Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog
Transcript of Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 1/13
Abunavis’s Weblogblog-nya Anang Hermawan
Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysisdalam Kajian MediaPosted on Desember 24, 2007 | 10 Komentar
Oleh : Anang Herm awan[1]
The political economy of information, as reference, for a communication scientific field, is
widely used as a generic term for the political and economic investigation of media discourse. As
media construction, an information, frequently represent political and economical interests.
Critical Discourse Analysis (CDA) become one important model to analyse relationship between
reality,, ideology and power relation in media. Interdiciplinary combination of linguistic theory,
critical theory, and political economics thought used to analyse how political or economical
interests play in media appearance.
Pendahuluan:
Kajian tentang ekonomi politik informasi boleh jadi merupakan kajian y ang relatif baru dalam
studi ilmu komunikasi. Istilah ’ekonomi politik informasi’ atau acapkali dipertukarkan dengan istilah
’ekonomi politik media’ merupakan istilah generik y ang digunakan secara luas untuk
mengkombinasikan kerangka teoritik komunikasi dengan kerangka teoritik politik dan ekonomi.
Keterikatan pada dimensi ekonomi dan politik menjadikan informasi menjadi ajang y ang rentan
terhadap pengaruh keduany a. Sebagai entitas y ang dikonstruksi media, apa y ang disebut sebagai
’informasi’ acapkali merepresentasikan kepentingan ekonomi sekaligus politik tertentu. Oleh
karenany a tulisan ini akan mencoba memulai dari perspektif mikro, y akni bagaimana kita terlebih
dahulu memandang informasi untuk lantas manapaki level y ang lebih makro y akni bagaimana
perspektif ekonomi politik lazim digunakan dalam melihat media.
Secara epistemologis, menemukan relasi antara dimensi ekonomi dan politik dalam kerja
media tentu saja menjadi pertany aan paling menarik. Berangkat dari apa y ang kita konsumsi sehari-
hari-hari melalui media; berita, iklan, film, atau berbagai tay angan hiburan, kita akan menengarai
terlebih dahulu pandangan ilmuwan sosial terhadap isi dari produk media itu. Sederhanany a, apapun
y ang kita terima dari media itulah y ang dalam tulisan ini kita sebut sebagai informasi. Informasi
tersusun atas serangkaian bahasa y ang terstruktur menurut aturan kelaziman pemakaian, sehingga
antara iklan dan berita tentu mempuny ai jenis, kadar dan muatan tersendiri. Sehingga dalam kajian
mengenai ekonomi politik informasi, penekanan terhadap bahasa menjadi penting. Bahkan tulisan ini
mencoba menengarai problem ekonomi dan politik media dengan berpijak pada analisis bahasa.
Bahasa menempati posisi terpenting dalam proses produksi dan distribusi informasi. Isi
media notabene merupakan sekumpulan bahasa y ang terangkai menjadi satuan-satuan struktural
y ang dapat dimaknai dan dipertautkan dengan realitas. Kendati demikian, bahasa itu sendiri pada
dasarny a adalah realitas tersendiri. Bahasa bukan saja mampu mengkorup realitas sedemikian rupa
sehingga ia tidak selalu sama persis dengan realitas y ang sesungguhny a, melainkan juga mampu
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 2/13
menciptakan citra y ang berlebihan terhadap realitas y ang sesungguhny a. Bahasa mampu
mengkonstruksi realitas, demikian ungkapan y ang lay ak digunakan untuk memperlihatkan
bekerjany a bahasa di dalam mereproduksi realitas y ang disampaikan pada khalay ak melalui media.
dalam ungkapan singkat, bahasa memproduksi wacana, y akni ketika suatu informasi direproduksi
melalui praktik berbahasa tertentu untuk menghubungkan antara realitas y ang diinformasikan
dengan khalay ak media.
Bahasa dan Representasi: Pergeseran T eoritik
Kemampuan bahasa untuk memproduksi wacana menjadi satu bahasan menarik untuk dikaji,
bukan saja karena penampilan realitas y ang boleh jadi berbeda akibat dari pemakaian bahasa,
melainkan juga karena pengguna bahasa (media) tak jarang menjadi suby ek y ang patut
dipertany akan posisiny a atas informasi y ang direproduksi. Isi media bukan saja menampilkan citra
realitas, melainkan sesungguhny a citra media itu sendiri. Oleh karenany a, kajian wacana bahasa
menjadi tolok ukur untuk menguji sejauh mana bahasa digunakan di dalam membentuk konstruksi
sosial. Informasi y ang tersaji dalam bentuk berita misalny a, pada tingkat tertentu dapat
mempengaruhi sudut pandang manusia tentang dunia di sekitarny a. Sementara, jika dipahami secara
mendetail, berita sendiri pada dasarny a merupakan serangkaian interpretasi y ang telah terolah
berdasar fakta atau peristiwa. Sehingga untuk mengatakan bahwa berita adalah sebuah entitas
oby ektif tentu masih meny impan sejumlah pertany aan. Di sisi lain, untuk mengatakan bahwa sebuah
berita disebut sebagai realitas suby ektif murni tentu juga tak beralasan karena untuk menuangkan
suatu peristiwa menjadi teks berita tentu menmbutuhkan persy aratan y ang disepakati bersama dan
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Terkait dengan kajian wacana bahasa itu sendiri, pertama kali harus dipahami bahwa model
ini merupakan salah satu bagian dari pemikiran y ang memandang berita sebagai konstruksi sosial
y ang bersifat suby ektif. Pemikiran tentang wacana memperlihatkan wilay ah teoritik tersendiri dalam
mengkaji isi media. dalam catatan Eriy anto (2001: 4), setidakny a terdapat tiga pandangan mengenai
keterkitan antara bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama berasal dari kaum posistiv isme
empiris y ang mey akini bahwa bahasa merupakan jembatan antara manusia dengan oby ek. Bahasa
dianggap sebagai sebuah realitas oby ektif y ang merefleksikan realitas begitu saja, oleh karenany a sisi
suby ektif pengguna bahasa diekslusikan sedemikian rupa. Distorsi realitas tentu saja tidak mendapat
tempat untuk diperhitungkan dalam pemahaman ini, karena bahasa dianggap telah merefleksikan
begitu saja realitas. Dalam kaitanny a dengan informasi alias produk media, paradigma posistiv isme-
empiris mey akini bahwa apa y ang dilakukan media seolah sekadar memindah realitas pertama
(realitas sosial) ke realitas kedua (realitas media) tanpa tendensi untuk melakukan distorsi.. Seolah-
olah, media adalah cermin dari realitas masy arakat y ang sesungguhny a. Dalam kajian media,
pandangan reflektif ini mendapat tempat melalui analisis isi kuantitatif y ang notabene merupakan
analisis struktural sederhana y ang tak mau terlibat jauh dengan kontek di luar bahasa.
Pada sisi lain, isi media tidak mungkin lagi dilihat sebagai cermin dari realitas. Key akinan ini
muncul dalam paradigma konstruktiv isme. Media tidak lay ak lagi disebut sebagai refleksi, melainkan
media sekadar ‘representasi’ apa y ang berlangsung dalam masy arakat, sehingga klaim-klaim oby ektif
untuk memahami bahasa media tidak lay ak lagi diterapkan. Pikiran manusia membawa konstruksi
nilai tertentu y ang kemudian dalam mewujud sebagai produk media. Dalam perspektif
konstruktiv isme, produk media adalah man made; sehingga suby ektiv itas manusia pembuatny a
adalah hal y ang wajar terjadi sehingga untuk disebut sebagai realitas oby ektif adalah tidak mungkin.
Menurut Eriy anto (2001:5), pandangan ini berasal dari tradisi fenomenologi y ang menolak
pemisahan antara suby ek dan oby ek bahasa. Suby ek atau pengguna bahasalah y ang menjadi faktor
IkutiFollow“Abunavis's Weblog”
Get every new post delivered
to your Inbox.
Enter your email address
Sign me up
Pow ered by WordPress.com
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 3/13
sentral dalam kegiatan wacana, karena suby eklah y ang mula-mula memilih dan menggunakan bahasa
untuk meny ampaikan maksud tertentu.
Perbedaan klaim dalam memandang produk media boleh jadi memang tak akan berakhir
karena berbedany a paradigma y ang digunakan. Lantas bagaimana dengan “makna” akhir dari suatu
informasi atau produk media? Jika dinaikkan ke tingkat epistemologis, paradigma posistiv isme
empirik dan paradigma konstruktiv is berimplikasi pada sejauh mana tingkat pemaknaan y ang dapat
dihasilkan praktik berbahasa media. Sebuah informasi akan berbeda makna ketika menengarainy a
menggunakan paradigma y ang berbeda dan sesungguhny a inilah y ang menjadi salah satu basis
perbedaan pemahaman di antara kedua paradigma tersebut.
Perbedaan cara pandang itu dapat kita tilik dengan menggunakan pola Lasswellian y ang
mengandaikan komunikasi sebagai who says what in which channel to whom with what effect
(McQuail & Windahl, 1993:13-14). Oleh Harold D. Lasswell, komunikasi digambarkan sebagai proses
transmisi pesan (isi media/produki media) dari komunikator (media) kepada komunikan
(pembaca/khalay ak) melalui media dengan efek tertentu. Muncul semenjak tahun 1948, rumusan
komunikasi Laswellian bertahan selama puluhan tahun. Model tersebut memperkuat diriny a dengan
beragam metodologi y ang mengindikasikan sejauh mana pengaruh media terhadap khalay ak. Model
komunikasi tersebut memperlihatkan perlakuan awal dari perilaku komunikasi pada paruh pertama
tahun 40-an y ang kurang lebih melibatkan komunikasi sebagai kegiatan persuasif. Secara implisit,
dapat dikatakan setiap pesan (isi media / informasi) memiliki efek sehingga dalam kaitanny a dengan
media massa, komunikasi mempuny ai kecenderungan untuk menggerakkan efek bagi khalay ak
(McQuail & Windahl, 1993: 14). Oleh karenany a dapat dikatakan bahwa peran penguasaan makna ada
pada komunikator. Jika terdapat kegagalan komunikasi, maka diperiksalah letak kegagalan itu pada
salah satu unsur y ang terdapat pada rumusan itu, entah pada komunikator atau isi pesanny a. Maka
metode analisis ini (content ananlysis) mendapat sandaran epistemologis dari paradigma ini.
Berbeda halny a dengan pendekatan posistiv isme empirik, perspektif konstruktiv is justru
memperhatikan peran penguasaan makna dari y ang semula condong pada komunikator, kini beralih
pada komunikan atau receiver. Peran lebih untuk memaknai diberikan kepada penerima pesan y ang
dalam konteks ini istilahny a bukan lagi komunikan melainkan reader atau ’pembaca’. Setiap khalay ak
y ang dikenai message adalah pembaca. Membalik model komunikasi Laswellian, peran y ang aktif
dari pembacalah y ang kini menentukan makna, sehingga produk media tidak lay ak lagi menduduki
peran sebagai message, melainkan justru sebagai ”teks” y ang maknany a akan sangat tergantung
kepada kemampuan pembaca untuk menafsirkan. Oleh karenany a, dalam perspektif ini tidak ada lagi
apa y ang disebut sebagai kegagalan komunikasi, karena komunikator pada hakikatny a telah
kehilangan kekuasaan untuk memaksa makna sesuai keinginan. Komunikator boleh saja mempuny ai
maksud tertentu atas teks y ang ditransmisikan, tetapi persoalan pemahaman terhadap makna akhir
dari teks akan sangat tergantung pada kemampuan pembaca y ang puny a kebebasan penuh
menafsirkan. Isi dari media bukan lagi sebuah produk y ang selalu lentur terhadap perubahan dan
perbedaan makna, karena setiap ’reader’ secara bebas memaknai apa y ang mereka baca.
Dari perspektif terakhir, pengertian komunikasi pun sewajarny a berubah. Dalam bahasa
Fiske, komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna (Fiske, 1990: 1). Paralel dengan pengertian
itu, sebuah produk media lantas tidak lay ak lagi untuk disebut sebagai refleksi, melainkan
representasi. Konsep mengenai ’representasi’ itu sendiri hadir menempati tempat baru dalam studi
komunikasi dan kebuday aan buday a. Tumbuhny a kajian kebuday aan dalam studi ilmu sosial dan
humaniora cenderung menempatkan pentingny a makna. Berkaitan dengan komunikasi, secara
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 4/13
khusus Alan O’Connor bahkan menggambarkan buday a sebagai proses komunikasi dan pemahaman
y ang aktif dan terus-menerus (O.Connor, 1990: 29). Dari gambaran ini kita dapat mengambil satu
pengertian bahwa pemaknaan terhadap teks-teks kebuday aan (termasuk produk media) tergantung
pada pemahaman suby ektif di antara aktor atau suby ek di dalam lingkungan kebuday aanny a.
Realitas y ang tampil dalam produk media merupakan hasil konstruksi y ang boleh jadi telah
mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurny a faktor suby ektiv itas dari
pelaku representasi alias orang-orang y ang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan
reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa y ang tersaji di media
seringkali tidak selalu persis dengan apa y ang ada di realitas empirik. Mey akini realitas media
sebagai hasil konstruksi sama halny a dengan memandang suatu fenomena y ang diibaratkan seperti
gunung es. Permukaan y ang terlihat seringkali hany a sebagian kecil dari keny ataan sesungguhny a,
dan sebalikny a apa y ang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada giliranny a peran
pemaknaan oleh ‘pembaca’ menjadi hal penting karena pembacalah y ang mempuny ai otoritas untuk
melihat sejauh mana bagian y ang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa
konstruktiv is, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian y ang (seringkali) tak terlihat itu
disebut sebagai ‘memaknai’.
Persoalanny a adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi
mempuny ai otoritas untuk memaksa makna-makna y ang mereka kehendaki sehingga peran
pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Pada saat pembaca mempuny ai kekuasaan penuh untuk
memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa
y ang melaluiny a sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol y ang mengartikan atau
merepresentasikan makna y ang ingin dikomunikasikan oleh pelakuny a, atau dalam istilah y ang
dipakai Stuart Hall untuk meny atakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda (Hall, 1997 : 5).
Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsep-konsep, gagasan atau
perasaan sedemikian rupa y ang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau
menginterpretasikan maknany a.
Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui
bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa y ang memungkinkan
pembaca menunjuk pada dunia y ang sesungguhny a dari suatu oby ek, realitas, atau pada dunia
imajiner tentang oby ek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall
memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, y akni mental representations dan
bahasa (Hall, 1997 :17 ). Mental representations bersifat suby ektif, indiv idual; masing-masing orang
memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus
menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi
karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama.
Istilah umum y ang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan y ang membawa makna adalah
tanda (sign).
Pada akhirny a, persoalan membaca dan memaknai tanda itu tidaklah hadir dari ruang
kosong. Hal ini mengingatkan kita pada pendekatan strukturalisme y ang secara khusus memulai
pemaknaan dari relasi antartanda. Dalam cakupan y ang lebih luas, sebuah teks tidaklah berdiri
sendiri. Selalu ada teks-teks lain y ang mengiringi teks atau lazim disebut sebagai konteks. Apapun
fenomena sosial sesungguhny a bisa disebut sebagai konteks, sepanjang memang masih secara
struktural bertalian dengan wilay ah tanda y ang tengah dibaca. Dalam kaitan ini, kajian komunikasi
mampu menembus dimensi lain y ang tidak mungkin dijangkau dengan metode hubungan pengaruh
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 5/13
y ang bersifat positiv istik. Terdapat terobosan penting di mana kajian komunikasi menerima
linguistik sebagai satu model untuk membaca fenomena lain y ang bukan terbatas pada bahasa.
Sejumlah konsep y ang berasal dari tradisi lingusitik dalam penerapanny a terny ata mampu
digunakan sebagai model untuk melihat fenomena lain y ang fenomena lain y ang bukan hany a
bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai konteks. Pada ranah metodologis, tradisi
konstruktiv isme melahirkan apa y ang disebut sebagai metode analisis wacana (discourse analysis).
Pada aras ini muncul paradigma ketiga y ang disebut sebagai pandangan kritis / critical
theory (Eriy anto, 2001: 6). Paradigma ini muncul sebagai sebentuk koreksi terhadap paradigma
konstruktiv isme y ang dianggap kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna y ang
terjadi secara historis maupun institusional. Dalam studi media, meski masih dalam kerangka kerja
analisis wacana, paradigma kritis mencoba menggapai sejumlah kemungkinan lain y ang
mempengaruhi proses produksi dan reproduksi makna. Para penganut paradigma ini percay a bahwa
produksi dan reproduksi makna dipengaruhi pula oleh konstelasi kekuatan y ang ada di balik teks.
Maka bahasa tidak mungkin menjadi medium y ang netral dalam merepresentasikan realitas, bahasa
sesungguhny a terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena mendapat pengaruh y ang sangat kuat
dari teori kritis, maka pendekatan wacana pada paradigma terakhir ini disebut sebagai analisis
wacana kritis (critical discourse analysis / CDA).
Dari sinilah sesungguhny a diskusi mengenai ekonomi dan politik media akan kita mulai. Pada
saat seluruh fenomena sosial –termasuk fenomena ekonomi dan politik- berkelindan membentuk
jalinan makna teks, maka samar-samar sisi ekonomi dan politik media mulai kelihatan di balik isi
media. Sebagaimana halny a isi media, media pun sebagai sebuah lembaga ekonomi tidaklah hadir
dalam ruang kosong. Media acapkali menjadi ajang pertarungan bagi kepentingan ekonomi dan
politik tertentu. Persoalanny a adalah bahwa metode struktural murni y ang kerap diwakili oleh
analisis semiotika dan analisis wacana konvensional belum tentu cukup untuk dijadikan sebagai
penjalin analisis di dalam rangka menemukan keterikatan maupun kepentingan ekonomi politik dari
media. Terdapat sejumlah keterbatasan pada saat analisis struktural konvensional hany a meny elami
konteks ’bahasa’ semata tanpa terlalu jauh meny entuh aspek lain di luar bahasa.
Dalam perjalananny a, analisis semiotika mengalami perkembangan y akni di perluasanny a
y ang mencakup konteks ’bahasa’. Keny ataanny a praktik penggunaan bahasa dalam seringkali
mengandung unsur politis, sehingga mengandaikan bahasa sebagai sebuah satuan struktural y ang
bebas dari kepentingan politik adalah sebuah pandangan y ang bukan saja naif, melainkan justru
meny ingkirkan bahasa itu sendiri dari potensiny a y ang lay ak untuk dianalisis dari sudut pandang
politik dan ekonomi. Maka perhatian analisis struktural y ang memandang bahasa sebagai wilay ah
apolitis pelan-pelan tergantikan dengan gay a baru analisis struktural y ang menandaikan bahasa
sebagai sebuah alat politik sekaligus ekonomi. Pada aras ini, metode penelitian semiotika mulai
ditinggalkan, dan muncullah metode analisis baru y ang disebut sebagai analisis wacana media
(discourse analysis).
Berangkat dari bahasa, analisis mutakhir ini memampukan diriny a untuk memahami
bagaimana realitas dibingkai alias direproduksi dan didistribusikan ke khalay ak ’pembaca’. Produk
media adalah sebentuk konstruksi sosial y ang melaluiny a pembaca merumuskan pandanganny a
tentang dunia. Analisis ini memampukan pembaca melakukan rekonstruksi, bukan hany a peristiwa
atau informasi y ang disajikan oleh produk media, melainkan juga aspek politis bahasa. Dan ini adalah
sebuah kerja y ang sangat menarik, seorang pembaca beranjak dari perspektif mikro menuju makro,
dari wilay ah struktur bahasa ke struktur kognitif pelaku representasi (media). Lazimny a, analisis ini
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 6/13
bekerja menggali praktek-praktek bahasa bawah sadar (undermine) untuk menemukan posisi
ideologis dari narasi, dan mempertautkanny a dengan struktur y ang lebih luas. Dengan demikian
metode analisis wacana media merupakan salah satu model analisis kritis y ang memperkay a
pandangan pembaca bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik. Keterkaitan
ini dapat dimunculkan pada saat analisis wacana bergerak menuju pertany aan tentang ’bagaimana’
bahasa bekerja dalam konteks tertentu dan ’mengapa’ bahasa digunakan dalam konteks tertentu dan
bukan untuk konteks y ang lain.
Bahasa dan Ekonom i Politik Media: Dari T eks ke Ideologi?
Dengan analisis wacana media, maka pemikiran kritis dalam keilmuan sosial mendapatkan
tempat untuk diadopsi. Selain sebagai semacam alat ukur, pemikiran kritis meny ediakan beragam
perspektif baru y ang acapkali tak terduga, karena jalinan produksi, distribusi dan konsumsi teks
ny atany a bukan saja melay ani kepentingan ekonomi produsenny a. Bahkan kepentingan politik dari
’sang pengarang’ pun lazim dijumpai. Pada akhirny a posisi ideologis ’sang pengarang’ (the author)
lazimny a dapat ditilik dari analisis wacana. Sehingga posisi pembaca pada dasarny a adalah
mengkritisi realitas lain y ang tersembuny i dari teks. Realitas itu biasany a tetap tersembuny i, dan
sepanjang kejelian untuk menemukanny a akan menghadirkan jalinan ideologis y ang hadir di balik
representasi produk media.
Pada saat kita berupay a untuk memahami relasi antara sistem ekonomi dan politik y ang
berkelindan dalam proses produksi dan distribusi produk media (bahasa), maka sesungguhny a
’pembacaan’ atau ’pemaknaan’ y ang kita lakukan itu telah masuk dalam wilay ah ekonomi politik
media. Berjalinny a semangat ekonomi dan politik dalam teks memungkinkan terintegrasiny a bahasa
ke dalam proses ekonomi, politik, sosial, dan buday a dalam masy arakat. Ekonomi politik media
komunikasi / media berupay a untuk membuat media bukan hany a sebagai pusat perhatian pokok,
melainkan sebagai bagian dari suatu struktur y ang terkait dengan ekonomi dan politik. Oleh
karenany a, memulai kajian ekonomi politik media dari kajian bahasa media merupakan sebentuk
analisis kritis, karena dari analisis teks dimungkinkan munculny a perhatian pada kritisisme terhadap
aspek ekonomi dan politik media. Maka bukan hal aneh jika Mohammadi dan Mohammadi
meny atakan bahwa sudut pandang ekonomi politik media merupakan bagian dari perspektif kritis
selain cultural studies, teori kritis Frankfurt School, teori resepsi pesan, dan semiotika. (Downing,
1990: 15). Ambillah satu contoh, bagaimana kajian dari penggunaan bahasa tertentu oleh media
tertentu memunculkan pertany aan: mengapa isu tertentu ditenggelamkan dengan penggunaan
bahasa tertentu di media X, sementara y ang lain kok tidak, atau oleh media lain justru dimunculkan
secara terang-terangan? Mengapa pemberlakuan sensorship dilakukan dengan cara itu? Siapa
pemilikny a? Bagaimana dinamika politis dari bahasa media X? Seribu satu pertany aan dapat
dimunculkan untuk sekadar mempertalikan wilay ah bahasa dengan ekonomi dan politik media.
Dari struktur bahasa ke struktur eknomi dan politik. Demikian kira-kira alur pertany aan y ang
lay ak dikedepankan dalam melihat teks sebagai sebuah infrastruktur kepentingan ekonomi dan
politik. Dari sekadar pertany aan sekitar bagiamana bekerjany a struktur bahasa dan struktur kognitif
creator-ny a, perhatian ekonomi politik media kemudian beralih kepada sejauh mana kepemilikan,
kontrol dan kekuatan operasional pasar media. Dari sudut pandang ini, perhatian perspektif ekonomi
olitik media mengarah pada sejauh mana produksi dan pertukaran isi media berlangsung di dalam
situasi ekonomi dan politik tertentu. Menjadi satu rahasia umum, bahwa kekuatan pemilik modal dan
pembuat kebijakan media mempuny ai pengaruh langsung terhadap produksi dan distribusi bahasa
media. Mengambil satu contoh, bagaimana wacana bahasa media pada masa Orde Baru dahulu
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 7/13
cenderung dicirikan dengan eufemisme. Di satu sisi, eufemisme adalah gejala struktural teks,
sementara tekanan politik dan kepentingan bisnis pemilik media adalah konteksny a. Keny ataanny a,
dengan membaca konteks itu, pembaca akan mafhum bahwa terny ata kepentingan politik penguasa
dan kepentingan ekonomi pemilik modal mengambil peran utama dalam penciptaan eufemisme.
Konon, dalam bahasa Ben Anderson, realitas eufemistik dalam bahasa Orde Baru sejatiny a adalah
peny embuny ian terhadap realitas y ang sesungguhny a begitu ‘keras’ (Latif dan Ibrahim, 1996: 36).
Bahasa eufemistik sebenarny a bukan hany a menutupi realitas y ang sesungguhny a, melainkan
menciptakan realitas baru bagi penciptany a. Peny embuny ian realitas itu sesungguhny a
menampilkan ideologi dari pemakai bahasa alias produsen media.
Akan halny a dengan ideologi sendiri, terdapat bany ak varian pengertian ideologi, meski
secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide y ang
meny usun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode y ang menentukan bagaimana
sesorang menggambarkan dunia atau lingkunganny a. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme
klasik y ang menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) y ang diabadikan
oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masy arakat (Littlejohn, 1996: 228). Pengertian lain dapat
pula diambil dari post-Marxisme y ang menjadi cikal bakal teori kritis.
Teoritisi kritis kontemporer cenderung percay a bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat
ideologi tunggal y ang bermain dalam masy arakat. Ideologi bukan sesuatu y ang pejal, rigit dan
diperjuangkan dalam suasana heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masy arakat. Dalam
pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan
bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjany a sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa,
sehingga apa y ang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masy arakat y ang
mewadahi sebuah idelogi tertentu. Ambillah misalny a pendapat seorang penganut Marxis terkenal,
Louis Althusser, y ang meny atakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masy arakat dan timbul
dalam praktik ny ata y ang dilakukan oleh beragam institusi dalam masy arakat (Littlejohn, 1996: 29).
Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan y ang
mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di
belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana
bekerjany a sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci
untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa
ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturny a, kemudian makna
dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial y ang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip
intertekstualitas)
Tentu saja tak ada y ang benar-benar oby ektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa
pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan
terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahny a struktur boleh jadi akan mengubah makna
ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturny a (Takwin, 1999).
Sehingga ideologi merupakan realitas suby ektif y ang hadir di masy arakat, lentur, cair dan siap
berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu y ang sifatny a halus dan seringkali tidak
disadari, sehingga ideologi tidak lagi dipandang dalam tradisi Marxisme klasik y ang mengatakanny a
sebagai kesadaran palsu (false conciousness). Ini y ang kemudian membedakan pengertian ideologi
antara Marx dan Althusser. Tokoh terakhir ini justru memaknai ideologi sebagai ketidaksadaran
y ang begitu mendalam (profoundly unconciousness) y ang praktikny a dalam diri manusia
berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 8/13
Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh struktur sosial
seperti y ang ia sebut sebagai ideological state apparatus / ISA dan reppresive state apparatus /
RSA (Althusser, 1994: 151). Melalui gagasanny a ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh
lembaga sosial dan politik terlibat puny a andil dalam peny ebaran ideologi dan dominasi distribusi
makna. Melalui Althusser, sebuah model analisis struktural dapat dikembangkan pada penglihatan
pada bagimana bekerjany a hubungan kekuasaan antar struktur masy arakat, y ang, tentu saja sebatas
penggunaanny a pada bahasa. Media, sebagai bagian struktur y ang berurusan dengan bahasa
seringkali ditunjuk sebagai biang keladi dari peny ebar ideologi. Dalam paandanganny a, media
komunikasi merupakan communication ISA , di mana mereka bekerja pada wilay ah privat atau tanpa
menggunakan kekerasan fisikal. Kerja ideilogi pada wilay ah ini berlangsung seperti halny a proses
cuci otak y ang menenggelamkan kesadaran masy arakat sehingga masy arakat dibawa pada
ketidaksadaran y ang begitu mendalam.
Teori Althusser memang dibangun dari tradisi Marxis tentang ideologi sebagai kesadaran
palsu, y ang mana penekanan pran ideologi dalam memelihara kekuatan politik maupuh ekonomi
berkaitan dengan penggunanny a y ang non koersif. Seorang Marxis dari generasi kedua, Antonio
Gramsci, kemudian memperkenalkan konsep ideologi ini dalam istilah y ang berbeda: hegemoni.
Singkatny a, hegemoni merupakan upay a pemenangan y ang terus-menerus (winning and rewinning)
konsensus secara tetap bagi may oritas bagi sistem y ang berada di bawahny a (Kleden, 1987 : 17 6).
Gramsci sendiri memandang bahwa masy arakat terdiri atas dua struktur utama, y akni kelas dominan
dan kelas subordinat. Kelas dominan diny atakanny a sebagai kelas y ang leading dan dominant. Y ang
pertama menunjuk pada kepemimpinan dari kelas berkuasa untuk menunjuk pada “musuh” bersama,
sedangkan y ang kedua adalah dengan mendominasi musuh bersama itu (Gramsci, 1994: 215).
Konsep tentang musuh dan kawan di dalam hegemoni merupakan kerja ideologis, karena dia
ditetapkan oleh kelas y ang berkuasa melalui konsensus. Dalam kaitanny a dengan kerja media, media
merupakan alat untuk memperjuangkan konsensus agar sesuai benar dengan keinginan penguasa di
dalam menentukan siapa kawan siapa lawan, apa y ang baik dan apa y ang buruk.
Dalam konteks politik media, Gramsci meletakkan pengertian hegomoni ini dalam dua arti
y akni dalam tindak kekerasan dan penguasaan intelektual. Dalam arti y ang terakhir, Gramsci
menempatkan kerja ideologi sebagai alat untuk melumpuhkan kesaran kritis masy arakat. Dan media
adalah salah satu instrumen y ang digunakan oleh kelas y ang berkuasa untuk memaksakan
ideologiny a. Dengan konsep hegemoni ini, Gramsci menolak ideologi sebagai hasil kreasi indiv idu
y ang arbitrer dan psikologis. Publik alias ‘pembaca’ sesungguhny a tidak mempuny ai kebebasan
untuk memaknai apa y ang mereka ‘baca’, karena makna telah dipaksakan ke benak melalui struktur
bahasa. Dari sudut pandang politik media, hubungan media vis a vis negara ini sangat mungkin
memperlihatkan bekerjany a media sebagai pelay an kepentingan ideologi negara selaku kelas paling
dominan dalam struktur politik. Suatu saat media sangat mungkin memproduksi serangkaian
ideologi y ang terpadu, merangkai nilai dan norma y ang masuk akal, kendati itu sebenarny a hany alah
untuk melegitimasi struktur sosial politik di mana kelas y ang dikuasai pada akhirny a secara tidak
sadar berpartisispasi dalam lingkungan kelas dominan. Dalam bahasa Gitlin, hegemoni berlangsung
melalui “keahlian sistematik untuk menegakkan ‘aturan’ melalui persetujuan massa” (Shoemaker dan
D. Reese: 1996: 237 ).
Wacana Media Dalam Perspektif Ekonom i Politik
Bagaimana konstelasi media di tengah situasi ekonomi dan politik? Itu barangkali merupakan
pertany aan terakhir y ang harus dijawab pada saat seorang reader hendak mengakhiri pembacaan
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 9/13
terhadap produk media. Makna akhir dari sebuah “pembacaan” sebenarny a adalah sebuah gambaran
tentang sejauh mana media mengambil posisi di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam
seting kepemilikan (ekonomi) dan seting kekuasaan (politik). Wilay ah ini barangkali adalah abstraksi
y ang paling advanced. Penelusuran dari taraf mikro (tekstual) tiba-tiba dihadapkan pada
serangkaian konsep teoritik tentang relasi sosial, ekonomi dan jalinan kekuasaan y ang berlangsung
dalam produksi dan distribusi bahasa media. Dalam menjelaskan relasi ini, Vincent Mosco
menawarkan tiga konsep penting untuk mendekatiny a y akni: komodifikasi (commodification),
spasialisasi (spatialization) dan strukturasi( structuration) (Mosco, 1996:139).
Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta
nilai gunany a menjadi suatu komoditas y ang mempuny ai nilai tukar di pasar. Memang terasa aneh,
karena produk media umumny a adalah berupa informasi dan hiburan. Sementara kedua jenis produk
tersebut tidak dapat diukur seperti halny a barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi
konvensional. Aspek tangibility-ny a akan relatif berbeda dengan ‘barang’ dan jasa lain. Kendati
keterukuran tersebut dapat dirasakan secara fisikal, tetap saja produk media menjadi barang
dagangan y ang dapat dipertukarkan dan berilai ekonomis. Dalam lingkup kelembagaan, awak media
dilibatkan untuk memproduksi dan mendistribusikanny a ke konsumen y ang beragam. Boleh jadi
konsumen itu adalah khalay ak pembaca media cetak, penonton telev isi, pendengar radio, bahkan
negara sekalipun y ang mempuny ai kepeny ingan denganny a. Nilai tambahny a akan sangat ditentukan
oleh sejauh mana produk media memenuhi kebutuhan indiv idual maupun sosial.
Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu meny ajikan produkny a di depan
pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada aras ini maka struktur kelembagaan media
menentukan peranny a di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan peny ampaian produk media di
hadapan khalay ak. Perbincangan mengenai spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media,
apakah berbentuk korporasi y ang berskala besar atau sebalikny a, apakah berjaringan atau tidak,
apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Acapkali lembaga-lembag ini
diatur secara politis untuk menghindari terjadiny a kepemilikan y ang sangat besar dan meny ebabkan
terjadiny a monopoli produk media. Sebagai contoh, diterbitkanny a UU Peny iaran No 32 tahun 2002
merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk meniadakan monopoli informasi dan
kepemilikan modal. Undang-undang ini juga mensy aratkan agar ke depan tidak ada lagi telev isi
nasional y ang siaran di daerah sebelum berjaringan dengan stasiun telev isi lokal. Secara politis,
kebijakan ini dijalankan untuk menjamin diversity of content, karena sepanjang stasiun telev isi
nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siaranny a hany a akan didominasi oleh muatan
dari ‘pusat’. Sementara di sisi lain, secara ekonomi diberlakukanny a undang-undang ini adalah untuk
memancing hadirny a media-media baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of
ownership. Ini akan berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepemilikan media telev isi nampakny a
hany a dikuasai oleh sebagian kecil pemilik modal y ang berbasis di pusat politik.
Terakhir, strukturasi berkaitan dengan relasi ide antaragen masy arakat, proses sosial dan
praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur
sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur
mampu bertindak melay ani bagian y ang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian
hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial
y ang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulany a
dikembangkan oleh Anthony Giddens (Mosco, 1996: 212).
Terdapat sejumlah pandangan krusial ketika kita menempatkan berkelindanny a media
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 10/13
dengan dimensi ekonomi politik. Jika Mosco menawarkan tiga perspektif, maka Peter Golding dan
Graham Murdock (dalam James Currant & Michael Gurev itch, 1991: 15) membagi perspektif
ekonomi politik media ke dalam dua perspektif besar y akni perspektif liberal dan perspektif kritis.
Perspektif liberal akan cenderung memfokuskan pada isu pertukaran pasar dimana konsumen akan
secara bebas memilih komoditas media media sesuai dengan tingkat kemanfaatan dan kapuasan y ang
dapat mereka capai berdasarkan penawaran y ang ada. Semakin besar pasar memainkan peran, maka
semakian luas pula pilihan y ang dapat diakses oleh konsumen. Sebagai sebuah produk kebuday aan,
media harsu diberikan kesempatan seluas-luasny a untuk dimiliki oleh siapapun secara bebas dan tak
kenal batas.
Golding dan Murdock kemudian lebih memberatkan kajian ekonomi politik media dari
perspektif kedua, y akni perspektif kritis. Pertimbanganny a adalah bahwa media semestiny a dilihat
secara lebih holistik, karena produksi, distribusi dan konsumsi media berada dalam sebuah
lingkungan sosial, ekonomi dan politik y ang strukturny a saling mempengaruhi. Boleh jadi media
kemudian mengambil peran di dalam di dalam mendominasi isi pesan dan melegitimasi kelas
dominan. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensiny a terhadap komodifikasi
produk media. Pada aras inilah maka sesungguhny a perbincangan mengenai ideologi, kepentingan
kekuasaan mendapat tempat. Dalam sudut pandang Marxis, preferensi pemilik modal memampukan
lembaga media mengambil peran sebagai peny ebar kesadaran palsu y ang meninabobokan khalay ak
(reader). Atau, media dapat digunakan untuk melancarkan hegemoni dengan menutupi atau
merepresentasikan kepentingan kelas berkuasa. Pada wilay ah terakhir ini, produksi teks hakikatny a
merupakan bentuk latent dari kekuasaan y ang bekerja dalam lembaga media.
******
SENARAI PUSTAKA ACUAN
Currant, James and Michael Gurevitch, Mass Media and Society, Edward Arnold,
London, 1991
Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning
The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California,
1990.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LkiS, Yogyakarta, 2001.
Fiske, John,Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990.
Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices,
Sage Publications, London, 1997.
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987
Latif, Yudi dan Idi Subandi Ibrahim, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di
Panggung Orde Baru, Mizan, Bandung, 1996.
McQuail, Denis & Sven Windahl, Communication Models For The Study of Mass
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 11/13
Communications, Longman, London, 1993.
Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont,
California, 1996.
Mosco, Vincent The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal,
Sage, London, 1996
Storey, John (ed.), Cultural Theory and Popular Culture, Harvester Wheatsheaf, New
York, 1994
Shoemaker, Pamela J. & Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of
Influences on Mass Media Content, Longman, 1996
Takwin, Bagus: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, dalam Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I
No. 2, Agustus 1999.
[1] Staf pengajar Program Studi Ilm u Kom unikasi Universitas Islam Indonesia. T ulisan
ini diterbitkan dalam Jurnal Kom unikasi UII Volum e 1 Nom or 1, Oktober 2006.
Memuat...
10 RESPON UNTUK DARI TEKS KE EKONOMI POLITIK: CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS DALAM
KAJIAN MEDIA
You May Like
1.
About these ads
Suka
Tulisan ini dipublikasikan di Artikel dan tag analisis wacana kritis, critical discourse analy sis,
discourse, diversity of content, diversity of ownership, ekonomi politik, ekonomi politik informasi,
ekonomi politik komunikasi, ekonomi politik media, false conciousness, Frankfurt School, Graham
Murdock, ideologi, ideological state apparatus, intertekstualitas, John Fiske, komodifikasi, Peter
Golding, profoundly unconciousness, reppresive state apparatus, representasi, semiotika,
spasialisasi, strukturasi, tanda, teks, teori kritis, Vincent Mosco, wacana media. Tandai permalink.
fitri diani | Februari 16, 2008 pada 1:56 am | Balas
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 12/13
ekonomi politik media duh ap y a…
blm ngerti tuch cz baru balajar semester 6 ini…
nah dosenny a ini y g nulis blog ini pak anang..
sukses buat pak anang…
Setyawati | April 18, 2008 pada 6:56 am | Balas
Say a suka artikel Bung Anang. Sekarang say a sedang menulis skripsi tentang discourse
anally sis. Say a pengen….sepengen pengenny a conrtact Bung Anang buat discuss masalah
say a.
I’m looking forwrd to it
Tengky u…..
dyah | April 24, 2008 pada 12:28 am | Balas
kay akny a ada satu lagi y ang monta dibimbing.
say a juga sedang menulis skripsi tentang analisa media
Suci Pramanisa | Oktober 14, 2008 pada 2:43 pm | Balas
assalamualaikum wr wb
blog ini memberikan informasi y ang sy a butuhkan untuk TA krn sy a meneliti tentang
Kuasa kepemilikan media.
kebetulan pk Anang adL dosen pembimbing sy a.
suksess buat pk Anang
sy a sangat mebutuhkan teori2 apa sja y ang relevan dpakai dlm ekopol??
sy a mohon bimbingan na
trimakasii
wassalamualaikum wr wb
onndz | Oktober 27, 2008 pada 12:17 pm | Balas
let me request something that could probably migth adapt to this real world particularly
in global economics politic..i would be pleased if u could make a particular article on
economy politic in term of current problems especially focus on asean politics
environment..malay sia-indonesia probably , but not american politic which only burden
up in term of real implementation..atleast i could adapt it in hometown soon
love to read it sooner or later..thanx lot
david | November 11, 2008 pada 9:41 am | Balas
bagus sih pak anang, uraianny a
tentang ekonomi poltik media.
apa benar inti dari tulisanny a berkisar pada idiologi dari penguasa media?
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog
abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 13/13
Blog pada WordPress.com. Tema: Coraline oleh WordPress.com.
atau media sebagai representasi penguasa
tx y a pa anang
bedjo | Februari 13, 2009 pada 10:06 am | Balas
say a sgt tertarik sm ekopolmed…
di kmpusku matkul itu uda kelar smt5, tp ku pgn bgt bisa gunakan pendekatan eko-pol-
med buat skripsi say a…
tp say angny a, di kmpus say a dosenny a jg ngaku baru blajar ttg ilmu y ang tergolong baru
di dunia ilmu komunikasi tsb.
kalo pak anang sedia bimbing say a,
step by step. wah alangkah bahagiany a say a…
rara | Mei 8, 2009 pada 8:49 am | Balas
asslmkm, wr, wb.
say a tercengang ketika membaca artikel ini, karena rupany a inilah artikel y ang say a
perlukan. selain itu say a juga merasa sangat berkeinginan untuk berdiskusi langsung
dengan bapak Anang Hermawan, itupun jika bapak berkenan membalas email say a..
Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensiny a terhadap komodifikasi
produk media (kalimat y ang say a ambil dari artikel bapak)
komodifikasi berita adalah penelitian y ang say a sedang lakukan saat ini,untuk itu mohon
kirany a bapak membalas email say a..
terima kasih
wasalm..
beasiswa s1 | Juni 2, 2009 pada 7:07 pm | Balas
CDA emang unik, tapi agak pusing juga waktu nerapin dalam skripsi. maksih y a udah
share, jadi bahan referensi neh..
yoi | Juni 16, 2009 pada 6:06 pm | Balas
salam kenal, jika ada kesempatan kunjungi blog say a si bujang lapuk thx..