DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS...
Transcript of DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS...
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
Laporan Kasus : Gambaran Klinis dan Tatalaksana Glaukoma Angle
Recession
Penyaji : Madona Debora
Pembimbing : dr. R. Maula Rifada, Sp.M (K)
Telah Diperiksa dan Disetujui oleh
Pembimbing
dr. R. Maula Rifada, Sp.M (K)
Senin, 15 Juli 2019
Pukul 08.15 WIB
1
CLINICAL FINDINGS AND MANAGEMENT OF
ANGLE RECESSION GLAUCOMA: A CASE REPORT
ABSTRACT
Introduction: Angle recession is a common finding after blunt trauma and involves a
tear between the longitudinal and circular fibers of ciliary body. Maity reports the
incidence of post traumatic angle recession was 24.3%. It may occur months to years
after the ocular trauma.
Purpose: To report clinical findings and management of a patient with angle recession
glaucoma.
Case report: A 51 years old female came to Cicendo National Eye Hospital with chief
complaint of blurry vision of left eye since five months earlier. There is a history of
trauma in left eye 26 years ago. She had been treated by an ophthalmologist with two
kind of eye drops. Visual acuity of right eye was 1.0 and left eye was light perception.
Applanation Tonometer Goldmann of left eye was 42 mmHg. Slit lamp examination
revealed traumatic iris and lens opacity. Gonioscopy revealed widening of ciliary body
band in three quadrants. Funduscopy showed cup/disc ratio enlargement and RNFL
thinning. This patient was diagnosed as angle recession glaucoma with traumatic iris
and traumatic cataract. Combined phacoemulsification-trabeculectomy with
intraocular implantation was performed. One week after surgery, intraocular pressure
decreased with improvement of visual acuity.
Conclusion: Classically clinical findings of angle recession glaucoma were unilateral
glaucoma with history of trauma and widening of ciliary body band. Surgery is needed
in uncontrolled intraocular pressure with medication. Combined phacoemulsification-
trabeculectomy decreases intraocular pressure as well as improves visual acuity.
Keyword: glaucoma, angle recession, combined phacoemulsification-trabeculectomy.
I. Pendahuluan
Trauma tumpul pada mata dapat menyebabkan berbagai kelainan segmen anterior
yang mengakibatkan glaukoma sekunder. Berdasarkan data U.S. Eye Injury Registry
pada 6021 pasien dengan trauma tumpul didapatkan insiden glaukoma enam bulan
pasca trauma adalah 3.4%. Beberapa faktor prediktif yang berhubungan dengan
2
glaukoma pasca trauma antara lain tajam penglihatan inisial yang buruk, usia lanjut,
trauma pada lensa, angle recession, dan hifema. Angle recession terjadi akibat robekan
antara serabut otot longitudinal dan sirkular badan siliar. Prevalensi angle recession
pada hifema pasca trauma berkisar antara 60% hingga 94%. 1, 2
Peningkatan tekanan intraokular pada angle recession pasca trauma dapat terjadi
beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah trauma. Glaukoma angle recession
lanjut terjadi sekunder akibat pembentukan glass-like membrane pada anyaman
trabekular. Hal ini menjelaskan alasan respon buruk terhadap terapi medikamentosa
konvensional dan laser pada glaukoma angle recession. Secara umum tatalaksana
bedah dan parasurgical laser diindikasikan pada kasus dengan tekanan intraokular
yang tidak terkontrol atau pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan.
Trabekulektomi merupakan gold standard di antara pilihan bedah lainnya.3, 4
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memaparkan gambaran klinis dan
tatalaksana pasien dengan glaukoma angle recession. Pemahaman tentang gambaran
klinis dan tatalaksana pasien dengan glaukoma angle recession berguna dalam praktik
klinis sehari-hari untuk mencegah progresifitas dan komplikasi.
II. Laporan Kasus
Seorang wanita 51 tahun datang ke poliklinik glaucoma PMN RS Mata Cicendo
pada 13 Juni 2019 dengan keluhan utama penglihatan mata kiri semakin buram sejak
lima bulan sebelum masuk rumah sakit. Mata kiri dirasakan nyeri dan pegal disertai
rasa mual. Pasien memiliki riwayat trauma pada mata kiri 26 tahun yang lalu terkena
pemberat kail pancing. Setelah trauma mata kiri dirasakan buram selama beberapa hari
namun saat itu pasien tidak berobat. Pasien tidak memiliki keluhan pada mata kanan.
Pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit glaukoma. Riwayat
pengobatan jangka panjang dengan steroid oral maupun topikal tidak ada. Sebelum
datang ke PMN RS Mata Cicendo pasien telah mendapatkan pengobatan di RSUD
Garut dengan obat tetes mata dua jenis (tutup tetes mata warna hijau dan warna putih)
3
selama tiga bulan. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, gangguan irama
jantung, penyakit ginjal, penyakit gula, tekanan darah tinggi, dan alergi obat.
Pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran
composmentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80 kali/ menit, respirasi 18 kali/
menit, dan suhu 36,5℃. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus mata kanan 1.0
(Snellen Chart), mata kiri persepsi cahaya dengan proyeksi baik ke segala arah.
Aplanasi tonometer Goldmann didapatkan pada mata kanan 18, mata kiri 42. Posisi
bola mata ortotropia dengan gerak kedua bola mata baik ke segala arah. Segmen
anterior mata kanan didapatkan palpebra tenang, konjungtiva bulbi tenang, kornea
jernih, bilik mata depan Von Herrick grade III flare/ sel -/-, pupil bulat, RC +/+,
reversed RAPD -, sinekia -, lensa jernih (Gambar 1.a.b). Pemeriksaan anterior mata
kiri didapatkan palpebra tenang, konjungtiva bulbi pterigium grade II dan injeksi siliar,
kornea jernih, bilik mata depan Von Herrick grade III flare/ sel -/-, pupil bulat, RC ↓/↓,
sinekia -, lensa agak keruh (Gambar 1.c.d)
a. b. c. d.
Gambar 1. a. b. Pemeriksaan segmen anterior OD didapatkan dalam batas normal c. d.
Pemeriksaan segmen anterior OS didapatkan RC ↓/↓
Pemeriksaan segmen posterior mata kanan didapatkan media jernih, papil bulat
batas tegas, cup disc ratio 0,4, rasio arteri : vena 1:3, retina flat (Gambar 2.a).
Pemeriksaan segmen posterior mata kiri didapatkan media jernih, papil bulat batas
tegas, cup disc ratio 0,9, rasio arteri : vena 1:3, retina flat (Gambar 2.b). Pemeriksaan
gonioskopi mata kanan tampak scleral spur di keempat kuadran (Gambar 3.a).
Pemeriksaan gonioskopi mata kiri pada kuadran superior, inferior, dan nasal tampak
korpus siliaris yang melebar. Pada kuadran temporal tampak scleral spur (Gambar 3.b).
4
a. b.
Gambar 2. a. Pemeriksaan segmen posterior OD didapatkan c/d ratio 0,4
b. Pemeriksaan segmen posterior OS didapatkan c/d ratio 0,9
Gambar 3.a. Pemeriksaan gonioskopi mata kanan tampak scleral spur
Gambar 3.b. Pemeriksaan gonioskopi mata kiri pada kuadran superior, inferior, dan nasal tampak
korpus siliaris yang melebar. Pada kuadran temporal tampak scleral spur
Dilakukan pemeriksaan Optical Coherence Tomography (OCT) papil pada kedua
mata dan pemeriksaan lapang pandang dengan Humphrey Visual Field (HVF) 30. 2
pada mata kanan. Hasil pemeriksaan OCT papil mata kanan menunjukkan ketebalan
RNFL, area rim, area diskus, rasio cup/disc rata-rata, rasio vertikal cup/disc, dan volum
cup dalam batas normal. Hasil pemeriksaan OCT papil mata kiri menunjukkan RNFL
5
menipis di kuadran inferior, area rim yang menyempit, area diskus melebar, rasio
cup/disc rata-rata, rasio vertikal cup/disc, volum cup melebihi normal. (Gambar 4).
Hasil pemeriksaan HVF 30. 2 dengan SITA Fast pada mata kanan menunjukkan
reliabilitas yang rendah. Mata kiri tidak dapat dilakukan pemeriksaan HVF 30.2 karena
visus persepsi cahaya.(Gambar 5).
Gambar 4. OCT Papil ODS
6
Gambar 5. HVF 30. 2 OD dengan reliabilitas rendah
Pasien didiagnosis dengan glaukoma angle recession OS + katarak traumatika OS
+ traumatic iris OS + pterigium grade II OS. Pasien direncanakan prosedur kombinasi
fakoemulsifikasi-trabekulektomi + implantasi lensa intraokular (LIO) OS dalam
monitoring anesthesia care. Pasien diberikan terapi timolol 0.5% ed 2 x OS, sodium
chloride potassium chloride ed 6 x gtt 1 OS, asetazolamid 3 x 250 mg tablet per oral,
kalium L-aspartat 1 x 300 mg tablet per oral.
Pada 18 Juni 2019 dilakukan prosedur kombinasi fakoemulsifikasi-trabekulektomi
+ implantasi LIO OS. Satu hari pasca operasi pasien mengeluhkan sedikit rasa nyeri
pada mata kiri. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus mata kanan1.0, visus mata
7
kiri persepsi cahaya dengan proyeksi baik ke segala arah. Aplanasi tonometer
Goldmann didapatkan pada mata kanan 16, mata kiri 30. Posisi bola mata ortotropia
dengan gerak kedua bola mata baik ke segala arah. Segmen anterior mata kanan
didapatkan palpebra tenang, konjungtiva bulbi tenang, kornea jernih, bilik mata depan
Von Herrick grade III flare/ sel -/-, pupil bulat, RC +/+, reversed RAPD -, sinekia -,
lensa jernih. Pemeriksaan anterior mata kiri didapatkan palpebra blefarospasme,
konjungtiva bulbi pterigium grade II, injeksi siliar, perdarahan subkonjungtiva, tampak
bleb di superior elevated, kornea edema dan lipat descemet, bilik mata depan Von
Herrick grade III flare/ sel +2/+2, pupil bulat, iridektomi perifer +, RC ↓/↓, sinekia -,
lensa PC IOL + (Gambar 6). Pasien didiagnosis dengan glaukoma angle recession OS
(Pasca prosedur kombinasi fakoemulsifikasi-trabekulektomi + implantasi LIO OS) +
Pseudofakia OS + traumatic iris OS + pterigium grade II OS. Pasien diberikan terapi
timol 0,5% ed 2 x gtt 1 OS, sodium chloride potassium chloride ed 6 x gtt 1 OS,
asetazolamid 3 x 250 mg tablet per oral, kalium L-aspartat 1 x 300 mg tablet per oral,
levofloxacin ed 6 x gtt 1 OS, prednisolon asetat ed 6 x gtt 1 OS. Pasien dianjurkan
kontrol 1 minggu pasca operasi.
Gambar 6. Pemeriksaan oftalmologis 1 hari pasca operasi
Satu minggu pasca operasi pasien mengeluhkan terasa perih pada mata kiri. Seluruh
obat masih dipakai terakhir dipakai pagi hari. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan
visus mata kanan 1.0, visus mata kiri 1/300. Aplanasi tonometer Goldmann didapatkan
pada mata kanan 16, mata kiri 20. Posisi bola mata ortotropia dengan gerak kedua bola
mata baik ke segala arah. Segmen anterior mata kanan didapatkan palpebra tenang,
konjungtiva bulbi tenang, kornea jernih, bilik mata depan Von Herrick grade III flare/
8
sel -/-, pupil bulat, RC +/+, reversed RAPD -, sinekia -, lensa jernih. Pemeriksaan
anterior mata kiri didapatkan palpebra blefarospasme, konjungtiva bulbi pterigium
grade II, injeksi siliar, bleb + di superior elevated, kornea edema dan lipat descemet,
bilik mata depan Von Herrick grade III flare/ sel +1/+1, pupil bulat, iridektomi perifer
+, RC ↓/↓, sinekia -, lensa PC IOL + (Gambar 7). Pasien didiagnosis dengan glaukoma
angle recession OS (Pasca prosedur kombinasi fakoemulsifikasi-trabekulektomi +
implantasi LIO OS) + Pseudofakia OS + traumatic iris OS + pterigium grade II OS.
Pasien diberikan terapi timol 0,5% ed 2 x gtt 1 OS, sodium chloride potassium chloride
ed 6 x gtt 1 OS, prednisolon asetat ed 5 x gtt 1 OS ( selama 1 minggu), 4 x gtt 1 OS (
selama 1 minggu), 3 x gtt 1 OS ( selama 1 minggu). Pasien dianjurkan kontrol 3 minggu
berikutnya. Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad malam, quo ad
sanationam ad bonam.
Gambar 7. Pemeriksaan oftalmologis 1 minggu pasca operasi
III. Diskusi
Diagnosis glaukoma pasca trauma harus dipikirkan pada pasien dengan
peningkatan tekanan intraokular unilateral. Pada kasus ini pasien mengalami
glaukoma hanya pada mata kiri. Dari anamnesis didapatkan riwayat trauma pada
mata kiri. Hubungan patologi klinik antara trauma tumpul dan perkembangan
glaukoma dilaporkan oleh Wolff dan Zimmerman. Wolff dan Zimmerman
menyatakan bahwa trauma inisial terhadap anyaman trabekular menstimulasi
perubahan proliferatif atau degeneratif pada jaringan trabekular, yang
mengakibatkan obstruksi aliran akuos. Herschler mendukung konsep ini
berdasarkan observasi kasus klinis dan penelitian terhadap hewan coba yang
9
menjelaskan terjadinya robekan anyaman trabekular posterior terhadap garis
Schwalbe selama periode awal pasca trauma. Pembentukan jaringan parut terjadi
seiring waktu menyebabkan kerusakan awal trabekular berkurang namun
mengakibatkan obstruksi kronis aliran akuos. Selain perubahan pada anyaman
trabekular, mekanisme lain yang mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular
lambat adalah perluasan lapisan endotel kornea di atas sudut bilik mata depan.1,2
Angle recession merupakan tanda klinis pada pemeriksaan gonioskopi yang
ditemukan pada pasien pasca trauma. Penelitian Maity mendapatkan insidensi
angle recession pasca trauma tumpul adalah 24,3%. Peningkatan tekanan
intraokular pada angle recession pasca trauma dapat terjadi beberapa bulan hingga
beberapa tahun setelah trauma. Risiko perkembangan glaukoma menurun setelah
beberapa tahun namun dapat terjadi setelah lebih dari 25 tahun pasca trauma. Salah
satu penelitian melaporkan bahwa glaukoma angle recession terjadi rata-rata 34
tahun pasca trauma pada 13 pasien. Glaukoma angle recession diklasifikasikan
menjadi glaukoma sudut terbuka sekunder akibat trauma. Glaukoma angle
recession dapat tidak terdiagnosis akibat onset yang sangat lambat dan riwayat
trauma yang mungkin sudah dilupakan. Pada kasus ini pasien mengalami glaukoma
angle recession 26 tahun pasca trauma.1,5,6
Pemeriksaan oftalmologis dapat menunjukkan tanda yang konsisten dengan
trauma sebelumnya antara lain sikatrik kornea, trauma pada iris, kelainan sudut
bilik mata depan, katarak subkapsular anterior fokal, dan fakodenesis. Pada kasus
ini ditemukan adanya trauma pada iris yang konsisten terhadap riwayat trauma
sebelumnya. Pemeriksaan gonioskopi kedua mata harus dibandingkan untuk
membantu klinisi mengidentifikasi area recession. Tanda klasik angle recession
pada gonioskopi antara lain pelebaran badan siliar, absen atau robekan prosesus
siliaris, scleral spur berwarna putih berkilauan, sudut yang ireguler dan berpigmen
gelap, peripheral anterior synechia (PAS) pada batas recession. Hasil gonioskopi
pada kasus ini mendukung diagnosis glaukoma angle recession dimana tampak
pelebaran badan siliar di tiga kuadran pada mata yang mengalami trauma,
10
sementara mata yang tidak mengalami trauma tampak scleral spur di semua
kuadran. Peningkatan pigmentasi pada sudut bilik mata depan, peningkatan tekanan
intraokular, hifema, luksasi lensa, dan angle recession lebih dari 180° secara
signifikan berhubungan dengan terjadinya glaukoma kronis setelah trauma
tumpul.2,7
Glaucomatous Optic Neuropathy (GON) merupakan tanda patologis pada
semua bentuk glaukoma. GON adalah degenerasi progresif sel ganglion retina dan
akson dengan kerusakan mulai dari nervus optikus sampai nucleus genikulatum
lateral. Kerusakan terlokalisir neuroretinal rim paling sering terjadi di polus
inferior dan superotemporal nervus optikus pada tahap awal GON. Hilangnya
jaringan di area rim polus superior dan inferior menyebabkan cup memanjang
secara vertikal. Pemeriksaan segmen posterior mata kiri menunjukkan peningkatan
rasio cup/disc dan RNFL thinning di inferior yang sesuai dengan GON. Tidak ada
kelainan terkait trauma tumpul yang ditemukan pada segmen posterior mata kiri.2,3
Perubahan awal pada GON meliputi perluasan cup secara keseluruhan,
penipisan fokal pada rim, perdarahan superfisial pada diskus, hilangnya RNFL,
cupping asimetris, dan atrofi peripapil zona beta. Pemeriksaan kedua mata harus
dilakukan karena asimetri pada cup jarang terjadi pada mata normal tanpa adanya
asimetri ukuran diskus. Rasio cup disc vertikal normal adalah antara 0.1 dan 0.4,
meskipun 5 % individu tanpa glaukoma memiliki rasio cup disc lebih dari 0.6.
Pemeriksaan OCT papil pada pasien ini didapatkan asimetri rasio cup disc antara
kedua mata disertai dengan asimetri ukuran diskus. Rasio cup disc rata-rata dan
vertikal mata kiri didapatkan meningkat yang sesuai dengan temuan klinis
funduskopi. Asimetri rasio cup disc mata kanan dan kiri lebih dari 0.2. Rasio cup-
disc asimetris lebih dari 0.2 terdapat pada kurang dari 1% individu tanpa glaukoma.
Asimetri ini berhubungan dnegan asimetri ukuran diskus.2,8
Karakteristik defek lapang pandang glaukoma adalah mengikuti pola kerusakan
RNFL, jarang melewati atau meluas ke garis tengah horizontal, terletak di
midperifer (5°-25° dari titik fiksasi), tidak berhubungan dengan keadaan patologis
11
lain, terlokalisir, dan defek berhubungan dengan kelainan diskus optikus dan RNFL
di sekitarnya. Pemeriksaan HVF mata kiri tidak dapat dilakukan karena visus
persepsi cahaya. Pemeriksaan HVF mata kiri sebaiknya dilakukan pasca operasi
apabila terdapat peningkatan tajam penglihatan. Pemeriksaan HVF pada mata
kanan pasien menunjukkan reliabilitas rendah sehingga diperlukan pengulangan
sebagai baseline. 2,6
Tatalaksana glaukoma pasca trauma dimulai dengan terapi medikamentosa.
Tatalaksana dengan meningkatkan aliran keluar akuos seperti miotik dan laser
trabekuloplasti kurang efektif. Penurunan produksi akuos seharusnya dapat lebih
menurunkan tekanan intraokular. Efektifitas β-blockers, α-agonists atau inhibitor
karbonik anhidrase belum diteliti secara spesifik untuk kasus glaukoma angle
recession. Belum terdapat penelitian respon glaukoma angle recession terhadap
analog prostaglandin. Selain masalah kepatuhan dan ketekunan, obat topikal
antiglaukoma dapat menginduksi inflamasi konjuntiva. Inflamasi subkonjungtiva
berhubungan dengan keberhasilan trabekulektomi. Penggunaan obat antiglaukoma
topikal multipel dan jangka panjang dapat menginduksi inflamasi konjungtiva yang
menyebabkan pembentukan jaringan parut yang hebat dan dapat menyebabkan
kegagalan trabekulektomi. Pemeriksaan histologi menunjukkan peningkatan sel
inflamasi dan makrofag. Namun penelitian lain menyimpulkan hasil yang bertolak
belakang dimana tidak ada peningkatan sel inflamasi. Benzalkonium klorida
sebagai bahan pengawet yang paling sering digunakan pada obat antiglaukoma
topikal menyebabkan peningkatan sel inflamasi pada kultur jaringan dan hewan
percobaan.9,10
Terapi medikamentosa pada sebagian besar glaukoma angle recession tidak
memberikan respon adekuat terhadap pengendalian tekanan intraokular sehingga
dibutuhkan tatalaksana bedah. Pada kasus ini pasien telah mendapat terapi
medikamentosa dari fasilitas kesehatan sebelumnya selama tiga bulan. Pada saat
pertama kali datang ke Poliklinik Glaukoma PMN RS Mata Cicendo didapatkan
tekanan intraokular dengan aplanasi tonometri Goldmann 42 mmHg menunjukkan
12
tekanan intraokular yang tidak terkontrol dengan medikamentosa. Pasien
direncanakan untuk dilakukan prosedur kombinasi fakoemulsifikasi-
trabekulektomi. Bedah glaukoma insisional dibutuhkan untuk mengendalikan
tekanan intraokular pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap terapi
medikamentosa. Trabekulektomi diindikasikan pada kasus glaukoma sudut terbuka
atau glaukoma sudut tertutup yang tidak terkontrol, glaukoma sudut terbuka atau
glaukoma sudut tertutup yang terkontrol dengan lebih dari dua obat (untuk
mencapai tekanan introkular yang sangat rendah), glaukoma pasca trauma, dan
kegagalan bedah glaukoma. Choy menyimpulkan prosedur kombinasi dan
trabekulektomi memiliki efektifitas yang sama terhadap pengendalian tekanan
intraokular hingga tiga bulan pasca operasi. Prosedur kombinasi lebih memberikan
peningkatan tajam penglihatan. Trabekulektomi memberikan morfologi bleb yang
lebih baik, mengurangi kebutuhan terhadap obat antiglaukoma, dan mengurangi
posedur tambahan.2,4,11
Penelitian retrospektif menunjukkan angle recession menjadi faktor risiko
kegagalan trabekulektomi. Angka keberhasilan trabekulektomi pada glaukoma
angle recession dibandingkan glaukoma sudut terbuka primer lebih rendah (43% :
74%). Penelitian Glaucoma Drainage Device (GDD) pada angle recession
menunjukkan tingkat keberhasilan lebih rendah dibandingkan dengan
trabekulektomi tanpa antimetabolit. Pasien yang paling mendapat manfaat
antimetabolit pada trabekulektomi adalah pasien yang memiliki risiko kegagalan.
Faktor risiko kegagalan trabekulektomi antara lain riwayat bedah insisi pada
konjungtiva (seperti trabekulektomi yang gagal dan bedah retina), glaukoma
sekunder (seperti glaukoma neovaskular atau glaukoma uveitik), ras kulit hitam,
penggunaan jangka panjang obat anti glaukoma, dan usia muda. Pada kasus ini
dilakukan prosedur kombinasi fakoemulsifikasi-trabekulektomi tanpa
antimetabolit. Penelitian klinis yang membandingkan penurunan tekanan
intraokular pada prosedur kombinasi fakoemulsifikasi-trabekulektomi dengan dan
tanpa antimetabolit intraoperatif menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna.
13
Satu minggu pasca operatif terjadi perbaikan visus dan penuruan tekanan
intraokular. Tekanan intraokular menurun satu minggu pasca operasi dengan tetap
menggunakan dua jenis obat antiglaukoma. Evaluasi seluruh pemeriksaan
oftalmologik termasuk tekanan intraokular dan morfologi bleb, perlu diperhatikan
pada kunjungan berikutnya. Segmen posterior harus dievaluasi sebelum dilakukan
tindakan pembedahan. Ruptur koroidal yang luas, makulopati, avulsi nervus
optikus dapat mempengaruhi prognosis visual sehingga perlu pertimbangan dalam
tatalaksana pasien secara keseluruhan. Pada kasus ini tidak ditemukan kelainan
selain GON pada pemeriksaan segmen posterior. Prognosis quo ad vitam ad
bonam, quo ad functionam ad malam, quo ad sanationam ad bonam. 10,12,13
IV. Simpulan
Glaukoma angle recession merupakan kelainan yang dapat terjadi bertahun-
tahun setelah trauma. Gambaran klinis berupa glaukoma unilateral dengan riwayat
trauma, gonioskopi yang khas, serta kelainan segmen anterior yang konsisten
terhadap riwayat trauma ditemukan pada kasus ini. Fakotrabekulektomi pada kasus
ini dapat menurunkan tekanan intraokular dengan peningkatan tajam penglihatan.
14
Daftar Pustaka
1. Allingham RR. Shields Textbook of Glaucoma, 6th Edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins; 2011.
2. American Academy of Ophthalmology. Glaucoma. Basic clinical science
course: fundamentals and principles of opthalmology. Philadelphia USA:
American Academy of Ophthalmology; 2016-2017.
3. Malik YK, Joel SS, David LE. Chandler and Grants Glaucoma, 5th Edition.
USA: SLACK Incorporated; 2013.
4. Careti L, Buratto L. Glaucoma surgery treatment and technique. Switzerland:
Springer International Publishing AG; 2018.
5. Maity P, dkk. Incidence of angle recession after blunt trauma- A longitudinal
study. Indian Journal of Clinical and Experimental Ophthalmology; January -
March 2018; 4(1): 136 – 140.
6. Ajite KO, dkk. Survey of Traumatic Glaucoma in a Tertiary Hospital. Journal
of Trauma and Treatment; March 2017, 6:1.
7. Sihota R, dkk. Early Predictors of Traumatic Glaucoma After Closed Globe
Injury; (Reprinted) Arch Ophthalmol/Vol 126 (No. 7), July 2008. Downloaded
From: http://archopht.jamanetwork.com/ by a University of Sussex Library
User on 08/10/2015.
8. Asia Pacific Glaucoma Society. Asia Pacific Glaucoma Guidelines.
Netherland: Kugler Publications; 2016.
9. Gunvant P. Glaucoma – Current Clinical and Research Aspects. Croatia:
Intechopen; 2011.
10. Clement CI, Goldberg I. The management of complicated glaucoma; January
2011; 59 Suppl: S141-7.
11. Choy BNK. Comparison of surgical outcome of trabeculectomy and
phacotrabeculectomy in Chinese glaucoma patients. International Journal of
Ophthalmology; 2017;10(12):1928-1930.
12. Singh K, Dangda S. Ocular trauma: Post traumatic glaucoma. DOS Times;
February 2015; 20(8).
13. Ahmed IIK, dkk. Mitomycin, MIGS, and Microstents: The Role of
Antimetabolites in Glaucoma Surgery. MedEdicus; December 2017.