Ekstraksi Kolagen dari Kulit Nila Merah di BBP4BKP Jakarta
-
Upload
benget-r-simanjuntak -
Category
Documents
-
view
1.160 -
download
21
description
Transcript of Ekstraksi Kolagen dari Kulit Nila Merah di BBP4BKP Jakarta
LAPORAN
PENGOLAHAN KOLAGEN DARI KULIT IKAN NILA MERAH(Oreochromis niloticus
PENGEMBANGAN PENGOLAHAN PRODUK DANBIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN (BBP4B
TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
JURUSAN PERIKANANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
1
LAPORAN KERJA LAPANGAN
PENGOLAHAN KOLAGEN DARI KULIT IKAN NILA MERAHniloticus) DI BALAI BESAR PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PENGOLAHAN PRODUK DANBIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN (BBP4B
JAKARTA
Oleh :
BENGET R. SIMANJUNTAK09/283439/PN/11670
PROGRAM STUDITEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
JURUSAN PERIKANANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2013
PENGOLAHAN KOLAGEN DARI KULIT IKAN NILA MERAH) DI BALAI BESAR PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PENGOLAHAN PRODUK DANBIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN (BBP4B-KP)
2
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri pengolahan ikan makin berkembang pesat seiring meningkatnya
produksi perikanan Indonesia, khususnya perikanan budidaya. Ikan nila (Oreochromis
niloticus) merupakan salah satu produk perikanan budidaya yang mengalami kenaikan
setiap tahunnya dengan kenaikan rata-rata sebesar 24,76% dari tahun 2007 – 2011
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011). Ikan nila kini banyak diolah menjadi
fillet ikan yang merupakan bahan baku industri pengolahan produk perikanan.
Pengolahan fillet ikan nila ini menghasilkan byproduct berupa kulit ikan dengan
rendemen sebesar 8,7% dari bobot total ikan (Tazwir, 2006). Berdasarkan nilai
rendemen tersebut, produksi ikan nila pada tahun 2010 sebesar 464.191 ton
diperkirakan akan menghasilkan 40.385 ton kulit ikan nila. Kulit ikan nila ini umumnya
diekspor ke beberapa negara dalam bentuk raw material ataupun diolah menjadi keruput
kulit. Lebih dari itu, kulit ikan nila juga dapat diproses menjadi kolagen yang dapat
meningkatkan nilai tambah kulit ikan.
Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan ikat putih (white
connetive tissue) yang meliputi hampir 30% dari total protein hewan. Kolagen juga
banyak dimanfaatkan dalam bidang industri makanan (minuman, yoghurt), industri
farmasi (obat luka bakar), dan industri lainnya (shampo, krim kulit, lipstik). Pada
umumnya, kolagen berasal dari bahan baku tulang dan kulit mamalia seperti sapi dan
babi. Bahan baku kulit babi tidak dibenarkan bagi pemeluk Agama Islam dan Yahudi,
sementara penggunaan kulit sapi menjadi persoalan tersendiri bagi pemeluk Agama
Hindu serta menimbulkan kekhawatiran karena adanya isu penyakit sapi gila atau mad
cow disease. Oleh sebab itu, pengolahan kulit ikan menjadi kolagen sangatlah berguna
untuk mengatasi permasalahan tersebut (Kittiphattanabawon et al., 2005).
Kolagen yang telah berhasil diekstrak dari kulit ikan, antara lain kolagen larut
asam dari kulit ikan nila perch (Muyonga et al. 2004), ikan surf smelt (Nagai et al.
1999). Tujuan dari kerja lapangan di Balai Besar Penelitian Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4B-KP) adalah untuk mengetahui
pengolahan kolagen yang diekstrak dari kulit ikan nila.
3
B. Tujuan
1. Tujuan umum adalah untuk mendapatkan keterampilan dan pengalaman kerja.
2. Tujuan khusus yaitu mempelajari proses pembuatan kolagen dari kulit ikan nila
merah.
C. Manfaat
1. Meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan kerja mahasiswa dalam
pengolahan kolagen.
2. Memberikan alternatif pengolahan kolagen dengan memanfaatkan limbah kulit nila
merah.
D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Kerja Lapangan dilaksanakan selama 60 hari pada tanggal 21 Januari – 21
Maret 2013 di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS. Tubun Petamburan VI, Jakarta Pusat.
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikan Nila
Ikan Nila adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini diproduksi dari
Afrika pada tahun 1969 dan kini menjadi ikan peliharaan yang populer di kolam-kolam
air tawar dan dibeberapa waduk di Indonesia. Nama ilmiah pada ikan nila adalah
Oreochromis Niloticus, dan di dalam Bahasa Inggris ikan ini dikenal dengan sebutan
Nile Tilapia. Ikan ini memiliki bentuk badan pipih ke samping memanjang, mata
kelihatan menonjol dan relatif besar dengan bagian tepi mata berwarna putih. Hidup
dengan suhu perairan yang diinginkan 25oC – 30oC (Rochdianto, 1991). Jenis sisik yang
dimiliki cycloid, sirip dorsal memiliki 16-17 jari dan 11-15 diantaranya berupa duri
lunak, sedangkan sirip anal memiliki 3 jari. Garis lateralis (gurat sisi di tengah tubuh)
terputus dan dilanjutkan dengan garis yang terletak di bawah lateralis (Susanto, 1987).
Dalam pengolahan kolagen ini digunakan ikan nila merah. Ikan nila ini banyak
dibudidayakan diberbagai daerah, selain itu mempunyai kemampuan beradaptasi yang
baik diberbagai jenis air, contohnya hidup di air tawar, air payau, dan air laut. Ikan ini
juga tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivora dan mampu mencerna
makanan secara efisien. Pertumbuhannya cepat dan tahan terhadap serangan penyakit.
Menurut Susanto (1987), nila merah mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Class : Osteichtyes
Sub Class : Acanthopterigii
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Percoidea
Familia : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
5
Gambar 1. Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) (Anonim, 2013)
Nila merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki peluang besar di
pasar ekspor, terutama ke Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, dan Singapura
(Widiarti, 2003). Indonesia sendiri pada tahun 2007 hanya memasok 7.392 ton dalam
bentuk filet beku, dan utuh beku (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011). Industri
pengolahan hasil perikanan banyak yang membuang begitu saja limbahnya, sehingga
menimbulkan masalah baru berupa pencemaran lingkungan. Limbah merupakan sisa
dari proses pengolahan hasil perikanan yang tidak dimanfaatkan dan tidak mempunyai
nilai ekonomis, bahkan dapat merugikan. Pemanfaatan kembali limbah bahan pangan
menjadi semakin penting dilihat dari segi ekonomi pada industri pangan. Hal ini
memungkinkan pemanfaatan maksimal dari bahan mentah dan memperkecil persoalan
polusi dan penanganan limbah (Buckle, 1987). Limbah hasil perikanan berdasarkan
jenisnya, yaitu: a) hasil samping, berupa ikan mentah utuh yang merupakan hasil ikutan
dari usaha penangkapan (by catch); b) limbah pengolahan, yang terdiri atas campuran
kepala, isi perut, kulit, tulang, sirip, ekor dan lain-lain; c) limbah surplus, berupa ikan
utuh karena kelebihan pemasaran atau pengolahan; d) limbah industri, berupa ikan utuh,
potongan atau hancuran yang terjadi pada distribusi dan pemasaran. Dalam hal ini
kolagen ikan berpotensi menggantikan peranan kolagen mamalia untuk keperluan
pangan karena sampai saat ini limbah kulit ikan belum dimanfaatkan secara optimal
menjadi suatu produk yang mempunyai nilai tambah tinggi dan mempunyai kegunaan
dalam industri.
B. Kulit Ikan
Kulit ikan, seperti halnya hewan vertebrata lainnya, terdiri atas dua lapisan:
lapisan epidermis di bagian luar dan lapisan dermis (disebut juga corium) di bagian
6
dalam (Lagler, 1977). Epidermis ikan mirip dengan lapisan penyusun mulut manusia.
Lapisan ini setidaknya tersusun oleh beberapa lapis sel epitel. Pada bagian terbawah
adalah lapisan sel aktif tumbuh dan bermultiplikasi (stratum germinativum). Disini sel
bermultiplikasi sepanjang waktu untuk menggantikan sel-sel luar yang rusak dan
menyediakan sel-sel untuk pertumbuhan. Jumlah lapisan sel penyusun epidermis sangat
bervariasi, tidak hanya tergantung dari spesies, tapi juga bergantung pada bagian tubuh
dan umur ikan. Lapisan sel epitel ini terikat erat oleh suatu matriks intraseluler. Lapisan
dermis merupakan jaringan pengikat yang cukup tebal dimana mengandung sejumlah
serat-serat kolagen. Penampang melintang kulit ikan dpat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampang jaringan kulit hewan (Buckheim, 2013)
Beberapa penelitian kolagen dari limbah ikan telah banyak dilakukan. Kulit
ikan dilaporkan mengandung kolagen dengan nilai rendemen yang bervariasi antara 11
– 63% tergantung dari jenis ikan, bahan pengekstrak, dan teknik ekstraksi kolagen
(Tabel 1).
Tabel 1. Rendemen kolagen kulit dari beberapa jenis ikan
No. Jenis Ikan Kolagen (%)
1. Japanese sea bass (Lateolabrax japonicus)1) 51,402. Chub mackerel (Scomber japonicus)1) 49,803. Bullhead shark (Heterodontus japonicus)1) 50,104. Big eye snapper (Priacanthus tayenus)2) 10,945. Ocellate puffer fish (Takifugu rubripes)3) 44,706. Nile perch muda (Lates nilotikus)4) 63,10
Sumber : Nagai & Suzuki, 20001); Kittiphattanabawon et al., 20052); Nagai et al.,20023); Muyonga et al., 20044)
Pigmen warna
Pembuluh darah
Kelenjar lendir
Epidermis
Sisik
Dermis
Endodermis/Daging
7
C. Protein Jaringan Kulit
Protein kulit dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu: 1) protein yang
tergolong protein fibrilar meliputi kolagen (yang terpenting), kreatin dan elastin; 2)
protein yang tergolong protein globular meliputi albumin dan globulin. Protein fibrilar
adalah protein berbentuk serabut yang tidak larut di dalam air. Protein globular adalah
protein yang berbentuk bulat menyerupai bola yang banyak terdapat pada bahan pangan
seperti susu, telur, dan daging. Protein ini larut dalam sistem larutan (air), juga lebih
mudah berubah di bawah pengaruh suhu, konsentrasi garam, pelarut asam dan basa
dibandingkan dengan protein fibrilar. Disamping itu protein globular leibh mudah
terdenaturasi karena susunan molekulnya mudah mengalami perubahan yang diikuti
dengan perubhaan sifat fisik dan fisiologisnya seperti yang dialami oleh enzim dan
hormon (Lehninger, 1990).
Dari golongan protein tersebut, ini kolagen merupakan protein yang dominan
baik jumlahnya maupun peranannya. Struktur kolagen menyerupai benang-benang jala.
Kolagen tidak larut dalam air maupun larutan garam tetapi larut dalam larutan alkali.
Jika kolagen ikan dipanaskan maka strukturnya akan berubah, terbentuk peptida-peptida
dengan berat molekul yang lebih rendah yang disebut dengan gelatin (Hadiwiyoto,
1993).
D. Kolagen Dan Aplikasi Pemanfaatan
1. Biosintesis Kolagen
Jaringan penghubung (connective tissue) merupakan matriks ekstraselular
dengan komponen utama pembentuknya adalah kolagen, elastin, dan proteoglikan.
Kolagen dan elastin terjadi secara bersamaan di sebagian besar jaringan penghubung
namun proporsinya berbeda, sedangkan proteoglikan merupakan senyawa hibrid yang
terdiri dari protein dan polisakarida yang terikat melalui ikatan kovalen (Lehninger,
1982).
Kolagen disintesis dalam bentuk molekul prekursor, yakni prokolagen, yang
mengikat gugus terminal karboksil dan amino. Rantai α prokolagen, adalah komponen
penting yang digunakan untuk sekresi, berikatan dengan satu gugus terminal amino
(pre-pro α) (sebagai sinyal) yang selanjutnya gugus tersebut dihilangkan secara
enzimatis pada saat rantai peptida (yang sedang dalam proses pembentukan) mulai
8
memasuki wadah (cisteranae) sel. Saat rantai peptida tersebut masih terikat pada
ribosom, residu prolin dan lisin mulai teroksidasi (hidroxylation), dilanjutkan dengan
glikosilasi residu hidroksilisin. Seleksi rantai terjadi pada proses ini, namun
mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Residu prolin yang telah secara relatif
teroksidasi, akan dibentuk menjadi triple heliks. Pembentukan tersebut berguna untuk
mencegah terjadinya oksidasi lebih lanjut pada prolin dan lisin serta glikosilasi
hidriksilisin. Molekul prokolagen triple heliks kemudian ditransportasikan melalui
apparatus golgi menuju permukaan sel (Glanville et al., 1979).
2. Struktur Kolagen Triple Helix
Jenis-jensi kolagen yang membentuk serabut batangan yang panjang di dalam
jaringan, disusun lewat ikatan lateral unit-unit triple helix. Penyusunannya membentuk
gambaran pita pada serabut-serabut di dalam jaringan ikat. Serabut kolagen selanjutnya
distabilkan oleh pembentukan ikatan silang kovalen, yang berbeda di dalam dan
sekaligus diantara unit-unit triple helix. Ikatan silang kovalen tersebut stabil, dan ikatan
silang ini merupakan faktor penting untuk kekuatan mengatasi regangan yang dimiliki
serabut kolagen (Rodwell et al.,1995). Serabut kolagen yang berbentuk triple helix
terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 3. Struktur triple helix kolagen (Lehninger, 1982)
3. Pemanfaatan Kolagen
Pemanfaatan kolagen dalam berbagai bidang industri mengalami kemajuan yang
cukup pesat. Kolagen dalam bentuk yang berbeda mempunyai bidang pemanfaatan yang
berbeda pula. Aplikasi kolagen dalam bidang industri dapat dilihat dalam Tabel 2.
Meningkatnya animo para ahli dalam pemanfaatan kolagen khususnya di bidang medis,
farmasetika, dan kosmetik membuat penelitian-penelitian di bidang kesehatan semakin
marak.
9
Tabel 2. Pemanfaatan kolagen
Bentuk Kolagen Produk atau Bidang PemanfaatanKulit- alami Produk kulitKulit- sintetisGelatin Lem
PanganFotografiFarmasetikaObat-obatanPlastik
Produk kolagen murni Bidang medisLarutan/GelSeratMembranSepon
Hidrolisat parsial Bidang giziReducing dietsSuplemen panganSelongsong (casings)
Hidrolisat parsial(terlaurt ataupun native)
KosmetikKrim KulitHair sprayCat kukuSabun
Sumber: Putra (2010)
E. Perubahan Fisika dan Kimia pada Pembentukan Kolagen
1. Perubahan Fisika
Perubahan fisika adalah perubahan pada zat yang tidak menghasilkan zat jenis
baru. Perubahan fisika sangat erat hubungannya dengan sifat-sifat fisika, seperti:
bentuk, ukuran, warna, bau. Contohnya adalah perubahan tempat, wujud, bentuk dan
ukuran benda (Syukri, 1999). Ciri- ciri pada perubahan fisika, yaitu:
a. Tidak terbentuk materi jenis baru, sekalipun materi tersebut berubah bentuk dan
wujudnya, namun jika tidak ada perubahan yang dihasilkan tidak menunjukkan
perubahan jenis, tetap merupakan perubahan fisika.
b. Zat yang berubah dapat kembali ke sifat semula,
c. Hanya diikuti perubahan sifat fisika saja.
Perubahan fisika karena perubahan wujud adalah pelelehan, peleburan, pencairan,
penguapan, pengembunan, pembekuan, penyubliman, dan terdeposisi.
10
2. Perubahan kimia
Perubahan kimia adalah perubahan pada zat yang menghasilkan zat jenis baru
yang disertai dengan perubahan sifat, struktur dan susunan yang tidak dapat kembali ke
bentuk semula. Perubahan kimia ditandai dengan terbentuknya materi yang jenisnya
baru. Materi yang terjadi akibat perubahan kimia sama sekali baru, karena sifat dari
materi awal dengan materi akhir setelah perubahan berbeda jauh. Ciri- ciri pada
perubahan kimia, yaitu:
a. Terbentuk zat jenis baru,
b. Zat yang berubah tidak dapat kembali ke bentuk semula (Irreversibel),
c. Terjadi reaksi kimia, ditandai dengan pembentukan gas, perubahan warna,
pembentukan endapan baru, perubahan bau, perubahan pH, perubahan energi dan
timbulnya cahaya.
11
BAB III. KEADAAN UMUM BALAI BESAR PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PENGOLAHAN PRODUK DAN BIOTEKNOLOGI
KELAUTAN DAN PERIKANAN, JAKARTA
A. Pembentukan BBP4B-KP Jakarta
BBP4B-KP merupakan institusi riset di bidang pengolahan produk dan
bioteknologi kelautan dan perikanan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan
Perikanan (KKP) Republik Indonesia. BBP4B-KP dibentuk berdasarkan Peraturan
Mentri Kelautan dan Perikanan, Nomor: PER.27/MEN/2011 ditetapkan pada tanggal 26
September 2011.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4B-KP) bertugas melaksanankan riset
strategis pengolahan produk dan bioteknologi kelautan dan preikanan berdasarkan
kebijakan teknis Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kementrian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. Selain itu, BBP4B-KP memiliki fungsi sebagai berikut:
(1).Penyusunan rencana program dan anggaran, pemantauan dan evaluasi, serta
laporan;
(2).Pelaksanaan penelitian pengolahan produk dan bioteknologi kelautan dan perikana
di bidang keamanan pangan, pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan
berbasis bioteknologi, peningkatan kualitas dan nilai tambah, serta sistem, model,
dan kebijakan teknis industri pengolahan perikanan;
(3).Pengembangan teknologi pengolahan produk dan bioteknologi kelautn dan
perikanan;
(4).Pelayanan teknis, jasa, informasi, komunikasi, dan kerja sama penelitian dan
pengembangan pengolahan produk dan bioteknologi kelautan dan perikanan;
(5).Pengolahan prasarana dan sarana penelitian dan pengembangan; dan
(6).Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
B. Lokasi
BBP4B-KP terletak di Jalan KS Tubun Petamburan VI, Jakarta Pusat 10260.
Telp. 021-53650157. Fax 021-53650157.
12
C. Fasilitas Pendukung
Fasilitas pendukung yang dimiliki oleh BBP4B-KP antara lain:
1. Laboratorium Bioteknologi
2. Laboratorium Bioassay
3. Laboratorium Instrumen
4. Laboratorium Kimia
5. Laboratorium Mikrobiologi
6. Laboratorium Sensori
7. Laboratorium Rekayasa Alat
8. Laboratorium Pengolahan
9. Laboratorium Data, dan
10. Perpustakaan
D. Struktur Organisasi
Berdasarkan Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan R.I Nomor:
PER.27/MEN/2011, Struktur Organisasi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4B-KP) seperti
terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Organisasi BBP4B-KP Jakarta
E. Kegiatan Riset
BBP4B-KP saat ini didukung oleh tenaga penelitian dengan latar belakang
pendidikan bidnag kimia, biokimia, bioteknologi, mikrobiologi, teknologi pangan dan
pengolahan produk. Disamping itu kelompok peneliti ini juga dibantu oleh staf
administrasi, teknis, dan pustakawan. Beberapa bidang riset di BBP4B-KP antara lain:
Kepala
Bagian Tata Usaha
SubbagianKepegawaian
Subbagian Keuangandan Umum
Bidang Tata Operasional Bidang Pelayanan Teknis
SeksiPublikasi danDokumentasi
Seksi Kerjasama danPelayanan Penelitiandan Pengembangan
Seksi AnggaranMonitoring dan
Evaluasi
SeksiProgram dan
Anggarna
Kelompok JabatanFungsional
13
1. Pengolahan Produk
Riset bidang pengolahan produk ini bertujuan untuk mendapatkan proses
penanganan dan pengolahan biota laut secara rasional dan bertanggung jawab.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah pengembangan produk tradisional, pembekuan,
pengalengan dan reduksi (tepung ikan, minyak ikan), juga optimasi pemanfaatan limbah
perikanan untuk mendapatkan nilai tambah yang maksimum. Riset untuk diversifikasi
produk perikanan juga dilakukan dalam bidang ini.
2. Rekayasa Alat
Riset ini difokuskan untuk mendesain dan mengembangkan peralatan untuk
peningkatan efisiensi proses dan penanganan produk prikanan. Termasuk dalam riset ini
adalah desain peralatan untuk proses skala pilot plant. Telah banyak alat yang
dihasilkan, diantaranya peralatan pengolahan rumput laut, generator asap cair, peti
berinsulasi (palka) untuk kapal penangkapan ikan, pengeringan ikan, pengasap ikan, alat
penepung ikan, peralatan penanganan dan pengolahan kulit dan lain-lain.
3. Keamanan Pangan dan Lingkungan
Masalah keamanan pangan, penggunaan bahan aditif ilegal dan pencemaran
menjadi perhatian utama kelompok ini. Riset dilakukan untuk meyakinkan bahwa
produk yang dihasilkan telah memenuhi standar keamanan dan mutu Internasional dan
Nasional. Termasuk dalam riset ini adalah penanggulangan praktek yang salah
(malpraktek) pada semua tahap penanganan dan pengolahan, mulai dari proses
penangkapan dan budidaya termasuk lingkungan sampai penanganan, pengolahan dan
pemasaran.
4. Bioteknologi
Riset ini bertujuan untuk mengkaji dan mengembangkan pemanfaatan mikro
dan makroorganisme (bakteri, khamir, invertebrata, ikan laut dalam, dan lain-lain),
produk-produk bahan alam (enzim, protein, metabolit sekunder) dari sumber daya
kelautan dan perikanan. Pemanfaatan mikroba dan enzim eksogen maupun endogen
terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas produk fermentasi ikan tradisional.
Sedangkan eksplorasi produk bahan alam dari biota perairan terutama difokuskan untuk
menghasilkan produk yang bermanfaat di bidang kosmetik, biomedis dan terutama
farmasi.
14
5. Pengembangan Produk
Telah banyak hasil riset yang diperoleh, akan tetapi masih dalam skala
laboratorium sehingga sulit diaplikasikan secara komersial. Kelompok riset
pengembangan produk bertugas untuk mengembangkan hasil riset skala laboratorium
menjadi skala pilot plant atau bahkan secara komersial.
15
BAB IV. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan kolagen ini adalah kulit ikan
nila. Bahan-bahan yang diperlukan dalam proses ekstraksi meliputi larutan NaOH 0,1
N; air dingin suhu ±12oC; larutan asam asetat 0,5M; NaCl padat; air destilasi. Bahan-
bahan yang digunakan untuk analisis komposisi kimia meliputi H2SO4, kjeltab
Selenium, NaOH, H3Bo3, n-heksana, HCl, methyl red dan bromo cresol green.
Alat-alat yang diperlukan meliputi: ember plastik 25 Litter, pisau dan gungting,
kain kasa 1000 mesh, spatula, beaker glass 250 ml dan 5000 ml, gelas ukur 50 ml dan
100 ml, pipet ukur 10 ml, corong kaca, pipet tetes, pipet volumetrik, labu soxhlet, alat
destilasi, kondensor, magnetic stirrer, alumunium foil, cawan porselen, kertas saring,
kain kasa, timbangan analitik, alat sentrifuse (Beckman model J2-21 Sentrifuge), oven
(Cothem Oven) mesin freeze-dryer (Labconco Freeze Dryer Sistem), dan tanur
(Barnstead Thermolyne Furnace 6000, Amerika).
B. Metode Pengamatan
Metode yang digunakan dalam kerja lapangan adalah:
1. Observasi atau pengamatan langsung dan ikut berpartisipasi dalam proses
pengolahan kolagen.
2. Wawancara dengan peneliti dan karyawan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
3. Pengumpulan data sekunder yang diperoleh di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,
Jakarta.
4. Studi pustaka/literatur
C. Tata Laksana
1. Preparasi sampel
Tahapan ini terdiri dari pengambilan, persiapan, dan preparasi sampel. Sampel
diperoleh dari PT. Aquafarm Semarang. Limbah kulit nila dibersihkan dari duri dan
daging yang menempel.
16
2. Pengujian Komposisi Kimia Kulit Nila Merah
Uji komposisi kima kulit nila merah adalah: Kadar protein (SNI, 2006), kadar air
(SNI, 2006), kadar abu (SNI, 2006), adar lemak (SNI, 2006). Prosedur pengujian dapat
dilihat pada lampiran 2.
3. Diagram Alir Pembuatan Kolagen Kuli Nila Merah
Kulit ikan
Buang sisik dan daging, Cuci bersih, potong ukuran 1 x 1 cm2
Rendam dalam larutan NaOH 0,1 M (1:10 w/v) selama 24 jam pada suhu 28 oC
Pencucian denga air ± 12oC sampai pH ± 7
Ekstraksi dalam larutan CH3COOH 0,5 M (1:10 w/v) 4 oC selama 3 hari
Sentrifugasi hasil ekstraksi dengan kecepatan 10.000 rpm 4oC selama 25 menit
Penyaringan dengan kain kasa 1000 mesh
Supernatant/filtrat
Salting-out dengan NaCl 1 hari dalam supernatan hingga 0,9 M (28oC)
Sentrifugasi 10.000 rpm 4oC 25 menit
Endapan kolagen
Dialisis dengan asam asetat 0,1 M selama 12 jam (28 oC)
Presipitasi dengan NaCl 1 hari dalam supernatan hingga 0,9 M 28 oC
Kolagen basah
Dikeringkan dalam Freeze drier
Kolagen kering
Gambar 5. Diagram alir proses ekstraksi kolagen dari kulit ikan nila merah (Modifikasi
Nagai & Suzuki, 2000)
17
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proses Pengolahan Kolagen Kulit Nila Merah
Proses pengolahan kolagen kulit ikan meliputi persiapan bahan, penghilangan
pengotor dan protein non kolagen (degreasing), ekstraksi, purifikasi tahap pertama,
purifikasi lanjutan kolagen dan pengawetan.
1. Persiapan Bahan
Kulit ikan dibersihkan dari sisik dan sisa daging yang menenmpel pada kulit dan
dicuci hingga bersih. Kulit ikan yang telah bersih, dipotong-potong dengan ukuran 1 x 1
cm2 (Gambar 6).
Gambar 6. Kulit nila ukuran 1 x 1 cm2
2. Penghilangan Pengotor dan Protein Non Kolagen (degreasing)
Kulit ikan yang telah dipotong ditimbang sebanyak 500 gram, dimasukkan
dalam beaker glass ukuran 2 liter dan diberi larutan NaOH 0,1 M dengan perbandingan
1:10. Campuran kulit dengan NaOH selanjutnya didiamkan selama 24 jam pada suhu
28oC (Gambar 7).
Gambar 7. Perendaman kulit dalam NaOH 0,1 M
18
Pada tahap degresing terjadi perubahan materi secara kimia. Materi yang
bereaksi adalah protein kolagen kulit (satu dari tiga asam amino yang terkandung dalam
rantai peptidanya adalah glisin) dengan NaOH, seperti yang terlihat pada Persamaan 1
berikut.
NH2(CH2)COOH + NaOH NH2(CH2)CONa + H2O ........ Persamaan 1.
Sebelum terjadi reaksi, asam amino yang dikandung dalam kolagen (glisin dan
prolin) memiliki daya regang yang kuat. Kolagen yang membentuk heliks disebut
kelompok kolagen (Hart, 1983). Setelah kulit direndam dalam larutan NaOH, terjadi
reaksi yang mengakibatkan pilinan heliks menjadi regang sehingga kulit dapat mengikat
air. Hal ini ditandai dengan struktur kulit yang semula tipis menjadi tebal dan warna
kulit menjadi bening. Perubahan wujud materi yang terjadi adalah berupa perubahan
fisika, dimana terjadi perubahan bentuk dan wujudnya tetapi tidak diikuti perubahan
jenis. Degreasing bertujuan untuk menghilangkan senyawa kimia pembentukan kulit
dan protein non kolagen.
3. Proses Ekstraksi Kolagen
Kulit ikan yang hasil proses degreasing kemudian diekstraksi dengan asam
lemah. Asam lemah yang digunakan sebagai larutan pengekstrak yaitu asam asetat
(CH3COOH) dengan konsentrasi 0,5 M yang dilakukan sebanyak 3 ulangan (Gambar
8). Proses ekstraksi dilakukan selama 3 hari, yang merupakan waktu ekstraksi kolagen
yang optimal.
Gambar 8. Perendaman kulit dalam asam asetat 0,5 M.
A= ulangan 1, B= ulangan 2, dan C= ulangan 3
19
Tahap ekstraksi dengan asam asetat terjadi perubahan materi. Materi yang
bereaksi adalah protein kolagen (asam amino glisin) dengan CH3COOH, seperti yang
terlihat pada persamaan 2 berikut.
CH3COONH2 + CH3COOH CH3COONH3 + CH3COO- ..... Persamaan 2
Dalam hal ini perubahan materi yang terjadi adalah perubahan kimia. Adanya
reaksi kimia, pilinan helik rantai kolagen akan terurai dari yang semula membentuk
heliks tiga rantai menjadi rantai heliks yang lebih sederhana (Gambar 9). Hal ini
ditandai dengan perubahan ukuran kulit menjadi semakin tebal dan teksturnya menjadi
kenyal dan lunak serta pH menjadi asam.
Gambar 9. Perubahan struktur koalgen
Kolagen dapat mengalami penyusutan jika dipanaskan di atas suhu penyusutan
(Ts). Suhu penyusutan kolagen pada umumnya berkisar antara 60-70oC, dimana serat
kolagen akan menjadi lebih pendek sepertiga atau seperempat dari panjang asalnya.
Suhu penyusutan kolagen ikan sekitar 35oC. Jika suhu dinaikan sampai 80oC maka
terjadi denaturasi protein dari triple helix meregang menjadi pilinan-pilinan yang lebih
sederhana (perubahan fasa dari gel menjadi sol) sehingga kolagen akan berubah menjadi
gelatin (deMan, 1997), jika suhu diturunkan maka kembali ke bentuk semula yaitu sol.
Pemecahan struktur kolagen menjadi lilitan acak yang larut dalam air yang disebut
gelatin. Konversi kolagen menjadi gelatin biasanya didasarkan pada pengaturan suhu
ekstraksi, yang dilakukan untuk mencegah kerusakan protein pada suhu tinggi.
20
Setelah proses ekstraksi selesai, dilakukan penyaringan dengan kasa 1000 mesh
kemudian supernatan atau filtrat hasil ekstraksi diambil (Gambar 10).
(a) (b)
Gambar 10. Penyaringan dengan kain kasa 1000 mesh (a) dan
supernatan/filtrat (b)
4. Purifikasi Kolagen
Supernatan/filtrat selanjutnya dipurifikasi kolagennya dengan cara salting-out
menggunakan garam NaCl sampai tercapai konsentrasi akhir sebesar 0,9 M. Kolagen
yang terkandung dalam filtrat akan mengendap dan membentuk lapisan putih susu, serta
memisah dengan supernatannya. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi pada 10.000 rpm
selama 5 menit pada suhu 4oC (Gambar 11).
(a) (b) (c)
Gambar 11. Salting-out dengan NaOH 0,9 M (a), sentrifugasi 10.000 rpm 4oC (b),
dan kolagen hasil Salting-out (c)
5. Purifikasi Lanjutan dan Pengawetan.
Purifikasi lanjutan yaitu pemurnian kolagen lebih lanjut. Kolagen basah yang
didapatkan kemudian direndam dalam larutan asam asetat 0,1 M (1:10 w/v) selama 12
21
jam. Selanjutnya supernatan dipresipitasi dengan larutan NaCl 0,9 M pada suhu 28oC
selama 24 jam (Gambar 12).
(a) (b) (c)Gambar 12. Dialisis dengan asam asetat 0,1M (a), presipitasi dengan NaCl 0,9M
(b), dan kolagen basah (c)
Kolagen basah selanjutnya diawetkan dengan cara diliofilisasi (freeze-drying)
untuk kemudian dikarakterisasi lebih lanjut (Gambar 13). Kolagen dibekukan sebelum
dikeringkan dengan Freeze Drier.
(a) (b) (c)Gambar 13. Kolagen beku (a), freeze drier (b), dan koalgen kering (c)
Endapan kolagen yang dikeringkanbekukan menggunakan freeze-drier sehingga
diperoleh kolagen kering. Kolagen kering dapat berubah bentuk dari cair menjadi padat
saat dikeringkan. Kolagen kering kembali mencari pada suhu leleh kolagen. Perubahan
tersebut termasuk dalam kategori perubahan fisika karena hanya mengubah bentuk
wujud kolagen saja, dan tidak adanya zat baru yang terbentuk.
B. Komposisi Kimia Kulit Nila Merah
Analisis komposisi kimia (proksimat) kulit ikan nila merah yang dilakukan pada
penelitian ini meliputi penentuan kadar air, kadar lemak, kadar abu, dan kadar protein.
Hasil analisis komposisi kimia kulit nila merah dapat dilihat pada Tabel 3.
22
Tabel 3. Hasil analisis proksimat kulit ikan nila
ParameterNilai
Benget (2013) Putra (2010) Muyonga et al. (2004)
Protein 20,41 47,43 25,43
Air 73,87 23,74 26,93
Abu 5,22 3,01 0,67
Lemak 0,81 1,68 2,35Keterangan: Benget, 2013 (Nila merah); Putra, 2010 (Nila Hitam);3Muyonga et al.,2004 (Nila Perch)
1. Kadar Protein
Kadar protein nila merah paling kecil (20,41%) dibandingkan jenis kulit nila
lainnya, tertinggi pada nila hitam (47,43%). Hal ini menunjukkan bahwa nila termasuk
ke dalam bahan pangan yang berprotein sedang dan berlemak rendah. Ikan digolongkan
berdasarkan kadar lemak-protein yaitu ikan dengan lemak-rendah protein-sedang
apabila memiliki kadar lemak <5% dan protein antara 15-20% (Winarno, 2002). Hasil
komposisi kimia yang ditunjukkan pada Tabel 1 memperlihatkan perbedaan antara jenis
nila satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan spesies, umur,
habitat, jenis pakan dan preparasi bahan. Protein di dalam tubuh berfungsi sebagai
bahan bakar, sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein terdiri dari asam amino yang
mengandung unsur C, H, O, N, S, dan P yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun
karbohidrat. Muyonga et al. (2004) menjelaskan bahwa kadar protein kasar kulit dapat
menggambarkan kemungkinan besar kolagen dapat diekstrak.
2. Kadar Air
Kadar air merupakan parameter kesegaran bahan baku yang sangat berpengaruh
terhadap kualitas produk. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit nila merah
memiliki kadar air 73,87%. Kadar air paling tinggi bila dibandingkan dengan jenis nila
lainnya. Kadar air pada suatu bahan bervariasi tidak hanya dipengaruhi waktu
pengeringan, tetapi juga tingkat kelembapan selama penyimpanan dan permeabilitas
terhadap kelembapan bahan yang diuji. Penentuan kadar air suatu bahan pangan perlu
dilakukan sebab kadar air suatu bahan pangan dapat mempengaruhi tingkat mutu dari
bahan tersebut. kadar air dalam makanan adalah salah satu faktor dominan yang
mempengaruhi karakteristik fisika, kimia, mikrobiologi, dan sensoris yang merupakan
kunci penting bagi konsumen dan daya tahan suatu produk (Pisuchpen, 2007).
23
3. Kadar Abu
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit nila merah memiliki kadar abu
sebesar 5,22%. Kadar abu paling tinggi bila dibandingkan dengan penelitian Putra
(2010) dan Muyonga et al. (2004). Kadar abu digunakan sebagai petunjuk adanya
mineral pada suatu bahan. Bahan makanan terdiri dari 96% bahan organik dan air.
Sisanya merupakan unusur-unsur mineral yaitu zat anorganik (kadar abu). Kadar abu
yang rendah kurang dari 0,5% merupakan bahan baku yang memiliki kualitas yang
baik untuk pembuatan kolagen dan gelatin melalui proses demineralisasi, bahan dapat
dikurangi kadar abu yang dikandungnya (See et al. 2010).
4. Kadar Lemak
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit nila merah memiliki kadar lemak
sebesar 0,81%. Dengan rendahnya kadar lemak yang dimiliki oleh kulit ikan nila, dalam
proses isolasi kolagen tidak perlu dilakukan proses penghilangan lemak. Kadar lemak
ini paling rendah bila dibandingakan jenis nila lain. Lemak didefenisikan sebagai bahan-
bahan yang dapat larut dalam eter, kloroform (benzena) dan tidak dapat larut dalam air.
Perbedaan kadar lemak disebabkan karena umur panen dan laju metabolisme
organisme. Lemak akan cenderung semakin meningkat dengan bertambahnya usia
berhubungan dengan sifat fisiologis hewan yang akan menuju fase perkembangbiakan.
Hewan akan membutuhkan lebih banyak energi yang disimpan dalam bentuk lemak
untuk berkembang biak. Adanya variasi komposisi kimia terjadi antar spesies dan antar
individu dalam satu spesies.
C. Rendemen Kolagen
Rendemen didefenisikan sebagai jumlah produk yang dihasilkan pada suatu
reaksi (kimia, fisika, biologi). Jumlah rendemen dapat digunakan sebagai efektifitas
prosedur dalam memproduksi atau mereaksikan suatu zat (Junaidianto, 2009).
Penelitian menggunakan dua tinjauan rendemen, (1) rendemen basah, dimana berat
kolagen yang terendapkan pada fase sentrifugasi dibagi dengan berat sampel kulit awal,
serta (2) rendemen kering, dimana berat kolagen yang telah didialisis dan diliofilisasi
dibagi dengan berat sampel kulit awal.
24
1. Rendemen Kolagen Basah
Rendemen kolagen basah dihitung berdasarkan berat kolagen basah yang
terendapkan setelah fase salting out dengan NaCl dan sentrifugasi dibagi dengan berat
kulit awal yang digunakan (500 gram) (Gambar 14).
Gambar 14. Kolagen basah kulit nila merah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen kolagen basah hasil ekstraksi
dengan asam asetat 0,5 M yang dilakukan triplo masing-masing sebesar 70,14%,
53,54%, dan 30,15% (Tabel 4).
Tabel 4. Rendemen kolagen basah kulit nila merah
ParameterNilai
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Rendemen(%)
70,14 53,54 30,15
Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara
rendemen kolagen basah pada tiap-tiap ulangan. Hal ini dipengaruhi oleh kelarutan dari
NaCl yang digunakan pada fase salting out. Rendemen kolagen basah pada ulangan 1
(70,17%) mengindikasikan tingginya konsentrasi NaCl yang digunakan mengakibatkan
kadar air dan garam yang terikat bersama asam asetat. Semakin tinggi kadar garam yang
terikat maka semakin besar bobot hilang selama proses dialisis, dan semakin tinggi air
yang terikat maka semakin tinggi bobot yang hilang selama liofilisasi. Peningkatan
konentrasi NaCl selama perendaman mengindikasikan peningkatan rendemen kolagen
basah. Perendaman dengan larutan NaCl mampu merusak struktur protein kolagen
namun tidak melarutkannya, sehingga bekerja sinergis saat proses ekstraksi dan
menghasilkan rendemen kolagen yang lebih besar (Junaidianto, 2009).
25
2. Rendemen Kolagen Kering
Rendemen kolagen setelah dikeringbekukan dengan freeze-dried masing-masing
adalah sebesar 19,12%, 18,39%, dan 17,56%. Pengamatan mengenai rendemen kering
diawali dengan pemurnian rendemen basah. Rendemen basah didialisis kemudian
dikering-bekukan (freeze dried). Dialisis berfungsi untuk menghasilkan garam-garam
yang terikat bersama kolagen dan untuk menaikkan pH agar menjadi netral atau
mendekati netral. Freeze dry berguna untuk menghilangkan molekul air sehingga
didapatkan berat kolagen kering berkadar air mendekati 0% (Gambar 15)
Gambar 15. Kolagen kering kulit nila merah
Berat kolagen kering ini kemudian dibandingkan dengan berat kulit awal (500
gram) untuk didapatkan angka rendemen kolagen kering. Hasil penelitian menunjukkan
adanya penurunan rendemen dari ulangan 1, 2, dan 3 seiring dengan kadar air dan
garam yang terikat pada fase salting-out bersama asam asetat. Semakin tinggi kadar
garam yang terikat maka semakin besar bobot hilang selama proses dialisis, dan
semakin tinggi air yang terikat maka semakin tinggi bobot yang hilang selama proses
liofilisasi.
Tabel 5. Perbandingan rendemen kolagen kulit nila
ParameterNilai
Benget (2013) Putra (2010) Muyonga et al. (2004)
Rendemen 17,56-19,12% 2,94-4,70 11,57
Keterangan: Benget, 2013 (Nila merah); Putra, 2010 (Nila Hitam);3Muyonga et al., 2004 (Nila Perch)
26
Hasil rendemen nila merah lebih tinggi bila dibandingkan kolagen yang
diekstrak dari ikan nila hitam berkisar 2,94-4,70% dan ikan nila perch 11,57%. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan konsentrasi 0,5 M asam asetat dapat menghasilkan
rendemen kolagen yang maksimal. Penggunaan konsentrasi asam asetat yang terlalu
tinggi dapat menurunkan rendemen. Rendemen kolagen nila merah yang dihasilkan
cukup tinggi kemungkinan disebabkan oleh suhu waktu ekstraksi. Hal ini didukung oleh
pernyataan Kolodziejska et al. (2000) yang melaporkan bahwa temperatur berkaitan erat
dengan produksi rendemen kolagen. Kelarutan kolagen akan semakin meningkat dengan
naiknya temperatur dan akan larut keseluruhan pada kisaran suhu 45oC. Faktor yang
mempengaruhi sifat fungsional kolagen yaitu spesies, umur dan periode hidup ikan,
tahapan preparasi sampel, serta konsentrasi NaCl yang digunakan pada proses ekstraksi
(Steven, 2012).
C. Organoleptis
1. Warna
Pengamatan warna menggunakan metode visual (kenampakan). Warna kolagen
(baik basah maupun kering) yang berhasil diisolasi mempunyai warna yang cerah
(ulangan 1, 2, dan 3). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara warna kolagen
ulangan 1, 2, dan 3. Menurut Sari (2008), salah satu sifat fisik gelatin adalah tidak
berwarna atau agak berwarna kuning dan transparan.
Warna kolagen yang dihasilkan sudah memenuhi standar mutu warna gelatin
sesuai SNI 06-3735-1995, yaitu tidak berwarna. Jika dibandingkan gelatin komersial
berwarna putih kekuningan, maka kolagen nila merah memperlihatkan warna putih susu
(Gambar 6). Kolagen yang berwarna putih mengindikasikan bahwa proses isolasi
kolagen sudah berlangsung optimal. Menurut Sari (2008), warna gelatin dipengaruhi
oleh bahan baku dan proses pembuatan/ekstraksi. Secara umum warna gelatin tidak
mempengaruhi sifat gelatin dan fungsinya dalam suatu produk, hanya berpengaruh pada
daya tarik produk (Sari, 2008).
2. Bau
Bau asam pada kolagen basah disebabkan penggunaan asam asetat saat isolasi.
Setelah koalgen basah diliofilisasi (freeze-dried) menjadi kolagen kering, hasilnya
mempunyai bau netra dan memenuhi standar SNI 06-3735-1995 dan standar gelatin
komersial, yaitu tidak berbau (netral).
27
Ekstraksi Kulit NilaMerah dengan Asamasetat 0,5 M
Basah Kering
Ulangan 1
70,14% 19,12%
Ulangan 2
53,54% 18,39%
Ulangan 3
Gelatin Komersial
30,15% 17,56%
Gambar 16. Kolagen kulit ikan nila merah dan gelatin komersial
28
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kulit ikan nila merah dapat diisolasi kolagennya secara optimal dengan
perendaman dalam larutan CH3COOH 0,5 M. Ekstraksi kolagen menggunakan
asam asetat 0,5 M yang dilanjutkan dengan purifikasi dan presipitasi dengan
NaCl yang diikuti dengan sentrifusi.
2. Rendemen kolagen hasil salting-out yang dihasilkan berkisar 30,15% - 70,14%.
3. Perendaman dengan asam asetat 0,5 M dan waktu ekstraksi selama 3 hari
menghasilkan jumlah rendemen kering yang tinggi yaitu 17,56-19,12%.
4. Analisi sifat fisik dari kolagen kulit ikan nila merah menunjukkan bahwa
kolagen nila merah memiliki sifat-sifat yang sama dengan standar gelatin SNI
06-3735-1995 dan gelatin komersial yaitu warna putih cerah dan berbau netral.
B. Saran
1. Berdasarkan hasil uji parameter fisik yang diperoleh, kolagen kulit nila merah
secara umum sudah memenuhi standar mutu SNI dan gelatin komersial, namun
perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap gugus fungsi kolagen, viskositas,
mikrobiologi kolagen, swelling (daya kembang), serta aplikasinya.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan enzim protease
seperti enzim papain dalam meningkatkan mutu kolagen.
29
DAFTAR PUSTAKA
Naro Putra A. B., 2010. Isolasi dan Karakterisasi Kolagen Kulit Nila Hitam DenganMetode Asam. Laporan Akhir Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas GadjahMada. Skripsi.
Anonim, 2013. http://www.fsihdb.sinica.edu.tw/.../importpic.asp/id=ZA63 Diakses 25Mei 2013.
Badan Standardisasi Nasional 1995. Standar Nasional Indonesia. 06-3735-1995. Mutudan Cara Uji Gelatin.
Bucheim, J. 2013, A Quick Course in Ichtyology <http:www.marinebiology.org/fish.htm> Diakses 25 Mei 2013
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.Penerjemah Purnomo H. UI press. Jakarta.
Hadiwiyoto, S., 1993. Hasil-hasil Olahan susu, Ikan, Daging, dan Telur. Liberty.Yogyakarta.
Hart H., 1983. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat Edisi Keenam. Penerbit Erlangga.Jakarta.
Ilyas, S, dan Soeparno, 1985. Penelitian dan Pengembangan Limbah Perairan. PusatPenelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Junaidianto, T., 2009. Isolasi dan Karakterisasi Kolagen Kulit Kerapu Macan. FakultasPertanian Universitas Gadjah Mada, Skripsi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan 2011. Kelautan dan Perikanan dalam angka 2011.Jakarta: Pusat data statistik dan informasi sekretariat jenderal kementeriankelautan dan perikanan.
Kittiphattanabawon, P., S. Benjakul, , W. Visessaguan, T. Nagai, & M. Tanaka, 2005.Characterization of acid-soluble collagen from skin and bone of bigeye snapper(Priacanthus tayenus). Food chem. 89: 363 - 372.
Kolodziejska, I., A. Wojtasz-Pajak, G. Ogonowska, dan Z. E. Sikorski, 2000.Deacetylation of Chitin in a Two-stage Chemical and Enzymatic Process. Bul. SeaFisheries Inst., 2 (150): 15-24
Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Mille, D.R.M. Passino, 1977. Ichthyology 2nd ed. JohnWiley and Sons. New York : 59-60.
Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia, Jilid I. Terjemahan Principle ofBiochemistry, oleh Maggy Thenawijaya. Erlangga, Jakarta.
Lehninger, A.L. 1990. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid I. Thenawijaya M, penerjemah.Erlangga, Jakarta. Terjemahan dari: Fundamental of Biochemistry.
Lestari S., 2008. Kumpulan Rumus Kimia SMA. Penerbit: PT. Kawan Pustaka. Jakarta.Muyonga, J.H.,C.G.B Cole & K.G. Duodu, 2004. Characterization of Acid-Soluble
Collagen from Young and Adult Nile Perch (Lates niloticus). Food Chem. 85: 81-89.
Nagai, T. and N Suzuki. 1999. Isolation of collagen from fish waste material–skin, boneand fins. Food Chemistry (68): 277–281.
Nagai, T. and N Suzuki. 2000. Isolation of collagen from fish waste material-skin, bone,and fins. Food Chemistry (68): 277–281.
Nagai, T; E. K. Yamashita, Taniguchi, N. Kanamori, N. Suzuki, 2002. Isolation andcharacterisation of collagen from the outer skin waste material of cuttefish (Sepialycidas). Food Chemistry 72: 425-429.
30
Pisuchpen S., 2007. Shelf life analysis of hot curry cubes. J Asian Food Agro Industry1: 43-50.
Rochdianto, A., 1991. Budidaya Ikan di Jaring Terapung. Penebar Swadaya. Jakarta.Rodwell, V. W. R. K. Murray dan F. W. Keeley, 1995. Protein Kontraktil dan
Struktural dalam Biokimia Harper. Edisi 22. Alih Bahasa oIleh Andry Hartono.Kedokteran EGC. Jakarta.
See, S. F., Hong, P. K., Ng, K. L., Wan Aida, W. M. and Babji, A. S. 2010.Physicochemical properties of gelatins extracted from skin of different freshwaterfish species. International Food Research Journal 17: 809-816.
Steven, 2012. Isolasi dan Karakterisasi Kolagen Larut Asam dari Kulit Ikan LeleDumbo (Clarias gariepinus). Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan danIlmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
Susanto, H. 1987. Budidaya Ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta.Syukri, S. 1999. Kimia Dasar. Jilid I. Bandung: Penerbit ITB.Syukri, S. 1999. Kimia Dasar. Jilid II. Bandung: Penerbit ITB.Tazwir. 2006. Riset optimasi pemanfaatan limbah perikanan tulang dan kulit ikan.
Laporan Teknis Penelitian pengolahan Produk, Balai Besar Riset PengolahanProduk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
Widiarti, A., 2003. Peluang Ekspor Tilapia. http://www.forck.or.id Diakses 21 Maret2013.
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.
31
Lampiran 1. Metode uji proksimat sampel kulit nila merah kering
1. Kadar Air (SNI 01-2354.1-2006)
(a). Kondisikan oven pada suhu yang akan digunakan hingga mencapai kondisi stabil.
(b).Masukkan cawan kosong ke dalam desikator sekitar 30 menit sampai mencapai
suhu ruang dan timbang bobot kosong (A g).
(c). Timbang contoh yang telah dihaluskan sebanyak ± 2 g ke dalam cawan (B g).
(d).Masukkan cawan yang telah diisi dengan contoh ke dalam oven vakum pada suhu
95oC-100oC, dengan tekanan udara tidak lebih dari 100 mmHg selama 5 jam atau
masukkan ke dalam oven tidak vakum pada suhu 105oC selama 16-24 jam.
(e). Pindahkan cawan dengan menggunakan alat penjepit ke dalam desikator selama ±
30 menit kemudian ditimbang (C g).
(f). Lakukan pengujian minimal duplo (dua kali).
(g).Kadar air dihitung dengan rumus:
% Kadar Air =B − C
B − Ax 100%
dengan:A: adalah berat cawan kosong dinyatakan dalam g;B: adalah berat cawan + contoh awal, dinyatakan dalam g;C: adalah berat cawan + contoh kering, dinyatakan dalam g.
2. Kadar Abu (SNI 01-2354.1-2006)
(a). Masukkan cawan abu porselin kosong dalam tungku pengabuan. Suhu dinaikan
secara bertahap sampai mencapai suhu 550oC. Pertahankan pada suhu 550oC ±
5oC selama 1 malam.
(b). Turunkan suhu pengabuan menjadi sekitar 40oC, keluarka cawan abu porselin dan
dinginkan dalam desikator selam 30 menit kemudian timbang berat cawan abu
porselin kosong (A g).
(c). Kedalam cawan abu porselin masukan 2 g contoh yang telah dihomogenkan
kemudian masukkan ke dalam oven pada suhu 100oC selama 24 jam.
(d). Pindahkan cawan abu porselen ke tungku pengabuan dan naikkan temperatur
secara bertahap sampai suhu mencapai 550oC ± 5oC. Pertahankan selama 8
jam/semalam sampai diperoleh abu berwarna putih.
(e). Setelah selesai, tungku pengabuan diturunkan suhunya menjadi sekitar 40oC,
keluarkan cawan porselin dengan menggunakan penjepit dan masukkan ke dalam
32
desikator selama 30 menit. Bila abu belum putih benar harus dilakukan pengabuan
kembali.
(f). Basahi abu (lembabkan) abu dengan aquades secara perlahan, keringkan pada hot
plate dan abukan kembali pada suhu 550oC sampai berat konstan.
(g). Turunkan suhu pengabuan menjadi ± 40oC lalu pindahkan cawan abu porselin
dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang beratnya (B g) segera
setelah dingin.
(h). Lakukan pengujian minimal duplo (dua kali).
(i). Kadar abu dihitung dengan rumus:
% Kadar Abu =B − A
Berat contoh (g)X 100%
dengan:A: adalah berat cawan porselin, dinyatakan dalam g.B: adalah berat cawan dengan abu, dinyatakan dalam g.
3. Kadar Lemak Total (SNI 01-2354.1-2006)
(a). Timbang labu alas bulat kosong.
(b). Timbang seksama 2 g homogenat contoh (B gr) masukan dalam selngsong lemak.
(c). Masukan berturut-turut 150 ml Chloroform ke dalam labu alas bulat, selongsong
lemak ke dalam extractor soxhlet, dan pasang rangkaian soxhlet dengan benar.
(d). Lakukan ekstraksi pada suhu 60oC selama 8 jam.
(e). Evaporasi campuran lemak dan chloroform dalam labu alas bulat sampai kering.
(f). Masukkan labu alas bulat yang berisi lemak ke dalam oven suhu 105oC selama ±
2 jam untuk menghilangkan sisa chloroform dan uap air.
(g). Dinginkan labu dan lemak di dalam desikator selama 30 menit.
(h). Timbang berat labu alas bulat yang berisi lemak (C g) sampai berat konstan.
(i). Kerjakan pengujian minimal duplo (dua kali).
(j). Kadar lemak total dihitung dengan rumus:
dengan:A: Berat labu alas bulat kosong (g)B: Berat contoh (g)C: Berat labu alas bulat dan lemak hasil ekstraksi (g)
33
4. Kadar Protein (SNI 01-2354.1-2006)
(a). Masukkan contoh tulang sebanyak 0.02-0.05 gram kedalam labu Kjeldahl 100 ml.
(b). Tambah 2-3 gram katalis (1,2 gram Na2SO4 dan 1 gram CuSO4) serta2-3 ml
H2SO4 pekat.
(c). Destruksi hingga larutan menjadi jernih.
(d). Contoh tulang didinginkan kemudian didestilasi dan ditambah 35 ml aquades
serta10 ml NaOH 50%.
(e). Ditampung dalam erlenmeyer berisi 5 ml H3BO3 dan indikator metil merah dan
metil biru kemudian dititrasi dengan HCl 0.02N.
(f). Kadar protein dihitung dengan rumus:
Kadar Nitrogen (%) =
Protein Kasars (%) =