DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4....
Transcript of DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RIberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/1-20170428-071021... · 2017. 4....
54
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT UREPUBLIK INDONESIA
R I S A L A H
RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PROTOKOL
Tahun Sidang : 2009 - 2010
Masa Sidang : III
Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat
Rapat ke : 9
Dengan : Kepolisian Negara Republik Indonesia
Hari, Tanggal : Selasa, 15 Juni 2010
Waktu : Pukul 11.00 – 12.25 WIB
A c a r a : 1. Masukan terhadap RUU tentang Protokol
2. Lain-lain.
T e m p a t : Ruang Rapat Pansus C, Gedung Nusantara II, Lt.3
Jl.Jend. Gatot Subroto-Jakarta
Pimpinan Rapat : H. TRITAMTOMO, SH.
Sekretaris Rapat : Drs. Budi Kuntaryo
Hadir : …. orang Anggota dari 30 Anggota
A. PIMPINAN:
1. H. TRITAMTOMO, SH ( KETUA ) ( F – PDI PERJUANGAN )
2. DR. H. SUBYAKTO, SH., MH.,MM ( WAKIL KETUA ) ( F – PD )
3. DRS. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si ( WAKIL KETUA ) ( F - PG )
4. H. Tb. SOENMANDJAJA, SD ( WAKIL KETUA ) ( F- PKS )
B. ANGGOTA PANSUS RUU TENTANG PROTOKOL:
I. FRAKSI PARTAI DEMOKRAT:
1. H. HARRY WITJAKSONO, SH
2. DRS. H. GUNTUR SASONO, M.Si
3. DRS. UMAR ARSAL
4. RUSMINIATI, SH
ARSP DPR R
I
55
5. RUHUT SITOMPUL, SH
6. HJ. HIMMATULLAH ALYAH SETIAWATY, SH., MH
7. DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN, SH.,LL.M
II. FRAKSI PARTAI GOLKAR:
1. IR. BASUKI TJAHAYA PURNAMA, M.M
2. DRS. AGUN GUNANDJAR SUDARSA
3. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, SH., M.Kn
4. DRS. H. MURAD U. NASIR, M.S.i
5. ADITYA ANUGRAH MOHA, S.Ked
III. FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN:
1. HELMI FAUZI
2. BUDIMAN SUDJATMIKO, M.Sc.,M.Phil
3. ARIF WIBOWO
4. DRS. H. SETIA PERMANA
20BIV. FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA:
1. 21BKH. BUKHORI YUSUF, Lc., MA
2. 22BDRS. AL MUZZAMIL YUSUF
V. FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL:
1. DRS. H. ACH RUBAI’E, SH., MH
2. DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si
26BVI. FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN:
1. DRS. H. ZAINUT TAUHID SA’ADI, M.Si
2. H.A DIMYATI NATAKUSUMA, SH.,MH.,M.si
VII. FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA:
1. DRS. H. IBNU MULTAZAM
2. DRS. H. OTONG ABDURAHMAN
VIII. FRAKSI PARTAI GERINDRA:
1. DRS. H. HARUN AL-RASYID, M.Si
IX. FRAKSI PARTAI HANURA :
1. H. SARIFUDDIN SUDDING, SH., MH
ARSP DPR R
I
56
H. TRITAMTOMO, S.H. ( KETUA RAPAT / F- PDI PERJUANGAN)
Saudara Pimpinan dan Rekan-rekan Anggota Pansus yang kami hormati,
Yang saya hormati Saudara Kapolri dalam hal ini diwakili Wakadiv Binkum dan staf,
kemudian L.O DPR RI, serta hadirin sekalian yang kami muliakan,
Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Selamat pagi, dan Salam sejahtera buat kita sekalian,
Perkenankanlah pada hari ini Selasa, tanggal 15 Juni 2010 kami selaku Ketua Rapat
membuka Rapat Dengar Pendapat pada hari ini dan saya nyatakan terbuka untuk umum.
(RAPAT DIBUKA PADA PUKUL : 11.00 WIB)
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas perkenan dan
rahmat-Nya kita dapat menghadiri Rapat Dengar Pendapat pada hari ini dalam rangka mencari
masukan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Protokol dalam keadaan sehat wal’afiat.
Kami atas nama segenap Anggota Pansus mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setulus-tulusnya kepada Saudara sekalian dan rekan-rekan jajaran kepolisian yang telah meluangkan
waktunya untuk hadir memenuhi undangan kami guna memberikan pandangan dan pendapatnya
terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Protokol.
Yang saya hormati Saudara-saudara yang mewakili Kepala Kepolisian Republik
Indonesia,
Pimpinan dan rekan-rekan Anggota Pansus yang kami hormati, serta hadirin yang
berbahagia.
Perlu kami beritahukan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang tentang Protokol
merupakan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR RI yang telah disampaikan oleh DPR
kepada Pemerintah melalui Surat DPR RI No. LG: 0101/2167/DPR RI/III/2010 tanggal 18 Maret 2010,
selanjutnya sebelum ini mulai pembahasan dengan Pemerintah. Pansus RUU Protokol perlu untuk
mendapatkan pandangan, pendapat dan masukan dari Bapak/Ibu sekalian mengenai keprotokolan di
instansi yang Bapak pimpim. Sebelumnya juga kami telah mengundang berbagai lembaga tinggi
negara, lembaga-lembaga negara, Bank Indonesia, Asosiasi dan Pemerintahan dan daerah lainnya.
Dan perlu sebagai masukan bahwa seperti disampaikan tadi di depan dari hasil RDP dengan
mitra, kunjungan kerja ke daerah baik Bali, Jawa Timur maupun Sumatera Selatan serta kegiatan
Raker ada hal-hal yang perlu untuk mendapatkan perhatian serta masukan tentang tiga hal, tentang
tata tempat, tata acara maupun penghormatan dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan
agar semuanya berjalan aman, nyaman, tertib, mengeliminir kelemahan yang ada. Dari hasil kunker
kita dan lain sebagainya ada keluhan-keluhan yang kita bisa dapatkan dari daerah yang menyangkut
dengan masalah pengawalan, susunan rangkaian, isi rangkaian, penomoran, kendaraan pejabat baik
pengamanan terbuka, tertutup maupun melekat serta komando kendali operasi dan tingkat
tanggungjawab pelaksana kegiatan di lapangan.
ARSP DPR R
I
57
Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini marilah kita masuki acara berikutnya yaitu
pandangan/pendapat dari jajaran rekan Kepolisian, waktu dan tempat kami persilahkan. Disampaikan,
Pak.
WAKADIV BINKUM POLRI (RM. PANGGABEAN):
Baik.
Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi Bapak-bapak Dewan yang saya hormati yang terlibat dalam
Pansus RUU tentang Protokol,
Permohonan maaf disampaikan oleh Bapak Kapolri dan termasuk Bapak Kadiv Binkum,
karena hari ini juga ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan oleh pejabat tersebut, sehingga diwakilkan
kepada kami. Kami selaku Wakadiv Binkum Polri, mudah-mudahan juga penyampaian kami dalam hal
ini tidak mengurangi makna dan bobot dari RUU yang akan kita susun bersama demi kepentingan
Negara. Dan kalau toh juga nanti tidak bisa dipecahkan di sini, toh juga nanti dalam pembahasan
lebih lanjut tentunya akan bisa kita sempurnakan substansinya, agar bisa terakomodir dan terespons
berbagai kepentingan untuk pengaturan di dalam protokoler ini.
Baik, pertama barangkali karena ini baru kami terima tadi pagi, Pak, bukan membela diri,
bukan, kita terima tadi pagi pukul 09.00 WIB dengan disposisinya beliau supaya ditugaskan Wakadiv
Binkum Polri mewakili ini. Oleh karena itu, barangkali ada kami bikin tertulis di tempat satu setengah
halaman dan mungkin karena masih terlalu sumir namun bagaimana pun usaha selalu kami berikan.
Terkait dengan masalah yang dikatakan oleh Pimpinan Rapat mengenai adanya pengawalan
kemudian juga mengenai penomoran-penomoran kendaraan terhadap pejabat, termasuk juga
ketentuan-ketentuan sirene dan lain sebagainya tentu sudah diakomodir ya, diakomodir dalam
Undang-Undang Lalu Lintas Nomor: 22, kalau tidak salah, Tahun 2009. Dan penggunaan-
penggunaan sirene juga diperintahkan di sana untuk dibentuk dalam Peraturan Kapolri, nah sekarang
Peraturan Kapori mengenai penggunaan sirene juga sudah dan memang dalam waktu dekat akan
ditertibkan juga penggunaan sirene ini, karena kita tahu juga ya organisasi masyarakat dalam arti
quote and quote sudah tidak jelas bisa saja menggunakan. Jadi kita juga selaku petugas, sering kita
terkecoh kita malah minggir, tahu-tahu ya tidak jelas juga, pengguna-pengguna motor juga mungkin
karena dia juga punya duit langsung dia tempel di atas mobilnya ngeong-ngeong, ya kita juga loh ini
ada apa. Ada ketentuan-ketentuan khususnya itu kalau hal itu ambulance membawa orang sakit,
rombongan pejabat tertentu dan pejabat juga kedutaan, Menteri dan lain sebagainya ya harus
diprioritaskan sesuai dengan fungsi tugasnya. Jadi karena itu melekat kepada fungsi tugasnya, bukan
melekat kepada orangnya.
Jadi itu kira-kira, jadi nanti barangkali kalau ada terkait dengan itu mungkin akan kita libatkan
juga nanti dari Babinkam cq. Direktur Lalu Lintas.
Terkait dengan masalah substansi, kalau kita lihat substansinya, Pak, sudah cukup kaya,
barangkali ada sekitar 40 Pasal dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1987 tentang
Protokoler yang hanya 6 Pasal saja ya. Hanya 6 Pasal dari Undang-Undang Nomor: 8 itu, jadi sangat
ARSP DPR R
I
58
sederhana. Sangat sederhana, yang fokus pengaturannya hanya tata tempat, tata upacara dan tata
penghormatan saja. Dalam hal ini memang sudah lebih luas dia, mengatur sampai kepada tokoh
masyarakat. Hanya saja tokoh masyarakat dalam hal ini kalau kita lihat batasannya tidak jelas. Kalau
tokoh agama barangkali lebih spesifik paling tidak Alim Ulama, Ustadz yang dihormati seperti
misalnya Aa Gym, ya dulunya, tetapi sekarang barangkali karena sesuatu hal kan gitu ya, ya siapa
dulu yang tidak senang mendengar Aa Gym itu kalau sudah khotbah kan? Baik non muslim, muslim
juga kan senang, karena pidato-pidatonya atau khotbah-khotbahnya beliau bersifat moral, kan begitu,
Pak ? Tetapi kalau tokoh masyarakat, kadang-kadang siapa di sini, Pak, tokoh masyarakat ? Memang
disebut di sini dalam butir 10 tokoh masyarakat adalah tokoh masyarakat tertentu yang karena
kedudukan sosial menerima kehormatan dari masyarakat atau Pemerintah. Nah, ini sangat luas tuh,
Pak. Jadi harus ada batasan. Saya baca juga di dalam penjelasan pasal-pasal juga tidak dicantumkan
apa batas-batas tokoh masyarakat tersebut, Pak. Itu yang pertama, Pak.
Yang kedua, mengenai Pasal 9 dan mungkin nanti akan meloncat-loncat, Pak, ya karena
persiapannya agak kurang, Pasal 9 butir “j”, jadi tata tempat dan acara kenegaraan dan acara resmi di
Ibu Kota Negara Indonesia ditentukan dengan urutan. Butir “j” ini perintis pergerakan kebangsaan dan
kemerdekaan. Ini barangkali dengan seleksi alam apakah masih diperlukan ini nanti, Pak ? Dengan
seleksi alam artinya perintis kemerdekaan itu yang bagaimana lagi, siapa kategorinya, Pak ? Karena
sekarang barangkali yang paling tua perintis kemerdekaan itu sudah di atas 80, Pak. Nah, di atas
perintis kemerdekaan itu apakah yang paling muda itu, Pak. Nah, itu apakah masih diperlukan dalam
hal ini dengan tidak mengurangi jasa kebesaran para terdahulu kita dalam hal merintis kemerdekaan
ini. Cuma di dalam tata urutan ini apakah masih kita perlukan, di tempatkan itu apa tidak, kan begitu,
Pak, dengan tidak mengurangi, Pak, kebesaran-kebesaran, karena orang tua saya juga kan veteran
juga, Pak, sampai meninggal beliau masih dapat, setelah meninggal baru dihentikan uang
pensiunnya, kan begitu.
Nah, berikutnya, Pak, tadi dalam Bab V tentang Tata Tempat, dijelaskan dalam Pasal 8
bahwa tokoh masyarakat mendapat tempat dalam acara kenegaraan atau acara resmi, namun dalam
pasal maupun penjelasan, Pak, tidak ada penjelasan resmi tentang itu tadi, Pak, kriteria-kriteria. Hal
ini bisa dipahami manakala tokoh masyarakat tersebut sudah diketahui oleh umum namun demikian
dalam Pasal 9 dan Pasal 10 tidak ada tempat bagi tokoh masyarakat dalam rumusan tata tempat
yang limitatif. Nah, ini juga tidak ada, ditentukan dalam limitatif di dalam upacara. Akibatnya ada
ketidaksinkronan antara Pasal 8 dengan Pasal 9 dan Pasal 10 dari RUU-nya. Nah, bila tidak
dirumuskan penjabarannya dapat diinterpretasikan secara subjektif, bisa sempit dan bisa meluas atau
mengembang, begitu Pak. Oleh karena itu disarankan perlu dimasukan Tokoh Masyarakat dalam
Pasal 9, Pasal 10 termasuk kriteria dan Tokoh Masyarakat bagaimana yang dimaksud, sehingga tidak
meluas ke mana-mana nantinya.
Berikutnya, nah tentu RUU ini sifatnya adalah administratif atau boleh dikatakan administratif
ketatanegaraan, ketatapemerintahan yaitu bagaimana Pejabat Negara atau Pejabat Pemerintah atau
Tokoh Masyarakat ditempatkan atau ikut dalam kegiatan upacara kenegaraan atau acara resmi. Maka
ARSP DPR R
I
59
pada prinsipnya diperlukan ada sanksi administratif. Nah, diperlukan ada sanksi administratif tentu
untuk penguatan. Nah itu sudah diatur dalam Pasal 35 RUU ini. Bunyinya, dalam hal pelaksanaan
tugas protokol lalai atau tidak melaksanakan tugas protokoler sesuai dengan Peraturan Perundang-
Undangan dikenai sanksi administratif sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Jadi tidak secara eksplisit mengatur sanksi dengan menunjuk pasal. Nah kan begitu, Pak, biasanya
Undang-Undang Administrasi itu harus merujuk dia kepada pasal yang terdepan, kalau ada pidana
juga pidana yang bersifat administratif selalu dia merujuk kepada kalau bahasa Londonya itu ordoning
administrative strad, kalau itu ada pidananya tetapi dalam hal ini tidak perlu saya kira ada unsur
pidananya, itu terlalu keras, tetapi administrasi mungkin ada kelalaian makanya diperlukan sanksi
administrasi dalam hal ini merujuk kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap pasal-
pasal, apa kira-kira yang perlu dinormakan untuk dibuat suatu sanksi ke depan, pasal-pasal ke depan
itu mungkin, Pak. Karena kalau hanya Pasal 35 ini tidak seperti yang berdiri sendiri hanya menunjuk
pasal-pasal atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya itu, itu barangkali terlalu
generalis, Pak, ya. Jadi tidak secara eksplisit mengatur sanksi dengan menujuk pasal-pasal yang
telah ada di depan, demikian juga sanksi administratif seperti apa yang diberikan kepada pelanggar
ketentuan pasal-pasal misalnya yang di depan, tidak dijelaskan dalam rumusan pasal ini. Menurut
kami sebaiknya juga supaya lebih tegas, karena protokoler ini kan perlu penghormatan kepada
simbol-simbol juga bisa, kepada lagu kebangsaaan itu, kepada penghormatan itu, yang kadang-
kadang banyak acara-acara itu kan tidak tertib dilaksanakan. Nah, apakah diperlukan dalam hal ini
sanksi yang bersifat pidana atau kurungan, kalau saya tidak, Pak, tetapi terserah. Terserah dalam hal
ini kita serahkan kepada Bapak-bapak Dewan karena ini kan merupakan inisiatif dari sini. Kalau toh
juga diperlukan ya barangkali jangan penjara cukup kurangan lah, artinya hanya sebagai suatu
pelanggaran.
Misalnya sanksi-sanksi apa kira-kira yang diperlukan? Misalnya kalau ada pihak-pihak
tertentu yang ingin menggunakan suatu upacara kenegaraan atau upacara resmi, sering itu, Pak,
sedang upacara atau pelantikan apa katakanlah untuk pelantikan DPR, pelantikan ini-ini, iya kan,
banyak juga digagalkan dan lain sebagainya, kan begitu, Pak, apakah terkait dalam hal ini, ya tentu
barangkali ini jangan hanya sanksi administrasi mungkin sanksi pidana, kalau sanksi administrasi itu
kan sifatnya lebih terkait dengan pejabat-pejabat, tetapi kalau sudah pidananya di sini ya bisa saja
nantinya, kan itu orang-orang dari luar yang ingin tidak menyenangi upacara protokoler yang
dilaksanakan.
Nah ini karena realita adanya gangguan yang ingin membatalkan atau mengganggu jalannya
upacara kenegaraan atau upacara resmi yang dilakukan oleh Pejabat Negara atau Pejabat
Pemerintahan tersebut, sering kita lihat, sehingga penghormatan kepada upacara yang sedang
dilakukan tidak dihargai oleh orang-orang dimaksud.
Nah, kemudian di dalam Pasal 16 huruf “b” supaya diberikan penjelasan yaitu ketentuan
dalam Pasal 60 “b” supaya diberikan penjelasan, dalam penjelasan dengan rumusan seperti ini, yang
dimaksud dengan hari besar nasional adalah hari-hari besar sesuai dengan yang ditetapkan dalam
ARSP DPR R
I
60
Keputusan Presiden. Tujuannya adalah jangan terlalu gampang pejabat tertentu di luar Presiden
menetapkan hari-hari besar sekedar untuk mencari popularitas, kan begitu, sekedar untuk mencari
popularitas agar nama pejabat yang bersangkutan yang menetapkan hari-hari besar nasional
dimaksud dianggap sebagai pejabat yang menetapkan suatu hal-hal yang monumental, kan begitu,
Pak. Jadi perlu mungkin pengaturan hari besar nasional tertentu ini, cuma kita lihat dalam
penjelasannya tidak ada masukan penjelasan, kan begitu Pak, cukup jelas. Sehingga dalam hal ini
tentu hari besar nasional itu siapa nantinya yang harus menentukan, Pak, bagaimana caranya, apa
diperlukan PP atau diperlukan Penetapan Presiden. Kalau tidak nanti ya bisa saja apakah pejabat
daerah boleh menentukan itu? Apa harus Presiden? Atau usulnya dari mana? Apakah dari DPR
usulnya atau cukup dari siapa saja, kan begitu, Pak. Kadang-kadang kita terlalu banyak upacara
sehingga waktu-waktu tersedot ke sana, hari ini, hari ini, hari Bapak, hari Ibu, macam-macam, hari
laut, hari bahari, waduh banyak betul upacara itu, Pak, jadi waktu tersedot ke sana untuk upacara,
maka menurut saya harus ada jelas siapa yang harus menentukan hari besar nasional tertentu itu.
Nah kemudian mengenai pengaturan tentang tata penghormatan diuraikan dalam Pasal 29
ini, sehingga tata penghormatan menjadi sangat rinci dan dalam Penjelasan disebutkan bahwa
mengenai penghormatan lain sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah, maka dari pasal ini
dapat disimpulkan bahwa tata penghormatan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat
menimbulkan dampak positif berupa penyeragaman, memang itu nilai positifnya, Pak, karena ada
yang menyanyikan Indonesia Raya, ada yang tidak menyanyikan Indonesia Raya, kemudian ada yang
mendengarkan dengan kaset, padahal tidak boleh dengan kaset, kan harus dengan upacara tertentu,
kan begitu Pak.
Saya kira, Pak, garis besarnya yang bisa kami sampaikan, mungkin kita diskusikan, kecuali
tadi yang terkait dengan masalah pengawalan dan masalah penomoran kendaraan saya kira itu
menjadi domain di dalam Undang-Undang Lalu Lintas mungkin, Pak. Ya, menjadi domain dalam
Undang-Undang Lalu Lintas. Kalau toh juga nanti itu bisa kita ini, Pak, ya kebetulan sekarang ini
sedang disusun RPP-nya, mana tahu ada hal-hal yang terkait dengan itu bisa nanti barangkali nanti
kita sampaikan kepada Babinkam cq. Direktur Lalu Lintas. Itu saja, Pak.
Terima kasih.
Wassalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
KETUA RAPAT:
Baik, penjelasan / masukan serta koreksi dari rekan-rekan Kepolisian dalam rangka
melengkapi RUU Protokol yang sedang dirancang, kami ucapkan terima kasih. Justru yang kita lihat
Undang-Undang RI Nomor: 8 Tahun 1987 yang isiannya 5 Bab dan 8 Pasal dengan perkembangan
kondisi saat ini dianggap kurang memenuhi apa yang diharapkan dan sudah tidak sesuai dengan
sistem ketatanegaraan yang ada, terlebih dengan reformasi, kemudian 4 kali Amandemen antara lain
sebutan Pejabat Tinggi Negara tidak ada lagi, kemudian tumbuh dan timbul lembaga baru, kemudian
di situ tadi Bapak sampaikan ada tomas (tokoh masyarakat), toga, yang tadinya bersifat umum
sekarang ditentukan, sehingga nanti kita kerucutkan. Kemudian dengan dasar ini, Presiden
ARSP DPR R
I
61
melakukan persetujuan dan menunjuk 4 Menteri untuk turut serta dalam rangka meramu Undang-
Undang Protokol ini.
Nah, kalau kita lihat dari apa yang Bapak tadi masukan kita menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Nah, oleh karena itu tentu nanti jadi bahan pertimbangan juga buat rekan
Kepolisian, mari kita melihat kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 27 Tahun 2009
tentang MD3 bahwa MPR adalah berhak untuk mendapatkan hak protokol, kemudian Undang-Undang
RI Nomor: 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa MPR adalah Pejabat Negara.
Kemudian kita melihat kepada Undang-Undang RI Nomor: 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia, lebih khusus di sini adalah Pasal 14 dan Pasal 15, di situ menyatakan Kepolisian, Pasal
14, Pak, melaksanakan, mengatur, melakukan penjagaan dan pengawalan; Pasal 15, Kepolisian
berwenang menyelenggarakan registrasi dan identifikasi terhadap kendaraan bermotor. Nah, tentu
hal-hal ini kita perlu mendapatkan pandangan nanti dari Bapak yang kaitannya dengan hak protokol
dan pejabat negara tadi.
Oleh karena itu, untuk kesempurnaan ini kami sampaikan untuk … (tidak dilanjutkan).
Disampaikan, Pak.
H. TB. SOENMANDJAJA, SD (WAKIL KETUA / F- PKS):
Terima kasih, Pak Ketua.
Pimpinan dan Anggota terhormat,
Bapak Wakadiv beserta jajaran,
Jadi memang di dalam mendiskusikan RUU Protokol ini, Pak, saya kira siapapun juga yang
men-draft-nya itu akan merasa riskan kalau membicarakan dirinya sendiri, tetapi memang dalam
kaitannya dengan statement dari Pimpinan, dari Ketua, tadi terakhir, kita memandang ada dua hal
pertama azas legalitas, yang kedua azas oportunitas. Tadi azas legalitas sesungguhnya pejabat
negara itu memungkinkan untuk diberikan, memang hal-hal yang bukan sifat formalitas tetapi undang-
undang menyediakan untuk itu. Nah, ini memandang ada satu hal yang mungkin perlu nanti diberikan
masukan ya, sesungguhnya kalau kepolisian kan nanti di jajaran pemerintahan, Pak. Ini kan
konsultasi saja, pendahuluan gitu, supaya nanti kita lebih nyaman, Pak Ketua, di dalam pertemuan
rapat kerja bersama Pemerintah. Nah jadi kalau kita melalui analogi misalnya tentang plat nomor, Pak,
yang di-insert, Pak ya, Pak Pangabean ini ada insert pada Pasal 5 ayat (1) huruf “b”, kalau tidak. Ya di
ini, Pak, di hal-hal yang perlu didiskusikan, paper-nya ini ada, halaman 2, Pak Pangabean. Halaman
2, hal yang perlu didiskusikan dengan narasumber ini.
Ini halaman 2, Pak, ada simulasi pengaturan pemerintah nomor kendaraan bermotor para
Pejabat Negara. Ini ada sisipan khususnya Pasal 5 ayat (1) huruf “b”. Ini kami agak terkesiap Pak
Ngabean, waktu pertemuan RDP dengan para Sekjen diantara Sekjen MPR yang menyatakan bahwa
plat DPR itu sesungguhnya dia asesoris saja, tidak punya bobot hukum sama sekali gitu. Jadi kan
berarti sudah menghambur-hamburkan anggaran Negara. Nah kira-kira ini bagaimana solusinya kalau
khusus nomor Anggota DPR RI ini karena jabatannya itu. Makanya disamping dia memberikan akses
legalitas juga ada …(tidak jelas)… khusus untuk 560 orang Anggota DPR dalam kaitan dengan
ARSP DPR R
I
62
protokol ini, sehingga para petugas dan penegak hukum khususnya di bidang lantas itu memahami
tentang hal ikhwal atau sesuatu yang berkenaan dengan tugas pokok dan fungsi Anggota dalam
menggunakan nomor tersebut.
Saya kira ini entry point-nya, Pak Ketua, yang ingin disampaikan. Memang kemarin begini
Pak Pangabean, ketika misalnya, kementerian, mohon maaf, menggunakan dari mulai Presiden RI 1
sampai selesai begitu sekian. Muncul-muncul juga untuk Esselon I LS (?) belakangnya atau pejabat
lainlah begitu. Nah, apakah mungkin DPR juga ada kajian ke arah itu, misalnya Pak Ketua nomor 322,
mungkin saja DPR 322 gitu, misalnya begitu kan? Jadi ada DPR dari 001 sampai 560 ya, tinggal
apakah di belakangnya pakai RI atau tidak, tidak paham, ini saya tidak menguasai masalah ini, tetapi
ini menjadi penting, Pak Pangabean, ya, ketika berkaitan dengan protokol itu.
Mungkin, Pak Ketua, tambahan dari saya seperti itu, terima kasih, mohon maaf.
DR. H. SUBYAKTO, S.H., M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)
Terima kasih.
Yang saya hormati Bapak Pimpinan Rapat beserta jajarannya dan sekaligus dari
kepolisian dan Anggota Pansus,
Sudah barang tentu sudah disampaikan oleh teman-teman kita terdahulu bahwa, keterkaitan
masalah keprotokolan tadi mendapat tempat porsi sesuai dengan undang-undang konstitusi yang
ada. Kita lihat bahwa apa bedanya pihak Pemerintah selaku penyelenggaran negara dengan kita
sebagai legislasi, sebagai legislator, dan tentunya kita perlu penanganan, artinya membuka
aksesbilitas di dalam hal instrument, alat, seperti kita dalam rangka menjalankan tugas fungsinya
legislasi, pengawasan, dan anggaran, itu tentunya untuk mengetahui lebih jauh tentang jati diri
seorang Anggota DPR bahwa ketika menjalankan fungsi tugasnya itu dilindungi oleh undang-undang.
Tentunya dalam hal ini konteks ini tidak hanya menjalankan fungsi tugasnya ada di Gedung Dewan
ini, mobiling di seluruh Indonesia, ketika kita turun ke lapangan ke daerah pemilihan, barangkali di situ
ada huru hara sehingga kita tahu jati diri kita, diketahui oleh masyarakat. Inilah pentingnya substansi
filosofinya di situ, Pak. Maka untuk itu bagi kami barangkali mewakili fraksi, kami tidak keberatan
untuk itu karena ini memang satu konsekuensi logis bahwa apa yang melekat di dalam diri kita selaku
Pejabat Negara ini tentunya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, Bangsa dan Negara. Itu
intinya di situ, substansinya. Dan itu legal secara hukum karena Undang-Undang Protokoler mengatur
seperti ini.
Maka untuk itu, dalam kajian ini tentunya kita lebih cenderung dimasukan dalam RUU ini,
tidak dalam bentuk PP, karena PP ini nanti cantolan hukumnya tidak ada di RUU ini. Kira-kira begitu
apa yang menjadi masukan kami, mewakili dari fraksi kami.
Terima kasih, Pak Pimpinan, saya kembalikan.
KETUA RAPAT:
Terima kasih Pak.
Dari dua rekan kami telah memberikan peluru sebagai masukan, tentu yang disampaikan ini
adalah pendekatan kebiasaan dan pendekatan hukum. Oleh karena itu sebelum dijawab oleh rekan
ARSP DPR R
I
63
dari Kepolisian Negara, kami minta masukan dari rekan-rekan sekalian untuk menjadikan bahan
pertimbangan bagi rekan Kepolisian. Waktu dan tempat kami persilahkan kepada floor, silahkan Pak
Muzamil dulu.
F- PDI PERJUANGAN (HELMY FAUZI):
Terima kasih Pimpinan.
Kepada rekan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana tadi telah dikatakan
bahwa sebagai bagian dari tata penghormatan, Polri memfasilitasi penjagaan dan pengawalan.
Selama ini kita sering ada tamu-tamu negara yang sudah barang tentu difasilitasi melalui penjagaan,
pengawalan maupuan pengawalan sehari-hari yang melekat maupun dalam tata iringan, Pak. Nah,
apakah dalam hal ini telah diatur melalui Undang-Undang Lalu Lintas dan apakah dalam pengaturan
ini sudah berlaku Azas Rezi Procal, karena ini penting Azas Rezi Procal, jangan sampai kemudian
tamu Negara kita secara protokoler kita atur berlebihan sementara kita sendiri kalau di luar negeri
tidak berlaku Azas Rezi Procal, saya pikir perlu suatu kesetaraan dalam memfasilitasi tamu-tamu
Negara.
Kedua, terkait dengan tata penghormatan yang terkait dengan tata iring-iringan, selama ini
apakah sudah ada prosedur tetapnya yang menentukan tata iringan seperti misalnya mobil Presiden
sudah barang tentu sudah, Pak, ya rangkaiannya seperti apa, ada mobil putih di depan, ada
pembuka, ada penutup dan lain sebagainya. Nah bagaimana dengan yang lainnya, apakah telah
dibuat juga suatu standar prosedur yang tetap tentang tata dirangkaian. Apakah ini juga berlaku untuk
pejabat-pejabat negara lainnya.
Hal yang lain yang juga saya perlu mendapat perhatian dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah berkaitan dengan prioritas, selama ini kita tidak pernah jelas prioritas itu diberikan
kepada siapa saja, apakah memang hanya khusus kepada Presiden, Wakil Presiden atau juga
pimpinan-pimpinan lembaga tinggi negara lainnya. Dan dalam keadaan apa prioritas ini bisa diberikan
khususnya dalam hal emergency, dimana misalnya Anggota Dewan perlu mengejar sidang. Saya
mengambil contoh ilustrasi, Pak, ketika salah satu Anggota Kongres di Amerika mengejar sidang, dia
bisa meminta Polisi Federal untuk secara khusus melakukan pengawalan, sehingga dia bisa tepat
waktu menghadiri acara sidang ketika memang lalu lintas demikian padat. Nah apakah hal itu juga
bisa diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Anggota Dewan atau Anggota
MPR misalnya ketika ada sidang-sidang khusus yang memang penting, misalnya Sidang Tahunan
MPR atau sidang-sidang yang kita anggap memang penting sekali untuk dihadiri, tetapi situasi ada
hambatan-hambatan untuk dapat memenuhi hal itu tanpa bantuan atau fasilitasi dari kepolisian.
Demikian saja, Pimpinan, terima kasih.
F- PDI PERJUANGAN (DRS. H. SETIA PERMANA):
Terima kasih.
Pimpinan dan Anggota Pansus yang saya hormati, dan tamu yang saya hormati dari
pihak Polri,
Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
ARSP DPR R
I
64
Beberapa hal yang mungkin tadi sudah disampaikan, sebagian sudah tersampaikan, tetapi
mungkin ada baiknya kita mengingatkan bahwa untuk beberapa hal, mohon maaf, Anggota DPR atau
MPR ini kita sering mengalah, tidak mempersoalkan hal-hal yang mungkin sudah dimiliki oleh pihak
lain, entah itu setingkat Dirjen atau apa, kita tidak memiliki itu semua, tetapi untuk hal-hal yang tadi
disampaikan oleh rekan saya Bung Helmi ini untuk beberapa hal yang berkaitan dengan kita mengejar
sebuah agenda acara tertentu ya dan ini persoalan yang tidak sederhana, apalagi di Jakarta dan di
daerah-daerah lain juga sekarang sudah mulai mengalami kemacetan yang luar biasa, hal itu saja
mungkin kita sekarang masing gamang kalau kita membutuhkan itu semua padahal kita masuk
kualifikasi penyelenggara negara atau Pejabat Negara, tetapi kita tidak memiliki sebuah akses yang
jelas, kalau mengalami situasi sulit seperti itu kepada siapa kita harus meminta tolong. Kalaupun
kemudian sebut saja yang berkaitan dengan itu adalah Polisi dan perhubungan misalnya, tetapi
apakah ketika kita menghubungi pihak-pihak yang dimaksud, apakah cukup dipahami bahwa kita ada
pada posisi seperti itu. Karena itu kemudian beberapa hal yang mungkin kesannya, tidak berlebihan
amat sih, hanya soal plat nomor, tetapi kemudian dipahami itu adalah bagian dari perlakuan, bukan
mengistimewakan dalam pengertian gila hormat, bukan, tetapi bagaimana itu kemudian memperlancar
tugas-tugasnya karena selama ini banyak hal yang sebetulnya melekat pada diri kita, tetapi kita tidak
pernah memintanya lebih lanjut. Jadi kalau saya harus mengatakannya agak fulgar kalau setingkat
Dirjen yang adalah hanya membantu Menteri itu diberikan fasilitas yang luar biasa, tetapi Anggota
Dewan yang sebetulnya di atas Dirjen tidak memiliki apa-apa sebetulnya untuk hak-hak istimewa
seperti itu.
Jadi ini barangkali yang perlu mendapatkan pertimbangan dari pihak Polri dan mungkin besok
lusa, ya Mas Harry, apa perhubungan perlu kita mintai juga informasinya tentang ini agar nyambung
kan kira-kira apa yang kita maksud, terima kasih.
Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
F- PD (H. HARRY WITJAKSONO, SH):
Terima kasih Pimpinan.
Kita sudah mengerucut, Pak, kayaknya memang kearah pemberian fasilitas kepada Anggota
Legislatif sebagaimana rekan-rekan sampaikan. Ini bukan masalah kita minta eksklusif atau minta
diistimewakan, ini masalahnya dalam rangka menjalankan tugas-tugas ketatanegaraan yang ada. Jadi
kita meninjaunya harus dari sana dalam rangka melancarkan tugas-tugas ketatanegaraan yang
membebani para Anggota legislatif, ketika kita menjadi anggota biasa tidak perlu lah, tetapi ini tugas
Anggota Legislatif ini hampir setiap hari, Pak. Misalnya katakanlah seorang Anggota Legislatif sedang
berdiam di tempat daerah pemilihannya, tiba-tiba dia harus melayat rakyatnya yang mungkin dalam
keadaan macet dia tidak bisa menembus sehingga tidak bisa mengantar jenazah tersebut yang
merupakan konstituennya tepat pada waktunya. Ini kan juga tugas ketatanegaraan, Pak. Jadi tugas
ketatanegaraan itu bukannya dalam rangka rapat di Dewan saja, tetapi harus melekat pada dia ketika
dia akan melangkahkan dirinya kemanapun dia berada. Tentunya kalau dia nonton bioskop ya tidak
perlu diantar. Ya artinya ketika dia harus mencapai jenazah konstituennya itu tepat pada waktunya itu
ARSP DPR R
I
65
juga diperlukan. Jadi saya pikir itu sudah tidak bisa ditawar-tawar, kalau tidak, ya tadi seperti yang tadi
Pak Permana katakan, saya sendiri mengalami, Pak, sebuah mobil Kapolres begitu gasnya bisa
melewati semuanya, jangankan Dirjen, mobil Kapolres. Mohon maaf, bukannya kita merendahkan
jabatan yang di bawah kita, masalahnya mungkin Kapolres itu juga sedang melakukan tugas penting,
tetapi ketatanegaraan ini lebih luas lagi, Pak.
Ketatanegaraan lebih luas lagi, Pak. Kalau seorang Kapolres saja bisa diberikan privilage
semacam itu, katakanlah dia sedang menangkap penjahat atau dia sedang mengejar suatu upacara
di Kapolda atau di Polda, dia saja bisa mendapat akses. Belum lagi, Pak, kalau polisi masih okelah,
belum lagi kita lihat, Pak, kalau saya sore pulang itu saya mobil-mobil dengan label angkatan lainlah,
bukan polisi, Pak, Angkatan Udara, Angkatan Laut, itu saya lihat dari pangkatnya kayaknya Kolonel
tetapi begitu dasyatnya dia bisa melewati mobil kita lah dan dia bisa mengambil bahu jalan dan polisi
tidak apa-apa. Saya pikir itu tidak ada izin, tidak ada predikat atau surat yang melekat pada dia ya,
hanya karena dia bermobil hijau dengan identitas militernya bisa menembus apapun. Saya pikir tadi
yang Pak Panggabean katakan itu diatur dalam undang-undang, saya ragu nih apakah ini juga diatur.
Okelah kalau dia diatur dikasih kesempatan, mengapa kita yang melakukan tugas-tugas
ketatanegaraan ini tidak dapat, seorang Kapolres, seorang Kolonel, seorang Kombes dengan mobil
yang identitas polisi atau Angkatan Laut atau Angkatan Udara atau Angkatan Darat, mohon maaf
Pimpinan, itu bisa menerobos. Nah seorang ketatanegaraan sebagai, ya seorang Setia Permana atau
seorang Harry Witjaksono, siapa elu, katanya, itu dikita hanya gagah di DPR, Pak, kita hanya gagah
di DPR, Pak. Begini artinya mohon maaf ini sekedar ilustrasi, setiap langkah pintu yang kita lewati
dengan identitas ini, itu semua hormat, di DPR tetapi, Pak, di luar siapa elu kita tidak tahu. Masih
bersyukur. Tidak, masalahnya bukan soal penghormatan, Pak, akses itu loh, Pak. Jadi ini mohon
kalau undang-undang ini lahir ini harus ada yang mengatur demikian.
Nah tadi sehubungan dengan permintaan Pak Setia Permana itu benar tentang alangkah
lengkapnya juga Menteri Perhubungan kita panggil juga, Pak. Karena kita juga punya hambatan
ketika penjemputan atau, terutama penjemputan ya di Airport. Boleh dicek ke semua Anggota Dewan,
saya rasa tidak bisa merapat ke lobby ya, cuma akhir-akhir ini ada perkembangan baru, Pak, saya
sendiri sudah bisa merapat, tetapi sedikit engkel-engkelan, ketika kita masuk ke airport. Ini tidak ada
hubungannya dengan polisi, Pak, ini sekedar ilustrasi saja, mau masuk ke airport itu digardu pertama
ditanya, “Pak, ini harus pakai stiker”, stikernya stiker Perhubungan Udara katanya, kita tunjukin ini,
tidak laku, Pak, “mohon maaf, Pak, ini stikernya khusus Perhubungan Udara”. Tetapi perkembangan
terakhir kemarin saya bisa, karena supir saya agak berani, dia bilang “saya mau menjemput Anggota
Dewan”, “siapa Anggota Dewannya?”, atasannya memanggil, disebut namanya, kalau tidak percaya
catat saja Pak nomornya. Nah, mungkin petugas ini agak sedikit pintar ya, kadang kalau yang di
bawahnya tidak mengertilah, mau Anggota Dewan, mau siapa, “oh, ya udah, Pak, yang penting
namanya sudah disebut”, dia masuk, tetapi ketika berhenti di lobby, supir saya juga pintar dia sudah
menyiapkan Rp 10.000 untuk ngasih ke tukang parkirnya. Jadi akhirnya, tadi seperti dikatakan oleh
teman-teman di luar, ini bukan pemberian fasilitas, ini karena kita maksa, sebenarnya tadi, Pak Byakto
ARSP DPR R
I
66
sudah ngomong di luar, “oh, kalau gitu sih bukan hebat, Pak, itu karena kita minta”. Betul, Pak, jadi
mungkin dibenak kita semua sama, dengan simbol itu kita sudah punya akses. Itu saja lah. Yang
penting bagaimana, jadi kita bermaksud untuk mengistimewakan, ini benar-benar tugas, karena kalau
kita tidak merapat di lobby, misalnya Pak, kita hujan, misalnya ke depan itu, mau parkir mobil kan
susah, Pak. Bapak mungkin sering pengalaman di airport itu, kalau parkiran di posisi parkiran biasa itu
susah, Pak, sedangkan kadang-kadang, bukan kadang-kadang ya, sering kita pulang dari daerah itu
langsung ke sidang lagi ke sini, kejar ke kantor, Pak. Jadi saya pikir yang harus diatur, ditafsirkan
dengan tugas ketatanegaraan atau kedewanan itu bukan hanya sekedar sidang, Pak, tetapi menuju
ke tempat konstituen itu juga dalam rangka tugas kita semua, Pak, dalam rangka kita sidak ke Polres
atau ke Polda itu juga tugas ketatanegaraan Komisi III, Pak. Jadi gara-gara kita terlambat jadi hilang
makna sidaknya itu, Pak.
Jadi mungkin itu, Pak, sekedar tambahan memperkuat dalil daripada teman-teman semua
sehingga menggambarkan bahwa dalam Undang-Undang Keprotokolan ini jelas harus dimasukan.
Dan terus tadi Departemen Perhubungan mohon, Pak, itu diagendakan.
Terima kasih Pak.
F- PD (HJ. HIMMATULLAH ALYAH SETIAWATY, S.H., M.H.):
Terima kasih Pimpinan.
Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Saya langsung kepada yang mewakili Bapak Kepolisian kita, dari tadi yang disampaikan oleh
rekan-rekan kami di bagian sini pada kesimpulannya iaiah pada simbol. Simbol dalam artian yang kita
terima sebagai Anggota DPR yaitu nomor mobil, nomor dimana ada simbolnya bukan nomornya. Nah,
artinya bahwa apa sih keistimewaannya simbol itu bagi kami, ternyata tidak ada keistimewaannya,
karena tadi disampaikan oleh Wakil Ketua kita, bahwa itu sebagai asesoris saja, menyedihkan
memang, kalau memang itu asesoris lebih baik, betul kata Wakil Ketua, tidak usah digunakan, toh
juga jadi meringankan biaya yang harus dikeluarkan, kemudian fungsinya untuk apa? Pada saat kita
keluar kota kita juga dilakukan konvoi dan segala macam, tetapi kalau konvoi itu tidak berlaku
meskipun kendaraan kita berlogo atau bersimbol DPR. Kemarin waktu saya, lupa dimana ya, Manado,
itu kami diharapkan untuk kepinggir karena ada iring-iringan Pilkada yang lewat, padahal kita akan ke
airport. Itu ironis sekali ya, artinya masyarakat bilang terlambat 5 menit tidak apa-apa kan? Tetapi
mungkin bagi kita nanti nilai tidak bagus ya, performance kita, “oh Anggota Dewan memang sering
terlambat, hobinya ini”, padahal bukan keinginan kami, karena situasional dari keadaan jalan.
Jadi yang paling mendasar dari saya ini Anggota yang sudah coba pakai logo itu. Jadi pernah
terjadi saya keluar dari tol terburu-buru harus masuk ke kantor, tidak jauh dari depan kantor kita ini
kira-kira 100 meter, saya dihentikan oleh polisi, saya bilang, “kenapa?”, terus kita kasih tahu bahwa itu
kan logonya, saya baru menggunakan logo itu, tetapi polisi itu tidak peduli, berarti dia tidak tahu kan,
tidak mengenal atau tidak tersosialisasikan dengan baik. Di periksa SIM saya, STNK. Saya sudah
bilang “saya mau rapat ini, kalau harus menjelaskan tidak cukup waktunya”, tetapi dia tetap suruh
menepi, ternyata hanya diperiksa STNK-nya dan suruh jalan. Itu tidak jauh dari kantor kita. Artinya
ARSP DPR R
I
67
pertanyaan yang mendasar adalah apakah simbol kita ini sudah tersosialisasi dengan baik di
Kepolisian atau pihak-pihak yang terkait yang seharusnya mengerti. Oke, kalau ke Mall tidak ada
pentingnya ya, mungkin kita juga malu, ada itu sebagian rekan saya lihat ditutup pakai sesuatu, kaos
atau apa, tetapi di saat-saat tugas itu penting sekali apalagi di draft RUU Protokol ini saya lihat tidak
ada masukan pasal-pasal mengenai simbol-simbol, manfaatnya, kegunaannya dan keistimewaannya.
Jadi kesempatan yang paling baik, saya setengah curhat ini sama Kepolisian, kalau memang itu tidak
bermanfaat mungkin rekan-rekan lebih baik kita copot saja itu.
Demikian dari saya, terima kasih.
Wabillahitaufiq walhidayah, Wassalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
F- PKS (DRS. AL MUZAMMIL YUSUF):
Bapak-bapak, mohon maaf ini nanti kalau habis bicara kita izin karena di Komisi I urusan
Gaza ini, sama Pak Helmi Fauzi.
Pimpinan dan juga Anggota serta narasumber kita dari Mabes, Bapak Panggabean,
Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 2009 memang ya DPR juga terlibat, tetapi nampaknya kita
memang alpa disitu untuk memasukan pada Pasal 134, tidak ada Pejabat Negara, yang ada
kebakaran, orang sakit, kecelakaan lalu lintas, Pimpinan Lembaga Negara, Pimpinan Pejabat Negara
Asing, jenazah dan pihak-pihak yang menurut Kepolisian. Nah, ini poin “g” inilah yang menurut saya
undang-undang ini merincinya, karena di poin “g” ini ya kita tidak tertulis. Oleh karena itu, undang-
undang ini saya kira mendetailkan poin “g” ini, yang menurut pertimbangan Kepolisian itu ditegaskan.
Itu poinnya menurut saya yang harus kita buat.
Lalu nanti muncul misalnya apakah tadi plat khusus yang kita sebut tadi, kan selama ini ada
plat, apa istilah, plat BS atau BPD. Ada pun plat kita yang sekarang plat DPR, Pak, kebetulan pada
periode lalu, di Baleg kita yang membuatnya itu Tata Tertib di dalam DPR, karena dulu banyak
dipalsukan plat kita, sekarang dibuat plat yang langsung bentuknya nomor, terus pakai nomor dia, itu
kita buat pada periode lalu. Nah, memang itu tidak dalam tingkat undang-undang, aturan internal kita,
tetapi dengan kita mendetailkan poin “g” ini, saya kira kita bisa melakukan hal tersebut. Dengan poin
itu misalnya ya tadi dalam kondisi tertentu bisa pengawalan atau dalam keadaan tertentu bisa diskresi
soal lampu merah, rambu-rambu yang terlarang pada kondisi tertentu. Dan Pimpinan, secara praktis
menurut saya, ini tambahan berikutnya, Komisi III dulu diberi pass oleh Mabes, sekarang tidak ada
salahnya juga kita undang-undang ini keluar seluruh Anggota DPR 560 orang itu ada pass dari
Mabes, yang pass itu kalau polisi tidak paham, belum tentu semua polisi ngerti kan, kita tunjukan pass
ini. Yang memberi penjelasan, di belakangnya penjelasan yang dalam kondisi tertentu bisa minta
pengawalan dan diskresi untuk hal-hal tertentu, macet total ada, ini terlarang lewat jalan sini, kita bisa
terobos misalnya, mungkin tidak semua polisi daerah tahu rambu-rambu yang terlarang pada kondisi
tertentu atau belum tersosialisasi. Jadi Undang-undang ini buat dan juga tadi pass khusus yang tadi
kita tunjukan di mobil kita, kayak pihak intelijen saja Pak. Menurut saya kalau Komisi III dikasih itu,
sekarang itu bukan hanya Komisi III Pak dalam konteks 560.
ARSP DPR R
I
68
Pimpinan, lanjutkan sedikit. Kalau pass itu seperti ini, dibelakangnya itu kutipan undang-
undang tadi. Dia tidak paham, mungkin ada kontak khusus nomor kepolisian untuk 560 Anggota itu
dia bisa kontak, komandan benar tidak nomor ini? benar itu. Sudah ada ini contact person, kita
asuransi kesehatan saja ada contact personnya.
Jadi untuk tugas tertentu artinya untuk tugas tertentu Dewan ini Pak Panggabean, memang
kita tidak selalu di ruangan ini. Kunjungan kerja kita itu ke macam-macam itu ketemu polisi dan lain-
lain. Jadi saya tidak bertanya Pimpinan, saya kira adalah kewenangan kita untuk memberikan tafsiran,
rincian dari poin “g” Undang-Undang Kepolisian Nomor 22 Tahun 2009.
Terima kasih Pimpinan dan sekaligus ijin Pimpinan.
Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
F- PAN (DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si):
Sebelum kepada yang lain Pak, kami ingin menyampaikan, jadi memang khusus apresiasi
kami kepada Kepolisian Negara yang telah memberikan kemudahan kepada Anggota DPR khususnya
Komisi III. Jadi ID ini memang atas kerjasama teman-teman di Komisi III, jadi yang belum bisa
dibicarakan nanti di Komisi dan juga mediasi dari Pak yang dulu Pak.
Yang kedua ini disusul oleh Kementerian Hukum dan HAM, jadi Menhukham sudah
menerbitkan ID untuk memudahkan kita ke tempat-tempat tertentu, walaupun Pak Hari tadi
mengatakan maunya langsung ke bagian tertentu bandara, diperlebar begitu. Artinya Pak mungkin ini
topik pembahasan kita rapat kerja dengan Kementerian juga mengundang narasumber dari
pemerintah Pak Ketua, saya kira itu. Terima kasih.
F- PG (DRS. H. MURAD U. NASIR, M.Si):
Pimpinan, Yang terhormat narasumber,
Saya ingin bertanya saja ini minta beberapa penjelasan. Tadi sudah banyak sebetulnya
tentang masalah nomor kendaraan, pertanyaannya selama ini nomor kendaraan itu sebetulnya itu ada
dasar hukumnya tidak Pak, penomoran itu misalkan kalau Presiden itu RI 1. Saya sebetulnya ingin
lebih banyak membicarakan ditingkat daerah seperti Gubernur itu misalkan A 1, kemudian nanti
kepada Kejaksaan, Ketua Pengadilan dan sebagainya. Kemudian itu dasar hukumnya apa?
Kemudian selanjutnya kalau itu tidak pernah diatur sebaiknya itu diatur dimana menurut Bapak?
Kemudian yang kedua, ini ada kaitannya dengan masalah iring-iringan. Ini sekali lagi untuk
ditingkat daerah baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. Terhadap iring-iringan ini juga kadang-
kadang jadi ewuh pakewuh ini, sebetulnya itu menurut ketentuan, kalau sudah ada ketentuannya,
kalau belum diatur sebaiknya diatur dimana tentang iring-iringan. Kalau didepan itu Gubernur lantas
dibelakang ini sebaiknya apa? Apakah itu Muspida, kemudian siapa lagi begitu, jadi ada lapis-lapisnya
begitu, demikian juga untuk di Kabupaten/Kota.
Kemudian ini yang berkaitan langsung dengan lembaga kepolisian yang berkaitan dengan
masalah-masalah kunjungan Presiden ke daerah. Kalau kunjungan Presiden ke daerah luar biasa itu
biayanya, itu 14 hari kadang-kadang satu bulan sebelumnya itu aparat kepolisian itu sudah
mempersiapkan, pada hari H nya itu luar biasa pengarahannya itu ratusan orang, ini perlu makan dan
ARSP DPR R
I
69
sebagainya. Itu menurut Bapak apakah itu sudah dianggarkan di institusi kepolisian, kalau itu belum
sebaiknya itu dimasukannya dimana ketentuannya, sehingga ada pintu masuk. Sekarang ini tidak ada
pintu masuk untuk membiayai aparat kepolisian yang kadang-kadang bisa Rp 200 juta kalau Presiden
datang. Ini bagaimana maksudnya, sampai sekarang ini jadi ewuh pakewuh. Diberikan salah,
ketemuan KPK, tidak diberikan dari mana itu yang namanya uang makan, ini saya sarannya
bagaimana sebaiknya.
Kemudian yang berkaitan dengan masalah lain, yang berkaitan dengan masalah tata upacara
militer tapi kadang-kadang ini diadop untuk sipil, biasanya untuk hari-hari besar seperti 17-an. Ini
sebetulnya tata upacara militer itu sebaiknya apakah dimasukan dalam Undang-Undang ini atau
dalam ketentuan lain sebaiknya.
Kemudian pertanyaan lagi, yang berkaitan dengan komandan upacara itu, kalau komandan
upacara di upacara-upacara itu apakah ada ketentuan pangkat? Kalau Gubernur yang jadi Pembina
upacaranya, kemudian Komandan upacara serendah-rendahnya pangkatnya apa? Dan sebagainya
ini apalagi dulu ada persoalan-persoalan baru, kalau seandainya ini komandan upacaranya sipil,
peserta upacaranya militer itu bagaimana kepangkatan sipil ini? Jadi Pegawai-pegawai Negeri Sipil
yang menjadi komandan upacara yang peserta upacaranya itu adalah militer, itu juga ketentuannya
seperti apa ? sampai sekarang ini justru jadi masalah. Komandan upacaranya sipil pangkatnya yang
penting bisa tata upacara militer STPDN, padahal pangkatnya masih rendah sementara komandan
upacaranya sudah Mayor. Jadi seperti apa ketentuannya? Dan sebaiknya itu diatur dimana?
Itu saja barangkali hal-hal yang ingin saya tanyakan, terima kasih.
F- PARTAI GERINDRA (DRS. H. HARUN AL-RASYID, M.Si):
Terima kasih Pak Ketua.
Bapak-Bapak dari jajaran Polri yang saya hormati,
Rekan-rekan Anggota Pansus,
Pertama-tama saya menyampaikan apresiasi kepada sekaligus petugas Polri yang sangat
baik dilapangan. Saya sering menjumpai banyak petugas Polri yang kurang bijak, saya justru banyak
menjumpai petugas Polri yang sangat bijak di lapangan. Oleh karena mungkin karena plat nomor
mobil itu, Saya kebetulan mendapat nomor plat mobil RFN. Saya tidak tahu artinya tapi waktu
menjabat sebagai Ketua DPRD Provinsi, membeli mobil disini kemudian memperoleh dari BS ke RFN
itu. Jadi banyak memberi fasilitas, bahkan kalau dalam posisi yang sangat terburu-buru bisa
menggunakan bahu jalan dan itu bisa dimengerti oleh petugas di lapangan.
Berkaitan dengan tadi pandangan terhadap bagaimana biaya menghadapi kunjungan-
kunjungan Presiden di daerah. Ini sudah pernah dipertanyakan di forum para Gubernur dan Pimpinan
DPRD seluruh Indonesia. Kepada Ketua BPK masih Pak Anwar Nasution, beliau mengatakan bahwa
membiayai kunjungan Presiden maupun Wakil Presiden di daerah itu haram hukumnya. Jadi tidak
boleh, tapi para Gubernur maupun para Ketua DPRD menyatakan sikap, bahwa jika tidak ada biaya
terjadi apa-apa yang bertanggung jawab siapa? Justru daerah Pemda berkeinginan untuk memback–
up pendanaan. Bagaimana jalan keluarnya ? Pak Kepala BPK memiliki jalan keluar bahwa tidak
ARSP DPR R
I
70
membiayai institusinya, tidak membiayai institusi daripada kegiatan, tapi yang dibiayai adalah
membantu kegiatannya, itu bisa. Sekarang bagaimana kita memformulasikan dalam sebuah materi
undang-undang ini bisa kita jadikan sebuah rujukan supaya daerah itu bisa memberikan bantuan
pendanaan masuk dalam APBD, biaya-biaya yang sifatnya insidentil itu bisa Pemerintah yang
mengeluarkan, bagaimana membuat formulasi dalam undang-undang ini. Saya kira ini yang dapat
saya sampaikan, terima kasih Pak Ketua.
KETUA RAPAT:
Baik, terima kasih kepada rekan-rekan Anggota Pansus yang telah memberikan masukan
kepada narasumber dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, oleh karena itu saya tekankan
bahwa yang menyangkut dengan di luar masalah-masalah Pasal 134 dari Undang-Undang RI Nomor
22 Tahun 2009, tadi ada substansi bagaimana penyelenggaraan anggaran dan sebagainya. Ini kita
tahu persis kita sudah bicarakan dan sekarang menyangkut dengan masalah paragraph 1 Pasal 134
tentang huruf “g” yaitu kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memperlancar tugas-tugas kenegaraan dari
Pejabat Negara tersebut. Ini nanti minta tanggapan sebelum …..kami Pak Gubernur DKI sebelum
beliau ke Nusa Tenggara Barat. Sampaikan Pak pengalaman.
DR. H. SUBYAKTO, S.H, M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)
Terima kasih.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Saya karena sering di protokoler polisi lalu lintas kadang-kadang itu bingung, dilain pihak juga
kadang-kadang tidak pakai protokol, tapi mungkin polisi lalu lintas barangkali kewajiban untuk
menjaga jalan protokol yang harus tidak dilewati oleh orang, apakah itu suatu hal yang barangkali
instruksi atau tidak, misalnya ada tanda yang barangkali baru diketahui bahwa larangan, sebenarnya
polisi itu harus ada di depan bukan ada dibelakang. Setelah ketangkap orang baru muncul, itu apakah
suatu perintah atau tidak. Artinya ini dan ini banyak protes dari itu yang mungkin tidak disenangi
barangkali. Sebaiknya barangkali dalam rangka memperlancar jalan dan protokoler itu mereka harus
ada di depan dan muncul di permukaan. Jangan ngumpat itu, jadi akhirnya orang mengatakan nanti
ini etika kita ini, gampang ini. Kalimat itu sangat menyakitkan, sebaiknya apalagi ini suara masyarakat
wajib kita beritahu bagaimana memberikan suatu bentuk pelayanan. Ada solusi mohon maaf ini saya
terang-terangan ini, karena saya lebih baik kita menggunakan mau memanfaatkan dalam rangka
keamanan lebih baik menggunakan tentara daripada polisi katanya. Alasannya apa, kalau tentara
tidak pakai perhitungan yang penting dia aman. Kalau polisi kita mesti hitung-hitung dulu, ini sama
dengan barangkali kita melaporkan hilang kambing, malah yang hilang kerbau katanya. Ini sekedar
satu ilustrasi saja, ini image juga didalam protokoler, bahwa bagaimana polisi akan datang
memberikan suatu public service yang lebih bagus daripada image orang lebih baik sudahlah, kalau
tentara perhitungannya lain, ini seperti keamanan negara kesatuan utuh, apapun yang terjadi harus
resiko. Tapi ada limit bahwa polisi kalau tidak ada duit tidak usah kita lapor sama polisi. Saya mohon
karena ini suara DPR ini suara rakyat, bagaimana dibalikan bahwa polisi itu memang pengayom tapi
ARSP DPR R
I
71
bukan pemeras. Ini saya mohon betul-betul kesempatan untuk karena saya tidak pernah berhadapan
dengan Komisi III Kapolri tapi mumpung melalui protokolernya mungkin barangkali bisa. Itu saja
sementara dari saya.
Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, waktu kami berikan kesempatan kepada rekan dari Kepolisian kita batasi saja, kita
masuk pada Pasal 134 menyangkut dengan kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut
pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia bagaimana dan seperti apa. Oleh
karena itu waktu dan tempat kami persilakan, sampaikan.
WAKADIV BINKUM POLRI (RM. PANGGABEAN):
Baik, terima kasih Pak.
Pertama inikan inisiatif dari Bapak-bapak dengan segala hormat, kalau memang ada politik
hukumnya sebagaimana dikehendaki oleh Bapak-bapak seperti ini kenapa sebenarnya tidak
dicantumkan dalam RUU ini. saya bukan membalikan sebab inikan inisiatif Bapak, tentunya dari sejak
awal politik hukum yang harus melekat disini sudah harus diamanatkan oleh Bapak-bapak disini,
sehingga nantinya pada saat menyusun DIMnya dengan Pemerintah apakah Pemerintah dengan
segala pertimbangannya kira-kira dengan legalitas segala macamnya.
DR. H. SUBYAKTO, S.H., M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)
Sedikit Pak, barangkali hanya menyampaikan apa yang menjadi keinginan kita, sebenarnya
memang politik hukum ada di kita, tapi sekedar hanya untuk mengundang Bapak untuk memberikan
masukan tentang ini bagaimana, jadi tidak masalah.
WAKADIV BINKUM POLRI ( RM. PANGGABEAN ):
Iya Pak, oleh karena itu menurut saya tentu DPR ini menjadi kalau kita kembali kepada
filsafatnya kan suara rakyat suara Tuhan, berartikan suara Tuhan yang disuarakan oleh Bapak disini
secara fungsional kan begitu. Kalau masalah oknum itukan diluar, itu yang kita harapkan disini
sebagai pengawal perwujudan hak politik hukum itu. Oleh karena itu pertama alangkah baiknya juga
masuk disini beberapa pasal kalau itu.
Kemudian kita kalau saya baca juga draft ini di Pasal 1 itu memang sudah dibatasi
kelihatannya hanya kepada tata cara upacara kalau kita misalnya di ABRI itu tulisannya TUM begitu
sifatnya dengan 5-P upacara, baris berbaris, upacara ini, tata upacara militer, cara penghormatan,
cara berdiri, cara pengawalan misalnya, cara penyampaian siapa irupnya, kalau Irup itu sudah pasti
lebih tinggi dari upacara. Kalau sipil misalnya menyesuaikan, bagiamana penyesuaiannya tentu dilihat
kepada siapa kira-kira yang menjadi Irup itu. Kalau militer misalnya sudah jadi Irup dia, tapi sudah
dialihkan kepada sipil tentu harus menyesuaikan. Tapi pada prinsipnya semua tata cara upacara yang
ada di Republik ini berasal dari tata cara yang berasal dari yang dilakukan oleh militer. Dan sampai
sekarang setelah keluar Polri dari ABRI katakanlah menjadi Polri tetap saja mengikuti upacara-
upacara yang dilakuan baik dalam gedung maupun di lapangan upacara, kan begitu Pak. Karena itu
saya kira kalau kita kembali kepada Hukum Ketatanegaraan sudah merupakan konvensi kebiasaan-
ARSP DPR R
I
72
kebiasaan yang dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan yang melekat kepada setiap
pelaksanaan-pelaksanaan. Seperti upacara bendera itu kan sebelumnya tidak ada akhirnya dianggap
sebagai suatu upacara bendera, sama juga seperti kalau kita belajar dalam hukum tata negara setiap
tanggal 16 bulan Agustus itu DPR selalu menyampaikan pidatonya, itu kan sebenarnya di konvensi
kenegaraan. Itu yang kedua dari Bapak Ketua tadi.
Memang di dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor: 2 Tahun 2002 itu sudah jelas memang
ada disana pengaturan pengawalan itu Turjawali (pengaturan, pengawalan) tapi obyek pengaturan
pengawalan disinikan tidak dijelaskan harus kepada ini, harus kepada siapa saja pun yang meminta
bisa saja Pak. Tentunya karena DPR itu memiliki hak privillage tentu ada hak-haknya. Bukan hanya
dalam persoalan tindakan kepolisian menjadi saksi atau dijadikan sebagai tersangka harus ada ijin
dan sebagainya, tentu didalam hal melaksanakan tugas seperti ini menurut saya perlu diberikan Pak.
Kemudian juga masalah simbol-simbol, barangkali saya lihat Pak, saya jawab mungkin tidak
selalu satu persatu Pak mungkin secara random. Mengenai simbol-simbol bila perlu ditentukan simbol
ini Pak, karena sekarang ini simbol itu terlalu sembarangan orang menggunakan, dan itu perlu
dipidanakan Pak. Sekarang juga simbol-simbol, maaf kata juga pangkat-pangkat di AKABRI itu ditaruh
disitu, seharusnya Anggota juga kadang-kadang agak mikir juga, senior saya ini. Maaf kata juga yang
tidak ada keluarganya, yang Cina katakanlah, Cina umpama paling banyak memakaikan? Paling
banyak Cina-Cina bukan rasialis tapi kan dipasang begitu bintang bengkok tiga, tanda pangkat, ini kan
sebenarnya seperti bagaimana kira-kira, apalagi DPR pakai begini di platnya simbol. Padahal
bagaimana mendapatkannya itu, kemudian siapa yang berhak tentu juga tidak bisa menjual
sembarangan. Misalnya juga mungkin bookstore-nya yang ada disini tanda-tanda DPR bisa saya beli
juga, barangkali ya Pak, yang ada di bawah kan. Itu, bagaimana penggunaannya itu sehingga tidak
setiap orang. Jadi perlu ada pemuliaan terhadap simbol itu yang perlu diatur disini sehingga tidak
sembarangan orang menggunakan simbol-simbol itu. Karena jabatannya itu Pak supaya diberikanI.
Itu saya setuju juga Pak diberikan dan masalah Gubernur adalah politik hebat penghormatannya. Ini
tergantung kepada protokolernya yang mengatur, jadi kalau Gubernur atau ke daerah dari provinsi
turun ke kabupaten Sekjennya.
DR. H. SUBYAKTO, S.H., M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)
Cerita sedikit, terkait dengan masalah simbol-simbol tadi Bapak sampaikan setuju. Artinya
mohon kita diberikan masukan bagaimana implementasi dalam bentuk apa kira-kira, mungkin
Gubernur nomor misalkan kayak Menteri, kan RI 1 Presiden, RI 2 Wakil sampai seterusnya sampai
Menteri, sampai 54 Menteri itu. Kalau DPR bagaimana, apakah bisa menggunakan DPR terus nomor
Anggota begitu, bagaimana menurut pandangan Bapak selaku Kepolisian apakah bertentangan
dengan Undang-Undang Kepolisian atau Undang-Undang Lalu Lintas.
Terus terkait masalah lagi, terkait masalah nomor cantik, itu kan sudah bukan rahasia lagi Pak
dari pusat sampai daerah ada nomor cantik yang bikin, mungkin barangkali bisa masyarakat umum
ingin nama DPR dibelakangnya, bisa juga kan itu artinya bagaimana itu Pak terkait masalah itu.
Terima kasih.
ARSP DPR R
I
73
WAKADIV BINKUM POLRI (RM. PANGGABEAN):
Tinggal pengaturannya Pak, jadi tinggal pengaturannya disini nantinya kalau sudah itu
merupakan kehendak rakyat mau tidak mau kita, tapi yang jelas jangan sampai menyulitkan juga
petugas di lapangan, kan begitu. Artinya karena nomor itu juga banyak terbatas juga serinya. Apakah
kira-kira DPR 1, DPR 2, DPR 3, DPR 4, kan kira-kira begitu, saya kira itu sangat teknis sekali Bapak.
Yang jelas yang memanjatkan itu didalam suatu peraturan perundang-undangan itu sudah ada. Kira-
kira begitu Pak. Jadi menurut saya ya Pak, menurut polisi juga tidak apa karena bagaimanapun kita
tinggal mengadopsi apa yang dinyatakan oleh kehendak rakyat dalam suatu peraturan perundang-
undangan itu. Hanya saja nanti apakah itu disalahgunakan apa tidak, dimana-mana penyalahgunaan
itu selalu ada kan tinggal kontrolnya dimana.
Kemudian juga mengenai asas timbal balik, itukan pada prinsipnya terdapat didalam
perjanjian-perjanjian internasional. Tapi kita kan bangsa Indonesia setiap tamu itukan menjadi raja
yang selalu kita layani dengan baik, apakah kita keluar negeri tidak dilayani, ini tergantung pada
budaya disana Pak kadang-kadang Pak. Budaya disana kalau kita juga keluar negeri, kalau orang luar
negeri datang kesini tamu-tamu dan lain sebagainya tidak perlu dia melapor kepada imigrasi, kita
kumpul saja protokoler langsung saja, oke. Tapi kalau kita keluar negeri, biar juga Jenderal Kapolri,
juga disuruh berdiri saja antri tetap, di Eropa apalagi dan di Amerika. Melewati juga gerbang imigrasi
disuruh buka semua, sepatu, ikat pinggang sampai tidak bunyi. Tapi kalau masih ada tenggara kita
juga tinggalannya protokoler dari kedutaan juga lewat, ini kadang-kadang, karena tidak bisa prioritas
kita tanya begitu, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tanya orang Deplunya disana Pak, sory ya,
memang ketentuan seperti disini. Lalu bagaimana kira-kira kita harus menyesuaikan disana, jadi
bukan artinya bahwa tamu kita hormati luar biasa disini, sedangkan kita keluar negeri saja tidak, ini
tergantung pada ketentuan yang ada disana Pak.
Mengenai tata-tata iringan juga diatur dalam protap kepolisian juga ada Pak. Ini protap-protap
mengenai mengenai pengaturan Turjawalinya Pak. Prioritas-prioritas kepada Presiden ini juga tapi
yang perlu bagi saya untuk mengejar sidang itu Pak harus ada kalau itu seperti di Amerika memang
jelas bahwa di Amerika memang Anggota-anggota Kongres itu luar biasa penghormatannya kan
disana, bahkan kalau membawa undang-undang hanya Kongres saja tidak perlu ada Presiden disana
ya Pak, hanya diserahkan semuanya kepada DPR-nya, kalau kita masih ikut juga, cuma Presidennya
mempunyai hak veto, suka undang-undang yang dibikin oleh Federal tidak mau dia, ya di veto dia.
Akhirnya jalan keluarnya DPR-nya kalau bersidang mereka mengadakan pemungutan suara 50
tambah 1, nolak veto ya berarti Kongres yang kuat. Itu juga perlu nanti mendapat suatu prioritas
tertentu dalam hal mengejar satu sidang hanya saja teknisnya bagaimana, kadang-kadang juga
diberikan kebebasan kepada quota. Ini juga kadang-kadang banyak penyelewengan-penyelewengan
itu, sehingga di lapangan juga seperti three in one, dari Lemhanas juga minta tanda tersendiri juga,
akhirnya Anggotanya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini kadang-kadang kita masih melihat postur-
postur melihat kepada siapa ini pejabat ini sehingga masa sidang terus, tidak mungkin kan Pak.
ARSP DPR R
I
74
F- PD (DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN, SH., L.LM):
Interupsi Pimpinan.
Tadi ini mohon penjelasan lebih detail belum terjawab tadi mengenai simbol-simbol, lalu
kedua mengejar sidang itu, ini pengalaman saudara tadi saya dengar pernah di Amerika dimana ya,
mungkin perlu dijelaskan disini jangan dilempar ke kami, karena diundangnya Bapak kemari untuk
menjelaskan kira-kira teknisnya bagaimana, perlu masukan buat kami dalam rangka menyusun ini.
Jadi mohon kiranya lebih detail bagaimana solusinya tadi. Mengejar sidang tadi sudah dijawab, tapi
masih umum sekali menurut saya. Juga simbol-simbol Anggota DPR tadi ada yang ditanya oleh
beberapa rekan belum ini. Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Kita berakhir pada pukul 12.30 jadi waktu masih 20 menit, saya minta singkat Pak.
WAKADIV BINKUM POLRI (RM. PANGGABEAN):
Jadi tentunya Pak, seharusnya karena belum diatur disini seperti saya katakan tadi,
sebaiknya dirumuskan dulu disini karena kalau kita lihat, saya ulangi Pak. Kita lihat disini mulai dari
defenisinya ini tidak ada ada mengatur hak-hak previlIage khusus kepada satu badan. Tapi disinikan
dirangkum dalam arti luas Pejabat Negara, Pejabat Daerah, Tingkat I, Tingkat II termasuk tokoh, dan
lain sebagainya. Dan didalam pengaturan itu kalau kita baca disini tidak menyinggung pada suatu
hak-hak previllage pada satu badan atau kepada DPR. Dan lebih banyak penekanan pengaturan Pak,
hanya pada tata cara penghormatan, tata cara mengatur duduk, tata cara untuk menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Jadi bagaimana juga saya mau mencantumkan, mengomentari dan memberikan satu
solusi disini sebelum saya lihat juga misalnya satu formulasi yang dicantumkan didalam satu pasal
tertentu disini. Tentu apakah ini dimungkinkan untuk membuat suatu bab tersendiri disini apa tidak, ini
Pak. Saya lihat disini Pak kalau kita lihat artinya dalam pelaksanaan acara kenegaraan dan acara
resmi, tata tempat dan tamu negara penyelenggara protokoler. Apakah mungkin nanti kalau
diperbincangkan apakah hanya mungkin kepada Bapak saja yang ditentukan seperti ini karena kalau
kita lihat kembali kepada konstitusi sekarang ini sudah ada 9, kan begitu Pak penambahan. Ada juga
KY, ada Komisi Pemilihan Umum, ada MK, ini yang sudah masuk ada DPD, ini sudah masuk didalam
konstitusi, apakah mereka nanti tidak menuntut kami juga, sama kedudukannya, dibuat dalam
konstitusi katanya begitu. Ini menjadi persoalan juga nanti dari yang lain Pak.
Kalau saya menyarankan juga kalau disini bagaimana kira-kira kalau toh mau membahas
misalnya Susduk DPR dan lain sebagainya kira-kira. Itu saran saya juga sehingga lebih spesifik
masuk kepada susunan kedudukan dari Anggota DPR, DPD, kemudian juga DPRD dan MPR.
DR. H. SUBYAKTO, S.H., M.H. (WAKIL KETUA / F- PD)
Sedikit Pak, tadi apa yang ditanyakan Pak rekan kita tadi. Coba Bapak punya lampiran yang
ini perubahan yang tadi seperti apa yang disampaikan, ini coba Bapak lihat dari Pasal 5 menyisipkan
pasal baru, ini kira-kira seandainya menurut pandangan Bapak, karena Bapak narasumber disini
nantinya memberikan masukan kepada kita semua. Pengaturan protokol “a”, “b”, kira-kira menurut
Bapak bagaimana ini, artinya bertentangan dengan Undang-Undang Lalu Lintas atau dari sisi etika
ARSP DPR R
I
75
didalam menjalankan tugas fungsi di lapangan bagaimana ? yang halaman 2 Pak. Monggo ini coba
supaya lebih tajam, apa yang dikehendaki teman kita untuk fokus tentang hak previllage yang ada di
sini terkait masalah simbol, sehingga kita bisa diketahui oleh masyarakat bahwa kita menjalankan
fungsi tugasnya. Itu kira-kira begitu Pak. Sehingga dalam atribut tadi mungkin nomor polisi, sehingga
ketika Bapak sampaikan ketika macet tadi, mudah-mudahan bantuan Kepolisian untuk membantu
dalam proses aksesbilitas tadi.
Terima kasih.
H. TB. SOENMANDJAJA, SD (WAKIL KETUA / F- PKS):
Sebentar Pak Panggabean, sekaligus Bapak juga menghubungkan dengan statement Ketua
tadi berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 sudah ada kopiannya kita semua
halaman 71 saya bacakan ulang bagian kedelapan. Hak utama pengguna jalan untuk kelancaran: 1)
pengguna jalan yang memperoleh hak utama, Pasal 134; “Pengguna jalan yang memperoleh hak
utama untuk didahulukan sesuai dengan keurutan berikut;..” Ini ada huruf “g” Pak, yang kami
garisbawahi adalah “konvoi dan atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Nanti pengaturan itu dalam PP Pak, atau mungkin dalam aturan-aturan lain. Sebab kalau
disebut disinikan ada pengaturan lebih lanjut. Jadi ini mohon dikomparasikan Pak, jadi bahasa
sederhananya begini seumpama dalam Rancangan Undang-Undang Protokol tidak bisa dipaksakan
soal nomor, ini nanti entry pointnya ada pada Undang-Undang Lalu Lintas ini, dan itu otoritas
Kepolisian. Karena itulah kemudian Pak Ketua alhamdulillah, sudah berkomunikasi dengan Pak
Kapolri mencoba nanti melalui Rapat Kerja tentunya bersama Pemerintah, mungkin ini menjadi bagian
yang tampaknya akan krusial di RUU Protokol namun tidak demikian karena sudah ada entry pointnya
di huruf ini. Begitu Pak Ketua tambahan.
Terima kasih.
KETUA RAPAT:
Baik, tambahan dari kami.
Dari penjelasan Pak Panggabean, itu Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 yang Bapak
sampaikan Pasal 134 sudah jelas ya Pak itu sebagai entry point. Dan kemudian saya harus
sampaikan didepan Bapak bahwa, minggu lalu saya sudah berkoordinasi, berkonsultasi dengan
beliau Kapolri, lebih khusus menanyakan bagaimana perlakuan terhadap Anggota MPR yang
notabene adalah Anggota DPR dan DPD untuk mendapatkan hal-hal yang tadi kita bicarakan dan
beliau justru menyampaikan kepada saya dan akhirnya kita bertemu pada pagi hari ini, dan Bapak
dari Kepolisian sebagai narasumber untuk kita berkonsultasi bagaimana yang terbaik, pintu masuknya
sudah jelas ada. Kemudian Bapak tadi menyatakan ini adalah Hak Pejabat Negara dalam rangka
melaksanakan tugas, tinggal semuanya ditentukan balik lagi kepada kita bagaimana maunya nanti,
tinggal dipertimbangkan oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, begitu ya Pak?
Beliau menyampaikan kepada saya bahwa, kebetulan beliau adalah adik saya Pak, nasibnya
lebih bagus, saya lebih jelek. Saya hanya menyampaikan kepada beliau bagaimana kira-kira, mas
ARSP DPR R
I
76
silakan saja nanti konsultasi dengan saya punya perangkat kalau memang nanti bisa direspon why
not. Oleh karena itu dengan perbincangan kita tadi kita akan segera membuat suatu rumusan
susunan yang diinginkan seperti apa, nanti kita umpan balik lagi kepada rekan Kepolisian, kalau itu
bisa direspon alhamdulillah dan kita mengucapkan terima kasih. Saya rasa seperti itu Pak, terima
kasih Pak.
WAKADIV BINKUM POLRI PANGGABEAN (RM. PANGGABEAN):
Baik Pak, jadi konvoi kendaraan atau menurut pertimbangan Kepolisian, maka ini sebenarnya
sedang disusun Peraturan Kepolisian Pak, Peraturan Tata Cara Pemberian SIM, tata cara kemudian
melakukan pengawalan konvoi.
Terkait juga dengan ini masalah pertimbangan-pertimbangan kepolisian dalam hal pemberian
seperti ini plat-plat nomor itu boleh saja Pak, tidak ada masalah itu Pak dari Kepolisian karena tugas-
tugas kepolisian itu sangat luas. Jadi apakah ini diskresi, kalau diskresi itukan sifatnya hanya
sementara dan kalau sudah jelas diatur dalam undang-undang bukan diskresi namanya. Jadi untuk
hal-hal seperti ini cukup banyak pertimbangan, cukup dibuat dalam produk peraturan kepolisian,
sudah dibuat dalam peraturan kepolisian dalam pemberian plat nomor khusus dan lain sebagainya
dan tidak perlu diatur dalam suatu teknik Peraturan Perundang-Undangan. Terlalu teknis nanti Pak,
jadi nanti kalau ada perubahan-perubahan nanti jadi berat, harus berubah undang-undang satu
katapun menjadi masalah. Itu kira-kira yang terkait dengan masalah 34 itu Pak.
Kemudian masalah-masalah yang lain saya kira sudah hampir terjawab, kalau tadi masalah
Bapak keluhannya kambing hilang, ya inikan polisi, polisi Bapak, Bapak juga harus bertanggung
jawab perbaikilah.
Kemudian masalah anggaran, saya kira bukan porsi juga ya Pak, terlalu riskan padahal
semua anggaran itu harus diatur dengan DIPA. Jadi kalau dia Polri sudah terfokus dalam hal DIPA
tahunan. Tapi Pemda selalu juga, dia menyelenggarakan ya terpaksa kegiatan itu dibantu Pak. Nanti
ada dibantu kok, cuma bagaimana pertanggung jawabannya, itu urusan PP jadinya itu. Saya kira itu
ya. Baik.
KETUA RAPAT:
Terima kasih atas segala masukan dari narasumber rekan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Yang saya hormati Saudara dari jajaran Kepolisian,
Pimpinan dan Anggota Pansus yang kami hormati,
Serta Hadirin sekalian yang berbahagia,
Dengan demikian selesailah rapat pada hari ini, rapat yang sifatnya konsultatif dimana
pandangan dan pendapat masukan Bapak kami tampung dan pada akhirnya akan menjadi masukan
dalam rangka memberikan jawaban bagaimana isian DIM yang disampaikan Pemerintah. Akhirnya
selaku Pimpinan rapat, perkenankanlah saya sekali lagi menyampaikan ucapan terima kasih kepada
narasumber dan terima kasih pula kepada rekan-rekan Anggota Pansus atas kebersamaan,
kesabaran dan ketekunannya didalam mengikuti rapat pada hari ini.
ARSP DPR R
I
77
Dengan ini rapat saya nyatakan ditutup, dengan mengucapkan alhamdulillahirabbil alamin.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
(RAPAT DITUTUP PUKUL 12.25 WIB)
( KETOK PALU 3 X
Jakarta, 15 Juni 2010
a.n. KETUA RAPAT
SEKRETARIS RAPAT,
ttd
UDRS. BUDI KUNTARYO.
NIP. 19630122 199103 1 001
ARSP DPR R
I