esay wayang FIX.docx
-
Upload
fieramelia -
Category
Documents
-
view
17 -
download
4
Transcript of esay wayang FIX.docx
Seni Sastra Dalam Pertunjukan Wayang Golek Sunda Sebagai
Identitas Budaya Bangsa
Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Ditetapkannya wayang sebagai
salah satu budaya yang harus dilestarikan oleh Unesco, menjadikannya terus
berkembang dan tidak luntur dalam sejarah. Wayang berasal dari kata “ Wad
an Hyang ” yang artinya leluhur. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara,
seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga sebagai seni
perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga
merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat,
serta hiburan.
Salah satu jenis dari wayang adalah wayang golek Sunda. Wayang golek
Sunda juga biasa disebut wayang golek purwa. Yang dimaksud dengan wayang
golek purwa adalah pertunjukan boneka (golek) wayang yang cerita pokoknya
bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana. Istilah purwa mengacu pada
pakem pedalangan gaya Jawa Barat dan Surakarta yang bersumber pada Serat
Pustaka Raja Purwa karya R.Ng.Ranggowarsito. Beliau berhasil mengolah cerita-
cerita yang bersumber dari kebudayaan India yang di kulturasikan dengan
kebudayaan asli Indonesia. Wayang golek Sunda adalah seni pertunjukan tradisi
yang berkembang di tanah Sunda, Jawa Barat. Berbeda dengan wayang kulit yang
dua dimensi, boneka wayang golek adalah salah satu jenis wayang trimatra atau
tiga dimensi.
Menurut C.M Pleyte, bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal
wayang pada tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi dalam Prasasti Batutulis. Pada
abad 16 dalam naskah Ceritera Parahyangan juga disebutkan berulang-ulang kata-
kata Sang Pandawa Ring/Kuningan. Pendapat lain yang berkenaan dengan
penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada masa pemerintahan Raden Patah
dari Kerajaan Demak, kemudian disebarluaskan para Wali Sanga. Sekitar tahun
1584 Masehi salah satu Wali Sanga menciptakan wayang golek, tidak lain adalah
Sunan Kudus.
1
Pada abad ke-18 tahun 1794-1829 Dalem Bupati Bandung (Karanganyar),
menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Tegal Jawa Tengah, yang
bertempat tinggal di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuat bentuk golek purwa.
Pada abad ke-20 mengalami perubahan-perubahan bentuk wayang golek, semakin
menjadi baik dan sempurna, seperti wayang golek yang kita ketemukan sekarang
ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut wayang golek Purwa Sunda. Cerita
pada pertunjukan wayang golek Sunda umumnya bersumber kepada kitab Arjuna
Sasrabahu, Ramayana, dan Mahabharata, yaitu kitab-kitab yang berasal dari
kebudayaan Hindu di India. Namun cerita yang paling banyak digemari
masyarakat adalah Mahabharata, bahkan dari lakon induk ini telah lahir berpuluh-
puluh cerita sempalan/carangan yang merupakan hasil kreatifitas para dalang.
Gambar 1. Wayang Golek di
Wayang Summit 2012
www.demotix.com
Salah satu ketertarikan dalam pagelaran wayang golek Sunda ini adalah
pada bagian seni sastranya. Membahas perkembangan bahasa dalam seni-sastra
wayang berarti mengungkapkan bagaimana wayang di(re)produksi dari waktu ke
waktu, bagaimana ia berfungsi dalam masyarakatnya, dan bagaimana ia menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari “teknologi kekuasaan” (Foucault, 1977: 29)
yang berkembang dari jaman ke jaman
Pada dasarnya bahasa/percakapan antar tokoh dalam pergelaran wayang
golek adalah bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa Sunda dengan undak-
undaknya yang disebut Amardibasa atau tata bahasa. Walaupun demikian, untuk
tokoh-tokoh wayang tertentu seperti Bima dan Togog umumnya menggunakan
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut dilakukan para Dalang untuk
memberikan variasi dan karakter pada wayang yang berjumlah ratusan. Demikian
2
juga dalam penyampaian prolog yang dalam istilah teknisnya disebut Murwa dan
Nyanda, pada umumnya para Dalang menggunakan bahasa Jawa Kuno yang
dituturkan sambil dinyanyikan dalam lagu tertentu. Murwa adalah “garapan
dalang di awal pertunjukan” yaitu melagukan beberapa kalimat bahasa Kawi
dengan teknik-teknik lagu tertentu. Adapun maksud dan isi kandungan dari
Murwa ini adalah gambaran tentang suatu keadaan baik fisik atau non fisik yang
mengawali cerita yang disajikan (Sujana, 1991:10). Umpamanya tentang suatu
negara dengan segala isinya, tentang sifat-sifatnya seorang raja, tentang suasana
batin tokoh wayang, dan sebagainya. Nyandra adalah kelanjutan dari Murwa,
yaitu “bagian yang masih menerangkan atau menggambarkan sesuatu dengan
teknik prolog” (Sujana, 1991:10). Prolog berupa Murwa dan Nyandra ini
sebenarnya berisi penuturan yang menggambarkan suasana adegan yang sedang
atau akan digarap sang Dalang.
Selain Murwa dan Nyandra, dalam sastra pedalangan dikenal juga Suluk
dan Kakawen yang fungsinya untuk menggambarkan suasana dan karater wayang
yang sedang ditampilkan. Perbedaan Suluk lebih menitikberatkan kepada
bahasanya sedangkan Kakawen kepada karawitannya, terutama tentang melodi.
Baik Suluk atau kakawen, keduanya dituturkan/dinyanyikan dengan
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan selanjutnya para Dalang
mulai ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk Murwa dan Nyandra,
atau untuk Suluk dan Kakawen. Selain itu ada rumpaka lagu yang menunjukkan
kordinasi antar berbagai aspek pendukung terutama Dalang dan pesinden.
Pesinden harus betul-betul memahami setiap adegan sekaligus memahami pula
kode-kode yang dilontarkan Dalang. Dengan cara itu, lagu beserta syair yang
dibawakan sinden betul-betul relevan dan mendukung suasana seperti yang
dikehendaki sang Dalang.
Dalam menyampaikan lakon/cerita, seorang Dalang tidak dibenarkan
menggunakan bahasa yang vulgar dan tidak beraturan. Untuk itu disusunlah
rambu-rambu khusus yang disebut Panca Curiga atau Panca S. Lengkapnya Panca
S itu adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul dan Sasmita yang mempunyai ari
sebagai berikut:
3
1. Sindir
Adalah kritik-kritik, kecaman-kecaman atau pujian yang di ungkapkan
dalam suatu cerita yang disusun sedemikian rupa sehingga harus serta tidak
secara langsung menyinggung hati yang dikritik atau dikecamnya.
2. Silib
Silib adalah suatu penerangan atau nasihat yang diselipkan di dalam suatu
tema, babak atau adegan tertentu.
3. Siloka
Siloka adalah kalimat-kalimat yang harus digali kembali bila ingin
mengetahui arti yang sesungguhnya.
4. Simbul
Simbul adalah perlambang yang harus dicari atau ditafsirkan sendiri apa
makna yang sesungguhnya.
5. Sasmita
Yang dimaksud sasmita adalah isyarat atau pertanda.
Hakikatnya Panca Curiga tersebut adalah suatu kesatuan yang utuh dan
antara satu sama lainnya tidak dapat terpisahkan. Fungsinya adalah untuk
memberikan “batasan” kepada Dalang dan seniman pendukung wayang golek
agar dalam mengucapkan kata (langsung), karena hal itu dapat menyinggung
orang lain serta menurunkan derajat dan nilai seni pedalangan yang mereka
anggap adiluhung.
Salah satu contoh seni sastra dalam wayang golek adalah lakon Murwakala.
Alur kisah Murwakala mulai jejer awal sampai tancap kayon, ditemukan suatu
komposisi lakon yang unik yang tidak lazim ditemui dalam lakon-lakon lainnya.
Dalam Murwakala, terdapat dua bagian yang masing-masing berdiri sendiri,
meski saling mengisi. Bagian pertama tentang kelahiran Bathara Kala dari
kama salah Bathara Guru di atas Lembu Andini. Cerita ini diakhiri dengan
Bathara Kala yang turun ke bumi dengan hak untuk memakan manusia sukerta,
antara lain manusia lahir tunggal (ontang-anting).
4
Sampai di sini, cerita pertama itu selesai, lalu disusul bagian kedua dengan
temanya berlainan. Bagian ini mengisahkan bertapanya anak ontang-
anting bernama Jatusmati yang berusaha menghindar dan menyelamatkan diri dari
kejaran Bathara Kala. Ia akhirnya diselamatkan Dalang Kandha Buwana lewat
ruwatan-nya. Bagian kedua inilah yang merupakan inti masalah yang membentuk
lakon Murwakala. Tema Murwakala dalam lakon Murwakala bukan terletak pada
lahirnya Bathara Kala, melainkan pada ruwatan itu sendiri “Menguasai Sang
Kala”. Kisah lahirnya Bathara Kala dalam ruwatan sekadar sebagai prolog untuk
menerangkan alur ruwatan. Perbedaan mencolok antara prolog dan lakon utama
Murwakala, dapat dilihat dari struktur komposisi para pelaku pendukung yang
mewakili karakter masing-masing. Dalam sebuah lakon terdapat tiga kelompok
kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan, yakni apa yang disebut
protagonis, antagonis, dan tritagonis. Dalam prolog atau cerita pertama, jelas
sekali Bathara Kala lah yang menjadi tokoh protagonisnya (pemeran utama).
Pada bagian kedua (tema pokok), pola kedudukan peranan masing-masing
berbalik. Bathara Kala menjadi tokoh antagonis, sedang protagonisnya Jatusmati,
dan para dewa (Bathara Wisnu, Narada, Brahma) menjadi tritagonis sebab
Bathara Wisnu menjadi Dalang Kandha Budawa dan dewa-dewa lain meruwat
Jatusmati. Tetapi yang paling unik dalam pakeliran Murwakala adalah bahwa
yang menjadi protagonis paling utama adalah anak-anak laki-laki dan/atau
perempuan dari orang tua yang mempunyai ruwatan, yang diproyeksikan pada
adegan akhir. Pada adegan akhir inilah dilakukan upacara ruwatan yang
sebenarnya dan bukan lagi sebagai adegan wayang.
Dengan kemampuan kita menangkap apa yang tersirat dari ruwatan, kita
bisa membaca simbol-simbol atau pasemon yang tersiratkan melalui
cerita Murwakala yang terkesan monoton atau terlalu datar itu. Di sinilah letak
bobot nilai sastra dalam lakon Murwakala, hingga menjadi bergitu indah
mempesonakan. Wayang memberikan peluang besar kepada orang Jawa untuk
melakukan kajian filsafat tentang kehidupan di dunia yang penuh tantangan ini.
Upacara ruwatan pada hakikatnya merupakan usaha manusia menjawab tantangan
tersebut yang dilakukan dengan pertunjukan wayang, dalam hal ini melalui Sang
Dalang Sejati Kandha Buwana dalam lakon Murwakala.
5
Seni sastra dalam wayang golek sunda banyak menyimpan nilai-nilai
kebaikan berupa dakwah keagamaan yang tujuannya mengingatkan serta
mengajak penonton untuk selalu bertakwa serta berbuat kebajikan. Selain itu
dalam penyampaian cerita diselingi oleh pesan-pesan baik pesan sosial
kemasyarakatan, maupun pesan kenegaraan. Pesan yang disampaikan bisa terjadi
timbal balik, baik pesan dari pemerintah kepada masyarakat maupun aspirasi
masyarakat kepada pemerintah yang disampaikan melalui pagelaran wayang
golek. Untuk itulah wayang golek sunda perlu dilestarikan agar selalu tetap ada
karena pada dasarnya setiap pagelaran wayang menyimpan nilai-nilai moral yang
mencirikan identitas bangsa kita.
6
Kesimpulan
Perkembangan wayang golek sunda dari zaman ke zaman telah melahirkan
suatu seni sastra yang telah menjadi suatu ciri bagi bangsa Indonesia. Wayang
golek sunda memberikan gambaran mengenai kehidupan manusia yang
sebenarnya dengan segala masalahnya yang menyimpan nilai-nilai pandangan
hidup dalam mengatasi segala tantangan dan kesulitannya. Ditambah dengan
sastra-sastra yang penuh makna, menjadikan kita patut berbangga memiliki
warisan budaya yang khas ini. Demikianlah, dengan menikmati wayang, orang
akan memperoleh nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya, di samping
nilai-nilai etika atau budi pekerti dan nilai estetika yang tinggi. Dalam ikut
membangun peradaban modern seperti sekarang ini, nilai-nilai yang terkandung
dalam wayang masih relevan untuk dikembangkan bagi generasi yang akan
datang.
7
Daftar Pustaka
Basuki, Ribut. 2011. Kekuasaan dan Bahasa: Bahasa Jawa, Seni-Sastra Wayang
dan Kekuasaan. [Online] Terdapat di
http:// fportfolio.petra.ac.id/user_files/92-019/Paper%20Bahasa.doc diakses
04 April 2014 pukul 18.32 WIB.
Kabupaten Garut.go.id. 2012. Kesenian Wayang Golek. [Online] Terdapat di
www.garutkab.go.id/...files/.../ KESENIAN %20 WAYANG %20 GOLEK .p
diakses 06 April 2014 pukul 15.45 WIB.
Pudyanto, Robertus. 2012. Wayang Golek in Wayang Summit 2012. [Online]
Terdapat di http://www.demotix.com/news/1647022/wayang-golek-ajen-
exhibition-wayang-summit-2012#media-1646987 diakses 06 April 2014
pukul 19.40 WIB.
Pusat Data Wayang Indonesia. 2011. Pemahaman Nilai Filosofi, Etika, dan
Estetika Dalam Wayang. [Online] Terdapat di http://pdwi.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=107:pemahaman-nilai-filosofi-etika-
dan-estetika-dalam-wayang&catid=66:makalah&Itemid=180 diakses 4 April
2014 pukul 19.50 WIB.
Pusat Data Wayang Indonesia. 2011. Wayang Golek Sunda. [Online] Terdapat di
http://www.pdwi.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=313:wayang-golek-
sunda&catid=71:jenis-wayang-indonesia&Itemid=187 diakses 05 April 2014
pukul 20.00 WIB.
Swiska. 2012. Wayang Golek. [Online] Terdapat di
http://swiskawayang.com/category/uncategorized/ diakses 05 April 2014
pukul 21.20 WIB.
8
9