Epidemiologi

77
MAKALAH EPIDEMIOLOGI RUMAH SAKIT STUDI KASUS RUMAH SAKIT SULIANTI SAROSO Disusun Oleh : Ahmad Kuslan Luthfianto (0906515925) Anindyolaras Cahyo (0906515931) Anissa Yanuarina (0906636743) Ayu Wulandini (0906557285) Cut Keumala Banaget (0906557303) Fachri Artadi (0906515982) Putri Nilam Sari (0906636951) Tagor (0906557392) Tatika Widyasari (0906516120) Windi Silvia (0906637001) DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2011

description

RSPI

Transcript of Epidemiologi

Page 1: Epidemiologi

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI RUMAH SAKIT

STUDI KASUS RUMAH SAKIT SULIANTI SAROSO

Disusun Oleh :

Ahmad Kuslan Luthfianto (0906515925)

Anindyolaras Cahyo (0906515931)

Anissa Yanuarina (0906636743)

Ayu Wulandini (0906557285)

Cut Keumala Banaget (0906557303)

Fachri Artadi (0906515982)

Putri Nilam Sari (0906636951)

Tagor (0906557392)

Tatika Widyasari (0906516120)

Windi Silvia (0906637001)

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2011

Page 2: Epidemiologi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan

kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Di

Indonesia, infeksi merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan

bayi baru lahir. Selain itu, menyebabkan perpanjangan masa rawat inap bagi

penderita. Resiko infeksi di rumah sakit atau yang biasa dikenal dengan

infeksi nosokomial merupakan masalah penting di seluruh dunia. Infeksi ini

terus meningkat dari 1% di beberapa Negara Eropa dan Amerika, sampai

lebih dari 40% di Asia, Amerika Latin dan Afrika.

Infeksi nosokomial yang dikenal juga sebagai infeksi yang didapatkan

dari rumah sakit adalah infeksi yang didapatkan ketika tidak adanya

perhatian dari pihak rumah sakit Infeksi terjadi lebih dari 48 jam setelah

masuk ke rumah sakit dinyatakan sebagai nosokomial . Infeksi nosokomial

dapat dipertimbangkan sebagai endemik atau pandemik. Infeksi endemik

adalah infeksi yang sering terjadi. Infeksi epidemik terjadi ketika adanya

pertambahan yang tidak biasa di atas baseline dari infeksi yang spesifik atau

organisme yang bersifat infeksi.

Sehubungan dengan infeksi nosokomial ini, maka ada baiknya

mengetahui hal-hal sebagai berikut (dikutip dari repository.usu.ac.id ) :

1. Secara umum infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan

penderita selaa di rumah sakit

2. Infeksi nosokomial sukat diatasi karena sebagai penyebabnya adalah

mikroorganisme yang sudah resisten terhadap anti biotika.

3. Bila terjadi infeksi nosokomial, maka akan terjadi penderitaan yang

berkepanjangan serta pemborosan waktu serta pengeluaran biaya yang

bertambah tinggi kadang-kadang kualitas hidup penderita akan menurun.

4. Infeksi nosokomial disamping berbahaya bagi penderita juga berbahaya

bagi lingkungan baik selama di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit

setelah berobat jalan.

Page 3: Epidemiologi

5. Dengan pengendalian infeksi nosokomial akan menghemat biaya dan

waktu yang terbuang.

6. Di negara yang sudah maju masalah ini telah diangkat menjadi masalah

nasional sehingga bila angka infeksi di suatu rumah sakit tinggi, maka

izin operasionalnya dipertimbangkan untuk dicabut oleh instansi yang

berwenang.

Adapun pada tabel 1 dapat dilihat definisi untuk beberapa infeksi yang

umum terjadi yang dapat digunakan untuk mensurvei fasilitas.

Perubahan pada penjagaan kesehatan telah menghasilkan jangka waktu

di dalam rumah sakit yang lebih pendek dan menambah banyaknya rawat

jalan. Infeksi nosocomial harus menyeluruh terhadap infeksi yang terjadi

pada pasien

I.2. Permasalahan

1. Apa hubungan antara epidemiologi dengan infeksi nosokomial?

Page 4: Epidemiologi

2. Apa hubungan antara pengelolaan limbah rumah sakit dengan infeksi

nosokomial?

3. Bagaimana pengelolaan limbah di rumah sakit Sulianti Saroso?

4. Apakah hasil pengelolaan limbah di Rumah Sakit Sulianti Saroso sudah

sesuai dengan Keputusan Menteri atau Peraturan Pemerintah?

I.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk memenuhi tugas Epidemiologi mengenai Peninjauan Rumah Sakit

Sulianti Saroso.

2. Untuk menganalisa karakteristik limbah yang terdapat di dalam rumah

sakit dan pengelolaan untuk limbah-limbah.

3. Untuk menganalisis sistm sanitasi yang sudah terdapat di dalam rumah

sakit Sulianti Saroso.

Page 5: Epidemiologi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian, Klasifikasi, dan Pelayanan Rumah Sakit

II.1.1. Pengertian Rumah Sakit

Dalam peraturan Menteri Kesehatan disebutkan bahwa rumah

sakit adalah sarana upya kesehatan yang menyelenggarakan

kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk

pendidikan tenaga kesehatann dan tempat untuk penelitian

(Permenkes RI No.159b/Menkes/Per/98).

II.1.2. Klasifikasi Rumah Sakit

Klasifikasi Rumah sakit adalah pengelompokkan kelas Rumah

Sakit berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan. Rumah

Sakti terbagi menjadi dua, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit

Khusus.

Rumah Sakit Umum adalah Rumah Sakit yang memberikan

pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.

Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah sakit

umum diklasifikasikan menjad Rumah sakit umum kelas A, kelas

B, kelas C dan kelas D. Klasifikasi Rumah sakit umum ditetapkan

berdasarkan Pelayanan, Sumber daya manusia, Peralatan, Sarana

dan Prasarana serta Administrasi dan Manajemen.

Rumah Sakit kelas A adalah rumah sakit yang harus

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikt 4 (empat) pelayanan Medik Spesialis dasar, 5 (lima)

pelayanan spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) pelayanan

medik spesialis lain dan 13 (riga belas) pelayanan medik sub

spesialis. Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat tidur

adalah 1:1 dengan kualifikasi tenaga keperawatan sesuai dengan

pelayanan di Rumah Sakit dan jumlah tempat tidur minimal 400

(empat ratus) buah.

Page 6: Epidemiologi

Rumah Sakit kelas B adalah rumah sakit yang harus

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikt 4 (empat) pelayanan Medik Spesialis dasar, 4 (empat)

pelayanan spesialis penunjang medik, 8 (dua belas) pelayanan

medik spesialis lain dan 2 (riga belas) pelayanan medik sub

spesialis dasar. Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat

tidur adalah 1:1 dengan kualifikasi tenaga keperawatan sesuai

dengan pelayanan di Rumah Sakit dan jumlah tempat tidur

minimal 200 (dua ratus) buah.

Rumah Sakit kelas C adalah rumah sakit yang harus

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikt 4 (empat) pelayanan Medik Spesialis dasar, 4 (empat)

pelayanan spesialis penunjang medik. Perbandingan tenaga

keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi

tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit dan

jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.

Rumah Sakit kelas D adalah rumah sakit yang harus

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling

sedikt 2 (dua) pelayanan Medik Spesialis dasar. Perbandingan

tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan

kualifikasi tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah

Sakit dan jumlah tempat tidur minimal 50 (lima puluh) buah.

Rumah Sakit Khusus adalah Rumah sakit yang memberikan

pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit

tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau

jenis penyakit. Jenis rumah sakit khusus antara lain Rumah sakit

Khusus

a. Ibu dan Anak

b. Jantung

c. Kanker

d. Orthoperdi

e. Paru

Page 7: Epidemiologi

f. Jiwa

g. Kusta

h. Mata

i. Ketergantungan Obat

j. Stroke

k. Penyakit Infeksi

l. Bersalin

m. Gigi dan Mulut

n. Rehabilitasi Medik

o. Telinga Hidung Tenggorokan

p. Bedah

q. Ginjal

r. Kulit dan Kelamin.

Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah sakit

khusus diklasifikasikan menjad Rumah sakit khusus kelas A, kelas

B dan kelas C. Klasifikasi Rumah sakit khusus ditetapkan

berdasarkan Pelayanan, Sumber daya manusia, Peralatan, Sarana

dan Prasarana serta Administrasi dan Manajemen. Dari penjelasan

peraturan menteri kesehatan ini tahun No.340 tahun 2010, RSPI-

Sulianti Saroso adalah Rumah Sakit Khusus Infeksi setingkat

denga rumah sakit tipe B non-pendidikan.

II.1.3. Pelayanan dan Kegiatan di Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang berfungsi

mewujudkan salah satu upaya pelayanan kesehatan terbesar pada

masyarakat. Rumah sakit sebagai suatu tempat untuk memenuhi

berbagai permintaan pasien dan dokter, agar penyelesaian masalah

kesehatan dapat dilaksanakan dengan baik.

Pelayanan rumah sait (RS) dapat ditinjau dari tiga hal yaitu

(Donabedian A, 1980) :

a. Struktur (sarana, fisik, peralatan, dana, tenaga kesehatan dan

nonkesehatan, serta pasien).

Page 8: Epidemiologi

b. Proses (manajemen RS baik manajemen interpersonal, teknis

maupun pelayanan keperawatan yang kesemuanya tercermin

pada tindakan medis dan nonmedis kepada pasien).

c. Outcome

Bagian penerimaan pasien di rumah sakit merupakan salah

satu pelayanan kegiatan rumah sakit yang mempunyai pengaruh

dan nilai penting, walalupun belum ada tindakan-tindakan medis

khusus yang diberikan kepada pasien. Kesan pertama akan

memberikan arti tersendiri bagi pasien untuk melalui proses

pelayan selanjutnya. Kesiapan petugas, kelengkapan

sarana/prasaran di bagian penerimaan pasien haruslah optimal.

Pada bidang perawatan terdapat pelayanan rawat inap dan

rawat jalan yang merupakan kegiatan pelayanan rumah sakit.

Pelayanan rawat jalan, pasien memperoleh pelayanan kesehatan

pada jam-jam tertentu dan tidak perlu pemondokan, sedangkan

pelayanan rawat inap, pasien memperoleh pelayanan kesehatan

yang berlangsung lebih dari 24 jam.

Selama perawatan rawat inap, akan memperoleh pelayanan

berupa pemeriksaan, dilakukan diagnosa penyakitnya, diberikan

pengobatan atau tindakan, asuhan keperawatan, dievaluasi kondisi

kesehatannya dan akhirnya pasien diperbolehkan keluar rumah

sakit.

Fasilitas penunjang rumah sakit juga harus ada untuk dapat

melakukan kegiatan pelayanan ini, fasilitas berupa medis maupun

non medis. Fasilitas penunjang rumah sakit antara lain meliputi :

laboratorium, instalasi farmasi, radiologi, pelayanan makan pasien

saat rawat inap, dan lain-lain.

Kegiatan pelayanan Rumah Sakit, diantaranya :

Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis,

Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang

medis tambahan,

Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman,

Page 9: Epidemiologi

Melaksanakan pelayanan medis khusus,

Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan,

Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi,

Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial,

Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan,

Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan

rawat tinggal (observasi),

Melaksanakan pelayanan rawat inap,

Melaksanakan pelayanan administratif,

Melaksanakan pendidikan para medis,

Membantu pendidikan tenaga medis umum,

Membantu pendidikan tenaga medis spesialis,

Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan,

Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi,

II.2. Limbah Rumah Sakit dan Karakteristiknya

II.2.1. Limbah cair

Berdasarkan literatur yang didapatkan, menurut Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 58/MENLH/12/1995,

limbah cair rumah sakit adalah semua bahan buangan yang

berbentuk cair yang berasal dari rumah sakit yang kemungkinan

mengandung mikroorganisme patogen, bahan kimia beracun dan

radioaktif. Diperkirakan bahwa sekitar 10-25% limbah yang

dihasilkan oleh rumah sakit merupakan limbah yang telah

terkontaminasi oleh infectious agent dan potensial membahayakan

kesehatan manusia dan lingkungan (WHO, 1999).

Sumber limbah cair rumah sakit yang berasal dari aktivitas

rumah sakit yang menggunakan air bersih seperti dari ruang

perawatan pasien, pasien rawat jalan, pengunjung pasien, dan

pengunjung rumah sakit yang meliputi kegiatan administrasi, dapur,

dan kegiatan lainnya. Menurut Puslit Sains dan Teknologi LP UI

dan Bapedal (2002), sumber dan timbulnya limbah cair dapat

dikelompokkan seperti berikut :

Page 10: Epidemiologi

a. Ruang tunggu rumah sakit, limbah cair timbul dari aktivitas

pengunjung rumah sakit berupa sisa minuman, urin, dan tinja

yang dibuang melalui ssaluran atau WC;

b. Ruang poliklinik, limbah cairnya timbul dari aktivitas perawatan

pasien seperti urin, tinja, darah, sisa obat, sisa alkohol, air

buangan dan pembersihan alat, dan lain-lain;

c. Ruang operasi, bedah anesthesia, limbah air yang ditimbulkan

dari ruang ini berupa sisa-sisa cairan air bekas operasi seperti

sisa obat, darah, cairan bekas pembersih alat, dan lain-lain;

d. Ruang laboratorium, limbah cair yang timbul dari ruang ini

berupa sisa-sisa cairan bekas pakai, cairan bekas pemcucian alat,

larutan kimia hasil penelitian dan lain-lain;

e. Ruang perawatan dan pemulihan pasien, limbah cair yang

ditimbulkan dari ruang ini berupa urin, tinja dan sisa-sisa air

bekas pencucian, dan lain-lain;

f. Ruang radiologi, limbah cairnya yaitu zat kimia fixer dan

developer berkontribusi signifikan jika tidak dikelola dengan

baik, limbah radioaktif, serta limbah infeksius;

g. Ruang perkantoran, limbah cair yang timbul berupa urin, tinja

dan sisa-sisa air bekas pembersihan, dan lain-lain;

h. Ruang dapur, limbah cair yang dihasilkan berupa sisa air

pencucian sayur, sisa cairan bekas makanan dan lain-lain;

i. Ruang laundry, limbah cair yang ditimbulkan dari ruangan ini

berupa sisa air bekas cucian yang dibuang melalui saluran.

Secara umum karakteristik limbah cair rumah sakit dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Rumah Sakit

No. Parameter Min Maks Rata-rata

1 BOD5 – mg/l 31,52 675,33 353,43

2 COD – mg/l 46,2 1183,4 615,01

3 KmnO4 – mg/l 69,84 739,56 404,7

Page 11: Epidemiologi

4 Amoniak (NH3) – mg/l 10,79 158,73 84,76

5 Nitrit (NO2) – mg/l 0,013 0,274 0,1435

6 Nitrat (NO3) – mg/l 2,25 8,91 5,58

7 Khlorida (Cl) – mg/l 29,74 103,73 66,735

8 Sulfat (SO4) – mg/l 81,3 120,6 100,96

9 pH 4,92 8,99 6,96

10 Zat padat tersuspensi – mg/l 27,5 211 119,25

11 Deterjen (MBAS) – mg/l 1,66 9,79 5,725

12 Minyak/Lemak – mg/l 1 125 63

13 Cadmium (Cd) – mg/l Ttd 0,016 0,008

14 Timbal (Pb) – mg/l 0,002 0,04 0,008

15 Tembaga (Cu) – mg/l Ttd 0,49 0,245

16 Besi (Fe) – mg/l 0,19 70 35,1

17 Warna (skala Pt-Co) 31 150 76

18 Phenol – mg/l 0,04 0,63 0,335

Sumber : Puslit Sains dan Teknologi LP UI Bapedal, 2002

Berdasarkan Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa bila limbah cair

rumah sakit tersebut tidak diolah dengan benar, maka sangat

berpotensi mencemari lingkungan. Selain pencemaran secara

kimiawi, limbah cair rumah sakit juga berpotensi mencemari

lingkungan secara bakteriologis. Diagram alir pembuangan limbah

cair rumah sakit dapat dilihat pada Gambar berikut

Page 12: Epidemiologi

Gambar 1. Diagram Alir Pembuangan Limbah Cair Rumah

Sakit

Sumber : Puslit Sains dan Teknologi LP-UI dan Bapedal, 2002)

Karakteristik limbah cair rumah sakit sangat penting untuk

dikatahui terutama dalam kaitannya dengan dampak yang

ditimbulkan serta upaya teknologi pengendaliannya. Karakteristik

limbah cair diuji berdasarkan zat-zat yang terkandung didalamnya

dan dikelompokkan dalam sifat, kimia dan biologi (Metclaf &

Eddy, 1991).

Berdasarkan karakteristik fisika, limbah cair rumah sakit yang

dijumpai dalam bentuk :

a. Padatan terlarut (Dissolved Solids)

Padatan terlarut yang berukuran kurang dari 1µm. Padatan ini

berupa garam asam, garam basa, logam berat, dan berbagai bahan

organik yang menyebabkan kualitas badan air turun (Metclaf &

Eddy, 1991);

b. Padatan tersuspensi (Suspended Solids)

Padatan tersuspensi dapat berupa zat organik atau anorganik

dengan diameter lebih besar dari 1 µm. Padatan tersuspensi dapat

mengendap tanpa bantuan koagulan, namun memerlukan waktu

lama sebab zat ini hanya mengandalkan gaya berat untuk

mengendap (Alaerts, 1987);

c. Padatan Kolodial (Colloidal Solids)

Koloid adalah padatan berdiameter antara 1 µm sampai 1 µ.

Koloid tidak dapat diendapkan begitu saja, tetapi dapat dihilangkan

dengan oksidan biologis atau dengan koagulan, kemudian

diendapkan (Metcalf & Eddy, 1991);

d. Temperatur

Temperatur limbah cair yang lebih tinggi dari temperatur badan

air penerima dapat menyebabkan polusi termal sehingga

mengganggu kehidupan biota air. Temperatur juga berpengaruh

pada beberapa karakteristik limbah lainnya, misalnya kenaikan

Page 13: Epidemiologi

temperatur mempercepat reaksi proses biokimia, yang makin

mempercepat pengurangan kadar oksigen (Metcalf & Eddy, 1991).

Sesuai dengan batasan air limbah sebagai benda sisa, dengan

demikian air limbah adalah benda yang sudah tidak diperlukan lagi.

Namun tidak berarti bahwa air limbah tersebut dapat dibuang ke

dalam lingkungan begitu saja tanpa dilakukan pengolahan terlebih

dahulu. Menurut Sugiharto (1987) dampak negative yang

ditimbulkan air limbah adalah sebagai berikut :

a. Dampak pada Kesehatan

Air limbah berbahaya pada kesehatan manusia, karena banyak

penyakit yang ditularkan melalui air limbah. Air limbah dapat

berfungsi sebagai media pembawa penyakit seperti kolera, radang

usus, hepatitis infeksiosa serta schistosomiasis. Selain sebagai

pembawa penyakit di dalam air limbah juga mengandung bakteri

pathogen penyebab penyakit, seperti virus, Vibrio cholera,

Salmonella sp, Shigella sp, dan lain-lain (Sugiharto, 1987);

b. Dampak pada Kehidupan Biotik

Kehidupan biotic akan terpengaruh oleh keberadaan zat

pencemar dalam air limbah, karena akan menyebabkan menurunnya

kadar oksigen yang terlarut. Kematian kehidupan di dalam air ini

selain disebabkan oleh oksigen juga disebabkan oleh adanya zat-zat

beracun yang terkandung di dalam air limbah. Selain

mengakibatkan kematian ikan dan bakteri, air limbah juga dapat

menimbulkan kerusakan pada tanaman air. Akibat matinya bakteri,

maka proses penjernihan yang seharusnya terjadi menjadi terhambat

(Sugiharto, 1987);

c. Dampak pada Keindahan (Estetika)

Limbah dinilai sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai

estetika atau keindahan di maysarakat terutama secara visual, audio,

maupun psikososial. Gas NH3 dan H2S adalah hasil penguraian

bahan organic yang mengakibatkan bau. Demikian juga dengan

kotoran, sisa makanan dan minuman yang merupakan bahan-bahan

Page 14: Epidemiologi

yang cepat busuk dan mendatangkan lalat sehingga dapat

mengganggu nilai-nilai keindahan (Sugiharto, 1987);

d. Dampak pada Kerusakan Benda

Air limbah yang mengandung CO2 akan mempercepat proses

terjadinya korosi pada benda yang terbuat dari besi. Selain

kandungan CO2 agresif, air limbah yang bersifat asam atau basa

juga dapat mengakibatkan timbulnya kerusakan pada benda

(Sugiharto, 1987).

Dampak-dampak yang tersebut diatas akan merugikan

lingkungan sehingga menurunkan mutu linngkungan yang pada

akhirnya berdampak merugikan kualitas kehidupan organism.

Untuk mencegah dan meminimalkan dampak merugikan tersebut,

limbah yang dihasilkan harus dikelola dengan benar. Lingkup

pengelolaan limbah seharusnya bukan hanya pada instalasi

pengolahan saja, melainkan terintegrasi dengan proses pengelolaan

kegiatan penghasil limbah.

Menurut Reinhardt et al (1991), konsep dasar suatu proses

tejadinya limbah dapat dijelaskan dengan contoh misalnya

perawatan pasien yang seringkali mengahsilkan limbah menular.

Produksi limbah juga mengacu pada keputusan tentang material apa

yang harus dibuang, seperti bahan kimia laboratorium yang dibuang

tiap tahun dari rak penyimpanannya.

Dalam upaya pengelolaan limbah, dikenal ada dua pendekatan

yaitu :

- Pendekatan tradisional yang disebut end of pipe treatment

Melalui pendekatan ini limbah yang dihasilkan kemudian diolah

hingga memenuhi standar yang berlaku. Pendekatan ini lebih pada

pengendalian pencemaran (pollution control).

Pendekatan ini seringkali tidak dapat menyelesaikan masalah

pencemaran dan prinsipnya hanya mengubah serta memindahkan

pencemar dari satu media ke media lain. Dari aspek lingkungan

pendekatan ini tidak menguntungkan.

Page 15: Epidemiologi

- Pendekatan terpadu, minimasi limbah (waste minimization)

Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah limbah yang

harus diolah di tempat pengolahan limbah maupun yang dibuang ke

lingkungan dengan cara mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan

oleh suatu proses produksi pada sumbernya, dan atau

memanfaatkannya kembali. Dengan minimasi limbah, biaya

investasi dan operasional pengelolaan limbah menjadi lebih rendah,

beban pencemaran juga menjadi lebih rendah.

II.2.2. Limbah Padat Klinis (B3) Rumah Sakit

Berdasarkan literatur yang ada, limbah klinis rumah sakit

adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan gigi,

veterinary, farmasi atau sejenis, serta limbah yang dihasilkan

dirumah sakit pada saat perawatan/pengobatan atau penelitian

(DITJEN PPM & PPL Depkes, 2000)

Persentase limbah klinis diestimasikan yaitu sekitar 10-25 %

limbah yang diproduksi rumah sakit telah terkontaminasi oleh

infectious agent yang berpotensi membahayakan kesehatan

manusia dan lingkungan (WHO, 1999).

Menurut Sebayang & Muljadi (2002), jenis limbah padat B3

dari rumah sakit yang bersifat toksik dan infeksius dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian, yatu kategori logam (jarum

suntik, peralatan bekas operasi, dan lainnya) dan kategori non-

logam (plastic, potongan tubuh, kertas, garmen, karet, gelas,

beddings, fecal matter, obat-obatan bekas, dan lainnya). Jumlah

limbah padat dari rumah sakit yang termasuk kategori logam

relative kecil sekitar < 10 % dan bersifat tidak terbakar.

Sedangkan yang bersifat non-logam sebesar > 90 % umumnya

memiliki kandungan organic sangat tinggi mudah terbakar.

Tabel 2. Karakteristik Limbah Padat B3 dari Rumah Sakit

No KomponenNilai Kalor

(MJ/kg)

Densitas

(kg/m3)

Kadar Air

(%)

1 Human anatomical 18,6-27,9 800-1200 70-90

Page 16: Epidemiologi

2 Plastics 32,5-46,5 80-2300 0-1

3 Swabs, absorbents 18,6-27,9 80-1000 0-30

4 Alcohol disinfectants 25,5-32,5 800-1000 0-0,2

5 Animal infected anatomical 20,9-37,1 500-1300 60-90

6 Glass 0 2800-3600 0

7Beddings, shavings, paper, fecal

matter18,6-20,9 320-730 10-50

8Gauze, pads, swabs, garments,

cellulose16,6-27,9 80-1000 0-30

9 Plastics, PVC, Syringes 22,5-46.5 80-2300 0-1

10 Sharps, needles 0,14 7200-8000 0-1

11 Fluids residuals 0-23,2 990-1010 80-100

Sumber : Sebayang & Muljadi, 2002- Sistem Pengelolaan dan Pengumpulan

Berdasarkan literatur yang didapatkan, sumber limbah padat

klinis tersebut di beberapa ruangan rumah sakit dari berbagai

lokkasi sumber tersebut limbah padat klinisnya harus dipisahkan

antara limbah logam dan limbah bukan logam, agar memudahkan

pengangkutan maupun penanganannya. Misalnya jenis limbah

logam seperti jarum suntuik, jarum bekas operasi dan lain-lain.

Page 17: Epidemiologi

Gambar 2. Diagram Alir Pengumpulan Limbah Padat B3 Rumah SakitSumber : Sebayang & Muljadi, 2002

Sebagian besar limbah klinis dan yang sejenis dimusnahkan

dengan insenerator atau landfill. Metode yang digunakan

bergantung pada faktor-faktor khusus yang sesuai dengan

institusi, peraturan yang berlaku, aspek lingkungan yang

berpengaruh terhadap masyarakat.

o Perlakuan Sebelum Dibuang

Reklamasi dan daur ulang untuk limbah kimia berbahaya

hendaknya dipertimbangkan untuk digunakan secara teknis dan

ekonomis memungkinkan. Dalam beberapa hal perlakuan

autoclaving atau desinfeksi menggunakan bahan kimia tertentu,

limbah infeksius dapat dibuang ke landfill yaitu dengan :

a. Autoclaving

Autoclaving sering digunakan untuk perlakuan terhadap

limbah infeksius. Limbah dipanasi dengan uap di bawah tekanan.

Namun masalah timbul karena besarnya volume atau limbah yang

dipadatkan, dan penetrasi uap secara lengkap pada suhu yang

diperlukan sering tidak terjadi, dengan demikian tujuan

autoclaving (sterilisasi) tidak tercapai.

b. Desinfeksi dengan bahan kimia

Peranan desinfeksi untuk institusi yang besar tampaknya

terbatas penggunaannya, misalnya digunakan setalah mengepel

lantai atau membasuh tumpahan dan mencuci kendaraan limbah.

Limbah infeksius dalam jumlah kecil dapat didesinfeksi

(membunuh mikroorganisme, tetapi tidak membunuh spora

bakteri) dengan bahan kimia seperti hypochlorite atau

permanganate.

o Insenerasi

Page 18: Epidemiologi

Insenerasi adalah suatu proses oksidasi limbah yang dapat

terbakar (combustible) pada temperature tinggi sehingga menjadi

limbah yang lebih sederhana dalam bentuk abu. Sebagian limbah

tersebut dikonversi menjadi gas sehingga dari proses ini

dikeluarkan abu, debu, ddan gas-gas hasil pembakaran

(Damanturi, E. 1998).

Selain itu, setiap institusi rumah sakit penghasil timbulan

limbah kimia harus mempunyai tenaga khusus yang menangani

pengelolaan limbah klinis dengan klasifikasi pendidikan yang

sesuai. Untuk kecakapan pengelolaan diperlukan peningkatan

keterampilan dan pengetahuan melalui latihan.

II.2.3. Limbah Gas Rumah Sakit

Limbah gas khususnya gas buang dari stack mesin incinerator

dapat dievaluasi dengan cara melakukan pembandingan hasil uji

laboratorium emisi gas dengan baku mutu emisi seperti yang telah

dijelaskan diatas. Untuk gas buang dari sumber lain seperti dari

mesin boiler, cerobong dapur gizi, generator set dapat dilakukan

dengan pengamatan secara visual saja, karena gas buang ini selin

jarang dihasilkan khusnya genset juga emisi gas buang cendrung

tidak berpotensi menilbulkan cemaran yang signifikan.Kalupun

kualitas gas emisi akan dilakukan uji emisi, maka baku mutu yang

digunakan dapat mengacu pada Kep MenLH No.

Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak

bergerak.

Emisi incinerator saat ini menjadi perhatian sebagai sumber

pencemar baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,

sehingga dalam pengoperasian mesin incinerator yang berguna

untuk membakar sampah medis di rumah sakit khususnya

pemerintah telah menerapkan berbagai peraturan yang cukup ketat.

Terhadap limbah gas ini, maka aspek yang perlu diperhatikan

dalam pengawasan dan pemantauan adalah sbb :

Page 19: Epidemiologi

Kualitas emisi gas buang incinerator (diukur pada keadaan

materi sampah dalam ruang bakar dalam kondisi normal, over

load dan kosong)

Kelengkapan sampling (sampling port) pada cerobong

Panas pembakaran

Fasilitas filtrasi gas dan debu emisi

Ketinggian cerobong

SOP penanganan emisi gas/debu

Surat ijin pengoperasian incinerator

II.3. Sistem Sanitasi Rumah Sakit

II.3.1. Pengertian Sistem Sanitasi Rumah Sakit

Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai

'pemelihara kesehatan'. Menurut WHO, sanitasi lingkungan

(environmental sanitation) adalah upaya pengendalian semua

faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau

dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkem- bangan

fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Dalam lingkup

Rumah Sakit (RS), sanitasi berarti upaya pengawasan berbagai

faktor lingkungan fisik, kimiawi dan biologis di RS yang

menimbulkan atau mungkin dapat mengakibatkan pengaruh buruk

terhadap kesehatan petugas, penderita, pengunjung maupun bagi

masyarakat di sekitar RS.

Dari pengertian di atas maka sanitasi RS merupakan upaya

dan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan

kesehatan di RS dalam memberikan layanan dan asuhan pasien

yang sebaik-baiknya, karena tujuan dari sanitasi RS tersebut

adalah menciptakan kondisi lingkungan RS agar tetap bersih,

nyaman, dan dapat mencegah terjadinya infeksi silang serta tidak

mencemari lingkungan.

Dari berbagai penelitian diketahui bahwa kejadian infeksi di

RS ada hubungannya dengan kondisi RS yang tidak saniter. Untuk

itu apabila RS akan menjadi lembaga swadana, aspek sanitasi

Page 20: Epidemiologi

perlu diperhatikan. Karena di samping dapat mencegah terjadinya

pengaruh buruk terhadap lingkungan, juga secara ekonomis dapat

menguntungkan. Sungguh ironis bila RS sebagai tempat

penyembuhan, justru menjadi sumber penularan penyakit dan

pencemar lingkungan.

II.3.2. Konsep Sanitasi Rumah Sakit

Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang di

dalamnya terdapat bangunan, peralatan, manusia (petugas,

pasien dan pengunjung) dan kegiatan pelayanan kesehatan,

ternyata di samping dapat menghasilkan dampak positif berupa

produk pelayanan kesehatan yang baik terhadap pasien, juga

dapat menimbulkan dampak negatif berupa pengaruh buruk

kepada manusia seperti pencemaran lingk mgan, sumber

penularan penyakit dan menghambat proses penyembuhan dan

pemulihan penderita. Untuk itu sanitasi RS diarahkan untuk

mengawasi faktor-faktor tersebut agar tidak membahayakan.

Dengan demikian, sesuai dengan pengertian sanitasi, lingkup

sanitasi RS menjadi luas mencakup upaya-upaya yang bersifat

fisik seperti pembangunan sarana pengolahan air limbah,

penyediaan air bersih, fasilitas cuci tangan, masker, fasilitas

pembuangan sampah, serta upaya non fisik seperti pemeriksaan,

pengawasan, penyuluhan, dan pelatihan.

Ben Freedman menyebutkan lingkup garapan sanitasi RS

meliputi : 

A. Aspek Kerumahtanggaan (Housekeeping) seperti : 

1. Kebersihan gedung secara keseluruhan. 

2. Kebersihan dinding dan lantai. 

3. Pemeriksaan karpet lantai. 

4. Kebersihan kamar mandi dan fasilitas toilet. 

5. Penghawaan dan pembersihan udara. 

6. Gudang dan ruangan. 

7. Pelayanan makanan dan minuman. 

Page 21: Epidemiologi

B. Aspek khusus Sanitasi. 

1. Penanganan sampah kering mudah terbakar. 

2. Pembuangan sampah basah. 

3. Pembuangan sampah kering tidak mudah terbakar. 

4. Tipe incinerator Rumah Sakit. 

5. Kesehatan kerja dan proses-proses operasional. 

6. Pencahayaan dan instalasi listrik. 

7. Radiasi. 

8. Sanitasi linen, sarung dan prosedur pencucian. 

9. Teknik-teknik aseptik. 

10. Tempat cuci tangan. 

11. Pakaian operasi. 

12. Sistim isolasi sempurna. 

C. Aspek dekontaminasi, disinfeksi dan sterilisasi. 

1. Sumber-sumber kontaminasi. 

2. Dekontaminasi peralatan pengobatan pernafasan. 

3. Dekontaminasi peralatan ruang ganti pakaian. 

4.Dekontaminasi dan sterilisasi air,makanan dan alat-alat

pengobatan. 

5. Sterilisasi kering. 

6. Metoda kimiawi pembersihan dan disinfeksi. 

7. Faktor-faktor pengaruh aksi bahan kimia. 

8. Macam-macam disinfektan kimia. 

9. Sterilisasi gas. 

D.Aspek pengendalian serangga dan binatang pengganggu. 

E.Aspek pengawasan pasien dan pengunjung Rumah

Sakit : 

1. Penanganan petugas yang terinfeksi. 

2. Pengawasan pengunjung Rumah Sakit. 

3. Keamanan dan keselamatan pasien. 

F.Peraturan perundang-undangan di bidang Sanitasi

Rumah Sakit.

Page 22: Epidemiologi

G. Aspek penanggulangan bencana. 

H. Aspek pengawasan kesehatan petugas laboratorium. 

I. Aspek penanganan bahan-bahan radioaktif. 

J. Aspek standarisasi sanitasi Rumah Sakit.

Dari lingkup sanitasi yang begitu luas tersebut yang paling

penting untuk dikembangkan adalah menyangkut : 

a. Program sanitasi kerumahtanggaan yang meliputi

penyehatan ruang dan bangunan serta lingkungan RS.

b. Program sanitasi dasar, yang meliputipenyediaan air minum,

pengelolaan kotoran cair dan padat, penyehatan makanan

dan minuman, pengendalian serangga, tikus dan binatang

pengganggu. 

c. Program dekontaminasi yang meliputi kontaminasi

lingkungan karena mikroba, bahan kimia dan radiasi. 

d. Program penyuluhan. 

e. Program pengembangan manajemen dan perundang-

undangan yang meliputi penyusunan norma dan standar

serta pengembangan tenaga sanitasi RS melalui pelatihan, k

konsultasi.

II.4. Infeksi Nosokomial

II.4.1. Definisi

Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau

cairan tubuh yang disertai suatu . rumah sakit dan menunjukkan

tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menun ukkan bahwa masa

inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit,

dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien be

nrada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita

maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh

mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh

dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection

atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection)

Page 23: Epidemiologi

disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan

dari satu pasien ke pasien lainnya.

II.4.2. Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit

dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat

ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh.

Tetapi, rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga

merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari

penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman

penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah

sakit, seperti; udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis

maupun non medis. Terjadinya infeksi nosokomial akan

menimbulkan banyak kerugian, antara lain :

• lama hari perawatan bertambah panjang

• penderitaan bertambah

• biaya meningkat

Dari hasil studi deskriptif Suwarni, A di semua rumah sakit di

Yogyakarta tahun 1999 menunjukkan bahwa proporsi kejadian

infeksi nosokomial berkisar antara 0,0% hingga 12,06%, dengan

rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk rerata lama perawatan berkisar

antara 4,3 – 11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari.

Setelah diteliti lebih lanjut maka didapatkan bahwa angka kuman

lantai ruang perawatan mempunyai hubungan bermakna dengan

infeksi nosokomial.

Selama 10-20 tahun belakang ini telah banyak perkembangan

yang telah dibuat untuk mencari masalah utama terhadap

meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial di banyak

negara, dan dibeberapa negara, kondisinya justru sangat

memprihatinkan. Keadaan ini justru memperlama waktu perawatan

dan perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal, serta

penggunaan jasa di luar rumah sakit. Karena itulah, dinegara-

negara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial

Page 24: Epidemiologi

lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan

pasien dirumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.

Di beberapa bagian, terutama di bagian penyakit dalam dalam,

terdapat banyak prosedur dan tindakan yang dilakukan baik untuk

membantu diagnosa maupun memonitor perjalanan penyakit dan

terapi yang dapat menyebabkan pasien cukup rentan terkena

infeksi nosokomial. Pasien dengan umur tua, berbaring lama, atau

beberapa tindakan seperti prosedur diagnostik invasif, infus yang

lama dan kateter urin yang lama, atau pasien dengan penyakit

tertentu yaitu penyakit yang memerlukan kemoterapi, dengan

penyakit yang sangat parah, penyakit keganasan, diabetes, anemia,

penyakit autoimun dan penggunaan imuno supresan atau steroid

didapatkan bahwa resiko terkena infeksi lebih besar.

Sumber penularan dan cara penularan terutama melalui tangan

dan dari petugas kesehatan maupun personil kesehatan lainnya,

jarum injeksi, kateter iv, kateter urin, kasa pembalut atau perban,

dan cara yang keliru dalam menangani luka. Infeksi nosokomial ini

pun tidak hanya mengenai pasien saja, tetapi juga dapat mengenai

seluruh personil rumah sakit yang berhubungan langsung dengan

pasien maupun penunggu dan para pengunjung pasien.

II.4.3. Epidemiologi

Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan

kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang

berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi

penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO

menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14

negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan

Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial dengan Asia

Tenggara sebanyak 10,0%.

Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang

mikrobiologi meningkat pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit

demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin

Page 25: Epidemiologi

meningkatnya pasien - pasien dengan penyakit immuno

compromised, bakteri yang resisten antibiotik, super infeksi virus

dan jamur, dan prosedur invasif, masih menyebabkan infeksi

nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap

tahunnya walaupun.

Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat,

mikroorganisme yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan

lebih resisten terhadap obat, karena itu diperlukan antibiotik yang

lebih poten atau suatu kombinasi antibiotik. Semua kondisi ini

dapat meningkatkan resiko infeksi kepada si pasien.

II.4.4. Faktor Penyebab Perkembangan Infeksi Nosokomial

II.4.4.1. Agen Infeksi

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme

selama ia rawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan

berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu

menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang

dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.

Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada:

• karakteristik mikroorganisme,

• resistensi terhadap zat-zat antibiotika,

• tingkat virulensi,

• dan banyaknya materi infeksius.

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur

dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi

ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari

orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal

dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan

infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan

karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya

melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang

tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini

kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya

Page 26: Epidemiologi

selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang

menyebabkan penyakit pada orang normal.

a. Bakteri

Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam

tubuh manusia yang sehat. Keberadaan bakteri disini sangat

penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri

patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan

infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang

rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli

paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran

kemih.

Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan

infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :

Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat

menyebabkan gangren

Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang

menjadi parasit di kulit dan hidung dapat menyebabkan

gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi

pembuluh darah serta seringkali telah resisten terhadap

antibiotika.

Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya

Escherichia coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter.

Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan

penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran

pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif

ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi

di rumah sakit.

Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius

pada luka bekas jahitan, paru, dan peritoneum.

b. Virus

Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan

oleh berbagai macam virus, termasuk virus hepatitis B dan C

Page 27: Epidemiologi

dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan

endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan

enteroviruses yang ditularkan dari kontak tangan ke mulut

atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan

melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute

penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya.

Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, penyakit

kulit dan dari darah. Virus lain yang sering menyebabkan

infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza

virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga

dapat ditularkan.

c. Parasit dan Jamur

Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular

dengan mudah ke orang dewasa maupun anak-anak. Banyak

jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat

antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya

infeksi dari Candida albicans, Aspergillus spp, Cryptococcus

neoformans, Cryptosporidium.

II.4.4.2. Respon dan toleransi tubuh pasien

Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi

dan respon tubuh pasien dalam hal ini adalah:

Umur

status imunitas penderita

penyakit yang diderita

Obesitas dan malnutrisi

Orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan

dan steroid

Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan

diagnosa dan terapi.

Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan

resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat

bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor,

Page 28: Epidemiologi

anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan

AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi

tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat

opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif

dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi

seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan

pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.

II.4.4.3. Infeksi oleh kontak langsung maupun tidak langsung

Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau

tidak langsung dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi

ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan

staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang

diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV.

Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak

steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang

menyebabkan terjadinya cross infection.

II.4.4.4. Resistensi Antibiotika

Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika

penicillin antara tahun 1950-1970, banyak penyakit yang

serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan.

Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan

penggunaan berlebihan dan pengunsalahan dari antibiotika.

Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten.

Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka

mortalitas terutama terhadap pasien yang

immunocompromised. Resitensi dari bakteri di transmisikan

antar pasien dan faktor resistensinya di pindahkan antara

bakteri. Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru

meningkatkan multipikasi dan penyebaran strain yang

resistan. Penyebab utamanya karena:

Page 29: Epidemiologi

Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak

terkontrol

Dosis antibiotika yang tidak optimal

Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang

terlalu singkat

Kesalahan diagnosa

Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan

perubahan dari gen yang resisten terhadap antibiotika,

mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap

obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-

besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama

terjadinya resistensi. Banyak strains dari pneumococci,

staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten

terhadap banyak antibiotikaa, begitu juga klebsiella dan

pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten.

Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negara

berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada atau

tidak tersedia.

Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka

morbiditas dan mortalitas di rumah sakit, dan menjadi sangat

penting karena:

• Meningkatnya jumlah penderita yang dirawat

• Seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit,

pengobatan atau umur

• Mikororganisme yang baru (mutasi)

• Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika

II.4.4.5. Faktor alat

Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial tertama disebabkan

infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas,

infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus

dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Diruang penyakit

dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus.

Page 30: Epidemiologi

Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis,

fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa:

Ekstravasasi infiltrat: cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi

kanula

Penyumbatan: Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa

dapat dideteksi adanya gangguan lain

Flebitis: Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang

vena

Trombosis: Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena

yang menghambat aliran infus

Kolonisasi kanul: Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari

bagian kanula yang ada dalam pembuluh darah

Septikemia: Bila kuman menyebar hematogen dari kanul

Supurasi: Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul

Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan

komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter,

pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72

jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan

pronsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi

karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan

tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi

terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter

merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia.

II.4.5. Macam Penyakit yang Disebabkan oleh Infeksi Nosokomial

1. Infeksi saluran kemih

Infeksi ini merupakan kejadian tersering, sekitar 40% dari

infeksi nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan

penggunaan kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi

dapat menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan

kematian. Organisme yang biaa menginfeksi biasanya E.Coli,

Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, atau Enterococcus. Infeksi yang

terjadi lebih awal lebih disebabkan karena mikroorganisme

Page 31: Epidemiologi

endogen, sedangkan infeksi yang terjadi setelah beberapa waktu

yang lama biasanya karena mikroorganisme eksogen.

Sangat sulit untuk dapat mencegah penyebaran mikroorganisme

sepanjang uretra yang melekat dengan permukaan dari kateter.

Kebanyakan pasien akan terinfeksi setelah 1-2 minggu

pemasangan kateter. Penyebab paling utama adalah kontaminasi

tangan atau sarung tangan ketika pemasangan kateter, atau air yang

digunakan untuk membesarkan balon kateter. Dapat juga karena

sterilisasi yang gagal dan teknik septik dan aseptik.

2. Pneumonia Nosokomial

Pneumonia nosokomial dapat muncul, terutama pasien yang

menggunakan ventilator, tindakan trakeostomi, intubasi,

pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Kuman penyebab infeksi ini

tersering berasal dari gram negatif seperti Klebsiella,dan

Pseudomonas. Organisme ini sering berada di mulut, hidung,

kerongkongan, dan perut. Keberadaan organisme ini dapat

menyebabkan infeksi karena adanya aspirasi oleh organisme ke

traktus respiratorius bagian bawah.

Dari kelompok virus dapat disebabkan olehcytomegalovirus,

influenza virus, adeno virus, para influenza virus, enterovirus dan

corona virus. Faktor resiko terjadinya infeksi ini adalah:

Tipe dan jenis pernapasan

Perokok berat

Tidak sterilnya alat-alat bantu

Obesitas

Kualitas perawatan

Penyakit jantung kronis

Penyakit paru kronis

Beratnya kondisi pasien dan kegagalan organ

Tingkat penggunaan antibiotika

Penggunaan ventilator dan intubasi

Penurunan kesadaran pasien

Page 32: Epidemiologi

Penyakit yang biasa ditemukan antara lain: respiratory

syncytial virus dan influenza. Pada pasien dengan sistem imun

yang rendah, pneumonia lebih disebabkan karena Legionella dan

Aspergillus. Sedangkan dinegara dengan prevalensi penderita

tuberkulosis yang tinggi, kebersihan udara harus sangat

diperhatikan.

3. Bakteremi Nosokomial

Infeksi ini hanya mewakili sekitar 5 % dari total infeksi

nosokomial, tetapi dengan resiko kematian yang sangat tinggi,

terutama disebabkan oleh bakteri yang resistan antibiotika seperti

Staphylococcus dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat

masuknya alat-alat seperti jarum suntik, kateter urin dan infus.

Faktor utama penyebab infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu

tubuh saat melakukan prosedur invasif, dan perawatan dari

pemasangan kateter atau infus.

4. Infeksi Nosokomial lainnya

a. Tuberkulosis

Penyebab utama adalah adanya strain bakteri yang multi-

drugs resisten. Kontrol terpenting untuk penyakit ini adalah

identifikasi yang baik, isolasi, dan pengobatan serta tekanan

negatif dalam ruangan.

b. Diarrhea dan gastroenteritis

Mikroorganisme tersering berasal dari E.coli, Salmonella,

Vibrio Cholerae dan Clostridium. Selain itu, dari gologan virus

lebih banyak disebabkan oleh golongan enterovirus, adenovirus,

rotavirus, dan hepatitis A. Bedakan antara diarrhea dan

gastroenteritis. Faktor resiko dari gastroenteritis nosokomial dapat

dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik:

o abnormalitas dari pertahanan mukosa, seperti achlorhydria

o lemahnya motilitas intestinal, dan

o perubahan pada flora normal.

Page 33: Epidemiologi

Faktor ekstrinsik:

o Pemasangan nasogastric tube dan mengkonsumsi obat-obatan

saluran cerna.

c. Infeksi pembuluh darah

Infeksi ini sangat berkaitan erat dengan penggunaan infus,

kateter jantung dan suntikan. Virus yang dapat menular dari cara

ini adalah virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan HIV.

Infeksi ini dibagi menjadi dua kategori utama:

Infeksi pembuluh darah primer, muncul tanpa adanya tanda

infeksi sebelumnya, dan berbeda dengan organisme yang

ditemukan dibagian tubuhnya yang lain.

Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari

organisme yang sama dari sisi tubuh yang lain.

d. Dipteri, tetanus dan pertusis

e. Infeksi kulit dan jaringan lunak. Luka terbuka seperti ulkus,

bekas terbakar, dan luka bekas operasi memperbesar

kemungkinan terinfeksi bakteri dan berakibat terjadinya

infeksi sistemik. Dari golongan virus yaitu herpes simplek,

varicella zooster, dan rubella. Organisme yang menginfeksi

akan berbeda pada tiap populasi karena perbedaan pelayanan

kesehatan yang diberikan, perbedaan fasilitas yang dimiliki

dan perbedaan negara yang didiami.

Infeksi ini termasuk:

Infeksi pada tulang dan sendi: Osteomielitis, infeksi tulang

atau sendi dan discus vertebralis Infeksi sistem

Kardiovaskuler: Infeksi arteri atau vena, endokarditis,

miokarditis, perikarditis dan mediastinitis

Infeksi sistem saraf pusat: Meningitis atau ventrikulitis,

absess spinal dan infeksi intra kranial

Infeksi mata, telinga, hidung, dan mulut: Konjunctivitis,

infeksi mata, otitis eksterna, otitis media, otitis interna,

mastoiditis, sinusitis, dan infeksi saluran nafas atas.

Page 34: Epidemiologi

Infeksi pada saluran pencernaan: Gastroenteritis, hepatitis,

necrotizing enterocolitis, infeksi intra abdominal

Infeksi sistem pernafasan bawah: Bronkhitis,

trakeobronkhitis, trakeitis, dan infeksi lainnya

Infeksi pada sistem reproduksi: Endometriosis dan luka

bekas episiotomi

II.4.6. Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial

Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu

rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:

Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan

cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan

septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan.

Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.

Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang

adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.

Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan

prosedur invasif.

Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol

penyebarannya.

a. Dekontaminasi tangan

Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan

menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini

sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti

kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya

pengetahuan mengenai pentingnya hal ini, dan waktu mencuci

tangan yang lama. Selain itu, penggunaan sarung tangan sangat

dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada

pasien dengan penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat

adalah: Memakai sarung tangan ketika akan mengambil atau

menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja, urin, membran

mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi, dan

segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.

Page 35: Epidemiologi

b. Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit

Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50%

suntikan yang dilakukan di negara berkembang tidaklah aman

(contohnya jarum, tabung atau keduanya yang dipakai berulang-

ulang) dan banyaknya suntikan yang tidak penting (misalnya

penyuntikan antibiotika).

Untuk mencegah penyebaran penyakit melalui jarum suntik

maka diperlukan:

Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan

Pergunakan jarum steril

Penggunaan alat suntik yang disposabel.

Masker, sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan

melalui udara. Begitupun dengan pasien yang menderita infeksi

saluran nafas, mereka harus menggunakan masker saat keluar dari

kamar penderita.Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama

ketika menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung

tangan harus selalu diganti untuk tiap pasiennya. Setelah membalut

luka atau terkena benda yang kotor, sanrung tangan harus segera

diganti.

Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan

pakaian selama kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah

percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses.

c. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit

Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan

bahwa rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu,

minyak dan kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen dari

kotoran yang terlihat pasti mengandung kuman. Harus ada waktu

yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai, tempat tidur,

pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah

dipakai berkali-kali.

Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas

kesehatan. Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama

Page 36: Epidemiologi

bagi penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita

yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan

pengaturan udara yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko

terjadinya penularan tuberkulosis. Selain itu, rumah sakit harus

membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga kebersihan

pemrosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya

pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan

prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas matahari.

Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit

perawatan pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar

pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan.

Disinfektan akan membunuh kuman dan mencegah penularan

antar pasien. Disinfeksi yang dipakai adalah:

Mempunyai kriteria membunuh kuman

Mempunyai efek sebagai detergen

Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkan

minyak dan protein.

Tidak sulit digunakan

Tidak mudah menguap

Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk

petugas maupun pasien

Efektif

tidak berbau, atau tidak berbau tak enak

d. Perbaiki ketahanan tubuh

Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen

oportunis, ada pula bakteri yang secara mutualistik yang ikut

membantu dalam proses fisiologis tubuh, dan membantu ketahanan

tubuh melawan invasi jasad renik patogen serta menjaga

keseimbangan di antara populasi jasad renik komensal pada

umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam saluran cerna

manusia. Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang

sehat yang dapat mengendalikan jasad renik oportunis perlu

Page 37: Epidemiologi

diidentifikasi secara tuntas, sehingga dapat dipakai dalam

mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada penderita penyakit

berat. Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis

pada penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus

menggunakan antibiotika.

e. Ruangan Isolasi

Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan

membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan

terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara,

contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan

kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus, contohnya

DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi rendah

eperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu

diisolasi agar terhindar dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan

tangan dan makanan, peralatan kesehatan di dalam ruang isolasi

juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan

ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada

dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian luar

biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu

ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita penyakit yang

sama.

II.5. Baku Mutu dan Parameter Lingkungan Ketetapan Pemerintah

Page 38: Epidemiologi

BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

III.1.1. Kegiatan Rumah Sakit Sulianti Saroso

RSPI-SS adalah rumah sakit khusu penyakit infeksi setingakt dengan

rumah sakit tip B non-pendidikan berdasarkan Kepuutsan Menteri Kesehatan

Nomor 55/Menkes/SKI/1994 tanggal 20 Januari 1994 tentang Organisasi dan

Tata Kerja RSPI-SS Jakarta dan Surat Keputuran Menteri Kesehatan No.

113/Menkes/SKI/II/1996 tanggal 12 Februari 1996 tentang Penetapan Kelas

RSPI-SS Jakarta. Kegiatan yang diselenggarakan oleh RSPI-SS :

1. Pelayanan Medis :

a. Rawat jalan

Pelayanan rawat jalan diberikan melalui kegiatan polikilinik yang

terdiir dari 11 jenis pelayanan yaitu Poliklinik Penyakit Infeksi, Gigi,

konsultasi gizi, THT, Kulit dan Kelamin, Anak, Penyakit Dalam,

Kebidanan, Syaraf, Bedah, dan Rehabilitasi Medik.

b. Rawat darurat,

c. Rawat inap,

d. Rwat instensif (ICU),

e. Kamar operasi.

2. Pelayanan Penunjang Medis

Penunjang medis meliputi patologi klinik, mikrobiologi/parasitologi,

radiologi, farmasi, gizi, rehabilitasi medik, dan sterilisasi sentral.

3. Pelayanan Jasa Non-Medis

Pelayanan jasa non-medis terdiri atas pemeliharaan sarana rumah sakit,

sanitasi, binatu, pemulasaran jenazah, dan rekam medis.

4. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan

Pada tanggal 21 April 1994 RSPI-SS diresmikan penggunaannya oleh

Menteri Kesehatan. Rumah sakit ini berperan sebagai pusat rujuan

nasional penatalaksanaan penyakit infeksi dan penyakit menural berlokasi

di Jl. Baru Sunter Permai Raya, Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok

Jakarta Utara.

Page 39: Epidemiologi

III.1.2. Pengelolaan Limbah Cair

Untuk studi kasus RSPI-SS, berdasarkan literatur yang ada, pengelolaan

limbah cair klinis untuk rumah sakit ini terdiri dari :

a. Pengorganisasian dan Ketenagaan

Pengelolaan limbah cair di RSPI-SS secara struktural berada di bawah unit

instalasi sanitasi. Pengelolaan IPAL secara operasional dilakukan oleh

petugas unit instalasi sanitasi. Namun pemeliharaan dan perbaikan

peralatan IPAL terutama menyangkut mekanikal dan elektrikal dilakukan

oleh unit instalasi pemeliharaan sarana rumah sakit.

Sehingga, dapat dikatahui bahwa belum adanya deskripsi pekerjaan yang

jelas pada pengoperasian IPAL. Akibatnya timbul pembagian tugas yang

tidak jelas bagi petugas unit instalasi sanitasi dan instalasi pemeliharaan

sarana rumah sakit. Kondisi ini akhirnya dapat mengakibatkan tumpang

tindih pengoperasian IPAL.

b. Sumber Limbah Cair Rumah Sakit

Berdasarkan data yang didapatkan pada literatur, sumber limbah cair yang

masuk ke IPAL di raw sewage tank yaitu kegiatan dapur, seluruh kamar

mandi/WC/wastafel,, laboratorium dan sebagian dari ruang radiologi. Dari

raw sewage tank , limbah dipompa ke sedimental separation chamber

untuk menghilangkan bahan padatan secara gravitasi dan selanjutnya

masuk ke tangki ekualisasi untuk mengatur aliran limbah sebelum masuk

ke tangki kontak aerasi. Dari tangki kontak aerasi limbah dialirkan ke

tangki sedimentasi selanjutnya masuk ke tangki pompa defoaming untuk

menghilangkan busa dari proses aerasi. Setelah proses defoaming, limbah

masuk ke tangki kontrol pH 1, untuk pemberian H2SO4. Dari tangki

kontrol pH 1, limbah ke tangki klorinasi untuk pembubuhan NaClO,

selanjutnya ke tangki pH 2, untuk pembubuhan NaOH. Dari tangki pH 2

dialirkan ke tangki pompa effluent.

Limbah cair dari laundry tidak dialirkan ke IPAL, melainkan hanya

dikhlorinasi dan selanjutnya ditampung pada tangki effluent untuk dibuang

ke saluran umum. Bagan alir pengelolaan limbah cair RSPI-SS dapat

dilihat pada gambar berikut

Page 40: Epidemiologi

Dapur

Laboratorium

KM/WC/Wastafel

Radiologi

Laundry

Raw Sewage Tank

IPAL Tangki Kontainer 1 dan 2

Ekstrak Ag ke supplier

Tangki Effluent

Badan Air

Tangki Klorinasi

Gambar 3. Bagan Alir Pengelolaan Limbah Cair RSPI-SSSumber : Bagian Instalasi IPSRS RSPI-SS, 2003

c. Karakteristik Limbah Cair RSPI-SS

Berdasarkan studi kasus dari literatur yang ada, karakteristik limbah cair

pada inlet dan outlet IPAL yang diperiksa oleh RSPI-SS tanggal 24

September 2003 adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Hasil Pemerikasaan Limbah Cair RSPI-SS, 24 September 2003

No ParameterHasil Analisis Baku Mutu

LimbahSatuan

Inlet OutletI Fisis1 Zat padat terlarut 865 569 1000 mg/l2 Zat padat tersuspensi 30 10 100 mg/l

II Kimiawi1 Amonia 10,64 1,50 5,0 mg-N/I2 Besi total 0,83 0,51 5,0 mg/l3 Nitrat 0,04 0,42 10,0 mg-N/I4 Nitrit 0,05 1,22 1,00 mg-N/I5 pH 7,0 9,5 6,0-9,0 mg/l6 Seng 0,82 0,05 2,00 mg/l7 Sulfida 0,36 * 0,05 mg/l8 Klorin bebas * 0,27 1,00 mg/l9 Mangan 0,16 * 2,00 mg/l10 Fenol 0,02 0,02 0,50 mg/l11 Senyawa aktif birumetilan 0,31 0,46 1,00 mg/l12 KmnO4 51,13 26,9 85,00 mg/l13 BOD5 21,64 18,24 75,00 mg/l14 COD 64,58 44,44 100,00 mg/l

Keterangan : *) tidak terdeteksiSumber : Laboratorium BPLHD DKI Jakarta, 2003

Page 41: Epidemiologi

Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa parameter pH dan nitrit masih

melampaui baku mutu yang dipersyaratkan. Hasil analisis tersebut

menunjukkan bahwa IPAL belum efektif menurunkan konsentrasi

parameter tersebut.

d. Pemilihan Proses Pengolahan Limbah Cair

Untuk memilih proses pengolahan limbah cair, faktor penting yang harus

diperhatikan dan menjadi pertimbangan adalah karakteristik limbah cair

yang akan menentukan teknologi proses pengolahan. Sebagai dasar

menentukan karakteristik limbah cair yang akan diolah yaitu melalui

analisis laboratorium dan simulasi.

Pemilihan teknologi pengolahan limbah cair juga harus

mempertimbangkan dimensi lingkungan yang berarti bahwa limbah yang

diolah harus memenuhi kriteria baku mutu lingkungan, secara teknis

sederhana dan mudah dioperasikan serta stabil terhadap kondisi shock

loading maupun bahan toksik.

Proses pengolahan limbah cair yang dilakukan di RSPI-SS menggunakan

pross biologi dimana sesuai dengan karakteristik limbah cair yang

dihasilkan. Adapun pengolahan biologi yang diterpkan yaitu dengan

sistem kontak aerasi.

e. Teknologi Pengolahan Limbah Cair

Metode pengolahan limbah cair yang digunakan di RSPI-SS adalah

pengolahan sistem aerobic dengan reaktor pertumbuhan melekat (attached

growth reactor) khususnya jenis kontak aerasi (contact aeration). Adapun

proses pertumbuhan melekat adalah proses pengolahan biologi dimana

mikroorganisme yang mendekomposisi zat organic menjadi gas dan sel

bakteri yang melekat pada material media seperti batu, keramik maupun

plastik. Proses ini dikenal sebagai proses film melekat (fixed-film process)

III.1.3. Pengelolaan Limbah Padat Klinis

Untuk studi kasus RSPI-SS, berdasarkan literatur yang ada,

pengelolaan limbah padat (B3) klinis untuk rumah sakit ini terdiri dari

:

a. Pengorganisasian dan Ketenagaan

Page 42: Epidemiologi

Pengelolaan limbah padat klinis berada di bawah unit instalasi

sanitasi yang bertanggungjawab pada seluruh kegiatan pengelolaan

limbah padat klinis mulai dari fase pengumpulan, pengangkutan

sampai pemusnahan. Struktur organisasi yang menangani limbah

padat klinis di RSPI-SS sudah mengacu pada SK Menkes Nomor :

55/MENKES/SK/I/1994 tentang bagan organisasi RSPI-SS. Adapun

jumlah personil yang bertugas pada pengelolaan limbah padat klinis

sejumlah satu orang dengan kualifikasi pendidikan SMA. Pada fase

pemusnahan petiugas yang bekerja sebagai operator insenerator

sebanyak tiga orang dengan kualifikasi satu orang SMA dan dua

orang SD.

b. Sumber dan Jumlah

Pengolahan limbah padat klinis di RSPI-SS berasal dari sumber

intern dan ekstern rumah sakit. Sumber dan jumlah timbulan limbah

padat klinis yang dibakar di insenerator RSPI-SS dari intern rumah

sakit pada tahun 2002 sebesar 415 kg, sedangkan jumlah limbah padat

klinis sumber eksternal tahun 2002 adalah sebesar 132.377,5 kg.

Instansi pengirim limbah padat klinis terbesar ke RSPI-SS pada thun

2002 adalah Rumah Sakit Internsional Bintaro, jumlahnya adalah

15.134,5 kg. Adapula instansi pengirim limbah padat klinis lain,

diantaranya RSAB Hermina Podomoro, RS. Medika Gria, Rs. Mitra

Keluarga Jatinegara, dan sebagainya.

Dari hasil penelitian yang ada, didapatkan bahwa selama 7 hari

pengamatan RSPI-SS menghasilkan limbah padat klinis sebanyak 95

kg. volume terbesar dihasilkan oleh ruangan instalasi gawat darurat.

Limbah padat klinis yang dihasilkan di RSPI-SS berasal dari berbagai

sumber yaitu ruang perawatan, ruang operasi, ruang pengobatan,

CSSD, dan laundry, ruang jenazah, instalasi bedah sentral,

laboratorium, instalasi farmasi dan ruang radiologi. Berikut bagan alir

pengelolaan limbah klinis

Page 43: Epidemiologi

Gambar 4. Alur Pengelolaan Limbah Padat Klinis di RSPI-SS

III.1.4. Minimalisasi Limbah

a. Tingkat Konsumsi Air Bersih RSPI-SS Tahun 2003

Tingkat konsumsi air bersih di RSPI-SS selama periode tahun

2003 dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini

Ruang Perawatan

Ruang Operasi

Ruang Pengobatan

CSSD & Laundry

Ruang Jenazah

Instalasi Bedah Sentral

Laboratorium

Radiologi

Kontener Limbah Klinis

Ruangan

Kontener

Kontener

Autoclave

Distributor

Kontener

BATAN

Insinerator

Abu Residu ke Dinas

Kebersihan DKI

Kantong Kuning

Limbah Klinis

Tempat Jarum Suntik Bekas

Farmasi

Kontener

Page 44: Epidemiologi

Gambar 5. Tingkat Konsumsi Air Bersih Tahun 2003Berdasarkan gambar diatas terlihat rata-rata penggunaan air bersih

di RSPI-SS selama periode Januari-November 2003 adalah sebesar

3818,6 m3/bulan. Konsumsi tertinggi terjadi pada bulan agustus 2003

dimana pada waktu tersebut angka BOR mencapai 48,6 %. Tingginya

konsumsi air tersebut sehubungan dengan adanya wabah SARS,

dimana RSPI-SS sebagai rumah sakit rujukan.

b. Minimisasi penggunaan Air Bersih

Berdasarkan data literatur yang didapatkan, data penggunaan air

bersih di RSPI-SS tahun 2001-2003 diketahui bahwa rata-rata volum

penggunaan air bersih per bulan sebanyak 3.363.966 liter. Kemudian

didapatkan rentang perbandingan satuan penggunaan air bersih per

tempat tidur di RSPI-SS dibandingkan dengan hasil studi lain sebesar

1,7-5,6 kali. Menurut analisa yang ada, besarnya satuan penggunaan

air bersih per tempat tidur mengindikasikan bahwa telah terjadi

inefisiensi penggunaan air bersih di RSPI-SS. Faktor penyebab

inefisiensi yang paling munngkin adalah pemborosan air bersih oleh

pengunjung rumah sakit yaitu keluarga pasien yang menginap di

rumah sakit, penggunaan air oleh pedagang di depan rumah sakit,

kerusakan pipa dan meteran air serta adanya tukang yang bekerja

pada proyek pembangunan gedung rumah sakit.

III.1.5. Hasil Analisis Kualitas Emisi Udara

Hasil analisis kualitas emisi udara dari insinerator dapat dilihat

pada tabel 4.

Page 45: Epidemiologi

Tabel 4. Hasil analisis emisi gas buang insinerator di

laboratorium BTKL DEPKES (4 November 2003)

No Parameter SatuanBaku Mutu SK. Gub. DKI Jakarta No. 670

tahun 2009Metode Analisis Hasil

1 Amonia (NH3) mg/m3 0.5 Nessleer 0.822 Gas Chlorine (Cl2) mg/m3 10 Ortho Toldin tt

3Hidrogen Chlorida (HCl)

mg/m3 5Ion selective

metrictt

4Nitrogen Dioksida (NO2)

mg/m3 1000Chemiluminescen

ce46.9

5 Debu mg/m3 230 Isokinetik 38.10

6Sulfur Dioksida (SO2)

mg/m3 800 Infra merah 54.48

7Total Sulfur Teroksidasi (H2S)

mg/m3 35Mercury tiocyanat

1.12

8Hidrogen Fluorida (HF)

mg/m3 10Ion selective

metrictt

9Carbon monoksida (CO)

mg/m3 - Infra merah 1571.43

10Carbon Dioksida (CO2)

mg/m3 - Infra merah 3598.3

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa amonia 0.82 mg/m3,

parameter tersebut melebihi baku mutu yang ditetapkan menurut SK

Gubernur DKI Jakarta No. 670 tahun 2000 yaitu 0.5 mg/m3.

Adapun sifat amoniak adalah senyawa kimia dalam bentuk gas

yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah oleh bakteri

pembusuk dan juga oleh kegiatan industri kimia seperti pupuk dan

dapat enyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan mata (Ditjen

PPM & PLP DEPKES, 1994)

Gangguan kesehatan yang ditimbulkan akibat keracunan amoniak

antara lain radang saluran pernafasan bagian atas. Pada konsentrasi

280-490 mg/m3 menyebabkan iritasi mata, tenggorokan dan iritasi

nasal. Pada konsentrasi 1700-4500 mg/,3 menyebabkan odema paru

(Ditjen PPM & PLP DEPKES, 1994). Gas amoniak juga

menimbulkan bau yang merangsang dan sifat lain adalah tidak

berwarna serta korosif terhadap logam.

III.1.6. Analisis Sanitasi Rumah Sakit Khusus Penyakit Infeksius (RSPI-

SS)

1. Minimisasi Limbah Cair

Page 46: Epidemiologi

Dari tinjauan pustaka yang didapatkan, dapat dianalisa bahwa

effluent IPAL yang dihasilkan di RSPI-SS ini masih kurang

memenuhi standar yang ada untuk effluent IPAL Rumah Sakit

sehingga IPAL RSPI-SS kemungkinan harus dibenahi untuk

mendapatkan hasil effluent yang sesuai dengan standar. Namun, dari

tinjaun pustaka, hasil effluent tersebut dapat digunakan kembali

(reuse) untuk keperluan penyiraman taman rumah sakit. Hal ini

secara otomatis juga akan mengurangi penggunaan air bersih di

RSPI-SS. Selain itu, RSPI-SS akan mengehemat biaya hingga Rp.

90.950 per hari dari penggunaan kembali effluent IPAL. Selain

memperoleh keuntungan secara ekonomi, RSPI-SS juga sudah

menghemat sumber daya air.

Kemudian, dari beberapa sumber limbah cair di rumah sakit ini,

sebagai upaya segregasi limbah cair RSPI-SS, maka sebelumnya

limbah-limbah cair tersebut harus dilakukan pre-treatment terlebih

dahulu sebelum diolah lebih lanjut.

2. Minimisasi Limbah Padat

Untuk kasus limbah padat di RSPI-SS, meminimalisir limbah ini

dapat dilakukan dengan cara menggunakan kembali kemasan-

kemasan plastik bekas, seperti kemasan alkohol, bayclin, betadine dan

cairan infus. Namun, demi menghindari dampak baru yang mungkin

timbul, sebelumnya kemasan-kemasan tersebut harus distrelisasi.

Pemakaian kembali kemasan-kemasan plastik ini juga akan

memberikan keuntungan secara ekonomis bagi RSPI-SS karena pihak

rumah sakit bias meminimalisir penggunaan dana untuk membeli

kemasan baru untuk keperluan yang sama.

3. Minimisasi Air Bersih

Dari tinjauan pustaka yang didapatkan, penggunaan air bersih

pada tahun 2001-2003 di RSPI-SS sebesar 3.363.966 liter. Hal ini

mengindikasikan terjadi keborosan dalam penggunaan air bersih

sehingga pihak rumah sakit harus mengeluarkan biaya lebih untuk

kebutuhan air bersih di rumah sakit. \

Page 47: Epidemiologi

Biaya pemakaian air bersih adalah salah satu kpomponen biaya

operasional rumah sakit. Pemakaian air bersih yang tidak efesien akan

meningkatkan beban biaya operasional pelayanan rumah sakit dan

pada akhirnya dapat memengaruhi beban biaya pelayanan kesehatan

yang ditanggung oleh pasien rumah sakit

Page 48: Epidemiologi

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Proses IPAL yang dijalankan selama ini belum efektif menurunkan beberapa

parameter yang ada di pengolahan air limbah, seperti nilai TSS dan koliform yang

melebihi baku mutu. Hal ini dapat disebabkan oleh proses pengolahan biologis

yang tidak sempurna. Penyebab proses pengolahan biologis yang tidak sempurna

pada IPAL RSPI-SS antara lain karena adanya factor kerusakan pada pompa

aerator sehingga proses aerasi tidak optimal. Faktor lain yaitu proses aerasi yang

seharusnya berlangsung terus menerus selama 24 jam sehari, ternyata hanya

dijalankan selama jam kerja karyawan atau kurang lebih selama 8 jam.

Juga terjadi kesalahan prosedur penanganan limbah pada tahap pengumpulan

(collection). Seharusnya input limbah dengan beban pencemaran tinggi ataupun

toksik harus dilakukan pengolahan pendahuluan sebelum limbah masuk ke IPAL.

Suber limbah cair dengan beban pencemaran yang tinggi ataupun toksik tersebut

berasal dari ruang perawatan, IGD, laboratorium, laundry, ataupun ruang operasi.

Emisi udara dari proses insinerator melampaui baku mutu. Parameter yang

melampaui baku mutu adalah amoniak yang merupakan limbah B3, namun

pengelolaannya masih sebagai sumber non B3. Sehingga RSPI-SS harus lebih

memperhatikan prosedur pengelolaan limbah padat dari fase collection,

transportation, storage, hingga disposal.

Perlu dilakukan upaya minimasi limbah, salah satunya dengan cara

mengganti bahan-bahan yang mencemari atau berbahaya dengan bahan-bahan

yang kurang atau tidak mencemari lingkungan, misalnya dengan tidak

menggunakan deterjen secara berlebihan, menggunakan deterjen berkadar fosfat

rendah sehingga akan mengurangi beban pencemaran.

Agar pengelolaan limbah cair, padat, dan gas pada RSPI-SS lebih baik maka

disaankan untuk melakukan hal-hal berikut:

1. Perawatan IPAL dilakukan secara berkala dan diberlakukan sistem reward

and punishment untuk petugas yang bertanggung jawab agar perawatan tidak

terlalaikan

2. Waktu aerasi diperpanjang dengan mengatur operasi aerator secara kontinyu

Page 49: Epidemiologi

3. Memberlakukan preliminary treatment pada tahap pengumpulan untuk

limbah B3

4. Memperhatikan kinerja insinerator dan emisinya dikelola sesuai persyaratan

pengelolaan limbah B3

5. Minimalisasi limbah dilakukan dari unit pelayanan rumah sakit yang paling

kecil.

Page 50: Epidemiologi

DAFTAR PUSTAKA

http://www.who.int/csr/resources/publications/whocdscsreph200212.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3455/1/paru-parhusip4.pdf

Olmsted RN. APIC Infection Control and Applied Epidemiology: Principles and

Practice. St Louis, Mosby; 1996

anonymus. Infectious Disease Epidemiology Section. www.oph.dhh.louisiana.gov

Ducel, G. et al. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd

edition. World Health Organization. Department of Communicable disease,

Surveillance and Response; 2002

Light RW. Infectious disease, noscomial infection. Harrison’s Principle of

Internal Medicine 15 Edition.-CD Room; 2001

Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta;

2001

Surono, A. Redaksi Intisari. [email protected]

Anonymus. Preventing Nosocomial Infection.Louisiana; 2002

Suwarni, A. Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya

dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi

Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan

Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Badan Litbang Kesehatan Departemen

Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta; 2001

Babb, JR. Liffe, AJ. Pocket Reference to Hospital Acquired infection. Science

Press limited, Cleveland Street, London; 1995

Pohan, HT. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Pusat

Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,

Jakarta;2004

Wenzel. Infection control in the hospital,in International society for infectious

diseases, second ed, Boston; 2002

Finley, Samuel. Pengelelolaan Limbah Klinis Rumah Sakit.2004. Universitas

Indonesia