Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf
-
Upload
kinanti-wening-astuti -
Category
Documents
-
view
114 -
download
5
description
Transcript of Draft Buku Fiqh Zakat, Mawaris, & Wakaf
KONSEP DASAR ZAKAT
Pendahuluan
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban agama
yang dibebankan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu.
Zakat bukanlah pajak yang merupakan sumber pendapatan negara.
Karena itu, keduanya, harus dibedakan. Perkataan zakat disebutkan
dalam Al-Qur‟an 82 kali banyaknya dan selalu dirangkaikan dengan shalat
yang merupakan rukun Islam kedua. Ini menunjukkan pentingnya
lembaga zakat itu, setelah lembaga shalat yang merupakan sarana
komunikasi utama antara manusia dengan Allah. Zakat yang disebut Al-
Qur‟an setelah shalat, adalah sarana komunikasi utama antara manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat. Karena itu lembaga zakat ini
sangat penting dalam menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis.
Peranan zakat, baik zakat harta maupun zakat fitrah, dalam pemerataan
pendapatan akan lebih kentara kalau dihubungkan dan dilaksanakan
bersama dengan nilai instrumental lainnya yakni pelarangan riba.
Pengertian Zakat
Zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim
yang memenuhi syarat tertentu kepada orang-orang tertentu pula. Harta
yang dikeluarkan itu, akan membersihkan semua harta yang dizakati, dan
memelihara pertumbuhannya. Tentang zakat disebut dalam Al-Qur‟an,
antara lain dalam surah Al-Baqarah:43, Al-Baqarah:177, Al-Baqarah:277, Al-
Maidah:55, Maryam:13, Al-Hajj:41, Al-Mu‟minun:4, Ar-Ruum:39, Al-
Ahzab:33, Al-Muzzammil:20 dan Al-Bayyinah:5. Zakat merupakan rukun
Islam ketiga.
Jenis-jenis Zakat
Zakat dapat dibedakan antara lain:
1. Zakat mal atau zakat harta
Zakat mal atau zakat harta adalah bagian dari harta kekayaan seseorang
(juga badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang
tertentu dalam jumlah minimal tertentu pula. Kekayaan yang wajib
dikeluarkan zakatnya itu adalah:
a. emas, perak dan uang,
b. barang dagangan,
c. binatang ternak,
d. hasil bumi dan hasil laut serta hasil jasa seseorang,
e. barang tambang dan barang (hasil) temuan,
Masing-masing golongan harta kekayaan ini berbeda nisab yakni jumlah
minimum harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya, haul yaitu
jangka waktu yang ditentukan bila seseorang wajib mengeluarkan zakat
hartanya, dan qadar zakatnya yakni ukuran besarnya zakat yang harus
dikeluarkan.
2. Zakat fitrah
Zakat Fitrah adalah pengeluaran yang wajib dikeluarkan oleh setiap
muslim yang mempunyai kelebihan dari nafkah keluarga yang wajar
pada malam dan hari raya Idul Fitri. Banyaknya adalah 2,5kg atau 3,5 liter
beras yang dapat dibayar dengan uang seharga 3,5 liter beras itu. Beras
yang dikeluarkan untuk zakat fitrah harus sama kualitasnya dengan beras
yang dimakan orang bersangkutan sehari-hari. Seorang kepala keluarga,
selain memfitrahi dirinya sendiri wajib juga memfitrahi semua orang yang
menjadi tanggungannya, termasuk istri, anak-anak, orangtua bahkan
pembantu rumah tangganya. Pengeluaran zakat fitrah boleh dilakukan
sejak permulaan bulan Ramadhan, namun yang paling utama adalah pada
malam Idul Fitri (akhir Ramadhan), selambat-lambatnya pagi 1 Syawal
sebelum shalat Idul Fitri dimulai. Fitrah yang dibayar setelah orang
melakukan shalat Idul Fitri, dianggap sebagai sedekah biasa, bukan zakat
fitrah lagi. Yang diutamakan menerima zakat fitrah adalah fakir-miskin (al-
Hadits)
Kedudukan Zakat Dalam Islam
Nabi SAW telah menegaskan di Madinah bahwa zakat itu wajib serta
telah menjelaskan kedudukannya dalam Islam, yaitu bahwa zakat adalah
salah satu rukun Islam yang utama, dipujinya orang yang melaksanakan
dan diancamnya orang yang tidak melaksanakannya dengan berbagai
upaya dan cara. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu „Umar
Radhiyallahu‟anhuma bahwa Nabi SAW bersabda:
Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khottob
Radhiyallahu‟anhuma dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada ilah
selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan
shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.”
(hadits muttafaq „alaih)
Dalam hadits lain dapatlah anda baca misalnya peristiwa Jibril
mengajarkan agama kepada kaum Muslimin dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang menarik kepada Rasulullah:
Dan berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”, Maka
bersabdalah Rasulullah SAW: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak
ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan dan pergi haji jika mampu.“ (hadits muttafaq „alaih)
Shalat dan zakat saja dipandang sudah cukup menunjukan bahwa Tuhan
sangat memandang penting shalat dan zakat tersebut. Terutama
dipandang dari segi dakwah, shalat dan zakat saja sudah dipandang
cukup di samping syahadat, sesuai dengan firman Allah SWT:
“Jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat,
maka (berarti mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At-
Taubah: 11)
Berdasarkan beberapa ayat Al-Quran dan hadits diatas itu telah
jelaslah bagaimana sebenarnya kedudukan zakat dalam Islam. Al-Quran
telah mendeskripsikan zakat secara jelas dan gamblang. Tidak dapat
dipungkiri bahwa zakat merupakan kewajiban yang sifatnya simultan.
Bahkan kata zakat dalam Al-Quran selalu berdampingan dengan shalat.
Oleh karena itu, shalat dan puasa tidaklah cukup untuk membuktikan
kesaksian seorang manusia di hadapan Allah, tetapi perlu ada kesaksian
lain yang bisa dilihat dan dirasakan bagi sesama manusia. Sebagai amalan
yang mulia, zakat merupakan rangkaian panggilan Tuhan pada satu sisi,
dan panggilan dari rasa kepedulian dan kasih sayang terhadap sesamanya
pada sisi lain. Rasul mengatakan bahwa rukun Islam itu ada lima, yang
dimulai dengan syahadat, kedua shalat, dan ketiga zakat. Dengan
demikian zakat, di dalam sunnah dan begitu juga di dalam Qur‟an, adalah
dasar Islam yang ketiga, yang tanpa dasar ketiga itu bangunan Islam tidak
akan berdiri tegak dengan baik.
Hikmah Disyari’atkan Zakat
Hikmah zakat sangat banyak dan (diwajibkan) karena tingginya
kebutuhan oleh fakir miskin di kalangan Muslim. Diantara hikmah
disyari‟atkan zakat adalah sebagai berikut:
1. Menguatkan rasa cinta kasih antara si kaya dan si miskin, karena telah
menjadi tabiat manusia yakni seseorang menunjukkan ketertarikan
kepada orang yang memperlakukan mereka dengan baik.
2. Membersihkan dan mensucikan jiwa dan menjauhkannya dari sifat
rakus dan tamak, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Al-Qur‟anul
Karim ketika Allah SWT berfirman: “Ambillah zakat dari harta mereka,
guna membersihkan dan mensucikan mereka.“ (QS. At-Taubah: 103)
3. Membiasakan kaum Muslimin terhadap perbuatan yang dermawan,
keramahan, empati terhadap mereka yang membutuhkan.
4. Akan meningkatkan dan membawa berkah bagi harta seseorang, dan
Allah menggantinya (harta yang disedekahkan diganti dengan yang
lebih baik) sebagaimana Allah SWT berfirman: “Katakanlah, “sungguh,
Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” Dan apa saja yang kamu infakkan,
Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang terbaik.” (QS.
Saba: 39) Dalam sebuah hadits yang shahih, Nabi bersabda (bahwa
Allah berfirman): “Wahai Bani Adam, bersedekahlah maka Kami (Allah)
akan mencukupkanmu.”
Peringatan Keras Terhadap Orang Yang Tidak Membayar Zakat
Peringatan keras diberikan kepada orang-orang yang tidak membayarkan
Zakat karena kekikiran demikian juga orang yang lalai dalam
menunaikannya. Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan
emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka:
"Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS. At-
Taubah: 34-35)
Tiap jenis harta yang tidak dikeluarkan Zakatnya dipandang sebagai
simpanan yang dengannya seseorang akan diazab di hari kiamat. Ini
diisyaratkan di dalam hadits hadits shahih dimana Nabi SAW bersabda:
“Tidak ada seorang pun yang memiliki emas dan perak dan tidak
mengeluarkan (zakat) darinya kecuali pada hari kiamat akan dibuat
menjadi piringan dari api dan dicelupkan kedalam api neraka dan tubuh,
dahi dan punggungnya akan dibakar dengannya. Setiap kali piringan itu
dingin, maka dipanaskan kembali dia dibakar dengannya, dan Ini akan
berlangsung pada Hari Kiamat selama lima puluh tahun, sampai Allah
mengadili hambahamba-Nya.” (HR. Muslim)
Lebih jauh Nabi menyebutkan dalam hadits tersebut bahwa seseorang
yang memiliki unta, lembu dan domba dan tidak membayarkan Zakatnya
maka akan diadzab dengan ternaknya itu di Hari Kiamat. Telah
diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa yang Allah telah memberikan harta kepadanya dan tidak
mengeluarkan zakatnya, harta itu akan menjadi ular dengan kepala yang
bercahaya dengan dua tanda gelap diatas matanya, yang akan
mengelilinginya di Hari Kiamat dan menggigit pipinya seraya berkata,
“Akulah hartamu, akulah simapananmu.” Kemudian Nabi SAW
membaca firman Allah, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil
dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya
menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu
akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS. Al-Imran: 180)
Sumber Hukum Wajib Zakat
Ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang menjadi dasar kewajiban untuk
menunaikan zakat.
1. QS. At-Taubah ayat 103
“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan diri dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka
dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
2. QS. Al-Baqarah ayat 43
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah bersama orang-
orang yang ruku”.
3. QS. Al-Hajj ayat 78
“Maka dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakatdan berpegangteguhlah
kamu dengan tali Allah yang Dia merupakan Wali bagi kamu”.
4. QS. Ali 'Imran ayat 180
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka,
harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di
hari kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit
dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Syarat Seseorang Wajib Mengeluarkan Zakat
a. Islam
b. Merdeka
c. Berakal dan baligh
d. Memiliki nishab
Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah
ditetapkan oleh syar‟i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan
kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai
ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab
atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah:
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: „Yang lebih dari keperluan.‟ Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Qs. Al Baqarah: 219)
Makna al afwu (dalam ayat tersebut-red), adalah harta yang telah melebihi
kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran
kekayaan seseorang.
Syarat-Syarat Nishab
a. Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus dipenuhi seseorang,
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang
dipergunakan untuk mata pencaharian.
b. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul)
terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam yang artinya:
“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul
(satu tahun).” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al
AlBani)
c. Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan.
Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen.
Demikian juga zakat harta karun (rikaz) yang diambil ketika
menemukannya.
Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak
diwajibkan zakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika
kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor,
maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab
tersebut.
Syarat Harta Wajib Zakat
1. Cukup Nishab dan Haul
Syarat-syarat harta seseorang yang dikenakan zakat adalah: Pertama,
pada harta-harta yang disyaratkan cukup nishab. Jika kurang dari
nishab pada harta-harta yang disyaratkan cukup nishab, maka tidak
dikenakan zakat.
Tentang hal mensyaratkan tersebut cukup pada beberapa macam harta
yang dikenakan zakat, telah ditunjukkan oleh beberapa hadits yang
akan diterangkan di tempatnya masing-masing. Demikian juga akan
diterangkan kadar zakatnya.
Kedua, jika harta tersebut telah cukup setahun dimiliki. Tetapi hal ini
hanya pada harta-harta yang disyaratkan haul. Tegasnya, harta-harta
yang cukup nishab tersebut hendaknya cukup pula setahun dimiliki.
Perhitungan cukup nishab tersebut, dihitung dari awal tahun hingga
akhir tahun.
2. Harta-harta yang disyaratkan haul (cukup setahun dimiliki nishabnya)
Harta-harta yang disyaratkan cukup setahun dimiliki nishabnya ialah:
a. Binatang ternak
b. Emas dan perak
c. Barang perniagaan (dagangan)
3. Harta-harta yang tidak disyaratkan haul.
Harta yang tidak disyaratkan cukup setahun ialah, pertama, barang
yang disimpan untuk makanan (tumbuh-tumbuhan dan buah-
buahan). Kedua, menurut jumhur ulama, barang logam yang baru
digali. Hal tersebut meng-i‟tibar-kan haul pada harta-harta yang belum
cukup setahun dimiliki, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dari Aisyah ra:
“Tidak ada zakat terhadap sesuatu benda hingga cukup setahun
dimiliki, yakni cukup setahun dimiliki dengan cukup nishab.”
Al-Baihaqi mengatakan, pegangan kita dalam masalah ini adalah atsar-
atsar yang shahih dari Abu Bakar, Umar, Utsman dan dari beberapa
sahabat; dan itulah mazhab seluruh ulama di Madinah dan seluruh
kota Islam. Hadits ini walaupun bersanad dhaif, dikuatkan oleh atsar-
atsar ijma‟. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa tidak wajib zakat
atas seseorang yang belum setahun memiliki hartanya. Dikecualikan
anak-anak binatang yang diperoleh di tengah tahun dan keuntungan
perniagaan.
Seumpama kita memliki 30 ekor kambing, di akhir tahun kambing
itu menjadi 40, tambahan ini menjadi hasil dari peternakan yang 30
atau yang 10 ini anak-anak dari yang 30, maka wajiblah kita memberi
zakat kambing kita itu karena telah sampai nishab dengan peternakan
kambing itu sendiri. Tetapi jika yang 10 itu hasil dari satu pembelian
maka cukup setahun kita memilikinya dihitung dari yang membeli 10
itu. Kalau yang menyebabkan sampai nishab itu bukan dari jenis
barang yang sudah ada, maka bagi masing-masingnya ditetapkan
hukum tersendiri.
4. Harta-harta yang diperoleh di pertengahan tahun
An-Nawawi mengatakan dalam menerangkan mazhab asy-Syafi‟i
bahwa, Harta-harta yang diperoleh di pertengahan tahun yang
dinamai „mal mustafad‟, dengan jalan membeli, hibah, waqaf dan
sepertinya dan yang didapat bukan dari jenis harta yang telah ada,
tidaklah yang dikumpulkan yang diperoleh kepada harta yang telah
ada dalam menghitung tahun, hanya digabung dengan yang telah ada
dalam soal nishab.
Apabila seseorang memiliki ternak senishab, dan di tengah-tengah
tahun binatang itu beranak hingga sampai nishab yang kedua, maka
anak-anak binatang yang diperoleh di tengah-tengah tahun tersebut
digabungkan kepada induk-induknya dan dihitung. Apabila telah
sampai tahun induk-induk tersebut, maka zakatnya dikeluarkan dari
induknya, mengingat pesan Umar kepada „amilnya di Thaif, Sufyan
ibn „Abdillah Ats-Tsaqafi, yang diriwayatkan Malik:
“Hitunglah kepada mereka anak-anak binatang yang digembalakan
oleh penggembalanya.”
Jika induknya mati dan semua anaknya tetap hidup, maka
zakatnya apalbila sampai tahun induk dikeluarkan zakat terhadap
anak-anaknya. An-Nawawi juga mengatakan, “digabungkan nitaj
(anak peternakan) kepada induknya dan dikeluarkan zakat dengan
dua syarat. Pertama, nitaj diperanakkan sebelum cukup tahun
induknya.
Kedua, dibiakkan nitaj tersebut sesudah cukup nishab induknya.
Jika induknya kurang dari nishab, lalu ia beranak dan dengan anak
tersebut sampai nishabnya, maka mulai sampai nishab itu, dihitung
permulaan tahun.
Faedah menggabungkan anak kepada induk adalah jika anak-anak
tersebut sejumlah nishab. Kalau induknya sejumlah nishab dan anak-
anaknya setengah nishab umpamanya, maka tidak ada faedah apa-
apa; karena tidak dikenakan zakat pada binatang yang di antara
nishab.
Ibnu Qudamah mengatakan dalam menerangkan mazhab Ahmad,
harta-harta yang diperoleh di tengah-tengah tahun, menambah harta
yang ada di permulaan tahun, terdapat tiga macam.
Pertama, yang diperoleh itu hasil dari kesuburan harta yang telah ada,
seperti keuntungan perniagaan dan hasil perternakan. Maka harta
yang demikian, wajib dikumpulkan tambahan kepada pokoknya,
yakni tahun penghasilan tambahan dihitung bersama tahun pokok.
Demikian pendapat kebanyakan ulama.
Kedua, yang didapat adalah bukan jenis harta yang telah ada, maka
masing-masingnya mempunyai hitungan sendiri-sendiri.
Ketiga, yang didapat dari jenis nishab yang telah ada yang telah terjadi
atasnya tahun zakat dengan suatu sebab lain, seperti seorang lelaki
mempunyai 40 ekor kambing yang telah berlalu setengah tahun, maka
ia membeli atau ia mempusakai 100 ekor kambing, maka tidaklah
wajib ia berikan zakat pada yang 100 ekor ini, ketika memberi zakat
yang 40 ekor. Zakat yang 100 ekor jatuh setelah cukup tahun setelah
setahun dimilikinya. Demikian menurut asy-Syafi‟i dan Ahmad.
Abu Hanifah mengatakan, mal mustafad tidak dizakati melainkan
apabila telah sampai tahunnya, terkecuali jika ia memliki harta yang
wajib pada zakat dari permulaan tahun. Maka jika diusahakan
penambahannya sesudah dari jenis yang telah ada sebelum cukup
tahun, wajib pada yang diusahakan itu dikeluarkan zakatnya, baik
benda itu emas, perak atau selainnya. Walhasil jika ia memiliki dari
awal tahun 40 ekor kambing, kemudian di tengah-tengah tahun ia beli
100 ekor lagi, hendaklah ia gabungkan yang 100 itu dengan yang 40
dan ia berikan zakat dari 140 ekor kambing.
Imam Malik mengatakan, ia memberi zakat pada binatang yang
diperoleh di tengah tahun sekaligus memberi zakat binatang yang
telah ada di permulaan tahun yang jumlahnya sampai senishab. Tetapi
jika yang diperoleh di tengah tahun bukan binatang, emas atau perak
umpamanya, maka tidaklah dicampurkan penghasilan yang di
pertengahan tahun itu dengan pendapatan yang telah ada di
permulaannya. Disamakan dengan binatang, komoditi dagang.
Ibnu Rusyd mengatakan, tentang laba harta, terdapat perselisihan
para ulama dalam hal menghitung tahunnya.
Asy-Syafi‟i mengatakan, tahunnya dihitung sejak dari hari
diperoleh baik harta yang telah ada, cukup nishab atau tidak.
Malik mengatakan, tahun laba, tahun pokok, baik pokok itu cukup
senishab atau tidak dan menjadi senishab dengan labanya.
Al-Auza‟i , Abu Hanifah, dan Abu Tsaur mengatakan, “Jika pokok
ada senishab, ia zakatkan laba serta memberi zakat pokok. Jika pokok
tidak sampai nishab, tidaklah dizakatkan labanya.
Tentang tahun fawaid harta yang diperoleh bukan sebagai laba dari
yang telah ada, seluruh ulama berpendapat bahwa, “apabila harta itu
kurang dari nishab dan diperoleh faedah yang bukan dari laba,
dicukupkan nishabnya dengan yang telah ada, dan mulai saat itu
dihitung tahun.
Sebagian ulama berselisih paham tentang apabila seseorang
memperoleh harta sedangkan ia memiliki senishab dari harta yang lain
yang telah sampai tahun.
Anak binatang yang lahir tengah tahun
Malik mengatakan, “Tahun anak kambing, tahun induknya.” Abu
Hanifah, asy-Syafi‟i, Abu Tsaur dan Ahmad mengatakan “anak-anak
kambing tahun indukny, jika induknya ada senishab.” Jika induknya
tidak senishab, maka dimulai ketika cukup senishan dimulai
perhitungan tahun.
An-Nawawi mengatakan bahwa menurut al-Hasan al-Bashri dan
an-Nakha‟i, “Tidak digabungkan anak-anak ternak kepada induk-
induknya, tetapi dihitung haulnya sejak dilahirkan.”
Menurut Abu Hanifah, “Digabungkan anak-anak binatang kepada
induknya, baik anak-anak itu dilahirkan oleh induk-induknya yang
telah ada, ataupun dibeli. Tahunnya mengikuti tahun induknya.”
Menurut Malik, “Kalau seseorang memiliki 20 ekor kambing dan
beranak pula, hendaklah dizakati ketika sampai tahun induknya.
Tetapi jika anak-anak itu ia beli, maka tidak digabungkan kepada
induk-induk yang telah ada.”
Dari Ahmad diperoleh dua pendapat. Pertama, sama dengan
pendapat Malik, sedangkan pendapat yang lain sama dengan
pendapat asy-Syafi‟i.
Ibnu Hazm mengatakan, “segala faedah yang diperoleh di tengah-
tengah tahun, baik binatang maupun yang lain dizakati bila sampai
tahunnya sendiri, bukan ketika sampai tahun yang telah ada dari
jenisnya.” Di antara para sahabat yang berpendapat sebagaimana
pendapat Ibnu Hazm ialah Abu Bakar dan Ibnu Umar.
Di antara sahabat yang menyuruh memberi zakat beserta zakat
yang telah ada adalah Ibnu Mas‟ud, Mu‟awiyah dan Umar ibn Abdil
Aziz dari Tabi‟in. Mereka tidak membeda-bedakan antara satu macam
harta dengan macam lainnya.
5. Harta Orang yang Meninggal di Pertengahan Tahun
Apabila seseorang meninggal di pertengahan tahun dan berpindah
hartanya kepada ahli warisnya, maka menurut mazhab jadid asy-
Syafi‟i, ahli waris tersebut menghitung tahun dari mulai ia menerima
harta.
6. Kurang Nishab di pertengahan tahun dan mengganti nishab dengan
nishab
Apabila harta kurang nishab di pertengahan tahun karena si pemilik
menjualnya, atau ia menukar dengan selain dari jenisnya, maka
putuslah tahunnya. Sesungguhnya penuhnya nishab disepanjang
tahun adalah syarat wajib zakat, terkecuali jika sehari dua hari kurang
dari setahun. Jika dimaksudkan dengan menjual atau menukar untuk
melepaskan diri dari zakat ketika telah cukup tahun, maka penjualan
atau penukarannya tidak menggugurkan zakat. Hal ini sama dengan
seseorang yang mentalak istrinya dalam keadaan ia menghadapi maut
untuk menghilangkan hak istri dari pusaka. Demikian pendapat Ibnu
Qudamah.
An-Nawawi mengatakan, apabila kurang nishab sebelum cukup
tahun dengan jalan menjual atau menghibahkannya, putuslah
tahunnya. Jika salah seekor dari binatang beranak, atau kembali
kepadanya yang telah dijual, maka dimulai di awal tahun. Jika mati
seekor, beranak seekor, tidak diputuskan tahunnya.
Apabila seseorang menjual senishab dari harta yang diperlukan
tahun untuk mewajibkan zakatnya, kemudian ia membeli senishab
pula dari jenis yang dijual, seperti menjual unta dan membeli unta,
atau emas, maka menurut mazhab Malik dan Ahmad tidak putus
tahunnya.
Abu Hanifah mengatakan, “Tidak putus tahun terhadap emasdan
perak, dan tahun putus pada lainnya.” Asy-Syafi‟i mengatakan, “Pada
semuanya, tahunnya putus.”
Ibnu Qudamah mengatakan, “Demikian juga menukar dua puluh
dinar dengan dua ratus dirham, dan sebaliknya tidak putus
tahunnya.”
Waktu Dikeluarkannya Zakat
Menurut Sufyan ats-Tsauri, Ahmad, asy-Syafi‟i dalam pendapatnya yang
lama, dan salah satu riwayat Imam Malik menyatakan bahwa waktu
wajibnya adalah saat matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan
untuk zakat fitrah. Sedangkan Abu Hanifah, al-Laits, asy-Syafi‟i dalam
pendapatnya yang lama dan riwayat kedua dari Malik menyatakan
bahwa waktu wajibnya adalah ketika terbitnya fajar di hari raya. Dan
mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa boleh hukumnya
menyegerakan pembayaran zakat fitrah ketika satu atau dua hari sebelum
hari raya.
Hadits no. 91 (Shahih) Ibnu „Umar berkata:
“Rasulullah saw memerintahkan kami agar zakat fitrah itu dibayarkan
sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Nafi‟ berkata, “Ibnu „Umar dahulu menunaikan zakat fitrah satu atau dua
hari sebelum hari raya.”
Para ulama berbeda pendapat jika zakat fitrah dibayarkan sebelum
itu. Menurut Abu Hanifah ra, boleh membayar zakat fitrah sebelum bulan
ramadhan. Asy-Syafi‟i ra berkata, “Boleh membayarnya di awal bulan.”
Malik ra berkata sekaligus merupakan pendapat yang masyhur dalam
mazhab Imam Ahmad, ”Boleh membayarnya ketika satu atau dua hari
sebelum hari raya.”
Saat mencapai haulnya (satu tahun) untuk zakat maal. Hadits no 20
(shahih). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-
Bukhari dari „Uqbah bin al-Harits ra. Ia berkata:
“Aku pernah melakukan shalat bersama nabi saw. Seusai salam, beliau
segera berdiri dan menemui sebagian istri beliau. Tidak berapa lama
kemudian beliau keluar lagi. Beliau melihat rona wajah para sahabat
berubah, karena merasa aneh dengan ketergesaan beliau. Maka beliau
bersabda, „Ketika aku sedang melakukan shalat, aku teringat tibr (emas)
yang ada pada kami. Aku tidak ingin benda tersebut ada pada kami
sampai sore atau malam hari, maka aku memerintahkan untuk membagi-
bagikannya.”
Ibnu Bathlal berkata, “Di antara makna yang dikandung oleh hadits ini,
kebaikan hendaknya segera dilaksanakan. Sebab, berbagai perusak akan
selalu menghampirinya dan berbagai rintangan senantiasa
menghalanginya. Di samping itu, seseorang juga tidak pernah merasa
aman dari kematian. Karena itu, menunda kebaikan merupakan hal yang
tidak terpuji.”
Dibolehkan menyegerakan pembayaran zakat sebelum haulnya,
meskipun untuk masa dua tahun ke depan. Diriwayatkan dari az-Zuhri,
beliau memandang bahwa pembayaran zakat itu boleh disegerakan
sebelum haulnya. Al-Hasan juga pernah ditanya tentang seseorang yang
membayar zakatnya untuk masa tiga tahun mendatang, apa hal itu
dibolehkan? Beliau menjawab, “Hal itu sah (dibolehkan).”
Asy-Syaukani ra berkata, “Pendapat ini dipegang oleh asy-Syafi‟i,
Ahmad, Abu Hanifah, al-Hadi dan al-Qasim. Al-Mu-ayyid billah berkata,
„Bahkan ini yang lebih utama.‟ Sedangkan Malik, Rabi‟ah Sufyan ats-
Tsauri, Dawud, Abu „Ubaid bin al-Harits, dan an-Nashir dari kalangan
ahli bait berkata, „Hal ini tidak sah, hingga harta tersebut genap berusia
satu tahun.‟
Mereka berhujjah dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa
kewajiban zakat itu terkait dengan haul, sebagaimana yang telah
disebutkan. Tetapi hal ini sama sekali tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menyanggah orang-orang yang berpendapat bolehnya menyegerakan
pembayaran zakat sebelum haulnya. Kewajiban zakat memang terkait
dengan haul. Ini sama sekali tidak diperdebatkan. Masalah yang menjadi
tema perdebatan adalah sah tidaknya menyegerakan pembayaran zakat
itu sebelum haulnya.” Sekian perkataan Imam Syaukani.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab timbulnya perbedaan pendapat ini adalah,
apakah zakat itu merupakan ibadah ataukah merupakan hak yang wajib
diberikan kepada orang-orang miskin? Orang-orang yang mengatakan
bahwa zakat adalah ibadah dan menyerupakannya dengan shalat, maka
mereka tidak membolehkan mengeluarkan zakat seb elum haulnya.
Adapun orang-orang yang menyerupakannya dengan hak-hak yang wajib
dilakukan pada waktu tertentu, maka mereka membolehkan penyegeraan
pembayaran zakat sebelum tiba haulnya, dengan tujuan mencari nilai
tambah. Imam as-Syafi‟i menguatkan pendapatnya dengan hadits‟Ali ra:
“Sesungguhnya nabi saw menerima zakat al-„Abbas sebelum tiba masanya”.
PERHITUNGAN ZAKAT MAAL
Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak, dalam bentuk uang, emas serbuk, atau emas
batangan wajib dikeluarkan zakatnya, jika sudah sampai satu nishab dari
masing-masing jenis, sudah mencapai satu tahun dimiliki, si pemilik tidak
ada tanggungan hutang, dan sudah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokok.
Landasan/ Dalil-dalil Disyariatkannya Zakat Emas dan Perak
Ketahuilah bahwa emas dan perak mencakup segala sesuatu yang
terbuat dari keduanya, seperti uang logam, perhiasan, lempengan-
lempengan dari keduanya, dan sejenisnya. Emas dan perak disebut juga
dengan mata uang, karena kedua jenis logam inilah yang menjadi standar
uang internasioanal terutama emas. Kewajiban zakat atas emas dan perak
ini ditegaskan dalam Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijma‟.
Para ulama sepakat tentang wajibnya zakat atas perhiasan emas dn
perak bila itu adalah perhiasan yang haram untuk dipakai (untuk laki-
laki), atau dipersiapkan untuk diperdagangkan atau sejenisnya.
Dalil diwajibkan zakat emas dan perak adalah berdasarkan firman
Allah SWT. Dalam Al-Qur‟an surat At-Taubah ayat 34-35:
ةالذهبيكنزونوالذين عميهايحمىيومأليم بعذاب فبشرهمالمهسبيلفيينفقونهاولوالفض
تكنزونكنتممافذوقوالنفسكمكنزتمماهذاوظهورهموجنوبهمجباههمبهافتكوىجهنمنارفي
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya dijalan Allah, maka beritahukanlah pada meraka (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan
perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka,
lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Dari Abu Hurairah , Rasulullah SAW bersabda :
ا ل رب صادب ت ا ؤد ل فع ا إرا إل دق ما ت صفائخ ى صفذج اىقا اس ،
ا فأد ، اس ف عي ج ب جب خ با فن ج ش، ظ ا ذث أع بشدث مي ف إى ما
ق ذاس س ي فش ست ، أى ف خ ا سب ا اىجت، إى إ إ اىاس إى
“Siapa saja yang memiliki emas dan perak tapi tidak mengeluarkan
zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya dari
lempengan api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka jahannam, lalu
disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut.
Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya
pada hari dan ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian
ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka”.
Dari Amar Bin Syu‟aib dari bapak dari kakeknya, ia berkata :
شأة أ سسه أحج ا للا صي للا عي سي عا ف ىا اب ت اب خا ذ سنخا غيظخا
ىا فقاه رب ط ك قاه ل قاىج زا صماة أحع أسش سك أ س للا اب ت اى قا اس س اس
ا قاه ا فخيعخ إى فأى قخ للا صي اىب عي سي قاىج ا جو عض لل ىشسى
“Ada seorang wanita yang dating kepada Rasulullah bersama anak
wanitanya yang ditangannya terdapat dua gelang besar yang terbuat dari
emas. Maka Rasulullah bertanya kepadanya, “apakah engkau sudah
mengeluarkan zakat ini ?” dia menjawab “belum.” Rasulullah SAW.
Lantas bersabda, “apakah engkau senang kalau nantinya Allah akan
memakaikan kepadamu pada hari kiamat dengan dua gelang dari api
neraka.” Wanita itupun melepas keduanya dan memberikannya kepada
Rasulullah seraya berkata, “keduanya untuk Allah dan RasulNya.”
Dari Abdullah bin Syadad bin Hadi, ia berkata :
سي صي للا عي سسه للا فقاىج دخو عي سي صي للا عي ج اىب دخي ا عي عائشت ص
قاه ىل ا سسه للا أحض خ ا زا ا عائشت فقي ج صع سق فقاه فخخاث فشأ ف ذ
اىاس بل دس قاه ا شاء للا قي ج ل أ صماح أحؤد
“Kami masuk menemui Aisyah, istri Rasulullah SAW. Lalu beliau
berkata, “Rasulullah masuk menemuiku lalu beliau melihat ditanganku
beberapa cincin dari perak lalu beliau bertanya, “apakah ini wahai
Aisyah?” akupun menjawab, “saya memakainya demi berhias untukmu
wahai Rasulullah.” Lalu beliau bertanya lagi, “apakah sudah engkau
keluarkan zakatnya?” “belum”, jawabku. Rasulullah SAW. Lantas
bersabda, “cukuplah itu untuk memasukkanmu kedalam api neraka.”
Nishob Zakat Emas Yang Disepakati
Nishob zakat emas adalah 20 mistqol atau 20 dinar. Satu dinar
setara dengan 4,25 gram emas. Sehingga zakat nishob emas adalah 85
gram emas. Jika emas mencapai nishob ini atau lebih dari itu, maka wajib
dikeluarkan zakatnya. Jika kurang dari itu maka tidak ada zakat kecuali
seseorang ingin bersedekah sunnah.
Ketentuan zakat emas
a. Milik orang islam
b. Mencapai haul
c. Mencapi nishob, 85 gram emas
d. Besar zakatnya 2,5 %
Syarat wajib zakat emas
a. Telah mencapai nishob
b. Telah berputar selama 1 haul (tahun hijrah)
c. Harus berupa emas murni dan perak murni, bukan campuran. Jika
campuran, walaupun mencapai nishob, maka tidak ada kewajiban
zakatnya, sebab berat aslinya kurang dari itu.
Besar zakat emas adalah 2,5% atau 1/40 jika telah mencapai nishob.
Contohnya emas telah mencapai 85 gram, maka besaran zakat adalah
85/40 = 2,125 gram. Jiak timbangan emas adalah 100 gram, besaran zakat
adalah 100/40 = 2,5 gram.
Nishob Zakat Perak Yang disepakati
Nishob zakat perak adalah 200 dirham atau 5 uqiyah. Satu dirham
setara dengan 2,975 gram perak. Sehingga nishob zakat perak adalah 595
gram perak. Jika perak telah mencapai nishob ini atau lebih dari itu, maka
wajib dizakati. Jika kurang dari itu, tidak ada zakat kecuali jika seseorang
ingin bersedekah sunnah.
Besar zakat perak adalah 2,5% atau 1/40 jika telah mencapai
nishob. Contohnya 200 dirham, maka zakatnya adalah 200/40 = 5 dirham.
Jika timbangan perak adalah 595 gram, maka zakatnya adalah 595/40 =
14,875 gram perak.
Zakat Tijarah
Pengertian tijarah sebagaimana yang telah disebutkan bahwa kata
tijarah menunjukkan dua pengertian; pertama, aktifitas jual beli (dagang).
Kedua, komoditas (barang dagangan). Dalam konteks zakat, yang
dimaksud dengan zakat tijarah adalah zakat yang berkaitan dengan
komoditas bukan aktivitas. Zakat barang-barang dagangan, yaitu barang-
barang (harta) yang dipersiapkan untuk diperdagangkan. Dikarenakan
barang-barang tersebut tidak diam begitu saja lalu habis, dan
pedagangnya yang sebenarnya tidak menginginkan dzat barang itu
sendiri tetapi dia hanya menginginkan laba darinya, oleh sebab itu
diwajibkan atas zakat karena qimahnya (nilai barang), bukan sebab dzat
barang itu sendiri.
Jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabiin dan generasi setelah
mereka, dari kalangan ahli fikih menegaskan, bahwa barang-barang yang
diperdagangkan wajib dizakati. Hal ini berdasarkan hadist dari riwayat
Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dari Samurah bin Jundub RA. Dia berkata:
“Amma ba‟du, sesungguhnya Nabi SAW. Memerintahkan kami
mengeluarkan sedekah (zakat) dari apa yang kami siapkan untuk jual-
beli.”
Diriwayatkan dari Abu Amr bin Himas, dari ayahnya, dia berkata:
“saya menjual kulit dan anak panah, maka Umar bin Khattab RA. Berkata:
„keluarkan sedekah hartamu.‟ Aku menjawab: „wahai Amirul Mukminin,
itu hanya kulit.‟ Umar berkata: „hitunglah nilainya (dengan emas)
kemudian keluarkan sedekahnya.‟ Dikatakan dalam Al-Mughni: “kisah
dalam riwayat ini dikenal dan tidak ada yang mengingkarinya sehingga
menjadi ijma‟ (kesepakatan bersama).
1. Dasar/Dalil-Dalil Diwajibkannya Zakat Tijarah
Diwajibkannya zakat tijarah ditetapkan berdasarkan keterangan-
keterangan berikut:
Allah SWT. Berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman infaqkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang
baik…” QS. Al-Baqarah :267
Rasulullah SAW. Pernah mengutus petugas penarik zakat. Salah
seorang pedagang tidak membayar zakat yaitu Khalid bib Walid yang
berdangan alat-alat perang. Hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW.
Maka beliau bersabda:
“Adapun Khalid, maka sesungguhnya kamu hendak menganiayanya, sungguh ia
telah wafatkan baju-baju besi dan alat-alat perangnya dijalan Allah…” HR.
Bukhari
Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Samurah bin Jundab yang
mengatakan:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintah kita untuk mengeluarkan zakat
dari barang-barang yang kita sediakan untuk jual-beli.”
Riwayat Himas yang mengatakan:
“Aku lewat kepada Umar bin Khattab, sedang pada pundakku kulit-kulit yang
aku pikul. Umar bertanya: „sudahkah engkau keluarkan zakatnya wahai
Hammas? Aku menjawab, „wahai amirul mukminin, saya tidak mempunyai
barang dagangan selain yang ada pundakku ini dan beberapa kulit mentah yang
sedang disamak‟ maka Umar berkata, „itulah barang dagangan, letakkanlah! Lalu
aku meletakkan dihadapannya, lalu menghitungnya, lalu beliau dapatkan harta
itu telah wajib dikeluarkan zakatnya, lalu beliau mengambilnya…” HR. Asy-
Syafi‟i
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr dari Ibnu Umar yang
mengatakan:
“Setiap harta atau hamba sahaya atau binatang ternak yang diputarkan (sebagai
modal) untuk tijarah, maka wajib zakat.”
2. Syarat dan Ketentuan Zakat Tijarah
Yang perlu kita ketahui dalam hal zakat tijarah yaitu adanya
beberapa syarat dan ketentuan diantaranya:
a. Didalam hal kepemilikan barang harus dengan perbuatannya, yaitu
dengan pilihannya sendiri, maka dalam hal ini tidak termasuk darinya
dari penerimaan pemberian atau hadiah dan lain sebagainya yang
diluar kehendaknya.
b. Didalam memiliki barang dari awalnya sudah diniatkan untuk
diperdagangkan (karena niat ada hal yang terpenting didalam ajaran
agama islam). Sehingga barang tersebut tidak termasuk bagi yang
membeli barang yang dari awal tidak niat ingin diperdagangkan lalu
setelah beberapa lama muncul niatan untuk diperdagangkan. Yang
seperti ini tidak wajib zakat menurut pendapat yang masyhur dari
beberapa mazhab.
c. Barang tersebut sudah mencapai nishob yaitu setara dengan harga 85
kg emas
d. Sudah berjalan satu haul (tahun)
e. Dikeluarkan 2,5% dari harta yang terkena wajib zakat
f. Bisa dikeluarkan dalam bentuk barang dan uang, tapi dikeluarkan
dalam bentuk uang, ini pendapat yang masyhur dari Imam Asy-Syafi‟I
dan Imam Ahmad, karena dinilai lebih bermanfaat bagi penerima
zakat.
Yang pertama kali adalah pastikan harta+modal dagangan kita
sudah mencapai nishob yaitu setara dengan nilai 85 gram emas. Misalkan
harga emas saat ini Rp 500.000/gram maka nishob minimal terkena zakat
adalah Rp 45.500.000. jika ternyata harta dagang kita sudah senilai nishab
maka catatlah tanggal dan tahunnya. Jika pada tanggal yang sama pada
tahun berikutnya harta tersebut tetap atau betambah nilainya, maka wajib
dikeluarkan zakat nya 2,5% setelah dipotong hutang.
Perlu diperhatikan didalam cara perhitungan zakat tijarah:
a. Piutang yang disyaratkan adalah piutang yang lancer, sedangkan
untuk piutang yang tidak lancar maka tidak termasuk didalamnya.
b. Bahwa bangunan, perabotan dan peralatan yang tidak disiapkan
untuk dijual tidak dimasukkan dalam perhitungan asset yang
dikeluarkan zakatnya.
c. Zakat tijarah ini berlaku untuk beberapa jenis bidang usaha, baik yang
bergerak dibidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa,
dikelola secara individu maupun badan usaha seperti PT, CV,
Koperasi, dan lain sebagainya.
ZAKAT NABATI (PERTANIAN)
Bumi dijadikan oleh Allah, diciptakan-Nya baik untuk tumbuh
tanaman dan ditanami, dan diberlakukan hukum-hukum-Nya yang
didalamnya terdapat nikmat-nikmat-Nya yang besar. Oleh karena itu
bumi merupakan sumber utama kehidupan dan kesejahteraan jasmaniah
manusia. Semua tanaman dan buah-buahan yang tumbuh di atas bumi ini
merupakan karunia dan hasil karya Allah, bukan hasil karya tangan kita.
Dialah yang sesungguhnya menumbuhkan. Oleh karena itu pantas
apabila Dia meminta kita agar berterimakasih atas nikmat yang telah
dikaruniakan-Nya kepada kita.
Firman Allah SWT:
فق ت ا انخبث ي ل ت نستى ا أخسجا ي طبات يا كسبتى فقا ي آيا أ ا انر أ
الزض ا نكى ي
ضا ف ت غ إل أ بآخر للا ا أ اعه د ح غ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasi lusahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” (Qs. al-Baqarah: 267)
Menurut kesepakatan ulama, ada empat jenis tanaman yang wajib
dizakati, yaitu jagung, gandum, kurma dan anggur. Menurut sebagian
ulama, hanya empat jenis itu yang wajib dizakati. Ini yang dianut oleh
Ibnu Abi Laila, Syufyan Tsauri, dan Ibnul Mubarak. Sedangkan menurut
Malik dan Syafi‟i, yang wajib dizakati adalah segala hasil tanaman yang
dapat disimpan lama dan menjadi makanan pokok. Abu Hanifah
berpendapat bahwa semua tanaman wajib dizakati, kecual irumput, kayu
bakar dan bambu.
Perbedaan pendapat tersebut, yakni antara ulama yang
mewajibkan zakat pada tanaman tertentu dengan ulama yang
mewajibkan zakat pada segala tanaman yang menjad imakanan pokok,
disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda, yaitu apakah kewajiban
zakat tersebut karena wujud benda, atau karena cirri khas nilai gunanya.
Ulama yang memandang zakat tersebut diwajibkan berdasar
wujud bendanya berpendapa tbahwa yang wajib dizakati hanyalah
tanaman tertentu yang disebut dalam nash al-Qur‟an dan hadits.
Sedangkan ulama yang memandang zakat tersebut diwajibkan berdasar
nilai gunanya berpendapat bahwa bukan tanaman yang disebut dalam
nash itu saja yang dizakati, namun segala tanman yang menjadi tanaman
pokok.
Hasil-hasil Pertanian yang Wajib Dizakati
Bila zakat tanaman dan buah-buahan wajib berdasarkan Qur‟an,
hadits dan logika, sebagaimana ditegaskan para ulama, maka timbul
pertanyaan tentang hasil pertanian apa saja yang terkena kewajiban zakat
sebesar 10% atau 5% tersebut, semuanya ataukah sebagian saja, bila
sebagian apa yang termasuk kedalamnya, dan apa landasannya,
semuanya itu menjadi bahan diskusi yang hangat di antara ulama.
1. Ibnu Umar dan segolongan Ulama Salaf: Zakat Wajib atas Empat Jenis
Makanan
Ibnu Umar dan sebagian tabi‟in serta sebagian ulama sesudah
mereka berpendapat bahwa zakat hanya wajib atas dua jenis biji-
bijianya itu gandum (hintah) dan sejenis gandum lain (syair), dan dua
jenis buah-buahanya itu kurma dan anggur. Dengan alasan:
a. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni dari
sumber Umar bin Syu‟aib, dari ayahnya, dari kakeknya lagi,
bahwa“zakat pada zaman Rasulullah hanya atas gandum, bijigandum,
kurma, dan anggur.” Sedangkan Ibnu Majah menambahnya dengan
“jagung”.
b. Hadits yang diriwayatkan dari sumber Abu Burda dari sumber
Abu Musa dan Mu‟az. Bahwa rasulullah SAW mengirim mereka
berdua ke Yaman untuk mengajar penduduk di sana mengenai
agama, diantaranya merek adiperintahkan agar memungut zakat
hanya dari empat macam: gandum, bijigandum, kurma dan
anggur.
2. Malik dan Syafi‟i: Zakat atas Seluruh makanan dan yang Dapat
Disimpan
Malik dan Syafi‟i berpendapat bahwa zakat wajib atas segala
makanan yang dimakan dan disimpan, bijian dan buahan kering
seperti gandum, bijinya, jagung, padi, dan sejenisnya. Yang dimaksud
dengan makanan adalah sesuatu yang dijadikan makanan pokok oleh
manusia pada saat normal, bukan dalam masa luar biasa. Oleh karena
itu menurut madzhab Maliki dan madzhab Syafi‟i, pala, badam, kemiri,
kenari dan sejenisnya tidaklah wajib zakat, sekalipun dapat disimpan
karena tidak menjad imakanan pokok manusia. Begitu juga tidak wajib
zakat, jambu, delima, buah per, buah kayu, prem dan sejenisnya,
karena tidaklah kering dan disimpan.
3. Pendapat Ahmad tentang Semua yang Kering. Tetap dan Ditimbang
Pendapat Ahmad beragam, yang terpenting dan terkenal adalah
seperti yang terdapat dalam al-Mughni. “Zakat wajib atas bijian dan
buahan yang memiliki sifat-sifat ditimbang, tetap dan kering yang
menjadi perhatian manusia bila tumbuh di tanahnya, berupa makanan
pokok seperti gandum, sebangsa gandum, sorgum, padi, jagung. Padi-
padian berupa kacang-kacangan seperti kacang tanah, miju-miju,
kacang polong hindi, dan kedele. Berupa bumbu-bumbuan seperti
jintan putih dan jemuju. Berupa biji-bijian seperti rami, mentimun, dan
kundur. Berupa bijian sayur seperti lada, bijikol, sejenis gandum,
turmus, bijian, dan semua biji-bijian. Termasuk juga buah-buahan
yang mempunyai sifat-sifat di atas, seperti kurma, anggur, aprikot,
buah badam, kenari hijau, dan buah bunduk. Tetapi semua buah-
buahan, seperti buah persik, buah per, jambu, dan apricot tidaklah
wajib zakat. Begitu juga berupa sayuran seperti mentimun, sepedas,
lobak dan wortel.
4. Abu Hanifah: Semua Hasil Tanaman
Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil tanaman, landasan
yang dipakai oleh Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
a. Prinsip umum firman Allah dalam surat al-Baqarah “… dan
tanaman-tanaman yang kami keluarkan untuk kalian” tanpa
membedakan apa dan di mana dikeluarkan.
b. Firman Allah SWT “Bayarlah haknya waktu memanennya!”
c. Sabda Rasulullah SAW “Yang diairi dari hujan zakatnya sepersepuluh,
sedangkan yang disirami zakatnya seperduapuluh,” tanpa membedakan
tanaman yang berbuah tetap dengan yang bukan, yang dimakan
atau tidak dimakan, dan antara yang merupakan makanan pokok
atau bukan.
Nishab Wajib Zakat Nabati (Pertanian)
Fuqoha berpendapat bahwa kadar zakat yang wajib pada biji-bijian
adalah 10% untuk tanaman yang mendapa tpengairan dari langit
(tanaman tadah hujan), dan 5% untuk tanaman yang disirami dengan alat
siraman, karena ketentuan ini sudah jelas disebut dalam hadits shahih.
Jumhur ulama yang terdiri dari para sahabat, tabi‟in dan para
ulama sesudah mereka berpendapat bahwa tanaman dan buahan sama
sekali tidak wajib zakat sampai berjumlah lima beban unta (wasaq)
berdasarkan sabda Rasulullah SAW “Kurang dari 5 wasaq tidak wajib zakat”
Hadits ini disepakati adalah shahih.
Tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa tanaman dan buahan itu
sedikit maupun banyak wajib zakat. Berdasarkan keumuman pengertian
hadits, “Tanaman yang diairi oleh hujan zakatnya sepersepuluh” Hadits itu
adalah shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lain-lain. Oleh karena
tidak dipersyaratkan setahun, maka nishb dalam hal itu juga tidak
dipersyaratkan.
Ketentuan:
a. Nishab zakat pertanian adalah 653 kg beras
Ausaq jamak dari wasaq, 1 wasaq = 60 sha‟, sedangkan 1 sha‟ = 2,176
kg, maka 5 wasaq adalah 5 x 60 x 2,176 = 652,8 kg.
b. Kadarnya sebanyak 5% jika menggunakan irigasi dan 10% dengan
pengairan alami (tadah hujan)
c. Dikeluarkan ketika panen.
Perhitungan Zakat Nabati (Pertanian)
Contoh:
Bapak Abdullah adalah seorang petani, sawahnya yang berjumlah 2 Ha ia
Tanami padi. Selama pemeliharaan ia mengeluarkan biaya sebanyak
Rp500.000. Ketika panen hasilnya sebanyak 10 ton beras. Berapa zakat
yang harus dikeluarkan?
Jawab:
Ketentuan zakat hasil pertanian:
Nishab 653 kg beras
Tarif 5% (menggunakan irigasi)
Waktunya: ketika panen
Jadi zakatnya:
Hasil panen 10 ton = 10.000 kg (melebihi nishab)
10.000 x 5% = 500 kg
Jika dirupiahkan:
Jika harga jual beras adalah Rp8.000
Maka, 10.000 kg x Rp8.000 = Rp80.000.000
Rp80.000.000 x 5% = Rp4.000.000
ZAKAT HEWAN (Ternak)
Dunia hewan amat luas dan banyak. Tetapi yang berguna bagi
manusia sedikit sekali. Yang paing berguna adalah binatang-binatang
yang oleh orang Arab disebut an‟am yaitu unta, sapi, kambing, dan biri-
biri. Binatang-binatang tersebut telah dianugerahkan Allah kepada
hamba-hambaNya dan manfaatnya banyak diterangkan dalam ayat-ayat
suci Al Qur‟an. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya binatang pun bagi kalian merupakan pelajaran.
Kami beri kalian minum dari apa yang ada dalam perutnya diantara
kotoran dan darah, susu murni dan enak bagi orang-orang yang
meminumnya.” (Q.S 16 : 66)
Syarat-Syarat
a. Sampai Nisab
Mencapai nishab, yaitu batas minimal yang jika harta sudah melebihi
batas itu, wajib mengeluarkan zakat; jika kurang dari itu, tidak wajib
zakat.
b. Telah dimiliki satu tahun
Dari Aisyah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulallah saw bersabda:
“Tidak wajib zakat pada harta sehingga ia telah melewati masa satu
tahun.” (HR at-Tirmidzi)
c. Digembalakan
d. Tidak dapat dipekerjakan
Hewan Ternak Yang Terkena Zakat
a. Unta
Unta meliputi unta „irab (unta Arab) yang berpunuk satu dan unta
bakhathi yang berpunuk dua. Nisab unta adalah 5 ekor, di bawah jumlah
itu peternak tidak wajib mengeluarkan Zakat atas ternak tersebut.
Nishab Jumlah yang dikeluarkan zakatnya
05 sampai 09 unta 1 ekor kambing
10 sampai 14 unta 2 ekor kambing
15 sampai 19 unta 3 ekor kambing
20 sampai 24 unta 4 ekor kambing
25 sampai 35 unta 1 ekor bintu makhadh (anak unta betina 1 tahun –
2 tahun)
36 sampai 45 unta 1 ekor bintu labun (anak unta jantan 2 tahun – 3
tahun)
46 sampai 60 unta 1 ekor huqqah (unta betina 3 tahun – 4 tahun)
61 sampai 75 unta 1 ekor jadz‟ah (unta betina 4 tahun – 5 tahun)
76 sampai 90 unta 2 ekor bintu labun
91 sampai 120 unta 2 ekor huqqah
b. Sapi
Sapi meliputi seluruh jenis sapi ternak dan kerbau. Ibnul Mundzir
telah menukil ijma‟ ulama dalam Al-Ijma‟ (no. 91) bahwa kerbau termasuk
jenis sapi yang terkena zakat. Syaikhul Islam menukilnya dari Ibnul
Mundzir t dalam Majmu‟ Fatawa (25/37).
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (2/373): “Kami tidak
mengetahui khilaf dalam hal ini.” Adapun sapi liar/banteng, tidak
dikenai zakat menurut Ibnu Qudamah beserta jumhur (mayoritas) ulama.
Hujjahnya, sapi liar/banteng tidak termasuk binatang ternak seperti
halnya binatang liar lainnya yang tidak terkena zakat.
Sapi dan kerbau baru wajib dizakatkan apabila pemilik memiliki
sedikitnya 30 ekor. Di bawah jumlah ini tidak wajib dizakatkan.
Nishab Jumlah yang dikeluarkan zakatnya
30-39 1 ekor sapi jantan/betina tabi'
40-59 1 ekor sapi jantan/betina musinnah'
60-69 ekor sapi 2 ekor anak sapi tabi‟
70-79ekor sapi 1 ekor tabi‟ dan 1 ekor musinnah
80-89 ekor sapi 2 ekor musinnah
90-99 ekor sapi 3 ekor tabi‟
100-109 ekor sapi 2 ekor tabi‟ dan 1 ekor musinnah
110-119 ekor sapi 2 ekor musinnah dan 1 ekor tabi'
120-129 ekor sapi 3 ekor musinnah atau 4 ekor tabi'
130-160 dst setiap 30 ekor, 1 tabi' dan setiap 40 ekor,
1 musinnah
Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya
bertambah 1 ekor tabi'. Dan jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor,
zakatnya bertambah 1 ekor musinnah.
Keterangan :
tabi' : sapi berumur 1 tahun (masuk tahun ke-2)
musinnah : sapi berumur 2 tahun (masuk tahun ke-3)
c. Kambing/Domba
Kambing meliputi kambing biasa dan domba/biri-biri. Tidak ada
khilaf di kalangan fuqaha‟ bahwa kambing dan domba disatukan dalam
perhitungan nishab dan zakat. Demikian pula seluruh jenis sapi dan
kerbau yang beragam jenisnya disatukan dalam perhitungan nishab dan
zakat. Juga seluruh jenis unta yang beragam jenisnya disatukan dalam
perhitungan nishab dan zakat.
Adapun yang berbeda jenis tidak disatukan antara satu dengan
yang lainnya dan tidak ada khilaf pula dalam hal ini. Maka kambing tidak
disatukan dengan sapi dan unta dalam perhitungan nishab dan zakat.
Kambing baru wajib dizakatkan apabila pemilik memiliki
sedikitnya 40 ekor kambing. Di bawah jumlah ini tidak wajib dizakatkan
Selanjutnya, setiap jumlah itu bertambah 100 ekor maka zakatnya
bertambah 1 ekor
Nishab Jumlah yang dikeluarkan zakatnya
40 sampai 120 ekor 1 ekor kambing
121 sampai 200 ekor 2 ekor kambing
201 sampai 299 ekor 3 ekor kambing
300 sampai 399 ekor 4 ekor kambing
400 sampai 499 ekor 5 ekor kambing
ZAKAT RIKAZ (HARTA KARUN), BARANG MA’DAN (BARANG
TAMBANG)
Pengertian Rikaz dan Ma’dan
Ibnu Athir menyebut dalam an-Nihiya bahwa al-maadin berarti
tempat dari mana kekayaan bumi seperti emas, perak, tembaga dan lain-
lain keluar. Bentuk tunggalnya adalah ma‟dan.Tetapi arti dari ma‟dan
sesungguhnya adalah tempat yang diakaitkan pengertiannya dengan
kediaman, kemudain lebih populer dipakai untuk menujuk pengertian
benda-benda disana sini yang ditempatkan oleh Allah diatas bumi pada
waktu bumi diciptakan. sehingga pengertiannya kemudian berubah
kepada pengertian yang baru itu, tanpa alasan yang jelas.Kanz adalah
tempat tertimbunnya harta benda karena perbuatan manusia.
Rikaz mencakup keduanya (yakni ma‟dan dan kanz), karena kata
rakz berati „simpanan‟, tetapi yang dimaksud adalah maruz‟yang
disimpan‟, pengertian yang lebih luas dari pada yang menyimpan itu
hanya tuhan atau makhluk saja.Secara syari‟, rikaz berarti harta zaman
jahiliyah berasal dari non muslim yang terpendam yang diambil dengan
tidak sengaja tanpa bersusah diri untuk menggali, baik yang terpendam
berupa emas, perak atau harta lainnya
Dalil yang menyebutkan tentang rikaz dan tambang lainnya.
Diriwayatkan oleh Jama‟ah ahli hadist. Abu Hurairah, yang
menyatakan bahwa “rikaz itu dikeluarkan zakatnya seperlima bagian.”
Sudah merupakan kesepakatan para ulama bahwa benda-benda yang
disimpan didalam tanah adalah rikaz, karena benda-benda tersebut
terpendam di dalamnya.
Dan juga hadist dari Amru Ibnu Syu‟aib,” bahwa Rasulullah
pernah ditanya tentang luqtah, yang dijawab oleh Rasulullah bahwa, “
harta benda yang ditemukan dijalan umum atau didaerah pemukiman,
hendaklah diumumkan selama 1 tahun. Jika pemiliknya datang,
berikanlah dan jika tidak, ambilah sebagai milikmu. Dan harta yang
ditemukan bukan pada jalan umum atau bukan didaerah pemukiman,
maka dalam harta itu dan demikian pula pada rikaz ada seperlima bagian
yang harus dikeluarkan
Hukum rikaz dan barang tambang.
Kewajiban yang harus ditunaikan pada produksi barang tambang.
Ulama fiqh sepakat tentang adanya hak yang harus diambil dari produksi
barang tambang. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT : “Hai orang-
orang yang beriman! Belanjakanlah hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian daripada apa yang kami keluarkan dari bumi.” (QS:2:267)
Masa Penentuan Nishab.
Penentuan nishab barang tambang masih memiliki banyak
perbedaan pendapat oleh para ulama fiqh. Dikalangan Abu Hanifah dan
kawan-kawannya berpendapat bahwa barang tambang wajib zakat, baik
yang jumlahnya sedikit maupun banyak, atas dasar bahwa itu adalah
harta karun, berdasarkan hadist-hadist yang dipakai menjadi landasan
fikiran mereka karena harta seperti itu tidak dipersyaratkan bermasa
setahun. Olah karena itu logam mulia seperti harta karun tidak memiliki
nishab.
Sebaliknya Malik, Syafi‟i, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa
nishab berlaku. Hal itu berdasarkan apabila nilai kekayaan yang
ditemukan sudah mencapai satu nisab uang. Mereka mengambil sebagai
landasan fikiran hadist-hadist tentang nisab emas dan perak. Yang benar,
yang didukung oleh nash-nash, adalah bahwa harta karun mempunyai
ketentuan nishab, tetapi tidak perlu bermasa setahun atau tanpa haul.
Hal itu karena menurut Rafi‟i dari mazhab Syafi‟i, maksud nisab
diberlakukan supaya dapat diketahui jumlah kekayaan yang dapat tidak
dikenakan zakatnya dan masa setahun untuk diketahui apakah kekayaan
mengalami pertumbuhan atau tidak. Mengenai barang tambang jelas
bahwa mengalami pertumbuhan. Oleh karena itulah kita menilainya
mempunyai nishab, sama halnya dengan hasil tanaman dan buahan, yang
tidak diperhitungkan masa setahun.
Besar zakat Barang Tambang.
Mengenai besar zakat yang harus dikeluarkan, maka para ulam
fiqh berbeda pendapat. Abu hanifah dan kawan-kawannya berpendapat
harus dikeluarkan zakatnya 20%. Tetapi Ahmad dan Ishaqberpendapat
bahwa besar zakatnya adalah 2,5% berdasarkan qias dengan zakat uang.
Syafi‟i punya pendapat sama dengan pendapat-pendapat diatas adalah
mengambil 1/40 bagian.
Sebagian ahli fiqh berpendapat lain, dimana ia melihat kepada
tingkat usaha yang diusahakan dan biaya serta kesusahan dalam
memproduksi barang yang dihasilkan. Jika produksinya jauh lebih
banyak dari usaha dan biaya yang dikeluarkan, maka zakatnya 1/5
bagian. Sebaliknya bila hasilnya sedikit dibanding dengan usaha dan
biaya, maka zakatnya 1/40 bagian. Dan ini adalah pendapat Malik dan
Syafi‟i.
Pendapat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya jumlah
zakat akan bertambah bila tingkat kesusahan semakin sedikit, sebaliknya
jumlah zakat akan berkurang kalau usaha dan biaya meningkat.
Perbedaan antara seperlima (20%) dengan seperempat puluh (2,5%)
bukanlah perbedaan yang kecil. Oleh karena itu tidaklah salah bila
ditetapkan sepersepuluh (10%) atau seperdua puluh (5%). Sesuai dengan
perbandinagn antar barang yang dihasilkan dengan biaya yang
dihabiskan.
ZAKAT PROFESI, PERUSAHAAN DAN SAHAM
A. Zakat Profesi
Zakat profesi / kasb al-„amal (pendapatan kerja, gaji/upah dari
profesi tertentu) adalah pendapatan yang dieroleh dari kerja fisik maupun
otak yang dimanfaatkan orang lain sebagai imbalan atau upah.
Pendapatan yang termasuk dalam kategori zakat profesi dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Pendapatan dari hasil kerja pada suatu instansi, baik pemerintah
maupun swasta.
2. Pendapatan dari hasil kerja profesional pada bidang pendidikan,
keterampilan dan kejuruan tertentu.
Anggapan bahwa pendapatan kerja berupa gaji pegawai,upah
karyawan dan honor profesionalitas, semuanya terkena wajib zakat,
hal ini tertera pada surat Al-Baqarah: 267.
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267)
Ukuran Zakat Profesi
a. Untuk gaji, upah dan sejenisnya standar ditentukan dengan jumlah
pendapatan bersih yang diterima, bukan dengan pendapatan kotor.
b. Untuk hasil kerja bebas, standar ditentukan dengan pendapatan bersih
setelah dikurangi pengeluaran-pengeluaran saat pelaksanaan usaha,
semisal biaya sewa tempat, upah pembantu, biaya listrik dan lain-lain.
Nisab Zakat Profesi
Nisab dan nilai zakat profesi adalah 5 wasaq atau 520 kg beras atau
653 kg gabah kering x harga beras per kg yang berlaku saat pengeluaran
zakat. Zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari total pendappatan.
Presentase Volume Zakat Profesi
a. Untuk zakat pendapatan aktif, menerima gaji bulanan (gaji tiap
bulan x 12, jika sudah mencapai nisab, maka dikeluarkan 2,5%
untuk zakat pada akhir masa haul)
b. Untuk zakat pendapatan pasif dari hasil kerja profesi persentase
zakat yang dikeluarkan adalah 10% dari hasil totl pendapatan kotor
atau 5% dari pendapatan bersih setelah dipotong pengeluaran
untuk kebutuhan primer dan operasional.
B. Zakat Perusahaan
Kewajiban zakat perusahaan dipahami dari sejumlah nash umum
yang berkaitan dengan zakat , seperti : “ wahai sekalian orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah ) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik”. Juga firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 267 dan surat
At-Taubah: 103.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (At Taubah: 103)
Pengertian Dan Ruang Lingkup Zakat Perusahaan
Al-Qaradhawi menyebutnya dengan istilah al-mustaqallat, yaitu
harta benda yang tidak diperdagangkan, akan tetapi diusahakan atau
dikembangkan oleh para pemiliknya dengan dipersewakan atau dijual
hasil produksinya, benda hartanya tetap akan tetapi manfaatnya yang
berkembang.
Para ulama kontemporer menganalogikan zakat perusahaan
kepada katagori zakat komoditas perdagangan, bila dilihat dari aspek
legal dan ekonomi (entitas) aktivitas sebuah perusahaan, padaumumnya
berporos kepada kegiatan perdagangan. Dengan demikian, setiap
perusahaan dibidang barang (hasil industri/pabrikasi) maupun jasa dapat
menjadi wajib zakat.
Nisab Dan Persentase
Nisab dan persentase zakat perusahaan dinalogikan dengan aset
wajib zakat katagori komoditas perdagangan, yaitu senilai nisabemas dan
perak yaitu 85 gram emas sedangkan presentase volumenya adalah 2,5%
dari aset wajib zakat yang dimiliki perusahaan selama masa haul.
Cara Menghitung Zakat Perusahaan
Pola perhitungan zakat perusahaan didasarkan pada laporan
keuangan (neraca) perusahaan, yaitu ktiva lancar dikurangi dengan
kewajiban lancar (metode aset netto). Metode ini biasanya disebut oleh
ulama dengan metode syariah. Namun, sehubungan dengan banyaknya
perbedaan dalam fotmat perhitungan serta elemen yang menjadi laporan
keuangan, maka tentu cara berhitung tarif zakat akan banyak perbedaan
antara ulama satu dengan ulama yang lainnya, atau satu akuntan dengan
akuntan lainnya.
Menurut Husein Sahata (1997) memaparkan adanya ikhtilaf atau
perbedaan dalam menganalogikan kewajiban zakat hasil industri
perusahaan , sebagai berikut:
a. Kelompok pertama menganalogikannya dengan zakat pertanian dan
perkebunan karena pabrik adalah meupakan aset tetap. Oleh karena
itu islam telah menetapkan zakat bagi aset tetap yang berkembang,
maka asset dari pabrik tersebut bedasarkan qyas diambil dari
pendapatan bersih (net income) proyek-proyek industri setelah
dikurangi dengan beban dan pengeluaran lainnya dari pendapatan
total. Maka presentase zakatnya 10% dari pendapatan bersih atau10%
dari laba bersih.
b. Kelompok kedua dianalogikan dengan zakat musytaghilat, dan wajib
dikeluarkan zakat nya dari net return ketika telah mencapai nisab dan
haul. Volumezakatnya adalah 2,5% dari laba bersih.
c. Kelompok ketiga menganalogikannya dengan zakat komoditas
perdagangan dengan tidak memasukan asset tetap ketika menghitung
sumber zakat. Dalam hal ini, zakat diwajibkan pada modal bersih yang
diputar ditambah net return dan mal al mustafad jika telah mencapai
nisab dan haul. Besar zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5%
Selain itu, karena yang perlu diperhatikandalam perhitungan zakat
perusahaan adalah pentingnya melakukan koreksi atas nilai aktiva lancar
dengan kewajiban jangka pendek yang kemudian disesuaikan dengan
ketentuan syariah, seperti koreksi atas pendapatan bunga dan pendapatan
haram serta shubhat lainnya.
Tahapan Cara Menghitung Zakat Perusahaan
1. Menentukan aset wajib zakat
Sofyan Safri Harahap (2001), memaparkan adanya dua metode cara
berhitung zakat perusahaan menurut AAOIFI, yaitu :
a. Metode aktiva bersih
Menjumlahkan aset wajib zakat : kas, piutang bersih (total piutang
dikurangi utang ragu-ragu), aktiva yang diperdagangkan
(persediaan/surat berharga/real estate), pembiayaan (mudharabah,
musyarakah, dan lain-lain)
Mengurangi aset wajib zakat dengan : utang lancar,modal investasi tak
terbatas, pernyertaan minoritas,penyertaan pemerintah, penyertaan
lembaga sosial, endowment, dan lembaga non profit.
b. Metode net invested funds
Menjumlahkan aset wajib zakat : modal disetor (tambahan
modal),cadangan, cadangan yang tidak dikurangi aktiva , laba ditahan,
laba bersih, dan utang jangka panjang.
Mengurangi aset wajib zakat dengan : aktiva tetap, investasi yang tidak
diperdagangkan dan kerugian.
2. Menilai aset wajib zakat
a. Metode aktiva bersih
Metode aktiva bersih Dasar penilaian
a Aktiva :
Kas dan setara kas
Piutang bersih
Pembiayaan
- Musyarakah - Mudharabah
Aktiva yang diperdagangkan
- Persediaan - Surat berharga - Real estate
Nilai kas atau setara kas
b Utang :
Utang lancar
Wesel bayar
Utang lain-lain
Modal investasi tak terbatas
Penyertaan dari pemerintah, endawment, lembaga sosial, organisasi
Nilai buku
non profit
Penyertaan minoritas
b. Metode net invested funds
Metode invested funds Dasar penilaian
Aktiva yang diperdagangkan :
- Gedung yang disewakan
- Lain-lain
Aktiva Bersih
Cadangan yang tidak dikurangkan darii
aktiva
Utang lancar dan wesel bayar
Modal pemilik :
- Tambahan modal
- Cadangan
- Laba ditahan
- Laba bersih
Nilai Buku
3. Menghitung aset wajib zakat
a. Model aktiva bersih
[ (kas dan setara kas + piutang bersih + pembiayaan + aktiva yang
diperdagangkan) – (utang lancar + modal investasi tak terbatas +
penyertaan minoritas + penyertaan dari pemerintah + endawment
+ lembaga sosial + organisasi non profit) ] x 2,5%
b. Model net invested fund
[ (tambahan modal + cadangan + cadangan yang bukan dikurangkan
dari aktiva + laba ditahan + laba bersih + utang jangka pannjang) –
(aktiva tetap + investasi yang tidak diperdagangkan + kerugian) ] x
2,5%
Cara Menghitung Zakat Perusahaan
Contoh Perusahaan PT Maju Terus :
Kas Rp 6.050.000.000
Bank (Rp 19.200.000.000 – Rp 70.000.000 (bunga)) = Rp 19.130.000.000
Piutang usaha Rp 30.000.000.000
Persediaan Rp 90.000.000.000
Jumlah Rp 145.180.000.000
Kewajiban yang mengurangi harta kena zakat:
Utang usaha Rp 30.500.000.000
Bank (Rp 19.200.000.000- Rp 70.000.000 (bunga)) = Rp 19.130.000.000
Utang gaji Rp 2.100.000.000
Pendapatan diterima dimuka Rp 1.000.000.000
Jumlah Rp 33.600.000.000
Selisih Rp 111.580.000.000
Nisbah 85 gr emas, diasumsikan per gram Rp 400.000 = Rp 34.000.000
Zakat : 2,5% x Rp 111.580.000.000 = Rp 2.789.500.000
Berdasarkan simulasi tersebut, PT Maju Terus wajib menunaikan zakat
perusahaan karena melebihi nisab.
C. Zakat Saham
Terdapat dua pendapat ilmuwan sekarang tentang zakat saham:
1. Pendapat pertama
Memandang saham berdasarkan jenis perusahaan yang
mengeluarkannya, apakah perusahaan itu perusahaan industri,
perdagangan atau campuran dari keduanya.
Bila perusahaan tersebut merupakan perusahaan industri murni,
seperti hotel, iklan, angkutan darat dan laut, kereta api, penerbangan, dan
sebagainya, maka saham-sahamnya tidaklah wajib zakat. Hal ini karena
harga saham-saham tersebut terletak pada alat-alat, perlengkapan,
gedung dan lain-lainnya yang berfungsi seperti itu. Tetapi keuntungan
disatukan kedalam kekayaan pemilik-pemilik saham tersebut dan
zakatnya dikeluarkan sebagai zakat kekayaan (artinya bila ia dengan
kekayaan-keyaan lain bermasa setahun dan cukup senisab).
Bila perusahaan itu merupakan perusahaan dagang murni seperti
perusahaan yang menjual hasil-hasil industri, atau perusahaan industri
dan dagang seperti perusahaan yang membeli dan mengimpor bahan-
bahan mentah kemudian mengelolanya dan kemudian menjualnya, maka
saham-saham perusahaan tersebut wajib zakat.
Kriteria wajib zakat atas saham-saham perusahaan adalah bahwa
perusahaan-perusahaan itu harus melakukan kegiatan dagang baik juga
melakukan kegiatan industri atau tidak. Saham itu dihitung berdasarkan
harga sekarang dengan pemotongan (khashm) harga gedung, alat-alat,
dan peralatan yang dimiliki perusahaan. Seluruh nilai gedung dan alat-
alat tersebut dinilai sekitar lebih kurang seperempat harga seluruh
kekayaan, kemudian dipotong dari jumlah seluruh saham, kemudian baru
zakat dikeluarkan dari sisanya.
2. Pendapat kedua
Tidak memandang saham sesuai dengan jenis perusahaannya, yang
berakibat saham satu perusahaan berbeda dari saham perusahaan jenis
lain, tetapi memandang saham itu satu jenis dan memberinya satu hukum
pula tanpa melihat perusahaan apa yang menerbitkannya.
Ulama-ulama besar seperti Abu Zahra, Abdur Rahman Hasan dan
Khalaf, berpendapat bahwa saham adalah kekayaan yang
diperjualbelikan, karena pemiliknya memperjualbelikan dengan menjual
dan membelinya dan dari pekerjaannya itu pemilik memperoleh
keuntungan persis seperti pedagang dengan barang dagangannya, karena
harga yang sebenarnya yang berlaku di pasar berbeda dari harag yang
tertulis dalam kegiatan jual beli tersebut. Berdasarkan pandangan itu,
maka saham termasuk kedalam kategori barang dagang dan termasuk
objek zakat seperti kekayaan-kekayaan dagang lain dan dinilai sama
dengan barang dagang.
Hal itu berarti bahwa zakat dipungut tiap dipenghujung tahun
sebesar 2,5% dari nilai saham-saham, sesuai dengan harga pasar pada saat
itu dan setelah ditambah dengan keuntungan, dengan syarat pokok dan
keuntungannya itu cukup senisab atau atau ditambah dengan dari
sumber lain. Hal itu setelah dikeluarkannya biaya kebutuhan sehari-hari,
kemudian baru dikeluarkan zakat dari sisanya.
DISTRIBUSI ZAKAT
A. Golongan Penerima Zakat (Mustahik)
Zakat, infak dan sedekah ialah sesuatu yang diberikan orang
sebagai hak Allah SWT., kepada yang berhak menerima. Menurut
Sulaiman A. Asqar (1985: 57) dalam menunaikan ibadah zakat dan infak,
harta yang dikeluarkan untuk berzakat dan berinfak dari harta yang baik,
terpilih dan tertentu. Khusus untuk zakat, ketentuan penerima dana zakat
sudah ditentukan kepada kategori delapan asnaf sebagaimana dalam
firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu‟allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai
sesuatu ketetapan yang diwajibkanAllah; dan Allah Maha Mengetahuai lagi
Maha Bijaksana”. (QS. At-Attaubah: 60)
Pengertian Masharif zakat
Masharif adalah bentuk plural dalam Bahasa Arab yang berarti
wadah, tempat keluar/ pengeluaran, bentuk tunggal yaitu mashraf.
Masharif zakat adalah seorang muslim dalam golongan tertentu yang
menjadi wadah pengeluaran zakat. Sama halnya dengan asnaf yang sering
kita sebut sebagai golongan penerima zakat. Maka, dibawah inilah
termasuk delapan golongan asnaf yanga menerima zakat, yakni:
1. Fakir
Individu yang sangat memebutuhkan, dalam satu waktu tidak
mampu memenuhi atau menutup kebutuhannya, seperti seseorang yang
butuh makan dan minum sehari tiga kali namun ia tidak mampu
mendapatkannya, kecuali hanya sekali. Di bawah ini ada beberapa kriteria
seseorang yang tergolong fakir:
a. Tua Renta
b. Cacat fisik
c. Cacat mental
d. Tidak malas
e. Tidak boros
2. Miskin
Individu yang sangat membutuhkan namun hanya mampu
memenuhi sebagian kebutuhannya. Pada hakikatnya miskin mampu
bekerja secara maksimal, namun penghasilan tidak mencukupi lantaran
beban yang sangat banyak. Dengan demikian ia termasuk yang berhak
menerima zakat selama ia memenuhi kriteria:
a. Tidak malas
b. Menjaga kehormatan
c. Tidak boros
Menurut Abu Yusuf bin Ibnu Qasim mengenai fakir tidak lepas
dengan golongan miskin, Karena Hal ini yang umum bisa dikaitkan
dengan kemiskinan dan tingkat kesejahteraan khususnya di Indonesia.
Secara umum para ulama mahzab untuk fakir dan miskin tidak jauh beda
indikator ketidakmampuan secara materi untuk memenuhi kebutuhannya
atau indikator kemampuan mencari nafkah (usaha), di mana dari hasil
usaha tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan
demikian indikator utama yang ditekankan oleh para imam mahzab
adalah yakni golongan miskin: a) ketidakmampuan pemenuhan
kebutuhan materi b) ketidakmampuan mencari nafkah, dan c) dikaitkan
penghasilan yng tidak mencukupi. Sedangkan golongan fakir dikaitkan
dengan kenihilan materi materi.
3. Amil
Panitia penerima zakatdari muzakki(pembayar zakat) dan
penyalur zakat kepada mustahik( penerima zakat). Semua orang muslim
yang telah baligh dan mampu serta terlibat dalam pengelolaan zakat, baik
penghimpunan, pemeliharaan, pendistribusian, terkait administrasi,
manajemen atau yang terjun langsung di lapangan sebagai kolektor atau
distributor zakat. Dengan adanya amil ini, Allah memberi bagian 12,5 %
atau 1/8 dari harta yang terkumpul, agar harta zakat tidak melakukan
penyelewengan dalam bekerja dan dapat dikerjakan secara maksimal
sesuai dengan ketentuan. Beberapa kriteria pengelola zakat yang harus
diperhatikan:
a. Memiliki fisik yang kuat dan sehat
b. Memiliki keahlian yang berhubungan dengan manajeman zakat
c. Siap bekerjakeras
d. Tidak menerima imbalan dalam bentuk hadiah atau lainnya dari
para muzakki (pembayar zakat)
Dalam kriteria di atas hal yang bekaitan dengan gender tidak ada
batasannya. Hal ini terbukti para fuqaha membenarkan wanita untuk
menjadi saksi dalam urusan finansial. Khalifahb Umar bin Khattab pernah
mengangkat seorang wanita bernama Syifa untuk menjadi pengawas /
nazhir finansial pasar. Selain itu, menjadi amil zakat harus memiliki sifat
amanah, transparan dan proesional. Amil zakat dalam menjalani tugasnya
harus memahami hal-hal sebagai berikut:
a. Memahami seluk beluk zakat
b. Menjaga nama baik pekerjannya
c. Menjauhi syubhat
4. Muallaf
Mereka yang baru mengenal dan memeluk Islam diharapkan tetap
bertahan dengan akidah keislamannya. Ada beberapa kriteria yang
dijadikan standar, yaitu:
a. Seseorang yang sudah dekat dengan ajaran Islam dan masyarakat
muslim dan diharapkan dengan zakat ia menjadi pemeluknya,
keluarga dan teman-temannya.
b. Seseorang yang baru masuk Islam dan belum mengetahui ajaran-
ajaran atau hukum-hukum Islam dan perlu dikenalkan dengan
umat Islam.
c. Masyarakat Muslim di daerah minus agar tidak trerpengaruh
ajaran nonmuslim
5. Riqab
Seseorang yang dijanjikan oleh tuannya akan dimerdekakan atau
bisa dikenal dengan sebutan budak. Menurut jumhur ulama ialah
perjanjian seseorang muslim (budak belian) untuk bekerja dan mengabdi
pada majikannya, di mana pengabdian tersebut dapat dibebaskan bila si
budak belian dapat memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah uang,
namun si budak belian tersebut tidak memiliki kecukupan materi untuk
membayar tebusan atas dirinya tersebut. Oleh karena itu, sangat
dianjurkan untuk memberikan zakat kepada orang itu agar dapat
memerdekakan diri mereka sendiri. Namun di zaman sekarng tidak lagi
ditemui perbudakan yang legal, sehimgga dalam hal ini hanya sekedarnya
saja.
6. Ghorimin
Orang yang terlilit utang. Al - gharimin berasal dari kata ghariim
yang artinya orang yang berutang, asal pengertian gharm menurut Bahasa
ialah tetap, dengan makna ini utang bersifat tetap .Kriteria Al-Gharimin
yang dapat disimpulkan ialah:
a. Beban utang atau denda yang ditanggung adalah kebutuhan
primer seseorang dan tanggungannya seperti anak dan istri.
b. Beban utang atau denda yang ditanggung menyangkut
kepentingan primer umat, baik fisik ataupun nonfisik
c. Terbukti tidak mampu melunasinya dengan biaya sendiri.
7. Sabilillah
Segala sesuatu hanya untuk kepentingan Islam. Mereka yang
melakukan seluruh potensi pribadinya, baik waktu, harta, tenaga, pikiran,
bahkan jiwa raga untuk mencari ridha Allah SWT. dengan manfaat
kolektif bagi umat Islam. Pada sejumlah ayat Al- Qur‟an arti dari kata
fiisabilillah sangat berdekatan dengan pemahaman jihad di jalan Allah.
Adapun kriteria yang dapat disimpulkan yaitu:
a. Melakukan usaha maksimal dalam bidangnya
b. Pekerjaan yang dilakukan atas dasar motivasi kepentingan Islam
bukan kepentingan pribadi
c. Tidak memiliki atau terputus dana untuk pekerjaan tersebut
d. Manfaat konkret akan kembali kepada masyarakat banyak , bukan
untuk pribadinya saja.
8. Ibnu sabil
Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Menurut jumhur
ulama adalah kiasan untuk musafir (perantau), yaitu orang ynag
melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya. Dalalm Al-
Qur‟an diilustrasikan sebagai bentuk aktivitas yang sangat penting,
karena Islam senantiasa menganjurkan untuk melakukan perjalanan dan
berpergian dengan beragam motivasi yang ditunjukkan Al-Qur‟an yakni;
berpergian mencari rezeki (QS. 67:15, 70:20), perjalanan mencari ilmu,
memerhatiakn dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam
semesta (QS. 29:20, 3:137, 22:46), perjalanan untung berperang dan
berjuang di jalan Allah (QS. 9:41-42, 9:121), Perjalanan pergi haji ke
baitullah al-haram (QS. 3:97, 22:27-28). Kriterianya adalah ;
a. Tidak membawa bekal ataupun kehabisan bekal di tengah jalan
b. Motivasi perjalanan atau berpergian sangat mulia dan bukan
maksiat
B. Orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat
Selain delapan orang yang menerima zakat, maka terdapat pula
orang yang tidak berhak menerima zakat. Yaitu, ahlul bait, orang kaya,
orang kafir, wajib zakat, orang fasik atau ahli bid‟ah, budak dan anak
yatim kaya.
1. Ahlul Bait
Ahlul bait atau keluarga Rasulullah SAW dilarang menerima zakat
sedikit pun. Sesuai dengan hadits dibawah;
ساراىاط أ ا إ ذ ذ ه بغ ذقتلح اىص إ
Artinya:
“Sesungguhnya zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga Muhammad
SAW, zakat adalah kotoran manusia.” (HR. Muslim 1072, An-Nasai
2609)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ساراىا أ ا ذقت،إ اىص ز إ سي للاعي صي ذ ذ ه ل ذ ذ ،ى الحذو إ ط،
Artinya:
“Zakat adalah kotoran harta manusia, tidak halal bagi Muhammad, tidak
pula untuk keluarga Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam.” (HR.
Abu Daud 2985)
2. Orang Kaya
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
خسب ن لىق ، فاىغ لدع
Artinya:
“Tidak ada hak zakat untuk orang kaya, maupun orang yang masih kuat
bekerja.” (HR. Nasa‟i 2598, Abu Daud 1633, dan dishahihkan Al-Albani).
Adapun orang kaya yang diperbolehkan menerima zakat apabila
termasuk dalam daftar 8 golongan penerima zakat yaitu Amil, muallaf,
orang yang berperang, orang yang terlilit utang karena mendamaikan dua
orang yang sengketa, dan Ibnu Sabil yang memiliki harta di kampungnya.
Ibnu Qudamah mengatakan,
اب اىغاسإلصالحراثاىب، اىغاص، اىؤىفقيب، اىعاو، عاىغخست؛ أخز
اىسبواىزىاىساسفبيذ
Artinya:
“Orang yang berhak menerima zakat meskipun kaya, ada lima: Amil,
muallaf, orang yang berperang, orang yang kelilit utang karena
mendamaikan sengketa, dan Ibnu Sabil yang memiliki harta di
kampungnya.” (Al-Mughni, 6/486).
3. Orang Kafir
عيف حشد ائ أغ خز حؤ اى فأ صذقت اف خشضعي للا أ ي قفأع شائ
Artinya:
“Ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat
harta mereka. Diambilkan dari orang kaya mereka dan dikembalikan
kepada orang miskin mereka.” (HR. Bukhari 1395 & Muslim 19)
Yang dimaksud „mereka‟ pada hadis di atas adalah masyarakat
Yaman yang telah masuk islam.
Meninggalkan shalat termasuk orang kafir karena orang yang
asalnya muslim, kemudian dia melakukan pembatal islam. Seperti
meninggalkan shalat atau melakukan praktek perdukunan, ilmu kebal,
atau penyembah kuburan. Mereka tidak berhak mendapatkan zakat,
meskipun dia orang miskin.
Dikecualikan dari aturan ini adalah orang kafir muallaf. Orang
kafir yang tertarik masuk islam, dan diharapkan bisa masuk islam setelah
menerima zakat. (Al-Mausu‟ah Al-Fiqhiyah, 23/325).
4. Wajib Zakat
Maksud dari wajib zakat ialah setiap orang yang wajib dinafkahi
oleh muzakki. Seperti istri, anak dan orang tua. Karena zakat kepada anak
atau orang tua yang tidak mampu, atau kepada orang yang wajib dia
nafkahi, akan menggugurkan kebutuhan nafkah mereka. Sehingga ada
sebagian manfaat zakat yang kembali kepada Muzakki.
5. Orang Fasik Atau Ahli Bid’ah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam menceritakan kasus zakat yang pernah dialami orang
muzakki yang soleh, Ada seseorang mengatakan, “malam ini aku akan
membayar zakat.” Dia keluar rumah dengan membawa harta zakatnya.
Kemudian dia berikan kepada wanita pelacur (karena tidak tahu). Pagi
harinya, masyarakat membicarakan peristiwa tadi malam dimana
terdapat zakat yang diberikan kepada wanita pelacur. Orang inipun
bergumam: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan
pelacur.”
Maka si muzakki tersebut membayar zakat kembali. Ternyata
malam itu dia memberikan zakatnya kepada orang kaya. Pagi harinya,
masyarakat membicarakan peristiwa tadi malam dimana terdapat, zakat
yang diberikan kepada orang kaya. Orang inipun bergumam, “Ya Allah,
segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan orang kaya.”
Dan si muzakki tersebut membayar zakat kembali. Pada malam itu
pula, dia serahkan zakatnya kepada pencuri. Pagi harinya, masyarakat
membicarakan kembali bahwa, tadi malam terdapat zakat yang diberikan
kepada pencuri. Orang inipun bergumam, “Ya Allah, segala puji bagi-Mu.
Zakatku jatuh ke tangan pelacur, orang kaya, dan pencuri…” (HR.
Bukhari 1421 dan Muslim 1022).
Maksud dari ucapan muzakki, “Ya Allah, segala puji bagi-Mu”
adalah si muzakki tersebut telah salah sasaran, karena zakatnya jatuh ke
tangan orang yang tidak berhak. Maka segala puji bagi Allah, dimana
kejadian itu semata karena kehendak Allah artinya bukan kehendak si
muzakki tersebut. Karena semua kehendak Allah itu baik. (Fathul Bari,
Syarh Shahih Bukhari, 3/290). Hadis ini menunjukkan bahwa orang fasik,
seperti pencuri atau pelacur.
Imam Maliki menegaskan, zakat tidak boleh diberikan kepada ahli
maksiat, jika muzakki memiliki dugaan kuat, zakat itu akan mereka
gunakan untuk melakukan maksiat. Jika dia berikan kepada ahli maksiat
untuk mendukung kemaksiatannya, zakatnya tidak sah. Namun jika
diberikan untuk selain tujuan itu, boleh dan sah. (Al-Mausu‟ah Al-
Fiqhiyah, 23/328).
Syaikhul Islam menjelaskan, “Selayaknya bagi seseorang untuk
menempatkan zakatnya pada orang yang berhak menerima zakat, baik
orang fakir, miskin, orang yang kelilit utang, atau lainnya, yang agamanya
baik, mengikuti syariah. Karena orang yang terang-terangan melakukan
bid‟ah atau perbuatan maksiat, dia berhak mendapatkan hukuman
dengan diboikot atau hukuman lainnya. Sehingga, bagaimana mungkin
dia dibantu (dengan zakat).” (Majmu‟ Fatawa, 25/87).
Sementara sebagian Hanafiyah membolehkan memberi zakat
kepada ahli bid‟ah, selama dia termasuk 8 golongan yang berhak
menerima zakat. Dengan syarat, bid‟ahnya tidak sampai menyebabkan
dia keluar dari islam. (Hasyiyah Ibn Abidin, 2/388).
Namun yang selayaknya kita dahulukan adalah penerima zakat
yang baik, yang menjaga agamanya, bukan ahli bid‟ah atau maksiat.
Sehingga harta yang kita berikan, akan membantunya untuk melakukan
ketaatan. Sebagaimana yang disarankan oleh Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallam,
حق لإل غعا مو لأ ا، ؤ إل لحصادب
Artinya:
“Jangan miliki teman dekat, kecuali seorang mukmin, dan jangan sampai
makan makananmu, kecuali orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad 11337,
Abu Daud 4832, Turmudzi 2395, dan sanadnya dinilai Hasan oleh
Syuaib Al-Arnauth).
6. Budak
Dalam hukum fikih, budak seutuhnya milik tuannya. Sehingga
yang dilakukan budak, harus atas izin tuannya. Termasuk harta yang
dimiliki budak, harta ini menjadi milik tuannya. Misal, seorang budak
diberi suatu benda oleh orang lain, benda ini menjadi milik tuannya.
Sehingga, ketika dia mendapat zakat, sejatinya zakat ini diberikan kepada
tuannya. Sementara zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang
mampu.
Yang dikecualikan dalam hal ini adalah budak mukatab. Budak
mukatab adalah budak yang melakukan perjanjian dengan tuannya untuk
menebus dirinya jika dia sanggup membayar sejumlah uang. Misal, budak
A dijanjikan tuannya, jika sanggup membayar 5 juta, dia bebas. Budak
semacam ini berhak mendapatkan zakat.
7. Anak Yatim Kaya
Di surat At-Taubah ayat 60, Allah telah menyebutkan 8 golongan
yang berhak menerima zakat. Dari delapan orang itu, tidak disebutkan
anak yatim. Artinya, yatim bukan kriteria orang yang berhak menerima
zakat. Kecuali jika yatim ini adalah orang miskin, karena tidak memiliki
warisan. Akantetapi anak yatim berhak menerima santunan dari selain
zakat seperti infak atau sedekah.
Hal ini sesuai dengan Majmu‟ Fatawa Ibnu Utsaimin yang
menerangkan, “Wajib kita ketahui bahwa zakat sebenarnya bukanlah
untuk anak yatim. Zakat itu disalurkan untuk fakir miskin dan ashnaf
(golongan) penerima zakat lainnya. Anak yatim bisa saja kayak karena
ayahnya meninggalkan harta yang banyak untuknya. Bisa jadi ia punya
pemasukan rutin dari dhoman al ijtima‟I atau dari pemasukan lainnya yang
mencukupi. Oleh karenanya, kami katakana bahwa wajib bagi wali yatim
untuk tidak menerima zakat ketika yatim tadi sudah hidup
berkecukupan. Adapun sedekah, maka itu sah-sah saja (disunnahkan)
diberikan pada yatim walau ia kaya.”
C. Manajemen Distribusi Zakat
Prinsip zakat dalam tatanan sosial ekonomi adalah memberikan
kepada pihak yang membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
selama beberapa waktu dan bahkan selama hidupnya. Dalam konteks ini
zakat dimanfaatkan untuk mengembangkan perekonomian melalui
keterampilan yang menghasilkan. Oleh karena itu prinsip zakat
memberikan solusi untuk mengentaskan kemiskinan, pemborosan dan
penumpukan harta, serta permasalahan sosial ekonomi lainnya. Dengan
demikian dalam hal pendistribusiannya harus memperhatikan beberapa
aspek, sehingga prinsip zakat dapat terpenuhi.
Ketentuan Distribusi
Landasan yuridis yang menjadi pedoman pengelolaan zakat di
Indonesia adalah UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang
merupakan pembaharuan UU No.38 Tahun 1999. Pada bagian kedua
disebutkan bahwa distribusi zakat dilakukan dengan skala prioritas
dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Kemudian pada bab III pasal 27 ayat 1 tentang pendayagunaan dijelaskan
bahwa zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka
penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat, yang kemudian
bahwa hal tersebut dapat dilakukan apabila kebutuhan dasar para
mustahik telah terpenuhi.
Dalam hal pembagian atau distribusi zakat, para ulama berbeda
bendapat. Ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendaat
bahwa distribusi zakat sudah sah apabila diserahkan kepada salah satu
atau beberapa golongan ashnaf (mustahiq),namun disunahkan untuk
mendistribusikan kepada delapan golongan ashnaf yang berhak
menerima. Sedangkan ulama madzhab Syafi‟i berpendapat bahwa zakat
dimiliki oleh semua kelompok dengan hak yang sama, sehingga harus
dibagi secara merata diantara delapan golongan ashnaf (mustahiq).
Sistem Distribusi Zakat
1. Prosedur alokasi zakat yang mencerminkan pengendalian yang
memadai sebagai indikator prakter yang adil
2. Sistem seleksi mustahiq dan penetapan kadar zakatyang dialokasikan
kepada kelompok mustahiq
3. Sistem informasi muzakki dan mustahiq
4. Sistem pelaporan dan dokumentasi yang memadai
Prioritas Distribusi Dana Zakat
ؤ ان ن للا آيا انر را انب اتبع ى نهر نى اناس بئبسا أ إ ي
“Sesungguhnya manusia yang lebih diutamakan terhadap Ibrahim adalah
mereka yang menjadi pengikutnya dan juga nabi yang datang ini
(Muhammad) serta orang yang beriman kepadanya. Dan Allah swt
menjadi wali bagi orang-orang yang beriman itu.” (Ali imran:68)
Mereka itu adalah:
a. Orang sholeh/adil
Yaitu mereka yang termasuk golongan penerima zakat yang
dikenal kebaikannya lebih banyak dari pada keburukannya baik laki-laki
atau perempuan. Nabi saw bersabda, “harta yang baik akan menjadi
manfaat ditangan orang yang sholeh.”
b. Orang yang punya ikatan keluarga dengan muzakki selain orang tua
atau anak kandung.
Yaitu saudara/i ayah atau ibu, anak paman atau bibi, anak
saudara/i. Nabi saw bersabda, “zakat/sedekah yang engkau berikan
kepada familimu akan berbuah dua pahala yaitu pahala sedekah itu
sendiri dan pahala shilah (merekat kekeluargaan).”
ي انق ذ ال عهى حب آتى ان سبى
“Kebaikan itu adalah………..memberikan harta yang dicintainya kepada
keluarga dekat/family………” (al-baqorah:177)
أو حفصة ع ع ع ثا اب ثا خاند قال حد عبد العهى قال حد د ب ائح ع أخبسا يح انس ا سه
عهى ذي صدقة سك دقة عهى ان انص سهى قال إ عه صهى للا انب عايسع ب حى اثتا انس
صهة صدقة
“Substansinya : nabi saw bersabda : sesungguhnya sedekah kepada si
miskin (non keluarga) berpahala sedekah saja namun sedekah kepada si
miskin dari keluarga berpahala sedekah dan shilah.”
c. Suami
Seorang suami yang memiliki kriteria penerima zakat hendaknya
dirpioritaskan untuk mendapat dana zakat dari istrinya. Namun sebagian
ulama mengikat hal ini dengan beberapa ikatan, imam malik menyatakan
bahwa suami yang menerima zakat dari istrinya tidak boleh
menggunakannya untuk menafkahi istri tersebut.
d. Para pecinta ilmu (ulama dan murid)
Mereka yang mencintai ilmu adalah orang yang selalu haus akan
ilmu pengetahuan, atau orang yang tunduk terhadap ilmu pengetahuan,
atau orang yang selalu bertindak dan bersikap berdasarkan ilmu
pengatahuan. Jika orang yang mencintai ilmu itu memiliki kriteria
penerima zakat maka mereka haruslah diprioritaskan untuk mendapat
dana zakat.
س أن النباب ا ترك إ ل عه انر عه ي انر م ست قم
Keterangan ;
Allah swt mengajarkan manusia untuk selalu memprioritaskan golongan berilmu
pengetahuan dalam segala hal/urusan. (az-zumar : 9)
Optimalisasi Distribusi Zakat
1. Distribusi konsumtif: tradisional dan kreatif
Konsumtif tradisional yaitu zakat yang diberikan kepada mustahiq
dengan secara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, seperti
pembagian zakat fitra berupa beras dan uang kepada fakir miskin setiap
idul fitri atau pembagian zakat mal secara langsung oleh para muzakki
kepada mustahiq yang sangat membutuhkan karena ketiadaan pangan
atau karena mengalami musibah. Pola ini merupakan program jangka
pendek dalam mengatasi permasalahan umat. Konsumtif kreatif
(Fakhruddin, 2008 :314).
Pendistrubusian zakat secara konsumtif kreatif adalah zakat yang
diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk
membantu orang miskin dalam mengatasi permaslahan sosial dan
ekonomi yang dihadapinya. Bantuan tersebut antara lain berupa alat-alat
sekolah dan beasiswa untuk pelajar dan lain sebagainya.
2. Distribusi produktif: tradisional dan kreatif
Zakat produktif adalah zakat yang diberikan kepada mustahik
sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi, yaitu untuk
menumbuhkembangkan tingkat ekonomi dan potensi produktifitas
mustahik. (Qadir, 1998 : 46 dalam Devi Hidayah Fajar S. Syaban, 2008,
“Pendayagunaan Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam”).
Produktif tradisional merupakan zakat yang diberikan dalam
bentuk barang-barang produktif, dimana dengan menggunakan barang-
barang tersebut para mustahiq dapat menciptakan suatu usaha.
Sedangkan produktif kreatif adalah zakat yang diwujudkan dalam
bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk permodalan proyek social
maupun investasi dana zakat.
Menurut Dr. Umer Chapra, zakat mempunyai dampak positif
dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran
zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para
pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka,
sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya.
Adapun langkah-langkah pendistribusian zakat produktif tersebut
sebagai berikut:
1. Pendataan yang akurat
2. Pengelompokan peserta ke dalam kelompok kecil
3. Pemberian pelatihan dasar
4. Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai, dan peserta
dirasa telah dapat menerima materi dengan baik.
LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT (LPZ)
Urgensi Lembaga Pengelola Zakat
Jika kita lihat dari sejarahnya, zakat merupakan suatu ibadah yang
telah ada dan dicontohkan pada masa nabi. Di dalam rukun islam yang ke
empat ini banyak sekali kemaslahatan jika setiap orang sadar akan
pentingnya berzakat. Tujuan dari adanya zakat tidak lain adalah untuk
meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan
kemiskinan., sehingga di dalam zakat banyak sekali kemaslahatan yang
sifatnya sosial. Zakat pun dapat menjadi komponen dalam pembangunan
suatu bangsa. Dan apabila kita lihat potensi zakat yang ada di Indonesia
sangatlah besar, dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia adalah
muslim dan potensi zakat khusus baznas pusat pada tahun 2014 saja
mencapai 40%, dan baznas menargetkan penerimaan zakat di tahun 2015
bisa mencapai 4,22 T. Namun, apakah dengan jumlah masyarakat muslim
yang banyak juga diimbagi dengan pengelolaan zakat yang professional
dan tepat sasaran. Maka dari itu perlulah suatu lembaga yang dapat
mengelola dana zakat yang ada di Indonesia. Sejak tahun 1999, zakat
secara resmi masuk kedalam ranah hukum positif di Indonesia dengan
keluarnya Undang-Undang RI No. 38 tahun1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Kemudian direvisi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23
tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk
dalam Lembaran Negera Republik Indonesia bernomor 115 setelah
ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal
25 November 2011.
Mengingat peran organisasi pengelola zakat sangat penting, pada
zaman Rasulullah Saw. dikenal sebuah lembaga yang disebut Baitul Mal.
Lembaga ini memiliki tugas mengelola keuangan negara mulai dari
mengidentifikasi, menghimpun, memungut, mengembangkan,
memelihara, hingga menyalurkannya. Sumber pemasukannya berasal dari
dana zakat, infaq, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak yang dikenakan bagi
non-muslim), ghanimah (harta rampasan perang) dan lain-lain.
Sedangkan penggunaannya untuk asnaf mustah}iq (yang berhak
menerima) yang telah ditentukan, untuk kepentingan dakwah,
pendidikan, pertahanan, kesejahteraan sosial dan lain sebagainya. Untuk
kasus di Indonesia, yang secara demoggrafi penduduknya mayoritas
umat Islam. Potensi zakat sangat besar harus diimbangi
dengan pengelolaan zakat yang professional pula. Sehingga, zakat
tersalurkan kepada mustahik tidak bersifat konsumtif atau sesaat.
Pengelolaan zakat yang profesional, diharapkan pendistribusiannya
lebih produktif. Pemberian pinjaman modal, misalnya dalam rangka
peningkatan perekonomian masyarakat.
Di Indonesia, saat ini ada organisasi atau lembaga pengelola zakat.
Keberadaan organisasi tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 23
tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh
badan yang dibentuk pemerintah atau lembaga yang didirikan oleh
masyarakat. Adapun lembaga pengelolaan zakat tersebut adalah Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit
Pengumpul Zakat (UPZ). Semua pegiat zakat berharap, dengan adanya
undang-undang ini ada perbaikan dari semua sektor. Bukan hanya
perbaikan segi kelembagaan, tapi dari segi kesadaran masyarakat dalam
menyalurkan zakat melalui lembaga juga meningkat. Dengan demikian
penghimpunan zakat oleh pengelola zakat juga bertambah sehingga
bermanfaat bagi masyarakat miskin. Dengan melihat Islam muncul
sebagai sistem nilai yang mewarnai perilaku ekonomi masyarakat,
eksistensi zakat memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan
menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan di Indonesia.
Namun selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara
optimal dan belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum
efektifnya lembaga zakat yang menyangkut aspek pengumpulan
administrasi, pendistribusian, monitoring serta evaluasinya. Dengan kata
lain, sistem organsisasi dan manajemen pengelolaan zakat hingga kini
dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi,
sehingga kurang berdampak sosial yang berarti. Karenanya, peran
pemerintah dalam mengatasi masalah zakat tersebut sangat penting
keberadaanya, baik melalui Lembaga Amil Zakat di pusat maupun di
daerah agar diharapkan pengelolaan zakat dapat optimal.
Persyaratan LPZ
Di dalam undang – undang, yang dimaksud pengelolaan zakat
adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Dan
pengelolaan zakat di Indonesia di kelola oleh BAZNAS (Badan Amil
Zakat Nasional) yang dibentuk oleh pemerintah dan ada pula LAZ yang
di prakarsai oleh masyarakat. Persyaratan Lembaga Pengelolaan Zakat.
Yusuf al Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Zakat, menyatakan bahwa
seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus
memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Beragama Islam
Zakat adalah salah satu urusan utama kaum mislim yang termasuk
rukun Islam (rukun Islam ketiga), karena itu sudah saatnya apabila
urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim.
2. Mukallaf
yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap
menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.
3. Memiliki sifat amanah atau jujur
Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan
umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya
melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan
layak dipercaya. Serta keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk
transparasi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggung
jawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan
ketentuan syariat Islamiyyah.
4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
Mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat
kepada masyarakat. Dengan pengetahuan tentang zakat yang relative
memadai, para amil zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan
kekeliruan yang diakibatkan dari kebodohannya pada masalah zakat
tersebut.
5. Amanah dan Jujur
Memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dengan sebaik-
baiknya. Amana dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan
tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melakukan tugas.
Perpaduan antara amanah dan kemampuan inilah yang akan
menghasilkan kinerja yang optimal.
6. Sungguh-sungguh
Hemat penulis, adalah kesungguhan amil zakat dalam
melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang
full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak tidak
pula sambilan (tidak cekatan / hanya menunggu bola).
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling sedikit harus:
a. warga negara Indonesia
b. beragama Islam
c. bertakwa kepada Allah SWT
d. berakhlak mulia
e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun
f. sehat jasmani dan rohani
g. tidak menjadi anggota partai politik
h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat
i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Prinsip-Prinsip Lembaga Pengelolaan Zakat
Dalam pengelolaan baik zakat, infaq dan shadaqoh terdapat
beberapa prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar pengelola dapat
berhasil guna sesuai dengan yang diharapkan, prinsip-prinsip tersebut
adalah prinsip keterbukaan, suka rela, keterpaduan, profisionalisme, dan
kemandirian.
Prinsip keterbukaan artinya dalam pengelolaan hendaknya
dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini
perlu dilakukan agar dapat dipercaya oleh umat.
Prinsip kedua yaitu sukarela berarti bahwa dalam pemungutan dan
pengumpulan hendaknya senantiasa berdasarkan prinsip suka rela dari
umat Islam yang menyerahkan dan tidak boleh ada unsur pemaksaan
atau cara-cara yang dapat dianggap sebagai suatu pemaksaan. Dan harus
lebih diarahkan kepada motivasi yang bertujuan memberikan kesadaran
kepada umat islam agar membayar kewajibannya.
Prinsip ketiga yaitu keterpaduan artinya sebagai organisasi yang
berasal dari swadaya masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsinya
meski dilaksanakan secara terpadu diantara komponen-komponennya.
Prinsip keempat yaitu profesionalisme bahwa dalam pengelolaan
harus dilakukan oleh mereka yang ahli dibidangnya, baik dalam
administrasi, keuangan dan lain sebagainya dan juga dituntut memiliki
kesungguhan dan rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya dan
akan lebih sempurna apabila dibarengi dengan sifat amanah.
Prinsip terakhir adalah kemandirian, sebenarnya merupakan
kelanjutan dari prinsip profesionalisme, yang diharapkan mampu menjadi
lembaga swadaya masyarakat yang mandiri dan mampu melaksanakan
tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari pihak lain.
Persyaratan LAZ
Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah, dan social
b. berbentuk lembaga berbadan hukum
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS
d. memiliki pengawas syariat
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya
f. bersifat nirlaba
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi
kesejahteraan umat
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Tugas dan Fungsi Lembaga pengelolaan Zakat
Sebagaimana termuat dalam pasal 8 UU Nomor 38 Tahun 1999
tugas pokok lembaga pengelola Zakat adalah mengumpulkan,
mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan
agama. Sedangkan fungsinya sebagaimana termuat dalam Keputusan
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 29 Tahun 1991
/ 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan
Shadaqoh. Pasal 6 bahwa fungsi utamanya telah sebagai wadah pengelola,
penerima, pengumpulan, penyaluran dan pendayaguna zakat, infaq dan
shadaqoh dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai
wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional serta sebagai
pembinaan dan pengembangan swadaya masyarakat.
Petunjuk teknis pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh institus
Managemen Zakat (2001) dikemukakan susunan organisasi lembaga
pengelolaan zakat seperti Badan Amil Zakat sebagai berikut:
1. Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi
Pengawas dan Badan Pelaksana.
2. Dewan Pertimbangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
meliputi unsur ketua, sekreteris dan anggota.
3. Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi unsur
ketua, sekretaris dan anggota.
4. Badan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
unsur ketua, sekretris, bagian keuangan, bagian pengumpulan,
bagian pendistribusian dan pendayagunaan.
5. Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat
dan unsur pemerintah. Unsur pemerintah terdiri atas unsur ulama,
kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga profesional dan lembaga
pendidikan yang terkait.
Fungsi dan tugas pokok pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) antara
lain:
1. Dewan Pertimbangan
a. Fungsi
Memberikan pertimbangan, fatwa, saran, dan rekomendasi
kepada badan pelaksana dan komisi pengawas dalam
pengelolaan Badan amil Zakat, meliputi aspek syari‟ah dan
aspek manajerial.
b. Tugas Pokok
1) Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat
2) Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan
Komisi Pengawas.
3) Mengeluarkan fatwa syari‟ah baik diminta atupun tidak
berkaitan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus
Badan Amil Zakat.
4) Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada
Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas baik diminta
maupun tidak diminta.
5) Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja
Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
6) Menunjuk akuntan publik.
2. Komisi Pengawas
a. Fungsi
Sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan
yang dilaksanakan Badan Pelaksana.
b. Tugas Pokok
1) Pengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan.
2) Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan Dewan Pertimbangan.
3) Mengawasi oprasional kegiatan yang dilaksanakan Badan
Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian
dan pendaya gunaan.
4) Melakukan pemeriksaan oprasional dan pemeriksaan
syari‟ah.
c. Badan Pelaksana
1) Fungsi
Sebagai pelaksana pengelolaan zakat.
2) Tugas Pokok
1) Membuat rencana kerja.
2) Melaksanakan oprasional pengelolaan zakat sesuai
rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan
kebijakan yang telah ditetapkan.
3) Menyusun laporan tahunan.
4) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
pemerintah.
5) Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama
Badan Amil Zakat ke dalam maupun ke luar.
Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelolaan zakat
adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secar
terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan
media, seperti khutbah jum‟at, media ta‟lim, seminar, diskusi dan
lokakarya, melalui surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi.
Dengan sosialisasi yang baik dan optimal diharapkan masyarakat
muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga
zakat yang kuat, aman dan tepercaya.
Tugas dan fungsi lembaga pengelolaan zakat berdasarkan Undang-
undang nomor 23 tahun 2011 yaitu:
1. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional
2. Dan ada beberapa fungsi dari BAZNAS yaitu:
a. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat
b. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat
c. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat dan
d. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan
zakat
MAWARIS (FARAIDH)
Pengertian Waris (Faraidh)
Al-miirats dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari
kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah
„berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',atau dari suatu
kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal
yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta
benda. Ayat-ayat Al-Qur'an Fiqih Mawaris banyak menegaskan hal ini,
demikian pula sabda Rasulullah saw. Di antaranya Allah berfirman:"Dan
Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16),"...Dan Kami adalah yang
mewarisinya." (al-Qashash: 58). Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi
saw:'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenalpara
ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu
berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal
secara syar'i.
Ilmu Faraidh
1. Pegertian ilmu faraidh
Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan
mengalami kematian. Peristiwa kelahiran seseorang, tentunya akan
menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti timbulnya hubungan hukum
dengan masyarakat sekitarnya, dan timbulnya hal dan kewajiban pada
dirinya. Dalam hal kematian seseorang pada prinsipnya segala kewajiban
perorangannya tidak beralih pada pihak lain. Adapun yang menyangkut
harta kekayaan dari yang meninggal tersebut beralih kepada pihak yang
masih hidup yaitu kepada orang-prang yang telah ditetapkan sebagai
pihak penerimanya.
Proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang
masih hidup inilah yang diatur oleh hukum waris atau ilmu faraidh
(suparman usman, 19900:48) atau juga disebut fiqh mawaris.
Lafaz al-faraidh sebagai jamak dari sebagai jamak dari lafaz
faridhah oleh ulama, faradhiyun diartikan sebagai makna dengan lafaz
mafrudah yakni bagian yang telah dipastikan atau yang ditentukan
kadarnya.
Lafaz al-mawaris merupan jamak dari lafaz mirat maksutnya
adalah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh simati dan diwarisi oleh
yang lainnya (ahli waris) (hasanain muhammad makhluf,1958:9).
Para ahli faraidh banyak yang memberiakan definisi tentang ilmu
mawaris diantaranya ada Muhammad al Syarbimy mendefinisikan ilmu
faraidh sebagai berikut: ilmu fiqih yang berkaitan dengan pewarisan
pengeliuran tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan
pewarisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib.
Faraid adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna sesuatu
yang diwajibkan, atau pembagian yang telah ditentukan sesuai dengan
kadarnya masing-masing. Ilmu faraidh adalah ilmu yang mempelajari
tentang perhitungan dan tata cara pembagian harta warisan untuk setiap
ahli waris berdasarkan syariat Islam.
Menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, definisi ilmu al-
faraidh yang paling tepat adalah apa yang disebutkan Ad-Dardir dalam
Asy-Syarhul Kabir (juz 4, hal. 406), bahwa ilmu al-faraidh adalah: “Ilmu
yang dengannya dapat diketahui siapa yang berhak mewarisi dengan
(rincian) jatah warisnya masing-masing dan diketahui pula siapa yang
tidak berhak mewarisi.” (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits
Al-Faradhiyyah, hal. 11)
2. Keutamaan Belajar Ilmu Faraidh
Ilmu faraidh merupakan salah satu disiplin ilmu di dalam Islam
yang sangat utama untuk dipelajari. Dengan menguasai ilmu faraidh,
maka Insya Allah kitadapat mencegah perselisihan-perselisihan dalam
pembagian harta warisan, sehingga orang yang mempelajarinya Insya
Allah akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan pahala
yang besar disisi Allah swt.
Silahkan dibaca dan perhatikan ayat-ayat mengenai waris di dalam
Al-Qur‟an, terutama ayat 11, 12 dan 176 padasurat an-Nisaa‟. Allah swt
sedemikian detail dalam menjelaskan bagian warisan untuk setiap
ahliwaris, yaitu dari seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga,
sepertiga, seperenam, dan seterusnya berikut dengan kondisi-kondisinya
yang mungkin terjadi.
Di bawah ini adalah beberapa hadits Nabi saw. Yang menjelaskan
beberapa keutamaan dan anjuran untuk mempelajari dan mengajarkan
ilmu faraidh:
a. Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi saw. bersabda,
"Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu
ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang
dilaksanakan, dan ilmu faraidh." (HR Ibnu Majah)
b. Ibnu Mas'ud r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu
faraidh serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang
akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan
tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan,
mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan
(menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka." (HR Imam
Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim)
c. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu
faraidh serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu
faraidh setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan
diangkat dari umatku." (HR IbnuMajahdan ad-Darquthni)
d. Dalam riwayat lain disebutkan, "Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia
termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang
pertama kali akan dicabut dari umatku." (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan
Baihaqi)
Karena pentingnya ilmu faraidh, para ulama sangat
memperhatikan ilmu ini, sehingga mereka seringkali menghabiskan
sebagian waktu mereka untuk menelaah, mengajarkan, menuliskan
kaidah-kaidah ilmu faraidh, serta mengarang beberapa buku tentang
faraidh. Mereka melakukan hal ini karena anjuran Rasulullah saw. diatas.
Umar bin Khattab telah berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia
sesungguhnya termasuk bagian dari agama kalian." Kemudian Amirul
Mu'minin berkata lagi, "Jika kalian berbicara, bicaralah dengan ilmu faraidh,
dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan.
"Kemudian Amirul Mu'minin berkata kembali, "Pelajarilah ilmu faraidh,
ilmunahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur‟an."
Ibnu Abbas ra. berkomentar tentang ayat Al-Qur‟an yang berbunyi,
“...Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan
yang besar.” (Al-Anfaal - 73), menurut beliau makna ayat diatas adalah jika
kita tidak melaksanakan pembagian harta waris sesuai yang
diperintahkan Allah swt. kepada kita, niscaya akan terjadi kekacauan di
muka bumi dan kerusakan yang besar.
Abu Musa al-Asy‟ari ra. berkata, "Perumpamaan orang yang membaca
Al-Qur‟an dan tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraidh, adalah seperti mantel
yang tidak bertudung kepala."
Demikianlah, ilmu faraidh merupakan pengetahuan dan kajian
para sahabat dan orang-orang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas
bahwasanya ilmu faraidh termasuk ilmu yang mulia dan perkara-perkara
yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari Al-Qur‟an dan
sunnah Rasul-Nya
3. Pokok Bahasan Ilmu Al-Faraidh
Pokok bahasan ilmu al-faraidh adalah pembagian harta waris yang
ditinggalkan si mayit kepada ahli warisnya, sesuai bimbingan Allah l dan
Rasul-Nya n. Demikian pula mendudukkan siapa yang berhak
mendapatkan harta waris dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya
dari keluarga si mayit, serta memproses penghitungannya agar dapat
diketahui jatah/bagian dari masing-masing ahli waris tersebut. (Lihat Al-
Khulashah Fi „Ilmil Faraidh karya Nashir bin Muhammad Al-Ghamidi,
hal. 21)
4. Tujuan Ilmu Al-Faraidh
Tujuan ilmu al-faraidh adalah menyampaikan segenap hak waris
kepada yang berhak mendapatkannya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah
Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 9, Tashilul Faraidh, hal. 11 dan Al-
Khulashah Fi Ilmil Faraidh hal. 22 dan 26). Untuk mengetahui bahagian
atau habuan yang bakal diperolehi oleh setiap ahli waris dari harta
peninggalan si mati atau harta pusaka.
Waris, Hibah dan Wasiat
Ada tiga istilah yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam
beberapa halnya, yaitu waris, hibah dan wasiat. Ketiganya memiliki
kemiripan sehingga kita seringkali kesulitan saat membedakannya. Tetapi
akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.
WARIS HIBAH WASIAT
Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat
Penerima Ahli waris Ahli waris & bukan ahli
waris
Bukan ahli
waris
Nilai Sesuai
Faraidh
Bebas Maksimal 1/3
Hukum Wajib Sunnah Sunnah
1. Waktu
Dari segi waktu, harta waris tidak dibagi-bagi kepadapara ahli
warisnya, juga tidak ditentukan berapa besar masing-masing bagian,
kecuali setelah pemiliknya (muwarrits) meninggal dunia. Dengan kata
lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal
dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki harta itu.
Sedangkan hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan
saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung
diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal
dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih
hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia
meninggal dunia.
2. Penerima
Yang berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat
di dalam daftar ahli waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga
yang statusnya tidak gugur. Sedangkan washiyat justru diharamkan bila
diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat harus seorang yang
bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris Fiqih Mawaris
sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya
menerima lewat jalur washiat.
Sedangkan pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli
waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.
3. Nilai
Dari segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan
besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan didalam ilmu faraidh.Ada
ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya,seperti 1/2, 1/3, 1/4,
1/6, 1/8 hingga 2/3.Ada juga para ahli waris dengan status menerima
ashabah, yaitu menerima warisan berupa sisa harta dari yang telah
diambil oleh para ashabul furudh.
Dan ada juga yang menerima lewat jalur furudh dan ashabah
sekaligus.Sedangkan besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan
maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walau pun itu
merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta,
namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli
waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang
diharamkan. Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3,maka
kelebihannya itu harus dibatalkan.
Sumber Hukum Dan Hukum Mempelajari Ilmu Al-Faraidh
1. Sumber Hukum
Sumber sumber hukum yang dijadikan dasar dalam pembagian
warisan :
a. Al-quran
Al-quran menjelaskan ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara
jelas.
b. Al-sunnah
Hadis yang menjadi pembagian warisan lain: bagikan harta warisan di
antara ahli waris menurut kitabullah.( H.R Bukhari dan muslim).
c. Ijma‟ dan ijtihad
Adapun Al-Qur‟an, maka sebagaimana termaktub dalam Surah
An-Nisa‟ ayat 11, 12, dan 176. Allah swt. berfirman:
“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta waris untuk)
anak-anak kalian. Yaitu: bagian (jatah) seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga (2/3) dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh setengah harta (1/2), dan untuk kedua orangtua (ibu bapak),
bagi masing-masingnya seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga (1/3); jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (1/6). (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orangtua dan anak-anak
kalian, maka kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagi
kalian (para suami) setengah (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri kalian itu
mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat (1/4) dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat (1/4) harta
yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan (1/8) dari
harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat
atau (dan) sesudah dibayar utang-utang kalian. Jika seseorang mati, baik
lelaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan bapak dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara lelaki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam (1/6) harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga (1/3) itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli
waris). (Allah l menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.” (An-Nisa‟: 11-12)
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: „Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu setengah dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang lelaki mewarisi (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu
terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara lelaki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat, dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa‟: 176)
Sedangkan Sunnah Rasulullah n, maka sebagaimana sabda beliau:
رمش أى ذقا ىسجو ل ابق ياف اى فشائطبأ
“Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8,
2/3) kepada para pemiliknya, sedangkan apa yang tersisa adalah untuk
ahli waris lelaki yang paling kuat (berhak).” (HR. Al-Bukhari, no. 6733,
dari sahabat Abdullah bin Abbas)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟di t berkata: “Ayat-
ayat tersebut (An-Nisa‟: 11-12, pen.) dan ayat terakhir dari surat An-Nisa‟
merupakan ayat-ayat yang mengandung sistem waris Islam.
Sesungguhnya ayat-ayat tersebut dan hadits Abdullah bin Abbas c yang
terdapat dalam Shahih Al-Bukhari:
رمش ىسجو ل ابق ياف أى ذقااى فشائطبأ
“Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8,
2/3) kepada para pemiliknya, sedangkan apa yang tersisa untuk ahli waris
lelaki yang paling kuat (berhak).”
Mencakup mayoritas bahkan semua hukum waris sebagaimana
yang akan anda lihat nanti, kecuali jatah waris nenek. Akan tetapi telah
ditetapkan dalam beberapa kitab Sunan dari sahabat Al-Mughirah bin
Syu‟bah dan Muhammad bin Maslamah c bahwa Nabi n telah memberi
nenek jatah waris 1/6 (seperenam), seiring dengan adanya ijma‟ ulama
dalam masalah tersebut.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 132)
Hal serupa dinyatakan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin t dalam Tashilul Faraidh (hal. 6) dan Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil
Mabahits Al-Faradhiyyah (hal. 8). Hanya saja dalam pernyataan Asy-
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟di t terdapat penyebutan ijma‟
yang juga merupakan dasar pijakan dalam masalah waris.
2. Hukum Mempelajari Ilmu Al-Faraid
Hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. Jika sebagian dari
umat ini ada yang mempelajarinya, maka gugurlah dosa (kewajiban) bagi
yang lainnya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-
Faradhiyyah, hal. 9, Tashilul Faraidh, hal. 11 dan Al-Khulashah Fi Ilmil
Faraidh hal. 22 dan 26).
Dari buku Fiqih Mawaris Hukum kewarisan Islam oleh Prof. Dr. H.
Suparman Usman, S.H., dkk mengatakan bahwa, mengenai tirkah ini
Fatchurrahman (1981: 36-37) mengemukakan bahwa apa-apa yang
ditinggalkan tersebut harus diartikan secara luas, tercakup didalamnya :
a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya
benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati
yang menjadi tanggungan orang lain, diyah-wajibah (denda wajib) yang
dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh yang melakukan
pembunuhan karena hilap, uang pengganti qisas lantaran tindakan
pembunuhan yang diampuni atau lantaran yang melakukan
pembunuhan adalah ayahnya sendiri dan lain sebagainya.
b. Hak-hak kebendaan, seperti hak monopoli untuk mendayagunakan
dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum,
irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain sebagainya.
c. Hak-hak yang bukan kebendaan seperti hak khiyar, hak suf‟ah, yakni
hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota serikat atau
tetangga atas tanah, pekarangan atau lain sebagainya yang dijual oleh
anggota serikat yang lain atau tetangganya, hak memanfaatkan barang
yang diwasiatkan dan lain sebagainya.
d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti
benda-benda yang sedang digadaikan oleh si mati, barang-barang
yang telah di beli oleh si mati suatu hidup yang harganya sudah di
bayar tetapi barangnya belum diterima, barang-barang yang dijadikan
mas kawin istrinya yang belum diserahkan sampai ia mati dan lain
sebagainya.
Pengertian tirkah diatas merupakan pendapat para Imam madzhab,
selain Imam Hanafi. Hal ini sebagaimana dikemukakan Sayid Sabiq
(1998:425)
اى ذا افعت اىش اىنت ذاى ع اء س ق دق اه ا ج اخ شماى ع وج بيتحش
اىت . ش غ أ اىت ق أماجاى ذق
“Dan ia (tirkah), menurut malikiyah, syafi‟iyah, dan hanabilah, mencakup
segala apa yang ditinggalkan oleh si mati dari seluruh harta dan hak, baik
hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.”
Rukun Dan Syarat Pewarisan
1. Rukun Pewarisan
a. Ahli waris (warits), yaitu orang yang memiliki hubungan dengan si
mayyit dengan salah satu sebab-sebab pewarisan.
b. Pewaris (muwarrits) ,yaitu orang yang mati secaea hakiki atau secara
hukum. Orang yang mati secara hukum misalnya orang hilang yang
ditetapkan kematiannya.
c. Warisan (mauruts) yang dinamakan juga dengan tarikah atau mirats
yaitu harta atau hak yang berpindah dari si pewaris kepada ahli waris
(sayid sabiq,1972:426). Sedangkan harta yang bukan milik pewaris,
tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta bersama milik
suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua
terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana
yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris.
Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan
termasuk harta warisan.
2. Syarat Pewarisan
Selain rukun, juga ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk
sebuah pewarisan. Bilamana salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Dalam pewarisan disyaratkan 3
hal berikut ini:
a. Kematian pewaris secara hakiki, secara hukum atau secara asumtif.
Kematian secara hukum misalnya, qadhi menetapkan kematian orang
yang hilang sehingga ketetapan ini menjadikannya seperti orang yang
mati secara hakiki. Dan kematian asumtif misalnya, seseorang
menyerang seorang perempuan hamil dengan pukulan hingga
janinnya gugur dalam keadaan mati, lalu diasumsikan bahwa janin
ini pernah hidup meskipun itu tidak dapat dibuktikan.
b. Kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris, meskipun secara
hukum, seperti kandungan. Kandungan dianggap hidup secara
hukum karena bisa jadi ruh belum ditiupkan ke dalamnya. Jika
kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris tidak diketahui,
misalnya pada orang-orang yang tenggelam, orang-orang yang
terbakar, atau orang-orang yang tertimpa bangunan, maka tidak ada
pewarisan diantara mereka seandainya sebagian dari mereka mewarisi
sebagian yang lain. Harta masing-masing dari mereka dibagikan
kepada ahli waris mereka yang masih hidup.
c. Tidak ada salah satu dari hal-hal yang menghalangi pewarisan, seperti
yang akan disebutkan dibawah ini.
Sebab-Sebab Dan Yang Menghalangi Warisan
1. Sebab-sebab pewarisan
Pewarisan merupakan pengalihan hak dan kewajiban dari orang
yang meninggal kepada ahli warisnya dalam memiliki dan memanfaatkan
harta peninggalan. Pewarisan tersebut baru menjadi manakalah ada sebab
sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. Adapun sebab-sebab
tersebut adalah:
a. Nasab haqiqi, berdasarkan firman Allah swt.,
“... Orang orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut
Kitab Allah...” (al-Anfal (8): 75)
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak,
saudara, paman, dan seterusnya. Seorang anak yang tidak pernah tinggal
dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya
bila sang ayah meninggal dunia. Demikian juga dengan kasus dimana
seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga
semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita
dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan
sama besar dengan anak-anak si kakeklainnya.
b. Nasab secara hukum, berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
“Wala‟ adalah kekerabatan seperti kekeraabatan nasab.”
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi
dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan
pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang
yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan
(ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak
berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai
manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak
mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki
ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena
adanya tali pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku
lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir
ini nyaris tidak lagi terjadi.
c. Pernikahan yang sah, berdasarkan firman Allah swt.,
“Dan bagianmu (suami-istri) adalah seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu...” (an-Nisa (4): 12)
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-
laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim
(bersanggama) antar keduanya. Tapi berbeda dengan urusan mahram,
yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan
mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan,
tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu
tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa
bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak
memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggal
serumah. Adapun pernikahan yang batilatau rusak, tidak bisa menjadi
sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali
dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara
suami dan istri.
2. Penghalang warisan
Orang yang dihalang dari warisan adalah orang yang padanya
terpenuhi sebab-sebab pewarisan, tetapi dia memiliki salah satu sifat yang
mencabut haknya untuk mendapatkan warisan. Hal-hal yang dapar
menggugurkan atau menghilangkan hak seseorang tersebut adalah:
a. Perbudakan, baik sempurna maupun tidak sempurna.
b. Pembunuhan secara sengaja yang diharamkan. Jika ahli waris
membunuh pewarisnya secara dzalim maka disepakati bahwa dia
tidak mewarisinya. Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu berkata,
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” [Hadits Riwayat Tirmidzi
3/288, Ibnu Majah 2/883, Hadits Shahih Lihat Al-Irwa‟, hal. 1672]
Adapun selain pembunuhan secara sengaja, para ulama
memperselisihkannya. Asy-Syafi‟i berpendapat bahwa setiap
pembunuhan menghalangi dari warisan, meskipun dilakukan oleh
anak kecil atau orang gila, dan meskipun dilakukan dengan alasan
yang hak, seperti hadd dan kisas. Sementara itu, para ulama mazhab
Maliki berpendapat bahwa pembunuhan yang menghalangi dari
warisan adalah pembunuhan secara sengaja yang dzalim, baik
langsung maupun tidak langsung. Undang-undang menganut
pendapat ini pada pasal 5 darinya. Redaksinya adalah “Di antara hal-
hal yang menghalangi pewarisan adalah pembunuhan secara sengaja,
baik pembunuuh adalah pelaku asli, sekutu, maupun saksi dusta yang
kesaksiannya menyebabkan penetapan hukuman mati dan
pelaksanaannya, juka pembunuhan ini tanpa alasan yang hak dan
tanpa uzur, sedangkan pembunuh telah berakal dan telah mencapai
usia 15 tahun. Di antara yang dianggap sebagai uzur adalah
digunakannya hak pembelaan diri yang sah.”
c. Perbedaan agama. Orang muslim tidak mewarisi orang kafir. Dan
orang kafir tidak mewarisi orang muslim. Usamah bin Zaid
mariwayatkan bahwa Nabii saw bersabda:
,
“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir. Dan orang kafir tidak
mewarisi orang islam.”
Sementara itu dikisahkan dari Mu‟adz, Muawiyah, Ibnu Musayyab,
Masruq, dan an-Nakha‟i bahwa orang muslim mewarisi orang kafir
dan tidak sebaliknya, sebagaimana laki-laki muslim boleh menikahi
perempuan kafir dan laki-laki kafir tidak boleh menikahi perempuan
muslim.
Adapun orang-orang non muslim, sebagian dari mereka mewarisi
sebagian yang lain karena mereka semuanya dianggap sebagai
pemeluk satu agama.
d. Perbedaan negeri atau tanah air. Yang dimaksud dengan perbedaan
negeri adalah perbedan kewarganegaraan. Perbedaan negeri tidak
menjadi penghalang bagi kaum muslimin untuk saling mewarisi.
Orang muslim mewarisi orang muslim lainnya, meskipun negeri-
negerinya saling berjauhan. Adapun perbedaan negeri diantara orang-
orang non muslim, masih diperselisihkan apakah jadi penghalang bagi
mereka untuk salig mewarisi atau tidak. Jumhur ulama berpendapat
bahwa ia tidak menghalangi orang-orang non muslim untuk saling
mewarisi, sebagaimana tidak menghalangi orang muslim untuk saling
mewarisi.
Penulis al-Mughni berkata, “Qiyas mazhab, menurut saya adalah
bahwa para pemeluk satu agama saling mewarisi, meskipun negeri
mereka berbeda-beda. Keumuman nash-nash mengharuskan
pewarisan diantara mereka, sehingga keumuman nash-nash ini harus
diamalkan.”
Undang-undang telah menganut pendapat ini. Yaitu, jika undang-
undang negara asing melarang pemberian warisan kepada selain
negaranya. Undang-undang melarang pemberian warisan kepada warga
asing semacam ini. Dengan demikian, undang-undang telah
memperlakukan dengan perlakuan yang serupa dalam warisan. Pada
pasal 6 dari Undang-Undang disebutkan, “Perbedaan negeri tidak
menghalangi pewarisan diantara orang-orang non muslim, kecuali jika
undang-undang negara asing melarang pemberian warisan kepada warga
negara lain.”
Istilah-istilah dalam ilmu waris
Setiap cabang ilmu memiliki istilah-istilah yang khas, dimana
istilah itu seringkali tidak sama dengan istilah yang umum. Berikut ini
kami uraikan beberapa istilah yang akan seringkali muncul dalam mata
kuliah ini.
a. Tarikah
Tarikah, kadang dibaca tirkah, adalah segala sesuatu yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada
prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan
dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok
hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang
berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya
pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
b. Fardh
Fardh adalah bagian harta yang didapat oleh seorang ahli waris
yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah atau ijma'
ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3.1/4, 1/6, 1/8
dan 2/3.Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai
bilangan fardh. Misalnya seorang istri yang ditinggal mati suaminya
sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta suaminya, apabila
suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila suaminya
tidak punya keturunan.
c. Ashhabul Furudh.
Ashabul furudh sesuai dengan namanya,berarti adalah orang-
orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka
adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang
diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah
danlainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi
tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati
suaminya sudah dipastikan besarharta yang akan diterimanya, yaitu 1/4
atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari
harta suami.Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat1/4 dari
harta suami. Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya,sudah
dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu1/2 atau 1/4,
tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka
suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak,
suamimendapat 1/2 dari harta istri. Tapi intinya, ashabul furudh adalah
para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta
muwarristnya.
d. Ashabah
Istilah ashabaha berposisi sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta
yang diterima oleh ahli waris, yang besarnya belum diketahui secara
pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari apa yang telah diambil
sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh. Besarnya bisa
nol persen hingga seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang
diambil oleh ahli waris ashhabul furudh.Kalau jumlah mereka banyak,
maka bagian untuk ashabah menjadi kecil, kalau jumlah mereka sedikit,
biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki tunggal adalah ahli waris ashabah
dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya adalah ahli waris dari
ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya. Sedangkan anak
tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang sudah
diambil ibunya, yaitu1 – 1/8 = 7/8.
e. Sahm
Sahm adalah istilah untuk menyebut bagian harta yang diberikan
kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau disebut juga
jumlah kepala mereka.
f. Nasab
Nasab adalah hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke
atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubugnan
ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah
(keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya
(cucu) dan seterusnya. Hubungan ini disebut bunuwwah.
g. Al-Far'u
Istilah bila kita temukan di dalam ilmu waris, maksudnya adalah
anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan dibagi
hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun
perempuan.Biladisebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak laki-laki
dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut kebawahnya.
h. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl adalah ayah kandung dan
ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari ayah
kandung (kakek).Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan
ibunya ayah ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.
PEMBAGIAN WARISAN
Pembagian Waris Menurut Al-Qur'an
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam,
yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga
(2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali
pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul
furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta
waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan
empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami,
anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara
kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti
berikut:
1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan,
dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak
laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari
suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang
ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak
mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta
peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan
tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
b. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah
firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang,
maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua
persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris
tidak mendapat bagian setengah.
3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian
separo, dengan tiga syarat:
a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki
dari keturunan anak laki-laki).
b. Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
c. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak
laki-laki.
Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama
dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak
kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi
auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak,
dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.
4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta
warisan, dengan tiga syarat:
a. Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
b. Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
c. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula
mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun
keturunan perempuan. Dalilnya adalah firman Allah berikut:
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)
5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta
warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
b. Apabila ia hanya seorang diri.
c. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak,
baik anak laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah
menjadi kesepakatan ulama.
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4)
dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta
peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri
mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya,
baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari
suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya." (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta
peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak
mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya
ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman
Allah berikut:
"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para
penuntut ilmu-- tentang bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri
mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri yang dinikahi seorang
suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang
suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap
mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini
berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata
lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'.
Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang
istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian
seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan
mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila
suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah
SWT, "... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan
sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki
ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki.
2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki
maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun
seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..."
(an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris)
tidak berarti harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang
masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini
bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang
digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat
jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai
imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan
kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:
"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu
berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) " (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua
orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai
berikut:
1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun
perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Adapun dalilnya adalah firman Allah:
"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)
Catatan :
Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam
ayat tersebut adalah 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan
hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan
sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang
berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam
ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud
dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni
tentang firman "fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam
yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni,
mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan
seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang
lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki
dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah
sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun
perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-
laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara
laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.
Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian
seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli
(bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
(5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan
perempuan seibu.
1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris
mempunyai anak, baik anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya
firman Allah yang artinya, "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam
(1/6) bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau
cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan syarat ayah pewaris tidak
ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan
menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan
yang akan saya rinci dalam bab tersendiri.
3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang
ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
a. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu
laki-laki keturunan anak laki-laki.
b. Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik
saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah,
ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih
akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal
(pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan
demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah
(1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris
mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3).
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam
sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah
warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan,
cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara
perempuan. Abu Musa kemudian menjawab: "Bagi anak
perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan yang setengah
sisanya menjadi bagian saudara perempuan." Merasa kurang puas
dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu
Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan
seperti apa yang pernah diputuskan Rasulullah saw., bagi anak
perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu
perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian
seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi
bagian saudara perempuan pewaris."Mendengar jawaban Ibnu
Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan
memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata:
"Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di
tengah-tengah kalian."
Catatan :
Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan
bagian seperenam (1/6) dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai
anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki, maka anak tersebut
menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak
mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih
dari satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian
dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak
waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.
5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat
bagian seperenam (1/6), apabila pewaris mempunyai seorang
saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama denga
keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan
dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal
dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan
saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan
seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna
dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung
memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali
seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara
perempuan seayah.
6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian
masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya
adalah firman Allah (artinya) "jika seseorang mati baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta".
Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok
(yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki
atau perempuan).
7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris
tidak lagi mempunyai ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu
hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang jelas
seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini
berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih
dan ijma' seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang
kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya.
Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-
Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku
menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw." Kemudian
al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu
ketika aku pernah menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak
seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-
Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan
memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.
Definisi 'Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari
pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat
bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak
digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat.
Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di
antaranya dalam firman Allah berikut:
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami
golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-
orang yang merugi.'" (Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini
disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian
'ashabah dari segi bahasa.Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah
para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-
laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki
dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah).
Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid
ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris
tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah
ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan
waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an
yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa':
11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan
bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris
mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka
seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat
tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai
anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut
tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa
sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah.
Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah. Dalil
Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya), "jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak." (an-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun,
yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan
bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak
mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha"
memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah
makna 'ashabah. Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang
disabdakan Rasulullah saw., "Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada
yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. "
(HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar
memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa,
hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari
'ashabah.Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang
digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul",
sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai
menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab,
bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan
menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah
rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata
"dzakar".
Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan
'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini
disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik
budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya
apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.Sedangkan 'ashabah
nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak
tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena
yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama
dengan yang lain).
Catatan :
Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa
diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka
yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
'Ashabah bin nafs
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris
tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai
cucu, cicit, dan seterusnya.
2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya
dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan
seterusnya.
3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara
laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki,
anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah
ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah,
termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun
saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan
mereka termasuk ashhabul furudh.
4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung
maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai
urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah
ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat
arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah
satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang
meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada.
Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul
furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan
kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul
furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak
mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan
suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah. Sang
suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat
bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan
ashhabul furudh telah menghabiskannya.Adapun bila para 'ashabah bin
nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya)
sebagai berikut:
Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa
'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah
anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil
seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris
setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing.
Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki
dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak
ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah,
dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah
adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah
yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan
mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara
kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih
jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun
saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya
Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.
Kedua: Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa
orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka
pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka
yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam
hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan
cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada
pewaris dibandingkan cucu laki-laki.Contoh lain, bila seseorang wafat
dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara
kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih
dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti
ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.
Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak
'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka
pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling
kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung
lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman
seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara
seayah, dan seterusnya.
Catatan:
Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya
kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain
dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan menurut
kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah
paman.
Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?
Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban
serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari
segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak
merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak
didahulukan daripada garis ayah. Namun demikian, ada dua landasan
mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil
Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya)
"dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-
Nisa: 11).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul
furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak
disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan
seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari
ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.
Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir
terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun
kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja
keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam membelanjakannya,
semuanya demi kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang
tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan hartanya,
demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang
disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu
mabkhalah majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil
dan pengecut).
Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --
bahkan pengecut-- karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya.
Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi
menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua
yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan
keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka takut
berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu
kemudahan jalan rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang
cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan kepada ayahnya.
Wallahu a'lam.
Catatan :
Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus
dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita
pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah
bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan
(kerabat).
'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya
'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris
yang kesemuanya wanita:
1. Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan
saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila
berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki
pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik
sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3. Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama
saudara kandung laki-laki.
4. Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan
dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua
kali lipat bagian perempuan.
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa
persyaratan berikut: Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul
furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan
menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan dari
saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya
saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan
demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul
furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang
sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih
(penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat
dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib
(penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan
saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung
perempuan disebabkan tidak sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli
waris perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak
dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung
perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.
Catatan :
Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah
(1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila
menerima bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah
bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat
ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung
perempuan, dan saudara perempuan seayah).
Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi
Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah
(artinya): "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan" (an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya):
"dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan"
dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung
perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan
tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu, disebabkan
hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan
sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan
perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).
Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi
Adapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak
'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan
mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah lain
('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara
laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka
keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.
'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung
perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi
bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-
laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan
seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan
keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis
'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al
ghair.
Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang
ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara
perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan
dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena
pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena
pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan
secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian
anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah
mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah
saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai
'ashabah agar terkena pengurangan."
Dalil 'Ashabah ma'al Ghair
Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu
Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung
atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separo, dan
bagian saudara perempuan separo." Penanya itu lalu pergi
menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan
memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak
perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak
laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3),
sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau
seayah."
Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan
menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa
berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama sang alim
(Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat
disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama
dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal
ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah
sebagai 'ashabah ma'al ghair.
Catatan :
Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang
saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia
menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat menghalangi
hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka,
seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun
yang seayah. Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi
'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris,
maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi
penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya. Untuk lebih
menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:
Contoh Pertama :
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara
perempuan, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah
sebagai berikut:
Pokok masalahnya dari 2
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Anak perempuan ½ 1
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al
ghair
½ 1
Saudara laki-laki seayah Gugur 0
Keterangan:
Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya
merupakan bagian saudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi
'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung laki-
laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara
kandung perempuan menjadi 'ashabah.
Contoh Kedua:
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung
perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti
dalam tabel berikut:
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Suami ¼ 1
Cucu perempuan ½ 2
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair 1
Saudara laki-laki seayah Mahjub 0
Keterangan:
Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai
cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-
laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu
seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris
sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah
gugur karena adanya dua saudara kandung.
Contoh Ketiga:
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak
perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-
laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 3
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Dua anak perempuan 2/3 2
Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1
Anak saudara laki-laki Mahjub 0
Keterangan:
Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk
saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair.
Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan
seayah.
Contoh Keempat:
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan,
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara
perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah kandung).
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Anak perempuan ½ 3
Cucu perempuan 1/6 1
Ibu 1/6 1
Saudara perempuan seayah 'ashabah ma'al ghair 1
Keterangan:
Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai
penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan
sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair,
karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia
menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.
Catatan:
Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli
waris bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak
perempuan pewaris menjadi penggugur hak.
Cara Mempermudah Menentukan Pembagian Ahli Waris:
A. Hijab
Hijab secara harfiyah berarti penutup atau penghalang, dalam mawarits.
Istilah hijab digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang jauh hubungan
kekerabatanya, baik kadang-kadang atau seterusnya terhalang oleh ahli waris yang
lebih dekat. Orang yang menghalangi disebut hijab, dan orang yang terhalang
disebut mahjub.
Diantara ashabu i-furudh ( ahli waris), ada yang tidak termasuk pada
katagori hijab maupun mahjub, artinya tidak dapat menghalangi orang lain atau
terhalangi dari menerima waris, yaitu suami dan istri. Selain dari itu, ada yang
masuk kategori hajib tidak masuk mahjub, yaitu anak laki-laki, anak perempuan,
ayah dan ibu, karena ahli waris ini hanya dapat menghalangi orang lain dan tidak
pernah ada yang menghalanginya.
Macam-Macam Hijab
Hijab terdiri dari 2 macam, yakni:
1. Hajb bi washfin (dengan sifat)
Adalah ahli waris yang terhalang mendapat warisan karna adanya salah
satu penghalang yang telah di singgung, yaitu penghambaan, pembunuhan,
dan perbedaan agama. Jenis ini mungkin terjadi pada semua ahli waris. msing-
masing ahli waris mungkin menjadi budak, pembunuh, atau berbeda agama
dengan si mayit. Keberadaan ahli waris yang terhalang dengan hajb washfin
ini di anggap tidak ada. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menghalangi ahli
waris lain dan juga tidak membuat ahli waris mendapatkan ashabah.
2. Hajb bi syakhsin (dengan seseorang)
Adalah sebagian ahli waris terhalang mendapatkan waris karena adanya
ahli waris lain.
a. Hajb hirmaan
Adalah ahli waris yang terhalang hingga tidak mendapat harta warisan
sama sekali. Penghalang jenis ini mungkin terjadi pada setiap ahli waris
kecuali 6 ahli waris yang memiliki garis keturunan langsung dengan si
mayit tanpa ada perantara: ibu, ayah, anak laki-laki dan perempuan serta
suami dan istri
b. Hajb nuqshaan
Adalah karena ada penghalang, ahli waris yang terhalang mendapat
sebagian harta warisan, seandainya penghalang tersebut tidak ada niscaya
ia akan mendapatkan bagian yang lebih banyak. Penghalang jenis ini
mungkin terjadi pada setiap ahli waris tanpa terkecuali.
Ahli waris yang gugur (terhalang mendapat warisan) karena adanya
seorang ahli waris lain, dia tidak akan menggugurkan ahli waris yang lain
dengan hajb hirmaan, tetapi mungkin saja dengan hajb nuqshaan. Contoh
saudara-saudara laki-laki dapat mengugurkan ibu dengan hajb nuqhsan
sehingga bagian ibu turun menjadi 1/6, walaupun mereka sendiri tidak
akan mendapat warisan sama sekali kalau ayah si mayit masih ada.
B. Ta’shiil
Ta’shiil adalah bilangan terkecil yang dijadikan sumber bagian dalam
masalah tanpa ada bilangan pecahan. Tash’hiil adalah bilangan terkecil yang
mungkin dibagikan kepada ahliwaris tanpa ada bilangan pecahan.
Asal masalah adalah bilangan terkecil yang di jadikan sumber bagian
dalam masalah tanpa adda bilangan pecahan. Apabila ahli waris adalah yang
mendapatkan bagian ‘ashabah karena nasab (‘ashabah nasabiyah), maka asal
masalahnya di sesuaikan dengan jumlah mereka. Dengan ketentuan laki-laki
dihitung 2 dan perempuan di hitung 1.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris dua
orang anak laki laki dan dua anak perempuan, maka asal masalah adalah 6, sebab
laki-laki di kali 2 dan perempuan dikali 1.
Beberapa ahli waris mendapat ashabah wala (ashabah sababiyah), apabila
dalam hak kepemilikan mereka seimbang, maka asal masalah di sesuaikan dari
jumlah mereka. Namun jika berbeda, maka asal masalah adalah bilangan terkecil
yang dapat di bagikan sesuai dengan hak kepemilikan terhadap orang yang di
merdekakan.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris 2 orang
yang dulu memerdekakanya, dimana masing masing memiliki hak kepemilikan
separuh, maka asal masalahnya adalah , masing-masing mendapat 1 bagian.
Jika salah seorang mereka memiliki hak kepemilikan hanya ¼-nya, maka
asal masalah diambil dari dari bilangan 4. Dengan demikian ia mendapat 1 bagian
dan selebihnya untuk rekanya yang mendapat warisan.
Apabila ahli waris adalah yang mendapat bagian fardh, maka asal masalah
di ambil dari bilangan terkecil yang bisa dibagi dengan bilangan fardh mereka
tanpa pecah.
Jika bagian fardh tersebut hanya satu jenis, atau terdiri dari dua atau lebih
dan jenisnya 1, maka asal masalah diambil dari bilangan terkecil yang dapat di
bagi dengan jumlah bagian yang di peroleh. Namun apabila bilangan fardh terdiri
dari 2 atau lebih dan tidak sejenis, maka asal masalah di ambil dari bilangan
terkecil yang dapat di bagi oleh bagian yang mereka peroleh.
Menurut pendapat yang masyhur, asal masalah untuk ahli waris yang
mendapat bagian fardh ada tujuh: 2,3,4,6,8,12, dan 24
Asal masalah 2
Untuk semua masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh ½ seperti asal
masalah untuk suami dan paman. Atau yang masing-masing mendapat ½ seperti
suami dan saudara perempuan bukan seibu.
Asal masalah 3
Semua masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh 1/3 seperti ibu dan
paman. Atau 2/3 seperti dua orang perempuan dan paman. Atau 2/3,1/3 seperti
dua orang saudara perempuan yang bukan seibu dan dua orang saudara
perempuan seibu.
Asal masalah 4
Semua masalah yang didalamnya terdapat bilangan fardh ¼ seperti suami dan
anak laki-laki, atau ¼ dan ½ seperti suami, anak perempuan dan paman.
Asal masalah 6
Semua masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh 1/6, seperti ibu dan
anak laki-laki.
Atau 1/6, 1/6 seperti ibu, saudara laki-lakiseibu dan saudara kandung laki-laki.
Atau 1/6, 1/6, 1/6 seperti ibu, ayah, anak perempuan dan putri anak laki-laki.
Atau 1/6, 1/3 seperti ibu, saudara laki-laki seibu dan paman.
Atau 1/6, 1/2 seperti ibu, anak perempuan dan paman.
Atau 1/6, 2/3 seperti ibu, dua orang anak perempuan dan paman.
Atau ½, 1/3 seperti suami, ibu dan paman.
Atau ½, 2/3 seperti suami, dua orang saudara kandung laki-laki dan paman.
Asal masalah 8
Setiap masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh 1/8 seperti istri dan anak
laki-laki, atau 1/8 dan ½ seperti istri, anak perempuan dan paman.
Asal masalah 12
Setiap masalah yang di dalamnya terdapat bilangan fardh 1/4 ,1/6 seperti suami,
ibu dan anak laki-laki. Atau ¼, 1/3 seperti istri, ibu, paman. Atau ¼, 2/3 seperti
istri, dua orang saudara kandung perempuan dan paman.
Asal masalah 24
Setiap masalah yang di dalamnya terdapat bilangan 1/8 dan 1/6 seperti istri, ibu,
dan anak laki-laki.Atau 1/8 dan 2/3 seperti istri, dua orang anak perempuan dan
paman.
C. Tashih
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan
menurut ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian
setiap ahli waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.
Apabila pokok masalah harta waris dalam suatu pembagian waris cocok
(sesuai) dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu
menggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris
tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau
jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal
ini memerlukan pentashihan pokok masalahnya.
Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok
masalah, maka kita harus mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat
istilah perhitungan, yaitu:
1. At-tamaatsul (kemiripan/kesamaan),
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'.
Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang
satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga
(3) berarti sama dengan tiga (5), dan lima (5) sama dengan lima (5), dan
seterusnya.
2. At-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur),
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk',
lawan kata dari "keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian
angka yang besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu
tidak ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8)
dengan angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6),
angka dua puluh tujuh (27) dengan angka sembilan (9).
3. At-tawaafuq (saling bertautan)
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah
ilmu faraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga
menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka
delapan (8) dengan enam (6) keduanya dapat dibagi oleh angka dua (2).
Angka duabelas (12) dengan angka tigapuluh (30) sama-sama dapat dibagi
oleh angka enam (6). Angka delapan (8) dengan duapuluh (20) sama-sama
dapat dibagi oleh angka empat (4), demikian seterusnya.
4. At-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).
At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau
saling berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap
bilangan yang satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat
dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka tujuh (7) dengan angka
empat (4), angka delapan (8) dengan sebelas (11), angka lima (5) dengan
angka sembilan (9).
Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, dapat dibandingkan
pengertiannya dengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka
yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar
tidak dapat dibagi angka yang kecil tetapi dibagi angka yang lain maka kedua
bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh
bilangan lain, maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama,
maka di antara kedua bilangan tersebut adalahmutamaatsilan.
Penghitungan dan Pentashihan
Mengetahui pokok masalah merupakan suatu keharusan dalam mengkaji
ilmu faraid. Hal ini bertujuan agar dapat mengetahui secara pasti bagian setiap
ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau
melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan
ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk
mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana
dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui
pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima
kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-
angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui
siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, harus mengetahui apakah ahli waris yang ada
semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh,
atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok
masalahnya dihitung per kepala, jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok
masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara
kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan,
maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu
kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali
bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-
laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain,
bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka
pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul
furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok
masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara
kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa
bila ahli waris semuanya sama, misalnya masing-masing berhak mendapat
seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak
sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat
(1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan,
begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari
banyak bagian yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah,
seperenam, dan sebagainya, yang harus dilakukan adalah mengalikan dan
mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka
yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling berpadu), atau
yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, dapat dilihat kaidah yang telah diterapkan
oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah
untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib
fardhyang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi 2 (dua) bagian:
1. Bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
2. Bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja
(yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling
besar.Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah
(1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Contoh lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib
fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) atau hanya
seperempat dengan seperdelapan, maka pokok masalahnya dari delapan (8).
Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib
fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan
seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga
merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka
penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur
antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua
(2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok
masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
a. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) yang merupakan
kelompok pertama bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau
semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
b. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan
kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
c. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan
kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah
satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, dapat dilihat dalam beberapa
contoh berikut ini: Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki
seibu, ibu, dan paman kandung.
Maka pembagiannya sebagai berikut:
Suami mendapat setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6),
ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa
yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak
tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama
(yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan
kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh
tersebut dari enam.
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2) 3
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6) 1
Ibu sepertiga (1/3) 2
Paman kandung, sebagai 'ashabah 0
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu,
dan seorang saudara laki-laki kandung.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki
seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) yang
termasuk kelompok pertama dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut
merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan
tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu).
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4)) 3
Ibu seperenam (1/6) 2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) 4
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya) 3
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki.
Maka pembagiannya sebagai berikut:
Istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu
perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6).Sedangkan
saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta
waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8)
sebagai kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua.
Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah
empat (24).
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8) berarti 3
Bagian anak perempuan setengah (1/2) berarti 12
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6) berarti 4
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti 4
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)
1
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul
sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2
x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 =
24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan
delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi,
kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah
seterusnya.
Cara Mentashih Pokok Masalah
Setelah diketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul,attadaakhul, at-
tawaafuq, dan at-tabaayun, maka yang perlu diketahui adalah kapan kita dapat
atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima
permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti
(maksudnya tanpa pecahan). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan
keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan
keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap
ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan
satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka
mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-
Din al-Islam.
Cara pentashihan yang biasa dilakukan oleh para ulama faraid adalah
seperti berikut:
Langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per
kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah
bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang
sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih
sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada jumlah pokok masalahnya sudah
habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian maka kita harus melihat
apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian
antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak
berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara
mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-
kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4,
maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per
kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari
perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut
"pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-
'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut
dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan
setiap bagian pada pokok masalah.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah:
Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga
cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per
tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan
sang ibu juga seperenam (1/6) berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena
anak pewaris lebih dari dua orang).
Dalam contoh tersebut dapat dilihat jumlah anak perempuan ada empat
(4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi
memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan
kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-
pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak
menerima satu bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul.
Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat
saudara kandung perempuan.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7).
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara
perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat
saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4)
bagian.
Bila kita perhatikan dari contoh tersbut, dapat dilihat bahwa pokok
masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai
dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian,
maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan
empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian
pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan
demikian, bahwa dari contoh masalah tersebut cenderung (ber nisbat) pada at-
tamaatsul.
Contoh masalah yang at-tawaafuq:
Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman
kandung.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga
(2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan
sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak
perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2).Angka dua
itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us
sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni
angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan,
dan dua orang saudara laki-laki seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9).
Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam
saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian
kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.
Dalam contoh di atas ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima
para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2).
Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita
kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9),
berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan
pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami
mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat
dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 +
12 + 6 = 27).
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak
perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan
anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara
kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi.
3
12 36
Suami ¼ 3 9
Anak perempuan ½ 6 18
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 2 6
Saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 3
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat antara bagian cucu perempuan
keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3)
ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok
masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil
pentashihan.
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan
saudara kandung laki-laki.
Maka bagian masing-masing seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3,
kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh
1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara
kandung laki-laki mahjub(terhalang).
5
24 27 135
Istri 1/8 3 15
Lima anak perempuan 2/3 16 80
Ayah 1/6 4 20
Ibu 1/6 4 20
Saudara kandung laki-laki (mahjub) - -
Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa bagian kelima anak perempuan
tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya
ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-
'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka
itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang
dinamakan juz'us sahm.
Contoh lain:
Seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua
orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan
mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung
laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub.
28
24 672
3 istri bagiannya 1/8 3 84
7 anak perempuan 2/3 16 448
2 orang nenek 1/6 4 112
saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 28
Saudara laki-lah seibu (mahjub - -
Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa bagian anak perempuan (16)
dengan jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga
dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per
kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari
contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan
jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut
(yakni 28) merupakanjuz'us sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan
dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok
masalah setelah pentashihan.
Pembagian Harta Peninggalan
At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah.
Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai
dengan hak bagian yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada
beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan
ulama faraid ada dua dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat
ditransfer.
Cara pertama: harus ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita
kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan
bagian masing-masing ahli waris.
Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara
menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli
waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi
dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan
bagian dari masing-masing ahli waris.
Contoh Cara Pertama:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu.
Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti
berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian,
anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian,
sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.
Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris
yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah
harga per bagian.
Jadi, bagian istri 3 bagian x 20 dinar = 60 dinar
Anak perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar
Ibu 4 bagian x 20 dinar = 80 dinar
Ayah 5 bagian x 20 dinar = 100 dinar
Total = 480 dinar
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu,
suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada
sebanyak 960 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu
perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang
berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan
sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah
ma'al ghair.
2
12 24
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 6 12
Suami ¼ 1/4 3 6
Ibu 1/6 1/6 2 4
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair) 1 2
Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing
ahli waris:
Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 x 40 dinar = 480 dinar
Suami 6 x 40 dinar = 240 dinar
Ibu 4 x 40 dinar = 160 dinar
Dua saudara kandung perempuan 2 x 40 dinar = 80 dinar
Total = 960 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-
laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya
3.000 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah
mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan
sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua
kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-
masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-
masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub.
2
6 12
Empat anak perempuan
4 4
Dua anak laki-laki
3 4
Ayah 1/6 1 2
Ibu 1/6 1 2
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub) - -
Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi, bagian 4 anak perempuan 4 x 250 dinar = 1.000 dinar
2 anak laki-laki 4 x 250 dinar = 1.000 dinar
Ibu 2 x 250 dinar = 500 dinar
Ayah 2 x 250 dinar = 500 dinar
Total = 3.000 dinar
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan,
dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya
9.900 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9.
Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua
saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6
berarti satu (1).
6 9
Suami ½
3
Saudara kandung perempuan ½
3
Saudara laki-laki seibu 1/3
2
Nenek 1/6
1
Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi, Suami 3 X 1.100 dinar = 3.300 dinar
Saudara perempuan kandung 3 X 1.100 dinar = 3.300 dinar
Dua saudara laki-laki seibu 2 X 1.100 dinar = 2.200 dinar
Nenek 1 X 1.100 dinar = 2.200 dinar
Total = 9.000 dinar
Contoh lain:
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan,
3 cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar,
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami
mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan
dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga
mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan
kepada ashhabul furudh.
12 13
Suami 1/4 3
Ibu 1/6 2
Dua anak perempuan 2/3 8
Tiga cucu perempuan
Dua cucu perempuan 'ashabah -
Jadi, Suami 3 x 585:13 dinar = 135 dinar
Ibu 2 x 585:13 dinar = 90 dinar
Dua anak perempuan 8 x 585:13 dinar = 360 dinar
Total = 585 dinar
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240
dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24. Cucu
perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu
mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian),
dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12 24
Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 6 12
Ibu 1/6 2 4
Suami 1/4 3 6
Jadi, Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 x 240:24 dinar = 120 dinar
Ibu 4 x 240:24 dinar = 40 dinar
Suami 6 x 240:24 dinar = 60 dinar
Dua saudara kandung ('ashabah) 2 x 240:24 dinar = 20 dinar
Total = 240 dinar
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan,
saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan
keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6. Ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu
perempuan ½ (berarti 3 bagian) dan
sisanya dua (2) bagian menjadi hak kedua saudara perempuan kandung
sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub.
6
Ibu 1/6 1
Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 3
Dua saudara kandung pr. ('ashabah)
2
Saudara perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub) -
Masalah Dinariyah ash-Shughra
Ada 2 (dua) masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni
istilah ad-dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra.
Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya
terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang
nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan
seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar.
Adapun pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang
istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6
(berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti
8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti
4 bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli
warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka
kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra.
12 17
Ke-3 istri 1/4 3 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Kedua nenek 1/6 2 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-8 sdr. pr. seayah 2/3 8 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-4 sdr. pr. seibu 1/3 4 masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli
waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari
'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya
mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar,
dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan
ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai berikut:
Seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas
saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan
harta peninggalannya 600 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri
mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua
anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian
merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung
perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi, bagian Istri 3 x 600:24 dinar = 75 dinar
Ibu 4 x 600:24 dinar = 100 dinar
Kedua anak perempuan 16 x 600:24 dinar = 400 dinar
Total = 575 dinar
Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung
perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan
bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24
dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing
mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung
perempuan.
25
24 600
Istri 1/8 3 75
Ibu 1/6 4 100
Kedua anak perempuan 2/3 16 100
12 saudara kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah)
1
24
1
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi
Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih
memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya
satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam
Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya,
mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan
saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang
berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali
bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan
istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian
engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu
tidak lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut
bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang
diajukannya.
‘AUL, RADD dan MASALAH KONTEMPORER
Defini ‘Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya
bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-
Nya, "... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-
Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna naik atau meluap. Dikatakan 'alaa al-ma'u
idzaa irtafa'a yang artinya air yang naik meluap. Al-'aul bisa juga berarti
bertambah, seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti
berat timbangannya.Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu
bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli
waris.
Terjadinya masalah aul apabila terjadi angka pembilang lebih besar
dari angka penyebut (mislanya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu
dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi
kesenjangan pendapatan, dan menimbulkan persoalan yaitu siapa yang
lebih diutamakan dari para ahli waris tersebut.
Apabila ahli waris terdiri atas dzul faraa-idh dan dzul qarabat
maka harta peninggalan akan habis terbagi pada pembagian pertama
yaitu dengan cara dzul faraa-idh mendapat bagiannya masing-masing
dan sisanya untuk dzul qarabat. Demikian pula jika ahli waris hanya
terdiri atas dzul qarabat maka harta akan habis pada pembagian pertama.
Tetapi jika ahli waris hanya terdiri dari dzul faraa-idh maka ada dua
kemungkinan yaitu pada pembagian pertama harta akan habis sedangkan
pada pembagian ke dua akan terdapat sisa harta. Dalam penerima waris
itu semuanya adalah dzul faraaidh dapat pula terjadi ketekoran.
Ketekoran ini berupa hasil pembagian pertama lebih dari 1 (satu). Hal ini
diselesaikan dengan pengurangan bagian masing-masing ahli waris tadi
secara berimbang. Pengurangan secara berimbang ini disebut „aul.
Contoh masalah aul yaitu apabila ahli waris terdiri dari suami
(1/2), seorang saudara perempuan kandung (1/2) dan seorang saudara
perempuan ibu (1/6) maka tidak dibenarkan penyisihannya saudara
perempuan seibu dengan alasan harta warisan telah habis terbagi kepada
suami dan saudara perempuan kandung. Kasus ini disebut masalah aul
Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga
diantaranya dapat di 'aul kan sedangkan yang empat tidak dapat. Ketiga
pokok masalah yang dapat di aul kan adalah enam (6), dua belas (12), dan
dua puluh empat (24), sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di aul
kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh: seorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu
pembagiannya: ibu mendapatkan sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya
menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3) jadi ibu
mendapatkan satu bagian dan ayah mendapatkan dua bagian. Pokok
masalah dalam contoh tidak dapat di aulkan, sebab pokok masalahnya
cocok atau tepat dengan bagian para asbhabul furudh.
Angka-angka pokok yang dapat diaul kan ialah enam (6), dua belas
(12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu
masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal,
angka enam (6) hanya dapat di aul kan sehingga angka sepuluh (10),
yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9 atau 10. Lebih dari angka itu tidak bisa.
Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan
hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih dari
itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di aul kan tiga kali
saja.
Sedangkan pokok masalah 24 hanya dapat di aul kan kepada 27
saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid ysng memang masyur
dikalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Contoh „Aul Pokok Masalah Enam (6)
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung
perempuan dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: pokok masalah dari enam (6). Bagian suami setengah (½) berarti
tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga,
sedangakan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok
masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikan menjadi 7.
Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok
masalahnya.
Contoh „Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Pokok masalah dua belas hanya dapat di‟aul kan tiga kali saja, yaitu
menjadi tiga belas (13) lima belas (15) atau tujuh belas (17). Berikut ini
saya berikan contoh-contohnya:
1. Seorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara
kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti
tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian
dua orang saudara perempuan dua pertiga (2/3) berarti delapan
bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi
pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan
menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian
yang ada.
2. Seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara
kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan
seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: pokok masalah 12. Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga,
ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung
perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian,
sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) sebagai
penyempurnaan dua pertiga berarti dua bagian, dan bagian saudara
perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian. Jumlah
bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima
belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di aul kan menjadi lima
belas (15).
3. Seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek,
delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dua belas. Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (¼)
berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah (1/6) yang
berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah (2/3)-
nya berarti delapan bagian dan bagian keempat saudara perempuan
seibu 1/3 yang berarti empat bagian.Karena itu pokok masalahnya di
aul kan menjadi tujuh belas (17).
Contoh „aul dua puluh empat (24)
Pokok masalah dua puluh empat hanya dapat di „aulkan menjadi
angka dua puluh tujuh. Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam
kasus yang oleh ulama‟ faraidh dikenal dengan masalah al-mimbariyah.
Dinamakan al-mimbariyah karena perkara tersebut diajukan kepada Ali
bin Abi Tholib sewaktu masih berada di atas mimbar dan langsung
memutuskannya sewaktu masih di atas mimbar..
Pembagian asal masalah menurut ‘aul dan tidak ‘aul
Jika bagian – bagian ahli waris ditinjau berdasarkan asal
masalahnya, maka ia tidak terlepas dari tiga kemungkinan :
1. Pertama: jumlahnya lebih besar dari asal masalah. Hal ini dinamakan
al – „aul.
2. Kedua : jumlahnya kurang dari asal masalah. Hal ini dinamakan an-
naqsh
3. Ketiga : jumlah bilangan fardh sama dengan jumlah asal masala.
Hal ini yang dinamakan al-„adl
Bilangan asal masalah yang tujuh (2,3,4,6,8,12 dan 24), jika ditinjau
dari sisi „aul, naqsh dan „adl terbagi keempat macam :
1. Asal masalah yang senantiasa naqsh (kurang). Yaitu asal masalah 4
dan 8
2. Asal masalah terkadang naqsh dan terkadang „adl namun tidak pernah
„aul. Yaitu masalah 2 dan 3
3. Asal masalah naqsh atau „aul namun tidak pernah „adl. Yakni asal
masalah 12 dan 24
4. Asal masalah naqsh, „adl dan „aul. Yakni asal masalah 6. Asal masalah
6 „aul menjadi 7,8,9,dan 10
Contohnya : seorang wanita meninggal dunia dengan
meninggalkan ahli waris suami dan dua orang saudara kandung
perempuan, maka asal masalah 6: untuk suami ½ yang berarti mendapat 3
dan untuk dua orang saudara kandung perempuan 2/3 yang berarti 4
bagian, sehingga asal masalah harus di-„aul-kan ke bilangan 7.
Apabila bersama mereka ada ibu, maka untuk ibu 1/6 yang berarti
mendapat 1 bagian. Dengan demikian asal masalah di‟aulkan ke bilangan
8.
Apabila bersama mereka ada saudara laki-laki seibu, maka
untuknya 1/6 yang berarti mendapat 1 bagian. Dengan demikian asal
masalah di-„aul-kan ke bilangan 9.
Ahli waris Fardh Asal
masalah
KPK dari 2
dan 3 = 6
Karena
jumlah
bagian = 7,
maka „aul ke-
7
Jika harta
warisan Rp.
14.000.000
1). Suami ½ ½ x 6 = 3
bagian
Memperoleh
3/7 harta
3/7 x
14.000.000 =
Rp. 6.000.000
2). Saudara
kandung
perempuan
3). Saudara
kandung
perempuan
2/3 2/3 x 6 = 4
bagian
Memperoleh
4/7 harta
untuk berdua
4/7 x
14.000.000 =
Rp. 8.000.000
(masing –
masing
saudara Rp.
4.000.000)
Jumlah bagian 7 bagian 7/7 Rp. 14.000.000
Tabel 1
contoh masalah ‘aul
Apabila bersama mereka ada saudara laki – laki seibu yang lain,
maka untuk dua saudara laki – laki seibu 1/3, yang berarti asal masalah
harus di-„aul-kan ke bilangan 10. Asal masalah 6 jika di-„aul-kan ke 10
disebut ummul furuukh karena „aul-nya terlalu banyak.
Asal masalah 12 „aul menjadi 13,15,17 dan tidak akan pernah „aul
ke bilangan genap
Contohnya :
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris 3
orang istri, 8 orang saudara yang tidak seibu, dan 2 orang nenek, maka
asal masalah 12. Untuk para istri ¼ berarti mendapat 3 bagian dan masing
– masing istri mendapat 1 bagian. Untuk saudara perempuan yang tidak
seibu mendapat 2/3, berarti mendapat 8 bagian dan masing – masing
mendapat 1 bagian. Untuk 2 orang nenek 1/6 berarti mendapat 2 bagian
dan masing – masing mendapat 1 bagian. Dengan demikian masalah „aul
ke 13.
Definisi Radd
Ar-radd artinya kembali atau berpaling seperti yang terdapat
dalam surat Al-Kahfi ayat 64 yang artinya, “Musa berkata: "Itulah (tempat)
yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”
Menurut istilah ar-radd adalah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd
apabila pembilang lebih kecil daripada penyebut dan merupakan
kebalikan dari masalah aul. Aul pada dasarnya kurangnya yang akan
dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila
terwujud tiga syarat sebagai berikut :
1. Adanya ashhabulfurudh
2. Tidak adanya ashabah
3. Ada sisa harta waris
Adapun Ayah dan Kakek, meskipun keduanya termasuk ahli waris
ashhâbl al-furûdl dalam beberapa keadaan tertentu, mereka berdua tidak
berhak menerima radd, karena menurut beliau apabila dalam pembagian
harta warisan terdapat ayah atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd,
karena keduanya bagi beliau akan menjadi ashabah dan berhak
mengambil seluruh sisa harta warisan.
Sedangkan alasan suami atau istri tidak berhak mendapatkan sisa
harta, karena kekerabatan mereka bukan didasarkan pada hubungan
nasab, melainkan hubungan sababiyah, yakni semata-mata karena sebab
perkawinan yang dapat terputus karena kematian. Sejalan dengan itu
Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali Ash Shabuni dengan
memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena adanya
hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan
hukum dan bukan karena hubungan rahim.
Ada dua ulama berpendapat tentang radd yaitu kelompok pertama
yang mengatakan tidak ada radd, setelah ashabul furud mengambil
bagiannya dan tidak ada ashabah maka sisa harta diberikan kepada Baitul
mal. Kelompok kedua yang mengatakan bahwa harta dikembalikan
kepada ashabul furud selain suami istri sesuai dengan presentase bagian-
bagian mereka.
Ahli waris yang berhak mendapat ar-radd yaitu semua
ashhabulfurudh kecuali suami dan istri. Suami dan istri tidak berhak
karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab tetapi karena adanya
ikatan tali pernikahan. Ashhabulfurudh yang berhak menerima ar-radd
hanya delapan orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah,
ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan
saudara laki-laki seibu. Dalam keadaan bagaimana pun, bila dalam
pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau kakek tidak
mungkin ada ar-radd karena keduanya akan menerima waris sebagai
ashhabah.
Ar-radd mempunyai empat macam yang mempunyai cara atau
hukum masing-masing yaitu :
1. Adanya pemilik bagian yang sama, tanpa suami atau istri.
Dalam kondisi seperti ini, harta peninggalan dapat langsung
dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris berdasarkan jumlah
mereka. Dengan demikian, pembagian harta peninggalan dapat
diselesaikan dengan cara yang mudah dalam tempo yang singkat.
Semisal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak
perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris.
Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya
mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing
sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari
bagian yang sama.
2. Adanya pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau istri.
Dalam kondisi seperti ini, harta dibagi berdasarkan jumlah bagian
para ahli waris, bukan didasarkan pada jumlah mereka. Semisal,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan
seorang cucu perempuan dari anak laki-laki (1/6). Maka pokok
masalahnya adalah empat (4) berdasarkan jumlah bagian kedua ahli waris
tersebut. Asal masalah yang semulanya 6 diubah atau diganti dengan
hasil penjumlahan yaitu 4.
3. Adanya pemilik bagian yang sama, dengan adanya suami atau istri.
Dalam keadaan seperti itu, sesuai kaidah, maka pokok masalahnya
ialah angka penyebut dari bagian orang yang tidak menerima radd.
Sesudah dibagikan kepada orang tersebut, sisanya baru dibagikan kepada
ahli waris lain sesuai dengan jumlah mereka.
Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak
perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan
sisanya (3/4) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah
kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan
seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan
bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata. Didalam
permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari yang tidak menerima
radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain dianggap ashabah (sisa).
Kemudian jumlah penerima radd dikali dengan asal masalah.
4. Adanya pemilik bagian yang berbeda, dengan adanya suami atau istri.
Kaidah pemecahannya dari masalah ini adalah dengan menetapkan
menjadi dua masalah. Masalah pertama dalam susunan ahli warisnya
tanpa ada suami/istri, sedangkan masalah kedua dalam susunan ahli
warisnya ada suami/istri. Masing-masing diletakkan tersendiri, kemudian
kedua asal masalah dibandingkan dengan salah satu dari tiga
perbandingan yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan
tabaayun (perbedaan).
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari tiga
(yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6)
berarti satu bagian. Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga
(1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:
Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib
fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri. Bagian istri seperempat
(1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni tiga bagian,
merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang
sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu,
yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam
kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4),
maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan
tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi
memerlukan tashih (pengalian), dan cukuplah kita jadikan ilustrasi
masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
Aul dan Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam
Cara-cara „aul dan radd yang dikehendaki pasal 192 dan 193
tampaknya merupakan jalan keluar terbaik dalam penyelesaian terhadap
dua kasus tersebut. Apakah pembilangnya yang harus dinaikkan sesuai
penyebutnya (faridhah al „ailah), ataukah sebaliknya diturunkan (faridhah
al qashirah) supaya pembilang dan penyebutnya bersesuaian (faridhah al
„adilah).
Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam dengan memperhatikan
pasal 192 bahwa ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut,
maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Dan
dalam pasal 193 bahwa ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta
dalam masalah radd adalah semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa
terkecuali, termasuk suami atau istri.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 193 bahwa :
"Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris
Dzawi al-furûdl menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil
daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah , maka
pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai
dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara
berimbang di antara mereka”.
Dengan demikian dalam pembagian harta waris andaikata terjadi
sisa harta setelah diambil ahli waris ash-hab al-furudl dan tidak ada ahli
waris aashabah, Kompilasi Hukum Islam memberikan sisa lebih tersebut
kepada semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa terkecuali termasuk
dalam hal ini suami atau istri. Karena dalam masalah 'aul mereka berdua
juga terkena pengurangan, maka sebagai konsekuensinya suami atau istri
dalam masalah radd juga mendapat tambahan. Ini sebagai konsekuensi,
apabila terjadi masalah 'aul bagian masing-masing ahli waris termasuk
suami atau istri yang ahli waris sababiyah dikurangi.
Sikap tegas yang ditempuh Kompilasi Hukum Islam dalam
masalah ini lebih mengedepankan kemaslahatannya, tidak lain agar
dalam menyelesaikan pembagian harta waris tidak menimbulkan
keraguan bagi pihak-pihak yang mempedomaninya. Adapun ayah dan
kakek keatas, dengan memperhatikan Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam
bahwa:
"Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".
Dengan demikian jika kita melihat pasal di atas tentang ayah dan
kakek ke atas, Kompilasi Hukum Islam juga memberi sisa lebih dalam
masalah radd, karena tidak terdapat bagian sisa atau ashabah terhadap
mereka berdua.
Persamaan dan Perbedaan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam
Mengenai Aul dan Radd
Memperhatikan dari kedua pendapat diatas, adapun persamaan
mengenai aul yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka
penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang. Sedangkan persamaan radd yaitu tentang ahli waris yang
berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan
ahli waris ash-hâb al-furûdl, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara
perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu.
Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masalah
radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris
suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.
Masalah Umariyatain
Masalah umariyatain adalah dua masalah pembagian hukum
warisan yang berkenaan dengan bagian ibu. Masalah ini diberi nama
umariyatain karena Khalifah Umar bin Khaththab -ع للا adalah -سظ
orang pertama yang memutuskan perkara ini dan disepakati oleh jumhur
sahabat Nabi -صيللاعيسي- dan juga para imam madzhab fiqh.
Masalah umariyatain ini tentang bagian ibu yang mendapat 1/3 dari
sisa bagian bersama ayah. Permasalahan ini hanya terjadi dalam dua
keadaan saja. Dua keadaan tersebut adalah sebagai berikut :
Keadaan 1:
Apabila istri meninggal dunia, meninggalkan suami, ayah dan ibu,
maka perhitungan warisannya adalah sebagai berikut :
Ahli waris Bagian Asal masalah = 6
1. Suami ½ 3
2. Ayah Ashobah 2
3. Ibu 1/3 1
Dalam hal ini, bagian ibu 1 didapat dari 1/3 dari hasil ashobah
bersama ayah. Hasil ashobah (sisa pembagian hasil waris, red) bersama
ayah jumlahnya 3. Maka 1/3 dari 3 adalah 1.
Keadaan 2 :
Apabila suami meninggal dunia dan meninggalkan istri, ayah dan
ibu. Maka perhitungan warisannya adalah sebagai berikut :
Ahli waris Bagian Asal masalah = 4
1. Istri ¼ 1
2. Ayah Ashobah 2
3. Ibu
1/3 dari
ashobah
bersama ayah
1
Dalam hal ini, bagian ibu 1 didapat dari 1/3 ashobah bersama ayah.
Hasil ashobah bersama ayah jumlahnya 3. Maka 1/3 dari 3 adalah 1.
Penetapan hukum bagian waris untuk ibu dalam dua kondisi
tersebut didasarkan pada firman Allah ta‟ala :
اىثيث﴾)اىساء: افل سثأب ىذ ى ن ى (11فئ
Artinya : “…jika tidak memiliki anak maka yang mewarisinya adalah
kedua orang tuanya dan ibunya mendapat sepertiga..” (An Nisaa : 11).
KONSEP DASAR WAKAF
Pengertian Wakaf
Menurut bahasa Arab (literal), kata “al-waqaf” bermakna “Al-habsu”
(menahan). Bentuk mutaradif (sinonim) dari kata “waqaf” adalah tasbiis
dan tasbiil. Sedangkan menurut syariat, “al-waqaf” adalah menahan
benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan kemanfaatannya
di jalan Allah. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, Wakaf adalah
menahan benda agar tidak bisa dimiliki, dan agar manfaatnya bisa di
sedekahkan. Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih pada
kepemilikan Allah.
Menurut ulama Syafi‟iyah, waqaf dalam kotek syariah adalah
menahan harta yang mungkin bisa di manfaatkan selama bendanya masih
langgeng (awet) dengan cara memutskan hak kepemilikan atas harta
tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan.
Perkataan Waqf, yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia,
berasal dari kata kerja bahasa arab waqafa yang berarti menghentikan,
berdiam di tempat atau menahan sesuatu. Pengertian menghentikan ini
(kalau) di hubungkan dengan ilmu baca al-Qur‟an (ilmu tajwid) adalah
tatacara menyebut huruf-hurufnya, dari mana dimulai dan dimana harus
berhenti. Wakaf dalam pengertian ilmu tajwid ini mengandung makna
menghentikan bacaan, baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas
sementara. Menurut aturannya seorang pembaca tidak boleh berhenti di
pertengahan sukuk kata, harus pada akhir kata di penghujung ayat agar
bacaannya sempurna. Pengertian wakaf dalam makna berdiam ditempat,
dikaitkan dengan wukuf yakni berdiam di Arafah pada tanggal 9
Zulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Tanpa wukuf di Arafah tidak
ada haji bagi seseorang.
Pengertian menahan (sesuatu) dihubungkan dengan harta
kekayaan, itulah yang di maksud dengan wakaf dalam uraian ini. Wakaf
adalah menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya sesuai dengan
ajaran Islam.
Landasan Hukum Waqaf
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan
konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fisabilillah,
maka dasa yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep
wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang infaq fisabilillah, diantara ayat-ayat tersebut antara
lain:
“hay orang-orang yang beriman, Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang kami
keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah 2:267).
“perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang enumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah
maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah 2:261)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk
menginfakan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan
kbaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan
pahala yang berlipat ganda yang akan di peroleh orang yang
menginfakan hartanya di jalan Allah.
Selain dari ayat-ayat di atas yang mendorong manusia berbat baik
untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan (menyedekahkan)
hartanya tersebut di atas, menurut hadist Nabi yang diriwayatkan oleh
Muslim berasal dari Abu Hurairah, seorang manusia yang meninggal
dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya, kecuali pahala tiga
amalan yaitu 1). Pahala amal Shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya
tetap mengalir) yang diberikan selama ia hidup, 2) pahala ilmu yang
bermanfaat (bagi orang lain) yang di ajarkannya selama hayatnya, dan 3)
doa anak (amal) saleh yakni anak yang membalas guna orangtuanya dan
mendoakan ayah ibunya kendatipun orangtuanya itu telah tiada bersama
dia di dunia ini. Para ahli sependapat bahwa yang di maksud dengan
(pahala) Sahadaqah jariyah dalam hadist itu adalah (pahala) wakaf yang
di berikannya dikala seseorang masih hidup (A.A. basyir, 1977:7).
Syarat Wakaf
1. Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu
(disebut takbid).
2. Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan
datang. Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih
besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz
3. Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki
barang yang diwakafkan (mauquf) itu
Rukun Wakaf
1. Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;
a. kehendak sendiri
b. berhak berbuat baik walaupun non Islam
2. Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf), syartanya;
a. barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya,
berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari
b. milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau
musya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian
yang lain
3. Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni
orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
4. Akad, misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang
yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali
yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum).
Macam- Macam Wakaf
Dilihat dari penggunaan dan pemanfaatan benda wakaf terbagi
dua macam yaitu:
1. Wakaf Ahli (Wakaf Dzurri)
Wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial
dalam lingkungan keluarga / famili , lingkungan kerabat sendiri.
2. Wakaf Khairi
Wakaf yang tujuan peruntukkannya sejak semula ditujukan untuk
kepentingan orang umum (orang banyak), dalam penggunaan yang
mubah (tidak dilarang Tuhan) serta dimaksudkan untuk mendapatkan
keridhaan Allah SWT. Seperti Masjid, Mushola, Madrasah, Pondok
Pesantren, Perguruan Tinggi Agama, Kuburan, dan, lain-lain.
Wakaf umum inilah yang benar-benar dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat serta sejalan dengan perintah agama yang
secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekayaan
umat Islam untuk kepentingan umum yang lebih besar dan
mempunyai nilal pahala jariyah yang tinggi. Artinya meskipun si
Wakif telah meninggal dunia, la akan tetap menerima pahala wakaf,
sepanjang benda yang diwakafkan tersebut tetap dipergunakan untuk
kepentingan umum.
Syarat Sah Wakaf
1. Hendaknya orang yang mewakafkan adalah pemilik sah harta tersebut
2. Barang yang diwakafkan dapat dimanfaatkan
3. Barang yang diwakafkan tetap ada dan tidak habis walaupun telah
dimanfaatkan.
4. Hendaknya mewakafkan sesuatu di jalan Alloh untuk selama-
lamanya.
5. Hendaknya pemilik harta tidak memberi syarat dalam wakafnya
dengan syarat yang menyelisihi sahnya wakaf atau membatalkan
wakaf tersebut.
Misalnya, apabila seseorang mengatakan: “Aku wakafkan rumahku
untuk fakir miskin dengan syarat setelah berlalu setahun rumah itu kembali
menjadi milikku” maka wakaf tersebut tidak sah dikarenakan adanya syarat
yang membatalkan wakaf itu sendiri, sedangkan pemilik wakaf tidak
boleh menjual atau memiliki kembali harta yang telah diwakafkan.
Sebab-Sebab Bolehnya Menjual Harta Wakaf Khusus
a. Bila wakaf tersebut sudah tidak lagi memberikan manfaat sesuai
dengan tujuan pewakafannya, misalnya pohon yang sudah layu yang
tak mungkin berbuah lagi
b. Benda wakaf tersebut dalam keadaan rusak, misalnya kebun yang
minim hasilnya. Kalau masih bisa menyuburkannya maka tidak di
jual. Tetapi bila hal itu tidaak mungkin dilakukan, maka barang wakaf
tersebut boleh di jual dengan syarat harus di ganti dengan harga hasil
penjualan tersebut, dengan yang baru yang menggantikan posisinya
c. Apabila pewakaf mensyaratkan bahwa bila para penerima wakaf
bersengketa, atau barang wakaf tersebut sedikit hasilnya, hendaknya
barang wakaf tersebut dijual saja.
d. Apabila dimungkinkan dengan menjual barang wakaf yang rusak
dapat memperbaiki bagian lainnya dari harga penjualan tersebut,
maka boleh dijual.
WAKAF TUNAI DAN WAKAF PRODUKTIF
Sejarah Wakaf Tunai
Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan masyarakat
sebelum Islam telah mempraktikkan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain,
bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada di masyarakat
sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai
kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang wakaf tunai
mulai di kenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir. Pada masa dinasti
Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Pada
masa ini, wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga
benda bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/572 H, dalam rangka
menyejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni, Salahuddin
Al-Ayyuby menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari
Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada
penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu membayar bea
cukai dalam bentuk barang atau uang? Namun lazimnya bea cukai
dibayar dengan menggunakan uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu
dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha‟ (juris Islam) dan para
keturunannya.
Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan masyarakat
seperti para ulama, dinasti Ayyubiyah juga memanfaatkan wakaf untuk
kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab Sunni dan
mempertahankan kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan
harta milik negara yang berada di baitul maal sebagai modal untuk
diwakafkan demi pengembangan madzhab Sunni untuk menggantikan
mazhab Syi‟ah yang dibawa dinasti sebelumnya, dinasti Fathimiyah.
Salahuddin Al-Ayyuby juga banyak mewakafkan lahan milik negara
untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah)
untuk pengembangan madrasah mazhab Asy-Syafi‟i, madrasah mazhab
Maliki, dan mazhab Hanafi dengan dana melalui model mewakafkan
kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab
Syafi‟i dan kuburan Imam Syafi‟i dengan cara mewakafkan kebun
pertanian dan pulau al-Fil.
Mewakafkan harta milik negara seperti yang dilakukan Salahuddin
Al-Ayyubi boleh. Penguasa sebelum Salahuddin, Nuruddin Asy-Syhaid
mewakafkan harta milik negara. Nuruddin mewakafkan harta milik
negara, karena ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu,
Ibnu „Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa mewakafkan harta
milik negara hukumnya boleh (jawaz). Argumentasi kebolehannya ialah
untuk memelihara dan menjaga kekayaan negara.
Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan pesatnya.
Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya.
Tetapi yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian
dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat
belajar. Juga, pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak)
yang diwakafkan untuk merawat lembag-lembaga agama. misalnya
mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini
dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Usmani ketika
menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk
merawat masjid. Dinasti Mamluk memanfaatkan wakaf sebagaimana
tujuan wakaf, yaitu wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf
umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan
mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Wakaf yang
digunakan untuk lebih menyemarakkan syi‟ar Islam adalah wakaf untuk
sarana di Haramain, Mekkah dan Madinah seperti kain Ka‟bah (kiswatul
ka‟bah). Raja Shaleh bin al-Nasir misalnya membeli desa Bisus lalu
diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka‟bah setiap tahunnya dan
mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun
sekali.
Dinasti Mamluk telah merasa bahwa wakaf telah menjadi tulang
punggung dalam roda ekonominya, karena itu mereka memberi perhatin
khusus terhadap wakaf. Bahkan mereka mengeluarkan kebijakan dengan
mensahkan Undang-undang Wakaf. Undang-undang Wakaf pada dinasti
Mamluk dimulai sejak Raja Al-Dzahir Bibers Al-Bandaq (1260-1277
M/658-676 H), dimana dengan Undang-undang tersebut Raja Al-Dzahir
memilih hakim untuk mengurusi wakaf dari masing-masing empat
mazhab Sunni. Pada masa kekuasaan Al-Dzahir, perwakafan dibagi
menjadi tiga kategori: pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan
oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf yang
membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan
masyarakat umum.
Penyebarluasan peraturan perwakafan semakin intensif dan
semakin mudah dilakukan oleh kerajaan Turki Usmani. Hal ini terjadi
karena kerajaan Turki Usmani mampu memperluas wilayah
kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah
negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih dinasti Usmani ini secara
otomatis mempermudah dipraktikkannya Syariat Islam, misalnya
peraturan tentang perwakafan. Di antara undangundang yang
dikeluarkan pada masa dinasti Usmani ialah peraturan tentang
pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19
Jumadil Akhir tahun 1280 H. Undang-undang tersebut mengatur tentang
pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya
mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi
wakaf dari sisi administratif dan perundangundangan.
Tahun 1287 H juga dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan
tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Usmani dan tanah-
tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang
tersebut di negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan
dipraktikkan hingga kini. Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara
Islam hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini tampak dari
kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam itu telah
diterima (diresepsi) menjadi hokum adat bangsa Indonesia sendiri. Dan
juga di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda
bergerak atau benda tidak bergerak. Di negara-negara Islam lainnya,
wakaf mendapat perhatian yang serius, sehingga wakaf menjadi amal
social yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat umum.
Wakaf akan terus mengalami perkembangan dengan berbagai inovasi
yang signifikan seiring dengan perubahan zaman, semisal bentuk wakaf
tunai, wakaf HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan lain-lain. Indonesia
juga menaruh perhatian yang serius terhadap wakaf. Hal ini tampak
dengan diajukannya Rancangan Undang-undang Wakaf (RUU) yang
sudah ditandatangani presiden Megawati Sukarnoputri dan segera
diundangkan dalam waktu dekat sebagai upaya pengintegrasian terhadap
beberapa peraturan perundang-undangan wakaf yang terpisah.
Sejarah Wakaf Produktif
Suatu ketika Umar bin Khatab mendapatkan sebidang tanah di
Khaibar. Beliau ingin memanfaatkan tanah tersebut sebaik-baiknya. Umar
berkonsultasi kepada Rasulullah SAW “ya Rasulullah, saya mendapatkan
sebidang tanak di Khaibar, apa yang engkau perintahkan kepadaku?”
Rasulullah menjawab pertanyaan Umar, “Bila kamu suka kamu tahan
(pokoknya).” Kemudian Umar mengelola (nazhir) tanah tersebut. hasil
pengelola tanah tersebut, disedekahkan Umar kepada orang-orang fakir,
kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Pengelola
(nazhir) tanah tersebut juga berhak makan dari hasilnya. Namun tanah
tersebut tidak dijual, tidak diwariskan dan juga tidak dihibahkan.
Kemudian Abu Thalhah mengikuti langkah Umar dengan
mewakafkan kebun kesayangannya yang terkenal subur. Kualitas sahabat
Nabi yang selalu Fastabiqul Khoirots menjadikan wakaf membudaya.
Mereka berlomba mewakafkan harta mereka. Lalu wakaf pun dilakukan
oleh Abu Bakar, Utsman, Ali dan Mua‟dz bin jabal mewakafkan
rumahnya yang popular di sebut Dar Al-Anshara‟. Kemudian wakaf
disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan
Aisyah istri Rasulullah SAW. Praktek wakaf semakin luas pada masa
dinasti Umayyah dan dinasti Abasiyah, umat Islam berduyun-duyun
melaksanakan wakaf. Pemanfaatannya pun semakin luas. tidak hanya
untuk fakir miskin, tetapi juga menjadi modal membangun lembaga
pendidikan, perpustakaan dan sebagainya. Bahkan wakaf juga mampu
membayar gaji para guru, staff hingga beasiswa untuk para siswa dan
mahasiswa. Peranan wakaf semakin dirasakan.
Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy seorang hakim Mesir pada masa
khalifah hisyam bin Abdul Malik tertarik dengan pengembangan lebih
luas lagi. Taubah bin Ghar membentuk lembaga wakaf tersendiri dibawah
pengawasan hakim. Berdirilah lembaga wakaf teradministrasi pertama di
Mesir. Lembaga wakaf teradministrasi yang didirikan oleh taubah bin
Ghar bukan hanya yang pertama di Mesir namun juga menjadi yang
pertama di dunia Islam. Hakim Taubah bin Ghar juga mendirikan
lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di
bawah Departemen Kehakiman. Lembaga wakaf tersebut mampu dikelola
dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang
membutuhkan. Umat merasakan manfaatnya. Pada masa dinasti
Abasiyyah lembaga wakaf disebut “Shodr Al-Wuquuf”yang mengurus
administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa
Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, kesadaran terhadap wakaf semakin marak. Pada masa
Shalahuddin hampir semua tanah-tanah pertanian di Mesir menjadi harta
wakaf. Dikelola oleh Negara dan menjadi milik Negara (Baitul Mal)
Definisi Wakaf Tunai
Wakaf tunai (Bash Wakaf / Waqf Al-Nuqud) di Indonesia baru
mendapat dukungan Majelis Ulama Indonesia pada tahu 2002 dengan
Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf
Uang. Dalam Fatwa Majelis Ulama tersebut dijelaskan definisi dari wakaf
uang itu sendiri, yaitu wakaf yang dilakkukan seseorang, kelompok
orang, lembaga atau badan hokum dalam bentuk uang tunai. Termasuk
ke dalam pengertian uang tersebut adalah surat-surat berharga. Definisi
lain tentang wakaf tunai yaitu berwakaf dengan menggunakan uang tunai
uang dikumpul di dalam satu tabung amanah di bawah pengurusan nazir
yang diamanahkan untuk mengurus wakaf ini bagu tujuan kebajikan dan
manfaat ummah.
Selintas wakaf tunai ini tampak seperti instrumen keuangan Islam
lainnya yaitu zakat, infaq, sedekah (ZIS). Namun terdapat perbedaan
yaitu berbeda dari segi penerimanya, ZIS bias saja berhak dibagi-bagikan
langsung dana pokoknya kepada pihak yang berhak. Sementara pada
wakaf uang,uang pokoknya akan diinvestasikan terus-menerus, sehingga
umat memiliki dana yang selalu ada dan insya Allah bertambah terus
seiring dengan bertambahnyajumalh wakif yang beramal, baru kemudian
keuntungan investasi dari pokok itulah yang akan mendanai kebutuhan
rakyt miskin. Oleh karena itu instrument wakaf tunai dapat melengkapi
ZIS sebagai instrument penggalagan dana masyarakat. Secara umumna
wakaf tunai ini dilaksanakan untuk mengumpulkan dana dari kalangan
umat islam yang kemudiannya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
pembangunan ummah.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai.
Imam Al-Bukhari (wafat tahun 2526 H) mengungkapkan bahwa Iman Az-
Zuhri (wafat tahun 124 H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata
uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah
dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang),
kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah Az-
Zuhaili juga mengungkapkan bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf
tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-„Urfi, karena sudah
banyak dilakukan masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat
bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan „urf (adat kebiasaan)
mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan
berdasarkan nash (teks). Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas‟ud, r.a:
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan
Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka
dalam pandangan Allah pun buruk”.
Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang), menurut
mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara
mudharabah atau mubadha‟ah. Sedang keuntungannya disedekahkan
kepada pihak wakaf.
Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan
merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang
berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan
merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf
tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf
tunai tidak boleh adalah mazhab Syafi‟i. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi‟i
tidak membolehkan wakaf tunai, karena dirham dan dinar (baca: uang)
akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan tidak
bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu
setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara,
dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun
kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang
sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf tunai. Misalnya
uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan
oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di
perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan Syari‟ah, dan
keuntunganya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf tunai yang
diinvestasikan dalam wujud saham atau deposito, wujud atau lebih
tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan
dalam jangka waktu yang lama.
Definisi Wakaf produktif
Pada dasarnya wakaf itu produktif dalam arti harus menghasilkan
karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika telah menghasilkan,
dimana hasilnya dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya (mauquf
alaih). Tentu wakaf ini adalah wakaf produktif dalam arti mendatangkan
aspek ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Ironinya, di Indonesia
banyak pemahaman masyarakat yang mengasumsikan wakaf adalah
lahan yang tidak produktif bahkan lahan mati yang perlu biaya dari
masyarakat seperti kuburan, masjid dan lain sebagainya.
Wakaf produktif adalah sebuah skema pengelolaan donasi wkaf
dari umat, yaitu dengan memproduktifkan donasi tersebut, hingga
mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Donasi wakaf dapat
berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia, maupun benda
tidak bergerak seperti, tanah dan bangunan. Surplus wakaf produktif
inilah yang menjadi sumber dana abadi bagi pembiayaan kebutuhan
umat, seperti pembiayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang
berkualitas. Selain itu wakaf produktif dapat didefinisikan pula dengan
wakaf harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik di bidang
pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa yang manfaatnya bukan
pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil
pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak
sesuai dengan tujuan wakaf. Disini, wakaf produktif diolah untuk dapat
menghasilkan barang atau jasa kemudian dijual dan hasilnya
dipergunakan sesuai dengan tujuan wakaf.
Dasar Hukum Wakaf
Pada dasarnya wakaf itu produktif dalam arti harus menghasilkan
karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika menghasikan dimana
hasilnya dapat dimanfaatkan sesuai dengan (mauquf laih). Sama halnya
dengan wakaf tanah, dasar wakaf uang tentunya juga adalah Al-Qur‟an,
Hadis, dan Ijma‟ ulama (bandingan Abdul Ghofur Anshori, 2005: 91).
Dasar Hukum wakaf uang juga bersumber pada Al-Quran yaitu:
1. Al-Quran Surah Ali Imran ayat; 92
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Dan
apasasaja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuuinya”
2. Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat: 262
“Perumpaan (nafkah yang dikeluakan oleh) orang yang menafkahkan
hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuhbutir, pada tiap-tiap butir: seratus biji, Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
Maha Luas karunia-Nya lagi MahaMengetahui. Orang yang
menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian mereka menggiringinapa
yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan
dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala
disisi Tuhan mereka. Tidak kekhawatirkan terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.”
Kemudian Hadis yang dipakai sebagai dasar hukum wakaf uang
yang juga menjadi rujukan Majelis Ulama Indonesia dalam memfatwakan
wakaf uang, yaitu:
1. Hadis Riwayat Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa‟I dan Abu Daud
diriwayatkan dari Abu Hurairah ra,bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
“Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal
perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu
pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak sholeh yang
mendoakannya.”
2. Hadist Riwayat Al Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa‟I
diriwayakan dari Ibnu Umar ra, bahwa Umar bin al Khattab ra,
memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi
saw., untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata
“Wahai Rasulullah! Saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah
saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa
perintah Engkau (kepadaku) mengenainya/” Nabi saw., menjawab: “Jika mau,
kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.
Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut,
(dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak
dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya
kepada fugara, kerabat riqab (hamba sahaya, orang tertindas),
sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak erdosa atas orang yang
mengelolanya untuk memamakn diri (hasil) tanah itu secara ma‟ruf
(wajar) dan member makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya
sebagai hak milik.
Rawi berkata, “Saya menceritakan kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata
„ghaira muta‟tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak
milik”.
Dikemukakan pula oleh berbagai pendapat para ulama yang
menjadai rujukan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam
memfatwakan wakaf uang tersebut, yaitu.
a. Pendapat Imam Al-Zuhri (wafat 124 H) bahwa mewakafkan dinar
hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagao
modal usaha, kemudian keuntungannya disalurkan pada
mauquf‟alaih.
b. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang
dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar istihsan bi al-„urfi,
berdasarkan atsar Abdullah bin Mas‟ud ra., bahwa “apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandanagan Allah
adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin,
maka buruk juga dalam pandangan Allah”.
c. Pendapat sebagian ulama mazhab ulama Imam Asy-Syafi‟I, dimana
„Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam Asy-Syafi‟I tentang kebolehan
wakaf dinar dan dirham (uang).
Sebelum memfatwakan wakaf uang, MUI juga mempertimbangkan
hal-hal tersebut:
a. Bahwa bagi mayoritas umat Islam di Indonesia, pengertian wakaf yang
diketahui, antara lain, yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan
tanpa lenyap badanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum
terhadap benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak
haram) yang ada (Al-Ramli dalam Nihayah Al-Muhtaj ila Syarth Al-
Minhaj; Al-Khatib Al-Syarbaini dalam Mughni al-Muhtaj).
b. Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan
kemashlahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain;
c. Bahwa oleh karena itu, Komisi fatwaMUI memandang perlu
menetapkan mengenai fatwa tentang hukum wakaf uang untuk
dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan di atas dengan merujuk kepada dasar
hukum dan pendapat para ulama diatas serta memperhatikan pandangan
dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada tanggal 23 Maret 2002,
antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan
(openyempurnaan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan
memperhatikan maksud antara lain riwayat dari Ibnu Umar ra., Komisi
Fatwa MUI pada tanggal 28 Shafar 1423 H yang bertetapan 11 Mei 2002,
memfatwakan , bahwa wakaf uang hukum nya jawaz (boleh) dan hanya
boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara
syar‟I serta nilai pokok uang tersebut harus dijamin kelestariannya, tidak
boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. M. A. Mannan
pendiri Social Investmen Bank Ltd (SIBL) yang berjudul Structural
Adjustments and Islamic Voluntary Sector with Special Reference to
Wakaf in Bangladesh yang dipublikasikan oleh Islamic Development
Bank, Jeddah, tahun 1995 menyatakan, bahwa wakaf uang dikenal dengan
dalam Islam sebagai ditemukan di era Ottoman dan Mesir. Sementara
Negara Turky memiliki suatu sejarah yang cukup panjang dalam
pengelolaan wakaf uang (Abdul Ghofur Anshori,2005; 94)
Rukun dan Syarat Wakaf Uang
Pada dasarnya rukun dan syarat wakaf uang adalah sama dengan
rukun dan syarat wakaff tanah. Adapun rukun wakaf uang, yaitu :
a. Ada orang yang berwakaf (wakif);
b. Ada harta yang diwakafkan (mauwuf)‟
c. Ada tempat kemana diwakafkan harta itu/tujuan wakaf (mauquf
„alaih) atau peruntukan harta benda wakaf;
d. Ada akad/pernyataan wakaf (shighat) atau ikrar wakaf (bandingkan
Abdul Ghofur Anshori, 2005; 94)
Masing-masing rukun ini mempunyai syarat-syarat tertentu yang
haus dipenuhi, sperti syarat yang pertama, yaitu wakif, harus merdeka,
berakal sehat,dewasa, idak dilarang melakukan tindakan hokum seperti
tidak berad dibawah pengampunan karena boron atau lalai, rukun ke-dua
adalah harta yang diwakafkan harus merupakan benda tetap karena
bersipat selamanya, namun menurut golongan maliiyah dan syiah
imamiyah, boleh wakaf benda yang tidak tetap karena menurut mereka
boleh wakaf dengan jangka waktu tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 terdapat tambahan
unsur atau rukun wakaf, yaitu
1. Ada orang yang menerima harta yang diwakafkan dari wakif sebagai
pengelola wakaf
2. Ada jangka waktu wakaf tertentu (waktu tertentu)
Rukun wakaf (unsur-unsur wakaf) tersebut harus memenuhi
syaratnya masing-masing sebagaimana pada wakaf tanah. Adapun yang
menjadi syarat umum sahnya wakaf uang adalah:
1. Wakaf harus kekal (abadi) dan terus menerus;
2. Wakaf harus dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan kepada akad
terjadinya sesuatu peristiwa dimasa yang akan datang, sebagi
pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah makif
menyatakan berwakaf
3. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya hendaklah wakaf itu disebutkan
dengan terang kepada siapa diwakafkan;
4. Wakaf merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa syarat boleh
khiyar, artinya tidak boleh membatalkan atau melangsungkan wakaf
yang telah dinyatakan sebab pernyataan wakaf berlaku tunai dan
untuk selamanya (Abdul Ghofur,2005; 95)
Perlakuan Terhadap Harta Wakaf
Ada 2 perlakuan terhadap harta wakaf, yaitu : Ibdal adalah
Menjual barang wakaf untuk membeli barang lain sebagai gantinya
(penukaran).Sedangkan Istibdal adalah Menjadikan barang lain sebagai
pengganti barang wakaf asli yang telah dijual (penggantian). Beberapa
pendapat yang menjelaskan tentang boleh atau tidaknya melakukan Ibdal
dan Istibdal:
Madzhab Hanafiyah
Menurut Madzhab Hanafiyah, Istibdal barang wakaf itu hukumnya
boleh ,karena dua alasan :
1. Karena ada syarat dari wakif, seperti ketika dia berikrar wakaf
mengatakan : “saya mewakafkan tanah saya ini dengan syarat
sewaktu-waktu saya atau orang yang mewakili sya dapat menukarnya
denga tanah lain sebagai penggantinya”. Syarat wakif ini sangat
menentukan dalam penukaran wakaf, baik jenis barang wakaf atau
tempatnya. Sebagai contoh, jika wakif memberi syarat : “saya berikrar
wakaf tanah pertanian ini, dengan syarat saya atau orang yang
mewakili saya dapat menukar wakaf ini dengan tanah pertanian lain,
atau dengan atau dengan bangunan di desa ini sebagai penggantinya”.
Maka dalam pelaksanaan Istibdal, tidak boleh tanah pertanian wakaf
tersebut diganti dengan tanah bangunan. Juga tidak boleh
menukarnya dengan bangunan yang berada di desa lain, karena hal itu
menyimpang dari syariat.
2. Karena keadaan darurat atau karena maslahah, seperti tanah wakaf
yang tidak dapat ditanami (sabkhah), dan tidak dapat memberi hasil
dan manfaat apa-apa sehingga “mauquf alaih” tidak menerima
manfaat hasilnya, atau hasilnya menyusut tidak cukup untuk biaya
perawatan dan pengelolaanya, maka pemerintah/hakim boleh
menukarnya dengan tanah atau barang wakaf lain sebagai
penggantinya, meskipun ada syarat atau tidak ada syarat dari si wakif.
Demikian pula halnya apabila wakaf itu berua rumah atau took
yang dindingnya sudah rapuh dan bangunan itu sudah doyong hampir
roboh, atau sebagian bangunan tersebut sudah rusak sehingga tidak dapat
lagi diambil manfaatnya, sedangkan wakaf itu tidak mempunyai dana lain
untuk merenovasinya, dan tidak ada orang yang bersedia menyewa
bangunan wakaf tersebut dalam waktu yang lama dengan membayar
sewanya lebih dulu, sehingga dapat digunakan untuk merenovasinya.
Maka pemerintah/hakim boleh menukar dengan barang lain sebagai
ganti barang wakaf tersebut.
Ada beberapa penjelasan para ulama Hanafiyah tentang beberapa
perkara yang masih berkaitan dengan istibdal, antara lain:
1. Wakif mensyaratkan istibdal (penggantian) terhadap dirinya sendiri
atau beserta orang lain.
Setelah penggantian yang pertama, wakif tidak diperbolehkan
mengganti barang wakaf untuk yang kedua kalinya, karena masa
berlaku syarat isdtibdal yang ditentukannya sudah habis. Kecuali
jika ia menyatakan bahwa haknya melakukan istibdal bisa
dilakukan berulang-ulang.
Jika wakif berkata: “Saya mewakafkan tanah ini dengan syarat di
suatu hari saya berhak untuk menjual tanah ini guna membeli
tanah yang baru lagi,” kemudian ia tidak berkata apa-apa lagi,
maka menurut qiyas wakafnya dianggap batal. Hal ini disebabkan
wakif tidak tidak menyatakan maksud hatinya untuk
menjadikantanah kedua sebagai pengganti wakaf tanah yang
pertama. Berbeda dengan konsep qiyas, istihsan menganggap
praktik ini boleh dan sah dengan dasar bahwa selama tanah yang
pertama dikhususkan untuk wakaf. Sehingga harga yang
didapatkan dari penjualannya pun seolah-olah menggantikan
kedudukannya sebagai wakaf. Jika uang tersebut dibelikan tanah
lagi, maka otomatis menjadi tanah wakaf sesuai syarat-syarat pada
wakaf tanah yang pertama.
Jika wakif mensyaratkan penggantian dengan tanah, maka ia tidak
berhak menggantinya dengan rumah. Demikian juga sebaliknya,
karena ia tidak memiliki hak penggantian syarat. Jika tidak
menentukan dengan apa penggantinya, maka bebas dengan harta
bergerak apapun. Jika ia membatasinya dengan suatu wilayah,
maka tidak boleh keluar dari wilayah tersebut.
Jika wakif mensyaratkan penggantian untuk orang lain beserta
dirinya, maka wakif berhak melakukan penggantian itu sendirian.
Tetapi, tidak demikian bagi orang lain yang ditentukannya
tersebut, karena wakiflah yang memasukannya dalam syarat itu.
Jika ia mensyaratkan penggantian dalam wakaf, lalu ia menjualnya
dan menghibahkan harganya, maka hibah tersebut sah, tapi ia
harus mengganti harganya. Ini menurut pendapat Abu Hanifah.
Sedangkan Abu Yusuf menyatakan bahwa hibah tersebut tidak sah.
Jika wakif mensyaratkan hak istibdal bagi dirinya, lalu ia menjual
tanah wakaf, namun tanah itu kembali kepadanya karena adanya
faskh (pembatalan/penarikan kembali), maka ia boleh menjualnya
lagi untuk kedua kalinya, karena penjualan pertama dianggap
tidak pernah ada. Akan tetapi, apabila kembalinya tanah itu karena
adanya akad baru, maka ia tidak boleh menjualnya. Sebab hal itu
dianggap sebagai pembelian baru dan tanahnya kembali menjadi
tanah wakaf.
Jika seseorang berwakaf dan mensyaratkan untuk istibdal kepada
dirinya, maka hanya ia sendirilah yang berhak melakukan istibdal.
Bila ia berwasiat kepada orang lain bahwa ia punya hak istibdal,
maka orang tersebut tidak berhak melakukan istibdal, kecuali bila
si wakif mensyaratkannya ketika masih hidup.
Jika dalam permulaan akadnya wakif berkata: “Si Fulan berhak
menjual barang wakaf dan atau menggantinya,” namun di akhir
akad ia berkata: “Si Fulan tidak berhak menjual barang wakaf,”
maka Fulan tidak boleh menjualnya, sebab wakif telah menarik
kembali perkataan pertama dan membatalkannya dengan
perkataan yang kedua, yaitu bahwa Fulanb tidak berhak
menjualnya.
2. Wakif diam dan tidak mensyaratkan istibdal, sedangkan barang
wakaf itu lama-kelamaan menjadi kurang produktif, bahkan
hasilnya tidak dapat menutup biaya pengelolaannya.
Mayoritas ulama Hanafiyah memperbolehkan praktik istibdal
(penggantian). Ibn Abidin mengatakan: “Menurut pendapat yang
paling benar, istibdal seperti itu dapat disahkan atas kebijakan hakim
dengan adanya maslahat yang terkandung di dalamnya.”
Qadhikhan mengatakan: “Apabila wakif tidak mensyaratkan
istibdal kepada siapapun, maka yang berhak melakukan mengganti
barang wakaf hanyalah hakim[3] dengan berpijak pada kemaslahatan
bersama.”
Pengarang kitab Al-Dzakhirah menyatakan: “Diriwayatkan dari Ali
bin Abi Thalib, beliau mewakafkan rumah untuk Hasan dan Husein.
Lalu ketika berangkat menuju Shiffin beliau berkata: „Andai rumah
mereka itu dijual dan hasilnya dibagikan, tentunya akan lebih
bermanfaat.‟”
Hadist (atsar) inilah yang menjadi sandaran hukum mayoritas
fuqaha Hanafiyah. Meski begitu, masih ada sebagian ulama yang
berpendapat lain dan melarang penggantian barang wakaf selama
tidak disyaratkan oleh wakif dalam akadnya, seperti Hilal, Al-Nasafi
dan Al-Sarkhasi. Syekh Imam Zahiruddin dan Qadhikhan pernah
berfatwa memperbolehkannya, namun fatwa itu dicabut kembali.
3. Wakif tidak menyinggung syarat istibdal, sementara kondisi barang
masih dapat dimanfaatkan, namun di sisi lain ada barang yang lebih
baik dan menjanjikan.
Ibn Abidin mensinyalir adanya silang pendapat di kalangan
Hanafiyah. Dalam hal ini pendapat yang paling sahih- barang
wakaf tidak boleh diganti. Ibn Najm menjelaskan, perbedaan pendapat
dalam kategori ini hanya menyangkut barang wakaf yang berbentuk
tanah, yaitu apabila tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Hukum ini tidak berlaku pada barang wakaf berbrntuk rumah yang
salah satu bagian sisinya telah rusak, sedangkan sisi lainnya masih
dapat dimanfaatkan. Dalam kondisi ini, semua ulama menfatwakan
pelarangan istibdal.
Wakif berhak mensyaratkan atau tidak mensyaratkan istibdal. Jika
wakif mensyaratkan istibdal sebagai langkah antisipasi rusak atau
menurunnya produktivitas barang wakaf, maka semua ulama
menetapkan konsensus tentang sahnya istibdal.
Konsensus ini tidak berlaku apabila ternyata syarat istibdal yang
diucapkan wakif berlaku jika seandainya barang yang diwakafkan
masih dalam keadaan baik. Ini menyalahi aturan karena aturan asal
yang wajib kita pegang adalah membiarkan barang wakaf –seperti
adanya- tanpa boleh menggantinya, kecuali bila ada yang
mengizinkan penggantiannya. Yaitu syarat dan dharurah, sementara
dalam hal ini kita tidak menemukan adanya indikasi darurat.
Madzhab Malikiyah
Madzab Malikiyah melarang terjadinya Istibdal dalam dua hal:
1. Apabila barang wakaf itu berupa masjid. Dalam hal melarang Istibdal,
masjid ini terjadi kesamaan antara imam-imam madzhab: Imam Abu
Hanifah bin Nu‟ man. Imam Malik bin Anas, dan Imam Muhammad
bin Idris As-Syafi‟i, kecuali Imam Ahmad bin Hambal yang
membolehkan menukar masjid dengan tanah lain yang dipakai untuk
membangun masjid.
2. Apabila barang wakaf itu berupa tanah yang menghasilkan, maka
tidak boleh menjualnya atau menukarnya, kecuali karena ada
dharurah (darurat), seperti untuk perluasan masjid, atau untuk jalan
umum yang dibutuhkan masyarakat atau untuk kuburan sebab hal
tersebut merupakan kemaslahatan umum (al-mashalih al-„ aammah).
Karena apabila barang wakaf tersebut tidak dapat ditukar atau dijual
untuk memnuhi kemaslahatan umum tadi, maka masyarakat akan
mengalami kesulitan, padahal mempermudah ibadah bagi masyarkat
atau lalulintas mereka, atau memudahkan menguburkan mayat-mayat
adalah suatu hal yang wajib.
Keterangan dari kitab at-Taaj wal Iklil, yang dikutip oleh Abu
Zahroh mengatakan “Tidak dilarang menjual rumah yang diwakafkan
atau barang lainnya, dan pemerintah (as-Sulthan) boleh memaksa
penduduk untuk menjualnya, apabila memang diperlukan untuk
keperluan masjidnya (yang digunakan untuk sholat Jum‟ah), demikian
juga halnya jika dibutuhkan perluasan jalan.
Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa apabila tanah wakaf itu sudah
tidak memberikan hasil dan tidak mampu membangunnya kembali atau
menyewakannya, maka tidak dilarang menukarnya dengan tanah lain
(yang menghasilkan) sebagai penggantinya. Namun penukaran tersebut
harus mendapat persetujuan pemerintah (al-Qadli) setelah jelas alasannya
dan harus dicatat dan ada saksi.
Adapun Istibdal barang wakaf yang bergerak (waqfu al-manqul)
menurut madzhab Malikiyah hukumnya boleh, sebab kalau Istibdal
dalam hal ini (waqfu al manqul) dilarang, dapat menimbulkan kerusakan.
Karena itu mereka menetapkan bahwa apabila wakaf itu berupa hewan
yang sudah tidak berdaya, lemah atau sakit-sakitan, atau pakaiannya
yang lapuk, maka boleh dijual dan dari hasil penjualan itu dibelikan
barang lain sebagai penggantinya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa
ia mengatakan : “Hewan wakaf untuk sabilillah yang sudah tidak
berdaya/lemah, sehingga tidak kuat lagi untuk perang, maka dijual saja
dan hasil penjualannya itu dibelikan kuda yang bias memberi manfaat” .
Madzhab Syafi’iyah
Madzhab Syafi‟iyah tidak jauh berbeda pendapatnya dengan
madzhab Malikiyah yakni bersikap mempersempit/mempersulit
terhadap bolehnya Istibdal, demi menjaga kelestarian barang wakaf,
apalagi banyak kasus-kasus Istibdal di Mesir pada masa Imam As-Syafi‟I
berada di sana yang disalahgunakan oleh penguasa (Amir) dan pejabat
hokum (Qadli) seperti yang diceritakan Abu Zahrah di muka.
Mazhab Hanabilah
Dipandang sebagai madzhab yang banyak memberikan
kelonggaran dan kemudahan terhadap Istibdal wakaf, meskipun pada
dasarnya tidak berbeda jauh dari tia madzhab yang lain yaitu sedapat
mungkin mempertahankan (istibqa‟) keberadaan barang wakaf tetap
seperti semula, mengikuti prinsip dasar wakaf yakni “habsul Ashli”.
Namun apabila terjadi perubahan kondisibarang wakaf itu seperti
hilangnya kedayagunaan dan kemanfaatannya atau ada situasi darurat
yang menimpa barang wakaf.
Diantara empat madzhab tersebut, disamping ada perbedaan-
perbedaannya, juga ada persamaan-persamaannya, antara lain :
1. Sedapat mungkin barang wakaf harus dijaga kelestariaannya dan
dilindungi keberadaannya.
2. Penukaran atau penjualan barang wakaf hanya dibolehkan apabila ada
alasan darurat atau untuk mempertahankan manfaatnya.
3. Penukaran (al-Istibdal) maupun penjualan (al-bai‟) barang wakaf harus
dilakukan oleh pemerintah (qadli atau hakim), paling tidak seizin
pemerintah.
4. Hasil penukaran maupun penjualan barang wakaf harus diwujudkan
menjadi barang wakaf penggantinya.
Di Indonesia pun terdapat pembaharuan terhadap paham tentang
wakaf yang diatur dalam peraturan pemerintah dalam pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Adapun perlakuan
pembaharuan paham yang selama ini sudah dan sedang dilakukan oleh
para pihak yang berkepentingan dengan wakaf adalah : Pertama,
sertifikasi tanah wakaf. Upaya sertifikasi tanah wakaf terhadap tanah-
tanah wakaf yang belum memiliki sertifikasi adalah bentuk pembaharuan
paham di lingkungan masyarakat muslim di Indonesia, bahwa wakaf
adalah sah jika dilakukan secara lisan tanpa dikatakan secara resmi
kepada administrasi pemerintahan. Fenomena yang banyak terjadi
sebelum UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 28 Tahun 1977 hingga lahirnya
UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf adalah perbuatan wakaf yang
dilakukan hanya dengan faktor kepercayaan kepada salah satu tokoh
agama yang diangkat sebagai Nazhir. Dengan adanya praktek wakaf
secara tradisional menimbulkan masalah-masalah baru, seperti hilangnya
benda-benda wakaf, dijadikan rebutan oleh para ahli waris Nazhir, obyek
persengketaan para pihak yang berkepentingan, ketidakjelasan status
benda wakaf sehingga mengakibatkan tidak dikelola secara baik. Untuk
itu pula, sertifikasi tanah-tanah atau benda wakaf lainnya merupakan
upaya memperbaharui paradigma baru dalam pelaksanaan perwakafan di
Indonesia.
Kedua, pertukaran benda wakaf. Ditegaskan pada UU No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf Bab IV Pasal 41 sebenarnya memberikan
legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu
meminta izin dari Menteri Agama RI dengan dua alasan, yaitu karena
tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan demi kepentingan umum.
Ketiga, pola seleksi yang dilakukan oleh para Nazhir wakaf atas
pertimbangan manfaat. Memang sistim yang diterapkan oleh para Nazhir
wakaf di Indonesia tidak seluruhnya menggunakan pola penyeleksian
secara ketat agar benda-benda yang ingin diwakafkan oleh masyarakat
dapat memberi manfaat secara maksimal. Namun, ada perkembanga yang
positif yang dilakukan oleh lembaga wakaf seperti Pesantren Modern
Gontor.
Keempat, system ikrar yang dilakukan oleh para calon wakif
diarahkan kepada bentuk ikrar wakaf untuk umum, tanpa penyebutan
yang bersifat khusus, seperti selama ini terjadi di Pesantren Gontor
misalnya, tidak diperkenankan bentuk ikrar wakaf dengan penyebutan
peruntukkan wakaf secara khusus (tertentu) oleh para calon wakif.
Karena bentuk penyebutan yang disebutkan wakf akan sangat
memberatkan oleh pihak pengelola (Nazhir) dalam pemberdayaan secara
maksimal.
Kelima, perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih). Saat ini
sedang berkembang dan sudah dipraktekkan oleh sebagian lembaga
islam terhadap wacana wakaf benda bergerak, seperti uang (cash waqf),
saham atau surat-surat berharga lainnya seperti yang diatur dalam
undang-undang wakaf.
Dalam Bab VI pasal 49 tentang penukaran harta benda wakaf yang
berisi :
1. Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang
kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan
BWI.
2. Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk
kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah
b. Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar
wakaf
c. Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung
dan mendesak.
3. Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin
pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika:
a. Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti
kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
b. Nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya
sama dengan harta benda wakaf semula.
4. Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan
rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur:
a. Pemerintah daerah kabupaten/kota
b. Kantor pertanahan kabupaten/kota
c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota
d. kantor Departemen Agama kabupaten/kota
e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.
Kemudian dilanjutkan pasal 50 yang berisi tentang nilai manfaat
harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3)
huruf b dihitung sebagai berikut:
a. Harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf
b. Harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah
untuk dikembangkan.
Dan aturan dalam penukaran terhadap harta benda wakaf yang
akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut :
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri
melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan
menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukar tersebut;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada
Kantor Departemen Agama kabupaten/kota;
c. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota setelah
menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan
dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya
bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan;
d. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota meneruskan
permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi dan
selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan
e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar
ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh
Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk
pendaftaran lebih lanjut.