EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG … · Purwoceng merupakan tanaman obat komersial...
Transcript of EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG … · Purwoceng merupakan tanaman obat komersial...
EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL
PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) SELAMA 21 HARI
LAKTASI TERHADAP BOBOT BADAN ANAK TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)
MUHAMMAD SOFYAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak
Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot
Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Muhammad Sofyan
B04070014
ABSTRACT
MUHAMMAD SOFYAN. The Effectiveness of Ethanol Extract of Purwoceng
(Pimpinella alpina KDS) During 21 Days of Lactation on The Body Weight of Pups.
Supervised by HERA MAHESHWARI and PUDJI ACHMADI.
Purwoceng is one of Indonesian’s plant that has been known and functions as
herb medicine. The goal of this research was to study the effect of ethanol extract of
purwoceng during 21 days of lactation on the body weight of pups. Six female
lactating rats were devided into two groups; control group and treatment group.
Purwoceng extract was given at dose of 25 mg/300 g BW orally for treatment group
whereas no treatment given for control group. The body weight of 47 pups were
measured until 21 days of lactation. The result obtained was statistically analysed by
analysis of variance (ANOVA). The result showed that treatment group had higher
body weight than control group and male pups of the treatment group had higher
body weight than female pups of the treatment group.
Keywords: purwoceng, body weight, lactation
RINGKASAN
MUHAMMAD SOFYAN. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng
(Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus
Putih (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI and PUDJI
ACHMADI.
Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang akarnya dilaporkan
berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan
ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan
stamina tubuh). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di
daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango
di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng
sudah langka karena mengalami penurunan populasi secara besar-besaran, bahkan
populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan areal pegunungan di Jawa Timur
dilaporkan sudah musnah. Tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng,
bukan di habitat aslinya melainkan di areal budidaya yang sangat sempit di Desa
Sekunang (Rahardjo et al. 2005).
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian ekstrak etanol
purwoceng pada tikus laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir dari
hari pertama sampai hari ke-21 masa laktasi. Pemberian ekstrak etanol purwoceng
pada induk laktasi diharapkan dapat menyebabkan sel-sel kelenjar ambing lebih aktif
berproliferasi dan berpengaruh terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir
sampai dengan lepas sapih. Penelitian berlangsung mulai pada bulan April 2011
sampai dengan Agustus 2011. Enam tikus betina menyusui dibagi menjadi dua
kelompok; kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pencekokkan ekstrak etanol
purwoceng pada tikus betina laktasi dilakukan pada hari 1-21 masa laktasi. Penentuan
dosis ekstrak purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian terdahulu
(Taufiqurrachman 1999) yaitu sebesar 25 mg/cc untuk bobot badan tikus sebesar 300
g atau sebesar 83.33 mg/kg BB. Dalam penelitian ini digunakan 0.5 cc untuk 300 g
tikus (larutan stok mengandung 50 mg/cc). Masing-masing kelompok ditimbang
bobot badan anaknya selama 21 hari masa laktasi untuk dilihat perubahan
pertambahan bobot badan untuk kemudian dibandingkan antar kelompok. Hasil yang
diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) (Steel dan
Torrie 1989).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan tidak berbeda dari
bobot badan dari kelompok kontrol dan anak tikus jantan dari kelompok perlakuan
memiliki bobot badan yang tidak berbeda dari anak tikus betina dari kelompok
perlakuan.
Kata kunci: purwoceng, bobot badan, laktasi
©Hak Cipta milik IPB,tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL
PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) SELAMA 21 HARI
LAKTASI TERHADAP BOBOT BADAN ANAK TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)
MUHAMMAD SOFYAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella
alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan
Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Nama : Muhammad Sofyan
NIM : B04070014
Disetujui,
Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc Drs. Pudji Achmadi, M.Si
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui,
drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai
bulan April 2011 dengan mengambil judul “Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol
Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan
Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)”. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi
kepada:
1. Ibu Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, selaku dosen pembimbing I dan Bapak Drs.
Pudji Achmadi, M.Si, sebagai dosen pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan petunjuk dan nasehat
hingga tersusunnya karya ilmiah ini,
2. Ayahanda Muhammad Ali dan Ibunda Wa Ode Melati Ido atas segala perhatian,
kasih sayang, doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, serta
seluruh keluarga besar yang telah memberikan limpahan doa, kasih sayang dan
semangat,
3. Ibu Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc dan Bapak drh. Supratikno, M.Si,
PAVet yang telah bersedia menjadi dosen penilai dan moderator pada seminar
skripsi,
4. Ibu drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D dan Ibu Dr. drh. Sri Murtini, M.Si
yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada ujian akhir sarjana dan atas
saran-saran yang telah diberikan,
5. Ibu Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet, selaku dosen pembimbing akademik,
6. Pak Edi yang telah membantu di kandang hewan percobaan,
7. Teman sekelompok penelitian Julianto, SKH, Sandra Hapsari, SKH, Divo
Jondriatno, Meta Levi Kurnia, SKH dan Wisnugroho Agung Pribadi,
8. Keluarga Gianuzzi 44 yang telah menjadi keluarga baru selama berada di Bogor,
9. Pimpinan beserta staf dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor atas bekal ilmu selama penulis mengikuti proses
pendidikan,
10. Semua pihak yang membantu tersusunnya karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dikemudian hari untuk masyarakat
luas.
Bogor, Februari 2012
Muhammad Sofyan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tanggal 4 Oktober
1988 dari ayah Muhammad Ali dan ibu Wa ode Melati Ido. Penulis merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Kemaraya Barat Kendari
dan lulus tahun 2001. Pendidikan penulis dilanjutkan ke SLTP Negeri 2 Kendari
(2001-2004). Masa SMA penulis diselesaikan di SMA Negeri 4 Kendari dan lulus
tahun 2007 dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Mayor yang dipilih penulis di IPB adalah
Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….....
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………
PENDAHULUAN …………………………………………………………….
Latar Belakang ……………………………………………………………
Tujuan …………………………………………………………….………
Hipotesa …………………………………………………………….…….
Manfaat …………………………………………………………………..
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………….
Tanaman Purwoceng ……………………………………………………..
Biologi Tikus Putih ……………………………………………………….
Perkembangan Kelenjar Susu dan Pembentukan Susu …………………...
Kelenjar Susu dan Laktasi …………………………………………..
Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Susu ……………………
Proses Pembentukan Susu ………………………………………..….
Proses Pengeluaran Susu ………………………….…………………
Hormon Steroid ………………………………………………………......
Fitoestrogen …………………………………………………………..…..
BAHAN DAN METODE PENELITIAN …………………………………….
Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………………
Alat dan Bahan ……………………………………………………….….
Persiapan Purwoceng …………………………………………………….
Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng …………………………………….
Persiapan Hewan Percobaan ……………………………………………...
Perlakuan Hewan …………………………………………………………
Parameter Percobaan ……………………………………………………..
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………….
Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan
yang Diberi purwoceng …………………………………………………..
Pertambahan Bobot Badan Anak Betina
yang Diberi Purwoceng …………………………………………………..
Pertambahan Bobot Badan Anak Betina dan
Jantan yang Diberikan Purwoceng ……………………………………….
PENUTUP …………………………………………………………………….
Simpulan ………………………………………………………………….
xiii
xiv
xv
1
1
3
3
3
4
4
6
8
8
8
10
11
12
16
18
18
18
18
19
19
20
20
21
21
24
25
27
27
Saran ……………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
LAMPIRAN …………………………………………………………………..
27
28
32
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Rataan pertambahan bobot badan anak tikus jantan dari induk yang dicekok
purwoceng dan kontrol ………………………………………………………
2. Komposisi kandungan zat kimia pada ekstrak etanol purwoceng …....………
3. Rataan pertambahan bobot badan anak tikus betina dari induk yang dicekok
purwoceng dan kontrol ………………………………………………………
21
22
24
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pimpinella alpina KDS ……………………………………………………
2. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley …………………..
3. Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya …………………
4. Struktur kimia estrogen dan flavonoid ……………………………………
5. Rataan perkembangan bobot badan anak betina dan
jantan perlakuan …………………………………………………………...
4
6
13
17
25
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Laporan hasil uji fitokimia akar purwoceng …………………………………
2. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-1 ……...
3. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-2 ……...
4. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-3 ……...
5. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-1 ……...
6. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-2 ……...
7. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-3 ……...
33
34
34
34
35
35
35
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman obat merupakan tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan
berbagai jenis penyakit. Penggunaan tanaman obat sebagai ramuan obat di Indonesia
telah dikenal sejak dahulu. Saat ini penggunaan tanaman obat sebagai salah satu obat
alternatif untuk menyembuhkan penyakit atau untuk menjaga kesehatan tubuh
semakin meningkat. Hal ini disebabkan tanaman obat mudah didapat, harga relatif
murah, cara pembiakan mudah dan hampir tidak ada efek samping yang ditimbulkan.
Di Indonesia banyak ditemukan berbagai macam tanaman obat yang memiliki khasiat
tersendiri. Masyarakat Indonesia di daerah pelosok pada umumnya masih
mempercayakan perawatan kesehatan dan penyembuhan penyakitnya dengan
menggunakan tanaman obat.
Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang akarnya dilaporkan
berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan
ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan
stamina tubuh). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di
daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango
di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng
sudah langka karena mengalami penurunan populasi secara besar-besaran, bahkan
populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan areal pegunungan di Jawa Timur
dilaporkan sudah musnah. Tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng,
bukan di habitat aslinya melainkan di areal budidaya yang sangat sempit di Desa
Sekunang (Rahardjo et al. 2005).
Studi farmakologi terhadap purwoceng juga menjadi topik yang menarik
untuk diketahui. Data yang dihasilkan dapat menjadi acuan dalam penggunaannya
secara klinis bagi manusia. Beberapa peneliti telah menguji efek penggunaan akar
purwoceng pada tikus. Salah satu teknik yang digunakan oleh Caropeboka (1980)
adalah dengan mengebiri tikus jantan dan menyuntiknya dengan ekstrak akar
2
purwoceng dalam minyak zaitun dengan dosis 20 mg-40 mg. Efek yang teramati
adalah adanya peningkatan bobot kelenjar prostat dan kelenjar seminalis secara nyata
dibandingkan dengan kontrol. Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas
androgenik dari ekstrak akar purwoceng. Demikian juga ketika tikus betina tanpa
indung telur disuntik dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun pada dosis
yang sama, maka tampak adanya peningkatan yang sangat nyata pada bobot uterus.
Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas estrogenik dari ekstrak akar
purwoceng. Kosin (1992) melakukan penelitian terhadap anak ayam jantan, hasilnya
adalah efek androgenik ekstrak purwoceng terhadap peningkatan pertumbuhan
ukuran jengger.
Tikus sebagai hewan percobaan banyak digunakan dalam berbagai penelitian
karena siklus reproduksinya singkat, mudah dalam penanganan, siklus hidup pendek,
murah dan mudah dipelihara. Tikus adalah hewan politokus dengan jumlah anak
antara 6-12 ekor tiap kali melahirkan (Harkness dan Wagner 1989). Pada penelitian
ini tikus dari galur Sprague Dawley digunakan dalam keadaan induk yang sedang
laktasi untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan pada pertambahan bobot badan
anak setelah induk tikus tersebut diberi ekstrak purwoceng selama 21 hari laktasi.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa
purwoceng bersifat estrogenik. Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 1-13 hari
dengan dosis 25 mg/300 g BB selama kebuntingan tikus putih cenderung
meningkatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih (Hapsari 2011). Pemberian
ekstrak etanol purwoceng pada kebuntingan 13-21 hari dengan dosis yang sama
cenderung memberikan pengaruh terhadap peningkatan bobot ovarium, uterus, dan
anak tikus putih (Kurnia 2011). Diasumsikan bahwa ada bahan aktif dalam
purwoceng yang dapat berperan seperti estrogen atau bersifat estrogenik. Estrogen
adalah hormon yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel (Ganong 2003).
Purwoceng yang diberikan pada tikus laktasi, diharapkan akan membuat sel-sel
kelenjar ambing menjadi lebih banyak yang berproliferasi sehingga lebih aktif dalam
mensekresikan susu dan diharapkan bobot badan anak menjadi lebih besar.
3
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian ekstrak etanol
purwoceng pada tikus laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir dari
hari pertama sampai hari ke-21 masa laktasi.
Hipotesis Penelitian
Pemberian ekstrak etanol purwoceng pada induk laktasi dapat menyebabkan
sel-sel kelenjar ambing lebih aktif berproliferasi dan berpengaruh terhadap
peningkatan bobot badan anak yang lahir sampai dengan lepas sapih.
Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dapat menjadi dasar untuk penelitian dibidang reproduksi
pada hewan politokus lainnya seperti babi, terutama diharapkan dapat bermanfaat
sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas susu hewan ternak maupun
ASI pada manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS )
Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan
tinggi antara 15 cm sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi sekitar 2000-
3000 dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tanaman ini memiliki
nama daerah berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan depok, rumput
dempo atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang karena memiliki
khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai afrodisiak.
Gambar 1 Pimpinella alpina KDS (Prajoko 2010)
Tjitrosoepomo (1994) mendiskripsikan purwoceng sebagai tumbuhan yang
temasuk terna dari suku Umbelliferae yang berumur pendek atau panjang. Batang
berongga dan beralur atau bergerigi membujur pada permukaannya. Daunnya
tersebar, berseling atau berhadapan, majemuk ganda atau banyak berbagi, tanpa daun
penumpu tetapi memiliki pelepah yang pipih besar (perikladium) dan tidak
membungkus batang. Bunganya majemuk dan tersusun seperti payung atau suatu
kapitulum, berukuran kecil, berumah satu, aktinomorfik atau sedikit zigomorfik, dan
berbilangan lima. Kelopaknya sangat kecil, mahkotanya berjumlah lima dengan ujung
yang melengkung ke dalam, berwarna kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna
5
merah muda atau lembayung. Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan
mahkota. Bakal buah tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi dua,
beruang dua, dan dalam tiap ruang terdapat satu tangkai biji yang bergantungan.
Tangkai putik berjumlah 2 dan letaknya terpisah. Buahnya berbelah dua (diakenium),
tiap bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor. Dalam kulit buah terdapat
saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji mempunyai tanduk. Sifat-sifat
anatomis yang penting antara lain adanya saluran-saluran resin skizolisigen dalam
gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya kolenkim dalam korteks primer batang
dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi sederhana dalam trakea, adanya rambut-
rambut lain yang bukan merupakan kelenjar.
Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan
saponin (Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida,
triterpenoid-steroid dan tannin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokuramin
seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik et al. 1985), sitosterol dan
vitamin E (Rahardjo et al. 2005). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiaka
diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang
dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo et
al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa
sitoesterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya.
Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik, menunjukkan bahwa zat yang terkandung di dalam akar
purwoceng adalah flavonoid, tanin, steroid, triterfenoid, glikosida, dan alkaloid.
Flavanoid, alkaloid, steroid yang terdapat dalam purwoceng merupakan golongan
fitoestrogen yang mampu berfungsi seperti estrogen karena diduga dapat menduduki
reseptor estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Tetapi afinitas
fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan
estrogen endogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah berikatan
dengan reseptor estrogen. Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid
merupakan antioksidan. Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang
terdiri atas 15 atom karbon sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari
6
senyawa polifenol menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan
neoflavonoid. Purwoceng memiliki dua bahan aktif yang berfungsi sebagai prekursor
estrogen di dalam tubuh yaitu flavonoid dan steroid. Jika dibandingkan keduanya,
flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan dibandingkan steroid, karena pada
hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat, sedangkan steroid positif
lemah (Balitro 2011).
Biologi Tikus Putih
Gambar 2 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (Tocang 2010)
Menurut Malole dan Pramono (1989), hewan percobaan adalah hewan yang
sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna
mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala
penelitian atau pengamatan laboratorik. Tikus putih sudah sejak lama digunakan
sebagai hewan laboratorium untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan
kepentingan medis, embriologi, maupun tentang tingkah laku. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan faktor ekonomis dan efisiensi. Tikus mempunyai bentuk
morfologis yang kecil sehingga ruangan pemeliharaan yang dibutuhkan relatif kecil,
mudah dalam penanganan, murah, mudah didapat dan cocok untuk penelitian jangka
panjang (Harkness dan Wagner 1989).
7
Harkness dan Wagner (1989) menuliskan taksonomi tikus norwegia sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Subclass : Theria
Infraclass : Eutheria
Order : Rodensia
Suborder : Myomorpha
Family : Muridae
Superfamily : Muroidea
Subfamily : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Terdapat tiga galur tikus putih yang sudah dikembangkan sebagai hewan
percobaan yaitu Sprague Dawley, Wistar dan Long Evans. Sprague Dawley lebih
mudah dan cepat berkembangbiak, merupakan jenis tikus albino yang memiliki
kepala yang kecil dengan ekor yang lebih panjang dari badannya. Wistar mempunyai
kepala yang lebar, telinga yang panjang dan ekor yang lebih pendek dari panjang
badan sedangkan Long Evans lebih kecil dari kedua galur lainnya, mempunyai bercak
hitam pada bagian atas kepala dan di belakang leher (Veterinary Library 1996).
Tikus dapat hidup lebih dari tiga tahun, mencapai umur antara 2,5-3,5 tahun.
Bobot badan jantan dan betina dewasa berkisar masing-masing 450 g-520 g dan 250
g-300 g. Masa pubertas dapat dicapai pada umur 65-110 hari, baik pada jantan
maupun pada betina. Pada umur tersebut bobot badan tikus mencapai 250 g untuk
betina dan 300 g untuk jantan dan sudah dapat dikawinkan (Malole dan Pramono
1989). Tikus termasuk hewan poliestrus yaitu hewan yang berahinya lebih dari dua
kali dalam setahun. Siklus berahi berlangsung empat sampai lima hari dengan lama
8
estrus 12 jam setiap siklus. Periode siklus berahi pada tikus terdiri atas beberapa
tahap yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Harkness dan Wagner 1989).
Kebuntingan terjadi selama 21-23 hari dengan jumlah anak perkelahiran 6-12
ekor (Harkness dan Wagner 1989). Pada tikus jarang terjadi bunting semu
(Veterinary Library 1996). Sejak umur kebuntingan 14 hari sudah terlihat adanya
perubahan bentuk kelenjar susu (Malole dan Pramono 1989). Bobot lahir anak tikus
berkisar 5 g-6 g. Anak tikus disapih pada umur 21 hari dengan bobot badan sudah
mencapai 25 g-30 g (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).
Perkembangan Kelenjar Susu dan Pembentukan Susu
Kelenjar Susu dan Laktasi
Pertumbuhan dan daya tahan anak selama prasapih dipengaruhi oleh jumlah
anak, bobot lahir anak dan tingkat produksi susu induk selama laktasi (Tuju 2001).
Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel
kelenjar susu selama periode kebuntingan, awal laktasi (Tucker 1987), laju
penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar serta kelengkapan perangkat sintesisnya
selama laktasi, dan laju involusi sel-sel kelenjar (Wilde dan Knight 1989).
Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Susu
Kelenjar susu dianggap homolog dengan kelenjar keringat karena keduanya
berasal dari kulit yang tumbuh kedalam. Setiap kelenjar terdiri atas beberapa lobus.
Lobus yang satu dengan lobus yang lain dihubungkan dengan jaringan pengikat yang
disebut stroma. Tiap lobus terdiri atas saluran-saluran yang dikenal dengan duktus
laktiferus. Percabangan duktus ini dipengaruhi hormon mamogenik yaitu progesteron,
estradiol, laktogen plasenta, dan relaksin. Percabangan duktus laktiferus membentuk
ranting-ranting terminal yang disebut lobulo-alveolar. Lapisan lobulo-alveolar
menyusun permukaan sekretori (epitel) tempat proses sintesis susu terjadi (Turner
dan Bagnara 1995). Knight dan Peacker (1982) mengemukakan bahwa selama
kehidupan hewan, kelenjar susu tersebut kemungkinan mengalami perubahan lebih
banyak dan lebih besar dalam ukuran, struktur, komposisi dan aktivitas dibandingkan
9
jaringan atau organ lainnya. Perubahan tersebut dimulai sejak stadium fetus sampai
kelenjar mencapai pematangan dan kemudian pada periode dewasa hanya sedikit
mengalami pengerasan dan surut kembali mengikuti daur reproduksi.
Pertumbuhan kelenjar susu merupakan proses yang sangat kompleks karena
dipengaruhi oleh faktor instrinsik (kontrol lokal) pada kelenjar itu sendiri maupun
pada keseluruhan hewan (kontrol sistemik) sebagai pengaruh eksternal seperti
lingkungan, iklim dan makanan (Knight dan Peacker 1982). Hurley (2000)
mengemukakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu terjadi selama lima fase yang
berbeda yaitu: prenatal, sebelum pubertas, selama pubertas, selama kebuntingan dan
awal laktasi.
Pada waktu lahir, kelenjar susu terdiri atas sistem duktus yang masih kurang
berkembang dibandingkan dengan bagian stroma. Namun ketika memasuki masa
pubertas, terjadi pemanjangan duktus ke dalam stroma. Pada siklus estrus pertama,
sistem duktus tumbuh dengan cepat melebihi laju pertumbuhan tubuh umumnya yang
dikenal dengan pertumbuhan allometrik. Pada tikus pertumbuhan allometrik
diteruskan untuk beberapa siklus estrus dan kembali lagi ke pertumbuhan isometrik
sama seperti organ-organ tubuh lainnya. Alveoli yang sesungguhnya pada kelenjar
susu masih belum terbentuk sampai konsepsi. Pada saat konsepsi, terjadi
pemanjangan duktus pada pembentukan alveoli serta permulaan perletakan bantalan
lemak (Tucker 1987). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat
dipengaruhi oleh hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, dan laktogen
plasenta. Progesteron berfungsi mengatur perkembangan lobolo-alveolar kelenjar
susu, estradiol berfungsi mengatur perkembangan pertumbuhan duktus kelenjar susu,
dan hormon laktogen plasenta dapat menguatkan efek dari hormon steroid yang
dihasilkan oleh ovarium dan hormon pituitari pada perkembangan kelenjar laktasi
selama kebuntingan (Fahey 1998).
Total pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan berkisar antara 48%
sampai 94%, bergantung pada masing-masing spesies. Pada tikus, kira-kira 12%
pertumbuhan kelenjar susu terjadi sebelum konsepsi, 48% terjadi selama kebuntingan
sedangkan sisanya terjadi selama laktasi (Tucker 1987).
10
Proses Pembentukan Susu
Alveolus terdiri dari selapis sel epitel membentuk suatu lumen. Lumen
tersebut dibungkus oleh jaringan mioepitel dan dikelilingi oleh suatu basement
membrane yang terdiri atas jaringan ikat. Darah akan mengalir melalui stroma yakni
ruang inter-alveolar yang terdiri atas jaringan fibroblast, leukosit, sel adiposa, dan
jaringan ikat lain. Lobuli dibentuk dari beberapa alveolus. Beberapa lobuli akan
membentuk beberapa lobus (Hurley 2000).
Di lumen alveolus akan dibentuk susu yang diambil dari bahan-bahan asal
dari darah. Alveolus tempat pembentukan susu akan mengambil cairan dan
komponen darah dengan kemampuan daya selektif yakni keistimewaan memilih
bahan-bahan yang diperlukan serta mengubah bahan-bahan asal darah menjadi bahan
yang lain bentuknya. Susu akan keluar dari lumen epitel dengan cara terjadi ruptur
sel. Susu masuk ke lumen alveoli kemudian masuk ke dalam saluran-saluran halus.
Saluran halus dari tiap-tiap lobuli berkumpul untuk membentuk saluran yang lebih
besar dan akhirnya masuk ke dalam sisterna ambing. Sisterna ambing adalah suatu
ruangan yang berada di bawah kuartir. Selanjutnya susu dialirkan ke ruang puting
susu/kisterna puting. Ruangan akhir penampungan susu dihubungkan oleh sebuah
saluran menuju lubang puting susu. Lubang puting susu memiliki otot-otot sirkuler
yang berfungsi untuk membuka dan menutup lubang puting. Adanya rangsangan
saraf dan tekanan dalam ambing mengakibatkan otot sirkuler mengendur dan susu
dapat keluar (Hurley 2000).
Komponen-komponen susu terdiri dari protein, lemak, laktosa, mineral,
vitamin, dan air. Prekursor protein susu adalah casein, β-laktoglobulin, dan α-
laktalbumin yang disintesis jaringan ambing. Serum albumin, immunoglobulin, dan
γ-casein diserap melalui darah. Lemak disintesis di jaringan ambing. Makanan
dengan kadar lemak yang rendah dapat menurunkan konsentrasi lemak dalam susu.
Laktosa merupakan karbohidrat terpenting yang ditemukan dalam susu. Laktosa
adalah disakarida yang terdiri atas 1 mol galaktosa dan 1 mol glukosa dan hanya
ditemukan didalam susu. Laktosa disintesis di jaringan ambing diambil dari bahan
asal glukosa darah, asam asetat dan asam amino darah. Vitamin dan mineral disintesis
11
melaui darah dan disekresikan ke susu. Mineral yang terpenting di dalam susu adalah
kalsium (Hurley 2000).
Proses Pengeluaran Susu
Pada induk betina yang menyusui dikenal 2 refleks yang masing-masing
berperan sebagai pengeluaran susu yaitu refleks prolaktin dan refleks “Let down”
(Cowie 1980).
1. Refleks prolaktin.
Menjelang akhir kehamilan terutama hormon prolaktin memegang
peranan untuk membuat kolostrum, namun jumlah kolostrum terbatas, karena
aktifitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang kadarnya
memang tinggi. Pada saat setelah partus, lepasnya plasenta dan kurang
berfungsinya korpus luteum, maka progesteron sangat berkurang, ditambah
lagi dengan adanya isapan anak yang merangsang puting susu dan payudara,
akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris yang befungsi sebagai reseptor
mekanik. Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medula spinalis
dan mesensephalon. Hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor-faktor
yang menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran
faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin. Faktor-faktor yang memacu
sekresi prolaktin akan merangsang adenohipofise (hipofise anterior) sehingga
keluar prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk
membuat susu. Kadar prolaktin pada induk betina yang menyusui akan
menjadi normal saat penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada
peningkatan prolaktin walaupun ada isapan anak, namun pengeluaran susu
tetap berlangsung. Pada induk betina yang menyusui, prolaktin akan
meningkat dalam keadaan-keadaan seperti: penurunan stres, anastesi, operasi,
rangsangan puting susu, kopulasi, obat-obatan tranqulizer hipotalamus seperti
reserpin; klorpromazin; fenotiazid. Sedangkan keadaan-keadaan yang
menghambat pengeluaran prolaktin adalah gizi yang jelek dan obat-obatan
seperti ergot dan 1-dopa (Cowie 1980).
12
2. Refleks let down (milk ejection reflex).
Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh adenohipofise,
rangsangan yang berasal dari isapan anak ada yang dilanjutkan ke
neurohipofise (hipofise posterior) yang kemudian dikeluarkan oksitosin.
Melalui aliran darah, hormon ini diangkut menuju uterus yang dapat
menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ
tersebut. Oksitosin yang sampai pada alveoli akan mempengaruhi sel
mioepitelium. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah terbuat
dari alveoli dan masuk ke sistem duktulus yang untuk selanjutnya mengalir
melalui duktus laktiferus masuk ke mulut anak. Faktor-faktor yang
meningkatkan refleks let down adalah: melihat anak, mendengarkan suara
anak dan mencium bayi. Faktor-faktor yang menghambat refleks let down
adalah stres seperti keadaan bingung/pikiran kacau, takut, dan cemas. Bila ada
stres dari induk betina yang menyusui maka akan terjadi suatu blokade dari
refleks let down. Ini disebabkan oleh karena adanya pelepasan dari adrenalin
(epinefrin) yang menyebabkan vasokontraksi dari pembuluh darah alveoli,
sehingga oksitosin sedikit harapannya untuk dapat mencapai target organ
mioepitelium (Cowie 1980).
Hormon Steroid
Hormon steroid merupakan turunan dari kolesterol. Selain vitamin D, semua
turunan kolesterol memiliki struktur dasar yang sama yaitu cincin
siklopentanoperhidrofenantrena dengan sistem penomoran yang sama dengan
kolesterol. Penurunan kolesterol (C27) menjadi berbagai jenis hormon steroid diawali
dengan reaksi yang menghasilkan suatu senyawa isokaproaldehida (C6) dan
pregnenolon (C21). Berdasarkan jumlah atom karbonnya hormon steroid
dikelompokkan menjadi tiga yaitu pregnan (C21), androstan (C19), dan estran (C18)
(King 2004).
13
Androstan Pregnan Estran
Gambar 3 Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya (Guyton 1994)
Devlin (1993) diacu dalam Ibrahim (2001), menyatakan bahwa hormon
steroid di bagi ke dalam dua kelas yaitu hormon adrenal dan hormon seksual
(testosteron, estrogen, dan progesteron). Sedangkan King (2004) membagi steroid
menurut asalnya yaitu hormon steroid adrenal dan steroid gonadal. Korteks adrenal
bertanggung jawab dalam memproduksi tiga kelas utama hormon-hormon steroid
yaitu : 1) glukokortikoid, yang meregulasi metabolisme karbohidrat, 2)
mineralokortikoid, yang meregulasi kadar Na dan K dalam tubuh, 3) androgen, yang
memiliki fungsi serupa dengan steroid yang dihasilkan dari gonad jantan.
Ketidaktersediaan hormon-hormon adrenal disebut penyakit Addison, dan bila tidak
diberikan hormon steroid pengganti akan menyebabkan kematian. Hormon steroid
adrenal adalah deoksikortisol, kortisol (glukokortikoid), aldosteron
(mineralokortikoid), androstenedion, dan dehidroepiandrosteron (DHEA). Steroid
gonadal diproduksi oleh testis dan ovari, dua steroid yang utama adalah testosteron
dan estradiol.
Androgen ialah senyawa steroid produk dari testis, ovarium, korteks adrenal,
dan kemungkinan juga dari plasenta. Terdapat lima senyawa androgen yang penting
yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA); ∆4-androstene-3, 17-dion; testosteron; 11β-
hidroksi-∆4-androsten-3, 17-dion; dan adrenosteron. Androgen yang paling aktif
adalah androsteron dan testosteron, masing-masing memberikan aktivitas biologis
sebesar satu unit internasional pada jumlah μg (androsteron) dan 13-16 μg testosteron
(King 2004).
14
Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi
kolesterol kemudian kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi
menjadi progesteron. Dari pregnenolon menjadi progesteron melalui beberapa
perubahan hingga menjadi testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig
akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses
pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya
steroid binding globulin (β-globulin) yang disekresikan oleh sel sertoli akibat adanya
rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah
berada dalam keadaan terikat dan sisanya merupakan testosteron yang bebas masuk
ke organ target. Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim α-reductase dalam
sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat
bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Johnson dan Everitt 1984).
Hormon steroid seksual terdiri dari testosteron, estrogen dan progesteron
(Ibrahim 2001). Hormon testosteron berfungsi sebagai hormon seksual pada jantan.
Hormon estrogen dan progesteron merupakan hormon seksual pada betina yang juga
berfungsi merawat kebuntingan dan menstimulasi perkembangan kelenjar susu
(Ganong 2003). Hormon estrogen merupakan hormon utama pada hewan betina,
dalam proses pembentukannya melibatkan 2 sel yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel
teka akan berkembang di bawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH) dan sel
granulosa akan berkembang di bawah pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH).
Di dalam sel teka yang berkembang, estrogen disekresikan mulai dari proses
perubahan asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan
berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah menjadi androstenedion
dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah menjadi
testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan berubah
menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi oleh
FSH. Ada 3 bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17β-estradiol,
estron, dan estriol (Johnson dan Everitt 1984).
Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama terutama sebagai
hormon seks wanita. Walaupun terdapat dalam tubuh pria maupun wanita,
15
kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Hormon ini
menyebabkan perkembangan dan mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder
pada wanita, seperti payudara, dan juga terlihat dalam penebalan endometrium
maupun dalam pengaturan siklus haid. Pada saat menopause, estrogen mulai
berkurang sehingga dapat menimbulkan beberapa efek, diantaranya hot flash,
berkeringat pada waktu tidur, dan kecemasan yang berlebihan (Anwar 2001). Unit
lobuler saluran terminal dari jaringan payudara wanita-wanita muda sangat responsif
dengan estrogen. Pada jaringan ambing, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan
diferensiasi saluran epitelium, menginduksi aktivitas mitotik saluran sel-sel silindris,
dan menstimulasi pertumbuhan jaringan penyambung. Estrogen juga menghasilkan
efek seperti histamin pada mikrosirkulasi ambing. Densitas reseptor estrogen pada
jaringan payudara sangat tinggi pada fase folikuler dari siklus menstruasi dan
menurun setelah ovulasi. Estrogen menstimulasi pertumbuhan sel-sel kanker ambing.
Pada wanita-wanita postmenopause dengan kanker ambing, konsentrasi estradiol
tumor tinggi, karena aromatisasi in situ, meskipun adanya konsentrasi estradiol serum
yang rendah (Guyton 1994).
Hormon estrogen disekresikan oleh teka interna dan sel granulosa folikel
ovarium, korpus luteum, dan plasenta. Jalur biosintesis yang melibatkan hormon
androgen dan juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi.
Aromatase (CYP 19) merupakan enzim yang mengkatalis perubahan androstenedion
menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna
mempunyai banyak reseptor LH. LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan
kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol
yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion
pada sel granulosa. Sel granulosa membuat estradiol bila mendapat rangsangan dari
androgen dan disekresikan dalam cairan folikel. Sel granulosa memiliki banyak
reseptor FSH untuk meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dengan bekerja
melalui cAMP untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga
memiliki reseptor LH yang kemudian akan merangsang pembentukan estradiol
(Ganong 2003).
16
Fitoestrogen
Fitoestrogen atau sumber estrogen berbasis tumbuh-tumbuhan yang
merupakan senyawa non-steroidal mempunyai aktivitas estrogenik atau
dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen merupakan suatu
substrat dari tumbuhan yang memiliki khasiat mirip estrogen, meskipun rumus
bangun kimianya berbeda dengan estrogen tetapi memiliki inti yang sama persis
dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus
–OH/hidroksil yang berjarak 11.0-11.5 A° pada intinya, sama persis dengan inti
estrogen sendiri. Para peneliti sepakat jarak 11 A° dan gugus –OH inilah yang
menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik, yakni
memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Tsourounis
2004). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan
reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat
rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut
Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman
antara lain:
Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti
tempe, tahu, dan tauco.
Lignane pada biji gandum dan wijen.
Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari.
Glikoside Tripterpen pada tanaman Cimifuga racemosa (black cohosh) tumbuh di
hutan Amerika Selatan, saat ini telah diekstraksi dan dikemas menjadi produk obat
menopause.
Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti
flavones, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic.
Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid.
Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen. Berdasarkan struktur
kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk
flavon. Flavonoid merupakan senyawa larut air, etanol, methanol, dan mengandung
17
sistem aromatik yang terkonjugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada
tumbuhan sebagai campuran dan terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau
dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon. Senyawa flavonoid diklasifikasikan
menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna pada teknik spektrofotometer
dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut adalah antosianin,
proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon, dan
isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek
estrogenik, karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen.
Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang
mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia.
Berikut adalah kemiripan struktur kimia antara estrogen dan flavonoid.
Estrogen Flavonoid
Gambar 4 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1994)
Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogen (RE), di dalam tubuh ada dua
reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (REβ).
Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis,
adrenal, dan payudara. Sedangkan reseptor estrogen β terdapat di ovarium, prostat,
paru-paru, kandung kemih, dan tulang (Barnes dan Kim 1998).
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan April 2011 sampai dengan bulan
Agustus 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan – IPB.
Alat dan Bahan
Hewan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague
Dawley yang terdiri atas tikus betina yang telah dewasa kelamin sebanyak 6 ekor
dengan berat badan berkisar antara 150 g-200 g dan tikus jantan yang telah dewasa
kelamin sebanyak 6 ekor dengan berat badan berkisar antara 350 g-400 g. Bahan lain
yang diperlukan adalah larutan fisiologis NaCl 0.9%, kertas saring Whatman no 42,
etanol 70%, akuades, dan ekstrak purwoceng.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus,
erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, gelas objek, mikroskop binokuler, pompa
vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spuit 1 ml,
sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton buds, dan timbangan
analitis.
Persiapan Purwoceng
Bagian akar purwoceng dikeringkan dengan penjemuran panas matahari (suhu
tidak melebihi 50˚C). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-
tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga di dapat serbuk
(simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak
350 g direndam dalam 3,5 l etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam, setiap 2
jam sekali diaduk agar homogen, kemudian disaring menggunakan kain saring. Hasil
19
ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampas direndam kembali dalam 3,5
etanol 70% selama 24 jam, setiap 2 jam diaduk. Setelah itu larutan disaring dan
ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam erlenmeyer ukuran 5
l, kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan
menggunakan Rotary Evaporator (Rotavapor) Buchi dengan suhu 48˚C dan
kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm, selanjutnya ekstrak kering
diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering
selanjutnya disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan
akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang
didapatkan dari 350 g simplisia adalah sejumlah 95 g. Ekstrak kering ini kemudian
dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades atau 50
mg/cc.
Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng
Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian
terdahulu (Taufiqurrachman 1999) yaitu sebesar 25 mg/cc untuk bobot badan tikus
sebesar 300 g atau sebesar 83.33 mg/kg BB. Dalam penelitian ini digunakan 0.5 cc
untuk 300 g tikus (larutan stok mengandung 50 mg/cc).
Persiapan Hewan Percobaan
Tikus percobaan diadaptasikan selama 1 minggu dalam kandang kolektif agar
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mendapatkan tikus betina
bunting dilakukan perkawinan secara alamiah dengan mencampurkan pejantan dan
betina dalam satu kandang. Perkawinan ditandai dengan adanya sperma dalam ulasan
vagina dan pada umumnya tikus telah bunting, sehingga tercatat sebagai hari pertama
kebuntingan (H1). Kemudian tikus bunting dipelihara hingga partus dan laktasi
selama 21 hari.
Pemeliharaan tikus laktasi dilakukan di dalam kandang hewan individu yang
terbuat dari plastik berukuran 30 cm × 20 cm × 12 cm (panjang × lebar × tinggi) dan
dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya. Satu ekor tikus
20
ditempatkan dalam satu kandang. Pakan dan air minum diberikan ad libitum.
Penggantian sekam minimal dan pencucian kandang plastik dilakukan setiap 3 hari
sekali.
Perlakuan Hewan
Kelompok tikus laktasi : 6 ekor tikus betina digunakan dalam penelitian ini
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
A: kelompok tikus laktasi sebanyak 3 ekor yang tidak diberi perlakuan.
B: kelompok tikus laktasi sebanyak 3 ekor yang dicekok purwoceng pada umur
laktasi 1-21 hari.
Tahapan yang dilakukan adalah:
1. Perkawinan
Proses perkawinan dilakukan dengan cara meletakkan betina dan jantan dalam
satu kandang selama 1-7 hari. Betina yang telah dikawinkan dan diketahui
bunting melalui tes swab vagina, dipisahkan pada kandang tersendiri dan
merawatnya selama 21-22 hari.
2. Kelahiran
Menghitung jumlah total anak keseluruhan, menghitung jumlah total anak betina,
dan menghitung jumlah total anak jantan.
3. Laktasi
Pada saat laktasi, induk perlakuan dicekoki ekstrak purwoceng selama 21 hari,
serta menimbang anak dari induk perlakuan maupun kontrol untuk mengetahui
perkembangan dari bobot badannya.
Parameter Percobaan
Masing-masing kelompok ditimbang bobot badan anaknya selama 21 hari
masa laktasi untuk dilihat perubahan pertambahan bobot badan untuk kemudian
dibandingkan antar kelompok. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
analysis of variance (ANOVA) (Steel dan Torrie 1989).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan yang Diberi purwoceng
Sejumlah 14 ekor anak tikus jantan dari 3 ekor induk yang dicekok ekstrak
etanol purwoceng dibandingkan bobot badannya dengan 12 ekor anak jantan dari 3
ekor induk tikus kontrol yang tidak diberi purwoceng. Hasil yang diperoleh adalah
bahwa pertambahan bobot badan tikus jantan yang induknya diberi ekstrak etanol
purwoceng selama 21 hari masa laktasi tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan
pertambahan bobot badan tikus anak tikus kontrol. Rataan pertambahan bobot
badan anak tikus jantan tiap minggu selama 21 hari disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rataan pertambahan bobot badan anak tikus jantan dari induk yang dicekok
purwoceng dan kontrol.
Induk Σ anak Tikus Jantan
Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan (g)
Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol
A 6 3 4.65 2.56 10.05 7.60 16.77 11.66
B 4 3 4.40 4.57 11.30 14.67 22.65 24.84
C 4 6 3.50 2.40 9.80 6.78 15.15 14.29
Rata-rata 4.18±0.60 3.18±1.21 10.38±0.80 9.68±4.34 18.19±3.95 16.93±6.98
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 5%.
Berdasarkan tabel 1 tersebut memberikan gambaran bahwa pemberian
purwoceng tidak mempengaruhi bobot badan jantan anak tikus. Jumlah anak yang
berbeda disetiap induknya kemungkinan menjadi faktor penyebab rataan bobot badan
anak jantan yang tidak berbeda antara perlakuan dan kontrol. Rataan bobot badan
anak jantan perlakuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, kecuali
untuk induk B rataan bobot badan anak jantan perlakuan lebih rendah dibandingkan
dengan anak jantan kontrol (untuk setiap minggunya). Hal ini disebabkan jumlah
anak keseluruhan untuk induk B perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan
kontrol. Purwoceng mengandung zat fitoestrogen yang bersifat estrogenik.
Fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan
senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme
menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis 2004).
22
Hasil uji fitokimia dengan metode kualitatif dari kandungan ekstrak akar purwoceng
yang di pakai pada penelitian ini tertera pada Tabel 2 (Balitro 2011):
Tabel 2 Komposisi kandungan zat kimia pada ekstrak etanol purwoceng
Zat yang terkandung pada akar
purwoceng
Kadar zat yang terkandung pada
akar purwoceng
Alkaloid Saponin
Tanin
Fenolik Flavonoid
Triterfenoid
Steroid
Glikosida
+++ -
+
- +++
+
+
+ Keterangan : - negatif; + positif lemah; ++ positif; +++ positif kuat;
++++ positif kuat sekali
Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat
dan Aromatik, menunjukkan bahwa zat yang terkandung di dalam akar purwoceng
adalah flavonoid, tanin, steroid, triterfenoid, glikosida, dan alkaloid. Flavanoid,
alkaloid, steroid yang terdapat dalam purwoceng merupakan golongan fitoestrogen
yang mampu berfungsi seperti estrogen karena diduga dapat menduduki reseptor
estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Afinitas fitoestrogen
terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen.
Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah berikatan dengan reseptor
estrogen. Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid merupakan
antioksidan. Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15
atom karbon sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari senyawa
polifenol menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan
neoflavonoid. Purwoceng memiliki dua bahan aktif yang berfungsi sebagai prekursor
estrogen di dalam tubuh yaitu flavonoid dan steroid. Jika dibandingkan keduanya,
flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan dibandingkan steroid, karena pada
hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat, sedangkan steroid positif
lemah (Balitro 2011). Bahan-bahan yang ada pada purwoceng ini diduga bersifat
estrogenik, maka diduga bahwa purwoceng dapat mempengaruhi kondisi ambing
tikus pada saat menyusui.
23
Setiap kelenjar terdiri atas beberapa lobus. Lobus yang satu dengan lobus
yang lain dihubungkan dengan jaringan pengikat yang disebut stroma. Tiap lobus
terdiri atas saluran-saluran yang dikenal dengan duktus laktiferus. Percabangan
duktus ini dipengaruhi hormon mamogenik. Percabangan duktus laktiferus
membentuk ranting-ranting terminal yang disebut lobulo-alveola. Lapisan lobulo-
alveolar menyusun permukaan sekretori (epitel) tempat proses sintesis susu terjadi
(Turner dan Bagnara 1995). Knight dan Peacker (1982) mengemukakan bahwa
selama kehidupan hewan, kelenjar susu tersebut kemungkinan mengalami perubahan
lebih banyak dan lebih besar dalam ukuran, struktur, komposisi dan aktivitas
dibandingkan jaringan atau organ lainnya. Perubahan tersebut dimulai sejak stadium
fetus sampai kelenjar mencapai pematangan dan kemudian pada periode dewasa
hanya sedikit mengalami pengerasan dan surut kembali mengikuti daur reproduksi.
Pertumbuhan kelenjar susu merupakan proses yang sangat kompleks karena
dipengaruhi oleh faktor instrinsik (kontrol lokal) pada kelenjar itu sendiri maupun
pada keseluruhan hewan (kontrol sistemik) sebagai pengaruh eksternal seperti
lingkungan, iklim dan makanan (Knight dan Parker 1982). Hurley (2000)
mengemukakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu terjadi selama lima fase yang
berbeda yaitu: prenatal, sebelum pubertas, selama pubertas, selama kebuntingan dan
awal laktasi. Pada waktu lahir, kelenjar susu terdiri atas sistem duktus yang masih
kurang berkembang dibandingkan dengan bagian stroma. Namun ketika memasuki
masa pubertas, terjadi pemanjangan duktus ke dalam stroma. Pada siklus estrus
pertama, sistem duktus tumbuh dengan cepat melebihi laju pertumbuhan tubuh
umumnya yang dikenal dengan pertumbuhan allometrik. Pada tikus pertumbuhan
allometrik diteruskan untuk beberapa siklus estrus dan kembali lagi ke pertumbuhan
isometrik sama seperti organ-organ tubuh lainnya. Alveoli yang sesungguhnya pada
kelenjar susu masih belum terbentuk sampai konsepsi. Pada saat konsepsi, terjadi
pemanjangan duktus pada pembentukan alveoli serta permulaan perletakan bantalan
lemak (Tucker 1987). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat
dipengaruhi oleh hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, dan laktogen
plasenta (Fahey 1998). Purwoceng yang mengandung bahan estrogenik yaitu
24
flavonoid diduga dan diharapkan turut berperan seperti estrogen endogen di dalam
tubuh yang dapat merangsang peningkatan pertumbuhan duktus pada kelenjar susu
selama laktasi.
Total pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan berkisar antara 48%
sampai 94%, bergantung pada masing-masing spesies. Pada tikus, kira-kira 12%
pertumbuhan kelenjar susu terjadi sebelum konsepsi, 48% terjadi selama kebuntingan
sedangkan sisanya terjadi selama laktasi (Tucker 1987).
Pertambahan Bobot Badan Anak Betina yang Diberi Purwoceng
Pertambahan bobot badan dari 10 ekor anak tikus betina dari 3 ekor induk
yang dicekok ekstrak etanol purwoceng dibandingkan dengan pertambahan bobot
badan dari 11ekor anak tikus betina dari 3 ekor induk kontrol yang tidak diberi
perlakuan, Pertambahan bobot badan anak betina pada kelompok tikus yang diberi
purwoceng secara umum cenderung tidak berbeda dibandingkan dengan pertambahan
bobot anak betina tikus kontrol. Hasil analisa statistik yang didapat tidak berbeda
nyata antara kelompok tikus perlakuan dengan kontrol (p>0.05). Rataan pertambahan
bobot badan anak tikus betina tiap minggu selama 21 hari disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan pertambahan bobot badan anak tikus betina yang dicekok purwoceng
dan kontrol.
Induk Σ anak tikus betina
Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Betina (g)
Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3
Perlakuan Kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol
A 2 4 3.75 3.02 9.50 8.35 14.93 13.15
B 5 3 3.96 5.63 10.02 14.33 19.68 23.43
C 3 4 3.60 2.15 9.73 6.35 16.23 12.64
Rata-rata 3.77±0.18 3.60±1.18 9.75±0.26 9.68±4.15 16.95±2.45 16.41±6.09
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 5%.
Rataan bobot badan anak betina perlakuan cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol, kecuali untuk induk B rataan bobot badan anak betina
perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan anak betina kontrol (untuk setiap
minggunya). Hal ini disebabkan jumlah anak keseluruhan untuk induk B perlakuan
lebih banyak dibandingkan dengan kontrol. Menurut Tuju (2001) pertumbuhan dan
daya tahan anak selama prasapih dipengaruhi oleh jumlah anak, bobot lahir anak dan
25
tingkat produksi susu induk selama laktasi. Produksi susu induk selama laktasi
dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel kelenjar susu selama periode
kebuntingan, awal laktasi (Tucker 1987), laju penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar
serta kelengkapan perangkat sintesisnya selama laktasi, dan laju involusi sel-sel
kelenjar (Wilde dan Knight 1989). Jumlah anak yang berbeda setiap induk
merupakan faktor penyebab dari rataan bobot badan anak betina yang tidak
menampakkan perbedaan.
Fitoestrogen yang terkandung pada ekstrak etanol purwoceng pada induk
laktasi memberikan peningkatan terhadap hormon estrogen. Menurut Ganong (1994),
Pada jaringan ambing, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi saluran
epitelium, menginduksi aktivitas mitotik saluran sel-sel silindris, dan menstimulasi
pertumbuhan jaringan penyambung. Semakin aktifnya pertumbuhan dan diferensiasi
pada duktus kelenjar mamae akan meningkatkan produksi susu pada induk laktasi.
Menurut Forbes (1992), estrogen di dalam plasma dapat meningkatkan metabolisme
lemak di dalam jaringan adiposa. Di dalam jaringan adiposa terdapat reseptor
estrogen, sehingga estrogen dapat berperan dalam peningkatan metabolisme lemak.
Meningkatnya produksi susu pada jaringan ambing induk laktasi dan kemungkinan
meningkatnya konsentrasi estrogen pada jaringan adiposa anak tikus betina akan
menambah bobot badan anak tikus betina seperti yang terjadi pada anak tikus jantan.
Pertambahan Bobot Badan Anak Betina dan Jantan yang Diberikan Purwoceng
Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi terhadap
peningkatan bobot badan anak jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Rataan perkembangan bobot badan anak betina dan jantan perlakuan.
0
5
10
15
20
minggu I minggu II minggu III
Jantan perlakuan Betina perlakuan
26
Androgen ialah senyawa steroid produk dari testis, ovarium, korteks adrenal,
dan kemungkinan juga dari plasenta. terdapat lima senyawa androgen yang penting
yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA); ∆4-androstene-3, 17-dion; testosterone; 11β-
hidroksi-∆4-androstene-3, 17-dion; dan adrenosteron. Androgen yang paling aktif
adalah androsteron dan testosteron, masing-masing memberikan aktivitas biologis
sebesar satu unit internasional pada jumlah μg (androsteron) dan 13-16 μg
testosteron. Peningkatan sintesis protein di dalam tubuh dapat meningkatkan bobot
badan tubuh. Meningkatnya produksi susu pada induk laktasi yang diberi purwoceng
ditambah dengan efek anabolik hormon androgenik yang dikandung purwoceng
menyebabkan bobot badan jantan lebih tinggi dari bobot badan betina.
Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi
kolesterol kemudian kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi
menjadi progesteron. Dari pregnenolon menjadi progesteron melalui beberapa
perubahan hingga menjadi testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig
akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses
pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya
steroid binding globulin (β-globulin) yang disekresikan oleh sel sertoli akibat adanya
rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah
berada dalam keadaan terikat dan sisanya merupakan testosteron yang bebas masuk
ke organ target. Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim α-reductase dalam
sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat
bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Johnson dan Everitt 1984).
Menurut Rudiono (2005) pemberian hormon testosteron pada kambing kacang
betina dengan dosis 0.77 mg/kg BB/hari pada umur 7-9 bulan memberikan hasil
terbaik dan mampu meningkatkan ukuran fibril otot longisimus dorsi, otot rectus
femoris, dan luas mata rusuk, namun tidak meningkatkan bobot otot-otot tersebut.
Pemberian hormon testosteron secara berlebih, yakni sampai dengan 2.31 mg/kg
BB/hari, tidak mampu memberikan respon positif terhadap perkembangan otot.
Kemungkinan hal tersebut terjadi karena testosteron mampu merangsang peningkatan
pengeluaran hormon lain, seperti Growth Hormone (GH) dari hipothalamus dengan
27
optimal. Selanjutnya GH memacu pembentukan jaringan otot melalui peningkatan
aktivitas ribosom serta peningkatan produksi DNA oleh inti sel.
BAB V
PENUTUP
Simpulan
1. Bobot badan anak yang diberi ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi
tidak berbeda dengan bobot badan anak tikus kontrol.
2. Bobot badan anak jantan tidak berbeda dengan bobot badan anak betina yang
induk dari keduanya diberi ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian efek ekstrak etanol purwoceng dengan dosis optimum
yang efektif diberikan, serta perlu adanya penambahan jumlah sampel tikus untuk
mendapatkan data statistik yang lebih akurat.
2. Perlu dilakukan penelitian pemberian ekstrak etanol purwoceng pada tikus
bunting untuk membandingkan hasil dari pemberian ekstrak etanol purwoceng
pada tikus laktasi.
3. Perlu dilakukan penelitian tentang efek pemberian ekstrak etanol purwoceng
terhadap kadar hormon estrogen pada induk laktasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar NS. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya untuk
menjaga stamina. Makalah pada seminar setengah hari “Menguak Manfaat herbal
bagi Vitalitas Seksual”. Jakarta, 13 Oktober 2001. Hlm 8.
[BALITRO] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Laporan Hasil Uji
Fitokimia Purwoceng. Bogor.
Barnes S, Kim H. 1998. Soy isoflavone, estrogens and growth factor signaling. The soy
connection news letter Vol 6. http://www.soyfoods.com/nutrition/isoflavone.html.
[27 Oktober 2004]
Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap sistem
reproduksi tikus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 73 hlm.
Caropeboka AM, Lubis I. 1975. Pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia akar Pimpinella
alpina (Purwoceng). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Obat I. Bogor, 8-9
Desember 1975. Bogor: Bagian Farmakologi-Dept. Fisiologi dan Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Hewan-IPB. Hlm 153-158.
Cowie AT. 1980. The Mammary Gland and Lactation. London: William Heinemann Medical
Book.
Fahey TD. 1998. Anabolic androgenic steroid: mechanism of action and effect on
performance. http://www.sportsci.org/encyc. [3 Maret 2011]
Forbes JM. 1992. Effects of estradiol 17p on voluntary food intake in sheep and
goats. J. Endocrinol. 52:viii.
Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran Bagian III. Edisi ke-7. Jakarta: EGC.
Hapsari S. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina)
selama1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus
sp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian bogor.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Bandung: Penerbit ITB.
Harkness JE, Wagner JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents. 3rd Ed.
Lea and Febiger. Philadelphia.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Cetakan I. Badan Litbang Departemen
Kehutanan. Jakarta.
30
Hurley WL. 2000. Lactation biology ANSCI 308.
http//www.classes.acces.uiuc.edu/AnSci308/index.html. [24 April 2011].
Ibrahim M. 2001. Isolasi dan uji aktivitas biologi senyawa steroid dari lintah laut, Discodoris
sp. [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Johnson M, Everitt B. 1984. Essential Reproduction. 2nd
Ed. London and Beccles: William
Clowes limited.
King MW. 2004. Steroid hormones. http://web.indstate.edu/thcme/mwking. [8 Maret 2011].
Knight W, Peacker M. 1982. Development of The Mammary Gland. J. Reprod. Fert. 65:
521-536.
Kosin AM. 1992. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar Pimpinella alpina Molk.
(Purwoceng) terhadap anak ayam jantan [skripsi]. Bogor: Universitas Pakuan,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Biologi.
Kurnia ML. 2011. Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina)
selama 13-21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus Putih
(Rattus sp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Malole MBM, Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan Laboratorium.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Antar Universitas Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Prajoko S. 2010. Purwoceng, the viagra of java.
http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2010/11/20/purwoceng-the-viagra-of-
java/. [10 Maret 2011].
Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2005. Ciri agronomis, mutu dan lingkungan tumbuhan tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan
MOLK.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII; Bogor,
15-16 September 2005.
Rostiana O et.al. 2003. Eksplorasi potensi purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potensi
genetik menunjang industri obat tradisional afrodisiak. Laporan teknis Penelitian
Penguasaan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Tahun 2003/2004. Bogor: Balitro.
Rudiono D. 2005. Pengaruh Hormon Testosteron dan Umur Terhadap Perkembangan Otot
pada Kambing Kacang Betina [skripsi]. Lampung: Jurusan Produksi Ternak, Fakultas
Pertanian Universitas Lampung,.
31
Sidik, Sasongko, Kurnia E dan Ursula. 1985. Usaha isolasi turunan kumara dari akar
purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) asal dataran tinggi Dieng. Prosiding Penelitian
Tanaman Obat I. Bogor.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. The Care, Breeding and Management of Experimental
Animals for Research in the Tropics International Development Program of
Australia Universities and College (IDP). Canberra.
Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. B. Sumantri, penerjemah. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng)
dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar
testosterone, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan
Sprague dawley [tesis]. Semarang: Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas
Diponegoro.
Tjitrosoepomo G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan.Yogyakarta: Universitas gajah
Mada Press. 447 hlm.
Tocang. 2010. Agen tikus putih. http://tocang.blogspot.com/2010/07/agen-tikus-putih.html.
[10 Maret 2011].
Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetricts and Gynecology. J.
dairy Sci. 44 (4): 836-42
Tucker HA. 1987. Quantitative stimate of mammary growth during various physiological
states: A review. J. dairy Sci. 70: 1958-1966.
Tuju EA. 2001. Peningkatan sekresi hormon kebuntingan melalui superovulasi untuk
meningkatan efesiensi reproduksi pada tikus putih. Disajikan pada Seminar Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Turner CD, Bagnara JT. 1995. Endokrinologi Umum. Harsojo, penerjemah; Surabaya:
Universitas Airlangga. 746 hlm.
Veterinary Library. 1996. The labrotary rat. http://www.animalz.co.nz/library/small
pet/rats.html. [9 Februari 2011].
Wilde CJ, Knight CH. 1989. Metabolic adaptions in mammary growth during the declining
phase of lactations. J. dairy Sci. 72: 1697-1692.
32
33
34
Lampiran 2 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Jantan Minggu
ke-1
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Column 1 3 12.55 4.183334 0.365835
Column 2 3 9.53 3.176667 1.462433 ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1.52007 1 1.52007 1.662852 0.266729 7.708647
Within Groups 3.656536 4 0.914134
Total 5.176606 5
Lampiran 3 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Jantan Minggu
ke-2
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Column 1 3 31.15 10.38333 0.645832 Column 2 3 29.05 9.683333 18.81823 ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 0.735002 1 0.735002 0.075524 0.797068 7.708647 Within Groups 38.92813 4 9.732033 Total 39.66313 5
Lampiran 4 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Jantan Minggu
ke-3
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Column 1 3 54.56666 18.18889 15.57954 Column 2 3 50.79 16.93 48.6553 ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 2.377198 1 2.377198 0.074016 0.799043 7.708647 Within Groups 128.4697 4 32.11742 Total 130.8469 5
35
Lampiran 5 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Betina Minggu
ke-1
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Column 1 3 11.31 3.77 0.0327 Column 2 3 10.8 3.6 3.2799 ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 0.04335 1 0.04335 0.026173 0.879322 7.708647 Within Groups 6.6252 4 1.6563 Total 6.66855 5
Lampiran 6 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Betina Minggu
ke-2
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Column 1 3 29.25334 9.751112 0.067837 Column 2 3 29.03 9.676667 17.24013 ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 0.008313 1 0.008313 0.000961 0.976759 7.708647 Within Groups 34.61594 4 8.653985 Total 34.62425 5
Lampiran 7 Analisa Data Hasil Penimbangan Bobot Badan Anak Tikus Betina Minggu
ke-3
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance
Column 1 3 50.84334 16.94778 6.023446 Column 2 3 49.22 16.40667 37.06043 ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 0.439204 1 0.439204 0.020388 0.893362 7.708647 Within Groups 86.16776 4 21.54194 Total 86.60696 5