F7 Mini Project TBC
-
Upload
deffylettyzia -
Category
Documents
-
view
85 -
download
32
description
Transcript of F7 Mini Project TBC
USAHA KESEHATAN MASYARAKAT
MINI PROJECT
Tanggal : 5 Oktober 2015
Kode Kegiatan : F7
Uraian Kegiatan : Management Kasus Tuberculosis di Puskesmas Rambipuji
Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang telah lama
menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Sejak tahun 1993, penyakit ini telah
dideklarasikan sebagai Global Health Emergency oleh World Health Organization
(WHO). Berdasarkan laporan terbaru dari WHO pada tahun 2009, insiden kasus TB
di dunia telah mencapai 8,9–9,9 juta, prevalensi mencapai 9,6–13,3 juta, dan angka
kematian mencapai 1,1–1,7 juta pada kasus TB dengan HIV negatif dan 0,45–0,62
juta pada kasus TB dengan HIV positif. Data yang dilaporkan tiap tahun
menunjukkan insiden atau kasus TB baru cenderung meningkat setiap tahun, sebagai
contoh insiden pada tahun 2008 diestimasi sebesar 9,4 juta, dibandingkan dengan
tahun 2007 dan 2006 sebelumnya yang masing-masing sebesar 9,27 juta dan 9,24
juta.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menangani kasus TB yang terjadi di
dunia, dan tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan. Persebaran kasus TB di dunia
memang tidak merata dan justru 86% dari total kasus TB global ditanggung oleh
1
negara berkembang. Sekitar 55% dari seluruh kasus global tersebut terdapat pada
negara-negara di benua Asia, 31% di benua Afrika, dan sisanya yang dalam proporsi
kecil tersebar di berbagai negara di benua lainnya. Berdasarkan tingginya angka
insiden TB di setiap negara, sampai tahun 2007 Indonesia masih menduduki
peringkat ke-3 setelah India dan Cina, disusul oleh Nigeria pada peringkat ke-4 dan
Afrika Selatan pada peringkat ke-5. Sementara berdasarkan laporan pada tahun 2008,
kelima negara tersebut masih tetap masuk dalam daftar lima besar negara dengan
kasus TB baru terbanyak tetapi dengan urutan yang berubah dimana Indonesia
menduduki peringkat ke-5 dengan insiden yang mengalami penurunan dari sekitar
528-ribu di tahun 2007 menjadi 429-ribu di tahun 2008
Untuk wilayah kerja dari Puskesmas Rambipuji sendiri, jumlah insiden kasus
TB yang ditemukan sejak awal tahun 2015 adalah 66 kasus. Kasus-kasus TB ini
didapatkan dari pemeriksaan skrining dahak beberapa pasien yang datang berobat di
puskesmas Rambipuji dan dicurigai sebagai pengidap TB paru. Dimana data insidens
ini merupakan keseluruhan jumlah kasus TB baru yang ditemukan mulai dari awal
bulan Januari sampai akhir bulan September 2015. Menurut Leavell (1953), terdapat
lima tahapan dalam pencegahan penyakit menular, yaitu promosi kesehatan, proteksi
khusus, diagnosis dini dan pengobatan yang cepat, pembatasan disabilitas, dan
rehabilitasi. Berkaitan dengan upaya penurunan angka kasus TB di wilayah Indonesia
secara umum dan wilayah Puskesmas Empagae secara khusus, maka tahapan ke-3
sangat penting guna memutuskan rantai penularan dari penderita ke orang yang sehat.
Selama ini, upaya yang ditempuh dalam hal pengobatan penderita TB di Indonesia
adalah dengan pemberian obat anti-tuberkulosis (OAT) lini-1. Pada tahun 2006,
angka keberhasilan pengobatan mencapai 91%, tapi keberhasilan pengobatan ulangan
hanya mencapai 77%, dan tidak semua kasus TB mendapatkan pengobatan seperti
yang diharapkan sebab angka case detection rate Indonesia hanya 51% pada tahun
yang sama.
2
1.2 Pernyataan Masalah
Dari data tahun 2015 di Puskesmas Rambipuji diperoleh terdapat 66 penderita
klinis TB Paru, diantaranya yang memiliki hasil pemeriksaan positif pada sputum
BTA sebesar 29 penderita, negative sebesar 26 penderita.
Permasalahan lain yang biasanya ditemukan selama menjelang 4 bulan
terakhir, pada saat kunjungan pasien ke poliklinik Puskesmas, ditemukannya 43 kasus
TB paru baru. Hal ini tentunya perlu dievaluasi lebih lanjut dan dilakukan
pencegahan dan memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga tingkat penularan
dapat dicegah.
Semua permasalahan yang dijelaskan sebelumnya disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai TB paru meliputi gambaran
penyakit, cara pencegahan dan pengobatan penyakit dan bagaimana mengurangi
tingkat penularan di lingkungan masyarakat.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai TBC
terutama untuk membedakannya dengan penyakit paru lainnya, sehingga diharapkan
dapat membantu menurunkan prevalensi penyakit TBC yang terjadi di kecamatan
Rambipuji pada umumnya dan di wilayah kerja Puskesmas Rambipuji pada
khususnya.
1.3.1 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit
TB terutama dalam hal membedakannya dengan penyakit paru lainnya.
2. Mengidentifikasi gambaran sikap masyarakat terhadap penyakit TB dalam upaya
pencegahan dan pengobatan TB di Puskesmas Rambipuji.
3
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang didapatkan dengan berjalannya intervensi yang
dilakukan antara lain:
Dapat menambahkan pengetahuan masyarakat mengenai TB
Dapat menemukan lebih dini kasus TB sehingga pengobatan dapat dimulai lebih
cepat
Dapat meningkatkan angka kesembuhan penderita TB
Dapat mencegah penularan TB dari penderita ke orang sehat
Dapat meningkatkan kepedulian dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat,
khususnya masyaraka di kecamatan Rambipuji.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
basil aerob yang tahan asam, Mycobacterium tuberculosis atau spesies lain yang
dekat seperti M. bovis dan M. africanum. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-
paru tetapi dapat pula menyerang susunan saraf pusat, sistem limfatik, sistem
pernapasan, sistem genitourinaria, tulang, persendian, bahkan kulit.
2.2 Epidemiologi
TB merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia, terutama di
kawasan Asia dan Afrika. Sekitar 55% dari seluruh kasus global TB terdapat pada
negara-negara di benua Asia, 31% di benua Afrika, dan sisanya yang dalam proporsi
kecil tersebar di berbagai negara di benua lainnya. Secara global, pada tahun 2008
tercatat 9,4 juta kasus baru TB, dengan prevalensi 11,1 juta, dan angka kematian
berkisar 1,3 juta pada kasus TB dengan HIV negatif dan 0,52 juta pada kasus TB
dengan HIV positif. Sementara itu, hingga tahun 2007, Indonesia berada di urutan
ketiga penyumbang kasus tuberkulosis di dunia, dan termasuk ke dalam 22 high-
burden countries dalam penanggulangan TB.
.Di Indonesia, angka insidensi TB secara perlahan bergerak ke arah kelompok
usia lanjut (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus
masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun.
2.3 Anatomi Paru Manusia
Paru‐paru adalah organ berbentuk spons yang terdapat di dada. Paru-paru
kanan memiliki 3 lobus, sedangkan paru‐paru kiri memiliki 2 lobus. Paru‐paru kiri
lebih kecil, karena jantung membutuhkan ruang yang lebih pada sisi tubuh ini. Paru‐paru membawa udara masuk dan keluar dari tubuh, mengambil oksigen dan
menyingkirkan gas karbon dioksida (zat residu pernafasan). (Sherwood, 2001)
5
Gambar 1. Anatomi Paru
Lapisan di sekitar paru‐paru disebut pleura, membantu melindungi paru-paru
dan memungkinkan mereka untuk bergerak saat bernafas. Batang tenggorokan
(trakea) membawa udara ke dalam paru‐paru. Trakea terbagi ke dalam tabung yang
disebut bronkus, yang kemudian terbagi lagi menjadi cabang lebih kecil yang disebut
bronkiol. Pada akhir dari cabang-cabang kecil inilah terdapat kantung udara kecil
yang disebut alveoli. Di bawah paru‐paru, terdapat otot yang disebut diafragma yang
memisahkan dada dari perut (abdomen). Bila bernapas, diafragma bergerak naik dan
turun, memaksa udara masuk dan keluar dari paru‐paru. (Sherwood, 2001)
2.4 Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang
telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume
toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
6
beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot
seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Selama pernapasan
tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-
paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan
lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume
toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir
menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan
tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tahap kedua dari proses
pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler
yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini
adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen
dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu
oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi
berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi
anatomic saluran udara dan Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses
difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari
0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial
antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan
laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103
mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi
tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan dengan uap
air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih
rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida ini
kemudian dikeluarkan ke atmosfir. Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan
keseimbangan oksigen di kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira
0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan
bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa
7
penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga
ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu
kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia,
tetapi tidak diakui sebagai faktor utama. (Sherwood, 2001)
2.5 Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang
merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium
yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. tuberculosis, M. bovis, M.
africanum, M. microti dan M. canetti. Dari kelima jenis ini M. tuberculosis
merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3
varian M. tuberculosis yaitu varian humanus, bovinum dan avium. Yang paling
banyak ditemukan menginfeksi manusia M. tuberkulosis varian humanus. (Chintu,
2002)
Mycobacterium tuberkulosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran
panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. M. tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37-
410C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara optimal pada
jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya
akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan
komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%),
peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam
sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh
karena ketahanannya terhadap asam, M. tuberculosis dapat membentuk kompleks
yang stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan
golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini
dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan
dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali. (Soeparman,
1990)
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam
sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid.
8
Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi
jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini
adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada tempat
lainnya. (Madhi, 2000)
M. tuberculosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur
dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan
waktu generasi 12-24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik
yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat
membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini
dapat dideteksi dalam 1-3 minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif
seperti BACTEC dan uji sensitivitas terhadap obat hanya membutuhkan waktu
tambahan 3-5 hari. (Chintu, 2002)
2.6 Faktor Resiko
Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang
yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB
(infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh karena
itu faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB.
(Lienhardt, 2003) Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi
TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor risiko tersebut dibagi menjadi
faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko
penyakit). (Supriyatno, 2007)
a. Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah
endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang
tidak membaik), tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti
perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Risiko
timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau
9
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif
dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama
sirkulasi udara yang kurang baik. (Behrman, 2002)
Penularan M. tuberculosis adalah dari orang ke orang, droplet lendir
berinti (droplet nuclei) di udara. Penularan jarang terjadi dari barang-barang
yang terkontaminasi kuman TB. Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara
yang buruk, memperbesar peluang penularan. Penularan dari anak ke anak
jarang terjadi, karena basil tuberkel sedikit disekresi endobronkial. Hal
tersebut karena :
a.) Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi
karena imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah
mampu menyebabkan sakit.
b.) Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB
primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus,
sehingga tidak terjadi produksi sputum.
c.) Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor
batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB
anak. (Behrman, 2002)
b. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya
infeksi TB menjadi sakit TB :
a.) Usia
Anak berusia ≤5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi
infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia ≤5 tahun
memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier
dan meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi
10
dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul
gejala yang akut.
b.) Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari
negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
c.) Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,
pengangguran, pendidikan yang rendah.
d.) Faktor lain yaitu malnutrisi, immunocompromise (misalnya pada infeksi
HIV, keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
e.) Virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksinya. (Behrman, 2002)
2.7 Patogenesis / Patologi
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup
dapat mencapai alveolus. Kuman TB tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB. Kuman TB tersebut akan terus berkembang biak dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB
membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon. (IDAI, 2008)
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer. (IDAI, 2008)
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
11
TB berlangsung selama 4-8 minggu, dengan rentang waktu 2-12 minggu. Dalam
masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler. (IDAI, 2008)
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks
primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer,
imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup
dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk
ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular
mediated immunity, CMI ). (IDAI, 2008)
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sempurna.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. (IDAI, 2008)
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu.
(IDAI, 2008)
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
12
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. (IDAI, 2008)
Melalui penyebaran hematogen, kuman TB menyebar secara sporadik dan
sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, paling sering di limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu,
dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang
di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
(IDAI, 2008)
Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis
paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus
yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak
tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. (Jeena, 2002)
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB
pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem
skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun
setelah infeksi primer, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. (Supriyatno, 2007)
13
Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis
14
Keterangan :
*1 : penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenis
spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ
dengan vaskularisasi baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di
kemudian hari
*2 : kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfeadenitis
regional
*3 : tuberkulosis primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya
penyebaran
hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas seluler spesifik,
hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer
*4 : sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya
dapat
melalui reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder
dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen)
(Zar HJ, 2001)
15
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Tuberkulosis
Gambar 4. Gambaran Paru yang Terinfeksi Kuman TB
2.8 Klasifikasi
A. Berdasarkan Organ yang Terkena
1. Tuberkulosis paru
16
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-
lain. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan
ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi
anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain. (Depkes RI, 2007)
B. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA postif
(apusan atau kultur)
3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif
4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan
17
5. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya
6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Dalam kasus ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan
(Depkes RI, 2007)
2.9 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis, radiologi, dan
laboratorium.
a. Anamnesis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan.
b. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam (subfebris), badan kurus atau
berat badan menurun, dan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia.
Pada tuberkulosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot-otot interkostal.
c. Pemeriksaan radiologi
Akan tetapi, tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Foto toraks penderita TB dapat
memberikan gambaran berupa kompleks Ghon yang membentuk nodul perifer
bersama dengan kelenjar limfe hilus yang mengalami kalsifikasi. Infiltrasi
multinodular pada segmen apikal posterior lobus atas dan segmen superior lobus
bawah merupakan lesi yang paling khas pada tuberkulosis paru.
d. Pemeriksaan laboratorium:
18
Tes tuberkulin/PPD yang paling sering digunakan adalah tes Mantoux yakni
dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purifed Protein Derivative)
intrakutan berkekuatan 5 TU (intermediate strength).18
Pada pemeriksaan darah saat tuberkulosis baru mulai (aktif) ditemukan jumlah
leukosit sedikit meninggi, limfosit dibawah normal, dan peningkatan laju endap
darah.18
Pada pemeriksaan sputum, kriteria sputum BTA (Bakteri Tahan Asam) positif
adalah bila ditemukan sekurang-kurangnya 3 batang kuman BTA pada satu
sediaan. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama.17,18
Pemeriksaan biakan sangat berperan dalam mengidentifikasi M.tuberkulosis
pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang
bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas
memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes
resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi: 1) Pasien TB yang masuk
tipe pasien kronis, 2) Pasien TB ekstra paru dan pasien TB anak, dan 3) Petugas
kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.17
Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mendeteksi DNA bakteri
tuberkulosis dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi bakteri yang tidak
tumbuh pada sediaan biakan.18
2.10 Terapi
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Jenis, sifat, dan dosis OAT lini-1 dapat dilihat pada
tabel 2.1 berikut ini.
19
Tabel 2.1 Jenis dan sifat obat anti tuberkulosis (OAT) dan dosis yang
direkomendasikan sesuai dengan berat badan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan, dan OAT tidak dapat
digunakan secara tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat
jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
20
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru
TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, atau
pasien TB ekstra paru.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Paduan OAT ini diberikan untuk
pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, yakni pasien yang
kambuh, pasien gagal OAT, dan pasien dengan pengobatan setelah putus
berobat (default).
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
Kategori Anak: 2HRZ/4HR.
Terdapat beberapa tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, yaitu:
Baru: penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT < 4 minggu.
Kambuh (Relaps): penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Putus berobat (Default): penderita yang telah berobat dan putus berobat 2
bulan atau lebih dengan BTA positif.
Gagal (Failure): penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Kronik: penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
21
BAB III
METODE DAN PELAKSANAAN INTERVENSI
3.1 Pemilihan Intervensi
Berdasarkan permasalahan yang ditemukan di masyarakat maka harus
ditingkatkan partisipasi puskesmas untuk melakukan penyuluhan penyakit
Tuberkulosis secara bertahap dan menyeluruh di setiap dusun, dan kelurahan di
Kecamatan Rambipuji. Hal penting yang harus disampaikan dalam penyuluhan yaitu
bagaimana gambaran penyakit TB, siapa saja yang bisa mengidap penyakit TB,
bagaimana penularan, pencegahan, dan pengobatan penyakit, bahaya dan komplikasi
bila pasien tidak diobati segera dan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
memotivasi penderita dan keluarganya serta masyarakat agar dapat hidup terbebas
dari infeksi TB paru.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengkomunikasikan hak-hak pasien TB
(TB Patient Charter) kepada kelompok-kelompok masyarakat, organisasi masyarakat,
organisasi keagamaan, penyedia pelayanan dan pihak lainnya yang terkait. Intervensi
yang dilakukan mencakup kampanye TB (Stop TB Campaign) untuk meningkatkan
pengetahuan dan dukungan untuk Stop TB secara nasional, mengurangi stigma TB
dengan cara meningkatkan jumlah tersangka TB yang memeriksakan ke fasilitas
pelayanan kesehatan, mempromosikan obat TB program yang berkualitas dan tanpa
biaya serta pengobatan pasien TB di setiap fasilitas kesehatan.
Intervensi kedua yaitu dengan menegakkan diagnosis dini dan
penatalaksanaan yang cepat terhadap penderita TB Paru guna memutuskan rantai
penularan dari penderita ke orang sehat. Salah satu caranya dengan memantau secara
aktif setiap pasien-pasien dengan gejala klinis TB paru yang pernah datang berobat ke
Puskesmas Rambipuji, khususnya pasien-pasien yang tidak kembali membawa dahak
yang hendak diperiksa.
3.2 Metode dan Pelaksanaan Intervensi
22
Deteksi dini kasus TB dilakukan melalui skrining pasien TB di poliklinik
Pasien yang di suspek TB di puskesmas Rambipuji akan di periksa dahak. Jika
terbukti hasil pemeriksaan dahak dengan BTA (+) maka akan diberikan terapi TB
serta dilakukan penyuluhan di wilayah desa-desa dengan bantuan kader dan tokoh
masyarakat setempat tentang bagaimana gambaran penyakit TB, siapa saja yang bisa
mengidap penyakit TB, bagaimana penularan, pencegahan, dan pengobatan penyakit,
bahaya dan komplikasi bila pasien tidak diobati segera dan yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana memotivasi penderita dan keluarganya serta
masyarakat agar dapat hidup terbebas dari infeksi TB paru.
Penyuluhan dan pemeriksaan dilakukan di balai pengobatan Puskesmas
Rambipuji pada bulan Juli – September 2015. Ditemukan 43 penderita TB klinis,
masing-masing 16 pasien dengan sputum BTA positive, dan 6 pasien dengan sputum
BTA negative.
3.3 Kerangka Konseptual
23
3.4 Kerangka Operasional
24
Balai Pengobata
n Puskesmas
Puskesmas
Kader
Masyarakat
Screening pasien suspect TB dengan melakukan pemeriksaan dahak dan management
Mengadakan Penyuluhan “ Tuberculosis serta penanggulangannya”
Kader menunjuk salah satu keluarga pasien sebagai pengawas minum obat untuk meningkatkan kepatuhan pasien
Kesadaran masyarakat mengenai bahaya TB serta cara untuk hidup sehat agar dapat hidup terbebas dari infeksi TB paru.
25
Identifikasi masalah
Melalui pengenalan kasus penyakit terbanyak
Masalah yang ditemukan
Pengetahuan masyarakat mengenai TBC masih kurang
Kader Posyandu, Petugas kesehatan( perawat, dokter)
Akar Masalah
Alternatif Pemecahan Masalah
Peran Kader
Peran Masyarak
at
Peran TENAKES
PKMPeran tokoh
Masyarakat
Penyuluhan “gambaran penyakit TB serta bagaimana memotivasi penderita dan keluarganya serta masyarakat agar dapat hidup terbebas dari infeksi TB paru.” dilanjutkan diskusi dengan kader dan masyarakat
Monitoring dan evaluasi dengan petugas kesehatan,kader kesehatan mengenai kepatuhan minum obat setiap pasien kontrol ke puskesmas
Tenaga Kesehatan Puskesmas meningkatkan pengetahuan tentang pengenalan, pencegahan, pengobatan dan komplikasi TB melalui diskusi kasus dan deteksi dini penyakit TB.
BAB IV
HASIL
4.1Profil Komunitas
Berdasarkan laporan program TB di Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember
data tahun 2015 di diperoleh 66 penderita klinis TB Paru, diantaranya yang memiliki
hasil pemeriksaan positif pada sputum BTA sebesar 29 penderita, negative sebesar 26
penderita. Sedangkan 21 pasien diantaranya sudah dinyatakan sembuh dari TB
4.2 Data Kesehatan Masyarakat
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan di balai pengobatan Puskesmas
Rambipuji pada bulan Juli – September 2015. Ditemukan 43 penderita TB klinis,
masing-masing 16 pasien dengan sputum BTA positive, dan 6 pasien dengan sputum
BTA negative.
26
BAB V
PEMBAHASAN
Kegiatan ini dilaksanakan Balai Pengobatan Puskesmas Rambipuji dan
penyuluhan dilakukan di balai desa Rambipuji, Kelurahan Rambipuji, Kecamatan
Rambipuji, Kabupaten Jember dimana peserta merupakan kader yang hadir pada saat
kegiatan dan penyuluhan “gambaran penyakit TB serta bagaimana memotivasi
penderita dan keluarganya serta masyarakat agar dapat hidup terbebas dari infeksi TB
paru”. Para kader tampak antusias menyimak penyuluhan tentang TB, mengingat
banyaknya jumlah pasien TB di sekitar lingkungan mereka yang juga berisiko sebagai
sumber penularan.
5.1 Monitoring
Monitoring yang dilakukan pada saat pasien kontrol ke Puskesmas untuk
mengambil obat. Dimana setiap pasien yang datang untuk mengambil obat tiap
minggunya, semuanya di catat dalam buku catatan pelaporan pasien, sehingga para
petugas kesehatan bisa mengkontrol apakah pasien tersebut minum obat secara teratur
atau tidak.
27
Pendekatan kepada peserta dilakukan melalui penyuluhan dan diskusi, terlihat
bahwa peserta tampak antusias dan lebih leluasa bertanya kepada narasumber. Setelah
diadakan penyuluhan ini, peserta tampak lebih paham mengenai TB dan diharapkan
kedepannya semakin memperlihatkan kewaspadaan terhadap penularan penyakit TB
5.2 Evaluasi
Dari hasil kegiatan penyeluhan terkait TB dapat di evaluasi dengan
bekerjasama antara petugas kesehatan dengan kader dan keluarga yang ditunjuk
sebagai pengawas minum obat.Dan melihat perkembangan dari status kesehatan
terkait masalah TB dan menyesuaikan dengan data kesehatan pada kegiatan
sebelumnya apakah ada perkembangan ke lebih baik peningkatan kesembuhan pada
pasie TB.
BAB VI
DISKUSI
6.1 Pembahasan
Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai TB sehingga pentingnya
melakukan pemeriksaan kesehatan menjadi salah satu factor tingginya pasien TB .
Pentingnya menjaga kesehatan dan memutus rantai penularan TB merupakan cara
efektif untuk mengurangi peningkatan pasien TB..
Tujuan dari pemberian penyuluhan adalah meningkatkan pengetahuan bagi
masyarakat. Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengetahuan (kognitif) merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.
Ada beberapa langkah atau proses sebelum orang mengadopsi perilaku baru.
Pertama adalah awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari stimulus
tersebut. Kemudian dia mulai tertarik (interest). Selanjutnya, orang tersebut akan
menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut (evaluation). Setelah itu,
28
dia akan mencoba melakukan apa yang dikehendaki oleh stimulus (trial). Pada tahap
akhir adalah adoption, berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya. Dengan mendapatkan informasi yang benar, diharapkan masyarakat
mendapat bekal pengetahuan yang cukup untuk dapat melaksanakan pola hidup sehat
sehingga dapat mencegah terjadinya penularan TB sedangkan bagi yang sudah
menderita dapat memberikan gambaran bahwa TB adalah penyakit yang dapat
disembuhkan apabila meminum obat dengan rutin sehingga pasien dapat sembuh
secara total dan menguangi komplikasi yang terjadi diakibatkan karena putus obat
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil screening dan pemantauan pengobatan pasien TB di
puskesmas, respon terapi obat TB memberikan respon efek yang sangat baik
terhadap keadaan umum pasien dimana kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi
obat TB dinilai sangat baik. Hal ini dikarenakan motivasi yang kuat dari dalam
diri dan juga dukungan dari keluarganya yang telah mendapat penyuluhan
mengenai TB. Hal ini dirasakan sangat bermanfaat karena dapat memperbaiki
keadaan umum pasien dan mencegah penularan penderita terhadap keluarganya
sendiri. Hal ini dikaitkan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
bahwa dengan kepatuhan pasien meminum obat TB selama minimal selama 2
minggu sudah dapat menurunkan angka virulensi bakteri Mycobacterium
tuberculosis.
Sebagai saran untuk pihak Puskesmas agar agar lebih meningkatkan
memberikan pelatihan terhadap kader kesehatan mengenai TB Paru dan
melakukan kunjungan rumah untuk mengawasi apakah keluarga yang tinggal
serumah dengan pasien tidak tertular penyakit yang sama. Serta lebih
29
meningkatkan kualitas data statistik setiap kasus penyakit pada umumnya dan TB
Paru pada khususnya untuk membantu dalam proses penetapan kebijakan-
kebijakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff, et al. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Ilmu
Penyakit Paru Universitas Airlangga
2. Behrman, et al. 2002. Nelson - Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
3. Chintu C, Mudenda V, Lucas S. 2002. Lung Diseases at Necropsy in African
Children Dying from Respiratory Illnesses : a Descriptive Necropsy Study.
Berlin : Lancet
4. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan
pertama edisi ke 2. Jakarta : Depkes RI
5. Donald PR. 2004. Chilhood Tuberculosis. Berlin : Springer
6. Hassan, et al. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. Infomedika.
7. Jeena PM, et al. 2002. Impact of HIV-1 Co-infection on Presentation and
Hospital-related Mortality in Children with Culture Proven Pulmonary
Tuberculosis in Durban, South Africa. Berlin : Spinger
8. Kartasasmita CB, et al. 2001. Penapisan dan Pengobatan Tuberkulosis pada
Anak Sekolah Dasar di Majalaya. Bandung : MKB
30
9. Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Anak. Jakarta : IDAI
10. Lienhardt C, et al. 2003. Risk Factors for Tuberculosis Infection in Sub-
Sahara Africa. Berlin : Springer
11. Madhi SA, et al. 2000. Increased Disease Burden and Antibiotic Resistance of
Bacteria Causing Severe Community-aquired Lower Respiratory Tract
Infections in Human Immunodeficiency Virus type I Infected Children.
Berlin : Springer
12. Maldonado, Y. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC
13. Nelson LJ, et al. 2004. Global Epidemiology of Childhood Tuberculosis.
Berlin : Springer
14. Notoatmodjo S. 1993. Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Arti
Pendidikan. Yogyakarta : PT. Andi Offset
15. Riduwan. 2009. Pengantar Statistika. Bandung : Alfabeta
16. Rikesdas. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta : Depkes RI
17. Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam - FKUI. Jakarta : Fakultas
Kediokteran Universitas Indonesia
18. Supriyatno B, et al. 2007. Pedomen Nasional Tuberkulosis Anak Edisi ke-2.
Jakarta : UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia
19. Kandun, I Nyoman. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit TB. Jakarta :
EGC
20. Zar HJ, et al. 2001. Etiology and Outcome of Pneumonia in Children
Hospitalized in South Africa. Berlin : Springer
31
Lampiran
32