Drs. Bahroni, M.Pd. SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI...
Transcript of Drs. Bahroni, M.Pd. SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI...
KUASAILAH DUNIA DENGAN BAHASA:Memahami Pokok-Pokok Ilmu Bahasa
Drs. Bahroni, M.Pd.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERISALATIGA
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan sembah-sujud hanya
bagi Allah, Tuhan semesta alam. Allahlah yang telah menciptakan bahasa
sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah: 31: Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakan kepada para Malaikat lalu berfirman: ”Sebutkanlah kepada-
Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa Allah telah mengajarkan pada Nabi
Adam semua nama atau bahasa yang fungsinya utamanya adalah untuk
berkomunikasi agar kehidupan manusia menjadi lebih mudah.
Allah juga berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna
kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-
tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Ar-
Rum:22).
Dalam rangka mensyukuri salah satu nikmat Allah yang berupa bahasa
tersebut, penulis berikhtiar dan ikut berperan dalam pengembangan khazanah
keilmuan bahasa dengan menyajikan buku ini ke hadapan pembaca yang
dirahmati Allah. Buku yang berjudul KUASAILAH DUNIA DENGAN
BAHASA: Memahami Pokok-Pokok Ilmu Bahasa ini berisi paparan tentang
semiotik (kajian tanda), semantik (kajian makna), morfologi (kajian bentuk),
sintaksis (kajian tata kalimat), stilistik (kajian gaya bahasa), dan pragmatik
(kajian penggunaan bahasa).
Semiotik adalah studi kegiatan kegiatan manusia yang mendasar yaitu
menciptakan makna. Atau, studi tentang tetanda (tanda-tanda) yang bermakna.
Tetanda adalah segala corak atau tipe unsur—verbal , nonverbal, natural,
artifisial—yang membawa makna. Dengan kata lain, semiotik adalah studi
tentang berbagai struktur tanda dan aneka proses tanda.
ii
Semantik yang berasal dari bahasa Yunani itu, mengandung makna to
signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung
pengertian “studi tentang makna”.
Morfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji bentuk bahasa
serta pengaruh perubahan bentuk bahasa pada fungsi dan arti kata. Sasaran
pengkajian dalam morfologi ialah kata dan morfem.
Sintaksis (syntax) menyelidiki semua hubungan antarkata dan
antarkelompok kata (antarfrasa) dalam satuan dasar sintaksis, yaitu kalimat.
Morfologi mengkaji hubungan-hubungan gramatikal dalam kata itu sendiri,
sedangkan sintaksis mengkaji hubungan gramatikal di luar batas kata, yaitu
dalam satuan yang disebut kalimat.
Stilistik (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style)
adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan
cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara
maksimal.
Pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan
penafsirannya. Kekhususan bidang ini adalah penafsiran atas tanda atau
bahasa. Kekhususan bidang ini tidak sama dengan kekhususan bidang sintaksis
dan semantik sebagai bagian semiotik lain. Pada bidang sintaksis kajian
dikhususkan pada relasi formal tanda, sedangkan kajian pada bidang semantik
pada relasi antara tanda dan objek yang diacunya
Penulis berharap, mudah-mudahan buku sederhana ini dapat diterima
oleh pembaca sebagai salah satu acuan untuk memahami pokok-pokok ilmu
bahasa, yang selanjutnya dapat menjadi pemicu dan pemacu motivasi pembaca
untuk mendalami teori-teori bahasa yang sangat banyak dan beragam.
Mudah-mudahan dengan penguasaan ilmu bahasa yang lebih baik, kita
juga lebih mudah dalam memahami dan mendalami ilmu-ilmu lain yang
tentunya sangat bermanfaat bagi kehidupan kita. Dengan menguasai bahasa,
insya Allah pintu-pintu berbagai ilmu akan lebih terbuka. Dengan penguasaan
berbagai ilmu, insya Allah hidup kita akan lebih bermakna.
iii
Selanjutnya, pada halaman ini izinkan kami menyampaikan pesan-
kasih-sayang kami teruntuk tiga buah hati kami:
1. Muhammad Satria Aji, ”Teladani Nabi Muhammad saw dan teruslah
belajar agar Aji menjadi manusia ksatria yang aji (migunani dan
bermartabat).”
2. Muhammad Tegar Izzulhaq, ”Teladani Nabi Muhammad saw dan teruslah
belajar agar Tegar menjadi manusia yang senantiasa tegar membela
kebenaran di Jalan Allah.”
3. Salma Cahaya Semesta, ”Teladani Nabi Muhammad saw dan istri-istri
Beliau, agar Salma menjadi muslimah-shalihah yang dapat membawa
keselamatan, kesejahteraan, serta pencerahan di semesta raya dengan
bimbingan cahaya-Nya.”
Kami sangat menyadari bahwa tidak ada satu pun karya manusia yang
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif guna
memperbaiki buku sederhana ini sangat penulis harapkan.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penulisan buku sederhana ini, kami sampaikan jazakumullahu khoiron
katsiron. Dan, kepada Allah jualah kita bertawakal dan berserah diri. Semoga
Allah meridhoi setiap usaha dan ikhtiar kita. Amin.
Salatiga, Maret 2013
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR _________________________________________ii
DAFTAR ISI ________________________________________________ v
BAB I : SEMIOTIK
A. Pengertian Semiotik ____________________________ 1
B. Jenis-jenis Tanda ______________________________ 2
C. Nilai-nilai dalam Ikon Verbal ____________________ 4
1. Bahasa, Tanda, dan Semiotik __________________ 5
2. Ikon Verbal Sebagai Tanda Utama _____________ 10
3. Tanda Verbal, Pembicara, Terwicara,
dan Mitra Wicara ___________________________ 10
4. Tanda Verbal: Idenfifikasi Berdasarkan
Tujuan Pemakaiannya _______________________ 12
BAB II : SEMANTIK
A. Pengertian Semantik __________________________ 29
B. Sejarah Semantik _____________________________ 31
C. Manfaat Semantik ____________________________ 33
D. Makna, Informasi , dan Maksud _________________ 34
E. Aspek Makna ________________________________ 38
1. Pengertian _________________________________ 38
2. Perasaan __________________________________ 39
3. Nada _____________________________________ 39
4. Tujuan ____________________________________ 40
F. Relasi Makna ________________________________ 41
1. Sinonim ___________________________________ 41
2. Antonim ___________________________________ 44
3. Homonim, Homofon, dan Homograf _____________ 47
4. Hiponim dan Hipernim ________________________50
5. Idiom dan Ungkapan __________________________51
v
BAB III : MORFOLOGI DAN SINTAKSIS
A. Morfologi ____________________________________53
1. Morfem ___________________________________ 56
2. Kata ______________________________________ 66
3. Frasa ______________________________________ 68
B. Sintaksis _____________________________________ 69
1. Pengertian Kalimat __________________________ 69
2. Unsur Kalimat ______________________________ 70
3. Pola Kalimat Dasar __________________________ 77
4. Kalimat Efektif ______________________________78
BAB IV : STILISTIK
A. Definisi dan Permasalahan Umum Silistik ___________ 83
B. Sumber Objek Penelitian Stilistik __________________ 86
C. Ruang Lingkup Penelitian Stilistik _________________ 91
D. Karya Sastra sebagai Sasaran Kajian Stilistik ________ 94
E. Pendekatan Studi Stilistik ________________________ 97
F. Jenis Gaya Bahasa ______________________________ 99
G. Pemanfaatan Gaya Bahasa _______________________110
BAB V : PRAGMATIK
A. Pengertian Pragmatik __________________________115
B. Ruang Lingkup Pragmatik ______________________117
C. Deiksis _____________________________________ 119
D. Praanggapan _________________________________121
E. Implikatur ___________________________________122
F. Tindak Tutur _________________________________ 123
G. Konteks dan Situasi Tutur _______________________ 126
DAFTAR PUSTAKA _________________________________________ 131
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
1. Sinopsis Buku
2. Biodata Penulis
3. File Pas Foto Penulis
vi
BAB I
SEMIOTIK
A. Pengertian Semiotik
Mengawali pembahasan tentang pengertian semiotik, Larsen (2009:1) menulis
satu kalimat cukup panjang yang penuh makna. Kalimat itu berbunyi, “Sebagai
manusia, kita bisa menentukan untuk tidak makan atau tidak minum, tidak
berkomunikasi, atau bahkan mungkin untuk tidak hidup; tetapi, di sepanjang hidup
kita, kita tidak dapat memilih untuk tidak menyampaikan makna ke dunia sekeliling
kita.” Artinya, dalam menjalani kehidupan ini sebenarnya kita diberi kebebasan oleh
Allah untuk berbuat apa pun.
Namun demikian, kita harus ingat bahwa kita tidak dapat bebas atau
melepaskan diri dari pemaknaan orang lain terhadap apa yang telah kita perbuat.
Dalam perspektif Islam, semua perbuatan kita, baik atau buruk, tidak hanya dimaknai
oleh orang lain, tetapi juga senantiasa dicatat oleh Malaikat Pencatat Amal dan
sekecil apa pun perbuatan kita itu, pasti berdampak pada yang berbuat, baik di dunia
ini maupun di akhirat kelak.
Menurut Larsen dalam Baryadi (2007:46), semiotik berasal dari bahasa Yunani
semeion yang berarti tanda. Semiotik berarti ilmu yang mempelajari tentang tanda,
baik struktur maupun proses tanda. Istilah lain dari semiotik adalah semiologi. Kedua
istilah tersebut tidak mengandung perbedaan konseptual. Perbedaannya terutama
terletak pada wilayah pemakaiannya, yaitu semiotik yang pada mulanya digunakan
oleh Charles Sanders Peirce lebih lazim dipakai di dunia Anglo-Sakson, sedangkan
semiologi yang pada awalnya digunakan oleh Ferdinand de Saussure lebih lazim di
Eropa Koninental. Agaknya perbedaan penggunaan dua istilah tersebut juga
dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dua tokoh tersebut. Peirce (1834 – 1914,
berkebangsaan Amerika Serikat, berbahasa Inggris) yang lebih suka menggunakan
istilah semiotik merupakan seorang ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure
(1857 – 1913, berkebangsaan Swiss, berbahasa Prancis) yang lebih suka
7
menggunakan istilah semiologi merupakan seorang peneliti/ilmuwan bahasa (linguis),
pelopor linguitik modern.
Dalam pengertian yang luas, semiotik adalah studi kegiatan kegiatan manusia
yang mendasar yaitu menciptakan makna. Atau, studi tentang tetanda (tanda-tanda)
yang bermakna. Tetanda adalah segala corak atau tipe unsur—verbal , nonverbal,
natural, artifisial—yang membawa makna. Dengan kata lain, semiotik adalah studi
tentang berbagai struktur tanda dan aneka proses tanda. Ada dua jenis pendapat
mengenai hakikat tanda. Pendapat pertama dikenal sebagai pendapat formal.
Pendapat ini ditokohi oleh Saussure. Pengertian tanda bertitik tolak dari pengertian
tanda bahasa, kemudian hal itu diterapkan untuk tanda yang lain. Pendapat ini, sesuai
dengan namanya, lebih mementingkan ciri-ciri formal tanda. Oleh karena itu,
pendapat ini disebut aliran strukturalisme. Pendapat kedua berasal dari aliran
pragmatis. Pelopor aliran ini adalah Peirce, yang berpendapat bahwa hakikat tanda itu
tidak hanya terletak pada struktur internalnya, tetapi juga penggunaannya (Larsen,
1994:3824).
Sebagai disiplin khusus, semiotik terus dikembangkan sehingga menjadi studi
tentang tetanda yang berfungsi di dunia kegiatan manusia. Dalam hal ini, semiotik
mengkaji tiga masalah mendasar. Pertama, bagaimana dunia yang mengelilingi kita
itu disusun melalui tetanda sebagai lingkungan yang manusiawi karena persepsi dan
pengertian kita terhadapnya itu. Kedua, bagaimana dunia ini di-kode-kan atau di-
sandi-kan dan di-dekode-kan atau di-sandi-kan kembali. Dengan demikian, menjadi
sebuah ”ranah kultural khusus” yang terdiri atas jejaring tetanda. Ketiga, bagaimana
kita ”berkomunikasi” dan ”bertindak” melalui tetanda agar ranah ini menjadi dunia
kultural yang diikutsertakan secara kolektif (Larsen, 2009:2).
B. Jenis-jenis Tanda
Dilihat dari sifat hubungannya, kadang tanda itu mirip dengan yang ditandai,
maka tanda yang semacam ini disebut ikon (icon), hubungannya bersifat ikonik
(iconic), misalnya patung, foto, peta, denah, karikatur, dan sebagainya. Jika antara
tanda dengan yang ditandai ada kedekatan eksistensi, maka tanda semacam ini
disebut indeks (index), hubungannya bersifat indeksikal (indexical), misalnya asap
8
sebagai tanda ada api; panah sebagai tanda arah kiblat; mak tekluk sebagai tanda
mengantuk, dan sebagainya. Selanjutnya, jika antara tanda dengan yang ditandai
merupakan kesepakatan/konvensional maka disebut simbol (symbol), hubungannya
bersifat simbolik (symbolic), misalnya jilbab sebagai tanda kemuslimahan seseorang;
blankon sebagai tanda orang Jawa; dan sebagainya.
Dengan kata lain, konsep ikon memiliki pasangan ganda, yaitu “indeks” dan
“simbol”. Konsep yang triadik itu dimunculkan oleh Pierce untuk mengidentifikasi
sifat dominan hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya.
Hubungan antara tanda dan yang ditandai dapat menampakkan kemiripan; artinya
tanda mirip dengan objek yang ditandai. Oleh karena itu, tanda yang dimaksud
“bertindak” mewakili dengan modus kemiripan terhadap objek objek yang ditandai
itu. Tanda yang demikian itu disebut ikon dan tentu saja bersifat ikonik.
Hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya dapat pula
menampakkan diri “karena ada kedekatan eksistensi”. Artinya, keberadaan tanda itu
“sinambung” dengan yang ditandai, meskipun menurut kesadaran pemakainya
keduanya berbeda. Oleh karena itu, tanda yang dimaksud menjadi pengacu bagi si
objek yang ditandai. Tanda yang demikian itu disebut indeks dan tentu saja bersifat
indeksikal.
Akhirnya, hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya
dapat pula tidak mirip dan tidak mengacu sebagaimana dimaksudkan pada tanda ikon
dan indeks. Tanda yang dimaksud berstatus tanda bagi objek yang ditandai semata-
mata karena pemakai sengaja men-status-kan apa yang menjadi tanda itu sebagai
tanda tanpa memperhitungkan kadar kemiripannya atau tanpa mempertimbangkan
kadar kedekatan eksistensinya. Pada dirinya, yang distatuskan sebagai tanda itu tidak
memiliki potensi mirip atau “sinambung” dengan objek teracunya. Sesuatu itu
berstatus sebagai tanda semata-mata karena dikaidahkan atau ditentukan serta saling
disetujui antar pemakainya. Jadi, merupakan konvensi dan konsesus yang status “ke-
wakil-an” dan pengacunya diperoleh karena ditentukan bersama secara arbitrer.
Tanda yang demikian itu disebut simbol dan tentu saja bersifat simbolik.
Patut dicatat, meskipun tanda itu ada tiga macam, akan tetapi terasumsikan
tidak ada tanda yang sepenuhnya bersifat ikonik, sepenuhnya bersifat indeksikal,
9
sepenuhnya bersifat simbolik. Di dalam satu sifat terkandung pula salah satu atau
kedua sifat yang lain.
Dari ketiga jenis tanda tersebut, ikon merupakan tanda yang utama karena
berkaitan dengan proses mewujudkan fungsi tanda. Dengan ikon, fungsi tanda dapat
diwujudkan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, uraian tentang tanda semiotik
berikut ini akan difokuskan pada ikon.
Kata ikon berasal dari bahasa Latin, yaitu icon yang berarti ’arca, patung, atau
gambar’. Kata ikon selanjutnya dipakai oleh Peirce sebagai istilah dalam semiotik,
yaitu untuk menyebut jenis tanda --sebagaimana telah disebut di atas--yang
penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan objek yang diacunya. Atau, tanda
yang bentuk fisiknya memilki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya
(Sudaryanto dalam Baryadi, 2007:1).
Frasa ”kaitan yang erat” dalam definisi di atas, berart ”mirip” atau
”mencerminkan”, dan frasa ”apa yang diacunya” berarti realitas, isi tuturan, isi
wacana, atau situasi. Oleh karena itu, pengertian ikon dalam linguistik dapat
diformulasikan dengan lebih jelas, yaitu satuan bahasa yang bentuknya mirip dengan
realitas yang diacunya atau satuan bahasa yang bentuknya mencerminkan realitas
yang diacunya.
Dalam dunia pendidikan terutama yang terkait dengan ilmu bahasa, kajian yang
terpenting mengenai ikon adalah mengenai ikon verbal atau bahasa yang ikonik.
Oleh karena itu, bahasan berikut ini lebih ditujukan pada berbagai hal yang terkait
dengan ikon verbal tersebut.
C. Nilai-nilai dalam Ikon Verbal
Menurut Sudaryanto (2008:31), nilai adalah kekuatan, setidak-tidaknya dalam
perspektif kelestarian dan pelestarian identitas. Sebagai kekuatan, nilai
menghasilkan, mengakibatkan, dan mendampakkan pula kekuatan. Ungkapan-
ungkapan “ada nilai x-nya”, “memiliki nilai plus”, “mengembangkan nilai-nilai”,
“mengorbankan nilai x”—nilai apa pun—terkait dengan fakta nilai semacam itu.
Apabila pokok bahasan yang dipaparkan adalah mengenai nilai ikon, hal itu
berarti bahwa yang dibicarakan adalah kekuatan yang dimiliki oleh ikon. Dalam hal
ini, khususnya ikon verbal, ikon yang bersifat kebahasaan, yang tidak lain juga
10
bahasa itu sendiri. Adapun macam nilai yang dimaksud meliputi antara lain nilai
kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Ikon merupakan istilah dalam disiplin semiotik. Dalam kajian semiotik,
pemaparan tentang bahasa dan tanda menjadi hal yang sangat penting. Hal ini
dimaksudkan agar posisi dan peran ikon tampak jelas.
1. Bahasa, Tanda, dan Semiotik
Dalam wacana linguistik, bahasa merupakan sistem simbol bunyi bermakna
dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan
konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia
untuk melahirkan pikiran dan perasaan (Wibowo, 2001:3).
Bahasa merupakan sesuatu yang maujud atau entitas yang berwujud kata,
frasa, kalimat, alinea, wacana, atau satuan lingual lain yang lebih kecil, mula-mula
ialah dengan cara diucapkan. Dengan demikian, bahasa dikenal karena
terdengar(kan). Adapun fungsi, peran, tugas, atau manfaatnya ialah untuk meng-anu-
kan apa pun, segala hal, yang memang dapat di-anu-kan. Meng-anu-kan yang
dimaksud adalah kinerja manusia pencipta, pemilik, dan pemakai bahasa. Meng-anu-
kan itu identitasnya bermacam-macam. Secara acak, berikut merupakan sebagian
kecil dari kinerja meng-anu-kan yang dimaksud: mendakwahkan, menyantuni,
mendoakan, menamakan, menetapkan, mengatakan, menyatakan, memerinci,
mengulas, merumuskan, menawar, menggertak, membantah, menyepakati,
mengakses, menjanjikan, menyarankan, mengivestigasi, meminta, menceritakan,
menjelaskan, mempersoalkan; mengumpat, mengakui, membual; dan masih banyak
lagi lainnya.
Sebagaimana bentuk kinerja, yang bila dicatat secara saksama ada bermacam-
macam itu, satu sama lain saling menghubungkan secara spektral dan prismatik.
Dikatakan sebagai hubungan “spektral” jika yang melaksanakan kinerja itu berbagai
jenis satu lingual (linguistic unit), yang rinciannya ialah (1) menyebut: dengan kata;
(2) menentukan: dengan frasa; (3) menguraikan: dengan kalimat; (4) menerangkan
atau menjelaskan: dengan alinea; dan (5) menceritakan: dengan wacana. Dikatakan
“prismatik”, jika yang melaksanakan kinerja itu satu jenis satuan lingual yang sama
dengan wujud yang berbeda, misalnya: (1) mengajak, membujuk, merayu; (2)
11
memungkiri, mengingkari, berkelit; (3) mengiyakan, menyetujui, menyepakati,
menerima; (4) menguraikan, mempaparkan, membeberkan. Kinerja yang spektral
dan prismatik yang bermacam-macam itu dapat disebut “tindakan membahasakan”.
Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa bahasa itu berfungsi
membahasakan apa pun yang memang dapat dibahasakan. Dengan tujuan untuk:
mengomunikasikan apa pun yang yang memang dapat dikomunikaskan; menarasikan
apa pun yang memang dapat dinarasikan; mendeskripsikan apa pun yang memang
adapat dideskripsikan; memaparkan apa pun yang memang dapat dipaparkan; dan
seterusnya.
Dalam kaitannya dengan fungsi atau kegunaannya, bahasa yang adanya
dengan diucapkan itu, keadannya sama dengan entitas lain, sama-sama memiliki
kegunaannya masing-masing. Entitas yang dimaksud antara lain lukisan, patung,
klakson, kentongan, bendera, bagian tubuh tertentu yang digerakkan, pakaian,
rambu-rambu, dan yang lain, yang pada umumnya ditangkap oleh indera pendengar
atau penglihat.
Lukisan yang adanya dengan kuas bercat yang disapukan pada kanvas (dan
sejenisnya), berguna untuk melukiskan apa pun yang dapat dilukiskan.Patung yang
adanya dengan dipahat berguna untuk mematungkan apa pun yang dapat
dipatungkan (orang, binatang, benda-benda tertentu lainnya). Klakson yang
dibunyikan dengan dipencet atau ditiup berguna untuk menyatakan dengan klakson
apa-apa yang dapat di-klakson-kan (dinyatakan dengan bunyi klakson: peringatan,
panggilan, dan sebagainya). Kentongan yang dibunyikan dengan dipukul berguna
untuk menyatakan apa pun yang dapat dinyatakan dengan bunyi kentongan
(pencurian, kebakaran, undangan rapat, dan sebagainya). Bendera yang adanya
dengan dipasang di tempat tertentu atau dikibarkan berguna untuk menyatakan
dengan bendera apa pun yang dapat di-bendera-kan (kematian, penyerahan diri
identitas kelompok yang sedang melakukan tindakan yang penuh arti, dan
sebagainya). Kepala yang dianggukkan berguna untuk menyatakan apa pun yang
dapat diwujudkan dengan anggukan (persetujuan, kecocokan, dan sebagainya).
Tangan yang dapat digerakkan berguna untuk menyatakan apa pun yang dapat
diwujudkan dengan gerakan tangan (selamat tinggal, selamat jalan, pujian, ejekan,
12
ancaman, dan sebagainya). Pakaian yang dikenakan di badan berguna untuk
menyatakan apa pun (wanita, mahasiswa, muslimah, dan sebagainya) yang dapat
dinyatakan dengan kain yang dipakai. Rambu-rambu yang dipasang di pinggir jalan
berguna untuk menyatakan larangan atau anjuran yang layak diperhatikan oleh
pengguna jalan raya.
Dengan pengamatam saksama akan berbagai gejala yang ada, dapatlah
dikatakan bahwa entitas yang memiliki kegunaannya masing-masing yang khas itu
sangat banyak jumlahnya. “Apa pun” ternyata memiliki kegunaannya masing-
masing, apakah yang disebut “apa pun” itu sebagai suatu keutuhan atau sebagai
sesuatu yang yang terdiri atas bagian-bagian; dan bagian-bagian itulah yang
menampakkan kegunaan khasnya. Dalam hal ini, kegunaan itu apa, sesungguhnya
manusialah yang menentukan melalui penafsiran. Kumandang suara adzan
ditentukan manusia sebagai pertanda bahwa waktu salat tertentu telah tiba. Lampu
lalu lintas berwarna merah sebagai perintah bahwa pengendara harus berhenti. Langit
mendung sebagai pemberitahuan akan turun hujan. Sungai yang biasanya mengalir
tenang dengan air jernih mendadak banjir dengan air keruh, ditentukan oleh menusia
sebagai petunjuk bahwa di hulu telah terjadi hujan lebat. Kokok ayam di pagi buta
ditentukan oleh manusia sebagai isyarat bahwa fajar akan segera menyingsing.
Adapun penentuan dimaksud dilakukan dan diputuskan atas dasar
keberulangan yang keadaannya sama atau kondisi khas yang sengaja dibuat oleh
seseorang atau sekelompok orang terhadap maujud tertentu. Contoh-contoh yang
telah dikemukakan tersebut bertumpu pada keberulangan. Akan tetapi, bila bendera
hitam di tempat A, bendera putih di tempat B, dan bendera kuning di tempat C
sebagai penunjuk akan adanya hal yang sama, yaitu kematian, hal itu merupakan
kondisi khas (warna yang dipilih) yang disebut oleh manusia.
Hal yang sama terjadi manakala dalam suasana Idul Fitri, bahwa orang
sengaja membuat tulisan latin “Selamat Idul Fitri” dan kata-kata lain yang berkaitan,
dengan cara diarab-arabkan bentuknya. Demikian pula dalam suasana Imlek orang
sengaja membuat tulisan latin “Gong Si Fa Cai” dan kata-kata lain yang berkaitan
dengan cara memandarin-mandarinkan bentuknya. Sementara itu, di teve dan di
toko-toko tertentu pun, yang penyiar atau pelayannya kemungkinan bukan
13
muslim(ah) sengaja berpenampilan Islami lewat pakaiannya di kala suasana Idul
Fitri dan yang kemungkinan bukan Tionghoa sengaja berpenampilan kemandarinan
di kala suasana Imlek.
Bahasa yang membahasakan apa pun yang memang dapat dibahasakan,
patung yang dapat mematungkan apa pun yang memang dapat dipatungkan, bendera
yang membenderakan apa pun yang dapat dibenderakan, serta maujud-maujud lain
yang memang dapat mamaujudkan apa pun yang dapat dimaujudkan tersetujui
bersama untuk disebut dengan satu istilah yang mempersatukan, yaitu tanda.
Dengan demikian, apa pun—objek apa saja—yang dapat dihubungkan dengan tanda
itu dapat disebut yang ditandai, tertanda, atau tinanda. Memungut dari bahasa
Yunani, kata tanda disebut semeîonn (de Saussure dalam Sudaryanto, 2008:33).
Berkaitan dengan itu, ilmu yang dikembangkan dengan objek khusus
“semeîonn” disebut semiotik (semiotics) atau semiologi (semiology). Dengan
demikian, pengkajian tentang bahasa—yang dikenal sebagai linguistik (ilmu bahasa)
—dapat dimasukkan sebagai salah satu jenis semiotik dengan objek khusus tanda
yang berwujud bahasa.
Ada hal yang khas mengenai bahasa beserta ilmu tentang bahasa. Jika
dikaitkan dengan tanda-tanda yang lain, bahasa mampu menggantikan fungsi setiap
tanda yang bukan bahasa. Artinya, apa yang dapat dikerjakan oleh tanda yang lain
dapat dikerjakan pula oleh bahasa, tetapi tidak berlaku sebaliknya (van Zoest,
1992:2). Ada hal-hal yang khas yang tidak mampu digantikan oleh tanda yang lain
kecuali oleh bahasa. Contohnya, “mengangguk” tanda setuju dapat diganti dengan
tanda bahasa, yaitu kata sepakat, cocok, setuju, ya, okey. . Sebaliknya, “menggeleng”
tanda tidak setuju dapat diganti dengan tanda bahasa, yaitu kata tidak setuju, tidak,
jangan, dan sebagainya. Nyala lampu merah tanda berhenti dapat diganti dengan
tanda bahasa, yaitu kata berhenti atau stop. Bendera terpancang di pinggir pertigaan
atau perempatan jalan tanda ada kematian atau ada orang yang meninggal dunia.
Dalam tradisi Jawa, jika ada hiasan dari daun kelapa muda (janur mlengkung) yang
juga terpancang di pinggir pertigaan atau perempatan jalan merupakan tanda
penunjuk arah lokasi resepsi pernikahan.
14
Akan tetapi, tanda bahasa berupa kata yang antara lain berfungsi
menamakan, kalimat yang antara lain berfungsi berjanji atau menyatakan, wacana
yang antara lain berfungsi untuk diskusi atau mendiskusikan, tidak dapat diganti
dengan tanda lain yang bukan berupa bahasa. Oleh karena itu, bahasa sebagai tanda
memiliki tempat yang khas jika dibandingkan dengan tanda-tanda yang berwujud
lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan tanda yang memiliki fungsi yang sangat
penting dalam kehidupan manusia karena memiliki kelebihan-kelebihan dibanding
tanda-tanda yang lain. Singkatnya, semua tanda dapat dibahasakan, sedangkan semua
bahasa belum tentu dapat diganti dengan tanda.
Oleh karena ilmu yang mengkaji bahasa, yaitu linguistik, telah begitu jauh
perjalanannya dengan hasil kajian berupa konsep-konsep teoretis dan metodologis,
maka dia termanfaatkan ketika dilakukan pengkajian terhadap tanda-tanda lain di
luar bahasa, dalam kerangka semiotik. Istilah-istilah yang khas dalam linguistik,
yaitu gramatika; sintaksis dan semantik; denotatif dan konotatif; signifier dan
signified; ketika semiotik berbicara tentang hubungan antartanda dan hubungan
antara tanda dengan objek yang ditandai, dengan segala akibat ikutannya, kegiatan
linguistik dijadikan model kegiatan semiotik, misalnya tentang arsitektur dan
sinematografi. Uraian yang lebih teoretis diterapkan dalam analisis semiotik tentang
karya sastra, perdebatan politik, iklan, kendaraan, pakaian, film, dan sebagainya.
Berdasarkan kekhasan bahasa dan ilmu bahasa sebagaimana diuraikan di atas,
menjadikan orang dapat bertumpu pada keduanya ketika berbicara tentang tanda
dalam kerangka semiotik. Dalam semangat memberi sumbangan inspiratif bagi
pengkajian tanda dalam kerangka semiotik itu pulalah uraian tentang nilai-nilai
dalam ikon verbal ini penting untuk disampaikan kepada para pemerhati studi
semiotik.
Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian berikut bertumpu dan mengenai nilai
yang khusus dimiliki bahasa. Dalam hal ini, konsep nilai mengingatkan pada konsep
“valuer” atau “valensi” yang diperkenalkan oleh Saussure dalam Kridalaksana
(1988:17-21), “…sifat pertama valensi atau nilai yaitu menyangkut substitusi atau
penggantian suatu benda untuk benda lain yang sifatnya berlainan, uang adalah
contoh yang jelas…”. “…valensi dapat ditukar dengan segala sesuatu yang sifatnya
15
berlainan yang dianggap bernilai sama (misalnya, uang dengan roti) dan dapat
dibatasi melalui hal-hal yang serupa (misalnya, Dollar Amerika dibandingkan
dengan Poundsterling Inggris)”.
2. Ikon Verbal sebagai Tanda Utama
Mengacu pada pendapat Pierce, (van Zoest, 1992:19) menyatakan bahwa
tanda ikonlah yang paling utama. Dalam hal ini, ia menjelaskan sebagai berikut.
“…Rumah, peristiwa, struktur, gerakan tangan, teriakan, kesepian,semuanya mungkin merupakan tanda atau menjadi tanda, dengansyarat mengacu pada sesuatu yang lain. Namun hal itu hanyamungkin apabila sesuatu hubungan dapat terjadi antara yang hadir(tanda) dan yang tak hadir (acuannya). Hubungan itu harusmerupakan hubungan kemiripan karena tanda dan yang mungkinmenjadi acuannya itu mempunyai sesuatu yang sama. Bila tanda danacuannya tidak ada kemiripan dalam bentuk apa pun, tak dapatterjadi hubungan yang representatif…..” (van Zoest, 1992:10)
Misalnya, jika pun kata kursi (bahasa Indonesia) yang sama dengan chair
(bahasa Inggris), nampak tidak ada kemiripan dengan objek teracunya, sebenarnya
tetap ada kemiripan, yaitu sama-sama sebagai satu keutuhan. Penegasan ini
mengimplikasikan tanda yang berstatus simbol, tidak sepenuhnya arbitrer dan
konvensional. Lebih-lebih kalau kesempatan melacak asal keberadaanya serta
penjelasan tentang pemakaian metaforisnya dapat dilakukan. Contohnya, kata
memetik dan mencakup masing-masing dalam ungkapan memetik hasil dan
mencakup beberapa hal, yang nampak tidak ikonik, jika ditelusuri sebenarnya
memiliki identitas ikon.
3. Tanda Verbal, Pembicara, Anu Terwicara, dan Mitra Wicara
Menurut Sudaryanto (1992:45), tanda verbal adalah tanda yang berupa
bahasa biasa, bahasa keseharian yang dipakai oleh manusia-manusia normal dalam
interaksi yang wajar. Tanda verbal semacam itu hanya mungkin ada manakala
melibatkan tiga faktor utama, yaitu:
a. Pembicara, sebagaimana disarankan dari sebutannya, adalah diri yang
melakukan aktivitas berbahasa, berbicara atau bertutur.
b. Mitra wicara adalah diri yang mendengarkan bicaranya atau pelaku dengar.
16
c.Anu terwicara adalah apapun, segala sesuatu, yang menjadi isi wicara atau yang
diomongkan oleh pembicara. Jika bahasa dapat disebut tanda verbal, maka anu
tewicara dapat disebut objek yang ditandai.
Satu hal yang patut disadari bahwa ketiga faktor utama itu adanya secara
serempak, yang satu mengandaikan adanya yang lain ketika fenomen bahasa atau
tanda verbal hadir dan digunakan. Demikian bahasa terhayati secara empiris,
padanya telah ada pembicara, mitra wicara, dan anu terwicara sekaligus. Ketiganya
ada sebagai tritunggal; dan adanya itu demi adanya realitas bahasa atau tanda verbal
itu.
Dalam kaitannya dengan keberadaan realitas bahasa atau tanda verbal itu,
tritunggal yang dimaksud memiliki fungsi utamanya masing-masing, yaitu:
a. Pembicara memiliki fungsi utama sebagai pelahir bahasa. Dengan “pelahir
bahasa” dimaksudkan bahwa bahasa benar-benar hadir sebagai realitas di dunia
realitas karena ada subjek yang menghadirkannya dengan cara menggunakannya
secara konkret.
b. Mitra wicara memiliki fungsi utama sebagai penjamin keberlangsungan adanya
bahasa atau adanya kemalaran bahasa. Dengan “penjamin keberlangsungan
adanya” dimaksudkan bahwa bahasa yang lahir itu tidak mungkin dapat
berkembangan atau dikembangkan oleh pembicara sebagai wacana jika tidak ada
mitra wicara yang dipercaya oleh pembicara yang bersangkutan sebagai mitra
wicara yang baik dan belum tahu apa yang akan diungkapkan oleh pembicara.
c. Anu terwicara memiliki fungsi utama sebagai pembentuk lekuk-liku sosok
bahasa. Dengan “pembentuk lekuk-liku sosok bahasa” dimaksudkan bahwa
bahasa yang diketahui tunduk pada prinsip linear dan bersifat linear pula itu
hanya dapat memiliki aneka macam bentuk konkret karena keberanekaragaman
anu terwicaranya atau objek yang ditandai atau acuannya.
Berdasarkan uraian tersebut, nampak pula sifat pokok pembicara, mitra
wicara, anu terwicara. Sifat pokok pembicara adalah sebagai pelahir bahasa yang
tahu dan sangat sadar akan apa yang diperkatakan; sifat pokok mitra wicara dalam
persepsi pembicara adalah sebagai penjamin keberlangsungan adanya bahasa dan
sebagai penjamin diterimanya sepenuh-penuhnya apa saja yang diperkatakan oleh
17
oleh pembicara berkat keserbatidaktahuannya akan apa yang diperkatakan itu. Dan
khusus sifat pokok anu terwicara adalah sifat yang senantiasa menentukan kenakaan
lekuk-liku sosok bahasa, baik aspek bentuknya maupun aspek maknanya
(Sudaryanto, 1995:41).
4. Tanda Verbal: Identifikasi Berdasarkan Tujuan Pemakaiannya
Dalam pekembangannya, tanda verbal yang disebut “bahasa” itu dipakai
dengan tujuan dan dalam kaitan yang berbeda-beda dengan yang ditandai (atau yang
ditandakan).
Pertama, dipakai semata-mata untuk mengacu realitas anu terwicara untuk
mitra wicara di kehidupan komunikasi keseharian. Tanda yang demikian itu
dikatakan bersifat lingual-referensial.
Kedua, dipakai untuk mengungkapkan pengalaman menggetarkan yang
dihayati oleh pembicara. Dalam hal ini, pengungkapan itu diupayakan terasa apik,
indah, cantik, menyentuh hati. Maka, dalam kaitan dengan upaya yang demikian itu,
kreativitas pembicaranya dikembangkan dan dipertaruhkan. Tanda yang demikian itu
dikatakan bersifat estetik-literer. Di situ ada kesadaran penuh dan tentu saja
kesengajaan menciptakan bentuk-bentuk tanda baru berdasarkan tanda-tanda yang
sudah ada yang dipakai di keseharian biasa.
Ketiga, dipakai untuk maksud menghormati dan atau menghargai mitra
wicara atau orang lain yang telibat, baik sebagai yang dituju maupun sebagai bagian
yang dibicarakan. Di situ ada upaya pengandalian diri untuk membuat senamg,
berkenan di hati, atau tidak melukai perasaan mitra wicara. Tanda yang demikian itu
dikatakan bersifat etik pragmatik. Dalam hal ini, upaya itu ditampakkan dengan
menggunakan satuan lingual yang khas, yang dari segi makna referensial sama
dengan satuan lingual yang umum digunakan di saat pertimbangan pengandalian diri
yang dimaksud tidak disertakan. Kekhasan yang dimaksud dapat diwujudkan dengan
mengganti dan dapat juga mengubah bentuk satuan lingual yang umum itu.
Keempat, dipakai untuk meledek, menggoda, dalam kemasan pelucuan
dengan cara melesetkan bunyi atau bentuk fonetis kata-kata. Tanda yang demikian
itu dikatakan bersifat konyol humorik.
18
Kelima, dipakai untuk memroses pemikiran dan perenungan filosofis. Dalam
hal ini, upaya itu ditampakkan dengan cara mengupas unsur atau bagian atau
panggalan satuan lingual sedemikian sehingga penggalan itu menjelma majadi sosok
satuan lingual baru yang memiliki makna dan acuannya sendiri. Tanda yang
demikian itu dikatakan bersifat kontemplatif-filosofis.
Keenam, dipakai untuk mengacu gambar foto, sebagai komentar singkat.
Dalam hal ini, gambar foto itu bernilai berita. Sementara itu, komentar yang
bersangkutan lalu bersifat tertulis—bukan lisan—yang dalam bidang persuratkabaran
disebut caption atau kapsi. Tandan yang demikian itu dikatakan bersifat kapsionik-
jurnalistik.
Dengan demikian, dikenal adanya enam macam tanda verbal, yaitu: (1)
lingual-referensial, (2) estetik-literer, (3) etik-pragmatik, (4) konyol-humorik, (5)
kontemplatif-filosofis, dan (6) kapsionik-jurnalistik.
Perkembangan yang dikemukakan di atas, dimungkinkan berlanjut, terutama
berkat adanya bentuk tulis dari tanda verbal itu. Dengan demikian, ada pekembangan
yang ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan seterusnya.
Perkembangan yang ketujuh, adanya tanda yang bersifat grafemik-kaligrafis,
yakni bentuk tulis satuan lingual yang dipakai untuk mengungkapkan keindahan
yang dinyatakan dalam wujud gambar realitas tertentu (orang, binatang, tumbuh-
tumbuhan, benda, dan yang lain). Dengan demikian, tulisan itu dibuat sedemikian
sehingga menjadi tiruan gambar objek lukisan, yang disebut “kaligrafi”. Kekhasan
yang menonjol, walaupun yang dikenai kreatifitas atau yang dikreasi itu bentuk tulis
satuan lingual, akan tetapi makna dari bentuk itu tidak terlupakan, tetap terpadu
dengan bentuk yang bersangkutan.
Adapun perkembangan yang kedelapan, satuan lingual dalam bentuk tulis
sama. Akan tetapi, bentuk yang sudah tertentu menggunakan huruf tertentu, diubah
sedemikian seolah-olah menjadi huruf alfabetik lain. Misalnya, huruf alfabetik Latin,
yang pembacaannya sudah barang tentu tunduk pada kaidah pembacaan satuan
lingual tulis berhuruf Latin. Tanda yang demikian itu dikatakan bersifat grafemik-
metaortografis. Jika yang Latin itu nampak seolah-olah huruf Arab, itu disebut
dengan tambahan –oid di belakang yang seolah-olah huruf tertentu itu. Maka, lalu
19
disebut grafemik-metaortografis araboid. Jika seolah-olah huruf China (padahal
huruf Latin, entah Latin, entah yang lain), itu disebut grafemik metaortografis
chinoid; begitu seterusnya (hanacarakaoid, kanjioid).
Tenyata, yang berbentuk lisan pun perkembangannya dapat semodel dengan
yang berbentu tulis. Bentuk lingualnya berbentuk lingual bahasa tetentu (L-1),
dengan ditandai maknanya yang khas pada bahasa itu. Akan tetapi, bentuk lingual
yang bersangkutan diucapkan seolah-olah bentuk lingual bahasa lain (L-2). Kalimat
bahasa Jawa “Isaku iki” (“mampuku ini”), terdengar seolah-olah kalimat bahasa
Jepang. Dengan sedikit rekayasa, kalimat gado-gado Jawa-Indonesia Tak kasih
murah ‘saya beri harga murah’ menjadi Takasimura seakan-akan kalimat bahasa
Jepang. Tanda yang demikian itu dikatakan bersifat auditorik-metafonatif.
Dengan demikian, setidak-tidaknya ada sembilan macam tanda verbal
berdasarkan tujuan keberadaannya, yaitu (1) lingual-referensial; (2) estetik-literer;
(3) etik pragmatik;(4) konyol humorik;(5) kontemplatif-filosofis;(6) kapsionik-
jurnalistik; (7) grafemik-kaligrafis; (8) grafemik-metaortografis;dan (9) auditorik-
metafonatif.
Dimungkinkan bahwa sebuah tanda verbal memiliki sifat majemuk.
Kombinasi dari dua atau lebih dari kesembilan sifat yang ada. Dalam kaitan dengan
tanda jenis ikon (yang bersifat ikonik), tanda itu dapat dibedakan atas sembilan
macam pula sehingga ada (1) ikon lingual referensial, (2) ikon estetik literer, (3) ikon
etik pragmatik, dan seterusnya. Berikut ini adalah contoh-contoh beserta
penjelasannya terkait dengan jenis-jenis ikon tersebut.
(1) Ikon Verbal Subjenis Lingual-Referensial
Kata tokek dalam bahasa Indonesia dan tekek dalam bahasa Jawa adalah
contoh ikon verbal subjenis lingual-referensial. Kata itu ketika diucapkan bunyinya
mirip dengan bunyi binatang yang menjadi objek acuannya. Kata-kata penyebut
nama banyak yang termasuk jenis itu. Gong, kentongan, kutilang, betet, perenjak,
bom, beberapa contohnya. Di samping itu, kata seperti buka (bahasa Indonesia) atau
bukak (bahasa Jawa) dan tutup pun termasuk subjenis lingual-referensial pula.
Dalam hal ini ke-ikon-annya nampak dari kemiripan bentuk mulut ketika kata itu
diucapkan dengan objek acuannya; mengucap kata buka atau bukak, mulut harus
20
dibuka dengan menjauhkan bibir bawah dengan bibir atas; mengucapkan kata tutup,
mulut harus ditutup dengan menempelkan bibir bawah pada bibir kita atas. Contoh
lain yaitu kata ini dan itu. Ketika mengucapkan kata ini bentuk bibir kita ukurannya
lebih pendek dibanding ketika mengucapkan kata itu. Bentuk bibir yang ukurannya
lebih pendek ketika mengucapkan kata ini tersebut adalah ikonik (mirip) dengan
jarak yang ditunjuk dengan kata ini. Oleh karena kata ini merupakan kata penunjuk
yang jaraknya lebih dekat dibanding dengan kata penunjuk itu (untuk jarak yang
agak jauh). Demikian pula ungkapan seperti adikku memeluk kucingnya dan jatuh
terduduk merupakan ikon lingual-referensial pula karena urutan kemunculan unsur
yang berupa satuan lingual mencerminkan urutan kemunculan unsur satuan visual
kejadian teracunya ketika diucapkan.
(2) Ikon Verbal Subjenis Estetik-Literer
Contoh-contoh ikon verbal subjenis estetik-literer adalah sebagai barikut.
Contoh pertama, puisi karya Sutardji Choulzum Bachri berjudul “Tragedi Winka dan
Sihka”
Tragedi Winka & Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
winka
21
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
ku
Status ikon puisi berjudul “Tragedi Winka dan Sihka” ini terletak pada teknik
penulisan grafisnya, yaitu dengan cara memecah dan menyatukan unsur lingual puisi
itu untuk mencerminkan perpecahan dan kesatuan yang terjadi pada apa yang
diacunya yaitu kawin dan kasih. Pengurutan yang berbentuk zig-zag mencerminkan
perjalanan kasih dalam ikatan pekawinan yang tidak mulus dan tidak lurus.
Selanjutnya, nama Winka dan Sihka dalam judul puisi tersebut adalah
kebalikan dari kata kawin dan kasih. Dengan teknik penulisan grafis seperti ini
penyair tampaknya menyarankan bahwa dalam aliran waktu kawin dan kasih dapat
mengalami tragedi menjadi winka dan sihka. Artinya, pada hakikatnya setiap orang
yang kawin (menikah) bertujuan untuk meraih kebahagiaan (kawin-kasih). Akan
tetapi, perkawinan yang bermasalah justru mendatangkan kesengsaraan (winka-
sihka). Dengan kata lain, kata kawin-kasih itu ikonik dengan kebahagiaan, sedangkan
kata winka-sihka itu ikonik dengan kesengsaraan.
Contoh kedua ialah puisi Jawa kuno karya Mpu Prapanca berikut.
Sama lan pu Winadaprih Ia ingin sama dengan empu Winadaprih dana wipulan masa yang bercita-cita mengumpulkantama sansara ring gatya banyak uang dan mas.tyaga ring rasa san mata akhirnya hidupnya sengsara;
tetapi ia tetap tenang.
Yaca sang Winadanungsi Sang Winada mengejar jasa;sinung dana wisang caya tidak ragu-ragu hartanya diberikanyan aweh magawe tibra (kepada orang lain)
22
brati wega maweh naya ketika ia pergi bermona-brata,yang segera memberikan kepadanyapimpinan hidup.
Matarung tuhu wanyaprang Sungguh perwira ia dalam yuda;prangnya wahu turung tama yudanya belum selesaimasa linggara cunya prih Ia ingin mencapai nirwana;prihnya cura gal ing sama tujuannya menjadi pahlawan besar
dalam ketenangan tapa.
Puisi Jawa kuno ini merupakan pupuh yang termuat dalam karya agung
Nagarakertagama. Pupuh itu merupakan pupuh 97 yang terdiri atas tiga pada atau
bait. Dikutipkan sesuai dengan transliterasi Slamet Muljono yang sekaligus dengan
terjemahannya pula (Sudaryanto, 1994:140). Ada dua hal yang menarik. Pertama,
setiap pada yang terdiri atas empat larik (baris) itu tiap lariknya terdiri atas delapan
suku kata atau warna aksara. Larik pertama dan kedua saling berbalikan suku
katanya; demikian juga larik ketiga dan keempat. Jadi polanya sebagai berikut.
1 2 3 4 5 6 7 8
8 7 6 5 4 3 2 1
Padahal setiap larik memiliki arti sendiri pula. Hal yang menarik kedua, isi
cerita dari puisi Jawa kuno itu mengisahkan perjalanan hidup seorang pertapa: yang
semula meskipun sebagai rohaniwan tetapi masih sangat memikirkan keduniawian.
Akhirnya, hidupnya sengsara. Namun ia masih beruntung, kemudian ia sadar dan
bertaubat sehingga kesengsaraan yang dialami akibat godaan keduniawian itu,
berubah menjadi kebahagiaan yang berwujud ketentraman.
Lalu, dimana letak keikonan puisi tersebut? Keikonannya terletak pada
kemiripan antara perubahan jalan hidup si pertapa dengan pembalikan unsur larik
puisi.
Selanjutnya, perhatikan dan renungkan keikonan dalam ”Keseimbangan
Perkataan dan Bilangan dalam Al-Quran” berikut ini.
Misalnya, dunia kebalikannya adalah akhirat. Nah ternyata, di dalam Al-
Qur'an jumlah kata dunia dan kata akhirat sama persis, yaitu 115. Contoh lainnya
adalah sebagai berikut. Al-malaikat (malaikat) 88 kata, al-syayathin (setan) juga 88
kata. Al-hayat (kehidupan) 145 kata, al-maut (kematian) juga 145 kata. Al-rajul
23
(pria) 24 kata, l-mar'ah (wanita) juga 24 kataAl-syahr (bulan) 12 kata, sama dengan
jumlah bulan dalam satu tahun. Al-yaum (hari) 365 kata, sama dengan jumlah hari
dalam satu tahun. Al-bahr (lautan) 32 kata, sedangkan al-barr (daratan) ada 13 kata.
Jika jumlah kata yang mengandung maksud "lautan" dan "daratan", digabungkan
adalah 32 + 13 = 45. Maka, perbandingan luas lautan dan daratan adalah sebagai
berikut. Luas lautan = 32/45 x 100% = 71, 11111111%. Luas daratan =13/45 x 100%
= 28, 88888888%. Jadi, luas lautan itu lebih dari 2/3 luas bumi, sedangkan luas
daratan itu kurang dari 1/3 luas bumi.
Perhatikan dan renungkan pula keikonan ”Nilai Molekul Air (H2O) di dalam
Al Quran” berikut ini.
Molekul air terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Komposisi
kimianya dikenal sebagai H2O. Berat massa molekul air dapat dihitung sebagai
berikut.
Diketahui:
Berat massa atom hidrogen = 1. Berat massa atom oksigen = 16. Maka jumlah
berat massa molekul air (H2O) = (2 x 1) + (1 x 16) = 18. Nilai 18 ini ternyata dapat
dihubungkan dengan ayat yang terdapat di dalam Al-Quran, yaitu surah Al-
Mu’minuun ayat 18 pada Juz ke-18 yang terjemahan ayatnya:
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami
jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar
berkuasa menghilangkannya.”
Kalau surah Al-Mu’minuun berada pada urutan ke-23, maka perhitungan
perkalian menjadi 23 x 18 x 18 = 7452, selanjutnya angka 7452 diuraikan menjadi 7,
4, 5, 2 dan kemudian dijumlahkan 7 + 4 + 5 + 2 = 18. Hasil penjumlahan
memunculkan kembali angka 18. Sangat sesuai dengan bunyi ayat di atas, tentang
air yang turun dari langit dan ternyata juga angka 18 sebagai nilai berat molekul air.
Sungguh, Allah Subhanahu Wata’ala Maha Besar dan Maha Benar.
Nilai 18 dapat dilihat pada contoh ayat-ayat Al-Quran seperti tertera di
bawah ini:
(a) Air yang dapat menyuburkan tumbuhan dan menghasilkan aneka jenis buah-
buahan.
24
Surah Fathiir (35) ayat 27 ; urutan juz ke- 22. Hasil perkaliannya : 35 x 27 x 22
= 20790, diuraikan menjadi 2, 0, 7, 9,0 , kemudian dijumlahkan 2 + 0 + 7 + 9 +
0 = 18
(b) Sungai yang mengalir dan pemisah antar dua laut.
Surah An Naml (27) ayat 61 ; urutan juz ke- 20. Hasil perkaliannya : 27 x 61 x 20
= 32940, diuraikan menjadi 3, 2, 9, 4,0 , kemudian dijumlahkan 3 + 2 + 9 + 4 + 0
= 18
(c) Laut menenggelamkan Fir’aun bersama pasukannya.
Surah Yunus (10) ayat 90 ; urutan juz ke- 11. Hasil perkaliannya : 10 x 90 x 11 =
9900, diuraikan menjadi 9, 9, 0, 0,0 , kemudian dijumlahkan 9 + 9 = 18.
(d) Kerusakan lingkungan di laut dan di darat (global warming)
Surah Ar-Ruum (30) ayat 41 ; urutan juz ke- 21. Hasil perkaliannya : 30 x 41 x
21 = 25830, diuraikan menjadi 2, 5, 8, 3, 0 , kemudian dijumlahkan 2 + 5 + 8 +
3 + 0 = 18 (http://en-gb.facebook.com, diunduh pada 23 Januari 2013).
(3) Ikon Verbal Subjenis Etik-Pragmatik
Contoh dapat dilihat pada kata-kata bentuk krama bahasa Jawa yang
keberadaannya sebagai perubahan bunyi dari bentuk ngokonya. Misalnya: jambet
yang berasal dari jambu ’jambu’, ijem yang berasal dari ijo ‘hijau’, ewah yang
berasal dari owah ‘berubah’, dan pantun yang berasal dari pari ‘padi’.
Dalam masyarakat Jawa ada pandangan, kuranglah sopan jika saat bertemu
muka, apalagi dengan orang yang dihormati, mulut terngangakan (membuka) dan
suara yang terucapkan keras atau melengking. Untuk menunjukkan kesopanan, layak
jika pembukaan atau pemuncungan mulut itu dihindari dan suara yang diucapkan
lebih lirih. Dalam kaitannya dalam pandangan kesopanan semacam itulah kata-kata
ngoko yang bila diucapkan mengharuskan mulut terbuka dan atau bibir muncung dan
atau suara relatif keras, harus diubah, sehingga memenuhi kriteria kesopanan itu.
Dengan demikian, wujud kata-kata krama yang dikenai proses perubahan itu, jika
diucapkan, mencerminkan kesopanan yang dimaksud; dan jadilah kata-kata krama
semacan itu menjadi tanda ikon dengan jenisnya etik-pragmatik.
(4) Ikon Verbal Subjenis Konyol-Humorik
Contohnya adalah rantai plesetan sebagai berikut.
25
AYAM. Ayam going to school.
School liwet. Liwet ngendi?
Ngendi Borobudur, budursangkar.
Sangkar bambu. Bambu masak.
Koran masak kini. Kini S. Bono.
Bonocoroko. Roko kretek.
Kretek ogleng.. (teruskan sendiri).
Contoh di atas dapat diidentifikasikan sebagai rantai plesetan karena adanya
pengubahan kata yang diucapkan berganti-ganti oleh orang yang berlainan. Yang
terlibat dalam hal ini dapat dua orang secara bergantian atau lebih. Kualifikasi
plesetan dimunculkan atas pertimbangan bahwa bentuk kata yang diubah itu tidak
ada hubungan makna (sama sekali) dengan hasil usahanya. Dalam pada itu,
tujuannya pun cenderung untuk lucu-lucuan, konyol pereda ketegangan, dan
pencairan hubungan agar lebih segar.
Kata ayam diatas adalah kata Indonesia. Kata ayam berikutnya diidentikkan
dengan kata I am ‘saya sedang..’ dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, dilanjutkan
dengan going to school. Akan tetapi, school Inggris kemudian diubah menjadi kata
Jawa yang bunyinya hampir sama, yaitu sekul ‘nasi’; sehingga meskipun ucapannya
tetap sama dengan school Inggris (oleh karena itu ditulis school) tetapi dimaksudkan
sebagai sekul Jawa. Sementara itu kata liwet mirip bunyinya dengan liwat ‘lewat’
sehingga dengan kalimat liwet ngendi? Maksudnya sama dengan liwat ngendi?
‘Lewat mana?’ Demikian seterusnya: ngendi ‘mana’ diplesetkan untuk mengacu
candi; budur pada Borobudur diplesetkan untuk mengacu bujur; sangkar pada
bujursangkar diplesetkan untuk mengacu sanggar (sanggar bambu nama sebuah
lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan di Yogyakarta); bambu pada sanggar
bambu diplesetkan untuk mengacu bumbu; masak pada bumbu masak diplesetkan
untuk mengacu masa; kini pada koran masa kini diplesetkan untuk mengacu Rini;
dan Bono pada Rini S. Bono diplesetkan untuk mengacu Hono; serta akhirnya, roko
pada honocoroko diplesetkan untuk mengacu rokok.
26
Pemiripan bunyi bersifat pemelesetan antara bentuk yang dipelesetkan
dengan pelesetannya itulah yang menempakkan gejala ikonisasi. Dalam hal ini
bentuk pelesetannya berstatus sebagai ikon terhadap bentuk yang dipelesetkan.
(5) Ikon Verbal Subjenis Kontemplatif Filosofis
Contoh pertama jenis ikon ini dapat dilihat pada aksara Jawa.
Aksara Jawa
Aksara Jawa merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai
harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang
patut untuk dilestarikan. Aksara tersebut tidak hanya digunakan di Jawa, tetapi juga
digunakan di daerah Sunda dan Bali meskipun terdapat sedikit perbedaan dalam
penulisannya.
Makna aksara Jawa dapat diperhatikan sebagai berikut.
Ha-na-ca-ra-ka berarti ada "utusan" yakni utusan hidup berupa nafas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Maksudnya, ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya, dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga
unsur itu adalah Allah, manusia, dan kewajiban manusia (sebagai makhluk/ciptaan).
Da-ta-sa-wa-la berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan saatnya
dipanggil/meninggal dunia "tidak boleh sawala" (tidak boleh mengelak/harus patuh).
Manusia dengan segala atributnya harus bersedia melaksanakan, menerima, dan
menjalankan kehendak Allah. Dengan kata lain, harus menjalankan semua perintah
dan meninggalkan semua larangan-Nya (bertaqwa), atau harus mendengakan/
memperhatikan dengan seksama semua aturan Allah dan menaati-Nya (sami’na wa
atho’na).
27
Pa-dha-ja-ya-nya berarti menyatunya Zat Pemberi Hidup (Khaliq) dengan
yang diberi hidup (makhluq). Maksdunya, padha berarti sama atau sesuai, jumbuh,
cocok, tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan
keutamaan. Jaya itu menang, unggul, sungguh-sungguh, dan bukan menang-
menangan, sekedar menang atau menang tidak sportif.
Ma-ga-ba-tha-nga berarti menerima dengan ikhlas segala yang diperintahkan dan
yang dilarang oleh Allah Yang Mahakuasa. Maksudnya, manusia harus pasrah,
sumarah pada garis takdir, meskipun manusia diberi hak untuk berikhtiar, berusaha
untuk menanggulanginya.
Adapun makna setiap huruf Jawa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Ha: Hana hurip wening suci (adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha
Suci). Na: Nur candra, gaib candra, warsitaning candara (pengharapan manusia
hanya selalu ke cahaya Ilahi). Ca: Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi (arah dan
tujuan pada Yang Mahatunggal). Ra:Rasaingsun handulusih (rasa cinta sejati muncul
dari cinta kasih nurani). Ka:Karsaningsun memayuhayuning bawana (hasrat
diarahkan untuk kesajeteraan alam).
Da:Dumadining dzat kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya).
Ta:Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa (mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam
memandang hidup). Sa: Sifat ingsun handulu sifatullah (membentuk kasih sayang
seperti kasih sayang Allah). Wa: Wujud hana tan kena kinira (ilmu manusia hanya
terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas). La:Lir handaya paseban jati
(mengalirkan hidup semata pada tuntunan Ilahi).
Pa:Papan kang tanpa kiblat (hakikat Allah yang ada di segala arah). Dha:
Dhuwur wekasane endek wiwitane (untuk bisa di atas tentu dimulai dari dasar). Ja:
Jumbuhing kawula lan Gusti (selalu berusaha menyatu memahami kehendak-Nya).
Ya:Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi (yakin atas titah/kodrat Ilahi).
Nya:Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki (memahami kodrat kehidupan).
Ma: Madep mantep manembah mring Ilahi (yakin/mantap dalam menyembah
Allah). Ga: Guru sejati sing muruki (belajar pada guru nurani). Ba: Bayu sejati kang
andalani (menyelaraskan diri pada gerak alam). Tha: Thukul saka niat (sesuatu harus
28
dimulai dan tumbuh dari niatan). Nga: Ngracut busananing manungso (melepaskan
egoisme pribadi manusia).
Contoh kedua adalah tembang ”Ilir-ilir” berikut ini.
Ilir- ilir
Ilir-ilir, ilir-ilir, tandure (hu) wus sumilir. Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi.
Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira.Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir.Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore.Mumpung gedhe rembulane, mumpun jembar kalangane.Ya suraka, surak hiya.
Makna dari tembang tersebut dapat dijelaskan per baris (larik) sebagaiberikut.
Ilir-ilir, ilir-ilir, tandure (hu) wus sumilir. Bangunlah, bangunlah, tanamannya
telah bersemi. Kanjeng Sunan Kalijaga mengingatkan agar orang-orang Islam segera
bangun dan bergerak karena saatnya telah tiba, bagaikan tanaman yang telah siap
dipanen. Begitu pula rakyat Jawa yang telah siap menerima ajaran Islam dari para
wali.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Bagaikan warna hijau yang
menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru. Hijau adalah warna kejayaan Islam,
dan agama Islam di sini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapa
pun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya.
Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi. Anak gembala, anak
gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu. Yang disebut anak gembala di sini
adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan
simbol dari lima rukun Islam dan salat lima waktu. Jadi, para pemimpin diperintahkan
oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan
ajaran Islam secara benar, yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan salat lima
waktu.
Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira. Biarpun licin, tetaplah
memanjatnya, untuk mencuci kain dodotmu. Dodot adalah sejenis kain kebesaran
29
orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan
buah belimbing pada zaman dahulu, karena kandungan asamnya, sering digunakan
sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya awet.
Dengan kalimat ini, Sunan Kalijaga memerintahkan orang Islam untuk tetap
berusaha menjalankan lima rukun Islam dan salat lima waktu walaupun banyak
rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu diperlukan untuk menjaga kehidupan
beragama mereka. Oleh karena menurut orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi
jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.
Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir. Kain dodotmu, kain
dodotmu, telah rusak dan robek. Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan
banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka, sehingga kehidupan beragama
mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore. Jahitlah, tisiklah untuk
menghadap (gustimu) nanti sore. Seba artinya menghadap orang yang berkuasa
(raja/gusti). Dalam tradisi Jawa ada istilah paseban yaitu tempat menghadap raja. Di
sini Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan
beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran Islam secara
benar untuk bekal menghadap Allah.
Mumpung gedhe rembulane, mumpun jembar kalangane. Selagi rembulan
masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang Selagi masih banyak waktu,
selagi masih lapang kesempatan, perbaikilah kehidupanmu.
Ya suraka, surak hiya. Ya bersoraklah. Ya berkatalah, kata ya, patuh, taat,
sendiko dhawuh. Agar saatnya nanti ketika datang panggilan dari Allah, Anda semua
bergembira dan berbahagia (khusnul khotimah) karena sukses menjaga kehidupan
beragama dengan baik.
Demikianlah petuah dari Sunan Kalijaga lima abad yang lalu, yang sampai
saat ini pun masih tetap terasa relevansinya. Semoga petuah dari salah seorang
waliyullah kenamaan ini membuat kita semakin bersemangat dalam hidup di jalan
Allah.
Selanjutnya, contoh yang ketiga. Dalam Bahasa Jawa ada kata pitu, yaitu kata
penunjuk bilangan tujuh. Kata pitu bila diucapkan dekat bunyinya dengan kata
30
pitulung atau pitulungan ‘pertolongan’, pituwas ‘hasil’, pitutur ‘nasihat’ atau pituduh
‘petunjuk. Karena kedekatan atau kemiripnnya itu, manakala dalam saat yang
penting dan sakral, manusia Jawa mengharapkan atau memohon sesuatu agar dapat
terkabul, mereka menggunakan sesuatu yang jumlahnya pitu ‘tujuh’. Ketika ada
upacara mitoni, ‘yaitu upacara genap tujuh bulan usia kandungan’, permohonan
keselamatan terhadap bayi dalam kandungan beserta ibunya dikatakan proses dengan
memandikan ibu hamil dengan mengganti kain yang dipakai sebanyak tujuh kali.
Demikian pula dalam upacara siraman, satu hari menjelang upacara pernikahan,
calon pengantin putri perlu dimandikan dengan diguyur ai yang diambilkan dari
tujuh buah sumur sumber air yang berlainan.
Kecuali memanfaatkan nama bilangan pitu, masyarakat Jawa memanfaatkan
pula nama benda-benda tertentu, yang karena namanya itu, benda yang bersangkutan
disediakan, dijadikan syarat terpenuhinya upacara yang dilakukan. Dalam upacara
perkawinan tersediakannya daun keluwih, tebu, dan cengkir (kelapa muda yang
berair tetapi belum berdaging) karena bunyi masing-masing nama benda itu jika
diucapkan mirip dengan luwih ‘lebih’, antebing kalbu ‘mantap atau teguhnya hati’
serta kecengkir pikir ‘mantap dan memusatkan pikiran’, yang keemuanya diharapkan
agar dimiliki oleh pengantin dalam mengarungi hidup berkeluarga.
Benda-benda lain yang dilibatkan dalam upacara sakral tertentu masih banyak
lagi, yang biasanya berupa tumbuh-tumbuhan atau benda budaya tertentu. Daun
perdu tertentu yang bernama godhong apa-apa, atau rumput yang bernama alang-
alang, misalnya, disertakan sebagai uba-rampe, ‘unsur persyaratan upacara’ karena
nama itu jika diucapkan dekat dengan aja ana alangan apa-apa ‘jangan hendaknya
ada aral melintang sesuatu pun’. Busana Jawa yang biasa dipakai dalam upacara adat
Jawa, nama-nama bagiannya pun mengandung pengertian filosofis tertentu: iket
penutup kepala mengenakannya harus kencang, harapannya hendaklah manusia
mempunyai pikiran yang prinsipal, tidak mudah terombang-ambing; udheng
‘penutup kepala seperti topi bila disebutkan bunyinya mirip dengan mudheng
‘mengerti betul’. Harapannya, manusia (yang memakainya) mempunyai pemikiran
yang kukuh bila mengerti dan memahami tujuan hidupnya (Lihat Minggu Pagi No.
31
50 th 60 minggu II April tahun 2008: “Pakaian adat Kejawen Menurut Simbol
Kehidupan”).
(6) Ikon Verbal Subjenis Grafemik-Kaligrafis
Contoh ikon ini tampak pada gambar berikut.
Gambar di atas ialah seorang muslim yang sedang bersimpuh menjalankan
ibadah salat. Posisi penggambar mestinya di sebelah utara sehingga yang nampak
menghadap ke kanan itu, sebenarnya menghadadap ke kiblat barat. Bila dicermati
secara saksama, pembentuk gambar itu ialah tulisan ayat suci, kalimat syahadat yang
berarti ”Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad itu
utusan Allah” Gambar yang terbentuk dengan bahan dan cara semacam itu dikenal
dengan sebutan “kaligrafi” dan merupakan karya seni. Kata-kata atau kalimat
pembentuk pada umumnya kata-kata atau kalimat pembentuk yang mengandung
nilai kebaikan. Sementara itu gambar yang dihasilkannya pun diupayakan selaras
dengan isi kalimat yang bersangkutan. Maka, tepatlah jika serangkaian tulisan Arab
syahadat yang khas Islami itu digunakan untuk membentuk gambar seorang muslim,
dan dia pun sedang melakukan ibadah salat pula. Dalam hal semacam ini, status
ikonnya mengenai kata-kata atau kalimat itu yang membentuk sedemikian sehingga
mirip dengan pihak yang memiliki dan menghayatinya.
Di lingkungan masyarakat Jawa yang memiliki dan menggunakan huruf Jawa
tekenal adanya unen-unen atau ungkapan aja dumeh yang berarti ‘mentang-
mentang’. Ungkapan itu mengingatkan orang untuk tidak menghina pihak lain
32
karena pihak lain itu tampak kekurangan. Siapa tahu yang nampak kurang itu ada
kelebihan karena pengetahuan seseorang tehadap orang lain sangat terbatas.
Biasanya, kata-kata aja dumeh itu diabadikan dalam bentuk tokoh wayang yang
bernama Semar. Mengapa? Karena Semar yang kesehariannya dalam cerita wayang
sebagai budak atau abdi (bersama ketiga anaknya Gareng, Petruk, Bagong)
sebenarnya dewa yang mempunyai kelebihan luar biasa; bahkan kepalanya para
dewa pun, yaitu Bethara Guru, kalah sakti jika dibandingkan dengan Semar. Maka
dengan dibentuk sebagai gambar Semar, ungkapan aja dumeh menjadi sangat
bermakna. Maka dalam hal semacam itu pun ungkapa aja dumeh manjadi tanda ikon
bagi tujuan agar orang berendak hati ketika dikaligrafikan dalam bentuk gambar
wayang Semar.
(7) Ikon Verbal Subjenis Auditoris-Metafonatif
Contoh ikon ini ialah kata yang dipakai untuk menamakan sebuah rumah
makan di Yogya Utara Isakuiki. Kata-kata tersebut jika diucapkan terdengar seperti
bahasa Jepang (ingat kata Isuzu dan Suzuki merek mobil dan motor Jepang). Padahal
kalau dicermati, sesungguhnya itu merupakan kata-kata bahasa Jawa isaku ‘yang aku
bisa’ dan iki ‘ini’. Demikian pula kata takasimura sebagai nama sebuah warung
bahan bangunan (diantaranya keramik lantai), bila diucapkan terdengar seperti kata
bahasa Jepang (ingat kata nama Nakamura, Tanaka, dan sebagainya). Padahal kalau
dicermati, sesungguhnya itu merupakan kata campuran gabungan bahasa Jawa
Indonesia, yaitu tak kasih ‘saya beri’ dan murah ‘murah’. Dengan adanya bentuk
baru semacam itu, kata semula distatusikonkan. Jadilah tanda ikon yang terdengar
semacam itu.
Dalam kaitannya dengan proses pengikonan berjenis ini, dimungkinkan ada
kata sakukurata yang berarti ‘aku nggak punya uang’ (terbukti dari tidak adanya
uang sedikitpun di dalam saku saya, sehingga saku saya tidak nampak manonjol).
Kadang-kadang dimungkinkan pula gabungan kata Jawa atau Indonesia dicina-
cinakan, sehingga kalau diucapkan terdengar sekilas kata-kata Cina. Ketika penulis
masih di sekolah menengah dulu, sering mendengar kata fiktif untuk olok-olok Lem
Ban Pit dan Bon Ceng An yang sesungguhnya berarti ‘lem ban sepeda’ dan
‘boncengan’.
33
(8) Ikon Verbal Pantulan-dominoid
Contoh-contoh ikon jenis ini adalah sebagai berikut.
a. Lobak lopis; pista raja; jaka bagus; gusti kula; lombok abang; bangku
dhuwur; wura-wuri; rina wengi; ngilo kaca; dan seterusnya.
b. E, dhayohe teka; e, gelarna klasa. E, klasane bedhah; e, tambalen jadah. E,
jadahe mambu; e, pakakna asu. E, asune mati; e, kelekna kali. E, kaline
banjir; e, kelekna pinggir; dan seterusnya.
Bagian akhir „wacana“ sebelumnyan diulang menjadi bagian awal „wacana“
berikutnya. Dalam hal ini, bagian peng-ulang-nya merupakan ikon yang diulang.
(9) Ikon Verbal Subjenis Olokan Parodi
Nampak pada peniruan (impersonalisasi) oleh peniru (impersonalitor)
terhadap pengucapan tokoh, etnis, atau orang tertentu. Peniruan itu bersifat olok-olok
dan sindiran terhadap pengucapan atau penuturan serta tingkah laku yang dikerjakan
atau dilakukan oleh seseorang yang ditirukan. Contoh, Butet Kertarajasa menirukan
suara tokoh tertentu. Dalam hal ini, ucapan tiruan itu merupakan ikon bagi ucapan
yang ditirukan.
(10) Ikon Verbal Subjenis Hadiran Interpretasi Apresiatif
Contoh-contoh jenis ikon ini adalah sebagai berikut.
a. Nampak pada dialog tokoh fiktif yang diucapkan oleh seseorang, misalnya
dalang, pelaku Pak Raden, pelaku Si Susan (Ria Enes), pembaca cerpen yang
berdialog, pemain drama, teater, aktor/aktris, dan sebagainya.
b. Nampak pula pada ”direct speech” yang diucapkan oleh seseorang. Misalnya
bisa dari ”direct speech”nya tokoh konkret. Dalam jenis ini, yang berstatus
ikon adalah ucapan seseorang yang menirukan itu, dan yang diikonkan adalah
dialognya tokoh fiktif atau ”speech”-nya tokoh konkret tertentu.
34
BAB II
SEMANTIK
A. Pengertian Semantik
Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics,
dari bahasa Yunani sema (kata benda, nomina) yang berarti “tanda”. Atau, dari kata
kerja/verba semaino = “menandai”. Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa
untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna (Djajasudarma,
1993:1).
Hal yang sama dikemukakan oleh Chaer (1990:2), bahwa kata semantik dalam
bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda)
yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti
“menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud tanda atau lambang di sini adalah
tanda linguistik yang dalam bahasa Prancis disebut signe linguistique, seperti yang
dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu terdiri dari (1) komponen
yang mengartikan yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen
yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam
bidang linguistik yang membahas hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-
hal yang ditandainya. Dengan kata lain, semantik adalah bidang kajian dalam
linguistik yang membahas makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata
semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah
satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.
Senada dengan Chaer, Palmer dalam Aminuddin (2001:15) mengemukakan
bahwa semantik semula berasal dari bahasa Yunani itu, mengandung makna to signify
atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi
tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka
semantik merupakan dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen
makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi
umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka
komponen makna menduduki tingkat paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu
sesuai dengan kenyataan bahwa (1) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi
abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (2) lambang-lambang
merupakan seperangkat sistem yang memiliki tatanan dan hunbungan tertentu, dan
(3) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan
adanya makana tertentu.
Mempertegas pendapat di atas, Verhaar (1985:124) menyatakan bahwa
semantik (semantics) adalah “teori makna” atau “teori arti”, kata sifatnya ialah
semantis (semantic).
Untuk lebih mudah memahami pengertian semantik, berikut ini dipaparkan
beberapa kaidah umum semantik:
1. Hubungan antara kata/leksem dengan rujukan/acuannya bersifat arbitrer. Artinya,
tidak ada hubungan wajib di antara keduanya.
2. Secara sinkronik makna sebuah kata tidak berubah, secara diakronik ada
kemungkinan berubah. Maksudnya, dalam jangka waktu terbatas makna sebuah
kata tidak akan berubah, tetapi dalam jangka waktu yang relatif tidak terbatas ada
kemungkinan bisa berubah. Namun, tidak berarti setiap kata akan berubah
maknanya.
3. Bentuk-bentuk yang berbeda, berbeda pula maknanya. Artinya, kalau ada dua
buah kata/leksem yang bentuknya berbeda, pasti maknanya akan berbeda
meskipun perbedaannya hanya sedikit. Oleh karena itu, dua buah kata yang
disebut bersinonim pasti kesamaan maknanya tidak persis, tidak seratus persen
sama. Misalnya, kata benar dan betul, yang diubah menjdi kebenaran dan
kebetulan. Dalam kalimat Mari kita berjuang untuk menegakkan kebenaran, kata
kebenaran tidak dapat diganti dengan kebetulan. Ini membuktikan bahwa
meskipun kata benar dan betul bersinonim tetapi tidak sama pesis, tetap ada
perbedaannya.
4. Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri yang berbeda dengan sistem
semantik bahasa lain karena sistem semantik itu berkaitan erat dengan sistem
budaya masyarakat pemakai bahasa itu, sedangkan sistem budaya yang
melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama. Oleh karena itu, ada kata-kata
tertentu dalam bahasa tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
36
lain secara tepat. Contoh, dalam bahasa Jawa ada kata-kata nyunggi, mbopong,
ngindhit, mikul, nyangking, nyengkiwing, nggendhong. Tentu kata-kata tersebut
akan sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab atau bahasa lain dengan
tepat.
5. Makna setiap kata dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup
dan sikap masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, makna kata babi pada
kelompok masyarakat Indonesia yang masyarakat beragama Islam tidak sama
dengan kelompok masyarakat yang bukan beragama Islam. Bagi orang yang
beragama Islam, begitu mendengar atau membaca kata babi, maka makna yang
terpikir atau sejumlah konsep yang terbayang di benaknya adalah kata najis,
haram, jijik, jorok, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan orang nonmuslim,
begitu mendengar atau membaca kata babi, maka yang terbayang kata-kata lezat,
bergizi, sedap, maknyus, dan sebagainya.
6. Luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik
dengan luasnya bentuk tersebut. Bandingkan bentuk dan makna dari kata-kata
berikut:
a. kereta (bentuknya sangat sempit, maka maknanya sangat luas/sangat umum).
b. kereta api (bentuknya lebih luas dari kereta, maka maknanya lebih sempit/lebih
khusus dari kereta).
c. kereta api ekspres (bentuknya lebih luas dari kereta api, maka maknanya lebih
sempit/lebih khusus dari kereta api).
d. kereta api ekspres malam (bentuknya lebih luas dari kereta api ekpres, maka
maknanya lebih sempit/lebih khusus dari kereta api ekpres).
B. Sejarah Semantik
Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384 – 322 SM,
adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” melalui batasan
pengertian kata yang menurutnya adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”.
Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat
dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna
yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ullman dalam Aminuddin,
2001:15). Bahkan Plato (429 – 347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa
37
bunyi-bunyi bahasa itu secara tersirat (implisit) mengandung makna-makna tertentu.
Hanya saja memang, pada masa itu antara etimologi, studi makna, maupun makna
kata, belum jelas.
Pada tahun 1825, C. Chr. Reisig (Jerman), mengemukakan konsep baru tentang
grammar yang menurutnya meliputi tiga unsur utama, yakni (1) semasiologi, ilmu
tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, dan (3) etimologi, studi tentang
asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini,
istilah semantik itu sendiri belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah
dilaksanakan. Oleh karena itulah, masa tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa
pertama pertumbuhan semantik (underground period).
Masa kedua pertumbuhan semantik ditandai hadirnya artikel “Les Lois
Intellectuelles du Langage” karya seorang berkebangsaan Prancis, Michel Breal
(1883). Pada masa itu, meskipun Breal dengan jelas telah menyebutkan semantik
sebagai bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya Reisig, masih menyebut
semantik sebagai ilmu yang murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada
masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri,
misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan
perubahan makna dengan logika, psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya. Karya
klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 itu adalah Essai de
Semantique.
Masa pertumbuhan ketiga studi tentang makna ditandai pemunculan karya
filolog Swedia, Gustaf Stern, yang berjudul Meaning and Change of Meaning, with
Special Reference to the English Language (1931). Pada masa itu, Stern sudah
melakukan kajian makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni
bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern tersebut, di
Jenewa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat
menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de
Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.
Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi
dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Konsep itu adalah (1) linguistik
pada dasaranya merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa
38
itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan
pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif, sedangkan studi tentang
sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan kesejarahan yang
menggunakan pendekatan diakroni; (2) bahas merupakan suatu gestalt atau suatu
totalitas yang didukung oleh barbagai elemen, yang elemen satu dengan lain
mengalami saling kebergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya.
Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham linguistik struktural.
Selanjutnya, tokoh yang sungguh-sungguh mengadaptasikan pendapat Saussure
tersebut dalam bidang semantik adalah Trier’s (seorang profesor berkebangsaan
Jerman) dengan karyanya yang berjudul Teori Medan Makna. Dengan
diadaptasikannya teori Saussure dalam bidang semantik, maka dalam perkembangan
berikutnya kajian semantik memiliki ciri (1) meskipun semantik masih membahas
masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat historis sudah ditinggalkan
karena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif, dan (2) struktur dalam kosakata
mendapat perahtian kajian sehingga dalam kongres para linguis di Oslo (1951)
maupun di Cambidge (1962), masalah “semantik struktural” merupakan salah satu
masalah yang hangat didiskusikan (Ullman dalam Aminuddin, 2001:17).
C. Manfaat Semantik
Manfaat apa yang dapat diperoleh dari kajian semantik sangat tergantung dari
bidang apa yang digeluti dalam tugas sehari-hari. Bagi orang yang berkecimpung
dalam penelitian bahasa seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra, pengetahuan
semantik akan banyak memberi bekal teotitis kepadanya untuk menganalisis bahasa
yang sedang dipelajarinya.
Bagi wartawan, reporter, atau mereka yang berkecimpung dalam dunia media
massa, pengetahuan tentang semantik akan memudahkannya dalam memilih dan
menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan berita kepada
masyarakat. Tanpa pengetahuan tentang konsep-konsep denotasi, konotasi, sinonimi,
antonimi, homonimi, polisemi, dan nuansa-nuansa tentu akan sulit bagi mereka untuk
mampu menyampaikan berita secara tepat, benar, dan menarik.
Bagi guru atau calon guru bahasa, pengetahuan tentang semantik akan
memberi manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritisnya, teori-teori sematik akan
39
membantunya dengan lebih baik “rimba belantara rahasia” bahasa yang diajarkannya
itu. Sementara itu, manfaat praktisnya adalah berupa kemudahan baginya dalam
mengajarkan bahasa itu kepada peserta didiknya. Seorang guru bahasa, selain harus
memiliki pengetahuan yang luas mengenai segala aspek bahasa, ia juga harus
memiliki pengetahuan teori semantik secara memadai. Jika tidak menguasai
pengetahuan ini, ia tidak akan dapat dengan tepat menjelaskan persamaan dan
perbedaan semantis antara dua buah bentuk kata, serta bagaimana menggunakan
kedua bentuk kata yang mirip itu dengan tepat.
Lalu, bagi orang awam, apakah manfaat pengetahuan tentang semantik
baginya? Memang, bagi orang awam, pengetahuan yang luas dan mendalam tentang
semantik tidaklah diperlukan. Akan tetapi pemakaian dasar-dasar semantik tentunya
masih diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelilingnya yang penuh dengan
informasi dan lalu lintas kebahasaan. Semua informasi yang ada di sekelilingnya yang
harus mereka serap dan pahami berlangsung melalui bahasa (dunia lingual). Semua
manusia dalam hidup bermasyarakat tidak mungkin mereka dapat hidup dengan baik
tanpa memahami dunia sekelilingnya yang berlangsung melalui bahasa dalam
berkomunikasi (Chaer, 1990:11-12).
D. Makna, Informasi, dan Maksud
Sesungguhnya persoalan makna memang sangat kompleks. Walaupun mkana
merupakan persoalan bahasa, namun keterkaitan dan keterikatannya dengan segala
aspek kehidupan manusia sangat erat. Padaha aspek-aspek kehidupan manusia itu
sendiri sangat luas dan kompleks yang hingga saat ini belum ada manusia yang
mampu mendeskripsikannya secara tuntas.
Sebagai media komunikasi dan alat interaksi sosial, peranan bahasa sangat
besar. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa.
Bahasa muncul dan diperlukan dalam segala kegiatan seperti pendidikan,
perdagangan, keagamaan, politik, dan sebagainya. Bahasa telah memudahkan dan
memperlancar semua kegiatan manusia. Kita tidak dapt membayangkan bagaimana
keadaan masyarakat manusia ini jika tidak ada bahasa. Di samping sunyi dan sepi,
juga interaksi sosial akan mengalami hambatan yang sangat serius.
40
Bahasa memang sangat besar peranannya dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Namun, dalam praktik berbahasa kita juga sering mendengar orang mengatakan,
“Apa arti kalimat ini?” Atau, “Apa maksud pertanyaan itu?” Atau juga keluhan orang
banyak yang menyatakan, “Katakan saja itu uang hutang dari luar negeri! Tidak usah
ditutup-tutupi dan dikatakan sebagai bantuan dari luar negeri!”
Perkataan atau keluhan seperti itu menunjukkan bahwa sebagai alat komunikasi,
penyamapai ide, gagasan, konsep, dan sebagainya, bahasa masih mempunyai
persoalan dan hambatan. Persoalan dan hambatan kebahasaan ini memang ada
kemungkinan bersumber dari bahasa itu sendiri, seperti adanya lambang-lambang
yang dapat melambangkan dua konsep atau lebih. Atau sebaliknya, ada dua lambang
atau lebih yang melambangkan konsep-konsep yang samar-samar dan abstrak. Akan
tetapi, agaknya persoalan dan hambatan tersebut lebih banyak terjadi sebagai akibat
dari kemampuan berbahasa dan bernalar para penuturnya yang relatif kurang,
sehingga seringkali mereka tidak bisa membedakan apa yang disebut makna,
irformasi, dan maksud.
Masih cukup banyak orang yang mencampuradukkan konsep tentang makna,
informasi, dan maksud. Ketiganya dianggap asama saja sebagai makna, sehingga
kalimat seperti Salma membaca Al-Quran dikatakan sama maknanya dengan kalimat
Al-Quran dibaca Salma. Begitu pula dianggap sama maksudnya dengan Al-Quran
dibaca oleh Salma.
Anggapan tersebut tentunya kurang tepat sebab kalimat Salma membaca Al-
Quran mengandung makna aktif, sedangkan kalimat Al-Quran dibaca Salma
mengandung makna pasif. Begitu pula kalimat Al-Quran dibaca Salma tidak sama
maknanya dengan kalimat Al-Quran dibaca oleh Salma sebab makna kalimat pertama
tidak mengandung penonjolan pelaku, sedangkan kalimat kedua mengandung
penonjolan pelaku, yang ditandai dengan penggunnaan preposisi oleh.
Verhaar dalam Chaer (1990:29-36) menjelaskan perbedaan pengertian makna,
informasi, dan maksud sebagai berikut.
1. Pengertian Makna
Ferdinand de Saussure mengemukakan bahwa setiap tanda linguistik terdiri
dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (signified) dan (2) yang mengartikan
41
(signifier). Yang diartikan sebenarnya adalah konsep atau makna dari sesuatu tanda
bunyi, sedangkan yang mengartikan adalah bunyi-bunyi itu yang terbentuk dari
fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik
terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-
bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk/mengacu kepada sesuatu referen yang
merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Misalnya tanda linguistik yang dieja <meja>. Tanda ini terdiri dari unsur
makna atau yang diartikan ‘meja’ (table, maktab) dan unsur bunyi atau yang
mengartikan dalam wujud runtutan fonem [m, e, j, a]. Lalu tanda <meja> ini, yang
dalam hal ini terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya mengacu kepada suatu
referen yang berada di luar bahasa, yaitu meja (benda/barang yang merupakan salah
satu perabot rumah tangga). Kalau kata <meja> adalah sebagai hal yang menandai
(tanda-linguistik), maka sebuah <meja> sebagai perabot ini adalah hal yang ditandai.
2. Pengertian Informasi
Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa makna adalah unsur dari sebuah
kata atau lebih tepatnya sebagai gejala-dalam-ujaran. Oleh karena itu, ada prinsip
umum dalam semantik yang menyatakan bahwa jika bentuk kata berbeda, maka
maknanya pun berbeda, meskipun perbedaannya itu hanya sedikit. Jadi, kata ayah dan
bapak karena bentuknya berbeda maka berbeda pula maknanya. Begitu pula kalimat
Salma membaca Al-Quran dan kalimat Al-Quran dibaca Salma, maknanya juga
berbeda.
Namun, masih banyak juga orang yang menganggap bahwa kata ayah dan
bapak maknanya sama saja. Hal ini terjadi karena orang-orang tersebut mengacaukan
pengertian tentang makna dengan pengertian tentang informasi. Makna, sebagaimana
telah disinggung di atas, adalah gejala-dalam-ujaran, sedangkan informasi adalah
gejala-luar-ujaran. Kata ayah dan bapak memang memberi informasi yang sama,
yaitu ‘orang tua laki-laki’, tetapi maknanya tetap tidak persis sama karena bentuknya
berbeda. Dalam kalimat Ayah saya dermawan, kata ayah dapat diganti dengan kata
bapak sehingga menjadi Bapak saya dermawan. Akan tetapi dalam frasa Bapak
Rektor yang terhormat, tidak dapat diganti menjadi Ayah Rektor yang terhormat.
42
3. Pengertian Maksud
Di atas telah dibicarakan perbedaan antara makna dengan informasi. Makna
adalah gejala-dalam-ujaran, sedangkan informasi adalah gejala-luar-ujaran. Selain
informasi, masih ada lagi gejala-luar-ujaran yang lain, yaitu maksud. Informasi dan
maksud sama-sama merupakan gejala-luar-ujaran. Bedanya, kalau informasi itu
merupakan gejala-luar-ujaran dilihat dari objeknya atau yang dibicarakan, sedangkan
maksud dilihat dari si pengujar/orang yang berbicara/subjeknya. Dalam hal ini, orang
yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa kata, frasa, atau kalimat,
tetapi yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu. Misalnya,
seorang guru di depan murid-muridnya berkata, “Anak-anak, papan tulisnya kotor
sekali ya?” Meskipun guru tersebut bertanya, tetapi yang dimaksudkannya tentu saja
menyuruh agar muridnya membersihkan papan tulis.
Untuk memperjelas perbedaan antara makna, informasi, dan maksud, perlu
diperhatikan diagram berikut ini.
ISTILAH SEGI
(dalam keseluruhan peristiwa
pengujaran
JENIS SEMANTIK
makna segi lingual atau dalam ujaran semantik kalimat
semantik gramatikal
semantik leksikalinformasi segi objektif (yakni segi yang
dibicarakan)
(luar semantik;
ekstralingual)maksud segi subjektif (yakni di pihak
pemakai bahasa)
semantik maksud
Jadi, makna menyangkut segi lingual atau dalam-ujaran, sehingga padanya
ada persoalan semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik kalimat.
Informasi menyangkut segi objek yang dibicarakan, sehingga tidak menyangkut
persoalan semantik karena sifatnya berada di luar bahasa (ekstralingual). Adapun
maksud yang menyangkut pihak pengujar masih memiliki persoalan semantik, asal
saja lambang-lambang yang digunakan masih berbentuk bahasa.
E. Aspek Makna
43
Aspek makna menurut Palmer dalam Djajasudarma (1993:2) dapat
dipertimbangkan dari fungsi dan dibedakan atas (1) pengertian (sense), (2) perasaan
(feeling), (3) nada (tone), dan (4) tujuan (intension). Keempat aspek makna tersebut
dapat dipertimbangkan melalui kata bahasa Indonesia sebagai contoh pemahaman
makna tersebut. Makna pengertian dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-
hari yang melibatkan apa yang disebut tema. Makna perasaan, nada, dan tujuan
dapat pula kita pertimbangkan melalui data bahasa Indonesia maupun daerah.
1. Pengertian (Sense)
Aspek makna pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara/penulis dan
kawan bicara berbahasa sama. Makna pengertian disebut juga tema, yang melibatkan
ide atau pesan yang dimaksud. Di dalam pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari
kita mendengar kawan bicara menggunakan kata-kata yang mengandung ide atau
pesan yang dimaksud. Dalam hal ini menyangkut tema pembicaraan sehari-hari,
misalnya tentang ibadah haji:
(1) Mereka sedang thawaf
(2) Mereka sedang sa’i
(3) Mereka sedang wukuf
Dalam komunikasi tersebut tentu ada unsur pendengar (ragam lisan) dan pembaca
(ragam tulis), yang mempunyai pengertian yang sama terhadap satuan-satuan mereka,
sedang, thawaf, sa’i, dan wukuf. Informasi atau apa yang kita ceritakan tersebut
memiliki persoalan inti yang biasa disebut tema. Coba pikirkan informasi berikut
memiliki tema apa?
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkandalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepadatali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akannikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karenanikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepijurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. DemikianlahAllah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."(Q.S. Ali Imran: 102-103).
44
Kita memahami tema dalam informasi karena apa yang kita katakan atau apa
yang kita dengar memiliki pengertian dan tema. Kita mengerti tema karena kita
paham akan kata-kata yang melambangkan tema tersebut.
2. Perasaan (Feeling)
Aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi
pembicaraan. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan dengan perasaan,
misalnya gembira, bangga, bahagia, kagum, sedih, cemas, risau, galau, resah,
gelisah, dan sebagainya. Pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek makna
perasaan tersebut menggunakan kata-kata yang sesuai situasinya. Misalnya, tidak
akan muncul ekspresi (1) turut berbahagia, (2) ikut bergembira, (3) nderek bingah
pada situasi berduka, sebab ekspresi tersebut selalu muncul pada situasi kesuksesan
dan kesenangan, contohnya bila ada yang menikah, diwisuda, naik pangkat dan
sebagainya. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sesuai dengan perasaan. Kata-
kata yang sesuai dengan makna perasaan ini muncul dari pengalaman.
Setiap sajak biasanya mengungkapkan aspek makna perasaan penyair. Coba
renungkan dan hayati sajak berikut ini!
Putih, Putih, Putih
Meratap bagai bayiTerkapar bagai si tua rentaDi padang MahsyarDi padang penantianDi depan pintu gerbang janji keabadianSaksikan beribu-ribu jibabHai! Bermilyar-milyar jilbab!Samudera putihLautan cinta kasihGelombang sejarahPengembaraan amat panjangDi padang Mahsyar………………. .(Emha Ainun Nadjib)
3. Nada (Tone)
Aspek makna nada adalah ”an attitude to his listener” (sikap pembicara
terhadap kawan bicara”) atau sikap penyair atau penulis terhadap pembaca. Aspek
makna nada ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan
45
keadaan kawan bicara dan pembicara sendiri. Apakah pembicara telah mengenal
pendengar, apakah pembicara berjenis kelamin sama dengan pendengar. Atau, apakah
latar belakang sosial-ekonomi pembicara sama dengan pendengar, apakah pembicara
berasal dari daerah yang sama dengan pendengar. Hubungan pembicara-pendengar
(kawan bicara) akan menentukan sikap yang akan tercermin dalam kata-kata yang
akan digunakan.
Aspek makna nada ini berhubungan pula dengan dengan aspek makna
perasaan. Bila kita jengkel maka sikap kita akan berlainan perasaan bergembira
terhadap awan bicara. Bila kita jengkel akan memilih aspek makna nada dengan
meninggi. Lain halnya dengan aspek makna yang digunakan bila kita memerlukan
sesuatu, maka akan mengiba-iba dengan nada merata atau merendah. Bandingkanlah
aspek makna nada berikut.
(1) Manusia itu tidak akan ketinggalan zaman, tetapi meninggalkan zaman.
(2) Adakah temanmu yang telah meninggalkan zaman?
(3) Detik-detik itu pasti datang, bersiaplah!
(4) Pasti!
4. Tujuan (Intension)
Aspek makna tujuan ini adalah ”his aim, concious or unconcious, the effect
he is endeavouring to promote” (tujuan atau maksud, baik disadari maupun tidak,
akibat usaha dari peningkatan). Apa yang diungkapkan dalam aspek makna tujuan
memiliki tujuan tertentu, misalnya dengan mengatakan, ”Pengkhianat kau!”
tujuannya agar kawan bicara mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan
tersebut.
Aspek makna tujuan ini melibatkan pernyataan yang bersifat (1) deklaratif, (2)
persuasif, (3) imperatif, (4) naratif, (5) politis, dan (6) pedagogis. Contoh dari keenam
aspek makna tujuan tersebut dapat ditemukan dalam penyuluhan pemerintah dalam
bidang kesehatan sebagai berikut.
”Pemeliharaan kesehatan dapat menunjang program pemerintah dalam
meningkatkan taraf hidup bangsa (deklaratif). Dengan pola makan empat sehat lima
sempurna di setiap kampung akan menjamin kesehatan masyarakat (persuasif).
Halaman-halaman rumah di tiap-tiap tempat harap ditanami dengan apotek hidup
46
(imperatif). Manusia insya Allah bisa hidup lebih lama dengan memelihara
kesehatan dengan memperhatikan anjuran pemerintah dalam meningkatkan taraf
hidup sehat (naratif). Rakyat sehat negara kuat (politis), mendidik hidup sehat
supaya negara kuat (pedagogis)”.
F. Relasi Makna
Relasi atau hubungan kemaknaan dalam kajian semantik dapat berupa (1)
sinonimi, (2) antonimi, (3) homonimi, (4) homofon, (5) homograf, (6) polisemi, (7)
hiponimi, dan (8) hipernimi. Penjelasan dari jenis-jenis relasi makna tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Sinonim
Sinonim digunakan untuk menyatakan sameness of meaning ”kesamaan arti”
(Djajasudarma, 1993:36). Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani
kuno, yaitu syn yang berarti ”dengan” dan onoma yang berati ”nama”. Maka secara
harfiah, kata sinonim berarti ”nama lain untuk benda atau hal yang sama”. Secara
semantik, Verhaar dalam Chaer (1990:85) mendefinisika sinonim sebagai ungkapan
(kata, frasa, kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan
lain, misalnya (1) buruk dan jelek; (2) bunga, kembang, dan puspa; (3) mati,
meninggal, wafat, gugur, mampus, tewas, dan mangkat; (4) besar, agung, raya,
akbar,dan kolosal. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat
dua arah. Jadi, kalau kata buruk bersinonim dengan kata jelek, maka kata jelek juga
bersinonim dengan kata buruk.
Pada definisi di atas dikatakan bahwa sinonim merupakan relasi antara dua
satuan bahasa yang ”maknyanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua satuan bahasa
yang bersinonim itu kesamaannya tidak seratus persen. Dengan kata lain,
kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam kosa kata
bahasa Indonesia. Ketiadaan sinonim mutlak itu disebabkan oleh (a) faktor waktu, (2)
faktor tempat/daerah, (3) faktor sosial, (4) faktor bidang kegiatan, dan (5) faktor
nuansa makna, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata
komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang
47
hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais; sedangkan kata komandan
hanya cocok untuk situasi masa kini (modern).
b. Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah
bersinonim. Akan tetapi kata saya dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia,
sedangkan kata beta hanya cocok digunakan di wilayah Indonesia timur
(Maluku).
c. Faktor sosial. Misalnya kata saya bersinonim dengan kata aku.
Juga, kata dia bersinonim dengan kata beliau. Akan tetapi kata aku dan dia hanya
cocok digunakan untuk teman sebaya dan kurang cocok digunakan untuk orang
yang lebih tua atau orang yang lebih tinggi status sosialnya.
d. Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata mistik, tasawuf, dan
kebatinan adalah tiga kata yang bersinonim. Namun, kata mistik (mistisisme)
dapat digunakan secara umum, kata tasawuf lebih cocok digunakan dalam wacana
mistisisme dengan perspektif Islam, dan kata kebatinan lebih cocok digunakan
dalam wacana mistisisme non-Islam (kejawen).
e. Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik,
melotot, mengamati, mengintai, mengamati, mengintip, dan meninjau adalah
bersinonim. Namun, kata melihat bisa digunakan secara umum, sedangkan yang
lain hanya cocok digunakan dalam situasi dan kondisi khusus. Contoh lain, kata
bekas bersinonim dengan kata mantan. Namun, kata bekas dapat digunakan
secara umum seperti bekas guru, bekas suami, bekas camat, bekas stasiun, dan
bekas garasi. Sedangkan kata mantan cocok untuk mantan guru, mantan suami,
mantan camat, tetapi tidak cocok untuk mantan stasiun dan mantan garasi. Juga,
kata bekas dapat digunakan dalam frasa besi bekas, kertas bekas, mobil bekas;
sedangkan kata mantan tidak dapat digunakan dalam frasa besi mantan, kertas
mantan, dan sebagianya.
Sebagian penyusun buku pelajaran bahasa Indonesia menyatakan bahwa
sinonimi adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini
tentu kurang tepat karena selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun
bukan hanya kata dengan kata, melainkan juga banyak terjadi antara satuan-satuan
bahasa lainnya. Dengan kata lain, jenis-jenis sinonimi adalah sebagai berikut ini:
48
a. Sinonim antara (bebas) dengan morfem (terikat). Misalnya, sinonim antara dia
dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat:
(1) Hanya kepada Dia kita menyembah dan memohon pertolongan.
Hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan.
(2) Buku Indahnya Salat Tahajjud itu adalah karya saya.
Buku Indahnya Salat Tahajjud itu adalah karyaku.
(3) Atas bantuan dia, saya sampaikan jazakallah.
Atas bantuannya, kusampaikan jazakallah.
b. Sinonim antara kata dengan kata. Misalnya, antara perempuan dengan wanita,
antara senang dengan gembira, antara sedih dengan susah, antara baik dengan
bagus, antara buruk dengan jelek, dan sebagainya.
c. Sinonim antara kata dengan frasa atau sebaliknya. Misalnya, antara hamil dengan
berbadan dua, antara meninggal dengan tutup usia, antara pencuri dengan tamu
tak diundang, antara anak dengan buah hati, antara suami/istri dengan belahan
jiwa, antara harus dengan tidak boleh tidak, antara siswa dengan peserta didik,
antara koran dengan surat kabar, dan sebagainya.
d. Sinonim antara frasa dengan frasa. Misalnya, antara baju hangat dengan baju
dingin, antara tutup usia dengan berpulang ke rahmatullah, dan sebagainya.
e. Sinonim antar kalimat dengan kalimat. Misalnya, antara Bilal mengumandangkan
adzan dengan Adzan dikumandangkan Bilal, antara Mahasiswa mematuhi
peraturan kampus dengan Peraturan kampus dipatuhi mahasiswa, dan
sebagainya.
Selanjutnya, terkait dengan sinonim, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a. Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki sinonim. Misalnya, kata
beras, salju, batu, dan kuning.
b. Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak bersinonim pada
bentuk jadian. Misalnya, kata benar bersinonim dengan kata betul, tetapi kata
kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan.
49
c. Ada kata-kata yang tidak bersinonim pada bentuk dasar tetapi bersinonim pada
bentuk jadian. Misalnya, kata jemur tidak bersinonim dengan kering, tetapi kata
menjemur bersinonim dengan kata mengeringkan.
d. Ada kata-kata yang dalam arti ”sebenarnya” tidak memiliki sinonim, tetapi dalam
arti ”kiasan” justru memilki sinonim. Misalnya, kata hitam dalam makna
”sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti ”kiasan” ada sinonimnya,
yaitu gelap, jahat, buruk, dan mesum.
2. Antonim (Oposisi)
Kata antonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu anti yang artinya
”melawan” dan onoma yang artinya ”nama”. Secara harfiah, antonim berarti ”nama
lain untuk benda lain pula”. Secara semantik, Verhaar dalam Chaer (1990:91)
mendefinisikan antonim sebagai ungakapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula
dalam bentuk frasa atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain. Misalnya kata siang adalah berantonim dengan malam; kata atas
berantonim dengan kata bawah; dan kata bodoh berantonim dengan kata pandai.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah.
Dengan demikian, kalau kata siang berantonim dengan kata malam, maka kata
malam juga berantonim dengan kata siang; dan kalau kata atas berantonim dengan
kata bawah, maka kata bawah pun berantonim dengan kata atas.
Dalam buku-buku pealajaran bahasa Indonesia, antonim biasanya disebut
lawan kata. Sebagian pakar bahasa tidak setuju dengan istilah ini karena pada
hakikatnya yang berlawanan bukan kata-kata itu, melainkan makna kata-kata itu.
Oleh karena itu, mereka yang tidak setuju dengan istilah lawan kata lalu
menggunakan istilah lawan makna. Namun, benarkah dua buah kata yang berantonim
maknanya benar-benar berlawanan? Benarkah hidup lawan mati, putih lawan hitam,
tinggi lawan rendah , siang lawan malam, dan terang lawan gelap? Sesuatu yang
hidup memang belum atau tidak mati, dan sesatu yang mati memang sudah tidak
hidup. Jadi, memang berlawanan. Namun, apakah juga yang putih berarti tidak
hitam? Belum tentu. Menurut ilmu fisika, putih adalah warna campuran dari segala
warna, sedangkan hitam memang tidak ada warna sama sekali. Kemudian, apakah
50
juga yang jauh berarti tidak dekat? Belum tentu juga. Agaknya, jauh atau dekat
bersifat relatif. Patokannya tidak tentu atau dapat bergeser.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat dinyatakan bahwa antonim ada yang bersifat
mutlak dan ada yang bersifat tidak mutlak. Oleh karena itu, banyak pula pakar yang
menyebut antonim sebagai oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka dapat
meliputi konsep dari yang betul-betul berlawanan hingga yang hanya bersifat kontras
saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat diklasifikasikan menjadi oposisi mutlak,
oposisi kutub, oposisi relasional/hubungan, oposisi hierarkial, dan oposisi majemuk.
a. Oposisi Mutlak
Dalam oposisi mutlak terdapat pertentangan makna secara mutlak, misalnya
antara kata diam dan gerak, antara kata hidup dan mati terdapat batas yang mutlak,
sebab sesuatu yang diam tentu tidak bergerak dan sesuatu yang bergerak tentu tidak
diam. Begitu pula, sesuatu yang hidup tentu tidak mati dan sesuatu yang mati tentu
tidak hidup. Kedua proses ini tidak dapat berlangsung bersamaan, teatpi secara
bergantian.
b. Oposisi Kutub
Dalam oposisi kutub ini pertentangan maknanya tidak bersifat mutlak, tetapi
bersifat gradasi, yaitu adanya tingkat-tingkat makna. Misalnya, kata panas dan
dingin, kata kaya dan miskin, kata besar dan kecil, serta kata tinggi dan rendah. Kata-
kata yang termasuk dalam kategori oposisi kutub ini bersifat relatif, karena sulit
ditentukan batasnya secara mutlak. Batasnya dapat bergeser-geser, tidak tetap pada
satu titik. Jika dijelaskan dengan diagram adalah sebagai berikut.
kutub A
panas
--------------------------------- batas
dingin
kutub B
51
Dari diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa makin ke atas makin panas dan
makin ke bawah makin dingin, makin ke atas makin kaya dan makin ke bawah makin
miskin, makin ke atas makin besar dan makin ke bawah makin kecil, serta makin ke
atas makin tinggi dan makin ke bawah makin rendah. Dengan kata lain, dari kata
tinggi dan rendah itu, dapat ditampilkan sejumlah kata yang bertingkat-tingkat:
sangat tinggi, tinggi, agak tinggi, agak rendah, rendah, sangat rendah.
Terkait dengan oposisi kutub yang pertentangan maknanya bersifat relatif
itulah agaknya yang menyebabkan ajakan atau himbauan pemerintah kepada rakyat
untuk hidup sederhana menjadi sulit terwujud, karena batas antara sederhana dengan
tidak sederhana sangat relatif. Seorang presiden yang menghabiskan anggaran ratusan
juta Rupiah untuk membiayai resepsi pernikahan anaknya mungkin masih dikatakan
resepsi sederhana. Berbeda halnya jika hal tersebut yang melakukan seorang buruh
pabrik, tentu akan dikatakan resepsi yang sangat mewah.
Pada umumnya yang termasuk jenis oposisi kutub ini adalah kata-kata dari
kelas adjektiva, misalnya panjang-pendek, jauh-dekat, luas-sempi, pandai-bodoh,
berani-takut, rajin-malas, senang-sedih, sehat-sakit, cepat-lambat, kuat-lemah,
patuh-ingkar, dan sebagainya.
c. Oposisi Relasional/Hubungan
Dalam oposisi relasional ini, makna kata-katanya bersifat saling melengkapi,
adanya kata-kata tertentu menyebabkan adanya kata-kata yang menjadi oposisinya,
tidak adanya kata-kata tertentu menyebabkan tidak adanya kata-kata yang menjadi
oposisinya. Misalnya, kata suami beroposisi secara realsional terhadap kata istri.
Seseorang dapat disebut sebagai suami jika dia memiliki istri. Sebaliknya, hanya
seseorang yang memiliki suami yang dapat disebut sebagai istri. Contoh lain,
menjual dan membeli. Seseorang dapat menjual sesuatu jika ada yang membeli, dan
sebaliknya.
Contoh lain kata-kata yang beroposisi secara relasional adalah guru-murid,
orangtua-anak, buruh-majikan, memberi-menerima, atas-bawah, utara-selatan, dan
sebagainya.
d. Oposisi Hierarkial
52
Makna kata-kata yang berisi hierarkial ini menyatakan suatu deret, jenjang,
atau tingkatan. Oleh karena itu, sejumlah kata yang beroposisi hierarkial ini adalah
kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama jenjang
kepangkatan, dan sebagainya. Misalnya, kata milimeter, sentimeter, decimeter, dan
seterusnya adalah kata-kata yang beroposisi secara hierarkial. Demikian pula, kata-
kata yang berada pada deret miligram hingga ton.
e. Oposisi Majemuk
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang maknanya dapat
dikelompokkan dalam oposisi majemuk, karena satu kata memiliki oposisi banyak
kata. Misalnya kata berdiri dapat beroposisi dengan duduk, tiarap, terlentang,
berjongkok, berbaring, dan sebagainya.
Perlu diketahui bahwa tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki
antonim atau oposisi, misalnya manusia, mobil, buku, tas, jari, rumah, dan
sebagainya.
3. Homonim, Homofon, dan Homograf
Perbedaan antara homonim, homofon, dan homograf dapat dilihat pada tabel
berikut.
Relasi Tulisan Bunyi Makna ContohHomonim sama sama beda bisa, tanggal,
tinggal, baku,
bandar, pacar, buku,
orang tuaHomofon beda sama beda bank & bang,
sanksi & sangsiHomograf sama beda beda tahu, teras,
apel, seret
Uraian lebih lanjut mengenai homonim, homofon, dan homograf adalah
sebagai berikut.
a. Homonim
53
Kata homonim berasal dari bahasa Yunani kuno homo yang artinya ”sama”,
dan onoma yang artinya ”nama”. Secara harfiah homonim dapat diartikan sebagai
”nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar dalam Chaer
(1990:97) mendefinisakan homonim sebagai ungkapan (berupa kata, frasa, atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa, atau
kalimat) tetapi maknanya berbeda. Atau, secara ringkas dapat dikatakan bahwa
homonim adalah kata/frasa/kalimat yang ditulis dan dilafalkan sama dengan yang lain
tetapi maknanya berbeda. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut.
1) Orang yang terkena bisa ular, bisa mati. Pada kalimat tersebut, kata bisa
yang pertama bermakna ”racun” sedangkan yang kedua bermakna ”dapat”.
2) Anak yang baru berusia tujuh tahun itu sudah bisa menghafal Al-Quran
30 juz. Kata bisa pada kalimat tersebut bermakna ”dapat/sanggup/mampu”.
3) Jika pada tanggal satu giginya tanggal satu, pada tanggal dua giginya
tanggal dua, pada tanggal tiga giginya tanggal tiga, dan seterusnya. Maka,
pada tanggal berapakah giginya tanggal semua? Pada kalimat tersebut, kata
tanggal yang pertama, ketiga, kelima, dan ketujuh bermakna ”angka-angka
dalam kalender”, sedangkan kata tanggal yang kedua, keempat, keenam, dan
kedelapan bermakna ”lepas/copot/rontok”.
4) Sejak dilanda kemarau panjang, penduduk yang tinggal di desa itu
tinggal sedikit. Pada kalimat tersebut, kata tinggal yang pertama bermakna
”bermukim/berdomisili/bertempat”, sedangkan kata tinggal yang kedua
bermakna ”tersisa”.
5) Untuk menjamin baku mutu, karya ilmiah seharusnya ditulis dengan
bahasa baku. Dalam peristiwa penangkapan perampok itu terjadi baku
tembak antara polisi dengan perampok. Kata baku pada kalimat pertama
bermakna ”standar”, sedangkan kata baku pada kalimat kedua bermakna
”saling”.
6) Bandar judi itu ditangkap oleh polisi di bandar udara Ahmad Yani
Semarang ketika akan melarikan diri ke luar negeri. Pada kalimat tersebut,
kata bandar yang pertama bermakna ”bos/gembong/pemegang uang”,
sedangkan kata bandar yang kedua bermakna ”pelabuhan”.
54
7) Hasan bertanya, ”Mad, apakah pacarku yang menghiasi kuku-kukunya
dengan pacar kelihatan cantik?” ”San, jangan suka pacaran karena pacaran
itu diharamkan dalam agama Islam karena sangat rawan godaan setan,”
jawab Ahmad. Pada kalimat pertama tersebut, kata pacar yang pertama
bermakna ”kekasih”, sedangkan kata pacar yang kedua bermakna ”inai” yang
biasanya dipakai untuk menghiasi kuku.
8) Agar menjadi sarjana yang berkualitas, mahasiswa harus banyak
membaca buku. Pada sebatang bambu itu terdapat delapan buku. Kata buku
pada kalimat pertama bermakna ”kitab”, sedangakan kata buku dalam kalimat
kedua bermakna ”ruas”.
9) Orang tuaku selalu berpesan agar aku senantiasa menghomati orang tua
dan menyayangi teman-temanku. Pada kalimat tersebut, kata orang tua dapat
bermakna ”ayah-ibu” atau ”orang yang sudah tua usianya” atau ”orang yang
dituakan” karena jabatannya atau karena keilmuannya.
b. Homofon
Homofon adalah kata yang bunyinya sama dengan kata yang lain tetapi tulisan
dan maknanya berbeda. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut.
1) Bang Thoyib menabung uang di Bank Century. Kata bang yang
merupakan penyingkatan dari kata abang bermakna kakak, sedangkan bank
merupakan lembaga keuangan.
2) Kita boleh sangsi terhadap keberhasilan pemberantasan korupsi di
Indonesia karena pemberian sanksi terhadap koruptor yang tertangkap masih
terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Dalam kalimat tersebut,
kata sangsi bermakna “ragu”, sedangkan kata sanksi bermakna “hukuman”.
c. Homograf
Homograf adalah kata yang tulisannya sama dengan kata yang lain tetapi
bunyi dan maknanya berbeda. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut.
1) Saya sudah tahu bahwa tahu itu dibuat dari kedelai. Dalam kalimat
tersebut, kata tahu yang pertama yang dilafalkan [tau] bermakna
”mengerti/mengetahui/memahami”, sedangkan kata tahu yang kedua yang
dilafakan [tahu] bermakna ”jenis makanan” .
55
2) Pejabat teras di Kementerian Agama itu sedang duduk-duduk teras
rumahnya sambil membaca majalah Hidayatullah. Pada kalimat tersebut, kata
teras pertama yang huruf e-nya dilafalkan sebagaimana bunyi huruf e pada
sejumlah kata (lepas, tenggelam, tengah, cepat, sepat, sedap, sempat, sekejap,
sementara) bermakna ”inti”, sedangakan kata teras kedua yang huruf e-nya
dilafalkan sebagaimana bunyi hufuf e pada sejumlah kata (sate, sore, hore,
bule, tewas, sepak, sewa, cabe, becak, pare) bermakna ”beranda” atau
”bangunan rumah terbuka yang biasanya terletak di depan, tetapi juga ada
yang terletak di samping atau di belakang yang masih menyatu dengan
bangunan induk rumah”.
3) Setelah mengikuti apel pagi, para prajurit itu duduk di bawah pohon apel.
Pada kalimat tersebut, kata apel pertama yang huruf e-nya dilafalkan
sebagaimana bunyi e pada sejumlah kata (tempel, bel, embel-embel, ketel)
bermakna ”upacara/briefing”, sedangkan kata apel kedua yang huruf e-nya
dilafalkan sebagaimana bunyi hruf e pada sejumlah kata (seketika, bertemu,
setempat, sedekah) bermakna ”jenis buah”.
4) Mobil-mobilan itu terus diseret oleh Adikku, meskipun rodanya seret. Pada
kalimat tersebut, kata seret pertama yang huruf e-nya dilafalkan sebagaimana
bunyi huruf e pada sejumlah kata (bredel, tes, toples, mepet) bermakna
”ditarik menyusuri tanah”, sedangkan kata seret kedua yang huruf e-nya
dilafalkan sebagaimana bunyi huruf e pada sejumlah kata ( menemani, tegas,
tergesa-gesa, sebentar) bermakna ”tidak lancar”.
4. Hiponim dan Hipernim
Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu hypo yang berarti ”di
bawah” dan onoma yang berarti ”nama”. Dengan demikian, secara harfiah kata
hiponim berarti ”nama yang termsuk di bawah nama lain”. Secara semantik, Verhaar
dalam Chaer (1990:102) menyatakan bahwa hiponim ialah kata yang maknanya
dianggap merupakan bagian dari makna kata lain. Misalnya kata mawar adalah
hiponim terhadap kata bunga, sebab makna kata mawar berada atau termasuk dalam
makna kata bunga. Contoh lainnya, kata kutilang adalah hiponim terhadap kata
56
burung, kata lele adalah hiponim terhadap ikan, kata Jibril adalah hiponim terhadap
kata malaikat, dan kata bumi adalah hiponim terhadap planet.
Adapun kata hipernim berasal dari kata hyper (di atas) dan onoma (nama).
Jadi, hipernim adalah kata yang maknanya dianggap meliputi atau mencakup makna
kata lain. Misalnya kata kendaraan adalah hipernim terhadap truk, bus, mobil, motor,
sepeda, becak, bemo, dan sebagainya.
5. Polisemi
Menurut Chaer (1990:104), polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa
(terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Misalnya, kata
kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas;
(2) bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal
yang penting, misalnya kepala kereta api (lokomotif); (3) bagian dari sesuatu yang
berpentuk bulat seperti kepala, misalnya kepala paku, kepala jarum; (4) pemimpin
atau ketua, misalnya kepala sekolah, kepala kantor, kepala keluarga; (5) jiwa atau
orang, seperti yang terdapat dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan
Rp100.000,00; dan (6) akal, pikiran, kecerdasan, seperti yang terdapat dalam kalimat
Wajahnya cantik tetapi kepalanya kosong.
Sekilas antara polisemi dengan homonim nampak sama, tetapi pada
hakikatnya berbeda. Perbedaannya yang jelas ialah bahwa homonim bukanlah sebuah
kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja
karena homonim itu bukan satu kata, maka maka maknanya pasti berbeda. Oleh
karena itu, dalam kamus bentuk-bentuk yang homonim didaftar sebagai entri-entri
yang berbeda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki
makna yang lebih dari satu. Kemudian, karena polismi adalah satu kata maka dalam
kamus didaftar sebagai sebuah entri. Perbedaan lainnya, makna-makna pada bentuk-
bentuk homonim tidak ada kaitan/hubungannya sama sekali. Misalnya, kata bisa
(racun) sama sekali tidak ada kaitannya dengan kata bisa (dapat, mampu, sanggup).
Sedangkan makna-makna pada bentuk-bentuk polisemi masih ada hubungannya
karena memang dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut.
G. Idiom dan Ungkapan
57
Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan makna
komponen-komponennya (Kridalaksana 1989:107). Secara leksikologis idiom
adalah (l) konstruksi dalam unsur-unsur yang saling rnemilih, masing-masing
anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain; (2)
konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-
anggotanya; (3) bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa, kelompok
atau suku (Depdikbud 1993:366).
Sementara itu, Arifin dan Tasai (1985:122) berpendapat bahwa idiom
adalah kata-kata gabungan yang kedua unsurnya itu telah bersatu sedemikian rupa
sehingga salah satu unsurnya tidak dapat dilepaskan dalam melakukan kegiatan
berbahasa.
Tidak jauh berebda dengan pendapat tersebut, Chaer (1990:76)
menyatakan bahwa idiom adalah satua-satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa,
maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat "diramalkan" dari makna
leksikologis unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut.
Selanjutnya Chaer (1990:77) membedakan idiom atas idiom penuh dan
idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara
keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, misalnya
membanting tulang dan meja hijau, sedangkan pada idiom sebagian masih ada
unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya daftar hitam yang
berarti daftar yang bersisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap
bersalah. Dengan kata lain, idiom sebagian (semi-idiom) adalah konstruksi yang
salah satu komponennya mengandung makna khas yang ada dalam konstruksi
itu saja.
Adapun yang dimaksud dengan ungkapan adalah (l) apa-pa yang
diungkapkan: ungkapan kedua saksi itu benar adanya; (2) kelompok kata atau
gabungan kata yang mneyatakan makna khusus (makna-makna unsurnya sering
menjadi kabur); (3) gerak mata atau tangan, perubahan air muka yang
menyatakan perasaan hati (Depdikbud: 1993:1105). Ungkapn sebagai masalah
ekspresi dalam penuturan akan bertambah dan berkurang sesuai dengan
perkembangan budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut dan kreativitas
58
penutur bahasa tersebut dalam menggunakan bahasanya, namun tidak sedikit
ungkapan yang telah menetap dan digunakn orang terus menerus hingga
sekarang. Misalnya, panjang tangan, tebal muka, ringan kaki, ke belakang, dan
sebagainya.
Berdasarkan urain di atas, idiom dan ungkapan itu seharusnya
mencakup objek pembicaraan yang relatif sama, hanya sudut pandangnya
saja yang berbeda. Idiom dilihat dari segi makna, yaitu "menyimpangnya"
makna idiom ini dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur
pembentuknya. Sementara itu, ungkapan dilihat dari segi ekspresi kebahasaan,
yaitu usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya
dalam bentuk-bentuk satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan
paling mengena (Chaer: 1990 :78). Meskipun antara idiom dan ungkapan
meiliki perbedan nuansa makna, hal yang berkaitan dengan idiom dapat
dimasukkan dalam pengertian ungkapan (Pateda 2001 : 230). Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa idiom dan ungkapan itu sebenarnya memiliki
pengertian yang tidak berbeda.
59
BAB III
MORFOLOGI DAN SINTAKSIS
A. Morfologi
Menurut Verhaar (1985:52), morfologi (morphology) atau tatabentuk adalah
bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal.
Frasa ”secara gramatikal” dalam definisi ini mutlak, karena setiap kata juga dapat
dibagi atas segmen yang terkecil yang disebut fonem, tetapi fonem-fonem itu tidak
harus berupa morfem. Contohnya, kata hormat terdiri atas enam fonem, tetapi kata
tersebut terdiri atas satu morfem saja. Namun demikian, satu morfem dapat juga
hanya terdiri atas satu fonem. Misalnya, -s dalam kata books atau -e dalam kata Jawa
omahe ’rumahnya’.
Terkait dengan kajian morfologi, Cahyono (1995:141) menyatakan behwa
sebuah cara yang cenderung lebih baik untuk melihat bentuk-bentuk dalam bahasa
yang berbeda (misalnya bahasa Indonesia dan Inggris) ialah dengan menggunakan
konsepsi unsur-unsur dalam pesan, dan bukan ‘kata-kata’. Jenis penjabaran itu
merupakan sebuah contoh pengkajian bentuk-bentuk dalam bahasa yang secara
umum dikenal dengan morfologi. Dengan demikian, morfologi dapat diartikan
sebagai ilmu yang mengkaji bentuk bahasa serta pengaruh perubahan bentuk bahasa
pada fungsi dan arti kata. Sasaran pengkajian dalam morfologi ialah kata dan morfem.
Pada mulanya istilah itu digunakan dalam disiplin ilmu biologi, tetapi sejak
pertengahan abad-19 istilah itu juga digunakan untuk mengacu ke jenis penelitian
yang menganalisis satuan-satuan dasar yang digunakan dalam suatu bahasa.
Morfologi menganalisis bagian-bagian kata. Misalnya, dalam bahasa
Indonesia kata berjibab terdiri atas morfem ber- dan morfem jilbab. Dalam bahasa
Inggris misalnya, kata unpredictable terdiri atas morfem un-, predict, dan -able.
Morfem itu disebut satuan gramatikal yang terkecil dalam sistematika bahasa.
Memang ada satuan bahasa yang lebih kecil lagi, yaitu fonem (misalnya, kata
berjilbab terdiri atas sembilan fonem), tetapi fonem bukan merupakan satuan
gramatikal. Selengkapnya, urutan satuan bahasa dimulai dari yang paling kecil hingga
yang paling luas adalah fonem, morfem, kata, frasa, kalimat, alinea/paragraf, dan
wacana/karangan. Urutan tersebut jika dapat lebih dijelaskan dengan diagram
sebagai berikut.
(diagram satuan bentuk bahasa)
Uraian berikut akan menjelaskan satuan-satuan bentuk bahasa tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa fonem bukan merupakan satuan
gramatikal maka ia bukan bagian dari kajian morfologi (fonem bagian dari kajian
fonologi). Oleh karena itu, dalam tulisan ini fonem tidak dibahas. Selain fonem,
satuan lain yang tidak dibahas adalah alinea dan wacana. Ketiga satuan bahasa
tersebu memerlukan uraian dan contoh-contoh yang cukup memadai, maka perlu
dibahas tersendiri.
1. Morfem
Dari analisis bahasa, kita dapat menemukan bahwa ‘bentuk-bentuk kata’
dalam suatu bahasa dapat mengandung sejumlah unsur. Kita mengetahui bahwa
bentuk-bentuk kata bahasa Indonesia seperti suratan, tersurat, dan disurati pastilah
mengandung lebih dari satu unsur, yaitu surat, dan sejumlah unsur yang lain seperti
-an, ter-, di-, dan -i. Semua unsur itu disebut morfem.
Morfem dapat didefinisikan sebagai ‘satuan bahasa terkecil yang maknanya
secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil’
alinea/paragraf
kalimat
frasa
kata
morfem
fonem
wacana/karangan
62
(Kridalaksana, 1984:128). Misalnya, kata suratan, tersurat, dan disurati membentuk
deretan morfologis. Yang dimaksud deretan morfologis ialah suatu deretan atau daftar
memuat kata-kata yang berhubungan dalam bentuk dan artinya (Ramlan, 1985:30).
Deretan morfologis berguna untuk menentukan morfem-morfem.
Menurut Ramlan (1985), morfem dapat ditentukan berdasarkan enam prinsip.
Pertama, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis dan arti (leksikal) atau
makna (gramatikal) yang sama merupakan satu morfem, misalnya, satuan dengar
dalam didengar, mendengar, pendengaran. Dengan demikian, tulis merupakan
morfem.
Kedua, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis berbeda merupakan
satu morfem apabila satuan-satuan itu mempunyai arti atau makna yang sama, dan
perbedaan struktur fonologisnya dapat dijelaskan secara fonologis. Misalnya, mem-,
men-, dan meng- dalam kata membangun, mendaki, menggali memiliki arti yang
sama dan struktur fonologisnya dapat dijelaskan secara fonologis. Yaitu, satuan-
satuan itu muncul karena mengikuti konsonan /b/, /d/, dan /g/.
Ketiga, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis berbeda, sekalipun
perbedaannya tidak dapat dijelaskan secara fonologis, masih dapat dianggap sebagai
satu morfem apabila mempunyai arti atau makna yang sama dan mempunyai
distribusi komplementer (dapat diterapkan secara silih berganti). Misalnya, bel- dalam
kata belajar merupakan satu morfem dengan satuan ber- dalam berlayar atau be-
dalam bekerja, sebab mempunyai makna yang sama dan dapat diterapkan secara silih
berganti.
Keempat, apabila dalam deretan struktur suatu satuan berparalel dengan suatu
kekosongan, kekosongan itu merupakan morfem. Misalnya, dalam kalimat Hasan
makan kurma, kata makan dipakai tanpa menggunakan me-. Morfem yang tidak ada
dalam struktur itu disebut morfem zero. (Sebagai catatan, di samping morfem zero
juga terdapat morfem kosong. Morfem kosong ialah morfem yang terdapat dalam
struktur, tetapi tidak ikut memberikan makna dalam makna kalimat, contohnya there
bahasa Inggris dalam kalimat There is a cat under the tree).
Kelima, satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologis yang sama
mungkin merupakan satu morfem, mungkin pula merupakan morfem yang berbeda.
63
Dikatakan morfem yang sama jika maknanya berhubungan walaupun letaknya dalam
kalimat tidak sama, misalnya kata duduk dalam kalimat Salma sedang duduk dan
Duduk orang itu sangat sopan. Dikatakan morfem berbeda apabila artinya berbeda,
misalnya kata bisa berarti ‘racun’ dan bisa berarti ‘dapat’ atau kata mulut dalam
kalimat Mulut gua itu ditumbuhi semak-semak dan Mulut orang itu lebar.
Keenam, setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem. Contohnya,
di samping kata berpegang yang memiliki satuan ber- dan pegang terdapat kata
pegangan yang memiliki satuan pegang dan -an. Oleh karena itu, ber-, pegang, dan
-an merupakan morfem yang berbeda.
a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat
Morfem dapat dibagi menjadi dua yaitu morfem bebas dan morfem terikat.
Menurut Finoza (2001:70), morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri
sendiri dari segi makna tanpa harus dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua
kata dasar tergolong morfem bebas, misalnya, syahadat, salat, puasa, zakat, haji,
saksi, doa, tahan, suci, dan sengaja. Adapun morfem terikat ialah morfem yang tidak
dapat berdiri sendiri dari segi makna. Makna morfem terikat baru jelas setelah
morfem itu dihubungkan dengan morfem lain. Semua imbuhan/afiks (awalan/prefiks,
sisipan/infiks, akhiran/sufiks, dan kombinasi antara awalan dan akhiran/konfiks)
tergolong morfem terikat, misalnya me-, di-, ber-, ter-, -in-, -em-, -el-, -an, -kan, -i,
ke-an, ber-an, di-i, me-kan, di-kan, dan sebagainya. Selain itu, unsur-unsur kecil
seperti partikel –ku, -nya, -lah, -kah, -tah dan bentuk-bentuk lain yang tidak dapat
berdiri sendiri juga tergolong morfem terikat.
Morfem bebas pada umumnya dipandang sebagai kelompok kata yang dapat
berdiri sendiri. Apabila morfem bebas itu digunakan bersama dengan morfem terikat,
bentuk kata dasar yang dilibatkan itu disebut bentuk asal (Ramlan, 1985:44) atau
pangkal (stem) (Kridalaksana, 1984: 138). Bagian kata yang tinggal bila semua afiks
telah disingkirkan itu disebut akar (Samsuri, 1988:19). Apabila sebuah satuan menjadi
dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar, satuan itu disebut bentuk dasar (Ramlan,
1985:45) atau dasar (base) (Kridalaksana, 1984:35). Misalnya, kata bergandengan
memiliki bentuk dasar gandengan dan memiliki pangkal gandeng. Morfem dan
64
fungsi gramatikal untuk kata gandengan dan bandingkanlah dapat dilihat sebagai
berikut :
bergandengan bandingkanlahber- gandeng -an banding -kan -lah
prefiks pangkal sufiks pangkal sufiks sufiksterikat bebas terikat bebas terikat terikat
Pendeskripsian semacam itu merupakan penyempurnaan fakta-fakta
morfologis dalam bahasa Indonesia. Ada sejumlah kata bahasa Indonesia mempunyai
unsur yang tampaknya menyerupai pangkal, tetapi pada kenyataannya merupakan
morfem bebas. Dalam kata-kata seperti selokan, pasukan, permen, perkara, perkakas,
dan gulai (yang bermakna makanan), kita dapat teringat adanya morfem terikat -kan,
per-, dan -i, tetapi dalam kata-kata tersebut unsur-unsur selo, pasu, men, kara, kakas,
dan gula jelas bukanlah morfem bebas. Semua kata tersebut merupakan pangkal.
Selanjutnya, morfem bebas mempunyai dua kategori. Kategori pertama
disebut morfem leksikal, dipandang sebagai kata-kata yang mengandung ‘isi’ pesan
yang disampaikan. Contoh morfem lesikal itu ialah : meja, Mekah, anak, rumah,
harimau, sabar, syukur, panjang, merah, dengar, pandang, makan, kemarin, Arafah.
Kelompok morfem bebas yang lain disebut dengan morfem gramatikal. Kelompok ini
terdiri dari kata tugas seperti preposisi, konjungsi, interjeksi, artikel, dan partikel.
Contoh morfem gramatikal ialah di, dan, serta, tetapi, ah, hai, si, sang, sebab, pada,
lah, kah, pun, dan sebagainya.
Afiks yang termasuk dalam kategori morfem terikat itu dapat dibagi menjadi
dua tipe, yakni morfem derivasional dan infleksional. Morfem derivasional berfungsi
mengalihkan kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata yang berbeda. Dengan
demikian, penambahan morfem derivasional pe- mengubah verba kerja menjadi
nomina pekerja. Penambahan morfem derivasional dalam bahasa Inggris, misalnya, -
ness mengubah adjektiva good menjadi nomina goodness. Di samping itu, apabila
muncul satu morfem derivasional dalam morfem infleksional untuk membentuk suatu
kata, morfem derivasional didahulukan (Parera, 1988:25). Misalnya dalam bahasa
Inggris terdapat kata nation. Nomina itu dapat berubah menjadi adjektiva karena
penambahan sufiks -al yang mengubahnya menjadi national. Adjektiva itu dapat
65
diubah menjadi nomina lagi dengan menambahkan sufiks -ist. Kedua sufiks itu
merupakan morfem derivasional. Pengubahan nationalist menjadi bentuk pluralis
nationalists memerlukan penambahan morfem infleksional -s. Contoh lainnya,
nomina nature menjadi adjektiva natural, kemudian menjadi nomina lagi naturalist,
dan naturalists.
Morfem terikat yang kedua mengandung apa yang disebut morfem
infleksional. Morfem infleksional itu tidak digunakan untuk menghasilkan kata-kata
baru, tetapi berfungsi sebagai pernyataan kategori gramatika dan hubungan sintaksis.
Morfem infleksional tidak dapat diulang dalam satu kata infleksional, dan pada
umumnya morfem itu menyatakan hubungan sintaksis dan kategori gramatika terjadi
di bagian akhir dalam struktur kata infleksional. Dalam bahasa Inggris, contoh-contoh
morfem infleksional dapat dilihat dalam penggunaan -ed untuk mengacu ke kata
lampau, misalnya pray menjadi bentuk kata lampau prayed, dan penggunaan -s untuk
membuat bentuk singularis menjadi bentuk pluralis, seperti kata book menjadi books.
Dengan berbekal pengetahuan tentang tipe-tipe morfem di atas, kita dapat
mengambil kalimat bahasa Indonesia dan mendaftar unsur-unsur yang ada ke dalam
suatu uraian morfologis. Misalnya, kalimat Indonesia Sastrawan sastrawati
Indonesia mengikuti seminar linguistik di Leiden mengandung unsur-unsur:
sastra leksikal
-wan derivasional
sastra leksikal
-wati infleksional
Indonesia leksikal
meng- derivasional
ikut leksikal
-i derivasional
seminar leksikal
linguistik leksikal
di gramatikal
Leiden leksikal
66
Bagan berikut dapat digunakan sebagai alat untuk mengingat jenis-jenis morfem yang
diuraikan di atas:
Penguraian bentuk-bentuk turunan bahasa Indonesia ke dalam morfem
derivasional dan morfem infleksional tidak selalu dapat dilakukan. Dalam penjelasan
tentang morfem derivasional di atas, misalnya, dinyatakan bahwa morfem
derivasional berfungsi mengalihkan kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata yang
berbeda. Hal itu hendaklah dipandang sebagai pengungkapan salah satu ciri morfem
derivasional (Parera, 1988:25) secara umum, tetapi tidak dapat dijadikan generalisasi
untuk bentuk-bentuk turunan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, kata menulis,
menulisi, dan menuliskan memiliki leksem (satuan terkecil dari leksikon) tulis.
Bagaimana halnya dengan kata mencangkul, mencangkuli, dan mencangkulkan?
Leksemnya ialah cangkul. Dalam perbandingan itu kedua pangkal itu tidak memiliki
kelas yang sama. Leksem tulis merupakan verba, sedangkan cangkul adalah nomina
Oleh karena itulah, kecermatan dalam penelaahan contoh bentuk-bentuk bahasa
Indonesia menjadi penting.
b. Morf dan Alomorf
Perhatikanlah kata-kata seperti melakukan, membacakan, mendahulukan, dan
menghabiskan. Apabila kata-kata tersebut diuraikan menjadi morfem-morfem, kita
akan mendapatkan morfem bebas laku, baca, dahulu, habis dan morfem terikat me-
kan, mem-kan, men-kan, dan meng-kan. Walaupun bentuk-bentuk konfiks itu
mempunyai bangun fonemis yang berbeda, bentu-bentuk itu mempunyai fungsi,
sebaran sintaksis, dan makna yang sama.
Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, sebuah
morfem tidak selalu terbatas pada satu bangun fonemis saja. Sebuah morfem dapat
pula diwakili oleh bangun fonemis yang lain. Kedua, dari kenyataan semacam itu
perlu diciptakan suatu istilah untuk membedakan bangun fonemis yang berbeda dari
morfem yang sama. Ketiga, dari varian-varian morfem itu perlu ditentukan salah satu
morfem
bebas
terikatderivasional
infleksional
gramatikal
leksikal
67
bangun fonemis tertentu untuk morfem yang sama sebagai dasar perwakilan varian-
varian bentuk.
Salah satu cara untuk menyikapi perbedaan morfem-morfem semacam itu
ialah dengan mengusulkan variasi aturan realisasi morfologis. Untuk melakukan hal
itu, kita membuat suatu analogi dengan proses analisis fonologi. Apabila kita
menganggap fon (yang berarti ‘bunyi’) sebagai realisasi fonetik nyata dari fonem, kita
dapat menyatakan morf (yang berarti ‘bentuk’) sebagai bentuk nyata yang digunakan
untuk merealisasikan morfem. Demikian pula, apabila kita menyatakan bahwa
terdapat alofon dari satu fonem tertentu, kita juga dapat mengenali adanya alomorf
dari satu morfem tertentu. Alomorf ialah perwakilan dari sebuah morfem tertentu
berdasarkan lingkungan. Alo- atau allo- ialah awalan yang mempunyai makna
‘varian’. Dengan demikian, alofon ialah varian fonem dan alomorf ialah varian
bentuk. Alomorf itu terjadi apabila sebuah morfem kadang-kadang diwakili oleh satu
bangun fonemis tertentu sesuai dengan lingkungannya, dan kadang-kadang diwakili
oleh bangun fonemis yang lain.
Berdasarkan contoh di atas dapat ditunjukkan bahwa bentuk me-kan, mem-
kan, men-kan, dan meng-kan mempunyai bengun fonemis yang berbeda dari morfem
yang sama. Lingkungan yang dimaksud ialah lingkungan fonemis/fonetiknya. Bangun
fonem me-kan, terjadi karena morf itu bergandengan dengan satu morfem yang
berbunyi awal /l/ (laku). Sedangkan bangun fonemis mem-kan, men-kan, dan meng-
kan muncul secara berturut-turut, karena diletakkan dengan morfem-morfem yang
berbunyi awal /b/(baca), /d/(dahulu), dan /g/(habis).
Bentu-bentuk itu merupakan alomorf dan dapat silih berganti sesuai dengan
lingkungannya. Walaupun bentuk-bentuk itu mempunyai bangun fonemis yang
berbeda, fungsi, sebaran sintaksis, dan makna bentuk-bentuk itu sama. Proses
perubahan bentuk yang disyaratkan oleh jenis fonem atau morfem yang digabungkan
dinamakan proses morfofonemik. Dalam contoh itu, perubahan me- menjadi mem-,
men-, dan meng- adalah proses morfofonemik. Fonem akhir tiap-tiap alomorf dalam
proses morfofonemik itu disebut morfofonem.
68
c. Proses Morfologis
Perhatikanlah kata bertangan, tangan-tangan, dan tangan besi. Ketiga kata
itu memiliki bentuk tangan. Tangan dalam kata pertama mengalami pemberian
imbuhan berupa prefiks ber-. Tangan dalam kata kedua mengalami pengulangan
bentuk dasar sehingga menghasilkan kata ulang. Tangan dalam kata ketiga
digabungkan dengan bentuk dasar besi sehingga membentuk kata tangan besi. Proses
pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem
lain yang merupakan bentuk dasar itu disebut proses morfologis. Dalam bahasa
Indonesia terdapat tiga proses morfologis. Proses yang pertama disebut
afiksasi/pengafiksan/pembubuhan afiks; proses kedua disebut reduplikasi atau
pengulangan; dan proses yang ketiga disebut pemajemukan atau penggabungan.
Afiksasi ialah pembubuhan imbuhan pada suatu satuan, baik satuan itu berupa
bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata. Afiksasi terjadi
apabila sebuah morfem terikat dibubuhkan pada suatu morfem terikat. Berdasarkan
kedudukan morfem terikat dengan morfem bebas itu, pembubuhan dapat dibedakan
menjadi empat, yaitu pembubuhan depan, pembubuhan tengah, pembubuhan akhir,
dan pembubuhan terbelah (Parera, 1988:18). Dalam bahasa Indonesia, pembubuhan
depan dilakukan dengan pemberian prefiks, misalnya per-, di-, ke-, me-, dan
sebagainya. Pembubuhan tengah dilakukan dengan pemberian infiks, yaitu -er, -em,
-el, dan -m-. pembubuhan akhir dapat dilakukan dengan sufiks -kan, -i, -an, dan
sebagainya. Pembubuhan terbelah dilakukan dengan pemberian konfiks, misalnya
ke-an, per-an, ber-an, dan sebagainya
Reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun
sebagian, baik disertai variasi fonem maupun tidak. Setiap kata ulang memiliki
satuan yang diulang, yaitu dasar. Misalnya, dasar mobil-mobilan dan kehormatan-
kehormatan ialah mobil dan kehormatan. Penentuan dasar kata ulang dapat
ditentukan dengan dua cara. Pertama, pengulangan mengubah atau tidak mengubah
kelas kata. Pengulangan yang mengubah kelas kata itu, misalnya kata ulang
berjalan-jalan (verba), kuda-kudaan (nomina), kekuning-kuningan (adjektiva)
mempunyai dasar berjalan (verba), kuda (nomina), kunig (adjektiva). Pengulangan
yang tidak mengubah kelas kata itu, misalnya kata ulang sejujur-jujurnya dan
69
sebaik-baiknya (adverbia) memiliki dasar jujur dan baik (adjektiva). Kedua, dasar
pengulangan selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa.
Contohnya, kata ulang berhimpit-himpitan dan mempermalu-malukan memiliki dasar
berhimpitan dan mempermalukan, bukan berhimpit dan mempermalu.
Berdasarkan cara mengulang bentuk dasarnya, pengulangan dapat
digolongkan menjadi empat, yaitu (1) pengulangan keseluruhan atau disebut juga
pengulangan simetris; (2) pengulangan sebagian; (3) pengulangan dengan
pengafiksan; dan (4) pengulangan dengan perubahan morfem. Pengulangan
keseluruhan ialah pengulangan seluruh bentuk dasar tanpa perubahan fonem dan
tidak dengan pengafiksan. Contoh pengulangan keseluruhan ialah pohon-pohon,
sekali-sekali, dan keberlangsungan-keberlangsungan. Pengulangan sebagian ialah
pengulangan sebagaian bentuk dasarnya. Contoh pengulangan sebagian ialah
pertama-tama, tetanda, dan membakar-bakar. Pengulangan dengan pengafiksan
ialah pengulangan yang terjadi bersama-sama dengan proses pengimbuhan dan
bersama-sama mendukung satu fungsi. Misalnya pengulangan dengan pengafiksan
ialah gunung-gunungan, kolam-kolaman, dan sebenar-benarnya. Pengulangan
dengan perubahan fonem ialah pengulangan yang disertai perubahan dalam vokal
atau konsonannya. Contoh pengulangan yang melibatkan perubahan vokal antara lain
mondar-mandir, gerak-gerik, morat-marit, corat-coret, serba-serbi, dan warna-
warni. Contoh pengulangan yang melibatkan perubahan konsonan antara lain lauk-
pauk, carut-marut, ramah-tamah, dan hiruk-pikuk.
Dalam bahasa Indonesia dapat diperoleh gabungan dua kata yang
menimbulkan kata baru. Kata yang terjadi dari gabungan dua kata dan menimbulkan
kata baru itu disebut kata majemuk. Kata mejemuk itu dihasilkan melalui proses
yang disebut pemajemukan. Kata majemuk memiliki ciri-ciri berikut. Pertama,
salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata, misalnya kamar mandi, rumah
sakit, pasukan tempur, kuda balap, dan lain-lain. Kedua, unsur-unsurnya tidak
mungkin dipisahkan atau diubah strukturnya. Misalnya, kata kolam renang tidak
dapat dipisahkan menjadi kolam itu renang. Contoh yang lain, kata anak buah dapat
dipakai dalam kalimat Ia menjadi anak buah bupati, tetapi tidak dapat dipakai dalam
kalimat Ia menjadi anak dan buah bupati. Ada kalanya kata majemuk memiliki
70
unsur morfem unik, yaitu morfem yang hanya mampu bergabung dengan satu satuan
tertentu. Contohnya, simpang siur, tunggang langgang, porak poranda, kacau balau
dan sunyi senyap. Kata siur, langgang, poranda, balau, dan senyap, itu hanya dapat
berpadu dengan simpang, tunggang, porak, kacau, dan sunyi (Ramlan, 1985:74).
Dengan mengambil contoh bahasa lain, proses morfologis tidak hanya
mencakup pengafiksan, reduplikasi, dan pemajemukan. Akan tetapi proses situ masih
dapat ditambah lagi dengan perubahan intern, suplesi, dan modifikasi kosong
(Samsuri, 1987 : 192-194). Contoh-contoh berikut didasarkan pada bahasa Inggris.
Dalam bahasa Inggris terdapat proses morfologis yang menyebabkan
perubahan bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri. Perubahan
bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri disebut perubahan intern.
Contoh perubahan intern itu dapat diamati pada perubahan dari bentuk singularis
menjadi bentuk pluralis kata-kata tertentu dan perubahan kala kini menjadi kala
lampau kata-kata tertentu. Sebagai contoh, perhatikan perubahan bentuk singularis
menjadi pluralis dan bentuk kala kini menjadi kala lampau berikut ini.
Singularis Pluralis
foot /fut/ ‘kaki’ feet /fi:t/
mouse /maus/ ‘tikus’ mice /mais/
Kala kini Kala lampau
take /teik/ ‘mengambil’ took /tuk/
sing /siŋ/ ‘menyanyi’ sang /sæŋ/
Dalam contoh itu terdapat perubahan bentuk morfem dalam morfem itu
sendiri. Proses morfologi itu dapat diterangkan sebagai berikut :
{fut} + {jamak} /fi:t/
{maus} + {jamak} /mais/
{teik} + {kala lampau} /tuk/
{siŋ} + {kala lampau} /sæŋ/
Suplisi ialah proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk yang sama
sekali baru. Dalam bahasa Inggris, bentuk kala kini go dan am dapat menjadi bentuk
yang sama sekali baru dalam kala lampau.
71
Kala kini Kala lampau
go /gou/ ‘pergi’ went /went/
am /æm/ ‘(adalah)’ was /wəz/
Proses morfologis itu dapat diterangkan sebagai berikut.
{gou} + {kala lampau} /went/
{æm} + {kala lampau} /wəz/
Modifikasi kosong ialah proses morfologis yang tidak menimbulkan
perubahan pada bentuknya, tetapi konsepnya saja yang brubah. Dalam bahasa
Inggris, bentuk pluralis kata sheep, deer memiliki bentuk yang sama dengan bentuk
singularisnya. Demikian pula, bentuk kala lampau kata-kata put, cut sama dengan
bentuk kala kini kata-kata itu. Perhatikan contoh berikut ini.
Singularis Pluralis
sheep / i:p/ʃ ‘domba’ sheep / i:p/ʃ
deer /di:r/ ‘kijang’ deer /di:r/
Kala kini Kala lampau
put /put/ ‘menaruh’ put /put/
cut /kat/ ‘memotong’ cut /kat/
Dalam contoh itu tidak terdapat perubahan bentuk morfem. Proses morfologis
itu dapat diterangkan sebagai berikut:
{ i:p}ʃ + {jamak} / i:p/ʃ
{di:r} + {jamak} /di:r/
{put} + {kala lampau} /put/
{kat} + {kala lampau} /kat/
2. Kata
Finoza (2001:71) menyatakan bahwa kata adalah bentuk terkecil dari kalimat
yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti. Kata sebagai bentuk terkecil memakai
tolok ukur kalimat karena gabungan kata dapat membentuk kalimat. Pakar lain
menyatakan bahwa kata mempunyai pengertian satuan terkecil yang dapat diujarkan
72
sebagai bentuk yang bebas (Kridalaksana, 1984:89). Kata merupakan dua macam
satuan, yaitu satuan fonologis dan satuan gramatikal. Sebagai satuan fonologis, kata
terdiri dari satu suku kata atau lebih dan suku kata itu terdiri dari satu fonem atau
lebih. Sebagai contoh, kata membaca terdiri dari tiga suku kata, yaitu mem, ba, dan
ca. Suku kata mem terdiri atas tiga fonem, ba terdiri atasa dua fonem, dan ca terdiri
atas dua fonem. Dengan demikian, kata membaca terdiri atas tujuh fonem. Sebagai
satuan gramatikal, kata terdiri atas satu morfem atau lebih. Kata membaca terdiri atas
morfem mem- dan baca.
Dari segi bentuknya, kata dapat dibedakan atas dua macam, yaitu kata
bermorfem tunggal dan kata yang bermorfem lebih dari satu. Kata yang bermorfem
tunggal disebut pula kata dasar, yaitu kata yang tidak berafiks (tidak berimbuhan).
Kata dasar pada umumnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi kata turunan,
yaitu kata yang berafiks. Tabel berikut memperjelas perubahan kata dasar menjadi
kata turunan.
Kata Dasar Kata Turunansyahadat bersyahadat, mensyahadati, disyahadatisalat menyalati, menyalatkan, disalati, disalatkan puasa berpuasa, memuasai, memuasakan, dipuasai, dipuasakanzakat berzakat, menzakati, menzakatkan, dizakati, dizakatkanhaji berhaji, menghajikan, dihajikannikah menikah, menikahi, menikahkan, dinikahi, dinikahkan,
pernikahan
Perubahan kata dasar menjadi kata turunan, selain mengakibatkan perubahan
bentuk, juga peribahan makna. Selanjutnya, perubahan makna menyebabkan
perubahan jenis atau kelas kata. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
(1998), pengelompokan kelas kata bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Kata Kerja (Verba), misalnya tulis, pergi, bicara, lihat, baca, makan,
cubit, potong, sambung, salur, tendang, dan sebagainya
b. Kata Sifat (Adjektiva), misalnya baik, indah, mahal pandai, senang, luas,
malu, sabar, dan sebagianya.
c. Kata Keterangan (Adverbia), misalnya sekarang, di sana, demi sahabat,
segera, tanpa, dengan gunting, bagaikan karang, dan sebagainya.
d. Rumpun Kata Benda, yang meliputi:
73
1) Kata Nama (Nomina), misalnya masjid, Ka’bah, sajadah, mimbar,
pikiran, dan sebaginya.
2) Kata Ganti (Pronomina), misalnya saya, kami, kita, dia, mereka,
apa, siapa, kapan, Bu, Pak, Prof, dan sebagainya.
3) Kata Bilangan (Numeralia), misalnya setengah, satu, sepuluh,
seratus, seribu, dan sebagainya.
e. Rumpun Kata Tugas, yang meliputi:
1) Kata Depan (Preposisi), misalnya di, pada, bagi, oleh, sejak, dan
sebagainya.
2) Kata Sambung (Konjungtor), misalnya dan, kalau, atau, tetapi,
melainkan, ketika, sehingga, agar, meskipun, dan sebagainya.
3) Kata Seru (Interjeksi), misalnya ayo, aduh, ih, sial, he, wah dan
sebagainya.
4) Kata Sandang (Artikel), misalnya si, sang, dan para.
3. Frasa
Frasa adalah kelompok kata yang tidak mengandung predikat. Pengetian
kelompok kata bukanlah asal menyandingkan dua kata atau lebih yang tidak memiliki
hubungan samasekali; atau kalaupun ada, hubungan itu sangat jauh sehingga tidak
membentuk kesatuan makna. Kelompok kata hujan komputer karpet meja siuman
bukanlah frasa karena tidak memiliki kesatuan makna.
Ciri-ciri frasa itu ada tiga, yaitu (1) konstruksinya tidak memiliki predikat
(nonpredikatif), (2) proses pemaknaannya berbeda dengan idiom, dan (3) susunan
katanya berpola tetap (Finoza, 2001:84).
Setiap frasa tidak boleh mengandung predikat. Predikat adalah kata yang
menerangkan perbuatan/tindakan atau sifat dari pelaku/subjek. Contohnya, bahasa
Indonesia (frasa), belajar bahasa Indonesia (bukan frasa melainkan klausa). Makna
frasa tidak sama dengan idiom walaupu keduanya berupa gabungan kata. Rumus
idiom adalah A + B = C, sedangkan rumus frasa adalah A + B = AB. Misalnya,
gulung tikar adalah idiom karena berarti ’bangkrut’, sedangkan siap tempur adalah
frasa karena artinya ’siap untuk bertempur”. Susunan kata dalam frasa berpola tetap,
tegar (fixed), tidak tergoyahkan, dan tidak boleh dibalik. Jika posisinya berpindah,
74
kelompok kata itu berpindah secara utuh. Misalnya, Hari ini akan ada jumpa pers.
Jika posisinya berpindah menjadi Jumpa pers akan diadakan hari ini.
Berikut disajikan contoh-contoh jenis frasa dengan tujuan utama agar dapat
dimanfaatkan sebagai pengisi fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, dan
keterangan dalam penyusunan kalimat.
a. Frasa verbal, misalnya asyik berdzikir, sudah membaik, harus menulis, sedang
berpikir.
b. Frasa adjektival, misalnya kedap suara, terang benderang, sangat serius, lebih
dari memuaskan.
c. Frasa adverbial, misalnya pada masa Orde Baru, di bawah meja, laksana intan
berlian, karena sayang.
d. Frasa nominal, misalnya anak cucu, wajib pajak, pedagang eceran, kesimpulan
yang signifikan.
e. Frasa preposisional, misalnya sampai dengan, oleh karena, ke dalam, dari depan.
B. Sintaksis
Menurut Verhaar (1985:70) sintaksis berasal dari Yunani sun yang berarti
’dengan’ dan tattein yang artinya ’menempatkan’. Istilah tersebut secara etimologis
berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
Bidang sintaksis (syntax) menyelidiki semua hubungan antarkata dan antarkelompok
kata (antarfrasa) dalam satuan dasar sintaksis, yaitu kalimat. Sebagaimana telah
dibahas di atas bahwa morfologi mengkaji hubungan-hubungan gramatikal dalam kata
itu sendiri, sedangkan sintaksis mengkaji hubungan gramatikal di luar batas kata, yaitu
dalam satuan yang disebut kalimat. Mengacu pada penjelasan Verhaar tersebut, uraian
tentang sintaksis dalam tulisan ini lebih difokuskan bahasan tentang kalimat, sebagai
berikut.
1. Pengertian Kalimat
Menurut Finoza (2001:115), hal yang menyebabkan kalimat menjadi bidang
kajian bahasa yang penting tidak lain karena melalui kalimatlah seseorang dapat
menyampaikan maksudnya dengan jelas. Satuan bahasa yang sudah dikenal sebelum
sampai pada tataran kalimat adalah kata (misalnya tidak) dan frasa atau kelompok
kata (misalnya tidak tahu). Kedua bentuk itu, kata dan frasa, tidak dapat
75
mengungkapkan suatu maksud dengan jelas, kecuali jika keduanya sedang berperan
sebagai kalimat. Untuk dapat berkalimat dengan baik, perlu kita pahami terlebih
dahulu struktur dasar suatu kalimat.
Kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal subjek (S)
dan predikat (P) dan intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan
makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis adalah berupa tanda baca titik (.),
tanda tanya (?), atau tanda seru (!). Penetapan struktur minimal S dan P dalam hal ini
menunjukkan bahwa kalimat bukanlah semata-mata gabungan atau rangkaian kata
yang tidak mempunyai kesatuan bentuk. Lengkap dengan makna menunujukkan
sebuah kalimat harus mengandung pokok pikiran yang lengkap sebagai pengungkap
maksud penuturnya.
2. Unsur Kalimat
Unsur kalimat adalah fungsi sintaksis yang di dalam buku-buku tata bahasa
Indonesia lama lazim disebut jabatan kata dalam kalimat, yaitu subjek (S), predikat
(P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). Kalimat bahasa Indonesia baku
sekurang-kurangnya terdiri atas dua unsur, yakni subjek dan predikat. Fungsi unsur
yang lain (objek, pelengkap, dan keterangan) dalam suatu kalimat dapat wajib hadir,
tidak wajib hadir, atau wajib tidak hadir.
a. Predikat
Predikat (P) adalah bagian kalimat yang memberi tahu melakukan (tindakan) apa
atau dalam kedaan bagaimana subjek (pelaku). Selain menyatakan tindakan atau
perbuatan subjek (S), sesuatu yang dinyatakan oleh P dapat pula mengenai sifat,
situasi, status, ciri atau jati diri S. Predikat dapat berupa kata atau frasa, sebagian besar
berkelas verba atau adjektiva, tetapi dapat juga nomina atau frasa nominal. Perhatikan
contoh berikut ini.
Contoh:
(1) Salma sedang tidur siang.
(2) Putrinya cantik jelita.
(3) Kota Jakarta dalam keadaan aman.
(4) Kucingku belang tiga.
76
(5) Aji mahasiswa baru.
Kata-kata yang dicetak miring dalam kalimat (1) — (5) adalah P. Kelompok kata
sedang tidur pada kalimat (1) memberitahukan melakukan apa Salma; cantik jelita pada
kalimat (2) memberitahukan bagaimana putrinya; dalam kedaan aman pada kalimat (3)
memberitahukan situasi Kota Jakarta; belang tiga pada kalimat (4) memberitahukan ciri
kucingku; dan mahasiswa baru pada kalimat (5) memberitahukan status Aji.
Inilah contoh “kalimat” yang tidak memiliki P karena tidak ada bagian kalimat
yang menginformasikan perbuatan, sifat, keadaan, ciri, atau status S.
(6) Adik saya yang gendut lagi lucu itu.
(7) Rumah kami yang terletak di Jln. Gatot Subroto.
(8) Bogor yang terkenal sebagai kota hujan.
Walaupun contoh (6), (7), (8) ditulis persis seperti lazimnya kalimat normal, yaitu
diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, namun di dalamnya tidak
ada satu kata pun yang berfungsi sebagai P. Tidak ada jawaban atas pertanyaan
melakukan apa adik yang gendut, lagi lucu (pelaku) pada contoh (6); tidak ada jawaban
atas pertanyaan kenapa atau ada apa dengan rumah di Jalan Gatot Subroto dan Bogor
yang terkenal sebagai kota hujan itu pada (7) dan (8). Karena tidak ada informasi tentang
tindakan, sifat, atau hal lain yang dituntut oleh P, maka contoh (6), (7), (8) tidak
mengandung P. Karena belum mempunyai P, rangkaian kata-kata yang cukup panjang
pada (6), (7), (8) itu belum merupakan kalimat, melainkan baru merupakan frasa.
b. Subjek
Subjek (S) adalah bagian kalimat yang menunujukkan pelaku, sosok (benda),
sesuatu hal, atau masalah yang menjadi pangkal/pokok pembicaraan. Subjek biasanya
diisi oleh jenis kata/frasa benda (nominal), klausa, atau frasa verbal. Untuk lebih jelasnya
perhatikan contoh berikut.
(9) Meja direktur besar.
(10) Ayahku sedang menulis.
(11) Yang berbaju batik dosen saya.
(12) Berjalan kaki menyehatkan badan.
77
(13) Membangun jalan layang sangat mahal.
Kata-kata yang dicetak miring pada kalimat (9) - (13) adalah S. Contoh S
yang diisi oleh kata dan frasa benda terdapat pada kalimat (9) dan (10); contoh S yang
diisi oleh klausa terdapat pada kalimat (11); dan contoh S yang diisi oleh frasa verbal
terdapat pada kalimat (12) dan (13).
Dalam bahasa Indonesia, setiap kata, frasa, klausa pembentuk S selalu
merujuk pada benda (konkret atau abstrak). Pada contoh di atas, kendatipun jenis kata
yang mengisi S pada kalimat (11), (12) dan (13) bukan kata benda, namun hakikat
fisiknya tetap merujuk pada benda. Bila kita menunjuk pelaku dalam kalimat (11) dan
(12), yang berbaju batik dan berjalan kaki tentulah orang (benda). Demikian juga
membangun jalan layang yang merupakan S pada kalimat (13) secara implisit juga
merujuk pada ‘hasil membangun’ yang tidak lain adalah benda juga. Di samping itu,
kalau di selami lebih dalam, sebenarnya ada nomina yang lesap pada awal kalimat (11)
- (13), yaitu orang pada awal kalimat (11) dan kegiatan pada awal kalimat (12) dan
(13).
Selain ciri di atas, S dapat juga dikenali dengan cara bertanya memakai kata
tanya siapa (yang)… atau apa (yang)… kepada P. Kalau ada jawaban yang logis atas
pertanyaan yang diajukan, itulah S. Jika ternyata jawabannya tidak ada atau tidak logis
berarti kalimat itu tidak mempunyai S. Inilah contoh “kalimat” yang tidak mempunyai
S karena tidak ada/tidak jelas pelaku atau bendanya.
(14) Bagi siswa sekolah dilarang masuk.
(15) Di sini melayani resep obat generik.
(16) Memandikan adik di pagi hari.
Contoh (14) - (16) belum memenuhi syarat sebagai kalimat karena tidak
mempunyai S. Kalau ditanya kepada P siapa yang dilarang masuk pada contoh (14);
siapa yang melayani resep pada contoh (15); dan siapa yang memandikan adik pada
contoh (16), tidak ada jawabnya. Kalau ada pun, jawaban itu terasa tidak logis.
78
c. Objek
Objek (O) adalah bagian kalimat yang melengkapai P. Objek pada umumnya
diisi oleh nomina, frasa nominal, atau klausa. Letak O selalu di belakang P yang
berupa verba transitif, yaitu verba yang menuntut wajib hadirnya O seperti contoh di
bawah ini.
(17) a. Aisyah membakar …
b. Adi menendang …
c. Polisi itu menangkap …
Verba transitif membakar, menendang, dan menangkap pada contoh (17) adalah P
yang menuntut untuk dilengkapi. Unsur yang akan melengkapi P bagi ketiga kalimat
itulah yang dinamakan objek.
Jika P diisi oleh verba intransitif, O tidak diperlukan. Karena itulah sifat O
dalam kalimat dikatakan tidak wajib hadir. Verba intransitif mandi, tidur, pulang yang
menjadi P dalam contoh (18) tidak menunutut untuk dilengkapi.
(18) a. Kakak mandi.
b. Ibu tidur.
c. Ayah pulang.
Objek yang umumnya terdapat dalam kalimat aktif dapat berubah menjadi S
jika kalimatnya dipasifkan. Perhatikan contoh kalimat berikut yang letak O-nya di
belakang kalimat dan ubahan posisinya bila kalimatnya dipasifkan.
(19) a. Kakak menidurkan adik [O].
b. Adik [S] ditidurkan oleh kakak.
(20) a. Orang itu menolong paman saya [O].
b. Paman saya [S] ditolong oleh orang itu.
(21) a. Rani menjewer telinga Rina [O].
79
b. Telinga Rina [S] dijewer oleh Rani.
(22) a. Ayah menjual mobil bekas [O].
b. Mobil bekas [S] dijual oleh ayah.
d. Pelengkap
Pelengkap (Pel) atau komplemen adalah bagian kalimat yang melengkapi P.
Letak Pel umumnya di belakang P yang berupa verba. Posisi seperti itu juga ditempati
oleh O, dan jenis kata yang mengisi Pel dan O juga sama, yaitu dapat berupa nomina,
frasa nominal atau klausa. Namun, antara Pel dan O terdapat perbedaan. Perhatikan
contoh di bawah ini.
(23) Mahasiswa // membacakan // Al-Quran.
S P O
(24) Sebagian sekolah // berlandaskan // Al-Quran.
S P Pel
Kedua kalimat aktif (23) dan (24) yang Pel dan O-nya sama-sama diisi oleh
nomina Al-Quran, jika hendak dipasifkan, ternyata yang bisa hanya kalimat (23) yang
menempatkan Al-Quran sebagai O. Ubahan kalimat (23) menjadi kalimat pasif adalah
(23a).
(23a) Al-Quran [S]// dibacakan oleh // mahasiswa [O].
Posisi Al-Quran sebagai Pel pada kalimat (24) tidak bisa dipindah ke depan
menjadi S dalam kalimat pasif. Contoh (24a) adalah kalimat yang tidak gramatikal.
(24a) Al-Quran // dilandasi oleh // sebagian sekolah.
Hal lain yang membedakan Pel dan O adalah jenis pengisinya. Selain diisi oleh
nomina dan frasa nominal, Pel dapat pula diisi oleh frasa adjektival dan frasa
preposisional. Di samping itu, letak Pel tidak selalu persis di belakang P. Kalau dalam
kalimatnya terdapat O, letak Pel adalah di belakang O sehingga urutan penulisan
bagian kalimat menjadi S-P-O-Pel. Berikuat adalah beberapa contoh pelengkap dalam
kalimat.
80
(25) Emha membacakan pengagumnya puisi kontemporer.
(26) Nadia memasakkan Intan nasi goreng.
(27) Wanita itu mengambilkan suaminya teh hangat.
(28) Aminah mengirimi ayahnya majalah Hidayatullah.
(29) Tegar membelikan adiknya boneka baru.
Pelengkap pada kalimat (25) - (29), baik yang berada di belakang P (25,26)
maupun yang berada di belakang O (27,28,29), semua tidak bisa berpindah posisi
ke depan menjadi S jika kalimat dipasifkan.
e. Keterangan
Keterangan (Ket) adalah bagian kalimat yang menerangkan berbagai hal
tentang bagian kalimat yang lainnya. Unsur Ket dapat berfungsi menerangkan S, P, O,
dan Pel. Posisinya bersifat manasuka, dapat di awal, di tengah, atau di akhir kalimat.
Pengisi Ket adalah frasa nominal, frasa preposisional, adverbia, atau klausa.
Berdasarkan maknanya, terdapat bermacam-macam Ket dalam kalimat. Para
ahli (Hasan Alwi dkk, 1998:366) membagi keterangan atas sembilan macam, yaitu
seperti yang tertera pada bagan di bawah ini.
Jenis KeteranganPreposisi/
PenghubungContoh
1. Tempat di
ke
dari
(di) dalam
pada
di kamar, di kota
ke Medan, ke rumahnya
dari Manado, dari sawah
(di) dalam rumah, dalam lemari
Pada saya, pada permukaan 2. Waktu -
pada
dalam
se-
sebelum
sesudah
selama
sepanjang
sekarang, kemarin
pada pukul 5, pada hari ini
dalam minggu ini, dalam dua hari ini
setiba di rumah, sepulang dari kantor
sebelum pukul 12, sebelum pergi
sesudah pukul 10, sesudah makan
selama dua minggu, selama bekerja
sepanjang tahun, sepanjang hari3. Alat dengan dengan gunting, dengan mobil
81
4. Tujuan supaya
untuk
bagi
demi
supaya/agar kamu pintar
untuk kemerdekaan
bagi masa depanmu
demi kekasihmu5. Cara secara
dengan cara
dengan jalan
secara hati-hati
dengan cara damai
dengan jalan berunding6. Penyerta dengan
bersama
beserta
dengan adiknya
bersama orang tuanya
beserta saudaranya7. Similatif seperti
bagaimana
laksana
seperti angin
bagaikan seorang dewi
laksana bintang dilangit8. Penyababan karena
sebab
karena perempuan itu
setelah kerobohannya9. Kesalingan - satu sama lain
Dalam contoh berikut ini, bagian yang dicetak miring adalah Ket.
(30) Sekretaris itu mengambilkan atasannya air minum dari kulkas. (ket.
tempat)
(31) Harun sekarang sedang belajar. (ket. waktu)
(32) Syukron memotong roti dengan pisau. (ket. alat)
(33) Guru yang baik itu rela berkorban demi muridnya. (ket. tujuan)
(34) Kepala Desa menyelidiki masalah itu dengan hati-hati. (ket. cara)
(35) Sulaiman pergi dengan teman-teman sekantornya. (ket. penyerta)
(36) Mahasiswa hukum itu berdebat bagaikan pengacara. (ket. similatif)
(37) Karena korupsi, bupati itu dipenjara. (ket. penyebaban)
(38) Para penerjun payung itu berpegangan satu sama lain. (ket. kesalingan)
3. Pola Kalimat Dasar
Kalimat dasar bukanlah nama jenis kalimat, melainkan acuan atau patron
untuk membuat berbagai tipe kalimat. Kalimat dasar terdiri atas beberapa struktur
82
kalimat yang dibentuk dengan lima unsur kalimat, yaitu S, P, O, Pel, Ket. Sejalan
dengan batasan bahwa struktur kalimat minimal S-P, sedangkan O, Pel, Ket
merupakan tambahan yang berfungsi melengkapi dan memperjelas arti kalimat, maka
kalimat yang paling sederhana adalah yang bertipe S-P, dan yang paling kompleks
adalah yang bertipe S-P-O-Pel-Ket.
Berdasarkan fungsi dan peran gramatikalnya ada tujuh tipe kalimat yang
dapat dijadikan model pola dasar kalimat bahasa Indonesia. Ketujuh kalimat yang
dimaksud adalah seperti tergambar dalam bagan dibawah ini.
Fungsi
TipeSubjek Predikat Objek Pelengkap Keterangan
1.S-P Mahasiswa
itu
sedang
belajar
- - -
2.S-P-O Kakaknya menjual perhiasan - -
3.S-P-Pel Al-Quran merupakan pedoman kita
4.S-P-Ket Mereka tinggal - - di Madinah
5.S-P-O-Pel Karim mengirimi Karina bunga -
6.S-P-O-Ket Bang Thayib menyimpan uang - di bank
7.S-P-O-Pel-Ket Nia mengirimi temannya sajadah kemarin
Dalam bagan di atas tampak kolom S-P terisi penuh karena wajib, sedangkan
O, Pel, Ket tidak penuh karena tidak wajib. Di situ juga terlihat perlu ada atau
tidaknya O, Pel, Ket bergantung pada P. Dengan adanya pola dasar kalimat dasar ini,
semua kalimat bahasa Indonesia, apapun jenisnya dan bagaimanapun panjangnya
harus dapat dipadatkan sehingga unsur-unsur intinya dapat dimasukkan ke dalam
enam tipe di atas.
Ketujuh tipe kalimat dasar dalam bagan di atas itu pada dasarnya adalah
kalimat tunggal, yaitu kalimat yang hanya memiliki satu unsur S, P, O, Pel, dan Ket.
Setiap kalimat tunggal dapat diperluas menjadi kalimat yang lebih panjang dengan
83
menambahkan kata, frasa, dan klausa pada unsur-unsurnya sehingga membentuk
kalimat majemuk atau kalimat luas. Kalimat luas itulah yang banyak dipakai dalam
penulisan karangan.
4. Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan
penutur/penulisnya secara tepat sehingga dapat dipahami oleh pendengar/pembaca
secara tepat pula. Efektif dalam hal ini adalah ukuran kalimat yang memiliki
kemampuan menimbulkan gagasan atau pikiran pada pendengar/penulis. Dengan kata
lain, kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mewakili pikiran penulis atau
pembicara secara tepat sehingga pendengar/pembaca dapat memahami pikiran tersebut
dengan mudah, jelas, dan lengkap seperti apa yang dimaksud oleh penulis atau
pembicaranya.
Untuk dapat mencapai keefektifan tersebut di atas, sebuah kalimat efektif
harus memenuhi paling tidak enam sarat berikut, yaitu adanya (1) kesatuan gagasan,
(2) kepaduan unsur, (3) keparalelan bentuk, (4) ketepatan makna, (5) kehematan kata,
dan (6) kelogisan bahasa.
a. Kesatuan Gagasan
Yang dimaksud dengan kesatuan gagasan adalah terdapatnya satu ide pokok
dalam sebuah kalimat. Dengan satu ide pokok itu kalimat boleh panjang atau pendek,
menggabungkan lebih dari satu kesatuan, bahkan dapat mempertentangkan satu sama
lainnya, asalkan ide atau gagasan kalimatnya tunggal. Penutur tidak boleh
menggabungkan dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan sama sekali ke dalam
sebuah kalimat.
Contoh kalimat yang tidak jelas kesatuan gagasannya:
(86) Pembangunan gedung sekolah baru pihak yayasan dibantu oleh bank yang
memberi kredit. (tedapat subjek ganda dalam kalimat tunggal).
(87) Dalam pembangunan sangat berkaitan dengan stabilitas politik. (salah
memakai kata depan dalam sehingga gagasan kalimat menjadi kacau).
84
(88) Berdasarkan agenda sekretaris manajer personalia akan memberi
pengarahan kepada pegawai baru. (tidak jelas siapa yang memberi
pengarahan).
Contoh kalimat yang jelas kesatuan gagasannya:
(86a) Pihak yayasan dibantu oleh bank yang memberi kredit untuk membangun
gedung sekolah baru.
(87a) Pembangunan sangat berkaitan dengan stabilitas politik.
(88a) Berdasarkan agenda, sekretaris manajer personalia akan memberi
pengarahan kepada pegawai baru.
(88b) Berdasarkan agenda sekretaris, manajer personalia akan memberi
pengarahan kepada pegawai baru.
b. Kepaduan Unsur (Koherensi)
Yang dimaksud dengan koherensi adalah hubungan yang padu antara unsur-unsur
pembentuk kalimat. Unsur kalimat adalah kata, frasa, intonasi/tanda baca, serta struktur
(hubungan S-P-O dan unsur lainnya).
Contoh kalimat yang unsurnya tidak koheren:
(89) Kepada setiap pengendara mobil di Kota Jakarta harus memiliki surat izin
mengemudi. (tidak mempunyai subjek/subjeknya tidak jelas)
(90) Saya punya rumah baru saja diperbaiki. (struktur tidak benar/rancu)
(91) Tentang kelangkaan pupuk mendapat keterangan para petani. (unsur S-P-
O tidak berkaitan erat)
(92) Yang saya sudah sarankan kepada mereka adalah merevisi anggaran
daripada proyek itu. (salah dalam pemakaiaan kata dan frasa)
Contoh kalimat yang unsurnya koheren:
(89a) Setiap pengendara mobil di kota Jakarta harus memiliki surat izin
mengemudi.
(90a) Rumah saya baru saja diperbaiki.
(91a) Para petani mendapat keterangan tentang kelangkaan pupuk.
(92a) Yang sudah saya sarankan kepada mereka adalah merevisi anggaran
proyek itu.
c. Keparalelan Bentuk
85
Yang dimaksud dengan keparalelan atau kesejajaran bentuk adalah terdapat unsur-
unsur yang sama derajatnya, sama pola atau susunan kata dan frasa yang dipakai di dalam
kalimat. Umpamanya dalam sebuah perincian, unsur pertama menggunakan verba, unsur
kedua dan seterusnya juga verba. Jika bentuk pertama menggunakan nomina, bentuk
berikutnya juga harus nomina.
Contoh kesejajaran atau paralelisme yang salah:
(93) Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, membuat katalog, dan
buku-buku diberi label.
(94) Kakakmu menjadi dosen atau sebagai pengusaha?
(95) Demikianlah agar ibu maklum, dan atas perhatiannya saya ucapkan terima
kasih.
(96) Dalam surat itu diputuskan tiga hal pokok, yaitu peningkatan mutu produk,
memperbanyak waktu penyiaran iklan, dan pemasaran yang lebih gencar.
Contoh kesejajaran atau paralelisme yang benar:
(93a) Kegiatan di perpustakaan meliputi pembelian buku, pembuatan katalog,
dan pelabelan buku.
(94a) Kakakmu sebagai dosen atau sebagai pengusaha?
(95a) Demikianlah agar Ibu maklum, dan atas perhatian Ibu, saya ucapkan
terima kasih.
(96a) Dalam surat itu diputuskan tiga hal pokok, yaitu meningkatkan mutu
produk, meninggikan frekuensi iklan, dan lebih menggencarkan
pemasaran.
d. Ketegasan Makna
Yang dimaksud dengan ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan khusus
menonjolkan bagian kalimat sehingga berpengaruh terhadap makna kalimat secara
keseluruhan. Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk memberi perlakuan khusus pada
kalimat, yaitu
1) meletakkan kata yang ditonjolkan itu di awal kalimat;
2) melakukan pengulangan kata (repetisi);
3) melakukan pertentangan kata terhadap ide yang ditonjolkan;
4) mempergunakan partikel penekan (penegas);
86
Contoh penekanan dengan menempatkan kata yang ditonjolkan pada awal
kalimat:
(97) Pada bulan Desember kita ujian akhir semester.
(bukan akhir November)
(98) Kita akan ujian akhir semester pada bulan Desember.
(bukan mereka)
(99) Ujian akhir semester kita tempuh pada bulan Desember.
(bukan ujian tengah semester)
Contoh penekanan dengan pengulangan kata:
(100) Saya senang melihat panorama alam yang indah; saya senang melihat
lukisan yang indah; dan saya juga senang melihat hasil seni ukir yang
indah.
(101) Saudara-saudara, kita tidak suka dibohongi; kita tidak suka ditipu; kita
tidak suka dibodohi.
Contoh penekanan dengan mempertentangkan ide:
(102) Penduduk desa itu tidak menghendaki bantuan yang bersifat sementara,
tetapi bantuan yang bersifat permanen.
Contoh penekanan dengan menggunakan partikel penegas:
(103) Hendak pulang pun hari sudah gelap dan hujan pula.
(104) Andalah yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah itu.
e. Kehematan Kata
Yang dimaksud dengan kehematan ialah menghindari pemakaian kata, frasa, atau
unsur lain yang tidak perlu. Hemat tidak berarti harus menghilangkan kata-kata yang dapat
memperjelas arti kalimat. Hemat di sini berarti tidak memakai kata-kata mubazir, tidak ada
pengulangan subjek, tidak menjamakkan kata yang memang sudah berbentuk jamak. Dengan
hemat kata-kata, diharapkan kalimat akan menjadi padat berisi.
Contoh kalimat yang tidak hemat kata:
(105) Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri bahwa mahasiswa itu
belajar seharian dari pagi sampai petang.
(106) Dalam pertemuan yang mana hadir di sana Wakil Gubernur DKI
dilakukan suatu perundingan yang membicarakan perparkiran.
87
(107) Manajer itu dengan segera mengubah rencananya setelah dia bertemu
dengan direkturnya.
(108) Agar supaya Anda dapat memperoleh nilai ujian yang memuaskan, Anda
harus belajar dengan sebaik-baiknya.
Contoh kalimat yang hemat kata:
(105) Saya melihat sendiri mahasiswa itu belajar seharian.
(106) Dalam pertemuan yang dihadiri Wakil Gubernur DKI dilakukan
perundingan tentang perparkiran.
(107) Manajer itu dengan segera mengubah rencana setelah bertemu
direkturnya.
(108) Agar Anda memperoleh nilai ujian yang memuaskan, belajarlah baik-
baik.
f. Kelogisan Bahasa
Yang dimaksud dengan kelogisan ialah ide kalimat itu dapat diterima oleh akal sehat.
Logis dalam hal ini juga menuntut adanya pola pikiran sistematis (runtut/teratur dalam
penghitungan angka dan penomoran). Sebuah kalimat yang sudah benar strukturnya, sudah
benar pula pemakaian unsur-unsur yang lain (tanda baca, kata, frasa), dapat menjadi salah
karena maknanya tidak masuk akal atau lemah dari segi logika.
Contoh kalimat yang lemah dari segi logika berbahasa:
(109) Karena lama tinggal di asrama putra, anaknya semua laki-laki.
(apa hubungan tinggal di asrama putra dengan mempunyai anak
lelaki?)
(110) Uang yang bertumpuk itu terdiri atas pecahan ratusan, puluhan, sepuluh
ribuan, lima puluh ribuan, dua puluh ribuan.
(tidak runtut dalam merinci sehingga lemah dari segi logika)
(111) Kepada Ibu Bupati, waktu dan tempat kami persilakan.
(waktu dan tempat tidak perlu dipersilakan)
(112) Dengan mengucapkan syukur kepada Allah, selesailah makalah ini tepat
pada waktunya.
(berarti “modal” untuk menyelesaikan makalah cukuplah ucapan syukur
kepada Tuhan)
88
BAB IV
STILISTIK
A. Definisi dan Permasalahan Umum Stilistik.
Stilistik (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style)
adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan
cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara
maksimal. Dalam hubungannya dengan kedua istilah di atas perlu disebutkan
istilah lain yang agaknya kurang memperoleh perhatian meskipun sesungguhnya
dalam proses analisis memegang peranan besar, yaitu majas. Majas
diterjemahkan dari kata trope (Yunani), figure of speech (Inggris), yang artinya
persamaan atau kiasan. Jenis majas sangat banyak, seperti: simile, metafora,
personifikasi, depersonifikasi, antitesis, pleonasme, tautologi, dan sebagainya.
Istilah lain yang mungkin muncul dalam kaitannya dengan gaya bahasa,
di antaranya: seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa,
gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki pengertian yang
hampir sama, bahasa dalam kaitannya dengan ciri-ciri keindahan sehingga identik
dengan gaya bahasa itu scndiri. Kualitas bahasa lebih banyak berkaitan dengan
nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk ilmu pengetahuan. Ragam
bahasa adalah jenis, genre, dikategorikan menurut medium (lisan dan tulisan),
topik yang dibicarakan (ilmiah dan ilmiah populer), pembicara (halus dan kasar),
semangat (regional dan nasional). Dalam pengertian sempit, gejala bahasa
menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran) dalam sebuah kata, misalnya
sinestesis. Dalam pengertian luas, gajala bahasa menyangkut berbagai bentuk
perubahan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Gejala bahasa yang paling khas
dengan demikian adalah gaya bahasa itu sendiri, termasuk majas. Rasa bahasa
adalah perasaan yang timbul setelah menggunakan, mendengarkan suatu ragam
bahasa tertentu. Bahasa tidak semata-mata mewakili makna harfiah, makna
denotatif, tctapi juga sebagai akibat konteks sosial.
Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu, bukan semata-
mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya adalah cara
ekspresi. Meskipun demikian, pada umumnya gaya dianggap sebagai sebuah
istilah khusus, semata-mata dibicarakan dan dengan demikian dimanfaatkan
dalam bidang tertentu, bidang akademis, yaitu bahasa dan sastra. Dengan
pcrtimbangan bahwa gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa secara
khusus, maka sastralah, dalam hubungan ini karya sastranya yang dianggap
sebagai sumber data utamanya. Perkembangan terakhir dalam sastra juga
mcnunjukkan bahwa gaya hanya dibatasi dalam kaitannya dengan analisis puisi.
Alasannya, di antara genre-genre karya sastra, puisilah yang dianggap memiliki
penggunaan bahasa paling khas.
Pada dasarnya gaya ada dan digunakan dalam kehidupan praktis sehari-
hari. Hampir setiap tingkah laku dan perbuatan, sejak bangun pagi hingga tidur
di malam hari, disadari atau tidak, dilakukan dengan mcnggunakan cara tertentu.
Demikian juga semua hasil aktivitas manusia, yang disebut kebudayaan,
diwujudkan melalui cara tertentu, sesuai dengan minat, selera, dan kemauan
penciptanya. Dengan singkat, tidak ada satu kegiatan pun dilakukan oleh
manusia tanpa memanfaatkan cara tertentu, tanpa disertai dengan pesan
penciptanya. Pada gilirannya cara, gaya adalah tindakan dan pesan itu sendiri.
Dcngan singkat stilistika bcrkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara
umum, meliputi seluruh aspck kehidupan manusia. Stilistika dalam karya sastra
merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan
adanya intensitas penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman
stilistika paling banyak dilakukan.
Gaya melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citra baru, gaya
membangkitkan berbagai dimensi yang stagnasi. Bangun di pagi hari yang
dilakukan secara monoton dan membosankan, diubah dengan cara berbeda
sedemikian rupa dapat membangkitkan kegairahan sehingga jadwal kerja menjadi
lebih teratur. Tugas-tugas rutin menjelang berangkat ke tempat bekerja, apabila
dilakukan dengan cara yang sama, tentu tidak akan memberikan kepuasan
terhadap diri sendiri. Tidak terhitung banyaknya cara-cara baru yang dapat
dilakukan dalam rangka mengantisipasi proses monoton, perasaan jenuh,
90
antipati terhadap situasi, dan berbagai bentuk kebosanan dalam kehidupan
manusia.
Meskipun demikian, gaya tidak harus dilakukan di luar batas kebiasaan
sehingga melanggar norma, gaya tidak boleh berlebihan. Gaya juga melibatkan
orang lain, komunitas lain, gaya bukan semata-mata untuk kepuasan diri sendiri.
Gaya yang berlebihan, meskipun membcrikan kepuasan bagi diri sendiri, tetapi
jelas mengganggu orang lain sebab selera orang tidak sama. Norma, etika, adat
istiadat, dan kebiasaan lain berfungsi untuk membatasi gaya sebab pada
umumnya semestaan tertentu, komunitas tertentu dibatasi oleh norma tertentu
yang dianggap sebagai kebiasaan setempat yang dengan sendirinya memiliki
norma dan aturan yang relatif berbeda. Mengenakan pakaian, cara berjalan,
makan, minum, dan berkata, adalah contoh-contoh yang paling jelas dalam
kaitannya dengan kebiasaan tertentu yang harus dipatuhi.
Dalam Kamus Besar Bahasa lndonesia (KBBI) gaya memiliki sejumlah
ciri, yaitu: (1) kekuatan, kesanggupan, gaya dalam pengertian denotatif, misalnya
gaya pegas, gaya lentur, gaya tarik bumi; (2) sikap, gerakan, seperti dalam
tingkah laku, misalnya gaya tarik, gaya hidup, (3) irama, lagu, seperti dalam
musik, misalnya gaya musik Barat, (4) cara melakukan, seperti dalam olah raga,
gaya renang, gaya dada, (5) ragam, cara, seperti dalam karangan, seperti gaya
bahasa populer, gaya klasik, (6) ragam, cara, seperti dalam bangunan, seperti
bangunan gaya Eropa, (7) cara yang khas, seperti pemakaian bahasa dalam karya
sastra.
Murry (1956:8) membedakan tiga pengertian mengenai gaya bahasa,
yaitu: (3) gaya bahasa sebagai kekhasan personal, (2) gaya bahasa sebagai
teknik eksposisi (penjelasan), dan (3) gaya bahasa sebagai usaha pencapaian
kualitas karya. Terlepas dari minat para peneliti ataupun masyarakat terhadap
keberadaannya di satu pihak, melihat sejarah perkembangannya yang sangat
panjang di pihak lain, gaya bahasa telah didefinisikan secara beragam dan
berbeda-beda. Beberapa definisi gaya bahasa yang perlu dipertimbangkan (Ratna,
2007:236): (1) ilmu tentang gaya bahasa; (2) ilmu interdisipliner antara linguistik
dengan sastra; (3) ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam
91
penelitian gaya bahasa; (4) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam
karya sastra; dan (5) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya
sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya sekaligus latar
belakang sosialnya.
Kelima definisi di atas dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
kelompok pertama dari nomor satu hingga empat menganggap gaya bahasa
merupakan sesuatu yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri. Kelompok
kedua, yaitu nomor lima menganggap bahwa hakikat gaya bahasa terkandung
dalam totalitas karya sekaligus dalam kaitannya dengan masyarakat, seperti
genre dan periode. Dengan kata lain, kelompok pertama berada dalam
kerangka pemahaman struktutralisme, karya sastra lepas dari latar bclakang
sosial yang menasilkannya, sedangkan pendapat kedua berada dalam kerangka
pemahaman sesudah strukturalisme. Dalam hubungan ini definisi terakhirlah
yang dianggap relevan sebab gaya terutama dikaitkan dengan aspek keindahan
dengan tidak melupakan peranan latar belakang sosial sebagai produksi karya.
Definisi sangat diperlukan dalam kaitannya dengan pemahaman suatu
objek tertentu. Setelah mengemukakan pendapat beberapa ahli, Sukada (1987:87)
mendefinisikan gaya bahasa dalam sejumlah butir pernyataan: (1) gaya bahasa
adalah bahasa itu sendiri, (2) yang dipilih berdasarkan struktur tertentu, (3)
digunakan dengan cara yang wajar, (4) tetapi tetap memiliki ciri personal, (5)
sehingga tetap memiliki ciri-ciri personal, (6) sebab lahir dari diri pribadi
penulisnya, diungkapkan dengan kejujuran, (7) disusun secara sengaja agar
menimbulkan efek tertentu dalam diri pembaca, (8) isinya adalah persatuan antara
keindahan dan kebenaran.
B. Sumber Objek Penelitian Stilistik
Sumber objek penelitian berfungsi untuk menunjukkan di mana, dalam
bentuk apa, dan kapan suatu objek dapat diidentifikasi, sehingga objek dapat
diangkat ke dalam bentuk data. Berbeda dengan objek penelitian ilmu kealaman
yang dapat dideteksi secara nyata, secara terindra, objek ilmu humaniora,
khususnya sastra lebih banyak bersifat abstrak, hanya dapat dilihat secara
paradigmatis intuitif. Ketajaman intuisilah yang memegang peranan penting,
92
seberapa jauh suatu komunikasi antara subjek dan objek dapat dibentuk
sehingga data dapat direalisasikan dan dengan demikian dapat dianalisis secara
benar. Dengan mempertimbangkan definisi gaya bahasa sebagai pemakaian
bahasa secara khas di satu pihak, stilistika sebagai ilmu pengetahuan
mengenai gaya bahasa di pihak lain, maka sumber penelitiannya adalah semua
jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Jadi,
meliputi baik karya sastra dan karya seni pada umumnya, maupun bahasa
sehari-hari. Darbyshire (1971: 11) menunjukkan dua cara untuk mengidentifikasi
gaya bahasa, yaitu: (1) secara teoretis, dilakukan dengan sengaja menemukan
ciri-ciri pemakaian bahasa yang khas yang pada umumnya dilakukan dalam
kaitannya dengan penelitian ilmiah, misalnya, pada saat menganalisis sebuah
karya sastra, (2) secara praktis, melalui pengamatan langsung terhadap
pemakaian bahasa sehari-hari, misalnya, melalui pemakaian berbagai
perumpamaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan sebab baik cara pertama maupun
kedua dapat digunakan sebagai penelitian ilmiah atau sebaliknya semata-mata
sebagai pengamatan sepintas. Meskipun demikian, dikaitkan dengan
relevansinya, sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan
sengaja, bahkan sebagai bahasa yang artifisial, maka stilistika pada
umumnya dibatasi pada karya sastra. Lebih khusus lagi adalah karya sastra
jenis puisi.
Dominasi penggunaan bahasa khas dalam karya sastra diakibatkan oleh
beberapa hal: (1) karya sastra mementingkan unsur keindahan; (2) dalam
menyampaikan pesan karya sastra menggunakan cara-cara tak langsung,
seperti: refleksi, proyeksi, manifestasi, dan representasi; dan (3) karya sastra
adalah curahan emosi, bukan intelektual.
Aspek keindahan, pesan tak langsung, dan hakikat emosional
mengarahkan bahasa sastra pada bentuk penyajian terselubung, terbungkus,
bahkan dengan sengaja disembunyikan. Ada kesan bahwa untuk menemukan
pesan yang dimaksudkan, maka proses pemahamannya justru harus
diperpanjang, misalnya, dengan menciptakan jalan belok. Jadi, bahasa karya
sastra berbeda dengan karya ilmiah yang justru menghindarkan unsur estetis,
93
berbagai fungsi mediasi, dan emosionalitas. Bahasa ilmiah harus secara
langsung diarahkan ke objek sasaran. Karya sastra juga berbeda dengan
bahasa sehari-hari yang bersifat praktis dan cepat dimengerti.
Penggunaan bahasa khas bukan dalam pengertian bahwa bahasa sastra
berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa karya ilmiah tidak ada
perbedaan prinsip seperti kosakata dan leksikal antara bahasa sehari-hari dan
bahasa ilmiah dengan bahasa yang digunakan oleh Amir Hamzah, Chairil
Anwar, Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, dan seterusnya. Ciri khas
dan perbedaan diperoleh melalui proses pemilihan dan penyusunan kembali.
Analog dengan kehidupan sehari-hari, gaya sebagai salah satu cara hidup di
antara berbagai cara yang lain, gaya bahasa adalah masalah cara pemakaian
yang khas, bukan bahasa khas yang berbeda dengan bahasa dalam kamus.
Dengan kalimat lain, kekhasan yang dimaksudkan adalah kekhasan dalam proses
seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan kata-kata. Pernyataan seperti ini
perlu digarisbawahi sebab sampai saat ini masih ada pendapat yang mengatakan
bahwa bahasa karya sastra benar-benar berbeda dengan bahasa sehari-hari.
Apabila perbedaan seperti ini memang ada, maka pada dasarnya tidak ada
stilistika dan dengan sendirinya tidak ada karya sastra sebab pengarang tidak
perlu bersusah payah berimajinasi menciptakan hal-hal baru. Pilihan-pilihan
itulah yang justru memegang peranan sebab dalam proses tersebutlah terkandung
kualitas proses kreatif, kemampuan imajinasi, dan energi kata-kata. Pilihan,
kombinasi, adaptasi, asimilasi, dan inovasi memungkinkan terjadinya hasil
ciptaan baru yang tidak pernah berakhir.
Kekuatan karya seni adalah kekuatan dalam menciptakan kombinasi
baru, bukan objek baru. Oleh karena itulah, gaya bahasa disebutkan sebagai
'penyimpangan' dari bentuk-bcntuk bahasa normatif. Dalam proses analisis
Darbyshire (1971:43-44) menunjukkan tiga cara dalam mengidentifikasi gaya
bahasa. Pertama, mempertimbangkan 'tata bahasa' stilistika yang memampukan
peneliti untuk memahami berbagai bentuk norma tata bahasa sekaligus
penyimpangannya. Cara pertama ini pada dasarnya merupakan bidang linguistik.
Kedua, gaya bahasa sebagai aparatus kontekstual, pemakaian bahasa dengan
94
memper-timbangkan hubungannya dengan masyarakat, misalnya, gaya bahasa
sebagai manifestasi periodisasi. Ketiga, melalui kedua tata bahasa di ataslah
peneliti dapat menentukan mana karya sastra yang baik, kurang baik, atau
sebaliknya sama sekali tidak bermutu.
Seperti disinggung di atas, di antara genre sastra puisilah yang
dianggap sebagai objek utama stilistika. Alasannya, di antaranya oleh karena
puisilah yang menggunakan bahasa secara khas. Puisi memiliki medium yang
terbatas sehingga dalam keterbatasannya sebagai totalitas puisi yang terdiri
atas beberapa baris harus mampu menyampaikan pesan sama dengan sebuah
cerpen, bahkan sebuah novel yang terdiri atas ratusan bahkan ribuan
halaman. Di sinilah diperlukan bahasa yang padat dan pekat, dengan
sendirinya atas dasar kombinasi yang diperoleh melalui daya apresiasi yang
tinggi. Dengan adanya keter-batasan medium tetapi pesan yang disampaikan
dapat dilakukan seluas-luasnya, di samping kata-kata dan kalimat yang tertulis
secara eksplisit, maka setiap tanda dalam puisi merupakan sumber analisis.
Tipografi, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca, dan sebagainya, dapat
dijadikan objek analisis.
Objek utama analisis stilistika adalah teks atau wacana. Objek analisis
bukan bahasa melainkan bahasa yang digunakan, bahasa dalam proses
penafsiran. Pada saat sebuah kalimat diucapkan, sebagai parole, pada saat
itulah terjadi komunikasi antara objek dengan pembaca. Pada saat itu juga
terjadi proses penafsiran. Penafsiran itulah hasil dari analisis teks yang dapat
dituangkan ke dalam karya tulis. tulisan tersebut kemudian meniadi bahasa yang
siap untuk diinterpretasikan kembali, baik oleh pembaca yang berbeda maupun
oleh pembaca yang sama pada saat yang berbeda. Karya sastra dalam bentuk
bahasa sebagai naskah itu pun dapat digunakan dalam kaitannya dengan
analisis gaya bahasa. Tetapi hasilnya hanya terbatas sebagai pemerian
bahasa, gaya sebagai objek ilmu bahasa. Pemerian inilah yang disebut sebagai
analisis stilistika tradisional, misalnya, deskripsi sebagai semata-mata terbatas
dalam bentuk inversi, litotes, hiperbola, dan sebagainya, tanpa menjelas-
kannya lebih jauh mengapa gaya bahasa tersebut digunakan. Padahal dalam
95
penjelasan terakhirlah, dalam menjawab pertanyaan 'mengapa' suatu gaya
bahasa tertentu digunakan pada kata-kata, kalimat, dan karya sastra tertentu
terletak sumber objek penelitiannya.
Menurut Fowler (1987:237) sebagai kualitas ekspresi semua teks pada
dasarnya menampilkan gaya bahasa. Puisi, prosa, dan drama, genre utama dalam
sastra modern, demikian juga padanannya dalam sastra lama, seperti geguritan
dan gancaran, adalah sumber-sumber utama gaya bahasa. Meskipun jenis
karya sastra terikat dianggap sebagai genre terpenting dalam kaitannya dengan
objek stilistika, tetapi jenis yang lain, karya sastra yang tidak terikat juga
mengandung aspek-aspek penelitian gaya bahasa. Perbedaannya, dalam jenis
kedua ini pembicaraan lebih banyak berkaitan dengan gaya bahasa secara
umum, sebagai jenis penelitian makro. Gaya bahasa novel-novel tahun 1920-
an, misalnya, dibicarakan dalam kaitannya dengan periode Balai Pustaka, baik
sebagai pengaruh para pengarang Minangkabau maupun sensor pemerintah
kolonial. Novel, dengan kualitasnya masing-masing, termasuk ciri-ciri
stilistikanya adalah totalitas fiksional yang berfungsi untuk mengungkap
pandangan dunia kelompok tertentu. Oleh karena itulah, objek penelitiannya
sebaiknya diarahkan bukan pada semata-mata analisis stilistika, lebih-lebih
stilistika struktur mikro. Oleh karena itu pula, menurut Goldman (1981:141)
jenis puisi kurang tepat dianalisis dari segi strukturalisme genetik.
Oleh karena gaya digunakan juga dalam karya seni yang lain,
seperti: seni lukis, seni suara, seni patung, seni tari, dan sebagainya, maka
objeknya dapat juga digali dalam aktivitas kreatif tersebut. Bahkan gaya
bahasa juga ada dalam kehidupan sehari-hari, baik lisan maupun tulisan.
Setiap penampilan, sikap berbicara adalah gaya itu sendiri. Perbedaan orang
dicirikan oleh gaya tertentu. Tidak ada kehidupan tanpa gaya. Gayalah yang
memberikan isi kehidupan ini. Pakaian, makanan, bahkan seluruh kehidupan itu
sendiri adalah gaya. Meskipun demikian, seperti di atas gaya bahasa jelas
berkaitan dengan penggunaan bahasa, khususnya dalam karya sastra, lebih
khusus lagi dalam puisi. Dengan luasnya sumber dan ruang lingkup
96
pemakaian gaya (bahasa), Noth (1990: 343) memasukkan stilistika sebagai
pansemiotika.
C. Ruang Lingkup Penelitian Stilistik
Ruang lingkup penelitian stilistika sangat luas (Hough, 1972:37-39),
dianggap sebagai tugas yang tidak mungkin untuk dilakukan, lebih-lebih
apabila dikaitkan dengan pengertian gaya bahasa secara luas, yaitu: bahasa itu
sendiri, karya sastra, karya seni, dan bahasa sehari-hari, termasuk ilmu
pengetahuan. Ruang lingkup bertambah luas dengan adanya perkembangan
paralel di berbagai negara, sehingga terjadi tumpang tindih di antaranya. Untuk
membatasinya ruang lingkup dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) ruang
lingkup dalam kaitannya dengan objek stilistika itu sendiri, dan (2) ruang
lingkup dalam kaitannya dengan objek yang mungkin dilakukan dalam suatu
aktivitas penelitian. Banyak kritikus melakukan penelitian melalui biografi,
sejarah sastra, periode tertentu, ideologi masyarakat tertentu, dan sebagainya.
Pada umumnya penelitian yang paling sering dilakukan berkaitan dengan
gaya bahasa karya sastra tertentu dari pengarang tertentu.
Dengan melihat luasnya objek penelitian, maka untuk membatasinya
perlu dipertimbangkan pembagian wilayah-wilayah kajian, baik dalam kaitannya
dengan eksistensi karya sastra itu sendiri maupun pengarang sebagai pencipta.
Dikaitkan dengan objeknya, maka ruang yang paling sempit adalah karya sastra
secara otonom, seperti sebuah puisi, cerpen, novel, drama, dan sebagainya.
Satu bait puisi yang terdiri atas beberapa baris dapat dianalisis dari segi gaya
bahasa, sebagai analisis stilistika. Nilai analisis sama dengan sebuah novel
yang terdiri atas seribu halaman, tergantung dari kualitas pemahamannya.
Jangkauan yang lebih luas dilakukan terhadap pengarangnya dengan
melibatkan keseluruhan karyanya. Pengarang menulis banyak jenis karya,
seperti: Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan sebagainya,
maka dari masing-masing pcngarang dapat dianalisis jenis-jenis tertentu,
bagaimana perkembangan gaya bahasa novel-novel Alisjahbana, kemudian
khusus bahasa puisinya, demikian juga dramanya. Perkembangan bahasa
seperti ini tidak menutup kemungkinan juga melibatkan bahasa karya ilmiah
97
seperti sering dilakukan terhadap esai-esainya. Penelitian yang lebih luas
adalah gaya bahasa pengarang dalam kaitannya dengan angkatan tertentu, bahkan
juga perkembangan sastra sepanjang sejarahnya, seperti pengaruh Chairil
Anwar terhadap sastra Indonesia secara keseluruhan.
Ruang lingkup paling jelas adalah deskripsi gaya sebagaimana sudah
sangat sering dilakukan, yang pada umumnya disebut sebagai analisis majas.
Berbagai jenis gaya dideskripsikan sekaligus dengan contoh-contohnya,
seperti inversi, hiperbola, litotes, dan sebagainya. Pada umumnva jenis
penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) pembicaraan gaya
bahasa secara khusus, (1) gaya bahasa dalam kaitannya dengan sebuah karya,
sehingga gaya merupakan bab atau subbab tertentu. Pada umumnya baik cara
pertama maupun kedua berhenti sebagai semata-mata deskripsi. Jelas
pembicaraan ini tidak cukup dan dengan sendirinya perlu dikembangkan dengan
menjelaskan pada masing-masing bagian mengapa gaya tersebut digunakan.
Seperti di atas, stilistika semata-mata deskripsi terbatas sebagai stilistika
linguistik. Stilistika sastra harus memberikan arti terhadap karya. Oleh karena
itulah, deskripsi yang sudah ada harus dikembangkan. ke struktur sosiokultural
sehingga gaya berfungsi untuk memberikan makna, bukan semata-mata
ornamen.
Gaya bahasa adalah ekspresi linguistis, baik di dalam puisi maupun
prosa (cerpen, novel, dan drama). Menurut Abrams (1981:190-193; Noth,
1990:344) secara teoretis penelitian dibedakan menjadi dua macam, yaitu
penelitian tradisional dan modern. Penelitian tradisional masih dipengaruhi
oleh dikotomi isi dan bentuk, apa dan bagaimana cara melukiskan suatu objek.
Isi meliputi informasi, pesan, dan makna proposisional (saranan), sedangkan
bentuk adalah (gaya) bahasa itu sendiri. Stilistika modern menganalisis ciri-
ciri formal, di antaranya: (1) fonologi, seperti: pola-pola bunyi ujaran, sajak,
dan irama, (2) sintaktis, seperti: tipe-tipe struktur kalimat, (3) leksikal meliputi
kata-kata abstrak dan konkret, frekuensi relatif kata benda, kata kerja, dan kata
sifat, dan (4) retorika yaitu ciri penggunaan bahasa kiasan (figuratif) dan
98
perumpamaan. Masalah pokok yang timbul bagaimana peneliti dapat
membedakan sekaligus mengarahkan analisis pada kompetensi sastra.
Dengan singkat analisis stilistika hendaknya melibatkan kualitas
linguistis, estetis, dan respons emosional pembaca. Secara deskriptif pragmatis
stilistika merupakan wilayah bahasa tetapi secara analitis estetis stilistika adalah
wilayah sastra. Dalam bidang linguistik stilistika dibatasi oleh norma-norma
ketatabahasaan, oleh puitika bahasa, sebaliknya dalam sastra dibatasi oleh
ciri-ciri kesastraan, oleh puitika sastra. Meskipun demikian, pada umumnya
stilistika dianggap scbagai bagian integral analisis lingustik. Pembagian
wacana menjadi empat jenis kajian, yatu: (1) kajian dari segi eksistensi
(verbal dan nonverbal), (2) mcdia komunikasi (lisan dan tulisan), (3)
pemakaian (monolog, dialog, polilog), dan (4) kajian dari segi pemaparan
(naratif, deskriptif, prosedural, ekspositoris) jelas menunjukkan dominasi
analisis linguistik.
Kajian stilistika sastra hanya terkandung dalam subpemaparan secara
naratif. Dalam teori kontemporer analisis stilistika ditempatkan di antara
bahasa dan sastra untuk selanjutnya memberikan posisi yang lebih dominan
terhadap analisis karya sastra. Secara praktis, khususnya dalam karya sastra,
ruang lingkup stilistika adalah deskripsi penggunaan bahasa secara khas. Di
satu pihak, Wellek dan Warren (1989: 225-226) mcnyarankan dua cara untuk
memahaminya, yaitu: (1) analisis sistematis bahasa karya itu sendiri, sekaligus
interpretasinya dalam kaitannya dengan makna secara keseluruhan, (2) analisis
mengenai ciri-ciri pembeda berbagai sistem dengan intensitas pada unsur-
unsur keindahan. Makna totalitas dan estetis menyarankan pada stilistika sastra,
bukan bahasa. Shipley (1962:397-398) membedakan tujuh jenis gaya bahasa,
sebagai berikut: (1) Gaya bahasa berdasarkan pengarang, seperti: gaya
Shakespearean, Dantean, Homeric, dan gaya Miltonic; (2) Gaya bahasa
berdasarkan waktu, hari, dekade, abad, peristiwa sejarah atau sastra, seperti:
gaya pra-Shakespeare, gaya abad keemasan sastra Latin; (3) Gaya bahasa
berdasarkan medium bahasa, seperti: gaya bahasa Jerman, gaya bahasa
Perancis; (4) Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti: gaya bahasa resmi, ilmu
99
pengetahuan, filsafat, komis, tragis, dan gaya didaktis; (5) Gaya bahasa
berdasarkan lokasi atau geografi, seperti: gaya bahasa urban profesional, gaya
New England; (6) Gaya bahasa berdasarkan audiens, seperti: gaya bahasa umum,
istana, kekeluargaan, populer, dan gaya mahasiswa; dan (7) Gaya bahasa
berdasarkan tujuan atau suasana hati, seperti: gaya bahasa sentimental,
sarkastis, diplomatis, dan gaya informasional.
D. Karya Sastra sebagai Sasaran Kajian Stilistik
Menurut Aminuddin (1995:44), karya sastra sebagai sasaran kajian
stilistika antara lain terwujud sebagai print-out ataupun tulisan. Print-out
tersebut, dapat berupa kata-kata. Tanda baca, gambar, serta bentuk tanda lain
yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata. Secara potensial print-out itu dapat
membuahkan (1) gambaran objek atau peristiwa, (2) gagasan, dan (3) ideologi.
Oleh sebab itu print-out tersebut merupakan wujud pelambangan sekaligus
artefak kebudayaan yang mengandung sesuatu yang lain di luar wujud
konkretnya sendiri. Dalam semiotika atau studi tcntang sistem lambang dan
proses pemaknaannya, wujud pelambangan itu disebut signal atau tanda. Dari
sudut pandang linguistik, wujud konkret pelambangan itu lazimnya hanya
dibatasi pada tataran kata, kalimat, dan wacana.
Tanda yang digunakan dalam penulisan karya sastra, antara yang
satu dengan yang lain membentuk hubungan secara sistematis. Oleh sebab
itu, istilah signal dapat pula dinyatakan sebagai sistem tanda. Dalam
kesadaran batin penafsirnya, sistem tanda tersebut secara asosiatif dapat (1)
menampilkan gambaran objek dalam berbagai cirinya, (2) memiliki hubungan
dengan tanda lain yang tidak dinyatakan secara langsung, (3) mengemban
makna tertentu sesuai dengan konvensi masyarakat pemakainya, dan (4)
mengemban pesan atau pengertian secara tersirat yang dapat ditelusuri lewat
pemahaman gambaran makna dalam sistem tandanya dan penggalian nilai
dalam konteks sosial budaya.
Berorientasi pada wawasan Peirce, tanda yang dapat menampilkan
gambaran objek tertentu disebut ikon. Hubungan antara tanda yang satu
dengan tanda yang lain yang tidak tampil secara eksplisit disebut indeks.
100
Tanda yang maknarya tersimpan pula dalam kesadaran batin masyarakat
pemakainya sesuai dengan konvensi yang dipahami bersama disebut simbol.
Sementara nilai dalam sistem tanda yang secara tersirat mengandung
wawasan yang hidup dalam suatu masyarakat, baik secara individual maupun
kelompok disebut ideologi. Keberadaan tanda sebagai ikon, indeks, simbol,
beserta nilai ideologis yang dikandungnya sifatnya abstrak. Apa yang secara
konkret dapat diamati hanyalah printout. Dengan demikian pengkaji sendirilah
yang harus menampilkan ciri ikonitas, indeksikal, simbolis, dan nilai
ideologisnya.
Berdasarkan (1) karakteristik sitem tandanya, (2) gambaran objek, (3)
hubungan makana, dan (4) cara penulisannya, karya sastra dapat dibeda-kan
menjadi dua jenis, yaitu puisi dan prosa fiksi. Perbedaan karakteristik tersebut
lebih lanjut juga mengakibatkan perbedaan dalam prosedur pemaknaan,
penentuan unsur-unsur pembentuk, penafsiran ciri, dan penggambaran satuan
hubungan sistemisnya. Sejalan dengan kenyataan bahwa (1) penciptaan karya
sastra terkait dengan kreasi individual pcngarangnya, (2) sebagai kreasi seni
penciptaan karya sastra juga memperhatikan adanya kebaharuan, dan (3)
perkembangan kehidupan sosial budaya juga ikut menentukan perkembangan
kehidupan karya sastra, setiap karya sastra dapat dicurigai memiliki ciri yang
tidak sepenuhnya sama.
Meskipun demikian, boleh saja muncul penafsiran bahwa kreasi sastra
yang memberi kesan bersifat khas dan baru tersebut merupakan transformasi
atau pengubahan dan pengembangan dari sistem dan kaidah inti yang telah
ada. Penjelasan tentang sistem dan kaidah inti tersebut lazimnya menjadi
bidang garapan teori sastra. Apabila pemahaman tentang sistemdan kaidah
inti dapat melandasi pemahaman kemungkinan adanya pengubahan dan
pengembangan, pada tingkat peranan yang berbeda-beda, pemahaman teori
sastra memiliki peranan penting dalam kajian sastra. Dalam pengembangan
lanjut, hasil kajian sastra itu pun idealnya secata kritis juga dapat memberikan
rmasukan bagi pemantapan dan pengembangan sejumlahbentuk kegiatan
menyangkut kesusastraan.
101
Secara permukaan terdapatnya kekhasan dan kebaharuan itu antaralain
ditandai oleh cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda. Puisi Sutardji
Calzoum Bachri misalnya dianggap berbeda dengan puisi Indonesia
sebelumnya karena ditinjau dari penggunaan sistem tandanya pada saat muncul
pertama kali dianggap aneh. Hal demikian juga berlaku pada beberara cerpen
dari Danarto. Sementara pada Iwan Simatupang meskipunmasih secara ketat
menggunakan wahana kebahasaan sebagai sarana ekspresi, keanehannya bila
dibandingkan dengan prosa fiksi yang ada juga dapat ditemukan. Keanehan
tersebut selain ditunjukkan lewat cara menghubungkan untaian kata-kata dan
kalimat yang seakan-akan menyalahi alur berpikir secara logis juga
ditunjukkan oleh kekayaan sistem tanda yang digunakan dala membuahkan
berbagai nuansa gagasan.
Sesuai dengan pengertian stilistika sebagai studi tentang cara
pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang
ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya
sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem
tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda, untuk
memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila
dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasannya,
pengkaji perlu juga memahami (1) garnbaran objek atau peristiwa, (2)
gagasan, (3) satuan isi, dan (4) ideologi yang terkandung dalam karya
sastranya.
Penentuan seperti di atas dilandasi pemikiran bahwa apa yang
dinyatakan sebagai ’cara penyampaian gagasan' keberadaannya tidak dapat
dilepaskan dari cara yang ditempuh pengarang dalam (1) menggambarkan
objek atau peristiwa secara imajinatif, (2) mengaktualisasikan isi melalui
penggambaran objek dan peristiwa, dan (3) memekatkan nilai-nilai ideologis
tertentu melalui kreasi dalam penggunaan sistem tanda. Sebab itu sudah
sewajarnya apabila dalam melakukan studi stilistika dalam konteks kajian
sastra pengkaji dituntut memiliki pemahaman secara makro, dalam arti yang
diketahui pengkaji bukan hanya hal yang bersangkutan dengan masalah
102
kebahasaan ataupun wujud konkret penggunaan sistem tandanya melainkan
juga pada unsur-unsur lain yang membentuk karya sastra secara keseluruhan.
Studi stilistika yang dilandasi pemahaman butir-butir seperti di atas
diharapkan dapat memperkaya pemberian makna pada deskripsi stilistis yang
dibuahkan. Kekayaan dalam pemberian makna tersebut antara lain ditunjukkan
oleh kemampuan deskripsi stilistis itu untuk diperankan sebagai pembuka jalan
dalam upaya memahami unsur-unsur pembentuk karya sastra yang lain yang
tidak secara khusus menjadi pusat kajian studi stilistika. Dengan demikian hasil
studi yang dilakukan tidak memberi kesan hanya berkisar di permukaan dan
terbatas hanya pada pembicaraan masalah bentuk. Sementara manfaatnya bila
dihubungkan dengan upaya memahami karya sastra secara keseluruhan
maupun pemanfaatannya sebagai bahan penafsira makna dalam karya sastra
tidak tersentuh.
E. Pendekatan Studi Stilistik
Bertolak dari pembicaraan di atas dapat diperoleh gambaran bahwa
karya sastra merupakan bentuk sistem tanda yang secara potensial dapat
menghadirkan gambaran objek peristiwa maupun ideologi tertentu.
Pemahaman butir-butir tersebut merupakan dasar pemahaman ciri unsur-unsur
serta hubungan antar unsur pembentuk karya sastra secara keseluruhan. Pada
konteks yang lebih luas, dari pemahaman butir-butir tersebut pengkaji secara
eksplisit dapat mempelajari bidang permasalahan menyangkut psikologi sastra,
sosiologi sastra, maupun stilistika sastra.
Guna memahami fakta yang ada dalam ketiadaan, pengkaji perlu
memiliki seperangkat pengetahuan yang secara konkret dapat digunakan
sebagai dasar (1) pembentukan sistematika konsep, (2) penggamparan peta
permasalahan, (3) pengembangan pola pemaknaan, dan (4) penentuan prosedur
kegiatannya. Seperangkat pengalaman dan pengbetahuan yang digunakan
sebagai dasar pemecah teka-teki oleh Kuhn discbut paradigma. Isi paradigma
itu pada dasarnya merupakan pemekatan hasil olahan pandekatan, teori,
metode, teknik, maupun penggambaran nilai praksis yang disusun pengkaji
sesuai dengan masalah atau teka-teki yang harus dipecahkan.
103
Sesuai dengan terdapatnya kemungkinan kekhasan, kebaharuan karya
sastra yang dijadikan bahan kajian serta kekhususan masalah yang harus
dipecahkan, selama kajian itu bukan pengurangan, boleh jadi memang tidak
ada paradigma yang siap pakai. Dengan kata lain, pengkajilah yang secara
kreatif harus menyusunnya sendiri. Untuk itu, diperlukan ketekunan pengkaji
dalam melakukan studi pustaka mengapresiasi karya sastra yang akan dikaji,
menyusun model teoretik sesuai dengan artikulasi permasalahan yang harus
dijawab, serta mempelajari pola pemaknaan dan prosedur kerja yang dianggap
tepat. Pada tahap awalnya, kegiatan tersebut bersifat eksploratif dan
spekulatif. Tetapi pada titik tertentu pengkaji harus yakin bahwa eksemplar
pengetahuan yang akan digunakan sebagai jalan pemecah teka-teki secara rasional
kerangkanya telah berhasil dibentuk.
Pada tahap awal, eksemplar pengetahuan tersebut diisi oleh
seperangkat wawasan menyangkut karya sastra yang akan dijadikan sasaran
kajian. Seperangkat wawasan yang (1) memberikan bentuk gambaran
keberadaan sasaran kajian, (2) landasan dalam menyusun model teoretik atau
wawasan teoretis yang direkonstruksi pengkaji sesuai dengan karakteristik
permasalahan yang akan digarap, dan (3) landasan dalam pengembangan
prosedur kajian yang akan dilaksanakan disebut pendekatan. Sesuai dcngan
kompleksitas unsur yang dapat dihubungkan dengan keberadaan karya sastra,
perbedaan sudut pandang, dan fokus permasalahannya, ada berbagai bentuk
pendekatan yang dapat dikembangkan pengkaji. Ditinjau dari keperluan studi
stilistika dalam konteks kajian sastra pendekatan itu seyogyanya mampu (1)
memberikan gambaran keberadaan karya sastra secara relatif utuh, (2)
memandu pengkaji dalam menentukan peta dan titik permasalahan yang
digeluti, dan (3) memberikan gambaran tahap kegiatan yang harus ditempuh.
Pemilihan pendekatan lazimnya dipandu oleh asumsi yang berperanan dalam
membentuk satuan konsepsi menyangkut konstruksi gejala yang akan digarap.
Asumsi yang disusun sebagai dasar pemilihan pendekatan itu misalnya: (1)
Karya sastra adalah gejala sistem tanda yurg secara potensial mengandung
gambaran objek, gagasan, pesan, dan nilai ideologis; (2) Karya sastra adalah
104
gejala komunikasi puitik yang secara imajinatif dapat mengandaikan adanya
penutur, tanda yang dapat ditransformasikan kedalam kode kebahasaan dan
penanggap; (3) Dalam kesadaran batin penanggap karya sastra dapat
menggambar-kan unsur-unsur yang ada dalam tingkatan dan hubungan
tertentu secara sistemis; (4) Unsur-unsur dalam karya sastra secara konkret
terwujud dalam bentuk penggunaan sistem tanda sesuai dengan cara yang
ditempuh pengarang dalam menyampaikan gagasannya; dan (5) Cara yang
digunakan pengarang dalam memaparkan gagasanya dapat ditentukan
berdasarkan deskripsi ciri pemaparan sistem tandanya.
F. Jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Oleh
karena itu, sulit diperoleh kesepakatan mengenai suatu pembagian gaya
bahasa yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh berbagai pihak.
Pendapat-pendapat tentang gaya bahasa menurut Keraf (1994:115), sekurang-
kurangnya dapat dibedakan dari segi bahasa dan segi nonbahasa.
Dilihat dari segi bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan,
menurut Keraf (1994:116-129), gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik
tolak unsur bahasa yang digunakan, yaitu: (l) gaya bahasa berdasarkan pilihan
kata, (2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, (3)
gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan (4) gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna.
Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata atau unsur leksikal, menurut
Nurgiyantoro (1998:290), yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-
kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Pemilihan kata-kata tertentu
tersebut tentulah melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk
memperoleh efek tertentu, efek ketepatan (estetis). Masalah ketepatan itu
sendiri secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna,
yaitu apakah unsur leksikal yang digunakan itu mampu mendukung tujuan
estetis karya yang bersangkutan, mampu mengkomunikasikan makna, pesan,
dan mampu mengungkapkan gagasan seperti yang dimaksudkan pengarang.
105
Penggunaan unsur leksikal tertentu sesungguhnya sangat menentukan
dalam penyampaian makna suatu karya sastra. Kata, rangkaian kata, dan
pasangan kata yang diplilih secara cermat dapat menimbulkan efek yang
dikehendaki pengarang pada diri pembaca, menonjolkan bagian tertentu suatu
karya, atau pun menghilangkan monotoni. Oleh karena itu, sangatlah penting
untuk diketahui kata dan ungkapan mana yang sebaiknya digunakan dalam
konteks tertentu agar pesan yang ingin disampaikan atau kesan yang ingin
ditimbulkan terwujud. Untuk memperoleh efek tertentu itu, pengarang dapat
rnenggunakan bentuk bahasa plesetan dan ungkapan-ungkapan khusus atau
idiom.
Gejala bentuk bahasa yang diplesetkan menarik untuk diperbincangkan
terutama jika dilihat dari segi makna atau pesan yang disampaikan,
sebagaimana diuraikan oleh Heryanto (dalam Pateda 2001:152-157) berikut
ini.
Plesetan dapat digambarkan sebagai kegiatan berbahasa yang
mengutamakan atau memanfaatkan secara maksimal pembentukan berbagai
pernyataan dan aneka makna yang dimungkinkan oleh sifat sewenang-
wenang pada kaitan pertanda -makna - realitas empirik.
Bentuk plesetan pada awalnya menggunakan bentuk dan kalimat-
kalimat yang wajar. Namun, setelah pendengar terbuai oleh kata-kata yang
direntetkan, tiba-tiba pembicara menyelipkan, mengubah, membuat lanjutan,
bahkan membuat pendengar tertawa dengan jalan menggunakan bentuk-bentuk
yang diplesetkan. Pendengar tertawa, kadang-kadang juga tersinggung, bahkan
merasa dihina dengan adanya bentuk yang diplesetkan karena ia memahami
maknanva.
Selanjutnya, Heryanto membagi bentuk yang diplesetkan atas tiga jenis.
Pertama, jenis plesetan untuk berplesetan itu sendiri. Pada jenis yang terjadi
adalah kenikmatan bermain-main bahasa di dalam bahasa itu sendiri tanpa
mempedulikan kaitannya dengan dunia di luar bahasa, misalnya air love you,
love you sebelum berkembang, Umar Kayam .... Kayam goreng, ayam goreng
to school dan sebagainya.
106
Dari jenis plesetan yang pertama tersebut dapat dibedakan lagi
menjadi dua subkategori, yaitu (l) plesetan yang menuntut kemahiran,
mengundang tawa penonton dengan mendistorsi kata sehingga terbentuklah
kata-kata lain yang sebenarnya tidak memiliki kaitan atau malahan tidak
bermakna, tetapi kedengarannya lucu, contohnya kata kepala diplesetkan
menjadi kelapa, tolong menjadi lontong, airport menjadi airpot, partisipasi
menjadi partisisapi, menyelidiki menjadi menyelikidi, dan sebagainya, (2)
Plesetan yang merupakan sejumlah grafiti yang tncndistorsikan istilah pribumi
mejadi sedikit kebarat-baratan tanpa sepenuhnya melenyapkan unsur pribumi
itu. Misalnya: perex diplesetkan menjadi perek (perempuan eksperimen),
wheduz menjadi wedus (kambing), warung takasimura meniadi tak kasih
murah, dan sebagainya.
Jenis plesetan kedua adalah plesetan alternatif, yaitu plesetan yang
menyajikan sebuah penalaran atau acuan alternatif terhadap yang sudah atau
sedang lazim dalam masyarakat. Pada plesetan jenis kedua ini terladi
penjegalan terhadap sesuatu yang sudah lazim. Misalnya, semboyan yang
berbunyi: Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, diplesetkan menjadi
bersatu kita teguh, bercerai kawin lagi. Pepatah: Tong kosong berbunyi
nyaring, dipelsetkan menjadi tong kosong berbunyi glondang. Sambil
menyelam minum air diplesetkan menjadi sambil menyelam minum kopi, dan
sebagainya.
Plesetan jenis ketiga adalah plesetan oposisi karena ia memberikan
nalar dan acuan yang secara konfrontatif bertabrakan atau menjungkirbalikkan
sesuatu yang sudah lazim dalam masyarakat. Plesetan jenis ini bukan sekedar
menggantikan satu tanda/makna dengan tanda/makna lain, namun cenderung
mengadakan perlawanan secara fiontal dengan cara menjungkirbalikkan
tanda/makna yang telah lazim. Kebanyakan yang meniadi sasaran plesetan
jenis ini adalah singkatan, misalnya: CBSA : Cara Belajar Siswa Aktif -
karena pada implementasinya sistem ini kurang didukung dengan kebijakan
dan fasilitas pendukung yang memadai sehingga kurang berhasil - maka
diplesetkan menjadi Cah Bodho Saya Akeh ( Jawa) yang artinya anak bodoh
107
semakin banyak; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana diplesetkan
menjadi Kasih Uang Habis Perkara, sebagai kritik terhadap berbagai
penyelewengan dalam dunia pendidikan dan hukum; RSS: Rumah Sangat
Sederhana. Diplesetkan menjadi Rumah Sangat Sengsara atau Rumah Sulit
Slonjor, karena sempitnya sehingga untuk slonjor (meluruskan kaki) saja
sulit.
Di samping singkatan-singkatan, sasaran plesetan oposisi juga
mengarah pada pepatah, misalnya: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang
kemudian, diplesetkan menjadi bersakit-sakit dahulu, bersakit-sakit seterusnya;
sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit diplesetkan menjadi sedikit demi
sedikit, lama-lama menjadi habis dan sebagainya.
Oleh karena ada prinsip mendasar pada hakikat bahasa, yakni hubungan
antara tanda, makna, acuan itu bersifat arbriter, maka dilihat dari segi
maknanya, jenis plesetan pertama sebagaimana telah diuraikan di atas, tidak
berniat menyampaikan pesan atau komentar apa pun tentang realitas dunia di
luar bahasa, maknanya lepas dari acuan. Sementara itu, plesetan jenis kedua
cenderung menggugat peninggalan makna yang lazim tanpa berusaha
meniadakan yang terlanjur lazim. Adapun plesetan jenis ketiga, menunjukkan
sikap sebagian orang yang tidak hanya terbuai pada kenikmatan bermain-main
dengan penanda, atau memberikan kemajemukan nilai alternatif pada acuan
realitas, tetapi berupaya mengukuhkan suatu nilai tanding terhadap segala
sesuatu yang sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat.
Plesetan merupakan gejala yang relatif baru dalam penggunaan
bahasa Indonesia. Plesetan berhubungan dengan perkembangan pemakai
bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya.
Senada dengan uraian di atas, gaya bahasa berdasarkan pilihan kata
atau unsur leksikal adalah berkaitan dengan persoalan kata mana yang
paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat
tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam
masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan
kesesuaian pilihan kata dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.
108
Pembahasan tentang gaya bahasa berdasarkan pilihan kata ini antara lain
berkaitan dengan persoalan bahasa resmi, bahasa tak resmi, dan bahasa
percakapan sehingga terdapat gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi,
dan gaya bahasa percakapan.
Gaya bahasa resmi adalah gaya bahasa dalam bentuknya yang
lengkap, yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya
bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang yang diharapkan
mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Sebagai contoh, amanat
kepresidenan, berita negara, tajuk rencana, dan artikel-artikeal ilmiah,
semuanya diantarkan dengan gaya bahasa resmi.
Gaya bahasa tak resmi biasanya dipergunakan dalam kesempatan
kesempatan yang tidak atau kurang formal. Menurut sifatnya, gaya bahasa
tak resmi ini dapat juga memperlihatkan suatu jangka variasi, mulai dari
bentuk informal yang paling tinggi (yang sudah bercampur dan mendekati
gaya resmi) hingga bahasa tak resmi yang sudah bertumpang tindih dengan
gaya bahasa percakapan.
Selanjutnya, gaya bahasa percakapan merupakan gaya bahasa yang
dipakai untuk bercakap-cakap yang pilihan kata-katanya diambil dari kata-
kata populer dan kata-kata percakapan. Gaya bahasa percakapan ini biasanya
tidak terlalu memperhatikan segi-segi sintaksis dan segi-segi morfologis.
Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang
dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat pada sebuah wacana.
Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti dari
suara pembaca, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan. Nada itu
pertama-tama timbul dari sugesti yang dipancarkan oleh rangkaian kata-kata,
sedangkan rangkaian kata-kata itu tunduk pada kaidah-kaidah sintaksis yang
berlaku. Oleh karena itu, nada, pitihan kata, dan struktur kalimat sebenarnya
berjalan sejajar dan saling mempengaruhi.
Dengan berlandaskan pada struktur sebuah kalimat, gaya bahasa juga
dapat diciptakan. Berdasarkan struktur kalimatnya, gaya bahasa dapat
109
dibedakan menjadi lima macam, yaitu gaya bahasa klimaks, antiklimaks,
paralelisme, antitesis, dan repetisi.
Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik.
Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan
pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-
gagasan sebelumnya. Dengan kata lain, gaya bahasa klimaks adalah suatu
cara mengemukakan sesuatu, ide atau keadaan dengan mengurutkan dari
tingkat yang lebih rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Misalnya,
"Jangankan seorang, dua orang, kalau perlu seluruh kclas dapat datang ke
rumahku" (Suharianto 1982:79).
Gaya bahasa antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur
mengendur. Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang
gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan
yang kurang penting. Gaya bahasa antiklimaks sering kurang efektif karena
gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca
atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian kalimat
selanjutnya. Senada dengan hal itu, Suharianto (1982:77) mengemukakan
bahwa gaya bahasa antiklimaks merupakan suatu pernyataan yang disusun
secara berurutan dari yang paling tinggi, makin menurun dan makin
menurun dan makin menurun sampai kepada yang paling rendah. Misalnya,
"Jangankan seribu, seratus pun aku tak mau membayarnya" (Suharianto
1982'.77).
Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran
dalam pernakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama
dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut bisa pula berupa
anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama.
Misalnya, "Baik orang berpangkat maupun oran melarat, harus dihukum kalau
memang bersalah" (Suharianto 1982:81). Paralelisme merupakan sebuah
bentuk yang baik untuk menonjolkan kata atau frasa yang sama fungsinya.
Hanya saja penggunaannya sebaiknya tidak terlalu sering agar kalimat-kalimat
tidak terkesan kaku.
110
Sementara itu, antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung ide-ide
yang bertentangan, dengan memanfaatkan kata-kata atau kelompok kata yang
berlawanan. Misalnya, "Tua muda, besar kecil, kaya miskin, mempunyai
tanggung jawab yang sama di hadapan Tuhan" (Suharianto 1982:77). Gaya
bahasa ini timbul dari kalimat yang berimbang serta mempergunakan pula
unsur-unsur paralelisme.
Adapun gaya bahasa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata,
kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan
dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi, sebagaimana halnya dengan
paralelisme dan antitesis, timbul dari kalimat yang berimbang, misalnya
"Hidup ini memang sendiri , di perut ibu yang sendiri, dalam kuburan yang
sendiri, nanti menanggung dosa dan pahala juga sendiri" (MBL:17). Keraf
(1994:127-128) membagi repetisi menjadi delapan jcnis, yaitu (1) epizeuksis,
(2) tautotes, (3) anafora, (4) epistrofa, (5) simploke, (6) mesodiplosis, (7)
epanalepsis, dan (8) anadiplosis.
Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang
dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Misalnya, Kita harus
berusaha, berusaha, sekali lagi berusaha untuk menggapai cita-cita. Tautotes
adalah repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi.
Misalnya, Dia mencintai aku, aku mencintai dia, dia dan aku saling merindu.
Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap
baris atau kalimat berikutnya. Misalnya, Kejujuran adalah tidak hanya
sekedar kata. Kejujuran adalah kata yang sant dengan makna. Kejujuran
harus diwujudkan dalam realita, meskipun pahit akibatnya. Epistrofa adalah
repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau
kalimat berurutan. Misalnya, Harta yang kaumiliki, jabatan yang kaududuki
adalah ujian. Kesenangan yang kaurasakan, kesedihan yang kau keluhkan
adalah ujian. Simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris
atau kalimat berturut-turut. Misalnya, Dia bilang aku adalah orang yang tak
tahu diri. Aku bilang biarin. Dia bilang aku adalah orang yang sok suci. Aku
bilang biarin. Dia bilang aku adalah orang fundamentalis. Aku bilang biarin.
111
Mesodiplosis adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat
berurutan. Misalnya. Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon. Para
pembesar jangan mencui bensin. Para gadis jangan mencuri perawannya
sendir. Epanalepsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris,
klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Misalnya, Kita curahkan
perasaan, pikiran, dan tenaga kita. Kami rela berkorban jiwa dan raga
karena agama kami. Bangkitlah, wahai pemudaku, bangkitlah. Anadiplsis
adalah pengulangan kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat
menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Misalnya,
dalam syair ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna: Mudah-mudahan
ada Kau!
Selanjutnya, pengertian gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna adalah apakah acuan yang digunakan masih mempertahankan makna
denotatifnya atau telah menyimpang. Jika acuan yang digunakan itu masih
mempertahankan makna dasar, bahasa itu masih bersifat lugas. Akan tetapi
jika telah ada perubahan makna, baik berupa makna kiasan maupun yang
telah menyimpang jauh dari makna denotatifhya, acuan itu dianggap telah
merniliki gaya bahasa yang sering disebut sebagai trope atau figure of
speech, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif
dari bahasa yang lazim, baik dalam ejaan, pembentukan kata, konstruksi
(frasa, klausa, kalimat), maupun dalam penerapan sebuah istilah dcngan
tujuan untuk memperoleh kejelasan, penekanan, atau efek yang lain. Termasuk
dalam bahasan trope atau figure of speech adalah gaya bahasa majas (Keraf,
1994:129).
Majas, menurut Nurgiyantoro (1998:296-297) merupakan teknik
pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjukan pada makna harfiah
kata-kata yang mendukungnya, tetapi pada makna yang ditambahkan atau
makna yang tersirat. Dengan kata lain, pemajasan merupakan gaya yang
mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Keraf (1994:138) mengemukakan bahwa gaya bahasa kiasan (majas)
dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu
112
dengan sesuatu yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang
menunjukan kesamaan antara dua hal tersebut.
Bentuk pengungkapan yang menggunakan majas jumlahnya relatif
banyak, namun hanya beberapa saja yang kemunculannya dalam sebuah
karya sastra relatif tinggi (Nurgiyantoro, 1998:298). Jenis majas yang
kemunculannya relatif tinggi dalam karya sastra antara lain metafora, simile,
dan personifikasi.
Metafora merupakan gaya perbandingan yang bersifat tidak langsung
dan implisit. Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang
kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan yang
eksplisit (Nurgiyangtoro 1998 . 299). Simile merupakan majas yang menyaran
pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit, dengan
mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitannya,
misalnya mirip, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, dan seperti. Dalam
penuturan majas ini, sesuatu yang disebut pertama dinyatakan mempunyai
persamaan sifat dengan sesuatu yang disebut belakangan (Nurgiyantoro,
1998:298). Adapun personifikasi adalah majas yang memberi sifat-sifat benda
mati dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia sehingga dapat bersikap
dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Berbeda halnya dengan
simile dan metafora yang dapat membandingkan dua hal yang menyangkut
apa saja sepanjang dimungkinkan, pembanding dalam personifikasi haruslah
manusia atau sifat-sifat mausia (Nurgiyantoro I 998 :299).
Menurut Jabrohim (2001:60-62), penggunaan bentuk bahasa yang
menyimpang sebagaimana penggunaan majas dalam karya sastra merupakan
hal yang biasa. Dia mengkategorikan bahasa yang menyimpang itu menjadi
delapan kelompok, sebagai berikut.
Pertama, penyimpangan leksikal, yaitu jika bentuk bahasa tersebut
mengalami penyimpangan makna secara leksikal yang ditandai oleh adanya
proses morfologi yang belum umum atau masih problematik, kata bentukan
baru, dan kata yang tanpa makna, seperti keder ngloyor, dan leluka.
113
Kedua, penyimpangan semantis, yaitu bentuk atau struktur yang tidak
menunjuk pada makna denotatif, melainkan makna kiasan. Penyimpangan
semantis terjadi dalam hubungan struktur kalimat, yaitu jika terdapat
penggabungan kata yang secara akal tidak dapat diterima. Akan tetapi hal
tersebut dapat ditemukan maknanya berdasar kriteria lain, yaitu makna yang
bersifat tambahan. Contoh kata mata bagi orang Arab tentu berlainan
maknanya dengan orang Indonesia. Mata dalam bahasa Arab berarti kapan,
sedangkan dalam bahasa Indonesia dapat berarti indera pengihatan.
Ketiga, penyimpangan fonologis, yaitu suatu bentuk tidak rnemiliki
makna konvensional sebagaimana kata pada umumnya. Bentuk tersebut oleh
sastrawan dipandang sebagai kata, namun bentuk itu tidak dijumpai dalam
kamus, misalnya ditinda, melayah, menggigir.
Keempat, penyimpangan morfologis, yaitu bentuk yang tidak umum
pemakaiannya. Ketidakumuman itu karena pembentukannya menyalahi aturan
atau masih problematis. Termasuk dalarn penyimpangan ini adalah kata-kata
yang berupa bentukan baru dan penghilangan afiks. Misalnya, mangkal, nangis,
nungsep, ngungun.
Kelima, penyimpangan sintaksis, yaitu struktur yang tidak umum
pemakaiannya dalam berbahasa secara normatif formal. Ketidakumuman itu
sering menimbulkan ketaksaan struktur dan makna. Contohnya, pengarang
tidak menggunakan huruf kapital pada awal kalimat dan tanda titik pada
akhir kalimat.
Keenam, penyimpangan register. Penyimpangan ini erat kaitannya
dengan penyimpangan dialek, namun yang dipersoalkan adalah situasi
pemakaiannya, atau bagaimana dan kapan suatu bentuk bahasa dipergunakan
dalam tindak berbahasa.
Ketujuh, penyimpangan historis, yaitu berkaitan dengan pemakaian
kata-kata archais seperti jenawi, dewangga, bahana dalam karya sastra
modern.
Kedelapan, penyimpangan grafologis, yaitu mempermasalahkan
penulisan bentuk dan struktur linguistik, baik menyangkut penulisan huruf,
114
kata, kelompok kata, maupun kalimat. Suatu bentuk dipandang sebagai
penyimpangan grafologis jika bentuk atau strukur itu penulisannya tidak
sesuai dengan ketentuan atau kaidah yang berlaku.
Selanjutnya dilihat dari segi nonbahasa, menurut Keraf (1994:ll5-ll6),
gaya bahasa dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, berdasarkan pengarang,
yaitu gaya bahasa yang disebut sesuai dengan nama pengarang. Artinya,
gaya bahasa tersebut dikenal berdasarkan ciri pengenal yang digunakan oleh
pengarang tertentu, sehingga ada gaya bahasa W.S. Rendra, Chairil Anwar,
Tauflk Ismail, Emha, dan sebagainya.
Kedua, berdasarkan masa, yaitu gaya bahasa yang dikenal karena
ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu,
sehingga ada gaya bahasa klasik dan gaya bahasa modern.
Ketiga, berdasarkan medium, yaitu bahasa sebagai alat komunikasi.
Oleh karena struktur dan latar sosial pemakainya berbeda, setiap bahasa juga
memiliki corak yang berbeda-beda, sehingga ada gaya bahasa Indonesia,
Inggris, Arab, Jerman, dan sebagairrya
Keempat, berdasarkan subjek, yaitu gaya bahasa yang dipengaruhi
oleh subjek yang menjadi pokok karangan, sehingga ada gaya bahasa filsafat,
hukum, teknik, sastra, pendidikan, dan sebagainya.
Kelima, berdasarkan tempat, yaitu gaya bahasa yang mendapat nama
dari lokasi geografis, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan
atau ekspresi bahasanya. Oleh karena itu, ada gaya bahasa Jakarta,
Yogyakarta, Medan, Ambon, dan sebagainya.
Keenam, berdasarkan pembaca. Seperti halnya subjek, keadaan
pembaca juga mempengaruhi gaya bahasa yang dipergunakan seorang
pengarang, sehingga ada gaya bahasa populer yang cocok untuk rakyat
banyak, ada gaya bahasa intim (familiar) yang cocok untuk lingkungan
keluarga, dan sebagainya.
Ketujuh, berdasarkan tujuan, yaitu gaya bahasa yang memperoleh
namanya dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang yang ingin
115
mencurahkan gejolak emotifnya. Oleh karena itu, ada gaya bahasa
sentimental, sarkastik, diplomatik, humor, dan sebagainya.
G. Pemanfaatan Gaya Bahasa
Gaya bahasa, menurut Aminuddin (1995:v), merupakan suatu cara
yang dipergunakan pengarang dalan mengungkapkan buah pikiran sesuai
dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra,
efek tersebut berkaitan dengan usaha pemerkayaan makna, penggambaran
objek dan peristiwa secara imajinatif, maupaun pemberian efek emotif tertentu
bagi pembacanya. Wahana yang dipergunakan untuk mengungkapkan buah
pikiran dengan berbagai efek yang diinginkan tersebut bukan hanya mengacu
pada lambang kebahasaan melainkan juga pada berbagai macam bentuk
sistem tanda yang secara potensial dapat dipergunakan untuk
menggambarkan gagasan dengan berbagai kemungkinan efek estetis yang
ditimbulkannya.
Meskipun ditinjau dari wujud konkretnya wahana yang digunakan
tersebut tidak selalu berupa lambang kebahasaan, pada saat mengkreasikannya
penutur selalu mengolahnya melalui kode kebahasaan. Dalam memaknainya,
pembaca pun selalu mentransformasikan kembali sistem tanda tersebut ke
dalam lambang kebahasaan. Hal yang demikian ini terjadi karena pewujudan
sistem tanda dalam berbagai variasinya tersebut merupakan pengejawantahan
dari kode kebahasaan (Aminuddin 1995:v).
Style yang merupakan pusat perhatian stilistika, menurut Sudjiman
(1993:13) pada hakikatnya merupakan suatu cara yang digunakan seorang
pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan
bahasa sebagai sarana. Dengan demikian, style dapat diterjemahkan sebagai
gaya bahasa. Gaya bahasa terdapat dalam berbagai ragam bahasa, baik
ragam lisan, ragam tulis, ragam sastra, maupun ragam nonsastra, karena
gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh
orang tertentu dan untuk maksud tertentu. Namun demikian, secara
tradisional gaya bahasa selalu dikaitkan dengan teks sastra (tertulis).
116
Menurut Sudjiman (1993:14), gaya bahasa antara lain mencakup diksi,
struktur kalimat, majas dan citraan, dan pola rima. Ketika membaca sebuah
karya sastra, seseorang dapat menentukan ragamnya dengan melihat gaya
bahasa teks yang bersangkutan karena penggunaan gaya bahasa yang khas.
Demikian pula, gaya bahasa sebuah karya dapat mengungkapkan periode,
angkatan, tradisi, atau aliran sastranya. Untuk menentukan gaya bahasa yang
khas dari seorang pengarang, eseorang semestinya membaca dan menelaah
penggunaan bahasa dari semua karyanya. Sementara itu, untuk memastikan
apa yang disebut gaya bahasa suatu ragam sastra tertentu, seseorang
semestinya membaca dan mengkaji penggunaan bahasa dalam semua karya
dari ragam tersebut. Oleh karena itu, bidang kajian stilistika biasanya
dibatasi pada teks tertentu saja.
Lebih lanjut Sudjiman (1993:14) mengatakan bahwa pengkajian
stilistika adalah meneliti gaya sebuah teks sastra secara rinci dan sistematis
dengan memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa,
mengamati antarhubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistik
yang membedakan pengarang, karya, tradisi, atau periode tertentu dari
pengarang, karya, tradisi, atau periode lainnya. Ciri ini bisa bersifat fonologis
(pola bunyi bahasa, matra, rima), sintaksis (struktur kalimat), leksikal (diksi,
frekuensi penggunaan kelas kata tertentu), atau retoris (majas, citraan).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, konsep tertua tentang gaya
bahasa menyamakannya dengan bungkus suatu gagasan (dress of thought).
Konsep tersebut membedakan karya sastra atas isi gagasan (content/matter )
yaitu pesan yang ingin disampaikan, dan bungkusnya (expression/manner),
yaitu berhubungan dengan cara penyajiannya kepada pembaca. Berdasarkan
konsep itu ada kecenderungan memusatkan perhatian pada cara penyajian ide
atau gagasan. Dengan bahasa yang beragam majas dan berbunga-bunga,
pengarang berupaya menarik perhatian pembaca kepada bentuk estetiknya,
baru kemudian pada pesan-pesan yang ingin disampaikan. Sebuah ide yang
sebetulnya wajar-wajar saja menjadi tampak lebih megah karena dikemas
dengan bungkus yang penuh dengan hiasan yang kadang berlebihan. Namun
117
demikian, bukan berarti hiasan stilistik lalu dapat ditiadakan begitu saja,
karena pemanfaatan sarana stilistik sering membawa tambahan makna
(Sudjiman 1993:15). Pengulangan struktur dengan metafora yang berasal dari
berbagai bidang kehidupan dapat menegaskan sifat umum suatu gagasan.
Contohnya, "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah."
"Orang mati meninggalkan nama, harimau mati meninggalkan belangnya."
Konsep yang lain mengenai gaya bahasa menyatakan bahwa
sesungguhnya gaya bahasa adalah masalah pilihan saja. Relevan dengan
pendapat ini, Teeuw (1983:19) mengemukakan bahwa ada dua prinsip
universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra, yaitu prinsip
ekuivalensi (kesepadanan) dan prinsip deviasi (penyimpangan). Kalau seorang
pengarang memilih menggunakan prinsip ekuivalensi, maka efek yang ingin
diperolehnya ditimbulkan oleh kesepadanan antara unsur atau sarana bahasa
yang digunakannya dengan hasil yang biasanya ditimbulkan oleh unsur atau
sarana bahasa itu. Sebaliknya, jika seorang pengarang menggunakan prinsip
deviasi, berarti ia memilih untuk menyimpang, tidak mematuhi, atau bahkan
melanggar kaidah bahasa yang konvensional.
Pada dasarnya sikap masyarakat dan pengarang terhadap konvensi
bahasa dan konvensi sastra adalah berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Di satu sisi, ada kelompok pengarang atau sastrawan
yang patuh pada aturan bahasa yang sedang berlaku dalam masyarakat
zamannya, dan mereka berhasil mewujudkan ide-ide artistik mereka dalam
sistem konvensi yang berlaku. Akan tetapi, di sisi lain, ada juga kelompok
pengarang atau sastrawan yang merasa tidak bebas atau terkekang sehingga
berusaha membebaskan diri dari aturan atau konvensi yang ada. Agaknya
kecenderungan semacam ini semakin menguat di kalangan para pengarang,
khususnya sastrawan sehingga berkembang konsep gaya sebagai
penyimpangan di samping konsep gaya sebagai pilihan (Sudjiman 1993:17).
Dengan penyimpangan, pengarang berusaha menarik perhatian
pembaca. Pernyataan-pernyataan bahasa dibuat tidak biasa, tidak dikenal,
tidak familiar (defamiliarisasi), sehingga pembaca akan tersentak. Karena
118
sifatnya inkonvesional, sehingga tampak menonjol dan terasa sebagai sesuatu
hal yang baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw (1983:4) bahwa konsep
penyimpan gan adarah sebagai penonjolan, pembaharuan, dan upaya menarik
perhatian. Tentu saja pembaharuan dengan menyimpang dari kaidah bahasa
harus dilakukan secara terus-menerus agar tidak juga menjadi sesuatu yang
konvensional.
Suatu penyimpangan dari norma bahasa tidak berdiri sendiri dan
tidak teryadi secara acak dalam suatu karya, tetapi berpola dengan gejala
bahasa yang lain dan membentuk suatu keterpaduan yang utuh. Oleh karena
itu, suatu penyimpangan tidak dapat dipahami secara terpisab-pisah, hanya
dalam kaitannya dengan sistem bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian,
suatu penyimpangan hendaknya dilihat dalam konteks tempat munculnya.
Terkait dengan hal ini perlu diingat juga bahwa objek penelaahan stilistika
bukannya gejala per gejala, melainkan bepolanya gejala-gejala itu dalam
suatu karya sebagai satu kesatuan yang integral dan utuh.
Konsep gaya bahasa sebagai penyimpangan, bagaimanapun, akan
senantiasa merujuk ke pandangan yang lebih luas, yaitu bahwa gaya bahasa
adalah pilihan, termasuk pilihan untuk menggunakan atau tidak menggunakan
struktur yang menyimpang. Relevan untuk dibicarakan di sini adalah apa
yang disebut licentia poetica. Menurut Sudjiman (1990:47), yang dimaksud
licentia poetica ialah kebebasan seorang pengarang untuk menyimpang dari
kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek
yang dikehendakinya. Jenis dan tingkat kebebasan yang diperbolehkan
bervariasi menurut konvensi zaman. Adapun pembenaran menggunakan
kebebasan itu tergantung pada keberhasilan efek yang ditimbulkannya.
Kebebasan memilih harus diartikan sebagai tindakan yang dilakukan
dengan sadar, walaupun sering juga didahului oleh semacam intuisi, dengan
mempertimbangkan akibat atau hasilnya. Dengan demikian, kebebasan
memilih bukanlah tindakan yang semau-maunya atau semena-mena. Dalam
memilih cara penyampaiannya itu, menurut Sudjiman (1993:19-20), seorang
119
pengarang perlu memperhitungkan tujuan atau efek yang ingin dicapai, dengan
cara sebagai berikut.
Pertama, mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional.
Dengan memilih cara ini pengarang menempuh cara yang paling aman sebab
ide-idenya bisa dimengerti oleh pembacanya tanpa kesulitan bahasa dan
penyampaian pesan dapat berjalan dengan lancar serta lebih komunikatif.
Namun demikian, dilihat dari sisi pengarang, keterikatannya pada kaidah dan
konvensi bahasa sering dirasakan sebagai belenggu yang mengekang sebuah
kreatifitas. Pengarang yang cukup enerjik biasanya tidak mau terbelenggu
dalam pengekspresian perasaan dan ide-idenya, ia selalu menginginkan
ekspresi yang unik dan baru.
Kedua, memanfaatkan potensi dan kemampuan bahasa secara inovatif.
Dalam hal ini pengarang memainkan sarana bahasa secara inovatif, Artinya,
ia dapat memanfaatkan berbagai kemungkinan yang tersedia, memanipulasi
kaidah yang umum berlaku tetapi masih dalam batas-batas konvensi. Dengan
demikian, meskipun ia mengikuti prinsip kesepadanan, tetapi mengikutinya
secara inovatif.
Ketiga, menyimpang dari konvensi yang berlaku. Kebebasan, atau
lebih tepatnya, kewenangan untuk menyimpang dari konvesi ini merupakan
suatu kelonggaran bagi pengarang atau sastrawan. Dalam hal ini ia bukannya
asal melanggar atau menyimpang karena ingin menyimpang saja (waton
suloyo), melainkan menyimpang atau melanggar untuk mencapai tujuan atau
efek tertentu, misalnya untuk menarik perhatian pembaca.
Hal yang perlu diingat oleh pengarang atau sastrawan adalah bahwa
karya sastra bagaimanapun merupakan sarana penyampai pesan atau media
komunikasi. Pengarang atau sastrawan menyampaikan pesannya kepada
pembaca atau pendengar tentu saja dengan harapan agar pesannya itu dapat
ditangkap seperti yang ia maksudkan. Oleh karena itu, penyimpangan yang
dilakukan oleh pengarang sebaiknya masih harus dapat dipahami oleh
pembaca atau pendengarnya. Hal yang demikian ini hanya dimungkinkan jika
120
pengarang dan pembaca atau pendengarnya terikat pada konvensi bahasa dan
konvensi budaya yang sama.
121
BAB V
PRAGMATIK
A. Pengertian Pragmatik
Dalam pembahasan tentang sintaksis, sebuah kata dalam sebuah kalimat
ditafsirkan maknanya menurut hubungan formal kalimat itu. Namun dalam kehidupan
sehari-hari, makna kata tidak saja tergantung pada kedudukannya dalam kalimat,
tetapi juga tergantung pada penutur yang menyampaikan kata itu. Makna yang
dikehendaki oleh penutur itu dikaji dalam pragmatik. Dengan kata lain, pragmatik
ialah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna yang dikehendaki oleh penutur
(Cahyono, 1995:213).
Kajian pragmatik telah dikembangkan oleh sejumlah pakar, seperti Austin
(1962) dan Searle (1969) dengan menelusuri hakikat tindak tutur (speech act) dan
Grice (1975) tentang prinsip kerja sama (cooperative principles) dan implikatur
percakapan (conversational implicature). Leech (1983) menyatakan bahwa pragmatik
adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Tampak bahwa
batasan itu mengeksplisitkan makna, yang kemudian dalam pragmatik itu disebut
maksud. Keberadaan maksud itu sangat bergantung pada situasi atau konteks tuturan.
Tanda bahasa bermaksud A atau B ditentukan oleh konteks tuturan.
Selanjutnya, Leech menyatakan bahwa pragmatik itu kajian komunikasi
linguistis menurut prinsip-prinsip pecakapan. Salah satu prinsip percakapan itu, yaitu
prinsip kerja sama, dikemukakan oleh Grice (1975). Relevansi pengaitan kajian
pragmatik dengan prinsip percakapan ini berupa kenyataan bahwa maksud ekspresi
penutur dapat dihambat oleh prinsip ini. Pelanggaran prinsip percakapan
menyebabkan terjadinya perbedaan antara apa yang dikatakan penutur dan apa yang
dimaksudkannya. Tidak berbeda jauh dari Leech, Parker (1986) berpendapat bahwa
pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi.
Jika dibandingkan dengan pendapat ahli terdahulu, pendapat ini tidak bertentangan
karena memang pragmatik membahas penggunaan bahasa.
Agak berbeda dengan pendapat para pakar terdahulu, Fasold dalam Rustono
(1999:3) menyatakan bahwa pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan konteks
untuk menarik inferensi tentang makna. Yang dimaksud dengan inferensi di sini
adalah simpulan yang ditarik dari suatu tuturan. Hal itu terjadi karena tidak tertutup
kemungkinan, bahkan banyak sekali, hasil inferensi atau tuturan berbeda dari apa
yang secara eksplisit dinyatakan.
Adapun Mey dalam Rustono (1999:4) menyatakan bahwa pragmatik adalah
ilmu yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penutur. Ia juga memberikan
tambahan penjelasan bahwa pragmatik mempelajari bahasa sebagaimana digunakan
dalam realitas kehidupan manusia untuk berbagai macam tujuan sesuai dengan
keterbatasan dan kemampuannya. Jelaslah bahwa pragmatik tidak dapat melepaskan
diri dari masalah penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bahasa
dan pemakainya menjadi ciri utama telaah pragmatik.
Dalam penjelasannya sepanjang 53 halaman Gunarwan (1994) dalam Rustono
(1999:2) menemukan paling sedikit delapan rumusan tentang pragmatik seperti
berikut ini.
(1) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan di antara tanda (lambang) dan
penafsirannya.
(2) Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa.
(3) Pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsi dalam arti bahwa kajian ini
mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistis dengan mengacu pada
pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistis.
(4) Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan-hubungan antara bahasa dan
konteks.
(5) Pragmatik berkaitan dengan topik mengenai aspek-aspek makna ujaran yang tidak
dapat dijelaskan dengan mengacu langsung pada persyaratan kebenaran (truth
condition) dan kalimat yang diujarkan.
(6) Pragmatik adalah kajian tentang hubungan-hubungan antara bahasa dan konteks
yang merupakan dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
(7) Pragmatik adalah kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa untuk
menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut (diujarkan).
(8) Pragmatik adalah kajian tentang deiksis (paling tidak sebagian), implikatur,
praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana.
124
Mengacu pada delapan batasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa banyak
aspek yang terkait dengan pragmatik, antara lain: relasi tanda dan penafsirannya,
penggunaan bahasa, fungsi bahasa, konteks, penutur, kepatutan, dan topik-topik
pragmatik. Hanya saja, penggunaan istilah kalimat di dalam salah satu batasan
tersebut agaknya kurang tepat, karena yang dibicarakan dalam pragmatik itu
bukanlah kalimat, melainkan tuturan sebagai hasil tindak tutur.
Dari berbagai definisi itu, Gunarwan dalam Rustono (1999:4) merumuskan
bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan (timbal balik)
fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran. Dengan
kata lain, pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan timbal balik
antara fungsi dan bentuk tuturan. Dalam batasan yang sederhana itu, secara implisit
tercakup penggunaan bahasa, komunikasi, konteks, dan penafsiran.
B. Ruang Lingkup Pragmatik
Menurut Purwo (1990:10), sebelum pragmatik mulai berkembang dalam
dasawarsa 1970-an, kegiatan analisis dalam linguistik didominasi oleh kajian tentang
kalimat dalam lingkup sintaksis. Pakar sintaksis yang cukup berpengaruh pada masa
itu adalah Noam Chomsky. Sementara itu, sebagian linguis lain mulai menarik
semantik ke dalam teori linguistik. Upaya itu dilandasi pemikiran bahwa sintaksis
tidak dapat dipisahkan dari pemakaian bahasa. Artinya, analisis kalimat tidak dapat
dilakukan tanpa memperhitungkan bagaimana kalimat itu digunakan dalam
konteksnya. Di samping itu, dengan lahirnya pemikiran Austin dan Searle tentang
teori tindak tutur (speech act), analisis bahasa berubah dari analisis bentuk-bentuk
bahasa ke analisis fungsi-fungsi bahasa dan pemakaiannya dalam komunikasi.
Selanjutnya Purwo (1990:214) menyatakan bahwa istilah pragmatik itu sendiri
lahir dari filsuf Charles Morris yang mengolah kembali pemikiran para filsuf
pendahulunya mengenai ilmu tanda dan lambang yang disebut semiotik. Oleh Morris,
semiotik dibagi menjadi tiga cabang, yaitu semantik, sintaksis, dan pragmatik. Senada
dengan pendapat tersebut, Rustono (1999:1), menyatakan bahwa pragmatik
merupakan cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan penafsirannya.
Dengan kata lain, pragmatik merupakan bagian ilmu tanda atau semiotik. Kekhasan
bidang ini adalah penafsiran atas tanda atau bahasa. Kekhasan bidang ini tidak sama
125
dengan kekhasan bidang sintaksis dan semantik sebagai bagian semiotik lain. Pada
bidang sintaksis kajian dikhususkan pada relasi formal tanda, sedangkan kajian pada
bidang semantik pada relasi antara tanda dan objek yang diacunya.
Menurut Leech (1983:5-7), perbedaan antara pragmatik dan semantik
berkenaan dengan tiga hal pokok, yaitu:
1. Pragmatik mempelajari maksud tuturan, yaitu untuk apa tuturan itu diekspresi,
sedangkan semantik membahas makna (makna kata dan makna kalimat).
2. Pragmatik berupaya mencari jawaban atas pertanyaan apakah yang dimaksudkan
dengan X, sedangkan semantik berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan
apakah makna X.
3. Pragmatik memperhatikan “makna” dalam kaitannya dengan siapa berbicara
kepada siapa, bagaimana, kapan, di mana, dalam situasi apa; sedangkan semantik
memberikan perhatian pada makna dengan tidak mengacu kepada siapa yang
mengekspresi kalimat itu dan kepada fungsi komunikatif kalimat itu. Gunarwan
(1994:40) menyatakan bahwa perbedaan ketiga itu berimplikasi bahwa makna
dalam semantik ditentukan oleh koteks (co-text), sedangkan “makna” dalam
pragmatik ditentukan oleh konteks.
Selanjutnya, terkait dengan perbedaan dan hubungan antara pragmatik dan
semantik, ada tiga pendapat, yaitu (1) pragmatik dan semantik itu berbeda tetapi
saling melengkapi atau bersifat komplementerisme, (2) semantisme, dan (3)
pragmatisme. Di dalam semantisme dominasi ada pada semantik, sedangkan dalam
pragmatisme dominasi itu ada pada pragmatik. Ketiga pendapat itu dapat
digambarkan dengan diagram berikut.
Berbeda dari pragmatik dan semantik, sintaksis mempelajari relasi formal
antartanda dalam suatu bangun kalimat. Satuan sintaksis itu meliputi frasa, klausa,
semantisisme
semantisisme komplementerisme pragmatisme
semantik
pragmatik
semantik
pragmatik (pragmatik)
semantik
126
dan kalimat. Perbedaan pragmatik, semantik, dan sintaksis dapat pula dilakukan atas
dasar satuan analisisnya. Satuan analisis pragmatik adalah tuturan sebagai hasil tindak
tutur. Makna merupakan satuan analisis semantik. Adapun, satuan analisis sintaksis
adalah kalimat.
Levinson (1983:9) mengemukakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang
deiksis, praanggapan, implikatur, tindak tutur, dan aspek-aspek tutur wacana. Berikut
adalah paparan dari aspek-aspek dalam kajian pragmatik tersebut.
C. Deiksis
Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang
hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan
(Alwi, 1998:42). Menurut Nababan (1987:40), deiksis ada lima macam yaitu deiksis
orang, tempat, waktu, wacana, dan sosial.
Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa.
Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok
yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kami, dan kita.
2. Orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau
lebih yang bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, dan saudara.
3. Orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada oarng yang bukan pembicara atau
pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam
peristiwa tutur, misalnya:
(1) Sebaiknya kamu menunggu sambil duduk-duduk di sini.
(2) Di sini menerima santri untuk menghafal Al-Quran.
(3) Di sini sudah membudaya wanita berjilbab.
Frasa di sini pada kalimat (1) mengacu pada tempat duduk bisa berupa kursi,
sofa, balai-balai, atau lainnya. Pada kalimat (2) acuannya lebih luas, yakni suatu
lembaga pendidikan atau pesantren. Pada kalimat (3) acuannya lebih luas lagi, yakni
wilayah desa, atau kecamatan, atau wilayah yang lebih luas lagi.
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang
dimaksudkan penutur dalam peristiwa tutur, misalnya:
127
(1) Kita harus salat berjamaah sekarang.
(2) Sekarang sedang musim kemarau.
(3) Sekarang tindak pidana korupsi terjadi hampir di semua lembaga negara,
baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Pada kalimat (1) sekarang merujuk ke jam atau bahkan menit. Pada kalimat
(2) cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu atau bulan lalu, bulan ini,
dan beberapa bulan mendatang. Pada kalimat (3) cakupannya lebih luas lagi, mungkin
berbulan-bulan dan bahkan bisa bertahun-tahun.
Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang
telah diberikan atau sedang dikembangkan. Deiksis wacana meliputi anafora dan
katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan
sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah
penunjukan kepada sesuatu yang disebut kemudian (Cahyono, 1995:218).
Sementara itu, Alwi (1998:43) menyatakan bahwa anafora adalah peranti
dalam bahasa untuk membuat rujuk silang dengan hal atau kata yang telah dinyatakan
sebelumnya. Peranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia, mereka, nomina
tertentu, konjungsi, keterangan waktu, alat, dan cara. Contohnya sebagai berikut.
(1) Pak Ahmad belum menunaikan ibadah haji, padahal dia orang yang kaya
raya.
(2) Pada tahun 1998 dimulai Era Reformasi di Indonesia. Waktu itu terjadi
unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan para mahasiswa. Mereka
menuntut agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya.
Pada contoh (1) kata dia beranafora dengan Pak Ahmad. Pada contoh (2) frasa
waktu itu dan tahun 1998 pada kalimat sebelumnya mempunyai hubungan anaforis.
Demikian pula, kata mereka dan frasa para mahasiswa.
Kebalikan dari anafora adalah katafora, yakni rujuk silang terhadap anteseden
yang ada di belakangnya, misalnya:
(1) Setelah dia masuk Islam, Maria merasa hidupnya lebih tenteram.
(2) Setelah mereka dinyatakan lulus ujian nasional, para siswa melakukan
sujud syukur bersama.
128
Salah satu interpretasi dari kalimat tersebut ialah bahwa dia merujuk pada
Maria meskipun ada kemungkinan interpretasi lain. Demikian pula, mereka merujuk
ke para siswa. Gejala pemakaian pronomina seperti dia yang merujuk pada anteseden
Maria, atau mereka yang merujuk ke para siswa yang berada di sebelah kanannya
inilah yang disebut katafora.
Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan
kemasyarakatan yang memengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu
dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam masyarakat Jawa, pada umumnya
digunakan etiket bahasa, yaitu pemilihan tingkatan bahasa yang menurut kedudukan
sosial pembicara, pendengar, atau orang yang dibicarakan. Misalnya, verba yang
sepadan dengan tidur dapat dinyatakan dengan turu, tilem, sare, yang berentangan
dari tingkatan kesopanan berbahasa dari paling rendah hingga paling tinggi
(Cahyono, 1995:219).
D. Praanggapan
Ketika seorang penutur menggunakan deiksis seperti di sini, dalam situasi
biasa, dia mengasumsikan bahwa si pendengar mengetahui lokasi yang dimaksudkan.
Secara lebih umum, penutur selalu merancang pesan-pesan linguistiknya berdasarkan
asumsi-asumsi tentang sesuatu yang sudah diketahui oleh pendengar. Tentu saja
asumsi itu dapat salah, tetapi asumsi-asumsi itu mandasari banyak hal dari yang kita
katakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Menurut Cahyono (1995:219), apa yang diasumsikan penutur seperti hal yang
benar atau hal yang diketahui pendengar dapat disebut sebagai praanggapan
(presupposition). Stalnaker (1978:321) menyatakan bahwa praanggapan adalah apa
yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Senada
dengan Stalnaker, Palmer (1989:51) menyatakan bahwa praanggapan berupa andaian
penutur bahwa mitra tutur (kawan bicara) dapat mengenal secara pasti orang atau
benda yang yang diperbincangkan.
Tuturan (1) dan (2) berikut mempraanggapkan tuturan lain.
(1) Aji membaca majalah Hidayatullah.
(2) Menantu kepala desa itu sangat giat berdakwah.
129
Tuturan yang dipraanggapkan oleh tuturan (1) dan (2) tersebut masing-masing adalah
tuturan (3) dan (4) berikut ini.
(1) (Ada majalah Hidayatullah.)
(2) Kepala desa itu mempunyai menantu.)
Dengan kata lain, tuturan (3) dan (4) masing-masing merupakan praanggapan dari
tuturan (1) dan (2).
E. Implikatur
Levinson (1983:97) menyatakan bahwan implikatur (implicature) yang
disebut juga implikatur percakapan (konvensasional implicature) merupakan konsep
yang cukup penting dalam kajian pragmatik karena empat hal berikut.
1. Konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak
terjangkau oleh teori linguistik.
2. Konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang
dikatakan secara lahiriah. Misalnya, pertanyaan tentang waktu dapat dijawab
tidak dengan menyebutkan waktunya secara langsung tetapi dengan penyebutan
peristiwa yang biasa terjadi pada waktu tertentu. Perhatikan contoh berikut
(a) Sekarang jam berapa?
(b) Saya sudah salat Maghrib.
Tampaknya kedua kalimat tersebut tidak berkaitan secara konvensional. Namun
pembicara (b) sudah mnegetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah
cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara (a), karena ia sudah mengetahui
bahwa waktu salat Maghrib hambir habis.
3. Konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik,
contohnya:
(a) Mungkin Umar berjodoh dengan Delisa.
(b) Mungkin Umar berjodoh dengan Delisa dan mungkin pula Umar tidak
berjodoh dengan Delisa.
Berdasarkan kajian implikatur, kalimat (a) telah mengandung pengertian
sebagaimana yang terkandung dalam kalimat (b). Selain strurturnya, isi dalam
kalimat (b) itu dapat dinyatakan secara lebih sederhana.
130
4. Konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat.
Misalnya, ujaran dia rajin yang berarti kebalikannya. Cara kerja metafora dan
peribahasa dapat dijelaskan oleh konsep implikatur.
Grice (1975:43) mengemukakan bahwa implikatur adalah implikasi pragmatis
yang terdapat dalam percakapan yang tim bul sebagai akibat terjadinya pelanggaran
prinsip percakapan. Sejalan dengan batasan tentang implikasi pragmatis, implikatur
itu adalah proposisi atau pernyataan implikatif, yakni apa yang mungkin diartikan,
disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya
dikatakan oleh penutur dalam suatu percakapan. Relatif sama dengan pendapat Grice
tersebut, Mey (1994:99) menyatakan bahwa implikatur itu merupakan sesuatu yang
tersirat dalam suatu percakapan, yakni sesuatu yang dibiarakan implisit dalam
penggunaan bahasa secara aktual.
Selanjutnya, terkait dengan kajian implikatur, Gunarwan (1994:52)
mengemukakan tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni (1) implikatur bukanlah
merupakan bagian tuturan, (2) implikatur bukanlah akibat logis tuturan, dan (3) ada
kemungkinan sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan itu bergantung
pada konteksnya.
F. Tindak Tutur
1. Pengertian Tindak Tutur
Tindak tutur (speech act) merupakan entitas yang sangat penting dalam kajian
pragmatik. Pentingnya tindak tutur dalam kajian pragmatik itu tampak dalam
perannya bagi analisis topik pragmatik lain, seperti praanggapan, perikutan,
implikatur percakapan, dan sebagainya. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan
analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik yang sebenarnya.
Alasan ditampilkannya istilah tindak tutur adalah bahwa ketika mengucapkan
ekspresi, pembicara tidak hanya mengatakan sesuatu dengan mengucapkan ekspresi
itu, tetapi juga ’menindakkan’ (melakukan) sesuatu. Dengan kata lain, mengujarkan
sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan, di sampingkan memang
mengucapkan tuturan itu (Rustono, 1999:32).
131
2. Jenis-jenis Tindak Tutur
a. Konstatif dan Performatif
Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya
dapat diuji--benar atau salah--dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.
Misalnya tuturan, ”Masjid Raya Darul ’Amal ada di sebelah barat lapangan Kota
Salatiga.” Tuturan tersebut dapat diterima atau ditolak berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki. Jika diterima, berarti tuturan tersebut benar, dan sebaliknya.
Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk
melakukan sesuatu. Atau, tuturan yang merupakan tindakan melakukan sesuatu
dengan memmbuat tuturan itu. Berkaitan dengan tuturan performatif, tidak dapat
dikatakan bahwa tuturan itu benar atau salah. Misalnya (1) ”Apa pun resikonya, saya
bertekad menjadi pendakwah agama Islam”; (2) ”Saya akan rajin Tahajjud”; dan (3) ”
Saya namai masjid ini Darut Tauhid.”
b. Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Lokusi atau tindak lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk
menyatakan sesuatu. Dalam lokusi tidak dipermasalahkan maksud atau fungsi tuturan
itu. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan lokusi adalah apakah makna tuturan
yang diucapkan itu. Tuturan, ”Lantai kotor” yang mengacu kepada makna lantai
’bagian bawah dalam rumah’ dapat berupa tanah atau keramik dan kotor ’tidak
bersih’, tanpa dimaksudkan untuk menyuruh orang lain untuk membersihkannya.
Ilokusi atau tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu. Berbeda dari
lokusi, tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau
daya tuturan. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan tindak ilokusi adalah
”Untuk apakah tuturan itu dilakukan?” dan bukan ”Apakah makna tuturan yang
diucapkan itu?” Tuturan, ”Lantai kotor” yang dimaksudkan untuk menyuruh agar
lantai dibersihkan merupakan tuturan ilokusi. Alasannya adalah tuturan itu
mengandung suatu maksud, yaitu meminta agar lantai dibersihkan.
Perlokusi adalah efek atau pengaruh yang dihasilkan dengan mengujarkan
sesuatu. Efek tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja maupun tidak
sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengruhi mitra
tutur inilah yang merupakan perlokusi. Tuturan, ”Tidak lama lagi harga ayam akan
132
turun.” yang disampaikan kepada peternak ayam yang masih memiliki stok ayam
yang banyak merupakan tindak perlokusi. Oleh karena tuturan tersebut
mempengaruhi para petani itu, yaitu mereka menjadi ketakutan jika stok ayamnya
tidak segera dijual.
c. Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklarasi
Searle (1969) mengategorisasikan tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu
representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Tindak tutur
representatif/asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran
atas apa yang diujarkannya. Termasuk dalam jenis tindak tutur ini adalah tuturan-
tuturan memberikan, menyatakan, menunjukkan, menyebutkan melaporkan mengakui,
dan sebagainya.
Tindak tutur direktif/impisiotif adalah tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan itu.
Termasuk dalam jenis tindak utur ini adalah tuturan-tuturan memerintah, memaksa,
menagih, mengajak, menantang, dan sebagainya.
Tindak tutur ekspresif/evaluatif adalah tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan
dalam tuturan itu. Tuturan-tuturan menyalahkan, memuji, mengkritik, mengeluh,
mengucapkan terima kasih adalah termasuk dalam jenis tuturan ini.
Tindak tutur komisif adalah adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya
untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam tuturannya. Termasuk dalam tuturan
ini adalah mengancam, berjanji, bersumpah, menawarkan, menyatakan kesanggupan,
dan sebagainya.
Tindak tutur deklarasi/isbati adalah tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.
Memaafkan, mengabulkan, memutuskan, membatalkan, mengampuni, dan sebagainya
adalah termasuk jenis tuturan deklarasi.
d. Vernakuler dan Seremonial
Berdasarkan kelayakan pelakunya, Fraser (1974) membedakan dua jenis
tindak tutur, yakni vernakuler dan seremonial. Tindak tutur vernakuler adalah tindak
tutur yang dapat dilakukan oleh semua anggota masyarakat tutur, misalnya meminta,
133
memuji, dan mengucapkan terima kasih. Sementara itu, tindak tutur seremonial
adalah tindak tutur yang dilakukan seorang yang berkelayaan untuk hal yang
dituturkannya, misalnya memutuskan perkara, membuka sidang, berkhutbah,
menikahkan, dan sebagainya.
G. Konteks dan Situasi Tutur
1. Konteks
Gagasan tentang konteks sangat penting bagi kajian pragmatik. Ditinjau dari
sifatnya, konteks merupakan konsep yang luas yang melibatkan unsur fisik,
linguistik, epistemis, dan sosial (Cummings, 2010:37). Ada dua jenis konteks yang
perlu dipahami, yaitu konteks linguistik (ko-teks) dan konteks fisik.
Ko-teks suatu kata merupakan sekelompok kata-kata lain yang digunakan
dalam frasa atau kalimat yang sama.. Ko-teks memiliki pengaruh kuat pada
penafsiran makna kata yang kita ucapkan. Misalnya, kata tanggal sebagai homonim
dalam kalimat, ”Pada tanggal lima giginya tanggal lima.” Kata tanggal yang pertama
yang didahului kata pada tentu tidak tepat jika dimaknai ’lepas’. Demikian pula, kata
tanggal yang kedua yang didahului kata giginya tentu tidak benar kalau dimaknai
’kalender’.
Selanjutnya, tentang konteks fisik. Apabila Anda melihat pertandingan
olahraga tinju dan reporter mengatakan, ”Saudara-saudara, kini lihatlah pertarungan
sengit antara kedua petinju yang sedang baku hantam.” Tentu, makna kata baku yang
diucapkan reporter tersebut bermakna ’saling’, bukan ’standard’. Pengucapan kata
baku dapat ditafsirkan menurut konteks pengucapannya. Dengan demikian,
pemahaman kita tentang sesuatu yang dibaca atau didengar terkait erat dengan waktu
dan tempat kita menemui pernyataan-pernyataan linguistik.
Konteks, menurut Cahyono (1995:215), juga berhubungan dengan situasi tutur
(speech situation). Misalnya, dalam situasi melayat di rumah orang meninggal,
pembicaraan orang yang ada di tempat itu pasti berbeda dengan pembicaraan orang-
orang yang ada di tempat resepsi pernikahan atau pesta. Berbagai bentuk percakapan
dapat berlangsung secara bersama-sama pada pesta yang sama, masing-masing
disebabkan oleh adanya satu peristiwa tutur (speech event) atau lebih. Yang dimaksud
134
peristiwa tutur ialah satuan struktur linguistik terbesar yang ditentukan oleh norma
dan kaidah tertentu.
Adapun unsur-unsur konteks itu ialah pembicara, pendengar, pesan,
latar/situasi, saluran, dan kode (Stubbs, 1984:46). Pembicara dan pendengar adalah
peserta dalam peristiwa tutur. Dalam hubungannya dengan peserta percakapan itu,
faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa tutur antara lain jumlah peserta,
penggunaan sapaan, status, dan peranan sosial. Sementara itu, pesan atau topik
memiliki dua komponen, yaitu bentuk pesan dan isi pesan. Bentuk pesan (message
form) ialah cara bagaimana kita mengungkapkan sesuatu. Bentuk tersebut bermacam-
macam tergantung pada situasi. Isi pesan (message content) ialah apa yang kita
katakan. Selanjutnya, latar (setting) atau situasi tidak hanya berkaitan dengan tempat
dan waktu saja, tetapi juga menyangkut konsep abstrak yang disebut adegan. Lalu,
tentang saluran (channel) dapat diuraikan sebagai berikut. Pengucapan ujaran pada
umumnya disertai dengan tingkah laku nonverbal yang disebut para bahasa (para
language), yang mencakup gerak anggota tubuh, modulasi suara, raut muka,
sentuhan, dan jarak. Adapun kode mengacu ke bahasa yang digunakan oleh
pembicara untuk menyampaikan pesan, yang dapat berupa bahasa baku, dialek,
jargon, dan ragam bahasa tertentu.
Secara lebih terurai, pembicaraan mengenai konteks dapat dipaparkan sebagai
berikut. Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud.
Sarana itu meliputi dua macam, yaitu ko-teks (co-tex) dan konteks (contex). Yang
pertama berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud dan yang
kedua berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian.
Konteks terdiri atas unsur-unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu,
tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat
sebagai unsur konteks antara lain dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan,
pengumuman. Kode menyangkut ragam bahasa yang digunakan, apakah ragam
bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah, atau bahasa daerah. Sementara
itu, unsur konteks yang berupa sarana adalah wahana komunikasi yang dapat
berwujud pembicaraan bersemuka atau melalui telepon, surat, dan televisi (Alwi,
1998:421).
135
Dalam peristiwa tutur ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan
peristiwa itu. Menurut Hymes (1968) dalam Rustono (1999:20), faktor-faktor itu
berjumlah delapan, yakni : (1) setting atau scene yaitu tempat dan suasana peristiwa
tutur; (2) participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain; (3) end atau tujuan;
(4) act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur; (5) key, yaitu
nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam mengekspresi tuturan dan cara
mengekspresinya; (6) instrument, yaitu alat atau sarana untuk mengekspresi tuturan,
apakah secara lisan, tulis, melalui telepon atau bersemuka; (7) norm atau norma, yaitu
aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur; dan (8) genre, yaitu
sejenis kehiatan seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Konfigurasi
fonem awal nama kedelapan faktor itu membentuk kata speaking.
Menurut Lubis (1993:85), mengetahui penutur di dalam suatu peristiwa tutur
memudahkan interpretasi maksud tuturan. Makna tuturan, “Rapatkan barisan!” tidak
jelas tanpa diketahui penuturnya. Jika tuturan itu diekspresi oleh para pemimpin
organisasi atau pemimpin ummat, maksud tuturan itu adalah untuk meningkatkan
soliditas organisasi/ummat. Akan tetapi, jika penuturnya komandan barisan atau
imam jamaah salat tentu maksudnya adalah untuk merapatkan dan merapikan barisan
pasukan atau shaf orang-orang yang akan menunaikan salat secara berjamaah.
Mitra tutur juga merupakan aspek yang penting di dalam penelusuran maksud
suatu tuturan dalam peristiwa tutur. Pengetahuan tentang mitra tutur dapat
memperjelas maksud tuturan. Perbedaan mitra tutur menyebabkan perbedaan tafsiran
maksud tuturan. Ekspresi jauh dan berat memiliki tafsiran yang berbeda secara
bertahap menurut usia manusia. Maksud jauh bagi mitra tutur dengan usia anak-anak
tidak sama dengan maksud tuturan ibu bagi mitra tutur dewasa. Bejalan satu
kilometer jauh bagi anak-anak. Hal itu tidak berlaku bagi mitra tutur dewasa. Bagi
mitra tutur ini berjalan lima belas kilometer baru jauh. Hal yang sama terjadi pada
tafsiran tuturan berat. Berat bagi mitra tutur anak-anak jauh berbeda dari berat bagi
mitra tutur dewasa (Rustono, 1999:21-22)
Topik tuturan, yaitu pokok persoalan yang dibicarakan dalam suatu peristiwa
tutur, merupakan ciri konteks yang penting pula. Topik tuturan menjadi sarana
pemetaan maksud tuturan. Tuturan, “Apakah artikel itu?” memiliki makna yang
136
berbeda-beda sesuai dengan lingkup topik tuturannya. Dalam lingkup topik morfologi
(cabang ilmu bahasa yang membahas bentuk-bentuk kata), tuturan itu berkenaan
dengan kata sandang misalnya si dan sang. Sementara itu, dalam lingkup topik
karangan, tuturan itu bermakna sejenis makalah atau paper.
Waktu dan tempat bertutur yang berfungsi sebagai latar peristiwa tutur
merupakan ciri konteks yang lain. Dengan mengetahui latar, maksud sebuah tuturan
dapat mudah dipahami. Latar yang tidak jelas menjadikan penafsiran maksud tuturan
menjadi sulit. Selain soal waktu dan tempat bertutur, latar juga berkenaan dengan
hubungan penutur dan mitra tutur, gerak-gerik tubuh penutur, serta roman muka
penutur.
Ciri konteks yang selanjutnya adalah saluran atau media. Yang dimaksud
dengan saluran atau media adalah wahana pengungkapan ekspresi. Atas dasar
caranya, pengungkapan ekspresi itu dapat secara lisan dapat pula secara tulis. Di
dalam beberapa hal maksud tuturan lisan lebih mudah ditangkap daripada tuturan
tulis. Hal itu terjadi karena tuturan lisan dapat disertai peranti komunikasi lain seperti
sasmita dan ekspresi roman muka. Dengan menggunakan tanda baca yang tepat,
pengungkapan maksud ekspresi tulis dapat dilakukan dengan jelas.
Kode merupakan ciri konteks berikutnya. Dalam pembicaraan ini kode berarti
jenis bahasa. Peristiwa tutur yang memakai saluran atau media lisan dapat memilih
salah satu dialek bahasa yang digunakan. Ketepatan pilihan dialek dapat memperjelas
maksud tuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di antara orang-orang Boyolali di suatu
tempat tentu terasa tepat dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Boyolali. Hal yang
sebaliknya terjadi jika dialek yang dipilih dialek Tegal.
Ciri konteks yang selanjutnya adalah amanat atau pesan. Amanat atau pesan
adalah sesuatu yang hendak disampaikan. Pengungkapan amanat hendaknya
diupayakan sedemikian rupa sehingga mitra tutur atau pihak lain dapat mudah
menangkapnya. Kondisi mitra tutur menjadi acuan dalam upaya memperoleh
ketepatan penyampaian pesan. Jika mitra tutur itu bersifat umum, bentuk amanat yang
disampaikannya pun hendaknya umum. Sebaliknya, jika mitra tuturnya khusus
bentuk pesan yang diungkapkan hendaknya bersifat khusus.
137
Peristiwa atau kejadian menjadi ciri konteks yang terakhir. Peristiwa tutur itu
bermacam-macam, bergantung pada tujuannya. Setiap peristiwa tutur itu memiliki
cara penuturan tertentu. Peristiwa tutur memberikan nasihat tentang pemanfaatan
sampah plastik, ekspresinya berbeda dari peristiwa tutur wawancara tentang cara
membina remaja. Penuturan khatib di depan jamaah salat Jumat tidak sama dengan
penuturan penceramah dalam resepsi pernikahan.
2. Situasi Tutur
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan
dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur
merupakan sebabnya. Dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Tuturan
orang bermimpi saja ada situasi tuturnya. Hanya saja situasi tutur orang bermimpi itu
ada dalam kepala orang yang bermimpi. Orang-orang disekitarnya tidak dapat
menangkapnya.
Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud
tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang
mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengkalkulasi situasi tutur
merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai. Pertanyaan
apakah yang dihadapi itu berupa fenomena pragmatis ataukah fenomena semantis
dapat dijawab dengan kriteria pembeda yang berupa situasi tutur itu. Komponen-
komponen situasi tutur menjadi kriteria penting dalam menentukan maksud suatu
tuturan.
Situasi tutur itu mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan mitra tutur,
tujuan, konteks, tindak tutur sebagai suatu tindakan, dan tuturan sebagai produk
tindak verbal. Kelima komponen itu menyusun suatu situasi tutur di dalam peristiwa
tutur atau speech event. Dalam praktik, mungkin saja komponen situasi tutur itu
bertambah. Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur itu antara lain
waktu dan tempat pada saat tuturan itu diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki
maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan
(Rustono, 1999:29).
138
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Aminuddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya
Sastra.Semarang: IKIP Press.
_________. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
_________. 2001. Semantik (Pengantar Studi Tentang Makna). Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Arifin. Zaenal dan Amron Tasai. 1985. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Antarkota.
Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi (ed. Dr. Wening Udasmoro). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Baryadi, I. Praptomo. 2007. Teori Ikon Bahasa: Salah Satu Pintu Masuk ke Dunia
Semiotika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga
Universty Press.
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, Louise. 2010. Pragmatik Klinis Kajian tentang Penggunaan dan Gangguan
Bahasa Secara Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Darbyshire, A.E. 1971. A Grammar of Style. London: Andre Deutsch.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Depdikbud.
De Saussure, Ferdinand. 1998. Pengantar Linguistik Umum (terjemahan: Rahayu S.
Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Finoza, Lamuddin. 2001. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan
Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia.
Fraser, Bruce. 1974. “An Analysis of Vernaculer Performative Verb” Mimio. Indiana
University Linguistics Club.
139
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung:
Eresco.
Ennis, Robert E. (ed.). 1985. Semiotics, An Introductory Anthology. Bloomington:
Indiana University Press.
Flower, Roger. 1987. A Dictionary of Modern Critical Terms. London and New York:
Roudledge & Kegan Paul.
Grice, H. Paul. 1975. “Logic and Conversation” dalam Cole, Peter dan J. Morgan (ed.)
Pragmatics: A. Reader. New York: Oxford University Press.
Hough, Graham. 1972. Style and Stylistics. London and Henley: Roudledge & Kegan
Paul.
Jabrohirn dkk. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Junus, Umar. 1989. Stilistik Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia.
Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Krampen, Martin; Klaus Ochler; Roland Poshner; Thomas A. Sebcok; Thore von
Uexkull. 1987. Classics of Semiotics. New York & London: Plenum Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta:Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. “Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913) Bapak
Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme”, dalam de Saussure,
Pengantar Linguistik Umum (terjemahan: Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Larsen, S.E. 1994. “Semiotics” dalam R.E.Asher dan I.M.Y. Simpson (eds.). The
Encyclopedia of Language and Linguistics. Oxford: Pergamon Press.
_________. 2009. Semiotics (Terj. Sudaryanto). Klaten: Program Pascasarjana
Universitas Widya Dharma.
Leech, Geoffrey N. dan Michael H. Short. 1981. Style in Fiction, A Linguistic
Introduction to English Fictional Prose. London: Longman.
Levinson, S.C. 1983. The Grammar of Discourse. New York & London: Plenum Press.
Mey, Jacob L. 1994. Pragmatics: An Indrotuction. Oxford UK & Cambridge USA:
Blackwell.
140
Murry, J. Middleton. 1956. The Problem of Style. London: Oxford University Press.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud.
Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indiana Polis: Indiana
University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 1993. "Stile dan Stilistika" dalam Diksi. No. I Th. l.
Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
_________.1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Palmer, F.R. 1989. Semantik. Terj. Semantics (1981). Second Edition. Cambridge
University Press oleh Abdullah Hassan. Kualalumpur: University Sains
Malaysia.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Pong Masak, Tanete. 1992. “Semiotika dalam Sinematografis: “Teori Film” Christian
Metz”, disampaikan dalam Seminar Semiotika, Jakarta 21-22 Desember 1992.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis
Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Propp, Wladimir J. 1968. The Morphology of the Folk Tale. Austin: University of Texas
Press.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta:
Kanisius.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rimmon-Kenan, Shlomith. 1983. Narrative Fiction: Contemporary Poetics. London and
New York: Methuen.
Searle, J.R. 1969. Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press.
Stalnaker, R.C. 1978. “Assertion” dalam Cole (Ed.) Syntax and Semantics 9: Pragmatics.
New York: Academic Press.
Stubbs, Michael. 1984. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural
Language. Oxford: Basil Blackwell Publisher.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
141
Sudaryanto. 1985. Linguistik, Esai tentang Bahasa dan Pengantar ke dalam Ilmu
Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
________ 1992. Metode Linguistik, Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
_______. 1994. Pemanfaatan Potensi Bahasa, Kumpulan Karangan Sekitar dan Tentang
Satuan Lingual Bahasa Jawa yang Berdaya Sentuh Inderawi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
_______. 1995. Linguistik, Identitasnya, Cara Penanganan Objeknya, dan Hasil
Kajiannya. Yogyakarta: Yayasan Ekalawya bekerjasama dengan Duta Wacana
University Press.
_______ (ed.). 1991. Tatabahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
_______ 2008. “Serba Nilai Aneka Ikon Verbal dalam Bahasa Indonesia dan Jawa”
dalam Widyaparwa Vol. 36, No. 2.
Sudrajat, Iwan. 1992. “Perkambangan Semiotik dalam Arsitektur, Sebuah Tinjauan
Kritis”, disampaikan dalam Seminar Semiotik, Jakarta 21-22 Desember 1992.
Sukada, Budi A. 1992. “Utak-Utik Semiotik Tektonik”, disampaikan dalam Seminar
Semiotika, Jakarta 21-22 Desember 1992.
Sudjiman, Panuti, 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
_________. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Verhaar, J.M.W. 1985. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjahmada University
Press.
Van Zoest, Aart. 1991. “Interpretasi dan Semiotik”, dalam Serba-Serbi Semiotik,
penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (ed). Hlm. 1-5. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo, Wahyu. 2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
142