dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan ...
Transcript of dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Peraturan Daerah atau Perda merupakan produk hukum yang dibentuk
oleh Pemerintahan Daerah yakni untuk Pemerintah Daerah Provinsi dibentuk oleh
Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi dan untuk Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD
Kabupaten/Kota. Perda sebagai produk hukum daerah merupakan bentuk hukum
yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum.
Substansi dari perda tersebut haruslah merupakan penjabaran dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan
kekhususan masing-masing daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum. Dalam
masyarakat daerah, peraturan daerah dibentuk dengan tujuan mengatur
masyarakat daerah secara umum, agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang
diharapkan agar dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda yang dibentuk
sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan desentralisasi.
Pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI Tahun 1945) menyatakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
2
undang. Hal ini berarti negara mengakui adanya pemerintahan di daerah yang
diawali dengan adanya suatu desentralisasi. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) tersebut
masih bersifat umum, tetapi mengenai bentuk dan susunan Pemerintah Daerah itu
belumlah diketahui, karena segala sesuatunya akan diatur lebih lanjut dengan
Undang-undang yakni Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), (selanjutnya
disingkat UU No. 32 Thn 2004).1 Pada pasal ini juga menekankan pemerintah
diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang semuanya diatur dengan Undang-Undang organik.2
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), selanjutnya
disingkat UU No. 23 Thn 2014 maka UU 32 Thn 2004 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku kembali. Penulis tetap mempergunakan UU No. 32 Thn 2004
sebagai objek dan materi kajian mengingat UU No. 23 Thn 2014 baru saja berlaku
dan masih berada pada masa transisi menuju ke UU No. 23 Thn 2014. Selain itu
dengan belum dibentuknya peraturan pelaksana dari UU No. 23 Thn 2014 maka
akan terjadi kekosongan hukum agar hal ini tidak terjadi maka dengan berbagai
pertimbangan penulis tetap mempergunakan UU No. 32 Thn 2004 sebagai materi
pengaturannya.
1Kuntana Magnar, 1984, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah
Adminstratif, Bandung CV. Armico, h. 24.
2Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta, Edisi
Pertama, Cetakan Pertama, BPFE, h. 16.
3
Salah satu dampak positif berkembangnya ide otonomi daerah adalah
menguatnya eksistensi Peraturan Daerah (Perda), sebagai produk legislatif daerah
yang memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan daerah mendapat
payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda merupakan
Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun dengan Undang-Undang
(Wet) di tingkat pusat, dilihat dari ruang lingkup materi muatan, cara perumusan,
pembentukan dan pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan (hirarkis)
peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften) serta daya
berlakunya sebagai norma hukum.
Dalam pembentukan Perda, ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh pihak-
pihak yang terlibat agar Perda tersebut memberikan hal yang positif bagi
masyarakat daerah. Perda sebagai produk hukum di daerah, hendaknya mampu
mengarahkan masyarakat daerah ke arah yang lebih baik dan mampu mengayomi
masyarakat. Jika disimak pendapat dari Meuwissen yang menyataan bahwa
hukum mempunyai keberlakuannya apabila mampu berlaku secara sosiologis,
berlaku secara yuridis dan berlaku secara moral.3 Perda yang baik hendaknya
mencerminkan aspek filosofis yang berkaitan dengan prinsip bahwa Perda akan
menjamin keadilan, sosiologis berkaitan dengan harapan bahwa Perda yang
dibentuk merupakan keinginan masyarakat daerah, dan yuridis berkaitan dengan
harapan bahwa Perda memenuhi dan menjamin kepastian hukum seperti halnya
pembentukan Undang-undang.4
3B. Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan, Refika Aditama, Bandung, h. 46-47.
4
Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234),
(selanjutnya disingkat UU PPPU) menentukan materi muatan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung
kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Selain materi muatan yang terkandung pada setiap
pembentukannya, Perda dalam pembentukannya juga harus memuat asas yang
telah diatur dalam Pasal 5 UU PPPU, dan Pasal 137 UU No. 32 Thn 2004.
Apabila Perda tersebut mengandung unsur bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan
umum maka Pemerintah dapat membatalkan suatu Perda tersebut. Pembatalan
suatu Perda merupakan kewenangan Pemerintah dalam kaitannya dalam
melaksanakan proses pengawasan kepada Daerah. Pengawasan terhadap Perda ini
lahir dari kewenangan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap penyelenggaraan
Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
khususnya mengenai Peraturan yang dibuat Daerah.
Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah terdapat dua bentuk yakni, pengawasan preventif dan pengawasan
represif. Pengawasan preventif melalui tahap evaluasi kepada Rencana Perda
(Ranperda) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah dan
4Bagir Manan, 1991, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, Yogyakarta, Gajah
Mada University Press, h. 14. (Selanjutya disebut Bagir Manan I).
5
retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang yang didasarkan pada UU No.
32 Thn 2004.
Pengawasan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD),
pajak daerah dan retribusi daerah, serta Peraturan Daerah tata ruang
Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur, sedangkan pengawasan preventif
terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah dan
retribusi daerah serta Peraturan Daerah tata ruang dilakukan oleh Pemerintah
dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri. Sementara pengawasan represif
dilakukan oleh Pemerintah terhadap seluruh Peraturan Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang pada dasarnya sesudah dilakukannya pengawasan preventif.
Telah banyak peraturan daerah yang dibatalkan, pembatalan ini
dikarenakan seperti yang tertuang dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004
lama, Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih tinggi
seperti Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Berkaitan dengan bertentangan
dengan kepentingan umum berdasarkan Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32
Thn 2004 adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga
masyarakat, kebijakan yang berakibat terganggunya pelayanan umum, dan
kebijakan yang berakibat terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta
kebijakan yang bersifat diskriminatif.
6
Menurut Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn 2004. Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
Pemerintah, serta Pasal 145 ayat (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Hal ini diperjelas kembali dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor
4593), (selanjutnya disingkat PP 75 Tahun 2005). Pasal 37 ayat (4) Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri.
Pada Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004, apabila hasil evaluasi tidak
ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan
rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang
penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus
menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya, dan dengan Pasal 40 ayat
(2) PP 79 Tahun 2005. Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana
pada ayat (1) dan tetap menetapkan, menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan
7
kepala daerah, Mendagri dapat membatalkan peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah tersebut dengan peraturan Menteri.
Sama halnya dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang
dibahas sebelumnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2014
Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, (selanjutnya disingkat Pemendagri
1 Thn 2014) Pasal 80 ayat (3) Apabila gubernur tidak menindaklanjuti hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi
Perda dan/atau peraturan gubernur, Mendagri membatalkan Perda dan peraturan
gubernur dengan Peraturan Menteri. Proses pembatalan ini merupakan tahapan
evaluasi yang dilakukan oleh Mendagri kepada Daerah Provinsi. Proses evaluasi
ini dilakukan terhadap Raperda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan
Tata Ruang.
Pada Pasal 90 ayat (3) Hasil klarifikasi Perkada sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan
perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan pembatalan oleh Menteri
Dalam Negeri. Ayat (4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan Permendagri. Proses ini merupakan tahapan klarifikasi
terhadap Perda Provinsi. Proses klarifikasi ini dilakukan terhadap Perda APBD,
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang. Dimana pada tahap ini
Mendagri dapat membatalkan Perda dengan mengacu pada Pasal 90 ayat (3) dan
(4) Permendagri 1 Thn 2014 yang menyatakan Hasil klarifikasi Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila tidak sesuai dengan hasil evaluasi
maka Perda dimaksud dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.
8
Pasal 91 ayat (4) apabila pemerintah daerah tidak melaksanakan hasil
klarifikasi terkait pembatalan perda, maka Mendagri mengajukan permohonan
kepada Presiden untuk membatalkan Perda. Jika kita lihat sebenarnya
kewenangan pembatalan Perda tetap berada pada Presiden. Sehingga dapat kita
teliti produk hukum pembatalan Perda yakni, Peraturan Presiden terhadap seluruh
Perda.
Pembatalan Perda tersebut merupakan bagian dari kewenangan pemerintah
dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah, baik pengawasan
secara preventif maupun pengawasan secara represif. Sehingga dalam asas
desentralisasi Pemerintah Daerah tidak lepas dari Pemerintah Pusat sehingga
Pemerintah Daerah masih tetap dalam kontrol dari Pemerintah Pusat. Karena asas
desentralisasi tidak berarti daerah dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya
sendiri tetapi tetap pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
pembatalan perda berkaitan pengawasan secara represif terdapat dua model
pembatalannya yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
1. Pembatalan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden terhadap seluruh
perda tanpa terkecuali.
2. Pembatalan oleh Mendagri dengan Permendagri terhadap Raperda
APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan perda tata ruang provinsi
dalam proses evaluasi dan pada tahap klarifikasi bentuknya sudah
Perda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan perda tata ruang
provinsi.
9
Hal inilah yang mendasari adanya dualisme pembatalan peraturan daerah
provinsi yang mana dua lembaga yang berada pada ranah eksekutif memiliki
kewenangan untuk membatalkan perda. Karena seperti yang kita ketahui perda
tersebut tidak ada pembedaan baik dalam perencanaan, penyusunan hingga
pengundangannya, namun dalam pembatalannya terdapat perbedaan pembatalan
oleh pemerintah pusat, yakni berkaitan pada tahap klarifikasi yang bentuknya
sudah menjadi Perda dan merupakan proses pengawasan secara represif yang pada
UU No. 32 Thn 2004, PP No. 79 Thn 2005 dan Permendagri 1 Thn 2014
merupakan kewenangan Presiden dan juga kewenangan Menteri Dalam Negeri
sebagaimana yang diatur pada Permendagri 1 Thn 2014.
Ketika terjadi permasalahan berkaitan dengan Pembatalan Perda yang
melibatkan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, yang masing-masing
memiliki penafsiran berbeda akan sebuah Perda serta untuk menemukan suatu
kejelasan maksud daripada suatu Perda, diberikan suatu upaya penyelesaian
dengan mengajukan keberatan terhadap pembatalan perda oleh pemerintah pusat
kepada Mahkamah Agung. Pengajuan keberatan terhadap Perda yang dibatalkan
oleh pemerintah pusat tersebut ke Mahkamah Agung sebagai upaya untuk
memperoleh keadilan serta penafsiran yang tepat mengenai Perda yang dibatalkan
oleh Presiden. Dengan diajukannya keberatan pembatalan perda ke Mahkamah
Agung akan memberikan kejelasan tentunya berkaitan pembatalan yang sejatinya
pertimbangan dalam pembatalan suatu Perda serta apakah memang benar-benar
perda tersebut melanggar ketentuan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004 atau
tidak terjadi pelanggaran terhadap Pasal tersebut, serta menolak pembatalan perda
10
yang dilakukan oleh Presiden. Mahkamah Agung bukan hanya menguji keberatan
tetapi juga berwenanga menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-undang termasuk Perda ketika bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis ungkapkan
sebelumnya, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah hukum ini dalam
bentuk tesis yang berjudul : “DUALISME PEMBATALAN PERATURAN
DAERAH PROVINSI DENGAN PERATURAN PRESIDEN DAN
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah diungkapkan
sebelumnya, rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini yakni
berkaitan dengan :
1. Bagaimanakah pengaturan pembatalan Perda Provinsi yang dilakukan
dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Dalam Negeri?
2. Apakah akibat hukum pembatalan Perda dengan Peraturan Presiden dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Mengenai ruang lingkup permasalahan ini berkaitan dengan pembatalan
Perda, Perda yang dimaksudkan adalah Perda Provinsi yang dibatalkan oleh
Presiden dengan Peraturan Presiden dan Perda APBD, Pajak daerah dan Retribusi
daerah serta tata ruang yang dibatalkan oleh Mendagri pada proses evaluasi dan
klarifikasi melalui Permendagri yang mengacu pada Pasal Pasal 145 ayat (3) UU
11
No. 32 Thn 2004, Pasal 37 ayat (4) PP 79 Tahun 2005, serta Pasal 91 ayat (4)
Permendagri No. 1 Tahun 2014 serta Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004,
Pasal 40 ayat (2) PP 79 Tahun 2005 dan Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 90 ayat (3)
Permendagri 1 Thn 2014, untuk melihat pengaturan, kejelasan, kepastian serta
prosedur pembatalan hingga akibat hukum dibatalkannya Perda tersebut.
Kewenangan Mendagri tidak hanya pada proses preventif yakni berkaitan dengan
evaluasi Ranperda bahkan juga represif dengan proses klarifikasi yang mana
seharusnya untuk tindakan represif yakni berkaitan denggan pembatalan perda
merupakan kewenangan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
a. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
b. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.
c. Untuk mengetahui adanya dualisme Pembatalan Perda Provinsi.
d. Untuk memberikan penjelasan terhadap adanya dualisme tersebut.
e. Untuk memberikan pemahaman terkait akibat hukum adanya
pembatalan Perda.
1.4.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui sejauhmana kewenangan pengaturan oleh
pemerintah pusat pembatalan terhadap Perda Provinsi.
b. Untuk mengetahui alasan pembatalan Perda Provinsi sebagai upaya
pengawasan dalam negara kesatuan.
12
c. Untuk mengetahui sejauhmana upaya yang dapat ditempuh Pemerintah
Daerah Provinsi akibat adanya suatu pembatalan Perda Provinsi.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
a. Dapat mengetahui hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah dalam bentuk negara kesatuan
b. Dapat mengetahui bentuk hukum serta akibat hukum pembatalan Perda
Provinsi.
c. Dapat mengetahui dasar kewenangan pembatalan Perda serta upaya
yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Daerah Provinsi akibat adanya
suatu pembatalan Perda.
1.5.2. Manfaat Praktis
a. Dapat dijadikan sumber berkaitan penelitian mengenai pembatalan
Perda.
b. Dapat memberikan pemahaman dalam penyusunan dan pembentukan
perda sehingga tidak lagi suatu perda tersebut dibatalkan.
c. Dapat memberikan penjelasan kepada Pemerintah Provinsi berkaitan
upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap pembatalan Perda tersebut.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Berkaitan mengenai Peraturan Daerah (Perda) sebenarnya sudah pernah
diteliti oleh beberapa penulis yang menjadikan Perda sebagai kajian permasalahan
hukumnya, namun penulis juga berupaya menjadikan Perda sebagai objek
permasalahan yang akan diteliti. Permasalahan berkaitan dengan Perda yang
13
penulis teliti ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah ada
sebelumnya seperti :
1. Tesis yang ditulis oleh Putu Novarisna Wiyatna dengan judul
“Wewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” dalam tesis ini mengangkat
permasalahan :
a. Bagaimanakah bentuk hukum pembatalan Peraturan Daerah tentang
Retribusi?
b. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah
terhadap keputusan pembatalan Peraturan Daerah tentang Retribusi
Daerah?
Jika melihat dari judul serta rumusan masalah yang diteliti tersebut
berbeda dengan yang akan penulis teliti mengingat pada tesis tersebut
menekankan kepada bentuk hukum pembatalan Perda serta mengenai tindakan
hukum yang dapat dilakukan pemerintah daerah ketika dibatalkannya Perda yang
telah dibuat tersebut. Sedangkan penulis lebih menekankan kepada terjadinya
dualisme pembatalan Perda dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri serta lembaga manakah yang berwenangan membatalkan suatu
Perda.
2. Tesis yang ditulis oleh I Made Sutama dengan judul “Pengawasan
Pemerintah Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah Kabupaten
Badung dibidang lingkungan hidup, dalam tesis ini mengangkat
permasalahan :
14
a. Bagaimanakah Pmerintah Daerah mengatur kewenangan
pengawasan dalam penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung
dibidang lingkungan hidup?
b. Apakah fungsi pengawasan telah dilaksankan dalam menegakan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung dibidang Lingkungan Hidup?
c. Kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam melaksankan
pengawasan pada penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung
diidang lingkungan hidup?
Permasalahan yang diteliti penulis pada tesisnya sangat berbeda dengan
apa yang akan penulis buat, meningat pada tesis tersebut menekankan kepada
upaya penegakan Peraturan Daerah sementara penulis akan menekankan
mengenai pembatalan Perda serta lembaga manakah yang berwenangan
membatalkan suatu Perda.
3. Tesis yang ditulis oleh I Ketut Suta dengan judul “Kajian sanksi
paksaan pemerintahan dalam penegakan Peraturan Daerah tentang
bangun-bangunan di Kota Denpasar. Dengan permasalahan yang diteliti
yakni :
a. Apakah yang menjadi dasar hukum dari kewenangan Pemerintah
Kota Denpasar untuk menerapkan sanksi paksaan pemerintahan
dalam penegakan Peraturan Daerah Kota Denpasar dibidang bangun-
bangunan?
b. Upaya perlindungan hukum apa yang dapat dan telah ditempuh para
pihak terhadap penerapan sanksi paksaan pemerintahan dalam
15
penegakan Peraturan Daerah Kota Denpasar dibidang bangun-
bangingan yang dirasakan merugikan.
Permasalahan yang diteliti dari tersebut juga berbeda dengan apa yang
akan penulis teliti. Mengingat pada tesis tersebut menekankan kepada pelaksanaan
paksaan pemerintahan dalam menegakan Peraturan Daerah mengenai bangun-
bangunan dan bukan mengenai pembatalan Perda yang akan penulis teliti.
4. Tesis yang ditulis oleh Ni Ketut Adiani dengan judul “Pergeseran
wewenang membentuk Peraturan Daerah setelah perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Tahun 1945”. Pada tesis ini mengakat masalah :
a. Elemen-elemen/unsur-unsur apakah yang mengalami pergeseran
berkaitan dengan wewenang membentuk Peraturan Daerah?
b. Apakah implikasi konstitusional dan ketatanegaraan dari pergeseran
elemen-elemen wewenangan membentuk Peraturan Daerah?
Tesis inipun berbeda dengan apa yang akan penulis teliti mengenai
permasalahan hukumnya. Pada tesis ini menekankan pada pembentukan Perda
setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sementara penulis
akan meneliti permasalahan hukum mengenai Pembatalan Perda, yang dimana
antara peermasalahan hukum yang akan penulis teliti sangat berbeda dengan tesis
tersebut.
1.7. Landasan Teoritis
Untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas pada tesis ini
dipergunakanlah beberapa teori, konsep, asas serta pandangan dan pendapat para
ahli hukum sebagai pisau analisis untuk mengkaji serta memberikan argumentasi
16
bahkan memberikan pembenaran berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh hubungan
abstraksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.5
Asas-asas hukum berfungsi memberikan pedoman bagi suatu perilaku, sekalipun
tidak secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asas-
asas hukum menjelaskan dan menjastifikasikan norma-norma hukum, yang di
dalamnya terkandung (bertumpu) ideologi tertib hukum.6 Teori, konsep, dan asas
yang dipergunakan untuk membahas permasalah tersebut seperti :
1. Negara Hukum
2. Pertanggaan Peraturan Perundang-undangan
3. Teori Kewenangan
4. Asas Desentralisasi
5. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
6. Konsep Pengawasan
7. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan
1.7.1. Negara Hukum
Kajian terhadap konsep negara akan diawali dengan pendapat Bellefroid
dalam N.H.T. Siahaan7
bahwa:“Negara adalah suatu masyarakat hukum, yang
secara kekal menempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengan
5Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung, h.
19-22. 6 Herlin Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum
Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.82.
7Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, h.
92.
17
kekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum”. Selanjutnya pada
penegasan Kelsen, yang menganggap negara sebagai komunita hukum bukan
sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu selain korporasi yang
berbeda dari tata pembentuknya (anggaran dasarnya)”.8
Negara hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli hukum
Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl menyebut
dengan istilah rechtstaat, sedangkan A.V. Dicey yang merupakan ahli hukum
Anglo Saxon menyebut dengan istilah rule of law.9 Unsur dari Rechstaat :
a. Adanya perlindungan hak asasi manusia.
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika.
c. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang (wetmatigheid van bestuur).
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan Rule of Law seperti yang diungkapkan oleh A.V. Dicey, unsurnya :
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) tidak ada
kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif, semuanya
berdasarkan pada hukum.
2. Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau kedudukan
yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).
3. Perlindungan/penjaminan hak akan kebebasan individu yang didasarkan
pada Konstitusi (the constitution based on individual rights).10
8Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia
Jakarta, h. 226.
9Meriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan Keempat, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 113.
10
A.V. Dicey, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi,
Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, h. 251-261.
18
Selanjutnya Ridwan yang mengambil inti sari dari pendapat Ten Berge
dalam W. Riawan Tjandra, menguraikan prinsip-prinsip yang harus terpenuhi
dalam negara hukum11
, yaitu:
1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh Pemerintah)
harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan
peraturan umum yang merupakan peraturan umum. Undang-undang
secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari
tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai
jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ
pemerintahan harus dikembalikan dasarnya pada undang-undang
tertulis, yakni undang-undang formal.
2. Perlindungan hak asasi;
3. Pemerintah terikat pada hukum;
4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.
Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar.
Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat
instrument yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa
seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara.
Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas
pemerintah.
5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum yang dapat
ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ
pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan
pengawasan oleh hakim yang merdeka.
Dengan kenyataan bahwa secara konstitusional Negara Indonesia
menganut prinsip “Negara hukum yang dinamis” atau Welfare State, maka dengan
sendirinya tugas pemerintah Indonesia begitu luas. Pemerintah wajib berusaha
memberikan perlindungan kepada masyarakat baik dalam bidang politik maupun
dalam sosial dan ekonominya. Konsep negara hukum selanjutnya berkembang
menjadi dua sistem hukum yakni, sistem hukum eropa kontinental dengan istilah
rechtsstaat dan sistem anglo saxon (rule of law).12
Konsep Negara hukum,
11
W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 12-13.
19
Pemerintah memiliki fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kekuasaan
menyelenggarakan pemerintahan bukan berarti Pemerintah dapat bertindak
sewenang-wenang sebab Negara hukum (rechtstaat) sebagaimana yang
disebutkan oleh Hamid S. Attamimi dengan mengutip Burken : “Adalah Negara
yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara dan penyelenggaraan
kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan
hukum“.13
Hal ini dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa
tujuan dari pada hukum ialah “Untuk mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian
hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara“.14
Mengingat
Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Negara hukum yang dianut Indonesia bukanlah negara hukum dalam artiaan
formal melainkan negara hukum dalam artian materiil yakni negara kesejahteraan
(welfarestate).
Konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia yakni negara hukum
Pancasila. Negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono adalah suatu
kehidupan bangsa Indonesia atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas
12
Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi
Pustaka Pblisher, Jakarta, h. 162.
13
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.18.
(Selanjutnya disebut Ridwan H.R. I).
14
Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 2.
20
dalam arti merdeka, berdaulat, adil dan makmur yang didasarkan atas hukum baik
hukum tertulis maupun hukum tak tertulis sebagai wahana untuk ketertiban dan
kesejahteraan dalam arti menegakan demokrasi, perikemanusiaan dan
perikeadilan.15
Kemudian untuk menindak lanjuti apa yang dimaksudkan UUD
NRI Tahun 1945 maka setiap tindakan harus didasarkan atas hukum. Hukum
disini harus telah diatur untuk itu hukum disini bentuknya tertulis dan tidak
tertulis.
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka (machtstaat). Dalam konsep negara hukum, asas legalitas
merupakan unsur yang utama dalam sebuah negara hukum.16
Asas legalitas
berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum.17
Selanjutnya menurut Sri Soemantri, ada 4 (empat) hal yang dapat dijumpai dalam
suatu Negara Hukum, yakni:
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kewajibannya
harus berdasarkan atas hukum atau peraturan atau peraturan perundang-
undangan;
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
3. Adanya pembagian kekuasaan negara;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterilije control).18
Negara hukum merupakan dasar suatu negara dalam melaksanakan
tindakan yang menempatkan asas legalitas sebagai dasar tindakan dari suatu
15
Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta, h.153-
155.
16
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h.59.
(Selanjutnya disebut A. Mukthie Fadjar I).
17
H. Mustamin DG. Matutu, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h 8.
18
Sri Soemantri M, 1992, Bunga rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni,
Bandung, h.29-30.
21
negara. Dalam melaksanakan pemerintahan Pemerintahan Indonesia yang
menggambarkan negara hukum haruslah sesuai dengan unsur-unsur yang telah
dikemukakan tadi, sehingga nantinya apabila pemerintah daam melaksankan
tindakannya dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan memiliki dasar
pembenaran, maupun ketika tindakannya itu menyimpang dapat diajukan suatu
upaya hukum sebagaimana unsur dari negara hukum lainnya yakni peradilan
administrasi, sebagai suatu lembaga yang diberikan kepada masyarakat untuk
melawan serta memperoleh keadilan ketika berhadapan dengan negara. konsep
negara hukum ini sendiri erat kaitannya dengan asas legalitas yang memberikan
dasar serta kepastian akan suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah serta
memudahkan masyarakat untuk mengontrol tindakan pemerintah tersebut apakah
telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Adanya peradilan administrasi merupakan suatu bentuk pengawasan yang
dilaksanakan oleh lembaga yudikatif yang dalam hal ini merupakan tujuan
daripada adanya suatu pengawasan. Pengawasan dalam rangkan pelaksanaan
pemerintahan yang berada pada bidang eksekutif dilaksanakan oleh pemerintah
pusat sebagai bagian adanya pelaksanaan desentralisasi. Sehingga kepada daerah
dengan adanya desentralisasi tidak berarti daerah bisa bertindak semuanya
mengingat Indonesia merupakan negara kesatuan yang dimana dalam suatu negara
tidak ada negara lagi yang berbeda dengan negara federal. Oleh karenanya maka
pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada
daerah yang dimana erat kaitannya dengan fungsi peradilan dalam hal ini
pengawasan.
22
Pengawasan ini dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah daerah tetap
berada dalam koridor NKRI yang mana walaupun daerah diberikan kewenangan
dan kebebasan untuk mengurus sendiri rumah tangga pemerintahanya namun
tidak lantas pemerintah daerah bebas tanpa batas. Pelaksanaan otonomi daerah
oleh pemerintah daerah tetap harus dalam koridor NKRI dan di bawah
pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka pembinaan
terhadap pemerintahan daerah agar terwujud good government. Dasar hubungan
antara pusat dan daerah adalah bahwa pemerintah pusat menyerahkan sebagian
wewenang pemerintahannya kepada daerah untuk diatur dan diurus sendiri
sebagai urusan rumah tangga daerah (otonom).19
Selanjutnya agar wewenang
yang telah diserahkan oleh pusat kepada daerah agar tidak disalahgunakan, maka
digunakan instrumen pengawasan.
Diana Halim Koencoro, menyebutkan pengawasan dalam perspektif HAN
adalah mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari
apa yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki
penyimpangan yang terjadi (represif).20
Secara harfiah, pengawasan/kontrol
mengandung arti penilikan dan penjagaan; pengawasan (umum) berarti
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap segala kegiatan
pemerintah daerah. Dalam bahasa Inggris pengawasan disebut dengan
“controlling” (yang berarti pengawasan, termasuk didalamnya ada pengendalian).
19
Widodo Ekathahjana, 2008, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dan Sistem
Peradilannya di Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta, h. 39.
20
S.F.Marbun 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press
Jogjakarta, h. 267. (selanjutnya disebut S.F. Marburn I).
23
Pengawasan atau kontrol ini dapat dibedakan atas pertama kontrol yang
bersifat intern dan kontrol bersifat ekstern. Kontrol intern disini diartikan bahwa
pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural
masih termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri. Bentuk kontrol semacam
ini dapat digolongkan dalam jenis teknis-administratif atau disebut pula built-in
control.21
Dan jenis kontrol yang kedua adalah kontrol yang bersifat eksternal
yaitu kontrol yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan
(judicial control) dalam hal terjadinya persengketaan atau perkara dengan pihak
Pemerintah. Pengawasan juga dapat dibedakan dari dua sisi, yaitu pengawasan
dari sisi saat/waktu pelaksanaan dan pengawasan dari sisi obyek.
a. Pengawasan dari sisi saat/waktu
Control priori dan control a-posteriori. control priori dilakukan bilamana
pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu putusan atau ketetapan
pemerintah atau pun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi
wewenang Pemerintah. Sedangkan dalam control aposteriori dilakukan bilamana
pengawasan itu baru dilakukan sesudah dikeluarkannya keputusan/ketetapan
Pemerintah atau sesudahterjadinya tindakan/perbuatan Pemerintah.22
b. Pengawasan dari sisi objek
Kontrol dari sisi hukum (rechmatigheidstoetsing) dan kontrol dari sisi
kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing). Kontrol dari sisi hukum ini pada
prinsipnya menitikberatkan pada segi legalitas, yaitu penilaian tentang sah atau
tidaknya suatu perbuatan pemerintah. Sedangkan kontrol dari sisi kemanfaatan
21
Widodo Ekathahjana, Op.Cit, h. 41
22
Ibid
24
disini ialah pada prinsipnya menilai perbuatan pemerintah berdasarkan benar
tidaknya perbuatan tersebut dari segi pertimbangan kemanfaatannya, khususnya
dalam kerangka pencapaian kesejahteraan masyarakat.23
Khusus terkait dengan pengawasan terhadap satuan pemerintahan otonomi,
Bagir Manan menyatakan ada dua model pengawasan terkait yaitu pengawasan
preventif (preventief toezicht) dan pengawasan represif (repressief toezicht).24
Kedua model pengawasan ini ditujukan berkaitan pengawasan produk hukum
yang dihasilkan daerah maupun pengawasan terhadap tindakan tertentu dari organ
pemerintahan daerah, yang dilakukan melalui wewenang mengesahkan
(goedkeuring) dalam pengawasan preventif maupun wewenang pembatalan
(vernietiging) atau penangguhan (schorsing) dalam pengawasan represif. Bila
dikaitkan dengan model pengawasan di atas dengan implementasi pengawasan
peraturan daerah sebagai salah satu produk penyelenggaraan pemerintahan
otonomi, maka model pengawasan preventif ini dilakukan dengan memberikan
pengesahan atau tidak memberi (menolak) pengesahan Perda yang disusun oleh
Pemerintah Daerah. Menurut hemat penulis pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat kepada daerah merupakan pengawasan internal yang hanya
berada pada ranah eksekutif.
1.7.2. Pertanggaan Peraturan Perundang-undangan
Berkembangnya teori hukum berjenjang (stufenbou theory) tidak dapat
dipisahkan dari tiga nama ahli hukum, yaitu Adolf Merkl, Hans Kelsen, dan Hans
23
Ibid, h. 42 24
Ibid, h. 43.
25
Nawiansky.25
Mengenai teori pertanggan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan “stufenbou theorie
yang menganut aliran hukum murni”.26
Menurut Hans Kelsen norma hukum itu
berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki yang dimana norma hukum yang
lebih rendah itu bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi, norma hukum
yang lebih tinggi itu bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi lagi demikian
seterusnya hingga akhirnya sampai kepada norma yang tidak dapat lagi untuk
ditelusuri lagi pembentukannya yakni norma dasar (grundnorm).27
Berdasarkan teori tersebut mengklasifikasikan bahwa norma yang ada
pada suatu negara yakni berjenjang, berlapis-lapis dimana norma yang paling
tinggi adalah norma yang menjiwai setiap norma lain yang berada pada tingkatan
yang lebih rendah. Norma yang paling tinggi itu disebut grundnorm dan norma
yang paling rendah disebut dengan norm.
Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU PPPU Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
25
Imam Soebechi, 2012, Judicial Review Perda Pajak Dan Retribusi, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 147.
26
Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia-Makna Kedudukan dan Implikasi
Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press
Citra Media, Jakarta-Yogyakarta, h. 50-53. (Selanjutnya disebut Jazim Hamidi I).
27
Maria Farida Indrati S., 2012, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Cet. 13, Kansius Yogyakarta, h.26-27. (Selanjutnya disebut Maria Farida I).
26
UUD NRI Tahun 1945 merupakan suatu grundnorm yang menjadikan
konstitusi sebagai suatu produk hukum tertinggi yang dijadikan sumber tertinggi
dari suatu peraturan perundang-undangan. Menurut Wheare “Constitutions as
primarly and almost exclusively a legal document in which, therefore, there is a
place for rules of law but for practically manifiesto, a confenssion of faith, a
statement of charter of the land”.28
Sehingga peraturan yang lebih tinggi
kedudukannya harus menjiwai peraturan yang lebih rendah dan peraturan yang
lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dalam pertanggaan Peraturan perundang-undangan akan terlihat
kedudukan Perda sebagai bagian dari suatu peraturan perundangan yang diakui
dalam hukum Indonesia. Dengan diletakannya Perda sebagai bagian dari hirarki
peraturan perundang-undangan maka perda tersebut hendaknya tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga apabila terjadi
pertentangan maka sudah sewajarnya perda tersebut dapat dibatalkan dan
dinyatakan tidak berlaku. Dimana jika dinalisis dengan teori ini akan diketahui
letak dari hirarki suatu Perda serta untuk melihat terjadinya pertentangan Perda
tersebut dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dengan alasan tersebut
dipergunakanlah teori ini untuk membahas permasalahan tersebut sehingga
nantinya akan ditemukan dengan peraturan manakah suatu Perda tersebut
bertentangan.
28
KC. Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford, p. 32.
27
1.7.3. Teori Kewenangan
Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari
hukum tata negara dan hukum administrasi negara.29
Pemerintahan (administrasi)
baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya,
artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan (legalitiet beginselen).30
Tanpa adanya
kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintahan, menurut
Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan,
“Yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang
menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintahan atau kekuasaan yang
menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy
exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik
negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak)”.31
Ateng syafrudin menerangkan kewenangan adalah apa yang disebut
kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
undang–undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Dalam beberapa sumber menerangkan,
bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam
istilah Belanda. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa “wewenang terdiri atas
sekurang-kurangnya mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum
29
HM Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam
Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka, h 61.
30
Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok HukumAadmiistrasi, Laksbang
Presindo, Yogyakarta. h. 49.
31
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara,
Jakarta, h.30.
28
dan komformitas hukum”.32
Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang
dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum
dimaksudkan, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan
komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah
mempunyai standar. Menurut Philipus M. Hadjon,33
ruang lingkup keabsahan
tindakan pemerintahan dan Keputusan Tata Usaha Negara meliputi: wewenang,
substansi dan prosedur. Wewenang dan substansi merupakan landasan bagi
legalitas formal. Bagir Manan34
menyatakan : Di bidang otonomi Perda dapat
mengatur segala urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang tidak
diatur oleh pusat. Di bidang tugas pembantuan Perda tidak mengatur substansi
urusan pemerintahan atau kepentingan masyarakat. Perda di bidang tugas
pembantuan hanya mengatur tata cara melaksanakan substansi urusan
pemerintahan atau suatu kepentingan masyarakat.
Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika berbicara mengenai
keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa hukum
ada karena kekuasaan yang sah.35
Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan
hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada
dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.
32
Philipus M. Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum Administrasi
tahun 1997/1998 Fakultas Hukum Universita Airlangga”, Surabaya, h. 2. (Selanjutnya disebut
Philipus M. Hadjon I).
33
Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan
ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta h.1. (Philipus M. Hadjon II).
34
Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, Pusat Studi
Hukum (PSH) Fak Hukum UII, Yogyakarta h.185-186. (Selnajutnya disebut Bagir Manan II).
35
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 25.
29
Sementara itu Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum
tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak
untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak
dan kewajiban (rechten en plichten).
Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan mengelola sendiri
(zelfhestuten),36
sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan
Negara secara keseluruhan.37
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan
mandat.38
Kewenangan yang sumbernya dari peraturan perundang-undangan
disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang merupakan sejumlah
ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis untuk menata dan mengatur
struktur dan fungsi-fungsi lembaga negara.39
Mengenai atribusi, delegasi dan
mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :
1. Atribusi adalah kewenangan yang diperoleh oleh organ pemerintahan
secara langsung dari peraturan perundang-undangan
2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya.
36
Philipus M. Hadjon I).op.cit, h.79.
37
Ridwan, HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 73. (Selanjutnya disebut Ridwan HR II).
38
Ibid, h. 104.
39
Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka
Publisher. h.11. (Selanjutnya diesebut Jazim Hamidi II)
30
3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.40
Pada Atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh
suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau
diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru. Dapat diberi uraian bahwa
ketentuan hukum yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan yang
disengketakan itu mungkin menyebut dengan jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha
negara (TUN) yang diberi wewenang pemerintah, jadi dasar wewenang tersebut
dinamakan bersifat atributif.41
Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang
telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh
suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau jabatan Tata
Usaha Negara lainnya. Dengan demikian, suatu delegasi selalu di dahului oleh
adanya atribusi wewenang, adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu
Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu pada waktu mengeluarkan suatu
keputusan yang berisi suatu pendelegasian wewenang berdasarkan suatu
wewenang pemerintah atributif yang sah atau tidak. Dalam hal mandat, maka
tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada,
yang ada hanya suatu hubungan intern, pemberi mandat (mandans) menugaskan
penerima mandat (mandataris) untuk atas nama mandans melakukan suatu
tindakan hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputusan Tata
40
Ridwan HR II,op.cit, h. 105.
41
A. Siti Soetami, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama,
Bandung, h. 4.
31
Usaha Negara tertentu. Jadi pada mandat, wewenang pemerintahan tersebut
dilakukan oleh mandataris atas nama dan tanggung jawab mandans.
Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara kekuasaan
diperoleh, yaitu pertama, kekuasaan diperoleh melalui attributie. Setelah itu
dilakukan pelimpahan dan dilakukan dalam dua bentuk yaitu delegatie dan
mandaat. Di sisi lain pelimpahan wewenang pusat kepada daerah didasarkan pada
teori kewenangan, yaitu pertama kekuasaan diperoleh melalui atribusi oleh
lembaga negara sebagai akibat dari pilihan sistem pemerintahan, setelah
menerima kewenangan atribusi berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 untuk
kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu delegasi dan mandat, delegasi dapat diturunkan kembali hanya sampai
pada sub-sub delegasi.42
Dalam hal atribusi tanggung jawab wewenang ada pada penerima
wewenang tersebut (atributaris), pada delegasi tanggung jawab wewenang ada
pada penerima wewenang (delegans) dan bukan pada pemberi wewenang
(delegataris), sementara pada mandat tanggung jawab wewenang ada pada
pemberi mandat (mandans) bukan penerima mandat (mandataris). Jika dilihat dari
sifatnya wewenang itu dapat dibedakan menjadi tiga yakni :
1. Wewenang yang sifatnya terikat yakni terjadi apabila telah dirumuskan
secara jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut harus
dilaksanakan serta telah ditentukan bagaimana keputusan seharusnya
diambil.
2. Wewenang fakultatif yakni wewenang tersebut tidak wajib
dilaksanakan karena masih ada pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat
42
I Ketut Suardita, 2009, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan Pajak
daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, h. 23.
32
dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan
pada peraturan dasarnya.
3. Wewenang bebas yakni wewenang yang dapat dilakukan ketika
peraturan dasarnya memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata
usaha negara untuk bertindak dan menentukan keputusan yang akan
diambilnya.43
Kewenangan pembentukan Perda merupakan sumber kewenangan atribusi,
karena pembentukan Perda merupakan pemberian atribusi untuk mengatur
daerahnya sesuai dengan Pasal 136 UU No. 32 Thn 2004, di samping itu
pembentukan Perda merupakan suatu pelimpahan wewenangan (delegasi) dari
suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah.44
Serta pendelegasian kewenangan
Pemerintah (Presiden) kepada pembantunya yakni Mendagri dalam rangka
melaksanakan urusan pemerintahan daerah. Karena jika kita lihat pada Pasal 145
ayat (2) perda dibatalkan oleh pemerintah, jika kita menafsirkan Pasal 1 angka 1
yang disebut Pemerintahan Pusat adalah Pemerintah pusat, selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga yang
membatalkan perda adalah Presiden dan bukan Mendagri.
43
Ridwan HR II, loc.cit.
44
Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik
Penyusunan), Kansius, Yogyakarta, h. 23. (Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati S. III).
Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati II).
33
1.7.4. Asas Desentralisasi
Istilah desentralisasi dari bahasa latin “de” yang berarti lepas dan
“centrum” yang berarti pusat.45
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintah kepala daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia. Pemberian
wewenang ini dimaksudkan untuk dapat menjamin efektifitas maupun efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka memberikan pelayanan
kepada warga masyarakat dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antar
susunan pemerintahan, potensi yang ada serta keanekaragaman daerah, hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dalam arti ketatanegaraan
desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-
daerah, yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonomi).
Desentralisasi ketatanegaraan dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam :
1. Desentralisasi teritorial yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom).
2. Desentralisasi fungsional, yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur
dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. 46
Konsepsi pemerintahan daerah bukanlah dalam artian sebuah lembaga, melainkan
menunjuk pada tempat proses penyelenggaraan urusan atau tugas negara, yakni di
daerah sebagai perpanjangan penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah
45
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani
Quraisy, Bandung, h. 89.
46
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan
Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, h. 119.
34
Pusat.47
Dalam hal pemerintahan daerah yang menjadi fokus perhatian adalah asas
otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, sebagaimana yang ditulis oleh Yamin, bahwa:
“Susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan
pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian
kekuasaan itu antara pusat dan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi
tenaga pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan
segala-galanya pada pusat pemerintahan.”48
Setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka untuk menampung aspirasi
masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya harus disesuaikan
dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan secara parsial
memihak bagi golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh untuk
kepentingan masyarakat.49
Otonomi mengandung arti perundangan (regeling), dan
pemerintahan (bestuur). Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan
(staatsrechtelijke), bukan hanya tatanan administrasi negara
(administratiefrechtelijke). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan
dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.50
Sebagai
konsekwensi pelaksanaan asas desentralisasi menciptakan local self goverment.
Dalam negara kesatuan yang disentralisasikan, pemerintahan pusat tetap
mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom.51
Dengan demikian
47
I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar, h. 37.
48
Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada, h. 92. 49
Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 49.
50
Ibid, h. 23.
35
maka daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara nyata dan bertanggung jawab
dengan diberikannya hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Jika kita amati asas desentralisasi ini akan melahirkan adanya otonomi dan
tugas pembantuan pada otonomi itu akan melahirkan adanya suatu hak dan
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
pada tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sehingga dengan adanya otonomi dan tugas pembantuan akan melahirkan suatu
pemerintahan daerah yang didasarkan pada kekhususan yang dimiliki oleh suatu
daerah hingga pada pemerintahan desa. Dalam rangka menjalankan pemerintahan
daerah tersebut maka pemerintah daerah akan membentuk suatu peraturan daerah
yang dijadikan sumber hukum untuk melaksanakan wewenangnya yang
bersumber pada kewenangan atribusi pemerintah pusat yang kemudian di
delegasikan kepada pemerintah daerah. Perda sebagai bagian daripada
desentralisasi ini merupakan aturan hukum yang termasuk ke dalam Hirarki
peraturan perundang-undangan yang materi muatannya tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
51
Josef Riwo Kaho, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia
(Identifikasi Beberapa yang Mempengaruhi Penyelenggaraanya), Cet. 6, PT. Raja Grafindo
Persada, h.5.
36
1.7.5. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Agar suatu Peraturan Perundang-undangan itu dapat diterima dan berlaku
dalam pembentukannya haruslah memenuhi beberapa asas yang menjadi dasar
pembentukannya, asas-asas tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Van der
Vlies membagi asas tersebut ke dalam asas formal dan materiil.
1. Asas Formal terdiri atas :
a. Asas kejelasan tujuan, mencakup ketetapan peraturan perundang-
undangan dengan kebujakan pemerintah, tujuan khusus peraturan
yang dibentuk, tujuan dari bagian yang akan dibentuk.
b. Asas kelembagaan/organ pembentuk yang tepat, menetapkan
kejelasan organ yang menetapkan peraturan perundang-undangan
tersebut.
c. Asas perlunya pengaturan, menentukan alternatif maupun relevansi
dibetuknya aturan untuk menyelesaikan permasalahan pemerintahan.
d. Asas dapat dilaksanakan, peraturan yang dibuat dapat ditegakan.
e. Asas kedayagunaan dan keberhasilgunaan,
f. Asas konsensus, kesepakatan rakyat untuk menaati aturan sebagai
konskwensi ditetapkannya aturan.
2. Asas materiil terdiri atas :
a. Asas terminologi/sistematika yang benar, setiap peraturan dipahami
oleh masyarakat.
b. Asas pelaksanaan yang sama dalam hukum, hal ini untuk
memberikan keadilan dalam praktik pelayanan dan penegakan
hukum.
c. Asas kepastian hukum, peraturan yang dibuat mengandung aspek
konsistensi.
d. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual, memberikan
penyelesaiaan khusus menyangkut kepentingan individual.52
Pada Pasal 5 UU PPPU, Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
52
Hamzah Halim, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis Menyusun dan
MerancangPeraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual) Konsepsi
Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 34-35.
37
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan
Dalam pembentukan setiap Peraturan Perundang-undangan hendaknya
asas tersebut menjiwai setiap peraturan perundang-undangan sehingga
kemungkinan untuk dibatalkannya suatu peraturan perundang-undangan tersebut
akan sangat kecil, yang dimaksud pada asas-asas tersebut dapat ditemukan pada
Penjelasan Pasal 5.
Pertama yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
Kedua yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang.
Ketiga yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
38
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai
dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Keempat yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Kelima yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Keenam yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Ketujuh yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Khusus mengenai Perda asas-asas tersebut juga tidak dapat dipisahkan
sebagaimana yang tertuang pada Pasal 137 UU No. 32 Thn 2004 Tentang
39
Pemerintahan Daerah Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan
perundang-undangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat
dipergunakan sebagai suatu analisis terhadap keterberlakuan suatu peraturan
perundang-undangan khususnya Perda untuk menilai apakah suatu Perda tersebut
telah memenuhi apa yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga dengan
dibentuknya Perda tersebut memberikan keadilan, kepastian serta kemanfaatan
yang merupakan tujuan dibentuknya hukum. Asas-asas ini juga dapat
dipergunakan untuk mengkaji suatu Perda apabila asas-asas ini tidak terpenuhi
dalam pembentukan suatu Perda, maka Pemerintah dapat membatalkan Perda
tersebut sesuai dengan mekanisme yang diamanatkan dalam Peraturan perundang-
undangan.
Manfaat dari asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik bagi penyusun peraturan perundang-undangan (legal drafter) akan dapat
menghasilkan rancangan produk hukum yang memiliki dasar pikiran yuridis yang
kuat. Namun perlu disadari juga bahwa legal drafter yang dituntut memiliki
40
pengetahuan hukum yang mendalam dari pengetahuan lainnya secara
interdisipliner, serta kehatihatian dan kecermatan akan prosedur serta penguasaan
akan materi muatan produk hukum yang dirancang. Karena apabila asas-asas
diabaikan atau dilanggar dapat berakibat fatal. Yakni peraturan tersebut
dinyatakan batal demi hukum , dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat dalam rangka pengujian formal dan/atau materiil
(judicial review).
1.7.6. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan
Hak menguji berasal dari terjemahan Toetsingrechts yang berarti hak
untuk menguji atau kewenangan untuk menguji. Jika hak atau kewenangan
menguji ini diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan maka akan dikenal
dengan istilah dalam bahasa Inggris Judicial Review. Pengertian Judicial Review
dapat dilihat dalam kamus hukum yang menyatakan Judicial review is a court’s
power to review the action of other branches or levels of goverment, esp, the
court power to invalidate legislative an executive action as being un
constitutional.53
Mengenai pengujian (toetsingrechts)54
ada dua macam pengujian
yakni :
1. Hak menguji formal (formale toetsingrechts), dan
2. Hak menguji material (material toetsingrechts).
Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif
seperti Undang-undang misalnya yang terjelma melalui cara-cara sebagaimana
53
Bryan A, Garner, 1999, Black’s Law Dictionary Seventh Edition, In chief West
GruopSt. Paul, Minn, p. 852.
54
Ph. Kleintjes sebagaimana dikutip Sri Soemantri, 1997, Hak Menguji Di Indonesia¸Ed.
2, Alumni, Bandung, h. 1.
41
telah ditentukan dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku.55
Pengujian
formal biasanya lebih kepada menekankan pada kompetensi lembaga yang
membentuknya. Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki
dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.56
Sebagai kontrol normatif, pengujian dapat dilakukan oleh lembaga
pembuatnya atau juga dapat dilakukan oleh lembaga di luar lembaga pembuat
peraturan tersebut. Pengujian yang dilakukan oleh lembaga pembuat peraturan
tersebut disebut dengan pengujian internal, dan pengujian yang dilakukan oleh
lembaga lain dari pembuat peraturan disebut pengujian eksternal. Berkaitan
dengan pembentuk peraturan tersebut apabila peraturan tersebut terletak pada
legislatif, maka kontrol normatif pengujian tersebut disebut dengan legislatif
review, dan apabila pembentuk peraturan tersebut dibentuk oleh eksekutif maka
kontrol normatifnya disebut eksekutif review. Berkaitan dengan pengjian yang
dilakukan oleh legislatif review dan eksekutif review maka ini disebut dengan
pengujian internal. Sedangkan pengujian eksternal dilakukan oleh lembaga lain
yakni lembaga yang berwenang melakukan pengujian tersebut adalah Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memiliki kewenangan
untuk melakkan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
undang terhadap Undang-undang. Sedangkan Mahkamh Konstitusi memiliki
kewenangan uji materi Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan
55
Ibid
56
Ibid, h. 11.
42
demikian berkaitan mengenai kewenangan menguji peraturan Perundang-
undangan ada pada 2 cabang yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Berkaitan dengan hak pengujian yang dilakukan oleh hakim dalam hal ini
Mahkamah Agung, diberikan kewenangan secara atribusi dalam peraturan
perundang-undangan yakni Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenangan mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
terhadap Undang-undang dan memiliki kewenangan lainnya yang diberikan oleh
Undang-undang. Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5076) menentukan Mahkamah Agung berwenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang. pasal 20 ayat (3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan
perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, dapat diambil baik berhubungan dengan pemerinksaan tingkat kasasi
maupun berdasarkan pemohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Pasal 31 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359), (selanjutnya disingkat UU
MA).
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang.
43
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan
dengan pemerinksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
pemohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Mengingat jika dianalisis Perda merupakan suatu Peraturan Perundang-
undangan yang diakui dalam hirarki peraturan perundang-undangan kemudian
jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Perda tersebut
dapat dibatalkan. Pembatalan Perda tersebut dapat dilakukan oleh Mahkamah
Agung ketika terjadi pemahaman yang berbeda mengenai penafsiran dari pada
suatu perda. Perbedaan ini muncul ketika Perda tersebut telah lebih dahulu
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini kaitannya dengan Pembatalan
dengan Peraturan Presiden maupun Permendagri. Dengan adanya pembatalan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat, apabila Pemerintah Daerah keberatan
dengan hasil pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dapat mengajukan
uji materiil terhadap suatu Perda ke Mahkamah Agung ketika Perda tersebut
dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang maupun untuk mengetahui serta
memberikan kejelasan serta keadilan untuk membuktikan apakah perda tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
44
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.57
Ada beberapa pengertian penelitian hukum yang dikemukakan oleh para
ahli diantaranya : menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum
tertentu, dengan jalan menganalisanya.58
Soetandyo Wignyosoebroto, peneletian
hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar
(right answer) dan/atau jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer)
mengenai suatu permasalahan.59
Apabila hukum dilihat dari aspek yuridis
normatif dan yuridis empiris maka dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu
ilmu hukum tentang kaidah, ilmu hukum tentang segi hukum yang dicita-citakan,
dan ilmu hukum tentang kenyataan yang hidup di masyarakat. Oleh Morris L.
Cohen dan Kent C. Olson hukum dikatakan “The law consits of those
recordedrules that society will enforce and the procedures that can implement
them”.60
Penelitian hukum itu berdasarkan tujuannya terdiri atas pertama; penelitian
hukum normatif, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum,
57
Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h.38.
58
H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18.
59
Ibid.
60
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, St. Paul,
Minn, p.2.
45
penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf
sinskronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian
perbandingan hukum. Kedua; penelitian hukum sosiologis atau empiris,
yang mencakup, penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan
penelitian terhadap efektifitas hukum.61
Dalam tesis ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum secara
Normatif. Adapun penelitian hukum secara normatif adalah suatu pendekatan
masalah yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan
Peraturan Perundang-undangan yang digunakan adalah terkait dengan
permasalahan yang dibahas yang kemudian dilakukan pemecahan masalah dengan
menganalisa atau mengkaji pengaturan yang berlaku sebagai dasar dari
pemecahan masalah. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu
hukum memiliki karakteristik yang khas, ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya
yang normatif.62
1.8.2. Jenis Pendekatan
Penelitian Hukum Normatif mengenal lima (5) jenis pendekatan yakni:
1. Pendekatan Undang-undang (The Statue Approach)
2. Pendekatan kasus (cases approach)
3. Pendekatan Sejarah (historical approach)
4. Pendekatan komparatif (comparatif approach)
5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)63
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan, Pendekatan kasus (cases approach), dan Pendekatan
analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach).
61
A. Muktie Fajar dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. h. 153. (Selanjiutnya disebut A. Mukthie Fajar II)
62
Philipus M. Hadjon II, op.cit, h. 11.
63
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Kencana Prenada
Media Gruop, Jakarta, h. 93. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I).
46
1. (The Statue Approach) peraturan perundang-undangan merupakan titik
fokus dari penelitian tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait anatara satu dengan yang lainnya secara logis.
b. All-inclusive, artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup
mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak
ada kekosongan hukum.
c. Systematic, yaitu bahwa di samping bertautan antara satu dengan
yang lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara hirarkis.
2. Pendekatan kasus (cases approach), dalam penelitian hukum normatif
bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam pratik hukum.
3. Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual
Approach). Pendekatan analitis ini dilakukan dengan mencari makna
pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan, dengan begitu peneliti memperoleh gambaran pengertian
atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapan
secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.
Pendekatan konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau
pendekatan bagi analitis penelitian hukum, karena akan banyak muncul
konsep-konsep bagi suatu fakta hukum.64
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber Bahan Hukum terbagi menjadi dua, yaitu bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini ditulis dari sumber bahan hukum
antara lain:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.65
Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang bersifat
mengikat.66
64
A. Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad II, op.cit, 184-191.
65
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana, Jakarta, h.141.
(Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II).
47
Bahan hukum primer dalam penelitian ini diantaranya : Peraturan
Perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas seperti :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang
No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah
dan retribusi daerah, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undang, Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Permendagri No. 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah,
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer, misalnya rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum, dan sebagainya.67
Bahan hukum sekunder juga semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-
buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.68
66
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke 3, Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta, h. 52.
67
Ibid.
68
Ibid.
48
3. Bahan Hukum Tertier bahan hukum penunjang yang berupa kamus-
kamus hukum.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam hal penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka terhadap bahan-bahan hukum dengan cara membaca, melihat,
mendengarkan maupun dengan media internet. 69
Pengumpulan bahan hukum ini
menggunakan teknik Bola salju (snowbaal method)70
. Metode bola salju adalah
metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu pada peraturan
perundang-undangan, dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka yang berkaitan
dengan Pembatalan Peraturan Daerah.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis menggunakan teknik deskripsi, teknik argumentasi, teknik
sistematisasi. Teknik analisis secara deskripsi berarti menguraikan apa adanya
terhadap suatu kondisi hukum mengenai pelaksanaan pembatalan perda oleh
Mendagri. Teknik argumentasi berarti penilaian harus didasarkan pada alasan-
alasan yang bersifat penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya
mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara
peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.
Berkaitan dengan adanya suatu pertentangan suatu peraturan perundang-
undangan atau terjadinya konflik norma penyelesaiaannya dapat dilakukan dengan
mempergunakan asas preferensi yakni :
69
A. Muktie Fajar dan Yulianto Ahmad II, op.cit, h. 160.
70
I Made Wahyu Candra, 2013, Tesis : Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem
Peradilan Pidana, h. 35.
49
1. Lex Specialis Derogat Legi Generalis (Ketentuan yang bersifat khusus
mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum).
2. Lex Posteriori Derogat Legi Priori (Peraturan yang lebih baru
mengesampingkan peraturan yang terdahulu).
3. Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (Ketentuan yang lebih tinggi
tingkatannya mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah).71
71
Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup : Masalah Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, h. 59-60.
50
BAB II
TINJAUAN UMUM DUALISME
PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
2.1. Pengertian Dualisme
Dualisme merupakan suatu istilah untuk menunjukan adanya dua
perbedaan aliran maupun pemahaman terhadap suatu objek, maupun suatu model
penerapan akan suatu objek yang sama namun dipandang dengan cara yang
berbeda. Dualisme berasal dari suku kata “dua” dan ditambah dengan akhiran “-
isme”. Dua berarti bilangan satu dengan satu. Sufiks –isme berasal dari bahasa
yunani –ismos. Pada mulanya sufiks –isme memang dipungut dari bahasa asing,
ismus, Perancis Kuna –isme, dan Inggris –ism.72
Akhiran ini menandakan suatu
faham atau ajaran atau kepercayaan, akan tetapi lambat laun afiks itu menjadi
produktif, sehingga bentuk –isme dianggap layak diterapkan juga pada dasar kata
Indonesia.73
Sementara berkaitan dengan perda harus dilihat dari kata yang
membentuknya yakni peraturan dan daerah. Dualisme menurut kamus Bahasa
Indonesia :
1. ajaran yang berdasar dua asas yang bertentangan (seperti kebaikan ada
pula kejahatan);
2. Sifat mendua, yaitu satu sama lain saling bertentangan (tidak
sependapat).74
72
Hasan Alwi et al., 2003, Tata Bahasa Baku Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 103.
73
Ibid.
51
Dualisme juga berarti :
1. Faham bahwa dikehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan
(seperti ada kebaikan ada pula kejahatan, ada terang ada gelap);
2. Keadaan bermuka dua, yaitu satu sama lain saling bertentangan atau
tidak sejalan.75
Jika kita kaitkan antara dualisme dengan pembatalan perda akan dilihat
bahwa dualisme pembatalan perda merupakan suatu pandangan yang berbeda
terhadap suatu model pembatalan perda, dimana kedua model pembatalan perda
tersebut tetap berlaku dan dilaksanakan dalam rangka menganalisis suatu perda
hingga pada keputusan suatu pembatalan. Dualisme pembatalan perda ini dilihat
dari pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri dalam bentuk Permendagri
dan Presiden dalam bentuk Peraturan Presiden.
Dalam pembatalan perda yang menjadi objek pembatalan adalah perda
Provinsi. Pembatalan yang dilakukan dengan Perpres dan Permendagri ini dapat
dikatakan dualisme karena Pembentukan Perda merupakan satu kesatuan dimana
proses awalnya dimulai dengan pembentukan ranperda hingga menjadi suatu
perda. Proses pembentukan Ranperda kemudian dibatalkan oleh Mendagri dengan
Permendagri sementara perda itu sendiri dibatalkan oleh Presiden dengan
peraturan Presiden hal inilah yang dimaksudkan dengan dualisme yang
seharusnya tidak terjadi pembedaan dalam proses pembatalannya dan dilakukan
74
W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai
Pustaka, Jakarta, h.303.
75
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/dualisme, diakses 8 Agustus 2014
52
oleh organ pemerintahan yang sama dan dengan bentuk hukum yang sama apakah
Perpres ataukah Permendagri.
2.2. Pemerintahan Daerah
Sejarah tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia sudah ada sejak tahun
1948.76
Perkembangan tentang pemberian otonomi kepada Pemerintah Daerah
terutama mengalami perubahan adalah sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dimana di dalam Undang-
Undang tersebut telah dicanangkan tentang penekanan pemberian otonomi kepada
Daerah Tingkat II dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar isi
dan prosedur pembentukannya tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan
dan hukum nasional, maka terhadap Perda perlu diadakan pengawasan.
Dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan Indonesia, Perda
merupakan bentuk hukum terakhir dimana menurut UU No. 32 Thn 2004,
pembatalan Perda dilakukan oleh Presiden (dengan Peraturan Presiden). Pasal 18
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat 1 ini
menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang menurut C.F.
Strong negara kesatuan adalah negara yang diorganisir di bawah satu
76
P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah Dan Pelaksanaanya, Tarsito, Bandung,
1982, h. 1.
53
pemerintahan pusat.77
Dalam rangka menjalankan pemerintahan dalam kaitannya
melakukan pemerataan pembangunan pemerintah pusat memberikan sebagian
kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk lebih mengoptimalkan serta
mengefisiensikan serta mempercepat pembangunan.
Dasar hukum otonomi daerah adalah Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun
1945 yang mengamanatkan Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Penyerahan kewenangan kepada daerah ini tidak lagi
pemerintahan yang sifatnya sentralistik yang hanya terpusat oleh pemerintah pusat
semata dengan bergesernya kewenangan serta daerah diserahi tugas untuk
mengatur daerahnya prinsip desentralisasi ini menjadi sangat penting sehingga
akan melahirkan otonomi daerah dan prinsip tugas pembantuan. Desentralisasi
dalam arti Self goverment menurut Smith dalam Khairul Muluk berkaitan dengan
adanya subsidi teritori yang memiliki self goverment melalui lembaga politik
yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yurisdiksinya.78
Maksudnya bahwa pemilihan anggota DPRD serta kepala daerah merupakan
suatu cermin dari adanya pemilihan yang demokratis yang rakyat di daerah
tersebut yang memilih siapa saja wakil serta kepala daerahnya. Meningat Kepala
daerah dan DPRD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk
77
C. F. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan
Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA Teamwork, penerbit Nuansa dengan Penerbit
Nusamedia, Bandung, h. 87.
78
Smith, dalam Kharul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah,
Bayumedia Publishing, Malang, h. 8.
54
melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah.79
Penyerahan urusan pemerintahan menjelaskan bahwa
desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi, dengan kata lain bahwa
desentralisasi merupakan pengotonomian menyangkut proses memberikan
otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. 80
Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Thn 2004, telah
membawa perubahan besar dalam setiap segmen penyelenggaraan pemerintahan
daerah sebagaimana yang diungkapkan Soekarwo Dasar
Pertimbangan/Konsideran huruf (a) UU No. 32 Thn 2004 sebagaimana dapat
dilihat bukunya dalam Akmal Boedianto81
. Dalam penjelasan umum UU No. 32
Thn 2004 juga menegaskan bahwa:
Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan
selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam
persaingan global dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan yang
seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
negara.
79
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan
antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, h. 117. (Selanjutnya disebut Juanda II).
80
Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 8.
81
Akmal Boedianto, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD
Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 1.
55
Pada hakekatnya desentralisasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1
angka 7 UU No. 32 Thn 2004 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Otonomi daerah yang tertuang pada Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Thn
2004 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga
desentralisasi merupakan wewenang pemerintahan yakni berkaitan dengan
pendelegasian kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah
untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan kekhususan yang dimiliki oleh
daerah tersebut, sementara otonomi daerah merupakan hak dan kewajiban daerah
untuk melaksankan pemerintahan tersebut sehingga dengan adanya otonomi
daerah pemerintah daerah secara bertanggung jawab mengelola urusan
pemerintahan yang telah didelegasikan tersebut secara penuh tanggung jawab.
Dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut munculnya tugas pembantuan
yang berarti penugasan pemerintah yang secara langsung kepada daerah hingga
langsung pada pemerintahan desa berkaitan dengan tugas tertentu sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 32 Thn 2004 Tugas pembantuan
adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten
kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam hal pemberian
otonomi kepada daerah tentu berimplikasi pada berhaknya tiap-tiap daerah dalam
56
mengurus dan mengatur sendiri pemerintahan daerah secara otonom atau mandiri,
salah satu implikasi yang menjadi titik berat disini adalah di mana daerah diberi
hak untuk membentuk dan menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi daerah.
Otonomi daerah diadakan bukan hanya untuk meningkatkan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan, namun juga merupakan cara untuk memelihara
negara kesatuan.82
Otonomi berarti pemerintahan sendiri (Autos = sendiri, Nomos
= aturan)83
. Sehingga otonomi berarti pengundangan sendiri (zelfwetgiving) atau
pemerintahan sendiri (zelfbestuur).84
Dalam perkembangan sejarah di Indonesia
otonomi juga mengandung arti perundangan (regeling) dapat juga berarti
pemerintahan (bestuur). Jadi pada dasarnya urusan pemerintahan otonomi adalah
bersifat pelayanan,85
karena itu otonomi merupakan titik balik pergeseran
pemerataan pembangunan serta untuk meningkatkan daerah ke arah yang lebih
baik jika pemerintahan di daerah mampu mengelola dengan baik kewenangannya
dengan menciptakan suatu program-program yang sangat diharapkan oleh
masyarakat di daerah karena daerah tidak lagi menunggu pusat yang memberikan
pelayanan, mengingat dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah lebih
cepat serta lebih mengetahui kebutuhan daerahnya karena awalnya semua bermula
dari daerah.
82
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH)
Hukum UII, Yogyakarta, h. 3. (Selanjutnya disebut Bagir Manan III).
83
Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h. 6.
84
Abdurahman 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana
Press, h. 9.
85
Bagir Manan III, op.cit, h. 247.
57
Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban yang melekat pada otonomi
daerah tersebut pemerintahan daerah selaku penyelenggara urusan pemerintahan
yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD bersama-sama melakukan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1
angka 2 Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Tujuan dari pembentukan pemerintahan daerah dapat dilihat dari aspek
pembagian tugas, fungsi dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Unsur pemerintahan daerah yakni Pemerintah Daerah pada tingkat
provinsi yang terdiri dari Gubernur dan pada tingkat kabupaten/kota yakni
Bupati/Walikota dan unsur lainnya yakni DPRD provinsi dan DPRD
Kabupaten/kota.dalam kaitannya menjalankan pemerintahan daerah dengan prisip
asas desentralisasi, otonomi dan tugas pembantuan dengan tujuan untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya daerah dapat membentuk suatu
produk hukum daerah yakni berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No. 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum
Daerah. Dalam Pasal 2 produk hukum daerah terdiri atas :
a. Peraturan Daerah
b. Peraturan Kepala Daerah
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah
d. Keputusan Kepala Daerah dan
e. Instruksi Kepala Daerah
58
Dari jenis produk hukum daerah sebagaimana yang disebutkan dalam
Permendagri tersebut nampak jelas bahwa produk hukum itu terdiri atas produk
legislasi dan regulasi. Produk legislasi pada prinsipnya dapat diartikan sebagai
aturan hukum yang pembentukannya melibatkan badan legislatif, untuk tingkat
daerah bentuknya Peraturan Daerah, sedangkan regulasi adalah produk hukum
daerah yang dimana badan legislatif tidak terlibat dalam pembentukannya.. untuk
tingkat daerah akan dijumpai pada peraturan kepala daerah, yang mengatur hal-hal
yang secara umum, sedangkan hal-hal yang bersifat lebih kongkret individual
disebut dengan keputusan kepala daerah (order atau Beschiking). 86
Regulasi
adalah produk badan eksekutif atau pemerintah, dan badan legislatif tidak ikut
campur dalam pembentukannya. Hukum pada pokoknya adalah produk
pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara
yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa
larangan (prohibere) atau keharusan (obigatere) ataupun kebolehan.87
Produk
hukum daerah adalah peraturan daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam
rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu bentuk
produk hukum daerah adalah keputusan kepala daerah. Dalam produk hukum
yang bersifat penetapan salah satunya adalah keputusan gubernur, satuan kerja
perangkat daerah melakukan penyusunan produk hukum daerah sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing.
86
I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan
Implementasinya di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Bali, Disertasi, Universitas
Airlangga, Surabaya, h. 199. (Selanjutnya disebut Wairocana I).
87
Jimly Asshiddiqie, 2008, Perihal Undang-undang, Konstitusi Press dengan Syaamil
Cipta Media, Jakrta h. 9. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I).
59
2.3. Peraturan Daerah
2.3.1. Pengertian Peraturan Daerah
Pengertian Perda umumnya dapat kita jumpai dalam beberapa peraturan
perundang-undangan diantaranya :
a. UU No. 32 Thn 2004 Pasal 1 angka 10 Peraturan daerah selanjutnya
disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan
daerah kabupaten/kota.
b. UU 28 Tahun 2009 Pasal 1 Peraturan Daerah adalah Peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dan/atau
daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
c. UU PPPU Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Pasal 1 angka
8 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
d. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka 25 Peraturan Daerah
yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain
adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
Dengan melihat beberapa penegertian Perda yang dimuat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan maka dapat dilihat beberapa unsur dari Perda
tersebut yakni :
a. Merupakan suatu bentuk peraturan,
60
b. Adanya persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah
c. Berlaku hanya di daerah yang membentuknya
d. Perda Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi bersama-sama dengan
Gubernur dan Perda Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD
Kabupaten/Kota dengan Bupati/Walikota.
Sebagai pembanding pengertian Perda di Indonesia hampir sama dengan
pengertian Delegate Legislation di Ingris yang juga merupakan negara kesatuan
yang mempunyai daerah otonom, dimana Delegate Legislation diartikan sebagai
Local authorities in the form bylaws to regulate their locallity according localized
need.88
Berdasarkan prinsip-prinsip dalam otonomi daerah di Indonesi, yaitu
otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab, salah satu urusan yang
menjadi urusan pemerintahan daerah adalah dalam bidang legislasi, yakni atas
prakarsa sendiri membuat peraturan daerah beserta aturan-aturan pelaksananya. 89
Dalam perkembangan pemerintahan daerah otonom, eksistensi peraturan daerah
ternyata banyak memberikan warna bagi masing-masing pelaksanaan
pemerintahan daerah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya
peraturan daerah yang dihasilkan oleh masing-masing pemerintah daerah dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perihal adanya pemerintahan
daerah otonom, tentu saja terkait dengan pembentukan suatu peraturan
pemerintahan daerah iru sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie:90
88
Hilaer Barnett, 2002, Constitutional And Administrative Law, Queen Mary,
University,of London Cavendish Publishing Limited, London, p. 484.
89
Siswanto Sunarno, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, sinar Grafika,
Jakarta, h. 9.
61
Dalam keadaan yang normal, sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan
undang-undang dasar dan perangkat peraturan perundang-undangan yang
secara resmi diadakan untuk mengatur berbagai aspek yang berkenaan dengan
penyelenggaraan kegiatan bernegara pada umumnya, akan tetapi kadang-
kadang kurang terbayangkan bahwa aka nada keadaan lain yang bersifat tidak
normal, dimana sistem hukum yang biasa itu tidak dapat diharapkan efektif
untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri.
2.3.2. Sejarah Pengaturan Peraturan Daerah
Secara historis, pengaturan dimaksud dapat diketahui dari berbagai produk
peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah seperti dibawah
ini, yaitu:91
a. Decentralisatie wet Tahun 1903;
b. Bestuur S.H.ervorming Tahun 1922;
c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945;
d. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah;
e. Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah-
daerah Indonesia Timur;
f. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah;
g. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah;
h. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960;
i. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah;
j. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah;
k. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;
l. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun
1999 dan tahun 2000;
m. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan
pelaksanaannya;
n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sampai sekarang.
90
Jimly Asshiddiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 1. (Selanjtnya disebut Jimly Asshidiqie II).
91
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca
Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 395-396. (Selanjutnuya
disebut Jimly ASShiddiqie III).
62
o. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan
pelaksananya.
p. Undang-undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota.
q. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan desentralisasi dalam sejarah Indonesia telah berlangsung jauh
sebelum Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juli 1903. Awalnya
desentralisasi diatur dalam Regering Reglement yang disingkat RR yang
ditetapkan pada tahun 1854. RR ini kemudian diganti dengan Wet op de
Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling
(IS) Tahun 1925.92
Pada tahun 1948 diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22
Tahun 1948 tentang Peraturan Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai Pemerintahan Sendiri Dari Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia No. 22 tahun 1948 tersebut menegaskan bahwa daerah Negara Republik
Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar)
dan desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Setiap wilayah tersebut otonom atau dalam
istilah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948 disebut swatantra
(menyelenggarakan pemerintah sendiri) dan masing-masing disebut Daerah
Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III (Dati III) sama dengan desa
(kota kecil) nagari, marga dan lain-lain dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 22 Tahun 1948.
92
Ibid, h. 396-397
63
Selanjutnya setelah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun
1948 tentang Pemerintahan di Daerah dicabut dan selanjutnya diganti dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah. Setelah berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945
dengan Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan
demokrasi terpimpin. Dampak langsungnya terhadap otonomi daerah adalah
diberlakukannya Penpres (penetapan presiden) No. 6 Tahun 1959 dan Penpres
(Penetapan Presiden) No. 5 Tahun 1960.
Adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 1965 tentang
Pemerintahan Daerah menggantikan posisi Undang-Undang Republik Indonesia
No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah serta melanjutkan
ide Penpres No. 6 Tahun 1959. Bahkan ketentuan didalam Penpres No. 6 Tahun
1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960, seluruhnya diadopsi ke dalam Undang-
Undang Repubik Indonesia No. 18 Tahun 1965 ini, yang mengacu kepada konsep
demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang ini membagi wilayah negara dalam tingkatan daerah-daerah
otonom (Pasal 2 ayat (1) yang terdiri atas provinsi atau kotapraja sebagai dati I,
kabupaten atau kotamadya sebagai Dati II dan kecamatan atau kotapraja sebagai
Dati III.
Selanjutnya adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggantikan posisi Undang-
Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. Prinsip penting yang dianut dalam Undang-Undang No.
64
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah adalah otonomi
daerah. Dalam Undang-Undang ini dengan jelas ditentukan bahwa: “tujuan
pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan
pembangunan dan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan
pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa”.
Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
menggantikan posisi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebagai jawaban terhadap krisis pada
tahun 1998 yang menyebabkan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi dikonstruksikan dengan
otonomi seluas-luasnya. Hubungan provinsi dan kabupaten ditentukan tidak lagi
bersifat hierarkis, seperti dalam Undang-Undang sebelumnya.
UU No. 32 Thn 2004 gubernur dan bupati/walikota memiliki hubungan
hierarkis satu dengan yang lain, selain itu dalam UU No. 32 Thn 2004 ini juga
mengatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerahyang
diinterpretasikan sebagai pemilihan secara langsung yakni rakyatlah yang memilih
calon kepala daerah dan wakil kepala daerahnya. Pasal 136 ayat (1) UU No. 32
Thn 2004 juga mengatur mengenai rancangan peraturan daerah yang berasal dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau gubernur atau bupati/walikota
selaku kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara tidak langsung juga mengatur
65
peraturan daerah yang menjadi suatu dasar pijakan dalam mengambil kebijakan
atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, sebagaimana yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Sebagai manifestasi dari upaya tinjauan historis
mengenai peraturan daerah.
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang
perimimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pemanfaatan, sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Serta pengaturan pengelolaan
keuangan daerah untuk pelaksanaan desentralisasi dan keuangan yang diberikan
pemerintah pusat untuk daerah untuk melaksanakan dekonsentrasi. Sumber
pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pusat dan
daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan (medebewind).
2.3.3. Materi Muatan Peraturan Daerah
Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota
berwenang untuk membuat perda dan peraturan kepala daerah, guna
menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Substansi atau
penjabaran dari perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi yang substansi yang diatur dalam perda dilarang bertentangan dengan
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan
kepentingan umum. Perda sebagai bagian dari Peraturan Perundang-undangan
66
dalam pembentukan serta penyusunannya tetap berpedoman kepada teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini, Yuliandri menegaskan
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat
dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila
didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat
semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.93
Suatu bentuk keberlakuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini
adalah kaidah hukum, memiliki bentuk keberlakuan yuridik, sebagaimana
pendapat Arief Sidharta, keberlakuan yuridik dimaksudkan bahwa suatu kaidah
hukum dibentuk sesuai aturan-aturan hukum prosedur yang berlaku oleh badan
yang berwenang dan bahwa ia juga lebih dri itu dalam aspek lain secara
substansial tidak bertetangan dengan kaidah hukum lainnya (kaidah yang lebih
tinggi).94
Pendapat Jimmly Asshidiqie, yang menyebutkan bahwa kegiatan
legislasi dan pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
kegiatan-kegiatan kenegaraan dan pemerintahan yang tercakup dalam bidang
hukum tata negara dan tata usaha negara atau administrasi negara.95
Mengingat perda merupakan salah satu jenis hirarki peraturan perundang-
undangan sebagaimana tertuang pada UU PPPU Pasal 7 ayat (1) Perundang-
undangan terdiri atas:
93
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 2.
94
Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, Refika aditama, Bandung, h. 47.
95
Jimmly Asshidiqie IV, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan
Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, h. 45. (Selanjutnya disebut Jimmly Asshidiqie IV).
67
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sehingga asas dan materi muatan yang diatur dalam perda tetap mengacu pada
UU PPPU yang dijadikan pedoman dalam penyusunan dan pembentukan suatu
perda baik perda Provinsi dan perda Kabupaten/Kota. Pasal 5 UU PPPU mengatur
mengenai asas-asas yang ada pada suatu perda yakni “Dalam membentuk
Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi”:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Penjelasan Pasal 5 UU PPPU yang menjelaskan dari asas-asas yang tertuang
dalam Pasal 5 UU PPPU maksud dari asas-asas tersebut yakni ;
a. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
b. Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan
yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan.
68
d. Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Sementara Pasal 6 UU PPPU mengamanatkan materi muatan yang diatur
dalam perda adalah ayat
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang
hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 6 memberikan penjelasan maksud dari materi muatan dalam
peraturan perundang-undangan diantaranya :
69
Pada Pasal 6 ayat (1)
a. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan
pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.
e. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
f. Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa
Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus
daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
i. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.
j. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara.
70
Pada Pasal 6 ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang
hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih khusus
mengenai Perda diatur dalam UU No. 32 Thn 2004, mengingat perda merupakan
produk hukum daerah yang tidak terlepas dari pemerintahan daerah yang dengan
adanya asas desentralisasi menyebabkan daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus daerahnya berdasarkan faktor kekhasan yang dimiliki
daerah. Pasal 1 angka 13 UU PPPU Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai
dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
Mengenai materi muatan dalam perda dapat ditemukan dalam Pasal 137 Perda
dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pasal 138
(1) Materi muatan Perda mengandung asas:
71
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(3) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat asas
lain sesuai dengan substansi Perda dapat yang bersangkutan.
Selain asas dan metode dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan menurut Kant dalam LG Saraswati dkk, adalah prinsip kebebasan,
prinsip kesetaraan dan prinsip otonomi.96
Selanjutnya diuraikan bahwa prinsip
kebebasan adalah pemerintah disini adalah yang memikirkan kebahagiaan
rakyatnya, untuk prinsip kesetaraan, bahwa setiap anggota masyarakat berhak
untuk menolak hukum-hukum yang tidak disepakati dan prinsip otonomi sebagai
anggota masyarakat ataupun sebagai legislator, harus bebas dan setara dalam
menyepakati hukum.
2.3.4. Pembentukan Peraturan Daerah
Dalam UU PPPU pembentukan undang-undang berbeda dengan
pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan
pemerintah dan peraturan daerah.97
Peraturan daerah merupakan peraturan
pelaksana dari undang-undang, dimana proses pembentukan peraturan daerah
provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota memiliki kemiripan dengan
pembentukan Undang-undang. Ketentuan mengenai pembentukan pearturan
96
L. G. Saraswati, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, filsafat –UI Press, Jakarta, h. 83-84.
97
Jimly Ashidiqqie, 2010, Perihal Undang-undang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
184. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie V).
72
daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten dan peraturan daerah kota dalam UU
PPPU mengatur beberapa tahapan seperti :
1. Tahap perencanaan;
2. Tahapa penyusunan;
3. Tahap pembahasan dan penetapan;
4. Tahap pengundangan;
5. Tahap penyebarluasan.
Tahap perencanaan peraturan daerah provinsi diatur pada Pasal 32 sampai
dengan Pasal 38, untuk peraturan daerah kabupaten/kota tahap perencanaannya
diatur pada Pasal 39sampai dengan 41. Untuk tahap penyusunan peraturan daerah
provinsi kabupaten/kota diatur mualai dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 56.
Sementara untuk tahap pembahasan penetapan rancangan peraturan daerah diatur
mulai dari Pasal 75 sampai dengan Pasal 77 serta Pasal 78 sampai dengan Pasal
80. Tahapanberikutnya yakni tahapan pengundangan diatur dari Pasal 81 sampai
dengan Pasal 86. Tahapan terakhir yakni berkaitan dengan penyebarluasan perda
diatur pada Pasal 92 sampai dengan 95.
Penyusunan pembentukan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah
kabupaten/kota dimulai dengan penyusunan suatu program legislasi daerah
(Prolegda). Prolegda memuat rancangan peraturan daerah provinsi atau
kabupaten/kota, materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, dimana materi yang diatur tersebut setelah melalui
pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik.
73
Pengaturan mengenai peraturan daerah dalam UU No. 32 Thn 2004 diatur
secara khusus dalam BAB VI mengenai peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut tahapan yang harus dilewati dalam
pembentukan peraturan daerah yakni :
1. Tahap persiapan;
2. Tahap pembahasan, persetujuan bersama dan penetapan/pengesahan;
3. Tahap penyebarluasan;
4. Tahap klarifikasi dan evaluasi;
5. Tahap pengundangan.
Ketentuan proses pembentukan peraturan daerah pada tahap persiapan,
pembahasan, penyebarluasan, dan partisipasi publik pada dasarnya tidak ada
pembedaan dengan UU PPPU. Pada tahap klarifikasi dan evaluasi inilah yang
membedakan tahapan proses pembentukan peraturan daerah dalam UU PPPU dan
UU No. 32 Thn 2004 yang berimplikasi pada proses pengesahan dan
pengundangan peraturan daerah.
Mengingat Perda ini merupakan hasil kerjasama Kepala Daerah dan
DPRD maka gagasan perumusannya dapat melalui Kepala Daerah maupun
DPRD. Dalam membentuk Perda tersebut harus ditinjau dari unsur pemerintahan
daerah tersebut : 98
a. Unsur DPRD
Perda adalah suatu bentuk produk legislatif tingkat daerah, karena itu
tidak dapat terlepas dari DPRD. Keikutsertaan DPRD dalam
pembentukan Perda tidak terlepas dari kewenangan DPRD dibidang
legislatif.
98
Ni’matul Huda, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, h.86-87. (Selanjutnya disebut
Ni’matul Huda I).
74
b. Unsur Kepala Daerah
Keikutsertaan Kepala Daerah dalam pembentukan Perda mencakup
kegiatan-kegiatan :1). Bersama-sama DPRD membahas Ranperda; 2)
Menetapkan Ranperda yang telah disetujui DPRD menjadi Perda; 3)
pengundangan.
c. Unsur Partisipasi
Partisipasi bermaksud sebagai keikutsertaan pihak-pihak di luar DPRD
dan Pemerintah Daerah dalam penyusunan dan pembentukan Ranperda
atau Perda.
Proses klarifikasi dan evaluasi ini merupakan konskwensi dari
kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh pemerintah pusat.99
Ketentuan
tentang tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari gubernur atau
Bupati/Walikota, diatur dengan peraturan Presiden, sedangkan tata cara
mempersiapkan rancangan perda oleh DPRD diatur dalam peraturan tata tertib
DPRD. Untuk rancangan perda mendapat masukan oleh masyarakat maupun
pakar maka dilaksanakan oleh oleh sekretariat DPRD dan disebarluaskan oleh
sekretariat daerah. Perda dapat memuat suatu ketentuan tentang pembebanan
biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagaian kepada pelanggar.
Paksaan penegakan hukum itu umumnya berwujud mengambil atau meniadakan,
mencegah, melakukan, atau memperbaiki segala sesuatu yang telah dibuat,
diadakan, dijalankan, dialpakan, atau ditiadakan yang bertentangan dengan
hukum.100
Khusus Perda APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah
yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Perda
tertentu mengatur tentang pajak daerah , retribusi daerah APBD, Perubahan
APBD dan tata ruang, berlakunya setelah melalui tahapan evaluasi oleh
99
Anis Ibrahim, 2008, Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Plotik Hukum
dalam Pembentukan Hukum di Daerah, In Trans Publishing, Malang, h. 146.
100
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 20.
75
pemerintah. Hal ini ditempuh dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi
kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya, terutama perda
mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.
Rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur,
atau Bupati/Walikota, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur, atau
Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Perda. Penyampaian rancangan perda
tersebut, dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari terhitung sejak
tanggal persetujuan bersama. Rancangan perda ditetapkan oleh Gubernur, atau
Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.
Apabila rancangan perda yang tidak ditetapkan oleh Gubernur, atau
Bupati/Walikota dalam waktu 30 hari, perda tersebut sah menjadi perda dan wajib
diundangkan dalam lembaran daerah. Pengesahan perda harus dirumuskan dengan
kalimat pengesahan yang berbunyi “Perda ini dinyatakan sah”, dengan
mencantumkan tanggal sahnya dan kalimat itu harus dibubuhkan pada halaman
terakhir perda, sebelum pengundangan naskah perda ke dalam lembaran daerah.
Sebagai upaya pengawasan terhadap perda oleh pemerintah, paling lama
tujuh hari setelah ditetapkan, perda tersebut harus disampaikan kepada
pemerintah. Perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan
bertentangan dengan kepentingan umum dapat dibatalkan oleh pemerintah.
Keputusan pembatalan perda tersebut ditetapkan dengan dengan peraturan
presiden dan peraturan menteri dalam negeri paling lama 60 hari sejak
diterimanya perda yang dimaksud. Paling lama tujuh hari setelah keputusan
76
pembatalan perda yang dimaksud, kepala daerah harus memberhentikan
pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut perda
yang dimaksud.
Proses pembuatan perda, masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda.
Rancangan perda harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan Perda
ditetapkan oleh Kepala Daerah dan atas persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam
pembentukannya, setiap peraturan daerah dapat dipastikan akan melalui proses
pembahasan yang dilakukan secara bersama-sama antara Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Selanjutnya UU PPPU, dalam
Pasal 32 sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Perencanaan
penyusunan Perda Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi”, kemudian pada
Pasal selanjutnya yaitu Pasal 33 UU PPU menegaskan:
(1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program
pembentukan Perda Provinsi dengan judul Rancangan Perda Provinsi,
materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-
undangan lainnya
(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-
undangan lainnnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
keterangan mengenai konsepsi rancangan Perda yang meliputi:
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. Jangkauan dan arah pengaturan
(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah
melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah
akademik.
77
Kemudian pada Pasal selanjutnya dipaparkan lebih jelas lagi terutama
mengenai Perda APBD, yaitu :
Pasal 34
(1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan
Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi ditetapkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda Provinsi.
(3) Penyusunan dan Penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun
sebelum penetapan Rancangan Perda Provinsi tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Provinsi.
Pasal 35
Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan Perda Provinsi didasarkan atas:
a. Perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;
b. Rencana pembangunan daerah;
c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. Aspirasi masyarakat daerah.
Pasal 36
(1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus
menangani bidang legislasi.
(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah
Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat
mengikutsertakan instansi vertical terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda
Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda
Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 37
(1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan
Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam
Rapat Paripurna DPRD Provinsi.
(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan DPRD Provinsi.
78
Pasal 38
(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang
terdiri atas :
a. Akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat
mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda
Provinsi:
a. Untuk mengatsi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana
alam;
b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas
suatu Rancangan peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui
bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus
menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Untuk melaksanakan perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan
kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala
daerah. Peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah, dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum, perda, dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Peraturan kepala daerah diundangkan dalam berita
daerah yang dilakukan oleh sekretaris daerah.
2.3.5. Pembatalan Peraturan Daerah
Telah banyak peraturan daerah yang dibatalkan, pembatalan ini
dikarenakan seperti yang tertuang dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004,
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih tinggi
seperti Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Berkaitan dengan bertentangan
dengan kepentingan umum berdasarkan Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32
79
Thn 2004 adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga
masyarakat, kebijakan yang berakibat terganggunya pelayanan umum, dan
kebijakan yang berakibat terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta
kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam perspektif
kajian pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi melalui Peraturan
Mendagri juga merupakan suatu upaya pembangunan atau pembinaan hukum di
Negara Indonesia. Pembinaan hukum bahkan harus diawali dengan adanya suatu
kajian mengenai konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal ini
ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo, yang menegaskan bahwa:
”Apabila kita ingin berbicara mengenai pembinaan hukum dalam arti yang
lengkap, masalah pembuatan hukum pun termasuk di dalamnya. Tentulah
tidak dapat diharapkan berbicara tentang pembinaan hukum secara
bersungguh-sungguh, apabila hanya mempersoalkan tentang bagaimana
meningkatkan efisisensi suatu peraturan yang ada serta meningkatkan
efisiensi kerja dari lembaga-lembaga hukum. Pada suatu ketika, usaha
untuk meningkatkan efisiensi hukum juga dimulai dari pembuatan
peraturannya sendiri. Dengan demikian, akan dijumpai wilayah-wilayah
tempat kaitan antara pembangunan, perubahan, dan pembinaan hukum
tersebut bertemu”.101
Menurut Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn 2004. Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
Pemerintah, serta Pasal 145 ayat (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
101
Satjipto Rahardjo, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, h. 16.
80
Hal ini diperjelas kembali dengan PP 79 Tahun 2005. Pasal 37 ayat (4) Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri.
Pada Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004 Apabila hasil evaluasi tidak
ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan
rancangan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan rancangan
Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan
Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur
dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya, dan
dengan Pasal 40 ayat (2) PP 75 Tahun 2005. Apabila Gubernur tidak
menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1) dan tetap menetapkan, menjadi
peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, Menteri Dalam Negeri dapat
membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan
peraturan Menteri.
Jika melihat Pasal 158 ayat (4) dan (5) UU PDRD pada ayat (4)
berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah
dimaksud kepada Presiden, ayat (5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden Paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya peraturan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Sehingga dapat kita teliti produk hukum pembatalan
Perda yakni pada UU No. 32 Thn 2004 :
81
a. Peraturan Presiden terhadap seluruh Perda kecuali Perda APBD, pajak
daerah, dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda APBD, pajak daerah,
dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang
Pembatalan Perda tersebut merupakan bagian dari kewenangan pemerintah
dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah. Sehingga dalam
asas desentralisasi Pemerintah Daerah tidak lepas dari Pemerintah Pusat sehingga
Pemerintah Daerah masih tetap dalam kontrol dari Pemerintah Pusat. Karena asas
desentralisasi tidak berarti daerah dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya
sendiri tetapi tetap pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika
terjadi permasalahn berkaitan dengan Pembatalan Perda ini yang melibatkan
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat yang masing-masing meiliki penafsiran
berbeda akan sebuah Perda serta untuk menemukan suatu kejelasan maksud
daripada suatu Perda. Diberikan suatu upaya penyelesaian dengan mengajukan
hak uji materiil kepada Mahkamah Agung.
Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota, tidak dapat menerima keputusan
pembatalan perda yang dimaksud dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung. Jika keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa peraturan presiden
menjadi batal dan tidak memiliki kekuatan hukum. Demikian pula apabila
pemerintah tidak mengeluarkan peraturan presiden untuk membatalkan perda
yang dimaksud, perda dinyatakan tetap berlaku.
82
BAB III
PENGATURAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
3.1. Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dalam Kerangka Negara
Kesatuan
Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam hubungan antar
pemerintahan dikenal adanya konsep sentralisasi dan desentralisasi. Konsep
sentralisasi menunjukan karakter bahwa semua kewenangan penyelenggaraan
pemerintahan berada pada pemerintah pusat sedangkan, konsep desentralisasi
menunjukan karakter bahwa sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang
menjadi kewajiban pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah. Indonesia
menganut sistem desentralisasi hal ini dapat kita temukan pada Pasal 18 ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945.
Sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat maka penyelenggaraan
pemerintahan di daerah bukanlah bersifat mandiri sebagaimana negara federal,
tetapi merupakan kelanjutan dari urusan negara/pemerintah pusat yang
diamanatkan pada alenia IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Secara normatif
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dilakukan melalui peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga tanpa adanya wewenang tersebut,
pemerintah daerah tidak dapat melakukan tindak hukum maupun mengadakan
hubungan hukum.
Berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah dalam sistem
pemerintahan negara kesatuan ukuran untuk menerapkan
83
sentralisasi/desentralisasi adalah efisiensi.102
Dalam pelaksaan pemerintahan,
pemerintah pusat membagi tugas baik secara horozontal maupun secara vertical
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. pembagian secara vertical dapat
dilihat dari adanya pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. Pembagian wewenang ini kaitannya juga dengan
tanggung jawab, oleh karenanya pembagian tugas juga merupakan pembagian
wewenang.103
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan adapun tujuan
dilakukannya pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah adalah untuk dapat memberikan pelayanan yang efektif dan efisien
terhadap setiap warga negara, mengingat luasnya wilayah negara Republik
Indonesia dan jumlah penduduk yang begitu besar menjadikan susahnya
memenuhi kebutuhan akan pelayanan dan pembangunan untuk itu perlunya
adanya pembagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada pemerintahan
daerah.
Otonomi daerah dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dengan demikian, seperti halnya
penyelenggaraan negara oleh pemerintah pusat penyelenggaraan pemerintahan
daerah juga harus berdasarkan hukum sebagai amanat dari Pasal 1 ayat (3) UUD
NRI Tahun 1945 yang menegaskan Indonesia adalah negara hukum.
102
A. W. Widjaja, 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.3. (Selanjutnya disebut H. A. W. Widjaja I).
103
Soebekti, 2000, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 6, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta h. 93.
84
Sebagai konskwensi dari sebuah negara hukum maka negara Indonesia
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menggunakan prinsip hukum
dan demokrasi menimbulkan distribusi kewenangan sesuai dengan prinsip
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pada UU No. 32 Thn 2004 daerah
memiliki kewenangan untuk membentuk perda sebagai hukum, instrumen dan
tolak ukur keabsahan tindakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan tugas dan
kewenangan sebagai penyelenggara pemerintahan negara dalam upaya
melaksanakan pelayanan dan pembangunan di daerah. Seperti yang diamnatkan
dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai wujud dari demokrasi yang
merupakan bagian dalam konsep negara hukum dilaksanakan dengan penyerahan
urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah.
Konsepsi hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang
demokratis dengan memberikan kewenangan urusan dalam penyelenggaraan
pemerintahan kepada pemerintahan daerah. Kewenangan yang menjadi urusan
pemerintahan daerah adalah kewenangan terbatas pada urusan rumah tangga
daerah. Dalam implementasinya diselenggarakan atas kebebasan, kemandirian,
serta prakarsa daerah sendiri sebagai upaya partisipasi masyarakat sesuai dengan
keadaan dan potensi daerah serta kebutuhan masyarakat sebagai ujung tombak
dari pembangunan dan pelayanan yang semakin dekat dengan masyarakat.
85
Menurut soemitri dalam M. R. Khairul Muluk Undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah telah mengatur sebaik-baiknya tentang otonomi dan
madebewind.104
Urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah-daerah adalah
dalam bidang yang tidak termasuk kepentingan umum yang diurus oleh
pemerintah pusat karena telah diatur dalam peraturan tersendiri dan urusan sisa
yang tidak menjadi urusan daerah otonom sebagaimana yang diamantkan pada
UU No. 32 Thn 2004.
Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi
umum pemerintahan;
m. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang
belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan urusan wajib
lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
104
M. R. Khairul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan daerah, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 134.
86
Pasal 14
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota
meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal
11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penyelenggaraan pemerintahan negara dalam pemerintahan daerah yang
bersifat otonom, menurut Hestu B. Handoyo menyebutkan bahwa pemerintahan
daerah otonom (local state goverment), yakni satuan-satuan pemerintahan lokal
yang berada di bawah pemerintahan pusat yang berhak atau berwenang
menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
setempat dengan ciri-ciri :
1. Urusan-urusan pemerintahan atau wewenang pemerintahan yang
diselenggarakan oleh pemerintahan lokal otonom adalah urusan atau
wewenang yang telah menjadi urusan rumah tangga sendiri;
2. Penyelenggaraan pemerintahan lokal otonom dijalankan oleh pejabat-
pejabat yang merupakan pegawai pemerintahan lokal itu sendiri atau
87
dengan kata lain pejabat-pejabat tersebut diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintahan lokal otonom itu sendiri;
3. Penyelenggaraan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal
otonom adalah hubungan yang bersifat pengendalian dan pengawasan
atau hubungan kemitraan (partnerships).105
Kewenangan atau kekuasaan yang ada pada pemerintahan daerah bersifat
derivatif (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas.106
Hal ini
merupakan salah satu ciri dari negara kesatuan mengingat bentuk dari negara
Republik Indonesia adalah negara kesatuan. Menurut C.F. Strong :
“The two essential qualities of unitary state may there for be said ; (1) the
supremacy of the central parliament and (2) the absence of susdiary
souvereign bodie”.107
Dua ciri yang mendasar melekat pada suatu negara
kesatuan; (1) adanya supremasi tertinggi pada Dewan Perwakilan Pusat
dan (2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.
Salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah untuk
meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, terutama
dalam tujuan otonomi derah yakni pelaksanaan pembangunan dan layanan
terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan
kesatuan bangsa.108
Tujuan kebijakan otonomi daerah diantaranya :
1. Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah;
2. Pemberdayaan masyarakat dan daerah;
3. Peningkatan kualitas layanan masyarakat;
4. Peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan;
5. Terselenggaranya tata kelola kepemerintahan yang baik;
105
Hestu B. Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, h. 288.
106
Moh Kusnadi dan B. Saragih, 1988, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, h.
108.
107
C. F. Strong, 1966, Modern Political Constitutional, Sidgwick 7 Jackson Limited
London E. L. B. S. EditionFirst Publised, p. 84.
108
H. A. W. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka
Sosialisasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 208. (Selanjutnya disebut H. A. W. Widjaja II).
88
6. Terbebasnya praktek penyelenggaraan pemerintahan dari malpraktek,
baik berupa korupsi, kolusi , dan nepotisme.109
Dalam kaitannya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya untuk itu dibentuklah
suatu peraturan daerah yang bertujuan untuk mengatur serta menjadi penilaainn
terhadap tindak pemerintahan daerah. Perda sebagai bagian dari peraturan
perundang-undangan dalam pembentukannya terjadi karena dua hal yakni karena
kewenangan atribusi dan karena kewenangan delegasi.
Secara atribusi pembentukan peraturan daerah dapat kita lihat pada Pasal
18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan. Perda merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan.
Dalam pembentukan Peaturan perundang-undangan kaitannya dengan
kewenangan atribusi mengandung unsur-unsur :
1. Penciptaan wewenang (baru) untuk membuat peraturan perundang-
undangan;
2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-UndangDasar
atau pembentuk Undang-undang kepada suatu lembaga;
3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.
Dalam pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan memuat
unsur :
1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan;
2. Wewenang tersebut diserahkan oleh pemegang wewenang atribusi
(delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris);
3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab
atas pelaksaan wewenang tersebut.110
109
Joko Widodo, 2008, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Bayu Media Publishing,
Malang, h. 6.
89
Syarat yang harus dipenuhi dalam membuat peraturan perundang-
undangan termasuk juga perda adalah :111
1. Dibuat oleh organ /pejabat yang berwenang;
2. Tidak ada kekurangan yuridis;
3. Diberi bentuk tertentu dan sesuai dengan prosedur dan tat cara
pembentukannya.
4. Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
Ada juga syarat yang lain yang harus dipenuhi dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan dan keputusan syarat tersebut dibedakan menjadi
syarat formal dan syarat materiil.112
Syarat formal :
1. Syarat-sarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan diabuatnya
keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus
dipenuhi;
2. Keputusan harus diberi bentuk tertentu yang ditentukan;
3. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya
keputusan harus dipenuhi;
4. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan tidak
boleh dilewati.
Syarat materiil : Alat negara yang membuat keputusan itu harus berwenang;
1. Dalam kehendak alat negara yang membuat keputusan itu tidak boleh
ada kekurangan;
2. Keputusan harus dibuat berdasarkan suatu keadaan tertentu;
110
I Nyoman Suyatna, 2006, Materi Muatan Peraturan Daerah Dalam Konteks
Kepentingan Lokal, Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 31 No. 2. Juli
2006, h. 60
111
Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-pengertian Dasar Tentang Tindak
Pemerintahan (Bestuurhendeling), Djumali, Surabaya, h.8. (Selanjutnya disebut Philipus M.
Hadjon III).
112
Ibid, h.9-10.
90
3. Keputusan harus dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan lain, serta
isi dan tujuan harus sesuai dengan peraturan yang menjadi dasar
keputusan tersebut.
Berpijak pada persyaratan yang telah diuangkap di atas pada prinsipnya
menekankan pada kewenangan, isi,/materi, bentuk maupun hirarki perundang-
undangan. Berkaitan dengan pembentukan perda yang harus dicermati adalah
materi yang dijadikan muatan perda tersebut menjadi wewenangnya atau tidak
apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan atau kepentingan umum, apakah prosedurnya telah sesuai dengan apa
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sehingga akan
berpengaruh terhadap keabsahan tindak ataupun keputusan yang dikeluarkan
tersebut.
Apabila kita mengkaji mengenai keabsahan legislasi daerah, diatur dengan
jelas di dalam UU No. 32 Thn 2004, bahwa pembentukan perda merupakan tugas
dan wewenang Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kewenangan Kepala Daerah membentuk Perda diatur dalam Pasal 25 huruf b dan
huruf c Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: mengajukan rancangan
Perda; menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Sementara wewenang DPRD dalam kaitannya dengan membentuk Perda diatur
pada Pasal 42 ayat (1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat
persetujuan bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama
dengan kepala daerah;
91
Perda sebagai suatu produk hukum daerah hendaknya juga mencerminkan
tiga aspek yang menjadi dasar berlakunya hukum di masyarakat. Ketiga dasar
kekuatan berlakunya hukum yakni mencerminkan aspek filosofi, sosiologi dan
yuridis. Berlakunya hukum secara filosofi, artinya hukum itu berlaku sesuai
dengan cita-cita hukum itu sebgai nilai yang positif yang tertinggi. Dalam arti
bahwa hukum itu sendiri memiliki nilai kebenaran, keadilan. Berlakunya hukum
secara sosiologis maksudnya apabila kaidah-kaidah yang diatur dalam hukum
tersebut diterima oleh masyarakat. Landasan ini merupakan pencerminan
kenyataan hidup dalam masyarakat yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian.
Berlakunya hukum secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah
yang tingkatannya lebih tinggi, dibentuk oleh lembaga yang berwenang, dibuat
dalam bentuk tertentu, serta dilakukan menurut tata cara yang telah ditetapkan.
Landasan inilah yang sering menjadi acuan terhadap perda yang dibentuk
oleh daerah. Karena pada landasan ini seringkali pembentukan perda maupun
raperda menjadi permasalahan. Pemerintah pusat yang masih memiliki
kewenangan untuk mengawasi daerah terkait pembentukan perda sering kali
menemukan adanya pertentangan perda dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Untuk itu agar suatu raperda dan perda ini tidak mengalami
permasalahan serta menimbulkan akibat hukum setelah berlaku untuk itu perlunya
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap perda yang dibentuk
oleh pemerintah daerah.
92
3.2. Pengawasan Pemerintah Pusat kepada Daerah
Dalam rangka melaksanakan otonomi, dalam kewenangan untuk mengatur
dan mengurus urusan rumah tangga daerah, Perda tidak boleh bertentangan
dengan prinsip Negara kesatuan dan hukum nasional. Oleh karena itu, maka harus
tetap dimungkinkan adanya pengawasan terhadap Perda. Pengawasan diperlukan
untuk memastikan bahwa Perda tidak bertentangan dengan prinsip Negara
kesatuan dan hukum nasional. Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi, jika kita melihat pembentukan perda seharusnya pemerintah pusat tidak
perlu lagi melakukan pengawasan terhadap perda, mengingat pada tahapan
pembentukannya perda tersebut dibahas secara bersama-sama oleh kepala daerah
dan DPRD untuk selanjutnya disahkan dan ditetapkan menjadi perda. Ketika
suatu perda itu ditetapkan kiranya telah memenuhi unsur aspirasi, demokrasi dan
rasa keadilan masyarakat daerah tersebut. Namun dalam kaitannya dengan negara
kesatuan dimana pemerintah pusat tetap melakukan pengawasan terhadap daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk semua aktivitas pelaksanaan pemerintahan daerah
tidak terlepas dari prinsip negara kesatuan serta menjaga keutuhan NKRI.
Pengawasan juga berfungsi untuk melindungi rakyat dari kesewenangan
penguasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Bagir Manan113
yang menyatakan
Prinsip-prinsip negara berotonomi adalah:
a. Otonomi adalah perangkat dalam negara kesatuan. Jadi seluas-luasnya
otonomi tidak dapat menghilangkan arti, apalagi keutuhan negara
kesatuan.
b. Isi otonomi bukanlah pembagian jumlah (quantum) urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah. Pembagian urusan harus dilihat
dari sifat dan kualitasnya. Urusan-urusan rumah tangga daerah selalu
113
Bagir Manan III, op.cit, h. 185-186.
93
lebih ditekankan pada urusan pelayanan (services). Otonomi luas harus
lebih diarahkan pada pengertian kemandirian (Zelfstandigheid) yaitu
kemandirian untuk secara bebas menentukan cara-cara mengurus rumah
tangganya sendiri, menurut prinsip-prinsip umum negara berotonomi.
c. Dalam setiap otonomi, selalu disertai dengan sistem dan mekanisme
kendali dari pusat. Kendali itu adalah kendali pengawasan dan kendali
keuangan.
Salah satu hubungan pusat dan daerah yaitu dalam hal pengawasan. Pada
umumnya pemakaiaan pengertian pengawasan lebih sering dipergunakan dalam
hubungannya dengan manajemen, oleh karena itu secara terminologis istilah
pengawasan disebut juga dengan istilah controlling, evaluating, appraising,
correcting maupun control.114
George R. Terry mendefinisikan pengawasan
adalah “Control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply
corrective measure, if needed to ensure result in keeping with the plan”
(pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan
menetapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil yang sesuai dengan
rencana).115
Pengawasan terhadap pemerintah adalah upaya untuk menghindari
terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja ataupun tidak, sebagai usaha
preventif atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu
sebagai usaha represif.116
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses
kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan
114
Muh Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan
Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, h. 90.
115
John Salihendo, 1995, Pengawasan Melekat aspek-aspek Terkait dan Implementasinya,
Bumi Aksara, Jakarta, h. 25.
116
Paulus Effendi Lotulung, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum
terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.56-57.
94
dengan sesuai rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pengawasan terhadap segala tindak pemerintah termasuk keputusan
kepala daerah dan peraturan daerah merupakan suatu akibat mutlak dari adanya
Negara Kesatuan. Dalam Negara Kesatuan tidak mengenal bagian yang lepas dari
atau sejajar dengan Negara, tidak pula mungkin ada Negara dalam Negara. untuk
menjamin terlaksananya kebijaksanaan pemerintah dan rencana pembangunan
pada umumnya, maka fungsi pengawasan memiliki nilai yang sangat penting,
dimana pengawasan merupakan suatu usaha untuk menjamin kelancaran
penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna, serta agar
kesatuan negara tetap terpelihara. Pengawasan adalah sebagaian dari kewenangan
pemerintah secara menyeluruh, karena pada tingkat akhir pemerintah pusatlah
yang harus bertanggung jawab mengenai seluruh penyelenggaraan pemerintahan
Negara dan Daerah.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan pasal
218 ayat (1) UU No. 32 Thn 2004 dilaksanakan oleh pemerintah meliputi duan
bentuk pengawasan yakni :
1. Pengawasan atas pelaksaan urusan pemerintahan di daerah;
2. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan
yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan
rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan
atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah, Gubernur,
dan Bupati/Walikota. Pengawasan dimaksud adalah proses kegiatan yang
95
ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pemerintahan desa berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengawasan ini dilakukan oleh aparat pengawas intern
pemerintah sesuai dengan bidang kewenangannya masing-masing. Adapun
pengawasan yang dimaksud berdasarkan Pasal 28 PP No.79 Tahun 2005
dilaksanakan melalui :
a. Pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah;
b. Pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu;
c. Pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu dari
unit/satuan kerja;
d. Pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi
penyimpangan, korupsi, kolusi, dan nepotisme;
e. Penilaiaan atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan
program dan kegiatan;
f. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah
dan pemerintahan desa.
Pengawasan terhadap segala tindakan pemerintahan daerah, termasuk juga
produk hukum daerah menurut sifatnya digolongkan menjadi :
1. Pengawasan umum
2. Pengawasan preventif
3. Pengawsan represif.117
Pengawasan umum adalah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh
pemerintah pusat kepada daerah. Pengawasan umum meliputi :
1. Bidang pemerintahan
2. Bidang kepegawaiaan
3. Bidang keuangan dan peralatan
4. Bidang pembangunan
117
Irawan Soetjito, 1993, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, h. 11.
96
5. Bidang perumahan daerah
6. Bidang yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Mendagri.118
Untuk menjaga kewibawaan Pemerintah Daerah dan kepentingan daerah
serta menghindarkan atau memperkecil kemungkinan-kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan atau kelalaian dalam adminsistrasi yang dapat
merugkan daerah dan/atau negara, maka dianggap perlu untuk menyelenggarakan
pengawasan secara preventif. Pengawasan preventif ini berbentuk memberi
pengesahan atau tidak memberi pengesahan atau menolak pengesahan. Sesuai
sifatnya pengawasan preventif dilakukan sebelum keputusan itu mulai berlaku.
Pengawasan preventif hanya dilakukan terhadap keputusan Kepala daerah dan
Peraturan daerah yang berisi atau yang mengatur materi-materi tertentu.
Berbeda dengan pengawasan preventif yang hanya dapat dilakukan
terhadap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tertentu, yang disebut
dalam peraturan Undang-undangan atau Peraturan Pemerintah, pengawasan
represif dapat dilakukan terhadap semua peraturan daerah dan atau keputusan
kepala daerah apabila peraturan atau keputusan kepala daerah tersebut dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau
bertentangan dengan dengan kepentingan umum. Pengawasan repersif
menyangkut penangguhan atau pembatalan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang
berwenang terhadap segala peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Pengawasan represif itu berwujud :
118
Kansil dan Christine Kansil, 2001, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum
Administrasi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h.13.
97
1. Menangguhkan berlakunya suatu peraturan daerah atau keputusan
kepala daerah;
2. Membatalkan suatu peraturan daerah dan atau keputusan kepala
daerah.119
Pemerintah dalam melakukan pengawasan melalui proses evaluasi
terhadap Ranperda jika bermasalah maka memberikan suatu perintah kepada
pemerintah daerah untuk tidak mengeluarkan Ranperda (Muatan materi tertentu)
menjadi Peraturan Daerah, dan Ranperda tersebut dikembalikan lagi kepada
pemerintah daerah untuk dikoreksi kembali dan dibahas bersama kembali untuk
menjadi Ranperda yang memenuhi ketentuan yang berlaku. Peraturan daeraha
yang menyimpang dari hukum dapat setiap saat dibawakan ke Mahkamah Agung
untuk dapat dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah Agung.120
UU No. 32 Thn 2004 mengatur tentang pengawasan Peraturan Daerah
secara preventif melalui evaluasi rancangan peraturan daerah dan pengawasan
represif melalui klarifikasi. Evaluasi terhadap rancangan Peraturan Daerah diatur
di dalam Ketentuan Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 189. Klarifikasi terhadap
Perda diatur di
dalam Pasal 145. Dengan kata lain dapat dikatakan pembatalan perda oleh
Mendagri pada tahap klarifikasi merupakan pengawasan yang sifatnya represif
yang dimana kewenangan pembatalan perda juga menjadi kewenangan daripada
Presiden. Sehingga dalam pembatalan perda terdapat dua kewenangan pembatalan
119
Irawan Soetjito, op.cit, h. 51
120
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,
Jakarta, h. 38. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VI).
98
yang dilakukan oleh Presiden dan Mendagri yang dimana hal ini yang
dimaksudkan terdapat dualisme pembatalan perda.
Pengawasan tersebut merupakan implikasi dari adanya hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah apalagi skema-skema hubungan itu
kemudian ternyata menggiring pada persoalan bagaimana kontrol atau
pengendalian pemerintah pusat terhadap daerah melalui instrumen pengawasan,
yang baik langsung maupun tidak langsung telah menyeret fungsi pemerintah
sebagai badan eksekutif masuk ke ranah fungsi yudisial yang lazimnya menjadi
otoritas badan yudikatif.121
Ditinjau dari hubungan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan, agar kebebasan
berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam
kesatuan apabila “pengikat” tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan
desentralisasi akan terkurangi bahkan mungkin terputus.
Apabila hal itu terjadi, pengawasan bukan lagi merupakan satu sisi dari
desentralisasi tetapi menjadi “pembelenggu” desentralisasi. Untuk itu,
pengawasan harus disertai pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan
tersebut akan mencakup pembatasan macam atau bentuk pengawasan, yang
sekaligus mengandung pembatasan tata cara menyelenggarakan pengawasan, dan
pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan. Pada umumnya
dapat dikatakan, bahwa pengawasan terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah
termasuk Perda dan Keputusan Kepala Daerah merupakan suatu akibat mutlak
dari adanya negara kesatuan. Di dalam negara kesatuan kita tidak mengenal
121
Widodo Ekathahjana, Op.Cit, h. 37.
99
bagian yang lepas dari atau sejajar dengan negara, tidak pula mungkin ada negara
di dalam negara.122
Pengawasan pemerintah terhadap pemerintah daerah dengan mekanisme
pembatalan Perda yang oleh pemerintah dinilai bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan
umum, kemudian dianggap menjadi metode kontrol pemerintah pusat yang efektif
untuk mengawasi dan mengendalikan setiap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah tidak cukup hanya presiden yang membatalkan, tetapi
Mendagri pun juga memiliki kewenangan untuk membatalkan produk-produk
hukum daerah tersebut. Terhadap Perda yang bermasalah tersebut dapat dilakukan
executive review oleh pemerintah dengan melihat apakah Perda tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi.
Executive Review terhadap suatu Perda, apabila secara murni mengacu
pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 bukanlah
menjadi suatu permasalahan, karena Pemerintah Daerah merupakan bagian dari
Pemerintah Pusat atau berada dibawah Pemerintah Pusat. Pemerintah daerah
merupakan bagian dari pemerintah pusat atau berada di bawah pemerintah pusat.
Sehingga, pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji dan
membatalkan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Pengujian
terhadap suatu peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah
dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap pemerintahan daerah.
122
Ni’Matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara Pemerintah
Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum No.
Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, h. 5. (Selanjutnya disebut Ni’matul Huda II).
100
Pembatalan-pembatalan perda yang dilakukan oleh pemerintah secara teoritikal
berada dalam kerangka teori tentang hubungan antara pusat dengan daerah.
Dasar hubungan antara pusat dan daerah adalah bahwa pemerintah pusat
menyerahkan sebagian wewenang pemerintahannya kepada daerah untuk diatur
dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga daerah (otonom).123
Selanjutnya
agar wewenang yang telah diserahkan oleh pusat kepada daerah agar tidak
disalahgunakan, maka digunakan instrumen pengawasan yang dalam praktiknya
dapat membatalkan produk-produk hukum atau kebijakan daerah berupa perda-
perda. Dengan demikian praktik pembatalan perda secara inklusif melekat pada
fungsi pengawasan pusat terhadap daerah.
Pertama tentang istilah dari pengawasan itu sendiri, istilah pengawasan
disini dapat dijumpai dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang
pemerintahan daerah. Pada intinya pengawasan terhadap pemerintahan daerah
dibedakan menjadi dua, yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif.124
Model pengawasan preventif ini dilakukan dengan memberikan pengesahan atau
tidak memberi (menolak) pengesahan Perda yang disusun oleh Pemerintah
Daerah. Dimana dalam pengawasan preventif ini, suatu Perda yang dihasilkan
hanya dapat berlaku apabila telah terlebih dahulu disahkan oleh penguasa yang
berwenang mengesahkan. Model pengawasan preventif ini pada prinsipnya hanya
dilakukan terhadap Perda yang mengatur sejumlah materi-materi tertentu yang
ditetapkan sebelumnya melalui peraturan perundang-undangan.
123
Widodo Ekatjahjana, op.cit. h. 39.
124
Ibid
101
Berbeda dengan model pengawasan preventif, pengawasan represif
dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu menangguhkan berlakunya suatu perda atau
membatalkan suatu Perda. Model pengawasan represif ini dapat dijalankan
terhadap semua peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan
kepentingan umum. Khusus untuk penangguhan, sebenarnya instrumen ini
merupakan suatu usaha persiapan dari proses pembatalan, dimana penangguhan
suatu aturan terjadi karena sedang dilakukan pertimbangan untuk membatalkan
Perda dimaksud. Namun demikian tidak semua pembatalan harus melalui proses
penangguhan, dimungkinkan pejabat yang memiliki kewenangan ini dapat
langsung membatalkan perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan
kepentingan umum.
Ketentuan tentang pengawasan Peraturan Daerah di dalam UU No. 32 Thn
2004 dijabarkan lebih lanjut ke dalam PP 79 Tahun 2005. Secara umum isi PP 79
Tahun 2005 adalah sama dengan isi UU No. 32 Thn 2004. Hal baru yang diatur di
dalam PP 79 tahun 2005, yang merupakan penjabaran terhadap ketentuan Pasal
145 UU No. 32 Thn 2004, adalah kepada Gubernur dan Bupati/Walikota
diberikan waktu 15 hari kerja sejak diterimanya pembatalan untuk mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung. (Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Jo. Pasal 39
PP No.79 Tahun 2005). Ketentuan Pasal 42 PP No.79 Tahun 2005 menyatakan
:”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah serta evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan
102
peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 39
diatur dengan Peraturan Menteri”. Permendagri 53 tahun 2007 tentang
Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang saat ini telah
diganti dengan Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah, dan dirubah kembali dengan Permendagri No. 1 tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Pengawasan represif disebut juga sebagai executive review, sedangkan
pengawasan preventif disebut sebagai executive preview. Konsep pengujian
memiliki beberapa jenis yang mana diantaranya adalah toetsingsrecht dan judicial
review.125
Pemerintah Pusat mempunyai dasar untuk melakukan pengujian
terhadap perda, yaitu bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
1. Pengujian perda bertentangan dengan kepentingan umum
Kewenangan Pemerintah Pusat, masih sangat luas cakupannya. Istilah
kepentingan umum bisa diartikan sebagai kepentingan umum nasional
ataukah kepentingan umum lokal (daerah). Maksud bertentangan dengan
kepentingan umum adalah kebijakan yang mengakibatkan terganggunya
kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan
terganggunya ketentraman ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat
diskriminatif. Mengingat Peraturan Daerah merupakan peraturan
perundang-undangan yang bersifat lokal (local wet), maka yang dimaksud
125
Ibid, h.40
103
dengan istilah kepentingan umum, tidak lain merupakan kepentingan
umum yang hanya mencakup daerah setempat.
2. Pengujian perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Pengujian ini berpedoman pada asas lex superior derogate lex inferiori
yang intinya adalah hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih
rendah tingkatannya. Jadi peraturan yang secara hirarki berada pada tingkatan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,
sehingga harmonisasi hierarki perundang-undangan dapat terjaga dan tidak terjadi
konflik norma. Mengenai hierarki peraturan perundang-undangan ditegaskan pada
Pasal 7 ayat (1) UU PPPU jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. KetetapanMajelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam pembuatannya perda juga harus memperhatikan asas larangan
penyalahgunaan wewenang, artinya bahwa suatu wewenang tidak boleh
digunakan untuk tujuan dan maksud lain, selain yang ditetapkan. Untuk dapat
dikatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang dapat dilakukan pengujian
terhadap ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan suatu
perda maka dapat dipergunakan suatu peraturan yang memberikan wewenang
tersebut atau menggunakan peraturan dasar yang melahirkan wewenang tersebut.
104
Dalam pembatalan Perda itu sendiri terjadi dualisme, maksud dualisme ini
adalah pembatalan Perda Provinsi itu sendiri dilakukan oleh dua instansi
pemerintah pada ranah administrasi. Karena jika mengacu pada Pasal 145 dan
Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 terlihat pembatalan itu dapat dilakukan oleh
Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden dan dilakukan oleh Mendagri
dengan instrumen Peraturan Menteri Dalam Negeri.
3.3. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004
UU Pemda sebagai landasan hukum penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, yang menyerahkan wewenang pemerintahan kepada Daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri sesuai aspirasi masyarakat sebagai upaya untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan daerah.
Sehubungan dengan penyerahan kewenangan kepada daerah, Kepala Daerah dan
DPRD diberikan kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah yang berfungsi
sebagai instrumen hukum yang memberikan, mengatur dan sekaligus mengawasi
pelaksanaan wewenang pemerintahan, serta sebagai alat uji keabsahan tindakan
penyelenggara pemerintahan di daerah dalam menyelenggarakan urusan
Pemerintahan di daerah sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 136 UU No. 32
Thn 2004.
Pasa1 136
(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD.
(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
105
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
(4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi.
(5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah
diundangkan dalam lembaran daerah.
Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih
tinggi yang diuraikan pada Pasal 136 ayat (4) seperti Undang-undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden. Berkaitan dengan bertentangan dengan kepentingan umum berdasarkan
Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004 adalah kebijakan yang
berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, kebijakan yang
berakibat terganggunya pelayanan umum, dan kebijakan yang berakibat
terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat
diskriminatif.
Untuk memastikan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah
dan DPRD tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi maka dilakukan pengawasan terhadap
Peraturan Daerah dimaksud, sebagaimana dikatakan oleh S. Prayudi Atmosudirjo
dan Muchsan bahwa Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap
Peraturan Daerah pada hakikatnya merupakan upaya Pemerintah untuk
mencocokan materi muatan Peraturan Daerah yang dibuat itu sesuai tidak dengan
materi muatan peraturan perundang-undangan di atasnya. Ketika dalam
pembentukannya perda terdapat ketidak sinkronan yang menimbulkan suatu perda
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan
106
kepentingan umum baik perda provinsi maupun perda kabupaten/kota maka perda
tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah.
Berkaitan dengan pembatalan perda ada mekanisme yang harus ditempuh
oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Salah satu terhadap pembatalan
perda provinsi salah satu aturan yang mengatur pembatalan perda provinsi adalah
UU No. 32 Thn 2004 yang diatur pada Pasal 145 yang mengatur sebagai berikut :
(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan
pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
rnencabut Perda dimaksud.
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala
daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan
;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda
dimaksud dinyatakan berlaku.
Pengaturan lain pembatalan Perda Provinsi sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 32 Thn 2004 yang menjabarkan kewenangan Mendagri untuk
membatalkan Perda Provinsi diantaranya :
Pasal 185
(1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama
dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum
107
ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan
kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas)
hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
(3) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang
penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepantingan umum dan
peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur
menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan
Gubernur.
(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan
Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang
penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersarna
DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diterimanya hasil evaluasi.
(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD,
dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan
rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi
Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri rnembatalkan
Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan
berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
Ketentuan Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 memberi wewenang kepada
Menteri Dalam Negeri membatalkan Raperda Provinsi tentang APBD dan
Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD yang bertentangaran dengan
kepentingan umum atau perataturan perundang-undangan yang lebih tinggi
setelah Gubernur tidak mengindahkan hasil evaluasi.
Pasal 186
(1) Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui
bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran
APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga)
hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota
paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan
Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bapati/Walikota
tentang Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang
APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran
APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
108
perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan
rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota.
(4) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang
APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran
APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama
DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya hasil evaluasi.
(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan
DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda
tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang
penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota,
Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota
dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun
sebelumnya.
(6) Gubernur menyampaikan hasil, evaluasi rancangan Perda
kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan
Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam
Negeri.
Ketentuan Pasal 186 UU No. 32 Thn 2004 memberi wewenang kepada
Gubernur untuk membatalkan Raperda Kabupaten/ Kota tentang APBD dan
Peraturan Bupati/ Walikota tentang Penjabaran APBD yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah
Bupati/ Walikota tidak mengindahkan hasil evaluasi.
Pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 menetapkan kewenangan pembatalan
perda ada pada Presiden dengan instrumen Perpresnya. Kemudian pada pasal 185
UU No. 32 Thn 2004 menyatakan Mendagri memiliki kewenangan untuk
membatalkan perda juga, tetapi kewenangan pembatalan yang dimiliki oleh
Mendagri di sini terbatas hanya pada perda APBD, pajak daerah dan retribusi
daerah, dan RTRW.
Berdasarkan ketentuan Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 189 UU No. 32 Thn
2004, Peraturan Daerah tentang APBD, Tata Ruang Daerah, Pajak Daerah
109
Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan bersama Kepala Daerah
dan DPRD, sebelum disahkan oleh Kepala Daerah, harus dimintakan evaluasi
terlebih dahulu kepada Mendagri untuk Perda Provinsi atau kepada Gubernur
untuk Perda Kabupaten/Kota. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 harus sudah disampaikan oleh Mendagri atau
Gubernur kepada Pemerintah Daerah paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
diterimanya Perda.
Jika membedah UU No. 32 Thn 2004 sebagai dasar pembatalan perda
maka yang akan dapat ditemukan dalam UU No. 32 Thn 2004 ini adalah :
1. Mengatur mengenai pembatalan perda provinsi dengan instrumen
hukum pembatalannya adalah Peraturan Presiden terhadap seluruh
Perda baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota kecuali Perda
APBD, Perda pajak daerah dan retribusi daerah dan perda RTRW,
Provinsi maupun Kabupaten/Kota, sebagaimana yang diamanatkan
pada Pasal 145.
2. Mengatur mengenai pembatalan Raperda Provinsi terbatas pada
Raperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW dengan
melalui tahap evaluasi terlebih dahulu oleh Mendagri, sebagaimana
yang dimaksud pada Pasal 185, dengan instrumen hukumnya yakni
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
3. Mengatur mengenai pembatalan Raperda Kabupaten/Kota terbatas pada
Raperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW dengan
110
melalui tahap evaluasi terlebih dahulu oleh Gubernur sebagaimana yang
dimaksud pada Pasal 186.
3.4. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009
Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) (selanjutnya
disingkat UU PDRD). Mengatur khusus mengenai Pajak daerah dan Retribusi
Daerah yang jika kita lihat mengacu pada UU Pemda merupakan kewenangan
pembatalan yang ada pada Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana yang di atur
dalam Pasal 185 bahwa Pajak daerah dan Retribusi daerah terlebih dahulu
melewati tahapan evaluasi baik Perda Pajak daerah dan Retribusi daerah Provinsi
maupun Perda Pajak daerah dan Retribusi daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan
mengenai tahapan evaluasi Raperda hingga tahapan pembatalannya diatur pada
Pasal 157 dan Pasal 158.
Pasal 157
(1) Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi
yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi
sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
tanggal persetujuan dimaksud.
(2) Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan
Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan
DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada
gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.
(3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji
kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-
Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-
undangan lain yang lebih tinggi.
(4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian
111
Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini,
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang
lebih tinggi.
(5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi
dengan Menteri Keuangan.
(6) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau
penolakan.
(7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh
Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan
Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk
Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan
Peraturan Daerah dimaksud.
(8) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
disampaikan dengan disertai alasan penolakan.
(9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung
ditetapkan.
(10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki
oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan,
untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi
dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan
Peraturan Daerah kabupaten/kota.
Pasal 158
(1) Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.
(2) Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri
Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
(3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan
kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling lambat 20 (duapuluh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri
Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan
pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.
(5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam
112
puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya
DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.
(7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung.
(8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
(9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.
Pengaturan pembatalan Perda pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158 memang menjadi
kewenangan Menteri Dalam negeri jika mengacu pada Pasal 185 dan Pasal 186
UU Pemda meningat Pajak daerah dan Retribusi daerah merupakan bagian dari
perda yang harus melalui tahapan evaluasi dan klarifikasi.
Tahapan evaluasi itu menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri terhadap
Raperda yang disampaikan oleh Gubernur. Begitu pula halnya dengan Gubernur
yang melakukan evaluasi terhadap Raperda yang diajukan oleh Kabupaten/Kota,
berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah dengan berkoordinasi dengan
Menteri Keuangan. Apabila hasil evaluasi menunjukan pada Raperda yang
disampaikan oleh Gubernur untuk Raperda Provinsi dan Bupati/Walikota untuk
Raperda Kabupaten/Kota tidak terjadi permasalahan maka dapat diteruskan untuk
selanjutnya menjadi Perda. Akan tetapi ketika Raperda yang disampaikan oleh
Gubernur tersebut ditolak oleh Menteri Dalam Negeri dan Raperda yang
113
disampaikan oleh Bupati/Walikota ditolak oleh Gubernur dengan alasan bahwa
Raperda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum, maka Gubernur dan
Bupati/Walikota harus menyempurnakan kembali Raperda tersebut.
Tahapan Klarifikasi itu menjadi kewenangan Presiden untuk membatalkan
Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota. Perda Provinsi dan Perda
Kabupaten tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan
proses klarifikasi. Hasil Klarifikasi Perda Pajak Daerah dan Retribusi daerah yang
dilakukan oleh Menteri Keuangan tersebut dapat berupa persetujuan terhadap
perda maupun penolakan terhadap Perda. Ketika hasil klarifikasi menunjukan
persetujuan maka Pemerintah Daerah dapat menentapkannya menjadi Perda,
tetapi jika hasil klarifikasi menunjukan penolakan maka Menteri Keuangan
merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya Menteri Dalam
Negeri mengajukan permohonan pembatalan Perda kepada Presiden untuk
membatalkan Perda yang dimaksud. Pada undang-undang ini juga memberikan
kesempatan kepada daerah untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung apabila tidak menerima keputusan Pembatalan Perda.
Jadi kewenangan pembatalan Perda yang terdapat pada UU PDRD ada
pada Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden. Menteri Dalam Negeri
maupun Gubernur memiliki kewenangan pembatalan hanya pada tahapan evaluasi
yang bentuknya masih Raperda dan bukan Perda.Uuntuk Provinsi pembatalannya
ada pada Menteri Dalam Negeri dan Kabupaten/Kota pembatalannya menjadi
kewenangan Gubernur. Sementara Menteri Keuangan pada tahapan evaluasi dan
114
klarifikasi hanya sebatas memberikan rekomendasi semata dan bukan
memberikan keputusan pembatalan.
Dengan diundangkannya UU No. 23 Thn 2014 maka ketentuan Pasal 157,
Pasal 158, dan Pasal 159 juga dinyatakan tidak berlaku dan embatalan mengenai
pajak daerah dan retribusi daerah merupakan kewenangan dari Mendagri.
3.5. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014
Diundangkannya UU No. 23 Thn 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
maka dengan itu UU No. 32 Thn 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak
berlaku kembali, oleh karenanya aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah
yang masih mengacu pada UU No. 32 Thn 2004 harus menyesuaikan kepada UU
No. 23 Thn 2014. Terdapat perbedaan dan persamaan pengaturan mengenai
pembatalan perda yang diatur pada masing-masing Undang-undang tersebut.
Pengaturan pembatalan perda pada UU No. 23 Thn 2014 dapat dilihat pada :
Pasal 245
(1) Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD,
APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD,
pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat
evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh gubernur.
(2) Menteri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang
pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda
Provinsi tentang tata ruang daerah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang.
(3) Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD,
RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus
mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum
ditetapkan oleh bupati/wali kota.
(4) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam melakukan evaluasi
rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi
daerah berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya Menteri
115
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang keuangan, dan untuk evaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang tata ruang daerah berkonsultasi dengan
Menteri dan selanjutnya Menteri berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang. Hasil
evaluasi rancangan Perda Provinsi dan rancangan Perda
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
jika disetujui diikuti dengan pemberian nomor register.
Pasal 245 ini menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri memiliki
kewenangan dalam rangka mengevaluasi Ranperda Provinsi yang mengatur
tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah, yang
mana terdapat penambahan yakni berkaitan dengan RPJPD dan RPJMD yang
pada UU No. 32 Thn 2004 tidak diatur. Pada UU No. 32 Thn 2004 hanya
mengatur mengenai Ranperda APBD, PDRD, dan RTRW.
Pasal 250
(1) Perda atau Perkada sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 249 ayat
(1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.
(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. Terganggunya kerukunan antar warga masyarakat;
b. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. Terganggunya ketentraman dan ketertiban umum;
d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar
golongan, dan gender.
Pengaturan pada Pasal ini sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 136
UU 32 Thn 2004 yakni mengatur alasan pembatalan Perdayang hanya terdapat
penambahan pada bertentangan dengan kesusilaan semata.
116
Pasal 251
(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.
(2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali
kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda
Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota.
(4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan
pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
mencabut Perda dimaksud.
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan
pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah mencabut Perkada
dimaksud.
(7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat
menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak
dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur
dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat
belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur
diterima.
(8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan
bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan
peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan
kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota
diterima.
117
Pasal ini dengan tegas menjabarkan kewenangan Menteri Dalam Negeri
yang berkaitan dengan pembatalan perda provinsi serta perda kabupaten/kota
apabila Gubernur yang memiliki kewenangan untuk membatalkan perda tersebut
tidak melakukan pembatalan. Mendagri juga memiliki kewenangan untuk
menerima keberatan penyelenggara Kabupaten/Kota terhadap pembatalan Perda
yang dilakukan oleh Gubernur, kewenangan Mendagri ini sangatlah lebih besar
jika dibandingkan saat pengaturanya pada UU No. 32 Thn 2004.
Mengingat sebelumnya pembatalah Perda dalam kaitannya pengawasan
secara represif yang sebelumnya pada UU 32 Thn 2004 Pasal 145 merupakan
kewenangan Presiden kini dengan adanya UU 23 Thn 2014 kewenangan
pembatalan Perda semua beralih menjadi kewenangan Mendagri sehingga
pembatalan perda bukan lagi menjadi kewenangan Presiden. Proses Ranperda
hingga pada tahap Perda mekanisme pembatalannya semua dilakukan oleh
mendagri terhadap seluruh perda tanpa terkecuali sebagaimana yang diatur pada
Pasal 251 UU 23 Thn 2014 tersebut.
Pasal 267
(1) Rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD dan RPJMD yang telah
disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum
ditetapkan oleh gubernur paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak
persetujuan bersama disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi.
(2) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD dan RPJMD yang
telah disetujui bersama oleh bupati/wali kota dan DPRD
Kabupaten/Kota sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota paling lama
3 (tiga) Hari terhitung sejak persetujuan bersama disampaikan kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk dievaluasi.
Pasal 268
(1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD yang
dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat
(1) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian dengan RPJPN dan
118
rencana tata ruang wilayah provinsi, kepentingan umum dan/atau
ketentutan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri
kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari sejak Rancangan
Perda diterima.
(3) Apabila Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi
tentang RPJPD tidak sesuai dengan RPJPN dan rencana tata ruang
wilayah provinsi, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil evaluasi
diterima.
(4) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD
serta gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD
menjadi Perda, Menteri membatalkan Perda dimaksud.
Pasal 269
(1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJMD yang
dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat
(1) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian dengan RPJPD Provinsi
dan RPJMN, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJMD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada
Gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari sejak rancangan Perda
dimaksud diterima.
(3) Apabila Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi
tentang RPJMD tidak sesuai dengan RPJPD provinsi dan RPJMN,
kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil evaluasi
diterima.
(4) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan
DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang
RPJMD menjadi Perda, Menteri membatalkan Perda dimaksud.
Pembatalan terhadap Ranperda RPJPD dan RPJMD Provinsi merupakan
kewenangan baru yang dimiliki Mendagri karena sebelumnya pada UU No. 32
Thn 2004 pengaturan pembatalan Ranperda ini tidak pernah ada.
Pasal 314
(1) Rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama
dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum
ditetapkan oleh gubernur, paling lama 3 (tiga) Hari, disampaikan
119
kepada Menteri untuk dievaluasi, dilampiri RKPD, serta KUA dan
PPAS yang disepakati antara kepala daerah dan DPRD.
(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi
tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran
APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk
menguji kesesuaian rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD dengan:
f. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
g. kepentingan umum;
h. RKPD serta KUA dan PPAS; dan
i. RPJMD.
(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung
sejak rancangan Perda Provinsi dan rancangan peraturan gubernur
dimaksud diterima.
(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang
penjabaran APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan
PPAS, serta RPJMD, gubernur menetapkan rancangan dimaksud
menjadi Perda dan peraturan gubernur.
(6) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang
penjabaran APBD tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan
PPAS, serta RPJMD, gubernur bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil
evaluasi diterima.
(7) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan
DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang
APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD
menjadi Perda dan peraturan gubernur, Menteri membatalkan seluruh
atau sebagian isi Perda dan peraturan gubernur dimaksud.
(8) Dalam hal pembatalan dilakukan terhadap seluruh isi Perda Provinsi
tentang APBD dan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberlakukan pagu APBD tahun
sebelumnya.
Hal ini merupakan kewenangan Mendagri dalam melakukan evaluasi
terhadap APBD yang diajukan oleh Gubernur, seperti halnya yang terdapat pada
UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) pada saat evaluasi dilakukan oleh
Mendagri pembatalannya sifatnya masih preventif.
120
Pasal 324
(1) Rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah
yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh gubernur paling
lama 3 (tiga) Hari disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi.
(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi
tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk menguji kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung
sejak rancangan Perda Provinsi dimaksud diterima.
(4) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau
kepentingan umum, gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi
dimaksud menjadi Perda Provinsi.
(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan/atau
kepentingan umum, gubernur bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil
evaluasi diterima.
(6) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan
DPRD, dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang
pajak daerah dan retribusi daerah menjadi Perda, Menteri
membatalkan seluruh atau sebagian isi Perda Provinsi dimaksud.
(7) Menteri dalam melakukan evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang
pajak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.
Merupakan kewenangan Mendagri untuk membatalkan pada proses
evaluasi yang bentuknya masih pengawasan secara preventif seperti halnya
pengaturan yang terdapat pada UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) jo Pasal
189.
UU No. 23 Thn 2014 memiliki berbagai perbedaan dan persamaan
berkaitan materi yang diatur khususnya mengenai Pembatalan Perda. Persamaan
dari pengaturan pembatalan perda ini dapat dilihat pada kewenangan yang
dimiliki oleh Mendagri yakni Mendagri memiliki kewenangan pembatalan
121
terhadap Ranperda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta rencana tata
ruang yang diatur pula dalam UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) jo Pasal
189.
Perbedaan yang signifikan terjadi ketika melihat kewenangan Mendagri
yakni adanya penambahan pembatalan yang masih bentuknya Ranperda pada
Ranperda RPJPD dan RPJMD serta mengenai kewenangan yang dimiliki Presiden
dalam Pembatalan Perda. Sebelumnya dalam UU No. 32 Thn 2004 Presiden
membatalkan seluruh Perda tanpa terkecuali pada UU No. 23 Thn 2004 ini
kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Mendagri sehingga mendagrilah yang
memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda. Presiden hanya memiliki
kewenangan terhadap keberatan yang diajukan pemerintah daerah terhadap
pembatalan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Selain itu Mendagri juga
berwenangan untuk membatalkan perda apabila Gubernur tidak melakukan
pembatalan terhadap Perda yang diajukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota serta
menerima keberatan yang diajukan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap
pembatalan perda yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
3.6. Pembatalan Perda Provinsi dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun
2005
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 145, Pasal 185, dan Pasal 186 UU No. 32
Thn 2004 dibentuklah PP 79 tahun 2005. PP ini mengatur mengenai pejabat yang
memiliki kewenangan pembatalan Perda, bentuk hukum pembatalan perda dan
produk hukum daerah yang dibatalkan. Lebih lanjut pengaturan mengenai
pembatalan Perda dapat dijumpai pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 42.
122
Pasal 37
(1) Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada
Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan.
(2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah.
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Menteri.
(4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan
Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri.
(5) Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
(1) Peraturan Presiden tentang pernbatalan Peraturan Daerah ditetapkan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan Daerah diterima
oleh Pemerintah.
(2) Peraturan Menteri tentang pembatalan Peraturan Kepala Daerah
ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Peraturan
Kepala Daerah diterima oleh Menteri.
Pasal 39
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, Peraturan, Kepala Daerah tentang penjabaran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi dan
rencana tata ruang disampaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah
disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
(2) Menteri melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah provinsi dan
rancangan peraturan Gubernur tentang anggaran pendapatan dan
belanja daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah.
(3) Gubernur melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota dan rancangan peraturan. Bupati/Walikota tentang
anggaran pendapatan dan belanja daerah, pajak daerah, retribusi
daerah dan tata ruang daerah.
(4) Evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala
daerah sebagaimana diatur pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan paling
lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterima rancangan
dimaksud.
Pasal 40
(1) Gubernur dan Bupati/Walikota menindaklanjuti hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterima.
123
(2) Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1)
dan tetap menetapkan, menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan
kepala daerah, Menteri dapat membatalkan peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah tersebut dengan peraturan Menteri.
(3) Apabila Bupati/Walikota tidak menindaklanjuti sebagaimana pada
ayat (1) dan tetap menetapkan menjadi peraturan daerah dan/atau
peraturan, kepala daerah, Gubernur dapat membatalkan peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan peraturan
Gubernur.
Pasal 41
(1) Apabila Gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan
peraturan daerah dan peraturan-kepala daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 dengan alasan yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan, Gubernur dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak
diterimanya pembatalan.
(2) Apabila Bupati/Walikota tidak dapat menerima.keputusan pembatalan
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, dengan alasan yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan, Bupati/ Walikota dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
sejak diterimanya pembatalan.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah serta evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan
peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 39
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pengaturan dalam PP ini mulai membedakan pengawasan perda APBD,
Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang dengan perda di luar empat jenis
perda tersebut. Pembedaan pengawasan perda ini juga berimplikasi pada
kewenangan pejabat yang membatalkan. Pengawasan dan pembatalan perda
APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang dilakukan secara berjenjang
oleh Gubernur untuk perda kabupaten/kota dan oleh Mendagri untuk perda
provinsi.
124
Gubernur dapat membatalkan Raperda Kabupaten/Kota terhadap Raperda
APBD, Pajak daerah dan Retribusi Daerah dan RTRW saat berada pada tahapan
evaluasi dan apabila sudah berada pada tahapan klarifikasi jika dirasakan Perda
yang diajakan oleh Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum Gubernur
membatalakan Perda tersebut dengan Peraturan Gubernur. Sedangkan Mendagri
dapat membatalkan Raperda Provinsi yang diajukan oleh Gubernur untuk Raperda
APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah dan RTRW setelah melalui tahapan
evaluasi dan membatalakan Perda Provinsi berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah
dan Retribusi daerah dan RTRW setelah melalui tahapan Klarifikasi melalui
Peraturan Menteri.
Sementara untuk perda selain perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi
daerah dan RTRW tersebut tidak melalui tahapan evaluasi dan Klarifikasi
melainkan langsung dapat dibatalkan setelah dinilai oleh Mendagri selaku yang
mengawasi daerah menilai bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan
umum pembatalannya dilakukan melalui Peraturan Presiden berdasarkan usulan
Mendagri. Ketentuan lebih lanjut dan lebih rinci terkait dengan pengawasan atau
pembatalan perda diatur dalam Permendagri 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.
125
3.7. Pembatalan Perda Provinsi dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
1 Tahun 2014
Pembentukan Permendagri ini merupakan penjabaran dari UU No. 32 Thn
2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005. Permendagri 1 Tahun 2014 mengatur
sebagai berikut:
1. Istilah pengawasan represif yang telah lazim disebutkan sebagai
pengawasan setelah sahnya peraturan diganti dengan istilah klarifikasi.
2. Wewenang melaksanakan klarifikasi terhadap Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/ Wlikota yang sebelumnya
menurut PP No.79 Tahun 2005 merupakan wewenang Mendagri,
dilimpahkan kepada Gubernur (Pasal 3).
Pelimpahan wewenang ini bertentangan dengan asas “delegatus non potest
delegare” yang pada intinya menyatakan bahwa seseorang yang menerima
kekuasaan secara delegasi tidak boleh mendelegasikan kembali kekuasaan
tersebut kepada pihak lain (bertentangan dengan asas kepercayaan).
Permendagri mengatur dua model pengawasan yaitu klarifikasi untuk
perda dan evaluasi untuk ranperda. Evaluasi dilakukan untuk empat jenis perda.
Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan berjenjang dan pejabat yang
membatalkan perda APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang tidak
banyak berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan pemerintah.
Namun untuk pengawasan perda di luar empat jenis perda, Permendagri
melakukan pengaturan lebih rinci terkait dengan mekanisme pengawasan dan
pejabat yang berwenang membatalkan.
126
Tahapan evaluasi Raperda Provinsi dan Raperda Kabupaten/Kota
mengenai APBD, pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW diatur pada Pasal
76 sampai dengan pasal 85.
Pasal 76
(1) Gubernur menyampaikan Rancangan Perda provinsi tentang APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban APBD, pajak daerah, retribusi
daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan
bersama dengan DPRD termasuk rancangan peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD, penjabaran perubahan APBD dan
penjabaran pertanggungjawaban APBD kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Direktur Jenderal Keuangan Daerah untuk mendapatkan
evaluasi.
(2) Gubernur menyampaikan Rancangan Perda provinsi tentang tata
ruang daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan
persetujuan bersama dengan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Direktur Jenderal Pembangunan Daerah untuk mendapatkan
evaluasi.
Pasal 77
(1) Menteri Dalam Negeri membentuk tim evaluasi Rancangan Perda.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah dan rancangan
perda tentang retribusi daerah;
b. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang tata ruang daerah; dan
c. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang APBD, Perubahan APBD
dan Pertanggungjawaban APBD.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh
Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri.
(4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pembangunan Daerah atas nama Menteri Dalam
Negeri.
(5) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Keuangan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri.
(6) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) keanggotaannya terdiri atas
komponen lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
terkait sesuai kebutuhan.
127
Pasal 78
(1) Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) melakukan
evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
(2) Tim evaluasi sebagaimana dalam Pasal 77 ayat (4) berkoordinasi
dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang.
(3) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dijadikan sebagai bahan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 79
(1) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 melaporkan hasil
evaluasi Rancangan Perda provinsi kepada Menteri Dalam Negeri.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam
berita acara sebagai bahan keputusan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 80
(1) Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) kepada
gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rancangan dimaksud.
(2) Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil
evaluasi.
(3) Apabila gubernur tidak menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi Perda dan/atau
peraturan gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan
peraturan gubernur dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan pengaturan pada Pasal 76 sampai dengan Pasal 80 merupakan
pengaturan mengenai tahapan evaluasi Raperda Provinsi berkaitan dengan APBD,
Pajak daerah dan Retribusi daerah yang dievaluasi oleh Mendagri dengan
berkoordinasi dengan Menteri keuangan dan Perda RTRW oleh Menteri Dalam
Negeri dengan berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang.
Apabila hasil evaluasi menunjukan penolakan terhadap raperda yang diajukan
oleh Gubernur Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan
Gubernur dengan Peraturan Menteri.
128
Pasal 81
Bupati/walikota menyampaikan Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD,
perubahan APBD, dan pertanggungjawaban APBD,dan pajak daerah, retribusi
daerah serta tata ruang daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapat
persetujuan bersama dengan DPRD termasuk rancangan peraturan bupati/walikota
tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada gubernur untuk
mendapatkan evaluasi.
Pasal 82
(1) Gubernur membentuk tim evaluasi untuk melakukan evaluasi terhadap
Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
81, yang keanggotaannya terdiri atas SKPD sesuai kebutuhan.
(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
Pasal 83
(1) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 melaporkan hasil
evaluasi Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 kepada gubernur.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam
berita acara untuk dijadikan bahan keputusan gubernur.
Pasal 84
(1) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah
dan retribusi daerah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan dan tentang tata ruang daerah dengan Menteri yang
membidangi urusan tata ruang.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan bahan
Keputusan Gubernur.
Pasal 85
(1) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2)
kepada bupati/walikota paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
(2) Bupati/walikota menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya hasil evaluasi.
(3) Apabila bupati/walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi
Perda atau peraturan bupati/walikota, gubernur membatalkan Perda
dan/atau peraturan bupati/walikota dengan peraturan gubernur.
129
Berdasarkan pengaturan pada Pasal 81 sampai dengan Pasal 85 merupakan
pengaturan mengenai tahapan evaluasi Raperda Kabupaten/Kota berkaitan dengan
APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah yang dievaluasi oleh Gubernur dengan
berkoordinasi dengan Menteri keuangan dan Perda RTRW oleh Gubernur dengan
berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang. Apabila hasil
evaluasi menunjukan penolakan terhadap raperda yang diajukan oleh
Bupati/Walikota Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota
dengan Peraturan Gubernur.
Tahapan Klarifikasi atas hasil evaluasi Raperda Provinsi dan atau
Kabupaten/Kota mengenai APBD Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan RTRW
diatur pada Pasal 86 sampai dengan Pasal 87
Pasal 86
(1) Gubernur menyampaikan Perda tentang pajak daerah, Perda tentang
retribusi daerah, Perda tata ruang daerah, Perda tentang APBD, Perda
tentang Perubahan APBD dan Perda tentang Pertanggungjawaban
APBD paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diundangkan kepada
Menteri Dalam Negeri.
(2) Klarifikasi terhadap Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh tim evaluasi.
(3) Hasil klarifikasi Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila
tidak sesuai dengan hasil evaluasi maka Perda dimaksud dibatalkan
oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 87
(1) Pembatalan Perda tentang Perda tentang pajak daerah, Perda tentang
retribusi daerah, Perda tata ruang daerah, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 86 ayat (3) paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
pembatalan harus dihentikan pelaksanaannya.
(2) Pembatalan Perda tentang APBD, perubahan APBD dan
pertanggungjawaban APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86
ayat (3) sekaligus dinyatakan berlaku pagu APBD tahun anggaran
sebelumnya/APBD tahun anggaran berjalan.
130
Klarifikasi yang dimaksud pada Pasal 86 dan Pasal 87 merupakan
klarifikasi atas hasil evaluasi sebelumnya berkaitan dengan Raperda Provinsi
maupun Kabupaten/Kota yang sebelumnya telah mendapatkan penolakan oleh
Mendagri terhadap Raperda Provinsi dan penolakan oleh Gubernur terhadap
Raperda Kabupaten/Kota.
Tahapan Klarifikasi berikutnya sebagaimana yang diatur pada Pasal 88
sampai dengan Pasal 98 merupakan bentuk pengawasan represif oleh pemerintah
pusat berkaitan dengan pembentukan produk hukum daerah Provinsi maupun
Kabupaten/Kota berkaitan dengan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah dan
RTRW.
Pasal 88
(1) Gubernur menyampaikan Perda provinsi dan peraturan gubernur
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal paling lama
7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi.
(2) Bupati/walikota menyampaikan Perda kabupaten/kota dan peraturan
bupati/walikota kepada gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Sekretaris Jenderal paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi.
Pasal 89
(1) Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri membentuk tim
klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait sesuai kebutuhan.
(2) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 90
(1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 melakukan
klarifikasi Perda dan Perkada.
(2) Hasil klarifikasi Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. hasil klarifikasi yang sudah sesuai dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan yang lebih tinggi; dan
b. hasil klarifikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
131
(3) Hasil klarifikasi Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan
perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan pembatalan oleh
Menteri Dalam Negeri.
(4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 91
(1) Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri menerbitkan
surat kepada kepala daerah yang berisi pernyataan telah sesuai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf a.
(2) Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat hasil klarifikasi kepada
kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf b
yang berisi rekomendasi agar pemerintah daerah melakukan
penyempurnaan Perda dan/atau melakukan pencabutan Perda.
(3) Tindak lanjut terhadap penyempurnaan dan/atau pencabutan Perda,
Perkada dan Peraturan DPRD dalam bentuk perubahan Peraturan
daerah, perubahan Perkada dan perubahan Peraturan DPRD dengan
mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan hasil klarifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Dalam Negeri
mengusulkan kepada Presiden untuk pembatalan.
Pengaturan Klarifikasi sebagai bentuk pengawasan represif pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk Provinsi untuk Perda APBD, pajak daerah
dan retribusi daerah dan RTRW hasil klarifikasi dapat berbentuk persetujuan
bahwa Perda Provinsi dinyatakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau perda provinsi tersebut
dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi yang selanjutnya Mendagri membatalkan Perda
Provinsi tersebut dengan Peraturan Mendagri dan meminta daerah untuk
melakukan penyempurnaan dan/atau mencabut perda yang telah dibatalkan
tersebut. Akan tetapi jika pemerintah daerah tidak mengindahkan hasil klarifikasi
132
dan tetap menetapkannya menjadi Perda maka Mendagri akan meminta kepada
Presiden untuk membatalkan Perda tersebut.
Pasal 92
(1) Gubernur membentuk tim klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas
SKPD sesuai kebutuhan.
(2) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 93
(1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 melakukan
klarifikasi Perda kabupaten/kota dan Peraturan bupati/walikota.
(2) Hasil klarifikasi Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. hasil klarifikasi yang sudah sesuai dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan yang lebih tinggi; dan
b. hasil klarifikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
(3) Hasil klarifikasi peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda
dan peraturan perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan
usulan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk pembatalan.
Pasal 94
(1) Sekretaris Daerah provinsi atas nama gubernur menerbitkan surat
kepada bupati/walikota yang berisi pernyataan telah sesuai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a.
(2) Gubernur menerbitkan surat kepada bupati/walikota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b yang berisi rekomendasi
agar pemerintah daerah melakukan penyempurnaan Perda dan/atau
melakukan pencabutan Perda.
(3) Tindak lanjut terhadap penyempurnaan dan/atau pencabutan Perda,
Perkada dan Peraturan DPRD dalam bentuk perubahan peraturan
daerah, perubahan Perkada dan perubahan Peraturan DPRD dengan
mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak melaksanakan
hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur
melalui Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden untuk
pembatalan.
(5) Apabila Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari tidak
mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda
133
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perda dimaksud dinyatakan
berlaku.
Pasal 95
(1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) dan ayat
(3) terhadap sebagian atau seluruh materi Perda kabupaten/kota
ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(2) Sebagian materi Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa pasal dan/atau ayat.
Pasal 96
(1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 disertai dengan
alasan.
(2) Alasan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
menunjukkan pasal dan/atau ayat yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan paling
lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda kabupaten/kota.
Pasal 97
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya peraturan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan
Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
Pengaturan Klarifikasi sebagai bentuk pengawasan represif pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk Kabupaten/Kota untuk Perda APBD, pajak
daerah dan retribusi daerah dan RTRW hasil klarifikasi dapat berbentuk
persetujuan bahwa Perda Kabupaten/Kota dinyatakan tidak bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
perda Kabupaten/Kota tersebut dinyatakan bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hal ini dijadikan
dasar pertimbangan Gubernur sebagai usulan kepada Menteri Dalam Negeri untuk
pembatalan Perda Kabupaten/Kota tersebut dan meminta daerah untuk melakukan
penyempurnaan dan/atau mencabut perda yang telah dibatalkan tersebut. Akan
tetapi jika pemerintah Kabupaten/Kota tidak mengindahkan hasil klarifikasi dan
134
tetap menetapkannya menjadi Perda maka Gubernur melalui Menteri dalam
Negeri akan meminta kepada Presiden untuk membatalkan Perda tersebut.
Pasal 98
(1) Dalam hal pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota tidak dapat
menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung.
(2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung menyatakan
Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Upaya untuk memperoleh keadilan tidak berhenti hanya pada kewenangan
pengawasan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah lewat
pengawasan preventif dan pengawasan represif semata. Pemerintah daerah
Provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota masih dapat melalukukan
permohonan kepada Mahkamah Agung untuk mengajukan keberatan atas
pembatalan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Permohonan keberatan ini
bukan lagi berada pada ranah ecsecutive review tetapi sudah berada pada ranah
judicial review yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan. Nantinya Mahkamah
Agung-lah yang menentukan apakah mengabulkan keberatan dari pemerintah
daerah atau menolak keberatan yang disampaikan oleh pemerintah daerah.
135
BAB IV
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
4.1. Bentuk Hukum Pembatalan Peraturan Daerah Provinsi
Pelaksanaan otonomi dengan konsep desentralisasi di Indonesia
berhubungan dengan konsep pembagian urusan yang menjadi kewenangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, karena dalam pelaksanaan
desentralisasi senantiasa terdapat dua komponen yang sangat penting yaitu
pembentukan daerah otonomi dan penyerahan kewenangan secara yuridis dari
pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus
bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan.
Kewenangan dalam arti yuridis yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.126
Dalam
konsep hukum publik wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata
negara dan hukum administrasi.127
Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan atau
wewenang berkaitan dengan kekuasaan formal/legal, yaitu kekuasaan yang
bersumber dari ketentuan-ketentuan hukum kewenangan selalu berkenaan dengan
tindak hukum publik. Seperti yang kita ketahui atribusi delegasi dan mandat
merupakan sumber kewenangan yang penting dalam negara demokrasi yang salah
satu asasnya menekankan tindak pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Asas
126
Indrohato, 1991, Usaha Memahami Undang-UndangTentang Peradilan tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 68.
127
Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid)
dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI, h. 90. (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon IV).
136
demikian lazimnya disebut asas legalitas atau Rechtmatigheid van bestuur.128
Tindak pemerintahaan harus didasarkan pada wewenang. Karena wewenang
menjadi dasar keabsahan atas tindak pemerintahan. Wewenang yang diperoleh
dari peraturan perundang-undangan merupakan legalitas formal, artinya yang
memberi legitimasi terhadap tindak pemerintahan. Maka dikatakan bahwa
substansi dari peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan prinsip
negara hukum meletakan undang-undang sebagai sumber kewenangan.129
Berpijak pada hukum administrasi, dasar-dasar wewenangan pemerintahan ini
lazimnya diperoleh dari hukum positif, yakni peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan tersebut yakni UU PPPU yang mengatur mengenai tata urutan
peraturan perundang-undangan dapat dijadikan dasar wewenang pemerintahan.
Tindak pemerintahan (bestuurschandeling) adalah tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh administrasi negara dalam melaksanakan tugas
pemerintahan.130
Tindak pemerintahan pada dasarnya dapat dibagi atas dua
macam, yaitu tindak pemerintahan berdasarkan atas fakta (vetelijkehendeling) dan
tindak berdasar atas hukum (rechtshandeling).131
Tindakan nyata adalah tindakan-
tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum.132
128
SF. Marburn, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 158. (Selanjutnya disebut SF. Marburn II).
129
Sadjijono, op.cit, h.49.
130
Philipus M. Hadjon II, op.cit, h.1
131
I. G. N. Wairocana, 2006, Tindak Pemerintahan (Suatu Orientasi Singkat, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 7. (Selanjutnya disebut Wairocana II).
132
Ridwan HR. II, op.cit, h. 113
137
Tindakan hukum merupakan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban.133
Tindak pemerintahan berdasarkan atas hukum
adalah tindakan-tindakan yang mempunyai pengaruh hukum secara langsung, atau
tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum secara
langsung.134
Tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum dapat digolongkan
menjadi dua yaitu tindak pemerintahan berdasarkan atas hukum privat dan tindak
pemerintahan berdasarkan hukum publik. Tindak pemerintahan berdasarkan atas
hukum publik dapat dibedakan menjadi tiga bagian yakni beschiking
(mengeluarkan keputusan), regeling (mengeluarkan peraturan), dan materiele
daad (melakukan perbuatan materil).135
Tindakan pemerintahan berdasarkan hukum publik berupa beschiking atau
mengeluarkan keputusan dapat dibedakan atas tindakan sepihak (eenzijdig) dan
berbagai pihak (meerzijdig).136
Tindakan hukum sepihak dibagi lagi menjadi dua
yaitu pertama interne beschiking, yaitu keputusan yang dibuat untuk
menyelenggarakan hubungan-hubungan dalam lingkungan alat negara yang
membuatnya, dan kedua (externe beschiking) yaitu keputusan yang dibuat untuk
menyelenggarakan hubungan-hubungan antara dua atau lebih alat-alat negara.
Keputusan Tata Usaha Negara merupakan contoh dari tindak hukum sepihak yang
merupakan externe beschiking.137
133
Ibid
134
I. G. N. Wairocana, loc.cit.
135
Lutfi Efendi, 2003, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bayumedia Publishing,
Malang, h. 42-43.
136
Philipus M.Hadjon IV, op.cit, h. 3
138
Perda dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan kepentingan dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan suatu adagium “lex
superiori derogate legi inferiori”, yang artinya peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dapat membatalkan peraturan yang lebih rendah (hukum yang
tingkatannya lebih tinggi dapat membatalkan hukum yang tingkatannya lebih
rendah). Hal ini sejalan dengan konsep dan pemikiran Hans Kelsen dengan
stufenbou therorie, yang menyatakan bahwa hukum suatu negara itu berjenjang
dan berlapis-lapis sehingga norma hukum yang lebih rendah tidak dapat
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang
lebih rendah tersebut merupakan penjabaran dari norma hukum yang lebih tinggi
tingkatannya. Sehingga apabila perda bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi maka dapat dibatalkan, tentunya dengan mekanisme
dan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Jika menganalisis berkaitan dengan pengaturan pembatalan perda seperti
yang sudah dibicarakan sebelumnya ada beberapa instrumen hukum yang
dijadikan untuk membatalkan perda diantaranya :
4.1.1. Peraturan Presiden
Dalam kaitannya dengan pembatalan Perda kewenangan yang akan
digunakan teori wewenang atribusi dan delegasi dalam menentukan kewenangan
Presiden dan Mendagri dalam membatalkan Perda. Atribusi adalah wewenang
untuk membuat keputusan yang langsung bersumber kepada Undang-undang
dalam arti materiil. Sehingga kewenangan yang diperoleh oleh suatu institusi
137
Ibid
139
pemerintah merupakan kewenangan asli. Atribusi sendiri merupakan wewenang
pembentukan peraturan perundang-undangan yang memuat unsur :
a. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundang-
undangan
b. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk UUUD NRI Tahun 1945
atau pembentuk Undang-undang kepada suatu lembaga.
c. Lembaga yang menerima wewenang tersebut bertanggung jawab atas
pelaksaan wewenang tersebut.
Atribusi dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh pembentuk peraturan
perundang-undangan orisinil ialah pembentuk Undang-Undang Dasar, Dewan
perwakilan (pembentuk Undang-undang dalam arti formal) bersama-sama dengan
Presiden. Pembentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan terdiri
dari menteri-menteri, organ-organ pemerintahan yang dilakukan secara bersama-
sama. Maka yang dapat disebut sebagai pembentuk Peraturan perundang-
undangan orisinil adalah :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena berwenang
menetapkan Undang-Undang Dasar.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden, karena
membentuk Undang-Undang.
3. Presiden, karena berwenang membentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu) .
Sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan adalah :
140
a. Presiden yang berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden.
b. Menteri Negera atau yang setingkat yang berwenang membentuk
menetapkan Peraturan Menteri dan Keputusan menteri.
c. Pemerintah Daerah (Kepala Daerah bersama dengan Dewan
Perwakilan rakyat Daerah (DPRD) yang berwenang menetapkan
Peraturan Daerah).
d. Kepala daerah yang berwenang menetapkan Peraturan Kepala Daerah
dan Keputusan Kepala Daerah.
Tentunya dengan konsekwensi bahwa para pejabat di atas yang berwenang
melakukan atribusi di Indonesia. Dalam atribusi pembentuk wewenang dan
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Pembentuk wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan.
Peraturan Presiden sebagai salah satu instrumen yang dapat membatalkan
perda, hal ini dapat ditemukan dalam UU No. 32 Thn 2004 yang mengatur dengan
jelas kewenangan Presiden untuk membatalkan perda yakni pada Pasal 145 ayat
(2) mengatur tentang kewenangan pemerintah untuk membatalkan perda apabila
perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjuk pada struktur tapi tidak
menyebutkan secara jelas pejabat yang berwenang untuk membatalkan perda.
Pada ketentuan berikutnya, Pasal 145 ayat (3) mengatur bahwa pembatalan perda
dilakukan melalui peraturan Presiden.
141
Menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 6 UU PPPU ditetapkan bahwa
yang dimaksud dengan Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan
Pemerintahan. Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang
dibuat dan ditetapkan oleh Presiden. Itu berarti Peraturan Presiden dalam
ketentuan Pasal 145 ayat (3) UU No. 32 Thn 2004 adalah peraturan perundang-
undangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk membatalkan Peraturan
Daerah. Hal ini menunjukan bahwa kewenangan membuat Peraturan Presiden
merupakan konsekwensi dari jabatan sebagai Presiden, yang tidak menjabat
sebagai Presiden tidak berwenang membuat Peraturan Presiden.
Sebagaimana dikatakan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa dari jabatan lahir
wewenang organ administrasi negara untuk melakukan tindakan Pemerintahan,
seseorang yang tidak memangku suatu jabatan tidak dapat melakukan suatu
tindakan Pemerintahan dan kalau dilakukan tindakan tersebut sama sekali tidak
membawa akibat hukum.138
Untuk itu, pembentukan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Peraturan Daerah merupakan wewenang atributif yang melekat pada
jabatan Presiden. Dari aspek sinkronisasi materi muatan peraturan perundang-
undangan maka dilakukan penafsiran gramatikal terhadap kata Pemerintah dalam
ketentuan Pasal 145 ayat (2) dengan mengunakan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku guna memperjelas kewenangan organ administrasi negara
yang berwenang melakukan pembatalan Peraturan Daerah. Dalam ketentuan Pasal
138
Philipus M. Hadjon IV, op.cit, h. 10
142
1 angka 1 UU No. 32 Thn 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 PP No. 79 Tahun 2005
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat, selanjutnya
disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka 1 UU No. 32 Thn 2004 maupun Pasal 1 angka 1 PP No. 79 Tahun
2005 ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Presiden.
Untuk itu, kata Pemerintah dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn
2004 adalah Presiden. Mengacu pendapat dari A. Hamid Atamimi yang
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah ialah organ yang
dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia sebagai penyelenggara tertinggi,
dengan bagian-bagiannya yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah
tingkat I, dan Pemerintah daerah tingkat II.139
Dengan demikian sesuai
pengaturan Pasal 145 ayat (2) dan (3) UU No. 32 Thn 2004 dimaksud maka
pembatalan Peraturan Daerah merupakan wewenang atribusi dari Presiden.
Komponen dasar hukum, dapat diartikan bahwa prinsip negara hukum
menentukan setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada aturan hukum
139
Ridwan H.R. I, Loc.cit.
143
yang berlaku termasuk tindakan Pemerintah membatalkan Peraturan Daerah. Oleh
sebab itu, sesuai ketentuaun Pasal 145 ayat (2) dan (3) UU No. 32 Thn 2004
menjadi dasar hukum kewenangan Presiden untuk melakukan pembatalan
Peraturan Daerah. Komponen Pengaruh dikaitkan dengan wewenang pembatalan
Peraturan Daerah dapat dimaksudkan bahwa wewenang yang diberikan kepada
Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah adalah sebagai upaya
mengendalikan perilaku Kepala Daerah dan DPRD selaku subjek hukum agar
dalam membentuk Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsekwensi
dari Peraturan Daerah yang dibentuk bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan pengendalian
melalui pembatalan terhadap Peraturan Daerah dimaksud oleh Presiden.
Kewenangan yang diberikan kepada Presiden menjadi alat ukur keabsahan
tindakan pembatalan Peraturan Daerah sebagai bentuk penerapan asas legalitas
dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai negara hukum. Dalam negara hukum, setiap tindakan penyelenggaraan
negara harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pengaturan dimaksud, itu berarti
pengunaan standar wewenang umum pembatalan Peraturan Daerah merupakan
kewenangan Presiden, standar wewenang umum pembatalan Peraturan Daerah
merupakan kewenangan Presiden apabila tidak ada Rancangan Peraturan Daerah
yang dipaksakan penetapannya menjadi Peraturan Daerah baik oleh Gubernur
maupun Bupati/Walikota. Aspek Prosedur, menjadi proses penting bagi
144
Pemerintah dalam mengambil tindakan berkaitan dengan penyelenggaraan
Pemerintahan termasuk pembatalan terhadap suatu Peraturan Daerah. Tindakan
Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden terhadap suatu Peraturan Daerah harus
melalui usulan dari Mendagri sesuai hasil pengawasan yang dilakukan oleh
Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota maupun Mendagri terhadap
Peraturan Daerah Provinsi. Dari usulan Mendagri tersebut maka Presiden
membentuk Peraturan Presiden untuk menetapkan pembatalan Peraturan Daerah
dimaksud.
Aspek Substansi, dapat dimaksudkan bahwa Presiden diberikan wewenang
untuk membatalkan seluruh Peraturan Daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Namun pemberian kewenangan kepada Presiden tersebut apabila berada dalam
kondisi normal, artinya tidak adanya pemaksaan penetapan Rancangan Peraturan
Daerah yang dikembalikan untuk diperbaiki menjadi Peraturan Daerah, karena
apabila ada paksaan dari Pemerintah Daerah maka akan menjadi kewenangan
Mendagri.
Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden tersebut akan menimbulkan
akibat hukum bahwa perda yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota batal dan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat dan Pemerintah Daerah harus mencabut dan tidak memberlakukan
kembali perda yang dibatalkan tersebut. Mengingat eksekutif review berakhir pada
keputusan yang diberikan oleh Presiden. Pembatalan yang dilakukan oleh
Presiden ini juga dilakukan kepada Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi
145
Daerah dan Tata Ruang Daerah saat pemerintah daerah tidak menindak lanjuti
hasil klarifikasi yang dilakukan oleh Mendagri serta tetap memberlakukan perda
tersebut maka Mendagri akan memohonkan pembatalan yang ditujukan kepada
Presiden untuk membatalkan Perda tersebut, hal ini diatur pada Pasal 95 ayat (1)
Permendagri No. 1 Thn 2014.
Apabila Pemerintah Daerah bersikukuh untuk menolak keputusan
pembatalan tersebut sebagaimana yang diatur pada Pasal 145 ayat (5) Apabila
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung.
4.1.2. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Sebagaimana yang diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
bahwa perihal pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terahadap peraturan daerah
dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara
sebagai berikut:
1. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (raperda) yaitu
terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah,
retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala
daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk
raperda provinsi dan oleh gubernur terhadap raperda kabupaten/kota.
Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal tersebut dapat
mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah yang tersebut di atas,
yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam
Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/kota untuk
146
memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.140
Ketentuan Pasal 185 ayat (5), dan Pasal 186 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004
Pasal 158 UU PDRD menjadi dasar hukum kewenangan Mendagri untuk
melakukan pembatalan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak,
retribusi, dan tata ruang, yang Rancangan Peraturan Daerah tersebut pada waktu
dilakukan evaluasi dikembalikan untuk perbaikan tetapi dipaksakan penetapannya
menjadi Peraturan Daerah. Standar wewenang khusus pembatalan Peraturan
Daerah menjadi kewenangan Mendagri terhadap Peraturan Daerah tentang APBD,
pajak, retribusi, dan tata ruang, yang rancangannya dikembalikan untuk
diperbaikan namun dipaksakan penetapannya menjadi Peraturan Daerah.
Apabila dalam kondisi yang tidak normal atau ada pemaksaan penatapan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak, retribusi, dan tata ruang, yang
harus diperbaiki tetapi ditetapkan menjadi Peraturan Daerah maka lahirnya
wewenang Mendagri untuk membatalkan Peraturan Daerah dimaksud. Dengan
demikian apabila Gubernur maupun Bupati/Walikota tidak memaksakan
penetapan suatu Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak, retribusi, dan
tata ruang, yang harus diperbaiki karena bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka tidak ada
kewenangan dari Mendagri untuk membatalkan Peraturan Daerah.
Negara Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensil merupakan
sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala
140
HAW. Widjaja II, h. 147-148.
147
pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Presiden Republik Indonesia
menurut Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memegang kekuasaan
pemerintahan negara menurut UUD, inilah yang disebut sebagai prinsip
“constitutional government”. Rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945, yaitu: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan negara menurut undang-undang dasar”. Selanjutnya dalam ayat (2),
yaitu: “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang wakil
presiden”. Juga dalam Pasal 17 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan bahwa,
“Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, dan dalam ayat (2), menegaskan,
“Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, berdasarkan hal
tersebut, maka para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada
presiden sebagai satu kesatuan institusi.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk pula menteri,
sebagaimana yang diatur dalam bab V tentang Kementerian Negara, yaitu pada
Pasal 17 adalah:
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara
diatur dalam undang-undang.
Walaupun demikian, menteri-menteri dalam melaksanakan tugasnya tetap
bergantung adanya pendelegasian kewenangan, jadi tidak serta merta memiliki
kekuasaan, namun tetap adanya penyerahan kewenangan dari Presiden kepada
148
menteri-menterinya. Selanjutnya kajian berikut adalah terkait pada sistem
pemerintahan di negara Indonesia.
Dalam rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan bahkan dalam judul bab V
UUD NRI Tahun 1945 jelas dipakai istilah menteri negara dan kementerian
negara untuk pengertian yang bersifat umum dan berlaku untuk semua menteri.
Hanya saja ada yang memimpin departemen atau biasa diistilahkan dengan
menteri dengan portofolio, dan ada menteri yang tanpa portofolio. Pembedaan
keduanya sangat penting karena berkaitan dengan jangkauan luas dan
wewenangnya sebagai pejabat publik pembantu presiden. Menteri dengan
portofolio departemen memiliki aparatur pemerintahan pendukung yang
menjangkau sampai ke lapisan pemerintahan di daerah melalui aparatur
dekonsentrasi di tingkat provinsi dan/atau bahkan sampai ke tingkat
kabupaten/kota. Sedangkan menteri tanpa portofolio departemen tidak memiliki
jaringan aparatur sampai ke daerah-daerah.
Semua pejabat pelaksana undang-undang sepanjang tegas diberi
kewenangan untuk mengatur atau kewenangan regulatif/legislatif oleh undang-
undang (delegation of rule-making power by statute) , dapat pula mengeluarkan
produk-produk peraturan tersendiri yang bersifat spesifik, khusus, ataupun yang
hanya berlaku secara internal. Syaratnya adalah bahwa kewenangan semacam itu
harus dengan tegas dinyatakan dalam undang-undang yang bersangkutan kepada
pejabat atau lembaga negara yang bersangkutan. Inilah yang biasa dinamakan
dengan “delegation of rule making power”.
149
Terkadang, kewenangan yang diperoleh dari pendelegasian tersebut
(delegated power for legislation or rule making) memberikan lagi kewenangan
untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang didelegasikan itu kepada instansi atau
pejabat yang diberi delegasi. Misalnya undang-undang memberi delegasi
kewenangan pengaturan presiden. Atas dasar itu, presiden menetapkan suatu
Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah
atau Peraturan Presiden tersebut memberikan lagi delegasi kewenangan
pengaturan atau kewenangan regulasi kepada Menteri yang diberi delegasi
kewenangan. Proses pemberian kewenagan tingkat kedua ini biasa disebut juga
dengan “sub delegasi” atau “sub-delegation of rule making power” berdasarkan
kewenangan sub delegasi itulah, maka dikenal pula adanya bentuk-bentuk
peraturan, seperti peraturan menteri dan sebagainya yang juga bersifat mengatur
dan mengikat juga untuk umum.141
Oleh karena itu, sebagaimana uraian di atas maka tentunya yang diteliti
apakah dalam hal pembatalan peraturan daerah yang dibatalkan oleh Mendagri
melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut telah sesuai dengan adanya
pendelegasian wewenang dari Presiden selaku pemegang wewenang atribusi,
namun kenyataannya secara normatif dari aturan kewenangan yang timbul,
menunjukkan tidak adanya dasar kewenangan bagi Mendagri untuk dapat
membatalkan suatu peraturan daerah, walaupun di dalam UU No. 32 Thn 2004
yang menyebutkan kewenangan dari Menteri, namun terbatas hanya dalam hal
evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah untuk rancangan peraturan daerah
141
Jimly Asshiddiqie IV, op.cit, h. 341
150
provinsi dan evaluasi oleh Gubernur untuk rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota, yang difokuskan terhadap rancangan peraturan daerah yang
mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR. Selanjutnya hal
tersebut dilakukan untuk memperoleh klarifikasi.
Jadi jelaslan pembidangan kewenangan dan instrumen hukum dalam
pembatalan perda ini. Tetapi dalam praktek ditemukan ketidaksesuaian dan
ketidakkonsistenan pemerintah dalam melakukan pembatalan perda dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam praktek pembatalan perda
selama ini dilakukan sepenuhnya oleh Mendagri. Padahal sudah jelas Mendagri
hanya berwenang membatalkan Ranperda APBD, pajak, retribusi, RTRW dan
juga peraturan kepala daerah, selebihnya perda diluar itu pembatalannya adalah
kewenagan presiden. Terlebih hal ini ditambah lagi dengan tidak konsistennya
pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum pembatalan perda.
Selama ini pembatalan perda menggunakan Kepmendagri padahal sudah
jelas diatur dalam Pasal 145 ayat (3) bahwa pembatalan perda menggunakan
Perpres. Di dalam pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 menetapkan kewenangan
pembatalan perda ada di tangan Presiden dengan instrumen perpresnya. Kemudian
pada pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 menyatakan Mendagri memiliki kewenangan
untuk membatalkan Raperda juga, tetapi kewenangan pembatalan yang dimiliki
oleh Mendagri di sini terbatas hanya pada perda APBD, pajak, retribusi dan
RTRW. Pasal 185 ini kemudian dijabarkan lebih lanjut pada UU No. 32 Thn 2004
telah mengatur dua hal terkait dengan pembatalan Perda, yaitu wewenang
151
pembatalan perda, jenis peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk
membatalkan perda.
Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Perpres, Permendagri atau Pergub
untuk membatalkan Perda, maka Perda tersebut dinyatakan tetap berlaku. Namun
meskipun secara peraturan perundang-undangan pembatalan perda dalam bentuk
Kepmendagri merupakan kekeliruan hukum, pemerintah daerah cenderung
mematuhi Kepmendagri tersebut meskipun sebenarnya dapat melakukan upaya
hukum pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung. Jadi jelaslah pemerintah tidak
konsisten dalam menggunakan instrumen hukum pembatalan perda. Dalam Pasal
145 ayat 7 menyatakan apabila tidak dikeluarkan Perpres untuk membatalkan
perda yang bermasalah, maka perda tersebut dapat tetap berlaku. Jadi implikasi
hukum dari pembatalan menggunakan Kepmendagri adalah tidak tepat karena
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga hal
tersebut berimplikasi tetap dapat berlakunya perda yang dibatalkan.
Namun kewenangan yang diberikan kepada Presiden untuk mengendalian
prilaku Kepala Daerah dan DPRD yang membentuk Peraturan Daerah yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tidak dilakukan oleh Presiden tetapi dilakukan oleh Mendagri.
Hal ini terlihat dari Mendagri telah membatalkan Peraturan Daerah. Padahal
sesuai ketentuan Pasal 37 ayat (4) PP No. 79 Tahun 2005 dan Pasal 91 ayat (4)
Permendagri 1 Tahun 2014 Mendagri hanya diberikan kewenangan untuk
melakukan pengawasan Peraturan Daerah dan mengusulkan baik hasil
pengawasan kepada Presiden untuk melakukan pembatalan apabila Peraturan
152
Daerah itu dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan
perundng-undangan yang lebih tinggi.
Pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri yang sebelumnya
pengaturannya pada UU No. 32 Thn 2004 merupakan semata-mata pembatalan
Ranperda terhadap APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang
Daerah yang merupakan tahapan evaluasi dalam kaitannya melaksanakan
pengawasan secara preventif sebagaimana yang diatur pada Pasal 185, memiliki
kewenangan pembatalan pada tahapan klarifikasi yang merupakan pengasawasan
secara represif terhadap Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan
Tata Ruang Daerah seperti yang diatur pada Pasal 90 ayat (3) dan (4) Permendagri
No. 1 Thn 2014. Namun pembatalan yang mengacu pada Permendagri No. 1 Thn
2014 ini hanya sebatas jika Pemerintah Daerah mau mencabut dan tidak
memberlakukan kembali Perda yang dibatalkan oleh Mendagri, tetapi jika
Pemerintah Daerah tetap memberlakukan Perda yang dibatalkan tersebut
sebagaimana yang diatur pada Permendagri tersebut Mendagri akan memohonkan
pembatalan kepada Presiden untuk membatalkan Perda yang dibatalkan tersebut.
Keputusan pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri sejatinya
tidak menimbulkan akibat hukum yakni hanya menimbulkan konskwensi
pembatalan yang hanya menegaskan bahwa perda yang dibentuk tersebut
melanggar Pasal 136 UU 32 Thn 2004 mengingat pemerintah daerah dapat tetap
memberlakukan perda yang dibatalkan oleh Mendagri tersebut. Ketika hal ini
terjadi keputusan pembatalan yang dilakukan oleh mendagri tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengharuskan Perda tersebut dicabut dan tidak mengikat,
153
sehingga ketika pemerintah daerah tetap memberlakukan perda yang dibatalkan
tersebut perda tersebut dapat tetap berlaku sampai ada keputusan pembatalan yang
dikeluarkan oleh Presiden berdasarkan permohonan pembatalan yang dilakukan
oleh Mendagri. Jadi dapat dikatakan akibat hukum terhadap Perda yang
bertentangan dengan Pasal 136 UU No. 32 Thn 2004 adalah Perda tersebut dapat
dibatalkan dan pembatalannya dilakukan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden
sebagaimana diatur pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 dan bukan dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri, mengingat Peraturan Menteri Dalam Negeri
hanya membatalakan Ranperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah serta
Rencana Tata Ruang sebagaimana yang diatur pada Pasal 185 UU No. 32 Thn
2004.
4.2. Konskwensi Hukum terhadap Pembatalan Perda Provinsi
Keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah provinsi melalui Peraturan
Presiden dan Permendagri, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur mekanisme
pembatalan peraturan daerah itu sendiri, yaitu pada Pasal 145 ayat (3) dan Pasal
185 UU No. 32 Thn 2004, yang intinya menegaskan bahwa keputusan pembatalan
peraturan daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden dan terhadap Perda
APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah dan RTRW dibatalkan dengan
Permendagri. Dari kedua instrumen hukum di atas yang paling tepat dalam
membatalkan Perda akan dibahas selanjutnya. Menurut Philipus M. Hadjon,
keabsahan tindakan pemerintah pada hakekatnya ditentukan oleh 3 (tiga) unsur
utama, yaitu wewenang, prosedur dan substansi, dengan menggunakan parameter
peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
154
Perihal 3 (tiga) unsur utama, keabsahan tindakan pemerintah sebagaimana yang
dikemukakan di atas, maka dijabarkan lebih lanjut:
1. Wewenang, Dalam hal ini pihak yang mengambil atau melakukan suatu
tindakan haruslah pihak yang memiliki kewenangan baik atributif
maupun delegatif.
2. Prosedur, Keabsahan tindakan pemerintah harus memenuhi prosedur
sebagaimana ditetapkan dalam tata cara atau prosedur tindakan
pemerintah yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Substansi, Substansi tindakan pemerintah pada hakekatnya tidak boleh
bertentangan dengan segala bentuk peraturan perundangan, konsepsi
Hak Asasi Manusia, maupun norma-norma yang ada dan hidup di
masyarakat.
Ketiga unsur utama keabsahan tindakan pemerintah dapat diukur dengan
tolok ukur berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Dengan demikian setiap unsur dari tindakan pemerintah
disatu sisi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan di
sisi lain harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah terbukti
bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka keabsahan suatu
tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga apabila tindakan
pemerintah tidak memenuhi atau bertentangan dengan AAUPB, maka keabsahan
tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi.
Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),
menurut Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR bahwa:
“AAUPB haruslah dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis,
yang senantiasa harus ditaati o9leh pemerintah, yang meskipun arti yang
tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat
dijabarkan dengan teliti. Dapat dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas
155
hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan tertentu dapat ditarik
aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan”.142
Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang
mengasumsikan bahwa norma tersebut memiliki kekuatan mengikat (binding
forces) terhadap orang yang perilakunya diatur. Suatu aturan adalah hukum dan
hukum yang valid adalah norma oleh karenanya hukum adalah norma yang
memberikan sanksi.143
Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika
berbicara mengenai keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno
Mertokusumo bahwa hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang
sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan
kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada
kekuasaan yang sah.144
Di dalam ketentuan Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 disebutkan bahwa
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
Pemerintah. Vernietigbaar Menurut E. Utrecht suatu peraturan yang dapat
dibatalkan berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap
ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain
yang berkompeten.145
142
Ridwan HR II, h. 237.
143
Jimly Asshidiqqie, dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, h.36. (Selanjutnya disebut Jimly Asshidiqie
VII). 144
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 25
156
Mengenai dapat dibatalkannya suatu perda, pengertian mengenai batal,
batal demi hukum, dan dapat dibatalkan penjelasannya sebagai berikut :
1. Batal (nienig) berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan
tidak ada. Jadi, bagi hukum, akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah
ada.
2. Batal karena hukum (nietig van rechtswege) berarti akibat sesuatu
perbuatan untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya, bagi hukum
dianggap keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompetensi
untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya akibat itu.
3. Dapat dibatalkan (vernietigbaar) adalah bahwa bagi hukum perbuatan
yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan
oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten
(pembatalan itu dilakukan karena perbuatan tersebut mengandung
sesuatu kekurangan). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu
pembatalannya dan oleh sebab itu segala akibat yang ditimbulkan
antara waktu mengadakannya sampai waktu pembatalannya menjadi
sah (terkecuali dalam hal Undang-undang menyebut beberapa bagian
akibat itu tidak sah). 146
Kewenangan Mendagri tentang pembatalan Perda, yang seolah-olah
bertentangan dengan perintah Undang-Undang, adalah termasuk aturan kebijakan
untuk mengatasi kemacetan pelaksanaan pemerintahan dalam rangka pelayanan
umum kepada masyarakat. Berdasarkan asas praesumptio iustae causa (asas
praduga rechtmatigheid), maka Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
Pembatalan Perda melalui klarifikasi adalah sah sepanjang belum ada pembatalan.
Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 mengatur konsekuensi dari pembatalan Peraturan
Daerah oleh Pemerintah, yaitu pemerintah daerah yang menerima pembatalan
Peraturan Daerahnya harus mencabut Peraturan Daerah yang dibatalkan tersebut
yang sebelumnya didahului dengan penghentian pelaksanaan Peraturan Daerah
145
E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4, (Bandung:
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Pajajaran, h.78. (selanjutnya
disebut E. Utrecht I).
146
E. Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta
Mas, Surabaya, h. 110-111. (Selanjutnya disebut E. Utrecht II).
157
paling lama 7 hari setelah pembatalan. Pemerintah Daerah yang tidak dapat
menerima pembatalan Peraturan Daerahnya dengan alasan yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung.
Jika kita cermati pengaturan pembatalan Perda yang ada pada Permendagri
1 Tahun 2014 yang merupakan pengaturan lebih jauh dari peraturan yang
memberikan amanat berkaitan dengan pembatalan Perda yakni UU No. 32 Thn
2004 dan PP. No. 79 Tahun 2005 yang merupakan dasar pengawasan dari
pemerintah pusat kepada daerah terhadap pelaksanaan otonomi daerah sebagai
buah hasil dari desentralisasi pada akhirnya muara pembatalan suatu perda adalah
pada tangan Presiden dengan instrumen Peraturan Presidennya. Seperti halnya
pengaturan pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 bahwa pembatalan perda baik
perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota merupakan kewenangan dari
Presiden untuk membatalkannya. Begitu juga sebaliknya pada UU PDRD bahwa
yang membatalkan Perda PDRD sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 158
adalah Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden.
Pada UU No. 32 Thn 2004 kewenangan Mendagri untuk membatalkan
Perda hanya pada Raperda Pemerintah Provinsi dan kabupaten/Kota hanya pada
tahap evaluasi sebagai bagian pengawasan preventif dan hasil dari tindakan
klarifikasi semata. Apabila daerah tidak mematuhi pembatalan yang didasarkan
pada hasil klarifikasi Mendagri harus mengajukan permohonan pembatalan
kepada Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda.
Begitu juga pada UU PDRD kewenangan Mendagri dalam pembatalan perda
158
hanya sebatas pada hasil evaluasi Raperda dan hasil klarifikasi apabila Perda
PDRD dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Akan tetapi apabila daerah
tidak menerima pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri, Mendagri harus
mengajukan usulan pembatalan Kepada Presiden untuk melakukan pembatalan
terhadap Perda PDRD tersebut.
Apabila Pemerintah Daerah tetap memberlakukan Perda yang telah
dibatalakan oleh Presiden tindakan Pemerintah Daerah yang tetap memberlakukan
Peraturan Daerah yang telah dibatalkan seluruh tindakan dan akibatnya sejak
pembatalan mempunyai kekuatan hukum mengikat dianggap tidak pernah ada.
Masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh tindakan Pemerintahan yang tidak
didasarkan kepada hukum yang sah dapat menuntutnya ke Pengadilan dengan
alasan bahwa Pemerintah Daerah telah bertindak sewenang-wenang. Agar
Pemerintah Daerah dan masyarakat tidak dirugikan, seyogyanya pelaksanaan
Peraturan Daerah tidak diberhentikan ketika Kepala Daerah masih mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung.
Presiden dapat memberikan mandat kepada Mendagri selaku pembantu
Presiden untuk melakukan pembatalan terhadap Peraturan Daerah diluar substansi
yang Rancangan Peraturan Daerah yang dipaksakan penetapannya oleh Gubernur.
Apabila Menteri Dalam Negari mendapatkan mandat dari Presiden untuk
melakukan pembatalan Peraturan Daerah maka secara redaksional Keputusan
pembatalan Peraturan Daerah dicantumkan Atas Nama Presiden, tetapi yang
menandatangani keputusan pembatalan Peraturan Daerah itu adalah Mendagri.
159
Tetapi faktanya Keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang dilakukan
oleh Mendagri tidak satupun Keputusan Pembatalan Peraturan Daerah
mengunakan redaksional Atas Nama Presiden. Itu berarti Presiden tidak
memberikan mandat kepada Mendagri untuk melakukan pembatalan terhadap
Peraturan Daerah tersebut. Dengan demikian tindakan pembatalan yang dilakukan
oleh Mendagri terhadap Peraturan Daerah merupakan “tindakan melanggar
wewenang” (onbevoegdheid), yang oleh Waline disebutkan sebagai
onbevoegdheid ratione materiae (organ administrasi negara melakukan tindakan
dalam bidang yang tidak termasuk wewenangnya).147
Dengan demikian pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri tersebut
adalah tidak sah. Untuk itu konsekwensi hukum dari keputusan pembatalan
Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Mendagri dianggap tidak pernah ada tanpa
perlu adanya suatu keputusan yang membatalkan tindakan pembatalan yang
dilakukan oleh Mendagri tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
dimaksudkan bahwa para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada
presiden sebagai satu kesatuan institusi. Prinsip yang bersifat umum adalah
administrasi pemerintahn pusat pada umumnya ditempatkan di bawah
kewenangan menteri atau diorganisasikan sebagai kementerian atau departemen.
Menteri dan kementerian negara dibedakan. Menteri adalah jabatan politik,
sedangkan kementerian negara diisi oleh pegawai negeri sipil dengan jabatan-
jabatan yang diisi melalui pengangkatan dan pemberhentian secara administratif.
147
Philipus M. Hadjon IV, h. 120.
160
Dalam suatu pelaksanaan pemerintahan esensi keteraturan dalam
administrasi akan tampak pada hubungan pemerintahan yang berlangsung secara
fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi sebagai pemerintah
dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang diperintah.148
Dengan melihat akibat huum yang ditimbulkan terhadap perda yang
dibatalkan tersebut maka akan menimbulkan konskwensi harus dicabut dan
dinyatakan tidak berlakunya Perda yang dibatalakan oleh Presiden tersebut.
Apabila pemerintah daerah bersikukuh untuk tetap memberlakukan perda yang
dibatalkan tersebut dan mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung maka
perda tersebut belum dapat dicabut dan masih memiliki kekuatan hukum mengikat
sampai ada putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung apakah
mengabulkan keberatan atau menolak keberatan yang diajukan oleh pemerintah
daerah. Jika Mahkamah Agung mengabulkan keberatan yang diajukan oleh
pemerintah daerah maka Perda yang dibatalkan oleh Presiden tersebut tetap
berlaku. Tetapi jika keberatan Pemerintah daerah tersebut ditolak maka Perda
tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
4.3. Pengujian Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung
Pada negara-negara yang menganut sistem hukum sipil (civil law), obyek
judicial review hanyalah produk pengaturan saja, mulai dari Undang-undang
sampai ke peraturan-peraturan (regels) yang ada di bawahnya. Sedangkan dalam
sistem anglo saxon , sebagaimana hal di Inggris maupun amerika Serikat
148
Faried Ali, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.3.
161
pengertian judicial riview, luas cakupannya, termasuk gugatan yang berkenaan
dengan norma hukum yang kongkret dan individual, seperti yang dikenal dalam
sistem peradilan tata usaha negara.149
Wewenang Mahkamah Agung sebagai
lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman diberi kewenangan oleh
UUDNRI Tahun 1945 untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang kewenangan demikian ini
kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan
perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dilakukan oleh
Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagai kewenangan
atributif yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945; Pasal 11 ayat (2)
huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman;
Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas
Undang-undang No.14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung; Pasal 31A
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung; dan Pasal 1 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil. Dalam
ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut
kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan
149
Jimly Asshiddiqie, 2005, Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jendral Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, h. 150-151. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VII).
162
perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah Agung,
kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan juga dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi yang kemudian dikenal dengan istilah constitutional review
berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Apabila dikaitkan dengan
jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU
PPPU, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: 1) Peraturan
Pemerintah, 2) Peraturan Presiden, dan 3) Peraturan Daerah.
Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap tiga jenis
peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mulai
dari dasar konstitusional dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,
kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,
tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun
1985, tentang Mahkamah Agung, menentukan standar ukuran suatu peraturan di
bawah undang-undang dapat dibatalkan, atas alasan: 1) karena bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materiil); atau
2) pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).
Dalam Pasal 31A ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009,
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang
Mahkamah Agung, ditegaskan ”uraian mengenai perihal yang menjadi dasar
permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1) materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
163
dan/atau 2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku;”
Dasar permohonan pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian
aspek materiil. Apabila dikaitkan dengan pengujian Peraturan Daerah, maka
landasan bagi Mahkamah Agung untuk menguji Peraturan Daerah terhadap
undang-undang, adalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi
Peraturan Daerah. Sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian
aspek formil, yang dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004,
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang
Mahkamah Agung, ditegaskan pula bahwa “Mahkamah Agung menyatakan tidak
sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.”
Apabila suatu peraturan daerah dipandang bahwa materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari isi Peraturan Daerah bertentangan dengan undang-
undang, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Peraturan
Daerah tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dimungkinkan dapat terjadi dalam proses pengujian, Mahkamah Agung hanya
menemukan satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian materi muatan dalam
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi, maka seluruh materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari Peraturan Daerah dianggap tidak sah dan tidak mempunyai
164
kekuatan hukum mengikat. Keadaan ini seperti halnya dalam pengujian aspek
formil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1999, tentang Hak Uji Materiil yang dinyatakan tidak berlaku dan
digantikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang
Hak Uji Materiil. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004
mempersempit kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD
dan undang-undang diberi kewenangan menguji materiil dan formil peraturan
perundang-undangan, menjadi hanya melakukan pengujian materiil terhadap
materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung
tidak memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kondisi demikian
terkesan bertindak di luar kewenangan, yakni membatasi kewenangan sendiri
yang juga merupakan bagian dari kewajiban hukum dan kepastian hukum itu
sendiri.
Erat kaitannya dengan fungsi Mahkamah Agung yang bersifat yudisial
(justitiele functie), kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian
Peraturan Daerah lahir dari kewenangan yang disebut judicial review. Dalam
keadaan demikian, maka Mahkamah Agung adalah lembaga kehakiman yang
diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk
peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah. Dalam menjalankan
165
fungsi demikian itu, Mahkamah Agung bersifat pasif menunggu diajukannya
permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan di daerah.
Standar pengujian yang digunakan Mahkamah Agung dalam menguji
Peraturan Daerah adalah menjawab pertanyaan, apakah suatu Peraturan Daerah: a)
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau b)
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Apabila suatu
Peraturan Daerah yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan pemerintah
daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Peraturan Daerah tersebut paling
lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Peraturan Daerah yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK).
Dalam tinjauan normatif terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil, ditentukan bahwa Peraturan Daerah atau
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya, hanya dapat
diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung dalam
tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan tersebut.
Batasan waktu ini berimplikasi terhadap terbatasnya hak warga negara untuk
mengajukan permohonan pengujian Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah
di kemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2004 tersebut. Hal yang perlu dicermati sebagai kelemahan dalam
pemberian batas waktu 180 hari yang ditentukan tersebut, tidak ada pilihan waktu
166
lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari. Dimungkinkan dapat terjadi Peraturan
Daerah yang sudah berlaku selama 180 hari dianggap tidak bermasalah oleh
masyarakat, kemudian satu tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya
Peraturan Daerah menimbulkan masalah sosial, sehingga apabila hal tersebut
terjadi maka masyarakat kehilangan hak untuk mengajukan permohonan
keberatan karena aturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak.
Di samping itu perlu dicermati kelemahan tidak diaturnya batas waktu
proses pengujian peraturan perundang-undangan, berapa lama waktu penunjukan
majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan
oleh majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan perundang-
undangan. Di satu sisi tidak ada batas waktu proses pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Agung, di sisi lain Mahkamah Agung
membatasi waktu hak warga negara untuk mengajukan permohonan keberatan.
Ketiadaan ketentuan batas waktu pengujian peraturan perundang-undangan oleh
Mahkamah Agung, berpotensi menjadikan Peraturan Daerah yang sedang diuji
terabaikan kepastian hukum penerapannya di daerah.
Selain itu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tidak
terdapat rumusan pengaturan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi
jalannya proses pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung.
Terlihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 dalam proses
pengujian oleh Mahkamah Agung bersifat tertutup, sedangkan objek yang sedang
disengketakan adalah objek yang terkait dengan kepentingan publik, yaitu suatu
peraturan (regeling) yang berlaku umum di masyarakat.
167
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dengan berpedoman
kepada hasil penelitian terhadap permasalahan yang menjadi kajian yang telah
diuraikan dari bab sebelumnya memperoleh kesimpulan berupa :
1. Bahwa kewenangan pengaturan pembatalan Perda Provinsi ada pada
Presiden dengan bentuk hukum Peraturan Presiden dan bukan dengan
Peraturan Mendagri. Mendagri hanya berwenangan membatalkan
Rancangan Peraturan Daerah terbatas hanya pada APBD, PDRD dan
RTRW dengan bentuk hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri
sebagaimana yang diatur pada UU 32 Thn 2004, PP 79 Thn 2005 dan
Permendagri 1 Thn 2014. Diundangkannya UU 23 Thn 2014 telah
menjawab dualisme pembatalan perda provinsi tersebut karena pada
UU ini Presiden tidak lagi memiliki kewenangan pembatalan perda
karena semua kewenangan pembatalan perda yang dimilikinya
didelegasikan kepada Mendagri untuk membatalkan Ranperda RPJPD,
RPJMD, APBD, PDRD, dan RTRW serta pembatalan seluruh Perda
tanpa terkecuali dengan bentuk hukum Keputusan Menteri Dalam
Negeri.
2. Bahwa akibat hukum jika suatu perda bertentangan dengan Pasal 136
yakni bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi dan kepentingan umum yang kemudian dibatalkan oleh Presiden
168
dengan Peraturan Presiden akan menimbulkan konskwensi untuk
mencabut dan menyatakan perda tersebut tidak memiliki kekuatan
mengikat, serta apabila Pemerintah daerah berkeberatan dengan
pembatalan perda tersebut, pemerintah daerah dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung.
5.2. Saran
1. Agar terdapat penegasan kewenangan Mendagri hanya terbatas pada
proses preventif melalui tahap evaluasi dan pada proses represif tetap
menjadi kewenangan Presiden selaku pemerintahan pusat dan pemegang
kekuasaan Pemerintahan, atau Presiden tidak lagi memiliki kewenangan
pembatalan Perda dan melimpahkan kepada Mendagri dengan
pendelegasian kewenangan yang jelas sehingga Mendagri tidak dianggap
melakukan penyaalhgunaan kewenangan.
2. Agar keputusan pembatalan perda tersebut baik saat dibatalkan oleh
pemerintah maupun pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung terlaksana
dengan cepat sehingga segera menimbulkan kepastian hukum bagi
masyarakat sehingga masyarakat tidak merasa dirugikan ketika terjadinya
pembatalan perda tersebut.
169
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abdurahman 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana
Press
Ali, Faried, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Alwi, Hasan et al., 2003, Tata Bahasa Baku Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jendral Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia
_______, dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta.
_______, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,
Jakarta.
_______, Jimly, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
_______, Jimly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca
Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
_______, Jimly, 2008, Perihal Undang-undang, Konstitusi Press dengan Syaamil
Cipta Media, Jakarta.
_______, Jimmly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan
Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
_______, Jimly, 2010, Perihal Undang-undang, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Barnett, Hilaer, 2002, Constitutional And Administrative Law, Queen Mary,
University,of London Cavendish Publishing Limited, London
Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam,
Jakarta.
Boedianto, Akmal, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda
APBD Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta.
170
Budiardjo, Meriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan
Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Budiono, Herlin, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
(Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia), Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Cohen, Morris L. and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, St.
Paul, Minn.
Dicey, A.V., diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum
Konstitusi, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung.
Efendi, Lutfi, 2003, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bayumedia
Publishing, Malang.
Ekathahjana, Widodo, 2008, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dan
Sistem Peradilannya di Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta.
Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.
_______, dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fauzan, Muh, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan
Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, UII Press, Yogyakarta
Garner, Bryan A,, 1999, Black’s Law Dictionary Seventh Edition, In chief West
GruopSt. Paul, Minn.
Hadjon, Philipus M., 1985, Pengertian-pengertian Dasar Tentang Tindak
Pemerintahan (Bestuurhendeling), Djumali, Surabaya.
_______, Philipus M., 1998, “Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum
Administrasi tahun 1997/1998 Fakultas Hukum Universita Airlangga”,
Surabaya.
Hadjon, Philipus M., 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid)
dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI.
_______, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan ketiga,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Halim, Hamzah, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis
Menyusun dan MerancangPeraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan
171
Praktis Disertai Manual) Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia-Makna Kedudukan dan
Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press Citra Media, Jakarta-Yogyakarta.
_______, dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta.
Handoyo, Hestu B. Cipto, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta.
HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_______, 2011, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Huda, Hj. Ni’matul, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press,
Yogyakarta.
Husein, Harun M., 1993, Lingkungan Hidup : Masalah Pengelolaan dan
Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta.
Ibrahim, Anis, 2008, Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Plotik
Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah, In Trans Publishing,
Malang.
Indrohato, 1991, Usaha Memahami Undang-UndangTentang Peradilan tata
Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan
Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung.
_______, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan
Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung.
Kaho, Josef Riwo, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia
(Identifikasi Beberapa yang Mempengaruhi Penyelenggaraanya), Cet. 6,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kansil dan Christine Kansil, 2001, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum
Administrasi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta.
172
Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi,
Bee Media Indonesia Jakarta.
Kusnadi, Moh dan B. Saragih, 1988, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung.
Lotulung, Paulus Effendi, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum
terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung.
M., Sri Soemantri, 1992, Bunga rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni,
Bandung.
_______, 1997, Hak Menguji Di Indonesia¸ Ed. 2, Alumni, Bandung.
Magnar, Kuntana, 1984, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan
Wilayah Adminstratif, Bandung CV. Armico.
Manan, Bagir, 1991, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
_______, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum
(PSH) Hukum UII, Yogyakarta.
_______, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, Pusat Studi
Hukum (PSH) Fak Hukum UII, Yogyakarta.
Marburn, SF., 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
_______, 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press
Jogjakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Kencana
Prenada Media Gruop, Jakarta.
_______, 2008, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana, Jakarta.
Matutu, H. Mustamin DG., 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi dan
Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
173
Muljadi, H.M. Arief, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah
Dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka.
Muluk, M. R. Khairul, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan daerah,
Bayumedia Publishing, Malang.
Muslimin, Amrah, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni,
Bandung.
Poerwadarminta, W.J.S., 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta.
Rosodjatmiko, P., 1982, Pemerintahan di Daerah Dan Pelaksanaanya, Tarsito,
Bandung.
S., Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik
Penyusunan), Kansius, Yogyakarta.
_______, 2012, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Cet. 13, Kansius Yogyakarta.
Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok Hukum Admiistrasi, Laksbang
Presindo, Yogyakarta.
Salihendo, John, 1995, Pengawasan Melekat aspek-aspek Terkait dan
Implementasinya, Bumi Aksara, Jakarta.
Salman, Otje dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama,
Bandung.
Sidharta, B. Arief, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan, Refika Aditama,
Bandung.
_______, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung.
Situmorang, Victor, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima
Aksara, Jakarta.
Smith, dalam Kharul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah,
Bayumedia Publishing, Malang.
174
Soebechi, Imam, 2012, Judicial Review Perda Pajak Dan Retribusi, Sinar
Grafika, Jakarta.
Soebekti, 2000, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 6, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah,
Yogyakarta, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE.
Soekanto, Soerjono, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke 3, Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Soetami, A. Siti, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika
Aditama, Bandung.
Soetjito, Irawan, 1993, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta.
Strong, C. F., 1966, Modern Political Constitutional, Sidgwick 7 Jackson Limited
London E. L. B. S. EditionFirst Publised.
_______, C. F., 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA
Teamwork, penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Sunarno, Siswanto, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
_______, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, sinar Grafika,
Jakarta
Sunggono, Bambang, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta.
Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah,
Pustaka Bani Quraisy, Bandung.
Tjandra, W. Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
175
Tutik, Titik Triwulan, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia,
Prestasi Pustaka Pblisher, Jakarta.
Utama, I Made Arya, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar.
Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4,
(Bandung: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Negeri Pajajaran.
_______, 1994, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta
Mas, Surabaya.
Wairocana, I Gusti Ngurah, 2005, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik)
dan Implementasinya di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
di Bali, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya.
_______, I. G. N., 2006, Tindak Pemerintahan (Suatu Orientasi Singkat, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasarar.
Wahyono, Padmo, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta.
Wheare, KC., 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford.
Widodo, Joko, 2008, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Bayu Media
Publishing, Malang.
Widjaja, H. A. W., 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
_______, H. A. W., 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam
Rangka Sosialisasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada.
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
2. Karya Ilmiah
Suardita, I Ketut, 2009, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan
Pajak daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Berdasarkan Undang-
undang No. 32 Tahun 2004, (Tesis), Program Pasca Sarjana Universitas
Udayana.
176
3. Jurnal
Hadjon, Philipus M., 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid)
dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI.
Ni’Matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara
Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober
2009.
Suyatna, I Nyoman, 2006, Materi Muatan Peraturan Daerah Dalam Konteks
Kepentingan Lokal, Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Vol. 31 No. 2. Juli 2006.
4. Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/dualisme, diakses 8 Agustus
2014
5. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.
14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4359)
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 125, Tambahan
Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049)
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076)
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)
177
Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4593).
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materil
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 Tahun 2006 Tentang Jenis dan Bentuk
Produk Hukum Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah.