Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran
-
Upload
dahlia-tambajong -
Category
Documents
-
view
157 -
download
7
description
Transcript of Etika Dan Fiqih Terhadap Mushaf Alquran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat
manusia. Setelah Al-Qur’an selesai diturunkan, maka tidak akan ada lagi kitab
suci yang diturunkan sesudahnya. Sebagai kitab suci terakhir, kaum Muslimin
harus terus menjaga kesucian kitab ini sebagaimana layaknya menghormati
sesuatu yang sangat berharga. Karena kitab suci ini diturunkan untuk menjadi
kitab hidayah atau petunjuk bagi umat manusia, agar manusia bisa hidup selamat
di dunia sampai akhirat. Penyepelean terhadap tugas ini akan membawa implikasi
yang sangat serius baik bagi kehidupan kaum muslimin sendiri maupun bagi umat
manusia secara keseluruhan. Jika kitab suci ini tercemar atau terkena perubahan
oleh tangan-tangan manusia, maka di dunia ini sudah tidak ada lagi alat pengukur
kebenaran satu ideologi dan nilai-nilai kehidupan.
Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an berfungsi sebagai alat pengontrol
(muhaimin) bagi kehidupan keagamaan manusia masa lalu. Jika Al-Qur’an sudah
tercemar atau terkena perubahan, sudah tidak lagi kitab suci berfungsi sebagai alat
pengontrol. Ketiadaan alat ukur atau pengontrol ini akan menyebabkan hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap kitab suci. Manusia pada akhirnya akan
memilih jalan kehidupannya sendiri tanpa ada kontrol dari sumber kebenaran,
yaitu agama yang diridlai oleh Allah. Jika hal ini berlangsung lama, maka
kehidupan akan menunju kepada kehancuran. Padahal agama diturunkan oleh
Allah adalah untuk mengarahkan manusia menuju ke jalan yang benar.
Pengalaman kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pelajaran yang sangat
berharga bagi kita sekalian. Orang Yahudi dan Nasrani telah kehilangan sumber
ajaran mereka yang asli, karena ulah tangan-tangan yang tidak bertanggung
jawab, sehingga Kitab Taurat dan Injil tidak lagi asli sebagaimana yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Ketidakaslian kedua kitab
1
suci tersebut membawa dampak yang sangat serius dalam kehidupan keagamaan
kedua umat tersebut, antara lain adalah hambarnya hubungan antara kedua kitab
suci tersebut dengan kehidupan mereka.
Dengan demikian maka kaum Muslimin dituntut untuk terus menjaga
keaslian kitab suci Al-Qur’an dengan seluruh kemampuan yang ada, yaitu dengan
memperbanyak ahli Al-Qur’an yang selalu berkhidmat kepada Al-Qur’an, baik
dari segi redaksi, bacaan maupun penafsirannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mushaf Alquran?
2. Bagaimana Keragaman Penulisan al-Qur’an?
3. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an?
4. Bagaimana Penerbitan Al-Qur’an?
5. Bagaimana Etika Penerbitan Mushaf?
6. Beberapa Terbitan Mushaf?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa Pengertian Mushaf Alquran
2. Untuk mengetahui Bagaimana Keragaman Penulisan al-Qur’an
3. Untuk mengetahui Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an
4. Untuk mengetahui Bagaimana Penerbitan Al-Qur’an
5. Untuk mengetahui Bagaimana Etika Penerbitan Mushaf
6. Untuk mengetahui Beberapa Terbitan Mushaf
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mushaf Alquran
Kata Mushaf atau Shuhuf berasal dari bahasa Arab Selatan kuno. Kata
shuhuf bentuk jamak dari shahifah yang berarti selembar bahan yang digunakan
untuk tempat menulis, tetapi berbagai lembaran tersebut masih terpisah-pisah
tidak terjilid
Mushaf al-Qur’ān adalah berbagai lembaran yang memuat catatan tentang
ayat-ayat al-Qur’ān yang masih terpisah-pisah dan tidak dijilid atau dibukukan
dalam satu buku khusus.
Jadi mushaf adalah kumpulan wahyu al-Qur’an dalam bentuk catatan
tertulis. Dalam konteks ini, jika al-Qur’an bersifat terbuka maka mushaf
merupakan wahyu tercatat yang sudah tertutup. Al-Qur’an dibaca dan dihapal
secara lisan oleh para sahabat Nabi dengan berbagai bacaan yang berbeda, baik
baris/harakat, huruf, maupun lafaz/kata. Sedangkan mushaf merupakan bacaan
dan catatan al-Qur’an menurut versi tertentu yang bentuknya sesuai dengan
pengetahuan atau kebiasaan sahabat yang mencatatnya.
Pada awalnya bentuk mushaf al-Qur’an beragam atau bermacam-macam.
Namun nantinya pada era khalifah Utsman mushaf yang beragam itu
diseragamkan menjadi satu mushaf, yang sampai saat ini dikenal sebagai Mushaf
Utsmani. Ketika standarisasi mushaf terjadi, maka dampaknya tidak sebatas
penyeragaman bentuk, tetapi juga berpengaruh terhadap pembatasan dalam
pemahaman dan keleluasaan dalam mengungkapkan bacaan al-Qur’an dan
pemaknaannya. Di sinilah Arkoun menegaskan bahwa penyeragaman mushaf
sebenarnya berakibat kepada upaya penyeragaman pemahaman, dan lebih jauh
lagi pembakuan mushaf tersebut juga dapat berakibat kepada pembekuan
pemikiran.
3
B. Keragaman Penulisan al-Qur’an
Catatan-catatan al-Qur’ān dari masa Rasul SAW yang masih berserakan
dikumpulkan oleh Zaid ibn Tsabit atas instruksi Khalifah Abu Bakar Shiddiq.
Kumpulan catatan tersebut dinamakan Mushaf. Setelah wafatnya Abu Bakar,
maka mushaf tsb disimpan oleh Umar. Ketika Umar meninggal, maka mushaf tsb
disimpan oleh Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab.
Di samping itu, banyak sahabat yang mencatat ayat-ayat al-Qur’ān sejak
masa Nabi, bahkan mereka mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai
mushaf. Catatan-catatan tersebut mereka simpan untuk mereka masing-masing,
atau untuk mereka gunakan dalam pengajaran agama Islam. Mushaf-mushaf yang
terkenal a.l. mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf
Abdullah ibn Mas’ud, mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.
C. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an
Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan
sahabat besar, perbedaan mushaf di atas menyebabkan sering terjadi perselisihan
di kalangan masyarakat muslim yang fanatis terhadap mushaf dengan berbagai
bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang satu sama lain sering
saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān versi mereka sebagai
bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang salat berkelompok-
kelompok dalam satu masjid, sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing.
Situasi demikian berpotensi terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi
di kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat.
Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān dan penulisannya sangat
fleksibel dan moderat. Namun bagi orang belakangan yg tidak menyadari
kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya pengetahuan justru
menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian, terutama
terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di
4
Makkah, atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam
atau jarang bertemu dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam
peperangan di Armenia, umat Islam bertengkar karena dalam salat ada yang
membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan ada yang membaca “Wa
atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada
Khalifah Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan
membaca mushaf tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam suatu
riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan itu kecuali Ibn
Mas’ud yang menolaknya.
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan
Zaid ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong
muda saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui
tentang seluk beluk al-Qur’ān jelas tidak setuju dengan penyeragaman, apalagi
ketika ibn Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud menilai
penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam
membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi SAW sejak
masa awal. Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah
Utsman, maka upaya penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk
mempermudah dan memperketat hasil, maka kegiatan tersebut dibimbing oleh
Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn Abi ‘Amir, Anas ibn Malik, dll
Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2
atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar
yang menjadi acuan satu-satunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini
dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Imam. Semua mushaf lainnya yang
berbeda dari mushaf standar ini harus dimusnahkan dengan cara dibaka
5
D. Penerbitan Al-Qur’an
Pada masa Nabi, Al-Qur’an telah ditulis keseluruhan oleh para sahabat
penulis wahyu. Namun masih berserakan di benda-benda yang bisa ditulis seperti
kulit binatang, pelepah kurma, batu-batu putih yang tipis, tulang-belulang, dan
lain sebagainya. Lalu pada masa Abu Bakar Al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf
yang sudah berurutan ayat dan surahnya. Namun belum ada titik, harakat (baris),
nama surah, tanda waqaf, juz, hizb, rubu’, tsumun, tanda ayat sajadah, penomoran
ayat, tanda-tanda bacaan tertentu seperti isymam, imalah dan lain sebagainya.
Khat yang digunakan adalah khat Kufi yang kaku, sebagai kelanjutan dari khat
Nabthi sebagai pelanjut dari khatnya bangsa Smith, yaitu induk dari bangsa-
bangsa Arab, Israel dan lain sebagainya yang telah berkembang pada masa pra-
Islam.
Pada pertengahan abad pertama hijrah, terjadi perubahan pada penulisan
mushaf, yaitu digunakannya titik sebagai tanda baca seperti yang dilakukan oleh
Abul Aswad ad-Du’ali (w 69 H). Titik yang digunakan oleh Abul Aswad masih
terbatas pada akhir kalimat. Titik Abul Aswad ini akhirnya disempurnakan oleh
Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w 170 H) sebagaimana harakat yang ada sekarang
ini. Pada akhir abad pertama ada dua orang yang berjasa dalam memberikan tanda
titik untuk huruf-huruf yang sama tulisannya seperti huruf jim, ha’ dan kha’ dan
lain sebagainya. Dua orang tersebut yaitu Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi (w 89 H)
dan Yahya bin Ya’mur al-‘Udwani ( w 129 H).
Nashr bin ‘Ashim juga berjasa dalam membagi Al-Qur’an menjadi beberapa
bagian (juz). Namun demikian apa yang dilakukan Nashr masih sebatas teori,
tetapi belum dicantumkan dalam mushaf. Dari penelitian diketahui bahwa mushaf
yang ditulis pada abad pertama, mushaf al-Hasan al-Basri (w 110 H) begitu juga
mushaf-mushaf yang ditulis pada abad kedua dan ketiga hijri belum ada tanda
pembagian Al-Qur’an menjadi beberapa juz. Baru pada pertengahan abad
keempat hijri ditemukan mushaf yang sudah menggunakan teori Nashr bin
‘Ashim tersebut (lihat Ath-Thawil, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad Abdullah,
6
Fann at-Tartil wa ‘Ulumuh, Madinah: Mujamma’ Malik Fahd, 1999 M/1420 H,
Jilid I, hal. 66)
Pada mulanya Al-Qur’an ditulis dengan khat Kufi, kemudian muncul khat
Tsulutsi dan kemudian khath Naskh. Dengan khath Naskh inilah Abu Ali bin
Muqlah menulis mushafnya, dari semenjak itu penulisan mushaf menggunakan
khat Naskh.
Jika pada mulanya Al-Qur’an ditulis pada kulit binatang, maka pada
permulaan abad kedua hijri mushaf ditulis di atas kertas. Lalu pada tahun 1431 M
muncul mesin cetak. Di kota Hamburg di Jerman Al-Qur’an dicetak pertama kali.
Lalu muncul mushaf cetakan Italia pada abad ke-16 M. Pada tahun 1308 H,
muncul mushaf cetakan Cairo yang ditekuni oleh Syekh Ridhwan bin Muhammad
al-Mukhallati. Dalam cetakan ini mushaf ditulis dengan Rasm Utsmani,
dicantumkan juga jumlah ayat pada masing-masing surah, tanda waqaf, tanda
baca, dan lain sebagainya. Lalu pada tahun 1337 H muncul mushaf cetakan
Kementerian Pendidikan (Wizaratul Ma’arif) Mesir, yang ditashih oleh para
ulama Al-Azhar. Pada tahun 1342 H, Raja Fuad I membentuk tim pentashih
mushaf dari ulama Al-Azhar. Pada tahun-tahun berikutnya Universitas Al-Azhar
membentuk tim sendiri untuk mengawal pencetakan Al-Qur’an.
Lalu pada tahun 1403 H berdiri Mujamma’ Malik Fahd di Madinah untuk
penerbitan Mushaf dalam skala besar. Pada tahun 1404 dibentuk tim pentashih
mushaf dengan 15 anggota yang terdiri dari ulama qira’at, tafsir, bahasa, fiqh, dan
lainnya. Dari Mujamma’ Malik Fahd inilah terbit mushaf Al-Qur’an dalam skala
massif dan dengan berbagai macam riwayat, seperti riwayat Hafsh, Duri, Abu
‘Amr, dan Warsy (ibid., hal. 69-70).
Akan halnya di Indonesia, pada mulanya para ulama masih menggunakan
tulisan tangan, kemudian datanglah mushaf dari luar negeri seperti dari India yang
dikenal dengan mushaf Bombay, dan Turki yang dikenal dengan mushaf
Bahriyah. Dari kedua mushaf inilah kaum muslimin di Indonesia membaca Al-
Qur’an. Kemudian pada dekade 1980-1990-an muncul mushaf-mushaf yang
7
ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri seperti Mushaf Istiqlal, Mushaf Sundawi,
Mushaf At-Tin, dan lain sebagainya.
E. Etika Penerbitan Mushaf
Pada bagian pertama dari tulisan ini penulis kemukakan tentang perlunya
kaum muslimin menjaga keaslian dan kehormatan mushaf, maka sebagai tindak
lanjutnya penulis akan kemukakan pokok-pokok dalam penerbitan mushaf.
Namun sebelum itu penulis ingin mengemukakan bahwa jika penerbit akan
menerbitkan mushaf, maka pertanyaannya adalah: apakah penerbit tersebut akan
menerbitkan mushaf yang sudah ada dan sudah mendapatkan pengesahan dari
sebuah lembaga yang berkompeten atau akan menerbitkan mushaf yang baru
sama sekali? Jika menerbitkan mushaf yang sudah ada, maka tidak banyak yang
dilakukan kecuali hanya meminta pengesahan baru dari lembaga yang
berkompeten. Hal ini telah dilakukan oleh beberapa penerbit di India di mana
mereka kebanyakan mengkopi dari mushaf yang sudah ada. Begitu juga di Turki,
Syria, Mesir, dan lainnya.
Di Turki, mereka menggunakan mushaf terbitan “Bahriyah” (percetakan
Angkatan Laut Turki). Diduga kuat bahwa mushaf terbitan “Menara Kudus”
adalah copy dari mushaf Bahriyah Turki. Di Siria, Iran, Sudan, dan Saudi saat ini,
penerbitannya mengacu pada khat karya Usman Thaha. Hanya saja pada
penerbitan Madinah ada sedikit perubahan menyangkut waqaf dan lainnya. Di
Mesir, mereka lebih cenderung menerbitkan mushaf hasil kerja Syekh Ridhwan
al-Mukhallati.
Jika yang akan dilakukan oleh penerbit adalah menerbitkan mushaf yang baru
sama sekali, maka beberapa pokok persoalan yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Pertama: Rasm
Menurut jumhur ulama, mushaf Al-Qur’an harus ditulis dengan rasm
usmani. Persoalan ini memang diperselisihkan oleh ulama. Ada yang
mengatakan bahwa penulisan Al-Qur’an adalah tawqifi, yaitu menuliskan dan
8
meniru apa adanya dari gaya tulisan yang ditulis pada masa sahabat Usman
bin Affan. Ada juga yang berpendapat bahwa menulis mushaf tidak mesti
dengan rasm usmani, tetapi boleh juga dengan rasm imla’i. Semuanya
mempunyai alasannya masing masing. Imam Malik dan lainnya termasuk
orang mengharuskan penulisan Al-Qur’an dengan rasm pertama (al-katbah al-
ula) (lihat As-Sayuthi, Al-Itqan, Beirut: Dar al-Fikr, hal. 167). Fatwa ulama
Al-Azhar pada tahun 1355 H mengaruskan pemakaian rasm usmani pada
setiap penerbitan mushaf (lihat Al-Hamd, Ghanim Qadduri, Rasm Al-Mushaf,
Baghdad, 1982, hal. 609).
Hemat penulis, jika Al-Qur’an ditulis untuk buku pelajaran, tafsir, di
majalah dan lainnya yang bukan berupa mushaf, bisa menggunakan rasm
imla’i atau istilahi. Namun jika ditulis di mushaf, lebih diutamakan memakai
rasm usmani. Hal ini karena beberapa pertimbangan, antara lain:
a. Demi menjaga keaslian, keotentikan dan kemurnian Al-Qur’an. Jika
ditulis dengan rasm imla’i, akan terjadi perubahan terus-menerus.
b. Bacaan (qira’at) yang sah adalah jika qira’at tersebut mengikuti rasm
usmani, baik secara hakiki atau masih mirip.
c. Mushaf yang ditulis dengan rasm usmani masih menyimpan bacaan-
bacaan lain yang juga mutawatir. Jika ditulis dengan rasm imla’i, bacaan-
bacaan lain tidak tertampung lagi.
d. Dengan rasm usmani maka terjadi hubungan emosional antara kita dengan
generasi awal, karena seakan-akan kita membaca mushaf para sahabat.
e. Rasm usmani merupakan khazanah intelektual dan khazanah budaya yang
sangat mahal untuk ditinggalkan. Dengan rasm usmani kita bisa melihat
sejarah tulisan pada generasi awal dan sejarah penulisan Al-Qur’an pada
masa itu. Hal ini bisa dijadikan lahan penelitian yang sangat berharga.
Jika sudah ditetapkan penulisannya dengan rasm usmani, maka yang
harus diperhatikan adalah rasm usmani menurut riwayat siapa? Apakah
riwayat Abu ‘Amr ad-Dani atau Abu Dawud Sulaiman bin Najah? Atau
9
mengacu kepada kesepakatan keduanya? Sebab ada banyak perbedaan di
antara keduanya. Contoh yang konkret adalah mushaf Jamahiriyyah yang
dicetak pada masa pemerintahan Mu’ammar al-Qadzdzafi menggunakan
riwayat Qalun dari segi bacaan dan menggunakan riwayat ad-Dani dari segi
rasm usmani-nya. Sementara mushaf riwayat Hafsh cetakan Mujamma’ Malik
Fahd di Madinah menggunakan rasm usmani dengan mengacu kepada
kesepakatan keduanya dan menarjihkan riwayat Abu Dawud pada banyak
tempat.
2. Kedua: Tidak mencampuradukkan antara ayat Al-Qur’an dengan bukan ayat
Al-Qur’an.
Sebagaimana diketahui, pada saat awal Al-Qur’an diturunkan, Nabi
melarang para sahabatnya menulis sesuatu selain Al-Qur’an melalui
sabdanya:
الرسول ( أحاديث في األصول )32/ 8جامع
: [ ص - -: الله رسول� �َّن� أ عنه الله رضي الخدري سعيد :33أبو - قال[ - وسلم عليه الله صلى
: القرآَّن» - غير عني كتب ومن ، عني تكتبوا ال قال رواية وفي القرآَّن غير عني 5بوا تكت ال
]: : [ - ، م5تعِّم6دا قال أحسبه هِّمام قال علي� كذب ومن ، ج ح�ر� وال عني وح�د6ثوا �ِّم@ُح5ه @ي ف�ل
. .» مسلم �خرجه أ النار من مقعده @ �و�أ �ب �ت @ي ف�ل
Artinya: Janganlah kamu menulis dariku sesuatu selain Al-Qur’an.
Barang siapa menulis dariku selain Al-Qur’an, hapuskanlah.
Pada saat Zaid bin Tsabit menulis Al-Qur’an, baik pada masa Abu Bakar
atau masa Usman, beliau dan teman-temannya sangat hati-hati dalam menulis
Al-Qur’an. Bacaan yang telah dinasakh tidak akan dimasukkan, karena bacaan
yang dinasakh tidak lagi disebut Al-Qur’an. Memasukkan sesuatu yang bukan
Al-Qur’an ke dalam Al-Qur’an akan membawa konsekuensi tersendiri. Atas
dasar ini juga para ulama generasi pertama tidak menyetujui adanya tanda-
tanda selain ayat Al-Qur’an itu sendiri, seperti pemberian tanda pada setiap
10
sepuluh ayat (ta’syir), tanda titik (nuqath), penamaan surah, dan lain
sebagainya. Sahabat Ibnu Mas’ud pernah berkata:
: الله كالم � إال E شيئا فيه تكتبوا ال القرآَّن، دوا جر6 قال مسعود، ابن عن وي ور5
ص " " الِّمصاحف في داود أبي ابن عن 155 - 154أخرجه كهيل، بن سلِّمة عن طرق من
" " : : ومنها ، منه ليس ما به تلبسوا وال القرآَّن، جردوا الله عبد قال قال الزعراء أبي
" : " " وال: القرآَّن جردوا بلفظ وآخر ، فيه ليس ما به تخلطوا وال القرآَّن جردوا بلفظ
." E شيئا به تلبسوا
Artinya: Janganlah mencampuradukkan Al-Qur’an dengan yang
bukan Al-Qur’an. Berkata lagi: sendirikanlah Al-Qur’an
Abu Ruzain memberikan alasan tentang penulisan komentar pada awal
surah bahwa surah ini dimulai dengan ayat ini dan diakhiri dengan ayat ini.
Aku khawatir ada orang yang menganggap bahwa tulisan tersebut juga berasal
dari langit. (Lihat Ibn Abi Dawud, dalam Al-Mashahif, Kairo: Muassasah
Qurthubah, hal. 138).
Akan halnya dengan tafsir, maka seorang mufasir bisa saja ‘menyelang-
nyelingi’ ayat dengan penafsirannya sebagaimana yang kita lihat dalam tafsir
Al-Jalalain. Jika demikian maka ayat-ayat Al-Qur’an harus dibedakan dengan
tafsir, misalnya dengan memberikan tanda kurung terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an.
3. Ketiga: Qira’at
Menulis Al-Qur’an harus mengikuti riwayat bacaan (qira’at) yang
mutawatir seperti qira’at tujuh dan sepuluh. Kemudian tentukan juga
riwayatnya, seperti Qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh, atau Qira’at Nafi’ riwayat
Qalun. Untuk bisa menulis Al-Qur’an dengan riwayat yang mutawatir harus
memperhatikan kaidah pada bacaan imam qira’at yang menjadi acuannya.
Hal ini mau tidak mau harus merujuk kepada kitab-kitab qira’at yang
mu’tabarah, seperti an-Nasyr, asy-Syathibiyyah, al-Buduraz-Zahirah dan
lain sebagainya.
11
4. Keempat: Penomoran ayat
Jika telah ditentukan satu riwayat, maka konsekuensi lainnya adalah
penomoran ayat harus mengacu kepada riwayat tersebut. Misalnya riwayat
Hafsh dari ‘Ashim sebagaimana yang berlaku saat ini. Jumlah ayat dalam Al-
Qur’an dalam riwayat ini adalah 5236 ayat sesuai dengan penghitungan
ulama Kufah. Jika dengan riwayat Warsy atau Qalun keduanya dari Imam
Nafi’, maka jumlah ayatnya adalah 6217 atau 6214 menurut penghitungan
ulama Madinah. Jika akan menulis mushaf riwayat lainya maka juga harus
mengikuti cara penghitungan ayat pada riwayat tersebut, yaitu cara
penghitungan Basri, Syami, Makki.
5. Kelima: Tanda Baca
Sebaiknya menggunakan tanda baca yang sudah masyhur di kalangan
masyarakat seperti baris kasrah, dhammah, fathah dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan tanda baca lainnya seperti idgham bighunnah, iqlab,
ikhfa’ dan lainnya. Dalam catatan penulis ada perbedaan antara penulisan
tanda baca antara mushaf Bombay, mushaf Bahriyah, dan mushaf Mesir.
Mushaf Mesir yang bermula ditangani oleh Syekh Ridhwan al-Mukhallati
menjadi acuan bagi mushaf terbitan Mesir, Syria, dan Saudi Arabia.
Sementara tanda-tanda baca yang ada pada mushaf Bombay dan mushaf
Bahriyah digunakan oleh Mushaf Standar Indonesia. Pada hemat penulis,
mengingat tanda baca adalah bukan bagian dari rasm usmani, tetapi hasil
ijtihad dari para ulama setelah masa sahabat, maka hal itu sah-sah saja untuk
digunakan.
6. Keenam: Tanda Waqaf
Penggunaan tanda-tanda waqaf juga perlu diperhatikan. Ada banyak
perbedaan antara tanda waqaf pada mushaf Bahriyah dan mushaf Bombay
dan mushaf terbitan Mesir, Syria dan Madinah. Tanda waqaf yang banyak
digunakan adalah sebagai berikut:
الالزم: الِّمد م
12
اولى: الوصل صلى
اولى: الوقف قلى
الجائز: الوقف ج
الفاصلة: عند اال الِّمِّمنوع الوقف عالمة ال
: الِّمعانقة وقف عالمة
7. Ketujuh: Tanda juz, hizb, ruku’, tanda sajdah, imalah, saktah, tashil.
Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an dibagi menjadi 30 juz. Setiap juz
terbagi menjadi 2 hizb. Dan setiap hizb terbagi menjadi 4 bagian. Dengan
demikian setiap juz terbagi menjadi 8 bagian. Pada setiap mushaf, awal juz
selalu berada di halaman kiri paling atas.
Sementara tanda sajdah diberikan pada 15 tempat (al-A’raf: 206, ar-
Ra’ad:15, an-Nahl: 50, al-Isra’: 106, Maryam: 58, al-Hajj: 18, al-Furqan: 60,
an-Naml: 26, as-Sajdah: 15, Shad: 410, Fussilat: 38, an-Najm: 62, al-
Insyiqaq:21, dan al-‘Alaq: 19). Inilah yang digunakan dalam mushaf standar
Kementerian Agama. Ada lima tempat yang diperselisihkan para ulama, yaitu
sajdah kedua pada Surah al-Hajj: 77. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah
bukan tempat sujud, menurut Imam Syafi’i dan lainnya merupakan tempat
sujud). Dalam Surah Shad, menurut Imam Malik dan Abu Hanifah ada sujud,
menurut Imam Syafi’i tidak ada sujud). Surah an-Najm, al-Insyiqaq dan
al-‘Alaq, menurut Imam Malik bukan tempat sujud, menurut Imam Syafi’i,
Abu Hanifah merupakan tempat sujud.
Tanda imalah pada riwayat Hafsh ada pada satu tempat saja (Hud:41).
Tanda saktah pada riwayat Hafsh ada pada empat tempat (Kahf: 1, Yasin: 52,
al-Qiyamah: 27, al-Mutahffifin: 14). Tanda tashil ‘baina baina’ ditaruh pada
Surah Fushshilat: 44.
8. Kedelapan: Khat
Khat yang digunakan hendaklah memakai khat Naskh, karena inilah
khat yang sangat masyhur dalam penulisan mushaf. Huruf-hurufnya terang
13
dan mudah dibaca oleh orang awam. Al-Wazir Ibn Muqlah adalah orang
yang pertama menulis mushaf dengan khat Naskh, kemudian diikuti oleh Ibn
al-Bawwab (w 413 H) dan Yaqut al-Musta’shimi (w 698 H). Ketiganya bisa
dikatakan guru dari penulis khat Naskh pada periode berikutnya.
9. Kesembilan: Penulis mushaf
Penulis mushaf, di samping mempunyai keahlian dalam bidang seni
kaligrafi, seharusnya juga mempunyai dasar-dasar ilmu rasm usmani, ilmu
tajwid, ilmu qira’at, ilmu tafsir, waqf dan ibtida’, dan ulumul Qur’an pada
umumnya. Diutamakan adalah mereka yang hapal Al-Qur’an.
10. Kesepuluh: Pemeriksaan ulang
Al-Qur’an yang sudah ditulis hendaknya diperiksa kembali secara
berulang-ulang oleh tim ahli agar jangan sampai terjadi kesalahan walaupun
sedikit, sehingga pada saat diterbitkan sudah tidak ada lagi satu kesalahan
pun. Teknik pemeriksaan bisa berbeda antara satu negara dengan negara
lainnya. Kalau di Indonesia ditangani oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an yang selalu bersidang secara berkala untuk memeriksa mushaf yang
akan diterbitkan di Indonesia. Sementara di Mujamma’ Malik Fahd di
Madinah, naskah yang akan dijadikan master diteliti oleh tim senior yang
terdiri dari masyayikh ahli qira’at, tafsir dan spesialis lain yang dibutuhkan.
Mereka bersidang secara berkala. Naskah yang sudah ditashih oleh satu orang
diserahkan kepada anggota lain untuk ditashih secara bergiliran, sampai
beberapa kali. Setelah mendapatkan persetujuan, pada saat setelah mushaf
naik cetak, masih ada lagi tim yunior yang akan melihat kesahihan halaman,
sebelum akhirnya dibubuhi stempel yang bernomor oleh pemeriksa yang
bersangkutan. Agar jika terjadi kesalahan, pemberi stempel itulah yang
bertanggung jawab.
F. Beberapa Terbitan Mushaf
14
Dalam pengamatan penulis, penerbitan mushaf Al-Qur’an mengalami
kemajuan yang cukup signifikan pada dekade ini. Apalagi dengan teknologi
komputer saat ini. Ada beberapa penerbitan mushaf yang beredar yang akan
penulis kemukakan di sini, yaitu:
1. Mushaf Tajwid
Mushaf ini diterbitkan pertama kali oleh Islamic Book Sevice, New
Delhi, pada tahun 2002, dan terus mengalami cetak ulang. Di Indonesia
mushaf ini dipublikasikan oleh Lautan Lestari. Dalam mushaf ini penerbit
menggunakan warna-warna tertentu untuk menandai satu bacaan. Seperti
bacaan ikhfa’ dengan warna biru muda, qalqalah dengan merah tua, idgham
bighunnah dengan biru muda, dan lain sebagainya. Mushaf terbitan ini tidak
ada masalah, karena tidak ada tanda baru kecuali pewarnaan bacaan yang
ada. Hal ini untuk mempermudah bacaan bagi pemula.
2. Mushaf Tahajjud
Mushaf ini ditulis untuk mereka yang ingin membaca Al-Qur’an pada
salat tahajjud. Setiap pojoknya ada tanda akhir ayat, sehingga memungkinkan
mengakhiri bacaan pada akhir ayat kemudian rukuk. Biasanya mushaf ini
formatnya agak besar dan diletakkan di depan imam dan bisa dibaca secara
langsung.
3. Mushaf Alifi dan Mushaf Wawi
Kedua mushaf ini ditulis oleh orang India yang memulai setiap
barisnya dengan huruf alif atau waw. Ciri tulisannya seperti mushaf-mushaf
India lainnya. Mushaf ini bisa menjadi kemukjizatan lain dari Al-Qur’an.
4. Mushaf dengan huruf Lati
Menulis mushaf dengan huruf Latin diperselisihkan di antara ulama.
Banyak yang melarangnya, karena bisa mengacaukan bacaan. Namun ada
juga yang membolehkan jika teks Arabnya masih disertakan. Di antara
mushaf model ini yang terbit di Indonesia mencantumkan juga arti setiap
kosakatanya dalam bahasa Indonesia.
15
5. Mushaf dengan terjemah
Mushaf dengan terjemah sudah banyak dilakukan oleh kaum muslimin
di seluruh dunia. Penulisan mushaf masih menggunakan tulisan Arab baik
dengan rasm usmani atau imla’i. Mushaf ini banyak membantu pembaca
mengetahui arti kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.
6. Mushaf dengan tafsir
Mushaf ini sudah banyak diterbitkan di Syria dan Mesir. Mushaf yang
di pinggirnya ada tafsir dilakukan oleh Ustadz Na’im al-Himshi dari Syria.
Ada juga yang menggunakan ikhtisar dari Tafsir ath-Thabari, atau Tafsir al-
Jalalain dan lain sebagainya. Kadangkala juga dirangkai dengan kitab
Asbabun-Nuzul karya Al-Wahidi an-Naisaburi.
7. Mushaf dengan makna Jawa gandul (jenggotan)
Mushaf ini judulnya Al-Qur’an Al-Karim, Tamba Ati. Makna Jawanya
dengan tulisan Arab pegon dikerjakan oleh Mifathul Huda Jr dari Kediri.
Mushaf ini ditulis untuk kalangan santri yang terbiasa memaknai satu
ungkapan dalam kitab kuning. Oleh karena itu pada halaman depan ditulis
juga فسانترين على maksudnya mushaf dengan makna عنى ala pesantren.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Diterbitkan pertama kali pada
tahun 2002. Bagi kalangan pesantren mushaf ini bisa menolong dalam
membaca Al-Qur’an disertai makna Jawanya.
8. Mushaf untuk anak-anak (I Love My Al-Qur’an)
Mushaf ini terbitan Pelangi Mizan, Bandung. Mushafnya
menggunakan ayat pojok. Ada isyarat bacaan dengan tajwid seperti bacaan
dengung dengan huruf berwarna hijau. Hanya saja di pinggirnya ada
komentar terhadap ayat-ayat yang ada secara global. Setiap ayat dikomentari
dengan memberi judul lalu disertai ungkapan, misalnya, hikmah ayat: 58-59.
Semuanya dikemas dengan bahasa anak-anak, gampang dicerna, disertai
16
dengan ilustrasi untuk membantu pemahaman. Ada terjemahan kata dengan
bahasa Indonesia dan Inggris disertai dengan gambarnya. Contohnya, kata
diartikan dengan they grieve, mereka bersedih hati. Ada gambar tiga يُحزنوَّن
orang yang bercucur air mata. Kata: diartikan dengan بقرة a cow, seekor
sapi, lalu ada gambar sapi. Ada juga rubrik “Kamu Perlu Tahu”, “Lihat
Juga”, “Untuk Ayah-Ibu”, “Rambu Baca”, dan “Peta”. Buku ini terbit dalam
15 jilid, setiap jilid terdiri dari 2 juz yang memiliki warna berbeda. Dilihat
dari penampilannya, karya ini cukup inovatif karena selama ini terjemahan
atau penafsiran hanya ditujukan untuk orang dewasa dan dengan bahasa
orang dewasa. Mushaf ini khusus dirancang untuk anak anak. Ini adalah
terobosan yang sebelumnya belum ada di Indonesia.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaum muslimin ditantang untuk mensosialisasikan Al-Qur’an kepada
masyarakat dengan berbagai macam cara dan metode, bagaimana agar Al-Qur’an
bisa sampai kepada masyarakat, dimulai dari tingkat bawah sampai tingkat atas.
Namun demikian, nilai kesucian dan sakralitas Al-Qur’an harus tetap
dipertahankan agar wibawanya dan sentuhannya bisa merasuk ke dalam hati para
pembacanya.
Terhadap mushaf model ini penulis mempunyai pendapat sebagai berikut.
Pertama, jika di pinggirnya tidak ada lukisan, tetapi cukup mencantumkan
penafsirannya saja, atau untaian hikmahnya saja tidak menjadi soal, karena seperti
Al-Qur’an terjemah. Meskipun demikian, penafsirannya harus ditelaah oleh tim
ahli. Kedua, jika mushafnya dipisahkan dari komentar yang ada gambarnya, hal
itu juga tidak menjadi masalah. Ketiga, jika tetap sebagaimana yang ada, yaitu
mushafnya di tengah sedangkan gambarnya di pinggir maka ada catatan,
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini tentunya masih banyak terdapat kesalahan dan
kekhilafan, untuk itu kami sangat mengharapkan masukan dari para pembaca
berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun, sehingga dapat menjadi acuan
kami kedepan dalam membuat makalah.
18
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji syukur kehadiran Allah swt, yang telah melimpahkan petunjuk,
binbingan dan kuatan jepada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan baikdan
berjalan lancar sesuai dengan dengan yang harapkkan. Salawat dan salam semoga
dilimpahkan oleh -Nya kepada junjungan kita Nabi besar muhammad saw, para
sahabat dan pengikutnya yang setia sepannjang zaman, dan semoga kita
mendapatkan syapaatnya di yaumil Akhir Amir...
Mungkin juga dalam pembuatan makalah ini banyak terdapat kesalahan yang
ataupun yang tidak disengaja kami mengucapkan naaf yang sedalam-dalamnya, Akhir
kata ocapkan terima kasih.
Bengkulu, Mei 2014
Penulis
19
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................1
C. Tujuan........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Mushaf Alquran ......................................................3
B. Keragaman Penulisan al-Qur’an ...............................................4
C. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an ...................4
D. Penerbitan Al-Qur’an ................................................................5
E. Etika Penerbitan Mushaf ...........................................................8
F. Beberapa Terbitan Mushaf ........................................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................14
B. Saran..........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
20
i
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’ashirah (Damaskus: penerbit
al-Ahali, 1991)
Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim (Surabaya: Maktabah Sa’adah, 1980)
nomor hadis 1354.
Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001)
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978), juz I, h.
157, Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, juz II
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz VI, h. 225, Ibn Katsir al-
Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, juz I, h. 261, al-Suyuthi, al-Itqan ..., juz I, h. 58, dan
Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an,
Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf (Bairut: dar al-Fikr, 1985) juz I, h. 255, al-Suyuthi,
al-Itqan, Opcit, juz I,
Abu Dawud, Mashahif Sajistan, hal. 11 – 14, sebagaimana dikutip oleh Hadi
Makrifat, Op Cit,
21
ii