Edisi 01/Mei/2014Edisi 01/Mei/2014 Edisi Perdana Historis Makna Sebuah Nama Esai Novrianto H Sihite...
Transcript of Edisi 01/Mei/2014Edisi 01/Mei/2014 Edisi Perdana Historis Makna Sebuah Nama Esai Novrianto H Sihite...
Edisi 01/Mei/2014
Edisi 01/Mei/2014
Edisi Perdana
Historis
Makna Sebuah Nama
Esai
Novrianto H Sihite Zapin : Eksistensi Seni Tari Melayu
Bimo Raka Sephano Oksidentalisme Hassan Hanafi
Arjuna Putra Aldino Restoran Versus Warung Makan
Suyatno Permainan Anak di Ambang Modernitas
Kendy Fralinang Membangkitkan Roh Budaya Gotong-Royong
Puisi
Novrianto H Sihite Titik Terang
Kendy Fralinang Balada Si Anak Kampang
Tri Handika Putra Senja
Nicko Mardiansyah Kamu Itu
Julio Hutabarat Puncak refleksi
Edisi 01/Mei/2014
Historis
Tepat tanggal 3 mei 2014, kami bertemu dalam sebuah kondisi objektif yang
menimbulkan kemandekan pemikiran, kebebalan merancang sebuah strategi untuk merubah
kenyataan yang kita hadapi. Kenyataan yang ada di depan mata sangat memprihatinkan kami
dimana manusia terjebak oleh kemudahan dan kecepatan yang merupakan janji agung
peradaban. Hingga akhirnya nalar kita hanya sekedar ingin mengetahui apa yang terjadi, namun
tak mau mencari mengapa hal itu terjadi. Semua cita-cita bahkan azaz tumbang dan tak mampu
berkata ketika ia di hadapkan pada fenomena yang memang penuh teka-teki itu.
Namun kenyataan tetap harus kita jawab, tanpa mengabaikan cita-cita, keyakinan dan
azaz yang ada dalam genggaman. Kenyataan itu harus kita jawab dengan cara yang tak lagi
jumud, karena kejumudan cara hanya menimbulkan kerumitan pada kenyataan yang hendak kita
rengkuh. Pikiran yang jumud dan konservatif, bukanlah pikiran yang mampu memandang masa
depan dengan cerah, tak mampu menangkap kebaruan aneka peristiwa. Ia tak mampu berkutik di
tengah kenyataan yang pelik. Ia hanya berkutat di dalam lorong-lorong yang gelap nan sempit.
Oleh karena itu, sebagai tanggapan terhadap keyataan yang terjadi itu, kami berkeyakinan
memilih seni sebagai senjata perjuangan. Seni bagi kami adalah tonggak, tonggak yang mampu
memecah kebekuan, kejumudan dan kemandekan.
Dengan segenap kesadaran, kami meyakini bahwa seni bukanlah hal yang terpisah dari
kehidupan, ia lahir dari kehidupan. Maka ia tak mampu diandaikan berjalan sendiri. Ia tetap
memuat nafas kehidupan dimana seni itu lahir. Namun bagi kami, seni tak bisa sekedar di
lahirkan dari kehidupan. Untuk itu, ia harus hadir untuk kehidupan, tentu untuk kehidupan yang
lebih baik. Kelahirannya untuk perubahan, perubahan menuju tata dunia baru, dunia yang adil
dan berperi kemanusiaan.
Edisi 01/Mei/2014
Makna Sebuah Nama
DIPANTARA, istilah ini diambil dari Kerajaan Singasari, untuk menunjuk menunjuk
wilayah yang berada di antara dua samudra. DIPANTARA pun dimaknai sebagai benteng
pertahanan yang dibangun oleh Singasari. Dalam era Majapahit nama DIPANTARA kemudian
dikenal dengan istilah Nusantara. Arti kedua istilah itu tidak berbeda. Nama DIPANTARA atau
Nusantara ini, menurut Pramoedya Ananta Toer, adalah nama yang seharusnya disandang untuk
negara ini—bukan Indonesia.
Akan tetapi, penggunaan nama DIPANTARA pada jurnal ini, terlepas dari persoalaan
“nama yang seharusnya untuk negara ini”. Nama DIPANTARA dipilih setelah melalui proses
diskursus yang cukup panjang mengenai kebudayaan Indonesia saat ini. Bagi kami, budaya
Indonesia setelah 1965 telah dipegang oleh ‘sekelompok’ intelektual dan budayawan yang justru
menjauhkan budaya dari realitas masyarakat itu sendiri. Kekerasan ’65 menyebabkan budayawan
yang berpihak pada kondisi masyarakat diberangus. Akhirnya, seni dan sastra—sebagai bentuk
paling riil dari kebudayaan—menjadi hanya sekedar soal keindahan saja, tapi terpotong dari
realitas masyarakat. Singkatnya, seni dan sastra menjauh dari bumi, dan berada hanya di langit.
Kondisi ini tentu saja berimplikasi langsung pada pola kebudayaan generasi negeri ini.
Generasi saat ini telah terbiasa mengenal kebudayaan hanyalah sekedar romansa kejayaan dan
nilai filosfis di dalamnya saja. Kebudayaan dipandang sebagai suatu bentuk gagasan yang
terpisah dari kenyataan. Akibatnya, di tengah pergunjingan makna filsofis dan kekaguman
terhadap kebudayaan, sumber kebudayaan itu sendiri telah rusak. Ketidaksadaran bahwa filosofi
kebudayaan tercipta dari pemikiran yang kritis dan sumber materil yang terjaga, membuat
budaya negeri ini menjadi tidak berkepribadian. Hanya kacung negara-negara maju.
Oleh karenanya, dengan melihat kondisi objektif kebudayaan Indonesia saat ini, pada
tanggal 3 Mei 2014 kami memutuskan mendirikan Jurnal Lembar Kebudayaan DIPANTARA.
Maksudnya, agar jurnal ini mampu menjadi suatu benteng terhadap arus yang merusak budaya
kepribadian nasional Indonesia, baik dari luar ataupun dalam negeri. Menjadi benteng di antara
dua himpitan musuh. Selain itu, Lembar Kebudayaan DIPANTARA ini diharapkan mampu
menjadi pionir yang menggalang kembali kekuatan-kekuatan kebudayaan rakyat yang telah lama
terbenam.
Edisi 01/Mei/2014
ZAPIN: EKSISTENSI SENI TARI MELAYU
Novrianto H Sihite
“Tari zapin dikembangkan berdasarkan unsur sosial masyarakat dengan ungkapan ekspresi
dan wajah batiniahnya. Tarian ini lahir di lingkungan masyarakat Melayu Riau
yang sarat dengan berbagai tata nilai”
Seni Tari adalah gerak indah dan berirama yang mengandung dua unsur penting: gerak
dan irama. Gerak merupakan gejala primer dan juga bentuk spontan dari kehendak yang terdapat
di dalam jiwa; sementara irama adalah bunyi teratur yang mengiringi gerak tersebut. Gerak
tarian biasanya diinspirasikan dari pengalaman hidup sehari-hari.
Satu tari tradisional Melayu yang sangat mengakar dan populer adalah Tarian Zapin. Tari
ini merupakan satu dari beberapa jenis tarian Melayu yang masih eksis sampai sekarang. Tarian
ini diinspirasikan oleh keturunan Arab yang berasal dari Yaman.
Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kreasi tari Zapin yang identik dengan budaya
Melayu maupun dalam hal berpantun. Seniman dan budayawannya mampu membuat seni
tradisinya, tidak mandek tapi penuh dinamika yang selalu dapat diterima dalam setiap keadaan.
Tarian tradisional ini bersifat edukatif dan sekaligus menghibur, digunakan sebagai media
dakwah Islamiyah melalui syair lagu-lagu zapin yang didendangkan.
HISTORISITAS ZAPIN
Zapin merupakan tarian yang dilakukan oleh para mubaligh timur tengah yang datang ke
Nusantara sekitar abad ke-15. Kebanyakan mubaligh arab ini berasal dari Tanah Arab dan Persia.
Tarian Zapin ini berasal dari dialek Yaman yang pada awalnya dikenal dengan nama Zaffana.
Menurut sejarah, tarian Zapin pada mulanya merupakan tarian hiburan di kalangan raja-raja di
istana setelah dibawa dari Yaman oleh para pedagang-pedagang di awal abad ke-16.
Edisi 01/Mei/2014
Masyarakat Melayu termasuk seniman dan budayawannya memiliki daya kreasi yang
tinggi. Kata “tari” merupakan adaptasi dari bahasa arab yang bermula “tar”, yaitu sebuah nama
alat musik dari timur tengah. Dahulu buku “ Kitab Al-Raqsh Wa’l-zafn” yang bercerita tentang
tarian Islam pertama kali yang memengaruhi kesenian tari Indonesia di daerah Riau. Al-zafn
yang berarti tari zapin tumbuh subur di daerah Riau dan berkembang dimana-mana. Serampang
Dua Belas adalah tarian populer sebagai peninggalan Kerajaan Islam di Riau.
Bentuk tari zapin biasanya bergerak mengikuti alunan musik tradisional yang bergenre
Samrah. Instrumen musik ini bisa pula berupa Biola, Gambus dan Marwas/Marawis. Penari
biasanya menggerakkan kaki ke arah depan dan belakang. Jumlah penarinya tidak ditentukan,
namun biasanya penari dibuat berpasang-pasangan. Satu pasangan terdiri dari dua penari yang
saling berinteraksi melalui gerak tubuh yang berbeda namun berirama dan saling melengkapi.
Sebutan zapin umumnya dijumpai di Sumatera Utara dan Riau, sedangkan di Jambi,
Sumatera Selatan dan Bengkulu menyebutnya dana. Julukan bedana terdapat di Lampung,
sedangkan di Jawa umumnya menyebut zafin. Masyarakat Kalimantan cenderung memberi nama
jepin, di Sulawesi disebut jippeng, dan di Maluku lebih akrab mengenal dengan nama jepen.
Sementara di Nusatenggara dikenal dengan julukan dana-dani.
Zapin adalah khazanah tarian rumpun Melayu yang menghibur sekaligus sarat pesan
agama dan pendidikan. Tari ini memiliki kaidah dan aturan yang tidak boleh diubah namun dari
masa ke masa namun keindahannya tak lekang begitu saja. Nikmati dendang musik dan syairnya
yang legit. Tari zapin dikembangkan berdasarkan unsur sosial masyarakat dengan ungkapan
ekspresi dan wajah batiniahnya. Tarian ini lahir di lingkungan masyarakat Melayu Riau yang
sarat dengan berbagai tata nilai. Tarian indah dengan kekayaan ragam gerak ini awalnya lahir
dari bentuk permainan menggunakan kaki yang dimainkan laki-laki bangsa Arab dan Persia. Tari
Zapin berkembang di Nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Islam yang dibawa
pedagang Arab dari Hadramaut.
Tari zapin tertua di Indonesia tercatat ada di Flores, Nusa Tenggara Timur, Ternate dan
Ambon, serta rupanya juga berkembang di Pontianak, Kalimantan dengan sebutan Japin. Di
Indonesia bagian Barat, tari zapin awalnya dikenal di Jambi baru kemudian tumbuh di Riau dan
kepulauan sekitarnya. Awalnya tari zapin hanya ditarikan penari lelaki tetapi namun penari
perempuan juga ditampilkan. Kadang juga tampil penari campuran laki-laki dengan perempuan.
Dahulu tari zapin ditarikan di atas tikar madani dan tikar tersebut tidak boleh bergoyang atau
bergeser sedikitpun sewaktu menarikan tari zapin tersebut.
Edisi 01/Mei/2014
Gerak dan ritme tari zapin merupakan media utama untuk mengungkapkan ekspresi
penarinya. Darinya Anda dapat meresapi pengalaman kehidupan, peristiwa sejarah, dan keadaan
alam yang menjadi sumber gerak dalam tari zapin.
Di Riau tari zapin awalnya hanya dilakukan penari lelaki dapat mengangkat status
sosialnya di masyarakat. Saat itu penarinya akan menjadi incaran para orang tua untuk
dijodohkan kepada anak perempuannya. Zapin mempertontonkan gerak kaki cepat mengikuti
hentakan pukulan pada gendang kecil yang disebut marwas. Harmoni ritmik instrumennya
semakin merdu dengan alat musik petik gambus. Karena mendapat pengaruh dari Arab, tarian ini
memang terasa bersifat edukatif tanpa menghilangkan sisi hiburan.
Ada sisipan pesan agama dalam syair lagunya. Biasanya dalam tariannya dikisahkan
keseharian hidup masyarakat melayu seperti gerak meniti batang, pinang kotai, pusar belanak
dan lainnya. Anda akan melihat gerak pembuka tariannya berupa gerak membentuk huruf alif
(huruf bahasa Arab) yang melambangkan keagungan Tuhan.
Kostum dan tata rias para penari zapin lelaki mengenakan baju kurung cekak musang dan
seluar, songket, plekat, kopiah, dan bros. Sementara untuk penari perempuan berupa baju kurung
labuh, kain songket, kain samping, selendang tudung manto, anting-anting, kembang goyang,
kalung, serta riasan sanggul lipat pandan dan conget. Tarian zapin merupakan tarian yang
memiliki banyak ragam dan variasi tergantung daerahnya masing-masing.
Zapin Melayu Johor
Tarian ini merupakan sebuah kesenian yang disaring dari kesenian Arab dan ditujukan
sebagai media/ alat dakwah. Tari Zapin Melayu Johor ini tidak hanya dilakukan di rumah-rumah
namun juga di sekitaran Mesjid atau Surau saat merayakan Maulid Nabi. Beberapa jenis Tari
Zapin Johor diantaranya Zapin Pekajang, Zapin Tengelu, Zapin Lenga dan lain-lain.
Zapin Tenglu
Zapin yang satu ini berasal dari Mersing. Tarian ini tercipta dari gerakan para nelayan
yang sering turun ke laut dan menari di atas kapal mengikuti arus ombak. Gerakannya sendiri
mirip orang terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Setelah itu pinggang, tangan, kaki dan bahu
digerakkan secara stop motion dan kembali melanjutkan gerakan kejut.
Zapin Betawi
Merupakan tari zafin yang berkembang di masyarakat betawi yang bukan kalangan
ulama. Tarian ini berlatar lagu-lagu yang tak harus lagu Arab, tariannya pun dipengaruhi oleh
tarian melayu. Tarian ini sering memperlihatkan pola berpasangan, seperti pria dan wanita.
Edisi 01/Mei/2014
Zapin Melayu
Zapin yang satu ini sangat dipengaruhi oleh budaya Arab. Sifat tariannya yang
menghibur dan edukatif cukup disenangi berbagai kalangan masyarakat melayu, baik dari anak
kecil sampai orang tua, bahkan kakek dan nenek pun senang untuk ikut menggoyangkan badan
bersama. Jenis Tarian ini lebih murni nuansa Arabnya karena menggunakan lagu-lagu yang
berbahasa Arab.
Zapin Bertali
Tarian ini dimainkan di Sanggar Elang Tetak Sedanau, di Kabupaten Natuna, Kepulauan
Riau. Tarian ini dimainkan oleh sepuluh orang dan menghasilkan tarian bersimpul. Butuh
keuletan dan juga ingatan yang tajam untuk mengingat setiap gerakan tarian ini. Sebab, simpulan
tali akan kusut jika gerakan tidak kompak atau para penari lupa akan gerakan yang sudah
terlatih. Tali yang digunakan biasanya akan membentuk sarang laba-laba atau anyaman tikar.
Tari zapin meski sempat diklaim menjadi bagian dari hak milik salah satu negara
tetangga tetapi nyatanya tarian ini telah berkembang sejak dahulu di banyak daerah di Nusantara
dan salah satunya di Riau. Tarian ini tumbuh dalam sejarahnya di beberapa tempat
seperti Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat (Minang Kabau), Lampung,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bengkulu, dan Jakarta (Betawi).
Jenis-jenis tari zapin dikenal banyak sebagai hasil modifikasi seniman tari. Selama tidak
merusak konsep awalnya, inovasi itu tidaklah merusak sebuah karya tari. Jenis-jenis tari yang
dipaparkan disini hanyalah gambaran sebagian besar saja, karena masih banyak lagi,jenis-jenis
tarian zapin yang telah dimodifikasi oleh para seniman tari yang juga tidak kalah indah dan
menawannya.
Edisi 01/Mei/2014
OKSIDENTALISME HASAN HANAFI
Bimo Raka Sephano
“Takkan ada gerakan yang revolusioner tanpa teori yang revolusioner dan takkan ada paraktek
yang bersifat saintifik tanpa adanya teori saintifik sebelumnya” (Marxisme-Leninisme dalam
Louis Althusser. 2007:259)
Sebelum beranjak memahami lebih lanjut apa itu Oksidentalisme Hasan Hanafi, alangkah
baiknya kita mengetahui terlebih dahulu latar belakang sosio-kultural beliau. Hasan Hanafi di
lahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir, merupakan salah satu dari sekian doktor
di bidang filsafat kontemporer terkemuka di belahan dunia bagian Timur. Tempaan pendidikan
di Departemen Filsafat Universitas Kairo pada tahun 1952 telah mengantarkan dirinya sebagai
seorang sarjana di bidang filsafat. Kemudian Hanafi melanjutkan pendidikannya ke jenjang post-
graduate di Universitas Sorbonne, Prancis, kurang lebih selama 10 tahun, yaitu 1956-1966.
Disertasi doktornya yang berjudul, “L’Exegess de la Phenomenologue, L’etat Actuel de
la Methode Phenomenologue et son Application au Phenomene Religieux” merupakan karya
yang sangat monumental. Karya setebal 900 halaman itu mendapatkan penghargaan sebagai
penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Inilah sedikit penjelasan tentang
background Hasan Hanafi (Listiyono Santoso, 2010:268).
Latar belakang pemikirannya dimuai ketika Hanafi melihat suatu realitas benturan suatu
peradaban antara peradaban Barat dan Timur yang cukup memeriahkan ‘rimba’ intelektual
khususnya di Negara kita. Mengedepannya tema ini tidak saja berkisar pada tataran politik-
ideologis, melainkan pada tataran yang lebih mendasar lagi yaitu problem epistemologi sebagai
basis pembentukkan peradaban. Selama ini tema tersebut hanya didominasi dengan sebuah
kecurigaan yang bersifat politik-ideologis dimana Barat selalu memposisikan dirinya sebagi
superior dan Timur tidak lebih dari inferior.
Dalam perspektif sejarah terdapat dua alasan munculya kecurigaan Timur atas Barat,
setidak-tidaknya ada dua alasan yang menguatkan munculnya kecurigaan tersebut. Pertama,
tampilnya negara atau bangsa yang berpengaruh di Barat sebagai negara kolonial (penjajah) atas
negara Timur. Eksploitasi fisik, manusia dan alam yang di lakukan secara besar-besaran yang
berlangsung berabad-abad lamanya yang menelorkan sejumlah problem kemanusiaan berupa
perbudakan dan penindasan yang tentu saja tidak cukup mudah untuk dilenyapkan dari sejarah.
Edisi 01/Mei/2014
Kedua, kolonialisasi tersebut juga memunculkan problem epistemologi yang berbeda
dengan spirit peradaban Timur, yaitu berupa dominasi kesadaran kognitif oleh Barat melalui
penciptaan citra Timur secara negatif.
Secara epistemologi, kolonialisasi adalah suatu ‘proyek’ masyarakat Barat untuk
menciptakan sebuah peradaban yang lebih maju dari pada sebelumnya. Bagi masyarakat Barat
peradaban Timur dianggap sebagai masyarakat yang tak berperadaban, primitif dan masih
didominasi oleh mitos dan takhayul, yang harus diubah melalui semangat modernisasi. Pada
perkembangan selanjutnya, proyek modernisasi tersebut merubah tatanan masyarakat di belahan
dunia bagian Timur yang cenderung terpola dalam bentuk dominasi baru, yaitu bentuk dominasi
kesadaran Eropa atas Timur. Kesadaran yang ditanamkan pada masyarakat Timur secara ekstrim
adalah kesadaran masyarakat modern dengan representasi masyarakat Eropa modern.
Kemudian proyek inilah yang dianggap oleh Hanafi secara politis sebagi bentuk
Westernisasi, sebuah cerminan dari Bratsentrisme atau Europosentrisme yang dipaksakan secara
ideologis dalam ruang kesadaran masyarakat dunia Timur. Pada awalnya westernisasi ditebarkan
melalui kolonialisme fisik, tetapi seiring berkembangnya zaman fenomena westernisasi
ditebarkan dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan. Hal ini menurut Edward
Said (dalam Listiyono Santoso 2010:264), terjadi karena Barat menggulirkan ego suprematf
kulturnya melalui Orientalisme yang dibungkus sedemikian rupa secara ilmiah. Orientalisme
merupakan seperangkat kajian ilmiah Barat atas Timur. Sayangnya, hal ini tidak dijadikan
sebagai penentuan pengembangan paradigma dunia Timur, tetapi malah justru menjadikan dunia
Timur sebagai ‘ruang’ eksploitatif bagi kepentingan Barat.
Melalui orientalisme Barat menciptakan sejumlah istilah-istilah yang cenderung stigmatik
atas Timur. Citra negatif dunia Timur dengan terminologi ‘terbelakang’, ‘dunia ketiga’, dan
sebagainya yang terus menerus direproduksi agar ruang kesadaran masyarakat Timur terbebani
dengan citra itu.
Tulisan ini pada dasarnya lebih difokuskan pada karya monumental Hanafi tentang
Oksidentalisme. Terminologi Oksidentalisme yang memiliki kata dasar oksident bararti Barat,
disadari merupakan istilah (ilmu) yang digulirkan oleh Hanafi yang berhadapan dengan
Orientalisme. Oksidentalisme ini terlahir dari realita historis berupa tampilnya superioritas Barat
melalui alat pandangnya atas dunia Timur yang lazim dsebut Orientalisme.
Edisi 01/Mei/2014
Ikhtiar dasar yang dikembangkan dalam oksidentalisme adalah perlunya melakukan
pembacaan ulang atas berbagai terminologi yang sudah sering digunakan, baik dalam tradisi
klasik maupun modern Barat. Pembacaan ulang ini dapat meruntuhkan otoritas yang selama ini
membelenggu ‘peluang’ pilihan pengetahuan manusia melalui dominasi epistemologi Barat
modern. Dominasi epistemologi Barat pada dasarnya merupakan suatu bentuk ‘pemerkosaan’
atas realitas penulisan sejarah yang mana selalu menguntungkan pihak Barat dan menindas pihak
Timur. Hanafi mejelaskan (2000:37, dalam Listiyono Santoso 2010:292),
“Tugas oksidentalisme disini adalah mengembalikan keseimbangan kebudayaan umat
manusia, menggantikan timbangan yang tidak seimbang yang hanya menguntungkan
kesadaran Eropa dan merugikan kesadaran non-Eropa. Ia bersikap seolah-olah hanya
pihak Baratlah satu-satunya tipe produsen. Ketidakadilan sejarah ini akan tetap
menimpa kebudayaan yang tidak istimewa dalam perjalanannya menuju istimewa.”
Bahkan Hanafi menjelaskan (2000:39, dalam Listiyono Santoso 2010:292-293),
“Oksidentalisme ditugaskan untuk meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan
eropasentrisme, untuk kemudian dilakukan penulisan ulang atas sejarah dunia dengan
kacamata yang lebih objektif dan netral serta lebih bersikap adil terhadap seluruh
peradaban manusia dalam sejarah dunia.”
Melalui penegasan dan tujuan dari oksidentaisme, Hanafi berusaha untuk mengakhiri
mitos Barat sebagai representasi umat manusia dan sebagai pusat kekuatan. Mitos ini perlu
diakhiri agar dunia Timur mampu melakukan suatu pembebasan yang tidak di hantui oleh
superioritas Barat, suatu pembebasan yang bertumpu pada eksplorasi dan inovasi tradisi sendiri
demi pengungkapan dimensi revolusioner.
Demitologisasi tersebut akan semakin membuka cakrawala kesadaran universal,
bahwasanya sejarah tidak identik dengan sejarah Barat, sejarah manusia bukan sejarah manusia
Barat, dan filsafat tidak hanya filsafat Barat.
Melalui pembacaan ulang atas tradisi inilah oksidentalisme Hanafi menemukan identitas
dirinya sebagai alat untuk membebaskan diri dari semua belenggu dan dominasi Barat atas
Timur. Endingnya adalah, setiap bentuk tradisi akan dipahami sebagai kesetaraan yang berhak
mengakui dirinya sebagai bagian integral dari peradaban universal.
Edisi 01/Mei/2014
RESTORAN VERSUS WARUNG MAKAN
Arjuna Putra Aldino
“Eksistensi Restoran dan Warung Makan beserta manusia yang terlibat di dalamnya
adalah eksistensi ideologis atau habitus tertentu. Walaupun persoalan makanan adalah
persoalan selera. Namun selera merupakan bentuk pernyataan serta penegasan
seseorang mengenai posisinya di dalam tatanan sosial”
Jika dilihat secara sepintas antara Restoran dan Warung Makan (bisa Warteg, Warung
Penyetan pinggir jalan, Burjo, dll) sama-sama tempat orang hendak mengisi perutnya dari
gangguan kelaparan, ia sama-sama tempat orang makan. Namun ketika kita membahas Restoran
dan Warung Makan sebagai objek dan produk kebudayaan, maka kedua hal tersebut merupakan
hal yang eksis yang mempunyai makna yang lebih dari sekedar tempat makan. Berawal dari
wujud ruang atau bangunan antara Restoran dan Warung Makan maka kita akan menemukan
perbedaan yang mendasar.
Restoran yang selalu identik dengan bangunan yang megah, menjulang tinggi dan luas
sedangkan Warung Makan yang identik dengan bangunan yang “seadanya”, seperti beratapkan
terpal atau besi seng, dengan tirai bertuliskan nama warung tersebut dan sederet menu bahkan
ada yang menggunakan bekas spanduk caleg, partai, iklan motor dll. Jika kita hendak berkunjung
ke sebuah restoran yang megah nan mewah maka tak mungkin kita hanya mengenakan celana
kolor, kaos oblong dan sandal jepit apalagi bersarung dan mengenakan peci/kopyah. Pastilah kita
harus berpakaian rapi, dan mengenakan parfum.
Restoran dengan gaya bangunan yang megah, dengan segera ia akan mempengaruhi kita
dalam memilih pakaian. Berbeda ketika kita hendak pergi ke Warung Makan, maka tak perlu
ambil pusing perkara fashion. Cukup dengan celana pendek dan baju apapun. Artinya ia
menyeleksi dengan seolah-olah bangunan itu berkata “siapa yang layak masuk”. Karena
bangunan walaupun objek mati namun ia eksis, eksis sebagai simbol kebudayaan tertentu.
Begitu pula dengan isi perabotan yang ada di Restoran dan Warung Makan. Restoran
dengan isi perabotan mewah seperti kursi yang mulus, meja yang mengkilat, hiasan yang seba
kemilau. Sedangkan di Warung Makan, isi perabotan dengan kursi yang hanya dengan
lempengan kayu yang memanjang bahkan ada pula yang hanya lesehan di emperan toko, meja
yang kadangkala membuat sikut bertabrakan dengan sikut orang lain, dan taplak meja yang
lusuh.
Edisi 01/Mei/2014
Bahkan di Warung Makan, makanan sudah di sajikan di dalam etalase, kita tinggal tunjuk
jari untuk memesan. Tanpa perlu menuliskan menu di sobekan kertas di barengi dengan sapaan
halus pelayan seperti yang terjadi di restoran mewah. Kita bisa memilih makanan secara
langsung dan bersamaan saat pedagang melayani pesanan kita. Tanpa medium dan kekeliruan
pun dapat segera di konfirmasi. Tidak hanya sampai disitu, di dalam Restoran dan Warung
Makan kita akan melihat perbedaan sikap seperti cara makan sampai cara duduk. Di restoran kita
akan melihat orang dengan cara makan dengan sendok/garpu dengan pisau kecil, kunyahan
mulut yang halus serta cara makan yang tertata lainnya dan posisi duduk yang sopan.
Namun ketika kita berada di warung makan, makan dengan tangan kosong atau hanya
dengan satu sendok dan posisi duduk dengan kaki di atas kursi menjadi hal yang lazim. Soal cara
memasak dan cara penyajian pun berbeda antara Restoran dan Warung Makan. Sampai pada cara
pelayanan bahkan apa yang di kenakan oleh si pelayan/pedagang dari fashion sampai cara bicara.
Hal ini menandakan kedua tempat tersebut mempunyai nilai-nilai yang berbeda, yang di yakini
oleh manusia yang terlibat di dalamnya. Semua itu terjadi karena kedua tempat tersebut
mewakili “habitus” yang berbeda pula. Habitus inilah yang membentuk nilai etis dan estetis yang
berlaku di kedua tempat tersebut. Habitus di tentukan oleh posisi sekelompok orang di dalam
kehidupan sosial. Singkat kata ia di tentukan oleh kelas sosial atau basis ekonominya.
Jadi habitus akan berbeda-beda, bergantung pada posisi seseorang dalam kehidupan
sosial. Secara dialektik, jelas struktur kelaslah yang membentuk habitus. Namun seseorang yang
mempunyai posisi yang sama dalam kehidupan sosial cenderung mempunyai kebiasaan yang
sama. Inilah yang selanjutnya disebut Bourdieu sebagai “Logika Ranah”, yakni setiap individu
mempunyai skema mental yang berbeda-beda yang mereka gunakan untuk merasakan,
memahami, dan menilai berdasarkan habitusnya.
Itulah mengapa di dalam Restoran dan Warung Makan mempunyai standar etis (norma)
dan estetis yang berbeda. Habitus berfungsi di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar
kemauan subjektif. Meski cara kerja habitus tak di sadari oleh subjek, namun ia terwujud dalam
aktivitas yang paling praktis dalam kehidupan sehari-hari. Atau di dalam bahasa Althusser,
subjek dalam kesehariannya selalu terus menerus mempraktekan tindakan yang bersifat
ideologis, karena inilah yang menjamin bahwa ia lah subjek yang kongkret dan individual.
Ideologi bersifat praksis material, maka ia tercermin dalam laku tindakan.
Edisi 01/Mei/2014
Bahkan ideologi lah yang menjadikan individu menjadi subjek. Dengan kata lain,
ideologi merupakan pelaksanaan fungsi yang membentuk individu-individu kongkret menjadi
subjek-subjek. Eksistensi Restoran dan Warung Makan beserta manusia yang terlibat di
dalamnya adalah eksistensi ideologis atau habitus tertentu. Walaupun persoalan makanan adalah
persoalan selera. Namun selera merupakan bentuk pernyataan serta penegasan seseorang
mengenai posisinya di dalam tatanan sosial. Melalui selera lah seseorang menggolong-golongkan
objek kultural dan menggolongkan diri mereka sendiri sembari membedakan dirinya dengan
orang lain. Habitus kelas sosial berpengaruh besar dalam membentuk selera. Sehingga Restoran
dan Warung Makan sebagai simbol habitus kelas sosial tertentu cenderung “menempa kesatuan
kelas tanpa sengaja”. Dengan kata lain, kedua tempat tersebut cenderung menjadi tempat
bertemunya subjek-subjek dari habitus yang sama.
Hal yang kerapkali muncul dati pertentangan dua kutub habitus kelas sosial ini, yang
tercermin dalam selera makan (Restoran versus Warung Makan), niscaya akan memunculkan
oposisi biner antara mana yang di anggap budaya tinggi dan budaya rendah. Oposisi biner ini
muncul di karenakan penghuni posisi yang kuat dalam kehidupan sosial akan mempertahankan
dan melindungi kedudukannya atau posisinya dengan cara memberikan derajat yang lebih tinggi
terhadap produk kulturalnya. Mereka mencitrakan dirinya sedemikian rupa, dengan mencitrakan
selera kelasnya sebagai satu-satunya selera yang absah baik dan universal.
Hal ini terjadi di karenakan kelas yang menguasai sumber daya material masyarakat
sekaligus menjadi kekuatan intelektual yang berkuasa. Mereka memiliki kesadaran yang lebih,
sehingga mereka mampu berfikir lebih. Mereka aktif membentuk ilusi-ilusi tentang dirinya dan
kelas sosialnya sebagai sumber utama kehidupan. Seperti berkuasanya Hollywood sebagai
simbol budaya yang banyak di tiru, karena Amerika sebagai penguasa ekonomi dunia. Sementara
kelas yang tidak memiliki atau sedikit memiliki sumber daya material, cenderung bersifat pasif
di karenakan mereka mempunyai sedikit waktu untuk membuat ilusi dan pemikiran tentang diri
mereka sendiri. Waktunya telah di renggut habis oleh kerja materialnya. Pembagian kerja lah
yang memainkan peranan penting dalam hal ini (pembagian kerja mental dan material) serta
faktor hubungan produksi lainnya. Kelas yang berkuasa pastilah akan mempertahankan selera
kelasnya dan menentang selera orang yang berada di kelas yang lebih rendah.
Edisi 01/Mei/2014
PERMAINAN ANAK DI AMBANG MODERNITAS
Suyatno
“Permainan modern menjadikan manusia terbius oleh perkembangan teknologi yang
dapat menumpulkan daya kritisnya. Seseorang yang sudah terbius oleh permainan tersebut
akan tenggelam akibat ketidaksadarannya. Maka kemajuan teknologi seperti itu merupakan
sarana penindasan melalui sebuah sistem yang sedang berjalan”
Setiap orang pasti membutuhkan hiburan untuk sekedar refreshing ataupun untuk
melepas kejenuhan. Hiburan yang ada didunia ini telah berbagai macam jenisnya, salah satunya
adalah pemainan (game). Bahkan permainan pun sangat beragam jenisnya, namun hal itu
merupakan suatu aktivitas bagi setiap orang yang dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun
mereka berada. Namun, permainan seringkali dilakukan oleh anak-anak, sehingga banyak orang
yang mengatakan bahwa bermain adalah dunia anak-anak. Waktu yang dimiliki anak-anak
seringkali mereka gunakan untuk bermain.
Menurut Piaget (1962) dalam teori kognitif memandang bahwa saat bermain, anak tidak
belajar sesuatu yang baru, melainkan belajar untuk mempraktekkan keterampilan yang baru
diperoleh. Dengan bermain, seorang anak akan mendapatkan peran yang sangat penting, yaitu
mengembangkan aspek perkembangannya, seperti aspek fisik atau motorik, melalui permainan
motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar keseimbangan,
kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan juga aspek sosial emosional dan kognitif. Ini
merupakan suatu manfaat yang dapat diambil dari bermain. Permainan yang dapat melatih
perkembangan anak dapat kita jumpai dalam permainan tradisional.
Pada umumnya permainan tradisional merupakan bentuk warisan dari leluhur yang perlu
kita jaga dan lestarikan. Banyak jenis permainan tradisional yang dulu pernah kita temukan
dalam masyarakat kita (khususnya jawa), salah satunya adalah Benthik, Cublak-Cublak Suweng,
Gatheng, Sunda Manda, egrang, Petak Umpat. Peralatan yang dibutuhkan untuk permainan
tradisional mudah di dapat dan tidak harus mengeluarkan uang untuk membelinya. Peralatan
untuk menunjang jenis-jenis permainan tradisional tersebut dapat ditemukan atau mengambil
dari alam. Sebagai contoh, permainan benthik hanya cukup membutuhkan dua buah batang kayu
silinder dengan panjang yang berbeda.
Satu potong kayu panjangnya sekitar 30 cm dan yang satunya sekitar 7-10 cm.
Sedangkan diameternya sama besar, yaitu sekitar 2-3 cm. Ranting pohon tersebut bisa diambil
Edisi 01/Mei/2014
disekitar halaman pekarangan rumah. Cara memainkannya pun mudah, biasanya dilakukan
secara berkelompok dan bersifat kompetitif dengan mengumpulkan poin sebanyak mungkin.
Sebelum permainan dimulai anak-anak membuat lubang di tanah dengan kedalaman 3-4 cm
dengan panjang 7-10 cm.
Dulu di daerah-daerah pedesaan secara khusus masih banyak orang (khususnya anak-
anak) yang memainkan salah satu jenis permainan tradisional. Kini permainan tersebut sudah
mulai tergeser oleh kemajuan teknologi, sehingga semakin sedikit anak-anak yang melakukan
permainan tradisional. Bahkan beberapa anak sudah mulai tidak mengenal jenis-jenis permainan
tradisional, dan lebih mengenal permainan dalam bentuk modern yang semakin ter-difusi.
Hal itu dikarenakan, permainan modern dianggap lebih menarik ketimbang permainan
tradisional, sehingga permainan tradisional pun telah dianggap usang. Salah satu contohnya
adalah Play station (PS), dan Game online. Permainan modern tersebut kini telah diadopsi oleh
masyarakat kita baik itu oleh kalangan anak-anak, remaja maupun dewasa. Dapat kita lihat
dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang memainkan permainan modern tersebut.
Hal itu dikarenakan kedua permainan tersebut lebih variatif dan menarik, bahkan dapat membuat
seseorang terlena dan terhipnotis terhadap permainan modern tersebut.
Kalau kita kritisi, bahwa permainan modern itu pada dasarnya tidak melatih
perkembangan anak, seperti konsep bermain yang dikemukakan oleh Piaget. Bahkan permainan
modern tersebut menjadikan manusia terbius oleh teknologi yang dapat menumpulkan daya
kritisnya. Permainan PS maupun game on line secara tidak langsung telah menindas masyarakat
kita, dan menjadikan seseorang individualis dan konsumtif. Selain itu, seseorang yang sudah
terbius oleh permainan tersebut akan tenggelam akibat ketidaksadarannya. Maka kemajuan
teknologi seperti itu merupakan sarana penindasan oleh sebuah sistem yang sedang berjalan.
Walaupun dunia teknologi tidak dapat terelakan perkembangannya, namun pemerintah
perlu bekerjasama dengan pihak industri permainan untuk menciptakan jenis permainan modern
yang bersifat edukatif namun menarik bagi anak-anak. Selain itu, peran orang tua merupakan hal
yang paling penting. Artinya, setiap orang tua harus mengetahui, mengarahkan dan memfasilitasi
setiap jenis permaianan modern yang bersifat edukatif dan menarik.
Edisi 01/Mei/2014
Permainan modern yang bersifat edukatif ini dapat menunjang perkembangan anak
secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sehingga, dunia bermain tetap dapat dinikmati oleh
setiap anak tanpa harus khawatir akan dampak negatif dari kemajuan teknologi. Walaupun,
terdapat berbagai jenis permainan modern yang bersifat edukatif, namun permainan tradisional
pun harus patut kita jaga dan lestarikan. Hal itu disebabkan, karena permainan tradisional
merupakan warisan dari nenek moyang kita.
Untuk menjaga dan melestarikan permainan tradisional perlu adanya proses sosialisasi
dan motivasi dalam ranah pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan yang didapatkan oleh setiap
orang tidak hanya melalui proses pendidikan formal saja, namun harus juga bersifat informal dan
non formal. Kesemua hal tersebut akan terus digali sepanjang hayat hidupnya. Artinya,
sepanjang manusia masih hidup didunia akan terus mengalami proses pembelajaran. Dalam
proses tersebut setiap orang tidak hanya menjadi objek saja, namun juga menjadi subjek.
Selain itu, seorang yang menjadi pendidik harus memposisikan dirinya sebagai fasilitator
dengan menggunakan konsep ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani. Proses pendidikan tersebut harus mensosialisasikan mengenai budaya permainan
tradisional yang merupakan warisan nenek moyang kita. Dengan menggunakan metode
semenarik mungkin, proses pendidikan tersebut harus memotivasi akan pentingnya pelestarian
permainan tradisional. Baik sosialisasi maupun motivasi, dalam proses pembelajaran setiap
orang diajak secara langsung untuk mempraktekan permainan tradisional tersebut. Dengan
mempraktekan secara langsung lebih mudah dalam memahami cara-cara permainan tradisional.
Edisi 01/Mei/2014
Membangkitkan Roh Budaya Gotong-Royong
Kendy Fralinang
“Gotong Royong menjadi Roh yang memberi semangat Nasionalisme Indonesia dan menjadi
Jiwa rakyat Indonesia dalam kehidupannya bermasyarakat maupun bernegara. Budaya yang
mengedepankan dan menjunjung tinggi “dipikul dan memikul alam” yang menjadikan
kemufakatan tidak hanya didapatkan manusia tetapi juga selaras dengan alam”
Dari judul yang saya angkat pasti kita bertanya-tanya apa sih pentingnya nasionalisme
bagi kita? Mengapa kita harus membahas nasionalisme? Kenapa kita harus membangkitkan roh
gotong royong? Apalagi dengan kondisi sosial pada zaman sekarang yang sangat apatis, cukup
kerja, cukup makan, bisa memperkaya pikiran agar dapat berbicara lebih dari orang lain mungkin
jauh lebih penting. Ditambah isu yang sangat gencar tentang desentralisasi dan referendum
karena kegagalan fungsi pemerintahan oleh oknum-oknum dipusat.
Pertama kita harus menelaah apa itu nasionalisme, nasionalisme adalah suatu ajaran atau
paham tentang kebangsaan “nation”. Menurut Ernest Renan (1882) bangsa adalah suatu nyawa,
azas-akal yang dahulunya bersama-sama menjalani satu nasib atau satu sejarah dan mempunyai
kemauan, keinginan hidup untuk hidup menjadi satu, bukannya jenis (ras), bukan agama,
bukannya persamaan tubuh bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu.1
Sedangkan Otto Bauer bangsa itu adalah persatuan perangai yang terjadi dari persatuan
hal ihwal yang telah dijalani oleh rakyat itu.2
Dari dua tokoh diatas kita lalu mengerti lah apa itu kebangsaan secara umum, terus
Indonesia sendiri memiliki kekhususan sendiri atau tidak? Jawabnya ya. Nasionalisme Indonesia
berbeda dengan nasionalisme Barat, seperti nasionalisme jermania yang dengan “ras aria” yang
menganggap bangsa arya lebih sempurna dari bangsa yang lain dan manganggap bangsa lain
tidak ada, membuat nasionalisme jermania menjadi supra-nasionalisme atau jenggo nasionalisme
atau menjadi chauvinism. Nasionalisme Indonesia itu tidak sama. Ir.Soekarno dalam pidato 1
juni 1945 mengamini perkataan karamchand Ghandi “My Nasionalism Is Humanity”
(nasionalisme saya adalah rasa kemanusiaan).
Yang membuat sebuah perbedaan antara nasionalisme yang hadir di India dan Indonesia,
nasionalisme India karena keinginan mereka bersatu agar kebutuhan mereka tercukupi sendiri
maka dari itu munculah istilah Swadhesi, namun lahirnya nasionalisme di Indonesia yang kaum
kelas atasnya sangat sedikit dan bersifat lokal. Oleh karena itu, nasionalisme Indonesia berbeda
1 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, hal.3
2 Ibid, hal 3
Edisi 01/Mei/2014
dengan nasionalisme India. Nasionalisme Indonesia lahir dari penindasan, Kelaparan,dan
pembodohan yang ditanamkan oleh penjajah. Rakyat Indonesia telah menderita sekian lama
dengan kucuran keringat, darah dan airmata. Oleh karena itu Soekarno menyebutnya bukan
seperti Swadhesinya Mahatma Ghandi di India, tetapi Perjuangan Rakyat Jelata semesta.
Oleh sebab itu dalam pidato 1 juni 1945 Soekarno untuk hasil rapat PPKI tentang dasar
negara Indonesia beliau mengutarakan sebagai negara yang merdeka Indonesia nanti nya
haruslah dibangun diatas sebuah dasar, yang mana dasar itu harus lah lebih besar dari negara ini,
agar setiap suku, setiap faham, setiap agama dapat berdiri diatas nya. Maka beliau mengutarakan
dalam 5 azas atau dasar yang disebut pancasila. Pancasila menjadi filosofi gronslagh bagi setiap
rakyat Indonesia.
Hal pertama yang menjadi dasar yang dikemukakan beliau adalah kebangsaan Indonesia.
Setelah itu yang kedua bahwa kebangsaan kita itu tidak boleh menjadi kebangsaan yang jenggo
maka perlulah adanya perikemanusiaan didalamnya. Kemudian didalam negara ini haruslah
melakukan mekanisme Permusyawaratan. Permusyawaratan tersebut adalah sebuah keputusan
politik maka harus lah untuk rakyat maka keadilan sosial itu harus lah ada dalam dasar ini, yang
kelima negara ini mestilah bertuhan karena beliau bertuhan maka disusunlah Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Beliau juga memeras dari 5 sila tersebut menjadi 3 sila yang sebenarnya sama,
kebangsaan dan perikemanusiaan menjadi sosio-nasionalisme, permusyawaratan dan keadilan
sosial menjadi sosio-demokrasi, dan ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan disini hendaklah kita
laksanakan dengan berbudaya .
Selain dari Indonesia dijajah senyatanya dari zaman dahulu hingga sekarang ada sebuah
budaya yang merupakan akar kemanusiaaan Indonesia yang lahir dari rahim Ibu pertiwi kita, hal
itu yang mendasari kenapa Soekarno mengamini pendapat mahatma Ghandi, dan hal tersebut
yang membuat Soekarno menolak dengan tegas bahwa dia adalah penemu Pancasila, ”saya
bukan sekali lagi bukan penemu pancasila, saya hanya menggali yang sudah ada yakni Gotong
Royong”.3
Gotong Royong menjadi Roh yang memberi semangat Nasionalisme Indonesia, menjadi
jiwa rakyat Indonesia dalam kehidupannya bermasyarakat mau pun bernegara. Yang menjadi
catatan tebal kita adalah Gotong Royong, jika kita melihat budaya individual yang telah
merasuk ke sebagian besar rakyat Indonesia maka tepatlah kita jikalau harus mencetak tebal kata
gotong royong disetiap bagian hidup kita. Bagaimana bisa kebudayaan yang telah mengakar dan
3 Ir.Soekarno,Dibawah Bendera Revolusi II,
Edisi 01/Mei/2014
menjadi tuntunan dalam berkegiatan rakyat Indonesia itu tergusur oleh budaya lain. Budaya yang
mengedepankan dan menjunjung tinggi “dipikul dan memikul alam” yang menjadikan
kemufakatan tidak hanya didapatkan manusia tetapi juga selaras dengan alam.
Dalam bergotong royong kita tidak bahu membahu menaklukkan alam seperti halnya
masyarakat yang hidup dalam empat musim, mereka harus bertahan hidup dalam musim-musim
yang ekstrim oleh sebab itu pada musim yang memungkinkan memperoleh bahan makanan yang
banyak mereka cenderung untuk menaklukkan alam, tidak hanya itu mereka juga harus
berkompetisi dengan sesama manusia dalam upaya untuk mengumpulkan bahan makanan itu.
Sekarang kita melihat ke bangsa kita yang terdiri dari banyak pulau dan kesemua pulau itu dalam
rentang garis khatulistiwa dimana alam sangat bersahabat, panas selalu ada sepanjang tahun,
dengan hasil alam daratan maupun lautan kaya melimpah.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal istilah “duduk sama rendah berdiri sama
tinggi” adapun pepatah “ringan sama dijinjing berat sama dipikul” ini merupakan pepatah yang
lahir dalam kehidupan kita, yang mengartikan kehidupan sama rasa sama bahagia. Gotong
royong jika dalam hal pekejaan tercermin dalam cara kerja koperasi. Kita menghimpun modal
secara bersama dan menggarap modal itu secara bersama-sama pula serta hasilnya akan
dibagikan secara adil.
Maka jika Otto Bauer mengatakan kesatuan perangai hal ihwal, hal ihwal itulah gotong
royong. Nasionalisme Indonesia tidak bisa lepas dari jiwanya gotong royong dari sebelum
kemerdekaan hingga saat ini masih relevan untuk digunakan. Jika individualisme dan
kesenjangan sosial yang sangat hebat jurang pemisahnya antara si miskin dan si kaya kita
benturkan dengan gotong royong maka jawabannya pasti hal itu akan hilang dan musnah,
kemudian keadilan sosial yang kita cita-citakan akan menjadi suatu kenyataan. Oleh sebab itu
mari kita hidupkan roh gotong royong bersama-sama front nasional
Edisi 01/Mei/2014
TITIK TERANG
Novri Sihite
Sore menjelang petang Aroma senja mulai terasa Gadis-gadis desa menyulut obor Mencipta suasana malam agar benderang Malam telah datang Hening kesunyian mulai meredam Anak-anak mulai bersuci Beristirahat untuk menyambut pagi Fajar mulai menyingsing Diiringi ayam jantan yang mulai berkokok Ketika itu pula mereka terjaga dari lelapnya Diburu oleh ketidakpastian mimpi-mimpi dan harapan Ibu kakak dan adik bersiap-siap untuk berjuang Menyambut hari-hari baru yang selalu datang Terus berjuang ditengah kerumunan Untuk hidup yang kian menyengsarakan Merajut asa demi menyongsong masa depan Bertahan…. Tetap bertahan di tiap tekanan Walau jiwa dan raganya dikorbankan Demi mencapai titik terang untuk penuhi kebutuhan
Edisi 01/Mei/2014
BALADA SI ANAK KAMPANG
Kendy Fralinang
Kelaparan dalam harmoni kekenyangan Kelaparan terbuai oleh alunan Aku melihat sahabat ku si abu-abu Berkipas-kipas dengan rupiah Rupiah merah muda 4 angka Ya 4 angka seperti dalam mimpi dan rumusan Kelaparan pikiran dalam simponi kemegahan Kelaparan si anak kampang syair Duduk diatas kursi empuk Terbuai, terbuai, nan terbuai Dahulu kakinya terbenam dalam lumpur Keringat nya bersama kuning bulir padi Ya sahabat ku tak memiliki lagi tanah Tanah telah menjadi sekoper merah 6 angka Satu dua Sembilan sepuluh Sikuning berani kasih 10 angka Sahabatku yang abu-abu tertawa Tak pernah pegang segitu Untuk mekkah untuk roda empat Cukup ya cukup Tong ceng tong ceng sebuah musik Kelaparan sudah lewat Si kuning mandi emas dari dulu Sampai keturunan ketujuh tak akan makan bubur
Dari bayi dalam ayunan emas Emas emas emas bukan mas mas Tak kenal kelaparan dalam suara alam Alam memberi saudara dan sahabat makan Saudara si abu-abu adalah alam Si saudara adalah raja dan anak alam Menjalin sahabat bersama kuning didalam alam Kuning mencari emas dalam perut alam Sahabat bertemu dalam belantara dengan kuning Makan binatang merah jambu karena tak ada kata haram Sahabat si kuning dan saudara si abu- abu beda kenyataan di kota Kota si kuning menjadi raja sahabat pun hanya kuli angkut Kelaparan dalam nyanyian kenyataan Raja di Raja adalah emas Emas warna nya kuning duduk diatas singasana Dibawah singasana adala si abu-abu dan saudaranya Penyangga kaki kaki singasana Tapi tenang saja mereka tertawa Tertawa dalam kelaparan
Edisi 01/Mei/2014
SENJA
Tri Handika Putra
Oh…Senja
Dikala mentari meredup
Memudar menunjukan semburatnya
Dengan gagah sinar mu
Menusuk tajam keujung retina
Disaat itulah kegelapan
Datang merambat menyelimuti bumi
Disitulah tercipta keindahan sesaat
Lewat mentari yang bersinar memerah
Diiringi kicau merdu burung-burung
Berterbangan diudara
Dan cahaya rembulan
Mulai tampak sinarnya diiringi menghitamnya langit
Daun-daun pun berterbangan
Tatkala tertiup angin senja
Oh…senja
Disetiap insan yang memandang
Terbuai akan keindahan mu
Dahi mengkerut menggambarkan
Betapa tajam sinar mentari senja
Disela kelelahan jiwa
Menjalani hari-hari yang penuh aktivitas
Demi terwujudnya cita –cita
Dan cinta dimasa depan
Dalam ketidakpastian
Sampai kapan dapat terwujud
Ku tak tahu sungguh aku tak pernah tahu
Dan semoga cahaya senja
Akan dapat mendamaikan jiwanya
Oh… Senja
Jiwa ini tak sanggup tanpa percik sinarmu
Akan gundah hari yang kulalui
Tanpa memandang indahnya sinar mu
Oh…mentari senja
Edisi 01/Mei/2014
Kamu Itu
Nicko Mardiansyah
Haaa…..
Aku itu…..
Tak tau…..
Tak juga mau
Haaa…..
Tapi kamu…..
Kamu itu…..
Tak mengerti aku
Haaa…..
Siapa kamu…..
Kumau kamu…..
Pandangi aku
Haaa…..
Tapi kamu…..
Kamu itu…..
Haaa….. Ku tak tau
Edisi 01/Mei/2014
Puncak refleksi
Julio Hutabarat
Aku telah sampai Pada titik puncak ketidakteraruran Refleksi kelelahan Dari sekian banyak penindasan Apa yang sedang dicari? Beristirahat sejenak? Hinggap dalam mimpi Yang menggantung anggun Harapan sirna Termakan terik mentari yang meraja Hilang sembari mentup asa Ada alas di ujung lara Tempat bersandar dari duri tajam Kelam dan buram menyambut pagi Sanggupkah dia menjawab? Terkadang termenung di persimpangan Acuh tak acuh laksana duka Selaksa asa dalam benak Tak urung membuat goyah hati Hinggap lelap disela amarah Turunkan jiwa potensi lepas Sanggup kah dia berlari? Seberkas sinar menyambut teduh Rangkaian lagu kemenangan terlantun Dari terompet kayu ala belanda Berpaling sejenak melambai peradaban Melirik sedikit kearah seberang
Menolak penindasan dan kemunafikan Berkata tegas walau tutur lembut Hanya untuk sebuah anomali? Bersitegang dengan waktu Mencoba mentup ruang ketuaan Yang satu pasti itu tidak mungkin Menindas sungguh haram Lebih jijik dari borok luka yang bernanah Menjanjikan tapi makian di ambang Di pucuk tumpuan andalan Menghindar dari debu yang beterbangan Dari apa untuk apa? Dari siapa untuk siapa? Dari mana? Jadilah yang terjadi Sampai akhirnya nanti pada suatu titik Desir angin diterang rembulan Tak puas hati terkukung jiwa Memaksa tangan memungut kembali Bimbang itu sudah pasti Akhirnya sampai pada konsep terakhir Leher pun jadi imbalan.
Edisi 01/Mei/2014
Para Penyumbang Edisi ini
Novrianto H Sihite Adalah Peminat kajian seni melayu, kini aktif dalam
Study Club “DINAMIS” Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Bimo Raka Sephano Adalah Peminat kajian Komunikasi dan Kebudayaan,
sedang menempuh study di Ilmu Komunikasi Universitas Muhamadiyah
Yogyakarta.
Arjuna Putra Aldino Adalah Peminat kajian sastra dan kebudayaan
kontemporer, sekarang sedang belajar di Universitas Negeri Yogyakarta.
Suyatno Adalah Pengamat Budaya politik dan kajian budaya Nusantara,
sedang menempuh study di Universitas Negeri Yogyakarta.
Kendy Fralinang Adalah Penggiat sastra dan kajian etno-culture, pelopor
komunitas mahasiswa kota singkawang (KOMASI) Yogyakarta.
Tri Handika Putra Adalah Peminat kajian HAM dan Kebudayaan, serta
sastra melayu modern. Kini aktif di Study Club “DINAMIS” Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia.
Nicko Mardiansyah Adalah Anggota Komunitas Bawah Pohon Filsafat dan
peminat kajian sastra Surealise.
Julio Hutabarat Adalah Peminat kajian Local Wisdom dan aktivis Senat
Mahasiswa UGM.
Edisi 01/Mei/2014
FORUM DISKUSI LKD
Tunggu Kehadirannya..
Info lebih lanjut via Sosial Media
Kontak Redaksi
Kami mengundang anda untuk menulis tentang Kebudayaan, kirimkan
tulisan anda ke alamat redaksi kami ;
Email Redaksi : [email protected]
Sertakan juga riwayat singkat hidup anda. Kami juga menerima karya
dalam bentuk non-tulis seperti Karikatur, Sketsa, Komik Strip atau Ilustrasi
bergambar lainnya.
Kami menerima berbagai pokok bahasan terkait Kebudayaan dalam
berbagai sudut pandang dan aliran. Kami tidak membatasi diri dengan
pokok dan aliran tertentu. Kami sangat terbuka dan menghargai anda
dalam melakukan penciptaan dan eksperimen pemikiran. Untuk mengikuti
aktivitas kami secara On-line, silahkan akses situs website dan media sosial
kami;
Website : www.jurnaldipantara.wordpress.com
Facebook : Lembar Kebudayaan Dipantara
Twitter : @LK_DIPANTARA