. Kortikosteroid dapat
menginduksi terjadinya osteoporosis bila dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per
hari selama lebih dari 3 bulan ( Jehle, 2003). Obat-obatan yang
mengandung steroid bisa mempercepat kerapuhan tulang seperti
prednison, prednisolon atau kortison, termasuk jamu atau obat tradisional
yang biasanya mengandung steroid yang diberikan pada penyakit rematik,
asma, radang usus atau beberapa penyakit kanker. Obat lambung bila
dikonsumsi dalam jangka lama juga menyebabkan tulang keropos
(Tandra, 2009).
2. Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi
a. Faktor Gaya Hidup
1) Merokok
Kebiasaan merokok juga bisa merusak tulang. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa merokok bisa menurunkan estrogen dan
mempercepat menopause. Suatu penelitian terhadap 300 wanita muda
usia 20-29 tahun yang sehat tapi perokok ternyata BMD tulang relatif
lebih rendah. Demikian juga wanita setelah menopause yang merokok
lebih banyak mengalami patah tulang panggul daripada yang tidak
merokok. Penyerapan kalsium di usus orang yang biasa merokok menjadi
terganggupadahal kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang
(Tandra, 2009:46). Dengan berhenti merokok secara total, membuat
estrogen dalam tubuh seseorang beraktifitas dan juga dapat
mengeliminasi risiko kehilangan sel pembentuk tulang selama hidup yang
mencakup 20%-30% pada pria dan 40%-50% pada wanita (Kemenkes
RI, 2008).
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar
estrogen sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok akan
cenderung lebih rendah daripada yang tidak merokok. Wanita pasca
menopause yang merokok dan mendapatkan tambahan estrogen masih
akan kehilangan massa tulang. Berat badan perokok juga lebih ringan dan
dapat mengalami menopause dini (kira-kira 5 tahun lebih awal) daripada
non-perokok. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di
Padang Pariaman dari 38 responden yang memiliki riwayat sebagai
perokok, sebagian besarnya (86,8%) berada pada tingkat risiko tinggi
osteoporosis (Kemenkes RI, 2008).
Merokok berhubungan dengan rendahnya kepadatan mineral tulang,
meningkatkan kehilangan massa tulang dan semakin tinggi risiko pada
tulang pada pria. Namun belum diketahui apakah merokok
mempengaruhi sirkulasi level endrogen atau memiliki efek langsung
terhadap jaringan tulang (Dawson& Hughes, 2006).
2) Konsumsi Alkohol
Kebiasaan mengkonsumsi alkohol jangka panjang bisa menurunkan
massa tulang. Bila minum alkohol pada masa kanak dan remaja
pertumbuhan tulang akan terhambat sehingga mengakibatkan tulang
keropos di kemudian hari (Tandra, 2009: 47). Minuman yang
mengandung alkohol, kafein dan soda berpotensi mengurangi penyerapan
kalsium ke dalam tubuh (Kemenkes, RI, 2008). Konsumsi alkohol yang
berlebihan selama bertahun-tahun mengakibatkan berkurangnya massa
tulang. Kebiasaan meminum alkohol lebih dari 750 mL per minggu
mempunyai peranan penting dalam penurunan densitas tulang (Grubb,
1997).
Alkohol dapat secara langsung meracuni jaringan tulang atau
mengurangi massa tulang karena adanya nutrisi yang buruk. Hal ini
disebabkan karena pada orang yang selalu menonsumsi alkohol biasanya
tidak mengkonsumsi makanan yang sehat dan mendapatkan hampir
seluruh kalori dari alkohol. Disamping akibat dari defisiensi nutrisi,
kekurangan (Larsen K, 2007). vitamin D juga disebabkan oleh
terganggunya metabolisme di dalam hepar, karena pada konsumsi alkohol
berlebih akan menyebabkan gangguan fungsi hepar (Lane, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Padang
Pariaman sebanyak 5 orang lanjut usia yang memilki riwayat sebagai
pecandu alkohol sebagian besarnya (80%) berada pada tingkat risiko
tinggi osteoporosis.
3) Aktifitas Fisik
Orang yang tidak bergerak lama, tidak ada rangsangan gravitasi
bumi atau tekanan mekanik lain, akan membuat banyak mineral tulang
hilang dan menyebabkan tulang menjadi keropos (Tandra,2009:143).
Kurangnya olahraga dan latihan secara teratur, menimbulkan efek negatif
yang menghambat proses pemadatan massa tulang dan kekuatan tulang.
Namun olahraga yang sangat berlebih (maraton, atlit) pada usia muda,
terutama anak perempuan yang telah haid akan menyebabkan haidnya
terhenti karena kekurangan estrogen sehingga penyerapan kalsium
berkurang dengan segala akibatnya (Kemenkes RI, 2008).
Kurang gerak badan akan mengurangi kepadatan tulang, kekuatan
dan kebugaran juga akan membuatkalsium keluar semakin meningkat
melalui urin yang akan menyebabkan tulang menjadi keropos. Pada usia
lanjut, kurang gerak badan menyebabkan lemahnya otot dan
meningkatkan risiko jatuh dan patah tulang. Hasil penelitian menyebutkan
bahwa aktivitas fisik di masa lalu dapat mengurangi risiko terjadinya
patah tulang pinggul sebesar 1/3 nya (Boonyarataves et al, 2001:224)
b. Faktor Metabolik
1) Penyakit
Pada orang yang menderita diabetes mellitus atau kencing manis
lebih mudah mengalami osteoporosis. Insulin merangsang pengambilan
asam amino ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukan kolagen.
Kontrol gula yang buruk juga akan memperberat metabolisme vitamin D
pada penyakit tiroid atau gondok. Kadar hormon tiroid tinggi atau
berlebihan sehingga menyebabkan penurunan massa tulang, begitu pula
pada hipotiroid yang diberi pengobatan hormon tiroksin. Beberapa
penyakit seperti penyakit hati kronis, gagal ginjal kronis serta beberapa
kanker tertentu dikaitkan dengan timbulnya kerapuhan tulang misalnya
kanker sumsum tulang. (Kemenkes RI, 2008
H. Kerangka Teori
(Modifikasi Kemenkes, 2008 & Tandra, et al., 2009)
Faktor risiko yang
tidak dapat
dimodifikasi
Demografi
- Usia
- Jenis kelamin
- Ras
Status kesehatan :
- Riwayat keluarga
- Riwayat fraktur
- Menopause
- IMT
- Penggunaan steroid
-
Faktor risiko yang
dapat dimodifikasi
Gaya hidup
- Kebiasaan
merokok
- Aktivitas fisik
Osteoporosis
Metabolik
- Penyakit metabolik
Gangguan pada osteoklas, timbul
ketidakseimbangan antara kerja
osteoklas dengan osteoblas.
Aktivitas sel osteoklas lebih besar
daripada osteoblas. Dan secara
menyeluruh massa tulangpun akan
menurun pengeroposan tulang
(Comptons, 2002).
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONALDAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan, maka variabel yang ingin diteliti
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian osteoporosis pada usia
lebih dari 35 tahun adalah variabel terikat (dependen) yaitu kejadian osteoporosis.
Sedangkan variabel bebas (independen) yang ingin diketahui meliputi faktor
demografi (usia, jenis kelamin), status kesehatan (riwayat keluarga, riwayat
fraktur,IMT, kortikosteroid) dan gaya hidup (merokok, aktivitas fisik ,
menopause). Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
1. Data Demografi:
-Usia
-Jenis kelamin
2. Status Kesehatan :
-Riwayat keluarga
-Riwayat fraktur
- Menopause
- Kortikosteroid
-IMT
3. Gaya Hidup :
-Aktivitas fisik
-Kebiasaan merokok
Kejadian
Osteoporosis
B. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena ( Hidayat, 2008 ).
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
osteoporosis Suatu kondisi
dimana Densitas
Mineral Tulang
(DMT) seseorang
lebih rendah dari
normalnya yang
didiagnosis
menggunakan
alat denditometer
dan dinyatakan
dalam T-score
Kaki kanan
responden
diletakkan di
atas alat
pengkur
DMT, lalu
tulang pada
bagian tumit
kakidi scan
selama 1
menit
Densitome
ter dengan
Achilles
Express/In
sight
metode
Quantitati
ve
Ultrasoun
d
1. osteoporosis : T-
score< - 2,5
(WHO, 1994)
Nominal
Usia Lamanya masa
hidup responden
secara tahun,
Wawancara Kuisioner 1) < 50 tahun
2) > 50 tahun
Ordinal
dihitung sejak
dilahirkan sampai
dilakukan
penelitian.
(Compston, 2002)
Jenis kelamin Pengakuan
responden
berdasarkan jenis
kelamin.
Wawancara Kuisioner 1) Pria
2) Wanita
Nominal
Riwayat
keluarga
Adanya riwayat
terjadinya
osteoporosis pada
keluarga.
Wawancara Kuisioner 1) Ya
2) Tidak
Nominal
Riwayat
fraktur
Adanya riwayat
terjadinyafraktur
sebelumnya.
Wawancara Kuisioner 1) Ya
2) Tidak
Nominal
IMT Indeks masa
tubuh dihitung
berdasarkan
rumus :
Berat badan (kg)
Observasi Antropom
etri
dengan
penimban
gan berat
badan dan
1. Kurus (17,0-18,5)
2. Normal (>18,5-
25,0)
3. Gemuk (> 25-
27,0)
Ordinal
Tinggi Badan(m)
kuadrat
(Nursyati, 2001)
tinggi
badan
(Depkes, 2003)
Kebiasaan
merokok
Merokok secara
aktif selama
minimal 1 tahun.
Wawancara Kuisioner 1) Ya
2) Tidak
Nominal
Kortikosteroid Penggunaan
steroid jangka
panjang adalah
penggunaan
kortikosteroid
lebih dari 3 bulan
dengan dosis
lebih dari 7,5 mg
per hari (Oxford
Journals, 2003).
Wawancara Kuisioner 1) Ya
2) Tidak
Nominal
Menopause Saat seseorang
wanita berhenti
mendapatkan
haid
Wawancara Kuisioner 1) Sudah Menopause
2) Belum menopause
Nominal
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep dan tujuan penelitian, maka hipotesis
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara faktor demografi yaitu usia dan jenis kelamin dengan
terjadinya osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung.
(Compston,
2002)
Aktivitas Fisik Kegiatan
responden seperti
senam, jalan
maupun lari pagi
yang dilakukan
rutin minimal 2
kali seminggu
dengan durasi 30
menit
Wawancara Kuesioner 1. Olahraga
2. Jarang Olaraga
(Dibawah 2 kali
seminggu dan durasi
30 menit )
(Rahayu, 2005)
Ordinal
2. Ada hubungan antara status kesehatan yaitu riwayat keluarga, riwayat fraktur,
IMT dan menopause dengan terjadinya osteoporosis di Puskesmas Pondok
Betung.
3. Ada hubungan antara gaya hidup yaitu aktivitas fisik , kebiasaan merokok dan
penggunaan kortikosteroid jangka panjang dengan terjadinya osteoporosis di
Puskesmas Pondok Betung.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah penelitian
deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross sectional yakni dengan
melakukan penelitian pada waktu bersamaan untuk menghubungkan antara
variabel independen (bebas) dengan variabel dependen (terikat) yang diteliti
terhadap sampel dalam populasi yang ditentukan. Desain tersebut dipilih oleh
peneliti dengan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak,
relatif murah namun tetap dapat menjelaskan hubungan antara variabel yang
diteliti. Dimana peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
osteoporosis.Dengan studi ini akan diperoleh prevalensi atau efek suatu fenomena
(variabel dependen) dihubungkan dengan penyebab (variabel independen)
(Nursalam, 2003).
B. Tempat dan waktu penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Pondok Betung, Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2014. Daerah tersebut dipilih karena dari data
sekunder yang peneliti dapatkan terdapat kasus osteoporosis terbanyak di
wilayah kerja Puskesmas tersebut, dan belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya mengenai osteoporosis
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2014.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan osteoporosis yang
ada di Puskesmas Pondok Betung.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dengan osteoporosis di Puskesmas
Pondok Betung dari bulan Desember – Maret 2014 yang tercatat dan
kelengkapan datanya baik. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
1) Merupakan pasien dengan osteoporosis berdasarkan data di
Puskesmas Pondok Betung
2) Pasien yang bersedia menjadi responden
D. Tehnik sampel
Adapun tehnik pengambilan sampel dengan menggunakan non probability
samplingdengan cara pengambilan total sampling. Total sampling adalah tehnik
pengambilan sampel dengan menjadikan semua populasi sebagai sampel
(Nursalam, 2003).
E.Tehnik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Cara pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa metode.
Pewawancara dalampenelitian ini memiliki kualifikasi sebagai mahasiswa PSIK
UIN semester terakhir. Berikut cara pengambilan data primer yang dilakukan:
(a) Metode Wawancara
Metode wawancara dilakukan untuk memperoleh data berikut ini (i)
karakteristik demografi : nama , usia, jenis kelamin, (ii) gaya hidup : kebiasaan
merokok, aktivitas fisik, (iii) status kesehatan : IMT, riwayat fraktur, riwayat
keluarga, konsumsi kortikosteroid. Pertama-tama, pewawancara menanyakan
kesediaan masing-masing responden untuk diwawancara atau tidak, jika diperoleh
kesediaan dari responden maka wawancara selama sekitar 15 menit dapat
dilakukan. Setelah wawancara selesai,setelah wawancara selesai. Proses
wawancara dilakukan kepada seluruh pengunjung posbindu yang dibawahi oleh
Puskesmas Pondok Betung yang termasuk dalam kriteria inklusi.
(b) Pengukurun Tinggi Badan dan Berat Badan
Pengukurun tinggi serta berat badan menggunakan alat microtoice dan seca
yang telah dikalibrasi. Microtoice memiliki ketelitian 0,1 cm dengan kapasitas
pengukuran sampai dengan 200 cm. Seca memiliki ketelitian 0,1 kg denga
kapasitas mencapai 200 kg.
Pengukuran dilakukan setiap bulan di Posbindu . Alat mikrotoice dan seca
diletakkan ditempat yang strategis dan sesuai dengan prosedur penggunaan alat,
peneliti mengambil data pengukuran tinggi badan dan berat badan berdasarkan
data terbaru dari puskesmas pondok betung.
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari data sekunder diantaranya jumlah kejadian
osteoporosis pada seluruh Posbindu yang dibawahi oleh Puskesmas Pondok Betung
yang telah diukur densitas mineral tulang menggunakan Sahara Quantitative
Ultrasound pada bulan Desember – Maret 2014.
F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, dan
kuesioner yang digunakan untuk uji validitas dan reliabilitas kepada 30 responden di
Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan pada bulan mei 2014 . Hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan dalam kuesiner tersebut sudah jelas
dan dapat dimengerti responden serta untuk menguji validitas dan reliabilitas
variable-variabel yang terdapat dalam kuesiner tersebut.Uji validitas dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan kuesioner untuk mengukur data
yang dibutuhkan. Sedangkan, uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana hasil pengukuran tetap konsisten jika dilakukan pengukuran berulang dengan
menggunakan kuesioner yang sama.
Seluruh pertanyaan pada kuesioner ini telah reliabel dengan nilai Chronbach’s
alfa sebesar 0,716 > dari 0,6. Sedangkan uji validitas menghasilkan pertanyaan yang
valid jika nilai corrected Item-Total Correlation lebih besar dari nilai r-tabel yaitu
0,3610, dari 15 poin pertanyaan yang tercantum di kuesioner dan ada 8 pertanyaan
penelitian yang tidak valid, peneliti memperbaiki pertanyaan kuesioner agar dapat
lebih dimengerti oleh respoden.
G. Pengolahan Data
Proses pengolahan data peneliti menggunakan langkah-langkah pengolahan data
diantaranya:
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data atau
formulir kuesioner yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan
pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul .
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian pemberian kode numerik (angka)
terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat
penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer. Biasanya
dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku
(code book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode
dari suatu variabel.
3. Scoring
Tahap ini meliputi nilai masing-masing pertanyaan dan penjumlahan hasil
scoring dari semua pernyataan.
4. Entry Data
Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam
master tabel atau database komputer kemudian membuat distribusi frekuensi
sederhana atau bisa dengan membuat tabel kontingensi.
5. Cleaning Data
Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah
dientri, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada saat
meng-entry data ke komputer.
H. Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabel
dependen dan independen. Variabel independen diantaranya faktor demografi
yaitu umur, jenis kelamin; faktor gaya hidup yaitu kebiasaan merokok, aktivitas
fisik, faktor status kesehatan yaitu IMT, riwayat keluarga, riwayat fraktur ,
menopause, penggunaan steroid jangka panjang. Sedangkan variabel dependen
yaitu kejadian osteoporosis.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel
yaitu variabel dependen (responden dengan osteoporosis) dengan variable
independen (faktor demografi yaitu usia, jenis kelamin; faktor gaya hidup yaitu
aktivitas fisik , kebiasaan merokok, penggunaan kortikosteroid jangka panjang;
faktor status kesehatan yaitu IMT, menopause, riwayat keluarga dan riwayat
fraktur). Tehnik analisis yang dilakukan yaitu dengan analisis nonparametric
test binomial dengan menggunakan derajat kepercayaan 95% dengan 5%
sehingga P (p value) . 0,05 berarti hasil perhitungan statistik bermakna
(signifikan) atau menunjukkan ada hubungan antara variabel dependen dengan
variabel independen dan apabila nilai p value> 0,05 berarti hasil perhitungan
statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel dependen
dengan variabel independen.
i. Etika Penelitian
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan
langsung dengan manusia maka segi etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat,
2007). Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut :
1. Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent
tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar
persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan dari informed consent adalah
agar subjek mengerti maksud, tujuan peneliti dan mengetahui dampaknya. Jika
subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika
responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati.
2. Anonimity (tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan
jaminan dalam penggunaan subjek peneliti dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan
kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.
Etika penelitian bertujuan untuk menjamin kerahasiaan identitas responden,
melindungi dan menghormati hak responden dengan mengajukan surat
pernyataan persetujuan (informed consent). Sebelum menandatangani
persetujuanpeneliti menjelaskan judul penelitian, tujuan penelitian,manfaat
penelitian dan menjelaskan kepada responden bahwa peneliti tidak akan
membahayakan responden. Peneliti akan menjamin kerahasiaan identitas
responden, dimana data-data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk
kepentingan penelitian dan apabila telah selesai maka data tersebut akan
dimusnakan.
BAB V
HASIL
A. Analisa Data
Pada analisa data ini akan menyajikan data hasil penelitian karakteristik
demografi responden, status kesehatan responden, dan gaya hidup responden di
Puskesmas Pondok Betung Kota Tangerang Selatan propinsi Banten 2014, yang
berjumlah 51 orang. Penelitian ini dengan menyebarkan kuesioner kepada
responden. Hasil dari pengumpulan data ini disajikan dalam bentuk tabel yang
terdiri dari hasil univariat dan bivariat, analisa univariat akan dilakukan untuk
mendeskripsikan masing – masing variabel dengan menggunakan distribusi
frekuensi dengan ukuran presentase sedangkan bivariat akan dilakukan untuk
melihat adanya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terkait.
1. Analisa Univariat
Pada bagian ini akan dijelaskan deskripsi data hasil penelitian dari masing-
masing variabel dari 51 responden yaitu variabel karakteristik demografi
responden, gaya hidup responden dan variabel status kesehatan responden.
a. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi Responden
Tabel 5.1: Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden di
Puskesmas Pondok Betung tahun 2014 (n=51)
Variabel N %
1. Usia
1) < dari 50 tahun 7 13,7
2) >dari 50 tahun 44 86,3
2. Jenis kelamin
1) Laki-laki 9 17,6
2) Perempuan 42 82,4
Total 51 100
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa responden dengan usia diatas 50
tahun lebih banyak (83,9%) dibandingkan responden dengan usia dibawah 50 tahun
(16,1%), dan pada variabel jenis kelamin lebih banyak responden wanita (82,4%)
dibandingkan dengan responden laki-laki (17,6%).
b. Distribusi Responden Berdasarkan status kesehatan Responden
Tabel 5.2: Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden di
Puskesmas Pondok Betung tahun 2014 (n=51) No Variabel N %
1 IMT
1) Kurus 27 52,9
2) Normal 24 47,1
2 Riwayat fraktur
1) Ya 24 47,1
2) Tidak 27 52,9
3 Riwayat keluarga
1) Ya 38 74,5
2) Tidak 13 25,5
4 Konsumsi kortikosteroid
1) Ya 17 33,3
2) Tidak 34 66,7
5 Menopause
1) Ya 42 100
2) Tidak 0 0
Total 42 100
Berdasarkan tabel diatas , terlihat bahwa responden yang memiliki indek
massa tubuh yang kurus lebih banyak (52,9%) dibandingkan responden
yang memiliki indeks massa tubuh yang normal. Sedangkan responden yang
memiliki riwayat fraktur sebelumnya lebih sedikit (47,1 %) dibandingkan
responden yang tidak memiliki riwayat fraktur sebanyak.
Responden yang memiliki riwayat keluarga dengan osteoporosis
presentasinya lebih banyak (74,5%), daripada responden yang tidak memiliki
riwayat keluarga dengan osteoporosis dan responden yang tidak memiliki
riwayat keluarga dengan osteoporosis. Dan responden yang mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi kortikosteroid lebih sedikit (33,3%) dari pada
responden yang tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi kortikosteroid
sebanyak dan responden yang tidak mengkonsumsi kortikosteroid, dan semua
responden wanita dalam penelitian ini telah mengalami menopause.
c.
d. Distribusi Responden Berdasarkan Gaya Hidup Responden
Tabel 5.3: Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden di
Puskesmas Pondok Betung tahun 2014 (n=51)
No Variabel (n) (%)
1 Aktivitas Fisik
1) >2 kali / minggu 14 27,5
2) Tidak 37 72,5
2 Kebiasaan merokok
1) Ya 4 7,8
2) Tidak
47 92,2
Total 51 100
Berdasarkan tabel diatas , responden yang tidak melakukan aktifitas fisik
sebanyak 37 responden dengan presentase (72,5%). Sedangkan responden yang
tidak memiliki kebiasaan merokok sebanyak (92,2%).
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian osteoporosis yaitu karakteristik demografi (usia,
jenis kelamin), Gaya hidup (kebiasaan merokok, aktivitas fisik), status kesehatan
(IMT, riwayat keluarga, riwayat fraktur , menopause, penggunaan steroid jangka
panjang) pada responden di Puskesmas Pondok Betung tahun 2014. Analisa yang
digunakan dalam penelitian ini adalah nonparametric test binomial. Uji
nonparametric test binomial merupakan uji yang menggunakan salah satu
Prosedur untuk data dari sampel tunggaldan variabel yang bertipe nominal dan
ordinal.diperoleh sebagai berikut .
a. Hubungan Faktor Demografi Dengan Kejadian Osteoporosis
Tabel 5.4 Analisa Hubungan Antara Usia dan Jenis Kelamin Dengan
Kejadian Osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung Tahun 2014
(n=51)
B
e
r
d
asarkan dari hasil uji statistik, hubungan usia dengan kejadian osteoporosis
didapatkan Exact Sig. (2 tailed) = 0,00 (a= 0,05), dengan demikian P value
lebih kecil dari alpha sehingga Ho ditolak. Dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara usia dengan kejadian osteoporosis di Puskesmas Pondok
Betung tahun 2014.
Sedangkan dari hasil uji statistik, hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian osteoporosis didapatkan Exact Sig. (2 tailed) = 0,00 (a= 0,05),
dengan demikian p value lebih kecil dari alpha sehingga Ho ditolak. Dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun 2014.
Usia Osteoporosis P value
N %
≥ 50 tahun 44 86,3 0,000
< 50 tahun 7 13,7
Jenis
Kelamin
Osteoporosis P value
N %
Laki-laki 9 17,6 0,000
Perempuan 42 82,4
Total 51 100
b. Hubungan Status Kesehatan Dengan Kejadian Osteoporosis
Tabel 5.2: Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden di
Puskesmas Pondok Betung tahun 2014 (n=51)
IMT Osteoporosis P value
n %
Kurus 27 52,9 0,780
Normal 24 47,1
Riwayat
Frakur
Osteoporosis P value
0,780 n %
Ya 24 47,1 Tidak 27 52,9
Riwayat
Keluarga
Osteoporosis P value
n %
Ya 38 74,5 0,001
Tidak 13 25,5
Konsumsi
kortikosteroid
Osteoporosis P value
0,024 n %
Ya 17 33,3
Tidak 34 66,7
Total
Menopause Osteoporosis P value
N %
Ya 42 100 0,000
Tidak 0
Total 42 100
Dari hasil uji statistik didapatkan Exact Sig. (2 tailed) = 0,780 (a= 0,05),
dengan demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima . Dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara IMT dengan kejadian
osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun 2014. Dari hasil uji statistik
riwayat keluarga didapatkan Exact Sig. (2 tailed) = 0,780 (a= 0,05), dengan
demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima . Dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat fraktur dengan kejadian
osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun 2014.
Dari hasil uji statistik riwayat keluarga didapatkan Exact Sig. (2 tailed) =
0,01 (a= 0,05), dengan demikian p value lebih kecil dari alpha sehingga Ho
ditolak. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara riwayat keluarga dengan
kejadian osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun 2014. Dan hasil uji
statistik konsumsi kortikosteroid didapatkan Exact Sig. (2 tailed) = 0,024 (a=
0,05), dengan demikian p value lebih kecil dari alpha sehingga Ho ditolak. Dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsumsi kortikosteroid dengan kejadian
osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun 2014.
c. Hubungan Gaya hidup Dengan Kejadian Osteoporosis
Tabel 5.11: Analisa Hubungan Antara Aktifitas Fisik Dengan Kejadian
Osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung Tahun 2014
Aktivitas Fisik Kejadian Osteoporosis P value
N %
≥ dari 2x/minggu 14 0,002
Tidak 37
Kebiasaan
merokok
Kejadian
osteoporosis
P value
N % P value
Ya 4 7,8
Tidak 47 92,2 0,000
Total 51 100
Dari hasil uji statistik aktivitas fisik didapatkan Exact Sig. (2 tailed) = 0,002
(a= 0,05), dengan demikian p value lebih kecil dari alpha sehingga Ho ditolak.
Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian
osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun 2014. Sedangkan dari hasil uji
statistik kebiasaan merokok didapatkan Exact Sig. (2 tailed) = 0,000 (a= 0,05),
dengan demikian p value lebih kecil dari alpha sehingga Ho ditolak. Dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun 2014.
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada uraian dibawah ini, penulis akan menjelaskan beberapa variabel meliputi
pembahasan hasil penelitian tentang karakteritik demografi responden, status
kesehatan responden, dan gaya hidup responden dengan kejadian osteoporosis di
Puskesmas Pondok Betung Tahun 2014. Pada akhir pembahasan penulis menyertakan
keterbatasan penelitian.
A. Analisa Univariat dan Bivariat
1. Gambaran karakteristik dan hubungan antara faktor demografi
responden (Usia Dan Jenis Kelamin)
a. Usia
Hasil analisis univariat menggambarkan responden yang berusia > 50
tahun (86,3 %) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang berusia < 50
tahun (13,7%). Banyaknya responden yang berusia lebih dari 50 tahun dalam
penelitian ini dapat disebabkan karena usia lanjut akan semakin banyak
keluhan- keluhanpenyakit yang timbul. Memasuki usia 40 dan 50-an, fisiologis
seseorang dan komposisi tubuhnya akan berkembang semakin lambat, hal ini
berkaitan dengan menurunnya kinerja hormon juga karena menurunnya
aktivitas fisik pada usia 40 dan 50-an ini (Thompson, 2005).
Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh ada hubungan yang bermakna
antara usia dengan kejadian osteoporosis (p-value= 0,00 ). Dari hasil uji statistik
diperoleh hasil bahwa responden yang berusia > 50 tahun yang lebih banyak
dalam penelitian ini dibandingkan responden yang berusia < 50 tahun.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Prihatini et al (2010)
yang memperlihatkan bahwa angka kejadian osteoporosis meningkat seiring
dengan peningkatan kelompok usia (p-value<0,05). Dari hasil penelitiannya
ditemukan sebesar 5,8% responden pada kelompok 25-35 tahun mengalami
osteoporosis, angka ini meningkat menjadi 8,5% pada kelompok usia 36-45
tahun, dan terus meningkat menjadi 15,1% pada kelompok usia 46-55 tahun.
Penelitian lain yang dilakukan Permatasari (2008) juga menuturkan hasil serupa
mengenai hubungan antara usia dengan kejadian osteoporosis (p-value 0,05).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden yang berusia > 50
tahun 4,1 (1,532-11,076) kali lebih berisiko mengalami osteoporosis
dibandingkan dengan responden yang berusia < 50 tahun
Alexander dan Knight (2010) menjelaskan bahwa massa tulang akan
semakin berkurang dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, risiko terjadinya
osteoporosis meningkat seiring dengan pertambahan usia. Dalam Stevenson dan
Marsh(2007) dipaparkan bahwa setelah melewati puncak pertumbuhan massa
tulang (peak bone mass) maka tulang akan mengalami penurunan kepadatan
mineral tulang. Massa tulang mulai menurun baik pada pria maupun wanita
pada awal 30 tahunan dengan sejumlah kecil pengurangan tulang trabekular
pada tulang punggung (Lane,2003 )
Sudoyo et al (2006) menjelaskan, pada awalnya proses remodeling tulang
berlangsung dengan seimbang. Akan tetapi seiring dengan pertambahan usia,
proses formasi menjadi tidak adekuat sehingga mulai terjadi defisit massa
tulang yang akan meningkatkan risiko terhadap terjadinya osteoporosis. Kondisi
ini mungkin dihubungkan dengan penurunan aktivitas individu yang berkaitan,
usia osteoblas yang memendek, usia osteoklas yang memanjang, atau sinyal
mekanik osteosit yang abnormal.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan analisis univariat didapatakan responden perempuan 42
responden (82,4%)lebih banyak dibandingkan responden laki-laki 9 (17,6%).
Hal ini dikarenakan lebih banyak responden perempuan yang memeriksakan
kepadatan tulangnya di Puskesmas dibandingkan responden laki-laki.
Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai ibu rumah tangga sehingga memilki
waktu untuk datang ke Posbindu yang di bawah naungan Puskesmas.
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian osteoporosis. Proposi kejadian
osteoporosis lebih tinggi pada responden yang berjenis kelamin perempuan
dibandingkan yang berjenis kelamin laki-laki denganp- value = 0,00. Hasil
penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian yang ada. (Hien,2005) dalam
penelitiannya di Kota Hanoi menyatakan walaupun osteoporosis dapat
menyerang laki-laki maupun perempuan pada semua usia, namun wanita 4 kali
lebih berisiko dibandingkan laki-laki untuk menderita osteoporosis.
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risko osteoporosis yang tidak
dapat diubah. Perempuan umumnya lebih ringan dan memiliki tulang yang lebih
kecil dibandingkan laki-laki sehingga lebih berisiko menderita
osteoporosis,Massa tulang pada perempuan berkurang lebih cepat dibandingkan
laki-laki(Nuhonni, 2000).
Hal ini disebabkan pada masa menopause, fungsi ovarium menurun drastis
yang berdampak pada berkurangnya produksi hormon estrogen dan
progresteron. Saat hormon estrogen turun kadarnya karena usia lanjut
(menopause), terjadilah sel osteoklas (penghancuran tulang). Jadi secara
kodrati, osteoporosis lebih banyak menyerang perempuan yaitu 2,5 kali lebih
sering dibandingkan laki-laki. (Junaidi, 2007).
2. Gambaran karakteristik dan hubungan antara faktor status kesehatan
responden (IMT, Riwayat Fraktur, Riwayat Kesehatan, konsumsi
kortikosteroid, dan Menopause)
a. IMT (Indeks Massa Tubuh)
Berdasarkan analisis univariat didapatakan responden yang memilki IMT
yang kurang dari normal 27 responden (52,9%) lebih sedikit dibandingkan
responden yang memilki IMT yang normal 24 responden (47,1%).
Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara
IMT dengan kejadian osteoporosisp=value = 0,780 . Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Nurlita (2008) yang menemukan ada
hubungan antara IMT dengan kejadian osteoporosisdengan p
value0,012.Presentase responden yang memiliki IMT kurus dan normal
sebanyak (38,8) dan responden ang memiliki IMT diatas normal sebanyak
(22,7%).
Bartl dan Fisch (2009) memaparkan, pada individu dengan IMT rendah
mengakibatkan beban mekanik tulang yang dapat merangsang penurunan
kepadatan tulang seseorang. Sementara orang yang memilki berat badan lebih
menunjukkan efek protektif terhadap tulang, dimana tekanan yang besar pada
tulang orang overweight merangsang pembentukan tulang baru. Selain itu,
pada orang overweight juga memilki jaringan lemak yang banyak, sehingga
menghasilkan produksi estrogen yang lebih banyak. Estrogen ini merupakan
hormon yang berperan penting dalam mempertahankan kepadatan tulang
seseorang, khususnya wanita.
Berdasarkan penelitian yang ada, IMT yang optimal untuk terhindar dari
risiko osteoporosis adalah 21-24 kg/m2
(Heaney, 1996). IMT yang rendah < 19
kg/m2 menjadi salah satu faktor risiko akan terjadinya osteoporosis (Sarpini,
2003). Penelitian di Eropa Selatan menyatakan bahwa rendahnya berat badan
dan IMT merupakan faktor risiko osteoporosis.( Baheiraie, 2005).
b. Riwayat Fraktur
Berdasarkan analisis univariat didapatakan responden yang riwayat
fraktur sebelumnya berjumlah 24 responden (47,1%) lebih sedikit
dibandingkan responden yang tidak memilki riwayat fraktur sebelumnya 27
responden (52,9%). Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa tidak ada
hubungan antara riwayat fraktur dengan kejadian osteoporosis denganp= value
0,780. Pada penelitian ini riwayat fraktur tidak memilki hubungan yang
bermakna dengan terjadinya osteoporosis mungkin disebabkan karena hanya
sedikt responden yang pernah mengalami patah tulang.
Penelitian ini tidak sejalan dengen penelitian yang dilakukan oleh
(Kridiana, 2012) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara riwayat terjadinya fraktur dengan kejadian osteoporosis. Pada teori
menyebutkan bahwa orang yang memiliki riwayat fraktur cenderung
mempunyai massa tulang yang lebih rendah daripada orang yang tidak pernah
mengalami fraktur, sehingga akan lebih berisiko mengalami osteoporosis.
Terjadinya fraktur itu sendiri tidak hanya dipengaruhi oleh rendahnya massa
tulang, tetapi juga dipengaruhi oleh penyebab dari terjadinya fraktur ( Tandra,
2009)
c. Riwayat keluarga
Berdasarkan analisis univariat didapatakan responden yang memilki
riwayat keluarga yang mengalami osteoporosis sebelumnya berjumlah 13
responden (25,5%) lebih sedikit dibandingkan responden yang tidak memiliki
riwayat keluarga yang memilki osteoporosis 38 (74,5%). Berdasarkan analisis
bivariat didapatkan bahwa ada hubungan antara riwayat keluarga terjadinya
osteoporosis dengan kejadian osteoporosis dengan p- value = 0,01. Hal ini
sejalan dengan pernyataan didalam Medical Journal Of Ausralia (1997) yang
menyatakan bahwa keturunan memegang peranan penting dalam menentukan
massa puncak tulang seseorang.
Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan (Tsania,
2008) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
riwayat osteoporosis keluarga dengan kejadian osteoporosis. Walaupun
mekanisme dari efek ini masih belum jelas, namun fraktur akibat riwayat
keluarga merupakan komponen penting dalam pendekatan risiko. Wanita
memilki riwayat fraktur pada keluarga dekatnya (ibu maupun ayah) memiliki
risiko dua kali lipat lebih tinggi.
Faktor genetik berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang. Disamping
itu keluarga yang berpengaruh dalam kebiasaan makan dan aktivitas fisik
(Ardiansyah, 2007). Osteoporosis merupakan bagian dari proses penuaan,
namun tidak semua orang terserang. Walau tidak sekuat pada sistik fibrosis dan
hemofilia, peran faktor genetik tidak diragukan lagi dalam penyakit ini.
(Compston, 2002)
d. Konsumsi Kortikosteroid
Berdasarkan analisis univariat didapatakan responden yang kebiasaan
mengkonsumsi kortikosteroid sebanyak responden (33,3%) sedangkan yang
tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi kortikosteroid sebanyak (66,7%).
Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa ada hubungan antara riwayat
kebiasaan konsumsi kortikosteroid dengan kejadian osteoporosis dengan p-
value =0,024 . Penelitian ini sejalan denga teori yang dikemukakan oleh
(Lane, 1999) yang menyatakan bahwa steroid dapat mempengaruhi massa
tulang karena dapat mengganggu absorbi kalsium di usus dan meningkatkan
eksresi kalsium di ginjal, steroid juga dapat menyebabkan penekanan pada
hormon gonadotropin sehingga mengurangi produksi estrogen dan terjadi
peningkatan pada osteoklas.
e. Menopause
Berdasarkan hasil analisa univariat didapatkan jumlah responden yang
telah mengalami menopause sebanyak 42 responden (100%). Berdasarkan
analisa bivariat didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara
menopause dengan kejadian osteoporosis. Proposi terjadi osteoporosis pada
responden yang telah mengalami menopause lebih tinggi dibanding responden
yang belum mengalami menopause dengan p-value = 0,000. Penelitian sejalan
dengan penelitian Hien (2005) di kota Hanoi, yang menyatakan bahwa wanita
yang sudah mengalami menopause memiliki risiko terkena osteoporosis tiga
kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang belum menopause.
Penelitian Guhrie et al (1998) di Australia terdapat 224 wanita usia 45-59
tahun menyebutkan perempuan menopause memilki kepadatan mineral tulang
yang lebih rendah dibandingkan wanita pra menopause.
Massa tulang pada perempuan berkurang lebih cepat dibandingkan dengan
laki-laki. Hal ini disebabkan pada masa menopause, fungsi ovarium menurun
drastis yang berdampak pada berkurangnya produksi hormon estrogen dan
progesteron. Saat hormon estrogen turun kadarnya karena usia yang lanjut
(menopause) terjadilah penurunan aktivitas sel osteoblas (pembentukan tulang
baru) dan peningkatan kerja sel osteoklas (penghancuran tulang) (Junaidi,
2007).
3. Gambaran karakteristik dan hubungan antara faktor Gaya Hidup
responden (Kebiasaan Merokok Dan Aktivitas Fisik )
a. Aktivitas Fisik
Hasil analisis univariat memperlihatkan bahwa responden yang berolaraga
lebih sedikit 14 responden (27,5%) dibandingkan responden yang jarang
berolaraga 37 responden (72,5%). Kategori jarang berolaraga apabila
seseorang responden berolaraga kurang dari 2 kali/minggu dan durasi kurang
dari 30 menit.Banyaknya responden yang jarang berolaraga memungkinkan
untuk mengingkatkan risiko terjadinya osteoporosis di wilayah ini.hal ini dapat
disebabkan semakin bertambahnya usia maka akan semalin melemahnya
kemampuan fisiologis seseorang, sehingga membuat kesulitan untuk
berolaraga. Usia responden yang berada pada rentang 40 tahun keatas akan
meminimalisir kemungkinan mereka untuk melakukanaktivitas fisik termasuk
olaraga.
Thompson (2005) menyatakan bahwa memasuki usia 40 dan 50 an
fisiologis seseorang dan komposisi tubuhnya akan berkembang semakin
lambat, hal ini berkaitan dengan menurunnya kinerja hormon juga karena
menurunnya aktivitas fisik pada usia 40 dan 50-an ini.
Analisis bivariat dalam penelitian ini menyatakan adanya huibungan
yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis dengan p-
value = 0,002. Hal ini sejalan dengan penelitian Hien(2005) di kota Hanoi
yang menyatakan responden yang melakukan aktivitas olahraga kurang dari 3
kali dalam seminggu, prevalensi osteoporosisnya tiga kali lebih rendah
dibandingkan yang tidak melakuakn aktivitas fisik. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan (Chandra,2008) yang menunjukkan
hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis
dengan olahraga yang dilakukan secara teratur, maka kesehatanpun akan
menjadi lebih baik. Olahraga yang baik dilakukan, yaitu : jalan, aerobic,
jogging, renang, dan bersepeda. Akan tetapi melakukan aktivitas fisik secara
berlebihan justru akan mengurangi massa tulang ( Nuhonni, 2000).
Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Baheiraei (2005) di Australia yang menyatakan tidak ada hubungan antara
aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis. Hal ini dikarenakan kuesioner
yang digunakan hanya menggambarkan kondisi saat ini, sehingga frekuensi
dan tipe aktivitas fisik tidak dapat di evaluasidikarenakan hanya sedikit dari
seluruh responden yang ternyata benar-benar melakukan aktivitas fisik secara
teratur.
b. Kebiasaan merokok
Hasil analisis univariat dalam penelitian ini menunjukkan jumlah
responden yang merokok lebih sedikit 4 responden (7,8%), dibandingkan
responden yang tidak mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 47
responden (92,2%) dikarenakan sebagian besar responden adalah
wanita.Hasil bivariat menyatakan adanya hubungan antara kebiasaan
merokok dengan kejadian osteoporosis dengan p-value = 0,000. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Tsania,2008) yang menunjukkan
bahwa kebiasaan merokok mempengaruhi terjadinya osteoporosis
Proposi responden yang merokok dan memilki kebiasaan merokok
(7,8%). Para perokok seringkali memilki karakteristik yang berhubungan
dengan rendahnya massa tulang. Hal ini meliputi rendahnya berat badan,
konsumsi kafein, dan alkohol yang tinggi, dan pada wanita menopause dini.
Setelah faktor-faktor tersebut sudah dikontrol, seseorang yang merokok tetap
memiliki kepadatan massa tulang dibandingkan dengan seseorang yang
bukan perokok ( Dawson&Hughes, 2006).
B .Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang menyangkut
rancangan dan variabel- variabel penelitian. Keterbatasan tersebut diantaranya
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi cross sectional (potong lintang). Studi
cross sectional merupakan desain studi yang dianggap mudah diterapkan dan
meneliti hubungan antar variabel pada satu waktu yang sama sehingga waktu
pengumpulan data lebih cepat dan murah. Namun studi ini pun memilki
kelemahan diantaranya tidak memisahkan hubungan sebab akibat, hanya
mengungkapkan ada atau tidaknya hubungan antar variabel. Oleh karena itu,
jika ingin mendapatkan hubungan sebab akibat yang lebih kuat antar variabel
dapat digunakan desain studi lainnya seprti kasus kontrol, kohort maupun
ekperimental
2. Variabel Penelitian
Secara teoritis sebenarnya terdapat beberapa faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian osteoporosis, keterangan ini dapat dilihat pada
bab III dalam kerangka teori. Keterbatasan yang dimilki peneliti menjadikan
hanya beberapa variabel independen yang dipilih dalam penelitian ini, namun
variabel-variabel tersebut secara teoritis memang merupakan faktor-faktor
risiko yang berhubungan kuat dengan kejadian osteoporosis seperti usia, jenis
kelamin, riwayat fraktur, riwayat keluarga dengan osteoporosis, indeks massa
tubuh, konsumsi kortokosteroid,menopause, aktivitas fisik, dan merokok
3. Bias dalam mengingat kembali
Recall bias merupakan bias yang terjadi pada responden penelitian pada
saat diberikan pertanyaan mengenai faktor pajanan atau variabel independen
tertentu ( Gordis, 2004). Bias ini tidak dapat dihindari terutama untuk
respondenyang berusia lanjut karena sulit untuk mengingat kembali kejadian
beberapa waktu lalu. Untuk mengatasi bias dalam mengingat kembali, maka
pertanyaan disampaikan secara tenang, perlahan, dan dilakukan pengulangan
jika responden belum mengerti dengan pertanyaan yang diajukan (Elyani,
2008).
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung Tangerang Selatan, maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Dapat disimpulkan bahwa proposi kejadian osteoporosis di Puskesmas Pondok
Betung lebih didominasi oleh kelompok perempuan (82,4) dari pada kelompok
laki-laki (17,6).
2. Usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, kortikosteroid , menopause, merokok dan
aktivitas fisik merupakan faktor risiko terjadinya osteoporosis pada responden di
Puskesmas Pondok Betung . usia, jenis kelamin , menopause dan aktivitas fisik
merupakan faktor risiko tertinggi yang mempengaruhi kejadian osteoporosis pada
penelitian ini.
3. Pada penelitian ini Indeks massa tubuh dengan nilai p-value (0,780), riwayat
Fraktur dengan nilai p-value (0,780) tidak terbukti menjadi faktor risiko terjadinya
osteoporosis pada responden di Puskesmas Pondok Betung Tangerang Selatan.
B. Saran
1. Kepada Puskesmas Pondok Betung Kota Tangerang Selatan
Agar dapat memberikan penyuluhan kesehatan pada semua warga tentang
osteoporosis terutama cara mempertahankan kepadatan tulang dengan
menghindari faktor-faktor risiko osteoporosis yang dapat dimodifikasi.
2. Kepada Peneliti Selanjutnya
Agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam yang
berhubungan dengan faktor-faktor risiko osteoporosis, dengan lebih
mengembangkan desain penelitian, alat ukur penelitian, sampel yang berbeda,
jumlah sampel yang lebih besar, ruang lingkup penelitian yang luas dan tidak
terbatas pada variabel-variabel yang tercantum dalam penelitian ini saja, sehingga
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan risiko osteoporosis dapat diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander , I.M dan Knight, K.A 2010. 100 Questions and Answer about
Osteoporosis dan Osteopenia. 2nd
edition. Sudbury: Jones and Bartlett Publisher
Arikunto. S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pedekatan Praktek. Jakarta : Rineka
Cipta Age Venture News Service.
American College of Rheumatology. Osteoporosis, etiology and Pathogenesis.
Bartl, R. Dan Frisch, B.2009. Osteoporosis Diagnosis, Prevention, Therapy. 2nd
edition. Berlin: Spinger.
Baheiraei, Azam dkk. 2005, Bone Mineral density, Body mass index and cigarette
smoking among Iranian women: Implication for prevention. BMC
Muskuluskeletal Disroders. Australia
Boonyarataves N,dkk. 2001. Physical Activity and Risk Factors for Hip Fractures in
ThaiWomen. Osteoporosis International, 12
Cumming, E & W.H. Hendry. 1999. Growing Old. New York
Compston, Juliet. 2002 Seri kesehatan Osteoporosis. Dian Rakyat, Jakarta.
Cosman, Felicia. 2009. Osteoporosis : Panduan Lengkap Agar Tulang Anda Tetap
Sehat. Yogjakarta : PT Bentang Pustaka
Cooper C,Westlake S, Harvey N et all. 2006. Review: developmental
origins of osteoporotic fracture. Osteoporosis Int 17:337–347
Cyrus Cooper SG, Robert Lindsay. 2005. Prevention and Treatment of Osteoporosis:
a Clinician’s Guide. New York: Taylor and Francis.
Dawson, Bess and Hughes.2001. Present Knowledge in nutrition. Eighth Edition.
InternationalLife Sciences Institute, ILSI Press, Washington, DC
Eleanor S, et al. 2000. Nutrition in aging . Washington DC: National Academy Press.
Fatmah. 2008.Osteoporosis dan Faktor Risikonya pada Lanjut usia Etnis Jawa.
Media Medika Indonesia.
Ganong, W.F. 2010. Riview of Medical Phiysiology,Ganong’s. 23rd
edition. New
York: The McGraw-Hill companies.Inc
Heaney. Robert P. 1996, nutrition in women’s Health. Osteoporosis, AN aspen
Publication. Gaithersburgs, Maryland.
Hidayat, A Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Keperawatandan Tehnik
AnalisisData. Jakarta: Salemba Medika
Hien, Vu Thi et al. 2005, Determining the Prevalence OF Osteoporosis and related
factors using Quantitative Ultrasound in Viatnamese Adult Women,
American Journal Epidemiology, USA
Ilyas, Muhammad. 2006, Perbandingan Marfometri Vertebra Lumbal Dengan
Metacarpal Untuk mendeteksi Dini Osteoporosis di RS. DR. Wahidin
Sudirohusono Makassar, Jurnal Medika Nusantara, Makassar
Jahari Abas Basuni, Sri Prihatini. 2005. Risiko osteoporosis di Indonesia laporan
penelitian. Bogor: Puslitbang Gizi Bogor.
Jehle PM. 2003. Steroid-induced osteoporosis; how can it be avoided? Oxford
Journals.
Junaidi, Iskandar. 2007. Osteoporosis. Jakarta : PT Buana Ilmu Polpuler
Journal CM. 2002. Prevalence rate of osteoporosis in the mid- aged and elderly in
selected parts of China.
Johnell, et al. 1997. Anthropometric Measurement and Vetebral Deformities,
American Journal Epidemiology, 1997. U.S.A
Kemenkes R.I. 2008. Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta.
Kelman A. 2005. The management of secondary osteoporosis.
Larsen K, Melmed et al. 2007.Osteoporosis. William Textbook of Endocrinology.
Lane NE. 1999. The Osteoporosis Book a Guide for Patients and Their Families.
New York: Oxford University
Lindsay R CFOIFA, et al. 2008. Harrison’s principle of internal medicine 17 ed: Mc
Grow-Hill USA;. p. 2397-408
Lindsay R, et all.2001. Risk of new vertebral fracture in the year following a fracture.
JAMA.
Lane NE.2006. Epidemiology, etiology, and diagnosis of osteoporosis. Amer J
Obstetric Gynecol
Mangoenprasodjo, Setiono. 2005. Osteoporosis dan Bahaya Tulang Rapuh
Yogjakarta: Thinkfresh
Mary L. Bouxsein, et all.2004 . Recommendations for Optimal Care of the Fragility
Fracture Patient to Reduce the Risk of Future Fracture. J Am Acad Orthop
Surg.
Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan Metodoogi Penelitian Ilmu Keperawatan .
Jakarta: Salemba Medica
Nuhonni, Siti Annisa. 200, Osteoporosis dan pencegahannya. FK-UI. Majalah
Kedokteran Indonesia
Nutricion Policy and Promotion. 2000. Bodymass index and health.
Purwanti.2008. Kenali Faktor Risiko Osteoporosis.
Rachner TO, Khosla S. Hofbauer LC. 2011 Osteoporosis: now and the futu reo
Lancet.
Sarpini. Rusbandi. 2003, Osteoporosis. Apa dan Bagaimana Mencegah?, Warta
kesehatan TNI-AL
Tandra, H.2009. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang osteoporosis:
Mengenal, mengatasi dan mencegah tulang keropos. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
The Jakarta Post. 2003. How to Avoid the brittle bone problem.Available from:
http://the jakartapost.com.
T.V. Nguyen DS, et all.1999. Mortality after all major types of osteoporotic fracture
in men andwomen: An observational study.
Tebe C DRL et all.2001.Risk factors for fragility fractures in a cohort of Spanish
women.
Thompson. 2005, Nutrition Thought the Life Cycle. Wadsworth. United Stated of
America
Journal CM. 2002. Prevalence rate of osteoporosis in the mid- aged and elderly in
selected parts of China.
WHO. 2001, dalam http://www.who.int/docstore/world-health
day/en/whday2001.html. World Health Day
WHO 1994. "Assessment of fracture risk and its application to screening for
postmenopausal osteoporosis. Report of a WHO Study Group.
WHO. 2007. WHO Scientific Group on the Assessment of Osteoporosis at
Osteoporosis at Primary Helath Care Level. Summary Meeting Report
Brussels, Belgium, 5-7 May 2004. Geneva: WHO
LEMBAR PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
“Fakto-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Osteoporosis Di Puskesmas
Pondok Betung Tahun 2014“
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : ………………………..
Jenis Kelamin : ………………………..
Usia : ………………………..
Menyatakan telah diminta dan bersedia untuk berperan sebagai responden
dalam penelitian tersebut diatas. Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian yang
akan dijalankan. Saya mengetahui tujuan dan manfaat dari penelitian. Saya mengerti
bahwa peneliti akan menjaga identitas dan kerahasiaan saya.
Demikian, secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya
bersedia ikut serta dalam penelitian.
Jakarta, 2014
Responden Peneliti
( ) ( )
KUESIONER
Beri tanda ceklist pada kotak yang tersedia dan isilah sesuai dengan kondisi anda
IndentitasResponden
IR 1
IR 2
IR 3
IR 4
IR 5
Nama :
JenisKelamin : 1. Laki- Laki2. Perempuan
Umur :
TinggiBadan :
BeratBadan :
Beri tanda ceklis pada kotak yang tersedia sesuai dengan kondisi anda
No Pertanyaan Jawaban
A1 Apakah anggota keluarga anda ada yang mengalami sakit
sendi/ tulang (osteoporosis)?
1. Ya 2. Tidak
A2 Apakah anda pernah mengalami patah tulang ?
1. Ya 2.Tidak (lanjutke
no A4)
A3 JikaYa, usia berapa terjadi fraktur ?
……………………………
A4 Apakah anda pernah mengkonsumsi obat dibawah ini :
1. Prednisone 5. Dexametasone
2. SOHO 6. Kortison
3. Prednisolone 7. Medrol
4. Eltazone8. ObatAsma
Lainnya : ………….
1. Ya
2. Tidak
A5 JikaYa, berapa lama anda mengkonsumsi obat tersebut?
1.< 3 bulan 2. > 3 bulan
A6 Apakah siklus menstruasi anda masih terjadi ? 1.Ya (lanjutke
no A8)
2.Tidak
A7
Jika tidak, usia berapa menstruasi terakhir ? …………………………….
A8 Apakah anda berolaraga ? 1. Ya 2.Tidak (lanjut no
A10)
A9 Sebutkan jenis olahraga dan seberapa sering berolahraga
JenisOlahragaX/Minggu
1.
2.
3.
4.
A10 Apakah Anda sedang atau pernah memiliki
Kebiasaan merokok ? 1. Ya 2. Tidak
A11 Jika ya, berapa batang anda merokok dalam sehari ?
………………………….
A12 Apakah kebiasaan merokok masih ada sampai 1. Ya 2. Tidak
sekarang ?
A13 Jika kebiasaan merokok masih ada sampai sekarang, sejak kapan kebiasaan tersebut dimulai ?
Usia ………………..
LAMPIRAN
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
J.Kelamin 51 1.82 .385 1 2
Jenis Kelamin
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
J.Kelamin
Group 1 perempuan 42 .82 .50 .000
Group 2 laki-laki 9 .18
Total 51 1.00
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
usia 51 1.86 .348 1 2
Usia
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
usia
Group 1 >= 50 tahun 44 .86 .50 .000
Group 2 < 50 tahun 7 .14
Total 51 1.00
Frequencies
IMT
Observed N Expected N Residual
kurus 27 25.5 1.5
normal 24 25.5 -1.5
Total 51
Test Statistics
IMT
Chi-Square .176a
df 1
Asymp. Sig. .674
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
IMT 51 1.47 .504 1 2
IMT
Binomial Test
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
IMT
Group 1 normal 24 .47 .50 .780
Group 2 kurus 27 .53
Total 51 1.00
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
R.Keluarga 51 1.75 .440 1 2
Riwayat Keluarga
Binomial Test
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
R.Keluarga
Group 1 ya 13 .25 .50 .001
Group 2 tidak 38 .75
Total 51 1.00
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
R.Kesehatan 51 1.53 .504 1 2
Riwayat Kesehatan
Binomial Test
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
R.Kesehatan
Group 1 tidak 27 .53 .50 .780
Group 2 ya 24 .47
Total 51 1.00
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
kortikosteroid 51 1.67 .476 1 2
Kortikosteroid
Binomial Test
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
kortikosteroid
Group 1 ya 17 .33 .50 .024
Group 2 tidak 34 .67
Total 51 1.00
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
menopause 51 1.18 .385 1 2
Menopause
Binomial Test
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
menopause
Group 1 ya 42 1.00 .50 .000
Group 2 tidak 0 0
Total 51 1.00
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
A.Fisik 51 1.73 .451 1 2
Aktivitas Fisik
Binomial Test
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
A.Fisik
Group 1 tidak 37 .73 .50 .002
Group 2 < =dari 2
kali/minggu 14 .27
Total 51 1.00
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
merokok 51 1.92 .272 1 2
Binomial Test
Category N Observed Prop. Test Prop. Exact Sig. (2-
tailed)
merokok
Group 1 tidak 47 .92 .50 .000
Group 2 ya 4 .08
Total 51 1.00
UNIVARIAT
Frequency Table
J.Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
laki-laki 9 17.6 17.6 17.6
perempuan 42 82.4 82.4 100.0
Total 51 100.0 100.0
usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
< 50 tahun 7 13.7 13.7 13.7
>= 50 tahun 44 86.3 86.3 100.0
Total 51 100.0 100.0
IMT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
kurus 27 52.9 52.9 52.9
normal 24 47.1 47.1 100.0
Total 51 100.0 100.0
R.Keluarga
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
ya 13 25.5 25.5 25.5
tidak 38 74.5 74.5 100.0
Total 51 100.0 100.0
R.Kesehatan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
ya 24 47.1 47.1 47.1
tidak 27 52.9 52.9 100.0
Total 51 100.0 100.0
kortikosteroid
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
ya 17 33.3 33.3 33.3
tidak 34 66.7 66.7 100.0
Total 51 100.0 100.0
menopause
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
ya 42 100 100 100
tidak 0 0 0 100.0
Total 51 100.0 100.0
A.Fisik
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
< =dari 2 kali/minggu 14 27.5 27.5 27.5
tidak 37 72.5 72.5 100.0
Total 51 100.0 100.0
Merokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
ya 4 7.8 7.8 7.8
tidak 47 92.2 92.2 100.0
Total 51 100.0 100.0
Osteoporosis
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid ya 51 100.0 100.0 100.0
Variabel Corrected Item-
Total Correlation
Valid danTidak Valid Keterangan
1. JENIS KELAMIN .515 Valid -
2. USIA .364 Valid -
3. IMT .463 valid -
4. RIWAYAT KELUARGA .196 Tidak valid Pertanyaandiperbaiki
5. RIWAYAT FRAKTUR -.190 Tidak valid Pertanyaandiperbaiki
6. USIA TERJADI FRAKTUR .011 Tidak valid Pertanyaandiperbaiki
7. KORTIKOSTEROID -.324 Tidak valid Pertanyaandiperbaiki
8. LAMA KONSUMSI .491 Valid -
9. MENSTRUASI MASIH
TERJADI -.036 Tidak valid
Pertanyaandiperbaiki
10. BERHENTI MENSTRUASI .052 Tidak valid Pertanyaandiperbaiki
11. SEBERAPA SERING
BEROLARAGA .550 Valid
-
12. KEBIASAAN MEROKOK .677 Valid -
13. BERAPA BATANG
PERHARI -.647 Tidak valid
Pertanyaandiperbaiki
14. KEBIASAAN SAMPE
SEKARANG .532 Valid
-
15 USIA MULAI MEROKOK -.658 Tidak valid
Pertanyaandiperbaiki
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based on
Standardized
Items
N of Items
.716 .516 15