DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …
Transcript of DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …
DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH
KONTAK SERUMAH DALAM UPAYA PENEMUAN KASUS BARU TB
PARU DI CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014
Dadang Darmawan, Zarfiel Tafal
1. Departemen Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia
2. Departemen Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia
Email : [email protected]
ABSTRAK
Tuberkulosis paru hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prinsif
pengendalian TB Paru adalah menemukan kasus sebanyak-banyaknya dan menyembuhkan semua kasus yang
ditemukan. Upaya penemuan kasus baru dilakukan melalui pemeriksaan dahak dari kontak penderita TB Paru
BTA positif. Cakupan penemuan kasus TB Paru melalui pemeriksaan dahak di Puskesmas Cileungsi masih
rendah 44,24%. Penelitian kuantitatif non eksperimental ini menggunakan pendekatan cross sectional untuk
mengetahui hubungan antara variabel dependen (kepatuhan kontak) dan independen sebagai faktor predisposing,
enabling dan reinforcing (bivariat) dengan uji statistik menggunakan Chi-square dilanjutkan uji regresi logitik
untuk mengetahui faktor yang paling dominan (multivariat). Jumlah sampel 85 responden yang merupakan
kontak penderita TB BTA positif yang berobat ke Puskesmas Cileungsi pada trimester pertama 2013. Hasil
penelitian ini diketahui tingkat kepatuhan kontak masih rendah 22,4% dengan determinan kepatuhan yang
signifikan antara lain tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap yang termasuk predisposing factor. Jarak,
waktu tempuh, dan besar biaya yang harus dikeluarkan yang termasuk enabling factor. Dukungan keluarga,
masyarakat dan petugas yang termasuk reinforcing factor. Pengetahuan kontak tentang TB merupakan
determinan yang paling dominan. Diharapkan dengan diketahuinya determinan kepatuhan kontak menjadi salah
satu pertimbangan puskesmas dalam menciptakan terobosan untuk meningkatkan cakupan penemuan kasus TB
baru.
Kata kunci : Kepatuhan; Kontak serumah; Pot dahak; TB Paru
ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis is still a public health problem in Indonesia. Principle of Pulmonary TB control is to find
as many cases and cure of all cases are found. Efforts made the discovery of new cases through sputum
examination of contacts of smear positive pulmonary TB patients. Coverage of TB case detection by sputum
examination at the health center is still low Cileungsi 44.24%. This non-experimental quantitative study using
cross-sectional approach to determine the relationship between the dependent variable (compliance contact) and
independent as a factor predisposing, enabling and reinforcing (bivariate) by using a statistical test Chi-square
test was continued logistic regression to determine the most dominant factor (multivariate ). Total sample of 85
respondents who are contacts of smear positive TB patients treated at the health center Cileungsi in the first
trimester of 2013. Results of this study are known contact is low compliance rate of 22.4% with a significant
determinant of adherence such as the level of education, knowledge and attitudes that include predisposing
factor. Distance, travel time, and the large costs which include enabling factor. Support families, communities
and officials including reinforcing factors. Knowledge about TB contact is the most dominant determinant. It is
expected that with the known determinants of compliance contacts into one of the considerations in creating
breakthrough health centers to improve the coverage of the discovery of new TB cases.
Keywords: Compliance; Household Contacts; Pot Sputum; Pulmonary TB
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
Pendahuluan
Tuberkulosis paru (TB Paru) adalah penyakit infeksi kronis menular yang menyerang jaringan
paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, regional, nasional, maupun
lokal. Hingga saat ini tuberkulosis masih menjadi perhatian dunia dan belum ada satu negara
pun yang bebas TB. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga penduduk
dunia telah pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dalam hidupnya,
Menurut laporan WHO (2009) setiap tahun ada sekitar 9 juta kasus baru dengan angka
kematian mencapai 1,6 juta orang di seluruh dunia, atau dengan kata lain setiap menit ada 3
orang meninggal dunia akibat infeksi tuberkulosis. Diperkirakan 95% penderita TB berada di
negara-negara berkembang dengan menyumbangkan 25% sebagai penyebab kematian dari
penyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Kematian pada wanita akibat penyakit tuberkulosis
jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan kematian karena kehamilan, persalinan dan
nifas. Insidensi global TB terus meningkat sekitar 1-3% per tahun dan jumlah ini pun akan
terus meningkat seiring dengan munculnya epidemi HIV dan AIDS di dunia (Kemenkes RI,
2013).
Di Indonesia sendiri walaupun dilaporkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini
menunjukan tren penurunan namun pemerintah masih menganggapnya sebagai salah satu
masalah kesehatan masyarakat. Berbagai upaya penanggulangannya telah dilakukan akan
tetapi jumlah penderita dan angka kematian akibat penyakit TB masih terbilang cukup tinggi.
Tahun 2011 WHO menempatkan Indonesia sebagai penyumbang pasien TB terbesar ke-4 di
dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan. Estimasi jumlah penderita TB Paru di Indonesia
sekitar 900.000 kasus pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013) dengan point prevalence TB di
Indonesia berada pada angka 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian kasus penderita
TB 140.000 orang per tahun. Tuberkulosis termasuk penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan usia dan
merupakan penyebab kematian nomor satu dari seluruh penyakit infeksi.
Penyakit TB juga lebih jauh dapat menghambat kesejahteraan masyarakat berkaitan dengan
dampak economic lost yang tinggi yaitu kehilangan pendapatan rumah tangga akibat
penurunan produktifitas sumber daya manusia dalam rentang waktu yang cukup lama. Selain
itu sebagian besar penyakit tuberkulosis menyerang kelompok masyarakat pada rentang usia
kerja produktif secara ekonomi (usia 15-59 tahun) dan kebanyakan penderita tuberkulosis
berasal dari kelompok masyarakat sosial ekonomi rendah yang umumnya mereka itu adalah
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
tulang punggung ekonomi keluarga. Menurut WHO, seseorang yang menderita TB Paru
diperkirakan akan kehilangan rata-rata waktu kerja sekitar 3-4 bulan per tahun yang berakibat
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya kira-kira 20-30%, dan apabila penderita
tuberkulosis meninggal maka rumah tangganya akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2002 menderita kerugian akibat penyakit tuberkulosis
mencapai 8,2 trilyun rupiah, adapun kerugian ini dihitung dari kehilangan waktu produktif,
mati muda dan biaya pengobatan.
Jumlah penderita penyakit TB Paru di Provinsi Jawa Barat berdasarkan hasil riset kesehatan
dasar menduduki peringkat pertama di Indonesia (Riskesdas 2013). Kabupaten Bogor salah
satu kabupaten di Jawa Barat dengan jumlah penduduk terpadat yaitu hampir mencapai 5,2
juta orang tentunya turut memberikan andil terhadap tingginya jumlah penderita TB Paru di
Jawa Barat. Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat bahwa
jumlah kasus baru TB Paru di Kabupaten Bogor tahun 2012 sebanyak 8093 kasus, prevalensi
TB di Kabupaten Bogor mencapai 161 per 100.000 penduduk. Penemuan kasus baru BTA
positif di Kabupaten Bogor Tahun 2012 sebanyak 4225 kasus. Selanjutnya dari hasil
penanggulangan yang sudah dilaksanakan ternyata cakupan penemuan penderita TB jika
dibandingkan dengan standar pelayanan minimal (SPM) yang diharapkan yaitu mencapai
100%, pada tahun 2012 baru dapat dicapai 80,2% dengan angka sukses rate mencapai 88,9 %
(Profil Diskes Kab.Bogor 2012).
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas Kecamatan Cileungsi merupakan salah satu
Puskesmas di Kabupaten Bogor, dengan wilayah kerja yang dimiliki sebanyak 4 desa terdiri
dari Desa Cileungsi, Cileungsi Kidul, Limus Nunggal dan Desa Dayeuh dengan jumlah
penduduk dari 4 desa tersebut sebanyak 98.748 jiwa. Berdasarkan laporan tahunan puskesmas
cakupan penemuan kasus TB di UPT Puskesmas Kecamatan Cileungsi masih rendah yaitu
44,24% dibanding dengan target yaitu 80% (Laporan Tahunan UPT Puskesmas Kecamatan
Cileungsi 2013).
Cakupan penemuan kasus baru yang terpaut jauh dari target yang ditentukan tentunya akan
menghambat dalam upaya pengendalian TB Paru, karena setiap penderita dengan BTA positif
yang tidak diobati akan menularkan kepada 10-15 orang setiap tahunnya. Artinya jumlah
kasus TB BTA positif yang tidak terdeteksi maka akan meningkatkan jumlah kasus menjadi
10-15 kali lipat dalam 1 tahun. Anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita TB
Paru adalah kelompok yang paling rentan dan beresiko tertular penyakit TB Paru karena sulit
untuk menghindari kontak langsung dengan penderita yang merupakan sumber penularan
utama.
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
Untuk menekan penyebaran penyakit TB Paru dilakukan pemeriksaan kontak melalui strategi
passive case finding dengan active promotion sebagai aplikasi dari program Directly
Observed Treatment of Short course (DOTS). Keberhasilan dalam menemukan kasus baru
sangat penting untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit. Upaya ini telah dilakukan
oleh petugas kesehatan di puskesmas melalui strategi penjaringan kontak dengan melakukan
survey kepada kontak serumah untuk dilakukan pemeriksaan BTA dalam dahaknya. Namun
kesadaran kontak untuk melakukan pemeriksaan dahak sebagai upaya deteksi dini terhadap
penyakit TB Paru masih rendah dan hal ini sangat terkait dengan perilaku kesehatan.
Perilaku kesehatan individu ditentukan oleh berbagai determinan, Lawrence Green (1980)
mengelompokkan determinan tersebut ke dalam tiga faktor utama. Ketiga faktor utama
tersebut adalah 1). faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor yang dapat
mempermudah terjadinya perilaku pada diri seseorang yang umumnya merupakan faktor
internal individu itu sendiri seperti pengetahuan, sikap dan persepsi seseorang terhadap apa
yang akan dilakukan; 2). faktor pemungkin (enabling factors) atau biasa disebut sebagai
faktor pendukung. Faktor ini merupakan faktor eksternal seperti fasilitas, sarana dan
prasarana yang mendukung terjadinya perilaku kesehatan pada seseorang atau masyarakat; 3)
faktor penguat (reinforcing factors) dapat berupa dukungan orang-orang yang berpengaruh
atau yang menjadi panutan di masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, petugas
kesehatan, ataupun yang berupa peraturan dan himbauan. Masing-masing faktor dari ketiga
faktor tersebut apabila sejalan dapat saling menunjang dan memperkuat serta menentukan
perilaku kesehatan individu termasuk di dalamnya perilaku pemeriksaan dahak untuk
melakukan deteksi dini terhadap penyakit TB Paru.
Berdasarkan uraian di atas, salah satu permasalahan yang masih dihadapi oleh program P2TB
di UPT Puskesmas Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor adalah masih rendahnya cakupan
penjaringan suspek dan cakupan penemuan kasus baru TB Paru. Salah satu kemungkinan
penyebabnya adalah masih rendahnya kesadaran anggota keluarga penderita untuk melakukan
pemeriksaan dahak ke puskesmas dengan indikatornya adalah rendahnya partisipasi kontak
untuk mengembalikan pot dahak yang diberikan petugas puskesmas.
Sampai saat ini di Puskesmas Cileungsi belum pernah dilakukan penelitian yang berkaitan
dengan perilaku deteksi dini pada kontak serumah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
peneliti tertarik melakukan penelitian di wilayah kerja UPT Puskemas Kecamatan Cileungsi
Kabupaten Bogor untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan
rendahnya perilaku anggota keluarga untuk memeriksa dahak ke puskesmas sebagai upaya
deteksi dini penyakit tuberkulosis paru.
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
Tinjauan Teoritis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tipe humanus (jarang oleh tipe bovinus). Sebagian besar kuman
TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI. 2006).
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi penting penyebab morbiditi dan mortaliti
di seluruh dunia dan setiap negara berbeda angka insidensinya. Diperkirakan oleh WHO
sepertiga penduduk dunia telah pernah terinfeksi mycobacterium tuberculosis dalam
hidupnya, setiap tahun ada sekitar sembilan juta kasus baru dengan angka kematian mencapai
1,6 juta orang per tahun di seluruh dunia namun hanya sekitar 10% yang berkembang menjadi
penyakit. Diperkirakan lebih dari 96% kematian akibat TB berada di negara-negara
berkembang dengan menyumbangkan 25% sebagai penyebab kematian dari penyakit yang
sebenarnya dapat dicegah (Friedland J.S; 2004).
Sumber utama penularan penyakit TB Paru adalah penderita TB Paru BTA positif. Penularan
terjadi pada waktu penderita dengan BTA positif batuk atau bersin dimana penderita
menyemburkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuclei (percikan dahak). Dalam sekali
batuk penderita TB paru dapat menyebarkan sekitar 3000 percikan dahak.
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam dan orang dapat terinfeksi jika kuman tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.
Setelah kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB
tersebut juga dapat menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
penderita dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak makin
menular penderita tersebut, namun bila hasil pemeriksaan mikroskopik dahak penderita tidak
ditemukan kuman TB atau BTA negatif dalam dahaknya maka penderita tersebut dianggap
tidak menular. Kemungkinan seseorang tertular TB ditentukan oleh konsentrasi kuman TB
dalam droplet di udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko tertular TB Paru tergantung pada tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB
paru BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB
Paru BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama
satu tahun.
Di Indonesia proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB dianggap cukup tinggi dan
bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI 1% berarti setiap 1000 penduduk terdapat
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
10 orang yang akan terinfeksi, namun hanya 10% dari yang terinfeksi tersebut yang akan
menjadi penderita TB. Berdasarkan pada perhitungan tersebut dapat diperkirakan pada daerah
dengan ARTI 1% maka diantara 100.000 penduduk rata-rata akan terjadi 100 penderita baru
setiap tahun dimana 50 penderitanya adalah BTA positif yang akan menjadi sumber penularan
baru (Depkes RI 2001).
Penegakan diagnosis penyakit tuberkulosis paru berbeda antara anak dan orang dewasa. Pada
orang dewasa diagnosis penyakit tuberkulosis paru ditegakkan dengan cara ditemukannya
kuman Mycobacterium tuberculosis atau BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis
sebanyak 3 kali yaitu sewaktu, pagi dan sewaktu (SPS).
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya
positif. Jika hanya satu spesimen yang menunjukan hasil positif perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut yaitu dengan melakukan foto Rontgen dada atau pemeriksaan spesimen dahak
SPS diulang. Jika hasil foto Rontgen mendukung diagnosis TB Paru maka penderita di
diagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif. Namun sebaliknya jika hasil foto tidak
cukup untuk mendukung diagnosis TB Paru maka pemeriksaan spesimen dahak SPS harus
diulang.
Tuberkulosis paru merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sulit
ditanggulangi. Masalah kesehatan yang sulit ditanggulangi dan program kesehatan yang sulit
dicapai harus dipertimbangkan melakukan intervensi pada aspek perilaku, karena perilaku
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan terbesar setelah faktor
lingkungan (H.L.Bloom)
Perilaku merupakan hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dan respon (faktor
internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan perkataan lain, perilaku
seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun
dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan.
Banyak teori mengenai determinan perilaku ini, masing-masing mendasarkan pada asumsi-
asumsi yang dibangun. Salah-satu teori yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian
kesehatan masyarakat adalah teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green.
Masalah kesehatan secara garis besarnya disebabkan oleh dua faktor yaitu perilaku dan non
perilaku (Green,1980). Oleh karena itu pemahaman tentang konsep perilaku menjadi sebuah
keharusan dalam menanggulangi masalah kesehatan terlebih jika diyakini bahwa perilaku
memberikan kontribusi terhadap munculnya masalah tersebut.
Asumsi yang dibangun dalam teori Green berawal dari hasil analisis penyebab masalah
kesehatan. Di mana penyebab masalah kesehatan oleh Green dibedakan menjadi dua
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
determinan yaitu behavior factors (faktor-faktor perilaku) dan non behavior factors (faktor-
faktor non perilaku). Selanjutnya Green menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri
ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :
1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Yaitu faktor-faktor yang mempredisposisi atau mempermudah terjadinya perilaku
seseorang antara lain: pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai,
norma dan tradisi.
2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Yaitu faktor lingkungan yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku
seseorang, antara lain sarana dan prasarana untuk terjadinya perilaku seseorang
seperti: keberadaan dan keterjangkauan terhadap sarana dan prasarana pelayanan
kesehatan, ketersediaan transportasi, biaya, jarak tempuh ke tempat pelayanan,
komitmen dari masyarakat atau pemerintah terhadap masalah kesehatan, dan lain
sebagainya.
3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, yang
termasuk pada faktor ini antara lain: dukungan keluarga, dukungan petugas
kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, majikan, hukum adat, peraturan-
peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Rancangan penelitian non eksperimental
dengan pendekatan pengumpulan data secara Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini
semua kontak dari pasien TB Paru BTA positif yang diobati di Puskesmas Cileungsi pada
periode triwulan pertama tahun 2013 dengan sampel penelitian yang digunakan adalah total
sampling atau keseluruhan populasi yaitu seluruh kontak serumah penderita TB Paru BTA
positif, dengan kriteria inklusi:
1) Usia ≥ 15 tahun
2) Tinggal serumah dengan penderita TB Paru BTA positif minimal 6 bulan.
3) Bersedia menjadi responden dengan memberikan pernyataan persetujuan secara
tertulis.
Keadaan yang menyebabkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat
diikutsertakan dalam penelitian ini (kriteria eksklusi) adalah :
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
1) Tidak mampu baca tulis
2) Tidak mampu berkomunikasi secara verbal
3) Tidak kooperatif
4) Tidak ada di tempat saat pengambilan data primer
Instrumen untuk pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data primer yang
diterima melalui data kuesioner. Kuesioner yang telah dibuat mencakup variabel independen
yaitu umur, jenis kelamin, hubungan dengan penderita TB Paru BTA positif, tingkat
pendidikan formal, status bekerja, jarak rumah ke puskesmas, waktu tempuh ke puskesmas,
akses transportasi, biaya yang harus dikeluarkan, penghasilan keluarga, dukungan keluarga,
dukungan masyarakat, dukungan petugas, tingkat pengetahuan dan sikap.
Hasil Penelitian
Diketahui bahwa tingkat kepatuhan pengembalian pot dahak oleh kontak di Cileungsi dalam
penelitian ini masih rendah (22,4%). Untuk melihat hubungan kemaknaan antara variabel
independen dengan variabel dependen yang keduanya merupakan data kategorik digunakan
uji statistik chi-square. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status bekerja, hubungan dengan klien, pengetahuan dan sikap responden
mengenai tuberkulosis yang dalam hal ini dikategorikan sebagai faktor predisposisi
(predisposing factors). Selain itu variabel jarak tempuh, waktu tempuh, akses transportasi,
besaran biaya yang harus dikeluarkan dan penghasilan keluarga yang dikategorikan sebagai
faktor pemungkin (enabling factors), dan variabel dukungan keluarga, dukungan masyarakat
dan dukungan petugas kesehatan dikategorikan sebagai faktor penguat (reinforcing factors).
Dari masing-masing variabel tersebut secara statistik didapatkan hampir semua variabel
berhubungan dengan kepatuhan pengembalian pot dahak oleh kontak dengan nilai kemaknaan
yang bervariasi. Sementara yang tidak memiliki hubungan hanya akses transportasi (nilai p =
1,000), penghasilan keluarga (nilai p = 0,277) dan umur (nilai p = 0,065). Selanjutnya untuk
melihat faktor yang paling dominan maka hasil dari uji bivariat dilanjutkan dengan uji
multivariat menggunakan regresi logistik dan hasilnya diketahui variabel pengetahuan yang
paling dominan mempengaruhi kepatuhan pengembalian pot dahak oleh kontak (OR = 58,9).
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak yaitu
sebanyak 22,4%. Hasil ini memiliki kesesuaian dengan konsep kepatuhan (Sarafino, 1990)
yang mengatakan bahwa perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis baik
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
kepatuhan dalam pengobatan maupun pencegahanya karena tidak ada akibat buruk yang
segera dirasakan atau resiko yang jelas. Penyakit TB Paru tergolong penyakit menular kronis
(Depkes RI) namun bukan sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepatuhan karena
adanya faktor lain baik internal maupun faktor eksternal dari individu yang bersangkutan.
Faktor-faktor ini oleh Green digolongkan menjadi tiga faktor yaitu; faktor predisposisi, faktor
pemungkin dan faktor penguat.
1. Hubungan Antara Faktor Predisposing, Enabling dan Reinforcing Dengan Kepatuhan
Pengembalian Pot Dahak
a. Hubungan umur dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak
Hasil analisis univariat menunjukan distribusi frekuensi kontak paling banyak pada rentang
usia 18 tahun - 45 tahun yaitu sebanyak 58 orang (79%) sisanya tersebar pada usia diatas
45 tahun dan di bawah 18 tahun. Hasil ini sejalan dengan data yang dipublikasikan WHO
yang menyatakan bahwa penderita TB Paru lebih banyak diderita oleh kalangan usia
produktif. Apabila dikaitkan antara umur dengan tingkat kepatuhan menurut hasil
penelitian ini didapatkan bahwa umur di atas 45 tahun menunjukan tingkat kepatuhan yang
paling tinggi yaitu 29,4% sementara usia antara 18 – 45 tahun 22,4% dan pada usia anak
(di bawah 18 tahun) menunjukan hasil nihil (0%). Hasil ini sesuai dengan konsep
kepatuhan (Smet.B, 1994) dimana lanjut usia (di atas 45 tahun) lebih cenderung
mengasosiasikan setiap keluhan fisik dengan penyakit yang berbahaya, selain itu umur erat
kaitannya dengan tingkat ketergantungan individu, mengutip pernyataan Linda (2004)
dalam Tesis mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien pada
penyakit kronis; Diabetes Mellitus (Marulianna, 2013) yang menyatakan bahwa variabel
sosiodemografik seperti usia dan jenis kelamin tampak mempengaruhi derajat kepatuhan
sehingga hal ini membangun asumsi peneliti mungkin ada keterkaitan mengapa pada hasil
penelitian ini usia kategori anak (di bawah 18 tahun) menunjukan hasil nihil karena tingkat
ketergantungan anak pada orang dewasa masih cukup tinggi sehingga mempengaruhi pada
derajat kepatuhan.
b. Hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa distribusi frekuensi kontak lebih banyak
responden perempuan yaitu 52 orang (61,2%) dibanding laki-laki 33 orang (8,8%). Dari
hasil tersebut terdapat 33,3% kontak berjenis kelamin laki-laki yang tergolong patuh
sementara kontak yang berjenis kelamin perempuan hanya 15,4% yang patuh
mengembalikan pot dahak. Hasil uji statistik pada analisis bivariat menunjukan tidak ada
hubungan yang signifikan antara perbedaan jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan (nilai
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
p = 0,065) namun dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan secara distribusi jenis kelamin
laki-laki cenderung lebih patuh dalam mengembalikan pot dahak dibandingkan dengan
perempuan dibuktikan dengan nilai OR = 0,3 artinya kontak dengan jenis kelamin
perempuan hanya memiliki peluang 0,3 kali untuk patuh mengembalikan pot dahak
dibandingkan kontak yang berjenis kelamin laki-laki.
Dalam penelitian mengenai kepatuhan pemeriksaan ulang dahak fase akhir pengobatan
penderita TB Paru (Sumarman,2011) hasilnya menunjukan tidak ada perbedaan distribusi
frekuensi jenis kelamin dalam kepatuhan memeriksakan ulang dahak pada fase akhir
pengobatan (Perempuan 51,9% dan laki-laki 48,1%) dan tidak ada hubungannya antara
jenis kelamin dengan kepatuhan (p = 0,452).
Adanya perbedaan distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini
mungkin ada kaitannya dengan kebiasaan merokok pada laki-laki, hal ini ditunjang oleh
hasil penelitian Amu,Fenti Alvian (2008) yang mengatakan bahwa perokok laki-laki
jumlahnya lebih banyak yaitu sekitar 47% dibandingkan perokok perempuan yang hanya
12%. Selain itu perokok memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita penyakit TB Paru,
lebih lanjut Amu mengatakan peningkatan resiko ini akibat efek asap rokok yang
mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi selain itu asap rokok
diketahui merangsang pembentukan mukus (dahak).
Merujuk pada hasil penelitian Amu (2008) peneliti membangun asumsi dari hasil
penelitian ini mungkin karena laki-laki cenderung lebih mudah menghasilkan dan
mengeluarkan dahak berkaitan dengan tingginya jumlah perokok dikalangan laki-laki
karena yang dimaksud pengembalian pot dahak disini tidak hanya sebatas mengembalikan
pot dahak saja akan tetapi esensinya yang lebih penting adalah pemeriksaan dahak dari
kontak.
c. Hubungan pendidikan dengan kepatuhan pengembalian pot dahak pada kontak
Tingkat pendidikan respoden cukup seimbang yaitu 50,6% (43 orang) responden masuk
dalam kategori pendidikan rendah (tidak sekolah,SD,SMP, atau tidak tamat SMA) dan
49,4% (42 orang) masuk dalam kategori pendidikan tinggi (lulus SMA atau lebih tinggi).
Analisis bivariat menjelaskan hubungan antara pendidikan dengan kepatuhan pasien
menggambarkan bahwa responden yang berpendidikan tinggi jauh lebih menunjukan
kepatuhan (42,9%) sedangkan responden yang berpendidikan rendah hanya (2,3%) secara
statistik dapat disimpulkan terdapat hubungan yang sangat signifikan (nilai p = 0,000 pada
α = 0,05) dengan nilai OR = 31,5 yang artinya kontak dengan tingkat pendidikan tinggi
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
memiliki peluang 31,5 kali untuk patuh dibandingkan dengan yang tingkat pendidikan
rendah.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang berhubungan erat dengan tingginya kemauan
belajar dan kemampuan memahami dan menyerap informasi dengan baik. Seseorang yang
berpendidikan tinggi dianggap memiliki kemampuan berfikir logis yang tinggi serta
kesadaran akan kesehatan yang juga tinggi. Tingkat pendidikan yang tinggi
memungkinkan individu mengakses dan memahami informasi tentang kesehatan, sehingga
pasien mampu mencari informasi dan memahami serta mematuhi informasi yang
diterimanya sehingga kondisi ini tentunya akan menunjang pada tingginya tingkat
kepatuhan.
Berbeda dengan hasil penelitian Versitania (2011) yang menunjukan tidak ada hubungan
antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan pasen TB Paru yang berobat ke puskesmas (p
= 0,875). Eratnya hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan kontak dalam
penelitian ini sejalan dengan hasil dari variabel yang lainya yaitu responden yang tingkat
pendidikan tinggi sebagian dari mereka bekerja, sehingga peneliti mengasumsikan ada
dorongan lain sebagai faktor penguat terkait dengan status bekerjanya responden.
d. Hubungan pekerjaan dengan kepatuhan pengembalian pot dahak pada kontak
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
pekerjaan dengan kepatuhan pengembalian pot dahak pada kontak . Uji statistik yang
dilakukan menunjukkan nilai p = 0,000 pada α = 0,05. Dengan OR 10,0 dapat disimpulkan
bahwa responden yang bekerja memiliki peluang 10 kali untuk patuh dibandingkan dengan
responden yang tidak bekerja. Pada analisis data pekerjaan dengan kepatuhan
pengembalian pot dahak pada kontak didapatkan data dari 85 reponden 15 orang (44,5%)
yang bekerja patuh mengembalikan pot dahak dibanding yang tidak bekerja hanya 4
(7,7%). Sutedja (2002) meneliti faktor-faktor yang mendorong seseorang mencari
pengobatan pada masyarakat tersangka TB Paru menunjukan perbedaan antara yang
bekerja 57% dan yang tidak bekerja 43% dan hasil penelitian Sumarman (2011) 68,3% dari
penderita yang bekerja tergolong patuh namun dari dua hasil penelitian tersebut tidak
menjelaskan lebih rinci alasan perbedaan tersebut.
Adanya kecenderungan orang yang bekerja lebih patuh dalam mengembalikan pot dahak
yang sejalan dengan hasil penelitian mengenai pencarian pengobatan peneliti membangun
asumsi yaitu kemungkinan orang yang bekerja memiliki faktor penguat yang lebih besar
seperti adanya dukungan rekan kerja, takut kehilangan pekerjaan ataupun tempat bekerja
yang menjadikan status kesehatan menjadi syarat mutlak untuk karyawannya atau malah
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
sebaliknya karyawan menunjukan perilaku kepatuhan ini sebagai alasan yang logis untuk
memperoleh kesempatan istirahat dari rutinitas pekerjaan. Asumsi ini tentunya masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
e. Hubungan jarak tempuh dan waktu tempuh dengan kepatuhan kontak
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa proporsi kepatuhan pengembalian pot dahak
lebih besar pada responden yang memiliki jarak tempuh dekat 17 (30,9%), dibandingkan
dengan responden yang memiliki jarak tempuh jauh 2 (6,7%). Analisis lebih lanjut
menunjukkan ada hubungan antara jarak tempuh dari rumah responden ke puskesmas
dengan kepatuhan mengembalikan pot dahak (p = 0,013) dengan nilai OR = 6,2 yang
artinya kontak dengan jarak tempuh dekat memiliki peluang lebih patuh 6,2 kali
dibandingkan dengan kontak yang memiliki jarak tempuh jauh. Hasil yang sama persis
didapat pada variabel waktu tempuh. Dari seluruh responden menunjukan antara jarak
tempuh berbanding lurus dengan waktu tempuh.
Dari hasil penelitian sebelumya yang berkaitan dengan tingkat kepatuhan penderita TB
Paru baik dalam pengobatan maupun dalam hal pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan
menunjukan hal yang sama yaitu adanya hubungan yang signifikan antara tingkat
kepatuhan dengan jarak dan waktu tempuh (P = 0,032).
f. Hubungan akses transportasi dengan kepatuhan pengembalian pot dahak pada kontak.
Analisis hubungan akses transportasi dengan kepatuhan pengembalian pot dahak
menjelaskan bahwa responden yang memiliki akses transportasi mudah sebanyak 22,5%
(18 orang) tergolong patuh mengembalikan pot dahak, sedangkan pada responden yang
mengatakan akses transportasi sulit sebanyak 20% (1 orang) tidak mengembalikan pot
dahak. Hasil analisis bivariat menunjukan tidak ada hubungan bermakna dengan nilai p =
1,000 dengan nilai OR = 1,1 artinya hampir tidak terdapat perbedaan peluang kepatuhan
antara kontak yang memiliki akses transportasi mudah dengan kontak yang memiliki akses
transportasi sulit.
g. Hubungan besarnya biaya/ongkos yang harus dikeluarkan dengan kepatuhan
pengembalian pot dahak.
Analisis hubungan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dengan kepatuhan kontak dalam
mengembalikan pot dahak menggambarkan dan menjelaskan dari seluruh kontak yang
mengembalikan pot dahak didapatkan responden yang harus mengeluarkan biaya kurang
dari 20 ribu rupiah sebanyak 17 orang (28,3%) sedangkan responden yang harus
mengeluarkan biaya lebih besar dari 20 ribu rupiah sebanyak 2 orang (8%). Hasil uji
statistika didapatkan nilai p = 0,048 pada α = 0,05, maka dapat disimpulkan terdapat
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
hubungan yang signifikan antara besarnya biaya yang harus dikeluarkan terhadap
kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak ke puskesmas. Nominal 20 ribu rupiah
digunakan sebagai standar diambil dari angka kemampuan daya beli masyarakat
Kabupaten Bogor.
h. Hubungan penghasilan keluarga dengan kepatuhan pengembalian pot dahak
Tingkat kepatuhan seseorang diduga berkaitan dengan status ekonomi keluarga. Dalam
penelitian ini terdapat 30% (9 orang dari 30 orang) yang patuh mengembalikan pot dahak
ke puskesmas dengan latar belakang penghasilan keluarga di atas upah minimum regional
dan 18,2% responden (10 orang dari 55 orang) dengan penghasilan keluarga di bawah upah
minimum regional. Analisis bivariat menunjukan hasil nilai p = 0,328 lebih tinggi dari nilai
α = 0,05 artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga
dengan tingkat kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak.
i. Hubungan dukungan keluarga dengan pengembalian pot dahak pada kontak
Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini didapatkan kontak yang mendapatkan dukungan
keluarga yang patuh mengembalikan pot dahak ke puskesmas sebesar 48,7% sementara
hasil nihil (0%) ditunjukan oleh responden yang tidak mendapatkan dukungan dari
keluarga. Nilai p = 0,000 dari uji statistik ini menunjukan terdapat hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga degan perilaku kepatuhan kontak dalam
mengembalikan pot dahak ke puskesmas. Kontak yang mendapatkan dukungan dari
keluarga memiliki kemungkinan hampir 2 kali lipat (OR = 1,9) untuk menunjukan perilaku
patuh dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan dukungan.
j. Hubungan dukungan masyarakat dengan pengembalian pot dahak pada kontak
Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini didapatkan kontak mendapatkan dukungan
masyarakat yang patuh mengembalikan pot dahak ke puskesmas sebesar 28,6% sementara
responden yang tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat sebesar 17,9%. Nilai p =
0,005 dari uji statistik ini menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan
masyarakat degan perilaku kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak ke
puskesmas. Kontak yang mendapatkan dukungan dari masyarakat memiliki kemungkinan
11 kali (OR = 11,4) untuk menunjukan perilaku patuh dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan dukungan masyarakat.
k. Hubungan dukungan petugas dengan pengembalian pot dahak pada kontak
Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini didapatkan kontak yang mendapatkan dukungan
petugas yang patuh mengembalikan pot dahak ke puskesmas sebesar 28,4% dan hasil nihil
(0%) ditunjukan oleh responden yang tidak mendapatkan dukungan dari petugas. Nilai p =
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
0,000 dari uji statistik ini menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan
petugas degan perilaku kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak ke puskesmas.
Kontak yang mendapatkan dukungan dari petugas memiliki kemungkinan hampir 2 kali
lipat (OR = 1,3) untuk menunjukan perilaku patuh dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan dukungan.
Hasil dari tiga jenis dukungan di atas yaitu dukungan keluarga, dukungan masyarakat
maupun dukungan dari petugas dalam penelitian ini seluruhnya menunjukan adanya
hubungan yang signifikan, hal yang sama ditunjukan dalam hasil penelitian sebelumnya
yang mengatakan terdapat hubungan bermakna antara kepatuhan dengan masing-masing
dukungan tersebut (Sumarman dan Heri Unita, 2011). Kepatuhan tersebut berkaitan
dengan pengobatan penderita TB Paru dan pemeriksaan ulang dahak pada penderita. Hasil
penelitian ini juga didukung oleh konsep social support (Sarafino dan Bert) mengatakan
dengan adanya dukungan sosial dari berbagai pihak akan meringankan beban penderitaan
dan mengurangi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh individu.
l. Hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan mengembalikan pot dahak
Berdasarkan distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden dalam penelitian ini lebih
banyak responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi yaitu 47 orang dan yang
memiliki pengetahuan tergolong rendah 38 orang. Analisis bivariat menjelaskan hubungan
antara pengetahuan dengan kepatuhan pasien menggambarkan bahwa responden dengan
pengetahuan tinggi jauh lebih menunjukan kepatuhan 36,2% sedangkan responden dengan
pengetahuan rendah hanya 5,3% secara statistik dapat disimpulkan terdapat hubungan yang
sangat signifikan (nilai p = 0,002 pada α = 0,05) dengan nilai OR = 10,2 yang artinya
kontak dengan tingkat pegetahuan tinggi memiliki peluang 10,2 kali untuk patuh
dibandingkan dengan yang tingkat pengetahuan rendah.
m. Hubungan sikap dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak
Berdasarkan distribusi frekuensi sikap responden dalam penelitian ini hampir seimbang
antara responden yang memiliki sikap positif yaitu 45 orang dan yang memiliki sikap
negatif 40 orang. Analisis bivariat menjelaskan hubungan antara sikap responden dengan
kepatuhan pasien menggambarkan bahwa responden dengan sikap positif jauh lebih
menunjukan kepatuhan 42,2% sedangkan responden dengan sikap negatif tidak ada satu
pun yang patuh mengembalikan pot dahak dan hasil uji secara statistik dapat disimpulkan
terdapat hubungan yang sangat signifikan (nilai p = 0,000 pada nilai α = 0,05) dengan nilai
OR = 1,7 yang artinya kontak dengan sikap yang positif terhadap upaya pemberantasan
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
penyakit TB Paru memiliki peluang hampir 2 kali untuk patuh dibandingkan dengan yang
memiliki sikap negatif.
Perilaku ditentukan oleh tiga faktor (Green) yaitu salah satunya adalah faktor predisposisi
yaitu faktor-faktor yang mempermudah seseorang untuk berperilaku diantaranya adalah
pengetahuan dan sikap. Walaupun dalam penelitian ini tingkat kepatuhan kontak masih
rendah namun secara uji statistik terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan
dan sikap dengan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak (nilai p = 0,002 dan
nilai p = 0,000). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dari Lawrence Green namun
bukan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan perilaku seseorang.
Penelitian sebelumnya mengenai perilaku kepatuhan yang berkaitan dengan penderita
tuberkulosis antara lain mengenai kepatuhan berobat dan kepatuhan pemeriksaan dahak
akhir pengobatan menunjukan hal yang sama yaitu adanya hubungan yang kuat antara
pengetahuan dan sikap penderita terhadap tingkat kepatuhan.
2. Variabel Yang Dominan
Hasil analisis bivariat didapatkan beberapa variabel yang memiliki hubungan yang bermakna
dengan kepatuhan kontak dalam pengembalian pot dahak. Untuk mengetahui variabel mana
yang paling dominan diantara variabel-variabel yang memiliki hubungan secara statistik maka
dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik. Berdasarkan hasil analisis multivariat
diketahui variabel yang paling dominan dalam penelitian ini diantara variabel-variabel yang
diteliti adalah variabel pengetahuan kontak tentang TB dengan nilai p = 0,024 dan nilai OR =
58,9 yang artinya kontak dengan tingkat pengetahuan tinggi memiliki peluang 58,9 kali untuk
patuh dibandingkan dengan yang tingkat pengetahuan rendah, setelah dikontrol oleh variabel
jarak tempuh, pendidikan dan status pekerjaan.
Kesimpulan
1. Tingkat kepatuhan responden yang adalah kontak penderita TB Paru BTA positif dalam
mengembalikan pot dahak di wilayah kerja Puskesmas Cileungsi masih rendah yaitu
22,4%.
2. Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan sikap yang termasuk predisposing factor
berhubungan dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak.
3. Jarak, waktu tempuh, dan besar biaya yang harus dikeluarkan yang termasuk enabling
factor berhubungan dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak.
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
4. Dukungan keluarga, masyarakat dan petugas yang termasuk reinforcing factor
berhubungan bermakna dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak ke
puskesmas.
5. Pengetahuan responden yang adalah kontak penderita TB Paru BTA positif merupakan
variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot
dahak.
Saran
Sebagai implikasi hasil penelitian ini terhadap program TB Paru di puskesmas antara lain
dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menyusun strategi program. Dengan
diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan kontak dalam
mengembalikan pot dahak diharapkan dapat menemukan terobosan baru dalam menunjang
peningkatan cakupan program.
Untuk meningkatkan cakupan pengembalian pot dahak ke puskesmas dapat membuat
terobosan baru terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan signifikan
dengan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak misalnya untuk meningkatkan
pengetahuan dan sikap positif dari kontak yang merupakan faktor predisposisi yang
berhubungan dengan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak melalui
pembentukan kader khusus pengendalian penyakit TB Paru yang diberdayakan untuk
melakukan penyuluhan intensif kepada kontak serumah penderita TB Paru dalam upaya
meningkatkan pengetahuan dan sikap positif khususnya pada kontak serumah dan masyarakat
pada umumnya. Selain itu kader TB juga dapat diberdayakan sebagai kurir pot dahak sebagai
inovasi untuk mengatasi kendala yang berkaitan dengan faktor enabling seperti jarak tempuh,
waktu tempuh dan besaran biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan.
Selain itu petugas kesehatan diharapkan dapat menciptakan dan mensosialisasikan berbagai
bentuk dukungan sosial (social support) yang diketahui sebagai faktor penguat yang memiliki
hubungan dengan tingkat kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak. Kemampuan dalam
memberikan dukungan sosial ini diharapkan dapat dilakukan oleh petugas, keluarga dan
masyarakat baik dalam bentuk dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental maupun dukungan informatif.
Selain itu diharapkan petugas dapat meningkatkan kemampuan bagi keluarga dan masyarakat
agar lebih aktif berpartisipasi dalam program pengendalian penyakit tuberkulosis serta
mengajarkan kepada kontak sasaran untuk dapat mempraktikan keterampilan batuk efektif
sehingga memudahkan untuk mengeluarkan dahak.
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
Penelitian ini menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan signifikan dengan
kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak ke puskesmas dan berbeda dengan asumsi
awal antara lain jenis kelamin dan status bekerja. Pada awalnya peneliti membuat asumsi
bahwa jenis kelamin perempuan dan status tidak bekerja akan lebih menunjukan perilaku
patuh namun pada hasil penelitian ini didapatkan hasil yang sebaliknya sehingga disarankan
dapat dijadikan dasar atau data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Selain itu rendahnya cakupan penemuan kasus mungkin ada kaitannya dengan target capaian
yang digeneralisir tingkat nasional, sehingga untuk daerah-daerah yang memiliki jumlah
penduduk tinggi namun dengan kondisi sosial ekonomi yang cukup baik akan mengalami
kesulitan dalam mencapai target tersebut hal ini ditunjang oleh banyak penelitian yang
mengungkap keterkaitan antara faktor sosial ekonomi dan lingkungan dengan kejadian kasus
TB Paru.
Daftar Refrensi
Amu, F.A. 2008. Hubungan Merokok dan Penyakit Tuberkulosis Paru. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. Volume 5. Jakarta.
Asnawi, 2002. Tesis: Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat
Penderita TB Paru Di Kota Jambi 2002. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Depok.
Cohen, J ; Powderly, W.G. 2004. Infectious Desease: Second Edition. Philadelpia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. buku –pedomam-nasional-penanggulangan-tbc-pdf.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012. Profil Kesehatan 2012. Bandung. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.2012. Profil Kesehatan 2012. Bogor. Dinas Kesehatan
Kabupaten Bogor
Green, L.W. et al., 1980. Health Education Planning : A Diagnostic approach. First Ed.
Mayfield Publishing Company.
Hastono.S.P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Depok.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Promosi Kesehatan
Tuberkulosis. Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes RI. Jakarta.
Kodim.N. 2011. Editorial Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 5 Nomor 5. 2011. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014
Marulianna, F.B. 2013. Tesis : Analisi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan
Pasien Neuropati Diabetik Dalam Pencegahan Ulkus Diabetikum. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia . Depok
Muis, A.A., 2001. Tesis: Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Penderita
Tuberkulosis Untuk Berobat Teratur Di Jawa Tengah Dan Sulawesi Tengah 2001.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Notoatmodjo.S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, PT.Rhineka Cipta, Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Sarafino, E.P. 2006. Health Psychology ; Biopsychosocial interaction, 5th
Edition, John
Willey & Sons, INC.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Sudoyo.A.W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid II. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Sumarman. 2011. Peran PMO Dan Kepatuhan Pemeriksaan Ulang Dahak Fase Akhir
Pengobatan TB Di Kabupaten Bangkalan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 6.
Nomor 2. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.
Thawaf,S & Sutedja, 2002. Pengetahuan Persepsi dan Perilaku Tersangka TB Paru dalam
Mencari Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Jaya Giri Bandung Tahun 2000,
MKB Volume 34 Nomor 3.
Unit Pelaksana Teknis Puskesmas Kecamatan Cileungsi. 2013. Laporan Tahunan 2012,
Bogor : UPT Puskesmas Kecamatan Cileungsi.
Versitania.H.U. & Putranto.H.K. 2011. TB Paru Di Palembang. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Edisi 5. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.
WHO. 2010. Global of Tuberculosis Control : Report 2010.
Yunus.F. 2006. Pulmonologi Klinik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014