Eklesiologi Asia
-
Upload
valen-jebagu -
Category
Documents
-
view
329 -
download
21
Transcript of Eklesiologi Asia
TEMA: GEREJA-GEREJA SETEMPAT DI ASIA DAN TUGAS-TUGAS
MISI: INKULTURASI
1 Catatan Pengantar
Eklesiologi Asia bagi saya adalah sesuatu yang masih gamang. Kegamangan itu
sangat terasakan dalam rancang bangun diskusi yang kerap bias (saya tidak mengerti
persoalan). Lebih para lagi betapa sulitnya saya mengerti dan memahami sumber
rujukan beserta isi dokumen sebagai salah satu sumber kajian. Berangkat dari
kebodohan saya seperti itu ijinkanlah saya mengajukan pertanyaan apa, mengapa,
bagaimana, dan kemana arah eklesiologi Asia? (matakuliah eklesiolgi Asia ini).
Pertanyaan ini wajar saya kemukakan untuk menjawabi ketidaktahuan dan sekaligus
menyudahi segala bentuk kebodohan/kebingungan saya dalam memahami kuliah ini.
Bagi saya kiat-kiat untuk menemukan jawaban dan merekam jejak roh eklesiologi
Asia menjadi hal yang imperatif dan urgen dilakukan demi terbangunya suatu
pemahan yang memadai. Namun sayangnya hal ini masih jauh panggang dari api.
Maka dari hati yang tulus saya harus mengatakan bahwa minimnya pengetahuan saya
tentang ekkesiologi Asia menjadi alasan logis, dan masuk akal yang menyebabkan
mobilitas diskusi kita nanti menjadi “ngawur” dan kurang dinamikanya. Namun saya
percaya melalui diskusi yang elegan, santun, dan ilmiah menjadi momentum untuk
memperkaya wawasan dan pengetahuan, pemahaman satu sama lain dalam ber-
Gereja, berteologi dan berpastoral kita meski dengan kondisi serba terbatas. Tema
kita sekarang adalah Gereja-Gereja Setempat di Asia dan Tugas-Tugas Misi:
Inkulturasi. Dari tema ini saya bagi ke dalam empat bagian dengan struktur dan
dinamika proses sebagai berikut pertama: sepintas tentang faktualita Gereja di Asia,
kedua: urgensitas misi di Asia, ketiga: Inkulturasi (gagasan perlunya inkulturasi,
dasar, arti, proses, sikap-sikap, dan titik tolak keberhasilan inkulturasi), keempat:
1
aplikasinya; sebuah imperatif berteologi dan berpastoral di indonesia, relevansinya
bagi berpastoral kita di tengah umat, dan simpulan.
2. Sepintas tentang Faktualita Gereja di Asia
Suatu fakta yang bisa kita cermati di Asia dewasa ini adalah Gereja katolik
hampir ada di setiap negara. Seperti di Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, Birma,
Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia, Filipina, Vietnam, Hongkong,
Makao, Taiwan, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang. Meskipun demikian secarah
kwantitatif orang-orang katolik di Asia relatif kecil hanya 2,48% dari jumlah
penduduk Asia yang berjumlah 2. 796.136.0001. Di Asia yang memiliki jumlah
terbanyak orang katolik yang sangat hidup dan aktif adalah banyak menyebar seperti
di Indonesia, Korea Selatan, Sri Lanka, Hongkong, India, Vietnam, dan hanya
Filipina yang penduduknya mayoritas katolik.2 Selain fakta itu Pieris juga
menggambarkan bahwa pengutusan Gereja lokal dari Asia adalah pengutusan bagi
kaum miskin. Inilah wajah Gereja lokal dari Asia yaitu Gereja miskin yang bekerja
sama dengan kaum miskin, Gereja yang sudah diinjili, Gereja yang telah menjadi
kabar bagi orang-orang Asia dan Gereja yang memandang kemajemukan agama
menjadi rekan-rekan seperjuangan dalam pengutusan bersama. Gereja adalah
kawanan kecil, minoritas di Asia3.
Gereja setempat/lokal dalam arti yang yang paling tepat adalah sebuah keuskupan
yang istilah lainya adalah Gereja partikular.4 Namun dalam kaitanya dengan
pembicaraan kita sekarang ditegaskan dalam arti sebaliknya yaitu Gereja dari suatu
bangsa. Yang di definisikan sebagai berikut: Gereja setempat ialah Gereja yang
berinkarnasi dalam suatu bangsa secara konkrit itu berati Gereja dalam dialog terus
menerus, dalam kerendahan hati dan penuh kasih dengan kenyataan hidup bangsa,
1 Francis, X. Clark SJ, Gereja Katolik di Asia, terj. Yosef Maria Florisan, Maumere: LPBAJ, 2001, hlm. 27-28.2 Ibid. hal. 28.3 Aloysius, Pieris, S.J, Bertologi dalam Konteks, terj. Agus Hardjana, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 68-69.4 Dr. Georg, Kirchberger (ed), Gereja Berwajah Asia, Ende: Nusa Indah, 1995, hlm. 24-25.
2
tempat Gereja berakar secara mendalam, dan yang sejarahnya maupun kehidupanya
dengan gembira diakui oleh Gereja sebagai riwayat dan hidupnya sendiri. Gereja
mencoba ikut mengalami apa saja yang sungguh dialami oleh bangsa itu: makna-
makna dan nilai-nilainya, aspirasi-aspirasinya dan gagasan-gagasanya serta
bahasanya, lagu-lagu dan kesenianya. Bahkan Gereja mengenakan kerapuhan-
kerapuhan dan kegagalan-kegagalanya juga, supaya semua itu pun disembuhkan.
Sebab memang begitulah Putra Allah mengenakan seluruh kondisi manusiawi kita
yang telah jatu (tanpa tercemar oleh dosa), sehingga Ia sungguh menjadikan
kondisiNya sendiri, dan menebusnya dalam misteri PaskahNya.5 Uskup-Uskup Asia
melukiskan Gereja lokal sebagai Gereja yang menjelma ke dalam suatu bangsa, satu
Gereja pribumi , dan terinkulturasi.6 Sedangkan Ad Gentes melukiskan Gereja lokal
sebagai Gereja yang muncul dari dari pertemuan Sabda Allah dengan kebudayaan dan
tradisi bangsa-bangsa dan menggarisbawahi keharusan pelaksanaan inkulturasi dalam
berbagai bidang kehidupan kristianani dan misi (AG 19-22).7
Dewasa ini Gereja-Gereja Asia bergelut dengan tiga soal mendasar yaitu
realitas kemiskinan, pluralisme agama, dan inkulturasi. Dan sejak awal berdirinya
FABC, telah menyadari sebagai isu-isu aktual dan agenda besar di Asia. Clark
menegaskan ada tiga tugas khusus Gereja-Gereja di Asia terbilang sangat urgen yaitu
Gereja bersama-sama dengan dengan agama-agama Asia dalam dialog, berada
bersama-sama dengan kebudayaan-kebudayaan Asia dalam inkulturasi, berada
bersama-sama dengan kaum miskin guna mencapai martabat manusia.8 Tiga agenda
besar tersebut menjadi lokus teologi dan pastoral Gereja-Gereja Asia dewasa ini.
Artinya berteologi dan bespastoral kita di Asia dewasa ini bertitik tolak dari tiga
realitas tersebut.
3.Urgensitas Misi di Asia
5 Francis, X. Clark SJ, op.cit, hlm. 47.6 Dr. Georg, Kirchberger (ed), op.cit, hlm. 36.7 Ibid, hlm. 37.8 Francis, X. Clark SJ, op.cit, hlm. 45-46.
3
Seiring dengan situasi Asia yang telah dipaparkan dimuka tadi kini giliranya
kita bertanya apa yang dapat dilakukan atas situasi semacam itu? Jawabanya adalah
Gereja harus bermisi. Apa misi Gereja sebenarnya? Dan bagaimana secarah
konkritnya Gereja bermisi? Inilah yang akan di dalami dalam bagian ini. Misi
sebenarnya berarti mengutus.9 Jelas bahwa mengutus selalu ada siapa yang mengutus
dan apa tugas perutusanya. Penginjil Matius menjelaskan bahwa Yesus Sang
pengutus memberi tugas kepada para murid untuk menjadi semua bangsa murid-
muridNya (Mat 28:19-20). Demikian juga dalam Injil markus “pergilah ke seluruh
dunia, beritakalah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15). Dan inilah misi para
rasul untuk mewartakan Inji kepada seluruh umat manusia. Misi Gereja adalah
melanjutkan misi para rasul untuk mewartakan Injil keseluruh dunia. Artinya misi
Gereja adalah misi Allah sendiri. Konsili Vatikan II dalam Dekrit Kegiatan Misioner
Gereja mengatkan bahwa Gereja sebagai terang dan garam dunia kini dipanggil untuk
memperbaharui seluruh ciptaan, supaya segala sesuatu diperbahurui di dalam Kristus
dan supaya dalam Dia, orang-orang merupakan satu keluarga dan satu umat Allah
(bdk. AG, 1).
Kurt Piskaty memetakan moti-motif misi Gereja10 sebagai berikut pertama:
misi Gereja adalah misi Allah, kedua: misi berarti menseringkan iman akan Yesus
Kristus, ketiga: menjadikan Kerajaan Allah sebagai realits di dunia, keempat:
menjadikan Gereja sebagai sakramen keselamatan, kelima: epifani kehadiran Kristus
yang menyelamatkan di antara segala bangsa, keenam: sebuah syadat di dalam doa,
pengurbanan diri, perayaan sakramental, ketujuh: undangan untuk berperan serta
secara sadar dan penuh dalam karya keselamatan Kristus, kedelapan: sebuah harapan
bagi kaum miskin dan tertindas, kesembilan: sebuah sarana untuk membangun
persekutuan, dan kesepuluh: mengindahkan hak segala orang untuk mengenal
Kristus. Persoalanya bagaimana Gereja harus mewujudkan semua hal itu, lebih-lebih
9 Emanuel, Gerrit Singgih, Ph.D, Berteologi dalam Konteks, Kanisius: Yogyakarta, 2000, hlm. 161. 10 Kurt. Piskaty, “Motif-Motif Karya Misioner Kristen”, dalam Kirchberger Georg (ed), Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. 11-30.
4
di Asia yang beraneka ragam agamanya? Hanya ada tiga kata kunci untuk mengerti
dan menjawabi hal ini dalam bermisi di Asia yaitu pilihan mendahulukan kaum
miskin, berdialog dengan agama-agama, dan berinkulturasi.
Misi dan Penyebaran Gereja ke Asia tidak terlepas dari pengaruh misi
misionaris-misionaris Eropa. Sehingga sejak awal Gereja-Gereja di Asia mengenal
dan mengimani Kistus dalam konteks budaya orang lain. Para misionaris Eropa telah
sekian lamanya bermisi ke Asia dengan mengusung atribut budaya mereka sendiri
dalam mewartakan Injil. Ada kesan kuat misi Eropa ke Asia menyebabkan
termarginalisasinya budaya-budaya di Asia dan membunuh identitas keasiaan kita.11
Usaha untuk bangkit dan menemukan jati diri Gereja-Gereja Asia menjadi perkara
yang tidak mudah bagi misi Gereja di Asia dewasa ini.12 Inilah yang kemudian
menjadi isu-isu penting dalam misi di Asia kontemporer yakni bagaimana
menjadikan Injil menjadi tuan di negerinya sendiri, bukan sebagai orang asing
sebagaimana yang telah berlangsung lama.13
Usaha untuk menjadikan Injil menjadi tuan di negerinya sendiri kita namakan
dengan sebutan inkulturasi. Ada dua hal yang sangat penting dalam misi Gereja di
Asia...adalah dialog dan inkluturasi (dialog dengan orang miskin & agama).14
Dengan demikian inkulturasi merupakan hal konstitutif dan urgen bagi misi Gereja
lokal di Asia dewasa ini. Sejalan dengan semangat inkulturasi yang demikian kuatnya
saya mengutip ringkasan pendapat Kardinal Jaimen zin dalam Clark “Kalau Gereja
diinkulturasikan di dalam bangsa Asia, di dalam kebudayaan mereka, di dalam diri
kaum muda mereka, di dalam kemisikinan mereka, di dalam tindakan mereka, di
dalam spirituaslirtas mereka, saya melihat suatu masa depan yang cerah bagi agama
katolik di Asia”15. Dengan inkulturasi Gereja-Gereja Asia menjadi beta dengan
11 Dr. Georg, Kirchberger (ed), op.cit. hlm. 50, 87-88, 106-108.12 Dokumen Sidang- Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991, terj. R. Hardowiryono, 1995, Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, hlm. 231.13 Francis, X. Clark SJ, op.cit, hlm. 51.14 Dr. Georg, Kirchberger (ed), op.cit. hlm. 46-47.15 Francis, X. Clark SJ, op.cit, hlm. 178-179.
5
kebudayaan mereka sendiri dan memadukan secara utuh iman dan kebudayaan
mereka.16 Pernyataan Jaimen Zin itu menegaskan bahwa Asia menjadi sedemikian
pentingnya untuk pewartaan Injil. Sejalan dengan penegasan itu kita juga
menyaksikan kenyaataan dulu di Asia menginport para misionaris Eropa sekarang
sebaliknya kita mengutus para misionaris Asia ke kawasan-kawasan lain di Asia dan
seluruh dunia.
Oleh Karena itu Gereja-Gereja lokal di Asia baik secara bersama-sama
maupun masing-masing menjadi sangat strategis bagi masa depan Gereja di Asia dan
dunia. Karena Gereja di Eropa sudah dilemahkan dengan sekularisme. Fakta-fakta
semacam ini tentu menjadi kebanggaan di satu pihak dan tantangan di lain pihak.
Mengapa karena Gereja-Gereja lokal Asia harus menjadi diri mereka sendiri. Proses
menjadi diri sendiri kita bahas berikutnya dalam poin inkultursi.
4. Apa itu Inkultuarsi?
4.1 Dasar Pemikiran Perlunya Inkulturasi
Inkulturasi merupakan sebuah tema yang sangat luas dan menyangkut macam-
macam unsur dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pembahasan kita dalam
tema ini membatasi diri untuk membahas latar belakang, inkarnasi sebagai dasar
inkulturasi, dasar, pengertian, proses, sikap-sikap, dan titik tolak keberhasilan
inkulturasi. Teologi-teologi dan tradisi yang diwarisi dari Gereja-Gereja tua Eropa
tidak begitu cocok lagi dengan kebudayaan yang berbeda di luar Eropa/di Asia.17
Paus Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Redemptoris Missio mengutip pernyataan
terkenal dari Paus Paulus VII: “Jurang pemisah antara Injil dan Budaya tak diragukan
lagi merupakan skandal masa kini.” Skandal tersebut, bagi Paus Paulus VI, tidak saja
memberi pengaruh negatip bagi kebudayaan, namun juga bagi pewartaan Injil.18
Karena itu di kalangan Gereja Katolik Roma mulai dirasakan kebutuhan untuk
16 Ibid.17 E. Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi: Makna, sejarah, dan Teologi Liturgi, Kanisius: Yogyakarta, 1999, hlm. 80.18 Dr. Georg. Kirchberger (ed), op.cit. hlm. 94.
6
menyesuaikan refleksi teologis dengan kebudayaan setempat. Hal ini telah mendapat
dukungan resmi dalam Konsili Vatikan II. Dalam Dekrit tentang Kegiatan Misi
Gereja, Ad Gentes, adaptasi mendapat persetujuan yang tegas. Dalam Ensiklik
Redemptoris Misio, Paus Yohanes Paulus II, mengatakan: “Melalui inkulturasi,
Gereja menjelmakan injil dalam budaya yang berbeda-beda dan serentak membawa
masuk bangsa-bangsa bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam persekutuan
Gereja sendiri”(RM 52)
Dengan kata lain mulai saat itu Gereja resmi menggunakan cara inkulturasi
sebagai cara penyebaran Injil.Dalam proses inkulturasi yang berjalan baik tidak akan
terdapat lagi usaha hanya sebatas terjemahan teologi Gereja Barat/universal ke
dalam teologi lokal, tetapi akan berusaha untuk menemukan teologinya sendiri yang
digali dari kebudayaannya. Dengan demikian melalui inkulturasi kita akan
menemukan Tuhan/Kristus dalam kebudayaan kita sendiri serta berbagai bentuk dan
cara menyembah Allah. Sejalan dengan Perintah Yesus untuk mewartakan Injil ke
seluruh dunia seperti yang telah diuraikan di atas tidaklah gampang. Pewartaan
semacam itu menuntut kemampuan mereka yang di utus untuk mengerti budaya-
budaya setempat dimana Injil itu diwartakan, sebab jika tidak selain adanya konfllik,
lebih dari sekedar itu adalah Injil tidak akan menyapa para pendengarnya, Injil
menjadi jauh panggang dari api. Menghindari hal semacam itu maka dirasa perlu dan
mendesak supaya Gereja melakukan terobosan-terobosan baru demi menghindari
resiko tadi. Terobosan itu kemudian kita kenal dengan sebutan inkulturasi dalam
Gereja dewasa ini.
4.2 Inkarnasi: Dasar/Model Inkulturasi
Secara teologis Inkarnasi menjadi dasar inkulturasi dalam Gereja.19 Dengan
menggunakan ungkapan St, Yohanes: “Sabda telah menjadi daging” (Yoh 1: 14).
Gereja menggunakan istilah “inkarnasi” untuk peristiwa Putera Allah mengambil
kodrat manusiawi, supaya dengan demikian dapat melaksanakan keselamatan kita.
19 E. Martasudjita, Pr, op.cit. hlm. 81.
7
Peristiwa penjelmaan Yesus menjadi manusia menandakan bahwa Yesus sungguh
masuk dalam sejarah umat manusia. Sebagaimana Yesus adalah orang yahudi yang
terikat pada adat, bahasa, budaya, pola pikir yahudi. Demikian hendaknya Injil harus
disampaikan dan dijelmakan dalam adat, budaya, bahasa, dan pola pikir manusia.20
Inkarnasi seperti yang dijelaskan secara sangat singkat di atas adalah model
inkulturasi. Konsili Vaikan II (1962-1965) mengajarkan bahwa Injil tidak menjadikan
salah satu kebudayaan normatif, melainkan harus dijelmakan dalam setiap
kebudayaan demi penyelamatan seluruh umat manusia (LG 13; 17; 23; GS 39; 55;
58; AG 9-11; 21-22).
Sejalan dengan pengertian inkarnasi dan inkulturasi seperti yang disampaikan di
atas, maka sebagaimana melalui inkarnasiYesus menjadi manusia secara utuh dan
tetap Allah secara utuh pula demikan juga melalui inkulturasi Injil sesuai ajaran
Yesus Kristus harus masuk secara utuh ke dalam kebudayaan sampai ke akarnya.
Dengan demikian melalui inkulturasi yang menembus seluruh lapisan kebudayaan
sampai ke lapisan yang paling dalam akan menjadikan Injil, iman dan nilai-nilai
Kristiani akan menjadi satu dengan iman dan nilai-nilai budaya yang sudah sesuai
dengan iman dan nilai-nilai Kristiani. Hanya dengan ini satu-satunya pembentuk jati
diri kita ialah iman dan nilai-nilai Kristiani dan inilah yang dipakai sebagai pedoman
yang menuntun pola pikir, pola sikap, pola tingkah laku dan pola tindak kita sebagai
orang Katolik. Proses pengintegrasian antara iman, nilai-nilai Kristen dengan iman
dan nilai-nilai budaya akan kita bahas lebih lanjut dalam pokok tentang proses
Inkulturasi.
4.3. Pengertian Inkulturasi.
Mengingat pembicaraan tentang inkulturasi sedemikian luasnya, karena
pemahaman tentang inkultursi menjadi tanggung jawab dari berbagai disiplin ilmu.21
20 Ibid. hlm. 82.21 Ibid. hlm. 79.
8
Oleh karena itu saya hanya membatasinya pada rana antropologis, teologis, dan
dokumen Gereja. Seorang antropologi bernama Anton Quak, mendefinisikan
inkulturasi sebagai, “integrasi pengalaman Kristen dari satu Gereja lokal ke dalam
kebudayaan umatnya”22 Sedangkan seorang teolog, A. Shorter, mendefinisikan
inkulturasi sebagai, “diaolog berlanjut antara iman dan kebudayaan, ada hubungan
yang kreatif dan dinamis antara warta kristen dan kebudayaan dan antara kebudayaan
dengan kebudayaan yang lainya”23. Lebih lanjut seorang teolog, Anscar J.
Chupungco, mendefinisikan inkulturasi sebagai, “suatu proses asimilasi resiprok
antara iman Kristen dan kebudayaan yang menghasilkan suatau transforamasi budaya
lokal di satu pihak dan pengakaran iman Kristen ke dalam budaya di pihak lain”24.
Dalam Redemptoris Missio Paus Yohanes Paulus II mengartikan “Inkulturasi sebagai
sarana transformasi nilai-nilai budaya otentik melalui integrasinya dengan
Kristianittas dan pemaduan integral Kristianitas dalam realitas kebudayaan
manusiawi setempat”. Atau “inkulturasi berarti suatu transformasi nilai-nilai
kebudayaan otentik secara mendalam melalui poroses integrasi mereka ke dalam
kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam pelbagai kebudayaan umat
manusia” ( RM 52). Sedangkan menurut Prier inkulturasi adalah “suatu proses yang
berlangsung terus menerus dimana Injil diungkapkan dalam seluruh aspek kehidupan
sedemikian rupa hingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur-unsur tersebut,
tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah (bersatu dan sejalan) dengan
budaya tersebut; sekaligus budaya tersebut memperkaya budaya Gerejani”25
Bila merujuk dari beberapa pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa
melalui inkultursi Gereja mengingkarnasikan injil dalam kebudayaan yang berbeda-
22 Fr. Hyrro, Bandur, “Inkulturasi: Sebuah Golden Mid untuk Transformasi Budaya”, dalam Biduk, edisi I, thn. XXXIV, Majalah Seminari Tinggi Ritapiret, 1998, hlm. 73.23 Yanuarius Seran, Pr, M. Hum, Pengembangan Komunitass Basis: Cara Baru Menggereja dalam Rangka Evangelisasi Baru,Yayasan Pustaka Nusantara, 2007, hlm. 74.24 Fr. Hyrro, Bandur, op.cit, hlm. 73.
25 Sriti Mayang Sari, ”Wujud Budaya Jawa sebagai unsur Inkulturasi Interior Gereja Katolik”, http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/request.php?PublishedID=INT07050105 . Tanggal akses : 10 Maret 2010.
9
beda, dan dalam waktu yang sama memperkenalkan umat bersama dengan budaya-
budayanya. Atau dengan kata lain inklutrasi adalah integrasi pengalaman Kristen dari
satu Gereja lokal ke dalam kehidupan umatnya sedemikian sehingga pengalaman itu
tidak hanya menyatakan dirinya dalam unusur-unsur kebudayaan tersebut tetapi
menjadi satu kekuatan yang menjiwai, menggairahkan, dan membaharui kebudayaan.
Dengan demikian Inkulturasi merupakan cara yang paling efektif bagi Gereja untuk
menyebarkan ajarannya. Inkulturasi dilakukan dengan tujuan agar ajaran Gereja
mudah dipahami melalui budaya-budaya kita sendiri. Jadi, kita tidak perlu bersusah
payah memahami ajaran Gereja melalui budaya asal Gereja tetapi melalui budaya kita
sendiri.
4.4 Proses Inkulturasi26:
Redemtoris Missio menjelaskan “proses inkulturasi adalah suatu proses yang
mendalam dan menyeluruh, yang mencakup pesan kristen dan juga refleksi serta
praktek Gereja. Tetapi pada saat yang sama porses ini merupakan proses yang sulit,
oleh karena itu harus sama sekali tidak boleh membahayakan kekhususan dan
keutuhan iman kristen” (Rm 52), meski proses inkulturasi itu dikatakan sulit namun
hal yang paling penting dalam prosesnya adalah Gereja menyampaikan nilai-nilainya
sendiri kepada mereka; serentak pada saat yang sama Gereja mengambil unsur-unsur
yang baik yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan itu serta memperbaharui dari
dalam.27 Proses dimaknai sebagai pengintegrasian suatu kebudayaan ke dalam
kebudayaan lainnya sehingga tidak terpisahkan lagi, tetapi merupakan satu kesatuan.
Kita akan melihat proses inkulturasi sbb: Pertama: Inkulturasi tidak hanya sekedar
penyesuaian agama Kristen dengan tradisi tertentu, melainkan penjelmaan Injil dalam
Gereja setempat. Dengan demikian Injil menjadi daya kekuatan yang mengilhami,
membentuk, dan mengubah atau semacam mentransformasikan keadaan tersebut.
26 Dokumen Sidang- Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991, edisi No. I terj. R. Hardowiryono, 1995, Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, hlm. 230-231.27Mgr.Dr.A.M Sutrisnaatmaka, “Budaya Kristiani, Budaya Indonesia dan Suku-Suku”, 2006, Dialog antara Iman dan Budaya, 2006, Komisi Teologi: Konferensi WaliGereja Indonesia, hlm. 108-109.
10
Proses itu bisa diawali dengan merefleksi pengalaman dan mempelajari kebudayaan,
secara khusus semua unsur kebudayaan. Kedua: Adanya diaolog antara amanat Injil
dan kenyataan tertentu. Dalam dialog itu memungkinkan terjadinya semacam
transformasi nilai-nilai kebudayaan dan pengintegrasian secara utuh nilai-nilai
Kristiani dan nilai-nilai kebudayaan yang sudah ditransformasikan itu sehingga
benar-benar menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Dalam tahap ini
unsur pembentuk “jati diri” kita hanya satu yaitu iman dan nilai-nilai Kristiani yang
sudah disatukan secara utuh dengan nilai-nilai budaya yang sudah ditranformasikan.
Inilah yang akan menjadi pedoman dalam pola pikir, pola sikap, pola tingkah laku
dan pola tindak dari kita sebagai orang Katolik. Melalui diaolog tersebut dapat
diketahui apakah nilai-nilai kebudayaan itu sejalan dengan nilai-nilai Kristiani agar
tetap dipertahankan; atau apakah nilai-nilai kebudayaan itu masih perlu dimurnikan
karena masih ada keraguan ataukah harus ditolak karena memang bertentangan
dengan nilai-nilai Kristiani. Ketiga: Menggali benih-benih sabda yang tersembunyi
dalam kebudayaan-kebudayaan dan tradisi tertentu. Semua unsur kebudayaan digali,
dipelajari secara teliti dan mendalam agar dapat mengetahui dan memahami dengan
baik nilai-nilai yang terpancar dan yang masih tersembunyi dalam setiap unsur
kebudayaan. Sehingga terjadi semacam hubungan timbal balik yang saling
memperkaya. Dimana di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara nilai-nilai
injil dengan budaya setempat. Dengan demikian budaya yang ada dapat memperkaya
budaya Gereja dan ajaran Gereja dapat terus diungkapkan pada lingkungan budaya
sekitarnya selama makna yang diintegrasikan bersatu dan sejalan. Keempat:
Kebudayaan baru harus mengalami wafat dan bangkit artinya tidak semua budaya
dapat begitu saja digunakan untuk mengungkapkan dan mewartakan Injil, maka
terlebih dahulu harus ditebus atau dimurnikan. Atau semacam mendapat pembenaran
kalau kebudayaan setempat sejalan dengan amanat Injil; atau untuk mendapat
pemurnian kalau masih ada keraguan atau penolakan kalau memang bertentangan
dengan amanat Injil.
11
4.5 Sikap-sikap terhadap Inkulturasi28.
Proses inkultursi akan dihambat oleh sikap-sikap berikut ini: Sikap pertama:
Superioritas, sikap yang seakan inkultursi tidak relevan, tidak penting dan tidak
berguna karena tidak mempunyai kontribusi bagi agama kristiani. Sikap kedua:
Inkulturasi absurt sebab dapat membahayakan kesatuan gereja dan menimbulkan
pluralisme yang merugikan isi pewahyuan. Sikap ketiga: instan dan tergesa-gesa
mau menikmati hasil tetapi tidak dibarengi dengan persiapan yang memadai. Yang
pada giliranya hasilnya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sikap keempat: Sikap
etnosentrisme, seorang disebut sebagai etnosentris apabila ia mengecam segala
sesuatu yang ada dalam kebudayaan baru itu, dan menganggap segala prilaku budaya
di tempat itu lebih rendah daripada apa yang dimilikinya sendiri. Sikap kelima:
Sikap sok asli pribumi, dimana ia menerima segala sesuatu yang ada dalam
kebudayaan yang baru tanpa melalui suatu penilain kritis. Sikap pertama, kedua, dan
ketiga lebih teologis, sedangkan ketiga dan keempat antropologis.
4.5Titik Tolak Keberhasilan Inkulturasi29.
Keberhasilan inkultursi sangat ditentukan oleh sikap-sikap: Sikap pertama:
Melibatkan diri dalam seluruh proses inkulturasi yang dinyatakan melalui kesediaan
mendengarkan dan percaya akan bimbingan Roh Kudus. Sikap kedua: menerima
kemajemukan sebagai khzanah dalam mewartakan Injil. Sikap ketiga: Perlunya kerja
sama yang baik dari berbagai pihak dalam mewujudkan masa depan dan kenyataan
yang baru. Sikap keempat:Dibutuhkan kesabaran dan uji coba terus menerus supaya
membuahkan hasil yang baik. Sikap kelima: Yakin bahwa Roh Tuhan selalu
membimbing dan menuntun kita dalam proses itu.
5. Inkulturasi Sebuah Imperatif Berteologi dan Berpastoral Kita di
Indonesia
28 Dokumen Sidang- Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991, op.cit. hlm. 231.29 Ibid.
12
Dalam konteks Indonesia, titik tolak inkulturasi perlu ditempatkan dalam
kerangka pluralitas agama dan kemiskinan. Di Indonsia umat katolik hanya 3%30
merupakan agama minoritas di tengah masyarakat yang memeluk agama Islam dan
kemiskinan. Tiga agenda besar di Asia di atas tadi hendaknya menjadi agenda teologi
dan pastoral kita di indonesia. Tiga agenda besar ini menjadi lokus teologi dan
pastoral Gereja-Geraja indonesia dewasa ini. Artinya berteologi dan bespastoral kita
di Indonesia harus bertitik tolak dari kenyataan semacam itu. Pertanyaanya mana
yang diprioritaskan? Beberapa hal berikut dapat membantu kita menjawabi soal ini:
Pertama: berpihak pada kaum miskin.
Misi Gereja katolik tidak dapat terpisahkan dari option with the poor. Gereja
kita adalah Gereja yang berpihak pada visi utama yaitu kaum miskin. Untuk itu
sangat diperlukan kerja sama dari stakeholders sedapat mungkin dalam menekan dan
mengentaskan fakta kemiskinan di indonesia. Oleh karena itu penanganan problem
kemiskinan hanya dapat berlangsung dengan tepat jika dilakukan dalam konteks
dialog dengan agama-agama lain. Kemiskinan dan pemiskinan hadir secara nyata.
Namun sangat sedikit para petugas pastoral mencanangkan sebuah gerakan
kemanusiaan yang erat dan akrab dengan kaum miskin. Para petugas pastoral berada
jauh dari konteks, kurang membaca situasi dan kondisi masyarakat. Ada jurang
pemisah antara petugas pastoral dan masyarakat. Dan inilah yang kita sebut sebagai
sebuah musibah pastoral yang paling parah. Berpihak pada kaum miskin berarti ikut
merasakan, berjuang bersama-sama orang-orang miskin sebagai fokus pastoral kita.
Kedua: mampu berdialog dengan agama-agama.
Dialog adalah hakekat dari sebuah agama dan agama masa depan adalah
agama-agama yang mampu berdialog. Tanpa dialog maka agama akan kehilangan
maknanya. Dalam dialog kita akan nampak unik dan keunikan yang akan kita
30Dr. Piet, Go, “Pastoral New Age”, dalam Valentinus & Yustinus (eds) Mereguk Air Hidup: Beriman dalam Era New Age, edisi 18, vol. 19, STFT Widaya Sasana Malang, 2009, hlm. 179.
13
tawarkan itu tidak bisa tanpa orang lain. Keunikan dalam segala nuansanya tidak
dapat dirumuskan lewat ekslusif melainkan lewat relasi. Dalam dialog kita akan sadar
sungguh-sungguh bahwa eksistensi yang ada di dunia ini bukanlah eksistensi kita saja
melainkan berada dalam eksistensi dan ada-ada yang lain. Dalam dialog identitas kita
adalah sebuah jati diri yang utuh, terbuka dan profetis. Dalam dialog seperti itu kita
menghayati iman kita, membuang prasangka-prasangka cultural dan teologis
mengenai agama lain, kita dapat berpikir streotip mengenai kelompok lain, kita
menghayati sebuah pendekatan positif. Petugas pastoral dewasa ini harus mampu
meninggalkan paradigma pastoral lama dan merangkul paradigma pastoral yang baru.
Ketiga: membangun budaya.
Untuk membuat kesaksian injili berbunyi dan mengena diperlu dialog
dengan budaya yang berbeda. Melalui dialog dapat diidentifikasi manakah hal-hal
dari budaya masyarakat itu yang menghambat dan manakah yang mendukung
perubahan menuju keadilan sosial bagi semua orang. Untuk selanjutnya mengurang
atau menghilangkan hal-hal yang menghambat dan mengembangkan yang
mendukung. Sikap dasar ini adalah pilihan bagi petugas pastoral dewasa ini. Petugas
pastoral adalah pejuang, activist, bukan penadah-penadah pasif. Petugas pastoral
adalah nabi yang berbicara dengan data-data yang dapat dipertanggung jawabkan.
Disinilah daya pikat petugas pastoral dewasa ini tahan banting, dan terlibat dalam
gerakan-gerakan kemanusiaan. Karena Mencintai orang miskin berarti mencintai
budaya mereka sebagai orang miskin. Maka inkulturasi tidak lagi sebatas dipahami
sebagai suatu kreativitas seni budaya yang ditempelkan dalam suatu Perayaan Liturgi
atau inkulturasi dalam suatu tataran sempit, suatu ekspresi manusiawi yang
ditampilkan dalam suatu visualisasi budaya tertentu. Misalnya, para imam memakai
pakaian adat budaya tertentu ataupun memasukkan tari-tarian daerah yang mengantar
masuk bahan-bahan persembahan, dan lain lain.
14
6. Relevansi Gereja Asia bagi Pastoral Kita di tengah Umat
Gereja Katolik masuk di indonesia sejak abad 19.31 Dalam kurun usia ini
diharapkan iman Kristiani sudah berakar dalam hati umat. Berakar dalam hati umat
berarti iman Kristiani serta seluruh nilainya sudah menjadi prinsip dasar yang dipakai
sebagai pedoman hidup yang dapat menuntun pola pikir, pola sikap, pola tingkah laku
dan pola tindak dalam hidup harian sebagai orang-orang Katolik. Dari pengalaman
pastoral selama ini sebagai awam, saya mempunyai kesan yang sangat kuat bahwa
iman Kristiani dan seluruh nilainya belum menjadi pedoman hidup yang benar-benar
menuntun pola berpikir, pola bertingkah laku dan pola bertindak bagi umat beriman.
Masih terdapat jurang yang cukup lebar antara iman dan nilai-nilai Kristiani dengan
praktek hidup. Misalnya, masih merebaknya perjudian, berbagai bentuk kekerasan,
pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, perusakan lingkungan hidup, bunuh diri, aborsi
dll.
Kenyataan seperti ini merupakan tantangan yang sungguh menantang dan
mengundang pertanyaan baik bagi kita. Mengapa iman Kristiani dan nilai-nilainya
belum menjadi pedoman hidup bagi para pengikutnya? Tentu ada begitu banyak
jawaban yang dapat diberikan untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi kita tidak
hanya berhenti dengan mengemukakan berbagai jawaban yang dapat dipakai sebagai
sebab mengapa iman Kristiani dan nilai-nilainya belum berakar di dalam hati umat.
Kita harus berlangkah lebih jauh dan dalam dengan bertanya: Bagaimana pelayanan
pastoral kita sebaiknya supaya iman Kristiani dan seluruh nilainya sungguh-sungguh
berakar sehingga benar-benar menjadi pedoman yang dapat menuntun pola pikir,
pola sikap, pola tingkah laku dan pola tindak para pengikutnya.
Memahami betapa pentingnya inkulturasi sebagai misi gereja Asia seperti
yang telah dipaparkan di atas mendorong saya dan kita semua untuk mengevaluasi
31 Francis, X. Clark SJ. op.cit, hlm. 181.
15
metode pendekatan pastoral yang secara umum dipakai selama ini di Gereja local
Indonesia, baik oleh para Agen pastoral tertahbis maupun tidak tertahbis.
Metode pendekatan pastoral yang biasa dipakai selama ini oleh para Agen
Pastoral sejauh pengamatan saya adalah metode pendekatan yang disebut dari atas ke
bawah. Pendekatan model ini mempengaruhi cara kerja Agen pastoral, yang lebih
banyak duduk di pusat paroki dan di belakang meja dan patroli dari stasi ke stasi
untuk memimpin perayaan-perayaan sakramen. Kurang sekali berusaha untuk
mempelajari dan menyelami kehidupan dan budaya masyarakat. Berpuluhan tahun
metode dan cara kerja seperti ini berjalan terus serta tetap terpelihara sampai sekarang
ini. Mungkin karena bertahan pada metode dan cara kerja seperti ini menyebabkan
iman dan nilai-nilai Kristiani belum membatin, belum menjadi pedoman hidup
sepenuhnya.
Maka kita perlu mencari metode pendekatan pastoral yang tepat agar iman
Kristiani dan seluruh nilainya dapat menjadi satu-satunya pedoman hidup bagi
seluruh umatnya. Salah satu pendekatan pastoral yang dianjurkan ialah pendekatan
yang disebut Pendekatan dari bawah ke atas. Pendekatan inilah yang dipakai dalam
seluruh proses inkulturasi. Bila seluruh proses inkulturasi ini berjalan dengan baik,
maka akan terjadi pula proses pembatinan iman dan nilai-nilai Kristiani ke dalam hati
umat.
7. Simpulan
Gereja setempat di Asia adalah Gereja kaum miskin dan minoritas. Karena itu
Gereja-Gereja lokal di Asia terpanggil berinkarnasi/menjelma masuk dalam dunia
kaum miskin dan bekerja sama dengan kaum miskin. Dan inilah hakekat dari sebuah
inkulturasi sesungguhnya. Yesus telah menegaskan hal ini dengan mengungkapkan
apa yang kamu lakukan bagi saudaraKu yang miskin ini itu kamu lakukan untuk aku.
Berteologi dan berpastoral kita di Asia hendaknya bertitik tolak dari kenyataan
kemiskinan Gereja-Gereja Asia dewasa ini. Karena itu suatu hal yang penting adalah
berpastoral dan berteologi kita harus mengusung (disandingkan) dengan apa yang kita
16
namakan sebagai inkulturasi. Karena manusia mencapai kemanusiaan yang penuh
dan sejati, hanya melalui kebudayaan, yang dijadikannya sebagai jati dirinya. Maka
betapa tepatnya bila kita melaksanakan dan menjadikan inkulturasi secara penuh yang
adalah pendekatan pastoral dari bawa ke atas sebagai metode yang kita pakai dalam
evangelisasi agar Injil sungguh menjadi satu dengan kebudayaan. Hanya dengan ini
Injil dan seluruh nilai yang terkandung dalamnya tidak dirasa asing atau diasingkan
tetapi dipakai sebagai pandangan hidup yang dijadikan sebagai pedoman dalam pola
pikir, pola sikap, pola tingkah laku dan pola tindak dari setiap kita yang menamakan
diri Gereja-Gereja Asia. Bila kita benar-benar mempergunakan Injil dan seluruh
nilainya di dalam hidup dan karya kita, maka tidak akan ada lagi jurang pemisah
antara iman, nilai-nilai Kristiani dengan praktek hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Bandur, Hyrro, “Inkulturasi: Sebuah Golden Mid untuk Transformasi Budaya”,
dalam Biduk, edisi I, thn. XXXIV, Majalah Seminari Tinggi Ritapiret, 1998.
Clark, X. Francis. 1987, Gereja-Gereja Katolik di Asia. Terjemahan oleh Yosef
Maria Florisan, Maumere: Ledalero, 2001.
17
Dokumen Sidang- Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia,
1970-1991, terj. R. Hardowiryono, Departemen Dokumentasi dan Penerangan
Konferensi Waligereja Indonesia, 1995.
Dokumen Konsili Vatikan II, terj. Hardawidyana, Jakarta: Dokpen KWI, 1993.
Go, Piet, Pastoral New Age, Dalam Valentinus & Yustinus (eds.), Mereguk Air
Hidup: Beriman dalam Era New Age, STFT Widaya Sasana Malang, 2009.
Sari Mayang Sriti, ”Wujud Budaya Jawa sebagai unsur Inkulturasi Interior Gereja
Katolik”, http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/request.php?
PublishedID=INT07050105, diakses: 11 Maret 2010.
Kirchberger, Georg (ed.), Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere:
Ledalero, 2004.
; Gereja Berwajah Asia, Ende: Nusa Indah, 1995.
Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja, 1891-1991, terj. R. Hardawiyana,
Jakarta: Dokpen KWI, 1999.
Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi,
Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Pieris, Aloysius, Berteologi dalam Konteks Asia, terj. Agus M. Hardjana,
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Piskaty, Kurt, “Motif-Motif Karya Misioner Kristen”, dalam Kirchberger Georg (ed.),
Misi Evangelisasi Penghayatan Iman. Maumere: Ledalero, 2004.
Singgih, Gerit Emanuel, Berteologi Dalam Konteks, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sutrisnaatmaka, M.A, “Budaya Kristiani, Budaya Indonesia dan Suku-Suku”, Dialog
antara Iman dan Budaya, Komisi Teologi: Konferensi WaliGereja Indonesia,
2006.
18
Seran, Yanuarius Pr, Pengembangan Komunitas Basis: Cara Baru Menggereja
dalam Rangka Evangelisasi Baru,Yayasan Pustaka Nusantara, 2007.
19