Diffuse Axonal Injur1new

download Diffuse Axonal Injur1new

of 16

Transcript of Diffuse Axonal Injur1new

DIFFUSE AXONAL INJURY

DIFFUSE AXONAL INJURYPENDAHULUAN

Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang normal dapat berada dalam keadaan sadar, mengantuk atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat disadarkan oleh rangsang. Rangsang ini disampaikan pada sistem aktivitas retikuler yang berfungsi mempertahankan kesadaran. Berbagai penyebab penurunan kesadaran antara lain penyakit serebrovaskuler, gangguan metabolik, intoksikasi, infeksi, tumor otak, dan trauma, dan lain-lain.

Penderita yang mengalami trauma kepala dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, dan bahkan dapat berakhir dengan kematian. Glasgow outcome scale membagi dalam 5 kategori perilaku neurologis akibat trauma kepala yaitu meninggal, status vegetatif, cacat berat, cacat sedang, dan sembuh sempurna. Status vegetatif merupakan keadaan tidak terdapatnya fungsi kognitif yang digambarkan dengan abolisi total komunikasi. (Capruso DX, Levin HS., 1996). Tidak seperti pasien koma, pasien yang dalam status vegetatif dapat membukan mata, memejamkan mata sebagai respon terhadap ancaman atau cahaya, dan sewaktu-waktu mata bergerak atau memfiksasi matanya pada sesuatu. Namun demikian pasien tetap tidak menyimak, tidak bicara dan tidak menunjukkan penghayatan lingkungan sekitarnya, serta tidak dapat menyatakan kebutuhannya. Responnya terbatas pada gerak refleks. Terdapat keadaan bangun dan ada siklus bangun tidur, namun penderita tidak mempunyai penghayatan atau perilaku yang bertujuan. (Lumbantobing SM., 2000). Sehingga walaupun bangun tapi mereka tidak sadar. Penderita dikategorikan dalam cacat berat bila penderita tetap sadar tapi bergantung pada orang lain, meskipun derajat ketergantungan bervariasi. Termasuk dalam kategori ini digambarkan bila penderita bergantung pada orang lain untuk melakukan sebagian besar aktifitas sehari-hari. (Capruso DX, Levin HS., 1996).

Seperti telah dijelaskan bahwa sebagai akibat trauma kepala, penderita dapat mengalami antara lain status vegetatif, maupun cacat berat yang ternyata salah satu penyebabnya adalah kerusakan akson yang dikenal sebagai diffuse axonal injury (DAI). Hal ini terbukti dengan penelitian yang menggunakan teknik histologikal konvensional untuk mengidentifikasi axonal bulb, DAI telah diidentifikasi sebanyak 30% kasus pada data dasar Glasgow dan ditemukan sebagai penyebab status vegetatif dan cacat berat yang paling lazim.(Capruso DX, Levin HS., 1996) Penelitian lain yang dilakukan Adams JH. dan kawan-kawan menemukan bahwa dari 30 kasus cacat berat setelah trauma kepala, sebanyak 15 kasus (50%) disebabkan oleh DAI dan dari 35 kasus status vegetatif setelah trauma kepala, sebanyak 28 kasus (80%) disebabkan oleh DAI. (Jennett B, Adams JH, Murray LS dkk, 2001).DIFFUSE AXONAL INJURY

Diffuse axonal injury (DAI) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan koma bekepanjangan pasca trauma yang tidak berhubungan dengan lesi massa atau iskemia. (Valadka AB, Narayan RK, 1996). Beberapa istilah yang digunakan sebelumnya antara lain diffuse degeneration of white matter, shearing injury matter shearing injury, diffuse demage of immediate impact type, diffuse white, dan inner cerebral trauma. (Graham DL, McIntosh TK, 1996). DAI terjadi sebagai akibat dari trauma akut dimana kekuatan deselerasi-akselerasi dan rotasi menekan, meregangkan dan memutuskan akson terutama di substansia alba. (Young GB, 1998, Moulton R, 1998). Holbourn pada penelitiannya menghasilkan postulat bahwa adanya shear injury segera menyebabkan pemisahan fisik akson dan segera menghilangkan fungsinya. Hal yang sama juga kemudian dipostulatkan oleh Strich dan kawan-kawan. (Moulton R, 1998).

Pada trauma kepala berat, DAI dilaporkan terjadi sekitar 50% dari cedera otak primer (Prow HW, ColeJW, Yeakley J dkk, 1996). Sebanyak 50% penderita yang langsung mengalami koma setelah trauma tanpa adanya kontusi serebri diyakini menderita kerusakan pada substansia alba dan diffuse axonal injury. Daerah yang biasanya mengalami kerusakan pada DAI adalah substansia alba regio sentroaxial, bagian dalam pada regio supratentorial terutama corpus callosum, area paraventrikular dan hipocampal, pedunculus serebri, brachium conjungtivum, colliculus superior dan formasio retikularis bagian dalam (Robbins dkk, 1999, Shah SM, Kelly KM, 1999). Diffuse axonal injury dibagi atas tiga derajat, yaitu : (Graham DI, McIntosh TK, 1996).

Derajat satu kelainan terbatas secara histologik yaitu kerusakan akson sepanjang substansia alba tanpa penekanan fokal pada corpus callosum maupun batang otak.

Derajat dua bila selain terdapat distribusi luas dari kerusakan aksonal, juga terdapat lesi fokal pada corpus callosum. Derajat tiga ditandai dengan kerusakan difus akson disertai dengan lesi fokal pada cospus callosum dan batang otak..

Tabel 1. Insidens, gambaran klinis, dan keluaran Diffuse Axonal Injury Ringan Sedang Berat

Insidens(mendekati) 20% 45% 35%Persentil dari seluruh

Trauma kepala berat + 8% + 20% + 16% Hilang kesadaran 6-24 jam > 24 jam hari-minggu

Tanda batang otak 30% 24 jam minggu-bulan

Keluaran baik 80% 40% 15%

Meninggal 50%

*Umumnya disebabkan keadaan yang menyertai dan bukan akibat langsung trauma kepala.(Dikutip dari Van Dellen JR, Becker DP, 1998)ANATOMI MIKRO

Sel-sel yang menyusun sistem saraf pusat terdiri dari neuron, glia, serta sel-sel yang menyusun meninges dan pembuluh darah. Neuron merupakan unit fungsional utama.

Neuron Diperkirakan sekitar 1oo milyar neuron terdapat pada otak manusia. Pada sistem saraf pusat, neuron tersusun secara topografi baik sebagai suatu kumpulan seperti nuklei maupun ganglia atau sebagai kolumna yang memanjang seperti yang terdapat pada keenam lamina pada korteks serebri.Gambar 1. Neuron SerebrumSerebrum tersusun dari luar ke dalam :

1. Korteks serebri

2. Centrum semiovale

3. Nuklei basalis

4. Rhinensefalon

1. Korteks serebri

Pada korteks serebri terdapat beberapa jenis sel, yaitu :

a. Sel piramidal. Berbentuk piramid, mempunyai sebuah dendrit apikalis menuju ke permukaan dan beberapa dendrit basalis berjalan horizontal. Axon sel ini keluar dari bagian basalis badan sel dan masuk ke dalam substansia alba. Sel piramid raksasa terdapat pada gyrus presentralis.b. Sel stellata. Berbentuk poligonal dan mempunayi beberapa dendrit yang menuju berbagai arah dan sebuah axon yang pendek. Terdapat pada semua lapisan korteks.

c. Sel fusiformis. Serabut dendrit ada yang menuju permukaan dan ada yang menyebar di lapisan yang sama. Axonnya keluar di bagian kaudal sel dan masuk ke dalam substansia alba. Terletak vertikal dan terutama terdapat dalam lapisan terdalam.

d. Sel horizontalis dari Cajal. Berbentuk fusiformis kecil dan berada pada lapisan yang paling superfisial.e. Sel dari Martinotti. Berbentuk segitiga dan kecil-kecil serta mempunyai axon yang berjalan asendens menuju permukaan. Terdapat pada semua lapisan korteks.

Sel-sel tersebut di atas terletak pada 6 lapisan korteks serebri yang tersusun dari luar ke dalam sebagai berikut :

I. Lamina molekularis

II. Lamina granularis eksterna

III. Lamina piramidalis

IV. Lamina granularis interna

V. Lamina ganglionaris

VI. Lamina multiformis.

Serabut-serabut pada korteks ada yang berjalan radial dan ada yang tangensial. Serabut radial arahnya vertikal dari bagian profunda menuju permukaan, terdiri dari axon sel-sel pyramidal, sel fusiformis dan sel stellata serta merupakan serabut proyeksi dan asosiasi. Serabut tangensial berjalan paralel dengan permukaan korteks, terdiri dari axon sel horizontalis, dan sel stellata dan serabut kolateralis dari sel piramidal dan sel fusiformis serta merupakan serabut terminal dari serabut proyeksi dan asosiasi. Gambar 2. Arsitektur neokorteks otak manusia(6 lapisan korteks serebri ) (Gambar dikutip dari Duus)2. Centrum Semiovale

Struktur ini merupakan substansia alba yang terdiri dari :

a. Serabut proyeksi yang menghubungkan korteks serebri dengan pusat-pusat yang berada subkortikal, seperti antara lain yang berjalan radial membentuk korona radiata menuju ke medula oblongata dan radiasio optika yang menghubungkan korpus genikulatum lateral dengan area 17. (Gambar 3 dan 4)

b. Serabut komisural yang menghubungkan hemisfer serebri yang satu dengan lainnya. Serabut komisural ini membentuk bangunan yang antara lain adalah korpus kallosum. (Gambar5).c. Serabut asosiasi yang menghubungkan tempat-tempat pada hemisfer yang sama yang terdiri atas serabut asosiasi pendek yang menghubungkan gyrus yang letaknya berdekatan dan serabut asosiasi panjang yang menghubungkan gyrus yang letaknya berjauhan seperti antara lain fasikulus longitudinalis superior dan fasikulus longitudinalis inferior. (Gambar6).Gambar 3. Serabut proyeksi corona radiata (dikutip dari Duus gbr. 2.2 dan 8.14)

Gambar 4. Serabut proyeksi Radiasio optic (dikutip dari Duus gambar 3.12 dan 8.14)

Gambar 5. Serabut kommisural (dikutip dari Duus gambar 8.15)

Gambar 6. Serabut asosiasi (Dikutip dari Duus gambar 8.14 dan 8.15)

PATOFISIOLOGI DAN NEUROPATOLOGI

Pada trauma kapitis, terjadi akselerasi dan deakselerasi kepala. Gerakan cepat yang terjadi secara mendadak dinamakan akselerasi. Penghentian akselerasi secara mendadak dinamakan deakselerasi.

Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu :

1. Akselerasi tengkorak ke arah dampak2. Pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak primer. (Mardjono M, Sidharta P, 1994).

Pada tahun 1865 Alquie pada percobaannya pada mayat dan hewan telah mengetahui bahwa benturan kepala, otak mengalami rotasi sentrifugal yang mengakibatkan benturan otak pada tabula interna. Halbourn, (1943) mengatakan bahwa rotasi otak dapat terjadi pada bidang sagital, horizontal dan koronal atau kombinasinya. Gerakan berputar ini tampak di semua daerah kecuali di daerah frontal dan temporal. Di daerah di mana otak dapat bergerak, kerusakan terjadi lebih sedikit atau tidak ada. Kerusakan terbesar terjadi di daerah yang tidak dapat bergerak atau terbatas gerakannya, yaitu daerah frontal di fossa serebri anterior dan daerah temporal di fossa serebri media. Karena sulit bergerak sehingga jaringan otak di daerah ini mengalami regangan yang mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah dan serabut-serabut saraf. Percobaan yang dilakukan oleh Pudenz dan Sheldon pada tahun 1946 pada kera macaque dengan calvarium yang diganti dengan plastik yang transparan menunjukkan bahwa benturan yang subkonkusif saja sudah meyebabkan terjadinya gerakan pada otak di dalam cavum cranii. Gerakan otak memang tertinggal akibat kelembamannya. Mereka hanya melihat gerakan rotasi otak di bidang sagital dan horizontal dan tidak di bidang koronal. Kemungkinan gerakan di bidang koronal ada tetapi terbatas karena karena adanya falks serebri dan tentorium serebelli (Markam S dkk, 1999).

Terdapat 2 hal yang dapat terjadi pada kerusakan serebral setelah suatu trauma serebri, yaitu (Graham DI, McIntosh TK, 1996)1. Kerusakan primer, yang terjadi sesaat setelah trauma seperti laserasi kulit, fraktur tulang tengkorak, kontusio permukaan dan laserasi, diffuse axonal injury, dan perdarahan intrakranial.2. Kerusakan sekunder, yang terjadi sebagai akibat dari proses komplikasi kerusakan primer dan mulai terjadi pada saat trauma tapi belum tampak secara klinis untuk waktu tertentu, seperti iskemia, edema, infeksi, peningggian tekanan intrakranial dan perubahan neurokimia yang diakibatkannya.

Diffuse axonal injury disebabkan oleh akselerasi rotatorik sehingga mengakibatkan putusnya akson maupun kerusakan integritas akson pada node of ranvier yang selanjutnya terjadi perubahan arus /aliran aksoplasma. (Robbins, 1999) Karena akselerasi rotatorik dan perbedaan kepadatan fokal antara substansia grisea dan substansia alba juga mengakibatkan putusnya akson. (Prow HW, Cole JW, Yeakley J dkk, 1996).

Gennarelli dan kawan-kawan, Maxwell dan kawan-kawan, Povlishock menerangkan tahap-tahap proses terjadinya DAI yaitu diawali dengan terlipatnya axolemma diikuti dengan terputusnya aliran aksoplasmik, pembentukan edema lokal axon dan akhirnya terjadi pemisahan axon menjadi bentuk true retraction ball. (Miller JD, Piper IR, Jones PA, 1995) Selanjutnya dapat terjadi degenerasi wallerian dan gliosis. ((Mayer SA, Rowland LP, 2000).Gambar 7. Diffuse axonal injuryGEJALA KLINIS

Penderita trauma serebri yang mengalami koma lebih dari 6 jam tanpa bukti penyebab koma yang dapat diidentifikasi baik dengan CT-scan atau MRI dapat diasumsikan bahwa telah terjadi axonal shearing injury yang luas atau diffuse axonal injury . (Mayer SA, Rowland LP, 2000). Penderita pasca trauma yang mengalami DAI akan memperlihatkan gejala klinis yang bervariasi tergantung beratnya injury. Gejalanya dapat berupa kebingungan maupun hilang kesadaran dan dapat disertai ataupun tidak disertai gejala fokal. (Van Dellen JR, Becker DP, 1998). Pada DAI yang berat dapat terjadi koma dalam yang berkepanjangan dapat disertai gangguan fungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis,dan hiperpireksia. Penderita biasanya memperlihatkan tanda dekortikasi maupun deserebrasi, dan sering pula cacat berat (Valadka AB, Narayan RK, 1996) dan status vegetatif bila mereka bertahan hidup. (Graham DL, McIntosh TK, 1996).Gejala-gejala defisit neurologis tergantung pada lokasi lesi. Tabel 1. karakteristik klinis dan keluaran penderita DAI (Dikutip dari Mayer SA, Rowland LP, 2000). Diffuse axonal injury

Ringan Sedang Berat

Hilang kesadaran segera segera segera

Lama kesadaran menurun 6-24 jam > 24 jam hari-mgg

Deserebrasi Jarang kadang-kadang ada

Amnesia post trauma beberapa jam beberapa hari beberapa mgg

Defisit memori ringan-sedang ringan-sedang berat

Defitis motorik - ringan berat Keluaran (3 bulan/%)

Penyembuhan baik 63 38 15

Defisit sedang 15 21 13

Defisit berat 6 12 14

Status vegetatif 1 5 7

Meninggal 15 24 51

GAMBARAN RADIOLOGI

Computed Tomography

Dari pasien-pasien yang pada akhirnya terbukti mengalami DAI ternyata 50%-80% memperlihatkanCT-Scan normal. (Wasserman JR, Koenigsberg RA, 2004). Hanya10 % DAI yang dapat dideteksi dengan CT-Scan. Lesi dapat bervariasi dari udema hingga lesi perdarahan dengan ukuran hanya beberapa milimeter dan hanya nampak dengan follow-up CT-Scan. Gambaran lain dapat nampak halo hipodens halus, udema yang mengelilingi daerah perdarahan. Setelah udema dan perdarahan direabsorbsi maka gambaran CT-Scan akan menjadi normal. . (Prow HW, Cole JW, Yeakley J dkk, 1996).

Magnetic Resonance Imaging

MRI lebih unggul dalam hal mendeteksi adanya DAI dibandingCT-Scan. (Prow HW, Cole JW, Yeakley J dkk, 1996).

T1 : dapat memperlihatkan lokasi anatomis. Lesi nonhemoragik nampak iso-intents terhadap jaringan sekitarnya. Lesi hemoragik nampak hiper-intens.T2 : Lesi nonhemoragik tampak hiper-intens.

Gambar 8. T2 MRI. Tampak fokus hiperintens dari shearing injury pada sisi medal lobus sksipital kanan dan splenium korpus kallosum yang tidak tampak pada CT-scan. HISTOPATOLOGI

Secara makroskopis, pada potongan koronal tampak pembesaran ventrikel oleh karena reduksi substansia alba. (GrahamDL, McIntosh TK, 1996).

Secarahistopatologi diffuse axonal injury ditandai dengan udema axonal dengan distribusi asimetrik yang luas. Gambaran ini nampak dalam beberapa jam setelah trauma atau dapat menetap lebih lama dan gambaran ini nampak jelas dengan teknik impregnasi perak atau metode imunoperoksidase. Terdapat juga peningkatan jumlah mikroglia pada daerah korteks serebri yang berhubungan dan selanjutnya dapat terjadi degenerasi serabut yang dikenai. (Robbins et al, 1999).

Pada penderita yang bertahan hidup dalam beberapa hari, sejumlah sejumlah edema akson nampak sebagai massa eosinofilik dengan pengecatan HE atau nampak sebagai udema argirofilik dengan preparat pewarnaan perak. Pada penerita yang bertahan hidup dalam beberapa minggu axonal bulb ini menetap tapi lesi yang terbanyak adalah sejumlah besar kelompok-kelompok kecil mikroglia pada substansia alba juga disertai astrositosis dan makrofag yang berisi lemak pada sitoplasmanya.

Pada penderita yang bertahan hidup lebih lama akan menetap keadaannya pada status vegetatif dan ini dapat bertahan berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Pada keadaan ini gambaran mikroskopis nampak adanya penyembuhan kontusi superfisial dan degenerasiwallerian pada substansia alba bagian dalam (Graham DL, McIntosh TK, 1996). Gambar 9. : Lesi pada dua akson. Pada akson yang terputus transversal dan aksoplasma mengalir keluar. (Markam S, 1999)

PENATALAKSANAAN

Tidak ada penanganan khusus untuk pnderita DAI. Penanganan penderita adalah sama sebagaimana penderita trauma serebri pada umumnya dimana disesuaikan dengan kondisi klinis yang ada.

Penanganan awal adalah sama dengan umumnya penderita pada unit gawat darurat, yaitu ditujukan pada jalan napas, pernapasan dan sirkulasi, selanjutnya penanganan pada kondisi-kondisi khusus yaitu : ( Kelly DF et al, 1995, Mayer SA, Rowland LP, 2000)

1. Penanganan peningkatan tekanan intrakranial : Intubasi

Kontrol ventilasi dengan PCO2 35 mmHg

Resusitasi volume sirkulasi

Pertahankan normotensi

Sedasi narkotik/blokade neuromuskuler

Mannitol bolus 1 gram/kg

Phenitoin 18 mg/Kg

2. Monitor keadaan penderita setelah resusitasi awal

3. Penanganan Nutrisi

4. Penanganan Suhu tubuh

5. Profilaksis terhadap terjadinya trombosis vena dalam

6. Profilaksis Gastric stress ulcer7. Antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

Capruso DX, Levin HS. Neurobehavioral Outcoma of Head Trauma In: Evans RW. (eds), Neurology and Trauma. WB. Saunders Company, Philadelphia, 1996 : 201

Goldberg AL, Fix TJ, Neuroradiology In: Shah SM. (eds). Emergency Neurology. Cambridge University Press, New York, 2000: 14-22

Graham Di. Neuropathology of Head Injury In: Narayan RK (eds). Neurotrauma. McGraw-Hill, New york, 1995: 43-56

Graham DI, McIntosh TK. Neuropathology of Brain Injury In: Evans RW. Neurology and Trauma. W.B. Saunders Company, Philadelphia 1996: 56-59

Jennet B., Adams JH., Murray LS. Neuropathology In: Vegetative and Severely Disableded patiens after Head Injury, Official journal of the American Academy of Neurology, 2001, 56 : 486-489Kelly DF, Doberstein C, Becker DP, General Principless of Head Injury Management In: Narayan RK (eds). Neurotrauma. McGraw-Hill, New York, 1995: 71-95

Lumbantobing SM.: Neurologi Klinik. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2000 : 7.Lanter P, Zink B. Traumatic Brain Injury In: Shah SM, Kelly KM. (ed). Emergency Neurology Principles and Practice., Cambridge University Press, New York. 1999: 393.

Mardjono M., Sidharta . Mekanisme trauma susunan saraf Dalam: Neurologi Klinis Dasar, Edisi ke 6, Dian Rakyat, Jakarta, 1994 : 248-252.

Markam S., Atmadja DS., Budianto A.: Patofisiology Cedera Kepala dalam cedera tutup kepala, Balai penerbit FKUI, Jakarta 1999: 25.

Mayer SA, Rowland LP. Head Injury In Rowland LP. Merrits Neurology 10th ed. Lippincott William & Wilkins A Wolters Kluwer Company. Philadelphia, 2000: 401-414

Miller JD, Piper IR, Jones PA. Pathophysiology of Head Injury In : Narayan RK (eds). Neurotauma, McGraw-Hill, New York, 1995: 61-68.

Prow HW., Cole JW., Yeakle, J. et al. Non-Invasif Neuroimaging in Closed Head Trauma In: Evans RW., Neurology and Trauma. W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1996:. 43 -45.Robbins et al.: The Central Nervous System in Pathologic Basis of Desease. 6th ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. 1999. p. 1304.