Dinamika perilaku mencari pertolongan keluarga caregiver pasien skizofrenia
-
Upload
septiadhi-wirawan -
Category
Documents
-
view
282 -
download
0
description
Transcript of Dinamika perilaku mencari pertolongan keluarga caregiver pasien skizofrenia
DINAMIKA PERILAKU MENCARI PERTOLONGAN PADA KELUARGA
CAREGIVER PASIEN SKIZOFRENIA
Wirawan, Septiadhi.
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
ABSTRAK
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling umum dialami
di Indonesia. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukan di indonesia,
prevalensi rata-rata skizofrenia mencapai 1,7 setiap 1000 orang. Walaupun
skizofrenia merupakan salah satu masalah kejiwaan yang umum terjadi,
namun masih banyak masyarakat yang belum memahami dengan baik
mengenai gangguan mental ini sehingga banyak terjadi kesalahan dalam
pemberian perlakuan salah satunya dalam upaya pencarian pertolongan
yang dilakukan oleh keluarga pasien skizofrenia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor faktor yang mempengaruhi
perilaku mencari pertolongan yang terjadi pada keluarga caregiver pasien
skizofrenia. Penelitan ini menggunakan metode penelitian studi pustaka.
Referensi literatur yang digunakan pada penelitian ini bersumber dari
referensi psikologi pada umumnya dan jurnal jurnal penelitian terdahulu
yang berkaitan dengan perilaku pencarian pertolongan.
Hasil menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku mencari pertolongan pada keluarga caregiver pasien skizofrenia,
yaitu pemahaman yang memadai mengenai permasalahan gangguan
mental; pemahaman yang memadai mengenai tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi gangguan mental; Norma dan kepercayaan yang
dianut oleh keluarga terhadap permasalahan gangguan mental dan
penanganannya; Interaksi yang terjadi antara pasien, caregiver keluarga dan
dengan pihak penolong; dan Persepsi mengenai kemampuan yang dimiliki
untuk melakukan upaya pencarian pertolongan kepada anggota keluarga
tersebut.
Kata Kunci: Perilaku mencari pertolongan, Caregiver keluarga,
Skizofrenia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang umum
terjadi di indonesia. Namun sangat disayangkan, masih banyak dari keluarga dan
masyarakat di indonesia yang masih belum memiliki pemahaman yang memadai
mengenai gejala gangguan kejiwaan tersebut. Penelitian pendahuluan yang
dilakukan terhadap 12 responden keluarga caregiver skizofrenia menunjukan
bahwa setengah dari responden pada awalnya tidak memahami gejala yang
ditunjukan oleh anggota keluarganya yang mengalami skizofrenia. Responden
mendapatkan pengetahuan mengenai gejala skizofrenia ketika mereka
berkonsultasi ke dokter atau profesi kesehatan mental lainnya. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Mohamad dkk di Malaysia, yang
mengemukakan bahwa pemahaman kesehatan mental di masyarakat malaysia
juga masih sangat kurang. (Mohamad, Zabidah, Fauziah dan Sarnon, 2012)
Indonesia merupakan salah satu negara dengan pasien skizofrenia
terbesar di dunia. Hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Balitbang Kemenkes
tahun 2013 menyebutkan bahwa angka prevalensi skizofrenia pada penduduk di
seluruh dunia mencapai 4 sampai 14 dari setiap 1000 orang populasi di seluruh
dunia (Lewis dalam Riskesdas 2013). Sedangkan di indonesia, hasil riskesdas
menunjukan bahwa prevalensi rata-rata skizofrenia di seluruh indonesia
mencapai 1,7 setiap 1000 orang. Dua provinsi dengan angka pravalensi tertinggi
adalah Yogyakarta dan Aceh yang memiliki angka pravalensi sebesar 2,7 setiap
1000 orang. Prakiraan jumlah penderita skizofrenia di indonesia menurut survey
kementrian sosial tahun 2008 kurang lebih mencapai 650.000 orang. (Kompas,
2
2011)
Sebagai salah satu jenis gangguan kejiwaan, skizofrenia digolongkan
sebagai gangguan jiwa berat. Gangguan ini memiliki beberapa kelompok gejala
yaitu gejala positif, gejala negatif dan gejala disorganisasi. (Davison, Neale dan
Kring, 2004). Gejala positif antara lain ditandai dengan munculnya waham, yaitu
keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan. Beberapa jenis waham tersebut
misalnya kepercayaan bahwa pasien sedang dikejar oleh pembunuh, pasien
merasa diberikan bisikan oleh kekuatan supranatural tertentu dan lain lain.
Gejala negatif dapat berupa beberapa perilaku antara lain avolition, alogia
anhedonia dan beberapa lainnya. Avolition misalnya merupakan sebuah kondisi
kurangnya energi pada pasien yang menyebabkan pasien tidak tertarik untuk
melakukan perawatan diri seperti mandi, gosok gigi, dan lain lain.
Beberapa gejala tersebut yang timbul pada pasien skizofrenia
membuat pasien kesulitan untuk menjalankan tugas kesehariannya. Kesulitan
pasien dalam menjalankan tugas kesehariannya membuat pasien membutuhkan
keberadaan caregiver yang dapat membantu pasien untuk mendapatkan
kebutuhannya sehari-hari. Caregiver adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
menyebut orang-orang yang memberikan bantuan dan perawatan terhadap
pasien. Keberadaan caregiver ini sangat penting karena selain berperan dalam
melayani kebutuhan pasien sehari-hari, caregiver juga berperan dalam
melakukan upaya pencarian pertolongan untuk pasien. Secara psikologis,
keberadaan caregiver juga berperan dalam memberikan dukungan sosial
emosional untuk kesembuhan pasien.
Keluarga merupakan salah satu caregiver informal yang memberikan
perawatan terhadap pasien skizofrenia. Keberadaan keluarga sebagai caregiver
informal sangatlah penting, karena sebagian besar waktu yang dihabiskan
pasien skizofrenia akan dihabiskan bersama dengan keluarganya. Mathiesen
3
(2001), memaparkan berbagai penelitian yang menjelaskan bahwa peran
keluarga sangatlah penting dalam memberikan penanganan terhadap orang
dengan skizofrenia yaitu antara lain: keluarga dapat berperan menjadi faktor
penyebab dari gangguan itu sendiri, menjadi salah satu sumber stress yang
mempengaruhi gangguan, memberikan dukungan dan pembelaan terhadap
perubahan kebijakan dan perlu diberikan dukungan karena mendapatkan beban
dari perawatan.
Setiap caregiver pasti memiliki persepsi masing-masing terhadap beban
yang ditanggungnya dalam melakukan perawatan, termasuk keluarga caregiver
yang merawat pasien skizofrenia. Hoening dan Hamilton (Nasr dan Kausar,
2009) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis beban yang dirasakan oleh
keluarga orang yang mengalami gangguan kejiwaan, yaitu beban objektif dan
beban subjektif. Beban objektif meliputi beban yang dirasakan pada aspek
finansial keluarga, kondisi kesehatan keluarga, rutinitas dan waktu kosong
keluarga. Sedangkan beban subjektif merupakan dampak buruk dari gangguan
yang dipersepsi oleh keluarga. Schene, Tessler dan Gamache (Addington dan
Burnett, 2003) memaparkan bahwa beban objektif akan memberikan gangguan
terhadap keberfungsian keluarga dan pada umumnya hal ini merupakan hal yang
dapat diamati, sedangkan beban subjektif merupakan beban yang memberikan
konsekuensi secara psikologis yang dirasakan oleh keluarga.
Berbagai upaya dilakukan oleh keluarga caregiver untuk mengurangi
beban perawatan yang dirasakan oleh mereka, hal tersebut antara lain adalah
upaya mencari pertolongan. Penelitian pendahuluan terhadap keluarga caregiver
menunjukan bahwa sebagian besar anggota keluarga yang paling aktif dalam
memberikan pertolongan merupakan anggota keluarga inti dari pasien. Bagian
dari keluarga yang paling umum memberikan perawatan antara lain adalah ibu
dan kakak. Sedangkan pada beberapa pasien lain yang tidak tinggal bersama
4
dengan orang tuanya, peran mencari pertolongan dilakukan oleh istri atau suami
sebagai pasangan hidup.
Upaya mencari pertolongan seharusnya dilakukan sesegera mungkin
karena, skizofrenia sesungguhnya merupakan sebuah gangguan yang dapat
disembuhkan. WHO (www.who.int) menyebutkan bahwa penanganan yang
diberikan pada tahapan awal gangguan, dapat meningkatkan efektifitas
penanganan. Namun data yang dikumpulkan pada penelitian pendahuluan
menunjukan bahwa setengah dari responden masih menunjukan adanya jeda
dalam pencarian pertolongan. Beberapa responden bahkan melakukan
penundaan pencarian pertolongan sampai lebih dari enam bulan setelah
munculnya gejala skizofrenia yang pertama kali muncul pada pasien.
Upaya pencarian pertolongan yang dilakukan oleh keluarga caregiver
dapat ditujukan ke berbagai sumber, antara lain kepada tetangga, tempat
pengobatan tradisional, tempat pengobatan kepercayaan, pengobatan medis dan
psikologis. Penelitian pendahuluan menunjukan bahwa sebagian besar
responden tidak hanya mencari pertolongan pada satu sumber. Separuh
responden lebih memilih untuk mendapatkan pertolongan pertama gangguan
yang dialami ke dokter spesialis kejiwaan atau psikiatri lalu mencari pertolongan
lain menggunakan pengobatan tradisional dan kepercayaan secara
berdampingan. Sementara sebagian responden lain menunjukan perilaku yang
berbeda, yaitu memilih untuk mengkonsultasikan permasalahannya kepada
pemimpin agama terlebih dahulu, lalu mencari pertolongan medis yang lebih
profesional.
Perubahan upaya pencarian pertolongan kepada beberapa sumber
pencarian pertolongan menunjukan adanya sebuah hirarki pencarian pertolongan
(Hierarchy of Resort). Hirarki pencarian pertolongan merupakan sebuah istilah
yang pertama kali digunakan oleh Lola Romanucci Schwartz untuk menjelaskan
5
mengenai perilaku masyarakat di Kepulauan Admiralty di Melanesia dalam
mencari pertolongan terhadap masalah kesehatannya. Schwartz (1969)
menjelaskan bahwa walaupun masyarakat telah mendapatkan pemahaman dan
kebudayaan ala eropa, sebagian dari mereka tetap memilih untuk menggunakan
pengobatan tradisional untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit. Hal yang
sama dilakukan oleh keluarga caregiver skizofrenia. Responden keluarga
caregiver menunjukan bahwa upaya mencari pertolongan mereka tidak hanya
ditunjukan kepada satu jenis layanan saja, namun kepada berbagai jenis layanan
kesehatan jiwa.
Tabel 1. Perbandingan Jumlah Tenaga Profesional Kesehatan Jiwa Per Satu Juta
Penduduk
Indonesia
(2010)
Thailand
(2008)*
Amerika Serikat
(2005)**
Psikiater 2,5 orang 6,6 orang 137 orang
Perawat Jiwa 8,8 orang 38,1 orang 65 orang
Psikolog Klinis
(bekerja pada
Pelayanan Kesehatan
JIwa)
0,2 orang 28 orang 311 orang
Pekerja Sosial Psikiatrik Tidak ada Tidak ada data 213 orang
Salah satu sumber dalam upaya pencarian pertolongan merupakan
sumber pelayanan profesional. Pelayanan profesional kesehatan jiwa di
indonesia pada umumnya masih didominasi oleh pelayanan kesehatan berbasis
pengobatan. Data yang diperoleh dari Naskah akademik RUU Kesehatan Jiwa
membandingkan beberapa data rasio pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia
dengan beberapa negara lain seperti Thailand dan Amerika Serikat. Berdasarkan
6
data tersebut, terlihat masih kurangnya jumlah pelayan kesehatan jiwa di
Indonesia bila dibandingkan dengan negara negara lain. Rasio antara psikiater,
perawat jiwa dan psikolog klinis di Indonesia juga masih belum berimbang. Hal ini
menunjukan kesesuaian dengan penelitian pendahuluan, bahwa sebagian besar
responden lebih memilih untuk mengkonsultasikan permasalahan kesehatan
mental kepada psikiater daripada profesi kesehatan mental lainnya.
Selain mencari pertolongan ke pelayanan kesehatan umum, terdapat
sumber pencarian pertolongan lain yang digunakan keluarga caregiver yaitu
sumber pertolongan tradisional. Bentuk dari sumber pertolongan tradisional ini
antara lain dapat berupa pengobatan tradisional maupun pengobatan
kepercayaan. Menurut data yang diambil dari penelitian pendahuluan, dalam
menggunakan sumber ini lebih banyak keluarga menggunakan pengobatan
tradisional daripada mencari pengobatan kepercayaan dan pemimpin agama.
Keputusan keluarga untuk mencari pertolongan kepada pemimpin agama
merupakan sebuah langkah menarik yang harus digali, karena hal ini berkaitan
dengan kepercayaan masyarakat yang mempercayai bahwa berbagai jenis
gangguan jiwa disebabkan oleh kekuatan metafisik dan supranatural.
Salah satu temuan menarik yang muncul dari penelitian pendahuluan
yaitu keberadaan komunitas yang sangat penting dalam mendukung upaya
penyembuhan orang dengan skizofrenia. Komunitas ini bernama Komunitas
Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Schwartz (1969), mengkategorikan
komunitas sebagai salah satu bagian dari hirarki pencarian pertolongan yaitu
sektor awam. Namun berbeda dengan konsep sektor awam yang dijelaskan
Schwartz, KPSI menghimpun berbagai elemen dari profesional dam masyarakat
yang memiliki pemahaman dan pengalaman mengenai skizofrenia, sehingga
informasi yang didapat dari komunitas ini lebih dapat dipercaya.
Berbagai dinamika perilaku yang terjadi pada keluarga caregiver pasien
7
skizofrenia membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada
permasalahan ini. Peneliti tertarik untuk menggali dinamika perilaku pencarian
pertolongan pada keluarga caregiver pasien skizofrenia. Harapan dari penelitian
ini dapat ditemukan sebuah pola yang digunakan masyarakat dalam melakukan
pencarian pertolongan pada gangguan skizofrenia.
B. Tinjauan Pustaka
1. Perilaku Mencari Pertolongan
a. Pertolongan
Kamus Oxford mendefinisikan kata “Help” dalam bentuk kata kerja
sebagai “make it easier for (someone) to do something’’ atau “improve (a
situation or problem)” (Cornally dan McCarthy, 2011). Hal ini menunjukan bahwa
pertolongan merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk memberikan
kemudahan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu
atau menyelesaikan sebuah permasalahan. Pengertian tersebut mencantumkan
kata “easier” dan “improve” yang memberikan gambaran bahwa terdapat tujuan
yang spesifik dalam pemberian pertolongan yaitu usaha untuk memberikan
kemudahan atau meningkatkan sebuah keadaan.
Sementara itu Kamus online farlex mendefinisikan “Help” lebih lanjut
sebagai “The activity of contributing to the fulfilment of a need or furtherance of
an effort or purpose, to do something with or for someone that he cannot do
alone” (Cornally dan McCarthy, 2011). Dalam definisi mengenai pertolongan ini,
digambarkan bahwa terdapat pemenuhan kebutuhan dan usaha yang dilakukan
dengan disengaja ditujukan kepada seseorang yang tidak dapat
menyelesaikannya seorang diri. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa
pertolongan tidak hanya digambarkan untuk meningkatkan sebuah keadaan, tapi
juga dapat dilakukan ketika seseorang atau sekelompok orang membutuhkan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi seorang diri.
8
b. Mencari Pertolongan
Mencari merupakan sebuah kata kerja, yang berasal dari kata “Cari”.
Dalam bahasa inggris, kata mencari dapat disepadankan dengan kata “Seek”
yang berarti “to go in search of, to look for, to try to acquire, to gain, to ask for ”
(Cornally dan McCarthy, 2011). Mencari dapat berarti melakukan usaha
pencarian, mencoba untuk mendapatkan, memperoleh atau mencoba untuk
menanyakan. Makna yang didapat dari penjelasan tersebut adalah mencari
bukan hanya digunakan untuk menunjukan sebuah usaha untuk mendapatkan,
namun juga untuk mendapatkan informasi atau menanyakan. Sehingga bentuk
pertolongan yang akan digunakan dalam pendefinisian ini juga dapat menjadi
lebih luas, tidak hanya berupa aktifitas yang secara langsung dilakukan untuk
memberikan pertolongan, namun dapat berupa informasi yang dapat digunakan
untuk mendapatkan pertolongan yang lebih nyata.
Perubahan bahasa dari kata “Help Seeking” dari bahasa inggris secara
bebas dapat diartikan sebagai “Mencari Pertolongan”. Berdasarkan beberapa
pemaparan sebelumnya mengenai pertolongan dan pencarian, maka upaya
mencari pertolongan dapat didefinisikan sebagai “usaha yang dilakukan secara
sadar untuk mendapatkan bantuan atau informasi untuk meningkatkan atau
mempermudah upaya pemenuhan kebutuhan”. Hal ini sesuai dengan gambaran
yang diberikan oleh Cornally dan McCarthy (2011) dalam analisisnya mengenai
“Help Seeking” yang didefinisikan sebagai “the act of looking for or going in
search of a relief or cure to fulfil a need”.
c. Aspek Perilaku mencari Pertolongan
Aspek aspek yang menjadi bagian dari perilaku mencari pertolongan
antara lain adalah pemusatan perhatian pada masalah, aksi yang disengaja dan
9
interaksi interpersonal (Cornally dan McCarthy, 2011).
1) Pemusatan perhatian pada masalah
Lee (Cornally dan McCarthy, 2011), mengatakan bahwa permasalahan
merupakan kunci utama munculnya perilaku mencari pertolongan, sehingga
tanpa adanya masalah maka tidak akan ada pertolongan yang dapat diberikan.
Pada beberapa orang, perilaku mencari pertolongan baru muncul setelah adanya
kegagalan dalam memanajemen diri, sedangkan pada kasus lainnya pencarian
pertolongan dilakukan sebagai upaya pertama dalam merespon masalah.
Persepsi yang digunakan oleh setiap orang dalam mendefinisikan
masalahnya dapat berbeda-beda, pemahaman dan metode dalam
merencanakan solusi juga berbeda. Usaha yang dilakukan untuk melakukan
pemecahan masalah mungkin dapat menimbulkan beban yang dirasakan akibat
kekurangan sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya, karena itu
munculah persepsi bahwa masalah yang dihadapi melebihi kemampuan yang
dimiliki. Permasalahan seperti inilah yang dinilai sebagai permasalahan yang
menantang kemampuan diri. Penilaian ini dapat terjadi sebelum maupun setelah
upaya merealisasikan sebuah upaya pemecahan masalah telah dilakukan.
2) Aksi yang disengaja
Usaha yang dilakukan secara sadar dan sukarela merupakan kunci
utama munculnya proses pencarian pertolongan (Cornally dan McCarthy, 2011).
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa proses pencarian
pertolongan merupakan sebuah respon dari adanya masalah. Maka dalam
proses pencarian pertolongan, terjadi sebuah kesadaran bahwa masalah yang
dihadapi telah melebihi kemampuan yang dimiliki dan secara sukarela
melakukan sebuah aksi untuk mencari pertolongan.
10
3) Interaksi Interpersonal
Salah satu karakteristik yang terdapat pada perilaku mencari
pertolongan adalah adanya interaksi intepersonal untuk menceritakan
permasalahan pada pihak yang memiliki kemungkinan untuk menjadi penolong.
Interaksi yang terjadi digunakan untuk memberikan pemaparan diri, karena
menurut Hinson dan Swanson hal ini sangat penting sebagai bagian dari upaya
mencari pertolongan (Cornally dan McCarthy, 2011). Self-disclosure atau
pengungkapan diri merupakan salah satu elemen kunci dalam pembangunan
hubungan interpersonal yang konstruktif pada saat mencari pertolongan. Myers
(2010) mendefinisikan Self-disclosure sebagai pengungkapan aspek-aspek yang
intim dari diri ke orang lain. Jourard (Hogan, Jhonson dan Briggs, 1997)
menambahkan bahwa pengungkapan tersebut dapat berupa fikiran, perasaan,
harapan dan reaksi terhadap masa lalu. Kurangnya keinginan untuk
mengungkapkan permasalahan pada pihak ketiga berhubungan negatif dengan
perilaku mencari pertolongan (Cornally dan McCarthy, 2011).
2. Keluarga Caregiver
a. Keluarga
Budiwati (2010), menjelaskan bahwa pengertian keluarga telah meluas
bukan hanya sekedar kelompok yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang
diikat oleh perkawinan beserta anak anaknya, namun harus mempertimbangkan
bahwa ikatan bisa terjadi melalui ikatan darah lain maupun adopsi. Oleh karena
itu definisi keluarga yang dapat digunakan lebih umum adalah “jaringan orang
orang yang tinggal bersama-sama dalam jangka waktu tertentu dan mempunyai
ikatan perkawinan dan kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya.”
Menurut Horton dan Hunt (Setiadi dan Kolip, 2011) istilah keluarga
digunakan untuk menunjukan beberapa pengertian kelompok misalnya:
1) Kelompok yang memiliki nenek moyang yang sama
11
2) Kelompok kekerabatan yang disatukan oleh ikatan darah dan perkawinan
3) Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak
4) Pasangan nikah yang mempunyai anak
5) Satu orang duda atau janda dengan beberapa anak
Menurut Setiadi dan Kolip (2011), terdapat dua tipe keluarga yang dapat
dipahami berdasarkan kedekatannya dalam menjalani hubungan keluarga:
1) Keluarga Batih (Conjugal Family)
Bentuk keluarga batih merupakan keluarga yang paling sederhana dan
utama, yaitu keluarga yang didasarkan atas hubungan perkawinan suami dan
istri dan memiliki anak yang belum menikah. Anak tiri maupun anak angkat juga
dapat termasuk dalam bagian keluarga batih.
2) Keluarga Kerabat (Consanguine Family)
Keluarga yang terhubung secara kekerabatan tidak perlu terkait secara
ikatan perkawinan namun berdasarkan pertalian darah maupun keturunan dari
sejumlah kerabat.
Santrock (2003), memaparkan sebuah model untuk menggambarkan
daur hidup keluarga yaitu tahapan yang dimulai dari meninggalkan rumah sampai
menjadi orang dewasa yang mandiri. Ringkasan mengenai tahapan ini adalah
sebagai berikut:
1) Meninggalkan rumah dan menjadi orang dewasa mandiri
2) Penggabungan keluarga melalui pernikahan: Pasangan baru
3) Menjadi orang tua dan keluarga dengan anak anak
4) Keluarga dengan remaja
5) Keluarga paruh baya
6) Keluarga lanjut usia
12
Keluarga merupakan kelompok sosial yang sangat penting
keberadaannya bagi kehidupan individu. Oleh karena itu Setiadi dan Kolip (2011)
menggambarkan beberapa fungsi keluarga yaitu:
1) Fungsi pengaturan keturunan
Keberadaan keluarga menjamin suatu masyarakat untuk terus berkembang
melalui upaya reproduksi.
2) Fungsi Sosialisasi atau pendidikan
Keluarga berperan untuk mendidik anak mulai dari awal hingga terbentuknya
kepribadian, sehingga anak mampu untuk mengenal norma yang ada di
masyarakat.
3) Fungsi Ekonomi atau Unit Produksi
Keluarga bertindak sebagai unit yang terkoordinasi dalam produksi ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan hidup anggotanya.
4) Fungsi Pelindung
Keluarga melindungi seluruh anggota keluarganya dari berbagai bahaya yang
dialami oleh sebuah keluarga.
5) Fungsi Penentuan Status
Keluarga memberikan dan mewariskan status yang berbeda-beda di
masyarakat, yang dapat digunakan untuk memiliki hak hak istimewa tertentu.
6) Fungsi Pemeliharaan
Keluarga pada dasarnya berkewajiban untuk memelihara anggotanya yang
sakit, menderita dan tua.
7) Fungsi Afeksi
Keluarga berfungsi untuk memberikan kebutuhan manusia akan kasih sayang
dan rasa dicintai.
b. Caregiver Keluarga
Secara literal kata Caregiver berasal dari dua suku kata yaitu “Care”
yang memiliki arti “Memelihara” atau dapat disepadankan dengan merawat,
13
menjaga, memperhatikan, dan “Give” yang memiliki arti “Memberi” (Wojowasito
dan Poerwadarminta, 2007). Oleh karena itu, Caregiver dapat dipahami sebagai
“orang yang memberi perawatan” atau “orang yang memelihara”. Frey
mendefinisikan konsep Caregiver Secara sederhana dalam Gale Encyclopedia of
Senior Health (2009), sebagai “someone who is responsible for the care of
another person” atau dapat diartikan secara bebas sebagai “seseorang yang
bertanggung jawab untuk memberikan perawatan”. Penelitian ini menggunakan
istilah caregiver secara langsung tanpa menggunakan kata serapan dalam
bahasa indonesia. Hal ini dilakukan mempertimbangkan kesesuaian dengan
sumber referensi penelitian yang sebagian besar menggunakan istilah yang
sama.
Secara umum, caregiver dibedakan menjadi dua jenis yaitu formal
caregiver dan informal caregiver.
1) Formal Caregiver
Formal Caregiver dapat diartikan sebagai “seseorang yang bertanggung
jawab untuk memberikan perawatan secara formal atau resmi”. Caregiver ini
biasanya merupakan orang orang yang secara resmi bekerja atau diperkerjakan
dibidang pelayanan perawatan atau pemeliharaan dalam bidang kesehatan.
Caregiver ini bekerja secara profesional, memiliki latar belakang pendidikan pada
bidang perawatannya dan dibayar secara resmi untuk mengganti jasa
perawatannya.
2) Informal Caregiver
Informal Caregiver dapat diartikan sebagai “seseorang yang
bertanggung jawab untuk memberikan perawatan secara tidak formal atau
sukarela”. Perbedaan yang mendasar dengan antara caregiver ini dengan formal
caregiver adalah hubungan yang dekat yang dimiliki dengan orang yang
diberikan perawatan. Hubungan yang dimiliki biasanya dapat berupa hubungan
14
pertemanan, kekeluargaan atau pernikahan. Caregiver ini tidak diharuskan
memiliki pengetahuan dan kemampuan khusus dalam memberikan perawatan.
Family Caregiver atau Caregiver keluarga dapat dikategorikan sebagai
informal caregiver. Laizner (Chan dan Chang, 1999) mendefinisikan istilah “family
caregiver” sebagai “orang yang secara khusus bertanggung jawab terhadap
tugas harian dalam memberikan perawatan untuk memenuhi kebutuhan fisik,
emosional dan sosial dari keluarga mereka yang sakit di rumah”. Sama seperti
informal caregiver lainnya, caregiver keluarga bukanlah profesional kesehatan
dan memberikan perawatan tanpa balasan imbalan (Houts, Nezu, Nezu dan
Bucher, 1996).
Bantuan yang diberikan oleh caregiver keluarga dapat dipandang
sebagai salah satu dukungan sosial yang memiliki tiga dimensi dukungan (Bevan
dan Pechioni, 2008) yaitu:
1) Dukungan informasi, yaitu bentuk dukungan berupa pembagian atau
pemberian informasi mengenai problem atau isu yang sedang dihadapi.
2) Dukungan instrumental, yaitu bentuk dukungan yang secara langsung
berkaitan dengan tugas-tugas atau perilaku yang dapat membantu.
3) Dukungan emosional, yaitu bentuk dukungan yang berkaitan dengan bantuan
untuk mengatasi ketakutan, dukungan untuk merasa dihargai, disayangi dan
dicintai.
Dalam memberikan perawatan, caregiver keluarga memiliki beberapa fungsi
penting (Bevan dan Pechioni, 2008) antara lain yaitu:
1) Melakukan kegiatan tukar menukar informasi antar pihak yang terkait;
2) Menginterpretasi bahasa atau memberikan pengertian terhadap informasi
yang sulit dimengerti;
15
3) Memberikan sudut pandang tambahan, penjelasan dan pengertian mengenai
diagnosa medis yang diberikan;
4) Berkolaborasi untuk memberikan perawatan secara personal dan mempelajari
tehnik dan prosedur perawatan yang dibutuhkan;
5) Mengambil bagian dalam sesi-sesi terapi;
6) Memberikan dukungan kepada pasien untuk menjalankan perawatan medis
mereka dengan baik.
Given (Chan dan Chang, 1990) menggambarkan bahwa terdapat beberapa jenis
tugas yang biasanya harus dilakukan oleh caregiver keluarga untuk membantu
pasien, yaitu:
1) Aktivitas Harian, yaitu tugas tugas dasar yang harus dibutuhkan secara
mendasar oleh pasien antara lain makan, memakai pakaian, mandi dan buang
air.
2) Aktivitas Harian Bantuan, yaitu tugas tugas yang harus dilakukan untuk
mendukung dipenuhinya kebutuhan dasar pasien, seperti memasak,
pengantaran, mencuci dan mengatur keuangan.
3. Skizofrenia
a. Gambaran umum Skizofrenia
Davison (dkk, 2004) menyebutkan bahwa skizofrenia merupakan
sebuah gangguan kejiwaan yang ditandai dengan gangguan-gangguan utama
dalam sistem kognitif, afektif dan perilaku. Fungsi kognitif yang terganggu
tersebut salah satunya muncul dalam bentuk pemikiran yang tidak saling
berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek atau respon
emosi yang datar atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik lain
yang aneh.
Kraeplin (Kaplan, Sadock dan Grebb, 2010) merupakan salah satu
16
tokoh yang pertama kali mengklasifikasikan gangguan jiwa ini sebagai gangguan
dengan gejala halusinasi dan waham yang bertahan lama. Kraeplin (Davison
dkk, 2004) menyebut istilah untuk gangguan ini dengan Dementia Praecox
(Dementia = sebuah gangguan kemunduran fungsi kognitif dan Precox = dini,
muncul pada onset awal). Pada fase penemuan ini Kraeplin sudah dapat
membedakan diagnosa terhadap pasien dengan gangguan manic depresif dan
pasien dengan skizofrenia.
Sedangkan istilah skizofrenia muncul melalui usulan oleh seorang tokoh
lainnya yaitu Eugen Bleuler. Bleuler (Davison dkk, 2004) berpendapat bahwa
pasien skizofrenia tidak selalu terjadi pada usia dini dan tidak selalu berkembang
menjadi demensia yang tak dapat dihindari. Oleh karena itu Bleuler mengusulkan
sebuah istilah baru untuk mengganti istilah dementia praecox yang sudah tidak
relavan yaitu Schizophrenia yang berasal dari bahasa yunani Schizein
(membelah) dan Phren (akal pikiran).
b. Penyebab Skizofrenia
Penyebab pasti gangguan skizofrenia masih belum diketahui pasti.
Berbagai hipotesis terkait penyebab gangguan ini telah bermunculan mulai dari
faktor biologis, genetik, psikologis dan lingkungan. Munculnya berbagai hipotesis
terkait penyebab gangguan ini karena gangguan ini masih belum dapat diketahui
penyebabnya secara pasti.
1) Faktor Genetika
Pada banyak penelitian, telah diketahui bahwa faktor genetika memberikan
sumbangan terhadap kerentanan individu untuk terkena gejala skizofrenia (Purin
dkk, 2011; Kaplan dkk, 2010; Maramis, 2009; Pinel, 2009; Plotnik, 2011)
2) Faktor Neurologis
Dopamin merupakan salah satu neurotransmiter yang diduga memiliki peranan
dalam pengembangan gangguan skizofrenia. Temuan mengenai hal ini biasa
17
disebut sebagai hipotesis gangguan skizofrenia yang bernama teori dopamin
untuk skizofrenia (Maramis, 2009; Pinel, 2009).
3) Faktor Perkembangan syaraf
Penelitian menggunakan studi pencitraan otak menunjukan sebuah temuan
bahwa terdapat pembesaran ventrikel yang dialami oleh hampir 80 persen dari
pasien skizofrenia (Pinel, 2009; Plotnik, 2011). Hal ini menunjukan terjadinya
pengurangan berat otak, sebesar enam persen dari berat otak rata rata
(Maramis, 2009).
4) Faktor Psikososial
Freud menjelaskan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi dalam
fase perkembangan yang terjadi lebih awal sehingga menyebabkan munculnya
perkembangan yang neurosis (Kaplan dkk, 2010). Terjadinya pelemahan ego,
pengesampingan superego dan munculnya Id yang menguasai semua (Maramis,
2009). Sedangkan Sullivan, menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
kesulitan interpersonal awal yang berhubungan dengan pengasuhan masa kecil
yang salah dan terlalu mencemaskan (Kaplan, 2010).
Teori Diatesis Stress menyatakan bahwa beberapa orang yang memiliki
predisposisi genetik yang berinteraksi dengan stressor kehidupan menghasilkan
kemunculan dan perkembangan dari skizofrenia (Plotnik, 2011). Kejadian yang
menimbulkan stress seperti orang tua yang mengancam, kemiskinan hubungan
interpersonal, kematian orang tua atau orang yang dicintai dan permasalahan
karir atau personal dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan
skizofrenia.
c. Gejala Skizofrenia
Tidak terdapat sebuah gejala yang benar benar penting yang harus ada
untuk menegakan diagnosis untuk gangguan skizofrenia. Hal ini terjadi karena
perbedaan secara individual pada gejala yang ada pada masing masing pasien
18
yang mengalami gangguan skizofrenia. Namun secara keseluruhan gejala-gejala
yang terdapat pada pasien skizofrenia dapat dibedakan menjadi dua jenis gejala,
yaitu gejala positif dan gejala negatif.
1) Gejala Positif
Gejala positif adalah gangguan-gangguan relatif menjadi ciri khas pada
pasien skizofrenia akut (Purin dkk, 2011). Gejala ini mencangkup hal hal yang
berlebihan, dan distorsi seperti halusinasi dan waham (Davison dkk, 2011).
Delusi atau waham adalah keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan.
Beberapa jenis waham tersebut antara lain misalnya adalah waham kejaran,
waham cemburu, waham bersalah, waham kebesaran, waham dikendalikan,
waham membaca pikiran dan lain lain (Davison dkk, 2011) Sedangkan Halusinasi
adalah persepsi sensoris yang palsu yang tidak disertai dengan stimuli eksternal
yang nyata. Beberapa jenis halusinasi yang umum dilaporkan adalah halusinasi
suara, halusinasi dengar dan halusinasi penglihatan (Kaplan, 2010).
2) Gejala Negatif
Gejala negatif adalah gejala yang secara khas muncul pada pasien
skizofrenia kronis (Purin, 2011). Gejala ini mencangkup berbagai defisit perilaku
seperti Apati, alogia, anhedonia, afek datar dan asosialitas (Davison dkk, 2011).
Anhedonia adalah hilangnya minat dan penarikan diri dari semua aktivitas rutin
dan menyenangkan, seringkali disertai dengan depresi. Apati adalah irama emosi
yang tumpul yang disertai dengan pelepasan ikatan (detachment) dan ketidak
acuhan (Kaplan dkk, 2011). Alogia adalah gangguan pikiran negatif yang dapat
terwujud dalam berbagai bentuk antara lain kemiskinan isi percakapan,
pengulangan kata-kata dan membingungkan (Davison dkk, 2011).
d. Klasifikasi Skizofrenia
International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems
(ICD) ke 10, yang diterbitkan oleh WHO mengklasifikasikan Skizofrenia dan
19
beberapa gangguan waham sebagai berikut (Purin, Laking dan Treasaden,
2011):
F20 Skizofrenia
F20.0 Skizofrenia Paranoid
F20.1 Skizofrenia Hebefrenik
F20.2 Skizofrenia Katatonik
F20.3 Skizofrenia Tak Terinci (Undiffrentiated)
F20.4 Depresi Pasca Skizofrenik
F20.5 Skizofrenia Residual
F20.6 Skizofrenia Simpel
F20.8 Skizofrenia Lain-lain
F20.9 Skizofrenia Tak Tergolongkan (unspecified)
F22 Gangguan Waham Menetap
F22.0 Gangguan Waham
F22.8 Gangguan Waham Menetap Lain
F22.9 Gangguan Waham Menetap, Tak Tergolongkan
F23 Gangguan Psikotik Akut dan Sementara
F23.0 Gangguan Psikotik Polimorfik Akut tanpa Gejala-gejala
Skizofrenia
F23.1 Gangguan Psikotik Polimorfik Akut dengan Gejala-gejala
Skizofrenia
F23.2 Gangguan Psikotik menyerupai Skizofrenia Akut
F23.3 Gangguan Psikotik Akut Lainnya dengan Predominan Waham
F23.4 Gangguan Psikotik Akut dan Sementara Lainnya
F23.5 Gangguan Psikotik Akut dan Sementara yang Tak
Tergolongkan
F24 Gangguan Waham Terinduksi
F25 Gangguan Skizoafektif
F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik
20
F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresi
F25.2 Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran
F25.8 Gangguan Skizoafektif Lain
F25.9 Gangguan Skizoafektif Tak Tergolongkan
F28 Gangguan Psikotik Nonorganik Lain
F29 Gangguan Nonorganik Tak Tergolongkan
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan mengenai perilaku
mencari pertolongan, maka dapat digambarkan bahwa perilaku mencari
pertolongan pada keluarga pasien skizofrenia merupakan fenomena yang sangat
penting. Oleh karena itu penelitian ini dibuat untuk memberikan jawaban
berdasarkan pengkajian teoretik mengenai gambaran dinamika perilaku mencari
pertolongan pada keluarga pasien skizofrenia.
BAB II
PEMBAHASAN
Kajian mengenai perilaku mencari pertolongan di Indonesia masih
sangat minim. Dalam pencarian yang dilakukan terhadap “Help Seeking
Behaviour” menggunakan beberapa portal pencarian jurnal ilmiah seperti
Springer Link, Science Direct, Proquest dan Libgen didapatkan beberapa hasil
yang cukup signifikan. Namun kajian mengenai perilaku mencari pertolongan
tersebut masih sangat didominasi oleh kajian yang dilakukan oleh peneliti dari
dunia kesehatan. Bahkan dalam kajian psikologi sendiri, belum terdapat sebuah
21
definisi yang baku, mengenai perilaku mencari pertolongan.
Perilaku mencari pertolongan dalam kajian psikologi dapat dikategorikan
termasuk kedalam kajian psikologi kesehatan. Dalam psikologi kesehatan kajian
mengenai perilaku mencari pertolongan dapat dikelompokan berada bersama
dengan beberapa fenomena lain seperti perilaku yang membahas mengenai
perilaku individu yang mendapatkan penyakit (becoming ill). Namun tidak hanya
dapat dikelompokan kedalam kajian psikologi kesehatan, kajian mengenai
perilaku mencari pertolongan sebenarnya secara mendasar merupakan sebuah
kajian mengenai perilaku interpersonal, oleh karena itu dapat dikategorikan
termasuk dalam kajian psikologi sosial.
Hal yang berbeda dari fenomena yang berupaya di ungkap pada
penelitian ini dengan kajian yang relatif dibahas pada kajian psikologi kesehatan
adalah mengenai subjek dari penyakit itu sendiri. Pada banyak kajian perilaku
mencari pertolongan, subjek yang dibahas dalam upaya mencari pertolongan
adalah subjek yang mengalami penyakit itu sendiri. Kajian tersebut berupaya
untuk mencari tahu mengenai mengapa, bagaimana dan kepada siapa orang
biasa mencari pertolongan ketika diri mereka sendiri mengalami penyakit atau
gangguan. Sedangkan dalam kajian ini, perilaku mencari pertolongan yang akan
diungkap adalah perilaku mencari pertolongan dari caregiver untuk memberikan
pertolongan kepada orang yang dirawatnya.
Beberapa penelitian mengenai perilaku mencari pertolongan pada
gangguan mental, misalnya seperti penelitian oleh van der Ham dkk (2011),
Mackenzie (2008), Thomas (2014) dll lebih banyak mengungkap gangguan jiwa
ringan seperti depresi, kecemasan dan stress harian. Berbeda dengan gangguan
jiwa tersebut, pada kasus skizofrenia terjadi sebuah hendaya kognitif yang
menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan fungsi kognitif lain yang dibutuhkan
oleh pasien untuk mencari pertolongan sesuai dengan inisiatifnya sendiri.
22
Walaupun tidak selamanya pasien gangguan skizofrenia tidak dapat mengurus
dirinya sendiri, namun pada fase awal gangguan peran caregiver keluarga
sangatlah penting dalam memberikan perawatan kepada pasien skizofrenia.
Perbedaan pola pencarian pertolongan dan dinamika interpersonal yang terjadi
antara pasien, caregiver dengan praktisi kesehatan adalah sebuah fenomena
unik yang menyebabkan penelitian mengenai hal ini sangatlah penting untuk
dilakukan.
Keberadaan perilaku mencari pertolongan dalam salah satu kajian
psikologi kesehatan memberikan sebuah dasar pengkajian secara teoretis
mengenai fenomena ini. Dalam psikologi kesehatan beberapa teori yang biasa
digunakan untuk menganalisis perilaku sehat maupun perilaku sakit individu
antara lain teori Health Belief Model dan Teori Planned Behavior. Teori Health
Belief Model merupakan salah satu teori yang paling sering digunakan,
berdasarkan teori ini seseorang dipercaya membentuk sebuah perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan berdasarkan dua faktor yaitu pemahaman
terhadap ancaman kesehatan yang dimilikinya, dan pemahaman bahwa sebuah
perilaku sehat dapat mengurangi ancaman tersebut (Taylor, 2012). Sedangkan
Teori Planned Behavior yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein tahun 1980,
menggambarkan perilaku sehat sebagai sebuah perilaku yang lebih luas, yaitu
sebuah perilaku yang dapat terbentuk berdasarkan tiga faktor yaitu sikap yang
tertuju kepada sebuah perilaku tertentu, norma subjektif yang menilai perilaku
tersebut dan perceived behavioral control/ kendali perilaku yang dimiliki
(terjemahan bebas) (Taylor, 2012).
Health Belief Model dikemukakan pertama kali oleh Rosenstock pada
tahun 1966 (Ogden, 2012) Berdasarkan teori Health Belief Model, pemahaman
mengenai ancaman kesehatan setidaknya dapat dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu penilaian secara menyeluruh terhadap kondisi kesehatan yang dimiliki,
23
pemahaman terhadap resiko ancaman yang dimiliki dan pemahaman mengenai
tingkat keparahan yang dapat disebabkan oleh penyakit tersebut. Sedangkan
pemahaman mengenai perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh pemahaman
terhadap efektifitas perilaku yang dilakukan dan harga yang harus dibayar untuk
melakukan usaha sehat tersebut (Taylor, 2012). Pemahaman mengenai perilaku
sehat tersebut dikembangkan selanjutnya oleh Becker dan rekan-rekannya pada
tahun 1980. Beberapa faktor lain seperti Perceived control dan pemicu untuk
beraksi ditambahkan kedalam kerangka Health Belief Model.
Berbeda dengan fenomena gangguan fisik, pada kasus gangguan
psikologis banyak individu tidak dapat menilai keparahan yang disebabkan
secara tepat. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Biddle dkk (2007) mengenai
tekanan mental yang dirasakan oleh orang dewasa muda berusia antara 16 – 24
tahun menghasilkan fakta bahwa pemahaman yang dimiliki mengenai keparahan
dari sebuah gangguan psikologis yang dirasakan terkadang dapat bergeser
sesuai dengan usaha yang dilakukan untuk menghindar dan menormalisasi
keadaan yang terjadi, fenomena ini disebut oleh Biddle sebagai sebuah Cycle of
Avoidance. Pada kasus skizofrenia, Cycle of Avoidance juga dapat terjadi untuk
menggambarkan fenomena yang terjadi ketika pihak keluarga berusaha
menghindari kenyataan bahwa anggota keluarganya terkena gangguan mental.
Upaya membiarkan atau menilai bahwa gejala gejala yang muncul pada anggota
keluarga mereka di fase awal psikosis membuat tingkat keparahan gangguan
yang terjadi pada anggota keluarga mereka tersebut dapat meningkat seiring
dengan berjalannya waktu. Banyak keluarga yang menilai keparahan sebuah
gangguan kejiwaan, berdasarkan resiko Self Harming (melukai diri sendiri) yang
dimiliki oleh anggota keluarganya tersebut. Namun pada kasus kasus lain yang
tidak menimbulkan gejala yang menonjol seperti Skizofrenia katatonis, perilaku
pembiaran sering terjadi karena menilai resiko yang dapat ditimbulkan lebih kecil.
24
Pemahaman mengenai efektifitas perlakuan dan harga yang harus
dibayar untuk mendapatkan kesehatan mental juga secara langsung
berhubungan dengan pemahaman masyarakat mengenai gangguan mental.
Vanheusden (2009) menemukan bahwa pemahaman mengenai gangguan
mental sebagai gangguan permanen dan tidak dapat disembuhkan dapat
menjadi sebuah barrier (penghalang) terhadap proses pencarian pertolongan.
Persepsi mengenai efektifitas penanganan juga dapat dipengaruhi oleh aspek
budaya setempat. Penelitian yang dilakukan oleh van der Ham (2011) dan
Mohamad (2012) menggambarkan bahwa pemahaman masyarakat asia
tenggara pada umumnya masih dipengaruhi pemahaman tradisional mengenai
gangguan jiwa. Hal ini menyebabkan masyarakat asia tenggara pada umumnya
masih mempertimbangkan untuk memberikan perawatan secara tradisional
kepada anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.
Secara umum analisis mengenai perilaku mencari pertolongan yang
dilakukan oleh keluarga caregiver pasien skizofrenia dengan menggunakan
kerangka Health Belief model dapat dijelaskan dengan menggunakan skema
berikut:
25
Perilaku mencari pertolongan juga dapat dianalisis dengan
menggunakan Teori Planned Behavior. Teori yang dikemukakan oleh Ajzen dan
Fishbein ini sebenarnya merupakan teori yang aplikasinya luas tidak nya pada
bidang kesehatan, karena pada dasarnya teori ini dikemukakan untuk
mengungkap intensi seseorang dalam melakukan sebuah perilaku. Oleh karena
itu, dengan menggunakan kerangka model teori Planned Behavior dapat
dianalisis intensi yang mendasari keluarga caregiver pasien skizofrenia untuk
melakukan perilaku mencari pertolongan untuk anggota keluarganya.
Menurut Ajzen (Sarafino, 2006) perilaku seseorang dapat diprediksi
26
1. Pemahaman mengenai efektifitas dari perilaku yang dilakukan untuk mengatasi skizofrenia
2. Pemahaman mengenai keuntungan yang didapat dari perilaku yang dilakukan
3. Pemahaman mengenai upaya atau harga yang harus dibayar untuk melakukan perilaku tersebut
Pemahaman mengenai perilaku yang dilakukan untuk mengurangi ancaman skizofrenia
1. Pemahaman umum mengenai Skizofrenia2. Pemahaman mengenai resiko probabilitas
anggota keluarga terkena skizofrenia3. Pemahaman mengenai tingkat keparahan
dampak apabila terkena skizofrenia
Pemahaman mengenai ancaman kesehatan dari Skizofrenia
Perilaku Mencari Pertolongan pada Keluarga Caregiver
Pasien Skizofrenia
Gambar 1. Skema Perilaku Mencari Pertolongan Pada Keluarga Caregiver Pasien Skizofrenia dengan menggunakan Kerangka Health Belief Model
dengan mengetahui intensinya dalam melakukan sebuah perilaku. Intensi
tersebut dapat terjadi dengan mempertimbangkan tiga faktor antara lain:
1. Sikap terhadap perilaku yang akan dilakukan yaitu penilaian baik atau buruk
terhadap perilaku tersebut dan harapan pada luaran yang akan dihasilkan.
2. Norma subjektif yaitu persepsi dari norma yang dianut pada lingkungan sosial,
tuntutan sosial yang dirasakan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan
sebuah perilaku dan motivasi atau keinginan untuk melaksanakan tuntutan
sosial tersebut.
3. Perceived behavioural control yaitu keyakinan yang dimiliki seseorang untuk
dapat melakukan sebuah perilaku yang diharapkan berdasarkan faktor kontrol
internal dan eksternal yang dimilikinya. Faktor kontrol internal meliputi
keahlian, kemampuan dan informasi yang dimiliki, sedangkan faktor eksternal
meliputi tantangan dan kesempatan yang muncul.
Menurut Ajzen (Sarafino, 2006), sikap terhadap sebuah perilaku dapat
terbentuk berdasarkan (1) harapan dari hasil luaran dari sebuah perilaku dan (2)
pertimbangan bahwa hasil luaran dari perilaku dapat memuaskan kebutuhan.
Sikap mencari pertolongan yang positif berasal dari harapan mengenai
keuntungan yang akan didapatkan apabila perilaku mencari pertolongan berhasil
dilakukan. Sementara di sisi lain, sikap pencarian pertolongan yang negatif
muncul dari kepercayaan bahwa pencarian pertolongan dapat memberikan
konsekuensi yang kurang menyenangkan (Vanheusden dkk, 2009).
Norma yang dimiliki oleh masyarakat terhadap gangguan mental tentu
mempengaruhi penanganan gangguan mental yang biasa diberikan dalam
sebuah komunitas masyarakat. Kajian yang dilakukan oleh Youssef (2006),
terhadap komunitas masyarakat arab di Australia menunjukan bahwa rasa malu
dan stigma terhadap orang yang mengalami gangguan mental menjadi alasan
utama masyarakat arab di Australia untuk menghindari akses kepada layanan
27
kesehatan mental profesional. Dalam banyak kajian, masyarakat yang cenderung
lebih terikat kepada suatu budaya dan tradisi tertentu lebih memiliki
kecenderungan untuk mengakses layanan kesehatan mental tradisional baik
sebagai pelayanan utama maupun komplementer.
Faktor terakhir terhadap perilaku yang direncanakan adalah adanya
persepsi terhadap kontrol dari perilaku (Perceived Behavior Control). Konsep
persepsi ini menyerupai konsep efikasi diri yang digagas oleh Bandura (Sarafino,
2006; Taylor, 2012). Berdasarkan ketiga faktor yang telah dijabarkan tersebut,
dapat diambil gambaran bahwa teori Planned Behavior memiliki kerangka model
perilaku untuk mengungkap intensi sebuah perilaku. Oleh karena dengan
menggunakan kerangka model ini, dapat dianalisis intensi yang dimiliki
seseorang untuk memilih sebuah layanan kesehatan mental yang digunakan
untuk memberikan pertolongan terhadap anggota keluarganya yang mengalami
gangguan skizofrenia.
Dengan menggunakan kerangka model intensi perilaku diatas, dapat
diperoleh sebuah gambaran mengenai perbedaan dinamika perilaku yang terjadi
28
Perceived Behavior Control yang dimiliki terhadap pelayanan kesehatan mental
Norma subjektif yang berkembang terhadap pelayanan kesehatan mental
Sikap yang dimiliki terhadap pelayanan kesehatan mental
Intensi untuk mengakses layanan kesehatan mental
Gambar 2. Kerangka Model Intensi untuk mengakses Layanan kesehatan mental berdasarkan teori
pada keluarga caregiver yang memutuskan untuk mengakses layanan kesehatan
professional dan tradisional untuk mencari pertolongan. Perbedaan sikap, norma
subjektif dan kepercayaan control perilaku yang dimiliki dapat terjadi karena
adanya perbedaan gender, ras dan agama. Sehubungan dengan kajian yang
dilakukan oleh Youssef, kajian yang dilakukan oleh Snowden (1998) juga
memberikan gambaran mengenai pengaruh perbedaan ras terhadap upaya
pencarian pertolongan. Responden yang berasal dari ras kulit hitam lebih
memiliki kecenderungan untuk mengakses layanan kesehatan mental tradisional
bersamaan dengan layanan kesehatan mental professional. Di Indonesia sendiri,
kecenderungan untuk mengakses layanan kesehatan mental tradisional masih
cukup tinggi, bahkan untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan dengan asumsi
telah memiliki informasi yang cukup mengenai gangguan mental. Perbedaan
yang biasanya terjadi hanyalah pada akses primer layanan, masyarakat
perkotaan lebih cenderung menggunakan layanan dokter umum sebagai akses
primer layanan kesehatan, sedangkan pada masyarakat pedesaan banyak akses
primer layanan kesehatan mental langsung ditujukan kepada layanan kesehatan
mental tradisional.
Salah satu perbedaan penting yang terdapat pada aspek yang
dikemukakan oleh Cornally dan McCarthy, (2011) mengenai perilaku mencari
pertolongan dengan kajian teoretik dari teori Health Belief Model dan Planned
Behavior adalah adanya aspek interaksi interpersonal yang unik pada perilaku
mencari pertolongan. Berbeda dengan beberapa perilaku sehat lainnya, pada
perilaku mencari pertolongan interaksi interpersonal merupakan salah satu aspek
penting yang menjadi inti dari fenomena ini. Keberadaan penolong dan orang
yang mencari pertolongan menghasilkan sebuah interaksi dua arah yang aktif.
Pada fenomena pencarian pertolongan dari keluarga caregiver, pada
dasarnya terjadi dua jenis interaksi tolong menolong. Interaksi yang pertama
29
adalah upaya perilaku mencari pertolongan dari pasien kepada caregiver yang
merawatnya. Kedua, interaksi yang terjadi antara caregiver keluarga dengan
pihak penolong. Adanya dua jenis interaksi yang saling berhubungan ini
merupakan salah satu keunikan yang terdapat dalam fenomena perilaku mencari
pertolongan pada keluarga caregiver pasien skizofrenia. Pada umumnya
interaksi interpersonal pertolongan hanya terjadi antara pasien dengan pihak
penolong yang dapat langsung memberikan pertolongan, namun pada fenomena
ini keberadaan caregiver menjadi jembatan dalam upaya pencarian pertolongan
karena terdapatnya hendaya kognitif pada pasien skizofrenia. Keberadaan
caregiver yang melakukan upaya pencarian pertolongan untuk anggota
keluarganya terjadi karena terdapat kekurangan sumber daya yang dimiliki oleh
caregiver yang bersangkutan untuk memberikan perawatan atau intervensi yang
memadai untuk mengurangi beban yang dirasakan oleh pasien karena gangguan
skizofrenia yang dialami. Oleh karena itu kekurangan sumber daya ini berupaya
ditutupi dengan upaya pencarian pertolongan kepada pihak yang dipahami
memiliki pemahaman dan kemampuan yang memadai untuk memberikan
intervensi kepada pasian skizofrenia.
Berikut merupakan gambaran dinamika pencarian pertolongan pada
keluarga caregiver pasien skizofrenia dengan menggunakan kerangka model
yang dikaji oleh Cornally dan McCarthy:
30
Mengambil kesimpulan berdasarkan analisa teoretik yang dilakukan
terhadap perilaku mencari pertolongan pada gangguan skizofrenia yang
dilakukan dengan menggunakan tiga jenis teori memberikan gambaran bahwa
terdapat beberapa faktor penting yang mempengaruhi munculnya perilaku
mencari pertolongan pada keluarga caregiver pasien skizofrenia yaitu antara lain:
1. Pemahaman yang memadai mengenai permasalahan gangguan mental
yang dialami oleh anggota keluarga yang bersangkutan.
2. Pemahaman yang memadai mengenai tindakan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi gangguan yang terjadi pada anggota keluarga yang
bersangkutan.
3. Norma dan kepercayaan yang dianut oleh keluarga terhadap
permasalahan gangguan mental dan penanganannya.
4. Interaksi yang terjadi antara pasien, caregiver keluarga dan dengan pihak
31
Gambar 3 Gambaran aspek pencarian pertolongan pada keluarga pasien skizoferenia menggunakan kerangka model Cornally dan McCarthy
Interaksi interpersonal yang terjadi antara caregiver dengan pasien, dan antara caregiver dengan pihak penolong
Aksi yang disengaja dilakukan untuk mengurangi beban yang dirasakan karena melakukan perawatan kepada anggota keluarga yang mengalami skizofrenia tanpa memiliki sumber daya yang memadai
pemusatan perhatian yang diberikan oleh keluarga caregiver kepada masalah kejiwaan yang dimiliki oleh anggota keluarganya yang diduga mengalami gangguan skizofrenia
Perilaku Mencari Pertolongan pada Keluarga Caregiver
Pasien Skizofrenia
penolong.
5. Persepsi mengenai kemampuan yang dimiliki untuk melakukan upaya
pencarian pertolongan kepada anggota keluarga tersebut.
32
BAB III
KESIMPULAN
Skizofrenia merupakan sebuah gangguan kejiwaan berat yang paling
umum terjadi di masyarakat Indonesia. Pasien yang mengalami skizofrenia
mengalami gangguan keberfungsian yang berat sehingga membutuhkan bantuan
caregiver dalam memberikan perawatan dan pengobatan. Keluarga sebagai
salah satu caregiver utama yang dimiliki pasien skizofrenia memiliki keterbatasan
sumberdaya dalam memberikan interevensi yang memadai kepada pasien
skizofrenia, sehingga keluarga caregiver membutuhkan pertolongan dari pihak
ahli yang memiliki pemahaman dan kemampuan yang memadai untuk
memberikan intervensi kepada pasien skizofrenia.
Perilaku mencari pertolongan merupakan salah satu fenomena yang
menjadi bahasan dalam psikologi kesehatan. Menggunakan dua teori yang
paling umum digunakan di psikologi kesehatan dalam menjelaskan dinamika
perilaku sehat, yaitu teori health belief model dan teori planned model maka
dapat dijelaskan faktor faktor yang melandasi terjadinya perilaku pencarian
pertolongan pada keluarga caregiver pasien skizofrenia. Menggunakan kerangka
teori yang dikaji oleh Cornally dan McCarthy maka didapatkan aspek pelengkap
untuk mendefinisikan perilaku mencari pertolongan. Faktor faktor tersebut adalah
pemahaman yang memadai mengenai permasalahan gangguan mental yang
dialami oleh anggota keluarga yang bersangkutan; pemahaman yang memadai
mengenai tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan yang terjadi
pada anggota keluarga yang bersangkutan; Norma dan kepercayaan yang dianut
oleh keluarga terhadap permasalahan gangguan mental dan penanganannya;
Interaksi yang terjadi antara pasien, caregiver keluarga dan dengan pihak
penolong; Persepsi mengenai kemampuan yang dimiliki untuk melakukan upaya
pencarian pertolongan kepada anggota keluarga tersebut.
33
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2009). Filsafat Manusia: Memahami manusia melalui filsafat.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Biddle, L., Donovan, D., Sharp, D. & Gunnell, D. (2007). Explaining non-help-
seeking amongst young adults with mental distress: a dynamic
interpretive model of illness behavior. Sociology of Health & Illness,
27(7), 983– 1002.
Cornally, N. & McCarthy, G. (2011). Help-seeking behaviour: A concept analysis.
International Journal of Nursing Practice, 17, 280-288.
Davison, G.C., Neale, J.M. & Kring, A.M. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Frey, J.R. (2009). Caregiver. In J.L. Longe. (Eds), Gale Encyclopedia of Senior
Health: A Guide for Seniors and Their Caregivers (pp 452-455).
Cengage Learning.
Hogan, R., Jhonson, J. & Briggs, S. (1997). Handbook of personality psychology.
San Diego: Academic Press.
Kompas. (2011). 80 Persen Penderita Skizofrenia Tak Diobati. Diperoleh dari
http://health.kompas.com/read/2011/06/03/07014272/80.
Persen.Penderita.Skizofrenia.Tak.Diobati
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. & Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Jilid Satu. Tangerang: Binarupa
Aksara Publisher.
Maramis, W.F. & Maramis, A.A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
34
Surabaya: Airlangga University Press.
Mackenzie, Corey S., Scott, T., Mather, A. & Sareen, J. (2008). Older adults help
seeking attitudes and treatment belief concerning mental health
problems. The American Journal of Geriatric Psychiatry, 16(12): 1010 –
1019. American Association for Geriatric Psychiatry.
Mohamad, M. S., Zabidah, P., Fauziah, I. & Sarnon, N. (2012). Mental Health
Literacy among Family Caregivers of Schizophrenia Patients. Asian
Social Science, 8(9), 74-82. doi:10.5539/ass.v8n9p74
Myers, D.G. (2010). Social Psychology, 10th Edition. New York: McGraw-Hill.
Ogden, J. (2012). Health Psychology, Fifth Edition. Berkshire: McGraw-Hill Open
University Press.
Parwitaningsih, Febriana, E. & Budiwati, Y. (2010). Materi Pokok pengantar
sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Pinel, J.P.J. (2012). Biopsikologi, Edisi ketujuh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Platz, C., Umbricht, D.S., Ludewig, K.C., Dvorsky, D., Arbach, D., …, Brenner,
H.D. (2006). Help-seeking pathways in early psychosis. Social
psychiatry and psychiatric epidemiology journal, 46, 967 – 974.
Plotnik, R. & Kouyoumdijan, H. (2011). Introduction to Psychology, 9th Edition.
Wadsworth Cengage Learning.
Puri, B.K., Laking, P.J. & Treasaden, I.H. (2008). Buku Ajar Psikiatri, Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rafiyah, I., Suttharangsee, W. & Sangchan, H. (2011). Social Support and
Coping of Indonesian Family Caregivers Caring for Persons with
Schizophrenia. Nurse Media Journal of Nursing, 1(2), 159-169.
Safaria, T. (2007). Manajemen Emosi. Jakarta: Bumi aksara
Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interaction, Fifth
Edition. New Jersey: John Willey & Sons, Inc.
35
Santrock, J.W. (2003). Adolescence perkembangan remaja. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Schwartz, L.R. (1968). The Hierarchy of Resort in Curative Practices: The
Admiralty Island, Melanesia. Journal of Health and Social Behaviour.
Diperoleh dari http://libgen.org
Setiadi, E.M. & Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi Pemahamahan fakta dan
Gejala permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya.
Jakarta: Kencana.
Snowden, Lonnie R. (1998). Racial differences in informal help seeking for
mental health problems. Journal of Community Psychology, 26(5), 429 –
438. Jhon willey & Sons, Inc.
Taylor, S.E. (2012). Health Psychology, Eighth Edition. New York: McGraw-Hill.
Van der Ham, Lia, Wright, P., Vo Van, T., Doan, V. D. K., & Broerse, J. E. W.
(2011). Perception of Mental health and Help-seeking behavior in an
urban community in Vietnam: An Explorative Study. Community Mental
Health Journal, 47: 574 – 584. DOI 10.1007/s10597-011-9393-x
Vanheusden, Kathleen., Van der ende, J., Mulder, C. J., Van Lenthe, F. J., …
(2009). Belief about mental health problems and help-seeking behavior
in Dutch young adults. Social Psychiatry Epidemiology, 44: 239 – 246.
DOI 10.1007/s00127-008-0428-8.
WHO.(n.d.). Schizophrenia: What is schizophrenia?. Diperoleh dari:
http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/. 10
April 2014.
Wojowasito, S. & Poerwadarminta, W.J.S. (2007). Kamus Lengkap Inggeris –
Indonesia, Indonesia – Inggeris Dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
Bandung: Penerbit Hasta.
36
Ybarraa, M.L. & Suman, M. (2006). Help seeking behavior and the Internet: A
national survey. International Journal of Medical Informatics, 75, 29-41.
Youssef, Jacqueline & Deane, Frank P. (2006). Factors influencing mental-health
help-seeking in Arabic-speaking communities in Sydney, Australia.
Mental Health, Religion & Culture, 9(1): 43 – 66. Routledge.
37