Diskusi Kelompok 2 Pemicu 1 Modul Matabolik Endokrin
-
Upload
gladysitsme -
Category
Documents
-
view
278 -
download
1
description
Transcript of Diskusi Kelompok 2 Pemicu 1 Modul Matabolik Endokrin
Diskusi Kelompok 2 Pemicu 1 Modul Matabolik Endokrin
Nama: Gladys Suwanti
NIM: FAA 113 010
Kelompok: 4 (Empat)
Fasilitator: Tri Widodo, SKM
1. Jelaskan anatomi hipotalamus, hipofisis, dan adrenal
2. Jelaskan histologi hipotalamus, hipofisis, dan adrenal
3. Jelaskan organ-organ yang terlibat dalam regulasi
penurunan berat badan sesuai dengan pemicu
PERAN HIPOTALAMUS DALAM REGULASI NAFSU MAKANAN
Hipotalamus adalah bagian dari otak yang berperan penting dalam
regulasi proses-proses homeostasis, termasuk mengatur perilaku dan
nafsu makan. Dalam dekade terakhir, peran hipotalamus dalam regulasi
nafsu makan telah semakin difahami.
Asupan Makanan Asupan Makanan Neuron orde kedua (PVN)
Gambar 2. Nukleus arkuata (ARC) dan regulasi nafsu makan. Keterangan:
α-MSH: α -melanocyte-stimulating hormone; GHS-R= growth hormone
secretagogue receptor; NPY: neuropeptida Y; AgRP: agouti related
peptide; CART: cocaine-and-amphetamine related transcript. Sumber:
Wynne dkk, 2005.
Nukleus arkuata yang terletak di sekeliling dasar ventrikel III,
memiliki dua populasi neuron yang berbeda untuk mengatur asupan
makanan. Neuron yang memproduksi neuropeptida Y (NPY) bertindak
sebagai akselerator yang bekerja untuk menstimulasi makan. Sedangkan
populasi neuron yang lain didekatnya yang memproduksi
proopiomelanocorti (POMC) bekerja pada area otak yang sama dengan
area NPY untuk menyebabkan inhibisi makan. Ketika salah satu neuron
teraktivasi, maka populasi lain mengalami inhibisi. Contohnya, ketika
neuron NPY teraktivasi oleh penurunan kadar leptin, maka NPY yang
disekresikan akan berikatan dengan reseptornya di neuron POMC
(reseptor Y1) dan menyebabkan inhibisi terhadap aktivitas neuron POMC
tersebut. Neuron yang memproduksi NPY juga menghasilkan agouti
related peptide (AgRP) yang dapat memblok reseptor MC4R (reseptor bagi
α-MSH, turunan POMC) di neuron orde kedua (gambar 2). Aktivasi neuron
yang mengekspresikan NPY/AgRP ini pada saat keseimbangan energi
negatif, dapat menstimulasi makan dengan dua cara, yaitu dengan
pelepasan perangsang nafsu makan NPY dan dengan menurunkan kerja
penekan nafsu makan melanocortin/POMC.
NPY kemudian akan berikatan dengan reseptor Y1 dan Y5 di area lateral
hipotalamus (LHA).
Pengikatan dengan reseptor Y1 dan Y5 di LHA menyebabkan aktivasi
neuron melanoconcentrating hormone (MCH) dan orexin (sebagai neuron
orde kedua). Aktivasi neuron MCH dan orexin akan berakibat peningkatan
nafsu makan melalui regulasi perilaku oleh pusat yang lebih tinggi yaitu
korteks prefrontal bagian median dan insular. Hipotalamus menerima
masukan input neural, endokrin serta sinyal metabolik, kemudian
mengintegrasikannya dan menggunakan berbagai jalur efektor untuk
menimbulkan respons
perilaku, otonom atau endokrin. Selain hipotalamus, pusat regulasi nafsu
makan dan keseimbangan energi juga melibatkan sistem saraf secara
luas meliputi batang otak, korteks
serebri, area olfaktori dan lainnya.
Gambar 3 memperlihatkan mekanisme sinyal perifer sampai ke
hipotalamus, yang dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1. Melalui sirkulasi darah. Sinyal metabolik dan hormon dapat melalui
sawar darah otak sehingga dapat sampai ke hipotalamus melalui sirkulasi
darah.
2. Melalui persarafan. Sinyal mekanik dan kimia dari organ visera dan
saluran cerna dan disampaikan ke otak melalui serat aferen simpatis ke
tingkat servikal yang dintegrasikan terlebih dahulu di nukleus traktus
solitarius.
Gambar 3 Sinyal kenyang dari hati, saluran cerna dan peptida
ditransmisikan melalui n. vagus dan serat simpatis ke nukleus solitarius
(NTS) dan berintegrasi dengan input dari hipotalamus untuk mengakhiri
makan. Schwartz dkk, 2000.
MEKANISME GHRELIN DALAM MENINGKATKAN NAFSU MAKAN
Ghrelin pertama kali dipublikasikan oleh Kojima dkk dalam jurnal Nature
pada Desember 1999, sebagai ligan endogen untuk growth hormone
secretagogue receptor (GHS-R). Mereka memilih nama ghrelin karena
“ghre” adalah istilah proto-indo-eropa bagi kata “tumbuh” dan
dimaksudkan sebagai juga sebagai gabungan kata GH dan relin yang
berarti zat pelepa growth hormone (GH). Ghrelin adalah peptida dengan
28 asam amino merupakan peptide alami yang memiliki satu ester n-
octanoyl pada residu serin-3. Adanya kelompok n-octanoyl pada gugus
Ser3 ini bersifat esensial bagi aktivasi reseptor ghrelin (gambar 4). Kadar
ghrelin plasma pada seseorang yang puasa adalah 140 ± 14 fmol/ml.
Gambar 4 Struktur ghrelin manusia dan tikus. Keduanya merupakan
peptida dengan 28 asam amino dimana Ser3 dimodifikasi oleh asam
lemak, n-octanoic acid. Sumber: Kojima, 2001
Hormon ini terutama diproduksi dan disekresikan oleh X/A-like cells
di dalam kelenjarkelenjar oxyntic mukosa yang tersebar di lambung.
Selain lambung, didapati adanya
rangkaian neuron diantara nukleus-nukleus di sekitar ventrikel III yang
menghasilkan ghrelin. Ghrelin juga dihasilkan dalam jumlah sedikit di
testis, plasenta, ginjal, hipofise, usus halus, pancreas, limfosit dan bagian
otak lainnya. Rata-rata, dua pertiga jumlah ghrelin dalam plasma berasal
dari lambung dan sekurangnya sepertiga berasal dari usus halus. Kadar
ghrelin memperlihatkan variasi diurnal, yang meningkat karena puasa,
sebelum makan dan saat malam hari, serta menurun dengan cepat
(kurang dari 1 jam) oleh adanya asupan makanan terutama yang berkalori
tinggi (gambar 5). Mekanisme supresi sekresi ghrelin sistemik oleh
makanan belum diketahui dengan jelas. Namun, kadar ghrelin dalam
darah berkorelasi negatif dengan adiposa tubuh. Hal tersebut mendukung
adanya peran ghrelin dalam regulasi homeostasis energi. Ghrelin
merupakan peptida neuroenterik pertama yang diketahui bertindak
sebagai molekul pembawa sinyal lapar dari perifer. Ghrelin meningkatkan
sekresi GH, masukan makanan dan penambahan berat badan ketika
diberikan di perifer maupun sentral. Ghrelin menghasilkan efek stimulasi
makan yang lebih kuat dari peptide oreksigenik lainnya kecuali NPY.
Gambar 5. Fluktuasi kadar ghrelin dalam darah harian yang meningkat
sebelum makan dan menurun setelah makan. Sumber: Cummings dkk,
2001.
Dari hasil penelitian Hewson dan Dickinson pada tahun 2000
diketahui bahwa pengaruh ghrelin dalam meningkatkan nafsu makan
berkaitan dengan NPY dan AgRP, yang telah diketahui sebagai peptida
oreksigenik yang bekerja di hipotalamus. Ghrelin akan menyebabkan
peningkatan ekspresi mRNA untuk NPY dan AgRP. Dalam kerjanya, ghrelin
mengimbangi pengaruh leptin terhadap NPY/AgRP. Pada tahun 2002, Date
dkk memperlihatkan bahwa untuk menyampaikan sinyal ke otak, ghrelin
memerlukan peran dari serat aferen n.vagus yang berasal dari lambung.
Pengikatan ghrelin pada reseptornya yang terdapat di terminal akson
n.vagus menyebabkan lepasnya muatan n. vagus. Sinyal ini kemudian
dibawa ke nukleus traktus solitarius dan selanjutnya diteruskan ke
hipotalamus (gambar 2). Di dalam regulasi keseimbangan energi, ghrelin
mempunyai 2 peran, yaitu 1) sebagai hormon perifer dari lambung, yang
bersama sinyal lain seperti insulin dan leptin akan memberikan informasi
kepada kontrol pusat keseimbangan energi ketika cadangan nergi
berkurang, sehingga meningkatkan nafsu makan (orexigenic drive) dan
menurunkan pemakaian energi; dan 2) sebagai neuropeptida hipotalamus
yang dieksresikan oleh neuron di ventrikel ke III diantara hipotalamus
ventromedial, hipotalamus dorsal, nukleus paraventrilar dan nukleus
arkuata. Serabut eferen dari neuron yang mengeksresikan ghrelin akan
diproyeksikan menuju sirkuit pusat regulasi keseimbangan energi dan
akan menyeimbangkan aktivitas oreksigenik NPY/AGRP dengan neuron
anorektik POMC. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya peran
ghrelin dalam regulasi nafsu makan. Kadar ghrelin akan meningkat
sebelum makan dan menurun segera (kurang dalam 1 jam) setelah
makan. Pada binatang percobaan, pemberian ghrelin secara sentral
maupun sistemik, terbukti meningkatkan nafsu makan. Pada manusia,
pemberian ghrelin intravena sampai kadar ghrelin preprandial
merangsang rasa lapar dan perilaku makan spontan. Pemberian ghrelin
secara subkutan juga merangsang nafsu makan dan asupan makanan
baik pada penderita obesitas ataupun normal. Peran ghrelin dalam
homeostasis energi jangka panjang juga telah dibuktikan oleh beberapa
penelitian. Kadar ghrelin berkorelasi negatif dengan adiposa tubuh dan
meningkat dengan adanya penurunan berat badan yang diinduksi oleh
diet rendah kalori, latihan, anoreksia nervosa atau kakeksia. Berat badan
yang diinduksi oleh diet dengan kadar lemak tinggi, terapi untuk
anoreksia nervosa atau pemberian glukokortikoid menyebabkan
penurunan kadar ghrelin sistemik. Pemberian ghrelin jangka panjang pada
binatang percobaan menyebabkan peningkatan nafsu makan,
peningkatan berat badan, menurunkan
pemakaian energi dan meningkatkan adipogenesis.
Sumber:
Cowley MA, Smith RG, Diano S, Tscho¨p M, Pronchuk N, Grove KL,
dkk. The distribution and mechanism of action of ghrelin in the CNS
demonstrates a novel hypothalamic circuit regulating energi
homeostasis. . Neuron 2003;37:649–61.
Van der Lely AJ, Tschöp M, Heiman ML, Ghigo E. Biological,
physiological, pathophysiological, and pharmacological aspects of
ghrelin. Endocr Rev. 2004;25:426-57.
Date Y, Murakami N, Toshinai K, Matsukura S, Niijima A, Matsuo H,
dkk. The role of the gastric afferent vagal nerve in ghrelin induced
feeding and growth hormone secretion in rats. Gastroenterology.
2002;123:1120-8.
Dostalova I, Haluzik M. The role of ghrelin in the regulation of food
intake in patients with obesity and anorexia nervosa. Physiol Res.
2009;58:59-170.
Haqq AM, Farooqi S, O’rahilly S, Stadler DD, Rosenfeld RG, Pratt KL,
dkk. Serum ghrelin levels are inversely correlated with ody mass
index, age, and insulin concentrations in normal children and are
markedly increased in Prader-willi syndrome. J Clin Endocrinol
Metab. 2003;88:174-8.
Tritos NA, Kokkotou EG. The physiology and potential clinical
applications of ghrelin, a novel peptide hormone. Mayo Clin Proc.
2006;81:653-60.
Hewson AK, Dickson SL. Systemic administration of ghrelin induces
Fos and Egr-1 proteins in the hypothalamic arcuate nukleus of
fasted and fed rats. J Neuroendocrinol. 2000;12:1047-9.
4. Jelaskan mengenai konsep autokrin, parakrin, dan endokrin
5. Jelaskan mekanisme pembentukan dan sekresi hormon
hipofisis, hormon adrenal, dan hipotalamus
a. Hormon insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian
asam amino yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam
keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (prekursor
hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan
bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan
sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam
gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut.
Di sini, dengan bantuan peptidase, proinsulin diuraikanlagi
menjadi insulin dan peptida-C (C-Peptide) yang keduanya sudah
siap untuk disekresikan secara bersama-sama melalui membran
sel.
Insulin berperan penting dalam berbagai proses biologis
dalam tubuh terutama menyangkut metabolisme karbohidrat
Hormon ini berfungsi dalam proses utilisasi glukosa pada hampir
seluruh jaringan tubuh terutama pada otot, lemak, dan hepar.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin
berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate)
yang terdapat pada membran sel. Ikatan antara insulin dan
reseptor akan menghasilkan semacam signal yang berguna bagi
proses regulasi atau metabolisme glukosa dalam sel otot dan
lemak, dengan mekanisme yang belum begitu jelas. Bebera hal
diketahui, diantaranya meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glukosa
transporter-4) pada membran sel karena proses translokasi
GLUT-4 dari dalm sel diaktivasi oleh adanya transduksi signal.
Regulasi glukosa tidak hanya ditentukan oleh metabolisme
glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar. Untuk
mendapatkan metabolisme glukosa yang normal diperlukan
mekanisme sekresi insulin disertai aksi insulin yang berlangsung
normal.
b. Hormon Tiroid
Kelenjar thyroid mensekresi dua jenis hormon, yaitu
tiroksin (T4), mencapai 90 % dari seluruh sekresi kelenjar thyroid
dan tri-iodotironin (T3) disekresi dalam jumlah kecil. Jika TSH
mengikat reseptor sel folikel, maka akan mengakibatkan
terjadinya sintesis dan sekresi tiroglobulin yang mengandung
asam amino tirosin, ke dalam lumen folikel.
Iodium yang tertelan bersama makanan dibawa aliran
darah dalam bentuk ion iodida menuju kelenjar thyroid. Sel-sel
folikuler memisahkan iodida dari darah dan mengubahnya
menjadi molekul unsur iodium. Molekul iodium bereaksi dengan
tirosin dalam tiroglobulin untuk membentuk molekul
monoiodotirosin dan diiodotirosin, dua molekul diiodotirosin
membentuk T4 sedangkan satu molekul monoiodotirosin dan
satu molekul diiodotirosin membentuk T3. Sejumlah besar T3
dan T4 disimpan dalam bentuk tiroglobulin selama berminggu-
minggu. Saat hormon thyroid akan dilepas di bawah pengaruh
TSH, enzim proteolitik memisahkan hormon dari tiroglobulin.
Hormon berdifusi dari lumen folikel melalui sel-sel folikular dan
masuk ke sirkulasi darh. Sebagian besar hormon thyorid yang
bersirkulasi bergabung dengan protein plasma.
Hormon thyroid meningkatkan laju metabolisme hampir
semua sel tubuh. Hormon ini menstimulasi konsumsi oksigen
dan memperbesar pengeluaran energi terutama dalam bentuk
panas. Pertumbuhan dan maturasi normal tulang gigi, jaringan
ikat, dan jaringan saraf bergantungpada hormon-hormon
thyroid. Fungsi thyroid diatur oleh hormon perangsang thyroid
(TSH) hipofisis, di bawah kendali hormon pelepas tirotropin
(TRH) hipotalamus melalui sistem umpan balik hipofisis-
hipotalamus. Faktor utama yang mempengaruhi laju sekresi TRH
dan TSH adalah kadar hormon thyroid yang berdirkulasi dan laju
metabolik tubuh.
c. Hormon Kortisol
Mineralokortikoid disintesis dalam zona glomerolus.
Aldosteron merupakan mineralokortikoid terpenting mengatur
keseimbangan air dan elektrolit melalui pengendaliankadar
natrium dan kalium dalam darah. Sekresi aldosteron diatur oleh
kadar natrium darah tetapi terutama oleh mekanisme renin-
angiotensin. Glukokortikoid disintesis dalam zona fasikulata.
Hormon ini meliputi kortikosteron, kortisol, dan kortison. Yang
terpenting adalah kortisol. Glukokortikoid mempengaruhi
metabolisme glukosa, protein, dan lemak untuk membentuk
cadangan molekul yang siap dimetabolisme. Hormon ini
meningkatkan sintesis glukosa dari sumber non karbohidrat
(glukoneogenesis). Simpanan glikogen di hati (glikogenesis) dan
penningkatan kadar glukosa darah. Hormon ini juga
meningkatkan penguraian lemak dan protein serta menghambat
ambilan asam amino dan sintesis protein. Hormon ini juga
menstabilisasi membran lisosom untuk mencegah kerusakan
jaringan lebih lanjut. Glukokortikoid adalah melalui kerja ACTH
dalam mekanisme umpan balik negatif. Stimulus utama dari
ACTH adalah semua jenis stres fisik atau emosional. Stres
misalnya trauma, infeksi, atau kerusakan jaringan akan memicu
impuls saraf ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian mensekresi
hormon pelepas kortikotropin (CRH) yang melewati sistem portal
hipotalamus-hipofisis menuju kelenjar pituitari anterior, yang
melepas ACTH. ACTH bersirkulasi dalam darah meuju kelenjar
adrenal dan mengeluarkan sekresi glukokortikoid. Glukokortikoid
mengakibatkan peningkatan persediaan asam amino, lemak,
dan glukosa dalam darah untuk membantu memperbaiki
kerusakan yang disebabkan karena stres dan menstabilkan
membran lisosom untukmencegah kerusakan lebih lanjut.
Gonadokortikoid (steroid kelamin) disintesis pada zona
retikularis dalam jumlah yang relatif sedikit, steroid ini berfungsi
terutama sebagai prekursor untuk pengubahan testosteron dan
esterogen oleh jaringan lain.
d. Hormon pertumbuhan
GH (growth hormon) atau hormon somatotropik (STH)
adalah sejenis hormon protein. Hormon ini mengendalikan
seluruh sel tubuh yang mampu memperbesar ukuran dan jumlah
disertai efek utama pada pertumbuhan tulang dan massa otot
rangka. GH mempercepat laju sintesis protein pada seluruh sel
tubuh dengan cara meningkatkan pemasukan asam amino
melalui membran sel. GH juga menurunkan laju penggunaan
karbohidrat oleh sel tubuh dengan demikian menambah glukosa
darah. GH menyebabkan peningkatan mobilisasi lemak dan
pemakaian lemak untuk energi. Selain itu, GH menyebabkan hati
(mungkin juga ginjal) memproduksi somatomedin, sekelompok
faktor pertumbuhan dependen-hipofisis yang sangat penting
untuk pertumbuhan tulang dan kartilago.
Pengaturan sekresi hormon pertumbuhan terjadi melalui
sekresi dua hormon antagonis. 1. stimulus untuk pelepasan,
hormon pelepas hormon pertumbuhan (GHRH) dari hipotalamus
dibawa melalui saluran portal hipotalamus-hipofisis menuju
hipofisis anterior tempatnya menstimulasi sintesis dan pelepasan
GH. Stimulus tambahan untuk pelepasan GH melalui stress,
malnutrisi, dan aktivitas yang merendahkan kadar gula darah
seperti puasa dan olahraga. 2. Inhibisi pelepasan, sekresi GHRH
dihambat oleh peningkatan kadar GH dalam darah melallui
mekanisme umpan balik negatif. Somatostatin, hotmon
penghambat hormon pertumbuhan (GHIH) dari hipotalamus
dibawa menuju hipofisis anterior melalaui sistem portal.
Hormonm ini menghambat sintesis dan pelepasan GH. Stimulus
tambahan untuk inhibisi GH meliputi obesitas dan peningkatan
kadar asam lemak darah.
e. Hormon epinefrin
Secara keseluruhan efek hormone epineferin adalah
untuk mempersiapkan tubuh terhadap aktivitas fisik yang
merespon stres, kegembiraan, cedera, latihan dan penurunan
kadar gula. Efek epinefrin yang lain, yaitu meningkatkan
frekuensi jantung, metabolisme, dan komsumsi oksigen. Kadar
gula darah meningkat melalui stimulasi glikogenolisis pada hati
dan simpanan glikogen otot. Pembuluh darah pada kulit dan
organ-organ viseral berkontriksi sementara pembululh di otot
rangka dan otot jantung berdilatasi.
6. Jelaskan apa saja yang mempengaruhi penurunan berat
badan
a. Pengaruh Hormon Insulin
Hormon isulin berperan dalam metabolisme glukosa dalam
sel. Apabila ada gangguan pada sekresi dan kerja insulin,
misalnya hiposekresi dan resistensi insulin, maka akan
menimbulkan hambatan dalam utilisasi glukosa serta
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiposekresi
insulin disebabkan oleh rusaknya sel beta pankreas sedangkan
resistensi insulin disebabkan tidak adanya atau tidak sensitifnya
reseptor insulin yang berada di permukaan sel. Hiposekresi dan
resistensi insulin menyebabkan glukosa tidak masuk ke dalam
sel sehingga tidak dihasilkan energi. Akibatnya, terjadi
penguraian glikogen dalam otot dan pemecahan protein
sehingga menyebabkan penurunan berat badan.
b. Pengaruh Hormon Tiroid
Hormon tiroid berperan dalam metabolisme yang terjadi
dalam tubuh. Kelebihan hormon tiroid menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme basal yang terjadi dalam
tubuh. Apabila glukosa tidak mampu mencukupi kebutuhan
metabolisme tubuh, maka tubuh menggunakan glikogen dan
protein sebagai bahan bakar penggantinya. Akibatnya, massa
otot menurun dan berat badan pun menurun.
c. Pengaruh Hormon Kortisol
Salah satu hormon yang mengatur regulasi berat badan
adalah kortisol. Apabila terjadi penurunan kortisol, akan
berakibat pada menurunnya metabolisme dalam tubuh.
Penurunan kortisol ini sendiri dapat disebabkan oleh destruksi
korteks adrenal. Penurunan metabolisme dalam tubuh akan
mengakibatkan penurunan jumlah energi yang diperoleh (ATP
menurun). Penurunan produksi ATP menyebabkan otot tidak
mendapatkan cukup energi untuk bekerja. Hal ini memicu
terjadinya pemecahan di dalam otot sendiri, sehingga massa
otot berkurang. Penurunan massa otot ini pada akhirnya akan
menyebabkan penurunan berat badan.
7. Jelaskan apa saja penyakit pada hipofisi, pankreas
(endokrin), adrenal, tiroid, dan paratiroid
8. Jelaskan apa saja penyakit atau kelainan dalam bidang
endokrin dan metabolisme yang menyebabkan penurunan
berat badan
a. Diabetes Mellitus Tipe 1, disebut juga insulin-dependent diabetes
melitus (IDDM), yaitu penyakit yang disebabkan hiperglikemia
karena defisiensi sekresi insulin akibat rusaknya sel beta
pankreas.
b. Diabetes Mellitus Tipe 2, disebut juga Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM), yaitu pankreas tetap menghasilkan
insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh
membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi
kekurangan insulin relatif. Diabetes tipe II bisa terjadi pada anak-
anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun.
Faktor resiko untuk diabetes tipe II adalah obesitas, 80-90%
penderita mengalami obesitas. Diabetes tipe II juga cenderung
diturunkan.
c. Tirotoksikosis
Kelainan kelenjar tiroid yang menyebabkan peningkatan
produksi tiroid. Penyebab tirotoksikosis sebagian besar adalah
penyakit Graves, goiter multinodular toksik dan mononodular
toksik. Pasien tirotoksikosis mengalami peningkatan laju
metabolik basal. Terjadi peningkatan pembentukan panas
(keringat berlebihan) dan penurunan toleransi terhadap panas.
Tubuh yang membakar bahan bakar dengan kecepatan
abnormal menyebabkan meningkatnya kebutuhan metabolik,
walaupun nafsu makan dan asupannya meningkat berat badan
biasanya menurun.
d. Addison disease
Suatu penyakit yang jarang, paling sering terjadi pad
orang dewasa; timbul setelah terdapat destruksi korteks adrenal
paling sedikit 90%. Etiologinya banyak, termasuk adrenalitis
autoimun, proses infeksi (tuberkulosis, histoplasmosis, jamur),
kanker metastatik. Gambaran klinis meliputi lemah, kelelahan,
anoreksia, hipotensi, mual, muntah dan hiperpigmentasi kulit.
Pemeriksaan laboratorium menghasilkan hiperkalemia, rendah
natrium, klorida, bikarbonat dan glukosa. Kadar ACTH serum
meningkat.
9. Bagaimana patomekanisme penurunan berat badan
d. Pengaruh Hormon Insulin
Hormon isulin berperan dalam metabolisme glukosa dalam
sel. Apabila ada gangguan pada sekresi dan kerja insulin,
misalnya hiposekresi dan resistensi insulin, maka akan
menimbulkan hambatan dalam utilisasi glukosa serta
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiposekresi
insulin disebabkan oleh rusaknya sel beta pankreas sedangkan
resistensi insulin disebabkan tidak adanya atau tidak sensitifnya
reseptor insulin yang berada di permukaan sel. Hiposekresi dan
resistensi insulin menyebabkan glukosa tidak masuk ke dalam
sel sehingga tidak dihasilkan energi. Akibatnya, terjadi
penguraian glikogen dalam otot dan pemecahan protein
sehingga menyebabkan penurunan berat badan.
e. Pengaruh Hormon Tiroid
Hormon tiroid berperan dalam metabolisme yang terjadi
dalam tubuh. Kelebihan hormon tiroid menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme basal yang terjadi dalam
tubuh. Apabila glukosa tidak mampu mencukupi kebutuhan
metabolisme tubuh, maka tubuh menggunakan glikogen dan
protein sebagai bahan bakar penggantinya. Akibatnya, massa
otot menurun dan berat badan pun menurun.
f. Pengaruh Hormon Kortisol
Salah satu hormon yang mengatur regulasi berat badan
adalah kortisol. Apabila terjadi penurunan kortisol, akan
berakibat pada menurunnya metabolisme dalam tubuh.
Penurunan kortisol ini sendiri dapat disebabkan oleh destruksi
korteks adrenal. Penurunan metabolisme dalam tubuh akan
mengakibatkan penurunan jumlah energi yang diperoleh (ATP
menurun). Penurunan produksi ATP menyebabkan otot tidak
mendapatkan cukup energi untuk bekerja. Hal ini memicu
terjadinya pemecahan di dalam otot sendiri, sehingga massa
otot berkurang. Penurunan massa otot ini pada akhirnya akan
menyebabkan penurunan berat badan.
10. Jelaskan keterkaitan antara penurunan berat badan
dengan gejala lain yang menyertai
Pada sebagian besar kasus terjadi penurunan berat badan
terlebih dahulu lalu diikuti dengan gejala lemah, lelah dan
mengantuk. Defek pada metabolisme (peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati, penurunan penyerapan
glukosa oleh sel, peningkatan asam lemak darah) memiliki
efek penurunan berat badan, juga mengakibatkan
peningkatan metabolisme anaerob dan penguraian protein
sehingga menyebabkan lemas dan lelah. Mengantuk dapat
pula terjadi seiring dengan penurunan berat badan akibat
hiperglikemia yang menurunkan konsentrasi oksigen dalam
darah untuk dibawa ke jaringan khususnya ke otak.
Penurunan konsentrasi oksigen dalam darah juga dapat
menstimulasi metabolisme anaerob sehingga menyebabkan
mengantuk.
11. Jelaskan mengenai alergi
a. Indikasi
b. Kontraindikasi
c. Efek samping
d. Mekanisme
e. Edukasi
12. Jelaskan mengenai antihistamin
a. Indikasi
Antihistamin merupakan salah satu obat yang paling banyak
digunakan, karena antihistamin adalah obat yang paling
bermanfaat untuk mengatasi penyakit alergi seperti
rhinitis,urtikaria,pruritus,dan lain-lain. Walaupun selama ini
ahtihistamin dianggap sebagai obat yang cukup aman, namun
efek samping sedasi (rasa mengantuk) menyebabkan penurunan
daya tangkap, terutama pada antihistamin generasi pertama,
sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Oleh sebab itu, untuk
penanganan penyakit alergi gunakan antihistamin yang aman
dan efektif.
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu
mencegah penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin
dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang
mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk
kepada antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin
H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi
alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh
terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman.
Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam
jumlah signifikan di tubuh.
Terdapat beberapa jenis antihistamin, yang dikelompokkan
berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamin.
1. Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya
adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine,
quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping dari
obat antipsikotik ini), dan prometazina.
2. Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya
adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian
antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk
mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula
dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks
gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina,
ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
3. Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat
kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk
mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh
obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
4. Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya
sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah
tioperamida.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin.
Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik.
Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai
antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil,
mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara
menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.
AH1 non sedatif mempunyai efek menghambat kerja histamin
terutama diperifer, sedangkan di sentral tidak terjadi karena
tidak dapat melalui sawar darah otak. Antihistanin bekerja
dengan cara kompetitif dengan histamin terbadap reseptor
histamin pada sel, menyebabkan histamin tidak mencapai target
organ. AH1 non sedatif umumnya mempunyai efek antialergi
yang tidak berbeda dengan AH1 klasik. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa untuk penderita seasonal
rhinitis alergika. terfenidin bekerja lebih cepat (1-3 jam) dari
astemizol 1-6 hari karena itu untuk penyakit ini astemizol
dianjurkan oleh mereka untuk profilaktik. Loratadin dan
Mequitazin mempunyai mula kerja dan efektivitas yang sama
dengan terfenidin. Diantara AH1 non sedatif Mequitazin yang
paling tidak spesifik, karena masih mempunyai efek
antikolinergik.
Efek terhadap "psyvhomotor performance" dari terfenidin,
asetemizol, loratadin dari berbagai penelitian menyatakan tidak
dijumpai kelainan (2,3,5). Pada reaksi wheal dan flare, pemberian
per oral terfenidin 60 mg menunjukkan efek hambatan 1 jam
setelah pemberian, efek maksimum 3-4 jam dan lama kerja 8-12
jam sesudah pemberian. Pada loratadin respon wheal akan
ditekan pada pemberian 1-2 jam. (Batenhorst et al 1986). Untuk
pemberian jangka panjang dan untuk penderita yang
pekerjannya memerlukan kewaspadaan misalnya pengemudi
mobil lebih sesuai diberi AH1 non sedatif, karena efek sedasi dan
atltikolinergik dari AH1 klasik akan mengganggu penderita.
Krause dan Shuter 1985 mendapat hasil astemizol lebih baik
pada penggunaan jangka panjang terhadap urtikaria kronik
dibandingkan dengan chlorfeniramin. Ferguson et al
mendapatkan hasil yang bermakna dari perbandingan terfenidin
dengan plasebo dalam menurunkan skor itch dan wheal.
Loratadin mengurangi sistem chronic idiopathic urticaria dari
pada plasebo. Untuk pengobatan seasonal allergic rhinitis (SAR)
telah dilakukan beberapa uji klinik antara lain Katelaris
membandingkan loratidin dengan azatadin pada 34 penderita
dan mendapatkan efek kedua obat sama baiknya, tetapi
loratadin kurang efek sampingnya. Pemberiann kombinasi 5 mg
loratadin clan 120 mg pseudoefedri 2X sehari untuk pengobatan
SAR memberikan hasil bai. Pengobatan rinitis alergik prineal
dengan 10 mg loratadin 1X sehari dan terfenidin 60 mg 2X
sehari, selama 4 minggu jelas lebih baik dari plasebo dalam
menurunkan total symptom scores (TSS). Berbeda dengan AH1
klasik, AH1 non sedatif dengan obat-obat diazepam dan alkohol,
tidak ada interaksi potensial efek sedasi (2,3,5). Takhipilaksis
tidak dijumpai pada 3 AH1 non sedatif . Penggunaan yang lama
dari astemizol akan menambah nafsu makan dan berat badan
b. Kontraindikasi
Hipersensitivitas dan glaucoma sudut sempit. Jangan digunakan
pada bayi baru lahir dan premature. Antihistamin generasi
pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait
secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui,
narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat
simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan
pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma),
pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI),
dan pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap
antihistamin khusus atau terkait secara struktural.
c. Efek samping
d. Mekanisme
Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang
menimbulkan rasa gatal, iritasi saluran pernafasan, bersin, dan
produksi lendir (alias ingus). Antihistamin ini ada 3 jenis, yaitu
Diphenhydramine, Brompheniramine, dan Chlorpheniramine.
Yang paling sering ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah
golongan klorfeniramin (biasanya dalam bentuk klorfeniramin
maleat).
Antihistamin menghambat efek histamin pada reseptor H1. Tidak
menghambat pelepasan histamin, produksi antibodi, atau reaksi
antigen antibodi. Kebanyakan antihistamin memiliki sifat
antikolinergik dan dapat menyebabkan kostipasi, mata kering,
dan penglihatan kabur. Selain itu, banyak antihistamin yang
banyak sedasi. Beberapa fenotiazin mempunyai sifat
antihistamin yang kuat (hidroksizin dan prometazin).
1. Antihistamin H1
Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1.
Selain memiliki kefek antihistamin, hampir semua AH1 memiliki
efek spasmolitik dan anastetik lokal
2. Antihistamin H2
Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat
dekarboksilase histidin sehinnga memperkecil pembentukan
histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan sebelum
pelepasan histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa histamin,
indikasinya sama denfan AH 1
e. Edukasi
Sumber:
1.Judith Hopfer Deglin dan April Hazard Vallerand.2004.Pedoman
Obat Untuk Perawat:Jakarta:EGC
2. Hoan tjay,tan dan rahardja,kirana.1978.obat-obat penting
khasiat,penggunaan dan efek-efek sampingnya.Jakarta:PT Elex
Media Komputindo
3. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2007.
farmakologi dan terapi edisi 5.Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4. Bertramg,Katzung.1997.Farmakologi Dasar dan Klinik Ed
6.Jakarta : EGC
5.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3405/1/08E006
05
6.http://digilib.ubaya.ac.id/skripsi/farmasi/F_204_1860028/F_204_
Bab%2V
7. http://www.farklin.com/images/multirow3fdd269e975ed