Daulah Syafawiyah
description
Transcript of Daulah Syafawiyah
I. PENDAHULUAN
Setelah khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol,
kekuatan politik Islam mengalami kemunduran yang sangat drastis. Wilayah kekuasaannya
tercabik- cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi.
Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan
bangsa Mongol itu. Namun, kemalangan tidak berhenti sampai di situ. Timur Lenk,
sebagaimana telah tercatat dalam sejarah menghancurkan pusat- pusat kekuasaan Islam yang
lain.
Keadaan politik umat Islam secara keseluruahan baru mengalami kemajuan kembali
setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar. Tiga kerajaann tersebut adalah
Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Makalah ini akan berusaha
mengkaji sejarah tentang kerajaan Shafawi yang ada di Persia.
Dalam pengkajian sejarah dan peradaban Islam, sebenarnya ada dua dinasti yang
sangat berperan dan dominan dalam menghidupkan dan menyebarkan paham syi’ah di
Persia, yaitu dinasti Buwaihi dan dinasti Shafawi. Dinasti Buwaihi (932- 1055 M) berada
pada periode klasik Islam, sedangkan dinasti Safawi (1501- 1722 M) hidup pada masa
periode pertengahan lslam.
II.PEMBAHASAN
A. Asal Mula Berdirinya Daulah Syafawiyah.
Mirip dengan asal usul Dinasti Murabithun dan Muwahhidun di Afrika Utara,
kerajaan Shafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota
di Azarbaijan.[1] Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang
hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Utsmani. Nama Safawiyah diambil dari
nama pendirinya, Safi Al- Din (1252- 1334 M) dan nama Safawi ini terus dipertahankan
sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, masih dipertahankan sampai gerakan
ini berhasil mendirikan kerajaan.[2]
Safi Al- Din yang lahir pada 1252/ 650 M, enam tahun sebelum Hulagu Khan
menghancurkan Baghdad, berasal dari keturunan yang memilh sufi sebagai jalan
hidupnya.[3] Ia keturunan Imam Syi’ah yang ke 6, Musa Al Kazhim. Gurunya bernama
Syaikh Taj Al- Din Ibrahim Zahidi (1216-1301) yang dikenal dengan julukan Zahid al-
Gilani. Kemudian Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut. Ia mendirikan
tarekat Safawiyah setelah ia mengantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat tahun
1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya
gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan memerangi orang- orang ingkar, dan golongan
yang mereka sebut ahli- ahli bid’ah. Tarekat ini menjadi semakin penting setelah Safi Al-
Din mengubah bentuk tarekat ini dari pengajian Tasawuf murni yang bersifat lokal
menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia. Di
luar negeri- negeri Ardabil Safi menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-
muridnya. Wakil itu dibri gelar Khalifah. Lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah
berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, dan menentang setiap
orang yang bermadzab selain syi’ah.[4]
Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkritnya pada masa
kepemimpinan Juneid (1447- 1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan
menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini
menimbulkan konflik anatar Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu ( domba Hitam),
salah satu bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik itu Juneid kalah dan
diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru itu ia mendapat perlindungan dari penguasa
Diyar Bakr, Ak koyunlu ( Domba Putih) yang juga merupakan suku bangsa Turki. Ia
tinggal di Istana Uzu Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia. Perlu
diketahui juga bahwa dua kerajaan Turki, yakni Kara Koyunlu yang berkuasa di bagian
Timur beraliran syi’ah sedangkan Ak koyunlu yang berkuasa di bagian Barat beraliran
Sunni.[5]
Selama dalam pengasingan Junaed tidak tinggal diam. Ia menghimpun kekuatan
untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil
mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M,
Junaed berusaha merebut Ardabil tetapi gagal. Tahun 1460 M, ia mencoba merebut
Sircasia tetapi pasukan yang dipimpinya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh
dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid bernama Haidar masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan.
Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi
tahun 1470 M. Hubungan Haidar dan Uzun Hazan semakin dekat setelah Haidar
mengawini putri Uzun Hasan. Dari perkawinan itu lahirlah Ismail yang kemudian hari
menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia. Haidar membuat perlambangan baru dari
pengikut tarekatnya, yaitu serban merah mempunyai 12 jambul, sebagi lambang dari 12
imam yang diagungkan dalam mazhab Syi’ah Istna Asyariah.[6]
Kemenangan Ak koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu, membuat
gerakan Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh Ak
koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal sebelumnya Safawi adalah sekutu
Ak Koyunlu. Ak Koyunlu berusaha melenyapkan kekutan militer dan kekuasaan Dinasti
Safawi. Karena itu ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, Ak
Koyunlu mengirim bantuan pada pasukan Sirwan, sehinga pasukan Haidar kalah dan
Haidar terbunuh.
Ali, putra dan pengganti Haidar didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas
atas kematian ayahnya, terutama terhadp Ak Koyunlu. Tetapi Ya’kub Pemimpin Ak
Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim, Ismail
dan Ibunya di Fars selama empat setengah tahun ( 1489- 1493 M). Mereka dibebaskan
oleh Rustam, putra mahkota Ak Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi
saudara sepupunya. Setelah saudara sepupu Rustam dapat dikalahkan. Ali bersama
saudaranya kembali ke Ardabil. Akan tetapi, tak lama kemudian Rustam berbalaik
memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan itu pada tahun
1494 M.[7]
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu
masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di
Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di
Azarbaijan, Syiria, Anatolia. Pasukan yang dipersiapkannya itu dinamai Qizilbash ( Baret
Merah).[8]
Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash
menyerang dan mengalahkan Ak Koyunlu di Sharur, dekat Nackhcivan. Pasukan ini terus
berusaha memasuki dan menaklukan Tabriz, ibu kota ak Koyunlu dan berhasil merebut
dan mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama di
dinasti Safawi, yang kemudian disebut Ismail I.[9]
B. Perkembangan Daulah Syafawiyah.
Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan
Safawi di Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang
dengan cepat. Nama Safawi ini terus di pertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi
suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam
perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Usmani.
Kerajaan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti
kerajaan Turki Usmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi'ah dan
dijadikan sebagai madzhab negara. Oleh karena itu, kerajaan Safawi dianggap sebagai
peletak dasar pertama terbentuknya negara Iran dewasa ini.[10]
Ismail I berkuasa kurang lebih selam 23 tahun, yaitu antara tahun 1501- 1524 M.
Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaanya. Ia dapat
menghancurkan sisa- sisa kekuatan ak Koyunlu di Amadan (1503 M), menguasai propinsi
Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505- 1507 M), Baghdad
dan daerah barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M), dan Khurasan (1510 M).
[11] Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh
Persia dan bagian timur Bulan Sabit Timur ( Fortile Crescent).
Tidak sampai disitu, ambisi politik mendorongnya untuk terus melebarkan sayap
menguasai daerah- daerah lainnya, seperti ke Turki Utsmani. Namun, Ismail bukan hanya
menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Syi’ah.
Peperangan dengan Turki Utsmani terjadi pada tahun 1514 M, di Chaldiran, dekat Tabriz.
Karena keunggulan organisasi militer kerajaan Utsmani, Ismail I mengalami kekalahan,
malah Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan
Safawi terselamtkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan
di kalangan militer Turki di Negerinya. Peperangan ini, seperti para sejarawan menduga,
bisa jadi berasal dari kebencian Sultan Salim dan pengejaran terhadap seluruh umat
muslim Syi’ah di daerah kekuasaannya. Fanatisme Sultan Salim memaksanya membunuh
40.000 orang yang didakwa telah mengingkari ajaran- ajaran Suni.[12]
Secara militer, Syah Ismail dan para penerusnya harus menghadapi permusuhan
sengit dari tetangga- tetangga mereka yang sunni, Utsmaniyah di barat dan Ozbeg
Turkmen di timur laut. Di tapal batas Oxuz, para syah cukup dapat mempertahankan milik
mereka meskipun kota- kota batas batas seperti Heart, Masyhad dan Sarakh sering
berpindah tangan; tapi serangan Turkmen untuk melakukan penjarahan untuk
mendapatkan budak terus terjadi hingga abad ke 19. Utsmaniyah lebih berbahaya, ketika
berada pada puncak kekuasaan mereka pada abad ke 16; kemenangan Salim si Kejam atas
Shafawiyah di Chaldiran pada tahun 1514 merupakan suatu kemenangan logistik bagi
Utsmaniyah, dan juga merupakan peragaan keunggulan persenjataan. Tak lama kemudian,
Kurdistan, Diyarbakr, dan Baghdad jatuh ke tangan Utsmaniyah, dan Azarbayjan sendiri
sering diserbu; kemudian ibukota Shafawiyah dipindahkan ke Tabriz ke Qazwin dan
kemudian ke Ishfahan.[13]
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebnaggaan dan kepercayaan diri Ismail.
Akibatnya, kehidupan Ismail berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan
hura- hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negative bagi Kerajaan
Safawi, yaitu terjadinya persaingan segitiga antara pemimpin suku- suku Turki, pejabat-
pejabat keturunan Persia, dan Qizilbash dalam merebut pengaruh unutk memimpin
kerajaan Safawi.[14]
Berikut urutan penguasa kerajaan Safawi :
1. Isma'il I (1501-1524M)
2. Tahmasp I (1524-1576M)
3. Isma'il II (1576-1577M)
4. Muhammad Khudabanda (1577-1587M)
5. Abbas I (1587-1628M)
6. Safi Mirza (1628-1642M)
7. Abbas II (1642-1667M)
8. Sulaiman (1667-1694M)
9. Husein I (1694-1722M)
10. Tahmasp II (1722-1732M)
11. Abbas III (1732-1736 M) [15]
C. Kemajuan dan Kejayaan Daulah Syafawiyah.
Rasa permusuhan dengan kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggalan Ismail
I. Peperangan- peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada
zaman pemerintahan Tahmasp I ( 1524- 1576 M), Ismail II ( 1576- 1577 M), dan
Muhammad Khudabanda ( 1577- 1587 M). Pada massa tiga kerajaan tersebut, kerajaan
Safawi dalam keadaan lemah.[16]
Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja Shafawi kelima, Abbas I
naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588- 1628 M. Popularitas Abbas I ditopang oleh
sikap keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang Syi’ah yang shaleh. Sebagai bukti atas
kesalehannya adalah bahwa dia sering berziarah ketempat suci Qum dan Masyhad.
Disamping itu Ia pun melakukan perubahan struktur birokasi dalam lembaga politik
keagamaaan. Abbas 1 telah berhasil menciptakan kemajuan pesat dalam bidang
keagamaan, yang membuat ideologi Syi’ah semakin dikukuhkan.[17] Langkah- langkah
yang diambil Abbas I dalam memulihkan kerajaan Safawi adalah:
1. Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk
pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak- budak, berasal dari tawanan bangsa
Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak raja Tahmasp I.
2. Pemindahan ibukota ke Isfahan.[18]
3. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian
damai Abbbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan
sebgaian wilayah Luristan. Abbas I juga berjanji tidak akan menghina tiga khalifah
pertama dalam Islam, yakni, Abu Bakar, Umar, dan Utsman dalam khotbah- khotbah
Jum’at. Bahkan sebagai jaminan, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza
sebagi sandera di Istambul.
Usaha- usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Shafawi
kuat kembali. Kemudian Abbas I mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha
merebut kembali wilayah- wilayah kekuasaannya yang hilang. Tahun 1598 M, ia
menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan
Balkh. Setelah kekuasaan terbina dengan baik ia juga berhasil mendapatkan kembali
wilayah kekuasaannya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang
berbeda aliran agama ini memang tak pernaha padam. Abbas I mengarahkan serangan-
serangannya ke wilayah kekuasaan kerajaan Utsmani. Pada tahun 1602 M, disaat Turki
Utsmani berada dibawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang
dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota- kota Nakhchivan,
Erivan, Ganja, Tiflis dapat dikuasai tahun 1605- 1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 M,
pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gurmun
menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[19]
Pada tahun 1902 M, pecahlah perang Turki dengan Austria dan tentara Turki yang
lain terpaksa pergi memadamkan pemberontakan kaum tarekat Jalaliah ( Maulawiyah) di
Asia kecil. Kesempatan ini diambil oleh Syah Abbas dan berhasil merebut kembali Tibriz
dari tangan Turki. Setelah itu, dirampas juga Sirwan dan akhirnya diambilnya Baghdad
kembali yang sudah berkali- kali jatuh ke tangan Turki.[20]
Pemerintahan Syah Abbas I, yang hampir sewaktu dengan penguasa besar seperti
Elizabeth I dari Inggris, Philip II dari Spanyol, Ivan si mengerikan dari Rusia dan kaisar
Mughal Akbar menandai puncak kekuasaan politik Shafawiyyah dan juga kultur serta
peradaban Shafawiyyah, yang sebagian prestasi besarnya terlihat dalam keindahan
arsitektur Ishfahan yang tiada tandingannya. Pada masa ini Utsmaniyyah disingkirkan dari
Azarbyjan dan kendali Persia atau Caucacus timur dan teluk Persia menjadi kuat.
Hubungan diplomatik dengan Eropa dibina meski rancangan persekutuan bersar
Shafawiyyah- Eropa untuk melawan Utsmaniyah tidak pernah termanifestasikan., dan
tumbuh pula kontak perdagangan secara kultural.[21]
Pada Masa Abbas I inilah kerajaan Shafawi mengalami masa kejayaan yang
gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah :
1. Bidang Politik.
Secara politik ia mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu
stabilitas Negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh
kerajaan lain pada masa sebelumnya.
Di bawah pemerintahan Abbas I Kerajaan Safawi mencapai kekuasan
politiknya yang tertinggi. Pemerintahannya merupakan sebuah pemerintahan keluarga
yang sangat dihormati dengan seorang penguasa yang didukung oleh sejumlah
pembantu, tentara administrator pribadi. Sang penguasa saecara penuh mengendalikan
birokrasi dan pengumpulan pajak, memonopoli kegiatan industri dan penjualan bahan-
bahan pakaian dan produk lainnya yang penting, membangun sejumlah kota besar, dan
memugar sejumlah tempat keramat dan jalan-jalan sebagai ekspresi dari kepeduliannya
terhadap kesejahteraan rakyatnya.[22]
2.Bidang Ekonomi.
Dalam bidang ekonomi terjadi perkembangan ekonomi yang pesat setelah
kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal
ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antaraTimur dan Barat
yang biasanya diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis sepenuhnya menjadi
milik kerajaan Safawi. Selain itu Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian
terutama didaerah Bulan sabit subur (Fortile Crescent).[23]
Sedangkan di utara, di sekitar laut Kaspia, Shafawi juga menjalin hubungan
dagang dengan Rusia. Perdagangan di darat dari sentral Asia, tetapi melalui kota- kota
penting Shafawi, seperti Heart, Merv, Noshafur, Tbriz dan Baghdad.[24]
3.Bidang lmu Pengetahuan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Persia dikenal sebagai bangsa yang
berperadaban tinggi dan berjasa dam mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa
ilmuwan yang hadir di majlis istana antara lain, Baha al-Din al- Syaerazi (generalis
ilmu pengetahuan), Sadar al Din al- Syaerazi, filosof, dan Muhammad Baqir ibn
Muhammad Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan lebah). Dalam bidang ilmu
pengetahuan, mungkin dapat dikatakan Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada
kerajaan Mughal dan Turki Usmani.
4.Bidang Pembangunan Fisik dan Seni.
Dalam bidang Pembangunan Fisik dan Seni. Para penguasa kerajaan
menjadikan Isfahan menjadi kota yang sangat indah. Disana terdapat bangunan-
bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan rakasasa di
atas Zende Rudd dan istana Chilil Sutun.
Dalam hal seni, terdapat dalam kemajuan pada arsitektur bangunan yang terlihat
pada mesjid Shah yang dibangun pada 1611 M dan mesjid Lutf Allah yang dibangun
pada 1603 M. Terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik,
karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan lain- lain. Seni lukis
mulai dirintis pada masa raja Tahmasp I. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162
Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. (144-145).[25]
D. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Shafawi.
Sepeninggal Abbas I, Shafawi diperintah oleh raja-raja yang lemah dan memiliki
perangai dan sifat yang buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang respon dan timbul
sikap masa bodoh terhadap pemerintahan. Raja-raja yang memerintah setelah Abbas I
adalah :
Safi Mirza. Ia adalah raja yang kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Pada
pemerintahannya kota Qandahar ( sekarang termasuk wilayah Afghanistan) jatuh ketangan
kerajaan Mughal dan Baghdad direbut Turki Usmani.
Abbas II. Ia adalah raja yang suka mabuk, minum-minuman keras sehingga jatuh
sakit dan meninggal. Sepeninggalnya kota Qandahar dapat direbut kembali oleh wazir-
wazirnya.
Sulaiman. Ia juga seorang pemabuk dan sering bertindak kejam terhadap para
pembesar yang dicurigainya.
Shah Husein. Ia adalah pemimpin yang alim. Ia memberi kesempatan kepada para
ulama Syi’ah yang sering memaksakan kehendak terhadap penganut aliran sunni. Pada
masa pemerintahannya terjadi pemberontakan bangsa Afghan yang dipimpin oleh Mir
Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud. Pada masa pemberontakan Mir
Mahmud ini, kota Qandahar lepas dari Safawi, kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12
Oktober 1722 M Shah Husein menyerah.[26]
Tahmasp II. Dengan dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri
sebagai raja yang berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di Astarabad.
Kemudian ia bekerja sama dengan Nadhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang
menduduki kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian
Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan pada 1732 M.
Abbas III. Ia adalah pengganti Tahmasp II yang diangkat pada saat masih kecil.
Pada 1736 M, Abbas III dilengserkan kemudian Kerajaan safawi diambil alih oleh
Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah kerajaan Shafawi. Hanya satu abad setelah
ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami kehancuran.[27]
Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Shafawi :
1. Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
mazhab antara kedua kerajaan.
2. Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin Safawi.
3. Pasukam Ghulam yang dibentuk Abbas I tidak memiliki semangat perang seperti
Qilzibash yang dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak
melalui proses pendidikan rohani.
4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan
keluarga istana.[28]
III. PENUTUP
Safawi adalah salah satu dari ketiga kekhilafahan atau kerajaan Islam yang
dikategorikan besar di masa sejarah Islam pertengahan. Kekhilafahn ini berpusat di Persia
(sekarang, Iran). Dinasti Safawi berasal dari gerakan tarekat Safawiyah di Ardabil, sebuah
kota di Azarbaijan. Nama Safawi diambil dari nama pemimpin tarekat Safi al- Din. Kerajaan
Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti kerajaan Turki
Usmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi'ah dan dijadikan sebagai
madzhab Negara.
Dibanding dengan masa Turki Utsmani, masa pemerintahan Safawi tidak terlalu
lama, sekitar dua setengah abad kurang sedikit. Sekalipun dinasti Safawi tidak setaraf dengan
kemajuan yang dicapai Islam pada masa klasik, tetapi kerajaan ini telah meberikan
sumbangan kontribusi yang cukup besar dalam bidang peradaban melalui kemajuan-
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, arsitektur, kesenian dan tarekat.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Azmah. 2009.
Bosworth, C.E. Dinasti- Dinasti Islam.Bandung: Mizan. 1993.
Hakim, Moh. Nur. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press. 2004.
Lapidus,Ira m. Sejarah Sosoial Umat Islam. Jakarta: Rajawalipers. 1999.
Saepudin, Didin. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Uin Jakarta Press. 2007.
Supriyadi, Dedi. Sejarah dan Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2008.
Yatim, Badri. Sejarah dan Peradaban Islam. Jogjakrta: PT Raja Grafindo Persada. 1998.
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial ,Polotik dan Budaya Umat islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2004.
[1] Moh. Nur Hakim, Sejarah dan Peradaban Islam, ( Malang: UMM Press, 2004), hal. 141.
[2] Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 138.
[3] Ajid, Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2004), hal. 167.
[4] Dr. Badri Yatim, hal. 139.
[5] Ajid Thohir, hal. 170.
[6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Azmah, 2009), hal. 188.
[7] Dr. Badri Yatim, hal. 140
[8] Samsul Munir Amin, hal. 189.
[9] Ibid.
[10] Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 138.
[11] Ibid, hal. 143.
[12] Samsul Munir, hal. 190.
[13] Bosworth, hal. 197.
[14] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Uin Jakarta press,2007), hal. 179.
[15] Nur Hakim, hal. 142.
[16] Dr. Badri Yatim, hal. 142.
[17] Didin Saepudin, hal. 180.
[18] Dedi Supriyadi, Sejarah dan Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 255.
[19] Dr. Badri Yatim, hal. 143.
[20] Dedi Supriyadi, hal. 255.
[21] Bosworth, hal. 198.
[22] M. Ira Lapidus, Sejarah Sosoial Umat Islam, (Jakarta: Rajawalipers,1999), hal. 452.
[23] Dr. Badri Yatim, hal. 144.
[24] Ajid Thohir, hal. 176.
[25] Dedi Supriyadi, hal. 257.
[26] Dr. Badri Yatim, hal. 157.
[27] Dr. Badi Yatim, hal. 156
[28] Ibid, hal.158