Dr. an Sregar, Penelitian Kesultanan Jayakarta
-
Upload
parlindungan-siregar -
Category
Documents
-
view
161 -
download
3
description
Transcript of Dr. an Sregar, Penelitian Kesultanan Jayakarta
KESULTANAN JAYAKARTA:
Studi tentang Perkembangan Islam di Bandar
Sunda Kelapa (1527-1619)
Proposal Penelitian Kolektif
Oleh :
Dr. Parlindungan siregar, MA
M. Ma’ruf Misbah, MA
Saidun Derani, MA
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah
Jakarta
2011
KESULTANAN JAYAKARTA: Studi Perkembangan Islam di Bandar
Sunda Kelapa (1527-1619
Kata Penganatar................................................................................................................
Daftar Isi.............................................................................................................................
Abstrak...............................................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN
1 .Latar Belakang Masalah..............................................................................1
2.Fokus dan Masalah Penelitian......................................................................7
3.Tujuan Penelitian..........................................................................................8
4 .Kontribusi Penelitian.................................................................................. 8
5.Kajian Pendahuluan......................................................................................9
6. Landasan Teoritis......................................................................................11
7. Metodologi Penelitian................................................................ ...............14
a.Pendekatan............................................................................................14
b.JenisdanSumber Data...........................................................................16
c. Metode Pengumpulan
Data..................................................................17
d. Pengolahan dan Analisis Data.............................................................18
e. Langkah-Langkah Penelitian...............................................................18
8. Sistematika Pelaporan...............................................................................20
Bab II Berdiri Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara
1. Jalur Dagang Internasional...............................................................................
2. Malaka Dikuasai Portugis ................................................................................
3. Berdiri Kerajaan-Kerajaan Islam ..................................................................
BAB III. Berdiri Pemerintahan Islam Jayakarta
1. Islamisasi Bandar Sunda Kelapa...................................................................
2. Lahir Kekuatan Sosial Politik Islam.................................................................
3. Pengembangan Islam di Kesultanan Jayakarta.............................................
BAB IV Jayakarta dan Kedatangan Bangsa Belanda
1. Jayakarta sebagai Pusat Perdagangan Internasional......................................
2. Kedatangan Bangsa Belanda........................................................................
3 Belanda Menguasai Jayakarta...........................................................................
4. Refleksi Beberapa Peninggalan Pangeran Jayakarta di
Jakarta........................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................
B. Rekomendasi....................................................................................................
KEPUSTAKAAN...............................................................................................................Tabel....................................................................................................................................Lampiran-Lampiran.............................................................................................................Foto-Foto.............................................................................................................................
KESULTANAN JAYAKARTA: Studi tentang Perkembangan Islam di Pelabuhan
Sunda Kelapa (1527-1619)
1. Latar Belakang Masalah
Dalam perspektif Nusantara, bahwa kehadiran Islam di kepulauan ini sejak
abad kesatu Hijriah atau abad ketujuh Masehi1, kecuali berdasarkan data arkeologis,
Islam dikatakan baru masuk ke negara bahari ini pada abad kesebelas Masehi.2
Kedatangan Islam di pulau-pulau Nusantara tidak selalu bersamaan. Hal ini
disebabkan berbagai faktor, dan faktor yang terpenting adalah berkaitan dengan jalur
pelayaran atau perdagangan.3 Daerah-daerah yang merupakan pusat-pusat
perekonomian yang lebih dahulu dikunjungi para musaffir yang berasal dari belahan
barat ketika itu.4
Seperti telah diketahui, bahwa kehadiran Islam di kepulauan ini karena
terbentangnya jalur/pelayaran mulai dari Timur Tengah, Asia Barat berujung di Asia
Tenggara, dan lalu menelusuri pelabuhan-pelabuhan Cina5, kemudian yang terakhir
jalur perdagangan melalui jalan darat kembali ke Timur Tengah.6 Karena itu tidak
heran jika para penyiar Islam antara lain terdiri dari para saudagar.7
Pemanfaatan jalur-jalur pelayaran/perdagangan untuk penyebaran Islam
membawa konsekuensi dengan tidak merata tersiarnya islamisasi di tiap-tiap pulau
Nusantara pada periode tertentu, bahkan lebih dari itu memberi dampak pada
intensitas pendalaman dan penghayatan keagamaan yang berbeda-beda di daerah-
1A. Hasymi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: PT. Almaarif, 1981, cet.-1, hal. 52, lihat juga hasil penelitian Guru Besar Sejarah dan Peradaban Islam UIN Jakarta Azyumardi Azra tentang islamisasi Nusanatara, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, 2002, cet.-1.
2Uka Tjandrasasmita, “Sepintas Mengenai Peninggalan Kepurbakalaan Islam di Pesisir Utara Jawa”, Aspek-Aspek Arkeologi Nasional, No. 3, 1976, hal. 2
3Gustave E. von Grunebaum, (ed.), Islam Kesatuan dalam Keragaman, ,terjemahan Effendy N, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Lembaga Studi Indonesia, cet.-1, hal. 328
4Uka Tjandrasasmita, “Masuknya Islam ke Indonesia dan Pertumbuhan Kota-kota Pesisir Bercorak Islam”, Bulletin Yaperna, No.11, Thn III, Februari 1977, hal. 77-80
5Uka Tjandrasasmita, “Masuknya Islalm........, hal. 77-78. 6Wan Husein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI M”,
dalam A. Hasymy,(ed.), Sejarah Masuknya Islam........., hal. 176 7H.J. De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terjemahan Grafiti Pers dan
KITV, Jakarta: Grafiti, 1985, cet.-1, hal. 26-27
daerah tertentu. Contoh yang paling jelas adalah Aceh8 di Sumatera, dan Giri di
Gresik di Jawa Timur9. Dua daerah ini memiliki pelabuhan yang banyak didatangi
saudagar-saudagar Islam. Ikut berperannya para saudagar dalam menyebarkan Islam
erat kaitanya dengan ajaran Islam yang menegaskan bahwa setiap Muslim adalah
muballigh, karena itu berkewajiban bagi setiap penganut Islam berdakwah kendati
hanya satu ayat yang disampaikan.10 Jadi, ajaran Islam itu jelas berbeda dengan
doktrin agama Hindu, misalnya dalam kaitan mengenai tugas penyiaran agama.
Dalam agama Hindu, tugas penyebaran agama hanyalah merupakan hak dan
kewajiban para Brahma saja.11
Selanjutnya selain itu penyebaran Islam dilakukan melalui pelayaran dan
perdagangan, kontak Islam dengan masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat
Jawa, dilakukan melalui pendekatan tasawuf. Menurut pendapat ini, peran tasawuf
cukup penting dan menjadi mediator dalam masyarakat Jawa.12 Penyebaran Islam
dengan perantara tasawuf relatif lebih mudah disebabkan telah berkembangnya agama
Hindu lebih dahulu dengan ajarannya yang hampir bersamaan dengan ajaran
tasawuf.13
8Di daerah ini menurut Hasan Muarif Ambari bahwa Islam sudah ada sejak abad 13 M. Lihat Hasan Muaarif Ambary, “Mencari Jejak Kerajaan-kerajaan Tertua di Indonesia”, dalam A. Hasymy, (ed.), Sejarah Masuknya ....... hlm. 516, Karena itu dikatakan, bahwa Islam paling pertama berkembang di Aceh, Sumatera, atas pertimbangan, bahwa rasa keberagaman masyarakat Aceh sangat kuat dan mendalam. Adapun mengenai gambaran keberagaman mayarakat Nusantara, lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, cet.-1, hal. 65-77
9 Di wilayah ini Islam telah masuk pada abad 11 M, Uka Tjandrasasmita, “Masuknya Islam....., hal. 2, akan tetapi Islam mengalami perkembangannya di Gersik sekitar abad 14 M. R. Sekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia, jilid III, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973, cet-3, hal. 45-46. Di pulau Jawa, di daerah-daerah inilah awal daripada Islam datang dan berkembang, karena itu juga mengapa Gresik menjadi pusat studi Islam di belahan Timur Nusantara dan dengan demikian memberi pengaruh cukup signifikan ke wilayah Nusantara Timur. Lihat Umar Hasyim, Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton, Kudus: Menara-Kudus, 1979, cet.-1, hal. 44-45. Mengenai kedalaman sikap keberagaman masyarakat Giri, tercermin dari kerasnya reaksi Giri mengecam raja Mataram yang telah dianggap menyeleweng dari Islam. Lihat Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid IV, Jakarta: Bulan Bintang, cet.-2, hal. 146-147.
10Sampaikan oleh kalian dariku sekalipun satu ayat. Hadist riwayat Bukhori dari Ibn Amr Ibn Ash. Berbeda dengan agama samawi yang lain, seperti Nasrani dan Yahudi, bagi Islam setiap pemeluknya memiliki kewajiban dakwah, apakah dakwah dalam bentuk lisan, maupun dalam bentuk bilhal.
11 Slamet Mulyana, Negarakrethagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta: Bharata Karya Aksara, hal. 197
12 Gustave E. Von Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keragaman ........ hal. 343-344, baca juga Purwadi dan Hari Wijaya, Sejarah Asal Usul Tanah Jawa, Yogyakarta: Persada, 2004, cet.-1, Clifford Geertz, The Religion of Java, terj., Jakarta: PT.Dunia Pustaka Jaya, 1981, cet.-1, Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Seri Etnografi Indonesia No.2, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, cet.-1, hal.310-427
13Simuh, “Gerakan Kaum Sufi”, Prisma, No. 11, Tahun XIV, 1985, hlm. 78, baca juga hasil penelitian Guru Besar Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga ini yang lain, misalnya “Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Bentang, 2002, cet.-5, “Islam dan
Bagi masyarakat pedalaman pulau Jawa, nampaknya Islam yang bersifat
tasawuf lebih cocok dan mudah diterima.14 Hal ini tentu dikarenakan adanya pengaruh
kuat ajaran Hindu pada mereka. Seperti telah diketahui bahwa pada ajaran Hindu
unsur-unsur mistik sangat dominan.15 Adapun pada masyarakat Pesisir yang Maritim
yang tidak begitu kuat terpengaruh ajaran-ajaran pra Islam, maka Islam yang tidak
terpengaruh sufilah yang lebih dapat diterima16. Dan corak Islam model inilah yang
sampai sekarang cukup kuat berpengaruh dalam alam pikiran sebagian besar rakyat
Indonesia.
Perkembangan Islam di Jawa berkaitan erat dengan situasi dan kondisi politik
yang tidak stabil yang dialami kerajaan pra Islam.17 Adanya ketidakstabilan itu
disebabkan berkecamuknya perang saudara, pertentangan antar kaum bangsawan dan
lain sebagainya.18 Sementara itu hadirnya Islam dengan gagasan-gagasannya yang
Pergumulan Budaya Jawa, Jakarta: Teraju, 2003, cet.-1.Lihat kajian untuk disertasi doktoral Alwi Shihab, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya sampai Kini di Indonesia, Bandung: Mizan, 2001, cet.-1.
14 Lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan-kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Jakarta: Bharata, 1968, hlm. 156, lihat juga Atja dan Ajatrohaedi, Negarakertabhumi, karya kelompok kerja di bawah tanggungjawab Pangeran Wangsakerta, Panembahan Tjirebon, bagian proyek penelitian dan pengkajian Budaya Sunda (Sundanologi), Jakarta: Direktorat Jendral Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986, hal. 54
15 Simuh, ‘Gerakan Kaum Sufi”, Prisma, ..........hal. 78 Baca juga karya-karya berikut Karkono Kamajaya Partkusumo, Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: Ikatan Penerbit Yogyakarta, 1995, cet.-1, Julian Baldick, Islam Mistik, Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002, cet.-1, Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS, 2004, cet.-2, Purwadi, Dukun Jawa, Yogyakarta: Media Abadi, 2004, cet.-1, M. Hariwijaya, Islam Kejawen,Sejarah, Anyaman Mistik, dan Simbolisme Jawa, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004, cet.-1.
16 Atja dan Ajatrohaedi, Negarakertabhumi......., hal. 53-54, lebih rinci tentang budaya pesisir baca Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LkiS, 2005, cet.-1, Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batk Pegunungan, Orientasi Nilai Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010, cet.-1, Adrian Vickers, Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara, Denpasar: Udayana University Press, 2009, cet.-1
17M. Dien Madjid, “Keberadaan Sejarah Islam Indonesia”, Mimbar dan Agama Budaya, No. 6, Tahun II, hlm. 49, juga lihat Edi S. Ekadjati, at. Al., Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di daerah Jawa Barat, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1982/1983, hal. 18
18Lihat P. Suyono, Peperangan Kerajaan di Nusantara, Penelusuran Kepustakaan Sejarah, Jakarta: Grasindo, 2004, cet.-1, G. Moedjanto, Suksesi dalam Sejarah Jawa, Yogyakarta: Universitas Sanata Darma, 2002
egalitarian19, demokratis20, semakin mendorong ketidakstabilan yang memang sudah
ada.21 Para pemeluk Islam merasa bahwa model kerajaan pra Islam sudah tidak dapat
dipertahankan lagi karena bertentangan dengan perkembangan zaman, atau dengan
kata lain tak mampu menjawab kebutuhan masyarakat baru itu.
Dalam situasi dan kondisi ketidakstabilan itu Adipati banyak yang melepaskan
diri dari pemerintahan pusat dan berhubungan dengan saudagar-saudagar Islam yang
memiliki kekuatan sebagai pengendali kegiatan perekonomian.22 Dalam posisi kedua
belah pihak seperti ini ada semacam proses tawar-menawar yang saling
menguntungkan.23 Eratnya hubungan penguasa (Adipati-pen.) dengan para saudagar
mempermudah mendapatkan legalitas lisensi perniagaan bagi yang terakhir.
Keuntungan yang diperoleh elite penguasa, lancarnya roda kegiatan perekonomian
yang pada gilirannya merupakan jaminan atas status quo kekuasaannya.24 Bahkan
lebih dari itu berdasarkan alasan-alasan agama25 atau politik26 penguasa pesisir banyak
yang memeluk Islam, sebagaimana halnya saudagar tidak sedikit yang mempersunting
putri-putri Adipati atau bangsawan.27
Uraian-uraian di muka menjelaskan bahwa mereka yang memeluk Islam
berasal dari kalangan elite, baik elite politik atau ekonomi28 yang pada tahap
19Mengenai egaliterianisme Islam, baca Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri, Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, pengantar Kuntowijoyo, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002, cet.-1, Bassam Tibi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, cet.-1, George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005, cet.-1, Louise Marlow, Masyarakat Egaliter, Visi Islam, Bandung: Mizan, 1999, cet.-1
20Tentang watak demokratik Islam, lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa........, hal. 195. Baca juga Mohammad Shoelhi, (ed.), Demokrasi Madinah, Model Demokrasi Cara Rasulullah, Jakarta: Publika, 2003, cet.-1, Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw, Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet.-1, Robert Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2000, cet.-1, Saiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Gramedia, 2007, cet.-1.
21Solichin Salam, Sekitar Wali Songo, Kudus: Menara Kudus, 1974, cet.-4, hal. 9-1322Uka Tjandrasasmita, Sepintas Mengenai Peninggalan Kepurbakalan Islam............hal.2, baca
juga H.J. De Graaf dan TH.G.TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam......., hal. 2423Graaf dan Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam.......hal. 24, juga lihat Uka Tjandrasasmita,
Sepintas Mengenai Peninggalan Kepurbakalan Islam ........hal.2 24Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa kedua belah pihak masing-masing memperoleh
keuntungan politis maupun ekonomis. Uka Tjandrasasmita, Sepintas......hal. 225H.J. De Graaf dan TH.G.TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam.......hal. 2026S. Soebardi, “Islam di Indonesia”, Prisma, no. Extra, th. VII, 1978, hal. 6627Uka Tjandrasasmita, Masuknya Islam........hal. 8028Disebutkan Uka Tjandrasasmita, bahwa Islam diperkenalkan oleh keluarga Jawa dari
Lingkungan Tinggi (elite penguasa) ketika Majapahit sedang berkembang dan memiliki kekuasan politik yang luas, Uka Tjandrasasmita, Masuknya Islam.......hal. 80
selanjutnya mempermudah dan mempercepat proses tersiarnya Islam di kalangan
masyarakat yang masih paternalistik itu.29
Di Jawa Barat berdasarkan cerita-cerita dan Babad, bahwa para penyiar dan
pengajar Islam dikenal dengan sebutan Wali Songo30, mereka bukan hanya penyiar
dan pengajar Islam, tetapi juga bertindak sebagai Dewan Penasehat, Pendukung raja-
raja31, bahkan menjadi penguasa kerajaan seperti Syarif Hidayatullah adalah penguasa
di Jawa Barat, termasuk Jayakarta.32 Dari proses-proses seperti itu, bermula
bermunculan kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pantai-pantai. Apa yang
menyebabkan kerajaan-kerajaan baru itu berada di sekitar muara-muara atau pantai,
selain lokasi itu merupakan sentral kegiatan perekonomian, juga berkaitan dengan
mudahnya persentuhan penguasa pesisir dan saudagar33 seperti yang telah dipaparkan
di muka.
Adanya pemerintahan pusat seperti Majapahit yang sedang mengalami
disintegrasi dalam tubuhnya,34 bersamaan keberadaan tanah pesisir yang kurang subur
untuk pertanian,35 penguasa pesisir banyak yang bergabung dan berkoalisi dengan
orang-orang asing yang pada akhirnya justru merupakan ancaman bagi pemerintah
pusat yang sedang goyah itu.36
Letaknya yang strategis untuk kegiatan perekonomian antar negara didukung
dengan kekuatan angkatan laut yang dibangun untuk menjaga stabilitas lalu lintas
perdagangan37, daerah-daerah pesisir tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan
tangguh yang kelak merupakan embrio kerajaan-kerajaan Islam. Oleh karena itu tidak
aneh jika kemudian lahir kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di muara sungai atau
29Mengenai mengapa masyarakat Jawa berwatak paternalistik, lihat Clifford Geertz, Islam yang Saya Amati, Perkembangan di Maroko dan Indonesia, diterjemahkan oleh Hasan Basari, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1982, cet.-1, hal. 44-48
30Penanggungjawab Sejarah Cirebon dan Staf Keprabonan Lemahwungkuk Cirebon, Purwaka Tjarubanagari, Jakarta: Bharata, hal. 30, lihat juga Mahmud Rais, Sejarah Cirebon, jilid II dan III, disalin ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Kamil Kaelani cet.-2, t.th. dan thn, hal. 13 dan 17, lihat juga Atja dan Ayatrohaedi, Kertabhumi,......., hal. 48
31Dijelaskan bahwa Raden Patah menjadi Sultan Bintoro bergelar Sultan Alam Akbar Alfatah diangkat dan didukung oleh Wali Songo. Begitu pula halnya dengan Syarif Hidayatullah yang menjadi penguasa di Cirebon, lihat Penanggungjawab Sejarah Cirebon dan Staf Keprabonan Lemahwungkuk Cirebon, Purwaka......., hal. 19-20
32Penanggungjawab Sejarah Cirebon dan Staf Keprabonan Lemahwungkuk Cirebon, Purwaka.Tjarubanagari....., hal. 22-23
33Bandingkan dengan Tome Pires dan Uka Tjandrasasmita, “Kedatangan Islam ke Indonesia dan Penyebarannya sampai ke Asteng”, Studi Islamika, no. 19, th. VIII, Maret 1984, hlm. 34
34Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan-kerajaan Hindu Jawa ........ hal. 173-17735Clifford Geertz, Islam Yang Saya Amati........, hal. 1636S. Soebardi, Islam di Indonesia.......hal.6637H.J. De Graaf dan TH.G.TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam.......hal.26
pantai seperti Demak di Jawa Tengah, Banten dan Cirebon di Jawa Barat serta
akhirnya Jayakarta yang sebelumnya bernama Sunda Kelapa.38
Sunda Kelapa yang menjadi bagian wilayah kekuasaaan kerajaan Padjajaran
merupakan pelabuhan paling penting pada waktu itu.39 Para pedagang dari belahan
Barat yang kebanyakan beragama Islam umumnya berdatangan di pelabuhan ini,40
sebab itu tidak mustahil jika sebelum Sunda Kelapa dikuasai Fadillah Khan telah
terdapat masyarakat Islam.
Bahwa menurut catatan sejarah, Islam hadir di Sunda Kelapa setelah wilayah
tersebut dikuasai Panglima Demak.41 Mulai saat itu Islam dikembangkan, ditanamkan
sekaligus menjadi kekuatan sosial politik.42 Pada tahap berikutnya kota pelabuhan
Sunda Kelapa telah berganti nama43 menjadi bagian kekuatan sosial politik Islam
kendatipun hanya sebagai vazal dari Kerajaan Islam Demak.44
Penyiaran dan kekuasaaan Islam meluas di bawah pimpinan Fadillah Khan
sampai masa Wijayakrama yang menggantikan kedudukan ayahnya, Tubagus
Angke.45 Dalam konteks pengembangan Islam di Jayakarta tiap-tiap raja memiliki
prestasi-prestasi yang dicapainya masing-masing sesuai dengan kemampuan dan
keberadaannya.
38Kecuali Demak, baik Cirebon, Banten, maupun Jayakarta sebelum berdiri menjadi ibukota kerajaan Islam adalah merupakan pelabuhan yang banyak didatangi para saudagar. Dan karena keberadaannya seperti itu, yang berarti merupakan jalur lalu lintas dan tempat persinggahan, terutama pusat kegiatan perdagangan. Sebagaimana diketahui bahwa jalur pelayaran/perdagangan adalah jalur penyebaran Islam. Dengan demikian tidak aneh jika sudah terdapat jamaah Islam di Banten dan Cirebon sebelum Islam berdiri sebagai kekuatan politik, lihat Penanggungjawab Sejarah Cirebon dan Staf Keprabonan Lemahwungkuk Cirebon, Caruban....,hal. 12-19, juga Tome Pires menyebutkan bahwa Calapa telah didatangi para saudagar dari Sumatera, Palembang, Laue, Tanjompora, Malaca, Makasar, Jawa, Madura, dan tempat lain, lihat Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, Volume I, 1944, London, hlm. 172. Adapun Demak pada abad 16 agaknya telah menjadi penimbunan perdagangan padi, lihat H.J. De Graaf dan TH.G.TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam........hal.37. Baca juga R.Z. Leirissa. (ed.), Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi), Jakarta: Depdikbud, 1997, cet.-2, Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia Abad 13-18, Kudus: Menara Kudus, 2000, cet.-1
39 Armando Cortesao, The Suma......hal. 17240 Armando Cartesao, The Suma......hal. 17241Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, terjemahan KILTV
bersama LIPI, , Jakarta: Djambatan 1983, cet.-1, hal. 8142 Atja dan Ajatronaedi, Kertabhumi......, hal. 41-4243Mengenai penggantian nama pelabuhan Sunda Kelapa, lihat Hoesein Djajadiningrat, “Hari
Lahirnya Jakarta”, Koleksi perpustakaan Museum Pusat”, Bahasa dan Budaja, th. V, no. I, Oktober 1956, FSUI., hlm. 8-9
44 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten,....... hal. 85-8745Mengenai perkembangan Islam masa Tubagus Angke sampai sejauh ini belum banyak
terungkap, lihat Hadisutjipto, “Pemerintahan Islam di Jayakarta, Ikhtisar Abad XVI-XVIII”, KODI dan MUI, Perkembangan Islam di Jakarta (Rangkuman Diskusi Panel),Jakarta: KODI dan MUI, 1977, hal. 7
Dalam konteks pemikiran inilah kami tertarik untuk menelusuri Kesultanan
Jayakarta, Studi tentang Perkembangan Islam di Pelabuhan Sunda Kelapa (1527-
1619) sehingga diperoleh gambaran yang jelas konstruksi sejarah Islam di Jakarta.
Diharapkan penelitian ini untuk menjawab kekosongan literatur yang
menginformasikan mengapa ada vakum kekuasaan politik Islam pada pada 18-19 di
Jakarta, pasca dihancurkan Jayakarta oleh J.P. Coen pada 27 Oktober 1619. Barulah
kemudian pada akhir abad 19 dan awal abad 20 kepemimpinan masyarakat Betawi
dipegang elite agama, seperti Kiai, Habib, para Haji, Ustad, dan Jawara. Dengan
demikian terasa begitu penting arti penelitian ini dilihat dari pembentukan karakter
budaya dan masyarakat Betawi sebagai bagian dari budaya Bangsa Indonesia.
2. Fokus dan Masalah Penelitian.
Secara umum, dapat diidentifikasi berbagai permasalahan yang terkait dengan
topik yang diangkat dalam penelitian, antara lain masalah jalur perdagangan
internasional, perubahan peta politik internasional kaitan dengan Asia Tenggara,
perubahan geopolitik di Asia Tenggara abad 15-6, lahir kota-kota pesisir di Nusantara
sebagai embrio kerajaan-kerajaan bercorak Islam, kehadiran kekuatan Eropa di Asia
Tenggara dan perubahan peta politik di Nusantara.Dalam konteks ini bisa dilihat cara
dan sikap penguasa Islam merespons perubahan sosial yang terjadi, baik di tingkat
makro maupun mikro.
Kemudian persoalan kebijakan pembangunan dan kegiatan dakwah islamiyah
yang dilakukan penguasa Jayakarta. Dalam konteks ini, masalah tata kota, nama, dan
kebijakan politik yang dipakai sebagai payung pembangunan Pelabuhan Sunda
Kelapa, termasuk sikap pengausa Jayakarta terhadap kekuatan politik Barat, mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh. Dilihat juga tentang konsep negara, terutama istilah
kesultanan yang berkembang di Nusantara. Masalah dakwah islamiyah berkaitan
dengan cara-cara, materi, pelaku, dan aliran Islam yang disampiakan dan respons
rakyat Sunda Kelapa terhadap perkembangan Islam yang ditawarkan. Dalam
hubungan ini dilihat juga jaringan kerja sama dengan penyebar Islam yang ada di
tingkat interasional (global) dan lokal, dalam hal ini Wali Songo. Lalu masalah
eksistensi Kesultanan Jayakarta ditelisik juga, yang turunannya masih ada di Jakarta,
sungguhpun secara kekuatan sosial politik tidak signifikan tetapi secara budaya masih
diakui keberadaannya.
Namun, dari berbagai masalah yang diidentifikasi di atas yang menjadi pokok
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan Islam di Jakarta pada
peran tahun 1527 -1619 M, atau paruh abad 16 dan awal abad 18 M.
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang akan dikaji adalah:
Pertama, bagaimana proses lahirnya kota-kota pesisir menjadi embrio
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara?
Kedua, bagaimana proses lahirnya pelabuhan Sunda Kelapa menjadi kekuatan
sosial politik bercorak Islam?
Ketiga, bagaimana kebijakan politik penguasa Islam dalam membangun
Jayakarta?
Keempat, bagaimana tradisi Islam ditranmisi dan diwetkan keturunan
Pengeran Jayakarta yang masih eksis di Jakarta sampai sekarang?
Dengan demikian penelitian ini fokusnya adalah perkembangan Islam awal di
tatar tanah Sunda Kelapa, kemudian refleksinya pada awal abad 21 terlihat dalam
tradisi Islam yang ditransmisikan dari generasi ke generasi keturunan Pangeran
Jayakarta di tengah-tengah masyarakat Jakarta.
3.Tujuan Penelitian
Tujuan pokok penelitian ini adalah untuk memaparkan perkembangan Islam di
Bandar Sunda Kelapa yang kemudian mendorong lahirnya kekuatan sosial politik
Islam di Jakarta. Adapun secara rinci, tujuan penelitian ini adalah:
Pertama, untuk mengungkapkan bagaimana proses lahirnya kota-kota pesisir menjadi
embrio kerajaan-kerajaan bercorak Islam.
Kedua, untuk mengungkapkan bagaimana proses lahirnya Bandar Sunda Kelapa
menjadi kekuatan sosial politik Islam.
Ketiga, untuk menjelaskan kebijakan politik penguasa dalam membangun Islam di
Jayakarta.
Keempat, untuk menjelaskan tradisi Islam yang masih dtransmisikan dan diawetkan
keturunan Pangeran Jayakarta di tengah-tengah masyarakat Jakarta.
4. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini mempunyai signifikansi yang cukup besar baik secara teoretis
maupun praktis. Secara teoritis, data-data yang diperoleh dari penelusuran Kesultanan
Jayakarta, Perkembangan Islam di Jakarta Abad 16-17, dapat dibangun teori sosial
baru dalam rangka memahami perkembangan lahirnya kekuatan sosial politik Islam di
Nusantara, khususnya di pulau Jawa. Mengapa demikian, karena ada pendapat
misalnya Prof. Slamet Mulyana sebagaimana telah dikutip di muka, mengatakan
bahwa kejatuhan kerajaan-kerajaan Nusantara bercorak Hindhu-Budha, karena
agresifitas penguasa Islam.
Selain itu, sebagai lokal genius (kearifan lokal) yang dihasilkan dari kajian dan
pendokumentasian terhadap tradisi-tradisi Islam yang masih ada, dapat dijadikan
salah satu bahan dalam penyusunan muatan lokal (mulok) pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah yang pada akhirnya menjadi inspirasi dan pemersatu generasi
muda dalam menata diri untuk menjawab tantangan zaman masyarakatnya
5. Studi PendahuluanAda beberapa studi telah dilakukan berkenaan dengan Studi tentang
Perkembangan Islam di Jakarta abad 16-17 Masehi. Saidun Derani,46 misalnya
mengkaji perubahan peta geopolitik di Asia Tenggara berawal dari kejatuhan
Kerajaan Malaka yang bercorak Islam ke tangan Portugis pada tahun 1511 yang
berimplikasi sangat luas terhadap pertumbuhan kota-kota pesisir di Utara Jawa.
Berawal dari sinilah kemudian mendorong percepatan pertumbuhan komunitas Islam
di bandar-bandar niaga yang ada di Nusantara, salah satunya adalah berdiri Kerajaan
Banten bercorak Islam. Salah satu kebijakan politik yang diambil penguasa Banten,
atas perintah Sultan Demak, adalah menganeksasi Bandar Sunda Kelapa di bawah
Kerajaan Pajajaran ke dalam orbit kekuasaan poitik Islam, karena dipandang
mengancam eksistensi Islam di Nusantara sebagai implikasi dari kerja sama Pajajaran
dengan penguasa Portugis yang ada di Malaka tahun 1522 M. Salah satu hasil
penelitian menyebutkan bahwa kehadiran penguasa Eropa di Asia Tenggara, ikut
mendorong Islam diterima secara massal di Nusantara.
Kemudian, sebuah penelitian Basic Research tentang ”Masuk dan
Berkembangnya Islam di Jakarta” dilakukan team IAIN Jakarta,47 mencoba
mengeksplore berbagai kesimpangsiuran data dan interpretasi sejarah menyangkut
eksistensi kekuatan sosial politik Islam di Jakarta. Salah satu temuan hasil penelitian
ini menjelasksan bahwa tokoh yang berperan besar dalam konteks penguasaan Bandar
46Saidun Derani, Sultan Hasanudin, Pendiri dan Pembina Kerajaan Banten Bercorak Islam, Jakarta: Fakultas Adab IAIN Jakarta, 1988.
47Team Research IAIN Jakarta, Masuk dan Berkembangnya Islam di Jakarta, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1976
Sunda Kelapa adalah satu orang. Jadi penelitian ini membantah hasil penelitian
untuk disertasi doktoral Pangeran Ahmad Husein Djajadiningrat, murid kesayangan
C. Snouck Hurgronje, di Lieden, Belanda, tahun 1913, yang menyebutkan bahwa
nama Fadhilah Khan, Fatahillah, dan Falatehan adalah sosok yang berbeda.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Adab IAIN Syarif
Hidayatulah Jakarta ”Sejarah Perkembangan Islam di Jakarta Abad 17-20” yang
diketuai A. Chumaidi Syamsuddin,48 yang berupaya menggali lebih jauh tentang data-
data Islam di Jakarta sebagai lanjutan penelitian yang dilakukan tahun 1976. Studi ini
menemukan bahwa Islam sangat besar pengaruh terhadap pembentukan struktur dan
pranata sosial kota Jakarta. Yang lebih menarik lagi bahwa setelah kekuatan sosial
politik Islam dihancurkan J. P. Coen tahun 1619, maka di Jakarta tidak ada kekuatan
sosial politik yang mapan dan Islam dipandang sebagai budaya oposisi terhadap nilai-
nilai budaya kolonialisme dan feodalisme yang dikembangkan penjajah Belanda yang
mengambil Jakarta sebagai tempa pusat pemerintahan. Berawal dari sinilah mulai
lahir embrio masyarakat Betawi, yang mengental terkristal melalui akulturasi proses
sejarah yang panjangdari berbagai etnis yang ada di Bandar Sunda Kelapa pada
akhirnya melahirkan budaya Betawi dengan berbagai karekteristiknya, antara lain dari
aspek seni dan bahasa, misalnya.
Penelitian belakangan dilakukan oleh Abdul Aziz,49 alumni IAIN Jakarta,
Fakultas Tarbiyah, bekerja sama dengan LP3ES, Jakarta, yang kemudian hasil
penelitian ini dibukukan berjudul ”Islam dan Masyarakat Betawi” dan Muhammad
Jafar Iqbal tentang Islam dan Kebudayaan Betawi.50
Studi Aziz dengan pendekatan sosiologis menekankan pada aspek pranata
sosial keagamaan yang dibangun elite masyarakat Betawi dilihat dalam konteks
pembentukan karakter dan integritas komunitas Betawi sebagai sebuah entitas yang
membedakannya dengan etnis lain. Temuan studi ini menempatkan kedudukan
ulama, dalam tradisi keagamaan masyarakat Betawi yang termasuk ulama antara lain
kiai, muallim, ustad, haji, sayid, habib, sangat besar dalam membentuk identitas
kebetawian. Elite agama inilah yang menentukan dan membentuk nilai-nilai pola
perilaku masyarakat Betawi.
48Team Penelitian Fakultas Adab, Sejarah Perkembangan Islam di Jakarta Abad 17-20”, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1979
49Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, cet.150Muhammad Jafar Iqbal, Islam di Jakarta, Studi Sejarah Islam dan Budaya Betawi, disertasi
doktor pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.
Begitu juga penelitian Iqbal dikaitkan untuk penyelesaian studi doktoralnya
sungguhpun studi mahasiswa asing (Pakistan) ini tidak mendalam karena sekedar
memaparkan fakta-fakta tanpa suatu analisis yang mendalam kaitan komponen satu
dengan yang lainnya dan sifatnya hanya semacam penghadiran kurikulum sekolah.
Jadi, studi Iqbal tentang Islam di Jakarta memperkaya data yang bisa diolah untuk
kajian lebih lanjut. Sungguhpun demikian, foklore Betawi yang dikemukakan Iqbal,
memberi anumusi bahan sejarah yang dapat diolah lebih lanjut menjadi sebuah
konstruksi sejarah tentang etnis Betawi yang sekarang sedang mengalami krisis
budaya.
Dari berbagai studi yang ada, bagaimana Kesultanan Jayakarta dan
Perkembangan Islam masa itu belum terungkap dengan jelas terutama fokus
islamisasi dan pranata sosial Islam abad 16 dan 17. Diharapkan hasil penelitian ini
dapat menjawab kebutuhan yang dimaksud. Sekurang-kurangnya, penelitian
menyambung mata rantai putus tentang informasi Islam di Jakarta
6. Landasan Teoritis
Fokus penelitian ini adalah Kesultanan Jayakarta, Studi tentang Perkembangan
Islam di Jakarta (1527-1619). Dengan demikian, dalam studi ini sangat diperlukan
pemahaman tentang konsep-konsep kesultanan atau politik dan Islam. Mengapa
dikatakan demikian, karena menyangkut persoalan-persoalan yang terkait dengan
urusan publik, atau sekurang-kurangnya minta persetujuan publik (rakyat) dalam
melaksanakan suatu kebijakan. Masalah meminta atau tidak perlu persetujuan rakyat
dalam melaksanakan aspirasi rakyat yang tertuang dalam kebijakan pembangunan
sebuah negara, sebuah staat, maka sangat terkait model negara yang dipakai suatu
bangsa, apakah bersifat kerajaan atau republik. Kalau negara itu menganut azaz yang
bersifat kerajaan jelas aspirasi rakyat terkooptasi dalam kehendak raja. Raja adalah
wakil Tuhan di bumi, dan rakyat dengan segala perangkatnya, tanah, air, adalah
miliki raja.51 Jadi, penelitian ini termasuk jenis penelitian sejarah sosial-politik.
51Lihat Robert Heine-Geldern, Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, pengantar Deliar Noer, Jakarta: CV. Rajawali, 1982, Lrraine Gesick, (ed.), Pusat, Simbol, dan Hirarki Kekuasaan, Esai-Esai tentang Negara-negara Klasik di Indnesia, pengantar Onghokkham, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989, cet.-1, Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, Studi tentang Masa Mataram II Abad 16-19, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, cet.-1. Sekarang ini masih ada negara yang menganut azaz kerajaan, seperti Inggris dan Malaysia, misalnya, tetapi berkonstitusi, di mana kekuasaan raja diatur leh Undang-undang. Jadi, berlain sifatnya, negara yang menganut raja berkuasa bersifat absolut.
Dalam kaitan ini, Sartono Kartodirdjo mengartikan sejarah sosial sebagai
setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau
kelompok, dan manifestasinya beraneka ragam seperti gaya hidup, upacara, dan
perumahan.52 Pada saat ini, Azra menyebutkan bahwa sejarah sosial telah mencakup
berbagai bidang, antara lain; demografi dan kingship, studi masyarakat urban,
transformasi masyarakat, gerakan atau fenomena protes sosial, dan sejarah
pendidikan, tradisi keilmuan, serta diskursus intelektual.53 Selain itu, sejarah sosial
juga dapat dipahami sebagai sejarah yang lebih menekankan analisis terhadap faktor-
faktor atau ranah-ranah sosial yang memengaruhi terjadinya peristiwa-peristiwa
sejarah. Dalam hubungan ini, Azra menjelaskan bahwa sejarah sosial dapat dikatakan
sejarah mengenai gerakan-gerakan sosial (social movements) yang muncul dan
berkembang dalam sejarah, bahkan sering diartikan sebagai sejarah tentang sejumlah
aktivitas manusia, seperti kebiasaan (manners), adat istiadat (customs), dan kehidupan
sehari-hari (everyday life).54 Dalam bahasa Kontowijoyo, sejarah sosial adalah sejarah
yang bercerita tentang kejadian sehari-hari, bertutur tentang segala hal yang terkait
dengan kegiatan manusia, baik horizontal maupun vertikal.55 Yang dimaksud dengan
kegiatan yang sifatnya horizontal adalah aktivitas manusia yang bersifat liniar tanpa
adanya konflik yang sifatnya mengubah struktur masyarakat. Adapun yang dimaksud
dengan kegiatan yang sifatnya vertikal adalah suatu kejadian atau peristiwa sejarah
yang sifatnya dapat mengubah struktur dan nilai masyarakat sehingga lahir
masyarakat baru, dan seterusnya.
Mengenai sejarah politik, penjelasan yang cukup mendalam dikemukakan
Sartono Kartodirdjo dengan istilah analisis unidimensional.56 Menurut Sartono bahwa
kejadian sejarah atau action history terjadi penyebabnya tidak tunggal. Jadi banyak
faktor yang mendorong sebuah peristiwa itu terjadi. Mengapa demikian, karena
52Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, cet.-1, hal. 50 53 Azyumardi Azra, “Tinjauan Ilmu Sejarah”, dalam Mastuhu, dkk.(eds.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam……. 1998, hal. 125-126. Bandingkan dengan pemikiran Kuntowijoyo dalam bukunya, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. 54 Azyumardi Azra, “Historiografi Islam Indonesia antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggiran,” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF,(eds.), Menjadi Indonesia, Bandung: Mizan, 2006, hal. 5-6; Lihat juga Sartono Kartodirdjo, Pendekatani........hal. 50-53
55Lihat Kontowijoyo, Metodologi Sejarah,Sejarah Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana kerj sama dengan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, 1994, cet.-1, hal. 33-49
56Sartono Kartdirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial.......hal. 46-50. Uraian berikut ini saduran penulis dari penjelasan Sartono Kartodirdjo tersebut ditambah dengan analisis yang cukup mendalam dan detail dari Deliar Noer dalam karyanya “Pengantar Ke Pemikiran Politik, Edisi Baru, Jakarta: CV. Rajawali dan Yayasan Risalah, 1983, cet.-1.
peristiwa itu banyak melibatkan berbagai hal, antara lain tarik menarik berbagai
kepentingan yang terkait dengan kejadian tersebut. Dia mencontohkan ketika terjadi
peristiwa Geger Cilegon tahun 1888 ada berbagai pra-kondisi dan situasi yang
memicu meletusnya kejadian tersebut, antara lain masalah ekonomi yang semakin
sengsara dirasakan rakyat Banten, sikap dan perilaku pejabat serta elite penguasa
setempat sangat menyinggung perasaan dan harga diri elite agama, selain faktor
kepemimpinan yang sangat korup dan dzalim. Atas dasar berbagai hal ini, maka para
pakar politik misalya Meriam Budiradjo,57 menyebutkan bahwa berbicara soal politik
akan melibatkan konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decisionmakaing), kebijakan (policy), dan pembagian (distribution), atau alokasi
(allocation).
Jadi, dalam konteks penelitian ini sejarah sosial politik diartikan dengan studi
tentang berbagai upaya yang dilakukan penguasa Islam dalam hal ini raja Demak,
Cirebon, Banten, dan terakhir penguasa Bandar Sunda Kelapa membentuk negara,
dari mana sumber kekuasannya berasal, bagaimana dalam mengambil keputusan,
kebijakan apa yang diambil, dan bagaimana mendsitribusikan kekuasaan yang ada,
yang semua ini terkait dengan kekuasaan sosial politik di Bandar Sunda Kelapa. Yang
menjadi masalah adalah bahwa kekuatan sosial politik yang berkuasa sebelum ini
berorientasi Hindhu-Budha. Sedangkan penguasa yang sekarang berorientasi Islam.
Ini artinya bahwa nilai-nilai Islam memberi pengaruh dalam menerapkan kekuatan
sosial politik dalam kehidupan publik yang tercermin dari nama ”kesultanan
Jayakarta”. Uraian berikut ini dicoba dianalisis konsep negara dalam Islam secara
garis besar, yang disadur dari berbagai karya penulis Islam.58
Sumber utama ajaran Islam Al-Qur’an telah memberikan petunjuk prinsip-
prinsip dasar dalam mengurus urusan rakyat (bernegara), antara lain masalah
kedudukan manusia di muka bumi (khalifah), manusia sebagai umat yang satu (sama
di hadapan Tuhan turunan Adam as), menegakkan kepasatian hukum dan keadilan,
kepemimpinan, musyawarah, persatuan dan persaudaraan, persamaan, hidup
bertetangga/hubungan antar negara, tolong menolong dan membela yang lemah,
57 Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1985, cet.-9, hal. 8-1458Lihat J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemkiran, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada kerja sama dengan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1997, cet.-3, M. Ali Haidar, Nahadatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqh dalam Politik, Jakarta: Gramedia, 1998, cet.-1, Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara, pengantar Deliar Ner, Jakarta: Media Dakwah, 2000, cet.-1,Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, pengantar Nurchalis Madjid, Jakarta: LP3ES, 1996, cet,-3.
perdamaian dan peperangan, perekonomian dan perdagangan, administrasi dalam
muamalah, bela negara, HAM; hak untuk hidup, milik pribadi dan mencari nafkah,
penghormatan dam kehidupan pribadi, berpendapat dan berserikat, kebebasan
beragama, sikap tasamuh atas agama dan pemeluk agama, amal makruf dan nahi
munkar, membela diri, bebas dari rasa takut, dan prinsip dalam menetapkan pelaksana
suatu urusan. Persoalannnya dalam perspektif sejarah prinsip-prinsip yang disebutkan
di atas, implementasinya terlihat beragam.
Bermula dari contoh pelaksanaannya di Madinah, di mana Nabi Muhammad
saw terlihat kedudukannya sebagai pemuka agama (spirirual) sekaligus kepala negara.
Kemudian diikuti oleh para penerusnya dikenal dengan sebutan khalifah al-rasyidun
(Abu Bakar, Umar al-Khaththab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).
Perkembangan lebih lanjut, muncul istilah Imamah, Imarah, Imam, Amir, dan Sultan.
Pada prinsipnya sebutan itu merujuk kepada fungsi kepala negara sekaligus fungsi
spiritual (agama). Khusus istilah sulthan merujuk tradisi yang dikembangkan dinasti
Turki Usmani.
Di Indonesia pada masa periode kerajaan-kerajaan Nusantara yang bercorak
Islam,59 dimulai dari kerajaan Pasai60 di Sumatera dan berakhir dengan kerajaan
Mataram di Jawa sampai masa Indonesia moderen, gelar yang dipakai untuk kepala
negara pada umumnya adalah ”sultan”, misalnya terlihat dari gelar yang dipakai
Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Ngayogyakarta sebagai penerus Kerajaan
Mataram Islam. Begitu juga beberapa kerajaan yang berorak Islam di wilayah Timur,
misalnya di Ternate memakai gelar sultan, seperti Sultan Mudaffar Syah Alam.
Pemakaian gelar sultan oleh para raja kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara
karena pengaruh dari Kesultanan Turki, yang ketika itu mengklaim sebagai khalifah
dunia Islam. Tetapi fungsi yang dijalankannya tetap sebagai kepala negara dan fungsi
penjaga agama (spiritual), walaupun data sejarah Islam di Jawa menunjukkan bahwa
peran Wali Songo sangat signifikan dalam masalah spiritual ini.61 59Penulis Islam Indonesia menyebutkan kerajaan-kerajaan Nusantara yang dibangun para elite
Islam dengan istilah “bercorak Islam”, Lihat Uka Tjandrasasmita, (ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka, 1977, cet.-1, Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Gramedia kerja sama dengan Fakutas Adan Humaniora UIN Jakarta, 2009, cet.-1, Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeolohgis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998, cet.-1
60Muhammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah, Abad 13 sampai Awal Abad 16, Jakarta: Depdikbud, 1997, cet.-2.
61Lihat beberapa studi tentang Wali Songo, misalnya Didin Sofwan, dkk., Islamisasi Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, cet.-1, Solochin Salam, Sejarah Islam di Jawa, Jakarta: Jayamurni, 1964, cet.-1, Nur Amin Fatah, Metode Dakwah Walisongo, Pekalongan: CV. Bahagia, 1997, cet.-1, Edi. S. Ekajati, Sunan Gunung Jati, Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda, Jakarta: Pustaka
Jadi, uraian-uraian di muka terlihat bahwa pada periode awal kerajaan-
kerajaan Islam bercorak Islam di Nusantara, seperti Kesultanan, Cirebon, Banten, dan
Jayakarta misalnya, kepala negara menjalankan sekaligus fungsi politik (negara) dan
agama.
7. Metodologi Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Dasar-dasar pemikiran di atas dipandang cukup untuk dijadikan acuan dalam
studi ini sehingga kajian ini dapat mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan
Kesultanan Jayakarta dan perkembangan Islam di Bandar Sunda Kelapa (1527-1619)
dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Adalah benar, bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi perkembangan Islam di Bandar Sunda Kelapa, baik secar kultural
maupun struktural, namun segala permasalahan perlu didekati secara historis. Dengan
pendekatan sejarah ini, diharapkan dapat dihasilkan sebuah penjelasan (historical
explanation) yang mampu mengngkapkan gejala-gejala yang relevan dengan waktu
dan tempat beerlangsungnya kejadian ini. Kemudian, secara historis dapat pula
diungkapkan kausalitas, asal-usul, segi-segi prosesual serta strukturalnya. Dalam
kaitan ini, faktor dominan yang penting dilacak adalah kondisi struktual sosial dan
budaya yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan, sosialisasi policy sebagai sebuah
kebijakan, faktor pencetus gerakan, mobilisasi pengikut (soldiers), dan faktor counter
action terhadap gerakan.62
Penelaahan dan penejelasan terhadap kompleksitas gejala sejarah itu pada
gilirannya menghendaki penggunaan konsep-konsep dalam pendekatan ilmu sosial.63
Dalam konteks studi ini tentu saja konsep keagamaan (Islam), seperti telah dipaparkan
di atas, yang pertama-tama diperhatikan. Di samping itu, kajian terhadap aktualisasi
perubahan geopolitik internasional yang kemudian mendorong perkembangan di Asia
Tenggara sangat penting digambarkan dengan konsep sosial politik, karena
Jaya, 2005, cet.-1, Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, cet.1. 62Neil J. Smelser, Theory of Collective Behaviour, London: The MacMillan Company, 1967,
hal. 1-23, lihat juga Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, pengantar Mestika Zed, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, cet.-2
63Lihat Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi PenelitianSejarah, Jakarta: Gramedia, 1992, baca juga Christopher Lloyd, Explanation in Social History, New York: Basil Blackwell Ltd., 1986.
menyangkut tarik menarik kepentingan dari berbagai bangsa, baik dengan alasan
agama, ekonomi, dan politik itu sendiri.64
Perkembangan Bandar Sunda Kelapa dalam kurun waktu itu sudah pasti
berpapasan dengan bermacam-macam perubahan sosial yang mempengaruhi sistem
sosial masyarakatnya. Dengan demikian, studi ini perlu melacak strukur sosial yang
melatarbelakangi dinamika Kesultanan Jayakarta dan perubahan-perubahan dalam
masyarakat lingkungannya. Barangkali tidak terabaikan dalam konteks perubahan
sosial itu, termasuk konflik-konflik sosial, sistem-sistem tradisonal dan perubahan
nilai keagamaan, dan pola hubungan antarkelmpok di dalam masyarakat Banda Sunda
Kelapa yang bersangkutan.65 Kemudian perubahan sosial itu di dalam gejala-gejala
yang lebih kompleks dapat pula dilihat dari adanya transfrmasi struktural. Dalam
konteks ini, menurut Sartono Kartodirdjo hal ini dapat ditelusuri dari adanya proses
integrasi dan disintegrasi, atau disorganisasi dan reorganisasi. Bisa diduga prosesual
semacam ini akan mengubah secara fundamental dan kualitatif jenis solidaritas yang
menjadi ikatan kolektif, atau ikatan komunal masyarakat Bandar Sunda Kelapa
menjadi organisasi formal (staat).66
b. Jenis dan Sumber Data.
1. Jenis Data.
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah Jayakarta dan
Islam. Lebih lanjut, yang termasuk ke dalam Kesultanan Jayakarta adalah jaringan
hubungan antar kerajaan Islam Demak, Cirebon, Banten, hubungan kerja sama
Portugis dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran, tokoh-tokoh, baik raja maupun elite
agama yang berperan, Jaringan perdagangan internasional dan antar pulau, struktur
sosial dan sistem sosial masyarakat Bandar Sunda Kelapa, sarana dan pra-saranan
yang dipakai dalam proses penyerangan Bandar Sunda Kelapa. Kemudian tentang
Islam meliputi tradisi teologi, tradisi fiqh, tradisi tasawwuf, dan ritual-ritual serta
serimonial keagamaan yang dikembangkan elite agama lalu ditransformasikan kepada
rakyat. Selanjutnya transmisi mencakup aspek dakwah, antara lain lembaga, kegiatan,
64Sangat membantu memahami kondisi-kondisi seperti ini konsep yang ditawarkan Robert F. Berkhofer, Jr., A Behavioural Approach t Historical Analysis, New York: The Free Press, 1971, hal. 67-74, barangkali dapat dipinjam konsep Sartono Kartodirdjo dalam menjelaskan terjadinya konflik kepentingan yang disebabkan faktor ekonomi, agama, dan kultur, lihat Sartono Kartodridjo, Pemberontakan Petani Banten 1988, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, cet.-1
65Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: CV. Rajawali, 1984, hal.23 66Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial.........hal. 161-162
jenis-jenis dakwah, sarana dan media dakwah, metode, materi, dan kitab-kitab
rujukan dakwah. Aspek-aspek pendidikan, yaitu lembaga, kegiatan, jenis-jenis
pendidikan, sarana dan media pendidikan, metode, materi, dan kitab-kitab rujukan
pendidikan. Menyangkut refleksi ritual keagamaan yang dilakukan penerus Pengeran
Jayakarta yang ada di Jakarta, maka jenis data yang dibutuhkan adalah tahlil, haul,
maulidan, salawatan, yang diawetkan dari generasi ke generasi leh pengikut
Pangerang Jayakarta..
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer.
Sumber data primer dalam penelitian ini antara lain wawancara, Babad,
dokumentasi, koleksi Belanda, cacatan keturunan Raja Cirebon, ceita-cerita rakyat,
cacatan musafir asing, yang semuanya merujuk pada data diteliti.
Jadi, data tentang Jayakarta bersumber dari babad, cacatan keturunan raja-
raja Demak, catatan keturunan raja-raja Cirebon, catatan keturunan raja-raja Banten,
catatan keturunan raja-raja Pangeran Jayakarta, Babad, cerita-cerita rakyat, koleksi
Belanda, koleksi museum Gajah Mada (Perpustakaan Nasional) serta data lapangan
yang dilakukan dengan wawancara kepada keturunan Pangeran Jayakarta dan
masyarakat sekitar. Data tentang tradisi k Islam bersumber dari kitab-kitab karya
ulama klasik abad 13 Masehi, baik aspek teologi, fiqh, dan tasawuf. Data tentang
refleksi kegamaam penerus keturunan Pangeran Jayakarta adalah survey lapangan
kepada aktivitas ritual keagamaan dan wawancara kepada keturunan Pangeran
Jayakarta bersama masyarakat pengikutnya, termasuk di dalamnya catatan-catatan
ritual keagamaan yang dimilikinya.
b.Sumber Data Sekunder.
Adapun sumber data sekunder antara lain; pandangan, tulisan orang yang
memiliki relevansi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari berbagai
laporan penelitian, jurnal, majalah, makalah, buku, media cetak, dan elektro
c. Metode Pengumpulan Data.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yaitu suatu cara, jalan, atau
petunjuk pelaksana, atau arahan teknis untuk mendapatkan data yang diperlukan
dalam penulisan sebuah kisah sejarah.67 Sejalan dengan pengertian ini, Louis
menjelaskan bahwa metode sejarah sebagai sebuah proses menguji dan menganalisis
secara kritis rekaman dan pengalaman masa lampau kesaksian sejarah guna
menemukan data yang autentik dan valid, serta upaya sistesis atas data semacam itu
menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Jadi, metode sejarah adalah sebuah
petunjuk atau pedoman untuk mendapatkan data sejarah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Penelitian ini mencakup studi kepustakaan (library research), dan lapangan.
Studi kepustakaan, yaitu menelusuri sumber data dari berbagai bacaan, baik yang
bersifat primer dan sekunder. Tujuannya untuk mengumpulkan data dan informasi
dengan bantuan beragam material yang terdapat di ruangan, baik perpustakaan publik
maupun pribadi (private labrary), misalnya buku-buku, dokumen, koran, majalah,
catatan pribadi, monograf, catatan kisah sejarah, hasil penelitian, yang dipandang
masih berkaitan dengan topik masalahnya.68.
Adapun studi lapangan (field research), yaitu kegiatan observasi dan
wawancara langsung kepada sumber informasi yang dianggap valid, yang dapat
memberikan keterangan sesuai dengan fokus kajian.69 Tujuan observasi dan
wawancara untuk mendapatkan keterangan dari responden agar terkumpul sejumlah
informasi tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian mereka.
Ditambahkan bahwa yang penting bagi metode wawancara, 1) seleksi individu untuk
diwawancarai, 2) pendekatan terhadap orang yang sudah diseleksi, 3) pengembangan
suasana lancar serta usaha melahirkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang
yang diwawancarai.
d. Pengolahan dan Analisis Data.
Data yang terkumpul diediting dan kemudian diklasifikasikan untuk
dikatagorisasi. Selanjutnya, beberapa data yang terkumpul dipilah berdasarkan
relevansi dengan kajian yang diteliti. Tahap kategorisasi ingin mengelompokkan
67Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, cet.-1, hal. 53.68 Sartono Kartodirdjo, “Metode Pengunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat, (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1979, cet.-2, hal. 61-92, hal. 87, Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999, hal. 30-38. Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah, Edisi Revisi........ hal. 40-48
69Koentjaraningrat,”Metode Wawancara” dalam Koentjaraningrat, (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, ..............hal. 162-196; Harsja W. Bachtiar, ”Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian”, dalam Kentjaraningrat, (ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat..........hal. 137-161
setiap data ke dalam unit-unit analisis berdasarkan kesesuaian antara satu tema dengan
tema lainnya sehingga menggambarkan keseluruhan analisis yang utuh. Sedang pada
tahap tipologisasi, beberapa data yang sudah diproses pada tahap kategorisasi, akan
dianalisis berdasarkan kecenderungan khusus dari data-data yang terkumpul, sehingga
akan tergambar tipologi yang relatif komprehensif di dalamnya.
Kemudian dilakukan analisis sistemik untuk Kesultanan Jayakarta, Studi
tentang Perkembangan Islam di Bandar Sunda Kelapa Abad 16-17 Masehi. Analsisi
sistemik ini juga digunakan untuk mencari keterkaitan antar berbagai komponen dan
konsep sehingga membentuk satu kesatuan sistem yang kompleks agar dapat
memahami hakikat perkembangan Islam di Bandar Sunda Kelapa. Jadi penelitian ini
bersifat deskriptif-kualitatif.70
e. Langkah-langkah Penelitian.
Secara umum, metode` sejarah ini sendiri dilakukan dengan empat langkah,
yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.71 Heuristik adalah pengumpulan
dan penelusuran sumber data melalui pelacakan atas berbagai dokumen dan situs
sejarah, serta wawancara dengan para murid ulama tersebut. Dan pengumpulan serta
penelusuran sumber data primer dan sekunder dilakukan ke berbagai perpustakaan,
baik perpustakaan publik, seperti Perpustakaan Nasional RI, LIPI, Arsip Nasional,
DKI, dan Jakarta Islamic Center (JIC); perpustakaan lembaga pendidikan, seperti UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, atau koleksi pribadi yang ada kaitannya dengan pokok
bahasan, seperti koleksi pribadi keturunan raja-raja Cirebon, Banten, dan Pangeran
Jayakarta.
Selain itu karena sifat penelitian ini juga lapangan (field research), maka
penulis mengadakan pendataan (collect) responden, kemudian menyeleksi mereka
sesuai kebutuhan yang diinginkan peneliti berdasarkan jenis data yang dibutuhkan.
Penelusuran ini meliputi responden katagori ulama, keturunan Pangeran Jayakarta,
dan Pelabuhan Sunda Kelapa yang ada di Jakarta.
Langkah kritik adalah upaya peneliti untuk mengkritisi dan menguji sumber
serta data sejarah yang sudah dikumpulkan. Dalam kaitan ini peneliti harus
70 Jhon W. Best, dalam Sanafiah Faisal, (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional, 1987, hal. 63.
71Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995, hal.109-110, Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah......... hal.44. Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method, , Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975, hal.18-19
melakukan kritik interen dan eksteren. Kritik eksteren dilakukan untuk menguji
keaslian atau otentisitas sumber sejarah dan diharapkan dapat diketahui sumber asli
dan yang palsu. Sedang kritik interen dilakukan untuk menguji validitas data sejarah.
Kritik interen dan eksteren dilakukan untuk mendapatkan sebuah fakta72 yang
kemudian menghasilkan sebagai data73 yang terseleksi. Langkah interpretasi adalah
upaya menafsirkan berdasarkan perspektif tertentu -fakta sejarah sebelum dan selama
proses rekonstruksi- fakta itu menjadi struktur dan bentuk yang logis. Langkah
historiografi adalah menuliskan hasil penafsiran menjadi sebuah kisah sejarah yang
utuh versi penulis.
8. Sistematika Pelaporan
Pada Bab I. Pendahuluan yang di dalamnya mencakup Latar Belakang
Masalah, Fokus dan Masalah Penelitian, Tujuan dan Kontribusi Penelitian, Kajian
Pustaka, Landasan Teoritis, Metodologi Penelitian (Pendekatan, Jenis dan Sumber
Data, Metode Pengumpulan Data, Pengolahan dan Analisis Data, dan Langkah-
langkah Penelitian), dan Sistematika Penulisan.
Bab II membicarakan tentang masuknya agama Islam dan pertumbuhan
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Dalam kaitan ini dilihat juga hubungan-
hubungan antar berbagai pedagang internasional dan lokal yang ada di Asia Tenggara.
Pada bab III, ditelaah tentang masuknya Islam di Jakarta dan berdirinya
kekuatan sosial politik Islam di Bandar Sunda Kelapa. Dianalisis juga dalam kaitan ini
masalah struktur masyarakat dan sistem sosial yang berkembang di Bandar Sunda
Kelapa. Dijelaskan juga perkembangan Islam di Bandar Sunda Kelapa
Pada bab IV dianalisis tentang kedatangan orang-orang Belanda di Bandar
Sunda Kelapa, dan bagaimana proses Jayakarta berhasil dikuasai Belanda. Dianalisis
juga masalah perkembangan politik internasional terkait dengan penguasaan wilayah
Islam di belahan Timur Dunia. Diakhir analisis diterangka juga beberapa peninggalan
keturunan Pangeran Jayakarta yang masih berkembang sekarang di Jakarta
72 Fakta sebenarnya merupakan produk dari proses mental atau memorisasi (sejarawan). Sebab itu fakta pada hakikatnya bersifat subjektif karena sejarah memuat unsur-unsur dan isi subjek. Baik pengetahuan maupun gambaran sejarah adalah hasil rekonstruksi pengarang, maka inklud di dalamnya memuat sifat-sifatnya, gaya bahasanya, struktur pemikirannya, pandangannya, dan lain sebagainya. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.........., hal.14. C.A. van Peursen, Fakta, Nilai, Peristiwa, terj. A.Sonny Keraf, Jakarta: Gramedia, 1990, hal.52. 73 Data sebagai bahan memerlukan pengolahan, penyeleksian, pengkatagorian, dengan merujuk kreteria tertentu. Dan kreteria ini sangat bergantung kepada subjek yang melakukan pengkajian. Misalnya, kuesioner hasil survey pedesaan memuat banyak data masyarakat pedesaan. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial …….hal. 17
Pada bab V Penutup menyangkut kesimpulan dan rekomendasi.