DM
-
Upload
dian-sulistya-ekaputri -
Category
Documents
-
view
22 -
download
7
Transcript of DM
Diabetes Melitus yang merupakan suatu kelainan metabolisme yang disebabkan
oleh adanya gangguan dalam sekresi maupun kerja insulin, yaitu suatu hormon yang
berfungsi mengatur keseimbangan gula darah (Powers 2005). Diabetes Melitus dapat
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu Diabetes Melitus tipe-1 dan Diabetes Melitus tipe 2.
Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 meningkat seiring dengan bertambahnya umur.
Berdasarkan data WHO, setelah mencapai umur 30 tahun terjadi peningkatan glukosa
puasa sebanyak 1-2 mg% per tahun dan glukosa 2 jam postprandial sebanyak 5.6-13
mg% per tahun (Rochmah 2006). Proses penuaan memiliki peran yang cukup bermakna
dalam patogenesis penyakit ini. Ditemukan bahwa penuaan dapat mengurangi
sensitivitas reseptor pada otot terhadap glukosa dan insulin (Rochmah 2006).
Peningkatan gula darah yang abnormal (hiperglikemia) dapat menimbulkan berbagai
komplikasi pada penderita Diabetes Melitus lanjut usia. Salah satu komplikasi yang
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan pada pasien Diabetes
Melitus lanjut usia adalah penyakit kardiovaskular akibat aterosklerosis (Beckman et al.
2002).
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelainan metabolik yang disebabkan oleh defisiensi
insulin yang dapat bersifat relatif atau absolut. Insulin adalah suatu hormon yang
dihasilkan oleh pankreas dan berperan penting dalam proses penyimpanan glukosa ke
dalam sel (Powers 2005). Kelainan metabolik yang terjadi pada Diabetes Melitus tidak
hanya berupa hiperglikemia, melainkan terjadi pula gangguan pada metabolisme lipid
dan protein yang dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai organ (Bennet et al.
2001) Etiologi Diabetes Melitus tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi diperkirakan
bahwa kelainan ini disebabkan oleh interaksi berbagai faktor, baik faktor herediter
maupun faktor lingkungan (Powers 2005). Penyakit ini dicirikan dengan adanya
berbagai gangguan metabolik dalam tubuh, diantaranya hiperglikemia kronis dan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Penderita Diabetes Melitus
dapat menunjukkan gejala klinis yang spesifik seperti kehausan, poliuria, pandangan
kabur, dan kehilangan berat badan. Akan tetapi, pada sebagian orang penyakit ini juga
dapat tidak menimbulkan gejala sehingga baru dapat terdiagnosis apabila sudah terjadi
komplikasi-komplikasi yang fatal, seperti retinopati, neuropati, gagal ginjal, disfungsi
seksual, dan gangren pada ektrimitas. Telah dibuktikan juga bahwa penderita Diabetes
Melitus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular,
serebrovaskular, dan PAP (WHO 1999).
2.2 Epidemiologi
Prevalensi Diabetes Melitus menunjukkan peningkatan yang sangat bermakna dalam
dua dekade terakhir (Powers 2006). Prevalensi Diabetes Melitus pada populasi dunia
pada tahun 2000 adalah 2.8%. Persentase ini diperkirakan akan meningkat menjadi
4.4% pada tahun 2030. Indonesia pada tahun 2000 berada pada urutan ke-4 diantara
sepuluh negara yang memiliki penderita Diabetes Melitus terbanyak di dunia dengan
jumlah 8.4 juta orang setelah India (31.7 juta orang), China (20.8 juta orang) dan
Amerika Serikat (17.7 juta orang). Angka tersebut diperkirakan akan meningkat
menjadi 21.3 juta orang pada tahun 2030 dan Indonesia akan tetap berada di urutan ke-4
2
(Wild et al. 2004). Berdasarkan data epidemiologis diperoleh bahwa terjadi peningkatan
prevalensi Diabetes Melitus tipe 1 dan 2. Namun, diperkirakan bahwa di masa depan
akan terjadi peningkatan prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 yang jauh lebih bermakna
karena peningkatan prevalensi obesitas dan penurunan tingkat aktivitas fisik. Prevalensi
penyakit ini kurang lebih sama antara kelompok pria dan wanita pada sebagian besar
kelompok umur, namun penyakit ini lebih cenderung terjadi pada pria pada usia >60
tahun (Powers 2006).
Perkeni (2006) menyatakan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Indonesia pada tahun 2003, diperkirakan bahwa terdapat penderita Diabetes Melitus
sebanyak 8.2 juta orang (14.7%) di daerah urban dan 5.5 juta orang (7.2%) di daerah
rural. Jumlah ini diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi 12 juta orang di
daerah urban dan 8.1 juta di daerah rural akibat adanya pertambahan penduduk (Perkeni
2006).
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan etiologi, Diabetes Melitus dapat dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu
Diabetes Melitus tipe-1 (Insulin Independent Diabetes Mellitus/IIDM) dan Diabetes
Melitus tipe 2 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM) (tabel 2.1.). Selain dua
kelas utama tersebut, berdasarkan klasifikasi WHO, terdapat beberapa kelas Diabetes
Melitus yang lain, yaitu Malnutrition-Related Diabetes Mellitus (MRDM), Gestational
Diabetes Mellitus (GDM), Other Types of Diabetes Mellitus, dan Impaired Glucose
Tolerance (IGT) (WHO 1999).
Tabel 2.1. Klasifikasi dan Stadium Klinis dalam Kelainan Glukosa
3
Sumber: WHO (1999)
Diabetes Melitus tipe-1 disebabkan oleh terjadinya penghancuran sel beta pada
pankreas oleh suatu proses autoimun (American Optometric Association 2001).
Penyakit ini mengakibatkan penderita mengalami defisiensi insulin secara absolut dan
sangat bergantung pada terapi pemberian insulin (Powers 2005). Individu dengan
kelainan ini dapat mengalami periode asimptomatis selama beberapa lama, akan tetapi
proses autoimun yang mendasari terjadinya destruksi sel beta dapat dideteksi secara
lebih dini. Prevalensi penyakit ini lebih tinggi pada individu dengan usia muda (<30
tahun). Diabetes Melitus tipe-1 dapat diklasifikasikan kembali menjadi Immune-
mediated Diabetes Mellitus yang memiliki marker autoimun yang jelas dan Idiopathic
Diabetes Melitus yang bersifat herediter namun tidak memiliki marker autoimun yang
spesifik (American Optometric Association 2001). Marker-marker dari Diabetes
Melitus tipe-1 diantaranya adalah anti GAD, antibodi terhadap sel islet, dan antibodi
terhadap insulin (WHO 1999).
Diabetes Melitus tipe 2 memiliki prevalensi yang jauh lebih besar daripada tipe
Diabetes Melitus yang lain yaitu sebanyak hampir 90% dari keseluruhan penderita
Diabetes Melitus. Penyakit ini dicirikan dengan terdapatnya kelainan pada sekresi
insulin, kerja insulin, atau gabungan dari keduanya (WHO 1999). Penderita Diabetes
4
Melitus tipe 2 memiliki latar belakang dan gejala klinis yang sangat heterogen
(American Optometric Association 2001). Lebih dari 80% pasien yang menderita
Diabetes Melitus tipe 2 juga menderita obesitas atau peningkatan persentase lemak
tubuh terutama pada abdomen yang dapat mengakibatkan atau memperburuk kondisi
resistensi insulin (WHO 1999). Sebagian besar pasien dengan kelainan ini tidak
memerlukan pemberian insulin pada awal terapi. Insiden penyakit ini meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, terutama diderita oleh individu yang berusia >40 tahun dan
disebabkan oleh Insulin Resistance Syndrome yaitu suatu kelompok gangguan-
gangguan yang terdiri dari intoleransi glukosa, hipertensi, dislipidemia, peningkatan
level Plasminogen Activator Inhibitor (PAI-1), penurunan level sex-binding globulin,
penyakit pada arteri koroner, dan terjadinya aterosklerosis sistemik (American
Optometric Association 2001).
2.4 Patogenesis
Diabetes Melitus tipe 2 dicirikan oleh adanya tiga abnormalitas yang khas yaitu
gangguan sekresi insulin, resistensi insulin perifer, dan peningkatan produksi glukosa
oleh hepar. Obesitas, terutama tipe visceral atau sentral sangat sering terjadi pada
penderita Diabetes Melitus tipe 2. Sel adiposit diketahui dapat menghasilkan sejumlah
substansi biologik seperti leptin, TNF-α, asam lemak bebas, resistin, dan adiponektin
yang dapat mempengaruhi sekresi insulin, kerja insulin, dan berat badan, serta dapat
berpengaruh terhadap terjadinya keadaan resistensi insulin. Pada fase awal dari penyakit
ini, tubuh masih dapat mentoleransi keadaaan resistensi insulin karena sel beta pankreas
dapat melakukan kompensasi dengan jalan meningkatkan produksi insulin. Jika keadaan
tersebut semakin progresif, pankreas pada beberapa individu tidak mampu lagi untuk
mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. Sebagai akibatnya, akan terjadi IGT
(Impaired Glucose Tolerance) yang dicirikan dengan terjadinya peningkatan kadar
glukosa darah post prandial. Setelah itu akan terjadi penurunan sekresi insulin lebih
lanjut dan peningkatan produksi glukosa oleh hepar yang dapat menyebabkan terjadinya
Diabetes Melitus dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa. Pada akhirnya, dapat
terjadi pula kegagalan sel beta pankreas dalam memproduksi insulin (Powers 2006).
Keadaan resistensi insulin, yang dicirikan oleh adanya penurunan kemampuan
insulin terhadap jaringan target (terutama otot dan hepar) adalah karakteristik utama
5
yang terjadi dalam Diabetes Melitus tipe 2. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh
kombinasi dari faktor genetik dan obesitas. Resistensi insulin dapat mengganggu proses
utilisasi glukosa oleh jaringan dan meningkatkan produksi glukosa oleh hepar. Kedua
keadaan tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia.
Peningkatan produksi glukosa oleh hepar dapat menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah puasa, sedangkan penurunan pemanfaatan glukosa oleh jaringan perifer
dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia post prandial. Suatu teori juga
mengungkapkan adanya peranan dari asam lemak bebas yang dapat menyebabkan
gangguan pada utilisasi glukosa pada otot skeletal, meningkatkan produksi glukosa oleh
hepar, dan mengganggu fungsi sel beta pankreas (Powers 2006).
Proses sekresi insulin sangat berhubungan dengan sensitivitas jaringan terhadap
insulin. Pada fase awal Diabeter Melitus, sekresi insulin menunjukkan peningkatan
sebagai respon terhadap keadaan resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi
glukosa. Selanjutnya, terjadi defek pada sistem sekretori insulin sehingga menyebabkan
kurangnya sekresi insulin pada fase lanjut. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
sekresi insulin pada Diabetes Melitus tipe 2 masih belum dapat diketahui dengan pasti.
Diperkirakan terdapat defek genetik pada keadaan resistensi insulin yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kegagalan sel beta pankreas. Keadaan metabolik yang terjadi pada
Diabetes Melitus juga memiliki dampak negatif terhadap sel islet. Hiperglikemia yang
terjadi dalam waktu lama dapat merusak fungsi sel beta pankreas (glukotoksisitas) yang
dapat memperburuk keadaan hiperglikemia yang telah terjadi. Selain itu, peningkatan
kadar asam lemak bebas juga dapat mengganggu fungsi sel beta (lipotoksisitas) (Powers
2006).
Selain itu, pada Diabetes Melitus tipe 2, keadaan resistensi insulin pada hepar
menyebabkan kegagalan dari keadaan hiperinsulinemia untuk menekan proses
glukoneogenesis. Hal tersebut menyebabkan keadaan hiperglikemia saat puasa dan
penurunan penyimpanan glukosa saat post prandial (Powers 2006).
2.5 Diagnosis
Diabetes Melitus dapat didiagnosis dengan memperhatikan gejala-gejala klinis yang
khas, yaitu meningkatnya rasa haus dan volume urin, infeksi berulang, kehilangan berat
badan tanpa sebab yang jelas, dan pada kasus yang berat dapat terjadi penurunan
6
kesadaran sampai koma. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan oleh individu yang
datang dengan gejala dan hiperglikemia berat berbeda dengan individu asimtomatis
dengan nilai kadar glukosa hanya sedikit melebihi cut-off value. Pada individu yang
asimptomatis, diagnosis dapat dilakukan dengan mengukur kadar glukosa darah pada
saat puasa dan dua jam setelah makan (WHO 1999).
Berdasarkan kriteria Perkeni (2006), yang termasuk dalam penderita Diabetes
Melitus adalah individu dengan nilai glukosa puasa ≥ 126 mg/dl. Kriteria diagnosis
Diabetes Melitus dan Toleransi Glukosa Terganggu dapat dilihat selengkapnya pada
tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus dan Toleransi Glukosa Terganggu Menurut Perkeni (2006)
PERKENI 2006Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus dan Toleransi Glukosa Terganggu
Diabetes Melitus Gejala Klasik DM + Glukosa Darah Sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
atau Gejala Klasik DM + Glukosa Darah Puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
atau Kadar Glukosa Darah 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200mg/dL (11.1 mmol/L)
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)Kadar Glukosa Darah 2 jam setelah beban antara 140 - 199 mg/dL (7,8 – 11,0 mmol/L)
Glukosa Darah Puasa TergangguKadar Glukosa Darah Puasa antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L)
Sumber: Perkeni (2006)
Pada individu yang telah melampaui usia 45 tahun direkomendasikan untuk
melakukan skrining Diabetes Melitus dengan menggunakan tes glukosa puasa setiap 3
tahun. Sedangkan pada kelompok yang memiliki risiko tinggi seperti individu dengan
obesitas, keluarga yang juga menderita Diabetes Melitus, hipertensi, dan hiperlipidemia
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan setiap tahun. Hal tersebut direkomendasikan
karena tingginya prevalensi Diabetes Melitus yang tidak terdeteksi dini pada populasi
7
sehingga morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan menjadi sangat tinggi (Roos &
Samos 2002).
2.6 Komplikasi
2.6.1 Komplikasi Akut
Komplikasi akut yang dapat terjadi pada penderita Diabeter Melitus diantaranya adalah
Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS). Kedua
komplikasi tersebut disebabkan oleh defisiensi insulin relatif maupun absolut,
kekurangan cairan, dan gangguan keseimbangan asam-basa. Pada KAD maupun HHS
terjadi keadaan hiperglikemik dengan atau tanpa ketosis. Kedua komplikasi tersebut
juga bisa berakibat fatal bila tidak didiagnosis dini dan diterapi dengan baik.
KAD disebabkan oleh terjadinya defisiensi insulin relatif atau absolut yang terjadi
bersamaan dengan kelebihan hormon kontrainsulin seperti glukagon, katekolamin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan. Penurunan rasio kadar insulin terhadap glukagon
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan
pembentukan badan keton pada liver serta terjadi pula peningkatan penghantaran
substrat dari sel otot dan lemak (asam lemak bebas dan asam amino) menuju hepar.
Gejala klinis yang dapat terjadi pada KAD antara lain mual, muntah, nyeri perut, serta
tanda-tanda hiperglikemia seperti sering buang air kecil, dehidrasi, dan takikardi. Dapat
pula terjadi hipotensi yang disebabkan oleh dehidrasi dan vasodilatasi perifer.
Pernafasan Kusmaul yang disebabkan oleh keadaan asidosis metabolik dan nafas berbau
buah yang disebabkan oleh peningkatan aseton merupakan salah satu gejala klasik yang
dapat terjadi.
Di lain pihak, HHS disebabkan oleh terjadinya keadaan defisiensi insulin dan intake
cairan yang inadekuat. Defisiensi insulin dapat meningkatkan produksi glukosa oleh
hepar melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis serta gangguan utilisasi
glukosa oleh otot skeletal. Keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan terjadinya
osmotik diuresis yang selanjutnya menyebabkan deplesi volume intravaskuler. Keadaan
tersebut diperberat dengan intake cairan yang tidak mencukupi. Penderita HHS lebih
sering merupakan lansia dengan Diabetes Melitus tipe 2 dengan riwayat poliuria,
penurunan berat badan, dan penurunan intake oral selama beberapa minggu yang
selanjutnya dapat menyebabkan gangguan mental, letargi, dan koma. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan keadaan dehidrasi yang bermakna, hipotensi, takikardi, dan
8
perubahan status mental. Gejala-gejala klinis yang khas pada KAD seperti mual,
muntah, nyeri perut, dan pernafasan Kusmaul tidak ditemukan pada HHS.
2.6.2 Komplikasi Kronis
Komplikasi kronis pada Diabetes Melitus dapat mengenai berbagai sistem organ
dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna pada penderita.
Komplikasi kronis dapat dibedakan menjadi komplikasi vaskuler dan nonvaskuler.
Komplikasi vaskuler pada Diabetes Melitus dapat dibedakan lebih lanjut menjadi
komplikasi mikrovaskuler (retinopati, neuropati, nefropati) dan makrovaskuler
(penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, dan penyakit serebrovaskuler).
Komplikasi nonvaskuler yang dapat terjadi antara lain gastroparesis, infeksi, dan
perubahan pada kulit. Komplikasi kronis pada Diabetes Melitus menunjukkan
peningkatan yang sesuai dengan durasi hiperglikemia dimana komplikasi biasanya
terjadi pada dekade kedua setelah terjadi hiperglikemia. Akan tetapi, penderita Diabetes
melitus tipe 2 seringkali mengalami periode asimtomatik dalam waktu lama. Oleh
karena itu, banyak pasien yang telah menderita komplikasi pada awal diagnosis.
Diabetes Melitus merupakan penyebab utama kebutaan diantara usia 20 hingga 74
tahun di Amerika Serikat. Kebutaan terutama disebabkan oleh retinopati diabetik yang
progresif dan edema makular. Retinopati diabetik dapat diklasifikasikan menjadi dua
fase, yaitu fase nonproliferatif dan proliferatif.
2.9 Penanganan pasien Diabetes
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar gula sasaran belum tercapai, barulah
dilakukan intervensi farmakologis, dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin.1,2
2.9.1 Edukasi
Edukasi adalah bagian terpenting pasien Diabetes karena pasien diabetes akan
menangani dirinya sendiri di sebagian besar waktu. Edukasi mengenai resiko diabetes,
keuntungan pengontrolan gula darah, berat badan, penghentian merokok, dan perawatan
kaki.1
2.9.2 Diet
9
Pada dasarnya diet pada orang DM tidak jauh berbeda dengan orang normal. Untuk
karbohidrat disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang kaya serat, sehingga tidak
terjadi lonjakan gula darah yang tiba-tiba tinggi. Glycemic index adalah perbandingan
area di bawah kurva gula darah setelah mengkonsumsi makanan tertentu dibandingkan
dengan area setelah mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah yang sama sebagai
glukosa. Makanan dengan glycemic index yang lebih rendah membantu pengontrolan
diabetes.1
Kalori disesuaikan dengan kebutuhan pasien, dengan perbandingan karbohidrat
sebanyak 50-55% kalori total, lemak 30%, dan protein 15%.1 kebutuhan kalori basal
adalah 25-30 kal/kg BB ideal, ditambah atau dikurangi tergantung jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll. Pasien yang kelebihan berat badan dikurangi 20-30%
tergantung pada tingkat kegemukan, dengan minimal 1000-1200 kkal perhari pada
wanita dan 1200-1600 kkal perhari pada laki-laki. Bila kurus ditambah sekitar 20-30%
sesuai kebutuhan.2 Sebaiknya sesedikit mungkin mengubah gaya hidup pasien.1 lemak
jenuh dan lemak trans perlu dibatasi. Pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi. Pasien dengan
hipertensi, natrium dibatasi sampai 2400 mg garam dapur.2
Pasien dengan terapi farmakologis disarankan untuk mengkonsumsi makanan
dengan jumlah dan waktu yang sama. Pasien dengan terapi insulin juga memerlukan
makanan tambahan di antara makanan utama dan sebelum tidur. Hal ini untuk
menurunkan kemungkinan terjadinya hipoglikemi.1
2.9.3 Latihan jasmani
Latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit)
membantu menjaga kebugaran, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas
insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobik, kemudian
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.2
2.9.4 Intervensi Farmakologis
2.9.4.1 Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: pemicu sekresi insulin
(insulin secretagogue) yaitu sulfonilurea dan glinid; penembah sensitivitas terhadap
10
insulin (metformin, tiazolidindion); penghambat glukoneogenesis (metformin);
penghambat absorpsi glukosa (penghambat glukosidase alfa).2
a. Pemicu sekresi insulin
1. Sulfonilurea
Karena sulfonilurea memicu sekresi insulin oleh sel beta pankreas, maka tidak efektif
untuk pasien yang ketotik pada usia muda. Glibenclamid yang diekskresi ginjal tidak
melewati plasenta sehingga aman digunakan oleh pasien yang hamil. Penggunaan
sulfonilurea harus diawasi pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal. Karena obat ini
menaikkan berat badan, maka bukan pilihan utama pada pasien obesitas. Tolbutamid
adalah yang paling aman untuk pasien tua karena durasi kerja yang pendek. Tolbutamid
dan Gliclazid yang sebagian besarnya dimetabolisme di hati sehingga cocok untuk
pasien dengan gangguan ginjal, namun gliclazid lebih mahal dengan durasi kerja yang
lebih panjang. Chlorpropramid yang paling murah, namun durasi kerjanya sangat
panjang dan diekskresi di ginjal, sehingga tidak boleh digunakan pada pasien dengan
gangguan ginjal, dan kurang cocok untuk orang tua.1
2. Glinid
Mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea walau karakteristik pengikatan
reseptornya berbeda. Repaglinide memicu sekresi insulin sebagai respon terhadap
makanan, sehingga menurunkan kemungkinan hipoglikemia antar waktu makan, namun
golongan glinid ini lebih mahal daripada sulfonilurea. Obat ini diabsorpsi dengan cepat
dan diekskresi secara cepat melalui hati.1
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion menurunkan resistensi insulin dengan berikatan pada peroxisome
proliferator-activated receptor gamma (PPAR-gamma), reseptor inti di sel lemak dan
sel otot, meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer.1,2 Obat ini juga mengurangi produksi glukosa oleh hepar.1
Obat ini cenderung meningkatkan berat badan dan retensi garam dan air, sehingga
dikontrainddikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV. Selain itu, obat ini
toksik terhadap hepar, sehingga perlu pematauan fungsi hepar secara berkala.1,2
c. Penghambat Glukoneogenesis
11
Metformin (biguanid) mengurangi glukoneogenesis dan juga memperbaiki ambilan
glukosa perifer. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati dan
ginjal karena dapat menyebabkan lactic acidosis. Pada percobaan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan peningkatan berat badan, sehingga cocok untuk pasien tua dan juga
untuk pasien gemuk.1 metformin juga dikontraindikasikan pada pasien yang cenderung
hipoksemia (penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Efek samping
metformin adalah mual.2
d. Penghambat Glukosidase alfa (Acarbose)
Obat ini bagus untuk pasien yang kegemukan karena menghambat pemecahan
karbohidrat dalam usus sehingga penyerapannya berkurang. Obat ini tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek sampingnya yaitu perut kembung,
flatulens, dan diare.1,2
Cara pemberian OHO, yaitu:
- Dimulai dari dosis kecil, dapat ditingkatkan bertahap sesuai respon kadar gula
darah, sampai dosis hampir maksimal.
- Sulfonilurea diberi 15-30 menit sebelum makan
- Glimepirid diberi sebelum/sesaat sebelum makan
- Repaglinid sesaat/sebelum makan
- Metformin sebelum/pada saat/setelah makan
- Acabose bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan.2
Tabel 1.Obat awal yang disarankan3
HbA1c BMI Obat-obatan yang disarankan
<9%>25 Biguanid – sendiri atau kombinasi
<25 1 atau 2 agen dari kelas yang berbeda
>9% 2 obat dari kelas yang berbeda atau insulin
Pengobatan awal yang disarankan adalah seperti terlihat pada tabel 1. jika sasaran
terapi belum tercapai dalam 2-3 bulan, obat-obatan dapat dinaikkan dosisnya atau
ditambahkan dari kelas lain. Sasaran sudah harus tercapai dalam 6 bulan, bila perlu
tambahkan insulin. 3
12
2.9.4.2 Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat
disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar nonketotik,
hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO hampir maksimal,
stress berat, kehamilan dengan DM, gangguan fungsi hati atau ginjal yang berat,
kontraindikasi atau alergi terhadap OHO.2
Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi 4 jenis, yaitu: insulin kerja cepat
(rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja
mengengah (intermediate acting insulin), dan insulin kerja panjang (long acting
insulin). Adapula insulin campuran tetap kerja pendek dan menengah (premixed
insulin).2
Dasar pemikiran terapi insulin adalah berdasarkan sekresi insulin fisiologis yang
terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial yang diharapkan mampu ditiru oleh terapi
insulin. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal yang menyebabkan
hiperglikemia pada keadaan puasa, defisiensi insulin prandial yang menimbulkan
hiperglikemia setelah makan, atau keduanya. Terapi insulin tunggal atau kombinasi
disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respon individu terhadap insulin, yang dinilai
dari pemeriksaan gula darah harian. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan
menambahkan 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.2
Gambar 1. Respon Normal Insulin3
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan bertahap sesuai respon kadar gula darah. Insulin diberikan secara subkutan,
Insulin
60
0
20
40
makan pagi makan siang makan malam
13
dengan jarum tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus
diberikan secara intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.2 Tempat suntikan
harus dipindah-pindah secara teratur. Absorpsi insulin tergantung pada aliran darah
subkutan lokal, dapat meningkat dengan pijatan, olahraga, dan suhu tinggi. Absorpsi
paling cepat melalui perut, diikuti lengan, lalu paha.1
Tabel 2. Sediaan Insulin2
Sediaan Insulin Onset of Action(Awal Kerja)
Peak Action(Puncak Kerja)
Effective duration of Action(Lama Kerja)
Insulin Prandial (meal related)Insulin short acting Regular (Actrapid, Humulin R)Insulin analog rapid acting Insulin lispro (Humalog) Insulin glulisine (Aprida) Insulin Aspart (Novorapid)
30-60 menit
5-15 menit5-15 menit5-15 menit
30-90 menit
30-90 menit30-90 menit30-90 menit
3-5 jam
3-5 jam3-5 jam3-5 jam
Insulin Intermediate Acting NPH (Insulatard, Humulin N) Lente 2-4 jam
3-4 jam4-10 jam4-12 jam
10-16 jam12-18 jam
Insulin Long Acting Insulin Glargine (Lantus) Ultralente Insulin Detemir (Levemir)
2-4 jam6-10 jam1-4 jam
No peak8-10 jamNo peak
Insulin Campuran (Short- dan Intermediate- acting) 70%NPH/30%Regular (Mixtard, Humulin 30/70) 70%insulin aspart protamine/30% insulin aspart (Novomix 30) 75%insulin lispro protamine/25%insulin lispro injection (Humalog Mix25)
30-60 menit
10-20 menit
5-15 menit
Dual
Dual
1-2 jam
10-16 jam
15-18 jam
16-18 jam
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia, lainnya yaitu
reaksi imunologi yang dapat menimbulkan alergi atau resitensi insulin, jika suntikan
kurang dalam menimbulkan hantaran intradermal yang sakit, merah, bahkan jaringan
parut. Lipohipertrofi terjadi jika suatu daerah disuntik berulang-ulang. Resisensi insulin
biasa berhubungan dengan obesitas dan lebih karena prilaku. Insulin menimbulkan rasa
lapar sehingga menaikkan berat badan.1
14
Insulin
60
0
20
40
makan pagi makan siang makan malam
Insulin
60
0
20
40
makan pagi makan siang makan malam
15
Gambar 2. Regimen Insulin. 2A. Insulin sekali sehari, 2B. Insulin dua kali sehari, 2C. insulin tiga kali sehari, dan 2D. Regimen Basal Bolus3
2.9.5 Penilaian Terkontrolnya Diabetes
Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemantauan terapi DM dapat
dilakukan dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan 2
jam postprandial secara berkala bertujuan untuk mengetahui apakah sasaran terapi
sudah tercapai untuk penyesuaian dosis jika sasaran terapi belum tercapai.2 Hal ini
dapat pula dilakukan oleh pasien DM sendiri di rumahnya, dan pasien dapat
Insulin
60
0
20
40
makan pagi makan siang makan malam
Insulin
60
0
20
40
makan pagi makan siang makan malam
Insulin Endogen
Insulin kerja pendek
Insulin kerja menengah
Insulin kerja cepat
16
menyesuaikan sendiri dosis insulin mereka dengan dituntun tabel 2, atau meminta saran
melalui telepon jika perlu.1
Tabel 3. Tuntunan menyesuaikan dosis insulin berdasarkan tes hasil glukosa2
Gula darah tetap tinggi Gula darah tetap rendahSebelum makan pagiSebelum makan siangSebelum makan malamSebelum tidur
Meningkatkan insulin kerja panjang malamMeningkatkan insulin kerja pendek pagiMeningkatkan insulin kerja panjang pagi atau insulin kerja pendek siangMeningkatkan insulin kerja pendek malam
Menurunkan insulin kerja panjang malam
Menurunkan insulin kerja pendek pagi
Menurunkan insulin kerja panjang pagi atau insulin kerja pendek siang atau menaikkan makanan ringan soreMenurunkan insulin kerja pendek malam
Pemeriksaan A1C (hemoglobin terglikosilasi) digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya, sesuai masa hidup sel darah merah,
sehingga bisa berbeda arti jika umur hidup sel darah merah berkurang atau jika ada
kelainan hemoglobin. A1C tidak bisa digunakan untuk menilai pengobatan jangka
pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan minimal 2 kali dalam setahun.2
Pemeriksaan fruktosamin (glycosylated plasma protein) digunakan untuk menilai
kontrol gula darah 2-3 minggu terakhir. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dengan
hemoglobinopati dan kehamilan (saat turnover hemoglobin dapat berubah).1
Pemeriksaan glukosa urin hanya dilakukan pada pasien yang tidak bisa atau tidak
mau memeriksa kadar gula darah. Namun hasil pemeriksaan dapat bervariasi pada
beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama, dan
tergantung fungsi ginjal, sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
terapi.2
Penentuan benda keton dalam darah maupun urin penting terutama penyandang DM
tipe 2 yang terkendali buruk dan hamil, untuk mencegah terjadinya penyulit akut
diabetes, yaitu KAD.2
2.9.6 Kriteria Pengendalian DM
Kriteria keberhasilan pengendalian DM ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi kronis DM. Untuk pasien yang berumur lebih dari 60 tahun dengan
komplikasi, sasaran kendali kadar gula darah dapat lebih tinggi (puasa 199-125 md/dL,
dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan
lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan
17
mengingat sifat-sifat khusus pasien lanjut usia, dan untuk menghindari efek samping
hipoglikemia dan interaksi obat.2
Tabel 4. Kriteria Pengendalian DM2
Baik Sedang BurukGlukosa darah puasa (mg/dL)Glukosa darah 2 jam (mg/dL)
80-<10080-144
100-125145-179
≥126≥180
A1C (%) <6,5 6,5-8 >8Kolesterol Total (md/dL)Kolesterol LDL (mg/dL)Kolesterol HDL (mg/dL)
<200<100
Pria:>40Wanita:>50
200-239100-129
≥240≥130
Trigliserida (md/dL) <150 150-199 ≥200IMT (kg/m2) 18,5-<23 23-25 >25Tekanan Darah (mmHg) ≤130/80 >130-140/
>80-90>140/90
2.9.7 Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya terhadap kelompok yang beresiko mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa.2
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu ras, etnik, usia, riwayat
melahirkan bayi BB>4 kg atau riwayat pernah DM Gestasional, dan riwayat lahir
dengan BB<2,5 kg. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi yaitu berat badan lebih
(IMT>23 kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (≥140/90 mmHg), dislipidemia
(HDL≤35 mg/dL atau trigliserida ≥250 mg/dL), dan diet tak sehat. Faktor lain yang
terkait resiko diabetes yaitu penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan
lain yang terkait resistensi insulin, penderita sindroma metabolik, dan penderita dengan
riwayat penyakit kardiovaskular. 2
Pencegahan primer dilakukan dengan penyuluhan untuk memodifikasi faktor-faktor
resiko yang mungkin dimodifikasi. Pada orang dengan intoleransi glukosa juga
ditemukan bahwa modifikasi gaya hidup jauh lebih berperan daripada obat-obatan. 2
2.9.8 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada pasien DM untuk mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit, dengan deteksi dini, pemberian pengobatan yang cukup, dan
penyuluhan untuk kepatuhan pasien dan perilaku hidup sehat. 2
Pada pasien DM yang baru terdiagnosis perlu dilakukan pemeriksaan profil lipid
karena meningkatkan resiko timbulnya penyakit kardiovaskular, selanjutnya
18
pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali. Target penurunan LDL adalah
<100 mg/dL. Pada pasien dengan usia>40 tahun, diberi terapi statin untuk menurunkan
LDL sebesar 30-40% dari kadar awal, sedangkan untuk usia<40 tahun, diusahakan dulu
dengan perubahan gaya hidup. Khusus untuk pasien dengan penyakit Sindrom Koroner
Akut, target LDL adalah <70 mg/dL, dan semua pasien diberi terapi statin untuk
menurunkan LDL sebesar 30-40%. Setelah target LDL terpenuhi, jika trigliserida≥150
atau HDL≤40 mg/dL dapat diberikan terapi miasin atau fibrat. Apabila trigliserida ≥400
md/
dL perlu segera diturunkan dengan terapi farmakologis untuk mencegah timbulnya
pankreatitis. Perlu diingat statin merupakan kontraindikasi pada wanita hamil. 2
Sasaran tekanan darah pada pasien diabetes adalah<130/80 mmHg, atau bila disertai
proteinuria ≥1g/24 jam sasaran adalah <125/75 mmHg. Bila tekanan darah sistolik
antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik 80-89 mmHg, diharuskan melakukan
perubahan gaya hidup sampai 3 bulan, dan bila gagal mencapai target baru dilakukan
intervensi farmakologis. Pasien denngan tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau
diastolik > 90 mmHg dapat langsung diberikan terapi farmakologis. Bila tekanan darah
terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pada
orang tua, penurunan tekanana darah diturunkan secara bertahap. 2
Obesitas dan diabetes meningkatkan resiko kematian karena PJK. Pengelolaan
obesitas terutama ditujukan pada perubahan perilaku pola makan dan peningkatan
kegiatan jasmani, yang bila gagal, maka pendekatan farmakologi (sibutramine dan
orlistat) atau bedah dapat merupakan pilihan. 2
Terapi aspirin 75-160 mg/hari diberi sebagai pencegahan bagi pasien DM dengan
riwayat atau resiko penyakit kardiovaskular, termasuk pasien dengan usia>40 tahun
dengan riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular, mempunyai kebiasaan
merokok, menderita hipertensi, dislipidemia, atau albuminuria. Aspirin tidak dianjurkan
pada pasien berumur < 21 tahun seiring dengan meningkatnya kejadian sindrom Reye. 2
2.9.9 Pencegahan tersier
19
Pencegahan tersier ditujukan bagi kelompok DM dengan penyulit dalam upaya
mencegah kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi dilakukan sedini mungkin sebelum
kecacatan menetap, seperti pemberian aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) rutin untuk
penderita DM dengan makroangiopati. 2
2.9.10 Kegawatdaruratan Metabolik Diabetes
2.9.10.1 Ketoasidosis Diabetikum
Prinsip penanganan KAD yaitu mengembalikan kehilangan cairan dengan normal
saline, mengembalikan kehilangan elektrolit (Kalium), memperbaiki keseimbangan
asam basa dengan bikarbonat sebagai larutan isotonik jika pH<7, menggantikan
kekurangan insulin secara intravena atau secara intramuskular, monitor gula darah ketat
(tiap jam), dan pencarian penyebab. 1
Masalah yang mungkin ditemui yaitu hipotensi (pemasangan Central Venous
Pressure line dapat berguna dan kateter jika pasien tidak buang air kecil lebih dari 2
jam), koma (perlu pemasangan nasogastric tube untuk mencegah aspirasi pnemonia saat
pasien muntah), edema serebral (hindari pemberian cairan berlebihan atau cairan
hipertonik seperti bikarbonat), hipotermi, komplikasi lanjut (stasis pneumonia dan deep
vein thrombosis), komplikasi terapi (hipoglikemia, hipokalemia, edema paru,
hiperkloremia. 1
2.9.10.2 Hiperosmolar Nonketotik
Sesuai prinsip penanganan KAD dengan beberapa pengecualian. Osmolalitas plasma
biasanya sangat tinggi. Kebanyakan pasien sangat sensitif terhadap insulin. Perubahan
osmolalitas dapat menyebabkan kerusakan serebral. Kadang perlu infus insulin dengan
kecepatan 3 U/jam pada 2-3 jam pertama, dinaikkan menjadi 6 U/jam jika penurunan
gula darah terlalu lambat. Normal saline adalah cairan standard yang digunakan (1-3 L
0,9% normal saline 2-3 jam pertama, hindari cairan half-normal saline karena dilusi
yang terlalu cepat akan mengakibatkan kerusakan otak yang lebih berat daripada
beberapa jam terpapar hipernatremia. Jika sodium serum >150 mmol/L (150 meq/L)
gunakan saline 0,45%.setelah hemodinamik stabil, pemberian cairan intraven
aditujuankan untuk membalik kekurangan air bebas dengan cairan hipotonik (D5%
dalam air) yang harus diperbaiki dalam 1-2 hari selanjutnya. Penggantian kalium biasa
20
perlu dengan pengukuran berulang. Hipokalemia dapat disertai defisiensi magnesium.
Hipofosfatemia dapat terjadi dan dapat diatasi dengan KPO4 dan memulai nutrisi. 1
2.9.10.3 Hipoglikemia
Untuk penderita DM yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% iv
terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab penurunan
kesadaran.2 Pemberian glukosa secara bolus harus diikuti bolus normal saline untuk
mencegah sklerosis vena.1 Hipoglikemia (dengan gejala adrenergik dan
neuroglikopenik) diberi makanan atau minuman yang mengandung gula atau glukosa
15-20 g melalui intravena. 15 menit kemudian dilakukan pemeriksaan ulang glukosa
darah. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. Hipoglikemia
biasanya disebabkan penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga kadang perlu pengawasan yang cukup
lama (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik).
Hipoglikemia terutama harus dihindari pada pasien tua karena dampak yang fatal atau
dapat terjadinya kemunduran mental bermakna, dan perbaikan kesadarannya pun lebih
lambat sehingga perlu pengawasan yang lebih lama.2
21