Deteksi Dini Ketunalarasan
description
Transcript of Deteksi Dini Ketunalarasan
Pendidikan Dasar anak Tuna Laras
“DETEKSI DINI KETUNALARASAN (NEUROTIC BEHAVIOR) YANG
DISEBABKAN OLEH FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL”
Dosen Pengampu: Drs. Ibnu Syamsi, M. Pd.
OLEH
NURAINI SAFITRI
NIM : 12103241046
PLB-2-B
Prodi Pendidikan Luar Biasa
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
2012/2013
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas ini yang diberikan oleh dosen pengampu.
Dalam penyusunan tugas ini tentu tidak lepas dari bantuan dan kerjasama
yang baik dari berbagai pihak.Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Drs. Ibnu Syamsi, M.Pd. selaku dosen pengampu pendidikan anak tunalaras.
2. Teman-teman seperjuangan.
3. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan agar menjadikan kesempurnaan dalam
tugas ini. Akhirnya, penlis berharap semoga tugas ini berguna khususnya bagi
penulis sendiri maupun teman-teman seperjuangan demi peningkatan kualitas
pendidikan.
Yogyakarta, 15 April 2013
Penulis
2
DETEKSI DINI KETUNALARASAN (NEUROTIC BEHAVIOR) YANG
DISEBABKAN OLEH FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL
Nuraini Safitri
12103241046
PLB/FIP/UNY
Email : [email protected]
ABSTRAK
Perkembangan emosi merupakan perkembangan yang pasti dialami oleh setiap manusia. Faktanya, ada sebagian anak yang mengalami hambatan dalam proses perkembangan emosional. Anak mengalami masalah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, mereka bertingkah laku dan menyampaikan emosi yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Sebagian orang ada yang mengabaikan hal ini, dikarenakan mereka meyakini kalau dengan sendirinya anak akan meninggalkan perilaku asosialnya dan membentuk konsep diri yang benar. Padahal tidak benar seratus persen, untuk mengatasi hal ini, deteksi ketunalarasan penting dilakukan agar penanganan untuk mengatasi atau meminimalisir perilakunya dapat lebih mudah. Meminimalisir perilaku menyimpang seseorang yang telah lama tidak mudah dilakukan, perlu kerjasama di semua lini lingkungan dimana anak itu hidup. Tidak hanya itu, agar penanganan dilakukan dengan tepat, kita harus mengetahui pengetahuan mengenai karakteristik, derajat penyimpangan atau penggolongan, dan faktor penyebab terbentuknya tunalaras.
Kata kunci : deteksi dini, tunalaras, penanganan, lingkungan sosial
3
Pendahuluan
Masa perkembangan emosi anak merupakan sebuah hal yang penting
namun terkadang kurang mendapat perhatian yang serius. Semua masyarakat,
khususnya orang tua menginginkan setiap anaknya agar dapat bertingkahlaku
yang baik, sesuai dengan norma-norma yang ada, dan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya, namun fakta di lapangan menyatakan bahwa tidak
semua anak dapat berkembang sesuai keinginan tersebut.
Ada anak yang emosi dan perilakunya tidak berkembang sebagaimana
mestinya, mereka sering melakukan perbuatan menyimpang sehingga membuat
masyarakat sangat terganggu dengan tingkahlakunya dan menjadikan masyarakat
melabelkan anak tersebut dengan sebutan “anak Nakal” yang dalam pendidikan
luar biasa sering disebut anak tunalaras. Orang tua atau guru harus bisa
mendeteksi dini jika anaknya mengalami hambatan, hal ini bertujuan agar
kelainan yang dialami anak tidak berkembang atau bertambah parah. Misalnya
kalau anak mengalami ketunalarasan maka pihak yang bersangkutan harus cepat
mencengahnya, agar kelainannya tidak bertambah parah. Cara mencegah atau
mengurangi perilaku menyimpang anak, yang paling baik adalah dengan
mengetahui terlebih dahulu, bagaimana polapikir, gejala, tingkahlakunya. Banyak
faktor yang menyebabkan penyimpangan dalam perkembangan emosional dan
tingkahlaku anak, seperti lingkungan pendidikan yang kurang baik, kelainan
genetik atau biokimiawi, ataupun adanya disfungsi antara anak dengan
lingkungannya.
Dalam makalah ini, penulis mambahas mengenai lingkungan pendidikan
yang kurang baik dan disfungsi antara anak dengan lingkungannya, sehingga
menghasilkan gangguan emosi. Gangguan emosi ini biasanya disebabkan oleh
salahnya pola asuh yang diberikan oleh lingkungan sosialnya, bisa karena sikap
over protective ataupun sikap menolak dari lingkungan pendidikan. Kalau anak
sudah mempunyai perilaku dan emosi yang tidak sesuai dengan usianya maka,
keluarga harus menerima anak tanpa mengabaikannya. Untuk meminimalisir
perilaku menyimpangnya, diperlukan upaya penanganan yang serius terhadap
perilaku menyimpang anak yang disebabkan pengaruh dari lingkungan sosial.
4
Pembahasan
A. Pentingnya deteksi dini Ketunalarasan
Kenakalan merupakan sesuatu yang wajar dilakukan oleh seorang anak.
Namun kenakalan menjadi tidak wajar jika kelakuan tersebut terjadi dalam
frekuensi yang sering dan jangka waktu yang lama serta sudah menganggu baik
bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Semakin ia menginjak usia remaja maka
akan semakin sulit mengarahkan perilakunya dikarenakan orangtua tidak mungkin
mengawasinya selama 24 jam dan biasanya anak juga sudah mempunyai prinsip
pribadi yang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, tetapi juga
sekolah. Oleh karena itu, deteksi dini terhadap perilaku yang menyimpang ini
sangat penting agar pengobatan yang dilakukan dapat berhasil dengan baik.
Apalagi mengubah perilaku seseorang sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat.
Hasil studi dari Taylor (1964: 97) menunjukkan bahwa paling tidak terdapat tujuh faktor yang turut memberikan kontribusi terhaadap prestasi anak, yaitu:
1. kemampuan anak untuk mengatasi kecemasan, 2. perasaan harga diri, 3. konformitas terhadap tuntutan otoritas, 4. penerimaan kelompok sebaya, 5. kurangnya konflik dan sifat ketergantungan, 6. keterlibatan dalam aktivitas akademik, dan7. kemampuan dalam merancang tujuan yang realistik.
Kenyataan di lapangan, bahwa pada anak tunalaras cenderung kurang
memiliki beberapa kemampuan diatas. ketidakmatangan sosial dan atau
emosionalnya selalu berdampak pada keseluruhan prilaku dan pribadinya,
termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara umum dikatakan bahwa proses belajar
akan berlangsung secara optimal, bila salah satu diantaranya ada kesiapan
psikologis dari peserta didik. Anak tunalaras karena ketidakmatangan dalam aspek
sosial dan atau emosional jelas akan menghambat kesiapan psikologisnya,
sehingga optimalisasi proses belajarnya juga akan terhambat.
B. Penggolongan anak tunalaras
Garis pemisah antara orang normal dengan anak tunalaras terletak pada
tingkat keparahan dan ketakutan gejala yang dialaminya. Menurut T. Sutjihati
5
Somantri (2005: 142) anak yang mengalami gangguan emosi dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu;
1. neurotic behaviour (perilaku neurotik), disebabkan oleh pola asuh yang salah yang dilakukan lingkungan pendidikan kepada anak, bisa sikap lingkungan yang menolak terhadap keberadaan anak, ataupu lingkungan yang terlalu memanjakan anak,
2. children with psychotic process, yang disebabkan oleh adanya gangguan pada syarafnya. Menurut Effendi (2005: 143) Penggolongan anak tunalaras dapat ditinjau
dari segi gangguan atau hambatan dan kualifikasi berat ringannya kenakalan,
dengan penjelasan sbb :
1. Menurut jenis gangguan atau hambatan
a. Gangguan Emosi
Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi
terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat-cepat
marah, dan rileks-tertekan. Secara umum emosinya menunjukkan sedih,
cepat tersinggung atau marah, rasa tertekan dan merasa cemas. Macam-
macam gejala hambatan emosi, yaitu:
1) Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari, misalnya ketakutan yang kurang jelas obyeknya.
2) Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk, keadaan atau waktu tertentu. Pada umumnya anak merasa takut terhadap hantu, monyet, tengkorak, dan sebagainya.
3) Gugup, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan-perbuatan aneh, seperti:a) Gerakan pada mulut seperti meyedot jari, gigit jari dan
menjulurkan lidah.b) Gerakan aneh sekitar hidung, seperti mencukil hidung,
mengusap-usap atau menghisutkan hidung.c) Gerakan sekitar jari seperti mencukil kuku, melilit-lilit tangan
atau mengepalkan jari.d) Gerakan sekitar rambut seperti, mengusap-usap rambut,
mencabuti rambut. e) Demikian pula gerakan-gerakan seperti menggosok-
menggosok, mengedip-ngedip mata dan mengrinyitkan muka, dan sebagainya.
4) Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.
6
5) Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi hancur dan tidak berfungsi.
6) Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan. Mereka kurang berang menghadapi kenyataan pergaulan.
7) Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya melanggar hukum karena perasaan tertekan.
b. Gangguan Sosial
Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang
menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan
tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan itu adalah seperti sikap
bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati orang lain, keras
kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik
orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat
mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain. Contoh dari
gangguan sosial ini adalah dellikwensi.
2. Klasifikasi berat-ringannya kenakalan
Menurut pendapat Mohammad Effendi (2005: 144) ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat ringan kriteria itu adalah:a. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki
perasaan negatif terhadap orang lain. Makin dalam rasa negatif semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.
b. Frekuensi tindakan, artinya frekuensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.
c. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi hukum.
d. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.
e. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel” dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
f. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya.
7
Menurut Hallahan dan Kauffman (dalam Effendi,2005: 145), simptom gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam, yaitu externalizing behavior dan internalizing behavior. Externalizingbehavior memiliki dampak langsung atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri, dan kurangnya kendali diri. Internalizing behavior mempengaruhi siswa dengan berbagai macam gangguan seperti kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh yang sama buruknya terhadap kegagalan dalam belajar di sekolah.
C. Karakteristik Anak Tunalaras
Menurut Linda Lebelle (2005: 17) Karakter-karakter seseorang
diperlihatkan oleh kepribadiannya, yakni oleh polapikir, perasaan, dan perilaku
kebiasaan yang dimilikinya. Kepribadian setiap anak pasti berbeda, oleh karena
itu ciri-ciri anak tunalaras pun demikian. Walaupun sama-sama mengalami
gangguan emosi, namun antara satu dengan yang lainnya ada yang berbeda.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan polapikir, dan adnya perbedaan
mengenai faktor terbentuknya perilaku menyimpangnya.
Ciri-ciri/gejala/karakteristik dari anak gangguan emosi perilaku neurotik,
diantaranya:
1. Kecemasan, seperti kegelisahan, kekhawatiran, dan sering ketakutan.
2. Agresif, seperti suka menyerang, memberontak, dan susah diatur.
3. Impulsif, seperti ketidakstabilan gejolak perasaan, hubungan dengan orang
lain, gambaran diri dan kebiasaan ketidakstabilan ini kerap mengganggu
kehidupan keluarga, pekerjaan, rencana jangka panjang, dan kesan
seseorang mengenai identitas pribadinya. Anak tunalaras akan menderita
semacam gangguan pengendalian emosi.
Perilaku yang biasa dilakukan oleh anak yang mengalami jenis
penyimpangan perilaku neurotik di sekolah adalah malas belajar, kurang
perhatian terhadap materi yang disampaikan, dan mengakibatkan nilai/ restasi
rendah, sedangkan di rumah adalah tidak betah berada di rumah dan senang
berkeluyuran.
8
Menurut Effendi (2005: 147) anak tunalaras memiliki rasa harga diri
kurang dengan tanda-tanda antara lain :
1. Terlalu mempersoalkan kekurangan diri, sering minta maaf, takut tampil di muka umum, takut bicara dan sebagainya.
2. Mengeluh dengan nada nasib malang.3. Segan melakukan hal-hal yang baru atau yang dapat mengungkapkan
kekurangannya.4. Selalu ingin sempurna, tidak puas dengan apa yang telah diperbuat.5. Sikap introvert (lebih banyak mengarahkan perhatian kepada diri
sendiri).Adapun rasa harga diri kurang yang tersembunyi, antara lain:
1. Bernada murung, cepat merasa tersinggung.
2. Merasa tidak enak badan, sakit buatan, dan sebagainya.
3. Berpura-pura lebih dari orang lain: menonjolkan diri, bicara lantang,
merendahkan orang lain.
4. Membuat kompensasi.
5. Menjalankan perbuatan jahat.
Berikut karakteristik anak tunalaras yang biasanya dijadikan rujukan
untuk mengidentifikasi perilaku;
1. Kehidupan emosi tidak stabil.
2. Pengendalian diri yang kurang.
3. Ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat.
4. Kadang-kadang seseorang yang mengalami tuna laras memandang diri
mereka sangat buruk atau tidak berharga. Mereka merasa tidak
dipahami secara adil, dianiaya, jemu, hampa, dan memiliki sedikit
pemahaman mengenai siapakah sesungguhnya diri mereka. (A.J.
Mahari,2005: 46)
5. Mereka cenderung menghendaki pencapaian sesuatu dengan segera
serta memberikan label ekstrim pada orang lain (baik positif maupun
negatif). (A.J. Mahari,2005: 33)
6. Rasa takut ditinggalkan kelihatannya berhubungan dengan masalah
emosional terhadap sesosok pribadi yang mereka anggap penting,
terutama saat dia tidak ada di sisi penderita.
9
7. Mereka tampaknya tidak memiliki emosi atau perasaan apa pun,
seperti cinta atau rasa bersalah (A.J. Mahari,2005: 56). Mereka mudah
marah, tetapi dalam sekejap dapat meredam marahnya, tanpa
merasakannya kembali. Tidak peduli, apa yang mereka katakan
mengenai perasaan mereka, maka itu tidak ada pengaruhnya terhadap
tindakan atau sikap mereka pada masa mendatang.
Gejala-gejala ini akan semakin parah bila seseorang yang mengalami
perilaku menyimpang merasa diisolasi serta kekurangaan dukungan sosial, dan
selalu berusaha menarik perhatian secara tidak wajar agar tidak merasa
sendirian.
D. Faktor penyebab ketunalarasan di lingkungan sosial
Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku
menyimpang, yaitu faktor biologis, faktor keturunan, faktor psikologis, faktor
psiososial, dan faktor lingkungan sosial(keluarga, sekolah, masyarakat).
kondisi anak yang masih labil disetiap lingkungan pendidikan banyak
mengandung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan bimbingan dan
pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah terjerumus pada
tingkahlaku menyimpang.
Menurut Erikson dalam Sutjihati (2005: 144) setiap memasuki fase
perkembangan baru, anak dihadapkan dengan berbagai tantangan atau krisis
emosi. Menurut Linda Lebelle (2005: 35), penelitian memperlihatkan bahwa
kebanyakan –tetapi tidak semua- anak tunalaras itu disebabkan karena
penganiayaan, pengabaian, atau ditinggalkan semasa kanak-kanak. Menurut
Tin Suharmini (2009: 94), biasanya anak tunalaras berasal dari keluarga yang
relatif kurang menguntungkan bagi anak, baik secara bilogis, psikologis dan
sosial, yang memungkinkan terjadinya kerentanan kejiwaan.
Konflik psikis pasti dialami oleh semua orang, konflik psikis disini
berarti terjadinya pengalaman kurang menyenangkan atau terjadinya
kesenjangan antara usaha pemenuhan kebutuhan dengan norma sosial. Dalam
memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan konflik, dapat menjadikan stabilitas
10
emosi terganggu. Stabilitas emosi ini akan menjadikan seseorang membuat
persepsi tertentu, bisa perilaku konsep kearah diri sendiri ataupun kepada
lingkungan sosial. Selanjutnya dapat mendorong terjadinya perilaku
menyimpang dan dapat menimbulkan frustasi pada diri sendiri.
Psikis dan sistem organ dalam tubuh merupakan suatu kesatuan dan
saling terkait, secara biologis bagaimana sistem yang terjadi dalam otak saat
terbentuknya emosi seseorang. Menurut Linda Lebelle (2005: 42), sistem
limbik dipandang sebagai “pusat emosional” pada otak. Kelenjar Amygdala
dan hippocampus merupakan unsur penting sistem limbik yang bertugas
mengendalikan ekspresi emosional, khususnya rasa takut, kemarahan reaksi
otomatis (seperti perilaku impulsif), dan ingatan emosional. Amygdala,
sebuah kelenjar berbentuk kacang almon yang terletak jauh di dalam otak,
berperan penting dalam mengatur emosi negatif. Sebagai tanggapan atas
rangsangan yang datang dari bagian tengah otak karena melihat adanya
ancaman, maka kelanjar ini akan membangkitkan rasa takut dalam diri
seseorang. Kondisi ini akan lebih akut di baawah pengaruh obat-obatan
seperti alkohol, begitu pula halnya dengan tekanan kejiwaan.
Lingkungan sosial dalam dunia pendidikan dibagi menjadi tiga, yaitu
lingkungan keluarga lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Berikut
penjabaran mengenai peran lingkungan pendidikan terhadap pembentukan
pribadi menyimpang seseorang, khususnya tunalaras:
1. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan pengalaman pertama bagi anak dalam
mempelajari perasaan dan sikap sosial. Berikut tiga aspek mendasar
dalam keluarga yang mempengaruhi terbentuknya penyimpangan pada
perilaku anak:
a. Kasih sayang dan perhatian. Kasih sayang dan perhatian
merupakan hal pokok yang dibutuhkan oleh setiap individu, oleh
karena itu pola asuh yang tepat untuk anak sangat diperlukan.
Tetapi, sangat disayangkan ada beberapa orang tua kurang
memperhatikan hal ini dengan berbagai alasan, sehingga anak
11
kurang mendapat perhatian dan biasanya akan mencari perhatian
di luar rumah. Selain itu, ada juga orang tua yang over protective,
yang biasanya akan mengakibatkan si anak ketergantungan
dengan orang tua. Biasanya, anak akan mudah kecewa jika
dihadapkan pada sesuatu yang terjadi tidak sesuai keinginan yang
mengakibatkan rendah diri.
b. Keharmonisan keluarga. Keharmonisan keluarga merupakan hal
yang sangat mempengaruhi psikis anak. Contoh nya, jika orang
tua bercerai ketika si anak kecil, maka anak akan mengalami
peralihan yang sulit dan jika orang tua selisih paham mengenai
suatu hal yang berhubungan dengan pendidikan anak, maka akan
membuat anak bingung, sehingga membuat pola pikirnya
terhambat.
c. Tingkat ekonomi. Ekonomi menjadi aspek penting dalam
kehidupan keluarga karena pada masa praseklah, anak
memerlukan makanan yang sehat, berpakaian yang layak, pergi
ke tempat-tempat hiburan, dan bermain-mengeksplor diri dengan
berbagai mainan-. Jika hal itu sulit untuk dicapai, maka bisa
membuat anak menjadi antisosial dikarenakan minder. Dan untuk
memenuhi kebutuhannya, tidak jarang akan melakukan tidakan
kriminal, seperti mencuri, mermpok, korupsi, dll.
Ada sebuah gambaran mengenai polapikir dan penderitaan anak
tunalaras yang disebabkan oleh lingkungan keluarga,“masalah terjadi
ketika saya memerlukan sosok seorang ibu. Saya tidak pernah
memiliki seorang ibu yang benar-benar hadir secara emosional, karena
pada kenyataannya, ibu saya yang asli sangat gemar menganiaya saya.
Oleh karena itu, dalam benak saya, bahkan secara bawah sadar,
terbesit ingatan bahwa saya akan dianiaya lagi dan mengalami rasa
sakit kembali. Saya lalu merasa hampa dan tidak dicintai. Saya merasa
tidak layak untuk membutuhkan atau dibutuhkan orang
lain.”(A.J.Mahari,2005: 78-80)
12
Hubungan interaksional dan transaksional menyebabkan saling
memengaruhi antara anak dengan orang tua, sehingga jika pada anak
terdeteksi mengalami masalah kelainan perilaku dapat dialamatkan
pada orang tuanya. (Sameroff.dkk: 1982)
Ketika kebutuhan psikologi yang tidak terpenuhi itu makin
menumpuk selama bertahun-tahun yang disertai dengan tahun trauma
dan pengalaman tak menyenangkan, maka itu semua akan membanjiri
dan menenggelamkan kehidupan masa kini sehingga menimbulkan
berbagai penderitaan, sebagaimana yang dialami oleh anak tunalaras.
2. Lingkungan sekolah
Menurut Sofyan willis (dalam Sumantri,2005: 147) bahwa dalam
rangka pembinaan anak didik ke arah kedewasaan, kadang-kadang
sekolah juga bisa menjadi penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.
Yang biasanya menjadi penyebab penyimpangan anak adalah karena
tenaga pendidikan dan fasilitas. Jika guru otoriter dalam mengajar
akan membuat anak tertekan dan takut sehingga biasanya anak akan
malas masuk kelas dan bertemu dengan guru, bisa dengan bolos,
nongkrong, dan melampiaskan ke hal-hal yang negatif. Sedangkan,
Jika guru lemah, maka guru akan disemena-menakan oleh murid. Dan
Jika fasilitas kurang, khususnya berhubungan dengan fasilitas
ekstrakurikuler, akan membuat anak berperilaku menyimpang,
dikarenakan tak tersedianya tempat bagi anak untuk menyalurkan
bakat dan minat dalam mengisi waktu luang, sehingga waktu luangnya
bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang menyimpang, seperti balap
motor, miras, obat-obatan, dll.
3. Lingkungan masyarakat
Menurut Bandura (dalam Sutjihati,2005: 148) salah satu hal yang
nampal mempengaruhi pola pikir anak dalam lingkungan sosial adalah
keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Lingkungan
masyarakat merupakan lingkungan yanng paling luas dan kompleks,
karena di dalamnya terdapat beragam ras, perilaku, sikap, sifat, dan
13
norma. Dari hal yang sederhana, penyebab ketunalarasan adalah
tontonan dan hiburan yang tidak tersaring dengan budaya lokal,
sehingga menimbulkan perilaku-erilaku yang tidak sesuai dengan
norma masyarakat. Tidak hanya itu, adanya kesenjangan pendidikan
yang diajarkan di sekolah dan di rumah juga menjadi faktor
ketunalarasan.
E. Penanganan Anak ketunalarasan
Untuk menangani anak tunalaras tidaklah mudah, apalagi jika
perilakunya sudah bertahun-tahun. Dibutuhkan kesabaran, ketekunan, tekad,
dan semangat yang tinggi dalam menyikapi perilakunya, oleh karena itu harus
ada kerja sama di semua lingkungan sosial hidup anak, sehingga dapat
mempermudah meminimalisir perilaku anak. Perlu ditegaskan lagi, bahwa
proses ini bukanlah suatu jalan yang mudah dan mulus, melainkan jalan
berbatu yang dipenuhi semak berduri serta tidak mudah dilalui. Lingkungan
pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (2007: 148) dibagi menjadi tiga,
yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Disini, penulis memaparkan penanganan khusus bagi anak tunalaras
berdasarkan tiga faktor lingkungan pendidikan tersebut.
1. Penanganan di dalam lingkungan keluarga
Untuk mengatasi gangguan perilaku anak, orang tua dapat
menggunakan terapi perilaku. Berikut cara menerapkan terapi perilaku
pada anak; pertama, tentukan tujuan terapi, kedua mendeskripsikan
perilaku anak, antara perilaku yang baik, kurang baik, dan tidak bisa di
tolerir. Bisa jugan mendeskripsikan dengan membedakan antara perilaku
yang ingin agar anak tetap melakukannya dan yang tidak ingin anak
melakukannya, perlu di tekankan agar orang tua tidak muluk-muluk
terhadap perubahan perilaku anak, harus dimulai dengan hal yang paling
sederhana. Ketiga, memberikan respon terhadap perilaku anak, jika
perilaku baik orang tua bisa merespon dengan memujinya atau
memberikan hadiah, jika perilaku kurang baik bisa dengan diam,
sedangkan perilaku yang tidak bisa ditolerir bisa memberi respon dengan,
14
keempat, evaluasi hasil perkembangannya, dan yang kelima, lakukan
pendidikan yang berkesinambungan.
Menurut Maurice J. Elias dkk (2000: 39-47), prinsip-prinsip dalam
mengasuh anak yang harus dimiliki oleh orang tua;
a) sadari perasaan sendiri dan orang lain-anak-,b) tunjukkan empati dan pahami cara pandang orang lain,c) atur dan atasi dengan positif gejolak emosional dan perilaku,d) berorientasi pada tujuan dan rencana positif,e) gunakan kecakapan sosial positif dalam membina hubungan.
2. Penanganan Di dalam Lingkungan Sekolah
Sebagian besar prestasi belajar anak tunalaras rendah, tetapi hal ini
bukan berarti cara menanganinya hanya berorientasi dengan hasil evaluasi
atau prestasi saja, namun menangani anak dalam pendidikan harus lebih
menekankan pada ketertarikan anak kepada kegiatan pembelajarannya.
Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam menangani masalah ini
dalam bidang pendidikan, namun menurut Efendi (2005: 150) ada tiga hal
pokok yang harus diusahakan dalam penanganan anak tunalaras, yaitu
lingkungan belajar, kerjasama lembaga, dan tempat layanan pendidikan.
a. Lingkungan belajar
Instansi pendidikan harus mempunyai perhitungan,
strategi,dan siasat yang baik dan benar agar tercipta pembelajaran
yang kondusif dan nyaman, seperti memperlakukan dan
memberikan pelayanan yang terbaik dengan memasukkan anak
tunalaras ke dalam pendidikan formal. Dengan demikian,
diharapkan akan membiasakan anak terhadap lingkungan yang
normal dan diharapkan juga dapat mengubah sedikit demi sedikit
perilaku menyimpangnya, dan diusahakan tidak adanya stigma
“tunalaras” atau pelabelan yang lain terhadap anak tunalaras,
kecuali jika hanya untuk membantu mempermudah dalam proses
rencana penanganan pendidikannya (IEP). Melabelkan seseorang,
berarti menciptakan stigma terhadapnya. Dengan adanya stigma,
15
akan sangat berpengaruh bagi penderita, sehingga bisa menjadi
penghalang besar bagi penderita gangguan emosi ini.
Tidak hanya pelabelan, untuk menciptakan lingkungan
belajar yang baik, tenaga pendidikan-guru- harus menciptakan
pembelajaran yang menyenangkan, dengan metode-metode yang
variatif, kreatif, dan tidak membosankan sehingga anak dapat
tertarik dalam mengikuti proses pembelajaran, serta semaksimal
mungkin berupaya agar komunikasi antara anak dan guru baik.
b. Kerjasama dengan lembaga
Dalam sistem pendidikan khusus ada statemen penting dan
menjadi orientasi dalam proses pendidikannya yaitu “pendidikan
dari masyarakat dan akan dikembalikan lagi kepada masyarakat.”
Mengembalikan anak didik disini maksudnya pendidik tidak hanya
mengajarkan komunikasi, melatih anak untuk melakukan kegiatan
sehari-hari tanpa bantuan orang lain, dan memberikan pelajaran
akademik, tetapi juga mengajarkan keterampilan-keterampilan
tertentu yang fungsional, sehingga diharapkan anak dapat bekerja
dan hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang lain. Adanya
kerjasama antara sekolah dengan lembaga-lembaga tertentu sangat
diperlukan, sehingga sekolah dapat membantu anak tunalaras
dalam penyaluran tenaga kerja kerja atau minimal dapat
magang/kkl di perusahaan tertentu.
c. Tempat layanan pendidikan
Layanan pendidikan bagi anak tunalaras ada dua sistem
yaitu segregari dan integrasi. Untuk menangani anak
menyimpang(emosi dan perilaku) yang disebabkan oleh
lingkungan sosial lebih baik menggunakan sistem integrasi jika
anak tidak begitu mengganggu oranglain atau derajat keparahannya
tidak berat. Ada empat hal penting yang perlu diperhitungkan
dalam penempatan anak tunalaras mengenai tempat layanan
pendidikan yaitu:
16
a. Lembaga pendidikan harus memperhitungkan perbandingan
antara anak normal dengan anak tunalaras dalam satu kelas,
sehingga kegiatan pembelajaran akan lebih kondusif. Dan
jangan sampai di dalam satu kelas hanya ada datu anak
tunalaras dan yang lain normal, ditakutkan hal itu akan
membuat anaktunalaras merasa tertekan.
b. Membuat suasana belajar yang nyaman, pendidik di
pendidikan khusus diharapkan dapat bekerjasama dengan
pendidik pendidikan khusus dalam menyusun ruang belajar
dibuat suasana belajar yang nyaman. Misalnya dengan
meminimalisir warna-warna barang ataupun tembok yang
terang atau mencolok di ruang kelas, agar anak tunalaras tidak
mudah terganggu konsentrasinya ketika kegiatan pembelajaran
berlangsung.
c. Supaya proses pendidikan anaktunalaras dapat berhasil dengan
maksimal, diharapkan adanya kerjasama antara guru, orang
tua, kepala sekolah dan kondisi anak-jika memungkinkan dapat
diikutkan juga- dalam menyusun program pendidikan
individual anak(IEP).
d. Dalam sistem pendidikan integrasi, yang terpenting adalah
tidak adanya penolakan terhadap anak tunalaras, khususnya
untuk guru dan siswa. Hal ini bisa dengan diadakannya
sosialisasi untuk anak normal tentang pendidikan integrasi
mengenai etika-etika dalam bergaul, mendidik cara bersikap
anak yang normal terhadap anak nakal (tunalaras) atau bila
perlu adanya peraturan yang dibuat pihak sekolah untuk
melindungi anak tunalaras mengenai etika dalam bergaul.
3. Penanganan Di dalam Lingkungan Masyararat
Lingkungan masyarakat yang kompleks menjadikan lebih sulit
dalam menanganinya, dikarenakan di dalamnya terdapat beragam ras,
perilaku, sikap, sifat, dan norma. Untuk menanganinya, lebih baik jika
17
anak dibawa ke psikolog karena untuk mengubah mindset komunitas yang
besar tidak mudah, lebih baik jika mengubah mindset di diri anak tunalaras
sendiri, sehingga anak dapat menerima lingkungan dan dirinya sendiri.
Psikolog dirasa akan lebih cerdas dalam mengubah mindset anak. Namun,
bukan berarti lingkungan pendidikan yang lain lepas tanggung jawab
begitu saja, harus adanya kesadaran masyarakat mengenai hal ini. Yang
perlu dilakukan pendidik/psikolog untuk mengatasi ketunalarasan adalah
menyadarkan anak mengenai beberapa hal, yaitu; pertama, mengetahui
siapakah dirinya sebenarnya, berupa sikap, emosi dan pola pikir, kedua,
menyadari bahwa orang lain juga memiliki batasan dan keterbatasan,
seperti norma yang berlaku di masyarakat, ketiga, mengupayakan agar
anak tunalaras memiliki pemahaman akan pentingnya kepedulian terhadap
diri sendiri, yakni sehubungan dengan apa yang diperlukan dan dibutuhkan
serta bagaimana memenuhinya,dan keempat, melatih anak agar dapat
membina relasi yang dekat dengan seseorang atau sekelompok, dan dapat
menerima kesendirian serta jarak dengan orang lain. Menyadarkan mereka
bahwa mereka pada upaya awal perubahan perilaku memang harus
berjuang untuk melawan hal-hal semacam itu.
18
KESIMPULAN
1. Anak tuna laras adalah anak yang emosi dan perilakunya tidak berkembang
sebagaimana mestinya, mereka sering melakukan perbuatan menyimpang
sehingga membuat masyarakat sangat terganggu dengan tingkahlakunya.
Orang tua atau guru harus bisa mendeteksi dini jika anaknya mengalami
hambatan, hal ini bertujuan agar kelainan yang dialami anak tidak
berkembang atau bertambah parah.
2. Klasifikaisi menurut faktor pemicunya dibagi menjadi dua yaitu neurotic
behaviour (perilaku neurotik), disebabkan oleh pola asuh yang salah yang
dilakukan lingkungan pendidikan kepada anak, dan children with psychotic
process, yang disebabkan oleh adanya gangguan pada syarafnya.
3. Berat ringannya tingkat ketunalarasan dapat dilihat dari berbagai faktor,
yaitu besar kecilnya gangguan emosi, frekuensi tindakan, berat ringannya
pelanggaran, tempat/situasi kenalakan yang dilakukan, mudah sukarnya
dipengaruhi untuk bertingkah laku baik, dan tunggal atau ganda ketunaan
yang dialami.
4. Gejala dari anak gangguan emosi perilaku neurotik, diantaranya:
Kecemasan, agresif, dan impulsif. Gejala-gejala ini akan semakin parah bila
seseorang yang mengalami perilaku menyimpang merasa diisolasi serta
kekurangaan dukungan sosial, dan selalu berusaha menarik perhatian secara
tidak wajar agar tidak merasa sendirian.
5. Kondisi anak yang masih labil di setiap lingkungan pendidikan banyak
mengandung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan bimbingan dan
pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah terjerumus pada
tingkahlaku menyimpang.
6. Untuk menangani anak tunalaras tidaklah mudah, apalagi jika perilakunya
sudah bertahun-tahun, tergantung dengan tingkat keparahan anak. Untuk
menanganinya dibutuhkan kerjasama dari semua lini lingkungan
pendidikan-keluarga, sekolah, dan masyarakat.
19
DAFTAR PUSTAKA
A.J Mahari. 2005. Kiat Mengatasi Gangguan Kepribadian. Yogyakarta: Saujana
Effendi, Mohammad. 2005. Psikopedagogik Anak Berkelainan. Malang: Bumi Aksara
Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga
Kartono, Kartini. 2006. Kenakalan Remaja. Jakarta :Rajawali Pers
Suharmini, Tin. 2009. Psikologi Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus.Yogyakarta: Kanwa
Sumantri, Sudjihati. 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refiko Aditama Publisher
Sunardi. 1995. Ortopedagogik Anak Tunalaras 1. Yogyakarta: Depdikbud
20