draft - Universitas Negeri Padangrepository.unp.ac.id/26409/1/Draft buku SAME-final.pdf1. 8....
Transcript of draft - Universitas Negeri Padangrepository.unp.ac.id/26409/1/Draft buku SAME-final.pdf1. 8....
draft
PENGANTAR ANALISIS
KEBIJAKAN PUBLIK dan implementasinya dalam bidang pendidikan
Oleh: AFRIVA KHAIDIR
Lektor Kepala dalam bidang Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang
Pengantar oleh:
MARGARET SUTTON Profesor in Education Leadership and Policy Studies
Indiana University, Bloomington, USA
Buku ini disusun dengan pembiayaan dari
Program Scheme for Academic Mobility and Exchange (SAME) Tahun anggaran 2017
Direktorat Jenderal Sumberdaya Pengetahuan, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
UCAPAN TERIMA KASIH
PENGANTAR oleh Prof. Margaret Sutton
BAGIAN 1 PENGANTAR KEBIJAKAN PUBLIK
A Pendahuluan
B Kebijakan Publik sebagai Objek Kajian
C Pengertian Kebijakan Publik
D Sejarah Kajian Kebijakan Publik
E Pengembangan Kerangka Teoritis Kajian
Kebijakan
F Tipologi dan Tahap-tahap Kebijakan Publik
Kebijakan Distributif
Kebijakan Redistributif
Kebijakan Regulatori
Kebijakan Konstituen
G Penetapan Agenda
H Perumusan Kebijakan
I Perdebatan, Tawar Menawar dan Kesepakatan
Dialog dan Argumentasi
Tawar Menawar (Hard Bargain)
Mencapai Kesepakatan
J Implementasi dan Dampak Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Dampak Kebijakan
K Penutup
REFERENSI
BAGIAN 2 ANALISIS KUALITATIF DALAM KEBIJAKAN
PUBLIK
A Pendahuluan
Analisis Kebijakan sebagai Bidang Kajian
Pemanfaat Analisis Kebijakan
B Rasionalitas dalam Analisis Kebijakan
Dampak Maksimal Terhadap Kesejahteraan
Pilihan Publik
Simulasi Multi-agen
Sistem Dukungan Kebijakan
Partisipasi Publik
C Teori Pilihan Rasional
D Pembelajaran dalam Kebijakan
E Analisis Deliberatif
F Analisis Naratif
G Analisis Perbandingan
H Analisis Kebudayaan
I Experimentasi Sosial
J Analisis Kualitatif Interpretatif
Prinsip Pendekatan
Teknik Pengumpulan Data
Analisis data
K Penutup
REFERENSI
BAGIAN 3 ANALISIS KUANTITATIF DALAM KEBIJAKAN
PUBLIK
A Pendahuluan
B Pemanfaatan Metode Kuantitatif dalam
Pengambilan Keputusan
C Pendekatan dengan Teknik Statistik
Analisis Univariat dan Bivariat
Analisis Varian (ANOVA)
Analisis Regresi Berganda
Analisis Time Series
Event History Analysis
Factor Analysis
Analisis Jalur
Teori Permainan
Simulasi
D Penutup
REFERENSI
BAGIAN 4 ASPEK PRAKTIS DALAM ANALISIS KEBIJAKAN
A Pendahuluan
B Survey dalam Analisis Kebijakan
Macam-macam Tipe Survey
Quesioner
Responden
Analisis Data Survey
Pemanfaatan Survey
C Metode Context-sensitive
Perangkat Pengumpulan Data
Analisis Context-sensitive
D Analisis Biaya-Manfaat
E Analisis Penilaian Dampak Lingkungan
Latar Belakang
Prosedur
Pengembangan dan Tantangan
F Penilaian Teknologis
Sejarah Kelembagaan
Pendekatan
Tujuan dan Dampak
G Mediasi dan Resolusi Konflik
Konflik dalam Kebijakan
Prosedur
H Etik dalam Analisis Kebijakan Publik
I Evaluasi Kebijakan
Jenis-jenis Evaluasi
Evaluasi Internal
Evaluasi Eksternal
Gelombang Evaluasi Kebijakan
Profesionalisme dalam Evaluasi
J Penutup
REFERENSI
BAGIAN 5 DASAR DAN KERANGKA TEORITIS ANALISIS
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A Pendahuluan
B Lapangan Kajian Kebijakan Pendidikan
C Siklus Kebijakan Pendidikan
D Konteks Sistem Pendidikan
E Dimensi dalam Analisis Kebijakan Pendidikan
Akses dan Pemerataan
Kualitas
Manajemen
Pendanaan
Monitoring dan Evaluasi
F Isu Lintas Sektor
Kebijakan Keguruan
Jender
Pembangunan Berkelanjutan
HIV dan AIDS
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Tata Kelola Data dan Informasi Pendidikan
G Beberapa Bentuk Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis Kelemahan Struktural
Analisis Pembiayaan Pendidikan
Analisis Cost-Effectiveness
Analisis Penempatan Guru dan Proses di Kelas
Analisis Gaji dan Tunjangan Guru
Analisis Keadilan dalam Pendidikan
Analisis Pendidikan untuk Anak Perempuan
Analisis Ekonomi dalam Pendidikan
Analisis Perbandingan
H Peranan Ilmu Sosial dalam Analisis Kebijakan
Pendidikan
I Penutup
REFERENSI
BAGIAN 6 STUDI KASUS: KEBIJAKAN REFROMASI
PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
A Pendahuluan
B Pendidikan Tinggi yang Kompetitif
C Posisi Pendidikan Tinggi dalam Pembangunan
Nasional
D Reformasi Pendidikan Tinggi
Kebijakan Reformasi Pendidikan Tinggi
Perubahan Struktural
Perubahan Orientasi
Pencapaian Sementara
Potensi dan Tantangan Implementasi Kebijakan
E Penutup
REFERENSI
DAFTAR BACAAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1. 1. Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Hubungan antara Kebijakan dan Politik
1. 2. Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Proses Kebijakan
1. 3. Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Analisis Kebijakan
1. 4. Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Evaluasi Kebijakan
1. 5. Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Disain/Formulasi Kebijakan
1. 6. Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Perancang dan Lembaga Perancang Kebijakan
1. 7. Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Implementasi Kebijakan
1. 8. Tipologi Kebijakan Lowi dan Politik yang Dihasilkannya
1. 9. Evolusi Teori tentang Tahap-tahap Kebijakan
1. 10. Perbedaan antara pendekatan top-down dengan bottom-up
2. 1. Pemetaaan pendekatan analisis kebijakan
2. 2. Tipologi instrumen perbandingan kebijakan
2. 3. Taktik analisis kebijakan partisipatif
3. 1. Hasil Kajian Analisis Komponen Utama
3. 2. Prisoner‟s Dilemma dalam Game Theory
4. 1. Penerapan Prinsip Pareto dalam Analisis Manfaat Biaya
4. 2. Contoh perhitungan manfaat biaya dengan menggunakan discount
rate (7%)
4. 3. Proses dasar Environmental Impact Assessment/EIA
5. 1. Gross Enrollment Ratio berdasarkan kelompok populasi
di wilayah A
5. 2. Data jumlah siswa dan belanja publik secara umum dalam
pendidikan
5. 3. Komponen dalam Penghitungan Biaya Pendidikan
5. 4. Perbandingan Cost-Effectiveness berdasarkan kualifikasi guru dan
efektivitasnya terhadap hasil tes siswa
5. 5. Data dasar untuk proyeksi sumber daya dalam sektor pendidikan
5. 6. Distribusi keterlibatan dan tingkat pendidikan
berdasarkan tingkat pendapatan
5. 7. Daya tampung dan subsidi publik per-siswa
5. 8. Gross Enrollment Ratio (GER) dan Girls Share antara
negara A dengan negara lainnya
5. 9. Rasio daya tampung di negara Y menurut tingkat pendidikan
untuk laki-laki di wilayah rural dan urban
5. 10. Rangking kualtitatif terhadap beberapa aspek dari
pilihan kebijakan yang potensial
5. 11. Biaya penyampaian materi secara tradisional
5. 12. Investasi dan biaya operasional penyampaian materi
dengan komputer
5. 13. Data biaya hipotetis untuk Politeknik dan
belajar jarak jauh bidang Akuntansi
5. 14. Perbandingan pendapatan tahunan berdasarkan
tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
5. 15 Biaya pelatihan untuk tiga macam model pemberian materi
5. 16. Perkiraan manfaat (rates of return) untuk
tiga macam model pemberian materi
5. 17. Indikator bidang pendidikan yang ditarik dari
empat dimensi pendidikan
5. 18. Data dari indikator bidang pendidikan berdasarkan sampel
beberapa negara dalam kawasan
5. 19. Perbandingan beberapa indikator pendidikan
untuk negara C3 dan C22 relatif terhadap
rata-rata kelompok negara yang relevan
5. 20. Profil pendidikan negara X dalam perspektif perbandingan
6. 1. Diversifikasi jenis layanan yang diberikan oleh perguruan tinggi
6. 2. Akreditasi perguruan tinggi
6. 3. Akreditasi program studi
6. 4. Publikasi terindeks Scopus
6. 5. Publikasi dosen Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. 1. Langkah-langkah mutual gain approach dalam perumusan kebijakan
1. 2. Review perkembangan pendekatan implementasi kebijakan
2. 1. Teori kebudayaan tentang Grid/Group Typology
2. 2. Bias Budaya dan Perumusan Kebijakan
2. 3. Kerangka tahapan RAPA
3. 1. Model Analisis Jalur Langsung dari Cohen dan Vigoda
3. 2. Model Analisis Jalur Tidak Langsung dari Cohen dan Vigoda
5. 1. Hubungan antara kebijakan, strategi dan rencana
5. 2. Tahapan dalam siklus kebijakan di bidang pendidikan
5. 3. Kaitan antara tujuan MDGs dengan tujuan EFA
5. 4. Gambaran umum konsep pembangunan nasional
5. 5. Rantai hasil pendidikan
5. 6. Kaitan antara perencanaan dengan statistik
5. 7. Memahami sudut pandang marjinal terhadap
pembelajaran dan biaya guru
5. 8. Posisi gaji guru di negara N dalam kondisi internasional
6. 1. Jumlah perguruan tinggi
6. 2. Jumlah dan komposisi mahasiswa
6. 3. Jumlah dan komposisi dosen
6. 4. Jumlah dan komposisi bidang kajian
6. 5. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Pemerintah
6. 6. PT berperingkat internasional
6. 7. Pendirian PTN baru
6. 8. Strategi Pencapaian Tujuan
6. 9. Kebijakan nomor induk dosen
6. 10. Kualifikasi dosen
6. 11. Jumlah paten internasional
6. 12. Paten didaftarkan di Indonesia
6. 13. Publikasi internasional
6. 14. Pertumbuhan publikasi dosen
UCAPAN TERIMA KASIH
Tidak ada yang lebih dari rasa syukur kepada Allah SWT penulis ucapkan atas
selesainya penulisan buku ini. Mendapatkan kesempatan memanfaatkan dana visiting
scholar dari Pemerintah Republik Indonesia melalui program Scheme for Academic
Mobility and Exchange (SAME) dari Direktorat Direktorat Jenderal Sumberdaya
Pengetahuan, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kementrian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi merupakan sesuatu yang menjadi obsesi penulis sebagai seorang
dosen dan akademisi.
Mengalami kesulitan menemukan literatur yang memadai untuk berbagai mata kuliah
bidang Kebijakan Publik baik di tingkat S1, S2 dan S3, kesempatan berkunjung dan
bekerja di Amerika Serikat sebagai negeri asal berkembangnya ilmu Public Policy
Analysis atau Policy Studies merupakan sebuah kesempatan berharga. Pelaksanaan
penulisan diawali dari akses yang penulis dapatkan dengan status employee untuk
visiting scholar, sehingga mendapatkan akses seluas-luasnya untuk memanfaatkan
berbagai sumber literatur dan aktivitas akademik di Indiana University, Bloomington,
Amerika Serikat.
Kemampuan analisis dan memahami konteks sangat terbantu dengan ikut berdiskusi
secara intensif dan terbuka dengan para mahasisa doktoral di kelas Seminar for Policy
Studies di Wendel Wright School of Education. Perluasan wawasan selanjutnya
dilakukan melalui berbagai seminar, simposium dan lecture bertaraf internasional di
School of Education, Wells Library, serta School of Global and Internasional Studies
(SGIS). Setelah melakukan penelitian kepustakaan yang cukup melelahkan, akhirnya
pertengahan Oktober 2017 dimulailah penulisan draft yang berakhir dengan proses
editing bulan Desember 2017. Pada akhirnya terwujudlah sebuah draft buku referensi
yang cukup ekstensif di bidang analisis kebijakan publik ini yang dimulai dengan sebuah
oreientasi tentang kebijakan publik, analisis kualitatif, analisis kuantitatif, berbagai aspek
praktis dalam analisis kebijakan, analisis kebijakan pendidikan, dan akhirnya sebuah
tinjauan umum tentang reformasi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia yang masih
berlangsung saat ini.
Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang sudah sangat membantu dalam pelaksanaan program SAME 2017 dan dalam
penulis buku ini. Prof. Margaret “Peg” Sutton adalah figur pertama yang harus
mendapatkan apresiasi karena peran beliau tidak saja sebagai partner tetapi juga mentor,
host, fasilitator, penyemangat, lawan berdiskusi serta sahabat yang penuh perhatian dan
bersemangat. Tanpa peran beliau program ini tidak akan terlaksana dengan baik. Terima
kasih juga atas kesediaan anda meminjamkan buku-buku, makalah, dokuman dan
membubuhkan pengantar dalam buku ini. Di samping itu juga terima kasih untuk Prof.
Terence C. Mason, Dean School of Education, ibuk Conney Freese-Posthuma dari Office
of the Dean, ibuk Kathy Murphy dari Departement of Education Leadership and Policy
Studies, serta Joelle Brown dan kawan-kawan, program officer dari Office of
International Services Indiana University. Juga rekan-rekan mahasiswa Indonesia
(Permias) dan beserta keluarga terutama keluarga pak Heru dan bu Puji di Bloomington
atas hospitality dan dukungannya.
Penghargaan setinggi-tingginya juga diberikan kepada semua unsur pimpinan di
UNP, ketua jurusan IAN, ibu Jumiati, M.Si. dan staf, dekan FIS Prof. Syafri Anwar dan
tentu saja Rektor UNP Prof. Ganefri yang sudah menugaskan mengikuti program SAME
selama 3 bulan dan memberikan izin untuk meninggalkan tugas-tugas fungsional di UNP
untuk sementara. Terakhir ucapan terima kasih kepada Kementrian Ristekdikti atas
kesempatan yang sangat berharga dan penting ini. Dan yang tidak kalah penting,
dukungan dan segala pengertian dari keluarga dalam persiapan dan pelaksanaan
keterlibatan penulis dalam program ini, istri tercinta Devi, Icha dan Adjie dan keluarga
besar yang terpaksa ditelantarkan waktu dan petemuan dengan mereka selama
melaksanakan program di AS.
Ibarat kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Ini adalah buku awal yang masih
memerlukan perbaikan di sana sini, di samping harus selalu diadaptasi karena
perkembangan keilmuan Kebijakan Publik dan Pendidikan yang sedemikian dinamis dan
masif. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis dihargai. Semoga karya yang
sederhana ini memberikan kontribusi kepada proses belajar mengajar di bidang
Kebijakan Publik dan Kebijakan Pendidikan serta kekayaan referensi dalam dunia
akademik di tanah air. Yang tak kalah pentingnya semoga menjadi amal jariyah bagi
penulis dan kita semua. Amin.
Penulis
Afriva Khaidir, SH.,M.Hum.,MAPA.,PhD
PENGANTAR
Oleh Prof. Margaret “Peg” Sutton
Professor dalam bidang Education Leadership and Policy Studies,
Indiana University, Bloomington, United States of America
BAgian 1
PENGANTAR KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pendahuluan
Berdasarkan pengalaman penulis dalam mengajar berbagai mata kuliah Kebijakan
Publik, baik Pengantar Kebijakan Publik, Analisis dan Evaluasi Kebijakan Publik, dan
Formulasi dan Implementasi Kebijakan Publik untuk program sarjana atau S1 dan
Kebijakan Publik dan Aplikasinya di program Magister Administrasi Publik serta
Pengantar Analisis Kebijakan Publik di Program Magister Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan di tambah dengan berbagai mata kuliah yang relevan di Magister
Manajemen, Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, bahkan Program Doktor
selama lebih dari 10 tahun, kesulitan pertama yang dihadapi oleh para mahasiswa
(termasuk pengajar sendiri) adalah mendapatkan sudut pandang yang benar dan dapat
memberikan orientasi yang memadi terhadap bidang kajian ini. Cukup membingungkan
bagi mereka bahwa dalam memahami sebuah kebijakan publik haruslah didekati dengan
berbagai pendekatan disiplin ilmu yang berbeda (multidisipliner appproach).
Hal ini karena umumnya memiliki anggapan bahwa, rasanya tidak mungkin
menemukan orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu yang berbeda seperti ilmu
hukum, sosiologi, administrasi negara, ilmu politik, statistic, ekonomi bahkan
pengetahuan alam sekaligus baru dapat memahami berbagai kebijakan yang sangat
kompleks. Sehingga di perguruan tinggi di negara-negara maju, para akademisi lebih
suka menyebut dirinya sebagai policy economist atau policy political scientist daripada
seorang public policist. Namun harus disadari bahwa mengkaji Kebijakan Publik dengan
menggunakan berbagai macam bentuk dan sedemikian banyak perspektif yang beragam
yang akan menghasilkan sebuah pola sistematis yang menyeluruh dan komprehensif.
B. Kebijakan Publik sebagai Objek Kajian
Kajian kebijakan publik (policy studies) sebagai sebuah objek kajian bukanlah
merupakan kajian yang dilakukan melalui suatu (satu) disiplin keilmuan. Dalam bukunya
Gooding, Rein dan Moran (2006:5) menyatakan bahwa kajian kebijakan publik adalah
“mood more than a science, a loosely organized body of precepts and positions rather
than a tightly integrated body of systematic knowledge, more art and craft than a genuine
„science”. Jika dimaknai secara umum mereka berkesimpulan bahwa kajian kebijakan
publik lebih kepada penggunaan intuisi daripada ilmu, ia sebuah panduan dan posisi yang
diambil ketimbang sebuah pengetahuan yang terintegrasi secara sistemati. Kajian
kebijakan lebih kepada seni dan keterampilan ketimbang „ilmu‟ murni.
Sebagaimana longgarnya pengertian tentang kebijakan publik yang akan dibahas
belakangan, demikian pula dengan lapangan keilmuan kajian kebijakan publik. Smith dan
Larimer (2009:5) menyatakan bahwa dengan demikian “there is not a field of public
policy studies, there are fields-plural-of public policy studies”. Dalam lapangan kajian
kebijakan publik dapat disederhanakan menjadi “any research that relates to or promotes
the public interest” (Palumbo, 1981:8). Sementara itu, dalam kajian yang lebih awal Dror
(1968:49) memaknai sebagai “application of knowledge and rationally to perceived
social problems” serta deLeon (1988:219) menyimpulkan “the umbrella term describing
a broad-gauge intellectual approach applied to examination of socially critical
problems”.
Di bawah payung pengertian ini terdapat berbagai macam sub-bidang yang
terbangun secara bebas satu sama lain. Dengan demikian, tidak heran jika kita akan
menemukan dalam literatur berbagai istilah lain seperti “policy evaluation”, “policy
analysis”, dan “policy process”. Evaluasi kebijakan menekankan kepada pengkajian
secara sistematis tentang konsekuensi dari apa yang dilakukan dan disampaikan oleh
Pemerintah, sehingga lebih berupa kajian ex-post. Pertanyaan penting dalam evaluasi
kebijakan adalah: “apa yang sudah kita lakukan?”. Jika evaluasi kebijakan bersifat
empiris, analisis kebijakan lebih bernilai normatif. Karena ia bersifat ex-ante, maka
pertanyaan utama adalah “apa yang semestinya kita lakukan?”. Keluaran (output) yang
diinginkan adalah menentukan kebijakan terbaik yang diadopsi oleh otoritas dalam
mengatasan persoalan yang akan disikapi. Sementara itu proses kebijakan menekankan
kepada pertanyaan “bagaimana dan mengapa kebijakan publik dibuat?”. Dengan
demikian, siapa saja yang mengkaji proses kebijakan makan ia akan tertarik dengan
mengapa otoritas memberikan perhatian kepada persoalan tertentu dan mengapa tidak
kepada persoalan yang lain. Hal ini diistilahkan sebagai “agenda setting”, Hali ini juga
memberikan kesadaran bahwa kajian ini juga memberikan perhatian kepada mengapa
sebuah kebijakan berubah atau stabil setelah sekian lama, serta darimana asalanya
kebijakan tersebut datang.
Meskipun identik dengan kekaburan berkaitan dengan lapangan kajian kebijakan,
tidak diragukan lagi bahwa banyak pihak makin menyadari betapa pentingnya mengkaji
dan mempelajari kebijakan publik. Mahasiswa program sarjana dan pascasarjana di
perguruan tinggi tidak hanya berasal dari program studi kebijakan publik dan
administrasi publik namun juga dari ilmu politik, ilmu ekonomi, pekerja ssosial,
pertanian, ilmu hukum, administrasi pendidikan dan lain-lain. Artinya, mata kuliah
kebijakan publik merupakan bagian dari kurikulum yang lebih luas dan terintegrasi
sebagaimana bidang kajian lain seperti ilmu politik, administrasi Negara, dan ekonomi.
Bahkan di Carleton University, Ottawa Canada tempat penulis menyelesaikan program
master ditemukan program studi Kebijakan Publik di tingkat PhD sebagaimana di
Harvard University‟s Kennedy School of Government yang terkenal itu dan Gerald Ford
School of Public Policy di University of Michigan. Sementara itu di Indiana University,
mata kuliah Analisis Kebijakan (Policy Analysis) diberikan di program master dan
doctoral di Wendel Wright School of Education dan di School of Public and
Environmental Affairs.
Di samping itu, ditemukan pula berbagai masyarakat professional yang mendalami
kajian Kebijakan Publik seperti the Policy Studies Organization dan the Society for
Policy Sciences. Pada akhirnya, sebagai bukti telah diakuinya Kajian Kebijakan Publik
akhir-akhir ini sebagai sebuah kajian yang mandiri dan otonom ditemukan berbagai
jurnal ilmiah yang ditujukan untuk mengembangkan dan membangun pendalaman
akademik kajian Kebijakan Publik seperti Policy Studies Journal, Policy Science, Journal
of Policy Analysis and Management dan lain-lain.
Di luar kajian akademik tentang Kebijakan Publik, kita harus mengakui adanya
keberadaan organisasi professional yang mengkaji Kebijakan Publik yang biasanya
dikenal sebagai Analis Kebijakan (Smith and Larimer, 2009:2). Di Amerika dikenal
sebagai Congressional Budget Office, the General Accounting Office, di Indonesia
seperti Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), dan berbagai lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang)
yang semuanya dianggap sebagai lembaga yang dibentuk untuk menghasilkan Kebijakan
Publik. Belum lagi jika kita masukkan lembaga-lembaga non-pemerintah, lembaga
pemikir (think tanks), kelompok kepentingan, pusat studi, lembaga riset independen,
lembaga swadaya masyarakat/ non-govermental organization dan lembaga swasta
lainnya. Mereka menghasilkan berbagai kajian tentang konsultansi sektor privat, analisis
manfaat-biaya (cost benefit analysis), evaluasi program, metode pengambilan keputusan
dan berbagai alternatif kebijakan tentang berbagai bidang.
C. Pengertian Kebijakan Publik
Telah sejak lama para ahli mengupayakan untuk mendapatkan definisi yang dapat
memuaskan semua pihak tentang Kebijakan Publik sebagai sebuah kajian yang nyata.
Namun demikian, bahkan buku-buku wajib seperti Handbook of Public Policy dan
Handbook of Public Policy Analysis tidak memulai tulisannya dengan sebuah definisi
yang adekuat. Dengan sebuah definisi yang sangat umum, terkenal kebijakan dapat
diartikan sebagai “whatever government choos to do or not to do” (apapun yang dipilih
pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan (Dye, 1987,1) atau “the relationship of
governmental unit of its environment”, hubungan antara satuan pemerintahan dengan
lingkungannya (Eyestone 1971:18) atau “the actions, objectives, and pronouncements of
governments of governments on particular matters, the step they take (or fail to take) to
implement them, and the explanations they give for what happens (or does not happen)
yang dapat dimaknai sebagai segala tindakan, tujuan dan pernyataan pemerintah tentang
sesuatu bidang, langkah-langkah yang mereka lakukan (atau tidak dilakukan) untuk
menerapkannya, dan penjelasan yang mereka berikan untuk apa yang terjadi (dan yang
tidak terjadi) (Wilson, 2006:154).
Pengertian-pengertian di atas sebenarnya cukup akurat dalam arti kata dapat
melingkupi hampir semuanya yang dianggap sebagai kebijakan publik, tetapi terlalu
umum dan memiliki kemampuan yang sangat terbatas untuk membungkus setiap
pemikiran yang membuat kita bisa membedakan antara kajian Kebijakan Publik dengan
Ilmu Politik (political science), Ekonomi Kesejahteraan (welfare economy) dan bahkan
Administrasi Negara (public administration). Pengertian di atas tidak mengandung
batasan yang jelas yang mengisolasi pencarian intelektual para ahli Kebijakan Publik dan
membedakannya dengan para ahli Ilmu Politik yang mengkaji lembaga-lembaga
infrastruktur dan suprastruktur dan bahkan perilaku pemilih. Bukankah apa yang
pemerintah selaku inkumben lakukan untuk dilakukan dan tidak dilakukan pada akhirnya
akan berhubungan dengan kotak pemilihan pada saat pemilihan umum?
Anderson (1994:5) memberikan definisi yang lebih sempit ia menyatakan kebijakan
publik sebagai “a purposes course of action or inaction undertaken by an actor or set of
actors in dealing with a problem or matter of concern”. Kebijakan publik adalah
pengambilan tindakan yang memiliki maksud oleh aktor atau sekelompok aktor dalam
mengatasi permasalahan atau sesuatu yang menjadi kepedulian. Artinya, kebijakan publik
bukanlah random tetapi memiliki tujuan dan maksud; kebijakan publik dilakukan oleh
otoritas publik; kebijakan publik terdiri dari sebuah pola tindakan yang berada dalam
kerangka waktu tertentu; kebijakan publik merupakan hasil dari sebuah tuntutan, ia
merupakan serangkaian tindakan pemerintahan yang terarah sebagai tanggapan dari
tekanan tentang sebuah persoalan. Kebijakan publik bisa saja positif (tindakan yang
dilakukan) dan bisa juga negatif (tindakan yang tidak dilakukan). Terhadap definisi
Anderson ini, Theodoulou (1995: 1-9) menggunakan definisi ini dan menambahkan
bahwa kebijakan publik memiliki tujuan yang khas. Ia menyelesaikan persengketaan
yang terjadi terhadap sumberdaya yang terbatas, mengatur perilaku, memotivasi
tindakan-tindakan kolektif, melindungi hak, dan mengarahkan kemanfaatan menuju
kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.
Tilaar dan Nugroho (2012:183-185) dalam bukunya Kebijakan Pendidikan
melakukan review terhadap pengertian kebijakan publik berdasarkan literatur yang
mereka telusuri. Beberapa rumusan yang ditemukan antara lain:
1. James Lester dan Rober Stewart dalam Public Policy: An Evolutionary Approach
(2000): a process or a series or pattern of governmental activities or decisions
that are design to remedy some public problem, either real or imagined;
2. BG Peters dalam American Public Policy (1995): the sum of government
activities, whether acting directly or through agents, as it has an influence on the
lives of citizens;
3. Michael Howlet and M. Ramesh dalam Studying Public Policy: Policy Cycles and
Policy Subsystem (1995): a complex phenomenon consisting of numerous
decisions made by numerous individual and organizations. It is often shaped by
earlier policies and is frequently linked closely with other seemingly unrelated
decisions;
Berdasarkan telaah tersebut mereka merumuskan definisi sebagai “keputusan yang
dibuat oleh Negara, khususnya Pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan
dari Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar
masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju
kepada masyarakat yang dicita-citakan”.
Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada definisi yang persis dan
universal tentang kebijakan publik. Yang ada adalah kesepakatan bersama di kalangan
para ahli dan komunitas Kajian Kebijakan Publik bahwa kebijakan publik termasuk
tindakan membuat pilihan-pilihan dan merancang manfaat (outcomes) atau tindakan dari
keputusan-keputusan tertentu. Yang membuat kebijakan publik memiliki makna publik
adalah bahwa pilihan-pilihan tindakan yang diambil didukung oleh kekuatan pemaksa
(coercive powers) dari Negara untuk merespons persoalan publik. Namun demikian
disadari bahwa berbagai perumusan ini sangat rentan terhadap kritik karena pada
prinsipnya semua rumusan berakhir kepada “what government does”. Dengan demikian
karakteristiknya akan sedemikian panjang dan dapat berupa “everything and nothing”,
sebagaimana rumusan sederhana dan luas yang dikemukakan oleh Thomas R Dye dan
Robert Eyestone di bagian awal tadi.
D. Sejarah Kajian Kebijakan Publik
Meskipun terbilang sebagai sebuah bidang kajian baru dan proses pembentukan
“body of knowledge”nya masih berlangsung, tetapi sebenarnya pemikiran tentang
kebijakan publik itu sendiri secara inheren seiring dengan sejak mulai dikenalnya istilah
pemerintahan. Dengan demikian kajian kebijakan sudah dimulai sejak Plato menulis
pemikirannya dalam bukunya “The Republic” dan Machiavelli menulis dalam “The
Prince”. Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya mereka sudah mulai memikirkan
tentang bagaimana semestinya kekuasaan dalam pembuatan keputusan publik
dilaksanakan. Pemikir-pemikir ilmu politik klasik berikutnya seperti Thomas Hobbes,
John Locke, James Madison, Adam Smith, John Stuart Mills dapat dikualifikasikan
sebagai para pemikir yang menjadi pewaris pemikiran ini. Secara umum, mereka
semuanya memberikan penekanan dalam kajiannya tentang apa yang dilakukan (dan
tidak dilakukan) oleh Pemerintah dan seringkali tertarik kepada pertanyaan spesifik
tentang apa yang semestinya dilakukan Pemerintah dan bagaimana melakukannya dan
bahwa apa pengaruh yang dihasilkan dari apa yang dilaksanakan pemerintahan kepada
tuntasnya persoalan yang muncul dalam masyarakatnya.
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, kebanyakan pemikir kebijakan publik
menganggap lapangan kajian kebijakan baru saja dikembangkan, setidaknya sebagai
sebuah disiplin ilmu tertentu. Adminisitrasi Negara (sekarang lebih dikenal sebagai
Administrasi Publik), Ilmu Ekonomi, dan Ilmu Politik memberikan perhatian kepada
kebijakan belum sampai dalam hitungan satu abad. Kajian Kebijakan Publik yang
sistematis terkadang dianggap sebagai pengembangan dari adopsi terhadap analisis
manfaat biaya (cost-benefit analysis) oleh pemerintah federal di Amerika Serikat
(terutama dalam proyek pengairan) pada tahun 1930an (Fuguit and Wilcox, 1999:1-5).
Ada juga yang menyatakan bahwa akar dari analisis kebijakan tidak lebih awal dari tahun
1960an (Radin 1997).
Bagaimanapun kita dapat menggunakan pemikiran dan karya Harold Lasswell
sebagai titik tolak dari pengembangan ilmu Kajian Kebijakan Publik. Ia menyebutnya
sebagai “policy sciences” pada tahun-tahun pertengahan abad ke-20. Pemikiran Lasswell
memiliki cara pandang yang seyogyanya dilakukan oleh Ilmu Politik. Sehingga bisa
dikatakan cara pandang Lasswell terhadap Kajian Kebijakan menempatkan Ilmu Politik
sebagai titik tolak. Meskipun demikian, pada akhirnya Kajian Kebijakan memiliki akar
dari hampir semua cabang ilmu sosial, hukum dan berbagai disiplin ilmu lain. Perlu
diingat bahwa Lasswell termasuk satu dari beberapa ahli yang membantu pemerintah
dalam merumuskan berbagai kebijakan publik selama Perang Dunia ke-II. Tidak heran,
apalagi ia adalah seorang ahli propaganda, pengalaman ini membentuk ide Lasswell
bahwa cabang ilmu baru ini dibentuk untuk menghubungkan secara lebih baik antara
pengetahuan dan kepakaran dalam ilmu sosial dengan dunia prkatis yang dimiliki oleh
politik dan perumusan kebijakan. Inilah yang menjadi esensi sebenarnya dari Kajian
Kebijakan yang dibentuk oleh Lasswell.
Pemikiran ini dapat dibaca secara gamblang dalam berbagai karyanya setelah itu
sampai ia meninggal tahun 1978. Artikel babonnya terbit tahun 1951 dengan judul “The
Policy Orientation” yang berisikan tujuan, metode dan kegunaan dari Kajian Kebijakan.
Beberapa ciri dari Kajian Kebijakan menurutnya terdiri dari: (a) problem oriented
(orientasi pada persoalan), (b) multidisiplin, ia menekankan bahwa Kajian Kebijakan
tidak sama dengan Ilmu Politik (c) methodologically sophisticated (kecanggihan
metodologi) bahkan terbuka untuk peramalan, psikometrik dan pengukuran, (d)
theoretically sophisticated (kecanggihan teoretis), para ilmuwan Kajian Kebijakan
memiliki kebutuhan kepada kerangka konseptual yang memiliki kemampuan ekplanasi
untuk mengetahui bagaimana dan mengapa sesuatu terjadi dalam dunia yang luas dalam
hubungan antar warga?, bagaimana pengambilan keputusan? Bagaimana Pemerintah
memberikan insentif terbaik untuk menghasilkan perilaku yang inginkan? (e) value
oriented (berorientasi nilai), secara jelas ia menyebutkan “policy sciences of democracy”.
Orientasi Kajian Kebijakan adalah dalam mengembangkan nilai-nilai demokrasi dan
“realization of human dignity”.
Secara umum, Kajian Kebijakan adalah sebuah ilmu terapan (applied science). Jika
diibaratkan dengan pekerjaan seorang dokter, pekerjaan utama dari seorang yang
mendalami kajian kebijakan adalah mendiagnosa penyakit yang dialami oleh badan
politik, memahami penyebabnya dan akibat dari berjangkitnya penyakit itu,
merekomendasikan perlakuan yang harus diambil dan mengevaluasi akibat dari
perlakuan yang diberikan. Selayaknya seorang dokter, seorang ahli Kajian Kebijakan
haruslah dilatih memiliki kemampuan akademik mendasar tetapi juga memiliki
pengetahuan dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu untuk tujuan-tujuan
yang lebih luas. Meskipun kita tidak perlu juga menerapkan Sumpah Hipokrates kepada
seorang ahli Kajian Kebijakan tetapi keahliannya mestinya ditujukan kepada kebaikan
dan kemuliaan kemanusiaan.
E. Pengembangan Kerangka Teoritis Kajian Kebijakan
Pemikiran Lasswell terhadap Kajian Kebijakan bersifat sangat normatif. Dengan
meminjam berbagai pendekatan dari ilmu-ilmu sosial, hukum dan ekonomi maka tidak
dapat dihindari adanya ketegangan internal secara metodologis dan epistemologis di
antara ilmu-ilmu tersebut. Belum lagi jika dikembangkan antara nilai-nilai demokratik,
humanisme dengan pendekatan matematis dan teknoratik yang dimilikinya. Kita selalu
diganggu dengan berbagai pertanyaan retorik sarat nilai seperti: apakah warganegara
memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh? dimanakah
tempat yang tepat bagi kaum minoritas dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan
publik? Bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa proses kebijakan, keputusan, hasil
dan dampak benar-benar sudah demokratis?. Pada akhirnya ini akan menghasilkan
keraguan (vague) dalam pembentukan body of knowledge kajian kebijakan.
Tidak ada kerangka teoritis umum yang terbentuk secara solid dalam Kajian
Kebijakan Publik. Terus, bagaimana caranya untuk membuat pemahaman yang utuh
terhadap dunia Kebijakan Publik yang sedemikian kompleks? Sabatier (1999a:5)
mengungkapkan dua macam pendekatan. Pertama, dengan menyederhanakan
kompleksitas secara ad hoc, gunakan pendekatan yang sudah terdapat pada situasi yang
terjadi. Pinjam sudut pandang tertentu yang pada akhirnya akan menggiring kita untuk
fokus kepada isu tertentu atau pertanyaan pada waktu dan tempat tertentu. Buatlah
asumsi-asumsi yang kelihatan masuk akal dan buat kategorisasi yang akan mendukung
analisis yang akan dilakukan. Kedua, secara ilmiah. Artinya, coba lakukan untuk
mengkaji kebijakan publik apa yang dilakukan oleh mahasiswa yang mendalami kajian
tentang pasar dalam Ilmu Ekonomi.
Hal ini dapat diartikan bahwa mulailah dengan membuat asumsi yang didasari oleh
dunia perumusan kebijakan publik yang kompleks sebagai sebuah rangkaian hubungan
kausal. Gunakan asumsi tentang maksimalisasi manfaat (utility maximization) dan hukum
permintaan (demand) dan penawaran (supply) yang akan menjelaskan perilaku yang
terobservasi yang sedemikian luas di pasar, disinilah akan ditemukan penjelasan terhadap
begaimana dan mengapa Pemerintah mengelola sebuah persoalan dan mengapa tidak.
Jika hubungan kausal ini dapat diidentifikasi, maka asumsinya mereka akan berhubungan
secara logis dan ditemukan penjelasan tentang bagaimana dunia ini berkerja. Klaim ini
dapat diuji, tes-nya dapat direplikasi dan model-nya akan dapat diungkapkan menjadi
sebuah proposisi umum yang berlakuk dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dengan
lain kalimat, terbentuklah sebuah teori.
Pendekatan ad hoc cukup meyakinkan. Ia memberikan kemungkinan kepada para
hali Kebijakan Publik untuk “beg, borrow, or steal” dari sedemikian luasnya kerangkan
konseptual yang tersedia di antara berbagai ilmu-ilmu sosial. Pendekatan studi kasus akan
memberikan informasi yang kaya dan detil mengenai proses dan kebijakan tertentu,
mekipun tidak memiliki implikasi generalisasi. Menggunakan pendekatan ini, maka
seorang ahli Kajian Kebijakan dipandang sebagai pengguna teori daripada seorang
penemu teori. Meskipun kajian ini kuat dari segi kemanfaatan dan penyelesaian masalah
namun jarang menjadi pemberi pemahaman umum dari dunia yang mereka kaji. Dapat
dikatakan dalam dunia ilmu-ilmu sosial, Kajian Kebijakan sering ditempatkan pada
rangking kedua atau bahkan mungkin ketiga.
Stone (2002:7) menyatakan bahwa pendekatan saintifik terhadap Kebijakan Publik
yang menarik perhatian para ilmuwan sosial, lebih kepada misi untuk menyelamatkan
“public policy from irrationalitis and indignities of politics”. Persoalannya adalah
kebijakan publik memiliki karakter yang sangat politis dan tidak saintifik sehingga Stone
menyebutkan bahwa tidak heran sains sering tidak bisa menjelaskan dunia politik. Teori-
teori normatif seperti discourse theory atau social constructivism mungkin tidak bisa
mengungkapkan kebenaran yang universal tapi membuat kita mendekati sesuatu
pemahaman dari berbagai sudut pandang yang berbeda yang saling berbenturan dalam
arena Kebijakan Publik. Smith dan Larimer (2009) melakukan identifikasi tentang
berbagai bentuk kajian yang dilakukan terhadap kebijakan yang dibaginya menjadi (1)
kajian tentanag hubungan antara kebijakan dan politik, (2) kajian terhadap proses
kebijakan, (3) kajian terhadap analisis kebijakan, (4) kajian terhadap evaluasi kebijakan,
(5) kajian terhadap disain/formulasi kebijakan, (6) kajian terhadap perancang dan
lembaga perancang kebijakan, serta (7) kajian tentang implementasi kebijakan.
Tabel 1.1.: Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Hubungan antara Kebijakan dan Politik
(Modifikasi model Smith and Larimer, 2009)
Field of Policy
Study
Representative
Research Questions
Representative
Conceptual
Frameworks
Methodological
Approach and
Examples
Representative
Disciplines
Policy and politics Does politics cause
policy, or policy
cause politics
Policy typologies
Stages heuristic
Quantitative and
qualitative
classification
(typology and
taxonomy)
Statistical analysis
Case studies
Political science
Kajian tentang kebijakan dan politik dapat saja berupaya mencari hubungan antara
kebijakan dan politik atau sebaliknya, atau menempatkan kebijakan dalam konteks politik
dan sebagai sebuah proses politik. Kerangka konseptual yang digunakan berupa tipologi
politik dan penelusuran terhadap langkah-langkah yang dilakukan. Metode yang
digunakan tidak hanya berupa analisis kuantitatif dan statistik tetapi juga dapat
menjangkau metode kualitatif dan studi kasus. Tidak heran, penguasaan terhadap ini akan
sangat didukung oleh kerangka keilmuan ilmu politik dan termasuk kajian ilmu politik
dengan mengambil kebijakan sebagai fokusnya.
Tabel 1.2.: Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Proses Kebijakan
(Modifikasi model Smith and Larimer, 2009)
Field of Policy
Study
Representative
Research Questions
Representative
Conceptual
Frameworks
Methodological
Approach and
Examples
Representative
Disciplines
Policy process Why government
pay attention to
some problem and
not others?
How are policy
options formulated
Why dose policy
change?
Bounded
rationality
Multiple streams
(garbage can
model)
Punctuated
equilibrium
Advocacy
coalitions
Diffusion theory
System theory
Kajian terhadap proses kebijakan biasanya mengajukan pertanyaan tentang mengapa
pemerintah memberi perhatian terhadap sebuah persoalan ketimbang persoalan yang lain.
Sebagi sebuah kajian terhadap proses, kajian ini juga mengeksplorasi proses formulasi
kebijakan dan mungkin juga perubahan kebijakan yang terjadi beserta argumen di balik
perubahan itu.
Tabel 1.3.: Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Analisis Kebijakan
(Modifikasi model Smith and Larimer, 2009)
Field of Policy
Study
Representative
Research Questions
Representative
Conceptual
Frameworks
Methodological
Approach and
Examples
Representative
Disciplines
Policy analysis What should we do?
What options exisst
to address a
particular problem?
What policy option
should be chosen?
Welfare
economics/
utilitarianism
Quantitative
Formal/ qualitative
Cost analysis
Risk assessment
Delphi technique
Political science
Economics
Public
Administration
Policy specific
subfields
(education, health,
etc.)
Analisis kebijakan mengkaji tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap sebuah
kebijakan. Demikian juga ketika analisis dilakukan sebelum kebijakan dirumuskan, dan
karena itu berbentuk analisis ex-ante pertanyaanya mengkaji pilihan-pilihan tindakan dan
kebijakan yang tersedia untuk disepakati dan diputuskan beserta dengan argumen yang
mendasari pilihan tersebut. Karena biasanya menggunakan pilihan terbaik dan resiko
terkecil, maka pendekatan yang digunakan dalam menentukan pilihan utilitarian ini
terbuka untuk metode kuantitatif, kualitatif, analisis biaya, penilaian resiko dan teknik
Delphi. Pendekatan analisis kebijakan dilaksanakan secara multidisiplin baik dengan
dikungan ilmu ekonomi, administrasi publik atau sub-fields yang relevan dengan topik
permasalahan.
Tabel 1.4.: Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Evaluasi Kebijakan
(Modifikasi model Smith and Larimer, 2009)
Field of Policy
Study
Representative
Research Questions
Representative
Conceptual
Frameworks
Methodological
Approach and
Examples
Representative
Disciplines
Policy evaluation What have we
done?
What impact did a
particular program
or policy have
Program theory
Research design
frameworks
Quantitative/
qualitative
Statistics
Expert judgement
Political science
Economics
Public
administration
Policy evaluation
Policy-specific
subfields
Kajian evaluasi kebijakan menekankan kepada apa yang sudah dilakukan melalui
kebijakan dimaksud. Selanjutnya kajian akan menjangkau kepada identifikasi tentang
dampak yang dihasilkan oleh kebijakan atau program. Pendekatan yang dilakukan bisa
berupa kuantitatif, kualitatif atau penilaian dari para ahli/escpert. Kontribusi berbagai
disiplin ilmu akan sangat membantu dalam mengevaluasi kebijakan, karena kebijakan
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang baik ilmu politik, ekonomi, administrasi publik
dan metode evaluasi yang spesifik baik yang sudah dirancang dari awal maupun metode
evaluasi yang dimilki oleh bidang tertentu seperti bidang pendidikan dengan
akreditasinya, bidang manajemen dengan ISO dan lain-lain.
Tabel 1.5.: Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Disain/Formulasi Kebijakan
(Modifikasi model Smith and Larimer, 2009)
Field of Policy
Study
Representative
Research Questions
Representative
Conceptual
Frameworks
Methodological
Approach and
Examples
Representative
Disciplines
Policy design How do perceive
problems and
policies?
How do policies
distribute power and
why?
Whose values are
represented by
policy?
How does policy
socially construct
particular groups?
Is there common
ground to different
policy stories and
perspective?
Discourse theory
Hermeunetics
Qualitative
Text analysis
Political science
Philosophy/
theory
Sociology
Perancangan kebijakan atau disain kebijakan adalah sebuah lapangan kajian yang cukup
rumit dan luas. Pertanyaan penelitian yang diajukan bisa beragam, seperti:
- Bagaimana cara memahami persoalan yang akan direspon dalam kebijakan?
- Bagaimana kebijakan mendistribusikan kekuasaan dan mengapa demikian?
- Nilai-nilai apa dan siapa yang terkandung dan terakomodasi dalam kebijakan
yang akan dihasilkan?
- Bagaimanakan kebijakan bekerja dalam merancang (perilaku) kelompok sosial
tertentu?
- Apakah terdapat nilai-nilai yang sama dan selaras sebagai pondasi dari kebijakan
yang dirancang?
- Dan lain-lain
Kajian ini akan sangat sosiologis dan bahkan cenderung filosofis karena berkaitan dengan
nilai dan kehidupan sosial. Ilmu politik juga membantu dalam memberikan pemahaman
terhadap kekuasaan (power) dan nilai (value). Metode yang digunakan cenderung
kualitatif dan analisis tekstual.
Tabel 1.6.: Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Perancang dan Lembaga Perancang Kebijakan
(Modifikasi model Smith and Larimer, 2009)
Field of Policy
Study
Representative
Research Questions
Representative
Conceptual
Frameworks
Methodological
Approach and
Examples
Representative
Disciplines
Policymakers and
policymaking
institutions
Who makes policy
decisions?
How do
policymakers decide
what to do?
Why do they make
the decisions they
do?
Policy choice
Incrementalism
Formal theory
Quantitative
analysis
Political science
Economics
Public
administration
Kajian ini cenderung menekankan kepada subjek yaitu perorangan, kelompok dan
lembaga. Sehingga kajiannya menekankan kepada kajian formal. Pertanyaan yang akan
dijawab berkaitan dengan siapa (sebenarnya) yang berperan dan berfungsi dalam
membuat keputusan dalam sebuah kebijakan?, bagaimana perumus kebijakan
memutuskan apa yang harus dilakukan?, serta mengapa mereka mengambil sebuah
keputusan tertentu? Analisis bisa dilakukan secara kuantitatif seperti ilmu pengambilan
keputusan dalam lapangan politik dan ekonomi. Teori pengambilan keputusan ini
terkadang menggunakan semacam analisis regresi dan analisis linear programming.
Tabel 1.7.: Lapangan Kajian Kebijakan Publik dengan
Fokus kepada Implementasi Kebijakan
(Modifikasi model Smith and Larimer, 2009)
Field of Policy
Study
Representative
Research Questions
Representative
Conceptual
Frameworks
Methodological
Approach and
Examples
Representative
Disciplines
Policy
implementation
Why did a policy
fail (or succeed)?
How was a policy
decision translated
into action?
Bounded rationality
Ad hoc
Quantitative
analysis
Qualitative
analysis
Political science
Economics
Public
administration
Policy-specific
subfields
Terakhir yang paling populer dilakukan adalah kajian tentang implementasi
kebijakan. Kajian ini terkadang memiliki kemiripan dengan evaluasi kebijakan karena
mengajukan pertanyaan yang sama seperti mengapa sebuah kebijakan gagal (atau
berhasil). Namun sebenarnya, pertanyaan ini diajukan setelah evaluasi dilakukan,
sehingga kajian implementasi kebijakan lebih kepada menggali dibalik sebuah prestasi
atau pencapaian kebijakan. Analisis dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Berbagai disiplin ilmu berkontribusi terhadap kajian implementasi kebijakan seperti ilmu
politik, ekonomi, administrasi publik dan berbagai bidang kajian yang spesifik seperti
ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, kerja sosial, pelayanan publik dan lain.lain
F. Tipologi dan Tahap-tahap Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan produk dari berbagai macam aktivitas politik. Hal ini
dimulai dari diletakkannya persoalan atau masalah publik dalam agenda kebijakan,
terjadinya debat atau deliberasi tentang solusi-solusi yang akan diambil, badan legislatif
mengadopsi alternatif berdasarkan pertimbangan praktis atau bahkan afiliasi atau ideologi
politik yang dianut, birokrasi atau pihak eksekutif menerapkannya dan diakhiri dengan
beberapa dampak yang dirasakan dalam dunia sosial yang nyata.
Theodore Lowi, seorang ilmuwan ilmu politik tertarik dengan pengkajian tentang
tipe-tipe kebijakan yang dihasilkan dalam proses kebijakan dan apakah dampak yang
dihasilkannya kepada dunia politik. Pertanyaan utamanya adalah apakah yang menjadi
output dari proses kebijakan, dan apakah nuansa politik yang disampaikannya? Sebelum
pemikiran Lowi, para ahli tidak mampu menandai tipe-tipe output dari kebijakan. Mereka
tidak peduli kepada betapa untuk setiap jenis kebijakan memiliki proses yang juga
berbeda satu sama lain (Lowi 1970). Ini merupakan sebuah single model dan bagi Lowi
dan tentu saja mengakibatkan adanya overgeneralization.
Hubungan antara politik dengan kebijakan dianggap linear dan sederhana, yaitu
“politik menentukan kebijakan”. Lowi (1972:299) malah beranggapan sebaliknya
“kebijakan menentukan politik”. Diskusi yang terjadi di sini berasal dari anggapan bahwa
kebijakan publik adalah upaya untuk mempengaruhi perilaku individu. Hal ini
dipaksakan dengan kekuasaan memaksa berupa hukuman (coercion) dari pemerintah.
Dengan mengidentifikasi tipologi dari coercion, dimungkinkan untuk memprediksi tipe
politik yang akan diikuti.
Ketika kekuasaan memaksa hukuman (coercion) diaplikasikan kepada individu,
maka politik akan cenderung lebih desentralistik. Sementara ketika coercion diterapkan
kepada lingkungan, maka politik akan cenderung sentralistik. Ketika coercion diterapkan
secara seketika, maka akan terjadi hubungan yang konfliktual dan tawar-menawar yang
terjadi akan sedemikian intensif. Dengan menggunakan matriks 2 x 2 dalam model
klasifikasinya, maka Lowi membagi kebijakan menjadi 4 (empat) macam kategori yaitu:
kebijakan distributif, kebijakan regulatif, kebijakan redistributif dan kebijakan konstituen.
Hal ini dapat dilihat dalam tabel di bawah ini
Tabel 1.8.: Tipologi Kebijakan Lowi dan Politik yang Dihasilkannya
(Sumber: Lowi, 1972)
Pada baris horizontal setiap kebijakan akan memberikan serangkaian ekspektasi tentang
politik. Pada setiap kategori kebijakan, Lowi (1972) menyatakan akan berpuncak kepada
“arena of power” dan ia melihat kebijakan sebagai dampak yang dapat diprediksi dari
subsistem para aktor. Jika seseorang mengenali tipe kebijakan yang dihasilkan, maka
dimungkinkan untuk meramalkan model interaksi politik yang terjadi di antara aktor
dalam subsistem tersebut, secara singkat proposisi yang disampaikannya terdiri dari:
1. Tipe hubungan yang terjadi diantara anggota parapihak ditentukan oleh ekspektasi
masing-masing;
2. Dalam politik, ekspektasi ditentukan oleh kebijakan sebagai sebuah output
pemerintahan;
3. Karena itu, hubungan politik ditentukan oleh tipe kebijakan, karena itu setiap
kebijakan cenderung dapat menjadi tipe-tipe hubungan politik yang spesifik.
Kebijakan Distributif
Bercirikan pada kemampuannya untuk membagi manfaat dan biaya pada basis
individu. Kebijakan tentang tariff dan kebijakan patronage merupakan bentuk kebijakan
distributif. Pihak-pihak yang dirugikan dan diuntungkan tidak pernah bertemu dalam
sebuah hubungan langsung. Karena coercion agak berjarak pada model distributif,
hubungan politik yang terjadi cenderung konsensual. Biaya atau kerugian yang timbul
dalam kebijakan tipe ini terbagi secara merata dan cenderung merupakan kesepakatan
antara eksekutif dan legislatif. Biasaya lembaga perwakilan/legislatif bertindak lebih
dominan dalam tipe ini.
Kebijakan Redistributif.
Tidak seperti kebijakan distributif, yang menjadi target adalah kelompok masyarakat
yang lebih luas. Kebijakan seperti welfare/dana kesejahteraan, jaring pengaman sosial,
asuransi kesehatan, pajak pendapatan yang ditentukan berdasarkan “si kaya” dan “si
miskin” merupakan tipologi dari kebijakan jenis ini. Politik di sini cenderung lebih aktif,
eksekutif memainkan peran yang lebih aktif daripada legislatif. Kebijakan redistributif
mensyaratkan tawar-menawar yang intensif dan tinggi diantara kelompok masyarakat.
Meskipun pada akhirnya bersifat konsensual, kebijakan jenis ini memiliki potensi konflik
yang lebih besar.
Kebijakan Regulatori.
Ini merupakan kebijakan yang bertujuan secara langsung untuk mempengaruhi
perilaku dari individu atau kelompok tertentu melalui penerapan sanksi atau pemberian
insentif. Tujuan kebijakan regulatori adalah untuk meningkatkan konsekuensi dari
pelanggaran terhadap hukum publik. Tipe kebijakan ini ditemukan pada regulasi tentang
kompetisi pasar, pencegahan praktik ketenagakerjaan yang tidak adil dan aturan dalam
menjaga keselamatan di tempat kerja. Pada kebijakan regulatori, karena sanksinya
diberikan seketik dan diterapkan kepada individu atau subyek hukum yang spesifik, maka
cenderung potensial mengundang konflik. Dampaknya kepada politik adalah adanya
ketidakstabilan dan bahkan perlawanan.
Kebijakan Konstituen.
Kategori keempat ini dianggap tidak sejelas 3 kategori sebelumnya. Pada tipologi
formulasi kebijakan tipe keempat ini tidak dikenali. Lowi tidak memberikan contok
empirik dalam konteks peranan Kongres dan Presiden dalam debat yang terjadi pada
kebijakan konstituen. Kelihatnya tipologi keempat ini dibuat untuk menampung berbagai
kategori yang tidak ditemukan pada tiga tipologi yang lainnya.
Meskipun berakar dari pemikiran Lasswell tentang kebijakan publik yang cenderung
normatif, tipologi Lowi ini memiliki kemampuan untuk memprediksi tipe politik yang
terjadi pada kebijakan tertentu, sehingga memberikan pemahaman kepada para ahli
politik dan ahli kebijakan tipe kebijakan mana yang berhasil dan mana yang gagal.
Dengan bahasa lain tipologi kebijakan menyumbang kepada pengembangan Kajian
Kebijakan Publik tentang metode tambahan untuk meningkatkan kualitas kebijakan
publik.
Menyadari betapa luasnya ruang lingkup Kajian Kebijakan Publik dan beberapa
kekaburan dalam konsep-konsep yang terkandung di dalamnya, merupakan sebuah
tantangan dalam merumuskan teori tentang kebijakan untuk megidentifikasi subyek yang
menjadi pusat kajiannya apakah perilaku individu? Pengambilan keputusan dalam sebuah
lembaga? ataukah prosesnya. Dalam karya awalnya tentang ilmu kebijakan Harold
Lasswell (1971:1) menyatakan bahwa tujuan utama dari kajian ini adalah untuk
mendapatkan “knowledge of and in the decision process of the public and civic order”
yang diambil melalui “systematic, empirical studies of how policies are made and put
into effect”. Dengan demikian kelihatnnya proses kebijakan adalah titik pusat dari kajian
teoritik awal dalam bidang ini. Namun pertanyaannya adalah kapan proses kebijakan
mulai berjalan? Bagaimanakah bentuk proses kebijakan itu? Apakah sebenarnya yang
kita amati dalam melakukan kajian terhadap kebijakan publik? Atau pertanyaan
teoritisnya: apakah yang menjadi unit analysis? Karena itu, terjadilah perkembangan
dalam pengkajian tentang tahap-tahap kebijakan sebagaimana tabel berikut ini:
Tabel 1.9.: Evolusi Teori tentang Tahap-tahap Kebijakan
(Sumber: Moran, Rein dan Gooding, 2006)
Dari perkembangan karya dan pemikiran tentang tahap-tahap kebijakan publik di
atas (biasanya disebut sebagai model tangga/stages model), kesamaan atau benang merah
yang dapat diambil adalah betapa permasalahan haruslah datang dari perhatian yang
diberikan oleh pemerintah. Berdasarkan ini pembuat kebijakan kemudian mencoba
mencari solusi untuk mengatasi permasalahan dan akhirnya mengimplementasikan
sesuatu yang mereka anggap sebagai solusi yang paling tepat dan kemudian
mengevaluasi apakah solusi tersebut dapat menyelesaikan permasalahan yang
diungkapkan pada tahap pertama.
Charles O Jones (1970) memberikan penekanan yang sangat kuat kepada penilaian
terhadap proses kebijakan publik. Dengan demikian memiliki kesamaan dengan
Lasswell. Baginya fokus tidak hanya kepada output dari sebuah sistem politik namun
pada keseluruhan proses, mulai dari bagaimana permasalahan itu dirumuskan sampai
kepada bagaimana aktor-aktor dalam pemerintahan memberikan respon kepada
permasalahan sehingga menjadi sebuah kebijakan publik yang efektif.
Proses kebijakan dimulai dengan persepsi tentang permaslahan dan berakhir kepada
pemulihan atau berakhirnya sebuah kebijakan yang bisa berupa berhentinya sebuah
kebijakan atau bahkan harus dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memastikan
keefektifannya. Karena permasalahan publik tidak pernah bisa dikategorikan sebagai
“terpecahkan”, evaluasi terhadap kebijakan yang sah harus dibuat untuk memberikan
keputusan terbaik bagaimana menyempurnakan melalui berbagai penyesuaian (adjust)
terhadap kebijakan untuk dapat sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Jones
memberikan kategori untuk mengilustrasikan “what government does to act on public
problems”.
Model Lasswell dan Jones ini menganggap kebijakan publik sebagai sebuah proses
pengambilan keputusan yang linier berdasarkan tahapan-tahapan yang saling
berhubungan dan sangat mencermikan sudut pandang rasionalist: identifikasi
permasalahan, alternatif respons, solusi terbaik, evaluasi terhadap dampak dari solusi
yang diambil dan berdasarkan evaluasi tesebut diputuskanlah apakah kebijakan itu
diteruskan, direvisi atau dihentikan. Meskipun kemudian ditemukan berbagai varian dari
model tahapan kebijakan ini, model dasarnya adalah selalu rasionalistik, problem-
oriented, proses linier dan tahapan yang berkelanjutan.
G. Penetapan Agenda
Jika menjadikan pengambilan keputusan sebagai titik tolak proses kebijakan publik,
maka Majone (dalam Moran, Rein dan Gooding, 2006:241) membagi dalam teori positif
dalam perumusan kebijakan menjadi 2 tahapan: pre dan post-decision processes. Pre-
decision terdiri dari definisi permasalahan, penetapan agenda, dan analisis kelayakan.
Sementara post-decision terdiri dari implementasi kebijakan, evaluasi, pembelajaran dan
dinamika kebijakan.
Mengingat jarang sekali kondisi objektif yang terjadi di masyarakat yang tidak
memiliki ambigius, maka mengetahui dan memahami bagaimana permasalahan
dirumuskan adalah sangat esensial dala memahami bagaimana agenda disusun dan
ditetapkan. Tujuan dari analisis kelayakan adalah untuk mengidentifikasi keterbatasan
yang dihadapi. Keterbatasan ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk baik berupa ekonomi,
teknologi, politik dan kelembagaan yang akan menentukan seberapa terbatasnya pilihan
solusi yang tersedia.
Penetapan agenda bermaksud untuk melacak jejak-jejak darimana asal mula sebuah
isu publik dimulai kemudian mencoba untuk memprediksi isu manakah yang pada
akhirnya sampai kepada sebuah keputusan atau mampu diputuskan solusinya. Ide
kebijakan yang tidak mampu mencapai kriteria kelayakan tidak dapat dipertimbangkan
untuk menjadi bagian dari agenda publik. Dengan demikian dalam penetapan agenda, isu
metodologis sudah termasuk dalam bahan pertimbangan.
Analisis kelayakan yang mungkin juga dilakukan dengan sebuah kajian kelayakan
memiliki struktur logika yang jelas, dan akan tergantung kepada dukungan teoritik dan
disiplin-disiplin kajian tertentu seperti teori tentang pengambilan keputusan,
mikroekonomi dan ekonomi politik modern. Di samping itu, perlu juga menjadi perhatian
siapakah yang memegang kendali terhadap penetapan agendea tersebut. Beberapa pihak
tertentu bisa saja menjadi penentu yang kuat, seperti pimpinan partai politik, pimpinan
komisi di parlemen, eksekutif di pemerintahan dan lain-lain. Majone (2006:231)
menyatakan bahwa pengendali agenda akan mendapatkan keluaran yang mereka inginkan
dengan mudah meskipun pada saatnya akan menghadapi pengambilan keputusan secara
voting di tingkat parlemen. Kajian kebijakan sering luput dalam memastikan sebuah
penetapan agenda mengalami sebuah penajaman atau malah manipulasi. Sebelum adanya
usulan atau proposal kebijakan maka akan berlaku kondisi status quo sebagai pilihan
yang tersedia.
Beberapa topik dalam analisis kebijakan publik berhubungan lebih dekat dengan
teori dan praktek demokrasi perwakilan daripada penetapan agenda dan pengendalian
terhadap agenda. Teori Robert Dahl tentang proses demokrasi sebenarnya berasal dari ide
tentang siapakah publik yang memegang kontrol terhadap agenda, Ia menyatakan bahwa
“the demos must have the exclusive opportunity to decie how matters are to be placed on
the agenda of matters that are to be decide by means of democratic process” (Dahl
1986:113). Kekuasaan untuk membuat suatu isu bertahan dalam agenda pemerintahan
sama pentingnya dengan kekuasaan untuk memilih di antara beberapa pilihan kebijakan
yang tersedia yang dibuat oleh agenda tersebut. Tidak sedikit sesuatu yang sudah
diagendakan akhirnya menghilang dari proses perumusan kebijakan.
Dalam kerangka kebijakan yang demokratis ada benang merah yang harus
dipahami. Kebijakan dibuat sebagai hasil dari dari proses yang berkesinambungan
melalui diskusi dan perdebatan yang dimulai dari kepedulian umum sampai kepada
keputusan yang kongkrit. Partai politik mengidentifikasi isu dan merumuskan program;
setelah mendiskusikan isu melalui sebuah debat dalam pemilihan umum, terlihatlah
kecenderungan mayoritas untuk menterjemahkan alternatif kebijakan menjadi hukum
atau regulasi. Dua prinsip yang muncul dalam proses ini adalah: diferensiasi fungsi dan
prinsip kerjasama dan saling ketergantungan. Dalam diferensiasi fungsi, setiap langkah
dilakukan oleh organ yang berbeda-beda dan tersendiri. Sementara dalam prinsip yang
kedua, setiap organ yang merupakan bagian dari sistem haruslah bertindak dengan
merujuk secara harmonis kepada pihak yang lain. Keseimbangan antara diferensiasi dan
kerjasama sangatlah penting. Ini hanya dapat dipertahankan pada sebuah kebijakan yang
mengandung nilai-nilai bersama dan budaya politik yang stabil.
Beberapa hal yang akan merusak kepada kondisi harmonis ini akan menghasilkan
penetapan agenda yang tidak ideal. Beberapa diantara hal yang mesti dihindarkan dalam
model normatif penetapan agenda dalam kerangka demokrasi ini adalah: ketidaksetaraan
pemahaman dan manipulasi informasi dan data, kompetisi di antara lembaga, politik
dalam birokrasi, kurangnya partisipasi warga, kurangnya peranan media massa dan
beberapa pihak penting lainnya.
Terdapat negara yang disebut sebagai regulatory state dimana terjadi delegasi yang
ekstensif kepada komisi atau agensi independen. Beberapa kebijakan yang sensitif secara
politis, seperti telekomunikasi, sarana publik, perlindungan lingkungan dan pangan,
dibuat oleh sebuah badan yang tidak dipilih tetapi diangkat. Pada prinsip demokrasi,
persoalan ini mestinya diputuskan dalam sebuah badan legislasi. Hal ini terjadi biasanya
karena pengambilan keputusan yang dilakuak pada badan legislasi memakan waktu yang
boros, biaya tinggi dan sulit untuk dilakukan di bawah sebuah kondisi ketidakpastian dan
kompleksitas. Biasanya para legislator di parlemen lebih tertarik kepada sesuatu yang
memiliki arti kepada suara yang mereka dapatkan pada pemilihan umum berikutnya.
Keterbatasan waktu, biaya, personil dan keahlian memaksa kita terkadang untuk
harus menyusun prioritas. Ilmu mikroekonomi memiliki ketentuan yang cukup solid pada
optimalisasi alokasi dari sumberdaya yang tersedia di antara beragam aktivitas. Amerika
juga mengenal sebuah konsep yang disebut sebagai “significant risk” dalam menyusun
prioritas agenda. Berdasarkan kriteria ini, resiko yang didapatkan dengan memutuskan
sebuah kebijakan (biasanya cukup gamblang pada kasus kebijakan kesehatan) harus
ditekan kepada tingkatan yang serendah-rendahnya. Alternatif kebijakan terbaik pastilah
dengan memastikan keputusan diambil pada opsi yang tidak memiliki resiko, namun
karena keterbatasan teknis dan ekonomis situasi ini tidak dapat dicapai maka keputusan
jatuh kepada pilihan kedua. Dalam Occupational Safety and Health Act, dalam mengatur
tentang keterpaparan pekerja kepada zat-zat berbahaya dan beracun ditetapkan standar
“most adequately assure, to the extent feasible.. that no employee will suffer material
impairment of health or functionally capacity even if such employee has regular exposure
to the hazard.. for the period of his working life”. Artinya lembaga Environmental
Protection Agency (EPA) nampaknya sadar bahwa dengan mandat yang dimilikinya,
tidak semua resiko dapat ditekan sampai menyentuh kepada level kemungkinan terendah.
Globalisasi memberikan pengaruh yang signifikan kepada penetapan agenda
kebijakan sebagaimana juga kepada substansi dan prosedur dalam pembuatan kebijakan
nasional. Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya saling ketergantungan secara ekonomis dan
politik. Meskipun harus menjadi hal yang harus diperdebatkan bahwa pakah integrasi
ekonomi harus menimbulkan keterbatasan kepada agenda-agenda nasional. Beberapa
bahkan mengingatkan bahwa semakin dalamnya integrasi ekonomi mestinya
meningkatkan kualitas dari perumusan kebijakan melalui kesadaran yang tumbuh di
kalangan pembuat kebijakan dan pimpinan nasional untuk mempedulikan dampak
regional dan internasional dari kebijakan yang mereka hasilkan. Pembuat kebijakan
mestinya semakin aktif untuk terlibat dalam kerjasama internasional dan membuka diri
terhadap ide dan pemikiran yang datang dari mitra asingnya baik dari negara lain,
lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat.
Kita lihat akhir-akhir ini betapa semakin terbukanya ekonomi nasional
mengakibatkan semakin tidak efektifnya penerapan kebijakan ekonomi ala John Maynard
Keynes yang menekankan kepada pemanfaatan instrumen-instrumen kebijakan stabilisasi
domestik. Ini sudah memakan korban kepada beberapa krisis regional dan internasional
seperti Mexico tahun 1985 dan Asian Flu tahun1998. Sebagian dari perbelanjaan
pemerintahan harus diberikan kepada impor berbagai komoditi dari seluruh dunia,
sebagai akibat dari penciptaan demand dalam negeri harus dibagi dengan pihak-pihak
lain di luar sana.
Nampaknya terjadi merosotnya pembuatan kebijakan publik yang demokratis
sebagai hasil dari prinsip-prinsip kompromi terhadap pasar bebas. Ini dapat dilihat dari
keberadaan Uni Eropa yang secara sangat signifikan menggerogoti ruang lingkup
instrumen kebijakan nasional yang tersedia. Modal menjadi bergerak secara sangat
longgar karena terjadinya integrasi ekonomi dan akibatnya negara-negara saling
berlomba-lomba melakukan pemotongan pajak. Akibat jangka panjangnya negara
dipaksa untuk menurunkan pelayanan publik yang bagi warganegaranya justru ingin
ditingkatkan.
Meskipun demikian, tentu saja tidak semua hal bisa dilemparkan menjadi kesalahan
kebijakan integrasi ekonomi. Persoalan dan permasalahan di seputar kesejahteraan juga
disumbang oleh beberapa hal yang terjadi, diantaranya: perubahan demografis, oposisi
domestik terhadap tingginya pajak dan birokrasi yang gemuk dan menjadi beban
anggaran, kegagalan kebijakan sosial tradisional dalam merespon kebutuhan-kebutuhan
yang baru muncul sebagai akibat dari berkembangnya perubahan sosioekonomis dan
teknis. Keterbatasan yang dihadapi sebagai akibat dari globalisasi adalah dipaksakannya
diberlakukan aturan-aturan dan kebijakan supranasional sebagai faktor eksternal. Karena
itu, negara nasional harus memiliki kalkulasi dan pertimbangan yang cerdas dalam
terlibat pada berbagai kesepakatan internasional, semakin terintegrasi sebuah negara
maka otoritasi dan kedaulatan dalam pembuatan kebijakan termasuk penetapan agenda
akan memiliki konstrain yang semakin dalam.
H. Perumusan Kebijakan
Kebanyakan analisis kebijakan mencoba untuk mengurangi konflik dan
ketidakpastian dan memberikan respons kepada kebutuhan akan stabilitas dengan cara
menggunakan pengetahuan yang umum dan prinsip-prinsip universal yang diperkirakan
akan mampu mendukung penerapan dan pencapaian tujuan kebijakan dalam kondisi
apapun. Perumus kebijakan semestinya menganalisis situasi dan berdasarkan itu
menentukan bagaimana cara bersikap. Secara epistemologis, hal ini secara kolektif akan
ditentukan oleh apa yang disebut sebagai “cara berpikir” (thought syle) dalam
memandang dunia (Hajer dan Laws, 2002)
Thomas Kuhn dalam bukunya yang terkenal “The Structure of Scientific Revolution”
menempatkan ini dalam pendekatan psikologis yang dapat memberikan pemahaman
bagaimana manusia memandang obyek yang sama, mungkin saja mereka melihat hal
yang berbeda. Ini memberikan peluang kepada pemikiran individu terhadap perangkat
aturan sosial (yang disebutnya paradigm/paradigma) yang menjelaskan secara luas pola-
pola dalam melihat realitas.
Menyikapi perbedaan sudut pandang ini, para ahli yang mendalami hal ini
memberikan beberapa karakteristik penting yang berhubungan dengan komitmen
kolektif. Pertama, kita menempatkan kolektifitas ini berupa kontinum yang dimulai dari
ontologi individual (disebut juga beliefs/kepercayaan) yang membentuk kapasitas dan
hubungannya dengan pola interaksi sosial yanga memberikan ciri kepada situasi khusus.
Kedua, kita harus memberikan penilaian bagaimana pihak lain yang memberikan
pendekatan berbeda membangun dan menyampaikan pengetahuan mengenai persoalan
yang menjadi objek kebijakan publik tersebut. Aturan apakah yang mereka ikuti untuk
memberikan peluang kepada para perumus kebijakan untuk menyikapi dunia yang
sedemikian kompleks dan ambivalen. Disinilah kita mengenail dua macam orentasi
empiris dalam perumusan kebijakan. Yang pertama menggiring kepada pembentukan
pengetahuan generalisasi melalui abstraksi dari konteks kebijakan dan yang kedua
memberikan fokus kepada identifikasi dinamika detil dari impementasi kebjakan dalam
dunia empirik.
Contoh yang tepat yang bisa memberikan pemahaman bagaimana analisis kebijakan
berangkat dari konsep kepercayaan adalah “advocacy coalition framework/kerangka
koalisi advokasi” (ACF) yang dibangun oleh Sabatier dan Jenkin-Smith (1993). Koalisi
advokasi terdiri dari aktor-aktor ddari berbagai pihak, lembaga-lembaga dari semua
tingkatan pemerintahan yang memiliki kepercayaan yang mendasar dan siapapun yang
menerapkan aturan, anggaran, personel pemerintahan untuk mencapai tujuan dalam
kurun waktu tertentu. ACF berangkat dari filsafat David Hume tentang pencarian hukum-
hukum umum.
Sementara itu perumusan kebijakan juga didukung oleh sebuah bingkai (frames)
yang menghubungkan antara dunia pengalaman, observasi dan sumber-sumber yang
diterima sehingga dapat menempatkan kebijakn dalam konstelasi yang koheren dengan
fakta, nilai-nilai dan implikasi dari tindakan yang akan diambil. Schon dan Rein (1996)
menjelaskan tentang adanya empat cara untuk melihat bingkai kebijakan sebagai sesuatu
yang mereka anggap saling melengkapi dan bukannya saling bersaing, yaitu:
a. Bingkai kebijakan sebagai struktur yang kuat dan stabli yang menjadi dasar dari
sruktur kebijakan;
b. Sebagai batas, dimana bingkai kebijakan membatasi perhatian kita sehingga
memberi tahu apa yang semestinya tidak perlu diperhatikan;
c. Sebagai skema interpretasi yang memberikan kemampuan untuk menempatkan,
mengidentifikasi dan memberikan tanda kepada kejadian dalam ruang
kehidupannya dan pada akhirnya dunia secara umum; dan
d. Dalam proses perumusan, kerangka kebijakan memberikan cerita yang bersifat
normatif-deskriptif yang memberikan gambaran apa sebetulnya yang menjadi
persoalan dan apa yang harus dilakukan terhadap persoalan tersebut.
Secara bersamaan keempat hal di atas memberikan kerangka kepada tindakan-tindakan
esensial dan mendasar untuk merancang tindakan yang masuk akal dalam lapangan
kebijakan dimaksud. Dengan demikian kerangka kebijakan menjadi menentukan dalam
menangkap hubungan antara faktu, nilai dan tindakan dalam perumusan kebijakan.
Dalam penelitian-penelitian gerakan sosial, analisis bingkai (frame analysis) sering
digunakan sebagai pengganti pendekatan yang menekankan kepada mobilisasi
sumberdaya (resource mobilisationa) dan struktur peluang politik (political opportunity
sturctures).
Narasi dan diskursus memainkan peran yang sangat penting dalam perumusan
kebijakan. Clifford Geertz (1964) menyatakan bahwa ini bisa berbentuk metafora,
analogi, ironi, ambiguitas, paradox, hiperbola, rhythm dan lain-lain. Ia mengakui bahwa
semuanya berfungsi untuk memastikan manusia menentukan preferensi pribadi untuk
menjadi kekuatan publik dan kolektif
Dalam konteks analisis kebijakan publik diterapkan pemikiran dari literary theory
dan sociolinguistics untuk memahami dinamika perumusan kebijakan. Cerita yang berupa
analisis naratif menciptakan perhatian kolektif yang memberikan informasi tentang
pilihan-pilihan yang dimilki oleh aktor kebijakan mengenatu apa yang harus dilakukan.
Melalui kemampuan menyusun plot cerita akan membantu perumus kebijakan untuk
mendefinisikan solusi operasional. Individu yang terlibat dalam perumusan kebijakan
mungkin akan menyampaikan cerita atau analisis tertentu sebagai strateginya untuk
meyakinkan forum kolektif, namun demikian untuk menjadi bagian dari domain
kebijakan akan sangat tergantung kepada bagaimana pihak lain memberikan respons.
Dengan demikian, narasi dan kemampuan persuasi secara verbal akan bertindak
laksana bola yanag bisa saja melompat ke depan dan bahkan berbalik ke belakang. Ia
secara dinamik akan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dalam forum
perumusan. Hajer dan Laws (2009:265) mengutip Rein dan Schon menyatakan bahwa
tradisi keilmuan dalam bidang analisis kebijakan publik selama ini tidak memberikan
perhatian kepada betapa faktor-faktor kultural termasuk linguistik dan narasi
menyumbang kepada kegagalan mengatasi kontroversi dalam kebijakan. Kajian analisis
kebijakan tradisional menganggap nilai-nilai kultural brsifat konstan dan statis. Dengan
demikian praktik analisis kebijakan menuntut digunakannnya pendekatan kebudayaan
dalam perumusan dan analisis kebijakan publik.
I. Perdebatan, Tawar Menawar dan Kesepakatan
Sebagaimana telah diungkapkan di bagian sebelumnya, perumusan kebijakan publik
merupakan sebuah proses yang sarat dengan perdebatan, tawar menawar dan pada
akhirnya menemukan kesepakatan. Dalam proses perumusan kebijakan, stakeholders dan
pengambil keputusan terlibat dalam proses saling mencoba untuk mempengaruhi cara
berfikir dan perilaku masing-masing yang seolah tanpa henti. Hal ini hanya akan berakhir
ketika sebuah pembicaraan dimana satu pihak meyakinkan pihak lain untuk melakukan
sesuatu (misalnya memberikan dukungan, merubah pemikirannya dan lain-lain)
berdasarkan bukti dan argumen yang diberikannya. Di samping saling bertukar
pemikiran, terkadang para pihak hanya memiliki dua pilihan bertindak yaitu tawar
menawar (hard bargaining) atau mobilisasi politik (political mobilization). (Susskind,
2009:269)
Pada saat kekuatan politik tidak terbagi secara merata atau pincang, pihak yang
berkuasa sering menggunakan metode tawar menawar untuk mencapai keinginannya.
Pada banyak konteks demokratik konfrontasi yang dimulai dari tawar menawar berakhir
pada litigasi yang lebih bersifat defensif, yang tentu saja tidak ideal bagi pihak-pihak
yang berargumen.
Pilihan ketiga yang terbaik adalah negosiasi untuk mencapai keuntungan bersama
(mutual gains) atau disebut juga dalam literatur sebagai pembentukan konsensus.
Seringkali terjadi tukar menukar dukungan untuk isu lain. Dengan demikian, sementara
perdebatan dan tawar menaear, yang berkaitan dengan konflik yang terjadi dalam arena
kebijakan publik, disamping bisa berakhir pada hasil yang diharapkan, ini juga bisa
berakhir pada langkah mundur berupa konfrontasi yang berkelanjutan. Di sinilah ilmu
tentang mediasi dan conflict resolution menjadi relevan dalam arena perumusan
kebijakan publik. Hanya pada saat para pihak merasakan bahwa kepentingan utamanya
sudah terpenuhi, mereka merasa diperlakukan secara layak, dan mereka tahu bahwa
segala sesuatunya mungkin untuk dilakukan untuk memaksimalkan pencapaian bersama
dimana pada akhirnya kesepakatan tercapai dan cukup mampu untuk diimplementasikan
secara realistik.
Literatur tentang demokrasi menyebutkan pentingnya aktivitas deliberasi, tawar
menawar dan konsesis dalam arena publik (Gutmann and Thompson, 1966). Menurut
mereka, dialog yang terorganisasi baik dalam persoalan kebijakan publik akan
meningkatkan saling memahami dan penghargaan dalam sudut pandang, namun akan
membawa kepada perubahan kebijakan atau pergeseran kekuatan politik. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa upaya pembentukan konsensus yang terstruktur secara hati-hati
akan menghasilkan hasil yang fair, efisien, bijaksana dan lebih stabil, walaupun kekuatan
politik tidak terdistribusi dengan baik.
Kebanyakan teori tawar menawar dan negosiasi menganggap hal ini merupakan
interaksi antara dua pihak. Bagaimanapun, dialog yang terjadi dalam perumusan
kebijakan melibatkan beberapa (non-monolitic) pihak yang direpresentasikan oleh agen
(juru bicara yang ditunjuk ataupun perwakilan yang tidak resmi). Negosiasi multi-pihak
dan multi-isu cenderung lebih rumit dari pada apa yang disampaikan oleh teori. Tentu
saja, pada gilirannya penemuan kesepakatan dalam situasi ini sering menuntut seseorang
(di luar pihak yang terlibat) untuk mengelola kompleksitas interaksi kelompok. Dengan
lain kata, pada setting yang lebih panjang, dengan habisnya waktu dan uang untuk
mengurusi sengketa perumusan kebijakan publik yang gagal diselesaikan secara efektif ,
pada akhirnya para pihak yang terlibat mencari mediator yang akan membantu untuk
meraih kesepakatan melalui kolaborasi.
Dialog dan Argumentasi
Ada perbedaan yang harus diungkapkan bagi mereka yang mengkaji tentang dialog dan
argumentasi. Dialog berupa pengeksplorasian berbagai pilihan sementara argumentasi
lebih kepada bagaimana membuat keputusan. Dialog melibatkan mendengar, menghargai
apa yang disampaikan oleh pihak lain dan menunda penilaian (judgement) dan
menyampaikan reaksi. Sehingga kuncinya adalah bagaimana membuat pihak lain
mendengarkan apa yang ingin kita sampaikan, bagaimana membuat struktur dialog dan
memastikan pihak lain menunda penilaian dan memberikan pemahaman kepada apa yang
kita sampaikan.
Ada orang yang mendengar secara sopan sudut pandang orang lain karena
pertimbangan basa basi dan sopan santun. Pada banyak konteks kesopanan akan hilang
jika kesabaran hilang, nilai-nilai utama yang dianut terancam atau sampai kepada topik
yang substansial. Kesopanan juga akan hilang ketika pihak yang berbicara lebih
mempedulikan reaksi konstituensi atau pengikutnya terhadap apa yang mereka
sampaikan daripada reaksi partner dialognya. Mereka lebih peduli kepada cara
pandangnya dari pada meyakinkan pihak lain untuk mengikuti usulannya.
Issacs (1999) menyatakan bahwa “atmosphere, energy and memories of people
create a field of conversation”. Dia juga menambahkan bahwa “dialogue fulfills deeper,
more widespread needs than just simply „getting to yes‟” Sehingga dia menyimpulkan
bahwa tujuan akhir daripada sebuah negosiasi adalah untuk mencapai kesepakatan
diantara para pihak yang berbeda, tetapi maksud dari dialog adalah untuk mencapai
pemahaman baru dan dengan demikian membentuk basis pemikiran dalam bagaimana
caranya bertindak.
Tahun 2001 penulis sempat melakukan penelitian dan kajian tentang peer-mediation
sebagai bagian dari lapangan ilmu conflict resolution di Amerika Serikat juga, dalam
laporan tersebut Khaidir (2001:5) mengutip William Ury yang menyatakan bahwa
“kepentingan/interests” adalah “needs, desires, concerns, or fears-the things one cares
about or wnts. They underlie people‟s position-the tangible items they say they want”.
Dengan demikian kepentingan merupakan suatu yang sangat sentral dalam sebuah
konflik. Negosiasi (atau integrative bargaining) yang berhasil mengakomodasi
kepentingan bersama adalah mengenai mengajukan kepentingan bersama melalui
penemuan sebuah bentuk yang bertemu dengan kepentingan semua sisi dengan baik.
Meyakinkan pihak lain yang berbeda melalui pembicaraan adalah meyakinkan
mereka terhadap sesuatu yang sebelumnya bukan menjadi kepentingan mereka. Karena
itu metode retorika akan menjadi sangat kuat dengan didukung oleh argumentasi yang:
a. Argumentasi dengan berdasarkan logika;
b. Argumentasi dengan berdasarkan emosi
c. Argumentasi dengan berdasarkan kepada sejarah, penilaian pakar atau bukti;
d. Argumentasi dengan berdasarkan kepada ideologi atau nilai.
Pada setiap kasus, seseorang yang berusaha untuk meyakinkan pihak lain pada dasarnya
melalukan persuasi untuk selalu terbuka kepada ide-ide baru, bukti-bukti baru dan tentu
saja terhadap berbagai bentuk interpretasi baru. Karena itu, perumusan kebijakan
sebenarnya pada umumnya berusaha untukmengandung prinsip win-win solution.
Tawar Menawar (Hard Bargain)
Tawar menawar merupakan bentuk taktik negisoasi yang klasik. Dalam upaya untuk
meyakinkan seseorang untuk melakukan “what to want, when you want, the way you
want”, pelaku tawar menawar berupaya untuk membatasi pilihan yang tersedia untuk
lawan bernegosiasi melalui ancaman, gertakan dan menuntut sebuah konsesi. Pada model
ini sangat penting untuk memiliki kekuatan politik yang lebih daripada pihak lain.
Strategi tawar menawar ini dianalogikan sebagai sebuah proses jual beli secara
tradisional. Asumsinya dua pihak yang monolitik bertemu pada sebuah pertemuan tatap
muka di mana setiap pihak mencari pencapaian dirinya melalui pengorbanan pihak lain.
Semacam pendekatan “zero sum” yang menganggap hanya satu pihak yang mendapatkan
apa yang diinginkannya dengan menghambat upaya pihak lain untuk mendapatkan
sesuatu yang ditujunya. Karena sifatnya yang monolitik, perantara tidak diperlukan dalam
hal ini.
Mencapai Kesepakatan
Kesepakatan merupakan hasil akhir dalam perumusan kebijakan publik. Jika
kesepakatan merupakan sebuah konsensus maka ia berproses melalui beberapa asumsi
yang sangat berbeda dengan tawar-menawar. Dalam konsensus, cara terbaik untuk para
negosiator untuk memuaskan keinginan mereka adalah dengan menemukan cara yang
biayanya paling rendah (dalam logika cost-benefit analysis) untuk berjumpa dengan
kepentinga terpenting dari partner negosiasinya. Jika jumlah parapihak semakin
bertambah, yang mana ini sering terjadi pada perdebatan kebijakan publik, prinsip yang
sama juga dapat diterapkan.
Teori-teori conflict resolution menyebutkan ini sebagai “mutual gains approach”
dalam negosiasi (Fisher, Ury and Patton, 1983 serta Susskind and Field 1996). Dengan
demikian tawar menawar dan pembangunan konsensus pada prinsipnya merupakan
bentuk-bentuk negosiasi, namun pembangunan konsensus menekankan kepada:
1. Memaksimalkan nilai dari seluruh pihak tercapai dalam kesepakatan;
2. Menempatkan parapihak dalam posisi yang lebih baik di masa depan dan
mengurangi biaya (atau resiko) sedapat mungkin pada saat mengimplementasikan
kesepakatan
3. Mengurangi biaya transaksi (transaction costs) yang terlibat dalam mencapai
kesepakatan; dan
4. Menambahkan kepercayaan dan kredibilitas para pihak di depan komunitas secara
umum sebagai hasil produk dari negosiasi yang dilakukan.
Inilah yang disebut sebagai pendekatan pencapaian bersama (mutual gains) dalam
negosiasi. Untuk mencapai pencapaian bersama sebagai bentuk terbaik dalam perdebatan
perumusan kebijakan publik, dilakukan dalam empat langkah:
a. Persiapan (preparation)
Jika dalam tawar menawar pihak negosiator lebih disibukkan dengan
memperbesar posisi tawar dan memperbesar tuntutan mereka dan strategi apa
yang dilakukan untuk membuat lawan negosiasi merasa tidak nyaman, maka pada
pendekatan pencapaian bersama, negosiator harus: (1) mengklarifikasi dan
membuat urutan priortas kepentingan mereka (2) membayangkan kepentingan
partner negosiasi mereka (3) menganalisis BATNA (Best Alternative to a
Negotiatied Agreement) dan berpikir tentang cara untuk mengembangkankannya
sebelum negosiasi dimulai (4) menganalisis BATNA sang partner dan berpikir
tentang bagaimana untuk meningkatkan keraguan terhadapnya jika kelihatannya
malahan bagus (5) mengembangkan pilihan-pilihan yang mungkin atau paket-
paket pilihan untuk pencpaian bersama (6) membayangkan argumen paling kuat
untuk paket yang mungkin paling menguntungkan pada pihak negosiator dan (7)
memastikan bahwa mereka memiliki mandat yang jelas berkaitan dengan
tanggung jawab dan otonomi yang diberikan padanya oleh konstitien atau
organisasinya. Semua persiapan ini biasanya dilakukan secara organisatoris
ketimbang pribadi.
b. Pembentukan nilai (value creation)
Merupakan kewajiban parapihak untuk melakukan apapun yang mungkin guna
meningkatkan nilai mereka, artinya “to increase the size of the pie” sebelum
menentukan siapa mendapatkan apa. Makin besar nilai yang mereka ciptakan,
maka semakin besar pula peluang untuk parapihak menciptakan BATNA. Di
sinilai terciptanya saling mendapatkan manfaat.
c. Distribusi nilai (value creation)
Jika nilai yang didapatkan sudah maksimum, maka masalah yang harus dihadapi
adalah membagi nilai yang sudah mereka ciptakan. Karena itu pada pendekataan
pencapaian bersama, pembagian ini sebaiknya berupa pendekataan “win-win
solution” Tidak mungkin pada parapihak untuk mendapatkan semua yang mereka
inginkan. Parapihak harus menjelaskan pada pihak lain mengapa merekan
mendapatkan sesuatu dan apa yang mereka dapatkan. Parapihak mendapatkan
insentif untuk mengusulkan sebuah kriteria sehingga pihak partner dapat
menyetujui apa yang diusulkan. Tidak akan ada terjadi suatu pihak akan pulang
ke rumah dengan nyaman dengan membawa sisa (dengan demikian posisinya
menjadi rentan) dari sesuatu yang sudah diambil pihak lain.
d. Antisipasi problem dalam tahap implementasi
Meskipun parapihak dalam negosiasi pencapaian bersama seringkali merasa puas
dengan pencapaian dalam negosiasi, tetap harus khawatir dengan mekanisme
implementasi. Seringkali dalam dunia publik, pembentukan konstelasi kelompok
bertukar setelah melalui kurun waktu tertentu. Karena itu negosiator tidak bisa
selalu tergantung kepada hubungan baik yang tercipta sebelumnya pada saat
implementasi. Karena itu sebelum kesepakatan disahkan parapihak harus
meluangkan waktu untuk membuat kesepakatan mereka “berjalan dengan
sendirinya”. Di sinilah fungsi sanksi atau penalty dalam kesepakatan. Karena
kesepakatan kebijakan publik tidak merupakan kontrak hukum (non-binding),
maka kesepakatan harus menemukan bentuk menjadi sebuah keputusan
administratif formal. Demikian juga merupakan sebuah keharusan bagi parapihak
untuk memonitor implementasi.
Secara skematik, langkah-langkah dalam menggunakan pendekatan pencapaian bersama
(mutual gains approach) dapat dilihat dalam bagan berikut:
Gambar1.1.: Langkah-langkah mutual gain approach dalam perumusan kebijakan
(Sumber: Fischer, Miller and Sidney 2007)
Kebanyakan kita menganggap bahwa perumusan kebijakan mengambil format dalam
perdebatan di parlemen, namun demikian pendekatan kontemporer terhadap formulasi
kebijakan tidak melupakan pula proses perumusan kebijakan yang dilakukan pada
berbagai bentuk organisasi yang juga memiliki dampak publik. Fischer, Miller dan
Sidney (2007: 89) memberikan pembahasan khusus tentang ini dengan subjudul konteks
dan agensi. Lembaga judisial (pengadilan) merupakan wilayah yang sering dilupakan
dalam kajian analisis kebijakan publik. Pemahaman tradisional tentang pengadilan lebih
kepada tugasnya pada menginterpretasikan hukum ketimbang melakukan pembentukan
hukum (rechtsfinding atau law-making). Pengadilan melakukan perumusan kebijakan
dengan sebuah setting yang spesifik yang terdiri dari aktor, prosedur, bahasa dan proses
yang berbeda dengan yang digunakan di badan legislatif dan birokrasi. Namun kita harus
menempatkan pengadilan sebagai sebuah institusi pembuat kebijakan publik dengan
parapihak yang terlibat dalam persidangan sebagai partisipan dan hakim sebagai perumus
kebijakan.
Sektor non-profit juga semakin meningkat peranannya dalam perumusan kebijakan.
Penelitian tentang bentuk-bentuk kebijakan publik yang didisain oleh Non-Govermental
Organization (NGO) semakin berkembang. Organisasi pertetanggaan (neighboorhood
organization) atau komunitas memiliki motivasi dan insentif yang berbeda dalam
perumusan kebijakan dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh para legislator. Di
banyak kota di Amerika Serikat, community based organizations ini merancang banyak
sekali kebijakan-kebijakan inivatif dan dapat diterapkan dengan berhasil, misalnya
kebijakan di lingkungan perumahan miskin di Baltimore, Maryland, mereka
menghasilkan kebijakan khusus untuk orang-orang yang miskin. Semakin banyaknya
perhatian diberikan kepada perumusan kebijakan di luar birokrasi dan di level rendah
ditingkat lokal dan komunitas membuat perluasan teori dan pengetahuan substansial dari
fungsi yang penting ini.
J. Implementasi dan Dampak Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Kajian tentang implementasi ditemukan sebagai sebuah metode yang merupakan
irisan (intersection) dari public administration, teori organisasi, manajemen publik dan
ilmu politik. Goggin dalam Fischer, Miller dan Sidney (2007: 89) memetakan adanya tiga
generasi yang mengkaji tentang implementasi kebijakan ini. Kajian implementasi muncul
tahun 1970an di Amerika Serikat sebagai reaksi terhadap tumbuhnya kepedulian kepada
keefektifan program-program reformasi yang sedemikian luas.
Sebelumnya pada akhir 1960an, dianggap mandat politik yang dimiliki oleh
pemerintah cukup jelas, administrator pemerintahan atau birokrasi tinggal mengikuti apa
yang diinginkan oleh para pengambil keputusan. Proses menjadikan kebijakan menjadi
tindakan (Barret, 2004:251) mulai menarik perhatian ketika proses kebijakan terlihat
tertinggal di belakang harapan yang ditumpangkan kepada kebijakan itu sendiri, atau
singkat kata sering terjadi kegagalan kebijakan dalam mencapai apa yang ditujukan.
Generasi pertama kajian implementasi kebijakan pada tahun 1970an memiliki
karakteristik sebagai penuh dengan nada pesimistik. Pesimisme ini dipicu oleh begitu
banyaknya studi kasus yang menunjukkan kegagalan implementasi kebijakan. Pressman
dan Wildavsky (1973) memiliki dampak kuat terhadap pembangunan kajian tentang
implementasi sehingga mengawali tumbuhnya literatur yang lebih kaya. Dengan
demikian, pencapaian terbaik dari generasi ini adalah munculnya kepedulian terhadap isu
ini di kalangan para komunitas ilmiah dan di pandangan publik, meskipun Hargrove
(1975) sudah mengisyaratkan dalam tulisannya bahwa adanya “missing link” dalam
kajian tentang proses kebijakan.
Karena pembangunan teori bukanlah menjadi jantung dari generasi implementasi
kebijakan, generasi kedua mulai meletakkan kerangka teoritik dan hipotesa ke depan.
Terjadi debat antara pendekatan top-down dan bottom-up dalam kajian-kajian
implementasi kebijakan pada periode ini. Penganut aliran top-down seperti van Meter dan
van Horn (1975), Nakamura dan Smallwood (1980) atau Mazmanian dan Sabatier (1983)
mengatakan bahwa implementasi merupakan eksekusi hirarkis terhadap kebijakan
rumusan yang ditentukan oleh maksud dari pemerintahan di tingkat pusat. Sementara itu
penganut aliran bottom-up, seperti Lipsky (1971), Ingram (1977), dan Elmore (1980)
lebih menekankan kepada implementasi yang terdiri dari srategi problem-solving harian
yang dilakukan oleh birokrat di tingkat bawah yang mereka sebut sebagai “street-level
bureaucrats”.
Generasi ketiga penelitian tentang implementasi kebijakan mencoba menjembatani
jurang yang terjadi antara aliran top-down dan bottom-up di atas melalui penggaubungan
beberapa prinsip yang dianut oleh keduanya dalam model teoritik yang mereka
kembangkan. Generasi ketiga ini mengklaim dirinya sebagai “to be more scientific than
the previous two in its approach”. Ilmuan generasi ketiga ini lebih memberikan
penekanan kepada perumusan hipotesis yang jelas, menemukan operasionalisasi yang
tepat dan memberikan observasi empirik yang memadai untuk menguji hipotesa-hipotesa
mereka. Aliran ketiga ini dinamakan hybrid theories, yang dapat dilihat dalam gambar di
bawah ini:
Gambar 1.2.: Review perkembangan pendekatan implementasi kebijakan
(Sumber: Fischer, Miller and Sidney 2007)
Dari sudut pandang top-down, asumsi yang dipegang adalah implementasi kebijakan
dimulai melalui keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Proses kebijakan
terinspirasi dari analisis sistem yang disebut oleh Parsons sebagai “blackbox model”
(Parsons, 1975). Hubungan kausal antara kebijakan dengan outcome yang ditemukan di
lapangan cenderung diacuhkan oleh implementor dalam penerapan kebijakan. Penganut
teori ini lebih menggunakan pendekatan preskriptif yang memandang kebijakan sebagai
input dan implementasi sebagai output.
Menilai sebuah implementasi kebijakan terikat kepada anggapan hubungan yang
linier antara tujuan kebijakan dengan implementasinya. Implementasi adalah upaya untuk
membentuk prosedur birokrasi yang tepat untuk memastikan bahwa kebijakan telah
dieksekusi seakurat mungkin. Agen pelaksana implementasi harus dibekali dengan
sumberddaya yang mencukupi dan dibutuhkan sistem yang menetapkan tanggungjawab
dan hirarki yang jelas untuk melakukan supervisi terhadapt tindakan yang dilakukan oleh
implementor.
Sabatier dan Mazmanian (1983) mengikuti Van Meter dan Van Horn (1975)
melakukan analisis mereka dengan keputusan yang dilakukan oleh perwakilan
pemerintahan. Mereka menganggap terpisahnya antara perumusan kebijakan dengan
implementasi kebijakan. Model yang dibangun menggunakan 6 kriteria untuk tecapainya
implementasi yang efektif, yaitu: (1) tujuan kebijakan harus jelas dan konsisten (2)
program yang dilaksanakan didasarkan kepada teori kausal dan valid (3) proses
implementasi terstruktur dengan baik (4) pegawai pelaksana harus memiliki komitmen
kepada tujuan program (5) kelompok kepentingan dan kekuasaan legislatif dan eksekutif
harus memberikan dukungan dan (6) tidak ada perubahan yang mendasar pada kondisi
kerangka sosioekonomis masyarakat. Namun Mazmanian dan Sabatier mengakui bahwa
susah untuk dicapai kontrol hirarkis terhadap proses implementasi, sehingga mereka
menyatakan keefektifan implementasi sangat tergantung kepada disain program dan
strukturisasi yang pintar dalam proses implementasi.
Sudut pandang bottom-up muncul pada akhir dekade 1970an dan awal 1980an.
Aliran ini muncul sebagai respons kritis terhadap aliran top-down. Para teoritisi aliran ini
percaya bahwa kajian haruslah melihat apa yang sebenarnya terjadi dan menganalisa
sebab nyata yang mempengaruhi tindakan di lapangan. Mereka menolak ide tentang
kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat dan penerapan harus merujuk kepada
tujuannya setepat mungkin. Sebaliknya, keberadaan diskresi/kebijaksanaan di lapangan
pada saat kebijakan diterapkan justru muncul sebagai faktor di mana birokrat lokal
melihat lebih dekat kenyataan dan persoalan yang ada dibandingkan para perumus
kebijakan.
Salah satu tokoh penting dalam aliran ini Lipsky (1980) melakukan analisis terhadap
perilaku pekerja pelayanan publik seperti guru, pekerja sosial, polisi, dokter yang
disebutnya sebagai “street-level bureaucrats”. Justru ia menganggap penting kajian
tentang interaksi langsung yang terjadi di antara pekerja sosial ini dengan warganegara.
Kekuasaan yang dimiliki oleh birokrat level jalanan ini terentang dibalik kendalo dari
perilaku warga negara. Mereka dianggap otonom dari kontrol yang dimiliki oleh
organisasi tempat mereka bekerja. Sumber kekuasaan ini adalah diskresi yang mereka
memili dalam menyikapi kasus-kasus sehari-hari di lapangan.
Karena itu, penganut aliran ini mengusulkan bahwa para analis implementasi
haruslah memulai dari mengidentifikasi jaringan (networks) dari aktor dari semua agen-
agen yang relevan dalam proses implementasi kemudian baru menilai bagaimana cara
mereka memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Meskipun Sabatier mengakui bahwa
pendekatan ini bermanfaat untuk menjelaskan struktur implementasi di dalam konteks
eksekusi kebijakan dilaksanakan, namun dia juga mengkritik tidak cukupnya hipotesis
kausal yang bisa menjelaskan bagaimana hubungan antara faktor-faktor legal dan
ekonomis dengan perilaku individu dalam pendekatan ini.
Tabel 1.10.: Perbedaan antara pendekatan top-down dengan bottom-up
(Sumber Fisher, Miller and Sidney, 2007)
Sebagai reaksi berikutnya terhadap tidak mudahnya menjembatani debat antara aliran
top-down dengan bottom-up, maka dicoba untuk melakukan sintesa antara kedua
pemikiran yang penting di atas. Sabatier (1986a) dalam artikelnya menyatakan bahwa
ketidakmampuan untuk membedakan antara perumusan kebijakan dengan implementasi
kebijakan akan mendiskualifikasi kajian tentang perubahan dan evaluasi kebijakan. Dia
memperkenalkan “advocacy coalition framework” bersama dengan Jenkins-Smith tahun
1993. Mereka menekankan kepada peranan pembelajaran kebijakan (policy learning)
dan mengenail pentingnya peranan sosial dan ekonomi kondisi di luar yang mungkin
berdampak kepada perumusan kebijakan. Wildavsky dan Majone juga memberikan
model yang mengandung argumen bahwa implementasi merupakan proses evolusi
dimana program secara konstan butuh pembentukan ulang dan pendefinisian ulang.
Konsepsi dimulai dari input yang menggunakan asumsi-asumsi yang dianut oleh perumus
kebijakan yang pada akhrinya berubah pada saat ini dieksekusi. Ini dinamakan sebagai
“incremental learning process” yang menjadi jantung dari pendekatan ini.
Dalam perkembangan berikutnya ternyata tidak tertutup kemungkinan dari
dibangunnya pendekatan-pendekatan baru yang lebih kontemporer. Jika ketiga aliran di
awal lebih menekankan pada konteks level nasional, maka pada saat ini dipicu oleh
akselerasi globalisasi dan regionalisasi yang semakin kencang muncul pendekatan
kebijakan internasional. Kebijakan internasional ini berpengaruh sampai kepada wilayah
kebijakan domestik. Kaitan dengan ini, contoh kasus yang paling penting adalah integrasi
negara-negara Eropa kedalam European Union. Kebanyakan kajian implementasi
kebijakan pada tahun 1990an fokus kepada kebijakan lingkungan di Eropa. Memulai
kajian dari observasi terhadap beberaoa negara anggota yang berusaha untuk
mengangkan modelnya ke tingkat Eropa. Sementara itu, Kebijakan Eropa harus
menghadapi struktur kelembagaan dan regulasi di negara-negara anggotanya.
Saat ini juga sedang berkembang kajian yang mendasarkan kepada pendekatan
interpretatif terhadap implementasi kebijakan. Pendekatan ini tidak menekankan kepada
fakta sebagai esensi dari problem yang menjadi fokus kebijakan tetapi lebih kepada
analisis terhadap “apa yang menjadi makna dari kebijakan itu sendiri” (Yanow, 1996).
Jika analisis secara tradisional menekankan kepad jurang implementasi yang terjadi
antara apa yang dikehendaki oleh kebijakan dengan apa yang terjadi di lapangan sebagai
outcome-nya, interpretative analysis menganggap rumusan kebijakan sebagai ekspresi
dari sebuah karakter.
Penafsiran dilakukan terhadap makna yang dihasilkan oleh aktor-aktor kebijakan.
Simbol, metafora dan bahasa menjadi variabel-variabel yang oelh Yanow disebut sebagai
budaya kebijakan (policy culture). Dengan demikian analisis ditujukan untuk
mendapatkan kajian tentang bagaimana setiap aktor (stakeholders) memaknai budaya
kebijakan ini dan kemudian melacak turun kepada dampak dari pemahaman yang
beragam ini pada proses implementasi. Dengan demikian, analisis menekankan kepada
konteks dimana kebijakan ditransformasikan menjadi praktek.
Dampak Kebijakan
Analisis Kebijakan Publik memiliki berbagai macam metode untuk mengkaji
dampak dari sebuah kebijakan publik. Ekseperimen sosial (social experiences) sering
dilihat sebagi cara yang paling ideal untuk melakukan kajian evaluasi terhadap kebijakan.
Sebagaimana layaknya metode eksperimen, orang secara random ditugaskan sebagai
kelompok “treatment” yang menerima manfaat dari sebuah program, sementara
kelompok yang lain disebut sebagai “control group”. Dampak kebijakan nanti akan
diukur dengan mengetahui perbedanaan antara variabel-variabel outcomes (seperti
pendapatan buruh, partisipasi dalam pasar atau tingkat keahlian) antara sebelum dan
sesudah perlakukan diberikan. Setelah melakukan perbandingan antara hasil dengan apa
yang dicapai oleh kelompok kontrol, maka semestinya dapat tergambar dampak terhadap
semua faktor dari program yang mungkin mempengaruhi outcomes dimaksud (van den
Bosch dan Cantillon 2006:330)
Namun demikian “social experiment” memiliki berbagai kelemahan, sebagaimana
disampaikan oleh Heckman, Lalonde dan Smith (1999). Keterbatasan pertama adalah
mereka lebih sesuai dengan pengukuran-pengukuran baru yang mungkin belum
terimplementasikan daripada program yang masih sedang berlangsung. Kedua,
eksperimen sosial pada akhirnya memiliki keterbatasan ruang lingkup, baik dari sisi
waktu maupun geografis. Ketiga, orang-orang tertentu mungkin saja tersingkirkan dari
program ini, partisipasi pada umumnya bebas (voluntarily), dengan ini aspek perlakukan
seringkali terseleksi secara subjektif sehingga menimbulkan bias kepada estimasi
dampak. Keempat, eksperimen membutuhkan biaya yang besar dan memakan waktu serta
membutuhkan keterlibatan administrator program dan tenaga lapangan, kebutuhan akan
randomisasi sebagai syarat penelitian yang baik bisa saja berbenturan dengan sifat
profesionalisme para pekerja tadi.
Pendekatan berikutnya disebut sebagai pendekatan perbedaan-dalam-perbedaan
(difference-in-difference approach). Outcome untuk pihak-pihak yang mendapatkan
manfaat atau pelayanan pada sebuah program yang dilaksanakan dibandingkan dengan
mereka yang tidak berpartisipasi dengan program. Mirip dengan metode experimental
sebelumnya, dengan perbedaan penting yang dimiliki dalam hal tidak adanya rekayasa
pada program. Penelitian hanya turun ke lapangan dan menerima setting sebagaimana
adanya. Persoalan yang muncul dalam metode ini adalah dalam menemukan kelompok
perbandingan yang setara. Artinya, kelompok perbandingan haruslah memiliki
karakteristik dan sebaiknya identik dengan kelompok “treatment”.
Mungkin metode yang paling mendasar untuk membandingkan outcome dari
kebijakan adalah variabel before and after pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan
atau program. Salah satu syarat penting dalam metode ini adalah ketersediaan data
sepanjang periode karena akan menggunakan pendekatan time series. Namun pada kasus
tertentu metode ini memiliki kelemahan. Seseorang yang sudah bekerja bisa saja terlibat
dalam program pencarian kerja kemudian mendapatkan pekerjaan baru.
Yang agak mirip dengan metode before and after adalah metode cross-sectional.
Meskipun memiliki kelemahan pada level mikro, pada level makro dari masyarakat,
pendekatan ini sangat populer terutama dalam bidang ilmu politik di bawah label
comparative method, Metode ini berbenturan dengan persoalan derajat kebebasan (degree
of freedom) karena masyarakat pada prinsipnya memiliki perbedaan pada berbagai aspek
antara satu dengan yang lainnya.
K. Penutup
Semua pendekatan yang ditelaah di atas pada prinsipnya memiliki kesamaan pada
pengukuran outcomes setelah program diimplementasikan dengan situasi yang terjadi
pada dunia kenyataan. Pada evaluasi berbasiskan model (model-based evaluation),
perbandingan dilakukan tidak terhadap keadaan yang nayat tetapi terhadap fakta-fakta
hipotetikal atau simulasi. Pada pendekatan ini peneliti menggunakan model untuk
memprediksi dampak dari penerapan kebijakan, administrasi atau program. Validitas dari
prediksi yang dilakukan sangat tergantung kepada kualitas data dan model serta
parameter. Pada model-model berbasiskan perilaku, parameter ini diestimasikan dengan
menggunakan data survey, yang melibatkan pula faktor variabilitas sampling, dan yang
lebih penting lagi tingkat kesalahan (error) yang ditoleransi.
REFERENSI
Anderson, J.E. 1984. Public Policy-Making. New York: Praeger
------------, 1994. Public Policymaking: An Introduction. Geneva: Houghton Miffling
Barret, S. 2004. Implementation Studies. Time fore a Revival? Personal Reflections on
20 Years of Implementation Studies. Public Administration, 82, pp 249-262
Dahl, R.A. 1986. Democracy and its Critics. New Haven: Yale University Press
DeLeon, P. 1988. Advice and Consent: The Development of the Policy Sciences. New
York: Russel Sage Foundation
Dror, Y. 1968. Public Policy Making Reexamined. Scranton: Chandler Publishing
Dye, T.R. 1976. Policy Analysis: What Governments Do, Why They Do It, and What
Difference It Makes. Tuscaloosa: The University of Alabama Press
Easton, D. 1953. The Political System. New York: Knopf
-----------. 1965. A System Analysis of Political Life. New York: Wiley
Eyestone, R. 1971. The Threads of Public Policy: A Study in Policy Leadership,
Indianapolis: Boobs-Merril
Elmore, R.F. 1980. Backward Mapping. Implementation Research and Policy Decisions.
Political Science Quarterly, 94, pp 601-616
Fisher, R. 1983. Negotiating power. American Behavioral Scientist, 27 (2): pp 149
Fisher, R., ury, W., and Patton, B. 1983. Getting to Yes: Negotiation Agreement wihout
Giving in. New York: Penguin
Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney. 2007. Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
Fuguitt, D., dan Wilcox, S. 1999. Cost-Benefit Analysis for Public Dector Decision
Makers. Westport: Quorum Books
Geerts, C. 1964. Ideology as a cultural system. Dalam D.E. Apter. Ideology and
Discontent, London: Free Press
Giddens, A. 1979. Central Problems in Social Theory. London: MacMillan Press
Gloggin, M.L., Bowman, A.O.M., Lester, J.P., O‟Toole, L.J. Jr. 1990. Implementation
Theory and Practice Toward a Third Generation. New York: Harper Collins
Goodin, R, Rein, M. dan Moran, M. 2006. The Public and Its Policies dalam Michael
Moran, Martin Rein, and Robert E. Goodin the Oxford Handbook of Public Policy.
Ed., New York: Oxford University Press
Gutman, A., and Thompson, D. 1996. Democracy and Disagreement. Cambridge:
Harvard University Press
Hajer and David Laws.2002.Ordering Through Discourse dalam Moran, Michael, Martin
Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford Handbook of Public Policy. The
Oxford Handbook of Political Science. New York: Oxford University Press
Heckman, J. Lalonde, R,. dan Smith, J. 1999. The economic and economietrics of active
labor market programs dalam A. Ashenfelter dan D. Card. Handbook of Labor
Economics. Amsterdam: Elsefier
Ingram, H. 1977. Policy Implementatiton through Bargaining. Federal Grants in Aid.
Public Policy, 25, pp 499-526
Issacs, W. 1999. Dialogue and the Art of Thinking Together: A Pioneering Approach to
Communication in Business and in Life. New York: Bantam Dell
Jones, C.O. 1970. An Introduction to the Study of Public Policy. Belmont: Wadsworth
Khaidir, A. 2001. Peer Mediation: Conflict Resolution Program in School in the United
States. Bloomington: Civic Education Project Indiana University in conjuction with
Universitas Negeri Padang.
Kuhn, T.S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago
Press
Lasswell, H. 1951. The Policy Orientation dalam Daniel Lerner dan Harold Lasswell
(ed.)The Policy Scinces: Recent Developments in Scope and Method. Stanford:
Stanford University Press
-------------- 1971. A Pre-View of the Policy Sciences. New York: American Elsevier
Lowi, T.J. 1970. Decision Making vs Policy Making: Toward and Antidote for
Technocracy. Public Administration Review, pp 314-325
-----------. 1972. Four System of Policy, Politics and Choice. Public Administration
Review 33, pp 298-310
Majone, Giandomenico. 2006. Agenda Setting dalam Michael Moran, Martin Rein, and
Robert E. Goodin the Oxford Handbook of Public Policy. Ed., New York: Oxford
University Press
Moran, Michael, Martin Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford Handbook of
Public Policy. The Oxford Handbook of Political Science. New York: Oxford
University Press
Palumbo, Dennis. 1981. The State of Policy Studies Research and the Policy of the New
Policy Studie Review. Policy Studies Review 1. Pp 5-10
Pressman, J. and Wildavsky, A. 1973. Implementation. How great expectations in
Washington are dashed in Oakland; or why it‟s amazing that federal programs
work at all. This being a saga of the Economic Development Administration as told
by two sympathetic observers who seek to build morals on a foundation of ruined
hopes. Berkeley: University of California Press.
Radin, B. 1977. Presidential Address: The Evolution of the Policy Analysis Field: From
Converstions to Conversations. Journal of Policy Analysis and Management, 2., pp
204-218
-----------. 2000. Beyond Machiavelli: Policy Analysis Comes of Age. Washington DC:
Georgetown University Press
Sabatier, P.A dan Hank C. Jenkins-Smith. 1999. The Advocacy Coalition Framework: An
Assessment. dalam Paul A Sabatier (ed.) Theories of The Policy Process, Boulder:
Westview Press
Sabatier, P.A. 1999. The Need for Better Theories. 199 dalam Paul A Sabatier (ed.)
Theories of The Policy Process, Boulder: Westview Press
Schon, D.A. dan Rein, M. 1994. Frame Reflection: Toward the Resolution of Intractable
Policy Controversies. New York: Basic Books
Susskind, L. 2002. Arguing, Bargaining and Getting Agreement dalam Moran, Michael,
Martin Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford Handbook of Public Policy.
New York: Oxford University Press
Smith, Kevin B and Christopher W. Larimer. 2009. The Public Policy Theory Primer.
Boulder: Westview Press
Stone, D. 1988. Policy Paradox and Political Reason. Glenview: Scott, Foresman
----------, 2002. Policy Paradox: The Art of Political Decision Making. New York: WW
Norton
Theodoulou, S. 1995. The Contemporary Languange of Publc Policy: A Starting Point
dalam Stella Theodoulou dan Mathew Cahn. Public Policy: The Essetial Readings.
Englewood Cliffs: Prentice Hall
Tilaar, HAR dan Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan: pengantar untuk
memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan
publik. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hargrove, E.C. 1975. The Missing Link. The Study of the Implementation of Social
Policy. Washington DC: Urban Institute
Van Meter, D. dan Van Horn, C. 1975. The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework. Administration and Society, 6, pp 445-488
Nakamura, R., dan Smallwood, F. 1980. The Politics of Policy Implementation. New
York: St. Martin‟s Pres
Mazmanian, D and Sabatier P. 1983. Implementation and Public Policy. Glenview: Scott
Lipsky, M. 1980. Street-Level Bureucracy. The Dilemmas of Individuals in the Public
Service. New York: Russel Sage Foundation
Yanow, D. 1996. How Does a Policy Mean? Interpreting Policy and Organizational
Actions. Washington DC: Georgetown University Press
Van den Bosch, K dan Cantillon. 2006. Policy Impact dalam Michael Moran, Martin
Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford Handbook of Public Policy. The
Oxford Handbook of Political Science. New York: Oxford University Press
Wilson, R. 2006. Policy Analysis as Policy Advice dalam Michael Moran, Martin Rein,
and Robert E. Goodin the Oxford Handbook of Public Policy. Ed., New York:
Oxford University Press
BAGIAN 2
ANALISIS kualitatif dalam
KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pendahuluan
Dalam kurun waktu terakhir, dunia mengalami perubahan yang sangat cepat, masa
depan menjadi semakin penuh dengan ketidakpastian dan sangat sulit untuk diprediksi.
Para perumus kebijakan berhadapan dengan permasalahan yang semakin kompleks dan
dengan pilihan alternatif tindakan yang masing-masingnya memiliki konsekuensi yang
berbeda-beda. Perumusan kebijakan menjadi tidak mudah. Ketidakpastian menghadang,
data sulit untuk didapatkan, identifikasi isu merupakan persoalan yang sulit. Karena itu,
tanpa analisis dan panduan yang baik, pilihan-pilihan kebijakan yang penting yang
berdasarkan kepada dugaan dan spekulasi, bahkan proses kebijakan bisa menjadi mandek
untuk periode yang panjang.
Banyak sekali buku sudah ditulis tentang berbagai aspek dari analisis kebijakan.
Bagaimanapun, tambahan pengalaman yang signifikan baru didapatkan pada satu atau
dua dekade terakhir. Perspektif baru muncul berkaitan dengan peranan pemerintah dan
hubungannya dengan berbagai kelompok kepentingan dalam perumusan dan
implementasi kebijakan. Paralel dengan kecenderungan perubahan dalam lingkungan
kebijakan, analisis kebijakan berkembang dengan mengandung sudut pandang baru
dalam peranannya sebagai perangkat dan penekatan analisis baru juga seperti pendekatan
argumentatif (Fisher, 2009:223), analisis kebijakan partisipatif (Marsh dan Akram,
2015:523), dan dukungan negosiasi (Laws dan Forrester 2007:523) dan bahkan yang
terkini analisis jaringan (Bailo, 2015:550) sebagai contoh.
Para pemikir ini nampaknya menekankan kepada peranan multi-aktor dan berbagai
lingkungan politik pada sebagian besar proses kebijakan disamping juga memberikan
perhatian ekstra kepada kontribusi para analis sebagai fasilitator dalam proses kebijakan
dan juga berperan sebagai aktivis kebijakan. Mereka berangkat dari berbagai pendekatan
dan disiplin ilmu yang sedemikian kaya. Sebagai akibtanya analisis kebijakan menjadi
sebuah disiplin keilmuan yang menurut Mayer et.al (2004:161) bercirikan:
“multi-faceted field in which a variety of different activities and ambitions have
found a place. Some policy analysts conduct quantitative or qualitative research
while others reconstruct and analyze political discourse or set up citizen fora. Some
policy analysts are independent researchers; some are process fasilitators, while
others act as political advisers. The debate on the discipline-for example, on its
foundations, underlying values and methods-is conducted in a fragmented way”.
Hal ini menimbulkan premis bahwa terjadi sintesis antara pandangan tradisional ala
Dunn, Fischer dan Wildavsky dengan pendekatan baru di atas dalam analisis kebijakan.
Dengan demikian tidak ada satu cara terbaik untuk melakukan analisis kebijakan.
Berbagai keadaan akan menuntut pendekatan yang berbeda, dan kombinasi yang kreatif
dari berbagai metode sangat dibutuhkan.
Analisis Kebijakan sebagai Bidang Kajian
Terminologi analisis kebijakan mengindikasikan aktivitas yang dimaksudkan untuk
mendukung para aktor dalam upaya mereka dalam membangun kebijakan. Thysen dan
Walker (2013:3) Termasuk di dalamnya sesuatu yang diistilahkan sebagai analisis
kebijakan “ex ante”, yang menekankan kepada orientasi menuju sebuah tindakan dan
intervensi yang ditujukan untuk mencapai tujuan di masa mendatang. Dalam literatur,
istilah “policy analysis” juga digunakan untuk mengkaji kebijakan yang sudah ada
(existing atau hukum positif), atau bahkan juga melakukan evaluasi terhadap dampak dari
suatu kebijakan setelah ia diimplementasikan, seringkali juga disebut sebagai evaluasi
kebijakan (Trochim, 2009:13). Hal terakhir ini diistilahkan sebagai analisis kebijakan
“ex-post”.
Dengan demikian Thysen dan Walker (2013,3) menyimpulkan bahwa analisis
kebijakan adalah sebuah tindakan atau aktivitas berorientasi kepada intervensi yang
termasuk di dalamnya kajian terhadap kebijakan yang sedang berlangsung atau sudah
terjadi, dan mengevaluasinya. Sementara itu, pengetahuan tentang situasi saat ini tentang
tidak efektifnya kebijakan yang lama, dan proses kebijakan secara umum seringkali
terbukti menjadi sesuatu yang esensial dalam memberikan pemahaman terhadap apa yang
mungkin akan berhasil di masa mendatang. Dalam perspektif mereka, analisis kebijakan
pertama kali dan harus fungsional sebagai sebuah aktivitas berorientasi masa depan
ketimbang menekankan kepada pengetahuan objektif belaka.
Dengan kesimpulan bahwa analisis kebijakan yang baik sedemikian luas, fokus dan
berorientasi kepada memberikan dukungan dalam pengambilan keputusan dalam arena
kebijakan, maka analisis kebijakan tidak termasuk:
1. Kajian yang diutamakan kepada tujuan ilmiah, terutama difokuskan dalam
mengembangkan pengetahuan dalam bidang tertentu;
2. Kajian yang dimaksudkan khusus untuk mengembangkan model sistem;
3. Kajian monodisiplin, meskipun bertujuan untuk membangun kebijakan;
4. Kajian yang difokuskan kepada satu aspek saja misalnya manajemen proses.
Publikasi-publikasi sebelumnya yang berkaitan dengan analisis kebijakan
mengambarkan sebagai sebuah pendekatan yang berorientasi kepada pembuat kebijakan
publik dan berdasarkan kepada ide utama bahwa hasil dari analisis yang sistematik dan
saintifik akan membantu perumus kebijakan dalam memilih tindakan yang terbaik untuk
mencapai tujuan mereka. Dengan demikian fokusnya adalah pada substansi kebijakan
dan mengembangkan hasilnya. Para analis kebijakan tradisional memberikan
pengetahuan ilmiah dan independen kepada peserta dari proses kebijakan. Kemudian para
peserta ini akan melakukan negosiasi, membuat tawar menawar dan pada akhirnya
membuat keputusan atau kesepakatan bersama. Informasi di sini haruslah objektif, ilmiah
(science based), dan bebas nilai.
Pada kenyataannya para aktor dalam proses kebijakan mungkin memiliki pandangan
yang berbeda tentang apakah yang dinamakan sebagai produk kebijakan yang baik.
Pendekatan-pendekatan baru dalam analisis kebijakan memberikan perhatian justru
kepada karakteristik multi-aktor dalam merumuskan masalah kebijakan dan prosesnya.
Sehingga muncullah berbagai aspek baru seperti ide tentang transparansi, karakter
demokratis, dan efisiensi. Tidak heran pada saat ini pada umumnya, kualitas dari proses
kebijakan dan luarannya mengandung berbagai atribut secara komprehensif: tidak melulu
soal efisiensi dan efektivitas tetapi juga legitimasi, demokratisasi, keadilan, transparansi,
akuntabilitas, dan berbagai nilai lain. Dengan demikian tujuan kebijakan yang paling
utama adalah kualitas dari prosesnya sekaligus luarannya. Para analis harus menemukan
bagaimana caranya untuk berhubungan dengan multi-aktor, dan sekaligus situasi yang
multi-nilai.
Pemanfaat Analisis Kebijakan
Pada sebuah situasi yang spesifik, kita mengasumsikan bahwa aktor kebijakan
memerlukan bantuan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan dalam
menyelesaikan sebuah persoalan. Para analisis di sini bekerja berdasarkan pada
kesepakatan tertentu atau kontrak dengan pengguna (users) atau pelanggan (clients). Pada
perjalanannya pandangan yang diberikan oleh para analis bahkan akan diakses dan
berguna juga bagi aktor lain yang berfungsi sebagai partisipan dalam proses kebijakan.
Dalam kaitan dengan hubungan antara para analis kebijakan dengan client atau users ini,
dikenal adanya empat macam kemungkinan (Mayer, van Daalen and Bots, 2015:161):
1. Analis dipekerjakan oleh instansi pemerintah ketimbang bekerja secara
independen dan dikontrak oeh pemiliki persoalan untuk mendukung mereka pada
sebuah isu kebijakan yang spesifik, dalam hal ini birokrat senior atau perumus
kebijakan akan bertindak sebagai client;
2. Analis dikontrak oleh sebuah agen atau aktor, namun pandangan dari analis
dimaksudkan untuk digunakan oleh kelompok atau aktor yang lebih luas yang
juga berpartisipasi dalam proses kebijakan, dengan demikian sang analis
menyasar kelompok yang lebih luas sebagai user yang ditargetkan mendapat hasil
dari analisis kebijakan yang diberikan;
3. Analis lebih bertindak sebagai wiraswasta kebijakan (policy entrepreneur), yang
memiliki tujuan keterlibatan dalam area kebijakan bukan untuk mendapatkan
keuntungan dari client tertentu, dalam hal ini para pelaku dalam arena kebijakan
menjadi users dari upaya analisis kebijakan;
4. Para aktor dalam proses kebijakan tidak dapat dikelompokkan ke dalam salah satu
kelompok pengguna sehingga hasil dari analisis kebijakan jika dirasakan
bermanfaat, dapat digunakan oleh siapapun.
Namun, pada prinsipnya bisa jadi masih terdapat berbagai variasi client atau users
dalam aktivitas analisis kebijakan. Secara tradisional, kebanyanakan analisis kebijakan
mengasumsikan bahwa perumus kebijakan atau legislator menjadi client dari aktivitas
analisis. Saat ini dengan berkembangnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan,
pihak-pihak non pemerintahan banyak menggunakan jasa analis kebijakan untuk
meningkatkan mutu dan proses perumusan kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan
yang berkualitas.
B. Rasionalitas dalam Analisis Kebijakan
Banyak literatur menyatakan bahwa analisis kebijakan sangat dekat hubungannya
dengan sains karena sama-sama bersifat rasional. Keberadaan kebijakan publik sebagai
bagian dari perkembangan pengelolaan negara secara modern tidak bisa tidak menjadi
pintu masuk bagi digunakannya perkembangan sains dalam penyelesaian aneka macam
persoalan-persoalan masyarakat. Dasar filosofis pemikiran ini dimulai dari tulisan-tulisan
yang dihasilkan oleh filsuf klasik seperti Plato, Francis Bacon, Descartes, Jeremy
Bentham sampai kepada Karl Marx, yang mengungkapkan berbagai varian dari
masyarakat yang dipandu oleh kehidupan yang rasional dan saintifik sebagaimana
direview oleh Lindblom (1990). Artinya, masyarakat yang maju dan baik terbentuk dari
diambilnya manfaat sebesar-besarnya dari pengetahuan-pengetahuan baru yang
membawa kepada kemajuan kehidupannya.
Sains adalah sebuah bidang yang khas yang dengan sendirinya meminggirkan para
praktisi yang tidak kompeten. Kompetensi menjadi sesuatu yang sentral dalam
rasionalitas yang dibawah oleh sains. Norma-norma saintifik, kerjasama dan saling
koreksi yang diberikan oleh peer review, dan lembaga-lembaga yang terpercaya
semuanya bekerja secara simultan untuk menyaring munculnya para peneliti yang tidak
terlatif dan tidak berbakat. Dalam lapangan kebijakan publik, demokrasi juga
mengandung elemen eksklusifitas seperti ini. Dengan demikian hanya segelintir segmen
dari masyarakat yang memiliki kemampuan dan layak untuk menghasilkan,
mengkomunikasi dan menerapkan penggunaan pengetahuan saintifik dalam pengambilan
keputusan publik. Dengan demikian, analisis kebijakan publik merupakan sebuah bidang
yang eksklusif yang juga dalam literatur didukung oleh berbagai profesi yang menjadi
mitra seperti penguasan yuridis seorang ahli hukum, otoritas moral pemimpin agama,
akuntan dan kontribusi berbagai profesional untuk terbentuknya sebuah keputusan publik
yang lebih baik (Andrews, 1990:162)
Pengetahuan yang dihasilkan oleh pendekatan yang saintifik memiliki komponen
prosedural tertentu. Menjadi penting untuk mengetahui siapa yang mengambil keputusan
serta apa langkah-langkah dalam mengambil keputusan? Proses yang benar dan optimal
akan menghasilkan legitimasi, dasar pemikiran dan transparansi dalam arti dapat diuji.
Simon (1976) membagi rasionalitas menjadi substantif dan prosedural. Rasionalitas
substantif diukur melalui outcomes yang optimal, sementara rasionalitas prosedural
menghasilkan proses pengambilan keputusan yang rasional. Pemikiran Simon ini
berdasarkan kepada pemikiran Weber yang mengkaji tentang sumber legitimasi. Ia
mengatakan bahwa keputusan publik akan menjadi legitimet jika ia legal, otoritatif dan
tepat sesuai konteks dimaksud.
Weber (1957) mengatakan ada dua macam sumber legitimasi. Pertama, legitimasi
otoritas, berdasarkan status, bisa didapatkan oleh pemimpin yang suci/baik (divine),
orang yang dituakan atau para ahli sains. Yang kedua, legitimasi berdasarkan
kesepakatan, berdasarkan masyarakat sipil, dan diturunkan oleh aturan-aturan
konstitusional serta prosedur demokratik yang terbuka. Namun demikian bagaimanapun
dalam lapangan kebijakan publik, Lindblom (1990) menekankan bahwa rasionalitas
substantif semestinya tidak menyingkirkan pentingnya posisi rasionalitas secara
prosedural. Dalam hal fenomena sosial, sains mestinya muncul berdasarkan konfirmasi
yang didasarkan kepada sesuatu yang masuk diakal (common sense).
Pakar-pakar ilmu sosial tidak semena-mena memiliki keleluasaan dalam menilai
sebuah pembuatan keputusan publik, ia menyatakan perlunya masyarakat yang self-
guided daripada scientifically-guided. Tidak heran jika ia memberikan solusi dengan
memperkenalkan pendekatan bertahap (incrementalism) dalam perumusan kebijakan
publik secara kontinu dan melakukan saling menyesuaikan di antara para aktor yang
terlibat. Namun demikian, kita menyadari bahwa pada beberapa keputusan kontribusi
para ahli terhadap terbentuknya rasionalitas yang substantif menjadi esensial, seperti pada
kasus senjata nuklir, pembangunan jembatan, pencetusan perang dan lain-lain. Ada
beberapa parameter yang digunakan dalam mengukur level rasionalitas dalam sebuab
kebijakan publik sebagaimana dijelaskan sepintas dalam uraian di bawah ini.
Dampak Maksimal terhadap kesejahteraan.
Meminjam pemikiran yang digunakan oleh ilmu mikroekonomi tentang utilitas
individu rasionalitas dalam kebijakan dijabarkan. Fungsi kesejahteraan sosial dari sebuah
kebijakan diimplementasikan pada aneka kebijakan publik yang tujuannya untuk
memperbesar kemanfaatan secara agregat melintasi segala segmentasi penduduk. Hal ini
agak bertentangan dengan konsep utilitarianisme Bentham yang menekankan kepada
“the greatest good for the greatest number”. Analisis manfaat biaya (cost-benefit
analysis) sering digunakan sebagai alat bagi perumus kebijakan publik untuk melakukan
pilihan terhadap berbagai opsi kebijakan yang bertujuan untuk memaksimalkan
kesejahteraan.
Pilihan Publik.
Sekali lagi pendekatan mikroekonomi memberikan kontribusi kepada teori pilihan
publik (public choice theory) yang menunjukkan bagaimana kepenting individu ternyata
mempengaruhi tidak saja pasar tetapi juga kebijakan publik. Contohnya, birokrat yang
egois cenderung memaksimalkan budgetnya dan sebaliknya warganegara secara kolektif
memberikan bentuk barang-barang publik. Pasar terkadang tidak adil karena tujuannnya
adalah untuk mengkosentrasikan kesejahteraan. Ketidaksempurnaan pasar disebabkan
oleh adanya kekuasaan monopoli, barang-barang publik, eksternalitas dan masalah
informasi. Prinsip Pareto yang menyebutkan bahwa tidak ada yang dirugikan karena
semuanya akan memaksimalkan manfaat hanya akan terjadi jika secara kolektif
semuanya berpikir dan bertindak rasional. Teori mikroekonomi modern secara eksplisit
saat ini mengakui baik kebebasan maupun kesalingtergantungan di antara para pengambil
keputusan. Semakin disadari bahwa semakin pentingnya adanya aturan (regulation),
akses pada informasi sehingga menghasilkan outcomes yang stabil, efisien dan adil.
Simulasi Multi-agen
Ini merupakan sebuah pendekatan yang relatif baru, yang dimaksudkan untuk
mengembangkan game theory dari ilmu mikroekonomi dengan menambahkan lebih
banyak aktor dengan keterbatasan kognitif yang dimiliki oleh berbagai bentuk
rasionalitas terbatas dan pengethuan yang tidak sempurna. Dengan ini pendekatan ini
melakukan investigasi pada kondisi-kondisi yang berada di luar kondisi equilibrium.
Pendekatan ini berguna untuk berbagai kebijakan yang berkaitan dengan inovasi, anti-
trust, lingkungan dan keamanan. Sebagai contoh kajian Schelling (1978) menunjukkan
bahwa pada kasus individu yang memilih untuk memiliki setidaknya 1/3 dari tetangganya
memiliki etnik yang sama dengan dirinya ternyata menghasilkan lingkungan yang
bercirikan segregasi, meskipun tidak ada aktor-aktor pasar real-estate dan kebijakan yang
berperdan di dalamnya.
Sistem Dukungan Kebijakan
Analisis kebijakan publik tradisional melakukan studi terhadap para pengambil
keputusan dengan melakukan perumusan pertanyaan penelitian, merumuskan asumsi
kunci, melakukan analisis, dan memberikan rekomendasi kebijakan pada pengambil
keputusan. Sistem dukungan kebijakan memberikan keputusan kunci kepada pengambil
keputusan dan melakukan perencanaan untuk mengulangi lagi interaksi diantara proses
melakukan analisis dan pengambil keputusan. Dengan demikian, proses analisis
berlangsung selama proses pengambilan keputusan dilakukan. Pendekatan ini dilakukan
pada berbagai program di Amerika Serikat seperti perencanaan urban, kebijakan
lingkungan, kebijakan kesehatan, kebijakan energi, hubungan internasional, kebijakan
militer dan lain-lain. Singkat kata, sistem dukungan kebijakan menekankan kepada upaya
untuk memetakan poin-poin dalam proses pengambilan keputusan dimana analisis
mungkin mengintervensi untuk memberikan bantuan. Disain analisis memungkinkan
terjadinya interaksi yang kaya sepanjang proses kebijakan.
Partisipasi publik.
Partisipasi publik memiliki berbagai potensi peranan dalam pengambilan keputusan
dengan berbagai alasan yang beragam. Susskind dan Eliot (1983) menyatakan bahwa
partisipasi akan membuat kebijakan menjadi demokratis, desentralistis, deprofesionalitas
dan sederhana. Partisipasi akan dapat berupa komunikasi yang membawa kepada aliran
informasi yang akan menghasilkan keputusan yang lebih baik. Dia akan berfungsi
sebagai teraphy, conflict resolution dan dengan demikian mengurangi tensi dan
menghasilkan outcomes yang stabil jauh dari keputusan yang kontroversioanl. FEARO
(1988) menyebutkan bahkwa spektrum mekanisme partisipasi terdiri dari: informasi
publik (ads, newsletter, exhibit), umpan balik (polls, focus groups, surveys), konsultasi
(hearings, workshops, panels, games), keterlibatan secara intensif (advisory commitees,
charettes, task force), perencanaan terpadu (arbitration, conciliation, mediation,
negotiation, partnership) dan delegasi (citizen control, home rule). Keberhasilan sebuah
partisipasi ditentukan oleh sejauhmana tercapainya derajat fairness dan kompetensi.
Namun demikian beberapa aspek harus menjadi perhatian dalam menilai sebuah
partisipasi termasuk diantaranya sejauhmana terjadinya kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi di antara masyarakat, validitas dari klaim yang diberikan, tirani mayoritas
dan minoritas, ketidakstabilan keputusan yang dihasilkan, informasi yang tidak akurat,
apatisme dan lain-lain.
Dengan demikian posisi rasionalitas dalam kebijakan publik merupakan produk dari
modernisasi dalam pengambilan keputusan kontemporer. Hal ini didasari secara filosofis
kepada takdir manusia untuk membuat kemajuan dalam perikehidupannya, dikenalnya
dan semakin luasnya keragaman domain yang dinamakan “public good”, tindakan-
tindakan individu menjadi semakin bermakna dan penemuan-penemuan dalam kehidupan
manusia akan berpotensi menghasilkan hal-hal baik ketimbang hal-hal buruk.
Rasionalitas dalam pengambilan keputusan mengurangi kecenderungan kepada
kepentingan partisan dan demagog, sekaligus untuk meningkatkan dasar prosedur
saintifik terhadap keputusan publik sehingga mendapatkan dukungan yang lebih kuat
untuk diberlakukan sebagai sebuah keputusan bersama.
C. Teori Pilihan Rasional
Teori pilihan rasional (rational choice theory) merupakan teori umum yang
berangkat dari asumsi parsimoni yang memberikan penekanan kepada tindakan
instrumental dari para pelaku kebijakan, ia juga berfungsi untuk memberikan prediksi dan
penjelasan umum terhadap proses kebijakan. Kemampuan memprediksi dan memberikan
penjelasan umum ini menantang pertimbangan ortodox lintas konteks, diterapkan dalam
kajian tentang mobilisasi kelompok dan tindakan kolektif, membangun koalisi, dinamika
birokrasi dan lingkaran politik dan bisnis. Dengan demikian, teori pilihan rasional
menjadi pemikiran yang dominan dalam berupaya memberikan eksplanasi terhadap
analisis kebijakan (Griggs 2007:173).
Namun demikian, pengembangan yang hegemonik dalam teori pilihan rasional dari
bentuk aslinya dalam ilmu politik dalam mengkaji kompetisi antar partai dan perilaku
pemilih bukannya tidak memperoleh tantangan (Lichbach, 2003). Akhir-akhir ini
keterbatasan teori pilihan rasional semakin menjadi sorotan. Ada yang menyatakan
bahwa teori pilihan rasional berangkat dari asumsi yang tidak realistik dan tidak cukup
teruji. Namun demikian, teori ini memberikan kontribusi kepada pemahaman kita
terhadap proses kebijakan.
Dari sudut pandang rasional, individu dianggap sebagai aktor yang instrumental
dalam melakukan tindakannya dalam upaya mencapai apa yang diinginkannya terutama
hasil kepada pribadinya. Rasionalitas menurut teori ini berhubungan dengan keinginan
pribadi untuk memaksimalkan kegunaan pada dirinya. Individu yang rasional adalah
siapa yang ketika berhadapan dengan sebuah pilihan tindakan atau pilihan kebijakan,
akan memilih tindakan yang paling layak (feasible), yang cenerung untuk
memaksimalkan kegunaan bagi dirinya (Dunleavy, 1991; Majone, 1989). Aktor
kebijakan dikonstruksikan sebagai manusia yang egoistik, mementingkan kepentingan
dirinya atau cenderung memilih tindakan berdasarkan konsekuensi terhadap
kesejahteraan personal (atau keluarganya). Aliran mainstream dari penganut teori ini
mendasarkan analisisnya dari individu yang berorientasi kepada pencapaian tujuan
dimana impiannya, keyakinannya dan kecenderungan dari individu pelaku
diidentifikasikan sebagai penyebab dari tindakan dan sikap yang dipilihnya.
Tantangan terhadap teori ini biasanya datang pada betapa kecenderungan utama pada
kepentingan pribadi dianggap gagal untuk mengenali motivasi yang sangat kompleks
pada individu dalam proses kebijakan. Seringkali, bukan saja terhadap sifat altruistik,
aktor kebijakan seringkali termotivasi pada kepentingan kelompoknya. Perumus
kebijakan kelihatannya diasingkan dari kalkulasi cost-benefit oleh penekanan kepada
individu-individu yang instrumental dan mendapatkan informasi. Dalam konteks ini
nampaknya pengambilan keputusan dalam proses perumusan kebijakan mengandung
ambiguitas dan ketidakpastian dimana informasi yang sampai kepada perumus kebijakan
belum konklusif. Kapasitas mereka untuk memproses informasi ini tentu saja terbatas dan
seketika perumusan kebijakan tidak menjadi problem-resolution tetapi lebih kepada
persuasi, komunikasi, advokasi dan setting berbagai macam norma.
D. Pembelajaran dalam Kebijakan
Dalam upaya mencari model yang tepat dalam menggambarkan proses kebijakan
yang mengarahkan kajian kebijakan publik menuju sebuah proses belajar yang utuh.
Teori sistem yang diperkenalkan David Easton (1957) merupakan salah satu yang paling
berpengaruh. Model sistem ini menggambarkan proses kebijakan sebagai sebuah ban
berjalan (conveyor belt). Tekanan yang datang dari rakyat menjadi input (berupa tuntutan
ataupun dukungan) untuk sistem politik yang ada, dalam sistem ini para politisi yang
memiliki otoritas menterjemahkan menjadi permasalahan kebijakan yang akan dibuat
oleh perumus kebijakan. Para perumus kebijakan inilah yang bertugas untuk
mentransformasi tuntutan dan permasalahan ini menjadi kebijakan yang setelah melalui
perdebatan dan akomodasi kepentingan menjadi output kebijakan yang pada akhirnya
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan publik sebelumnya. Dalam penerapannya,
administrator pemerintahan dan birokrasilah yang melalui potensi dan daya dukung yang
mereka miliki mengimplementasikan. Selanjutnya, masyarakat mungkin memberikan
respons melalui putaran tuntutan baru yang akan diartikulasikan melalui tekanan
berikutnya sebagai umpan balik kebijakan (Grin dan Loeber 2007:201).
Teori-teori pembelajaran berikutnya muncul antara tahun 1980an dan 1990an.
Bernett dan Howlett (1992) memperkenalkan pendekatan yang sedikit berbeda
menggunakan konseptualisasi yang berbeda pula. Mereka merumuskan tiga pertanyaan
deskriptif yang membedakan dengan penekatan yang sudah dikenal sebelumnya.
Pertanyaan itu adalah: (1) apa yang menjadi subjek kajian dalam pendekatan itu? (2) apa
yang menjadi objek kajian dalam pendekatan itu? Dan (3) untuk apakah pembelajaran itu
digunakan? Dengan demikian sudut pandang tata kelola tidak hanya mengkaji tentang
perubahan dalam perubahan kelembagaan dan organisasi dalam proses pemerintahan,
namun perubahan juga akan terjadi pada realitas politik dan dimanapun dalam
masyarakat. Karena itu perhatian diberikan kepada cara bagaimana agensi dan struktur
digambarkan, sebagaimana banyak dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial, tetapi juga berlanjut
pada bagaimana pendekatan teoritik tentang tata kelola (governance).
Richard Rose (2004) menyatakan bahwa perumus kebijakan menggunakan
penelaahan dalam setiap kebijakan yang mereka hasilkan dimanapun. Ia meyakinan
bahwa permasalahan publik selalu unik dan abnormal. Rose meyakini bahwa perumus
kebijakan akan selalu mendapatkan pelajaran dari pengalamannya dan dari mitra-
mitranya dari wilayah lain baik di tingkat kota, regional ataupun nasional mengenai
permasalahan yang setara dan membantu mereka untuk mengatasi isu yang mereka
hadapi langsung. Agen pembelajaran di sini adalah pelayan publik (civil servants) dan
mungkin juga penasehat eksternal, tapi bukan politisi. Pengkajian tentang agen di sini
tidak dari sudut pandang teori ilmu politik namun lebih sebagai social engineers yang
menerapkan pengetahuannya secara instrumental untuk meningkatkan kelayakan dari
program-program kebijakan.
Sama-sama dengan Rose dalam menekankan kajiannya tentang keunikan dari
pertimbangan praktis dan pentingnya pengalanan dalam meningkatkan kinerja kebijakan,
Schneider dan Ingram (1988) mendiskusikan dengan pemikiran tentang menangkap ide
secara sistematik atau “systematically pinching ideas” melalui eksplorasi mereka
terhadap aturan-aturan yang digunakan oleh perumus kebijakan pada saat merancang
kebijakan. Mereka mengkaji tentang pemikiran Herbert Simon (1945) tentang heuristik
dalam kebijakan. Dengan demikian mereka memandang perumusan kebijakan merupakan
penemuan ketimbang seleksi. Bias yang muncul sebagai hasil dari pengalaman di masa
lalu dan pengalaman di bidang lain yang didapatkan oleh para perumus kebijakan melalui
pemikiran asosiatif dan rekonstruksi kenangan dan membantu dalam pemikiran
inkremental yang mereka lakukan kemudian.
Transformasi pengetahuan terjadi secara intensi dalam perumusan kebijakan.
Transfer juga mengenai pengetahuan kebijakan, perancangan administratif, kelembagaan
dan lain-lain. Tarnsfer pengetahuan merupakan hasil dari keputusan-keputusan strategis
yang dilakukan oleh para aktor di dalam dan di luar pemerintahan. Dolowitz dan Marsh
(1996) memberikan perhatian yang spesifik kepada wirausaha kebijakan dan para expert
sebagaimana juga organisasi-organisasi anatar pemerintahan dan internasional yang
menganggap penting terjadinya pertukaran ide. Ini juga dilakukan oleh think tanks,
transnational corporation/TNC, lembaga swadaya masyarakat dan konsultan yang
bahkan menjadi semakin penting karena mereka memberikan advis berdasarkan apa yang
dianggap sebagai “best practice” dari tempat lain.
Dolowitz dan Marsh memperkenalkan adanya tiga macam transfer. Pertama, transfer
yang sukarela (voluntarily transfer) yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan
yang ada, misalnya karena kegagalan atau pemilihan umum. Yang kedua adalah transfer
langsung yang dipaksakan (direct coercive transfer) yang merupakan hasil dari belajar
dari kewajiban yang dipaksanakan oleh kesepakatan atau perjanjian internasional atau
transnasional. Yang ketiga adalah transfer tidak langsung yang dipaksakan (indirect
coercive transfer) yang dikendalikan oleh eksternalitas sebagai hasil dari saling
ketergantungan seperti permasalahan lingkungan regional atau global atau pola migrasi.
Namun kegagalan kebijakan terkadang disebabkan karena proses transfer ini. Transfer
akan gagal jika tidak diiringi oleh informasi yang memadai mengenai konteks kebijakan
dan kondisi. Transfer juga mengalami kegagalan jika tidak lengkap serta tidak tepat
ketika kebijakan yang ditransfer merupakan bagian dari program yang lebih luas yang
berangkat dari rangkaian nilai yang berbeda dengan konteks lokalitas.
Pembelajaran sosial (social learning) merupakan sumber penting dalam perumusan
kebijakan. Perumusan aliran ini muncul sebagai hasil dari paradigma pemerintahan yang
terbentuk zaman Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris. Sebagaimana
diketahui kebijakan yang dihasilkan Thatcher memberikan banyak perubahan sehingga
peranan pembangunan masyarakat (societal development) dan peranan aktif dari aparatur
pemerintah menjadi variabel penting dalam teori ini (Hall:1993:275). Teori ini
menganggap penting peranan experts dan kontak antara birokrasi dan kelompok
intelektual dalam masyarakat. Negara harus memiliki kapasitas tertentu secara otonom
untuk berhadapan dengan tekanan masayarakat
Teori Hall membedakan adanya tiga macam bentuk pembelajaran dalam kebijakan.
First order learning, menghasilkan perubahan dalam tingkatan (atau setting) dari
instrumen dasar kebijakan seperti tingkat pinjaman minimum atau kondisi fiskal. Second
order learning, menghasilkan perubahan kepada instrumen kebijakan serta setting
kebijakan. Third order learning, mengasilkan tidak hanya perubahan kepada instrumen
kebijakan dan setting-nya tetapi juga kepada “paradigma kebijakan”. Meminjam
pemikiran Thomas Kuhn tentang paradigma, Hall mendefinisikan sebagai kerangka ide
dan standar yang membentuk spesifikasi tidak hanya tujuan dari kebijakan dan macam
instrumen yang akan digunakan untuk melaksanakannya, tetapi juga alam permasalahan
yang akan diatasi.
E. Analisis Deliberatif
Dalam beberapa dekade terakhir semakin banyak para ahli kebijakan publik yang
memberi perhatian pada peranan argumentasi dalam analisis kebijakan, ini dinamakan
sebagai analisis deliberatif. Hal ini disumbang oleh keterbasan yang dimiliki oleh aliran
“neopositivist” dan pengambilan keputusan terknokratis. Secara praktis, analisis
deliberatif yang dialektikal ini menggabungkan empat level diskursus kebijakan yang
secara sistematis menghubungkan antara fakta dan nilai, pencarian empiris dan normatif
dalam kerangka pikir deliberasi kebijakan.
Analisis kebijakan yang muncul tahun 1960an dan 1970an sebagian besar berbentuk
teknokratis yang dirancang untuk digunakan sebagai praktek managerial oleh lembaga
publik. Bidang ini terutama dibentuk dengan menggunakan kerangka metodologis yang
berangkat dari metode neopositivisme empiris yang didominasi oleh ilmu-ilmu sosial,
terutama sosiologi dan ekonomi. Hasilnya muncullah banyak sekali kajian-kajian yang
menggunakan metode kuantitatif. Metode ini memisahkan antara fakta dan nilai dan
berusaha untuk mencari generalisasi yang mana validitasnya akan tergantung kepada
konteks sosial masing-masing situasi. Memang disadari, sebagai sebuah kajian kebijakan
(policy science) ia memiliki kemampuan untuk menbangun pengetahuan generalisasi dan
menguji solusi yang diterapkan pada serangkaian masalah kebijakan dalam berbagai
konteks politik.
Hal ini disebabkan oleh populernya pendekatan model rasional yang dibahas di
bagian awal tadi. Para pengambil keputusan yang terjebak dalam “rational project”
terlihat mengikuti langkah-langkah yang mengikuti langkaj-langkah penelitian-penelitian
ilmiah. Model ini menggunakan analisis manfaat dan biaya yang berkaitan dengan
outcomes yang diramalkan. Dengan menggabungkan informasi dan bukti-bukti, menguji
kemungkinan, konsekuensi, manfaat dan biaya, kemudian memilih alternatif yang paling
efisien dan efektif.
Aliran argumentatif postpositivis tidak menganggap kajian kebijakan tidak memiliki
dampak terhadap isu publik. Ia mempercayai bahwa peranannya justru lebih kepada
untuk menstimulasi proses politik melalui deliberasi daripada memberikan jawaban atau
solusi kepada permasalahan publik yang dihadapi oleh masyarakat kontemporer (Fischer,
2009:225). Meyakini ini sebagai sesuatu alternatif secara epistemologis, pengetahuan
yang memberikan pemahaman adalah produk dari interaksi, bahkan konflik, yang terjadi
di antara berbagai interpretasi terhadap permasalahan publik yang terjadi, ia membawa
penelusuran empirik dan normatif bersamaan dalam kerangka deliberasi. Ia memberikan
deskripsi yang lebih baik tentang bagaimana para analisis dunia-nyata dan pembuat
keputusan lakukan ketika mereka memeriksas permasalahan tertentu baik tentang
hubungan satu sama lain maupun implikasi yang dihasilkan untuk tindakan nantinya.
Para teoritis dan praktisi menekankan kepada pentingnya demokrasi partisipatoris
dan pengembangan teknik analisis kebijakan partisipatoris sebagai pendekatan yang
menenkankan kepada interaksi deliberasi di antara warganegara, para analis, dan
pengambil keputusan (Hajer dan Wagenaar, 2003). Tujuannya adalah untuk memberikan
akses dan eksplanasi terhadap data kepada semua pihak dan untuk mengembangkan
kemampuan publik untuk memahami analisis dan pada gilirannya memperkuat tata kelola
yang demokratis. Tentu saja pada analisis argumentatif, mengandung peranan yang
krusial dalam penggunaan bahasa, argumen retorikal dan cerita-cerita dalam membingkai
debat yang terjadi, kemudian membentuk struktur konteks deliberatif di mana kebijakan
itu dibuat. Ini memberikan pengetahuan lokal kepada warganegara.
Pengembangan analisis deliberatif memiliki dasar teoritis dan praktis. Beberapa teori
yang bertebaran menjadi pondasi dari pendekatan ini, mulai dari analisis bahasa yang
berkembang di Inggris, Mazhab Frankfurt yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas
yang menghasilkan teori sosial kritis, aliran Post-structuralisme Perancis dan sampai
kepada aliran pragmatisme Amerika. Secara praktikal ia memiliki aspek eksperimen dari
pihak analis dan praktisi, mulai dari analisis stakeholders dan penelitian partisipatoris
sampai kepada konsep citizen juries dan pembentukan konsensus.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk membangun prosedur analisis kebijakan
argumentatif. Pendekatan analisis kebijakan yang mementingkan komunikasi ini mulai
berkembang pada akhir 1970an dan 1980an. Dimensi normatif dari pertanyaan dalam
kebijakan tidak dapat digarap dengan analisis empirik, yang biasanyanya dilakukan
dengan mengoperasionalisasikan variabel. Para ahli analisis deliberatif mencarikan
alternatif yang tepat dengan melakukan penyesuaian mulai dari sudut pandang normatif
yang sesuai dengan kenyataan empiris. Dalam debat kebijakan, setiap pihak akan
berhadapan dengan pihak lain dengan menggunakan counter-proposal berdasarkan
berbagai persepsi tentang fakta. Para partisipasi akan mengorganisasikan data dan
memuatnya dalam sudut padang yang mengarisbawahi argumen yang mereka sampaikan.
Kriteria yang digunakan untuk menerima atau menolak proposal (dan counter-proposal)
haruslah menggunakan dasar yang sama dan menggunakan data yang persis sama.
Locus dari proses interpretasi bergeser dari komunitas ilmuah menuju dunia praktis
yang terjadi pada realitas publik. Hasil dari evaluasi dicapai melalui pemberian dasar dan
asessmen argumen praktis dibandingkan berdasarkan demostrasi keilmiah dan verifikasi.
Eksplanasi interpretatif yang valid adalah mereka yang berhasil selamat dari begitu
beragamnya kritik. Dalam model ini, setiap pihak tidak hanya mengutip hubungan kausal
tetapi juga norma, nilai dan keadaan yang menjustifikasi keputusan tertentu.
William Dunn (1981) memberikan model argumentasi kebijakan berdasarkan teori
“informal logic” yang diberikan Toulmin. Skema ini memberikan gambaran yang lebih
dinamis tentang argumentasi kebijakan yang mulai dari data empirik sampai kepada
kesimpulan melalui peringatan normatif dan dasar-dasar yang mengawalnya. Meskipun
tidak menggambarkan detil yang memadai dalam penyampaian argumen yang terjadi,
namun ini merupakan upaya yang penting dalam pengembangan analisis deliberatif.
Persoalan terberat adalah bagaimana menyatukan kerangka praktis yang mampu
mengintegrasikan baik komponen normatif maupun empiris dalam argumen kebijakan.
Fungsi utama dari epistemologi dan metodologi dalam filsafat dan ilmu sosial adalah
untuk menganalisis dan mengklarifikasi konsep-konsep dan aturan-aturan dasar yang
membentuk logika dalam diskursus dimana manusia menggunakan pemikirannya dalam
dunia normatif tidak sebaik pengembanganyya di dunia empirik. Peranan filsuf bahasa
menjadi penting di sini. Mereka menunjukkan alasan praktis untuk memberikan jalan
menuju sebuah eksplorasi metodologis dalam evaluasi kebijakan (Fischer, 1995). Dari
tradisi ilmu ini muncul dua pertanyaan mendasar dalam analisis kebijakan deliberatif
yaitu: apakah arti dari mengevaluasi sesuatu? Dan bagimana evaluasi tersebut
mendapatkan pembenaran?
Logika praktis mendasar dari studi yang sistematis tentang proses rasional adalah ia
menjadi alasan utama manusia untuk melakukan sesuatu. Para ahli penganut positivisme
tidak memberikan perhatian kepada alasan dalam melakukan sesuatu, dasar ini lebih
bersifat psikologis atau kekuatan sosiologis yang berada dan hanya bisa diungkap dalam
sebuah debat. Argumentasi praktis berbedandengan demonstrasi formal dalam tiga hal.
Pertama, formal demonstrasi hanya bisa dilakukan dalam sistem yang formal tenang
axioma dan aturan keterwakilan, argumentasi praktis dimulai dair opini, nilai dan
sudutpandang daripada axioma. Meskipun masih menggunakan logika inferensial tetapi
tidak menggunakan pendekatan deduktif. Kedua, demonstrasi formal didisain untuk
meyakinkan mereka yang membutuhkan pengetahuan teknikal, sementara argumentasi
informal selalu bertujuan untuk mengekstrak kehendak anggota masyarakat tertentu
untuk menjadi klaim yang akan digunakan untuk persetujuan yang mereka berikan.
Ketiga, argumentasi praktikal tidak bertujuan utnuk mencapai kesepakatan intelektual
tetapi lebih kepada memberikan alasan yang ddapat diterima terhadap pilihan yang
relevan untuk diterapkan nantinya.
Tidak bisa dilupakan juga pentingnya peranan dasar legalitas (legal reasoning).
Toulmin (1958) menyatakan dasar legalitas perlu untuk menjustifikasi pemikiran praktis
(practical reasoning). Analisis dasar legalitas memberikan pemikiran yang penting ke
dalam proses pemikiran praktis. Proses yuridis dan prosiding termasuk argumen dari
pemikir hukum, keputusan hakim dan keputusan legislatif mengenai pembentukan dan
perumusan aturan dan hukum tertentu, mencermikan sudut pandang praktis yang
membantu untuk mengklarifikasi prinsip-prinsip dalam argumentasi.
Namun demikian analis kebijakan terkadang perlu memberikan perhatian terhadap
retorikan dalam deliberasi kebijakan publik. Pentingnya ethos, kebajikan, kepercayaan,
perasaan dan emosi menjadi bagian yang penting dalam argumentasi. Hal ini sangat
relevan jika berhubungan dengan kebijakan-kebijakan kontroversial seperti euthanasia.
Dalam perdebatan dan negosiasi yang berkaitan dengan faktor hidup dan mati ini,
partisipasi publik dan transparansi dari lembaga regulatory sama pentingnya dengan
penyampaian dan penunjukan emosi dan artikulasi dari harapan dan kekhawatiran.
Semakin berkembangnya lembaga yang menampilkan proses pembentukan konsensus
secara terbuka dan mediasi warga bekerja baik untuk beberapa kasus kebijakan publik,
walaupun pada kasus tertentu ternyata gagal.
Jika dibawakan ke wilayah kontemporer kecepatan berkembangnya pengembangan
teknologi saintifik mulai dari berbentuk rekayasa genetika sampai kepada nano-teknologi,
tantangan dari pembangunan sosial ekonomi, seperti pemanasan global dan aneka
terobosan dalam dunia pengobatan modern mempertanyakan secara radikal keberadaan
nilai-nilai murni seperti kemanusiaan, dan kemajuan serta masa depan dari manusia.
Kontroversi poltitik mengenai teknologi dan ilmu pengetahuan dan berbagai persoalan
sosial menjadi semakin liar dan berkembang. Untuk para analis kebijakan, konstelasi ini
membawa kepada kebutuhan akan analisis yang menggunakan argumentasi dengan
segala kompleksitas yang dimilikinya, termasuk retorika ke dalam jantung dari proyek
analisis dan epistemologinya.
Masum (2013;11) mencoba memetakan pendekatan analitis ke dalam tiga bentuk
pendekatan, yaitu analitisentris, pendekatan proses kebijakan dan pendekatan meta-
policy. Sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.1.: Pemetaaan pendekatan analisis kebijakan
(Sumber: Masum, 2013)
Pemetaan tersebut dilaksanakan dengan melakukan analisis dengan strategi kualitatif
maupun kuantitatif. Dalam bagian ini akan dijabarkan berbagai bentuk analisis kualitatif
yang ada dalam literatur dan relevan dengan konteks keguanaan buku ini
F. Analisis Naratif
Sebagai lanjutan dari perkembangan analisis “postempirist” yang berkembang pada
era 1980an, dimana terjadi perhatian yang semakin besar kepada analisis argumentatif
yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pada dekade ini juga dikenal sebuah
pendekatan baru yang dinamakan analisis naratif. Menurut Roe (1994:2), pemikiran
praktis terletak pada “stories commonly used in describing and analyzing policy issues
are a force in themselves, and must be considered explicitly in assessing policy options”.
Semua cerita yang terkandung dalam dan mampu menggambarkan dan menganalisis
kebijakan merupakan sebuah kekuatan dalam kebijakan. Dengan sendirinya hal ini sudah
memulai upaya dalam menseleksi pilihan-pilihan kebijakan. Skenario dan argumen yang
terkandung di dalamnya yang diambil oleh parapihak dalam kontroversi yang terjadi
dengan sendirinya memperkuat dan mendasari asumsi-asumsi untuk para perumus
kebijakan dalam menghadapi isu ketidakpastian, kompleksitas dan polarisasi dalam
proses kebijakan publik (van Eeeten, 2007:251).
Apakah yang disebut sebagai analisis kebijakan naratif? Berbagai pendekatan
dibangun oleh para ahli untuk menggambarkan dan mengimplementasikan analisis
naratif, sebagai berikut:
1. The narrative analysis of policy, ketika metode analisis naratif diterapkan dalam
dunia kebijakan, struktur naratif dan simbolik sering ditunjukkan melalui
penerapannya dalam proses kebijakan (Stone, 1997);
2. The analysis of policy narratives, ketika berbagai metode, seringkali diambil dari
ilmu-ilmu sosial, digunakan untuk merekonstruksi cerita yang disampaikan oleh
para aktor tentang isu kebijakan, sering menunjukkan bagimana peristiliahan dan
pengukuran kebijakan dimaksud diberikan makna dengan cara yang berbeda dan
saling berbenturan (Bedsworth, 2004);
3. The policy analysis of narratives, ketika berbagai macam metode, baik dari teori
sastra dan ilmu-ilmu sosial, digunakan untuk menganalisis hubungan yang terjadi
di antara narasi kebijakan yang saling bertentangan dengan maksud untuk
membangun advis kebijakan dan bagamana ia berproses;
4. The narrative of policy analysis, ketika analisis naratif digunakan untuk menggali
fondasi naratif dari sebuah kebijakan publik, sering menunjukkan asumsi
ideologis yang tersembunyi dan struktur kekuasaan dan pada akhirnya
mengundang lebih banyak munculnya refleksi dan pluralisme dari para
profesional (Fischer and Forester, 1993).
Jika kita lanjutkan penelusuran dalam literatur, maka akan ditemukan banyak sekali
pilihan-pilihan yang dibuat berkaitan dengan metode, unit analisis dan tujuan penelitian.
Bidang ini mengembangkan konsep-konsep yang menggali tiga aspek kunci dalam
narasi kebijakan, yaitu cerita, teks dan narasi (Rimmon-Kenan, 1983:3). Cerita (story)
adalah serangkaian kejadian yang dinarasikan dan diabstraksikan dalam teks. Dengan
demikian, analisis naratif menekankan kepada kejadian, karakter dan plot. Teks (text)
adalah penceritaan sebuah kejadian melalui diskursus lisan dan tulisan, meskipun analisis
naratif juga dikembangkan dalam bentuk berbagai media daripada teks pada saat-saat
terakhir ini. Narasi (narration), berkaitan dengan tindakan menghasilkan narasi itu
sendiri. Analisis narasi memberikan perhatian kepada para narator (narrator/s) dan
penerima narasi (narratees) yang mungkin secara eksplisist muncul dalam teks, bahkan
sebagai pemeran, atau mungkin secara tersamar kehadirannya. Cerita dan narasi akan
dipelajari melalui analisis terhadap teks.
G. Analisis Perbandingan
Literatur menyatakan bahwa penggunaan pendekatan analisis perbandingan dalam
kebijakan publik bertujuan ganda yaitu (1) berupaya untuk mencari aspek pola-pola yang
dapat diobservasi dalam kebijakan publik dan (2) mempertanyakan stereotyping melalui
upaya eksplorasi berbagai bentuk paradoks dan pertentangan (Castles, 1989). Ia
menyatakan bahwa esensi dari upaya perbandingan adalah upaya untuk mengatasi
keterbatasan untuk melaksanakan eksperimen yang sebenarnya dalam ilmu sosial.
Membandingkan antar waktu, negara atau sektor menjadi salah satu upaya untuk
mengeksplorasi dan mengevaluasi pola dari intervensi negara dalam upaya untuk
mengidentifikasi dan mengisolasi berbagai variabel. Dengan demikian, pendekatan
perbandingan bergerak dibalik overparticularistic dan overgeneralized.
Beberapa metode dicoba dirumuskan dalam melakukan pendekatan perbandingan,
salah satunya dengan menggunakan kajian-kajian dengan menggunakan sampel yang
besar teragregasi (large-n studies), dengan membandingkan kumpulan negara-negara
adalah salah satu yang populer (Castles, 1998). Kajian ini memberikan perkiraan
terhadap pembangunan kesejahtaraan pada beberapa negara. Ketergantungan kepada
indikator-indikator statistik yang luas dibutuhkan untuk mendapatkan pemahaman yang
detil terhadap mengapa pilihan tertentu diambil pada kurun waktu tertentu. Dengan
demikian berbagai metode perbandingan akan digunakan dalam kajian tentang berbagai
variabel dalam kebijakan seperti: jika kebijakan diartikan sebagai output, outcome,
content atau style. Bahkan jika kesamaan ditemukan, mungkin juga ditemukan variasi
dalam hal motif, sejarah atau beberapa kebijakan yang sama diadopsi karena alasan-
alasan yang berbeda-beda.
Dengan demikian, jika berbicara tentang penggunaan pendekatan perbandingan
dalam kebijakan publik haruslah dilihat sebagai sebuah komitmen terhadap sebuah logika
penelitian tertentu, sebutlah sebuah komitmen terhadap penelusuran sistematik lintas
negara, wilayah, domain dan waktu, bukan tentang sebuah metode dalam sebuah strategi
atau instrumen penelitian. Konteks large-n, small-n atau bahkan single-n dipandang
sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan untuk memahami kebijakan publik
dengan meningkatkan jumlah observasi.
Jika kita maknai kebijakan publik sebagai apa yang dilakukan oleh negara, baik
langsung maupun tidak langsung terhadap kita, sebagai subyek negara, maka kita akan
berhadapan dengan sejumlah besar bentuk dan tipe intervensi dan perangkat pemerintah.
Salah satu cara melakukan klasifikasi oleh literatur perbandingan kebijakan publik,
beberapa kategori di bawah ini menggambarkan instrumen ddan alat kebijakan. Tabel ini
mengadaptasi tipologi yang dirumuskan oleh Christopher Hood tipologi:
Tabel 2.2.: Tipologi instrumen perbandingan kebijakan
(Sumber: Hood, 1986)
Empat topik di atas terdiri dari perbendaharaan (treasure), nodalitas (nodality),
organisasi dan otoritas. Treasure artinya bagaimana pemerintah mendapatkan dan
membelanjakan uang, sehingga akan termasuk kajian tentang pajak, belanja sosial dan
total perbelanjaan publik. Nodalitas bermakna bagaimana pemerintah menggunakan ilmu
pengetahuan dan informasi untuk memperngaruhi perilaku warga negara atau institusi.
Kajian ini berbentuk pembelajaran dan transfer kebijakan dan informasi pemerintah.
Organsasi membahas tentang bagaimana pemerintah mengorganisasi dan menata dan
smemberikan pelayanan secara langsung. Topik kajian di sini biasanya mencakup isu-isu
tentang perubahan kebijakan dan manajemen publik atau privatisasi. Terakhir, kajian
tentang otoritas yang memfokuskan tentang pembahasan bagaimana pemerintah
menggunakan otoritas yang dimilikinya, literatur yang mendukung adalah yang berbicara
seputar regulasi terhadap aktor-aktor sosial.
H. Analisis Kebudayaan
Pada era kondisi posmodernisme yang dialami oleh masyarakat sipil dan dunia
kebijakan, tata kelola pemerintahan semakin menemukan pendekatan-pendekatan dan
kerangka pikir kreatif. Dalam konteks analisis kebijakan, artinya kebudayaan menjadi
penting. Dari sudut pandang budaya, perumusan kebijakan publik tampil melalui
penemuan-penemuan dan penerapan kebudayaan bersama pada aspek tata kelola pada
berbagai macam budaya “di luar sana”, Mengambil perbedaan budaya secara serius dan
membuatnya menjadi kawan ketimbang lawan adalah respons yang peka pada profesi
analisis kebijakan.
Beberapa pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah kontribusi teori
kebudayaan tentang jaringan dalam kelompok pada analisis kebijakan publik? Untuk
menjawabnya perlu dijabarkan beberapa hal, yaitu (Hoppe 2007:290): (1) dalam
pemahaman terhadap teori kebudayaan, kemungkinan minimal apakah yang wajib
dimiliki dalam menerapkan teori kebudayaan dalam analisis kebijakan? (2) bagaimana
teori jaringan dalam kelompok dapat digunakan sebagai perangkat untuk memperkaya
analisis kebijakan konvensional? (3) betapa teori jaringan dalam kelompok digunakan
menjadi pondasi analisis dalam orientasi nilai dan implikasi kelembagaan pada diskurusu
kebijakan dan keyakinan elit dalam sistem kebijakan. (4) bagaimana ia digunakan untuk
menandai berbagai pilihan dan akhirnya membentuk alternatif kebijakan gabungan yang
produktif dalam disain kebijakan dan (5) bagaimana ia membantu memprediksi efek
sampingan dari pembelajaran kebijakan yang cerdas.
Apakah yang dimaksudkan dengan teori kebudayan tentang jaringan kelompok
(group-grid)? Dalam pendekatan kulturalis dibedakan antara pendekatan sikap (attitude)
dan pendekatan inklusif. Pendekatan sikap seperti budaya kewargaan (civic culture) yang
diintrodusir oleh Almond dan Verba (1963) dan tradisi kebudayaan post-materialis dalam
ilmu politik, menggunakan definisi kebudayaan sebagai produk mental dari individu-
individu, berupa makna, nilai, norma dan simbol. Pada penelitian, budaya
dioperasionalisasikan sebagai agregasi dari sikap-sikap individu, dimana para individu
dilihat sebagai satu unit analisis yang tunggal, terbebas dari konteks sosial. Sementara
bagi analis kebijakan, teorisasi sosial-psikologis ini membawa kepada asumsi tentang
pertemuan atau harmoni antara kebijakan dan budaya politik, dimana perbedaan budaya
harus dijembatani melalui “pemaksaan” oleh budaya tata kelola pemerintahan yang
terpadu (unifying).
Teori membedakan antara struktur internal yang dinamakan “grid” dan struktur
eksternal yang dinamakan “group”. Grid atau jaringan merupakan tipe aturan yang
menghubungkan antara satu orang dengan yang lainnya dengan dasar egosentris. Grid
akan kuat jika aturan sangat banyak dan kompleks. Group atau kelompok merupakan
pengalaman menjadi bagian dari unit sosial yang utuh. Gorup yang kuat artinya ketika
identitas seseorang menjadi kuat ketika melihat dirinya menjadi anggota (member)
sebuah kelompok. Jika kelompok menjadi kuat, maka transaksi menjadi terbatas.
Demikian pula sebaliknya, jika kelompok menjadi lemah, maka peluang untuk
bertransaksi menjadi tidak terbatas.
Dengan mengkombinasikan antara kelompok dengan jaringan, maka akan didapatkan
peta sosial (social map) dengan melalui empat macam tipe hubungan. Dua di antarnya,
pasar atau jaringan dan hirarki, dikenal secara akrab sebagai unit analisis dalam literatur
ilmu sosial termasuk analisis kebijakan (Lindblom, 1977). Tetapi dua lagi dikenal dalam
ilmu antropologi sebagai clan atau enclaves dan sistem isolasi atau non-jaringan.
Gambar 2.1.: Teori kebudayaan tentang Grid/Group Typology
(Sumber: Thompson, 1996)
Banyak ahli menganggap skema jaringan kelompok ini sebenarnya hanyalah
deksripsi tentang taxonomy atau tipologi, tetapi dalam konteks teori kebudayaan analisis
ini dianggap sebagai sumber konseptual untuk melaksanakan kajian perbandingan dan
bahkan membangun teori. Karena itu, model teori kebudayaan jaringan kelompok
merupakan model perubahan sosial melalui perjuangan politik dan sosial untuk
mendapatkan hegemoni sosial dan lebih cocok menjadi upaya membangun bangunan
teori untuk mendapatkan gambaran dinamika kebijakan jangka panjang (Sabatier dan
Jenkins-Smith, 1993).
Bagaimana teori ini menjadi perangkat untuk analisis sosial? Dari penelusuran
literatur, setidaknya jawabannya dapat ditemukan dalam empat pernyataan di bawah ini:
1. Teori kebudayaan membantu analis kebijakan untuk melakukan pandangan
sepintas tantang orientasi nilai dan kelembagaan sebagaimana juga implikasi
instrumental yang melekat dalam berbagai lapisan diskursus kebijakan dan dalam
sistem kepercayaan kebijakan di kalangan elit;
2. Teori kebudayaan memnungkinkan analis untuk secara cepat menandai aneka
pilihan dan menciptakan irisan budaya, tetapi tetap berfungsi sebagai alternatif
kebijakan produktif pada tugas-tugas disain kebijakan;
3. Teori kebudayaan secara sistematis membantu analis kebijakan untuk
memprediksi efek samping dari kebijakan dan menrancang proses pembelajaran
orientasi kebijakan; an
4. Teori kebudayaan merupakan rangkaian heuristik yang sangat sempurna untuk
merancang struktur permasalahan dan membuat kerangka reflektif dalam analisis
kebijakan.
Penggunaan teori kebudayaan jika dilakukan dengan kebijaksanaan dan penilaian
yang baik, akan menyumbang kepada kerja yang cepat dan heuristik yang sistematis
dalam melakukan refleksi dan analisis kebijakan yang kritis. Budaya terkedang
memberikan bias dalam perumusan masalah kebijakan sebagaimana dapat dilihat dari
gambar di bawah ini:
Gambar 2.2.: Bias Budaya dan Perumusan Kebijakan
(Sumber, Hoppe 2002, 320)
Dengan demikian metode ini sangat cocok dengan aliran pluralisme baru yang
berkembang akhir-akhir ini, karena ini menekankan kepada keaslian kelembagaan yang
ada di preferensi masyarakat. Tanpa teori kebudayaan, analisis forensik akan sangat
mudah untuk cenderung kaya dengan variasi dan kompleksitas yang tidak terbatas. Ia
akan gagal untuk melihat dahan kebudayaan sebagai pohon simbolik, justru hanya akan
menjadi koleksi perangko kebudayaan, interpretasi dan retorika (Hood, 1998), yang
termasuk epistemologi postmodernisme dan relativisme moralitas. Pendekatan
kebudayaan menjadi jalan yang lebih efisien untuk menjadi perangkat yang efektif
melalui analisis kebijakan yang argumentatif. Jika demokrasi modern dan kewargaan
adalah dimaknai menjadi organisasi yang konstruktif yang berkaitan dengan keterbukaan
dan pluralitas (van Gunsteren, 1998), para analis kebijakan memerlukan teori kebudayaan
jaringan kelompok untuk melakukannya dengan lebih baik.
I. Experimentasi Sosial
Ekseperimentasi sosial secara acak menugaskan orang-orang (kadang-kadang
komunitas dan lingkungan sosial tertentu) baik sebagai kelompok maupun kumpulan
pribadi untuk menjadi subjek dalam “perlakuan kebijakan” (policy treatments) atau
selanjutnya menjadi subjek dari “kontrol kebijakan” (policy norm/policy control) untuk
sebuah program yang baru. Greenberg, Linksz dan Mandell (2003) melakukan review
terhadap eksperimentasi sosial yang dilakukan di Amerika Serikat. Eksperimen besar-
besaran diusulkan tahun 1960an berangkat dari pelaksanaan dari riset biasa terhadap
kebijakan. Manpower Demonsration Research Corporation (MDRC), sebuah lembaga
riset non-profit dan non-partisan dengan pendanaan dari the Ford Foundation, dengan
rencana penerapannya di tahun 1970an, melakukan National Supported Workd
Demonstration. Sekumpulan organisasi lain juga mengorganisasikan berbagai riset
eksperimen.
Haveman (1987) mencatat bahwa penelitian tentang kemiskinan juga melakukan
metode eksperimentasi sosial. The Digest of Social Experiment mengungkapkan bahwa
metode experimentasi sosial, sempat dilakukan di kalangan masyarakat miskin yang
menjadi subjeks dari berbagai program kewilayahan di bidang kesehatan, lingkungan
serta pendidikan dan pelatihan (Greenberg and Scroder, 2004). Sebagaimana diketahui
selama ini, untuk melakukan eksperimen, peneliti secara acak menugaskan beberapa
anggota dari target grup untuk mengikuti program baru dan sebagian lain di bawah
program yang sedang berlangsung saat itu. Dampak dari perlakuan kemudian diukur
dengan mengetahui perbedaan mean antara kelompok treatment dan kelompok control.
Pengukuran bisa dilakukan dengan menggunakan parameter ukuran yang relevan seperti
pendapatan, capaian pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Kekuatan utama dari metode
eksperimen terletak pada validitas internalnya. Menugaskan anggota target grup secara
acak memastikan bahwa secara statistik equivalen untuk mengetahui karakteristik yang
terukur dan tak terukur.
Eksperimentasi sosial memiliki tiga kekuatan: keadilan, kesederhanaan dan ketelitian
(Danielson, 2007:382). Penugasan subjek secara acak memberikan cara yang fair untuk
mengalokasikan sumberdaya yang terbatas, tidak ada pelatihan yang khusus dibutuhkan
untuk menangkap esensi dari metode ini. Eksperimen handal dalam mengisolasi
“program” dari faktor lain yang mempengaruhi manfaat yang diterima subjek. Demikian
juga tidak memerlukan informasi kepada perumus kebijakan tentang begaimana
mencapai manfaat sosial yang diharapkan. Keberhasilan eksperimentasi sosial yang
berkembang di Amerika Serikat mengurangi kompleksitas yang dialami dalam
mengevaluasi kebikaan sosial. Perumus kebijakan bagaimanapun harus menyadari
beberapa kompleksitas dan keterbatasan metode ini, termasuk juga kelebihan dari
eksperimentasi sosial (Danielson 2007:385).
Akhirnya, sadar bahwa eksperimentasi sosial adalah menarik untuk menilai kelaikan
sebuah kebijakan publik dan program tidaklah menjadi alasan untuk mengenyampingkan
berbagai pertanyaan etik yang mengiringinya. Masalah etik yang mengirinya biasanya
berkaitan dengan apakah etis jika menugaskan individu untuk terlibat dalam penelitian
tanpa mengetahui apakah perlakuan akan memberikan efek yang diharapkan? Karena
pilihan sosial adalah berkaitan dengan pencapaian tujuan.
J. Analisis Kualitatif Interpretatif
Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian kebijakan bukan hal baru. Para
akademisi dan analis kebijakan sudah bertahun-tahun turun ke lapangan laksana seorang
“ethnographers” atau observasi-partisipan untuk mengkaji pengalaman langsung sebagai
legislator, implementor, agensi, anggota komunitas dan stakeholders polisi yang relevan.
Sebagian lain menggunakan metode kualitatif dengan melakukan in-depth interview
dengan berbagai aktor kebijakan dan penelaahan terhadap bahan-bahan sekunder seperti
dokumen-dokumen, undang-undang dan arsip.
Yang dianggap baru adalah metode yang memberikan perhatian besar untuk
membuat langkah-langkah analisis menjadi lebih transparan. Transparansi ini termasuk
tentang tentang prosedur dan langkah-langkah metodologis yang ditempuh. Bagian lain
dari transparansi adalah dengan menggunakan secara hati-hati bahasa yang digunakan,
inilah yang membawa metode kualitatif menjadi interpretartif. Metode ini dikembangkan
mengikuti tradisi dari Chicago School dalam biang sosiologi dan antropologi dari tahun
1930an dan 1960an. Dua perguruan tinggi lainnya yaitu Columbia University dan
University of Michigan mengembangkan metode kuantitatif.
Dua perbedaan menandai dua-bagian kategori tersebut. Pertama, penekanan kepada
data-data numerik jika dilihat dari sudut padang ontologi dan epistemologi. Kedua, aspek
validitas dan reliabilitas, yang diambil dari logical positivisme, beberapa peneliti
kualitatif mengembangkan kajian-kajian yang berusaha untuk meniru sedekat-dekatnya
karakteristik dari penelitian berkarakteristik large-n dan sekaligus mengikuti proses
penelitian sebagaimana dilakukan oleh penelitian kuantitatif. Salah satu upaya
kontemporer adalah dengan menggunakan program komputer untuk “mengolah” kata dan
frasa dari wawancara dan catatan lapangan atau focus groups, sebagaimana juga semakin
sering dilakukan interview yang terstruktur, Q-sort dan teknik lain dibandingkan
pendekatan lain yang sudah menjadi merek dagang dari metode kualitatif. Ilmu-ilmu
sosial, termasuk kajian kebijakan, pada akhirnya semakin memiliki ciri tripartit yaitu:
kuantitatif, kualitatif-positivis dan kualitatif interpretif (Yanow 2007:406).
Prinsip pendekatan
Para filsuf Eropa Kontinental yang memperkenalkan pendekatan phenomenology,
hermeneutics, dan teori kritis pada paruh pertama abad ke-XX berkutat dengan beberapa
pertanyaan yang sama dengan apa yang diajukan oleh para filsuf abad ke-XIX yang
menganut aliran positivisme. Pertanyaan itu adalah: apakah yang menjadi karakter dari
realitas sosial manusia?, jika dibandingkan dengan status ontologis dari dunia alami dan
fisik? Serta dalam kaitannya dengan status sosial, bagaimana aspek-aspek dunia sosial
manusia yang dikenal sebagai sesuatu yang “scientific” dibandingkan dengan
kemampuan untuk mengetahui sesuatu, dengan beberapa tingkatan kepastian, mengenai
dunia alami dan fisik? Para filsuf positifis muncul dengan jawaban: dunia sosial haruslah
memiliki kemampuan untuk dikenali dengan cara yang sama dengan gerakan planet dan
dunia fisik, sebagai contoh, dengan menggunakan aplikasi sistematik dari pemikiran
manusia. Semua dilakukan oleh para penganut logika positivistik itu dengan melakukan
observasi berdasarkan panca indera. Kajian ini menghasilkan tradisi atau “hukum”
tentang perilaku manusia yang tidak hanya berhasil ditemukan tetapi menjadi universal
(Harding, 1988).
Dari sudut pandang filsuf interpretasionis yang berasal dari Eropa Kontinental, di
Amerika disebut sebagai interaksionisme simbolik, pragmatisme dan etnometodologi,
dunia sosial manusia berbeda secara signifikan dengan dunia alam semesta dan objek
fisik. Perbedaan pertama adalah pada pentingnya pembuatan makna (meaning-making)
dalam kehidupan manusia. Yang kedua adalah pembuatan makna dalam kehidupan nyata
adalah sangat spesifik pada setiap konteks. Dengan keyakinan ini, para peneliti tidak
dapat berdiri di luar subjek kajian, lebih dari sekedar menggunakan kelima indera, tetapi
terlibat dalam memaknai bagaimana perilaku manusia, bahasa yang mereka gunakan dan
objek yang mereka hasilkan dan gunakan. Nagel (1986) meyakini bahwa objektivitas
tidak mungkin dalam hal ini, hukum umum terlihat sebagai “view from nowhere”, dimana
pembuatan indera terhadap situasi dibuat berdasarkan pengetahuan awal dan dibangun
berdasarkan pemahaman intersubjektif yang terjadi.
Para peneliti interpretatif tidak perlu mentransformasikan kata-kata menjadi nomor
untuk melakukan analisis. Metode interpretatif memiliki karakteristik word-based, dari
instrumen “pengumpulan” data menuju perangkat analisis data dan diakhiri dengan
format dan konten dalam laporan penelitian. Peneliti interpretatif dalam kebijakan publik
haruslah tetap konsisten dengan data yang mereka hadapi pada saat pengambilan data:
aktor-aktor kebijakan berdebat melalui kata-kata, tertulis (non-verbal) maupun oral,
peneliti menggunakan kata-kata ini sebagai data mereka dalam upaya mencari makna dan
sumber pemaknaan. Ketika para aktor ini menggunakan nomor, misalnya jumlah
pemabuk yang ditangkap gara-gara mengemudi sambil mabuk, peneliti membaca nomor-
nomor tersebut sebagai sumber pencarian makna (contoh: mengeksplorasi dan
membangun kategorisasi). Karena itu, metode interpretatif sangat cocok dengan
pendekatan-pendekatan argumentatif, deliberatif dan lain-lain dalam analisis kebijakan
(Fischer and Forester, 1993 serta Hajer dan Wagenaar, 2003)
Karena secara ontologi mereka bercirikan constructivist (ketimbang realist) dan
secara epistemologi mereka bercirikan interpretivist (ketimbang objectivist), maka para
peneliti interpretatif memiliki potensi untuk mempengaruhi apa yang mereka pelajari
dalam penelitian mereka. Tidak sebagaimana penelitian survey, ciri pertama dari mereka
yang menggunakan metode disain kuesioner dan administrasi untuk meminimalisasi apa
yang disebut sebagai “interviewer effects”, peneliti interpretatif selalu berupaya untuk
mengabaikan kemungkinan para pewawancara atau partisipan untuk tidak
mempengaruhi.
Pada level berikutnya, untuk meningkatkan tingkatan refleksi dari para peneliti,
secara metodologis diberikan perhatian kepada beberapa variabel seperti latar belakang
keluarga, personaliti, pendidikan, pelatihan dan pengalaman lain, mungkin membentuk
kemampuan peneliti untuk mendapatkan akses dan cara untuk menggeneralisasi data. Ini
adalah argumen dari pendekatan fenomenologi bahwa rasa (selves) dibentuk oleh
pengalaman sebelumnya yang pada akhirnya juga membentuk persepsi dan pemahaman.
Argumen ini dikembangkan dalam kajian feminis dan ras-etnik yang berkaitan dengan
perspektif “standpoint”.
Penelitian-penelitian kontemporer semakin memberikan perhatian kepada keinginan
untuk memasukkan wacana reflektif tentang “standpoints” ini dalam upaya mereka
membentuk interpretasi. Hal ini menjadikan penelitian interpretatif menjadi “context
spesific” dan menyingkirkan kemungkinan untuk membentuk generalisasi. Kemungkinan
multiplisitas dari makna tergantung kepada pengalaman fenomena dan konteks. Karena
itu laporan naratif dari penelitian kebijakan yang interpretatif kadang dibaca laksana
sebuah novel, sebagai ciri ketiga, tanpa dasar yang detil, laporan akan dibaca sebagai
laporan imajinatif. Karena itu laporan penelitian interpretatif tidak bisa diperas menjadi
sekedar tabel, sehingga laporan akan lebih panjang dari penelitian kuantitatif yang dapat
disimpulkan sedemikian rupa (Yanow 2007:410)
Teknik Pengumpulan Data
Dalam tradisi penelitian literatur terbiasa dengan menggunakan nomenklatur
“collecting” atau “gathering” data, yang keduanya diartikan sebagai pengambilan data
dan pengumpulan data. Istilah yang digunakan ini memberikan makna bahwa data itu
sudah ada dan menunggu untuk ditemukan atau dirangkai dan membawanya untuk
dianalisis, sama dengan mengambil spesimen untuk diteliti di labor sebagaimana
penelitian ilmu eksakta. Ini sekali lagi terpengaruh dari tradisi positivistik yang
menempatkan peneliti berdiri di luar setting penelitian dan menemukan subjek secara
obyektif.
Dari sudut pandang interpretatif, material yang menjadi bukti yang akan dianalisis
oleh peneliti justru dikonstruksi oleh partisipan dalam kondisi dan setting kajian. Dengan
demikian peneliti terlihat sebagai partisipan yang bisa jadi bertindak sebagai co-
construction atau co-generation dari data yang ada di lapangan (Berger dan Luckman,
1966). Adapun metode-metode yang digunakan untuk mendapatkan data terdiri dari tiga
serangkai: observasi (observation), wawancara (interviewing) dan membaca dokumen
(reading documents) yang biasanya juga dikenal sebagai studi dokumentasi.
1. Observasi
Observasi, dalam berbagai tingkatan partisipasi dalam setting, tindakan dan
peristiwa yang diobservasi adalah jantung dari observasi partisipan dan penelitian
etnografis. Pader (2006) menyatakan bahwa ini bukan hanya sebagai alat
pengumpulan data karena juga harus memiliki apa yang dinamakan
“ethnographic sensibility”. Artinya, keinginan untuk memahami tindakan dan
aktor sebanyak mungkin dari sudut pandang dan kerangka referensi yang mereka
miliki. Penelitia berusaha untuk memahami keseharian, pemikiran umum, yang
terkadang tidak terucapkan yang cenderung menjadi “aturan” yang mana pelaku
situasional pahami.
Hal ini akan membuat peneliti mampu untuk me-navigasi interaksi dan
setting yang terjadi dalam kehidupan aktor sehari-hari. Gans (1976) dalam Yanow
(2007) menyebutkan berbagai tingkatan partisipan. Tingkat pertama dengan
memainkan peranan dalam setting sebagai “insider” atau diistilahkan juga
sebagai partisipan. Tingkat kedua dengan berlaku sebagai “observer”. Meskipun
berada di lokasi, namun hanya sekedar mendampingi aktor dalam aktivitasnya.
Bisa juga peneliti lebih berlaku dengan menyamar (undercover role). Namun ini
akan berhadap dengan pertanyaan klasi tentang etik dalam pelaksanaan penelitian.
2. Wawancara
Wawancara dalam tradisi penelitian interpretatif termasuk dalam keluarga
yang sama dengan pembicaraan biasa, meskipun peranan pewawancara memiliki
peranan yang lebih aktif dalam mengarahkan arah pembicaraan dibandingkan,
misalnya seorang teman atau keluarga. Dalam penelitian etnografik, pewawancara
tertarik untuk mengerti bagaimana lawan bicaranya berbicara untuk memahami
pengalaman yang dialaminya dlam setting kehidupan. Peneliti berusaha untuk
membuat aktor mengungkapkan secara terbuka dan jujur, selayaknya kawan
berdiskusi untuk mendapatkan pemahaman lebih jauh dengan menggunakan
perpektif diartikulasikan.
Penelitian interpretatif dalam kebijakan publik, yang sering berhubungan
dengan orang penting seperti legislator, atau eksekutif, seorang peneliti tidak perlu
membatasi antara “elite” dan “orang biasa” (Walsh, 2004). Terutama jika
menggunakan tradisi, teori kritis dari Juergen Habermas, aktor-aktor non-elite
justeru bertindak memainkan perannya dalam membentuk sebuah kebijakan,
terutama dalam menolak pendekatan top-down dan implementasi kebijakan, dan
peneliti perlu memahami sudut pandang mereka juga. Wawancara dapat
memainkan peranan utama dalam penelitian kebijakan interpretatif. Ia juga bisa
berbicara sebagai bagian dari observasi partisipan dalam kajian etnografis.
3. Membaca dokumen.
Dokumen dalam hal ini bisa berbentuk bermacam-macam, mulai dari catatan
legislasi (risalah sidang), undang-undang dan berbagai bentuk produk aturan
pemerintah, catatan pertemuan (notulen), diary pribadi, catatan harian, memo
kelembagaan, laporan tahunan, korespondensi dan lain-lain. Untuk data-data
historis, penelitian juga bisa membaca edisi-edisi sebelumnya dari majalah dan
surat kabar, tergantung pertanyaan penelitian. Kolom editorial media massa juga
bias ditelaan sebagaimana juga laporan-laporan media (reportage). Ketimbang
membaca ini dalam konteks bukti kejadian, peneliti dapat membaca ini dalam
konteks memahami keadaan pada suatu kurun waktu, yaitu bagaimana masyarakat
menanggapi suatu kejadian pada masa itu. Ini yang dinamakan fokus kepada
pembuatan makna (meaning-making).
Patut menjadi catatan juga bahwa studi dokumentasi juga bisa menjadi
bagian dari studi observasi atau laporan berdasarkan wawancara. Dokumen bisa
memberikan latar belakang informasi seblum melanjutkan dengan mendisain
proyek penelitian kebijakan, atau sebelum melakukan wawancara. Dengan
demikian, peneliti sudah “depersenjatai” dengan bukti yang akan mereka gunakan
untuk mengklarifikasi atau bahkan untuk membandingkan informasi yang
diucapkan, peranan yang juga bisa digunakan oleh data-data observasi.
Analisis data
Pertanyaan penting dalam penelitian kualitatif interpretatif adalah bagaimana
melakukan analisis. Dalam tradisi ini antara analisis dan pengumpulan data tidak bisa
dipisahkan secara ekstrim, berbeda dengan tradisi penelitian kuantitatif. Literatur
mengenal bermacam bentuk metode analisis seperti: penelitian tindakan (participatory
action research), analisis studi kasus, analisis kategorikal, analisis isi (content analysis),
analisis pembicaraan (conversational analysis), analisis wacana (discourse analysis),
analisis dramaturgi, etnomotodologi, analisis bingkai (frame analysis/reflective analysis),
genealogy, grounded theory, life histories, metaphor analysis, myth analysis, analisis
naratif, analisis post-structuralis, kajian sains, semiotik, space analysis, story-telling
analysis, dan analisis kritik nilai. Beberapa di antaranya memiliki kadar relevansi yang
lebih dari yang lain dalam konteks analisis kebijakan. Berikut dijelaskan beberapa
kategori yang dapat digunakan dalam analisis kebijakan:
1. Analisis kritik nilai
Pengambilan data melalui wawancara yang terkadang dilakukan dengan
dukungan observasi dapat dilakukan misalnya dalam pertemuan, rapat atau public
hearing. Ini juga dapat dilengkapi dengan kajian dokumentasi sebagaimana
dijelaskan di atas. Semuanya pada prinsipnya dilakukan dengan analisis kritik
nilai (value-critical analysis) (Schmid, 2006). Dalam konteks ini, peneliti
menidentifikasi satu atau lebih komunitas interpretatif dan bahasa yang mereka
lakukan untuk membingkai isukebijakan, biasanya dengan cara
mempertentangkan.
Analisis dilakukan dengan menandai nilai yang berada dalam bingkai
refleksi. Menggunakan cara penelitian penelitian tindakan, analisis ini
dimungkinkan juga untuk melakukan intervensi untuk membantu setip komunitas
interpretatif untuk memahami mengapa alasan yang mendasari pemikiran yang
lain dalam upaya mencari kemungkinan untuk melakukan mediasi dan
penyelesaian terhadap konflik pendapat yang terjadi. Analisis dalam penelitian
seperti ini didasari oleh kajian organisasi sebagai basis teoritik sebagaimana
disampaikan oleh Bolman dan Deal (Yanow, 2007:410).
2. Analisis cerita
Analisis ini dilakukan terhadap penelitian yang menggunakan kombinasi
antara wawancara dengan penulisan catatan langsung. Maynard-Moody dan
Musheno (2003) membangun metode yang menggunakan cerita yang
disampaikan oleh buruh mengenai tindakan-tindakan yang mereka lakukan dalam
rangka menerapkan kebijakan pemerintah. Lipsky, Prottas dan Weatherly
merupakan mereka yang merupakan generasi pertama yang melakukan penelitian
terhadap pekerja lapangan dengan melakukan penedekatan yang intim dengan
para guru, pekerja sosial, aparat kepolisian dan lain-lain tentang apa yang
sebenarnya mereka lakukan di lapangan. Penelitian menjangkau tentang
bagaimana mereka berinteraksi dengan pelanggan, siswa dan lain-lain, dilakukan
bersamaan dengan observasi tentang aksi dalam bertugas dan berbicara dengan
para pekerja dan lain-lain.
3. Analisis naratif
Analisis naratif berbeda dengan analisis cerita. Hendriks (2005)
menggunakan narasi sebagai pengembangan umum dari serangkaian argumen,
daripada cerita yang digunakan Maynard-Moody dan Musheno di atas. Pada
analisis cerita narasi memiliki plot cerita dan memiliki awal, tengah dan akhir.
Teori analisis kebijakan naratif menggunakan “counter narratives” sebagai cara
untuk membuat argumentasi menjadi jelas. Ia melakukan perbandingan antara
argumen naratif dengan hipotesa berlawanan. Ciri penting dari analisis ini adalah
dengan memberikan penekanan kepada kehadiran bahasa dari aktor kebijakan
yang relevan dalam memahami karakteristik pertentangan yang terjadi dan
potensi-potensinya untuk melakukan interpretatsi.
4. Analisis dramaturgi
Hajer (2005) membangun pendekatan ini yang berangkat dari teori literari
dari Kenneth Burke yang melakukan analisis terhadap drama. Ia melakukan
analisis dramatik tidak terpisah dari konteks dan setting. Dilakukan juga posisi
aktor dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tindakan mereka, agen dan
tujuan tindakan itu. Analisis ini memberikan kerangka yang sistematik untuk
mengkaji bagaimana kebijakan “beraksi”. Pendekatan sistematik untuk melakukan
analisis tentang setting kebijakan dan organisasi dalam makna wilayah (spatial)
juga merupakan eksplorasi lebih lanjut dari analisis ini.
5. Analisis kategorikal
Salah satu langkah analitik yang memberikan ciri kepada kajian interpretatif
adalah kecenderungan untuk melakukan destabilisasi dalam arti mencari
kesetaraan makna. Ada yang mengistilahkan ini dengan kata “deconstruction”
dalam arti makna kebijakan yang disepakati didekonstruksi dalam arti asumsi
yang dipahami yang melekat sebagai sasaran pencarian makna. Salah satu
rangkaian asumsi yang melekat dalam isu kategori kebijakan adalah klasifikasi
dari penerima bantuan sosial, narapidana, anak sekolah dan tingkat pendidikan.
Pelaksanaan analisis bahasa dan struktur kategori dilakukan bersamaan dengan
pelaksanaan penyusunan kategori merupakan area lain dari metode interpretatif.
Melakukan kategorisasi untuk tujuan administratif melalui perumusan kebijakan
merupakan aktivitas negara sehari-hari, ini berguna untuk melakukan analisis
kebijakan. Saat ini sedang populer dilakukan kategori dengan berdasarkan kepada
etnik-ras dalam praktek administrasi dan kebijakan di rumah sakit, sensus dan
lapangan kerja (Yanow, 2003)
6. Analisis berdasarkan bukti (evidence based analysis)
Meskipun kebanyakan kebijakan publik menemukan bentuk dalam pola
legislasi, regulasi dan praktik administrasi, namun kebijakan memerlukan juga
kemampuan untuk mengintegrasikan harapan dan keinginan publik. Hal ini
terutama ditemukan dalam bentuk kebijakan yang implementasinya berbentuk
berbagai program dan proyek-proyek di lapangan. Pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki masyarakat sangat berkontribusi dalam memastikan proses
kebijakan publik berlangsung baik. (Masum, 2013:5). Hal ini salah satu
bentuknya ditemukan dalam Rapid and Participatoty Policy Analysis atau lebih
dikenal dengan RAPA dengan bebagai variannya seperti PRA atau di Indonesia
pernah dilakukan oleh The Asia Foundation selama 5 tahun dengan IRDA.
Dalam melaksanakan analisis, peneliti melakukan bersamaan dengan keaktifan dan
kontak dengan aktor di lapanga, baik aktor yang termasuk kategori eksekutif, legislatif
dan judisial, maupun para stakeholders berupa: partai politik, kelompok kepentingan,
kelompok advokasi, kelompok profesional, think tank, akademisi, jaringan, khalayak
umum maupun media. Untuk ini diperlukan taktik yang dapat digambarkan dalam
matriks di bawah ini.
Tabel 2.3.: Taktik analisis kebijakan partisipatif.
(Sumber: Masum 2013)
Pendekatan kualitatif dalam analisis kebijakan memandang kebijakan sebagai
dokumen yang hidup dan bergerak dalam lingkungan sosial yang dinamis. Analisis
kebijakan pada metode ini lebih bersikap seperti seorang aktivis yang harus mempu
mengkapitalisasi potensi dan keaktifas para aktor kebijakan. Langkahnya dimulai dengan
(1) mengidentifikasi kebutuhan dan tujuan kebijakan (2) mengidentifikasi tugas masing-
masing bagian (3) membentuk kelompok kerja untuk mengkompilasi materi kebijakan (4)
mencari rujukan tentang isu dan mereview kebijakan lain yang relevan (5)
mengumpulkan draft dari kelompok kerja (6) konsultasi dengan stakeholders (7)
memperluas penyebaran draft kebijakan untuk mendapatkan respon lebih baik (8) draft
kebijakan sudah siap untuk diadopsi oleh instansi terkait.
Jika diringkas sedemikian rupa, maka RAPA bisa digambarkan dalam model di
bawah ini:
Gambar 2.3. : Kerangka tahapan RAPA
(Sumber: Masum, 2013:15)
Pada prinsipnya RAPA merupakan sebuah taktik yang sederhana untuk menaganalisis
kebijakan publik untuk memahami mengenai dimensi institusi dan politis dari masalah
kebijakan, kerangka kebijakan dan implementasinya. RAPA juga dapat digunakan
sebagai perangkat penelitian proses kebijakan karena ia dilengkapi dengan kajian tentang
interaksi di antara masayarakat dan kebijakan publik.
K. Penutup
Sebagaimana diungkapkan di awal, terdapat banyak sekali model pendekatan
kulatitatif dalam penelitian kebijakan. Di masa depan berbagai bentuk tentu akan selalu
dikembangkan, dengan menggunakan latar belakang teoritis dan filosofis tertentu, oleh
para penelitian kebijakan. Pencarian ini dilakukan berdasarkan kemanfaatan dalam
pengalaman hidup nyata terhadap para aktor kebijakan yang relevan dalam rangka
membuat kebijakan menjadi akrab dan memberikan pengaruh kepada pengembangan
kehidupan warga negara.
REFERENSI
Almond, G.A. dan Verba, S. 1963. The Civic Culture. Political Attitudes and Democracy
in Five Nations. Newbury Park: Sage Publication
Andrews, C.J. 2007. Rationality in Policy Decision Making dalam Fischer, Frank, Gerald
J. Miller and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public Policy Analysis:
Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
Bailo, F. 2015. Mapping online political talks through network analysis: a case study of
the website of Italy‟s Five Star Movement. Policy Studies 36 (6), pp. 550-572
Bedsworth, L.W et al. 2004. Uncertainty and Regulation: The Rethoric of Risk in the
California Low-Level Radioactive Waste Debate in Science, Technology and
Human Values, 29 (3): pp. 406-427
Bennet, C.J. dan Michael Howlett. 1992. The Lessons of Learning Reconciling Theories
of Policy Learning and Policy Change. Policy Sciences 25:pp. 275-294
Berger, P.L. dan Luckman, T. 1966. The Social Construction of Reality. New York:
Anchor Books
Castels, F.G. 1989. Introduction: Puzzles of Political Economy in F.G. Castels (ed) The
Comparative History of Public Policy, 1-15. Cambridge: Polity Press
---------------. 1998. Comparative Public Policy. Cheltenham: Edward Elgar
Danielson, C. 2007. Social Experiments and Public Policy dalam Fischer, Frank, Gerald
J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis: Theory,
Politics and Methods. New York: CRC Press
Dolowitz, D dan David Marsh. 1996. Who learns what from whom: A review of the
policy transfer literature. Political Studies 44, no. 2: pp 343-357
Dunleavy, P. 1991. Democracy, Bureaucracy and Public Choice. Economic Explanations
in Political Science. Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf
Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis. Englewood Cliffs: Prentice Hall
Federal Environmental Assessment Review Office. 1988. Public Involvement: Planning
and Implementing Public Involvement Programs. Hull: FEARO
Fischer, F dan J. Forester. 1993. The Argumentative Turn in Policy Analysis and
Planning. Durnham: Duke University Press
Fischer, F. 1995. Evaluating Public Policy. Belmont: Wadsworth
-----------, F. 2009. Deliberative Policy Analysis as Practical reason: Integrating
Empirical and Normative Arguments dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and
Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and
Methods. New York: CRC Press
Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney. 2007. Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
Greenberg, D., Donna Linksz and Marvin Mandell. 2003. Social Experimentation and
Public Policy Making. Washington DC: The Urban Institute Press
Greenberg, D. and Mark Schroder. 2004. The Digest of Social Experiment. Washington
DC: Urban Institute Press
Griggs, S. 2007. Rational Choice in Public Policy: The Theory in Critical Perspective
dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.). Handbook of
Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
Grin, J. dan Loeber, A. 2007. Theories of Policy Learning: Agency, Structure, and
Change dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.).
Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New York:
CRC Press
Hajer, M. dan Wagenaar, H 2003. Deliberative Policy Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press
Hajer, M. 2005. Setting the Stage; A Dramaturgy of Policy Deliberation. Administrative
and Society 36: pp 624-647
Hall, P. 1993. Policy Paradigms, Social Leraning and the State. The Case of Economic
Policymaking in Britain, Comparative Politics 25, no. 3. Pp 275-296
Harding, S. 1993. Rethinking Standpoint Epistemology; What is “strong objectivity”? in
Linda Alcoff dan Elizbeth Porter (eds) Feminist Epistemologies. New York:
Routledge
Haveman, R. 1987. Poverty Policy and Poverty Research: The Great Society and the
Social Sciences. Madison: University of Wisconsin Press.
Hendricks, C. 2005. Participatory Storylines and Their Influence on Deliberative Forums.
Policy Sciences 38: pp 1-20
Hood, C. 1986. Tools of Government. Basingstoke: Macmillan
----------. 1998. The Art of the State. Oxford: Clarendon Press
Hoppe, R. 2002. Cultures of Policy Problems, Journal of Comparative Policy Analysis:
Research and Practice 4, pp 305-326
-----------. 2007. Applied Cultural Theory: Tools for Policy Analysis dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
Lichbach, M.I. 2003. Is Rational Choice Theory All of Social Science?. Ann Arbor:
University of Michigan
Lindblom, C.E. 1977. Politics and Markets: the world‟s political-economics system. New
York: Basic Books
-----------. 1990. Inquiry and Change. New Haven: Yale University Press
Lodge, M. 2007. Comparative Public Policy dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and
Mara S. Sidney (eds.). Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and
Methods. New York: CRC Press
Majone, G. 1989. Evidence, Argument and Persuasion in the Policy Process. New
Haven: Yale University Press
Marsh, D. and Akram, S. 2015. Political participation and citizen engagement: beyond
the mainstream. Policy Studies 36 (6), pp. 523-531
Masum, J.H. 2013. Rapid and Participatory Policy Analysis: A practical tool to analyze
any policy at any time. Coastal Development Partnership (www.cdpbd.org)
Mayer, I.Si., van Daale, C.E., Bots, P.W.G. 2004. Perspective of policy analysis: a
framework for understanding and design. International Journal Techology
Policy Management (4), pp. 161-191
Maynard-Moody, S dan Musheno, M. 2006. Stories for Research in Dvora Yanow dan
Peregrine Schwratz-Shea (ed.) Interpretation and Method: Empirical Research
Methods and the Interpretative Turn. Armonk: M.E. Sharpe
Nagel, T, 1986. The View from Nowhere. New York: Oxford University Press
Pader, E. 2006. Seeing with an Ethnographic Sensibility: Exploration Beneath the
Surface of Public Policies dalam Dvora Yanow dan Peregrine Schwratz-Shea
(ed.) Interpretation and Method: Empirical Research Methods and the
Interpretative Turn. Armonk: M.E. Sharpe
Rimmon-Kenan, S. 1983. Narrative Fiction: Contemporary Politics. London: Methuen
Roe, E.M. 1994. Narrative Policy Analysis: Theory and Practice. Durnham: Duke
University Press
Rose, R. 2004. Learning from Comparative Public Policy: A Practical Guide. London
and New York: Routledge
Sabatier, P dan Jenkins Smith, H. (eds.) 1993. Policy Change and Learning: an advocacy
coalitions approach. Boulder: Westview Press
Schelling, T.C. 1978. Micromotives and Macrobehaviour. New York: W.W. Norton
Schmidt, R. 2006. Value Critical Analysis: The Case of Language Policy in the United
States dalam Dvora Yanow dan Peregrine Schwratz-Shea (ed.) Interpretation
and Method: Empirical Research Methods and the Interpretative Turn. Armonk:
M.E. Sharpe
Simon, H.A. 1976. Administrative Behaviour: A Study of Decision Making Processes in
Administrative Organization. New York: Harper & Rowe
Stone, D.A. 1997. Policy Paradox and Political Reason, Boston: Harper Collins
Susskind, L. dan Elliot, M. 1983. Paternalism, Conflict and Coproduction. New York:
Plenum Press
Thissen, W.A.H dan Walker, W.E. (eds.) 2013. Public Policy Analysis: New
Development. New York: Springer
Thomson, M. 1996. Inherent Realtionality: an anti-dualist approach to institutions.
Bergen: LOS Report 9608
Trochim, W.M.K. 2009. Evaluation policy and evaluation practice. New Direction for
Evaluation 123: pp. 13-32
Van Eeten, M.J.G. 2007. Narrative Policy Analysis dalam Fischer, Frank, Gerald J.
Miller and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public Policy Analysis: Theory,
Politics and Methods. New York: CRC Press
Van Gunsteren, H.R. 1998. A Theory of Citizenship. Organizing Plurality in
Contemporary Democracies. Boulder: Westview Press
Walsh, K.C. 2004. Talking About Politics: Informal Groups and Social Identity in
American Life. Chicago: University of Chicago Press
Weber, M. 1957. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Free
Press
Yanow, D. 2003. Constructing American “race” and “ethnicity”: Category Making in
Public Policy and Administration. Armonk: ME Sharpe
Yanow, D. 2007. Qualitative-Interpretive Mtehods in Policy Research dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
BAGIAN 3
ANALISIS kuantitatif dalam
KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pendahuluan
Sebagimana diketahui analisis kebijakan menggunakan teknik kualitatif dan
kuantitatif untuk merumuskan masalah kebijakan, mendemonstrasikan dampaknya, dan
pada akhirnya menampilkan kemungkinan solusi yang bisa diambil. Terkadang ia
menggunakan metode-metode yang canggih untuk menilai bagaimana masalah kebijakan
yang teridentifikasi merupakan hasil pengaruh dari beberapa variabel, termasuk
intervensi kebijakan dan faktor-faktor yang kontekstual. Kaifeng Yang, (2009: 349)
menyatakan bahwa metode kuantitatif membantu untuk menunjukkan apakah terdapat
hubungan yang terjadi antara disain kebijakan dan kebijakan sebagai sebuah keluaran,
menguji apakah hubungan tersebut dapat digeralisasi untuk setting yang mirip,
mengevaluasi rentangan dari efek dari kebijakan terhadap faktor-faktor sosial, ekonomi,
dan politik, dan bahkan menemukan alternatif-alternati kebijakan yang lebih baik.
Penggunaan metode ini merupakan bagian dari keahlian saintifik dengan mana para
analis kebijakan menganggapnya relevan. Berbagai teknik seperti pembuatan model,
mengkuantifikasi input dan output, statistik deskriptif, statistik inferensial, penelitian
operasional, analisis manfaat biaya (cost-benefit analysis), dan analisis biaya manfaat
resiko (risk-benefit analysis) merupakan diantaranya yang sering digunakan dalam kajian
kebijakan. Kebutuhan untuk menggunakan analisis kuantitatif dalam kebijakan
menunjukkan keinginan dari para aparatur pemerintah untuk menrancang kebijakan yang
lebih baik, memahami bagaimana kebijakan dilaksanakan, dan memeriksa apakah
dampak dari kebijakan yang mereka buat. Basis intelektual penggunaan analisis ini tetap
berasal dari rangkaian pemikiran Harold Lasswell (1951, 1970, 1971) yang memandang
disiplin ilmu kebijakan berasal dari pengetahuan ilmu sosial dan metode untuk
menganalisis pilihan-pilihan dalam kebijakan dan pengambilan keputusan untuk
mengembangkana demokrasi di masyarakat. Kajian kebijakan dipandang sebagai sebuah
kajian yang multimetolologi, multidisiplin dan berorientasikan kepada masalah.
B. Pemanfaatan Metode Kuantitatif dalam Pengambilan Keputusan
Metode kuantitatif sudah lama digunakan sebagai alat pengambilan keputusan publik
di Amerika Serikat. Tahun 1910 The New York Bureau of Municipal Research memulai
menggunakan metode ilmu sosial untuk mengkaji secara sistematik berbagai masalah
urban. Berikutnya, tahun 1922 the Bureau of Agricultural Economics yang dibentuk di
dalam US Departement of Agriculture mengevaluasi hubungan yang terjadi antara
pertanian dan ekonomi untuk menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih baik. The
Office of Scientific Research and Development yang dibentuk tahun 1942
mengkoordinasikan aktivitas ilmuah selama Perang Dunia II. The Employment Act tahun
1946 membentuk Badan Penasehat Ekonomi (Council of Economic Advisor), yang
merupakan langkah awal setelah Congress mengumumkan bahwa badan eksekutif di
Amerika harus diperkuat dengan pengetahuan yang dimiliki oleh para ahli.
Perang Dunia II merupakan konteks yang memungkinkan munculnya teknik-teknik
analisis baru seperti analisis sistem dan penelitian operasional. Para ilmuwan sosial mulai
memainkan peranan yang lebih penting dalam proses pembuatan keputusan oleh
masyarakat dengan mengadopsi cara pikir positivisme dan ekonomi normatif. Inilah yang
menyebabkan model-model ekonomi mendominasi lapangan kajian ini. Teknik ini
kemudian digunakan secara luas di Amerika Serikat pada awal tahun 1950an. Ilmu ini
sering disebut ilmu manajement, rekayasa sistem, dan cost-effectiveness analysis. RAND
corporation, dibentuk tahun 1948 untuk melakukan aktivitas analisis kebijakan untuk
pemerintah terutama Kementrian Pertahanan, kemudian akhirnya menciptakan teknin
analisis sistem sebagai sebuah alat untuk militer sepanjang tahun 1950an. Ternyata ini
dianggap berhasil untuk menyelesaikan berbagai permasalahan mulai dari yang
sederhana sampai dengan yang rumit seperti manajemen inventaris, rancangan produksi,
penilaian ketersediaan peralanan, dan minimalisasi resiko dalam investasi (Brewer dan
deLeon, 1983).
Dekade 1960an merupakan era keemasan penggunakan analisis sistem dan analisis
kebijakan. Selama era ini para analis kebijakan pada dasarnya cenderung menggunakan
penelitian dan analisis kuantitatif yang menekankan kepada pentingnya metodologi
ketimbang persoalan kebijakan itu sendiri. Sehingga para pakar kebijakan biasanya terdiri
dari mereka yang ahli di bidang metodologi dan teknokrat. Radin (2000) menyatakan
bahwa berbagai kertas kerja yang ditampilkan pada berbagai konferensi kebijakan publik
sepanjang era 1960an terutamanya berbicara tentang prosedur analisis kuantitatif seperti
linear programming, Markov analysis, dynamic programming, game theory, stochastic
model, quasi-linearization, invariant embedding dan general system theory.
Dengan demikian, sedari awal ilmu statistik sudah menjadi persyaratan dan menjadi
basis bagi kurikulum para analis kebijakan yang tidak heran didominasi oleh para
ekonom. Program analisis kebijakan di tingkat perguruan tinggi dianggap membantu para
mahasiswa untuk mengembangkan pemikiran yang kritis terhedap kegunaan umum dari
informasi-informasi kunatitatif yang numerikal. Ini ditemukan pada perguruan-perguruan
tinggi awal yang mengembangkan ilmu analisis kebijakan publik seperti di University of
Minnesota dan University of Michigan. Dari delapan mata kuliah utama pada mahasiswa
tahun pertama, empat buah diantaranya tentang perangkat analisis seperti statistik,
ekonomi mikro dan makro, cost benefit analysis dan system analysis. Mata kuliah ini
ditujukan untuk membantu mahasiswa dengan perangkat akhir dalam penyelesaian
persoalan dan analisis kuantitatif untuk memberikan pemahaman yang subtil terhadap
konteks sosial, politik dan ekonomi.
Pada era 1970an dan 1980an teknik kuatitatif mendapatkan berbagai kritik. Teknik
kuantitatif ini dianggap gagal untuk berhadapan secara efektif dengan berbagai problem
sosial yang lebih kompleks karena permasalahan ini tidak bisa diwakili oleh model
saintifik rasional dan tidak memiliki satu tujuan akhir. Brewer dan deLeon (1983:35)
menyatakan, penelitian operasional hanya menekankan kepada matematik dengan
melupakan data-data kualitatif data, konsep dan metode itu sendiri. Analisis sistem yang
tergantung kepada ilmu ekonomi dan pengukuran objektif dan setidaknya proxy tidak
bekerja sempurna ketika berhadapan dengan berbagai nilai-nilai kemanusiaanm
kepentingan dan pertimbangan yang harus diperhatikan. Berbagai perangkat lain seperti
bagai alur (flow charts) dan pohon keputusan (decision trees) ternyata lebih membantu
ketika persoalan berkaitan dengan tujuan dan nilai-nilai yang lebih abstrak. Guiterrez-
Garcia dan Rodriguez (2016:216) melakukan analisis dengan metode ini dengan sangat
baik dalam kajiannya tentang pencegahan korupsi di kalangan polisi. Dengan demikian,
sebenarnya ini merupakan kajian kebijakan dalam sistem hukum pidana.
Pada umumnya selama dua dekade ini kapasitas analitis berkembang seiring dengan
tingginya kebutuhan terhadap analisis kebijakan, kemampuan komputasi yang bessar dan
kemajuan model-model ekonomi seperti model simulasi micro-analytic. Namun
demikian pada akhirnya keterbatasannya mulai diungkap sehingga tidak lagi menjadi
model analisis utama. Wildavsky (1976) menggambarkan pendekatan yang
dikembangkan di University of California at Berkeley sudah berbentuk “multiple analytic
perspective and techniques”. Artinya, tidak ada perangkat operasional yang tunggal
diajarkan sebagai esensi dari analisis. Ia memandang analisis laksana keahlian bepergian
yang harus secara kreatif menerapkan perangkat analisis untuk memcahkan berbagai
permasalahan kebijakan dalam waktu singkat.
Dekade terakhir analisis kuantitaif menjadi lebih informatif dan lazim digunakan,
terutama sejak berkembangnya berbagai perangkat lunak (software) statistik siap pakai
seperti, SPSS, SAS dan STATA. Perangkat lunak ini memfasilitasi metode kuantitatif
untuk berhubungan dengan model-model yang lebih rumit dan data yang kaya dengan
cara yang lebih mudah dan praktis. Namun demikian, perang metode antara penelitian
kuantitatif dan kualitatif terus berlangsung, antara validitas internal dan eksternal, antara
kontrol eksperimental dan statistik (Brewer 1983 dan Krane 2001). Secara filosofis ini
berarti pertempuran antara tradisi positivis dan post-positifis. Prinsip fundamental dari
positivis adalah pemisahan antara fakta dan nilai, sebuah isu normatif yang diterjemahkan
menjadi pertimbangan teknis. Sutton (2017) menyatakan bahwa ini meruapakan sesuatu
yang tidak mungkin ditemukan di lapangan implemetasi kebijakan publik. Bagaimanapun
dalam mengkaji fenomena sosial, kita tidak akan bisa melakukan isolasi antara diri kita
sebagai peneliti dengan objek penelitian itu sendiri.
Dalam kurikulum, positivisme membekali mahasiswa dengan disain penelitian empiris
dan metode statistik. Banyak penulis mengkritik para mahasiswa yang dibentuk dengan
tradisi ini memiliki pemahaman yang terbatas tentang fondasi normatif dan interpretatif
dari perangkat yang mereka pelajari, sebagaimana juga terhadap setting sosial dimana
teknik itu diterapkan (Fischer, 1998). Dengan demikian, pada saat ini positivisme tetap
dianggap sebagai infrastruktur intelektual yang didukung oleh pelatikan, praktek dan
spesialisasi dari akademisi yang mengajarkan metode analisis kebijakan. Morcol (2001)
menemukan bahwa dukungan untuk positivisme dari para profesional, terutama praktisi
dan mereka yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu ekonomi, matematik dan ilmu
eksakta. Keterampilan analisis kebijakan di era 1990an termasuk: metode studi kasus,
cost-benefit analysis, ethical analysis, evaluation, future analysis, historical analysis,
implementation analysis, interviewing, legal analysis, evaluation, microeconomics,
negotiation and mediation, operation research, organizational analysis, political
feasibility analysis, public speaking, small-group facilitation, specific program
knowledge, statistics, survey research methods, dan system analysis (Radin, 2000:78).
C. Pendekatan dengan Teknik Statistik
Vijverberg (1997) memberikan rekomendasi bahwa kurikulum metode kuantitatif
seharusnya memasukkan berbagai mata kuliah seperti: (1) pengantar teori kemungkinan,
testing hipotesis, statistik distribusi, tes perbedaan means, ANOVA dan test ranking (2)
rancangan penelitian dan metode survey (3) pengantar analisis regresi (4) analisis regresi
lanjutan termasuk maximum likelikood estimation, logit/probit, tobit, simultanous
equations, factor analysis, dan model LISREL (5) topik-topik lanjutan dalam metode
penelitian termasuk statistik non-parametrik, model seleksi sample. Hal ini dilengkapi
dengan berbagai topik dalam analisis ekonomi dan penelitian operasional. Semuanya
berasalah dari pengetahuan tentang metode statistik.
Statistik adalah tentang teori dan prosedur untuk menganalisis data kuantitatif yang
didapatkan dari sampel dan observasi untuk mengkaji dan membandingkan berbagai
sumber tentang variasi-variasi fenomena. Semuanya digunakan untuk membantu kita
membuat keputusan berbentuk menerima atau menolak hubungan yang dihipotesiskan.
Statistik deskriptif membantu analis kebijakan untuk menyimpulkan data secara efektif
dan bermakna. Statistik inferensial adalah dengan menggunakan teknik kuantitatif untuk
mengambil kesimpulan berdasarkan sampel yang diambil untuk kondisi populasi. Untuk
membantu mengambil teknik analisis kebijakan yang benar dan tepat kita harus
mempertimbangkan tujuan penelitian, besar sampel, distribusi data, sejumlah variabel
bebas dan terikat, serta tipe skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur variabel.
Semuanya dapat dipelajari dari berbagai buku-buku statistik yang beredar luas.
Analisis Univariat dan Bivariat
Statistik univariat atau statistik deskriptif dilakukan dengan menyimpulkan
sekumpulan data mentah sehingga data tersebut akan lebih mudah dipahami. Sebelum
statistik deksriptif tersebut dikalkulasikan, para analis kebijakan kadang-kadang
menggunakan gambar atau tabel untuk memetakan data dan mendapatkan kesan umum
terhadap data. Sebagai contoh, poligon frekuensi mengambarkan kecenderungan, ogive
(poligon kumpulan frekuensi) memberikan persentasi kasus yang berada di bawh atau di
atas standar, kedua mereka akan dapat digunakan untuk membandingkan sampel-sampel
yang berbeda. Histogram dan diagram batang (bar chart) membantu untuk
menggambarkan perbedaan di antara beberapa sub-group. Persentase dihitung untuk
menunjukkan proporsi, seperti persentase bantuan sosial yang diterima oleh mereka yang
diberikan layanan. Biasanya 5% ketidak puasan akan dapat diinterpretasikan sebagai
peringatan atau pembuktian dari kualitas pelayanan. Ini hanya bisa dipahami oleh mereka
yang familiar dengan konteksnya, biasanya para analis kebijakan
Statistik bivariat menguji apakah dan bagaimanakah satu variabel secara statistik
berhubungan dengan variabel yang lain. Ia membantu untuk menunjukkan keberadaan,
signifikansi, arah dan kekuatan dari hubungan yang terjadi. Prosedurnya tergantung dari
level of measurement dari variabel bebas dan variabel terikat. Ketika variabel bebas dan
variabel terikat berskala kategorikal (nominal atau ordinal), analisisi tabulasi silang
(cross-tabulation) biasanya digunakan. Ketika variabel bebas berskala kategorikal
sementara variabel terikat berskala interval atau ratio, perbedaan uji means (t test) atau
analysis of variance (ANOVA) lebih meyakinkan untuk digunakan. Jika kedua-duanya
bersifat interval atau ration, maka uji korelasi atau regresi akan dilakukan.
Pada analisis tabel secara kontigensi, para analis pertama-tama akan memisahkan
hasil observasi menjadi kelompok berdasarkan nilai sebagai variabel independen,
kemudian menghitung persentase di dalam kategori bebas, dan akhirnya membandingkan
besaran persentase pada satu kategori independen. Perbedaan persentase akan memberi
tahu analis apakah variabel bebas membuat perbedaan. Uji chi-square (x2) kemudian
digunakan untuk menilai seberapa signifikan hubungan yang terjadi secara statistik
(Meier and Brudney, 2002). Ini akan menginformasikan kepada kita apakah kita akan
menolah hipotesis null yang mengasumsikan tidak ada hubungan antara kedua variabl
pada populasi berdasarkan observasi yang dilakukan pada sampel. Chi-square
mengindikasikan kemungkinan hasil dapat digeneralisasikan ke dalam populasi. Namun
chi-square menjadi lemah jika besaran sampel (sample size) besar (misalnya lebih dari
1500).
Jika kedua variabel berskala ordinal, pengukuran biasanya dilakukan dengan
Kendall‟s tau-b (untuk tabel bujur sangkar) dan Kendall‟s tau-c (untuk tabel yang tidak
bujur sangkar), Somer‟s-d dan Kruskal‟s gamma. Perbedaan uji means dan analisis
varians memiliki dasar logika yang sma. Analis memisahkan observasi kedalam kategori
berdaarkan nilai dari variabel bebas. Hubungan akan terjadi jika nilai dari variabel terikat
cukup berbeda lintas kelompok atau memiliki signifikansi secara statistik. Perbedaan
means dengan menggunakan t test dan membandingkan hasil dengan kriteria yang tepat
(nilai t yang besar mengakibatkan penolakan terhadap hipotesis null). Analisis variance
menggunakan statistik F adalah untuk mengukur signifikasnsi statistik. F adalah ratio
nilai kuadrat rata-rata antara-kelompok terhadap nilai kuadrt rata-rata dalam-kelompok.
Regresi linear, atau regresi biasa digunakan untuk menemukan fungsi terbaik untuk
menggambarkan hubungan yang akan mampu meminimalisi kesalahan (errors). Dikenal
dengan rumus Y = a + bX + e, a adalah pertemuan, b adalah kemiringan (slope) dan e
adalah error. Rumus untuk b, sebagai koefisien regresi adalah:
Koefisien menunjukkan seberapa besar nilai rata-rata Y akan berubah jika X berubah satu
unit. Aturan ketepatan (goodness of fit) dapat diukur dengan mengetahui standar error
dari perkiraan, dimana besaran error adalah sesuatu yang dilakukan seseorang ketika
memperkirakan nilai Y untuk nilai X. Satu lagi aturan ketepatan juga dapat diukur
dengan menggunakan koefisien determinasi (r2) yang merentang dari nol (tidak tepat
sama sekali) dan satu (tepat sekali). Koefisien determinasi adalah rasio dari variasi yang
dijelaskan terhadap total variasi pada Y, atau rasio dari reduksi error dengan
menggunakan garis regresi terhadap error yang ditebak berdasarkan mean.
Analisis Varian (ANOVA)
ANOVA adalah teknik yang menjelaskan variasi dari pengukuran variabel
tergantung metric berdasarkan dari serangkaian serangkaian variabel bebas yang berifat
kategorikal (nonmetric). Bentuk umumnya adalah:
ANOVA membantu untuk menentukan apakah sampel dari dua atau lebih kelompok
datang dari populasi dengan rata-rata (means) yang setara. Kegunaan utamanya adalah
untuk menganalisis data eksperimental. ANOVA menilai varians dalam-kelompok
(MSw) dan antara-kelompok (MSb). Rasio antara MSw dengan MSb, yaitu statistif F,
mengukur seberapa besar variance yang didapatkan dari perlakuan yang berbeda
dibandingkan dengan error padaa sampling acak. Nilai yang besar dari F akan menolak
hipotesis nol dengan demikian tidak ada pengaruh dari perlakuan. Untuk menggunakan
ANOVA, data harus memenuhi persyaratan linear, normalitas (variabel tergantung
terdistribusi secara normal) dan memiliki varians yang setara. Bagaimanapun, uji F
dalam teknik ANOVA meyakinkan pada hal asumsi-asumsi ini, kecuali dalam kasus-
kasus ekstrim. Asumsi varians yang setara sering diabaikan jika jumlah kasus dalam
setiap kelompok sama. Para analis dianjurkan untuk memeriksa data lebih dahulu untuk
menilai adanya hubungan yang non-linear dan keberadaan faktor luar.
Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda (multiple regression) menganalisis hubungan antara
variabel tergantung metric tunggal (criterion) dan serangkaian variabel bebas metric
(predictor). Bentuk umumnya adalah:
Dalam analisis regresi berganda ini, α adalah konstanta regresi yang mewakili nilai Y
ketika semua variable bebas memiliki nilai nol. Sementara β adalah koefisien regresi
yang menunjukkan hubungan antara X dan Y yang terkendali terhadap semua variabel
bebas yang lain, dan ε adalah error yang mengandung dampak kumulatif terhadap Y dari
faktor-faktor yang tidak tercantum di dalam model. Regresi juga dimungkinkan
digunakan untuk menhitung nilai prediksi dari Y untuk setiap nilai X. Demikian juga
untuk menghitung sisa atau jarak antara nilai-nilai yang diprediksi dan diobservasi dari Y
guna mengukur (R2) sehingga diketahui seberapa baik penghitungan mampu sesuai
dengan data yang tersedia.
Analisis regresi berganda digunakan secara luas dan merupakan teknik yang populer
dalam analisis kebijakan untuk kegunaan memprediksi dan menjelaskan. Analisis regresi
sebagai contoh menjadi dasar sebagai model untuk meramalkan atau memprediksi
ekonomi nasional atau kinerja dari berbagai input. Ia juga digunakan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mementukan dari implementasi kebijakan dan disain
program. Hunter (2001) menggunakan analisis regresi berganda untuk menjelaskan
perbedaan dari pertumbuhan ekonomi negara melalui upaya lobby dalam beberapa
kategori tertentu dan mengambil contoh dari kebijakan ekonomi pada sisi demand, yang
diatur untuk pertumbuhan bisnis, expenditure, dan kendali terhadap pemerintahan dan
legislatif.
Analisis Time Series
Analisis time series atau terkadang diterjemahkan menjadi analisis runtun waktu
mengidentifikasi pola perubahan dari waktu ke waktu dalam upaya untuk menjelaskan
fenomena dan memprediksi masa depannya berdasarkan pola-pola masa lalu dan saat ini.
Ia memungkinkan analis kebijakan untuk menguji variabel, seperti tingkat pengangguran
dan pertumbuhan ekonomi, dalam interval waktu yang terukur seperti bulan dan tahun.
Bentuk umumnya dapat digambarkan dalam rumus berikut:
Analisis time series sangat penting dalam analisis kebijakan publik karena perubahan
yang terjadi dalam kebijakan publik adalah sebuah pertanyaan yang sangat krusial, dan
analisis time series memberi kemungkinan untuk memberikan peramalan berdasarkan
data. Banyak kajian kebijakan bersifat lintas bidang (cross-sectional), dan hasilnya
mungkin dapat diperkuat dengan melakukan replikasi kajian pada waktu yang berbeda.
Tambahan lagi, analisis time series akan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tentang
penyebab yang mungkin tidak akan mampu direspon oleh analisis cross-sectional; karena
pentahapan yang temporer dari perubahan akan dapat distabilkan oleh metode time series.
Sebagai contoh, untuk menjawab pertanyaan apakah insiden kriminalitas dalam
sebuah wilayah mengalami perubahan setelah ditetapkannya program perang melawan
kriminalitas yang baru, eksperimen time series yang terpilah merupakan strategi yang
tepat. Demikian pula untuk memprediksi pola atau tingkat popularitas kandidat
berdasarkan polling. Pada umumnya analisis time series akan membantu untuk tiga
tujuan: menganalisis kecenderungan (trends) dan peramalan, analisis kausal, dan analisis
program dan kebijakan (Burbridge 1999:89).
Time series terdiri dari himpunan observasi berurut dalam waktu atau dimensi apa
saja Pola data dalam time series dapat dibedakan menjadi empat jenis siklis (cyclical) dan
trend.
1. Pola Horizontal (H) terjadi bilamana nilai data berfluktuasi di sekitar nilai rata-
rata yang konstan. (Pola seperti itu adalah “stasioner” terhadap nilai rata-ratanya).
Suatu produk yang penjualannya tidak meningkat atau menurun selama waktu
tertentu termasuk jenis ini. Demikian pula, suatu keadaan pengendalian kualitas
yang menyangkut pengambilan contoh dari suatu proses produksi kontinyu yang
secara teoritis tidak mengalami perubahan juga termasuk jenis ini.
2. Pola Musiman (S) terjadi bilamana suatu deret dipengaruhi oleh faktor musiman
(misalnya kuartal tahun tertentu, bulanan, atau hari-hari pada minggu tertentu).
3. Pola Siklis (C) terjadi bilamana datanya dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi
jangka panjang seperti yang berhubungan dengan siklus bisnis.
4. Pola Trend (T) terjadi bila terdapat kenaikan atau penurunan sekuler jangka
panjang dalam data.
Beberapa definisi tentang time series, yaitu:
1. Himpunan observasi terurut dalam waktu atau dalam dimensi lain. Berdasarkan
sejarah nilai observasinya time series dibedakan menjadi dua yaitu : time series
deterministik dan time series stokastik.
2. Time series deterministik adalah time series yang nilai observasi yang akan
datang dapat diramalkan secara pasti berdasarkan observasi lampau.
3. Time series stokastik adalah time series dengan nilai observasi yang akan datang
bersifat probabilistik, berdasarkan observasi yang lampau.
Pada prinsipnya analisis time series dapat diperoleh ukuran-ukuran yang dapat
digunakan untuk membuat keputusan pada saat ini, untuk peramalan dan untuk
merencanakan masa depan. Nilai variable time series (Y) mempunyai empat komponen
yaitu:
1. Trend (T) merupakan sifat dari permintaan di masa lalu terhadap waktu
terjadinya, apakah permintaan tersebut cenderung naik, turun, atau konstan. Trend
jangka panjang adalah suatu garis atau kurva yang halus yang menunjukkan suatu
kecendrungan umum suatu variabel time series. Dengan mengetahui trend, maka
secara langsung dapat membantu menyusun perencanaan. Misal : bila trend
penjualan selama beberapa tahun menunjukkan kenaikan maka adalah logis bila
kita meramalkan penjualan pada tahun-tahun berikutnya juga akan bertambah
2. Cyclus (C) Siklus yang berulang, biasanya lebih dari setahun, sehingga pola ini
tidak perlu dimasukkan dalam peramalan jangka pendek, pola ini amat berguna
untuk peramalan jangka menengah dan jangka panjang. Ini juga memudahkan
bagi kita untuk mempelajari komponen lain, terutama C (cyclical variation)
karena C ini berfluktuasi sepanjang (sekitar) garis trend
3. Season/musiman (S)
Fluktusasi dapat naik turun disekitar garis trend dan biasanya berulang setiap
tahun. Disebabkan oleh faktor cuaca, musim libur panjang, dan hari raya
keagamaan yang akan berulang secara periodik setiap tahunnya
4. Random/variasi acak (R)
Pola variasi acak karena faktor-faktor adanya bencana alam, bangkrutnya
perusahaan pesaing, promosi khusus, dan kejadian-kejadian lainnya yang tidak
mempunyai pola tertentu. Variasi acak diperlukan dalam rangka menentukan
persediaan pengaman untuk mengantisipasi kekurangan persediaan bila terjadi
lonjakan permintaan.
Jika diringkaskan, maka terdapat enam tahapan harus dilakukan jika menggunakan
analisis time series. Pertama, lakukan plot data. Kedua, mempelajari plot dan
menentukan jika fluktuasi jangka pendek terjadi. Ketiga, jika data menunjukkan
kecenderungan berulang (cyclical trend), tentukan panjangnya kecenderungan jangka
pendek dan saringlah kecenderungan tersebut. Keempat, tentukan apakah terdapat
hubungan. Kelima, gunakan regresi linear untuk memperkirakan hubungan antara waktu
dan variabel yang dianalisis. Keenam, buatlah peramalan dengan menggunakan
perhitungan regresi (Meier and Brudney, 2002).
Event History Analysis
Analisis sejarah kejadian (Event History Analysis/EHA) digunakan untuk
menjelaskan mengapa unit analisis tertentu (individu, organisasi atau negara dan lain-
lain) cenderung mengalami kejadian-kejadian tertentu yang menarik dibandingkan unit
lain yang sama. Analisis ini merupakan bentuk khusus atau subfield dari analisis time
series yang menganalisa kejadian-kejadian yang jarang terjadi. Sementara analisis time
series biasanya menggunakan data non-events). Data dalam EHA mengukur nomor,
waktu, dan tahapan perubahan dalam variabel yang menarik tersebut. EHA bisa
berbentuk studi panel dimana periode-periode observasi tidak wajib dialokasikan tapi
pengukuran diambil dari setiap tahap dari sekuensi kejadian. Variabel terikat bersifat
kualitatif dan diberikan nilai antara satu dan nol, tetapi variabel bebas menggunakan
bilangan real.
Konsep kunci dari EHA termasuk rangkaian resiko (serangkaian unit analisis yang
dialami dlam sebuah kejadian tertentu), fungsi ketahanan (penurunan ukuran resiko
setelah waktu tertentu), dan tingkat bahaya (tingkatan di mana sebuah kejadian terjadi
pada waktu tertentu). EHA berasumsi bahwa dimungkinkan untuk melakukan prediksi
variabel terikat (misalnya perkawinan, perubahan pekerjaan, pendidikan tinggi, dan
kematian) dalam rentang waktu tertentu. Argumennya dapat terbentuk mulai dari analisis
tabulasi kehidupan yang digunakan oleh ahli demografi sampai kepada tingkatan
ketahanan atau angka kematian pada populasi pada kurun waktu tertentu.
Model dalam EHA berupa gambaran berikut:
Penelitian yang dilakukan oleh Berry dan Berry (1990:410) ini mengkaji tentang
adopsi lotre oleh negara. Penggunaan EHA dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana
karakteristik internal negara (politik dan ekonomi) dan hubungan regional mempengaruhi
kemungkinan negara untuk mengadopsi lotre secara resmi. Hasil kajian menunjukkan
bahwa adopsi sebelumnya oleh negara tetangga dan penurunan kesehatan fiskal yang
terjadi mempengaruhi kemungkinan negara untuk mengadopsi kebijakan lotre. Peneliti
mencatat bahwa adopsi kebijakan lotre nampaknya mungkin saja diadopsi pada saat baru
saja melakukan pemilihan umum. Tambahan lagi, negara dengan pendapatan perkapita
yang rendaj dan negara yang memiliki persentase fundamentalisme agama yang tinggi
sangat sukar untuk mengadopsi kebijakan lotre. Kesimpulannya, hubungan regional dan
faktor-faktor penentu internal merupakan ekplanasi yang valid dalam mengadopsi
kebijakan lotre.
Berry dan Berry (1990:415) juga merekomendasikan agar EHA digunakan pada
subfields lain pada ilmu politik karena keuntungan yang diberikannya untuk
mendapatkan variasi temporal dan cross sectional. Kemudian EHA juga memiliki
validitas untuk kejadian-kejadian yang jarang terjadi seperti perang dan perubahan
indentifikasi partai politik. Meskipun EHA sebenarnya sudah digunakan dalam kajian
ilmu sosial sejak tahun 1970an terutama dalam kajian hubungan internasional dimana
penggunaannya dimanfaatkan untuk mengkaji secara time series konflik internasional
dan peristiwa-peristiwa diplomatik. Box-Steffensmeier dan Jones (1997)
mengilustrasikan metode EHA dengan tiga isu yaitu intervensi militer, antisipasi
ancaman, dan perjalanan karir anggota kongres.
Factor Analysis
Analisis faktorial adalah sebuah teknik interdependence dimana semua variabel
secara simlutan dipertimbangkan dan faktor-faktor dibentuk untuk menjelaskan setting
variabel tersebut. Analsisi faktorial memiliki tiga tujuan utama: untuk mengidentifikasi
struktur faktor yang mendasari variabel-variable, untuk melakukan reduksi data, dan
untuk menguji hubungan yang terjadi antara variabel. Analisis faktorial berdasarkan
asumsi dasar bahwa semua faktor yang mendasari, yang lebih kecil jumlahnya daripada
jumlah variabel yang diobservasi, bertanggungjawab untuk terjadinya kovariasi diantara
variabel-variabel yang diobservasi. Penekanan kepada struktur faktor yang mendsari
menunjukkan adanya kepercayaan baha terdapat kualitas-kualitas yang nyata di dunia ini,
seperti kepercayaan, motivasi dan kepuasan, yang tidak secara langsung dapat diukur
namun akan terungkap melalui kovariasi dari variabel-variabel yang berkaitan. Bentuk
hubungannya dapat dilihat dari formula di bawah ini:
Analisis faktorial memiliki dua macam bentuk: ekploratoris dan confirmatory.
Analisis faktor eksploratoris dilakukan jika kasus-kasus dikelompokkan sedemikian rupa
kemudian menjadi Q method atau cluster analysis. Jika variabel dikelompokkan
kemudian ia akan menjadi faktor analysis R-type. Sementara itu, analisis faktor
confirmatory biasanya digunakan bersama dengan analisis jalur untuk membuat
SEM/structural equation modelling. Analisis fakrorial berbeda dengan analisis
komponen utama (principal component analysis) yang menghitung total varians dalam
data, sementara analisis faktorial lebih mempertimbangkan varians dari rangkaian data.
Analisis faktorial bisa digunakan untuk mengidentifikasi jumlah dan bentuk faktor-faktor
yang bertanggungjawab kepada covariation yang terjadi pada rangkaian data tetapi
analisis komponen utama tidak. Namun kebanyakan ahli menganggap kedua bentuk
analisis ini pada prinsipnya mirip.
Warner dan Hebdon (2001:315-336) mengkaji tentang faktor-faktor yang
memeprngaruhi pilihan dari pemerintah daerah dalam melakukan strukturisasi, apakah
harus melakukan privatisasi atau malah upaya lain. Di samping menempatkan tekanan
fiskal sebagai variabel ditambah dengan beberapa variabel kontrol seperti pendapatan per
kapita, tipe kecamatan, ukuran pemerintahan dan pegawai di kantor, para peneliti juga
membangun empatbelas buah item untuk mengukur kondisi ekonomi dan politik dari
pemerintahan. Mereka melakukan analisis komponen utama dan mengurangi empat belas
item menjadi tiga komponen pemisah yaitu: informasi dan kualitas pelayanan, efisiensi
dan faktor politik dan persatuan.
Tabel 3.1.: Hasil Kajian Analisis Komponen Utama
(Sumber: Warner dan Hebdon 2001:320)
Tujuh buah item awal memiliki nilai faktor lebih dari 0,5 dalam komponen informasi dan
kualitas pelayanan, dengan nilai yang lebih rendah pada dua komponen yang lain. Karena
itu tujuh buat item dapat digunakan dalam analisis beriktunya. Item ke delapan yaitu
dampak dari lapangan kerja lokal, yang memiliki nilai yang berdekatan dengan
komponen persatuan (union). Karena itu, item ini harus dihapuskan dalam langkah
analisis berikutnya.
Alaudin et. al. (2017:18-27) merupakan sebuah deskripsi yang menarik dalam
menggunakan analisis faktor secara sistematik. Ia mencoba melakukan pendekatan
instrumental dalam mencari faktor-faktor yang menentukan apa yang diharapkan oleh
mahasiswa dalam pengajaran dan pembelajaran di universitas. Diawali dengan
membentuk kuesioner dalam mencari ekpektasi dan preferens mahasiswa, langkah kedua
dilakukan dengan melakukan analisi faktor terhadap dimensi yang direspon, dan terakhir
melakukan variable instrumental dalam mengeksplorasi faktor-faktor yang menjadai
determinan dimensi-dimensi tersebut. Dengan demikian faktor analisis digunakan sebagai
tindakan lanjut dari survey.
Analisis Jalur
Analisis jalur (Path Analysis)digunakan untuk menguji hubungan tidak langsung dan
hubungan sebab akibat di antara variabel-variabel yang digambarkan dalam model. Para
analis kebijakan pertama-tama menggambar diagram berdasarkan teori atau serangkaian
hipotesis kemudia melakukan estimasi terhadap koefisien jalur menggunakan teknik
regresi, serta pada akhirnya menentukan pengaruh tidak langsung (Nachmias dan
Nachmias, 1996). Cara ini sangat berguna ketika berhadapan dengan pengaruh mediasi,
dimana variabel bebas memiliki dampak terhadap variabel antara/mediator yang mana,
pada akhirnya memiliki dampak pada variabel terikat. Analisis jalur berasumsi reliabilitas
sempurna dari instrumen digunakan untuk mengoperasionalisasikan variabel-variabel.
Karena itu, semua variabel dalam model jalur dipertimbangkan untuk diobservasi, bukan
merupakan faktor-faktor laten atau tersembunyi.
Ketika model ini menggunakan perhitungan matematis melalui analisis faktor
terkonfrimasi/confirmatory factor analysis (CFA) maka ia menjadi model perhitungan
struktural/structural equation model dan akan bertemua dengan variabel-variabel laten.
SEM memberi kemungkinan untuk melakukan asesmen terhadap reliabilitas variabel-
variabel laten, memiliki estimasi yang lebih akurat terhaap pengaruh-pengaruh tidak
langsung dari variabel exogenous, serta berbagai variabel terikat.
Analisis jalur digunakan untuk menyederhanakan dan menggambarkan hubungan-
hubungan teoritik yang rumit. LISREL (linear structural relations) sudah sangat populer
sejak tahun 1981, serta paket-paket statistik seperti SAS dan Strata akan dapat melakukan
analisis ini juga. Beberapa contoh kajian penerapan analisis ini seperti yang dilakukan
Ellickson (1992:290) menggunakan analisis jalur untuk menjelaskan pengaruh faktor-
faktor pribadi, lingkungan dan kelembagaan kepada keberhasilan legislatif dengan data
yang diambil dari Parlemen di Missouri tahun 1987-1988. Hasilnya menunjukkan bahwa
variabel kelembagaan, senioritas dan partai politik, memiliki dampak peling kuat.
Penggunaan analisis jalur di sini juga mampu menunjukkan bahwa kantor formal
merupakan variabel intervening antara keberhasilan lembaga legislatif dan berbagai
variabel bebas lain seperti umur, urbanisasi, senioritas dan partai politik.
Terdapat dua model analisis jalur yang ditemukan oleh Cohen dan Vigoda
(1998:401), yaitu:
Gambar 3.1.: Model Analisis Jalur Langsung dari Cohen dan Vigoda (1998:420)
Gambar 3.2.: Model Analisis Jalur Tidak Langsung dari Cohen dan Vigoda (1998:425)
Model langsung tidak memiliki variabel mediator. Hasilnya menunjukkan bahwa
partisipasi politik, keterlibatan komunitas, dan altruisme umum secara statistik signifikan
memberikan pengaruh langsung kepada kinerja yang dirasakan, sementara itu
kepercayaan/kebersamaan (dissilusionment) dengan pemerintah memiliki pengaruh
langsung yang signifikan terhadap keterpilihan inkumben (turnover intentions). Pada
model tidak langsung, yang memiliki empat variabel bebas (partisipasi politik,
keterlibatan komunitas, altruisme umum dan kebersamaan dengan pemerintah) serta dua
variabel terikat (keterpilihan inkumben) dan kinerja yang dirasakan. Di antara semua
variabel bebas, hanyalah keterlibatan komunitas yang memiliki signifikansi jalur secara
statistik terhadap partisipasi dalam pengambilan keputusan. Jika dibandingkan, dalam
kasus ini model langsung lebih baik daripada model tidak langsung.
Teori Permainan
Teori Permainan (game theory) adalah sebuah pendekatan matematis untuk
mengetahui pengambilan keputusan secara individual yang menggunakan semacam
permainan sebagai paradigme interaksi pengambilan keputusan secara rasional.
Permainan (game) adalah segala bentuk interaksi yang terjadi di antara agen yang
dikendalikan oleh serangkaian aturan yang mengendalikan segala bentuk gerakan yang
dimungkinan untuk setiap partisipan dan serangkaian kemungkinan hasil dari setiap
kemungkinan kombinasi gerakan.
(Morrow 1994) menyampaikan bahwa: Game adalah “strategi murni” yang terjadi
dari beberapa komponen terkait: Players, mungkin berbentuk manusia atau organisasi,
yang dipilih dari sederetan options atau strategi yang tersedia untuk mereka. Pada setiap
tahapan permainan, para pemain memilih gerakan (actions) dari serangkaian keputusan
yang tersedia untuk mereka. Gerakan yang mereka pilih akan menghasilkan outcomes
atau consequences. Asumsinya para pemain telah memiliki kecenderungan yang baku
(preferences) terhadap outcomes yang akan mereka capai, artinya mereka menginginkan
outcomes tertentu dibandingkan yang lain. Setelah keputusan diambil, setiap pemain akan
menerima harga/nilai (payoff) tertentu yang diukur pada unit yang tersedia pada semua
pemain yang ikut bermain.
Game theory memiliki beberapa asumsi:
(1) Tindakan individu secara instrumental bersifat rasional;
(2) Pemahaman bersama terhadap rasionalitas dianut oleh para pemain;
(3) Para pemain memiliki kesepakatan tentang bagaimana game akan dimainkan;
(4) Prefersensi adalah tetap atau tidak berubah selama permainan dijalankan;
(5) Sifat trasitivity (jika A≥B dan B≥C maka A≥C) (Heap and Varoufakis, 2004)
Model ini biasanya digunakan dalam ilmu ekonomi. Dalam kajian kebijakan publik,
kita mungkin akan berhadapan dengan situasi kejadian yang berbeda yang merupakan
akibat dari keputusan yang dibuat oleh pihak lain. Katika aktor berupaya mencari
keuntungan bagi mereka sendiri, keputusannya mungkin saja mempengaruhi pihak lain.
Dengan demikian beberapa asumsi di atas mengalami penyesuaian. Kondisi game
melibatkan keberadan konflik dan kerjasama. Model teoretik game membantu para aktor
untuk membuat keputusan ketika berhadapan dengan berbagai alternatif kebijakan atau
konsekuensi dari keputusan yang diambil. Politik dan permainan mengandung berbagai
gerakan, manuver dan interaksi dari para pemainnya dalam upaya untuk memaksimalkan
kepentingannya, pemilihan strategi dengan akibta tertentu dan pada akhirnya
pembentukan koalisi.
Tabel 3.2. : Prisoner‟s Dilemma dalam Game Theory
Prisoner‟s dilemma adalah contoh klasik dalam game theory. Kedua pemain (tahanan 1
dan tahanan 2) merupakan 2 rekan yang melakukan tindakan kriminal dan berada dalam
tahanan polisi. Setiap tersangka ditempatkan pada sel yang berbeda dan diberikan oleh
petugas peluang untuk mengaku. Ini merupakan permainan dengan zero-sum game, jika
yang satu mengaku dan bebas maka yang lain akan dihukum. Dengan demikian, setiap
pemain memiliki 2 strategi, yaitu mengaku dan tidak mengaku. Dengan demikian ada 4
skenario: (1) keduanya mengaku, keduanya mendapatkan ganjaran yang sama yaitu 3 (2)
keduanya tidak mengaku, keduanya mendapatkan ganjaran yang sama yaiitu 2 (3)
tahanan 1 mengaku, 2 tidak maka tahanan satu mendapatkan hasil 5 dan tahanan 2
mendapat hasil 1, (4) tahanan 1 tidak mengaku 2 mengaku, maka tahaunan 1 mendapat
kasil 1 dan tahanan 2 mendapat hasil 5. Kasus ini berkaitan dengan berbagai isu seperti
kepercayaan (trust), petualangan (free-rider problem), sarana publik, negosiasi, regulasi,
korupsi, dan conflict resolution.
Simulasi
Simulasi adalaah sebuah prosedur kuantitatif yang menganalisis berasalkan dari
model matematis dari proses kebijakan yang sulit untuk diselesaikan secara analitis dan
kemudian dibuatkan sebuah model yang mengandung serangkaian metode eksperimen
trial and error secara terkendali dalam upaya untuk membuat simulasi dari sistem ini
setelah berlangsung beberapa waktu. Metode ini membantu dalam menjawab pertanyaan
seperti: “apakah yang akan terjadi pada kebijakan pembangunan ekonomi lokal jika
inflasi terjadi pada level 4% dibandingkan jika 3% pada tahun yang akan datang?”, atau
“bagaimanakah strategi manajemen pertumbuhan ini mempengaruhi lalu lintas dalam 20
tahun yang akan datang?”. Dengan demikian, simulasi kadang-kadang merupakan satu-
satunya metode yang ada jika lingkungan atau sistem yang ada sulit untuk diobservasi
atau dibuatkan modelnya, atau jikapun modelnya bisa dibuat ia terlalu sukar untuk
dipecahkan secara analitis.
Kane (1999:45) mengatakan bahwa sebuah simulasi yang baik memiliki ciri-ciri (1)
terkalibrasi, di samping data yang ada harus akurat, nilai dari parameter sedapt mungkin
sesuai dengan observasi empirik, (2) terkendali, beroperasinya model sesuai dengan
operasi yang terjadi di dunia nyata, (3) flexible, model cukup fleksibel untuk menjawab
berbagai pertanyaan yang muncul. Langkah-langka simulasi dapat ditemukan dalam
Levin et al (1989:120) yaitu: (1) tentukan sistem yang akan disimulasikan (2) buatlah
model yang akan digunakan (3) identifikasi dan kumpulkan data yang dibutuhkan untuk
menguji model (4) uji model dan bandingkan gerakannya dengan lingkungan sebenarnya
(5) jalankan simulasi (6) analisa hasil dan revisilah solusi yang didapatkan jika
diperlukan (7) jalankan lagi simulasi untuk menguji solusi baru, dan (8) lakukan validasi
terhadap simulasi dimaksud. Tarvid (2015:11) membangun model dengan parameter
jaringan sosial dan pasar tenaga kerja dalam melakukan kajian terhadap keefektivan
kebijakan pembatasan akses pada pendidikan tinggi dalam upaya negara OECD dalam
mengurangi kelebihan tingkat pendidikan masyarakat.
Meskipun ditemukan kelemahan dari sisi presisi matematis, namun metode simulasi
sudah banyak diterapkan sebagai sebuah teknik penelitian kebijakan publik. Coplin
(1968) mengevaluasi berbagai penelitian tentang hubungan internasional, isu-isu
permasalahan perkotaan seperti anggaran, pemilihan umum, dan rekrutmen politik.
Perkembangan teknologi informasi dan komputerisasi turut menyumbang kepada
pembentukan lingkungan dan memprediksi konsekuensi sosial dan ekonomi dari model-
model perencanaan. Saat ini Geographic Information Sistem (GIS) sering digunakan
untuk melakukan simulasi perkembangan wilayah melalui peta elektronik.
D. Penutup
Dapat disimpulkan bahwa metode kuantitatif membantu para analis kebijakan publik
untuk menguji pengaruh relatif dan kaitan dari berbagai bentuk variabel bebas terhadap
variabel terikat. Metode ini memberikan informasi tentang pilihan-pilihan dalam
kebijakan kepada warga negara dan aktor kebijakan melalui angka, gambar dan pengujian
hubungan. Ia mampu memberikan informasi tentang keuntungan dan resiko dari berbagai
alternatif kebijakan dengan mata matematis. Pengembangan berbagai teknik kuantitatif
yang lebih canggih merupakan salah satu tugas yang dibutuhkan oleh berbagai kebijakan
publik saat ini, karena masalah kebijakan menjadi semakin kompleks, lingkungan
menjadi semakin susah diprediksi, serta waktu dan anggaran menjadi semakin terbatas.
Para analis kebijakan harus mampu memilih mana pilihan dan strategi kebijakan yang
paling tepat dari segi validitas, rasional dan realistik dan menerapkan kajian ini dalam
dunia yang nyata.
REFERENCE
Alaudin, M, Ashman, A, Nghiem, S dan Lovell, K. 2017. What determines students‟
expectations and preferences university teaching and learning? An instrumental
variable approach. Economic Analysis and Policy 56, pp. 18-27
Berry, F.S. dan Berry, W.D. 1990. State lottery adoptions as policy innovations: An event
history analysis. American Political Science Review, 84(2), pp. 395-415
Box-Steffensmeier, J.M. dan Jones, B.S. 1997. Time is of the essence: event history
models in political science, American Journal of Political Science, 41(4), pp.
1414-1461
Burbridge, L. 1999. Cross-sectional, longitudinal, and time-series data: Uses and
limitations dalam G.J. Miller dan M.L. Whickers (eds.) Handbook of research
methods in public administration, New York:Marcel Dekker
Brewer, M.B. 1983. Evaluation: Past and present dalam E.L. Struening dan M.B. Brewer
(eds.) Handbook of Evaluation Research. Beverly Hills: Sage Publication
Brewer, G.D. dan deLeon, P. 1983. The Foundation of Policy Analysis. Homewodd: The
Dorsey Press
Cohen, A dan Vigoda, E. 1998. An empirical assessment of the relationship between
general citizenship and work outcomes. Public Administration Quarterly, 2(4), pp
401-431
Coplin, W.D. 1968. Simulation in the Study of Politics. Chicago: Markham Publishing
Ellickson, M.C. 1992. Pathways to legislative success. A path analytic study of the
Missouri house of representatives. Legislative Studies Quarterly, 17(2), pp 285-
302
Fischer, F. 1998. Beyond empiricism: Policy inquiry in postpositivist perspective. Policy
Studies Journal 26 (1), pp 129-146
Fischer, F, Miller, G.J dan Sidney, M.S. (eds) 2007. Handbook of Public Policy Analysis:
Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
Gutierrez-Garcia, J.O dan Rodriguez, L.F. 2016. Social determinants of police
corruption: toward public policies for the prevention of police corruption. Policy
Studies 37 (3), pp. 216-235
Heap, S.P.H., dan Varoufakis. Y. 2004. Game Theory. New York: Routledge
Hunter, K.G. 2001. An analysis of the effect of lobbying efforts and demand-side
economic developement policies on state economic helath. Public Administration
Quarterly, 25(1), pp. 49-78
Kaifeng, Y. 2007. Quantitative Methods for Policy Analysis dalam Fischer, Frank, Gerald
J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis: Theory,
Politics and Methods. New York: CRC Press
Kane, D. 1999. Computer simulation dalam G.J. Miller dan M.L. Whicker (eds.)
Handbook of research methods in public administration, New York: Marcel
Dekkker
Krane, D. 2001. Disorderly progress on the frontiers of policy evaluation. International
Journal of Public Administration, 24 (1), pp 95-123
Lasswell, H.D. 1951. The policy orientation dalam D. Lerner dan H.D. Lasswell (eds.).
The Policy Sciences. Stanford University Press
-----------------. 1970. The Emerging Conception of the Policy Sciences. Policy Science 1,
pp. 3-14
-----------------. 1971. A Pre-view of Policy Sciences. New York: Elsevier
Levin, R.I., Rubin, D.S., Stinson, J.P., dan Gardner, E.S. 1989. Quantitative approaches
to management. New York: McGraw-Hill
Meier, K.J. dan Brudney, J.L. 2002. Applied statistics for public administration (5th
ed.).
Belmont: Wadsworth
Morcol, G. 2001. Positivist beliefs among policy professionals: An empirical
investigation. Policy Sciences 38, pp 381-401
Morrow, J.D. 1994. Game theory for political scientists. Princeton: Princenton University
Press
Nachmias, C.F., dan Nachmias, D. 1996. Research Methods in the Social Sciences (5th
ed.) New York: St Martin‟s Press
Radin, B.A. 2000. Beyond Machiavelli: Policy Analysis Comes of Age. Washington DC:
Georgetown University Press
Sutton, M. 2017. Seminar in Education Policy Studies. Bloomington: Indiana University
Tarvid, A. 2015. The effectiveness of access restriction to higher education in decreasing
overeducation. Economic Analysis and Policy 45, pp. 11-26
Vijverberg, W.P. 1997. The quantitative methods component in social science curricula
in view of journal content. Journal of Policy Analysis and Management, 16(4),
pp. 621-629
Warner, M. dan Hebdon, R. 2001. Local government restructuring: Privatization and its
alternatives. Journal of Policy Analysis and Management, 20(2), pp. 315-336
BAGIAN 4
ASPEK PRAKTIS DALAM ANALISIS
KEBIJAKAN
A. Pendahuluan
Kajian analisis kebijakan saat ini mengalami dua persoalan terutama dalam hal
melakukan analisis dan kontribusi analis profesional dalam pemerintahan. Pertama,
banyak analis kebijakan kontemporer masih sangat tergantung pada cara dan metode
analisis yang dilakukan pada periode awal di mana bercirikan analisis empiris. Meltsner
(1975, 1976) menekankan ddan menggarisbawahi beberapa variabel yang berkaitan
dengan kompetensi dan keahlian teknokratis dan politis. Dengan demikian analis dapat
berfungsi sebagai teknisi, politisi, entrepereneur (jika menguasai keduanya) dan
pretenders (jika tidak menguasai satupun). Namun demikian pada saat ini seorang
praktisi analisis kebijakan harus dapat berfungsi menjadi lima macam profesi: pengarah
proses (the process director), filsuf kebijakan (the policy philosopher), pengacara
kebijakan (the policy advocate), the neo-Weberian (or objective technician), dan pakar
penasehat (the expert advisor). Dengan demikian, mereka harus memiliki pemahaman
terhadap dua dimensi, yaitu keterlibatan dalam isu yang spesifik sehingga memiliki
keahlian teknis, di samping harus mampu membedakan posisinya sebagai seorang
profesional dan sebagai loyalis politik atau aktivis. Dengan demikian terdapat banyak
sekali aspek praktis yang harus menjadi pertimbangan dan pemikiran dalam memahami
kedudukan seorang analis kebijakan pada masa ini.
B. Survey dalam Analisis Kebijakan
Survey saat ini merupakan metode yang sangat populer di seluruh dunia. Hampir
setiap negara, apalagi yang menganut paham demokrasi melakukan polling, survey,
hitung cepat, kalkulasi level popularitas dan berbagai turunannya. Di Amerika Serikat,
beberapa bulan sebelum pemilihan anggota senat, kongres apalagi presiden survey
pemilih (voter surveys) dilakukan harian, jika bukan jam-jaman berdasarkan kepada
media massa, kelompok advokasi (termasuk lembaga survey), dan tentu saja partai
politik. Hasil survey selanjutnya akan menjadi dasar bagi para kandidat untuk mengatur
strategi kampanyenya. Karena sistem demokrasi Amerika yang menganut “the winner
take all”, tidak perlu menampilkan iklan atau penampilan di publik oleh kandidat atau
partai di negara bagian yang survey menunjukkan bahwa mereka dominan di sana.
Survey tidak hanya dalam kampanye politik, survey penonton menunjukkan acara
manakah yang bertahan populer di setiap musim, selebriti mana yang disukai dan dibenci,
iklan mana yang berhasil dan gagal, dan lain-lain. University of Michigan melakukan
survey terhadap sentimen konsumen dan menjadi indikator utama secara nasional tentang
kesehatan ekonomi Amerika Serikat. Sifat praktis dan kesederhanaan survey
menjadikannya menjadi bagian dari hampir semua bidang kajian, karena itu sangat biasa
menemukan hasil survey dalam jurnal-jurnal profesional dalam bidang antropologi,
psikologi, sosiologi, pendidikan, ilmu politik dan administrasi publik.
Mitchell (2007:369) menyatakan bahwa dalam bidang kebijakan publik, survey
dilakukan untuk mengidentifikasi keinginan publik, untuk mengetahui dukungan dan
oposisi terhadap sebuah kebijakan, dan untuk mengevaluasi kepuasan dan ketidakpuasan
terhadap program tertentu. Survey bisa dilakukan oleh perumus kebijakan untuk menjadi
fondasi dalam pengambilan keputusan dan untuk mengetahui apakah harus dibuast
sebuah kebijakan baru atau bahkan menghentikan kebijakan lama yang tidak mendapat
dukungan lagi, juga untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap isu, serta
untuk menjadi dasar bagi perubahan kebijakan, program dan pelayanan publik. Kajian
yang dilakukan oleh Piachaud (2015:1-7) memberikan perhatian kepada pengembangan
paradigma kebijakan sosial yang menggeser dari penekanan kepada input menjadi lebih
kepada produk pelayanan dan dampaknya.
Survey juga bisa diterapkan dalam setiap tahapan dari proses kebijakan: untuk
mengidentifikasi permasalahan, mempertimbangkan solusi terbaik, menentukan
dukungan legislatif terhadap hukum, mengkaji kesulitan-kesulitan dalam penerapan dan
mengukur dampak. Survey juga relevan untuk berbagai bidang kebijakan: lingkungan,
kesejahteraan sosial, pembangunan ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan, hak asasi
manusia, kriminalitas dan hubungan luar negeri (Swindell and Kelly, 2000:42,
Thompson, 1997:302). Namun demikian Mitchell (2007: 370) menyatakan bahwa
meskipun begitu besarnya peranan dan pentingnya survey dalam kajian kebijakan publik,
sangat sedikit buku teks yang memberi perhatian dan mengkaji secara mendalam tentang
metode survey sebagai sebuah perangkat penelitian.
Macam-macam Tipe Survey
Dikenal tiga macam tipe survey: survey melalui telefon, survey perorangan dan swa-
administrasi. Survey telefon populer di Amerika Serikat dan mudah dilaksanakan karena
yang dibutuhkan hanyalah pesawat telefon, nomor-nomor telefon dan penelefon. Survey
telefon berskala besar sering mengembangkan sistem ini misalnya melalui bantuan
komputer dan tenaga yang terlatih dalam jumlah besar. Melakukan interview orang-orang
melalui telefon sejauh ini merupakan salah satu cara yang paling lazim dilakukan untuk
melaksanakan polling dengan jumlah responden/subyek yang besar, misalnya bangsa,
negara atau wilayah kota metropolitan. Survey melalui telefon menguntungkan karena
mendapat jawaban seketika, format yang terstandar dan memungkinkan untuk
penginterview melakukan penjelasan terhadap pertanyaan kepada responden. Namun
demikian kelemahannya, sulit untuk menjangkau masyarakat yang tidak memiliki
pesawat telefon (gelandangan, pasien rumah sakit, narapidana dan lain-lain), kemudian
sering menemui kesukaran untuk mengontak lapisan masyarakat tertentu seperti
hakim,dokter, pejabat negara yang memiliki pegawai pengangkat telefon (gatekeepers)
seperti sekretaris, asisten dan lain-lain.
Survey perorangan (in-person surveys) adalah survey dengan kontak bersifat tatap
muka antara interviewers dengan responden. Biasanya ini menggunakan questioner yang
terformat dengan pilihan respons yang saling susul menyusul, namun juga bisa berbentuk
pertanyaan tidak terstruktur layaknya percakapan antara dua teman. Survey tipe ini
biasanya sangat berguna ketika membutuhkan kontak dengan responden terseleksi dalam
setting yang alami-misalnya di jalan, di pasar, atau ruang tunggu. Keuntungan utama
survey tipe ini adalah memungkinkan pewawancara untuk menjelaskan maksud
pertanyaan kepada responden. Untuk keberhasilan cara ini, pewawancara sebaiknya
melakukan latihan, ini penting karena tekanan suara, bahasa tubuh, dan berbagai
perangkat fisik akan membentuk reaksi dari responden. Survey tipe ini biasanya berbiaya
mahal dan memakan waktu.
Survey swa-administrasi (self-administered survey) biasanya berbentuk kuesioner
tertulis yang dibagikan kepada responden untuk diisi dan dilengkapi. Ada empat cara
membagikan kuesioner: (1) mengirim melalui pos dan juga mengembalikan melalui pos;
(2) mengirimkan melalui e-mail atau diupload di web-site dan mengembalikan melalui e-
mail atau memasukkan jawaban ke lingk yang ada di web-site; (3) meninggalkan di
lokasi tertentu (meja atau konter) dan dikembalikan melalui e-mail atau lokasi tertentu
(drop box dan lain-lain); dan (4) memberikan langsung kepada responden ketika mereka
memasuki atau meninggalkan gedung, jalan, ruangan atau kegiatan tertentu. Survey
seperti ini biasanya dilengkapi beberapa ketentuan misalnya tidak wajib untuk
menuliskan nama, peluang untuk menjawab pertanyaan yang sensitif, memungkinkan
untuk menjangkau populasi yang sulit dijangkau dan biasanya terlepas dari bias
interviewer yang dijumpai pada dua jenis survey yang lain. Kelemahannya, relatif sulit
mendapatkan respons, seringkali quesioner tidak dikembalikan atau bahkan dibuang ke
tempat sampah, email dapat dihapus. Penting untuk memastikan responden tidak mengisi
lebih dari satu quesioner.
Quesioner
Pada prinsipnya pelaksanaan survey adalah menjawab pertanyaan, sehingga konstruksi
pertanyaan dalam kuesioner adalah kunci dalam melaksanakan survey. Seringkali
pertanyaan dari survey sebelumnya diulang kembali, namun kebanyakan setiap survey
mengajukan pertanyaan berbeda yang bersifat ad hoc satu sama lain. Dua jenis
pertanyaan dalam survey adalah: pertanyaan tertutup (close-ended questions) yang
memberikan sebentuk kategori respon kepada responden untuk dilengkapi, berikutnya
pertanyaan terbuka (open-ended questions) yang memungkinkan responden untuk
menuliskan respon mereka secara bebas.
Pertanyaan dalam survey merupakan operasionalisasi dari variabel-variabel. Variabel
bebas adalah sesuatu yang menjelaskan perilaku, sikap dan keinginan. Afiliasi kepartaian
misalnya digunakan sebagai variabel bebas untuk menjelaskan dukungan atau oposisi
terhadap kebijakan tertetntu. Variabel terikat adalah sesuatu yang digunakan untuk
menjelaskan atau menghitung, misalnya kepuasan kepada suatu kebijakan, pemanfaatan
pelayanan, dan dukungan terhadap program rakyat. Kedua variabel haruslah memiliki
nilai atau kelengkapan. Setiap variabel harus exhaustive, artinya mencakup semua
kemungkinan jawaban yang akan diberikan. Setiap variabel juga harus mutually
exclusive, artinya tidak ada kemungkinan menjawab dua pilihan jawaban sekaligus.
Dari segi skala pengukuran (level of measures), pertanyaan survey bisa berupa
nominal, ordinal atau interval. Nominal artinya kategorisasi tanpa tingkatan, misalnya
pilihan antara punya rumah sendiri atau menyewa. Ordinal artinya, memiliki kategori
yang bertingkat, misalnya usia. Interval, adalah setiap pilihan jawaban memiliki
kategorinya sendiri, misalnya jika responden ditanya berapa lama mereka sudah bekerja.
Skala ini bermakna sangat penting karena ia menentukan jenis statistik yang akan
digunakan dalam analisis nantinya.
Responden
Ada dua pendekatan untuk menentukan siapa yang akan disurvey: (1) semua
populasi dan (2) sampel dari populasi. Ketika populasi berjumlah kecil, setiap orang bisa
dijadikan responden dalam survey, misalnya survey terhadap guru yang mengajar sekolah
menengah di sebuah kota kecil. Ketika populasi berjumlah besar, maka masuk akal jika
sampling dilakukan, baik berupa probability sampling maupun non-probability sampling.
Sampling probabilitas artinya nama-nama sampel diambil dari populasi di mana
besar dan karakteristiknya sudah diketahui. Artinya, ada cara untuk mengetahui secara
statistik apakah sample bersifat representatif dari populasi. Pada sampling probabilitas,
dimungkinkan untuk menghitung sampling error-yaitu perbedaan antara statistik sample
dan parameter dari populasi. Sampling error adalah fungsi untuk mengetahui jumlah
responden-makin bersar jumlah responden dimana data didapatkan, makin kecil sampling
error-nya. Namun biaya untuk melakukan survey menjadi semakin besar. Pada sampling
berjumlah 1000 responden akan memiliki sampling error sebesar 3,1 persen, sementara
100 responden memiliki sampling error sebesar 6,5 persen. Pengambilan sampel secara
acak (random) merupakan cara yang lazim untuk melakukan sampling probabilitas,
dimana semua subjek dalam populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai
sampel. Varian dari sampling probabilitas adalah systematic sample, yaitu dengan
melibatkan nama-nama atau item-item terseleksi dari daftar serangkaian interval dari
populasi (misalnya setiap 10 orang diambil satu) (Mitchel, 2007:370).
Sampling non-probabilitas adalah seleksi dari populasi dimana ukuran dan
karakteristiknya tidak diketahui. Misalnya dalam hal melakukan survey terhadap
penumpang bus. Cara sampling ini adalah dengan melakukan estimasi apakah sampel
sudah dianggap representatif. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan kategori tertentu
seperti gender, etnik atau jenis pekerjaan. Namun demikian, apakah sampling probabilitas
atau sampling non-probabilitas, penelitian survey ditujukan untuk mendapatkan sampel
yang dianggap cukup untuk memperkirakan keadan dari populasi. Dengan demikan isu
representativeness menjadi sentral. Tingkatan respons yang ideal adalah jika mencapai
50% dari sample yang direncanakan. Dengan demikian akan lebih baik jika perwakilan
dari setiap region atau kategorisasi didapatkan dengan memadai.
Analisis Data Survey
Sebagaimana halnya dengan penelitian kuantitatif, survey berhubungan dengan data-
data numerik. Ironi di balik survey adalah pertanyaan-pertanyaan subyektif menghasilkan
statistik yang bersifat obyektif. Setiap pertanyaan adalah survey dalam analisis univariat
yang dapat ditampilkan, tergantung kepaa format pertanyaan, sebagai distribusi frekuensi
atau pengukuran central tendency, misalnya: survey yang menghitung dukungan terhadap
voucher sekolah yang menunjukkan berapa banyak responden yang mendukung dan
berapa yang menolak. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya analisis bivariat mencari
hubungan antara dua pertanyaan, misalnya pertanyaan apakah pengikut partai Republik
atau Demokrat cenderung mendukung program voucher sekolah. Sementara itu analisis
multivariat adalah mengenai hubungan di antara dau atau lebih pertanyaan, yang sering
melibatkan penggunaan analisis regresi, misalnya apakah dukungan atau oposisi terhadap
program voucher sekolah dipengaruhi oleh satu variabel lebih daripada variabel yang
lain? Seperti afiliasi politik, gender, tempat tinggal atau pendapatan.
Banyak teknik bisa digunakan untuk menentukan akurasi dari hasil survey, yang
dapat menggunakan paket perhitungan statistik. Misalnya, menggunakan analisis chi
square untuk mengukur signifikansi hubungan bivariat antara variabel dengan skala
nominal sementara koefisien korelasi mengukur kekuatan hubungan antara variabel-
variabel interval. Analisis statistik Pearson r, yang mengukur kekuatan hubungan antara
dua variabel berskala interval. Sementara itu, untuk menghitung sejauhmana nilai dari
hubungan tergantung kepada bagaimana pertanyaan diukur, ukuran sampel, dan sasaran
dari analisis.
Dari segi bagaimana cara menampilkan, data survey dapat ditampilkan secara naratif
ataupun dengan gambar dan tabel. Jika menggunakan tabel, maka pastikan bahwa
informasi yang diberikan cukup mudah untuk diinterpretasikan, tapi tidak berlebihan
banyaknya karena akan menyukarkan untuk mendapatkan pemahaman. Tabel harus
dilengkapi dengan judul deskriptif, seluruh variabel harus dengan jelas diberikan label,
variabel bebas diletakkan pada kolom sementara variabel terikat diletakkan di baris,
pengukuran statistik diletakkan pada bagian bawah tabel, dan jangan lupa
menginfromasikan jumlah kasus yang dilibatkan dalam proses analisis. Setelah bagian
kesimpulan dan rekomendasi, biasnya untuk laporan kebijakan (policy report), juga
dilengkapi dengan lampiran yang menampilkan instrumen survey dengan respon yang
diterima pada setiap pertanyaan yang diajukan.
Pemanfaatan survey
Literatur menunjukkan beberapa bentuk pemanfaatan survey dalam melakukan
penilaian terhadp kebijakan publik, yaitu:
1. Penilaian kebutuhan akan kebijakan publik (need assessment)
Pertanyaan penting dalam proses formulasi atau disain kebijakan adalah
bagaimana perumus kebijakan mengetahui suatu kebijakan akan diterima jika ia
tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan publik? Survey membantu melakukan ini
melalui menanyakan kepada publik apa yang mereka butuhkan serta membiarkan
mereka merumuskan sendiri konsep-konsep sebagai komponen kebijakan itu.
Posavac dan Carey (2003) menyatakan bahwa semestinya perumus kebijakan
harus membangun pelayanan atau intervensi untuk membantu populasi mencapai
atau semakin mendekati tingkatan kepuasan tertentu dalam permasalahan yang
mereka hadapi
2. Mengetahui dukungan atau penolakan terhadap solusi masalah publik (opinion
polling)
Setiap orang dimungkinkan untuk terlibat dalam mencari solusi permasalahan
publik, baik itu pejabat, administrator, pelaku kebijakan, dan bahkan wartawan.
Berbagai kajian sudah dilakukan sepanjang waktu untuk mengetahui opini tentang
berbagai persoalan publik seperti pembatasan aborsi, bantuan sosial, aturan
sekolah, atau alternatif transportasi masssal.
3. Mengevaluasi daya tanggap kebijakan terhadap individu atau kelompoki (impact
assessment).
Survey juga dilakukan untuk menilai dampak kebijakan. Masyarakat disurvey
tentang apakah mereka peduli dan dapat menangkap program-program public. Di
sini juga menyentuh aspek apakah sistem politik yang ada dalam merespons
kecenderungan publik adalah sentral dalam teori dan praktik demokrasi. Tidak
terlalu penting bagi demokrasi apakah sebuah kebijakan publik itu efektif atau
efisien, yang lebih penting adalah apakah ia mampu memuaskan segmentasi
masyarakat. Ini akan diketahui melalui survey.
Namun demikian, survey terkadang juga disalahgunakan. Sangat sulit mendisasi
survey yang sempurna. Persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan tingkat
keterwakilan sampel, rendahnya tingkat respons, pertanyaan-pertanyaan yang terlalu
ambisius, penggunaan kata-kata yang ambigu dalam kuesioner, respons yang simple (ya
dan tidak) terhadap pertanyaan yang kompleks, dan perhitungan statistik yang
menampilkan persentase namun bukan merupakan jumlah nyata yang merespons
pertanyaan. Banyak orang melakukan survey tanpa memiliki keterampilan yang
memadai. Hasilnya akan ditelantarkan kalau tidak dikritik dalam analisisnya.
Bagaimanapun, sebuah survey juga terkadang mengandung bias. Ada kecenderungan
bagi analis kebijakan untuk melakukan survey dengan kecenderungan selai untuk
membela, mendukung atau sebaliknya menyerang sebuah kebijakan publik tertentu.
Sehingga ia menjadi instrumen politik daripada sebuah penelusuran saintifik. Sebaliknya
ada pula anggapan bahwa jalan terbaik untuk mengukur kebijakan publik adalah dengan
memiliki serangkaian respon terhadap pertanyaan-pertanyaan survey. Dalam hal ini
sekali lagi survey menjadi sebuah bentuk persentuhan demokratik melalui kehadiran
dalam pertemuan publik, menulis surat kepada pejabat publik, dan memilih dalam
pemilihan umum. Pada intinya, survey adalah salah satu cara bagi warganegara untuk
mengekspresikan pandangan mereka terhadap metode alternatif dalam menyelesaikan
persoalan atau sebuah usulan kepada negara untuk mengatasi defisit anggaran dan
penurunan mutu pelayanan. Survey adalah sebuah koreksi untuk mempengaruhi elit dan
kelompok kepentingan dalam proses kebijakan.
C. Metode Context-sensitive
Pendekatan kebijakan konteks-sensitif (context-sensitive methods) mungkin
dirasakan agak asing sebagai sebuah cara untuk memberikan ciri terhadap analisis
kebijakan. Mengapa tidak cukup dengan melakukan metode kualitatif atau metode post-
positivisme sebagaimana dijabarkan panjang lebar didepan untuk mengetahui pendekatan
kontekstual dari kebijakan jika diukur dari strategi analisis kebijakan publik
konvensional? (Clarke, 2009: 443) menyatakan bahwa pendekatan konteks-sensitif
memiliki beberapa asumsi kualitatif dan kuantitatif sekaligus. Pendekatan ini dianggap
memberikan kekuatan yang lebih sistematik dan kaya kepada penelitian pada situasi
dimana konteks dan setting menjadi faktor penting untuk memahami data observasi.
Ketika data tidak begitu gamblang dan sulit didapatkan, maka baik perangkat
pengumpulan data maupun prosedur analisis harus sensitif kepada spesifikasi koneks dari
informasi dan pengukuran yang dimainkan.
Untuk melaksanakan penelitian konteks-sensitif hal pertama yang dilakukan adalah
menolak atau setidaknya mengenyampingkan dualisme antara metode kualitatif dan
kuantitatif. Brower et al (2000:363) dan Miles and Huberman (1994) bahkan menyatakan
bahwa hanya bentuk yang paling primitif dari empirisisme dan positivisme yang terus
menerus mengasumsikan perbedaan ekstrim antara kualitatif dan kuantitatif. Banyak
buku-buku berpengaruh sudah memanggil untuk meninggalkan perbedaan yang ekstrim
antara kedua tradisi penelitian tersebut karena mereka sebetulnya memiliki fondasi
epistemologi yang sama, sama-sama tergantung kepada data observasional, namun
menggunakan alat yang berbeda dalam menganalisis dan mendekati tantangan ini dengan
cara yang berbeda (Verba, 1994, Brady dan Colliers, 2004).
Penulis tidak akan mengulangi kembali karakteristik dan asumsi yang dianut oleh
kedua tradisi penelitian tersebut, tetapi lebih kepada bagaimana mengintegrasikannya
dalam penelitian konteks-sensitif. National Social Science Federation (NSF)
menunjukkan banyak penelitin kualitatif yang telah menggunakan penedekatan yang baik
serta menjamin validitas dan reliabilitas dari penelitian ini. Namun yang menjadi
kelebihannya adalah karena memiliki cerita dan penjelasan nonparsimonial, fokus kepada
konteks, informasi berdasarkan persepsi responden, serta persentuhan yang intensif dan
lama dengan peneliti (Blee 2004:56). Penelitian kuantitatif memiliki kemampuan untuk
melakukan inferensi, generalisasi bahkan mungkin prediksi. Sehingga peneliti memiliki
ruang untuk melakukan falsifikasi hipotesis dan mengujinya dengan perhitungan yang
presisi dan prosedural (Ragin 2004:110). Pendekatan yang lebih efektif sebenarnya
dengan mengambil kekuatan dari kedua strategi dalam sebuah pendekatan multi-method
daripada mengembangkan penelitian kualitatif dengan melengkapi dengan pendekatan
kuantitatif.
Peneliti konteks-sensitif lebih tertarik untuk memahami mekanisme kausal daripada
mencara hubungan kausal. Miles dan Huberman (1984:95) menyatakan bahwa penelitian
lapangan lebih baik daripada metode kuantitatif dalam membangun pemahaman terhadap
“local causality” atau mekanisme kausal ini. Maxwell (2004:243) mengembangkan
pendekatan proses yang akan memberi dasar dalam membangun argumen kausal. Collier,
Seawright dan Brady menyatakan bahwa ini biasa dilakukan dengan menggunakan
analisis regresi. Untuk memenuhi keinginan problem-oriented, untuk memungkinkan
terjadinya konfigurasi dan proses saling ketergantungan, dan benar-benar memahami
pengaruh dari konteks maka diperlukan perangkat yang tidak memisahkan antara
observasi dengan konteks. Ini membutuhkan analisis yang menekankan kepada kasus
ketimbang variabel.
Perangkat Pengumpulan Data
Q-methodology adalah menggunakan pendekatan melalui wawancara dimana peneliti
terlibat secara langsung dalam situasi tanpa menekankan nilai dan biasnya dalam proses.
Pendekatan ini sudah dilakukan selama lebih dari 50 tahun dalam bidang bisnis dan
manajemen, psikologi, dan penelitian perencanaan. Ia menggunakan perangkat empirik
seperti pemetaan persepsi, pilihan dan nilai subjektif. Q-methodologi melibatkan
responden yang mewakili beragam sudut pandang dan pemahaman terhadap persoalan.
Beda dengan interview biasa, responden hanya menjawab berupa pernyataan (bukan
penjelasan) terhadap sumber informasi (surat kabar, laporan, interview pakar dan sumber
lain). Pernyataan kemudian dicatat berdasarkan sel kategori. Setiap statement dicatat
dalam kartu, kartu kemudian disusun. Susunan kartu berisikan pernyataan yang sudah
dikategorisasi ini kemudian disusun menjadi apa yang dinamakan Q-sort. Pernyataan
kemudia diskoring antara -5 sampai dengan +5. Pada akhir sesi, penelitian kemudia
mencatat distribusi dari statemen dalam setiap sel.
Rapid Ethnographic Assessment Prochedure (REAP) adalah salah satu teknik
pengumpulan data untuk penelitian konteks-sensitif terutama jika anggaran yang tersedia
terbatas. REAP berangkat dari penelitian terhadap kesehatan masyarakat, kemiskinan,
dan isu pertanian di wilayah-wilayah tertinggal. Di Amerika Serikat metode ini
digunakan untuk kajian dampak sosial, kajian kebutuhan komunitas dan isu manajemen
sumberdaya budaya. Tidak terstruktur seperti Q-methodology, REAP sangat tergantung
kepada triangulasi untuk menjamin validitas dan reliabilitas penelitian. Low (2005:665)
menyatakan bahwa “semi-structured interview, expert interview and the community focus
group, are the characteristic elements of a triangulated metjodology”. Data REAP
dianalisis melalui pertemuan kolaboratif tentang tema yang muncul dari berbagai cara
pengumpulan data di atas. Tema-tema ini digunakan untuk membangun skema koding
yang detil untuk mentranskripsikan catatan lapangan dan materi interview.
Satterfield (2004:117) memperkenalkan integrasi teknik kualitatif dengan penelitian
survey melalui telfon dengan menggunakan sistem Computer Aided Design Instrument
(CADI). Sistem ini memprogram urutan pertanyaan selayaknya pembicaraan ketimbang
respons datar sebagaimana biasanya survey dilakukan. Dengan cara ini dicoba
menangkap bagaimana berangkat dari tujuan dan nilai yang mereka anaut terhadao
pilihan-pilihan keputusan yang nyata. Semuanya menghasilkan pemetaan persepsi, sudut
pandang dan nilai-nilai yang dianut partisipan tentang isu kompleks dan memungkinkan
peneliti untuk mengidentifikasi apakah respons ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lain Di
samping ini, akhir-akhir ini juga berkembang berbagai perangkat yang membantu
mendapatkan data yang konteks-sensitif seperti penggunaan PDA dan EthnoNotes
(berbasiskan internet) yang semuanya merupakan upaya untuk meningkatkan kecepatan,
proses index dan koding teks yang berintegrasi dengan materi-materi kuantitatif.
Analisis Contect-sensitive
Terdapat perbedaan mendasar antara analisis peka variabel yang biasanya digunakan
oleh tradisi kuantitatif dan analisis peka kasus yang diterapkan pada tradisi kualitatif.
Pada penelitian kuantitatif observasi diterjemahkan menjadi serangkaian variabel diskrit
yang dibandingkan serta mencari hubungan. Karena itu variabel ditentukan sebelum
observasi dilakukan. Sementara pada penelitian kuantitatif menganggap setiap observasi
adalah esensial untuk memahami makna dari informasi yang dikumpulkan. Ketimbang
menggunakan variabel diskrit setiap kasus diasumsikan interaktif dan multi-kolinear.
Analisis wacana (discourse analysis), naratif dan argumentasi adalah jembatan antara
metode kuantitatif tradisional dan metode penelitian kebijakan kontekstual. Penelitian
etnografis menganggap penting beberapa hal seperti penelitian sering menggunakan
observasi para pertisipasn dan perangkat etnografik lain untuk mengumpulan narasi
individual dalam cara yang relatif tidak terstruktur. Narasi dan argumentasi dalam konsep
kebijakan sering digunakan sebagai koalisi wacana. Pendekatan ini menekankan pada
penggunaan berbagai cara untuk memahami bagaimana pandangan manusia terhadao
kejadian atau fenomena. Narasi juga digunakan untuk menghubungkan kejadian dan
proses dalam sebuah konteks yang spesifik (Maxwell 2004:250). Namun demikian narasi
tidak hanya menekankan kepada pemahaman tetapi juga mampu menangkap bagaimana
isu dapat diidentifikasi, siapa yang bertanggungjawab terhadap permaslahan yang terjadi,
bagaimana kelompok dimobilisasi dan kenapa tidak yang lain, serta berbagai proses
kebijakan yang lain.
Analisis wacana adalah salah satu metode yang sering diterapkan dalam ilmu-ilmu
sosial dan humaniora. Ada semacam kesepakatan bersama bahwa bahasa dan retorika
merupakan subjek yang penting dalam analisis itu sendiri-karena ia digunakan untuk
mempertajam dan membuat kerangka isu publik-ada beberapa standar yang memandu
analisis wacana untuk memahami masalah kebijakan (deLeon 1998:147). Analisis
konten/isi (content analysis) berbeda dengan analisis wacana (discourse analysis).
Analisis konten menekankan kepada frekuensi beberapa frasa dan istilah menjadi
penting. Sementara itu, analisis wacana menilai struktur dan kontent dari cara berpikir
dan kepercayaan yang diekspresikan oleh responden atau dalam material dokumen. Ada
perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis wacana seperti NUD*IST (!) atau
Non-Numerical Unstructured Data with Indexing Searching and Theoryzing yang
membantu mengkoding teks dalam berbagai kategori dan menentukan apakah secara
statistik dianggap signifikan.
Studi kasus (case study) berperan sangat penting dalam analisis kebijakan tetapi tetap
signifikan dalam ilmu politik, sosiologi dan administrasi negara (Bennet et al, 2003).
Dalam studi kasus, satu kasus diberi nilai dalam banyak bidang, dengan tradisi yang kaya
mendukung kontribusinya dalam membangun teori sebagaimana juga relevansinya dalam
kajian kebijakan. Jika ia dimaksudkan untuk berbagai tempat dan dianalisis lintas waktu,
maka perbandingan sensistif-kontekstual menjadi relevan untuk digunakan. Ini
menggunakan Qualitative Comparative Analysis (QCA) pada beberapa studi kasus.
Perangkat lunak yang dbangun oleh Ragin ini berguna untuk: (1) menganalisis hubungan
yang dimungkinkan dan memenuhi syarat pada pola-pola yang dimungkinkan (2)
mengeksplorasi bagaimana berbagai kemungkinan yang berbeda saling berhubungan
dalam menghasilkan sebuah dampak (3) menilai signifikansi dan relevansi statistik pada
setiap hubungan yang dimungkinkan dan memenuhi syarat.
Analisis kelompok (cluster analysis) adalah tepat dilakukan jika peneliti tertarik
untuk menentukan bagaimana perbedaan dan persamaan antara kasus-kasus tanpa
melakukan katekorisasi atau klasifikasi sebelumnya. Assumsinya setiap kasus adalah uni
tetapi akan mudah diklasifikasi berdasarkan kesamaan yang dimilikinya dengan kasus
lain, ini adalah cara mengklasifikasi yang biasanya kita lakukan dalam kehidupan sehari-
hari. Perangkat yang digunakan adalah Statistical Package for the Social Science (SPSS)
dan STATA. Analisis kelompok merupakan varian dari analisis faktorial dalam mana
kasus-kasus (bukan variabel) secara sistematik dan berurutan berpasangan dalam arti
rata-rata pada setiap atribut. Apapun tipe data bisa digunakan dalam analisis kelompok.
Ini merupakan cara yang inovatif dalam mengintegrasikan data kuantitatif dan kualitatif
dalam analisis berbasiskan kasus. Analisis kelompok berguna untuk penelitian
eksploratoris daripada peneliti prediksi sebab akibat.
Bagaimanapun penelitian konteks-sensitfi memiliki beberapa kelemahan yang
memerlukan beberapa upaya. Untuk memperkuat laporan haruslah dilakukan upaya yang
sederhana yaitu mendokumentasikan pertanyaan penelitian, metode yang digunakan dan
mengapa digunakan, rentang waktu (time frame), jumlah kasus atau responden yang
diteliti, bagaimana mereka diseleksi, asumsi yang dibuat tentang kausalitas dan kriteria
evaluatif, serta beberapa hal esensial dalam melakukan penelitian yang baik. Artinya
diperlukan laporan yang menunjukkan transparansi dan sistematisasi dalam pelaksanaan
penelitian. Huff (1999) memberikan kemungkinan untuk mencantumkannya secara
langsung dalam teks laporan atau menempatkannya pada lampiran yang dapat dirujuk
jika dibutuhkan.
D. Analisis Biaya Manfaat
Para pengguna analisis biaya manfaat atau cost benefit analysis berusaha untuk
mencari bukti untuk mendukung salah satu dari alokasi yang paling efisien dari
sumberdaya ekonomi patut mendapatkan analisis yang kritis. Para analis ini
merekomendasikan tindakan berdasarkan analisi metode yang didefinisikan secara kabur.
Namun, bagaimanapun kekaburannya metode ini diturunkan dari kepercayaan yang
meyakinkan mengenai hubungan sosial dan apa yang disebut sebagai warganegara yang
baik. Para analisi, setelah membandingkan antara biaya, manfaat, resiko dan timing dari
tindakan pemerintahan, dapat menginformasikan keputusan. Keputusan ini mungkin juga
menyebabkan dan menyadari adanya distribusi biaya dan manfaat yang tidak seperti
diharapkan di antara individu-individu. Ide dari analisis biaya manfaat menunjukkan
pertukaran (trade offs) antara efisiensi dan equality dalam urusan sosial dan ekonom.
Equity memandu kebijakan agar memberikan sesuatu kebutuhan seseorang berdasarkan
kemampuannya, sementara efisensi merekomendasikan projek publik haruslah setidaknya
satu orang akan diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan (Miller dan Robbins,
2007:465)
Analisis biaya manfaat artinya mengumpulkan dan mengorganisasikan data-data
yang relevan yang akan digunakan oleh pimpinan pemerintahan untuk memutuskan
apakah akan ikut campur jika pasar ternyata gagal, melalui proyek kebijakan, program
atau rezim regulasi (Musgrave 1969:797). Analisis biaya manfaat adalah salah satu
bentuk dari penelitian evaluasi tantang meneruskan atau menghentikan program, strategi
program, teknik, pengembangan atau alokasi sumberdaya di antara berbagai program
yang saling bersaing. Tentu saja kriteria evaluasi ini juga bermacam-macam, termasuk
keefektivan program dalam kerangka tujuan tertentu, efisiensi dalam memaksimalkan
manfaat atau meminimalkan biaya melalui teknologi, ekonomi atau analisis
produktivitas, kelayakan program dalam tingkat di mana program mampu menyelesaikan
masalah, ketepatan atau kelayakan tujuan program dan kemampuan program untuk
menanggapi kebutuhan dan keinginan pengguna atau klien.
Analisis biaya manfaat berbeda dengan dua perangkat analisis kebijakan yang juga
dikenal populer yaitu analisis keefektifan-biaya (cost-effectiveness analysis) dan analisis
resiko (risk analysis). Analisis keefektifan-biaya mengumpulkan dan merancang data
untuk memfasilitasi perbandingan dari biaya dalam pencapaian tujuan program yang
diminta berdasarkan berbagai perlakukan alternatif, intervensi, program dan disain
kebijakan. Sementara analisis resiko, resiko adalah faktor utama dalam abalisis. Jika kita
maknai resiko sebagai kemungkinan dari kerugian, maka estimasi resiko memberikan
tempat utama bagi biaya dalam analisisnya. Perhitungan terhadap keuntungan terletak
kepada keinginan masyarakat untuk membayar dalam upaya mengurangi resiko atau
mendapatkan keuntungan (Wilson dan Crouch 2001,137).
Seorang insinyur dari Perancis bernama Jean Dupuit adalah pioner dalam
menerapkan analisis biaya manfaat dalam praktek. Prinsipnya ia menyatakan bahwa
nilainya didapatkan dari perbedaan antara pengorbanan dari para pembeli (pembayar
pajak) yang dilakukan dalam upaya mendapatkan dengan nilai (pajak) yang mereka bayar
sebagai sebuah pertukaran. Dalam perumusan kebijakan dikenal Regulatory Impact
Analsysis/Asessment yang menuntut agensi pemerintah untuk mempertimbangkan seluruh
biaya dan keuntungan yang signifikan, bahkan sesuatu yang tidak bisa dikuantifisir
sebagai alternatif dalam merumuskan kebijakan.
Jean Dupuit mendapatkan ide dari penerapan analisis ini dalam pembiayaan publik
dan pelayanan publik yang diberikan pemerintah. Para perumus kebijakan publik
memerlukan semacam mekanisme untuk memutuskan apakah dan seberapa besarkan tipe
barang yang diberikan ketika pasar tidak mampu memberikannya. Ia menemukan ada
setidaknya empat macam mekanisme yaitu:
1) Kelayakan ekonomi. Kelayakan ekonomi yang disebut juga sebagai efisiensi
ekonomi tercipta ketika keuntungan dan program publik melebihi biaya dari
pelaksanaan program itu.
2) Kriteria Pareto. Kriteria ini memandu penyeleksian pilihan kebijakan. Kriterianya
memformalisasi definisi dari efisiensi ekonomi dengan cara memastikan dalam
kebijakan itu ada yang diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan sebagai hasil
kebijakan.
Tabel 4.1.: Penerapan Prinsip Pareto dalam Analisis Manfaat Biaya
(Sumber: Miller dan Robbins, 2007)
Dipertimbangkan program B dimana efisiensi terjadi tetapi tidak memenuhi sarat
equity. Dengan menggunakan kriteria Pareto, meskipun mayoritas individual
mendapatkan keuntungan, tapi ada satu orang anggota, C yang posisinya buruk,
biaya individual artinya lebih besar dari keuntungan. Di bawah kriteria ini,
perumus kebijakan tidak boleh mendanai program B. Namun program C layak
mendapatkan pembiayaan karena secara ekonomi feasible dan memenuhi
persyaratan optimalitas Pareto.
3) Kriteria Kaldor. Kriteria ini dicapai dengan menjawab pertanyaan: haruskah kita
menerima atau menolak kebijakan jika mereka yang mendapatkan keuntungan di
masyarakat menerima kompensasi dari merek yang kehilangan?, terutama jika
sang pemenang masih memperoleh keuntungan yang lain. Contoh prinsip ini
adalah dalam penerapan kebijakan pajak progresif, uang yang terkumpul dari
struktur pajak progresif didistribusikan dalam program pendapataan bagi si
miskin (welfare) dalam mewujudkan negara kesejahteraan.
4) Voting
Voting membantu untuk mengetahui preferensi individual tentang program yang
akan dlaksanakan. Hal ini membantu jika kita menhadapai masalah dengan
pendekatan matematis untuk menentukan apakah program dapat dikuatifikasi.
Banyak masalah publik mengalami kesukaran untuk dikuantifikasi karena
tersamar (intangible).
Dalam melakukan analisis biaya manfaat setidaknya harus ada dua opsi program
yang akan dianalisis. Dalam menganalisis, prosedurnya cukup sederhana: tentukan
keuntungan dan biaya, temukan besarnya keuntungan dalam ukuran mata uang yang
sedang berlaku, tentukan biaya dalam ukuran mata uang yang sedang berlaku. Jika
rasionya besar dari 1, maka analisis merekomendasikan karena lebih besar keuntungan
dari biaya. Nilai saat ini menuntut adanya pengetahuan yang memadai tentang
kecenderungan sosial tentang nilai waktu dari uang-discount- dan pengaruh dari inflasi.
Metode seleksi proyek melalui analisis biaya manfaat datang dari konsep investasi.
Teori investasi memperkuat perbandingan kebijakan atau proyek antara arus keuntungan
dan arus biaya pada nilai saat penghitungan dengan mendiscount nilai masa depan ke
dalam nilai saat ini. Perbandingan ini dibuat berdasarkan dua kalkulasi yaitu net present
value (NPV) dan internal rate of return (IRR). NPV artinya mengukur manfaat dan biaya
masa depan dengan mengurangi nilai biaya saat ini dari nilai manfaat saat ini (benefit
dikurangi cost). IRR merekomendasikan proyek yang memiliki selisih manfaat saat ini
melebih biaya saat ini dengan persentase tertentu. IRR lebih tepat untuk level makro
yaitu dengan perbedaan nilai dan skop yang besar.
Tabel 4.2.: Contoh perhitungan manfaat biaya dengan menggunakan discount rate (7%)
(Sumber: Miller dan Robbins,2007)
Dengan perhitungan ini, maka direkomendasikan untuk mendanai proyek E
dibandingkan proyek D karena memiliki nilai rasio lebih besar yaitu 1,01 dibandingkan
dengan 0,77. Bahkan dalam totalnya biaya proyek D lebih besar dari manfaat. Sementara
biaya proyek E lebih kecil dari manfaat yang didapatkan.
Analisis biaya manfaat terletak pada posisi perhitungan ekonomikal terhadap
tindakan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui pengambilan keputusan ekonomi
cenderung bersifat deduktif. Karena itu para ekonomi memiliki presisi matematikal dan
bukti yang detil. Ilmu ekonomi juga memberikan nuansa dunia praktis. Prinsip-prinsip
ekonomi yang fundamental ini diterapkan di sektor publik berkaitan dengan pegawai-
pegawai birokrasi yang mana mereka sebagaimana agen-agen lain dalam masyarakat
bertindak atas kepentingan sendiri, setidaknya untuk kurun waktu tertentu (Downs
1957:2). Sementara aktor politik bertindak untuk mencari keuntungan tidak hanya untuk
dirinya tetapi juga konstituen untuk memaksimalkan keuntungan dan mengurangi
kerugian. Analisis manfaat biaya memiliki keterbatasan dalam pengambilan keputusan
oleh pemerintah. Analisis ini sering digunakan untuk membenarkan ex post facto atau
posisi yang sudah diambil.
Analisis biaya manfaat sering melupakan aspek distribusi konsekuensi dari pilihan
yang diambil. Ia tidak memperhitungkan distribusi kesejahteraan. Meskipun Kaldor
menyatakan bahwa pemenang akan mengkompensasikan yang kalah, tetapi dalam
praktek tidak ada jaminan bahwa itu akan dilakukan. Di samping kesulitan untuk
mengkuantifikasi segalanya untuk masuk kedalam model penghitungan, analisis manfaat
biaya di Amerika Serikat disalahkan sebagai penyebab hancurnya sistem politik pasca
presiden Lyndon B Johnson yang mensponsori analisis ini, sebagaimana kemudian
diteruskan oleh Ronald Reagan melalui program Regulatory Impact Analysis-nya.
Banyak yang menganggap bahwa mestinya poltiik superior terhadap analisis karena ia
memiliki ide yang memiliki skop yang luas dan konsep tentang masyarakat yang
mempraktekkan tindakan politik. Penentang analisis ini menyatakan bahwa beberapa
konsep seperti kesejahteraan umum, kebebasan dan keadilan tidak semudah efisiensi
ekonomi untuk dianalisis secara matematis. Dengan demikian analisis ini membantu
pengambil keputusan sebagai teknik untuk mengidentifikasi efisiensi kebijakan dari sisi
ekonomi, salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan politik.
E. Analisis Penilaian Dampak Lingkungan
Sebagaimana diketahui tema lingkungan merupakan tema kontemporer yang
mempengaruhi banyak bentuk kebijakan publik, seperti perencanaan pembangunan,
penerbitan izin, pendirian proyek, bahkan penyusunan anggaran. Metode Kajian Dampak
Lingkungan (Environmental Impact Assessment/EIA) dengan demikian juga merupakan
perangkat baru untuk pengambilan keputusan yang melibatkan serangkaian prosedur
standar untuk mengevaluasi dampak masadepan yang trukur terhadap lingkungan alami,
dan mungkin juga sampai kepada kesehatan manusia. EIA tidak membebaskan kebijakan
publik dan pembuat hukum dari tugas untuk memperkirakan atau menentukan pada titik
mana kemungkinan dampak harus dihitung untuk menjustifikasi proyek tertentu. EIA
harus ditempatkan pada pusat keputusan kebijakan publik yang menentukan, termasuk
trade off yang rumit antara kepentingan alami, masyarakat dan ekonomi, misalnya
pembangunan jalan tol yang mengorbankan cagar alam dan rusaknya habitat dari spesies
yang langka, apakah dampak kumulatif terhadap lalulints dan polusi deari didirikannya
pusat perbelanjaan yang baru? Apakah yang harus dipertimbangkan sebelum airport baru
dapat diterima dalam konteks lingkungan pemukiman? Karena itu, EIA sering
memberikan posisi titik awal ketimbang jawaban akhir atau solusi dari debat kebijakan
publik yang kontrovesial. (Garb, Manon dan Peters 2007:485)
Latar belakang
EIA diterapkan menjadi sebentuk kewajiban di Amerika Serikat pada 1 Januari 1970
dengan ditetapkannya Undang-undang Perlindungan Lingkungan Hidup (National
Environmental Protection Act/NEPA). Peristiwa ini menjadi semacam peletakan batu
pertama dalam sejarah legislasi gerakan lingkungan yang kita rasakan hari ini di seluruh
dunia pada semua tingkatan pemerintahan. Penetapan EIA mendapatkan dasarnya dari
sejarah pengembangan kajian pengambilan keputusan. Karena itu, sebetulnya bukanlah
hal yang baru tentang ide mengintegrasikan berbagai informasi ke dalam perencanaan
dan disain, kemudian menjadikan ini sebagai dasar untuk melakukan perkiraan
(predictions) yang dimulai dari abad ke XVI.
Pada tahun 1546 the Royal Commision of England menerbitkan laporan tentang
investigasi dampak dari pengolahan dan peleburan besi di Inggris Selatan yang
memasukkan berbagi elemen dari EIA (Barrow 1997:10). Pada tahun 1930an, the Design
and Industry Association di Inggris menerbitkan Cautionary Guides yang mencantumkan
panduan tentang praktek lingkungan yang baik dan buruk dalam perencanaan urban
sebagai upaya untuk mempengaruhi arah perencanaan dan pengambilan keputusan pada
saat itu. Regulasi ini memasukkan pentingnya sensitifitas terhadap dampak lingkungan
(Caldwell 1988:75).
Perkembangan yang lebih pesat terjadi paa abad ke-XX yang dibawa oleh bangkitnya
kepedulian publik pada dampak lingkungan dan kesehatan manusia. Pada level
perancangan legislasi, hal ini membawa kepada banyaknya peraturan dan hukum yang
mengatur tentang kesehatan manusia, perlindungan konsumen dan keselamatan kerja.
Selanjutnya, Caldwell (1988:82) menyatakan perkembangan ini masih gagal untuk
merumuskan hubungan yang sistematis antara dampak dari pembangunan dan kualitas
lingkungan hidup. Barulah tumbuhnya gerakan lingkungan pada tahun 1960an, yang
ditandai dengan kontroversi yang berkembang dalam penggunaan pestisida dan bahan-
bahan kimia yang mengakibatkan tekanan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan
untuk melindungi lingkungan. Inilah yang kemudian berpuncak kepada terbitnya NEPA
1970 pada saat rezim presiden Richard Nixon.
Prosedur
Meskipun dikenal berbagai bentuk legislasi dan praktek EIA di seluruh dunia, namun
struktur dasarnya pada prinsipnya sama. EIA dilaksanakan melalui enam tahapan:
screening, scoping, impact assessment, review, implementation, and monitoring/auditing
sebagaimana pada gambar di bawah ini.
Tabel 4.3.: Proses dasar Environmental Impact Assessment/EIA
(Sumber: Garb, Manon dan Peters 2007)
Proses diawali dengan pemeriksaan (screening) yang menentukan apakah proyek
dimaksud memerlukan EIA atau tidak. Maksud dari tahapan ini adalah untuk memastikan
bahwa penelaahan yang tidak perlu tidak dilakukan, sementara pembangunan yang
memerlukan penelaahan tidak gagal dilakukan. Setelah itu, dilakukan penetapan ruang
lingkup (scoping), untuk menetapkan parameter dan mengidentifikasi isu-isu kunci.
Scoping memberikan kesempatan awal untuk menetapkan fokus kajian dan
meingidentifikasi tujuan utama dan tingkatan detil seperti batas-batas geografis dan skala
temporal yang dipertimbangkan. Scoping dilaksanakan mirip dengan sesi tukar pikiran di
antara para experts dan pihak-pihak yang berkaitan dengan usulan (Barrow 1997).
Setelah selesai dengan tahap permulaan ini, maka analisis dampak yang formal
dilakukan dan Environmental Impact Statement (EIS) disiapkan. Tujuan dari tahapan ini
adalah untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengevaluasi semua dampak yang
potensial terjadi dan mengusulkan mitigasi dan pengukuran-pengukuran pencegahan.
Banyak sekali macam perangkat teknis dan analitis untuk mengukur dampak:
pengumpulan data bisa saja kualitatif dan kuantitatif dan harus, idealnya,
menggabungkan dampak baik lingkungan bio-fisik sebagaimana juga wilayah sosio-
ekonomi dan budaya. Metode pengkajian bisa dilaksanakan secara sederhana maupun
rumit termasuk check list, matrix, GIS mapping dan model matematis. Metode tradisional
seperti analisis biaya manfaat juga dapat diintegrasikan kedalam EIS untuk menentukan
signifikansi dari dampak yang diprediksi. Hal ini sangat penting untuk menentukan
apakah tidak akan dilaksanakan, dipertimbangkan atau dilanjutkan.
Setelah selesai melakukan penelaahan dan evaluasi, rekomendasi harus diberikan
tentang bagaimana melanjutkan dan bagaimana meminimalisasi dan memitigasi dampak
negatif yang mungkin dihasilkan, baik melalui modifikasi dari disai awal atau melalui
manajemen yang disisipkan. Rekomendasi dimasukkan ke dalam dokumen EIS sebagai
tambahan daftar dampak yang tidak bisa dihindarkan atau tidak bisa dimitigasi. Ketika
EIS sudah dipublikasikan, direview dan keputusan diambil apakah sesuai dengan usulan,
ditolak atau diterima dengan perbaikan. Proses review berbeda dengan proses legislasi, ia
dapat dilakukan oleh panel yang melibatkan juga anggota masyarakat, yang dilakukan
oleh aparatur pemerintahan atau olah lembaga hukum.
Tahapan terakhir dari EIA adalah auditing dan monitoring, yang dilakukan setelah
proyek selesai dilaksanakan dan sangat krusial untuk memastikan integritas dari proyek.
Post-asessment audit berusaha untuk mencari jawaban seberapa dekat dampak yang
diperkirakan terjadi dalam kenyataannya. Auditor mungkin juga mereview keefektifan
dan mitigasi yang direkomendasikan dan strategi implementasinya. Auditor harus
mengevaluasi proses EIA terutama dalam hal kelancarannya, cost-effectiveness dan
akurasi hasilnya. Monitoring berbeda dengan auditing karena ia dilakukan pada saat
proses sedang berlangsung dan menekankan kepada pengumpulan data teknis dalam hal
dampak pembangunan dan dapat dilakukan sepanjang proses, sebelum atau setelah
selesai. Monitoring menyumbang kepada proses kajian dan auditing. Namun dalam
pelaksanaannya banyak negara, terutama di negara berkembang, mengalami kekurangan
sumber daya, kemampuan teknis dan kemauan politik untuk mengimplementasikan
prosedur monitoring dan auditing yang baik.
Pengembangan dan Tantangan
Selama 35 tahun setelah dirumuskannya EIA modern ditandai dengan penyebaran
yang cepat dari legislasi EIA di lebih dari 100 negara di dunia (Glasson et al 2005).
Meskipun pada prinsipnya mengikuti siklus EIA namun sering melakukan modifikasi di
sana sini. Juga di dalam aspek legislasi, ada yang mewajibkan melalui pencantuman
dalam undang-undang, ada juga yang hanya mempersyaratkannya secara sporadis melalui
persyaratan yang diajukan oleh donor atau perusahaan. Di Amerika Serikat, pasal-pasal
NEPA di level federal diikuti dengan berbagai tindakan di level negara bagian, California
mengeluarkan Environmental Quality Act and Vermont‟s Act tahun 1970 disusul oleh 16
buah negara bagian lain. Meskipun banyak kritik dan modifikasi terhadap prosedur EIA,
model EIA Amerika Serikat ini banyak direplikasi di mana-mana. Pengadilan juga
memainkan peranan penting melalui klarifikasi terhadap prosedur dan mendukung
pengembangan dan evolusi dari EIA.
Beberapa peneliti dan pakar teoritis melihat adanya kaitan langsung antara level
keterbukaan dalam sistem politik sebuah negara dengan tingkatan adopsi dari prosedur
EIA. Hal ini berada jauh dibalik tingkatan prosedur dari review kebijakan secara
substantif. Beberapa faktor politik kunci yang dipertimbangkan termasuk tingkat
akuntabilitas dalam pemerintahan, keterbukaan dalam proses demokrasi, pengaruh
kelompok kepentingan, dan prosedur penyelesaian sengketa. Dalam konteks di mana
iklim politik yang memberikan publik akses terhadap informasi, peluang untuk terlibat
dalam proses pengambilan keputusan dan kemampuan masyarakat untuk melakukan
banding dan kritik terhadap hasil kajian pengaruh EIA terlihat lebih besar dibandingkan
di negara-negara yang tidak memiliki karakteristik demokrasi demikian (O‟Riordan and
Sewell 1981).
Ada kelompok yang menganggap EIA merupakan lebih sebagai perangkat untuk
pengambilan keputusan lingkungan dibandingkan sebuah pembelajaran sosial. Sudut
pandang ini lebih tertarik kepada EIA sebagai sebuah proses ketimbang hasilnya. Barrow
(1997) melihat keberhasilan EIA ditentukan oleh beberapa faktor yaitu timing,
assesssment technique, independence, public disclosure, public participation dan follow
up. Di samping sebagai sebuah kajian saintifik, EIA juga merupakan sebuah perangkat
evaluasi yang juga ditentukan oleh penilaian dan telaah nilai. Ia juga tidak terlepas dari
pengaruh politik dan pengaruh kemasyarakatan yang lain.
F. Penilaian Teknologis
Inovasi teknologi merupakan isu kunci dalam politik dan ekonomi. Berbagai inovasi
dalam teknologi juga memberikan legitimasi dalam diskursus politik, misalnya dalam
peningkatan kapasitas inovasi dalam berpacu untuk meningkatkan daya saing
internasional. Pilihan teknologi merupakan sebuah keputusan yang strategis. Jika sektor
privat dan pasar memainkan peranan yang penting di sini, dimana dimensi politik juga
vital, mulai dari pilihan-pilihan pendidikan sampai pada berbagai pilihan di antara
berbagai insentif fiskal. Pengambil keputusan politik memerlukan pandangan dari para
expert, dimana para pengambil keputusan tidak mampu untuk memahami dan
mengantisipasi segala aspek dari banyak pertanyaan yang muncul. Di sinilah munculnya
Penilaian teknologis (Technological assessment/TA) (Reber, 2007:493)
Teknologi pada dasarnya memiliki dua muka, laksana Janus dalam legenda Yunani
kuno. Inovasi teknologi memiliki resiko di samping juga keuntungan yang
ditawarkannya, dengan demikian kebijakan resiko (risk policy) juga harus merupakan
bagian dari kebijakan inovasi. Kadang-kadang inovasi tidak disambut baik dan menjadi
kotroversi pada masyarakat luas, dan bahkan juga dikalangan para ilmuwan. Dapat
dicontohkan di sini beberapa aspek seperti isu modifikasi genetika terhadap makanan,
ilmu otak (brain sciences), apa yang diinginkan oleh para ilmuwan bisa berbeda dengan
keinginan para politisi dan pemangku kepentingan.
Penelitian TA, berkembang di Eropa dan Amerika Serikat sejak lebih dari 30 tahun
yang lalu dengan tujuan formulasi kebijakan menjadi lebih terjustifikasi karena
memberikan informasi yang lebih jelas dan pilihan-pilihan yang lebih kaya. Kebutuhan
akan masukan ilmiah bukan saja karena pertanyaan-pertanyaan teknologis tetapi lebih
juga pada aspek sosio-teknologis dari inovasi itu sendiri. Hubungan antara sains,
teknologi dan masyarakat menjadi lebih erat, lebih kompleks dan sulit diprediksi. TA
memandu respons kebijakan terhadap persoalan publik. TA memiliki berbagai bentuk
teknis mulai dari pandangan saintifik biasa sampai kepada Participatory Technological
Assessment (PTA), yang menyesuaikan antara fakta dan nilai dalam konteks
ketidakpastian. Inivasi sosio-politik ini mengantisipasi peristiwa yang jarang terjadi untuk
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti hubungan timbal balik antara
fakta dan nilai, isu pluralisme dalam filsafat moraliyas sebagaimana juga pertanyaan
tentang peranan yang tepat dari precautionary prinsiple (PP) dalam analisis resiko.
Sejarah Kelembagaan
Kongres Amerika Serikat membentuk Office of Technological Assessment (OTA)
pada tahun 1972. Lembaga ini bertujuan untuk memberikan “indikasi awal dari
kemungkinan keuntungan dan dampak balikan dari penerapan teknologi dn untuk
membangun informasi terkait lainnya dalam rangka membantu pelaksanaan tugas
Kongres” (OTA, 1995). Secara politis, OTA dikendalikan oleh Technological Assessment
Board (TAB), yang terdiri dari 6 anggota parlemen dan 6 orang senator, yang secara
sama banyak terbagi dari partai Demokrat dan partai Republik, diketua secara bergiliran.
Dari sisi ekspert dibentuk Technology Assessment Advisory Council (TAAC), yang terdiri
dari 6 anggota masyarakat yang diangkat oleh TAB. Staff TTAC melakukan kajian dan
telaah melalui berbagai metode, membagikan draft awal kepada anggota advisory apnel
dan, seringkali juga ke kalangan di luar lembaga. Draft final kemudian menjadi bahan
review eksternal dan internal sebelum diserahkan kepada direktur TAB untuk mendapat
persetujuan dan dirilis.
TAB menetapkan standar yang tinggi dalam hal prosedur dan objektivitas
laporannya. Kesaksian anggota kongres dan diskusi di antara para aparatur administrasi,
stakeholders, kelompok masyarakat dan media massa, dilakukan dan akhirnya
dipublikasikan dalam laporan. OTA pelan-pelan tumbuh dalam hal status dan pengakuan.
Tahun 1980, anggaran yang dialokasikan mencapai USD 22 juta. Jumlah staf yang
dipekerjakan mencapai 200 orang ekspert, belum lagi para kontraktor yang bekerja paruh
waktu sesuai dengan isu yang dikaji. Sebagian besar adalah para analis dengan ijazah
yang tingi bekerja dalam sebuah struktur organisasi yang relatif sejajar (flat). Sayang
sekali, tahun 1995, menurut sebagian sumber disebabkan pertentangan antara presiden
Bill Clinton dengan kubu konservatif di Kongres yang diketuai Newt Gingrich, dilakukan
penghapusan terhadap beberapa agensi federal, salah satu yang paling mudah dilakukan
adalah dengan membubarkan OTA.
Pendekatan
Contoh yang diberikan oleh OTA memberi inspirasi kepada banyak negara, terutama
di Eropa, melalui pengembangan yang mereka lakukan meskipun berdasarkan berbai
lembaga regulasi yang dimiliki. Sebagaimana terungkap, pertanyaan dan konflik yang
terjadi mengenai peranan, metode dan dampak dari penerapan TA juga muncul.
Meskipun OTA melibatkan secara luas pernan stakeholders sebagai anggota panel dan
reviewer dari draft kebijakan, tetapi kenyataannya tidak banyak dilakukan upaya untuk
mengikutkan warganegara dalam proses assessmen (Bereano 1997,163). Namun
demikian konsep TA yang dikembangkan di Amerika kemudia mulai berkembang ke
arah baru, termasuk menguatnya partisipasi. Pertama, arah kajian TA tidak selalu ke
pembentukan undang-undang tetapi mulai mengarah ke birokrsi dan berbagai tingkatan
pemerintahan. TA di Eropa berupaya untuk mengintegrasikan tantangan dan nilai-nilai
yang dianut oleh semua pihak dalam kajian. Para praktisi TA mengadopsi perkembangan
TA menuju metode partisipasi (Durrenberger et al 1999) di tambah lagi dengan focus
groups, citizen panels (Joss and Durrant 1995) dan scenario workshops (Andersen dan
Jaeger 1999).
Dengan berbagai pendekatan yang begitu luas, PTA membuka ruang bagi berbagai
pandangan yang berbeda di kalangan para agen, menggunakan berbagai metode
komunikasi seperti narasi, interpretasi, argumentasi, dan rekonstruksi, untuk
menyebutkan beberapa di antaranya. Metodologi terbaru yang digunakan dapat
diilustrasikan dalam prosedur yang terdiri dari: citizen juries, concencus conferences,
deliberative conferences, Delphi and Charette methods, expert panels, focus groups,
planning temas, scenario workshops, perspective workshops, consumer workshops
focused on “visions of the future” global cafe‟s, direct initiatives and refernsum, public
surveys, public auditions, opinion polls (with or without deliberation), multiple choice
questionnaires, discussion and negotiation between interest goups, citizen‟s councils and
committes, voting conferences, itnteractive technological evaluation (TE), constructivist
TE of consumers, interdisciplinary working groups and political role playing (Reber
2007:45).
Dengan berbagai metode yang dapat dikembangkan dalam daftar yang panjang, pada
prinsipnya evolusi TA menrefleksikan pilihan-pilihan yang eksplisit, yang keistimewaan
dan tanggungjawab terletak kepada beberapa tahap evaluasi publik, yang secara ringkas
terdiri dari:
1. Pemilihan isu yang akan didiskusikan;
2. Partisipasi skala besar;
- Opinion poll
- Pre-forum
- Website
- Regional forum
- National conference
3. Group inquries: konferensi untuk mendapatkan konsensus
4. Evaluasi reflektif: inventory, control dan participative evaluation
5. Secondary evaluation
Dengan demikian isu dalam PTA memasuki ruang partisipasi sebagai salah satu
komponen dalam demokrasi yang substansial. Dengan demikian juga harus dijaga nilai-
nilai penting seperti: procedural justice, komunikasi, transparansi, aksesibilitas informasi,
netralitas, keterbukaan, kualitas argumen dan lain-lain.
Tujuan and Dampak
Makna TA pada prinsipnya adalah: “a scientific, interactive and communicative
process which aims to contribute to the formation of public and political opinion on
societal aspects of science and technology”. Dengan menggunakan definisi demikian,
Butschi dan Nentwich 2002 menyatakan bahwa tujuan dan dampak dari TA adalah:
1. Memberikan pandangan yang komprehensif terhadap konsekuensi;
Artinya memberikan kemungkinan konsekeuensi yang berhubungan dengen
teknologi yang spesifik, tumbuhnya kebutuhan terhadap aplikasi metode ilmiah
untuk mengantisipasi dampak jangka panjang dengan demikian tumbuh pula
peningkatan kewaspadaan terhadap cara dimana kemajuan ilmiah hampir selalu
melibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan pada masyarakat, ekonomi dan
lingkungan; dan
2. Memberikan pilihan –pilihan yang sudah dinilai dan direkonstruksikan.
Artinya mencoba untuk mengobjektifkan pilihan-pilihan teknis dan untuk
mengkaji kemungkinan jalur-jalur teknologis sebagai upaya untuk
memproyeksikan kajian dan penulisan skenario, dalam upaya untuk memfasilitasi
pengambilan keputusan yang rasional dalam kebijakan-kebijakan inovasi.
TA juga melakukan evaluasi terhadap konsekuensi dari hukum dan kebijakan yang
dihasilkan, artinya tidak hanya memberikan perhatian kepada dampak sosial dan saintifik
sesuai dengan prinsip precautionary. Kontroversi teknologi seringkali menggarisbawahi
fakta bahwa berbagai aktor, kelompok sosial, komunitas yang terdampak, dan peneliti
jatuh kepada penilaian yang berbeda tergantung kepada kepentingan, pilihan dan nilai-
nilai yang mereka anut masing-masing (Kuhn 1977). Analisis terhadap elemen ini
memberikan kewaspadaan kepada konteks sosial dari perumusan kebijakan dan
memungkinkan untuk mendapatkan resolusi konflik dengan cara yang baik.
G. Mediasi dan Resolusi Konflik
Konflik dalam Kebijakan
Mediasi juga memiliki peran penting dalam analisis kebijakan. Apalagi
terlaksananya mediasi tidak hanya menyumbang kepada proses perumusan kebijakan
tetapi juga memiliki implikasi lebih lanjut pada praktek yang lebih luas dari analisis
kebijakan juga. Peranan mediasi harus dibaca sebagai bagian dari dimensi komunikasi
dari debat kolektif dan memutuskan mana yang merupakan kepedulian secara kolektif di
masyarakat. Respons mediasi melalui cara praktikal dan institusional menggunakan sudut
pandang pluralis dalam analisis kebijakan kontemporer, hal ini tentu saja bertentangan
dengan prinsip mendasarkan pilihan berdasarkan pada sudut pandang istimewa yang
tunggal atau tindakan memonopoli pandangan yang sistematis. Banyak cara dalam
membentuk analisis kebijakan kontemporer-mulai dari kebijakan berdasarkan
kelembagaan yang membutuhkan pengetahuan negosiasi sampai kepada kebutuhan akan
memperkuat legitimasi demokrasi dalam perancangan kebijakan-semuanya mengandung
upaya untuk memahami melalui praktik deliberasi oleh para konstituen (Laws and Hajer
2006).
Biasanya kita mengenal berbagai bentuk kegagalan dari bentuk konvensional
kebijakan publik adalah karena ia meninggalkan para pemain pada berbagai setting
kebijakan karena memiliki kelemahan dalam menegosiasikan kebijakan. Kegagalan juga
ditemukan tanpa kemanfaatan dari pembelajaran prosesual dan substantif yang
memungkinkan negosiasi termediasi terlaksanan. Pendeknya, kita bisa saja dengan sangat
mudah melakukan tindakan bodoh atau misinformasi ketika kita bertindak unilateral dan
tidak mampu mendengan-bisa saja karena sifat defensif, sinisme, arogansi dan over
confidence-padahal dalam analisis kebijakan dan perencanaan kita dapat belajar secara
praktis dan produktif dari setting dimana para pihak bertemu satu sama lain dalam upaya
membuat mereka belajar secara interaktif, merancang pilihan-pilihan baru dan
mentransformasikan atau membangun hubungan.
Melalui mediasi kita berpikir tentang suatu cara atau praktek yang mempertemukan
bersama berbagai macam perwakilan stakeholders untuk saling mendengarkan
kepedulian satu sama lain, untuk belajar tentang ketidakpastian lingkungan, dan untuk
menegosiasikan kesepakatan atau konsensus tentang cara bertindak yang akan mereka
laksanakan (Susskind et al. 1999). Beberapa kata kunci yang digunakan oleh para praktisi
dan pembelajar dalam mediasi adalah “konsensus”, “stakeholder”, dan “netralitas”.
Dalam pembangunan konsensus, peranan “mediator” aalah untuk terlibat, mendukung,
dan membentuk partisipasi dari berbagai partisipan yang berbeda yang mewakili
stakeholders. Sehingga kita dapat menggambarkan bahwa mediasi terdiri dari proses
yang memiliki sederetan tahapan, dari kajian tentang konflik, melalui pelaksanaan dan
membangun proses deliberasi, pencarian fakta ddan pembelajaran, sampai kepada
menegosiasikan argumen yang berkomitmen kepada tindakan di masa depan yang akan
mereka lakukan (Laws dan Forester 2007: 513)
Prosedur
Keberhasilan mediasi terletak kepada peranannya sebagai mekanisme untuk
memastikan tahapan-tahapan yang ada dengan baik serta kelancaran transisi di antara
tahapan tersebut. Setiap tahapan memiliki tantangan dan tuntutannya, setiap tahapan
membutuhkan kompetensi mediator dalam menangani kontroversi di balik kebijakan
yang kompleks. Jika dirumuskan secara sederhana, maka mediasi dalam kebijakan publik
terdiri dari empat tahapan (1) upaya untuk mengidentifikasi konflik dan kontroversi
uantuk menentukan pembicaraan dalam mediasi di antara para pihak sehingga dapat
menjanjikan proses negosiasi dalam kesepakatan tentang isu kebijakan yang
diperdebatkan. (2) merancang forum pembicaraan di antara aktor-aktor yang mewakili
masing-masing kepentingan sebagai kelompok yang akan membangun perasaan identitas
merka dan kemampuan mereka untuk bertindak. (3) upaya parapihak untuk belajar dalam
berurusan dengan fakta-fakta yang disengketakan, (4) merumuskan upaya untuk
merancang solusi di bawah perbedaan opini dan kepentingan yang terjadi.
1) Penilaian (assessment)
Penilaian terhadap konflik dilakukan untuk membantu para peserta memiliki
kemampuan sebagai seorang asesor sekaligus berpartisipasi sebagai
pengarang/pencipta proses dan outcome. Peranan mediator di sini untuk
menjelaskan mengapa penilaian dilakukan, siapa yang mensponsorinya, kenapa
penting bagi stakeholders pandangan untuk didengarkan? Mediator melakukan
dengan mengajukan berbagai pertanyaan bersifat open-ended yang membuka
kesempatan kepada peserta untuk berbagi pandangannya tentang realitas tanpa
dicampuri oleh analisis dan sudut pandang orang asing. Tekanan yang terjadi di
antara tahapan ini akan merupakan output dari proses penilaian, berupa laporan
yang menyimpulkan sudut pandang parapihak dan merekomendasikan apakah
proses akan dilanjutkan atau tidak, dan sebisasnya memberikan rancangan tentang
bagaimana membawa parapihak duduk bersama.
2) Pertemuan (convening)
Jika penilaian konflik sampai kepada kesimpulan bahwa proses dapat dilanjutkan,
maka keputusan itu menjadi alat bagi parapihak untuk, mungkin belum pernah
sebelumnya, bertemu, atau mungkin juga hanya bertemu dengan ada dinding yang
membatasi, untuk mendiskusikan secara tatap muka langsung tentang isu yang
menjadi penyebab konflik mereka. Makan tujuan dari proses pertemuan adalah
menekankan kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda
dengan identitas masing-masing berberan dalam proses kebijakan; dengan
sendirinya fokus adalah kepada perdebatan isu dan menegosiasikan argumen
untuk tindakan atau kebijakan. Pihak yang mempertemukan (the convening
authority) harus dapat mempertimbangkan komitmen masing-masing pihak untuk
mendukung proses dan harus memastikan bagaimana mereka akan bertindak
seandainya outcome itu dicapai. Parapihak juga harus menyadari tugas mereka
satu sama lain serta kepada pihak yang mempertemukan. Apakah mereka komit
kepada tanggung jawab prosedural? Apakah setuju untuk memegang prinsip
partisipasi? Dan jika tercapai konsensus untuk mendukung kesepakatan baik di
dalam kelompok, di kalangan stakeholder maupun publi? Dan jika sudah
berbentuk persetujuan, untuk menghargai dan menghindari komentar negatif
terhadap klausula perjanjian (Susskind et al. 1999). Mediator mengklarifikasi
peranan masing-masing dan memulai melakukan tindakan.
3) Perdebatan (deliberation)
Deliberasi merupakan tulang punggung dari proses demokrasi. Dalam kaitan
dengan proses mediasi ini berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan dan potensi mediasi dalam domain spesifik dari parapihak sekaligus
untuk mengurusi “contradictory certainties” (Swartz and Thompson 1990).
Inilah proses utama dari negosiasi mediasi, jika pada debat kebijakan pertemuan
yang terjadi lebih bersifat adversarial (promosi), dimana argumen-argumen yang
muncul lebih bersifat strategis baik dilakukan di media tangki pemikir (think
tanks), penelitian yang didanai, kajian-kajian advkasi, dan surat kabar, sementara
pada negosiasi medias debat berfokus argumen dan negosiasi action-oriented
akan berubah menjadi pembangunan pengetahuan melalui pencarian fakta
daripada kajian-kajian teoitik untuk mendukung klaim yang diberikan. Penilaian
mediator akan membantu utnuk memberikan informasi dan memperluas analisis
kebijakan yang secara tajam akan memagari pengetahuan dari tindakan. Mediator
tahu bahwa semua pihak akan datang dengan membawa justifikasi dan alasan dan
akan merubah fokus dari kepercayaan terhadap rekonsiliasi untuk menciptakan
dasar baru untuk tindakan yang akan dilakukan. Mediator tahu bahwa banyak
sengketa kebijakan publik menolak resolusi melalui identifikasi fakta-fakta nyata
atau mendapatkannya secara sistematik. Setiap pihak akan memiliki fakta nyata,
memiliki pakar dan organisasi advokasi masing-masing. Hasilnya, mediator tahu
bahwa bekerja dengan konteks ini tidak akan membuat debat menjadi redan dan
mendapatkan kebenaran. Sehingga negosiasi mediasi membutuhkan upaya di
balik sekadar menjadi “moderator” dan menuntut peranan baru dimana analis
kebijakan akan belajar.
4) Pembelajaran dan pencarian fakta (learning and fact-finding)
Diepeveen (dalam Forester 2005) menyatakan bahwa tidak puas hanya dalam
analisis kebijakan tradisional yang melibatkan pakar dan data-data akademik,
mediator dan negosiator dan perwakilan dari stakeholder harus mengantisipasi
dan mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan berbagai pertanyaan
berdasarkan pada kecurigaan dan ketidakpercayaan dari pihak lain. Tidak ada
pihak yang bisa diminta untuk menandatangani persetujuan atau untuk percaya
kepada pilihan tindakan karena salah satu pihak memintanya. Di sini kita melihat
prosedur politis yang nyata dan membutuhkan kapasits para pihak untuk
membangun kepercayaan. Seluruh proses mediasi didasari oleh keinginan yang
mebutakan kepercayaan kepada pihak lain. Sementara pembicaraan bersifat
adversarial dan quasi-deliberative dibangun berdasarkan keinginan, keyakinan,
bahwa parapihak bagaimanapun caranya membangun kepercayaan bersama dalam
upaya mendapatkan informasi yang krusial dan masuk akal. Namun
ditemukankah ini dalam kenyataan?
Cara pandang parapihak tidak dipisahkan oleh hanya pada pertanyaan mana yang
benar dan nyata, tetapi pertanyaan tentang apa yang mereka mungkin bisa lakukan,
termasuk bagaimana mereka akan belajar bersama. Di sini peranan mediator menjadi
penting, tidak hanya memoderatori debat-dengan cara menjaga etika giliran dan berbagai
prosedur-tetapi juga mengeksplorasi dan memperjelas tema “what can we now do?”
Mediator merumuskan joint-action.
Praktek mediasi pada tahapan paling akhir diarahkan untuk membantu parapihak
untuk merancang solusi integratif yang mampu merespons kepada persepsi
kesalingtergantungan yang dalam dan terus menerus di antara mereka. Dengan demikian,
pola hubungan yang terjadi di antara stakeholders bergerak dari “mutually destructive”
menjadi “mutually cooperative” bahkan menjadi “mutually enhancing relationship”
(Kelman 1996, 101). Prosesnya dimulai dari para pihak mengartikulasikan keinginan
yang mendasari posisi mereka, memberdayakan parapihak untuk mencari solusi yang
mungkin tidak berangkat dari posisi tawar menawar yang mereka miliki. (Kelman
1996,111). Susskind menyampaikan berdasarkan pengalaman yang dialami oleh para
mediator, bagaimana mereka mampu mewujudkan prospek dari pencapaian bersama
(mutual gains) menjadi dapat dinikmati oleh semua stakeholders.
Mediator tidak hanya memberikan pelajaran kepada para analis kebijakan publik
tentang bahaya di balik agenda sempit dari para pihak-pihak yang berkuasa atau bahaya
di balaik orientasi penyelesaian masalah yang terlallu sempit, tetapi juga menekankan
kepada pembentukan kebijakan berdasarkan deliberasi itu sendiri. Deliberasi memiliki
sifat partisipatori dan praktis serta berorientasi hasil, serta mentransformasi perbedaan
kepentingan menjadi kerjasama. Ketika kepentingan tidak mampu diartikulasikan dalam
ruang publik, mediasi melalui saling ketergantungan di antara stakeholders dan
kerjasama, mampu menghasilkan pilihan solusi bagi para pengambil keputusan dalam
merumuskan kebijakan publik.
H. Etik dalam Analisis Kebijakan Publik
Kebijakan publik pada dasarnya berfungsi untuk mendistibusikan sumberdaya dan
nilai, dan membentuk kehidupan sosial dan politik dalam seluruh prosesnya. Pejabat
publik, baik yang diangkat maupun yang dipilih pada akhirnya membuat keputusan-
keputusan normatif, atau menurut teori klasik David Easton “politics is the authoritative
allocation of values”. Calon yang mengetahui bahwa kemenangannya tergantung kepada
perjanjian dengan pemimpin lokal yang korup, analis yang mengevaluasi program yang
merasakan tekanan pada memperbesar keuntungan dan memperkecil biaya, administrator
kesehatan publik yang membangun program nasional untuk mendistribusikan
transplantasi organ tubuh, administrator universitas negeri yang memainkan rencana
program afirmasi, dan bawahan yang membudak dan hanya menyaksikan atasannya
melanggar hukum semuanya berhapan dengan pilihan-pilihan etik yang penting (Sulivan
dan Segers, 2007:309).
Karena politik berhadapan dengan pilihan-pilihan tersebut, maka program-program
ilmu politik dan kebijakan publik pada dasarnya memasukkan setidaknya satu
perkuliahan tentang etika dan politik. Ilmu ini tidak mudah untuk diajarkan karena ia
mengandung beberapa pengetahuan tentang filsafat moral dan politik, berupa
kemampuan untuk mengenali isu etika pada sebuah situasi politik yang khas, di samping
memahami bagaimana teori-teori etika dapat diterpkan bukan saja untuk mengklarifikasi
situasi tersebut tetapi juga memberikan kriteria untuk mendapatkan resolusi yang
memuaskan.
Etik berkitan dengan nilai-nilai, dengan kebaikan dan keburukan, dengan kebenaran
dan kesalahan. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Socrates dan Plato pada zaman
Yunani Kuno adalah pusat dari kajian tentang etik: untuk apa seseorang hidup? Apa yang
dimaksud dengan kehidupan yang baik? Apa yang membuat sebuah perbuatan
merupakan tindakan yang benar dan kenapa tidak disebut tindakan yang salah? Apakah
seharusnya yang menjadi tujuan kita? Peter Singer (1991, v) mencatat “we cannot avoid
involevement on ethics, for what we do-and what we do not do-is always a possible
subject of ethical evaluation, anyone who thinks about he or she ought to do is,
consciously or subconciously, involved in ethics”. Kita tidak akan bisa lari dari
pertimbangan etik jika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Jika diterapkan dalam politik, pertanyaan etik utama adalah apa tujuan dan maksud
yang harus dilakukan pemerintah? Serta proses bagaimana atau cara apa harus digunakan
pemerintah untuk mencapai tujuan dan maksud tersebut? Dari sudut pandang filsafat,
teori etika atau etika normatif memberikan perhatian kepada pembangunan dan justifikasi
terhadap standar normatif yang harus menjadi pemandu dalam tindakan. Etika terapan
adalah berkaitan dengan bagaimana standar atau norma bisa diterapkan dalam situasi
yang nyata, untuk mengklarifikasi isu etika dibutuhkan standar dan cara-cara yang
dianggap tepat untuk melaksanakannya. Kajian retik dan politik adalah contoh salah satu
bentuk dari etika terapan. Terdapat tiga pendekatan yang mendominasi pembahasan
tentang etika normatif pada saat ini yaitu: consequentialisme, etika deontologis dan etika
kebajikan (virtue).
Consequentialisme menekankan kepada hasil yang baik sebagai dasar untuk menilai
tindakan manusia. Ide dasarnya adalah apa yang membuat tindakan dalam kebijakan
menjadi baik adalah ketia ia membawa konsekuensi yang lebih baik dari pada alternatif
manapun. Teori-teori tentang consequentialisme memberikan berbagai definisi tentang
hasil yang terbaik, termasuk kemungkinan kenaikan terbesar dari kesenangan
dibandingkan dengan kesusahan sebagaimana dianut oleh aliran utilitarianisme klasik
dari JS Mill dan J Bentham. Selanjutnya kemungkinan kepuasan terbesar terhadap pilihan
yang dianut oleh ekonomi kesejahteraan (welfare) (Pettit 1997).
Dengan demikian, teori tentang kebaikan bersama (common goods) berakar dari
tulisan Plato, Aristoteles dan Cicero. Mereka meminta kita untuk melihat diri sendiri
sebagai bagian dari komunitas yang sama yang berbagi tujuan bersama.
Consequentialisme adalah pendekatan etika yang diambil oleh kebanyakan pejabat
publik. Kritik yang diajukan terhadap sudut pandang ini adalah ketika ia sering
melupakan atau mengorbankan kepentingan sekelompok orang demi kepentingan
bersama. Kita juga mengalami kesulitan memprediksi konsekuensi yang dimungkinkan
dari tindakan atau keputusan yang diambil oleh kebijakan pemerintah saat ini. Produksi
mobil secara masal yang dimulai oleh Ford tahun 1920 tidak kita sangka akan menjadi
penyebab utama polusi udara yang terjadi di kota-kota besar dunia saat ini. Kritik
berikutnya berkaitan dengan pertanyaan: kepentingan siapakah yang selayaknya
dipertimbangkan? Bagaimana biaya dan manfaat diukur? Haruskan intensitas dari pilihan
ikut diukur.
Etika deontologi dimulai dari premis bahwa tugas moral (moral obligations) atau
tugas yang harus kita tunaikan merupakan terpisah dari pertimbangan dan konsekuensi.
Dengan demikian, yang benar lebih diprioritaskan daripada yang baik, atau akhir dari
tindakan. Etika deontologis berakar dari filsafat moral dari Immanuel Kant. Tugas moral
dasar manusia adalah untuk memperlakukan menusia sebagai tujuan ketimbang sebagai
alat untuk sebuah pencapaian di luar dari diri mereka sendiri (Baron 1997). Peranan kita
dalam masyarakat memberikan kita konten yang spesifik untuk kewajiban dan tugas
moral kita. Contohnya: sebagi orang tua, anak, tetangga, dan organisasi profesi, kita
mempunyai pekerjaan yang harus dilakukan untuk melakukan itu dengan baik. Filsafat
John Rawls juga turunan dari ini, menekankan kepada tuga untuk memperlakukan
manusia sebagai tujuan dan mereka akan merasa diperlakukan dengan baik ketika mereka
mampu untuk menyetujui tindakan yang akan mempengaruhi mereka. Manusia bukan
objek manipulasi, adalah serangan serius terhadap harga diri manusia dengan
memperlakukan mereka tidak sebagaimana cara yang mereka pilih.
Etika kebajikan adalah salah satu dari tiga pendekatan utama dari etik. Para
penganutnya melihat pertanyaan moral diawali dari titik dimana agen moral dan
menekankan kepada sumber moral dari kehidupan pribadi mereka. Pertanyaan yang
diajukan adalah “what kind of person should I be?” (Pence 1991: 249). Juga berasal dari
filsafat Aristoteles, etika kebajikan berasumsi bahwa ada sesuatu ideal tertentu dimana
kita harus perjuangkan karena ia memberikan pembangunan yang sepenuhnya bagi
kemanusiaan kita. Ide-ide tersebut ditemukan melalui refleksi terhadap manusia seperti
apa kita memiliki potensi. Kejujuran, semangat, kasih sayang, kemurahhatian, kesetiaan,
integritas, keadilan dan konsistensi adalah beberapa dari contoh kebajikan yang akan kita
tanam dan kita panen pada akhirnya. Manusia yang memiliki kebajikan yang terbentuk
akan secara alami bertindak dengan cara yang konsisten dengan dirinya. Petugas publik
dalam memilih tindakannya pada sebuat situasi yang khusus, akan menggunakan
pendekatan etik yang dianutnya.
Lingkungan politik dimana kebijakan publik bertugas tentu saja berbeda dengan
kehidupan pribadi, yang paling krusial adalah ketika mereka sering berhadapan dengan
posisi mereka yang terkadang tidak menyenangkan ketika berhadapan dengan
kepentingan publik dan komunitas yang mereka wakili. Jika kita kutip buku terkenal dari
Nicollo Machiavelly, The Prince: untuk pemerintah (rulers) harus memilih untuk
menggunakan uang rakyat apakah untuk kedermawanan (generoustiy) atau untuk
kebebasan (liberality). Ketika memegang janji adalah penting dalam kehidupan pribadi,
dalam kehidupan publik pemimpin politik harus mempersiapkan diri untuk melanggar
janji atau aliansi ketika keadaan berubah dan kepentingan publik tidak lagi menjadi
utama. Hukum juga harus dipersiapkan untuk digunakan secara kasar dalam rangka
membentuk keteraturan dalam masyarakat.
Hal ini juga dibenarkan oleh Max Weber yang mengedepankan etika tanggung
jawab (ethics of responsibility). Etika tanggung jawab membolehkan pejabat publik untuk
menggunakan berbagai sarana seperti kekerasan, tipuan, manipulasi dan berbohong untuk
mencapai tujuan akhir mereka, tetapi it juga memberikan peluang bagi mereka untuk
mengevalusi secara moral jika pad akhirnya tujuan akhir tidak tercapai. Weber juga
membuka peluang kepada pejabat publik yang bertanggungjawab untuk menentukan
garis yang tidak boleh mereka langkahi.
Michael Walzer membahas problem dirty hands ini lebih lanjut dalam bidang
politik. Ia menyatakan dilemma ini merupakan hal yang utama dalam kehidupan politik,
dimana kebutuhan untuk menggunakan perangkat yang secara moral tidak jelas untuk
menuju akhir yang baik tidak hanya merupakan krisis sporadis dalam kehidupan politik
atau ketidakberuntungan seorang politisi tetapi juga berlangsung sistematis dan sering.
Itulah makanya politisi biasanya diasumsi morally corrupt. Meskipun setuju dengan
pemikiran Weber tentang consequentialisme tetapi ia lebih menekankan perhatian secara
eksplisit kepada rasa pentingnya tugas moral dan karakter moral di kalangan pejabat
publik sebagai konsekuensi dari tugas publiknya (Walzer 1973:166). Karena standar
moral tidak pernah disingkirkan, ia akan selalu berfungsi sebagai persyaratan bagi para
pejabat publik sebagai basis evaluasi dalam melakukan evaluasi terhadap mereka.
Mungkin secara makna utilitarian tindakan mereka benar, tetapi tetap menempatkan
seorang pejabat publik dalam posisi bersalah jika secara moralitas mereka tidak benar.
I. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi merupakan perangkat analisis dan prosedur yang memiliki dua makna
penting. Pertama, penelitian evaluasi, sebagai sebuah alat analisis, melibatkan tindakan
investigasi terhadap program kebijakan untuk mendapatkan semua informasi yang
signifikan untuk menilai kinerja kebijakan tersebut, baik dari sisi proses maupun hasil.
Kedua, evaluasi sebagai sebuah fase dari siklus kebijakan secara umum merujuk kepada
pelaporan berbagai informasi untuk dikembalikan kepada proses perumusan kebijakan
kembali (Wollmann 2003b, 4). Saat ini beragam konsep dan istilah dibuat dalam bidang
ini, terutama ketika munculnya gelombang ketiga pembangunan istilah-istilah
kontemporer seperti manajemen audit, audit kebijakan, dan performance monitoring).
Jenis-jenis Evaluasi.
Berkaitan dengan berbagai kaitan temporal dan fungsional yang berbeda-beda
dengan siklus kebijakan, evaluasi dapat dibagi menjadi berbagai jenis (Wollman
2007:401):
1. Ex-ante evaluation. Dilakukan sebelum keputusan diambil, artinya secara
hipotetis merupakan antisipasi dan penilaian awal terhadap efek dan konsekuensi
dari kebijakan atau tindakan yang direncanakan atau dibentuk dengan tujuan
untuk memberikan informasi kepada proses pengambilan keputusan yang sedang
berlangsung dan akan dilakukan. Ex-ante evaluation dengan demikian merupakan
instrumen untuk melakukan pilihan antara berbagai alternatif kebijakan agar lebih
transparan, peka dan secara politis debatable. Ini termasuk implementation pre-
assessment, environmental impact assessment dan lain-lain.
2. On-going evaluation. Memiliki tugas untuk mengidentifikasi dampak interim
(ditengah-tengah) dan hasil dari program kebijakan dan mengukur implementasi
dan realisasi yang sedang berlangsung. Fungsi yang esensial dari on-going
evaluation adalah untuk memberikan informasi yang relevan kembali kepada
proses implementasi pada titik dimana informasi yang signifikan akan dugunakan
untuk melakukan penyesuaian, memperbaiki atau mengarahkan ulang proses
implementasi atau bahkan keputusan-keputusan kunci dalam kebijakan dimaksud.
Ada juga yang menggunakan istilah accompanying evaluation atau bahkan
intervensionist. Dalam makna yang disebutkan terakhir evaluasi menggunakan
konsep action research. Monitoring juga bisa dilihat sebagai ongoing evaluative
prochedure yang bertujuan untuk mengidentifikasi, dengan menggunakan
operasionalisasi dan indikator-indikator yang tepat dalam mengukur efek dari
aktivitas yang sedang berlangsung. Istilah kontemporernya adalah “performance
indicator” (PI) meminjam konsep New Public Management, indicator-based
monitoring terbukti menjadi bagian yang penting dalam proses pelaksanaan
proyek, program atau kebijakan.
3. Ex-post evaluation. Merupakan bentuk varian klasik dari evaluasi, yang bertujuan
untuk melakukan penilaian terhadap pencapaian tujuan dan dampak dari
kebijakan dengan mengukur pada saat ia sudah diselesaikan. Sebagai salah satu
bentuk yang sumatif, evaluasi dalam bentuk dan indikator yang sudah
direncanakan pada saat kebijakan diprogramkan (sebagai tindakan kebijakan
dengan mengkombinasikan tujuan kebijakan, finansial, organisasional dan
sumberdaya personal). Tujuan dari ex-post evaluation (yang dapat juga disebut
program evaluation) adalah: pertama, untuk menilai sudah sampai dimana tujuan
kebijakan sudah tercapai (goal attainment). Kedua, dalam hal mengevaluasi
sejauh mana kebijakan dan program sudah mampu menjawab pertanyaan awal
tentang dampak dan perubahan yang terjadi benar-benar berhubungan dengan
pertanyaan kebijakan dan program. Ini disebut sebagai “causal puzzle”.
4. Meta evaluation. Dimaksudkan untuk menganalisis evaluasi yang sudah
dilakukan (primary analysis) dengan menggunakan analisis kedua (secondary
analysis). Ia dapat mereview evaluasi pertama apakah sudah sesuai dengan
kriteria atau standar yang ditetapkan. Kedua, meta-evaluation juga bisa
mengakumulasi temuan-temuan substantif yang sudah dilakukan oleh primary
evaluation dan mensintesakan ahsilnya. Ini disebut juga sebagai “synthesizing
meta-evaluation”.
Berkaitan dengan kedudukan pihak yang melakukan evaluasi, evaluasi dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu:
Evaluasi Internal
Evaluasi internal dilakukan di dalam oleh bagian operasional yang ditugaskan untuk
itu menjadi semacam self-evaluation. Pada kenyataannya mungkin ada yang menyatakan
bahwa bentuk yang informasil dan tidak sistematis dan self-evaluation telah dilakukan
seiring sejak dibentuknya model birokrasi ala Weberian, pemeriksaan hirarkis
dilaksanakan berdasarkan laporan internal yang dibuat. Namun demikian penelitian
evaluasi bentuknya lebih formal. Penelitian evaluasi menjadi komponen kunci dari
berbagai teori administrasi publik. Belakangan ini, New Public Manajemen menenkankan
kepaa konsep monitoring dan controlling berdasarkan indikator kinrja. Inidkator-
indikator yang memainkan peranan penting dalam sistem operasi dari akuntansi internal
cost-achievement yang komprehensif (Wollmann 2003).
Evaluasi Eksternal
Evaluasi ekternal diinisiasi atau didanai oleh sumber di luar organisasi atau pada
beberapa kasus bisa saja dikontrak oleh agensi atau aktor di luar unit administratif
operasional. Karena lokus dari fungsi evaluasi diletakkan oleh aktor yang berada di luar
atau di balik administrasi yang ada, bisa jadi ia memiliki kepentingan politis atau
struktural dan menggunakan evaluasi sebagai sarana untuk menggali implementasi
kebijakan yang dilakukan oleh administrasi. Parlemen merupakan salah satu lembaga
yang sering menginisiasi dan melaksanaan evaluasi kebijakan dan program. Pengadilan
dan audit menggunakan evaluasi sebagai jalur analisis tambahan untuk membuat terang
sejauhmana keefektifan dan keefisienan pelaksanaan administrasi
Namun demikian lembaga eksekutif seperti kementrian teknis, kementrian keuangan
seringkali juga menggunakan evaluasi sebagai instrumen untuk melacak cara kerja agensi
dan lembaga. Pada beberapa kasus khusus dimungkinkan untuk membentuk badan-badan
ad hoc dan komisi (inquiry) yang diberikan mandat untuk memeriksa isu-isu yang
kompleks dalam lapangan kebijakan. Komisi ini dimungkinkan menjadikan evaluasi
sebagai alat pencarian fakta sebelum memberikan rekomenasi implementasi kebijakan
kepada pemerintah atau kementrian terkait.
Gelombang Evaluasi Kebijakan.
Semakin kompleks sebuah kebijakan dan program, makin dibutuhkan perumusan
konseptual dan metodologis yang lebih canggih. Di balik kompleksitas ini, penelitian
evaluasi idealnya dilaksanakan berdasarkan kepada penerapan metodologi dan keahlian
ilmu sosial. Dengan kurangnya personal yang memiliki keahlian dan keterbatasan waktu,
banyak lembaga-lembaga politik dan administratif berpaling kepada lembaga penelitian
ilmu sosial di luar untuk melaksanakan pekerjaan evaluasi dalam kerangka kontrak kerja
(Wollmann 2002:11574). Dengan ini ada anggapan bahwa sejak tahun 1960an terjadi
ekspansi pelaksanaan evaluasi menjadi “new industry of considerbale proportion”
(Freeman and Solomon 1981:13), yang melaksanakan penelitian kontrak. Ini merubah
lanskap penelitian tradisional ilmu sosial dari akademik menjadi entrepreneurial.
Ada tiga gelombang dalam aliran evaluasi: gelombang pertama selama periode
1960an dan 1970an, gelombang kedua mulai dari pertengahan 1970an dan gelombang
ketiga sejak tahun 1990an. Gelombang pertama berada pada dekade dimana konsep
negara kesejahteraan (welfare state) yang dilaksanakan seiring dengan pengembangan
kemampuan negara untuk menghasilkan perumusan kebijakan yang proaktif melalui
modernisasi struktur politik dan administrasi dalam upaya melembagakan perencanaan,
informasi dan kapsitas evaluasi secara instrumental. Konsep siklus kebijakan berkembang
di bawah segitiga perumusan kebijakan, implementasi dan terminasi. Evaluasi menjadi
krusial sebagai lingkaran “cybernetic” dalam mengumpulkan segala informasi dan
memberikan umpan balik. Bangkitnya evaluasi di Amerika Serikat seiring dengan
dikembangkannya program aksi sosial pemerintah federal seperti War on Poverty
pertengahan dekade 1960an di bawah presiden Lyndon B Johnson. Sementara itu Swedia,
Jerman dan Inggris menjadi pionir dalm pengembangan evaluasi gelombang pertama ini.
Kebijakan yang menghasilkan kerjasama yang erat antara administrasi dan ilmu sosial
sebagai konsultan ini ditujukan untuk meningkatkan hasil kebijakan dan memaksimalkan
output secara efektif.
Masa kejayaan kebijakan negara kesejahteraan intervensionis ini umurnya relatif
singkat seiring dengan meningkatnya harga minyak bumi pada tahun 1973. Ekonomi
dunia terjebak dalam resesi yang dalam dan anggaran nasional menuju kepada pengetatan
yang buruk yang membawa banyak program-program reformasi yang cost-intensive
harus ditinjau ulang. Inilah awal dari gelombang kedua evaluasi, dimana perumus
kebijakan didikte oleh kredo pengetatan anggaran dan hemat biaya, mandat dari evaluasi
kebijakan dengan demikian berhubungan dengan tujuan untuk mengurangi biaya dari
kebijakan dan program sedapat mungkin. Singkat kata, gelombang kedua evaluasi
kebijakan menekankan kepada cost-efficiency, evaluasi berkembang di beberapa negara
asing seperti Belanda (Leeuw 2004: 60).
Gelombang ketiga evaluasi berkembang di bawah pengaruh berbagai aliran.
Misalnya, konsep dan pengembangan New Public Management datang mendominasi
diskursus modernisasi internasional dan dalam salah satu variannya terjadi reformasi
sektor publik di banyak negara (Wollmann 2003a:231) dengan “internal evaluation”.
Model evaluasi yang melibatkan lembaga yang melekat untuk melakukan evaluasi,
kendali berdasarkan indikator dan akuntasi yang berbasiskan cost-achievement. Hal ini
disebut sebagai public management package. Pada banyak lapangan kebijakan, evaluasi
berjalan seiring dengan disain kebijakan yang ada dan berusaha mencari potensi untuk
melakukan reformasi dan pengembangan. Sebagai contoh, dikembangkannya kajian
PISA di Uni Eropa yang merupakan bentuk evaluasi internasional utama dalam sistem
pendidikan nasional. Tekanan Komisi Eropa untuk melaksanakan European Structural
Fund mensyaratkan untuk melaksanakan evaluasi secara sistematik melalui silus lima
tahunan laksana siklus dalam buku teks universitas (Leeuw 2004:69). Dengan demikian
peranan Erupa dalam pengembangan aliran ketiga ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Profesionalisme dalam Evaluasi
Penelitian evaluasi berhadapan dengan dua tugas konseptual dan metodologis: (1)
konseptualisasi dunia nyata yang dapat diobservasi yang berubah dengan maksud (atau
terkadang tidak disengaja) agar evaluasi dapat melaksanakan identifikasi dan penilaian
(sebagai variabel terikat); (2) untuk menemukan apakah dan bagaimanakan perubahan
yang diobservasi memiliki hubungan sebab akibat dari kebijakan dan mengukurnya
dalam proses analisis (disebut sebagai variabel bebas). Berhadapan dengan dua
pertanyaan kunci ini, penelitian evaluasi merupakan bagian integral dari ilmu sosial
secara umum karena ia mengikuti kebanyak isu dan kontroversi yang terkandung dalam
kebanyakan ilmu sosial.
Dua fase dapat ditarik dari kontroversi di atas. Pertama, mulai tahun 1960an sampai
dengan tahun 1980an, merupakan era dominasi ilmu yang menggunakan model neo-
positivist nomologikal dengan kebanyakan menggunakan metode kuantitatif dan quasi-
experimental. Periode berikutnya merupakan hasil dari pengembangan pendekatan
konstruktivis dan interpretatif dengan menggunakan metode kualitatif heuristik. Dari
sudut pandang neopositivis evaluasi ditandai oleh 2 premis. Pertama, asumsi bahwa
untuk menilai secara valid apakah dan sampai sejauh mana tujuan kebijakan dan
konsekuensi yang diinginkan sudah tercapai ditentukan oleh perubahan dunia nyata yang
dapat diobservasi. Adalah sebuah keniscayaan untuk mengidentifikasi di awal apakah
yang menjadi tujuan politik dan tujuan program itu sendiri. Pandangannya, maksud dari
sebuah lembaga dan aktor yang relevan menjadi utama. Kedua, untuk mendapatkan
hubungan kausal antara perubahan yang terlihat dan kebijakan yang dianalisis,
pernyataan yang valid hanya dapat didapatkan melalui penerapan positivis dari disasi
kuantitatif dan quasi-experimental (Campbell and Stanley 2003b).
Karena itu terdapat persoalan yang dihadapi dalam mengidentifikasi isu serius yang
relevan harus dipertimbangkan:
1. Tujuan dan maksud yang akan diukur sulit untuk diidentifikasi, mereka datang
dalam bentuk sekumpulan, sehingga susah untuk diterjemahkan ke dalam
indikator-indikator yang operasional dan terukur;
2. Data empiris yang baik untuk mengisi kebutuhan indikator susah didapatkan,
apalagi yang bermakna terhadap indikator;
3. Semakin jauh dimensi tujuan, maka itu dia main relevan, semakin sulit untuk
dioperasionalisasikan secara substansial;
4. Dampak sampingan dan konsekuensi yang tidak diinginkan sudah untuk dilacak.
Lebih jauh lagi disain penelitian yang secara metodologis meyakinkan dalam penelitian
quasi-experimental, terkontrol dan time series seringkali tidak aplikabel. Di sini
seseorang herus menelaah sesuatu dan kondisi yang ceteris paribus yang tidak mungkin
untuk ditetapkan dalam setting sosial yang dinamis. Terakhir dalam konteks time series,
data “sebelumnya” seringkali susah ditemukan atau bahkan tidak tersedia di lapangan.
Pada fase kedua, setelah dominasi yang lama dari paradigma penelitian yang
senantiasa dikritik dalam dua penilaian yang saling berhubungan. Untuk satu sisi, asumsi
standar yang menyatakan bahwa evaluasi haruslah mencari kerangka pikirnya terutama
dari maksud kebijakan dari lembaga atau aktor kebijakan yang relevan digoyang oleh
perkembangan aliran pemikiran constuctivist-interpretive (Mertens 2004:42). Aliran ini
menekankan kepada mempertanyakan basis epistemologis dari kemungkinan mencari
satu tujuan utama atau sasaran dan memanggil aneka pluralitas pemikiran, kepentingan
dan nilai. Dengan demikian, garis utama dari argumen ini diekspresikan dalam formulasi
yang berbeda-beda seperti reponsif, partisipatori atau sudut pandang pemangku
kepentingan. Debat para konstruktivis ini bergandengan tangan dengan mencari basis
metode qualitatif-hermeunetik dalam kebijakan. Guba dan Lincoln (1989) memberi label
ini dengan “fourth generation evaluation.”
Kebangkitan dan ekspansi penelitian evaluasi sejak tahun 1960an memiliki dampak
yang signifikan pada lanskap dan komunitas ilmu sosial. Pada awalnya penelitian ilmu
sosial didominasi oleh academic/basic research yang dilaksanakan oleh unversitas dan
didanai oleh lembaga independen. Bahkan pada saat ia dinamai orientasi applied policy,
penelitian ilmu sosial tetap memiliki komitmen kepada formula keilmiahan. Namun,
penelitian evaluasi kemudian diambil alih oleh “contractual research”, yang
dikendalikan dan didanai oleh lembaga administratif atau politik.
Penelitian ilmu sosial akademik, yang biasanya dilaksanakan di universitas didasari
oleh lime premis imperatif. (1) komitmen untuk mencari kebenaran sebagai tujuan utama
dan kriteria dalam penelitian saitifik. (2) otonomi intra-saintifik dalam memilih
permaasalahan dan metode penelitian (3) didanai secara independen baik oleh perguruan
tinggi maupun lembaga penelitian berdasarkan peer-review seperti Lembaga Ilmu
Pengetahuan di tingkat nasional, dan (4) pengujian kualitas penelitian dan temuannya
dalam sebuah debat saintifik terbuka. Sementara itu penelitian ilmu sosial terapan
meskipun masih memegang independensi dan otonomi, yang sekarang menjadi
kendaraan utama penelitian evaluasi (contractual research) memiliki formula yang cukup
berbeda. Ia didasari oleh “the consumer says what he wants, the contractor does it, and
the consumer pays.”.
Dengan demikian “request for proposal” (RFP) melalui agensi yang mengelola
proyek penelitian kemudian melaksanakan kontrak (dapat melalui public bidding,
selective bidding atau langsung). Agensi biasanya secara umum mendefinisikan,
merumuskan pertanyaan penelitian dan harus dijawab dalam kerangka waktu (time
frame) yang ada. Dalm proposal proyek kontraktor harus menjelaskan rencana
penelitiannya dalam parameter yang dirumuskan oleh customer dan membuat tawaran
finansialnya yang biasanya dihitung berdasarkan rumusan biaya personil dan overhead.
Dengan demikian penelitian kontraktual terlihat rentan terhadap epistemic drift dan
kolonisasi proses dimana evaluator mungkin saja mengadopsi kerangka konseptual dan
perspektif dari lembaga administratif dan politik melalui aktor-aktor yang melaksanakan
tugas untuk mengevaluasi.
Bagaimana menjaga profesionalisme dari para peneliti dan evaluator? Tentu saja
kecenderungan di atas merupakan tantangan tersendiri bagi integritas intelektual dan
kejujuran pada penelitian kontraktual. Karena itu inisiatif diambil oleh evaluator
profesional untuk merumuskan standar yang memandu peneliti untuk melaksanakan
pekerjaan kontraktual, terutama dalam melakukan negosiasi dengan “clients” (Rossi,
Freeman, and Lipsey 1999:425). American Evaluation Association tahun 1995
mengadopsi Guiding principles of Evaluation, yang mencantumkan integritas dan
kejujuran dalam penelitian evaluasi. Sementara itu di Eropa, European Evaluation
Society yang dibentuk tahun 1987 menganjurkan untuk membentuk national evaluation
societies menyusul gugatan pengadilan. Inggris merespons pertama kali dengan
mengadopsi professional code of ethics yang akhirnya menjadikan evaluasi sebagai
sebuah pekerjaan profesional. Hal ini kemudian disusul oleh terbitnya berbagai jurnal
tentang evaluasi yang menjadi sumber yang sangat berguna untuk mengembangkan
berbagai topik dalam penelitian evaluasi.
J. Penutup
Pembahasan tentang aspek praktis dari analisis kebijakan ternyata tidak hanya berkaitan
dengan isu teknis dan metodologis tetapi juga berhubungan dengan perkembangan tata
kelola kehidupan masyarakat. Pembahasan tentang ini tidak akan pernah berhenti, karena
setiap bidang khusus (sub-fields) seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan umum,
akuntansi, perencanaan, tata wilayah, pemerintahan daerah dan lain-lain memiliki
karakteristik tersendiri yang terkadang berbeda secara ekstrim satu sama lain. Karena itu,
setiap sub-bidang membuka kemungkinan untuk melakukan pembahasan yang khas
dengan menjadikan teknik dan metode analisis kebijakan ini sebagai acuan dan panduan
saja.
REFERENSI
Andersen, I.E. dan Jaerger, B. 1999. Scenario Workshops and Concensus Conferences:
Towards More Democratic Decision-Making. Science and Public Policy, 26(5),
pp. 331-340
Baron, M.W. 1997. Kantian Ethics, in Marcia Baron, Philip Pettit dan Michacel Slote
(eds.) Three Methods of Ethics, Malde: Blackwell Publishers
Barrow, C.J. 1997. Environmental Impact Assessment: An Introduction. London: Arnold
Publishing
Bennet, A., Barth, A., dan Rutherford, K.P. 2003. Do we preach what we practice? A
survey of metjods in Political Science Journals and Curriculla. Political Science &
Politics(5)
Bereano, P.L. 1997. Reflections of a Participant Observer: The Technocratic/Democratic
Contradiction in the Practice of Technology Assessment. Technological
Forecasting & Social Change, 54(2). pp 163-176
Blee. 2004. NSF Workshop on Scientific Foundations of Qualitative Research
Brady, H.E. dan Collier, D. (eds.) 2004. Rethinking Social Inquiry: Diverse Tools, Shared
Standards. Berkeley: Berkeley Poblic Policy Press
Brower, R.S., Abolafia, M.Y., dan Jared B. Carr. 2000. On improving qualitative
methods in public administration research, Administration & Society 32: pp. 363-
397
Caldwell, L. 1988. Environmental Impact Assessment: Origins, Evolution, and Future
Directions. Policy Studies Reviews 8(1). Pp. 75-83
Campbell, D.T. dan Stanley, Y. 1963. Experimental and Quasi- Experimental
Evaluations in Social Research. Chicago: Rand McNally
Clarke, S.E. 2007. Context-Sensitive Policy Methods dalam Fischer, Frank, Gerald J.
Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis: Theory,
Politics and Methods. New York: CRC Press
DeLeon, P. 1998. Models of policy discourse: insights versus prediction. Policy Studies
Journal 26:pp 147-161
Downs, A. 1957. An Economic Theory of Democracy. World Politics 12, pp.541-550
Durrencerger, G. Kastenholtz, H. dan Behringer, J. 1999. Integrated Assessment Focus
Groups: Bridging the gap Between Science and Policy. Science and Public Policy,
26(5), pp. 341-349
Fischer, F, Miller, G.J dan Sidney, M.S. (eds) 2007. Handbook of Public Policy Analysis:
Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
Freeman, H., dan Solomon, M.A. 1981. The Next Decade of Evaluation Research. In
obert A. Levine, Marian A. Solomon, Gerd-Michael Hellstern dan H. Wollmann.
(eds.) Evaluation Research and Practice. Comparative and International
Perspectives. Beverli Hills: Sage
Garb, Y., Manon, M., dan Peters, D. 2007. Environmental Impact Assessment: Between
Bureaucratic Process and Social Learning dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller
and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics
and Methods. New York: CRC Press
Glasson, J., Therivel, R., dan Chadwick, A. 2005. Introduction to Environmental Impact
Assessment. New York: Routledge
Guba, Y and Lincoln, E. 1989. Fourth Generation Evaluation. London: Sage
Huff, A.S. 1999. Writing for Scholarly Publication. New York: Sage Publication
Joss, S. dan Durant, J. 1995. Public Participation in Science: The Role of Consensus
Conferences in Europe. London: Science Museum
Kelman, H.C. 1996. Negotiation as Interactive Problem Solving. International
Negotiation 1:9987-124123
Kuhn, T.S. 1977. The Essential Tension. Selected Studies in Scientific Tradition and
Change. Chocago: Chicago University Press
Laws, D and Forrester, J. 2007. Public Policy Mediation: From Argument to
Collaboration dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds)
Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New York:
CRC Press
Laws, D. dan Hajer, M. 2006. Policy in Practice in Michael Moran, Robert Goodin dan
Martin Rein (eds.). The Oxford Handbook of Public Policy. New York: Oxford
University Press
Leeuw, F.L. 2004. Evaluation in Europe, in R. Stockman (ed.) Evaluationforshcung.
Opladen: Leske + Budrich
Low, S, Taplin D.H., dan Lamb, M. 2005. Battery Park City: An Ethnographic Field
Study of the Community Impact of 9/11. Urban Affairs Review 40: pp. 655-682
Maxwell, J.A. 2004. Using Qualitative Methods for Causal Explanation. Field Methods
16:pp 243-264
Meltsner, Arnold. 1975. Bureaucratic Policy Analysts. Policy Analysis 1 (1). Pp. 115-131
Meltsner, Arnold J. 1976. Policy Analysts in the Bureaucracy. Berkeley, CA: University
of California Press.
Mertens, D.M. 2004. Institutionalising Evaluation in the United States of America. In
Reindhard Stockman (ed.) Evaluationforshcung. Opladen: Leske + Budrich
Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1994. Qualitative Data Analysis, New York: Sage
Publication
Miller, G.J., dan Robbins, D. 2007. Cost-Benefit Analysis dalam Fischer, Frank, Gerald J.
Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis: Theory,
Politics and Methods. New York: CRC Press
Mitchell, J. 2007. The Use (and Misuse) of Surveys in Policy Analysis dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
Musgrave, R.A. 1969. Cost-benefit analysis and the theory of public finance, Economic
Literature 7, pp. 797-820
O‟Riordan, T dan Sewell, W.R.D. (eds.) 1981. Project Appraisal and Policy Review,
Chichester: John Wiley and Sons
Office of Technology Assessment (OTA) 1995. OTA Legacy at
http:www.wws.princeton.edu/ota
Pence, G. 1991. Virtue Theory, in Peter Singer (ed.) A Companion to Ethics,. Cambridge:
Blackwell Reference
Pettit, P. 1997. The consequentialist perspective in Marcia Baron, Philip Pettit, and
Mchael Slote (ed.s) Three Methods of Ethics. Malden: Blackwell Publishers
Pichaud, D. 2015. The future of social policy-changing the paradigm. Asia & the Pacific
Policy Studies 2 (1), pp. 1-7
Posavac, E.J. dan Carey, R.G. 2003. Program Evaluation: Methods and Cases. Upper
Saddle River: Prentice Hall
Reber, B. 2007. Technology Assessment as Policy Analysis: from expert advice to
participatory apporach dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S.
Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods.
New York: CRC Press
Ragin, C.C. 2004. Combining Qualitative and Quantitative Research. Report on NSF
Wokrshop on Scientific Foundations of Qualitative Research, pp. 109-115
Rossi, P.H., Freeman, H.E. dan Lipsey, M.W. 1999. Evaluation: A Systematic Approach.
Thousand Oaks: Sage
Satterfield, T. 2004. A few thoughts on combining qualitative and quantitative methods.
Report on Scientific Foundations of Qualitative Research, pp. 117-119
Singer, P. 1991. A Companion to Ethics, Cambridge: Blackwell Reference
Sulivan dan Segers. 2007. Ethical Issues and Public Policy dalam Fischer, Frank, Gerald
J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis: Theory,
Politics and Methods. New York: CRC Press
Susskind, L. dan Thomas-Larmer, J. 1999. Conduction a Conflict Assessment. In
Susskind, L. S McKearman dan J. Thomas Larmer (eds.) The Concensus
Building. London: Sage
Swindell, D dan Kelly, J. 2000. Linking Citizen Satisfaction Data to Performance
Measures. Public Performance & Management Review, 24(1), pp. 30-52
Thompson, L. 1997. Citizen Attitudes about Service Delivery Modes. Journal of Urban
Affairs 19(3), pp. 291-302
Wilson, R., dan Crouch, E.A.C. 2001. Risk Benefit Analysis. Cambridge: Harvard
University Press
Wollman, H. 2002. Contractual Research and Policy Knowldege. International
Encyclopaedia of Social and Behavioral Sciences (5). Pp. 11574-11578
--------------- .2003. Evaluation in Public Sector Reform. Towards a “thrid wave” of
evaluation in Wollman, H. Evaluation in Public-Sector Reform. Cheltenham:
Edward Elgar
---------------- 2003a. Evaluation in Public Sector Reform. Trends, Potentials and Limits
in International Perspective in Wollman, H. Evaluation in Public-Sector Reform.
Cheltenham: Edward Elgar
Wolmann, H. 2007. Policy Evaluation and Evaluation Research dalam Fischer, Frank,
Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis:
Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
BAGIAN 5
DASAR DAN KERANGKA ANALISIS
KAJIAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Apakah yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan (education policy)? Tello
(2014: 198) menyatakan bahwa untuk menjawab ini, kita harus kembali pada sejarah
analisis kebijakan publik pada masa awalnya. Harold Lasswell pada tahun 1951 dalam
buku berjudul “The policy sciences: recent development in scope and method”,
menyatakan bahwa penggunaan istilah “politics” dan “policies” sebagaimana digunakan
di USA dan di Inggris serta beberapa negara seperti Perancis dan Jerman menimbulkan
kesulitan jika tidak didiskusikan secara serius, terutama di negara-negara yang tidak
berbahasa Inggris.
Untuk menjawabnya perlu dipastikan apa yang menjadi objek dari kajian kebijakan
pendidikan. Meminjam tradisi yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn, Tello
mengistilahkan ini sebagai the episteme of epoch. Berbagai negara tersebut memberikan
berbagai posisi ketika melakukan kajian tentang kebijakan pendidikan. Inggris
menempatkannnya dalam sosiologi politik, USA dalam politik dan policy, Perancis
dalam kajian Manajemen Pendidikan dan politik. Perancis kemudian ketika
mengembangkan konseptual dalam sudut pandang socio-psycho-analytical menyebutnya
sebagai sosiologi tindakan publik atau analisis kognitif. Dengan demikian berbagai
paradigma tersebut menunjukkan adalnya perspektif analitis yang pluralistik.
Pondasi utama dari kajian kebijakan pendidikan ini terletak pada tahun 1948 dalam
kajian ilmu politik, sebagaimana pada saat itu atas permintaan UNESCO, para ilmuan
dan ekspert bertemu di Paris untuk menetapkan definisi dan batasan dari objek kajiannya.
Setelah berdebat panjang dihasilkanlah “list of subjects and fields of investigation” yang
dipengaruhi sangat kuat oleh pemikiran ala Anglo-Saxon. Setelah berakhirnya Perang
Dunia II, perhatian terhadap dunia pendidikan (dan kesehatan) semakin meningkat
seiring dengan berkembangnya kebijakan-kebijakan welfare. Pemerintah berpaling
kepada para ahli imu sosial untuk membantu mencari solusi bagi masalah-masalah yang
diangkat oleh negara. Dengan demikian pemikiran Lasswell yang pragmatis menjadi
semakin mendapat tempat.
Seiring dengan itu, kajian ilmu politik menjadi semakin berkembang dan semakin
terspesialisasi, dalam rangka mengembangkan pemikiran mengikuti bidang-bidang yang
menjadi objek kajian. Kajian kebijakan pendidikan dengan demikian menjadi sub-disiplin
dari ilmu politik, terutama sejak tahun 1950an. Dengan pendekatan yang fokus sangat
kuat pada pembentukan hukum dan perbandingan pendidikan. Pada dekade 1950an ini di
Argentina, Brazil, Chile, Mexico dan Kolumbia, pendekatan “institutionalizm” kebijakan
pendidikan sebagai sebuah cabang keilmuan ditandai dengan terbentuknya departemen
kebijakan pendidikan.
Dalam tulisnnya Tello (2014, 198) membedakan antara education policy (singular)
sebagai sebuah lapangan teoritis dan education policies (plural) sebagai sebuah realitas
sosio-politik yang harus dianalisis, dikaji dan diinvestigasi. Dengan demikian education
policies adalah objek kajian dari ilmu kebijakan pendidikan. Dapat didefinisikan bahwa
lapangan kebijakan pendidikan adalah sebuah lapangan teoritis yang sama dengan bidang
kajian lain dimana penegetahuan dihasilkan melalui berbagai penelitian, pengetahuan
didistribusikan melalui berbagai pendidikan/pelatihan akademik dan penggunaan aplikasi
dari pengetahuan tersebut dikembangkan melalui profesi sebagai sebuah pengambilan
keputusan politik.
B. Lapangan Kajian Kebijakan Pendidikan
Meskipun dapat dikembangkan komponen-komponen dari kajian kebijakan
pendidikan, tetapi mungkin tidak dapat dirumuskan apa yang menjadi teori kebijakan
pendidikan. Argumentasi epistemologis kajian kebijakan pendidikan tidak menuntut
adanya sebuah demarkasi antar berbagai disiplin ilmu yang mendukungnya. Kajian
kebijakan pendidikan tidak mengikuti jalur klasik yang terdiri dari science-
pseudoscience-disciplines, tetapi lebih kepada kombinasi antara science dan pengetahuan
dan menentang terjadinya scientism.
Lapangan kajian kebijakan pendidikan terstruktur sedemikian rupa karena
pembentukannya sebagai sebuah lapangan keilmuan melalui koneksi dan persinggungan
antara bidang keilmuan yang sangat kompleks. Kajian kebijakan pendidikan dikatakan “a
reticular space”. Gianella dalam Tello (2014:74) menyatakan “the reticle has a doubly
complec structure, give that the lattice, elements that are in themseleves lattices are
admited”. Sudut pandang analisis dalam kajian kebijakan pendidikan membawa ciri
objek kajiannya sebagai realitas socio-educational yang multi dimensi. Di dalamnya akan
terlibat berbagai aspek yang memiliki cara kajiannya yang cukup spesifik seperti: negara,
keputusan pengadilan, mikro politik, wacana politik, debat politik, tata kelola pendidikan,
hak untuk pendidikan dan lain-lain.
UNESCO pada tahun 2013 menerbitkan Handbook of Education Policy (selanjutnya
disingkat dengan HEP) yang terdiri dari buku I dan buku II. Kedua buku ini menjadi
rujukan utama dari penulisan bagian ini. Penulisan buku HEP ini merupakan hasil dari
evaluasi regional yang dilakukan UNESCO National Education Support Strategy
(UNESS) yang dilaksanakan di bangkok tahun 2010. Berdasarkan hasil evaluasi yang
dilakukan, dibuatlah HEP sebagai panduan praktis bagi pelaksana program UNESCO di
lapangan dalam melakukan pemograman dan analisis kebijakan sektor pendidikan di
negara-negara terkait.
Buku pertama berisikan kerangka konseptual untuk analisis kebijakan pendidikan
dan mencantumkan pula berbagai isu-isu kunci dalam melaksanakan dialog kebijakan
antara partner dari pihak UNESCO dan mitranya di negara masing-masing, Sementara itu
buku kedua lebih menekankan kepada pendekatan metodologis disertai dengan perangkat
praktis untuk mendokumentasikan dan mengorganisir aneka informasi untuk melakukan
analisis kebijakan pendidikan. Pada prinsipnya ada tiga pilar yang diperlukan dalam
melakukan pembangunan pendidikan dan pada akhirnya dalam melaksanakan analisis
kebijakan pendidikan, sebagaimana dilihat pada bagan di bawah ini:
Gambar 5.1.: Hubungan antara kebijakan, strategi dan rencana
(sumber UNESCO 2013)
Perananan kebijakan nasional di bidang pendidikan adalah untuk menetapkan tujuan
utama dan prioritas yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam bidang pendidikan, baik di
tingkat sektor maupun sub-sektor, dengan memberikan penekanan pada beberapa aspek
khusus seperti akses, kualitas dan guru, atau isu-isu lainnya. Strategi menspesifikkan
bagaimana tujuan kebijakan tersebut akan dicapai. Rencana disusun untuk menetapkan
target, aktivitas yang akan diimplemantasikan dan tahapan waktu (timeline), dilengkapi
juga dengan tanggung jawab masing-masing pihak, sumberdaya yang dibutuhkan untuk
merealisasikan kebijakan dan strategi yang di susun sebelumnya.
Secara definisi, dokumen ini menetapkan bahwa kebijakan adalah sebuah pernyataan
umum yang menetapkan tujuan utama dan prioritas pemerintah. Secara yuridis formal
kebijakan harus segaris dengan konstitusi dan dapat difokuskan sektoral (kebijakan sektor
pendidikan) atau bisa juga spesifik kepada sub-sektor (pendidikan dasar, pendidikan
tinggi dan lain-lain), bahkan juga pada isu tertentu seperti tingkat daya tampung
perguruan tinggi. Kebijakan mendefinisikan sudut pandang tertentu, yang ditujukan
untuk menelusuri solusi terhadap permasalahan yang muncul dalam sebuah isu.
Kebijakan umum biasnya berisikan pernyataan yang bersifat umum. Pernyataan umum
ini memberikan asumsi yang lebih spesifik pada sub-sector.
Perumus kebijakan seharusnya mendasarkan kebijakannya berdasarkan kajian,
pencarian bukti dan perdebatan dalam mengidentifikasi isu atau kebutuhan, sebagaimana
pandangan yang diusulkan untuk menyikapi isu atau kebutuhan tersebut. Sebagaimana
disebutkan di bagian sebelumnya, pencarian bukti dan data dilakukan secara metodologis
dan dapat dipertanggungjawabkan.
C. Siklus Kebijakan Pendidikan
UNESCO (2013:8) memberikan panduan pada tahapan-tahapan yang merupakan
siklus kebijakan dalam sektor pendidikan sebagai berikut:
Gambar 5.2.: Tahapan dalam siklus kebijakan di bidang pendidikan
(sumber UNESCO 2013)
Sebelum tahapan tersebut dimulai perumus kebijakan harus menetapkan cara
pandang (vision/visi) sebuah tujuan strategis. Misalnya, pada saat sebuah partai politik
memenangkan kursi mayoritas di parlemen dan membentuk pemerintahan, mereka harus
menetapkan tujuan strategis dalam bisang pendidikan, misalnya: meningkatkan
partisipasi dari kaum muda yang berasal dari latar belakang ekonomi kelas bawah dalam
bidang pendidikan menengah.
Setelah itu baru dilakukan analisis kebijakan, sebagai langkah pertama. Ketika visi
sudah ditetapkan, siklus kebijakan dimulai dengan melakukan analisis terhadap situasi
terkini dan kesepakatan tentang arah kebijakan dalam mencapai visi. Berbagai pilihan
kebijakan kemudian diformulasikan, dirancang pembiayaannya dan dinilai. Tahapan ini
berkahir dengan menetapkan prioritas dan pentahapan berikut yang harus dilakukan.
1) Tahap perencanaan dilakukan berdasarkan arah kebijakan dan prioritas yang
telah diidentifikasi, strategi implementasi dirancang disertai dengan berbagai
aktivitas yang sudah dirinci dan dirancang keuangannya. Selama tahapan ini,
serangkaian output yang kongkret, target, tindakan dan tahapan waktu sudah
ditetapkan, sebagaimana juga peranan dan tanggung jawab dari setiap pihak
berkenan, ditambah dengan sumberdaya yang dibutuhkan. Kerangka monitoring
dan evaluasi juga sudah harus ditampilkan secara jelas selama tahapan ini
dilakukan.
2) Tahap implementasi dimana aktivitas yang sudah direncanakan dan dianggarkan
diimplementasikan sesuai dengan tahapan waktu dan tanggungjawb masing-
masing dalam rangka mencapai target.
3) Terakhir dilakukan evaluasi yang terdiri dari serangkaian aktivitas yang secara
reguler dimonitor dan direview. Berbagai penyesuaian dapat dilakukan jika
diperlukan. Berbagai aspek seperti relevansi, efisiensi, efektivitas, dampak dan
keberlanjutan juga dievaluasi. Sebagai hasil dari evaluasi kemudia diberikan
masukan untuk menginformasikan dan meningkatkan kebijakan-kebijakan yang
di hasilkan di masa depan.
D. Konteks Sistem Pendidikan
Sektor pendidikan tidak berfungsi secara terpisah dengan sektor-sektor lain baik
secara nasional, regional maupun internasional. Reformasi sektor pendidikan akan
mempengaruhi sektor-sektor lain. Reformasi kebijakan pendidikan seringkali ditujukan
untuk menyikapi kebutuhan tertentu dan juga dipengaruhi oleh agenda pendidikan
regional dan global. Pada saat ini secara global sedang diprioritaskan komitmen kepada
Education for All (EFA) yaitu komitmen internasional untuk memberikan pendidikan
dasar yang berkualitas tinggi untuk semua anak-anak, remaja dan dewasa. Komitmen ini
diproklamirkan pada tahun 1990 dan dikonfirmasi ulang pada tahun 2000 dan lebih
ditajamkan pada enam tujuan pendidikan yang akan dicapai tahun 2015. Seiring dengan
itu pada bulan September 2000 dirumuskan pula delapan agenda pembangunan yang
disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs) yang juga merancang pencapaian
target spesifik pada tahun 2015.
Tujuan-tujuan yang tercantum dalam MDGs dan EFA memberikan kerangka
pembangunan internasional yang akan digunakan untuk mengukur dan membandingkan
pencapaian di tingkat globalm regional dan nasional. Kebanyakan negara mencantumkan
tujuan-tujuan ini dalam kebijakan pembangunan dan sistem monitoring mereka, demikian
pula dua angenda ini dijadikan dasar untuk memobilisasi sumberdaya di bidang
pendidikan.
Topik-topik yang merupakan bagian dari MDGs adalah kemiskinan (poverty),
pendidikan (education), kesehatan (health), kesetaraan (equality), lingkungan
(environment) dan kemitraan (partnership). Pendidikan adalah kunci dalam pencapaian
semua aspek dalam MDGs. Dengan demikian EFA dianggap sebagai pre-kondisi dalam
pencapaian MDGs. Tujuan EFA berhubungan dengan MDGs, tetapi memberikan
penekanan yang kuat kepada kualitas pendidikan dan mengembangkan ruang lingkup
aspek pendidikan di MDGs menjadi perspektif pembelajaran sepanjang hayat (lifelong
learning), yang juga seiring dengan pengembangan aspek kesehatan.
Gambar 5.3.: Kaitan antara tujuan MDGs dengan tujuan EFA
(sumber UNESCO 2013)
Disadari adanya kemungkinan bahwa tujuan EFA akan dilupakan ketika negara-
negara hanya menekankan kepada pencapaian tujuan MDGs. Sebagai contoh: karena
MDG dan EFA juga menekankan kepada akses kepada pendidikan dasar, area lain bidang
pendidikan seperti kemampuan baca tulis (literacy) dan keterampilan hidup (life skills),
jenjang pendidikan lain setelah pendidikan dasar, pendidikan teknik dan kejuruan dan
pelatihan cenderung dilupakan oleh donor dan pemerintah. Ketika peningkatan kualitas
pendidikan menjadi tujuan EFA nomor 6, MDG tidak secara eksplisit mencantumkan
kualitas pendidikan, dan ini terlihat seperti tidak menjadi prioritas sebagaimana halnya
dengan akses pendidian.
Dengan demikian, dalam melakukan analisis terhadap kebijakan pendidikan nasional
dalam kaitannya dengan tujuan EFA timbul beberapa pertanyaan, seperti:
1. Sejauhmana kebijakan pendidikan nasional memiliki komitmen yang terintegrasi
dengan pencapaian tujuan EFA? Jika tidak ada atau sangat sedikit, apa yang harus
dilakukan untuk merealisasikan komitmen tersebut?
2. Apakah komitmen sebuah negara dimaksud terhadap sumberdaya yang memadai
seiring dengan harapan internasional dalam mencapai tujuan EFA/
3. Apakah negara dimaksud secara aktif mengelola perkembangan ke arah
pencapaian EFA? Jika iya, maka apakah yang sudah dicapai dan apa yang masih
menjadi kekurangan? Apakah terdapat kebijakan dan tindakan yang dilakukan
untuk mengakselerasi pencapaian EFA?
4. Apakah penekanan di masa lalu pada berbagai aspek tertentu dalam bidang
pendidikan memberikan efek yang mengganggu pada kebijakan pendidikan secara
keseluruhan? Apakah fokus kepada akses sudah mempertimbangkan pendekatan
terhadap kualitas dan keseimbangan pada pendidikan menengah dan lanjutan?
Di samping komitmen pada EFA dan MDGs yang sudah dijelaskan di atas terdapat
serangkaian komitman dan kebijakan internasional yang menjadi pemandu bagi reformasi
kebijakan pendidikan di tingkat nasional. Aneka kebijakan dan perjanjian ini membantu
untuk membentuk cara pikir dalam perumusan kebijakan publik, diantaranya:
1. Pasal 26 the Universal Declaration of Human Rights (1948);
2. The Convention against Discrimination in Education (1960);
3. The International Convestion on Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (1965);
4. The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(1979);
5. The Convention of the Rights of the Child (1989);
6. The Agreement on the Importation of Educational, Scientific and Cultural
Materials (1976);
7. The Convention on Technical and Vocational Education (1979); dan
8. The Regional Convention on the Recognition of Studies, Diplomas and Degrees
in Higher education in Asia and the Pasific (1983).
Ketika melakukan analisis terhadap kebijakan pendidikan nasional dan
implementasinya, perlu dilakukan verifikasi sejauhmana berbagai konvensi dan
perjanjian internasional dan regional ini sudah cukup dihargai, diakomodasi dan
diimplementasikan, serta apa tindakan yang sudah dilakukan pada saat terjadi defisiensi.
Pendidikan merupakan sektor kunci dalam pembangunan nasional. Untuk dapat
dilaksanakan secara efektif, kebijakan pendidikan harus dirancang berkaitan dengan
kebijakan pembangunan sektor-sektor lain. Pendidikan usia dini adalah sebuah sub-sektor
yang berhubungan langsung dengan bidang pendidikan secara umum, kesehatan dan
pembangunan komunitas. Technical and Vocational Education and Training (TVET)
berkaitan secara dekat dengan ekonomi dan lapangan kerja. Dengan demikian, kebijakan
pendidikan nasional harus mempertimbangkan dan mencerminkan beberapa faktor dan
konteks penting yaitu geografi, demografi, ekonomi, sosial budaya dan politik.
Gambar 5.4.: Gambaran umum konsep pembangunan nasional
(sumber UNESCO 2013)
1. Geografi dan Demografi
Faktor geografi seperti pegunungan, laut, danau, sungai, jalan, dan iklim
sebagaimana juga faktor demografis seperti struktur populasi, distribusi
penduduk, pertumbuhan penduduk dan lain-lain memberikan informasi terhadap
pengambilan keputusan tidak hanya berkaitan dengan jumlah dan lokasi sekolah,
pelatihan dan pendistribusian guru, penerbitan dan diseminasi materi
pembelajaran dan lain-lain, tapi juga menentukan prioritas investasi dan skala
prioritas di dalam sistem pendidikan itu sendiri. Dengan memahami komposisi
etnik, agama dan linguistik dari populasi akan membantu kebijakan pendidikan
untuk memberikan arah pertimbangan terhadap perbedaan bahasa, kepercayaan,
kebiasaan dan praktek dari berbagai kelompok yang berbeda dalam sebuah
negara. Data-data geografis dan demografis dari setiap negara harus tersedia
setiap saat dalam dapat diakses oleh berbagai sumber nasional dan internasional,
termasuk kantor statistik nasional dan lain-lain.
2. Ekonomi
Struktur dan karakteristik ekonomi nasional memiliki peranan yang penting dalam
mempengaruhi kebijakan pendidikan. Perubahan yang terjadi pada pola produksi
dan lapangan kerja dalam artian komposisi sektor pertanian-industri-jasa adalah
faktor kunci dalam pembangunan sumberdaya manusia dan kebijakan pendidikan.
Tingkat pendapatan (income level) mempengaruhi akses pada keluaran
pendidikan dan pelatihan. Iklim ekonomi juga menentukan anggaran dan
sumberdaya finansial yang tersedia pada sektor pendidikan. Para analis kebijakan
pendidikan karena itu harus memberikan perhatian secara seksama terhadap
interaksi antara pendidikan dan ekonomi. Besarnya komposisi belanja di bidang
pendidikan publik terhadap GDP atau total belanja pemerintah tidaklah selalu
seiring dengan kualitas pendidikan yang lebih baik. Contoh dan pengamaan dari
berbagai negara menunjukkan bahwa efektifitas pengeluaran di samping aspek
transparansi dan akuntabilitas dalam pengeluaran merupakan elemen kunci dalam
menentukan nilai uang (value for money) dalam sektor pendidikan.
3. Masyarakat dan Kebudayaan
Keefektifan pendidikan sebagai jenis pelayanan umum yang utama, seringkali
dipengaruhi oleh struktur sosial. Sebagaimana kajian ilmu sosial menunjukkan
bahwa struktur sosial merupakan kombinasi berbagai faktor seperti kelas
pendapatan, etnik, kelompok linguistik dan agama, keterbelakangan sosial,
kelompok termarjinalisasi dan rentan. Beberapa dari kelompok sosial ini memiliki
perbedaan sikap dan nilai terhadap kegunaan pendidikan, prioritas dan bagaimana
ia didapatkan. Kultur tradisional melihat dengan skeptis pengaruh dari
persekolahan dalam hal akses dan partisipasi. Pandangan ini berhubungan dengan
konten dan metode pendidikan termasuk bahasa yang digunakan dalam mengajar
dan belajar. Analis kebijakan pendidikan karena itu harus melihat secara intensif
dalam hal interaksi antara sektor pendidikan dengan isu-isu sosial budaya.
4. Politik
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya kebijakan adalah tentang politik.
Perumusan kebijakan dalam pendidikan harus sesuai dengan kebijakan
pembangunan nasional secara umum serta konteks politik yang mewarnainya.
Perangkat utama ketika melakukan analisis kebijakan pendidikan nasional adalah
untuk memakami mekanisme politik dan administrasi, di mana dan bagaimana
keputusan dibuat, siapa yang menjadi pemain utama, apakah kekuatan dan
kelemahan yang mereka miliki, dan apakah perubahan masa depan yang mungkin
terjadi dalam politik.
Pemahaman kepada faktor-faktor di atas akan memberikan dasar dalam menilai
bagaimana kebijakan pendidikan dan pembuatan keputusan dipengaruhi oleh konteks
politik, serta bagaimana kebijakan pendidikan akan mempengaruhi secara proaktif
konteks politik pada akhirnya. Rancangan administratif untuk pendidikan, termasuk
tingkat desentralisasi dari pengambilan keputusan juga memliki efek yang kuat kepada
pendidikan. Beberapa kementrian di negara tertentu sangat sentralistik dalam hal
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan. Sementara itu negara lain mungkin
telah menyerahkan kewenangan perumusan kebijakan dan tanggungjawab perencanaan
ke tingkatan sub-nasional.
E. Dimensi dalam Analisis Kebijakan Pendidikan
Sektor pendidikan memiliki beberapa sub-sektor yaitu: pengasuhan dan pendidikan
usia dini (early childhood care and education), pendidikan dasar (primary education),
pendidikan menengah (secondary education), pendidikan tinggi (higher education),
pendidikan dan pelatihan teknis dan kejuruan (tehnical and vocational education and
training) serta pendidikan non-formal (non-formal education). Setiap subsektor dapat
dianalisis melalui berbagai aspek kunci dan dimensi yang spesifik untuk bidang
pendidikan.
Akses dan Pemerataan
Pasal 26 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia PBB mencantumkan hak atas
pendidikan sebagai salah satu dari hak dasar manusia. Sebagaimana halnya dengan
kesehatan, pendidikan merupakan salah satu pelayanan utama dan dengan sendirinya
pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan seluruh warganegara akses kepada
pendidikan yang dicantumkan dalam konstitusi kebanyakan negara.
Dengan demikian hal-hal kunci yang disasar dalam analisis kebijakan di bidang
pendidikan adalah untuk memastikan (1) adanya fasilitas pendidikan yang memadai di
negara bersangkutan (2) setiap orang mendapatkan akses kepada kesempatan
mendapatkan pendidikan (3) setiap orang berpartisipasi secara penuh dan mendapatkan
manfaat secara adil dalam pendidikan. Tingktan dimana kebijakan dan perencanaan
pendidikan yang ada telah menyikapi hal-hal kunci di atas dan disparitas yang terjadi
merupakan bagian yang penting dalam analisis kebijakan pendidikan.
Akses adalah ketika fasilitas pendidikan dan kesempatan dapat dijangkau oleh
semua masyarakat yang memerlukan pendidikan. Hal ini dapat merujuk kepada lokasi
dan ukuran sekolah, apakah ia mampu menjangkau area geografis dan populasi di dalama
negara. Ia juga merujuk kepada persentase populasi yang dapat mengakses dan
menggunakan berbagai fasilitas dan kesempatan. Pada pendidikan dasar hal ini diukur
dengan beberapa indikator seperti daya tampung, rasio daya tampung, daya tampung
menurut usia dan pada pendidikan menengah bisa mengukur tingkatan transisi daya
tampun sekolah menengah terhadap lulusan sekolah dasar.
Partisipasi adalah sejauh mana populasi mengambil bagian dan memanfaatkan
pelayanan pendidikan yang ada, idealnya melalui durasi pelayanan sampai kepada akhir
periode pendidikan. Sering terjadi seseorang tidak berpartisipasi secara penuh dan efektif
dalam tingkatan pendidikan dimaksud. Indikator yang digunakan biasanya tingkat
ketamatan (atau malah putus sekolah), mengulang atau bahkan drop out.
Pemerataan adalah salah satu aspek yang penting dalam kebijakan pendidikan.
Tingkat pemerataan dalam pelayanan mempengaruhi akses kepada pendidikan. Analisis
tentang pemerataan menilai apakah pelayanan pendidikan telah diberikan secara
seimbang untuk setiap golongan masyarakat. Kebanyakan analisis tentang pemerataan
pendidikan melupakan data-data spesifik berdasarkan gender, wilayah administratif,
lokasi geografis, kelompok sosial budaya, persentase pendapatan, level pendidikan dan
tipe pemberi layanan (publik, semi-publik atau swasta). Juga diperlukan analisis tentang
kencenderungan terhadap perubahan lintas watu, seperti di masa lalu, saat ini dan di masa
depan.
Kualitas
Tidak ditemukan adanya definisi yang universal tentang pendidikan yang berkualitas
baik, berbagai definisi bisa saja diajukan. Global Monitoring Report 2005 merumuskan
lima faktor utama yang mempengaruhi kualitas: konteks, karakateristik pembelajar,
inputs, proses belajar mengajar, dan keluaran. Saat ini kualitas pendidikan didekati
melalui kacamata hasil pembelajaran (learning outcomes) termasuk kemampuan tulis
baca, kemampuang berhitung, keterampilan berpikir kritis, keterampilan kerja,
warganegara yang bertanggungjaab dan lain-lain. Ini digolongkan menjadi kemampuan
kognitif dan non-kognitif.
Gambar 5.5.: Rantai hasil pendidikan
(sumber UNESCO 2013)
Strategi dan kebijakan pendidikan nasional dapat dianalisis mengarah kepada
besarnya perhatian diberikan pada kualitas. Ini dilakukan terhadap beberapa kenyataan
yang tidak hanya tentang inputs sepeti karakteristik pembelajar, kapasitas dan motivasi
guru, material instruksional dan lingkungan fisik, tetapi juga bagaimana cara kebijakan,
lembaga, pimpinan dan guru melakukan intervensi dalam memfasilitasi pembelajaran
yang efektif.
Manajemen
Aspek manjemen adalah dengan memastikan bahwa kebijakan dan rencana yang
diimplementasikan berjalan dengan efisien dan efektif. Analisis terhadap manajemen
melingkupi kelembagaan (perencanaan, formulasi dan implementasi kebijakan), proses
(program dan proyek dalam pemberian pelayanan/service delivery), sumber daya
(manusia dan finansial) dan kinerja (monitoring, evaluasi dan kendali mutu). Agenda
manajemen tidaklah mudah dijawab karena melibatkan isu yang sangat kompleks, namun
penting dalam mencapai tujuan pembangunan sektor pendidikan. Manajemen publik
menekankan kepada pengukuran hasil (bukan output). Tatakelola publik menekankan
kepada bagaimana lembaga-lembaga saling berinteraksi satu sama lain dalam upaya
mencapai hasil yang baik dan diinginkan. Beberapa isu kunci dalam aspek manajemen
adalah pemberian pelayanan pendidikan, kapasitas kepemimpinan, transparansi dan
akuntabilitas.
Pendanaan
Peranan pendanaan baik penganggaran, realisasi maupun akuntabilitas sangat utama
dalam pencapaian tujuan pendidikan. Ini juga berkaitan dengan bagaimana sumberdaya
finansial dimobilisasi, dialokasikan dan digunakan dalam pemberian pelayanan
pendidian. Pengelolaan pendanaan di bidang pendidikan harus melihat kepada tiga
dimensi yaitu: ketersediaan dan sumber, alokasi dan pemanfaatan. Meskipun sering
ditukarkan penggunaan sumber (resources) dan bantuan (funds), namun pada akhirnya
semua tipe sumber pendanaan harus dikonversikan ke dalam istilah moneter untuk
menfasilitasi sektor pendidikan dalam proses penganggaran dan mengintegrasikan ke
dalam perencanaan sosial ekonomi negara atau wilayah secara keeluruhan. Harus
dibedakan antara perencanaan keuangan (anggaran/budget) dengan pembelanjaan (actual
expenditure), ini disebut sebagai “budget variance”. Sering terjadi alokasi yang
dianggarkan tidak terealisasi dengan baik karena manajemen yang tidak bekerja efektif
dan efisien.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi (M&E) merupakan bagian integral dari siklus kebijakan. M&E
terdiri dari kegiatan pengumpulan dan analisis informasi yang memberikan kemampuan
kepada aktor kebijakan untuk belajar berdasarkan pengalamam masing-masing dan
memberikan indikasi terjadinya peningkatan dalam kebijakan dan dalam implementasi
lebih lanjut. Perlu diperhatikan perbedaan antara monitoring, review dan evaluasi.
Monitoring, tidak hanya merupakan evaluasi, tetapi juga merupaka proses dimana
kegiatan secara reguler diobservasi dan dianalisis terutama menekankan kepada aspek
efisiensi. Review, mirip dengan monitoring, tetapi dilakukan oleh pihak yang
bertanggungjawab kepada aktivitas, tidak sesering monitoring dilaksanakan tetapi fokus
kepaa efektivitas dan memastikan bahwa aktivitas sudah menghasilkan output yang
diinginkan. Evaluasi, biasanya dilakukan oleh pihak eksternal. Evbaluasi menekankan
kepada dmpak dari program di samping juga aspek keberlanjutannya.
F. Isu Lintas Sektor
Seluruh sub-sektor bidang pendidikan saling berhubungan secara dekat, hubungan itu
diperkuat oleh beberapa isu lintas sektor yang menyeberangi seluruh level dan tipe
pendidikan dan langsung mempengaruhi dimensi analitis yang berkaitan dengan akses,
kualitas dan manajemen tata kelola pendidikan. Kaitannya dengan prioritas yang
ditetapkan oleh UNESCO, tema-tema lintas sektor ini terdiri dari: kebijakan keguruan,
gender, pembangunan berkelanjutan, HIV dan AIDS, teknologi informasi dan
komunikasi, serta tata kelola statistik dan informasi pendidikan.
Kebijakan Keguruan
Kualitas pendidikan di setiap negara terutamanya tergantung dari kualitas tenaga
keguruan, yang termasuk di dalamnya para guru dan praktisi dalam sistem pendidikan
dan dalam lembaga pendidikan tinggi, instruktur teknis dan lembaga kejuruan, serta
fasilitator dalam pusat-pusat dan program pendidikan non-formal. Para analis kebijakan
yang berkaitan dengan keguruan dituntut untuk melihat kepada isu yang berkaitan dengan
rekrutmen, pelatihan, penempatan, kompensasi, kondisi kerja dan pengembangan karir
mereka. Pendidikan dan pelatihan para guru, baik sebelum bertugas (pre-service training)
maupun selama bertugas (in-service training) merupakan komponen yang sangat penting
dalam analisis tersebut.
Pelatihan guru dan pengembangan profesional tingkat lanjut berkaitan dengan
beberapa isu berkaitan dengan organisasi, konten, metode dan kualitas program pelatihan
duntuk semua tingkatan dan tipe pendidikan. Termasuk juga pelatihan dengan berbagai
pendekatan yang berbedda untuk pengembangan profesionalisme guru dan personil
pendidikan yang lain. Isu ini juga berkaitan dengan standar profesionalitas dan kode etik
tenaga kependidikan tersebut. Sementara itu untuk bidang rekrutmen dan managemen
keguruan, tidak terlepas dari isu yang berkaitan dengan kebutuhan guru dan kelebihan
ketersediaan guru, seleksi yang dilakukan untuk profesi pengajaran, serta penempatan
dan pemindahan (transfer) guru (deployment and redeployment). Managemen atau
tatakelola guru tidak dapat dilepaskan dari kriteria yang dtetapkan untuk melamar yang
harusnya berhubungan dengan program pendidikan guru, ada juga kebijakan yang
berhubungan dengan penempatan khusus guru di daerah-daerah yang terpencil dan untuk
guru yang bertugas melakukan pengajaran pada pembelajar yang memiliki kebutuhan
khusus, supervisi dan penilaian terhadap kinerja guru. Sementara itu, kondisi kerja dan
status gur juga harus menjadi perhatian bagi para analis kebijakan. Isu yang berkaitan
dengan ini termasuk beban kerja guru, status kepegawaian, kompensasi dan tunjangan,
kesempatan kerja, pengembangan karir dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan.
Jender
“Gender” barkaitan dengan identifikasi peranan sosial wanita dan pria dalam
keluarga, masyarakat dan budayanya. Konsep jender termasuk harapan-harapan yang
dibebankan kepada karakteristik, bakat dan perilaku mereka. Peranan dan harapan yang
dibebankan dan diharapkan ini merupakan hasil dari pembelajaran dari masa lalu yang
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bukanlah ditentukan oleh
faktor biologis ataupun sesuatu yang tetap selamanya, mereka bisas berubah untuk
kepentingan keadilan dan kesetaraan di antara wanita dan pria.
Tujuan-tujuan yang tercantum dalam MDGs dan EFA menggarisbawahi pentingnya
kesetaraan jender dalam pendidikan. Kesetaraan jender dalam pendidikan dicapai ketika
wanita dan lelaki memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki akses dan partisipasi
dalam pendidikan. Kurikulum yang sensitif jender, bahan ajar, dan proses belajar
mengajar membuat wanita dan pria mampu dilengkapi secara setara dengan keterampilan
hidup dan sikap yang akan mereka butuhkan nantinya untuk mencapai potensinya
sepenuhnya. Tambahan lagi, pendidikan yang sensitif jender membuat mereka menyadari
hak asasi mereka di dalam dan dil luar sistem pendidikan, terlepas dari jenis kelamin
mereka.
Kesetaraan jender merupakan sebuah isu yang lintas sektor yang harus menjadi
bahan pertimbangan bagi semua level dan aspek pendidikan. Hal ini menuntut adanya
penilaian terhadap implikasinya terhadap baik wanita maupun laki-laki pada setiap
kebijakan dan tindakan yang direncanakan atau diistilahkan sebagai “gender
mainstreaming”. Hal ini merupakan strategi untuk menciptakan kepedulian dan
pengalaman bagi wanita dan pria sebagai bagian intergral dari disain, implementasi,
monitoring dan evaluasi kebijakan dan program dari semua wilayah, termasuk
pendidikan. Dengan demikian semua wanita/gadis dan laki-laki/remaja pria mendapatkan
manfaat secara setara dan adil.
Kerangka hukum (legal framework) dan kemampuan kebijakan untuk menciptakan
kesetaraan jender akan memberikan kekuatan kepada lingkungan dalam mempromosikan
jender secara setara, terutama dalam kerangka hukum yang adil dan kebijakan yang tidak
diskriminatif. Banyak negara sudah merancang kerangka hukum dan kebijakan yang
setara jender dan menterjemahkannya ke dalam kebijakan dan tindakan nyata. Medeiros
et. al. (2015:252) salah satu kajian yang memberikan rekomendasi untuk perlunya
affirmative action dalam menciptakan kesetaraan pendidikan melalui kebijakan seperti
undang-undang, peraturan dan perencanaan yang adil.
Material kurikulum sering memberikan gambaran dan ide yang berkontribusi
terhadap stereotip jender dan internalisasi dan menerima perilaku-perilaku yang bernada
sama. Ini dinamakan kurikulum dan materi bahan ajar yang bias jender (gender bias).
Demikian juga berkaitan dengan jurang jender (gender gap) antara pendidikan tinggi dan
pendidikan dasar. Varian yang melebar dalam pengembalian sosial dan ekonomi pada
level pendidikan yang berbeda untuk anak lelaki dan anak perempuan mungkin menjadi
penyebab utama jurang ini. Ketika sampai ke jenjang pendidikan tinggi, prioritas
diberikan kepada anak lelaki.
Pembangunan Berkelanjutan
Dunia menghadapi degradasi lingkungan yang serius disertai perubahan iklim.
Diperkirakan konsumsi kolektif manusia terhadap sumberdaya alam 1,4 kali lebih cepat
daripada kemampuan bumi untuk memulihkan dirinya. Dengan populasi global sekitar 7
miliar dan diproyeksikan akan mencapai 9 miliar pada tahun 2050, ketegangan dan
ancamanan oleh manusia terhadap lingkungan akan merupakan tantangan utama. Karena
isu lingkungan diciptakan oleh kegiatan manusia, hal ini hanya bisa dimitigasi melalui
cara membuat manusia memiliki pengetahuan dan sensitifitas. Education for Sustainable
Development (ESD) ditujukan untuk memberi penguatan individu melalui sikap,
perilaku, pengetahuan, dan keterampilan untuk menciptakan msyarakat yang adil
terhadap generasi saat ini dan akan datang.
ESD melengkapi siswa dengan kemampuan untuk mempertanyakan aspirasi
konvensional dan menantang cara manusia memandang dunia. Ia juga membuat siswa
untuk membayangkan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan serta terlihat dari
bagaimana nilai-nilai, kepercayaan dan perilaku kita akan membawa kita ke arah tujuan
tersebut. ESD dengan demikian adalah berkaitan dengan belajar untuk berubah dan
belajar tentang peerubahan. ESD merupakan konsep holistik yang mencakup isu sosial,
budaya, lingkungan dan ekonomi sehingga memiliki potensi untuk menyentuh setiap
aspek kehidupan dan melibatkan strategi pemebelajaran yang komprehensif. Intervensi
ESD akan mencakup pendidikan guru, pengembangan kurikulum, perencanaan dan
kebijakan pendidikan, serta aktivitas di ruang kelas. Keterlibatan media dan stakeholders
lain untuk meningkatkan kepedulian dan memberikan pendidikan juga marupakan bagian
strategis dari ESD.
ESD menjadi platform pendidikan tantang bagaimana menciptakan lingkungan yang
berkelanjutan dimana masyarakat dan kehidupan manusia tergantung padanya. Konsep
utama ESD didefinisikan dengan berbasikan kepada konteks nasional dan prioritas
nasional, yang konteksnya mungkin berhubungan dengan berbagai bidang yang berbeda-
beda seperti konservasi air bersih, kesehatan, perdamaian dan resolusi konflik, mitigasi
bencana, pengendalian polusi dan kelaparan. Untuk Asia dan Pasifik, UNESCO
menempatkan pendidikan perubahan iklim dan reduksi resiko bencana sebagai prioritas.
Tujuan MDGs ke-7 yaitu “to ensure environmental sustainability”. Maksudnya
adalah untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam
program dan kebijakan negara dengan tujuan untuk mengurangi efek emisi rumahkaca,
mengurangi kehilangan biodiversitas, meningkatkan akses pada air minum yang bersih
dan seterusnya. Degradasi lingkungan disebabkan oleh aktivitas manusia yang
berdampak kepada kesempatan ekonomi komunitas. Pada beberapa kasus kelangkaan
sumberdaya seperti air dan makanan mengakibatkan kematian, kelaparan, migrasi dan
aneka konflik.
Bahaya alam dan bencana alam merupakan ancaman utama bagi kesejahteraan dan
pembangunan manusia. Pendidikan akan memainkan peranan untuk mitigasi resiko,
pengaman pembangunan dan menyelamatkan kehidupan. Perencanaan yang baik dan
penyampaian program pendidikan reduksi resiko bencana alam melalui pendekatan
pedagogis yang inovatif, pengembangan kurikulum dan pelatihan guru akan berakibat
langsung kepada persiapan yang lebih baik.
Hubungan dengan komunitas merupakan salah satu solusi dari keberlanjutan
pelaksanaan konsep di atas. ESD memberikan kaitan langsung pembelajaran tentang
ekonomi, lingkungan dan isu sosial. Dengan menghubungkan antara ESD dengan
komunitas secara langsung melalui pendekatan pemecahan masalah akan membantu
mentransformasikan pendidikan dari sebuah proses transfer informasi menjadi aplikasi
pengetahuan yang relevan. Dikenal adanya manfaat strategis dari mengintegrasikan
prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam ESD, diantaranya dicapai melalui
pedagogi berpusatkan pembelajar, pengalaman lapangan dan pembelajaran berbasiskan
proyek, kurikulum yang lebih terintegrasi dan mendukung pada terciptanya keterampilan
dalam berpikir kritis.
HIV dan AIDS
Sektor pendidikan memainkan peran yang signifikan dalam menyikapi wabah HIV.
Sektor ini dapat membantu mencegah menyebarnya HIV melalui edukasi dan, di negara-
negara yang terdampak HIV secara luas, melalui mengambil langkah untuk melindungi
siswa dan guru dari efek HIV dan AIDS. Pendidikan HIV ddan AIDS terutama di sekolah
akan membentuk sikap, opini dan perilaku individu, sehingga dapat mencegah penyakit
ini terutama pada populasi yang rentan. Tambahan lagi, ia akan dapat berkontribusi untuk
mengurangi stigma dan diskriminasi yang terjadi di lingkungan pendidikan dan
komunitas., melalui pengajaran tentang aspek sosial dan biologis dari HIV dan AIDS. Ia
akan memberikan kontribusi yang signifikan melalui pendukungan peningkatan
kesehatan secara umum, dan melalui membantu meningkatkan status kesehatan kalangan
muda melalui upaya-upaya sekolah dan jangkauan lebih jauh ke komunitas.
Respon terhadap AIDS dalam dunia pendidikan pada level nasional akan terbentuk
melalui kombinasi berbagai instrumen kebijakan, kebijakan pendidikan yang spesifik
menyasar HIV dan AIDS atau kebijakan yang terkait terintegrasi ke dalam perencanaan
pendidikan lintas sektor. Kebijakan sektor pendidikan yang berkaitan dengan HIV dan
AIDS dimaksudkan untuk menjadi panduan terhadap respons yang komprehensif dan
eksplisit sebagai bagian dari upaya multisektor. Ini memberikan informasi terhadap setiap
fungsi dari sistem pendidikan dan sektor manajemen, termasuk pengembangan regulasi
dan panduan yang memberikan dampak legalistik kepada kebijakan sektoral tentang HIV
dan AIDS.
Secara kongkrit tema HIV dan AIDS dalam sektor pendidian diarahkan kepada
empat buah tema spesifik: (1) pencegahan (prevention) hal ini menuntut adanya
perubahan dalam arah kurikulum menuju pengajaran keterampilan hidup (life skills)
termasuk pendidikan HIV dan perilaku seksual, pelatihan guru dan persiapan serta materi
instruksional. (2) perawatan, pengobatan dan dukungan (treatment, care and support) ini
merupakan sisi dari sektor pendidikan, memerlukan kordinasi dan kerjasama yang erat
dengan sektor kesehatan dalam upaya untuk memberikan perawatan dan dukungan,
perlindungan dari diskriminasi dan isu akses pada perawatan psikososial untuk
pembelajar dan para guru. (3) isu tempat kerja dan diskriminasi (workplace issues and
discrimination), serangkaian kebijakan dan regulasi yang diperlukan untuk menyikapi
gesekan terhadap guru karena wabah dan isu diskriminasi terhadap para guru dan siswa
yang hidup dengan HIV. (4) Keterlibatan dan tatakelola sektoral (sector-wide
engagement and management) HIV dan AIDS dalam pendidikan tidak akan efektif jika
disikapi oleh para spesialis saja. Ia harus berkaitan dengan seluruh sektor dalam semua
tahap manajemen pendidikan dan melibatkan semua stakeholders dalam pengembangan
dan tatakelola kebijakan. Integrasi dari response terhadap AIDS kedalam rencana dan
anggaran pendidikan lintas sektor untuk memastikan keberhasilan fungsi, monitoring,
dan pemberlakukan kebijakan. Rencana yang berkaitan akan paling efektif ketika ia
realistik, dengan anggaran dan batas waktu layak, serta didasari oleh konsultasi yang luas
dan strategis untuk memobilisasi sumber daya.
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Saya menemukan sebuah artikel yang menarik yang ditulis oleh Infeld dan Adams
(2014:445) yang membahas tentang peranan dan potensi Wikipedia dalam pembelajaran
dan meningkatkan kualitas kebijakan publik melalui konten online. Wikipedia yang
dianggap sebelah mata oleh banyak pengajar, ternyata secara pedagogis memiliki nilai
yang tinggi. Ini salah satu bukti bahwq Teknologi informasi dan komunikasi (ICT)
memiliki potensi untuk meningkatkan akses pada informasi, membuat pembelajaran
tersedia kapan saja, dimanapun, dan membuat pembelajaran lebih menyenangkan pada
para pembelajar, karena itu pada gilirannya meningkatkan level partisipasi dan hasil
pembelajaran. Penggunaan ICT akan dapat meningkatkan kualitas pengajaran, memberi
peluang pada menciptakan bahan ajar yang lebih relevan dan memancing, meningkatkan
tata kelola pendidikan, mengembangkan langkah-langkah pelayanan pendidikan dan
membuat pelayanan menjadi lebih hemat biaya.
Istilah teknologi informasi dan komunikasi berbentuk segala bentuk teknologi yang
digunakan untuk memindahkan, proses, menyimpan, menciptakan, menampilkan,
membagi atau bertukar informasi melalui perangkat elektronik. Contoh dari bentuk-
bentuk ICT yang digunakan dalam pendidikan termasuk segala sesuatu program radio
pendidikan, DVD, aplikasi dalam telefon mobil dan program komputer interaktif. ICT
dalam pendidikan adalah tema lintas batas pada setiap tipe dan level pendidikan.
Kebijakan berkaitan dengan penggunaan ICT akan ditemukan melekat ddengan area
pendidikan yang luas termasuk kebijakan pendidikan, pendidikan guru, pengajaran dan
pembelajaran, pendidikan non-formal, monitoring dan pengukuran perubahan, penelitian
dan berbagai pengetahuan, dan program-program ICT lintas sektor lainnya.
Beberapa isu kunci ICT dalam kebijakan pendidikan berhubungan dengan
membangun kebijakan dan perencanaan yang tepat untuk menfasilitasi integrasi antara
berbagai bentuk ICT pada sistem pendidikan. Dalam pendidikan guru dikembangkan
kapasitas guru untuk menggunakan ICT secara efektif dalam pembelajaran yang
berbasiskan siswa serta penggunaan ICT untuk melatih para guru. Aspek lain adalah
dengan membangun dan menyampaikan konten pembelajaran menggunakan ICT.
Terakhir, penggunaan ICT untuk pendidikan non-formal dan informal. ICT akan dapat
digunakan untuk membantu para remaja dan dewasa untuk memiliki kemampuan literasi
dan mengembangkan kesempatan dalam kehidupan mereka.
Tata Kelola Data dan Informasi Pendidikan
Data dan statistik sangat esensial sebagai basis bagi perumusan kebijakan yang
berdasarkan bukti (evidence based) dan mengimplementasikan dan memonitoring
program yang berdasarkan hasil (result-oriented). Bagaimanapun, data hanya akan
berguna jika relevan, handal, konsisten dan tersedia kapanpun. Banyak negara
mengembangkan sistem atau Educational Managemen Information System (EMIS) untuk
mengumpulkan data dan menghasilkan statistik yang up-to-date untuk pemanfaatan
kebijakan, namun banyak dari sistem ini belum mencapai tujuannya. Banyak ditermukan
pemahaman yang belum konsisten tentang terminologi, definisi, metodologi dan sumber
data dalam upaya menghasilkan indikator pendidikan yang baik. Hal ini akan
berpengaruh kepada akurasi dan kualitas data yang dikumpulkan. Institute for Statistics
UNESCO menyimpulkan bahwa kualitas data tergantung kepada beberapa dimensi
termasuk:
- Relevansi untuk kebijakan
- Validitas dan reliabilitas
- Potensi untuk menyimpulkan
- Relevan waktunya dan tepat
- Jelas dan transparan
- Dapat dibandingkan melalui standar yang ada
- Mudah diakses dan terjangkau
- Konsisten (dalam ruang dan waktu)
Dalam kaitan dengan perumusan kebijakan pendidikan, kualitas data ditentukan oleh
akurasi, keterhandalan dan informasi yang konsisten. Data yang berkualitas akan
membuat pengambil keputusan menhasilkan pilihan kebijakan yang tepat dan aktual.
Perencana dan ahli statistik harus memiliki hubungan yang erat. Statistik memainkan
peranan yang penting dalam setiap tahapan siklus kebijakan. Tidak adanya koordinasi
akan menghasilkan kesulitan dalam merumuskan kebijakan yang meyakinkan. Perencana
sering mempersiapkan rencana yang mencantumkan juga berbagai terget dan indikator
monitoring tanpa banyak melibatkan para ahli statistik dan tanpa validasi profesional
yang mereka lakukan, apakah indikator yang digunakan feasibel, bermakna dan realistik
dalam melakukan pengukuran. Sementara para ahli statistik, sibuk mengambil data tanpa
melakukan konsultasi dengan para perencana, hanya dengan berasumsi data-data itu akan
berguna untuk para perencana.
Gambar 5.6.: Kaitan antara perencanaan dengan statistik
(sumber UNESCO 2013)
Sejumlah besar data yang dikumpulkan di setiap negara, tetapi tidak mendapatkan
perhatian yang cukup mentransformasikan data ini menjadi informasi yang berguna yang
akhirnya menjadi dasar untuk mengambil keputusan. Beberapa data statistik hanya
berguna untuk waktu yang pendek. Para penyaji data juga harus memikirkan aspek
sustainability dan sistematiknya. Hal ini biasanya disebabkan oleh tidak dimilikinya
perencanaan yang jelas dan kurangnya pemahaman terhadap kelayakan data dalam
konteks negara.
G. Beberapa Bentuk Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis Kelemahan Struktural
Para perancang kebijakan memiliki dua macam permaslahan dalam perumusan
kebijakan dalam bidang pendidikan: menetapkan prioritas dalam melakukan intervensi
dan memilih instrumen yang tepat untuk melakukan intervensi. Mingat dan Tan (2003:9)
menyatakan bahwa analisis harus menetapkan konsep-konsep dasar dalam menganalisis
kelemahan struktural dalam pendidikan dengan menggunakan profil jalur pendidikan
siswa yaitu persentase tingkat keterlibatan siswa pada setiap tingkatan sebagai indikator
kuantitatif dari kelemahan. Seandainya diperlukan bantuan untuk mendanai proyek
pembangunan sekolah dalam rangka meningkatkan kesempatan mengikuti pendidikan di
tingkat lanjutan di kawasan pedesaan, terutama untuk siswa wanita. Untuk melihat
apakah usulan tersebut cukup masuk akal, langkah pertama adalah dengan menilai sejauh
mana siswa di kawasan pedesaan memiliki tingkatan transisi yang rendah antara
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Tabel 5.1.: Gross Enrollment Ratio berdasarkan kelompok populasi di wilayah A
(Sumber: Mingat and Tan 2003)
Gunakan data di atas untuk menghitung apparent transition rate untuk setiap
kelompok populasi dengan membagi gross enrollment ratio untuk pendidikan menengah
dengan rasio di pendidikan dasar. Jika data ini dianggap terlalu kasar, maka supaya lebih
rinci, gunakan data jumlah siswa di kelas pertama di kelas menengah dengan data jumlah
siswa di kelas terakhir pendidikan dasar. Intervensi kebijakan akan dilakukan
berdasarkan transition rate ini. Kebijakan bisa dengan membangun sekolah baru di
tingkatan sekolah menengah atau justru meningkatkan mutu pendidikan di pendidikan
dasar, tergantung kepada analisis lebih lanjut, bisa dengan menambahkan data siswa yang
tidak naik kelas dan mengulang pelajaran. Apakah permasalahannya pada mutu
pendidikan atau pada ketiadaan infrastruktur yang memadai.
Analisis Pembiayaan Pendidikan
Menganalisis biaya merupakan bahan dasar dari pekerjaan sektor dan proyek bidang
pendidikan. Banyak cara untuk melakukan analisis tergantung kepada tujuan spesifik
yang dimiliki. Jika kita menekankan kepada biaya wajib dan belanja pribadi maka ia
relevan untuk memahami tingkat kebutuhan akan sekolah, jika kita menekankan kepada
biaya lembaga pendidikan maka ia akan menjadi alternatif mekanisme pelayanan untuk
meningkatkan daya tampung. Karena pemerintah biasanya memainkan peranan utama
dalam bidang pendidikan, maka biaya pendidikan publik harus diawasi dengan teliti.
(Jarousse, Mingat, Tamayo dan Tan, 2003:19)
Tiga persoalan utama adalah terjadinya manipulasi data yang biasanya dilakukan
oleh kementrian pendidikan dan berbagai agensi pemerintah yang berdampak kepada
pemahaman terhadap biaya pendidikan dan menjadi sumber dari banyaknya variasi data.
Masalah kedua berkaitan dengan bagaimana data tentang biaya akan berhubungan dengan
hasil pendidikan untuk mendiagnosa kemungkinan salah alokasi dana publik di setiap
sekolah. Kemudian ada kemungkinan untuk mengaplikasikan data atau teknik yang
khusus untuk kedua kasus di atas.
Ada setidaknya dua cara untuk menghitung biaya per unit yang hasil perhitungannya
mestinya sama. Pertama, kita menghitung unit cost dengan membagi aggregate spending,
seperti yang dilaporkan dalam dokumen perencanaan keuangan dengan jumlah siswa.
Kesulitannya adalah karena data agregasi memasukkan semuanya tanpa kategori yang
spesifik, seperti data administrative expenditure.
Tabel 5.2.: Data jumlah siswa dan belanja publik secara umum dalam pendidikan
(sumber: Mingat, Tan dan Sossale, 2013)
Cara kedua adalah dengan mengidentifikasi, mengevaluasi dan menjumlahkan
komponen biaya sebagai upaya untuk mendapatkan estimasi. Misalnya dalam pendidikan
dasar, guru dan materi ajar adalah dua komponen biaya. Lalu kita hitung secara terpisah
dan tambahkan hasilnya untuk mendapatkan biaya keseluruhan pendidikan dasar.
Tabel 5.3.: Komponen dalam Penghitungan Biaya Pendidikan
(sumber: Mingat, Tan dan Sossale, 2013)
Analisis Cost-effectiveness
Para pendidik dan analis memiliki kesamaan, sama-sama memiliki opini yang
berbeda dalam meningkatkan hasil pendidikan di sekolah. Karena beragamnya opini di
antara mereka, bahkan di kalangan para ahli, seringkali ditemukan pertentangan dan pada
akhirnya terkesan subjektif, ini akan menjadi penyebab ketidakpuasan terhadap kebijakan
dan proyek pembangunan. Karena itu diperlukan fakta tentahg dampak dari pilihan-
pilihan alternatif dan biayanya. Tidak saja fakta menunjukkan dampak dari sudut
pandang pribadi dalam perumusan kebijakan tetapi juga melarikan fokus menjauh dari
input dan proses itu sendiri. Sementara tujuan menuju suatu keadaaan dan arah yang
dikehendaki justru lebih penting.
Mingat dan Tan (2013:41) menyatakan bahwa analisis cost-effectiveness sangat
penting dalam melakukan penilaian berdasarkan-opini, meskipun memiliki beberapa
keterbatasan, setidaknya terdiri dari dua macam. Keuntungan pertama adalah ia dapat
membandingan pilihan kebijakan dalam hal dampak sampingan terhadap hasil
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Di sebut marginal karena seluruh
intervensi kebijakan melibatkan perubahan inkremental terhadap situasi yang terjadi.
Contohnya adalah kebijakan tentang kualifikasi guru, apakah guru yang berkualifikasi
tinggi lebih efektif atau sebaliknya? Sementara biaya rekrutmen harus dihitung
dibandingkan dengan keaktifannya mengajar. Guru yang berkualifikasi dibayar dengan
gaji dan tunjangan yang lebih tinggi.
Manfaat lain adalah membantu untuk menyingkirkan beberapa ambiguitas dalam
perumusan kebijakan. Contohnya guru yang mengajar beberapa tingkatan kelas di
sekolah dasar. Hal ini ditentang banyak ahli karena mengurangi jam pertemuan dan
kontak dengan siswa, sementara yang lain berpandangan berbeda justru memancing para
guru untuk memperkaya pendakatan mengajarnya.
Tabel 5.4.: Perbandingan Cost-Effectiveness berdasarkan kualifikasi guru dan
efektivitasnya terhadap hasil tes siswa
(sumber: Mingat, Tan dan Tamayo, 2013)
Analisis Penempatan Guru dan Proses di Kelas
Pendidikan merupakan aktivitas sosial yang kompleks. Meskipun tidak ada cara yang
mudah untuk menganalisis banyaknya dimensi dalam kebijakan yang terlibat, kita dapat
memulai dengan karakteristik sederhana dari pendidikan sebagai sebuah proses yang
melibatkan alokasi dan penggunaan sumberdaya yang tersedia untuk mencapai tujuan
pendidikan, sosial dan ekonomi. Pilihan kebijakan pendidikan jatuh kepada dua pilihan
(1) alokasi sumberdaya lintas tingkatan dan tipe pendidikan, yang pada umumnya
mempengaruhi struktur umum dari sistem pendidikan, serta (2) alokasi di dalam setiap
tingkatan pendidikan, yang akhirnya akan mempengaruhi perancangan operasional di
tingkat sekolah dan ruang kelas. Jika menekankan kepada pilihan kebijakan kedua maka
kita harus menganalisis tatakelola pembelanjaan umum pada tingkat pendidikan tertentu,
atau menekankan kepada komponen-komponen khusus. Karena guru biasanya
merupakan salah satu komponen yang paling penting dari biaya pendidikan, maka
mengelola perbelanjaan yang berkaitan dengan guru harus mendapatkan perhatian yang
teliti. (Mingat, Tan dan Sossale, 2013:75)
Beberapa sistem pendidikan memberikan observasi dan pendanaan yang lebih baik
dalam hal jumlah dan kualifikasi tenaga pendidik dan ketersediaan buku dan materi ajar
yang lain. Sekolah yang memiliki pendanaan lebih baik cenderung mendapatkan hasil
yang lebih baik, seperti ditunjukkan oleh indikator hasil belajar siswa dan prestasi karir di
sekolah, meskipun pola ini tidak selalu konsisten. Segelintir guru mungkin lebih memiliki
keahlian dibandingkan yang lain, memungkinkan mereka mendapatkan hasil yang lebih
baik meskipun memiliki sumberdaya yang kurang dibandingkan yang lain. Hasil ini
menunjukkan bahwa, meskipun sumberdaya nyata mempengaruhi hasil, interaksi antara
guru dan murid juga memainkan peranan penting. Untuk para perumus kebijakan,
manajemen guru memerlukan: efisiensi dalam penempatan guru pada sekolah-sekolah
dan ruang kelas, serta efisiensi manajemen guru dalam proses pedagogikal di ruang kelas.
Pada sistem pendidikan yang memiliki manajemen yang baik, kita mengharapkan guru
ditempatkan di sekolah sesuai dengan proporsi dan ukuran dari daya tampung siswa.
Penempatan guru diharapkan menghsilkan kinerja yang memadai dan efisien.
Analisis Gaji dan Tunjangan Guru
Langkah menuju Education For All (EFA) memberikan tantangan yang luar biasa
pada beberapa negara. Banyak pemerintahan merasakan perlu untuk menggaji dan
melatih sejumlah besar guru-guru baru pada satu dekade terakhir untuk mencapai tujuan
EFA. Faktor keberlanjutan upaya ini menjadi sangat penting. Hubungan antara gaji guru
dan kualitas guru telah dianalisis dalam berbagai literatur penelitian pendidikan,
meskipun dengan hasil yang tidak dapat disimpulkan secara sederhana. Banyak faktor
seperti pasar tenaga kerja, faktor-faktor politis memiliki hubungan yang langsung dengan
peningkatan gaji guru yang dihubungan dengan tuntutan peningkatan output juga sulit
untuk ditentukan. Ada hubungan dan keseimbangan (yang susah untuk dicari) di mana
jika gaji guru terlalu rendah, sebuah negara akan sulit untuk menarik atau menciptakan
guru yang berkualitas. Jika gaji terlalu tinggi, biaya mungkin akan sulit untuk dikelola,
dan pada gilirannya negara akan tidak mampu merekrut guru sesuai dengan jumlah yang
diinginkannya (Mingat dan Sosale, 2013:103)
Gaji guru pada saat ini merupakan 80% dari total pembelanjaan di bidang pendidian,
guru merupakan input yang krusial dalam kualitas pendidikan. Untuk memastikan
individu-individu yang berkualitas tertarik pada bidang pendidikan dan profesi mengajar
dan mereka memberikan pelayanan yang baik, guru haruslah dibayar dengan jumlah
memadai. Di samping itu, guru harus dilatih secara baik sehingga mereka memiliki
kompetensi profesional dan kompetensi yang dibutuhkan dalam pekerjaan mereka.
Kebijakan yang ditujukan untuk mengkaji pelatihan guru dan gaji guru harus dianalisis.
Gambar 5.7.: Memahami sudut pandang marjinal terhadap
pembelajaran dan biaya guru (Sumber Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Jika kita menekankan kepada kualifikasi guru (teacher credentials) polanya adalah
menurunnya pengaruh kualifikasi guru pada pembelajaran siswa secara marjinal.
Sementara biaya (cost) menjadi meningkat. Karena itu strategi peningkatan kualifikasi
guru menjadi tidak terlalu menarik. Ia akan tetap menarik jika rasio efisiensi cost-
efficiency marjinal berhubungan dengan peningkatan kualifikasi guru yang
mengembangkan juga input sekolah yang lainnya.
Kajian menunjukkan bahwa guru, sebagaimana profesional lain, layak mendapatkan
bayaran yang tepat sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Namun demikian gaji
guru mempertimbangkan banyak variable seeprti kualifikasi formal, pengalaman
mengajar, dan konteks sekolah (seperti ukuran kelas, ketersediaan perangkat
pembelajaran, karakteristik sosial dan kognitif siswa) dan lain-lain.
Pertimbangan besaran gaji guru juga dilakukan dengan kajian ekonomi karena gaji
guru adalah komponen terbesar dari anggaran pendidikan sebuah negara. Dengan
demikian analisisnya harus mempertimbangkan juga apakah memadai dibandingkan
pekerjaan lainnya?, apakah digaji cukup tinggi untuk memotivasi pengajaran yang
efektif? Apakah seimbang dengan kebijakan pendidikan secara umum dan keterbatasan
anggaran? dan lain-lain.
Tabel 5.5.: Data dasar untuk proyeksi sumber daya dalam sektor pendidikan
(Sumber Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Data dasar ini menempatkan gaji dalam pergerakan pertumbuhan ekonomi dalam
kurun waktu tertentu. Juga perlu dipahami pada tingkatan mana rata-rata gaji guru di atas
atau di bawah standar nasional dalam penggajian yang ditempatkan dalam data
pendapatan per kapita (GNP), yang bisa disederhanakan dalam bentuk grafik di bawah
ini.
Gambar 5.8.: Posisi gaji guru di negara N dalam kondisi internasional
(Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Dengan menggunakan data di atas, di bawah kondisi saat ini, jika diasumsikan
pendapatan per kapita GNP adalah E1 (USD430) dan gaji guru SD adalah TS*,
sementara titik estimasi standar dunia adalah TS1. Dalam jangka waktu 15 tahun dari
tahun 2000, angka perkapita GNP diasumsikan akan mencapai posisi E2 (USD 803) di
mana standar dunia adalah TS2. Maka perhitungan ini bisa memberikan masukan kepada
pengambil kebijakan untuk menetapkan standar gaji guru pada tahun 2015.
Analisis Keadilan dalam Pendidikan
Isu keadilan (equity) dalam pendidikan menarik perhatian dalam kebijakan publik
disebabkan karena beberapa hal. Di banyak negara pemerintah memberikan subsidi pada
pendidikan, dengan demikian akses kepada bidang pendidikan menentukan siapa yang
diuntungkan dari subsidi itu. Karena belanja di bidang pendidikan menunjukkan alokasi
yang substansial dari anggaran pemerintah baik di negara-negara industri maupun negara-
negara yang sedang membangun, sistem pendidikan efektif menjadi instrumen utama
dalam mendistribusikan subsidi publik. Lebih jauh lagi, pendidikan mempengaruhi
kehidupan masyarakat sebagai manusia dewasa dalam arti kemampuan mereka untuk
mencari nafkah sebagaimana juga mobilitas sosial mereka (Mingat, Tan dan Tamayo,
2013:139).
Keadilan dalam kesempatan mendapat pendidikan karena itu mempengaruhi
distribusi pendapatan, kesejahteraan, dan status sosial di masa depan. Di balik
signifikansi ekonominya, pendidikan juga dilihat umumnya karena kebaikan yang ada di
dalamnya, dan tentu saja karena posisinya sebagai hak dasar terutama pada level
pendidikan terendah. Karena itu, keadilan dalam pendidikan sering menjadi fokus dalam
debat kebijakan publik. Ada setidaknya empat penekatan umum untuk menganalisis
keadilan dalam bidang pendidikan:
1. Membandingkan perbedaan dalam hal akses pada tingkatan pendidikan tertentu
berdasarkan lintas kelompok tertentu dalam populasi, dengan menggunakan
indikator-indikator seperti kemampuan relatif terhadap masuknya (entry),
perpindahan (transition) dan penyelesaian (completion) penduduk pada lembaga
pendidikan. Analisis ini mengasumsikan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang
baik tanpa mengelaborasi pada esensi dan nilai keuntungan yang didapatkan.
2.
Tabel 5.6.: Distribusi keterlibatan dan tingkat pendidikan
berdasarkan tingkat pendapatan (Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
3. Perbandingan terhadap keuntungan dari pendidikan yang diterima oleh berbagai
kelompok tertentu dalam populasi. Keuntungan yang didapatkan berbentuk dua
macam: (a) sebagai subsidi publik yang diterima sebagai siswa, dan (b) sebagai
peningkatan pendapatan (pemasukan) dan meningkatnya mobilitas sosial setelah
siswa tamat atau keluar dari sistem pendidikan.
4. Perbandingan terhadap siapa yang membayar dan siapa yang mendapatkan
keuntungan dari pendidikan. Fokus analisis menekankan tentu saja pada implikasi
distribusi dari rancangan pendanaan pendidikan. Analisis mungkin saja
melibatkan perbandingan antar-bagian (cross-sectional comparison) dari pajak
yang dibayarkan oleh berbagai kelompok populasi untuk mendanai belanja publik
dalam pendidikan dibandingkan dengan seberapa besar setiap kelompok
menerima subsidi pendidikan. Hal ini juga melibatkan perbandingan jangka
panjang (longitudinal) dari kontribusi kehidupan individu dalam pajak
dibandingkan dengan subsidi pendidikan yang mereka terima sebagai pelajar.
Tabel 5.7.: Daya tampung dan subsidi publik per-siswa
(Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
5. Perbandingan terhadap perbedaan dalam pencapaian atau pembelajaran di antara
siswa. Dalam hal ini analisis memberi perhatian kepada proses pendidikan itu
sendiri, ketimbang kepada akses pendidikan atau rancangan finansial saja.
Penekanan diberikan kepada pengaruh dari lingkungan pedagogis yang
didefinisikan sebagai beberapa faktor tertentu seperti kondisi fisik ruang kelas,
jumlah siswa dalam satu kelas, serta kualifikasi guru dan metode pengajaran yang
digunakan. Karena tidak ada lingkungan sekolah yang memberikan hasil prestasi
yang persis sama di antara para siswa, disparitas dalam prestasi mungkin melebar
atau menyempit tergantung kepada lingkungan pedagogis tertentu dimana siswa
belajar.
Keempat pendekatan di atas relevan untuk menganalisis keadilan dalam
pendidikan, namun masih terdapat perbandingan terhadap akses kepada pendidikan di
antara kelompok populasi namun menggunakan analisis yang lebih sederhana dan
tidak memerlukan elaborasi yang rumit.
Perubahan dalam kebijakan dalam pendidikan biasanya mempengaruhi salah satu
dari aspek berikut: daya tampung (enrollments rates), biaya (unit costs), dan besaran
subsidi dalam unit pembiayaan. Bahkan jika perubahan dilakukan pada satu tingkatan
pendidikan, dampaknya mungkin akan meluas kepada tingkatan pendidikan yang
lain. Misalnya kenaikan uang sekolah di sekolah menengah pertama akan mengurangi
daya tampung, sehingga pada akhirnya mengurangi pula kandidat yang potensial di
tingkat berikutnya, yaitu sekolah menengah atas. Jika kebijakan merubah sebuah
kelompok populasi tertentu, maka itu juga akan merubah komposisi dari populasi
siswa. Dalam kebijakan juga terjadi saling geser (trade-off), misalnya jika subsidi di
arahkan kepada peningkatan kualitas di sekolah menengah atas, maka ini mungkin
akan meningkatkan kualitas di tingkatan ini. Namun demikian, kebijakan ini mungkin
akan mengganggu keadilan sistem karena kebijakan ini secara keseluruhan akan
mengurangi isu akses ke pendidikan dasar. Kebijakan selalu diasumsikan berada pada
keterbatasan (constraints) sumber daya yang tersedia, terutama keterbatasan
anggaran.
Analisis Pendidikan untuk Anak Perempuan
Di banyak negara berkembang anak perempuan mendapatkan kesempatan yang lebih
sedikit untuk bersekolah dibandingkan yang dimiliki anak laki-laki. Sistem pendidikan
dibangun secara buruk dengan hanya memberikan proporsi yang minim bagi anak
perempuan untuk bersekolah. Pola-pola ini tentu saja tidak adil dan tidak efisien. Jurang
yang lebar dalam hal kesempatan untuk bersekolah artinya kebanyakan anak perempuan
akan tumbuh tanpa memiliki keuntungan sumber daya manusia dibandingkan anak laki-
laki. Ini juga akan berdampak kepada hilangnya efisiensi dalam arti anak perempuan
yang tidak terdidik akan menjadi tidak efektif dibandingkan dengan anak perempuan
dalam hal peranan mereka di masa depan sebagai pemelihara (caregivers) dan pengatur
di rumah, dan sebagai buruh di lapangan kerja (Mingat, Tan dan Sile, 2013:163)
Isu pendidikan anak perempuan mengundang banyak perdebatan. Berbagai macam
opini muncul berkaitan dengan peranan, ruang lingkup, dan aspek intervensi publik untuk
mengatasi isu ini. Tanpa bermaksud untuk menyederhanakan, beberapa posisi ekstrim
dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Posisi untuk tidak melakukan sesuatu yang khusus
(the do-nothing-spesific position). Argumen ini sering digunakan untuk mendukung
posisi yang mulai dari urusan ini adalah bagian dari tugas para aktivis feminism sampai
kepada yang percaya bahwa kesempatan bersekolah untuk para anak perempuan akan
meningkat secara alami, jika sistem pendidikan terbangun dan kondisi ekonomi
meningkat. Argumen yang mirip dengan ini beranggapan bahwa perbedaan jender di
sekolah merupakan cermin dari sikap budaya yang mungkin tidak bisa dirubah,
setidaknya untuk jangka pendek atau menengah, melalui intervensi pemerintah. (2) Posisi
untuk melakukan apapun yang dimungkinkan (the do-everything-possible position).
Posisi yang proaktif ini mulai dari kepercayaan yang kuat bahwa peningkatan
pendidikan anak perempuan adalah prioritas sosial, bukan ekonomi; sehingga setiap
kegiatan yang mendukung kepada tercapainya hal ini harus dilakukan. Prinsip ini
mendukung pandangan yang mencoba untuk menunjukkan bahwa para lawan betapa
salahnya atau tepatnya tidak benarnya (politically incorrect) mereka. Pada saat yang
bersamaan mereka muncul dengan tugas secara kongkrit mengimplementasikan berbagai
kegiatan untuk mendukung persekolahan untuk para anak perempuan.
Kedua sikap ekstrim berkaitan dengan persekolahan untuk anak perempuan ini
adalah biasa dalam sektor pendidikan. Namun demikian, sebagaimana biasanya terjadi
pada banyak sikap ekstrim, tidak ada satupun yang meyakinkan karena keduanya
terutama atau pada pokoknya mengandung opini-opini yang bersifat normatif. Prinsip
pertama dianggap terlalu pesimistik, dengan meninggalkan kemungkinan ruang yang
terbuka karena terjadi perubahan di negara dimaksud. Sementara ekstrim kedua terlalu
menggampangkan masalah dengan melupakan isu tentang manfaat dan biaya dalam
pilihan-pilihan intervensi dalam kebijakan publik.
Dalam melakukan analisis terhadap persekolahan di antara anak perempuan,
setidaknya kita harus menekankan kepada tiga isu analisis (a) diagnosa permasalahan ,
termasuk lokusnya dalam sistem pendidikan (b) lakukan penilaian terhadap pilihan yang
potensial untuk mengatasi permasalahan; dan (c) terjemahkan analisis kepada strategi
implementasi yang didukung justifikasi yang baik dan tepat sasaran. Maksud dari analisis
bukan untuk menunjukkan teknik kuantitaif yang canggih, tetapi untuk menunjukkan
betapa sederhananya pendekatan yang akan menuai input yang persuasif untuk sebuah
rancangan kebijakan. Untuk melakukan ini, sebagian besar data dapat diambil dari
catatan administratif badan pengumpulan data nasional atau lokal, sementara data
pendukung lainnya dapat dilakukan melalui survey. Contoh data yang bisa digunakan
ditunjukkan oleh tabel di bawah ini:
Tabel 5.8. : Gross Enrollment Ratio (GER) dan Girls Share antara
negara A dengan negara lainnya (Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Analisis ini untuk menentukan apakah memang ada permasalahan di seputar
kepincangan antara keterlibatan anak perempuan dalam persekolahan di negara A atau
tidak. Untuk ini digunakan analisis perbandingan, baik dengan negara-negara yang
berada di wilayah yang sama maupun yang memiliki kemampuan ekonomi yang setara
(GDP). Langkah berikutnya adalah menempatkan persoalan sebagai sumber
permasalahan, dan ini dapat digunakan data daya tampung sebuah negara (katakanlah
negara Y) di setiap tingkatan pendidikan dan menurut wilayah rural atau urban, serta
perbandingan antara rasio anak laki-laki dan anak perempuan.
Tabel 5.9.: Rasio daya tampung di negara Y menurut tingkat pendidikan
untuk laki-laki di wilayah rural dan urban
(Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Setelah dilakukan simulasi terhadap pilihan kebijakan yang mungkin dilakukan dengan
perhitungan regresi, maka didapatkan rangking pilihan kebijakan secara kualitatif sebagai
berikut:
Tabel 5.10: Rangking kualtitatif terhadap beberapa aspek dari
pilihan kebijakan yang potensial
(Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Dengan demikian, perumus kebijakan dapat memperhitungkan dan melakukan
perdebatan untuk memutuskan kebijakan apa yang harus diterbitkan untuk memperbaiki
keterlibatan anak perempuan dalam pendidikan formal di sekolah.
Analisis Ekonomi dalam Pendidikan
Para pendidik sebagaimana juga kebanyakan pihak lain sudah sejak lama mengakui
adanya potensi dari komputer dan berbagai teknologi maju lain untuk melakukan
transformasi dalam dunia pendidikan. Kebanyakan sistem pendidikan yang ada saat ini
masih tergantung kepada proses pedagogik yang labor-intensive, melalui cara melibatkan
para guru dengan interaksi saling bertatap muka dengan anak-anak muridnya di ruang
kelas. Proses ini mungkin saja melibatkan buku teks, buku latihan, kapur atau spidol,
papan tulis, dan berbagai materi pedagogik sebagai input tambahan, tetapi tetap saja guru
kelas memainkan peranan sentral. Apa yang dipelajari para murid tergantung kepada
sejauhmana pemahaman guru secara pribadi pada materi pengajaran, teknik ekspositoris,
dan keahlian dalam merancang latihan dan pengajaran.
Mingat, Tan dan Tamayo (2013:201) berpendapat bahwa media elektronik
menciptakan kesempatan untuk membantuk ulang pendidikan dengan cara-cara yang
penting. Pada bentuk yang peling pasif, mereka menciptakan kemungkinan untuk
mengembangkan sejumlah total sumberdaya intelektual yang sudah tersedia dan dapat
diakses oleh para murid di ruang kelas atau di rumah. Namun demikian teknologi juga
terbuka untuk pembelajaran yang lebih terfokus-sebagai contoh, melalui radio pendidikan
atau siaran televisi dan perangkat lunak komputer yang membuka jalan pada para siswa
untuk menerima pelajaran dari tempat yang jauh dari guru-gurunya. Sebagai instrumen
untuk aliran informasi yang menyalurkan teknologi pendidikan laksana media cetak di
masa-masa awal dahulu. Namun demikian, saat ini dia akan dapat berupa paket yang
memiliki muatan yang lebih kaya dengan ruang yang sama dengan material cetakan dan
memindahkan material tersebut lebih cepat dan dalam bentuk yang lebih sesuai dengan
kebutuhan belajar setiap siswa.
Teknologi pendidikan baru menuntut rancangan logistik yang membedakannya
dengan pengajaran di ruang kelas secara tradisional, yang tentu saja memiliki implikasi
pembiayaan. Pada bentuk terknini, kebutuhan pembiayaan dalam bentuk gaji guru
melebihi biaya dari input lainnya, termasuk infrastruktur fisik (gedung sekolah, perangkat
ruang kelas, dan perabotan). Hal ini disebabkan guru dapat digaji secara inkrementasl
tergantung dari kecenderungan daya tampung siswa, tuntutan sumber daya dari ruang
kelas tradisional. Pengajaran pada umumnya memiliki hubungan yang dekat dengan
ukuran daya tampung kelas atau jumlah siswa yang diajarkan. Proses pedagogik
kemudian melibatkan investasi yang relatif terpisah dengan semua komponen.
Sebaliknya, penggunaan teknologi pendidikan melibatkan investasi tertentu yang
terpadu untuk menciptakan infrastruktur fisik yang sistemik (seperti jaringan transmisi
dan komunikasi dan komputer) serta perangkat lunak pedagogis untuk mendukungnya.
Seringkali investasi tersebut harus dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan jumlah
layanan yang akan berkembang di masa depan, baik dari sisi jumlah siswa mapun
pengembangan. Adalah lazim jika media elektronik hanya cocok dalam konteks dimana
didukung oleh ketersediaan aliran listrik dan jalur telefon yang memadai. Namun
demikian ketersediaan teknis saja tidak memadai untuk menjustifikasi investasi yang
dilakukan. Isu yang harus dihadapi adalah problem klasik bidang ekonomi: apakah biaya,
investasi awal dan pengembangan, sebanding dengan keuntungan yang didapatkan dari
hasil bidang pendidikan?.
Sebelum melakukan analisis ini, kita memerlukan data-data tertentu, seperti data atau
informasi tentang biaya (costs) teknologi pendidikan seringkali dapat dikompilasi melalui
informasi dari pasar untuk barang dan jasa yang relevan. Sebaliknya, jauh lebih sukar
untuk mengumpulkan data dari sisi keuntungan (benefits). Informasi ex ante mengenai
dampak dari teknologi baru yang digunakan yang terkadang tidak ditemukan.
Meskipun pengalaman dari intervansi yang sama di dalam konteks lain bisa saja
dimanfaatkan karena memberikan beberapa pemahaman, praktik implementasi dan
kondisi lokal (termasuk komposisi dari populasi sisswa yang menjadi kelompok sasaran)
relatif berbeda, karena itu informasi ini terkadang tidak aplikabel. Untuk itu, penilaian ex
post menggunakan data dari intervensi awal dalam konteks yang dimaksud lebih relevan.
Penilaian ini diharuskan untuk menjustifikasi pengembangan penggunaan teknologi
baru ini di masa mendatang. Evaluasi ex post juga memadai karena biaya aktual dari
intervensi mungkin saja berbeda dari apa yang diantisipasi pada saat sebelum
diimplementasikan. Tentu saja, mengingat ketidakpastian harga dari barang dan jasa
berkaitan dengan teknologi pendidikan perbedaan ini mungkin saja cukup substansial.
Langkah-langkah yang dilakukan biasanya mengikuti jalur sebagai berikut:
1. Melakukan penilaian terhadap pilihan penyampaian materi menggunakan
pembelajaran oleh siswa sebagai pengukuran dampak. Mengingat penggunaan
teknologi pendidikan akan memperluas pilihan cara pemberian layanan pada
setiap tingkatan pendidikan, makan harus dilakukan perbandingan antar piliah
dengan merinci pengukuran dampak pemberian materi masing-masing.
a. Menganalisasi biaya dari pilihan penyampaian materi
Tabel 5.11.: Biaya penyampaian materi secara tradisional
(Sumber: Mingat, Tan dan Tamayo, 2013)
Di sini digunakan asumsi dengan mata uang negara Malawi di mana kajian
dilaksanakan, yaitu Kwacha. Penggunaan standar lokal cukup penting, karena
penggunaan US dollar terkadang tidak cukup reliatis untuk menggambarkan
konteks living cost lokal, namun dapat digunakan dalam analisis perbandingan.
Tabel 5.12: Investasi dan biaya operasional penyampaian materi
dengan komputer (Sumber: Mingat, Tan dan Tamayo, 2013)
b. Menggeneralisasi fungsi biaya untuk kedua pilihan penyampaian materi.
2. Melakukan perbandingan terhadap hasil pembelajaran (learning outcomes).
Jika contoh analisis dilakukan terhadap aplikasi teknologi pada pendidikan
dasar dan menengah, maka pada level ini akan tepat dan masuk akal jika
menggunakan pembelajaran siswa dan kelanjutan sekolah (termasuk tinggal
kelas dan drop out) sebagi upaya untuk mengukur manfaat (benefit).
Sementara pasar tenaga kerja yang mungkin juga bisa diukur mungkin tidak
terlalu tepat digunakan sebagai indikator, meskipun mungkin tepat untuk
pendidikan tinggi. Perbandingan terutama dilakukan terhadap lingkungan
pedagogis dan pembelajaran
3. Melakukan evaluasi terhadap pilihan kebijakan
Setiap pilihan kebijakan memiliki implikasi khusus untuk setiap unit cost, dan
tidak begitu jelas dalam analisis pilihan manakah yang paling efisien. Untuk
menginformasikan pilihan intervensi kita perlu melakukan perbandingan
terhadap keuntungan (benefit) terhadap biaya (cost). Hal ini dilakukan dengan
cara melakukan simulasi hasil pembelajaran dan unit cost
Sementara untuk menganalisis jenjang pendidikan tinggi, dapat dilakukan analisis
terhadap pilihan intervensi atau pemberian materi pelajaran dengan menggunakan standar
kinerja pasa sebagai indikator pengukuran dampak, dengan cara yang umum:
1. Menspesifikkan pilihan pemberian layanan dengan biaya masing-masing
Tabel. 5.13.: Data biaya hipotetis untuk Politeknik dan
belajar jarak jauh bidang Akuntansi
(Sumber: Mingat, Tan dan Tamayo, 2013)
2. Mengukur dampak terhadap pengulangan dan drop out
Jika kemajuan belajar siswa sesuai dengan jadwal melalui pelatihan, biaya
keseluruhan kursus yang diberikan akan berarti sama dengan biaya tahunan
yang ditunjukkan oleh tabel, dikalikan dengan lama menyelesaikan studi.
Namun siswa yang mengulang atau malah drop out akan menyelesaikan
studinya lebih lambat dari yang diharapkan. Maka dalam penghitungannya
perlu dikalkulasikan durasi efektif dari lama studi.
Pengukuran juga bisa dilaksanakan dengan menghitung dampak terhadap pasar
tenaga kerja. Ini adalah salah satu cara untuk menghitung manfaat (benefit). Hal ini
menjadi relevan dengan asumsi bahwa investasi di bidang pendidikan setara dengan
pelatihan tenaga profesional. Dengan demikian, pendapatan akan menjadi alat ukur yang
setara, ditambah dengan berbagai indikator lain seperti kuantitas keluaran, persentase
barang yang tidak sempurna (defective), jumlah kontrak yang disetujui. Pilihan indikator
yang relevan ditentukan oleh jenis pasar tenaga kerja yang dianalisis. Demikian juga
pengukuran secara kuantitatif kinerja mungkin juga relevan untuk lapangan kerja atau
profesi tertentu. Untuk guru-guru yang berstatus pegawai negeri, besaran gaji terkadang
tidak begitu relevan karena terikat dengan aturan administratif yang berlaku yang tidak
merujuk kepada pasar tenaga kerja yang standar. Demikian juga halnya dengan alumni
yang bekerja di pasar tenaga kerja yang sangat spesialis, pengukuran non-moneter
mungkin lebih tepat daripada pendapatan sebagai indikatur luaran (outcome).
Langkah yang dilakukan:
1. Pendapatan relatif terhadap pelatihan pada tamatan pendidikan.
Tabel 5.14.: Perbandingan pendapatan tahunan berdasarkan
tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
(Sumber: Mingat, Tan dan Tamayo, 2013)
Pada simulasi ini dibentuk tiga kelompok yang mewakili kebijakan yang
berpengaruh kepada metode penyampaian materi pelajaran yaitu (a) alumni
yang hanya memiliki ijazah terakhir pendidikan menengah atas (b) alumni
yang mengikuti perkuliahan di politeknik dan (c) alumni yang mengikuti
perkuliahan dengan mengikuti pola belajar jarak jauh yang menggunakan
teknologi pembelajaran.
2. Melakukan evaluasi manfaat-biaya
Tabel 5.15.: Biaya pelatihan untuk tiga macam model pemberian materi
(Sumber: Mingat, Tan dan Tamayo, 2013)
Tabel 5.16.: Perkiraan manfaat (rates of return) untuk
tiga macam model pemberian materi
(Sumber: Mingat, Tan dan Tamayo, 2013)
Sebagaimana dijelaskan di atas, kita tidak memiliki informasi memadai untuk
menghitung keseluruhan profil pendapatan alumni. Karena itu, kita hanya bisa
membuat asumsi dengan menghitung rata-rata selisih perbedaan dalam waktu 10
tahun dari waktu para tamatan mulai memasuki dunia kerja. Terlihat bahwa
pendapatan relatif belajar jarak-jauh ternyata memiliki rates of return paling
tinggi dibandingkan belajar melalui politeknik maupun belajar jarak-jauh secara
paruh waktu.
Analisis Perbandingan
Analisis perbandingan dalam kebijakan memberikan pendekatan yang sederhana
namun ternyata mendalam untuk mengukur kinerja sistem pendidikan antar negara
sebagaimana juga antar wilayah di dalam suatu negara. Meskipun isu tentang data
memberikan keterbatasan tertentu dalam analisis, hasilnya tetap saja relevan untuk
pengembangan kebijakan. Perbandingan dapat dilakukan dengan tiga level. Level
pertama menekankan kepada perbandingan sederhana dengan menggunakan indikator-
indikator pendidikan. Level kedua melangkah lebih jauh daripada hanya sekedar
melakukan perbandingan sederhana, dilaksanakan dengan melakukan perbandingan
untuk mencari perbedaan dalam sektor ekonomi antar objek yang dibandingkan,
kemudian memasukkan aspek strukural pendidikan dalam melakukan perbandingan, dan
pada akhirnya mengupayakan melakukan analisis perbandingan dalam menilai hubungan
antara sumberdaya dan luaran pendidikan. Level ketiga menunjukkan bagaimana menata
berbagai komponen analisis untuk membentuk penilaian umum pada wilayah yang
dimaksud (Mingat, Tan dan Sosale 2013:235)
1. Perbandingan Sederhana
Analisis ini terdiri dari perbandingan yang langsung dari angka-angka dari indikator-
indikator yang dipilih dalam bidang pendidikan. Untuk setiap indikator yang dipilih
perbandingan melibatkan dua operasi yang saling melengkapi dan sangat sederhana.
Yang pertama adalah untuk merancang negara-negara pada sampel yang relevan
dalam urutan atau rangking dari besar ke kecil atau sebaliknya tegantung nilai dari
indikator, kemudian menentukan tempat atau posisi negara tersebut dalam rangking.
Yang kedua adalah dengan menghitung (biasanya dengan komputer) index relatif bagi
setiap indikator, index yang paling sederhana adalah rasio antara indikator negara-
negara terpilih dan hubungannya dengan rata-rata dari kelompok negara yang satu
golongan.
Beberapa indikator yang dapat digunakan misalnya berhubungan dengan empat
dimensi yang berbeda: (a) anggaran pendidikan (b) karaktersitik operasional dari
sistem pendidikan (c) hasil (outcomes) pendidikan untuk populasi secara keseluruhan,
dan (d) distribusi hasil pendidikan berdasarkan kelompok populasi.
Tabel 5.17.: Indikator bidang pendidikan yang ditarik dari
empat dimensi pendidikan
(Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Dimensi-dimensi ini akan menarik bagi para analis kebijakan, dua bagian awal
berhubungan dengan investasi sumberdaya dalam pendidikan dan bagaimana
sumberdaya itu digunakan, sementara dua yang terakhir berhubungan dengan kinerja
luaran dari sistem itu sendiri.
Jika dibuat data tersebut berdasarkan negara-negara yang menjadi sampel, amaka
akan didapatkan rekapitulasi sebagai berikut:
Tabel 5.18.: Data dari indikator bidang pendidikan berdasarkan sampel
beberapa negara dalam kawasan (Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Keterangan: LAC = Amerika Latin dan Karibia
AFR = Afrika
MENA = Timur Tengah dan Afrika Utara
GNP = Gross National Product
Langkah pertama adalah dengan memutuskan kelompok perbandingan yang
setara. Untuk ini, afiliasi regional dan pendapatan perkapita digunakan sebagai
kriteria. Misalnya negara C3 dan C22 sebagai objek perbandingan. Karena C3 adalah
negara Amerika Latin, maka kita ikutkan semua negara Amerika Latin sebagai
perbandingan. Kemudia karena pendapatan perkapita C3 adalah USD 2770, maka
kelompok pendapatan pembanding adalah antara USD 1200 sampai USD 5000.
Demikian juga dilakukan dengan C22 yang masuk kelompok Asia dam pendapatan di
bawah USD 600. Setelah dianalisis, maka akan didapatkan hasil berikut:
Tabel 5.19.: Perbandingan beberapa indikator pendidikan
untuk negara C3 dan C22 relatif terhadap
rata-rata kelompok negara yang relevan
(Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Di sini dipilih disamping belanja publik secara keseluruhan, juga ditambahkan
rasio murid dan guru, jumlah anak yang mencapai kelas lima dan rasio anak
perempuan dan anak laki-laki di pendidikan dasar. Kesimpulan dapat diambil setelah
didapatkan angka. Jika melebihi dari 1 dibandingkan kelompok pembanding berarti
lebih baik dan jika kurang dari 1 berarti kurang baik dibandingkan dengan
kelompoknya. Dengan asumsi yang dipegang tidak mungkin membandingkan dengan
region yang berbeda atau dengan kelompok pendapatan per kapita yang berbeda pula.
2. Analisis Lanjutan di Balik Perbandingan Sederhana
Berbagai cara dapat dilakukan untuk melakukan analisis lanjutan dari perbandingan
sederhana di atas, di antaranya ada tiga kemungkinan pendekatan (a) menggunakan
aspek struktural dalam analisis perbandingan (b) menyesuaikan perbandingan untuk
menemukan perbedaan ekonomi di antara para pembanding dan (c) mengevaluasi
hubungan antara sumberdaya dengan hasil pendidikan dalam perspektif perbandingan.
Aspek struktural adalah hubungan antara setiap level pendidikan dalam sebuah
sistem pendidian. Analisis perbandingan dalam struktur pendidikan akan ditampilkan
dengan menggunakan beragam indikator termasuk atribut fisik dari sistem pendidikan
(seperti daya tampung dan rasio guru-murid). Kemudian lakukan perbandingan dan
hubungan antara input dan outcomes terhadap kinerja sistem. Dapat diberikan contoh
dalam level rata-rata pembelajaran oleh para murid, proporsi dari populasi yang
mendapat manfaat dari pelayanan yang diberikan sekolah, tingkatan keadilan dalam
distribusi kesempatan belajar lintas kelompok populasi dan seterusnya.
Karena ada banyak cara untuk menyediakan sumberdaya dan mengelola organisasi
sistem pendidikan, hubungan antara input sekolah dan berbagai outcomes ini masing-
masing tergantung kepada seberapa baik sistem itu berjalan. Untuk melakukan
evaluasi isu yang menuntut pengkajian mendalam terhadap berbagai alternatif dalam
memberikan pelayanan pendidikan, kajian ini seringkali membutuhkan investasi yang
mahal dalam mendapatkan data, serta menyita waktu yang lama.
3. Mengkompilasi Profil Negara untuk Analisis Perbandingan
Berbagai bentuk analisis perbandingan memberikan berbagai macam informasi yang
berguna tentang banyak aspek dalalam kinerja sebuah sistem pendidikan. Kita dapat
mengkonsolidasi banyak hasil untuk mendapatkan profil negara dalam sudut pandang
perbandingan. Profil ini merupakan alat untuk memberikan tanda kepada isu-isu utama
kebijakan yang memberikan peringatan untuk perhatian yang lebih cermat kepada
masing-masing negara. Karena itu ia juga memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi priaritas yang dimungkinkan untuk pekerjaan analisis di masa depan
dalam sektor ini. Berikut ditampilkan kompilasi dari beberapa data profil pendidikan
sebuah negara dengan kelompok yang relevan sebagai referensi.
Tabel 5.20.: Profil pendidikan negara X dalam perspektif perbandingan
(Sumber: Mingat, Tan dan Sosale, 2013)
Dengan menggunakan diskripsi di atas sebagai basis, kita dapat mengidentifikasi arah
yang akan ditempuh dalam membangun strategi dan dialog kebijakan dengan pemerintah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tuntutan data dalam perbandingan biasanya
sederhana dan proses komputasi tidak terlalu rumit.
H. Peranan Ilmu Sosial dalam Analisis Kebijakan Pendidikan
Berbicara tentanag implementasi kebijakan, seringkali ditemuka problematika di
lapangan jauh lebih kompleks daripada ketiga perumus kebijakan mengidentifikasi
permasalahan dan pada akhirnya melakukan formulasi pada kebijakan tersebut. Untuk
memahami implementasi kebijakan pendidikan, adalah sangat krusial untuk mengkaji
juga konteks di mana ia dilaksanakan. Karena itu Dumas dan Anyon (2006:151)
menyatakan bahwa implementasi kebijakan pendidikan harus dikonseptualisasikan
sebagai praktek sosial yang mengambil tempat dalam lahan sosial.
Pemikiran yang dominan (mainstream) dalam menganalisis kebijakan pendidikan
saat ini kebanyakan didominasi oleh pendekatan yang disebut sebagai neoliberalisme.
Pendekatan ini berangkat dari pendekatan model ekonomi neoliberal yang dipopulerkan
oleh Amerika Serikat dan Inggris terutama pada saat pemerintahan Ronald Reagan dan
Margareth Thatcher, sehingga sering disebut Reaganomics atau Thatcherism. Mereka
mengutamakan upaya-upaya untuk mengimplementasikan pemerataan (equity) dalam
pendidikan. Neoliberalisme sebagai sebuah ideologi menekankan kepada kebebasan dan
solusi pasar pada ekonomi dan permasalahan sosial.
Kebijakan sosial neoliberalisme meresepkan bahwa negara membatasi peran dirinya
hanya dalam memberikan infrastruktur dasar dan kewenangan untuk pengaturan sipil dan
finansial, namun melepaskan aktivitas ekonomi kepada pasar (Wacquant 2001). Dalam
hal kebijakan publik ini berarti meninggalkan investasi publik dalam barang-barang
publik, sementara dalam wilayah kultural artinya membiarkan adanya kelompok-
kelompok yang akan disalahkan jika terjadi kegagalan.
Para penganut analisis kritikal (critical analysis) menyerang paradigma pikir
neoliberalisme yang cenderung melakukan reduksionisme ekonomi, seperti Gramschi
yang menyebutnya sebagai “economism”. Hal ini katanya akan cenderung mengurangi
peranan segala hubungan sosial dan organisasi manusia untuk memberikan penjelasan
ekonomis. Beberapa penganut Marxisme modern bahkan memberikan beberapa
penjelasan yang lebih kompleks tentang wilayah ekonomi politik ini. David Harvey
seorang ahli geografi urban menyatakan bahwa kapitalisme diberi makan oleh rasisme
(Merriefield, 2002). Pasar berfungsi dalam kelangkaan (scarcity) yang merupakan basis
dari kompetisi. Tanpa adanya kompetisi, keuntungan (profit) tidak akan meningkat dan
sistem akan mengalami kegagalan. Dalam kehidupan urban, kelangkaan akan tercipta
dengan membiarkan keberadaan wilayah-wilayah miskin, yang di Amerika biasanya diisi
oleh Afro-american dan Latino. Keberadaan mereka akan dibiarkan sampai akhirnya
ekspansi urban akan meningkatkan keuntungan melalui pembangunan perkotaan. Para
kaum miskin tersebut akan tersingkir dan tidak mendapatkan apa-apa dari pembangunan
yang ada. Alasan tersingkir mereka biasanya dengan menyalahkan faktor meningkatnya
biaya hidup dan perlunya pengembangan wilayah menuju sesuatu yang ideal, dan ini
bukan untuk mereka.
Fitzer, J. (2016:57-75) mengkritik bagaimana transfer kekayaan kepada kalangan
berpunya dalam aspek tenaga kerja, akumulasi kekayaan dan pendidikan telah terjadi di
Amerika Serikat sehingga menimbulkan terjadinya ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.
Dengan tegas ia menyatakan bahwa ini seperti kembali ke zaman kegelapan.
Neoliberalisme di sana berarti ketidakadilan dan pada bagian kesimpulan ia menyatakan
bahwa ini berimbas kepada bidang pendidikan. Perumus kebijakan di AS hanya
memberikan perhatian yang sangat sedikit kepada pentingnya pendidikan publik, karena
korporasi tidak bermaksud untuk mempekerjakan para pekerja berkeahlian tinggi bahkan
menengah karena dikalahkan oleh otomatisasi dan robotik, seperti yang terjadi pasca
revolusi industri di Inggris dahulu.
Dalam konteks yang lebih luas, sebagai varian dari pendekatan kritikal analisis
dikenal adanya teori sistem dunia (world system theory) atau dikenal juga sebagai neo-
institutional theory, dimana negara-negara modern menetapkan serangkaian standar
kelembagaan yang menegakkan norma-norma, nilai-nilai yang sama sebangun,
ketimbang konteks politik dan kultural. Pejuang aliran pemikiran ini seperti Imanuel
Wallernstein megkritik ini sebagai dominasi negar-negara maju, atau dia sebut sebagai
negara pusat (center) sementara negara-negara miskin berkembang diposisikan sebagai
negara pinggiran (peripery).
Selanjutnya Sutton (2015:3) menyebut juga teori ketergantungan (dependency
theory) sebagai varian lain analisis kritikal yang dikategorikan sebagai post-colonial
theory yang menggunakan idiom center dan periphery yang sama. Aliran ini memiliki
beberapa tokoh yang sangat kritis seperti Fernando Cardoso dari Brasil, Albert Memmi
dan Franz Fanon dari Afrika. Mengutip Ali Mazrui, ia menyatakan bahwa universitas-
universitas di Afrika menjadi sebuah manifestasi yang sangat jelas dari adanya dominasi
budaya dari bekas penjajah kolonial mereka. Griffith (2015:163) dalam kajian
kontemporernya pada gilirannya merekomendasikan perubahan sistemik, tidak hanya di
dunia berkembang dengan melakukan pembahasan dengan perspektif teori sistem dunia.
Ia menganggap pendidikan yang ada tidak cukup adil, setara dan demokratis.
Keberadaan dan perkembangan analisis kritikal tidak bisa dilepaskan dari peranan
tokoh penting Mazhab Frankfurt, Juergen Habermas yang juga sudah disebutkan dalam
bagian sebelumnya. Menurutnya ada tiga bentuk pencarian pengetahuan yang dilakukan
manusia. Pertama, yang biasanya dilakukan oleh ilmu-ilmu eksakta dan juga diikuti oleh
ilmu-ilmu sosial disebut sebagai “causal atau lawlike relationship”. Pencarian ilmu
dilakukan dengan ilmu analisis empiris. Pola analisis sedemikian disebut sebagai
instrumental knowledge yang bertujuan untuk mengkaji proses untuk pada akhirnya
mencapai sebuah tujuan. Yang kedua, disebut sebagai interpretive atau hermeunetical
knowledge yang berupaya untuk mencari dan mengembangkan saling memahami di
antara umat manusia dengan memberikan nuansa dan pemaknaan nilai kultural dan
kemanusiaan. Yang ketiga adalah yang disebut sebagai emancipatory knowledge yang
membangkitkan kepedulian terhadap hubungan dan ketergantungan yang didasarkan
kepada ideologi yang digunakan untuk mentransformasikan prinsip-prinsip (Sutton,
2001:91).
Meskipun hubungan kausal tetap mendominasi dalam kajian kebijakan dalam bidang
pendidikan, tetapi kita juga tidak bisa melupakan begitu seja kajian-kajian yang lebih
mendalam dan fokus sebagaimana dalam tradisi penelitian dan anslisis kulatitatif.
Beberapa faktor seperti ras, gender, taraf kehidupan menjadi kekuatan penentu
(determining power) dalam pembentukan kelas, relasi antar kelas dan identitas. Pada
penganut analisis kritikal ala Marxian memberikan tempat khusus bagi kelas
sebagaimana juga ras, di mana struktur kelas pekerja atau petani yang sering diasumsikan
disebabkan karena bentuk-bentuk eksploitasi kapitalisme yang memiliki kesamaan
prinsip. Kelas tidak hanya akan menjadi lapangan eksploitasi ekonomi tetapi pada
akhirnya juga politik dan ideologi.
Karena itu Hall dalam Honig (2009:154) menyatakan bahwa orang miskin tidak
hanya ditandai dengan dasar perolehan status ekonomi tetapi juga cenderung memilih
diidentifikasi dengan identitas sosial dan posisi kelasnya. Ia menyimpulkan pembentukan
sosial (social formation) mempengaruhi struktur ekonomi masayarakat. Pada banyak
kasus, kebijakan umum tidak dapat berjalan secara efektif. Apa yang menjadi esensi
sebenarnya hanya bisa dikaji dengan melakukan pendekatan kualitatif dan kritikal bahkan
mungkin saja melalui kajian etnografis, etnometodologis dan studi kasus.
Mari kita lihat perkembangan analisis kritis dan ekonomi politik dalam bidang
pendidikan pada masa-masa terakhir. Lancia dan Russo (2016:1038) mengkaji tentang
konflik antargenerasi yang terjadi dalam penetapan anggaran bidang pendidikan dan
pensiun dalam negara demokrasi modern. Bandul alokasi anggaran pendidikan dan
pensiun menjadi objek dalam pemilihan umum politik. Pandangan yang menilai
perguruan tinggi sudah menjadi institusi yang elit dikaji oleh Suoranta dan Fitzsimmons
(2017:275-279). Kajian mereka mengambil evaluasi terhadap kecendeerungan yang
terjadi dalam bidang pendidikan tinggi di dunia, dimana pendidikan tinggi sebenarnya
merupakan sesuatu yang digolongkan sebagai barang publik (public good) dan tidak
selayaknya berada di tangan ideologi kapitalisme. Kedua kajian di atas mengambil posisi
kritis terhadap aliran mainstream yang ada di dunia saat ini.
Dapat juga diambil contoh kajian yang lebih menekankan kepada kajian sejarah.
Edwards, Jr dan DeMatthes (2014:2-41) melakukan telaah histori di kalangan negara
berkembang dan Amerika Serikat dengan mengambil titik tolak akhir perang dunia ke-II.
Mereka menekankan kajian kepada kecenderungan desentralisasi pendidikan yang terjadi
sampai saat ini. Yang mereka temukan bukanlah desentralisasi yang menekankan kepada
level komunitas, tetapi jutsru reformasi yang memberikan penekanan kepada
akuntabilitas. Kajian ini bagaimanapun masih menggunakan analisis ekonomi politik
dengan mengambil sample dari tulisan-tulisan yang di-publish di tiga jurnal kebijakan
pendidikan ternama yaitu Journal of Education Policy, Journal of Education
Administration dan Harvard Education Review. Kajian ekonomi politik yang sangat
menyentil mengkaji tentang bagaimana korupsi mempengaruhi hubungan yang terjadi
antara investasi asing (foreign direct investment/FDI) dengan variabel sumber daya
manusia di 107 buah negara-negara tempat kajian, dimana dunia pendidikan secara
umum sangat berkepentingan dengan ini sebagai upaya meningkatkan daya saing bangsa.
Kajian yang dilakukan Dutta, Kar dan Saha (2017:126-134) menyimpulkan bahwa
terdapat dampak interaktif antara korupsi dan sumber daya manusia terhadap investasi
asing. Kenaikan mutu sumber daya manusia akan meningkatkan investasi sebanyak 40%.
Ini berlaku di semua negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, maupun yang rendah. Di
negara-negara yang tingkat korupsinya rendah, signifikansi faktor sumber daya manusia
baru tinggi terhadap arus investasi yang masuk. Dengan demikian, tinggipun mutu
sumberdaya manusia, namun jika tingkat korupsi juga tinggi di negara dimaksud, tidak
akan terjadi arus investasi yang deras dan pada gilirannya level ekonomi negara
dimaksud tetap rendah.
I. Penutup
Dengan demikian, jelaslah bahwa peranan besar ilmu sosial dalam melakukan analisis
kebijakan pendidikan ini terutama dalam memberikan kita informasi dan pemahaman
tentang konteks dan dan perspektif sosiolultural dari kebijakan dan lembaga pendidikan.
Sutton dan Levinson (2001) melakukan kompilasi kajian yang sangat ekstensif terhadap
bagaimana analisis sosiokultural dalam kebijakan dilakukan. Pendekatan ini memandang
kebijakan sebagai “practice of power”. Berbagai bidang kajian ilmu sosial ternyata
memiliki kontribusi yang signifikan dalam memahami kebijakan di lapangan. Hal ini
dapat dilakukan melalui kajian antropologi, sosiologi, feminis dan teori kritis dan kajian
perbandingan. Kajian ekonomi politik berkembang dengan baik dalam memahami posisi
negara sebagai distributor, penyeimbang dan dinamisator dalam lingkungan yang pincang
antara segmen yang memiliki akses pendidikan yang baik dan yang tersingkir.
REFERENCE
Dutta, N, Kar, S dan Saha, S. Human capital and FDI: how does corruption affect the
relationship? Economic Analysis and Policy 56. pp 126-234
Dumas, M.J. dan Anyon, J. Toward a Critical Approach to Education Policy
Implementation: Implications for the (Battle)Field dalam Honig, Meredith I (ed.)
2006. New Directions in Education Policy Implementation: confronting
complexity. Albany: State University of New York Press
Edwards Jr.,D.B. dan De Matthews, D.E. 2014. Historical trends in educational
decentralization in the United States and Developing Countries: A periodization
and comparison in the post-WW II context. Education Policy Analysis Archieves
22 (40), pp. 1-42
Fitzner, J. 2016. Back to dark ages: neoliberalism and the decline of labor and education.
Journal for Critical Education Policy Studies 14 (1), pp. 57-73
Griffith, T.G. 2015. Critical education for sistemic change: A world-system analysis
perspective. Journal for Critical Education Policy Studies 13 (3), pp. 163-177
Honig, Meredith I (ed.) 2006. New Directions in Education Policy Implementation:
confronting complexity. Albany: State University of New York Press
Infeld, .D.L. dan Adams, W.C. 2014. Wikipedia as a tool for teaching policy analysis and
improving public policy content online. Journal of Public Affairs Education 19
(3), pp. 445-459
Lancia, F dan Russo, A. 2016. Public education and pensions in democracy: a political
economy theory. Journal of the European Economic Association. 14(5): pp. 1038-
1073
Mederiros, H.A.V., Neto, R.D.M., dan Catani, A.M. 2017. Educational democracy in
graduate education: Public policies and affirmative action. Journal for Critical
Education Policy Studies 15 (1), pp. 252-274
Paulsen, M.B. (ed.) 2013. Higher Education: Handbook of Theory and Research.
Doodrecht: Springer
Suoaranta, J dan Fitzsimmons, R. 2017. Towards real utopias in higher education.
Journal for Critical Education Policy Studies 15 (1) pp. 275-299
Sutton, M dan Levinson, B.A.U. (ed) 2001. Policy as Practice: towards a comparative
sociocultural analysis of education policy. Wesport-London: Ablex Publishing
-------------------------------------- 2001 Introduction dalam Sutton, M dan Levinson,
B.A.U. (ed) 2001. Policy as Practice: towards a comparative sociocultural
analysis of education policy. Wesport-London: Ablex Publishing
Sutton, M. 2001. Policy Research as Ethnographic Refusal: the case fo women‟s literacy
in Nepal dalam Sutton, M dan Levinson, B.A.U. (ed) 2001. Policy as Practice:
towards a comparative sociocultural analysis of education policy. Wesport-
London: Ablex Publishing
Sutton, M. 2015 Strengthening Social Science Research in Indonesia: Looking Back and
Looking Forward, paper presented in Indonesia Focus Conference, Ohio State
University, October 23, 2015
UNESCO. 2013. Handbook on Education Policy Analysis anda Programming. Volume 1
Education Policy Analysis. Bangkok: Asia and Pacifik Regional Bureau and
Education
UNESCO. 2013. Handbook on Education Policy Analysis anda Programming. Volume 2
UNESCO Programming. Bangkok: Asia and Pacifik Regional Bureau and
Education
Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for Education Policy
Analysis. Washington DC; The International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD)/The World Bank
Mingat, A.,Tan, JP dan Sosale, S. Managing Teacher Deployment and Classroom
Processes dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003.
Tools for Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
Mingat, A., Tan, J.P., Sile, E. Addressing Policy Issues in Girls‟ Schooling dalam
Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
Mingat, A dan Sosale, S. Assessing Policy Options for Teacher Training and Pay dalam
Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
Mingat, A., Tan, J.P., dan Tamayo, S. Performing Analysis of Educational Technology
dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
Mingat, A. Tan, J.P., dan Sosale, S. Conducting Comparative Analysis in Education
dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
Mingat, A., Tan, J.P., dan Tamayo, S. Analyzing Equity in Education dalam Mingat,
Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for Education Policy
Analysis. Washington DC; The International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD)/The World Bank
Mingat, A dan Tan, J.P. Conductiong Cost-Effectiveness Analysis in Education dalam
Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
Alain, M dan Tan, J.P. Diagnosing Struktural Weaknesses in Education-Implications for
Project Selection dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed)
.2003. Tools for Education Policy Analysis. Washington DC; The International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
Jarousse, J.P, Mingat, A., Tamayo, S., dan Tan, J.P. Analyzing Costs in Education dalam
Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
Merriefield, P. 2002. Metromarxism. New York: Routledge
Tatto, Maria Teresa (ed.). 2012. Learning and Doing Policy Analysis in Education:
Examining diverse approaches to increasing educational access. Comparative
and International Education: A Diversity of Voices. Volume 16. Boston: Sense
Publisher
Tello, Cesar. 2014. The Theoretical field of Education Policy: Characteristics, objects of
study and mediations. A Latin Americal Perspective. American Journal of
Educational Research. Vol 2 no 4, pp 197-203
Wacquant, L. 2001. The penalisation of poverty and the rise of neo-liberalismes.
European Journal on Criminal Policy and Research, 9(4), pp 401-412
BAGIAN 6
Studi kasus: Kebijakan Reformasi
Pendidikan Tinggi di Indonesia
A. Pendahuluan
Analisis administrasi negara dan kebijakan publik merupakan sebuah upaya untuk
memahami bagaimana posisi, peranan dan orientasi stakeholders pendidikan dalam
membawa dunia pendidikan menuju visi dan mis yang ditetapkan oleh negara. Pada
tahun 2001, penulis pernah melakukan penelitian dan analisis bagaimana dunia
pendidikan memiliki potensi untuk menciptakan generasi muda yang memiliki karakter
toleran dan inisiatif setelah diberikan pelatihan dan penanaman nilai-nilai cinta
perdamaian dalam program peer-mediation di Amerika Serikat (Khaidir, 2001:1-85).
Setelah itu dalam beberapa karya penelitian dan makalah penulis mencoba menempatkan
dunia pendidikan dalam kacamata kebijakan kebangsaan (Khaidir, 2012, 2013 dan 2016).
Karena itu untuk memahami kebijakan pendidikan tinggi Indonesia, ada baiknya kalau
kita menempatkannya dalam perjalanan sejarah dan jatuh bangunnya bangsa Indonesia.
Sejarah pendidikan tinggi di Indonesia memang sudah cukup panjang. Dimulai
dengan didirikannya STOVIA atau yang secara umum dikenal sebagai Sekolah Dokter
Djawa didirikan pada tahun 1849, kemudian berubah menjadi Universiteit Indonesia pada
tahun 1950, kemudian berubah nama menjadi Universitas Indonesia (UI). Dengan tujuan
awal menjadi sebuah perguruan tinggi untuk rakyat, pada tahun 1949 di Yogyakarta
didirikan Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan universitas negeri pertama yang
didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia semenjak kemerdekaan bangsa.
Sejarah pendidikan tinggi mencatat bahwa Pendidikan tinggi di Indonesia
mempunyai jumlah mahasiswa hanya sekitar 200 mahasiswa pada pasca Perang Dunia II,
sekarang jumlah mahasiswa mendekati 5 juta mahasiswa dengan 190.769 dosen/pendidik
(69.662 di antaranya mengajar di Perguruan Tinggi Negeri), yang berada di lebih dari
4200 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di wilayah Tanah Air Indonesia yang
terdiri atas 22 ribu program studi.
Gambar 6.1: Jumlah perguruan tinggi
(sumber: Pangkalan Data Perguruan Tinggi, akses 9 November 2017)
Gambar 6.2: Jumlah dan komposisi mahasiswa
(sumber: Pangkalan Data Perguruan Tinggi, akses 9 November 2017)
Gambar 6.3: Jumlah dan komposisi dosen
(sumber: Pangkalan Data Perguruan Tinggi, akses 9 November 2017)
Gambar 6.4: Jumlah dan komposisi bidang kajian
(sumber: Pangkalan Data Perguruan Tinggi, akses 9 November 2017)
Para pendiri bangsa dan negara Indonesia (founding fathers) sudah merasakan bahwa
pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan bernegara. Secara
eksplisit hal ini dicantumkan dalam salah satu tujuan negara dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Indonesia yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan
bangsa” di samping tujuan untuk “memajukan kesejahteraan umum”. Kedua frasa ini
dianggap sebagai titik tolak bagi strategisnya peranan pendidikan dalam kehidupan
bernegara.
Bagaimana ini dilaksanakan? Kebijakan umum yang merupakan acuan bagi
penyelenggara negara dapat dirujuk pada pasal 31 UUD 1945 yang merupakan hasil
amandemen keempat UUD setelah reformasi yang disahkankan pada tahun 2002 yang
berbunyi:
(1) Setiap warga negara barhak mendapat pendidikan
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapat dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional; dan
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Pasal ini mempertajam posisi pendidikan sebagai bagian dari hak warganegara dan
karena kebijakan atau hukum merupakan pernyataan yang menghasilkan kewajiban dan
hak, dengan sendirinya negara memiliki kewajiban untuk menyelenggarakannya,
terutama pendidikan dasar (basic/elementary education). Rosser dan Joshi (2013)
menyatakan dalam analisisnya bahwa ini seiring dan merupakan bagian dari komitment
Education For All (EFA) yang dicanangkan komunitas internasional dan UNESCO yang
diiringi dengan pengenalan Universal Free Basic Education (UFBE)
Sebagai tindaklanjutnya diterbitkanlah UU Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menggantikan UU
No. 2 tahun 1989. Ciri khas dari sistem pendidikan yang baru ini adalah dengan
menyelenggarakan pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta akhlah mulia. Kemudian, sistem yang diciptakan harus
mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi
dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Untuk itu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan (sustainable).
Perkembangan sistem pendidikan Indonesia terjadi seiring dengan semakin
berubahnya Indonesia menjadi sebuah negara modern. Dengan demikian sistem
pendidikanpun memiliki unsur-unsur tata kelola dan orientasi yang tidak banyak berbeda
dengan sistem yang lebih mapan seperti di Amerika Serikat, Eropa dengan penekanan
kepada beberapa unsur. Ini senafas dengan tulisan Sutton (2015:1) mengutip teori sistem
dunia yang menyatakan bahwa negara-negara modern di seluruh dunia yang menata
organisasi yang memiliki berbagai norma, nilai dan praktik yang sama ketimbang konteks
budaya dan politik yang dimilikinya sendiri. Ini juga berimbas kepada aspek pendidikan.
Secara administrasi negara, urusan pendidikan terbagi dalam urusan pusat dan urusan
otonomi daerah sebagaimana dibahas dalam berbagai tulisan Khaidir (2013, 2016).
Urusan pendidikan tinggi masih berada di bawah kewenangan pusat, sementara setelah
reformasi 1998 menurut UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 23
tahun 2014, urusan pendidikan dasar dan menenangah menjadi urusan otonomi di daerah
kabupaten dan kota. Akhirnya efektif sejak tahun 2016 hanya urusan pendidikan dasar
dan menengah pertama yang menjadi urusan kota/kabupaten, sementara urusan
pendidikan menengah atas kembali dikelola oleh pemerintah provinsi sebagai aparatur
dekonsentrasi yang ada di daerah. Pemerintah pusat berfungsi sebagai pengontrol dan
penetap standardisasi.
Prinsip-prinsip berorientasi ke masa depan, tantangan global, akuntabilitas,
transparansi dan kesinambungan merupakan integrasi dari manajemen moderen yang
menjadi karakteristik utama dari sistem pendidikan nasional yang baru ini. Kemudian,
salah satu yang dianggap strategis adalah kewajiban pemerintah baik pusat (APBN)
maupun daerah (APBD) untuk mengalokasikan setidaknya 20% dari anggaran tahunan
(annual budget) untuk penyelenggaraan pendidikan. Semua tingkatan pemerintahan
memiliki kewajiban untuk memiliki komitmen fiskal dalam operasionalisasi pendidikan,
meskipun disadari ini merupakan sesuatu yang lazim saja karena penyelenggaraan
pendidikan merupakan subsistem yang padat modal, sebagaimana ditemukan di hampir
seluruh belahan dunia, baik negara berkembang apalagi negara-negara maju.
Pasal 13 UU Sisdiknas menyatakan ada tiga tingkatan pendidikan sebagaimana
sudah disebutkan sebelumnya yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi. Berbeda dengan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang
sudah menjadi kewajiban bagi warga negara. Pendidikan tinggi masih merupakan sebuah
tingkatan pendidikan yang elitis dan mahal untuk sebagian besar kelompok masyarakat.
Angka partisipasi kasar pendidikan tinggi pada tahun 2015 masih pada posisi 26,86%
yang diproyeksikan akan mencapai 32,56% pada tahun 2019 dari semua lapisan
masyarakat.
Pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terpilih pada pemilihan
presiden tahun 2015, berdasarkan Peraturan Presiden no 13 tahun 2015, Kementrian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi dipisahkan dari pendidikan dasar dan menengah yang berada di bawah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Patut diketahui bahwa tidak semua perguruan
tinggi penyelenggaran pendidikan tinggi berada di bawah Kemristekdikti, hal ini bisa
dilihat dalam gambar di bawah ini:
Gambar 6.5: Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Pemerintah
(sumber: Pangkalan Data Perguruan Tinggi, akses 9 November 2017)
Sebanyak 4.684 buah institusi penyelenggaran pendidikan tinggi merupakan
perguruan tinggi kedinasan (PTK) yang dilaksanakan oleh berbagai institusi non-
Kemristekdikti. Kemristekdikti menyelenggarakan 19.373 buah perguruan tinggi yang
terdiri dari 1.424 berbentuk akademi, 12 buah akademi komunitas, 1.006 berbentuk
institut, 1.210 berbentuk politeknik, 4.108 berbentuk sekolah tinggi, dan 11.613
berbentuk universitas, baik negeri dan swasta yang berada di bawah Kordinator
Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis).
Dengan demikian, penafsiran anggaran 20% dari APBN dan APBD, tidak bisa
dimaknai sebagai besaran anggaran yang dikelola oleh kementrian teknis yaitu
Kemendikbud dan Kemristekdikti, namun secara total merupakan anggaran tersebar di
berbagai kementrian teknis di tingkat pusat dan dinas, kantor dan badan teknis di daerah.
Belum lagi jika dipahami bahwa kebanyakan penyelenggara negara beranggapan bahwa
anggaran tersebut termasuk gaji dan tunjangan guru yang jumlahnya cukup besar di
seluruh Indonesia. Banyak contoh dari anggaran APBD provinsi, kota dan kabupaten
yang belum mencapai komposisi ini, meskipun ada yang sudah mencapai 40% dan 50%.
Namun patut dicatat bahwa alokasi anggaran pendidikan, disamping tersebar dalam
berbagai institusi namun juga termasuk komponan gaji dan tunjangan yang ternyata
menyerap anggaran dalam jumlah besar. Tetap saja alokasi untuk pengembangan dan
peningkatan kualitas proses belajar mengajar menjadi belum signifikan.
B. Pendidikan Tinggi yang Kompetitif
Becker dan Toutkoshian dalam Paulsen ed (2013:323) menyatakan memang ada
kecenderungan tertariknya penyelenggaraan pendidikan tinggi di dunia kepada aspek
organisasi dan kompetisi. Hal ini nampaknya menjadi salah satu motif bagi masyarakat
untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi. McMahon (2009) bahkan menyatakan bahwa
pemerintahan nasional dan negara bagian menekankan perhatian mereka untuk
menganjurkan warganegara untuk memasuki perguruan tinggi sebagai upaya untuk
meningkatkan keuntungan pribadi dari individu dan pengaruh positif yang akan akan
mengimbas kepada orang lain. Mereka juga percaya bahwa pendidikan juga dilihat oleh
berbagai bangsa sebagai sarana untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dengan
itu menjadi lebih mampu berkompetisi satu sama lain.
Literatur menyatakan bahwa, sebenarnya dikenal berbagai pendekatan yang
digunakan oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan tinggi kepada
masyarakatnya. (1) beberapa negara yang sudah matang (mature) seperti Amerika Serikat
memiliki pendidikan tinggi yang memberikan berbagai pilihan kepada mahasiswa,
sementara negara lainnya lebih terbatas dan bahkan menganjurkan masyarakatnya untuk
melanjutkan ke luar negeri. Aliran filosofi yang lain (Jongbloed, 2003) menggunakan
pendekatan keberagaman manajemen. Adalah biasa jika negara menggunakan
pendekatan manajemen yang lebih sentralisasi dimana pemerintah mengambil keputusan
tentang siapa yang dapat menerukan pendidikan tinggi, bagaimana mahasiswa
terdistribusi secara geografis dan universitas atau institut mana yang boleh beroperasi dan
mana yang tidak. Namun semakin banyak negara yang melangkah menuju model yang
lebih desentralistik dimana mahasiswa bebas untuk memilih apakan akan memasuki
pendidikan tinggi serta kemana mereka akan masuk, sementara lembaga pendidikan
tinggi bebas untuk berkompetisi langsung untuk merebut calon mahasiswa dan berbagai
sumberdaya lain (Teixeira, Joengbloed, Amaral & Dill, 2004).
Dalam dunia akademik dan diskusi tentang pendidikan tinggi, biasa jika didengar
istilah “market” yang berhubungan dengan “higher education”. Di sinilah kompetisi
antar penyelenggara pendidikan tinggi dan antar negara terjadi. Munculnya istilah
“comercialization” dan “academic capitalism”, muncul karena berkurangnya dukungan
dan kemampuan pemerintah dalam mengelola pendidikan tinggi. Kerjasama dan
keterkaitan dengan partner yang memikirkan keuntungan atau korporasi akan
mempengaruhi tipe penelitian dan mungkin juga pendekatan dalam pengajaran yang
dilaksanakan di kampus.
Dengan pendekatan di atas, kompetisi tidak saja hanya menjadi orientasi bagi alumni
untuk berkiprah di dunia kerja setelah mereka tamat nanti, tetapi juga terjadi pada saat
mereka menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi memberikan jenis
pelayanan yang kompetitif dalam upaya meraih calon mahasiswa yang kompetitif dan
akan menghasilkan alumni yang juga bermutu tinggi. Perguruan tinggi akan bersaing
dalam mendifersifikasi jenis pelayanan sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 6:1: Diversifikasi jenis layanan yang diberikan oleh perguruan tinggi
(Becker dan Toutkoshian, 2013:340)
Institusi pendidikan untuk lebih kompetitif tentu saja tidak mungkin hanya
tergantung kepada dukungan pendanaan dari pemerintah. Konsep pasar dan kompetisi
sudah menjadai fenomena global. Lembaga pendidikan tinggi bertarung untuk
mendapatkan sumberdaya finansial untuk berkompetisi. Perguruan tinggi di Indonesia
berpilarkan kepada tridharma perguruan tinggi, yaitu (1) pendidikan dan pengajaran (2)
penelitian dan (3) pengabdian pada masyarakat. Berbicara soal penelitian, perguruan
tinggi akan berusaha keras untuk meningkatkan prestise penelitian dan rangking dalam
kacamata industri, misalnya melalui rezim hak kekayaan intelektual (intelectual property
rights). Sementara itu, industri pendidikan tinggi di seluruh dunia saat ini ditandai dengan
tumbuhnya skema ranking internasional yang menekankan kepada pengukuran rujukan
(bibliometric measures) dari output penelitian di jurnal-jurnal berreputasi (Shin,
Toutkoushian & Teichler 2011).
Pendidikan tinggi terlibat lebih dari sekedar pengajaran namun lebih menekankan
kepada penelitian. Pada universitas riset, proses belajar mengajar memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi bagian dari sebuah rencana terpadu dari pengembangan keilmuan
(inquiry). Penelitian yang aktif akan melibatkan para mahasiswa dalam sebuah
pertarungan dan tantangan ide, pertanyaan, metode pengkajian yang terdepan dalam
bidangnya masing-masing, dimana dosen menempatkan posisi mereka sebagai
pemancing ide dan pembelajaran dari buku teks.
C. Posisi Pendidikan Tinggi dalam Pembangunan Nasional
Salah satu prestasi besar dalam merumuskan kebijakan nasional dalam bidang
pendidikan tinggi di Indonesia adalah dengan diterbitkannya UU No. 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi (PT). Sebelumnya urusan pendidikan tinggi hanya diatur
dengan sebuah Peraturan Pemerintah no. 60 tahun 1999. Jika dianalisis berdasarkan tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, artinya UU PT menunjukkan
komitmen penyelenggara negara yang tinggi sebagai sebuah keputusan politik yang
dihasilkan oleh parlemen (DPR) bersama-sama dengan pihak pemerintah (eksekutif). Ini
masuk akal karena UU Sisdiknas sudah mengamanatkan untuk menerbitkan sebuah UU
khusus yang mengatur tentang pendidikan tinggi.
Ada dua statemen penting dalam UU PT ini yang bisa memberikan gambaran kepada
kita filosofi dari penyelenggaraan pendidikan tinggi yaitu konsideran menimbang, yang
berbunyi (a) bahwa pendidikan tinggi Indonesia merupakan bagian dari sistem
pendidikan nasional yang memiliki peran strategis untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan ilmu, pengetahuan, dan teknologi dengan memperhatikan nilai
humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan,
(b) untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala
bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang
berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela
kebenaran untuk kepentingan bangsa, dan (c) untuk mewujudkan keterjangkauan dan
pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan
relavan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan,
diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan
dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis.
Kita temukan beberapa karakter yang dicantumkan dalam pembukaan UU PT ini,
yang nantinya akan diatur secara detil dalam batang tubuh UU ini. Beberapa kata kunci
yang akan merupakan tulang punggung (backbone) dari penyelenggaraan pendidikan
tinggi ini adalah: memajuka iptek dan nilai humaniora, meningkatkan daya saing bangsa
melalui ilmuwan dan profesional yang berkarakter kreatif dan demokratis serta adanya
keterjangkauan dan keadilan.
Sebuah buku penting tentang pendidikan tinggi, Handbook of Theory and Research
Higher Education diterbitkan oleh Association for the Study of Higher Education
(ASHE) pada tahun 2013 dengan sponsorship oleh Association for Institutional Research
Amerika Serikat. Buku yang dieditori oleh Michael D. Paulsen dan ditulis oleh 32 orang
pakar pendidikan dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat seperti,
University of Minnesota, Indiana, Michigan, Stanford, Maryland dan lain-lain ini
mengupas beberapa persoalan yang penting dan krusial dalam pengembangan pendidikan
tinggi saat ini. Masalah tersebut adalah:
1. Pendidikan tinggi memaksimalkan potensi yang (mungkin) tersembunyi dalam
diri seorang manusia;
2. Keterlibatan dan keaktifan mahasiswa;
3. Posisi mahasiswa minoritas dalam melanjutkan pendidikan ke pendidikan tinggi;
4. Peranan pembentukan jaringan dalam penelitian;
5. Integritas dan pelanggaran etik dalam profesi akademik;
6. Kaitan antara sekolah menengah dengan pendidikan tinggi;
7. Pengertian pasar (market) dalam pendidikan tinggi;
8. Strategi pembelajaran, keterampilan dan kemandirian belajar pada pendidikan
tinggi;
9. Perannan sintesis, analisis dan potensi kontribusi guru sekolah dalam persiapan
menuju perguruan tinggi;
10. Proses transisi siswa menuju pendidikan tinggi;
11. Kebijakan publik dan peranannya dalam pendidikan tinggi menurut analisis
demografi rasial;
12. Interaksi mahasiswa dengan dosen;
13. Dukungan negara terhadap pendidikan tinggi.
Beberapa masalah tersebut tentu saja dibahas dalam konteks kondisi pendidikan dan
sosial di Amerika Serikat pada saat ini. Namun ternyata jika ditelaah beberapa persoalan
yang muncul di sana tidak jauh berbeda dengan apa yang masih kita temukan di tanah air
saat ini. Masih ada ketimpangan antara pendidikan sekolah menengah dengan kebutuhan
input perguruan tinggi, persoalan pemerataan, demografis, interaksi dosen-mahasiswa,
pemenuhan kebutuhan pasar tenaga kerja dan lain-lain.
Secara umum Tandberg dan Griffith (2013:623) mengungkapkan bahwa jika
ditempatkan dalam pembangunan nasional dan pengembangan kebangsaan, pendidikan
tinggi secara mikro memberikan mahasiswa kesempatan untuk melakukan mobiliti sosial
vertikal dan pengembangan kepribadian. Pada gilirannya untuk negara, pendidikan tinggi
menyumbangkan tenaga kerja terdidik dan warganegara yang berpotensi untuk
mengembangkan pembangunan sosial dan stimulasi ekonomi. Dengan demikian, secara
konseptual perguruan tinggi memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembangunan
nasional. Sebaliknya, faktor utama yang memberikan kita sinyal sejauhmana pendidikan
tinggi sudah mencapai tujuannya ini adalah dukungan pendanaan pada institusi
pendidikan tinggi.
Renstra (Rencana Strategis) Kemristekdikti memulai dengan menetapkan kontribusi
perguruan tinggi dalam pembangunan nasional dengan 4 (empat) rumusan yang diangkat
dari harapan yang ditumpangkan oleh masyarakat yaitu: (1) melakukan inovasi untuk
membanguan daya saing lokal dan nasional (2) melakukan transformasi budaya,
pengetahuan, teknologi untuk masyarakat dan industri (3) melakukan penelitian dasar dan
terapan serta (4) mendidik masyarakat. Karena itu, perguruan tinggi berfungsi sebagai
agent of education dan agent of research yang merupakan peranan yang ditekankan pada
Renstra 2009-2014, yang akan dilanjutkan sebagai agent of culture, knowledge dan
technology transfer serta agent of economic development pada periode 2015-2019.
Sebagai agent of education, pengukuran keberhasilan ditetapkan dengan indikator
sejauh mana waktu tunggu alumni perguruan tinggi untuk terlibat dalam dunia lapangan
kerja. Dengan cepatnya serapan alumni di dunia kerja, menunjukkan proses belajar di
perguruan tinggi sudah sesuai dengan kebutuhan dunia kerja akan tenaga kerja. Sebagai
agent of research tingkat keberhasilan dan kekuatan perguruan tinggi dilihat dari jumlah
publikasi yang dihasilkan, jumlah paten serta sitasi yang didapatkan. Pada akhirnya ini
akan bermuara kepada rangking perguruan tinggi di tingkat nasional dan internasional.
Dengan tidak meninggalkan dua peranan tadi, saat ini Indonesia sudah memasuki era
perguruan tinggi yang berfungsi sebagai agent of culture, knowledge and technology
transfer. Indikator yang digunakan adalah sejauhmana teknologi, pengetahuan dan
budaya sudah mampu ditularkan kepada masyarakat luas, terutama untuk dunia industri
dan komunitas. Pada akhirnya di penghujung era lima tahunan ini, masyarakat menuntut
perguruan tinggi mampu memberikan kontribusi yang bermakna kepada pembangunan
ekonomi. Peranan mereka dalam pembangunan ekonomi, di samping sebagai penyedia
tenaga kerja yang potensial juga diukur oleh jumlah inovasi yang dihasilkan serta
kerjasama dengan dunia industri. Dalam era dimana ekonomi didominasi oleh teknologi
tinggi dan inovasi, maka Indonesia mestinya sudah tidak lagi menekankan kepada
ekonomi yang pada karya dan padat modal tetapi kepada inovasi. Dengan ini
kesejahteraan ekonomi akan mampu dihasilkan.
D. Reformasi Pendidikan Tinggi Indonesia
Kebijakan Reformasi Pendidikan Tinggi
Sebagaimana disampaikan di bagian awal dari tulisan ini kebijakan reformasi
pendidikan tinggi di Indonesia sudah dimulai pada tahun ke-tiga reformasi dengan
dilakukannya amandemen keempat UUD 1945 sebagai Konstitusi Indonesia dengan
ditambahkannya beberapa ayat penting dalam pasal 31 tentang pendidikan nasional. Pasal
hasil amandemen tersebut memberikan kewajiban bagi negara untuk melaksanakan wajib
belajar 9 tahun (dasar dan menengah), perumusan satu sistem pendidikan nasional
melalui undang-undang dan kewajiban fiskal untuk mengalokasikan setidaknya 20% dan
annual budget untuk bidang pendidikan.
Setelah dihasilkannya UU Sisdiknas, maka untuk bidang pendidikan tinggi
diterbitkan pula sebuah Undang-undang khusus tentang Pendidikan Tinggi yaitu UU No.
12 tahun 2012. Tiga tahun setelah terbitnya UU Pendidikan Tinggi, pemerintah
melakukan pemisahan pengelolaan pendidikan tinggi secara nasional dengan
memisahkan antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementrian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan keluarnya Perpres No. 13 tahun 2015. Seiring
dengan itu untuk pengembangan sumber daya manusia pengelola pendidikan tinggi
diterbitkan UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dilaksanakan dengan
Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2009 tentang Dosen.
Patut dicatat juga kebijakan dalam reformasi penyelenggaraan dan pengelolaan
pendidikan tinggi yang diatur dalam PP No. 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi yang termasuk tentang pengaturan,
perencanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi
pelaksanaan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tinggi. Dengan sendirinya PP No. 4
tahun 2014 ini menjadi basis bagi manajemen pengelolaan perguruan tinggi di seluruh
tanah air.
Penggunaan terminologi “daya saing”, “pasar tenaga kerja”, “manajemen”, dan
komitmen untuk ikut bertarung di kawasan regional dan internasional, menunjukkan
perumus kebijakan Indonesia sudah berketatetapan hati untuk bertarung di kawasan yang
lebih luas. Purnastuti et al (2015:184) bahkan menyimpulkan bahwa sejak tiga dekade
terakhir, Indonesia menunjukkan program-program yang ambisius untuk melaksanakan
reformasi ekonomi. Jika zaman Soeharto dimanjakan oleh bom minyak dan disusul sejak
tahun 1980an dengan deregulasi ekonomi. Pasca reformasi kebijakan ekonomi
dilaksanakan sesuai dengan resep yang diberikan oleh International Monetary Funds
(IMF) dan tentu saja lebih berorientasi kepada pasar. Hal ini seiring dengan pergeseran
dunia kerja dari bidang agraria dan pertanian menuju manufaktur, transportasi,
perdagangan, komunikasi, komunits, sosial dan industri pelayanan jasa. Dunia
pendidikan tinggi, disamping pendidikan vokasi, tentu saja dituntut untuk bergerak
mengiringi perubahan besar ini. Di satu sisi, tuntutan perubahan ini akan semakin
meningkatnya kebutuhan akan pendidikan. Nilai tambah tenaga kerja sangat ditentukan
oleh kemampuan skill dan kompetensi yang mereka miliki. Tidak mengherankan jika
orientasi pendidikan berpaling kepada ilmu-ilmu yang mendukung pembangunan
industrial seperti ilmu eksakta dan teknologi, termasuk juga komunikasi dan bahasa.
Saat-saat terakhir sangat populer di Indonesia sesuatu bidang yang dinamakan industri
kreatif.
Perubahan Struktural
Perubahan struktural penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dimulai dari
perubahan di tingkat nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai desk yang
bertanggungjawab dalam pengaturan dan pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia
berdasarkan Perpres No, 13 tahun 2015 bergabung di bawah Kementrian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Penggabungan ini menandai perubahan paradigma
pengelolaan perguruan tinggi menjadi lebih dekat kepada pelaksanaan riset dan
teknologi. Ada nuansa terapan yang kental dalam perubahan kelembagaan dan
nomenklatur ini. Meskipun sebelumnya perguruan tinggi sudah memiliki fungsi
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat, sesuai dengan
komitmen yang tercantum dalam renstra ada upaya untuk lebih mendekatkan dunia
pendidikan tinggi kepada dunia lapangan kerja, industri dan masyarakat melalui inovasi
dan penelitian yang dilakukan.
Perubahan struktural kementrian ini bukanlah yang pertama kali dilakukan. Pada
tanggal 14 April 1961 pemerintah membentuk Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan, yang merupakan pecahan dari Departemen Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan. Tahun 1962 di zaman presiden Soekarno, dibentuknya Kementrian Urusan
Riset Nasional yang kemudia tahun 1973 berubah menjadi Menteri Negara Riset. Selama
pemerintahan presiden Soeharto Menteri Negara Riset ini dipertahankan sampai tahun
1986 menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi yang dipimpin oleh Prof. BJ Habibie.
Setelah tahun 2002, 2005 dan 2009 mengalami beberapa perubahan minor dalam
nomenklatur Kementrian dan Kementrian Negara, barulah tahun 2014 seiring dengan
diumumkannya Kabinet Kerja oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Oktober 2014
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melebur ke dalam Kementrian Riset, Teknologi
dan Pendidikan Tinggi yang disahkan dengan Perpres No. 13 tahun 2015 yang dipimpin
oleh Prof. M. Nasir, PhD.
Struktur kementrian dilengkapi dengan Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal dan 5
Direktorat Jenderal untuk urusan (1) Pembelajaran dan Kemahasiswaan, (2)
Kelembagaan Iptek dan Dikti, (3) Sumberdaya Iptek dan Dikti, (4) Penguatan Riset dan
Pengembangan serta (5) Penguatan Inovasi. Di samping itu Kemristekdikti juga
membawahi 6 (enam) buah Lembaga Non-Departemen yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN),
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Dalam pengelolaan perguruan tinggi swasta Kemristekdikti membawahi 14 buah
Kordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) dari Aceh sampai Papua.
Perubahan kelembagaan yang penting juga terjadi di tingkat perguruan tinggi sebagai
ujung tombak penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pasal 7 UU No. 12 tahun 2012
menyatakan bahwa menteri bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi,
implikasinya menteri memiliki kewenangan untuk melaksanakan pengaturan,
perencanaan, pengawasan, pemantauan, dn evaluasi serta pembinaan dan koordinasi.
Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan tinggi pada akhirnya bertumpu pada
pemerintah pusat, karena wewenang menteri dalam bentuk implementasinya akan
berbentuk (pasal 7 ayat 2):
a. Kebijakan umum dalam pengembangan dan koordinasi;
b. Penyusunan rencanan panjang, menengah dan tahunan;
c. Penjaminan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan dan akses;
d. Pemantapan dan peningkatan kapasitas pengelolaan akademik dan sumberdaya;
e. Pemberian dan pencabutan izin;
f. Kebijakan dalam penghimpunan dan pendayagunaan potensi masyarakat;
g. Pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau konsorsium yang melibatkan
masyarakat;
h. Pelaksanaan tugas lain.
Namun demikian undang-undang ini perguruan tinggi melalui tanggungjawab
pribadi civitas akademika memegang kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik
dan otonomi keilmuan. Dengan demikian kerangka organisasi dan manajemen diatur dan
dilaksanakan dengan kaitannya dengan pemerintah pusat, namun pengembangan ilmu,
menyatakan secara terbuka sesuatu yang berkaitan dan rumpun keilmuan serta
mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan dan budaya
akademik dikembangkan oleh insan akademik sendiri dan harus dilindungi oleh
penyelenggara pendidikan tinggi. Dalam kaitan dengan ini, saya sepakat dengan
pandangan Sutton (2015) yang merekomendasikan untuk mengembangkan organisasi
rumpun keilmuan baik berbentuk organisasi profesi maupun asosiasi. Justru organisasi
inilah yang akan menjaga reputasi ilmiah dan kualifikasi keilmuan yang dimiliki oleh
seorang insan akademik. Sejauh ini ide UU PT tentang akreditasi oleh lembaga
independen masih belum terlaksana dengan meluas dan substansial.
UU ini membagi jenis pendidikan tinggi menjadi 3 (tiga) macam yaitu (1)
pendidikan akademik yang diarahkan untuk penguasaan dan pengembangan cabang ilmu
pengetahuan dan teknologi (2) pendidikan vokasi yang disiapkan untuk pekerjaan dengan
keahlian terapan tertentu dan (3) pendidikan profesi, setelah program sarjana untuk
pekerjaan yang memerlukan persyaratan dan keahlian khusus. Dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi, pemerintah pusat memastikan standardisasi mutu pendidikan melalui
sistem penjaminan mutu, standar pendidikan tinggi dan sistem akreditasi yang
dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional. Untuk mengakses layanan dengan mudah
dan melakukan fungsi pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi
disamping untuk pemantauan dikembangkan sebuah Pangkalan Data Pendidikan Tinggi
(PDPT).
Bentuk perguruan tinggi yang dimungkinkan dibentuk di Indonesia ditetapkan dalam
pasal 59 yaitu universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi dan akademi
komunitas. Semua lembaga tersebut dimungkinkan dibentuk oleh pemerintah (Perguruan
Tinggi Negeri) serta keterlibatan masyarakat melalui swasta (Perguruan Tinggi Swasta),
dengan tetap berpedoman kepada prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan
mutu dan efektivitas dan efisiensi. Reformasi penataan penyelenggaraan pendidikan
tinggi dan pengelolaan perguruan tinggi ini diatur lebih rinci dalam PP No. 4 tahun 2014.
Di samping adanya otonomi perguruan tinggi dan pola pengelolaannya, PP ini
menekankan perlunya tata kelola (governance) perguruan tinggi dan menekankan kepada
pentingnya aspek akuntabilitas publik. Otonomi perguruan tinggi dilaksanakan pada
PTN, PTN Badan Hukum dan PTS. Selanjutnya pola pengelolaan PTN mengenal adanya
tiga tingkatan kemandirian, yaitu:
a. PTN dengan pola pengelolaan keuangan negara pada umumnya (atau dikenal
sebagai satuan kerja/satker)
b. PTN dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, dana
c. PTN sebagai badan hukum (yang sudah mandiri).
Pola pengelolaan tersebut ditetapkan berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri
berkerjasama dengan Menteri Keuangan sebagai menteri teknis di bidang urusan
keuangan.
Tata kelola perguruan tinggi ditertibkan dengan menetapkan unsur-unsur yang harus
ada dalam tata kelola, yaitu:
a. Penyusun kebijakan;
b. Pelaksana akademik;
c. Pengawas dan penjaminan mutu;
d. Penunjang akademik atau sumber belajar; dan
e. Pelaksana administrasi atau tata usaha.
Dengan demikian, perguruan tinggi idealnya terdiri dari Senat akademik yang
melaksanakan penyusunan kebijakan akademik, pemimpin perguruan tinggi sebagai
pelaksana akademik, satuan pengawas internal dan dewan penyantun yang melaksanakan
fungsi pertimbangan non-akademik. Pemimpin perguruan tinggi diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri, sementara wakil-wakil atau pembantunya diangkat dan
diberhentikan oleh pemimpin perguruan tinggi sendiri. Sementara hal-hal lain internal
perguruan tinggi ditetapkan dalam Statuta yang disusun oleh Senat dan disahkan oleh
menteri. Untuk PTN yang berbadan hukum dibentuk pula Majelis Wali Amanat sebagai
unsur penyusun kebijakan.
Aspek akuntabilitas merupakan salah satu hal yang penting dalam reformasi
penyelenggaraan pendidikan tinggi saat ini. Meskipun hanya diatur dalam pasal 33 PP
No. 4 tahun 2014, namun ini merupakan sebuah kewajiban untuk melaksanakan visi dan
misi PT nasional, dengan demikian diperlukan jaminan adanya sinkronisasi dan
konsistensi antara perencanaan pendidikan tinggi di tingkat nasional sampai ke tingkat
perguruan tinggi masing-masing. Hal ini juga berkaitan dengan izin program studi yang
diberikan oleh Menteri.
Penyelenggaran perguruan tinggi memiliki target kinerja yang berlapis dimulai dari
Menteri bagi PTN, Majelis Wali Amanat bagi PTN BH dan Badan Penyelenggara bagi
PTS. Sementara itu semuanya harus mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan
Tinggi. Bentuk akuntabilitas ini dibuat dalam bentuk laporan tahunan yang wajib
diumumkan setiap tahun kepada masyarakat. Untuk status PTN BH dan PTN Badan
Layanan Umum, akuntabilitas juga sampai kepada aspek keuangan yang diaudit oleh
lembaga audit independen untuk mementukan status laporan keuangannya, disamping
juga pelaksanaan pemeriksaan internal oleh Inspektorat Jenderal dan eksternal oleh
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) untuk aspek-aspek tertentu. Di samping itu, tidak tertutup pula kemungkinan jika
ada indikasi penyimpangan dalam penyelenggaraan keuangan dan pembangunan
pemeriksaan dilakukan melalui audit investigasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
atau Kejaksaan, meskipun tidak diatur dalam kebijakan pengelolaan pendidikan tinggi.
Perubahan Orientasi
Reformasi pendidikan tinggi di Indonesia yang diawali dengan amandemen UUD
1945, penerbitan UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, disusul dengan UU Guru dan
Dosen 2005, UU Pendidikan Tinggi 2012, dan PP PT 2014, dan mencapai puncaknya
dengan dibentuknya Kemristekdikti tahun 2015. Kemristekdikti pada tahun 2015
mencantumkan visinya: untuk “terwujudnya pendidikan tinggi yang bermutu serta
kemampuan iptek dan inovasi untuk mendukung daya saing bangsa”. Dengan demikian
antara pendidikan tinggi, iptek dan inovasi disebutkan dalam satu nafas dan semuanya
ditujukan untuk mendapatkan “nation competitivesness”. Sementara itu untuk mencapai
visi dicantumkan 2 buah misi Kementrian: (1) meningkatkan akses, relevansi dan mutu
pendidikan tinggi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan (2)
meningkatkan kemampuan iptek dan inovasi untuk menghasilkan nilai tambah produk
inovasi.
Dalam periode 2015-2019 ditetapkan sasaran strategis: (1) meningkatnya kualitas
pembelajaran dan kemahasiswaan pendidikan tinggi (2) meningkatnya kualitas
kelembagaan ilmu pengetahuan, teknologi dan pendidikan tinggi (3) meningkatnya
relevansi, kualitas dan kuantitas sumberday iptek dan pendidikan tinggi (4) meningkatnya
relevansi dan produktivitas riset dan pengembangan dan (5) menguatnya kapasitas
inovasi. Untuk mencapai itu pengembangan sumber daya manusia merupakan sesuatu
yang sangat sentral dalam reformasi pendidikan tinggi ini. Untuk penyelenggaraan
pendidikan tinggi dilakukan oleh dosen dan tenaga kependidikan. Jabatan akademik
dosen terdiri dari asisten ahli, lektor, lektor kepala dan profesor. Sumberdaya manusia
merupakan tantangan utama reformasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Di samping itu, sebagai sebuah masalah klasik, penganggaran dan pendanaan
senantiasi diangkat sebagai persoalan dalam mendukung semangat reformasi di atas.
Sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi maka dalam mendanaan pendidikan tinggi
pemerintah mengalokasikan dalam APBN dan dapat didukung oleh pemerintah daerah
dalam APBD. Namun demikian masyarakat diberikan pula peluang untuk berperanserta
dalam pendaaan pendidikan tinggi dalam bentuk: hibah, wakaf, zakat, persembahan
kasih, kolekte, dana punia; sumbangan individu dan/atau perusahaan, dana abadi dan
bentuk lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tantangan lain
adalah betapa Bab VI UU PT memberikan kemungkinan kepada perguruan tinggi negara
lain untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia dengan memperloleh izin
dari pemerintah, berprinsip nirlaba, berkerjasama dengan PT Indonesia dan
mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warganegara Indonesia dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya. Namun sebenarnya ini juga merupakan
peluang dan jalur bagi insan akademik Indonesia untuk menyetarakan kualitas dan
kualifikasinya dengan para “saingannya” di dunia internasional ini untuk mencapai
perguruan tinggi kelas dunia.
Pencapaian Sementara
Tahun ini merupakan sudah 15 tahun amandemen UUD 1945 yang memberikan
berbagai penekanan baru dan perubahan untuk bangsa Indonesia dalam menempatkan
pendidikan dalam kehidupan kenegaraan. Namun demikian pendekatan baru dalam
pendidikan tinggi sebenarnya baru dimulai pada tahun 2012 dan penekanan pada
integrasi antara penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan aspek produktivitas, inovasi
dan daya saing bangsa baru dimulai setelah naiknya presiden Joko Widodo pada tahun
2015 yang ditandai dengan dipisahkannya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dari
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan bergabung dengan Kementrian Riset dan
Teknologi. Ini merupakan penataan organisasi yang sangat penting dan strategis,
mekipun terkesan memisahkan integrasi antara pendidikan dasar, menengah dan
pendidikan tinggi.
Berikut dianalisis beberapa capaian yang sudah didapatkan sebagai buah dari
reformasi pengelolaan pendidikan tinggi. Ada 5 perguruan tinggi yang mendapatkan
ranking baik di tingkat internasional yaitu Universitas Indonesia di peringkat 358, Institut
Teknologi Bandung di peringkat 431, Universitas Gadjah Mada di peringkat 551,
Universitas Airlangga dan Institut Pertanian Bogor di peringkat 701.
Gambar 6.6: PT berperingkat internasional
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Di samping meningkatkan prestasi dan ranking perguruan tinggi bagi perguruan
tinggi yang sudah mapan, pemerintah juga menerbitkan kebijakan untuk menambah
jumlah perguruan tinggi. Hal ini juga berpengaruh kepada Angka Partisipasi Kasar
(APK), dimana semakin besar peluang kepada tamatan pendidikan menengah untuk
menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dilakukan dengan mendirikan yang
baru serta merubah status beberapa perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi
negeri, artinya negara mengambil alih penyelenggaraannya dari pihak swasta. Kebijakan
ini masih diteruskan pada tahun 2016, namun sampai akhir tahun 2015 15 universitas
swasta dirubah menjadi PTN dan 12 politeknik swasta dirubah menjadi Politeknik
Negeri. Pemerintah memang memberikan perhatian lebih kepada bidang teknik dan sains.
Hal ini masih ditambah dengan 10 buah institut baru berbentuk institut teknologi dan seni
budaya Indonesia.
Gambar 6.7: Pendirian PTN baru
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Penjaminan mutu di dalam negeri dilaksanakan dengan melaksanakan akreditasi
yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Akreditasi
ini merupakan salah satu bentuk penjaminan mutu yang dilaksanakan secara eksternal,
disamping pelaksanaan penjaminan mutu internal yang merupakan kewajiban perguruan
tinggi masing-masing. Sebagaimana dijelaskan di depan BAN PT merupakan lembaga
yang ditugaskan melaksanakan akreditasi di samping UU PT memberikan kemungkinan
adanya akreditasi mandiri yang sampai saat ini belum dilaksanakan. Akreditasi juga
memastikan standar nasional sudah terpenuhi dalam penyelenggaraan sebuah perguruan
tinggi (institusi) atau program studi.
Jika dilihat dari data 2015, dari sebanyak total 4.271 PT baru 852 buah yang sudah
terakreditasi dan 3.422 yang belum terakreditas. Artinya, 19% PT sudah terakreditasi dan
81% belum terakreditasi. Jumlah PT yang bernilai akreditasi unggul sebayak 26 buah
atau 0,6%, masih sangat sedikit dan kebanyakan berlokasi di pulau Jawa. Dengan
demikian terlihat sekali kepincangan mutu antara pendidikan tinggi di Pulau Jawa dan di
luar Pulau Jawa. Tahun 2016 pemerintah menerbitkan kebijakan untuk melaksanakan re-
akreditasi untuk perguruan tinggi yang mendapatkan penilaian tinggi tetapi masih
berkategori akreditasi B. Akhirnya didapatkan total 50 buah PT yang terakreditasi
unggul.
Tabel 6.2: Akreditasi perguruan tinggi
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Sementara itu untuk akreditasi program studi, dari total 21.657 program studi yang
terdaftar di BAN PT dan Dikti, 19.047 atau 88% sudah terakreditasi dan tinggal 2.610
atau 12% yang belu terakreditasi. Nampaknya perguruan tinggi masih belum
menganggap penting akreditasi institusi, tetapi memprioritasikan akreditasi program studi
karena berkaitan dengan izin dan penerimaan mahasiswa. Secara institusi masih
diperlukan pembenahan perguruan tinggi di Indonesia. Sebanyak 1.785 atau 8% dari
seluruh populasi program studi sudah mendapatkan akreditasi A.
Tabel 6.3: Akreditasi program studi
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Secara komprehensif strategi pencapaian tujuan untuk menghasilkan lulusan
pendidiak tinggi yang bermutu tinggi, dilakukan secara simultan dengan memberikan
penekanan kepada: (1) tata kelola institusi pendidikan tinggi (2) proses pembelajaran dan
kualitas pengajaran (3) peningkatan kualitas pendidik dan tenaga pendukung (4) kualitas
dan relevansi kurikulum (5) fasilitas pengajaran yang memenuhi standar (6) manajemen
keuangan yang akuntabel (7) jaringan nasional dan internasional yang kuat. Dengan
memberikan perhatian dan peningkatan kepada tujuh aspek di atas, diharapkan akan
terjadi peningkatan kualitas lulusan pendidikan tinggi.
Gambar 6.8: Strategi Pencapaian Tujuan
(Sumber: Dirjen Sumberdaya Iptek dan Dikti 2016)
Pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia mengalami persoalan dengan jumlah
dosen yang tersedia. Secara ideal untuk bidang studi sains dan teknologi rasio dosen
mahasiswa 1:25 dan untuk bidang ilmu sosial dan humaniora rasio dosen mahasiswa
1:35. Pengadaan dosen terbentur dengan kebijakan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
yang kewenangannya tidak berada di Kemristekdikti tetapi kebijakan Badan
Kepegawaian Negara (BKN).
Dalam mengatasi keterbatasan ketersediaan dosen, salah satunya adalah dengan
menerbitkan kebijakan Nomor Induk Dosen. Melalui Permenristekdikti No. 26 tahun
2015 tentang Registrasi Pendidik di Perguruan Tinggi. Kebijakan ini mendisersifikasi
jenis pendidik di Perguruan Tinggi menjadi tiga macam yaitu dosen, instruktur dan tutor.
Para pendidik diberikan nomor registrasi pendidikan berbentuk NIDN (nomor induk
dosen nasional), NIDK (nomor induk dosen khusus) dan NUP (nomor urut pendidik).
NUP juga diberikan untuk dosen tidak tetap dan instruktur. Kebijakan ini menaikkan
nisbah dosen secara cukup signifikan.
Gambar 6.9: Kebijakan nomor induk dosen
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Kualifikasi dosen masih didominasi oleh lulusan S2 (magister) sebanyak 62,42%,
mengalami peningkatan dari 57,5% pada tahun 2014, sementara lulusan S3 sebanyak
13,16% meningkat dari 12,9% pada tahun 2014 dan ditargetkan mengalami kenaikan
4.500 orang doktor di tahun berikutnya. Kenaikan proporsi tersebut mengakibatkan
penuruan proporsi mereka yang berkualifikasi S1.
Gambar 6.10: Kualifikasi dosen
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Untuk dapat menjadikan institusi yang berdaya saing internasional, beberapa
indikator dan pencapaian harus diraih. Berikut data jumlah paten internasional yang
dihasilkan selama tahun 2015, dimana Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara
tetangga di Asia Tenggara seperti Tahiland, Malaysia serta Singapura.
Gambar 6.11: Jumlah paten internasional
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Meskipun demikian jumlah paten secara akumulatif mengalami peningkatan setiap
tahun, sebagaimana data grafik di bawah ini. Pada tahun 2016 Hak Kekayaan Intelektual
ditargetkan sebanyak 1.735, prototipe research and development sebanyak 632 dan
prototipe lain industri sebanyak 15 buah, ditambah lagi dengan berbagai produk inovasi
yang mengalami pencapaian di atas target sebelumnya sebagaimana tercantum dalam
Rencana Strategis Kemristekdikti.
Gambar 6.12: Paten didaftarkan di Indonesia
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Publikasi internasional mengalami peningkatan yang sangat baik, sebagaimana
terlihat dalam data grafik di bawah ini. Beberapa situs pengindeks karya ilmiah
internasional memberikan data dengan kecenderungan yang cukup mengalami
peningkatan. Menurut schimagojr.com memberikan trend peningkatan, meskipun masih
di bawah Malaysia dan Thailand. Demikian juga data dari scopus, Indonesia mulai
meninggalkan Philipina jauh dalam 2 tahun terakhir.
Gambar 6.13: Publikasi internasional
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Tabel 6.4: Publikasi terindeks Scopus
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Publikasi dosen Indonesia masih didominasi oleh terbitan Jurnal nasional yang tidak
terakreditasi meskipun sudah memiliki Internasional Standard Serial Number (ISSN).
83% dari publikasi dosen Indonesia diterbitkan di jurnal ini. 5% terbit di jurnal nasional
terkareditasi dan 12% terbit di jurnal internasional. Nampaknya perlu juga dilakukan
pembinaan dan stimulasi untuk penulisan di jurnal nasional terakreditasi.
Tabel 6.5: Publikasi dosen Indonesia
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Kecenderungan meningkatnya publikasi internasional tidak terlepas dari peranan
dosen Indonesia yang melakukan studi di luar negeri. Hal ini ditambah lagi dengan
insentif khusus penerbitan dan saat ini publikasi akan dihubungan dengan tunjangan
profesi dosen, sebuah kebijakan yang masih dalam kontroversi yang mendapat penolakan
dari sebagian perguruan tinggi. Sebagaimana diketahu publikasi internasional sudah
menjadi salah satu persyaratan penting untuk karir jabatan akademik dosen, terutama
untuk jabatan lektor kepala (associate professor) dan professor.
Jika di lihat dari grafik di bawah, terdapat peningkatan yang cukup bermakna pada
setidaknya 6 tahun terakhir, mulai dari tahun 2009 dan mencapai puncaknya pada tahun
2015, dan diharapkan akan meningkat terus sehingga setidaknya di Asia Tenggara
Indonesia menduduku peringkat setara dengan Malaysia dan Thailand. Dalam acara
pengarahan pada peserta SAME tahun 2017 pada tanggal 18 Agustus 2017 yang
diberikan oleh Dirjen Sumberdaya Iptek, Prof. Ali Ghufron Mukti dan Direktur Karier
dan Kompetensi SDM Prof. Bunyamin Maftuh, sudah terlihat kecenderungan tersebut.
Artinya dengan evaluasi sepintas tujuan untuk meningkatkan publikasi dalam rangka
meningkatkan daya saing sumber daya manusia pendidikan tinggi Indonesia sudah
menunjukkan titik terang.
Gambar 6.14: Pertumbuhan publikasi dosen
(sumber: Laporan Tahunan Kemristekdikti 2015)
Potensi dan Tantangan Implementasi Kebijakan
Secara umum pendidikan tinggi Indonesia memiliki potensi yang luar biasa.
Indonesia dengan populasi lebih dari 260 juta merupakan bahan baku yang besar untuk
pengembangan sumber daya manusia. Dengan komposisi terbesar berada pada usia
produktif, Indonesia dikatakan memiliki bonus demografi yang akan menjadi modal
besar dalam 10-20 tahun ke depan. Indonesia juga dikenal secara kultural dan sosiologi
memiliki produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Persoalan terbesar adalah, saat ini
hampir 50% dari penduduk Indonesia tidak menamatkan pendidikan dasar, dan yang
menamatkan pendidikan tinggi tercatat hanya 4,6%. Meskipun konstitusi sudah
mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun, bahkan sudah ditingkatkan menjadi 12 tahun pada
2 tahun terakhir.
Indonesia dikatakan merupakan negara demokratis terbesar ke-3 di dunia, dan
merupakan negara Muslim terbesar penduduknya. Indonesia senantiasa menjadi pemain
penting dalam konstelasi politik, sosial dan budaya di Asia Tenggara. Dengan kekayaan
alam yang sangat berlimpah, Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang
berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonominya di atas 5% pertahun (5,4% di tahun
2016) di tengah kelesuan ekonomi dunia secara global. Dengan pengalaman mempu
mengurangi kemiskinan yang merupakan akibat krisis ekonomi 1998, diiringi dengan
peningkatan pendapat perkapita.
Namun demikian semua potensi tersebut tidak akan bermakna tanpa dipayungi oleh
orientasi dan kebijakan yang substansial dan efektif. Dengan kerangka acuan yang cukup
jelas tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 20 tahun dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 5 tahun, maka salah satu kunci adalah
implementasi dan sinkronisasi antar kebijakan di lapangan. Visi 2005-2025 adalah
Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Dalam RPJP yang disahkan dengan
UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun
2005-2015 tersebut dicantumkan salah satu misi yang berkaitan dengan pembanguan
sumber daya manusia adalah pada poin ke 2 yang berbunyi:
“mewujudkan bangsa yang berdaya-saing adalah mengedepankan
pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing;
meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek melalui penelitian,
pengembangan, dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan;
membangun infrastruktur yang maju serta reformasi di bidang hukum dan
aparatur negara; dan memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan
setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan
sistem produksi, distribusi dan pelayanan termasuk pelayanan jasa dalam
negeri”.
Dengan demikian penekanan dalam pengembangan sumber daya manusia melalui
pendidikan tinggi sudah segaris dengan RPJPN 2005-2025.
Implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal. Honig (2006:1)
menyatakan bahwa kebijakan pendidikan saat-saat terkahir menjadi jauh lebih kompleks.
Sistem saat ini menuntut akuntabilitas untuk menunjukkan peningkatan yang dibawa oleh
kebijakan itu dan memastikan bahwa peningkatan itu memang terjadi karena sesuatu
hubungan yang bersifat kausal efek dengan kebijakan dimaksud. Dengan demikian,
kebijakan harus semakin terukur dan jelas tujuannya guna mendapatkan akuntabilitas dan
evaluasi yang lebih akurat.
Secara umum dalam bidang analisis kebijakan publik yang dimulai pada era 1960an
percaya bahwa keberhasilan dan efektivitas implementasi kebijakan terletak pada
karakteristik rumusan kebijakan dan bagaimana ia disampaikan ke khalayak sasaran.
Pada era generasi kedua yang terjadi pada dekade 1970an dan 1980an menempatkan
aktor lokal sebagai penentu dalam implementasi kebijakan. Dengan demikian Edwards
(1980) dan Nakamura dan Smallwood (1980) menyatakan faktor-faktor yang menentukan
adalah motivasi, sikap dan komitmen. Mazmanian dan Sabatier (1983) menyatakan
pentingnya faktor jalur komunikasi dan kepemimpinan, sedangkan Van Horn (1979)
menyatakan pengetahuan dan keahlian (skills) justru yang dituntut untuk memastikan
penerapan kebijakan atau program. Dengan demikian, hampir semuanya menyatakan
bahwa keinginan dan kapasitas menjadi faktor penentu dalam penerapan kebijakan.
Namun kemudian, mulai muncul berbagai pendekatan baru dalam implementasi
kebijakan, terutama di sektor pendidikan di antaranya pentingnya hubungan sosial dan
struktur sosial dalam penerapan kebijakan. Inilah yang akhirnya memunculkan
pemikiran tentang modal sosial (social capital), meminjam konsep yang diperkenalkan
oleh sosiologis James Coleman pada akhir 1980an dan ikut kembali dipopulerkan oleh
Robert Putnam pada tahun 2000. Konsep modal sosial ini terdiri dari tiga aspek, yaitu (1)
kepercayaan (social trust), (2) jalur-jalur komunikasi (channels of communicaton) dan (3)
aturan, kehendak dan sanksi (norms, expectation and sanctions) (Smylie and Evans
2006:188).
Saya berpikir bahwa akan memakan waktu selama setidaknya lima tahun dalam
pematangan sistem. Dengan demikian analisis implementasi yang dilakukan ini sangat
sumatif dan belum dalam dianggap sebagai sebuah evaluasi karena baru dapat
menangkap kecenderungan dan arah kebijakan sejauh ini. Dengan restrukturisasi
penyelenggaraan pendidikan tinggi yang semakin sentralistik dan terukur dari segi
organisasi, meskipun masih memberikan peluang untuk mandiri dan otonomi seandainya
sudah mencapai tahapan tertentu, maka konsep implementasi yang direkomendasikan
akan mencakup beberapa aspek:
1. Diperlukan sosialisasi yang terus menerus dan intensif tentang potensi pendidikan
tinggi Indonesia untuk mampu dan harus mampu bersaing dengan tantangan
regional dan global dengan tetap mengintegrasikan nilai, moral, karakteristik
nasional dan lokal;
2. Meningkatkan kapasitas sumber daya pendidikan tinggi dengan lebih menekankan
kepada peningkatan skill dan outward oriented di samping tetap meningkatkan
kualitas pelayanan belajar dan mengajar di institusi masing-masing;
3. Penataan organisasi dengan sistem akuntabilitas yang ketat dan dipahami secara
komprehensif olah semua pihak terkait;
4. Meningkatkan kebersamaan dan integrasi semua komponen pendidikan tinggi
dalam peningkatan mutu, inovasi dan iklim organisasi yang sehat namun
kompetitif;
5. Konsistensi antar kebijakan mulai dari Konstitusi, UU, regulasi makro, aturan
pelaksanaan, kebijakan mikro, RPJP, RPJM, sampai pada perencanaan tahunan
yang sudah terlihat perlu dilanjutkan dengan pembenahan inkremental yang
dilakukan secara konsisten.
6. Memaksimalkan pembentukan dan fungsionalisasi organisasi profesi dan asosiasi
keilmuan untuk melaksanakan penjaminan mutu akademik, baik dari sisi
penelitian, peer-review artikel ilmiah, dan akreditasi program studi untuk
meningkatkan indeks karya ilmiah oleh lembaga –lembaga independen seperti
SCOPUS, Thompson, Schimago, google scholar dan lain-lain
Tantangan eksternal dan internal perlu diantisipasi secara responsif dan akurat.
Demikian juga potensi dan peluang yang dimiliki akan mampu dikapitalisasi jika
dilakukan secara terencana dan sistemik. Sistem Pendidikan Nasional dan penataan
pengaturan dan pengelolaan pendidikan tinggi, tetap saja merupakan satu kesatuan yang
terpadu yang pada gilirannya akan mewujud dalam peningkatan daya saing bangsa
E. Penutup
Dengan review sepintas di atas, terlihat bahwa faktor formulasi kebijakan, komitmen
di lapangan, komunikasi dan norma-norma menjadi unsur-unsur penting dalam
implementasi kebijakan dalam bidang pendidikan. Sebagai sebuah langkah reformasi
yang masih sangat awal, dan praktis baru dilaksanakan dalam 3 tahun terakhir,
implementasi kebijakan pengembangan sumberdaya manusia di bidang pendidikan tinggi
Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Bukan saja dengan masih
belum terbentuknya mindset yang solid di antara para aktor kebijakan, namun
implementasinya masih memerlukan aneka kebijakan mikro yang lebih implementatif.
Dengan dilengkapinya unsur-unsur ini, maka sistem pendidikan tinggi terutamanya
dalam pengembangan sumberdaya manusia akan semakin utuh. Sebagai sebuah objek
analisis kebijakan publik, diperlukan penajaman indikator implementasi dan evaluasi
yang lebih akurat dan realistik, sehingga pencapaian tujuan akhir dari reformasi
pendidikan tinggi dapat dipantau dan dipastikan berada pada jalur yang tepat.
REFERENSI
Ali Ghufron Mukti. Pengembangan Sumber Daya Iptek dan Dikti Sebagai Modal Dasar
Transfromasi Bangsa. Disampaikan pada acara Wisuda Universitas Gunadarma, 11
Februari 2017
--------------------------. Tantangan Pendidikan Tinggi dan Potret Dosen Indonesia.
Kementrian
Ristek dan Dikti: Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti
Becker, W.E and Toutkoshian, R. On the Meaning of Markets in Higher Education in
Paulsen, M.B. (ed.) 2013. Higher Education: Handbook of Theory and Research.
Volume 28. Iowa City: Springer
Edwards, G. 1980. Implementing public policy. Washington DC: Congressional Quarterly
Press
Honig, M.I. (ed.) 2006. New Directions in Education Policy Implementation. Albany:
SUNY Press
Jongbloed, B. 2003. Marketisation in higher education, Clark‟s triangle and the essential
ingredients of markets. Higher Education Quarterly, 57, 110-135
Khaidir, A. 2001. Peer Mediation: Conflict Resolution Program in School in the United
States. Bloomington: Civic Education Project Indiana University in conjuction with
Universitas Negeri Padang.
---------------. 2013. Peranan Ilmu Administrasi Negara dalam Pembinaan Pendidikan
Karakter, dalam Afriva Khaidir dan Erizal Gani (eds.) Pendidikan Karakter:
Sebuah Refleksi Pendekatan dalam Ilmu Humaniora. Padang: Sukabina Press
---------------. 2015. Identifikasi Legal Drafting Dalam Formulasi Kebijakan Otonomi
Daerah Bidang Pendidikan Di Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera Barat,
Makalah dalam Simposium Nasional ke-VI Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara
Indonesia, 4-6 Agustus 2016 di Universitas Diponegoro, Semarang
Mazmanian, D.A., and Sabatier, P.A. 1983. Implementation and public policy. New
York: University Press of America
McMahon. W. 2009. Higher learning, greater good: The Private and social benefits of
higher education. Baltimore; Johns Hopkins University Press
Nakamura, R.T. and Smallwood, F. 1980. The politics of policy implementation. New
York: St. Martin‟s Press
Nizam, Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan: Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi
Paulsen, M.B. (ed.) 2013. Higher Education: Handbook of Theory and Research.
Volume 28. Iowa City: Springer
Purnastuti, L.,Salim, R.,Joarder, M.A.M., 2015. The returns to education in Indonesia:
Post reform estimates, the Journal of Developing Areas, vol. 49, no. 3, pp 183-204.
Rosser, A., and Joshi, 2013. A. From user fees to fee free: The politics of realising
universal free basic education in Indonesia, Journal of Development Studies, vol.
49, no. 2, pp 175-189
Sarbiran. 1997. Menerawang Perguruan Tinggi di Era Globalisasi. Cakrawala
Pendidikan No. 1, tahun XVI, pp 1-10
Shin, J., Toutkoushian, R. and Teichler, U. (eds.) 2011. University rankings: Theoretical
basis, methodology and impacts on global higher education. Dordrecht: Springer
Smylie, M.A. and Evans, A.E. Social capital and the problem of implementation in
Honig, M.I. (ed.) 2006. New Directions in Education Policy Implementation.
Albany: SUNY Press
Sutton, M. 2015 Strengthening Social Science Research in Indonesia: Looking Back and
Looking Forward, paper presented in Indonesia Focus Conference, Ohio State
University, October 23, 2015
Tandberg, D.A and Griffith, C. in Paulsen, M.B. (ed.) 2013. Higher Education:
Handbook of Theory and Research. Volume 28. Iowa City: Springer
Teixeira, P., Joengbloed B., Amaral A . and Dill, D., 2004. Markets in higher education:
Rethoric or reality? Dordrecht: Kluwer
Van Horn, C.E. 1979. Policy implementation in the federal system. Lexington: Lexington
Books.
Laporan Tahunan 2015. Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Pangkalan Data Perguruan Tinggi 2017 (www.ristekdikti.go.id)
Rencana Strategis Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2015-2019,
Permenristekdikti No. 13 tahun 2015. Sekretariat Jenderal Pendidikan Tinggi 12 Juni
2015
DAFTAR BACAAN
1) Alain, M dan Tan, J.P. Diagnosing Struktural Weaknesses in Education-
Implications for Project Selection dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and
Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for Education Policy Analysis. Washington
DC; The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD)/The
World Bank
2) Alaudin, M, Ashman, A, Nghiem, S dan Lovell, K. 2017. What determines
students‟ expectations and preferences university teaching and learning? An
instrumental variable approach. Economic Analysis and Policy 56, pp. 18-27
3) Ali Ghufron Mukti. Pengembangan Sumber Daya Iptek dan Dikti Sebagai
Modal Dasar Transfromasi Bangsa. Disampaikan pada acara Wisuda
Universitas Gunadarma, 11 Februari 2017
4) --------------------------. Tantangan Pendidikan Tinggi dan Potret Dosen
Indonesia. Kementrian
5) Ristek dan Dikti: Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti
6) Almond, G.A. dan Verba, S. 1963. The Civic Culture. Political Attitudes and
Democracy in Five Nations. Newbury Park: Sage Publication
7) Anderson, J.E. 1984. Public Policy-Making. New York: Praeger
8) ------------, 1994. Public Policymaking: An Introduction. Geneva: Houghton
Miffling
9) Andersen, I.E. dan Jaerger, B. 1999. Scenario Workshops and Concensus
Conferences: Towards More Democratic Decision-Making. Science and Public
Policy, 26(5), pp. 331-340
10) Andrews, C.J. 2007. Rationality in Policy Decision Making dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
11) Bailo, F. 2015. Mapping online political talks through network analysis: a case
study of the website of Italy‟s Five Star Movement. Policy Studies 36 (6), pp.
550-572
12) Bales, S.N.. 2005. Framing Public Issues. Washington DC: Frameworks
Institute
13) Baron, M.W. 1997. Kantian Ethics, in Marcia Baron, Philip Pettit dan
Michacel Slote (eds.) Three Methods of Ethics, Malde: Blackwell Publishers
14) Barrow, C.J. 1997. Environmental Impact Assessment: An Introduction.
London: Arnold Publishing
15) Barret, S. 2004. Implementation Studies. Time fore a Revival? Personal
Reflections on 20 Years of Implementation Studies. Public Administration, 82,
pp 249-262
16) Becker, W.E and Toutkoshian, R. On the Meaning of Markets in Higher
Education in Paulsen, M.B. (ed.) 2013. Higher Education: Handbook of
Theory and Research. Volume 28. Iowa City: Springer
17) Bedsworth, L.W et al. 2004. Uncertainty and Regulation: The Rethoric of Risk
in the California Low-Level Radioactive Waste Debate in Science, Technology
and Human Values, 29 (3): pp. 406-427
18) Bennet, C.J. dan Michael Howlett. 1992. The Lessons of Learning Reconciling
Theories of Policy Learning and Policy Change. Policy Sciences 25:pp. 275-
294
19) Berger, P.L. dan Luckman, T. 1966. The Social Construction of Reality. New
York: Anchor Books
20) Bennet, A., Barth, A., dan Rutherford, K.P. 2003. Do we preach what we
practice? A survey of metjods in Political Science Journals and Curriculla.
Political Science & Politics(5)
21) Bereano, P.L. 1997. Reflections of a Participant Observer: The
Technocratic/Democratic Contradiction in the Practice of Technology
Assessment. Technological Forecasting & Social Change, 54(2). pp 163-176
22) Berry, F.S. dan Berry, W.D. 1990. State lottery adoptions as policy
innovations: An event history analysis. American Political Science Review,
84(2), pp. 395-415
23) Brewer, M.B. 1983. Evaluation: Past and present dalam E.L. Struening dan
M.B. Brewer (eds.) Handbook of Evaluation Research. Beverly Hills: Sage
Publication
24) Brewer, G.D. dan deLeon, P. 1983. The Foundation of Policy Analysis.
Homewodd: The Dorsey Press
25) Brighouse, Harry. 2003. Liberal Theory and Education Policy. London: Oxford
University Press
26) Box-Steffensmeier, J.M. dan Jones, B.S. 1997. Time is of the essence: event
history models in political science, American Journal of Political Science,
41(4), pp. 1414-1461
27) Blee. 2004. NSF Workshop on Scientific Foundations of Qualitative Research
28) Box-Steffensmeier, J.M. dan Jones, B.S. 1997. Time is of the essence: event
history models in political science, American Journal of Political Science,
41(4), pp. 1414-1461
29) Brady, H.E. dan Collier, D. (eds.) 2004. Rethinking Social Inquiry: Diverse
Tools, Shared Standards. Berkeley: Berkeley Poblic Policy Press
30) Brower, R.S., Abolafia, M.Y., dan Jared B. Carr. 2000. On improving
qualitative methods in public administration research, Administration &
Society 32: pp. 363-397
31) Brunk, Gregory. 1989. The Role of Statistical Heuristics in Public Policy
Analysis. Cato Journal, vol 9 no.1.
32) Burbridge, L. 1999. Cross-sectional, longitudinal, and time-series data: Uses
and limitations dalam G.J. Miller dan M.L. Whickers (eds.) Handbook of
research methods in public administration, New York:Marcel Dekker
33) Burbridge, L. 1999. Cross-sectional, longitudinal, and time-series data: Uses
and limitations dalam G.J. Miller dan M.L. Whickers (eds.) Handbook of
research methods in public administration, New York:Marcel Dekker
34) Caldwell, L. 1988. Environmental Impact Assessment: Origins, Evolution, and
Future Directions. Policy Studies Reviews 8(1). Pp. 75-83
35) Campbell, D.T. dan Stanley, Y. 1963. Experimental and Quasi- Experimental
Evaluations in Social Research. Chicago: Rand McNally
36) Clarke, S.E. 2007. Context-Sensitive Policy Methods dalam Fischer, Frank,
Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
37) Cerna, Lucie. 2013. The Nature of Policy Change and Implementation: A
Review of Different Theoretical Approaches. Organisation for Economic Co-
operation and Development.
38) Castels, F.G. 1989. Introduction: Puzzles of Political Economy in F.G. Castels
(ed) The Comparative History of Public Policy, 1-15. Cambridge: Polity Press
39) ---------------. 1998. Comparative Public Policy. Cheltenham: Edward Elgar
40) Cohen, A dan Vigoda, E. 1998. An empirical assessment of the relationship
between general citizenship and work outcomes. Public Administration
Quarterly, 2(4), pp 401-431
41) Coplin, W.D. 1968. Simulation in the Study of Politics. Chicago: Markham
Publishing
42) Dahl, R.A. 1986. Democracy and its Critics. New Haven: Yale University
Press
43) Danielson, C. 2007. Social Experiments and Public Policy dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
44) DeLeon, P. 1988. Advice and Consent: The Development of the Policy
Sciences. New York: Russel Sage Foundation
45) -------------. 1998. Models of policy discourse: insights versus prediction.
Policy Studies Journal 26:pp 147-161
46) Dery, David. 2000. Agenda Setting and Problem Definition. Policy Studies, vol
21 no. 1
47) DCLG. 2009. Multi-citeria analysis: a manual. London: Departement for
Communities and Local Government. www.communities.gov.uk
48) Dror, Y. 1968. Public Policy Making Reexamined. Scranton: Chandler
Publishing
49) Dutta, N, Kar, S dan Saha, S. Human capital and FDI: how does corruption
affect the relationship? Economic Analysis and Policy 56. pp 126-234
50) Dumas, M.J. dan Anyon, J. Toward a Critical Approach to Education Policy
Implementation: Implications for the (Battle)Field dalam Honig, Meredith I
(ed.) 2006. New Directions in Education Policy Implementation: confronting
complexity. Albany: State University of New York Press
51) Dye, T.R. 1976. Policy Analysis: What Governments Do, Why They Do It, and
What Difference It Makes. Tuscaloosa: The University of Alabama Press
52) Dolowitz, D dan David Marsh. 1996. Who learns what from whom: A review
of the policy transfer literature. Political Studies 44, no. 2: pp 343-357
53) Dunleavy, P. 1991. Democracy, Bureaucracy and Public Choice. Economic
Explanations in Political Science. Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf
54) Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis. Englewood Cliffs: Prentice Hall
55) Downs, A. 1957. An Economic Theory of Democracy. World Politics 12,
pp.541-550
56) Durrencerger, G. Kastenholtz, H. dan Behringer, J. 1999. Integrated
Assessment Focus Groups: Bridging the gap Between Science and Policy.
Science and Public Policy, 26(5), pp. 341-349
57) Easton, D. 1953. The Political System. New York: Knopf
58) -----------. 1965. A System Analysis of Political Life. New York: Wiley
59) Edwards, G. 1980. Implementing public policy. Washington DC:
Congressional Quarterly Press
60) Edwards Jr.,D.B. dan De Matthews, D.E. 2014. Historical trends in educational
decentralization in the United States and Developing Countries: A
periodization and comparison in the post-WW II context. Education Policy
Analysis Archieves 22 (40), pp. 1-42
61) Eyestone, R. 1971. The Threads of Public Policy: A Study in Policy
Leadership, Indianapolis: Boobs-Merril
62) Elmore, R.F. 1980. Backward Mapping. Implementation Research and Policy
Decisions. Political Science Quarterly, 94, pp 601-616
63) Ellickson, M.C. 1992. Pathways to legislative success. A path analytic study of
the Missouri house of representatives. Legislative Studies Quarterly, 17(2), pp
285-302
64) Ellickson, M.C. 1992. Pathways to legislative success. A path analytic study of
the Missouri house of representatives. Legislative Studies Quarterly, 17(2), pp
285-302
65) Federal Environmental Assessment Review Office. 1988. Public Involvement:
Planning and Implementing Public Involvement Programs. Hull: FEARO
66) Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney. 2007. Handbook of Public
Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
67) Fischer, Frank, Douglas Torgerson, Anna Durnova and Michael Orsini.
Introduction to critical policy studies. From Handbook of critical policy
studies. New York: SAGE
68) Fischer, Frank and Herbert Gottweis. 2012. The Argumentative Turn Revisited:
Public Policy as Communication Practice. Durnham and London: Duke
University Press
69) Fischer, R. 1983. Negotiating power. American Behavioral Scientist, 27 (2): pp
149
70) Fischer, F., 1995. Evaluating Public Policy. Belmont: Wadsworth
71) -----------,. 2009. Deliberative Policy Analysis as Practical reason: Integrating
Empirical and Normative Arguments dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller
and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public Policy Analysis: Theory,
Politics and Methods. New York: CRC Press
72) -----------,. 1998. Beyond empiricism: Policy inquiry in postpositivist
perspective. Policy Studies Journal 26 (1), pp 129-146
73) Fischer, F, Miller, G.J dan Sidney, M.S. (eds) 2007. Handbook of Public
Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
74) Fischer, F dan J. Forester. 1993. The Argumentative Turn in Policy Analysis
and Planning. Durnham: Duke University Press
75) Fisher, R., Ury, W., and Patton, B. 1983. Getting to Yes: Negotiation
Agreement wihout Giving in. New York: Penguin
76) Fitzner, J. 2016. Back to dark ages: neoliberalism and the decline of labor and
education. Journal for Critical Education Policy Studies 14 (1), pp. 57-73
77) Furtado, Bernardo Alves, Patricia Alessandra Morita Sakowski and Marina
Haddad Tovoli. A Complexity Approach for Public Policies. Discussion paper.
Rio de Janeiro: Institute for Applied Economic Research
78) Fuguitt, D., dan Wilcox, S. 1999. Cost-Benefit Analysis for Public Dector
Decision Makers. Westport: Quorum Books
79) Freeman, H., dan Solomon, M.A. 1981. The Next Decade of Evaluation
Research. In obert A. Levine, Marian A. Solomon, Gerd-Michael Hellstern dan
H. Wollmann. (eds.) Evaluation Research and Practice. Comparative and
International Perspectives. Beverli Hills: Sage
80) Garb, Y., Manon, M., dan Peters, D. 2007. Environmental Impact Assessment:
Between Bureaucratic Process and Social Learning dalam Fischer, Frank,
Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
81) Gasper, Des. 1995. Analysing Policy Arguments. Chapter for Arguing
Development Policy-Frames and Discourse, eds. R. Arthorpe and D. Gasper,
London: Frank Cass 1996
82) Geerts, C. 1964. Ideology as a cultural system. Dalam D.E. Apter. Ideology
and Discontent, London: Free Press
83) Giddens, A. 1979. Central Problems in Social Theory. London: MacMillan
Press
84) Goodin, R, Rein, M. dan Moran, M. 2006. The Public and Its Policies dalam
Michael Moran, Martin Rein, and Robert E. Goodin the Oxford Handbook of
Public Policy. Ed., New York: Oxford University Press
85) Griffith, T.G. 2015. Critical education for sistemic change: A world-system
analysis perspective. Journal for Critical Education Policy Studies 13 (3), pp.
163-177
86) Grossman, Herschel and Minseong Kim. Human Capital and Predation: A
Positive Theory of Educational Policy. Working Paper 6403. Cambridge:
National Bureau of Economic Research
87) Gloggin, M.L., Bowman, A.O.M., Lester, J.P., O‟Toole, L.J. Jr. 1990.
Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation. New York:
Harper Collins
88) Greenberg, D., Donna Linksz and Marvin Mandell. 2003. Social
Experimentation and Public Policy Making. Washington DC: The Urban
Institute Press
89) Greenberg, D. and Mark Schroder. 2004. The Digest of Social Experiment.
Washington DC: Urban Institute Press
90) Griggs, S. 2007. Rational Choice in Public Policy: The Theory in Critical
Perspective dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.).
Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New
York: CRC Press
91) Grin, J. dan Loeber, A. 2007. Theories of Policy Learning: Agency, Structure,
and Change dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.).
Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New
York: CRC Press
92) Gutman, A., and Thompson, D. 1996. Democracy and Disagreement.
Cambridge: Harvard University Press
93) Gutierrez-Garcia, J.O dan Rodriguez, L.F. 2016. Social determinants of police
corruption: toward public policies for the prevention of police corruption.
Policy Studies 37 (3), pp. 216-235
94) Glasson, J., Therivel, R., dan Chadwick, A. 2005. Introduction to
Environmental Impact Assessment. New York: Routledge
95) Guba, Y and Lincoln, E. 1989. Fourth Generation Evaluation. London: Sage
96) Hajer and David Laws.2002.Ordering Through Discourse dalam Moran,
Michael, Martin Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford Handbook of
Public Policy. The Oxford Handbook of Political Science. New York: Oxford
University Press
97) Hajer, M. dan Wagenaar, H 2003. Deliberative Policy Analysis. Cambridge:
Cambridge University Press
98) Hajer, M. 2005. Setting the Stage; A Dramaturgy of Policy Deliberation.
Administrative and Society 36: pp 624-647
99) Hall, P. 1993. Policy Paradigms, Social Leraning and the State. The Case of
Economic Policymaking in Britain, Comparative Politics 25, no. 3. Pp 275-296
100) Hankivsky, Olena (ed.) 2012. An Intersectionality-Based Policy Analysis
Framework. Vancouver: Institute for Intersectionality Research and Policy
(www.sfu.ca/iirp/ibpa/html)
101) Harding, S. 1993. Rethinking Standpoint Epistemology; What is “strong
objectivity”? in Linda Alcoff dan Elizbeth Porter (eds) Feminist
Epistemologies. New York: Routledge
102) Hargrove, E.C. 1975. The Missing Link. The Study of the Implementation of
Social Policy. Washington DC: Urban Institute
103) Haveman, R. 1987. Poverty Policy and Poverty Research: The Great Society
and the Social Sciences. Madison: University of Wisconsin Press.
104) Hill Michael and Peter Hupe. 2002. Implementing Public Policy: Governance
in Theory and in Practice. London: SAGE Publication
105) Honig, M.I. (ed.) 2006. New Directions in Education Policy Implementation.
Albany: SUNY Press
106) Heap, S.P.H., dan Varoufakis. Y. 2004. Game Theory. New York: Routledge
107) Heckman, J. Lalonde, R,. dan Smith, J. 1999. The economic and economietrics
of active labor market programs dalam A. Ashenfelter dan D. Card. Handbook
of Labor Economics. Amsterdam: Elsefier
108) Hendricks, C. 2005. Participatory Storylines and Their Influence on
Deliberative Forums. Policy Sciences 38: pp 1-20
109) Hood, C. 1986. Tools of Government. Basingstoke: Macmillan
110) ----------. 1998. The Art of the State. Oxford: Clarendon Press
111) Hoppe, R. 2002. Cultures of Policy Problems, Journal of Comparative Policy
Analysis: Research and Practice 4, pp 305-326
112) -----------. 2007. Applied Cultural Theory: Tools for Policy Analysis dalam
Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public
Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
113) Hunter, K.G. 2001. An analysis of the effect of lobbying efforts and demand-
side economic developement policies on state economic helath. Public
Administration Quarterly, 25(1), pp. 49-78
114) Hunter, K.G. 2001. An analysis of the effect of lobbying efforts and demand-
side economic developement policies on state economic helath. Public
Administration Quarterly, 25(1), pp. 49-78
115) Huff, A.S. 1999. Writing for Scholarly Publication. New York: Sage
Publication
116) Infeld, Donna Lind and William C. Adams. Wikipedia as a Tool for Teaching
Policy Analysis and Improving Public Policy Content Online. Journal of
Public Affairs Education, Volume 19 no. 3
117) Infeld, .D.L. dan Adams, W.C. 2014. Wikipedia as a tool for teaching policy
analysis and improving public policy content online. Journal of Public Affairs
Education 19 (3), pp. 445-459
118) Ingram, H. 1977. Policy Implementatiton through Bargaining. Federal Grants
in Aid. Public Policy, 25, pp 499-526
119) Issacs, W. 1999. Dialogue and the Art of Thinking Together: A Pioneering
Approach to Communication in Business and in Life. New York: Bantam Dell
120) Jamshidi, Lateh, Hamidreza Arasteh, Abdolrahim NavehIbrahim, hasanreza
Zeinabadi anad Palle Damkjaer Rasmussen. 2012. Developmental patterns of
privatization in higher education: a comparative study. Higher Education vol.
64, page 789-803
121) Jarousse, J.P, Mingat, A., Tamayo, S., dan Tan, J.P. Analyzing Costs in
Education dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed)
.2003. Tools for Education Policy Analysis. Washington DC; The International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
122) Jones, Brian D. and Frank Baumgartner. A Model of Choice in Public Policy.
2004. Journal of Public Administration Research and Theory, Vol. 15 no. 3
123) Jones, C.O. 1970. An Introduction to the Study of Public Policy. Belmont:
Wadsworth
124) Jongbloed, B. 2003. Marketisation in higher education, Clark‟s triangle and the
essential ingredients of markets. Higher Education Quarterly, 57, 110-135
125) Joss, S. dan Durant, J. 1995. Public Participation in Science: The Role of
Consensus Conferences in Europe. London: Science Museum
126) Kaifeng, Y. 2007. Quantitative Methods for Policy Analysis dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
127) Kane, D. 1999. Computer simulation dalam G.J. Miller dan M.L. Whicker
(eds.) Handbook of research methods in public administration, New York:
Marcel Dekkker
128) Kelman, H.C. 1996. Negotiation as Interactive Problem Solving. International
Negotiation 1:9987-124123
129) Kuh, George D. You Don‟t Have to Be the Smartest Person in the Room.
Chapter from M. B. Paulsen (ed.) 2013. Higher Eduation: Handbook of Theory
and Research 28. Dordrecht: Springer Science and Business Media
130) Kuhn, T.S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University
of Chicago Press
131) Kuhn, T.S. 1977. The Essential Tension. Selected Studies in Scientific
Tradition and Change. Chocago: Chicago University Press
132) Kahan, James. P. 2001. Focus Group as a Tool for Policy Analysis in Analysis
of Social Issues and Public Policy. RAND: Leiden
133) Khaidir, A. 2001. Peer Mediation: Conflict Resolution Program in School in
the United States. Bloomington: Civic Education Project Indiana University in
conjuction with Universitas Negeri Padang.
134) ---------------. 2013. Peranan Ilmu Administrasi Negara dalam Pembinaan
Pendidikan Karakter, dalam Afriva Khaidir dan Erizal Gani (eds.) Pendidikan
Karakter: Sebuah Refleksi Pendekatan dalam Ilmu Humaniora. Padang:
Sukabina Press
135) ---------------. 2015. Identifikasi Legal Drafting Dalam Formulasi Kebijakan
Otonomi Daerah Bidang Pendidikan Di Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera
Barat, Makalah dalam Simposium Nasional ke-VI Asosiasi Ilmuwan
Administrasi Negara Indonesia, 4-6 Agustus 2016 di Universitas Diponegoro,
Semarang
136) Krane, D. 2001. Disorderly progress on the frontiers of policy evaluation.
International Journal of Public Administration, 24 (1), pp 95-123
137) Krane, D. 2001. Disorderly progress on the frontiers of policy evaluation.
International Journal of Public Administration, 24 (1), pp 95-123
138) Lancia, F dan Russo, A. 2016. Public education and pensions in democracy: a
political economy theory. Journal of the European Economic Association.
14(5): pp. 1038-1073
139) Lasswell, H.D. 1951. The policy orientation dalam D. Lerner dan H.D.
Lasswell (eds.). The Policy Sciences. Stanford University Press
140) -----------------. 1970. The Emerging Conception of the Policy Sciences. Policy
Science 1, pp. 3-14
141) -------------- 1971. A Pre-View of the Policy Sciences. New York: American
Elsevier
142) Laporan Tahunan 2015. Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
143) Laws, D and Forrester, J. 2007. Public Policy Mediation: From Argument to
Collaboration dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds)
Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New
York: CRC Press
144) Laws, D. dan Hajer, M. 2006. Policy in Practice in Michael Moran, Robert
Goodin dan Martin Rein (eds.). The Oxford Handbook of Public Policy. New
York: Oxford University Press
145) Leeuw, F.L. 2004. Evaluation in Europe, in R. Stockman (ed.)
Evaluationforshcung. Opladen: Leske + Budrich
146) Low, S, Taplin D.H., dan Lamb, M. 2005. Battery Park City: An Ethnographic
Field Study of the Community Impact of 9/11. Urban Affairs Review 40: pp.
655-682
147) Levin, R.I., Rubin, D.S., Stinson, J.P., dan Gardner, E.S. 1989. Quantitative
approaches to management. New York: McGraw-Hill
148) Losina Purnastuti, Ruhul Salim, Mohammad Abdul Munim Joarder. 2015. The
returns to education in Indonesia: Post reform estimates. The Journal of
Developing Areas, vol 49 no. 3, pp 183-204
149) Lowi, T.J. 1970. Decision Making vs Policy Making: Toward and Antidote for
Technocracy. Public Administration Review, pp 314-325
150) -----------. 1972. Four System of Policy, Politics and Choice. Public
Administration Review 33, pp 298-310
151) Lipsky, M. 1980. Street-Level Bureucracy. The Dilemmas of Individuals in the
Public Service. New York: Russel Sage Foundation
152) Lichbach, M.I. 2003. Is Rational Choice Theory All of Social Science?. Ann
Arbor: University of Michigan
153) Lindblom, C.E. 1977. Politics and Markets: the world‟s political-economics
system. New York: Basic Books
154) -----------. 1990. Inquiry and Change. New Haven: Yale University Press
155) Lodge, M. 2007. Comparative Public Policy dalam Fischer, Frank, Gerald J.
Miller and Mara S. Sidney (eds.). Handbook of Public Policy Analysis:
Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
156) Jarousse, J.P, Mingat, A., Tamayo, S., dan Tan, J.P. Analyzing Costs in
Education dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed)
.2003. Tools for Education Policy Analysis. Washington DC; The International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
157) Made Yudhi Setiani and Allan M. MacKinnon. 2015. A community of inquity-
based framework for civic education at Universitas Terbuka, Indonesia.
Distance Education. Vol 36 no. 3
158) Majone, G.. 2006. Agenda Setting dalam Michael Moran, Martin Rein, and
Robert E. Goodin the Oxford Handbook of Public Policy. Ed., New York:
Oxford University Press
159) -------------. 1989. Evidence, Argument and Persuasion in the Policy Process.
New Haven: Yale University Press
160) Masum, Jahangir Hasan. 2013. Rapid and Participatory Policy Analysis: A
practical tool to analyze any policy at any time. Coastal Development
Partnership (www.cdpbd.org)
161) Marsh, D. and Akram, S. 2015. Political participation and citizen engagement:
beyond the mainstream. Policy Studies 36 (6), pp. 523-531
162) Masum, J.H. 2013. Rapid and Participatory Policy Analysis: A practical tool
to analyze any policy at any time. Coastal Development Partnership
(www.cdpbd.org)
163) Mayer, I.Si., van Daale, C.E., Bots, P.W.G. 2004. Perspective of policy
analysis: a framework for understanding and design. International Journal
Techology Policy Management (4), pp. 161-191
164) Maynard-Moody, S dan Musheno, M. 2006. Stories for Research in Dvora
Yanow dan Peregrine Schwratz-Shea (ed.) Interpretation and Method:
Empirical Research Methods and the Interpretative Turn. Armonk: M.E.
Sharpe
165) Maxwell, J.A. 2004. Using Qualitative Methods for Causal Explanation. Field
Methods 16:pp 243-264
166) Mazmanian, D and Sabatier P. 1983. Implementation and Public Policy.
Glenview: Scott
167) Mazmanian, D.A., and Sabatier, P.A. 1983. Implementation and public policy.
New York: University Press of America
168) McMahon. W. 2009. Higher learning, greater good: The Private and social
benefits of higher education. Baltimore; Johns Hopkins University Press
169) Meier, K.J. dan Brudney, J.L. 2002. Applied statistics for public administration
(5th
ed.). Belmont: Wadsworth
170) Meltsner, Arnold. 1975. Bureaucratic Policy Analysts. Policy Analysis 1 (1).
Pp. 115-131
171) Meltsner, Arnold J. 1976. Policy Analysts in the Bureaucracy. Berkeley, CA:
University of California Press.
172) Mertens, D.M. 2004. Institutionalising Evaluation in the United States of
America. In Reindhard Stockman (ed.) Evaluationforshcung. Opladen: Leske +
Budrich
173) Merriefield, P. 2002. Metromarxism. New York: Routledge
174) Mietsner. Marcus. 2015. Reinventing Asian Populism: Jokowi‟s Rise,
Democracy and Political Contestation in Indonesia. Policy Studies 72. Hawaii:
East-West Center
175) Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1994. Qualitative Data Analysis, New York:
Sage Publication
176) Miller, G.J., dan Robbins, D. 2007. Cost-Benefit Analysis dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
177) Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale. 2003. Tools for Education
Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for Reconstruction
and Development (IBRD)/The World Bank.
178) Mitchell, J. 2007. The Use (and Misuse) of Surveys in Policy Analysis dalam
Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public
Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
179) Moran, Michael, Martin Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford
Handbook of Public Policy. The Oxford Handbook of Political Science. New
York: Oxford University Press
180) Moran, Michael, Martin Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford
Handbook of Public Policy. The Oxford Handbook of Political Science. New
York: Oxford University Press
181) Moloughney. 2012. The Use of Policy Frameworks to Understand Public
Health-Related Public Policy Processes: A Literature Review. Peel Public
Health
182) Morcol, G. 2001. Positivist beliefs among policy professionals: An empirical
investigation. Policy Sciences 38, pp 381-401
183) Morrow, J.D. 1994. Game theory for political scientists. Princeton: Princenton
University Press
184) Morcol, G. 2001. Positivist beliefs among policy professionals: An empirical
investigation. Policy Sciences 38, pp 381-401
185) Morrow, J.D. 1994. Game theory for political scientists. Princeton: Princenton
University Press
186) Musgrave, R.A. 1969. Cost-benefit analysis and the theory of public finance,
Economic Literature 7, pp. 797-820
187) Mederiros, H.A.V., Neto, R.D.M., dan Catani, A.M. 2017. Educational
democracy in graduate education: Public policies and affirmative action.
Journal for Critical Education Policy Studies 15 (1), pp. 252-274
188) Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
189) Mingat, A.,Tan, JP dan Sosale, S. Managing Teacher Deployment and
Classroom Processes dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale
(ed) .2003. Tools for Education Policy Analysis. Washington DC; The
International Bank for Reconstruction and Development (IBRD)/The World
Bank
190) Mingat, A., Tan, J.P., Sile, E. Addressing Policy Issues in Girls‟ Schooling
dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
191) Mingat, A dan Sosale, S. Assessing Policy Options for Teacher Training and
Pay dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003.
Tools for Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank
for Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
192) Mingat, A., Tan, J.P., dan Tamayo, S. Performing Analysis of Educational
Technology dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed)
.2003. Tools for Education Policy Analysis. Washington DC; The International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
193) Mingat, A. Tan, J.P., dan Sosale, S. Conducting Comparative Analysis in
Education dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed)
.2003. Tools for Education Policy Analysis. Washington DC; The International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
194) Mingat, A., Tan, J.P., dan Tamayo, S. Analyzing Equity in Education dalam
Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
195) Mingat, A dan Tan, J.P. Conductiong Cost-Effectiveness Analysis in Education
dalam Mingat, Alain, Jee-Peng Tan and Shobhana Sosale (ed) .2003. Tools for
Education Policy Analysis. Washington DC; The International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD)/The World Bank
196) Nachmias, C.F., dan Nachmias, D. 1996. Research Methods in the Social
Sciences (5th
ed.) New York: St Martin‟s Press
197) Nagel, T, 1986. The View from Nowhere. New York: Oxford University Press
198) Nizam, Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan: Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi
199) Nakamura, R., dan Smallwood, F. 1980. The Politics of Policy Implementation.
New York: St. Martin‟s Pres
200) O‟Riordan, T dan Sewell, W.R.D. (eds.) 1981. Project Appraisal and Policy
Review, Chichester: John Wiley and Sons
201) Office of Technology Assessment (OTA) 1995. OTA Legacy at
http:www.wws.princeton.edu/ota
202) Pangkalan Data Perguruan Tinggi 2017 (www.ristekdikti.go.id)
203) Pader, E. 2006. Seeing with an Ethnographic Sensibility: Exploration Beneath
the Surface of Public Policies dalam Dvora Yanow dan Peregrine Schwratz-
Shea (ed.) Interpretation and Method: Empirical Research Methods and the
Interpretative Turn. Armonk: M.E. Sharpe
204) Palumbo, Dennis. 1981. The State of Policy Studies Research and the Policy of
the New Policy Studie Review. Policy Studies Review 1. Pp 5-10
205) Paulsen, M.B. (ed.) 2013. Higher Education: Handbook of Theory and
Research. Volume 28. Iowa City: Springer
206) Pohl, Florian. 2011. Negotiating Religious and National Identitites in
Contemporary Indonesia Islamic Education. Crosscurrents; Association for
Religion and Intelectual Life. Page 399
207) Purnastuti, L.,Salim, R.,Joarder, M.A.M., 2015. The returns to education in
Indonesia: Post reform estimates, the Journal of Developing Areas, vol. 49, no.
3, pp 183-204.
208) Prayitno dan Khaidir, A. 2013. Model Pendidikan Pendidikan Karakter
Cerdas. Padang: Universitas Negeri Padang Press
209) Pence, G. 1991. Virtue Theory, in Peter Singer (ed.) A Companion to Ethics,.
Cambridge: Blackwell Reference
210) Pettit, P. 1997. The consequentialist perspective in Marcia Baron, Philip Pettit,
and Mchael Slote (ed.s) Three Methods of Ethics. Malden: Blackwell
Publishers
211) Pichaud, D. 2015. The future of social policy-changing the paradigm. Asia &
the Pacific Policy Studies 2 (1), pp. 1-7
212) Pinteric, Uros. 2014. Rethinking Public Policies. Ljubjana: Faculty of
Organization Studies in Novo Mesto
213) Posavac, E.J. dan Carey, R.G. 2003. Program Evaluation: Methods and Cases.
Upper Saddle River: Prentice Hall
214) Pressman, J. and Wildavsky, A. 1973. Implementation. How great expectations
in Washington are dashed in Oakland; or why it‟s amazing that federal
programs work at all. This being a saga of the Economic Development
Administration as told by two sympathetic observers who seek to build morals
on a foundation of ruined hopes. Berkeley: University of California Press.
215) Radin, B. 1977. Presidential Address: The Evolution of the Policy Analysis
Field: From Converstions to Conversations. Journal of Policy Analysis and
Management, 2., pp 204-218
216) -----------. 2000. Beyond Machiavelli: Policy Analysis Comes of Age.
Washington DC: Georgetown University Press
217) Ragin, C.C. 2004. Combining Qualitative and Quantitative Research. Report
on NSF Wokrshop on Scientific Foundations of Qualitative Research, pp. 109-
115
218) Rammohan, Anu and Peter Robertson. 2012. Do Kinship Norms Influence
Female Eduation? Evidence from Indonesia. Oxford Development Studies, vol
40 no. 3.
219) Reber, B. 2007. Technology Assessment as Policy Analysis: from expert advice
to participatory apporach dalam Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S.
Sidney (eds) Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics and
Methods. New York: CRC Press
220) Rencana Strategis Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2015-
2019, Permenristekdikti No. 13 tahun 2015. Sekretariat Jenderal Pendidikan
Tinggi 12 Juni 2015
221) Rimmon-Kenan, S. 1983. Narrative Fiction: Contemporary Politics. London:
Methuen
222) Rosser, A., and Joshi, A. 2013. A. From user fees to fee free: The politics of
realising universal free basic education in Indonesia, Journal of Development
Studies, vol. 49, no. 2, pp 175-189
223) Rossi, P.H., Freeman, H.E. dan Lipsey, M.W. 1999. Evaluation: A Systematic
Approach. Thousand Oaks: Sage
224) Roe, E.M. 1994. Narrative Policy Analysis: Theory and Practice. Durnham:
Duke University Press
225) Rose, R. 2004. Learning from Comparative Public Policy: A Practical Guide.
London and New York: Routledge
226) Sabatier, P.A. 1999. The Need for Better Theories. 199 dalam Paul A Sabatier
(ed.) Theories of The Policy Process, Boulder: Westview Press
227) Sabatier, P.A dan Hank C. Jenkins-Smith. 1999. The Advocacy Coalition
Framework: An Assessment. dalam Paul A Sabatier (ed.) Theories of The
Policy Process, Boulder: Westview Press
228) Sabatier, P dan Jenkins Smith, H. (eds.) 1993. Policy Change and Learning: an
advocacy coalitions approach. Boulder: Westview Press
229) Sarbiran. 1997. Menerawang Perguruan Tinggi di Era Globalisasi. Cakrawala
Pendidikan No. 1, tahun XVI, pp 1-10
230) Satterfield, T. 2004. A few thoughts on combining qualitative and quantitative
methods. Report on Scientific Foundations of Qualitative Research, pp. 117-
119
231) Schelling, T.C. 1978. Micromotives and Macrobehaviour. New York: W.W.
Norton
232) Schmidt, R. 2006. Value Critical Analysis: The Case of Language Policy in the
United States dalam Dvora Yanow dan Peregrine Schwratz-Shea (ed.)
Interpretation and Method: Empirical Research Methods and the Interpretative
Turn. Armonk: M.E. Sharpe
233) Schon, D.A. dan Rein, M. 1994. Frame Reflection: Toward the Resolution of
Intractable Policy Controversies. New York: Basic Books
234) Shin, J., Toutkoushian, R. and Teichler, U. (eds.) 2011. University rankings:
Theoretical basis, methodology and impacts on global higher education.
Dordrecht: Springer
235) Simon, H.A. 1976. Administrative Behaviour: A Study of Decision Making
Processes in Administrative Organization. New York: Harper & Rowe
236) Singer, P. 1991. A Companion to Ethics, Cambridge: Blackwell Reference
237) Smith, Kevin B and Christopher W. Larimer. 2009. The Public Policy Theory
Primer. Boulder: Westview Press
238) Stewart, Jenny and Russel Ayres. 20010. Systems theory and policy practice:
an exploration. Policy Science 34: pp 79-94
239) Stone, D, Maxwell, S. and Michael Keating. 2015. Bridging Research and
Policy. Paper presented in UK Department for International Development
International Workshop Radcliffe House, Warwick Iniversity, Coventry UK
240) Start, Daniel and Ingie Hovland. 2004. Tools for Policy Impact: A Handbook
for Researchers. London: Overseas Development Institue
241) Stone, D.A. 1997. Policy Paradox and Political Reason, Boston: Harper
Collins
242) Susskind, L. 2002. Arguing, Bargaining and Getting Agreement dalam Moran,
Michael, Martin Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford Handbook of
Public Policy. New York: Oxford University Press
243) Stone, D. 1988. Policy Paradox and Political Reason. Glenview: Scott,
Foresman
244) ----------, 2002. Policy Paradox: The Art of Political Decision Making. New
York: WW Norton
245) Sutton, Margaret and Bradley AU Levinson (ed.). 2001. Policy as Practice:
toward a comparative sociocultural analysis of Educational Policy. London:
Ablex Publishing
246) Smylie, M.A. and Evans, A.E. Social capital and the problem of
implementation in Honig, M.I. (ed.) 2006. New Directions in Education Policy
Implementation. Albany: SUNY Press
247) Susskind, L. dan Elliot, M. 1983. Paternalism, Conflict and Coproduction.
New York: Plenum Press
248) Suoaranta, J dan Fitzsimmons, R. 2017. Towards real utopias in higher
education. Journal for Critical Education Policy Studies 15 (1) pp. 275-299
249) Sutton, M dan Levinson, B.A.U. (ed) 2001. Policy as Practice: towards a
comparative sociocultural analysis of education policy. Wesport-London:
Ablex Publishing
250) -------------------------------------- 2001 Introduction dalam Sutton, M dan
Levinson, B.A.U. (ed) 2001. Policy as Practice: towards a comparative
sociocultural analysis of education policy. Wesport-London: Ablex Publishing
251) Sutton, M. 2001. Policy Research as Ethnographic Refusal: the case fo
women‟s literacy in Nepal dalam Sutton, M dan Levinson, B.A.U. (ed) 2001.
Policy as Practice: towards a comparative sociocultural analysis of education
policy. Wesport-London: Ablex Publishing
252) Sutton, M. 2015 Strengthening Social Science Research in Indonesia: Looking
Back and Looking Forward, paper presented in Indonesia Focus Conference,
Ohio State University, October 23, 2015
253) Sutton, M. 2017. Seminar in Education Policy Studies. Bloomington: Indiana
University
254) Sutmuller, P. M. and Setiono, I. 2011. Diagnostic on Evidence-based Public
Policy Formulation under Decentralisation. Australian-Indonesia partnership
Revitalising Indonesia‟s Knowledge Sector for Development
255) Sulivan dan Segers. 2007. Ethical Issues and Public Policy dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
256) Susskind, L. dan Thomas-Larmer, J. 1999. Conduction a Conflict Assessment.
In Susskind, L. S McKearman dan J. Thomas Larmer (eds.) The Concensus
Building. London: Sage
257) Swindell, D dan Kelly, J. 2000. Linking Citizen Satisfaction Data to
Performance Measures. Public Performance & Management Review, 24(1), pp.
30-52
258) Tarvid, A. 2015. The effectiveness of access restriction to higher education in
decreasing overeducation. Economic Analysis and Policy 45, pp. 11-26
259) Tatto, Maria Teresa (ed.). 2012. Learning and Doing Policy Analysis in
Education: Examining diverse approaches to increasing educational access.
Comparative and International Education: A Diversity of Voices. Volume 16.
Boston: Sense Publisher
260) Tandberg, D.A and Griffith, C. in Paulsen, M.B. (ed.) 2013. Higher Education:
Handbook of Theory and Research. Volume 28. Iowa City: Springer
261) Teixeira, P., Joengbloed B., Amaral A . and Dill, D., 2004. Markets in higher
education: Rethoric or reality? Dordrecht: Kluwer
262) Tello, Cesar. 2014. The Theoretical field of Education Policy: Characteristics,
objects of study and mediations. A Latin Americal Perspective. American
Journal of Educational Research. Vol 2 no 4, pp 197-203
263) Theodoulou, S. 1995. The Contemporary Languange of Publc Policy: A
Starting Point dalam Stella Theodoulou dan Mathew Cahn. Public Policy: The
Essetial Readings. Englewood Cliffs: Prentice Hall
264) Thissen, W.A.H dan Walker, W.E. (eds.) 2013. Public Policy Analysis: New
Development. New York: Springer
265) Thomson, M. 1996. Inherent Realtionality: an anti-dualist approach to
institutions. Bergen: LOS Report 9608
266) Thompson, L. 1997. Citizen Attitudes about Service Delivery Modes. Journal
of Urban Affairs 19(3), pp. 291-302
267) Tilaar, HAR dan Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan: pengantar
untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai
kebijakan publik. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
268) Trochim, W.M.K. 2009. Evaluation policy and evaluation practice. New
Direction for Evaluation 123: pp. 13-32
269) UNESCO. 2013. Handbook on Education Policy Analysis anda Programming.
Volume 1 Education Policy Analysis. Bangkok: Asia and Pacifik Regional
Bureau and Education
270) UNESCO. 2013. Handbook on Education Policy Analysis anda Programming.
Volume 2 UNESCO Programming. Bangkok: Asia and Pacifik Regional
Bureau and Education
271) Van den Bosch, K dan Cantillon. 2006. Policy Impact dalam Michael Moran,
Martin Rein and Robert E. Goodin. 2006. The Oxford Handbook of Public
Policy. The Oxford Handbook of Political Science. New York: Oxford
University Press
272) Van Horn, C.E. 1979. Policy implementation in the federal system. Lexington:
Lexington Books.
273) Van Meter, D. dan Van Horn, C. 1975. The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework. Administration and Society, 6, pp 445-488
274) Van Eeten, M.J.G. 2007. Narrative Policy Analysis dalam Fischer, Frank,
Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
275) Van Gunsteren, H.R. 1998. A Theory of Citizenship. Organizing Plurality in
Contemporary Democracies. Boulder: Westview Press
276) Vijverberg, W.P. 1997. The quantitative methods component in social science
curricula in view of journal content. Journal of Policy Analysis and
Management, 16(4), pp. 621-629
277) Vijverberg, W.P. 1997. The quantitative methods component in social science
curricula in view of journal content. Journal of Policy Analysis and
Management, 16(4), pp. 621-629
278) Wacquant, L. 2001. The penalisation of poverty and the rise of neo-
liberalismes. European Journal on Criminal Policy and Research, 9(4), pp
401-412
279) Walsh, K.C. 2004. Talking About Politics: Informal Groups and Social Identity
in American Life. Chicago: University of Chicago Press
280) Warner, M. dan Hebdon, R. 2001. Local government restructuring:
Privatization and its alternatives. Journal of Policy Analysis and Management,
20(2), pp. 315-336
281) Weber, M. 1957. The Theory of Social and Economic Organization. New
York: Free Press
282) Welch, AR. 2007. Blurred Vision?: Public and private higher education in
Indonesia. Higher Education vol 54. Pp 665-687
283) Wilson, R. 2006. Policy Analysis as Policy Advice dalam Michael Moran,
Martin Rein, and Robert E. Goodin the Oxford Handbook of Public Policy.
Ed., New York: Oxford University Press
284) Wilson, R., dan Crouch, E.A.C. 2001. Risk Benefit Analysis. Cambridge:
Harvard University Press
285) Wollman, H. 2002. Contractual Research and Policy Knowldege. International
Encyclopaedia of Social and Behavioral Sciences (5). Pp. 11574-11578
286) --------------- .2003. Evaluation in Public Sector Reform. Towards a “thrid
wave” of evaluation in Wollman, H. Evaluation in Public-Sector Reform.
Cheltenham: Edward Elgar
287) ---------------- 2003a. Evaluation in Public Sector Reform. Trends, Potentials
and Limits in International Perspective in Wollman, H. Evaluation in Public-
Sector Reform. Cheltenham: Edward Elgar
288) Wolmann, H. 2007. Policy Evaluation and Evaluation Research dalam Fischer,
Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds) Handbook of Public Policy
Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press
289) Yano, Satoko. 2013. UNESCO Handbook on Education Policy Analysis and
Programming. Bangkok: UNESCO Asia and Pasific Regional Bureau for
Education
290) Yanow, D. 1996. How Does a Policy Mean? Interpreting Policy and
Organizational Actions. Washington DC: Georgetown University Press
291) Yanow, D. 2003. Constructing American “race” and “ethnicity”: Category
Making in Public Policy and Administration. Armonk: ME Sharpe
292) Yanow, D. 2007. Qualitative-Interpretive Mtehods in Policy Research dalam
Fischer, Frank, Gerald J. Miller and Mara S. Sidney (eds.) Handbook of Public
Policy Analysis: Theory, Politics and Methods. New York: CRC Press