eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada...
-
Upload
nguyenkiet -
Category
Documents
-
view
247 -
download
1
Transcript of eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada...
REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN
LOKAL HUKUM ADAT LAMPUNG
Ujian Tertutup Disertasi
Diajukan untuk memenuhi Syarat memperoleh gelar doktor dalam Ilmu Hukum
Efa Rodiah NurNIM : 1010111500005
UNIVERSITAS DIPONEGOROPROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
SEMARANG2016
i
REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL
HUKUM ADAT LAMPUNG
EFA RODIAH NURNIM : 1010111500005
Semarang,................ Mei 2016Telah Disetujui Untuk Dilaksanakan oleh :
Menyetujui :
Promotor Co. Promotor
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH Dr. Eddy Rifai, SH., MH NIP. 19430123 197010 1 001 NIP 19610912 198603 1 003
Mengetahui :Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH., M.Hum.NIP. 19620118 1987 032001
ii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Efa Rodiah Nur
NIM : 1010111500005
Alamat : Jalan. Way Besai No. 16 sumurbatu TBU Bandar Lampung
Asal Instansi : IAIN Raden Intan Lampung
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Karya Tulis saya, disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (doktor), baik di Universitas Diponegoro maupun
diperguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan judul
buku aslinya dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku diperguruan tinggi ini.
Semarang, ......... Mei 2016Yang Membuat Pernyataan,
Efa Rodiah NurNIP: 1010111500005
iii
ABSTRAK
Sistem hukum Indonesia yang dibangun dari nilai-nilai adat dan kearifan lokal perlu diberikan ruang kembali dalam pembangunan sistem hukum nasional. Dalam penanganan tindak pidana ringan di Lampung menggunakan hukum adat dirasakan memberikan rasa keadilan bagi para pihak. Diperlukannya upaya untuk melegitimasi dan memberikan ruang untuk penyelenggaraan media penyelesaian perkara melalui kearifan lokal berbasis hukum adat Lampung.
Permasalahan yang relevan untuk dikaji dalam disertasi ini adalah : (1) Mengapa penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan hukum positif mengusik rasa keadilan terhadap masyarakat, (2) Bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung, (3) Bagaimana merekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan dengan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.
Penelitian disertasi ini menggunakan paradigma constructivist dengan Metode Pendekatan Non Doktrinal atau socio-legal research dengan metode Kualitatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data utama dalam penelitian ini adalah data lapangan dan didukung oleh data kepustakaan, metode analisis data menggunakan Yuridis-kualitatif. Untuk validasi data lapangan menggunakan teknik wawancara dan observasi.
Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian disertasi ini sesuai dengan permasalahan yang dijadikan fokus dalam penelitian didapati hal-hal sebagai berikut: Pertama, bahwa Penegakan hukum pidana menggunakan hukum positif yang tertulis tehadap tindak pidana ringan tidak memberikan keadilan yg bersifat substansial. Kedua, Penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung dengan menggunakan media Rembuk Pekon. Ketiga, pendekatan deregulasi kebijakan dan harmonisasi antara hukum positif dan kearifan lokal berbasis hukum adat Lampung, dengan melakukan dekonstruksi terlebih dahulu dan kemudian merekonstruksi sistem hukum berkeadilan.
Bahwa proses penegakan hukum pidana atas tindak pidana ringan dengan melalui sistem peradilan pidana masih dirasa mengusik keadilan masyarakat dan dengan adanya gugatan terhadap sistem peradilan pidana dengan media Rembuk Pekon berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung maka perlu diintegrasikan. Adat istiadat Lampung memberikan ruang dalam harmonisasi hukum nasional dengan kearifan lokal yang berbasis hukum adat Lampung yang bertujuan untuk memberikan keadilan.
Kata Kunci : Rekonstruksi, Sistem Hukum Pidana, Kearifan Lokal, Hukum Adat Lampung, Penegakan Hukum atas Tindak Pidana Ringan, Berkeadilan
iv
ABSTRACT
Indonesian legal system which constructed by tradition values and local wisdom needed to give the space within the development of national legal system. In handling the less serious crime cases, Lampung using customary laws which provide a sense of justice for the parties. The effort to legitimize and to give the space for the provision of settling disputes through local wisdom based on traditional law is needed.
Relevant issues in this dissertation are: (1) Why is the completion of a less serious crime by using positive law disturb the sense of justice to the people, (2) How is the settlement of less serious crime based on local wisdom of indigenous Lampung society, (3) How to reconstruct the criminal justice system in the completion of a less serious crime with customary law based on Lampung local wisdom.
This dissertation research using constructivist paradigm with Non- Doctrinal Approach method or socio-legal research with qualitative methods, using descriptive analytical research specifications, the type of key data in this study is supported by field data and literature data, methods of data analysis using qualitative juridical. To validate field data using interview and observation techniques.
Results of research and discussion in this dissertation in accordance with the issues being focused in the research found the following things: First, that the enforcement of criminal law is using positive law for minor criminal offenses do not provide substantial justice. Second, Completion of minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous Lampung using a Rembuk Pekon. Thirdly, the approach of deregulation policies and harmonization between positive law and customary law, by deconstructing and then reconstruct the legal system of justice.
That the process of criminal law enforcement on less serious crime with through the criminal justice system is still considered disturbing the sense of justice and the lawsuit in the criminal justice system can use Lampung Customary Law so that it is needed to be integrated. Lampung customary law gives the space for the harmonization of national legislation with its the local wisdom that aims to provide justice.
Keywords: Reconstruction, Criminal Justice System, Local Wisdom, Lampung Customary Law, Law Enforcement on less serious crime, Fair.
v
RINGKASAN
Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh pandangan penulis terhadap
hukum itu sendiri, paradigma saat ini terkait dengan menafsirkan hukum hanya
menafsirkan Undang-Undang semata. Sedangkan di dalam perkembangan hukum
pidana Indonesia yang tidak terlalu sistematis banyak dirasakan, diperlukannya
penataan kembali dan penyesuaian antara lain penegakan hukum pidana terhadap
tindak pidana ringan sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam
ketentuan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Apabila berbicara tentang hukum di Indonesia, maka yang terlintas
dalam pemikiran penulis akan langsung bertujuan pada Undang-Undang,
Peraturan Perundang-Undangan atau peraturan tertulis lainnya. Padahal
sebenarnya, hukum mempunyai begitu banyak aspek dan terdiri dari banyak
komponen atau unsur-unsur yang lain. Aspek atau unsur mana yang dianggap
paling penting tergantung dari falsafah hukum yang dianut oleh sistem hukum
yang bersangkutan. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan
sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam ketentuan Pasal 205 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada pokoknya tindak pidana
ringan diancam dengan pidana paling lama tiga bulan penjara. Tindak pidana
ringan yang perlu mendapat perhatian meliputi pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan
482 KUHP, Pasal-pasal ini telah mengalami perubahan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 16 Tahun 1960, dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.
vi
Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa
menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang.
Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi
pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari
kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan
semua unsur yang ada, seperti hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis,
moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang
baru dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih
didominasi oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum pidana yang hanya
bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih
melihat persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu
bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum.
Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya yang
dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang ada didalamnya. Cara pandang
legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan hukum di
Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum
sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya.
Terobosan dalam penegakan hukum dimana terdapat harmonisasi antara
hukum positif dan hukum yang hidup di masyarakat harus diperhatikan pula, agar
dalam suatu proses pencarian kebenaran sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Sepertihalnya penggunaan hukum pidana adat Lampung dalam penyelesaian
perkara ringan yang berdasarkan kearifan lokal, dengan memenuhinya rasa
vii
keadilan masyarakat setempat terhadap tindak pidana ringan yang diselesaikan
melalui hukum adat seyogyanya tidak perlu diteruskan kembali melalui proses
sistem peradilan pidana. Penegakan hukum pidana yang demikian akan mebunuh
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta kearifan-kearifan lokal yang ada di
masyarakat adat Lampung.
Pada realitasnya, terdapat kasus-kasus yang dapat dijadikan bahan untuk
pondasi konstruksi realitas penegakan hukum tindak pidana ringan yang ada
khususnya di Lampung, seperti halnya kasus kawin lari pada masyarakat adat
Lampung Pepadun, serta kasus “Cekcok Rumah Tangga”, kasus “Kesalah
Pahaman”, kasus “Pencurian”, kasus “Penganiayaan”, ¸kasus “Laka Lantas”,
kasus “Keributan”, kasus “Penyerobotan Tanah”, kasus” Perbuatan Tidak
Menyenangkan”, kasus “Penggelapan”, kasus “Penganiayaan ringan”, kasus
“Perbuatan Cabul”, kasus “Penipuan”, kasus-kasus tersebut telah diselesaikan
dalam koridor hukum adat dengan media kearifan lokal, meskipun banyak juga
yang penyelesaiannya tidak melalui jalur hukum adat tetapi melalui peradilan
formal.
Perkara-perkara Tindak Pidana Ringan (TIPIRING) yang masuk ke
pengadilan juga telah membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun
dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. Sebagaimana dinyatakan oleh guru
besar Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie bahwa penumpukan perkara di
pengadilan mencapai 3 (tiga) juta kasus. Tanpa ada akselerasi proses kerja
pengadilan angka itu makin menggelembung. Pada level Mahkamah Agung
tercatat sekitar 13 (tiga belas) ribu perkara kasasi yang belum ditangani hingga
viii
akhir tahun 2011. Dalam hal ini penegakan hukum pidana berdasarkan pada
ketentuan dalam Hukum positif (KUHP dan Undang-Undang diluar KUHP).
Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian
konflik secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra
Selatan, Lombok, Papua, Sulawesi Barat, dan masyarakat Sulawesi Selatan.
Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin diadakan
perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan selanjutnya dari
hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya terhadap penyelesaian
konflik melalui musyawarah memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan
pada harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing
keadaan, dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian.
Budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh masyarakat
Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang berunding
didalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan konflik misalnya, akan
berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat dicapai titik temu yang
menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung pada mufakat. Suatu
musyawarah memerlukan tokoh yang dihormati untuk memimpin musyawarah
dapat mencapai mufakat tersebut. Apa yang diputuskan dalam musyawarah guna
menyelesaikan konflik tersebut secara perlahan-lahan berkembang menjadi
hukum adat.
Eksistensi penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui hukum adat
merupakan dimensi baru, dikaji dari aspek teoretis dan praktik. Dikaji dari
dimensi praktik maka hukum adat akan berkorelasi dengan proses peradilan.
ix
Semakin meningkatnya jumlah volume perkara, menjadi beban bagi pengadilan
dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas “peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Dalam praktek sosial pada
masyarakat Indonesia, penyelesaian secara kekeluargaan sudah lama dikenal dan
telah menjadi tradisi antara lain pada Masyarakat Papua, Aceh, Bali, Sumatera
Barat dan masyarakat Lampung.
Di antara beragam hukum adat yang tersebar di Indonesia, hukum adat
Lampung adalah salah satu hukum adat yang berlaku di Indonesia dan mengatur
masyarakat adat Lampung selama ratusan tahun dari generasi ke generasi, bahkan
hingga kini masih berlaku mengikat bagi masyarakat adat Lampung.
Argumentasi hukum terhadap penggunaan hukum adat dalam proses
penegakan hukum selaras dengan ketentuan Pasal 18 B ayat (2) dengan ini
penyelesaian perkara tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat
Lampung sebagai alternatif dalam pencapaian keadilan. Dalam konteks
penegakan hukum pidana saat ini bahwasanya perlu dilakukan rekonstruksi
sistem hukum pidana dalam aspek hukum formal, agar supaya pada tataran
penegakan hukum pidana dalam tindak pidana ringan terdapat ruang untuk
menyesaikan perkara dengan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung. Dari
uraian latar belakang tersebut di atas, penulis meyakini bahwa dalam proses
penegakan hukum pidana, masih terbuka ruang untuk memberikan keadilan
kepada masyarakat. Dengan pendekatan rekonstruksi sistem hukum pidana
berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal
x
hukum adat Lampung dapat memberikan keadilan khususnya masyarakat di
ruang yuridiksi hukum adat Lampung. Maka penulis merasa dipandang perlu
untuk melakukan suatu kajian mengenai “Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Berkeadilan Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal
Hukum Adat Lampung”
Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang relevan yang
dapat dijadikan Fokus studi dalam penelitian ini adalah membangun konstruksi
sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan.
Kearifan lokal sebagai bagian dari aspek sosial budaya, tertuang dalam bentuk
perilaku dan simbol-simbol sosial masyarakat.
Bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat Lampung yang ada tersebut
perlu dikonstruksi seideal mungkin sehingga sistem peradilan pidana dapat lebih
efektif dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan yang berbasis kearifan
lokal hukum adat Lampung.
Berdasarkan fokus studi, yakni bagaimana sistem hukum pidana
berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal dapat
diselesaikan secara lebih efektif, maka dipandang perlu penelitian ini dilakukan
agar diperoleh pemahaman yang lebih seksama dan mendalam baik secara teoritik
maupun secara praktis. Secara substantif ada beberapa permasalahan yang dikaji
yakni penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan sistem peradilan
pidana masih mengusik rasa keadilan masyarakat.
Adapun rumusan masalah di dalam disertasi ini yang pertama, mengapa
penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan hukum positif mengusik
xi
rasa keadilan masyarakat ? Kedua, bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan
berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung ? Dan yang ketiga bagaimana
merekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak
pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.
Penelitian disertasi ini menggunakan paradigma constructivist dengan
Metode Pendekatan Non Doktrinal atau socio-legal research dengan metode
Kualitatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data
utama dalam penelitian ini adalah data lapangan dan didukung oleh data
kepustakaan, metode analisis data menggunakan Yuridis-kualitatif. Untuk
validasi data lapangan menggunakan teknik wawancara dan observasi.
Hasil penelitian dan pembahasan, pada masalah yang pertama bahwa
penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi keadilan
terbukti menjumpai banyak hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab
adalah karena peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur,
birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan yang
didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi
bagi kepentingan umum karenanya cenderung berupa keadilan yang rasional.
Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat modern tidak lain
adalah keadilan birokratis. Ketua majelis hakim yang berwenang dalam perkara
itu tidak melakukan pengecekan/kontrol atas isi BAP setelah persidangan. Dalam
praktik beberapa BAP ditandatangani oleh ketua majelis hakim apabila perkara
tersebut sudah pada tahap pembacaan tuntutan.
xii
Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan
tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di
Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu
institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal
secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap
merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk
menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan
menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah
positif menjadi kaidah kultural.
Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak
dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada
masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Di samping itu
juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan
substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan memperoleh “keadilan”
yang lebih daripada yang tidak. Apabila kita terus menerus berpegang kepada
doktrin liberal tersebut, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran
kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat.
Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-
orang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum
alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan upaya
penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu disebabkan para
pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada
abad ke-sembilan belas, filsafat liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat
xiii
besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan substansial
(substantial justice). Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum
modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang
didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan kolonial
di Hindia Belanda. Padahal suatu peralihan dari status sebagai bangsa terjajah
menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum yang cukup
krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Belanda, bangsa Indonesia tidak
mengambil tanggungjawab sepenuhnya dalam masalah penegakan, pembangunan,
dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan
objek kontrol oleh hukum. Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa
Indonesia terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum,
mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan.
Salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Untuk
mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam Pasal 2 bahwa: (1) Peradilan dilakukan“Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; (2) Peradilan negara
menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila; (3)
Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah Peradilan
negara yang diatur dengan Undang-Undang; (4) Peradilan dilakukan dengan
xiv
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bertolak dari asas-asas tersebut maka nilai-
nilai hukum yang harus diwujudkan pada penyelenggaraan peradilan dalam
rangka menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
adalah mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam tulisan ini diartikan sebagai keadilan
hakiki/materiel/substansial yaitu keadilan yang sesungguhnya tanpa ada rekayasa.
Konteks pelayanan hakim dalam menjalankan tugasnya harus bersifat aktif
bertanya dan memberikan kesempatan yang sama kepada penuntut umum dan
terdakwa untuk bertanya kepada saksi agar dapat menemukan kebenaran
materiel, ini mengingat hakim bertanggungjawab atas segala apa yang
diputuskannya. Putusan hakim yang berkualitas akan mewujudkan rasa hormat
dan wibawa hukum di hadapan publik. Namun sebaliknya jika kualitas putusan
hakim rendah maka dipastikan akan terbangun citra negatif pada hakim dan
hukum, sehingga hakim dan hukum tidak memiliki kewibawaan moral dan sosial
sekaligus. Tiga puluh lima Putusan hakim pada prinsipnya putusan moral, namun
bisa juga menimbulkan malapetaka jika tidak cermat, keliru atau salah.
Pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri (PN Kelas IA Tanjungkarang
sebagian besar menggunakan acara pemeriksaan biasa yang proses dan tata cara
penanganannya yaitu setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) baik dari Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung maupun Kejaksaan Tinggi Lampung menyerahkan
surat dakwaan (pelimpahan perkara) ke Bagian Pidana PN Kelas IA
Tanjungkarang untuk dilakukan registrasi, maka selanjutnya perkara tersebut
xv
diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri (KPN) melalui panitera untuk
dilakukan pemeriksaan administrasi apakah perkara tersebut menjadi wewenang
PN Kelas IA Tanjungkarang. Jadwal sidang perkara pidana di PN. Tanjungkarang
dilaksanakan mulai pukul 09.00 Wib mulai hari senin sampai kamis setiap
minggunya, namun dalam praktik dilaksanakan di atas pukul 13.00 Wib. Praktik
pembuktian dilakukan dengan cara memeriksa beberapa orang saksi sekaligus
pada waktu yang bersamaan, begitu juga bagi para terdakwa yang perkaranya
saling berkaitan. Selain itu ditemukan adanya pemeriksaan saksi yang berstatus
terdakwa dalam kasus yang sama (saksi mahkota).
Berita acara pemeriksaan (BAP) saksi, pemeriksaan ahli, dan terdakwa yang
dibuat oleh panitera pengganti pada umumnya bukan merujuk pada keterangan
saksi atau terdakwa di persidangan, melainkan menyalin (copy paste) dari BAP
penyidikan, sedangkan terdakwa/penasehat hukum tidak mempunyai akses untuk
meneliti isi BAP tersebut.
Setelah proses pembuktian selesai, tiba saatnya majelis hakim memberikan
putusan. Pada umumnya jarak antara selesainya pembuktian dengan pembacaan
putusan adalah 1 (satu) minggu untuk kesempatan majelis hakim bermusyawarah
untuk menjatuhkan putusan. Namun tidak menutup kemungkinan pada kasus-
kasus tertentu pembacaan putusannya tertunda berminggu-minggu dengan
berbagai alasan. Dalam praktik penyusunan surat putusan hanya disusun oleh
salah seorang anggota majelis hakim biasanya anggota yang paling yunior
(anggota ke-2) atau walaupun yang menyusun salah seorang hakim anggota tapi
isinya atas arahan ketua majelis (three in one), bahkan ada konsep surat putusan
xvi
yang dibuat oleh Panitera Pengganti (PP) dengan cara mencontoh pada surat
putusan perkara sejenis. Pembacaan putusan oleh majelis hakim dilakukan secara
bersamaan terhadap beberapa terdakwa dalam perkara yang berbeda tetapi
peristiwa hukumnya/kasusnya sama (berkas perkara dipisah) sedangkan surat
putusannya belum diketik.
Dari kasus diatas yang telah dipaparkan secara sosiologis dalam praktik
penyelesaian perkara ringan yang penyelesaiannya cepat dan damai, pernah terjadi
untuk kasus sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan,
perkelahian antar tetangga atau anak-anak muda, pencurian kecil dan hujatan atau
fitnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non negara biasanya
berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum
terjadi, kepuasan yang tinggi sangat diharapkan.
Pada pembahasan masalah kedua Berkaitan dengan penyelesaian tindak
pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung, Koesnoe
mengemukakan pendekatan hukum adat dalam penyelesaian konflik adat
berdasarkan tiga asas, yakni, asas rukun, asas patut, dan asas laras.
Dikaji dari perspektif politik hukum pidana Indonesia (ius constituendum)
melalui ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2015 telah diakui eksistensi
hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimensi ini menyebabkan asas legalitas
formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diberlakukan
secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP. Pengakuan terhadap
eksistensi ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP ditegaskan pada Penjelasan
xvii
Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP bahwa, “adalah suatu kenyataan bahwa dalam
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak
tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah
tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu
yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar
hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut
mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan
pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat
tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat
tertentu”.
Kemudian dalam ketentuan Pasal 54 huruf c RUU KUHP Tahun 2015
ditentukan pula tujuan pemidanaan yaitu “menyelesaikan konflik dan
mengembalikan keseimbangan” yang berorientasi kepada eksistensi kearifan lokal
yang berakar dari budaya Indonesia, selain konsep pemidanaan Barat. Tujuan
pemidanaan “pengembalian keseimbangan dalam masyarakat atau pemulihan
keadaan” didasarkan pada pemikiran bahwa dalam masyarakat adat, menurut
Mallinc Krodt sebagaimana yang dikemukakan oleh Lublink Weddick bahwa
delik bukan saja dipandang sebagai perbuatan yang merugikan secara materiil
pada diri seseorang semata, melainkan juga mengakibatkan kerugian secara magis
berupa gangguan keseimbangan alam sehingga masyarakat juga merasa akan
terkena pengaruhnya (kerugian) atas gangguan ini. Gangguan keseimbangan
menurut Van Vollenhoven merupakan suatu keadaan keseimbangan magis yang
xviii
terputus yang juga mengakibatkan gangguan ketertiban hidup dalam masyarakat.
Oleh karena itu bila terjadi perbuatan pidana di dalam masyarakat, maka
keseimbangan yang terganggu ini harus dikembalikan atau dipulihkan melalui
pengenaan reaksi adat.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo, sebenarnya sistem pidana dan
pemidanaan di wilayah Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal falsafah
pemidanaan. Hal ini terlihat dari berbagai kitab hukum kuno dan hukum adat dari
berbagai daerah telah menyiratkan tujuan dari respon masyarakat terhadap
terjadinya pelanggaran ketertiban hidup. Sejumlah kitab kuno ini antara lain :
1) Kitab Ciwasasana atau Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa (abad ke-10);
2) Kitab Gadjahmada (abad ke-14); 3) Kitab Simbur Cahaya, di Palembang (abad ke-16); 4) Kitab Kuntara Raja Niti, di Lampung (abad ke-16); 5) Kitab Lontara’ ade’, di Sulawesi Selatan (abad ke-19), dan lain-lain
Dari berbagai kitab tersebut telah mengenal asas legalitas dan asas
proporsionalitas yang menjadi pilar dari hukum pidana moderen. Misalnya Pasal
65 Kitab Perundang Majapahit tentang penjatuhan denda, berbunyi : “Ingatlah,
djangan sekali-kali radja yang berkuasa mendjatuhkan denda lebih besar dari pada
seketi enam laksa …..” Asas proporsionalitas terlihat dalam Pasal 93 “…..
kesalahan besar dendanya besar, kesalahan kecil dendanya kecil …..”
Kearifan lokal adalah kekayaan leluhur yang bersifat turun temurun berupa
tata nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat serta berpengaruh dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat baik dalam bentuk pola fikir maupun perilaku.
Secara terminologi kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan berarti bijak
xix
atau kebijaksanaan dan lokal secara terminologi berarti “setempat” tetapi secara
hakiki maksudnya adalah tumbuh atau muncul dari tempat/komunitas itu sendiri
dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat atau komunitas itu sendiri.
Pada masyarakat Lampung dikenal adanya Lembaga perwatin dan
kepunyimbangan yang merupakan irisan dan lapisan penting dalam diagram
struktur sosial masyarakat. Lembaga ini merupakan mekanisme dan bentuk
pemerintahan lokal yang terkait dengan proses kepemimpinan dalam
penyelenggaraan sistem kemasyarakatan (Social System). Kepunyimbangan
merupakan proses kepemimpinan geneologis patriarki (dari garis keturunan laki-
laki tertua) yang berasal dari keluarga batih-inti (Nuwo-Nuwa-Lamban-necluer-
family) sebagai institusi kepemimpinan di level bawah. Kepunyimbangan yang
terbawah ini meningkat lagi ke tingkat atas secara berturut-turut yaitu
kepunyimbangan suku, kepunyimbangan Tiyuh-Anek-pekon (kampong, desa),
dan kepunyimbangan ke-Buay-an. Kepunyimbangan ke-Buay-an merupakan
mekanisme rekrutmen kepemimpinan yang didasarkan atas silsilah asal-usul
keturunan kekerabatan tertua (generasi pertama) yang menempati suatu wilayah
teritorial tertentu (tiyuh). Generasi pertama ini yang melahirkan generasi-generasi
selanjutnya dan menyebar dengan cara membuka pembagian wilayah garapan
perladangan-perkebunan dan permukiman (huma, umbul).
Secara garis besar masyarakat Lampung di bagi menjadi dua rumpun
besar, yaitu masyarakat Lampung Saibatin dan Pepadun. Masing-masing
masyarakat Lampung Saibatin dan Pepadun ini terdiri dari beberapa asal-usul ke-
buayaan sehingga sistem pemerintahan diantara keduanya berbeda pula.
xx
Meminjam terminologi Nisbet dalam membagi tipologi masyarakat, mungkin
dapat dikatakan bahwa masyarakat Saebatin, dalam menentukan status seseorang
lebih cenderung mencerminkan komunitas yang didasarkan atas “Ascribed Status
and Tradition” (status yang diwariskan dalam koridor tradisi”), sementara dalam
masyarakat adat Pepadun memiliki ciri “achieved status and contract” di mana
status seseorang diukur dari prestasi dan ditentukan oleh kontrak sosial dalam
sidang kerapatan Perwatin. Dua tipologi masyarakat adat Lampung yang
disebutkan di atas akan lebih tepat bila merujuk pada pendapat Raja Saebatin dari
Paksi Buay Pernong yaitu Komisaris Besar Edward Syah Pernong yang bergelar
Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengan Paksi Sekala Beghak Yang
Dipertuan Agung ke-23 yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan dalam
masyarakat adat Saebatin bersifat aristiokratis, sedangkan masyarakat adat
Pepadun lebih kental demokratis.
Secara umum, dua rumpun besar masyarakat Lampung sebagaimana yang
telah disebutkan di atas terdiri dari keanggotaan (membership) dari bermacam-
macam sub rumpun dalam sistem ke-buay-an yang dibedakan atas dasar
pembagian kesukuan-turunan dari kebuayan tersebut. Dalam masyarakat
Lampung Saebatin terdiri dari sub rumpun besar yaitu Meninting, Teluk,
Semangka, Belalalu/Krui, Ranau, Komering/Kayu Agung dan Cikoneng/Banten.
Sedangkan Pepadun yang terdiri dari kebuayan-kebuayan yang tergabung dalam
Abung Siwo Mego, kebuayan-kebuayan yang mengelompok dalam sub-rumpun
Mego Pak Tulangbawang, Pubian Telu Suku, Way Kanan Buay Lima, dan Bunga
Mayang Sungkai. Baik Saebatin maupun dalam masyarakat Pepadun karena
xxi
memiliki asal-usul kebuayan yang sangat beragam, sehingga pengaturan
pemerintahan lokalnya diatur dalam mekanisme permusyawaratan para
punyimbang yang diwakili oleh punyimbang ditingkatannya masing-masing
dalam lembaga representatif yang disebut sebagai Perwatin (Proatin). Perwatin
adalah lembaga demokrasi para pemimpin-pemimpin-punyimbang dalam
memutuskan persoalan-persoalan dalam penyelenggaraan sistem dan tatanan
kehidupan masyarakatnya.
Lembaga kepunyimbangan dan perwatin sebagai kekhasan kearifan lokal
sejak lama eksis jauh sebelum masyarakat Lampung mengenal paradigma nation-
state dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan jauh sebelum Belanda
menaklukkan Lampung pada akhir abad ke-19. Akar yang menghunjam kokoh
dalam urat nadi kehidupan bersama masyarakat Lampung menjadi landasan-
pondasi bangunan demokrasi dan politik lokal, yaitu sejak Lampung dikuasai oleh
rezim kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Karakteristik sistem pemerintahan
kekerabatan-kebuayan tidak hilang dari pengaruh dan hegemomi dua kekuatan
besar Negara “adidaya” tersebut. Lembaga kepunyimbangan dan Perwatin
menjadi pola lokal yang berdiri sendiri meskipun para pemimpin Lampung
memberi legitimasi dua kekuatan besar tersebut dengan cara memberi sejumlah
upeti dan Seba (Sowan).
Lembaga kepunyimbangan berwenang menciptakan norma sosial dan
norma hukum sebagai pedoman bagi warga masyarakat adat. Norma ini
mengandung suatu keharusan/kewajiban dan larangan (Cepalo). Norma dan
xxii
hukum ini diputuskan dan ditetapkan melalui sidang kerapatan perwatin secara
musayawarah yang dihadiri oleh para punyimbang adat.
Hasil tim penelitian Fakultas Hukum UNILA yang diketuai M.Faqih
melaporkan bahwa Prowatin (Perwatin) masih eksis dan berfungsi sebagai
lembaga musyawarah dalam menyelesaikan sengketa hukum di kalangan
masyarakat adat.
Penyimbang menurut pengertian aslinya berasal dari kata simbang yang
artinya giliran atau gantian, dengan arti giliran memimpin. Simbang berarti pula
menirukan dan melanjutkan dari sebelumnya. Simbang juga dimaknai sebagai
keseimbangan antara kewibawaan pemimpin dan keaikhlasan yang dipimpin.
Adanya kearifan antara sang pemimpin dan yang dipimpin. Jadi dalam adat
penyimbang seseorang dapat memimpin sesuai dengan adat yang berlaku, namun
kedudukannya sebagai pemimpin kelak akan diganti dengan yang lain sesuai
dengan musyawarah dan mufakat. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata
sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung,
kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.
Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah
marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok
orang yang berasal dari satu keluarga besar. Struktur masyarakat Saibatin, adok
atau juluk atau sebutan untuk anak laki-laki dilihat berdasarkan urutan tertua dan
termuda adalah; Pangeran, Raja, Dalom dan Kemas. Selanjutnya untuk menjadi
penyimbang hanya anak lelaki tertua dari garis laki-laki yakni mereka yang
memperoleh panggilan Pangeran yang dapat diangkat menjadi penyimbang adat.
xxiii
Ketika pangeran menjadi penyimbang adat, ia memperoleh gelar Suttan, Suntan
atau Sultan. Susunan penyimbang terdiri dari (terendah-teratas) penyimbang suku,
penyimbang pekon/kampung, dan penyimbang marga.
Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah.
Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut
penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam
marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam
posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.
Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam
marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi
penyimbang untuk marga lain.
Adapun perwatin atau prowatin adalah lembaga permusyawaratan pada
penyimbang di tingkat suku, tiuh/pekon, dan marga. Anggota perwatin adalah
para penyimbang di setiap tingkatan. Artinya dalam lembaga perwatin tingkat
marga, maka anggotanya terdiri dari penyimbang-penyimbang di level marga.
Sedangkan bila lembaga perwatin di tingkat tiuh anggotanya adalah para
penyimbang di tingkat tiuh tersebut. Dalam lembaga perwatin, keputusan diambil
secara demokratis dimana setiap penyimbang yang menjadi anggota lembaga
perwatin (yang ketika berbicara di forum disebut merwatin) mempunyai hak suara
dan mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat. Jadi kedudukan para
penyimbang dalam perwatin setara satu sama lain dan keputusan yang diambil
dalam forum tersebut mengikat semua anggota perwatin atau para penyimbang
yang ada. Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat
xxiv
representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan
konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang
dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).
Berkenaan dengan penyelesaian perkara yang merugikan pihak-pihak atau
salah satu pihak di dalam kearifan lokal hukum adat Lampung dikenal pula
rembuk pekon, yang mana dalam metode penyelesaiannya serupa dengan mediasi,
yang pada intinya mengutamakan musyawarah mufakat. Maka tidak tertutup
kemungkinan bilamana dapat di lakukannya penyelesaian tindak pidana ringan
meggunakan pendekatan kearifan lokal hukum adat Lampung. Dalam prakteknya
dapat di gambarkan melalui kasus perkelahian antara Andreansyah bin Suhut
Gianto dengan Yudi Wastono bin Misdi dimana dalam hal tersebut
penyelesaiannya melalui media rembuk pekon. Dan tidak dibawa keranah hukum
formal. Dengan media kearifan lokal ini proses tindak pidana ringan dapat
terselesaikan dengan keadilan yang dirasakan oleh para pihak.
Dalam praktek penegakan hukum pidana yang merupakan tugas pokok
Polri dalam menjalankannya sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini Polri telah
melakukan media Rembuk Pekon sebagai solusi dalam pemecahan masalah dalam
penyelesaian tindak pidana ringan yang tujuannya sebagai alat untuk mencapai
keadilan untuk para pihak.
Selanjutnya pembahasan tentang rekonstruksi sistem hukum pidana
berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan dalam usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
xxv
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum
pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi
kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik
perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan kebijakan atau politik hukum yang
dianut di Indonesia.
Tidak ada keraguan sedikitpun menempatkan Pancasila sebagai dasar
negara. Dalam posisi seperti itu, Pancasila harus dijadikan sebagai paradigma
(kerangka berfikir, sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum,
termasuk semua upaya ke arah pembaharuannya. Dalam tahapan implementasinya
tidak dapat serta merta menempatkan pancasila, karena saat ini terhalang oleh
eksistensi hukum modern, bahkan sama halnya dengan penerapan hukum adat
dalam sistem hukum nasional penuh dengan halangan prosedural.
Salah satu bentuk nyata mengembalikannya sebagai ideologi negara
dalam makna yang sesungguhnya, Pancasila harusnya mampu menjadi dan
ditempatkan sebagai kaidah penuntun dalam proses pembentukan peraturan
xxvi
perundang-undangan. Dalam kaitan ini, Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila
merupakan cita hukum (rechtsidee) karena kedudukannya sebagai pokok kaidah
fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang mempunyai kekuatan sebagai
grundnorm. Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi bintang pemandu seluruh
produk hukum nasional. Karenanya, semua produk hukum ditujukan untuk
mencapai ide-ide yang dikandung Pancasila.
Pilihan hukum akan menjadi bagian penting dalam merekonseptualisasi
model sistem hukum nasional, dengan metode setidaknya akan dihasilkan sistem
hukum pidana yang terbuka yang kemudian dapat terlihat dengan jelas masalah-
masalah dalam penegakan hukum pidana saat ini. Melalui berbagai model yang
telah banyak di kembangkan para ahli hukum Indonesia tentang pembaharuan
hukum pidana Indonesia, dalam hal ini penulis mencoba membuat model yang
terintegral dalam sistem hukum pidana nasional yang khususnya mengenai
penyelesian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung
sebagai media dalam memberikan keadilan.
Pembangunan sistem hukum nasional secara sederhana, dengan perbedaan
mencoba mengakomodir sistem nilai yang hidup di dalam kesatuan nasional.
Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multietnik, agama,
ras, dan multi golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto
mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai
Merauke. Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang kaya
dan melimpah bak untaian zamrud mutu manikam di bentang garis Khatulistiwa,
xxvii
dan berwujud sebagai sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam
coraknya. Dengan diakomodirnya untuk proses penyelesaian tindak pidana maka
bukan tidak mungkin peraturan tersebut akan berdaya guna, karena dengan sangat
dimengerti dan mudah dipahami terhadap nilai aturan tersebut yang diadopsi dari
sumber nilai diluar hukum.
Studi tentang hukum sebagai sistem pengendalian sosial (social control)
dalam kehidupan masyarakat telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi.
Karena itu, dikatakan bahwa para antropolog memberi kontribusi yang sangat
bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang dioperasikan dalam
masyarakat. Hukum dipelajari sebagai bagian integral dari kebudayaan secara
keseluruhan, dan hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang
dipengaruhi oleh aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, religi, dan
lain-lain. Dengan dasar argumentasi tersebut, akan dihasilkan Sistem Hukum
Pidana Nasional Berbasiskan Pancasila.
Tentang sistem hukum pidana berkeadilan dengan berbasis kearifan lokal
hukum adat Lampung penulis mencoba memformulasikan dalam khasanah
memfokuskan kajian sistem dan menyesuaikan sistem tersebut dengan nilai yang
di terima dan dianggap ada oleh masyarakat setempat, dan tak jarang hasil dari
penggunaannya menghasilkan keadilan yang melebihi nilai dari hukum positif
Indonesia. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan dengan
menggunakan sistem hukum pidana nasional, maka sudah pasti akan melalui
tahapan-tahapan yang telah di perintahkan untuk diikuti berdasarkan perintah
Peraturan Perundang-undangan. Berbeda halnya dengan pendekatan nilai kearifan
xxviii
lokal hukum adat Lampung. Norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat
secara metodologis dapat dipahami dari keputusan-keputusan seseorang atau
sekelompok orang yang secara sosial diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi
kepada para pelanggar hukum. Proses penegakkan hukumnya tidak formal dan
selalu dirasakan keadilannya oleh pihak-pihak yang menggunakan sistem hukum
pidana yang berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.
Penyelesian dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal berbasis
Hukum Adat senyatanya sesuai dengan Konstitusi dan sistem Hukum Nasional.
Hukum adat pada hakikatnya mengembalikan keseimbangan atas perilaku
menyimpang di masyarakat, di dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal
berbasis Hukum Adat Lampung senyatanyapun memiliki kemanfaatan yang sama
yaitu mengembalikan keseimbangan dalam tatanan di masyarakat. Pada
pembangunan sistem hukum pidana nasional perlunya mengabsorpsi (menyerap)
Kearifan Lokal dengan basis Hukum Adat (dengan unsur asas hukum pidana,
ketentuan-ketentuan umum) seperti di Lampung melalui Rembuk Pekon (tempat
bermusyawarah), anjaw silau (silaturrahmi), angkonan muarghi (mengangkat
persaudaraan), perdamaian (pemaafan) dan pemberian gelar, ini merupakan ciri
khas adat Lampung, unsur-unsur dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal
Hukum Adat Lampung senyatanya memberikan rasa keadilan terhadap penegakan
hukum atas tindak pidana ringan.
Sisi-sisi penegakan hukum pidana saat ini terpaku hanya melalui
pendekatan hukum positif yang tertulis dan diundangkan oleh pemerintah,
melalui penegakan penegakan hukum yang statis dengan hanya merujuk padan
xxix
sistem dan metode hukum positif ini menjadi titik tolak dalam membangun
kembali dari hasil rekonstruksi dalam penegakan hukum atas tindak pidana ringan
di Lampung, dengan fokus antara lain ;
Pertama melalui pendekatan substansi hukum bahwa merekonstruksi
bangunan hukum yang sudah ada dengan berbasiskan nilai pada kearifan lokal di
Lampung, penegakan hukum atas tindak pidana ringan di Lampung yang
senyatanya untuk aparatur tetap mempergunakan hukum yang sifatnya tertulis
semata. Dengan pendekatan rekonstruksi melalui pendekatan substansi hukum
secara konstitusional keberlakuan dalam masyarakat memiliki legitimasi
konstutisonal, dengan dasar tersebut pembangunan paradigma segmentasi dalam
penerapan hukum untuk penggunaan Kearifan Lokal hukum adat Lampung pada
kualifikasi tindak pidana ringan, melalui model tersebut akan memberikan media
alternatif untuk mencari keadilan dalam penegakan hukum atas penyelesaian
tindak pidana ringan di Lampung.
Kedua melalui pendekatan Struktur, dalam bangunan struktur hukum saat
ini dengan mengedepankan model moderenisme kelembagaan di dalam Sistem
Peradilan Pidana menjadi dasar tertundanya dalam mendistribusikan keadilan.
Dengan bangunan kelembagaan berdasarkan Undang-Undang sektor kelembagaan
didalam Sistem Peradilan Pidana saat ini menjadikan keadilan pun memiliki
tempat dalam hukum tertulis yang dipositifkan. Atas argumentasi hukum tersebut
dalam pendekatan subsistem struktur memerlukan kebijakan penataan kembali
sebagai legitimasi kewenangan terhadap subsistem struktur agar selaras dengan
bangunan substansi hukum pidana nasional, melalui pemberian jaminan hukum
xxx
atas penyelenggara Sistem Peradilan Pidana untuk memberikan alternatif terhadap
penegakan hukum dengan Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung. Dengan fokus
rekonstruksi subsistem substansi dan subsistem struktur dengan model
pembaharuan hukum untuk mendekatkan keadilan dapat memberikan model-
model dalam penegakan hukum sepertihalnya, doubel track system (model dua
jalur) dan pengalihan (diversi) hukum (kebijakan mengesampingkan hukum
tertulis), dapat digunakan dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Lampung
dengan tetap memperhatikan Kearifan lokal Hukum Adat Lampung. Dengan
demikian akan menjadi model pembaharuan hukum pidana nasional dalam
penegakan hukum dengan harmonisasi antara Kearifan Lokal berbasiskan hukum
adat dengan hukum tertulis yang dipositifkan oleh pemerintah.
Rekomendasi yang pertama perlu dikembangkan model dalam
penyelesaian tindak pidana ringan khususnya menggunakan media kearifan lokal
dengan media hukum adat. Yang kedua perlu dikembangkan dan diformulasikan
kebijakan hukum pidana untuk mencoba mengkontruksikan kembali sistem
penyelesaian dengan berbasis hukum adat yang berkeadilan dengan pendekatan
kearifan lokal. Dan yang ketiga perlu di kembangkan bentuk dan di tetapkan
kebijakan hukum pidana yang diarahkan kepembaharuan hukum pidana guna
mencapai keadilan yang substansial tanpa mengesampingkan aspek keadilan
formal.
xxxi
SUMMARY
This dissertation research was based on legal subject perpective about law
itself, recent paradigm related to legal interpretation just interpret Act merely.
Whereas, within Indonesia criminal law development which wasn't too systematic
was felt needed rearrange and adjustment, for example, criminal law maintenance
about light crime such as within law judicial procedure regulated within definition
of Article 205 of Criminal Procedure Act (KUHAP).
When talking about the law in Indonesia, the author thought directly to
Acts, Regulation, Legislation or other written rules. When in fact, the law has so
many aspects and is made up of many components or other elements. Aspects or
elements which are considered the most important subject of legal philosophy
embraced by the legal system concerned. Enforcement of criminal law against
misdemeanor in criminal procedural law as stipulated in article 205 the Code of
Criminal Procedure In essence, a misdemeanor punishable by a maximum of three
months in prison. Misdemeanor that need attention include Article 364, 373, 379,
384, 407, and 482 Penal Code, the Articles have been amended by the
Government Regulation in No. 16 of 1960, and the Supreme Court Regulation
No. 2 of 2012.
xxxii
Most law enforcement agencies reduce the understanding that
enforcing the law is defined the same as enforcing the acts. This
understanding implies that the acts (legislation) become the center of
attention. In fact, law enforcement can not only be seen from the eye of the
act, but should be viewed as a whole by involving all elements, such as the
living law or unwritten law, morals, behavior, and culture. Therefore, it is
necessary orientation and a new approach to law enforcement.
Law enforcement through the criminal justice system is still
dominated by ‘legisme’ way of thinking, a way of criminal law
enforcement relied only to legislation alone. This way is better viewed as a
matter of law issues in black and white, but the law was not merely the
absence of non-legal concepts. Laws should also be viewed from a social
perspective, the actual behavior that is acceptable and for all human beings
in it. Legisme perspective is actually one of the causes of the crisis of law
enforcement in Indonesia. Therefore, other alternatives need to enforce the
law so that it corresponds to the social context.
Breakthrough in law enforcement where there is harmonization
between positive law and the living law in society must be noted also, that
in a truth-seeking process in accordance with the public sense of justice.
Likewise the use of criminal law in the settlement of indigenous Lampung
light based on local wisdom, to fulfill a sense of justice the local
communities for minor criminal offenses were resolved through customary
xxxiii
law should not have to be passed back through the criminal justice system.
Criminal law enforcement will vanish the values that live in the
community and local wisdom in indigenous Lampung.
In reality, there are cases that can be used as material for the
foundation of the construction of law enforcement misdemeanors that exist
especially in Lampung, as was the case eloped indigenous Lampung
Pepadun, as well as cases of "Domestic issues", the case of
"misunderstanding" , "theft", "persecution", the case "traffic accident",
"commotion", "land invasions", the case of "unpleasant act",
"embezzlement", "simple assault" "molestation ", and " fraud ", the cases
have been resolved within the customary way, yet also some of it through
the formal justice.
Misdemeanor that go to trial have also been the burden for the
court, both in terms of budget and in terms of public perception. As stated
by the professor of the University of Indonesia Asshiddiqie that the
buildup of a court reaches three (3) million cases. Without the acceleration
of the process of court that figure increasingly bloated. At the Supreme
Court level recorded about 13 (thirteen) thousand cassation cases were not
addressed until the end of 2011. In this case the enforcement of criminal
law is based on the provisions in positive law (Penal Code and the Acts
outside the penal Code).
Various ethnic groups in Indonesia have a culture of peaceful conflict
resolution, for example, the Java community, Lampung, Bali, South
xxxiv
Sumatra, Lombok, Papua, West Sulawesi and South Sulawesi. Settlement
of the conflict as soon as possible consensus for peace held evolved as
customary law. The subsequent development of customary law on ethnic
groups in Indonesia, especially on the settlement of the conflict through
compromise have many similarities which are directed at the
harmonization of conflict or harmony in society and do not exacerbate the
situation, to the extent possible to maintain an atmosphere of peace.
Culture deliberation, as a value system that is internalized by the people of
Indonesia, is a passion for each of the parties to negotiate in these
deliberations to resolve the conflict, for example, will seek to reduce its
establishment in order to achieve common ground that benefits all parties,
which resulted in consensus. A deliberation requires a respected figure to
lead the deliberation to reach consensus. What was decided in the meeting
to resolve the conflict slowly evolved into customary law.
The existence of the settlement out of court through customary law
is a new dimension, studied from theoretical and practical aspects.
Examined from the dimensions of the practice of customary law will be
correlated with the judicial process.
The increasing number of case volume is a burden for the court to
examine and decide cases in accordance with the principles of justice
‘simple, fast and inexpensive" without compromising the achievement of
the goals of justice, namely the rule of law, expediency and fairness. In
social practice in Indonesian society, in a family settlement has long been
xxxv
recognized and has become a tradition among others, the people of West
Papua, Aceh, Bali, West Sumatra and Lampung people.
Among the various customary laws spread across Indonesia,
Lampung customary law is one of the customary laws in Indonesia and
Lampung organize indigenous peoples for hundreds of years from
generation to generation even today they are binding for indigenous
peoples Lampung.
Legal arguments against the use of customary law in the law
enforcement process in line with the provisions of Article 18 and
paragraph (2) of this groundbreaking settlement with a misdemeanor based
on local wisdom of indigenous Lampung as an alternative in achieving
justice. In the context of criminal enforcement at this time that it is
necessary to do the reconstruction of the criminal justice system in a
formal legal aspects, so that at the level of criminal enforcement in minor
criminal cases there is room for settle the dispute with customary law
based on local wisdom Lampung. From the above description of the
background, the author believe that in the process of criminal law
enforcement, there is still open space to provide justice to the people. With
the approach of the reconstruction of criminal justice systems in the
resolution of minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous
Lampung can deliver justice, especially people in the room Lampung
jurisdiction of customary law. The author feel it is necessary to conduct an
xxxvi
assessment of the "Reconstruction of the Criminal Justice Legal System In
light crime Settlement Based Local Wisdom Lampung Customary Law "
Based on this background relevant issues that can be used as a focus of
study in this research is to develop the legal system construction in the
settlement of criminal justice misdemeanor. Local wisdom as part of the
socio-cultural aspects, embodied in the form of behavioral and social
symbols.
The forms of local wisdom of indigenous Lampung that there
needs to be constructed as ideal as possible so that the criminal justice
system can be more effective in resolving minor criminal cases based on
local wisdom of indigenous Lampung.
Based on the focus of the study, namely how the criminal justice
system in the resolution of minor criminal offenses based on local wisdom
can be resolved more effectively, it is necessary the study was conducted
in order to obtain a more thorough understanding and deep both
theoretically and practically. Substantively there are some problems that
assessed the completion of a misdemeanor by using the criminal justice
system is still disturbing sense of justice.
The formulation of the problem in this dissertation first, why the
settlement of misdemeanor using positive law can disturb public sense of
justice? Second, how the settlement of minor criminal offenses based on
local wisdom of indigenous Lampung? And the third is how to reconstruct
xxxvii
the justice system of criminal law in the resolution of minor criminal
offenses with customary law based on local wisdom Lampung.
This dissertation research using constructivist paradigm with Non
Doctrinal Approach method or socio-legal research with qualitative
methods, using descriptive analytical research specifications, the type of
key data in this study is supported by field data and literature data,
methods of data analysis using qualitative juridical. To validate field data
using interview and observation techniques.
The results of research and discussion, the first problem that the
use of modern justice system as a means of justice distributor proven
across many obstacles. As for the causative factor is that modern justice
burdened with formalities, procedures, bureaucracy and strict
methodology. Therefore, justice is distributed through the judiciary given
through bureaucratic decisions for the common good thus tend to be
rational justice. So do not wonder if justice is obtained modern society is
nothing but bureaucratic justice. Chairman of the judges in charge of the
case it does not check / control over the contents of the dossier after the
trial. In practice some the report signed by the presiding judge if the case
is already at the stage of case hearing
. The existence of the judiciary system as one of the justice
distribution agent cannot be separated from the acceptance and the use of
modern law in Indonesia. Modern law in Indonesia is accepted and
implemented as a new institution to be imported or imposed on the
xxxviii
outside. Viewed from the optical socio-cultural, modern law that we use
remains a kind of "strange object in our bodies." Therefore, to overcome
the difficulties experienced by the Indonesia due to use of modern law, is
to make modern law as a rule be positive cultural norms.
The problem is, because the modern liberal legal system was not
designed to reflect and give justice to the wider community, but rather to
protect individual liberties. In addition, also, due to the liberal legal system
is not designed to provide substantive justice, the one with the excess
material will obtain "justice" more than those without. If we continue to
cling to the liberal doctrine, then we will still swirling in the maelstrom of
trouble to bring in or create justice in society. In order to break away from
the liberal doctrine that, the idea of people or parties to seek and find
justice through alternative forums outside the institution modern court is
actually a way of thinking the rejection of laws that are closed. That is
because the justice seekers still feel, however not as strong as in the
nineteenth century, the liberal philosophy in the law today is still very
large stock gives justice to the difficulties substantially (substantial
justice). As has been stated in advance that the modern law in Indonesia is
accepted and implemented as a new institution to be imported or imposed
from the outside, through colonial policy in the Dutch East Indies.
Whereas a transition from status as a colonized people became
independent nation is indeed a quite crucial momentum. In a legal life in
the Dutch East Indies, the Indonesian people do not take full responsibility
xxxix
in matters of enforcement, construction, and maintenance of the law, but
merely a spectator and object control by law. Meanwhile, since the day of
independence, Indonesian people fully involved in all aspects in the
administration of justice, from the scratch until its implementation in
practice.
One of the important principles of a constitutional state is the
guarantee of the implementation of independent judicial power, free from
the influence of other powers to conduct judiciary to uphold law and
justice as stipulated in Article 24 paragraph (1) The Constitution of The
Republic of Indonesia 1945. In order to realize the mandate of the
Constitution, Law number 48 Year 2009 concerning judicial power
establishes the principles of the organization of judicial power under
Article 2 that: (1) Justice is done, "As Justice by God the almighty"; (2)
The Court states implement and enforce law and justice based on
Pancasila; (3) All courts in the entire territory of the Republic of Indonesia
is a country that is governed by the Courts Act; (4) Justice is done with a
simple, fast, and low cost. Starting from these principles, the values of law
that must be realized in the administration of justice in order to implement
and enforce the law and justice based on Pancasila is justice based on God
which is done in a simple, fast and inexpensive. Justice is based on God in
this paper is defined as the intrinsic justice / materiel / substantial that real
justice without any engineering.
xl
Context service of judges in performing their duties must be active
to ask and give equal opportunity to the public prosecutor and the accused
to ask the witness to find the truth of the material, is given judge
accountable for what it decides. Decision qualified judges will realize the
respect and authority of the law in public. But on the contrary if the quality
is low, the judge's decision is certain to awaken the negative image of the
judge and the law, so that the judge and the law don’t have the moral
authority and social at the same time. Thirty-five verdicts in principle
moral judgments, but it can also be disastrous if not careful, mistaken or
wrong. Examination of criminal cases in the District Court Class IA
Tandjungkarang mostly using interrogation usual processes and
procedures for handling that is, after the Public Prosecutor , both from the
State Attorney Bandar Lampung and the High Court of Lampung submit
indictments (the transfer case) to Section criminal of the court Class IA
Tandjungkarang to submit a registration, then the next case was handed
over to the Chairman of the Court (KPN) through the clerk to do
administrative examination whether the case is under the authority of the
PN Class IA tanjungkarang. Schedules hearing criminal cases in District
Court. Tandjungkarang held starting at 09.00 pm began Monday through
Thursday each week, but in practice carried over at 13:00 am. the practice
of evidence done by examining several witnesses at once at the same time,
as well as for the defendants that their case related to each other. also
xli
found a hearing witnesses the status of the accused in the same case
(crown witness).
Dossier (BAP) witness, expert examination, and the defendant made by
the clerk replacement is generally not referring to the testimony of
witnesses or the accused in the trial, but a copy (copy and paste) of the
report investigation while the accused / counsel did not have access to
research the contents of the dossier.
Once the verification process is complete, it's time the judges give
a verdict. In general, the distance between the completion of the proof of
the verdict is 1 (one) week for the judges deliberated opportunity to make
a decision. But did not rule on certain cases the reading of the verdict was
delayed for weeks by a variety of reasons. In the practice of drafting letter
ruling only compiled by a member of the panel of judges are usually
members of the most junior (member of the 2nd) or though constituting
one of the judges but the content on the landing head of the panel (three in
one), there is even a draft of the decision made by the Registrar in a
manner modeled on a similar case letter ruling. Verdict by the judges
carried out simultaneously against several defendants in the case were
different but the events of legal / same case (split) while the decision has
not been typed letter.
From the above cases has been described sociologically in the
practice of settling disputes light rapid and peaceful settlement, once the
case for most of the cases of disputes arising at the village level are usually
xlii
mild fights between neighbors or younger children, petty theft and
blasphemy or defamation. Where the risk is small, non-state justice
mechanisms are usually effective. Because such cases are the most
common, high satisfaction is expected.
In connection with the discussion of the second issue of the settlement of
minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous Lampung,
Koesnoe proposed approach customary law in indigenous conflict
resolution based on three principles, namely, the principle of harmonious,
the principle is worth, and barrel.
Examined from the political perspective of the Indonesian criminal law
(ius constituendum) through the provision of Article 1 paragraph (3) the
draft of Penal Code year 2015 has recognized the existence of laws that
live in the community. This dimension led to formal legality principle in
the provisions of Article 1 secton (1) Penal Code draft can not be enforced
as absolute / absolute or imperative for their exclusion as stipulated in
Article 1 (3), (4) Penal Code draft. Recognition of the existence of the
provisions of Article 1 (3) Penal Code draft was confirmed on the
elucidation of Article 1 paragraph (3) Penal Code draft that, "it is a fact
that in some specific regions in Indonesia there are legal provisions that
are not written in the society and serve as law in the area. Such things are
also in the field of criminal law that is usually referred to by the customary
criminal offense. To provide a robust legal basis regarding the entry into
force of customary criminal law, then it gets the settings explicitly in the
xliii
Code of Penal this. The provisions in this paragraph is an exception to the
principle that criminal provisions stipulated in the legislation. He admitted
criminal acts such indigenous to better satisfy the justice that live in a
particular community ".
Later in the provision of Article 54 letter c draft for Penal Code in 2015
defined the objectives of sentencing that "resolve the conflict and restore
the balance" which is oriented to the existence of local knowledge that is
rooted in the culture of Indonesia, in addition to the concept of punishment
West. The purpose of sentencing "the return of balance in society or the
recovery state" based on the idea that the indigenous people, according to
Mallinc Krodt as proposed by Lublink Weddick that the offense is not just
seen as an act that is harmful to the material in a person alone, but also
resulted in a loss magically in the form of natural balance disorders so that
people also felt it would be exposed to its influence (loss) for the
interruption. Mr Van Vollenhoven balance disorder is a condition that
disconnects the magical balance that also lead to disturbances in the
society. Therefore, if there is a crime in the community, then the balance is
disturbed, this must be returned or restored through the imposition of
customs reaction.
Harkristuti Harkrisnowo, actual penal system and punishment in
the Indonesian territory since ancient times has been familiar with the
philosophy of punishment. This is evident from the various books of the
ancient law and customary law of various areas has implied the purpose of
xliv
the public response to the violation of order of life. A number of ancient
books include:
1) Book Ciwasasana or Purwadhigama at the time of King Dharmawangsa
(contract, 10);
2) The Book Gadjahmada (14th century);
3) The book Simbur Light, Palembang (16th century);
4) Book of Kuntara Raja Niti, in Lampung (16th century);
5) The Book Lontara 'ade', in South Sulawesi (the 19th century), and
others
Of the many books that have been familiar with the principle of legality
and the principle of proportionality of the pillars of modern criminal law.
For example, Article 65 Majapahit Book of Regulations on the imposition
of fines, reads: "Remember, do not let all-time king of the ruling charged
the fines greater than sixty thousand ... .." The principle of proportionality
stipulated in Article 93 "... .. big mistake big penalties, minor penalties for
small mistakes ... .. "
Local wisdom is a ancestral hereditary, formed of values that grow
and developed in society and influence in the daily life of society, both in
the form of thought patterns and behaviors. In terms of local wisdom
consists of two words that mean sage wisdom or wisdom and local
terminology means "local" but essentially the intention is to grow or
emerge from the place / the community itself and believed by the
community or the community itself.
xlv
In Lampung people recognized the Institute perwatin and
kepunyimbangan which is sliced and important layers in the social
structure diagram. This institution is the mechanisms and forms of local
government related to the leadership process in the administration of the
social system. Kepunyimbangan is geneologis patriarchal leadership
process (from the lineage of the oldest male) from the nuclear family-core
as an institution of leadership at lower levels. Kepunyimbangan the bottom
is increased again to the top tier in a row that kepunyimbangan tribe,
kepunyimbangan Tiyuh-Anek-pekon (kampong, village), and
kepunyimbangan ke-Buay-an. Kepunyimbangan ke-Buay-an all a
leadership recruitment mechanisms based on genealogical origins of
kinship oldest offspring (first generation) who occupy a particular
territorial area (tiyuh). This first generation that gave birth to future
generations and spread by opening zoning-plantations and arable farming
settlements (huma, pennant).
Broadly speaking Lampung people divided into two large clumps,
namely Lampung people Saibatin and Pepadun. Each community
Lampung Pepadun Saibatin and is composed of several origins ke-Buay-
an so that the system of government of the two differently.
Borrowing terminology of Nisbet in dividing the typology of the
community, it may be said that the public Saebatin, in determining the
status of a person is more likely to reflect the community that is based on
"Ascribed Status and Tradition" (status is inherited in the corridor tradition
xlvi
"), while the indigenous peoples Pepadun characterized" achieved status
and contract "in which a person's status of achievement is measured and
determined by the social contract in court Perwatin density. Two
typologies of indigenous Lampung mentioned above would be more
appropriate to refer to the opinion of King Saebatin of Paksi Buay Pernong
namely Commissioner Edward Syah Pernong the title of Sultan Prince
Raja selalau Leaders Agung With Paksi Sekala Beghak Yang Pertuan
Agong to 23 which says that the system governance within indigenous
communities are aristocrats Saebatin, while the indigenous peoples
democratic Pepadun more viscous.
In general, two large clumps of Lampung people as mentioned
above consist of: membership (membership) of the various sub clumps in
the system all Buay's differentiated on the basis of tribal division-
derivative of the kebuayan. In Lampung people composed of sub Saebatin
large clumps that Meninting, bay, Watermelon, Belalalu / Krui, Ranau,
Ogan / Wood Court and Cikoneng / Banten. While Pepadun consisting of
kebuayan-kebuayan incorporated in Abung Siwo Mego, kebuayan-
kebuayan clustered in sub-clumps Mego Pak Tulangbawang, Pubian telu
Tribes, Buay Right Way Lima and Bunga Mayang Sungkai. Both Pepadun
Saebatin and in the community because it has its origins kebuayan very
diverse, so the local government arrangements stipulated in the
consultative mechanism punyimbang represented by punyimbang at its
own level in a representative institution known as Perwatin. Perwatin is a
xlvii
democratic institution of the leaders-punyimbang in deciding the issues in
the administration of the system and the livelihood of its people.
Kepunyimbangan institutions and perwatin as typical local wisdom has
long existed long before Lampung people familiar with the paradigm of
the nation-state and the Republic of Indonesia, even long before the Dutch
conquered Lampung at the end of the 19th century. Stabbing roots firmly
in the lifeblood of the community together Lampung be the cornerstone of
democracy-building foundation and local politics, which is controlled by
the regime since Lampung kingdom of Srivijaya and Majapahit.
Characteristics of kinship system of government-kebuayan not disappear
from the influence and hegemomi two great powers of the State
"superpower" is. Kepunyimbangan institutions and Perwatin into a pattern
of local stand-alone although the leaders Lampung legitimacy of the two
great powers by giving a number of tributes and Seba (Sowan).
Kepunyimbangan institutions authorized to create social norms and
legal norms as guidelines for indigenous peoples. This norm contains a
requirement / obligation and prohibition (Cepalo). Norma and this law is
decided and determined by trial perwatin density in meeting attended by
indigenous punyimbang.
Results of the research team of the Faculty of Law UNILA, chaired by
M.Faqih reported that Prowatin still exist and function as institutions of
deliberation in resolving legal disputes among indigenous peoples.
xlviii
Penyimbang according to its original meaning is derived from the
word meaning simbang turn or rotation, meaning turn lead. Simbang also
means imitating and continuing . Simbang also be interpreted as a balance
between the authority of the leader and the led keaikhlasan. Their wisdom
between the leader and the led. So in penyimbang indigenous person can
lead accordance with prevailing custom, but his position as a leader will
soon be replaced with another according to the deliberation and consensus.
Kepenyimbangan is the concept of the social strata obtained from blood
relations (clan). For the people of Lampung, kepeyimbangan someone in a
clan, does not apply to other genera.
Penyimbang clan in Lampung is the elder leaders in a clan, another
name of the family. Socially, clan refers to a group of people who came
from a large family. Saibatin community structures, ADOK or named or
designation for boys seen in order of oldest and youngest are; Prince,
King, Dalom and Pack. Furthermore, to be penyimbang only the eldest son
of the male line: those who obtain the Prince calls that can be made into
custom penyimbang. When the prince became customary penyimbang, he
earned Suttan, Suntan or Sultan. Penyimbang arrangement consists of
(low-top) penyimbang tribe, penyimbang pekon / village, and penyimbang
clan.
In Lampung patrilinear customary, the views from the paternal
clan. Therefore, from one clan in indigenous Lampung has called
penyimbang. Penyimbang could be interpreted as an elder person in the
xlix
clan. The person corresponding paternal line (patrilinear), are in position
as the eldest. He then called penyimbang. Penyimbang of understanding
this, the position of a penyimbang only applies in her own clan.
Penyimbang from clan A, does not necessarily become penyimbang to
other generation.
The perwatin or prowatin is a consultative institution at
penyimbang in rates, tiuh / pekon, and clan. Members perwatin is the
penyimbang in every levels. This means that in institutions perwatin clan
level, the membership consists of penyimbang-penyimbang at clan level.
Meanwhile, when the institution perwatin level tiuh members are
penyimbang in the tiuh level. In perwatin institutions, decisions are taken
democratically in which each member institution penyimbang being
perwatin (who when speaking at the forum called merwatin) with voting
rights and the right to express opinions. So the position of the penyimbang
in perwatin similar to each other and the decisions taken in the forum
binding on all members of the penyimbang perwatin or existing. The
whole clan groups in Lampung penyimbang collected through the
representation of the entire clan. Penyimbang introduced to the concept
prowatin an effort to organize a system of government that began in rate
(village / pennant).
With regard to the settlement of adverse parties or one of the
parties in the local wisdom of indigenous Lampung also known pekon
consultation, which in the settlement method is similar to mediation,
l
which basically prioritizing consensus. Then there is a possibility to use
Lampung indigenous customary law. In practice can be described through
a case of fighting between Andreansyah bin Suhut Gianto with Yudi
Wastono bin Misdi which in terms of the settlement through a media
conference pekon. And not taken formal legal areas. This local wisdom
with process media misdemeanor can be resolved with justice felt by the
parties.
In the practice of criminal law enforcement, the primary duty of the Police
accordance with Act No. 2 Year 2002 on the Indonesian National Police.
In this case the Police has conducted a media conference Pekon as a
solution in solving problems in the completion of a misdemeanor that
purpose as a tool to achieve justice for the parties.
Further discussion about the reconstruction of the criminal justice system
of law in the resolution of minor criminal offenses in crime prevention
efforts with the criminal law in essence is also part of law enforcement
efforts (especially criminal law enforcement). Therefore it is often said
that the political or criminal law policy is also part of the policy of law
enforcement (law enforcement policy). Efforts and policies to create good
rules of criminal law in essence cannot be removed from the crime
prevention goals. Thus, policies or politics of criminal law is also part of a
political criminal, the criminal law policy is identical to the definition of
"crime prevention policies with the criminal law". The use of criminal law
in Indonesia as a means to tackle crime does not seem to be a problem.
li
This is evident from the practice of law as long as these show that the use
of criminal law is part of a political policy or law adopted in Indonesia.
There is no doubt whatsoever put Pancasila as the state principle.
In such a position, Pancasila should serve as a paradigm (a framework of
thinking, the source of value, and orientation) in the development of the
law, including all efforts towards renewal. In the stages of implementation
can not necessarily put Pancasila, because at this time stunted by the
existence of modern law, even as well as the application of customary law
in the national legal system is filled with procedural hitch.
One form of the state ideology in the true sense, Pancasila should be
capable of being placed as a rule and guide in the process of establishing
legislation. In this regard, Notonagoro states that Pancasila is the ideal law
(rechtsidee) because of his position as principal fundamental principle
states (staatsfundamentalnorm) has the power as Grundnorm. As the ideals
of law, Pancasila became a guiding star throughout the national law.
Therefore, all laws aimed to achieve the ideas contained in Pancasila.
Choice of law will be an important part in re- model the national
legal system, the method will produce at least open the criminal justice
system that can then be seen clearly problems in the enforcement of
criminal law at this time. Through a variety of models that have been
widely developed jurists Indonesia about the renewal of the Indonesian
criminal law, in this case the author tries to create a model that is integral
in the system of national criminal law, especially regarding the remedy
lii
misdemeanor based on local wisdom of indigenous Lampung as the media
in providing justice ,
Development of national legal systems are simple, with trying to
accommodate the differences in value systems that live inside national
unity. Indonesia is known as a multicultural, multi-ethnic, religious, racial,
and multi class country. Spread from Sabang to Merauke, Indonesia has
many natural resources and abundantly like emeralds in the Equator, and
also own many cultural resources. With the completion of the process for
the criminal offense is not impossible that such regulations will be useful,
because with a very understandable and easy to understand the value of
these rules, which were adopted from the source values outside the law.
The study of law as a social control system in people's lives have
been done by anthropologists. Therefore, it is said that anthropologists
contribute very significantly in the development of the concept of the law
operated in the community. Studied law as an integral part of the culture as
a whole, and studied law as a product of social interaction are influenced
by aspects of other cultures, such as politics, economics, religion, and
others. On the basis of this argument will produce National Criminal
Justice System Based on Pancasila.
About the criminal law system linked with local wisdom-based
customary law , author tries to formulate in the repertoire focusing system
study and adjust the system to the value of the received and considered
there by the local community, and often result from its use to produce
liii
justice that exceed the value of positive law Indonesia. Enforcement of
criminal law against misdemeanor by using a system of national criminal
law, then it is definitely going through stages that have been commanded
to be followed by the command of legislation. Unlike the approach of
local moral values of indigenous Lampung. Legal norms prevailing in
society is methodologically can be understood from the decisions of a
person or group of people who are socially given the authority to impose
sanctions on offenders. The law enforcement process is not formal and
always felt justice by parties who use the criminal justice system based on
local wisdom of indigenous Lampung.
Dispute settlement through Indigenous Customary Law based in
fact in accordance with the Constitution and the National Law system is
essentially restore balance on deviant behavior in society, within the rule
of law through the Indigenous Customary Law have the same benefit that
restores the balance in the order in society. On the construction of criminal
justice systems nationwide need to absorb Local Wisdom on the basis of
customary law (with elements of the principle of criminal law, the general
provisions) such as in Lampung through consultation Pekon (places for
deliberation), anjaw silau (togetherness), angkonan muarghi
(brotherhood), peace and awarding the title, this is the hallmark of
indigenous Lampung, the elements in law enforcement through indigenous
customary law Lampung in fact provide a sense of justice to enforce a
misdemeanor.
liv
The sides of criminal law enforcement currently fixated only through an
approach of positive law is written and legislated by the government,
through the enforcement of law enforcement are static with only a
reference to a unified system and method of positive law becomes the
starting point in rebuilding of reconstruction results in enforcement on
misdemeanor in Lampung, focusing among other things;
The first approach legal substances that reconstruct existing law on the
basis of the value of local wisdom in Lampung, enforcement of
misdemeanor in Lampung is realistic to keep using the legal apparatus.
With the approach of the reconstruction approach legal substance
constitutionally enforceability in society constitutional legitimacy, on the
basis of the development paradigm of segmentation in the application of
law to the use of Indigenous customary law Lampung in qualifying
misdemeanor, through the model will provide an alternative media to seek
justice in the enforcement law on completion of misdemeanor in
Lampung.
The second approach structures, in the legal structure, a model of
institutional in the Criminal Justice System became the basis of the delay
in distributing justice. With this legal structure under the Act of
institutional sectors in the Criminal Justice System at this time to make
justice also has a place in the written law applied. On legal arguments that
the approach sub-system structure requires a policy realignment as the
legitimacy of the authority of the Sub Structural keep pace with the
lv
building substance of national criminal laws, through the provision of
legal security of the organizers of the Criminal Justice System to provide
an alternative to the rule of law with Indigenous Customary Law
Lampung. With a focus Reconstruction Subsystems substance and
Subsystems structure model law reform to bring justice to provide models
in the enforcement of the law as ever, double Track system (model two-
lane) and transfer (diversion) law (policy override the written law), can be
used in settlement misdemeanor in Lampung with regard to local wisdom
Customary Law Lampung. Thus, it will be a model of national criminal
law reforms in law enforcement with the harmonization of Local Wisdom
is based on customary law with written law.
The first recommendation that the model needs to be developed in
the resolution of minor criminal offenses, especially using local wisdom
media with customary law media. The latter needs to be developed and
formulated policy of criminal law to try build the re-settlement system
with customary law based justice approach local wisdom. And the third
needs to be developed in the form and set the criminal law policy which is
directed to the reform of criminal law in order to achieve substantial
justice without neglecting the formal aspect of justice.
lvi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Hirabbil ‘alamin, segala puji kami haturkan kepada Allah
SWT, Tuhan Semesta Alam yang Maha Rahman dan Rahim, Shalawat serta salam
senantiasa tercurah dan dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta
segenap keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya. Penulis menyadari, hanya
dengan Rahmat dan Karunia Allah SWT, dan atas niat kesungguhan serta Ridha
Ilahi, semua telah dimudahkan dalam segala urusan yang telah penulis uraikan
dalam tulisan ini, sekalipun dengan keterbatasan kemampuan penulis sebagai
dosen dilingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung
sekaligus sebagai hamba Allah yang senantiasa memohon bermunajah untuk
menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Rekonstruksi
Sistem Hukum Pidana dalam penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis
Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung”.
Ada pengalaman yang lucu jika diingat, pada saat mendaftar ke KPK
UNDIP UNILA, pada waktu itu saya bersama teman-teman (Liky Faizal dan Eko
Hidayat), kami bertiga berkomitmen jika salah satu diantara kami tidak lulus,
maka kami bertiga memutuskan tidak kuliah semuanya, Alhamdulillah hasil
seleksi pada waktu itu kami bertiga lulus semuanya. Namun dalam perjalanan
studi hingga tahap kualifikasi tidak semua berjalan lancar, akhirnya tinggallah
saya seorang diri melanjutkan ketahap berikutnya hingga bisa menyelesaikan
penelitian disertasi sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar akademik
tertinggi Doktor dalam bidang ilmu hukum.
lvii
Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh pandangan penulis terhadap
hukum itu sendiri, paradigma saat ini terkait dengan menafsirkan hukum hanya
menafsirkan Undang-Undang semata. Sedangkan di dalam perkembangan hukum
pidana Indonesia yang tidak terlalu sistematis banyak dirasakan diperlukannya
penataan kembali dan penyesuaian antara lain Penegakan hukum pidana terhadap
tindak pidana ringan sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam
ketentuan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana dalam Penyelesaian tindak pidana
ringan dengan berbasis Hukum Adat Lampung dimaksud sebagai upaya
membangun konstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian
tindak pidana ringan. Kearifan lokal sebagai bagian dari aspek sosial budaya,
tertuang dalam bentuk perilaku dan simbol-simbol sosial masyarakat.
Bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat Lampung yang ada tersebut
perlu dikonstruksi seideal mungkin sehingga sistem peradilan pidana dapat lebih
efektif dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan yang berbasis kearifan
lokal hukum adat Lampung.
Karya ini tentunya akan banyak mengundang polemik dikalangan
akademisi dan juga praktisi hukum, mengingat basis teori yang dijadikan dasar
dalam studi ini masih dalam tahap pencarian jatidiri. Akan tetapi justru budaya
akademik seperti inilah yang perlu dikembangkan, mengingat dunia keilmuan itu
tidak sepi dari wacana-wacana baru yang kebenarannya tentunya harus dibuktikan
dengan hasil-hasil penelitian.
lviii
Penulis mengakui secara jujur bahwa karya ini pada hakikatnya bukanlah
semata-mata buah karya penulis sendiri, akan tetapi telah melibatkan banyak
pihak yang ikut memberikan kontribusi baik berupa motivasi, pikiran, tenaga, dan
financial yang tak terhitung. Oleh karena itu perkenankan penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Yos Johan Utama, SH.,M.Hum, sebagai Rektor Universitas
Diponegoro Semarang.
2. Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH.,MH.,CN., sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
3. Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH.,M.Hum, sebagai Direktur Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
4. Prof. Dr. Rahayu, S.H,M.H., sebagai sekretaris pada Program Doktoral
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
5. Prof. Barda Nawawi Arief, S.H. Sebagai Promotor yang telah
membimbing dengan amat sangat sabar, meluangkan waktu dan telah
memperlakukan penulis sebagai keluarga sendiri, sehingga penulis lebih
nyaman dalam bimbingan dan dalam memperoleh pembelajaran dalam
banyak hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan di bidang hukum
maupun non hukum, disamping kearifan dan keteladanan serta nasehat-
nasehat agama dari beliau.
6. Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., sebagai co-promotor yang telah banyak
membantu memberikan bimbingan dan arahan penulisan disertasi ini
lix
dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi, tegas dan serta berjiwa
besar khususnya dalam memberikan masukan dan bimbingannya.
7. Prof. Dr. Supanto, S.H.,M.Hum., sebagai penguji eksternal, yang telah
memberikan masukan atas kekurangan dan penyempurnaan dalam
penulisan disertasi ini.
8. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., sebagai penguji yang
telah memberikan bimbingan, arahan yang sangat berharga serta masukan
atas kekurangan dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.
9. Dr. RB. Sularto, S.H, M.Hum., sebagai penguji yang telah memberikan
bimbingan dan masukan yang sangat berharga atas kekurangan dan
penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.
10. Dr. Pujiono, S.H, M.Hum., sebagai penguji yang telah memberikan
bimbingan dan masukan yang sangat berharga atas kekurangan dan
penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.
11. Dr. Sukirno, S.H.,M.Si., sebagai penguji yang telah memberikan masukan
yang berharga dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.
12. Prof. Dr. I. Gede B. Wiranata sebagai Koordinator Pelaksanaan
Perkuliahan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP-UNILA di Universitas
Lampung beserta Staf Administrasi yang telah memberikan kesempatan,
sarana dan bantuan kepada penulis selama menempuh pendidikan.
13. Para dosen pengajar Program Doktor Ilmu Hukum KPK UNDIP-UNILA
yang telah membagikan ilmunya dan arahan selama penulis menempuh
pendidikan terutama kepada yang terhormat dan amat terpelajar ; Prof. Dr.
lx
Mahfud MD, Prof. Dr. Arif Hidayat, S.H., M.S., almarhum Prof.
Dr.SoetandyoWignyo Soebroto, MPA., Prof. Dr. Sunarto, S.H.,M.H., Dr.
Yuswanto, S.H., M.H., dan lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya
yang telah membagikan ilmunya kepada penulis selama menempuh
pendidikan.
14. Pemerintah Provinsi Lampung atas segala bantuan kepada penulis selama
menempuh pendidikan.
15. PT. AKR Corporindo Tbk di Jakarta Khususnya Bapak Haryanto
Adikoesoemo sebagai Direktur Utama diperusahaan tersebut, yang telah
membantu secara financial selama lebih kurang 5 (lima) semester.
16. Dr. H. Muhammad Fanshurullah Asa, S.T., M.T., (salah satu Komite BPH
Migas) dan sebagai Dosen di LEMHANAS yang telah merekomendasikan
penulis untuk mendapat bantuan biaya pendidikan dan terus memotivasi
penulis untuk segera menyelesaikan studi S 3.
17. Prof. Dr. H. Muhammad Mukri M.Ag, selaku Rektor IAIN Raden Intan
Lampung yang telah banyak memotivasi dan memberikan bantuan
finansial dan moral kepada penulis.
18. Prof. Dr. H. Faisal, M.Ag., selaku Wakil Rektor IAIN Raden Intan
Lampung yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan baik
secara moral maupun finansial kepada penulis.
19. Segenap Dosen pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, yang telah membimbing dan mengajarkan
khasanah keilmuan yang holistik, serta staff administrasi, dan seluruh staff
lxi
perpustakaan atas layanan dan keramahan yang luar biasa membantu
penulis dalam penulisan disertasi ini.
20. Teman sejawat Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
terutama, ayundaku Dr. Hj. Zuhraini, S.H.,M.H., Linda Firdawati, S.Ag,
M.Ag. Dr. Hj. Erina Fane, Khumadi Djakfar, M.H., Khairuddin, M.A.,
Nurlaili S.Ag., M. Ag., Yassir Fauzi, M.H., Ghandi Liorba, M.Ag., beserta
seluruh dosen dan staf dilingkungan IAIN Raden Intan Lampung yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan
baik moril maupun materil kepada penulis selama menempuh pendidikan.
21. Kapolresta Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A
Tanjung Karang, Tokoh-tokoh Adat Lampung yang telah membantu
dalam diskusi dan memberikan data dan solusi-solusi yang sangat
bermanfaat dalam penelitian penulis.
22. Kepada ayahanda Drs. Nurullah Asa (Alm), dan Ibunda Dra. Hj.
Zanariyah Haiyyin, yang telah membesarkan, mendidik dan menjadi
motivasi bagi penulis, Almarhum mertuaku Mulyanzen dan Nasimah
Syarief, anakku semata wayang Anery Ari Ramaulan, adik-adikku
tersayang,( Ahyan Nur, S.Ag., Heppy Sa’adah,M.Pd., Maria Shopia,S.E.,
Rina Karuma,S.E., Septina Ayu Badriyah,S.E., dan almarhum Abdul
Jalil), atas segala kesabaran, pengorbanan dan bantuan moril dan materil
serta doa selama penulis menempuh pendidikan.
lxii
23. Teman-teman sesama mahasiswa angkatan ke IV PDIH KPK UNDIP
UNILA, Liky Faizal, Eko Hidayat, Slamet, Endang, Yuli, Oki Hajiansyah,
Baharuddin, dan Marcel PDIH KPK UNDIP UNILA.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun jasa baiknya menjadi
faktor penentu dalam keberhasilan penulisan dan penyelesaikan disertasi
ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna untuk dapat dikatakan karya disertasi. Andaikata penulisan ini
tidak dibatasi atas keterbatasan waktu, tenaga dan biaya rasanya penulis
ingin mengakaji dan terus memperbaiki tulisan ini agar dapat dikatakan
mendekati layak sebagai disertasi. Meskipun demikian kami senantiasa
berdoa semoga Allah SWT yang Maha Sempurna memberikan
kesempurnaannya dalam manfaat dan kepentingan bagi sesama dalam
pengembangan ilmu hukum dan bagi kepentingan bersama dalam
khasanah lainnya. Oleh karena itu semua kritik dan saran bagi
penyempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan. Semoga Allah
mengampuni segala dosa dan kesalahan kita.
Semarang, Mei 2016
Penulis
Efa Rodiah Nur
lxiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iLEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iiPERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................... iiiABSTRAK ..................................................................................................... ivABSTRACT .................................................................................................... vRINGKASAN ................................................................................................. viSUMMARY .................................................................................................... xixKATA PENGANTAR .................................................................................... lviiDAFTAR ISI ................................................................................................... lxivGLOSARI ....................................................................................................... lxviiiDAFTAR SINGKATAN ............................................................................... lxxiDAFTAR TABEL .......................................................................................... lxxiiiDAFTAR GAMBAR ...................................................................................... lxiv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 11.1. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 1.2. Fokus Studi dan Permasalahan .............................................. 22 1.3. Kerangka Pemikiran .............................................................. 241.4. Tujuan Penulisan Disertasi .................................................... 511.5. Kontribusi Penulisan Disertasi ............................................. 511.6. Proses Penelitian ..................................................................... 52
1.6.1. Metode Pendekatan ...................................................... 52 1.6.2. Lokasi Penelitian .......................................................... 54 1.6.3. Unit Analisis dan Tehnik Sampling ............................. 55 1.6.4. Pengumpulan Data dan instrumen Penelitian .............. 56 1.6.5. Metode Analisis Data ................................................... 59 1.6.6. Validitas Data ............................................................... 61
1.7. Sistematika dan Pertanggungjawaban Penulisan ................... 621.8. Orisinalitas Disertasi .............................................................. 65
BAB II PERGESERAN DAN DIALEKTIKA HUKUM MODERN DAN HUKUM YANG BERBASISKEARIFAN LOKAL ADAT ....... 722.1. Konsepsi Negara Hukum dalam Polarisasi Sejarah dan
Pemaknaan................................................................................ 722.1.1. Sejarah Singkat Perkembangan Konsep Negara Hukum 722.1.2. Konsep Negara Hukum ................................................ 772.1.3. Perkembangan Konsep Negara Hukum ........................ 80
2.2. Keritik Terhadap Hukum Modern dan Ilmu Hukum Positivistik 84
lxiv
2.2.1. Gambaran Dialektis Hukum Modern ............................ 842.2.2. Keritik Terhadap Positivistik Ilmu Hukum ................... 882.2.3. Keritik Terhadap Hukum Moderen di Indonesia .......... 94
2.3. Rekonstruksi ........................................................................... 972.3.1. Makna Rekonstruksi ...................................................... 1022.3.2.Gugatan melalui Rekonstruksi Hukum Pidana Indonesia 103
2.4. Sejarah Singkat dan Perkembangan Hukum Pidana Indonesia 1072.4.1. Masa Sebelum Penjajahan ............................................. 1072.4.2. Masa Kedatangan Belanda ke Indonesia ....................... 1082.4.3. Masa Pendudukan Jepang .............................................. 1142.4.4. Masa Setelah Kemerdekaan ........................................... 115
2.5. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ....... 1222.6. Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum Pidana Indonesia ....... 124
2.6.1. Posisi Hukum Adat dalam Hukum Pidana ..................... 1242.6.2. Gambaran Badan Peradilan Adat di Indonesia .............. 131
2.7. Sistem Hukum yang Berkeadilan ............................................. 1412.7.1. Perihal Keadilan ............................................................. 1412.7.2. Sistem Hukum Berkeadilan Pancasila ........................... 149
2.8. Perihal Kearifan Lokal ............................................................ 1692.9. Model-Model Formulasi Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
Ringan ..................................................................................... 1712.10. Konsepsi Tindak Pidana dalam Hukum Pidana ..................... 180
2.10.1. Pengertian Tindak Pidana ........................................... 1802.10.2. Orientasi Aspek Kebijakan Hukum Pidana saat ini .... 185
2.11. Tindak Pidana Ringan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ................................................................... 193
2.11.1. Aspek Hukum Tindak Pidana Ringan .......................... 1932.11.2. Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut
KUHAP ......................................................................... 2072.12. Pemidanaan dan Hapusnya Pemidanaan ............................... 218
2.12.1. Sifat Dapat di Pidananya Perbuatan dan Pelaku ......... 2182.12.2. Alasan Penghapus Pidana ........................................... 219
BAB III KONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN ....................... 2263.1. Gambaran Singkat Sistem Peradilan Pidana Indonesia ........... 2263.2. Sistem Hukum Pidana Indonesia ............................................. 2283.3. Sistem Hukum Pancasila .......................................................... 2323.4. Praktek Penegakan Hukum Pidana atas Tindak Pidana Ringan ..................................................................................... 235
lxv
3.5. Refleksi Filosofis Pelayanan Publik Sebagai Dasar Rekonstruksi Birokrasi Peradilan Pidana ................................. 242
3.6. Penggunaan Hukum Modern melalui Penyelesaian Tindak Pidana Ringan dalam Mendistribusikan Keadilan ................... 243
3.7. Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan ................................. 2493.8. Keadilan Restoratif : Makna dan Tujuannya ........................... 2543.9. Prinsip-prinsip Dasar dan Keadilan Restoratif ....................... 2583.10.Terobosan Mahkamah Agung RI dalam Penegakan
Hukum Pidana yang Memberikan Rasa Keadilan atas Hukum Modern ........................................................................ 262
3.11. Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Lampung .................. 266
BAB IV KONSTRUKSI PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL HUKUM ADAT LAMPUNG .................................................................................... 2694.1. Nilai-Nilai Kearifan Lokal ....................................................... 2694.2 Hukum Pidana Adat di Indonesia............................................. 2734.3. Asas-Asas Hukum Pidana Adat Indonesia Sebuah Penjelajahan
Normatif dan FIlosifis .............................................................. 2774.4. Sifat Hukum Pidana Adat Indonesia ........................................ 2814.5 Kearifan Lokal Hukum Pidana Adat Sebagai Filsafat Pemidanaan
di Indonesia............................................................................... 2844.6. Hukum Pidana Adat dalam Korelasinya dengan Filsafat Hukum,
Teori Hukum dan Dogmatika Hukum ..................................... 2934.7. Makna Simbolik Sistem Hukum Berbasis Kearifan Lokal ...... 2984.8. Kelembagaan Adat di Lampung dan Pemaknaannya .............. 3034.9. Konstruksi Penyelesaian Perkara melalui Kearifan Lokal Hukum
Adat Lampung ......................................................................... 3114.10. Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Melalui Hukum Adat
Lampung Berbasis Kearifan Lokal yang Berkeadilan ........... 317
BAB V REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL HUKUM LAMPUNG ......... 3225.1. Penempatan Teori dalam Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Berkeadilan dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal.......................................................................... 322
5.2. Model Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Berkeadilan Berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung sebagai Paradigma Pembaharusan Sistem Hukum Pidana ..................................... 360
lxvi
5.3. Perkembangan Penerapan Model Penyelesaian Perkara Pidana melalui Mediasi Penal dan Kearifan Lokal .............................. 3645.3.1. Konsepsi Keadilan dari Aspek Hukum Islam dan Korelasi
dengan Kearifan Lokal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan ........................................................................... 364
5.3.2. Kearifan Lokal ............................................................... 3695.3.3. Penerapan Mediasi oleh Lembaga Kepolisian Republik
Indonesia dalam Penanganan Tindak Pidana Sebagai Perwujudan Restorasi Justitia ....................................... 377
5.4. Tawaran Konsep Penyelesian Perkara Pidana Ringan di Lampung menggunakan Hukum Adat Berbasiskan Kearifan Lokal ....... 3925.4.1. Eksistensi Lembaga Kearifan Lokal Berbasis Hukum Adat
Lampung ........................................................................ 3925.4.2. Model Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan
menggunakan Kearifan Lokal Berbasiskan Hukum Adat Lampung ........................................................................ 400
BAB VI PENUTUP .....................................................................................6.1. Kesimpulan ............................................................................. 4196.2 Saran ........................................................................................ 423
...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 424DAFTAR INDEKS ......................................................................................... 446LAMPIRAN
lxvii
GLOSARI
Phenomenology : Sebuah gerakan filsafat abad ke 20 yang menonjol dalam metodenya yang cermat dan tidak bisa dalam menggambarkan sifat-sifat (makna) universal dari suatu subjek yang nampak dalam kesadaran, seperti aturan logis, nilai, perasaan, ide, atau objek material.
Hukum adat : Hukum asli bangsa Indonesia yang bersumber pada peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran masyarakat. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis
Hukum adat Lampung
: Hukum asli masyarakat kesatuan hukum adat Lampung yang secara yuridiksi memiliki ikatan dengan masyarakat yang berdiam di suatu wilayah tertentu.
Hegemoni : (Hegemony) dominasi sebuah kelas sosial terhadap kelas lainnya lewat keberhasilan menanamkan pandangan hidup, realis sosial serta hubungan kemanusiaannya, sehingga diterima sebagai sesuatu yang dianggap benar, atau alamiah bagi orang-orang yang ter-subordinasi.
Intertekstualitas : (Intertextuality) kesaling bergantungan satu teks dengan teks sebelumnya, dalam bentuk kesilangan berbagai kutipan dan ungkapan-ungkapan yang satu sama lain mengisi.
Logos : Kebenaran dari kebenaran, atau kebenaran yang tertinggi yang merupakan sumber dari segala kebenaran.
Logosentrisme : (Logocenterism) kecenderungan sistem pemikiran yang mencari legitimasi dengan mengacu pada dalil-dalil kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal
Malee : Sesuatu yang cair, sulit untuk dipegang. Ini merupakan istilah yang dipergunakan oleh Charles Sampford untuk menggambarkan situasi masyarakat yang bergerak dan berubah secara terus menerus.
lxviii
Ontologi (Ontology)
: Salah satu cabang dari metafisika. Sebuah aliran filsafat yang berbicara tentang usaha untuk mendeskripsikan hakikat wujud tinggi, yang Esa, yang absolut, yang abadi, yang sempurna. Pernyataan-pernyataan ontology biasanya mempertanyakan ulang suatu realitas sesuatu.
Posmodernisme : (Postmoderenisem) gerakan kebudayaan pada umumnya yang dicirikan oleh pertentangan terhadap totalitaritas universalisme serta kecenderungannya kearah keanekaragaman dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, dan pendakalan makna kebudayaan.
Positivisme : Sebuah mazhab filsafat yang memiliki orientasi ilmiah pada 30-an dan 40-an. Tujuannya adalah untuk menggusur sebagaian besar filsafat dan agama sebagai sesuatu yang tidak bermakna dengan menetapkan kriteria verifikasi, dan untuk mempertegas kembali serta menyelesaikan persoalan-persoalan bersifat menggunakan bahasa yang formal.
Positivisme Hukum
: Aliran pemikiran hukum dalam hukum yang membaca konsep hukum secara ekslusif dan berakar bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Positivisme dimaknai pula sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrumen didalam sebuah negara.
Realitas (Reality) : Segala kondisi, situasi atau objek-objek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan, sebagai kebalikan dari apa yang disebut fiksi, ilusi, halusinasi atau fantasi.
Rembuk Pekon : Adalah suatu media yang dipergunakan oleh masyarakat hukum adat di Lampung dalam penyelesaian permasalahan antara individu dengan individu,dan dalam perkembangannya rembuk pekon di adopsi oleh institusi pemerintah di Lampung dalam penyelesaian tindak pidana ringan
Strukturalisme (Structuralism)
: Gerakan intelektual yang berkaitan dengan penyimpangan struktur berbagai pemikiran dan tingkah laku manusia, yang prinsipnya adalah satu totalitas yang kompleks hanya dapat dipahami sebagai sesuatu
lxix
perangkat unsur-unsur yang saling berkaitan.
Teks (Text) : Kombinasi tanda dan kata baik verbal maupun visual
lxx
DAFTAR SINGKATAN
AB = Algemen Bepalingen van Wetgeving
AKBP = Adjun Komisaris Besar Polisi
ABRI = Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
ADR = Alternative Dispute Resolution
AJM = Access to Justice Movement
BAP = Berita acara pemeriksaan
BR = Besluiten Regering
BW = Burgerlijk Wetboek
BPD = Badan Permusyawaratan Desa
CLS = Critical Legal Studies
DPR = Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FKPM = Forum kemitraan Polisi Masyarakat
HIR = Herziene Indische Reglement
IS = Indische Staatregeling
ICCPR = International Covenant on Civil and Political Rights
ILO = International Labor Organisation
KPN = Ketua Pengadilan Negeri
KDRT = Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KUHP = Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KUHAP = Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
LHP = Lembaga Himpun Pemekonan
MA = Mahkamah Agung
PA = Pengadilan Agama
PT = Pengadilan Tinggi
PERMA = Peraturan Mahkamah Agung
PN = Pengadilan Negeri
PPNS = penyidik pegawai negeri sipil
PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa
lxxi
POP = Peraturan Organisasi Pengadilan
RR = Regeling Reglement
RO = Reglement op de Rechtilijke Organisatie
RUU KUHP = Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
RV = Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
RI = Republik Indonesia
SISKUMNAS = Sistem hukum Nasional
SPP = Sistem Peradilan Pidana
TIPIRING = Tindak Pidana Ringan
UUDS = Undang-Undang Dasar Sementara
UUD = Undang-Undang Dasar
UUDNRI
1945
= Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
UU = Undang-Undang
UUDRT = Undang-Undang Darurat
UNDIP = Universitas Dipenogoro
VOC = Vereenigde 'oost Indische Compagnie
WvK = Wetboekvan Koopenhandel
WvSNI = Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
lxxii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Orisinalitas Penelitian .................................................................... 66
lxxiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran .................................................................... 50
Gambar 1.2. Lokasi Penelitian ......................................................................... 55
Gambar 1.3. Konstruksi Data Kepustakaan ..................................................... 57
Gambar 1.4. Metode Pengumpulan Data dan Analisa Data ............................ 60
Gambar 1.5. Analisa Data Kualitatif ................................................................ 61
Gambar 2.1. Hubungan dalam Bekerjanya Hukum ......................................... 82
Gambar 3.1. Data Responden .......................................................................... 242
Gambar 3.2. Kontradiktif Sistem Hukum Pidana ............................................ 248
Gambar 4.1. Tujuan Hukum Menurut Aliran Utilitarianisme ......................... 301
Gambar 4.2 Mazhab-Mazhab Keadilan Perkembangan Ilmu Hukum ............. 302
Gambar 5.1. Dinamika dan Spirit Hukum ....................................................... 329
Gambar 5.2. Bangunan Sistem Hukum Pidana Nasional ................................ 364
Gambar 5.3. Model Bangunan Sistem Hukum Berbasis Kearifan Lokal ........ 366
Gambar 5.4. Kelembagaan Pemerintahan Pekon Way Empulau Ulu............... 401
Gambar 5.5. Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan dengan Model Rembuk Pekon Adat Lampung.................................................... 417
Gambar 5.6. Formulasi Model Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Melalui Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung ......................... 419
Gambar 5.4. Model Formulasi Penyelesaian Perkara TindakPidana Ringan dalam Fondasi Ilmu Hukum .................................................................. 420
lxxiv