Dea Amalya Permata Sarirepository.uinjkt.ac.id › dspace › bitstream › 123456789... ·...
Transcript of Dea Amalya Permata Sarirepository.uinjkt.ac.id › dspace › bitstream › 123456789... ·...
EFEKTIVITAS KAPANG Phanerochaete chrysosporium YANG DIRADIASI
SINAR GAMMA TERHADAP BIODEGRADASI FENANTRENA
Dea Amalya Permata Sari
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/ 1439 H
EFEKTIVITAS KAPANG Phanerochaete chrysosporium YANG DIRADIASI
SINAR GAMMA TERHADAP BIODEGRADASI FENANTRENA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
DEA AMALYA PERMATA SARI
1113095000023
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/ 1439 H
i
ABSTRAK
DEA AMALYA PERMATA SARI. Efektivitas Kapang Phanerochaete
chrysosporium Yang Diradiasi Sinar Gamma Terhadap Biodegradasi
Fenantrena. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh Dra.
Tri Retno Dyah Larasati, M.Si dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si. 2018.
Fenantrena sebagai pencemar bagi lingkungan tanah memberikan efek toksik
karena sifatnya yang sulit terdegradasi secara alami. Biodegradasi Fenantrena
ditentukan oleh enzim ekstraseluler Lignin Peroksidase (LiP) yang diproduksi
oleh P.chrysosporium. Penggunaan radiasi gamma pada P.chrysosporium
diketahui dapat meningkatkan enzim Lignin Peroksidase (LiP) yang merupakan
faktor utama keberhasilan biodegradasi fenantrena. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dosis terbaik radiasi sinar gamma pada P.chrysosporium dalam
mendegradasi fenantrena, mengetahui pengaruh perlakuan inkubasi dan tanpa
inkubasi dalam substrat batang sorgum yang ditambahkan dalam medium tanah
serta ingin mengetahui efek mutasi pada profil DNA. Penelitian dilakukan dengan
variasi dosis radiasi gamma 0, 500, 1000, 1500 dan 2000 Gy dan dengan
konsentrasi fenantrena 1500 ppm. Dilakukan uji lanjut dengan perlakuan inkubasi
dan tanpa inkubasi di dalam substrat batang sorgum pada waktu inkubasi 0, 3, 6, 9
dan 12 hari di dalam medium tanah, setelah 12 hari diuji profil DNA dengan
RAPD-PCR. Dosis radiasi gamma terbaik oleh P.chrysosporium 1500 Gy dengan
aktivitas LiP spesifik 773 U/mg, aktivitas LiP 9.480 U/g, viabilitas 6.86x109
CFU/g dan biodegradasi fenantrena 59.4%. Pada medium tanah didapati hasil
terbaik oleh P.chrysosporium dosis 1500 Gy perlakuan (F2B) tanpa inkubasi
dalam substrat batang sorgum dengan waktu inkubasi 3 hari, aktivitas LiP 3925
U/g dan radiasi gamma dan pemberian fenantrena pada P.chrysosporium dosis
1500 Gy menyebabkan efek mutasi berupa polimorfik.
Kata kunci : Biodegradasi, Fenantrena, P.chrysosporium, Radiasi Gamma
ii
ABSTRACT
DEA AMALYA PERMATA SARI. The Effectiveness of Phanerochaete
chrysosporium fungi which Irradiated Gamma Rays Against Biodegradation
of Phenanthrene. Skripsi. Biology Studies Program, Faculty of Science and
Technology, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Under-
Guidance of Dra. Tri Retno Dyah Larasati, M.Si dan Dr. Nani Radiastuti,
M.Si. 2018.
Phenanthrene as pollutants in the soil environment have a toxic effect because of
its difficult character to degrade naturally. Biodegradation of phenanthrene is
determined by the extracellular enzyme lignin peroxidase (LiP) that produced by
P.chrysosporium. The use of gamma radiation in P.chrysosporium is known to
increase the enzyme lignin peroxidase (LiP) which is the main factor of
successfulness of biodegradation phenanthrene. This study aims to determine the
best dose of gamma ray radiation in P.chrysosporium in degrading phenanthrene,
to know the treatment effect of incubation and without incubation in sorghum
stem substrate added in soil medium and and wanted to know the effect of
mutations on the DNA profile. The study was conducted with variations of
gamma radiation doses of 0, 500, 1000, 1500 and 2000 Gy with phenanthrene
concentration of 1500 ppm. Further tests were performed with incubation
treatment and without incubation in the sorghum stem substrate at incubation time
of 0. 3, 6, 9 and 12 days in soil medium, after 12 days DNA profile tested with
RAPD-PCR. The best gamma radiation dose by P.chrysosporium 1500 Gy with
specific LiP activities of 773 U/mg, 9.480 U/g of LiP activities, 6.86x109 CFU/g
of viability and 59.4% biodegradation of phenanthrene. In the soil medium best
results discovered by P.chrysosporium dose 1500 Gy treatment (F2B) without
incubation in sorghum stem substrate with 3 days incubation time, 3925 U/g of
LiP activities and gamma radiation and phenanthrene administration in
P.chrysosporium dose 1500 Gy cause mutation effect of polymorphic.
Keywords: Biodegradation, Phenanthrene, P.chrysosporium, Gamma Radiation
iii
KATA PENGANTAR
Asalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia dan
kemudahan sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas
Kapang Phanerochaete chrysosporium yang Diradiasi Sinar Gamma
terhadap Biodegradasi Fenantrena”. Skripsi ini disusun dalam rangka
menyempurnakan syarat gelar sarjana strata satu (S1) sains Program Studi Biologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya
skripsi ini tak lepas dari bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua dan kedua abang tercinta atas segala doa dan motivasinya
kepada penulis
2. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Dasumiati, M.Si dan Etyn Yunita, M,Si selaku Ketua dan sekretaris
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Dra. Tri Retno Dyah Larasati, M.Si selaku Pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.
5. Dr. Nani Radiastuti, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing dan memberikan banyak masukan kepada penulis.
iv
6. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si dan Dr. Siti Nurbayti, M.Si selaku
penguji I dan penguji II pada seminar proposal dan seminar hasil
penelitian yang telah memberikan masukannya kepada penulis.
7. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku penguji I dan
penguji II pada sidang munaqosyah penelitian yang telah memberikan
masukannya kepada penulis.
8. Nana Mulyana S.ST, selaku pembimbing di laboratorium yang selalu
sabar mendampingi saya dan atas ilmu yang diberikan. Dadang Sudrajat
S.ST dan ibu Rika Heryani, selaku pembimbing di laboratorium
molekuler.
9. Sahabat Sarah Nuraini dan Andika Dwi N. Teman ujian kompre Amelia
Rackhmaniar. Teman skripsian Hushshila Alfi Bahalwan, Puri Dwi N,
Endah Hari Utari, M. Azzam, M. Ilham dan Maulana Malik yang
senantiasa memberi dukungan, motivasi dan semangat kepada penulis.
Teman-teman Biologi angkatan 2013 seperjuangan yang selalu
memotivasi. Teman-teman seperjuangan di BATAN.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada pembaca dan dapat penulis
jadikan sebagai amal Jariyah.
Jakarta, April 2018
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 4
1.5 Kerangka Berfikir.............................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) ..................................................... 6
2.1.1. Sumber PAH .................................................................................... 6
2.1.2. Fenantrena ....................................................................................... 6
2.2. Phanerochaete chrysosporium ......................................................................... 8
2.2.1. Aktivitas Enzimatik P.chrysosporium .......................................................... 9
2.3. Medium Pertumbuhan P.chrysosporium ........................................................ 11
2.3.1. Batang Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) ) ............. 11
2.3.2. Tanah ............................................................................................. 12
2.4. Radiasi Sinar Gamma ..................................................................................... 12
2.4.1 Aplikasi Radiasi Gamma dalam Bidang Mikrobiologi .................. 13
2.5. Biodegradasi ................................................................................................... 14
2.5.1. Biodegradasi Fenantrena Oleh P.chrysosporium .......................... 14
2.5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biodegradasi ......................... 16
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 18
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................... 18
3.2.1. Alat ................................................................................................ 18
3.2.2. Bahan ............................................................................................. 18
3.3. Rancangan Percobaan .................................................................................... 19
vi
3.4. Bagan Alur Penelitian .................................................................................... 20
3.5. Prosedur Kerja ................................................................................................ 21
3.5.1. Pembuatan Media PDB, PDA dan Nutrisi ..................................... 21
3.5.2. Radiasi Gamma Pada Kapang........................................................ 21
3.5.3. Preparasi Kultur Inokulum Kapang ............................................... 21
3.5.4. Preparasi Substrat Batang Sorgum dan Tanah ............................... 22
3.5.5. Penentuan Konsentrasi Fenantrena Terbaik .................................. 22
3.5.6. Penentuan Dosis Terbaik Kapang Iradiasi Gamma ....................... 22
3.5.6.1. Penentuan Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (LiP) ......... 23
3.5.6.2. Penentuan Protein Terlarut ................................................... 24
3.5.6.3. Penentuan Viabilitas Kapang ................................................ 24
3.5.6.4. Penentuan Biodegradasi Gas Chromatography (GCMS) ..... 25
3.5.7.Biodegradasi Dalam Medium Tanah dan Substrat Batang Sorgum 26
3.5.7.1. Pembuatan Inokulan Kapang ................................................ 26
3.5.7.2.1. Penentuan pH ............................................................ 27
3.5.7.2.2. Penentuan Kadar Air ................................................ 27
3.5.7.2.3. Penentuan Kadar Bahan Organik ............................. 28
3.5.8. Evaluasi Profil DNA Kapang ...................................................... 28
3.5.8.1. Ekstraksi DNA Kapang ........................................................ 28
3.5.8.2. Analisis Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD
PCR) ............................................................................. 29
3.6. Analisis Data .................................................................................................. 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penentuan Konsentrasi Fenantrena Terbaik ................................................... 32
4.2. Analisis Penentuan Dosis Radiasi Gamma Terbaik ....................................... 34
4.2.1. Aktivitas LiP Spesifik .................................................................... 34
4.2.2. Hasil Aktivitas LiP dan Viabilitas Dalam Substrat Batang Sorgum
..................................................................................................... 36
4.2.3. Biodegradasi Fenantrena ............................................................. 40
4.3. Hasil Kemampuan Kapang Dosis Terpilih Dalam Medium Tanah ............... 42
4.3.1. Viabilitas ........................................................................................ 42
4.3.2. Aktivitas LiP .................................................................................. 44
4.3.3. Hasil Analisis pH Medium Tanah ................................................. 47
4.3.2. Hasil Analisis Kadar Air Medium Tanah ...................................... 48
4.3.3. Hasil Analisis Bahan Organik Medium Tanah .............................. 50
vii
4.4. Analisis RAPD-PCR DNA P. chrysosoporium Dosis Radiasi Gamma yang
Terpapar Fenantrena. ..................................................................................... 51
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan .................................................................................................... 57
5.2. Saran .............................................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kondisi Optimal Biodegradasi Hidrokarbon ................................................. 16 Tabel 2. Rancangan Pengujian Kapang Terpilih Di dalam Medium Tanah ................ 19 Tabel 3. Visualisasi Urutan DNA Dari Hasil Elektroforesis ....................................... 52
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Berfikir .................................................................................. 5 Gambar 2. Struktur Fenantrena. .............................................................................. 7 Gambar 3. Struktur Mikroskopis Miselia P.chrysosporium. .................................. 8 Gambar 4. Jalur Biodegradasi Fenantrena dalam Kondisi Lignolitik oleh
P.chrysosporium. ................................................................................ 15 Gambar 5. Bagan Alir Penelitian .......................................................................... 20 Gambar 6. Pengaruh konsentrasi Fenantrena terhadap Aktivitas Lignin
Peroksidase (LiP) P.chrysosporium (wild type) ................................. 32
Gambar 7. Pengaruh Dosis Radiasi Gamma Terhadap Aktivitas LiP Spesifik. .. 34 Gambar 8. Pengaruh Radiasi Gamma Terhadap Aktivitas LiP dan Viabilitas ..... 37 Gambar 9. Pengaruh Radiasi Gamma Terhadap Biodegradasi Fenantrena .......... 40 Gambar 10. Viabilitas Kapang Terpilih dalam Medium Tanah ............................ 43 Gambar 11. Aktivitas Kapang Terpilih dalam Medium Tanah ............................. 45 Gambar 12. Perubahan pH Medium...................................................................... 47 Gambar 13. Perubahan Kadar Air Medium Tanah ............................................... 48 Gambar 14. Perubahan Bahan Organik Medium Tanah ....................................... 50 Gambar 15. Profil DNA P.chrysosporium ............................................................ 52 Gambar 16. Hasil Dendrogram dengan metode clustering UPGMA. .................. 55
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penentuan Konsentrasi Fenantrena Terbaik ..................................... 66
Lampiran 2. Analisis Penentuan Dosis Radiasi Gamma Terbaik ......................... 66
Lampiran 3. Kemampuan Kapang Dosis Terpilih Dalam Medium Tanah ........... 66
Lampiran 4. Hasil Dendogram UPGMA Jaccard's Coefficient ............................ 67
Lampiran 5. Contoh Perhitungan .......................................................................... 68
Lampiran 6. Hasil kromatografi (GCMS) pada degradasi Fenantrena ................. 72
Lampiran 7. Data Uji Statistik IBM SPSS 20.0 .................................................... 73
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian .................................................................... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kegiatan industri berbasis minyak bumi adalah jalur utama masuknya
senyawa pencemar pada lingkungan tanah (Shen et al., 2013). Pencemaran berasal
dari tumpahan minyak mentah yang mengandung senyawa Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAH), salah satunya adalah Fenantrena (USEPA, 2000).
Fenantrena bersifat toksik bagi mahluk hidup dan sulit terdegradasi secara alami
(Johnson et al., 2015).
Berdasarkan tingkat pencemaran dan sifat fenantrena yang sulit terdegradasi
secara alami, diperlukan alternatif untuk mengurangi tingkat pencemaran dengan
cara biodegradasi (Maletic et al., 2013). Biodegradasi memanfaatkan
mikroorganisme seperti bakteri maupun kapang untuk memecah senyawa organik
menjadi senyawa tidak berbahaya menjadi H2O dan CO2 (Haritash & Kaushik,
2009). Biodegradasi dengan kapang memiliki keunggulan dibandingkan bakteri,
kapang mampu hidup dalam lingkungan yang ekstrim. Oleh sebab itu, kapang
berpotensi menjadi mikroorganisme yang kuat untuk biodegradasi dalam tanah
(Singh et al., 2006 ; Norton et al., 2012).
Kapang yang digunakan dalam penelitian ini adalah Phanerochaete
chrysosporium. P.chrysosporium sering digunakan sebagai fungal remediation
karena memiliki enzim ekstraseluler yang dapat mendegradasi substrat mirip
dengan lignin seperti senyawa fenantrena (Adenipekun & Lawal, 2012). Hal
tersebut dibuktikan oleh Chen & Ding, (2012) bahwa P.chrysosporium mampu
2
mendegradasi fenantrena di dalam tanah steril dengan konsentrasi 1500 mg/L
sebesar 80% selama 3-90 hari inkubasi.
Haritash & Kaushik, (2009) menunjukan kapang white rot fungi yang
ditambahkan di tanah tidak signifikan mendegradasi fenantrena. Hal ini
dikarenakan tanah bukanlah habitat alami kapang ini. Oleh sebab itu diperlukan
tambahan seperti residu lignoselulosa untuk meningkatkan pertumbuhannya
(Rodriguez et al., 1999). Penelitian sebelumnya telah melakukan beberapa cara
bioremediasi untuk meningkatkan biodegradasi fenantren di tanah yaitu dengan
cara menumbuhkan Penicillium sp. dalam bahan lignoselulosa dari ampas tebu
sebelum ditambahkan ke tanah menghasilkan degradasi fenantren sebesar 58%
setelah 18 hari inkubasi (Gomez et al., 2003) dan penambahan kapang secara
langsung ke tanah bersama dengan substrat lignoselulosa (Bennett et al., 2001).
Penelitian ini menggunakan bahan lignoselulosa berupa substrat dari batang
sorgum (Sorghum bicolor (L.). Namun saat ini penggunaan substrat batang
sorgum dan P. chrysosoporium pada kedua teknik tersebut belum diaplikasikan
pada tanah tercemar fenantrena.
Biodegradasi fenantrena ditentukan oleh enzim ekstraseluler Lignin
Peroksidase (LiP) yang diproduksi oleh P.chrysosporium, namun, kendalanya
P.chrysosporium (wild type) enzim LiP rendah 0.16 U/g dan persen biodegradasi
fenantrena hanya sebesar 6,56% (Wang et al., 2009). Menurut Baptista et al.
(2015) efek dari radiasi gamma dapat meningkatkan produksi enzim ekstraseluler
pada kapang berfilamen. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan radiasi sinar
gamma untuk meningkatkan produksi enzim ekstraseluler pada kapang
berfilamen. Penelitian dengan radiasi gamma telah dilakukan oleh Retno et al.
3
(2016), bahwa P.chrysosporium dosis 600 Gy menghasilkan enzim LiP sebesar 30
U/mL lebih tinggi dibandingkan P.chrysosporium tanpa radiasi dalam
mendegradasi lignin sebesar 42 %.
Pemilihan sinar gamma dikarenakan efek penetrasi yang tinggi
menyebabkan stimulasi dan mutasi, seperti peningkatan jumlah copy gen
(multiplikasi) yang berguna untuk perbaikan ekspresi gen (Aparecida & Aquino,
2012). Penilitian ini ingin mengetahui bagaimana efek mutasi dengan melihat
profil DNA pada P.chrysosporium dosis radiasi gamma dan P.chrysosporium
dosis radiasi gamma yang terpapar fenantrena.
Dosis radiasi sinar gamma yang digunakan dalam penelitian ini adalah 500,
1000, 1500 dan 2000 Gy. Saat ini belum ada penelitian yang menggunakan
P.chrysosporium yang diradiasi sinar gamma untuk menentukan biodegradasi
fenantrena. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dosis radiasi sinar gamma pada P.chrysosporium yang terbaik untuk biodegradasi
fenantrena dan mengetahui kemampuan biodegradasi fenantrena oleh
P.chrysosporium radiasi sinar gamma yang terpilih dalam medium tanah.
1.2. Rumusan Masalah
1) Berapakah dosis radiasi sinar gamma terbaik pada P.chrysosporium untuk
biodegradasi fenantrena?
2) Bagaimana karakteristik P.chrysosporium dosis radiasi gamma terbaik dengan
inkubasi dan tanpa inkubasi substrat batang sorgum dalam medium tanah?
3) Bagaimana efek mutasi terhadap profil DNA pada P.chrysosporium dosis
radiasi gamma terbaik dan terpapapar fenantrena?
4
1.3. Tujuan Penelitian
1) Mengetahui dosis radiasi sinar gamma terbaik pada P.chrysosporium terhadap
biodegradasi fenantrena.
2) Mengetahui karakteristik P.chrysosporium dosis radiasi gamma terbaik
dengan inkubasi dan tanpa inkubasi substrat batang sorhum dalam medium
tanah.
3) Mengetahui efek mutasi pada profil DNA P.chrysosporium radiasi sinar
gamma terbaik dengan yang terpapar fenantrena.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kemampuan
P.chrysosporium yang diradiasi sinar gamma sebagai teknik bioremediasi lahan
yang tercemar fenatrena.
5
1.5. Kerangka Berfikir
Gambar 1. Kerangka Berfikir
Tumpahan Minyak Akibat
Kegiatan Industri Minyak bumi
Pencemaran Lingkungan
Tanah oleh Fenantrena
Bioakumulasi,
Toksik dan sulit
terdegradasi
Biodegeradasi dalam medium tanah
rendah
Kapang Dosis 500,1000,
1500, 2000 Gy
Didapati % biodegradasi fenantrena dari dosis radiasi gamma terbaik
P.chrysosporium (wild
type)
P.chrysosporium
diradiasi sinar gamma
Produksi enzim
Lignin peroksidase
rendah
Produksi enzim
Lignin peroksidase
tinggi
Didapati dosis terbaik pada P.chrysosporium dan
teknik terbaik untuk biodegradasi fenantrena di
tanah
Biodegradasi
fenantren dengan
enzim
ekstraseluler
kapang
Menumbuhkan
kapang dalam
substrat sebelum
ke tanah
Peningkatan dengan penambahan
substrat lignoselulosa Mencampurkan
substrat dengan
tanah kemudian
diinokulasikan
kapang ke dalam
tanah
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH)
2.1.1. Sumber PAH
PAH dikenal sebagai polisiklik hidrokarbon aromatik adalah polutan
organik yang tersebar luas di lingkungan yang bersifat racun dan persisten (Wang
et al., 2009). Sumber alami PAH berasal dari emisi gunung berapi dan kebakaran
hutan sedangkan bentuk pencemaran PAH berasal dari kegiatan antropogenik dan
industri yang diperoleh dari produk berbasis minyak bumi yang mencemari
permukaan air dan tanah (Shen et al., 2013).
PAH dapat memasuki lingkungan atmosfer, air, tanah dan sedimen.
Pergerakan PAH di lingkungan bergantung pada kemampuannya untuk larut
dalam air dan kemudahannya menguap di udara. Pada tanah PAH memiliki
kelarutan yang rendah dan bersifat stabil sehingga PAH cepat diabsorpsi dan
terikat ke dalam rongga matriks tanah (Okere & Semple, 2012). Kelarutannya
yang rendah pada air membuat PAH bersifat lipofilik sehingga PAH dapat masuk
ke jaringan tubuh mahluk hidup yang mengandung lemak termasuk tubuh
manusia (ATSDR 1990).
2.1.2. Fenantrena
Fenantrena merupakan salah satu PAH yang mempunyai 3 cincin benzene
(Gambar 2). Senyawa ini memiliki rumus molekul C14H10. Fenantrena merupakan
senyawa padatan berbentuk kristal pipih, berwarna putih dengan berat molekul
178.078 g/mol, (Haritash & Kaushik, 2009). Fenantrena memiliki sifat hidrofobik
7
dengan kelarutan dalam air sebesar 1.20 mg/L pada suhu 25oC. Struktur
fenantrena dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Fenantrena (PubChem, 2017)
Berdasarkan jumlah cincin aromatiknya, fenantrena PAH termasuk jenis
Low Molecular Weight (LMW). Fenantrena secara umum mempunyai bay-region
yaitu sudut internal yang terbuka dan k-region sudut eksternal yang tertutup.
Secara umum, degradasi fenantrena oleh kapang terjadi pada bay-region posisi
1,2-3,4 ini merupakan situs utama serangan enzimatik dan posisi 9,10-posisi pada
k-region (Ouyang & Fitzgerald, 2012).
Fenantrena sering digunakan sebagai model substrat untuk mempelajari
metabolisme PAH yang karsinogenik (Cerniglia & Sutherland, 2010). The
International Agency for Research on Cancer, (IARC, 2002) mengklasifikasi
bahwa fenantrena termasuk ke dalam 16 PAH penyebab kanker. Ketika fenantrena
terlepas di lingkungan akan terjadi gangguan bagi biota tanah. Menurut Ding et al.
(2012) fenantrena telah terbukti mempengaruhi komunitas mikroorganisme dalam
tanah. Fenantrena ditemukan di tanah terkontaminasi petrokimia sebesar 156
mg/kg sedangkan konsentrasi tersebut jauh dari ambang batas fenantrena yang
diperbolehkan oleh Menteri Lingkungan Hidup (MenLH), (2003) dan
Environmental risk limits (ERLs) for Phenanthrene, (2011) sebesar 0,01 mg/kg
8
2.2. Phanerochaete chrysosporium
Phanerochaete chrysosporium dikenal sebagai white rot fungi atau kapang
pelapuk putih yang ada pada kayu dan serpihan kayu. Klasifikasi
P.chrysosporium adalah Filum: Basidiomycota, Kelas: Agaricomycetes, Ordo:
Polyporales, Famili: Phanerochaetaceae, Genus: Phanerochaete, Spesies:
P.chrysosporium (National Centre for Biotechnology Information, 2017).
Kapang ini merupakan mikroorganisme multiseluler, hidup secara aerobik,
nonfotosintetik dan kemoheterotrof. P.chrysosporium memiliki keadaan fisik
yang berserabut seperti kapas, berwarna putih, membentuk sekumpulan miselia,
berkembang biak secara aseksual melalui spora atau seksual yang mulai terbentuk
pada hari ke 18-20 (Cookson, 1995). Kapang ini memiliki hifa besepta, bercabang
dengan diameter berkisar antara 3-9 μm (Gambar 3). Pada ujung hifa terletak
klamidia, spora berdinding tebal bervariasi dari 50-60 μm. Konidiophore
menimbulkan blastoconidia aseksual bulat, yang berdiameter 6-9 μm (Nakasone,
1990). Struktur mikroskopis miselia P.chrysosporium hasil Scanning electron
micrograph (SEM) dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Mikroskopis Miselia P.chrysosporium (MicrobeWiki, 2008)
P.chrysosporium memiliki miselia yang bercabang sehingga
memungkinkan untuk terdistribusi ke dalam matriks tanah untuk mendegradasi
9
fenantrena (Reddy, 2001). Hifa P.chrysosporium mampu menembus substrat
dengan cepat untuk mengangkut dan mendistribusikan nutrisi dalam miseliumnya.
Penyerapan PHA terjadi pada dinding sel hidrofobik dan tersimpan di vakuola
atau organel lain di dalam sel (Gao et al., 2011).
Kapang ini memiliki keunggulan dibandingkan bakteri tidak hanya dalam
keunggulannya memproduksi enzim ekstraseluler, namun juga ketahanan
lingkungannya. Kapang ini dapat mentolerir kondisi lingkungan yang ekstrim,
seperti pH, suhu, kadar air, kelembapan rendah dan konsentrasi polutan yang
tinggi. Sementara banyak organisme mikroorganisme yang digunakan untuk
bioremediasi memerlukan pra-pengkondisian lingkungan agar dapat bertahan
hidup, kapang ini dapat langsung diaplikasikan. Oleh karena itu, kapang
berpotensi menjadi mikroorganisme yang kuat dalam bioremediasi tanah (Singh,
2006 ; Norton, 2012).
Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan kapang ini adalah suhu,
pH, kandungan oksigen terlarut dan konsentrasi nitrogen yang mencukupi.
P.chrysosporium dapat mendegradasi polutan aromatik selama fase pertumbuhan
stasioner (Srebotnik et al., 1994). Menurut Howard et al. (2003), P.chrysosporium
mempunyai suhu pertumbuhan optimal 35-40°C dan pH 4-7. Menurut penelitian
oleh Bisnoi et al. (2008) melaporkan P.chrysosporium dapat tumbuh dalam tanah
steril yang dipaparkan fenantrena dengan pH 7,0 dan suhu 30°C.
2.2.1. Aktivitas Enzimatik P.chrysosporium
P.chrysosporium menghasilkan enzim ekstraseluler Lignin Peroksidase
(LiP), manganesse peroksidase (MnP) dan Lakase. Enzim tersebut umumnya
digunakan untuk mendegradasi lignin pada kayu (Fadilah et al., 2008). Selain
10
mendegradasi lignin enzim ekstraseluler dari P.chrysosporium dikenal dapat
mendegradasi senyawa xenobiotik, karena sifat dari enzim ini yaitu memiliki
spesifisitas substrat yang rendah, sehingga mampu mendegradasi substrat luas
mirip dengan lignin (Adenipekun & Lawal, 2012). Dua dari peroksidase yang
paling umum adalah lignin peroxidase (LiP) dan manganese peroxidase (MnP).
Penelitian telah menunjukkan bahwa satu ekstraselular enzim ligninolitik yaitu
LiP, secara langsung terlibat dalam oksidasi awal dari degradasi fenantrena (Wang
et al., 2009).
Lignin Peroksidase (LiP) adalah enzim heme ekstraseluler yang
disekresikan oleh kapang P.chrysosporium yang sering digunakan dalam
pengendalian pencemaran organik dan memediasi depolimerisasi lignin. Enzim
LiP berkerja sebagai katalisis pengurangan peroksida dengan bantuan hidrogen
peroksida (H2O2) dan veratril alkohol. H2O2 berfungsi sebagai reduktor yang akan
mengoksidasi enzim dengan mendonasikan dua elektron ke enzim LiP dan veratril
alkohol berfungsi sebagai mediator dalam reaksi redoks untuk menstimulasi
oksidasi LiP pada substrat limbah organik lignoselulosa (Asgher et al., 2011). LiP
mengoksidasi senyawa aromatik fenolik dan non fenolik dengan memindahkan
elektron ke senyawa aromatik, menghasilkan phenoxy radikal dan kation radikal
yang bereaksi secara spontan dengan molekul air dan molekul oksigen, memecah
ikatan C-C dan C-O, sehingga mendepolimerasi senyawa polimer dan membuka
cincin aromatik memecahnya menjadi komponen yang tidak berbahaya (Hamid &
Rehman, 2009).
11
2.3. Medium Pertumbuhan P.chrysosporium
2.3.1. Batang Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) )
Kapang berfilamen yang digunakan dalam biodegradasi harus terlebih
dahulu disesuaikan dengan mengembangkannya pada substrat padat seperti batang
sorgum atau tebu dari sisa pertanian (Perez et al., 2002). Batang sorgum
merupakan limbah dari agroindustri yang bisa ditambahkan ke tanah yang
terkontaminasi.
Batang sorgum memiliki kadar gula tinggi pada batangnya. Sebagian besar
gula ini disimpan sebagai polimer dinding sel tanaman dan mengandung
karbohidrat berlimpah larut (terutama glukosa, fruktosa dan sukrosa) dan
karbohidrat tidak larut (selulosa 44,6 %, hemiselulosa 27,1 % dan lignin 20,7 %)
(Serna & Saldivar et al., 2010).
Substrat batang sorgum mengandung lignin, selulosa dan hemiselulosa
yang berperan sebagai induser enzim Lignin Peroksidase (Risdianto et al., 2008).
Penambahan substrat berfungsi sebagai sumber karbon dan energi dan bahan
pendukung untuk hifa kapang selama proses bioremediasi di tanah. Penambahan
substrat lignoselulosa baik untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme
sebagai penerapan bioaugmentasi dalam tanah untuk mempercepat proses
biodegradasi (Rodriguez et al., 2001).
Bioremediasi tanah terkontaminasi menjadi faktor pembatas pertumbuhan
fungi (Baldrian, 2008). Teknik penambahan substrat merupakan salah satu faktor
utama aplikasi bioremediasi kapang yang berhasil. Umumnya penggunaan
aplikasi substrat ini dilakukan dengan menumbuhkan kapang terlebih dahulu di
12
dalam substrat dan mencampurkan substrat dengan tanah kemudian
diinokulasikan kapang ke dalam tanah (Bennett et al., 2001).
2.3.2. Tanah
Arsyad (2005) mengemukakan struktur tanah adalah kumpulan pasir, liat
dan debu oleh bahan organik. Faktor utama dalam biodegradasi adalah kandungan
organik tanah. Adanya bahan organik memiliki pengaruh pada kemampuan
mikroorganisme untuk menurunkan PAH. Bahan organik dapat digunakan sebagai
sumber karbon dan energi untuk mikroorganisme (Johnsen et al., 2005).
Selain itu faktor bahan organik pendukung lain seperti suhu, kadar air,
bioavailabilitas dan pH sangat dibutuhkan. Kadar air tanah sangat dibutuhkan
dalam proses biodegradasi hidrokarbon. Air melarutkan nutrisi yang tersedia bagi
mikrooganisme. Kandungan air tanahnya yang rendah dapat menurunkan aktivitas
mikroorganisme akibat diffusional organel yang berhubungan dengan dehidrasi
sel. Banyaknya air dapat menghambat reaerasi tanah, dan proses dapat berubah
menjadi anaerobik. Kelembapan optimal untuk mendegradasi hidrokarbon
berkisar 30% - 90% (Bijay et al., 2012).
2.4. Radiasi Sinar Gamma
Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam
bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik (foton) dari suatu sumber
energi. Radiasi digolongkan ke dalam radiasi pengion dan radiasi non pengion.
Jenis radiasi pengion adalah partikel alpha (α), partikel beta (β), sinar X
neutron dan sinar gamma (γ). Telah diketahui ada radiasi yang memiliki daya
tembus lebih besar dari pada beta dan radiasi ini disebut radiasi gamma (Badan
Tenaga Nuklir Nasional, 2008).
13
Radiasi gamma merupakan jenis gelombang yang memilik wujud sebagai
energi elektromagnetik yang disebut foton yang tidak memiliki massa dan
maupun muatan listrik. Radionuklida yang memancarkan radiasi gamma
diantaranya cobalt 60. Sinar gamma merupakan bentuk sinar yang paling kuat dari
bentuk radiasi yang diketahui, kekuatannya hampir 1 miliar kali lebih berenergi
dibandingkan radiasi sinar X (Hidayat, 2004).
Pengaruh radiasi gamma terhadap spesimen biologis bergantung pada total
energi yang diabsorpsi dan jenis radiasi pengion. Satuan dosis radiasi terserap per
satuan massa akibat radiasi gamma disebut Radiation Absorbed Dose (Rad).
Satuan dosis radiasi serap disebut dengan Gray yang disingkat Gy (Badan Tenaga
Nuklir Nasional, 2008).
2.4.1 Aplikasi Radiasi Gamma dalam Bidang Mikrobiologi
Radiasi sinar gamma telah digunakan dalam terapi radiasi, sterilisasi,
pelestarian dan aktivasi enzim (Lu et al., 2005). Aplikasi radiasi gamma menjadi
salah satu alternatif untuk menginduksi mutasi (Baptista et al., 2015). Prasyarat
yang paling penting untuk produksi enzim oleh mikroorganisme adalah mutan
hasil radiasi memiliki kemampuan hyperproductive enzim (El-Batal et al., 2013).
Pemilihan sinar gamma dikarenakan dosis lebih akurat, penetrasi penyinaran ke
dalam sel bersifat homogen, efek stimulasi dan frekuensi mutasi tinggi yang dapat
memperbaiki karakter bermanfaat (Aparecida & Aquino, 2012).
Radiasi gamma bertindak pada sistem biologis dengan mengubah molekul
yang menyebabkan peningkatan yang pasti dalam permeabilitas sel. Peningkatan
ini terjadi kemungkinan karena peningkatan jumlah copy gen (multiplikasi) atau
perbaikan dalam ekspresi gen (El-Batal & Khalaf, 2003).
14
Menurut Maity et al. (2009) menunjukkan bahwa dosis tinggi radiasi
gamma menyebabkan efek penghambatan hingga kematian kapang yang bersifat
sterilisasi. Sreedhar et al. (2013) menyatakan bahwa dosis rendah radiasi gamma
pada kapang sebagai faktor stimulasi mikroorganisme untuk menghasilkan enzim
yang lebih banyak sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap stress oksidatif.
2.5. Biodegradasi
Biodegradasi secara garis besar didefinisikan sebagai pemecahan senyawa
organik oleh mikroorganisme sehingga membentuk biomassa dan senyawa yang
lebih sederhana yang akhirnya menjadi (H2O) dan (CO2) karbondioksida (Haritash
& Kaushik, 2009), sedangkan menurut Maletic et al. (2013) biodegradasi adalah
proses mengubah atau memineralisasi kontaminan organik oleh mikroorganisme
melalui proses metabolisme atau enzimatik, menjadi zat yang kurang berbahaya,
yang kemudian diintegrasikan ke dalam siklus biogeokimia alami. Biodegradasi
dilakukan dengan cara memotong rantai hidrokarbon tersebut menjadi lebih
pendek dengan melibatkan berbagai enzim. Bakteri dan kapang telah ditetapkan
sebagai spesies yang dapat menggunakan PAH sebagai sumber karbon dan energi
(Haritash & Kaushik, 2009).
2.5.1. Biodegradasi Fenantrena Oleh P.chrysosporium
Biodegradasi fenantrena dalam kondisi aerobik akan terjadi cepat dan
lengkap melalui proses oksidatif, aktivasi dan penggabungan oksigen dengan
reaksi kunci enzimatik yang dikatalisis oleh oksigenase (enzim sitokrom P450
monooksigenase, hidrolase epoksida) (Ning et al., 2010). Jalur biodegradasi
fenantrena dalam kondisi lignolitik dapat dilihat pada Gambar 4.
15
Gambar 4. Jalur Biodegradasi Fenantrena dalam Kondisi Lignolitik oleh
P.chrysosporium (Ning et al., 2010)
Biodegradasi fenantrena dalam kondisi lignolitik dimulai dari tahap
oksidasi, yaitu oksidasi fenantrena dimulai dari P450 monooksigenase, reaksi
dimediasi dengan mengoksidasi cincin aromatik fenantrena pada posisi C9 dan
C10 menjadi 9,10-phenanthrene oxide. Tahap hidrolisis, epoxide hydrolase
menghidrolisis trans-9,10-phenanthrene dihydrodiol. Kemudian menghasilkan
radikal bebas berupa radikal 9,10-dihydroxy phenanthrene bebas dengan
sumbangan satu elektron yang mengoksidasi cincin, fenantrena teroksidasi
menjadi 9,10- phenanthrenequinone, selanjutnya menjadi asam 2.2'-diphenic
yang termineralisasi menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu karbondioksida
(CO2), sedangkan dengan menggunakan enzim (LiP) biodegradasi oleh
P.chrysosporium berjalan lebih cepat dengan langsung mengoksidasi 9-
16
phenanthrol menjadi phenanthrene-9,10-quinone dan kemudian menjadi 2,2-
Diphenic acid (Gambar 4) (Ning et al., 2010).
2.5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biodegradasi
Umumnya bioremediasi pada tanah terkontaminasi hidrokarbon melibatkan
proses biodegradasi. Keberhasilan proses biodegradasi ditentukan oleh beberapa
faktor pertumbuhan oleh mikroorganisme. Faktor yang mempengaruhi yaitu
jumlah mikroorganisme, kandungan oksigen, nutrisi anorganik, suhu dan pH
untuk mendukung pertumbuhan sel dan mempertahankan biodegradasi (Jain et al.,
2011). Kondisi yang optimal untuk pertumbuhan mikroorganisme terhadap
biodegradasi hidrokarbon diberikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi Optimal Biodegradasi Hidrokarbon
Parameter Pertumbuhan Biodegradasi
pH 5,5-8,8 6,5
Suhu 10-45 20-30
Oksigen 10% 10-40%
C:N:P 100:10:01 100:10:01
Sumber : (Jain et al., 2011).
Nilai pH tanah berpengaruh pada kondisi optimal mikroorganisme. Nilai
pH optimal yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam mendegradasi
hidrokarbon berkisar 6,5-8,0 (Jain et al., 2011). Nilai pH dipengaruhi aktivitas
mikroorganisme yang membentuk metabolit-metabolit asam. P.chrysosporium
optimal pada pH 5-7 dan setelah biodegradasi fenantrena pH meningkat menjadi
7-9 (Bishnoi et al., 2008). Menurut Pawar, (2015) kisaran pH 5-6,5 pada kapang
memiliki tingkat aktivitas LiP yang lebih tinggi dibandingkan dengan pH tanah
yang netral.
Menururt Bamforth & Singleton, (2005) biodegradasi berkisar pada suhu
mesofilik 30-37°C. Suhu optimal untuk biodegradasi fenantrena di tanah steril
17
oleh P.chrysosporium yaitu suhu 30°C dan efisiensi biodegradasi menurun karena
suhu meningkat 40⁰C (Bishnoi et al., 2008).
Proses biodegradasi PAH membutuhkan nutrisi. Tingkat biodegradasi
sangat tergantung pada komposisi gizi dari tanah untuk menunjang keberhasilan
proses biodegradasi. Rasio nutrisi seperti karbon, nitrogen dan fosfat (C, N, P)
100:10:1 yang diperlukan untuk pertumbuhan dan keseimbangan metabolisme sel
(Pathak et al., 2011).
18
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Januari 2018 di
Laboratorium Kelompok Lingkungan, Bidang Industri dan Lingkungan, Pusat
Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR-BATAN), Pasar Jumat, Jakarta Selatan dan
Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah autoklaf, laminar air
flow, centrifuge, inkubator, oven, pH meter, timbangan analitik, desikator, shaker
mekanis, tanur, cawan petri, erlenmeyer, labu ukur, tabung reaksi, mikrotube,
mikropipet, mikrotip, ose bulat, dryglaski, plastik polyethylene, cawan porselen,
sumber isotop Cobalt-60 dalam gamma chamber 4000A, Mastercycler Gradient
untuk amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR), Spektrofotometri UV-Vis
dan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS).
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan antara lain strain P.chrysosporium (wild types),
dengan radiasi sinar gamma dosis (500, 1000, 1500 dan 2000 Gy) diperoleh dari
koleksi mikroorganisme terpilih di Laboratorium Kelompok Lingkungan (PAIR-
BATAN), batang sorgum (Sorghum bicolor (L.)) yang diperoleh dari bidang
pertanian (PAIR-BATAN), tanah diambil di sekitar laboratorium lingkungan,
fenantrena (Merck kGaA, Germany), lignin alkali (SIGMA-ALDRICHH), Potato
19
Dextrose Broth (PDB), Agar Bactorial, KH2PO4, MgSO4, urea, larutan fisiologis
(0,85% NaCl), akuades, bufer asetat pH 3, veratryl alkohol (8 mM), bufer asetat
(50 mM pH 3), H2O2 (5 mM) dan Dichloromethane (DCM).
3.3. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan berpola faktorial dengan 2 faktor
perlakuan terdiri atas: Faktor I (F1) = kapang yang inkubasi terlebih dulu dalam
substrat batang sorgum yang terdiri dari 2 taraf yaitu: A : P.chrysosporium tanpa
radiasi, B : P.chrysosporium dosis radiasi gamma terbaik. Faktor II ( F2) kapang
tanpa inkubasi terlebih dulu dalam substrat batang sorgum
Tabel 2. Rancangan pengujian kapang terpilih di dalam medium tanah
Perlakuan
P.chrysosporium Terpilih
K A B
F1 F1K F1A F1B
F2 F2K F2A F2B
Keterangan: KA/KB= kontrol P.chrysosporium tanpa radiasi (KA),
P.chrysosporium dosis radiasi gamma terbaik (KB). F1= Tanah +
(Substrat+ kapang inkubasi 7 hari), F2= (Tanah+Substrat)+kapang.
A= P.chrysosporium 0 Gy, B= P.chrysosporium dosis radiasi
gamma terbaik
20
3.4. Bagan Alur Penelitian
Gambar 5. Bagan Alir Penelitian
Preparasi kultur kapang, substrat batang sorgum dan tanah
Biodegradasi fenantrena dalam substrat batang sorgum
Perlakuan F1 dan F2 diinkubasi selama 0, 3, 6, 9, dan 12 hari
(F1) : P.chrysosporium (0 Gy)
(A) dan P.chrysosporium ( X
Gy) (B) inkubasi selama 7
hari dalam substrat batang
sorgum
Biodegradasi dalam medium tanah yang dicemarkan fenantrena
(Dx ppm) dengan penambahan substrat batang sorgum
Kultur fungi diradiasi sinar gamma pada dosis 0, 500, 1000, 1500 dan
2000 Gy
Penentuan konsentrasi
fenantrena terbaik (DX ppm)
(500, 1000, 1500, dan 2000ppm)
yang di ujikan dengan
P.chrysosporium (0 Gy)
Penentuan dosis terbaik radiasi
gamma kapang dosis 0, 500,
1000, 1500 dan 2000 Gy dengan
konsentrasi fenantrena terbaik
(DX ppm)
(F2) : P.chrysosporium (0 Gy)
(A) dan P.chrysosporium ( X
Gy) (B) tanpa inkubasi dalam
substrat batang sorgum
Setelah 12 hari (Evaluasi profil DNA
P.chrysosporium F1 dan F2)
Diperoleh biodegradasi terbaik dari kapang radiasi gamma (X)
21
3.5. Prosedur Kerja
3.5.1. Pembuatan Media PDB, PDA dan Nutrisi
Pembuatan media PDB dengan melarutkan 2,4 g/mL PDB, kemudian
ditambahkan akuades hingga volumenya mencapai 100 mL. Sebanyak 30 mL
media PDB dipindahkan ke dalam erlenmeyer. Pembuatan PDA dengan
melarutkan 2 g/mL agar, 2,4 g/mL PDB, 0,5 g/mL yeast extract ke dalam 100 mL
akuades. Pembuatan nutrisi untuk media fermentasi di dalam substrat batang
sorgum dengan komposisi nutrisi yaitu 1,2 g/mL PDB, 0,1 g/mL K2HPO4, 0,1
g/mL KH2PO4, 0,01 g/mL MgSO4, 0,5 g/mL yeast extract dan sukrosa 2 g/mL.
Masing-masing media PDB, PDA dan nutrisi disterilisasi pada suhu 121°C,
tekanan 2 atm selama 30 menit.
3.5.2. Radiasi Gamma Pada Kapang
Strain P.chrysosporium (wild type) dikultivasi dalam media PDB dengan
shaker mekanis pada 100 rpm dan suhu ruang sekitar 28-32°C selama 4 hari,
kemudian disebarkan pada permukaan media PDA di dalam cawan petri dan
diinkubasi pada 32°C selama 4 hari. Setelah kultur kapang tumbuh secara merata
pada permukaan PDA dan diinkubasi pada 32⁰C selama 7 hari. Kultur kapang
P.chrysosporium di dalam cawan diradiasi sinar gamma pada dosis 0, 500, 1000,
1500, 2000 Gy. Perlakuan radiasi gamma dengan sumber Co60 dilakukan di
fasilitas iradiator Gamma Chamber 4000A dengan laju dosis 2,1 kGy/jam
(Mulyana et al., 2015).
3.5.3. Preparasi Kultur Inokulum Kapang
Strain P.chrysosporium hasil radiasi gamma pada dosis 0, 500, 1000,
1500, 2000 Gy dalam medium agar dipotong sekitar 0,5 x 0,5 cm dan dipindahkan
22
ke dalam 30 mL PDB, kemudian diinkubasi dalam shaker mekanik pada 100 rpm
dan suhu ruang 28-32°C selama 4 hari (Rulianah et al., 2017), sehingga diperoleh
kultur cair untuk inokulan kapang.
3.5.4. Preparasi Substrat Batang Sorgum dan Tanah
Preparasi medium pertumbuhan berupa substrat batang sorgum dan tanah.
Batang sorgum dikeringkan dan dihaluskan dengan cutting mill, lalu disaring
dengan ukuran 200 µm. Preparasi tanah dilakukan dengan mengambil tanah di
permukaan sekitar 0-20 cm dan disaring dengan ukuran saringan 2 mm, lalu
disterilkan dengan autoklaf pada 121°C selama 2 x 15 menit.
3.5.5. Penentuan Konsentrasi Fenantrena Terbaik
Substrat batang sorgum yang telah disteril disiapkan sebanyak 4 g
kemudian ditambahkan 1 mL kultur cair kapang tanpa radiasi gamma yaitu dosis
0 Gy. Selanjutnya ditambahkan 1 mL fenantrena yang sudah dilarutkan dalam
diklorometan dengan variasi konsentrasi 500, 1000, 1500, dan 2000 ppm dan
diinkubasi selama 3 hari. Pengamatan yang dilakukan yaitu aktivitas LiP.
3.5.6. Penentuan Dosis Terbaik Kapang Iradiasi Gamma
Penentuan dosis radiasi gamma bertujuan untuk mendapatkan satu dosis
radiasi sinar gamma pada P.chrysosporium antara 500, 1000, 1500 dan 2000 Gy
yang paling optimal dalam substrat batang sorgum. Sebanyak 4 g substrat batang
sorgum ditambahkan 8 mL nutrisi (1:2) dengan komposisi nutrisi yaitu 1,2 g/mL
PDB, 0,1 g/mL, 0,1 g/mL K2HPO4, 0,01 g/mL KH2PO4, 0,01 g/mL MgSO4 0,5
g/mL yeast ekstrak dan 2 g/mL sukrosa. Sebanyak 1 mL kultur P.chrysosporium
dosis 0, 500, 1000, 1500 dan 2000 Gy ditambahkan ke dalam 4 g substrat batang
sorgum yang sudah steril dan diinkubasi dalam ruangan gelap pada 30°C selama
23
3 hari. Setelah itu ditambahkan konsentrasi fenantrena yang terbaik 1500 ppm lalu
diinkubasi selama 3 hari. Selain di dalam substrat batang sorgum, penentuan
dilakukan dalam 3 macam medium cair. Sebanyak 30 mL PDB yang masing-
masing ditambahkan dengan lignin alkali 1500 ppm dan fenantrena 1500 ppm,
kemudian diinokulasikan 1 mL kapang variasi dosis gamma. Parameter
pengamatan yang dilakukan yaitu aktivitas LiP spesifik, aktivitas LiP, viabilitas
dengan TPC dan biodegradasi fenantrena dianalisis menggunakan GCMS.
3.5.6.1. Penentuan Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (LiP)
Penentuan aktivitas enzim LiP dilakukan untuk mengetahui aktivitas
enzim LiP dalam sampel. Sebanyak 2 g sampel dimasukan ke dalam erlenmeyer
100 mL yang sudah berisi 20 mL bufer asetat pH 3, lalu shaker pada 100 rpm
selama 30 menit. Setelah itu dimasukan 1 mL sampel ke dalam mikrotube dan di
sentrifugasi pada 8000 rpm dan -4°C selama 15 menit.
Hasil sentrifugasi berupa supernatan adalah ekstrak kasar enzim yang
selanjutnya digunakan sebagai sampel pada analisis aktivitas LiP. Kemudian
disiapkan tabung reaksi 20 mL yang sudah berisi 0,4 mL veratryl alkohol (8 mM),
0,8 mL bufer asetat (50 mM pH 3), 1,8 mL akuades, 0,2 mL H2O2 (5 mM) dan 0,8
mL sampel (ekstrak kasar enzim). Tabung dikocok perlahan agar semua bahan
tercampur. Reaksi aktivitas enzim dilakukan pada suhu ruang 20±1°C, kemudian
dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer pada 310 nm. Absorbansi diukur
pada waktu 0 dan 10 menit atau lebih lama. Penentuan aktivitas enzim dengan
menggunakan rumus oleh Bonnen et al ,(1994):
Aktivitas Enzim U/mL =∆OD310 × Vtotal (mL) × 109
ε max × d × Venzim (mL) × t
24
Keterangan :
∆OD = selisih absorbansi pada 10 dan 0 menit
Vtotal = 1 mL
Venzim = 0,2 mL
Εmax = absorpsivitas molar veratryl alkohol 9300/M.cm
d = tebal bagian dalam kuvet (cm)
t = waktu reaksi aktivitas enzim (menit).
3.5.6.2. Penentuan Protein Terlarut
Penentuan protein terlarut untuk menghitung aktivitas LiP spesifik.
Sebanyak 100 mL NaCO3, 1 mL CuSO4.5H2O, dan 1 mL Kalium Natrium
Tartarat dicampurkan ke dalam gelas beker. Sampel sebanyak 500 µL dimasukkan
ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 4 mL larutan campuran dan
ditunggu 5 menit. Setelah 5 menit ditambahkan folin 500 µL ke dalam tabung
reaksi dan diinkubasi selama 30 menit, kemudian dilakukan pengukuran dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 600 nm (Lowry et al., 1951).
Aktivitas spesifik didefinisikan sebagai unit aktivitas permiligram protein.
Perhitungan aktivitas spesifik menurut Machfoed et al. (1989) adalah sebagai
berikut :
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑆𝑝𝑒𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘 =𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 (
𝑈𝑚𝑙
𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑡)
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 (𝑚𝑔𝑚𝑙
)
3.5.6.3. Penentuan Viabilitas Kapang
Viabilitas kapang ditentukan dengan metode Total Plate Count (TPC).
Sebanyak 2 g sampel dan 20 mL larutan fisiologis (0,85% NaCl) yang steril
dimasukan ke dalam erlenmeyer 100 mL dan dikocok dengan shaker mekanis
pada 100 rpm selama 30 menit. Sebanyak 100 µL sampel dimasukan ke dalam
mikrotube yang sudah berisi 900 µL larutan fisiologis lalu dilakukan pengenceran
sampai 106. Kemudian diinokulasikan pada media PDA dengan metode sebar
25
(Spread plate). Media PDA diinkubasi 2-3 pada suhu 37°C. Perhitungan jumlah
kapang dapat ditentukan dengan menghitung koloni yang tumbuh dari masing-
masing pengenceran 10-100 koloni (Hastuti & Ginting, 2007). Penentuan jumlah
kapang dengan menggunakan rumus:
Konsentrasi populasi (CFU)g-1 (Jumlah koloni) x (fp)
berat kering sampel (bk)
Keterangan:
fp = faktor pengenceran
bk = berat kering sampel (g).
3.5.6.4. Penentuan Biodegradasi dengan Gas Chromatography (GCMS).
Penentuan biodegradasi dilakukan untuk mengetahui persen degradasi
fenanatren pada sampel. Sebelumnya dilakukan ekstraksi medium untuk
melarutkan fenantrena di dalam pelarut Dichloromethane dan untuk
mengendapkan biomassa sel kapang. Pada penentuan dosis radiasi terbaik kapang,
sampel dicampur dengan 30 mL Dichloromethane dan kemudian diekstraksi
selama 30 menit. Sebanyak 250 µL sampel di masukkan ke dalam mikrotube
sentrifugasi pada 2000 rpm selama 5 menit. Hasil sentrifugasi berupa supernatan
adalah ekstraktan fenantrena, lalu supernatan dipindahkan ke mikrotube sebanyak
100 µL sebagai sampel analisis (Lee et al., 2014).
Kondisi GC yang digunakan adalah gas pembawa yaitu gas helium
Kolom 1.19, diameter 0,2 mm, tebal film 0,33 μm. Suhu oven 60°C hingga
280°C. Suhu detektor 300°C dan suhu injektor 240°C . Larutan standar disiapkan
dengan konsentrasi 500 ppm dan sampel ekstrak fenantrena diambil sebanyak 1
µL lalu diinjeksikan ke instrumen GCMS (Murniasih et al., 2009). Persen
26
konsentrasi fenantrena dihitung mengikuti rumus oleh (Haritash & Kaushik,
2016).
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛 𝑑𝑒𝑔𝑟𝑎𝑑𝑎𝑠𝑖 (%) =𝐶𝑖 − 𝐶𝑓
𝐶𝑖× 100
Keterangan:
Ci = Konsentrasi Awal Fenantrena (µg/g)
Cf = Konsentrasi Akhir Fenantrena (µg/g)
3.5.7. Biodegradasi Dalam Medium Tanah dan Substrat Batang Sorgum
3.5.7.1. Pembuatan Inokulan Kapang
Sebanyak 4 g substrat batang sorgum dan nutrisi dimasukan ke dalam
plastik (polyethylene) dan disterilkan. Pada perlakuan F1 dimasukan 1 mL kultur
kapang tanpa radiasi (A) dan kapang dosis radiasi gamma terbaik (B) ke dalam
substrat yang sudah disterilkan dan ditutup rapat dengan sealer, kemudian
diinkubasi pada suhu ruang sekitar 28-32°C selama 7 hari.
3.5.7.2. Penentuan Karakteristik Medium Tanah
Tanah disiapkan sebanyak 36 g dimasukan ke dalam plastik (polyethylene)
disterilisasi pada suhu 121°C dengan autoklaf selama 2 x15 menit. Media tanah
tersebut ditambahkan fenantrena konsentrasi terpilih. Tanah yang sudah
terkontaminasi tersebut didiamkan selama 24 jam untuk menghilangkan
pelarutnya (Bisnoi et al., 2008). Tanah diatur kelembapannya 80% dan suhu
28,7°C . Tanah ditambahhkan hara makro (CNP) yang disesuai dengan kebutuhan
atau kondisi optimal dalam biodegradasi hidrokarbon yaitu C:N:P 100:10:1 atau
C=PHE (C14H10) 94,38%, N= ZA (NH4)2SO4) 20,8%, P = KH2PO4 22.79% (Jain
et al., 2011). Perlakuan Pertama F1 (A & B) inokulan kapang yang sudah
diinkubasi dimasukan ke dalam medium tanah yang sudah tercemar fenantrena,
27
kemudian untuk perlakuan kedua F2 (A & B) dimasukan 4 g substrat batang
sorgum ke dalam 36 g medium tanah, aduk hingga rata ditambahkan 10% kultur
cair kapang (Reddy & Mathew, 2001). Waktu bioremediasi selama 0, 3, 6, 9, dan
12 hari diinkubasi pada suhu ruang sekitar 28-32°C. Parameter pengamatan hari
ke 0, 3, 6, dan 12 yaitu pH, kadar air, kadar organik, kadar abu, TPC dan enzim
LiP, khusus hari ke 12 sampel di analisis untuk melihat profil DNA dengan PCR.
3.5.7.2.1.Penentuan pH
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui derajat keasaman sampel
yang diamati. Sebanyak 2 g sampel ditambahkan akuades sebanyak 20 mL dan
dihomogenkan dengan shaker mekanis selama 15 menit, kemudian diukur dengan
menggunakan pH meter digital menggunakan larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0.
3.5.7.2.2. Penentuan Kadar Air
Penentuan kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan air dalam
sampel. Cawan porselen dicuci menggunakan akuades lalu dikeringkan dalam
oven pada suhu 105°C selama 1 hari. Cawan tersebut kemudian diletakkan di
desikator selama 30 menit lalu ditimbang (Wo). Sampel seberat ±2 g ditimbang ke
dalam cawan (W1). Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan
suhu 105°C selama 1 hari. Cawan kemudian dimasukkan kembali ke dalam
desikator dan dibiarkan selama 30 menit dan ditimbang sebagai sampel (W2)
(Eviati & Sulaeman, 2009). Perhitungan kadar air dapat dilakukan menggunakan
rumus :
% 𝐤𝐚𝐝𝐚𝐫 𝐚𝐢𝐫 =𝐖𝟏 − 𝐖𝟐
𝐖𝟏 − 𝐖𝟎× 𝟏𝟎𝟎%
Keterangan:
W0 = berat cawan kosong (g)
W1 = berat cawan yang diisi dengan sampel (g)
28
W2 = berat cawan yang sudah dikeringkan (g)
3.5.7.2.3. Penentuan Kadar Bahan Organik
Penentuan bahan organik dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan
organik dalam sampel. Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam
oven bersuhu sekitar 105°C selama 30 menit, kemudian dimasukkan cawan
tersebut ke dalam desikator (30 menit) dan ditimbang sebagai (W0). Cawan yang
berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105°C selama 5-6 jam
kemudian ditimbang sebagai (W1), lalu dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu
550°C hingga mencapai pengabuan sempurna. Cawan dimasukkan ke dalam
desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang sebagai (W2) (Eviati
& Sulaeman, 2009). Perhitungan kandungan abu dapat dihitung menggunakan
rumus:
Kadar Abu (% ) =W2 − W0
W1 − W0× 100%
Keterangan:
W0 = berat cawan kosong (g)
W1 = berat cawan dengan sampel (g)
W2 = berat cawan dengan sampel yang sudah diabukan (g)
Bahan organik dapat dihitung dengan rumus:
Bahan Organik (%) = 100% − %Kadar Abu
3.5.8. Evaluasi Profil DNA Kapang
3.5.8.1. Ekstraksi DNA Kapang
Kultur kapang disiapkan masing-masing dari perlakuan F1A, F2A, F1B,
F2B, kontrol P .chrysosporium (0 Gy) dan P.chrysosporium (X Gy). Sebanyak 1
29
mL kultur kapang dimasukan ke dalam mikrotube ditambah akuades steril
sentrifugasi 10.000 rpm selama 10 menit dengan suhu 4°C . Supernatan dibuang
ditambahkan 800 µL buffer ekstraksi dan 150 µL proteinase K (20 mg/mL), lalu
di homogenkan dengan vorteks selama 5 menit, dan diinkubasi dalam waterbath
pada suhu 60°C selama 30 menit sambil di goyang. Sampel sentrifugasi kembali
10.000 rpm selama 10 menit, supernatan dipindahkan pada mikrotube baru +
larutan PCI phenol: cholororm: isoamylalcohol (25:24:1) dengan volume yang
sama, di homogenkan dengan vorteks dan sentrifugasi kembali. Fase bagian atas
dipindahkan ke mikrotube baru + chloroform-isoamylalcohol (24:1) dengan
volume yang sama, di homogenkan dengan vorteks dan sentrifugasi lagi seperti
cara di atas.
Fase bagian atas dipindahkan, ditambahkan isopropanol dingin dan di
homogenkan dengan vorteks, lalu diinkubasi pada suhu -20°C selama 1-2 jam,
sentrifugasi 13.000 rpm selama 15 menit sampai terbentuk endapan DNA di dasar
tabung. Supernatan didekantasi dan pelet DNA dicuci dengan 800 µL etanol
dingin. Pelet dikeringkan dalam vakum desikator. Pelet DNA kering + 100 µL TE
buffer, selanjutnya setrifugasi akhir pada 13.000 rpm selama 5 menit untuk
menghilangkan kontaminan. DNA divisualisasi dengan elektroforesis gel agarosa
0,8 % dalam bufer Larutan bufer TBE (Tris-Borate-EDTA) dengan pewarna
etidium bromida (0.5 μg/mL–1). Elektroforesis DNA dilakukan pada 100 V selama
45 menit dan DNA diamati dengan UV Transilluminator (Mishra et al., 2014).
3.5.8.2. Analisis Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD PCR)
Hasil ekstraksi DNA diamplifikasi dengan teknik RAPD-PCR
menggunakan primer OPH-16. Analisis RAPD dilakukan dengan menggunakan
30
random primer dari Life Technologies-Invitrogen. Reaksi PCR menggunakan
HotStarTaq™ Master Mix kit (Qiagen, Clifton Hill, Vic.). Volume reaksi yang
digunakan dalam analisis RAPD ini adalah 25 µL yang terdiri dari cetakan DNA
(dengan konsentrasi 10ng), 12.5 μL HotStarTaq™ Master Mix (1× buffer PCR,
1.25 Unit Taq polymerase, 20 mM untuk tiap-tiap dNTP), coral (1.5 mM) dan
primer OPH-16 (5 pmol). Program siklus termal adalah: aktivasi awal pada 95°C
selama 15 menit diikuti dengan 30, 40 atau 45 siklus yang terdiri dari 1 menit
pada 94°C , 1 menit pada 36°C dan 2 menit pada 72°C. Selanjutnya diikuti
dengan 1 siklus pemanjangan final pada 72°C selama 10 menit. Hasil amplifikasi
diamati dengan elektroforesis pada 1% gel agarose dalam buffer TBE dan
diwarnai dengan etidium bromide dan ditandai dengan marker 1 kb ledder
(Sudrajat et al., 2016).
3.6. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dianalisis
secara deskriptif kuantitatif. Data penelitian ini dilakukan ulangan pengujian
sebanyak 2 kali. Data pH, kadar air dan bahan organik dianalisis secara deskriptif
dan ditampilkan dalam bentuk kurva menggunakan program Excel 2013.
Sebelumnya data diuji normalitas.
Hipotesis untuk uji normalitas adalah sebagai berikut :
H0 = Data berdistribusi normal.
H1 = Data tidak berdistribusi normal.
Jika p>0,05, maka H0 diterima, sehingga menunjukkan data berdistribusi
normal. Jika data berdistribusi normal dilakukan Uji Analisis variansi
menggunakan analysis of variance (ANOVA) pada SPSS versi 20.0 dengan batas
kepercayaan sebesar 95% (α = 0,05), apabila terdapat perbedaan dilanjutkan
31
dengan uji Duncan taraf 5%, dilakukan untuk melihat perbedaan kemampuan
kapang tanpa radiasi dengan kapang dosis radiasi gamma yang terpilih terhadap
parameter uji. Parameter yang diujikan pada adalah Total Plate Count (TPC),
aktivitas enzim Lignin Peroksidase (LiP) dan persen biodegradasi fenantrena.
Hipotesis untuk analisis Oneway ANOVAadalah :
H0 = Rata-rata nilai dari parameter yang diuji tidak berbeda.
H1 = Ada perbedaan diantara rata-rata nilai dari parameter yang diuji.
Jika p<0,05, maka H0 ditolak, sehingga menunjukkan adanya perbedaan yang
nyata terhadap nilai parameter uji.
Analisis profil DNA P .chrysosporium dilakukan dengan membuat skor
terhadap pola pita-pita DNA yang dihasilkan. Pembuatan skor dilakukan secara
visual dengan memperhatikan pola pita DNA yang terbentuk dengan
membandingkan dengan ukuran base pare (bp) pada DNA marker. Kemudian
hasil penskoran disusun dengan menggunakan program Multivariate Statistical
Package (MVSP) versi 3.22. Koefisien kesamaan genetik dan jarak genetik
dianalisis dengan analisis dendogram yang digunakan untuk menentukan matrik
jarak genetik berdasarkan metode Unweighed Pair-Group Averages (UPGMA).
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penentuan Konsentrasi Fenantrena Terbaik
Penentuan konsentrasi fenantrena bertujuan untuk mendapatkan satu
konsentrasi terbaik yang akan diujikan pada penentuan dosis radiasi gamma
dengan melihat produksi enzim Lignin Peroksidase. Pengukuran Penentuan
aktivitas LiP oleh P.chrysosporium (wild type) yang diuji dengan variasi
konsentrasi fenantrena 0, 500, 1000, 1500 dan 2000 ppm ditunjukkan pada
Gambar 6.
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi Fenantrena terhadap Aktivitas Lignin
Peroksidase (LiP) P.chrysosporium (wild type)
Berdasarkan Gambar 6 terlihat adanya aktivitas LiP yang menandakan
kapang ini mampu mentoleransi konsentrasi fenantrena dari 500-2000 ppm.
Kenaikan optimum berada pada konsentrasi 1500 ppm dengan aktivitas LiP yang
hampir setara antara 1500 ppm sebesar 691 U/mL dan 2000 ppm sebesar 709
U/mL (Lampiran 1), namun produksi enzim mengalami tingkat kejenuhan dengan
substrat fenantren pada konsentrasi 2000 ppm yang ditunjukan dengan rendahnya
262
450
560
691 709
0
200
400
600
800
0 500 1000 1500 2000
Ak
tivit
as
LiP
, U
/ml
Konsentrasi Fenantren (ppm)
a
b
bc
c c
33
penambahan enzim LiP. Hal ini terjadi dikarenakan enzim sudah mengalami suatu
titik batas maksimal yang pada akhirnya penambahan konsentrasi substrat hanya
akan sedikit meningkatkan enzim (Lehninger, 1990).
Menurut Jacques et al. (2008) telah menemukan bahwa konsorsium
mikroorganisme memainkan peran aktif dalam biodegradasi fenantrena pada
konsentrasi tinggi 1000 ppm dengan biodegradasi 83%, dibandingkan konsentrasi
fenantrena 250-500 ppm dengan biodegradasi sebesar 58%. Hal tersebut dapat
dikaitkan dengan aktivitas LiP yang merupakan faktor utama dari keberhasilan
biodegradasi fenantrena (Wang et al., 2009). Hasil penelitian ini juga menunjukan
bahwa aktivitas LiP rendah dengan konsentrasi fenantrena 500 ppm sebesar 450
U/mL dibandingkan konsentrasi tinggi 1500 ppm dan 2000 ppm. Hal ini juga
sesuai dengan pengujian Lee et al. (2014) pada P.chrysosporium dengan
konsentrasi fenantrena sejumlah 25 ppm hanya memproduksi LiP sebesar 23.3
U/mL.
Konsentrasi fenantrena sebesar 1500 ppm dan 2000 ppm, berdasarkan
pada hasil uji statistik Duncan menunjukkan beda nyata (P<0,05) dibandingkan
konsentrasi lainnya (Lampiran 7). Konsentrasi fenantrena sebesar 1500 ppm
dipilih didasarkan pada kenaikan aktivitas LiP dan ketika diberikan konsentrasi
2000 ppm tidak mengalami peningkatan yang signifikan dan cenderung konstan
menandakan produksi enzim sudah mencapai batas maksimal. Selain itu juga
mempertimbangkan efek dari konsentrasi tinggi yang menyebabkan
penghambatan pertumbuhan kapang dan produksi enzim ligninolitiknya
(Hadibarata & Kristanti, 2014; Zheng & Obbard, 2002).
34
4.2. Analisis Penentuan Dosis Radiasi Gamma Terbaik
4.2.1. Aktivitas LiP Spesifik
Kemampuan P.chrysosporium dalam mensintesis enzim Lignin
Peroksidase (LiP) sangat tinggi yang bergantung pada jenis lignin (Irawati, 2006).
Oleh sebab itu analisis ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan kapang yang
diradiasi sinar gamma terhadap aktivitas LiP spesifik dengan 2 jenis senyawa
model yang mirip lignin alami yaitu lignin alkali dan fenantrena dengan
konsentrasi yang diberikan masing-masing 1500 ppm. Penggunaan lignin alkali
dikarenakan metode yang digunakan adalah aktivitas LiP spesifik, untuk
membuktikan bahwa enzim Lignin Peroksidase yang terbentuk maka diperlukan
substrat berupa lignin alkali sebagai inducer utama untuk memastikan bahwa
enzim LiP tersebutlah yang terbentuk bukan enzim lain. Metode aktivitas spesifik
LiP adalah aktivitas LiP per mg protein. Parameter ini lebih akurat karena
menunjukkan perbandingan LiP dengan keseluruhan protein ekstraselular yang
dihasilkan (Susanti et al., 2016). Hasil aktivitas LiP spesifik di 3 jenis medium
mengalami fluktuasi pada dosis radiasi gamma yang ditunjukan pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengaruh Dosis Radiasi Gamma Terhadap Aktivitas LiP Spesifik
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
PC0 PC500 PC1000 PC1500 PC2000
Ak
tiv
ita
s L
iP s
pes
ifik
, U
/mg
Dosis Radiasi Gamma (Gy)
PDB
PDB + lignin alkali
PDB + Fenantren
a
aa
a
b
a
a
c
bcb
d
a
b cd
d
35
Berdasarkan Gambar 7 P.chrysosporium dosis 1500 Gy menunjukan
aktivitas LiP spesifik tertinggi pada medium lignin alkali yaitu sebesar 1.146
U/mg dibandingkan P.chrysosporium 0 Gy yaitu sebesar 283 U/mg. Peningkatan
aktivitas LiP spesifik juga terjadi pada P.chrysosporium dosis 1500 Gy dalam
medium fenantrena yaitu sebesar 773 U/mg dan terendah pada P.chrysosporium 0
Gy yaitu sebesar 646 U/mg (Lampiran 2). Hasil uji statistik Duncan menunjukkan
beda nyata (P<0,05) pada dosis 1500 Gy dengan dosis lainnya (Lampiran 6). Hal
ini terbukti bahwa P.chrysosporium dosis 1500 Gy memiliki kemampuan terbaik
di kedua medium uji.
Peningkatan aktivitas LiP spesifik oleh P.chrysosporium dosis 1500 Gy
dalam medium lignin alkali dan fenantrena dibandingkan medium PDB
disebabkan karena keduanya merupakan inducer yang sama-sama mengandung
banyak sumber karbon, sehingga kapang mensekresi enzim LiP lebih banyak
untuk memenuhi sumber energi bagi pertumbuhannya (Teerapatsakul et al.,
2016). Lebih besarnya aktivitas LiP spesifik pada lignin alkali dibadingkan
fenantrena karena lignin alkali memiliki struktur yang lebih sederhana sehingga
kapang dapat cepat mensekresikan enzim LiP dan mendegradasi karbon dalam
medium (Yang et al., 2011). Selain itu lignin alkali lebih mudah larut dalam
medium sehingga mempermudah miselium kapang P.chrysosporium mencapai
lignin untuk segera mendegradasi lignin yang meyebabkan aktivitas enzim LiP
spesifik meningkat (Giligan, 1974), sedangkan struktur fenantrena lebih kompleks
dan bersifat hidrofobik dengan nilai kelarutan dalam air yang rendah sehingga
sekresi enzim LiP lebih sulit (Haritash & Kaushik, 2009).
36
Peningkatan aktivitas LiP spesifik di dalam medium lignin alkali dan
fenantrena, konsisten dengan penelitian sebelumnya bahwa lignin peroxidase
(LiP), diaktifkan pada saat metabolisme sekunder, diatur oleh ketersediaan nutrisi
dan aktivitas LiP ditingkatkan oleh adanya lignin, senyawa terkait lignin atau
senyawa aromatik dengan berat molekul rendah seperti fenantrena (Ferrara et al.,
2002).
Keunggulan P.chrysosporium dosis 1500 Gy dibandingkan
P.chrysosporium 0 Gy dikarenakan efek pengion dari radiasi gamma membentuk
radikal berupa hidrogen peroksida H2O2 lebih banyak di dalam sel sebagai
mediator pembentukan enzim LiP (Sreedhar et al., 2013), sedangkan rendahnya
aktivitas LiP spesifik pada P.chrysosporium 0 Gy yang tidak diradiasi
dikarenakan rendahnya H2O2 yang dihasilkan dalam sel kapang itu sendiri
(Fadilah et al., 2008). Hal ini terbukti dari penelitian sebelumnya oleh Susanti et
al., (2016), menghasilkan aktivitas spesifik LiP spesifik dari isolat
P.chrysosporium ITB yaitu sebesar 13,1 U/mg, sedangkan hasil dalam penelitian
ini aktivitas spesifik LiP spesifik jauh lebih besar dengan menggunakan
P.chrysosporium dosis 1500 Gy. Hasil ini membuktikan teori oleh El-Batal et al.
(2013) bahwa P.chrysosporium dosis 1500 Gy hasil radiasi gamma memenuhi
syarat sebagai mikoorganisme mutan radiasi yang memiliki kemampuan
hyperproductive enzim.
4.2.2. Hasil Aktivitas LiP dan Viabilitas Dalam Substrat Batang Sorgum
Penentuan dosis radiasi gamma terbaik bertujuan untuk mendapatkan
P.chrysosporium dengan kemampuan aktivitas LiP dan viabilitas yang tinggi dari
variasi dosis 500-2000 Gy dengan penambahan 1500 ppm fenantrena. Hasil
37
aktivitas LiP dan viabilitas mengalami kenaikan seiring dengan besarnya dosis
radiasi gamma yang ditunjukan pada Gambar 8.
Gambar 8. Pengaruh Radiasi Gamma Terhadap Aktivitas LiP dan Viabilitas
Berdasarkan Gambar 8 aktivitas LiP dan viabilitas mengalami pola grafik
yang sama dengan kenaikan aktivitas LiP diikuti juga kenaikan viabilitas pada
P.chrysosporium dosis 1500 Gy dengan aktivitas LiP tertinggi sebesar 9.480 U/g
dan viabilitas tertinggi sebesar 9.80 Log 10 CFU/g atau 6.86x109 CFU/g,
sedangkan aktivitas LiP terendah pada P.chrysosporium 0 Gy sebesar 2.132 U/g
dan viabilitas sebesar 8.79 Log 10 CFU/g atau 6.9x108 (Lampiran 2). Hasil uji
statistik tidak memberikan pengaruh nyata (P˃0,05) pada dosis 1500 Gy dengan
dosis lainnya (Lampiran 6).
Semakin tinggi aktivitas enzim LiP maka viabilitas kapang 1500 Gy akan
meningkat juga, hal ini dikarenakan banyaknya kapang yang tumbuh
memungkinkan banyaknya enzim LiP yang disekresikan pada ujung hifa. Ketika
terpapar radiasi gamma, efek pengion menyerang ujung sel-sel hifa, sehingga inti
sel melakukan pembelahan yang terus-menerus guna menyediakan inti bagi tiap
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
8.00
8.20
8.40
8.60
8.80
9.00
9.20
9.40
9.60
9.80
10.00
Pc 0 Gy Pc 500 Gy Pc 1000 Gy Pc 1500 Gy Pc 2000 Gy
Akt
ivit
as L
iP U
/g
Via
bili
tas
CFU
/g
TPC, Log 10 cfu/g Aktivitas LiPs U/g
38
kompartemen untuk membentuk sel baru (Alexopoulus et al.,1996). Sel-sel
tersebut terdiri atas vesikel yang berfungsi mensekresikan enzim dan polimer
untuk pertumbuhan ujung-ujung hifa. Pada sel-sel tersebut, radiasi dapat
menyebabkan efek yang optimum karena tingginya radiosensitivitas dari sel yang
aktif bermetabolisme dan belum terdiferensiasi (Prassad, 1999).
Pada viabilitas kapang naik dari dosis terkecil 500 Gy-1000 Gy dan
optimum pada 1500 Gy, setelah itu viabilitas turun di dosis tinggi 2000 Gy.
Penurunan viabilitas pada dosis 2000 Gy disebabkan karena radikal H202 di dalam
sel tidak dapat dapat ditolelir sehingga menyebabkan kematian sel dan efek
penghambatan bagi pertumbuhan (Sreedhar et al., 2013). Menurut Robertson et
al. (2012) pertumbuhan kapang berkaitan dengan dosis radiasi gamma yaitu dosis
gamma yang lebih tinggi menyebabkan penurunan pertumbuhan kapang,
sedangkan dosis rendah gamma bertindak sebagai agen stimulasi untuk
pertumbuhan kapang.
Peningkatan aktivitas LiP dalam penelitian karena penambahan substrat
batang sorgum. Ketika hifa melekat pada dinding sel substrat lignoselulosa, hifa
kapang akan merespon adanya nutrisi dari substrat dengan menstimulasi kapang
mensekresikan enzim ligninase (Zeng et al., 2014). Menurut penelitian
sebelumnya pertumbuhan dan produksi enzim LiP oleh P.chrysosporium ITB
dalam serbuk gergaji lebih besar karena banyak mengandung sumber karbon
(Susanti et al., 2016).
Penelitian oleh Wang et al. (2009) P.chrysosporium (Wild type) memiliki
aktivitas enzim LiP rendah 1,78 U/g dengan konsentrasi 10 ppm fenantrena. Hasil
ini membuktikan bahwa P.chrysosporium 1500 Gy memiliki kemampuan yang
39
tinggi dalam memproduksi LiP di dalam konsentrasi fenantrena yang lebih besar
yaitu 1500 ppm. Menurut Bennet et al. (2002) banyaknya enzim ekstraseluler
memungkinkan kapang untuk mentolerir konsentrasi bahan kimia beracun yang
lebih tinggi sehingga kapang mampu tumbuh.
Penelitian oleh Retno et al. (2016) yang menunjukkan bahwa
P.chrysosporium dosis 600 Gy aktivitas enzim LiP hanya sebesar 30 U/mL. Hasil
ini membuktikan bahwa semakin besar dosis radiasi yang diberikan semakin besar
aktivitas LiP yang tergantung pada batas maksimum kapang mentolerir pengion
seperti dalam penelitian ini dosis radiasi gamma optimum pada kapang 1500 Gy
dan batas toleransi kapang terhadap radiasi gamma terlihat dari penurunan
aktivitas LiP dan viabilitas pada 2000 Gy.
Peningkatan aktivitas enzim LiP pada dosis 1500 Gy dikarenakan
ketahanan kapang terhadap konsentrasi radikal yang tinggi. Hal ini disebabkan
ketika kapang diradiasi sinar gamma atom Co-60 melepaskan foton yang bereaksi
dengan molekul air, sehingga terjadi proses ionisasi mengubah H2O di dalam sel
menghasilkan radikal superoksida (O-2), dan radikal hidroksida (OH-) membentuk
hidrogen peroksida (H2O2) yang merusak DNA dan bersifat mutagenik. Jika di
dalam sel radikal bebas terbentuk dalam jumlah yang mampu ditolelir oleh kapang
maka akan menyebabkan terjadinya gangguan homoestatis sel dan stimulasi untuk
mempertahankan hidup. Efek dari radikal tersebut membuat sel kehilangan
molekul air dan segera memproduksi reactive oxygen species (ROS) sebagai
respon terhadap stress oksidatif, sehingga sel menghasilkan enzim yang lebih
banyak untuk mempertahankan diri melawan efek oksigen reaktif tersebut
(Sreedhar et al., 2013). Hal ini mengindikasikan bahwa sinar gamma
40
menyebabkan mutasi pada alel pengatur produksi enzim sehingga terjadi
perubahan pada produksi enzim tersebut di mana pada kapang yang diradiasi lebih
banyak produksinya dibandingkan kapang yang tidak diradiasi (Djajanegara et al.,
2007).
4.2.3. Biodegradasi Fenantrena
Analisis persen biodegradasi fenantrena dengan variasi dosis 500-2000 Gy
bertujuan sebagai faktor utama penentuan dosis radiasi gamma terbaik pada
P.chrysosporium. Selama biodegradasi fenantrena dilakukan dalam substrat
batang sorgum yang mengandung fenantrena 1500 ppm selama 7 hari inkubasi.
Hasil biodegradasi fenantrena berkaitan antara aktivitas LiP dan viabilitas dengan
peningkatan biodegradasi pada kapang radiasi gamma, hasil ditunjukkan pada
Gambar 9.
Gambar 9. Pengaruh Radiasi Gamma Terhadap Biodegradasi Fenantrena
Berdasarkan Gambar 9 biodegradasi fenantrena menggunakan kapang
yang diradiasi gamma memiliki hasil yang relatif sama dari dosis 500-2000 Gy
dengan biodegradasi berkisar antara 50%-59%. Biodegradasi tertinggi yaitu pada
P.chrysosporium dosis 1500 Gy sebesar 59.4 % dan biodegradasi terendah 16.2 %
16.2
52.157.0 59.4 56.5
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
PC0 PC500 PC1000 PC1500 PC2000
% B
iod
egra
da
si F
ena
ntr
en
Dosis Gamma Radiasi (Gy)
a
bb b b
41
pada P.chrysosporium tanpa radiasi gamma (Lampiran 2). Hasil uji statistik
Duncan menunjukkan beda nyata (P<0,05) pada dosis radiasi dari 500-2000 Gy
dengan kapang tanpa radiasi 0 Gy (Lampiran 7). Hal ini membuktikan bahwa
untuk biodegradasi fenantrena lebih efektif menggunakan kapang yang diradiasi
dibandingkan tanpa radiasi.
Peningaktan biodegradasi fenantrena berkaitan dengan peningkatan
aktivitas enzim LiP oleh P.chrysosporium dosis 1500 Gy yang ditunjukan pada
Gambar 6. Menurut Wang et al. (2009) aktivitas LiP meningkat saat fenanten
mulai terdegradasi. Hal ini dikarenakan enzim LiP mampu mengoksidasi
fenantrena karena memiliki potensi redoks yang tinggi (Erden et al., 2009). Enzim
LiP mengoksidasi senyawa aromatik fenolik dengan memindahkan elektron ke
senyawa aromatik, menghasilkan phenoxy radikal dan kation radikal yang
bereaksi secara spontan dengan molekul air dan molekul oksigen memecah ikatan
C-C dan C-O, sehingga mendepolimerasi senyawa polimer dan membuka cincin
aromatik memecahnya menjadi komponen yang tidak berbahaya (Hamid &
Rehman, 2009). Keberhasilan biodegradasi oleh P.chrysosporium melibatkan
enzim LiP yang dilaporkan oleh Ning et al. (2010) bahwa enzim LiP
menyumbang satu elektron yang dapat mengoksidasi cincin aromatik fenantrena
menjadi 9,10-phenanthrenequinone dan 2.2'-diphenic acid, selanjutnya
termineralisasi menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu karbondioksida (CO2)
(Ning et al., 2010).
Selain itu peningkatan terjadi karena kemampuan kapang dalam
mendegradasi fenantrena yang memilik berat molekul rendah dan lebih mudah
terserap, sehingga lebih mudah digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber
42
karbon dan energi yang cenderung meningkatkan produksi enzim (Wang et al.,
2009).
Rendahnya biodegradasi fenantrena P.chrysosporium tanpa radiasi
dibandingkan P.chrysosporium 1500 Gy dikaitkan dengan faktor waktu inkubasi.
Fenantrena tidak segera terurai karena periode lag kurang lebih 7 hari dibutuhkan
untuk mendegradasi fenantrena (Mechlinska, et al., 2009). Hal ini sama dengan
penenlitian Ding et al. (2013) biodegradasi fenantrena oleh P.chrysosporium (wild
type) dengan waktu inkubasi 3-40 hanya menghasilkan persen biodegradasi dari
20,40%-60,62% dalam fenantrena 10 ppm, sedangkan P.chrysosporium 1500 Gy
tidak membutuhkan waktu yang lama cukup 7 hari inkubasi sudah dapat
menghasilkan persen biodegradasi lebih dari 50% dengan konsentrasi yang jauh
lebih besar yaitu 1500 ppm. Dengan demikian pemilihan variasi kapang dosis
radiasi sinar gamma terbaik yang akan digunakan dalam medium tanah adalah
P.chrysosporium 1500 Gy berdasarkan tingginya persen biodegradasi, aktivitas
LiP dan viabilitas kapang.
4.3. Hasil Kemampuan Kapang Dosis Terpilih Dalam Medium Tanah
4.3.1. Viabilitas
Kemampuan viabilitas kapang terpilih dalam medium tanah selama proses
fermentasi dari 0-12 hari mengalami fluktuatif pada semua perlakuan. Adapun
hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan hasil viabilitas didapati P.chrysosporium dosis 1500 Gy
(F1B) dan (F2B) mengalami peningkatan viabilitas yang sama pada hari ke 3.
P.chrysosporium dosis 1500 Gy (F1B) pola pertumbuhan terus naik dan stabil dari
hari ke 3 sebesar 5.52 Log 10 CFU/g atau 3.78x105 hingga hari ke 12 dengan nilai
43
pertumbuhan tertinggi sebesar 4.42x106. Viabilitas tertinggi pada perlakuan
P.chrysosporium dosis 1500 Gy (F2B) pada hari ke 3 sebesar 5.39 Log 10 CFU/g
atau 2.87x105 namun terus menurun hingga hari ke 12, sedangkan viabilitas
terendah pada P.chrysosporium 0 Gy (F2A) pada hari ke 9 sebesar 1.75x102
(Lampiran 3).
Gambar 10. Viabilitas Kapang Terpilih dalam Medium Tanah
Keterangan:
F1A = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 0 Gy inkubasi 7 hari)
F2A = (Tanah+Substrat)+ P.chrysosporium 0 Gy
F1B = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 1500 Gy inkubasi 7 hari)
F2B = (Tanah+Substrat) + P.chrysosporium 1500 Gy
Kenaikan viabilitas kapang dosis 1500 Gy pada hari ke 3-12 untuk
perlakuan F1B dibandingkan F2B karena kapang yang ditumbuhkan terlebih dulu
dalam substrat batang sorgum sudah megalami fase eksponensial sehingga sel
kapang sudah lebih dulu mengalami peningkatan. Menurut Rulianah et al. (2017)
P.chrysosporium mencapai fase log atau fase eksponensial pada hari ke 3-5 yang
sesuai dengan penelitian ini yaitu masa inkubasi selama 7 hari sudah memberikan
waktu yang cukup bagi kapang untuk meningkatkan populasi selnya. Peningkatan
pertumbuhan ini juga karena kapang dari hari ke 0-7 hari mulai merombakan
kandungan lignoseluosa batang sorgum berupa karbohidrat dan gula yang akan
meningkatkan ketersediaan nutrien sehingga mendukung kapang untuk
memperbanyak diri melalui perpanjangan miselium kapang (Serna & Saldivar et
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
0 3 6 9 12Via
bili
tas
TPC
Lo
g 1
0
CFU
/g
F1A F2A
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
0 3 6 9 12Via
bili
tas
TPC
Lo
g 1
0
CFU
/g
F1B F2B
44
al., 2010). Penambahan substrat lignoselulosa banyak memberikan keuntungan
yaitu menjaga kondisi populasi mikroorganisme dalam keadaan optimal sebelum
diaplikasikan ke dalam tanah (Sudrajat et al., 2014).
Berdasarkan analisis statistik Anova tidak menunjukkan adanya pengaruh
yang nyata (P˃0,05) pada viabilitas kapang dosis 1500 Gy (F1A dan F2B)
(Lampiran 7). Meski begitu waktu terbaik viabilitas kapang terdapat pada hari ke
3 dengan keadaan pertumbuhan P.chrysosporium 1500 Gy keduanya sama,
walaupun F1A viabilitasnya mendekati seimbang tetapi tetap mengalami sedikit
kenaikan dan F2B mengalami sedikit penurunaan, namun hal itu tidak
berpengaruh banyak seiring tetap tersedianya nutrisi. Hasil ini relevan dengan
penelitian Rulianah et al. (2017) bahwa P.chrysosporium mencapai fase stationer
pada hari ke 6-20 dengan mengalami sedikit kenaikan.
4.3.2. Aktivitas LiP
Kemampuan aktivitas LiP kapang terpilih dalam medium tanah selama
proses fermentasi dari 0-12 hari mengalami fluktuatif pada semua perlakuan.
Adapun hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 11.
Berdasarkan Gambar 11 aktivitas LiP tertinggi pada hari ke 3 oleh
P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) tanpa inkubasi di dalam substrat batang sorgum
yaitu sebesar 3.925 U/g. Aktivitas LiP terendah pada hari ke 6 oleh
P.chrysosporium 0 Gy (F1B) yaitu sebesar 631 U/g (Lampiran 3). Berdasarkan
analisis statistik Anova tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P˃0,05)
pada waktu inkubasi dengan aktivitas LiP di semua perlakuan kapang dalam
medium tanah (Lampiran 7).
45
Gambar 11. Aktivitas Kapang Terpilih dalam Medium Tanah
Keterangan:
F1A = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 0 Gy inkubasi 7 hari)
F2A = (Tanah+Substrat)+ P.chrysosporium 0 Gy
F1B = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 1500 Gy inkubasi 7 hari)
F2B = (Tanah+Substrat) + P.chrysosporium 1500 Gy
Peningkatan aktivitas LiP pada hari ke 3 dan kemudian turun hingga hari
ke 12 pada P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) memiliki pola yang sama dengan
viabilitasnya (Gambar 9). Menurut Wang et al. (2009) aktivitas LiP meningkat
saat fenantrena terdegradasi, dan menurun saat degradasi melambat. Hal ini
menunjukkan bahwa pada hari ke 3 terjadinya peningkatan aktivitas LiP karena
kapang mulai mendegradasi nutrisi dalam substrat dan fenantrena sebagai sumber
karbon sehingga kapang meningkatkan sekresi enzim LiP agar dapat mencapai
pertumbuhan yang maksimal. Setelah fraksi fenantrena selesai terdegradasi, enzim
habis yang terlihat dari penurunan aktivitas LiP yang diikuti dengan penurunan
pertumbuhan (Wang et al., 2009). Cerniglia & Sutherland (2010) aktivitas LiP
dapat secara aktif berkontribusi terhadap adaptasi dan pertumbuhan kapang
terhadap fenantrena.
Rendahnya aktivitas LiP P.chrysosporium 1500 Gy (F1B) di tanah
dikarenakan saat kapang diinkubasi terlebih dahulu dalam substrat batang sorgum,
enzim LiP sudah dipakai untuk merombak nutrisi dalam subtrat yang terlihat dari
0
2000
4000
6000
3 6 9 12
Akt
ivit
as L
iP U
/g
F1A F2A
0
2000
4000
6000
3 6 9 12
Akt
ivit
as L
iP (
U/g
)
F1B F2B
46
viabilitas yang meningkat dibandingkan P.chrysosporium 1500 Gy (F2B)
(Gambar 11), sehingga saat ditambahkan ditanah nutrisi dalam substrat sudah
habis menyebabkan kapang hanya mendapatkan sumber karbon tunggal dari
fenantrena yang menyebabkan terjadinya pengurangan aktivitas LiP (Wang et al.,
2014), namun pilihan penambahan inokulan dalam substrat dari bahan
lignoselulosa sebelum diaplikasikan ke dalam tanah merupakan kelemahan karena
membatasi kemampuan kapang untuk tumbuh secara sempurna pada lingkungan
yang berbeda seperti tanah (Capotorti, 2004; Meysami & Baheri, 2003).
Penelitian sebelumnya oleh Wang et al. (2009) bahwa P.chrysosporium
(wild type) di tanah dengan fenanten 200 ppm memiliki aktivitas LiP tertinggi
setelah 11 hari yaitu sebesar 0,16 U/g dengan durasi inkubasi 0-20 hari. Menurut
Mechlinska et al. (2009) fenantrena memiliki periode lag kurang lebih 7 hari
dibutuhkan untuk mendegradasi fenantrena, namun P.chrysosporium 1500 Gy
(F2B) memiliki keunggulan mampu mensekresikan enzim LiP lebih capat untuk
mendegradasi fenantrena pada hari ke 3 dibandingkan P.chrysosporium (wild
type). Dengan demikian waktu terbaik didapati pada hari ke 3 oleh
P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) berdasarkan tingginya aktivitas LiP dan
viabilitasnya.
Pemilihan P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) dikarenakan saat kapang
dimasukan secara bersamaan dengan substrat batang sorgum nutrisi sebagai
inducer aktivitas enzim tetap tersedia, sedangkan dengan menginkubasi kapang
dalam substrat batang sorgum sebelum ditambahkan ke tanah sudah banyak
kehilangan nutrisi untuk pertumbuhan kapang diawal, sehingga setelah
diaplikasikan ke dalam tanah nutrisi yang tersedia terbatas dan membuat produksi
47
enzim menurun. Hal ini didukung karena proses pembenahan tanah yang
terkontaminasi, kapang ditambahkan ke tanah bersama dengan substrat
lignoselulosa dapat meningkatkan kemampuan kapang dalam sistem tanah atau
untuk meningkatkan mineralisasi hidrokarbon (Davis et al., 1993; Rosenbrock et
al., 1997).
4.3.3. Hasil Analisis pH Medium Tanah
Hasil analisis pH medium tanah menunjukkan terjadinya perubahan pH
selama proses biodegradasi dengan waktu inkubasi 0, 3, 6, 9, da 12 hari.
Gambar 12. Perubahan pH Medium
Keterangan:
F1A = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 0 Gy inkubasi 7 hari)
F2A = (Tanah+Substrat)+ P.chrysosporium 0 Gy
F1B = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 1500 Gy inkubasi 7 hari)
F2B = (Tanah+Substrat) + P.chrysosporium 1500 Gy
Berdasarkan Gambar 12 nilai pH medium tanah berkisar antara 6,42-7,00,
hal ini menandakan semua perlakuan mengalami proses degradasi. Menurut
Bishnoi et al. (2008) nilai pH tanah pada P.chrysosporium dalam mendegradasi
fenantrena berkisar 5-7. Nilai pH tertinggi yaitu oleh P.chrysosporium 1500 Gy
(F1B) pada hari ke 9 sebesar 7.00 yang menandakan proses biodegradasi menurun
yang ditandai dari pH netral dan nilai pH terendah yaitu oleh P.chrysosporium
1500 Gy (F2B) pada hari ke 9 sebesar 6.1 (Lampiran 3). Menurut Pawar, (2015)
5.50
6.00
6.50
7.00
0 3 6 9 12
pH
Me
diu
m
F1A F2A
5.50
6.00
6.50
7.00
7.50
0 3 6 9 12
pH
Me
diu
m
F1B F2B
48
pH 5-6,5 pada kapang memiliki tingkat aktivitas LiP yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pH tanah yang netral.
Keadaan asam di dalam medium tanah pada P.chrysosporium 1500 Gy
(F2B) ditimbulkan dari aktivitas enzim hasil biodegradasi membentuk metabolit
asam. Selain itu kondisi pH asam menjadikan sel lebih permeabel terhadap
fenantrena. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pH asam meningkatkan laju
degradasi fenantrena dan menginduksi enzim ekstraseluler (Pawar, 2015). Dengan
demikian pH asam pada P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) menandakan pH terbaik
untuk biodegradasi fenantrena menandakan aktivitas LiP lebih besar pada pH
asam. Hal ini sesuai dengan aktivitas LiP yang jauh lebih tinggi pada perlakuan
P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) yang ditunjukan pada Gambar (11).
4.3.2. Hasil Analisis Kadar Air Medium Tanah
Hasil analisis kadar air dalam medium tanah yang terpapar fenantrena
1500 ppm mengalami fluktuasi selama waktu inkubasi (Gambar 9).
Gambar 13. Perubahan Kadar Air Medium Tanah
Keterangan:
F1A = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 0 Gy inkubasi 7 hari)
F2A = (Tanah+Substrat)+ P.chrysosporium 0 Gy
F1B = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 1500 Gy inkubasi 7 hari)
F2B = (Tanah+Substrat) + P.chrysosporium 1500 Gy
0
10
20
30
0 3 6 9 12
Kad
ar A
ir %
F1A F2A
0
10
20
30
0 3 6 9 12
Kad
ar A
ir %
F1B F2B
49
Kadar air awal semua perlakuan pada hari ke 0 berkisar antar 7-11%.
Namun setelah inkubasi hari ke 3-12 semua perlakuan memiliki kadar air yang
fluktuatif (Gambar 13). Kadar air tertinggi pada sampel P.chrysosporium 1500 Gy
yang ditumbuhkan terlebih dahulu dalam substrat (F1B) pada hari ke-3 sebesar
24% dan kadar air terus menurun hingga hari ke 12. Sebaliknya pada
P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) perlakuan tanpa inkubasi di dalam substrat
mengalami peningkatan kadar air dari hari ke 3-12 yaitu berkisar 7-18%
(Lampiran 3).
Peningkatan kadar air pada P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) pada hari ke
3-12 menandakan bahwa semakin lama waktu inkubasi, memberikan kesempatan
kapang untuk menguraikan nutrisi menjadi H20 sehingga kadar air semakin
meningkat. Hal ini terjadi karena penambahan substrat batang sorgum yang
mengandung karbohidrat dan gula (Serna & Saldivar et al., 2010). Karbohidrat
diuraikan oleh kapang menjadi gula-gula sederhana yang kemudian diubah
menjadi energi dengan hasil sampingan berupa metabolit, alkohol, asam,
karbondioksida (CO2) dan air (H2O) sehingga akan meningkatkan kadar air
(Rahmadi, 2003). Selain itu peningkatan kadar air menandakan telah terjadi
proses biodegradasi fenantrena oleh kapang untuk menguraikan senyawa yang
lebih sederhana menjadi (CO2) karbondioksida dan (H2O) (Haritash & Kaushik,
2009).
Menurut Cho et al. (2000) tingkat biodegradasi PAH berlangsung bila
kadar air 25-40%, sedangkan pada 10-25% biodegradasi cenderung menurun.
Berdasarkan hasil kadar air P.chrysosporium 1500 Gy (F2B) berkisar 7-18%
menandakan proses biodegradasi fenantrena rendah. Menurut Zhang et al. (2006)
50
kadar air 24-18%, organisme mengalami kekeringan dan kematian sel. Masih
berlangsungnya proses biodegradasi karena ketahanan kapang tumbuh dan
menguraikan nutrisi. Hal ini disebabkan keunggulan P.chrysosporium yang
memiliki ketahanan terhadap kadar air rendah (Singh, 2006 ; Norton, 2012).
4.3.3. Hasil Analisis Bahan Organik Medium Tanah
Hasil analisis bahan organik dalam medium tanah yang terpapar
fenantrena 1500 ppm mengalami fluktuasi selama waktu inkubasi (Gambar 14).
Gambar 14. Perubahan Bahan Organik Medium Tanah
Keterangan:
F1A = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 0 Gy inkubasi 7 hari)
F2A = (Tanah+Substrat)+ P.chrysosporium 0 Gy
F1B = Tanah+(Substrat+P.chrysosporium 1500 Gy inkubasi 7 hari)
F2B = (Tanah+Substrat) + P.chrysosporium 1500 Gy
Peningkatan bahan organik tertinggi pada perlakuan P.chrysosporium
1500 Gy (F1B) hari ke 3 yaitu sebesar 29% dan setelah itu cenderung konstan
mengalami penurunan dari hari ke 6-12 sebesar 19%, sedangkan P.chrysosporium
1500 Gy (F2B) kenaikan terjadi pada hari ke 6 sebesar 28% dan menurun hingga
hari ke 12 yaitu sebesar 16% (Lampiran 3) . Hal ini menandakan telah terjadi
proses biodegradasi fenantrena dengan meningkatnya kadar organik (Yang et al.,
2011).
0
10
20
30
0 3 6 9 12
Bah
an O
rgan
ik (
%)
F1A F2A
0
10
20
30
40
0 3 6 9 12
Bah
an O
rgan
ik (
%)
F1B F2B
51
Peningkatan bahan organik terjadi karena mikroorganisme mulai aktif
bekerja mengurai bahan organik yang kompleks menjadi zat-zat makanan seperti
karbon. Penurunan terjadi karena, karbon dalam tanah telah diangkut ke membran
sel, lalu diserap dan dimanfaatkan oleh kapang sebagai sumber energi. Penurunan
bahan organik juga dikaitkan dengan pertumbuhan kapang yang relatif meningkat
sebelumnya (Johnsen et al., 2005). Menurut Kasmiran (2011), penurunan kadar
organik berhubungan dengan lama waktu inkubasi dan peningkatan pertumbuhan
kapang. Semakin lama waktu inkubasi memberikan keuntungan kapang untuk
tumbuh merata, sehingga kapang aktif menggunakan bahan organik berupa
karbohidrat dan protein untuk pertumbuhan.
4.4. Analisis RAPD-PCR DNA P. chrysosoporium Dosis Radiasi Gamma yang
Terpapar Fenantrena.
Analisis profil DNA dengan menggunakan RAPD-PCR bertujuan untuk
mempelajari perubahan urutan nukleutida dengan mendeteksi polimorfik pada
fragmen DNA yang dapat membedakan spesies wild type, strain mutan dan strain
yang diuji (Awan et al., 2011). Perubahan yang terjadi pada DNA dapat terlihat
dari pola pita dan ukuran pita DNA yang terbentuk pada gel elektroforesis yang
ditunjukkan pada (Gambar 15).
Analisis RAPD-PCR menggunakan random primers of Operon (OPH) atau
OPH-16 dengan urutan sequence yaitu 5’ TCTCAGCTGG 3’. Primer OPH-16
sering digunakan untuk menilai jumlah variasi intraspesifik yang menghasilkan
produk amplifikasi monomorfik dan polimorfik (Ruth et al., 1998). Hasil profil
pita dengan sejumlah fragmen DNA ditunjukkan pada (Tabel 3).
52
Gambar 15. Profil DNA P.chrysosporium
Keterangan: Hasil Amplifikasi dengan PCR menggunakan primer OPH-16.
Lajur 1. kontrol (0 Gy ), Lajur 2. F1A (0 Gy), Lajur 3. F2A (0 Gy),
Lajur 4. kontrol (1500 Gy), Lajur 5. F1B (1500 Gy), Lajur 6. F2B
(1500 Gy), M (Marker,1 Kb DNA ladder). Keterangan perlakuan:
F1A= Tanah + (Substrat + P.chrysosporium 0 Gy inkubasi 7 hari),
F2A = (Tanah + Substrat) + P.chrysosporium 0 Gy, F1B= Tanah +
(Substrat + P.chrysosporium 1500 Gy inkubasi 7 hari), F2B =
(Tanah + Substrat) + P.chrysosporium 1500 Gy.
Tabel 3. Visualisasi Urutan DNA dari Hasil Elektroforesis
Ukuran pasangan
basa (bp)
Dosis Radiasi (Gy)
0
(kontrol)
O Gy
(F1A)
O Gy
(F2A)
1500 Gy
(kontrol)
1500 Gy
(F1B)
1500 Gy
(F2B)
2000
1800
1200
1100
900
500
450
400
300
200
100
---
---
---
---
---
---
---
---
---
---
---
---
*
*
*
---*
---*
---*
---*
*
---*
---
---
*
---
---
---*
---*
---*
---
---*
---
---
*
---
---
---*
---
---*
---
---
*
---
---
---*
---*
---
---*
---
---
Keterangan : (---) pita yang muncul pada gel agarose, (---*) pita polimorfik, (*)
pita yang tidak muncul (delesi)
Bp
1,000
2,000 3,000 4,000 5,000 10,000
M 1 2 3 4 5 6
53
Berdasarkan Tabel 3 terlihat adanya persamaan pola pita DNA antara
kontrol 0 Gy dengan perlakuan F1A (0 Gy) yang dicekam fenantrena 1500 ppm
(lajur 1 dan 2) yaitu pada base ke 1200-2000 bp dan 100-400 bp (Tabel 13).
Menurut El-Zaher et al. (2015), jika pita DNA yang memiliki urutan dan ukuran
DNA yang sama disebut monomorfik menandakan satu spesies kapang yang
sama, sehingga pemberian fenantrena 1500 ppm tidak menyebabkan perubahan
DNA kapang.
Berbeda dengan perlakuan F2A (0 Gy) yang dicekam fenantrena 1500 ppm
mengalami banyak perubuhan yang signifikan dengan tidak munculnya pita pada
ke 400 bp, 1200-2000 bp dan penambahan pola DNA dari 300-900bp (lajur 3), hal
ini dikarenakan pita yang tidak muncul mengalami delesi dan penambahan pita
atau duplikasi DNA menandakan terjadi polimorfik. Polimorfik terjadi diakibat
dari pergeseran pada migrasi band dan pita yang hilang atau perbedaan ukuran
base DNA (El-Zaher et al., 2015), sedangkan pada kapang 1500 Gy (F1B dan
F2B) yang dicekam fenantrena tidak mengalami perubahan yang signifikan
dibandingkan dengan kontrol 1500 Gy, F1B (1500 Gy) terdapat dua pita yang
tidak muncul (delesi) pada 500-900bp dan F2B (1500 Gy) hanya satu pita DNA
yang tidak muncul pada base 900bp.
Kerusakan DNA yang disebabkan oleh fenantrena menyebabkan mutasi,
penyimpangan kromosom dan kehilangan serta mengubah struktur genetik (JHA,
2008). Hilangnya pita DNA pada kapang yang dicekam fenantrena dikarenakan
ketika fenantrena didegradasi menghasilkan diol epoksida dan spesies oksigen
reaktif superoksida yang kemudian diubah menjadi radikal hidroksil. Radikal
hidroksil bereaksi mengikat secara kovalen ke gugus amino eksokiklik guanin dan
54
adenin, membentuk adisi stabil di dalam DNA dan menyebabkan kerusakan DNA
(Lin et al., 2001).
Perbedaan hasil profil DNA antara semua perlakuan dikarenakan telah
terjadi perubahan pada pola pita DNA akibat terpapar fenantrena, namun kapang
tanpa radiasi mengalami kerusakan yang lebih banyak daripada kapang radiasi.
Hal ini dikarenakan perlakuan dengan kapang dosis 1500 Gy lebih mampu
beradaptasi dan memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap fenantrena
dibandingkan kapang 0 Gy. Menurut Castelvecchi, (2007) kapang yang diberikan
radiasi pengion dapat memanen energi yang ada dalam radiasi pengion sehingga
kapang dapat mempertahankan dirinya sendiri dari lingkungan ekstrim.
Pada kontrol 0 Gy pita DNA muncul di 2000 bp, namun kontrol 1500 Gy
DNAnya tidak muncul dan mengalami penambahan pita DNA polimorfik pada
300 bp, 500-1100 bp. Hal ini mengidikasikan bahwa telah terjadi mutasi, sehingga
secara genetik P.chrysosporium 1500 Gy yang diidentifikasi berbeda dengan
P.chrysosporium (wild type). Menurut Shahbazi et al. (2016), radiasi sinar gamma
memiliki energi yang sangat tinggi, menyebabkan mutasi gen yang ditandai
dengan penambahan pita DNA. Mutasi radiasi gamma bekerja dengan
mengionisasi basa nitrogen dalam rantai DNA pada saat sintesis DNA. Ionisasi
membentuk radikal bebas yang dapat merusak DNA dan mengubah urutan dasar
DNA sehingga tidak lagi memiliki karakteristik yang sama sebelum terpapar
radiasi (Lien, 2017). Perbedaan genetik dapat ditentukan dari jarak koefisien
dengan metode Unweight Pair Group Method Average (UPGMA) dihasilkan
dendogram pada Gambar 16.
55
Gambar 16. Hasil Analisis clustering UPGMA
Berdasarkan hasil analisis clustering UPGMA pada Gambar 16 dapat
dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok I terdiri dari kontrol (0 Gy) dan 0
Gy (F1A) dengan nilai indeks kemiripan tertinggi sebesar 1, hal tersebut
menunjukan terdapat kesamaan dalam urutan DNA sebesar 100%. Kelompok
kedua II terdiri dari kontrol (1500 Gy), 1500 Gy (F2B) dan 1500 Gy (F1B).
P.chrysosporium 1500 Gy (F1B) dan (F2B) yang terpapar fenantrena memiliki
nilai indeks kemiripan sebesar 80% dan 87%, sedangkan kontrol 1500 Gy dengan
kontrol 0 Gy memiliki indeks sebesar 57%, hasil indeks tersebut menjauhi angka
1 sehingga dapat dikatakan bahwa kapang 1500 Gy dan 0 Gy memiliki perbedaan
kemiripan yang tinggi. Kelompok 3 yaitu 0 Gy (F2A) dengan nilai indeks
kemiripan terendah oleh 0 Gy (F2A) sebesar 42% (Lampiran 4).
Menurut Yusron, (2005) strain yang memiliki perbedaan kemiripan yang
tinggi dikarenakan tingkat polimorfik yang tinggi. Strain ini memiliki peluang
hidup yang lebih baik, karena memiliki variasi gen lebih banyak, maka berbagai
UPGMA
Jaccard's Coefficient
Kontrol (0 Gy)
0 Gy (F1A)
Kontrol (1500 Gy)
1500 Gy (F2B)
1500 Gy (F1B)
0 Gy (F2A)
0.28 0.4 0.52 0.64 0.76 0.88 1
56
perubahan lingkungan mampu ditolelir dengan baik. Sehingga penggunaan
P.chrysosporium 1500 Gy sangat efektif untuk diterapkan pada lingkungan
tercemar fenantrena.
Suatu genotip dikatakan sebagai mutan apabila profil DNA nya berbeda
dengan profil DNA kontrol. Perbedaan DNA akibat terbentuknya polimorfik pada
P.chrysosporium 1500 Gy yang menandakan bahwa pengaplikasian sinar gamma
pada kapang efektif menyebabkan mutasi dan bukan karena stimulasi, sehingga
hasil aktivitas enzim yang lebih tinggi dibandingkan P.chrysosporium (wild type)
membuktikan bawah efek dari mutasi menyebabkan perbaikan gen bermanfaat
pada peningkatan aktivitas enzim LiP sesuai dengan teori oleh Aparecida &
Aquino (2012).
57
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Dosis radiasi sinar gamma terbaik terhadap biodegradasi fenantrena
didapatkan oleh P.chrysosporium dosis 1500 Gy sebesar 59.4%.
2. Karakteristik terbaik dalam medium tanah yang dipapar fenantrena 1500 ppm
yaitu pada P.chrysosporium dosis 1500 Gy perlakuan (F2B) tanpa inkubasi
dalam substrat batang sorgum.
3. Radiasi gamma dan pemberian fenantrena pada P.chrysosporium dosis 1500
Gy menyebabkan efek mutasi berupa polimorfik.
5.2. Saran
Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan analisis lanjutan
mengenai kemampuan biodegradasi kapang yang diradiasi gamma di dalam tanah
yang tercemar fenantrena, membuktikan kembali pengaruh inkubasi kapang dalam
substrat batang sorgum dan tanpa inkubasi sebelum ditambahkan ke dalam tanah,
sehingga dapat diketahui metode bioremediasi terbaik untuk pengaplikasian
langsung pada tanah tercemar fenantrena dan profil DNA kapang yang diradiasi
dan terpapar fenantrena dilakukan uji lanjutan berupa sequencing agar dapat
memsatikan perubahan urutan DNA yang terbentuk.
58
DAFTAR PUSTAKA
Adenipekun, C.O. & Lawal, R. (2012). Uses of mushrooms in bioremediation:
A review. Biotechnology Moleculer Biology, 7(3), 62–68.
Agency for Toxic Substances & Disease Registry (ATSDR). 1990. Public health
statement, polycyclic aromatic hydrocarbons. Atlanta, GA: U.S.
Department of Health and Human Services.
Asgher, M. N., Ahmed, H. M. N., & Iqbal. (2011). Hyperproductivity of
extracellular enzymes from indigenous white rot fungi Phanerochaete.
chrysosporium IBL-03) by utilizing agro-waste. Bioresources, 4, 4454–
4467.
Arsyad, S. (2005). Konservasi tanah dan air bogor: IPB Press.
Aparecida, K., & Aquino, S. (2012). Sterilization by gamma irradiation. Federal
University of Pernambuco-Department of Nuclear Energy Brazil.
Alexopoulus C. J., Mims C. W., & Blackwell M. (1996). Introductory mycology.
4th ed. John Willey & Sons, Inc., New York, 128.
Awan M. S., Tabbasam. N., Ayub N., Babar M. E., Rahman M, U., Rana S, B.,
Rajoka M, I. (2011). Gamma radiation induced mutagenesis in Aspergillus
niger to enhance its microbial fermentation activity for industrial enzyme
production. Moleculer Biology Rep, 38:1367–1374. doi 10.1007/s11033-
010-0239-3
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). (2008). Dasar proteksi radiasi dan
lingkungan. Jakarta: Pusdiklat BATAN, 28.
Bennet, J. W., Wunch, K. G & Faison, B. D. (2002). Use of fungi biodegradation.
Manual of environmental microbiology, 2nd ed., ASM Press: Washington,
D.C., 960–971.
Bennett J. W., Connick W. J., Daigle D., Wunch K. (2001). Formulation of fungi
for in situ bioremediation. In: Gadd G.M., editor. Fungi in bioremediation.
Cambridge University Press, Cambridge (UK), pp. 97–112.
Baptista, N. M. D. Q., Solidonio, E. G., Arruda, F. V. F., Melo, E. J. V. D., Filho,
J. R. N., Callou, C. M. J. D. A., Miranda, R. D. C. M., Colaço, W., &
Gusmão, N. B. D. (2015). Effects of gamma radiation on enzymatic
production of lignolytic complex by filamentous fungi. African Journal of
Biotechnology, 14(7), 612–621.
Bamforth, S. M., & Singleton, I. (2005). Bioremediation of polycyclic aromatic
hydrocarbons: current knowledge and future directions. Journal of
Chemical Technology and Biotechnology, 80,723–736.
Bishnoi, K., Kumar, R., & Bishnoi, N. R. (2008). Biodegradation of polycyclic
aromatic hydrocarbons by white rot fungi Phanerochaete chrysosporium
59
in sterile and unsterile soil. Journal of Scientific and Industrial Research,
67, 538–542.
Bijay, T., Ajay, K., K. C., & Anish, G. (2012). A review on bioremediation of
petroleum hydrocarbon contaminants in soil. Kathmandu University.
Journal of Science, Engineering and Technology, 8(1), 164–170 .
Botham, K. M., & Mayes, P. A. (2009). The repiratory chain & oxidative
phosphorilation. eds. harper’s illuustrated biochemistry, 103–12.
Bonnen, A. M., Anton, L. H., & Orth, A. B. (1994). Lignin degrading enzymes of
the commercial button mushroom, agaricus bisporus. Applied
Environmental Microbiology, 60(1), 960–965.
Capotorti, G., P. Digianvincenzo, P. Cesti, A. Bernardi & Guglielmetti. (2004).
Pyrene and benzo(a)pyrene metabolism by an aspergillus terreus strain
isolated from a polycyclic aromatic hydrocarbons polluted soil.
Biodegradation, 15, 79–85.
Castelvecchi, D. (2007). Dark power: pigment seems to put radiation to good use.
Science News, DOI:10.1002/scin.2007.5591712106
Chen, B., & Ding J. (2012). Biosorption and biodegradation of phenanthrene and
pyrene in sterilized and unsterilized soil slurry systems stimulated by
Phanerochaete chrysosporium. Journal of Hazardous Materials, 229–230
159–169
Cho, Y. G., Rhee, S. K., & Lee, S. T. (2000). Effect of soil moisture on
bioremediation of chlorophenol-contaminated soil. Biotechnology letters,
22(11),915-919.
Cerniglia, C. E., & Sutherland J. B. (2010). Handbook of hydrocarbons and lipid
microbiology. Germany: Berlin Heidelberg.
Cookson, J. T. (1995). Bioremediation engineering : design and application.
Toronto: McGraw-Hill.
Davis, M. W., Glaser, J. A., Evans, J. W., & Lamar, R. T., (1993). Field
evaluation of the lignin-degrading fungus Phanerochaete sordida to treat
creosote-contaminated soil. Environmental Science Technology, 27, 2572–
2576
Ding, G. C., Heuer, H., & Smalla, K. (2012). Dynamics of bacterial communities
in two unpolluted soils after spiking with phenanthrene: soil type specific
and common responders. Front Microbiology, 3–90.
Djajanegara, I., Wahyudi, P., Tjokrokusumo, D., Widyastuti, N., & Harsoyo.
(2007). Pengaruh mutasi dengan radiasi sinar gamma (co60) terhadap
produktivitas jamur tiram abu-abu (pleurotus sajur-caju). Berk Penel
Hayati,13 (57–61).
Ning, D., H., Wang, C., Ding, & H., Lu. (2010). Novel evidence of cytochrome
P450-catalyzed oxidation of phenanthrene in Phanerochaete
60
chrysosporium under ligninolytic conditions, biodegradation. Springer
Science, 21(6), 889–901.
El-Batal, A. I., Osman. E. M., & Ibrahim, A. M. S. (2013). Optimization and
characterization of polygalacturonase enzyme produced by gamma
irradiated penicillium citrinum. Journal of Chemical and Pharmaceutical
Research, 5(1), 336–347.
El-Batal, A., & Khalaf, M. (2003).Wheat bran as a substrate for enhanced
thermostable alpha-amulase production by gamma irradiated bacillus
megaterium in solid state fermentation. Egypt. Journal of Nuclear
Sciences and Applications, 16, 443.
Eviati & Sulaeman. (2009). Anlisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Jawa
Barat : Balai Penelitian Tanah.
Erden, E., Ucar C. M., Gezer, T. & Pazarlioglu, N. K. (2009). Screening for
ligninolytic enzymes from autochthonous fungi and applications for
decolorization of Remazole Marine Blue. Brazilian Journal of
Microbiology, 40(2), 346–353
Fadilah., S. D., Enny, K. A., & Arif, J. (2008). Biodelignifikasi batang jagung
dengan jamur pelapuk putih Phanerochaete crysosporium. Ekuilibrium,
7(1), 7–11.
Ferrara M. A, Bon, E. P. S., & Neto, J. S. A. (2002). Use of steam explosion
liquor from sugar cane bagasse for lignin peroxidase production by
Phanerochaete chrysosporium. Applied Biochemistry and Biotechnology
100: 289–300.
Gao, Y., Cao, X., Kang, F., & Cheng, Z. (2011). Pahs pass through the cell
wall and partition into organelles of arbuscular mycorrhizal roots of
ryegrass. Journal of Environmental Quality, 40, 653–6.
Gomez, C. B., Quintero, R., Garia, E. F., Howard, H. A. M. C., F., Zavala Diaz
de la Serna, F. J., C, Rodriguez, H. C H., Gillen, T., Varaldo P. H. M.,
Cortes J. B., Vazquez, R. R. (2003). Removal of phenanthrene from soil
by co-cultures of bacteria and fungi pregrown on sugarcane bagasse pith.
Bioresource Technology, (89)177–183.
Hamid, M., & Rehman, K. (2009). Potential applications of peroxidases, Food
Chem, 115, 1177–1186.
Hadibarata, T. & Teh, Z. C. (2014). Optimization of pyrene degradation by white-
rot fungus Pleurotus pulmonarius F043 and characterization of its
metabolites. Bioprocess and Biosystems Engineering, 37, 1679– 1684.
Haritash, A. K., & Kaushik, C. P. (2009). Biodegradation aspects of polycyclic
aromatic hydrocarbons (pahs): a review. journal of hazardous materials.
169, 1–15.
Haritash, A. K., & Kaushik C. P. (2016). Degradation of low molecular weight
polycyclic aromatic hydrocarbons by microorganisms isolated from
61
contaminated soil. Journal International of Environmental Sciences, 6(4),
472-482.
Hastuti, R., & Ginting. R. (2007). Metode analisis biologi tanah: enumerasi
bakteri, cendawan dan aktinomisetes. Jawa Barat: Penerbit Agro Inovasi.
Hidayat, D. (2004). Terungkapnya Asal-usul Sinar Kosmis. Jakarta: Tempo.
Howard, R. L., Abotsi, E., Jansen, E. L., & Howard, S. (2003). Lignocellulose
biotechnology : issue of bioconversion and enzyme production. African of
Biotechnology, 2 (12), 602–619.
Irawati, D., Azwar, N. R., Syafii, W., & Artika, I. M. (2009). Pemanfaatan serbuk
kayu untuk produksi etanol dengan perlakuan pendahuluan delignifikasi
menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium. Ilmu Kehutanan, 3
(1).
International Agency for Research on Cancer (IARC). (2002). IARC monographs
on the evaluation of carcinogenic risks to humans. 82, 1017–1606.
Jain, P. K., Gupta, V. K., Guar, R. K., Lowry, M., Jaroli, D.P., & Chauhan, U.K.
(2011). Bioremediation petroleum contaminated soil and water. Research
Journal of Environmental Toxicology, 5(1), 1–26.
Jacques, R.J.S., Okeke, B.C., Bento, F.M., Peralba, M.C.R., & Camargo, F.A.O.,
(2009). Improved enrichment and isolation of polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAH)-degrading microorganisms in soil using anthracene
as a model PAH. Current Microbiology, 58 (6), 628–634.
Johnson, L. L., Ylitalo, G. M., Myers, M. S., Anulacion, B. F., Buzitis, J., &
Collier, T. K. (2015). Aluminums melter-derived polycyclic aromatic
hydrocarbon sand fatfish health in the kitimat marine ecosystem. British
Columbia, Canada, Science Environmental, 512, 227–239.
JHA, A.N. (2008). Ecotoxicological applications and significance of the comet
assay. Mutagenesis, 23 (3), 207–221. doi: 10.1093/mutage/gen014
Kasmiran, A. (2011). Pengaruh lama fermentasi jerami padi dengan
mikroorganisme lokal terhadap kandungan bahan kering, bahan organik
dan abu. Lentera, 11(1).
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (MenLH). (2003). Keputusan
menteri negara lingkungan hidup nomor 128 tahun 2003 tentang tatacara
dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah
terkontaminasi limbah minyak bumi secara biologis. Jakarta: Departemen
Lingkungan.
Lehninger, A. L. (1990). Dasar-dasar biokimia. Thenawidjaja, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Basic of Biochemistry.
Lee, H., Jang, Y., Choi, Y. S., Kim, M. J., Lee, J., & Lee, H. (2014).
Biotechnological procedures to select white rot fungi for the degradation
of pahs. Jornal Microbiology, 97, 56–62.
62
Lu, Z.,Yu, Z., Gao, X., Lu, F., & Zang., L. (2005). Presevation effects of gamma
irradiation on fresh cut celery. Jfoo eng, 67, 347–35.
Lin, C. H., Huang, X., Kolbanovskii, A., Hingerty, B. E., Amin, S., Broyde, S.,
Geacintov, N. E.& Patel, D. J. (2001). Molecular topology of polycyclic
aromatic carcinogens determines dna adduct conformation: a link to
tumorigenic activity. Journal of Molecular Biology, 306 (5), 1059–1080.
Lien, N. T. (2017). Study on mutation of microorganisms for bio-fertilizer by
gamma irradiation. Thesis, 1–40.
Lowry, O. H., Rosenbrough, N. J., Farr, A. L., & Randall, R. J. (1951). Protein
measurement with the folin phenol reagent. Journal Biology Chemistry,
193: 265–275.
Mechlinska, A., Gdaniec-Pietryka, M., Wolska, L., & Namieśnik, J. (2009).
Evolution of models for sorption of PAHs and PCBs on geosorbents.
TrAC. Trends in Analytical Chemistry, 28, 466–482.
Maity, J. P., Kar, S., Banerjee, S., Chakraborty, A., & Santra, S. C. (2009).
Effects of gamma irradiation on long-storage seeds of oryza sativa (cv.
2233) and their surface inecting fungal diversity. Radiation Physics and
Chemistry, 78, 1006–1010.
Maletic, S., Dalmacija, B., & Rončević, S. (2013). Petroleum hydrocarbon
biodegradability in soil implications for bioremediation. Journals by
InTech, 43–64.
Meysami, P. and H. Baheri .(2003). Pre-screening of fungi and bulking agents for
contaminated soil bioremediation. Advances in Environmental Research,
7, 881–887
Mulyana, N., Tri Retno, D. L., Nurhasni, & Meliana, N. (2015). Peningkatan
aktivitas enzim selulase dan produksi glukosa melalui fermentasi substrat
jerami padi dengan kapang Aspergillus niger yang dipapari sinar gamma.
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi, 11(1), 13–26.
Murniasih, T., YoPi, & Budiawan. (2009). Biodegradasi fenantrena oleh bakteri
laut Pseudomonas Sp. Makara Sains, 13 (1), 77–80
MicrobeWiki, (2008). Struktur mikroskopis miselia Phanerochaete
chrysosporium hasil scanning electron micrograph (sem). Retrieved 17
Maret, 2017 ,from
https://microbewiki.kenyon.edu/index.php/File:040504062021.jpg.
Mishra, I. G., Niraj, T., & Sharad, T. (2014). A simple and rapid DNA extraction
protocol for filamentous fungi efficient for molecular studies. Indian
Journal of Biotechnology, (13), 536–539.
National Center for Biotechnology Information (NCBI). (2017). Phanerochaete
chrysosporium Taxonomy ID: 5306. Retrieved 12 Maret, 2017, from
63
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?mode=Info
&id=5306&lvl=3&lin=f&keep=1&srchmode=1&unlock.
Nakasone, K. K. (1990). Cultural studies and identification of wood-inhabiting
Corticiaceae and selected Hymenomycetes from North America.
Mycologia Memoirs, 15, 1-412
Norton, J. M. (2012). Fungi for bioremediation of hydrocarbon pollutants.
university of hawaii at hilo. Hohonu, (10), 18-21.
Ouyang, J., & Fitzgerald, M. (2012). Phenanthrene (fungal 9r,10r) pathway map.
university of minnesota. Retrieved 1 Maret, 2017, from http://eawag-
bbd.ethz.ch/pha3/pha3_map.htmL.
Okere, U. V., & Semple, K. T. (2012). Biodegradation of PHAs in ‘pristine’ soils
from different climatic regions. Journal Bioremedation Biodegradation,
1–11.
Pawar, R. M .(2015). The effect of soil pH on bioremediation of polycyclic
aromatic hydrocarbons (PHAs). Journal Bioremedation Biodegradation,
6:3. http://dx.doi.org/10.4172/2155-6199.1000291
Pathak, H., Bhatnagar, K., & Jaroli, D. P. (2011). Physico-chemical properties
of petroleum polluted soil collected from transport nagar (jaipur). Journal
of Soil Science and Environmental Management, (3), 84–89.
Pubchem, (2017). Structur of phenanthren, open chemistry data base compound
summary for cid 995. Retrieved 7 April, 2017, from
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/phenanthrene#section=First-
Aid.
Perez., J. Mun., Dorado T., de la Rubia., & J. Martinez. (2002). Biodegradation
and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an
overview. International Microbiology, 5, 53–6
Prassad G, (1999). Varietal effect on mutation frequency and spectrum induced by
gamma rays in barley. http://wheat.
pw.usda.gov/ggpages/bgn/25/v25p6.html. 5 Juni 2003, pk 06.41
Retno, T. D. L., Mulyana, N., Nurhasni, & Hasanah, U. (2016). Pengaruh radiasi
sinar gamma terhadap kemampuan degradasi lignin phanerochaete
chrysosoporium. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, 17(1), 21–
36.
Reddy, C. A., & Mathew, Z. (2001). Bioremediation potential of white rot fungi.
in: gadd gm (ed) fungi in bioremediation. Cambridge Univ Press :
Cambridge.
Rulianah, S., Zakijah, I., & Mufid, P. (2017). Produksi crude selulase dari bahan
baku ampas tebu menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium.
Jurnal Teknik Kimia dan Lingkungan, 1(1).
64
Ruth M., O'Riordan.,Gavin M., Burnell., Mark S., Davies., Neil F., & Ramsay.
(1998). Aspects of Littorinid Biology: Proceedings of the Fifth
International. Hydrobiologis, 378, 5–7.
Rodrıguez, V. R., Cruz, C. T., Fernandez, S. J. M., Rold C. T., Mendoza, C. A.,
Saucedo, C. G., Tomasini, C. A. (1999). Use of bagasse pith as solid
substrate for P. chrysosporium growth. Folia Microbiological, 44 (2),
213–218
Robertson K. L., Mostaghim A., Cuomo C. A., Soto C.M., Lebedev N, Bailey R.
F., & Wang Z. (2012). Adaptation of the black yeast wangiella
dermatitidis to ionizing radiation :molecular and cellular mechanisms. pios
one, 7:e48674.
Rosenbrock, P., Martens, R., Buscot, F., Zadazil, & Munch, J.C. (1997).
Enhancing the mineralization of [U-14C]dibenzo-pdioxin in three different
soils by addition of organic substrate or inoculation with white rot fungi.
Applied Microbiology and Biotechnology, 48, 665–670.
Susanti E., Ardyati., Suharjono., & Aulani’am. (2016). Optimizing of lignin
peroxidase production by the suspected novel strain of phanerochaete
chrysosporium itb isolate. International Journal of ChemTech Research,
9(11), 24-33.
Serna, & Saldivar, S. (2010). Cereal grains: properties, processing, and
nutritional attributes crc press
Singh, H. (2006). Mycoremediation: fungal bioremediation. John Wiley & Sons.
283-285.
Srebotnik, E., K. A., Jensen., K. E., & Hammel. (1994). Fungal degradation of
recalcitrant nonphenolic lignin structure without lignin peroxidase.
Proceedings of the National Academy of Sciences, 91, 12794–12797.
Singleton I. (2001). Fungal remediation of soils contaminated with persistent
organic pollutants. In: Gadd GM, editor. Fungi in bioremediation.
Cambridge: Cambridge University Press, 79-96.
Sreedhar, M., chaturvedi, A., Aparna, M., Kumar, P. D., Singhai, R. K., & Babu,
V. (2013). Influence of γ-radiation stress on scavenging enzymes activity
and cell ultra structure in groundnut (Arachis hypogaea L.). Applied
Science Resource, 4(2), 35–44.
Shahbazi, S. (2016). Biocontrol Activities of Gamma Induced Mutants of
Trichoderma harzianum against some Soilborne Fungal Pathogens and
their DNA Fingerprinting. Iranian Journal of Biotechnology, 14(4):
e1224.
Shen, H. Z. (2013). Global atmospheric emissions of polycyclic aromatic
hydrocarbons from 1960 to 2008 and future predictions. Environmental
Science Technology, 47(12), 6415–6424.
65
Sudrajat, D., N. Mulyana & A. Adhari. 2014. Seleksi mikroorganisme rhizosfer
lokal untuk bahan bioaktif pada inokulan berbasis kompos iradiasi. Jurnal
Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi, 10(1): 23–34.
Sudrajat, D., Mulyana, N., Retno, D, L, T., Heriyani, R., & Almaida. (2016).
Karakteristik molekuler kapang Trichoderma viride yang diiradiasi sinar
gamma. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi, 115–132.
Teerapatsakul, C., Pothiratana, C., Chitradon, L., & Thachepan, S. (2016).
Biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbons by a thermotolerant
white rot fungus Trametes polyzona RYNF13. Journal of General and
Applied Microbiology, 1–10. doi 10.2323/jgam.2016.06.001
United States Environmental Protection Agency (USEPA). (2000). Toxic release
inventory public data release. Office of Environmental Information:
Washington, D.C. hppt://www.epa.gov/triinter/tridata/index.htm.
Verbruggen E. M. J., & Herwijnen R. van. (2011). Environmental risk limits
(ERLs) for Phenanthrene. National Institute for Public Health and the
Environmental. http://www.rivm.nl/bibliotheek/rapporten/601357007.pdf.
Wang, D. G., Yang, M., Jia, H. L., Zhou, L., & Li, Y. F. (2009). Polycyclic
aromatic hydrocarbons in urban street dust and surface soil: comparisons
of concentration, profile, and source. Archives of Environmental
Contamination and Toxicology, 56(2),173–80.
http://dx.doi.org/10.1007/s00244-008-9182-x.
Yang Y, Zhang N., Xue M., Lu S.T., & Tao S. (2011). Effects of soil organic
matter on the development of the microbial polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs) degradation potentials. Environmental Pollution,
159(2):591–595.DOI: 10.1016/j.envpol.2010.10.003.
Yang, Y. S., Zhou, J. T., Lu, H., Yuan Y. L., & Zhao, L. H. (2011). Isolation and
characterization of a fungus Aspergillus sp. strain F-3 capable of degrading
alkali lignin. Springer Science Biodegradation, 22:1017–1027.
doi.10.1007/s10532-011-9460-6.
Yusron, E. (2005). Pemanfaatan keragaman genetik dalam pengelolaan
sumberdaya hayati laut. Oseana, 30(2).
Zhang, Y., Liu, S., & Ma, J. (2006). Water holding capacity of ground covers and
soils in alpine and sub-alpine shrubs in western Sichuan. China: Elservier,
26(9): 2775-2781.
Zheng, Z., & Obbard, J. P. (2002). Oxidation of polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAH) by the white rot fungus, Phanerochaete chrysosporium. Enzyme
Microbiology Technology, 31, 3–9.
66
LAMPIRAN
Lampiran 1. Penentuan Konsentrasi Fenantrena Terbaik
a. Aktivitas LiP
Konsentrasi(ppm) 0 500 1000 1500 2000
AktivitasLiP(U/mL) 262a 450b 560bc 691c 709c
Lampiran 2. Analisis Penentuan Dosis Radiasi Gamma Terbaik
a. Aktivitas LiP spesifik (3 jenis medium PDB)
No Parameter PC0 PC500 PC1000 PC1500 PC2000
1 PDB 126a 157a 316ab 494b 247a
2 PDB+Lignin 283a 642b 965c 1146d 651b
3 PDB+Fenantrena 372a 436a 559bc 773d 646cd
b. Aktivitas LiP & Viabilitas (Dalam Substrat BTS , PHE 1500ppm)
No Parameter PC0 PC500 PC1000 PC1500 PC2000
1 AktivitasLiP(U/mL) 2132 3515 5037 9480 7962
2 ViabilitasLog10(CFU/g) 8.79 8.68 8.75 9.80 9.58
3 Viabilitas CFU/g 6.6.9x108 1.35x109 1.39x109 6.86x109 3.81x109
c. Biodegradasi (Dalam Substrat BTS , PHE 1500ppm)
No Parameter PC0 PC500 PC1000 PC1500 PC2000
1 Biodegradasi(%) 16.25a 52.07b 57.03b 59.38b 56.51b
Lampiran 3. Kemampuan Kapang Dosis Terpilih Dalam Medium Tanah
a. Aktivitas LiP ( Dalam Medium Tanah, PHE 1500ppm)
No Perlakuan H-3 H-6 H-9 H-12
1 F1A 1780 2112 3892 885
2 F2A 881 3006 2135 2135
3 F1B 1207 631 2448 885
4 F2B 3925 1959 2790 1682
67
b. Viabilitas Log10 (CFU/g) (Dalam Medium Tanah, PHE 1500ppm)
No Perlakuan H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
1 F1A 3.21 4.75 5.47 5.37 6.01
2 F2A 4.15 3.44 3.67 2.11 6.34
3 F1B 4.14 5.52 5.46 5.60 6.41
4 F2B 2.27 5.39 5.20 4.87 4.83
c. Viabilitas (CFU/g) (Dalam Medium Tanah, PHE 1500ppm)
No Perlakuan 0 3 6 9 12
1 F1A 1.82E+03 7.88E+04 3.22E+05 4.04E+05 1.30E+06
2 F2A 2.48E+04 2.77E+03 6.26E+03 1.75E+02 4.68E+06
3 F1B 2.42E+04 3.78E+05 4.48E+05 4.53E+05 4.42E+06
4 F2B 1.43E+03 2.87E+05 2.60E+05 8.10E+04 8.36E+04
d. Penentuan Kadar pH medium tanah
No Perlakuan H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
1 F1A 6.48 6.86 6.86 6.89 6.89
2 F2A 6.54 6.90 6.92 6.16 6.44
3 F1B 6.46 6.96 6.89 7.00 6.58
4 F2B 6.42 6.88 6.85 6.14 6.42
e. Penentuan Kadar Air
No Perlakuan H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
1 F1A 11 6 14 12 12
2 F2A 11 9 23 8 17
3 F1B 9 24 22 20 18
4 F2B 7 7 14 17 18
f. Penentuan Bahan Organik
No Perlakuan H-0 H-3 H-6 H-9 H-12
1 F1A 18 25 22 20 11
2 F2A 13 20 23 20 12
3 F1B 23 29 19 19 19
4 F2B 24 19 28 22 16
Lampiran 4. Hasil Dendogram UPGMA Jaccard's Coefficient
Node Group 1 Group 2 Simil. in group
1 K (0 Gy) 0 Gy (F1A) 1 2
2 K (1500 Gy) 1500 Gy (F2B) 0.875 2
3 Node 2 1500 Gy (F1B) 0.804 3
4 Node 1 Node 3 0.579 5
5 Node 4 0 Gy (F2A) 0.422 6
68
Lampiran 5. Contoh Perhitungan
1. Penentuan Konsentrasi Fenantrena terbaik
Aktivitas LiP kapang PC0
Uraian Ulangan
Konsentrasi penantrena, ppm
0 500 1000 1500 2000
A B C D E
Faktor pengenceran, kali 1 1 1 1 1
Abs T=0 1 0.550 0.505 0.485 0.485 0.500
2 0.550 0.505 0.480 0.485 0.495
Abs T=30 1 0.555 0.515 0.500 0.500 0.515
2 0.555 0.515 0.490 0.500 0.510
Delta absorbansi 1 0.005 0.010 0.015 0.015 0.015
2 0.005 0.010 0.010 0.015 0.015
Volume total, ml
3.6 3.6 3.6 3.6 3.6
Tebal dalam kuvet, cm
1 1 1 1 1
Volume enzim, ml
0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
Waktu inkubasi, menit 1 19 22 22 21 21
2 18 21 21 21 20
Aktivitas LiP, U/ml 1 254.67 439.88 659.82 691.24 691.24
2 268.82 460.83 460.83 691.24 725.81
Rerata 261.74 450.36 560.33 691.24 708.53
STDEV 10.00 14.81 140.7 0.00 24.44
Beda a b bc c c
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐸𝑛𝑧𝑖𝑚 (𝑈
𝑚𝑙) =
△ 𝑂𝐷310 𝑥 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 10^9
ɛ max 𝑥 𝑑 𝑥 𝑉𝑒𝑛𝑧𝑖𝑚(𝑚𝑙)𝑥 𝑡
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐸𝑛𝑧𝑖𝑚 (𝑈
𝑚𝑙) =
0,015 𝑥 3.6 𝑚𝑙 𝑥 10^9
9300 𝑀. 𝑐𝑚 𝑥 1 𝑐𝑚 𝑥 0,4 𝑚𝑙 𝑥 21 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
= 691,24 U/ml
2. Penentuan Aktivitas LiP Dosis Radiasi Gamma Terbaik
Uraian Ulanga
n 0 500 1000 1500 2000
Sampel, g 2 2 2 2 2
Kadar air sampel, %
59.46 57.13 46.09 55.01 61.89
Bk sampel, g
0.811 0.857 1.078 0.900 0.762
Bufer asetat pH 3, ml 20 20 20 20 20
69
Faktor pengenceran, kali 1 1 1 1 1
Abs T=0 1 0.670 0.735 0.710 0.770 0.680
2 0.660 0.740 0.715 0.780 0.685
Abs T=30 1 0.675 0.750 0.735 0.810 0.695
2 0.670 0.750 0.735 0.810 0.720
Delta absorbansi 1 0.005 0.015 0.025 0.040 0.015
2 0.010 0.010 0.020 0.030 0.035
Volume total, ml
4.0 4.0 4.0 4.0 4.0
Tebal dalam kuvet, cm
1 1 1 1 1
Volume enzim, ml
0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Waktu inkubasi, menit 1 46 45 45 45 45
2 47 44 44 43 44
Aktivitas LiP, U/ml 1 58.44 179.21 298.69 477.90 179.21
2 114.39 122.19 244.38 375.09 427.66
Aktivitas LiP, U/g 1 1442 4180 5541 10622 4703
2 2822 2850 4533 8337 11222
Rerata 2132 3515 5037 9480 7962
STDEV 976 940 712 1616 4610
Beda a a a a a
3. Viabilitas Kapang Dosis Radiasi Gamma Terbaik
Uraian Ulangan
pc 0 pc 500 pc 1000 pc 1500 pc 2000
Sampel, g 1 1 1 1 1
Afis, ml 10 10 10 10 10
Kadar air sampel, %
76.397 76.964 74.153 72.395 77.430
Bk sampel, g 0.236 0.230 0.258 0.276 0.226
TPC, cfu/ml 1 9.00E+06 2.00E+06 6.00E+07
6.90E+07 3.00E+06
1.19E+08 2.60E+08
7.20E+07 1.00E+08 2 2.40E+07
TPC, cfu/g 1 3.81E+08 8.68E+07 2.67E+09 4.31E+09 3.19E+09
2 1.02E+09 2.60E+09 1.16E+08 9.42E+09 4.43E+09
Rerata 6.99E+08 1.35E+09 1.39E+09 6.86E+09 3.81E+09
TPC, Log 10 cfu/g 1 8.581 7.939 9.426 9.635 9.504
2 9.007 9.416 8.065 9.974 9.646
Rerata 8.794 8.677 8.746 9.804 9.575
STDEV 0.301 1.044 0.963 0.240 0.101
Beda a a a a a
70
TPC, cfu/g = TPC, cfu/ml ×Afis, mL
Bk sampel, g
TPC, cfu/g = 1.19𝐸 + 08 ×10
0.276= 4.31E + 09
4. Penentuan Aktivitas LiP dalam Medium Lignin & Fenantrena
a. Medium PDB+Fenantrena
Uraian Ulangan Medium PDB + 1500 ppm penantrena
PC0 PC500 PC1000 PC1500 PC2000
Aktivitas LiP, U/ml 1 691.24 764.01 806.45 1344.09 1138.52
2 691.24 806.45 1075.27 1138.52 1138.52
protein terlarut, mg/ml 1.860 1.802 1.684 1.606 1.763
Aktivitas LiP spesifik, U/mg 1
371.54 424.04 478.83 836.97 645.95
2 371.54 447.60 638.44 708.97 645.95
Rerata 371.54 435.82 558.63 772.97 645.95
STDEV 0.00 16.66 112.86 90.52 0.00
Beda a a B cd d
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑆𝑝𝑒𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘 =𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 (
𝑈𝑚𝑙
𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑡)
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 (𝑚𝑔𝑚𝑙
)
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑆𝑝𝑒𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘 =1344.09 (
𝑈𝑚𝑙
)
1.606(𝑚𝑔𝑚𝑙
)
= 836.97 U/mL
5. Penentuan Biodegradasi Fenantrena
Uraian Ulangan K PC0 PC500 PC1000 PC1500 PC2000
Sampel, g 4.2 4.2 4.2 3.5 4.2 4.2
Kadar air % 1 55.92 59.46 57.13 46.09 55.01 61.89
2 61.89
Bk sampel, g 1 1.85 1.70 1.80 1.89 1.89 1.60
2 1.60
Dikhlorometan, ml 20 20 20 20 20 20
71
ppm (µg/l) Rerata 165.34 136.59 82.68 77.67 73.53 66.68
ppm (µg/g) 1 1786.01 1604.59 918.31 823.32 778.25 833.19
2 2065.99
Rerata 1926.00 1604.59 918.31 823.32 778.25 833.19
ppm (µg/g) 1 1786.01 1786.01 1786.01 1786.01 1786.01
2 2065.99 2065.99 2065.99 2065.99 2065.99
(ppm/ppm) 1
10.16 48.58 53.90 56.43 53.35
2 22.33 55.55 60.15 62.33 59.67
Rerata
16.25 52.07 57.03 59.38 56.51
STDEV
8.61 4.93 4.42 4.18 4.47
Beda a b b b b
1. Data Luas Area GCMS
Perlakuan Luas Area
Standar 500 ppm 47376586
Kontrol 15667172
PC 0 12941932
PC 500 7834327
PC 1000 5943302
PC 1500 6967188
PC 2000 6318063
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟 =𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟𝑥 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟 ppm (µg/l) =6967188
47376586𝑥 500 = 73.53
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (µ𝑔/𝑔) = konsentrasi (µg/l) × 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑙𝑜𝑟𝑜𝑚𝑒𝑡𝑎𝑛, 𝑚𝑙
𝑏𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙, 𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (µ𝑔/𝑔) = 56.43 × 20
189= 778.25
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑝𝑝𝑚/𝑝𝑝𝑚)
= 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 − 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (µ𝑔/𝑔)
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 (µ𝑔/𝑔)× 100
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑝𝑝𝑚/𝑝𝑝𝑚) =1786.01 − 2065.99
1786.01 = 56.43
% 𝑑𝑒𝑔𝑟𝑎𝑑𝑠𝑖 = 73.53 + 62.33 = 59.38
72
Lampiran 6. Hasil kromatografi (GCMS) pada degradasi Fenantrena
Standar 500 ppm kontrol Fenantrena
P.chrysosoporium 0 Gy P.chrysosoporium 500 Gy
P.chrysosoporium 1000 Gy P.chrysosoporium 1500 Gy
P.chrysosoporium 2000 Gy
73
Lampiran 7. Data Uji Statistik IBM SPSS 20.0
1. Penentuan Konsentrasi terbaik terhadap Aktivitas LiP kapang PC 0
ANOVA
Aktivitas_LiP
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 273989.421 4 68497.355 16.533 .004
Within Groups 20715.615 5 4143.123
Total 294705.036 9
2. Penentuan Dosis Radiasi Gamma Terbaik
1. Penentuan Aktivitas LiP spesifik (Dalam Medium Cair)
a. Medium PDB
ANOVA
Hasil_AktivitasLiP_spesifik (medium PDB)
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Between Groups 172662.760 4 43165.690 13.113 .007
Within Groups 16458.814 5 3291.763
Total 189121.574 9
Hasil_AktivitasLiP_spesifik
Aktivitas_LiP
Duncan
Konsentrasi_PHE N Subset for alpha = 0.05
1 2 3
0_ppm 2 261.7450
500_ppm 2 450.3550
1000_ppm 2 560.3250 560.3250
1500_ppm 2 691.2400
2000_ppm 2 708.5250
Sig. 1.000 .148 .076
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
b. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
74
Dosis_Radiasi N Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Duncana
0_Gy 2 126.0850
500_Gy 2 157.0050
2000_Gy 2 246.8650 246.8650
1000_Gy 2 315.9500
1500_Gy 2 494.1100
Sig. .096 .282 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
b. Medium PDB+Lignin
ANOVA
Hasil_AktivitasLiP_spesifik ( medium PDB+Lignin)
Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
Between
Groups
207275.63
8 4 51818.910 12.217 .009
Within
Groups 21207.213 5 4241.443
Total 228482.85
1 9
Hasil_AktivitasLiP_spesifik ( medium PDB+Lignin)
Dosis_Radiasi N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Duncana
0_Gy 2 282.6450
500_Gy 2 642.2800
2000_Gy 2 651.1400
1000_Gy 2 965.1350
1500_Gy 2 1146.4650
Sig. 1.000 .845 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
c. Medium PDB+Fenantrena
ANOVA
Hasil_AktivitasLiP_spesifik (PDB+Fenantrena)
75
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 207275.638 4 51818.910 12.217 .009
Within Groups 21207.213 5 4241.443
Total 228482.851 9
Hasil_AktivitasLiP_spesifik (PDB+Fenantrena)
Dosis_Radiasi N Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Duncana
0_Gy 2 371.5400
500_Gy 2 435.8200 435.8200
1000_Gy 2 558.6350 558.6350
2000_Gy 2 645.9500 645.9500
1500_Gy 2 772.9700
Sig. .369 .118 .238 .109
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
2. Penentuan Dosis Radiasi Gamma terhadap aktivitas LiP dan Viabilitas
a. Aktivitas LiP
ANOVA
Hasil_AktivitasLiP_DalamBTS konsentrasi Fenantrena 1500 ppm
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 74639938.600 4 18659984.650 3.561 .098
Within Groups 26203975.000 5 5240795.000
Total 100843913.600 9
b. Viabilitas
ANOVA
Viabilitas
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2.236 4 .559 1.285 .387
Within Groups 2.175 5 .435
Total 4.411 9
3. Penentuan Biodegradasi Fenantrena
ANOVA
Biodegradasi
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
76
Between Groups 2615.959 4 653.990 21.062 .002
Within Groups 155.252 5 31.050
Total 2771.211 9
Biodegradasi
Dosis_Radiasi N Subset for alpha = 0.05
1 2
Duncana
0_Gy 2 16.2450
500_Gy 2 52.0650
2000_Gy 2 56.5100
1000_Gy 2 57.0250
1500_Gy 2 59.3800
Sig. 1.000 .259
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
3. Kemampuan Kapang Dosis Terpilih Dalam Medium Tanah
a. Aktivitas LiP
ANOVA
Aktivitas__LiP (F1A)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 9543885.500 3 3181295.167 4.061 .105
Within Groups 3133670.000 4 783417.500
Total 12677555.500 7
ANOVA
Aktivitas__LiP (F2A)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4587036.375 3 1529012.125 2.931 .163
Within Groups 2086473.500 4 521618.375
Total 6673509.875 7
ANOVA
Aktivitas__LiP (F1B)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3179124.500 3 1059708.167 1.098 .447
Within Groups 3861325.000 4 965331.250
Total 7040449.500 7
77
ANOVA
Aktivitas__LiP(F2B)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 6087878.375 3 2029292.792 1.898 .271
Within Groups 4276678.500 4 1069169.625
Total 10364556.875 7
b. Viabilitas
ANOVA
Viabilitas (F1A)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 9.251 4 2.313 10.133 .013
Within Groups 1.141 5 .228
Total 10.392 9
ANOVA
Viabilitas(F2A)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 18.962 4 4.741 13.770 .007
Within Groups 1.721 5 .344
Total 20.683 9
ANOVA
Viabilitas (F1B)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 5.325 4 1.331 4.269 .072
Within Groups 1.559 5 .312
Total 6.884 9
ANOVA
Viabilitas (F2B)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 12.997 4 3.249 4.486 .066
Within Groups 3.621 5 .724
Total 16.619 9
78
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian
1. Kapang P.chrysosporium hasil radiasi Gamma
a. Pc 0 Gy b. Pc 500 Gy c. Pc 1000 Gy d. Pc 1500 Gy e. Pc 2000 Gy
2. Pengujian medium PDB+ Lignin alkali dan
a. PDB+Lignin Alkali b. PDB+Fenantrena
3. Penentuan Viabilitas Dosis Radiasi Gamma Terbaik
H
a. Inkubasi dalam substrat batang sorgum b. Viabilitas Dosis Kapang
a b
a b
79
4. Biodegradasi Dalam Medium Tanah
a. Medium tanah inkubasi 3,6,9,12 hari b. Perlakuan inkubasi dan tanpa inkubasi
5. Hasil Viabilitas Dalam medium Tanah
TPC perlakuan A( F1) dan B(F2)
6. Kapang Hasil Pindah Tanam dari TPC dalam medium tanah setelah 12 hari
untuk pengujian PCR.
Keterangan: a. P.c 0 Gy (Kontrol), b. Pc 0 Gy (F1A), c. Pc 0 Gy (F2B), d. Pc 1500
Gy (Kontrol), e. Pc 1500 Gy (F1B), f. Pc 1500 Gy (F2B).
a
a b