EVENAAR Sang Utusan - s3.amazonaws.com · Paman Muzein menyematkan puisi di nisan kuburnya: 9...
Transcript of EVENAAR Sang Utusan - s3.amazonaws.com · Paman Muzein menyematkan puisi di nisan kuburnya: 9...
2
Untuk mereka yang mau menerebos keterpasungan dan mencari
secercah pencerahan. Tetaplah percaya bahwa dunia tak sebatas
hati yang merasakan dan mata yang memandang.
Untuk mereka yang merendahkan, ternyata dunia tak sebatas
apa yang mereka tinggikan.
4
Daftar Isi
1. Badai Cahaya
2. Vimana
3. Anamnesis
4. Anamorfosa
5. Anagogi
6. Antima
7. Gerima
8. Nausea
9. Satmata
10. Absolum
11. Anathema
12. Quintessa
13. Ennoia
5
I
BADAI CAHAYA
Saat dunia dilanda bencana besar, keajaiban telah
menyelamatkan Evenaar dari kehancuran. Leluhur kami percaya
bahwa kehidupan akan selalu ada. Itulah satu-satunya kepastian.
Ruang dan waktu silih berganti, yang abadi selalu abadi. Para
pendatang sering menyebut negeri kami negeri keabadian.
Mungkinkah keabadian itu berakhir?
***
Angkasa Evenaar memerah. Sebentar lagi badai cahaya
menghujam semesta. Penduduk lekas berlindung. Sebagian yang
tetap melanjutkan kesibukan harus mengenakan pelindung mata
dan tudung kepala. Rentetan pilar cahaya menggerus ganas.
Hening tersapu deras. Apa yang aku takutkan benar terjadi, bahwa
kehidupan akan terhenti. Meskipun kehidupan dan kematian selalu
beriringan, tak seorang pun mengetahui cara menggerakkan
kehidupan yang terhenti. Kuharap badai ini cepat berlalu.
Tiba-tiba terdengar jerit mengejutkan. Tanpa pikir panjang
kulepas pelindung mataku dan seketika cahaya laknat itu
menembus wajahku. Berulang kali kucoba memejam, tapi mataku
serasa berlubang. Panas dan perih menyebar. Telingaku dijejali
bising. Suaraku tercekik di tenggorokan dan tak kulihat
penolongku. Bahkan seluruhnya sirna; langit, pepohonan, jalanan,
dan bangunan yang berjejer bertingkat. Jiwa ragaku tercerai berai.
“Antarkan ke Smaragad!” Nama tempat itu kedengaran tidak
asing. Tapi siapa yang membawaku?
Smaragad, kastil beratap kubah besar kehijauan dengan
menara kembar berbentuk persegi yang katanya digunakan para
abbat untuk mengurung diri. Mereka yang pernah memasukinya
sering menceritakan keindahan ornamen dan keajaiban bangunan
itu, tapi belum pernah seorang pun menggambarkan bagaimana
rupa para penghuninya. Sejak bocah, Smaragad telah membuatku
penasaran. Aku tak tahu bagaimana caranya masuk karena
6
gerbang besar bangunan itu tak pernah terbuka untukku. Yang aku
lakukan hanya menunggu sambil sesekali menimpuki dengan batu,
tetap saja nihil. Benarkah aku di dalamnya?
Rasanya memang berbeda, yang jelas bukan di rumah. Aku
terbaring pasrah dalam keadaan buta. Siapa yang membawaku ke
sini? tanya batinku. Mendadak terdengar suara mengejutkan,
“Selamat datang.”
Siapa yang menyapaku. “Di mana ini? Kau siapa?”
teriakku.
“Kau di Smaragad dan aku bukan siapa-siapa.”
“Bukan siapa-siapa?” Aku mengulang. Jawaban seperti itu
membuatku kesal. “Kau pasti punya nama, kan?” ujarku ketus
atas sikapnya.
“Aku Romina,” katanya.
“Aku Aqiel, katakan di mana aku?”
“Kalau kaukira ada di Smaragad, inilah Smaragad.”
“Mengapa kaubawa aku kemari?
“Kau terluka, di sinilah tempatmu.”
“Ini bukan tempatku. Aku saja tak mengenalmu. Seenaknya
membawaku.” Menurutku dia perempuan yang rumit.
Ingatanku memutar peristiwa badai cahaya itu. Sungguh
mengenaskan. Bahkan penglihatanku harus dikorbankan, kenapa
tak mati saja sekalian. “Baiklah Aqiel, mari aku tunjukkan tempat
ini seperti apa.” Suara itu menyadarkanku dari lamunan dan
terdengar seperti hinaan.
“Percuma saja, aku tidak bisa melihat,” ucapku seraya
menunjuk kedua mataku.
“Kalau kau bisa mengarahkan telunjukmu, itu tandanya kau
bisa. Ayo, sebentar lagi ritualnya akan dimulai.” Romina
menggamit lenganku.
“Ritual? Ritual macam apa?”
“Kau akan melihatnya begitu kita sampai.” Entah ke mana
dia mengajakku. Langkahnya tak mau berhenti. Lengannya begitu
kuat menarikku. Meskipun enggan, tubuhku seperti kapas
melayang kian kemari. “Nah, lihatlah!” ujarnya.
7
“Apa maksudmu?”
“Sekarang coba buka matamu.”
“Aku tidak butuh hinaanmu.”
“Coba saja. Percayalah bahwa kaumampu.” Kucoba
mengangkat pelipis dan menggerakkan kelopak mataku perlahan.
Di luar dugaan, penglihatanku kembali. Benar-benar
mengagetkan. Bagaimana bisa? Jemari, badan, wajah, dan
seluruhnya sempurna.
“Bagaimana rasanya?” ucap Romina.
“Terima kasih.” Cuma itu yang keluar. Romina tersenyum.
Nyatanya dia begitu cantik, aku terkesima.
“Kau akan terbiasa dengan ritual ini nantinya.”
Kemudian dia memutar pandangannya ke sekumpulan
orang di bawah. Ruangan ini berbentuk oval dengan dinding
pualam yang memantulkan warna keperakan. Sinar rembulan
memancar masuk dari sebuah lubang di bagian atap, bibirku
bergumam, “Ini menakjubkan.”
Sebuah panggung besar berada di bagian dasar. Dua lantai
di atasnya dipenuhi orang-orang yang mengenakan mantel biru
tua. Mereka memandangi sepasang manusia berjubah hitam
dengan topeng putih berwajah datar yang berada di tengah
panggung. “Siapa mereka?” tanyaku pada Romina.
“Mereka orang-orang yang mencari penglihatan.”
“Maksudmu ramalan?”
“Bukan ramalan, ini adalah penglihatan, penglihatan yang
sesungguhnya!”
“Dua orang itu yang memberikan penglihatan?”
“Mereka yang menuntun kita menuju ke sana.”
“Sebenarnya apa isi penglihatan itu?”
Romina menjawab pertanyaanku dengan tatapan mata yang
tertuju kepada sepasang topeng di tengah panggung. “Tergantung
pembacaanmu.” Ekspresi wajahnya menampakkan penghayatan
begitu dalam, tak ingin ketinggalan satu pun rangkaian prosesi
ritual ini.
Asap berwarna ungu merebak dari mantel hitam kedua
8
orang itu. Wanginya sangat menyengat. Disertai suara geraman
dan kata-kata aneh, lambat laun kepulan asap terus menggumpal
di atas kepala. Berputar bak pusaran cahaya. Semula putarannya
cepat kemudian melambat pelan-pelan sampai menampilkan
gambaran kehancuran; peperangan, pembantaian, kematian, dan
tangisan.
Pandangan Romina tak beralih, matanya tak berkedip,
berbeda denganku yang kebingungan. Suara tangis berganti
alunan musik dan kedua topeng itu berhenti berisik.
Keteduhan merasuk, mengembuskan ketenteraman, sesuatu
yang belum pernah aku alami. Bagaimana mengatakannya,
apakah ini perasaan, penglihatan, atau sekadar pengalaman alam
bawah sadar? Namun alunan bunyi di sekitarku kedengaran
akrab. Mirip seruling Paman Muzein di taman Geneyna. Dahulu
sering kudengar lantunan Paman Muzein berjam-jam lamanya
sampai lupa makan dan bekerja. Biasanya Ibu langsung
memarahiku sesampai di rumah, “Mendengarkan seruling
membuat orang lupa diri. Tidak memberikan manfaat apa pun!”
umpatnya.
Aku memaklumi kemarahan ibuku. Kami orang miskin
yang membutuhkan sesuatu untuk dimakan setiap hari. Aku
membantu Ibu di perkebunan tebu. Pemilik kebun memberikan
upah tiap kami pulang. Dengan terus bekerja maka upah yang
diberikan pun bertambah. Namun sering diam-diam kutinggal
pekerjaan itu untuk menikmati seruling paman bernyanyi. Selain
meniup seruling, Paman Muzein juga suka berpuisi dengan gaya
menggebu-gebu.
Bagiku dia seorang penyair besar. Penampilannya saja yang
kumal. Suatu hari kebiasaan nakalku terbongkar. Ibu
menyambangi Paman Muzein, membentakku kasar, menasihati
orang tua itu agar tidak memengaruhiku dengan deretan nada
yang disebutnya suara iblis. Ibu juga menganggap cara Paman
berpuisi mirip orang kerasukan.
Ketika ibuku sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia,
Paman Muzein menyematkan puisi di nisan kuburnya:
9
Kupajang lukisanmu di atas meja yang rapuh.
Bersanding lukisan pribadi.
Kupajang kenanganmu menggantung sendu.
Menemani usia yang tak abadi.
Saat kematian menyapamu, sempatkah kau merasakan
keramahannya. Saat maut menyeka nadimu, bisakah kau
tersenyum hangat.
Kenangan ini kerap melelehkan air mataku, tapi aku tak
mau kelihatan cengeng di depan perempuan yang baru saja
kukenal. Romina menepuk pundakku, “Kau mendapat
penglihatan?” tanyanya diiringi senyuman.
“Kau mempunyai penglihatan yang bagus,” tegur seseorang
dari belakang punggungku. Aku menoleh dan pria tua itu berjarak
tiga langkah dariku.
“Kau siapa?” tanyaku heran.
“Aku adalah aku,” jawabnya.
“Apa maksudmu dengan „aku adalah aku‟?” protesku.
Sebuah jawaban aneh dari penghuni kastil ini. Apakah semua
orang di sini bergaya-bicara serupa, atau hanya ingin bikin
pusing.
“Aku tidak menjadi aku jika tidak karena kau dan dia.”
“Siapa yang menyamakan aku adalah aku, apakah diriku,
atau kau, atau dia?” kubalik tanya meniru caranya
membingungkanku.
“Bukankah sudah kubilang bahwa aku adalah aku?”
“Lalu siapa kau sebenarnya?”
“Aku.”
“Tapi bukan aku?”
“Karena kau bukan dia, bukan pula aku.”
“Bagaimana supaya aku mengenalimu?”
“Kenalilah ke-aku-anmu, karena aku bisa menjadi akunya
kau, akunya dia, dan akunya aku.”
10
***
Orang tua itu membuatku senewen, percakapan di ruang
oval tadi hanya obrolan yang melantur. Beginikah tingkah laku
para abbat? Oh, Smaragad, menyesal rasanya bertahun-tahun
penasaran untuk sebuah tempat berpenghuni orang-orang bodoh
yang bicara tanpa ujung pangkal. Aku tak sabar untuk pergi.
Kupikir inilah waktunya, lantaran pandanganku semula kembali.
“Romina, dapatkah aku pulang?”
“Apakah kau mendapat penglihatan?”
“Mengapa kau terus menanyakan hal itu, Romina?”
“Karena itu jalan yang harus kautempuh. Tidakkah Abbat
Khom menjelaskannya padamu?”
“Orang tua berjanggut itu? Menurutku dia bodoh.”
“Kau tidak boleh menghina Abbat khom, itu racun yang
akan mematikan dirimu sendiri,” sergahnya.
Kelihatan sekali dia sangat tersinggung, membuatku
merasa bersalah, “Baiklah, maafkan aku. Hanya saja aku tak
betah di sini.”
Romina tak menanggapi ucapanku, dia menyusuri dinding
sembari mengamati relief-reliefnya. “Ukiran-ukiran di sini
menggambarkan keadaan sebuah dunia yang damai sebelum
kehancuran melanda,” ujarnya, sementara jemarinya mengikuti
kontur dinding.
“Kita tidak tahu apakah dunia ini selamanya dalam
kedamaian, kita harus mencari kedamaian itu sendiri. Di tempat
inilah kau akan berlatih untuk menemukannya.” Dia kembali
menatapku dan suasana berubah menjadi canggung.
“Bukankah sekarang kita sudah hidup dalam kedamaian?”
“Kedamaian yang kau rasakan, apakah menurutmu yang
sesungguhnya, atau penuh kepalsuan?”
“Kupikir kau sendiri takkan mampu menemukan-nya.”
Dia menoleh, menatapku tajam. “Tugasku hanya
melatihmu.”
“Hei, siapa yang memintamu menjadi guruku!”
“Siapa juga yang mau menjadi gurumu.”
11
“Kau seumuran denganku, mana pantas melatihku!”
“Tidak ada kaitan sama sekali dengan usiaku.”
“Aku tidak butuh latihan. Kembalikan aku ke Evenaar.”
“Kau belum lihat Kolam Pengetahuan, kan?”
“Kolam Pengetahuan?”
Romina mengajakku ke tempat terbuka dikelilingi pilar-
pilar yang berdiri bebas. Di tengahnya terdapat kolam berbentuk
lingkaran yang memancarkan cahaya kehijauan. Beberapa pohon
bonsai dan pot bunga berwarna warni tertata rapi di sepanjang
jalan menuju kolam itu. “Ketidaktahuan harus dibasmi dengan
pengetahuan, di sinilah segala pengetahuan berasal. Pernah
dengar kisah Pandora?” tegur Romina.
“Setahuku dia seorang perempuan telah menyebabkan
segala kejahatan dan keburukan terlepas ke muka bumi.
Tindakannya sangat ceroboh karena mengabaikan perintah untuk
tetap menjaga kotak itu dalam keadaan tertutup,” jawabku
sekenanya.
“Kalau begitu, hanya sedikit sekali kebenaran kisah yang
kautahu.”
“Aku mendengarkan kisah itu lama sekali, mungkin ada
bagian yang terlupakan.” Romina tersenyum seolah menertawai
kebodohanku yang bersembunyi dibalik kealpaan.
“Pandora adalah perempuan yang mendapatkan
penglihatan,” lanjutnya. “Dia bukan orang bodoh, tidak pula
bertingkah ceroboh akibat rasa keingintahuanya. Pandora
membuka kotak itu karena merasakan ketidakadilan si Pemilik
kotak yang berusaha menyembunyikan pengetahuan dari umat
manusia. Apa yang ada di dalam kotak itu bukanlah kejahatan,
kebencian dan seluruh keburukan, melainkan pengetahuan.
“Menurutnya, pengetahuan tak boleh tersimpan rapat.
Seluruh umat manusia harus mendapatkannya. Panggilan jiwa dan
tanggung jawabnyalah yang melatar belakangi mengapa kotak itu
mesti dibuka olehnya. Seketika dia menangis bahagia karena
tugasnya telah ditunaikan. Kotak itu terbuka. Air matanya adalah
air mata kedamaian yang mengisi relung jiwanya.
12
“Akhirnya manusia dapat memiliki pengetahuan; mampu
menaklukkan api, membelah air, mengendarai angin, mengolah
tanah, mengukir kayu, dan menempa besi. Tetapi kotak itu
bukanlah berbentuk kotak sebenarnya seperti yang disangka
banyak orang, melainkan berbentuk seperti apa yang kaulihat di
hadapanmu.”
“Kolam ini?”
“Dahulu kolam ini berada di bawah pohon kehidupan.
Manusia mendatangi pohon itu, meratap, menangis dan memohon
agar mereka diberikan sesuatu untuk bertahan hidup di muka
bumi. Kemudian pohon itu mulai berbuah, orang-orang
memungut dan memakannya. Tidak peduli berapa banyak
manusia yang datang, pohon kehidupan terus berbuah tanpa
henti.”
“Lalu, ke mana pohon besar itu, aku tidak melihat-nya?”
tanyaku menyela tak sabaran.
“Bukankah kau sudah tahu kelanjutan ceritanya? Kotak itu
dibuka oleh Pandora, dia yang merobohkan pohon kehidupan.”
Aku terdiam dengan sejuta imajinasi dan tumpukan
pertanyaan—tak terucap tentang Pandora. Perlahan tapi pasti
batinku ditumbuhi kegelisahan sekaligus ketertarikan. Harus aku
akui bahwa setelah melihat Kolam Pengetahuan dan
mendengarkan penuturan Romina, hatiku tergugah untuk
mempelajari banyak hal. Akan tetapi Romina terus menyuruhku
untuk menyelami penglihatan. ini yang membuatku lekas putus
asa karena kurasa aku tak mampu. “Jadi, apa yang harus aku
lakukan?”
“Terus mencari,” jawab Romina
“Aku bingung.”
“Abbat Khom pernah berkata bahwa kebingungan adalah
langkah awal yang bagus, malah meningkatkan upayamu
membuka diri pada hal-hal yang dapat memberikan penglihatan.”
“Romina, mengapa kau menanyakan penglihatanku terus?
Jelas sekali aku sudah bisa melihat.”
“Saat kau menyaksikan dua orang bertopeng, apa yang
13
kaulihat?”
Aku sendiri tidak yakin benar. “Adakah sesuatu yang
semestinya kulihat?”
“Mereka menampakkan sesuatu, setiap orang harus
membacanya.”
Apa yang harus kubaca? Entah. Kucoba mengalihkan
pembicaraan. “Ketika dibawa ke sini, sepertinya ada orang lain
yang keadaannya mirip denganku, di mana dia?”
“Dia sudah kembali setelah matanya sembuh.”
“Kenapa dia boleh kembali sedangkan aku tidak?”
“Dia tidak mendapat penglihatan, berbeda denganmu.”
“Kaupikir aku mendapatkan penglihatan?”
“Tentu saja, kau seorang abbat.”
“Apa?”
“Abbat Khom yang mengatakannya.”
“Kalian salah menilaiku, di sini bukan tempatku.”
“Sudahlah, sekarang ikut aku latihan.”
Romina menyuruhku duduk bersila seraya menutup mata di
sekitar kolam pengetahuan. “Kau harus membiarkan setiap
elemen kehidupan merasukimu, biarkan keheningan
menyerapmu.”
Aku menolak karena tak ada gunanya bagiku. Latihan
semacam itu menghabiskan waktu sia-sia, lebih baik aku bekerja
di kedai minum dan mendapatkan beberapa peser upah. “Aku
cuma ingin pulang, itu saja!” bersikeras dengan pendirianku.
“Tidak bisa, Aqiel. Kau harus tetap di sini.”
“Mengapa aku harus susah payah belajar soal penglihatan?
Ini semua tidak ada manfaatnya.”
“Begitulah tugas seorang abbat!” baru kali ini kudengar
Romina membentakku, biasanya dia seorang yang lembut. Justru
berulang kali aku yang bersuara lantang kepadanya. Dia
mengambil alih dan ketegasannya membuatku tak berdaya. Kami
terdiam seribu kata, hatiku bimbang dan gundah.
“Kau ingin pulang?” tanyanya, entah apa yang membuatnya
menyerah, “Baiklah, kau bisa pulang sekarang.” Dia menjetikkan
14
jarinya, seketika kurasa diriku seperti terhisap ke dalam pusaran.
Akhirnya kudapati tubuhku berada di pusat kota dengan mata
berkunang dan lunglai. Syukurlah, akhirnya aku kembali. Detik
itu juga aku bertekad takkan pernah membuka pelindung mata
lagi saat badai cahaya tiba.
***
Virus-virus lapar membuatku serakah semenjak
meninggalkan Smaragad. Bamyeh, adik ibuku yang sekarang
menjadi waliku, keheranan melihat selera makanku. Setiap kali
aku menyantap makanan, dia terus menasihati dampak buruknya
sikap berlebihan. Saking tidak tahan melihat ulahku, dia
mengancam tidak memberi makan. Menurutnya aku keterlaluan.
Sebagai timbal balik untuk seluruh makanan yang telah kulahap,
dia membebaniku tugas membersihkan perkakas.
“Ini salahmu. Aku sengaja memecat anak tetanggaku
sendiri agar kau mengerjakan semuanya. Bisa habis seluruh
persediaan bahan makanan kalau kau aku biarkan.” Aku turuti
saja perintah Bamyeh. Untungnya masih ada yang memberiku
tempat tinggal dan makanan gratis. Tapi kebiasaanku waktu kecil
juga tidak bisa hilang, diam-diam kabur dari pintu belakang
mencari udara segar, menghabiskan waktu di taman, atau sekadar
berkeliling kota membuang rasa suntuk dan kebuntuan.
Di tengah keramaian pasar di pusat kota, kulihat seseorang
sedang menceritakan kepada khalayak ramai mengenai Smaragad.
Namanya Sofis, dia mengaku sebagai seorang abbat dan telah
mendapatkan penglihatan dari Smaragad. Sebentar lagi dunia
akan hancur, demikian katanya. Manusia harus kembali ke jalan
yang benar. Jalan para abbat adalah jalan kebenaran, dia diutus
untuk menyampaikan jalan tersebut.
“Kebenaran adalah lawan dari kejahatan. Seluruh petunjuk
dari para abbat mengandung kemurnian, di sanalah terletak
kebenaran sejati.” Sofis beranggapan bahwa dia mewarisi
pembacaan yang benar.
Selain itu, masih ada puluhan kisah menarik mengenai
keajaiban-keajaiban di dalam Smaragad termasuk acara salak-
15
menyalak dua orang bertopeng. Dia menambahkannya dengan
adegan bidadari cantik jelita yang menari dengan anggun.
Selanjutnya dia bertanya kepada perempuan-perempuan yang
menyimak ocehannya, “Apakah di antara kalian ingin menjadi
seperti bidadari-bidadari tersebut?” Mereka mengangguk.
Sofis mulai memerinci atribut serta tingkah laku bidadari
yang ada di dalam bayangannya, supaya para perempuan itu
sungguh mengikutinya. Aku tertawa keras ketika dia
menggambarkan ukiran dinding dan ornamen Smaragad,
menceritakan kisah kepahlawanan para abbat memerangi
makhluk raksasa Joh Majoh.
“Hei, Sofis, pernahkah kaulihat para abbat itu berkeliaran?
Mereka saja takut keluar gua, bagaimana mau berperang?” Akibat
ocehanku, dia mengancam bahwa menertawai para abbat adalah
racun yang akan mematikan diriku sendiri. Sebagian hadirin ikut
tertawa mendengar ucapanku, sebagian lain yang memercayai
kata-katanya terus memandangiku dengan kebencian.
Raut wajah Sofis mengekspresikan kemarahan. Segera
langkahku melenggang pergi penuh kegembiraan. Semula
ceritanya membuatku terpingkal-pingkal. Kejailan itu sedikit
demi sedikit membunuh jenuh walau lama kelamaan berbalik
membosankan.
Geneyna, di situ pemberhentian terakhirku. Sungai buatan
yang mengalir di bawahnya begitu jernih. Beberapa bunga
nucifera memberikan corak kemerahan di sisinya. Menyegarkan
kenangan yang terasa mulai usang, kerinduan yang dalam pada
sosok Paman Muzein. Dahulu Paman biasa duduk di bangku kayu
di antara pepohonan, dikelilingi burung-burung yang
mendengarkan nyanyian serulingnya seperti tengah berdoa
bersama.
Saat malam tiba tubuhku merebah di bangku itu,
memandangi bulan dan sinar peraknya yang memancar terang.
Bulan itu semakin menambah kerinduan hatiku, di manakah kau
berada kini, Paman? Tiada petunjuk mengenainya, paman
menghilang begitu saja sejak kematian ibuku. Andai aku dapat
16
menahannya untuk tetap di sini di taman ini. Aliran sungai yang
tenang nan jernih memantulkan cahaya bulan. Setiap kali aku
datang ke taman, pada momen paling indah, air itu beriak
kehausan ingin meminumku selagi aku dahaga. Pikiranku
membeku dan mataku terkatup. Di antara lelap dan mimpi
kudengar bisikan, “Pikiranmu masih sibuk dengan dirimu sendiri,
hingga tak ada ruang untuk dimasuki hal lain.”
Suara itu terus menggema di kepalaku dan menimbulkan
sakit yang luar biasa, tapi entah mengapa ragaku tak mau bangkit
dan mataku terus terpejam. Langit seperti terbelah, bumi
berguncang. Dari ujung kaki hingga kepalaku gemetar tak keruan.
Kujambak rambut sendiri, namun sakit yang mendera tak kunjung
pudar. “Siapa kau?” teriakku.
“Kebuntuan!” hardik suara itu, “dalam kebuntuan, tak ada
yang bisa kau lakukan. Jiwa yang terjebak dan terhalang, terhisap
ke dalam ruang minus. Dalam kebuntuan, pancaindra mengatup,
menutup jalan keluar. Semua meredup terselimuti kabut. Semua
merapat dalam langit pekat.”
Tiba-tiba terdengar tiupan seruling yang sangat kukenal.
Alunan syahdu yang mengalir bersama desir angin di antara
pepohonan, seperti menyuarakan kelembutan sinar temaram.
Kerinduan hati perlahan menyusuri taman, mengikuti jeram
kesuraman dan membasahi gurun Malal yang gersang.
“Dalam kebuntuan, kebebasan terasa kian menghimpit. Kita
berusaha menggapai cahaya. Setiap napas terhela, pikiran
membatu, imajinasi membisu, hati menyesal, dan tubuh melayu
terkapar. Dalam kebuntuan muncul kegamangan, putus asa, dan
kesendirian. Tiada pepatah bisa terucap, suara hati meluap lalu
kering menguap. Inspirasi pupus lalu sepi terberangus, pasrah dan
terjerumus.” Suara itu makin mirip dengan Paman Muzein.
“Paman!” teriakku spontan, tapi tak ada sahutan. Aku ingin
paman menyudahi kata-katanya dan membalas panggilanku.
Badanku terasa berat dan lambat laun terjatuh dalam gelap,
“Paman Muzein,” lirihku menyebut namanya.
Sayup-sayup masih terngiang ucapannya, “Dalam
17
kebuntuan, kita akan—dipaksa—menerobos tembok yang tebal.”
Untaian kata-kata itu seperti refleksi kehidupan yang terus
kulalui dengan kehilangan demi kehilangan.
“Hah!” aku terjaga dan serentak terperanjat. Keringat
bercucuran sementara udara malam amatlah dingin. Apakah tadi
itu mimpi?
Di dalam kondisi suhu seperti ini memang paling nikmat
bersembunyi di bawah selimut dan bermimpi panjang, tak peduli
angin kencang menerpa dinding. Kumpulan pengemis di luar
bersenandung lirih mengusir mimpi yang tak sepantasnya datang.
Kusengaja menahan langkah agar tak berlari dan menimbulkan
gangguan, tapi terus kuayun langkah yang menggesa. Tiada
harapan lain, selain lekas sampai di tujuan. Akhirnya
pandanganku mulai melihat gerbang kayu itu, semakin dekat
hingga jemariku mampu menyentuhnya.
DOK, DOK, DOK. “Romina,” teriakku, “Romina, buka
pintunya!” Entah kekuatan apa yang merasuk diriku sehingga
berani berbuat demikian, “Romina, aku ingin masuk ke dalam!”
ucapku mengulangi namanya sembari menggedor pintu itu secara
tak beraturan. “Aku ingin masuk ke dalam. Romina, ajari aku
caranya, ajari aku cara membaca penglihatan!” Tak ada yang
berubah, gerbang kayu itu takkan terbuka untukku. Tubuhku
melemas, semakin lemas... lenyap.
***
Enam kali genderang halilintar berbunyi sebagai pertanda
hujan, berhamburan menyerang dunia. Benarkah ini hujan?
Sudah lama aku tak menghirup baunya yang menuntunku saat
masih bocah. Hujan, mengapa kau membawa kembali kenangan
itu. Aku berlari dan tertawa. Tiba-tiba tersandung jatuh dan
menangis. Perempuan itu datang merengkuh tubuhku, mengusap
lutut mungilku yang tergarut. Bibirnya merah merona mengecup
luka, penuh kesabaran dan membasuh air mata putranya. Jangan
menangis, kesatriaku, hibur ibuku. Suaranya yang merdu
meredam butiran isak tangis. Kelembutan hatinya kini hilang
terhempas bersama kepergiannya. Hujan, kali ini aku takkan
18
bersembunyi di balik dirimu. Aku akan melangkah jauh menatap
masa depanku sendiri. Kehidupan adalah persoalan pengakuan
akan keberadaan. Aku tidak akan memalingkan muka lagi dari
segala penglihatan.
“Aqiel,” tegur Romina, “seharian kau tidak berlatih, ada
apa?” Dia berhenti mengerjakan kesibukannya menyirami
tanaman dan menatapku tajam.
“Tidak ada, hanya iseng,” kilahku. Ada perasaan aneh tiap
kali mata kami bertemu, kucoba mengalihkan canggung dengan
mengajukan pertanyaan, “Romina, boleh kutahu penglihatanmu
seperti apa?”
Dia menggeleng. “Aku tidak mendapatkan penglihatan,”
lanjutnya dengan senyuman.
“Lalu mengapa kau di sini bersama para abbat?”
“Karena aku penjaga kolam ini.”
“Untuk apa?”
“Untuk mempelajari pengetahuan.”
“Kau sama sekali tidak bosan?”
“Bosan?”
“Ya. Apa kau tidak pernah ingin menyelinap keluar?”
“Memangnya aku pencuri?”
“Kau berniat menghabiskan sisa usiamu di sini?” Dia
melihatku dan tersenyum. Senyuman misterius itu sesungguhnya
mengerikan buatku. “Masa sih?”
“Di luar sana tak setenang di dalam.”
“Paling tidak, ada kesenangan.”
“Kesenanganku adalah menjaga kolam ini.”
Dasar keras kepala. “Bagaimana dengan keluarga-mu;
Ayah-ibumu?” Dia mengangkat bahu. “Maafkan aku.”
“Mereka meninggal dalam peperangan.”
“Mereka ikut berperang?”
“Sesungguhnya yang terjadi adalah pembantaian. Di desaku
tidak ada yang mengangkat senjata. Semuanya menggembalakan
ternak atau bertani. Musuh datang dan merampas apa saja. Orang
tuaku melawan sebisanya. Sudahlah, ayo latihan.” Romina
19
melepas kreghi, topi bundar dengan sebuah kuncup berbentuk
kerucut yang condong ke belakang. Rambutnya tergerai.
“Perhatikan ini.”
Romina menggerakkan tangan seperti menari, “Para abbat
berlatih mengendalikan energi untuk menggerakkan benda-benda
di sekelilingnya,” Dia mengangkat tangan kanannya, pot-pot
bonsai melayang mendekat beterbangan di sekeliling kami. “Kau
harus mengikuti alurnya, pergerakan yang tak dapat kau lihat
secara kasatmata.” Kini tubuhnya ikut menari, dan pepohonan itu
menuruti gerakannya. “Mungkin pula kau meningkatkan sedikit
kemampuanmu.” Kelopak bunga warna-warni berdatangan seolah
mengucur dari langit dengan sendirinya. Bergelombang mengitari
Romina, melengkapi tarian harum bunga yang indah. Aku
terpana.
“Akan tetapi, kalau kau mengabaikan prinsip-prinsip
kehidupan, kemampuan itu hanya akan membuatmu dalam
bahaya.” Tiba-tiba Abbat Khom muncul mengejutkan kami,
semuanya berjatuhan termasuk pot-pot lempung yang hancur
berantakan. Romina menunduk. Sepertinya dia ketakutan. Abbat
Khom menghampiri kami seraya mengusap janggut putihnya.
“Pertama adalah siklus kehidupan, selama ada kematian
akan selalu ada kehidupan. Sesuatu yang utuh akan hancur, tetapi
yang hancur pun akan kembali utuh.” Abbat Khom
menggerakkan lengan kanannya membentuk putaran beberapa
kali, pecahan-pecahan yang berserakan di hadapanku kembali
seperti semula. “Nah, mulailah berlatih kembali,” perintahnya
sebelum meninggalkanku. Romina bergegas membereskan
kembali.
Hari-hari berikutnya Romina melatihku beberapa gerakan
serupa tarian. Karena tidak terbiasa sangat risih rasanya waktu
pertama kali melakukan, tapi berbeda jika sudah kesekian kali.
Kadang tergelitik untuk menertawai diri sendiri, kadang hanyut
menikmati walau malu tatkala Romina mengawasiku.
“Dengan bergerak, kita bisa menghasilkan kemam-puan
untuk menggerakkan sesuatu,” jelasnya, “pada dasarnya dunia
20
dan segala isinya selalu bergerak. Manusia, hewan, tumbuhan,
dan benda lain dikendalikan oleh „gerak‟. Untuk dapat
melihatnya, maka harus mengikuti inti dari gerak itu sendiri,
yakni sebuah perputaran.” Dia begitu gemulai sedangkan aku
sangat kaku.
Abbat Khom memasuki areal Kolam Pengetahuan ketika
aku tengah hanyut dalam keheningan. Kedatang-annya bak
halimun, tak mungkin aku ketahui jika dia tidak melempar
sesuatu ke kolam. Bulan menampakkan sinar peraknya dengan
gagah, riak air bergelombang dengan corak cahaya yang berubah-
ubah.
“Abbat Khom, maaf saya tak menyadari kedatangan Anda,”
ungkapku sembari menunduk sekali memberi hormat, pun
sikapku ikut berubah.
“Aku tak ingin mengganggumu, Aqiel.”
“Tidak, sebenarnya hari ini saya tak banyak berlatih.”
“Ya, bisa kulihat itu. Kau lebih sering menghabiskan
waktumu dengan melamun.”
“Maaf.” Kali ini dipenuhi rasa bersalah, tetapi dia malah
tersenyum. Sesuatu dari kolam pengetahuan melayang ke
arahnya. “Lihat ini!” dalam genggamannya terdapat dua buah
cawan berbentuk kerucut saling menyatu berhadapan, seperti
tabung yang menyusut di bagian tengahnya. “Ini adalah gelas
kaca, dahulu kita mengisinya dengan pasir karena kita mengira
bumi akan selalu berputar sebagaimana adanya. Akan tetapi,
sekarang kita tak bisa menaruh pasir di dalamnya karena usia kita
yang sulit diprediksi. Lalu apa yang harus kita lakukan jika bumi
tak lagi berputar?” Dia memandangiku seolah menagih jawaban
meski kupikir jawabannya sudah dia ketahui.
“Saya tidak tahu.” Mungkin jika bumi tak lagi berputar, aku
akan pasrah menerima dan menyadari bahwa kehidupan telah
berhenti, batinku berucap lebih panjang.
“Kau tak bisa menyerah begitu saja,” ujarnya seakan
membaca isi batinku, “sebelum kautahu bahwa kematian
menyentuh urat lehermu, kau harus tetap bertahan hidup.”
21
“Kehidupan tak memberikan apa pun selain kesengsaraan,
mengapa saya harus bertahan hidup?”
“Lihatlah kolam itu yang tersisa hanya airnya saja, ke mana
larinya seluruh pengetahuannya?”
Abbat Khom diam sejenak memberikan jeda bagiku untuk
mencerna ucapannya. Satu hal yang paling membuatku bingung,
mengapa orang dewasa gemar menyarangkan pertanyaan bertubi-
tubi kepada orang yang jauh lebih muda usianya? Apa itu sangat
wajar bagi mereka?
“Bayangkan bila kau berjalan mengarungi samudra pasir
Malal dan tiba-tiba menemukan mata air, kukira kau langsung
menenggelamkan kepalamu minum sebanyak yang kaumampu?”
Aku hanya mengangguk mengangguk menanggapi. “Kau tahu apa
sebabnya?” sambungnya, dan lagi-lagi pertanyaan.
“Karena kehausan, saya akan terus meminumnya.”
jawabku.
Abbat Khom menggelengkan kepala, “Karena mata air itu
adalah harapan.”
“Harapan?”
“Mata air adalah sumber kehidupan. Begitu juga harapan.
Kita bertahan hidup karena adanya harapan.”
“Apakah yang tersisa hanya harapan?”
“Biarpun manusia menguasai seluruh pengetahuan di muka
bumi, apalah artinya tanpa ada harapan? Takkan ada yang dapat
bertahan hidup.” Dia membuka telapak kananku dan menaruh
gelas waktu yang kini berisi air di dalamnya, kemudian pamit
meninggalkanku sendirian.
Ucapan Abbat Khom membuatku tak bisa tidur, sepanjang
hari terus memikirkannya. Benarkah harapan membuat manusia
tetap bertahan hidup? Kebiasaan lamaku tak pernah kulupa, tapi
sangat sulit untuk menyelinap kabur dari dinding Smaragad.
Kastil ini memiliki tembok luar yang tinggi dan semuanya tampak
presisi. Tak tahu harus mulai dari mana menebak letak pintu
masuknya. Rasanya seperti disekap sebagai sandera tak boleh
pergi ke mana-mana.
22
“Romina, kapan kau mengajariku?” kataku sambil
mempraktikkan jentikkan jari. Aku meminta Romina mengajari
caranya, tapi dia bersikeras tak mau memberitahu rahasianya agar
aku terus berlatih.
“Hmmm ...” Dia menghela napas tanda sebal.
“Baiklah, aku takkan memintanya lagi.” Aku membalikkan
badan hendak meninggalkannya sendiri, tapi sebenarnya itu hanya
usaha merajuk walau kutahu takkan mungkin berhasil
membuatnya takluk. Tak mudah meruntuhkan keangkuhan
perempuan itu.
Keadaan ini membuatku kesal dan malas, saking malasnya
aku tidur seharian. Kalau sudah begitu dia akan menggunakan
kemampuannya dan membolak-balikkan tubuhku di atas ranjang.
Keadaan berbalik, justru dia berkuasa dan berhasil memaksaku
berlatih.
Sempat terlintas untuk mencari Abbat Khom, mungkin saja
permohonanku terkabul jika kupinta Abbat Khom memerintahkan
Romina untuk mengajarkan teknik jentikan jari yang ajaib itu.
Huh, percuma saja! aku sendiri tak tahu harus mencari Abbat
Khom di mana. Memang terbayang menakutkan bagaimana
caranya datang dan menghilang, tetapi aku harus mencarinya
karena sudah bosan berada di sini—apalagi bersama perempuan
angkuh itu. Kususur tiap dinding ruangan dan mencari pintu
menuju ruangan lain. Tiba-tiba tubuhku terasa menciut dan sakit
bukan main, seperti terhisap ke dalam lubang jarum. Gambaran di
sekelilingku awalnya tampak kalang kabut. Perlahan kemudian
mulai menampilkan pemandangan lebih jelas.
Diriku sudah berada di tengah kota. Pemandangan yang tak
biasa, Evenaar banyak berubah. Kotanya semakin ramai, berbagai
macam manusia dengan penampilan berbeda hilir mudik di
sepanjang jalan. Burung-burung bertengger di tugu marmer yang
berjajar menuruni bukit, berpindah dari satu puncak ke puncak
yang lain. Gara-gara memerhatikan tingkah unggas itu, teringat
ucapan Abbat Khom mengenai harapan. Burung-burung itu
berkumpul di tanah mencari apa pun sembari berharap ada cacing,
23
biji-bijian, dan apa saja yang bisa dimakan. Mungkin manusia
juga begitu, terus bertahan hidup sambil berharap bahwa dunia
mendadak berubah indah.
***
Irama semilir angin menghipnotis sekelompok orang untuk
mengarungi samudra pasir yang ganas dan penuh marabahaya.
Mereka adalah Kafilah Darzat yang dikenal sangat tangguh
menaklukkan gurun. Di Evenaar kedatangan mereka selalu
dinantikan, terutama barang dagangan yang mereka bawa.
Banyak benda unik dan tak lazim dari seantero dunia yang
diperjualbelikan. Harganya pun beragam dan berubah tergantung
suasana hati saat bertransaksi dengan para pembeli. Meskipun
begitu, penduduk Evenaar telah mengetahui rahasia agar
mendapatkan barang bagus dengan harga murah, yaitu dengan
mengenakan pakaian bangsawan. Anggota kafilah ini menyukai
keindahan, kesan itulah yang tampak saat celana dan jas berbahan
sutra, sepatu dari kulit singa, serta mantel beludru membungkus
ketelanjangan tubuh orang-orang yang mendatangi tenda mereka.
Para penjelajah itu beristirahat di sebuah penginapan dekat
gerbang kota milik pasangan suami istri Yazed. Dulunya letak
penginapan itu bersebelahan dengan restoran Bamyeh.
Tempatnya kecil dan hanya mempunyai dua kamar saja, satu
ditempati oleh mereka berdua dan lainnya untuk disewakan. Tak
ada orang yang mau memesan kamar itu karena tempatnya
kelihatan usang dan rapuh. Biasanya para pendatang sudah
membawa tenda-tenda sendiri yang didirikan di luar kota. Mereka
datang silih berganti untuk berdagang, menikmati pemandangan
alam, juga bekerja. Namun, tiada satu pun yang melirik, atau
tertarik menginap di penginapan Tuan dan Nyonya Yazed.
Mereka berdua bekerja keras mempromosikan kamar itu
kepada semua orang, tetapi respon yang diberikan oleh
masyarakat hanya senyuman, atau diam meninggalkan keduanya
karena merasa kasihan. Semenjak putra mereka mengaku pernah
memasuki Smaragad, barulah banyak pengunjung mulai
menyewa kamar. Keuntungan demi keuntungan didapatkan, kisah
24
penderitaan mereka menjadi seusang kamar yang mereka
tinggalkan. Mereka berhasil membeli gedung bertingkat dekat
gerbang kota. Pemasukan suami istri itu semakin bertambah
setiap kali tamu menginjakkan anak tangga pertama penginapan.
Mereka menyambut dengan semringah dan gembira. Tak lupa
pasangan itu terus menceritakan pengalaman anak mereka ketika
mempelajari pengetahuan suci. Bahkan, mereka berani
mengatakan bahwa Sofis telah terpilih menjadi abbat.
Kebanggaan Tuan dan Nyonya Yazed begitu dalam dan
menggelora. Tiap baris kata dalam kisah kehebatan putra mereka
selalu dibawakan dengan semangat menggebu-gebu. Sofis ibarat
malaikat yang diutus untuk melindungi penghuni Evenaar,
seorang penyelamat ketika tanda-tanda kehancuran dunia semakin
tampak. Ketenarannya memuncak pesat. Orang-orang datang dari
penjuru dunia untuk mendengarkan petuahnya yang menyejukkan
dan memberikan ketenangan jiwa. Sofis tak lagi berkhutbah dekat
air mancur di pusat kota, melainkan di sebuah aula besar yang
didirikan pengikutnya. Dalam waktu singkat dia telah berubah,
keluarganya berubah, dan semua orang di Evenaar juga berubah.
Di penginapan keluarga Yazed, rombongan Kafilah Darzat
mendapatkan pelayanan istimewa; kuda dan bagal mereka diikat
dalam kandang khusus dengan penanganan spesial. Tuan Yazed
memimpikan sebuah pusat perda-gangan yang indah dan mewah,
dia menyulap aspal jalan menjadi permadani-permadani dengan
warna dasar merah dan corak yang beragam. Di pelataran
penginapan didirikan tenda besar untuk menyimpan barang-
barang dagangan. Dijaga oleh biro pengawalan yang disewa oleh
Tuan Yazed dengan bayaran mahal. Lentera beraneka warna
dipasang di sekitar atap dan dihubungkan dari satu bangunan ke
bangunan lain.
Penduduk berlalu lalang di sekitar tenda seraya berdecak
kagum. Bulan tak menunjukkan rupanya. Mungkin saja kelelahan
kalau harus berdandan dan tampil cantik tiap malam. Sementara
itu, keriuhan pesta membuat Evenaar bagai pelita yang berpijar di
antara pekatnya kegelapan. Kebisingan kota mengundang hewan
25
malam memicingkan mata menunggu kesempatan seraya
menggeram, sedangkan biro pengawalan terus berjaga-jaga di
sekitar dinding dan gerbang. Para pengawal rela bersiap siaga di
pos masing-masing tatkala penduduk kota mabuk kepayang
karena berharap bisa menghidupi keluarga dengan imbalan upah
berkali lipat. Padahal, keinginan untuk berbaur dengan riuh tawa
dan kesenangan demikian besar.
Beberapa pria memainkan batang kayu yang disulut api di
kedua ujungnya, gerakan mereka begitu luwes memutar-mutar
galah tersebut. Dua orang lain meniup obor dengan minyak tanah,
semburan api bergulung-gulung di udara. Semangat mereka
makin terbakar saat orang-orang yang menonton menyemangati
dengan bersorak dan tepuk tangan. Gendang pun ditabuh, dawai
dipetik, dan seruling ditiup para chebi. Mereka melantunkan
tembang-tembang kegembiraan.
Sembilan gadis belia menari dengan lenggokan tubuh yang
gemulai dan sorotan mata yang menyirap jiwa raga siapa saja
yang menyaksikannya. Penampilan mereka seperti putri-putri
raja. Gaun yang membalut tubuh mereka merupakan kain sutra
terbaik, perhiasan yang menempel dari mata kaki sampai lengan
mereka dilapisi emas murni, dan di leher jenjang mereka
melingkar sebuah kalung mutiara.
Kecantikan bidadari-bidadari itu makin sempurna dengan
mahkota permata yang tersemat di antara rambut hitam yang
terurai indah. Seluruh pengunjung memuji meluapkan sukacita
tanpa henti. Di bagian lain, seorang kehan berusaha membujuk
langit agar tidak menurunkan musibah dengan mengipasi asap-
asap bikinan. Seisi Evenaar larut dalam kebahagiaan, sejenak
melupakan derita dan kesengsaraan.
Selagi asik menikmati kemeriahan ini, mataku menangkap
sekelibat bayangan berseliweran dari satu tenda ke tenda lain
seolah sedang mencari tempat sembunyi dari perhatian orang-
orang. Dituntun oleh rasa penasaran, kucoba mencari tahu dengan
mengejar bayangan itu diam-diam. Walaupun berdesakan, mataku
mengikuti arah yang dituju.
26
Gerakannya gesit sekali, kadang menyusuri pedestrian dan
bergabung dengan bayangan lain sehingga sulit menerka ke mana
larinya. Lalu kulihat dia mengendap-endap di belakang seorang
anggota kafilah yang tengah bertransaksi dengan pembelinya.
Pedagang itu menjual berbagai jenis kudapan langka, sebagian
disimpan dalam wadah toples kaca berwarna-warni, sebagian lain
diletakkan dalam guci-guci porselen. Akan tetapi, bayangan tadi
cepat melompat mendekati lapak penjual roti dan tiba-tiba
meregangkan salah satu bagiannya seperti membelah diri dari
tubuh aslinya. Sulur hitam itu merambat menghampiri tiga orang
pembeli yang juga tak menyadari adanya marabahaya. Aku
tersentak melihat salah seorang di antaranya.
Itu Sofis! Aku harus mencegah sulur hitam itu sebelum
Sofis dan dua orang pengikutnya terluka. Aku mempercepat
langkah mendekati mereka, sementara bayangan itu merangkak di
sela keranjang-keranjang roti dan perlahan mencapai pergelangan
kaki Sofis. “Pergi dari situ, dia mau membunuhmu!” teriakku.
Aku melompat sekuat tenaga berusaha menghalangi bayangan
yang hendak menyerang Sofis. Karena terkejut dengan teriakanku
serta merta orang-orang di sekitarnya menoleh dengan mata
terbelalak. Tubuhku terjerembap menubruk meja berisi dagangan,
semua kudapan dan roti berjatuhan menimpaku. Mereka pasti
menganggapku orang gila yang mencari sensasi.
“Bodoh, apa yang kau…. lihat ulahmu, seisi tenda hancur
lebur!” bentak si Tukang roti. Kejadian itu membuatku menjadi
bahan tontonan, semua berbisik heran dan memelototiku, tak
terkecuali Sofis. “Keterlaluan kau, di mana saja kau berada,
kekacauan selalu mengikutimu. Dasar manusia terkutuk!”
ujarnya. Ingin sekali rasanya menghajar abbat gadungan itu, tetapi
tatapan beringas di sekelilingku membuat nyali kecut bercampur
malu.
“Tangkap dia!” Beberapa pengawal membangunkan dan
meringkus kedua tanganku. Di depanku Kepala Biro Pengawalan
berkacak pinggang, namanya Tuan Valhalad. Sosoknya
berwibawa dan terpandang di Evenaar. Badannya kekar dan
27
wajahnya berahang tinggi dengan rambut tipis serta sorot mata
tajam, menyiratkan pembawaannya yang disiplin dan tegas.
“Sekap dia, pastikan tidak dapat berbuat onar lagi!” Mereka
menggiringku ke ruang bawah tanah, memenjarakanku di balik
jeruji-jeruji dingin yang pekat.
***
Seseorang di sudut jeruji itu terus tertawa. Hahaha ...
hahaha ... sosok tua renta yang tengah menikmati tawanya yang
semakin mengakak, kadang tersedak liur sendiri. Bahkan, tidak
sempat meluangkan waktu sedikit pun untuk mengambil napas.
Badannya yang hanya tulang dibalut kulit seperti melawak
sendirian. Sudah beberapa kali kepalanya menatap dinding tempat
bersandar tanpa sadar. Sel kakek tua itu tepat di sebelahku, entah
menertawai apa, atau siapa.
Tempat ini lebih mirip sebuah gua batu ketimbang penjara,
penerangannya cuma kobaran api di atas tungku yang digantung
di langit-langit sepanjang lorong. Mungkin dia takkan mengeluh
tentang bau menyengat yang membuatku muak. Tubuhnya baku
seolah dia-lah pemilik sesungguhnya ruang bawah tanah ini.
“Aku tertawa … aku tertawa … hahaha. Biarkan aku
tertawa, hahaha!” girangnya, sementara bagiku sikapnya sangat
menyebalkan. Barangkali dia terpenjara gara-gara kebanyakan
tertawa sehingga orang-orang yang tidak mengerti dari mana dia
datang dan yang tak mau mengerti kemana dia akan pergi, merasa
terganggu oleh suaranya yang serak dipenuhi dahak.
“Kek, kakek sedang menertawakan apa?” Kupikir dengan
mengajaknya ngobrol bisa menghentikan tawanya, paling tidak
gangguan itu menjauh dari pendengaranku. Akan tetapi, dia terus
tertawa sehingga kekesalanku membeludak. “Bisa diam tidak,
Kek?” bentakku. Kakek itu tiba-tiba terdiam.
“Ssst ...,” dia mendesis seraya telunjuknya mengunci bibir,
“diam!” Suasana berubah hening.
“Apa yang kau tertawakan?” tanyaku setengah berbisik.
Kakek itu tak menjawab. Pandangan matanya kosong, tapi bola
matanya bergerak ke sana-sini seolah sedang mencari sesuatu.
28
“Bunga,” jawabnya.
“Memangnya ada apa dengan bunga?”
“Bunga … sedang …” Kali ini kalimatnya terbata-bata, lalu
dia menggeser duduknya mendekati jeruji besi selku. Kakek itu
menempelkan telinga di dinding sambil menatap. “Hamil,”
ucapnya.
“Hamil?” Dasar aneh! Kugeser posisiku menjauh darinya.
“Kenapa menjauh? kau tahu, kehidupan di dunia ini berawal
dari kehamilan,” sewotnya.
“Semua orang juga mengerti soal itu.”
“Berarti, kalau tidak ada perempuan yang hamil maka tidak
akan ada kehidupan!” Usai bicara badannya mengerang seperti
penderita ayan.
“Kau kenapa, Kek?” Pertanyaanku malah dijawab oleh
tawanya dan kontan membuatku geram. “Gara-gara hamil saja
sampai tertawa seperti itu, dasar gila!”
Tiba-tiba dia menerjang jeruji pembatas sel kami, “Tapi
anak yang sedang dikandungnya bukan anak pejantannya!”
Dengusan napasnya yang bau dan giginya yang menguning itu
menyerangku. Badannya berbalik bergetar dan kepalanya
menggeleng berulang kali.
“Tidak, oh tidak!” teriaknya, “Jangan bungaku, tidak!”
“Mati saja kau tua gila. Mati saja kau!” umpatku saking
ketakutan.
“Kau begitu sombong tentang cinta, seolah kau mengerti
segalanya.” Air liurnya menetes seakan melihat hidangan lezat di
hadapannya. Tangannya menggenggam jeruji dengan erat,
menitisinya dengan gejolak berapi-api. Kepalanya diusap-usapkan
dan lidahnya terjulur menjilat besi yang dingin. Apakah seperti ini
rupanya orang yang kerasukan setan, pikirku.
“Di zaman ini kita makan untuk hidup, lama-lama menjadi
kebutuhan yang membuat kita menderita.” Jemarinya mencakar
dinding, tubuhku serasa dikuliti oleh derit suara yang
ditimbulkan. Lalu dia melanjutkan kalimatnya, “Kebutuhan
membuat kita lupa dan diperbudak oleh kehidupan itu sendiri.
29
Kebutuhan hidup mengubah cinta menjadi sekelas makanan
pengisi perut, menya-maratakan urusan di bawah perut sama
halnya dengan di atasnya.
“Tidak lagi karena cinta, tidak lagi atas nama cinta, tapi—”
dia menghentikan ucapannya sebentar, mengalihkan pandangan
kepadaku, “karena kebutuhan,” kepalanya dibenturkan, lalu
membuat gerakan memasukkan sesuatu ke mulutnya, “seperti saat
kita makan!” Dia melompat sambil tertawa dan terus tertawa.
Ramalanku benar terjadi, obrolan kami bukan cuma tak keruan.
Lebih tepatnya menyesatkan.
Hahaha … hahaha … kebutuhan hidup … kutukan …
hahaha.
***
Matahari menyinari wajahku dari sebuah lubang kecil dan
tepat mengenai kelopak mataku, rasanya seperti dibakar hidup-
hidup. Sayup-sayup terdengar gemuruh. Bukan disebabkan
sambaran petir dan retakan bumi, melainkan teriakan lantang para
penduduk Evenaar. Rupanya mereka tengah mengelukan
pembacaan vonis hukuman bagi seorang nelayan bernama Hallag.
Sepulangnya dari pelayaran selama berbulan-bulan, Hallag
mendapati isterinya tengah bercinta dengan orang lain dan
langsung mengambil tindakan main hakim sendiri. Pengadilan
memutuskan Hallag harus menjalani penyiksaan di penjara
sebelum mendapat hukuman mati lantaran pembunuhan itu bukan
saja merenggut nyawa isteri dan selingkuhannya, tetapi juga janin
yang sedang dikandung.
Dari sebuah lubang kecil, entah kebetulan atau tidak,
mataku tepat menangkap pemandangan ketika Sang Algojo
membuka selubung yang menutupi kepala terpidana. Semua
mengikuti kapak besi yang diangkat tinggi-tinggi dan kemudian
melesat cepat melewati bagian leher. Wajahnya mengikuti
putaran, menggelinding dengan senyuman yang tak asing.
Senyum yang mengingatkan pada lawan bicaraku semalam; si
Tua gila. Mengapa dia menyunggingkan senyum? Apakah karena
kematian sungguh memerdekakan hidupnya?
30
Jika kehidupan bukanlah kepastian dan hanya kematian
yang dapat dikatakan kepastian, tentunya menunggu kepastian
dalam ketidakpastian sangatlah membosankan. Apakah Hallag
melakukan pembunuhan terhadap pasangan selingkuh itu cuma
untuk menghilang-kan kebosanan? Yang benar saja! Haruskah
aku menghibur diri dalam ketidakpastian seraya terus menerus
menggantungkan seluruh kehidupanku pada harapan? Meski jijik
terhadapnya—terutama obrolan aneh yang dia bangun, tetapi
Hallag berhasil meninggalkan kesan mendalam bagiku.
Senyumannya terus bertahan sampai detik akhir, menyiratkan
harapan sekaligus pertaruhan. Mungkin seharusnya aku pun
bertaruh; bahwa suatu saat kepastian hidup akan datang?
Para bangsawan Evenaar berencana mengadakan upacara
penyucian kota setelah hukuman pancung dilaksanakan. Upacara
itu membutuhkan hewan ternak berupa delapan ekor domba yang
harus disediakan oleh pihak keluarga dari mana aib itu berasal.
Artinya, kerabat dan sanak keluarga dari Hallag akan menyiapkan
segala yang dibutuhkan dalam upacara tersebut. Akan tetapi, tidak
satu pun anggota keluarga Hallag yang mengakui kakek tua itu.
Mereka menutup diri selamanya dari masyarakat.
Dewan Kota yang berisikan bangsawan-bangsawan
Evenaar kebingungan. Sementara itu, Sofis malah memprotes
rencana penyucian kota. Menurut Sofis, upacara itu hanya boleh
dilakukan pada hari raya Evenaar, yaitu hari Urs.
Tuan Yazed geram melihat sikap keras hati anaknya.
Padahal, pamor Sofis sangat terkenal bak seorang pahlawan. Bagi
Tuan Yazed, upacara itu merupakan momen yang tepat untuk
menunjukkan siapa dirinya di kalangan bangsawan Evenaar.
Bertahun-tahun Tuan Yazed berusaha keras agar status dan
posisinya disejajarkan dengan mereka, hal ini membuat Tuan
Yazed berada dalam dilema.
Karena obsesinya yang demikian muluk, dia berusaha
membujuk Sofis supaya tidak menentang keinginan Dewan Kota.
Akan tetapi, Sofis tak menggubris permintaan ayahnya. Justru dia
memarahi dan memperingatkan ayahnya agar tidak terjerumus
31
menuju kesesatan. Akhirnya Tuan Yazed tidak mau menegur dan
berbicara dengan Sofis, kecewa dengan kelakuan putranya.
Aku diberitahu berita penyucian kota itu oleh Bamyeh
ketika dia menebus pembebasanku dari penjara, tetapi ceritanya
disertai dengan amarah. Katanya, hampir semua orang di Evenaar
mengetahui perbuatan memalukanku. Kalau dirinya sekaya Tuan
Yazed, dia akan membeli seratus ekor domba lalu mengadakan
upacara penyucian kota selama sepuluh hari akibat aib yang
diterima keluarga besarnya karenaku.
Masyarakat Evenaar adalah masyarakat kecil yang
mengenal silsilah keluarga mereka, atau hampir seluruhnya
mempunyai pohon keluarga yang sama. Dalam setiap pertemuan,
mereka suka membanggakan diri dan bergunjing. Mereka merasa
malu dijadikan bahan pergunjingan jika ada salah satu anggota
keluarga yang berbuat aib. Bahkan sampai mengunci diri,
menyesal, dan meratap berhari-hari,
Pengorbanan, haruskah aku menyaksikannya? pikiranku
bergidik ngeri membayangkan kisah-kisah penebusan dosa
sepanjang sejarah umat manusia. Nyawa-nyawa yang
dikorbankan, dijadikan tumbal dan dipersembahkan untuk hal-hal
yang tidak mudah dimengerti; kemenangan, keselamatan,
kesejahteraan, ketenangan, atau perdamaian. Bahkan, tak jarang
pengorbanan dilakukan hanya karena kepatuhan dan ketundukan
belaka.
***
Akankah kehidupan berakhir saat kematian? Jika ternyata
kita tak meninggalkan siapa pun, apakah orang seperti Hallag
yang tak mempunyai keturunan dan ditinggalkan keluarga
besarnya dapat memberitahu bagaimana rasanya hidup sendirian?
Begitu pula dengan istrinya yang bekerja di sebuah pabrik
pencelupan kain, di tempat itu tak ada yang benar-benar peduli
untuk sekadar mencari tahu dari mana dia berasal. Semestinya
tiada yang dipermalukan dan harus menanggung aib keduanya.
Akan tetapi, bukan malu yang dirasakan penduduk Evenaar,
melainkan ketakutan akan datangnya hukuman. Mereka bertanya-
32
tanya tentang siapa yang akan melepaskan aib tersebut.
Di dalam sebuah forum terbuka, Dewan Kota memutuskan
akan menanggung seluruh biaya upacara penyucian. Mereka
mendesak supaya tetap diselenggarakan, meski masyarakat
Evenaar terbagi; ada yang setuju dan ada yang menentang.
Pada kesempatan itu Sofis berkhutbah dengan lantang,
“Leluhur kita, generasi terdahulu dari manusia Evenaar tidak
pernah mengadakan upacara penyucian kota selain di hari Urs
karena hari itu adalah hari raya bagi kita. Tradisi ini sudah
ditetapkan generasi terdahulu. Apakah kita akan
meninggalkannya dan membuat tradisi baru? Sungguh perbuatan
itu akan mendatangkan bencana pada negeri ini.
“Wahai penduduk Evenaar, janganlah kalian melupakan
bahwa sendi-sendi negeri ini dibangun oleh darah dan perjuangan
para abbat. Merekalah yang memegang kunci pengetahuan dan
terus menjaga kita dari kesengsaraan dan malapetaka. Mestinya
kita tidak berpaling dan mengadakan tradisi-tradisi baru yang
bertentangan. Apalagi, hanya untuk menghamburkan harta dan
menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Para
abbat telah menurunkan bagaimana caranya memelihara
kemuliaan negeri ini. Kita harus menjunjung tinggi tradisi
generasi awal, generasi leluhur kita para abbat.”
Keyakinan masyarakat Evenaar yang semula ragu
bertambah meningkat setelah mendengar kata-kata Sofis. Mereka
mendukung Sofis dan kian percaya bahwa Sofis adalah sang Juru
selamat. Seolah tersadarkan dari mimpi panjang, mereka berteriak
mengagungkan Sofis dengan bebas. Melihat gelagat sebagian
besar masyarakat yang berpaling mendukung Sofis, forum pun
dihentikan untuk sementara waktu. Anggota dewan berunding
kembali.
Dewan Kota diketuai oleh seorang bangsawan bernama
Darmin Darius, perawakannya jangkung, berkepala botak, dan
mempunyai janggut tipis di dagunya. Dari ekspresi tulang pipi
yang besar dan menonjol di wajahnya, tampak dia membenci apa
yang baru saja terjadi.
33
Anggota dewan lain menangkap mimik kekesalan di wajah
Darius, tapi mereka sama sekali tak bisa mengusulkan solusi jitu.
Semuanya hanya diam menutupi kepura-puraan, seperti
memikirkan hal lain yang lebih menyenangkan. Mendadak pintu
terbuka dan mereka terkejut melihat siapa yang hadir. Tuan
Yazed tersenyum menatap anggota Dewan Kota dengan pakaian
mantel beludru yang membuatnya terkesan pongah. “Apa kabar,
kawan-kawan?” sapanya.
“Yazed, mau apa kau?”
“Sabar, Darius. Wajah itu seharusnya tidak kau pasang,
terlalu banyak kekecewaan di dalamnya. Wajar saja karena kau
dikelilingi oleh orang bodoh,” ujar Yazed. Dari dulu dia selalu
menganggap anggota Dewan Kota adalah sekumpulan orang yang
kerjanya hanya menghabiskan harta, bodoh, dan tidak terampil
mengembangbiakkan pundi uang.
“Lalu apakah tujuanmu sebenarnya?” tanya Darius.
“Aku punya saran yang bagus untukmu kalau kau tidak
keberatan mendengarnya.” Darius mempersilakan Yazed
menjelaskan rencananya sebab dia menyadari bahwa mustahil
mendapatkan usul lebih bagus dari anggota yang lain. Raut muka
Yazed berseri-seri, dia tahu caranya mengambil kesempatan demi
menuju ambisinya. Dibeberkan semua yang direncanakan sampai
berbusa. Bahkan, beberapa detail penting telah dijalankannya
terlebih dahulu; seperti membayar seorang kehan yang sangat
masyhur dan telah diakui keahliannya untuk meminta langit
menurunkan badai cahaya berulang kali. Yazed juga mengirimkan
surat kepada kerajaan agar utusan kerajaan sudi mengunjungi
Evenaar.
Setelah beberapa saat perundingan itu dilakukan, Dewan
Kota memasuki forum terbuka. Darius berdiri di atas panggung
dan masyarakat menyorakinya. Darius tetap maju berkhutbah,
“Wahai, penduduk Evenaar. Ketahuilah bahwa negeri ini adalah
negeri yang dianugerahi pengetahuan dan kejayaan. Kemuliaan
kita berpijak pada tradisi-tradisi yang dibangun oleh para leluhur.
Tradisi merupakan pondasi yang kuat maka kita tak boleh
34
melupakan ajaran dan tradisi generasi terdahulu. Tradisi sangat
pantas untuk kita hormati dan junjung tinggi selama tradisi itu
patut untuk kita hormati.
Upacara penyucian kota merupakan tradisi yang dilakukan
para leluhur untuk menghalau negeri ini dari marabahaya,
mencegah kehancuran dan kepunahan. Karena itu, kita patut
melestarikan tradisi ini sebisa mungkin untuk mempertahankan
Evenaar. Sekarang ini banyak sekali tragedi yang menimpa kita,
apakah terlarang untuk kita melakukan upacara tersebut walaupun
sekadar untuk bertahan hidup?”
Setelah dia menghabiskan kalimatnya, Darius
mempersilakan perwakilan dari Kafilah Darzat berbicara, “Dalam
kesempatan ini saya mengundang Tuan Turgimahn untuk
menyampaikan pendapatnya sebagai pengelana yang telah
berulang kali mengunjungi Evenaar.” Tuan Turgimahn pun
melangkah maju.
“Salam, masyarakat Evenaar. Kami berterima kasih atas
penerimaan kalian yang sangat baik dan terpuji. Kami merasa
senang dan nyaman di negeri ini atas perlakukan yang kami
terima. Kami menganggap kalian sudah seperti saudara sendiri
yang dipertemukan kembali setelah perpisahan panjang.
Percayalah, bahwa bagi kami yang sering berkelana dan
mengunjungi negeri-negeri, tidak ada yang lebih indah
dibandingkan udara di Evenaar. Pengembara seperti kami sangat
jarang melihat keistimewaan di setiap tempat yang disinggahi.
Pada dasarnya semuanya sama saja, tetapi tidak dengan Evenaar.
Banyak hal yang membuat kami merindukan tempat ini.
Kehangatan yang menuntun langkah kuda dan bagal untuk selalu
memutar arah kembali ….”
Sofis lekas memotong ucapan Turgimahn, “Bicara hakikat,
bicaralah hakikat. Bicara adat, bicaralah adat. Bicara ayat,
bicaralah ayat. Satu demi satu, bukan bercampur aduk. Urut
tertata, bukan semena lupa. Berbaris dalam jalur, bukan
berkelindan pada alur. Ambil satu sikap, ambil satu sandaran,
ambil satu pegangan, ambil satu ketegasan. Tak perlu berdusta
35
jika percaya dirimu benar!”
Turgimahn tidak kehilangan akal, dia memikirkan sesuatu
untuk membalas, “Apakah kalian akan membiarkan negeri
seindah ini punah begitu saja? Apakah kalian akan membiarkan
para kafilah tak bisa menemukan Evenaar dalam peta-peta
perjalanan mereka? Apakah kalian mengharapkan semua yang
telah kalian jaga menghilang begitu saja? Jika jawabannya tidak,
maka menurut kami sebagai orang asing yang memuja negeri
keabadiaan, sebaiknya tradisi penyucian kota tetap dilaksanakan
demi mencegah Evenaar dari kehancuran,” demikian teriaknya.
Semua masyarakat Evenaar serta merta terdiam. Keadaan
hening sampai ada salah satu dari mereka yang bertepuk tangan
serta berteriak, “Hidup Evenaar, hidup Evenaar, hidup!”
masyarakat pun menyambut teriakan itu dengan melakukan hal
yang sama, mereka meneriakkan kejayaan dan kebanggaan
terhadap tanah mereka. Darius dan anggota dewan lain tersenyum
menyaksikan reaksi yang diberikan. Mereka mengagumi dan
mengakui skenario jitu yang tengah dijalankan Yazed.
***
Cuaca mendung menyelimuti Evenaar selama berhari-hari,
masyarakat mulai menyadari kejanggalan langit. Mereka dihantui
cemas dan takut, khawatir bila tanah di mana mereka tinggal
segera ditimpa bencana besar. Menurut legenda, dahulu kala ada
suatu negeri yang sangat indah dan makmur. Kemudian suatu hari
musibah datang melanda, langit menjadi gelap, dan menurunkan
hujan api. Seisi negeri itu hancur lebur. Peristiwa demikian yang
kini ditakuti oleh penduduk Evenaar, takut terulang kembali di
tanah kelahiran mereka. Desakan agar upacara penyucian kota
segera dilaksanakan bertambah gencar, tapi belum ditemukan
hewan ternak yang pantas untuk dikorbankan.
Bamyeh memberikan pendapatnya sendiri tentang sulitnya
menemukan domba berkualitas tinggi. Katanya, “Belakangan ini
rumput segar jarang didapat. Akibatnya, hewan-hewan memakan
apa pun termasuk wabah.”
“Mengapa harus domba yang dikorbankan? Begitu
36
susahnya mencari domba yang sesuai, kenapa tidak diganti hewan
lain saja?” tanyaku saat melihat rombongan orang berbondong
mendatangi pelataran gedung pengadilan.
“Seperti kuda maksudmu? Kuda lebih baik dijual karena
menguntungkan.”
“Bagaimana kalau sapi, di sini sapi-sapi sangat gemuk dan
warnanya kuning keemasan. Dua ekor sapi bisa mengganti
delapan ekor domba.”
“Seekor domba yang berbulu seputih susu adalah lambang
kesucian. Kauingin mengubah tradisi, heh?”
“Kenapa hewan suci harus dibunuh? Kenapa tidak diganti
dengan hewan menjijikkan seperti ular? Hewan melata itu
katanya penjelmaan setan, pantas untuk dibunuh.”
“Ini bukan pembunuhan, tapi penyucian. Upacara suci harus
menggunakan hewan suci, dasar bodoh!”
“Lebih baik domba itu kita makan, bulunya kita jual, atau
dibikin sepatu.”
“Sepatu terbuat dari kulit ular, bukan domba. Kau ini
memang bodoh!” umpat Bamyeh dari balik dapur sementara
orang-orang yang berlari makin banyak, hal itu menarik
keingintahuanku.
“Hei, Bamyeh, aku mau keluar melihat keramaian.”
“Kembali sebelum gelap, aku tidak mau dengar banyak
alasan!” teriaknya masih dari balik dapur, entah apa yang sedang
dia kerjakan.
Rupanya sebagian orang tidak hanya berlari ke gedung
pengadilan, tapi juga menuju aula kediaman Sofis dan para
pengikut setianya. Mereka bergabung bersama melakukan ritual
permohonan. Dalam posisi duduk bersimpuh kedua tangan kanan
mereka menyilang di dada, tangan kanan di atas yang kiri,
sembari bibir mereka berteriak meratap melantunkan doa, dan air
mata mengucur deras membasahi pakaian. Sementara dari
pelataran gedung pengadilan, Tuan Darius mengumumkan berita
bahwa utusan dari kerajaan akan datang menghadiri upacara
penyucian dan bersedia menghadiahkan hewan-hewan korban.
37
Masyarakat berkumpul mendengarkan penuh harapan, mereka
meneriakkan kegembiraan. Kebisingan pun membahana.
Sebagaimana yang diumumkan oleh Tuan Darius, keesokan hari
rombongan kerajaan memasuki gerbang kota.
Mereka disambut meriah oleh masyarakat Evenaar yang
telah berbenah menghias kota sejak dini hari. Tak terkecuali
diriku dan Bamyeh, kami mengecat dinding, membentangkan
karpet di pintu masuk, dan menggantung lampion warna-warni di
teras restoran kami. Bamyeh membeli daging sapi kualitas
terbaik, roti, rempah-rempah, dan bahan masakan lain, seseorang
memberi informasi padanya bahwa kari dan daging asap sangat
digemari orang-orang kerajaan. Baru kusadari apa yang
membuatnya sibuk seharian di dalam dapur, rupanya dia sangat
antusias menyiapkan menu tersebut.
“Mereka akan memutuskan untuk singgah di sini karena
mencium aroma masakanku,” ucap Bamyeh berbangga diri.
Bamyeh sibuk membanggakan cita rasa hidangan
istimewanya sementara aku menyelinap pergi. Di luar restoran
orang-orang berjejal menyaksikan parade utusan kerajaan. Lima
prajurit pengawal lengkap dengan kuda-kuda mereka yang gagah
berjalan lambat, kemudian diikuti kereta kuda dan satu pasukan
infanteri yang berjumlah dua belas orang. Di belakang mereka
masih ada kereta kuda dan tiga orang pengawal. Kereta yang
terakhir kemungkinan berisi hewan kurban, tetapi masyarakat tak
dapat melihat ke dalam karena terhalang kain berwarna hitam
berlambang kerajaan.
Rombongan itu berhenti Saat tiba di depan gedung
pengadilan, seorang pengawal memasang tangga kecil. Tuan
Darius membuka pintu kereta, dan semua orang membungkukkan
badan. Rasa penasaran di dadaku berdegup kencang. Begitu
berhasil mendapatkan posisi yang tepat, malah pandanganku yang
terhalang oleh pakaian utusan itu. Ternyata sia-sia belaka. Seluruh
tubuhnya dibalut pakaian serba hitam dari ujung kaki hingga
kepala, dan hanya kedua matanya saja yang ditampakkan. Kupikir
pakaian utusan kerajaan sangat mewah, sebaliknya, sungguh
38
mengecewakan.
“Tundukkan lehermu!” teguran itu membuatku
membalikkan badan dan mendapati seorang gadis bertudung
merah dengan sebuah keranjang buah dalam genggamannya.
“Kau dilarang melihat anggota keluarga kerajaan!”
“Mengapa?” tanyaku.
“Karena itulah peraturannya. Kaum perempuan bangsawan
dan keluarga kerajaan harus mengenakan pakaian begitu supaya
berbeda dari perempuan biasa.”
“Jadi utusan itu perempuan?”
“Tentu, dan orang biasa seperti kita bisa kena hukuman jika
berani melihat mereka.”
“Mengapa?”
“Tadi sudah aku jelaskan, masih terus bertanya. Kalau kau
bukan bangsawan lebih baik menunduk.”
“Lalu kenapa kau ada di sini bersamaku?” Dia baru
menyadari sedang bersamaku di atas atap yang sama.
“Aku hanya mengikutimu yang mengendap-endap
memanjat kemari, barangkali kau berniat buruk terhadap utusan
kerajaan.”
“Aku cuma ingin melihat wajahnya saja, kaupikir aku mau
berbuat apa?”
“Anak kecil sepertimu sanggup menciptakan keributan yang
melibatkan seisi kota!” jawabnya.
Seketika itu emosiku bergejolak. Sebisa mungkin kutahan
agar keributan yang diperkirakan tidak benar-benar terjadi.
Kesialanku hari ini begitu lengkap setelah rasa kecewa
sebelumnya bercampur dengan kekesalan, sepertinya mereka tak
kenal lelah menghampiri takdirku. Jika kesialan merupakan
tingkatan terendah dari keburukan, semoga yang paling tinggi
bukanlah sesuatu yang disebut keberuntungan. Lalu sengaja aku
tinggalkan gadis itu sendirian tanpa menghiraukan panggilannya.
“Tolong aku sebentar,” ujarnya setengah berteriak.
“Turun saja sendiri!”
“Bantu aku turun dulu!”
39
“Akui dulu siapa yang akhirnya bikin keributan!”
“Dasar pemarah!”
Sepanjang hari aku menggumam tak jelas mengulang
beberapa kejadian yang memalukan dan mengutuknya. Lalu
menggali kenangan yang lain dan mengumpatnya kembali. Kisah-
kisah perjalanan ini membuatku terus menyesal dan berharap esok
hari jauh lebih baik. Tak perlu menunggu gelap untuk melewati
penderitaan. Matahari masih bisa mengetuk kelopak mataku,
meskipun kutantang dengan tatapan amarah. Sinarnya selalu
membalasku penuh kehangatan sementara tragedi lain terus
menantiku keluar dari tempat persembunyian.
Kadang suatu hal terjadi karena suatu alasan yang tak
pernah kutahu. Bahkan, tak bisa aku kenali walau ada di depan
mata. Mengapa domba-domba itu dikorbankan? Mereka terus
membuat kegaduhan dalam kandang, mungkin lebih dahulu
menyadari apa yang akan terjadi. Seharian penuh mereka
kelaparan, terbelenggu oleh naluri yang seharusnya
menenangkan. Kutahu bahwa beberapa jam lagi dari sekarang
mereka akan dikorbankan. Dengan matahari di titik puncak dan
panas yang sangat terik, kawanan domba itu tidak akan sanggup
menahan. Mereka akan mengembik tak keruan dan menendang
kandang seberisik mungkin.
Sama saja seperti diriku yang tak tahan ingin
melampiaskan semua kekesalan. Seperti membuat kekacauan di
tengah kota, menari telanjang, atau mengamuk mengganggu
orang-orang di pasar. Baru mereka akan percaya bahwa manusia
mempunyai naluri kebinatangan. Setelah itu mereka akan
membiarkan kejadian itu berlalu hanyut bersama waktu, karena
manusia tak lebih dari binatang yang ditempeli akal dan mudah
sekali melupakan.
Mungkin memang manusia tidak pernah memikirkan
alasan-alasan, tapi kurasa semua itu adalah hal yang setimpal.
Bukan karena sebab musabab, melainkan untuk suatu tujuan yang
disebut kesucian. Sesaat nanti upacara itu akan menyucikanku
dan seluruh manusia di kota ini. Apakah kebinatanganku,
40
kebinatangan manusia Evenaar dapat dihilangkan? Bahkan,
dengan membunuh binatang itu sendiri? Ya, ampun! Aku terkejut
dengan pikiran-pikiranku sendiri yang boleh dibilang sungguh
liar.
Tiba-tiba gadis bertudung merah itu muncul dari dunia
antah-berantah. Siapa sih dia? Berkeliaran seenaknya.
Senyumannya juga terkesan aneh, seperti menyimpan seribu satu
pertanda antara kebaikan dan keburukan, sekaligus memaksaku
mengakui bahwa tanpa senyuman itu kecantikannya takkan
membiusku. “Kenapa?” sapanya, “sepertinya kau tidak menyukai
kehadiranku?” sekarang dia berani membaca pikiranku.
“Mau apa kau sebenarnya?”
“Apa maksudmu?”
“Kau muncul seolah kita sudah berbaikan.”
“Memangnya kita pernah bermusuhan?
“Sampai sekarang aku masih membencimu.”
Gadis itu duduk di hadapanku, “Kau harus belajar
melupakannya.” Semudah itu dia mengatakannya. Padahal, dia
telah membuatku apes seharian. “Aku datang ke sini karena ingin
menyaksikan upacara penyucian.”
“Mengapa harus di sebelahku, kau bisa mencari tempat
lain,” sewotku seraya memelototinya.
“Di sini sangat menarik,” kata gadis itu membalas tanpa
melepaskan tatapan matanya. Terus terang membuatku terdiam
gelisah. Sengaja aku beralih darinya.
Duar! Sontak langit berteriak, disusul gemuruh seakan
runtuh. Awan hitam memburu dengan derap tak sabar.
Cras! Cras! Cras! Halilintar menunjukkan kuasanya. Dia
tidak sedang bermain, atau berada di puncak kenakalan. Bumi
menjerit takut, tak jauh berbeda dengan mereka yang
menginjaknya. Bagi orang gurun seperti kami, semua yang turun
dari langit adalah petaka dan menakutkan. Tidak ada kebebasan
yang membiarkan kami berlari telanjang kaki, tidak ada kecipak-
kecipuk air dalam genangan, tidak ada dunia yang indah. Duar!
Kami memekik ngeri. Lonceng-lonceng dibunyikan, para
41
pengawal berteriak mengumpulkan warga dari empat menara
penjuru mata angin. Rupanya Dewan Kota berniat mempercepat
prosesi upacara. kawanan domba yang telah dipersiapkan diarak
menuju alun-alun kota. Dengan segenap kekuatan mereka
memberontak tatkala dipaksa menaiki altar, menendang ke segala
arah agar terlepas dari tangan-tangan perkasa yang membekap
tubuh mereka. Kemudian delapan orang gadis bergaun putih
memasuki pelataran, melangkah dengan hati-hati sembari
membawa delapan buah guci berisikan delapan macam
wewangian. Sebanyak delapan kali pula para bidadari itu
mengelilingi altar, lalu menyiram berbagai jenis wewangian
tersebut ke masing-masing hewan korban.
Seorang kehan berteriak dari atas panggung di samping
altar. Selain dirinya terdapat pula anggota Dewan dan utusan
kerajaan turut menyaksikan kelangsungan prosesi upacara dari
gedung Dewan Kota; Darius membuka acara itu dengan
khutbahnya, “Hari ini kita menyaksikan peristiwa yang telah lama
kita nantikan, menulis sebuah sejarah baru bagi Evenaar, goresan
tinta emas yang akan terus dikenang dan menyinari negeri ini
sepanjang masa. Semoga langit mendengar doa-doa yang kita
pinta, merestui ketundukan yang kita tunjukkan, dan mewujudkan
apa yang kita harapkan.”
Kemudian sang Kehan membakar rempah-rempah, dan
mengasapi seluruh hewan korban, sementara pembantunya
menyerahkan sepasang boneka yang terbuat dari kulit kayu yang
diukir dan dilukis menyerupai manusia. Sebelum menyentuhnya,
kehan itu membaluri tubuh sendiri dengan asap. Terdapat tangkai
kayu di bagian bawah boneka tersebut yang digunakan sebagai
penopang sekaligus genggaman untuk mengendalikannya. Lalu
dia mulai bercerita tentang bocah laki-laki yang berkelana atas
nasihat seorang raja tua.
Sebuah perjalanan anak manusia yang mencari jati diri dan
makna kehidupan. Dengan melewati beragam peristiwa, bocah itu
mempelajari cara meraih kesucian jiwa. Tubuh memenjarakan
jiwa yang bergerak bebas di alam semesta. Akan tetapi, jiwa terus
42
mencari kesempatan melepaskan diri dan memberontak terhadap
tubuh. Bahkan, memengaruhi tubuh dengan mengubahnya
menjadi rapuh. Karena itu, jiwa manusia harus disucikan.
Setelah bocah itu kembali dari perjalanannya, dia
mengetahui bahwa raja tua telah meninggal. Untuk mengenang
jasanya, bocah itu menetap di dekat sumur yang letaknya tidak
jauh dari makam sang Raja. Setiap hari dia melayani kafilah yang
lewat, menyediakan air, menyampaikan beberapa pepatah dan
nasihat. Rombongan kafilah yang datang terus bertambah, mereka
menyukai kata-kata bijak penunggu sumur. Lambat laun usianya
terus menua, dirinya bukan lagi si Bocah.
Suatu hari dia bermimpi mendapati tempat itu telah berubah
menjadi pemukiman yang sangat ramai, dan dicatat dalam peta-
peta para kafilah. Saat dirasakan ajal kian dekat, dia menceritakan
seluruh kisah hidupnya, termasuk suara angin yang terus
membisikkan sebuah nama di telinganya. Bisikan itu telah
membuatnya menderita. Sampai tubuhnya tak berdaya oleh
kelumpuhan, bisikan itu terus terdengar sehingga dia berupaya
mematikan pendengarannya. Sang Penunggu sumur telah tiada,
orang-orang melaksanakan wasiat terakhirnya; mengadakan
upacara pengorbanan untuk menyucikan jiwanya.
“Menuju istana surga dia berlayar. Menepis
badai di langit, menduduki pendulum takdir.
Singgasana kedamaian nan abadi. Tiada gusar angin
mengguncang. Berlabuh di dermaga keberkahan.”
Usai bercerita dan berpuisi, kehan itu lekas menaruh
boneka-boneka kayu. Mengganti dengan hunusan pedang. Prosesi
penyembelihan segera dilakukan, semua mata tertuju ke arah
altar. “Dan domba tetap menjadi domba, takkan berubah menjadi
singa sampai langit membuka pintunya dan terlahir kembali ke
dunia.” Demikian ucapan terakhir sang Kehan. Awan hitam
berarak rendah. Tiap orang menanti walau hati dipenuhi gelisah.
Ingatan masa lalu menjadi trauma abadi.
Penyembelihan mulai dilakukan, mata pedang yang tajam
itu melakukan tugasnya dengan baik. Sebentar saja hewan
43
pertama mulai kehabisan darah dan tubuhnya berhenti meronta.
Kondisi serupa juga berlaku bagi yang kedua. Perlahan rasa lega
menyeruak. Disadari, atau tidak, hampir semua orang menghela
napas berbarengan. Rangkaian ritual kelihatannya berjalan lancar
pertanda segalanya baik-baik saja. Sebagaimana kata pepatah,
sesuatu yang datang kedua kali, akan kembali untuk ketiga kali,
keempat kali dan seterusnya.
Duar! Secercah kilat tiba-tiba menyambar mengakibatkan
kehan di atas altar terpental jauh. Terdengar jerit ketakutan,
terlebih ketika petir itu membakar altar, termasuk hewan-hewan
korban. Kepanikan pun tak bisa dielakkan. Lalu dari arah lain
datang serangan tak terduga, gerombolan orang menyerang dan
mengepung alun-alun kota. Tuan Valhalad dan anak buahnya
berusaha memberikan perlawanan, tapi senjata mereka terlucuti
dengan sendirinya. Mereka terkejut bukan main.
“Menyerahlah orang-orang Evenaar!” Perintah itu datang
dari seorang pria yang mereka kenal. Baru mereka sadari apa
yang dilakukan pria itu bersama pengikutnya bukan hanya
sekadar perkumpulan biasa. “Kalian telah mengkhianati para
abbat, padahal Smaragad masih berdiri kokoh.” Tongkat hitam
dalam genggamannya menunjuk ke atas bukit.
“Sofis, kau!” bentak Yazed, ayahnya sendiri, “Kau gila!”
Dia tak habis pikir menyaksikan perbuatan putranya yang kelewat
batas. “Kalian para penduduk Evenaar yang telah gila, hanya
demi ambisi pribadi kalian berani mengubah apa yang telah
ditetapkan oleh para abbat.”
“Lihat perbuatanmu, kau telah membuat kekacauan!” balas
Tuan Darius. “Apa yang aku perbuat adalah mengembalikan apa
yang seharusnya. Inilah ketetapan para abbat yang suci dan tak
mungkin berganti!”
“Itu hanya bualanmu semata, sebuah jargon indah dengan
agenda busuk!” bentak Valhalad. “Lihatlah, Smaragad itu hanya
tumpukan batu yang tidak berbicara. Apa yang mereka wariskan
adalah apa yang kita jalani, tapi bukan berarti kita tidak dapat
membuat keputusan sendiri!”
44
“Diam kau, Valhalad!” hardik Sofis, “kau pikir dirimu
siapa, lancang berucap seperti itu!” Dia memukulkan tongkatnya
ke tanah, dan sulur-sulur hitam bergerak melesat ke arah Tuan
Valhalad lalu menjerat leher pria bertubuh tinggi itu. Semua
orang tersentak dan bergidik ngeri. Bahkan, ada yang lekas
menutup mata tak sanggup menyaksikan Tuan Valhalad bertarung
mempertahankan napas terakhirnya. Mereka pun tak menyangka
jika Sofis memiliki kekuatan sebesar itu.
***
Apakah kita akan baik-baik saja? Itulah ucapan terakhir
yang kudengar dari si Gadis bertudung merah. Dari pertanyaan
itu, nampaknya ketidakpastian telah merenggut kesadaran
pribadinya. Kadang di saat genting seperti ini, hidup dan mati
adalah sesuatu yang tak pasti. Hanya kehampaan tersirat di wajah
dan ingatan akan kisah masa lalu tak bermakna. Jiwanya dikuasai
praduga bahwa kehancuran kian dekat dan kebinasaan tak
mungkin dihentikan. Niatku hendak mengatakan sejujurnya
tentang suasana di luar, tapi rasa iba membuatku berdusta.
“Tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa pada kita,” jawabku
mencoba menghibur hatinya.
“Benarkah?” tanyanya. Kutahu dia meminta kepastian, tapi
bukan diriku yang dapat memberikan. Aku tidak tahu, jawab
batinku. “Ayo, kita pergi dari sini!”
“Ke mana?”
“Nanti saja aku pikirkan, yang penting kita harus pergi
sebelum tertangkap oleh mereka.” Apa yang tengah aku
rencanakan, pikiranku buntu seketika. Intuisiku menyuruh supaya
menjauh dan hanya ada satu kata yang terngiang di kepalaku;
Smaragad. Hanya tempat itu yang dapat melindungi kami.
Setidaknya aku masih bisa berharap dan harapan itu yang
memacu langkah kakiku menuju Smaragad, tapi tidak demikian
dengan si Tudung merah. Bahkan, baru separuh perjalanan dia tak
sadarkan diri. Akhirnya aku putuskan untuk menyembunyikan
gadis itu di gudang tempat penyimpanan hasil panen, tubuhnya
kututup dengan jerami agar tidak ketahuan. Lagi pula jika kuajak
45
dia ke Smaragad belum tentu bisa membawanya masuk, aku
sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Yang aku pikirkan
sekarang adalah Romina, aku berusaha menghubungkan diriku
dengannya.
“Romina, tolong aku. Romina, bawa aku menemui Abbat
Khom,” ucapku sendirian. “Romina—” tiba-tiba aku telah berada
di ruangan batu yang kukenal.
“Romina!” teriakku mencarinya dari satu ruangan ke
ruangan yang lain, “Abbat Khom, siapa saja, tolonglah!”
“Aqiel.” terdengar suara Romina memanggilku, dan dia
berada di sekitar kolam pengetahuan bersama Abbat Khom.
Rupanya mereka telah menungguku.
“Kalian sedang apa, Evenaar dalam bahaya!”
“Tenanglah, kami tahu apa yang sedang terjadi di luar
sana,” jawab Romina.
“Kenapa kalian masih di sini, kalian harus menolong orang-
orang dan juga Evenaar.”
“Kami tidak bisa, Aqiel.” Kata-kata Abbat Khom menyirap
amarahku, lagi-lagi aku merasa kecewa kepadanya.
“Kenapa, bukankah kau seorang abbat?”
“Aqiel, jaga—”
“Kau tak perlu menasihatiku, Romina. Mengapa kalian para
Abbat hanya diam saja saat kekacauan terjadi di luar. Evenaar
akan hancur akibat kesengajaan kalian membiarkannya.”
“Kemarilah, tahan amarahmu dahulu.” Abbat Khom
memintaku mendekat, dia masih memperlihatkan senyuman
hangatnya seolah tidak ada peristiwa apa pun di dunia ini yang
perlu dikhawatirkan, dan karena itu pulalah akhirnya aku turuti
permintaannya. Kolam itu memancarkan cahaya kehijauan yang
menenangkan dan semakin berpendar ketika dihampiri olehku.
“Aku pernah mengatakan padamu bahwa air adalah sumber
kehidupan.”
“Ya, saya mengerti soal itu.”
“Jasad yang kekeringan akan bangkit kembali oleh air, tapi
air hanya menghidupi tubuh. Sedangkan manusia membutuhkan
46
lebih dari sekadar air. Jauh di dalam diri mereka, manusia
dikendalikan oleh harapan.”
“Tapi bukankah Anda sendiri mengatakan bahwa manusia
harus mempertahankan harapannya.”
“Benar sekali.”
“Supaya bisa bertahan, apakah menurut Anda mereka tidak
pantas ditolong?”
“Setiap pribadi harus menolong diri mereka sendiri. Hanya
mereka yang mengetahui apa yang sebenarnya mereka harapkan,
bukan orang lain.”
“Tapi mereka menderita di luar sana, saya menyaksikan
sendiri keadaan sesungguhnya.”
“Kau sudah membaca penglihatanmu sendiri?”
“Belum.”
“Seorang abbat harus mempelajarinya.”
“Mereka menyerang orang-orang dengan meng-
atasnamakan para abbat, sedangkan Anda sendiri seorang abbat
seharusnya membantu orang-orang itu. Tapi permasalahannya
Anda tidak melihat kejadiannya.”
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa, di luar sana bukan dunia
kami.”
“Lalu di mana semestinya?”
“Bukan itu maksudku. Jiwa kami terikat dengan tempat ini,
maka kami tidak bisa meninggalkannya.”
“Apa?” apakah aku tak salah dengar, jawaban Abbat Khom
memunculkan kecurigaan dalam diriku, bahwa keberadaan
mereka cuma sia-sia belaka bagi Evenaar.
“Ternyata para abbat tak mampu berbuat apa pun,
sementara banyak orang yang memuja mereka.” Kebencian telah
menguasaiku. Aku bersumpah takkan mau kembali ke Smaragad.
“Aqiel!” sergah Romina.
“Bahkan, di antara dinding-dinding yang diabdikan kepada
doa tak ada kasih sama sekali!”
“Semua itu ada di dalam dirimu. Hanya saja kau tidak
menyadarinya!”
47
“Aqiel!” kudengar Romina memanggilku, tapi sengaja aku
abaikan. Walaupun sekuat tenaga kulawan, sesuatu yang lebih
dahsyat berhasil memaksaku menyerah. Dengan kemampuannya,
dia menahan langkahku. Rasanya seperti dipecundangi berulang
kali.
“Apa maumu?!” bentakku sekerasnya. Sebenarnya, sikap
seperti itu sangat tidak perlu, tapi aku telanjur malu akibat
ditaklukan oleh perempuan.
“Kau tak perlu marah.” tatap Romina dalam menyen-tuh
batinku. “Kuyakin ucapan Abbat Khom bisa kaucerna dengan
baik. Gunakanlah akal sehatmu.”
“Untuk apa?” serangku, “sudah cukup kudengar bualan
penglihatan, harapan dan hal konyol lainnya Sekarang ini akal
sehatku mengatakan bahwa mereka harus ditolong!”
“Kau belum siap, kau tidak tahu bagaimana caranya.”
“Bahkan, jika aku harus mati!”
“Kalau kau terus menghindar, kau akan selalu ketakutan!”
Kemudian dia menatapku dalam diam. Kekecewaan di dadaku
teramat dalam. Hanya pandangan kami yang menyiratkan sejuta
makna dan dia tak bisa menahanku untuk kedua kali. Seketika itu
juga keanehan pun terjadi, pemandangan di sekitarku berubah;
perlahan Romina memudar di hadapanku, dilanjutkan dengan
raibnya seisi Smaragad. Kastil yang tadinya berdiri megah tiba-
tiba menjadi puing reruntuhan yang ditumbuhi lumut-lumut
tinggi.
Ada apa ini? pikirku. Namun, mendadak di dalam kepalaku
menggema suara lainnya, “Tidakkah kau melihat pertanda-
pertanda masa lalu?”
Pertanda apa, kucoba untuk menanggapinya. Suara itu
bukan milik Romina, atau Abbat Khom. Suara yang begitu asing,
tapi kedengarannya familiar.
“Pertanda-pertanda yang akan membantumu membuka
penglihatan.” jawabnya.
Sudah cukup! Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk
melupakan semua katamu, jawab batinku.
48
Suara itu terus menjejaliku, “Kau cuma tak mau, bukan
berarti tak mampu.”
Aku sudah mencoba, tetapi hasilnya sama saja.
“Kau pasti sanggup.”
Tidak perlu memaksaku, percuma saja.
“Kau tahu caranya.”
Bagaimana?
Sekonyong suara itu menghilang meninggalkanku begitu
saja. Hari mulai gelap saat kulihat melalui atap yang nyaris
hancur, dan bintang-bintang bermunculan menggodaku. Aku tak
ingin teperdaya. Mungkin suara tadi ulah Romina yang hendak
memengaruhi untuk kedua kali.
“Romina!” teriakku. Tidak ada jawaban.
“Romina!” serta merta hatiku cemas. Walaupun aku
meneriaki namanya, tetapi tak ada balasan lain, kecuali gema
suaraku sendiri.
***
Mengapa hidup seolah menjadi misteri. Bukankah hidup itu
harus dijalani dan bukan dipikirkan? Sebenarnya hidup itu apa?
Apakah tujuan daripada hidup, haruskah manusia mengejar
tujuan-tujuan dalam kehidupan mereka? Bagaimana kehidupan
menjadi sungguh bermakna, atau masihkah manusia berkutat
mencari makna kehidupan? Segumpal pertanyaan memenuhi
kepalaku tatkala menyaksikan masyarakat Evenaar yang tertawan.
Apakah mereka memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup
dan mempertahankan kehidupan?
Saat kembali ke gudang, aku dapati gadis bertudung merah
itu tengah melamun. Rupanya dia takut untuk keluar sehingga
tetap berdiam diri di bawah tumpukan jerami. Aku
memberitahukan padanya situasi di alun-alun kota, masyarakat
dikumpulkan dan dipilah antara yang bersikeras menentang Sofis
dan yang bersedia menjadi pengikutnya. Banyak yang kemudian
menyerah dan berpaling menjadi pengikutnya, termasuk beberapa
anggota Dewan Kota.
Mengenai keberadaan dewan itu, saat ini telah dibubarkan.
49
Evenaar tak lagi dipimpin oleh sejumlah bangsawan yang
tergabung dalam Dewan Kota. Sofis memproklamirkan diri
sebagai Raja Evenaar. Entah bagaimana nasib utusan Zalikan,
mungkin juga dijebloskan ke dalam penjara, atau sudah
kehilangan nyawanya.
Gadis itu semakin ketakutan mendengar ceritaku. Tubuhnya
meringkuk di tempat gelap sembari berharap tiada satu pun
pengikut Sofis yang mendatangi tempat persembunyian kami.
Aku sendiri tak mampu berbuat apa pun untuk menenangkannya,
apalagi memastikan bahwa kami akan baik-baik saja.
Keberanianku mungkin sama sirnanya dengan orang-orang di luar
sana. Hanya saja di sini aku masih merasa aman.
Dalam keadaan demikian justru ingatanku tertuju pada salah
satu isi khutbah Sofis tentang kehidupan. Menurutnya hidup itu
mencari kebahagiaan. Manusia bisa menjadi kaya, atau miskin.
Bisa menjadi apa saja dan bisa mendapatkan apa saja di dunia.
Akan tetapi, hanya kebahagiaanlah yang susah untuk didapat.
Waktu itu aku sempat protes; mencari berarti untuk
menemukan, jika dibenturkan dengan kematian maka yang
muncul cuma sekadar hiburan setengah matang. Sebelum
menemui ajal, terlebih dulu manusia dituntut untuk menemukan
kebahagiaan, dengan kata lain hidup itu ibarat menanti kematian
yang membosankan. Lalu sebagai alternatif kejenuhan, manusia
mengisi penantian mereka dengan hal-hal yang dianggap
membahagiakan. Akhirnya manusia dibiarkan berandai dengan
imajinasi, berspekulasi bahwa diri mereka telah menemukan
kebahagiaan.
Apakah spekulasi adalah kehidupan? Jika jawabannya
benar, berarti mau tidak mau manusia akan terus berspekulasi.
Sedangkan manusia tidak pernah merasa puas. Apakah
kebahagiaan sungguh sangat memuaskan? Tetapi jika hidup
bukanlah spekulasi, tetap saja manusia berada di antara
ketidakpastian. Karena ketidakpuasan ketika kebahagiaan belum
didapat sama saja dengan menghadapi ketidakpastian, lantas
dapatkah dikatakan bahwa hidup adalah ketidakpastian?
50
Lalu hidup itu apa? Hidup berarti bernapas, hidup berarti
beraktifitas, hidup berarti ada, dan ada banyak orang di dunia
membicarakan soal hidup. Melalui pengalaman masing-masing
mereka mencoba memahami hidup. Ada yang beranggapan
bahwa hidup tak lain dari sekadar proses pemahaman tanpa henti.
Ada pula orang-orang yang menganggap hidup adalah masalah
dan hidup tanpa masalah sama saja mati. Kalau mengingat apa
yang dikatakan ayahku bahwa hidup itu sesungguhnya sederhana
maka baginya inti kehidupan terletak pada tujuannya. Tujuan
hidup manusia tak lebih untuk membangun keluarga, menafkahi
keluarga dan mati. Akan tetapi, sesederhana itukah hidup ini?
Jika hidup sesederhana itu, untuk apa ada orang-orang yang
membuka restoran seperti Bamyeh, atau seperti Tuan Darius yang
begitu membanggakan kebang-sawanannya, atau semacam Sofis
yang mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya. Bahkan
untuk apa ada Smaragad dan penghuninya yang tidak bisa berbuat
apa-apa, sedangkan di sisi lain banyak orang yang terpinggirkan
dan memiliki keterbatasan untuk meraih tujuan hidup. Mereka
tidak mengetahui apa tujuan hidup ini. Apakah sesederhana
ayahku, atau justru serumit sulitnya kehidupan yang mereka jalani
sehari-hari. Lantas di mana letak sederhananya?
Mengapa pikiranku amat gemar bercabang dan semua
ruasnya membuatku jenuh. Tak pernah kudapat jawaban yang
lebih baik. Bahkan, semakin gelisah. Hidup itu apa?
“Hei.” Gadis bertudung itu membuyarkan lamunanku
dengan melempar beberapa helai jerami mengenai wajahku.
“Eh,” aku bersihkan jerami yang masih bersarang di
rambutku sembari mendengarkan tawa kecilnya yang tengah
menikmati kekagetanku. “Dasar gila!”
“Habisnya kau diam terus.”
“Terserah aku, apa pedulimu?”
“Pasti kau memikirkan sesuatu,” dia menghampiriku
sembari memasang tampang curiga, “atau jangan-jangan kau
sedang merencanakan hal buruk terhadapku.”
“Hidup, yang aku pikirkan adalah hidup.”
51
“Hidup?” matanya mendelik, “untuk apa susah-susah
memikirkan hidup?!”
“Kita cukup menjalaninya, bukan memikirkannya. Begitu
kan yang mau kau katakan?” tetapi gadis itu menggeleng.
“Apa yang kau bilang barusan mungkin benar adanya, tetapi
bukan itu yang mau aku katakan.” bantahnya.
“Kalau bukan, lantas apa?”
“Menurutku, kita tak perlu susah payah memikirkan hidup
sebab hidup itu sendiri adalah kontroversi.”
“Kontroversi?”
“Ya, bukankah sejak pertama kali manusia diciptakan,
kehadiran manusia menimbulkan pertentangan di langit dan di
bumi? Makanya, hidup manusia itu kontroversi.”
“Kalau berpikiran begitu, berarti kau hanya menjalani hidup
seperti orang putus asa?”
“Tidak, masih banyak yang bisa aku pikirkan—”
“Contohnya?”
“Dunia yang hidup ini.”
“Aku ingat kata ayahku, „Betapa pun hebatnya manusia,
nantinya pasti mati juga. Jadi, untuk apa kita terlalu berlebihan
memikirkan dunia?‟ ”
“Kau sendiri yang bilang kita pasti mati. Saat kematian
menjemput kita, dunia seperti apa yang mau kau tinggalkan untuk
yang masih hidup?”
“Kau takut meninggalkan kehidupan.”
“Tidak, aku cuma ingin menghidupkan dunia ini ketimbang
susah payah memikirkan hidup sendiri.”
“Aku masih tak mengerti. Para abbat yang banyak dipuja
dan disucikan oleh semua orang, ternyata masih sibuk
memikirkan kehidupan mereka pribadi. Justru gadis antah-
berantah sepertimu malah berpikiran sebaliknya.”
“Tolong jangan panggil aku gadis antah-berantah, aku juga
punya nama.”
“Memangnya nama sangat berarti buatmu? Katamu tidak
memikirkan diri sendiri, kenapa sewot soal panggilan?”
52
“Kalau ada seekor kerbau yang namanya persis namamu,
memangnya kau mau dipanggil dengan nama yang sama?
Apalagi, kalau hewan itu ada di sampingmu.”
“Memangnya seekor kerbau tidak boleh punya nama yang
sama denganku? Kerbau punya kehidupan dan namanya sendiri,
begitu juga aku. Jadi, apalah artinya sebuah nama,” ucapku seraya
tersenyum padanya. Kok kata-kataku mirip si Abbat bodoh itu,
pikirku geli sendiri.
Gadis itu memalingkan muka, “Huh, dasar kerbau!”
“Menurutku wajahmu tambah lucu ketika kesal.”
“Benarkah?”
“Aku tidak bohong.”
“Jangan bicara padaku seolah aku ini anak kecil.”
“Kau memang belum dewasa.”
“Ya, tapi tingkahmu lebih kekanakan. Terlalu banyak
argumen untuk membahas soal nama. Pikiran dan ucapanmu
melebar ke mana-mana.”
“Apa kau sadar kalau kau sendiri menggunakan perasaan
terlalu berlebihan waktu kupanggil gadis antah-berantah.
Kenyataannya memang kau orang asing bagiku.”
“Asing?”
“Ya, aku tidak tahu asal, keluarga, atau kerabatmu.
Masyarakat Evenaar rata-rata saling mengenal satu sama lain.
Kemunculanmu waktu itu sangat aneh karena sebelumnya aku tak
pernah melihatmu berkeliaran di kota. Siapa kau sebenarnya?”
gadis itu sedikit terkejut dan berusaha menyembunyikan, keadaan
malah berubah sunyi.
“Kenapa mendadak bisu?”
“Omonganmu bikin pusing dan membuat orang lain
tersinggung. Malas berbicara denganmu.”
“Sama.”
“Dalam kehidupan ini ada hal-hal yang tidak perlu
dibagikan kepada orang lain. Camkan itu!” tambahnya kemudian
menjauhkan diri dan memejamkan mata.
Sekarang aku terjaga sendirian ditemani beberapa suara
53
binatang malam dari kejauhan. Gudang ini sangat lembap. Udara
dingin merembes masuk lewat pori-pori dinding, celah pintu dan
atap. Bulan muda mengintip malu, rasanya aku menemukan
ketenangan yang belum lama menghilang. Perasaan rindu begitu
cepat menggantikan semua rasa. Kembali diliputi kehilangan satu
persatu orang terdekat dalam hidupku, terutama Paman Muzein.
Aku percaya dia belum mati. Mungkin dia harapan satu-
satunya ke mana aku melangkah. Aku tak mau pulang ke restoran,
aku tak ingin mengekor orang-orang yang memilih lebih baik
selamat ketimbang ditangkap. Aku mencintai Evenaar, tapi
membenci kerajaan barunya.
Evenaar tidak pernah dipimpin seorang raja. Kota
perniagaan yang bebas. Hanya Dewan Kota yang bertugas
sebagai pelaksana peraturan. Anggotanya dipilih dari beberapa
orang kaya yang disebut kalangan bangsawan. Akan tetapi,
penduduk kota dikenai pajak oleh kerajaan Zalikan yang terletak
di Tehravim. Membutuhkan waktu sehari semalam untuk sampai
ke sana.
Dari cerita orang-orang yang pernah mengunjungi Zalikan,
kota itu merupakan kota militer yang luasnya lebih besar daripada
Evenaar. Kerajaan tidak mengurusi Evenaar kecuali dalam
kepentingan militer sehingga di dalam kota cuma biro
pengawalan yang diperbolehkan membawa senjata perang. Entah
bagaimana jadinya kalau pihak kerajaan mengetahui perbuatan
Sofis dan para pengikutnya.
***
Orkel adalah kepingan uang yang terbuat dari logam
orichalcum, nilainya sepuluh kali lipat isfar yang terbuat dari
emas, dan seribu kali lipat kepingan perak severum. Mungkin jika
suatu hari nanti kekayaanku seperti Tuan Darius, atau
melebihinya, sebuah gudang orkel akan berdiri megah di sebelah
rumahku. Bahkan, akan kubeli tambang yang dapat menghasilkan
orkel dengan sendirinya. Hidupku akan bahagia, mimpiku akan
tercapai, sehingga kesuksesan dapat kuraih.
Selama ini kudengar orang-orang bilang bahwa kesuksesan
54
adalah pencapaian, atau sebuah keyakinan yang benar-benar harus
diyakini agar memberi kekuatan untuk mencapainya. Namun
kesuksesan itu tak juga tercapai seberapa pun besarnya
keyakinanku. Setidaknya ini pandanganku tentang kesuksesan.
Rasanya sudah capek duluan gara-gara membayangkan
kesuksesan. Ketidak-pastian yang melelahkan.
“Hei, kerbau, apa kita terus bersembunyi di sini?” Lagi-lagi
gadis bertudung merah itu membuyarkan lamunanku.
“Puas memanggilku kerbau?”
“Kau sendiri yang tak mau direpotkan soal nama.”
“Aku telah membuka jalan agar kau menemukan satu-
satunya keahlian pribadimu, yakni menghina orang.”
“Katamu takkan tersinggung kalau kupanggil kerbau.”
“Namaku Aqiel, bukan kerbau.”
Gadis bertudung merah itu malah tertawa riang. Air
mukanya berseri-seri. “Ya, ampun. Andaikan bisa memilih, aku
tidak mau di sini bersama orang sepertimu.”
“Aku juga.”
“Terus kenapa kau masih di sini?”
“Baru saja aku mau pergi cari makanan.”
“Semalam kau ketakutan, tapi sekarang cerewet sekali.
Sudah bisa menjaga dirimu sendiri, ya?”
“Tentu saja, pokoknya aku ingin pergi dari sini.”
“Kalau keberanianmu sudah pulih, pergi saja sendiri!”
“Ini semua salahmu. Kalau kau tidak mengajakku ke sini,
aku tidak akan menderita.” keluhnya.
“Kau akan lebih menderita kalau ada di luar sana.”
“Apa kau selalu begini, bersikap sombong dan merasa benar
sendiri?”
“Kau tidak sadar dengan kelakuanmu yang manja, arogan
dan suka mengganggu orang lain?”
“Dasar kerbau!”
“Bakat terpendammu muncul. Dasar gadis aneh dari negeri
antah-berantah.”
“Jangan panggil aku begitu. Namaku Naya, tau!”
55
“Terserah siapa namamu, aku cuma mau tahu dengan apa
kau membeli makanan?”
“Dengan ini,” katanya seraya mengeluarkan sekeping orkel
dari balik saku pakaiannya.
Sontak aku terkejut menyaksikan benda berharga itu.
“Astaga, dari mana kau mendapatkannya?” pandanganku tak
pernah lepas dari kepingan itu.
“Makanya jangan suka meremehkan orang lain, kau tidak
perlu tahu bagaimana aku mendapatkannya. Dengan ini aku bisa
mendapatkan segala yang kumau; makanan, pakaian dan
perlindungan.” Dia menyimpan kembali uang itu. Kecurigaanku
pada gadis itu bertambah besar.
“Kurasa kau mencurinya, itu bukan milikmu.”
“Tepat!” dia tersenyum simpul, “Nah, aku lapar.
Penawaranku cuma sekali. Kauikut denganku, tidak?”
“Aku tidak mau. Lebih baik kita berpisah saja di sini!”
“Kenapa? Aku tahu kau kelaparan sama sepertiku.”
“Tidak, lagi pula kalau aku ikut denganmu seolah-olah
harga diriku sedang kujual padamu.”
“Siapa pula yang sedang tawar-menawar denganmu. Kau
merasa punya harga diri? Sebutkan hargamu!” Ajakannya
kutampik dengan gelengan. Benci merayap merasukiku,
memancarkan keangkuhan di mataku. “Kuharap kita tidak pernah
berjumpa lagi.”
Dia membuka pintu gudang dan meninggalkanku.
Kepergiannya terus aku ikuti sejauh mata memandang. Hanya
sunyi yang kudengar. Akhirnya, aku melangkahkan kakiku
menerobos siang yang garang. Keputusan tak dapat diambil kalau
cuma berdiam diri dan mendengarkan kegelisahan.
Sekujur tubuhku terjaga dari lelap dalam udara yang
lembap. Bagai tersentak dan berubah galak, keringat bercucuran
dan gatal pun menjalar. Sebelum pergi dari sini, mendadak
tercetus keinginan melihat Geneyna untuk terakhir kali.
Dalam semalam semua porak-poranda, taman itu tak
berwujud seperti dulu. Keindahannya hancur berantakan.
56
Pepohonan tumbang dan dedaunan berserak mengering cepat.
Kelopak bunga layu dengan sendirinya. Sungai-sungai kecil tak
lagi dialiri air karena sumber mata air dibendung dan dibuat aliran
baru yang menuju aula besar. Masyarakat tidak bebas
mendapatkan air, tapi dijatah sebatas kebutuhan harian. Yang mau
mendapatkan lebih harus membeli.
Kini tidak sembarang orang bisa masuk Evenaar, para
penjaga memeriksa siapa pun yang masuk dan keluar, rata-rata
yang diizinkan adalah petani dan gembala. Untungnya aku masih
berada di dalam kota. Pengikut Sofis berkeliaran. Mereka sangat
tunduk pada raja baru. Ke mana orang-orang yang menentang
Sofis? Apakah semuanya telah dipenjarakan? Aku tak percaya
jika yang tersisa dari penduduk Evenaar hanya mereka yang setia
dan patuh padanya.
Di tengah orang-orang ini, amat berbahaya. Mereka pasti
menyadari siapa diriku yang terkenal sering menertawakan Sofis
saat berkhutbah, mengejek ajaran dan petuahnya. Beberapa orang
yang melihatku sengaja diam mengamati dan menungguku
tergelincir. Masih sempat pikiranku menerka apakah mereka akan
melaporkan, atau langsung menghakimiku. Sialnya, mereka
memutuskan untuk menangkapku. Sedikit demi sedikit
kerumunan orang mendekat, firasatku mereka akan menyerang
serentak. Sebelum mereka bertambah banyak, kuputar badanku
mengambil langkah seribu.
***
Untuk berkuasa, manusia harus memiliki alat. Di wilayah
tandus seperti gurun, oasis adalah sumber kehidupan. Mau tidak
mau, masyarakat menggunakan mata air untuk membuka ladang
dan menyuburkan tanah. Kemudian tanah yang telah diolah
dengan lumpur endapan akan siap ditanami, atau dibiarkan
rerumputan liar tumbuh sendiri sebagai makanan hewan gembala.
Kerajaan besar biasanya menguasai satu hingga dua mata air.
Mereka membendungnya menjadi situ buatan dan mengalirkan ke
sumur-sumur untuk memenuhi kebutuhan akan air. Walaupun air
bukanlah alasan pasti, banyak perang terjadi akibat perebutan
57
mata air dan terbukti ampuh untuk dijadikan alat meraih
kekuasaan. Karena itu, manusia sejatinya makhluk yang enggan
untuk berbagi. Sesuatu yang alamiah bahwa kekuasaan
mendatangkan kekayaan dan kendali. Bukankah orang-orang
yang bisa mengen-dalikan sesamanya, disebut orang-orang yang
mulia?
Walaupun ketidakpatuhan adalah sifat dasar manusia, tapi
kepatuhan masyarakat akan dapat ditundukkan dengan kendali
penuh atas urusan air. Buktinya adalah kepunahan tradisi-tradisi
lama, seperti keberadaan oasis yang diyakini orang-orang dulu
sebagai daerah netral. Mereka tidak pernah berperang dan
menyerang penduduk yang tinggal berdekatan dengan sumber
mata air. Semenjak sumber kehidupan dikuasai, beberapa oasis
bukan lagi daerah yang bebas—dan tempat orang-orang
menemukan kebebasan. Peraturan demi peraturan bermunculan
untuk membatasi sekaligus mengawasi masyarakat; dari mulai
jumlah penduduk, sampai berbagai jenis hiburan.
Para raja khawatir pajak yang disetorkan akan berkurang,
tetapi kerajaan tak ingin rakyatnya menemukan kebebasan dan
membuat seolah-olah kebebasan itu merusak tatanan. Pada
dasarnya manusia adalah binatang yang egois; saling memerlukan
bila memang ada maunya. Tanpa hal tersebut, makhluk paling
berakal ini akan berselisih seperti pesakitan. Moral, etika dan
peradaban adalah lelucon buruk yang membuat manusia betah
dengan kemunafikan. Bahkan, menjadi hal yang alamiah dan tak
perlu ditutup-tutupi. Akan tetapi, perubahan terus bergulir tak bisa
dibendung.
Kalangan bangsawan Evenaar meradang dan sakit hati
ketika tanah mereka diambil paksa oleh raja baru. Diam-diam
mereka mengirim surat, mengadukan peristiwa itu pada
bangsawan-bangsawan di Zalikan. Umumnya, antara tuan tanah
di Evenaar dan bangsawan di Zalikan masih memiliki pertalian
darah. Ketika kalangan bangsawan mengadukan hal itu pada
penguasa dataran tinggi Tehravim, kontan sang Raja berang.
Setiap jengkal tembok istana merasakan amarahnya
58
semakin menjadi-jadi saat mengetahui di tengah rakyatnya ada
sekumpulan orang yang berusaha menemukan kebebasan,
tindakan nekat yang hina dan merusak ketenteraman bersama.
Raja tak ingin keributan di Evenaar merambat sampai ke pusat
kekuasaan, beberapa keributan kecil di Zalikan selalu dicurigai
berkaitan dengan pemberontakan di Evenaar.
Sebenarnya, yang ditakutkan bukanlah seberapa besar
kekuatan lawan, tapi kenangan yang khawatir terulang di mana
dirinya berperan meruntuhkan penguasa Evenaar di masa lalu.
Bahkan dia yang paling antusias memainkan peran itu
sesempurna mungkin. Jika pertunjukannya sempurna maka
dengan sendirinya banyak orang akan tertarik mengelukan,
memuja, mendukung dirinya sebagai raja baru. Namun saat ini
sang Raja tak ingin peristiwa yang sama terjadi kepada diri
sendiri, dia menggunakan segala cara untuk memadamkan bara
api itu.
Gambaran istananya berada di ambang kehancuran terus
menghantui. Wajah sang Raja memerah, matanya membelalak,
seluruh tubuhnya gemetaran tatkala mendengar kabar bahwa
utusan kerajaan tewas dalam peristiwa pemberontakan yang
dipimpin seorang pemuda bernama Sofis. Jiwanya bercampur
aduk ketakutan, gelisah dan amarah. Dinding-dinding
kemanusiaan di relung hatinya porak poranda. Satu per satu
pondasi kebengisan tersusun menancapkan pilar-pilar harga diri
sebagai seorang penguasa.
“Pengkhianat!” Suaranya menggelegar. “Laknat!” Seisi
istana bergetar. Semua orang terperanjat sekaligus terkesima, raja
tua itu tak lagi menampakkan sosok yang mulai merapuh. Baju
zirahnya amat berisik ketika dia berdiri tegak, pertanda tragedi.
Tiba-tiba dua orang utusan bergegas masuk. Setelah berlutut
mereka memberikan laporan bahwa kerajaan Suta telah
menyerahkan diri dan tunduk di bawah kerajaan baru. Pada saat
yang sama, semua biro pengawal di setiap pos penjagaan wilayah
kerajaan Zalikan telah dilumpuhkan. Sontak dia kembali
mengumpat, “Terkutuklah orang-orang Gargiria!”
59
Dari atas singgasana diedarkan pandangannya ke arah para
menteri dan jenderal perang. Kemarahannya semakin menjadi.
Segala sumpah serapah berserakan di lantai pualam. Mereka yang
mendengarnya mungkin merasa mual, tapi tak ada yang berani
memuntahkan. Sedangkan genderang perang telah ditabuh.
“Akulah Barbahar putra Barsisa, penguasa jagad raya, pewaris
takhta Zalikan, bersumpah sampai tetes darah terakhir takkan
pernah menyerah. Kota demi kota sekali lagi akan terbakar, setiap
jiwa tunggang langgang mencari pengampunan yang mustahil
mereka temukan. Siapa saja yang berkhianat padaku akan
menerima akibatnya.” Raja tua itu telah bersumpah dan
memerintahkan para jenderal untuk menyiapkan pasukan.
“Katakan pada pengkhianat laknat itu. Zalikan takkan
tunduk. Pewaris takhta Zalikan, Barbahar yang agung, siap
berperang untuk membumihanguskan mereka!”
Sudah menjadi naluri manusia untuk keluar dari kemelut.
Kesengsaraan merupakan penjahat yang terbesar. Kadang kala
menimpa satu garis keturunan dari moyang hingga generasi
terakhir yang masih bisa bertahan sebelum punah. Akan tetapi,
biang keladi kejahatan sesungguhnya adalah keputus-asaan.
Banyak orang di dalam istana telah memahami perihal keputus-
asaan ini. Putus asa adalah legenda yang menelan sejarah
manusia. Dalam diam mereka mencemooh titah perang Raja
Barbahar. Perang dapat membuat orang-orang putus asa, dan
menurunkan derajat manusia serendah mungkin. Sedangkan
kehidupan di dalam istana sangat menyenangkan. Begitu pula
penduduk Zalikan dalam keadaan sejahtera dan kemakmuran
yang melampaui kota lainnya. Semua itu akan luluh lantak oleh
karena peperangan. Mereka pun merencanakan sesuatu agar apa
yang mereka khawatirkan tidak benar-benar terjadi.
***
Fairouz mengamati ratusan pasukannya yang tengah
berlatih, sementara para pengrajin besi terus bekerja siang malam
membuat senjata. Dapur-dapur di barak militer mengepul tiada
henti menyiapkan kebutuhan pasukan untuk berperang. Namun,
60
ada yang mengganjal hati jenderal besar itu, dia merasa
pasukannya belum siap bertempur. Situasi damai telah membuat
prajurit-prajurit yang tadinya gagah berani menjadi lemah secara
mental.
Tak bisa dipungkiri kondisi itu bukan cuma menerpa
pasukannya. Termasuk juga perasaannya sendiri yang mulai tak
menentu. Sering kali dia bertanya apa yang sesung-guhnya telah
dia dapatkan, seluruh perjalanan hidupnya dipenuhi peperangan.
Setiap kemenangan yang diraih menuntunnya ke posisi orang-
orang penting istana, tetapi semakin dekat dengan rajanya maka
jiwa raganya kian hampa. Peperangan yang dilalui tampak seperti
dipaksakan seolah ada yang mengatur agar peperangan terus
terjadi dan membuai dirinya dengan kemenangan. Lalu apa yang
dia peroleh selain kejayaan jika pangkat jabatan tak mampu
mengusir kesendiriannya?
Dia menaiki tangga marmer dengan derap kaki dan jubah
berkibaran. Suara keras teriakan para prajurit tak dihiraukan.
Kegalauan besar bersarang di dada saat Fairouz menuju aula
utama barak militer. Dapatkah jiwaku mengendalikan sangkar
jasadku, tanyanya kepada diri sendiri. Aku tak ingin raga ini
memenjaraku. Rasanya sungguh muak dihinggapi anekdot paling
sempurna yang membuatnya tak keruan. Tiba-tiba seseorang
menghentikan langkahnya dengan senyum semringah. Pria yang
usianya lebih setengah abad, rambutnya keperakan dengan wajah
selalu berseri. Orang-orang akan gampang tertular kegembiraan
saat mendengar cara bicaranya yang penuh gairah.
“Bagaimana kudamu? Apa dia sudah kau beri makan? Kuda
yang sehat lagi kuat dapat memanjangkan usia dan memperbaiki
kehidupanmu, kau tahu itu?” sergah orang tua itu.
Fairouz mengangguk dan ikut tersenyum sembari
menyahut, “Bahamut, kapan kau berhenti memedulikan kudaku?”
Mereka saling menggamit lengan bersalaman.
“Kau Jenderal terhebat yang dimiliki negeri ini, sudah pasti
aku peduli padamu, tapi kau tak pernah peduli pada kudamu saat
dia sakit dan ogah-ogahan.” Dia tertawa riang.
61
“Bagaimana denganmu, apa masih sibuk dengan perkamen-
perkamen usang?”
“Tepatnya, hampir punah. Tak ada yang peduli lagi dengan
mereka. Bahkan, generasi-generasi muda sekarang menganggap
warisan sejarah itu lebih baik dibakar.”
Sepertinya pikiran mereka tak jauh berbeda denganku, pikir
Fairouz. Pria yang dipanggil Bahamut itu mengajaknya ke
ruangan tempat dia bekerja. Sulit untuk melupakan aroma aneh—
kalau tidak bisa dibilang memuakkan—di dalam bilik serupa gua
itu. “Katakan alasannya mengapa kita harus ke sana?”
“Akan aku beritahu begitu sampai di dalam. Ayolah, kau
sendiri sudah terbiasa.”
“Aku berusaha membiasakan diri setiap masuk ke
ruanganmu, bukan „terbiasa‟ seperti katamu.”
Pintu yang terbuat dari kayu gafir itu terbuka, bau
menyengat mulai menyerang mereka. Sekali lagi Fairouz
berusaha membiasakan diri, dia menarik udara segar dalam-dalam
lalu mengikuti langkah Bahamut masuk. Pintu itu berdebam
menutup, cahaya temaram membuatnya waspada agar tak salah
langkah. Gelas-gelas mungil berjejer di rak sebelah kiri, dipenuhi
cairan aneka warna, sebentar-bentar terdengar bunyi “plop”. Jika
pria itu sedang mengerjakan sesuatu, desis api akan mengiringi
suara aneh tadi. “Duduk di sini, silakan.” Kursi kayu berlapis
anyaman serat abaka saling berhadapan, diselingi meja kecil yang
diatasnya tersedia sebotol minuman. Bahamut menuangkan isinya
ke sepasang gelas perak. “Ini minuman racikanku sendiri, pasti
ketagihan hingga kau akan rajin mengunjungiku.”
Fairouz menenggak minuman tersebut, rasanya begitu keras
dan membuat tenggorokannya terbakar. Sial, dia menipuku.
Walau sempat curiga, tapi kemudian sekujur tubuhnya terasa
hangat. “Nyaman sekali,” gumamnya. Pria tua itu tersenyum
menganggukkan kepala.
“Benar, kan kataku? Ini terbuat dari darah menjangan,
membuatmu bergairah sepanjang hari.”
“Serius?”
62
“Hahaha … aku bercanda, ini campuran anggur, lemon, dan
madu.” Lagi-lagi pria itu terkekeh.
Ternyata dia benar-benar menipuku. Fairouz meminum
kembali dengan raut masam. “Nah, sekarang katakan, kenapa kau
mengundangku?” tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan dan
perasaan teperdaya.
“Ada yang ingin aku bicarakan, sifatnya sangat rahasia.
Maukah kau berjanji takkan membocorkannya pada siapa pun,
meski kudamu sendiri.” Mendengar itu dia tergelak, pria
semacam Bahamut takkan mungkin mempunyai rahasia, dia
terlalu ramah dan lugas hingga kadang ucapannya keterlaluan
ketika mengumbar aib orang lain. Sebagian orang membencinya,
terutama yang pernah jadi korbannya. Namun, wajah pria itu
kelihatan tidak senang, sehingga dia sadar bahwa lawan bicaranya
teramat serius.
“Baiklah, aku berjanji dengan syarat tanpa tipuan.”
“Astaga, aku serius. Lihatlah jemariku gemetaran!”
“Mungkin karena kau semakin menua?”
“Bukan soal itu, yang mau aku katakan sangatlah penting.
Kau sendiri takkan percaya, tapi harus kuungkap kepadamu.
Cuma kau yang bisa kupercaya.”
“Katakanlah, aku jamin pilihanmu tidak salah!”
Bahamut menaruh gelasnya, “Kerajaan ini akan hancur.”
Lugas sebagaimana pembawaannya.
“Setiap perang yang kulalui, kata-kata seperti itu sering kali
kudengar. Apa kaulupa? Dulu kau juga sering berperang.”
“Ini hal yang berbeda—” ucapannya terhenti. Akan tapi,
tatapannya terus menyusuri wajah jenderal besar itu, seakan
mencari sesuatu yang hilang, “kehancuran dari dalam yang tak
seorang pun menyadarinya, termasuk dirimu.”
“Apa maksudmu?”
“Pernahkah kau melihat buah yang tampak segar dari luar,
tapi di dalamnya begitu busuk? Seperti itulah nasib kerajaan ini
sekarang.”
“Entah apa makna ucapanmu, sepertinya aku tidak bisa
63
memercayainya.”
“Mengapa?”
“Karena kerajaan ini takkan mudah hancur. Ulat-ulat paling
ganas pun mustahil sanggup membusukkan kerajaan ini dalam
semalam. Dinding tebal di luar sana bukanlah buah yang lunak
dan kerajaan ini mempunyai militer paling tangguh. Satu lagi, raja
kita adalah pemimpin terhebat.”
“Bagaimana kalau kuanggap bahwa runtuhnya dinding-
dinding itu akibat pengetahuan manusia?”
Dahi jenderal itu berkerut, bulu-bulu halus timbul seolah
menyatukan kedua alis tebal di jembatan hidungnya. Matanya
meruncing, telinganya sesekali bergerak, tapi dia tahu nyalinya
lebih besar dari tubuhnya sendiri. Perlahan dia mencabut sebuah
pedang besar yang kedua sisinya sangatlah tajam dan berukir
nama di bagian badannya. “Bagiku pedang inilah pengetahuan
yang sebenarnya. Bisa digunakan untuk membunuh musuhmu,
atau memenggal kepala domba makan malammu. Tergantung
siapa yang menggunakannya.”
“Kalau seketika pedangmu sendiri yang menjemput ajalmu,
apa kau baru percaya padaku?”
“Kau hanya takut sesuatu yang belum kau ketahui sehingga
mengada-ada. Kita ini bangsa pejuang, takdir itu mengalir deras
dalam darah kita.”
“Tak ada sesuatu yang hendak kau sebut khayalan untuk
orang seusiaku, Jenderal.”
“Pada dasarnya kita memang sering berkhayal, tidak peduli
orang tua dan anak kecil.”
“Ini bukan khayalanku, kerajaan sedang dalam bahaya.
Beberapa orang berencana menghancurkan dari dalam. Kuyakin
kau juga tahu, tapi tak bisa berbuat apa-apa.”
“Buat apa kita berandai-andai dan menuduh orang
seenaknya. Kita tidak tahu kebenaran itu seperti apa karena
kebenaran hanya hadir di akhir.”
“Baiklah, mungkin untuk orang setua diriku harus banyak
mengalah.” Bahamut membalikkan badan, beranjak menuju peti
64
penyimpanan yang terbuat dari perunggu hitam. Fairouz sering
mengejek benda itu sebagai pintu masuk gua bawah tanah karena
dasarnya menjadi tak tampak karena selalu dalam keadaan gelap,
sedangkan bahamut menganggapnya sebagai peti harta karun.
Beberapa barang yang menurutnya berharga dan tak dapat
diperlihatkan ke sembarang orang disembunyikan di dalamnya.
Kini dia meraih sebuah gulungan perkamen, lalu menyerahkannya
pada Fairouz.
Mengingat kedekatannya dengan pria itu, membuat Fairouz
tak berani berceloteh. Hanya kertas usang? Meskipun ingin
menolak dan mempertanyakan apa isinya, Fairouz masih
menimang-nimang pemberian itu. Di bagian tengah perkamen
terdapat segel lilin bergambar burung. Matanya mencermati,
seperti akrab dengan gambar tersebut. Bahamut menangkap
gelagatnya dan lekas menerangkan, “Itu hewan legenda, burung
garuda.”
“Tentunya bukan milik kerajaan,” tukas Fairouz. Semua
yang menjadi milik kerajaan pasti berlambang sepasang pedang
menyilang.
Bahamut tersenyum, “Itu segel keluarga. Konon, garuda
adalah raksasa penguasa langit. Saking besarnya sampai-sampai
ketika sayapnya dibentangkan, sinar matahari terhalangi dan bumi
menjadi gelap.”
“Sejumlah hewan memang sering diangkat menjadi legenda
dan mitos yang tak masuk akal. Jadi ini lambang keluarga,
perkamen ini pasti sangat berharga buatmu.”
“Tepat sekali!”
“Mengapa kau berikan padaku?”
“Aku tidak memberikan secara cuma-cuma, aku ingin kau
menjaganya.”
Fairouz terenyak, “Apa?” permintaan konyol.
“Kau bilang dirimu bisa dipercaya?”
“Itu benar, tapi mengapa—”
“Benda ini tak dijaga oleh anggota keluargaku?”
“Ya, perasaanku tidak enak mengenai ini. Kautahu kan,
65
hukum di kerajaan ini ….”
“Bahwa semua perkamen harus diserahkan pada Dewan
Taftis kerajaan sebelum disebarkan ke masyarakat?” Bahamut
mengambil pipa kulit sapi untuk membungkus perkamennya.
Dengan isyarat tangan, dia meminta Fairouz memasukkan
perkamen itu dalam selongsong sembari meneruskan
penjelasannya, “Dewan Taftis, menurutku mereka tak lebih dari
cecunguk yang tak punya pikiran, seperti anjing yang bisa
kauperintah apa saja. Mereka seenaknya menyita perkamen,
mengobrak abrik isinya kemudian menyebarkan ke masyarakat
dengan menetapkan makna berikut cara membacanya. Sangat
arogan, kan?”
“Tapi kau tak bisa menyerahkan perkamen secara diam-
diam pada pejabat kerajaan, kita berdua bisa dijatuhi hukuman
dengan tuduhan pengkhianatan pada raja.”
“Itupun kalau ketahuan, bagaimana jika sebaliknya?”
“Kau tidak bisa memaksaku melakukan pelang-garan.”
“Sejak kapan kau bersikap—dan merasa—seperti pejabat
kerajaan? Bukankah niatmu masuk militer karena ingin membela
tanah kelahiranmu saja? Kutahu kau membenci birokrasi.”
Sorot mata renta itu terasa menusuk jantungnya. Ingatan
masa lalu mengilas balik di kepalanya ketika dia terpilih menjadi
seorang prajurit kelas rendah di antara ratusan pemuda sebayanya.
Di hadapan seorang jenderal, dia mengucapkan sumpah setia
prajurit; menyerahkan segenap jiwa raga membela tanah
kelahiran sampai titik darah penghabisan.
Seiring dengan ketangguhannya di medan perang, karirnya
pun menanjak cepat. Pada usia dua puluh tiga tahun, dia telah
menjadi komandan pasukan ke-sembilan yang ditempatkan di
perbatasan. Tiga tahun kemudian, dia ditempatkan dalam satuan
khusus. Saat itu pertama kali dia berjumpa dengan Bahamut,
atasannya sendiri. Dalam pandangan Fairouz, sosok Bahamut
merupakan pemimpin kharismatik, bersahabat dan cerdas. Banyak
pengetahuan dan strategi berperang yang diajarkan oleh Bahamut.
Tetapi di luar urusan militer, dia menganggapnya sebagai figur
66
seorang ayah yang telah lama menghilang. Sedangkan dalam
peperangan, mereka tak ubahnya kakak beradik sekaligus sahabat
dekat yang sulit dipisahkan.
Kini pria itu telah pensiun. Raja tak ingin menyiakan
keterampilan dan pengabdiannya maka Bahamut diangkat sebagai
penasihat istana, dia mendapatkan ruang pribadi serta sejumlah
fasilitas istimewa. Namun, hari ini Bahamut bersikap tidak
biasanya. Bertindak di luar batasan-batasan yang bisa dikenali.
Mungkin setelah keluar dari ruangan pengap ini dia berani
mengatakan bahwa Bahamut menjadi gila seketika. Kalau tidak
gila, sebutan apa yang paling tepat?
“Kuharap kau tidak menganggapku gila.”
“Baru saja mau kuanggap begitu.”
“Sepertinya aku mempunyai keahlian baru dalam membaca
pikiran orang, tapi aku tahu kau sependapat denganku mengenai
Dewan Taftis itu.”
“Kau juga sangat memahami sumpah setiaku pada
kerajaan.”
“Maka buktikan sumpahmu dengan melindungi kerajaan ini
sekuat tenagamu. Ada upaya penghancuran sedang terjadi di luar
sana dan aku memintamu untuk menjaga perkamen yang aku
berikan.”
“Tapi persoalan ini malah menumbuhkan dilema karena
tidak ada sangkut pautnya dengan keamanan kerajaan. Yang
sedang terjadi sekarang adalah kau berusaha membuatku
melanggar peraturan. Itukah keinginanmu?”
“Apa?”
“Memanfaatkan posisiku.”
“Apa kelihatannya aku sedang memanfaatkanmu?”
“Kurang lebih .…”
“Sekarang kau benar-benar menunjukkan sisi birokrasimu.”
Untuk kesekian kali Bahamut menyudutkan dirinya. Pria itu
benar-benar mengerti seluk beluk perihal tingkah laku dan
kebiasaannya.
“Dahulu kau yang mengkritikku supaya tidak terlalu formal,
67
sekarang kau hendak menarik ucapanmu kembali?”
“Astaga, Bahamut! Jangan salah sangka …, baiklah! Kita
lupakan soal Dewan Taftis. Kuyakin kau tidak bermaksud
menyebarkan isi perkamen ini ke masyarakat. Lalu apa tujuanmu
menyerahkannya padaku?”
“Aku hanya ingin kau menjaganya.”
“Sampai kapan? Menyimpan rahasia dalam waktu lama
adalah tugas yang sangat sulit.”
“Aku paham, tidak semua orang sanggup melakukannya.
Setiap waktu kau merasa tergelitik untuk membocorkannya. Aku
juga pernah mengalami hal itu.”
“Artinya, segel itu tidak pernah terlepas selama di
tanganmu?” Bahamut mengangguk membenarkan, “Aku menjaga
rahasia yang merahasiakan dirinya dariku.”
Fairouz menggelengkan kepala tak percaya. Separuh dirinya
menganggap Bahamut terlalu konyol, atau tolol. Sama saja!
“Bagaimana akibatnya kalau terbuka?”
“Dengan sendirinya?”
“Terbuka sendiri, atau seseorang membukanya?”
“Kalau kondisinya seperti itu, orang itu pasti mati.”
“Mati dengan sendirinya?” Dia terbelalak.
“Bisa jadi begitu, atau karena sebab lain yang
memungkinkan campur tangan manusia.”
“Maksudmu, dibunuh? Oleh siapa?”
“Sang Penjaga perkamen.”
Fairouz merasakan detak jantungnya hampir berhenti,
lututnya mulai lemas ketika mencerna perkataan Bahamut. Aku
tak percaya dia sedang memintaku agar cepat mati. Seraya
membetulkan posisi duduknya, dia mengangguk lemah. Perlahan
dia menyadari apa yang terjadi saat ini.
“Orang yang tidak bersalah bisa terbunuh, atau malah
membunuh, hanya karena gulungan kertas usang ini?”
“Nah, sekarang kau mirip dengan mereka yang suka
menghina koleksiku,” tandas Bahamut. “Tapi kau gila, Bahamut!
Pantang bagiku membunuh orang tak bersalah!”
68
“Mengapa? Memangnya kau baru pertama kali mencabut
nyawa manusia?” Mata tajam Bahamut kini menantangnya.
Fairouz tak menjawab, matanya memejam ketika menghabiskan
isi gelas perak itu. Seharusnya dari dulu dia menyadari bahwa
hari-hari seperti ini akan terjadi, hari di mana dia menemukan
jawaban mengapa kalangan bangsawan tak membiarkan anggota
keluarga mereka masuk barak militer, tempat pelatihan bagi
rakyat biasa yang terpaksa menjadi prajurit rendahan. Mental
prajurit rendahan akan selalu dibawa sekalipun berpangkat tinggi
sepertinya.
Keturunan bangsawan akan langsung menjadi komandan
pasukan sebab mereka dididik dalam tradisi tinggi yang
menjunjung kehormatan, harga diri, pengorbanan, dan
kepemimpinan. Akan tetapi, semua nilai kebangaan itu sirna
tatkala dia menyaksikan yang sesungguhnya berlaku adalah siapa
yang berada di posisi menguntungkan. Sialnya, keberuntungan
tidak berasal dari langit, melainkan ditentukan oleh perbedaan
kelas. Andaikan saja dia bisa menukar semua itu dengan sesuatu
bernama kebebasan.
Sepanjang pengalaman hidupnya mengikuti peperangan, dia
telah mengabaikan kebebasan. Mungkin kebebasan memang sulit
ditemukan dan tidak patut untuk dicari. Mungkin pula kebebasan
tidak pantas untuknya. Khayalan kebebasan mulai sulit
dihapuskan dari benaknya.
“Kau memberiku pilihan yang rumit.”
“Kau sama sekali tidak punya pilihan, Jenderal.”
“Mungkin tepatnya ancaman.”
“Ancaman katamu? Kusebut ini sebagai bantuan.”
“Ya, istilah yang kau buat untuk sebuah perangkap.”
“Perangkap itu terletak pada prasangka burukmu padaku.
Kau harus belajar menghargai orang tua yang mengabdikan diri
bertahun-tahun demi kerajaan ini.”
“Sayangnya, terlalu sering berbaik sangka padamu
membuatku semakin jauh dari kenyataan.”
“Kenyataan, kau pikir kerajaan ini nyata? Kenyataan itu tak
69
pernah ada jika kau menganggapnya sesuatu yang alamiah.
Kenyataan adalah buatan tangan manusia, rekayasa, dan
kepalsuan yang menjadi sejarah. Kenyataan sebenarnya ada di
dalam hatimu, angan-angan yang tak pernah kau lihat, dengar,
dan rasakan. Hatimu terus mendambakan dan menyebut namanya
setiap kali menunggang kuda menuju medan perang, begitupun
saat kembali dengan kemenangan. Itulah kenyataan yang kutahu
bersemayam di hatimu. Aku menawarkan bantuan padamu untuk
mewujudkannya.”
“Aku tidak mengerti arah perbincangan kita.”
“Putri Ahanni. Kau sangat tergila-gila padanya, kan?”
“Dugaanmu sangat berlebihan. Jelas sekali kau telah
merendahkannya. Putri Ahanni adalah Putri Bulan!”
“Putri Bulan? Aku baru tahu kaupercaya bualan istana
tentang Putri Bulan.”
“Bualan, apa kaupikir raja telah berbohong?”
“Jenderal, apakah tidak terpikirkan olehmu jika raja dan
penasihatnya juga bisa berbohong? Ingatlah! Aku juga seorang
penasihat kerajaan dan aku tahu kejadian sesungguhnya bahwa
Putri Bulan hanya omong kosong yang dijadikan legenda agar
semua orang tua menceritakan dongeng itu sebelum anak
perempuan mereka tertidur.”
“Dongeng? Bicaramu mulai ngawur. Tiap purnama muncul,
sinarnya selalu tertuju pada istana sang Putri dan semua orang
melihat bayangan Putri Ahanni.”
“Sebenarnya kau yang ngawur, seisi kerajaan dibuat ngawur
oleh dongeng itu. Kebenaran tentang Putri Ahanni lebih tragis
dari yang bisa kau bayangkan.”
“Bahamut, hentikan!” Fairouz menghunus pedangnya ke
leher Bahamut. “Kau melewati batas.”
“Batas?” Dengan tenang Bahamut berdiri. Mata pedang di
hadapannya terus mengikuti, tapi ucapannya sama sekali tak mau
berhenti, “Pedang inikah yang membatasi seorang pemimpi
kebebasan belakangan ini? Mungkin orang seperti itu benar-benar
tidak pantas mendapatkan kebebasan.”
70
“Kebebasan tidak pantas untukku dan juga untukmu. Kau
akan dijebloskan ke penjara karena menghina Putri Bulan.”
“Yang tidak kau ketahui adalah bahwa bulan tidak pernah
mengambil jiwa raga manusia, tapi manusia bisa melakukannya.
Putri Ahanni ada di antara kita. Kita saja tidak pernah
menemukannya, istana hanya mengarang legenda Putri Bulan
tersebut.”
Fairouz bergeming dengan posisi masih mengacungkan
pedangnya, sementara Bahamut mencari cara agar pedang itu
kembali ke sarungnya. “Putri Ahanni adalah putri raja.
Bagaimana menurutmu jika seorang putri raja kabur dari
kerajaan? Dapatkah kau membayangkan betapa malunya sang
Raja?” Tidak, pikiran Fairouz bersikeras menampik kalimat demi
kalimat yang terlontar dari bibir pucat itu. “Jenderal, tentunya
kautahu Putri Ahanni tak pernah mencintai pria yang dijodohkan
raja kepadanya. Cintanya tertambat pada pria lain, dia tergila-gila
dan tentunya orang itu bukan kau. Namun, jangan putus asa
dahulu. Kuyakin waktumu akan tiba pada gilirannya.”
Benarkah yang dikatakan Bahamut? Benarkah putri
mencintai seseorang, apakah itu diriku, atau selainnya?
Tangan Fairouz gemetaran, Bahamut melihat reaksi baik
dan tersenyum. “Putri Ahanni tak punya pilihan. Bahkan, untuk
memilih siapa yang dia cintai. Orang biasa pun bisa mendapatkan
cinta sejati, tapi mengapa seorang putri kerajaan malah
terkekang?”
Orang biasa? Aku terbiasa menjadi orang biasa. Apakah
sekarang aku luar biasa? Kalau benar demikian seharusnya aku
layak untuk Putri Ahanni. “Katakan siapa pria yang dicintainya?”
Pedang di tangannya mulai gemetaran.
“Kau ingin tahu siapa pria beruntung itu? Kuanggap kau
sedang cemburu.” Bahamut tertawa terbahak-bahak.
“Katakan, atau kutebas lehermu!”
“Lakukanlah! Sepanjang hidupmu akan didera penasaran.”
“Lebih baik rahasia itu terkubur bersama kematian-mu.
Jangan bertele-tele, cepat katakan!”
71
“Aku yakin kau tak ingin melakukannya, lagi pula sedari
awal aku berniat memberi seluruh rahasia yang kutahu padamu
bila kau ucapkan sumpahmu.” pancing Bahamut.
“Kau!” Fairouz menurunkan senjatanya. Keduanya terdiam
sejenak. “Aku tidak yakin mengetahui lebih banyak darimu,”
katanya kemah, “entah mengapa, tapi ucapanmu sering kali
terbukti benar.”
“Baguslah, kau menyadari itu. Aku berjanji perkamen itu
takkan membahayakanmu, meski tanpa pengawasanku.”
“Tanpa pengawasan? Kau akan pergi?”
“Tidak, pekerjaanku sangat berat. Tidak ada waktu luang
sama sekali.”
“Jadi, sekarang ini waktu luangmu?”
“Bukan urusanmu, tapi percayalah bahwa aku selalu
mengamati dari jauh.”
“Mungkin dengan dongeng menakjubkan lainnya.”
“Sudahlah, kita tuntaskan perbincangan ini dan bersiap
untuk bersumpah padaku.”
Langit benar-benar pekat, semua rahasia besar yang
digenggamnya terasa menyakitkan. Lubang hatinya bertambah
dalam. Tak ada lagi yang berharga untuk dikenang—dia ingin
membunuh kenangannya sendiri.
Derap langkah pasukan terdengar menjijikkan dan dipenuhi
dendam. Fairouz membenci kenyataan dan terlebih lagi
membenci kebenaran tentang sosok perempuan yang dicintainya.
Dalam kemah perang dia mengurung diri, tak satu pun
bawahannya diperbolehkan masuk. Bahkan, dia tak mau
menerima laporan komandan-komandan pasukan dan utusan
istana. Hal yang sangat tidak lazim, mengingat jenderal besar itu
gemar menyaksikan latihan para pasukan.
Sikap acuh tak acuh ini menulari mental seluruh prajurit.
Kedengkian dan ambisi adalah dua hal yang sulit dipisahkan.
Sering kali sumpah kesetiaan yang diucapkan melalui bahasa
lidah tidak sejalan dengan ucapan hati. Sejumlah jenderal muda
khawatir semangat prajurit ikut merosot. Mereka mulai
72
meragukan kepemimpinan Jenderal Besar Fairouz. Isu pergantian
jabatan berembus di sekitar mereka. Entah siapa yang
memulainya, tapi dengan mudah dijadikan pembenaran oleh
masing-masing jenderal.
Apa yang dilakukan Fairouz hanya meratapi kisah cintanya
yang berujung getir. Tak ada kisah tanpa ada akhir, ungkapan itu
hanya menjadi lelucon buruk ketika kenangan yang tersimpan tak
kunjung pudar. Hasrat yang menyakitkan terus berkobar dalam
hati. Cintanya tumbuh semakin kuat walau dia sembunyikan.
Membuatnya lemah dan kalah. Entah karena takdir atau bukan,
kegilaan belum juga datang dan menghanyutkannya dalam air
mata. Satu kesalahan terbesar yang dia lakukan adalah mencintai
sosok bidadari yang terperosok jatuh ke bumi. Orang-orang
memanggilnya Putri Ahanni, perempuan idaman sekaligus
panutan bagi seluruh penghuni kerajaan.
Kecantikannya konon tiada tara, tapi peraturan kerajaan
membatasi perempuan-perempuan terhormat dari mata orang
biasa dan diwajibkan menutupi wajah agar berbeda dari
perempuan kelas rendah. Kebanyakan orang sulit
menggambarkan karena tak pernah benar-benar melihatnya, tapi
tidak demikian bagi Fairouz yang merasa telah mendapat
anugerah terindah. Dalam suatu kesempatan langka dia
menyaksikan wajah sang Putri yang tak terbungkus kain. Rupa
secantik bulan yang berkilauan dengan pesona dan keanggunan
sempurna telah melepaskan panah cinta ke dadanya. Dari sebatas
puji hingga keinginan untuk memiliki, selalu saja membuatnya
luluh. Kesedihan karena perpisahan selalu tertanam dalam hati,
terekam dalam kenangan.
73
Profil Penulis
KUPRET EL KAZHIEM
Pelarian, Pengangguran, Serabutan, Penduduk Bumi
Mengapa saya memilih Kupret. Karena nama saya di KTP adalah
Pratama sehingga sering dipanggil “Prat” dan bermetamorfosis
menjadi “Pret”, lalu ada seorang kawan berceletuk “Kupret”
maka jadilah sejak SMA sampai sekarang dipanggil Kupret.
Kalau el-Kazhiem diambil dari bahasa Arab yang artinya “Orang
yang selalu bersedih”, maksudnya karena sering gagal mencapai
sesuatu, jadi sering sedih. Saya rasa kata itu cocok untuk
menjuluki saya. Profil singkat saya lahir di Jakarta 17 Juli 1984,
sekarang ini aktif menulis di situs http://kupretist.wordpress.com.
Ada suatu momen dalam hidup saya yang membuat saya harus
memutuskan untuk pergi dari rumah. Saya berpikir bahwa hidup
adalah persoalan how to survive, dan saya telah memutuskan
bahwa menulis adalah jalan hidup saya.