Ethnic State, Nation State dan Civil...

20
171 Bab Delapan Ethnic State, Nation State dan Civil Society Pada bab ini penulis mengungkapkan konsep-konsep imajiner dan tataran filosofis yang didukung oleh argumentasi teoretis dan fakta-fakta empiris dari lapangan yang telah penulis kemukakan sebelumnya (Bab 4-7). Berikut ini akan disajikan paparan-paparan yang dilengkapi dengan argumentasinya untuk menjawab tujuan penelitian. Nusak sebagai “Ethnic StateNusak sebagai “Negara Etnik” (Ethnic State) ini merupakan konsep yang menunjuk pada perjumpaan masyarakat Rote dengan Nusak yang terjadi sekitar Tahun 1500-an, pada masa itu hanya ada lima buah Nusak dan kemudian berkembang menjadi 20 buah Nusak (18 Nusak berada di Pulau Rote, 1 Nusak berada di Pulau Ndao dan 1 Nusak lagi berada di Pulau Ndana). 19 Nusak yang ada masing-masing memiliki sistem kepercayaan, bahasa, dan adat istiadat yang berbeda- beda. Hanya Nusak Oenale dan Nusak Delha yang memiliki bahasa yang sama, hal ini karena latarbelakang kehadiran Nusak Delha merupakan pecahan dari Nusak Oenale pada Tahun 1884 dan Delha merupakan Nusak termuda di Rote. (telah penulis bahas pada Bab 3). Kekuatan asing supra desa dengan datangnya Belanda melalui VOC kemudian Pemerintahan Hindia Belanda di mana Rote dikuasai oleh seorang controleur dan terakhir dijadikan sebuah wilayah onder afdelling sebagai pemimpin diangkat seorang waarnemend raja Rote. Pada jaman Jepang di bawah kekuasaan seorang Bunken Kanrikan, dan akhirnya setelah kemerdekaan dipimpin oleh sebuah Dewan Raja-Raja yang dikenal dengan Dewan Pemerintahan Raja Sementara (DPRS) Rote Ndao, yang isinya adalah para Raja atau Manek, mereka bergilir menjadi Ketua DPRS selama beberapa bulan. Akhirnya pada tahun 1962 DPRS Rote Ndao dibubarkan diganti dengan seorang koordinatorschaf yang memerintah wilayah koordinatorschap Rote Ndao yang kemudian berganti nama menjadi wilayah Pembantu Bupati

Transcript of Ethnic State, Nation State dan Civil...

Page 1: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

171

Bab Delapan

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

Pada bab ini penulis mengungkapkan konsep-konsep imajiner dan tataran filosofis yang didukung oleh argumentasi teoretis dan fakta-fakta empiris dari lapangan yang telah penulis kemukakan sebelumnya (Bab 4-7). Berikut ini akan disajikan paparan-paparan yang dilengkapi dengan argumentasinya untuk menjawab tujuan penelitian.

Nusak sebagai “Ethnic State”

Nusak sebagai “Negara Etnik” (Ethnic State) ini merupakan konsep yang menunjuk pada perjumpaan masyarakat Rote dengan Nusak yang terjadi sekitar Tahun 1500-an, pada masa itu hanya ada lima buah Nusak dan kemudian berkembang menjadi 20 buah Nusak (18 Nusak berada di Pulau Rote, 1 Nusak berada di Pulau Ndao dan 1 Nusak lagi berada di Pulau Ndana). 19 Nusak yang ada masing-masing memiliki sistem kepercayaan, bahasa, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Hanya Nusak Oenale dan Nusak Delha yang memiliki bahasa yang sama, hal ini karena latarbelakang kehadiran Nusak Delha merupakan pecahan dari Nusak Oenale pada Tahun 1884 dan Delha merupakan Nusak termuda di Rote. (telah penulis bahas pada Bab 3).

Kekuatan asing supra desa dengan datangnya Belanda melalui VOC kemudian Pemerintahan Hindia Belanda di mana Rote dikuasai oleh seorang controleur dan terakhir dijadikan sebuah wilayah onder afdelling sebagai pemimpin diangkat seorang waarnemend raja Rote. Pada jaman Jepang di bawah kekuasaan seorang Bunken Kanrikan, dan akhirnya setelah kemerdekaan dipimpin oleh sebuah Dewan Raja-Raja yang dikenal dengan Dewan Pemerintahan Raja Sementara (DPRS) Rote Ndao, yang isinya adalah para Raja atau Manek, mereka bergilir menjadi Ketua DPRS selama beberapa bulan. Akhirnya pada tahun 1962 DPRS Rote Ndao dibubarkan diganti dengan seorang koordinatorschaf yang memerintah wilayah koordinatorschap Rote Ndao yang kemudian berganti nama menjadi wilayah Pembantu Bupati

Page 2: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

172

Kupang wilayah Rote Ndao hingga Tahun 2002. Pada tahun 2002 Rote dikukuhkan menjadi sebuah kabupaten baru melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002, terpisah dari Kabupaten Kupang.

Maknanya adalah Rote telah lama bersentuhan dengan kekuatasan asing supra desa yang mempengaruhi pola hidup penduduknya, jika dulu berbagai persoalan kemasyarakatan cukup dengan memanfaatkan dinamika intra Nusak, maka sekarang kewibawaan Nusak bisa dilangkahi ketingkat yang lebih tinggi. Struktur asing supra desa ini membawa berbagai hal baru berupa teknologi yang lebih memudahkan, keuntungan kapital yang mengikuti kewenangan-kewenangan legal formal sehingga menjadi rebutan masyarakat Rote

Masyarakat Rote memahami dan menghormati Nusak tidak saja sebagai sebuah kerajaan tetapi lebih kepada sebuah lembaga pemerintahan dan sekaligus lembaga peradilan adat yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Rote pada masa lalu di saat Nusak masih ada maupun pada masa sekarang di mana penghayatan akan Nusak tetap dilakukan dengan cara menghormati fungsi-fungsi adat yang dijalankan oleh seorang Maneleo dan tetap melakukan acara-acara adat seperti upacara kematian, upacara perkawinan, tu’u dan tu’u belis sesuai dengan adat istiadat yang berlaku pada masing-masing Leo dan Nusak.

Setiap Nusak memiliki struktur pemerintahan seperti Manek (Raja), Fetor (Wakil Raja), Mane Leo (Kepala Suku, Tak Berteritorial), Langgak/Nggitak (Kepala Dusun) dan Jabatan-jabatan Lasi Nusak yang terdiri dari Manesongo (Jabatan Imam), ManekilaoE (Jabatan Pembagi Air di Persawahan), Manemok/Mane Dope (Hakim Agung), Mane Dombe (Jaksa Adat), Mane Nulla (Hakim Sengketa Hutan), Dae Langgak (Hakim Sengketa Tanah), serta satu jabatan lagi bentukan Belanda yaitu Temukung (Kepala Suku yang diberi Teritorial oleh Belanda).140

140 Struktur Organisasi Pemerintahan Nusak dan penjelasannya dapat dilihat pada Gambar 3.2 dan 3.3.

Page 3: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

173

Struktur pemerintahan Nusak sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas terbagi ke dalam tiga bentuk kekuasaan dengan fungsinya masing-masing yaitu: kekuasaan untuk melaksanakan peraturan-peraturan adat (fungsi eksekutif); kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan adat (fungsi legislatif); dan kekuasaan dalam bidang pengawasan dan penegakan peraturan adat (fungsi yudikatif) yang selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 8.1.

Gambar 8.1. Bentuk Pemerintahan Nusak141

Seorang Manek (Raja) yang memimpin Nusak tidak memiliki kekuasaan penuh pada semua aspek pemerintahan sebagaimana terlihat pada Gambar 8.1. Bentuk pemerintahan Nusak di atas berbeda dengan struktur/kekuasaan Raja-raja yang ada di daerah lain di NTT seperti masyarakat kerajaan/suku Buna yang di pimpin oleh seorang Nai (Raja) yang berfungsi sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala adat (Bele, 2011) demikian juga dengan masyarakat kerajaan/suku Abui di Pulau Alor yang dipimpin oleh seorang Lur (Raja), masyarakat kerajaan Munaseli di ujung timur Pulau Pantar menyebut Rajanya dengan Raka/Rajang dan masyarakat pada kerajaan-kerajaan di daratan Timor Barat mengenal Usif sebagai Raja. Di Pulau

141 Penjelasan lengkap tetang Struktur Nusak dapat dilihat pada Bab 3

Nusak

Fungsi Eksekutif Fungsi Legislatif Fungsi Yudikatif

Mane Leo, Manesongo, ManekilaoE

Manek, Fetor, Langgak/Nggitak

Mane Dope, Mane Nulla, Dae Langga,

Mane Dombe

R a k y a t

Page 4: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

174

Sabu dipimpin oleh Mone Ama yang bertugas sebagai kepala/ pemangku adat, di Lio dipimpin oleh Mosalaki, di Pulau Sumba di kenal dengan Kabihu, di Manggarai disebut dalu-dalu. (Depdikbud, 1984).

Struktur/kekuasaan raja-raja di luar NTT juga berbeda dengan stuktur/kekuasaan Nusak di Rote seperti di Bali mengenal Bendesa Adat atau Kelian Adat sebagai Kepala Adat atas Desa Adat yang dikenal dengan sebutan Banjar (Wibowo, 2010). Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya menghormati Sri Sultan dan Pangeran Pakualaman tidak sebatas sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur tetapi lebih sebagai seorang Raja yang memiliki kekuasaan penuh atas pemerintahan serta adat istiadat Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat. (Soemardjan, 2009).

Masyarakat Rote dengan Nusak-nya telah lama mengenal dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) sejak jaman negara kolonial. Seperti yang telah dikemukakan oleh Omerling (1956) dan Fox (1996). Meskipun Raja (Manek) ditetapkan berdasarkan faktor genealogis namun seorang Manek tidak serta merta memiliki kekuasaan penuh atas Nusak yang dipimpinnya sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas. Kelembagaan Nusak berakhir pada Tahun 1962 setelah dibubarkan oleh pemerintah provinsi NTT dan berganti menjadi pemerintahan Desa Praja dan pemerintahan Kecamatan.

Dengan demikian Bangsa (nation) adalah suatu ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari suatu kekerabatan yang biasanya diikat oleh suatu kemampuan self-rule. Negara (state) adalah suatu ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas politik yang tumbuh berdasarkan kontrak sosial yang meletakkan individu kedalam kerangka kewarganegaraan (citizenship). Dalam kerangka ini, individu dipertautkan dengan suatu komunitas politik (negara) dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum. Dengan kata lain bangsa beroperasi atas prinsip kekariban. Sedangkan negara beroperasi atas prinsip hukum dan keadilan (Latif, 2004).

Dari gambaran tentang struktur pemerintahan Nusak di atas dengan fungsi-fungsi yang melekat pada Nusak yakni fungsi yudikatif,

Page 5: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

175

legislatif dan eksekutif sesungguhnya menyiratkan bahwa Nusak tidak hanya sebatas sebagai sebuah kerajaan atau lembaga peradilan adat semata, tetapi Nusak juga merupakan cerminan dari sebuah “negara -etnik” (ethnic state).

Communal Property ke Private Property: Hadirnya Negara dan Peran Civil Society di Rote

Negara adalah satu-satunya lembaga atau institusi sosial yang mempunyai kekuasaan memaksa terhadap warga negaranya (Benn dan Peters, 1964). Oleh karena itu, para pemikir klasik seperti Plato, Aristoteles, dan Hegel, seperti yang dikutip oleh Budiman (1996) berpendapat bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak untuk mengatur dan mendidik warga. Negara juga lebih cenderung melakukan penyeragaman dan mengabaikan keanekaan. Perlakukan terhadap aktivitas ekonomi yang sifatnya menekan atau merugikan individu bukan saja melahirkan ketegangan dan konflik pada diri individu, tetapi juga melahirkan ketegangan dan konflik pada kelompok sosial, sebab kerja bukan saja merupakan ekspresi diri individu seperti yang dikatakan Marx, melainkan juga merupakan ekspresi etnisitas atas kelompok etnis yang melakukan kegiatan ekonomi (Koli Bau, 1999).

Rote sebagai pulau yang terpencil dengan posisi yang kurang menguntungkan dari sisi geografis dan kondisi alam yang gersang, di mana pada masa yang lalu masyarakat hidup dengan saling memberi. Sifat resiprositas dan prinsip ”dahulukan selamat” masih melekat pada masyarakat di Rote hingga Tahun 1970-an, sebagaimana hasil penelitian James C. Scott pada para petani di Malaysia, sudah menjadi suatu konsensus yang tak terucapkan mengenai resiprositas pada petani untuk menolong kerabat, teman dan tetangga dari kesulitan dan akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila mereka dalam kesulitan. Norma-norma inilah yang telah melekat dalam moral ekonomi petani, (Scott, 1981)

Beralihnya communal property (kepemilikan bersama) menjadi private property (hak milik pribadi) memberi ruang yang cukup luas

Page 6: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

176

kepada negara dalam mengambil peran dalam menentukan hak milik atas lahan yang tidak dikelola/tidak ditempati oleh masyarakat dengan sendirinya menjadi hak milik negara. Sementara lahan yang ditempati/dikelola oleh masyarakat dikenakan pajak (Pajak Bumi dan Bangunan), hal ini juga memicu perlawanan masyarakat di Bo'a pada Tahun 1960 dan sebelumnya pada masa negara kolonial di Tahun 1932 (telah penulis bahas pada Bab 4) selain penerapan retribusi untuk hewan dan hasil bumi lainnya yang diperdagangkan antar pulau maupun yang diperdagangkan di pasar tradisional dikenakan retribusi dengan alasan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Gambar 8.2. menunjukkan bagaimana communal property pada masa lalu telah bergeser menjadi private property hingga hari ini.

Gambar 8.2. Dari Communal Property bergeser ke Private Property

Nilai-nilai sosial dan kultural (social and cultural values) yang begitu kuat terkandung dalam communal property sebagaimana yang telah penulis bahas di atas telah mengalami pergeseran dari aktivitas ekonomi moral (ekonomi kerakyatan) menjadi ekonomi uang/ekonomi komoditi yang sangat kuat dengan nilai-nilai ekonomi. Keluarga yang tadinya merangkum berbagai fungsi ekonomi (subsisten/kebutuhan) telah bergeser menjadi lembaga ekonomi (pasar/ekonomi uang).

Gambar 8.3 di dibawah ini memberi gambaran yang jelas bahwa kemkiskinan adalah puncak dari penetrasi ekonomi uang di Rote. Utang-piutang terjadi karena padang pengembalaan hewan dan mata

Nusak Negara

Communal Property Private Property

- Padang Pengembalaan - Mata Air - Tidak Ada Pajak - Tidak Ada Retribusi

- Hak Milik Individu - Hak Milik Keluarga - Hak Milik Negara - Ada Pajak - Ada Retribusi

Page 7: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

177

air yang sebelumnya merupakan communal property telah bergeser menjadi kegiatan ekonomi yang semuanya diukur dengan uang.

Gambar 8.3. Penetrasi Ekonomi Uang

Sektor lainnya yang terkena dampak dari penetrasi ekonomi uang adalah sektor pendidikan, di mana masalah pendidikan tidak lagi menjadi prioritas keluarga karena perhatian keluarga/orang tua tertuju pada pemenuhan kebutuhan Tu’u sementara pendidikan anak-anak terabaikan, termasuk masalah kesehatan dan gizi dasar turut diabaikan, keluarga terutama anak-anak tidak mendapat acupan gizi yang baik karena penghasilan keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini yang membuat John Ndolu melakukan gebrakan dengan merevitalisasi budaya yaitu melakukan standarisasi Tu'u Belis dan mewujudkan gerakan Tu'u pendidikan sejak Tahun 2004 yang berawal dari Leo Kunak yang dipimpinnya (telah penulis bahas pada Bab 4) yang mana Tu'u pendidikan menjadi mekanisme tabungan beasiswa untuk perkuliahan anak-anak Rote (Folabessy, 2009).

Penetrasi ekonomi uang yang telah penulis kemukakan di atas justru bertolak belakang dengan tesis utama dari Hernando de Soto (2000) dalam bukunya The Mysteri of Capital adalah bahwa properti sangat menentukan bagi perkembangan kapitalisme. Properti yang dimaksudkan oleh de Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital. Lebih lanjut de Soto mengungkapkan bahwa penduduk miskin dari negara-negara Dunia Ketiga sebagai mayoritas yang melimpah,

Nilai Sosial & Kultural

Penetrasi Ekonomi Uang

Ekonomi Komoditi

Communal Property: Padang Pengembalaan

Hewan, Mata Air

Utang Piutang

Miskin

Lembaga Adat, Hukum Adat,

Pesta Adat

Kekerabatan/ Kekeluargaan

Page 8: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

178

memiliki barang-barang, tetapi mereka tidak dapat mempresentasikan properti mereka dan tidak mampu menghasilkan kapital. Mereka memiliki rumah tapi tidak ada izinnya, memiliki alat produksi tapi tanpa surat kepemilikan, memiliki bisnis tapi tanpa status perusahaan. Gambar 8.3. di atas justru menunjukkan hal yang sebaliknya bahwa aset-aset yang dimiliki oleh orang Rote adalah bagian dari communal property (kepemilikan bersama atau modal bersama) yang merupakan kapital utama dalam membangun dan membina relasi sosial (kekerabatan dan kekeluargaan) termasuk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga yang kemudian bergeser menjadi private property (hak milik individu, hak milik keluarga, hak milik negara) setelah hadirnya negara dengan kehadiran penetrasi ekonomi uang (lihat gambar 8.3). Kapital yang diartikan oleh de Soto sebagai seekor sapi atau hewan ternak lainnya, yang merupakan sumber kekayaan penting di samping daging yang mereka sediakan. Hewan ternak merupakan barang kepemilikan dengan biaya perawatan rendah; hewan mudah digerakan dan bisa dihindarkan dari bahaya; hewan juga mudah dihitung dan diukur. Hewan ternak juga memiliki nilai lebih yang lain yaitu mereproduksi sendiri. Dengan demikian istilah kapital berawal dari melakukan dua pekerjaan secara bersamaan, menangkap dimensi fisik aset-aset (hewan ternak) sebagaimana potensi hewan ternak untuk menghasilkan nilai tambah. Kapital ini-lah yang dahulu dimiliki oleh orang Rote sebagai bagian dari Communal Property (kepemilikan bersama atau modal bersama).

Indonesia sebagai “Nations State”

Bangsa (nation) atau nasional, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham kebangsaan, semua istilah tersebut dalam kajian sejarah terbukti mengandung konsep-konsep yang sulit dirumuskan, sehingga para pakar di bidang Ekonomi, Politik, Sosiologi, dan Antropologi pun sering tidak sependapat mengenai makna istilah-istilah tersebut. Selain istilah bangsa, dalam bahasa Indonesia, kita juga menggunakan istilah nasional, nasionalisme yang diturunkan dari kata asing “nation” yang bersinonim dengan kata bangsa. Tidak ada rumusan ilmiah yang bisa dirancang untuk mendefinisikan istilah

Page 9: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

179

bangsa secara objektif, tetapi fenomena kebangsaan tetap aktual hingga saat ini.

Pembahasan mengenai pengertian bangsa dikemukakan pertama kali oleh Ernest Renan tanggal 11 Maret 1882, yang dimaksud dengan bangsa adalah jiwa, suatu asas kerohanian yang timbul dari : (1). Kemuliaan bersama di waktu lampau, yang merupakan aspek historis. (2). Keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) diwaktu sekarang yang merupakan aspek solidaritas, dalam bentuk dan besarnya tetap mempergunakan warisan masa lampau, baik untuk kini dan yang akan datang.

Dasar dari suatu paham kebangsaan, yang menjadi bekal bagi berdirinya suatu bangsa, ialah suatu kejayaan bersama di zaman yang lampau dimilikinya orang-orang besar dan diperolehnya kemenangan-kemenangan, sebab penderitaan itu menimbulkan kewajiban-kewajiban, yang selanjutnya mendorong kearah adanya usaha bersama. Lebih lanjut Ernest Renan mengatakan bahwa hal penting merupakan syarat mutlak adanya bangsa adalah plebisit, yaitu suatu hal yang memerlukan persetujuan bersama pada waktu sekarang, yang mengandung hasrat untuk mau hidup bersama dengan kesediaan memberikan pengorbanan-pengorbanan. Bila warga bangsa bersedia memberikan pengorbanan bagi eksistensi bangsanya, maka bangsa tersebut tetap bersatu dalam kelangsungan hidupnya (Tamburaka, 1999).

Titik pangkal dari teori Ernest Renan adalah pada kesadaran moral (conscience morale), teori ini dapat digolongkan pada Teori Kehendak, berbeda dengan teori kebudayaan (cultuurnatie theorie) yang menyatakan bahwa bangsa merupakan perwujudan persamaan kebudayaan: persamaan bahasa, agama, dan keturunan. Berbeda juga dengan teori kenegaraan (staatsnatie theorie) yang menyatakan bahwa bangsa dan ras kebangsaan timbul karena persamaan negara.

Suatu bangsa dianggap ada, apabila mulai sadar sebagai suatu bangsa jika para warganya bersumpah pada dirinya, seperti yang telah dilakukan oleh bangsa Swiss waktu mendirikan persekutuannya: wir wollen sein ein einzig volk von brudern (kita ingin menjadi satu rakyat

Page 10: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

180

yang bersaudara satu sama lainnya), seperti juga yang dilakukan oleh pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk pertama kalinya pemuda Indonesia memproklamasikan kesatuan Indonesia secara kultural dan politik dalam 3 (tiga) konsep: satu tanah air, Indonesia; satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa, Indonesia, hal ini merupakan modal sosial (social capital) penting bagi perjalanan sejarah masyarakat Indonesia karena pada peristiwa itu untuk pertama kalinya konsep jati diri (identity) sebagai “bangsa” (nation) dengan konsep Indonesia sebagai simbol pemersatu keragaman masyarakat Indonesia dinyatakan secara tegas, jelas, dan berani. Sumpah Pemuda merupakan tekad generasi muda tersebut pada dasarnya menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan suku, bangsa, ras, agama, dan kebudayaan yang berasal dari berbagai penjuru. Melalui ikrarnya itu, mereka menyatukan derap langkah dan gerak maju menuju kepada kehidupan kebangsaan Indonesia yang berlandaskan pada asas kesatuan dan persatuan.

Teori bangsa yang berbeda dikemukakan oleh Benedict Anderson yang dikenal terutama karena teorinya tentang asal usul kebangkitan bangsa-bangsa di dunia, yang pemikirannya sebenarnya masih berada dalam pengaruh pandangan dan kelanjutan pengembangan teori Ernest Renan; Menurut Anderson (2008):

Kurangnya kepedulian para pengkaji gerakan kebangsaan terhadap rasa kebangsaan – rasa nasionalitas – perasaan pribadi dan kultural bahwa seseorang dan orang-orang lain tertentu adalah satu bangsa – bahwa anda dan saya merasa sebagai ‘orang Indonesia’, bahwa anda dan saya adalah kita, bahwa orang-orang lain adalah mereka. Padahal, kenyataan yang kita selami sebagai bangsa Indonesia ini, tutur Anderson, hanyalah realitas imajiner; kekitaan kita adalah komunitas imajiner yang kita namai Indonesia ini.

Istilah komunitas-komunitas imajiner menurut Anderson memuat arti “kesatuan hidup (manusia) dalam wilayah geografis yang batas-batasnya telah tertentu, yang sebagaimana dipahami (conceived), dipikir (thought), diserap sebagai gambaran mental (surmised mental image) oleh orang-orang yang bersangkutan (yang menganggap diri

Page 11: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

181

terlibat di dalam kesatuan hidup itu atau menganggap diri sebagai anggotanya).

Proses-proses penciptaan ‘komunitas-komunitas imajiner’ atau bangsa-bangsa ini, menurut Anderson, melewati teritorialisasi keyakinan-keyakinan keagamaan, kemerosotan kerajaan-kerajaan kuno, hubungan timbal balik antara kapitalisme dengan cetak-mencetak, perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari bahasa ibu/daerah tertentu, serta konsepsi-konsepsi tentang waktu yang berubah (Anderson, 2008)

Bagi Anderson (2008) Bangsa adalah sesuatu yang imajiner karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Dengan begitu ia mengisyaratkan bahwa komunitas-komunitas ‘sejati’ itu ada, yang kemudian secara menguntungkan dipaskan dengan bangsa-bangsa. Dalam kenyataan, semua komunitas, asalkan lebih besar dari dusun-dusun primordial di mana para anggotanya bisa saling bertatap muka langsung setiap hari (bahkan mungkin komunitas semacam ini pun), adalah komunitas imajiner. Pembedaan antarkomunitas dilakukan bukan berdasarkan kesejatian/kepalsuannya, melainkan menurut gaya pembayangannya. Para penduduk dusun-dusun di Jawa senantiasa tahu bahwa mereka punya keterkaitan dengan orang-orang yang sama sekali belum pernah mereka lihat, tetapi ikatan-ikatan ini dahulu dibayangkan secara khusus dan ‘jelas’ sebagai jaring-jaring kekerabatan dan keklienan yang luwes (bisa mulur, bisa menciut),

Anderson (2008) menjelaskan bahwa bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar pun, yang anggotanya mungkin semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Para nasionalis yang paling mendekati sikap ‘juru selamat’ pun tidak mendambakan datangnya hari agung di mana seluruh anggota spesies manusia bakal bergabung dengan bangsa mereka dengan cara seperti,

Page 12: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

182

dalam zaman-zaman tertentu, orang-orang Kristen memimpikan sebuah planet yang seutuhnya Kristen.

Anderson (2008) melukiskan bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat, lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu di mana Pencerahan dan Revolusi memporak-porandakan keabsahan ranah dinasti berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri. Konsep itu beranjak matang di masa para pengikut paling setia pun dari agama universal mana pun tak ayal lagi dihadang kemajemukan semua agama universal yang hidup, dan harus menghadapi alomorfisme antara masing-masing klaim keimanan ontologis serta bentang kewilayahannya, bangsa-bangsa yang bermimpi tentang kebebasan, dan andai pun di bawah lindungan Tuhan, secara langsung tanpa perantara. Panji-panji dan penaksir kebebasan ini adalah negara berdaulat. Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidaksetaraan nyata dan eksploitasi yang mungkin lestari dalam tiap bangsa, bangsa itu sendiri dipahami sebagai kesetiakawanan yang mendalam dan arahnya mendatar/horisontal. Dalam 2 (dua) dasawarsa terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, jangankan untuk melenyapkan nyawa orang lain, mereka pun bersedia meregang nyawa sendiri demi pembayangan terbatas seperti itu. Kematian-kematian itu menyeret kita ke hadapan problema pokok yang dibawa nasionalisme: apa yang menjadikan pembayangan-pembayangan yang kian menciut dalam kerangka sejarah terkini (tidak lebih dari dua abad saja) bisa menggugah pengorbanan kolosal seperti itu?. Dan menurut Anderson bahwa permulaan jawabannya tergeletak di akar-akar budaya nasionalisme.

Proses penciptaan “komunitas-komunitas imajiner” atau bangsa-bangsa ini, menurut Anderson, melewati teritorialisasi keyakinan-keyakinan keagamaan, kemerosotan kerajaan-kerajaan kuno, hubungan timbal balik antara kapitalisme dengan cetak-mencetak, perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari bahasa ibu/daerah tertentu, serta konsepsi-konsepsi tentang waktu yang berubah (Anderson, 2008)

Page 13: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

183

Sesungguhnya Anderson memandang bangsa atau nation sebagai gejala yang relatif modern sebagai konsekuensi modernisasi dunia barat di abad ke-20. Modernisasi mendatangkan banyak perkembangan, seperti kemajuan ekonomi, perluasan dan standarisasi pendidikan, kemajuan teknologi, perbaikan infrastruktur, sarana komunikasi modern, pertumbuhan birokrasi, dan perkembangan bahasa baku untuk berbicara, menulis, mengelola, dan memerintah. Karena perkembangan inilah dimungkinkan lahirnya masyarakat besar manusia yang anggotanya merasa terikat satu sama lain. Masyarakat tersebut oleh Anderson dinamakan “imagined community” disebut “imagined”, karena tak seorangpun anggota bangsa atau nasion akan pernah melihat semua anggota yang lain, namun ia merasakan adanya ikatan khusus tertentu dengan anggota-anggota lainnya. Dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya perang, ia bahkan siap mengorbankan jiwa untuk anggota-anggota lain yang tidak dikenalnya “ia mati untuk tanah air”.

Tulisan Anderson di atas bahwa bangsa atau nasion adalah hasil dari imajinasi orang-orang yang membayangkan mereka berada dalam satu negara dan merasakan perasaan nasib serta mitos tentang masa lampau bersama yang jaya, dalam konteks ini juga perlu dilihat secara kritis. Imajinasi tentang bangsa atau nasion dalam konsep Anderson tetaplah mengacu pada model bangsa-bangsa atau nasion-nasion yang tersedia dalam pengalaman barat.

Imagined Community yang dikemukakan oleh Anderson jika dibawa ke dalam konteks Indonesia saat ini, maka apa yang dikemukakan oleh Anderson itu sudah tidak relevan lagi karena suku bangsa yang ada di Indonesia adalah komunitas yang saling mengenal satu sama lain, komunitas yang saling berjumpa, bukan komunitas imajiner semata.

Dari berbagai teori tentang bangsa dihubungkan dengan sebelum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Tahun 1945, kata bangsa sudah digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sekarang sering disebut kelompok etnis atau suku bangsa. Bachtiar (1987) juga mencatat bahwa sebelum kita mengacu diri kita sebagai bangsa Indonesia terdapat beraneka-ragam suku bangsa yang

Page 14: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

184

biasa dinamakan bangsa, misalnya, bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa Bugis. Selanjutnya dia mencatat bahwa :

“Masing-masing suku bangsa mempunyai kebudayaan sendiri, yang selain terdiri dari nilai-nilai dan aturan-aturan tertentu juga terdiri dari kepercayaan-kepercayaan tertentu serta pengetahuan tertentu yang diwarisi dari para nenek moyang suku bangsa yang bersangkutan. Masing-masing suku bangsa juga mempunyai bahasa sendiri, struktur masyarakat sendiri, sistem politik sendiri, dan ini yang amat penting, wilayah tempat pemukiman (tanah air) sendiri.”

Kalau batas bahasa dapat dianggap bertumpang tindih dengan batas suku bangsa, maka dapat dibayangkan betapa besar jumlah suku bangsa yang tadinya disebut bangsa (jadi bukan suku bangsa) terdapat di Indonesia ini. (Simatupang, 2002).

Tidak ada yang mengetahui jumlah suku bangsa di Indonesia secara persis. Namun berdasarkan hasil sensus terakhir yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada Tahun 2010, diperkirakan ada sekitar 1.128 suku bangsa di Indonesia (termasuk jumlah agama suku/agama adat dan aliran kepercayaan yang jumlahnya tidak diketahui secara persis) yang tersebar di sekitar 8.172 pulau142. Summer Institute of Linguistik (SIL) Internasional cabang Indonesia telah mencatat bahwa Indonesia memiliki 741 bahasa. Dari 741 bahasa tersebut, 726 bahasa masih memiliki penutur asli, 3 bahasa telah punah, dan 2 bahasa tidak memiliki penutur asli lagi. Dari 741 bahasa daerah yang ada, 169 bahasa diantaranya terancam punah.143 Majalah Tempo edisi 12-18 Maret 2012 juga menulis bahwa Indonesia memiliki 756 bahasa daerah (12% dari total bahasa yang ada di dunia) dan terbanyak kedua setelah Papua Nugini. Sebagian besar bahasa daerah itu memiliki penutur di bawah 1 juta orang, bahkan ada bahasa yang hanya memiliki 1 orang penutur saja seperti bahasa Beilel (Alor, NTT); bahasa Mapia (Papua); dan bahasa Hukumina (Papua). Jika para penutur ketiga bahasa di atas meninggal dunia, maka punahlah bahasa sekaligus budayanya.

142 http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/19/12373539/jumlah.pulau.berkurang diunduh tanggal 7 Maret 2012 143 http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam. punah diunduh tanggal 7 Maret 2012

Page 15: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

185

Dari pemaparan di atas dapat penulis kemukakan bahwa Republik Indonesia adalah “negara bangsa-bangsa”, dan negara bangsa-bangsa merupakan tempat di mana kita merasa ada ikatan alamiah satu sama lain lantaran kita memiliki bahasa yang sama yaitu Bahasa Indonesia dan berbagai bahasa daerah yang begitu banyak jumlahnya, agama suku dan agama adat yang begitu beragam selain agama resmi yang diakui oleh negara, atau apapun lainnya yang cukup kuat untuk menjalani keragaman yang dimiliki.

Dari narasi yang dikemukakan para ahli antropologi, sosiologi, dan budaya tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya konsep Bangsa Indonesia Asli merupakan suatu konsep yang sangat kompleks, dan bukan suatu konsep yang sudah seluruhnya jelas dan selesai. Bahkan penelitian secara antropologi, sosiologi, dan kultural secara tegas membuktikan bahwa bangsa Indonesia asli dapat dikatakan sebagai suatu kelompok ras hasil dari percampuran antara ras dan/atau antar etnik yang sulit dibuktikan atau bahkan perlu dipertanyakan apakah ada garis pemisah yang tegas untuk memahami konsep Bangsa Indonesia Asli yang mampu menggambarkan realitas dan mampu menjawab keaslian bangsa Indonesia. Kita maklum bahwa negara bangsa-bangsa adalah sebuah kreasi; Konstruksinya tidak pernah usai, dan dalam keserasiannya, state building dan nation building adalah selalu sebuah proses menjadi bukan suatu keadaan yang statis (becoming instead of being). Dan Indonesia sebagai sebuah identitas sebenarnya bukan sesuatu yang mati, tetapi memerlukan penafsiran yang terus menerus.

Ethnic State, Nations State dan Civil Society

Pada uraian sebelumnya, telah penulis kemukakan bagaimana Negara Kebangsaan Indonesia (Nation State) seharusnya dilihat sebagai “Negara Bangsa-Bangsa (Nations State)” dan Nusak sebagai cerminan dari Negara Etnik(Ethnic State) yang ada di Indonesia. Pada bagian ini penulis lebih banyak membahas tentang posisi Civil Society di Rote yang di satu sisi telah menyatu dan menjadi bagian dari Nusak dan pada sisi yang lain secara formal adalah bagian dari negara Indonesia.

Page 16: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

186

Benturan antara “Negara-Bangsa” dengan “Negara Bangsa-bangsa” adalah sebuah diskursus yang menarik sebagai sumbangan teoretis untuk Studi Pembangunan di Indonesia.

Pengalaman negara-negara di Eropa Timur telah “menjebak” para sosiolog menaruh civil society di tempat yang “sakral” dalam berbagai analisis sosial politik. Kaldor (1999), misalnya, menyatakan bahwa civil society adalah sebuah “ethical arena” (entitas etis), di mana kelompok-kelompok yang patut hukum, menghargai hak asasi manusia, mengembangkan sikap toleran, dan anti kekerasan (non violence). Sementara itu Putnam (1996) berpendapat bahwa civil society yang dipahami sebagai segala bentuk kehidupan sosial yang terorganisir dan terbuka bagi semua kalangan, menganut prinsip sukarela, dan tumbuh secara mandiri merupakan inti dari demokrasi. Tanpa civil society yang tumbuh secara subur, maka demokrasi tidak bakal dapat dipertahankan. Bagi Putnam, civil society merupakan tempat perbedaan kepentingan dinegosasikan sehingga kehadirannya dapat meningkatkan kemampuan pemerintahan dalam merepresentasi kepentingan dan sekaligus memperluas partisipasi politik.

Membincangkan masyarakat sipil (civil society) dalam dunia modern dalam konteks ke-Indonesia-an, tidak bisa lepas dari transformasi modernitas yang mulai berlangsung pada masa kolonialisme. Masyarakat tradisional yang berbasis komunitas dan pengorganisasian tradisional mulai mengubah strategi untuk melakukan aksi-aksi aksi kritis. Suwondo (2003) dalam penelitiannya di Klaten mengungkapkan kegagalan pengembangan civil society di aras nasional antara lain karena: (1) sistem politik yang tidak fungsional; (2) kepemimpinan nasional yang lemah; dan (3) ketidakpercayaan rakyat. Sementara pada aras lokal justru pengembangan civil society dinilai berhasil karena: (1) kondisi yang sudah mapan di bawah; (2) sistem politik lokal yang sudah fungsional; (3) kepemimpinan elit lokal; dan (4) tradisi partisipasi masyarakat desa.

Wiloso (2009) dalam penelitiannya di Grobogan melihat pembentukan civil society masih bersifat amatiristik oleh para mahasiswa dan dari pihak NGO/LSM lebih mengejar keuntungan pribadi meskipun mereka merupakan pelaku “potential civil society”

Page 17: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

187

melihat peluang demokratisasi di era desentralisasi, namun karena lemah dan amatiristiknya mahasiswa beserta egoismenya para pemimpin NGO/LSM , aktivitas interaktif mereka tidak membuahkan penguatan proses demokratisasi. Hal ini menegaskan bahwa pembentukan civil society tidak mesti diikuti dengan proses demokratisasi dan era desentralisasi dengan sendiri tidak melahirkan civil society yang kritis.

Kekuatan civil society sangat ditentukan oleh kemampuan untuk merencanakan model sistem sosial yang hendak dijadikan sebagai acuan kehidupan bersama diantara mereka. Paling tidak ada tiga cara pandang yang dapat dimanfaatkan sekaligus sebagai variabel untuk mengukur apakah sebuah system itu memiliki energi untuk menciptakan tujuan yang hendak dicapai. Ketiga hal itu adalah: cara pandang ideologis atau nilai yang bersifat universal (universal values). Kedua, meneropong dengan kacamata dan kesadaran empirik (empiric awareness). Ketiga, membandingkan sistem itu dengan pengalaman masa lalu yang dinilai memiliki kemampuan yang positif memproduksi tujuan sosial. Pendekatan ini sering disebut sebagai pedekatan sejarah (historical approach).

Bila menggunakan perspektif ideologis, perlu rekayasa sosial politik untuk menciptakan kehidupan umat manusia yang berke-beradaban (civil society). Kemakmuran, keadilan, equality, kesejah-teraan, toleransi dan kedamaian adalah sejumlah kata kunci yang menunjukkan kualitas keberadaban umat manusia. Pertanyaannya, apakah kondisi sosial politik yang menjadi sistem sosial manusia di dunia atau di Indonesia khususnya saat ini, telah mencapai titik ideologis yang dimaksud? Secara empirik, dengan gamblang menggambarkan bahwa sistem sosial politik yang dianut oleh civil society di Indonesia saat ini belum berhasil, kalau tidak mau dikatakan gagal menciptakan masyarakat yang berkerberadaban.

Secara ideologis negara dihadirkan untuk menjadi regulator pembangunan agar dapat membantu mempermudah kepentingan multi pihak dalam masyarakat sosial. Dengan demikian tanggungjawab utama negara semestinya adalah membangun kehidupan yang adil, sejahtera, equality dan aman. Akan tetapi secara faktual dan empirik,

Page 18: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

188

negara di manapun di dunia ini, khususnya di Indonesia telah menjadi arena kepentingan kelas-kelas sosial (social classes) tertentu, menjadi alat legitimasi kekuasaan (legitimacy of powers), menjadi corporate powers bagi kelompok-kelompok yang memiliki link dengannya. Menurut Marx, kelompok-kelompok yang melakukan pertarungan di sana adalah; kaum nobles, bourgeoisie, dan proletariat. Dua kaum yang pertama menurut Marx sangatlah dominan dalam Negara, meskipun satu dua terjadi pergeseran ruang yang dimasuki oleh kaum proletariat yang bernasib baik. Patut dicatat, siapapun yang berada dalam ruang negara selalu ditumbuhi oleh benih keinginan menguasai. Inti dari politik negara adalah kekuasaan/penguasaan (powers and occupancy) (Lukacs, 2010).

Dengan mengikuti karakter dasarnya, negara selalu membangun relasi dengan kelompok private sectors. Hubungan ini sudah pasti tidak memberikan kontribusi positif untuk membangun sistem sosial politik yang fair. Pihak yang paling dirugikan dari hubungan antara negara dengan private sectors adalah civil society. Hal yang paling menonjol dari kelompok kapitalis (private sectors) adalah pendapatan ekonomi atau memperkuat capital (capital reach). Dari kecenderungannya dapat dideteksi bahwa kelompok ini akan melakukan apa saja untuk mencapai kepentingannya, termasuk merusak hubungan berimbang antara negara-masyarakat. Civil society sebagai fondasi masyarakat sosial dalam berelasi dengan negara dan pengusaha, juga memiliki agenda sendiri. Tujuan utama dari civil society adalah membangun masyarakat yang sejahtera, damai dengan basis berkeadilan.

Civil Society yang dimaksudkan dalam uraian di atas dalam konteks Rote adalah Nusak yang sudah berdiri di Rote jauh sebelum era kolonialisme. Bagaimana posisi civil society, Nusak sebagai “negara-bangsa” dan Indonesia sebagai “negara bangsa-bangsa” dapat dilihat pada Gambar 8.4. berikut ini:

Page 19: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Ethnic State, Nation State dan Civil Society

189

Gambar 8.4. Posisi Civil Society di antara “dua negara” di Rote

Gambar 8.4. di atas ingin menunjukkan bahwa civil society di Rote sudah lama menyatu (embedded) dengan Nusak sebagai lembaga peradilan adat dan sekaligus sebagai lembaga pemerintahan adat dalam kehidupan mereka sejak Nusak hadir di Rote sekitar Tahun 1500-an. Sebagaimana yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa Nusak memiliki tiga fungsi negara yaitu lembaga yudikatif, lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Kehadiran negara (baik pada masa negara kolonial maupun negara Indonesia) disambut oleh masyarakat Rote secara formalistik saja karena bagi masyarakat Rote, Nusak adalah negara untuk mereka (local state/nation state), dengan hadirnya Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, bahasa dan agama maka Indonesia seharusnya dimaknai sebagai “negara bangsa-bangsa” (nations state), dengan begitu “negara-bangsa” (nation state) yang ada di Indonesia adalah bagian dari Indonesia sebagai negara bangsa-bangsa dan bukan negara kesatuan yang dipaksakan. Karena kenyataannya di Jawa pun sampai hari ini, bahasa sehari-hari adalah bahasa Jawa, begitu juga di Bali, di Timor, di Manggarai, di Sumba di Sabu, di Papua dan berbagai daerah di Indonesia, bahasa Indonesia hanya untuk kegiatan yang bersifat formal. Begitu pun di Rote, bahasa sehari-hari adalah bahasa Rote, bahasa Indonesia hanya untuk kegiatan yang bersifat formal saja.

Gambar 8.4 di atas juga memperlihatkan masih adanya jarak antara civil society dan negara. Hal ini bisa dipahami karena relasi antara negara dan civil society tidak selamanya berjalan ideal. Meminjam

Embedded

Konstruksi

Formalistik

Ethnic State (Nusak)

Nation State (Indonesia)

Civil Society

Page 20: Ethnic State, Nation State dan Civil Societyrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9265/9/D_902007003_BAB VI… · (18 Nusak berada di Pulau Rote, ... Hanya Nusak Oenale dan Nusak

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

190

kerangka pikir teoretik yang dikembangkan oleh Diane Davis (1999), yang dikenal dengan konsep power of distance (kekuatan jarak) yakni (a) geographic source of distance, merupakan jarak yang berkaitan dengan ruang fisik yang membentang antara lokasi pelayanan pemerintah dan lokasi tempat tinggal warga masyarakat selaku penerima pelayanan; (b) institutional source of distance merupakan jarak yang berkaitan dengan pelembagaan lembaga-lembaga pelayanan publik; (c) social class positional of distance merupakan jarak yang berkaitan erat dengan perbedaan stata sosial (termasuk strata ekonomi) antara aparat birokrasi tata pemerintahan yang menyediakan pelayanan publik; dan (d) cultural source of distance merupakan jarak yang berkaitan dengan perbedaan budaya.

Tatkala warga masyarakat merasa serba jauh dari birokrasi tata kelola pemerintahan baik secara geografis, kelembagaan, strata sosial, maupun budaya, maka menurut Davis, jarak tersebut memiliki kekuatan (power of distance) untuk mendorong masyarakat melakukan gerakan sosial. Gerakan sosial mewujud dalam berbagai fenomena sebagaimana yang telah penulis kemukakan dalam bab-bab empiris terdahulu.

Dari pemaparan di atas, sistem sosial dan politik dapat dibangun secara adil sesuai dengan prinsip-prinsip civil society dan tujuan ideologis keberadaan negara apabila hubungan ketiganya (legislatif, eksekutif dan yudikatif) berimbang secara posisional. Relasi antara penguasa dan pengusaha yang selalu jadi sorotan publik semestinya harus segera diganti dengan hubungan yang transparan, yang dapat diaudit oleh publik. Tidak ada underground relationship. Kedua, civil society dalam proses memodifikasi dirinya sendiri, di mana tujuan awalnya bermaksud untuk memperluas space of civil society hendaknya tidak bergeser dalam pelaksanaanya menjadi berorentasi kekuasaan. Terdapat jalan lain, jika kedua cara itu gagal ditempuh dalam periode waktu tertentu, jalan itu adalah menggerakkan kekuatan cultural dan fungsional.