Evaluasi Pelaksanaan Ketentuan Pemanfaatan BMN Berupa ...
Transcript of Evaluasi Pelaksanaan Ketentuan Pemanfaatan BMN Berupa ...
i
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN
BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA
PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN
GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
Disusun oleh
Nama Peneliti/Pengkaji I : Listiyarko Wijito
NIP : 196904161995031001
Pangkat/Golongan : Pembina / IVa
Jabatan : Widyaiswara Muda
Nama Peneliti/Pengkaji II : Drs. Herri Waloejo
NIP : 19510402 197609 1 001
Pangkat/Golongan : Pembina Utama/ IVe
Jabatan : Widyaiswara Utama
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
JAKARTA
2014
ii
Evaluasi Pelaksanaan Ketentuan Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Kerjasama Pemanfaatan dan Bangun Serah Guna/Bangun
Guna Serah Sesuai Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pengelolaan BMN
Abstrak
Penelitian ini berutujuan untuk melakukan evaluasi pelaksaan ketentuan
pelaksanaan Kerjasama Pemanfaatan serta Bangun Guna Serah/Bangun Serah
Guna, yang dinilai kurang berhasil karena sedikitnya realisasi pelaksanaanya.
Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan Model CIPP, yaitu
evaluasi konteks, input, proses serta produk. Analisis konteks untuk melakuan
uji apakah tujuan dirumuskan secara jelas dan spesifik, atau tidak. Evalusi Input
untuk melakukan uji apakah input untuk mencapai tujuan sudah cukup memadai
serta bagaimana kualitasnya. Evaluasi proses terkait dengan bagaimana
prosedur melaksanakan program, serta apakah terdapat kelemahan-kelamahan
dalam mendukung proses pekerjaan. Evaluasi Produk terkait dengan evaluasi
terhadap hasil yang dicapai dari suatu program/kebijakan, serta apakah program
perlu dilanjutkan, dilanjutkan dengan revisi atau tidak dilanjutkan.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, berupa penelitian evaluasi
dengan desain kualitatif-verivikatif , dengan varian kualitatif evaluatif, karena
penelitian ini dilakukan untuk meneliti suatu kebijakan/program. Sampel dalam
penelitian adalah narasumber, informan, atau partisipan, yang dianggap
tahu mengenai permasalahan Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna pada Pengelola Barang, Pengguna Barang,
serta Kuasa Pengguna Barang. Penentuan sumber data pada dilakukan
secara purposive, yang dipilih degan tujuan tertentu (informan kunci),
selanjutnya dalam pengambilan sampel digunakan teknik snowball. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi,
observasi, wawancara, dan triangulasi. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan analisis sebelum di lapangan (data peneltian terdahulu, data
sekunder, studi literatur), serta analisis selama di lapangan berdasarkan tahap
penelitian (Model Spradley) yang saling melengkapi dengan model analisis data
selama di lapangan menurut Miles dan Huberman. Dalam setiap tahapan
penelitian/ pengambilan kesimpulan, dilakukan langkah-langkah berupa data
reduksi, data display, serta data verivication.
Berdasarkan Evaluasi Konteks, disimpulkan bahwa kebijakan Kerja Sama
Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna belum dirumuskan
secara jelas, sehingga belum dapat dimengerti dan difahami oleh Penggelola
Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang. Berdasarkan evaluasi
input didapatkan kesimpulan bahwa Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang belum mengalokasikan dana, sarana dan prasarana, serta
sumber daya yang mencukupi dalam melakukan pemantaun, optimalisasi
iii
pemanfaatan BMN serta penertiban atas BMN yang telah/terlanjur
dimanfaatakn oleh Pihak Lain. Berdasarkan analisis Evaluasi Proses, tahapan
yang dapat menjadi hambatan/kendala dalam Kerja Sama Pemanfaatan BMN
serta Bangun Guna/Bangun Serah Guna adalah adalah dalam menentukan
kontrribusi tetap dan pembagian keuntungan yang dapat merepresentikan
kondisi pasar, Berdasarkan Evaluasi Output, maka belum mencapai sasaran.
Rekomendasi penelitian adalah kebijakan perlu tetap dilanjutkan dengan
dilakukan perbaikan.
Kata Kunci : Kekayaan Negara, Barang Milik Negara (aset), Tanah dan/atau
Bangunan, Selain Tanah dan/atau Bangunan, Manajemen Aset, Pengelolaan
Barang Milik Negara, Ruang Lingkup, Pengelola Barang (Menteri
Keuangan/Direktur Jenderal Kekayaan Negara), Pengguna Barang
(Menteri/Pimpinan Lembaga), Kuasa Pengguna Barang (Kepala Satuan Kerja
Kementerian/Lembaga), Pemanfaatan Barang Milik Negara, Sewa, Pinjam Pakai,
Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, Peraturan Menteri Keuangan Nomor
96/PMK.06/2007, Metodologi Penelitian kualitatip, Evaluasi, Konteks, Input,
Proses, Produk, CIPP, Peraturan Pemerintah Nomr 27 Tahun 2014.
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL .................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 7
C. Rumusan Masalah ............................................................................ 9
D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 11
E. Manfaat Penelitian ........................................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI
A. Reformasi Manajemen Aset Properti Sektor Publik.......................... 13
B. Pengelolaan Aset Barang Milik Negara di Indonesia........................ 32
C. Penelitian Evaluasi dalam Kerangka Penelitian Kebijakan ............... 61
D. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 70
E. Kerangka Konsep ............................................................................ 71
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
A. Jenis Penelitian .............................................................................. 73
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 76
C. Populasi dan Sampel ....................................................................... 77
D. Variabel Penelitian ........................................................................... 78
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 81
F. Teknik Analisis Data ........................................................................ 82
G. Uji Validitas dan Reabilitas Penelitian Kualitatif
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Data.................................................................................... 95
B. Pembahasan Hasil Penelitian ........................................................ 139
C. Rekomendasi Hasil Penelitian ....................................................... 158
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 164
B. Saran ............................................................................................. 166
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 168
RIWAYAT HIDUP PENELITI ............................................................................ 170
v
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Pertumbuhan Pemanfaatan BMN berupa Kerja Sama Pemanfaatan
dan BGS/BSG ..................................................................................... 6
Tabel 2.1 Tujuan dan Target Pengelolaan BMN ............................................... 34
Tabel 2.2 Perbandingan Sewa, Kerja Sama Pemanfaatan, dan Bangun
Guna Serah/Bangun Serah Guna ................................................... 51
Tabel 2.3 Perbedaan antara Penelitian dan Evaluasi ....................................... 63
Tabel 2.4 Perbedaan Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif ......................... 64
Tabel 2.5 Variabel dan Indikator Evaluasi Input ................................................. 67
Tabel 2.6 Penelitian Optimalisasi Aset BMN...................................................... 70
Tabel 3.1 Perbedaan Penelitian dan Evaluasi ................................................... 74
Tabel 3.2 Variabel dan Indikator Penelitian ....................................................... 79
Tabel 4.1 Penertiban Atas Pelaksanaan Penggunaan BMN ............................ 113
Tabel 4.2 Penertiban Atas Pelaksanaan Pemanfaatan BMN ........................... 113
Tabel 4.3 Ringkasan Hasil Analisis Data atas Survey yang dilakukan
Terhadap Indikator Variabel Evaluasi Konteks. ............................... 141
Tabel 4.4 Ringkasan Hasil Analisis Data atas Survey yang dilakukan
Terhadap Indikator Variabel Evaluasi Input ..................................... 147
Tabel 4.5 Ringkasan Hasil Analisis Data atas Survey yang dilakukan
Terhadap Indikator Variabel Evaluasi Input ..................................... 151
vi
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Lingkup Evaluasi Program Model CIPP ............................................. 7
Gambar 2.1 Kerangka Manajemen Aset ............................................................ 19
Gambar 2.2 Proses Pemantauan/Monitoring Kinerja .......................................... 31
Gambar 2.3 Siklus Pengelolaan BMN ................................................................. 35
Gambar 2.4 Kegiatan Pengamanan, Pemeliharaan, Pembinaan, Pengawasan
dan Pengendalian dalam Pengelolaan BMN ................................... 37
Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Sama Pemanfaatan atas Tanah dan Bangunan
yang Status Penggunaannya pada (a) Pengelola Barang dan (b)
Pengguna Barang ........................................................................... 51
Gambar 2.6 Mekanisme Bangun Guna Serah/angun Serah Guna ...................... 52
Gambar 2.7 Proses Pengambilan Kebijakan Model BMVIT ............................... 61
Gambar 2.8 Lingkup Evaluasi Program Model CIPP ........................................... 65
Gambar 2.9 Kerangka Konsep Penelitian ........................................................... 72
Gambar 3.1 Komponen Analisis Data Kualitatif .................................................. 83
Gambar 3.2 Analis Tema Budaya yang Dibangun Berdasarkan Analisis
Domain, Analisis Taksonomi dan Analisis Komponensial ................ 85
Gambar 4.1 Perhitungan Net Present Value dari Rencana Proyek ................... 131
Gambar 4.2 Rekomendasi Perbaikan Kebijakan Pemanfaatan BMN Berupa
Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG ...................................... 159
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adalah sebuah cita-cita bagi Pemerintah Pusat untuk segera mewujudkan
strategic aset management, yaitu integrasi fungsi perencanaan, penganggaran,
pengelolaan, dan pertanggungjawaban aset negara yang mengedepankan
prinsip “3 Tertib” dan “The highest and best use of asets”. Lahirnya 3 (tiga) paket
Undang-undang Bidang Keuangan Negara menjadi lokomotif bagi perubahan
paradigma manajemen aset negara, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
merupakan payung hukum tertinggi yang mengatur mengenai fungsi pengelolaan
Barang Milik Negara sebagai bagian dari lingkup perbendaharaan negara. Hal ini
bermakna bahwa di dalam siklus keuangan negara, yang bermula dari
perencanaan, penganggaran, perbendaharaan, dan pemeriksaan, maka
subfungsi pengelolaan barang milik Negara merupakan satu bagian yang saling
mengait dengan subfungsi lainnya di dalam fungsi perbendaharaan secara utuh1.
Selanjuntya, dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) yang
diamanatkan oleh Undang Unang Nomor 1 Tahun 2004, telah terjadi perubahan
paradigma dari “penatausahaan barang milik/kekayaan Negara” menjadi
1 Hadiyanto, Strategic Aset Manajemen (sebuah tinjauan), 2010
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
2
“pengelolaan barang milik Negara/daerah atau BMN/D”. Perubahan tersebut
mencakup, antara lain:
a. Lingkup pengelolaan yang luas dimulai dari perencanaan kebutuhan dan
penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan
pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan,
dan pembinaan pengawasan dan pengendalian;
b. Para pejabat pengelolaan BMN/D dengan lebih mengenalkan peran baru
sebagai pengelola aset (aset manager) dalam rangka profesionalisme
pengelolaan BMN/D;
c. Pengintegrasian unsur managerial dan pelaporan BMN/D di dalam laporan
keuangan sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran
Negara/daerah2.
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah terkait dengan Penertiban Barang Milik
Negara/Daerah. Sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Tim Penertiban
Barang Milik Negara, jenis kegiatan penertiban BMN (yang dilakukan oleh tim
penertiban) meliputi kegiatan inventarisasi, optimalisasi pemanfaatan dan
pengamanan BMN.
Optimalisasi pemanfaatan selaras dengan literatur-literatur yang mengulas
manajemen aset pemerintah, bahwa ditinjau dari sisi ekonomi, permasalahan
yang umum terjadi dalam pengelolaan properti sektor publik adalah terjadinya
miss match (ketidaksesuaian) antara kebutuhan tanah dan bangunan dengan
kinerja manager properti dalam mengadakan, mengalokasikan, dan
2 Ibid, hal 2.
BAB II LANDASAN TEORI
3
menggunakan kembali (reuse) properti yang sudah ada3. Kondisi ini
mengakibatkan suatu kementerian/lembaga mengajukan pengadaan tanah untuk
pelaksanaan tugasnya, sementara suatu kementerian/lembaga lainnya mungkin
banyak mempunyai aset yang tidak digunakan (idle/unsused). Kondisi yang
demikian mengakibatkan pemerintah mengeluarkan biaya pengadaan tanah
(yang sebenarnya tidak perlu), demikian pula pemerintah tetap menanggung
biaya pemeliharaan atas properti idle (yang sebenarnya tidak digunakan)
sehingga mengakibatkan pemborosan.
Banyaknya aset berupa properti kosong yang tidak digunakan (idle /
unused), tidak digunakan secara maksimal untuk pelayanan (underused), yang
tidak digunakan dalam keadaan Highest and Best Use (underutilize), akan selalu
membebani pemerintah dari sisi anggaran pemeliharaan. Di samping itu, juga
mengakibatkan hilangya kesempatan pemerintah untuk mengoptimalkan
penggunaan BMN, mengingat suatu kementerian/lembaga lain pada saat yang
sama memerlukan penggunaan aset tersebut, serta hilangnya kesempatan
(opportunity loss) untuk mendapatkan penerimaan dari optimaliasi pemanfaatan
BMN tersebut melalui kerja sama (shareholder) dengan pihak ketiga.
Sehubungan Reformasi Pelaksanaan Manajemen Properti Sektor Publik
di Indonesia, paradigma DJKN sebagai aset adminitrator harus mampu
berubah menjadi aset manager. DJKN harus mampu memberdayakan aset ,
salah satunya melalui melalui mekanisme Kerja Sama Pemanfaatan atau
Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna (BGS/BSG).
Pada saat era sebagai administrator aset, fokus DJKN adalah
meningkatkan kualitas laporan keuangan pada Kementerian/Lembaga yang
3 Sering terjadi banyak aset yang tidak digunakan pada suatu unit/lembaga, sementara
pada unit/lembaga lain memerlukan tanah/bangunan untuk melaksanakan tugasnya
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
4
sebelumnya banyak yang belum mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian
menjadi mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Pada era manager
aset, Kementerian Keuangan dalam hal ini DJKN. sekarang ini sedang
mendorong Kementerian /Lembaga untuk dapat memanfaatkan BMN sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Peranan DJKN mengalami perubahan
setelah sebelumnya adalah memperkuat laporan keuangan pemerintah, kini
berfokus pada penguatan APBN4.
Merupakan tugas dari DJKN pada era sebagai aset manager, untuk
dapat mengupayakan hal-hal sebagai berikut :
a. Mengupayakan penguatan APBN melalui penghematan biaya
pengadaan/pemeliharaan BMN.
b. Mencegah penggunaan BMN tanpa didasarkan pada ketentuan yang
berlaku.
c. Menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga yang dana
pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN),
d. Tersedianya biaya pemeliharaan BMN yang tidak harus disediakan dari
APBN.
e. Mendukung Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Peraturan
Presiden guna mendukung penyediaan infrastruktur publik seperti jalan,
water supply, publik transportation, pendidikan dll.
4 Bahan Ceramah Kepala Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan
Keuangan pada ceramah pimpinan DTSS Penilaian Properti Dasar Angkatan I dan DTSS Penatausahaan BMN (Bagi Pengelola), Januari 2014
BAB II LANDASAN TEORI
5
f. Adanya penanaman investasi yang akan mendorong aktivitas ekonomi di
wilayah BMN tersebut berada.
g. Meningkatkan penerimaan PNBP dari pemanfaatan BMN.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada era sebagai aset manager,
DJKN seharusnya memberikan perhatian atas pelaksanaan pemanfaatan BMN
melalui Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG. Beberapa keuntungan yang
dapat diperoleh dari pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG,
berdasarkan uraian diatas, pada prinsipnya adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan penerimaan negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP). Potensi PNBP dari pemanfaatan aset cukup besar.
2. Mencegah penggunaan BMN tanpa didasarkan pada ketentuan yang
berlaku. Apabila penggunaan/pemanfaatan suatu aset oleh pihak ketiga
mempunyai landasan hukum, serta suatu perjanjian Kerja Sama yang jelas,
maka aset tersebut secara otomatis akan terjaga dari penguasaan/okupansi
pihak lain.
3. Khusus untuk pemanfaatan BMN berupa BGS/BSG, akan dapat
menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana pembangunannya
tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
4. Di samping mendapatkan penerimaan berupa kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan, manfaat lain yang didapatkan dari pelaksanaan
Kerja Sama Pemanfaatan adalah tersedianya biaya pemeliharaan BMN yang
tidak harus disediakan dari APBN.
5. Implementasi Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG harus mendukung
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Peraturan Presiden guna
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
6
mendukung penyediaan infrastruktur publik seperti jalan, water supply, publik
transportation, pendidikan dll..
6. Investasi yang ditanamkan untuk pengembangan suatu properti akan
mendorong aktivitas ekonomi di wilayah BMN tersebut berada.
Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
sampai dengan sekarang, hanya sedikit Pengguna Barang yang mengajukan
permohonan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG. Data secara
time series pemanfaatan BMN merupa BGS dan BSG adalah sebagaimana tabel
berikut.
Tabel 1.1. Pertumbuhan pemanfaatan BMN berupa Kerja Sama Pemanfaatan
dan BGS/BSG.
2010 2011 2012 2013 2014
KSP 1 1 1 1 1
BGS 0 0 0 0 0
BSG 0 0 0 0 0
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat hilangnya kesempatan
(opportunity loss) dalam pemanfaatan BMN, sebagaimana telah diuraikan di
atas.
Rendahnya pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG
menimbulkan pertanyaan apakah terdapat hambatan dalam
implementasi/pelaksanaan ketentuan Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
ketentuan pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna tersebut.
BAB II LANDASAN TEORI
7
Mulyono (2009)5 mendefinisikan evaluasi sebagai upaya untuk mengukur
hasil atau dampak suatu aktivitas, program, atau proyek dengan cara
membandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan, dan bagaimana cara
pencapaiannya. Evaluasi juga dapat didefinisikan sebagai sebuah proses di
mana keberhasilan yang dicapai dibandingkan dengan seperangkat keberhasilan
yang diharapkan. Perbandingan ini kemudian dilanjutkan dengan
pengidentifikasian faktor-faktor yang berpengaruh pada kegagalan dan
keberhasilan (Rika, 2009)6.
Terdapat beberapa beberapa model evaluasi sebagai strategi atau
pedoman kerja pelaksanaan evaluasi program, antara lain model CIPP (Contex,
Input, Proses, Product) yang dikemukakan oleh Stufflebeam (1985) dalam
Sugiyono (2007). Lingkup evaluasi program digambarkan sebagaimana pada
gambar 1.1. berikut.
Gambar 1.1. Lingkup Evaluasi Program Model CIPP
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan pertanyaan penelitian, yang jawabannya
dicarikan melalui penelitian dalam penelitian ini adalah :
5 Mulyono. 2009. Penelitian Eveluasi Kebijakan, (Online), (http:// mulyono. staff.uns .ac.id /2009/ 05/13/penelitian-evaluasi-kebijakan/
6 Rika Dwi Kurniasih. 2009. Teknik Evaluasi Perencanaan, (Online), (http://
images.rikania09.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SUdfiwoKCF8AADuyo81/Rika%20Eva.doc?nmid=148657139
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
8
1. Apakah tujuan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna telah dirumuskan secara jelas, sehingga
dimengerti dan difahami oleh Penggelola Barang, Pengguna Barang dan
Kuasa Pengguna Barang atau tidak?
2. Bagaimana kualitas laporan rutin dalam menyajikan data untuk
melakukan pemantauan atas BMN idle, BMN underused, dan/atau
BMN underutilize serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama
Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna namun tidak
sesuai dengan ketentuan.
3. Bagaimana kualitas sarana dan prasarana dalam membantu pelaksanaan
pemantauan atas BMN idle, BMN underused, dan/atau BMN underutilize
serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama Pemanfaatan dan
Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna namun tidak sesuai dengan
ketentuan
4. Bagaimana kelengkapan Standar Operating and Procedure (SOP) yang
mengatur tetang tata cara (a) pemantauan atas BMN idle, BMN
underused, dan/atau BMN underutilize serta BMN yang telah
dilaksanakan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun
Serah Guna namun tidak sesuai dengan ketentuan (b) optimalisasi
pemanfaatan BMN (c) penertiban BMN?
5. Bagaimana kualitas Sumber Daya Manusia yang melakukan tugas
(a) pemantauan atas BMN idle, BMN underused, dan/atau BMN
underutilize serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama
Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna namun tidak
BAB II LANDASAN TEORI
9
sesuai dengan ketentuan (b) optimalisasi pemanfaatan BMN (c)
penertiban BMN?
6. Apakah terdapat insentif secara bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang untuk melakukan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna?
7. Bagaimana proses pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun
Guna Serah/Bangun Serah Guna yang dilakukan oleh Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang?
8. Bagaimana proses persetujuan permohonan Kerja Sama Pemanfaatan
dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna yang dilakukan oleh
Pengelola Barang?
9. Apakah tujuan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna untuk mendukung APBN telah tercapai?
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian adalah :
1. Telah dirumuskan secara jelas tujuan Kerja Sama Pemanfaatan
danBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, sehingga dapat dimengerti
dan dipahami oleh Penggelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa
Pengguna Barang.
2. Laporan rutin menyajikan data yang cukup untuk melakukan
pemantauan atas BMN idle, BMN underused, dan/atau BMN underutilize
serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
10
3. Sarana dan prasarana berperan membantu pelaksanaan
pemantauan atas BMN idle, BMN underused, dan/atau BMN underutilize
serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan
4. Terdapat kelengkapan Standar Operating and Procedure (SOP) yang
mengatur tetang tata cara (a) pemantauan atas BMN idle, BMN
underused, dan/atau BMN underutilize serta BMN yang telah
dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak
sesuai dengan ketentuan (b) optimalisasi pemanfaatan BMN (c)
penertiban BMN?
5. Tersedia dukungan Sumber Daya Manusia yang berkualitas untuk
melakukan tugas (a) pemantauan atas BMN idle, BMN underused,
dan/atau BMN underutilize serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja
Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan
(b) optimalisasi pemanfaatan BMN (c) penertiban BMN?
6. Terdapat insentif bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untuk
melakukan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun
Serah Guna?
7. Proses pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna yang dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang tidak mengalami hambatan.
8. Proses pelaksanaan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun
Guna Serah/Bangun Serah Guna yang dilakukan oleh Pengelola Barang
tidak menghambat realisasi pelaksanaan persetujuan Kerjsama
Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
BAB II LANDASAN TEORI
11
9. Telah tercapai tujuan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna untuk mendukung APBN telah tercapai.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, menjadi penting untuk
mengetahui pelaksanaan ketentuan pemanfaatan BMN berupa Kerja Sama
Pemanfaatan dan BGS/BSG dalam Pengelolaan BMN sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 yang kemdian diganti debgan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014. Lebih spesifik ingin diketahui:
1. Kejelasan rumusan tujuan Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG,
sehingga dapat dimengerti dan difahami oleh Penggelola Barang,
Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang.
2. Kualitas laporan rutin dalam menyajikan data yang cukup untuk
melakukan BMN idle, BMN underused, dan/atau BMN underutilize
serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan.
3. Kualitas sarana dan prasarana dalam membantu pelaksanaan
pemantauan atas BMN idle, BMN underused, dan/atau BMN underutilize
serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan
4. Kelengkapan Standar Operating and Procedure (SOP) yang mengatur
tetang tata cara (a) pemantauan atas BMN idle dan/atau BMN
underutilize serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan
atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (b) optimalisasi
pemanfaatan BMN (c) penertiban BMN?
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
12
5. Kualitas Sumber Daya Manusia yang melakukan tugas (a)
pemantauan atas BMN idle, BMN underused, dan/atau BMN underutilize
serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (b) optimalisasi
pemanfaatan BMN (c) penertiban BMN?
6. Insentif bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untuk
melakukan Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG?
7. Ada tidaknya hambatan dalam proses pelaksanaan Kerja Sama
Pemanfaatan dan BGS/BSG yang dilakukan oleh Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang.
8. Ada tidaknya hambatan oleh Pengelola Barang dalam memproses usulan
Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
9. Pencapaian tujuan Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG untuk
mendukung APBN.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai bahan
evaluasi untuk mengoptimalkan pelaksanaan pemanfaatan BMN dalam bentuk
Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG, mencegah terjadinya kesalahan dalam
pemanfaatan BMN oleh pihak ketiga karena tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN?, meningkatkan
potensi penerimaan PNBP dalam rangka penguatan APBN, serta agar BMN
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga dapat mendorong investasi di
sektor swasta yang akan meningkatkan aktivitas ekonomi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Reformasi Manajemen Aset Properti Sektor Publik
A.1. Sasaran dan Tujuan Manajemen Aset Sektor Publik
Manajemen aset properti merupakan proses dari pengambilan
keputusan dan implemetasinya, meliputi pengadaan (akuisisi), penggunaan,
dan penghapusan tanah dan atau/bangunan. Dari perspektif tersebut, tugas dari
manager aset properti sektor publik, adalah sebagaimana manager aset
organisasi sektor privat, yaitu mengholdingkan mix portofolio dari real properti,
atau melakukan mix-used real estate investment trust7.
Pengertian umum dari aset adalah sesuatu yang memiliki nilai. Dua
elemen dari definisi tersebut, nilai dan umur manfaat, merupakan hal yang
fundamental jika suatu departemen/organisasi mengidentifikasikan dan mencatat
seluruh aset.8 Berdasarkan kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan
(paragraf 60), sesuatu harus memiliki nilai agar dapat diklasifikasikan sebagai
aset. Nilai dari suatu aset harus diukur dan dinyatakan dalam satuan moneter
(rupiah) sehingga aset tersebut dapat diakui (recognized) dalam laporan
keuangan.
Berkenaan dengan sektor publik, aset mungkin lebih dihargai dari aspek
non moneter, yang menjelaskan manfaat/kegunaan dari suatu aset dalam
memenuhi tujuan penyediaan pelayanan dan merupakan suatu konsep yang
7 Kaganova and Mc.Kellar. op.cit, hal 4.
8 Australian National Office, hal. 3.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
14
bertujuan untuk digunakan/dipakai di saat aset tidak menghasilkan pemasukan
(income). Aspek non moneter ini ditujukan sebagai manfaat yang akan datang
(income benefit) yang diharapkan akan diperloleh.
Dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintah, paragraf 62- 67,
jenis aset diklasifikasikan menjadi aset lancar (kas dan setara dengan kas,
investasi jangka pendek, piutang dan persediaan) dan aset non lancar (investasi
jangka panjang, aset tetap, dana cadangan dan aset lainnya). Termasuk dalam
aset lainnya adalah aset tak berwujud dan aset kerja sama (kemitraan).
Definisi manajemen aset secara umum dapat disimpulkan mencakup
proses mulai dari proses perencanaan sampai dengan penghapusan serta
perlunya monitoring terhadap aset-aset tersebut selama usul penggunaannya9.
Definisi tersebut mengacu kepada beberapa definisi seperti definisi manajemen
oleh pemerintah South Australia10, yaitu sebagai “ a process to manage demand
and guidance acquisiton use and disposal of aset to make the most of their
service delivery potential and manage risk and cost over their entire life”.
Departemen Transpotasi Amerika 11 mendefinisikan manajemen aset sebagai ” a
systematic process of maintaining, upgrading, and operation phisical aset cost-
effectively. It combines engineering principles with sound business practices and
economic theory, and it provides tools to facilitate a more organized logical
appoach of decision making. Thus, aset manajemen provides a framework for
handling both short and long range planing.”
9 Haryono, Arik. “Prinsip dan Teknik Manajemen Kekayaan Negara”. Modul DTSS
Pengelolaan Kekayaan Negara (Diklat Jarak Jauh). Pusiklat Keuangan Umum, 2007. 10
Strategic Aset Managemnet Framework, Second Edtion (Goverment of South Australia,199) Hal 1. 11
Aset Manajement: Advancing the State of the Art into the 21st Century Through Public-Private Dialoque (Federal Highway Administration and the American Association of State Highway and Transportation Official, 1996), hal 3.
BAB II LANDASAN TEORI
15
Menurut Asosiasi Transportasi Kanada12, sasaran dari manajemen aset
adalah untuk mencapai kecocokan/kesesuaian sebaik mungkin antara aset
dengan strategi penyediaan pelayanan. Hal ini diprediksikan pada saat
pemeriksaan/pengujian kritikal dari alternatif-alternatif penggunaan aset,
misalnya dengan solusi non-aset akan memungkinkan penyediaan pelayanan
dengan biaya terendah. Selanjutnya Haryono (2007) menambahkan bahwa
dengan manajemen aset akan dapat diketahui apakah suatu aset sesuai dengan
strategi penyediaan pelayanan atau tidak. Solusi aset dimaksudkan sebagai
alternatif-alternatif penggunaan aset tanpa harus memiliki aset tersebut serta
menghindari alternatif yang hanya terfokus pada pengadaan aset yang tanpa
disertai optimalisasi aset-aset yang telah ada,
Dengan tekanan-keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk
menyediakan pelayanan, upaya optimalisasi aset negara merupakan hal yang
penting untuk diwujudkan. Berkaitan dengan permasalah tersebut, prinsip-
prinsip manajemen aset akan mengarahkan biaya-biaya pelayanan kepada 13:
- Penurunan permintaan terhadap aset baru dengan mengadopsi solusi non-
aset.
- Maksimalisasi potensi manfaat dari aset-aset yang telah ada (existing aset)
- Penekanan biaya keseluruhan (overall cost) dari pemilikan aset melalui
penggunaan teknis biaya siklus hidup (life cycle costing).
- Memastikan perhatian/fokus yang tajam atas hasil dengan penyusunan
pertanggungjawaban (responsibility) dan akuntabilitas (accountability) yang
jelas untuk aset.
12
Primer on Aset Manajement, Transportation Association of Kanada, 1999. 13
Haryono, op.cit., hal 7
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
16
- Manajemen aset merupakan suatu proses yang sistematik dan terstruktur
yang mencakup seluruh umur aset. Asumsi yang mendasari adalah bahwa
aset ada untuk mendukung penyediaan pelayanan.
Tujuan utama manajemen aset adalah membantu suatu entitas organisasi
dalam memenuhi tujuan penyediaan pelayanan secara efektif dan efisien. Untuk
mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang dilakukan mencakup panduan
pengadaan, penggunaan, dan penghapusan aset, dan pengaturan risiko dan
biaya yang terkait selama siklus hidup aset. Dalam prinsip dan teknik
menajemen kekayaan negara sebagai aktivitas yang komprehensip dan multi-
disiplin perlu dikaitkan beberapa faktor dalam mencapai tujuan manajemen aset
tersebut, yaitu:
- Kebutuhan dari para pengguna aset.
- Kebijakan dan peraturan perundang-undangan
- Kerangka manajemen dan perencanaan organisasi
- Kelayakan teknis dan kelangsungan komersial
- Pengaruh eksternal pasar (seperti komersial, teknologi, lingkungan dan
industri)
- Persaingan permintaan dari para stakeholder dan kebutuhan
merasionalisasikan operasi untuk memperbaiki pemberian pelayanan atau
untuk meningkatkan keefektifan biaya.
- DJKN bertanggungjawab untuk dapat mengotimalkan pengelolaan aset
negara dengan cara mensinkronkan berbagai teknik manajemen aset
seperti manajemen nilai, manajemen permintaan, manajemen penilaian
ekonomis, manajemen biaya siklus hidup (life cycle cost) dan manajemen
risiko untuk pelaksanaan tugasnya dan mengkoordinasikannya dengan
BAB II LANDASAN TEORI
17
seluruh Kementerian/Lembaga yang menangani aset di lingkungan
masing-masing.
A.2. Efisiensi Penggunaan Aset Sektor Publik
Pada satu level, manager dalam organisasi harus memutuskan untuk
bagaimana mengatur individu dari suatu holding properti (bagaimana
mengoperasikan, memasarkan, dan memeliharanya). Pada tingkatan (level)
yang lebih tinggi, manager dalam organisasi harus mencari cara untuk
mengidentifikasikan aturan umum untuk memberi petunjuk (guidance) dan
memotivasi manager properti (untuk meningkatkan kinerja/produktivitas properti),
sehingga dapat tersusun aturan yang sama mengenai efisiensi secara ekonomi
dan nilai-nilai lain yang diterapkan pada organisasi.
Selanjutnya, manager aset publik harus dapat mengalokasikan kapital
dalam berbagai klas properti (apakah akan menjual/melikuidasi suatu properti,
dan mereinvestasikan pada jenis properti lainnya di mana organisasi akan
mendapatkan nilai tambah). Pada akhirnya, manager aset publik harus dapat
mengusahakan untuk meningkatkan kapital financial baru untuk memperluas
investasinya dalam real properti, menjual properti, atau mendapatkan
penerimaan (return) atas kepemilikan properti karena digunakan sector privat14.
Di samping itu, manager properti sektor publik harus mampu
mengurangi terjadinya inefisiensi. Salah satu sumber dari inefisensi adalah
banyaknya dari properti kosong atau tidak digunakan (unused), meliputi dari fisik
(jumlahnya), ketidakekonomisan karena tidak dipergunakan secara optimal
(underused/ underutilize), dan pemeliharan dan perbaikan yang tidak mencukupi
(insufficient). Kondisi tersebut dapat terjadi karena kebutuhan terhadap tanah
14
Kaganova and Mc.Kellar. op.cit, hal 6.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
18
berubah lebih cepat dari kemampuan pemerintah untuk melakukan penggunaan
kembali (reuse) atau menghapus (dispose) properti.
Ketika pemerintah tidak lagi memerlukan penggunaan suatu properti,
maka terjadi inefisiensi karena manager tetap memegang properti yang tidak
digunakan (unused). Inefisiensi selanjutnya juga terjadi karena atas properti
yang tidak digunakan tersebut juga dialokasikan dana pemeliharaan dan
perbaikannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, hendaknya disusun suatu kerangka
manajemen aset. Beberapa asumsi yang dijadikan landasan berpikir yang
digunakan dalam penyususn kerangka manjemen aset terebut, antara lain
(Haryono, 2007):
- Terlebih dahulu harus dilakukan pendefinisian suatu aset. Hal tersebut
penting untuk dapat didapatkan persepsi yang tepat dalam suatu organisasi
terkait dengan penggunaan suatu aset.
- Aset-aset seharusnya hanya ada untuk mendukung penyediaan/pelayanan
jasa. Titik permulaan yang utama untuk memastikan hal tersebut adalah
menyusun hubungan antara penyediaan dan pelayanan aset
- Strategi manajemen aset bukan merupakan suatu penjumlahan sederhana
dan rencana-rencana individual yang dibuat untuk masing-masing fase dari
siklus hidup aset. Strategi manajemen aset harus konsisten dengan tujuan
organisasi dam terintegrasi dengan strategi manejemen aset lainnya.
- Keputusan manajemen aset hendaknya tidak dibuat secara terpisah,
malainkan harus sebagai bagian kerangka keseluruhan pembuatan
keputusan dalam suatu organisasi. Perencanaan aset harus
dipertimbangkan bersamaan dengan kebutuhan sumber daya lainnya yang
BAB II LANDASAN TEORI
19
digunakan dalam pencapaian tujuan penyediaan pelayanan. Hal ini
mensyaratkan organisasi untuk mengkonversi/mengubah strategi
penyediaan pelayanan ke dalam strategi aset yang spesifik, yang
memberikan kesempatan untuk mengidentifikasikan metode peningkatan
kinerja aset, menata kembali aset-aset yang telah digunakan, serta mencari
solusi yang tidak memerlukan kepemilikan aset (strategi non aset).
Bagan kerangka manajemen aset sebagaimana pada Gambar 2.1.
Apabila kerangka manajemen aset tersebut sudah terbentuk, maka pengelolaan
aset pemerintah akan mempunyai keunggulan, yaitu:
- Manajemen aset dipicu/didorong oleh pelayanan atau output
- Manajemen aset memakai pendekatan yang terstruktur dan sistematis
- Manajemen aset disasarkan pada konsep “whole of life”.
Gambar 2.1. Kerangka Manajemen Aset
Sumber : Arik Haryono, Prinsip dan Teknik Manajemen Kekayaan Negara, 2007
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
20
A.3. Reformasi Manajemen Aset Sektor Pemerintah
A.3.1. Perlunya dilakukan Reformasi Manajemen Aset
Dalam pelaksanaan manajemen properti sektor publik di beberapa
negara, terdapat kesamaan permasalahan dalam pengelolaan properti sektor
publik, yaitu15 :
1. Kurangnya frame work kebijakan pusat (central policy framework).
Pembentukan DJKN yang berada di bawah Kementerian Keuangan, selaku
Pengelola BMN, mempunyai tugas untuk membuat kebijakan yang harus
diikuti oleh seluruh Kementerian/Lembaga sebagai Pengguna BMN. Ketika
tidak terdapat kebijakan pengelolaan BMN yang mengikat seluruh
unit/lembaga, maka masing-masing unit/lembaga tersebut akan membuat
ketentuan dan menafsirkan sendiri-sendiri dalam melakukan pengelolaan
BMN.
2. Manajemen dari aset properti publik yang terfragmentasi. Sebagaimana
kasus di Indonesia, masing-masing Kementerian/Lembaga menangani
manajemen aset atas BMN yang berada dalam penguasaannya.
Manajemen aset yang terfragmentasi pada masing-masing unit/lembaga
tersebut tentu harus dikontrol/disupervisi oleh suatu lembaga yang khusus
menangani aset pemerintah.
3. Inefisiensi secara ekonomis yang sering berasosiasi terhadap properti
publik. Inefisiensi tersebut bersumber pada beberapa hal, yaitu:
- Pemanfaatan aset yang belum optimal baik secara fisik maupun
secara ekonomis (physycal and economic underutilize)
- Biaya pemeliharaan dan perbaikan yang kurang memadai
15
Ibid , hal 10.
BAB II LANDASAN TEORI
21
- Banyaknya properti kosong (vacant) dan kurang termanfaatkan
(underused)
- Biaya kepemilikan aset dan biaya kesempatan (opportunity cost)
seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan.
- Kegagalan dalam memahami penggunaan tertinggi dan terbaik
(highest and best use) atas aset publik.
4. Kurangnya informasi yang diperlukan untuk melakukan
manajemen/mengelola portofolio properti. Dalam kasus di Indonesia, telah
diapliksikan SIMAK BMN untuk pencatatan aset, namun informasi yang
disajikan masih belum memenuhi kebutuhan pengelolaan manajemen
properti.
5. Kurangnya transparansi dan akuntabillitas. Kondisi sebagaimana butir 1
sampai dengan butir 4 tersebut diperparah dengan kurangnya transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset publik, sehingga rentan terjadi
penyelewengan.16
Beberapa kondisi tersebut, mengakibatkan pengelolaan properti sektor
publik perlu dilakukan reformasi. Reformasi pengelolaan aset ektor publik juga
didorong hal-hal sebagai berikut (Kaganova, dalam Arik Haryono (2007):
1. Adanya paradigma New Public Manajemen dalam pengelolaan aset
sektor publik, yang bertujuan mengimplemetasikan beberapa aktivitas
kunci, yaitu
16
Sebagai contoh, sebelum dilakukan penertiban dalam pengelolaan BMN, banyak aset negara yang beralih kepemilikan kepada pihak lain secara tidak sah, aset negara dikuasai/diokupasi pihak lain, dimanfaatakn oleh pihak lain secara tidak sah, banyak BMN yang hilang, dan sebagainya.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
22
- Meningkatkan kinerja, khususnya efisiensi keuangan dan
efektifitas biaya, yang didukung oleh pemantauan kinerja dan
insentif.
- Pendefinian ulang dan pengurangan peran pemerintah dalam
ekonomi, termasuk privatisasi atau komersialisasi BUMN/BUMD
serta aplikasi manajemen perusahaan dalam sektor publik.
- Pemisahan antara fungsi pembuatan kebijakan dengan pemberi
pelayanan.
- Desentralisasi atau devolusi atas tanggung jawab pelayanan dari
level yang lebih tinggi ke level yang lebih rendah di dalam
pemerintahan.
- Flexibilitas pengelolaan aset yang lebih besar dalam manejemen
keuangan
- Tansparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dalam operasi
pemerintahan.
2. Adanya pengakuan tentang keuntungan finansial (financial payoff) bagi
pemerintah apabila manajemen aset publik dilakukan dengan lebih baik.
3. Reformasi di bidang akuntansi.
4. Dilibatkanya para profesional di bidang Real estate ke dalam manajemen
aset publik.
Dalam pengelolaan manajemen aset sektor publik muncul paradigma
baru dalam administrasi publik yang dikenal dengan New Public Manajemen
(NPM). Tujuan dari NPM adalah perubahan cara menyediakan barang dan jasa
kepada publik dari sebelumnya merupakan tanggung jawab penuh pemerintah,
menjadi melibatkan masyarakat untuk mencapai efisiensi dan efektifitas.
BAB II LANDASAN TEORI
23
Landasan pemikiran NPM adalah terjadinya inefisiensi oleh pemerintah dalam
penyediaan barang dan jasa sektor publik, sehingga membebani anggaran
negara (defisit anggaran). Beberapa kebijakan yang diambil antara lain:
a. Deregulasi, yaitu proses di mana pemerintah merombak, mengurangi
atau menyederhanakan batasan pada bisnis dan individu, dengan tujuan
mencapai efisiensi operasinal.
b. Menjual properti.
c. Privatisasi (menjual di pasar saham). Sebagai contoh, pemerintah
Jepang melakukan privatisasi karena terdapat keuntungan dalam hal (i)
dapat meningkatkan performance dari publik sektor (ii) dapat mengatasi
defisit keuangan pemerintah (iii) memberi prospek untuk pengurangan
tenaga kerja sektor publik (iv) meningkatkan daya saing internasional17.
Dalam hal ini privatisasi yang biasa diasosiasikan dengan penjualan aset
(aset sale) atau pengalihan aset (aset transfer) melalui program divestasi
(divestiture) tidak lagi menyisakan kendali pemerintah atas pengelolaan
aset infrastruktur yang dialihkan kepada pihak swasta 18. Contoh
privatisasi di Jepang : Japan Railroad, Japan Tobacco
d. Contracting out berupa Public Private Partnership atau Kerja Sama
Pemerintah Swasta (KPS). Dalam kontrak KPS, pihak Pemerintah masih
memiliki dan mengendalikan aset dan layanan (infrastruktur) serta
menetapkan harga penggunaannya (user rates). Selain itu, tujuan utama
para pihak dalam KPS adalah berbagi risiko dan tanggungjawab, dengan
17
Toshiyuki Katagiri, Japan Economic Research Instittute, 2011 18 Water Partership Council (WPC). (2003) : Establishing Public-Private
Partnerships for Water and Wastewater Systems: A Blueprint for Success,
Washington, D.C.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
24
demikian kontrak merupakan jantung dari setiap skema KPS, yang
mengandung tugas-tugas dan kewajiban para pihak19.
Contracting out berupa Public private partnership (PPP) adalah “is an
arrangement between a government and the private sector in wich partially or
traditionally public activities are performed by the private sector – merupakan
bentuk Kerja Sama antara pemerintah dan sektor privat di mana secara parsial
atau secara tradisional aktivitas publik tersebut disediakan oleh sektor privat” .
Beberapa contoh contract out (PPP) yang dapat dilakukan adalah dalam
penyediaan air minum, public transportation, service pelabuhan atau bandara
(port service), pendidikan, kebersihan jalan (street cleaning), bahkan penjara
(prisons).
Public Pivate Partnership (PPP) merupakan kebijakan yang umum
diterapkan di berbagai negara dalam menyediakan barang/jasa sektor publik,
dengan pertimbangan :
Kebutuhan investasi untuk pengadaan infrastruktur yang dibutuhkan
segera, seperti untuk utilitas dan sistem transport.
Peningkatan efisiensi atas penggunaan resources, sebagaimana privatisasi
yang memperlihatkan efektivitas kinerja sektor privat.
Menciptakan nilai komersial dari aset sektor publik20.
Keuntungan yang dapat diperoleh dari PPP adalah (a) akselerasi pengadaan
infrastuktur (b) mempercepat implementasi (c) mengurangi keseluruhan life cycle
cost (d) alokasi risiko yang lebih baik (e) menyediakan insentif yang lebih baik
untuk peningkatan performance (f) meningkatkan kualitas dari servis (g)
19
Hardcastle, C. (2006) : The Private Finance Initiative – Friend or Foe, Proceedings of the International Conference in the Built Environment in the 21st Century (ICiBE 2006), Selangor, Malaysia 20
Toshiyuki Katagiri, op.cit, Hal 3.
BAB II LANDASAN TEORI
25
menghasilkan pendapatan tambahan bagi negara (e) enhanced public
manajement.
A.3.2. Kerangka Kerja Reformasi Manajemen Aset
Untuk mengatasi masalah-masalah manajemen properti sektor publik,
serta mendorong penerapan New Public Managenet, diperlukan suatu kerangka
kerja sehingga reformasi manajemen aset sektor publik dapat berhasil.
Kaganova dalam Haryono (2007) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman
dari negara Kanada, Austalia, Selandia Baru dan Perancis, yang telah
melakukan reformasi di bidang manajemen aset publik, faktor kunci yang
menentukan keberhasilan pelaksanaan reformasi aset sektor publik adalah 21:
1. Kebijakan publik yang jelas (explicit Public Policy). Harus ada kebijakan
publik yang formal dan jelas tentang manajemen aset publik yang
dilaksanakan oleh pemerintah dan dapat diaplikasikan untuk semua aset
publik yang berada pada pengendalian pemerintah.
2. Pengakuan atas biaya kepemilikan aset tetap dan penggunaannya.
Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu : aset apa saja yang
termasuk dalam pengendalian pemerintah, biaya-biaya apa saja yang
harus diakui, serta bagaimana cara menutup biaya-biaya tersebut.
3. Sistim informasi. Kegagalan reformasi manajemen aset banyak
disebabkan oleh kurang atau tidak lengkapnya data aset publik, baik dari
segi jumlah, jenis, tingkat penggunaan, kondisi, biaya operasi, dan
informasi terkait lainnya. Departemen yang menangani aset hendaknya
21
Haryono, Op. Cit., hal 17
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
26
mengetahui semua informasi yang terkait dengan aset, sehingga
pengambilan keputusan menjadi tepat sasaran.
4. Mekanisme akuntabilitas. Harus disusun suatu mekanisme yang jelas
mengenai akuntabilitas pemerintah dalam manajemen aset publik,
sehingga pembuatan keputusan terkait manajemen aset menjadi efektif.
5. Desentralisasi tanggung jawab manajemen. Harus dilakukan
pendelegasian wewenang dari pemerinah kepada instansi-instansi di
bawahnya dengan diiringi pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat
dan pemberian insentif serta sanksi yang jelas terkait dengan kinerja
instansi-instansi yang diberikan kewenanangan tersebut.
6. Inisiatif untuk privatisasi. Terdapat dua cara terkait dengan pelaksanaan
privatisasi. Cara pertama adalah melakukan identifikasi dan pelepasan
aset milik pemerintah yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh pemerintah
dalam pelayanan kepada publik (surplus property). Cara yang kedua
adalah dengan mengajak keterlibatan sektor privat untuk mengelola aset
yang dimiliki oleh pemerintah, di mana penghematan biaya dan efisiensi
pelayanan kepada publik dapat diwujudkan (private aset manajement).
A.3.3. Strategi Manajemen Aset
Berdasarkan kerangka kerja reformasi manajemen aset tersebut, perlu
dikembangkan manajemen aset yang berpandangan ke depan (forward looking).
Strategi manajemen aset tersebut mendasarkan pada proses perencanaan yang
menyesuaikan antara prospektif permintaan aset dengan profil penawaran aset.
Proses pengembangan stategi aset dilakukan dalam 4 tahapan dalam strategi
manajemen aset, yaitu:
BAB II LANDASAN TEORI
27
1. Menentukan kebutuhan aset, yaitu mengacu pada strategi pelayanan,
dan akan menghasilkan profil permintaan aset.
2. Mengevaluasi aset-aset yang ada, yang dilanjutkan dengan penilaian
persediaan dan kondisi, yang akan menghasilkan profil penawaran aset.
3. Melakukan analasis kesenjangan, dengan membandingkan permintaan
dan penawaran aset.
4. Menyusun strategi aset yang terdiri dari rencana pengadaan, rencana
operasi dan pemeliharaan, rencana penghapusan serta rencana
pendanaan.
A.3.3.1. Menentukan Kebutuhan Aset
Keputusan yang diambil terhadap kebutuhan suatu aset terkait dengan
hal-hal sebagai berikut:
- Strategi penyediaan pelayanan. Strategi tersebut didasarkan pada analisis
kebutuhan dan evaluasi kualitas pelayanan yang diberikan saat ini. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan langkah sebagai berikut:
o Mendefinisikan ruang lingkup, standar, dan tingkat pelayanan yang
akan diberikan.
o Menentukan metode penyediaan pelayanan dan sumber daya yang
dibutuhkan, mencakup persyaratan penggunaan aset,
o Mempertimbangkan metode mencakup permintaan dengan
menggunakan teknik manajemen permintaan.
- Alternatif non aset, yaitu tanpa melakukan pembelian aset. Beberapa
solusi non aset yang dapat dipertimbangkan misalnya:
o Mengoptimalkan penggunaan aset yang telah ada sehingga
pengadaan aset baru dapat dihindari
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
28
o Menggunakan bantuan pihak ketiga untuk menyediakan sebagian
atau seluruh pelayanan yang dibutuhkan. Melalui mekanisme ini,
suatu aset mungkin masih tetap digunakan untuk memberikan
pelayanan, namun aset tersebut dikontrol dan dioperasikan oleh pihak
ketiga..
A.3.3.2. Mengevaluasi aset-aset yang ada
Evaluasi atas aset yang telah ada adalah untuk menentukan apakah
kinerja aset-aset telah memadai untuk mendukung strategi penyediaan
pelayanan yang telah ditentukan. Evaluasi tersebut memperhatikan aspek-aspek
yang meliputi:
- Kondisi fisik; untuk melihat apakah aset tersebut dipelihara secara layak,
atau apakah terdapat tanggungan pemeliharaan yang memerlukan
perbaikan.
- Pemanfaatan; untuk melihat seberapa intensifkah aset-aset tersebut
digunakan, atau apakah aset tersebut dapat digunakan secara lebih
produktip.
- Fungsionalitas; untuk melihat seberapa cocok aset-aset tersebut dengan
aktivitas atau fungsi yang didukungnya.
- Kinerja keuangan; untuk melihat apakah biaya operasi aset-aset tersebut
sama dengan aset yang sebanding (benchmark yang sama).
Dalam pelaksanaan evaluasi, terlebih dahulu harus ditentukan ukuran
efektifitas, standar kondisi serta ukuran kinerja yang memadai yang
dipersyaratkan agar aset dapat mendukung pelayanan. Selanjutnya perlu
disusun suatu format laporan kinerja terintegrasi yang dapat memantau
BAB II LANDASAN TEORI
29
mengenai kondisi fisik, fungsionalias, utilisasi, serta kinerja keuangan setiap
aset.
A.3.3.3. Menyesuaikan/Menyelaraskan Aset dengan Penyediaan Pelayanan
Program penyediaan pelayanan suatu organisasi harus
disesuaikan/diselaraskan dengan kebutuhan aset, oleh karena itu perlu dilakukan
proses kegiatan penyesuaian/penyelarasan tersebut. Hasil dari proses ini
mencakup pengidentifikasian atas :
(a) Aset-aset yang tidak memiliki kapasitas atau manfaat yang diperlukan
untuk memenuhi standar penyediaan pelayanan yang memadai
(b) Aset-aset yang memiliki kapasitas atau manfaat melebih standar
penyediaan pelayanan umum
(c) Aset yang tidak mendukung tujuan pelayanan dan harus dihapuskan.
Dalam melakukan pemyesuaian/penyelarasan aset tersebut pada
umumnya ditemui kendala berupa konflik antara struktur organisasi
dengan struktur penyedia pelayanan, serta adanya pengendalian dan
kepemilikan aset yang terpusat (misalnya bangunan).
A.3.3.4. Mengembangkan Strategi Aset
Melalui perencanaan aset yang terintegrasi dengan keseluruhan
perencanaan, maka suatu entitas akan dapat membuat keputusan penting
dengan lebih baik mengenai profil aset. Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam
mengembangkan strategi aset adalah sebagai berikut.
(a) Membandingkan aset yang telah ada dengan kebutuhan.
(b) Menyusun Strategi aset, yaitu mempertimbangkan berbagai cara
pencapaian hasil yang diinginkan. Dan mencakup evaluasi biaya,
manfaat, dan risiko dari masing-masing cara. Penerapan strategi aset
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
30
hendaknya juga mempertimbangkan metode-metode yang mungkin
diterapkan, serta manfaat yang mungkin didapatkan dari keterlibatan
sektor swasta dalam keseluruhan siklus hidup aset. Masing-masing
rencana dalam strategi aset terdiri dari rencana pengadaan, rencana
operasi, rencana pemeliharaan, rencana modifikasi atau penambahan,
serta rencana pendanaan. Terkait dengan rencana Pengadaan. Aset
yang diperlukan dapat diperoleh dari pembelian, melalui sewa (leasing),
atau melalui kontrak perjanjian. Kontrak perjanjian dalam pengadaan
aset dapat berupa kontrak lumpsum, kontrak desain dan konstruksi serta
kontrak Bangun-Operasi- Transfer/ BOT). Melalui proses BOT
dimungkinkan bahwa pemerintah tidak mengeluarkan biaya
pembangunan, karena melalui proses BOT tersebut pembangunan
konstruksi dilakukan serta dibiayai oleh pihak ketiga (swasta), di mana
pihak ketiga tersebut diberikan hak untuk mengoperasikan fasilitas
tersebut, dan membebankan biaya (charges) kepada pemakai atas
pemakaian/penggunaan aset tersebut.
(c) Menyusun elemen strategi aset. Elemen-elemen yang bersama-sama
memberikan kontribusi dalam penyusunan strategi aset adalah sebagai
berikut:
- Rencana Manajemen Aset, yang menggambarkan hal-hal yang perlu
dilakukan untuk memastikan bahwa keberadaan aset-aset secara
efektif dapat mendukung penyediaan pelayanan.
- Metode Penyedia Pelayanan, yang menggambarkan bagaimana hal-
hal yang akan dilakukan tersebut dilaksanakan.
BAB II LANDASAN TEORI
31
- Pemantauan Kinerja, yang menggambarkan seberapa bagus aset-
aset yang ada memenuhi kebutuhan pelayanan. Agar tercipta
akuntabilitas kinerja aset, maka pemantauan kinerja aset dapat
dibantu melalui laporan kinerja aset yang terintegrasi sebagaimana
pada Gambar 2.2
Gambar 2.2. Proses Pemantauan/Monitoring Kinerja
- Penyusunan Sistem dan Prosedur. Penyusunan sistem dan prosedur
akan mendukung pelaksanaan yang konsisten atas praktek kerja
yang standar dan efisien. Apabila sistem dan dan prosedur telah
dibakukan ke seluruh organisasi, maka strategi yang telah disusun
lebih mudah untuk diimplemenasikan.
A.3.3.5. Konsep Maksimalisasi “value of society” Dalam Manajemen Portofolio
Aset
Konsep maksimalisasi “value of society” adalah kompleks, karena
menimbulkan banyak pertanyaan filosofis seberapa “mencukupi” nilai sosial
tersebut diatur dalam aturan pemenrintah. Perhitungan nilai sosial tersebut tidak
sesederhana apabila dibandingkan dengan kalkulasi IRR pada privat sektor.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
32
Dalam implementasinya, konsep maksimalisasi aset tersebut dapat diukur
dengan “optimalisasi” atas aset underused (tidak digunakan sepenuhnya),
unused (tidak dipakai), serta underutilize ( tidak digunakan sesuai HBU)22.
Sebagaimana dengan uraian pada uraian Sub bab A.3.1. reformasi
manajemen aset publik dalam konteks New Public Manajement, juga perlu
menyertakan sektor privat. Pemerintah perlu menggandeng sektor privat dalam
menyediakan pendanaan untuk pembangunan/operasional infrastruktur,
penyediaan tenaga ahli (ekspertise) serta pembagian alokasi risiko dalam
pemgembangan suatu proyek.
B. Pengelolaan Aset Barang Milik Negara di Indonesia
B.1. Permasalahan Pengelolaan BMN Sebelum Diberlakukannya PP Nomor 6
Tahun 2006
Kondisi pengelolaan BMN sebelum diberlakukannya reformai pengelolaan
aset negara, tidak dapat dilaksanakan secara optimal, serta mengakibatkan
beberapa permasalahan, seperti:
1. Laporan keuangan beberapa Kementerian/Lembaga masih belum
mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), karena dalam
laporan aset masih dipertanyakan atas kebenaran mengenai jumlah dan
nilainya.
2. Penatausahaan BMN, yang meliputi kegiatan-kegiatan pembukuan,
inventarisasi, dan pelaporan BMN di Kementerian/ Lembaga belum
dilakukan dengan baik, sehinngga menghasilkan laporan keuangan yang
kurang dapat dipercaya.
22
Penjelasan Arik Haryono
BAB II LANDASAN TEORI
33
3. Pengelolaan aset, terutama penggunaan, pemanfaatan, pemusnahan dan
pemindahtanganan aset tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
yaitu:
a. Tidak memenuhi surat dan atau prosedur yang ditetapkan
b. Tanpa persetujuan atau izin pejabat yang berwenang
c. Tidak melalui proses tender/lelang
d. Harga/tarip tidak wajar
e. Hasil penerimaan tidak disetor ke kas negara
4. Aset BMN tidak dapat dimanfaatkan secara optimal (Highest and Best
Use).
5. Adanya aset yang berlebih dan atau idle, yaitu belum digunakan dan atau
dimanfaatkan secara optimal.
6. Apabila di satu pihak suatu kementrian lembaga mempunyai aset
tanah/bangunan yang berlebih, sedangkan di pihak lain terdapat suatu
kementerian atau lembaga yang membutuhkan prasarana berupa tanah
dan bangunan.
7. Ketidakjelasan status kepemilikan dan atau penguasaan aset sehingga
terjadi sengketa kepemilikan, penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan aset antar instansi pemerintah pusat, antara instansi
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah
dan antara pemerintah pusat/daerah dengan pihak laian.
8. Okupasi/penguasaan aset negara/daerah oleh pihak lain.
9. Perencanaan anggaran belum terintegrasi dengan perencanaan aset-
nya23.
23
Ibid, hal 9
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
34
B.2. Pengelolaan BMN Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2007
Tujuan yang ingin dicapai dalam implementasi Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 adalah tidak hanya sekedar kegiatan administratip
(pencatatan), namun lebih maju berpikir dalam menangani aset negara, yaitu
bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah
dalam mengelola aset. Tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan BMN
adalah terwujudnya tertib administrasi serta tertib hukum serta tertib pengelolaan
BMN, dengan target opini berupa Wajar Tanpa Pengecualian pada setiap
Kementerian/Lembaga.
Tabel 2.1. Tujuan dan Target Pengelolan BMN
Tujuan Ukuran TARGET
WTP Tertib Administrasi
Administrasi lengkap
Nilai Wajar
Laporan BMN menghasilkan informasi yang memadai
Tertib Hukum
Sertifikat lengkap an. Pemerintah Republik Indonesia
Aset tidak diserobot/dikuasasi ke pihak lain
Tertib Pengelolaan/ Optimalisasi
Penggunaan aset secara optimal (tidak underutilize)
Optimaliasi penggunaan aset underutilize atau tidak memenuhi kriteria Highest and Best Use, BMN idle (unused), atau BMN yang underused. Termasuk dalam optimalisasi ini ini adalah terdapatnya penerimaan Negara atas penggunaan BMN oleh pihak ketiga.
Pemindahtanganan aset sesuai ketentuan
Aset yang sudah tidak digunakan segera dilakukan Penghapusan
Penghematan biaya modal dan biaya pemeliharaan
Dalam Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) terdapat beberapa tahap
kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam PP Nomor 6 Tahun 2007 yang telah
dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dalam Pasal 3 ayat 2
BAB II LANDASAN TEORI
35
disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan BMN meliputi kegiatan perencanaan
kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan;
pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan;
penatausahaan; pembinaan; pengawasan dan pengendalian. Seluruh kegiatan
tersebut saling terkait satu dengan yang lain, sehingga untuk mencapai
pengelolaan BMN yang baik dan akuntabel, maka suatu instansi pemerintah
harus memahami dan mampu melaksanakan setiap kegiatan dimaksud. Siklus
pengelolaan BMN sebagaimana pada Gambar 2.3. berikut.
Gambar 2.3. Siklus Pengelolaan BMN
Siklus pengelolaan BMN dimulai dengan perencanaan kebutuhan dan
penganggaran. Setelah barang diterima, maka ditetapkan status
penggunaannya. Selain dipergunakan untuk pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi, BMN dapat digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain melalui ketentuan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
36
pemanfaatan BMN. Pemanfaatan BMN adalah pendayagunaan BMN dengan
tidak mengubah status kepemilikan. Pemanfaatan BMN dapat dilakukan dalam
bentuk sewa BMN, pinjam pakai, Kerja Sama Pemanfaatan serta Bangun Guna
Serah/ Bangun Serah Guna. Kegiatan BMN bersifat insidentil. BMN yang
berstatus penggunaan pada suatu kementerian/lembaga dapat
dipindahtangankan melalu hibah, tukar menukar atau penyertaan modal
pemerintah kepada pihak lain. BMN yang sudah dalam kondisi rusak berat, atau
tidak dapat digunakan untuk pelaksanaan tugas dapat dilakukan penghapusan
dengan cara penjualan melalui lelang. Penghapusan adalah tindakan
menghapus Barang Milik Negara dari daftar barang dengan menerbitkan
keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengelola
Barang, Pengguna Barang, dan/atau Kuasa Pengguna Barang dari tanggung
jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Di samping pemindahtanganan, penghapusan barang dari Daftar Barang Milik
Negara dapat dilakukan apabila dilakukan pemusnahan, dalam rangka
melaksanakan putusan pengadilan, atau sebab-sebab lain. Kriteria barang dapat
dihapuskan karena sebab lain, antara lain karena: hilang, kecurian, terbakar,
susut, menguap, dan mencair.
Dalam siklus pengelolaan BMN tersebut, terdapat kegiatan reguler
yang harus dilaksanakan pada setiap tahapan penggunaan, pemanfaatan
(apabila ada), pemindahtanganan (apabila ada), serta akhir dari siklus
pengelolaan BMN berupa penghapusan dari Daftar Barang Milik Negara.
Kegiatan reguler tersebut berupa “P5” yang terdiri dari (1) pengamanan, yaitu
(pengamanan fisik, hukum, serta pengamanan administrasi yang terkait dengan
penatausahaan BMN (2) pemeliharaan (3) pembinaan (supervisi) (4)
BAB II LANDASAN TEORI
37
pengawasan (monitoring) dan (5) pengendalian (tindak lanjut). Gambar 2.4 di
bawah ini mengilustrasikan kegiatan reguler berupa pengamanan, pemeliharaan,
pembinaan, serta pengawasan dan pengendalian yang dilakukan atas BMN yang
digunakan oleh suatu satker, dimanfaatkan oleh pihak ketiga, dipindahtangankan
serta dihapuskan.
Gambar 2.4. Kegiatan Pengamanan, Pemeliharaan, Pembinaan, Pengawasan
dan Pengendalian dalam Pengelolaan BMN.
Sumber : PP Nomor 27 Tahun 2014
Pengamanan BMN adalah kegiatan yang dilakukan baik oleh
pengguna barang maupun pengelola barang yang dimaksudkan untuk menjaga
atau melindungi Barang Milik Negara yang berada dalam penguasaannya. BMN
perlu dijaga dan dilindungi agar tidak hilang, tanah/bangunan beralih kepemilikan
Kerja Sama Pemanfaatan Infrastuktur
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
38
yang tidak sesuai ketentuan, tanah diserobot/ dalam penguasaan pihak lain,
mesin/peralatan/kendaraan dipakai (dalam penguasaan) pihak lain.
Pemeliharaan merupakan kegiatan atau tindakan agar semua barang
selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya guna dan
berhasil guna. Pemeliharaan dilakukan terhadap BMN tanpa mengubah,
menambah atau mengurangi bentuk ataupun kontruksi asal, sehingga dapat
dicapai pendayagunaan barang yang memenuhi persyaratan, baik dari segi unit
pemakaian maupun dari segi keindahan
Definisi dari kegiatan Pembinaan BMN tidak disebutkan secara
eksplisit dalam peraturan yang mengatur mengenai Pengelolaan BMN, baik
peraturan yang berwujud undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya.
Dari sisi Manajemen, kata “pembinaan” apabila dikaitkan dengan salah satu
fungsi manajemen, dapat dipersamakan dengan fungsi pengarahan (directing),
yang apabila diterjemahkan secara bebas maka berarti sebagai suatu tindakan
untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok secara efektif dan efisien
berusaha untuk mencapai sasaran/tujuan sesuai perencanaan manajerial.
Definisi dari kegiatan pengawasan dan pengendalian BMN tidak
secara eksplisit dicantumkan dalam peraturan yang mengatur mengenai
Pengelolaan BMN. Pengawasan mengandung pengertian proses penetapan
ukuran keberhasilan dan pengambilan tindakan yang mendukung pencapaian
hasil yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sesuai
dengan aturan yang berlaku dalam rangka terwujudnya manajemen aset24.
Dalam manajemen, pengendalian memiliki pengertian yang berbeda dengan
pengawasan. Pengawasan merupakan proses menetapkan ukuran kinerja dan
24
Manajemen Pengawasan, BPKP : 2007
BAB II LANDASAN TEORI
39
pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan
sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan, sedangkan pengendalian adalah
proses untuk menjamin agar kegiatan mengarah kepada tujuan yang diinginkan
(Sistem Pengendalian Manajemen, BPKP : 2007)
B.3. Implementasi Teori Manajemen Aset Dalam Pengelolaan BMN
Siregar (2004: 518-520) membagi pengelolaan/manajemen aset publik
menjadi lima tahapan yang saling berhubungan dan terintegrasi satu dengan
lainnya. Kelima tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Inventarisasi aset. Terdiri dari dua aspek yaitu aspek fisik (bentuk, luas,
volume/jumlah, jenis, alamat, dan lain-lain) dan aspek yuridis/legal (status
penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan, dan
lain-lain). Proses kerja yang dilakukan dalam inventarisasi aset antara lain
pendataan, kodefikasi/labelling,pengelompokkan dan pembukuan/
administrasi sesuai dengan tujuan manajemen aset. Proses inventarisasi
ini merupakan bagian dari penatausahaan, di mana hasil proses ini
diperlukan dalam melaksanakan pelaporan BMN (Penjelasan PP No.
6/2006).
2. Legal audit. Merupakan satu lingkup kerja manajemen aset yang berupa
inventarisasi status penguasaan aset, sistem dan prosedur penguasaan
aset atau pengalihan aset, identifikasi dan mencari solusi atas
permasalahan legal dan strategi untuk memecahkan berbagai masalah
tersebut. Penguasaan dan pemilikan tanah dan bangunan meliputi semua
hak, hubungan-hubungan hukum, dan manfaat yang berkaitan dengan
kepemilikan tersebut.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
40
3. Penilaian aset. Merupakan satu proses kerja untuk melakukan penilaian
atas aset yang dikuasai. penilaian dilakukan dalam rangka penyusunan
neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan
BMN/D .
4. Optimalisasi pemanfaatan aset. Merupakan proses kerja dalam manajemen
aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi fisik, lokasi, nilai,
jumlah/volume, legal dan ekonomi yang dimiliki aset tersebut. Studi
optimalisasi pemanfaatan aset dapat dilakukan dengan identifikasi aset-
aset yang ada, pengembangan data base aset, studi untuk menentukan
pemanfaatan aset dengan nilai terbaik (highest and best use) atas aset-
aset pemerintah dan memberikan hasil dan laporan kegiatan baik dalam
bentuk data terkini maupun dalam bentuk rekomendasi, serta
pengembangan strategi optimalisasi aset-aset milik pemerintah.
5. Pengawasan dan pengendalian. Pengawasan dilakukan melalui monitoring
apakah pengelolaan BMN mulai dari tahapan penggunaan, pemanfaatan,
pengamanan, pemeliharaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganaan telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Apabila dalam pelaksanaan
monitoring diketemukan adanya ketidakpatuhan, maka dilakukan
penertiban.
B.3.1. Optimalisasi Pemanfaatan BMN
Zendrato (2012) menjelaskan bahwa tujuan yang lebih spesifik yang
ingin dicapai dalam manajemen aset adalah :
1. Tersajikannya informasi yang benar tentang kondisi aset sebenarnya,
meliputi aspek fisik, nilai, legal, pajak, dan atribut aset lainnya.
BAB II LANDASAN TEORI
41
2. Informasi ini selanjutnya akan diolah dan hasilnya akan direkomendasikan
sebagai strategi pemanfaatan aset secara lebih efisien.
3. Tercapainya tertib administrasi atas pengelolaan data aset (pencatatan,
perubahan, penambahan, dan penghapusan).
4. Tercapainya perangkat pendukung yang memberikan kemudahan bagi
proses pengambilan keputusan khususnya dalam program pemanfaatan
dan optimalisasi aset.
Berdasarkan pendapat tersebut, tujuan akhir dari manajemen aset adalah
optimalisasi pemanfaaatan aset BMN.
Dalam konteks manajemen aset, telah terjadi perubahan paradigma
Direkorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai aset adminitrator menjadi
aset manager. Pada saat era sebagai administrator, fokus DJKN adalah
meningkatkan kualitas laporan keuangan pada Kementerian/Lembaga yang
sebelumnya banyak yang belum mendapatkan opini Wajar menjadi
mendapatkan opini Wajar. Pada era manager aset saat ini, Kementerian
Keuangan dalam hal ini DJKN sekarang ini sedang mendorong K/L untuk dapat
memanfaatkan BMN sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Peranan
DJKN mengalami perubahan setelah sebelumnya adalah penguatan laporan
keuangan pemerintah kini menjadi penguatan APBN25.
Optimalisasi pemanfaatan BMN selaras dengan literatur-literatur yang
mengulas New Public Mangement, bahwa ditinjau dari sisi ekonomi,
permasalahan yang umum terjadi dalam pengelolaan properti sektor publik
adalah terjadinya miss match (ketidaksesuaian) antara kebutuhan tanah dan
25
Bahan Ceramah Kepala Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan pada ceramah pimpinan DTSS Penilaian Properti Dasar Angkatan I dan DTSS Penatausahaan BMN (Bagi Pengelola), Januari 2014
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
42
bangunan dengan kinerja manager properti dalam mengadakan,
mengalokasikan, dan menggunakan kembali (reuse) properti yang sudah ada.
Kondisi ini mengakibatkan suatu kementerian/lembaga mengajukan pengadaan
tanah untuk pelaksanaan tugasnya, sementara suatu kementerian/lembaga
lainnya mungkin banyak mempunyai aset yang tidak digunakan (idle). Kondisi
yang demikian mengakibatkan pemerintah mengeluarkan biaya pengadaan
tanah (yang sebenarnya tidak perlu), demikian pula pemerintah tetap
menanggung biaya pemeliharaan atas properti idle (yang sebenarnya tidak
digunakan) yang mengakibatkan pemborosan.
Banyaknya aset berupa properti yang tidak digunakan secara optimal
(underutilize) atau tidak dipergunakan dalam keadaan Highest and Best Use,
aset berupa properti kosong yang tidak digunakan (idle / unused) atau tidak
digunakan secara maksimal untuk pelayanan (underused), disamping
membebani pemerintah dari sisi anggaran pemeliharaan, juga mengakibatkan
hilangya kesempatan pemerintah untuk mendapatkan penerimaan dari
optimaliasi pemanfaatan BMN tersebut malalui kerja sama (shareholder) dengan
pihak ketiga.
DJKN harus dapat mengupayakan penguatan APBN melalui penghematan
biaya pengadaan/pemeliharaan BMN serta meningkatkan penerimaan PNBP dari
pemanfaatan BMN melalui Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG. Beberapa
keuntungan yang dapat diperoleh dari pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan
dan BGS/BSG, berdasarkan uraian diatas, pada prinsipnya adalah sebagai
berikut :
1. Meningkatkan penerimaan negara melalui Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Potensi PNBP dari pemanfaatan aset cukup besar.
BAB II LANDASAN TEORI
43
2. Mencegah penggunaan BMN tanpa didasarkan pada ketentuan yang
berlaku. Apabila penggunaan/pemanfaatan suatu aset oleh pihak ketiga
mempunyai landasan hukum, serta suatu perjanjian Kerja Sama yang
jelas, maka aset tersebut secara otomatis akan terjaga dari
penguasaan/okupansi pihak lain.
3. Khusus untuk pemanfaatan BMN berupa BGS/BSG, akan dapat
menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana
pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
4. Di samping mendapatkan penerimaan berupa kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan, manfaat lain yang didapatkan dari pelaksanaan
Kerja Sama Pemanfaatan adalah tersedianya biaya pemeliharaan BMN
yang tidak harus disediakan dari APBN.
5. Implementasi Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG harus mendukung
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Peraturan Presiden guna
mendukung penyediaan infrastruktur publik seperti jalan, water supply,
publik transportation, pendidikan dll.
6. Investasi yang ditanamkan untuk pengembangan suatu properti akan
mendorong aktivitas ekonomi di wilayah BMN tersebut berada.
B.3.2. Pemanfaatan BMN berupa Tanah dan atau Bangunan Sebagaimana
Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
Pemanfaatan BMN adalah pendayagunaan BMN dengan tidak mengubah
status kepemilikan. Pemanfaatan BMN dapat dilakukan dalam bentuk sewa
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
44
BMN, pinjam pakai, Kerja Sama Pemanfaatan serta Bangun Guna Serah/Bangun
Serah Guna. Secara umum, ketentuan dalam pemanfaatan BMN yang diatur
dalam Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 96/PMK.6/2007 meliputi :
1. BMN yang dapat disewakan, dipinjampakai, dilakukan Kerja Sama
Pemanfaatan dan Bangun guna Serah/Bangun Serah Guna.
2. Pertimbangan dilakukannya sewa, pinjam pakai, Kerja Sama Pemanfaatan
dan Bangun guna Serah/Bangun Serah Guna.
3. Pihak yang dapat melaksanakan sewa, pinjam pakai, Kerja Sama
Pemanfaatan dan BGS/BSGserta Prosedur Pemanfaatannya,
4. Tata cara penentuan besaran sewa, kontribusi tetap atau pembagian
keuntungan meliputi perhitungan besaran sewa, kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan, ketentuan penilaian, pihak yang berwenang serta
jangka waktu pemanfaatan dan perpanjangannya, serta tata cara
pembayaran.
5. Ketentuan yang bersifat khusus dalam hal sewa, pinjam pakai, Kerja Sama
Pemanfaatan dan Bangun guna Serah/Bangun Serah Guna.
6. Perbandingan jenis-jenis pemanfaatan BMN dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel. 2.2. Perbandingan Sewa, Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Item Sewa26 Kerja Sama Pemanfaatan (KSP)27 Bangun Guna Serah (BGS) dan Banguns
Serah Guna (BSG)28
Definisi Sewa adalah pemanfaatan
Barang Milik Negara oleh pihak
lain dalam jangka waktu tertentu
dan menerima imbalan uang
tunai.
Kerja Sama Pemanfaatan adalah
pendayagunaan Barang Milik Negara oleh
pihak lain dalam jangka waktu tertentu
dalam rangka peningkatan penerimaan
negara bukan pajak dan sumber
pembiayaan lainnya.
BGS:pemanfaatan tanah milik pemerintah
pusat oleh pihak lain dengan mendirikan
bangunan dan/atau sarana, berikut
fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh
pihak lain tersebut dalam jangka waktu
tertentu yang telah disepakati, untuk
selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau
sarana, berikut fasilitasnya, diserahkan
kembali kepada Pengelola Barang setelah
berakhirnya jangka waktu.
BSG: pemanfaatan tanah milik pemerintah
pusat oleh pihak lain dengan mendirikan
bangunan dan/atau sarana, berikut
fasilitasnya, dan setelah selesai
pembangunannya diserahkan kepada
Pengelola Barang untuk kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut
selama jangka waktu tertentu yang disepakati
26
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2006 , Lampiran II 27
Ibid, Lampiran IV, hal 19 28
Ibid, Lampiran V, hal 25
Item Sewa26 Kerja Sama Pemanfaatan (KSP)27 Bangun Guna Serah (BGS) dan Banguns
Serah Guna (BSG)28
BMN yang
dapat
dimanfaatkan
BMN yang status
penggunaannya ada pada
Pengguna Barang dan
Pengelola Barang
Barang Milik Negara yang dapat dijadikan
objek Kerja Sama Pemanfaatan adalah
tanah dan/atau bangunan, baik yang ada
pada Pengelola Barang maupun yang
status penggunaannya ada pada
Pengguna Barang, serta Barang Milik
Negara selain tanah dan/atau bangunan.
Catatan :
KSP pada Pengguna Barang dilaksanakan
atas sebagian tanah dan/atau banguna
yang berlebih dari tanah dan/atau
bangunan yang sudah digunakan
Pengguna Barang
Barang Milik Negara yang dapat dijadikan objek
BGS/BSG adalah Barang Milik Negara yang
berupa tanah, baik tanah yang ada pada
Pengelola Barang maupun tanah yang status
penggunaannya ada pada Pengguna Barang.
Dasar
pertimbangan
Mengoptimalkan pemanfaatan
Barang Milik Negara yang
belum/tidak dipergunakan dalam
pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi penyelenggaraan
pemerintahan, menunjang
pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi kementerian/lembaga,
atau mencegah penggunaan
Barang Milik Negara oleh pihak
lain secara tidak sah.
Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik
Negara dilakukan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan Barang
Milik Negara yang belum/tidak
dipergunakan dalam pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi
penyelenggaraan pemerintahan,
meningkatkan penerimaan negara, dan
mengamankan Barang Milik Negara
dalam arti mencegah penggunaan
Barang Milik Negara tanpa didasarkan
pada ketentuan yang berlaku
BGS dan BSG dilakukan untuk menyediakan
bangunan dan fasilitasnya dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementerian/lembaga, yang dana
pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Item Sewa26 Kerja Sama Pemanfaatan (KSP)27 Bangun Guna Serah (BGS) dan Banguns
Serah Guna (BSG)28
Tersedianya biaya
pemeliharaan/operasional BMN yang
tidak harus disediakan dari APBN
melalui Kerja Sama Pemanfaatan.
Pihak yang
Melakukan
Pemanfaatan
a. Pengelola Barang, untuk
tanah dan/atau bangunan
yang berada pada Pengelola
Barang;
b. Pengguna Barang dengan
persetujuan Pengelola
Barang, untuk:
1) sebagian tanah dan/atau
bangunan yang status
penggunaannya ada pada
Pengguna Barang;
2)BMN selain tanah
dan/atau bangunan.
a. Pengelola Barang, untuk tanah
dan/atau bangunan yang berada pada
Pengelola Barang;
b. Pengguna Barang dengan persetujuan
Pengelola Barang, untuk:
1) sebagian tanah dan/atau bangunan
berelbih dari yang status
penggunaannya ada pada
Pengguna Barang;
2) Barang Milik Negara selain tanah
dan/atau bangunan.
Pengelola Barang
Pihak yang meman-faatakan BMN a. Badan Usaha Milik Negara b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Badan Hukum lainnya; d. Perorangan
Item Sewa26 Kerja Sama Pemanfaatan (KSP)27 Bangun Guna Serah (BGS) dan Banguns
Serah Guna (BSG)28
Ketentuna
umum
Pemanfaatan
BMN
Sewa atas tanah dan/atau
bangunan yang status
penggunaannya pada Pengguna
Barang
BMN yang dapaat
disewakan adalah BMN
yang dalam kondisi belum
atau tidak digunakan oleh
Pengguna Barang ata
Pengelola Barang
Jangka waktu sewa BMN
paling lama 5 (lima) tahun
sejak ditandatangani sewa
dan dapat diperpanjang
Penghitungan besaran
sewa minimum didasarkan
pada formula tarif sewa
(Lampiran II.A. PMK
No.96/PMK.06/2007)
Penentuan nilai BMN
sebagai dasar dalam
rangka penentuan besaran
sewa dilakukan oleh Penilai
(BMN pada Pengelola
Barang), tim yang
ditetapkan oleh Pengguna
KSP tidak mengubah status BMN yang
menjadi objek KSP
Sarana dan prasarana yang menjadi
bagaian dari pelaksanaan KSP adalah
BMN sejak pengadaannya,
Jangka waktu KSP paling lama 30 (tiga
puluh) tahun sejak ditandatangani
perjanjian, dan dapat diperpanjang.
Penerimaan negara yang wajib disetor
mitra KSP selama jangka waktu KSP
meliputi kontribusi tetap dan
pembagian Keuntungan.
Perhitungan nilai BMN dalam rangka
perhitungan kontibusi tetap dilakukan
oleh Penilai yang ditugaskan pengelola
Barang.
Besaran kontribusi tetap atas BMN
berupa tanah dan/atau bangunan
ditetapkan oleh Pengelola Barang
berdasarkan hasil perhitungan penilai.
Pembayaran kontribusi tetap oleh mitra
Kerja Sama Pemanfaatan untuk
pembayaran pertama harus dilakukan
pada saat ditandatanganinya perjanjian
Kerja Sama Pemanfaatan, dan
bayaran kontribusi tahun berikutnya
Selama masa pengoperasian BGS/BSG,
Pengguna Barang harus dapat menggunakan
langsung objek BGS/BSG, beserta sarana dan
prasarana untuk menyelenggarakan tugas
pokok dan fungsinya berdasar penetapan dari
Pengelola /Barang, paling sedikir 10% dari
luas objek dan sarana prasarana BGS/BSG.
Jangka waktu pengoperasian BGS/BSG oleh
mitra BGS/BSG paling lama 30 (tiga puluh)
tahun terhitung sejak perjanjian
ditandatangani.
Kewajiban Mitra BGS/BSG selama jangka
waktu pengoperasian:
a. Membayara kontribusi ke rekening kas
umum negara
b. Tidak menjaminkan, menggadaikan
dan/atau memindahtangankan objek
BGS/BSG
c. Memelihara objek BGS/BSG agar tetap
dalam kondisi baik
Jangka waktu pengoperasian BGS/BSG oleh
mitra BGS
Pemilihan mitra BGS/BSG dilaksanakan
melalui tender dengan mengikutsertakan
sekurang-kurangnya. 5 peserta/peminat.
Penghitungan nilai tanah dalam rangka
Item Sewa26 Kerja Sama Pemanfaatan (KSP)27 Bangun Guna Serah (BGS) dan Banguns
Serah Guna (BSG)28
Barang dan dapat
melibatkan instansi teknis
(sebagigan tanah dan/atau
bangunan pada Pengguna
Barang)
Penetapan besaran sewa
ditetapkan oleh Pengguna
Barang setelah
mendapatkan persetujuan
dari Pengelola Barang
Pembayaran sewa secara
sekaligus paling lama pada
saat penandatanganan
kontrak
Selama masa sewa, pihak
penyewa atas persetujua
Pengelola Barang hanya
dapat mengubah bentuk
BMN tanpa mengubah
konstruksi dasar bangunan,
dengan ketentuan bagian
yang ditambahkan pada
bangunan tersebut menjadi
BMN.
Seluruh biaya yang timbul
dalam rangka penilaian,
harus dilakukan paling lambat tanggal
31 Maret setiap tahun sampai
berakhirnya perjanjian Kerja Sama
pemanfaatn, dengan penyetoran ke
rekening kas umum negara.
Pembagian keuntungan hasil
pendapatan harus disetor ke rekening
kas umum negara paling lambat
tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
Keterlambatan pembayaran kontribusi
tetap dan pembagian keuntungan dari
tanggal tersebut pada butir 12 dan butir
13 dikenakan denda paling sedikit
sebesar 1 ‰ (satu per seribu) per hari.
Mitra Kerja Sama Pemanfaatan
ditentukan melalui pemilihan calon
mitra Kerja Sama Pemanfaatan
(tender) yang dilakukan dengan
mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan pengadaan
barang/jasa, kecuali Barang Milik
Negara yang bersifat khusus dapat
dilakukan penunjukan langsung.
Seluruh biaya yang Timbul pada tahap
persiapan dan pelaksanaan Kerja
Sama Pemanfaatan, antara lain
penentuan nilai limit terendah besaran
kontribusi dilakukan oleh penilai yang
ditetapkan oleh Pengelola Barang.
Nilai limit terendah besaran kontribusi atas
pelaksanaan BGS/BSG Barang Milik Negara
ditetapkan oleh Pengelola Barang
berdasarkan hasil perhitungan penilai.
Pembayaran kontribusi dari mitra BSG/BGS,
kecuali untuk pembayaran pertama yang
harus dilakukan pada saat ditandatanganinya
perjanjian BSG/BGS, harus dilakukan paling
lambat tanggal 31 Januari setiap tahun
sampai dengan berakhirnya perjanjian
BSG/BGS dimaksud, dengan penyetoran ke
rekening kas umum negara.
Keterlambatan pembayaran kontribusi dari
tanggal tersebut pada butir 7 akan dikenakan
denda paling sedikit sebesar 1 ‰ (satu per
seribu) per hari.
Dalam hal mitra tidak melakukan pembayaran
kontribusi sebanyak tiga kali dalam jangka
waktu pengoperasian BGS/BSG, Pengelola
Barang dapat secara sepihak mengakhiri
perjanjian.
Seluruh biaya yang timbul pada tahap
persiapan dan pelaksanaan Kerja Sama
Item Sewa26 Kerja Sama Pemanfaatan (KSP)27 Bangun Guna Serah (BGS) dan Banguns
Serah Guna (BSG)28
dibebankan pada APBN
Rumah golongan I dan
golongan II yang disewakan
kapada pejabat
negara/pegawai negeri,
pelaksanaannya
berpedoman pada
ketentuan yang mengatur
tentang rumah negara.
meliputi biaya perizinan, konsultan
pengawas, biaya konsultan hukum,
dan biaya pemeliharaan objek Kerja
Sama Pemanfaatan, menjadi beban
mitra Kerja Sama Pemanfaatan;
Surat persetujuan Kerja Sama
Pemanfaatan dari Pengelola Barang
dinyatakan tidak berlaku apabila dalam
jangka waktu satu tahun sejak
ditetapkan tidak ditindaklanjuti dengan
penandatanganan surat perjanjian
Kerja Sama Pemanfaatan.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus
atas nama Pemerintah Republik
Indonesia.
Pemanfaatan, antara lain meliputi biaya
perizinan, konsultan pengawas, biaya
konsultan hukum, dan biaya pemeliharaan
objek BGS/BSG, dan biaya audit oleh aparat
pengawas fungsional menjadi beban mitra
Kerja Sama Pemanfaatan.
Setelah masa pengoperasian BGS/BSG
berakhir, objek pelaksanaan BGS/BSG harus
diaudit oleh aparat pengawas fungsional
sebelum diserahkan kepada Pengelola
Barang dan/atau Pengguna Barang.
Setelah masa pemanfaatan berakhir,
bangunan dan fasilitas hasil BGS/BSG
ditetapkan status penggunaannya oleh
Pengelola Barang.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam
rangka BGS/BSG harus atas nama
Pemerintah Republik Indonesia.
Jenis
Pemasukan
kepada
negara
Sewa Kontribusi tetap dan Pembagian
keuntungan
Kontribusi Tetap/Tahunan
10% dari luasan BGS/BSG untuk
pelaksanaan tugas
BAB II LANDASAN TEORI
51
Di samping mempunyai perbedaan kharateristik ketiga jenis
pemanfaatan BMN sebagaimana diperbandingkan pada tabel tersebut, ketiga
jenis pemanfaatan BMN tersebut juga mempuyai perbedaan lainnya, antara lain
tata cara pengajuan dan persetujuan.
Mekanisme pengajuan dan proses Kerja Sama Pemanfaatan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomot 6 Tahun 2007 dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2007, sebagaimana pada
gambar berikut.
Gambar.2.5 Mekanisme Kerja Sama Pemanfaatan atas Tanah dan Bangunan
yang Status Penggunaanya pada (a) Pengelola Barang dan
(b) Pengguna Barang
Sumber : Herry Waluyo, Modul Penggunaan dan Pemanfaatan BMN
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
52
Mekanisme secara lengkap pengajuan dan proses BGS/BSG dapat
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.6 Mekanisme Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Sumber : Herry Waluyo, Modul Penggunaan dan Pemanfaatan BMN
Dalam mekanisme pengajuan usulan Kerja Sama BGS dan BSG, BMN
terlebih dahulu diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola Barang.
Proses selanjutnya hingga diterbitkan persetujuan sampai dengan Perjanjian
dilakukan oleh Pengelola Barang.
BAB II LANDASAN TEORI
53
B.3.3. Pemanfaatan BMN berupa Tanah dan/ atau Bangunan Sebagaimana
Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
Peraturan Pemerintah Nomot 6 Tahun 2007 telah diganti dengan
Peraturan Pemerintah Nomot 27 Tahun 2014. Materi perubahan/penyesuaian
yang terkait dengan pemanfaatan BMN antara lain sebagai berikut.
B.3.3.1.Pertimbangan dan Ketentuan dilakukan Kerja Sama Pemanfaatan
Berdasarkan PP Nomor 27 Tahun 2014
Berdasarkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014,
Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah dengan Pihak Lain
dilaksanakan dalam rangka:
a. mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Barang Milik Negara/Daerah;
dan/atau
b. meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah
Ketentuan tentang Kerja Sama Pemanfaatan, sebagaiamana diatur
dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomot 27 Tahun 2014, antara lain
mengatur tentang:
a. Dilakukan ketika tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi
biaya operasional, pemeliharaan, dan/atau perbaikan yang diperlukan
terhadap Barang Milik Negara/Daerah tersebut;
b. Mitra Kerja Sama Pemanfaatan ditetapkan melalui tender, kecuali untuk
Barang Milik Negara/Daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan
penunjukan langsung;
c. Penunjukan langsung mitra Kerja Sama Pemanfaatan atas Barang Milik
Negara/Daerah yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada huruf
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
54
b dilakukan oleh Pengguna Barang terhadap Badan Usaha Milik
Negara/Daerah yang memiliki bidang dan/atau wilayah kerja tertentu
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
Berdasarkan aturan pada huruf c. tersebut, maka apabila berkaitan
dengan pemanfaatan BMN yang bersifat khusus, misalnya dalam hal
penyediaan infrastrukur, pengajuan usulan Kerja Sama Pemanfaatan
dapat dilakukan lebih mudah, karena tidak memerlukan penawar/peserta
lelang lainnya.
Disamping butir a sampai dengan butir c tersebut, hal lain yang diatur dalam
Kerja Sama Pemanfaatan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan
Pemerintah Nomot 27 Tahun 2014, sebagaimana berikut.
1. Kerja Sama Pemanfaatan BMN dilaksanakan terhadap:
a. BMN yang berada pada Pengelola Barang. Kerja Sama
Pemanfaatannya dilaksanakan oleh Pengelola Barang.
b. BMN yang berada pada Pengguna Barang. Kerja Sama
Pemanfaatannya dilaksanakan oleh Pengguna Barang dengan
persetujuan Pengelola Barang
2. Mitra Kerja Sama Pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap setiap
tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan
pembagian keuntungan hasil Kerja Sama Pemanfaatan ke rekening Kas
Negara.
3. Besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil
Kerja Sama Pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang
dibentuk oleh Pengelola Barang, untuk BMN pada Pengelola Barang berupa
Tanah dan Bangunan serta sebagian tanah dan/atau bangunan yang berada
pada Pengguna Barang.
4. Besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil
Kerja Sama Pemanfaatan harus mendapat persetujuan Pengelola Barang;
BAB II LANDASAN TEORI
55
5. Dalam Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah
dan/atau bangunan, sebagian kontribusi tetap dan pembagian
keuntungannya dapat berupa bangunan beserta fasilitasnya yang dibangun
dalam satu kesatuan perencanaan tetapi tidak termasuk sebagai objek Kerja
Sama Pemanfaatan;
6. Besaran nilai bangunan beserta fasilitasnya sebagai bagian dari kontribusi
tetap dan kontribusi pembagian keuntungan paling banyak 10% (sepuluh
persen) dari total penerimaan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan
selama masa Kerja Sama Pemanfaatan
7. Bangunan yang dibangun dengan biaya sebagian kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan dari awal pengadaannya merupakan Barang Milik
Negara/Daerah;
8. selama jangka waktu pengoperasian, mitra Kerja Sama Pemanfaatan
dilarang menjaminkan atau menggadaikan Barang Milik Negara/Daerah
yang menjadi objek Kerja Sama Pemanfaatan; selama jangka waktu
pengoperasian, mitra Kerja Sama Pemanfaatan dilarang menjaminkan atau
menggadaikan Barang Milik Negara/Daerah yang menjadi objek Kerja Sama
Pemanfaatan; dan
9. Jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan paling lama 30 (tiga puluh) tahun
sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.
10. Ketentuan mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 8
tidak berlaku dalam hal Kerja Sama Pemanfaatan atas Barang Milik Negara/
Daerah untuk penyediaan infrastruktur berupa :
a. infrastruktur transportasi meliputi pelabuhan laut, sungai dan/atau
danau, bandar udara, terminal, dan/atau jaringan rel dan/atau stasiun
kereta api;
b. infrastruktur jalan meliputi jalan jalur khusus, jalan tol, dan/atau
jembatan tol;
c. infrastruktur sumber daya air meliputi saluran pembawa air baku
dan/atau waduk/bendungan;
d. infrastruktur air minum meliputi bangunan pengambilan air baku,
jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan/atau instalasi pengolahan air
minum;
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
56
e. infrastruktur air limbah meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan
pengumpul dan/atau jaringan utama, dan/atau sarana persampahan
yang meliputi pengangkut dan/atau tempat pembuangan;
f. infrastruktur telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi;
g. infrastruktur ketenagalistrikan meliputi pembangkit, transmisi, distribusi
dan/atau instalasi tenaga listrik; dan/atau
h. infrastruktur minyak dan/atau gas bumi meliputi instalasi pengolahan,
penyimpanan, pengangkutan, transmisi, dan/atau distribusi minyak
dan/atau gas bumi.
11. Jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan atas Barang Milik Negara/Daerah
untuk penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada angka paling
lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat
diperpanjang
12. Dalam hal mitra Kerja Sama Pemanfaatan atas Barang Milik Negara/Daerah
untuk penyediaan infrastruktur berbentuk Badan Usaha Milik
Negara/Daerah, kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat
ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari hasil
perhitungan tim.
13. Besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan sebagaimana
dimaksud pada angka 11 ditetapkan oleh Menteri Keuangan atau pejabat
yang ditunjuk Menteri Keuangan.
B.3.3.2. Pertimbangan dan ketentuan dilakukan BGS/BSGBerdasarkan PP
Nomor 27 Tahun 2014
Ketentuan tentangBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna,
sebagaiamana diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomot 27 Tahun
2014, antara lain mengatur tentang:
a. Dilakukan ketika Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas
bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan
pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi;
BAB II LANDASAN TEORI
57
b. Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk penyediaan bangunan
dan fasilitas tersebut.
c. Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna Barang Milik Negara
dilaksanakan oleh Pengelola Barang.
d. Barang Milik Negara berupa tanah yang status penggunaannya ada pada
Pengguna Barang dan telah direncanakan untuk penyelenggaraan tugas
dan fungsi Pengguna Barang yang bersangkutan, dapat dilakukan
Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna setelah terlebih dahulu
diserahkan kepada Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara;
e. Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna dilaksanakan oleh
Pengelola Barang dengan mengikutsertakan Pengguna Barang sesuai
tugas dan fungsinya.
f. Penetapan status Penggunaan Barang Milik Negara/Daerah sebagai hasil
dari pelaksanaan Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
dilaksanakan oleh: Pengelola Barang untuk Barang Milik Negara, dalam
rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga terkait.
Disamping butir a sampai dengan butir f tersebut, hal lain yang diatur
dalam BGS dan BSG sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah
Nomot 27 Tahun 2014, sebagaimana berikut.
1. Jangka waktu BGS dan BSG paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak
perjanjian ditandatangani.
2. Penetapan mitra BGS dan BSG dilaksanakan melalui tender.
3. Mitra Bangun Guna Serah atau mitra Bangun Serah Guna yang telah
ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian:
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
58
a. Wajib membayar kontribusi ke rekening Kas Umum Negara/Daerah
setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil
perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;
b. Wajib memelihara objek Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna;
dan
c. dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau memindahtangankan: (1)
tanah yang menjadi objek Bangun Guna Serah atau Bangun Serah
Guna; (2). hasil Bangun Guna Serah yang digunakan langsung untuk
penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau
(3) hasil Bangun Serah Guna.
4. Dalam jangka waktu pengoperasian, hasil Bangun Guna Serah atau Bangun
Serah Guna harus digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas dan
fungsi Pemerintah Pusat/Daerah paling sedikit 10% (sepuluh persen).
5. Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna dilaksanakan berdasarkan
perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:
a. para pihak yang terikat dalam perjanjian;
b. objek Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna;
c. jangka waktu Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna; dan
d. hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian.
6. Besaran nilai bangunan beserta fasilitasnya sebagai bagian dari kontribusi
tetap dan kontribusi pembagian keuntungan paling banyak 10% (sepuluh
persen) dari total penerimaan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan
selama masa Kerja Sama Pemanfaatan
7. Izin mendirikan bangunan dalam rangka Bangun Guna Serah atau Bangun
Serah Guna harus diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia, untuk
Barang Milik Negara
8. Semua biaya persiapan Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna yang
terjadi setelah ditetapkannya mitra Bangun Guna Serah atau Bangun Serah
Guna dan biaya pelaksanaan Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
menjadi beban mitra yang bersangkutan.
9. Mitra Bangun Guna Serah Barang Milik Negara harus menyerahkan objek
Bangun Guna Serah kepada Pengelola Barang pada akhir jangka waktu
pengoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pengawasan intern
Pemerintah.
BAB II LANDASAN TEORI
59
10. Bangun Serah Guna Barang Milik Negara dilaksanakan dengan tata cara:
a. mitra Bangun Serah Guna harus menyerahkan objek Bangun Serah
Guna kepada Pengelola Barang setelah selesainya pembangunan;
b. hasil Bangun Serah Guna yang diserahkan kepada Pengelola Barang
ditetapkan sebagai Barang Milik Negara;
c. mitra Bangun Serah Guna dapat mendayagunakan Barang Milik Negara
sebagaimana dimaksud pada huruf b sesuai jangka waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian; dan
d. setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek Bangun Serah
Guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan intern Pemerintah
sebelum penggunaannya ditetapkan oleh Pengelola Barang.
11. Bangun Serah Guna Barang Milik Daerah dilaksanakan dengan tata cara:
a. mitra Bangun Serah Guna harus menyerahkan objek Bangun Serah
Guna kepada Gubernur/Bupati/ Walikota setelah selesainya
pembangunan;
b. hasil Bangun Serah Guna yang diserahkan kepada
Gubernur/Bupati/Walikota ditetapkan sebagai Barang Milik Daerah;
c. mitra Bangun Serah Guna dapat mendayagunakan Barang Milik Daerah
sebagaimana dimaksud pada huruf b sesuai jangka waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian; dan
d. setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek Bangun Serah
Guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan intern Pemerintah
sebelum penggunaannya ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/ Walikota.
Ketentuan bahwa Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna Barang
Milik Negara hanya dapat dilaksanakan oleh Pengelola Barang, seta Bangun
Guna Serah atau Bangun Serah Guna dapat dilaksanakna setelah terlebih
dahulu diserahkan kepada Pengelola Barang, menjadikan Pengguna
Barang/Kuasa Penggunan Barang enggan mggunakan mekanisme tersebut.
B.3.3.3. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur Sebagaimana Diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
60
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 terdapat ketentuan
baru dalam pemanfaatan BMN, yaitu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur adalah kerja sama antara Pemerintah dan
Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas
Barang Milik Negara/Daerah dilakukan antara Pemerintah dan Badan Usaha.
Badan Usaha adalah badan usaha yang berbentuk: perseroan terbatas, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau koperasi. Kharateristik
Kerja Sama Penyediaan Infrastuktur antara lain:
a. Jangka waktu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur paling lama 50 (lima
puluh) tahun dan dapat diperpanjang.
b. Penetapan mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Formula dan/atau besaran pembagian kelebihan keuntungan ditetapkan
oleh Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara
d. Mitra Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur harus menyerahkan objek
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur dan barang hasil Kerja Sama
Penyediaan Infrastruktur kepada Pemerintah pada saat berakhirnya
jangka waktu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur sesuai perjanjian.
e. Barang hasil Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur menjadi Barang Milik
Negara/Daerah sejak diserahkan kepada Pemerintah sesuai perjanjian.
f. Dalam hal mitra Kerja Sama Pemanfaatan atas Barang Milik
Negara/Daerah untuk penyediaan infrastruktur berbentuk Badan Usaha
Milik Negara/Daerah, kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat
BAB II LANDASAN TEORI
61
ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari hasil
perhitungan tim.
C. Penelitian Evaluasi dalam Kerangka Penelitian Kebijakan
Siklus pengembangan kebijakan minimal terdiri dari tiga langkah utama
yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Namun demikian, supaya
kebijakan tidak memiliki banyak risiko, sebelum kebijakan dilaksanakan sering
dilakukan studi untuk menilai kelayakan kebijakan atau menetapkan kebijakan
yang tepat untuk dipilih. Setelah kebijakan dilaksanakan dilakukan evaluasi dan
revisi sesuai dengan temuan hasil evaluasi. Dengan demikian, siklus
pengembangan kebijakan yang lebih lengkap dapat memiliki lebih dari tiga tahap
pengembangan29, sebagaimana pada gambar berikut.
Gambar 2.7. Proses Pengambilan Kebijakan Model BMVIT
Sumber : Mulyatiningsih (2006)
Penelitian kebijakan bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi yang
menjadi dasar bagi perumusan kebijakan, menunjang implementasi kebijakan,
29
Mulyatinigsih, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dra-endang-mulyatiningsih-mpd
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
62
atau untuk mengetahui kinerja dan dampak dari kebijakan. Kebijakan yang ideal
ditetapkan berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan (research and
development). Metode R & D memerlukan pengujian dan evaluasi pada semua
tahap pengembangan. Metode penelitian yang digunakan dalam proses
pengembangan kebijakan cukup bervariasi. Sebagai contoh: pada saat
formulasi kebijakan diperlukan focus group discussion (FGD). Hasil FGD
dilaporkan dengan cara deskriptif kualitatif. Setelah kebijakan diformulasi perlu
dilakukan sosialisasi dan uji publik untuk mengetahui kebijakan tersebut layak
atau tidak layak bila diimplementasikan. Pada tahap ini diperlukan metode
penelitian survey. Setelah kebijakan diimplementasikan, hasil dan dampak
kebijakan perlu dievaluasi untuk melihat dampak positif dan negatif yang
diakibatkan dari kebijakan tersebut. Pada tahap ini diperlukan metode penelitian
evaluasi program30.
Arikunto (2007) menyebutkan bahwa penelitian evaluasi dapat diartikan
suatu proses yang dilakukan dalam rangka menentukan kebijakan dengan
terlebih dahulu mempertimbangkan nilai-nilai positif dan keuntungan suatu
program, serta mempertimbangkan proses serta teknik yang telah digunakan
untuk melakukan suatu penelitian. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
penelitian evaluasi merupakan suatu prosedur ilmiah yang sistematis yang
dilakukan untuk mengukur hasil program atau proyek (efektifitas suatu program)
sesuai dengan tujuan yang direncanakan atau tidak, dengan cara
mengumpulkan, menganalisis dan mengkaji pelaksaaan program yang dilakukan
secara objektif. Kemudian merumuskan dan menentukan kebijakan dengan
30
Ibid , hal .8
BAB II LANDASAN TEORI
63
terlebih dahulu mempertimbangkan nilai-nilai positif dan keuntungan suatu
program.
Penelitian evaluasi merupakan bagian dari evaluasi dan juga merupakan
bagian dari penelitian. Sebagai bagian dari evaluasi, penelitian evaluasi juga
berfungsi sebagai evaluasi, yaitu proses untuk mengetahui seberapa jauh
perencanaan dapat dilaksanakan, dan seberapa jauh tujuan porgram tercapai
(Weiss, 1973). Namun demikian, terdapat perbedaan antara penelitian dan
evaluasi, sebagaimana pada tabel Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Perbedaan antara Penelitian dan Evaluasi
No Karateristik Peneltian Evaluasi
1 Tujuan Mengembangkan ilmu dan mengetahui kebenaran
Mengetahui ketercapaian visi
2 Yang menetapkan fokus
Peneliti Evaluator dan stakeholder
3 Outcome Generalisasi Transferability
Pengambilan keputusan
4 Proses Menguji hipotesis/ memahami fenomena
Menguji efektifitas program
5 Kriteria Validitas internal dan eksternal
Kesesuaian antara standar dengan apa yang terjadi
6 Metode Kuantitatif, kualitatif dan kombinasi
Kuantitatif, kualitatif dan kombinasi
7 Instrumen Disusun berdasarkan teori Disusun berdasarkan tujuan program
8 Publikasi Publikasi luas Publikasi terbatas
Sumber : Sugiyono, 2007
Terdapat beberapa jenis penelitian evaluasi, tergantung pada objek yang
dievaluasi dan tujuan evaluasi (Kidder dalam Sugiyono (2007)). Berdasarkan
fungsinya, penelitian evaluasi diklasifikasikan menjadi :
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
64
1) Fungsi formatif, untuk pengumpulan data pada kegiatan yang sedang
berjalan dan digunakan untuk perbaikan, pengembangan, dan modifikasi
program.
2) Fungsi sumatif yang dilaksanakan setelah program selesasi dilaksanakan.
Digunakan untuk pertanggungjawaban program dan penentuan sejauh mana
kemanfaatan program. Penelitian evaluasi bertujuan untuk mengevaluasi
komponen-komponen program dan program secara menyeluruh.
Perbedaan antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif dikemukakan oleh
Fitzpatrick (2006) dalam Sugiyono (2007), sebagaimana pada tablel 2.4. berikut.
Tabel 2.4. Perbedaan Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif
No Aspek Evaluasi formatif Evaluasi sumatif
1 Kegunaaan Untuk memperbaiki program
Untuk membuat keputusan program di masa yang akan datang
2 Audience Manager profram dan staf Pembuat kebijakan dan konsumen potensial
3 Pendukung Eksternal evaluator mendukung internal evaluator
Internal evaluator mendukung eksternal evaluator
4 Karateristik utama Memperoleh umpan balik untuk pelaksanaan program
Informasi digunakan untuk membuat keputusan apakah program dilanjutkan atau tidak
5 Desain Informasi apakah yang diperlukan? Kapan?
Stndar apa yang digunakan untuk membuat keputusan?
6 Tujuan pengumpulan data
Diagnostik (mencari kelemahan)
Judgemental
7 Frekwensi pengumpulan data
Sering Jarang
8 Ukuran sampel Kecil Besar
9 Pertanyaaan utama
Apakah yang dikerjakan? Apa yang perlu diperbaiki? Bagaimana cara memperbaiki?
Apakah akibat yang terjadi? Dengan siapa? Dalam kondisi apa? Perlu training apa?berapa biaya?
Sumber : Sugiyono, 2007
BAB II LANDASAN TEORI
65
Terdapat beberapa beberapa model evaluasi sebagai strategi atau
pedoman kerja pelaksanaan evaluasi program, antara lain model CIPP (Contex,
Input, Proses, Product) yang dikemukakan oleh Stufflebeam (1985) dalam
Sugiyono (2007). Lingkup evaluasi program digambarkan sebagaimana pada
gambar 2.8. berikut.
Gambar 2.8. Lingkup Evaluasi Program Model CIPP
C.1. Evaluasi Konteks
Evaluasi konteks, terkait dengan evaluasi atas tujuan dari suatu program.
Evaluasi ini untuk mengukur apakah tujuan Kerja Sama Pemanfaatan
danBGS/BSG telah dirumuskan secara jelas, sehingga dimengerti dan difahami
oleh Penggelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang atau
tidak? Berdasarkan uraian sebelumnya, konteks yang dievaluasi dalam
penelitian adalah “ Optimalisasi pemanfaatan BMN Idle, BMN yang tidak
digunakan secara maksimal (underutilize) atau BMN yang tidak cukup tersedia
dana operasioanalnya melalui kerjsaama pemanfaatan dan BGS/BSGakan dapat
memperkuat APBN, mendukung Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005
guna mendukung penyediaan infrastruktur publik (seperti jalan, water supply,
publik transportation, pendidikan, rumah susun), serta dapat mendorong aktivitas
ekonomi di wilayah BMN tersebut terletak “. Berdasarkan konteks tersebut,
indikator variabel evaluasi konteks dalam penelitian dapat diukur melalui :
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
66
a. Pemahaman Pengelola Barang/ Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
mengenai BMN Idle,
b. Pemahaman Pengelola Barang/ Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
apabila BMN idle diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola
Barang
c. Pemahaman Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
mengenai konsep perbedaan antara sewa, Kerja Sama Pemanfaatan dan
Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
d. Pemahaman Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
bahwa Kerja Sama Pemanfaatan danBGS/BSGakan dapat memperkuat
APBN.
e. Pemahaman Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
mengenai optimalisasi pendayagunaan aset idle/unused, underutilize,
serta underused .
f. Pemahaman Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
mengenai penafsiran apakan HPL yang dimiliki oleh suatu
Kementerian/Lembaga, atau HPL yang diberikan kepada BMN atau Badan
Pengelola yang ditunjuk oleh Kementerian/ lembaga merupakan BMN atau
tidak.
g. Pemahaman Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
mengenai BMN yang dilakukan Pemanfaatan dengan Pihak Lain oleh Badan
Layanan Umum (BLU).
h. Pemahaman Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
mengena apakah Kerja Sama Pemanfaatan akan dapat mendukung
penyediaan infrastruktur publik.
BAB II LANDASAN TEORI
67
i. Pemahaman Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
mengena apakah Kerja Sama Pemanfaatan akan dapat mendorong aktivitas
ekonomi di wilayah BMN tersebut terletak.
C.2. Evaluasi Input
Evaluasi input, terkait dengan berbagai input yang akan digunakan untuk
terpenuhinya proses, yang selanjutnya dapat digunakan untuk mencapai tujuan.
Dalam penelitian ini, evaluasi input dilakukan terhadap (a) bagaimana kesiapan
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untuk mengajukan usulan Kerja
Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG (b) Bagaimana kesiapan Pengelola Barang
dalam meningkatkan input BMN yang akan dilakukan Kerja Sama Pemanfaatan
atauBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan diatas, variabel input
dalam penelitian ini adalah apakah laporan rutin, sarana dan prasarana, Standar
Operating and Procedure (SOP, serta Sumber Daya yang ada mampu
melakukan (a) pemantauan atas BMN idle dan/atau BMN underutilize serta BMN
yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak
sesuai dengan ketentuan (b) optimalisasi pemanfaatan BMN (c) penertiban BMN
(bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang) (d) investigasi (bagi Pengelola
Barang). Indikator pengukuran variabel tersebut adalah sebagaimana pada tabel
berikut.
Tabel 2.5 Variabel dan Indikator Evaluasi Input
No Variabel Indikator
1 Laporan Rutin. Peran laporan rutin dalam melakukan pemantauan
BMN idle dan/atau BMN underutilize (baik pada
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun
pada Pengelola Barang)
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
68
No Variabel Indikator
Peran laporan rutin dalam melakukan pemantauan
BMN tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan
Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak
sesuai dengan ketentuan (baik pada Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada
Pengelola Barang).
2 Sarana dan
Prasarana
Dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan
pemantauan BMN idle dan BMN underutilize (baik
pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
maupun pada Pengelola Barang).
Dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan
pemantauan BMN tanah dan bangunan yang telah
dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan
(baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang maupun pada Pengelola Barang).
3 Standar Operating
and Procedure
(SOP)
Ketersediaan SOP dalam melakukan pemantauan
BMN idle dan BMN underutilize (baik pada Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada
Pengelola Barang).
Ketersediaan SOP dalam melakukan pemantauan
dan penertiban BMN tanah dan bangunan yang telah
dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (baik
pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
maupun pada Pengelola Barang).
4 Sumber Daya
Manusia
Ketersediaan serta Kualitas SDM dalam melakukan
pemantauan BMN idle dan BMN underutilize (baik
pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
maupun pada Pengelola Barang).
Ketersediaan serta Kualitas SDM dalam melakukan
pemantauan BMN tanah dan bangunan yang telah
dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (baik
pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
maupun pada Pengelola Barang).
5. Insentif bagi
Pengelola
Barang/Pengguna
Barang/Kuasa
Pengguna Barang
Insentif secara ekonomis bagi Pengelola
Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
BAB II LANDASAN TEORI
69
C.3. Evaluasi Proses
Evaluasi proses, terkait dengan kegiatan melaksanakan rencana program
dengan input yang telah disediakan. Variabel Evaluasi proses dalam penelitian
ini dibagi menjadi ada tidaknya insentif bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang untuk mengajukan usulan Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna, proses Kerja Sama Pemanfaatan
danBGS/BSGpada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang serta, serta
proses Kerja Sama Pemanfaatan danBGS/BSGpada Pengelola Barang.
C.3.1. Proses Pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atauBGS/BSGyang
dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang.
Indikator pengukuran variabel tersebut dapat dilihat dari :
a. Adanya kemudahan/hambatan dalam pengajuan usulan Kerja Sama
Pemanfaatan atauBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
b. Adanya kemudahan/hambatan dalam melaksanakan proses tender dan
penentuan mitra Kerja Sama.
c. Adanya kemudahan/hambatan dalam melakukan perjanjian Kerja Sama.
d. Adanya kemudahan/hambatan dalam melakukan monitoring pelaksanaan
perjanjian Kerja Sama.
C.3.2. Penguasaan oleh Pengelola Barang dalam proses pelaksanaan Kerja
Sama Pemanfaatan danBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Indikator pengukuran variabel tersebut dapat dilihat dari :
a. Metode Kajian kelayakan Kerja Sama Pemanfaatan atauBangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna
b. Metode perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dalam
rangka Kerja Sama Pemanfaatan atau kerjsama BGS/BSG
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
70
c. Proses penerbitan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan (d) Proses
tender dan penentuan mitraBGS/BSG
C.4. Evaluasi Produk
Evaluasi produk, terkait dengan evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari
suatu program. Indikator pengukuran variabel tersebut dapat dilihat dari
penguatan APBN melalui :
a. Meningkatkan penerimaan negara melalui Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) dari Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna
b. Tersedianya bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana
pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) melaluiBGS/BSG
c. Tersedianya biaya pemeliharaan BMN yang tidak harus disediakan dari
APBN melalui Kerja Sama Pemanfaatan.
D. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan penelitian mengenai
optimalisasi/pemanfaatan BMN pada beberapa satker, dengan hasil sebagimana
pada Tabel 2.6. berikut ini.
Tabel 2.6. Penelitian Optimalisasi Aset BMN
Peneliti
Terdahulu
Metode/alat
analisis Hasil Penelitian
Adriati (2009) Deskriptif
kualitatip
Telah melakukan manajemen aset tetap
kecuali optimalisasi aset
Syahputra Regersi logistik
biner
Variabel independen berupa perencanaan
kebutuhan,inventarisasi, legal audit,
BAB II LANDASAN TEORI
71
Peneliti
Terdahulu
Metode/alat
analisis Hasil Penelitian
penilaian, optimalisasi, serta pengawasan
dan pengendaliansignifikan berpengaruh
terhadap pelaksanaan pengelolaan
aset tetap (tanah dan bangunan)
Antoh (2012) Regresi Linier
Berganda
Secara individual inventarisasi tidak
berpengaruh terhadap optimalisasi, legal
audit berpengaruh terhadap optimalisasi,
penilaian tidak berpengaruh terhadap
optimalisasi, pengawasan dan pengendalian
berpengaruh terhadap optimalisasi. Secara
bersama-sama, hal tersebut berpengaruh
terhadap optimalisasi aset.
Ngwira, Parsa,
Manase (2012)
Deskriptif
kualitatif
Pemanfaatan aset properti belum efektif
dan efisien dalam rangka mengurangi biaya
operasional
Berdasar beberapa penelitian di atas, optimalisasi/pemanfaatan aset untuk
mewujudkan efisiensi/efektifitas dalam pengelolaan BMN merupakan hal yang
paling sulit diimplemetasikan oleh satker. Kegiatan yang paling mempengaruhi
optimalisasi/pemanfaatan aset untuk mewujudkan efisiensi/efektifitas
pengelolaan BMN adalah legal audit serta pengawasan dan pengendalian BMN.
Instrumen yang dapat dilakukan dalam rangka optimalisasi/pemanfaatan aset
untuk mewujudkan efisiensi/efektifitas pengelolaan BMN adalah Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.06/2012 tentang Pengawasan dan
Pengendalian BMN, dimana dalam ketentuan tesebut antara lain diatur
mengenai pengawasan dan pengendendalian atas pelaksanaan penggunaan
BMN dan pemanfaatan BMN.
E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka
hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati melalui penelitian yang
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
72
akan dilakukan. Kerangka konsep dalam penelitian adalah sebagaimana
gambar 2.9. di bawah ini.
Gambar 2.9. Kerangka Konsep Penelitian
Evaluasi Contex
Optimalisasi pemanfaatan BMN Idle, BMN yang tidak digunakan secara maksimal (underutilize) atau BMN yang tidak cukup tersedia dana operasioanalnya melalui Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna akan dapat memperkuat APBN, mendukung Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 guna mendukung penyediaan infrastruktur publik (seperti jalan, water supply, publik transportation, pendidikan, rumah susun,dll), serta dapat mendorong aktivitas ekonomi di wilayah BMN tersebut terletak “.
Evaluasi Input
PENGGUNA BARANG/KUASA PENGGUNA BARANG dan PENGELOLA BARANG
a. Laporan rutin b. Sarana dan Prasarana c. Standar & Operating Procedure d. Sumber Daya Manusia Efektifitas kegiatan pemantauan dan penertiban (oleh Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang), investigasi (oleh Pengelola Barang) atas (a) BMN idle serta BMN underutilize (b) BMN yang digunakan/dimanfaatkan pihak ketiga tidak sesuai ketentuan
Evaluasi Proses
Proses pada PENGGUNA BARANG
a. pengajuan usulan Kerja Sama Pemanfaatan atauBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
b. proses tender dan penentuan mitra Kerja Sama.
c. perjanjian Kerja Sama. d. monitoring pelaksanaan
perjanjian Kerja Sama.
Proses pada PENGELOLA BARANG
a. Metode Kajian kelayakan Kerja Sama Pemanfaatan atauBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
b. Metode perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dalam rangka Kerja Sama Pemanfaatan atau kerjsama BGS/BSG
c. Penerbitan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan Guna Serah/Bangun Serah Guna
d. PenetapanBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
Evaluasi Produk
Penguatan APBN
a. Meningkatkan penerimaan negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
b. Tersedianya bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melaluiBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
c. Tersedianya biaya pemeliharaan BMN yang tidak harus disediakan dari APBN melalui Kerja Sama Pemanfaatan.
Insentif secara finansial dan non finansial bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untu mengajukan usulan Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
BAB III
METODE DAN KAJIAN AKADEMIS
A. Jenis Penelitian
Untuk mendapatkan hasil kajian sesuai dengan tujuan penelitian maka
jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
evaluasi dengan desain kualitatip-verivikatip. Penelitian ini dapat disebut dengan
penelitian kualititatip-evaluatip yang merupakan varian penelitian kualitatip-
verivikatip.
Penelitian evaluasi merupakan bagian dari evaluasi dan juga bagian dari
penelitian. Sebagai bagian dari evaluasi, peneltian evaluasi juga berfungsi
sebagai evaluasi, yaitu proses untuk mengetahui seberapa jauh tujuan program
tercapai31. Kegiatan antara penelitian dan evaluasi adalah serupa , yaitu
mengumpulkan data, melakukan analisis dan membuat laporan. Perbedaan
antara penelitian dan evaluasi adalah bahwa penelitian bertujuan untuk
mengembangkan ilmu dan mengetahui kebenaran, sedangkan tujuan evaluasi
adalah utuk mengetahui ketercapaian visi, misi dan tujuan dari suatu proyek,
kebijakan dan program. Perbedaan tersebut secara rinci dapat dilihat pada tabel
3.1.32 Berdasarkan tabel tersebut, bahwa penelitian diarahkan untuk menguji
hipotesis (pada penelitian kuantitatip), memahami dan mengkonstruksi fenomena
(pada penelian kualitatip) suatu program, serta apakah program efektif atau tidak.
31
Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen, hal 740. 32
Ibid, hal. 744
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
74
Tabel 3.1. Perbedaan Penelitian dan Evaluasi
No Karateristik Penelitan Evaluasi
1 Tujuan Megembangkan Ilmu dan mengetahui kebenaran
Mengetahui ketercapaian visi, misi dan tujuan
2 Yang menetapkan fokus
Peneliti Evaluator dan stakeholder
3 Outcome Generalisasi, transferability Pengambilan Keputusan
4 Proses Menguji hipotesis/ memahami fenomena
Menguji efektivitas program
5 Kriteria Validitas internal dan eksternal
Kesesuaian antara standar dengan apa yang terjadi
6 Metode Kuantititatip, kualitatip, dan kombinasi
Kuantititatip, kualitatip, dan kombinasi
7 Instrumen Disusun berdasarkan teori Disusun berdasarkan tujuan program
8 Publikasi Pubilkasi luas Publikasi terbatas
Penelitian evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah evaluasi
Formatip, sebagaimana yang disebutkan oleh Kidder (1981, yaitu dengan cara
menilai kualitas pelaksanaan program dan konteks organisasi (seperti personal,
prosedur kerja, input dan sebagainya). Hasil yang didapatkan dari penelitian
adalah untuk mendapatkan feedback dari suatu aktivitas dalam bentuk proses,
sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas program atau produk.
Aspek dalam penelitian evaluasi formatip berbeda dengan aspek
penelitian evaluasi sumatip. Apabila kegunaan penelitian evaluasi formatip
adalah untuk memperbaiki program, dengan karateristik utama adalah untuk
memperoleh umpan balik untuk pelaksanaan program, keputusan dalam
penelitian evaluasi sumatip adalah untuk membuat keputusan program di masa
yang akan datang, dengan karateristik utama adalah mendapatkan informasi
yang digunakan untuk membuat keputusan apakah program dilanjutkan atau
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
75
tidak. Tujuan pengumpulan data dalam peneltian evalausi formatip adalah untuk
melakukan diagnostik (mencari kelemahan) dengan desain untuk mendapatkan
informasi apakah yang diperlukan, sedangkan tujuan pengumpulan data dalam
penelitian sumatip adalah untuk pengambilan keputusan (judgemental) dengan
desain berupa standar apa yang digunakan untuk membuat keputusan.
Pertanyaan utama dalam peneltian sumatip adalah33 :
- Apakah yang dikerjakan ?
- Apa yang perlu diperbaiki ?
- Bagaimana cara memperbaiki ?
Pada berbagai varian penelitian kualitatip, pada prinsipnya terdapat tiga
model desain yang digunakan yaitu, format desain penelitian deskriptif-kualitatip,
format desai kualitatip-verivikatip serta format desai grounded theory. Format
desain penelitian deskriptip-kualitatip, disebut juga dengan kuasi kualitatip,
karena sifatnya yang tidak terlalu mengutamakan makna, sebaliknya,
penenkanannya pada deskriptip menyebabkan format deskriptip kualitatip lebih
banyak menganalisis permukaan data, hanya memperhatikan proses-proses
kejadian fenomena, bukan kedalaman data ataupun makna data .34 Dalam
Analisis deskriptif-kualitatif hanya mendeskripsikan hubungan-hubungan antara
variabel satu dengan lainnya berdasarkan hubungan model, tabel, matriks. Situs,
dan sebagaimanya tanpa harus menjelaskan makna yang terjadi pada
hubungan-hubungan itu atau makna di balik fenomena data tersebut.
Format penelitian diskriptif-kualitatip sering disalahtafirkan oleh peneliti,
sebagai penelitian kuantitatip minus statistik. Apabila format deskriptip ini
dilakukan secara sungguh-sungguh, dengan varian-varian deskriptif yang akurat,
33
Ibid, hal 747. 34
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatip, hal 150.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
76
pengamatan terhadap fenomena yang tajam, dan dengan melakukan triangulasi,
maka keandalan penelitian deskriptip-kualitatip terletak pada peneliti itu sendiri.
Penggunaan software untuk membantu menemukan kategorisasi, jaringan dan
coding-coding juga dapat membatu adalam penelitian deskriptip-kualitatip.
Pendekatan deskriptif-kualtitip tidak mampu menjelaskan makna
sebagaimana yang dimaksud pada penelitian kualitatip-verivikatif. Format
desain kualitatip verivikatif merupakan upaya pendekatan induktif terhadap
seluruh proses penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, format penelitian
kualatip-verivikatip lebih banyak mengkonstruksikan format peneltian dan strategi
memperoleh data dari lapangan secara induktip. Varian dari desain penelitian ini
adalah : penelitian kualitatp-evaluatip, audit komunikasi dan semacamnya.
Format penelitian kualitatip-verivikatip mengkonstruksi untuk lebih awal
memperoleh data sebanyak-banyaknya di lapangan, dengan mengesampingkan
peran teori. Namun demikian, teori bukan sessuatu yang tidak penting dalam
format ini. Peneliti bukan seseorang yang buta, ataupura-pura buta terhadap
teori, namun peran data lebih penting dari teori itu sendiri.35 Format penelitian
dengan desain kualitiatip-verivikatip antara dapat ditemukan pada penelitian
evaluatip, Focus Group Discussion, dan Studi Kasus.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
B.1. Lokasi Penelitian
Oleh karena keterbatasan dana dan waktu, maka penelitian dilakukan di
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), serta Kanwil DJKN yang meliputi
wilayah Jakarta dan Jawa Barat.
35
Ibid, hal. 151
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
77
B.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitain dilakukan dari bulan Juni s/d September 2014.
C. Populasi dan Sampel
C.1. Populasi
Dalam penelitain kualitatip tidak menggunakan istilah populasi, tetapi
berupa social situation36 atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu
tempat (place), pelaku (actor) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara
sinergis. Pada situasi sosial, atau objek penelitian ini akan dilakukan
pengamatan secara mendalam aktivitas (activity) dari orang-orang (actor) yang
ada pada suatu tempat (place) tertentu. Penelitian kualitatip berangkat pada
kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu, dan hasil kajiannya tidak
diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial
yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari.
C.2. Sampel
Sampel dalam penelitian kualitatip bukan dinamakan responden,
tetapi sebagai narasumber, informan, atau partisipan. Pada penilitian yang
akan dilakukan, peneliti akan melakukan observasi dan wawancara kepada
orang-orang yang dianggap tahu mengenai permasalahan Kerja Sama
Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna. Penentuan
sumber data pada dilakukan secara purposive, yang dipilih degan tujuan
tertentu (informan kunci), selanjutnya dalam pengambilan sampel
digunakan teknik snowball. Beberapa instansi yang pegawainya akan
dijadikan sample (wawancara adalah):
36
Sugiyono, op.cit., 363
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
78
- Pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pada Direktorat BMN,
Direktorat PKNSI serta Direktorat Penilaian yang menangani
permohonan usulan Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna
- Pegawai pada Kanwil DJKN Jawa Barat dan Kanwil DJKN di Jakarta
pada Direktorat BMN dan Direktorat Penilaian yang menangani
permohonan usulan Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna
- Beberapa kementerian lembaga yang mempunyai aset berupa tanah
dan/atau bangunan selaku Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang
- Pegawai pada Bappenas
D. Variabel Penelitian
Desain penelitian kualitatip-verivikatip masih menggunakan/
menempatkan teori pada data yang diperolehnya. Oleh karena itu, dalam desain
kualitatip-verivikatip tetap menggunakan hipotesa atau pemahaman tentang
variabel. Namun demikian dalam penelitian kualitatip-verivikatip, peran data
lebih penting dari teori itu sendiri.
Melalui desain penelitian kualitatip-verivikatip tersebut, disamping
dilakukan pembuktian hipotesis yang dibangun berdasarkan teori, dalam
penelitian ini juga diharpkan mampu menjelaskan makna yang ada di balik suatu
fenomena sosial. Variable dalam penelitian serta indikator dalam penelitian
sebagaimana didukung pada pembahasan uraian sebelumnya adalah
sebagaimana pada tabel 3.2. berikut ini.
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
79
Tabel 3.2. Variabel dan Indikator Penelitian
No Jenis
Evaluasi Perumusan Variabel Indikator
1 Konteks Kejelasan rumusan Tujuan Kerja Sama Pemanfaatan danBGS/BSGoleh Penggelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang
Pemahaman mengenai BMN Idle.
Pemahaman apabila BMN idle diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola Barang
Pemahaman mengenai konsep perbedaan antara sewa, Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
Pemahaman bahwa Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSGakan dapat memperkuat APBN
Pemahaman mengenai optimalisasi pendayagunaan aset idle/unused, underutilize, serta underused
Pemahaman mengenai penafsiran apakan HPL yang dimiliki oleh suatu Kementerian/Lembaga, atau HPL yang diberikan kepada BMN atau Badan Pengelola yang ditunjuk oleh Kementerian/ lembaga merupakan BMN atau tidak.
Pemahaman mengenai BMN yang dilakukan Pemanfaatan dengan Pihak Lain oleh BLU
Pemahaman mengena apakah Kerja Sama Pemanfaatan akan dapat mendukung penyediaan infrastruktur publik
Pemahaman mengena apakah Kerja Sama Pemanfaatan akan dapat mendorong aktivitas ekonomi di wilayah BMN tersebut terletak.
2 Input Laporan Rutin. Peran laporan rutin dalam melakukan pemantauan BMN idle dan/atau BMN underutilize (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang)
Peran laporan rutin dalam melakukan pemantauan BMN tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (baik pada
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
80
No Jenis
Evaluasi Perumusan Variabel Indikator
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
2 Input Sarana dan Prasarana Dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan pemantauan BMN idle dan BMN underutilize (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
Dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan pemantauan BMN tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
3 Input Standar Operating and Procedure (SOP)
Ketersediaan SOP dalam melakukan pemantauan BMN idle dan BMN underutilize (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
Ketersediaan SOP dalam melakukan pemantauan dan penertiban BMN tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
4 Input Sumber Daya Manusia Ketersediaan serta Kualitas SDM dalam melakukan pemantauan BMN idle dan BMN underutilize (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
Ketersediaan serta Kualitas SDM dalam melakukan pemantauan BMN tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
5 Input Ada tidaknya insentif bagi Pengguna Barang untuk mengajukan Kerja Sama Pemanfaatan, atau usulanBangun
Insentif secara ekonomi
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
81
No Jenis
Evaluasi Perumusan Variabel Indikator
Guna Serah/Bangun Serah Guna
6 Proses Proses pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atauBGS/BSGyang dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
Adanya kemudahan/hambatan dalam pengajuan usulan Kerja Sama Pemanfaatan atauBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
Adanya kemudahan/hambatan dalam melaksanakan proses tender dan penentuan mitra Kerja Sama.
Adanya kemudahan/hambatan dalam melakukan perjanjian Kerja Sama.
Adanya kemudahan/hambatan dalam melakukan monitoring pelaksanaan perjanjian Kerja Sama.
7 Proses Proses pelaksanaan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSGyang dilakukan oleh Pengelola Barang
Metode Kajian kelayakan Kerja Sama Pemanfaatan atauBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Metode perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dalam rangka Kerja Sama Pemanfaatan atau kerjsama BGS/BSG
Proses penerbitan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan
8 Produk Pencapaian tujuan Kerja Sama Pemanfaatan danBGS/BSG dalam mendukung APBN
Meningkatkan penerimaan negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Tersedianya bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melaluiBGS/BSG
Tersedianya biaya pemeliharaan BMN yang tidak harus disediakan dari APBN melalui Kerja Sama Pemanfaatan
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
82
1. Dokumentasi atas bahan-bahan dokumenter. Teknik ini digunakan untuk
mengumpulkan data-data yang didapatkan dari data statistik, data dari
media massa, atau data-data yang relevan instansi terkait;
2. Observasi, yang dilakukan melalui pengamatan awal dan meninjau langsung
BMN yang telah dilakukan KSP atau BGS/BSG ;
3. Wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab langsung kepada pihak-
pihak yang berkompeten. Daftar pernyataan kepada Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang serta Pengelola Barang adalah
sebagaimana pada daftar lampiran
4. Triangulasi, yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan
dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang telah ada. Dengan
menggunakan teknik ini, maka peneliti telah melakukan pengumpulan data
sekaligus menguji kredabilitas data, yaitu mengecek kredabilitas data
dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.
F. Teknik Analisis Data
F.1. Analisis Sebelum di Lapangan
Analisis sebelum di lapangan dilakukan terhadap data hasil studi
pendahuluan, atau data sekunder, yang akan digunakan untuk menentukan
fokus penelitian.
F.2. Analisis Selama di Lapangan(Model Miles and Huberman)
Miles dan Huberman (1984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam
analisi kualititap dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenih. Aktivitas dalam analisis data
tersebut berupa data reduction, data display dan conclussin drawing/verivication.
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
83
Data reduction merupakan langkah kegiatan berupa merangkum,
memilih hal-hal yang penting, dicarai tema dan polanya. Dengan demikian data
yang direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah
peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan. Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar katagori, flowchart dan
sejenisnya. Langkah ketiga dalam analisis kualitatip adalah penarikan
kesimpulan dan verivikasi. Apabila kesimpulan yang diketemukan pada tahap
awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten dari data lapangan,
maka penarikan kesimpulan akan menghasilkan kesimpulan yang kredibel.
Kesimpulan yang ditarik tersebut harus dapat menjawab permaslahan yang telah
dirumuskan pada tahapan perumusan masalah penelitian. Flow chart komponen
analisi data kualitatip sebagaimana pada gambar 3.1. berikut ini37.
Gambar 3.1. Komponen Analisis Data Kualitaitp
F.3. Analisis Selama di Lapangan Berdasarkan Tahapan Penelitian Kualitatip
Dilihat dari tujuan analisis, tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian kualitatip adalah (a) menganalisis proses berlangsungnya suatu
37
Bahan ajar Worshop Metodologi Penelitian BPPK, Alla Asmara, 2014.
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Penarikan dan
Verivikasi Kesimpulan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
84
fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntans terhadap
proses tersebut (b) menganalisis makna yang ada di balik suatu fenomena, data
dan proses suatu fenomena sosial itu. Berdasarkan tujuan-tujuan analisis data
tersebut, maka terdapat tiga kelompok besar metode analisis data kualitatip,
sesuai dengan tahapan penelitain kualitatip, yaitu (a) kelompok metode analisis
teks dan bahasa (b) kelompok analisis tema-tema budaya dan (3) kelompok
analisis kinerja dan pengalaman individual, serta perilaku institusi. 38
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode peneltian sesuai dengan tahapan penelitian kualitatip, yaitu :
(a) Melakukan analisa teks dan bahasa, yang mempunyai tujuan untuk
“mengungkapkan” proses etik dan emik terhadap suatu peristiwa sosial
yang memiliki makna proses, makna teks dan bahasa, sehingga dapat
diungkapkan proses-proses etik dan emik yang terkandung di dalam teks
dan bahasa itu. Secara teoritis, beberapa metode yang dapat
dipergunakan dalam analisa teks dan bahasa antara lain metode analisa
isi (content analysis), dan analisa bingkai (framing analysis)
(b) Melakukan analisis tema budaya, yaitu alat analisis yang digunakan
untuk “menganalisis” proses etik dan emik dari suatu peristiwa
sosial/budaya serta mengungkapkan bagaimana peristiwa tersebut
“ditafsirkan” dan “dimaknai” oleh objek atau informan penelitian. Analisis
tema budaya sesungguhnya merupakan upaya mencari benang merah
untuk mengintegrasikan lintas domain yang ada (Sanapiah Faisal (1990)
dalam Bungin (2013)). Dengan ditemukannya benang merah dari hasil
analisis domain, analisis taksonomi serta analisis komponen, maka dapat
38
Burhan Bungin, op.cit., hal 161.
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
85
disusun suatu “konstruksi bangunan” situasi sosial/objek penelitian yang
sebelumnya masih gelap atau remang-remang, menjadi lebih terang dan
jelas. Bagan analisis tema budaya yang dibangun dari hasil analisis
domain, analisis taksonomi serta analisis komponen adalah sebagai
berikut.
Gambar 3.2. Analis Tema Budaya yang Dibangun Berdasarkan Analisis
Domain, Analisis Taksonomi dan Analisis Komponensial
(c) Melakukan analisis kinerja dan pengalaman individual/ perilaku institusi
adalah untuk melihat “output” yang dihasilkan dari kinerja., serta
bagaimana objek dan informan penelitian memaknai output kinerja
tersebut. Dalam penelitian ini, analisis tersebut dilakukan dengan model
CIPP (kontkes, input, proses, output) yang umum dilakukan untuk
melakukan evaluasi program/kebijakan.
Dalam penelitian ini, metode analisis tersebut saling melengkapi
dengan model analisis data selama di lapangan menurut Miles dan Hiberman.
Analisis Domain
(Kategorisasi)
Analisis
Taksonomi
(Menjabarkan
Kategori)i)
Analisis Komponensial
(mengkontraskan/mencari
perbedaan spesifik setiap
komponen)
ANALISA TEMA BUDAYA
Dengan ditemukan benang merah berdasarkan hasil analisis Domain,
Taksonomi dan analisis komponensial, maka dapat tersusun konstruksi situasi
sosial terhadap objek penelitian
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
86
Dalam setiap tahapan penelitian/ pengambilan kesimpulan, yaitu dilakukan
langkah-langkah berupa data reduksi, data display, serta data verivication .
G. Uji Validitas dan Reabilitas Penelitain Kualitatip
G.1. Uji Kredabilitas
Pengujian kredabilitas dalam penelitian kualitatip dilakukan dengan cara:
a. Perpanjangan pengamatan, artinya peneliti kebali ke lapangan,
melakukan pengamatan, melakukan wawancara dengan sumber data,
baik yang pernah dotemui maupun yang baru ditemui.
b. Meingkatkan ketekunan, berarti melakukan pengamatan secara lebih
cermat dan bekesinambungan. Dengan cara tersebut, kepastian data
dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistimatis.
c. Triangulasi dalam pengujian kredabilitas diartikan sebagai pengecekan
data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
d. Analisis kasus negatip. Kasus negatip adalah kasus yang tidak sesuai
atau berbeda dengan hasil penelitian pada saat tertentu, Peneliti
berusaha mencari data yang berbeda dengan data yang telah ditemukan.
Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan,
berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya.
e. Menggunakan bahan referensi. Yang dimaksud dengan bahan referensi
adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan
oleh peneliti. Bahan referensi ini dapat berupa foto-foto, rekaman, dan
dokumen otentik.
f. Member chek. Merupakan proses pengecekan data yang diperoleh dari
pemberi data. Hal ini untuk mengetahui seberapa jauh data yang
diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
87
Pelaksanaan member chek dapat dilakukan setelah satu periode
pengumpulan data selesai atau setelah mendapatkan suatu temuan atau
kesimpulan.
G.2. Uji Keteralihan (transferability)
Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian kualitatip.
Validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya
hasil penelitian kepada populasi tempat sampel penelitian diperoleh. Nilai
transfer ini berkenaan dengan pertanyaan sejauh mana hasil penelitian dapat
digunakan dalam situasi lain.
Agar orang lain dapat memahami hasil penelitian kualitatip, sehingga ada
kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut, peneliti dalam
membuat laporannya harus memberikan uraian rinci, jelas, sistematis dan dapat
dipercaya. Dengan demikian, pembaca menjadi jelas dalam memahami hasil
penelitian tersebut sehingga ia dapat memutuskan dapat atau tidaknya
mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di tempat lain.
G.3. Uji Ketergantungan (dependability)
Dependability disebut juga reabilitas. Penelitian yang reliabel adalah
apabila orang lain dapat mengulang/mereplikasi proses penelitian tersebut.
Dalam penelitian kualitatip, uji dependability dilakukan dengan cara melakukan
audit terhadap keseluruhan proses penelitan. Audit dilakukan oleh pembimbing.
G.4. Conformability
Pengujian conformability dalam penelitian kualitatip disebut juga sebagi
objektivitas penelitian. Penelitian dikatakan objektif apabila hasil penelitian telah
disepakati banyak orang. Menguji conformability berarti menguji hasil penelitian,
dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
88
dari proses penelitian yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa penelitian tersebut
telah memenuhi standar conformability.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana telah diuraikan pada bab III, bahwa penelitian ini
merupakan penelitian kualitatip-verivikatip. Format penelitian dengan desain
kualitiatip-verivikatip pada penelitian ini dilakukan melalui penelitian evaluatip
serta Focus Group Discussion (FGD). Format penelitian kualitatip-verivikatip
tidak mengkesempingkan terhadap teori, namun peran data lebih penting dari
teori itu sendiri. Melalui desain penelitian kualitatip-verivikatip tersebut,
disamping dilakukan pembuktian hipotesis yang dibangun berdasarkan teori,
dalam penelitian ini juga diharapkan mampu menjelaskan makna yang ada di
balik suatu fenomena sosial. Format desain kualitatip-verivikatif merupakan
upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian yang dilakukan.
Oleh karena itu, format penelitian kualitatip-verivikatip lebih banyak
mengkonstruksikan format peneltian dan strategi memperoleh data dari lapangan
secara induktip.
Desain penelitian kualitatip-verivikatip dalam penelitian ini
menggunakan varian kualitatip-evaluatip, karena penelitian ini dilakukan untuk
meneliti suatu kebijakan/program, yaitu ketentuan mengenai Kerja Sama
Pemanfaatan dan BGS/BSG. Sebagai bagian dari evaluasi, peneltian evaluasi
juga berfungsi sebagai evaluasi, yaitu proses untuk mengetahui seberapa jauh
tujuan program tercapai39. Penelitian dan evaluasi adalah bahwa penelitian
bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan mengetahui kebenaran, sehingga
39
Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen, hal 740.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
90
dapat dilakukan generalisasi berdasarkan evaluasi ketercapaian visi, misi dan
tujuan dari suatu proyek, kebijakan atau program. Penelitian evaluasi yang
dilakukan dalam penelitian ini, disamping dilakukan untuk menguji hipotesis,
juga dilakukan untuk memahami dan mengkonstruksi fenomena
pelaksanaan/implememtasi kebijakan/program Kerja Sama Pemanfaatan dan
BGS/BSG sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 tentang Pengelolaan BMN.
Penelitian evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini, yang digunakan
untuk menilai kinerja fenomena sosial yang diteliti, menggunakan model CIPP.
Berdasarkan model tersebut maka akan diukur keluaran (output) kinerja
kebijakan/program Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG dan hubungannya
dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya dari sisi konteks kebijakan
(analisa konteks), input yang mendukung pelaksanaan kebijakan/program, serta
ada/tidaknya hambatan dalam proses pelaksanaan kebijakan/program.
Fenomena yang diamati dalam observasi/pengamatan lapangan
dilakukan berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, yaitu untuk
mengamati:
1. Pelaksanaan Ketentuan Pemanfaatan BMN oleh Pihak Ketiga saat ini,
setelah diterbitkannya ketentuan PP Nomor 6 Tahun 2006 sebagaimana
telah dicabtu dan diganti dengan PP Nomor 27 Tahun 2014, yaitu :
- Apakah terdapat penggunaan BMN oleh Pihak Ketiga yang tidak
mendasarkan pada PP Nomor 6 Tahun 2006?
- Apakah BMN yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku telah dilakukan tindakan penertiban?
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
91
- Apakah masih banyak terdapat BMN yang underutization, underused
dan unused?
Hasil pengamatan ini penting untuk mengetahui apakah tujuan
pamanfaatan BMN, khususnya Kerja Sama Pemanfaatan BGS dan BSG
telah dirumuskan dan difahami secara jelas oleh Pengeloa Barang, dan
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang. Apabila konteks kebijakan
sudah dapat difahami, maka implementasi suatu program akan berhasil,
demikian sebaliknya.
2. Efektifitas laporan rutin dalam menyajikan data yang mencukupi agar
dapat dilakukan manajemen aset secara tepat, terutama dalam
memberikan infomasi mengenai BMN yang tidak dimanfaatkan secara
optimal (underutilize), BMN yang tidak digunakan/idle (unused), termasuk
BMN yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, serta BMN yang tidak digunakan seluruh kapasitasnya
(underused). Apabila laporan yang disajikan memadai, maka
memudahkan manager aset dalam melakukan optimalisasi penggunaan
BMN tanah dan atau bangunan. Kebijakan/program Kerja Sama
Pemanfaatan BGS dan BSG akan berhasil apabila didukung oleh adanya
input berupa laporan rutin yang dapat digunakan oleh manager aset
(pada Pengelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna
Barang) untuk melakukan pemantaun BMN underutilize, underused dan
idle/unused.
3. Adanya sarana, prasarana serta pendanaan yang akan mendukung
Manager Aset (pada Pengelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa
Pengguna Barang) dalam melakukan pemantauan atas BMN underutilize,
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
92
underused dan Idle/unused, termasuk BMN yang dimanfaatkan oleh
pihak ketiga tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kebijakan/program Kerja Sama Pemanfaatan BGS dan BSG akan
berhasil apabila didukung oleh adanya input berupa BMN underutilize,
BMN underused dan BMN idle/unused yang dapat dipantau, selanjutnya
ditertibkan dalam rangka optimaliasi penggunaan BMN, antara lain
dengan cara mendayagunakannya melalui Kerja Sama Pemanfaatan dan
BGS/BSG.
4. Adanya Standar Operating and Procedure bagi Manager Aset
(Pengelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang)
dalam melakukan (a) pemantauan atas BMN underutilize, underused
dan idle/unused, termasuk BMN yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (b) optimalisasi
pemanfaatan BMN atas BMN yang telah dilakukan pemanfaatan oleh
pihak ketiga yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Kebijakan/program Kerja Sama Pemanfaatan BGS dan BSG akan
berhasil apabila didukung oleh adanya input berupa Standar Operating
and Procedure yang dapat dijadikan acuan oleh manager aset (pada
Pengelola Barang, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang) dalam
melakukan pemantauan dan penertiban BMN, terutama yang telah
dimanfaatkan oleh pihak ketiga namun tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
5. Tersedianya dukungan Sumber Daya yang berkualitas dalam
melakukan (a) pemantauan atas BMN underutilize, underused
dan idle/unused, termasuk BMN yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
93
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (b) optimalisasi
pemanfaatan BMN atas BMN yang telah dilakukan pemanfaatan oleh
pihak ketiga yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kebijakan/program
Kerja Sama Pemanfaatan BGS dan BSG akan berhasil apabila didukung
oleh adanya input berupa dukungan sumber daya manusia yang berlaku
sebagai manager aset (pada Pengelola Barang, Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang) dalam melakukan pemantauan dan
penertiban BMN, terutama yang telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga
namun tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Terdapatnya insentif bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
untuk melakukan Kerja Sama Pemanfaatan danBangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna. Kebijakan/prog ram Kerja Sama
Pemanfaatan BGS dan BSG akan berhasil apabila didukung oleh adanya
input berupa insentip bagi manager aset (pada Pengelola Barang,
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang) sehingga bersedia
malukakan optimalisasi penggunaan BMN, khususnya dengan cara
mendayagunakannya melalui Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG.
Termasuk melakukan penertiban BMN yang telah dimanfaatkan oleh
pihak ketiga namun tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7. Kelancaran/hambatan dalam proses pengajuan usulan Kerja Sama
Pemanfaatan dan BGS/BSG, serta proses penunjukan pemenang dalam
pelelangan dan penandatanganan kontrak oleh Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang. Kebijakan/program Kerja Sama Pemanfaatan BGS
dan BSG akan berhasil apabila proses pengajuan usulan Kerjasana
Pemanfaatan dan BGS/BSG oleh Pengguna Barang, dapat dilaksanakan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
94
secara mudah, dilihat dari segi persyaratan dan prosesnya. Demikian
juga Kebijakan/program Kerja Sama Pemanfaatan BGS dan BSG akan
berhasil apabila Pengguna Barang tidak mengalami hambatan dalam
melakukan penunjukan pemenang dalam pelelangan serta
penandatangan kontrak.
8. Kelancaran/hambatan dalam proses persetujuan usulan Kerja Sama
Pemanfaatan dan pemrosesan BGS/BSG oleh Pengelola Barang.
Kebijakan/program Kerja Sama Pemanfaatan BGS dan BSG akan
berhasil apabila proses persetujuan usulan Kerjasana Pemanfaatan dan
BGS/BSG oleh Pengelola Barang, dapat dilaksanakan secara mudah,
dilihat dari segi persyaratan dan prosesnya. Demikian juga
Kebijakan/program Kerja Sama Pemanfaatan BGS dan BSG akan
berhasil apabila Pengelola Barang mengalami hambatan dalam
melakukan pemrosesan BGS/BSG oleh Pengeloa Barang, termasuk
dalam penunjukan pemenang dalam pelelangan serta penandatangan
kontrak.
9. Keberhasilan kebijakan/program Kerja Sama pemanfaan dan BNGS/BSG
yang diukur dari dari output/kinerja kebijakan/program tersebut dalam
meingkatkan Penerimaan Negara Melalui Setoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP), menyediakan Bangunan dan Fasilitasnya dalam
rangka penyelenggaraan Tupoksi yang dana pembangunannya tidak
tersedia dalam APBN, serta menyediakan biaya pemeliharaan BMN
yang tidak harus disediakan dari APBN
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
95
A. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis sebelum di
lapangan (data peneltian terdahulu, data sekunder, studi literatur), serta analisis
selama di lapangan berdasarkan tahap penelitian (Model Spradley) yang saling
melengkapi dengan model analisis data selama di lapangan menurut Miles dan
Hiberman. Dalam setiap tahapan penelitian/ pengambilan kesimpulan, dilakukan
langkah-langkah berupa data reduksi, data display, serta data verivication.
Fenomena yang diamati dalam observasi/pengamatan lapangan dilakukan
berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan. Dalam pengamatan fenomena
tersebut dilakukan melalui dokumnetasi, observasi/pengamatan ke lapangan,
wawancara (berdasar kuesiner yang telah disusun berdasarkan teori/studi
pustaka), triangulasi, dan Forum Group Discussion.
A.1. Pemahaman Konteks Kebijakan/Program Kerja Sama Pemanfaatan
dan BGS/BSG sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006
Evaluasi konteks adalah untuk melihat kejelasan rumusan Tujuan Kerja
Sama Pemanfaatan danBGS/BSGyang dipahami oleh para stakeholder yang
melaksanakan ketentuan tersebut, yaitu Penggelola Barang, Pengguna Barang
dan Kuasa Pengguna Barang. Berdasarkan hasil Observasi/pengamatan
lapangan mengenai fenomena pemanfaatan BMN oleh Pihak Ketiga serta
Pelaksanaan Penertiban oleh manager aset yang ada pada Pengelola Barang,
Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang adalah sebagai berikut.
A.1.1. BMN yang Dimanfaatkan Pihak Ketiga Tidak Sesuai Ketentuan/Belum
Mendapatkan Persetujuan dari Pengelola Barang
Berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terdapat beberapa BMN
yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang tidak sesuai dengan ketentuan yang
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
96
berlaku, atau belum mendapatkan persetujuan dari Pengelola Barang. Beberapa
kondisi yang ditemukan ketika melakukan observasi/pengamatan ke lapangan,
antara lain :
1. Rumah dinas, BMN berupa tanah kosong, atau BMN yang didirikan
bangunan diatasnya, dijadikan tempat usaha seperti tempat kursus, factory
outlet, rumah makan, atau cafe, tempat ketangkasan, pusat perbelanjaan,
atau mall. Pada umumnya aset tersebut berada di lingkungan TNI, yang
pengaturannya diatur tersendiri sebagaiamana terakhir diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.06/2010 tentang Penataan
Pemanfaatan BMN di Lingkungan TNI. Berdasarkan ketentuan tersebut,
batas waktu permononan persetujuan pemanfaatan BMN di lingkungan TNI
yang telah/terlanjur dimanfaat oleh pihak ketiga, dilakukan paling lambat 6
(enam) bulan terhitung sejak ditetapkan, yaitu Januari 2010.
2. BMN berupa tanah kosong dibangun untuk bangunan bisnis seperti super
market, tempat ketangkasan dan lain-lain, yang diajukan sebagai sewa.
Seharusnya Pengguna Barang tidak mengajukan permohonan
pemanfaatan BMN berupa sewa, apabila didirikan bangunan pada suatu
tanah kosong atau dikembangkan struktur baru pada banguna yang sudah
ada.
3. Suatu Satker baru mengajukan permohonan sewa atas suatu objek
berupa satu hamparan tanah yang terdiri dari beberapa bangunan, dimana
objek tersebut saat ini sudah dimanfaatkan pihak ketiga . Ketika diajukan
permohonan sewa kepada Pengelola Barang, permohonan tersebut
ditolak, karena BMN tersebut, yang keseluruhanya telah dimanfaatakan
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
97
pihak ketiga, telah memenuhi kriteria BMN idle, sehingga harus diserahkan
kepada Pengelola Barang.
4. Suatu Satker yang berbentuk Badan Layanan Umum, baru mengajukan
permohonan sewa BMN kepada Pengelola Barang atas pemanfaatan
tanah/bangunan yang pada saat ini telah dimanfaatakan ATM oleh pihak
ketiga. Namun Satker tersebut berpendapat bahwa setelah mendapatkan
persetujuan sewa dari Pengelola Barang, uang pemasukan sewa tetap
disetor kepada BLU, bukan ke negara berupa setoran PNBP, meskipin
tanah dan/atau banguna yang disewakan merupakan BMN yang
pengadaannya menggunakan APBN.
Berdasarkan data hasil observasi/pengamatan ke lapangan tersebut,
pada saat ini masih terdapat banyak BMN yang dilakukan pemanfaatan dalam
bentuk sewa, Kerja Sama Pemanfaatan Tidak Sesuai Ketentuan/Belum
Mendapatkan Persetujuan dari Pengelola Barang. Mengapa Pengelola
Barang/Pengguna Barang belum dapat melakukan penertiban? dapat Untuk
menjawab permasalahan tersebut, Peneliti melakukan wawancara kepada
responden untuk menjawab pertanyaan apakah terkendalanya penertiban
pemanfaatan BMN tersebut karena Pemahaman Konteks Kebijakan Kerja Sama
Pemanfaatan dan BGS/BSG sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006
tidak difahami secara benar oleh Pengelola Barang, Pengguna Barang dan
Kuasa Pengguna Barang ?
Terkait dengan pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
23/PMK.06/2010 tentang Penataan Pemanfaatan BMN di Lingkungan TNI,
beberapa satker di lingkungan TNI telah mengajukan permohonan pemanfaatan
BMN kepada Pengelola Barang yang saat ini sudah dimanfaatkan pihak ketiga.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
98
Sebagai contoh, di Kanwil Bandung, suatu satker telah diajukan usulan
pemanfaatan sekaligus atas beberapa objek BMN dalam bentuk sewa. Apabila
dilihat dari ketentuan, beberapa objek tersebut seharusnya diajukan permohonan
Kerja Sama Pemanfaatan karena telah didirikan bangunan pada suatu tanah
kosong atau dikembangkan struktur baru pada bangunan yang sudah ada.40
Semula permohonan tersebut diajukan oleh Satker ke KPKNL Bandung,
berdasarkan ketentuan internal TNI yang diatur dalam Keputusan Menteri
Pertahanan Nomor Kep/853/M/VIII/2013 tentang Pelimpahan Sebagian
Wewenang Kepada Pengguna Barang Khususnya Pemanfaatan dan
Penghapusan BMN di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI.
Oleh karena pengajuan sewa tersebut terdiri dari beberapa objek yang
secara akumulasi bukan merupakan kewenangan KPKNL untuk memprosesnya,
maka permohonan tersebut diteruskan ke Kantor Pusat DJKN melalui Kanwil
DJKN. Namun Kantor Pusat DJKN mengembalikan permohonan tersebut kepada
KPKNL melalui Kanwil DJKN karena seharusya mengajukan ke Kantor Pusat
DJKN adalah Menteri Pertahanan selaku Pengguna Barang. Pemrosesan
permohonan persetujuan pemanfaatan BMN yang telah dimanfaatkan pihak
ketiga tersebut sampai saat ini masih mengalami kendala.41
Dalam menangani pemrosesan permohonan satker di lingkungan
Kementerian Pertahanan dan TNI sebagai Pelaksanaan Keputusan Menteri
Pertahanan Nomor Kep/853/M/VIII/2013 atas BMN yang telah/terlanjur
dimanfaatkan oleh pihak ketiga, Pengelola Barang melakukannya dengan hati-
hati. Terdapat beberapa materi yang masih memerlukan petunjuk pelaksanaan
40
Penjelasan responden yang menangani BMN di Kanwil DJKN Jawa Barat 41
Penjelasan responden yang menangani BMN di KPKNL Bandung.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
99
dalam melakukan pemrosesan atas BMN yang telah/terlanjur dimanfaatkan pihak
ketiga.42
Sehubungan dengan kegiatan penertiban atas pemanfaatan BMN oleh
pihak ketiga, tidak sesuai ketentuan yang berlaku, DJKN , sebagai Pengeola
Barang telah menindaklanjutinya dengan mengirim surat himbauan kepada
Kementerian/Lembaga selaku Pengguna Barang. Berdasarkan surat himbauan
tersebut, seharusnya Inspektorat Jenderal masing-masing
Kementerian/Lembaga menindaklanjutinya. Pada umumnya
Kementerian/Lembaga akan menagajukan permohonan pemanfaatan BMN
apabila terdapat temuan dari Aparat Pengawas Fungsional (BPK/BPKP) yang
harus ditindaklanjuti dengan permohonan persetujuan pemanfaatan BMN dari
Pengelola Barang.43
A.1.2. BMN yang Dimanfaatkan Pihak Ketiga Melalui Mekanisme BLU
Dari observasi/pengamatan lapangan ditemui adanya BMN berupa
tanah pada Universitas/Institut Pendidikan, sebagai Badan Layanan Umum yang
dibangun mall, hotel, convention centre, pusat perbelanjaan, atau peruntukan
bisnis lainnya dengan tidak menggunakan mekanisme Pemanfaatan BMN. BMN
berupa tanah tersebut dilakukan kerja sama dengan pihak ketiga berdasarkan
ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
yang mengatur tentang Badan Layanan Umum (BLU). Sebagai contoh,
pembangunan mall, yang merupakan aset yang berada dalam penguasaan
Institut/ Universitas.
Ketentuan mengenai BMN yang dikelola oleh Badan Layanan Umum
(BLU) dipertegas dalam Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
42
Penjelaan responden yang menangani BMN di Kanwil DJKN Jakarta 43
Penjelasan respondan pada Direktorat PKNSI, Kantor Pusat DJKN
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
100
tentang Pengelolaan BMN (yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006), yaitu dikecualikan dari ketentuan yang diikat dengan PP Nomor
Nomor 27 Tahun 2014 adalah “ terhadap barang yang dikelola dan/atau
dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum
sesuai dengan tugas BLU. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu lembaga
pendidikan berupa Institut/Universitas, misalnya, tidak ada relevansinya untuk
membangun/ mengembangkan mall atau pusat perbelanjaan.
A.1.3. Evaluasi Konteks Mengenai Pemahaman Kebijakan/Program Kerja
Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG Oleh Manager Aset
Berdasarkan hasil observasi/pengamatan lapangan dan wawancara
dengan responden, sebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa
konteks Kerja Sama Pemanfaatan danBGS/BSG sebagaimana diatur dalam PP
Nomor 6 Tahun 2006 belum difahami secara benar oleh Manager Aset, baik
yang ada pada Pengelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna
Barang. Beberapa konsep dalam konteks Kerja Sama Pemanfaatan dan
BGS/BSGyang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
A.1.3.1. Pemahaman Mengenai BMN Idle.
Masih terdapat perbedaan penafsiran mengenai kriteria BMN Idle. BMN
idle adalah BMN yang tidak digunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi
(unsuded) , atau BMN yang sedang tidak digunakan dalam menyelenggaran
tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau BMN yang digunakan tetapi tidak
sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Lembaga.44 Berdasarkan
ketentuan tersebut, disamping BMN yang unused, BMN yang termasuk idle
adalah BMN yang secara keseluruhan (satu hamparan) yang
44
Pasal 3 Peraturan Mengeri Keuangan Nomot 250/PMK.06/2011 tentang Tata Cara Pengeloloaan BMN yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
101
digunakan/dimanfaatakan pihak ketiga, karena penggunaannya tidak sesuai
dengan tugas dan fungsi Kementerian Lembaga. Apabila mengikuti ketentuan
tersebut, maka BMN yang secara keseluruhan (satu hamparan) yang telah
digunakan/dimanfaatakan pihak ketiga, seharusnya termasuk BMN idle, dan
diserahkan kepada Pengelola Barang.
Namun demikian, terdapat ketentuan yang bertentangan dengan hal
tersebut, yaitu ketentuan sewa sebagaiman diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.06/2012 tentang tata cara
pelaksanaan sewa BMN yang mengatur bahwa BMN dapat disewakan
sepanjang berada dalam kondisi tidak digunakan oleh Pengelola Barang atau
Pengguna Barang dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka BMN dalam kondisi tidak digunakan oleh Pengelola
Barang atau Pengguna Barang dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi,
dapat disewakan.
Penafsiran mengenai BMN idle juga diatur dalam Pasal 3 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan
BMN yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi
Kementerian/Lembaga, yaitu dikecualikan dari BMN idle adalah:
- BMN yang direncanakan untuk digunakan oleh
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan sebelum berakhirnya
tahun ketiga
- BMN yang direncanakan untuk dimanfaatkan sebelum berakhirnya
tahun kedua
Perbedaan persepsi tersebut akan menyulitkan dalam pelaksanaan
penertiban BMN. Pada suatu kasus, Pengguna Barang mengajukan usulan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
102
sewa atas tanah yang diatasnya terdiri dari beberapa bangunan, yang pada saat
pengajuan permohonan telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga. KPNKL menolak
permohonan tersebut karena atas BMN tersebut seharusnya diserahkan kepada
Pengelola Barang, karena termasuk BMN, sehingga tidak dapat diajukan sewa
oleh Pengguna Barang 45.
A.1.3.2. Pemahaman Apabila BMN idle diserahkan oleh Pengguna Barang
kepada Pengelola Barang
Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
mempersepsikan adanya kendala apabila BMN idle diserahkan kepada
Pengelola Barang, yaitu :
a. Keterbatasan sarana prasarana serta sumber daya SDM pada Pengelola
Barang maupun Pengguna Barang untuk melakukan pengawasan dan
penertiban.
b. Pengguna Barang pada dasarnya enggan menyerahkan aset idle kepada
Pengelola Barang, karena hanya akan mendapatkan disinsentip, yaitu
asetnya beralih kepada Pengelola Barang.
c. Adanya ketentuan bahwa aset yang diserahkan, harus diterima oleh
Pengeola Barang dalam keadaan clean and clear, atau tidak terdapat
permasalahan hukum.
d. Tidak ada biaya pemelihaaran BMN pada Pengelola.
Terdapatnya pemahaman tersebut menyebabkan tindakan penertiban BMN idle
dengan tindak lanjut penyerahan kepada Pengelola Barang menjadi terhambat.
A.1.3.3. Pemahaman Mengenai Perbedaan antara Mekanisme Sewa, Kerja
Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
45
Penjelasan responden pada KPKNL Bogor.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
103
Terdapat pemahaman yang kurang tepat mengenai perbedaan antara
mekanime pemanfaatan BMN berupa sewa, kerjasa pemanfaatan danBangun
Guna Serah/Bangun Serah Guna. Sebagai contoh, di Kanwil Bandung, suatu
satker mengajukan permohonan sewa atas BMN tanah kosong yang telah
didirikan bangunan, atau telah dikembangkan struktur (konstruksi) baru.
Apabila dilihat dari ketentuan sebagaimana dalam dalam Pasal 64
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.06/2012 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sewa BMN, yang mengatur bahwa penyewa hanya dapat
mengubah bentuk BMN “ tanpa mengubah konstruksi dasar bangunan”, maka
objek tersebut seharusnya diajukan permohonan Kerja Sama Pemanfaatan atau
BGS/BSGkarena telah didirikan bangunan pada suatu tanah kosong atau
dikembangkan struktur (konstruksi) baru pada bangunan yang sudah ada.
A.1.3.4. Pemahaman bahwa Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSGakan dapat
memperkuat APBN.
Pada umumnya Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang memiliki pemahaman bahwa apabila atas aset idle/unused, underutilize,
serta underused tersebut dapat dilakukan Kerja Sama Pemanfaatan atau
Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, maka akan dapat memperkuat
APBN melalui melalui :
(a) Meningkatkan penerimaan negara melalui PNBP
(b) Khusus untuk pemanfaatan BMN berupa BGS/BSG, akan dapat
menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana
pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN)
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
104
(c) Disamping mendapatkan penerimaan berupa kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan, manfaat lain yang didapatkan dari pelaksanaan
Kerja Sama Pemanfaatan adalah tersedianya biaya pemeliharaan BMN
yang tidak harus disediakan dari APBN.
Namun demikian, Pengguna Barang enggan untuk mengajukan usulan
pemanfatan BMN berupa Kerja Sama Pemanfaatan danBGS/BSGatas aset
idle/unused, underutilize, serta underused, karena takut akan terdapat
permasalah hukum di kemudian hari karena adanya unsur kerugian negara
dalam pelaksanaanya. 46 Disamping itu tidak ada insentip apapun bagi
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang yang mengajukan usulan tersebut.
A.1.3.5. Pemahaman mengenai Optimalisai Pendayagunaan aset idle/unused,
underutilize, serta underused
Pemahaman yang kurang tepat mengenai optimalisi pendayagunaan aset
idle/unused, underutilize, serta underused oleh Pengelola Barang. Terdapat
beberapa kasus dimana Pengelola Barang sangat berhati-hati dalam
menindaklanjut penertiban yang telah dilakukan Pengguna Barang, dengan
mengajukan usulan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan atas BMN yang
telah/terlanjur dimanfaatkan pihak ketiga tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Kehati-hatian tersebut sangat beralasan karena menyangkut aspek
penerimaan negara yang rentan terjadi kesalahan dalam proses serta jumlah
penerimaan negara yang diterima. Beberapa Pengelola Barang mempunyai
pendapat bahwa aturan yang ada saat ini perlu lebih diperjelas.47
46
Penjelasan responden di Kanwil DJKN Jakarta, selaku Pengguna Barang 47
Penjelasan responden di Kanwil DJKN Jakarta
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
105
A.1.3.6. Pemahaman mengenai Pemanfaatan BMN yang dilakukan Kuasa
Pengguna Barang yang Berkedudukan sebagai Badan Layanan
Umum (BLU)
Dalam rangka untuk mencapai standar pelayanan minimum, yaitu
spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang diberikan oleh Badan
Layanan Umum (BLU) kepada masyarakat. BLU diberikan wewenang untuk
melakukan pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibiltas berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, yang disebut Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (PPK-BLU). Keleluasaan yang diberikan kepada BLU antara
lain untuk memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas
barang/jasa layanan yang diberikan, dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar
perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Pengelolaan
barang BLU diatur dalam Pasal 20 s/d 23 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2005. Sebagai contoh, dalam Pasal 22 ayat (5)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 diatur bahwa
Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan tugas
pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan 22 ayat
(5) tersebut, BLU tidak dapat melakukan perjanjian kersama pemanfaatan atau
BGS/BSG tanpa persetujuan Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Kekayaan
Negara sebagai Pengelola Barang
Demikian pula, Kerja Sama Pemanfaatan oleh BLU telah diatur dalam
Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014. yang berbunyi:
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
106
(1) Barang Milik Negara/Daerah yang digunakan oleh Badan Layanan
Umum/Badan Layanan Umum Daerah merupakan kekayaan negara/daerah
yang tidak dipisahkan untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan
Umum/Badan Layanan Umum Daerah yang bersangkutan.
(2) Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2014 beserta peraturan pelaksanaannya, kecuali terhadap barang
yang dikelola dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan
kegiatan pelayanan umum sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Layanan
Umum/Badan Layanan Umum Daerah, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tentang Badan Layanan Umum dan peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (5)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 serta Pasal 96
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tersebut, penggunaan aset BMN
yang dikecualikan dari ketentuan pemanfaatan BMN adalah hanya atas barang
yang dikelola dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan
kegiatan pelayanan umum sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Layanan
Umum/Badan Layanan Umum Daerah.
Pada satu kasus, dalam rangka penertiban atas sewa BMN yang
digunakan sebagai ATM, Kuasa Pengguna Barang, dalam hal ini Rumah Sakit
Pemerintah, mengajukan permohonan persetujuan sewa ATM tersebut kepada
KPKNL. Menurut pengertian Kuasa Pengguna Barang tersebut, penerimaan
PNBB dari usulan sewa tersebut akan masuk dalam rekening BLU, bukan berupa
setoran PNBP sebagaimana diatur dalam pemanfaatan BMN. Permohonan
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
107
tersebut tentu saja tidak dikabulkan oleh KPNKL.48 Contoh kasus tersebut
menunjukkan bahwa Penggunan Barang/Kuasa Pengguna Barang tidak
sepenuhnya memahami ketentuan mengenai pemanfaatan BMN oleh Pihak
Lain. yang seharusnya mengikuti ketentuan pengelolaan BMN.
Dalam contoh kasus tersebut, Kuasa Pengguna Barang yang
Berkedudukan sebagai Badan Layanan Umum (BLU) , seharusnya menafsirka
ketentuan “ penggunaan aset sepenuhnya untuk menyelenggarakan
kegiatan pelayanan umum, sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Layanan
Umum/Badan Layanan Umum Daerah” secara seksama. Sewa ATM di
lingkungan RS Pemerintah tidak memenuhi ketentuan “ penggunaan aset
sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum, sesuai dengan
tugas dan fungsi Badan Layanan Umum/Badan Layanan Umum Daerah”,
sehingga penerimaan atas sewa ATM tersebut seharusnya masuk sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka pemanfaatan BMN.
A.1.3.7. Pemahaman mengenai Pemanfaatan BMN dalam Mendukung
Penyediaan Infrastruktur
Pada umumnya Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang memiliki pemahaman bahwa Kerja Sama Pemanfaatan akan dapat
mendukung Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 dalam mendukung
penyediaan infrastruktur publik (seperti jalan, water supply, publik transportation,
pendidikan, rumah susun). Namun demikian, penentuan besaran kontribusi
tetap dan pembagian keuntungan oleh Pengelola Barang , yang didapatkan dari
hasil penilaian yang mendasarkan pada studi kelayakan, merupakan hambatan
dalam penggunaan BMN unruk penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, dalam
48
Berdasarkan keterangan responden pada KPKNL Bogor.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
108
hal pemanfaatan BMN untuk penyediaan infrastruktur, diperlukan fleksibilitas
dalam penentuan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan, karena terkait
dengan percepatan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat.
A.1.3.8. Pemahaman mengenai Pemanfaatan BMN akan Mendorong Aktivitas
Ekonomi
Pada umumnya Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang memahami konsep bahwa dengan dilakukan Kerja Sama Pemanfaatan
atau BGS/BSGdapat mendorong aktivitas ekonomi di wilayah BMN tersebut
terletak. Namun adanya kemungkinan permasalahan hukum dalam prosesnya,
merasa dicurigai terdapat unsur kepentingan pribadi, serta tidak ada insentip
bagi Pengguna Barang dalam pelaksanaannya, menjadi kendali bagi Pengguna
Barang untuk mengajukan usulan49. Demikian pula dari sudut pandang
Pengelola, mereka akan sangat hati-hati dalam memberikan persetujuan kerja
sama, terutama dalam menentukan tarip penerimaan negara.
A.2. Efektifitas laporan rutin dalam melakukan pemantauan
Banyak atau sedikitnya permohonan persetujuan Kerja Sama
Pemanfaatan atau BGS/BSG, sebagai bagian dari kegiatan optimalisasi
pemanfaatan BMN, antara lain dipengaruhi oleh kegiatan pengawasan dan
pengendalian (penertiban) yang dilakukan oleh Pengguna Barang di lingkungan
Kementerian dan Lembaga, serta pengawasan oleh dan Pengendalian yang
dilakukan Pengelola Barang. Terkait dengan kegiatan pengawasan dan
pengendalian (penertiban).
Dalam melakukan pengawasan, PMK Nomor 244 Tahun 2012
mengatur antara lain format laporan BMN yang status penggunaannya pada
49
Keterangan resoponden pada Kaneil DJKN Jakarta, sebagai Penguna Barang
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
109
suatu Kuasa Pengguna Barang, serta BMN yang dimanfaatkan oleh Pihak Ketiga
pada suatu Pengguna Barang. Bentuk format laporan BMN yang status
penggunaannya pada suatu satker adalah sebagai berikut.
Melalui format laporan tersebut, suatu Satker sebagai Kuasa
Penggunga Barang seharusnya melaporkan apakah BMN yang status
penggunaanya pada Satker tersebut telah dipergunakan sesuai tugas dan fungsi
(penggunaannya telah optimal), sebagian tidak dipergunakan untuk pelaksanaan
tugas dan fungsi (underused), keseluruhan tidak dipergunakan untuk
pelaksanaan tugas dan fungsi (unused/idle), serta apakah terdapat
bagian/keseluruhan dari BMN digunakan oleh Pihak Lain. Berdasarkan laporan
dari Satker/Kuasa Pengguna Barang tersebut, Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) melakukan rekap, dan melaporkan ke Kanwil DJKN.
Disamping mengisi laporan dengan format tersebut, Satker/Kuasa
Pengguna Barang juga membuat format laporan BMN yang dimanfaatkan oleh
Pihak Lain, dengan format sebagai berikut. Melalui format laporan tersebut, akan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
110
dapat dilakukan pengawasan apakah BMN yang telah dimanfaatakan oleh Pihak
Lain telah mendapatkan persetujuan dari Pengelola Barang.
Dalam pelaksanaanya, ketentuan pelaporan sebagaimana diatur dalam
PMK Nomor 244 Tahun 2012 oleh beberapa Satker/Kuasa Pengguna Barang
baru diwajibkan pada tahun 2014. Terdapat kecenderungan bahwa
Satker/Kuasa Pengguna Barang tidak melaporkan sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya, baik karena kendala dalam teknis pengisian, ataupun karena
pertimbangan tertentu. Untuk mengoptimalkan pengawasan atas penggunaan
dan pemanfaatan BMN perlu dilakukan penelitian fisik ke lapangan, paling tidak
dilakukan secara sampling50.
A.3. Adanya sarana, prasarana serta pendanaan yang akan mendukung
Manager Aset dalam Melakukan Pengelolaan BMN
Disamping melakukan pemantauan melalui monitoring format laporan
sebagaimana telah diuraikan, dalam melakukan pemantauan BMN juga
dibutuhkan dilakukan monitoring secara langsung di lapangan. KPKNL/Kanwil
DJKN selaku manager aset harus dapat memastikan bahwa pengelolaan BMN
50
Penjelasan Responden pada Kanwil DJKN Jawa Barat
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
111
telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terkait dengan
penelitian ini, fokus pengawasan tersebut adalah pengawasan dalam hal
penggunaan dan pemanfaatan BMN.
Di dalam PMK Nomor 244 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan
Pengendalian juga diatur, dalam hal penelitian administratip belum mencukupi,
maka dilakukan penelitian lapangan dengan cara meninjau objek BMN secara
langsung, meminta konfirmasi pihak terkai serta mengumpulkan data tambahan.
Direktur Jenderal dapat menugaskan Kepala Kanwil DJKN atau Kepala KPKNL
untuk melakukan penelitian lapangan terhadap pemantauan yang dilakukan oleh
Direktur Jenderal Kekayaan Negara,
Dukungan sarana, prasarana serta pendanaan diperlukan untuk
meningkatkan penguasaan wilayah, sehingga dapat dideteksi secara cepat
adanya BMN idle, BMN underutilize, serta BMN yang telah dilakukan
pemanfaatan oleh pihak ketiga seperti sewa, Kerja Sama Pemanfaatan, serta
BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan wawancara51 dengan beberapa responden, belum ada
alokasi dana secara khusus yang diperuntukkan meningkatkan pelaksanaan
monitoring kesesuaian antara laporan penggunaan dan pemanfaatan oleh
Satker/Kuasa Pengguna Barang dengan keadaan sesunguhnya di lapangan.
Demikian juga tidak ada sarana dan prasarana, seperti kendaraan roda dua,
mobil, yang secara khusus diperuntukkan untuk melakukan pemantauan
penggunaan dan pemanfaatan BMN.
Keterbatasan sarana, prasarana dan kendaraan menjadi salah satu
penyebab kegiatan monitoring, dan penguasaan wilayah belum dapat dilakukan
51
Penjelasan Responden pada Kanwil DJKN Jawa Barat, KPKNL Bogor, KPKNL Bandung
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
112
secara maksimal oleh KPKNL dan Kanwil DJKN. Padahal kegiatan monitoring
ke lapangan sangat penting untuk menyediakan data awal BMN yang
selanjutnya perlu dilakukan penertiban, antara lain apakah penggunaan dan
pemanfaatannya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
A.4. Adanya Standar Operating and Procedure bagi Manager Aset dalam
melakukan Pemantauan dan Penertiban BMN
A.4.1. Ketentuan Umum Pemantauan dan Pengendalian (Penertiban) BMN
Ketentuan mekanisme Pemantaun dan Penertiban BMN secara umum
telah diatur dalam PMK 244 Tahun 2012 (lihat gambar 2.8) , yaitu sebagai
berikut:
1. Satker/Kuasa Pengguna Barang melakukan pemantauan dan penertiban
pada unitnya masing-masing. Laporan Kegiatan pemantauan dan
penertiban disampaikan kepada Pengelola Barang, dengan tembusan
kepada Pengguna Barang.
2. Pengguna Barang melakukan pemantauan dan penertiban, apabila
terdapat hal-hal yang harus ditindaklanjuti dengan penertiban, maka
Pengguna Barang melakukan penertiban.
3. Apabila dalam pelaksanaan tersebut mengalami kendala, maka
Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang menindaklanjutinya
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam rangka
melakukan pemantauan tindak lanjut hasil penertiban tersebut, Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang meminta audit oleh aparat pengawasan
intern Pemerintah.
4. Pengelola Barang melakukan pemantauan/monitoring berdasarkan
laporan dari Kuasa Pengguna Barang, serta melakukan investigasi. Hasil
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
113
investigasi tersebut dapat berupa usulan audit oleh aparat pengawasan
intern Pemerintah.
Dari sisi Pengguna Barang/Kuasa, tindakan penertiban yang harus
dilaksanakan ketika didapatkan kondisi Penggunaan dan Pemanfaatan BMN
dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah sebagaimana
pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Penertiban Atas Pelaksanaan Penggunaan BMN
No Kondisi Tindak Lanjut
1 BMN belum diusulkan penetapan status Penggunaannya kepada Pengelola Barang
Pengguna Barang mengajukan usul penetapan status Penggunaan kepada Pengelola Barang;
2 BMN belum ditetapkan status Penggunaannya oleh Pengguna Barang sesuai dengan batas kewenangannya
Pengguna Barang menetapkan status Penggunaan sesuai batas kewenangannya;
3 BMN digunakan tidak sesuai dengan penetapan status Penggunaannya;
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang mengembalikan Penggunaan BMN sesuai dengan penetapan status Penggunaannya
4 BMN tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga.
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang menyerahkan BMN tersebut kepada Pengelola Barang
Tabel 4.2. Penertiban Atas Pelaksanaan Pemanfaatan BMN
No Kondisi Tindak Lanjut
1 Bentuk Pemanfaatan tidak sesuai dengan persetujuan Pengelola Barang
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang melakukan upaya penyelesaian sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian/kontrak, keputusan Peman-faatan dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, dan surat persetujuan dari Pengelola Barang.
2 Jenis usaha untuk sewa atau Kerja Sama Pemanfaatan tidak sesuai dengan keputusan Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dan/atau perjanjian/kontrak;
3 Jangka waktu pelaksanaan Pemanfaatan melampaui jangka waktu yang diatur dalam keputusan Pemanfaatan dari
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
114
No Kondisi Tindak Lanjut
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang dan/atau perjanjian/kontrak
4 Penerimaan negara dari Pemanfaatan tidak dilaksanakan sesuai dengan materi dalam surat persetujuan dari Pengelola Barang;
5. Pemanfaatan yang dilakukan belum mendapatkan persetujuan Pengelola Barang
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang mengajukan usul Pemanfaatan kepada Pengelola Barang.
Dari sisi Pengelola Barang, apabila ketika dilakukan pemantauan
didapatkan kondisi Penggunaan dan Pemanfaatan BMN dilakukan tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku , adalah dengan melakukan investigasi.
A.4.2. Beberapa Kendala Terkait dengan Kegiatan Penertiban
Berdasarkan ketentuan Pengawasan dan Pengendalian sebagaimana
diatur dalam PMK Nomor 244 Tahun 2012, maka apabila BMN dimanfaatakan
oleh pihak lain tanpa mendapatkan persetujuan Pengelola Barang (DJKN), maka
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang harus menyampaikan usul kepada
Pengelola Barang (DJKN). Namun demikian, berdasarkan wawancara dengan
responden 52, terdapat beberapa kendala di internal Pengelola Barang (DJKN)
ketika menindaklanjuti permohonan persetujuan pemanfaatan oleh Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang yang saat ini telah dimanfaatkan oleh Pihak
Lain (pemanfaatan terlanjur) .
A.4.2.1.Pengajuan Usul Pemanfaatan BMN Mengalami Kendala
Sehubungan dengan penataan pemanfaatan BMN di lingkungan TNI,
suatu Satker/Kuasa Pengguna Barang telah melakukan pemanfaatan BMN
dengan pihak lain sebanyak kurang lebih 30 bidang. Sebagai langkah penataan,
52
Responden pada Kanwil DJKN Bandung, Kanwil DJKN Jakarta, KPKNL Bandung
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
115
Satker/Kuasa Pengguna Barang mengajukan usul pemanfaatan, sebanyak 250
buah bidang di lingkungan Tentara Nasional Indonesia, dalam satu permohonan
ke KPKNL. Permohonan tersebut pada dasarnya mempunyai kelemahan
sebagai berikut:
a. Permohonan sebanyak kuran lebih 33 bidang, dalam satu permohonan ke
KPKNL, apabila dijumlahkan nilainya (nilai BMN), bukan merupakan
kewenangan KPKNL untuk memprosesnya.
b. Oleh KPKNL, permohonan tersebut diteruskan ke Kanwil DJKN, dan
selanjutnya diteruskan oleh Kanwil DJKN ke Kantor Pusat DJKN. Oleh
Kantor Pusat DJKN permohonan tersebut tidak dapat diproses, karena yang
mengajukan permohonan ke DJKN seharusnya bukan Kuasa Pengguna
Barang, namun Pengguna Barang, dalam hal ini Mabes Tentara Nasional
Indonesia. Pengguna Barang tidak bersedia mengajukan permohonan tidak
bersedia mengajukan usulan pemanfaatan tersebut, karena sudah
melimpahkan kewenangan Pengguna Barang kepada Kuasa Pengguna
Barang khusus dalam hal Pemanfaatan dan Penghapusan BMN,
berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor KEP/853/M/VIII/2013 tentang
Pelimpahan Sebagian Wewenang Kepada Pengguna Barang Khususnya
Pemanfaatan dan Penghapusan BMN di Lingkungan Kementerian
Pertahanan dan TNI. Sampai saat ini permohonan pemanfaatan tersebut
masih mengalami kendala.
c. Sebanyak 33 bidang permohonan tersebut, yang diajukan dalam satu
permohonan, berupa permo onan sewa, tidak seluruhnya memenuhi kriteria
sewa. Misalnya atas BMN berupa tanah kosong yang diatasnya dibangun
untuk peruntukan tertentu, atau bangunannya telah mengalami perubahan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
116
konstruksi dasar bangunan, seharusnya diajukan berupa Kerja Sama
Pemanfaatan.
d. Seharusnya usulan tersebut diajukan satu-persatu oleh Kuasa Pengguna
Barang, agar pengajuannya dapat diproses oleh KPKNL. Demikian pula
harus ada kepastian/petunjuk, apakah permohonan yang diajukan berupa
sewa atau Kerja Sama Pemanfaatan.
A.4.4.2. Arestasi Proses Permohonan Persetujuan Pemanfaatan BMN Terlalu
Dominan yang Menjadi Kewenangan Kantor Pusat DJKN
Dalam melakukan pengelolaan BMN, di internal DJKN dilakukan
pengaturan kewenangan dalam memberikan persetujuan terkait penggunaan,
pemanfaatan dan penghapusan BMN dengan arestasi sebagai berikut.
UNIT NILAI BMN*)
Kantor Pelayanan < Rp 2,5 Milyar
Kanwil 2,5 Milyar s/d 5 Milyar
Kantor Pusat Diatas 5 Milyar
*) Catatan : Nilai BMN adalah nilai keseluruhan Tanah dan Bangunan BMN yang
akan ditetapkan Penggunaannya/dimanfaatakan/dihapuskan
Berdasarkan arestasi tersebut, maka pekerjaan pengelolaan BMN
akan banyak menumpuk di Kantor Pusat DJKNKanwil DJKN seharusnya perlu
ditingkatkan peranannya dalam melakukan pemantauan dan penertiban
pengelolaan BMN. Sampai saa ini, persepsi di KPKNL dan Kanwil DJKN,
terkait dengan pelaksanaan KSP dan BGS/BSG, adalah bahwa kegiatan
tersebut merupakan urusan Kantor Pusat DJKN. Peran Kanwil DJKN sebatas
sebagai kepanjangan tangan Kantor Pusat DJKN, karena arestasi BMN yang
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
117
berada dalam kewenangannya, sangat terbatas (BMN dengan nilai dibawah Rp 5
Milyar).
A.4.4.3. Pembenahan SOP Dalam Melaksanakan Penertiban BMN
Sehubungan dengan uraian pada sub bab A.4.2.1, masih terdapat
kekurangan SOP secara internal DJKN dalam menindaklanjuti penertiban BMN
yang dilakukan oleh Penggung Barang/Kuasa Pengguna Barang, khususnya
dalam hal penertiban atas Penggunaan dan Pemanfaatan BMN oleh pihak lain.
Beberapa materi yang belum diatur secara lebih terperinci, antara lain:
1. Kriteria BMN yang terlanjur dimanfaatakan pihak ketiga, serta perlu
dilakukan penertiban, serta diilistrasikan dalam contoh konkret. Kretiria
serta contoh yang konkret ini penting, sehingga dapat memberikan
penegasan kepada KPKLN/Kanwil DJKN, dalam hal:
- Kriteria dan contoh BMN yang dimanfaatakan oleh Pihak Lain yang
tidak seisuai dengan ketentuan yang berlaku
- Kriteria BMN yang sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan
pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi BLU, sebagaimana diatur
dalam Psal 96 PP 27 Tahun 2014. Sehingga atas BMN yang dikelola
oleh BLU dan tidak memenuhi ketentuan tersebut, harus dilakukan
penertiban. Penertiban dalam hal ini diharuskan untuk mengajukan
permohonan lagi berupa permohonan pamanfaatan atas BMN yang
“terlanjur” digunakan pihak lain.
- Kriteria BMN dapat diajukan pemanfaatan berupa sewa BMN atau
Kerja Sama Pemanfaatan?
- Dan lain-lain yang perlu diatur
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
118
Pedoman yang jelas, terperinci, disertai dengan contoh, akan
memudahkan dalam mengimplentasikan pemrosesan penertiban BMN
yang “terlanjur” dimanfaatkan oleh Pihak Lain.
2. Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.06/2010
tentang Penataan Pemanfaatan BMN di Lingkungan Tentara Nasional
Indonesia. Ruang lingkup PMK tersebut adalah penataan atas
pemanfaatan BMN di lingkungan TNI yang sudah dilaksanakan namun
belum memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. Dalam penataan
tersebut diatur antara lain dalam Pasal 4, bahwa terhadapa pemanfaatan
BMN di lingkungan TNI harus diajukan untuk memperoleh persetujuan
Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang. Persetujuan Menteri
Keuangan tersebut menjadi dasar bagi Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang untuk melakukan perubahan (amandemen) dan/atau
penambahan (addendum) perjanjian pemanfaatan dengan mitra. Dalam
pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.06/2010, perlu
dibuatkan SOP di internal DJKN agar terdapat pemahaman yang
seragam (koheren) antara KPKNL, Kanwil DJKN serta Kantor Pusat
DJKN dalam melakukan penertiban dan pemrosesan permohonan
persetujuan pemanfaatan BMN berupa sewa. Kerja Sama Pemanfaatan
atau BGS/BSG.
3. Sebelum diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007,
dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2007, atas
pemanfaatan BMN mengacu kepada Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 470/KMK.01/1994. Jenis pemanfaatan BMN yang diatur dapat
berupa penyewaan, peminjaman serta Bangun Guna Serha (Built.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
119
Operate and Transfer/BOT). BOT dilaksanakan untuk jangka waktu
tertetu, dapat mencapai 30 tahun. Dengan diberlakukannya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2007, perlu dilakukan identifikasi
BMN yang dilakukan Kerja Sama mengacu kepada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 470/KMK.01/1994. Dalam hal ini juga juga perlu
diberikan penegasan bahwa atas pemanfaatan BMN yang sudah
dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan tersebut, bukan
merupakan objek penertiban.
4. Petunjuk pelaksanaan pemrosesan permohonan persetujuan
pemanfaatan BMN, sebagai tindak lanjut penertiban yang dilakukan oleh
internal, perlu diatur secara jelas, seperti:
- Apakah permohonan dapat diajukan secara gelondongan, apakah
sebaiknya satu-per satu bidang tanah? Atau dipisahkan tersendiri ke
dalam permohonan terkait sewa BMN dan Kerja Sama Pemanfaatan?
- Ketentuan persyaratan, sehingga permohonan sah diterima.
- Kriteria yang menyebabkan permohonan dapat ditolak secara
administratip.
- Jangka waktu sejak permohonan diterima sampai dengan diberikan
persetujuan, sesuai dengan jenis permohonan.
5. Dalam Pasal 102 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, yang
menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahuin 2007, disebutkan
Menteri Keuangan dapat memberikan alternatif bentuk lain pengelolaan
Barang Milik Negara atas permohonan persetujuan Penggunaan,
Pemanfaatan, dan Pemindahtanganan dari Pengguna Barang. Ketentuan
ini tentu saja memerlukan petunjuk pelaksanaan, serta SOP yang
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
120
terperinci, sehingga persetujuan Penggunaan, Pemanfaatan, dan
Pemindahtanganan dari Pengguna Barang dapat tidak sesuai dengan
permohonan Pengguna/Kuasa Pengguna, namun diberikan persetujuan
oleh Menteri Keuangan dengan alternatif bentuk lain.
A.5. Ketersediaan Sumber Daya Manusia berupa Manager Aset yang
mempunyai kapabilitas melakukan Pemantauan dan Penertiban BMN
Berdasarkan pengamatan dan wawancara di Kanwil DJKN dan
KPKNL, ketersediaan Sumber Daya Manusia yang menangani pemantauan dan
pertiban BMN di KPKN jumlahnya masih sedikit, tidiak sesuai denngan beban
kerja apabila kegiatan pemantauan dan penertiban BMN akan ditingkatkan
secara maksimal. Disamping itu, sumber daya yang ditempatkan untuk
melakukan pemantauan dan penertiban BMN bemum mempunyai pengetahuan
yang mencukupi terkait materi tentang tata cara pemantauan (baik berdasarkan
laporan maupun pengamatan lapangan), pengelolaan BMN, tata cara penertiban,
serta tata cara investigasi.
A.6. Insentif secara ekonomi dan non ekonomi bagi Pengguna Barang untuk
mengajukan Kerja Sama Pemanfaatan, atau usulanBangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna
Dengan adanya insentif, baik secara ekonomis maupun non ekonomis
maka akan memberikan dorongan bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguan
Barang untuk melaporkan BMN yang underused (belum digunakan secara
optimal), serta unused (idle) agar dapat lebih dioptimalkan penggunaannya.
Optimalisasi tersebut melalui pemanfaatan BMN, sehingga dapat menghasilkan
penerimaan berupa PNBP, serta mengurangi biaya pemeliharaan. Pemberian
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
121
insentif dalam pemanfaatan BMN sangat penting dilakukan.53, agar dapat
memberikan insentif bagi Pengguna/Kuasa Pengguna Barang.
Dalam PP Nomor 6 Tahun 2007, tidak diatur adanya insentif bagi
pejabat yang melakukan pengelolaan BMN yang menghasilkan penerimaan
negara. Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang juga enggan untuk
mengajukan pemanfaatan BMN berupa Kerja Sama Pemanfaatan atau
BGS/BSG karena takut adanya risiko terjadinya kerugian negara dalam proses
Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG tersebut54. Kondisi demikian
menjadikan disinsetif dalam optimalisasi penggunaan BMN melalui pemanfaatan
BMN oleh Pihak Lain. Pengguna/Kuasa Pengguna Barang lebih memilih untuk
tetap mempertahanakan aset unsused/idle serta tidak mengoptimalkan
penggunaan BMN yang underused, dengan tetap mempertahankan untuk
memperoleh biaya pemeliharaanya.
Dalam Pasal 100 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2014, yang menggantikan PP Nomor 6 Tahun 2007, disebutkan bahwa pejabat
atau pegawai yang melaksanakan pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
yang menghasilkan penerimaan Negara/Daerah dapat diberikan insentif.
Demikian pula Pejabat atau pegawai selaku pengurus barang dalam
melaksanakan tugas rutinnya dapat diberikan tunjangan yang besarannya
disesuaikan dengan kemampuan keuangan Negara/Daerah. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka telah terdapat payung hukum yang dapat memberikan
insentif kepada pejabat atau pegawai yang melaksanakan pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah yang dilakukan sewa, Kerja Sama Pemanfaatan dan
BGS/BSG yang menghasilkan penerimaan negara.
53
Penjelasan pembimbing 54
Hasil wawancara dengan Responden di lingkungan Kanwil DJKN Jakarta
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
122
A.7. Proses Pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atauBGS/BSGyang
dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang/Pengelola
Barang
A.7.1. Adanya Kemudahan/Hambatan dalam Pengajuan Usulan Kerja Sama
Pemanfaatan atauBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam pengajuan usulan
Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG antara lain :
a. Usulan Kerja Sama Pemanfaatan tanah dan/atau bangunan kepada
Pengelola Barang, dengan disertai bukti kepemilikan, gambar lokasi, luas,
dan nilai perolehan dan/atau NJOP tanah dan/atau bangunan,
pertimbangan yang mendasari usulan Kerja Sama Pemanfaatan, dan
jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan.
b. Pengelola Barang melakukan kajian atas usulan Pengguna Barang
tersebut, terutama menyangkut kelayakan kemungkinan Kerja Sama
Pemanfaatan BMN tanah dan/atau bangunan dimaksud. Oleh karena itu,
dalam usulan Kerjsama Pemanfaatan, serta BGS/BSG harus dilampirkan
proposal rencana kegiatan pengembangan, perkiraan cash flow, serta
kelayakan atas rencana bisnis yang diproyeksikan.
Secara umum tidak terdapat hambatan dalam Pengajuan Usulan Kerja
Sama Pemanfaatan atauBangun Guna Serah/Bangun Serah Guna. Namun
demikian Pengguna/Kuasa Pengguna Barang mengalami kesulitan dalam hal
memenuhi kelengkapan persyaratan. Sebagai contoh, persyaratan yang harus
dilampirkan adalah proposal rencana kegiatan pengembangan, perkiraan cash
flow, serta kelayakan atas rencana bisnis yang diproyeksikan. Pada
pelaksanaannya, pembuatan prosposal atas rencana kegiatan pengembangan,
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
123
perkiraan cash flow, serta kelayakan atas rencana bisnis yang diproyeksikan
dilakukan oleh calon mitra Kerja Sama.
A.7.2. Adanya Kemudahan/Hambatan dalam Melaksanakan Proses Tender dan
penentuan Mitra Kerja Sama.
Apabila permohonan Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG telah
mendapatkan persetujuan dari Pengelola Barang, dalam hal BMN berada pada
Pengguna Barang, Pengguna Barang melakukan tender untuk mendapatkan
mitra Kerja Sama Pemanfaatan. Dalam ketentuan sebelumnya, sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2007, pemilihan
mitra Kerja Sama Pemanfaatan serta BGS/BSG dilaksanakan melalui tender
dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya. 5 peserta/peminat, lihat tabel
2.2. pada Bab II. Ketentuan tersebut menjadi hambatan dalam pelaksanaan
tender.
Mengantisipasi hambatan dalam pelaksanaan tender tersebut, dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, telah dilakukan perubahan.
Tender dilakukan dengan tata cara:
a. Rencana tender diumumkan di media massa nasional;
b. Tender dapat dilanjutkan pelaksanaannya sepanjang terdapat paling sedikit
3 (tiga) peserta calon mitra yang memasukkan penawaran;
c. Dalam hal calon mitra yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga)
peserta, dilakukan pengumuman ulang di media massa nasional;
d. Dalam hal setelah pengumuman ulang:
1. terdapat paling sedikit 3 (tiga) peserta calon mitra, proses dilanjutkan
dengan mekanisme tender;
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
124
2. terdapat 2 (dua) peserta calon mitra, tender dinyatakan gagal dan
proses selanjutnya dilakukan dengan mekanisme seleksi langsung;
atau
3. terdapat 1 (satu) peserta calon mitra, tender dinyatakan gagal dan
proses selanjutnya dilakukan dengan mekanisme penunjukan
langsung.
Berkaitan dengan pelaksanaan tender untuk menentukan mitra kerja
sama, perlu dilakukan pelatihan mengenai tata cara tender tersebut, sehingga
pelaksanaan tender dapat dilaksanakan oleh pejabat yang telah memenuhi
kualifikasi tersebut serta diberikan sertifikasi.55
A.7.3. Adanya kemudahan/hambatan dalam melakukan Perjanjian Kerja Sama.
Apabila Pengguna Barang telah menetapkan mitra Kerja Sama
Pemanfaatan berdasarkan hasil pelaksanaan pemilihan mitra kerja sana melalui
tender, disertai dengan penetapan besaran kontribusi tetap dan pembagian
keuntungan. Pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan dituangkan dalam bentuk
naskah perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan antara Pengguna Barang dengan
mitra Kerja Sama Pemanfaatan yang sekurang-kurangnya memuat pihak mitra
Kerja Sama Pemanfaatan, besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan,
serta jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan.
Secara teknis tidak terdapat hambatan dalam melakukan perjanjian Kerja
Sama, sepanjang tahapan sebelumnya, sampai dengan proses pemilihan mitra
kerja sama melalui tender, dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
A.7.4. Adanya kemudahan/hambatan dalam melakukan monitoring
pelaksanaan perjanjian Kerja Sama.
55
Penjelasan responden pada Kanwil DJKN Bandung
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
125
Apabila telah dilakukan proses penandatanganan/perjanjia Kerja Sama,
maka BMN yang menjadi objek Kerja Sama Pemanfaatan dituangkan dalam
berita acara serah terima. Selajtunya Pengguna Barang menyampaikan laporan
pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan kepada Pengelola Barang. Pengguna
Barang bersama-sama dengan Pengelola Barang melakukan monitoring,
evaluasi dan penatausahaan pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan BMN
tersebut. Apabila mitra kerja sama mengajukan perpanjangan jangka waktu
Kerja Sama Pemanfaatan BMN, maka Pengguna Barang akan melakukan
evalusi permohonan tersebut. Perpanjangan waktu kerja sama dapat dilakukan
setelah dievaluasi oleh Pengguna Barang dan disetujui oleh Pengelola Barang;
Secara teknis tidak terdapat hambatan dalam melakukan monitoring
pelaksanaan perjanjian Kerjas Sama, sepanjang ditunjuk secara khusus petugas
pelaksana monitoring serta terdapat pendanaan untuk kegiatan monitoring
tersebut.
A.8. Proses Pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSGyang
dilakukan oleh Pengelola Barang
Proses pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan ata BGS/BSGpada
Pengelola Barang akan dapat dilaksanakan dengan cepat apabila permohonan
oleh Pengguna Barang/Kuasa Penguna diajukan secara jelas, benar, serta
persyaratannya lengkap. Beberapa hal yang masih menjadi kendala dalam
proses pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSGdapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1. Kelengkapan persyaratan permohonan, antara lain harus melampirkan
proposal mengenai rencana bisnis yang akan dikembangkan terhadap
penggunaan BMN yang akan dimanfaatkan pihak lain.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
126
2. Secara teoritis, “nilai” pemanfaatan atas aset negara/BMN harus
ditentukan berdasarkan harga yang terbentuk sesuai dengan mekanisme
pasar. Oleh karena “nilai” merupakan suatu konsep ekonomis, maka
akan terjadi perbedaan sudut pandang antara calon mitra kerja sama
yang akan melakukan investasi, serta Penilai yang dalam hal ini mewakili
kepentingan Pemerintah sebagai pemilik BMN. Studi mengenai pasar
properti, analisis Highest and Best Use (Penggunaan Tertinggi dan
Terbaik), serta penentuan capitalization rate (tingkat kapitalisasi), menajdi
kunci agar perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuantungan
merepresentasikan harga pasar yang sebenarnya56.
3. Jangka Waktu penyelesaian permohonan. Ketentuan mengenai
pengaturan jangka waktu yang telah diatur adalah mengenai jangka
waktu penilaian. Sedangkan jangka waktu penerimaan sampai dengan
penyelesaian permohonan belum diatur secara jelas.
A.8.1. Metode Kajian Kelayakan serta Perhitungan Kontribusi Tetap dan
Pembagaian Keuntungan terkait KSP dan BGS/BSG
A.8.1.1. Karateristik Pasar Properti, serta Konsep Nilai Wajar
Beberapa permohonan Kerja Sama Pemanfaatan yang diajukan oleh
Pengguna Barang, dam telah mendapatkan persetujuan dari Pengelola Barang,
namun tidak ada calon mitra kerja sama yang mengajukan sebagai peserta
tender. Perihal yang menjadi hambatan adalah dalam persetujuan pengelola
tersebut, besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan yang ditetapkan
lebih besar daripada yang diajukan oleh Pengguna Barang sebagaimana
disampaikan dalam proposal kelayakan bisnis.
56
Penjelasan responden pada Direktorat Penilaian.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
127
Perbedaan sudut pandang antara penjual dan pmbeli terjadi karena sifat
pasar properti merupakan pasar yang tidak sempurna, dimana terjadi asymetric
information. Terdapat kesenjangan (disparitas) informasi antara penjual dan
pembeli. Sifat pasar properti tersebut dipengaruhi oleh beberapa karakteristik
dari properti yaitu:
Immobility: properti tidak mudah untuk dipindahkan.
Heterogenity: masing-masing properti memiliki karakteristik yang unik dan
berbeda satu dengan yang lainnya.
Unliquid: properti tidak mudah untuk secepatnya ditukar dalam bentuk uang
karena hambatan dari pasar properti yang bersifat tidak sempurna.
Durability: properti merupakan barang yang tahan lama, yang memiliki
waktu penggunaan yang panjang.
Legal complexity: properti sangat terkait dengan aspek legal yang
berhubungan dengan hak penguasaan atas properti dan hak tersebut akan
berpengaruh pula terhadap nilai properti.
Oleh karena properti mempunyai karateristik yang khusus maka
pasar properti memiliki perbedaan dengan pasar-pasar komoditas lain. Terdapat
beberapa sifat yang membedakan pasar properti dengan pasar produk lain,
antara lain:
1) Tidak ada pusat pasar
2) Pasar yang tidak terorganisir
3) Pasar dengan stratifiaksi tinggi
4) Pasar dengan persaingan tidak sempurna
5) Pasar dengan pasar tidak elastis
6) Pasar dengan sedikit pembeli dan sedikit penjual
7) Pasar yang berdasarkan intuisi
8) Pasar yang kekurangan informasi
9) Pasar dengan berbagai kepentingan
10) Pasar bersifat lokal
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
128
Secara teoritis, “nilai” pemanfaatan atas aset negara/BMN harus
ditentukan berdasarkan harga yang terbentuk sesuai dengan mekanisme pasar.
Disinilah peran penilai, melalui proses sesuai tahapan penilaian, akan dapat
menghasilkan suatu nilai yang merupakan konsep ekonomis yang merujuk pada
hubungan financial antara barang dan jasa yang tersedia untuk dibeli dan dijual.
Nilai yang dihasilkan oleh Penilai Pemerintah atau Penilai Publik yang ditetapkan
oleh Pengelola Barang dalam kegiatan pemindahtanganan, mengacu kepada
ketentuan Pasal 50 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, yang
berbunyi “Penilaian BMN dilaksanakan untuk mendaptkan nilai wajar sesuai
dengan ketentuan yang berlaku”.
“Nilai Wajar” adalah estimasi harga yang akan diterima dari penjualan
aset atau dibayarkan untuk penyelesaian kewajiban antara pelaku pasar yang
memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar pada tanggal
Penilaian. Yang dimaksud dengan “ketentuan perundang-undangan”
diantaranya ketentuan yang mengatur mengenai standar penilaian. Menurut
Standar Penilaian Indonesia 2 (SPI 2), nilai wajar mengacu kepada IVS 2011
adalah “Estimasi harga dari pengalihan suatu aset atau kewajiban, diantra para
pihak yang memahami dan berminat sesuai dengan kepentingannya. Nilai wajar
yang diperoleh dari hasil Penilaian menjadi tanggung jawab penilai.
A.8.1.2. Perhitungan Sewa Vs Kerja Sama Pemanfaatan
Secara teoritis, dalam perhitungan kontribusi tetap dan pembagian
keuntungan dana Kerja Sama Pemanfaatan, harus memperhitungkan untung
dan rugi atas investasi yang ditanamkan dengan mempertimbangkan keadaan
yang akan datang (future), dalam jangka waktu yang cukup lama, dimana pada
jangka waktu tersebut kemungkinan terjadi perubahan kondisi, dimana faktor
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
129
risiko yang dihadapai cukup besar.57 Apabila diperbandingkan dengan sewa,
maka sewa akan lebih memberikan keuntungan kepada investor karena
pembayarannya dapat dilakukan secara periodik (jangka waktu investasi tidak
panjang), serta pembayarannya lebih mudah (low investasi). Oleh karena itu,
dari sudut pandang investor, sebenarnya investor lebih memilih melakukan
sewa.
Namun demikian, dalam rencana pengembangan bisnis, investor
membutuhkan kepastian mengenai jangka waktu yang lebih lama agar investasi
yang telah ditanamkan. Oleh karena itu, apabila jangka waktu sewa paling lama
5 tahun, jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSGdapat mencapai
30 tahun, bahkan untuk investasi di bidang penyediaan infrastruktur dapat
pencapai 50 tahun. Meskipun dalam Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG
mitra kerja sama memanfaatkan BMN dalam jangka 30 atau 50 tahun, namun
biaya investasi yang dikeluarkan juga cukup besar, demikian juga risiko
usahanya juga cukup besar. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka besaran
kontribusi tetap serta pembagian keuntungan yang dibayarkan oleh calon mitra
kerja sama seharusnya lebih kecil (diekuivalenkan) dibandingkan dengan
apabila pembayaran dilakukan melalui sewa58.
A.8.1.3. Metode Analisis Kelayakan Bisnis Proposal Kerja Sama Pemanfaatan
Barang Milik Negara oleh Pengelola Barang
Tujuan analisis kelayakan bisnis proposal KSP BMN adalah:
a. Mereviu kelayakan bisnis atas permohonan KSP BMN dari segi keuangan;
57
Penjelasan Arik Haryono, Kepala KPKNL Jakarta Dua 58
Ibid
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
130
b. Mereviu usulan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan
mengusulkan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan.59
Hasil analisis kelayakan bisnis proposal KSP BMN dari Penilai Direktorat
Jenderal digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pengelola untuk (a)
menentukan kelayakan bisnis atas permohonan KSP BMN dari segi keuangan;
dan (b) menetapkan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan.
Dalam melakukan analisis kelayakan bisnis atas proposal KSP BMN, Tim
Penilai Direktorat Jenderal berwenang untuk:
a. meminta kelengkapan dokumen kepada Pengelola Barang;
b. meminta pemaparan proposal KSP kepada Pengelola Barang; dan
c. mengembalikan permohonan kepada Pengelola Barang.
Dalam penyusunan proposal KSP BMN, yang pertama kali harus disusun
adalah proyeksi jangka waktu pelaksanaan proyek, dalam Kerja Sama Pemanfaatan
dapat mencapai 30 tahun. Selanjutnya dibuat analisis cash flow (analisis proyeksi laba
rugi arus kas) selama jangka waktu proyek tersebut. Pada tahun pertama dan tahun
kedua, pada umumnya dilakukan tahap konstruksi, dimana biaya yang dikeluarkan
disebut dengan initial outlay, dimana pada jangka waktu tersebut proyek masih
mengalami kerugian (negatip cash flow), Lihat Gambar 3.6.
Selanjutnya, apabila proyek tersebut sudah menghasilkan pendapatan, maka
akan didapatkan cash flow yang positip. Cash flow selama tahun ke-1 sampai dengan
tahun ke-30 dinilai tahun ke-0, saat ini, atau dihitung Present Value. Parameter yang
dipakai untuk menghitung nilai yang akan datang kepada nilai saat ini adalah tingkat
diskon (R). Apabila NPV (Net Present Value) =0, maka proyek tersebut layak (feasible).
Disamping NPV (Net Present Value), terdapat cara lain yaitu dengan IRR (internal rate of
59
Penjelasan responden pada Direktorat Penilaian BMN
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
131
return). Perhitungannya tetap berdasar cash flow tersebut. Apabila dalam proyek
tersebut ditentukan besarnya R sebesar 13%, dan dari perhitungan didapatkan R lebih
besar dari 13%, maka proyek dinyatakan layak
Pelaksanaan analisis kelayakan bisnis proposal KSP BMN meliputi:
a. Analisis proyeksi laba rugi dan arus kas;
b. Analisis kontribusi tetap;
c. Analisis pembagian keuntungan; dan
d. Analisis indikator keuangan untuk proyek KSP, Mitra KSP dan Pemerintah.
Gambar 4.1. Perhitungan Net Present Value dari Rencana Proyek
A.8.1.3.1. Analisis proyeksi laba rugi dan arus kas
Analisis proyeksi laba rugi dan arus kas meliputi:
1. Analisis besaran dan asumsi-asumsi terkait dengan pendapatan yang
berkaitan dengan pemanfaatan BMN selama masa Kerja Sama
Pemanfaatan yang diusulkan dalam proposal. Dalam hal diperlukan, Tim
Penilai dapat menyesuaiakn besaran pendapatan tersebut.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
132
2. Analisis besaran dan asumsi-sumsi terkait dengan beban yang berkaitan
dengan pemanfaatan BMN selama masa Kerja Sama Pemanfaatan yang
diusulkan dalam proposal. Dalam hal diperlukan, Tim Penilai dapat
menyesuaiakn besaran beban tersebut.
3. Analisis proyeksi laba rugi yang berkaitan dengan pemanfaatan BMN
selama masa Kerja Sama Pemanfaatan yang diusulkan dalam proposal.
Dalam hal diperlukan, Tim Penilai dapat menyesuaiakn proyeksi laba rugi
tersebut.
4. Analisis capital expenditure yang berkaitan dengan pemanfaatan BMN
selama masa Kerja Sama Pemanfaatan yang diusulkan dalam proposal.
Dalam hal diperlukan, Tim Penilai dapat menyesuaiakn capital expenditure
tersebut.
5. Menghitung alokasi sinking fund yang merupakan cadangan penggantian
(reerve for replavement) sebagai persiapan capital expenditure.
A.8.1.3.2. Analisis Kontribusi Tetap.
Analisis kontribusi tetap meliputi:
1. Kontribusi tetap merupakan hasil perkalian dari:
a. Besaran persentase kontribusi tetap
b. Nilai wajar BMN yang menjadi objek Kerja Sama Pemanfaatan
2. Perhitungan besaran persentase kontribusi tetap dilakukan dengan
mempertimbangkan (a) nilai investasi pemerintah, sebesar nilai wajar BMN
yang dijadikan objek KSP (b) tingkat risiko yang ditanggung oleh mitra Kerja
Sama Pemanfaatan (c) Tingkat IRR dan NPV yang diterima oleh Mitra KSP.
3. Besaran kontribusi tetap atas BMN berupa tanah diperhitungkan mengalami
kenaikan tahunan dengan mempertimbangkan estimasi tingkat inflasi.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
133
Estimasi tingkat inflasi berdasarkan rata-rata tingkat inflasi dari
kabupaten/kota sekurang-kurangnya selama tiga tahun terakhir. Data inflasi
yang digunakan adalah data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik.
Dalam hal tidak terdapat data inflasi kabupaten/kota, Tim Penilai Direktorat
Jenderal dapat menggunakan data inflasi provinsi atau nasional.
A.8.1.3.3. Analisis Pembagian Keuntungan
Analisis pembagian keuntungan meliputi:
1. Mereviu persentase pembagian keuntungan yang diusulkan dalam Proposal
Kerja Sama Pemanfaatan BMN.
2. Mereview besaran keuntungan yang diusulkan dalam Proposal Kerja Sama
Pemanfaatan BMN.
3. Persentase pembagian keuntungan dihitung berdasarkan arus kas bersih
dari kegiatan operasi dan kegiatan investasi (selanjutnya disingkat sebagai
AKB KOKI). Dalam hal Mitra KSP menggunakan pinjaman dalam
pembiayaan investasi awal (initial outlay) KSP BMN, beban bunga yang
terjadi tidak diperhitungkan dalam pembagian keuntungan. Dalam hal KSP
merupakan penambahan unit usaha, maka pembagian keuntungan
didasarkan pada arus kas bersih tambahan (incremental) dari kegiatan
operasi dan investasi.
4. Penentuan persentase pembagian keuntungan antara Pemerintah dengan
Mitra KSP, dilakukan dengan mempertimbangkan, antara lain:
a. Nilai investasi Pemerintah sebesar nilai wajar BMNyang dijadikan Objek
KSP;
b. Nilai investasi Mitra KSP(initial outlay), bila ada investasi dari Mitra;
c. Tingkat risiko yang ditanggung MitraKSP; dan/atau
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
134
d. Tingkat IRR dan NPV yang diterima oleh Mitra KSP.
5. Perhitungan pembagian keuntungan dari AKB KOKI dilakukan dengan
asumsi:
a. Kontribusi tetap untuk Pemerintah dipertimbangkan terlebih dahulu;
b. Premi risiko untuk Mitra dikurangkan sebelum dibagi antara Pemerintah
dengan Mitra;
c. Selanjutnya AKB KOKI didistribusikan berdasarkan kontribusi aset.
6. Penentuan asumsi premi risiko bagi Mitra adalah dengan
mempertimbangkan:
a. Risiko bisnis dan risiko finansial yang ditanggung Mitra;
b. NPV Mitra;
c. Perbandingan IRR Mitra dengan cost of capitalnya;
d. Perbandingan Discounted Payback Period dengan masa KSP BMN.
7. Perhitungan pembagian keuntungan dan analisis kelayakan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d dengan menggunakan
arus kas bersih dari kegiatan operasi dan kegiatan investasi dengan
memperhatikan:
a. Kegiatan operasi meliputi kegiatan rutin yang berkaitan dengan
pelaksanaan KSP BMN. Contoh kegiatan operasi antara lain pembelian
bahan baku, pembayaran beban operasi, dan penjualan produk atau
jasa;
b. Kegiatan investasi merupakan kegiatan capital expenditures yang
bertujuan untuk mempertahankan/meningkatkan kapasitas produksi,
pemeliharaan maupun penggantian aset tetap KSP BMN. Yang
dimaksud dengan pemeliharan dalam konteks kegiatan investasi adalah
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
135
pemeliharan yang bebannya dapat dikapitalisasi berdasarkan kriteria
standar akuntansi yang berlaku umum seperti overhaul mesin dan
peralatan, overhaul gedung. Penggantian aset KSP BMN antara lain
berupa penggantian kendaraan operasional, pengantian mesin dan
pergantian peralatan.
8. Tim Penilai Direktorat Jenderal dapat mengajukan satu atau beberapa
variabel lain sebagai dasar pembagian keuntungan selain AKB KOKI antara
lain:
a. penjualan(sales);
b. laba bruto(gross profit);
c. Earning Before Interest, Tax, Depreciation and Amortisation (EBITDA);
d. Earning Before Interest and Tax (EBIT); dan/atau
e. Earning After Tax (EAT) tanpa beban bunga
9. Variabel pada angka 8 diurutkan dengan mempertimbangkan tingkat risiko
dan potensi return bagi Pemerintah dari yang terkecil sampai dengan yang
terbesar.
10. Dengan adanya perbedaan risiko dan return dalam penggunaan variabel
pada angka 8 sebagai dasar pembagian keuntungan, Tim Penilai Direktorat
Jenderal dapat melakukan penyesuaian terhadap besaran persentase
pembagian keuntungan yang telah dikonversi dari yang sebelumnya
berdasarkan AKB KOKI menjadi berdasarkan variabel lain. Besaran
penyesuaian dengan mempertimbangkan tingkat risiko yang ditanggung
Mitra.
11. Tim Penilai Direktorat Jenderal dapat menggunakan margin variabel pada
huruf j terhadap penjualan sebagai salah satu indikasi risiko yang ditanggung
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
136
Pemerintah dan Mitra. Semakin besar margin terhadap penjualan, semakin
besar risiko Mitra bila menggunakan variabel tersebut sebagai dasar
pembagian keuntungan.
A.8.1.3.4. Analisis Indikator Keuangan
Analisis pembagian keuntungan meliputi:
1. Analisis tingkat diskon (R)
2. Analisis Net Present Value (NPV)
3. Analisis Internal Rate of Return (IRR)
4. Analisis Payback Period (PP)
A.8.1.3.5. Kesimpulan Mengenai Metode Kajian Kelayakan serta Perhitungan
Kontribusi Tetap dan Pembagaian Keuntungan terkait KSP dan
BGS/BSG yang dikembangkan DJKN
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat metode kajian kelayakan kerja
sama pemanfaatkan telah dilakukan sesuai dengan kaidah penilain secara
benar. Namun demikian terdapat beberapa hal yang perlu diperinci, antrara lain:
1. Bagaimana metode penilaian dalam melakukan koreksi atas besaran dan
asumsi-asumsi terkait dengan pendapatan ?
2. Bagaimana metode penilai dalam melakukan koreksi atas besaran dan
asumsi-sumsi terkait dengan beban ?
3. Bagaimana metode penilai dalam melakukan koreksi analisis proyeksi laba
rugi ?
4. Ketika melakukan perhitungan pembagian keuntungan, terdapat ketentuan
bahwa dalam hal Mitra KSP menggunakan pinjaman dalam pembiayaan
investasi awal (initial outlay) KSP BMN, beban bunga yang terjadi tidak
diperhitungkan dalam pembagian keuntungan. Pada investasi properti,
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
137
penentuan tingkat diskon merepresentasikan tingkat risiko yang akan dimiliki
atas suatu investasi/kepemilikan suatu properti. Tingkat diskon tersebut akan
lebih besar apabila menggunakan pinjaman dari Bank. Ketentuan bahwa
beban bunga yang terjadi tidak diperhitungkan dalam pembagian
keuntungan akan merugikan dari sisi investor, karena harus menerapkan
tingkat diskon yang rendah. Ketentuan ini tidak merepresentasikan kondisi
pasar yang sesungguhnya dalam investasi properti.
5. Sehubungan dengan butir 4, bagaimana penentuan tingkat diskonto (yield
capitalization) yang mereprestasikan pasar, sehingga investor dapat
memperoleh pengembalian (return) sesuai dengan tingkat diskon (discount
rate) rata-rata di pasaran atas investasi modal (equity), ketika investasi
tersebut ditanamkan pada sektor yang sama?
6. Keuntungan dalam investasi properti, disamping pendapatan/income yang
dapat diperoleh dari operasional properti tersebut, atau disewakan, adalah
diperolehnya keuntungan berupa capital gain (keuntungan atas pembelian
awal dengan harga jual), karena nilai properti pada umumnya nilainya akan
meningkat dari tahun ke tahun. Pada saat selesainya Kerja Sama, properti
yang dikembangkan akan dikembalikan sebagai BMN,. sehingga investor
tidak akan mendapatkan capital gain tersebut. Dalam perhitungan
kelayakan,, tidak memperhitungkan nilai penjualan kembali (resale) dari
aset. Kondisi demikian harus dipertimbangkan dalam menentukan
kontribusi tetap dan pembagian keuntungan, sehingga proyek tetap menarik
bagi investor. .
Pada prinsipnya apabila dalam penentuan cash flow, tingkat diskonto,
serta parameter lainnya dalam melakukan studi kelayakan dilakukan dengan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
138
merepresentasikan pasar, maka perhitungan kontribusi tetap serta pembagian
keuntungan akan dapat diterima baik oleh Pengeola Barang (selaku pengelola
Barang) serta calon mitra kerja sama (investor).
Dalam perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan, beban
penilai cukup berat. Hasil dari penilaian menjadi tanggung jawab penilai.
Apabila perhitungan konribusi tetap dan pembagian keuntungan rendah, maka
berpotensi merugikan keuangan negara, Di satu sisi, apabila perhitungan
kontibusi tetap dan pembagian keuntungan terlalu besar, maka tidak ada calon
mitra kerja sama yang berminat. Agar dalam perhitungan kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan lebih fair (merepresenasikan kondisi pasar), sebaiknya
Kantor Pusat DJKN melakukan kajian berupa survey/analisis pasar secara
berkala (setiap tahun), terutama dalam menetukan besaran discount rate yang
merepresentasikan/sesuai dengan kondisi pasar. Kajian tersebut dirilis dalam
web internal DJKN, sehingga dapat diakses, dan selanjutnya dijadikan referensi
oleh penilai DJKN dalam menentukan discount rate ketika melakukan analisis
kelayakan suatu proposal Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna.
A.8.2. Proses Penerbitan Persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan
Apabila Penilai telah melakukan studi kelayakan, serta menentukan
perhitungan pembagian kontribusi tetap dan pembagian keuantungan, maka
Pengelola Barang menerbitkan Surat Persetujuan. Berdasarkan persetujuan dari
Pengelola Barang tersebut , Pengguna Barang melakukan tender untuk
mendapatkan mitra Kerja Sama Pemanfaatan.
Secara teknis tidak terdapat hambatan dalam Penerbitan Persetujuan
Kerja Sama Pemanfaatan tersebut, sepanjang tahapan sebelumnya, sampai
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
139
dengan proses Penilaian untuk menentukan besaran kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan dapat dilaksanakan dengan
A.9. Evaluasi Produk Kebijakan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun
Guna Serah/Bangun Serah Guna
Sebagaimana diuraiakan dalam Bab I, penelitian ini dalandasi oleh
pemikiran bahwa sampai saat ini realisasi Kerja Sama Pemanfaatan masih
rendah, rata-rata teraliasai 1 penandatangan Kerja Sama Pemanfaatan dalam
setahun.60 Oleh karena sedikitnya realisasi penandatangan Kerja Sama
Pemanfaatan tersebut, maka mempengaruhi kinerja DJKN sebagai manager aset
untuk:
1 Meningkatkan Penerimaan Negara Melalui Setoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP)
2 Menyediakan Bangunan dan Fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan
Tupoksi yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam APBN
3 Menyediakan biaya pemeliharaan BMN yang tidak harus disediakan dari
APBN
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan evalusi kebijakan dengan menggunakan model CIPP, serta
n data yang telah dianalisis sebagaimana pada pembahasan analisis data, maka
dapat diambil kesimpulan mengenai evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi
proses, serta evaluasi produk, yaitu sebagai berikut.
B.1. Evaluasi Konteks
60
Keterangan Responden di Direktorat PKNSI Kantor Pusat DJKN
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
140
Evaluasi kontek antara lain berhubungan dengan uji apakah tujuan
dirumuskan secara jelas dan spesifik atau tidak. Berdasarkan analisis data,
kebijakan Kerja Sama Pemanfaatan serta BGS/BSGbelum difamahi secara
benar oleh Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang.
Kondisi yang demikian dikarenakan:
a. Banyaknya peraturan yang bersinggungan yang mengatur tentang
penggunaan/pemanfaatan aset negara, antara lain :
- Undang-undang Pokok Agraria yang antara lain mengatur tentang
Hak Pengelolaan yang dapat diberikan kepada
Kementerian/Lembaga, BUMN. Dalam rangka pelaksanaan tugas
dan fungsi, suatu kementerian lembaga dapat diberikan Hak
Pengelolaan, yaitu merupakan Hak Menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegangnya.
- Ketentuan tentang Badan Layanan Umum, yang diberikan wewenang
untuk melakukan pengelolaan keuangan yang memberikan
fleksibiltas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek
bisnis sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, yang
disebut Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-
BLU).
b. Kurangnya tindakan pemantaun/ penertiban atas BMN yang telah
(terlanjur) dimanfaat oleh pihak lain. Penertiban yang dilakukan oleh
Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang sangat
c. lambat, sehingga kondisi saat ini dianggap telah sesuai ketentuan.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
141
d. Tidak adanya penegasan, serta petunjuk pelaksanaan yang lebih
terperinci, mengenai permasalahan di lapangan terkait dengan usulan
pemanfaatan BMN serta penertiban atas pemanfaatan BMN.
Berikut ini ringkasan hasil analisis data atas survey yang dilakukan
terhadap indikator variabel Evaluasi Konteks.
Tabel 4.3. Ringkasan Hasil Analisis Data atas Survey yang dilakukan Terhadap
Indikator Variabel Evaluasi Konteks.
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
A EVALUASI KONTEKS Kejelasan rumusan Tujuan Kerja Sama Pemanfaatan danBGS/BSGoleh Penggelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang
A.1. Pemahaman mengenai BMN Idle,
Masih terdapat perbedaan penafsiran mengenai kriteria BMN idle. Uraian : Pada suatu kasus, Pengguna Barang mengajukan usulan sewa atas tanah yang diatasnya terdiri dari beberapa bangunan, yang pada saat pengajuan permohonan telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga. KPNKL menolak permohonan tersebut karena atas BMN tersebut seharusnya diserahkan kepada Pengelola Barang, karena termasuk BMN, sehingga tidak dapat diajukan sewa oleh Pengguna Barang
Negatip (-)
BMN idle adalah BMN unsused serta BMN yang
secara keseluruhan (satu hamparan) yang telah
digunakan/ dimanfaatakan pihak ketiga, oleh karena itu,
harus diserahkan kepada Pengelola Barang. Namun
demikian terdapat ketentuan yang bertentangan dengan
hal tersebut, yaitu ketentuan sewa sebagaiman diatur
dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 33/PMK.06/2012 tentang tata cara pelaksanaan
sewa BMN yang mengatur bahwa BMN dapat
disewakan sepanjang berada dalam kondisi tidak
digunakan oleh Pengelola Barang atau Pengguna
Barang dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi.
Apakah menurut ketentuan ini mengenai “dalam
kondisi tidak digunakan oleh Pengelola Barang atau
Pengguna Barang dalam rangka pelaksanaan tugas dan
Negatip (-)
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
142
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
fungsi” juga termasuk BMN idle?
Penafsiran mengenai BMN idle juga mengacu kepada
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
250/PMK.06/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan BMN
yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas
dan Fungsi Kementerian/Lembaga, yang menyebutkan
bahwa dikecualikan dari BMN idle adalah:
- BMN yang direncanakan untuk digunakan oleh
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan
sebelum berakhirnya tahun ketiga
- BMN yang direncanakan untuk dimanfaatkan
sebelum berakhirnya tahun kedua
Apakah menurut ketentuan ini, BMN yang direncanakan
untuk digunakan oleh Kementerian/Lembaga yang
bersangkutan sebelum berakhirnya tahun ketiga,
sehingga bukan termasuk kriteria BMN idle, dapat
disewakan ?
Apakah menurut ketentuan ini, BMN yang direncanakan
untuk dimanfaatkan sebelum berakhirnya tahun kedua
sehingga bukan termasuk kriteria BMN idle, dapat
disewakan? Apakah rencana pemanfaatan tersebut
termasuk pemanfaatan oleh Pihak ketiga melalui sewa,
Kerja Sama Pemanfaatan, atau Bangun Guna
Serah/Bangun Serah Guna?
A.2 Pemahaman
apabila BMN idle
diserahkan oleh
Pengguna Barang
kepada Pengelola
Barang
Pengguna Barang enggan menyerahkan BMN idle
kepada Pengelola Barang
Uraian :
Faktor-faktor yang mempengaruhi BMN idle jarang
diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola
Barang:
a. Keterbatasan sarana prasarana serta sumber daya
SDM pada Pengelola Barang maupun Pengguna
Barang untuk melakukan pengawasan dan
penertiban.
b. Pengguna Barang pada dasarnya enggan
menyerahkan aset idle kepada Pengelola Barang,
karena hanya akan mendapatkan disinsentip, yaitu
asetnya beralih kepada Pengelola Barang.
c. Adanya ketentuan bahwa aset yang diserahkan,
harus diterima oleh Pengelola Barang dalam
Negatip (-)
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
143
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
keadaan clean and clear, atau tidak terdapat
permasalahan hukum.
d. Tidak ada biaya pemelihaaran BMN pada Pengelola.
A.3 Pemahaman
mengenai konsep
perbedaan antara
sewa, Kerja Sama
Pemanfaatan dan
Bangun Guna
Serah/Bangun
Serah Guna.
Pemahaman yang kurang tepat mengenai perbedaan
antara mekanime pemanfaatan BMN berupa sewa,
kerjasa pemanfaatan danBangun Guna Serah/Bangun
Serah Guna.
Uraian :
Sebagai contoh, di Kanwil Bandung, suatu satker
mengajukan permohonan sewa atas BMN tanah kosong
yang telah didirikan bangunan, atau telah
dikembangkan struktur (konstruksi) baru. Apabila dilihat
dari ketentuan sebagaimana dalam dalam Pasal 64
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.06/2012
tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa BMN, yang
mengatur bahwa penyewa hanya dapat mengubah
bentuk BMN “ tanpa mengubah konstruksi dasar
bangunan”, maka objek tersebut seharusnya diajukan
permohonan Kerja Sama Pemanfaatan atau
BGS/BSGkarena telah didirikan bangunan pada suatu
tanah kosong atau dikembangkan struktur (konstruksi)
baru pada bangunan yang sudah ada.
Negatip (-)
A.4 Pemahaman
bahwa Kerja Sama
Pemanfaatan dan
BGS/BSGakan
dapat memperkuat
APBN.
Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang memahami bahwa Kerja Sama Pemanfaatan
danBGS/BSGakan dapat memperkuat APBN. Namun
masih terdapat kendala agar Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang bersedia mengajukan usulan.
Uraian
Pada umumnya Pengelola Barang/Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang memiliki pemahaman
bahwa apabila atas aset idle/unused, underutilize,
Negatip (-)
Terdapat
kendala
dalam
pengusulan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
144
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
serta underused tersebut dapat dilakukan Kerja Sama
Pemanfaatan atau Bangun Guna Serah/Bangun Serah
Guna, maka akan dapat memperkuat APBN.
Namun demikian, Pengguna Barang enggan untuk
mengajukan usulan pemanfatan BMN berupa Kerja
Sama Pemanfaatan danBGS/BSGatas aset
idle/unused, underutilize, serta underused, karena
takut akan terdapat permasalah hukum di kemudian hari
karena adanya unsur kerugian negara dalam
pelaksanaanya. Disamping itu tidak ada insentip
apapun bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang yang mengajukan usulan tersebut.
A.5. Pemahaman
mengenai
optimalisasi
pendayagunaan
aset idle/unused,
underutilize, serta
underused
Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang memahami perlunya pendayagunaan aset
idle/unused, underutilize, serta underused. Namun
terdapat kendala, terutama dalam penertiban
pemanfaatan BMN yang telah/terlanjur dimanfaatkan
pihak ketiga yang tidak sesuai dengan ketentuan. Oleh
karena itu, aturan yang ada masih perlu diperjelas.
Uraian
Terdapat beberapa kasus dimana Pengelola Barang
sangat berhati-hati dalam menindaklanjut penertiban
yang telah dilakukan Pengguna Barang, dengan
mengajukan usulan persetujuan Kerja Sama
Pemanfaatan atas BMN yang telah/terlanjur
dimanfaatkan pihak ketiga tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Kehati-hatian tersebut sangat
beralasan karena menyangkut aspek penerimaan
negara yang rentan terjadi kesalahan dalam proses
serta jumlah penerimaan negara yang diterima.
Beberapa Pengelola Barang mempunyai pendapat
bahwa aturan yang ada saat ini perlu lebih diperjelas
Negatip (-)
Terdapat
kendala
otimalisasi
pendayagu
naan aset
yang
terlanjur
dimanfaat-
kan pihak
ketiga
melalaui
melalui
kegiatan
Penertiban
A.6. Pemahaman
mengenai BMN yang
dilakukan
Pemanfaatan
dengan Pihak Lain
oleh BLU
Kuasa Pengguna Barang, yang berkedudukan sebagai
BLU belum memahami ketentuan mengenai
pemanfaatan BMN oleh Pihak Lain atas BMN yang tidak
sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan
pelayanan umum sesuai dengan tugas dan fungsi
Badan Layanan Umum.
Uraian:
Ketentuan Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2014 sampai saat ini belum terdapat petunjuk
pelaksanaan mengenai tata cara penertiban BMN yang
telah dimanfaatkan oleh pihak lain yang tidak diatur
Negatip (-)
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
145
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
tersendiri dalam Peraturan Pemerintah tentang Badan
Layanan Umum dan peraturan pelaksanaannya pada
masing-masing kementerian/lembaga. Apabila
ketentuan Pasal 96 Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2014 merupakan acuan ketentuan yang berlaku
secara sah, seharusnya dilakukan penertiban atas BMN
yang dilakukan Pemanfaatan dengan Pihak Lain oleh
BLU tanpa persetujuan Menteri Keuangan.
Pemanfaatan tersebut dapat berupa sewa, Kerja Sama
Pemanfaatan, atau Bangun Guna Serah/ Bangun Serah
Guna.
A.7 Pemahaman
Barang mengena
apakah Kerja Sama
Pemanfaatan akan
dapat mendukung
penyediaan
infrastruktur publik
Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang memahami penyediaan infrastuktur dapat
didukung melalui pemanfaatan BMN. Namun masih
terdapat kendala agar Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang bersedia mengajukan usulan.
Uraian:
Pada umumnya Pengelola Barang/Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang memiliki pemahaman
bahwa Kerja Sama Pemanfaatan akan dapat
mendukung Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005
dalam mendukung penyediaan infrastruktur publik
(seperti jalan, water supply, publik transportation,
pendidikan, rumah susun). Namun demikian,
penentuan besaran kontribusi tetap dan pembagian
keuntungan oleh Pengelola Barang , yang didapatkan
dari hasil penilaian yang mendasarkan pada studi
kelayakan, merupakan hambatan dalam penggunaan
BMN untuk penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu,
dalam hal pemanfaatan BMN untuk penyediaan
infrastruktur, diperlukan fleksibilitas dalam penentuan
kontribusi tetap dan pembagian keuntungan, karena
terkait dengan percepatan penyediaan sarana dan
prasarana pelayanan masyarakat.
Negatip (-)
Tidak ada
fleksibilitas
dalam
penentuan
tarip sewa,
kontribusi
tetap dan
pembagian
keuntungan
A.8 Pemahaman
apakah Kerja Sama
Pemanfaatan akan
dapat mendorong
aktivitas ekonomi di
wilayah BMN
tersebut terletak.
Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang memahami bahwa Kerja Sama Pemanfaatan
atau BGS/BSGakan dapat mendorong aktivitas ekonomi
di wilayah BMN tersebut terletak. Namun masih
terdapat kendala agar Pengguna Barang/Kuasa
Pnegguna Barang bersedia mengajukan usulan
Uraian
Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang memahami bahwa Kerja Sama Pemanfaatan
Negatip (-)
Terdapat
kendala
dalam
pengusulan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
146
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
dan BGS/BSGakan dapat mendorong aktivitas ekonomi
di wilayah BMN terletak. Namun terdapat kendala
berupa antisipaso adanya ; permasalahan hukum atas
usulan tersebut, serta tidak ada insentip bagi Pengguna
Barang/Pengelola Barang atas usulan tersebut.
Oleh karena banyak penilain kondisi bertanda negatip (-), maka dapat
disimpulkan bahwa kebijakan Kerja Sama Pemanfaatan serta BGS/BSGbelum
difamahi secara benar oleh Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang. Oleh karena kebijakan tersebut belum difahami secara jelas
oleh para stakeholder, maka akan mempengaruhi efektifitas suatu kebijakan.
Perlu dilakukan sosialisasi secara rutin kepada oleh para stakeholde, serta
penegasan berupa petunjuk pelaksanaan yang lebih terperinci, mengenai
permasalahan di lapangan terkait dengan usulan pemanfaatan BMN serta
penertiban atas pemanfaatan BMN.
B.2. Evaluasi Input
Evaluasi input berhubungan dengan berbagai input yang akan
digunakan untuk terpenuhinya proses, yang selanjutnya dapat digunakan untuk
mencapai tujuan. Evaluasi ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan sepeti
apakah input untuk mencapai tujuan sudah cukup memadai memadai, serta
bagaimana kualitasnya.
Dalam kaitannya dengan penelitian, kebijakan pemanfaatan BMN perlu
didukung oleh perangkat berupa laporan rutin, sarana/prasarana, pendanaan,
ketersediaan Sumber Daya Manusia, serta SOP yang mencukupi dalam
melakukan pemantaun, yang kemudian ditindaklanjuti dengan optimalisasi
penggunaan aset yang unused (idle), underused, atau underutilize, atau
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
147
penertiban apabila BMN yang berada pada Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang telah dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa persetujuan Menteri
Keuangan.
Berdasarkan evaluasi input maka akan terlihat pengalokasian sumber
daya yang diberikan oleh organisasi apakah telah mencukupi dalam rangka
mencapai tujuan/progam yang telah ditetapatkan, atau kurang.. Berikut ini
ringkasan hasil analisis data atas survey yang dilakukan terhadap indikator
variabel Evaluasi Input.
Tabel 4.4. Ringkasan Hasil Analisis Data atas Survey yang dilakukan Terhadap
Indikator Variabel Evaluasi Input
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
B EVALUASI INPUT
B.1 Peran laporan rutin dalam melakukan pemantauan BMN idle dan/atau BMN underutilize) serta tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan
Laporan rutin pemantauan dan penertiban baru dilaksanakna oleh Kuasa Pengguna Barang, serta terdapat kecendurangan laporan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya Uraian: Dalam pelaksanaanya, ketentuan pelaporan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 244 Tahun 2012 baru dilakukan oleh beberapa Satker/Kuasa Pengguna Barang. Terdapat kecenderungan bahwa Satker/Kuasa Pengguna Barang tidak melaporkan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, baik karena kendala dalam teknis pengisian, ataupun karena pertimbangan tertentu. Untuk mengoptimalkan pengawasan atas penggunaan dan pemanfaatan BMN perlu dilakukan penelitian fisik ke lapangan, paling tidak dilakukan secara sampling
Negatip (-)
Pelaporan baru
dilaksanakan, serta kecenderu
-ngan laporan
tidak valid
B.2 Dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan pemantauan BMN idle dan/atau BMN underutilize) serta tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan
Belum ada alokasi dana serta sarana dan prasarana untuk melakukan pemantauan BMN idle dan/atau BMN underutilize) serta tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan Uraian : Belum ada alokasi dana secara khusus yang diperuntukkan meningkatkan pelaksanaan monitoring kesesuaian antara laporan penggunaan dan pemanfaatan oleh Satker/Kuasa Pengguna Barang dengan keadaan
Negatip (-)
Pelaporan baru
dilaksanakan, serta kecenderu
- ngan laporan
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
148
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
sesunguhnya di lapangan. Demikian juga tidak ada sarana dan prasarana, seperti kendaraan roda dua, mobil, yang secara khusus diperuntukkan untuk melakukan pemantauan penggunaan dan pemanfaatan BMN.
tidak valid
B.3 Ketersediaan SOP dalam melakukan pemantauan BMN idle dan BMN underutilize (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
Tata cara pemantauan telah diatur dalam PMK 244 Tahun 2012
Positp (+)
B.6 Ketersediaan SOP dalam melakukan pemantauan dan penertiban BMN tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
Terdapat kendala di internal DJKN ketika menindaklanjuti permohonan persetujuan pemanfaatan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang atas BMN yang telah dimanfaatkan pihak lain karena SOP yang ada saat ini tidak mencukupi, yaitu kurang rinci dan kurang memberkan penegasan atas permasalahan di lapangan. Uraian. Kendala dalam menindaklanjuti permohonan tersebut terkait dengan : Pengajuan usulan mengalami kendala, arestasi proses persetujuan pemanfaatan BMN masih dominan yang menjadi kewenangan Kantor Pusat DJKN, serta perlunya pembenahan SOP yang mencukupi. SOP perlu diatur secara lebih terperinci serta memberikan penegasan yang dapat dijadikan pedoman dalam menghadapi perasalahan riil di lapanangandalam ketika melakanakan penertiban BMN.
Negatip (-)
B.7 Ketersediaan serta Kualitas SDM dalam melakukan pemantauan BMN idle dan BMN underutilize (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada Pengelola Barang).
Kurangnya Sumber Daya Manusia yang menangani pemantauan dan pertiban BMN serta belum diberikan bekal pemahaman yang meencukupi Uraian Sumber Daya Manusia yang menangani pemantauan dan pertiban BMN di KPKNL jumlahnya masih sedikit, tidak sesuai denngan beban kerja apabila kegiatan pemantauan dan penertiban BMN akan ditingkatkan secara maksimal. Disamping itu, sumber daya yang ditempatkan untuk melakukan pemantauan dan penertiban BMN belum mempunyai pengetahuan yang mencukupi terkait materi tentang tata cara pemantauan (baik berdasarkan laporan maupun pengamatan lapangan), pengelolaan BMN, tata cara penertiban, serta tata cara investigasi.
Negatip (-)
B.8 Ketersediaan serta Kualitas SDM dalam melakukan pemantauan BMN tanah dan bangunan yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan (baik pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang maupun pada
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
149
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
Pengelola Barang).
B.9 Insentif secara ekonomis bagi Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
Belum terdapat insentif bagi Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untuk mengajukan usulan Kerja Sama Pemanfaatan BMN atau Bengun Guna Serah/ Bangun Serah Guna Uraian : Kondisi sebelumnya menjadikan disinsetif dalam optimalisasi penggunaan BMN melalui pemanfaatan BMN oleh Pihak Lain. Pengguna/Kuasa Pengguna Barang lebih memilih untuk tetap mempertahanakan aset unsused/idle serta tidak mengoptimalkan penggunaan BMN yang underused, dengan tetap mempertahankan untuk memperoleh biaya pemeliharaanya. Meskipun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahhun 2014 telah diatur mengenai pemberian insetif terhadap terhadap pengelolaan BMN yang menghasilkan penerimaan negara, namun ketentuan peraturan pelaksanaanny sampai saat ini belum diterbitkan.
Negatip (-)
Oleh karena banyak penilain kondisi bertanda negatip (-), maka dapat
disimpulkan bahwa institusi, dalam hal ini DJKN, belum memberikan alokasi
sumber daya secara maksimal dalam rangka mencapai tujuan/progam yang
telah ditetapatkan. Apabila DJKN akan memfokuskan penerimaan PNBP dari
pemanfaatan aset menjadi indikator kinerja utama (IKU) strategis, seharusnya
pengalokasian sumber daya tersebut lebih ditingkatkan serta menjadi skala
prioritas. Tujuannya adalah agar pemantauan dapat diefektifkan, sehingga dapat
diidentifikasi adanya BMN yang unused (idle), underused, atau underutilize, agar
dapat ditindakjuti dengan langkah optimalisasi. Demikian juga fungsi
pemantauan adalah agar BMN yang telah (terlanjur) dimanfaatkan pihak ketiga
dapat segera dilakukan penertiban.
Terkait dengan kegiatan penertiban BMN, seharusnya DJKN, sebagai
Pengelola Barng, harus proaktif melakukan pengawasan (monitoring) serta
pembinaan kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang terkait
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
150
pengelolaan BMN yang benar. Pada internal Kementerian/Lembaga memang
terdapat pengawasan internal yang antara lain bertugas melakukan audit atas
pengelolaan BMN (termasuk penggunaan dan pemanfaatan BMN). DJKN
mengharapkan agar pengawas internal Kementerian/Lembaga dapat lebih
berperan dalam melakukan pengawasan61, terutama terkait dengan penggunaan
BMN, serta pemanfaatan BMN oleh Pihak Lain. Namun demikian, peran DJKN,
sebagai Pengelola Barang, harus mempunyai blue print yang jelas dalam
melakukn optimalisasi atas penggunaan BMN yang unused (idle), underused,
atau underutilize. Serta melakukan penertiban atas BMN yang telah (terlanjur)
dimanfaatkan pihak ketiga tanpa persetujuan Menteri Keuangan.
Implementasi kebijakan Kerja Sama Pemanfaatan/BGS/BSGakan lebih
efektif apabila terdapat kebijakan yang memberikan insentif agar Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang bersedia untuk secara suka rela melaporkan
penggunaan BMN yang unused (idle), underused, atau underutilize, agar dapat
ditindakjuti dengan langkah optimalisasi. Apabila tindakan pemantaun dan
peneriban merupakan langkah yang hanya bersifat represif, maka pemberian
insentif atas optimalisasi pemanfaatan BMN tersebut merupakan kebijakan yang
menerapkan konsep “stick and carrot”.
B.3. Evaluasi Proses
Evaluasi proses, terkait dengan kegiatan melaksanakan rencana program
dengan input yang telah disediakan. Evaluasi ini terkait dengan pertanyaan-
pertanyaan antara lain bagaimana prosedur melaksanakan program, serta
apakah terdapat kelemahan-kelamahan dalam mendukung proses pekerjaan.
61
Berdasarkan penjelasan responden di KPKNL
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
151
Berikut ini ringkasan hasil analisis data atas survey yang dilakukan terhadap
indikator variabel Evaluasi Proses.
Tabel 4.5. Ringkasan Hasil Analisis Data atas Survey yang dilakukan Terhadap
Indikator Variabel Evaluasi Proses
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
C EVALUASI PROSES
Pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
C.1. Adanmya kemudahan/hambatan dalam Pengajuan Usulan Kerja Sama Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Tidak terdapat hambatan dalam pengajuan usulan kerja sama oleh Penggung Barang/Kuasa Pengguna Barang. Uraian: Secara umum tidak terdapat hambatan dalam Pengajuan Usulan Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna. Namun demikian Pengguna/Kuasa Pengguna Barang mengalami kesulitan dalam hal memenuhi kelengkapan persyaratan. Antara lain pembuatan prosposal atas rencana kegiatan pengembangan, perkiraan cash flow, serta kelayakan atas rencana bisnis yang diproyeksikan dilakukan oleh calon mitra Kerja Sama.
Positp (+)
C.2. Adanya kemudahan/hambatan dalam Melaksanakan Proses Tender dan Penentuan Mitra Kerja Sama
Tidak terdapat hambatan dalam proses tender Uraian: Mengantisipasi hambatan dalam pelaksanaan tender tersebut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, telah dilakukan perubahan. Tender dilakukan dengan tata cara: a. Rencana tender diumumkan di media massa nasional; b. Tender dapat dilanjutkan pelaksanaannya sepanjang
terdapat paling sedikit 3 (tiga) peserta calon mitra yang memasukkan penawaran;
c. Dalam hal calon mitra yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta, dilakukan pengumuman ulang di media massa nasional;
d. Dalam hal setelah pengumuman ulang: 1. terdapat paling sedikit 3 (tiga) peserta calon
mitra, proses dilanjutkan dengan mekanisme tender;
2. terdapat 2 (dua) peserta calon mitra, tender dinyatakan gagal dan proses selanjutnya dilakukan dengan mekanisme seleksi langsung; atau
3. terdapat 1 (satu) peserta calon mitra, tender dinyatakan gagal dan proses selanjutnya dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung.
Aturan pelaksanaan tender telah dipermudah, namun perlu
Positp (+)
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
152
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
sertifikasi pejabat yang melaksanakan tender, agar dalam pelaksanaan tender tidak melanggar ketentuan.
C.3 Adanya kemudahan/hambatan dalam melakukan Perjanjian Kerja Sama
Tidak terdapat hambatan dalam melakukan Perjanjian Kerja Sama Uraian : Secara teknis tidak terdapat hambatan dalam melakukan perjanjian Kerja Sama, sepanjang tahapan sebelumnya, sampai dengan proses pemilihan mitra kerja sama melalui tender, dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Positp (+)
C.4 Adanya kemudahan/hambatan dalam melakukan monitoring perjanjian kerja sama
Tidak terdapat hambatan dalam melakukan monitoring perjanjian kerja sama. Uraian : Secara teknis tidak terdapat hambatan dalam melakukan monitoring pelaksanaan perjanjian Kerjas Sama, sepanjang ditunjuk secara khusus petugas pelaksana monitoring serta terdapat pendanaan untuk kegiatan monitoring tersebut.
Positp (+)
Pada Penngelola Barang
C.5 Metode Kajian kelayakan Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Metode kajian kelayakan telah dilaksanakan sesuai dengan standar penilaian. Uraian DJKN telah mengembangkan metode analisis kelayakan bisnis atas sutau rencana pengembangan BMN yang akan dilakukan Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
Positp (+)
C.6 Metode perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dalam rangka Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna
Metode perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dalam rangka Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSGkurang merepresentasikan kondisi pasar. Uraian Ketika melakukan perhitungan pembagian keuntungan, terdapat ketentuan bahwa dalam hal Mitra KSP menggunakan pinjaman dalam pembiayaan investasi awal (initial outlay) KSP BMN, beban bunga yang terjadi tidak diperhitungkan dalam pembagian keuntungan. Pada investasi properti, penentuan tingkat diskon merepresentasikan tingkat risiko yang akan dimiliki atas suatu investasi/kepemilikan suatu properti. Tingkat diskon tersebut akan lebih besar apabila menggunakan pinjaman dari Bank. Ketentuan bahwa beban bunga yang terjadi tidak diperhitungkan dalam pembagian keuntungan akan merugikan dari sisi investor, karena harus menerapkan tingkat diskon yang rendah. Ketentuan ini tidak merepresentasikan kondisi pasar yang sesungguhnya dalam investasi properti.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, DJKN perlu memberikan penegasan cara perhitungan/ penentuan tingkat diskonto (yield capitalization) yang mereprestasikan pasar.
Negatip (-)
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
153
No Varibel/Indikator Ringkasan Hasil Analisis Data Penilaian Kondisi
Sehingga investor dapat memperoleh pengembalian (return) sesuai dengan tingkat diskon (discount rate) rata-rata di pasaran atas investasi modal (equity), ketika investasi tersebut ditanamkan pada sektor yang sama. Oleh karena nilai yang dihasilkan harus merepresentasikan kondisi pasar, DJKN sebaiknya melakukan survey/analisis pasar secara tahunan pada masing-masing sektor properti untuk menentukan tingkat diskon (discount rate) yang dapat dijadikan sebagaian acuan penilai dalam melakukan studi kelayakan.
C.7 Proses penerbitan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan
Tidak terdapat hambatan dalam melakukan Perjanjian Kerja Sama Uraian : Secara teknis tidak terdapat hambatan dalam melakukan perjanjian Kerja Sama, sepanjang tahapan sebelumnya, sampai dengan proses pemilihan mitra kerja sama melalui tender, dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Positp (+)
Berdasarkan kajian penelitian tersebut, secara umum tidak terdapat
kendala dalam melaksanakan program/ketentuan pelaksanaan Kerja Sama
Pemanfaatan serta Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna. Beberapa
kendala yang sebelumnya menjadi hambatan dalam proses, sudah dilakukan
perbaikan seperti:
1. Sebelumnya, peserta tender dipersyaratkan sebanyak 5 (lima ) peserta.
Ketenttuan. Ketentuan tersebut dipermudah, sehingga calon mitra kerja
sama dapat dilakukan penunjukan secara langsung, dalam hal hanya
terdapat satu penawar calon mitra.
2. Jangka waktu untuk pemanfaatan BMN yang berhubungan dengan
pembangunan infrasturktur dapat diperpanjang hingga 50 tahun.
Namun demikian, masih terdapat kendala dalam proses persetujuan
oleh Pengelola Barang, yaitu dalam hal kewenangan pengelola untuk
menentukan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan. Beberapa
permohonan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan atau Bangun
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
154
BGS/BSGyang telah mendapat persetujuan dari Pengelola Barang, tidak dapat
dilanjutkan karena tidak ada calon mitra kerja sama yang mengajukan tender.
Agar dapat menarik investor, penentuan yield capitalization harus
mereprestasikan pasar, serta kompetitif, sehingga investor dapat memperoleh
pengembalian (return) sesuai dengan tingkat diskon (discount rate) rata-rata di
pasaran atas investasi modal (equity), ketika investasi tersebut ditanamkan pada
sektor yang sama. Kantor Pusat DJKN sebaiknya melakukan kajian berupa
survey/analisis pasar secara berkala (setiap tahun), terutama dalam menetukan
besaran discount rate yang merepresentasikan/sesuai dengan kondisi pasar.
Kajian tersebut dirilis dalam web internal DJKN, sehingga dapat diakses, dan
selanjutnya dijadikan referensi oleh penilai DJKN dalam menentukan discount
rate ketika melakukan analisis kelayakan suatu proposal Kerja Sama
Pemanfaatan atau Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna.
Sehubungan dengan penyediaan infrasturktur, telah diberikan
nomenklatur berupa “Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI)”, yang
merupakan kerja sama antara pemerintah dan badan usaha untuk kegiatan
penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
Salah satu kemudahan dalam proses yang diberikan dalam KSPI adalah, dalam
hal mitra KSP BMN untuk penyediaan infrastruktur berbentuk Badan Usaha Milik
Negara/Daerah, kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditetapkan
paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari hasil perhitungan tim KSP.
Kebijakan pemberian kemudahan dalam penyediaan infrastruktur tersebut
ditujukan agar ketentuan pemanfaatan BMN tidak menghambat implementasi
KSPI. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pemberian
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
155
fasilitas berupa penetapan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari
hasil perhitungan tim KSP, hanya berlaku apabila mitra KSP berbentuk Badan
Usaha Milik Negara/Daerah? Padalah sektor privat (tidak hanya terbatas
Badan Usaha Milik Negara/Daerah) yang perlu didorong untuk ikut serta dalam
mempercepat penyediaan infrasruktur. Sebagaimana telah diuraikan dalam
landasarn teori, konsep new public manajemen dalam penyediaan infrastuktur
tidak mungkin hanya melibatkan pemerintah, tetap perlu melibatkan sektor
publik dalam hal penyediaan dana, penyediaan tenaga ahli (ekspertise), serta
pembagian alokasi risiko.
B.4. Evaluasi Produk
Evaluasi produk, terkait dengan evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari
suatu program/kebijakan. Evaluasi output antara lain terkait dengan pertanyaan-
pertanyaan seperti seberapa jauh tujuan program tercapai, serta apakah
program perlu dilanjutkan, dilanjutkan dengan revisi atau tidak dilanjutkan.
Output/realisasi Kerja Sama Pemanfaatan masih rendah, rata-rata
teraliasai 1 penandatangan Kerja Sama Pemanfaatan dalam setahun.62 Oleh
karena sedikitnya realisasi penandatangan Kerja Sama Pemanfaatan tersebut,
maka mempengaruhi output yang diamati dalam indikator evaluasi produk,
seperti:
1 Meningkatknya Penerimaan Negara Melalui Setoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP)
2 Tersedianya Bangunan dan Fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan
Tupoksi yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam APBN
62
Keterangan Responden di Direktorat PKNSI Kantor Pusat DJKN
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
156
3 Menyediakan biaya pemeliharaan BMN yang tidak harus disediakan dari
APBN
Agar dapat berjalan lebih efektif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan,,
maka perlu dilakukan program/kebijakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan,
yaitu sebagai berikut:
1. Konteks kebijakan harus difahami secara benar oleh para stakeholder.
Agar Pengelola Barang/Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
memahami secara benar ketentuan yang terkait dengan Kerja Sama
Pemanfaatan atau Bangun Guna/Bangun Serah Guna, perlu dilakukan
perbaikan sebagai berikut:
- Ssosialisasi secara rutin dan insentif kepada para stakeholder
- Memberikan petunjuk berupa penegasan, serta petunjuk
pelaksanaan yang lebih terperinci, mengenai permasaplahan di
lapangan terkait dengan usulan pemanfaatan BMN serta penertiban
atas pemanfaatan BMN.
- Meningkatkan pembinaan serta penertiban atas pemanfaatan BMN
yang telah/terlanjur digunakan Pihak Lain, tanpa mendapatkan
persetujuan Menteri Keuangan. Selain akan menimbulan detterent
effect, para stakeholder juga akan mendapatkan pemahaman secara
benar atas praktek praktek yang selama ini, apakah dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan, atau tidak sesuai dengan ketentuan.
2. Input berupa pendanaan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia,
agar lebih ditingkatkan apabila DJKN akan meningkatkan penerimaan
PNBP dari pemanfaatan aset, serta menjadikannya sebagai indikator
kinerja utama (IKU) strategis. Apabila terdapat dukungan sumber daya
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
157
tersebut, maka pemantauan terhadap penggunaan dan pemanfaatan
BMN dapat diefektifkan. Berdasarkan pemantauan, akan dapat
diidentifikasi adanya BMN yang unused (idle), underused, atau
underutilize. Hasil kegiatan identifikasi tersbut, akan ditindaklanjuti
dengan langkah optimalisasi. Demikian juga fungsi pemantauan adalah
agar BMN yang telah (terlanjur) dimanfaatkan pihak ketiga dapat segera
dilakukan penertiban.
3. Harus dususun Standar Operating and Procedure bagi Manager Aset
dalam melakukan Pemantauan dan Penertiban BMN. Standar
Operating and Procedure harus mengatur secara terperinci serta
memberikan penegasan atas permasalahan riil yang dihadapi di
lapanngan.
4. Insentif secara ekonomis perlu diberikan agar Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang bersedia untuk mengusulkan pengajuan Kerja Sama
Pemanfaatan atau Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, serta
malkukan penertiban atas BMN yang telh/terlanjur dimanfaatkan oleh
Pihak Lain tanpa persetujuan Menteri Keuangan.
5. Peningkatan input sebagaimana butir 2, butir 3 dan butir 4 akan
mendorong usulan BMN yang diajukan pemanfaatan, baik dalam rangka
optimalisasi atas BMN unsused (idle), underutlizaion, sert underused,
atau permohonan pemanfaatan BMN dalam rangka penertiban peneriban.
6. Penentuan kontribusi tetap serta pembagian keuntungan masih menjadi
kendala dalam proses persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan atau
Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna. Penentuan kontribusi tetap
serta pembagian keuntungan tersebut harus merepresentasikan kondisi
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
158
pasar. Beberapa kerugian dalam investasi yang dialami oleh investor
yang harus diperhitungkan dalam penilaian adalahi :
- Dana untuk pengembangan tidak boleh dari pinjaman
- Investor tidak akan nilai penjualan kembali (resale) dari aset, oleh
karena itu tidak terdapat capital gain (keuntungan karena harga
penjualan dibandingkan dengan investasi awal atas
pebelian/pengembangan properti)
Agar dalam perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan lebih
fair (merepresenasikan kondisi pasar), sebaiknya Kantor Pusat DJKN
melakukan kajian berupa survey/analisis pasar secara berkala (setiap
tahun), terutama dalam menetukan besaran discount rate yang
merepresentasikan/sesuai dengan kondisi pasar.
7. Sektor privat, tidak hanya terbatas Badan Usaha Milik Negara/Daerah,
perlu didorong untuk ikut serta dalam mempercepat penyediaan
infrasruktur. Oleh karena itu, penentuan kontribusi tetap serta
pembagian keuntungan paling tinggi sebesar 70% dari perhitungan KSPI,
berlaku untuk semua sektor ptivat, tidak terbatas hanya untuk BUMN/D.
C. Rekomendasi Hasil Penelitian
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, kebijakan pemanfaatan
BMN berupa Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG perlu dilakukan perbaikan.
Untuk meningkatkan kinerja pemanfaatan BMN berupa Kerja Sama Pemanfaatan
dan BGS/BSG perlu dilakukan perbaikan kebijakan, sesuai dengan siklus
pengelolaan BMN, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4.2.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
159
Penggunaan BMN
1. Dilakukan pengklasifikasian Penggunaan BMN
a. Digunakan untuk
Tusi oleh Pengguna
Barang
b. Digunakan
penggunaan
sementara untuk
tusi oleh Pengguna
Barang lain
c. Dioperasikan oleh
pihak lain
d. Tidak digunakan untuk Tusi (idle/ unused)
e. Tidak digunakan seluruhuhnya untukTusi
(underused)
f. Digunakan tidak sesuai prinsip Highest and
Best Use (underutilize)
g. BMN yang telah dilakukan pemanfaatan oleh pihak ketiga tanpa
persetujuan Pengelola
Gambar.4.2 Rekomendasi Perbaikan Kebijakan Pemanfaatan BMN Berupa
Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG
3. Pengawasan
2. Pembinaan a. Tertulis (penegasan,
contoh kasus)
b. Tidak tertulis
c. Sosialisasi
d. Pemberian Insentif
Penambahan
- Sumber Daya Manusia
- Sarana dan Prasarana
- Penyusunan SOP
- Insentip
4. Pengendalian/Penertiban
7. a. Proses pengajuan permohonan Persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan atau
BGS/BSG oleh Kuasa Pengguna Barang/Pengguna Barang kepada Pengelola Barang lebih dipermudah.
- Pengajuan pemanfaatan BMN yang
sudah terlanjur dimanfaatkan pihak
ketiga tanpa persetujuan Pengelola
- Penyusunan SOP atas penertiban
pemanfaatan BMN yang sudah
terlanjur dimanfaatkan pihak ketiga
tanpa persetujuan Pengelola
6. BMN idle diserahkan kepada
Pengelola karena pengawasan
dioptimalkan
5. Pengguna Barang mengajukan
usul Pemanfaatan BMN berupa
KSP atau BGS/BSG secara
sukarela , karena akan
mendapatkan stimulus/ benefit
tertentu
Kesamaan pengertian (contex)
tentang ketentuan pemanfaatan
BMN dalam bentuk sewa, Kerja
Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG
Penghapusan Fisik
7. b. Proses Persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan BMN berupa Kerja Sama
Pemanfaatan atau BGS/BSG oleh Pengelola Barang lebih dipermuda, terutama dalam perhitungan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan.
- Pemindahtanganan (Penjualan, Hibah, Tukar
Menukar, PNM,
- Pemusnahan
Penghapusan
Administrasi/ Hukum
Kesamaan pengertian (contex) tentang BMN
idle (unused), underused, serta underutilize
serta benefit yang diperoleh dari
OPTIMALISASI PEMANFAATAN BMN
PERENCANAAN KEBUTUHAN PENGADAAN
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
160
Sesuai gambar 4.2. tersebut, maka agar kebijakan pemanfaatan BMN
berupa Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG dapat berjalan dengan baik,
serta produk berupa realisasi Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG dapat
ditingkatkan kuantitasnya, maka kebijakan tersebut dilakukan perbaikan, dengan
mekanisme sebagai berikut:
1. BMN yang dalam status penggunaan suatu Kementerian Lembaga
(Pengguna Barang), ditinjau dari sisi manajemen asset, penggunaannya
dapat diklasifikasikan apakah dalam kondisi :
c. Dioperasikan oleh pihak lain
d. Tidak digunakan untuk Tusi (idle/ unused)
e. Tidak digunakan seluruhuhnya untukTusi (underused)
f. Digunakan tidak sesuai prinsip Highest and Best Use (underutilize)
g. BMN yang telah dilakukan pemanfaatan oleh pihak ketiga tanpa
persetujuan Pengelola
Klasifikasi tersebut melekat pada nomor register BMN, dan terintegrasi pada
Sistim Informasi Manajemen Aset (SIMAK) BMN, sebagai ukuran dari kinerja
aset tanah dan bangunan. Oleh karena sudah terintegrasi dalam SIMAK
BMN, maka apabila dibutuhkan, laporan kondisi penggunaan BMN dapat
secara cepat disajikan. Agar proses pengklasifikasian tersebut, dapat
berjalan dengan baik, maka perlu dilakukan kegiatan pembindaan dan
pengawasan sebagaimana pada butir 2 dan 3.
2. Pembinaan terkait optimalisasi pemanfaatan BMN. Pembinaan tersebut
diperlukan agar terdapat kesamaan pengertian tentang BMN idle, BMN
a. Digunakan untuk Tusi oleh Pengguna Barang
b. Digunakan penggunaan sementara untuk tusi oleh Pengguna Barang lain
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
161
underused, serta BMN underutilize. Pembinaan ini diperlukan karena
berdasarkan hasil peniltian, kontek/rumusan kebijakan Kerja Sama
Pemanfaatan dan BGS/BSG belum dipahami secara jelas oleh Pengelola
Barang, Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang. Tujuan dari
dilakukan pembinaan adalah agara terdapat kesamaan pengertian (contex)
tentang BMN idle (unused), underused, serta BMN underutilize serta benerfit
yang diperoleh dari optimalisasi pemanfaatan BMN. Pembinaan dapat
dilakukan dalam bentuk tertulis , berupa penegasan dan memberikan
pemahaman melalui contoh kasus yang terjadai di lapangan, sosialisasi
serta pemberiaan insentif apabila terdapat pemanfaatan BMN. Pembinaan
juga perlu dilakukan agara terdapat kesamaan pengertian (contex) tentang
ketentuan pemanfaatan melalui sewa, Kerja Sama Pemanfaatan serta
BGS/BSG BMN secara benar.
3. Pengawaan perlu ditingkatkan melalui penambahan sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, serta penyusunaan Standar Operasional (SOP) yang
baku apabila diketemukan BMN dalam status unused (idle), underused,
underutilize, atau BMN yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa
persetujuan Pengelola Barang. Untuk meningkatkan pengawasan tersebut,
perlu juga diberikan insetnif bagi pegawai/pelaksana di lapangan, sertu
dijadikan indeks kinerja utama (IKU).
Apabila fungsi pembinaan dan pengawasan yang berjalan dengan baik baik
akan mengasillkan output berupa:
a. BMN yang terlanjur dilakukan pemanfaatan oleh pihak ketiga tanpa
persetujuan Pengelola Barang akan banyak yang ditertibkan.
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
162
b. Pengguna Barang akan secara sukarela mengajukan usul pemanfaatan
BMN karena akan menapatkan stimulus/benefit tertentu .
c. BMN idle diserahkan kepada Pengelola dari hasil optimalisasi
pengawasan
4. Pengendalian/penertiban dilakukan dengan cara :
- Memperbanyak pengajuan pemanfaatan BMN yang sudah terlanjur
dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa persetujuan Pengelola Barang.
- Menyusun Standar Operasional (SOP) atas penertiban pemanfaatan
BMN yang sudah terlanjur dimanfaatkan pihak ketiga tanpa persetujuan
Pengeloa Barang. Hal ini diperlukan karena dalam penelitian masih
terdapat keraguan dari Pengguna Barang ataupun Pengelola Barang
dalam menindaklanjuti adanya BMN yang sduah terlanjur dimanfaatakan
oleh pihak ketiga tanpa persetujuan Pengelola Barang.
5. Insentif dalam pengajuan usul pemanfaatan BMN yang akan diterima oleh
Pengguna Barang akan meningkatkan usulan pemanfaatan BMN berupa
Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSG.
6. Optimalisasi pengawasan BMN, akan meningkatkan jumlah BMN idle yang
diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Pengelola Barang.
7. Proses pengajuan serata persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan tau
BGS/BSG harus dipermudah, meliputi:
a. Mempermudah pengajuan permohonan oleh Kuasa Pengguna
Barang/Pengguna Barang kepada Pengelola Barang.
b. Pengelola Barang mempermudah proses persetujuan persetujuan Kerja
Sama Pemanfaatan tau BGS/BSG, terutama dalam perhitungan serta
penentuan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
163
Apabila rekomendasi hasil penelitian ini dilaksanakan, maka selain digunakan
untuk pelaksanaan tugas dan fungsi, BMN juga dapat dioptimalkan
pemanfaatannya dengan output berupa :
a. Meningkatknya Penerimaan Negara Melalui Setoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP)
b. Tersedianya Bangunan dan Fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan
Tupoksi yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam APBN
c. Menyediakan biaya pemeliharaan BMN yang tidak harus disediakan dari
APBN
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini, sebagaiama telah disusun dalam
pertanyaan identifiksi masalah serta perumusan penelitian adalah :
1. Berdasarkan evaluasi konteks, kebijakan Kerja Sama Pemanfaatan dan
BGS/BSG belum dirumuskan secara jelas, sehingga dapat dimengerti
dan difahami oleh Penggelola Barang, Pengguna Barang dan Kuasa
Pengguna Barang.
2. Berdasarkan evaluasi input, laporan rutin belum menyajikan data yang
mencukupi untuk melakukan pemantauan atas BMN idle dan/atau BMN
underutilize serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan
atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan.
3. Berdasarkan evaluasi input, sarana dan prasarana belum mencukupi
(belum berperan) dalam membantu pelaksanaan pemantauan atas BMN
idle dan/atau BMN underutilize serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja
Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan
ketentuan.
4. Berdasarkan evaluasi input, belum terdapat kelengkapan yang memadai
atas Standar Operating and Procedure (SOP) yang mengatur tentang
tata cara (a) pemantauan atas BMN idle/unused, underused, BMN
dan/atau BMN underutilize serta BMN yang telah dilaksanakan Kerja
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
165
Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak sesuai dengan ketentuan
(b) optimalisasi pemanfaatan BMN (c) penertiban BMN?
5. Berdasarkan evaluasi input, terdapat kekurang tersediaaan dukungan
Sumber Daya Manusia yang berkualitas untuk melakukan tugas (a)
pemantauan atas BMN idle dan/atau BMN underutilize serta BMN yang
telah dilaksanakan Kerja Sama pemanfaaan atau BGS/BSG namun tidak
sesuai dengan ketentuan (b) optimalisasi pemanfaatan BMN (c)
penertiban BMN?
6. Berdasarkan evaluasi input, ketentuan pemberian insentif bagi
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang untuk melakukan Kerja
Sama Pemanfaatan danBGS/BSG belum direalisasikan, meskipun sudah
ada payung hukumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2014.
7. Proses pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan atau BGS/BSGyang
dilakukan oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang tidak
mengalami hambatan.
8. Dalam pelaksanaan persetujuan Kerja Sama Pemanfaatan atau
BGS/BSGyang dilakukan oleh Pengelola Barang, terdapat proses yang
dapat menghambat realisasi pelaksanaan persetujuan Kerjsama
Pemanfaatan dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, yaitu dalam
penentuan kontribusi tetap serta pembagian keuntungan yang
merepresentasikan kondisi pasar.
9. Belum tercapainya tujuan Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSG
untuk meningkatknya Penerimaan Negara Melalui Setoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP), tersedianya bangunan dan fasilitasnya
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
166
dalam rangka penyelenggaraan tupoksi yang dana pembangunannya
tidak tersedia dalam APBN, serta menyediakan biaya pemeliharaan BMN
yang tidak harus disediakan dari APBN
B. Saran
1. Ketentuan Pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan dan BGS/BSGharus
disosialisasikan secara rutin kepada Pengelola Barang/Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang (stakeholder).
2. DJKN memberikan penegasan berupa petunjuk pelaksanaan yang lebih
terperinci, mengenai permasalahan di lapangan terkait dengan usulan
pemanfaatan BMN .
3. DJKN memberikan penegasan berupa petunjuk pelaksanaan yang lebih
terperinci, mengenai permasalahan di lapangan terkait dengan
penertiban atas pemanfaatan BMN yang telah/terlanjur dimanfaatkan
oleh Pihak Lain.
4. Pengalokasian pendanaan, sarana/prasarana, serta sumber daya
manusia perlu lebih ditingkatkan serta menjadi skala prioritas. Tujuannya
adalah agar pemantauan dapat diefektifkan, sehingga dapat diidentifikasi
adanya BMN yang unused (idle), underused, atau underutilize, agar
dapat ditindaklanjuti dengan langkah optimalisasi. Demikian juga
meningkatkan fungsi pemantauan, agar BMN yang telah (terlanjur)
dimanfaatkan pihak ketiga dapat segera dilakukan penertiban.
5. Terkait dengan kegiatan penertiban BMN, seharusnya DJKN, sebagai
Pengelola Barang, harus proaktif melakukan pengawasan (monitoring)
serta pembinaan kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
167
terkait pengelolaan BMN yang benar. DJKN, sebagai Pengelola Barang,
harus mempunyai blue print yang jelas dalam melakukn optimalisasi
atas penggunaan BMN yang unused (idle), underused, atau underutilize.
Serta melakukan penertiban atas BMN yang telah (terlanjur)
dimanfaatkan pihak ketiga tanpa persetujuan Menteri Keuangan.
6. Pemberian insentif kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
serta Pengelola Barang atas pemanfaatan BMN agar segera
direalisasikan.
7. Kantor Pusat DJKN sebaiknya melakukan kajian berupa survey/analisis
pasar secara berkala (setiap tahun) dalam menentukan besaran
discount rate yang merepresentasikan/sesuai dengan kondisi pasar.
Kajian tersebut dirilis dalam web internal DJKN, sehingga dapat diakses,
dan selanjutnya dijadikan referensi oleh penilai DJKN dalam menentukan
discount rate ketika melakukan analisis kelayakan suatu proposal.
DAFTAR PUSTAKA
Alla Asmara, Bahan ajar Worshop Metodologi Penelitian BPPK, 2014
Bungin, B. Penelitian Kualitataip. Kencana Pernada Media Group, Jakarata,
2007.
Federal Highway Administration and the American Association of State Highway
and Transportation Official. “Aset Manajement: Advancing the State of
the Art into the 21st Century Through Public-Private Dialoque”. 1996.
Goverment of South Australia . “Strategic Aset Managemnet Framework” ,
Second Edtion, 1999.
Hadiyanto, Strategic Aset Manajemen (sebuah tinjauan), 2010
Hardcastle, C. (2006) : The Private Finance Initiative – Friend or Foe,
Proceedings of the International Conference in the Built Environment in
the 21st Century (ICiBE 2006), Selangor, Malaysia.
Haryono, Arik. Manajemen Properti. Tinjauan atas Real Properti dan Aset Publik.
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, 2006.
Kaganova, O. Managing Govermnet Property Analysis. The Urban Institute
Press, 2007.
Mulyono. Penelitian ,Evaluasi Kebijakan, 2007. http:// mulyono. staff.uns .ac.id
/2009/ 05/13/penelitian-evaluasi-kebijakan
Rika Dwi Kurniasih. 2009. Teknik Evaluasi Perencanaan, (Online), (http://
images.rikania09.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SUdfiwoKCF
8AADuyo81/Rika%20Eva.doc?nmid=148657139
Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen, Alfabeta, Bandung, 2013.
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2004)
Transportation Association of Kanada, “Primer on Aset Management”, 1999.
Toshiyuki Katagiri, Japan Economic Research Instittute, 2011
Waluyo, Herry, Bahan Ajar Pengelolaan BMN, KNPK, 2009
------------------- Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara / Daerah
------------------- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah
DAFTAR PUSTAKA
169
-------------------- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan
Pemindahtanganan BMN.
-------------------- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.06/20011 tentang
Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara yang Tidak Digunakan untuk
Menylenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga
------------------- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.06/2012 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara.
------------------ Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria.
------------------ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU).
------------------ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU).
EVALUASI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA KERJASAMA PEMANFAATAN DAN BANGUN SERAH GUNA/BANGUN GUNA SERAH SESUAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN BMN
170
RIWAYAT HIDUP PENELITI
Nama : Listiyarko Wijito
NIP : 196904161995031001
Tempat/Tanggal Lahir : Klaten/ 16 April 1969
Unit Organisasi : Pusdiklat KNPK
Riwayat Pekerjaan/Jabatan:
1. Pegawai Pada Direktorat Jenderal Pajak Tahun 1995-2011
2. Widyaiswara Muda pada Pusdiklat KNPK BPPK Tahun 2011
Riwayat Pendidikan:
1. Fakultas Teknik Geologi Universitas Pembangunan Negara Veteran
Yogyakarta , 1993
2. Magister Ekonomika Pembangunan, Konsentrasi Penilaian Propertu
Universitas Gadjah Mada, 2000
Karya yang Pernah Dibuat:
1. Modul Penilaian Dalam Rangka Pemanfaatan Barang Milik Negara, Pusdiklat
KNPK (2012)
2. Modul Penilaian Dalam Rangka Penghapusan Barang Milik Negara, Pusdiklat
KNPK (dalam penyelesaian).
3. Penerapan Model Hedonic Dalam Penentuan Nilai Tanah
Sebagai Referensi Dalam Penilaian Barang Milik Negara Dan Harga Limit
Lelang (Kajian Akademis BPPK Tahun 2012)
RIWAYAT HIDUP PENELITI
171
RIWAYAT HIDUP PENELITI
Nama : Herri Waloejo
NIP : 195104021976091001
Tempat/Tanggal Lahir : Magelang / 2 April 1951
Unit Organisasi : Pusdiklat KNPK
Riwayat Pekerjaan/Jabatan:
1. Pegawai Pada Direktorat Jenderal Anggaran Tahun 1980-1998
2. Widyaiswara pada Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 1998-2009
3. Widyaiswara pada Pusdiklat KNPK Tahun 2009
Riwayat Pendidikan:
1. D3 Institut Ilmu Keuangan Kebendaharaan Umum Tahun 1975
2. S1 Institut Ilmu Keuangan Kebendaharaan Umum Tahun 1980