EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH...
Transcript of EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH...
PENGARUH PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM
KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli
SKRIPSI RANI PUDJI HASTUTI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
RANI PUDJI HASTUTI. D24103005. 2008. Pengaruh Penggunaan Bubuk Bawang Putih (Allium sativum) dalam Ransum terhadap Performa Ayam Kampung yang Diinfeksi Cacing Ascaridia galli. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Widya Hermana, MSi. Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Sumiati, MSc. Pemeliharaan ayam kampung secara ekstensif atau tradisional menyebabkan kesehatan dan perkembangan ayam sulit terkontrol. Salah satu kendala penyakit yang menyerang ayam kampung adalah gangguan parasit seperti terinfeksi cacing. Ascaridia galli merupakan cacing yang banyak menyerang usus halus pada unggas. Infeksi penyakit terhadap tubuh ternak menyebabkan perubahan patologis pada usus sehingga penyerapan zat-zat nutrisi terganggu akibatnya pertumbuhan menjadi terhambat. Bawang putih merupakan tanaman obat tradisional yang memiliki zat aktif yaitu dialilsulfida yang dapat digunakan sebagai antelmintika dan allicin sebagai zat aktif yang diduga mempunyai daya bunuh parasit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bubuk bawang putih dalam ransum terhadap performa ayam kampung yang diinfeksi telur infektif cacing Ascaridia galli pada ayam umur 6 minggu dengan dosis 2.500 per ekor. Penelitian ini menggunakan 100 ekor DOC (Day Old Chick) ayam kampung. Ransum starter diberikan pada ayam umur 0-4 minggu, ransum grower diberikan pada ayam umur 4-9 minggu, dan pada umur 9-11 minggu diberikan ransum perlakuan yaitu P1 (ransum grower kontrol), P2 ( P1 + 2% piperazine sitrat dalam ransum), P3 ( P1 + 2,5% bubuk bawang putih dalam ransum), P4 ( P1+ 5,0% bubuk bawang putih dalam ransum), P5 ( P1 + 7,5% bubuk bawang putih dalam ransum). Perhitungan konsumsi pakan dan penimbangan bobot badan dilakukan setiap minggu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Data dianalisis dengan menggunakan Analisis ragam ( Analyses of Variance/ ANOVA), dan rataan yang berbeda nyata diuji dengan uji jarak Duncan. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, bobot badan akhir, dan mortalitas. Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian piperazine dan bubuk bawang putih pasca infeksi A. galli (umur 9-11 minggu) sangat nyata meningkatkan konsumsi ransum. Pemberian bubuk bawang putih sebesar 7,5% menghasilkan bobot badan akhir yang lebih tinggi dibandingkan pemberian 2% piperazine.
kata-kata kunci : bubuk bawang putih, performa ayam kampung (Gallus gallus), Ascaridia galli
ABSTRACT
The Influence of Garlic Powder Utilization on Performances of Domestic Chicken Infected with Ascaridia galli
R. P. Hastuti., W. Hermana., Sumiati.
Ascaridia galli, a large round worm of poultry causes in the reduction of egg production, reduced growth rate in chicken and consequently responsible for economic loss to poultry industry. Several anthelmintics were used to control A. galli infection in chicken. The experiment was conducted to study the effect of garlic powder on feed comsumption, body weight gain, feed conversion, final body weight and mortality of domestic chicken (Gallus galus) infected by 2,500 Ascaridia galli infective eggs at one and half month of age.Three weeks after infection, the treatment diets were offered to the infected chicken for two weeks. The treatment diets were R1 = basal diet, R2 = R1 + Piperazine 2%, R3 = R1 + garlic powder 2.5%, R4 = R1 + garlic powder 5.0%, R5 = R1 + garlic powder 7.5%. A completely randomized design was used in the experiment. The data were analyzed with Analysis of Variance (ANOVA) and if there was any significant difference it was further tested with Duncan multiple range test. The results showed that the treatments significantly (P<0.01) increased the feed comsumption, but it did not affect feed conversion, body weight gain and final body weight. It is concluded that the level of 7.5% garlic powder can be used as anthelmintic of A. galli in domestic chicken.
Keywords : garlic, Ascaridia galli, performance, domestic chicken (Gallus gallus)
PENGARUH PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM
KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli
RANI PUDJI HASTUTI
D24103005
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PENGARUH PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA AYAM
KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli
Oleh
RANI PUDJI HASTUTI
D24103005
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 27 Februari 2008
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Ir. Widya Hermana, MSi. Dr.Ir. Sumiati, MSc. NIP. 131 999 586 NIP. 131 624 182
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1985 di Jakarta. Penulis adalah
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Parmo dan Ibu Aminah.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Kuntum Mekar
Bekasi, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2000 di
SLTPN 6 Depok dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun
2003 di SMUN 2 Cibinong.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Strata satu (S1) pada Program Studi
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk
Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2003.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam kepengurusan
HIMASITER biro PSDM (Pengembangan Sumber Daya Manusia) periode tahun
2004-2005. Penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan diantaranya menjadi panitia
OPEN HOUSE penerimaan mahasiswa baru angkatan 41. Penulis ikut serta dalam
pelaksanaan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2006 dengan judul
Pemanfaatan Bubuk Bawang Putih sebagai Obat Cacing pada Ayam Kampung.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT penguasa alam semesta hanya dengan
pertolongan dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan
skripsi ini.
Skripsi yang berjudul Pengaruh Penggunaan Bubuk Bawang Putih
(Allium sativum) dalam Ransum terhadap Performa Ayam Kampung yang
Diinfeksi Cacing Ascaridia galli merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Penggunaan bubuk bawang putih dalam ransum sebagai antelmintika alami
diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat, murah, dan mudah bagi peternak
kecil. Dalam menanggulangi masalah kecacingan tanpa memberikan pengaruh
negatif terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsi produk pangan asal hewan
akibat adanya resistensi cacing serta residu antibiotik pada produk pangan asal
hewan.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi
pembaca.
Bogor, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .................................................................................................. i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang ..................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................. 2 Tujuan .................................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
Bawang Putih ....................................................................................... 3 Bubuk Bawang Putih ........................................................................... 6 Piperazine.............................................................................................. 7 Ascaridia galli....................................................................................... 8 Performa Ayam Kampung ................................................................... 10 Ransum dan Konsumsi Ransum .......................................................... 11 Konversi Ransum ................................................................................. 11 Pertambahan Bobot Badan ................................................................... 12 Mortalitas ............................................................................................. 12
METODE ......................................................................................................... 13
Lokasi dan Waktu ................................................................................ 13 Materi ................................................................................................... 13 Rancangan Percobaan .......................................................................... 16 Prosedur ............................................................................................... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 20
Konsumsi Ransum Ayam Kampung .................................................... 20 Pertambahan Bobot Badan Ayam Kampung....................................... 21 Konversi Ransum Ayam Kampung ...................................................... 25 Bobot Badan Akhir Ayam Kampung ................................................... 26 Mortalitas Ayam Kampung .................................................................. 26 Mekanisme Antelmintika Bubuk Bawang Putih ................................. 28
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 30
Kesimpulan .......................................................................................... 30 Saran .................................................................................................... 30
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 32
LAMPIRAN ..................................................................................................... 36
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi Kimia Bawang Putih per 100 gram yang Dapat Dimakan ............................................................................................... 4
2. Kandungan Zat Nutrisi Bubuk Bawang Putih ...................................... 6
3. Bahan Aktif Beberapa Derivat Piperazine............................................ 8
4. Tahapan Pemberian Perlakuan Ransum selama Pemeliharaan............. 14
5. Susunan dan Kandungan Zat Makanan Ransum Ayam Kampung Umur 0-4 Minggu (Starter) dan 5-12 Minggu (Grower) ...................... 14
6. Kandungan Zat Nutrisi Ransum Ayam Kampung................................ 15
7. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Kampung Selama Pemeliharaan (g/ekor/Minggu) ................................................................................... 20
8. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Kampung Selama Pemeliharaan (g/ekor/Minggu) ............................................................ 22
9. Rataan Konversi Ransum Ayam Kampung Selama (0-11 Minggu) Pemeliharaan ........................................................................................ 25
10. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Kampung Selama (umur 11 Minggu) Pemeliharaan (g/ekor) ...................................... ..... 27
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Proses Perubahan Kimiawi Dalam Bawang Putih ............................... 5
2. Cacing Ascaridia galli Jantan dan Betina (Perbesaran 10x)................. 9
3. Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli .................................................... 10
4. Proses Pembuatan Bubuk Bawang Putih ............................................. 16
5. Telur Cacing Ascaridia galli (Perbesaran 10x) .................................... 19
6. Kurva Pertumbuhan Ayam Kampung Selama 0-11 Minggu Pemeliharaan ........................................................................................ 23
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Analisis Ragam Konsumsi Pra Infeksi A. galli (umur 0-6 Minggu) ... 36
2. Analisis Ragam Konsumsi Setelah Infeksi A.galli (umur 6-9 Minggu) .............................................................................. 36
3. Analisis Ragam Konsumsi Ayam Kampung Setelah Pemberian Perlakuan (umur 9-11 Minggu) ............................................................ 36
4. Analisis Ragam PBB Pra Infeksi A. galli (umur 0-6 Minggu) ............. 36
5. Analisis Ragam PBB Setelah Infeksi A.galli (umur 6-9 Minggu) .............................................................................. 37
6. Analisis Ragam PBB Setelah Pemberian Perlakuan (umur 9-11 Minggu) ............................................................................ 37
7. Analisis Ragam Konversi Pra Infeksi A.galli (umur 0-6 Minggu) .............................................................................. 37
8. Analisis Ragam Konversi Setelah Infeksi A.galli (umur 6-9 Minggu) .............................................................................. 37
9. Analisis Ragam Konversi Setelah Pemberian Perlakuan (umur 9-11 Minggu) ............................................................................ 37
10. Analisis Ragam Bobot Badan Akhir .................................................... 37
11. Komposisi Premix ................................................................................ 38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak unggas khususnya ayam kampung berperan penting dalam
penyediaan protein hewani di Indonesia. Namun pengembangan usaha ini umumnya
masih bersifat tradisional atau ekstensif. Pemeliharaannya merupakan usaha
sambilan tanpa memperhitungkan untung rugi dan tidak menggunakan teknologi
maju. Usaha pemeliharaan secara tradisional menyebabkan perkembangan dan
kesehatan ayam sulit terkontrol. Salah satu kendala penyakit yang menyerang ayam
kampung adalah gangguan parasit seperti terinfeksi cacing. Ascaridia galli
merupakan cacing yang banyak menyerang usus halus pada unggas. Pertumbuhan
ayam kampung yang terinfeksi Ascaridia galli menjadi terhambat hingga 38%
sehingga pada akhir pemeliharaan didapat bobot badan yang lebih rendah (Tabbu,
2002).
Kecacingan biasanya tidak menimbulkan kematian, namun menyebabkan
kerugian berupa penurunan produksi, biaya produksi yang tinggi karena penurunan
efisiensi penggunaan pakan dan hambatan pertumbuhan. Usaha pengendalian parasit
yang optimal dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan tata laksana peternakan
dipadukan dengan pemberian antelmintika.
Antelmintika (obat anti cacing) yang digunakan selama ini berasal dari bahan
kimia sintetik. Hal ini menimbulkan ketergantungan karena sebagian besar
antelmintika yang dipasarkan berbahan baku impor yang harganya mahal. Disamping
itu penggunaan antelmintika secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan timbulnya populasi cacing yang resisten terhadap antelmintika dan
dapat menyebabkan residu pada produk pangan asal hewan. Penggunaan tanaman
obat atau herbal sebagai feed additif pada ternak dapat mengatasi efek negatif obat-
obatan sintetik yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dikarenakan tanaman obat
alami tidak memiliki resiko residu akumulasi zat-zat kimia yang berbahaya di dalam
tubuh dan mampu meningkatkan metabolisme dalam tubuh ternak.
Bawang putih merupakan tanaman obat yang memiliki zat aktif dialilsulfida
yang dapat membunuh cacing dan allicin yang diduga mampu membunuh kuman
penyakit. Berdasarkan hasil survey produksi tanaman sayuran di Indonesia pada
tahun 2002, produksi bawang mencapai 46.393 ton pada luas wilayah panen 7.923
hektar atau perolehan panen rata-rata 5,9 ton per hektar (Departemen Pertanian,
2003). Produksi bawang putih yang tinggi diharapkan bisa menggantikan
penggunaan antelmintika sintetik yang menimbulkan kerugian bagi peternak dan
unggas.
Farrel (1990) menyatakan bahwa bawang putih mengandung kurang dari
0,2% minyak volatil yang merupakan unsur-unsur aktif pembentuk rasa dan aroma
bawang putih. Komponen-komponen yang terdapat dalam minyak volatil bawang
putih adalah dialil disulfida (60%), dialil trisulfida (20%), alil propil disulfida (6%)
dan dietil disulfida, dialil polisulfida, alinin serta allisin dalam jumlah sedikit.
Perumusan Masalah
Pemeliharaan ayam kampung secara tradisional atau ekstensif masih
dilakukan oleh masyarakat. Usaha pemeliharaan dengan sistem ekstensif
menyebabkan kesehatan ayam sulit terkontrol sehingga pertumbuhan ayam akan
terhambat. Ascaridia galli merupakan cacing yang banyak menyerang ayam
khususnya pada ayam kampung yang dipelihara secara tradisional dan dapat
menyebabkan kerugian dari segi ekonomi. Penggunaan obat sintetik dalam
mengatasi masalah serangan cacing pada ternak ayam masih banyak memiliki
kekurangan baik dari segi ekonomi bagi peternak, maupun dari segi kesehatan yaitu
menyebabkan residu pada daging atau telur. Dengan menggunakan tanaman obat
sebagai pengganti obat cacing diharapkan dapat mengatasi kerugian akibat efek
negatif penggunaan obat-obatan sintetik. Bawang putih sebagai tanaman obat
memiliki zat aktif yang dapat mengatasi infeksi cacing Ascaridia galli.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian bubuk
bawang putih dalam ransum terhadap performa ayam kampung yang diiinfeksi
cacing Ascaridia galli.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Bawang Putih
Klasifikasi dan Morfologi
Tanaman bawang putih adalah herba semusim berumpun yang memiliki
ketinggian sekitar 60 cm. Tanaman ini banyak ditanam di ladang yang cukup
mendapat sinar matahari. Struktur morfologi bawang putih terdiri dari akar, batang
semu, tangkai bunga pendek (Farrel, 1985). Umbi bawang putih tersusun dari
beberapa siung yang dibungkus dengan kulit putih tipis dan kalau diiris baunya
sangat tajam. Umbi tersebut merupakan batang semu dan berfungsi untuk
menyimpan cadangan makanan. Daunnya berbentuk pita (pipih memanjang), berakar
serabut, dan bunganya berwarna putih (Asiamaya, 2000).
Menurut Wibowo (1994), secara taksonomi tanaman bawang putih dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotiledone
Ordo : Lilliflorae
Bangsa : Liliaceae
Genus : Allium
Species : Allium sativum
Kandungan Bawang Putih
Menurut Reynold (1982), dari bawang putih dapat diekstrak senyawa antara
lain :
1. Air, protein, lemak, dan karbohidrat ;
2. Vitamin B1 dan Vitamin C ;
3. Mineral kalsium, fosfor, magnesium dan kalium ;
4. Zat-zat aktif :
a. Allicin (Thiopropen sulfinic acid allyl ester)
Senyawa yang diduga dapat menurunkan kadar kolesterol darah serta
bersifat anti bakteri
3
b. Skordinin
Memberi bau yang tidak sedap pada bawang putih, tetapi senyawa ini
berkhasiat sebagai antiseptik.
c. Alliil (Propenyl alanina)
Memberi bau khas pada bawang putih dan juga berfungsi sebagai
antiseptik dan antioksidan.
d. Saponin
Kandungan saponin dalam bubuk bawang putih dapat menyebabkan
sel-sel cacing menjadi terhidrolisis
e. Diallyl sulfida & Prophyl allyl sulfida
Kedua senyawa ini bersifat trombolik dan penghancur gumpalan
darah. Senyawa ini juga diduga bersifat antelmintika.
f. Methilalil trisulfida
Zat yang dapat mencegah terjadinya perlengketan sel darah merah.
Komposisi kimia bawang putih per 100 gram yang dapat dimakan, baik
mentah maupun bubuk dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Bawang Putih per 100 gram yang Dapat Dimakan
Jumlah Komponen
Mentah Bubuk
Air (g) 58,58 6,446
Energi (kkal) 149 332,261
Protein (g) 6,36 16,798
Lemak (g) 0,5 0,759
Karbohidrat (g) 33,07 72,711
Kalsium (mg) 181 79,5
Fosfor (mg) 153 416,667
Kalium (mg) 401 1.101,25 Sumber : Asiamaya (2000)
4
Perubahan Kimia Bawang Putih
Menurut Amagase et al. (2001), umbi bawang putih mengandung
polisakarida, protein, enzim, asam-amino, S-alilsistein, sulfoksida dan γ-
glutamylcysteines. Kandungan tersebut dapat membentuk alliin melalui pemecahan
sel. Apabila bawang putih mengalami proses pemotongan, enzim allinase dengan
cepat menguraikan alliin untuk membentuk cytotoxic dan odoriferus alkyl alkane-
thiosulfinates seperti allicin. Allicin melalui jalur dekomposisi cepat menghasilkan
bahan lainnya seperti diallyl sulfida, diallyl disulfida dan diallyl trisulfida. Pada saat
yang bersamaan γ-glutamylcysteines pada umbi bawang putih diubah menjadi S-allyl
cysteine (SAC) melalui penuaan alami. Komponen umbi bawang putih dibedakan
menjadi dua bagian yaitu bagian larut minyak dan bagian larut air. Komponen larut
minyak antara lain dialil sulfida (DAS), dialil disulfida (DADS), dialil trisulfida dan
ayone, sedangkan komponen yang larut air seperti S-alilsistein (SAC), S-
alilmerkaptosistein, dan asam amino. Proses perubahan kimiawi dalam bawang putih
bisa dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Proses Perubahan Kimiawi Dalam Bawang Putih (Amagase et al., 2001)
Mehrabian dan Larry-Yazdy (1992) melaporkan bahwa ekstrak bawang putih
(Allium sativum) yang telah diuji dengan menggunakan tes difusi agar, mampu
menghambat pertumbuhan 7 macam bakteri patogen. Bakteri tersebut antara lain E.
Coli 0124, E. Coli 0111, S. Typhimurium, S. Havana, S. Para A, Shigella flexneri dan
5
Shigella dysentriae. Kadar MIC ekstrak bawang putih yang digunakan untuk
melawan bakteri patogen adalah 11.25-360 ug/ml dimana bakteri tersebut merupakan
bakteri yang resisten pada kebanyakan antibiotik. Daya hambat ekstrak bawang putih
berkurang seiring dengan waktu.
Bubuk Bawang Putih
Pembuatan bubuk bawang putih dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara pengeringan dengan menggunakan beberapa jenis bahan pengisi dan sari
bawang yang diperlakukan pada berbagai pH ( Surjadi, 1992). Sebelum dikeringkan,
bawang putih diiris tipis terlebih dahulu. Irisan bawang putih hasil pengeringan
diblender dan diayak dengan menggunakan ayakan ukuran 40 mash. Tujuan dari
pengayakan ini adalah untuk mendapatkan bubuk bawang putih yang lebih halus dan
seragam ukurannya (Herman, 2000).
Bubuk bawang putih berwarna kuning dan kuning keputihan. Karakteristik
flavor tetap baik dalam penyimpanannya, tetapi bubuk bawang ini bersifat sangat
higroskopis sehingga wadah harus kedap uap air untuk mencegah produk tidak
menjadi keras dan kasar serta tidak kehilangan flavornya. Kandungan kimia bubuk
bawang putih menurut hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Kimia Bubuk Bawang Putih
Komponen Jumlah
Bahan Kering (%) 83,09
Protein Kasar (%) 16,78
Serat Kasar (%) 0,42
Lemak Kasar (%) 4,11
Beta-N (%) 58,61
Abu (%) 3,17
Ca (%) 0,26
P tersedia (%) 0,38
Na (%) 0,07
Energi Bruto (kal/g) 3.344
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, 2006
6
Piperazine
Piperazine sebagai Antelmintika
Permin et al. (1998) mendefinisikan antelmintika sebagai komponen yang
membunuh cacing atau menyebabkan mereka dikeluarkan dari saluran pencernaan
atau organ-organ dan jaringan yang mereka tempati di dalam tubuh inang.
Antelmintika yang ideal adalah mempunyai spektrum yang luas, tidak toksik, batas
keamanan yang tinggi, cepat dimetabolisme, mudah diaplikasikan, dan biayanya
murah. Kegagalan pengobatan antelmintika dapat disebabkan oleh kesalahan dalam
perhitungan dosis, reinfeksi inang, kesalahan pemilihan antelmintika dan resistensi
antelmintika. Resistensi antelmintik terkait dengan frekuensi pemakaian obat, waktu
pengobatan, faktor biologis, dan genetik cacing. Piperazine dan garam-garamnya
bertindak seperti GABA (γ-aminobutyric acid) yang merangsang flaccid paralysis
(kelumpuhan yang diikuti kelemahan) sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel
pada parasit nematoda dan cacing mudah dikeluarkan oleh gerakan peristaltik usus
(EMEA, 2001). Getah pepaya mengandung papain yang bersifat antelmintika
(Beriajaya et al., 1997), dan sebagian besar mengandung enzim papain yang bersifat
proteolitik. Papain dari getah pepaya dapat mencerna kutikula dan dapat
mengakibatkan kematian cacing. Enzim papain dalam getah pepaya, secara in vitro
dapat membunuh Heterakis gallinarum dalam waktu 0,5-3 jam pada konsentrasi 0,5-
4 % serta A.galli pada ayam kampung (Beriajaya et al., 1997).
Bahan Aktif Piperazine
Piperazine terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Selain
itu juga didapat sebagai sitrat, kalsium edetat. Garam-garam ini bersifat stabil
nonhigroskopis, berupa kristal putih yang sangat larut dalam air dan bersifat agak
asam (Sukarban dan Santoso, 1995). Pemberian piperazine melalui oral bisa dalam
bentuk adipat, sitrat, hidrat, atau fosfat. Kandungan bahan aktif pada masing-masing
garamnya berbeda-beda. Bahan aktif beberapa derivat piperazine bisa dilihat dalam
Tabel 3.
7
Tabel 3. Bahan Aktif Beberapa Derivat Piperazine
Derifat Piperazine Bahan aktif (%) Piperazine sitrat Piperazine adipat Piperazine dihidroklorida Piperazine heksahidrat Piperazine fosfat Piperazine sulfat
35 48
50-53 44 42 46
Sumber : Booth dan McDonald (1982)
Ascaridia galli
Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Soulsby (1986), klasifikasi cacing Ascaridia galli adalah sebagai
berikut : Filum : Nemathelminthes; Kelas : Nematoda; Subkelas : Secenentea; Ordo :
Ascaridia; Superfamili : Ascaridoidea; Famili : Ascarididae; Genus : Ascaridia.
Ascaridia galli mempunyai habitat di dalam lumen usus halus, kadang-
kadang ditemukan di daerah esophagus, tembolok, ventrikulus, oviduk, bahkan di
dalam rongga mulut (Ruff, 1991). Unggas muda berumur di bawah usia tiga bulan
sangat rentan terhadap infeksi Ascaridia galli, terutama pada unggas yang dalam
kekurangan protein tinggi. Infeksi yang hebat menyebabkan obstruksi usus baik total
maupun sebagian, terutama pada duodenum dan jejunum serta pendarahan pada usus.
Infeksi cacing juga dapat menyebabkan kehilangan nafsu makan, bulu rontok,
anemia, diare dan kematian (Akoso, 1998).
Telur yang dihasilkan berbentuk lonjong, berdinding licin dan berukuran
0,073-0,92 x 0,0045-0,057 mm (Soulsby, 1986). Cacing ini mempunyai saluran
pencernaan dan umumnya mempunyai jenis kelamin yang terpisah (Levine, 1990).
Perbedaan cacing jantan dan betina adalah cacing jantan memiliki spikola yang
terdapat pada salah satu ujungnya, ukurannya lebih kecil dan lebih pendek (Gambar
2). Panjang cacing jantan 30-80 mm dan diameter 0,5-1,2 mm, sedangkan cacing
betina mempunyai panjang 60-120 mm dan diameter 0,9-1,8 mm serta telur
berukuran 75-80 x 45-50 mikron (Levine, 1990). Cacing Ascaridia galli jantan dan
betina dapat dilihat pada Gambar 2.
8
Cacing jantan Cacing betina
Gambar 2. Cacing Ascaridia galli Jantan dan Betina (Perbesaran 10x)
Siklus Hidup
Calneck (1997) mengatakan siklus hidup Ascaridia galli adalah sederhana.
Siklus hidup cacing Ascaridia galli terjadi secara langsung yaitu telur A. galli yang
dikeluarkan bersama tinja akan berkembang menjadi telur infektif yang berisi larva
infektif (L2) selama 8-10 hari dalam kondisi optimum pada suhu 30-33 0C dan
kelembaban 80% (Soulsby, 1982). Selanjutnya telur infektif akan menetas dalam
duodenum inang yang memakannya dan berkembang menjadi larva tahap 2 yang
hidup dalam lumen usus selama 8 hari. Pertumbuhan selanjutnya larva masuk ke
dalam mukosa usus (fase jaringan). Selama fase jaringan, L2 mengalami molting
menjadi L3 pada hari ke-7 atau ke-8, dan L3 molting menjadi L4 pada hari ke-14
atau ke-15. Kemudian L4 kembali ke lumen usus lagi dan berkembang menjadi
cacing dewasa selama kurang lebih 6-8 minggu setelah infeksi. Siklus hidup cacing
Ascaridia galli dapat dilihat pada Gambar 3.
Infektifitas dan Kebutuhan Cacing dalam Saluran Pencernaan Inang
Kelangsungan hidup parasit dalam tubuh inangnya dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor ini sangat berpengaruh pada perkembangan maupun
kelangsungan hidup dan daya tahan cacing Ascaridia galli, mulai dari penetasan telur
infektif sampai mapan dalam saluran pencernaan inang. Infektifitas adalah
kemampuan cacing untuk menginfeksi atau daya infeksi pada inang sehingga
mencapai tahap perkembangan tertentu. Infektifitas cacing pada inang dipengaruhi
oleh beberapa hal antara lain dosis infeksi atau jumlah telur infektif yang tertelan
oleh inang.
Tubuh cacing membutuhkan karbohidrat, protein, serta lipid untuk hidup.
Umumnya cacing nematoda menyimpan glikogen di jaringan sebagai cadangan
energi. Pada cacing Ascaridia galli akan terjadi penurunan jumlah glikogen jika
9
inangnya (unggas) tidak mau makan. Cacing Ascaridia galli lebih banyak
membutuhkan karbohidrat daripada protein karena jumlah enzim pencerna
proteinnya lebih sedikit daripada cacing yang lain (Zalizar, 2006).
Telur keluar
bersama feses ayam
(L1)
Telur menetas dalam usus halus (L2)
Berpenetrasi dalam
mukosa usus (moulting,L3)
Kembali usus halus menjadi cacing dewasa
(L4)
Cacing A. galli dewasa bertelur di
usus halus(L5)
Telur infektif pada hari
ke-10 atau lebih (L2)
Telur tertelan inang
definitif (L2)
Gambar 3. Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli (Soulsby, 1986).
Performa Ayam Kampung
Ayam kampung berasal dari domestikasi ayam hutan yang telah sekian lama
mengalami perkembangan pada kondisi lingkungan yang berbeda, maka terbentuklah
berbagai jenis ayam kampung (Cahyono, 1997). Ayam kampung mempunyai
berbagai keunggulan dibandingkan ayam ras. Keunggulan tersebut seperti harga jual
daging dan telur yang lebih tinggi, kemampuan adaptasinya terhadap beberapa
penyakit dan lebih toleran terhadap ransum berkualitas rendah (He et al., 1991).
Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan ototnya
baik. Pejantan memiliki ciri kejantanan yang jelas, baik dari bentuk tubuhnya yang
berukuran besar, cara berjalan yang gagah dan tingkah laku lainnya. Ayam betina
mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dan selama setahun mampu bertelur sebanyak 3
10
periode. Dalam satu masa bertelur ayam ini mampu menghasilkan 12-18 butir
(Sarwono, 1997).
Ciri ayam kampung menurut Mansjoer (1985) adalah ukuran tubuh kecil dan
laju pertumbuhannya lambat dibandingkan dengan ayam ras. Perbedaan lain antara
ayam kampung dan ayam ras adalah ayam kampung belum ditingkatkan mutu
genetiknya, sedangkan asal-usulnya sama yaitu berasal dari ayam hutan. Mansjoer
(1985) menyatakan bahwa ayam kampung yang dipelihara di pedesaan secara
trdisional mencapai dewasa kelamin pada umur 6-7 bulan, dengan bobot badan
dewasa berkisar 1,4-1,6 kg, produksi telur 10 butir per periode bertelur dan produksi
setahun 40-45 butir.
Ransum dan Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum pada ayam merupakan aktivitas memasukkan sejumlah
makanan ke dalam tubuhnya melalui paruh. Menurut Rasyaf (1999) ada beberapa
faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum diantaranya usia ayam, kegiatan ayam
dan kegiatan fisiologi ayam. Menurut Ensminger (1992), strain ayam, musim,
manajemen, dosis keparahan penyakit dan pakan yang digunakan mempengaruhi
konsumsi ransum. Selain itu jenis kelamin, umur, temperatur lingkungan, luas tempat
pakan, kedalaman tempat pakan, dipotong tidaknya paruh, kepadatan kandang,
konsumsi air minum dan kandungan energi dan protein ransum (Anggorodi, 1994).
Hasil penelitian Utami (1999) menunjukkan bahwa pemberian getah pepaya
sebagai antelmintika berpengaruh sangat nyata pada konsumsi pakan. Semakin tinggi
tingkat pemberian getah pepaya sampai level 0,75 g/kg bobot badan menyebabkan
penurunan konsumsi pakan yang diikuti dengan pertambahan bobot badan ayam
kampung.
Konversi Ransum
Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor –faktor yang mempengaruhi
daya cerna yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan ransum adalah
suhu, laju perjalanan ransum melalui saluran pencernaan, bentuk fisik ransum,
komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat-zat makanan
lainnya. Perbedaan sifat pertumbuhan antara ayam kampung dengan ayam ras adalah
pertumbuhan ayam kampung mulai meningkat pada umur 4 minggu dan
11
pertumbuhan tertinggi dicapai pada selang umur 20-24 minggu (Mansjoer, 1985).
Pada ayam ras, pertumbuhan tercepat dicapai pada periode starter ( umur 0-4
minggu). Nilai konversi ransum pada ayam ras cenderung naik dengan bertambahnya
umur ayam. Semakin tinggi tingkat pemberian getah pepaya sampai level 0,75g/kg
bobot badan menyebabkan semakin menurunnya konversi pakan ayam kampung (
Utami, 1999). Suharti (2005) menyatakan bahwa pemberian bawang putih sampai
2,5% dalam ransum dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan pada ayam
yang terinfeksi S. typhimurium.
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan merupakan salah satu peubah yang digunakan
untuk mengukur laju pertumbuhan. Ensminger (1991) menyatakan bahwa
pertumbuhan adalah suatu proses peningkatan dalam ukuran tulang, otot, organ
dalam dan bagian tubuh lainnya yang terjadi sebelum lahir dan sesudah lahir sampai
mencapai tubuh dewasa. Rose (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan meliputi
peningkatan ukuran sel-sel tubuh dan peningkatan ukuran sel-sel individual. Faktor
pendukung pertumbuhan ayam adalah kualitas dan kuantitas makanan, temperatur
dan pemeliharaan (Rasyaf, 1999). Penambahan bahan antibakteri seperti bawang
putih sebesar 2,5% atau tetrasiklin mampu meningkatkan pertambahan bobot badan
ayam yang terinfeksi S. typhimurium (Suharti, 2005).
Mortalitas
Mortalitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengukur
keberhasilan ternak. Mortalitas adalah perbandingan antara jumlah seluruh ternak
yang mati dengan jumlah total ternak yang dipelihara. Permin et al. (1998)
mengatakan bahwa sifat penyakit parasitik cacing A. galli biasanya berjalan kronis
sehingga menimbulkan gejala sakit yang perlahan atau subklinis. Kecacingan tidak
menyebabkan mortalitas tetapi menghasilkan morbiditas. Beberapa dampak akibat
infeksi cacing yaitu kerusakan jaringan oleh parasit dalam bentuk larva dan cacing
dewasa sehingga penyerapan menjadi terganggu dan ayam menjadi kurus dan lemah.
Hasil penelitian Bagus (2003) menyebutkan bahwa pemberian bubuk bawang putih
per oral dengan dosis pemberian 2-6 g mampu mengurangi infeksi telur cacing
A.galli.
12
13
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini berlangsung pada bulan Februari sampai Mei 2006 di
Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengkoleksian telur
cacing Ascaridia galli dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Ternak
Penelitian ini menggunakan 100 ekor DOC (Day Old Chick) ayam kampung
yang diinfeksi cacing Ascaridia galli dengan dosis 2.500 telur pada umur 6 minggu,
ayam dipelihara selama 11 minggu.
Kandang dan Peralatan
Penelitian ini menggunakan kandang sistem litter yang disekat dengan pen
berukuran 60 x 60 x 60 cm sebanyak 20 buah. Kandang dilengkapi dengan tempat
makan, tempat air minum, dan lampu pijar 60 watt. Bahan litter yang digunakan
adalah sekam padi setebal 1 cm untuk menampung ekskreta ayam. Peralatan lain
yang dipakai adalah timbangan untuk menimbang bobot badan ayam, tirai plastik,
termometer untuk mengukur suhu lingkungan, sapu, kawat untuk menggantungkan
tempat minum, plastik untuk ransum.
Ransum
Ransum yang digunakan adalah ransum ayam kampung umur 0-4 minggu
dengan kandungan protein 20% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg serta umur 5-12
minggu dengan kandungan protein 18% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg
(Cahyono, 2002). Ransum perlakuan (mengandung bawang putih) selama dua
minggu (umur 9-11 minggu). Tahapan pemberian ransum dapat dilihat dalam Tabel
4. Susunan ransum ayam kampung dan hasil analisis ransum ayam kampung umur 0-
4 minggu dan 5-12 minggu dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.
13
Tabel 4. Tahapan Pemberian Perlakuan Ransum Selama Pemeliharaan
Ransum Perlakuan Umur Ayam P1 P2 P3 P4 P5
0-4 minggu Starter Starter Starter Starter Starter 4-9 minggu Grower Grower Grower Grower Grower 9-11 minggu Grower Grower +
2% piperazine
Grower + 2,5%
bawang putih
Grower + 5%
bawang putih
Grower + 7,5%
bawang putih
Tabel 5. Susunan dan Kandungan Zat Makanan Ransum Ayam Kampung Umur 0-4 Minggu (Starter) dan 5-12 Minggu (Grower)
Bahan Makanan 0-4 Minggu 5-12 Minggu
------------------------(%)----------------------------
Jagung Kuning (%) 55,42 58,55
Dedak Padi (%) 5 6
Pollard (%) 6 6
Tepung Ikan (%)* 6,7 5
Bungkil Kedele (%) 23 21
Minyak Kelapa (%) 1.8 1
DCP (%) 0,19 0,55
CaCO3 (%) 1,39 1,4
Premix (%) 0,5 0,5
Total (%) 100 100
Kandungan Zat Makanan Ransum (Menurut Perhitungan) :
Energi Metabolis (kkal/kg) 2.948,21 2.950,73
Protein Kasar (%) 20,06 18,64
Kalsium (%) 1,00 0,99
Phospor tersedia (%) 0,45 0,46
Serat Kasar (%) 3,90 3,92
*) Protein tepung ikan 55 %
14
Tabel 6. Kandungan Zat Nutrisi Ransum Ayam Kampung *)
Jumlah Zat Makanan
0 – 4 minggu 5 – 12 minggu
Bahan Kering (%) 86,80 85,66
Abu (%) 6,68 6,31
Protein Kasar (%) 22,33 20,87
Serat Kasar (%) 3,96 4,26
Lemak Kasar (%) 5,66 4,64
Beta-N (%) 48,17 49,58
Ca (%) 1,61 1,44
P tersedia (%) 0,64 0,68
Na (%) 0,25 0,08
Energi Bruto (kal/g) 3.990,00 3.906,00 *Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2006)
Pembuatan Bubuk Bawang Putih
Proses pembuatan bubuk bawang putih dimulai dari pemisahan siung menjadi
siung tunggal, bawang putih tunggal dikupas kulitnya. Setelah itu bawang putih diiris
tipis (2-3 mm) kemudian diangin-anginkan sebentar. Bawang putih yang telah diiris
tipis, dikeringkan dalam oven pada suhu 60 0C selama 10 jam. Kemudian bawang
putih ditimbang dan dihaluskan. Bawang putih yang telah dihaluskan diayak dengan
menggunakan ayakan 40 mash. Proses pembuatan bubuk bawang putih bisa dilihat
dalam Gambar 4.
15
Bawang putih
Pemisahan siung menjadi siung tunggal
Pengupasan kulit
Pengirisan tipis (2-3 mm)
Pengovenan pada suhu 60 0 C selama 10 jam
Penghalusan
Pengayakan (40 mash)
Bubuk bawang putih
Gambar 4. Proses Pembuatan Bubuk Bawang Putih
Obat-obatan dan Vaksinasi
Obat-obatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vita Stress, Vita
Chick, Vaksin ND untuk mencegah penyakit tetelo dan Vaksin Gumboro. Vita Chick
dan Vita Stress digunakan sebagai suplemen vitamin. Vaksin ND I diberikan pada
ayam berumur tiga hari melalui tetes mata dan vaksin ND II diberikan pada waktu
ayam berumur tiga minggu melalui air minum. Vaksin gumboro diberikan pada
ayam berumur 10 hari. Ayam dipuasakan terlebih dahulu dari air minum selama 2
jam, kemudian diberikan vaksin yang telah dilarutkan dalam air minum.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Model matematik dalam
rancangan percobaan ini adalah :
Yij = μ + αi + εij
16
Keterangan :
Yij : nilai respon dari perlakuan ke –j
µ : nilai rataan umum
αi : pengaruh perlakuan ke -i
εij : galat percobaan pada perlakuan ke –j
i : perlakuaan terhadap bubuk bawang putih (1, 2, 3, 4, 5)
j : ulangan (1, 2, 3, 4)
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat
perbedaan yang nyata maka dilakukan Uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
Ransum Perlakuan
Perlakuan pada penelitian ini yaitu penambahan piperazine sitrat dan bawang
putih ke dalam ransum grower untuk diberikan pada ayam umur 9-11 minggu setelah
ayam diinfeksi cacing Ascaridia galli mulai umur 6-9 minggu. Perlakuan tersebut
yaitu :
P1 = Ransum grower tanpa bubuk bawang putih (kontrol)
P2 = P1+ 2% Piperazine (sesuai dosis pemakaian)
P3 = P1+ 2,5% Bubuk bawang putih
P4 = P1 + 5% Bubuk bawang putih
P5 = P1 +7,5% Bubuk bawang putih
Peubah yang Diamati 1. Konsumsi Ransum (g/ekor/minggu)
Selisih jumlah ransum yang diberikan pada awal minggu dengan sisa ransum
pada akhir minggu
2. Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/minggu)
Selisih bobot badan akhir minggu dengan bobot badan awal minggu
3. Konversi Ransum
Jumlah ransum yang dikonsumsi dibagi pertambahan bobot badan per
minggu
4. Bobot Badan Akhir (g/ekor)
Penimbangan bobot badan dilakukan pada akhir minggu pemeliharaan
5. Mortalitas (%)
Jumlah kematian selama penelitian dibagi jumlah ayam pada awal penelitian
17
Prosedur
Persiapan Kandang
Persiapan kandang dilakukan tiga minggu sebelum pemeliharaan. Persiapan
kandang meliputi pemasangan kawat penyekat antar pen, lampu, serta tirai plastik.
Setelah pemasangan selesai dilakukan pengapuran, didiamkan selama dua hari,
kemudian dilaksanakan fumigasi untuk menanggulangi terserangnya penyakit bagi
ayam. Penambahan sekam ke dalam tiap pen dilakukan dua hari setelah fumigasi.
Tempat pakan dan minum digantung di atas sekam agar tidak cepat kotor.
Pemeliharaan
Ayam yang digunakan adalah DOC ayam kampung sebanyak 100 ekor. Pada
awal penelitian dilakukan penimbangan bobot badan. Setelah selesai ditimbang,
ayam diberi air minum yang telah dilarutkan gula untuk mengembalikan kondisi
tubuh ayam seperti semula. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Perhitungan
konsumsi pakan serta penimbangan bobot badan dilakukan setiap minggu. Vaksinasi
ND dan gumboro dilakukan melalui air minum, sebelum dan sesudah vaksinasi
diberikan vitamin anti stress. Penginfeksian telur infektif cacing Ascaridia galli
dilakukan satu kali pada saat ayam berumur 6 minggu. Penambahan bubuk bawang
putih ke dalam ransum dilakukan 3 minggu setelah penginfeksian yaitu selama 2
minggu atau pada saat ayam berumur 9-11 minggu untuk melihat pengaruh
antelmintika.
Penyediaan Telur Infektif
Telur infektif yang digunakan untuk menginfeksi hewan percobaan pada
penelitian ini diperoleh dari hasil pupukan telur cacing Ascaridia galli yang diisolasi
dari uterus cacing betina dewasa. Cacing dewasa diperoleh dari usus ayam yang
terinfeksi cacing Ascaridia galli. Telur infektif yang diperoleh kemudian diinkubasi
dalam cawan petri berisi aquabidest steril selama 15 hari sampai terbentuk telur
infektif. Penggunaan telur infektif yang diperoleh dari hasil pupukan, sebelumnya
dihitung terlebih dahulu untuk menentukan dosis yang akan diinfeksikan. Dosis telur
infektif yang digunakan adalah 2.500 telur/ekor. Telur cacing yang telah siap
diinfeksikan pada ayam disimpan pada tabung ependouf sesuai dengan dosis.
18
Pemeriksaan Kecacingan Prainfeksi
Pemeriksaan kecacingan pada ternak dilakukan 1-2 hari sebelum
penginfeksian untuk memastikan bahwa ternak tersebut tidak terinfeksi cacing. Feses
ayam diambil sebagai sampel kecacingan pada ternak yang kemudian diperiksa pada
larutan pengapung. Larutan pengapung terdiri dari campuran 400 g garam dan 500 g
gula yang dilarutkan pada 1 L air. Campuran garam, gula dan air dimasak sampai
mendidih dan semua tercampur dan menjadi larutan jenuh dengan berat jenis 1,280.
Dua gram tinja dilarutkan ke dalam 58 ml larutan pengapung yang kemudian
disaring dan dihomogenkan kembali. Larutan tersebut diperiksa di bawah mikroskop
untuk melihat telur cacing. Telur cacing Ascaridia galli bisa dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 . Telur Cacing Ascaridia galli (Perbesaran 10x)
Penginfeksian Telur Infektif
Penginfeksian dilakukan pada saat ayam berumur 6 minggu, selama 3
minggu. Telur infektif diberikan melalui oral atau mulut dengan menggunakan spoit
yang dihubungkan dengan sonde. Dosis yang digunakan untuk menginfeksi hewan
percobaan adalah 2.500 telur dalam 1 ml aquadest. Untuk menjamin semua telur
masuk ke dalam oesophagus kemudian dilakukan pembilasan dengan aquadest
sebanyak 1 ml.
Pemberian Bubuk Bawang Putih
Pemberian bubuk bawang putih dilakukan saat ayam berumur 9 minggu
hingga berumur 11 minggu. Bubuk bawang putih diberikan pada ternak selama 2
minggu untuk melihat pengaruh antelmintikanya. Penambahan bubuk bawang putih
ke dalam ransum ayam kampung disesuaikan dengan dosis perlakuan.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum Ayam Kampung
Rataan konsumsi ayam kampung pra infeksi A. galli (umur 0-6 minggu), saat
infeksi A. galli (umur 6-9 minggu) dan pasca infeksi A. galli dengan pemberiaan
bubuk bawang putih dan piperazine sitrat disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Kampung Selama Pemeliharaan (g/ekor/Minggu)
Perlakuan Umur (Minggu) P1 P2 P3 P4 P5
0-6 minggu
(pra infeksi)
163,19±10,07 161,32±5,22 163,47±5,86 161,51±10,45 170,70±10,23
6-9 minggu (infeksi)
345,88±9,65 340,75±8,54 346,00±6,26 332,13±8,66 340,25±10,14
9-11 minggu
(perlakuan) 320±0,00A 327,50±10,67AB 354,50±4,34C 327,33±8,45AB 336±5,34B
Keterangan : P1, P2, P3, P4 dan P5 menggunakan ransum starter pada umur 1-4 minggu dan ransum grower pada umur 4-6 minggu P1 = ransum kontrol ( Ransum grower), P2 = P1+2% piperazine, P3 = P1+2,5 % bubuk bawang putih, P4 = P1+5,0 % bubuk bawang putih, dan P5 = P1+7,5 % bubuk bawang putih. Superskrip yang berbeda pada garis yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Ayam kampung dipelihara selama 0-6 minggu sebelum diinfeksi cacing
Ascaridia galli dan diberi ransum ayam kampung periode starter (umur 0-4 minggu)
dan grower (umur 4-6 minggu). Pemberian ransum selama periode 6 minggu
pertama (sebelum diinfeksi A.galli) berkisar antara 161,32 sampai dengan 170,70
g/ekor. Rataan konsumsi ransum pada penelitian ini rendah. Ayam mengkonsumsi
ransum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan
untuk hidup pokok, pertumbuhan maupun produksi. Tilman et al. (1998) menyatakan
bahwa konsumsi ransum yang rendah bisa menyebabkan berkurangnya bobot badan
ternak. Konsumsi ransum oleh hewan dipengaruhi oleh selera makan dan bentuk
fisik ransum. Selera makan berhubungan dengan suhu lingkungan, laju sekresi
tirosin, kadar gula darah, lemak tubuh dan konsentrasi asam amino darah (Sutardi,
20
1981). Bentuk fisik ransum yang berbentuk tepung (mash) menyebabkan ransum
banyak yang terbuang karena sifatnya berdebu dan dipilih-pilih oleh ayam.
Rataan konsumsi ayam kampung pasca infeksi cacing A. galli (umur 6-9
minggu) dapat dilihat pada Tabel 7. Selama penelitian berlangsung semua kelompok
mengalami peningkatan konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum saat ayam
diinfeksi cacing A galli dengan dosis 2.500 telur/ekor berkisar antara 332,13 sampai
dengan 345,88 gram/ekor. Status nutrisi ayam mempengaruhi pembentukan
kekebalan terhadap cacing A. galli. Pada penelitian ini ayam diberi pakan standar
ayam kampung. Selain itu secara teratur ayam diberi juga suplemen vitamin dan
mineral terutama sebelum dan sesudah vaksinasi, pada saat pindah kandang dan
setelah penimbangan berat badan. Ayam umur dibawah tiga bulan sangat rentan
terhadap serangan cacing. Berbeda dengan ayam dewasa yang lebih tahan terhadap
serangan cacing dimana sel-sel goblet pada usus mengalami peningkatan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian piperazine dan bubuk
bawang putih pasca infeksi cacing A. galli (umur 9-11 minggu) sangat nyata
(P<0,01) meningkatkan konsumsi ransum. Peningkatan konsumsi ransum disebabkan
pemberian bubuk bawang putih dalam ransum meningkatkan palatabilitas ransum
sehingga konsumsi ayam meningkat. Selain itu, konsistensi ransum juga lebih
lengket, hal ini disebabkan bawang putih bersifat higroskopis (mudah menyerap air)
sehingga menyulitkan ransum untuk dikonsumsi ayam kampung. Bawang putih
merupakan bahan tanaman antibakteri yang mempunyai spektrum sangat luas bahkan
terhadap bakteri-bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik.
Pertambahan Bobot Badan Ayam Kampung
Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan
untuk mengukur pertumbuhan. Rataan pertambahan bobot badan ayam kampung pra
infeksi A. galli (umur 0-6 minggu), saat infeksi A. galli (umur 6-9 minggu) dan
pertambahan bobot badan ayam kampung pasca infeksi A. galli (umur 9-11 minggu)
disajikan pada Tabel 8 dan pola pertumbuhan ayam kampung selama pemeliharaan
0-11 minggu dapat dilihat pada Gambar 6.
Pertambahan bobot badan yang dihasilkan pada penelitian ini berbeda dengan
pertambahan bobot badan ayam kampung umur 1-4 minggu yang dihasilkan pada
penelitian Choerulloh (2000) yaitu sebesar 90,05 g/ekor dengan ransum yang
21
digunakan mengandung protein kasar sebesar 20,42% dan energi bruto sebesar 3.202
kkal/kg. Rataan konsumsi ransum tinggi dan pertambahan bobot badan yang rendah,
sedangkan rataan konversi ransum tinggi. Hal ini disebabkan energi dan protein pada
ransum penelitian kurang dapat dimanfaatkan oleh ayam sehingga terjadi inefisiensi
penggunaan ransum serta keadaan mutu genetik ayam yang digunakan karena ayam
kampung mempunyai keragaman genetik yang sangat besar (Mansjoer, 1985).
Tabel 8. Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Kampung Selama Pemeliharaan (gram/ekor/Minggu)
Perlakuan Umur (Minggu) P1 P2 P3 P4 P5
0-6 minggu (pra infeksi)
51,65±11,88 49,58±2,64 44,96±5,89 47,26±5,07 50,47±2,59
6-9 minggu (infeksi)
63,43±9,05 61,83±4,52 73,17±9,29 59,90±13,57 76,81±12,78
9-11 minggu (perlakuan) 63,8±6,9 64,67±6,74 72,79±6,79 62,17±5,08 66,69±4,18
Keterangan : P1, P2, P3, P4 dan P5 menggunakan ransum starter pada umur 1-4 minggu dan ransum grower pada umur 4-6 minggu P1 = ransum kontrol (Ransum grower), P2 = P1+2% piperazine,P3 = P1+2,5 % bubuk bawang putih, P4 = P1+5,0 % bubuk bawang putih, P5 = P1+7,5 % bubuk bawang putih.
Dilihat dari kurva pertumbuhan (Gambar 6) selama (umur 0-6 minggu)
pemeliharaan, rataan pertambahan bobot badan tertinggi dicapai pada umur 5 minggu
yaitu sebesar 81,13 g/ekor (P1), 72,20 g/ekor (P2), 67,17 g/ekor (P3), 58,93 g/ekor
(P4) dan 76,84 g/ekor (P5). Hal ini disebabkan adanya perbedaan sifat pertumbuhan
antara ayam kampung dengan ayam ras, pertumbuhan ayam kampung mulai
meningkat pada umur 4 minggu dan pertumbuhan tertinggi dicapai pada selang umur
20-24 minggu (Mansjoer,1985).
Rataan pertambahan bobot badan ayam kampung saat diinfeksi cacing A.
galli (umur 6-9 minggu) berkisar antara 59,90 sampai dengan 76,81 gram/ekor.
Selama penelitian berlangsung semua kelompok mengalami peningkatan bobot
badan. Hal ini berbeda dengan penelitian Tiuria et al. (2000) yang menyatakan
bahwa ayam yang diinfeksi A. galli dengan dosis 2.000 telur/ekor mengalami
penurunan bobot badan sebesar 30%. Kehilangan bobot badan erat kaitannya dengan
22
keterbatasan kemampuan absorpsi nutrisi oleh vili saluran pencernaan yang
mengalami kerusakan.
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Umur (minggu)
Rat
aan
PBB
(g/e
kor)
P1P2P3P4P5
Gambar 6. Kurva Pertumbuhan Ayam Kampung Selama 0-11 Minggu Pemeliharaan
Dosis infeksi yang berat diduga akan merangsang kekebalan inang yang
menyebabkan fertilitas telur cacing menurun (Tiuria et al., 2000). Kekebalan ayam
pada penelitian ini terhadap cacing cukup baik, terlihat dari pertambahan bobot
badan ayam pasca infeksi telur infektif A.galli yang meningkat dibandingkan
sebelum ayam diinfeksi A. galli.
Dilihat dari kurva pertumbuhan (Gambar 6) pada minggu ke-7 diperoleh
pertambahan bobot badan, yaitu sebesar 83,41 g/ekor (P1), 73,20 g/ekor (P2), 96,74
g/ekor (P3), 71,10 g/ekor (P4) dan 95,52 g/ekor (P5), tetapi pada minggu ke-8
mengalami penurunan sebesar 47,90% (P1), 31,08% (P2), 48,73% (P3), 31,50% (P4)
dan 39,18% (P5). Diduga telur infektif cacing Ascaridia galli sudah masuk ke dalam
tubuh ayam kampung yang menyebabkan terganggunya proses absorpsi nutrisi oleh
vili saluran pencernaan ayam, sehingga terjadi penurunan pertambahan bobot badan
pada minggu ke-8. Kerusakan pada vili menimbulkan pengurangan luas permukaan
pada mukosa usus halus sehingga mengurangi penyerapan zat-zat makanan.
Berdasarkan hasil histopatologi usus, secara deskriptif tingkat kerusakan usus setelah
ayam terinfeksi (tanpa pemberian obat) sebesar 75% (Nurjanah, 2007). Tingkat
kerusakan terkecil yaitu sebesar 25% didapatkan pada perlakuan pemberian bubuk
23
bawang putih dengan dosis 7,5% dengan ditemukannya proliferasi dan deskuamasi
epitel usus yang sangat ringan.
Penggunaan bubuk bawang putih dengan taraf 2,5%, 5% dan 7,5% memiliki
tingkat kerusakan yang berbeda-beda sesuai dengan taraf pemberian bubuk bawang
putih, semakin tinggi taraf yang diberikan maka semakin rendah tingkat kerusakan.
Infeksi parasit pada saluran pencernaan dapat menyebabkan berbagai perubahan
patologis (Castro,1990). Perubahan tersebut terjadi karena kerusakan jaringan akibat
kehadiran parasit secara langsung, atau akibat proliferasi jaringan inang yang
dirangsang adanya parasit.
Pada minggu ke-9 pertambahan bobot badan meningkat lagi, yaitu sebesar
66.35 g/ekor (P1), 65,20 g/ekor (P2), 75,32 g/ekor (P3), 70,55 g/ekor (P4) dan 73,50
g/ekor (P5). Diduga lama penginfeksian dan jenis (strain) ayam mempengaruhi
kerentanan ayam terhadap infeksi cacing A.galli. Penginfeksian telur infektif A. galli
dilakukan selama tiga minggu belum memberikan pengaruh terhadap performa ayam
kampung. Hal ini disebabkan cacing muda atau L5 memasuki lumen duodenum pada
hari ke-17 atau 18 dan menetap sampai menjadi dewasa lebih kurang 28-30 hari
setelah inang menelan telur berembrio (Soulsby, 1986). Jenis (strain) ayam yang
digunakan juga mempengaruhi tingkat kerentanan infeksi A. galli. Laju pertumbuhan
ayam kampung tergolong lambat, meskipun demikian ayam kampung memiliki
kelebihan yaitu mudah dipelihara, pakan sederhana dan memiliki daya tahan tubuh
yang kuat sehingga tidak mudah terserang penyakit (Sujionohadi dan Setiawan,
2003).
Fase perkembangan cacing A.galli pada penelitian ini hanya mencapai tahap
larva, sehingga penambahan piperazine ke dalam ransum belum efektif membunuh
kuman cacing. Piperazine sangat efektif untuk mengeluarkan cacing A.galli dewasa
tapi kurang efektif untuk mengeluarkan fase larva dari jaringan (Zalizar, 2006).
Rataan pertambahan bobot badan ayam kampung setelah pemberian
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Rataan pertambahan bobot badan berkisar
antara 62,17 gram/ekor sampai dengan 72,79 gram/ekor. Dilihat dari kurva
pertumbuhan, rataan pertambahan bobot badan pada minggu ke-10 mengalami
peningkatan, yaitu 18,31% (P1), 27,84% (P2), 1,08% (P3), 4,39% (P4) sedangkan
untuk (P5) mengalami penurunan sebesar 20,88%. Hal ini disebabkan pemberian
24
bubuk bawang putih dalam ransum tidak linier terhadap peningkatan dosis, hanya
bekerja pada dosis tertentu sehingga perlu dikaji tentang dosis bawang putih yang
tepat terkait dengan umur ayam. Selain itu, konsistensi ransum juga lebih lengket, hal
ini disebabkan bawang putih bersifat higroskopis (mudah menyerap air) sehingga
dengan menurunnya konsumsi ransum, akan mempengaruhi pertambahan bobot
badan. Konsumsi ransum, konversi ransum dan pertambahan bobot badan yang
tinggi. disebabkan oleh adanya gangguan penyerapan zat makanan sehingga terjadi
inefisiensi penggunaan ransum akibat infeksi cacing A.galli dalam saluran
pencernaan usus ayam kampung. Dengan pemberian piperazine dan bubuk bawang
putih sesuai dosis perlakuan, sel epitel yang rusak tersebut akan pulih, namun waktu
yang dibutuhkan untuk pemulihan jaringan tergantung banyak sedikitnya kerusakan
tersebut.
Konversi Ransum Ayam Kampung
Konversi ransum dapat menggambarkan keefisienan penggunaan pakan.
Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan ransum adalah suhu, laju perjalanan
ransum melalui saluran pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi ransum dan
pengaruh terhadap perbandingan dari zat-zat makanan lainnya. Rataan konversi
ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan Konversi Ransum Ayam Kampung Selama (0-11 Minggu) Pemeliharaan
Perlakuan Umur (Minggu) P1 P2 P3 P4 P5
0-6 minggu (pra infeksi)
4,49±0,83 5,00±0,49 5,46±0,85 5,61±1,58 4,86±0,82
6-9 minggu (infeksi)
6,26±0,87 5,76±0,52 5,67±1,10 6,07±1,50 4,94±0,56
9-11 minggu (perlakuan) 5,35±0,64 5,44±1,11 5,13±0,65 5,58±0,56 5,57±0,59
Keterangan : P1, P2, P3, P4 dan P5 menggunakan ransum starter pada umur 0-4 minggu dan ransum grower pada umur 4-6 minggu P1 = ransum kontrol (Ransum grower), P2 = P1+2% piperazine, P3 = P1+2,5 % bubuk bawang putih, P4 = P1+5,0 % bubuk bawang putih, P5 = P1+7,5 % bubuk bawang putih.
25
Nilai konversi ransum selama periode 6 minggu pertama (sebelum diinfeksi
A. galli) selama periode 6 minggu pertama (sebelum diinfeksi A. galli) pada
penelitiaan ini sebesar 4,49 sampai dengan 5,61 relatif sama yang dihasilkan pada
penelitian Utami (2004) berkisar antara 4,43-5,18. Rataan konversi ransum ayam
kampung yang diinfeksi cacing A. galli (umur 6-9 minggu) berkisar antara 4,94
sampai dengan 6,26. Saat diinfeksi cacing A.galli selama tiga minggu nilai konversi
ransum menjadi tinggi, hal ini disebabkan meningkatkan konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan ayam kampung selama diinfeksi cacing A. galli. Rataan
konversi ransum setelah pemberian perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Rataan
konversi ransum berkisar antara 5,13 sampai dengan 5,58. Setelah pemberian bubuk
bawang putih dan piperazine terjadi penurunan nilai konversi ransum, hal ini
disebabkan kandungan dialilsulfida dan allicin pada bawang putih. Nilai konversi
ransum pada ayam ras cenderung naik dengan bertambahnya umur ayam. Semakin
tinggi tingkat pemberian getah pepaya sampai level 0,75g/kg bobot badan
menyebabkan semakin menurunnya konversi pakan ayam kampung ( Utami, 1999).
Bobot Badan Akhir Ayam Kampung
Rataan bobot badan akhir selama 11 minggu pemeliharan berkisar antara
651,55 gram/ekor sampai dengan 701,70 gram /ekor. Bobot badan akhir yang
dihasilkan pada penelitian ini tidak berbeda dengan bobot badan akhir yang
dihasilkan pada penelitian Iskandar (2004) sebesar 700-800 gram pada umur 3 bulan.
Laju pertumbuhan ayam kampung tergolong lambat. Rataan bobot badan akhir ayam
kampung selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 10.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian bubuk bawang putih
tidak nyata mempengaruhi bobot badan akhir ayam kampung. Hal ini berarti bubuk
bawang putih dapat digunakan sebagai antelmintika alami dan dapat menggantikan
piperazine (antelmintika sintetik) yang menimbulkan residu pada produk hasil
ternak.
Mortalitas Ayam Kampung
Mortalitas merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam usaha
pengembangan peternakan ayam. Permin et al. (1998) mengatakan bahwa sifat
penyakit parasitik cacing A. galli biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan
gejala sakit yang perlahan atau subklinis. Kecacingan tidak menyebabkan mortalitas
26
tetapi menghasilkan morbiditas. Angka mortalitas yang dihasilkan selama penelitian
ini sebesar 0%. Sedangkan angka morbiditas ayam kampung yang diinfeksi A. galli
sebesar 20%, hal ini terlihat dari pengamatan ayam di kandang pemeliharaan. Ayam
terlihat kurus, lemas, bulu rontok dan pertumbuhan yang lambat. Infeksi A. galli
pada ayam yang normal umumnya singkat dan jarang menyebabkan kerusakan yang
permanen karena tubuh ayam memiliki suatu sistem kekebalan yang dapat
melindungi tubuhnya dari unsur-unsur patogen (Tizard,1995).
Tabel 10. Rataan Bobot Badan Ayam Kampung Selama (umur 11 Minggu) Pemeliharaan (gram/ekor)
Perlakuan Bobot Badan Akhir (g/ekor)
P1 666,70±86,92
P2 671,75±41,64
P3 681,70±67,36
P4 651,55±22,97
P5 701,70±36,77 Keterangan : P1, P2, P3, P4 dan P5 menggunakan ransum starter pada umur 0-4 minggu dan ransum grower pada umur 4-6 minggu P1 = ransum kontrol (Ransum grower), P2 = P1+2% piperazine, P3 = P1+2,5 % bubuk bawang putih, P4 = P1+5,0 % bubuk bawang putih, dan P5 = P1+7,5 % bubuk bawang putih.
Pengaruh pemberian bubuk bawang putih yang tidak berbeda nyata terhadap
performa ayam kampung kemungkinan disebabkan oleh :1) Bawang putih belum
mampu membunuh larva karena proses pengolahan menjadi bubuk kurang sempurna,
2) Bawang putih belum mampu memperbaiki kerusakan vili-vili usus saluran
pencernaan karena pembatasan waktu pemberian hanya dua minggu, 3) Bawang
putih sebagai antelmintika alami yang diolah sebagai bubuk kurang efektif
dibandingkan ekstrak karena rendahnya zat aktif yang dikonsumsi oleh ayam
kampung.
Bawang putih mengandung bahan berkhasiat antelmintik allicin yang terdiri
dari dialilsulfida suatu enzim sulfuhydril yang dapat menembus dinding telur dan
cacing. Enzim sulfuhydril mempunyai kemampuan kuat berikatan dengan enzim
fosfofruktokinase dari sel (telur dan cacing). Enzim fosfofruktokinase berfungsi
mengkatalis perubahan fruktosa-6-fosfat menjadi fruktosa-1,6-difosfat pada jalur
glikolitik protein dan glukosa, karena berikatan dengan allicin menyebabkan
27
perubahan fruktosa-6-fosfat tidak terjadi dan pada akhirnya ATP tidak terbentuk.
Tidak terbentuknya ATP menyebabkan pembelahan sel di dalam telur tidak akan
berlangsung sehingga pada akhirnya embrio tidak terbentuk. Tidak terbentuknya
ATP menyebabkan cacing akan kekurangan tenaga dan akhirnya mati (Bagus, 2003).
Menurut Suharti (2005) pembubukan bubuk bawang putih dengan dosis 2,5%
dalam mengatasi serangan Salmonella typhimurium pada ayam pedaging. Pemberian
infus biji pepaya dengan dosis 0,33 ml/kg bobot badan secara per oral pada ayam
kampung yang terinfeksi cacing secara alami mampu menekan produksi telur cacing
Nematoda dan Cestoda pada ayam kampung, namun tidak mampu mengurangi
jumlah cacing (Setiaji, 2003).
Mekanisme Antelmintika Bubuk Bawang Putih
Mekanisme anti parasit dari bawang putih masih perlu diteliti lebih lanjut,
diduga mekanisme antiparasit diawali oleh allicin yang dapat menembus dinding sel
cacing yang tersusun dari fosfolipid. Menurut Miron et al. (2000) allicin memiliki
permeabilitas yang tinggi dalam menembus fosfolipid dinding sel. Setelah
menembus dinding sel, gugus thiol, dalam hal ini diallyl sulfida, bereaksi dengan
enzim-enzim yang mengandung sulfuhydril yang menyusun membran sel. Hal ini
diduga dapat menyebabkan struktur dinding sel cacing akan rusak dan lisis.
Kandungan saponin dalam bubuk bawang putih dapat menyebabkan sel-sel cacing
menjadi terhidrolisis sehingga cacing mati dan tubuh cacing terlihat transparan.
Piperazine dan garam-garamnya bertindak seperti GABA (γ-aminobutyric
acid) yang merangsang flaccid paralysis (kelumpuhan yang diikuti kelemahan)
sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel pada parasit nematoda dan cacing
mudah dikeluarkan oleh gerakan peristaltik usus (EMEA, 2001).
Krest dan Keugen (1999) yang menganalisis perbedaan kualitas allinase
(enzim yang merubah alliin menjadi allicin) dari bawang putih, menggunakan
elektroforensis gel menunjukkan allinase yang diperoleh dari bubuk bawang putih
terdiri dari 2 subunit yang agak berbeda. Sebaliknya allinase yang diperoleh dari
bawang putih segar terdiri atas 2 molekul yang identik. Hal ini menunjukkan bahwa
selama proses pembubukan bawang putih segar menjadi bubuk bawang putih
mengalami perubahan tetapi masih dapat mengkonversi alliin menjadi allicin.
Namun demikian Amagase et al. (2000) melaporkan bahwa kandungan gugus thiol
28
sulfur (diallyl sulfida, diallyl disulfida dan diallyl trisulfida) yang merupakan hasil
dari allicin pada bubuk bawang putih ada dalam jumlah kecil. Hal ini dimungkinkan
oleh proses pengeringan yang belum tepat. Bawang putih merupakan tanaman
rempah yang memiliki beragam kegunaan serta mudah didapat dan bubuk bawang
putih mudah diaplikasikan oleh peternak skala kecil sampai menengah dengan
metode pengolahan yang sederhana. Kandungan zat aktif bawang putih mengalami
penurunan selama proses pengeringan untuk menjadi bubuk bawang putih. Rahman
et al. (2006) melaporkan bahwa proses pengeringan bubuk bawang putih yang
optimal yaitu pada suhu 400C untuk mengurangi kehilangan kandungan zat aktifnya.
29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian perlakuan bubuk bawang putih sebesar 2,5%, 5% dan 7,5% pada
ayam kampung yang diinfeksi A. galli pada pemeliharaan intensif belum
menampakan performa yang signifikan dibandingkan perlakuan kontrol, namun
bobot badan akhir yang dihasilkan lebih tinggi pada pemberian 7,5% bubuk bawang
putih dibandingkan pemberian 2% piperazine.
Saran
Diperlukan proses pengolahan bubuk bawang putih dengan menggunakan
suhu 400C (pengeringan optimum dalam oven) untuk mengurangi kehilangan
kandungan zat aktifnya selama proses pengeringan. Ransum dengan penambahan
bubuk bawang putih disarankan dibuat dalam bentuk crumble untuk menghindari
sifat memilih pada ayam karena bau yang menyengat pada bubuk bawang putih.
Penginfeksian cacing A.galli dilakukan pada ayam yang berumur kurang dari 6
minggu (tapi di atas 4 mingggu), dengan pemberian dosis infeksi telur secara
bertahap (tidak satu kali). Perlu dilakukan penelitian penggunaan bawang putih segar
sebagai antelmintika alami pada ayam kampung yang dipelihara secara semi intensif.
30
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahhirrohmannirrahim.
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT penguasa alam
semesta, hanya dengan pertolongan dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta salam senantiasa disampaikan pada Nabi
Besar Muhamad SAW. Amin.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Widya Hermana, MSi. selaku
dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan
masukan selama penyusunan skripsi. Kepada Dr. Ir. Sumiati, MSc. sebagai dosen
Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan serta
motivasi selama penelitian hingga penulisan skripsi.
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. selaku pembimbing akademik atas saran,
perhatian, motivasi dan bimbingannya yang telah diberikan kepada penulis selama
menjalani perkuliahan. Dr. drh. Risa Tiuria, MS. selaku pembimbing pelaksanaan
PKM. Terima kasih kepada Sri Suharti, S.Pt. MSi. sebagai dosen penguji seminar
serta Dr. Ir. Komang G Wiryawan dan Ir. Sri Darwati, MSi. sebagai dosen penguji
sidang atas segala masukan yang diberikan. Ibu Lanjar dan Pak Eman yang telah
membantu selama penelitian berlangsung.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan
keluarga (Kak Didi, Nayla, Hj. Badariah dan Eko) atas kasih sayang, dukungan
moril, material, serta doanya. Rekan-rekan satu tim Nun, Putri dan Budi terima kasih
atas kebersamaan dan kerjasamanya selama penelitian. Wulan, Lydia, Ima, Santi,
Ninik, Wahyu, Alif, Irma, Santi Nuari, Ulya dan anak-anak INTP 40 terima kasih
atas dukungannya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi
yang membacanya.
Bogor, Maret 2008
Penulis
31
DAFTAR PUSTAKA Akoso, B.T. 1998. Kesehatan Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Amagase H.,B.L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga and Y. Itakura. 2001. Intake of garlic and its bioactive components. J. Nutr. 131:955S-962S.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Asiamaya. 2000. Nutrisi bawang putih, mentah. http://www.Asiamaya.com/nutrient/bawangputih.html.22-6-2000. [19 April 2006]
Bagus, I.M.O. 2003. Ovisidal dan Vermisidal Bawang Putih terhadap Telur dan Cacing Ascaridia galli pada Ayam Kampung. Jvet 4(2). http://www.jvetunud.com/archives/52. [7 Mei 2007]
Beriajaya, T.B. Murdiati, T. Kristianti dan G. Adiwinata. 1996. Biji pepaya sebagai antelmintik terhadap Haemonchus contortus pada domba. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. 12-13 Maret. Pp 209-212.
Booth, N.H and L.E. Mc Donald. 1982. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 5th Edition. The Lowa State University Press. Ames.
Cahyono, B. 1997. Ayam Buras Pedaging. Cetakan ke- 2. Trubus Agriwidya. Anggota Muda IKAPI. Ungaran.
Cahyono, B. 2002. Ayam Buras. Cetakan ke-6. Penebar Swadaya, Jakarta.
Calneck, B.W. 1997. Disease of Poultry. 10th Edition. Iowa State University Press. Ames. Iowa.
Choerulloh, N. N. 2000. Pengaruh pemberian kombinasi pollard dan duckweed dalam ransum ayam kampung terhadap performans dan kolesterol daging. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Castro, C.A. 1990. Intestinal Pathology. In: Behnke J. M (Ed) Parasites; Immunity and Pathology: The Consequences of Paracitic Infection in Mamals. Taylor and Francis, Philadelphia.
[EMEA] The European Agency for Evaluation of Medical Products Veterinary Medicines and Inspection. 2001. Piperazine Summary Report (3). Commite for Veterinary Medical Products. http://www.emea.eu.int.[Maret, 2006].
Departemen Pertanian. 2003. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian.
Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. 9th Edition. Interstate Publishers Inc. Danville, Illinois.
Ensminger, M.E. 1992. Poultry Science. 4th Edition Interstate Publisher Inc., Danville.
Farrel, K.T. 1985. Spices, Condiments and Seasonings. The AVI Publishing Company inc. West port, Connecticut 06881.
Farrel, K.I. 1990. Spices, Condiments and Seasonings. The AVI Publ.Co., Inc. Westport, Connecticut.
Herman, E. 2000. Formulasi bubuk bawang putih (Allium sativum) sebagai seasoning komersial. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
He S, VEHS Susilowati, E.E. Purwati dan R. Tiuria. 1991. Taksiran kerugian produksi daging akibat infeksi cacing infeksi alamiah cacing saluran pencernaan pada ayam buras di Bogor dan sekitarnya. Hemerozoa 73(3): 56-64.
Iskandar, S. 2004. Karakter dan manfaat ayam pelung. Maret. http://balitnak.litbang.deptan.go.id/mod.php?mod=userpage&menu=60100&page_id=21. [1 2006]
Levine, ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitology Veteriner. Terjemahan Gajah Mada University Press. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 544 hlm.
Krest, I., and M. Keugen. 1999. Quality of herbal remedies from Allium sativum: differences between alliinase from garlic powder and fresh garlic. Planta Med. 65:139-43.
Mansjoer, S.S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam kampung serta persilangannya dengan ayam Rhode Island Red. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mehrabian S. and H. Larry-Yazdy. 1992. Antimicrobial activity of Allium sativum, Allium cepa, Allium porrum, (Liliaceae) against enteric pathogens (Enterobacteriacea). ISHS Acta Holticulturae 319: International Symposium on Transplant Production Systems.
Miron, T.A.Rabinkov, D. Mirelman, M. Wilchek and L. Weiner. 2000. The mode of action of allicin: Its ready permeability though phospholipid membranes may contribute to its biological activity. Biochem. Biophys. Acta. 1463:20-30.
Nurjanah, S. 2007. Pengaruh pemberian bawang putih dalam ransum terhadap organ dalam serta histopatologi usus dan hati ayam kampung yang diinfeksi Ascaridia galli. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Permin, A., P.Hansen, M. Bisgaard, Frandsen, and M. Pearman. 1998. Studies on Ascaridia galli in chickens kept at different stocking rate. J. of Avian Pathology 27: 382-389.
Rahman, M.S, H.I. Al-Sheibani and M.H. Al-Riziqi. 2006. Assessment of the anti-microbial activity of dried garlic powders produced by different methods of drying. International J. of Food Properties. 9: 503-513.
Rasyaf, M.1999. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan ke-14. Penebar Swadaya. Jakarta.
Reynolds, J.E.F. 1982. Martindale the Extra Pharmacopeia. 28th Edition, The Pharmaceutical Press, London. pp. 688-689.
Rose, S. P. 1997. Principle of Poultry Science. CAB International. New York.
Ruff, M.D. 1991. Nematodes and acanthocephala. In : Disease of Poultry. B.W. Calneck, H.J. Barnes, C.W. Beard, W.M. Reid and H.W. Yoder (eds). Iowa State University. Ames. Vol 3 : 731-752.
33
Sarwono, B. 1997. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setiaji, D. 2003. Efektitivitas infus biji pepaya sebagai antelmintika pada ayam buras yang terinfeksi cacing secara alami. Skripsi. Fakultas Kedokteran hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soulsby, E.J.L. 1986. Texbook of Clinical Parasitology Volume I: Helminth, Blackwell Scientific Publication. Oxford. London.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometerik. Terjemahan: B. Sumantri. Cetakan ke-2. PT. Gramedia, Jakarta.
Suharti, S. 2005. Kajian antibakteri temulawak, jahe dan bawang putih terhadap Salmonella typhimurium serta pengaruh bawang putih terhadap performans dan respon imun ayam pedaging. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sujionohadi dan I. Setiawan. 2003. Ayam Kampung Petelur. Cetakan ke-10. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sukarban, S. dan S.S. Santoso. 1995. Kemoterapi parasit. Anthelmintik. Dalam: Ganiswara, S. Editor Utama. Farmakologi dan Terapi. Edition ke-4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. PT Intermasa. Jakarta.
Surjadi, E. 1992. Pengaruh pH dan jenis bahan pengisi dalam pembuatan bubuk bawang putih (Allium sativum L) dengan pengering semprot. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutardi, T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Asal Parasit, Non Infeksius dan Etiologi Kompleks. Vol.2. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Tillman, A.D, H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Tiuria R, Athaillah F, Priosoeryanto B.P, Satriyaf, Retnani E.B dan Ridwan Y. 2000. Pengaruh infeksi cacing Ascaridia galli terhadap respon sel goblet dan sel mast pada usus halus ayam petelur. Majalah Parasitologi Indonesia. 13 (1-2): 40-48.
Tizzard, I.R. 1995. Veterinary Immunology An Introduction. 5th Edition, WB Sounders Company, A Division of Harcourt Brace & Company. The Curtis Center Independence Square West, Philadelphia, Pennysylvania.19106.
Utami, N.R. 1999. Pengaruh tingkat pemberian getah papaya (Carica papaya) sebagai antelmintika terhadap konsumsi dan konversi pada ayam kampung. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Muhamadiyah. Malang.
Utami, D.P. 2004. Pengaruh penggunaan tepung silase ikan terhadap performans ayam kampung umur 5-12 minggu. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
34
Wibowo, S. 1994. Budidaya Bawang: Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta.
Zalizar, L. 2006. Dampak infeksi nematoda parasitik Ascaridia galli dan pemberian antelmintika terhadap kinerja ayam petelur. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
35
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Ragam Konsumsi Pra Infeksi A. galli (umur 0-6 minggu)
SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 236,4050 59,1013 0,7841 3,0556 4,8932 Total 19 1367,0770 71,9514 0,9545 2,3398 3,3961 Error 15 1130,6720 75,3781
Lampiran 2. Analisis Ragam Konsumsi Setelah Infeksi A. galli (umur 6-9 minggu) SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 512,6250 128,1563 1,6732 3,0556 4,8932 Total 19 1661,5000 87,4474 1,1417 2,3398 3,3961 Error 15 1148,8750 76,5917
Lampiran 3. Analisis Ragam Konsumsi Ayam Kampung Setelah Pemberian Perlakuan (umur 9-11 minggu)
SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 2810,3556 702,5889 15,1082 3,0556 4,8932** Total 19 3507,91111 184,6269 3,9702 2,3398 3,3961 Error 15 697,5556 46,5037 Keterangan : ** = sangat nyata (p<0,01)
Uji Jarak Duncan
Perlakuan Ulangan Superskrip
1 2 3
1 4 320,0000
4 4 327,3325 327,3325
2 4 327,4975 327,4975
5 4 335,9975
3 4 354,5025
Pemberian Superskrip :
P1 P2 P3 P4 P5
320A 327,50AB 354,50C 327,33AB 336B
Lampiran 4. Analisis Ragam PBB Pra Infeksi A. galli (umur 0-6 minggu) SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 114,5403 28,6351 0,6652 3,0556 4,8932 Total 19 760,2663 40,0140 0,9295 2,3398 3,3961 Error 15 645,7260 43,0484
37
Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam PBB Setelah Infeksi A.galli (umur 6-9 minggu) SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 896,8820 224,2205 2,0908 3,0556 4,8932 Total 19 2505,5158 131,8793 1,2296 2,3398 3,3961 Error 15 1608,6338 107,2423
Lampiran 6. Analisis Ragam PBB Setelah Pemberian Perlakuan (umur 9-11 minggu) SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 271,2533 67,8133 1,8581 3,0556 4,8932 Total 19 818,6807 43,0885 1,1807 2,3398 3,3961 Error 15 547,4274 36,4952
Lampiran 7. Analisis Ragam Konversi Pra Infeksi A. galli (umur 0-6 minggu) SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 3,2958 0,8239 0,8544 3,0556 4,8932 Total 19 17,7615 0,9348 0,9693 2,3398 3,3961 Error 15 14,457 0,9644
Lampiran 8. Analisis Ragam Konversi Setelah Infeksi A. galli (umur 6-9 minggu) SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 4,1140 1,0285 1,0689 3,0556 4,8932 Total 19 18,5466 0,9761 1,0145 2,3398 3,3961 Error 15 14,4325 0.9622
Lampiran 9. Analisis Ragam Konversi Setelah Pemberian Perlakuan (umur 9-11 minggu)
SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 0,5495 0,1374 0,2525 3,0556 4,8932 Total 19 8,7102 0,4584 0,8426 2,3398 3,3961 Error 15 8,1607 0.5440
Lampiran 10. Analisis Ragam Bobot Badan Akhir SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01 Perlakuan 4 5546,492 1386,623 0,441406 3,05568 4,893195 Total 19 52667,15 2771,955 Error 15 47120,66 3141,377
38
Lampiran 11. Komposisi Premix
Premix Setiap 1 kg mengandung : Vitamin A 4.000.000 IU Vitamin D3 800.000 IU Vitamin E 4.500 mg Vitamin K3 450 mg Vitamin B1 450 mg Vitamin B2 1.350 mg Vitamin B6 480 mg Vitamin B12 6 mg Ca-d pantothenate 2.400 mg Folid Acid 270 mg Nicotinic Acid 7.200 mg Choline Chloride 28.000 mg DL-Methionine 28.000 mg L-Lysine 50.000 mg Ferros 8.500 mg Copper 700 mg Manganese 18.500 mg Zinc 14.000 mg Cobalt 50 mg Iodine 70 mg Selenium 35 mg Antiox. Carrier add 1 mg Sumber : PT. Mensana Aneka Hewan
39