DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN … · kepemimpinan politik tidak didasari regenerasi semata,...
Transcript of DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN … · kepemimpinan politik tidak didasari regenerasi semata,...
DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA
(Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)
Skripsi Diajukan pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh
Eko Prasetyo NIM: 107033203181
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1434H/ 2013M
LEMBAR PERNYATAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 Juni 2013
Eko Prasetyo
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Eko Prasetyo
NIM : 1070 3320 3181
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan Skripsi dengan judul:
DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI
INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel
Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)
dan telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 16 September 2013
Mengetahui Ketua Program Studi Ali Munhanif Ph.D. NIP 196512121992031004
Menyetujui Pembimbing M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI
INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)
Oleh
Eko Prasetyo 107033203181
Telah dipertahankan dalam ujian Skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Ilmu Politik. Ketua, Ali Munhanif Ph.D. NIP. 196512121992031004
Sekretaris, M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008
Penguji I, Drs. Armein Daulay M.Si. NIP. 130892961
Penguji II Agus Nugraha M.A. NIP. 196808012000031001
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 29 Oktober 2013. Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta Ali Munhanif Ph.D. NIP. 196512121992031004
i
ABSTRAK
EKO PRASETYO
Demokrasi dan Problem Kepemimpinan Politik di Indonesia (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) Skripsi ini menganalisa pemikiran politik empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik kaum muda di Indonesia. Penelitian skripsi dilakukan secara kualitatif, dengan metode pengumpulan data perpustakaan dan wawancara, sedangkan untuk kerangka teori penulis menggunakan teori demokrasi dan teori kepemimpinan politik.
Penulis menemukan, bahwa demokrasi kita semenjak merdeka sampai sekarang masih mengalami transisi dan dievaluasi serelevan mungkin agar sesuai dengan karakter bangsa yang Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana tujuan pokok ke depannya, demokrasi tidak sekedar dalam basis politik, melainkan berkehidupan sehari-hari. Meskipun diakui proses pendewasaan demokrasi di Indonesia diwarnai kecurangan, dari yang berwatak otoriter, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan dalam kepemimpinan politik kaum muda, Indonesia terhenti sampai era Soeharto, ia dengan kekuasaannya membuat regenerasi suram, konsekuensinya pasca pelengserannya sampai sekarang pemimpin politik kalangan muda tidak terealisasikan, pos-pos strategis politik masih diisi pemimpin tua, sedangkan pemuda Reformasi setia menunggu giliran. Padahal tujuan terbesar munculnya pemuda dalam kepemimpinan politik tidak didasari regenerasi semata, tetapi dengan bergantinya pemimpin tua pada yang muda, dipastikan akan melahirkan ide segar dan baru, serta normalisasi kepemimpinan politik di Indonesia, karena pemimpin politik ideal adalah kurun usia 35 tahun sampai 55 tahun, selebihnya cukup jadi negarawan dan tidak perlu di parlement. Empat politis muda menghendaki itu, pemuda memiliki semangat dan stamina lebih panjang dari yang tua, pemuda tidak kenal kompromi dan sanggup melawan resiko, meskipun dibalik watak mulia tersebut pemuda memiliki watak negatif, seperti pragmatisme politik dan menjadi politisi kutu loncat. Keywords: demokrasi, pemuda, pemimpin, politik
ii
KATA PENGANTAR
Alḥamdulillāh dengan raḥmat Allāh yang Esa pada akhirnya skripsi tentang
problem demokrasi dan masalah kepemimpinan di Indonesia selesai dibuat. Karya
akademik selain sebagai syarat untuk menyelesaikan program S-1, juga merupakan
ujian bagi penulis tentang sejauh mana pemahaman penulis tentang ruang lingkup
politik selama menempuh kuliah pada Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari, dari sekian lama menempuh perkuliahan hingga dapat
menyelesaikan program S1 ini tidak mungkin berhasil tanpa adanya kontribusi-
kontribusi dari pihak lain baik materi maupun dukungan moral. Untuk itu dengan
tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Jurusan Ilmu Politik bapak Ali Munhanif, Ph.D. dan sekretaris jurusan
Ilmu Politik sekaligus pembimbing bapak M. Zaki Mubarak M.Si. yang
banyak memberikan kritik dan saran juga dukungan moral pada penulis untuk
segera menyelesaikan skripsi.
3. Bapak, ibu, dan saudara di kampung, mereka dengan sabar memberikan
motifasi kepada penulis untuk menyelesaikan sekolah yang sangat panjang,
iii
dan tidak sedikit penulis dengan mereka melakukan perdebatan-perdebatan
tentang berakhirnya perjalanan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Seluruh staf akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Jajaran staf perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kawan-kawan Ilmu Politik angkatan 2005, 2006, 2007, 2008. Kalian semua
adalah bukti sejarah keberadaan penulis di kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kepada semua yang tidak penulis sebutkan, penulis banyak mengucapkan
terimakasih.
Ciputat, 10 Juni 2013
Eko Prasetyo
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Pernyataan Masalah ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat ........................................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 11
E. Metode Penelitian ............................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 15
BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN .............. 17
A. Teori Demokrasi ................................................................................. 17
1. Demokrasi ............................................................................... 17
2. Model-model dan Jenis Demokrasi ....................................... 19
3. Demokrasi Negatif ................................................................. 22
B. Teori Kepemimpinan Politik ............................................................. 24
1. Definisi Kepemimpinan ......................................................... 24
2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan ..................................... 25
3. Model Kepemimpinan Demokrasi ........................................ 27
BAB III DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA ................................... 29
A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia .............................. 29
1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959 ........................ 30
2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965 ......................................... 33
3. Demokrasi Pancasila 1965-1998 ........................................... 36
v
4. Demokrasi Pasca Reformasi ................................................. 40
B. Biografi Empat Tokoh Politisi Muda ................................................ 43
1. Yuddy Chrisnandi .................................................................... 43
2. M. Fadjroel Rachman .............................................................. 46
3. Budiman Sudjatmiko ............................................................... 49
4. Fadli Zon .................................................................................. 53
BAB IV PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPIAN POLITIK KAUM
MUDA ................................................................................................. 58
A. Problem Demokrasi ............................................................................ 58
1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi .......... 58
2. Argumentasi Rekonstruksi Demokrasi.................................... 66
B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda ................................................. 73
1. Gerakan Kepemudaan dan Investasi Kepemimpinan Politik . 73
2. Program Kepemimpinan Politik Kaum Muda ....................... 83
3. Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda ....................... 88
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 92
A. Kesimpulan ......................................................................................... 92
B. Saran-Saran ......................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 95
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................... 104
1. Lampiran Pernyataan Wawancara ................................................... 107
2. Lampiran Teks Wawancara ............................................................... 112
3. Lampiran Foto Wawancara ............................................................... 132
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Kata “demokrasi” sangat familiar dalam kehidupan masyarakat, tidak
hanya menjadi bahan perbincangan bagi para sarjana-sarjana dan elite politik
bangsa, frasa kata “demokrasi” juga asyik diperbincangkan bagi mereka yang
duduk sambil minum kopi di pasar-pasar tradisional dan di pos kampling sambil
main kartu. Demokrasi sebagai sebuah kata yang memiliki arti melalui pemikiran
panjang dan kuno, seringkali penerapan katanya sangat tidak seimbang dengan
arti seharusnya. Mereka memahami demokrasi secara sederhana, demokrasi
diartikan segala sesuatu di tangan rakyat, rakyat dan keputusannya adalah hal
mutlak sebagai sebuah pemenang dan pemegang kekuasaan, sehingga demokrasi
selalu diartikan dalam ranah politik.1
Indonesia sebagai sebuah bangsa besar sejak merdeka telah mengenal
demokrasi, merdeka dan besar dengan demokrasi seharusnya menjadikan bangsa
Indonesia syarat pengalaman terhadap demokrasi, tapi praktiknya bisa kita lihat,
bahwa perjalanan bangsa dan negara Indonesia pasti masalah pokok yang
dihadapi adalah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara?, memang belum sepenuhnya hak-hak
kewarga negaraan terpenuhi, tapi setidaknya sedikit demi sedikit bangsa ini telah
melakukan transisi dari berbagai model demokrasi, yang terhitung ada empat fase
1 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 109.
2
model demokrasi pada negara Indonesia dengan berbagai macam problem di
dalamnya; pasca awal kemerdekaan periode demokrasi Parlementer 1945-1959,
demokrasi Terpimpin periode 1959-1965, demokrasi Pancasila periode 1965-
1998, dan demokrasi periode 1998 (Reformasi) hingga sekarang.2 Sederhananya
demokrasi Parlementer dan Terpimpin ada pada era Soekarno, demokrasi
Pancasila pada era Soeharto – baik keduanya dengan problem otoritarianisme dan
kediktatoran – dan terakhir model demokrasi Reformasi,3 adalah periode pasca
runtuhnya Soeharto yang di dalamnya diisi secara bergantian pemimpin negara
dari B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, dan sekarang Susilo
Bambang Yudhoyono.
Demokrasi sampai sekarang – pasca Reformasi – masih menjadi topik dan
sangat digemari, dipastikan orang yang mendukung demokrasi jumlahnya lebih
besar daripada yang menolak demokrasi. Karena dalam prinsip demokrasi
merupakan sistem yang konstruktif dan mampu menjadikan keberbedaan bersuku,
beragama, dan berfikir ke arah yang sama, tanpa membedakan faktor-faktor dan
identitas sebagai pemisah, ini yang dicita-citakan masyarakat.4
Namun faktanya, lain istilah lain cara mempraktikkannya, praktik
demokrasi belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, banyak
dijanjikan dipimpin secara demokratis tapi merasa dirinya korban dari demokrasi,
2 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di
Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 61.
3 Lihat perbedaan problem masa Soekarno dan Soeharto pada M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 76.
4 Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 71.
3
sebab demokrasi hanya milik kalangan elite politik di Senayan dan golongan yang
dekat dengan itu. Problem Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tetap menjadi tradisi
sebagai kelanjutan masa Soeharto. Fadli Zon sampai memberikan kredit lebih atas
permasalahan demokrasi, jumlah mereka yang KKN pasca Reformasi lebih
banyak dibandingkan era Soeharto, KKN tidak lagi dilakukan kalangan elite
politik, bahkan sampai pada tahap masyarakat biasa. Soeharto sebagai presiden
telah mati, sedangkan politik demokrasi “Soehartois” bersemayam di Senayan.5
Dampaknya masyarakat di daerah seperti diabaikan, melihat begitu banyaknya
permasalahan konflik horisontal di daerah seperti seakan-akan dibiarkan dan tidak
ada tanggung jawab dari pemerintah pusat.
Hal semacam di atas membuat kecewa dan melahirkan kelompok-
kelompok baru mengatasnamakan dirinya perubahan dan pembaharuan.
Eksistensinya justru membuat posisi demokrasi di Indonesia dipertanyakan,
karena gerakan-gerakan itu cenderung separatis bertujuan untuk membentuk
negara baru, ini bisa dilihat atas berdirinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka),
Separatis Bintang Kejora atau OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan masih
banyak lagi bentuk makar atas kekecewaannya terhadap iming-iming demokrasi.
Selain organisasi makar, belakangan banyak ormas keagamaan dan organisasi
politik bersekala nasional ataupun internasional tumbuh subur di Indonesia, baik
organisasi politik fundamental dan kolot ataupun organisasi-organisasi radikal
atas nama gerakan stabilisator nilai beragama. Mereka menginginkan negara
5 A. Sonny Keraf “Tanggapan untuk Fadjroel Rachman: Demokrasi Butuh Kaum
Demokrat,” [artikel online]; tersedia di http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2657 &coid=3&caid=22&gid=2: Internet: diunduh pada 19 Februari 2013.
4
Indonesia tidak lagi menjadi negara bangsa dan meniadakan demokrasi sebagai
asas berbangsa.6
Problem seperti di atas telah menarik perhatian politisi Yuddy Chrisnandi,
M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan terlebih Fadli Zon untuk
menggagas tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Empat tokoh tersebut
memfokuskan argumentasinya tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Bangsa
ini sangat besar dan dihuni beribu-ribu suku dan corak orang di dalamnya,
demokrasi adalah jalan penting terselenggaranya kenegaraan yang kondusif dan
damai, melihat Bhineka Tunggal Ika sebagai kunci bernegara. Masa transisi dari
presiden lama ke presiden baru dianggap sebagai revisi demokrasi, dan hasilnya
penempatan dan relevansi dari substansi demokrasi di Indonesia semakin menjadi
baik.7
Namun di lain pihak, kendornya pemerintah menjamin dan membangun
ketegasan hukum yang kuat terhadap keberlangsungan korupsi, kolusi, nepotisme,
dan radikalisme telah menciderai demokrasi. Masyarakat banyak mengagungkan
kemerdekaan moral, ekonomi, dan sosial yang tanpa disadari mereka terjebak
dalam tindakan main hakim sendiri, sehingga hal itu seperti bentuk teror baru
yang mengganggu hak-hak demokrasi bagi individu dan golongan lain, belum lagi
6 MMI (Majelis Mujahiddin Indonesia) dan Hizbut Tahrir Indonesia adalah contoh,
sebuah ormas dan partai politik Internasional pemuja negara agama yang berhasil dan besar di negara berasas demokrasi, tapi justru mengingkari demokrasi karena dianggap sebagai sistem kafir. Hizbut Tahrir didirikan di al-Quds Jerusalem pada akhir 1952 dan awal 1953. Taqī al-Dīn al-Nabhānī sebagai pendiri sekaligus ketua partai [artikel online] tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/; Internet; diunduh pada 10 Desember 2012.
7 Yuddy Chrisnandi, “Kemelut Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 51.
5
akibat konflik tersebut memicu ketidak setabilan di daerah. Konsekuensinya
mereka di daerah semakin miskin dan berlarut-larut dalam perang saudara.8
Runtuhnya otoritarianisme presiden Soeharto melalui gelombang
demonstrasi membawa perubahan. Meskipun disadari bahwa saat itu belum
difikirkan siapa yang berhak menggantikan Soeharto sebagai pemimpin, yang
jelas Soeharto harus turun dari jabatannya.9 Faktanya model demokrasi justru
digemari dan menjadi simbol besar terhadap perubahan bangsa. Transisi negara
justru lahir dari gerakan demokrasi yang ingin menempatkan dirinya serelevan
mungkin, selain yang perlu digaris bawahi mulai munculnya tokoh-tokoh baru
dalam politik bangsa Indonesia. Pembatasan sarana informasi oleh periode Orde
Baru mulai muncul dengan berbagai visi dan misinya, mulanya sekedar sebagai
sarana pencitraan nama baik pemerintah, sekarang menjadi alat kontrol bagi
kebijakan pemerintah dengan berbagai tayangan kritis dan kritiknya.10
Reformasi dengan bendera demokrasi telah melahirkan Individu-individu
kritis menjadi tokoh nasional, di antaranya nama-nama seperti Amien Rais dan
Abdurrahman Wahid sangat akrab saat Indonesia menjalani transisi dari negara
tidur menjadi negara yang mudah untuk berteriak. Meskipun diakui menjadi garda
depan perubahan masa Reformasi penuh resiko, termasuk menghadapi
8 “Fadli Zon: ‘Demokrasi Kriminal’ Akibat Lemahnya Desain Politik,” [berita online];
tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon-demokrasi-kriminal-akibat-lemahnya-desain-politik; Internet; diunduh pada 20 Februari 2013.
9 David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 102.
10 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), 43
6
pembunuhan sangat terorganisir dan rapi.11 Keberadaan mereka tidak dapat
dilupakan, dari masa-masa kritis kepemimpinan Presiden B.J. Habiebie, Gus Dur,
dan Megawati.12
Masa telah berubah, timbul wacana kepemimpinan ideal untuk Indonesia,
melihat fakta kepemimpinan dari Reformasi sampai saat ini permasalahan bangsa
masih tetap sama, tidak jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun
dibilang tidak setransparan masa Orde Baru, tapi sudah menjadi rahasia umum
praktik tersebut tetap ada hingga sekarang. Perdebatan menarik pemimpin ideal
mengkerucut pada dua hal, antara pemimpin golongan tua dan pemimpin
golongan muda.
Sebagaimana ketetapan WHO manusia di atas usia enam puluh tahun
sudah dikatakan tua, sebab hormon dan daya tahan tubuh akan semakin berkurang
secara signifikan pada usia itu, namun permulaan mulai adanya penurunan pada
hormon sejak manusia menginjak umur lima puluh lima tahun.13 Sedangkan
11 Louwise Wiliams, “Amin Rais: Garis Depan Adalah Tempat Beresiko,” dalam Edward
Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 329.
12 Masa kepemimpinan yang kritis di antaranya bisa dibaca pada Hal Hill, “Habiebie Tidak Akan Mampu Bertahan Lama,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LKiS, 2000), 312.
13 Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia, menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai
7
disebut muda menurut salah satu teori dalam konteks biologis dibatasi oleh umur,
dari 13 sampai 40 tahun, ada pula yang menyatakan konteks kepemudaan adalah
antara umur 20 sampai 40 tahun.14 Sedangkan pada UU No. 40 Tahun 2009
konteks pemuda dimulai umur enam belas tahun sampai tiga puluh tahun, dan itu
yang menjadi pedoman KNPI, meskipun praktiknya ternyata pengurus KNPI
banyak berumur di atas tiga puluh tahun.15 Namun riset oleh Office of National
Statistics Inggris yang melibatkan 2.200 responden menyimpulkan, bahwa banyak
responden berpendapat usia muda dimulai sejak umur empat puluh satu tahun dan
berakhir pada usia lima puluh sembilan tahun.16
Dari penjelasan itu sederhananya bisa disimpulkan, mereka seperti
Megawati Soekarno Putri (65 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (63 tahun),
Jusuf Kalla (70 tahun), Wiranto (65 tahun), Sutiyoso (67 tahun), Sultan
Hamengku Buwono X (66 tahun) sudah bisa disebut tua dan dianggap cukup
dalam urusan birokrasi, selain dilatar belakangi masalah kesehatan dan daya tahan
tubuh yang berpengaruh pada cara berfikir untuk memutuskan masalah dan
beban keluarga dan masyarakat. Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. Wijayanti, “Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari Kecamatan Candisari” [artikel online]; tersedi di http://eprints.undip.ac.id/20145/; internet; diunduh pada 12 November 2013.
14 Aziz Syamsuddin, Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008), 8.
15 Ralian Jawalsen Manurung “Syarat Usia 16-30 Tahun Berat, KNPI Gugat UU Kepemudaan ke MK,” [berita online]; tersedi http://jaringnews.com/politik-peristiwa/ umum/30369/syarat-usia---tahun-berat-knpi-gugat-uu-kepemudaan-ke-mk; internet; diunduh pada 12 November 2013.
16 “Batasan Usia Disebut Muda dan Tua,” [berita online]; tersedi http://www.berita satu.com/fashion/25895-batasan-usia-disebut-muda-dan-tua.html; internet; diunduh pada 12 November 2013.
8
memimpin sebuah bangsa, namun juga harus dipertimbangkan sudah saatnya
dilakukan regenerasi kepemimpinan politik, untuk itu kelanjutannya biarkan para
pemuda (kurang dari lima puluh tahun) menjadi garda depan bangsa Indonesia.
Bukan berarti mengesampingkan kaum tua, tapi yang muda diharapakan dengan
kesegaran ide bisa menjadi trobosan untuk merubah negara menjadi lebih baik.17
Alasan mengangkat tokoh Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, dan
Budiman Sudjatmiko dalam isu kepemimpinan kaum muda bukan tanpa alasan,
seperti Budiman dan Yuddy misalnya, selain mereka telah menjadi dari bagian
konstitusi Indonesia sejak muda, mereka juga sering menulis tentang
kepemimpinan politik kaum muda. Pada tahun 2009 Yuddy ikut aktif dalam
Dewan Integritas Bangsa, ia sendiri maju dalam bursa capres independen dari
kongres DIB (Dewan Integritas Bangsa).18 Sedangkan M. Fadjroel Rachman
justru lebih gencar mempromosikan kepemimpinan politik kaum muda, ia
menyuarakan capres independen, tujuannya agar kalangan muda bisa menjadi
capres dari jalur independen tanpa terbentur aturan-aturan internal partai politik.
Namun karena terhalang peraturan konstitusi ia mengambil jalan berdasarkan
konstitusi pula, dari pergerakannya melalui konstitusi M. Fadjroel Rachman dan
17 M. Fadjroel Rachman, “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg34376.html; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
18 Bersama Marwah Daud Ibrahim, Bambang Sulistomo, dan Rizal Ramli. Mereka bersepakat dalam Dewan Integritas Bangsa untuk mencalonkan salah satu dari tokoh tersebut menjadi alternatif presiden Indonesia. Dewan Integritas Bangsa didirikan oleh delapan organisasi masyarakat, diantaranya Himpunan Pemuda Nahdatul Ulama, Pemuda Muhammadiyah, Gabungan Masyarakat Kristen Katolik, Generasi Muda Budha Indonesia, Komunitas Tiong Hoa Anti Korupsi. Konvensi DIB (Dewan Integritas Bangsa) dilaksanakan di delapan kota besar; yakni Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Pontianak, Bandung dan Jakarta. Selengkapnya bisa dilihat pada “Tim 8 Dewan Integritas Bangsa Akan Turuti Keputusan Tim 45”, [berita online] tersedia di http://nasional.kompas.com/read/2009/03/07/22505697/Tim.8. Dewan.Integritas. Bangsa.Akan.Turuti. Keputusan.Tim.45: internet; diunduh pada 12 November 2013.
9
kawan-kawan lain berhasil mendapat restu calon independen dari MK (Mahkamah
Konstitusi) yang saat itu dipimpin Mahfud M.D., namun keberhasilan itu bukan
pada tingkat nasional, hanya pada sekala pemimpin daerah semata.19
Kepemudaan bukan menjadi hal asing bagi bangsa Indonesia, sejarah
bangsa Indonesia adalah milik kaum muda kata pengamat politik nasional Ben
Andreson. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Proklamator kemerdekaan
adalah bukti, dengan umur sangat muda kurang dari tiga puluh tahun mampu
membawa Indonesia menjadi bangsa berdaulat dan diakui oleh negara lain.20
Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan ditandai berdirinya organisasi Budi
Utomo, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah fakta lain, bahwa negara ini
cukup kuat dengan pengalaman kaum muda, ini tidak menutup kemungkinan
pemuda akan kembali memimpin bangsa Indonesia.21
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam pembahasan selanjutnya, tulisan ini hanya membahas dua hal dari
pemikiran empat tokoh politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman,
Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon), pertama problem demokrasi di Indonesia,
kedua kepemimpinan politik yang ideal untuk Indonesia.
19 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman, Jakarta 10 Mei 2013. 20 “Budiman Desak Generasi Muda Diberi Kesempatan Maju,” [berita online]; tersedia di
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/03/120211/Budiman-Desak-Generasi-Muda-Diberi-Kesempatan-Maju; internet; diunduh pada 29 Februari 2013.
21 Yuddy Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 99.
10
Untuk itu pertanyaan penelitiannya adalah;
1. Bagaimana problem demokrasi di Indonesia dari Orde Baru sampai
sekarang menurut empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel
Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)?
2. Bagaimana kepemimpinan politik yang ideal dalam keberlangsungan
demokrasi di Indonesia menurut empat politisi muda (Yuddy
Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli
Zon?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
Menganalisa gagasan dan mendeskripsikan ide empat politisi muda
(Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)
terhadap eksistensi dan relevansi demokrasi di Indonesia, serta kepemimpinan
politik yang ideal dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Manfaat penelitian skripsi ini adalah:
Merupakan karya ilmiah dalam ilmu pengetahuan yang memberikan
wawasan terhadap pembaca, serta mempermudah memetakan masalah demokrasi,
dan kepemimpinan pemuda dalam dunia politik di Indonesia.
11
D. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai demokrasi dan kepemimpinan politik bukan hal baru di
Indonesia, di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur karya ilmiyah
yang pernah membahas tentang demokrasi dan kepemimpinan politik, di
antaranya:
Buku Pemikiran Politik Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999
dengan editor David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (2006), penerbit Grafiti Pers
dan Freedom Institute, Jakarta. Buku tersebut membahas tentang problem
demokrasi yang ditulis oleh beberapa tokoh nasional seperti ‘Abdurrahman Wahid
dan Amin Rais, tepatnya adalah kumpulan tulisan beberapa tokoh politik
Indonesia tentang demokrasi dan kenegaraan periode 1965-1999. Dari semua
penulis yang berkontribusi pada buku tersebut tidak menampilkan sosok pemuda
sebagai penyumbang ide tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik
kaum muda di Indonesia, sehingga pembahasan secara komprehensif tentang
problem demokrasi dari kaca mata kaum muda dan gagasan kepemimpinan kaum
muda tidak tersentuh.
Buku yang membahas tentang demokrasi lainnya adalah karya doctoral
Syaiful Mujani (2007), penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dengan
judul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru. Pada buku Syaiful Mujani hanya fokus dalam
masalah Islam dan budaya demokrasi di kalangan kelompok agamawan Muslim,
terutama di NU dan Muhammadiyah. Pada karya ini menyimpulkan adanya
12
keselarasan antara kebudayaan Muslim di Indonesia dengan asas demokrasi,
sedangkan pembahasan tentang problem demokrasi dan ide-ide demokrasi kaum
muda tidak tersentuh.
Karya ilmiyah lain yang membahas demokrasi adalah skripsi Agus
Dwiyono (2007) berjudul, “Pemikiran Bung Hatta Tentang Demokrasi.” Dalam
tulisan skripsi tersebut sangat banyak merujuk pada buku biografi Bung Hatta.
Meskipun secara nasional tulisan biografi Bung Hatta diterbitkan tahun 1979,
namun isinya ditulis sendiri oleh Hatta kira-kira semenjak ia umur dua puluh dua
tahun. Fokus dari penulisan tersebut dengan membahas nilai-nilai dan asas
demokrasi di Indonesia dari pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Jadi
pembahasan dalam tulisan tersebut lebih pada demokrasi tidak sekedar asas
berkehidupan, melainkan telah sengaja dipersiapkan sebagai landasan berbangsa
semenjak pra kemerdekaan dan untuk dipergunakan sebagai identitas bangsa
sampai kapanpun.
Buku kepemimpinan politik adalah tulisan M. Alfan Alfian (2012),
penerbit Kubah Ilmu, Jakarta. Dengan judul Bagaimana Menjadi Pemimpin
Politik?: Kekuatan Kepemimpinan. Pada buku tersebut ia mendeskripsikan
tentang keberhasilan kepemimpinan politik dari tokoh-tokoh nasional sampai
internasional, baik tokoh politik yang berbicara kepemimpinan politik ataupun
tokoh sastra seperti Rumi dan Ibn Taymiya dalam kalangan agamawan yang
berbicara kepemimpinan politik. Buku tersebut lebih berbicara pada proses untuk
menjadi pemimpin politik yang tidak didasarkan atas kriteria tua ataupun muda,
13
melainkan pemikiran-pemikiran tokoh dalam memperoleh dan cara
mempertahankan posisi tertinggi dalam kepemimpinan politik.
Dari riwayat kepustakaan di atas memberikan gambaran, bahwa sudah
banyak yang mengupas masalah demokrasi dan kepemimpinan politik di
Indonesia, namun untuk dinamika masadepan demokrasi pasca Reformasi dan
problem kepemimpian politik nasional yang ideal khususnya pemimpin muda
belum tersentuh. Oleh karena itu penulis meyakini bahwa kajian yang penulis
tawarkan untuk diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah aktual dan belum
secara komprehensif diteliti dan dijadikan karya ilmiyah di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Metode Penelitian
Untuk menelaah sekripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif:
adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam,
peneliti terjun langsung dan berinteraksi dengan obyek di lapangan serta
menggambarkan kondisi atau hasil temuan masalah daripada melihat
permasalahan untuk penelitian generalisasi.22 Jadi tujuan dari metodologi
kualitatif bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara teliti terhadap suatu
masalah yang kemudian data temuannya dideskripsikan.23
22 Septiawan Santana, Menulis Ilmiyah Moetode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007). 27. 23 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1997), 5.
14
Sedangkan teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua cara, yaitu
pengumpulan data perpustakaan (library research) dan pengumpulan data
lapangan/ field research (wawancara). Untuk pengumpulan data perpustakaan,
yaitu menelaah buku ataupun tulisan (sumber primer) berkaitan dengan tema
tersebut, seperti Yuddy Chrisnandi buku Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus
Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. M. Fadjroel Rachman seperti buku
Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara
Kesejahteraan. Budiman Sudjatmiko seperti tulisannya tentang “Kepemimpinan
Baru Indonesia Melintasi 'New Frontier'” dan “Mengusir Macan Tua” yang ada
dalam website resminya www.budimansudjatmiko.com. Fadli Zon dengan
bukunya “Politik Huru-Hara Mei 1988“ yang menerangkan sebab turunnya
Soeharto. Untuk itu buku dan tulisan tersebut di atas adalah refrensi primer dalam
penelitian ini.
Sedangkan teknik pengumpulan data lapangan/ field research,
dilaksanakan dengan wawancara empat tokoh (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel
Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) berkenaan dengan pemikirannya
sesuai rumusan masalah yang telah disebutkan di atas. Wawancara ini dilakukan
karena keempat tokoh tersebut masih hidup.
Mengenai teknik penulisan skripsi, penulis berpedoman pada buku
Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis
15
oleh Tim Penyusun Panduan Akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, penjabarannya adalah sebagai
berikut :
Pada bab satu atau pendahuluan, dikemukakan latar pernyataan masalah,
pertanyaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teoritis, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Pada bab dua membahas tentang teori demokrasi dan teori kepemimpinan
politik.
Pada bab tiga membahas demokrasi di Indonesia, meliputi corak dan
adopsi demokrasi di Indonesia sebagai periodisasi sejak Orde Lama sampai pasca
Reformasi. Serta membahas biografi empat tokoh politisi muda Yuddy
Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon.
Pada bab empat membahas probelmatik demokrasi di Indonesia masa Orde
Baru dan pasca Reformasi, serta argumentasi rekonstruksi demokrasi. Selain itu
membahas pemimpin politik kaum muda, meliputi gerakan kepemudan dan
investasi kepemimpinan politik, program kepemimpinan politik kaum muda, dan
problem mewujudkan kepemimpinan politik kaum muda.
16
Pada bab lima atau terakhir adalah penutup sekaligus kesimpulan dan
saran.
17
BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN
A. Teori Demokrasi
1. Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani Demos (rakyat) dan Cratos
(kekuasaan),1 telah menjadi praktik politik bangsa Yunani sekitar (300-400 SM.)
Demokrasi dalam istilah adalah; keadaan negara di mana sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, keputusan tertinggi berada dalam keputusan
bersama rakyat.2 Demokrasi secara modern dirumuskan sebagai sebuah sistem
pemerintahan dengan didasarkan atas prinsip kedaulatan dari, oleh, dan untuk
rakyat, seperti dikatakan Presiden Amerika ke-16 Abraman Lincoln (1808-1865)
1 Demokrasi dikenal sejak abad ke-5 SM., dilandasi atas dasar pengalaman buruk negara
Kota di Yunani akibat sering peralihan sistem negara dari monarki ke aristokrasi, dari aristokrasi ke tirani, sehingga membuat para pemikir besar Yunani bekerja keras menentukan sistem ideal kenegaraan untuk bangsa Yunani, sehingga muncullah dari tirani ke demokrasi. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71. Lihat pula pada Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & Pernada Media, 2003), 110. Lihat pula pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2007), 28.
2 Ada tiga peradaban besar dalam membentuk demokrasi; Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam. Ketiga kebudayaan tersebut dengan segala pengalaman berpolitik di dalamnya membantu revisi demokrasi dari masa ke masa. Hal yang dewasa ini menjadikan demokrasi dengan banyak model, seperti demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan masih banyak lagi model-model demokrasi hasil asimilasi antar peradaban besar dunia. Banyak bersinggungan dengan berbagai macam peradaban tidak berarti perjalanan demokrasi damai, damai dalam artian tidak ada benturan-benturan pemikiran yang kontra terhadap demokrasi, contoh sederhana bisa dilihat dari kebencian Sokrates atas demokrasi. Demokrasi adalah sistem bertele-tele, dan mengesampingkan nilai moralitas karena ia hanya berlandaskan pada sistem vooting. Mayoritas bukan ukuran kebenaran, karena seringkali kebenaran bisa dimanipulasi melalui opini publik untuk mempengaruhi moralitas masyarakat. Masyarakat bisa ‘dibeli’ sebanyak-banyaknya untuk mendukung kepentingan yang dikehendaki oleh penguasa. Di titik ini sedikit memberikan celah bahwa terdapat sisi lemah pada sistem demokrasi. Suhelmi, PEMIKIRAN POLITIK BARAT; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 3.
18
“democracy is government of the people, by the people and for people”.3 Melalui
sistem pemilihan tertentu, transformasi kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan
dalam proses pemberian suara untuk meraih jabatan politik tertentu. Dalam
kekuasaannya, aspirasi masyarakat akan diperjuangkan melalui mekanisme yang
telah disepakati.4
Banyak pakar yang menjelaskan tentang praktik demokrasi, Thomas
Meyer dalam buku Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan
menyebutkan ada empat praktik teori demokrasi, yaitu; teori demokrasi
ekonomis, teori demokrasi langsung, teori demokrasi media populistik, dan teori
demokrasi partisipasi partai.5 Sedangkan pemerintahan dikatakan mampu
mewujudkan prinsip demokrasi bila memenuhui tujuh syarat: kontrol atas
keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih,
kebebasan berpendapat tanpa ada ancaman, kebebasan mengakses informasi, dan
kebebasan berserikat.6
Poin pentingnya, asas utama dalam demokrasi adalah posisi rakyat sebagai
penguasa, kontrol, sekaligus kebebasannya menyuarakan pendapat dan mengkritik
kebijakan yang mewakilinya di parlemen. Sehingga hakikat demokrasi adalah:
3 Dedy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatra, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), 119. 4 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia
& Masyarakat Madani, 111. 5 Selengkapnya bisa dibaca pada Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk
Penerapan, (Jakarta: Friedrich-Erbert-Stiftung, 2003), 6-11. 6 Selengkapnya bisa dibaca pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 122.
19
pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk
rakyat.7
2. Model-model dan Jenis Demokrasi
Model dan jenis demokrasi sangat banyak, di antaranya:8
a. Demokrasi Liberal: yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-
undang dan pemilihan umum bebas diselenggarakan dalam waktu
rutin. Banyak negara-negara di Afrika mencoba menerapkan model
ini, tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan. Sedangkan dalam
pandangan hidup, demokrasi Liberal ditujukan memberikan
kebebasan bagi individu untuk melakukan kegiatan sosial, agama, dan
bernegara tanpa dituntun dan dicampuri oleh urusan negara, selama
ekspresi hidupnya tidak bertentangan dengan pandangan hidup
masyarakat lain dan pokok-pokok ideologi bangsa yang didiami.
Dampak terebesarnya dalam sistem ini adalah sektor ekonomi, yaitu
negara menghormati segala bentuk aktifitas ekonomi dan kepemilikan
barang/jasa atas nama pribadi/individu.9
b. Demokrasi Terpimpin: para pemimpin percaya bahwa tindakan
mereka dipercayai rakyat, tetapi menolak persaingan dalam pemilihan
7 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah
Dunia yang Sedang Berubah. Penerjemah I. Made Krisna, Tadjuddin Noer Effendi, ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 38.
8 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121.
9 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, 5.
20
umum untuk menduduki kekuasaan. Sederhananya demokrasi
Terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana setiap keputusan
berpusat pada pemimpin negara, tidak melalui kesepakatan
referendum anggota konstitusi. Sedangkan menurut Soekarno
demokrasi Terpimpin dikutip dari pembukaan UUD 1945
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan”.10
c. Demokrasi Sosial: yaitu menaruh kepedulian pada keadaan sosial dan
egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan
politik. Demokrasi Sosial menjunjung tinggi derajat kemanusiaan
tanpa membedakan kelas, karenanya sosialisme dalam demokrasi
mencita-citakan persamaan derajat setiap manusia dari orang per-
orang.11
d. Demokrasi Partisipasi: yaitu menekankan hubungan timbal balik
antara penguasa dan yang dikuasai. Komitmennya adalah bahwa
manusia dapat hidup bersama dalam semangat kemanusiaannya, selain
isu tentang keadilan, kesejahteraan, kebebasan, kerakyatan,
10 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di
Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 71.
11 M. Fadjroel Rachman, “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 258.
21
kesetaraan, dan solidaritas, sehingga memerlukan hubungan timbal
balik yang sangat erat antara sumber dan muara.12
e. Demokrasi Consociational: yaitu menekankan pada proteksi khusus
bagi kelompok-kelompok budaya dan menekankan kerja sama yang
erat di antara elite yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.13
f. Demokrasi Deliberatif: menurut istilah “deliberasi” berasal dari kata
Latin deliberatio, kemudain diserap dalam bahasa Inggris menjadi
deliberation. Istilah ini berarti “konstitusi” atau “menimbang-
nimbang”. Sedangkan penyatuan kata “demokrasi dan deliberatif”
memiliki arti formasi opini dan aspirasi politis yang diolah dengan
proseduralisme atau kedaulatan rakyat menjadi inti dari berdemokrasi.
Jadi demokrasi deliberatif di mana legitimitas hukum tercapai karena
hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil, sehingga
dengan ditetapkannya peraturan-peraturan dalam demokrasi akan
mudah diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat.14
Demokrasi dalam penerapannya dibagi dalam dua hal, yaitu demokrasi
secara langsung dan demokrasi tidak langsung:15
12 M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Partisipatif dan Kepemimpinan Politik Baru”, dalam
M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 302.
13 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121.
14 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 128-130. 15 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani, 122.
22
a. Demokrasi Langsung: adalah rakyat melakukan kedaulatannya secara
langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya
mengawasi jalannya pemerintahan. Sedangkan pemilihan pejabat
eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota) dipilih langsung
oleh rakyat melalui pemilihan umum, bigitu pula pemilihan pejabat
legislatif (DPR, DPD, DPRD).
b. Demokrasi Tidak Langsung: adalah paham demokrasi yang
dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Corak pemerintahan
demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat, dan
dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab terhadap rakyat.
3. Demokrasi Negatif
Demokrasi hanyalah salah satu sistem bernegara, hal yang ditawarkan
bukan merupakan bentuk final sebuah sistem bernegara. Oleh karena itu sangat
memungkinkan terdapat sisi-sisi negatif dari yang ditawarkan, di antaranya:
a. Demokrasi Oligarkis atau Demokrasi Terbatas; adalah demokrasi
yang didominasi oleh kelompok dan kalangan tertentu. Mereka
menggunakan demokrasi sebagai tujuan mempergemuk kepentingan
politik, yang konsensusnya tidak saja berhubungan dengan materi,
melainkan juga bersifat non materi. Seperti membangun pengaruh
dalam masyarakat untuk mencari jabatan tertentu. Legalitas
kepemimpinan mereka dibentuk melalui badan-badan peradilan,
23
legislatif, dan eksekutif yang sebelumnya telah dipersiapkan dan diisi
oleh aktor-aktor oligarkis, sederhananya kelompok elite tersebut
memiliki hak untuk mengintervensi proses lajunya demokrasi.16
Kesimpulannya dominasi elite tertentu sangat merusak
keberlangsungan demokrasi.17
b. Demokrasi yang Didominasi Massa; adalah sistem dengan aktor
massa yang memiliki kekuatan kolektifitas dan berkuasa di atas
penguasa tradisional. Mereka menggerakkan reformasi dari bawah
untuk menyerang kekuatan-kekuatan para elite ploitik. Proses
penyampaian aspirasi terkadang terlalu berlebihan dan cenderung
anarkis karena merasa menang secara jumlah kolektifitas, hasilnya
konfrontrasi-konfrontrasi antara dominasi massa dan elite politik
malah menghancurkan demokrasi.18
c. Demokrasi Totalitersime; adalah bentuk berdemokrasi yang di
dalamnya rakyat tidak bisa bebas berkehendak, karena urusan individu
dan pribadi rakyat tidak terlalu penting. Sebaliknya setiap rakyat harus
menjunjung tinggi cita-cita yang digariskan dalam sistem politik
16 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang
Berubah, 83. 17 Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia
(Jakarta: Demos, 2005), 93. 18 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang
Berubah,153-155.
24
negara. Contoh sederhananya adalah porblem Jerman dengan ideologi
Nazi pada masanya.19
d. Otoritarianisme Demokrasi; adalah faham demokrasi yang di
dalamnya dipimpin oleh penguasa otoriter, fungsi parlemen hanya
syarat berdemokrasi, kerjanya hanya berbasa-basi bermusayawarah
untuk mufakat, padahal bentuk final suatu keputusan tetap berada
pada tangan penguasa yang otoriter. Rakyat berada pada jalur
terlemah, rakyat tidak diberikan ruang untuk menuntaskan
keinginannya apabila bertentangan dengan pengusa. Ciri-ciri sistem
politik model demikian biasanya didukung oleh kekuatan bersenjata
dari pihak militer. Praktik demokrasi yang otoriter banyak diterapkan
di negara-negara Afrika, pada masyarakat internasional mengatakan
negaranya menjunjung demokratisasi, namun dipraktikkan dengan
cara otoritarianisme.20
B. Teori Kepemimpinan Politik
1. Defenisi Kepemimpinan
Pemimpin, kepemimpinan, dan kekuasaan adalah tiga hal yang memiliki
defenisi masing-masing, tapi ketiganya berhubungan erat. Pemimpin adalah
seseorang dengan wewenang kepemimpinannya bertujuan mengarahkan orang
19 Miriam Budiarjo, ed. Masalah Kenegaraan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1982), 92. 20 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang
Berubah, 91.
25
lain yang memiliki posisi di bawahnya, baik tingkatan posisi yang disepakati
dalam struktural ataupun proses pengakuan pemimpin tanpa kesepakatan (proses
alami).21
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (kelompok) untuk
mempengaruhi orang (kelompok) lain sesuai kehendak dan tujuan yang disepakati
bersama, wujudnya bisa motivasi dan menginspirasi.22 Kekuasaan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi (memerintah lebih memaksa) orang lain dalam
menjalankan hal yang dikehendaki pihak lain (pemilik kekuasaan).23 Karenanya
kekuasaan memiliki beberapa karakteristik, pertama kekuasaan meruapakan
sesuatu yang abstrak, kedua kekuasaan milik interaksi sosial, ketiga pemegang
kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunkan kekuasaan.24 Sedangkan arti
sebutan ketua atau raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah
untuk menunjukan adanya pembedaan anatara pemimpin dan yang dipimpin.
2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan makhluk yang
lain, semua saling terikat dan membutuhkan, dari faktor saling ketergantungan
tersebut menjadikan manusia hidup secara kelompok, baik dalam suku, ras,
agama, ataupun dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Dalam komunitas
21 Selengkapnya bisa dibaca pada M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2007), 18. Sebagai tambahan tentang perbedaan antara pemimpin, kepemimpinan dan kekuasaan bisa dibaca pada Veithzal Rivai dan Dedy Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 341.
22 Eko Maulana Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. Nugraha, ed. (Jakarta: Multi Cerdas Publishing, 2012), 67.
23 Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, 342. 24 Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 230.
26
tersebut, pasti memunculkan individu-individu unggulan yang melebihi mayoritas
lainnya dan cenderung berpengaruh terhadap lingkungannya, sehingga berpotensi
sebagai pemimpin sebuah kelompok.
Peradaban manusia yang sering berubah merupakan salah satu faktor
alamiah munculnya pemimpin-pemimpin dalam kelompok manusia, baik politik
maupun keagamaan, tidak hanya berlandaskan kekuatan seperti hukum rimba,
melainkan seleksi seorang pemimpin dalam kehidupan manusia terjadi karena
banyak faktor, hasilnya teori terjadinya kepemimpinan sangat beragam. Para ahli
sejarah dan filsafat sejak masa lalu telah menawarkan kurang lebih tiga ratus lima
puluh definisi tentang kepemimpinan, di antaranya:25
Teori Greath Man dari 1869-1930: Kepemimpinan terbentuk karena
pengakuan masyarakat sekelilingnya.
Teori Trait sekitar tahun 1940: Pembedaan antara pemimpin dengan
pengikutnya, sebab pemimpin memiliki kualitas tinggi daripada pengikutnya.
Kualitas ini bisa berupa kecerdasan, kekuatan, dan ketangkasan di atas mayoritas.
Teori Charismatic sekitar tahun 1950: Penekanan perilaku pemimpin
dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dalam teori ini didukung oleh dua
pendekatan:
1. Koneiderasi; kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan
hubungan akrab dengan bawahannya, seperti kedekatan emosional dan
25 Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. 59.
27
sering memberikan masukan terhadap bawahan, serta selalu terbuka
berkonsultasi dengan bawahan.
2. Struktur Inisiasi; pemimpin yang memberikan batasan terhadap
bawahannya, dan cenderung memberikan instruksi terhadap bawahan
dengan target, waktu, dan cara pelaksanaanya. Sehingga dalam teori ini
pemimpin baik adalah yang memiliki loyalitas terhadap bawahan dan
memiliki target terhadap suatu pekerjaan.26
3. Model Kepemimpinan Demokrasi
Banyak tokoh yang mencetuskan tentang model-model kepemimpinan,
baik kepemimpinan yang bersifat politik ataupun administratif, di antaranya
model kepemimpinan demokrasi: kepemimpinan model ini mau mendengarkan
dan menerima masukan dari pengikut, karena penekanan model demokrasi ada
pada mutu yang dihasilkan sesuai kesepakatan bersama. Berikut ciri dari gaya
kepemimpinan demokrasi:27
a. Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana
yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak
berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia
dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai
sasaran organisasi.
26 Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan, 60. 27 Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 205.
28
b. Dalam kehidupan organisasi tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak
boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pemimpin, oleh karena
itu selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang
praktis dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasi nasional.
c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri
melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan.
d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan bawahan sebagai
makhluk politik, makhluk ekonomi dan makhluk sosial sebagai
individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas mempunyai
kebutuhan kompleks. Seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan,
namun yang lebih penting adalah pengakuan setatus sebagai anggota
sebuah organisasi.
29
BAB III DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA
A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia
Demokrasi memang lahir pada masa peradaban Yunani,1 tapi penerimaan
besar-besaran terhadap demokrasi terhitung sejak berakhirnya perang dunia ke-II.
Karena periodisasi ini adalah tidak hanya sebagai pertarungan perebutan
kedikdayaan dan pengakuan internasional siapa yang superior di dunia, melainkan
juga perang ideologi antara Fasisme, Komunisme, dan Demokrasi, hasilnya
demokrasi dan komunisme adalah ideologi paling diminati atas bencana perang
terbesar sepanjang sejarah.2 Perlahan pasca perang dunia ke-II negara-negara
mulai berbenah dan memperkenalkan demokrasi untuk negerinya, Jerman, Itali,
dan Jepang yang dulunya dikuasai oleh Barat mulai terbiasa dan berusaha
menerapkan demokrasi Liberal.3
Indonesia adalah satu-satunya negara sejak merdeka sampai sekarang
mampu mengadopsi demokrasi di kawasan Asia Tenggara, meskipun seiring
pergantian dan periodisasi kepemimpinan politik bangsa turut andil dalam
merubah model-model demokrasi di dalamnya, terhitung setelah terjadinya
1 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71.
2 Ideologi Fasisme merupakan sebuah paham politik penjunjung kekuasaan absolut dan kontra dengan demokrasi. Ideologi Fasisme juga diartikan memandang rendah bangsa lain dan menjujung tinggi negeri sendiri, sedrehananya Fasisme merupakan nasionalisme yang sangat fanatik dan otoriter. Lihat pada Evriza, Ilmu Politik (Depok: ALFABETA Bandung, 2008), 106.
3 Hal demikian juga terjadi pada negara-negara di kawasan Asia Selatan (India-Pakistan), dan Asia Tenggara (Filipia, India, Indonesia, dan Malaysia). Usaha penerapan demokrasi tidak selamanya sesuai, ada di antara negara-negara tersebut berhasil, bahkan ada juga sampai sekarang tidak menemukan pangkal dan ujung dari demokrasi. Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 70.
30
perdebatan antara demokrasi Liberal atau demokrasi sesuai identitas bangsa pra
kemerdekaan, Indonesia mengalami empat fase model demokrasi;4
1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959.
Masa awal kemerdekaan belum sepenuhnya ditentukan Indonesia akan
menggunakan demokrasi model apa sebagai sistem bernegara, apakah demokrasi
Liberal seperti banyak dilakukan di negara Barat, sebagaimana banyaknya
sarjana-sarjana Indonesia belajar di Belanda dengan doktrinnya tentang demokrasi
Liberal?, atau akan menggunakan demokrasi-nya sendiri sesuai dengan
kepribadian bangsa?. Mulailah tersusun agenda-agenda politik dan birokrasi
pemerintahan pada masa awal kemerdekaan untuk menyusun identitas demokrasi
Indonesia.5
Gagasan tentang demokrasi telah banyak disampaikan para tokoh nasional
jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengemukakan “Demokrasi
Sosial”, itu pula diterapkan sebagai landasan PNI (Partai Nasional Indonesia),
yaitu demokrasi kontra Liberal, tetapi juga demokrasi yang memberikan hak-hak
ekonomi. Soekarno mempertegas dengan panitia perancangan UUD dalam sidang
BPUPKI pada 1 Juni 1945 mengatakan, “Apabila kita ingin mengadopsi
demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawarahan yang
memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial”. Muhammad Hatta telah menulis tentang demokrasi sejak
4 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 111.
5 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 71.
31
tahun 1933 dengan judul, ”Ke arah Indonesia Merdeka”.6 Hatta memiliki peran
besar setelah kemerdekaan dalam mendidik masyarakat Indonesia mengenal
tentang demokrasi Moderen. Hatta dalam gagasannya tentang fungsi parlemen
dalam berdemokrasi didasari atas dua hal, kemudian dua hal ini menjadi
perdebatan pemimpin-pemimpin bangsa sebelum kemerdekan pada dua dekade
pertama abad ini, pertama adalah hak berserikat dan berkumpul secara politik,
kedua adalah tentang perwakilan rakyat dalam parlemen.7
Hatta menyatakan tidak mudah mengembangkan gagasan demokrasi atas
dasar dua poin tersebut, tapi hal itu juga bukan semacam angan-angan dan
keniscayaan, karena semua bisa dilaksanakan meskipun syaratnya sangat berat.
Kewajiban rakyat pertamakalinya harus insyaf sekaligus faham antara posisi hak
dan kewajibannya. Seorang pemimpin tidaklah seperti dewa dengan apapun
kehendaknya seolah-olah itu sebagai sebuah kebenaran, posisi pemimpin sama
dengan rakyat, berdampingan. Kemudian pertanyaan muncul, apakah ada dasar
sistem pemerintahan sesuai dengan kebudayaan kita? Hatta dengan jelas
menyatakan ada, kemudian Hatta menganalogikan dengan kehidupan di desa, itu
setidaknya memenuhi syarat demokrasi dengan menekankan tiga hal, yaitu; cita-
cita rapat untuk mufakat, cita-cita protes masa dan berwatak kritis untuk
memonitor setiap keputusan konstitusi, dan terakhir adalah dasar kolektifitas,
6 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di
Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no. 3 (Desember 2007), 66.
7 Dua poin politik tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia, keduanya sama sekali tidak mendapatkan toleransi ke permukaan, karena kekawatiran pemerintah Hindia-Belanda atas posisinya di Indonesia, meskipun belakangan pemerintah Hindia-Belanda melunakkan diri dan membiarkan dua poin politik di atas berkembang, namun dengan pengawasan sangat ketat. lihat pada Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72.
32
wujudnya bisa bentuk tolong-menolong dalam berbagai sektor, termasuk sosial
dan ekonomi koperasi (cikal bakal bahwa Hatta adalah pencetus sekaligus bapak
koperasi di Indonesia). Cita-cita demokrasi dalam bentuk miniatur masyarakat
desa menurut Hatta bisa diperjuangkan ke level dan sekala lebih besar, seperti
konstitusi ditingkat nasional. Oleh karena itu kenapa Soekarno dan Hatta sepakat
mengatakan bahwa demokrasi Indonesia tidak sama dengan demokrasi di Barat,
mereka menyatakan bahwa demokrasi Barat hanya pada sektor politik, tidak
dijumpai demokrasi pada sektor ekonomi dan sosial, karenanya mengakibatkan
perebutan hak milik secara individu dan pengakuan umum atas dasar kekuasaan
politik meningkat di Barat.8
Selanjutnya Hatta menandatangani maklumat No/ X pada 3 November
1945, dalam maklumat tersebut Hatta menyatakan pemerintah mengharuskan
pentingnya membentuk partai politik sebagai ornament demokrasi, pemerintah
berharap partai-partai peserta pemilu telah tersusun sebelum pemilu badan
perwakilan rakyat pada Januari 1946.9 Maklumat tersebut direspon sangat positif
dan ditandai banyak lahirnya partai politik sebagai peserta pemilu, akan tetapi
rencana awal pemilu pada tahun 1948 harus tertunda akibat banyak kendala, di
antaranya agresi militer Belanda II dan pembrontakan PKI di Madiun 1948.10
Perkembangan terpenting dan peralihan sistem politik pada periode ini
adalah tahun 1950. RIS (Republik Indonesia Serikat) dirubah dalam bentuk
8 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72 dan 75. 9 Hatta, Untuk Negeriku (Jakarta: Kompas, 2011). 115-116. 10 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,
67.
33
kesatuan baru, yaitu sistem Parlementer yang kemudian dipimpin Perdana Menteri
Natsir, penunjukkan Natsir sebagai Perdana Menteri hasil kesepakatan koalisi
kabinet saat itu – tercatat empat pergantian Perdana Menteri dari Natsir, Sukiman,
Wilopo, dan Ali Sastroamidjoyo – dari keempat Perdana Menteri tersebut pada
era Wilopo pemilu Indonesia untuk pertama kalinya berhasil dilaksanakan dengan
ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953, yaitu tepat pada 29 September 1955
(pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (anggota konstituante) untuk
pertama kalinya pemilu berhasil dilaksanakan,11 dengan diikuti seratus tanda
gambar peserta pemilu ditambah dua puluh satu partai serta wakil tidak berkoalisi,
sehingga terdapat dua puluh delapan partai termasuk partai perseorangan.12
Gagasan tersebut menandakan demokrasi pada periode awal kemerdekaan 1945-
1959 kemudian dikenal dengan istilah demokrasi Parlementer.13
2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965.
Seperti disinggung di awal, Soekarno menyatakan bahwa generasi
kepemimpinan berikutnya disebut sebagai demokrasi Terpimpin, apa maksud dari
pernyataan ini? Dalam catatan sejarah peralihan antara demokrasi Parlementer ke
demokrasi Terpimpin dituliskan sejak tahun 1959, namun istilah demokrasi
11 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,
66. 12 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004).
432. 13 Demokrasi Parlementer 1945-1959 hancur disebabkan banyak faktor, namun catatan
khususnya adalah ketidak mampuan anggota-anggota partai politik di parlemen dan konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara dan undang-undang dasar baru, kemudian mendorong Ir. Soekarno sebagai Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli dengan pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai dasar negara, ini menandai berakhirnya demokrasi Parlementer. Lihat pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.
34
Terpimpin sudah dinyatakan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1957 ketika
banyak tokoh mulai gelisah tentang warna demokrasi Indonesia.14 Dalam
pidatonya dengan judul “Respublika Sekali Lagi Respublika” pada sidang pleno
konstituante di Bandung 22 April 1959, Soekarno menyerang konstituante karena
mempraktikkan cara-cara demokrasi Liberal, sambil menawarkan solusi
mengembalikan demokrai Indonesia pada bentuk demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno adalah bentuk relevan untuk Indonesia,
dan bukan sebagai kamuflase kediktatoran dan sentralisme seperti faham
Komunis, dan berbeda pula dengan demokrasi Liberal. Pondasinya sesuai
pembukaan UUD 1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan”, seperti rapat suku yang dipimpin ketua
adat, jadi tidak sekedar dalam bidang politik, melainkan dalam sosial, dan
ekonomi.15
Demokrasi Terpimpin mendapat tentangan banyak kalangan, seperti Deliar
Noer mengatakan bahwa demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan
Soekarno sebagai ayah dalam keluarga besar bernama Indonesia dengan
kekuasaan terpusat berada di tangannya.16 Karena menganggap dirinya sebagai
ayah dalam konteks bernegara, sehingga Soekarno memiliki kebijakan sendiri
sebagai orang yang tidak akan berpihak pada siapapun. Sikap demikian
14 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. 15 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,
71. 16 Dengan demikian kekeliruan sangat besar dalam demokrasi Terpimpin Soekarno adalah
adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai penting dalam demokrasi, yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. Lihat Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.
35
diterapkannya dalam berpolitik tanpa partai, dengan tujuan independensi tanpa
adanya unsur-unsur mendiktenya. Perinsip ini kemudian membuat Soekarno
banyak ditentang oleh banyak lawan-lawan politiknya, entah lupa atau tidak sadar,
jelasnya dengan menerapkan politik tanpa partai mengakibatkan dirinya masuk
dalam lingkaran pencidera demokrasi. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa
kesepakatan dari konstituante ditegaskan oleh Hatta bahwa anjuran untuk
bergabung dengan partai politik bagi penghuni konstitusi negara (3 November
1946). Kritikan Hatta mendapat dukungan dari M. Natsir dan Ki Hadjar
Dewantara – pemimpin Taman Siswa – secara pedas menyatakan demokrasi
Terpimpin tidak ada bedanya dengan “liederschap” (kepemimpinan). Hatta pada
tahun 1961 menulis dalam bentuk brosur dengan judul, “Demokrasi Kita” isinya
menentang ketetapan Presiden Soekarno tentang demokrasi Terpimpin, di
dalamnya sangat banyak bertentangan dengan asas-asas kesepakatan
berdemokrasi.17
Di antara hal-hal yang dianggap janggal dalam periode demokrasi
Terpimpin adalah:18
1. Penyimpangan terhadap UUD 1945, di antaranya tentang ketetapan
MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No. III/1963
yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup,
padahal undang-undang sebelumnya sangat jelas, jika periode
Presiden menjabat adalah lima tahun.
17 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. 18 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani, 131.
36
2. Tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden telah membubarkan
DPR hasil pemilu 1955, padahal dalam UUD 1945 ditentukan
bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat
demikian.19
3. Presiden boleh ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan
legislatif, sesuai peraturan Presiden No. 14/1960. Presiden juga
diperbolehkan ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan
yudikatif, sesuai UU No. 19/1964. Selain itu terbatasnya peranan
partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya
peranan ABRI sebagai unsur sosial.
4. Pers dan lembaga publik banyak dibredel, saluran-saluran aspirasi
rakyat diawasi sangat luar biasa ketat, sehingga teks dan naskah
pidato harus disortir sebelum dibacakan di depan umum.
3. Demokrasi Pancasila 1965-1998.
Orde Baru berhasil memperoleh simpati sangat besar dari masyarakat
Indonesia, keberhasilan figur perwira tentara Soeharto menumpas habis ideologi
Komunis di Indonesia sampai anak cucunya hingga ke akar-akarnya dianggap
prestasi luar biasa,20 termasuk di dalamnya Soeharto mampu menjinakkan usaha
kudeta oleh Partai Komunis Indonesia tahun 1965.21 Berbondong-bondong
masyarakat menumpukan harapan besar atas koreksi total tidak hanya dalam segi
politik, tapi juga sosial terlebih kembalinya kondusif hidup beragama, berbangsa,
19 Alasan pembubarannya karena DPR menolak anggran belanja rancangan pemerintah
eksekutif saat itu. Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 83. 20 Penumpasan ideologi Komunis di Indonesia memakan korban kurang lebih lima ratus
ribu jiwa. Selengkapnya lihat David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 103.
21 Edward Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 2.
37
dan bernegara.22 Semua lapisan masyarakat menyambut era baru demokrasi,
terkecuali segelintir orang Komunis yang terancam kehidupannya karena agenda
politik Soeharto menghabisi ideologi Komunis di Indonesia.23
Gebrakan mulainya Orde Baru terjadi dalam banyak sektor, paling menjadi
sorotan adalah mengembalikan fungsi UUD akibat penyelewengan masa
Soekarno, di antaranya ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan Soekarno
sebagai presiden seumur hidup telah dibatalkan, dan jabatan pemimpin negara
kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Selain itu kebijakan-kebijakan
hasil ketentuan masa Orde Lama kembali mengalami koreksi dengan
ditetapkannya MPRS No. XIX/1966 untuk peninjauan kembali produk legislatif
demokrasi Terpimpin.24
Semangat mengembalikan fungsi UUD pada tempatnya dan kembali
menempatkan Pancasila sebagai asas tertinggi dan tunggal bagi semua golongan
dalam bernegara menjadikan sistem pemerintahan pada periode ini adalah
demokrasi Pancasila, sesuai UUD 1945, dan Ketetapan-ketetapan MPRS.25
Berikut beberapa rumusan tentang Demokrasi Pancasila:26
22 Inu Kencana dkk., Sistem Politik Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), 115. 23 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 85. 24 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani, 133. 25 S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang
Politik dan Pemerintahan (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 8. 26 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani, 134.
38
a. Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah
menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian
hukum.
b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah
kehidupan yang layak bagi semua warga negara.
c. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya bahwa
pengakuan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia),
peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Suatu semangat dan pembenahan sangat signifikan jika kita membaca
rumusan di atas, tapi jika ada pertanyaan apakah demokrasi kita sama dengan
rumusan di atas? Jawabannya bermacam-macam, tapi dari sekian jawaban,
sebagain besar akan mengatakan tidak.27 Demokrasi Pancasila adalah nama dan
hanya awal dari periodisasinya, Pancasila hanyalah retorika dan sekedar gagasan
tidak sampai pada tataran parktik bermasyarakat dan bernegara. Pancasila
diagungkan bahkan sangat sakral masa itu, tapi nilai-nilai di dalamnya tidak
menjadi landasan dan jaminan hidup. Kepemimpinan Orde Baru lebih
menyedihkan berkali lipat dibandingkan Orde Lama, bahkan kekuasaan Presiden
27 Demokrasi Pancasila seharusnya menanamkan nilai-nilai Pancasila, tetapi Orde Baru
menggunakan nama itu tidak untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila, melainkan Pancasila hanya sebagai simbol dan tidak menyentuh pada tataran praktik bernegara. Untuk itu bagaimanakah seharusnya demokrasi Pancasila diterapkan di Indonesia bisa dibaca secara jelas pada Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila (Jakarta: Aksara Baru, 1978), 48.
39
Soeharto sampai diberikan gelar “rezim,” satu kata tapi maknanya luar biasa
kejinya.28
Peran dalam struktural yang tadinya dikoreksi total dari kecerobohan
birokrasi masa Soekarno kembali diterapkan pada masa kepemimpinan Soeharto,
M. Rusli Karim menandai setidaknya ada tujuh sektor yang dianggap menyakiti
hati rakyat Indonesia. 1. Dominannya peranan ABRI, tidak hanya dalam masalah
keamanan, tapi juga dalam birokrasi kenegaraan, bahkan menjadi alat politik,29 2.
Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, 3. Pembatasan
fungsi dan jumlah partai politik jadi tiga, 4. Campur tangan pemerintah dalam
urusan internal partai politik, 5. Massa mengambang, artinya partai politik hanya
diperbolehkan membuka cabangnya sebatas sampai tingkat kecamatan, kecuali
Golkar yang memiliki perwakilan di desa melalui lurah, 6. Monolitisasi ideologi
negara, 7. Inkorporisasi lembaga pemerintah.30 Dengan demikian bisa
disimpulkan, nilai-nilai demokrasi tidak sepenuhnya diterapkan pada masa
pemerintahan Soeharto.31
28 Tentang apa saja prestasi dan kegagalan tentang periode Orde baru bisa dibaca pada S.
Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang politik dan Pemerintahan,85-89.
29 Selengkapnya tentang fungsi ABRI masa Orde Baru bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “TNI dalam Arus Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 269.
30 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 135.
31 “Secara ekonomi Soeharto memiliki sisi keunggulan dengan menerapkan Trilogi pembangunan, Soeharto memperkenalkan ekonomi pasar, merancang pemerataan pembangunan, dan mengharuskan stabilitas politik sebagai dasar pertumbuhan ekonomi. Namun di balik itu semua demokrasi hancur,” praktik koruspi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur, tidak hanya dalam kawasan elit nasional, tapi sudah masuk ke segala bidang, termasuk plosok-plosok pedesaan. Lihat sepenuhnya dalam Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 28.
40
Anarkisme penggulingan rezim Soeharto sudah dimulai tahun 1997,
ketegangan sosial luar biasa hingga mengakhiri karir politiknya sebagai pemimpin
bangsa. Pemicu terbesar adalah mulai terjadinya krisis ekonomi di Asia, negara
Asia Tenggara sebelum Indonesia adalah Thailand terlebih dahulu merasakan
dampak krisis moneter, hingga merembet ke Indonesia dan kesetabilan ekonomi
benar-benar terguncang, akibatnya kerusuhan di berbagai daerah tidak dapat
dihentikan.32 Puncaknya terjadi unjuk rasa besar-besaran oleh para pemuda
pembaharu, para mahasiswa yang berhasil menduduki DPR RI di Senayan pada
akhir Mei 1998M.33
4. Demokrasi Pasca Reformasi.
Tahun 1998 adalah babak baru, demokrasi Indonesia tidak lagi dipaksa
dengan satu asas tunggal Pancasila, melainkan reformasi total, semangat timbul
bukan lagi koreksi total, tetapi penggantian total terhadap apapun berbau dan
beraliran rezim Orde Baru. Tumpuan besar setelah krisis moneter mencekik
masyarakat diharapkan ada solusi untuk itu. Masa ini adalah masa terberat dalam
32 Himpitan ekonomi memaksa Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan hutang
dengan IMF – International Monetery Fund – (15 Januari 1998 disaksikan oleh direktur IMF Michel Camdessus dengan melipat tangan), akibat terus merosotnya nilai tukar rupiah dan mulai melambungnya harga di pasaran. Pemerintah juga mengambil langkah menutup beberapa aktifitas perbankkan, dan mulai berfikir ulang untuk membatalkan mega proyek besar yang direncanakan sebelumnya. Lihat Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” 9.
33 Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti (Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan, Hafidhin Royan, Sofyan Rahman, Tammu Abraham Alexander Bulo, Fero Prasetya) pada tanggal 12 Mei 1998 seluruh elemen masyarakat Indonesia murka. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13-14 Mei 1998, selengkapnya lihat Keith B. Richburg, “Syuhada Tak Disengaja: Penembakan Empat Mahasiswa Yang Menggubah Sebuah Bangsa”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 138.
41
sejarah, transisi tidak hanya dalam bidang politik, namun pemimpin baru
diharapkan mampu menyelesaikan problem ekonomi dan berbuat menghidupkan
lembaga hukum untuk mengadili Soeharto, keluarga, dan kaki tangannya.34
Tapi lagi-lagi rakyat dibuat kecewa, penggantian total atas rezim berbau
Soeharto hanya sekedar wacan dan omong kosong. Banyak elite politik
berkepribadian ganda, tadinya sangat tunduk dengan Soeharto tiba-tiba menentang
Soeharto. Sistem demokrasi Reformasi memang berbeda dengan rezim demokrasi
Soeharto, tapi pelaku di dalamnya tetap orang-orang Soehartois.
Pidato Soeharto tentang pengunduran dirinya 21 Mei 1998 adalah hari
kebangkitan nasional kedua bagi masyarakat Indonesia, kepemimpinan tertinggi
kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie sesuai aturan tertulis pada
Pasal 7 UUD 1945 yang menjelaskan apabila Presiden berhenti atau tidak dapat
menjalankan kewajiban dalam masa jabatannya, maka digantikan oleh wakilnya.35
Reformasi berhasil merombak beberapa keputusan konstitusi Orde Baru
menjadi lebih demokratis, di antaranya mengembalikan sistem pemilu pada multi
partai, yang tadinya Orde Baru menggebiri partai peserta pemilu dengan tiga
partai politik, masa Reformasi diikuti lebih dari tiga puluh partai, yang dimulai
34 Sampai sekarang tidak ada penjelasan tentang setatus hukum Soeharto dan harta
korupsinya, lembaga hukum seolah-olah digiring untuk tidak mempopulerkan dan memperkarakan kejahatan Soeharto, dan rakyat secara perlahan dibuat amnesia. M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 120.
35 Detik-detik prosesi pelantikan Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto bisa dibaca pada Peter Waldman, dkk., “Perubahan Yang Menempatkan Soeharto di Luar Arena”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 227.
42
dari pemilu tahun 1999, 2004, dan tahun 2009. Adanya keputusan pencabutan
Dwi fungsi ABRI, ABRI semula ikut dalam percaturan politik dan ikut duduk
dalam parlement dikembalikan pada tugas pokoknya, yaitu menjaga keamanan
negara dan dilarang ikut aktif dalam politik praktis berada dalam konstitusi.36
Pasca Reformasi mengalami pergantian empat Presiden, dimulai Prof. Dr.
Ing B.J. Habibie,37 KH. ‘Abdurrahman Wahid,38 Megawati Soekarno Putri, dan
Susilo Bambang Yudoyono.39 Keempat pemimpin negara pasca Reformasi tidak
sesibuk Soekarno dan Soeharto yang memberikan lebel demokrasi pada masa
kepemimpinannya. Demokrasi Reformasi tetap menjadi identitas hingga sekarang,
hal ini menandakan bahwa Reformasi tidak sekedar momentum peralihan sebuah
kekuasaan, melainkan juga transisi kebangsaan yang sangat memiliki nilai-nilai
nasionalisme, karena tidak sedikit nyawa dan kerugian materi untuk
memperjuangkan Reformasi, untuk itu sampai sekarang belum ada kata yang
pantas menggantikan nama demokrasi Reformasi kebentuk lain.40
36 Selengkapnya tentang Dwi fungsi ABRI bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “10 Tahun
Reformasi TNI”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 181.
37 Kepemimpinan Habibie berakhir akibat kebijakannya kontroversial, yaitu mengizinkan Timor-Timur mengadakan referendum dengan kesimpulan lepasnya Timor-Timur dari Indonesia.
38 KH.‘Abdurrahman Wahid mulai kehilangan dukungan politik ketika adanya wacana pembubaran DPR dan MPR-RI. Pelengseran Gus dur dengan isu pembubaran DPR dan MPR-RI tidak berjalan mulus. Lawan politiknya bekerja keras hingga akhirnya terdapat temuan pansus tentang kasus Bulogate/Brunei Gate, karena kasus ini Gus Dur lengser. Catatan khusus, bahwa sampai sekarang kasus Bulogate/Brunei Gate yang menjadi alasan lengsernya Gus Dur tidak terbukti. Lihat pada Kencana dkk., Sistem Politik Indonesia, 128.
39 Dua nama terakhir sukses memimpin negara Indonesia, sukses dalam artian masa kepemimpinanya tidak sampai dilengserkan secara paksa oleh rakyat, bahkan presiden Susilo Bambang Yudoyono berhasil memimpin Indonesia dua periode.
40 Cita-cita demokrasi Reformasi sangat besar, peralihan kepemimpian diharapkan mampu menunjang sektor-sektor setrategis dalam negara, sehingga rakyat tidak lagi dikorbankan dalam kepentingan golongan. Kini lebih dari sepuluh tahun Reformasi, banyak cita-cita Reformasi yang belum terealisasikan, selain semakin berangsur-angsur baik nama-nama politisi masa Orde Baru
43
B. Biografi Empat Tokoh Politisi Muda
1. Yuddy Chrisnandi
Yuddy Chrisnandi lahir di Bandung 29 Mei 1968, putra pertama dari
pasangan Yees Chrisman Tisnaamidjaya (almarhum) dan Tintin Yuniartien. Masa
kecil hingga remajanya dilalui di kota Cirebon – Jawa Barat, pendidikan dasarnya
di SDN Panitran III Cirebon tahun 1980, pendidikan SLTP di SMPN I Cirebon
tahun 1983, dan SLTA di SMA 1 Cirebon tahun 1986. Pendidikan jenjang S-1 di
kota Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Padjajaran
tahun 1991, berlanjut S-2 meraih gelar Magister Ekonomi bidang Manajemen
Keuangan dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1997, di
Universitas yang sama Yuddy Chrisnandi manamatkan pendidikan Doktor di
Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia tahun
2004, dengan disertasi “Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia”.
Buah pernikahannya dengan Velly Elvira dikaruniai anak bernama Ayesha Fatma
Nandira.41 Yuddy aktif sebagai pengajar tetap dengan pangkat akademik Lektor
Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional di Jakarta, ia juga aktif
mengajar/memberikan ceramah di berbagai kegiatan pelatihan kepemimpinan
organisasi kemahasiswaan atau pemuda, menjadi pembicara di berbagai forum
seminar atau diskusi, serta kegiatan akademis lainnya, baik dalam maupun luar
yang dahulu menodai demokrasi, rakyat juga sedikit demi sedikit dibuat amnesia tentang semangat Reformasi untuk tegaknya keadilan bagi pelaku-pelaku KKN masa Soeharto. Tentang kaburnya cita-cita Reformasi bisa dibaca pada Dede Mariana dan Karoline Puskara, Demokrasi dan Politik Desentralisasi (Bandung: Graha Ilmu, 2008), 17-23.
41 Yuddy Chrisnandi: “Profil Yuddy Chrisnandi” [website resmi]; tersedia di http://yuddychrisnandi.com/about/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
44
negeri sejak tahun 1991, saat ini tinggal di Jalan Tebet Barat X No. 21 Jakarta
Selatan 12810.42
Hidup Yuddy tidak hanya dihabiskan dalam bidang politik, kesehariannya
juga dipenuhi oleh agenda pendidikan sebagai dosen dan guru di berbagai
perguruan tinggi di Indonesia, di antaranya; penasehat Ahli KAPOLRI Bidang
Politik dan Kepemudaan 1999-2001. Staf khusus Wakil Presiden RI Bidang
Politik dan Keamanan 2001-2002. Anggota DPR RI Komisi I periode 2004-2009.
Dosen Kehormatan/ Dewan Penyantun STIE Satya Darma Singaraja Bali. Dosen
dan Dewan Pendiri Program S-2 STIE Latifah Al Mubarokah, Suryalaya,
Tasikmalaya. Dosen PPS Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia tahun
2005. Dosen FE Jurusan Manajemen, Universitas Trisakti dari 1997-2001.43
Yuddy termasuk aktifis dalam berorganisasi, baik dalam bidang pendidikan,
sosial ataupun politik, di antaranya adalah; Ketua Bidang Pemenangan Pemilu
(BAPPILU) DPP Partai HANURA periode 2010-2015. Ketua Departemen
Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi DPP Partai GOLKAR periode 2004-
2009. Calon Ketua Umum Partai GOLKAR pada tahun 2009. Pengurus DPP
Partai GOLKAR. Departemen Hukum dan Perundangan tahun 2001-2004.
Pengurus DPP Partai GOLKAR. Departemen Pemuda periode 1998-2001.
Direktur Institute of Society & Democracy’s Development periode 2001-2004.
42 Dini Novitasari: “Dr. H. Yuddy Chrisnandi, ME. Profil Anggota DPR RI 2004-2009 F-
PG Dapil Jawa Barat 7 ” [berita online]; tersedia di http://politik.news.viva.co.id/news/read/2728-dr_h_yuddy_chrisnandi_me_; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
43 Yuddy Chrisnandi: “Profil Yuddy Chrisnandi” [website resmi]; tersedia di http://yuddychrisnandi.com/about/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
45
Anggota Forum Democratic Young Leaders - Asia Pacific (FDL-AP) tahun
2000.44
Sangat banyak karya tulis Yuddy dalam politik, di antaranya; Penulis buku
KPP HAM Bukan Pengadilan HAM (Yayasan Kebangsaan Bersatu, 1999), buku
Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (LP3ES,
2005), buku Kesaksian Para Jenderal ( LP3ES, 2007), buku Military Reform Post
Suharto Era Orde Baru (RSIS-Singapore, 2008), buku Beyond Parlemen
(Transwacana, 2008), buku Visi Misi Dr. H. Yuddy Chrisnandi, ME.
Mengembalikan Kepercayaan Rakyat Kebangkitan Kembali Partai GOLKAR
Untuk Mencapai Kemenangan Partai GOLKAR 2014, buku Strategi Kebangsaan
Satrio Piningit 2014 (Indohill, 2010), dan beberapa editor buku seperti buku
Membangun Kemandirian Indonesia (Forum Dialog Indonesia, 1995), dan buku
Orang Berkata Tentang Wiranto (Yayasan Kebangsaan Bersatu, 2001).45
Sedangkan penghargaan yang pernah diraih oleh Yuddy dalam politik antara
lain; Calon Presiden Alternatif hasil seleksi Dewan Integritas Bangsa, Maret 2009.
News Making Politicians of The Years, Biografi Politik, 2009. Tokoh Muda
Inspiratif pilihan KOMPAS, Oktober 2009. Juru Bicara Calon Presiden dan Wakil
Presiden periode 2009-2014 (H. Jusuf Kalla dan H.Wiranto). Peserta Aktif pada
Seminar Senior Inter-Agency Advisory Panel & Process (SIAPP) on National
and Transnational Threats, Departemen Pertahanan RI, Mei 2006. Juru Kampanye
44 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi
Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), terletak pada sampul belakang. 45 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi
Kepemimpinan Nasional, pada sampul belakang.
46
Tingkat Nasional Partai GOLKAR, 2004. Juru Kampanye Tingkat Nasional Partai
GOLKAR, 1999.46
2. M. Fadjroel Rachman
M. Fadjroel Rachman lahir di Banjarmasin pada tanggal 17 Januari 1964,
setelah tamat SMA pergi ke Jawa Barat untuk kuliah di Institut Teknologi
Bandung (ITB) Jurusan Kimia. Selesai menamatkan jenjang Sarjana, Fadjroel
melanjutkan studinya ke Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Di sana ia
menyelesaikan S-2 dan program S-3 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Bidang Manajemen Keuangan dan Moneter, sangat berbeda dengan study S-1 nya
yang berkonsentrasi pada jurusan kimia.47
Muhammad Fadjroel Rachman dikenal sebagai seorang peneliti, penulis,
dan pengamat politik. Kritis dan berfikir tajam adalah ciri khasnya, terkadang
komentarnya kerap membuat gelisah telinga pejabat di pemerintahan. Sikap dan
identitas kritikus Fadjroel telah dimulai sejak aktif sebagai aktivis kampus tahun
1980-an, semasa kuliah di ITB.48
Karir politik dibangun semenjak jadi mahasiswa, perjalanannya pernah
dihadiahi kurungan penjara oleh generasi pemerintahan Orde Baru, karena
gagasan dan pemikirannya dianggap mengancam posisi penguasa saat itu.
46 Yuddy Chrisnandi: “Profil Yuddy Chrisnandi” [website resmi]; tersedia di
http://yuddychrisnandi.com/about/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 47 Fathimatuz Zahroh “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di
http://profil.merdeka.com/indonesia /f/M. Fadjroel-rachman/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
48 “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://republikmemanggil.org/tokoh/ tokoh-45/42-M. Fadjroel-rachman.html; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
47
Tercatat Fadjroel bersama dengan para aktivis mahasiswa lainnya melakukan aksi
advokasi untuk petani Kacapiring dan Badega pada masa Orde Baru. Fadjroel
menjadi komandan lapangan dalam aksi long march sejauh 60 kilometer dari
kampus ITB menuju Cicalengka. Aksi itu sendiri kemudian dibubarkan oleh polisi
dengan menghujani peserta aksi dengan peluru karet. Aktifitas politik lain
Fadjroel yang membuat pemerintah gelisah adalah ketika ia bersama aktifis
kampus menggelar aksi penolakan kedatangan Rudini (Menteri Dalam Negeri
masa Orde Baru) di ITB, karena tercium oleh aparat bahwa penggerak atas
penolakan itu adalah Fadjroel, maka ia bersama lima rekan lainnya lagi-lagi harus
menginap di tahanan Bakorstranasda selama satu tahun, sampai pada saat
persidangan ia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Fadjroel juga terlibat Gerakan
Lima Agustus ITB (1989) menuntut penurunan Soeharto. Akibat aksinya ia
kembali ditangkap sebagai tahanan politik, terhitung enam penjara pernah ia
singgahi, termasuk Sukamiskin dan Nusakambangan. Di antara enam penjara
tersebut, adalah empat penjara yang membuat Fadjroel mulai menulis puisi,
kemudian diterbitkan dalam kumpulan puisi dengan judul, “Catatan Bawah
Tanah.”49 Aktifitasnya sebagai penggerak perubahan tidak berhenti setelah ia dari
penjara, meskipun pernah sebentar rehat dan aktif dalam grup Bukaka, pada tahun
1998 dia kembali turun ke jalan untuk menyuarakan penuruan Presiden
Soeharto.50
49 M. Fadjroel Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan,
Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Jakarta: Koekoesan, 2008), 364. 50 Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan
Negara Kesejahteraan, 364.
48
Fadjroel sekarang aktif pada lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara
Kesejahteraan (PEDOMAN Indonesia), sebagai ketua PEDOMAN Indonesia,
mantan koordinator Konfederasi Pemuda dan Mahasiswa Sosialis Indonesia
(KPMSI), ketua Masyarakat Sosialis Indonesia (MSI), kerja sama internasional di
jaringan Southeast Asian Forum for Democracy, dan Asia Pacific Youth Forum
(Tokyo). Kandidat (42 besar) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).51
Fadjroel Rachman termasuk salah satu orang yang gemar berpolitik tidak
sekedar melalui demonstrasi di jalan-jalan semata, melainkan juga salah satu dari
yang pernah ada di Indonesia berjuang dalam politik melalui organisasi sastra dan
puisi, berikut di antaranya; Presiden Grup Apresiasi Sastra (GAS) di ITB
bandung. KODIM Sabtu (Kelompok Diskusi Mahasiswa Sabtu). Badan
Koordinasi Unit Aktivitas (BKUA) ITB. Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM)
ITB. Majalah Ganesha ITB (Pendiri dan Ketua Dewan Redaksi). Kelompok
Sepuluh Bandung. Pada tanggal 28 Oktober 2007, bertempat di Gedung Arsip
Nasional, Jl. Gajah Mada, Jakarta Barat, Fadjroel bersama dengan teman-
temannya mendeklarasikan Ikrar Kaum Muda Indonesia dengan tema sentral
"Saatnya Kaum Muda Memimpin."52
Karya tulis Fadjroel dalam politik sangat banyak, baik dalam bentuk narasi
ataupun pusi-pusinya, semuanya ditulis untuk mempermudah masyarakat
menerima dan mencerna dengan baik, di antaranya adalah; buku Democracy
51 Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan
Negara Kesejahteraan, 363. 52 Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan
Negara Kesejahteraan, 363.
49
Without The Democrats (Friedrich Ebert Stiftung), buku Demokrasi Tanpa Kaum
Demokrat - May Revolution and Mass Media (Penerbit Gramedia, 2001), buku
antologi puisi Dongeng untuk Poppy (Penerbit Bentang, 2007), buku antologi
puisi Sejarah Lari Tergesa (Penerbit GPU 2004), buku Catatan Bawah Tanah
(Penerbit YOI, 1993), buku Soetan Sahrir Guru Bangsa (Penerbit PDP Guntur 49
1999), buku Pesta Sastra Indonesia (Kelompok Sepuluh, Bandung, 1985), buku
Dunia Tanpa Peta (Novel, proses penerbitan), dan buku Republik Tanpa Publik
(Pledoi, proses penerbitan).53
Penghargaan Fadjroel dalam sastra dan politik antara lain; Antologi puisi
Dongeng Untuk Poppy menjadi finalis Khatulistiwa Literary Award 2007, dan
dianugerahi 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008. Antologi Puisi Sejarah Lari
Tergesa dinominasikan pada Khatulistiwa Literary Award 2005.54
3. Budiman Sudjatmiko
Budiman Sudjatmiko dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1970,55 dari
pasangan Warsono dan Sri Sulastri di Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap
Jawa Tengah. Budiman adalah anak pertama dari empat bersaudara, ia tumbuh
53 Zahroh “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://profil.merdeka.com
/indonesia /f/M. Fadjroel-rachman/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. 54 Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan
Negara Kesejahteraan, 363. 55 Budiman Sudjatmiko “Profil Budiman Sudjatmiko” [website resmi]; tersedia di
http://budimansudjatmiko.net/profil; internet; diunduh pada 27 Maret 2013.
50
besar di Cilacap, Bogor, dan Yogyakarta di tengah keluarga yang menanamkan
nilai-nilai keagamaan, nasionalisme dan semangat gotong royong.56
Budiman aktif dalam berbagai kegiatan diskusi dan organisasi sejak
memasuki sekolah setingkat SLTP. Pada awal masa perkuliahan di Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah Mada, ia terjun sebagai community organizer yang
melakukan proses pemberdayaan politik, organisasi, dan ekonomi di kalangan
petani dan buruh perkebunan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena
aktifitas itu sempat membuat kuliahnya berantakan.57
Aktifitas politik Budiman dimulai sejak kuliah di Universitas Gajah Mada
Jogjakarta. Gerakan militansi Budiman dari masyarakat bawah adalah antisipasi
sebagai bentuk tingginya resistensi dari pihak militer dan pemerintah akibat sepak
terjangnya terlalu kritis terhadap pemerintahan.
Pada tahun 1996 Budiman mendeklarasikan PRD (Partai Rakyat
Demokratik), karena posisinya membahayakan pemerintah, Budiman dianggap
sebagai "the most dangerous person in this country" dan memperoleh stigma
sebagai "the public enemy number one". Tanggal 22 Juli 1996 PRD mengeluarkan
manifesto perlawanan terhadap kekuatan Orde Baru. Manifesto perlawanan 22
Juli 1996 tersebut di antaranya secara tajam menyerang dan mengkritik kondisi
politik dan kondisi sosial-ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.
56 “Profil Budiman Sudjatmiko” [majalah tokoh online]; tersedia di http://www.tokoh
indonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru: internet: diunduh pada 27 Maret 2013.
57 “Profil Budiman Sudjatmiko” [berita online]; tersedia di http://profil.merdeka.com /indonesia/b/budiman-sudjatmiko/: internet: diunduh pada 27 Maret 2013.
51
Sejak saat itu, banyak anggota PRD dan orang-orang yang berafiliasi dengannya
menerima teror dan tekanan. Tidak sedikit pula dari mereka ditahan tanpa alasan
jelas, bahkan sebagian diculik dan disiksa secara fisik dan diteror secara mental.
Karena gerakan dan aktifitas PRD membuat Budiman dipenjara oleh pemerintah
Orde Baru dengan vonis tiga belas tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang, Jakarta Timur. Di penjara ia berjumpa dengan tahanan politik lain
seperti Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan Timor-Timur yang
menjadi presiden Timor Leste dan Perdana Menteri Timor Leste. Budiman hanya
menjalani hukuman selama 3,5 tahun setelah diberi amnesti oleh presiden
‘Abdurrahman Wahid (almarhum) pada tanggal 10 Desember 1999.58
Perkenalan Budiman dengan PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan) dimulai saat peristiwa perebutan paksa kantor DPP PDI di jalan
Imam Bonjol, Jakarta pada 27 Juli 1996 antara kubu PDI Pro
Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi. Akibat peristiwa itu nama
Budiman Sudjatmiko sebagai ketua PRD ikut terseret. Ia merupakan orang
pertama yang dicari pemerintah atas tuduhan sebagai aktor intelektual di balik
peristiwa berdarah 27 Juli 1996. PRD dan Budiman juga dihujat berbagai
organisasi sebagai dalang kerusuhan dan dituduh menerapkan cara-cara PKI.
Setahun berikutnya 1997 karena popularitas PRD semakin meningkat, dan juga
kondisi sosial-ekonomi serta politik mulai tidak stabil, rezim Soeharto mulai
melakukan penindasan terhadap berbagai gerakan politis yang dianggap subversif,
58 Setelah keluar dari penjara, Budiman meneruskan studi mengambil Ilmu Politik di Universitas London dan Master Hubungan Internasional di Universitas Cambridge, Inggris. Bisa di baca pada Budiman Sudjatmiko “Profil Budiman Sudjatmiko” [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/profil; internet; diunduh pada 27 Maret 2013.
52
apalagi dianggap ke kiri-kirian atau Komunis, salah satu korbannya termasuk
PRD.59
Dalam perjalanan politik Budiman semakin dekat dengan PDI-Perjuangan.
Kedekatan Budiman dengan PDI-Perjuangan dilanjutkan ketika dia bersama lima
puluh dua aktivis mendeklarasikan Relawan Pejuang Demokrasi (REPDEM) 3
Februari 2004. Budiman memiliki alasan mengapa dirinya memilih bergabung
dengan PDI-Perjuangan. Menurutnya, selain adanya kesamaan platform dan
ideologi antara PDI-Perjuangan dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yaitu
sama-sama membela masyarakat kecil, Budiman juga memandang bahwa sudah
saatnya dirinya berjuang di jalur partai besar agar kehendaknya memperjuangkan
rakyat mudah direalisasikan.60
Budiman menjabat sebagai Ketua Departemen Pemuda PDI-Perjuangan,
kemudian dicalonkan sebagai anggota legislatif untuk Daerah Pemilihan (DAPIL)
Jawa Tengah VIII. Dalam pemilu legislatif tersebut, Budiman memperoleh suara
terbanyak melebihi ambang batas Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yang
disyaratkan KPU, sehingga ia terpilih mewakili PDI-Perjuangan untuk dapil
tersebut.61
59 “Profil Budiman Sudjatmiko” [majalah tokoh online]; tersedia di http://www.tokoh
indonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru: internet: diunduh pada 27 Maret 2013.
60 “Profil Budiman Sudjatmiko” [majalah tokoh online]; tersedia di http://www.tokoh indonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru: internet: diunduh pada 27 Maret 2013.
61 “Budiman Sudjatmiko, MSc., M.Phil.” [website resmi]; tersedia di http:// www.moncongputihonlinebook.net/profile.php?user=BUDIMAN&v=friends&search=&m=0&p=2: internet: diunduh pada 27 Maret 2013.
53
Organisasi politik terbesar yang dibangun oleh Budiman adalah; PRD
(Partai Rakyat Demokratik) pada tahun 1996. Budiman termasuk salah satu dari
lima puluh dua aktivis mendeklarasikan Relawan Pejuang Demokrasi (REPDEM),
3 Februari 2004. Pengurus Steering Committee dari Social Democracy Network
in Asia (Jaringan Sosial Demokrasi Asia). Pembina utama di Dewan Pimpinan
Nasional organisasi PARADE NUSANTARA, yaitu organisasi yang menghimpun
para kepala desa dan seluruh perangkat desa di seluruh Indonesia. Sekarang aktif
sebagai Ketua Kepemudaan dalam PDI-P.62
4. Fadli Zon
Fadli Zon lahir di Jakarta 1 Juni 1971, dibesarkan di desa Cisarua - Bogor,
putera pertama dari tiga bersaudara. Ayah dan ibunya adalah orang Minangkabau
dari Payakumbuh, Sumatera Barat.63 Pendidikan dasar diselesaikan di SDN
Cibeureum III, Cisarua, Bogor tahun 1984. Melanjutkan SMP di Gadog, Bogor
tahun 1984-1986, dan Jakarta 1986-1987. SLTA selama dua tahun di SMA Negeri
31 Jakarta Timur tahun 1987-1989. Ia mendapat beasiswa dari AFS (American
Field Service) ke San Antonio, Texas, Amerika Serikat dan lulus dari sekolah itu
dengan predikat summa cum laude tahun 1989-1990. Sarjana S-1 diselesaikan di
Universitas Indonesia Program Studi Rusia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia
lulus tahun 1997. Tahun 1994 Fadli terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi
62 Budiman Sudjatmiko “Profil Budiman Sudjatmiko” [website resmi]; tersedia di
http://budimansudjatmiko.net/profil; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 63 Fadli Zon “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/profil-fadli-
zon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013.
54
(MAWAPRES) I Universitas Indonesia dan Mahasiswa Berprestasi III tingkat
Nasional. Menjadi visiting student di departemen politik National University of
Singapore tahun 1995, dan memimpin delegasi mahasiswa Indonesia dalam
ASEAN Varsities Debate IV (1994) di Malaysia. Sekolah Pasca Sarjana
diselesaikan di Development Studies, London School of Economics and Political
Science (LSE) di London Inggris dengan pembimbing Prof. John Harriss, Ph.D
(Director of Development Studies Institute, LSE) dan Prof. Robert Wade, Ph.D
selesai tahun 2003. Kini sedang menempuh S-3 di Program Studi Sejarah FIB
UI.64
Fadli Zon termasuk orang yang memiliki kecerdasaan di atas rata-rata, atas
hal itu ia pernah mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat, sehingga sangat
pantas apabila Fadli memiliki relasi saangat banyak dan mengikuti berbagai
macam organisasi baik dalam ataupun luar negeri. Fadli termasuk orang yang
aktif berpolitik sejak periode Orde Baru, di antaranya; Direktur Eksekutif Center
for Policy and Development Studies (CPDS) pada 1995-1997, sebuah lembaga
think tank dan penelitian. Ia juga pernah menjadi anggota MPR RI (1997-1999)
dan aktif sebagai asisten Badan Pekerja Panitia Adhoc I yang membuat GBHN.
Pada 1998 ikut mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) dan menjadi salah satu
ketua hingga 2001 (mundur). Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya
64 “Profil Fadli Zon” [berita online]; tersedia di http://www.antarasumbar.com
/id/ads/fadlizon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013.
55
(GERINDRA) sejak 2008 dan Ketua Badan Komunikasi Partai GERINDRA
(sejak 2010).65
Fadli aktif sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN)
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode 2010-2015, sebelumnya
Ketua DPN HKTI (2004-2010). Anggota Globalise Resistance di London. Wakil
Ketua Tim Pengawas Pengadaan Beras Bulog, Anggota Oversight Committee
Impor Beras (2005). Anggota Dewan Gula (2005-2009). Wakil Ketua ADIPBI
(Asosiasi Distributor dan Pengecer Barang Bersubsidi Indonesia) (2006-2009).
Observer Gencatan senjata antara Filipina dan tentara Moro di Filipina (Januari
1995). Delegasi Indonesia dalam Pameran Perlengkapan Militer COPEX, di
Yordania, 27-29 April 1998. Delegasi Partai-partai Islam ke Republik Rakyat
China atas undangan Partai Komunis China di Beijing, Ningxia-Hui dan
Shanghai, 10-18 Juni 2000. Dialog dengan para pemimpin Partai Komunis China
dan kunjungan ke daerah minoritas Muslim Ningxia-Hui serta tempat-tempat
bersejarah di China. Delegasi Kunjungan Ketua MPR RI Prof. Dr. Amien Rais ke
Republik Sosialis Libya, Saudi Arabia, Iran, dan Yordania pada 6-18 September
2000. Pertemuan informal dengan Pemimpin Moammar Khadafy dan Supreme
Leader Ayatollah Ali Khamenei. Delegasi RI dalam Konferensi tingkat Menteri
VI, World Trade Organization (WTO), Hongkong 13-18 Desember 2005. Tim
negosiasi masalah pertanian.66
65 Fadli Zon “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/profil-fadli-
zon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. 66 “Profil Fadli Zon” [berita online]; tersedia di http://www.antarasumbar.com
/id/ads/fadlizon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013.
56
Fadli Zon telah aktif dalam dunia jurnalisme sejak SMA kelas dua, hal ini
pula yang banyak memperkenalkan Fadli dalam dunia politik, terhitung sejak
SMA sudah sangat banyak Fadli bergabung dalam lembaga jurnalistik, di
antaranya adalah; Wartawan Tabloid IQRA dan Majalah Suara Hidayatullah
(1990-1991). Wartawan Harian Terbit (1991). Redaktur Majalah Gema, DHN
Angkatan 45 (1992-1994). Redaktur Majalah Tajuk (1994-1996). CPDS (Center
for Policy and Development Studies), sebagai Direktur Eksekutif (1995-1997)
Sebuah lembaga think tank dan kajian politik dan militer Indonesia. Pemimpin
Redaksi Harian Berita Yudha (1997).67
Dalam karirnya berpolitik, Fadli pernah menulis beberapa buku, di
antaranya adalah; buku Gerakan Etnonasionalis: Bubarnya Imperium Uni Soviet
(Sinar Harapan, 2002), buku The IMF Game: The Role of the IMF in Bringing
down the Soeharto Regime (IPS, 2004), buku Politik Huru Hara Mei 1998 (buku
best seller 2004, diterbitkan oleh IPS), buku Politics of May Riots 1998 (Solstice,
2004), buku Mimpi-Mimpi Yang Kupelihara: Kumpulan Puisi 1983- 1991
(Horison, 2010).
Fadli juga aktif dalam editorial buku, seperti buku Timor Timur, Indonesia
dan Dunia: Mitos dan Kenyataan karya Bilveer Singh (IPS, 1998), buku Tanjung
Priok Berdarah (Gema Insani Press, 1998), buku Kembalikan Indonesia! Haluan
Baru Keluar dari Kemelut Bangsa karya Prabowo Subianto (Sinar Harapan, 2004)
buku Konflik dan Integrasi TNI-AD karya Mayjen TNI Purn. Kivlan Zen (IPS,
67 Fadli Zon “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/profil-fadli-
zon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013.
57
2004), buku Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948. (Komite Waspada
Komunisme, 2005), buku Lakon Politik “Che Guevara Melayu”: Dokumentasi
Teror PKI 1955-1960 karya Ridwan Saidi (IPS, 2006), buku Prahara Budaya:
Kilas Balik Ofensif LEKRA/PKI Dkk., karya DS Moeljanto dan Taufiq Ismail
(IPS, 2008), dan buku Setelah Politik Bukan Panglima Sastra: Polemik Hadiah
Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer (IPS, 2009).68
68 Fadli Zon “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/profil-fadli-
zon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013.
58
BAB IV
PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK KAUM MUDA
A. Problem Demokrasi
1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi
Politisi muda era Reformasi, mereka sebagian adalah para mahasiswa yang
ikut andil dalam gerakan Mahasiswa 98, kemunculannya adalah reaksi
kesewenang-wenangan pemerintah saat itu, kelahiran mereka bukan sebuah
sepontanitas, melainkan kesinambungan dan kesengajaan pemikiran matang dari
gerakan-gerakan protes jauh sebelum era Reformasi.1 Posisi mereka tidak
memperbarui, melainkan meneruskan perjuangan dari mereka yang diculik dan
diintimidasi karena mempermasalahkan otoritas dan kebijakan penguasa, baik
kebijakan kesewenang-wenangan ataupun praktik-praktik penodaan atas asas
demokrasi.2
Orde Baru tidak hanya pelanggaran asas demokrasi, HAM, praktik
korupsi, dan semangat gotong royong “hanya” sesama saudara dan orang-orang
terdekat (nepotisme),3 Orde Baru adalah era Fasisme di Indonesia, Daniel
1 Budiman Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi
Total”, dalam Tim Penerbit Buku Kompas Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi: Merangsang Pemikiran Ulang Keindonesiaan (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001), 149.
2 Konsep pembaharuan politik mengandung dua hal: pertama adanya sistem politik yang ideal dan ingin dicapai, kedua penilaian bahwa sistem politik yang telah ada masih banyak memiliki kekurangan meskipun formatnya sudah pas sesuai identitas bangsa. Lihat pada Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1978), 234.
3 Terlihat seperti anak kecil yang takut dengan gelap, itulah gambaran terhadap aparat pemerintah menghadapi tuntutan hukum Soeharto dan kroninya. Kejahatan korupsi Soeharto sangat besar, permasalahan Super Semar tercium indikasi korupsi Rp, 3,7 treliun tidak sampai pada tahap persidangan, alasannya sama seperti Pinocet yang sakit permanen, sehingga ada ruang maaf untuk itu. Padahal korupsi Super Semar tergolong kecil, jika dibandingkan harta bermasalah
59
Dhakide mengemukakan Orde Baru adalah rezim Neo-Fasisme Militer, GOLKAR
adalah ABRI dalam wajah sipil, dan ABRI adalah GOLKAR dalam wajah militer,
argumentasi Daniel di-iya-kan oleh M. Fadjroel Rachman, meskipun Fadjroel juga
mengatakan Orde Baru adalah periode fasis, tetapi fasis Orde Baru adalah
totaliterisme dan korporatis.4
Fasisme adalah faham yang menolak demokrasi, rasionalisme, dan
parlementarisme. M. Fadjroel Rachman sependapat dengan Carl Friedrich, bahwa
totaliterisme korporatisme Fasisme Orde Baru ditandai oleh enam hal:
“Pertama, sebuah ideologi dominan, menyeluruh, dan tertutup. Tidak disangsikan lagi Pancasila versi Soeharto, pada 1980-an dijadikan asas tunggal bagi seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan. Kedua, satu partai yang menganut ideologi totaliter tersebut GOLKAR (sekarang Partai Golongan Karya) sebagai the ruling party dan kedua partai marginal PDI dan PPP adalah penganut ideologi Pancasila versi Soeharto yang tertutup dan totaliter tersebut. Ketiga, sistem intelijen militer maupun sipil yang mengawasi dan menteror kehidupan masyarakat. Rezim Orde Baru memiliki lembaga ekstra konstitusional dan ekstra yudisial seperti KOPKAMTIB (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), lalu berganti nama menjadi BAKORSTANAS (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional). Di perguruan tinggi, melalui resimen mahasiswa (MENWA) memiliki seksi intelijennya sendiri. Keempat, kontrol tunggal semua aktivitas masyarakat sipil, seperti media massa dengan lembaga SIUPP, dan semua organisasi sosial politik dibawah UU Partai Politik dan GOLKAR, Ormas, dan Referendum. Kelima, watak teknokratis dalam menjalankan pembangunan dan sistem kapitalisme monopoli yang menghantam kebebasan buruh untuk berserikat, melakukan depolitisasi massa (floating mass) dan bekerja sama dengan kapitalisme internasional (modal, portofolio, dan TNC/MNC). Keenam, bersifat korporatis, rezim memecah masyarakat menjadi golongan fungsional, sehingga tidak perlu berhubungan dengan masyarakat secara
Soeharto mencapai 35-60 miliar dolar AS yang menempatkan Soeharto sebagai pemimpin negara paling korup di dunia. Selain maslah korupsi, Soeharto juga dinanti hukuman atas kejahatan HAM, tapi justru kejahatan HAM Soeharto tidak disentuh sedikitpun. Selengkapnya tentang kaburnya proses hukum Soeharto bisa dibaca pada M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 119.
4 M. Fadjroel Rachman, “Indonesia Ke Arah Demokrasi dan Emansipasi Sosial”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 15.
60
langsung, hanya berhubungan dengan perwakilan dari golongan/kelompok korporatis itu. Adapun perwakilannya harus direstui atau sesuai dengan keinginan rezim Orde Baru.”5
Ada beberapa kesamaan antara yang dikemukakan oleh Fadjroel dan
dijelaskan oleh Yuddy Chrisnandi, Yuddy mengapresiasi Soeharto, ia mampu
membangun ekonomi dengan Trilogi ekonomi, tetapi disaat itupula Soeharto
membunuh demokrasi.6 Menggaris bawahi pemikiran Yuddy, setidaknya selain
kasus KKN, otoriter, dan pemaksaan ideologi,7 Orde Baru juga mengajarkan
semacam doktrinasi terhadap masyarakat antara pemimpin Jawa dan bukan Jawa,8
serta meluasnya konflik komunal,9 dan kedua problem tersebut terakhir bahkan
5 M. Fadjroel Rachman, “Fasisme dan Korporatisme Orde Baru”, dalam M. Fadjroel
Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 47-48.
6 Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 27.
7 Politik otoriter Soeharto memaksa Pancasila yang seharusnya menjadi ideologi negara berubah haluan menjadi ideologi politik, sehingga yang berhak menafsirkan Pancasila hanyalah pemerintah. Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 9.
8 Problem Jawa dan bukan Jawa dibangun atas dominasi Jawa dalam segala bidang, selain pemimpin negara diidentikkan memiliki watak raja-raja Jawa, fakta lain mengatakan elit politik di Indonesia juga didominasi oleh orang Jawa, sebab populasi masyarakat Jawa memang di atas suku-suku lain, selain faktor geografis bahwa pusat pemerintahan berada di Jawa. Hasilnya apa?, ternyata dengan identiknya Jawa membuat suku-suku lain selalu menyesuaikan diri dengan masyarakat Jawa, nilai-nilai ke-jawen dipelajari sebagai basis persepsi politik suku lain. Di antara watak masyarakat Jawa dalam aplikasi politik adalah konsep “halus”, masyarakat Jawa cenderung untuk menghindari konflik, tapi di sisi lain juga mudah tersinggung. Kedua “ketenangan bersikap”, orang Jawa memiliki kecenderungan – kewibawaan – orang yang berwibawa dan dihormati bukan orang yang aktif dan selalu berbicara, selalu ada dan menyelesaikan masalah di setiap keputusan, melainkan orang berwibawa bagi masyarakat Jawa adalah yang memiliki ketenangan bersikap. Ketiga adalah konsep “kebersamaan”, kebersamaan bagi masyarakat Jawa tidak hanya pada sektor fisik, melainkan juga pada sektor non fisik, seperti kebersamaan secara moral dan kekeluargaan. Lihat pada Yuddy Chrisnandi, “Problem Jawa-Non Jawa dalam Demokrasi di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 39.
9 Kegagalan penerapan demokrasi akan berakibat fatal dalam bernegara, tidak hanya praktik KKN sebagai penyakit utama, tapi akan melahirkan konflik yang berkelanjutan. Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, 16.
61
sampai pada Reformasi tetap menjadi isu hangat berdemokrasi di Indonesia selain
isu banyaknya reformis gadungan.10
Budiman Sudjatmiko lebih sepakat bahwa Orde Baru pemicu gerakan
politik kaum muda dimulai dari otoritarian kekuasaan di segala bidang
kemasyarakatan serta kapitalisme militeristik tuntutan penguasa, karena ini
pemicu adanya KKN di tubuh-tubuh birokrasi baik negara atau swasta. Sistem
pengekangan yang mempersempit gerakan kebebasan tidak akan bisa dirubah jika
perubahan itu hanya dimulai dari sektor lebih kecil, seperti tuntutan terhadap
regional kampus dan institusi daerah. Oleh karena itu perubahan harus dari inti
permasalahan, yaitu me-Reformasi kepemimpinan negara yang otoriter, karena
kebobrokan dimulai dari penguasa sekaligus induk dari semua otoritarianisme
Orde Baru.11
Fadli Zon menyoroti problem demokrasi Orde Baru cenderung dari sistem
yang dipergunakan dan bukan kesalahan individu Soeharto, karena tidak mungkin
Soeharto berjalan sendiri tanpa ditopang orang-orang yang menginginkan kursi
strategis di pemerintahan.
Negara Indonesia memiliki komitmen bahwa demokrasi tidak hanya dalam
sektor politik, melainkan juga dalam tatanan berkehidupan bermasyarakat
kesehariannya. Demokrasi era Orde Baru adalah demokrasi Pancasila, ini
merupakan hal baik karena Pancasila merupakan asas yang mampu menyikapi
10 Wawancara dengan Yuddy Chrisnandi. Jakarta, 6 Mei 2013. 11 Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”,
155.
62
toleransi terhadap masyarakat Indonesia, tetapi praktiknya tidak demikian, karena
bagi Fadli Pancasila itu hanya nama bagi sebuah peralihan kekuasaan, sedangkan
praktiknya masih terdapat nilai-nilai otoriter dan kediktatoran yang tentunya
diiyakan pula oleh penjilat kekuasaan masa Orde Baru. Karena jajaran konstitusi
era Soeharto tidak bisa dikatakan takut terhadap Soeharto, melainkan karena
mereka yang duduk di pemerintahanlah menciptakan sistem dan pencitraan
Soeharto sebagai poros utama dan harus ditakuti, karena dengan itu kapanpun
sistem bernegara dirubah untuk kepentingan tertentu bisa saja terjadi dengan
mengatasnamakan Soeharto.12
Munculnya kediktatoran saat Orde Baru tidak terlepas dari Soeharto
adalah panglima tentara, sehingga watak kediktatoran terbawa sampai pada
praktik dan karakter berpolitik. Bukan sebuah kesalahan memiliki gaya berpolitik
diktator asalkan pada sektor lain berimbang, dan itu pernah ditunjukkan pada
periode Soeharto.13
Orde Baru tidak bisa dilihat dari praktik korupsinya saja,
perbandingannya bahwa korupsi Orde Baru dan Reformasi hingga sekarang,
justru praktiknya lebih besar korupsi saat ini. Di sisi lain disepakati terdapat
banyak pelanggaran-pelanggaran dalam masa itu, tetapi dalam sisi pembangunan
ekonomi periode Orde Baru dikatakan berhasil dengan semboyan trilogi
12 Wawancara dengan Fadli Zon. Jakarta, 7 Mei 2013. 13 Wawancara dengan Fadli Zon.
63
pembangunan, sampai negara kita tergabung dalam OPEC dan pengimpor beras
terbesar se-Asia.14
Masa Reformasi adalah awal dari harapan baru tentang tegaknya
demokrasi, tapi seperti peristiwa-peristiwa transisi politik di Indonesia sebelum-
sebelumnya, semangat dan cita-cita kembali menguap, meskipun Reformasi sudah
dari sepuluh tahun berlalu, problem demokrasi tidak berkurang, melainkan justru
semakin kompleks. Pendapat empat tokoh politisi muda menyikapi problem
demokrasi masa Reformasi sama seperti diungkapkan Adrianof A. Chaniago,
permasalahan demokrasi pasca Reformasi digolongkan dalam tiga hal: Pertama
anarkisme sosial, baik dilakukan individu, kelomok komunal, etnis, dan agama.
Kedua re-sentralisasi dan elitisme dalam sistem politik. Ketiga tokoh-tokoh sipil
yang terjebak dan dipenjara layaknya tahanan kota.15
Peristiwa kekerasan dan radikalisme di Indonesia akhir-akhir ini
meningkat dan dilakukan oleh multi kelompok. Seperti mengatasnamakan agama,
atas nama suku, dan atas nama primordial.16 Praktik terbesar radikalisme agama
tidak sekedar berbentuk riel perusakan atas tempat peribadatan agama tertentu,
bahkan pemeluk agama yang sama sering terjadi gesekan fisik, belum lagi jika
kita lihat peristiwa terorisme di Indonesia, semuanya peristiwa terorisme
14 Wawancara dengan Fadli Zon. 15 Adrianof A. Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, dalam Maruto
MD., dan Anwari WMK., ed., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2002), 27.
16 Untuk permasalahan konflik bisa dibaca pada Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, 12.
64
terungkap sebagai tafsir atas gerakan dakwah dalam agama.17 Agama dan suku
hanya merupakan latar belakang identitas individu, kemudian mengelompok, dan
itu bersifat sangat sensitiv, melebarnya konflik dan fanatisme berlebihan banyak
dimanfaatkan gerakan partai politik, akhirnya tidak heran apabila banyak partai
politik berakar dan menjual simbol-simbol agama, keberadaan partai-partai agama
(atau berdasar suku) bisa memunculkan fanatisme yang menolak aturan main
demokrasi apabila partai atau suku yang dianggap wakil Tuhan kalah dalam peta
pemilu.18
Jika radikalisme dan praktik separatis terus terjadi sampai sekarang, apa
sebenarnya penyebabnya dan apa konsekuensinya?19 Penyebab terbesar adalah
tidak meratanya asas demokrasi sampai ke pelosok daerah-daerah, sehingga asas
demokrasi berbangsa dan berkehidupan hanya dinikmati oleh orang-orang di
Senayan. Bagi Imam Prasojo kekhawatiran bangsa Indonesia akibat konflik
tersebut adalah disintegrasi sosial, bila ini terjadi akan menimbulkan iklim tidak
saling mempercayai di antara kelompok-kelompok masyarakat, konsekuensinya
17 Munculnya gerakan radikal dalam agama bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “Islam dan
Gerakan Radikalisme di Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 290. Contoh radikalisme dalam agama bisa dilihat seperti peristiwa bom bali A. Wisnubrata, “Air Mata Tumpah di Monumen Bom Bali” [berita online]; tersedia di http://regional.kompas.com /read/2012/10/12/10243665/ Air.Mata.Tumpah.di.Monumen.Bom.Bali; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
18 Budiman Sudjatmiko, “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”, [website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/83; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
19 Yuddy Chrisnandi, “Menangkal Separatisme Papua”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 75. Baca juga pada M. Fadjroel Rachman, “Luka Papua, Luka Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 185.
65
adalah antara kelompok masyarakat satu dan lainnya saling curiga, saling
bermusuhan, dan akibat paling fatal adalah saling meniadakan.20
Konflik-konflik di daerah pertanda tumbuh suburnya re-sentralisasi politik
dan perekonomian. Secara konstituen semua induk pemikiran dan gerakan politik
menempatkan wakil-wakilnya hingga pelosok daerah, tujuannya secara hukum
terjadinya dan tertampungnya banyak aspirasi dari masyarakat, tetapi tujuan
secara pribadi dan kepentingan organisasi politik itu hanya salah satu cara
menggurita-kan atas kekuasaan. Wakil di daerah selalu menyalahkan
pemerintahan pusat karena tidak tanggap terhadap peristiwa di daerah, sedangkan
mereka yang di pusat hanya memberikan janji –seolah-olah telah menyalurkan
aspirasi rakyat–, padahal secara diam-diam baik pemerintah pusat dan pemerintah
daerah bermesraan, karena konflik pasti akan diselesaikan, hanya saja menunggu
momentum yang tepat untuk mengangkat nama baik dan popularitas organisasi
politik (pencitraan).21
Sedangkan terjadinya penjara kota bagi tokoh sipil bisa kita telusuri di Ibu
Kota, banyak masyarakat berfikir nikmatnya menjalankan perekonomian di Ibu
Kota, sehingga banyak mengundang masyarakat dari daerah berbondong-bondong
ke Ibu Kota. Perpindahan yang tergolong terburu-buru merupakan satu masalah
besar, tanpa dukungan SDM yang brilian, banyak membuat mereka yang susah
payah datang ke Ibu Kota harus terlantar dengan ketat dan kerasnya persaingan,
20 Diantara peristiwa-peristiwa radikalisme yang ada, nampaknya gerakan-gerakan separatis
adalah gerakan radikalisme yang paling perlu menjadi perhatian. Sebab gerakan tersebut secara jelas dan terang-terangan ingin memiskahkan diri dari negara kesatuan Indonesia. Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, 14.
21 Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, 24.
66
sehingga cita-cita awal mereka agar menjadi orang kaya tidak terealisasikan,
wujudnyapun bisa kita lihat, mereka adalah tahanan kota, yaitu orang-orang
miskin yang hidup di kota besar. Siapa yang diuntungkan?, tidak lain adalah
mereka elite politik yang oportunis dan pragmatis, karena kecerdikannya
memanfaatkan keluguan meraka –tahanan kota– sebagai alat politik, mereka
dipelihara dan diperjuangkan aspirasinya, yang tidak lain hanya batu loncatan
untuk bisa duduk di kursi parlemen.22
2. Argumentasi Rekonstruksi Demokrasi
Empat tokoh muda menyatakan komitmennya bahwa demokrasi harus
tetap menjadi identitas bernegara dan berbangsa di Indonesia. Meskipun format
ideal tentang demokrasi Indonesia terus mendapatkan ujian, tetapi eksistensinya
harus tetap dipertahankan. Lantas apa cara yang ideal untuk meneruskan
perjuangan demokrasi yang menjadi semangat dan cita-cita Reformasi?, Budiman
Sudjatmiko memberikan dua opsi agar demokrasi yang menjadi semangat
Reformasi di Indonesia akan terlaksana. Pertama dominasi kekuatan-kekuatan
Orde Baru harus dilemahkan, baik mereka yang berada di konstitusi, di tubuh
militer, maupun di tubuh parleman dari pusat sampai daerah. Kenapa demikian?,
karena orang-orang Orde Baru semakin cerdas, mereka hari demi hari selalu
melakukan penciteraan untuk membersihkan nama mereka, tujuannya agar cita-
cita politiknya tidak kandas. Kesempatan kekuatan otoriter lama untuk berkuasa
kembali sangat terbuka, salah satunya disebabkan proses demokratisasi terus
22 Chaniago, “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, 30.
67
memberi kesempatan untuk diinterupsi, dan ini bukan sekedar karena daya tahan
Soehartois, namun sering karena sikap pragmatisme mereka yang mengawal
Reformasi. Tepatnya, otoriterisme lama bisa berkuasa karena di satu sisi tertolong
pragmatisme sebagian kalangan menengah, utamanya di perkotaan yang
mengontrol modal atau opini.23 Kesimpulannya yang diinginkan masyarakat
Indonesia adalah pengusutan tuntas kejahatan KKN era Orde Baru, bagaimana
bisa kejahatan Orde Baru tuntas jika yang menyelidiki adalah pelaku kejahatan.24
Kedua agar cita-cita Reformasi terlaksana adalah dengan menyingkirkan reformis
gadungan, reformis gadungan merupakan mereka yang menyuarakan dan
menyatakan pejuang Reformasi. Tapi karena keberadaannya ditumpangi kekuatan
politik tertentu, sehingga untuk melancarkan agenda-agenda politiknya tidak
segan-segan bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru.25
Poin kedua dari apa yang dikemukakan oleh Budiman pada “reformis
gadungan” memiliki kesamaan dengan argumentasi Yuddy Chrisnandi tentang
“pemenang pertama”, mereka adalah yang berhasil merebut kekuasaan demokratis
dari rezim otoriter, setelah cita-cita politiknya tercapai dan punya posisi dalam
politik, maka agenda-agenda Reformasi perlahan dibelokkan untuk kepentingan
23 Pragmatisme sebagian dari mereka menimbulkan rasa khawatir "instabilitas" yang
disebabkan demokratisasi, misalnya menyebabkan proses integrasi mereka dengan perekonomian global terhambat. Namun di sisi lain, konsentrasi kita dalam proses transisi ini juga bisa terpecah karena pernyataan impulsif dari orang-orang idealis yang tidak sabar, meskipun sering dengan maksud baik. Sudjatmiko, “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”.
24 Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 156.
25 Contoh kongkrit reformis gadungan ketika Presiden ‘Abdurrahman Wahid tentang pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1996, kemudian dimanipulasi oleh reformis gadungan dengan membelokkan pada isu suku, agama, dan ras. Mereka juga yang akomodatif terhadap Dwi fungsi ABRI, serta tidak punya keberanian untuk menghancurkan sisa-sisa Orde Baru. Lihat pada Sudjatmiko, “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan Reformasi Total”, 157.
68
dirinya dan golongannya. Mereka ini pemenang diawal Reformasi, namun diakhir
mereka mengikuti sistem yang dahulu pernah ditentang.26
Yuddy mengatakan bahwa diperlukan orang-orang yang tepat agar tidak
terdapat reformis gadungan, konsolidasi ini hanya bisa diterapkan bagi mereka
yang memilki kecakapan memikul mandat rakyat, mereka yang patuh dalam
konsensus politik, terbangunnya etika baik dalam berpolitik, sistem kontrol yang
baik tanpa ada intervensi pemerintah, hukum tidak dimanipulasi, ini adalah jalan
yang harus ditempuh untuk menjaga kesetabilan demokrasi. Sebab ada dua hal
menurut Yuddy dari akibat penerapan demokrasi, pertama apabila demokrasi
dikawal baik maka konsolidasi demokrasi tertata rapi, kedua apabila prosesnya
cidera, maka akan tumbuh lagi otoritarianisme dalam pemerintahan.27
Selain penyingkiran “reformis gadungan” atau “pemenang pertama”, ada
tiga hal yang harus dilakukan untuk membangkitkan cita-cita demokrasi
Indonesia:
Pertama, Menghilangkan patron feodlistik dalam pos-pos politik, feodlistik
dalam kepemimpinan pengaruhnya luar biasa terhadap kehidupan sosial, ada
perasaan sebagai golongan priyayi sehingga menutup terhadap yang lain untuk
maju dan lebih menonjol, sehingga terdapat asumsi urusan rakyat bukan urusan
pemimpin.
26 Yuddy Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, dalam
Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 33.
27 Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, 33.
69
Kedua, Memiliki persiapan matang atas kembalinya neo kolonialisme yang
telah dipersiapkan oleh negara adikuasa untuk tidak menginginkan negara
Indonesia besar di segala bidang, baik ekonomi, pertahanan, dan berkebangsaan,
(ini seperti arguementasi Fadli Zon pada pembahasan berikutnya).
Ketiga, Membangun kepemimpinan yang kuat, visioner, dan kaya ide,
karena kepemimpinan lemah adalah cermin dari karakter yang mudah tunduk atas
tekanan.28
M. Fadjroel Rachman lebih keras menyikapi hal-hal yang akan menopang
tatanan demokrasi Indonesia. Jika Budiman menginginkan ada pelemahan
kekuatan Orde Baru, Fadjroel justru menginginkan kekuatan Orde Baru
dihancurkan dan dilarang di Indonesia, seperti apa yang terjadi pada partai Nazi di
Jerman yang dilarang sesuai perundang-undangan konstitusi sampai sekarang.29
Fadjroel menyatakan masa depan demokrasi Indonesia hanya bisa diselesaikan
apabila runtutan untuk membangunnya dilaksanakan dengan baik:
Pertama tahap otoriter totaliter anti demokrasi dibinasakan dari sistem
politik di Indonesia. Tahap transisi demokrasi mensyaratkan keterputusan
terhadap elemen otoriter-totaliter yang anti demokrasi, di sini adalah mereka yang
disebut sebagai Soehartois, baik individu ataupun lembaga pendukung dan
dipergunakan untuk memperlancar cita-cita politik Soeharto pada masa berkuasa,
dalam perspektif ini seperti GOLKAR dan lembaga korporatis Orde Baru lainnya
28 Yuddy Chrisnandi, “Refleksi dan Rekonsiliasi Menatap Masa Depan”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 62.
29 Rachman, “Fasisme dan Koropratisme Orde Baru”, 49.
70
tidak mungkin menjadi prasyarat tumbuh kembangnya apalagi mempertahankan
dan memimpin tahap transisi demokrasi, tujuannya tidak mungkin membangun
demokrasi dengan elemen-elemen otoriter-totaliter yang justru anti demokrasi.30
Kedua tahap transisi demokrasi. Tahap transisi demokrasi tidak bisa
dilakukan oleh orang-orang tertentu atau yang hanya terlibat dalam politik,
melainkan ada lima unsur element masyarakat yang harus terpenuhi dalam masa
transisi, yaitu; 1. Masyarakat sipil ‘civil society’, 2. Masyarakat politik ‘political
society’, 3. Supremasi hukum ‘rule of law’, 4. Aparatus negara ‘state apparatus’,
5. Masyarakat ekonomi (economic society).
Kelima arena masyarakat tersebut tidak boleh cacat satupun, karena
apabila salah satu bermasalah, maka tidak akan ada kesetabilan dalam transisi
demokrasi. Seperti dikatakan oleh Fadjroel:
“Bahwa kepentingan (interest), gagasan (ideas), dan nilai-nilai (values) dari masyarakat sipil adalah penggerak utama (major generators) masyarakat politik, juga terhadap masyarakat ekonomi, aparatus negara, dan supremasi hukum. Tetapi, masyarakat sipil tidak bisa menggantikan semua fungsi modern masyarakat politik seperti "merancang" dan menjalankan konstitusi dan perundangan negara yang menentukan maju mundurnya keempat arena konsolidasi demokrasi lainnya, mengelola aparatus negara, menegakkan supremasi hukum, dan lainnya. Masyarakat politik dalam melaksanakan semua fungsi memerlukan legitimasi masyarakat sipil. Masyarakat sipil juga memerlukan dukungan yang niscaya dari adanya supremasi hukum konstitusional yang memberikan jaminan hukum atas hak-haknya (sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya), dan aparat negara yang melindungi atau menegakkan hak-hak tersebut bila dilanggar. Juga dukungan masyarakat ekonomi yang niscaya untuk menjamin kebebasan dan kehidupan masyarakat sipil. Tanpa masyarakat ekonomi yang menumbuhkan dan memeratakan kesejahteraan
30 M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati
Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 10.
71
ekonomi, melalui pasar yang terlembaga dan dilindungi regulasi dan deregulasi optimal rancangan masyarakat politik, dihormati masyarakat sipil dan ditegakkan aparat negara, konsolidasi demokrasi tidak akan pernah terjadi.” 31
Ketiga tahap sistem demokrasi dan diperluas ke segala bidang, apabila
kedua unsur awal terpenuhi, maka tahap terakhir adalah memperluas dan
memperdalam demokrasi. Demokrasi tidak hanya di bidang politik, melainkan
dikembangkan ke dalam berkehidupan dan berbangsa kesehariannya. Orang-orang
yang tahu, mengenal, dan meyakini demokrasi dengan kepala dan hati mereka,
memberi demokrasi kehidupan dengan komitmen mereka, maka mereka pantas
disebut sebagai kaum demokrat.32
Konsistensi demokrasi di Indonesia menurut Fadli Zon tidak seperti
argumentasi tiga tokoh di atas, menyalahkan Orde Baru adalah kesalahan besar.
Bangsa ini harus dimulai dari apa yang ada saat ini, apabila proyek pembangunan
sebuah negara harus menyalahkan Orde Baru, negara Indonesia tidak akan
terbentuk. Contoh sederhana siapa pemimpin dan politis saat ini yang bukan
produk Orde Baru, Budiman, Fadjroel, atau Yuddy? Semua produk Orde Baru
kecuali orang yang terlahir setelah tahun 98, yang paling urgen dari itu semua
bagi Fadli adalah sistem dan penerapan cita-cita Reformasi.33
Demokrasi akan terus terjaga apabila terdapat pertanggung jawaban atas
pelaksanaannya, konflik dan metode kekerasan untuk menyampaikan pendapat
31 Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri,
Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, 12. 32 Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk Megawati Soekarno Putri,
Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, 13. 33 Wawancara dengan Fadli Zon.
72
bukan cara berdemokrasi dalam politik. Demokrasi memang memberikan
kebebasan dalam bersuara, berkumpul, dan berserikat, tetapi kebebasan yang tidak
mengganggu hak-hak masyarakat lain. Seperti keterangan sebelumnya, bahwa
demokrasi Indonesia tidak sekedar politik, tetapi di segala bidang termasuk
ekonomi. Saat ini demokrasi Indonesia cenderung ke neo liberalisme ekonomi,
yang sangat tidak cocok dan merugikan demokrasi Indonesia.34
Demokrasi Indonesia benar dikatakan Muhammad Hatta adalah demokrasi
yang menggabungkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, maka
menjadi demokrasi sosial dan kebersamaan, seperti asas budaya kita dengan
simbol gotong royong. Hal terpenting dalam demokrasi bagi Fadli selama ini
gagal difahami pada masa Reformasi, sehingga demokrasi yang dianggap
Reformasi justru mengarah pada neo liberalisme politik dan neo liberalisme
ekonomi.35 Dampaknya bukan sedikit, tapi luar biasa menyengsarakan rakyat, aset
yang merupakan warisan moyang justru setelah masa Reformasi dinikmati bangsa
asing, padahal itu kekayaan kita.36
Bagi Fadli kemelut Reformasi di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat dalam negeri, gerakan-gerakan 98 hanya eksekutor, sedangkan
sponsor utama adalah IMF (International Monetery Fund). IMF ikut campur
dalam penggulingan Orde Baru, apa tujuan IMF di sini?. Kata Michel Camdessus,
“Kami menciptakan krisis untuk Indonesia agar Soeharto turun”. Faktanya
bagaimana?, fakta terbesar ikut campur IMF dalam Reformasi adalah dari ketidak
34 Wawancara dengan Fadli Zon. 35 Wawancara dengan Fadli Zon. 36 Wawancara dengan Fadli Zon.
73
efektifan idenya menyeleseikan krisis di Indonesia, kenapa IMF yang seharusnya
memberikan dana talangan di Indonesia justru ide-idenya malah menghancurkan
Indonesia?, pertanyaan tersebut merupakan jawaban atas bukti keterlibatan IMF
masa Reformasi. Proyek terbesar IMF saat semua lini ekonomi Indonesia lemah,
IMF meminta Indonesia untuk melepas aset-aset setrategis dalam ekonomi dan
menjual pada pihak asing, padahal pihak pembeli merupakan kroni dan telah
dipersiapkan oleh IMF,37 dan ini awal masuknya neo liberalisme di Indonesia.38
B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda
1. Gerakan Kepemudaan dan Investasi Kepemimpinan Politik
Ada pernyataan menarik, pemimpin masa depan ditentukan kualitas
pendidikan saat ini, dan pemimpin saat ini ditentukan kualitas pendidikan masa
kemarin. Begitupula dalam munculnya tokoh-tokoh politik, mereka tidak tumbuh
secara instan tanpa ada persiapan dan sejarah yang memotifasi mereka untuk
muncul. Karena saat ini berbicara tentang pemuda sebagai pendobrak gerakan
politik, maka akan kita diskusikan awal mula gerakan-gerakan kepemudaan yang
menjadi investasi gerakan politik kaum muda di masa berikutnya.
Gerakan kepemudaan sangat banyak di Indonesia, tapi yang tercatat sebagai
gerakan pembaharu dan berdirinya mampu menunjang semangat nasionalisme
37 Fadli Zon, Politik Huru-Hara Mei 1998 (Jakarta: Institude for Policy Study, 2004), 14. 38 IMF tergiur menikmati keberhasilan era Soeharto, Indonesia dulu dalam sektor energi
anggota OPEC, dalam pangan Indonesia raja beras se-Asia. Tapi pasca Reformasi ekonomi kita hancur, Indonesia didepak dari keanggotaannya OPEC, Indonesia tidak berdaulat dalam pangan, segala sesuatu harus ekspor dari luar, sampai saat ini bawang, garam, dan sapi didatangkan dari asing. Wawancara dengan Fadli Zon.
74
pemuda adalah berdirinya gerakan Budi Utomo 1908,39 gerakan tersebut berdiri
sebagai akomodasi para pemuda dalam politik untuk menentukan sikap terhadap
para penjajah. Sehingga gerakan Budi Utomo dilambangkan sebagai gerakan
kebangkitan nasional.40 Gerakan kebangsaan berafiliasi pemuda kemudian
dipertegas dengan gerakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, di situ
terdapat kesepakatan dari para pemuda dengan pengakuan: bertumpah darah satu
Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan berbahasa satu Indonesia.41 Dalam
sekala mikro gerakan kepemudaan pasca kemerdekaan cenderung dilakukan oleh
para mahasiswa, terhitung lebih dari dua kali gerakan mahasiswa menjadi
peristiwa terbesar sepanjang sejarah gerakan kemahasiswaan, dimulai dari tahun
1966 sampai terakhir peristiwa 1998, saat penurunan rezim pemerintahan
Soeharto dengan berbagai kejahatan yang telah dibahas pada bab sebelumnya.42
Gerakan tersebut di atas adalah rangkaian yang secara terus menerus muncul
dengan adanya ketidak beresan situasi bernegara di Indonesia, dipelopori oleh
mereka yang muda dan dari situ pula adalah investasi pemuda dalam politik.
Keberadaan pemuda dalam mengawal proses berdemokrasi berbangsa dan
berkehidupan tidak sebatas keikutsertaannya turun ke jalan dan melakukan
39 Henny Warsilah dkk., Kesiapan Generasi Muda Indonesia Menyongsong Perubahan
Kepemimpinan di Tahun 2015 Mendatang, Henny Warsilah, ed., (Jakarta: LIPI, 2010), 1. 40 Abdul Syukur, Perekat Bangsa: Pengakuan Sejarah Kepemudaan Indonesia, Zusiyansah
Samosir, ed., (Tangerang: PT. Nusantaralestari Ceriapratama, 2008), 3. 41 Yuddy Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, dalam
Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 9.
42 Gerakan Mahasiswa dengan agenda penurunan Soeharto telah dilakukan dari berbagai periode, 1974, 1978, 1989, dan puncaknya tahun 1998, lihat pada M. Fadjroel Rachman, “Gerakan Mahasiswa Gerakan Politik Nilai”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 218.
75
demonstrasi, melainkan tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya lolos dari
seleksi dan muncul sebagai tokoh-tokoh politik baru di Indonesia, dengan
semangat kepemudaan.
Berbicara kepemudaan dalam konteks biologis dibatasi oleh umur, dari 13
sampai 40 tahun, ada pula yang menyatakan konteks kepemudaan adalah antara
umur 20 sampai 40 tahun.43 Menurut Yuddy Latif, pemuda lebih dari sekedar
kriteria usia, kaum muda merefleksikan sikap kejiwaan, suatu kebaruan cara
pandang yang memutus hubungan dengan tradisi, dengan keberanian
memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan.
Pendapat lain dari sosiolog terkemuka Talcott Parsons, bahwa pemuda tidak bisa
ditafsirkan sebagai kategori biologis dengan memeberikan batasan umur,
melainkan suatu konstruksi sosial yang muncul dalam kurun periode tertentu.44
Dalam politik apakah konsep pemuda juga akan disamakan dan dibatasi
dalam konteks usia?,45 atau dalam politik konteks pemuda akan disamakan dengan
sekema sosiologis bahwa tidak ada batas umur dalam kepemudaan?46 Berbicara
43 Aziz Syamsuddin, Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia (Jakarta: PT. Wahana
Semesta Intermedia, 2008), 8. 44 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, tanpa penerjemah (Yogyakarta: Kreasi
Wacana), 334. 45 Menurut Anies Baswedan pemimpin muda dalam konteks politik berdasarkan umur
sangat rasional, cita-cita bangsa Indonesia adalah memperjuangkan demokrasi, demokrasi adalah proyek jangka panjang, memerlukan stamina lintas generasi untuk membuat cita-cita demokrasi berbangsa dan bernegara. Meskipun harus diakui tidak ada rumusan tentang umur dalam sosio-politik, tapi upaya tersebut sangat rasional. Warsilah dkk., Kesiapan Generasi Muda Indonesia Menyongsong Perubahan Kepemimpinan di Tahun 2015 Mendatang, 2.
46 Apabila dipandang secara umur, Indonesia telah banyak melahirkan para pemimpin politik dari kaum muda, kita bisa baca masa awal kemerdekaan berderet pemuda yang secara umur dibawah 45 tahun menjadi tokoh-tokoh politik, jangkauannyapun tidak sekedar tingkat nasional, bahkan sampai Internasional seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lain sebagainya. Pasca Reformasi kita juga menjumpai para pemimpin dalam politik berusia muda, meskipun hanya dalam regional daerah, tapi perjuangan dan persaingan mereka dengan pemimpin berumur tua
76
kepemudaan dalam sosio-politik tidak berbicara klasifikasi umur, pemuda
merupakan keperkasaan, kekuasaan, vitalitas, enerjik, progresif, dan pendobrak.47
Indra J. Piliang memaparkan empat tipe kaum muda pasca Reformasi:
Pertama, pemuda yang bergabung dalam partai politik, banyak pemuda
yang menempati posisi struktural partai dan tergolong posisi setrategis.
Kedua, mereka yang masih konsisten dalam agenda Reformasi lalu memilih
bergabung dalam lapisan masyarakat sipil, mereka berpolitik tanpa partai namun
tetap mengakomodasi pemikiran rakyat. Tidak jarang dari mereka justru
memperoleh pendidikan tinggi dari luar negeri.
Ketiga, mereka para pemuda yang lebih memilih memperjuangkan
Reformasi melalui jalur profesional, namun kedudukannya berbeda dengan kaum
profesional biasa yang cenderung tunduk dalam peraturan pemerintah, profesional
dalam katetgori ini satu tingkat di atas level kaum profesional biasa, mereka tidak
sekedar tunduk dalam peraturan pemerintah, melainkan ikut mengkritisi sertiap
kebijkan pemerintah. Orang-orang semacam ini nantinya disebut sebagai
kelompok menengah kritis yang bisa mengimbangi kepentingan negara dan pasar.
tidak mudah, karena masyarakat opininya terbentuk bahwa orang tua dianggap lebih bisa mengayomi. Di antara pemimpin daerah berusia dibawah 35 tahun adalah Airin Rachmy Diany (walikota Tangerang Selatan), Mardani H. Maming (Bupati Tanah Bambu), Yopi Arianto (Bupati Indragiri Hulu), Neneng (Bupati Bekasi). Dalam tingkat Provinsi M. Zainul Majdi (Gubernur Nusa Tenggara Barat) dan Joko Widodo (sebagai Gubernur DKI Jakarta) yang keduanya masih berumur 40-an tahun.
47 Miftahuddin, Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani (Depok: Desantara, 2004), 4.
77
Keempat, adalah golongan pemuda pragmatis, mereka pernah hidup dan
berjuang di masa Reformasi, tetapi karena kekurangan ide dan tidak tau apa
tindakan selanjutnya, mereka hanya singgah dari kelompok satu ke kelompok lain
dengan memanfaatkan identitasnya sebagai alumni penggerak Reformasi untuk
membangun pengaruh di masyarakat, tipe ini jelas bertujuan uang.
Dari sekian yang telah dibahas tentang teori kepemudaan baik secara
biologis dan sosio-politik, empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel
Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) memiliki pandangan berbeda-
beda.
Fadli Zon sepakat pada teori sosio-politik, berbicara politik tidak berbicara
umur, tidak berbicara tua ataupun muda. Ada pepatah mengatakan, “bukan berapa
lama umur kita, melainkan apa yang sudah kita perbuat dalam umur kita”. Dalam
kehidupan kita temui orang berumur seratus tahun tanpa hasil dan tanpa
peninggalan sejarah, tapi ada yang umurnya dua puluh tahun sudah berbuat
banyak dan tertulis dalam sejarah. Berbicara politik berbicara kualitas, bukan
kuantitas. Masyarakat kita cenderung membalik hal itu, politik berbicara sistem,
bukan berbicara pelaku. Pemimpin politik katakan dipimpin oleh orang muda
secara umur, tetapi sistem yang dipergunakan adalah sistem lama, dalam konteks
ini tidak akan ada perubahan, akan berbeda apabila muda secara sistem, silahkan
Indonesia dipimpin oleh mereka yang tergolong tua, akan tetapi sistem
bernegaranya muda – original dan pembaharu – maka akan terdapat perubahan.
78
Meskipun harus diakui bahwa pemuda lebih bersemangat, lebih dinamis, dan
mudah mengambil keputusan, karena pemuda tidak takut dengan resiko.48
M. Fadjroel Rachman pernah membuat tulisan berjudul, “Republik Muda:
Republik Harapan”, di dalamnya Fadjroel menyebutkan bahwa Megawati
Soekarno Putri (65 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (63 tahun), Jusuf Kalla
(70 tahun), Wiranto (65 tahun), Sutiyoso (67 tahun), Sultan Hamengku Buwono X
(66 tahun), kampanye kepemimpinan tersebut terdapat penekanan dan menyoroti
“usia” bagi mereka yang sekarang masih agresif mencalonkan diri sebagai bagian
dari kepemimpinan politik di Indonesia.49 Bagi Fadjroel menyatakan dan
menggaris bawahi tentang masalah usia hanyalah manufer politik, ia sepakat
seperti pernyataan Fadli Zon, bahwa berbicara sosio-politik tidak berbicara usia,
melainkan kualitas kepemimpinan.50
Kampanye kepemimpinan politik pemuda saat itu sebenarnya dilaksanakan
hanya merujuk pada regenerasi dan normalisasi kepemimpinan politik seperti
negara berkembang di Eropa,51 sederhananya contoh di Eropa ada Tony Blair, ia
berada di parlemen pada usia 43 tahun, selama sepuluh tahun di parlemen dan
menjadi Perdana Menteri Inggris, kemudian berhenti pada usia 53 tahun, setelah
48 Wawancara dengan Fadli Zon. 49 M. Fadjroel Rachman, “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg34376.html; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
50 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. Jakarta 10 Mei 2013. 51 Kita tidak boleh lupa dengan mereka yang mati diusia muda karena perjuangan
Reformasi, para pemuda menjadi garda depan perjuangan bangsa, jadi sangat layak apabila pemuda lebih diberikan ruang dalam meneruskan perjuangan Reformasi. Lihat pada M. Fadjroel Rachman, “Empat Tahun Reformasi: Kepemimpinan Politik Kaum Muda”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 185.
79
itu ia menjadi negarawan karena dianggap sudah tua. Obama juga demikian, ia
menjadi Presiden Amerika usia 47 tahun, menjabat kepemimpinan politik selama
delapan tahun, hitungannya 47 tahun ditambah delapan tahun memimpin, berarti
berhenti diusia 55 tahun, setelah itu ia akan menjadi negarawan karena dianggap
sudah tua. Bagi Fadjroel secara normatif kepemimpinan politik dimulai umur 40-
an dan berhenti diusia 55 tahun, ini sebenarnya keidealan menjadi pemimpin
nasional.52
Karena normalisasi kepemimpinan terlalu sulit dicerna oleh masyarakat,
makanya Fadjroel melakukan manufer opini politik tentang kepemimpinan
berdasarkan usia melalui media, antara pemimpin tua dan pemimpin muda. Metro
TV sempat termakan oleh manufer opini Fadjroel, di dalam forum diskusi yang
diselenggarakan Metro TV tahun 2009 dikumpulkan mereka dari golongan tua
seperti Jusuf Kalla dan orang segenerasi dengannya, dalam diskusi tersebut
Fadjroel dikritik habis-habisan karena kampanye politik antara pemimpin tua dan
pemimpin muda ditafsirkan dari segi usia.53
Kampanye regenerasi politik dan normalisasi kepemimpinan ternyata tidak
berhasil, sampai pada akhirnya Fadjroel memilih alternatif lain melalui
konstitusional dengan deklarasi kepemimpinan independen, dan ini berhasil,
bahkan sudah banyak Pemilukada dengan tokoh-tokoh independen. Keberhasilan
calon independen diteruskan pada tingkat nasional dengan mengangkat capres
independen, tetapi gagasan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dan gagal
52 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. 53 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman.
80
hingga sekarang. Tujuan terbesar memilih jalur secara konstitusi untuk
memberikan pembelajaran dan pemahaman kepada semua masyarakat bahwa
semua orang bisa menjadi Presiden tanpa melalui partai politik. Diakui ataupun
tidak partai politik selama ini cenderung oligarki, siapa yang ditunjuk sebagai
calon Presiden pasti adalah orang-orang yang memiliki hubungan kuat dengan
pemilik dan figur dalam partai.54
Yuddy Chrisnandi memiliki pandangan lain atas kepemimpinan politik
kaum muda, Yuddy sepakat bahwa kepemimpinan politik harus dilihat secara
biologis/usia, apabila kita disodorkan contoh Soekarno dan Hatta menjadi
pemimpin politik dibawah umur 45 tahun, di luar negeri ada Bill Clinton dan
Obama yang menempati posisi sebagai pemimpin politik kurang dari 45 tahun.
Indikasinya adalah; kepemudaan secara usia akan lebih berani memberi trobosan-
trobosan ide segar dan tanpa ada kompromi, seperti tipikal pemuda yang tidak
terlalu berfikir panjang dalam membuat keputusan. Munculnya kaum muda pasti
akan memunculkan sistem baru dan pendobrak, karena isu kebangsaan yang
timbul sekarang adalah permasalahan politik kontemporer, yang membutuhkan
rekonstruksi sesuai pelaku dan tantangan zaman.55
Sejarah Indonesia membuktikan, bahwa prestasi mereka yang muda secara
umur dalam kepemimpinan politik lebih unggul daripada mereka yang sudah tua,
54 Sampai saat ini Fadjroel belum menyadari dan tidak menyangka, bahwa apa yang
diperjuangkan tentang pemimpin politik dari jalur independen benar-benar telah berhasil dan ada orang yang mampu menang melalui jalur independen, meskipun tingkatannya baru di daerah. Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman.
55 Yuddy Chrisnandi, “Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 108.
81
bandingkan saja masa kepemimpinan Orde Lama, Orde Baru dan mereka
pemimpin tua pasca Reformasi. Harus diakui masa Orde Lama dan Orde Baru
memiliki sisi negatif, tapi di lain sektor dia memiliki keunggulan luar biasa,
sedangkan pasca Reformasi apa yang diunggulkan?. Jumlah korupsi justru lebih
besar saat ini dibanding rezim Soeharto dan rezim Soekarno, pelanggaran HAM
saat ini bukan lagi kejahatan kelompok, melainkan problem setiap individu.56 Jadi
kepemimpinan kaum tua dianggap gagal dan tidak sukses mengelola berbagai
sumber daya politik, bahkan mereka yang tua pura-pura tuli dengan agenda
Reformasi seperti: pemberantasan korupsi, penindasan, diskriminasi, kemiskinan,
dan pengangguran.57
Perbedaan terbesar antara kaum muda dan kaum tua sangat fundamental,
kaum muda selalu melawan, dan kaum tua cenderung berkompromi,58
penempatan kepemimpinan kaum muda tidak selalu pada sektor pemimpin
negara, tetapi lebih ada ruang untuk pemuda memimpin dalam bidang politik,
tempat setrategis selama ini disinggasanahi mereka yang tua harus mulai direlakan
ditempati yang muda, termasuk pos setrategis dalam partai politik yang cenderung
oligarki.59
56 Yuddy Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi
dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 102.
57 Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, 101. 58 Seperti peristiwa pendudukan Jepang di Indonesia, masa itu Jepang menjanjikan
kemerdekaan untuk Indonesia setelah situasi politik di Jepang setabil – pasca bom Hirosima dan Nagasaki –, tapi para pemuda menolak, kemudian memaksa Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Chrisnandi, “Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda”, 106.
59 Yuddy Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 36.
82
Siapakah sebenarnya anak muda bangsa Indonesia? Pertanyaan tersebut
diungkapkan oleh Budiman Sudjatmiko. Mereka adalah “anda” sendiri –semangat
kepemudaan meskipun tergolong usia tua–, sedangkan dalam kepemimpinan
politik siapakah anak muda bangsa Indonesia? Mereka adalah pemuda secara usia
dan pemilik masadepan yang menolak dijadikan sandera oleh masa lalu, baik itu
asumsi-asumsi kadaluwarsa maupun labirin konflik masa lalu yang menciutkan
cakrawala dan semangat untuk membuat perubahan. Tapi bukan berarti anak-anak
muda semacam ini meninggalkan sejarah dan keberakarannya yang menggagas
realita hari ini, justru mereka adalah anak-anak muda yang sadar akan jalannya
sejarah dari realita yang mereka jadikan zaman untuk hidup sekarang.60
Dari pernyataan Budiman di atas dapat ditarik kesimpulan, pertama
mengangkat isu kepemimpinan politik pemuda memang sudah saatnya terdapat
regenerasi kepemimpinan politik dan pasti berbicara usia, kedua secara sistem
harus ada dan mampu memunculkan kebijakan-kebijakan alternatif dan inofatif.
Kedua hal tersebut harus berjalan bersamaan, tidak bisa hanya kebijakan yang
inofatif dan kreatif tetapi pelakunya generasi tua, karena tujuannya adalah
regenerasi, dan tidak bisa pula dilakukan dan dipimpin golongan muda tetapi
secara sistem Orde Baru, karena sangat tidak pro kerakyatan dan tidak sesui
dengan cita-cita awal, bahwa munculnya figur pemuda diharapkan melahirkan
kebijakan alternatif dan inofatif.61
60 Budiman Sudjatmiko, “Kepemimpinan Baru Indonesia Melintasi -New Frontier-
”[website resmi]; tersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/90; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
61 Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko. Jakarta 17 Mei 2013.
83
Dalam masa regenerasi kepemimpinan politik Indonesia akan dihadapkan
dua hal, pertama Indonesia harus mengambil pola kepemimpinan lain yang kuat
untuk menyingkirkan warisan dari pemimpin lama, inilah yang terjadi pada
kepemimpinan Presiden Soeharto sejak 1966-1998, secara berdarah-darah
membersihkan warisan politik Orde Lama. Kedua, melahirkan transisi berlarut-
larut ketika sistem terbuka, seperti saat sekarang banyaknya transisi
kepemimpinan tetapi isinya hanya orang-orang Orde Baru. Permasalahan dan
konsekuensi atas masalah tersebut adalah generasi kepemimpinan kaum muda saat
ini harus menanggung beban kesalahan pemimpin tua masa kini, mereka
pemimpin tua sekarang dieranya tidak berani menggugat secara serius kekuasaan
otoriter Soeharto yang berlangsung lama, sehingga hak-hak pemuda saat ini
direbut golongan tua.62
2. Program Kepemimpinan Politik Kaum Muda
Bagi Fadli Zon, tujuan hidup itu sama dengan tujuan berpolitik, konteks
bahagia dalam politik sama dengan konteks bahagia dalam hidup. Falsafah
demokrasi bangsa Indonesia tidak sekedar dalam politik, tetapi juga dalam
berkehidupan. Tujuan berpolitik bagi Fadli Zon sama seperti tujuan politik Hatta
dalam sektor ekonomi, dalam demokrasi ekonomi terdapat kekuatan rakyat, ini
membedakan dengan ekonomi liberal, pasca Reformasi ekonomi Indonesia
sedikit demi sedikit digiring ke arah ekonomi neo liberalisme dengan ikut
campurnya IMF – seperti dibahas di muka “negara kaya, tapi rakyat miskin” –
62 Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko. Bisa dibaca pada Budiman Sudjatmiko, “Mengusir Macan Tua” [berita online]; tersedi di http://www.rumahpemilu.org/read /1508/Mengusir-Macan-Tua-oleh-Budiman-Sudjatmiko; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
84
dalam aturan ekonomi di Indonesia. Pertanyaannya, negara Indonesia mencita-
citakan demokrasi di segala bidang, apakah mungkin berpolitik secara demokrasi
tetapi secara ekonomi neo liberalisme?. Praktik dalam pemikiran Hatta jelas
dengan ekonomi koprasinya, terdapat semangat dan cita-cita gotong royong sesuai
jati diri bangsa Indonesia. Hasil dalam demokrasi ekonomi adalah kesejahteraan
dan kebahagiaan, bahagia karena sektor primer; sandang, pangan, papan dan
sektor kesehatan terpenuhi, dari situ akan timbul kesejahteraan.63 Ekonomi
menjadi faktor terpenting dibenahi bukan tanpa alasan, bangsa Indonesia hanya
berdaulat secara konstitusi, tetapi secara kebutuhan hidup terlebih pangan,
Indonesia belum berdaulat, contoh: beras, daging sapi,64 dan terakhir bawang
semua harus impor dari luar negeri.65
Sependapat dengan Fadli Zon, program kepemimpinan ideal menurut
Fadjroel sama seperti gagasan Hatta tentang negara ekonomi demokrasi, tapi
Fadjroel menambahkan tentang negara sosialis demokrasi atau negara
kesejahteraan seperti gagasan Sutan Sjahrir66 – Pendiri Partai Sosialis Indonesia –
yang telah direalisasikan di negara Skandinavia, karena rasa sosial dan rasa
63 Wawancara dengan Fadli Zon. 64 Sastra Wijaya “Menteri Australia ke Jakarta Bicarakan Impor Daging Sapi” [berita
online]; tersedia di http://internasional.kompas.com/read/2013/05/12/11422657/Menteri.Australia .ke.Jakarta.Bicarakan.Impor.Sapi; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
65 Wawancara dengan Fadli Zon. 66 Partai Sosialis Indonesia dilarang oleh Presiden Soekarno, karena saat itu Soekarno
sedang berbulan madu dengan Komunis. Lihat pada M. Fadjroel Rachman, “The Thrid Way “Giddens” dan Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 254.
85
kebersamaan sangat cocok dengan kepribadian bangsa yang saat ini benih-benih
keindividuan mulai muncul, dan sindrom ketidak percayaan terhadap orang lain.67
Sosisalisme tanpa demokrasi adalah kediktatoran, demokrasi tanpa
sosialisme adalah ketidakadilan. Keadilan, kebebasan, kemanusiaan, kerakyatan,
kesetaraan, kesejahteraan, dan solidaritas adalah nilai fundamental kaum sosialis.
Kaum sosialis meyakini bahwa sosialisme hanya bisa diwujudkan melalui jalan
demokrasi, dan demokrasi hanya bisa disempurnakan melalui sosialisme, jadi
Fadjroel sangat sependapat dengan hal ini.68
Yuddy Chrisnandi memiliki pandangan keterlibatan konflik antar elit
politik di Indonesia dengan dampak dan problem di Indonesia saat ini. Konflik
antara elit politik di sektor eksekutif maupun yudikatif menyeret kehidupan
bangsa dalam kekalutan, ketegangan, dan krisis berkepanjangan, hasilnya dari
semua itu bagi Yuddy ada tiga hal, pertama modal berpolitik hancur akibat
konflik, kedua modal ekonomi berantakan dari sedikitnya waktu untuk berfirkir
jernih akibat kecenderungan berlama-lama dalam konflik, ketiga modal sosial
habis akibat krisis kepercayaan dari kepemimpinan politik yang ada.69
Konsekuensi atas tiga hal di atas adalah terjadinya lima “K” dalam
berbangsa di Indoensia, yaitu; kemiskinan, kebodohan, korupsi, ketidak adilan,
dan ketergantungan pada asing, lima “K” tersebut harus diprioritaskan sebagai
67 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. 68 M. Fadjroel Rachman, “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M.
Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 257.
69 Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, 15.
86
gerakan kebangkitan nasional oleh para pemimpin, dengan tujuan Indonesia lebih
baik.70 Bagaimana lima “K” itu bisa direalisasikan?, pemimpin harus mulai
percaya dengan hasil bumi Indonesia, sesuai amanah demokrasi tentang ekonomi
kerakyatan, membanggakan barang dalam negeri pada pasar-pasar internasional,
bukan malah sebaliknya masyarakat Indonesia membanggakan produk luar
negeri.71 Bangsa Indonesia kaya dari segi apapun, tambang, pangan, hasil laut,
dan energi, pemimpin Indonesia harus berani bersaing dengan masyarakat
Internasional, karena dengan menciptakan iklim keunggulan produksi bangsa
Indonesia atas masyarakat Internasional, maka kepercayaan masyarakat
bertambah tinggi, tujuannya kompetisi yang ada tidak lagi sesama masyarakat
Indonesia, melainkan sudah naik satu level bersaing dengan dunia Internasional.
Dari situ akan terpupuk rasa kebersamaan antara masyarakat yang saling memiliki
tanpa melihat suku, agama, dan latar belakang politik, hasilnya lima “K” yang
saat ini menghantui Indonesia bisa diatasi, jadi kesejahteraan rakyat terletak dari
kebijaksanaan dan keberanian kepemimpinan politik, dan agresifitas pendobrak
hanya milik kaum muda.72
Bagi Budiman Sudjatmiko, siapapun pemuda yang menjadi pemimpin
Indonesia, dia harus menuntaskan tiga hal permasalahan bangsa, pertama harus
berani memberikan ide dan trobosan alternativ ekonomi kerakyatan, sebab
70 Chrisnandi, “Kebangkitan Nasional dan Masadepan Demokrasi Indonesia”, 16. 71 Yuddy Chrisnandi, “Kehendak Pemuda Menuntaskan Krisis Kepemimpinan Bangsa”,
dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 127.
72 Yuddy Chrisnandi, “Pengantar: Untukmu Tumpah Darahku Indonesia”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), vii.
87
permasalahan ekonomi sangat kompleks, seperti ketidakmampuan untuk
merumuskan setrategi dan meyakinkan rakyat atas pembangunan ekonomi
berorientasi rakyat dalam persaingan global. Kedua harus mampu menggagas
kedaulatan secara politik dan melemahkan campur tangan kepentingan asing,
karena selama ini sikap non-progresif pemerintah tercermin dari masih banyaknya
wajah-wajah lama peninggalan Orde Baru cukup berpengaruh dalam
pemerintahan, serta sikap “tebang pilih” dalam penanggulangan KKN, termasuk
kepada Soeharto dan para kroninya pelan-pelan hilang. Konsekuensinya rakyat
harus bertanggung jawab atas beban korupsi Soeharto, serta kondisi ini diperparah
ikut campurnya politik asing dalam konstitusi Indonesia untuk menghabisi
kebijakan-kebijakan penting, terlebih sektor ekonomi. Ketiga berkepribadian
secara budaya dan bangga menjadi Indonesia. Pemerintahan sekarang tidak
memiliki visi yang jelas untuk melindungi dan menghasilkan sinergi dari
keragaman budaya nusantara, khususnya dalam pengimplementasiannya pada
program-program pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Pemerintah sering
bersikap “cari aman” di hadapan kelompok mayoritas, dari segi implementasi
pemerintah tidak tegas menghadapi sikap vandalisme kelompok-kelompok yang
anti pada kebhinekaan dan menciderai hak berdemokrasi bagi golongan lain.73
73 Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko. Bisa dibaca pada Budiman Sudjatmiko,
“Agenda Perubahan Nasional Berdasarkan MATRIX TRISAKTI” [website resmi]; tersedi di http://budimansudjatmiko.net/node/93; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
88
3. Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda.
Fadli Zon seperti gagasannya, bahwa berbicara kepemudaan dalam politik
tidak bisa berbicara umur, namun berbicara sistem. Kolerasinya bahwa saat ini
tidak sedang ada hambatan untuk memunculkan dan meremajakan ide-ide
kepemimpinan kaum muda. Demokrasi kita sedang mengalami masa transisi
hebat dan mencari format idealnya, rangkaian ini sedang berjalan meskipun harus
diakui apabila IMF masih ikut campur dalam urusan di Indonesia, ekonomi dan
cita-cita politik masih susah. Kita diperbudak di rumah sendiri, sedangkan hasil
dari jerih payah bangsa harus direlakan untuk menggaji bangsa lain. Kesimpulan
sederhananya, memang harus dibutuhkan pemimpin yang revolusioner dan
bertanggung jawab atas keadaan bangsa, sehingga hutang dan sistem neo-
liberlisme pasca Reformasi benar-benar bisa ditangani melalui sistem-sistem yang
baru.74
Bagi M. Fadjroel Rachman normalisasi dan regenerasi dalam politik tidak
berjalan akibat hebatnya kekuatan dalam partai politik yang belum siap dan belum
mau menghendaki munculnya tokoh dari golongan pemuda, selain faktor oligarki
dan feodalistik dalam tubuh partai politik dari masa Orde Baru sampai sekarang
masih terjadi, apabila itu masih tetap ada sampai kapanpun akan susah melakukan
normalisasi dalam kepemimpinan politik, buktinya apa?, kecenderungan
mengambil sikap tidak bisa secara independen, melainkan harus ijin dengan
sesepuh atau figur partai, apalagi kalau kita lihat yang jadi Presiden pasti masih
74 Wawancara dengan Fadli Zon.
89
ada embel-embel Wahid, Yudhoyono, Soeharto, dan Soekarno, itu baru contoh
kecil, belum lagi apabila kita menyebutkan problem semacam ini di daerah.75
Bagi Yuddy Chrisnandi problem terbesar penghambat munculnya generasi
muda ke puncak kepemimpinan tertingga adalah sikap kepribadian pemuda dan
sistem feodalistik dalam partai politik. Argumentasi pertama adalah teori yang
dibangun atas dasar bahwa kepemimpinan pemuda berhubungan dengan usia, usia
muda dianggap sebagai periode pencarian jati diri, sehingga belum adanya
kemantapan untuk fokus pada titik politik tertentu, seperti contoh kongkrit
“pemenang pertama”, mereka aktifis 98 yang muda secara umur, namun di era
Reformasi banyak yang melakukan manufer politik dan masuk dalam golongan-
golongan yang dahulu pernah dianggap musuh Reformasi.76
Kendala kedua terdapat pada sistem pada partai politik, oligarki adalah
ajaran Orde Baru, tapi dinikmati hingga sekarang. Sistem oligarki menjadi
penghambat munculnya kaum muda karena di situ pemuda tidak diberikan ruang
untuk menyalurkan aspirasi politiknya, pemuda cenderung sebagai pendukung,
bukan sebagi aktor utama, terlebih apabila tidak memiliki darah dengan pendiri
ataupun figur partai politik.77 Demokrasi tidak akan berjalan jika partisipasi
dibatasi, sedangkan fungsi partai politik hanya cenderung sebagai calo
kepemimpinan nasional. Partai politik mengabaikan aspirasi dan figur dari luar,
partai politik tidak benar-benar menjaring aspirasi yang diinginkan rakyat,
75 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman. 76 Chrisnandi, “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, 35. 77 Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, 103.
90
melainkan hanya bertujuan menguntungkan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan
dalam partai politik.78
Yuddy sepakat dengan argumentasi Sukardi Rinakit dalam memposisikan
kaum muda, pertama pasangan Presiden dan Wakil Presiden dipimpin oleh
golongan tua, sedangkan kabinet diisi oleh kaum muda, kedua Presiden diisi oleh
golongan tua, dan Wakil Presiden diisi oleh golongan muda, dan kabinet diisi oleh
golongan muda, ketiga baik Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri diisi oleh
kaum muda. Pilihan pertama dan kedua adalah yang paling relevan untuk saat ini,
sebab dengan itu paling sedikit terjadinya konflik antara kaum muda dan
golongan tua. Konsekuensi dari konflik apabila kaum tua sama-sekali dihilangkan
dari panggung politik, justru akan menjadi penghambat kepemimpinan kaum
muda karena merasa disingkirkan.79
Budiman memiliki gagasan bahwa eksistensi politisi tua yang dulu pernah
menikmati kejayaan Soeharto adalah penghambat nyata munculnya regenerasi
kepemimpinan nasional, pemilu yang akan datang masih diisi oleh barisan yang
sama seperti pemilu 2009, peran pemuda sebagai regenerasi dan kaderisasi hanya
paling jauh sampai tingkat pimpinan partai politik. Pemuda tidak diperkenankan
keluar dari ruang lingkup organisasi partai politik dan diberi kesempatan
mencalonkan diri sebagai Presiden, selain pertimbangan lain warisan Orde Baru
78 Yuddy Chrisnandi, “Oligarki Parpol dan Orang Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan
Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 114.
79 Chrisnandi, “Oligarki Parpol dan Orang Muda”, 116.
91
berpartai secara oligarki lebih membunuh pemuda dalam karir kepemimpinan
nasional.80
Dari uraian dan dekripsi di atas sangat jelas, bahwa demokrasi dan
eksistensi kepemimpinan politik di Indonesia saat ini masih jauh dari kata ideal.
Tambal sulam sistem politik masih harus dilakukan untuk menempatkan ide-ide
demokrasi dalam kehidupan dan melahirkan kepemimpinan politik yang pro
rakyat, sehingga tujuan didirikannya Indonesia bisa terealisasikan sebagai bangsa
yang berdaulat secara sandang, pangan, papan, dan politik.
80 Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko.
TABEL PERBEDAAN PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK
92
1 Aspirasi rakyat dibuat secara terlembaga, seperti HKTI untuk petani. KORPRI untuk PNS, apabila menyalurkan aspirasi tidak sesuai itu, maka akan diabaikan. 2 Apa-apa harus berpusat dari Soeharto, rakyat tidak boleh melakukan hal yang bertentangan dengan Soeharto. 3 Sama seperti ungkapan Fadjroel, otoritarianisme adalah penyakit utama ORBA, karena cara ini yang mengakibatkan banyaknya KKN dan pelanggaran HAM. 4 Kesalahan ORBA tidak bisa dilihat Soeharto semata, melainkan juga salah orang-orang di sekelilingnya, mereka juga harus bertanggung jawab karena menikmati
kekuasaan dengan menggunakan nama Soeharto sebagai figur kejam dan ditakuti. 5 Sistem politik hanya bersentral di elite politik, sedangkan perwakilan di daerah bukan untuk mempermudah menangkap aspirasi rakyat, melainkan hanya
mengguritakan kekuasaannya sampai ke daerah. 6 Mereka ini adalah masyarakat desa yang tergiur untuk berjuang di kota-kota besar, tetapi karena tidak siap berkompetisi dan lemahnya SDM, maka mereka tidak
menemukan harapannya untuk kaya, jadinya mereka seperti tokoh sipil yang terpenjara kota, orang-orang miskin yang terjebak di kota besar dan tidak bisa berbuat apa-apa.
M. Fadjroel Rachman Budiman Sudjatmiko Yuddy Chrisnandi Fadli Zon Problem Demokrasi Orde Baru
1. Otoritarianisme 2. Fasisme:
a. Korporatisme.1 b. Totaliterisme.2
1. Otoritariansime.3 1. Otoritarianisme. 2. KKN dan HAM. 3. Pemaksaan Ideologi. 4. Pemimpin Jawa non Jawa.
1. Sistem bernegara salah.4
Problematik Demokrasi Pasca Orde Baru Keempat tokoh muda tersebut memiliki kesamaan argumentasi, masalah demokrasi pasca Reformasi adalah kelanjutan dari kebobrokan demokrasi Orde Baru. Meskipun masalahnya lebih banyak dan kompleks, demokrasi pasca Reformasi bisa disimpulan 3 hal:
1. Anarkisme sosial (baik dilakukan atas nama agama, etnis, kelompok, suku, dan lainnya). 2. Resentralisasi dan elitisme dalam sistem politik.5 3. Tokoh-tokoh sipil yang terjebak dan dipenjara layaknya tahanan kota.6
Empat tokoh di atas sepakat bahwa masa depan Indonesia harus tetap menggunakan demokrasi Program Rekonstruksi Demokrasi di Indonesia Menurut Empat Tokoh;
Ada 3 hal; 1. Tahap otoriter totaliter anti
demokrasi ORBA dibinasakan dari sistem politik di Indonesia.
2. Transisi demokrasi: Ada 5 hal penopang transisi
demokrasi (1). Masyarakat sipil (civil society), 2). Masyarakat
Ada 2 hal; 1. Melemahkan kekuatan
ORBA, baik di politik ataupun militer.
2. Mewaspadai dan menyingkirkan “Reformis Gadungan” – Orang yang mendukung Soeharto, tapi
Ada 4 hal; 1. Mewaspadai dan
menyingkirkan “Pemenang Pertama” – sama seperti gagasan Budiman tentang “Reformis Gadungan”.
2. Menghilangkan patron feodlistik dalam pos-pos
Ada 2 hal; 1. Demokrasi akan terus
terjaga apabila terdapat pertanggung jawaban atas pelaksanaannya.
2. Menyingkirkan neoliberalisme ekonomi; dengan cara
TABEL PERBEDAAN PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK
93
Keterangan Fadjroel Rachman Budiman Sudjatmiko Yuddi Chrisnandi Fadli Zon
Perdebatan pemimpin muda secara usia atau sistem politik
Pemuda dalam politk; 1. Usia. 2. Sistem.7
Pemuda dalam politik; 1. Usia. 2. Sistem.
Pemuda dalam politik; 1. Usia. 2. Sistem.8
Pemuda dalam politik; 1. Sistem.
Tujuan 1. Regenerasi.9 2. Normalisasi.10
1. Regenerasi.11
1. Regenerasi. (Dipimpin pemuda, sistem / ide-ide pembaharu mengikuti).12
1. Sistem; Berbicara politik berbicara kualitas, bukan kuantitas.13
Program Kepemimpinan
1. Secara ekonmi sama seperti Fadli Zon
1. Harus berani memberikan ide dan trobosan alternativ
1. Modal berpolitik hancur akibat lama dengan konflik.
1. Mengembalikan sistem ekonomi Indonesia
7 Fadjroel menggunakan isu usia dalam kepemimpin politik sebenarnya hanya untuk mempermudah masyarakat menerima dan menangkap kampanye kepemimpinan
kaum muda. 8 Intinya saat ini harus dipimpin oleh pemuda, sistem bernegara bisa megikuti, sebab tidak mungkin kita memotong sistem yang ada, karena masih adanya orang-orang
ORBA, kecuali orang-orang ORBA tidak ada, maka pemuda bisa merealisasikan semua program-programnya. 9 Saatnya regenerasi kepemimpinan politik, sekarang masa Reformasi harus eranya Reformasi, bukan lagi eranya generasi dan orang-orang ORBA. 10 Normalisasi seperti di Eropa, normalnya mereka jadi presiden umur 40-an tahun dan berhenti umur 50-an tahun, makanya bagi yang umur 59 tahun keatas adalah
pemimpin tua. 11 Pertama mengangkat isu kepemimpinan politik pemuda memang sudah saatnya, tujuannya regenerasi kepemimpinan politik dan pasti berbicara usia, kedua secara
sistem harus ada dan mampu memunculkan kebijakan-kebijakan alternatif dan inofatif. Kedua hal tersebut harus berjalan bersamaan, tidak bisa hanya kebijakan yang inofatif dan kreatif tetapi pelakunya generasi tua, karena tujuannya adalah regenerasi, dan tidak bisa pula dilakukan dan dipimpin golongan muda tetapi secara sistem ORBA.
12 Munculnya kaum muda pasti akan memunculkan sistem baru dan pendobrak. Intinya pemuda harus diberikan kesempatan memimpin, sedangkan sistem pendobrak dan pembaharu pasti mengikuti, karena tidak mungkin harus dirubah seiring munculnya pemimpin muda, karena akan membuat konflik antara generasi tua dan muda.
13 Pemimpin politik katakan dipimpin oleh orang muda secara umur, tetapi sistem yang dipergunakan adalah sistem lama, dalam konteks ini tidak akan ada perubahan, akan berbeda apabila muda secara sistem, silahkan Indonesia dipimpin oleh mereka yang tergolong tua, akan tetapi sistem bernegaranya muda – original dan pembaharu – maka akan terdapat perubahan.
politik (political society), 3). Supremasi hukum (rule of law), 4). Aparatus negara (state apparatus), 5). Masyarakat ekonomi (economic society).
3. Tahap sistem demokrasi diperluas ke segala bidang.
ketika Soeharto lengser berubah total ikut memusuhi Soeharto agar bisa masuk kembali di pemerintahan.
politik. 3. Memiliki persiapan matang
atas kembalinya neokolonialisme.
4. Membangun kepemimpinan yang kuat, visioner, dan kaya ide.
menggabungkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, maka menjadi demokrasi sosial dan kebersamaan seperti gagasan Hatta.
Satu Paket Pemuda memimpin
TABEL PERBEDAAN PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK
94
Politik Politisi Muda
tentang ekonomi demokrasi Hatta.
2. Secara bernegara demokrasi sosialis seperti gagasan Sutan Sjahrir, ini diparktikan di Skandinavia.14
ekonomi kerakyatan. 2. Harus mampu menggagas
kedaulatan secara politik dan melemahkan campur tangan kepentingan asing.
3. Berkepribadian secara budaya dan bangga menjadi Indonesia
2. Modal ekonomi berantakan dari sedikitnya waktu untuk berfirkir jernih akibat kecenderungan berlama-lama dalam konflik.
3. Modal sosial habis akibat krisis kepercayaan dari pemimpin politik15
seperti rancangan Hatta, yaitu ekonomi demokrasi untuk mewujudkan ekonomi sosial. Sebab pasca Reformasi ekonomi Indonesia cenderung neoliberalisme.16
Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda
Faktor penghambat kepemimpinan politik kaum muda
1. Masih adanya sifat oligarki dan feodalistik di partai politik.
2. Belum siapnya partai politik memberikan kepercayaan terhadap pemuda memimpin bangsa.
3. Tertutupnya secara konstitusi capres dari jalur independen.
1. Oligarki pada partai politik. 2. Pemuda cenderung pragmatis;
mereka masih muda secara umur makanya mereka belum bisa konsisten pada pos politik tertentu.
1. Oligarki pada partai politik. 2. Masih adanya sisa-sisa Orde
Baru yang menduduki pos strategis dalam politik, sehingga regenerasi terhambat.
Sebenarnya kita sedang tidak ada kendala untuk memunculkan peremajaan sistem politik dan bernegara di Indonesia, karena dari hari kehari pemerintah selalu membuat inovasi sistem bernegara, meskipun praktiknya masih terjadi kecurangan-kecurangan.17
14 Karena rasa sosial dan rasa kebersamaan sangat cocok dengan kepribadian bangsa yang saat ini tumbuh benih-benih keindividuan. 15 Akibat tiga itu maka mengakibatkan 5 “K” sebagai permasalah bangsa, maka apabila 3 hal tersebut terealisasikan maka lima”K” akan dapat diatasi. 16 Ekonomi menjadi faktor terpenting dibenahi bukan tanpa alasan, bangsa Indonesia hanya berdaulat secara konstitusi, tetapi secara kebutuhan hidup terlebih pangan,
Indonesia belum berdaulat. Contoh: beras dan daging sapi masih impor. 17 Program ini tidak berjalan karena salah satunya ada faktor neoliberalisme, seunggul apapun produk bangsa Indonesia kalau IMF masih mengakar dan
menyelundupkan program neoliberalisme di Indonesia, maka program regenerasi selalu terbentur.
95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Problem demokrasi masa Orde Baru adalah otoritarianisme pada individu
Soeharto yang diterapkan pada gaya kepemimpinan, selain ada perbedaan antara
empat tokoh menyoroti problem demokrasi era Soeharto. Seperti Fadjroel
“fasisme yang totaliterisme dan korporatis anti demokrasi.” Yuddy “maraknya
kasus KKN, dan pemaksaan ideologi, Orde Baru juga mengajarkan doktrinasi
terhadap masyarakat antara pemimpin Jawa dan bukan Jawa, selain isu paling
populer banyaknya reformis gadungan.” Reformis gadungan ini memiliki
kesamaan dengan pandangan Budiman Sudjatmiko yang disebut sebagai
“pemenang pertama,” yaitu mereka yang dulunya pro Soeharto saat reformasi jadi
pro rakyat. Fadli paling berbeda melihat demokrasi era Soeharto, kebobrokan
demokrasi Orde Baru bukan dosa individu Soeharto, melainkan secara sistem, dan
itu terbukti dinikmati semua yang duduk di pemerintahan Soeharto. Sedangkan
problem demokrasi pasca Reformasi adalah anarkisme sosial baik dilakukan
individu atau kelompok komunal, re-sentralisasi dan elitisme dalam sistem politik,
dan tokoh-tokoh sipil yang terjebak yang dipenjara layaknya tahanan kota.
Dalam problem kepemimpinan terdapat dua perdebatan, antara pemuda
secara umur atau muda secara sistem politik. Fadli Zon; berbicara pemuda dalam
politik tidak berbicara umur, melainkan berbicara sistem, untuk apa muda secara
umur tapi sistem politiknya tua/kuno, karena politik berbicara kualitas, bukan
96
kuantitas. Bagi Fadjroel, Yuddy, dan Budiman berbicara pemuda dalam
kepemimpinan politik harus dilihat secara biologis/umur, sebab ada fungsi yang
akan dicita-citakan tehadap muda secara biologis, seperti Fadjroel yang
menghendaki untuk normalisasi dan regenerasi kepemimpinan, seperti terjadi di
negara Eropa yang rata-rata pemimpin negara dimulai saat berusia empat puluhan
tahun, dan berhenti diusia lima puluhan. Yuddy mencita-citakan kepemimpinan
politik muda secara usia tujuannya bahwa pemuda akan berangsur-angsur
membawa gagasan bernegara yang baru. Yuddy bercermin terhadap Soekarno dan
Soeharto muda di era kepemimpinannya mampu memunculkan ide-ide
pembaharu. Sedangkan Budiman menggagas kepemimpinan politik kaum muda
berdasarkan usia tujuannya akan ada perubahan sistem bernegara yang dibarengi
tumbuh dan munculnya pemimpin muda.
Penghambat kepemimpinan politik kaum muda bagi Fadjroel, Budiman, dan
Yuddy di antaranya adalah partai politik belum siap menghendaki munculnya
tokoh dari golongan pemuda, selain faktor sistem oligarki dan feodalistik dalam
partai politik sampai sekarang. Selain itu Yuddy menambahkan; sikap kepribadian
pemuda pragmatis. Sedangkan Budiman; eksistensi politisi tua Soehartois adalah
penghambat munculnya regenerasi kepemimpinan. Fadli Zon paling berbeda;
berbicara kepemudaan dalam politik tidak bisa berbicara umur, namun berbicara
sistem. Kolerasinya bahwa saat ini tidak ada hambatan untuk meremajakan ide-ide
kepemimpinan, semua berbondong-bondong menawarkan konsep politik yang
semakin beragam, meskipun keefektifannya belum diuji.
97
B. Saran
Skripsi ini memiliki keterbatasan, baik materi ataupun anlisanya, selain
penulis menerima saran dan kritik yang membangun, penulis juga mengharap
akan lebih banyak lagi karya-karya akademik yang meneliti masalah demokrasi
dan kepemimpinan politik kaum muda dalam keberlangsungan demokrasi di
Indonesia secara mendalam, sebab sampai saat ini masih banyak yang harus
diuraikan dan diteliti dalam bidang demokrasi dan kepemimpinan pemuda dalam
politik di Indonesia.
98
DAFTAR PUSTAKA
BUKU: Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual
Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Alfian, M. Alfan. Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan
Kekuasaan. Jakarta: Gramedia, 2007. Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru .Bandung: Mizan, 1986. Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik, tanpa penerjemah.
Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bourchier, David dan Vedi R. Hadiz, Pemikiran Politik Sosial dan Politik
Indonesia Periode 1965-1999. Jakarta: Grafiti kerjasama Freedom Institute, 2006.
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004. Budiarjo, Miriam, ed. Masalah Kenegaraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
1982. Chaniago, Adrianof A. “Rintangan-rintangan Demokrasi di Indonesia”, dalam
Maruto MD., dan Anwari WMK., ed., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2002.
Chrisnandi, Yuddy. “Islam dan Gerakan Radikalisme di Indonesia”, dalam Yuddy
Chrisnandi dan Amir ed, Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Kebangkitan Nasional dan masa Depan Demokrasi Indonesia”, dalam
Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Kehendak Pemuda Menuntaskan Krisis Kepemimpinan Bangsa”, dalam
Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
99
______. “Konsolidasi Demokrasi dan Peran Mahasiswa Indonesia”, dalam Yuddy
Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Menangkal Separatisme Papua”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir,
ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan
Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Oligarki Parpol dan Orang Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir,
ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Pengantar: Untukmu Tumpah Darahku Indonesia”, dalam Yuddy
Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Problem Jawa-Non Jawa dalam Demokrasi di Indonesia”, dalam Yuddy
Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Refleksi dan Rekonsiliasi Menatap Masa Depan”, dalam Yuddy
Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan
Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed.,
Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______. “TNI dalam Arus Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed.,
Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
______ . Reformasi TNI; Persepektif Baru Hubungan TNI-Militer Di Indonesia.
Jakarta: LP3ES, 2005.
100
______ . “10 Tahun Reformasi TNI”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. Jakarta: Transwacana, 2007.
Evriza, Ilmu Politik. Depok: ALFABETA Bandung, 2008. Hardiman, F. Budi. Demokrasi Dileberatif. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Haricahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999. Hatta, Untuk Negeriku. Jakarta: Kompas, 2011. Hill, Hal. “Habiebie Tidak Akan Mampu Bertahan Lama,” dalam Edward
Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000.
Hikam, Muhammad A.S. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society.
Jakarta: Erlangga, 2000. Ismatullah, Dedy dan Asep A. Sahid Gatra, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif.
Bandung: Pustaka Setia, 2007. Jankins, David. “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk.,
Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000.
Kencana, Inu. dkk. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Mariana, Dede., dan Karoline Puskara, Demokrasi dan Politik Desentralisasi.
Bandung: Graha Ilmu, 2008. Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1997. Meyer, Thomas. Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan. Jakarta:
Friedrich-Erbert-Stiftung, November 2003. Miftahuddin, Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani. Depok: Desantara,
2004. Mubarak, M. Zaki. ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut
Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 61-88.
101
Mudzakar, ‘Abdul Qahhar. Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi Pemerintahan Politik Soekarno. Jakarta: Darul Falah, 1999
Mujani, Syaiful. MUSLIM DEMOKRAT: Islam, Budaya Demokrasi, dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2004.
Noer, Delia. “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokorasi
dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES, 1986. Pamudji, S. Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di
Bidang politik dan Pemerintahan. Jakarta: Bina Aksara, 1985. Rachman, M. Fadjroel. “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Kritik untuk
Megawati Soekarno Putri, Syamsuddin Haris, dan Sonny Keraf”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007.
_______. “Demokrasi Partisipatif dan Kepemimpinan Politik Baru”, dalam M.
Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007.
_______. “Empat Tahun Reformasi: Kepemimpinan Politik Kaum Muda”, dalam
M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007.
______. “Fasisme dan Koropratisme Orde Baru”, dalam M. Fadjroel Rachman
dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007.
______. “Gerakan Mahasiswa Gerakan Politik Nilai”, dalam M. Fadjroel
Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007.
______. “Indonesia Ke Arah Demokrasi dan Emansipasi Sosial”, dalam M.
Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007.
______. “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan
Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang
102
Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007.
______. “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M.
Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan .Depok: Koekoesan, 2007.
______. “Luka Papua, Luka Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman dan
Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan .Depok: Koekoesan, 2007.
______. “The Thrid Way “Giddens”, dan Indonesia”, dalam M. Fadjroel Rachman
dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Depok: Koekoesan, 2007.
Richburg, Keith B. “Syuhada Tak Disengaja: Penembakan Empat Mahasiswa
Yang Menggubah Sebuah Bangsa”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000.
Rivai, Veithzal dan Dedy Mulyadi. Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi.
Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Rosyada, Dede., dkk. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak
Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Abdul Rozak, dkk., ed. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003.
Santana, Septiawan. Menulis Ilmiyah Moetode Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 2007. Sorensen, Georg. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam
Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Penerjemah I. Made Krisna, Tadjuddin Noer Effendi, ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Sudjatmiko, Budiman. “Gerakan Mahasiswa Kini: Bersama Rakyat Tuntaskan
Reformasi Total”, dalam Tim Penerbit Buku Kompas Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi: Merangsang Pemikiran Ulang Keindonesiaan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001.
Suhelmi, Ahmad. PEMIKIRAN POLITIK BARAT; Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2007.
103
Sunny, Ismail. Mekanisme Demokrasi Pancasila. Jakarta: Aksara Baru, 1978. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, 1999. Syamsuddin, Aziz. Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia. Jakarta: PT.
Wahana Semesta Intermedia, 2008. Syukur, Abdul. Perekat Bangsa: Pengakuan Sejarah Kepemudaan Indonesia,
dalam Zusiyansah Samosir ed., Tangerang: PT. Nusantaralestari Ceriapratama, 2008.
Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan
Indonesia. Jakarta: Demos, 2005. Waldman, Peter dkk. “Perubahan Yang Menempatkan Soeharto di Luar Arena”,
dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000.
Wiliams, Louwise. “Amin Rais: Garis Depan Adalah Tempat Beresiko,” dalam
Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana. Yogyakarta: LkiS, 2000.
Zon, Fadli. Politik Huru-hara Mei 1998. Jakarta: Institude for Policy Study, 2004. INTERNET: Chrisnandi, Yuddy. “Profil Yuddy Chrisnandi” [website resmi]; tersedia di
http://yuddychrisnandi.com/about/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. Keraf, A. Sonny. “Tanggapan untuk M. Fadjroel Rachman: Demokrasi Butuh
Kaum Demokrat,” [artikel online]; tersedia di http://www.unisosdem.org/ articledetail.php?aid=2657&coid=3&caid=22&gid=2: Internet: diunduh pada 19 Februari 2013.
Novitasari, Dini: “Dr. H. Yuddy Chrisnandi, ME. Profil Anggota DPR RI 2004-
2009 F-PG Dapil Jawa Barat 7” [berita online]; tersedia di http://politik.news.viva.co.id/news/read/2728-dr_h_yuddy_chrisnandi_me; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
Ralian Jawalsen Manurung “Syarat Usia 16-30 Tahun Berat, KNPI Gugat UU
Kepemudaan ke MK,” [berita online]; tersedi http://jaringnews.com/ politik-
104
peristiwa umum/30369/syarat-usia---tahun-berat-knpi-gugat-uu-kepemudaan-ke-mk; internet; diunduh pada 12 November 2013.
Ranchman, M. M. Fadjroel. “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online];
tersedi di http://mM. Fadjroelrachman.multiply.com/reviews/item/45; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
Sudjatmiko, Budiman. “Agenda Perubahan Nasional Berdasarkan MATRIX
TRISAKTI” [website resmi]; tersedi di http://budimansudjatmiko.net /node/93; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
________. “Asal-usul Kepemimpinan Politik,” [website resmi]; tersedia di
http://budimansudjatmiko.net/node/139; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
________. “Beri Kesempatan Demokrasi Bernafas”, [website resmi]; tersedia di
http://budimansudjatmiko.net/node/83; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
_______. “Budiman Sudjatmiko, MSc., M.Phil.” [website resmi]; tersedia di
http://budimansudjatmiko.net/profil; internet: diunduh pada 27 Maret 2013. ________. “Kepemimpinan Baru Indonesia Melintasi New Frontier,” [website
resmitersedia di http://budimansudjatmiko.net/node/90; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
_______. “Mengusir Macan Tua” [website resmi]; tersedi di http://www.rumah
pemilu.org/read/1508/Mengusir-Macan-Tua-oleh-Budiman-Sudjatmiko; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
________. “Profil Budiman Sudjatmiko” [website resmi]; tersedia di
http://budiman sudjatmiko.net/profil; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. Wijaya, Sastra. “Menteri Australia ke Jakarta Bicarakan Impor Daging Sapi”
[berita online]; tersedia di http://internasional.kompas.com/read/2013/05 /12/11422657/Menteri.Australi.ke.Jakarta.Bicarakan.Impor.Sapi; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
Wijayanti, “Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Hubungan Kondisi
Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari Kecamatan Candisari” [artikel online]; tersedi di http://eprints.undip.ac.id/20145/; internet; diunduh pada 12 November 2013.
Zon, Fadli. “Demokrasi Kriminal; Akibat Lemahnya Desain Politik,” [artikel
online]; tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon-
105
demokrasi-kriminal-akibat-lemahnya-desain-politik; internet; diunduh pada 19 Februai 2013.
_______, “Profil Fadli Zon” [website resmi]; tersedia di http://fadlizon.com/
profil-fadli-zon/; internet; diunduh pada 27 Maret 2013. “Banyak Tokoh Muda Terjebak Pragmatisme Politik,” [berita online]; tersedia di
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/19/357023/284/1/Tokoh-Muda-Banyak-Terjebak-Pragmatisme; Internet; diunduh pada 19 November 2012.
“Batasan Usia Disebut Muda dan Tua,” [berita online]; tersedi
http://www.beritasatu.com/fashion/25895-batasan-usia-disebut-muda-dan-tua.html; internet; diunduh pada 12 November 2013.
“Budiman Desak Generasi Muda Diberi Kesempatan Maju,” [berita online];
tersedia di http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012 /06/03/12021 /Budiman-Desak-Generasi-Muda-Diberi-Kesempatan-Maju; internet; diunduh pada 29 Februari 2013.
“M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://profil.merdeka.com/
indonesia /f/M. Fadjroel-rachman/; internet; diunduh pada 23 Maret 2013. “M. Fadjroel Rachman” [berita online]; tersedia di http://republikmemanggil.org/
tokoh/ tokoh-45/42-M. Fadjroel-rachman.html; internet; diunduh pada 23 Maret 2013.
“Fadli Zon: ‘demokrasi kriminal’ akibat lemahnya desain politik,” [berita online];
tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon-demokrasi -kriminal-akibat-lemahnya-desain-politik; Internet; diunduh pada 20 Februari 2013.
“Profil Budiman Sudjatmiko” [majalah tokoh online]; tersedia di
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru: internet: diunduh pada 27 Maret 2013.
“Profil Budiman Sudjatmiko” [berita online]; tersedia di http://www.profil.
merdeka.com/indonesia/b/budiman-sudjatmiko/; internet: diunduh pada 27 Maret 2013.
“Tentang kami,” [artikel online]; tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-
kami/; Internet; diunduh pada 10 Desember 2012.
106
WAWANCARA: Wawancara dengan Yuddy Chrisnandi, Jakarta 6 Mei 2013. Wawancara dengan Fadli Zon, Jakarta 7 Mei 2013. Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman, Jakarta 10 Mei 2013. Wawancara dengan Budiman Sudjatmiko, Jakarta 14 Mei 2013.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
SURAT PERNYATAAN WAWANCARA
LAMPIRAN
WAWANCARA FADJROEL RACHMAN
PROBLEMATIKA DEMOKRAS:
Penulis : Problematika demokrasi Orde Baru dan Reformasi perbedaanya apa?
Fadjroel Rachman : Sebenarnya problem demokrasi pasca Reformasi itu menurut aku masih ada kesinambungannya dengan Orde Baru. Owh saya ada buku yang membahas itu, sebentar.
Penulis : Buku apa?
Fadjroel Rachman : Sebentar saya ambilkan, buku ini “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat” membahas itu semua, fokusnya memang bukan problem demokrasi, melainkan kumpulan tulisan saya di kompas, ada semua kok disini, lengkap.
Penulis : Di pasaran masih ada buku ini?
Fadjroel Rachman : Wah ini untuk anda saja, tidak bakalan ketemu anda nyari ini, kecuali fersi ingggrisnya yang sudah diterjemahkan oleh sahabat saya dari belanda. Ya saya kira sudah cukup mewakili semuanya di sini.
Penulia : Kalo masalah kepemimpinannya saya lihat di daftar isinya sedikit?
Fadjroel Rachman : Owh iyah, karena waktu itu cenderung lewat tv, bukan yang tulisan sedikit.
Penulis : Kalau begitu wawancaranya langsung pada masalah kepemimpinan saja yah, karena sudah banyak membahas problem demokrasi pada buku ini?
Fadjroel Rachman : Silahkan, apap-apa pertanyaannya?
KEPEMIMPINAN
Penulis : Diantara pemimpin tua dan muda anda lebih memilih yang mana?
Fadjroel Rachman : Jelas yang muda, dalam pemahaman aku sebenarnya dulu mengambil kampanye tentang tua dan muda bukan dalam pengertian usia, aku sebenarnya lebih ketitik untuk melakukan regenerasi kepemimpinan nasional, karena menurut aku regenerasi nasional dan juga normalisasi kepemimpinan nasional. Kenapa? kalau yang sudah normal
seperti di Eropa itu umumnya sampai ditingkat nasional, misalnya ambil saja Tony Blayr itu duduk di parlemen usianya 43, kemudian ketika dia jadi Perdana Mentri 10 tahun, dia berhenti di usia 53, kemudian dia sudah dianggap pemimpin tua. Kemudian Bill Clinton dia masuk diusia 47, kemudian dia dua kali menjabat, ditambah delapan jadi 55 tahun. Barac Obama juga masuk diusia 47, dua kali menjabat di tambah 8 jadi 55 tahun. Jadi secara normative diusia 40-an orang sudah menjadi pemimpin nasional kemudian berhenti diusia 55-an, jadi itu yang menurut aku normalnya orang menjadi pemimpin di tingkat nasional. Jadi dua promblemnya itu adalah; pertama regenerasi kepemimpinan nasional, kedua normalisasi kepemimpinan nasional, dan untuk lebih mudah media massa menangkapnya aku keluarkan isu “tua dan muda”, tapi memang banyak yang salah tangkap, dan ketika aku melontarkan isu tersebut tiba-tiba aku diundang di Metro tv tahun 2009, di situ ada Jusuf Kalla, ada semualah yang tua-tua tiba-tiba meraka marah-marah, dan sebenarnya ini bukan persoalan tua dan muda, tapi aku menjelaskannya agak ruwet, dan mereka menyimpulkan seolah-olah ini tua dan muda, mereka tidak mau mengambil isu normalisasi kepemimpinan nasional dan regenerasi kepemimpinan nasional. Mereka hanya mengambil ujungnya bahwa aku sedang mempertentangkan tua dan muda, padahal yang dimaksud bukan itu, itu hanya ujungnya saja, meskipun pada akhirnya ketika bicara regenerasi berarti ada yang harus dikalahkan yaitu yang tua, terhadap yang muda. Kemudian karena semua itu tidak berjalan, mereka yang tua tetap maju terus melalui partai, aku dengan teman-teman masuk untuk merombak yang legal konsstitusionalnya yaitu masuk lewat capres independent, jadi capres idependent itu sebenarnya ingin merombak peraturan politk kita secara legal dan konstitusional, mengenai bahwa semua orang bisa jadi pemimpin, maju tidak harus melalui partai, dan itu sudah kami mulai dari tahun 2007 melalui pemilukada independent dan waktu itu menang 23 Juli 2007 di Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian kami ingin teruskan lagi menjadi soal capres independent, jadi kami mulai dulu melalu pemilukada independent ini juga untuk regenerasi kepemimpinnan nasional dan juga normalisasi kepemimpinan nasional ternyata di kabulkan oleh (MK), makanya sekarang aku lihat sudah bukannya hanya bisa melalui partai akan tetapi melalui jalur independent juga bias. Sekarang ada 20 bupati dan walikota melalui jalur independent, waktu aku masuk tahun 2007 aku tidak pernah membayangkan banwa problem legal konstitusional yang kami perjuangkan itu bakal ada orang yang bisa lolos lewat
jalur independent, karena partai itu begitu kuatnya untuk mempengaruhi pikiran orang, sehingga ada kemungkinan akan menang, sampai hari ini, baru bulan lalu di Kalimantan Tengah. Aku pikir dulu yang kita perjuangkan akhirnya bisa juga dan ini dalam bentuk real, padahal aku tidak pernah membayangkan kalau mereka yang melalui jalur independent bisa lolos, ketika itu aku hanya berfikir, bersama Efendi Ghazali, Pak Tamrin, Yuddy, Yuddy Latif, Bambang Sulistomo, dan temen-temen yang lainnya terutama dari UI, kemudian masuk juga Saiful Mujani yang ketika itu ikut membantu dan ketika itu kami hanya berfikir bagaimana caranya membongkar UU Politik ini supaya bukan hanya partai, tetapi melalui independent juga bisa, sehingga kalau orang partai ini tua-tua karena mereka di tentukan oleh secara oligarkis, nah kalau independent yang muda-muda bisa masuk lewat sini. Pemilukadanya sukses, tetapi untuk capres independentnya kalah 54. Jadi kami memulainya program regenerasi dan normalisasi itu. Kami menginginkan partai melakukan konvensi, mereka tetap tidak mau. Pada tahun 2009 kami bilang bolehlah lakukan konvensi, aku bilang tidak mungkin obama bisa menjadi presiden kalau di Amerika tidak ada konvensi, dalam 5 kali putaran pertama saja dia kalah, tapi karena ada konvensi dia berhasil mengalahkan Hillery Klinton. Oligarki ini tidak mau konvensi juga menolak independent jadi yang muncul akhirnya yang tua-tua. Dulu SBY-JK, SBY-BUDIONO, dan sekarang barisan keduanya mau muncul lagi sudah 70-an tahun ini, makanya kemarin aku sempat bercanda ''gila ya Fergie saja sudah mundur padahal prestasinya dunia, sedangkan anda-anda ini kok tidak mundur padahal prestasinya nasional pun tidak jelas.
Penulis : Menurut anda pemimpin muda itu seperti apa?”
Fadjroel Rachman : Pemimpin muda berarti kategorinya kalau ini memang betul terjadi projec regenerasi dan projec normalisasi terjadi berarti seperti perjalanan di Amerika itu. Obama nanti usia 55 tahun selesai, nah itu yang saya maksud dengan regenerasi dan normalisasi kepemimpinan di Indonesia.
Penulis : Kalau tokoh pemuda di era pasca reformasi yang anda kagumi itu siapa?”
Fadjroel Rachman : Aku sebenarnya tidak pernah menunjuk ya, aku melihat regenerasinya sebenarnya. Aku kalau menyebut Klinton, Tony Blai, Obama, aku melihat itu generasinya. Kebetulan si Obama itu menonjol pada titik ini. Kalau saja ini masih ya artinya partai tidak mau konvensi, capres independent
tidak bisa, aku tadinya mendukung Anas lo. Karena ketika Anas terpilih di Bandung, malamnya itu aku bicara dengan Anas. Aku bilang, aku digagalkan dari capres independent, sulit sekali aku untuk maju sekarang ini, dan peluang paling besar terdapat pada Anas, dia punya partai politik. Tapi aku tidak menduga, dia berteman sama Nazaruddin itu, mungkin dia salah berteman. Anas itu kaya, dia orang baik, mungkin dia salah berteman, ya sudah mau diapain lagi. Jadi aku tidak pernah menonjolkan orangnya, tapi lebih menonjolkan regenerasi, karena aku lebih tertarik pada proses normalisasi dan regenerasinya.
Penulis : Program apa yang tepat menurut anda untuk sosok pemimpin muda?”
Fadjroel Rachman : Kalau aku, orangkan pada tahu kalau aku dekat dengan gagasan Hatta, gagasannya Sutan Syahrir, akui lebih cenderung ke arah kepemimpinan sosial demokrasi, lebih mempriotaskan kesejahteraan. Karena aku lebih dekat ke grupnya iedeologi Hatta, Sutan Syahrir, jadi aku bergaul bukan hanya dengan pemikiran, tapi bergaul dengan orang-orangnya, dan guru aku langsung kan Pak Sudjadmiko, Pak Subadyo, Prof. Sarbini, dan itu adalah orang-orang yang dekat dengan aku, dan aku mengambil kesimpulan kalau aku lebih cenderung ingin negara kesejahteraan seperti di Scandinavia.
Penulis : Kira-kira yang menghambat pemuda untuk naik ke jenjang karir politik itu apa?”
Fadjroel Rachman : Ya itu tadi, yang pasti hambatan sistem politiknya. Karena partai dan Orde Baru dikuasai oleh oligarki, dan kemudian kalau naik ke atasnya harus ijin. Harus ijin om Taufik Kemas, Mbah Mega, kalau bercandanya Obama datang ke sini kalau nama belakangnya bukan Soekarno Putra atau nama belakangnya wahid, nama belakangnya Yudhoyono, tidak akan bisa. Dia harus mengikuti oligarki. Hambatan di sini adalah sifat oligarki partai dan sifat feodalistik partai. Nah,cara penerobosannya sebenarya kalau mau cara regulatif adalah melakukan konvensi, tapi mereka tidak mau, semua partai tidak mau. Kalau partai demokrat bukan karena setuju dengan konvensi, tapi karena sudah hancur lebur. Jadi seolah-olah kalau orang pada masuk ke sana, lumayan ini partai disukai banyak orang. Makanya aku bersyukur salah satunya capres demokrat adalah Eyang Subur, jadi makin hancur.
Penulis : Soekarno dulu kan adalah termasuk yang muda dalam memimpin. Penulisnya pada saat naik posisi tertinggi politik itu semena-mena, tidak mau turun. Apakah nanti sama pemimpin pemuda sekarang dengan yang dulu?”
Fadjroel Rachman : Tidak mungkin, kalau amandemen UU yang sekarang dipakai pada masa Soekarno, berarti 12 tahun, selama dipakai pada masa Soeharto, berarti 22 tahun. Berarti kita punya 34 tahun diambil secara sewenang-wenang, oleh Soeharto, itu berarti tiga generasi kepemimpinan. Tiga generasi pemimpin dicuri oleh orang yang mengaku pemimpin itu. Berarti kesalahan terbesar kenapa tidak ada pemimpin-pemimpin muda yang mencalonka. Karena dua orang ini mengambil tiga generasi kepemimpinan nasional, dan lucunya orang-orang yang sekarang, yang dicuri, sekarang mencuri lagi kepemimpinan nasional yang berikutnya. Makanya saya sebut generasi Maghribi yang seharusnya tidak menjabat masih menjabat. Di Amerika saja kepemimpinan umur 53, 55 saja sudah selesai, lha ini umur 60 tahun, 70 tahun masih saja memimpin. Jadi menurut aku harus ada yang dikerjakan, yaitu merombak problem feodalistik dan juga oligarki dalam tubuh partai, atau melakukan perombakan secara regulasi, yaitu memaksakan. Misalnya, di UU pilpres diharuskan ada konvensi di dalam masing-masing partai. Atau yang ke tiga betul-betul ada perubahan seperti tahun 98 lagi. Malah mereka itu semua dilarang masuk. Jadi menurut aku untuk merubah oligarki harus bersifat moralistik.
LAMPIRAN WAWANCARA
YUDDY CHRISNANDY
PROBLEM DEMOKRASI
Yuddy Chrisnandy : Silahkan, darimana dan ada keperluan apa sudah jauh-jauh ke sini?
Penulis : Saya Eko Prasetyo dari UIN Jakarta, ingin melakukan wawancara Skrispi dalam bidang politik.
Yuddy Chrisnandy : Oh iyah silahkan, dengan tema apa?, sebelumnya saya minta maaf karena saya sangat sibuk untuk akhir-akhir ini, dan wawancarakan waktunya tidak sebentar, membutuhkan waktu satu jam lebih, dan terimakasih sudah mau menunggu saya rapat dari jam tiga sore sampai maghrib. Karena selepas sholat maghrib saya ada tamu, jadi apabila waktu kita wawancara sangat terbatas sekali lagi saya minta maaf.
Penulis : Oh iyah tidak apa-apa, tema dan judul skripsi saya tentang “Problematika demokrasi dan kepemimpinan politik di Indonesia”.
Yuddy Chrisnandy : Ow Oh iyah, sudah baca buku saya yang mana?
Penulis : Biyon Parlement
Yuddy Chrisnandy : Begini aja, sekali lagi saya minta maaf, tamu saya sudah menunggu ternyata, bagaimana kalo anda saya kasih buku saya tentang apa yang ingin saudara bahas, karena buku saya yang “satrio piningit” itu membahas semua yang anda butuhkan dalam skripsi, karena saya sedikit telah membaca proposal sekripsi anda, nanti apabila wawancara tidak selesai malah informasinya terputus.
Penulis : Kalau misalkan saya cari waktu yang luang besok-besok lagi bagaimana?
Yuddy Chrisnandy : Wah takutnya nanti tetap sama seperti hari ini, kan tamu yang datang seperti anda ini sangat banyak, bahkan yang nanti ketemu habis maghrib ini dari Papua yang sudah nunggu dari jam 9 pagi, dan pekerjaan saya setiap hari seperti ini, setelah dari kampus sudah dituntut untuk stay di DPP Hanura, jadi alternatif paling bagus yah dengan saya kasih buku saya itu, nanti anda bisa datang ke rumah saya, di situ sudah ada staff saya, anda bilang disuruh mas Yuddy ambil buku, gitu aja. Sudah saya hubungi orangnya yang di rumah, jadi silahkan diambil di sana aja, nanti apabila ada pertanyaan atau yang mau ditulis di skripsi tidak ditemukan dalam tulisan saya, bisa telfon saya dan bisa saya jawab. Atau dengan alternatif lain lewat twitter.
Penulis : Sebenarnya saya ingin bertanya tentang problem demokrasi dan kepemimpinan Indonesia, dimulai dari problem Orde Baru sampai Masa Reformasi, dan pemimpin muda dan tua?
Yuddy Chrisnandi : Sudah baca buku sayakan, saya pernah menuliskan di situ bahwa penyakit Orde Baru itu pemaksaan kehendak, dan wujudnya banyak, tidak hanya pemaksaan kehendak secara politik, melainkan bernegara dan berkehidupan. Maksudnya apa? Pancasila inikan bentuknya sacral dan harus ditafsirkan secara bersama, masa Orde Baru tidak demikian, Pancasila ini ya miliknya pemerintah, rakyat tidak boleh m,engutak atiknya. Sehingga apa dampaknya? Ya KKN tanpa ada control, karena manamungkin akan dikontrol sedangkan sistem kontrolnya saja takut sama Soeharto.
Penulis : Sedangkan saya pernah baca antara problem Jawa non Jawa?
Yuddy Chrisnandi : Owh iyah, Soeharto inikan memposisikan dirinya layaknya raja Jawa, kalo disitu terdapat kesenjangan luar biasa antara jawa dan bukan Jawa sangat wajar. Terlebih untuk kepemimpinan nasional, yang tidak berdarah priyayi ya sampai kapanpun tidak akan masuk.
Penulis : Dampak itu apa?
Yuddy Chrisnandi : loh secara fisik mungkin tidak terlihat seperti sekarang terjadi bentrok fisik, tapi dalam masalah kesejahteraan antara yang di Jawa dan di luar Jawa sangat luar biasa menyakitkan. Tidak herankan saat itu sampai orang Jawa ini mampu menguasai daerah Kalimantan, Suamatra, sampai Plosok-plosok daerah. Ya mau bagaimana lagi sampai sekarang politik rasial itu tetap digunakan untuk menggembosi isu pemilihan Presiden.
KEPEMIMPINAN
Penulis : Pemimpin Ideal menurut anda seperti apa?
Yuddy Chrisnandi : Bisa anda telusuri jawaban pertanyaan anda dalam tulisan saya, pemimpin itu harus muda, energik, dan mampu menyeleseikan kalo saya bilang 5 “K”. yaitu kemiskinan,
kebodohan, ketergantungan pada asing, korupsi, ketidak adilan.
Penulis : Berarti 5 “K” adalah tujuan anda?
Yuddy Chrisnandi : Owh bukan, 5 “K” itu problem yang harus diselesaikan, itu penyakit terbesar bangsa kita, dan harus sesegera mungkin harus diatasi. Lima itu saja benar, maka akan benar semua dan Indonesia akan sejahtera. Ada kok itu dibuku saya penjelasannya.
Penulis : Antara muda dan tuanya mas?
Yuddy Chrisnandi : Owh ya harus muda seharusnya yang ideal, tapi mau bagaimana lagi kalo generasi tua yang merasa memiliki partai politik dan sisa-sisa orde kemarin, kalau pun ini dipotong sekaligus pasti akan terjadi permasalahan besar dan konflik politik besar. Owh di buku Bayeond Parlement saya menyisihkan satu bab tentang pemuda dan tua dalam kepemimpinan silahkan di baca lagi, begitu saja yah saya mau siap-siap untuk ke Cirebon.
LAMPIRAN
WAWANCARA BUDIMAN SUDJATMIKO
PROBLEM DEMOKRASI
Penulis : Selamat siang bang, saya Eko Prasetyo dari UIN Jakarta mau wawancara tentang probelamatika demokrasi dan kepemimpinan Indonesia.
Budiman Sudjatmiko : Owh iyah siang, wawancara untuk apa?
Penulis : Skripsi
Budiman Sudjatmiko : Tapi waktu saya terbatas, mau sidang Paripurna soalnya, tidak apa-apa yah? Karena biasa sekarang lebih sering di Cilacap, di dapil saya.
Penulis : Owh yah tidak apa-apa.
Budiman Sudjatmiko : Ya apa permasalahan anda?
Penulis : Menurut saudara apa problem demokrasi masa Soeharto dan pasca Reformasi.
Budiman Sudjatmiko : Jadi begini, Soeharto itu masalah terbesarnya adalah sentralisasi Negara hanya pada dirinya sendiri, undang-undang dan segala macamnya harus menurut dia, apabila tidak dia ya tidak bisa jadi undang-undang, hal inilah yang kemudian tidak cocok dengan kemauan rakyat, dan disebut sebagi kediktatoran dan tindakan otoriter, sangat tidak mencerminkan keindonesiaan.
Penulis : Yang pasca Reformasi?
Budiman Sudjatmiko : Pasca Reformasi masih merupakan kelanjutan Soeharto, karena apa? Orang-orang Soeharto ini masih saja diberi kesempatan untuk duduk di parlemen. Karena yang selama ini berubahkan hanya periodenya, darai Orde Baru ke Reformasi, tapi orang-orangnya tetap sama. Makanya kenapa saya selalu bilang, Reformis-reformis gadungan ini adalah orang-orang yang paling bahaya. Dia bermuka ganda, kadang-kadang Soeharto dan bisa berubah Reformasi. Untuk itu apa? Ya menurut saya orang-orang ini harunsnya tidak lagi ikut campur dalam urusan Negara, dan biarkan reformasi ini dinikmati dan duteruskan oleh pejuang Reformasi.
KEPEMIMPINAN:
Penulis : Menurut anda apasih yang dimaksud kepemimpinan politik kaum muda?
Budiman Sudjatmiko : Ya memberikan kepemimpinan terhadap anak muda.
Penulis : muda secara umur apa sistem?
Budiman Sudjatmiko : Dulu saya pernah nulis, owh bisa anda cek di website resmi saya budimansudjatmiko.com di situ ada.
Penulis : Inti dari tulisan itu?
Budiman Sudjatmiko : Siapa anaka muda itu? Dan siapa pemuda dalam politik? Terkadang ini artinya berbeda, boleh berumur tua tapi berjiwa muda, tapi ketika berbicara politik, muda ya harus secara usia dengan batasan tertentu, untuk apa? Kesegaran ide pemuda sangat dibutuhkan untuk negeri ini.
Penulis : Itu sudah cukup untuk modal menjadi pemimpin?
Budiman Sudjatmiko : Bukan dikatakan cukup atau tidak cukup, melainkan pemuda secara umur dan memiliki kecerdasan dan ide brilliant untuk memecah kebuntuan polemic di Indonesia, ya sebagai regenerasi. Jadi gak Cuma muda umur tapi tidak puny aide mandiri, dan tidak bisa juga puny aide mandiri tapi dia tua.
Penulis : Berbicara ide, menurut anda program kerja pemuda untuk Indonesia itu seperti apa?
Budiman Sudjatmiko : Maksudnya?
Penulis : Program kepemimpinan pemuda itu seperti apa, misalnya anda seorang pemuda dan menjadi pemimpin bangsa, nah program kepemudaan untuk Indonesia itu apa?
Budiman Sudjatmiko : Sekiranya sama seperti yang saat ini saya kerjakan untuk daerah pilihan saya. Ada masalah Negara, masalah ekonomi, masalah pendidikan, masalah kesehatan, dan hal-hal lain yang telah saya rumuskan.
Penulis : Seperti apa rumusannya?
Budiman Sudjatmiko : Nah silahkan anda lihat ini, dikertas ini adalah program yang selama ini saya kerjakan dan ingin saya terapkan pada Inodonesia, inilah permasalahan bangsa kita, dan
inilah cara yang akan saya jadikan landasan untuk menyeleseikannya.
Penulis : Sebelah kiri adalah problem sekarang dan sebelah kiri adalah cara penyeleseiannya?
Budiman Sudjatmiko : Tepat. Itu bisa anda bawa, dan hal-hal lain bisa anda lihat pada websites resmi saya. Ohyah maaf sekiranya cukup yah, saya akan rapay Paripurna sampai jam 4 sore, jadi hanya itu yang bisa saya sampaikan, anda bisa lihat di kompas, di internet. Banyak sekali kok tulisan saya tentang masalah yang anda tulis ini.
Penulis : Satu lagi bang, sebelum jalan. Menurut anada apa penghambat munculnya pemimpin politik kaum muda?
Budiman Sudjatmiko : Ya masih eksisnya orang-orang Orde baru, mereka ini sekarang sudah tambah tua, tapi tambah tidak mau pergi dari politik dan parlemen di Indonesia. Selama mereka masih ada, maka Indonesia ya akan seperti ini. Apalagai partai politik kita masih oligarki, tambah ruwet saja negeri kita.
LAMPIRAN
WAWANCARA FADLI ZON
DEMOKRASI
Penulis : Menurut Anda apa Problematika pada masa Orde Baru dan Pasca Reformasi?
Fadli Zon : Begini, demokrasi itu kan konsep dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, jadi rakyat yang berkuasa atau orang banyak yang berkuasa. Beda dengan oligarki, oligarki adalah yang berkuasa segelintir orang. Biasanya orang yang punya atau orang kaya. Nah, demokrasi kita itu kan mengalami berbagai macam proses yang bebeda – beda penarapnnya sejak kita merdeka. Pernah kita megalami demokrasi liberal di tahun 50an, tahun 59 kemudian Bung Karno dengan dekrit presiden menjadi demokrasi terpimpin sampai tahun 65, 66. Kemudian di jaman orde baru kita di doktrin dengan istilah demokrasi pancasila, sebenarnya praktinya sama dengan demokrasi terpimpin, itu dari tahun 66 sampai tahun 98. Dari tahun 98 sampai sekarang kita mengalami demokrasi yang menurut saya adalah demokrasi liberal, tapi yang beda variannya dengan demokrasi ditahun 50-an. Demokrasi itu bukan tujuan, tapi hanya sekedar jalan, adakalanya jalan ini cocok, adakalanya tidak cocok, dan jalan demokrasi di Indonesia itu jalannya berbeda-beda, seperti yang saya katakana tadi, setiap era atau Order Lama, Order Baru praktiknya berdeda-beda. Kalau membandingkan didemokrasi terpimin, itu adalah kediktatoran, tetapi dalam hal kediktatoran politik sebagai panglima. Segala sesuatu harus tunduk kepada kepentingan politik. Pada era Orde Baru semuanya atas nama pembangunan, dengan stabilitas yang sangat penting, dengan trilogi pembangunan itu, yaitu stabilitas pertumbuhan dan pemerataan. Rezim Orde Baru memerlukan kondisi yang aman, stabil sehingga pembangunan bisa berjalan, dan itu sah, dan kalau kita lihat pembangunan itu sudah jalan, karena semuanya ada kepastian.
Penulis : Belakangan kita lihat ada Hizbut Tahrir, ada kekerasan antar golongan, kemudian ada organisasi makar, apakah perbuatan mereka itu sebenarnya simbol berdemokrasi di Indonesia? Padahal mereka seperti Hizbut Tahrir jelas ingin merubah asas demokrasi Indonesia, sedangkan golongan radikal adalah cermin ketidak puasan atas asas demokrasi yang tidak merata. Nah dengan adanya mereka ini apakah bisa dikategorikan ya inilah sebenarnya proses demokrasi, ataukah justru mengancam demokrasi?
Fadli Zon : Jadi gini, demokrasin kita itu harus kembali pada jati diri bangsa. Apa demokrai kita yang sesungguhnya? Menurut saya, demokrasi kita sesungguhnya itu bukan hanya demokrasi politik, yang anda sebut tadi itukan demokrasi politik, tapi demokrasi kita itu juga demokrasi ekonomi, yaitu mengusung persamaan, namun sesugguhnya seperti yang dikatakana Bung Hatta, demokrasi kita itu adalah demokrasi yang menggabungkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi menjadi demokrasi sosial. Apa itu demokrasi sosial? yaitu demokrasi yang berakar kepada budaya kita yang gotong royong. Kalau yang disebut tadi organisasi-organisasi bebas, itu hanya salah satu peragkat dari demokrasi politik. Adanya kebebasan bersikap, kebebasan berkumpul, kebebasan berpendapat, kebebasan menyuarakan pandangan kita, itu hanya sebagian kecil organisasi politik. dan itupun harus kita kaji lagi. Menurut saya demokrasi itu kan harus ada toleransi terhadap yang lain. Komunisme sulit diterima di dalam demokrasi, karena dia meniadakan yang lain. Di dalam komunisme ya hanya satu tunggal ideologi yang bisa di akui, yaitu komunisme. Jadi harus ada toleransi, kalau ada organisasi-organisasi semacam itu, yang tidak mentolerir organisasi lain, itu tidak demokratis, dan sebetulnya bisa di tolak.”
Penulis : Kemudian, dengan berbagai macam perbedaan itu, bagaimana nasib demokrasi di Indonesia kedepannya?
Fadli Zon : Demokrasi itu harus bertanggung jawab, Demokrasi akan menuju anarki kalau tidak ada suatu tanggung jawab dari pelaku demokrasi, terutama dari para pemimpin. Ada keteladanan, ada moral, ada tanggung jawab. Karena demokrasi tanpa tanggung jawab akan terjadi anarki, aanarki dalam bentuk politik uang, anarki dalam bentuk kekerasan. Kalian lihat kekerasan-kekerasan dalam pilkada, dan akhirnya demokrasi ini akan semakin mahal. Ketika demokrasi ini semakin mahal, demokrasi hanya akan dikuasai oleh orang-orang yang punya uang, yang kuat.”
Penulis : Berarti masih sepakat, kalau masa depan Indonesia masih menggunakan demokrasi?
Fadli Zon : Ya demokrasi itu saudah menjadi jalan yang kita pilih, tetapi kita harus mengoreksi demokrasi itu semacam apa? Apakah ini jalan demokrasi yang kita inginkan? Apakah ini praktik demokrasi yang benar?.”
Penulis : Kalau demokrasi itu bertahan, bagaimana kaum muda ini cara mempertahankan demokrasi tersebut?
Fadli Zon : Di dalam demokrasi itu orang harus ada kedewasaan. Artinya siap beda pendapat, siap berbeda pandangan, siap berbeda ideology, yang kedua demokrasi itu bisa jalan kalau perut kita kenyang. Kalau kita lapar, itu tidak ada demokrasi. Jadi kita harus ada ksejahteraan, baru ada demokrasi. Ketika tidak ada kesejahteraan, orang lapar, itu tidak ada yang demokrasi.”
KEPEMIMPINAN
Penulis : Antara pemimpin muda dan tua, anda cenderung bagaimana?”
Fadli Zon : Jadi gini, kepemimpinan itu tidak mengenal tua atau muda. Ada pepatah yang mengatakan, bukan berapa banyak umur kita, tetapi dalam umur kita itu apa yang sudah kita lakukan? Ada umurnya 100 tahun tapi tidak berbuat apa-apa, ada umurnya yang 17 tahun tapi sudah berbuat banyak. Jadi bukan kuantitas umur, tapi kualitas umur yang menentukan. Coba lihat Jenderal Sudirman umur 29 tahun sudah jadi jenderal, Sutan Syahrir 36 tahun sudah menjadi perdana menteri, Soeharto 45 ahun sudah menjadi presiden. Bung Karno 44 tahun presiden, jadi itu kualitas umur bukan kuantitas umur. Sekarang ini kalau kita bicara umur selalu dalam kontes kuantitas bukan kualitas, dan itu tidak ada artinya.
Petanyaan : Untuk Tokoh muda di Indonesia, siapa yang paling anda kagumi?
Fadli Zon : Saya menokohkan Bung Hatta. Alasannya Bung Hatta itu pemikir hebat, dan Bung Hatta itu satu kata dengan perbuatan, dan seorang visioner ,seorang yang tangguh. Walaupun saya suka dengan Bung Karno, tapi kalau di suruh memilih saya lebih suka dengan Bung Hatta.
Petanyaan : Kalau tokoh Pasca Reformasi?
Fadli Zon : Menurut saya yang saya kagumi itu Imam Prasojo, dia itu konsisten, dia seorang intelektual tapi intelektual yang terlibat, dan dia juga lebih banyak bersosial, ia melakukan itu semua dengan penuh penjiwaan.”
Petanyaan : kontrol yang bagaimmana untuk pemuda yang memimpin Indonesia?”
Fadli Zon : Sebenarnya seperti yang saya katakan tadi, orang itu bukan kita ukur dengan kuantitas umur tapi kualitas umurnya dan kualitas kepemimpinannya. Jadi tua muda itu menjadi relative, walaupun orang muda itu akan lebih dinamis, karena dia lebih berani mengambil resiko, lebih cepat mengambil keputusan. Jadi kalau saya lihat, bagaimana cara mengontrolnya? Kontrol jaman sekarang itu dapat dilakukan dari berbbagai macam media. Media-media resmi, seperti melalui tv, radio, surat kabar, sosial media. Apalagi masyarakat sekarng kan semakin cerdas, tidak lagi orang selalu bisa karna patron dia akan di pilih. Jadi menurut saya sekarang itu yang mengontrol masyarakat, tapi melalui berbagai macam media.
Penulis : Program kepemimpinan kaum muda yang ideal dan potensial saat ini apa?
Fadli Zon : Ya salah satunya bagaimana membuat Indonesia ini menjadi bangsa yang bermartabat,N egara yang besar, sesuai dengan pembukaan UUD dasar yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan .Jadi kita harus menghilangkan berbagai macam kendala yang ada di dalam masyarakat. Seperti sekarag ini, negara kita kaya tapi rakyat kita miskin. Kemudian kesejahteraan itu saja tidak cukup, tapi kebahagiaan juga penting. Bahkan kebahagiaan itu sekarang sudah tidak pernah diotak atik, padahal itu juga penting. Apa sih yang dimaksud kebahagiaan di sini? Kebahagiaan itu ketika orang cukup pangan, cukup sandang, cukup papan, ketika sakit bisa berobat, ketika kita tua ada jaminan di hari tua, hidup kita tidak di sia-siakan. Itulah yang dimaksud dengan kebahagiaan.”
Penulis : Berarti masalah demokrasi tadi yang dikatakan ada gerakan-gerakaan radikal, dan semacamnya itu memang tidak bisa di katakan sebagai ya inilah demokrasi itu seperti ini?.
Fadli Zon : Terlalu picik orang melihat demokrasi seperti itu, itu hanya sebagai satu kelengkapan demokrasi politik. Orang bebas berorganisasi,tapi kalau ornganisasi itu mau membrangus kemerdekaan orang lain, itu kan melawan demokrasi, contohnya ada organisasi Nazi yang ingin mendirikan ormas, secara demokrasi itu dipersilakan,
padahal Nazi ini mau membrangus demokrasi itu. Apakah kita mau membiarkan orgganisasi itu hidup dan tumbuh? Karena dia sendiri sudah anti demokrasi."
Penulis : Hambatan untuk mewujudkan cita-cita kepemimpinan kaum muda apa?
Fadli Zon : Kalau menurut saya, perubahan itu bisa lebih baik dengan cepat. Kalau kita punya kepemimpinan yang benar dan pemerintahan yang baik. Haluan juga akan lebih jelas, kalau haluannya neoliberalisme kita akan mengarah pada krisis, kalau haluannya ekonomi kerakyatan, pasti rakyat akan lebih makmur. Di mana letak perbedaannya? Kalau haluan neoliberalisme itu tergantung kepada harga artinya siapa yang kuat dia yang menang. Kalau ekonomi kerakyatan, sejak awal sudah berpihak, mana yang menjadi mayoritas rakyat kita. Petani, buruh, nelayan, pedagang pasar, itu yang harus di bela diberikan semacam informative action, anggarannya diperbesar.
LAMPIRAN FOTO
WAWANCARA DENGAN YUDDY CHRISNANDI
WAWANCARA DENGAN FADLI ZON
WAWANCARA DENGAN FADJROEL RACHMAN
WAWANCARA DENGAN BUDIMAN SUDJATMIKO