DAMPAK FASILITATOR MASYARAKAT PADA PROGRAM PERBAIKAN GIZI …
Transcript of DAMPAK FASILITATOR MASYARAKAT PADA PROGRAM PERBAIKAN GIZI …
i
DAMPAK FASILITATOR MASYARAKAT PADA PROGRAM PERBAIKAN GIZI MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
TERHADAP STATUS GIZI BADUTA DI KABUPATEN JENEPONTO PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2011
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan oleh :
HASRUDDIN
Kepada
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2012
ii
DAMPAK FASILITATOR MASYARAKAT PADA PROGRAM PERBAIKAN GIZI MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
TERHADAP STATUS GIZI BADUTA DI KABUPATEN JENEPONTO PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2011
IMPACT Of Community Facilitators (CF) On Nutrition Improvement Program Through Community Empowerment Towards Nutrition
Status Of Under Two Years Old Babies At Jeneponto Regency South Sulawesi Province In 2011
HASRUDDIN
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2012
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Hasruddin Nim : P 180 320 7508 Program Studi : Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Gizi Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya tulis ini benar – benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau
pemikiran orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, Mei 2012
Hasruddin
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulir panjatkan khadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai
salah satu syarat penyelesaian pendidikan pada program studi Gizi Kesehatan
Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, motovasi, dan
semangat dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
penulisan tesis ini, maka tesis ini tidak akan terselesaikan sebagaimana adanya
sekarang.
Penyusunan tesis ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, tanpa
bimbingan dan arahan dari penasehat kami. Oleh karena itu pada kesempatan ini
izinkanlah kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam – dalamnya
kepada Ibu Dr.Nurhaedar Jafar.,Apt.,M.Kes selaku Ketua Komisi Penasihat dan
Bapak Dr. dr.Burhanuddin Bahar.,MS selaku anggota Komisi Penasihat atas
bantuan dan bimbingan yang telah dicurahkan, mulai dari pengembangan ide awal
sampai seleasainya penulisan tesis ini.
Pada kesesmpatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada:
vi
1. Rektor dan Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin yang
telah memberikan kesempatan pada penulis untuk bisa melanjutkan
pendidikan sampai ke jenjang Pascasarjana.
2. Bapak Dr.dr. Noer Bachry Noor., M.Sc, selaku ketua Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat serta staffnya yang telah memberikan banyak bantuan
bagi penulis demi kelancaran penelitian ini
3. Bapak Dr. dr.Burhanuddin Bahar.,MS, selaku ketua Konsentrasi Gizi dan
seluruh dosen Program Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan
begitu banyak ilmu kepada penulis selama penulis dalam proses perkuliahan.
4. Tim Penguji Tesis : Prof.Dr.dr. Veny Hadju, Phd, Prof.Dr. Faisal Attamimi
dan DR. Saifuddin Sirajuddin, MS atas segala masukan dan saran yang
diberikan kepada penulis.
5. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto dr. H. Alim Alwi, M.Kes,
yang telah memberikan kesempatan pada penulis melanjutkan pendidikan ke
program pascasarjana
6. Bupati Jeneponto dan jajarannya yang telah memberikan izin melanjutkan
pendidikan dan penelitian..
7. Rekan DPIU NICE Proyek Jeneponto, Haerullah Lodji dan H. Arifin serta
rekan – rekan PPCU propinsi Sulawesi – selatan Pak Ahmad, Pak Herman
dan Pak Agus windiarso yang telah memberikan bantuan dan masukan dalam
penelitian kami
8. Kepala seksi gizi beserta stafnya atas bantuannya memberikan data data yang
kami butuhkan.
vii
9. Para staf kami di Puskesmas Binamu kota atas pengertian dan kerjasamanya.
10. Teman – teman seperjuangan dalam menuntut ilmu di konsentrasi Gizi
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Unhas tidak sempat
penulis sebutkan satu persatu dan telah lebih dahulu menyelesaikan
pendidikannya, atas kerjasamanya dalam suka maupun duka.
11. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu - perssatu, atas segala
bantuannya sejak penulis mulai menuntut ilmu hingga menyelesaikan
penyusunan hasil penelitian ini, semoga segala yang telah diberikan bernilai
ibadah dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Akhirnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
khusus kepada orang tua saya yang telah memelihara saya sejak kecil dengan
penuh kasih sayang sehingga saya tumbuh seperti sekarang ini. Ucapan terima
kasih yang tak terhingga pula penulis sampaikan khusus kepada istri tercinta
Kasmayanti, dan anak – anakku yang sangat saya banggakan Muh Yusuf dan
Ahmad Syaqib, atas kebersamaan, kesabaran, keikhlasan, pengertian dan
dukungannya selama ini. Demikian pula halnya kepada saudara – saudaraku
tercinta, kedua mertua dan adik iparku dan keluarga lainnya yang tidak sempat
disebutkan satu persatu yang telah mendukung perjuangan selama ini. Semoga
amal kebaikan mereka dilipatgandakan oleh Allah SWT.
Walaupun tesis ini disusun dengan mencurahkan segala pikiran dan tenaga
yang penulis miliki secara maksimal, namun penulis tetap menyadari akan adanya
keterbatasan sebagai manusia biasa sehingga penulisan tesis ini tentunya masih
sangat jauh dari kesempurnaan baik materi maupun penyajiannya. Oleh karena itu
viii
dengan penuh kerendahan hati penulis sangat mengharapkan masukan dan saran
demi penyempurnaan tesis ini.
ix
x
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii
PERNYATAAN .................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................. ix
ABSTRACT ........................................................................................... x
DAFTAR ISI .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN. ................................................................... 01
A. Latar Belakang................................................................... 01
B. Rumusan Masalah ............................................................... 08
C. Tujuan Penelitian. ............................................................... 08
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 09
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. .......................................................... 10
A. Evaluasi Dampak Pendampingan ........................................ 10
B. Program Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan Masyarakat ............................................................... .......... 17
C. Fasilitator Masyarakat. ........................................................ 29
D. Status Gizi. ......................................................................... 37
E. Kerangka Teori . ................................................................. 46
F. Kerangka Konsep . .............................................................. 47
G. Definisi Operasional ........................................................... 49
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 52
A. Desain Penelitian. .............................................................. 52
B. Lokasi Penelitian................................................................ 52
xii
C. Populasi dan Sampel .......................................................... 52
D. Jenis dan cara Pengumpulan Data ...................................... 53
E. Kontrol Kualitas ................................................................. 53
F. Teknik Analisa Data .......................................................... 54
BAB IV HASIL DAN PEMBAHANASAN .......................................... 56
A. Kareakteristik Desa Binaan NICE ....................................... 56
B. Kinerja Fasilitator Masyarakat ............................................ 59
C. Prevalensi Status Gizi Kurang ............................................. 83
D. Dampak Kegiatan Pendampingan. ...................................... 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. ................................................ 101
A. Kesimpulan......................................................................... 101
B. Saran. .................................................................................. 102
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Karakteristik Desa/kelurahan Binaan....................................... 57 Tabel 2 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator Input ........................................................................ 60 Tabel 3 Distribusi Kinerja Proses Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
Indikator Pelaksanaan SMD, MMD, DKT dan atau Positif Deviant ................................................................................... 63
Tabel 4 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator
pembuatan proposal ................................................................ 64 Tabel 5 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator Fasilitasi penyusunan rencana kerja PGM ................ 66 Tabel 6 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator laporan keuangan dan kegiatan KGM ....................... 67 Tabel 7 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator Penyuluhan dan konsultasi gizi................................. 69 Tabel 8 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator penggerakan sasaran untuk berkunjung ke posyandu 70 Tabel 9 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator pemberian paket intervensi gizi ................................ 71 Tabel 10 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator pelayanan gizi .......................................................... 72 Tabel 11 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator Inisiator Rapat/Pertemuan ........................................ 73 Tabel 12 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator Evaluasi PGM .......................................................... 75 Tabel 13 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator Koordinasi Dengan Pemangku Kepentingan ............. 76 Tabel 14 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan
indikator Kunjungan Rumah ................................................... 78
xiv
Tabel 15 Hubungan indikator kinerja input dan proses ........................... 79 Tabel 16 Perubahan Parameter menurut Indikator Output Sebelum dan
Setelah Intervensi ................................................................... 84 Tabel 17 Hasil Analisis Korelasi Spearman Kinerja Fasilitator
Masyarakat dengan Prevalensi Gizi Kurang ............................ 86
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Persentase Kader Aktif, Keberhasilan Program dan Partisipasi
Masyarakat ............................................................................ 58
Gambar 2 Prevalensi Gizi Kurang di Desa Binaan NICE ........................ 83
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Format Penilaian Indikator Kinerja Fasilitator Masyarakat (FM)
Lampiran 2 Pedoman Penilaian FM Oleh KGM
Lampiran 3 Data Umum Desa Nice
Lampiran 4 Hasil Analisis Data
Lampiran 5 Daftar Riwayat Hidup Peneliti
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Masalah gizi di Indonesia sampai saat ini masih memprihatinkan, dan
terbukti menghambat pertumbuhan ekonomi, berkaitan erat dengan tingginya
angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya tingkat kecerdasan yang berakibat
pada rendahnya produktifitas, pengangguran dan kemiskinan. Hal ini mendasari
masalah Gizi menjadi salah satu faktor penting penentu pencapaian Millenium
Development Goals.
Secara nasional pada tahun 2005 terdapat 100 juta penduduk Indonesia
mengalami berbagai jenis masalah gizi (Gizi dalam angka 2005). Sekitar 1,7 juta
bayi dan anak balita menderita gizi buruk. Anemia Gizi Besi (AGB) masih
diderita pada sekitar 1,9 juta ibu hamil dan 8,8 juta pada kelompok balita. KVA
juga masih merupakan masalah karena 11 juta balita memiliki serum retinol yang
rendah (< 20 µg/dl). (Gizi dalam angka 2005)
Gangguan Kekurangan Yodium (GAKY) masih merupakan masalah gizi
utama di Indonesia. Hal ini ditandai sekitar 73 kabupaten/kota merupakan daerah
endemis sedang dan berat serta sekitar 40 juta penduduk tinggal di daerah rawan
GAKY.
Masalah gizi disebabkan faktor-faktor ketersediaan pangan dalam rumah tangga,
asuhan gizi keluarga dan akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan. Pada saat
ini, 50% rumah tangga masih mengalami kekurangan konsumsi pangan dengan
2
rata-rata asupan kalori dibawah kecukupan sehari-hari (<2100 K.kal). Hal ini
diperberat dengan asuhan gizi keluarga yang belum mendukung seperti praktik
menyusui eksklusif masih rendah sekali (7,8%), balita ditimbang di Posyandu
masih rendah (43%), keluarga mengkonsumsi garam beryodium dengan kualitas
cukup masih rendah (73%), dan keluarga makan belum beraneka ragam. (Gizi
dalam angka 2005)
Akses pelayanan kesehatan, baik pelayanan dasar maupun rujukan, belum
menjangkau seluruh masyarakat terutama kelompok penduduk miskin. Cakupan
suplementasi kapsul vitamin A pada anak balita masih rendah (60%), cakupan
distribusi tablet besi pada ibu hamil juga masih rendah (60%), cakupan
suplementasi kapsul vitamin A pada ibu nifas masih sangat rendah (45%). Belum
semua Puskesmas dan Rumas Sakit mampu menyediakan pelayanan gizi yang
berkualitas seperti; konseling gizi, konseling menyusui dan tatalaksana gizi buruk.
(Gizi dalam angka 2005)
Hal-hal tersebut diatas antara lain dipengaruhi oleh menurunnya dukungan
Pemerintah Daerah terhadap program perbaikan gizi di era otonomi daerah,
aktivitas posyandu yang menurun, sistem surveilans gizi yang tidak jalan,
terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga ahli gizi puskesmas, keterbatasan sarana
dan prasarana penunjang pelayanan gizi termasuk biaya operasional.
Hanya 50% dari seluruh penduduk Indonesia yang mendapatkan akses air
minum (Susenas, 2002). Di area perdesaan angka ini bahkan lebih rendah yaitu
hanya 41%. Baru 10 kota di Indonesia yang memiliki jaringan air limbah dengan
tingkat pelayanan sekitar 1,3% dari seluruh jumlah populasi. Sedangkan di daerah
3
perdesaan dilaporkan 52% penduduk yang memiliki akses sanitasi dasar, angka ini
diperkirakan lebih rendah karena data ini tidak mencantumkan kepemilikan sarana
dan bagaimana standar teknis dan kesehatannya. (Gizi dalam angka 2005)
Terkait dengan permasalahan di atas maka diperlukan suatu upaya terobosan
yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk mengatasi masalah tersebut di atas.
Upaya yang akan dikembangkan adalah model perbaikan gizi melalui
pemberdayaan masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat baik di
perdesaan maupun di perkotaan. Untuk ini akan dilaksanakan Proyek Perbaikan
Gizi melalui Pemberdayaan Masyarakat (NICE) dengan fokus pada penguatan
kelembagaan, penyelenggaraan pelayanan gizi terintegrasi, pemberdayaan gizi
masyarakat, perluasan program fortifikasi dan komunikasi gizi.Penyebab status
gizi kurang dapat bersifat langsung ataupun tidak langsung.
Kajian terhadap penyebab naiknya gizi kurang dan gizi buruk di Sulsel
antara tahun 2007 ke tahun 2010 tidak linier dengan program kesehatan gratis
yang telah dicanangkan pemerintah Sulsel dan juga gambaran kenaikan
pendapatan perkapita tahun 2010. Pendapatan per kapita masyarakat Sulawesi
Selatan Rp 13 juta. Upah Minimum Provinsi (UMP) di Sulawesi Selatan tahun
2011 merupakan kelima terbesar di Indonesia (Prop Sulsel. Go.id)
Propinsi Sulawesi Selatan pada kurun waktu 2004 sd 2006 telah memiliki
program pemberdayaan gizi masyarakat dengan dirintisnya program tenaga gizi
pendamping (TGP) khususnya terkonsentrasi pada kecamatan gerbang taskin di
Sulsel. Hasil evaluasi program pendampingan cukup menggembirakan dengan
penempatan ahli gizi madya di tingkat desa sebagai tenaga gizi pendamping
4
(TGP)masyarakat dengan label asuhan gizi keluarga. Cakupan kapsul vitamin A,
cakupan garam beryodium dan partisipasi masyarakat (D/S) meningkat pada awal
dan akhir kegiatan pendampingan gizi. Cakupan vitamin A meningkat dari
83.67% menjadi 100%, keluarga yang menggunakan garam beryodium meningkat
dari 49.88% menjadi 64.49%, dan kunjungan balita ke posyandu (D/S) meningkat
dari 44.7% menjadi 78.1%. Program pendampingan gizi dapat menurunkan angka
gizi kurang dan gizi buruk, yaitu gizi kurang dari 26.97 menjadi 11.6% dan gizi
buruk dari 2.29% menjadi 0.7%. Kontribusi pendampingan sangat korelasi dengan
penurunan gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 2007 sesuai dengan publikasi
riset kesehatan dasar tahun 2007. (Ismail A, 2008)
Hasil studi pendampingan gizi dengan model tungku (hearth) di Haiti
membuktikan bahwa setiap tahun dapat diturunkan prevalensi kurang gizi sebesar
10,9% (intervensi), 6,9% (pembanding) dalam waktu 1 tahun sedangkan pada
studi Dobusson at.all (1994) mampu menurunkan 30,6% (intervensi) dan tidak
mengalami penurunan pada kelompok pembanding dalam jangka waktu 3 tahun.
Sirajuddin (2007) dalam hasil penelitiannya tentang penerapan model tungku
dalam pendampingan gizi di Kabupaten Selayar Sulawesi Selatan tahun 2006
melaporkan bahwa penerapan model tungku mampu meningkatkan status
pertumbuhan kelompok intervensi sebesar 28.6%, meskipun peningkatannya tidak
mampu menyamai status pertumbuhan kelompok pembanding (42.4%). Program
pendampingan keluarga di Kabupaten Selayar tersebut mampu meningkatkan
asupan zat gizi balita, sekaligus menggambarkan adanya perbaikan pola
5
pengasuhan gizi pada kelompok intervensi setelah dilakukan pendampingan
selama 3 bulan.
Ismail (2008) melakukan studi evaluasi penempatan Tenaga Gizi
Pendamping (TGP) di tingkat desa yang berada di kecamatan Gerakan
Pembangunan dan Pengentasan Kemiskinan (Gerbang Taskin). Pada tahun 2005
program ini hanya meliputi 5 lima kabupaten kemudian dikembangkan di 10
kabupaten pada tahun 2006. Pada tahun 2007 program gizi pendamping meliputi
semua kabupaten/kota kecuali Selayar dan Makassar. Hasil evaluasi program
pendampingan gizi dapat menurunkan angka gizi kurang dan gizi buruk, yaitu gizi
kurang dari 26.97 menjadi 11.6% dan gizi buruk dari 2.29% menjadi 0.7%.
Program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat ada sejak
tahun 2007 di 6 propinsi dan 24 kabupaten/kota, sedang untuk Sulawesi selatan
ada di empat Kabupaten/kota (Jeneponto, Maros, Makassar dan Pangkep) dengan
nama Nutrition Inprovement through Community Empowerment (NICE) Project.
NICE adalah sebuah program pemberdayaan masyarakat dengan sumberdaya dan
potensinya dapat mengenali, mencegah dan mengatasi masalah gizi dan kesehatan
yang dihadapinya. Sasarannya adalah bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dan
anak sekolah terutama keluarga miskin. Unsur pokok kegiatan NICE adalah
Pemberdayaan gizi masyarakat yang terdiri dari paket gizi masyarakat (PGM),
kelompok Gizi Masyarakat (KGM) dan Fasilitator Masyarakat (FM).
Program pemberdayaan gizi masyarakat yang telah dilakukan dalam
periode 2007 sampai saai ini (2011) adalah NICE Project. Salah satu kabupaten
yang menjadi area NICE adalah Kabupaten Jeneponto. Hasil baseline data di
6
Kabupaten Jeneponto dalam rangka studi evaluasi implementasi pemberdayaan
masyarakat melalui project NICE dengan 200 sampel rumah tangga diketahui
bahwa status gizi balita (BB/U) adalah gizi buruk dan gizi kurang masing masing
10,6%, 19,8%, status gizi menurut indeks TB/U adalah sangat pendek dan pendek
masing masing 23,5% dan 23%. Status Gizi menurut indeks BB/TB adalah sangat
kurus dan kurus masing masing 6.9% dan 12%.
Proporsi balita yang menimbang di Posyandu tiga kali dalam enam bulan
terakhir adalah 67.3% sedangkan di seluruh kabupaten NICE adalah 69.9%.
Persentase ibu yang masih menyusui di Kabupaten Jeneponto adalah 87.5%
sedangkan di Kabupaten Kontrol 85.1%. Alasan memberikan makanan lain yang
tepat di kabupaten Jeneponto hanya 36% sedangkan di kabupaten kontrol 60.5%.
Pola konsumsi makanan ibu hamil yang baik adalah 17.3% sedangkan kontrol
32.7%. Konsumsi garam beriodium adalah 24.5% sedang Kontrol 91.5%.
Konsumsi suplemen vitamin A dua kali setahun adalah 87,9% sedangkan kontrol
87%. Data diatas membuktikan bahwa tidak semua parameter kinerja perbaikan
gizi menunjukkan proporsi yang lebih baik daerah NICE dengan daerah kontrol.
Jawaban atas penyebab hasil yang bervariasi atas beberapa parameter perbaikan
gizi memerlukan kajian yang sistematis dan cermat. (Depkes, 2010)
Dari data diatas terlihat bahwa masih begitu banyak masalah gizi dan
kesehatan yang di alami oleh bangsa ini sehingga diperlukan suatu upaya
terobosan yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk mengatasi masalah tersebut
di atas. Upaya yang dikembangkan adalah model perbaikan gizi melalui
7
pemberdayaan masyarakat (NICE). Salah satu propinsi yang memperoleh program
tersebut adalah Sulawesi Selatan dan salah satu kabupatennya adalah Jeneponto.
Program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat di kab.
Jeneponto ada sejak tahun 2008 namun pelaksanaannya efektif berjalan sejak
bulan april 2009 dengan direkrutnya Fasilitator Masyarakat, namun program
tersebut belum memperlihatkan hasil yang di inginkan berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Depkes tahun 2010 yaitu untuk kabupaten jeneponto prevalensi
gizi buruk dan kurang berdasarkan indeks BB/U adalah 10,6% dan 19,8%
sedangkan status gizi kurus dan sangat kurus berdasarkan indeks BB/TB adalah
12% dan 6,9%.
Hal ini masih jauh dari tujuan yang diharapkan pada program ini yaitu
meningkatkan status gizi balita, ibu hamil dan ibu menyusui terutama keluarga
miskin. Dan dampak yang di harapkan dalam program ini yaitu (1). Prevalensi
gizi kurang BB/U setinggi tingginya 20%. (2) Prevalensi Balita Gizi kurus
BB/TB,PB setinggi tingginya 5%. (3). Prevalensi anemia Bumil 30% (4)
Prevalensi anemia balita 35%. Oleh sebab itu perlu dilakukan penilaian kinerja
Fasilitator masyarakat terkait input dan proses serta dampak fasilitator
masyarakat pada program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat
karena sampai saat ini belum pernah dilakukan studi terhadapkinerja fasilitator
masyarakat pada program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat di
Kabupaten Jeneponto.
8
B. Rumusan Masalah Penelitian.
Berdasarkan hal tersebut diatas makarumusan masalahnya adalah:
Bagaimana dampak kegiatan fasilitator masyarakat pada program perbaikan gizi
melalui pemberdayaan masyarakat terhadap status gizi baduta di desa binaan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi
dampak kegiatan fasilitator masyarakat terhadap perbaikan status gizi masyarakat
di Kabupaten Jeneponto.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya informasi kinerja fasilitator masyarakat (input, proses, output)
disetiap desa dalam wilayah kerja pendampingan di Kabupaten Jeneponto
b. Diketahuinya informasi prevalensi status gizi masyarakat di setiap desa
dalam wilayah kerja pendampingan di Kabupaten Jeneponto
c. Diketahuinya dampak kegiatan pendampingan terhadap perbaikan status
gizi masyarakat desa di Kabupaten Jeneponto.
9
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Kepentingan Pengembangan Program Gizi
a. Sebagai bahan kajian Dirjen Bina Gizi Masyarakat Depkes RI
(Gizi Makro) terhadap pengembangan model pendampingan
sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pencegahan dan
Penanggulangan Gizi Buruk di Indonesia.
b. Sebagai masukan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan dalam
menindaklanjuti pengembangan model pendamping sebagai salah
satu model intervensi gizi berkelanjutan.
c. Sebagai sebuah studi efektivitas pengembangan dalam
pemberdayaan gizi masyarakat di Propinsi Sulawesi Selatan.
2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan
a. Menguji hipotesis bahwa pemdekatan perbaikan gizi dengan model
pendampingan,mampu meningkatkan status gizi balita
b. Menjadi bahan informasi ilmiah terhadap pengembangan model
pendampingdalam bidang gizi dan kesehatan di Indonesia
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Evaluasi Dampak Pendampingan
Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur dan memberi nilai secara
objektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan terlebih dahulu.
Diharapkan hasil-hasil penilaian akan dapat dimanfaatkan untuk mencapai umpan
balik bagi perencanaan kembali. Dalam tahap penilaian pihak penilai
membuktikan, mengukur, dan memverifikasi secara objektif apa yang telah
direncanakan, diproyeksikan, dan diramalkan oleh pihak perencana. Dengan
demikian keberhasilan rencana kegiatan, rencana program dan rencana pelayanan
kesehatan hanya dapat dibuktikan melalui suatu evaluasi (Maidin MA, 1999).
Evaluasi merupakan suatu proses untuk menyediakan informasi tentang
sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah tercapai, bagaimana perbedaan
pencapaian itu dengan standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih
diantara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila
dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh (Umar H, 2003).
Menurut kamus istilah manajemen, evaluasi adalah ”proses bersistem dan
objektif yang menganalisa sifat dan ciri pekerjaan di dalam suatu organisasi atau
pekerjaan”. Levey (1973) mengatakan: ”To evaluated is to make a value jadment,
it involves comparing, something with another and then making either choice or
action decision”.
11
Secara ekplisit, pengertian evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan
tahap-tahap di dalam suatu siklus program, yang secara umum dapat dibagi tiga
kategori, yaitu (1) evaluasi pada tahap perencanaan (input), (2) evaluasi pada
tahap pelaksanaan (process) dan (3) evaluasi pada tahap akhir pelaksanaan
(output).
1. Evaluasi pada tahap perencanaan (input)
Kata evaluasi sering digunakan pada tahap perencanaan dalam rangka
mencoba dan menentukan skala prioritas terhadap berbagai alternatif dan
kemungkinan terhadap cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Untuk itu diperlukan berbagai teknik yang dapat dipakai oleh para perencana.
Satu hal yang patut dipertimbangkan dalam kaitan ini adalah bahwa metode-
metode yang ditempuh dalam pemilihan prioritas tidak selalu sama setiap
keadaan, melainkan berbeda-beda menurut hakekat dari permasalahannya sendiri.
2. Evaluasi pada tahap pelaksanaan (process)
Evaluasi pada tahap pelaksanaan ini adalah suatu kegiatan yang dilakukan
untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan rencana.
Terdapat perbedaan antara evaluasi menurut pengertian ini dengan monitoring
atau pengendalian. Monitoring menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai
sudah tepat dan bahwa program tersebut direncanakan untuk dapat mencapai
tujuan tersebut. Monitoring melihat apakah pelaksanaan program sudah sesuai
rencana dan bahwa rencana tersebut sudah tepat untuk mencapai tujuan.
Sebaliknya evaluasi melihat sejauhmana proyek masih tetap dapat mencapai
tujuannya, apakah tujuan tersebut sudah berubah, atau dengan kata lain, apakah
12
pencapai hasil program tersebut akan memecahkan masalah yang ingin pecahkan.
Evaluasi ini juga mempertimbangkan faktor-faktor luar yang mempengaruhi
keberhasilan proyek baik yang membantu maupun yang menghambat.
Evaluasi proses dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. apa yang sudah dilakukan
b. apakah sudah sesuai dengan rencana dan strategi yang dikembangkan, yaitu:
- kepada siapa
- oleh siapa
- kepada berapa banyak target sasaran
- berapa kali
- untuk berapa lama
- bagaimana caranya
- kapan
- dimana
Evaluasi proses sebenarnya juga serupa dengan monitoring proses.
Evaluasi proses memberikan informasi apakah program menjangkau terget
sasaran. Ia juga memberikan informasi tentang keputusan-keputusan yang sudah
dibuat hingga masih memberikan kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan kecil
yang dibuat, sebelum kesalahan tersebut menjadi kesalahan yang lebih besar.
Evaluasi proses juga memberikan informasi tentang cara yang paling efektif dan
efisien melancarkan intervensi (Mantra IB, ).
13
3. Evaluasi pada tahap akhir pelaksanaan (output)
Pengertian evaluasi pada tahap akhir pelaksanaan ini hampir sama dengan
evaluasi pada tahap pelaksanaan, hanya perbedaaanya yang dinilai dan dianalisa
bukan lagi tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan rencana,
melainkan hasil pelaksanaan dibandingkan dengan rencana, yaitu apakah dampak
yang dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai.
Perencanaan programVenugopal (Mardikanto,1993) mendefinisikan
perencanaan program sebagai suatu prosedur kerja bersama-sama masyarakat
dalam upaya untuk merumuskan masalah (keadaan-keadaan yang belum
memuaskan) dan upaya pemecahan yang mungkin dapat dilakukan demi
tercapainya tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Pendapat yang hampir sama
dikemukakan oleh Mueller (Mardikanto,1993) yang mengartikan perencanaan
program sebagai upaya sadar yang dirancang atau dirumuskan guna tercapainya
tujuan (Kebutuhan, keinginan, minat) masyarakat, untuk siapa program tersebut
ditujukan.
Perencanaan adalah salah satu fungsi dari siklus manajemen program.
Perencanaan adalah usaha untuk mencapai tujuan dengan segala macam metoda
sedetail mungkin diformulasikan sebelumnya tentang apa yang akan dicapai,
berapa, dimana, bilaman dan oleh siapa (Aji FB, Sirait SM, 1990).
Perencanaan merupakan kegiatan pemikiran, penelitian, perhitungan dan
perumusan tindakan-tindakan yang akan dilakukan dimasa yang akan datang, baik
14
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan operasional dalam pengelolaan logistik,
pengorganisasian, maupun pengendalian logistik (Dwianta L, Sumarto RH, 2004).
Menurut Newman, perencanaan adalah penentuan terlebih dahulu apa yang
akan dikerjakan. Pada umumnya suatu rencana yang baik memuat enam unsur
yaitu: tha what, the why, the where, the when, the who, the how. Jadi suatu
rencana yang baik harus memberikan jawaban kepada enam pertanyaan berikut:
1) tindakan apa yang harus dilakukan
2) apakah sebabnya tindakan itu harus dikerjakan
3) dimana tindakan itu harus dikerjakan
4) kapan tindakan itu dilaksanakan
5) siapa yang akan mengerjakan
6) bagaimana caranya melaksanakan tindakan itu
Dalam kaitan perencanaan program ini Martinez (Mardikanto, 1993)
mengungkapkan bahwa perencanaan program merupakan upaya perumusan,
pengembangan, dan pelaksanaan program-program. Perencanaan program
merupakan suatu proses yang berkelanjutan, melalui semua warga masyarakat,
penyuluh dan para ilmuwan memusatkan pengetahuan dan keputusan-keputusan
dalam upaya mencapai pembangunan yang mantap. Di dalam perencanaan
program, sedikitnya terdapat tiga pertimbangan yang menyangkut: hal-hal, waktu,
dan cara kegiatan-kegiatan yang direncanakan itu dilaksanakan. Martinez juga
menekankan bahwa perencanaan program merupakan proses berkelanjutan,
melalui mana warga masyarakat merumuskan kegiatan-kegiatan yang berupa
serangkaian aktivitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan-tujuan tertentu
15
yang diinginkan masyarakat setempat. Sehubungan dengan pengertian
perencanaan program ini, Lawrence (Mardikanto,1993) menyatakan bahwa
perencanaan program penyuluhan menyangkut perumusan tentang: (a) proses
perancangan program, (b) penulisan perencanaan program, (c) rencana kegiatan,
(d) rencana pelaksanaan program (kegiatan), dan (e) rencana evaluasi hasil
pelaksanaan program tersebut. Dari beberapa definisi dan pengertian tentang
perencanaan program tersebut, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
perencanaan program merupakan proses berkesinambungan tentang pengambilan
keputusan menyangkut situasi, pentingnya masalah, atau kebutuhan, perumusan
tujuan, dan upaya pemecahan yang mungkin dilakukan untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan. Keputusan yang diambil pada perencanaan program harus
mengandung pengetahuan yang tepat di masa yang akan datang. Hal inilah yang
membedakan perencanaan dengan peramalan.Perencanaan harus dapat mengukur
hasil-hasil yang dicapai berdasarkan pengetahuan yang tepat tentang kondisi
masyarakat.
Monitoring (pemantauan) Program
Pemantauan program merupakan upaya supervisi dan rewiew kegiatan yang
dilaksanakan secara sistematis oleh pengelola program, untuk melihat apakah
pelaksanaan program sudah sesuai dengan yang direncanakan. Monitoring atau
pemantauan sering kali disebut juga evaluasi proses. Pemantauan merupakan
upaya untuk mengamati cakupan program seperti seberapa banyak terget sasaran
yang direncanakan sudah terjangkau. Sedangkan mengamati pelayanan program
ialah menentukan apakah program sudah dilaksanakan seperti yang diharapkan.
16
Maksud pemantauan adalah agar seawal mungkin bisa menemukan dan
memperbaiki masalah dalam pelaksanaan program. Pemantauan bukan pengujian
pihak luar terhadap pelaksanaan program, tetapi merupakan alat yang
dipergunakan oleh pelaksana program untuk mengungkapkan hal-hal yang tadinya
tidak diperkirakan waktu perencanaan dan memerlukan perbaikan.
Evaluasi (penilaian)
Evaluasi ialah suatu proses menentukan nilai atau besarnya sukses dalam
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Proses ini paling sedikit
mencakup langkah-langkah berikut: memformulasikan tujuan,
mengidentifikasikan kriteria yang tepat yang akan dipakai mengukur sukses,
menentukan dan menjelaskan besarnya sukses, dan merekomendasikan untuk
kegiatan program selanjutnya.
Klineberg mendifinisikan evaluasi sebagai suatu proses yang
memungkinkan administrator mengetahui hasil programnya, dan berdasarkan itu
mengadakan penyesuaian-penyesuaian untuk mencapai tujuan secara efektif. Jadi
menurut Klineberg, maka evaluasi itu tidak sekedar menentukan keberhasilan atau
kegagalan, tetapi juga mengatahui mengapa keberhasilan atau kegagalan itu
terjadi dan apa yang bisa dilakukan terhadap hasil-hasil tersebut.
Hal ini tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan berikut:
1) perubahan macam apa yang diinginkan
2) apa cara yang dipakai untuk menciptkan perubahan tersebut
3) apa buktinya bahwa perubahan yang terjadi disebabkan oleh cara yang dipakai
4) apa arti dari perubahan yang terjadi
17
5) adakah pengaruh-pengaruh yang diharapkan yang terjadi akibat adanya
perubahan tersebut.
Dapat didefinisikan bahwa evaluasi merupakan penentuan (apakah
berdasarkan pendapat, catatan atau data objektik atau subjektif) hasil (apakah
diharapkan atau tidak; sementara atau permanen, hasil langsung atau hasil yang
dilihat beberapa waktu kemudian) yang diperoleh sebagai hasil suatu kegiatan,
yang didesai untuk mencapai suatu tujuan tertentu (apakah tujuan jangka panjang,
jangka menengah atau jangka pendek).
B. Program Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan Masyarakat
1. Latar Belakang
Masalah gizi di Indonesia sampai saat ini masih memprihatinkan, dan
terbukti menghambat pertumbuhan ekonomi, berkaitan erat dengan tingginya
angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya tingkat kecerdasan yang berakibat
pada rendahnya produktifitas, tingginya pengangguran dan kemiskinan. Hal ini
mendasari masalah Gizi menjadi salah satu faktor penting penentu pencapaian
Millenium Development Goals.
Secara nasional pada tahun 2005 terdapat 100 juta penduduk Indonesia
mengalami berbagai jenis masalah gizi (Gizi dalam angka 2005). Sekitar 1,7 juta
bayi dan anak balita menderita gizi buruk. Anemia Gizi Besi (AGB) masih
diderita pada sekitar 1,9 juta ibu hamil dan 8,8 juta pada kelompok balita. KVA
juga masih merupakan masalah karena 11 juta balita memiliki serum retinol yang
rendah (< 20 µg/dl).
18
Gangguan Kekurangan Yodium (GAKY) masih merupakan masalah gizi
utama di Indonesia. Hal ini ditandai sekitar 73 kabupaten/kota merupakan daerah
endemis sedang dan berat serta sekitar 40 juta penduduk tinggal di daerah rawan
GAKY.
Masalah gizi disebabkan faktor-faktor ketersediaan pangan dalam rumah tangga,
asuhan gizi keluarga dan akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan. Pada saat
ini, 50% rumah tangga masih mengalami kekurangan konsumsi pangan dengan
rata-rata asupan kalori dibawah kecukupan sehari-hari (<2100 K.kal). Hal ini
diperberat dengan asuhan gizi keluarga yang belum mendukung seperti praktik
menyusui eksklusif masih rendah sekali (7,8%), balita ditimbang di Posyandu
masih rendah (43%), keluarga mengkonsumsi garam beryodium dengan kualitas
cukup masih rendah (73%), dan keluarga makan belum beraneka ragam.
Akses pelayanan kesehatan, baik pelayanan dasar maupun rujukan, belum
menjangkau seluruh masyarakat terutama kelompok penduduk miskin. Cakupan
suplementasi kapsul vitamin A pada anak balita masih rendah (60%), cakupan
distribusi tablet besi pada ibu hamil juga masih rendah (60%), cakupan
suplementasi kapsul vitamin A pada ibu nifas masih sangat rendah (45%). Belum
semua Puskesmas dan Rumas Sakit mampu menyediakan pelayanan gizi yang
berkualitas seperti; konseling gizi, konseling menyusui dan tatalaksana gizi buruk.
Hal-hal tersebut diatas antara lain dipengaruhi oleh menurunnya dukungan
Pemerintah Daerah terhadap program perbaikan gizi di era otonomi daerah,
aktivitas posyandu yang menurun, sistem surveilans gizi yang tidak jalan,
19
terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga ahli gizi puskesmas, keterbatasan sarana
dan prasarana penunjang pelayanan gizi termasuk biaya operasional.
Hanya 50% dari seluruh penduduk Indonesia yang mendapatkan akses air
minum (Susenas, 2002). Di area perdesaan angka ini bahkan lebih rendah yaitu
hanya 41%. Baru 10 kota di Indonesia yang memiliki jaringan air limbah dengan
tingkat pelayanan sekitar 1,3% dari seluruh jumlah populasi. Sedangkan di daerah
perdesaan dilaporkan 52% penduduk yang memiliki akses sanitasi dasar, angka ini
diperkirakan lebih rendah karena data ini tidak mencantumkan kepemilikan sarana
dan bagaimana standar teknis dan kesehatannya.
Terkait dengan permasalahan di atas maka diperlukan suatu upaya
terobosan yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk mengatasi masalah tersebut
di atas. Upaya yang akan dikembangkan adalah model perbaikan gizi melalui
pemberdayaan masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat baik di
perdesaan maupun di perkotaan, karena pemberdayaan masyarakat adalah suatu
proses penguatan masyarakat yang sangat dibutuhkan oleh suatu program yang
akan dilaksanakan dengan jalan menemukan permasalahan secara bersama dan
kemudian mencari peyelesaian secara bersama pula yang didasarkan pada potensi
yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Untuk ini akan dilaksanakan program Perbaikan Gizi melalui Pemberdayaan
Masyarakat (NICE) dengan fokus pada penguatan kelembagaan, penyelenggaraan
pelayanan gizi terintegrasi, pemberdayaan gizi masyarakat, perluasan program
fortifikasi dan komunikasi gizi.
20
2. Tujuan
Tujuan umum program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat adalah
meningkatkan status gizi balita, ibu hamil dan ibu menyusui terutama keluarga
miskin.
Tujuan khusus proyek adalah sebagai berikut;
1. Meningkatkan kapasitas institusi dalam mengembangkan kebijakan, program
dan surveilans gizi.
2. Meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan gizi terpadu terutama bagi
penduduk rawan
3. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk merencanakan dan
melaksanakan perbaikan gizi dan sanitasi
4. Memperluas program fortifikasi pangan
5. Meningkatkan komunikasi gizi masyarakat
3. Sasaran dan Lokasi Proyek
Proyek NICE yang dilaksanakan di 6 kota dan 18 kabupaten, di 6 propinsi.
Dasar pemilihan kabupaten/kota adalah (1) prevalensi gizi kurang; (2) angka
kemiskinan; (3) adanya komitmen Pemerintah Daerah untuk replikasi program.
Sedangkan dipropinsi sulawesi selatan terdapat 4 kabupaten yang terpilih yaitu
Makassar, Maros, Pangkep dan Jeneponto. Untuk jeneponto terdapat 50
desa/kelurahan yang menjadi lokasi NICE
21
4. Pemberdayaan Gizi Masyarakat
Pemberdayaan Gizi Masyarakat merupakan komponen utama Proyek
NICE yang kegiatannya ditujukan untuk mendukung pelayanan gizi di masyarakat
agar masyarakat secara mandiri dapat mengatasi masalah gizi dan kesehatan
sendiri.
Kegiatan komponen terdiri dari sbb:
1) Persiapan Paket Gizi Masyarakat
2) Pengadaan Fasilitator Gizi Masyarakat (FGM)
3) Paket Gizi Masyarakat
1) Persiapan Paket Gizi Masyarakat
Agar kegiatan paket gizi masyarakat dapat berjalan dengan baik dan efektif,
diperlukan serangkaian kegiatan persiapan yang akan dilaksanakan sebagai
berikut:
a. Sosialisasi Paket Gizi Masyarakat (PGM)
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus melaksanakan sosialisasi PGM kepada
lintas program, lintas sektor dan organisasi masyarakat di kabupaten, kecamatan
dan desa/kelurahan.
Sosialisasi ini bertujuan:
1. Menyebarluaskan informasi tentang organisasi dan kegiatan Proyek NICE.
2. Menyebarluaskan informasi tentang pentingnya perbaikan gizi masyarakat
melalui pemberdayaan masyarakat.
3. Menjelaskan kepada masyarakat tentang peluang dan kriteria mendapatkan
PGM untuk meningkatkan status gizi masyarakat.
22
4. Memahami proses dan prosedur mendapatkan PGM, mulai dari pembentukan
Kelompok Gizi Masyarakat (KGM), rekruitmen Fasilitator Gizi Masyarakat
(FGM) dan penyusunan proposal PGM.
b. Pemilihan Desa/Kelurahan
Pemilihan desa/kelurahan yang akan mendapatkan PGM dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1) Memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) kader aktif per posyandu
2) Memiliki keterbatasan fasilitas air bersih dan sanitasi di SD/MI;
3) Adanya komitmen Kepala Desa/Kelurahan
4) Diprioritaskan pada desa/kelurahan yang memiliki tenaga kesehatan.
Alokasi jumlah desa/kelurahan yang akan menerima PGM di setiap
kabupaten/kota telah ditetapkan seperti dalam Lampiran 1. Nama-nama
desa/kelurahan yang terpilih mendapatkan PGM diajukan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota ke Bupati/Walikota untuk ditetapkan melalui Surat
Keputusan Bupati/Walikota.
c. Pembentukan Kelompok Gizi Masyarakat (KGM)
Pada desa-kelurahan yang terpilih untuk melaksanakan PGM, akan dikunjungi
oleh petugas puskesmas untuk memberikan informasi tentang pembentukan
KGM.
KGM adalah kelompok masyarakat yang dipilih dan dibentuk oleh masyarakat
desa/kelurahan untuk melaksanakan kegiatan PGM. KGM dipilih dalam suatu
rapat yang dipimpin oleh Kepala Desa/Kelurahan, yang anggotanya tidak lebih
dari 10 orang termasuk Ketua, Sekretaris, dan Bendaharawan, dan sekurang-
23
kurangnya 60% anggotanya adalah perempuan. Pengurus KGM ditetapkan dengan
SK Kepala Desa/Kelurahan. SK tersebut dikirimkan ke Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota selaku manajer proyek dengan tembusan ke Kepala Puskesmas.
Tugas dan tanggung jawab KGM:
1) Menyusun proposal kegiatan PGM dibantu oleh FGM
2) Membuka rekening Bank atas nama ketua dan bendahara
3) Mengecek dan mencairkan uang dari rekening Bank oleh ketua dan bendahara
KGM
4) Melaksanakan kegiatan PGM dengan melibatkan masyarakat dengan
berpedoman pada proposal yang telah disetujui.
5) Mencatat, membukukan dan melaporkan penggunaan dana PGM ke DPIU
melalui puskesmas setiap bulan.
6) Melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan PGM setiap triwulan
selambat-lambatnya 15 hari setelah akhir triwulan. Laporan tersebut harus
diketahui oleh Kepala Desa/Kelurahan, kemudian dikirimkan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selaku manajer proyek, dengan tembusan
kepada Kepala Puskesmas.
2) Rekruitmen dan Penempatan Fasilitator Gizi Masyarakat (FGM)
FGM adalah tenaga yang secara khusus ditempatkan untuk pendampingan
kegiatan pemberdayaan gizi masyarakat. Pengadaan dan pelatihan FGM dilakukan
oleh perusahaan melalui proses tender. Tender pengadaaan FGM (termasuk
pelatihannya) dilakukan secara terbuka dengan metode QBS (quality-based
selection). Setelah ditetapkan pemenang, Perusahaan Pemenang dapat
24
bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten melakukan seleksi
FGM berdasarkan persyaratan berikut:
1) Diutamakan memiliki latar belakang serendah-rendahnya pendidikan D-III di
bidang gizi. Latar belakang pendidikan lainnya adalah D-III bidang kesehatan,
higiene sanitasi, dan pemberdayaan masyarakat.
2) Bersedia dikontrak dan ditempatkan di desa yang ditetapkan.
3) Bersedia bekerja penuh waktu.
4) Paling sedikit 50% FGM di masing-masing propinsi adalah perempuan.
Sebelum melaksanakan tugasnya, FGM mendapat pelatihan terlebih dahulu oleh
Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota yang bekerjasama dengan perusahaan
terpilih.
Tugas dan tanggung jawab Pendamping gizi (FGM)
1) Bersama tenaga puskesmas, membantu memfasilitasi pembentukan kelompok
gizi masyarakat
2) Membantu masyarakat dalam menyusun proposal PGM
3) Setiap FGM bertanggungjawab terhadap 1-2 desa/kelurahan
4) Melakukan pembinaan pelaksanaan kegiatan PGM di desa/kelurahan
5) Melaporkan hasil kegiatan kepada Puskesmas
6) Memfasilitasi KGM dalam pencatatan dan penyusunan laporan kegiatan dan
keuangan
FGM dikategorikan sebagai konsultan, untuk melaksanakan tugasnya akan
memperoleh honorarium dan biaya operasional/transport setiap bulan sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Dalam melakukan tugasnya, FGM dibina oleh
25
petugas Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten dan kinerjanya akan
dievaluasi secara periodik.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, FGM akan dibekali dengan Pedoman
Pelaksanaan Fasilitator secara rinci yang disusun oleh konsultan.
3) Paket Gizi Masyarakat (PGM)
Paket Gizi Masyarakat (PGM) akan diberikan kepada 1800 desa dan kelurahan.
Besar paket untuk masing-masing desa dan kelurahan tidak lebih dari Rp.
140.000.000 (+$ 15,000) untuk paling lama 3 tahun sesuai dengan proposal.
Kegiatan yang diusulkan dalam PGM harus terkait langsung dengan sasaran yaitu:
keluarga miskin yang mempunyai anak umur 0-2 tahun, ibu hamil dan menyusui;
keluarga miskin dengan anak umur 2-5 tahun; posyandu; dan SD/Madrasah.
Jenis kegiatan yang boleh didanai oleh PGM adalah:
. meningkatkan fasilitas posyandu
. kegiatan monitoring pertumbuhan dan perkembangan anak
. penyuluhan dan pendidikan gizi melalui kader terlatih seperti pemberian
makanan bayi dan anak
. kegiatan kelas ibu tentang pola asuh anak, menyusui, demonstrasi masak,
stimulasi tumbuh kembang anak dll.
. penyediaan air bersih skala kecil dan sanitasi di sekolah dasar/ madrasah
(10% dari total Paket Gizi Masyarakat)
. pelatihan warung sekolah dan penjaja makanan tentang gizi, kebersihan
dan keamanan makanan.
26
. dukungan untuk biaya operasional KGM (transport ke bank, alat-alat tulis,
rapat-rapat koordinasi secara berkala)
Jenis kegiatan yang tidak boleh didanai oleh PGM adalah:
. membangun gedung baru posyandu
. memberikan upah tenaga, gaji anggota KGM dan petugas kesehatan
. membeli obat gizi dan MP-ASI yang telah disediakan oleh dana APBN
. membeli timbangan/dacin untuk posyandu
a. Proses Penyusunan Proposal Paket Gizi Masyarakat
Setelah desa diberitahu oleh Dinas Kesehatan Kabupaten, bahwa desa tersebut
telah di seleksi dan ditetapkan sebegai desa penerima paket dengan Surat
Keputusan Bupati/Walikota.
Proses penyusunan proposal:
. Dimulai dengan pengumpulan data dan analisa situasi desa.
. Hasil analisa situasi desa dibahas bersama masyarakat, kemudian
ditetapkan cara pemecahan masalahnya yang disepakati bersama.
. Lingkup masalah yang dipilih untuk diusulkan dalam proposal adalah
masalah yang berkaitan dengan gizi, kesehatan dan penyediaan air bersih
di SD/Madrasah skala kecil.
b. Pengajuan Paket Gizi Masyarakat
Proposal diharapkan telah siap dalam jangka waktu paling lama 6 bulan. Setelah
selesai disusun, kemudian:
Dikirimkan ke puskesmas untuk diteruskan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (DPIU).
27
Proposal akan direview dan dinilai oleh Tim Teknis Kabupaten/Kota
(DTT).
Jika proposal memenuhi persyaratan yang ditentukan, DTT akan
mengirimkan hasil penilaian proposal tersebut ke Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten selaku Manejer Proyek untuk mendapat persetujuan.
Manajer Proyek Kabupaten/Kota mengirimkan berkas tersebut ke Dinas
Kesehatan Propinsi (PPCU) untuk dibuatkan kontrak (Surat Perjanjian
Pemberian Bantuan/SPPB)
Bagi proposal-proposal yang belum memenuhi persyaratan, KGM dengan
dibantu oleh FGM dapat memperbaiki proposal (tidak melebih 6 bulan sejak
pengajuan proposal awal dan diajukan kembali ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk mendapat persetujuan oleh Manajer Proyek .
c. Pencairan Dana Paket Gizi Masyarakat
Setelah SPPB ditandatangani oleh PK Dinas Kesehatan Propinsi dan Ketua KGM,
Dana Paket Gizi Masyarakat dapat dibayarkan oleh PPCU yang langsung
ditransfer ke rekening KGM di Bank yang dipilih. Proses pencairan dana PGM
adalah sbb:
DPIU akan menginformasikan KGM yang proposalnya disetujui, dan
KGM segera menyelesaikan semua dokumen yang diperlukan untuk pencairan
dana (seperti dokumen kontrak/SPPB, nama Ketua dan Bendahara KGM, nama
Bank dan nomor rekening KGM, dll)
28
Kemudian Surat Persetujuan dan dokumen yang diperlukan untuk proses
pencairan dana tersebut dikirimkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
(DPIU) ke Dinas Kesehatan Propinsi (PPCU) untuk diproses pencairan dananya.
Pengirim dana PGM oleh propinsi dilaksanakan dalam 3 tahap
pembayaran sbb:
(i) Pembayaran Tahap I
Sebanyak 40% dari total dana Paket Gizi Masyarakat yang telah disetujui
akan disalurkan setelah proposal disetujui, SPPB antara PPCU dan KGM telah
ditandatangani dan, sudah mempunyai rekening bank.
(ii) Pembayaran Tahap II
Setelah 75% dari dana kegiatan Tahap I telah selesai dilaksanakan yang
disetujui oleh DPIU, KGM dapat mengajukan permintaan pembayaran tahap II
sebanyak 30%, dengan melampirlkan Resume SPPB dan SPTB (Surat Pernyataan
Tanggung Jawab Belanja)
(iii) Pembayaran Tahap III
Setelah menyelesaikan 75% dana dan kegiatan tahap II dan telah disetujui
oleh DPIU, KGM bisa mengajukan
pembayaran tahap III sebesar 30% untuk menyelesaikan seluruh kegiatan yang
direncanakan, dengan melampirlkan Resume SPPB dan SPTB (Surat Pernyataan
Tanggung Jawab Belanja).
• KGM harus memantau rekening Bank untuk mengetahui ketersediaan dana
PGM yang telah dikirim oleh propinsi. Untuk menjaga kelancaran tahapan
29
pembayaran, KGM perlu memperhatikan pencatatan dan pelaporan
penggunaan keuangan dan kegiatan sesuai dengan proposal.
Pedoman pelaksanaan penggunaan PGM secara rinci disusun oleh Konsultan.
C. FASILITATOR MASYARAKAT (FM)
Fasilitator masyarakat (FM) adalah orang yang membantu masyarakat atau
kelompok masyarakat agar lebih mudah memperoleh pemecahan atas persoalan
yang dihadapinya. Dalam rangka pelaksanaan di desa, masyarakat difasilitasi atau
dibimbing oleh seorang fasliator masyarakat. Dalam proses fasilitasi ini
mengandung pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat dan
membantu mengembangkan diri untuk melaksanakan KADARZI, berperilaku
makan dan memberi makan yang sehat sesuai dengan potensi yang dimiliki. FM
merupakan tenaga dengan latar belakang pendidikan/pengalaman dibidang gizi,
Higiene, sanitasi dan atau mobilisasi masyarakat yang mendapatkan pelatihan
tentang tekhnik pemberdayaan masyarakat dan penulisan proposal. Setiap FM
ditugaskan menangani 2 desa. FM berkoordinasi dengan Puskesmas bertanggung
jawab terhadap semua aspek pemberdayaan masyarakat terutama dalam hal
menfasilitasi Kelompok Gizi masyarakat(KGM) dalam menyusun proposal dan
melaksanakan kegiatan yang tertulis dalam proposal serta kegiatan lainnya.
Sebelumnya di sulawesi selatan telah ada program yang mirip program
pemberdayaan gizi masyarakat yaitu program Pendampingan gizi. Menurut
pengertiannya pendampingan gizi adalah kegiatan dukungan dan layanan bagi
keluarga agar dapat mencegah dan mengatasi masalah gizi (gizi kurang dan gizi
30
buruk) anggota keluarganya. Pendampingan dilakukan dengan cara memberikan
perhatian, menyampaikan pesan, menyemangati, mengajak,memberikan
pemikiran/solusi, menyampaikan layanan/bantuan, memberikan nasihat, merujuk,
menggerakkan dan bekerjasama.
Pendampingan gizi dilaksanakan dengan prinsip-prinsip: (1)pemberdayaan
keluarga atau masyarakat; (2) partisipatif, dimana tenagapendamping berperan
sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat yangdidampingi; (3) melibatkan
keluarga atau masyarakat secara aktif, dan (4)tenaga pendamping hanya berperan
sebagai fasilitator (Depkes, 2007)
Jadi yang membedakan fasilitator masyarakat pada program
pemberdayaan gizi masyarakat dengan pendampingan gizi pada program
pendampingan gizi yaitu
1. Sasaran kegiatan Falitator masyarakat yaitu bayi, balita, bumil, busui, SD/MI, dan
posyandu (hal ini tertuang dalam pedoman umum program perbaikan gizi melalui
pemberdayaan masyarakat) sedangkan pendamping gizi yang menjadi sasaran
adalah keluarga yang memiliki balita gizi kurang adan buruk
2. Dalam pelaksanaan kegiatan FM melakukan pembinaan dan menfasilitasi Kelompok
Gizi Masyarakat (KGM) agar mampu melakukan pemberdayaan gizi masyarakat
melalui kegiatan dalam paket gizi masyarakat sedangkan pendamping gizi
melakukan pembinaan dan fasilitasi pada keluarga atau masyarakat yang menjadi
sasaran kegiatan.
3. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, kegiatan FM bertujuan meningkatkan status
gizi bayi, balita, Bumil, dan busui dalam wilayah kerjanya sedangkan kegiatan
31
pendamping gizi bertujuan meningkatkan status gizi bayi dan balita yang menjadi
binaannya.
Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik maka seorang
FM perlu menyadari dan memahami empat fungsi fasilitasi dimasyarakat yaitu;
1. sebagai narasumber : artinya seorang FM harus mampu menyediakan dan siap
dengan informasi termasuk pedukungnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
dan tahapan dalam program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat.
Seorang FM harus mampu menjawab pertanyaan, memberikan ulasan,
gambaran, analisis maupun memberikan saran atau nasehat yang kongkrit dan
realistis agar mudah diterapkan
2. sebagai guru: fungsi sebagai guru seringkali dibutuhkan untuk membantu
masyarakat dalam mempelajari dan memahami keterampilan atau pengetahuan
baru dalam upaya pemberdayan masyarakat dan pelaksanaan kegitan. Sebagai
FM harus mampu menyampaikan materi yang dibutuhkan sesuai dengan
kondisi dan bahasa yang mudah di terapkan.
3. sebagai mediator
(i) Mediasi Potensi ; seorang FM diharapkan dapat membantu masyarakat
memediasi /menakses potensi potensi yang dapat mendukung penembangan
dirina
(ii) Mediasi berbagai kepentingan ; seorang FM diharapkan juga dapat
berperan sebagai seorang yang dapat menengahi apabila diantara kelompok
atau individu di masyarakat terjadi perbedaan kepentingan
32
5. sebagai motivator; serng ditemui masyarakat jarang mengetahui dan mengenal
potensi dan kapasitasnya sendiri. Untuk itu seorang FM harus mampu
merangsang dan mendorong masyarakat untuk menemukan dan mengenali
potensi dan kapasitasnya sehingga masyarakat dapat melaksanakan bebagai
kegiatan pembangunan secara mandiri
Bekal dan kemampuan fasilitator Masyarakat
Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka seorang fasilitator perlu
dibakali dan memiliki beberapa kemampuan antara lain
1. Kepemimpinan, seorang FM juga akan menjalankan fungsi kepemimpinan
dimasyarakat sehingga FM harus memilikiapasitas untuk membimbing,
memberi motovas, menggerakkan sekaligus berperan sebagai mediator antar
warga masyarakat dan pihak lain yang diperlukan
2. Kemampuan komunikasi
a. Kemampuan menyampaikan pesan atau informasi
b. Menjadi pendengar yang baik
c. Bertanya efektif dan terarah
d. Kemampuan dalam pengembangan masyarakat
(a) Mengenal isu isu lokal
(b) Kemampuan identifikasi
(c) Kamampuan analitis
(d) Adaptasi partisipatif
(e) Berpandangan positif kedepan
(f) Kemampuan melakukan aksi sebagai akumulasi kemampuan teknis
33
(g) Kemampuan melakukan hubungan antar manusia
A. TUGAS DAN TANGUNG JAWAB
Seorang Fasilitator masyarakat (FM) mempunyai tugas dan tangung jawab
sebagai berikut
1. melapor kepada kepala puskesmas bahwa dia mendapat tuasa sebagai
fasilitator masyarakat dan mempersiapkan rencana kegiatan bersama
petugas gizi.
2. Memperkenalkan diri kepada kepala desa/kelurahan setempat, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan KGM bahwa ia mempuyai komitmen untuk
melaksanakan PGM
3. Bekerjasa sama dengan puskesmas untuk melaksanakan pelatihan KGM
dalam membuat proposal paket gizimasyarakat.
4. Menyelenggarakan pertemuan dengan KGM dalam mempersiapkan SMD
tentang masalah Gizi dan kesehatan di desa
5. Memfasitasi KGM melaksanakan survey dan melakukan analisa data.
6. Membantu KGM menyelenggarakan pertemuan masyarakat untuk
mendiskusikan hasil SMD, merumuskan masalah, kebutuhan, sumber dan
potensi, dan mengidentifikasi kegiatan yang dapat di danai oleh PGM.
7. Menfasilitasi KGM untukmenyusun proposal PGM, proposal harus
memenuhi kriteria, (i) kegiatan yang memprioritaskan anak umur di
bawah 2 tahun, wanita hamil dan wanita menyusui serta (ii) meningkatkan
pelayanan Posyandu; (iii) intervensi air bersih dan sanitasi dalam skala
kecil untuk sekolah dasar/MI
34
8. Manfasilitasi pelaksanaan kegiatan yang direncanakan didalam proposal
dan kegiatan lainnya
9. Menolong KGM dalam membangun kewaspadaan masyarakat dalam
bidang gizi, kesehatan, higene dan sanitasi
10. Mambantu KGM menyusun laporan kemajuan triwulan,laporan tahunan,
dan laporan akhir meliputi laporan kegiatan dan laporan keuangan
11. Setiap FM bertugas di dua desa yang ditentukan.
B. Langkah Langkah Kegiatan Fasilitator Masyarakat
Langkah langkah kegiatan Fasilitator Masyarakat dapat dirinci seperti pada
matriks dibawah ini
Tahapan Langkah Kegiatan A. Persiapan 1. Penyiapan diri sebagai petugas FM
2. Pengorganisasian dan persiapan masyarakat 3. Keadaan umum dan pemahaman lokasi
B. Perencanaan 4. Pemahaman masalah gizi/kesehatan masyarakat dan sumber sumber yang ada dimasyarakat
5. Penggalian cara cara mengatasi masalah gizi/kesehatan
6. Memfasilitasi penyusunan perencanaan (proposal) tingkat desa/kelurahan
C. Pelaksanaan 7. Pengorganisasian palaksanaan kegiatan untuk pemecahan masalah gizi/kesehatan
8. Pelaksanaan dan pembimbingan kegiatan D. Pemantauan dan
evalusi 9. Pemantauan, penilaian dan pelaporan
keberhasilan program yangdijalankan
35
Adapun bentuk pendampingan yang dilakukan FM terhadap paket gizi masyarakat
(PGM) yang ada dalam proposal secara garis besarnya dapat dlihat pada matriks
dibawah ini
No Pengelompokan Kegiatan Paket Gizi
Masyarakat yang dilaksanakan sesuai dengan proposal
Rincian Sub-Kegiatan per Kelompok Kegiatan
I
Peningkatan Fasilitas Posyandu : 1. Meubelair Posyandu
Meja, kursi, tempat tidur periksa, papan nama,papan data, lemari.
2. Rehab Posyandu Rehab skala kecil untuk Posyandu gedung sendiri (bukan milik warga/dirumah warga), misal: mengecat dinding, perbaikan lantai, atap, wc, dll.
3. Pengadaan buku Registrasi Penyediaan buku register penimbangan, RR Posyandu
4. ATK Posyandu Alat tulis untuk administrasi Posyandu
5. dan lain-lain Seragam Kader, dan kegiatan lain yang tidak masuk pada item di atas
II Monitoring Pertumbuhan: 1.Penimbangan balita di Posyandu
Untuk mengamati pola asuh dan deteksi dini tumbuh kembang bayi dan balita.
2.Kunjungan Rumah Penyuluhan pd ibu yg tdk membawa balita ke Pyd, dan menimbang balita dan mencatat hasil penimbangan.
3. dan lain-lain
Kegiatan lain yang dilakukan.
III Peningkatan Cakupan Posyandu: 1.Sosialisasi dan Promosi
Sosialisasi dan promosi kesehatan, gizi buruk, taburia, cetak spanduk/baliho, pengadaan buku demo masak, lomba balita sehat, lomba pengolahan makanan jajanan sehat, lomba Kadarzi, dll
2. Penyuluhan Penyuluhan gizi, ASI Eks, Taburia, KIA, PHBS, Kadarzi, pemakaian zat berbahaya pada makanan, dll
3. Konseling Konseling gizi bagi ibu balita,ibu hamil, ibu menyusui.
4. Kelas Ibu Kelas ibu balita, ibu hamil, ibu menyusui dengan topik sesuai masalah dan kesepakatan KGM,FM dan TPG.
5. Demo Masak Makanan bayi,balita, ibu hamil an ibu menyusui (cara memasak yang benar, tidak merusak kandungan zat gizi makanan, kelengkapan asupan gizi, dll).
6. Pelatihan Kader Pelatihan dan refreshing kader. 7. Penyediaan alat pendukung
APE, alat masak untuk mengolah makanan anak balita dan ibu hamil, dll.
8. dan lain-lain Kegiatan lain yang dilakukan
IV Pertemuan dan Koordinasi Desa: Pertemuan tingkat desa, pertemuan KGM,
36
1.Pertemuan tingkat desa
rembug desa, dll. SMD, MMD, rembug desa, pembahasan proposal, dll
2. Pertemuan KGM Pertemuan KGM dengan FM, Kepala Desa, TPG, Toma, Toga, dll.
V Dukungan Operasional KGM: 1. ATK KGM
ATK KGM, Transportasi ke Bank, konsultasi teknis,dll. Pengadaan ATK, biaya foto copy, papan data/informasi KGM, dll
2. Transport KGM Transport ke Bank, konsultasi ke Puskesmas, DPIU/DTT, antar dusun/Posyandu, survey harga di took, ke kantor dsa, dll.
3. Seragam KGM VI Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi
Skala Kecil di SD/MI 1.Sarana air bersih
Pembuatan sumur sekolah, pengadaan pompa air sumur, pipa, kran, bak mandi, tendon air, dll.
2. Sanitasi skala kecil MCK: perbaikan kamar mandi/wc sekolah SD/MI, saluran pembuangan, tempat sampah, wastafel, gayung, ember, dll.
VII Pelatihan Warung Sekolah dan penjaja makanan: 1.Peningkatan kualitas jajanan sekolah
Pelatihan bagi pengelola warung sekolah dan penjaja makanan: cara pengolahan bahan makanan dan minuman sehat dannbergizi, penggunaan bahan berbahaya pada makanan anak sekolah, pengolahan makanan tambahan an sekolah, dll.
2. Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat bagi siswa
Praktek cuci tangan dan gosok gigi, kebersihan lingkungan sekolah, pengadaan alat kebersihan sekolah, penyuluhan UKS, lomba tulis siswa tentang Kadarzi, pemilihan duta kesehatan, dll
VIII Kegiatan Inovasi :
Kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan cakupan Posyandu dan keberlanjutan Posyandu melalui pemberdayaan masyarakat.
1.Pos Gizi Pemberian makanan tambahan bagi anak balita gizi kurang, konseling gizi bagi ibu balita, pemantauan pertumbuhan balita dan pencatatan hasil pemantauan pertumbuhan balita.
2. Budidaya tanaman Pembelian bibit tanaman, pupuk, pembuatan pagar,dll
3. Budidaya ikan Pembelian bibit ikan, makanan ikan, sewa lahan,dll
4.Ternak ayam/kambing/hewan lainnya Pembelian bibit dan makanan ternak, bahan untuk kandang, penyediaan lahan ternak, dll..
5. dan lain-lain
37
D. STATUS GIZI
1. Pengertian status gizi
Status gizi adalah keadaan keadaan tubuh sebagai akibat interaksi
antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan
keadaan kesehatan tubuh. Status gizi adalah kondisis tubuh sebagai akibat
penyerapan zat-zat gizi esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari
keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan tubuh, yang diwujudkan dalam
bentuk variable tertentu. Ketidak seimbangan (kelebihan atau kekurangan)
antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi
bagi tubuh manusia. Keadaan demikian disebut malnutrition (gizi salah atau
kelainan gizi). Secara umum, bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2
yaitu over nutrition (kelebihan gizi) dan under nutrition (kekurangan gizi).
Over nutrition adalah suatu keadaan tubuh akibat mengkonsumsi zat-zat gizi
tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam dalam waktu yang relative lama.
Under nutrition adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh asuapan zat gizi
sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh
(Supariasa, 2002).
Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga,
pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Ketahanan pangan di keluarga (household food security) adalah kemampuan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya
dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola
pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan
38
waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang
dengan sebaikbaiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan kesehatan
dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan
kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga faktor penyebab tidak langsung
saling berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan
keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang ada. Demikian juga sebaliknya.
Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik
dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan
dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Sebagai
contoh, air susu ibu (ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya
tersedia di setiap keluarga yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya
dapat dihasilkan oleh keluarga tersebut sehingga tidak perlu dibeli. Namun
tidak semua keluarga dapat memberikan ASI kepada bayinya oleh karena
berbagai masalah yang dialami ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau
diberi ASI dalam jumlah yang tidak cukup sehingga harus diberikan
tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Timbul masalah apabila oleh
berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan dan atau kemampuan, MP-
ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan demikian,
dapat dikatakan ketahanan pangan keluarga ini rawan karena tidak mampu
39
memberikan makanan yang baik bagi bayinya sehingga berisiko tinggi
menderita gizi buruk.
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh
lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat,
kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan
dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi,
pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak
yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-
hari, adat kebiasaan keluarga dan masyrakat, dan sebagainya dari si ibu atau
pengasuh anak.
Pelayanan kesehatan, adalah akses atau keterjangkauan anak dan
keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharan kesehatan
seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan,
penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan
yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah
sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan
(karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan
pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan
secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga
pada status gizi anak. Berbagai faktor langsung dan tidak langsung penyebab
gizi kurang, berkaitan dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan
akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain
berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah
40
kerawanan ketahanan pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang
baik, serta ketidakmampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
tersedia.(Thaha, 1999)
PERAWATAN YG TDK ADEKUAT BAGI IBU DAN
ANAK
PELAYANAN KESEHATAN YANG
KURANG DAN LINGKUNGAN YG TDK
SEHAT
MALNUTRISI DAN KEMATIAN
ASUPAN GIZI YG TDKADEKUAT
LEMBAGA FORMAL DAN INFORMAL
PENDIDIKAN YG TDK ADEKAUT
SUMBER – SUMBER YANG POTENSIAL
PENYEBAB LANGSUNG
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG
STRUKTUR EKONOMI PENYEBAB
DASAR
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI Sumber : UNICEF (1998)
SUPERSTRUKTUR POLITIK DAN IDEOLOGI
PENYAKIT
AKSES YANG TDK ADEKUAT PD MAKANAN
2. Penilaian status gizi
a. Secara umum, status gizi dapat dikatakan sebagai fungsi kesenjangan gizi,
yaitu selisih antara konsumsi zat gizi dengan kebutuhan zat gizi tersebut.
Kesenjangan energi pada tingkat dini bermanivestasi dalam bentuk
mobilisasi himpunan lemak tubuh. Kurang energi protein (KEP) atau gizi
41
kurang pada tingkat perubahan biokimia dapat dikenal dari pemeriksaan
darah dan urine dengan menggunakan antara lain: hidroksi prolin indeks
dalam urin, rasio asam amino bebas dalam plasma, plasma albumin,
plasma prealbumin dan plasma transferin. Pada tingkat yang lebih berat
dapat diperiksa dengan antropometri (Tarwotjo, 1990).
Metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat
perkembangan kekurangan gizi, yaitu metode konsumsi, motode laboratorium,
metode antropometri dan metode klinik (Hadju, 1999). Menurut Supariasa
(2002), penentuan status gizi dapat dikelompokkan dalam metode langsung
dan matode tidak langsung. Metode penilaian status gizi secara langsung
meliputi metode biokimia, antropometri, klinik dan biofisik. Sedangkan
metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistic vital dan
factor-faktor ekologi.
3. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
a. Kelebihan Pengukuran Antropometri
Penentuan status gizi dengan menggunakan metode antropometri
mempunyai beberapa keuntungan seperti yang dikutip oleh Veni Hadju
(1999), yaitu:
1) Prosedur pengukurannya sederhana, aman, tidak invasive sehingga
dapat dilakukan di lapangan dan cocok dengan jumlah sampel yang
besar.
42
2) Alat yang dibutuhkan tidak mahal, mudah dibawah, dan tahan
(durabel) dan dapat dibuat atau dibeli di setiap wilayah.
3) Tidak membutuhkan tenaga khusus dalam pelaksanaannya.
4) Metode yang digunakan tepat dan akurat, sehingga standarisasi
pengukuran terjamin.
5) Hasil yang diperoleh menggambarkan keadaan gizi dalam jangka
waktu yang lama dimana tidak dapat diperoleh dengan tingkat
kepercayaan yang sama dengan teknik lain.
6) Prosedur ini dapat membantu mengidentifikasi tingkat malnutrisi
(ringan sampai berat).
7) Metode ini dapat digunakan untuk mengavaluasi terjadinya
perubahan yang terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya,
suatu fenomena yang dikenal sebagai “secular trend”.
8) Dapat digunakan sebagai skrining test untuk mengidentifikasi
individu yang mempunyai resiko tinggi terjadinya malnutrisi.
b. Ukuran dan Indeks Antropometri
Ukuran antropometri terbagi atas 2 tipe, yaitu ukuran
pertumbuhan tubuh dan komposisi tubuh. Ukuran pertumbuhan yang
biasa digunakan meliputi: tinggi badan atau panjang badan, lingkar
kepala, lingkar dada, tinggi lutut. Pengukuran komposisi tubuh dapat
dilakukan melalui ukuran: berat badan, lingkar lengan atas, dan tebal
lemak di bawah kulit (Hadju, 1999). Ukuran pertumbuhan lebih
banyak menggambarkan keadaan gizi masa lampau, sedangkan ukuran
43
komposisi tubuh menggambarkan keadaan gizi masa sekarang atau
saat pengukuran (Supariasa, 2002).
Indeks antropometri yang digunakan dalam penentuan status
gizi meliputi: berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan atau
panjang badan menurut umur (TB/U atau PB/U), berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U) dan
lingkar lengan atas menurut tinggi badan (LLA/TB).
Untuk kegiatan pemantauan status gizi, jarak waktu yang
cukup panjang (dua tahun atau lebih) pilihan utama adalah indeks
TB/U. Indeks ini cukup sensitif untuk mengukur perubahan status gizi
dalam jangka panjang, stabil, tidak terpengaruh oleh fluktuasi
perubahan status gizi yang sifatnya musiman. Perubahan-perubahan
yang disebabkan oleh keadaan secara musiman yang dapat
mempengaruhi status gizi dapat ditunjukkan oleh indeks BB/U. Kalau
tujuan penilaian status gizi adalah untuk “assessment” seperti dalam
evaluasi suatu kegiatan program gizi, gabungan indeks BB/U, TB/U
dan BB/TB dapat memberikan informasi yang rinci tentang status gizi,
baik gambaran masa lalu mamupun masa kini atau keduanya (kronis
dan akut).
d. Klasifikasi Status Gizi
Berdasarkan kesepakatan pada Temu Pakar bidang gizi pada
Januari 2000, merekomendasikan penggunaan baku rujukan WHO-
44
NCHS (National Center for Health Statistic) sebagai standar atau
rujukan dalam penentuan status gizi secara antropometri. Temu pakar
tersebut juga menyepakati cara penggolongan status gizi khusus untuk
indeks BB/U, TB/U dan BB/TB.
Namun saat ini rujukan tsb tidak lagi direkomendasikan oleh
karena kendala teknis penggunaan rujukan local yaitu;
(1) Penggunaan rujukan lokal belum mencerminkan pertumbuhan
potensial (pertumbuhan maksimum) anak,
(2) Kesulitan dalam membandingkan dengan negara lain, sebagai
upaya mengembangkan strategi global memerangi masalah gizi.
(Minarto, 2009)
Perbandingan rujukan WHO-NCHS dengan WHO 2005
• dikembangkan dengan
mengukur anak yang sehat, tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan lain.
• memberikan penjelasan pencapaian pertumbuhan anak-anak yang SEHAT. (diskriptif)
• multi ras, satu negara
• Pengukuran setiap 3 bulan, 6 bulan, potong lintang
• memasukkan variabel lingkungan
yang mempengaruhi pertumbuhan bayi, seperti kebiasaan menyusui eksklusif, tidak merokok, tidak alkohol.
• menggambarkan bagaimana anak-anak HARUS TUMBUH (preskriptif)
• multi ras, multi negara
• Frekuensi pengukuran lebih sering (mingguan, bulanan untuk bayi 0-24 bulan), potong lintang untuk anak 18-72 bulan
.
45
Klasifikasi Status Gizi menurut Standar WHO 2005
Untuk Indeks BB/U: 1. Berat BadanSangat Kurang (BB/U <-3 SD) 2. Berat Badan kurang (BB/U -3 SD s/d <-2SD) 3. Berat Badan Normal (BB/U -2 SD s/d 2 SD) 4. Berat Badan Lebih (BB/U > 2SD
Untuk IndeksTB/U: 1. Sangat Pendek (TB/U <-3 SD), 2. Pendek (TB/U -3 SD s/d <-2 SD), 3. Normal (TB/U >=-2 SD)
Untuk IndeksBB/TB (atau IMT/U): 1. Sangat Kurus (BB/TB <-3 SD) 2. Kurus (BB/TB -3 SD s/d <-2SD) 3. Normal (BB/TB -2 SD s/d 2 SD) 4. Kegemukan (BB/TB > 2SD)
Tabel . Klasifikasi Status Gizi menurut Baku Rujukan WHO-NCHS
Indeks Status gizi Kategori (Nilai Z Sckore)
BB/U Gizi lebih
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi buruk
> +2 SD
(> -2 SD) – (+2 SD)
(> -3 SD) – (< -2 SD)
< -3 SD
TB/U Normal
Pendek
> -2 SD
< -2 SD
BB/TB Gemuk
Normal
Kurus
Sangat kurus
> +2 SD
(> -2 SD) – (+2 SD)
(> -3 SD) – (< -2 SD)
< -3 SD
46
E. Kerangka Teori
Dari uraian kepustakaan diatas dapat disimpulkan bahwa status gizi
dipengaruhi oleh asupan zat gizi dan penyakit infeksi sebagai penyebab langsung,
penyebab tidak langsung adalah pengetahuan dan keterampilan serta pola asuh
dalam keluarga, ketahanan pangan rumah tangga serta sanitasi dan air
bersih/pelayanan kesehatan dasar, dan yang menjadi pokok masalah dimasyarakat
adalah pemberdayaan gizi masyarakat Secara singkat digambarkan dalam gambar.
KETAHANAN PANGAN
POLA ASUH
SANITASI DAN AIR BERSIH/PELAYANAN KESEHATAN DASAR
TIDAK MEMADAI
STATUS GIZI
ASUPAN ZAT GIZI INFEKSI
PEMBERDAYAAN GIZI MASYARAKAT
PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN
DAMPAK
PENYEBAB LANGSUNG
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG
POKOK MASALAH DIMASYARAKAT
Kerangka Teori Penelitian Sumber : UNICEF (1998) Dengan Penyesuaian
FASILITATOR MASYARAKAT
KELOMPOK GIZI MASYARAKAT
PAKET GIZI MASYARAKAT
47
F. Kerangka Konsep
Program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
olehFasilitator masyarakat di Sulawesi Selatan telah dilaksanakan disetiap
kabupaten/kota. Sampai saat ini program ini telah berjalan tiga tahun berturut-
turut. Oleh karena itu sangat penting dilakukan penilaian untuk melihat efektifitas
Program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
Fasilitator masyarakat tersebut secara menyeluruh terhadap sistem pelaksanaan
program tersebut, yaitu input, proses, out put dan outcome.
Keempat komponen sistem evaluasi Program perbaikan gizi melalui
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Fasilitator masyarakat adalah
evaluasi pada tahap input yang akan menghasilkan informasi yang dibutuhkan
untuk dapat melaksanakan program Program perbaikan gizi melalui
pemberdayaan masyarakat, pada tahap proses akan menghasilkan informasi
pelaksanaan. Evaluasi output akan memberikan informasi terhadap hasil
pencapaian pelaksanaan program. Ketiga komponen sistem program tersebut,
apabila terlaksana dengan baik akan bermuara pada satu titik outcome yaitu
peningkatan status gizi balita sebagai tujuan akhir dari program pendampingan
tersebut.
Pada kerangka konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini akan
menjelaskan bagaimana Dampak program perbaikan gizi melalui pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan oleh fasilitator masyarakat di Kabupaten Jeneponto.
Untuk jelasnya kerangka konsep penelitian ini digambarkan sebagai berikut.
48
Kerangka Konsep
Varibel Yang Diteliti: Kinerja Fasilitator masyarakat yang meliputi: Input : Domisili (tempat tinggal fasilitator masyarakat) dan Penguasaan
wilayah kerja.
Proses : SMD, MMD, DKT, Proposal, Fasilitasi Paket Gizi Masyarakat
(PGM), Laporan Keuangan, penyuluhan gizi, Pergerakan sasaran,
intervensi gizi, Pelayanan gizi, Inisiator, Evaluasi PGM
(PaketGizi Masyarakat), Koordinasi, dan Kunjungan rumah.
Output : Perbaikan gizi baduta
Indikator yang dinilai
1. Domisili 2. Penguasaan
wilayah
Indikator yang dinilai 1. SMD,MMD, DKT 2. Proposal 3. Fasilitasi PGM 4. Laporan Keuangan 5. Penyuluhan Gizi 6. Penggerakan sasaran 7. Intervensi gizi 8. Pelayanan gizi 9. Inisioator 10. Evaluasi PGM 11. Koordinasi 12. Kunjungan rumah
Perbaikan Status Gizi Baduta
FASILITATOR MASYARAKAT (FM)
PEMBERDAYAAN GIZI MASYARAKAT
PAKET GIZI MASYARAKAT (PGM)
KELOMPOK GIZI MASYARAKAT (KGM)
KINERJA
INPUT OUTPUT PROSES
49
G. Definisi Operasional
1. Penilaian input adalah menilai segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang
fasilitator masyarakat untuk dapat melaksanakan program perbaikan gizi
melalui pemberdayaan masyarakat kepada Kelompok Gizi masyarakat dan
masyarakat yang menjadi sasaran program meliputi:
a. Domisili yaitu fasilitator bertempat tinggal disalah satu desa/kelurahan
tempat penugasannya
b. Penguasaan wilayah yang dimaksud yaitu fasilitator mengenal wilayah
kerja, dan dikenaloleh aparat pemerintah desa, Tokoh agama, tokoh
masyarakat tempat di tugasnya dengan baik sebagai fasilitator pada
program perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat.
2. Penilaian proses adalah segala sesuatu yang dilakukan seorang fasilitator
masyarakat dalam pelaksanaan program perbaikan gizi melalui pemberdayaan
masyarakat, terdiri atas:
a. SMD, MMD dan DKT yaitu fasilitator masyarakat melaksanakan Survey
Mawas Diri (SMD), Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) dan Diskusi
Kelompok Terbatas (DKT)
b. Proposal yaitu fasilitator menfasilitasi KGM (Kelompok Gizi Masyarakat)
dalam pembuatan proposal Paket Gizi Masyarakat (PGM).
c. Fasilitasi PGM (Paket Gizi Masyarakat) yaitu fasilitator menfasilitasi
KGM (Kelompok Gizi Masyarakat) dalam penyusunan rencana kerja
PGM baik mingguan, bulanan maupun triwulan.
50
d. Laporan Keuangan: yang dimaksud yaitu fasilitator membantu KGM
membuat laporan keuangan dan kegiatan KGM sesuai petunjuk
pelaksanaan.
e. Penyuluhan Gizi; yang dimaksud adalah Fasilitator masyarakat
memfasilitasi KGM dalam pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi gizi
bagi sasaran kelompok dan individu sesuai rencana kegiatan
f. Pergerakan sasaran; yang dimaksud adalah memfasilitasi KGM dalam
melakukan pegerakan sasaran untuk berkunjung keposyandu pada setiap
hari posyandu.
g. Intervensi Gizi; yang dimaksud adalah memfasilitasi pemberian paket gizi
(taburia, MP ASI, maupun PMT pemulihan) pada kelompok sasaran
h. Pelayanan Gizi; yang dimaksud adalahfasilitator masyarakat membantu
sasaran untuk memperoleh pelayanan gizi (Kapsul Vit. A, Tablet tambah
darah)
i. Inisiator; yang dimaksud adalah fasilitator masyarakat berperan sebagai
inisiator rapat/pertemuan berkala KGM, dan menghadiri undangan rapat
dari puskesmas, pemerintah dan organisasi masyarakat lainnya.
j. Evaluasi PGM; yang dimaksud adalah fasilitator masyarakat
melaksanakan evaluasi seluruh kegiatan PGM (Paket Gizi Masyarakat) di
desa/kelurahan.
k. Koordinasi; yang dimaksud adalah faslitator masyarakat melaksanakan
koordinasi dengan pemangku kepentingan seperti kepala desa/kelurahan
51
beserta jajarannya, kepala puskesmas dan seluruh staf, dan lintas sektor
terkait.
l. Kunjungan rumah; yang dimaksud adalah fasilitator masyarakat
memfasilitasi dan membantu kegiatan kunjungan rumah.
(skor Penilaian terlampir)
3. Penilaian output adalah dampak posisitif timbul sebagai akibat dari kegiatan
yang dilaksanakan oleh fasilitator masyarakat pada program perbaikan gizi
melalui pemberdayaan masyarakat, yang dilihat berdasarkan peningkatan
status gizi baduta. Status gizi baduta dinilai berdasarkan nilai Z-Skor indeks
BB/U, menggunakan Standar WHO-2005 dengan kriteria sebagai berikut:
Untuk indeks BB/U: 1. Sangat Kurang bila Z-Skor<-3 SD
2. Kurangbila -3 SD s/d <-2SD
3. Normalbila Z-Skor-2 SD s/d 2 SD
4. Lebihbila Z-Skor> 2SD
Hasil dari penilaian stutus gizi baduta tersebut di akumulasikan dalam dalam
bentuk prevalensi desa/kelurahan yang menjadi lokasi pelaksanaan program
perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian eksperimen semu dengan desain eksperimen
semu tanpa kontrol. Intervensi dalam penelitian ini yaitu pemberdayaan gizi
masyarakat dengan penempatan Fasilitator Masyarakat (FM) disetiap desa
clauster.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jeneponto Propinsi Sulawesi Selatan
pada bulan agustus 2009 sampai dengan Februari 2012. Jumlah kecamatan
sebanyak 11 buah dengan 18 Buah Puskesmas dengan 50 Desa.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak balita yang berada
pada 50 buah desa/kelurahan yang menjadi desa pendampingan program
perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat.
2. Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara berkelompok (clauster),
clauster dalam penelitian ini adalah desa yang menjadi binaan NICE.
Sampel adalah semua sasaran baduta yang ada didalam desa clauster. Unit
analisis dalam penelitian ini adalah desa. Selanjutnya dilakukan penentuan
53
kreteria responden untuk menilai kinerja kegiatan pendampingan oleh
Fasilitator.
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara langsung
kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan/pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan:
1. Data prevalensi status gizi balita setiap desa yang diambil adalah data
status gizi menurut indiokator BB/U.
2. Data proses kegiatan pendampingan diambil dari skor kinerja Fasilitator
yang dinilai oleh ketua Kelompok Gizi Masyarakat.
E. Kontrol Kualitas
Kontrol kualitas dimaksudkan adalah supervisi dan kontrol terhadap
semua aspek operasional di dalam proses penelitian mulai dari tahap
persiapan sampai pada tahap pengolahan data. Kontrol kualitas ditujukan
untuk mendeteksi atau mengoreksi variasi random sistematik dan berlebih
(‘excesseve’) dalam hal kualitas
Standarisasi Petugas Lapangan dan Instrumen.
Langkah-langkah standarisasi yang dilakukan sebagai berikut.
1. Latihan petugas lapangan (enumerator) dengan tujuan agar enumerator
dapat memahami latar belakang dan tujuan penelitian, memahami
organisasi penelitian, mampu menggunakan alat ukur, mampu melakukan
wawancara.
54
2. Standarisasi kemampuan kelompok gizi masyarakat (KGM) yakni
ketua/sekertaris/bendahara dilakukan melalui sosialisasi dan simulasi
tentang cara melakukan penilaian fasilitator masyarakat dengan kuesioner
yang ada.
3. Uji coba lapangan bertujuan untuk : (a) uji coba enumerator dalam
kegiatan pengumpulan data; (b) pengorganisasian kegiatan-kegiatan
lapangan; (c) uji coba instrumen-instrumen dan alat-alat ukur yang di
gunakan; (d) mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul dari
penggunaan instrumen di lapangan termasuk item-item kuesioner yang
sulit dan membingungkan dan item-item yang masih harus ditambahkan
dalam kuesioner; (e) mengetahui waktu yang dibutuhkan dalam waktu
pengumpulan data
4. Instrumen penelitian
Jika dari hasil uji coba ditemukan adanya kekurangan dalam instrumen,
maka perlu disempurnakan instrumen yang digunakan dalam penelitian.
Isnstrumen penelitian ini (kuesioner) diisi langsung oleh responden
(ketua/sekertaris/bendahara) KGM dan untuk menvalidasi kuesioner yang
diisi oleh KGM tersebut dilakukan croscekmelalui telaah dokumen laporan
fasilitator masyarakat dan laporan supervisi program gizi dinas kesehatan
kabupaten Jeneponto.
F. Teknik Analisa Data
Pengolahan data menggunakan program SPSS sedangkan analisis data
menggunakan uji korelasi pearson. Hal ini ditujukan untuk mengetahui ada
55
tidaknya korelasi antara skor kinerja fasilitator masyarakat dengan prevalensi
status gizi balita di setiap desa. Jika ditemukan korelasi negatif antara skor
kinerja kegiatan pendampingan dengan prevalensi status gizi buruk dan gizi
kurang, maka hal ini dinyatakan bahwa kegiatan pendampingan memiliki
dampak positif terhadap perbaikan status gizi masyarakat. Dan uji Wilcoxon
untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan prevalensi gizi kurang sebelum
dilakukan intervensi oleh fasilitator masyarakat dan prevalensi gizi kurang saat
penelitian ini dilakukan.
56
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Desa Binaan
Kabupaten Jeneponto memiliki luas wilayah sebesar 749,2 km2
dimana luas kabupaten Jeneponto hanya 1,2% dari luas wilayah sulawesi
selatan. Secara administrasi pemerintahan terbagi atas 11 kecamatan, 18
puskesmas, 86 desa dan 27 kelurahan. Adapun batas batas wilayahnya sebagai
berikut:
Sebelah utara : berbatasan dengan kab. Gowa dan Takalar.
Sebelah Timur : berbatasan dengan kab. Bantaeng
Sebelah selatan : berbatasan dengan laut flores
Sebelah barat : berbatasan dengan kab. Takalar
Menurut data BPS kabupaten jeneponto pada tahun 2010 jumlah penduduk
jeneponto sebanyak 342.489 jiwa. Sedangkan yang menjadi desa/kelurahan
binaan NICE ada 50 desa/kelurahan yang tersebar di 18 wilayah puskesmas
dan 11 kecamatan dengan jumlah penduduk 154.921 (45,2% dari jumlah
penduduk jeneponto) adapun jumlah kepala keluarga yang tergolong miskin
dalam wilayah NICE sebanyak 27.052 KK (60,9%) dari 44.737 KK, jumlah
posyandu yang ada 206, jumlah balita 11.899 dan baduta 4.952. Dengan
rincian dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
57
Tabel. 1 Karakteristik Desa/kelurahan Binaan
Jlm KK KK gakin balita baduta1 Pattiro 1680 410 371 130 59 4 biasa2 Banrimanurung 3058 560 310 286 117 5 biasa3 Kaluku 2913 619 304 202 98 4 sulit4 Camba-Camba 3583 824 336 308 132 4 biasa5 Kapita 5571 1450 966 373 159 10 sulit6 Pappaluang 1330 413 336 172 63 4 sangat sulit7 Pallengu 3779 934 668 276 60 5 biasa8 Pantaibahari 2748 578 220 218 54 4 biasa9 kayuloe Timur 1402 328 211 106 54 2 biasa
10 Bungung Loe 3082 817 730 238 122 5 biasa11 Tonrokassi 5161 1277 635 430 166 5 biasa12 Tonrokassi Timur 3792 1108 622 295 95 4 biasa13 Arungkeke 4259 1129 1025 400 72 6 biasa14 Palajau 3335 1758 875 251 56 5 biasa15 Empoang Selatan 4709 1210 815 344 196 4 biasa16 Bulo-Bulo 2463 648 409 233 118 3 biasa17 Maero 2279 539 339 186 57 3 biasa18 Balumbungang 2121 460 287 161 44 3 biasa19 Bululoe 4594 1254 788 320 167 6 sulit20 Jombe 2106 537 361 150 76 5 biasa21 Sapanang 3344 879 628 231 118 4 biasa22 Empoang Utara 3343 984 643 267 113 5 biasa23 Bulusibatang 4166 1097 878 276 63 4 biasa24 Kareloe 3814 1156 755 263 51 3 sulit25 Bontomanai 1988 411 271 175 75 3 biasa26 Pallantikang 1698 452 231 139 75 4 biasa27 Tolo Selatan 3472 738 335 230 94 4 biasa28 Tombolo 1415 370 247 98 47 2 sulit29 Tarowang 2754 710 301 218 157 4 biasa30 Bontoraya 2194 650 350 174 77 4 biasa31 Kassi 2368 690 313 222 83 6 sangat sulit32 Tompobulu 1531 417 126 139 62 5 sulit33 Panaikang 2427 688 588 222 117 3 biasa34 Balang 4601 1177 535 318 157 4 biasa35 Lentu 2164 497 288 195 89 3 biasa36 Baraya 3430 678 391 224 74 4 biasa37 Bontosunggu 3960 1227 844 377 160 5 biasa38 Borongtala 3921 1953 1515 281 105 3 biasa39 Barana 4469 1063 367 469 273 5 sulit40 Beroanging 4466 1058 341 468 225 6 sangat sulit41 Manjang Loe 1898 477 307 145 62 3 biasa42 Turatea Timur 2281 561 331 160 70 3 biasa43 Bontonompo 1256 392 265 90 53 4 sulit44 Bontotiro 1.829 486 382 163 105 3 biasa45 Parasangan Beru 1.472 388 295 101 34 2 biasa46 Tolo Barat 6.115 1.170 465 207 98 4 biasa47 Kalimporo 3.581 1.016 541 244 52 4 biasa48 Bontorannu 5.392 4.136 2.962 256 82 4 biasa49 Tino 3.338 1.013 408 292 151 3 biasa50 Baltar 2.269 986 541 176 65 4 biasa
Jumlah 154.921 44.373 27.052 11.899 4.952 206
no Nama DesaPenduduk sasaran Jlm Posy Kategori
desa/kelurahan
58
Dari data tersebut dapat dikatan bahwa pemilihan lokasi NICE sudah
sesuai dengan kriteria Dasar pemilihan kabupaten/kota yaitu (1) prevalensi
gizi kurang; (2) angka kemiskinan; (3) adanya komitmen Pemerintah Daerah
untuk replikasi program. Pada point 3, pemerintah daerah sudah
mengalokasikan anggaran untuk dua desa replikasi pada tahun pertama 2010
namun tahun selanjutnya tidak dianggarkan lagi, disulawesi selatan hanya
kabupaten jeneponto yang melakukan replikasi sedangkan tiga kabupaten/kota
belum. Adapun Karakteristik Desa yang menjadi binaan proyek NICE di
Kabupaten Jeneponto terdiri dari ; jumlah kader aktif, keberhasilan program
dan partisipasi masyarakat. Ketiga variable ini dapat dilihat pada grafik
dibawah ini:
Gambar 1. Persentase Kader Aktif, Keberhasilan Program dan Partisipasi Masyarakat di Desa Binaan NICE Kabupaten Jeneponto Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada program
NICE dapat meningkatkan keaktifan kader dimana sebelum intervensi
keaktifan kader hanya 68.14% berubah menjadi 88,89% setelah adanya
59
intervensi program NICE begitu pula dengan persentase cakupan posyandu
(D/S) dan keberhasilan program posyandu (N/D) mengalami peningkatan.
2. Kinerja Fasilitator Masyarakat
Evaluasi proses memberikan informasi tentang cara yang paling efektif dan
efisien melancarkan intervensi (Mantra IB, )Evaluasi terhadap kinerja Fasilitator
masyarakat (FM) diperlukan guna menjamin bahwa proses pelaksanaan kegiatan
fasilitasi tersebut berjalan sesuai tahapan dan harapan yang telah ditentukan.Untuk
meningkatkan efektifitas pemantauan diharapkan masyarakat juga dapat
melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan pendampingan tersebut.
a. Kinerja Fasilitator Masyarakat berdasarkan Indikator Input
Penilaian input adalah menilai segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh seorang fasilitator masyarakat untuk dapat melaksnakan program
perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat kepada Kelompok
Gizi masyarakat dan masyarakat yang menjadi sasaran program.
Penilaian kinerja fasilitator masyarakat berdasarkan Indikator input
meliputi domilisi (tempat tinggal fasilitator masyarakat) dan Penguasaan
wilayah (mengenal wilayah kerja dan dikenal oleh aparat pemerintah
desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat tempat tugasnya)
60
Tabel 2 Distribusi Kinerja Fasilitator Masyarakat Berdasarkan indikator Input
Variabel N= 50 ketua kgm
Persentase (%)
Domisili Tidak, jauh dari tempat tugas 5 10,0 Tidak, tapi dekat dari tempat tugas 6 12,0
Tidak tapi didesa tetangga tempat tugas 26 52,0
Ya, FM tinggal di desa/kel tempat tugas 13 26,0
Mengenal wilayah kerja
Kurang 5 10,0 Ya, cukup Mengenal 23 46,0 Ya, sangat mengenal 22 44,0
Sumber : Data Primer, 2012 Tabel 2 menunjukan faslitator masyarakat yang bertempat tinggal
didesa tempat tugas sudah cukup baik yakni sebesar 78% dengan rincian
52% bertempat tinggal didesa tetangga dan 26% bertempat tinggal
didesa/kelurahan tempat tugasnya, sedangkan yang tidak bertempat tinggal
dan jauh dari desa tetangga tempat tugas sebesar 10% atau ada 5 desa
(Beroanging, Barana, Bontosunggu, Manjangloe, Parasanggeng beru). Ada
beberapa hal yang menyebabkan fasilitator masyarakat tidak tinggal
diwilayah tempat tugasnya yaitu bukan merupakan penduduk asli
jeneponto, bertempat tinggal dirumah sendiri yang jauh dari lokasi tempat
tugasnya memilih bolak balik hal ini dapat menyebabkan kurangnya
fasilitasi terhadap masyarakat dan KGM (kelompok Gizi Masyarakat) juga
dapat berdampak pada penguasaan wilayah kerja.
Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab seorang fasilitator untuk
mengenal wilayah kerja, aparat pemerintah desa, tokoh agama dan tokoh
masyarakat. Tabel 2 juga menunjukan Persentase FM dalam pengenalan
wilayah sudah cukup baik. FM yang sangat menganal wilayah kerjanya
61
44% dan yang kurang mengenal 10% atau ada 5 desa (Kareloe, Lentu,
Turatea Timur, Tompo bulu, Manjang loe). Hal ini terkait dengan tempat
tinggal fasilitator ditempat tugas, dengan bertempat tinggal di wilayah
kerja akan lebih mudah membaur dengan masyarakat dan lebih mudah
dikenali oleh oleh aparat desa, TOMA dan TOGA sehingga proses
fasilitasi lebih mudah
Salah satu kegagalan PPK (program Pengembangan
kecamatan) yaitu kurang memperhatikan kondisi masyarakat dan
fungsi institusi/lembaga lokal masyarakat setempat, sekalipun
Falitator telah dilatih keterampilan berkomunikasi dan atau
kemampuan bersosialisasi tetapi tanpa mengenal, memahami dan
menggunakan peta komunisasi sosial serta pengetahuan tetntang
struktur masyarakat dan kebiasaan kebiasaan masyarakat setempat
maka kemungkinan besar Fasilitattor akan menuai kegagalan
(gunawan, 2008).
Kelemahan PPK lainnya diawal awal program adalah pada
perekrutan dan lemahnya pembekalan fasilitator. Tugas dan peran
fasilitator dalam pendampingan masyarakat membutuhkan lebih dari
sekedar kecakapan teknik dan penguasaan metodologi namun juga
empati dan keberpihakan dari para fasilitator.Empati semacam itu
tidak bisa ditumbuhkan hanya dengan seminggu pelatihan fasilitator,
pengalaman didesa atik berik, fasilitator tidak tinggal didesa yang
didampingi padahal empati dan keberpihakan yang otentik hanya
62
bisa ditumbuhkan manakala fasilitator live in, tinggal bersama
masyarakat yang didampingi. (Agus Purbathin Hadi, 2008).
b. Kinerja Komponen Proses
Indikator poses menunjukan ukuran keaktifan proses yang
dilakukan fasilitator masyarakat (FM) di desa/kelurahan yang menjadi
binaanya dalam Pemberdayaan Masyarakat Ukurannya dapat berupa hal-
hal sebagai berikut:
b.1 Melaksanakan SMD, MMD dan DKT atau Positif deviant
. Tabel 3
Distribusi Kinerja Proses Fasilitator Masyarakat Berdasarkan Indikator Pelaksanaan SMD, MMD, DKT dan atau Positif Deviant
Melaksanakan SMD, MMD,
DKT,Positif Deviance N= 50 ketua kgm Persentase(%)
hanya melaksanakan satu 1 2,0
hanya melaksanakan dua 3 6,0
hanya melaksanakan 3 14 28,0
melaksanakan semua, 32 64,0
Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan hasil penelitianpada tabel 3 menunjukkan fasilitator
yang melaksanakan semua (SMD,MMD,DKT dan Positif deviance)
kegiatan tersebut 64% dan yang melakukan hanya satu diantara kegiatan
tersebut 2% (Desa Manjang), hasil ini menunjukan bahwa secara umum
fasilitator telah melaksanakan proses awal sebelum pembuatan proposal
yang sudah menjadi tugas dan tanggungjawab fasilitator masyarakat sesuai
dalam pedoman umum fasilitator masyarakat.
63
Venugopal (Mardikanto,1993) mendefinisikan perencanaan
program sebagai suatu prosedur kerja bersama-sama masyarakat dalam
upaya untuk merumuskan masalah (keadaan-keadaan yang belum
memuaskan) dan upaya pemecahan yang mungkin dapat dilakukan demi
tercapainya tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Tujuan ini tidak dapat
dicapai jika fasilitator tidak melaksanakan SMD, MMD, DKT dan Positif
Deviant.
Pada pelaksanaan SMD fasilitator bersama dengan KGM
(kelompok Gizi Masyarakat) melakukan pengumpulan data dan potensi
desa/kelurahan yang ada, hasil dari SMD ini adalah masalah gizi dan
penyebabnya yang terindentifikasi serta daftar potensi desa/ masyarakat
yang dapat didayagunakan dalam menyelesaikan maslah gizi.(Depkes,
2009)
Tahapan awal yang dilakukan pada MMD I (Musyawarah
Masyarakat Desa) yaitu pengenalan kondisi desa yang dibuat menjadi
sebuah profl desa sederhana, pada tahapan ini juga fasilitator
mendiskuskan program NICE kepada pada penyedia layanan kesehatan.
selanjutnya fasilitator bersama KGM melaksanakan MMD II, pertemuan
ini dilakukan setelah draf proposal PGM telah selesai. MMD II ini
menyajikan hasil identifikasi maslah gizi, analisis situasi dan usulan
kegiatan, terakhir melaksanakan MMD III setelah proposal PGM tersusun
rapi, hasil dari MMD III yaitu adanya kesepakatan seluruh masyarakat
tenatang proposal yang akan diajukan dan tersusunnya rencana anggaran
kegiatan program NICE didesa tersebut.
64
Sedangkan pelaksanaan DKT (diskusi kelompok terarah)
dilakukan sebelum permintaan Dana Tahap II, hal ini untuk menampung
aspirasi dari masyarakat terhadap proposal yang telah dibuat yang
memungkinkan perubahan terhadap proposal apabila ada hal yang baru
atau ada kegiatan dalam proposal yang sudah tidak terlalu penting lagi
untuk dilaksanakan.
b.2 Fasilitator memfasilitas pembuatan proposal.
Tabel 4 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator pembuatan
proposal
Pembuatan Proposal N= 50 ketua kgm Persentase(%)
Sedikit aktif 1 2,0
cukup aktif 4 8,0
sangat membantu 45 90,0
Sumber: Data Primer, 2012
Proposal merupakan persyaratan mutlak dari program NICE, dari
proposal tersebut pemerintah mengucurkan dana untuk membiayai
kegiatan yang ada dalam proposal paket gizi masyarakat. Berdasarkan hasil
penelitian ini diketahui bahwa 90% fasilitator berperan sangat membantu
memfasilitasi dalam pembutan proposal dan hanya 2% desa/kelurahan
fasilitator yang berperan agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pembuatan
proposal (desa Turatea Timur).
Dalam pembuatan proposal ini KGM harus difasilitasi oleh FM
karena sudah menjadi tugas dan tanggung jawab, disamping itu pembuatan
65
proposal juga harus mengikuti sistimatika penulisan dan aturan tentang
jenis kegiatan yang boleh dan tidak boleh di danai seperti membangun
gedung, memberikan upah dll.
Isi dari kegiatan proposal paket gizi masyarakat merupakan hasil
dari SMD dan MMD yang telah dilaksakan pada awal kegiatan fasilitator.
Jadi pelaksanaan SMD dan MMD dengan pembuatan proposal merupakan
paket yang tidak bisa dipisahkan. Jadi dalam proposal tersebut berisikan
masalah gizi yang akan dipecahkan dan rancangan kegiatan untuk
memecahkan masalah tersebut. Tehnik penyusunan proposal ini
berorientasi pada hasil (outcomes oriented), yang perencanaanya dimulai
dengan hasil (outcomes) yang diinginkan kemudian disusun kegiatan untuk
mencapai hasil tersebut, lalu ditentukan pelaksana/penanggung jawab
setiap kegiatan, jadwal kegiatan dan rincian budget yang diusulkan.
Semuanya sebagai satu kesatuan dikenal sebagai teknologi peta jalan
(Road Mapping Technology).
b.3 Fasilitasi Penyusunan Rencana Kerja PGM (Paket Gizi Masyarakat)
Tabel 5 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator
Fasilitasi Penyusunan rencana Kerja PGM (Paket Gizi Masyarakat)
Fasilitasi PGM N= 50 ketua kgm Persentase(%)
sedikit aktif 2 4,0
cukup aktif 9 18,0
sangat membantu 39 78,0
Sumber: Data Primer, 2012 Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fasilitor yang sangat
membantu memfasilitasi penyusunan rencana kerja 78% sedangkan
66
fasilitator yang sedikit aktif dalam memfasilitasi 4% (Desa Manjang Loe
dan Turatea Timur).
Hal ini menunjukan bahwa fasilitator telah bekerja secara baik.
Dari laporan pelaksanaan program NICE tahun 2011 yang di buat oleh
DPIU Jeneponto memperlihatkan bahwa ada 2 (dua) desa/kelurahan yang
pernah tidak melakukan kegiatan PGM dalam sebulan namun tidak
terlaksanya kegiatan PGM bukan disebabkan tidak adanya rencana kerja
tapi adanya konflik/kesalahpahaman antara kepala desa dengan KGM.
Setalah Proposal PGM disetujui maka tugas FM selanjutnya
memfasilitasi KGM membuat rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh
KGM untuk memilih jenis kegiatan apa yang harus didahulukan, siapa
penanggungjawab kegiatan dan siapa yang menjadi sasaran, dimana
dilaksanakan, kapan pelaksanaanya, dll. Hal ini dimaksudkan agar dalam
pelaksanaan kegiatan PGM lebih terarah dan teroganisir secara baik.
b.4 Pembuatan laporan keuangan dan kegiatan KGM
Tabel 6 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator
Laporan keuangan dan kegiatan KGM
Laporan Keuangan N= 50 ketua kgm Persentase
(%)
mendampingi secara pasif 4 8,0
sedikit aktif memfasilitasi 3 6,0
cukup aktif memfasilitasi 14 28,0
sangat membantu 29 58,0
Sumber: Data Primer, 2012
67
Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa fasilitator yang
sangat membantu memfasilitasi pembuatan laporan keuangan dan kegiatan
58% sedangkan fasilitator yang hanya mendampingi secara pasif 8%
(Tompobulu, Lentu, Kareloe dan Bulo bulo). Kegiatan pembuatan laporan
keuangan dirasa paling sulit bagi fasilitator maupun KGM, ini ditunjukkan
dengan seringnya fasilitator maupun bendahara KGM melakukan
konsultasi teknis pada staf financial DPIU (laporan pelaksanaan program
NICE tahun 2011).
Beberapa hal yang menjadi penyebabnya yaitu; fasilitator
tidak dilatih khusus dalam hal pembuatan laporan keuangan begitu
juga dengan bendahara KGM yang tingkat pendidikan rata rata SMA
dan belum pernah menjadi bendahara sehingga kesulitan dalam
pembuatan pembukuan, laporan pertanggungjawaban keuangan dan
laporan pelaksanaan kegiatan. Walaupu ada beberapa bebdahara
KGM pernah menjadi bendahara pada program pemberdayaan
lainnya seperti PNPM dan PAUD namun mereka juga mengalami
kesulitan karena pada program tersebut bentuk kegiatannya fisik
sehingga pertanggungjawabannya lebih sederhana dibanding
kegiatan dalam PGM yang lebih banyak non fisik seperti
penyuluhan, kunjungan rumah, demo masak, kelas ibu dll, yang
jumlah dananya kecil namun kegiatannya banyak dan harus
dibuatkan laporan pelaksanaan kegiatan. Disamping itu juga setiap
tahunnya dilaksanakan dua kali audit keuangan dan laporan
pertanggungjawaban kegiatan yang dilakukan oleh auditor
68
independent dan BPKP propinsi hal tsb membuat fasilitator lebih
banyak meluangkan waktu dan tenaga untuk menfasilitasi kegiatan
ini.
b.5 Memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi gizi. Tabel 7
Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator Penyuluhan dan konsultasi gizi
Penyuluhan Gizi N= 50 ketua kgm Persentase (%)
mendampingi secara pasif 2 4,0
sedikit aktif menfasilitasi 3 6,0
cukup aktif memfasiliasi 12 24,0
sangat membantu 33 66,0
Sumber: Data Primer, 2012 Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa fasilitator
yang sangat membantu dalam memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan
dan konsultasi gizi melalui kelas ibu sebesar 66% sedangkan
fasilitator yang hanya mendampingi secara pasif pelaksanaan
penyuluhan dan konsultasi melalui kelas ibu sebesar 4% (desa
Manjang Loe dan kareloe), keberhasilan ini tidak lepas dari
kebijakan dari pengelola NICE kab. Jeneponto dalam hal perekrutan
FM yang memprioritaskan lulusan gizi dengan harapan FM dapat
berperan sebagai penyuluh atau pelaksana apabila petugas kesehatan
tidak ada atau punya jadwal yang bersamaan dengan kegiatan lain.
Begitu pula jika dilihat dari jenis kegiatan yang ada dalam PGM
(paket gizi masyarakat), kegiatan penyuluhan dan konsultasi gizi
69
memiliki porsi volume kegiatan yang terbesar dari jenis kegiatan lain
yang ada dalam proposal PGM.
Penyuluhan gizi dalam program NICE dimaksudkan agar
dengan penyuluhan gizi yang efektif, partisipasi masyarakat dengan
sendirinya meningkat sehingga tujuan perbaikan gizi melalui
perbaikan makan dan perilaku memberi makan dapat lebih mudah
terwujud.
b.6 FM Memfasilitasi KGM dalam melakukan pergerakan sasaran untuk
berkunjung keposyandu.
Tabel 8 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator penggerakan sasaran untuk berkunjung ke posyandu
Pergerakan Sasaran N= 50 ketua kgm
Persentase (%)
mendampingi secara pasif 3 6,0
agak sedikit aktif menfasilitasi 6 12,0
cukup aktif memfasiliasi 14 28,0
sangat membantu 27 54,0
Sumber: Data Primer, 2012
Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa fasilitator yang
sangat membantu dalam memfasilitasi KGM melakukan pergerakan
sasaran keposyandu sebesar 54% sedangkan yang pasif melakukan
fasilitasi pergerakan sasaran hanya 6% (Kareloe, Lentu, manjangloe).
Hasil capaian dirasa masih kurang memuaskan karena masih ada
FM yang bersikap pasif dalam memfasilitasi kegiatan pergerakan sasaran
ke posyandu. Cakupan posyandu merupakan salah satu indikator yang
70
menunjukan adanya gerakan pemberdayaan masyarakat. sebagaimana
diketahui untuk bidang kesehatan konsep pemberdayaan masyarakat telah
ada sebelumdiberlakukannya otonomi daerah yaitu sejak diperkenalkannya
posyandu (pos pelayanan terpadu) tahun 1984.
Didalam proposal paket gizi masyarakat beberapa jenis
kegiatan yang diarahkan untuk mengembalikan fungsi posyandu dan
mengairahkan kader dan sasaran untuk berkunjung keposyandu
seperti peningkatan fasilitas posyandu (rehab ringan, melengkapi
peralatan posyandu, menyediakan ATK dan buku register), pelatihan
dan refresing kader.
b.7 Intervensi gizi;
Tabel 9 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator
pemberian paket intervensi gizi
Intervensi Gizi N= 50 ketua kgm
Persentase (%)
sedikit aktif menfasilitasi 3 6,0
cukup aktif memfasiliasi 20 40,0
sangat membantu 27 54,0
Sumber: Data Primer, 2012
FM Memfasilitasi pemberian paket gizi (taburia, MP ASI,
maupun PMT Pemulihan) pada kelompok sasaran. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa fasilitator sangat membantu dalam
memfasilitasi pemberian paket intervensi gizi pada kelompok
sasaran yaitu 54% dan fasilitator yang sedikit aktif memfasilitasi
71
pemberian paket intervensi yaitu 6% (desa Kareloe, Manjangloe dan
Turatea timur).
Paket pemberian intervensi gizi merupakan titipan
kegiatan dari program gizi kabupaten jeneponto, yang terintegrasi
dengan kegiatan fasilitator, selain itu dilapangan FM merupakan
mitra kerja dari TPG (Tenaga Pelaksana Gizi). Peket intervensi yang
juga merupakan paket intervensi dari program NICE yaitu taburia
yang sasarannya meliputi semua anak yang berusia 6 sd 24 bulan
desa/kelurahan binaan NICE namun dengan keterbatan jumlah
taburia yang ada maka sasaran diseleksi lagi, adapun jumlah sasaran
yang mendapat taburia berdasarkan laporan dinas kesehatan yaitu
2100 anak dengan jumlah taburia 189.000 saset. Sedangkan MP ASI
maupun PMT pemulihan hanya diberikan pada kasus gizi buruk,
berdasarkan laporan dari dinas kesehatan jeneponto, jumlah kasus
gizi buruk yang mendapat intervensi sebanyak 37 kasus dan paket
tersebut berasal dari dinas kesehatan kab. Jeneponto.
b.8 Pelayanan Gizi;
Tabel 10 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator
pelayanan gizi
Pelayanan Gizi N= 50 ketua kgm
Persentase (%)
sedikit aktif menfasilitasi 5 10,0
cukup aktif memfasiliasi 13 26,0
sangat membantu 32 64,0 Sumber: Data Primer, 2012
72
Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa fasilitator yang
sangat membantu menfaslitasi sasaran memperoleh pelayanan gizi
yakni 64% dan fasilitator yang agak sedikit aktif memfasilitasi yaitu
10% (Desa Turatea Timur, Manjang Loe, Lentu, Kareloe dan Bulo
bulo).
Hasil ini juga menunjukan bahwa fasilitator turut membantu
program dinas kesehatan dalam meningkatkan cakupan pemberian
vitamin A dan Fe, disamping itu juga memperlihatkan koordinasi
yang baik antara dinas kesehatan jeneponto dengan fasilitator
masyarakat. cakupan pemberian Vitamin A dan Kapsul Fe juga
merupakan salah satu indikator keberhasilan dari program NICE.
b.9 Inisiator Rapat/Pertemuan
Tabel 11 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator
Inisiator Rapat/Pertemuan
Inisiator Rapat/Pertemuan N= 50 ketua
kgm Persentase
(%) sedikit berinisiatif 2 4,0
cukup berinisiatif 13 26,0
sangat berinisiatif 35 70,0
Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa fasilitator
yang sangat berinisiatif berperan sebagai inisiator rapat/pertemuan
dan menghadiri undangan rapat yaitu sebesar 70% sedangkan
fasilitator sedikit berinisiatif yaitu 4% (Desa Manjang Loe dan
Turatea Timur).
73
Salah satu peran fasilitator masyarakat dalam melakukan
pemberdayaan yaitu sebagai inisiator rapat/pertemuan berkala KGM,
dan menghadiri undangan rapat dari puskesmas, pemerintah dan
organisasi masyarakat lainnya. Hal ini sebagai upaya pendekatan
dengan pemegang kekuasaan yang dapat mempengaruhi masyarakat
selain itu juga untuk menyerap aspirasi dan masalah yang ada dalam
masyarakat terkait dengan kesehatan.
Salah satu bentuk aktifitas program NICE adalah
menyelenggarakan pertemuan atau musyawarah dalam merumuskan
usulan (proposal) yang menjadi kebutuhan dari wilayah tersebut atau
kebutuhan yang perlu dikembangkan sesuai potensi lokal yang ada.
Pertemuan pertemuan masyarakat ini akan difasilitasi fasilitator
masyarakat adapun fungsi memfasilitasi tersebut meliputi 3 hal poko
yaitu, menyampaikan tujuan dan memandu jalannya pertemuan,
memotivasi peserta untuk mengemukanan pendapat, dan memandu
peserta dalam mengambil suatu keputusan.
Fasiliator masyarakat sebelum terjun kemasyarakat
memperoleh pelatihan sebagai bekal dan memiliki kemampuan
dalam hal kepemimpinan, kemampuan komunikasi dan kemampuan
dalampengembangan masyarakat, disamping itu fasilitator perlu
menyadari dan memahami empat fungsi fasilitasi dimasyarakat yaitu
sebagai narasumber, sebagai guru, sebagai mediator dan sebagai
motivator. (depkes, 2009)
74
b.10 Evaluasi PGM Tabel 12
Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator Evaluasi PGM
Evaluasi PGM N= 50 ketua
kgm Persentase
(%) sedikit berinisiatif 3 6,0
cukup berinisiatif 14 28,0
sangat berinisiatif 33 66,0
Sumber: Data Primer, 2012
Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa fasilitator
yang sangat berinisiatif melaksanakan evaluasi seluruh kegiatan
PGM (Paket Gizi Masyarakat) sebesar 66% sedangkan fasilitator
yang memiliki sedikit inisiatif melaksanakan evaluasi PGM (Paket
Gizi Masyarakat) di desa/kelurahan sebesar 6% (Desa Bulo Bulo,
Manjang Loe dan Turatea timur dengan)
Evaluasi dalam program NICE menjadi hal yang sangat
penting bagi penguatan masyarakat karena hal ini merupakan elemen
terpadu bukan merupakan sesuatu yang terpisah atau berdiri sendiri.
Pemantauan adalah kegiatan pengumpulan data/informasi
yang dilakukan secara berkala untuk memastikan apakah suatu
kegiatan sudah dilaksanakan sesuai rencana, hasil dari kegiatan
pemantau digunakan untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan dan
penyesuaian terhadap rencana. (depkes, 2009). Hendaknya
pemantauan/ monitoring sebaiknya dilakukan oleh pihak yang
75
mampu menganalisa laporan, analisa data dan mampu mengaudit
material dan pembiayaan program (Wijono, 1999)
Dengan melaksanakan evaluasi maka tidak sekedar
menentukan keberhasilan atau kegagalan, tetapi juga mengatahui
mengapa keberhasilan atau kegagalan itu terjadi dan apa yang bisa
dilakukan terhadap hasil-hasil tersebut. (Klineberg)
Menurut Dwintara L. Sumarto RH (2004) teknik – teknik
monitoring sifatnya saling melengkapi dan saling mendukung serta
harus diterapkan secara bersama sama guna memperoleh informasi/
data yang obyektif dan akurat sehingga mampu meminimalkan atau
menghindari penyimpangan penyimpangan maupun untuk
mengambil kebijakan yang tepat.
b.11 Koordinasi
Tabel 13 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator
Koordinasi Dengan Pemangku Kepentingan
Koordinasi N= 50 ketua kgm Persentase(%)
sedikit berinisiatif 4 8,0
cukup berinisiatif 18 36,0
sangat berinisiatif 28 56,0
Sumber: Data Primer, 2012
dari hasil penelitian ini menunujukan bahwa faslitator
masyarakat yang sangat berinisiatif melaksanakan koordinasi
dengan pemangku kepentingan seperti kepala desa/kelurahan beserta
76
jajarannya, kepala puskesmas dan seluruh staf, dan lintas sektor
terkait yakni sebesar 56% sedangkan fasilitator yang hanya sedikit
berinisiatif melaksanakan koordinasi 8% (desa Bontomanai, Bulo
Bulo, Lentu dan tompobulu).
Dapat melakukan koordinasi dengan baik merupakan salah
satu modal bagi fasilitator masyarakat, Fasilitator harus dapat
menjalin koordinasi dengan pemangku kepentingan diwilayah
kerjanya hal ini akan memperlancar kegiatan fasilitator disamping
itu dapat dijadikan sebagai media konsultasi terhadap berbagai
masalah yang mereka hadapi baik teknis maupun adminstrasi dan
dengan sukarela mereka akan membantu.
Koordinasi adalah pengaturan usaha sekelompok orang
secara teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam
mengusahakan tercapainya suatu tujuan (Wijoyo, 1997). Menurut Al
harini S (2004) agar koordinasi dapat terlaksana diperlukan syarat
tertentu, misalnya adanya keinginan kerjasama, semangat tim,
semangat koorps dan penghargaan organisasi.
77
b.12 Kunjungan rumah;
Tabel 14 Distribusi Kinerja Proses FM Berdasarkan Indikator
Kunjungan Rumah
Kunjungan Rumah N= 50 ketua
kgm Persentase(%)
tidak berinisiatif 3 6,0
sedikit berinisiatif 3 6,0
cukup berinisiatif 24 48,0
sangat berinisiatif 20 40,0
Sumber: Data Primer, 2012
dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa fasilitator
masyarakat yang sangat berinisiatif memfasilitasi dan membantu
kegiatan kunjungan rumah yakni sebesar 40% sedangkan fasilitator
yang tidak berinisiatif memfasilitasi kunjungan rumah sebesar 6%
(desa kareloe, Barana dan Tompobulo).
Salah satu cara unutuk meningkatkan cakupan kunjungan
sasaran ke posyandu yaitu dengan melakukan kunjungan rumah,
besaran cakupan sasaran keposyandu merupakan indikator yang
menunjukan adanya gerakan pemberdayaan masyarakat. disamping
itu kunjungan rumah juga dapat mendeteksi dini terhadap masalah
gizi yang dialami oleh sasaran (bumil, bayi dan bailita).
Dalam pedoman pendampingan (hardiansyah, dkk 2007)
dinyatakan bahwa kunjungan rumah direncanakan sesuai dengan
berat ringannya masalah gizi yang dihadapi keluarga, jika tidak ada
78
jadwal kunjugan rumah maka sasaran yan mempunyai masalah yang
lebih berat dapat saja mendapat kunjungan yang tidak sesuai dengan
keadaan masalahnya. Selanjutnya bahwa dalam setiap kunjungan
rumah hendaknya selalu menghimbau dan mengajar keluarga sasaran
agar mau membawa anaknya ditimbang setiap bulan diposyandu,
untuk menyakinkan keluarga sasaran perlu disampaikan mamfaat
menimbang berat badan balita setiap bulan terhadap
pertumbuhannya.
Berdasarkan hasil dari tabel frekuensi variabel-variabel
kinerja fasilitator masyarakat diketahui ada 3 variabel indikator
penilaian kinerja fasiliator yang paling menonjol persentasenya
yaitu; 1) memfasilitasi pembuatan proposal PGM (Paket Gizi
Masyarakat) 90%, 2) Penyusunan rencana kerja PGM (Paket Gizi
Masyarakat) 78% dan 3) sebagai inisiator rapat/pertemuan 70%.
Sedangkan yang paling rendah pesentasenya yaitu 1) Domisili 26%,
2) Kunjungan rumah 40% dan 3) Mengenal wilayah kerja 44%.
Tabel. 15 Hubungan Indikator Kinerja Input dan Proses
Variable Skor Proses
r p
Skor Input 0.574 0.000 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan hasil analisis data diketahui, bahwa ada korelasi positif antara
skor input dengan skor proses (p=0.000). Hal ini membuktikan bahwa semakin baik
79
indikator input maka akan diikuti oleh membaiknya indikator proses. Dari hasil
penelitian ini diketahui bahwa ada 5 desa (kareloe, bontosunggsu, manjang loe, turatea
timur dan beroanging) yang kinerja FM berdasarkan indikator inputnya paling rendah
sedangkan kinerja FM berdasarkan indikator proses paling rendah ada 5 desa (manjang
loe, Turatea timur, Lentu, Kareloe dan bulo bulo) dari gambaran ini diketahui ada 3
desa yang kinerja FM berdasarkan indikator input maupun prosesnya paling rendah
yaitu desa turatea timur, manjang loe dan didesa kareloe.
Kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator masyarakat baik pada komponen
kinerja input dan proses merupakan tahapan tahapan dalam proses pemberdayaan
sehingga apabila kinerja input baik maka akan baik pula kinerja prosesnya begitu pula
sebaliknya. Hal ini sesuai dengan rekomendasi United Nations (1956), dalam
tampubolon (2004) tentang proses – proses pemberdayaan, ada 11 (sebelas) proses
pemberdayaan masyarakat dimana tahap satu sampai tigamerupakan kegiatan FM
berdasarkan kinerja input sedangkan tahap empat samapai sebelam merupakan kegiatan
FM berdasarkan kinerja proses. Adapaun kesebelas tahapan proses pemberdayaan
tersebut yaitu
a). Getting to know the local coomunity yakni mengetahui karakteristik
masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik
yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya dalam
pemberdayaan masyarakat diperlukan timbal balik antara fasilitator dengan masyarakat.
b). Gethering knowledge about the local community yakni mengumpulkan
pengetahuan yan menyangkut informasi mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan
tersebut merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex,
pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi termasuk pengetahuan tentang
80
nilai, sikap, ritual dan budaya.Jenis pengelompokan serta faktor kepemimpinan baik
formal maupun informal.
C). Identifying the local leaders,faktor ini harus selalu diperhitungkan
karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat. segala usaha
pemberdayaan masyarakat akan sia sia apabila tidak memperoleh dukungan dari
pimpinan/tokoh – masyarakat setempat. Dukungan dari orang/kelompok yang
memegang kekuasaan dimasyarakat baik itu organisasi masyarakat, tokoh agama, atau
tokoh etnis dan lain lain menjadi langkah penting untuk mendapatkan penerimaan pada
kelompok masyarakat paling bawah (grass roots). Proses ini menjadi faktor sangat
penting yang harus dilakukan oleh fasilitator karena proses ini dapat menjadi penentu
keberhasilan pemberdayaan masyarakat
d).Stimulating the community to realize that it has problem yaitu
melakukan pendekatan persuasif untuk menyadarkan masyarakat bahwa mereka punya
masalah yang perlu dipecahkan dan kebutuhan yang perlu dipenuhi,
e) Helping people to discuss heir problems yaitu membantu mayarakat
untuk mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana
kebersamaan.
F) Helping peopole to identify their most pressing problems yaitu
masyarakat didorong agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling
menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan
pemecahannya.
G) Fostering self confidence yaitu tujuan utama pemberdayaan
masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat, rasa percaya diri
merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya
81
h) Deciding on a program action Yakni masyarakat didorong untuk
menetapkan suatu program yang akan dilakukan untuk menyelesaikan maslah yang
ada. Program tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas yaitu rendahn sedang
dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilan yang perlu didahulukan
pelaksanaannya
i). Recognition of strengths and resoulces yakni membuat masyarakat tahu
dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan kekuatan dan sumber sumber yang
dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya.
j). Helping people to continue to work on solving their problems.Yakni
pemerdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan karena itu
masyarakat perlu diberdayakan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara
kontinyu.
k) increasing people ability for self-help yaitu salah satu tujuan
pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat . masyarakat
yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong dirinya sendiri. Untuk
itu perlu selalu ditingkatkan kemandirian masyarakat untuk berswadaya. Pola
pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan masyarakat bukanlah kegiatan yang
sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi
masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya akan tetapi yang paling dibutuhkan
masyarakat lapisan bawah (grass roots) terutama yang tinggal didesa adalah pola
pemberdayaan yang sifatnya buttom-up intervention yang menghargai dan mengakui
bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya.
(Astridya paranita, wenny lestari)
82
3. Prevalensi Status Gizi Kurang
Gambar 2. Prevalensi Gizi Kurang di Desa Binaan NICE Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terjadi penurunan
persentase gizi kurang dari 17.34% berubah menjadi 12.26%.
Tabel 16
Perubahan Parameter menurut Indikator Output Sebelum dan Setelah Intervensi Program NICE di Kabupaten
Jeneponto, Sulsel 2012
Variabel Sebelum (%) Sesudah (%) p* Prevalensi Gizi Kurang 17.34 12.26 0.000 Partisipasi Masyarakat (D/S) 72.13 88.31 0.000 Keberhasilan Program (N/D) 67,75 74.79 0.000 Keaktifan Kader 68.12 88.98 0.000 * Wilcoxon Signed Ranks Test
Berdasarkan hasil analisis uji wilcoxon terhadap persentase status gizi
kurang sebelum dan sesudah intervensi diketahui berbeda secara nyata dengan
diperolehnya (p = 0,000). Hal ini membuktikan bahwa proyek NICE telah
mampu mencapai tujuan pembentukannya. Walau demikian masih ada desa yang
83
tidak mengalami penurunan status gizi kurang bahkan meningkat prevalensi
status gizi kurangnya yaitu desa Manjang loe (+3,2%), dan Kareloe (+3,9%)
sedangkan yang tetap yaitu desa Turatea Timur dan Parasanggang beru.
Penurunan prevalensi status gizi kurang ini juga di ikuti dengan
peningkatan persentase keberhasilan program (N/D), dan peningkatan presentase
pertisipasi masyarakat (D/S) serta peningkatan kader aktif sebelum dan setelah
intervensi dilakukan. Berdasarkan uji wilcoxon diperoleh (P = 0,000) jadi dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan sebelum dan setelah dilakukan intervensi
yang dilakukan oleh fasilitator masyarakat.
Keberhasilan suatu program pemberdayaan dapat dilihat dari segi
partisipasi masyarakat salah satu bentuk parsipasi masyarakat dalam program ini
terlihat adalah meningkatnya jumlah kader aktif. Seorang kader agar mendapat
kepercayaan dari masyarakat haruslah memiliki kredibilitas, khususnya
kredibilitas dalam segi kemampuan (competent credibility) maupu kredibilitas
dalam segi kepercayaan (safety credibility) (Rogres, 1973).
Pada program ini competent cedibility diperoleh melalui pelatihan
keterampilan dibidang teknik teknik kesehatan sederhana dalam bentuk pelatihan
kader, refresing kader dan pelatihan kader motivator sehingga kader mampu
memberikan nasehat nasehat teknis kepada masyarakat yang memerlukan.
Melalui keterampilan ini secara bertahap ia akan mengembangkan citra dirinya
sebagai seorang yang dapat dipercaya (safety credibility).
Peningkatan jumlah kader aktif juga diikiuti dengan meningkatnya
partisipasi sasaran keposyandu (D/S) dan meningkatnya keberhasilan progam di
84
posyandu (N/D) yang pada akhirnya mampu menurunkan angka prevalensi gizi
kurang pada anak Baduta di wilayah desa/kelurahan binaan.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Hadju, dkk (2001) dimana
pendampingan yang dilakukan terhadap kader dapat meningkatkan kunjungan
balita keposyandu.
Sumarno (2006) melakukan penelitian tentang pengembangan model
peningkatan efektifitas pelayanan gizi dalam Revitaslisasi posyandu, hasil
penelitiannya diketahui bahwa antara posyandu yang memiliki D/S yang baik
(>70%) dengan D/S yang rendah (<70%) bukan karena lokasinya dan bukan
karena fasilitasnya tetapi kerena keberadaan kader panutan, tokoh masyarakat
panutan dan bidan panutan.
85
Dampak Kegiatan Pendampingan Tabel 17
Hasil Analisis Korelasi Spearman Kinerja Fasilitator Masyarakat dengan Prevalensi Gizi Kurang, di Desa Binaan NICE
Kabupaten Jeneponto Sulsel 2012
NO Indikator INPUT r P 1 Bertempat tinggal disalah satu desa/kelurahan tempat
tugasnya -0.1099 0.4473
2 Mengenal wilayah kerja, aparat pemerintah desa tokoh agama, tokoh masyarakat
-0.1742 0.2263
Total Skor Input -0.1768 0.2193 1 Melaksanakan SMD, MMD, DKT dan atau Positif Deviant -0.2010 0.1617 2 Memfasilitasi pembuatan proposal Paket Gizi Masyarakat 0.1352 0.3491 3 Memfasilitasi penyusunan rencana kerja PGM baik
mingguan, bulanan -0.1079 0.4556
4 Membantu membuat laporan keuangan dan kegiatan KGM -0.3219 0.0226 5 Memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi gizi
melalui kelas ibu -0.3417 0.0152
6 Memfasilitasi penggerakan sasaran untuk berkunjung ke posyandu pada
-0.3513 0.0124
7 Memfasilitasi pemberian paket intervensi gizi pada kelompok sasaran
-0.1119 0.4391
8 Membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan gizi (kapsul Vit. A, Taburia)
-0.2868 0.0435
9 Sebagai Inisiator rapat/pertemuan berkala KGM, dan menghadiri undangan
-0.1527 0.2898
10 Melaksanakan evaluasi seluruh kegiatan PGM di desa/kelurahan
0.0238 0.8696
11 Melaksanakan koordinasi dengan pemangku kepentingan seperti
-0.2732 0.0549
12 Memfasilitasi dan membantu kegiatan kinjungan rumah -0.2294 0.1091 Total Skor Proses -0.2935 0.0386 Total Skor Kinerja -0.2931 0.0389
Sumber : Data Primer, 2012 Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ada korelasi antara
beberapa variable dengan penurunan prevalensi gizi kurang di desa binaan NICE
yaitu:
1. Membantu membuat laporan keuangan (p=0.0226)
86
2. Memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi gizi melalui kelas ibu
(p=0.0152)
3. Memfasilitasi penggerakan sasaran untuk berkunjung ke posyandu
(p=0.0124)
4. Membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan gizi (kapsul vit. A, taburia)
(p=0.0435)
Komponen proses yang berpengaruh terhadap penurunan
prevalensi gizi kurang dalam program pemberdayaan masyarakat, jika dilihat
pada sisi kinerja Fasilitator dalam penelitian ini adalah membantu membuat
laporan keuangan dan kegiatan KGM(p=0.0226).Hal ini membuktikan bahwa
program pendampingan sudah menunjukkan aspek akuntabilitas keuangan
yang baik. Membantu pembuatan laporan keuangan secara langsung tidak
berpengaruh terhadap penurunan prevalensi gizi kurang namun jika hal ini
tidak dilaksanakan maka akan menghambat semua kegiatan yang ada dalam
paket gizi masyarakat yang bertujuan menurunkan prevalensi gizi kurang.
Dalam hal ini penyelesaian laporan keuangan dan kegiatan berpengaruh
terhadap pencairan dana PGM (Paket Gizi Masyarakat) karena salah satu syarat
permintaan dana tahap ke II dan ke III yaitu harus melengkapi laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana sebelumnya, jika tidak diselesaikan
maka permintaan dana selanjutnya tidak akan dilayani. Hal ini berpengaruh
terhadap kerja fasilitator masyarakat dan kelompok gizi masyarakat karena
tidak dapat melaksanakan kegiatan yang ada dalam Paket gizi masyarakat.
87
Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban atas
pengurusan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh suatu entitas. Sedangkan
menurut perauran pemerintah nomor 24 tahun 2005, laporan keuangan
merupakan laporan terstruktur mengenai posisi keuangan, kinerja, serta
perubahan posisi keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu
entitas pelaporan. Dalam pelaksanaan kegiatan paket gizi masyarakat setiap
penggunaan dana di informasikan pada masyarakat umum melalui laporan
transparansi yang ditempelkan pada tempat-tempat umum seperti kantor
lurah/desa atau Puskesmas bertujuan mengontrol penggunaan dana oleh KGM
dan mencegah penyalahgunaan dana.
Dalam pelaksanaannya fasilitator tidak hanya berperan membantu
pembuatan laporan keuangan tetapi juga mengontrol penggunaan dana oleh
KGM (kelompok Gizi Masyarakat) seperti melakukan penghematan terhadap
satuan biaya beberapa kegiatan, hasil dari efisiensi dana tersebut digunakan
untuk membiayai kegiatan tambahan, disamping itu ada beberapa kegiatan
dalam paket gizi masyarakat yang menurut fasilitator dan KGM tidak penting
atau tidak dibutuhan lagi direvisi ke jenis kegiatan lainnya yang dianggap lebih
penting begitu pula dalam memobilisasi dana masyarakat, seperti pelaksanaan
PMT penyuluhan dimana pada saat dana PGM belum cair, fasilitator
masyarakat bersama KGM berhasil memperoleh dana dari kepala
desa/kelurahan dan dari masyarakat yang mampu untuk membiayai kegiatan
tersebut. Salah satu contoh kasus mobilisasi dana masyarakat di desa Jombe
(laporan Fasilitator Masyarakat) dimana Fasilitator bersama KGM akan
88
melaksanakan distribusi garam beryodium murah namun dana tidak ada dan
tidak dianggarkan dalam PGM (paket gizi masyarakat) sehingga mereka
melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat dan kepala desa,
pada saat itu disampaikan tujuan pertemuan tersebut dan hasil pertemuan itu
terkumpul dana untuk membeli garam beryodium yang kemuadian dijual pada
masyarakat dengan harga murah melalui kantor desa pada saat pembagian
raskin tanpa menggunakan dana dari PGM.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peran fasilitor masyarakat
membantu laporan keuangan khusunya dalam melakukan efisiensi, revisi
kegiatan dan penggalangan dana sangat membantu pencapaian tujuan dari
program ini yaitu menurunkan prevalensi gizi kurang.
Program perbaikan gizi berbasis pemberdayaan hendaknya memisahkan
tugas administrasi keuangan dengan tugas pokok sebagai fasilitator. Kedua hal
ini penting, namun secara teoritis diketahui bahwa menggabungkan dua
tanggungjawab dalam satu pengelola akan memberikan efek pada salah satu
sisi dari kedua tanggung jawab tersebut. Hal ini membuat peran dan
tanggungjawab dari fasilitator masyarakat terasa sangat berat jika dibandingkan
dengan program pemberdayaan lain yang sudah berjalan seperti PNPM mandiri
memiliki tiga fasilitator yang mempunyai peran yang berbeda yaitu fasilitator
dibidang andminstrasi, fasilitator bidang teknis dan fasilitator bidang
pemberdayaan masyarakat, sedangkan fasilitator masyarakat pada program
perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat harus melakukan ketiga
fungsi tersebut.
89
Komponen proses kedua juga berpengaruh terhadap penurunan
prevalensi gizi kurang yaitu memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan
konsultasi gizi melalui kelas ibu (p=0.0152). jenis kegiatan utama dalam
program pemberdayaan ini adalah memberikan pengetahuan dan pendidikan
bidang gizi dan kesehatan kepada masyarakat sebagaimana dalam defenisi
Pemberdayaan yaitu sebagai; a) To give power or authority (memberi
kekuasaan, megalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepihak lain). b)
Tive ability to or enable (upaya untuk memberikan kemampuan atau
keberdayaa). Dan menurut Freira (dalam Hubley 2002) mengatakan bahwa
pemberdayaan adalah suatu proses dinamis di mana masyarakat belajar
langsung dari tindakan.
Dalam menu paket gizi masyarakat (PGM) memberi pengetahuan dan
pendidikan pada masyarakat merupakan kegiatan utama dimana dari segi
pendanaan menyedot ±50% dari total dana PGM. Hal ini mengambarkan
orientasi program berupaya memberikan kemampuan pada masyarakat agar
mampu mengenali, memecahkan dan mengatasi masalah kesehatan yang
dialami sesuai dengan potensi yang mereka milikinya.
Seorang fasilitator dalam kegiatan penyuluhan bertindak sebagai
promotor kesehatan. Feather dan Labonte (1995) mengatakan bahwa setiap
promotor kesehatan yang bekerja dimasyarakat harus mampu berkiprah
diantara upaya pemasaran (pendidikan) dan program pengeolaan gaya hidup,
dan upaya mengorganisasikan sumber daya masyarakat untuk melakukan
perubahan pada lingkungan sosial dan lingkungan fisik terhadap kesehatannya.
90
Apalagi jika dilihat dari konteks proses pemberdayaan, maka pendekatan top
down dan buttom up adalah suatu transisi.
Fasilitator dalam melakukan fungsinya tidak hanya melakukan
pemberdayaan kesehatan tapi juga pendidikan dan promosi kesehatan seperti
yang dikemukakan oleh Hubley (2002) mengatakan bahwa pemberdayaan
kesehatan (Health empowerment), Melek (sadar) kesehatan (health literacy)
dan promosi kesehatan (health promotion) diletakkan dalam kerangka
pendekatan yang komprehensif.
Menurut Huda (2000) penyuluhan akan mengubah kesadaran dan
perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) manusia ke arah yang lebih
baik dan dapat mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. Hasil penelitian
Aswita 2008 membuktikan bahwa penyuluhan gizi yang dilaksanakan melalui
program pendampingan gizi merupakan salah satu upaya pendekatan yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan sehingga menghasilkan
perubahan perilaku yang baik.
Kesimpulan penelitian Santos at.all (2001) adalah konseling dan latihan
gizi memiliki pengaruh nyata terhadap kenaikan berat badan anak. Hasil
penelitian Chotz dan Gibson (2004) menunjukkan bahwa ada pengaruh adopsi
praktik pemberian makanan yang baru selama latihan mempengaruhi intake
energi dan zat gizi dari makanan pendamping air susu ibu sehingga dapat
meningkatkan kualitas asupan gizi secara keseluruhan ada kelompok
intervensi.
91
Ada tiga faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku individu
maupun kelompok yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor
pendorong seperti sikap petugas kesehatan (Green LW, 1991) Teori
Ebbinghaus dan Boreas dalam Prasetyaningsih (2005) yang mengatakan bahwa
kekuatan mengingat manusia itu makin lama makin berkurang yang pada
akhirnya manusia akan mengalami kelupaan. Intensitas kunjungan rumah dan
penyuluhan, harus tetap dilaksanakan secara kontinyu oleh petugas gizi
puskesmas atau kader posyandu setempat walaupun program NICE ini telah
berakhir
Komponen proses ketiga yang berpengaruh terhadap penurunan
prevalensi gizi kurang yaitumemfasilitasi penggerakan sasaran untuk
berkunjung ke posyandu (p=0.0124), Sebagaimana diketahui Posyandu
berperan sebagai wadah pelayanan kesehatan dasar berbasis masyarakat.
Melalui penyelenggaraan Posyandu yang dikelola dengan prinsip dari, oleh dan
untuk masyarakat, maka hal itu dapat diartikan, bahwa Posyandu secara
terbuka dikelola oleh unsur masyarakat atau kelompok masyarakat yang
mempunyai minat dan misi dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dini.
Salah satu cara menilai keberhasilan program pemberdayaan yaitu
dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat dalam hal ini adalah cakupan
kunjungan balita keposyandu, semakin tinggi cakupan posyandu maka semakin
mudah mendeteksi balita yang mengalami masalah gizi khususnya gizi kurang.
92
Teknik yang digunakan dalam membangkitkan partisipasi masyarakat
dalam program perbaikan gizi anggota keluarga khususnya anak balita. Teknik
pendekatannya adalah melalui penyampaian pesan pesan gizi dan kesehatan
secara consultative dan mengedepankan pendekatan pemecahan masalah
bersumber dari potensi sumberdaya keluarga. Komunikasi yang dibangun
antara penyedia jasa layanan gizi dan kesehatan (provider) dengan masyarakat
sebagai pemanfaat program, berbasis kepada komunikasi terapeutik.
Komunikasi ini memiliki karakteristik, tidak hanya sebatas menyampaikan
pesan pesan gizi dan kesehatan semata, tetapi berfungsi sebagai sebuah
treatment yang memberikan solusi sederhana atas masalah yang dialami oleh
klient dalam hal ini adalah keluarga binaan. Model komunikasi yang dibangun
memerlukan channel yang diperankan oleh Fasilitator.
(Ismail, 2008) meningkatnya cakupan partisipasi masyarakat tidak
cukup dengan hanya fasilitas dan jarak yang dekat tetapi keberadaa motivator
yang memberi pelayanan gizi sederhana memiliki daya ungkit yang tinggi
terhadap peningkatan D/S, keberadaan tenaga gizi pendamping memberi
dukungan positif terhadap peningkatan pelayanan gizi diposyandu, sehingga
partisipasi masyarakat menjadi lebih baik.
Komponen proses keempat yang berpengaruh terhadap penurunan
prevalensi gizi kurang yaitu Membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan
gizi (kapsul vit. A, taburia) (p=0.0435). Paket pemberian intervensi gizi
merupakan titipan kegiatan dari program gizi kabupaten jeneponto, yang
terintegrasi dengan kegiatan fasilitator, selain itu dilapangan FM merupakan
93
mitra kerja dari TPG (Tenaga Pelaksana Gizi). Peket intervensi yang juga
merupakan paket intervensi dari program NICE yaitu taburia yang sasarannya
meliputi semua anak yang berusia 6 sd 24 bulan desa/kelurahan binaan NICE,
Sedangkan MP ASI maupun PMT pemulihan hanya diberikan pada kasus gizi
buruk.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan kekurangan gizi pada anak
balita telah dikembangkan sprinkel (taburia) yakni bentuk fortifikasi makanan
rumah tangga (home fortification) untuk menanggulangi defisiensi vitamin dan
mineral terutama anemia pada anak.
Beberapa manfaat pemberian sprinkel :
1). Taburia mampu menyediakan zat gizi mikro sesuai kebutuhan bagi
setiap anak tanpa tergantung besar kecilnya porsi makan
2). Zat gizi mikro seperti vitamin A,B1,B2,B3,B6,B12,D,E,C,K,Asam
Folat,Asam Pantotenat,Yodium,Seng,Zelenium dan zat besi untuk
mencegah dan mengatasi defesiensi zat gizi Mikro.
3). Penambahan Taburia pada makanan tidak akan menambah cita rasa,
warna dan textur makanan.
4). Kemasan (sacht) Taburia menarik dan mudah pemberiannya,tidak perlu
keahlian tertentu dalam penggunaannya cukup dengan menyobek sacht
dan menuangkan isinya maka tercampurlah bubuk taburia pada
makanan
5).Taburia merupakan contoh pemberian yang berbasis makanan dibanding
intervensi media lainnya.
94
6). Tidak memiliki potensi untuk medis/keracunan
7). Kemasan Taburia sangat ringan dan mudah disimpan, diangkat dan
didistribusikan
9). Kemasan Taburia menarik sehingga mudah diterima
10). Meningkatkan nafsu makan anak
11).Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak yang meliputi
otak,mata,hidung dan gigi anak
12). Merangsang pembentukan sel darah merah,mencegah kurang darah
Hasil studi yang dilaksanakan di Indonesia, Peru, Afrika Selatan dan
Vietnam menunjukkan bahwa bayi yang diberikan suplemen berbagai zat gizi
mikro setiap hari selama 6 bulan dapat meningkatkan berat badan rata-rata 207 g
setiap bulan di samping itu dapat mencegah anemia, defisiensi besi dan
meningkatkan status gizi mikro berupa seng, retinol, tocopherol dan riboflavin.
(Smuts, et,al, 2005)
Penurunan Prevalensi status gizi kurang dalam penelitian ini juga dapat
disebabkan oleh intervensi pemberian Taburia, pada kelompok sasaran. Hal ini
sudah dilaporkan oleh Zescamelya Uno (2009).Hasil penelitian diketahui bahwa
rerata berat badan pada awal penelitian untuk kelompok Intervensi 7.62±1.05 kg
berubah menjadi 8.09±1.05 kg atau naik sebesar 0.47±0.36 kg pada akhir
penelitian (p=0.000), sedangkan perubahan berat badan pada kelompok kontrol
yakni 7.52±0.88 kg awal penelitian menjadi 7.88±0.91 kg atau naik 0.33±0.34 kg
(p=0.000). Kedua kelompok memiliki kenaikan berat badan yang sama pada akhir
penelitian. Tidak ditemukan perbedaan berat badan baik pada awal (p=0.539)
95
maupun pada akhir intervensi (p=0.201) antar kedua kelompok, meskipun selisih
kenaikan ditemukan berbeda nyata (p=0.017) dimana kelompok intervensi
kenaikan berat badan lebih baik.
secara keseluruhan bahwa kinerja fasilitator masyarakat terhadap
penurunan prevalensi gizi kurang pada baduta memiliki korelasi (p=0,0389),
hubungan tersebut merupakan hubungan negatif artinya bila kinerja fasilitator
masyarakat tinggi (baik) maka prevalensi gizi kurang akan turun. Hal ini
membuktikan bahwa fasilitator memiliki peran tehadap penurunan prevalensi gizi
kurang secara tidak langsung,dimana fasilitator bergerak pada pokok masalah
yaitu kurangnya pemberdayaan masyarakat. Pada sisi ini fasilitator membantu
masyarakat mengidentifikasi permasalahan yang penting dan relevan dengan
masalah kesehatan dan gizi serta membantu mereka mengembangkan strategi
untuk memecahkannya. Program program buttom up dirancang dan
dinegosiasikan dengan masyarakat sehingga masyarakat secara sukarela ikut
berpartisipasi pada program tersebut.
Hakekat pelaksanaan program NICE adalah focus pada kegiatan
pemberdayaan, karena pemberdayaan memiliki dampak positive pada perubahan
perilaku yang sifatnya menetap dalam jangka panjang. Pendakatan perubahan
perilaku melalui pendekatan pemberdayaan telah banyak dilakukan khususnya
dibidang kesehatan.Apa yang telah dilakukan oleh fasilitator masyarakat dalam
melakukan pemberdayaan telah sesuai dengan proses – proses pemberdayaan
masyarakat (11 proses) yang dikemukanan United Nations (1956), dalam
tampubolon (2004)
96
Fasilitator dalam program ini, memiliki peran sebagai mediator dan
akselerator yang membantu masyarakat memaksimalkan potensi untuk mengatasi
masalahnya sendiri dengan dasar menumbuhkembangkan kemandirian. Kinerja
fasilitator dinilai berdasakan dua komponen utama yaitu komponen input dan
komponen proses. Komponen input dalam penelitian ini difokuskan pada dua
elemen pokok yaitu kemampuan fasilitator untuk setiap saat berada ditengah
masyarakat dan kemampuan fasilitator untuk mengenal dari dekat masyarakat
binaannya.
Hasil analisis uji korelasi, diketahui bahwa indikator input tidak
memiliki korelasi yang nyata dengan penurunan prevalensi gizi kurang
(p=0.2193). Hal ini membuktikan bahwa indicator input kinerja yang didasarkan
pada dua elemen pokok yaitu tempat tinggal dan kedekatan dengan masyarakat
adalah factor tidak langsung yang berhubungan dengan penurunan prevalensi gizi
kurang. Faktor tidak langsung ini, masih harus dipengaruhi oleh indicator proses.
Jadi pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah pendekatan system, namun
penguatan pada sisi proses jauh lebih efektif dibanding hanya memperkuat sisi
input semata mata, tanpa bermaksud mengabaikan komponen inputnya karena
berdasarkan Hasil analisis uji korelasi, diketahui bahwa indikator input memiliki
korelasi yang nyata dengan indikator proses (p=.000)
Kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator masyarakat pada komponen
input dan proses pada prinsipnya merupakan penerapan dari pendekatan non
direktif, seperti yang diuraikan oleh T.R Batten “ pada pendekatan yang bersifat
direktif, diambil asumsi bahwa petugas tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang
97
baik untuk masyarakat. dalam pendekatan ini maka peran petugas lebih dominan
karena prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk keperluan
pembangunan datang dari petugas. Sedangkan pendekatan yang bersifat non
direktif maka diambil asumsi bahwa masyarakat tahu apa sebenarnya yang
mereka butuhkan apa yang baik untuk mereka. Peranan pokok ada pada
masyarakat, sedangkan petugas lebih bersifat menggali dan mengembangkan
potensi masyarakat. prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan berasal
dari masyarakat. sifat interaksi adalah partisipatif dan masyarakat dilihat sebagai
subyek.
Berdasarkan hasil analisis uji t berpasangan terhadap persentase status
gizi kurang sebelum dan sesudah intervensi diketahui berbeda secara nyata untuk
semua variable out put (p=.000). Hal ini membuktikan bahwa proyek NICE telah
mampu mencapai tujuan pembentukannya.Berdasarkan hasil penelitian ini
diketahui bahwa terjadi penurunan persentase gizi kurang dari 17.34% berubah
menjadi 12.26%.
Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa dari 50 desa/kelurahan
binaan ini ada 6 desa/kelurahan yang mengalami penurunan prevalensi gizi
kurang tertinggi yaitu Bontorannu, Kalimporo, baraya, Pattiro, Pallengu dan
Barana diatas 10%. Jika dilihat dari kinerja fasilitator masyarat berdasarkan
variabel input maupun proses maka mereka ini memiliki kesamaan yaitu 1.
Mereka sangat baik dalam memfasilitasi pelaksanaan SMD, MMD, DKT dan
Posititif Deviance, 2. Memfasilitasi pembuatan proposal, 3. Memfasilitasi
98
penyusunan rencana kerja PGM (paket gizi masyarakat) dan 4. Memfasilitasi
penyuluhan dan konsultasi gizi.
Namun keberhasilan kinerja fasilitator pada program ini terhadap
penurunan prevalensi status gizi kurang tidak semua berhasil beberapa desa yang
tidak mengalami penurunan bahkan semakin meningkat seperti pada desa
manjangloe (+3,2%) dan desa Kareloe (+3,9%) sedangkan yang tidak mengalami
perubahan yaitu desa Turatea Timur dan Parasanggang beru, hasil tersebut sejalan
dengan kinerja FM berdasarkan indikator input dari lima yang terandah tiga
diantaranya adalah Kareloe, Turatea timur dan manjangloe begitu pula dengan
kinerja FM berdasarkan indikator proses dari lima yang terendah tiga diantaranya
manjangloe, turatea timur dan kareloe. Begitu pula jika dilihat dari kinerja
keselurahan FM (input dan proses) dari lima yang terendah 3 diantaranya yaitu
desa kareloe, manjangloe dan turatea timur.
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Ismail, 2008 di Kabupaten
Takalar bahwa, pendampingan gizi di Kabupaten Takalar, untuk semua indeks
antropometri.Jumlah anak yang gizi baik meningkat dari 70.74% sebelum
pendampingan menjadi 87.7% setelah pendampingan.Angka gizi kurang dan gizi
buruk turun dari 29.26% menjadi 12.3% pada akhir pendampingan.Artinya,
setelah pelaksanaan pendampingan gizi selama sekitar 10 bulan dapat menekan
angka gizi kurang dan gizi buruk sekitar 17%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sirajuddin (2007)
dalam hasil penelitiannya tentang penerapan model tungku dalam pendampingan
gizi di Kabupaten Selayar Sulawesi Selatan tahun 2006 yang melaporkan bahwa
99
penerapan model tungku mampu meningkatkan status pertumbuhan kelompok
intervensi sebesar 28.6%, meskipun peningkatannya tidak mampu menyamai
status pertumbuhan kelompok pembanding (42.4%). Program pendampingan
keluarga di Kabupaten Selayar tersebut mampu meningkatkan asupan zat gizi
balita, sekaligus menggambarkan adanya perbaikan pola pengasuhan gizi pada
kelompok intervensi setelah dilakukan pendampingan selama 3 bulan.
Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Mulyati (2005) dengan
meneliti pencapain pertumbuhan pada balita gizi buruk dan gizi kurang selama
mengikuti pemulihan di klinik gizi Bogor. Hasil penelitian diketahui bahwa
dengan intervensi selama dua bulan maka diketahui gizi kurang mampu mencapai
kurva pertumbuhan normal sebesar 22% sedangkan pada balita gizi buruk
memerlukan waktu enam bulan untuk mencapai kurva pertumbuhan normal
sebesar 20%. Rekomendasi penelitiannya dikemukakan adalah salah satu cara
untuk meningkatkan upaya pemulihan gizi kurang adalah promosi pemberian MP-
ASI di Posyandu. Penekanan pada aspek promosi merupakan kunci pokok untuk
menggerakkan partisipasi masyarakat adalah promosi perilaku kesehatan di
Posyandu.
100
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Kinerja FM berdasarkan indikator input paling rendah ada 5 yaitu desa
kareloe, bontosunggsu, manjang loe, turatea timur dan beroanging sedangkan
kinerja FM berdasarkan indikator proses paling rendah ada 5 yaitu desa
manjang loe, Turatea timur, Lentu, Kareloe dan bulo-bulo. Dari hasil tersebut
Kinerja FM berdasarkan indikator input maupun prosesnya paling rendah yaitu
desa turatea timur, manjang loe dan kareloe.
2. Pada umumnya hampir semua desa binaan mengalami penurunan prevalensi
gizi kurangnamun masih ada desa yang tidak bahkan meningkat prevalensi
status gizi kurangnya yaitu desa Manjang loe (+3,2%), dan Kareloe (+3,9%)
sedangkan yang tetap yaitu desa Turatea Timur dan Parasanggang beru
3. Ada korelasi yang bermakna antara kinerja FM dengan prevalensi gizi kurang
(p=0,0389) dan ada empat variabel kinerja FM yang juga bermakna yaitu
membantu pembuatan laporan keuangan (p=0,0226), membantu pelaksanaan
penyuluhan (p=0,0152), menfasilitasi pergerakan sasaran keposyandu
(p=0,0124), membantu sasaran memperoleh pelayanan gizi (p=0,0435) serta
prevalensi gizi kurang setelah intervensi kegiatan FM mengalami penurunan
yang bermakna (p=0,000).
101
B. SARAN
Disarankan program kegiatan pendampingan gizi masyarakat dapat
dilanjutkan dengan beberapa rekomendasi
(1) Melakukan pembinaan lebih intensif terhadap Fasilitator masyarakat yang
memiliki kinerja rendah khususnya FM didesa Manjangloe, Turatea Timur
dan kareloe.
(2) Bagi pengelola program dikabupaten dan propinsi harus memperhatikan
Desa/kelurahan yang tidak mengalami penurunan status gizi kurang bahkan
meningkat prevalensi status gizi kurangnya yaitu desa Manjang loe, dan
Kareloe sedangkan yang tetap yaitu desa Turatea Timur dan Parasanggang
beru
(3) Diharapkan keberadaan FM didesa dengan pendekatan pemberdayaan dapat
dijadikan sebagai salah satu model perbaikan gizi masyarakat bagi daerah
lain.
102
Daftar Pustaka Ahmad, 2008.Studi Evaluasi Pelaksanaan Program Pendampingan Gizi Di
Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007. Tesis PPS Unhas, Makassar
Atmarita S, 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Prosiding
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan Globalisasi.
Paranita A dan Lestari W. 2008. Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Di
Era Otonomi Daerah. Dalam http://www. Isjd. Lipi.go.id. Diakses tanggal 7 Maret 2012
Anderson dan Foster, 1986. Antropologi Kesehatan. Universitas Indonesia Press
UI Press. Jakarta Asian Development Bank, 2007. Proyek Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan
Masyarakat. Azwar, Asrul. Pengantar administrasi kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta. Balitbanda Propinsi Sulawesi Selatan dan Universitas Hasanuddin. 2006.
Penangglangan Gizi Buruk Pada Bayi Melalui Pendampingan dan Pemberian MP ASI Lokal di Sulawsi Selatan. Dalam http://www. Google.Co.id. Diakses tanggal 7 Februari 2012
Bhandari N, S Mazumder, R Bahl, J Martine, RE Black. Dan MK Bhan (2004).
An Education Intervention To Promote Appropriate Complementary Feeding Practices and Physical Growth in Infant and Young Children In Rural Haryana India. The American Society For Nutrition Sciences. Journal Of Nutrition. 134:2342-2348.
Central Project Management Unit (CPMU). 2009. Panduan Untuk Kelompok Gizi
Masyarakat (KGM), 2009 Depkes, 2008. Dirjend Binkesmas; Pedoman Umum Proyek Perbaikan Gizi
melalui Pemberdayaan Masyarakat. Depkes, 2009. Dirjend Binkesmas ; Manual Pelatihan Fasilitator Masyarakat. Depkes, 2009. Dirjend Binkesmas : Panduan untuk Fasilitator Masyarakat. Depkes, 2009. Dirjend Binkesmas, Panduan Kelompok Gizi Masyarakat
103
Dewi Novirianti. 2005. Pemberdayaan Hukum Perempuan Untuk Melawan Kemiskinan. Journal Perempuan No. 42 dalam http://www.gizinet.co.iddiakses tanggal 28 April 2012
Dinas Kesehatan Sulsel. 2007. Buku Pedoman Pelaksanaan Pendapingan Gizi di
Provinsi Sulawesi Selatan. Dinkes Prop. SulSel, Makassar. Dwintara L, Sumarto RH. 2004. Manajemen logistik, pedoman praktis bagi
sekretaris dan staf administrasi. Grasindo, Jakarta. Hardiansyah, dkk. 2007. Pedoman pendampingan keluarga menuju KADARZI.
Departemen kesehatan, Jakarta. Hadju V, dkk. 2004. Dampak program pendampingan kader terhadap kinerja
posyandu dan status gizi balita di Kabupaten Takalar; dalam A.Razak Thaha dan Veni Hadju; Potret kesehatan pada masa krisis. PSGP Unhas, Makassar
Hartono A. 2008. Gizi kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Mantra IB. Monitoring dan evaluasi. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, Jakarta.
Massimo Ammaniti, MD, Amalia Maria Ambruzzi, MD, Loredana Lucarelli,
PsyD, Silvia Cimono, PsyD and Francesa D Olimpio, PhD (2004). Malnutrition and Dysfunctional Mother-Child Feeding Interactions: Clinical Assesment and Reserch Implications. Journal Of The American College of Nutritions, Vol.23. 3.259-271.
Minarto. 2006. Berat badan tidak naik sebagai indikator dini gangguan
pertumbuhan pada bayi sampai usia 12 bulan di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Disertasi Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta
Mukti AG. 2008. Kesehatan Masyarakat Administrasi dan Praktik. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta. Mulyati T, Paryanto EP, Sudargo T. 2004. Pengaruh Pendidikan Gizi kepada Ibu
Terhadap Konsumsi Makanan dan Status Gizi Anak Balita Penderita TBC Primer Rawat Jalan di RSUP Dr Kariadi Semarang. Jurnal Gizi Klinik Indonesia; Volume 1 (2) tahun 2004. Yogyakarta. Hal 99.
Nordiawan D, Isyahyudin SP, Rahmawati M. 2009. Akuntansi Pemerintahan.
Salemba Empat. Jakarta. Notoatmojo S. 2010. Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasinya. PT. Rineka
Cipta. Jakarta.
104
Sri’ah Al Harini dan A.Razak Thaha. 2004. Manajemen PMT JPS-BK dan dampaknya terhadap status gizi baduta, studi evaluasui di Kabupaten Maros; dalam A.Razak Thaha dan Veni Hadju; Potret kesehatan pada masa krisis. PSGP Unhas, Makassar.
Rahmatia, Sitti. Pendampingan Gizi di Daerah Taskin sebagai upaya
Meningkatkan status Gizi Balita. Journal Kongres PDGMI. Makassar. 2007
Saifuddin AF. 2011. Pengantar Sosiologi Kesehatan dan Penyakit. PT
Rajagrafindo Persada. Jakarta Salimar. 2005. Peranan Penyuluhan dengan Menggunakan Leaflet Terhadap
Perubahan Pengetahuan dan Sikap Ibu Balita Gizi Kurang. Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor.
Santos et.all, 2001. Nutritional Counseling Increases Weight Gain Among
Brazilian Children. The American Society For Nutrition Sceinces Journal of Nutrition. 131; 2866-2873. November
Sirajuddin. 2007. Pengaruh Model Tungku terhadap Status Gizi Anak Usia 12-59
Bulan di Kabupaten Selayar. Tesis. Program Pasca Sarjana Unhas, Makassar
Smuts, et, al 2005, Efficacy of a Foodlet-Based Multiple Micronutrient
Supplement for Preventing Growth Faltering, Anemia and Micronutrient Deficiency of Infants : The Four Country IRIS Trial Pooled Data Analysis, The Journal of Nutrition 135 : 631S-638S, UNICEF, New York.
Sumarno, 2006.Pengembangan Model Peningkatan Efektifitas Pelayanan Gizi
dalam Revitalisasi Posyandu.Pusat Penelitian Gizi dan Makanan. Bogor
Supariasa IDN, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta. Suparmanto, S.A. 2006. Masyarakat Perlu ditempatkan Sebagai Subyek. Dalam
http://www. Google.Co.id. Diakses pada Tanggal 8 Februari 2012 Trintin Tjukarni, dkk. 2007. Studi Model Pemberdayaan masyarakat dalam
Menaggulangi Kurang Gizi Pada Balita. Puslitbang Gizi dan Makanan. Dalam http://www. Gizinet.Co.id. Diakses pada tanggal 21 Desember 2011
105
Wijono, Dj. 1997. Manajemen kepemimpinan dan organisasi kesehatan. ErlanggaUniversity Press.Surabaya.
Yatmo, Mardi Hutomo. 2003. Pemberdayaan Masyarakeoritik dan Implementasi.
Bappenas. Jakarta. Dalam http://www. Google.Co.id. Diakses tanggal 12 Januari 2012
Zescamelya Uno. (2009) Studi Efikasi Pemberian Taburin Zat Gizi Mikro Terhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan Bayi Di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Thesis PPS Unhas, Makassar
Zeitlin M, Ghassemi H, Mansour M, 1990. Positive Deviance in Child Nutrition. United NationUniversity: Tokyo
1
Lampiran I
FORMAT PENILAIAN INDIKATOR KINERJA FASILITATOR MASYARAKAT (FM) PROYEK NICE
OLEH KGM
Nama Ketua KGM : Kecamatan : Desa/Kel : Kab/kota : Puskesmas : Propinsi :
No INDIKATOR Skor (1-4) Bobot Nilai Validasi data
A INDIKATOR INPUT 1 Bertempat tinggal disalah satu desa/kelurahan tempat tugasnya 2 2 Mengenal wilayah kerja, aparat pemerintah desa tokoh agama, tokoh masyarakat 2
dengan baik JUMLAH B INDIKATOR PROSES
1 Melaksanakan SMD, MMD, DKT dan atau Positif Deviant 3 2 Memfasilitasi pembuatan proposal Paket Gizi Masyarakat 3 3 Memfasilitasi penyusunan rencana kerja PGM baik mingguan, bulanan 3
atau triwulan 4 Membantu membuat laporan keuangan dan kegiatan KGM sesuai 4
petunjuk pelaksanaan 5 Memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi gizi melalui kelas ibu 3
bagi sasaran kelompok dan individu sesuai rencana kegiatan 6 Memfasilitasi penggerakan sasaran untuk berkunjung ke posyandu pada 3
setiap hari posyandu 7 Memfasilitasi pemberian paket intervensi gizi pada kelompok sasaran 3 8 Membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan gizi (kapsul Vit. A, Taburia 3
dan MP-ASI lokal/Nasional, Tablet tambah darah 9 Sebagai Inisiator rapat/pertemuan berkala KGM, dan menghadiri undangan 3
rapat dari puskesmas, pemerintah dan organisasi kemasyarakatan lainnya 10 Melaksanakan evaluasi seluruh kegiatan PGM di desa/kelurahan 3 11 Melaksanakan koordinasi dengan pemangku kepentingan seperti 3
kepala desa/kelurahan beserta jajarannya, kepala puskesmas dan seluruh staf, dan lintas sektor terkait
12 Memfasilitasi dan membantu kegiatan kinjungan rumah 3 JUMLAH JUMLAH A + B
Penilai
1
PEDOMAN PENILAIAN FM OLEH KGM
A1 Bertempat tinggal disalah satu desa/kelurahan tempat tugasnya
Skor 1 Jika : Tidak, bukan didesa tetangga dan jauh dari desa/kel setempatSkor 2 Jika : Tiadak, bukan didesa tetangga tapi tidak jauh dari desa/kel setempatSkor 3 Jika : Tiadak tapi di desa tetangga dari desa/kel setempatSkor 4 Jika : Ya, FM tinggal di desa/Kelurahan tempat tugas
2 Mengenal wilayah kerja, aparat pemerintah desa tokoh agama, tokoh masyarakatdengan baik
Skor 1 Jika : TidakSkor 2 Jika : KurangSkor 3 Jika : Ya, cukup mengenalSkor 4 Jika : Ya sangat mengenal
B1 Melaksanakan SMD, MMD, DKT dan atau Positif Deviant
Skor 1 Jika : Hanya melaksanakan salah satu diantara empat kegiatan tersebutSkor 2 Jika : Hanya melaksanakan dua diantara empat kegiatan tersebutSkor 3 Jika : Hanya melaksanakan tiga diantara empat kegiatan tersebutSkor 4 Jika : Melaksanakan semua, empat kegiatan tersebut
2 Memfasilitasi pembuatan proposal Paket Gizi MasyarakatSkor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam pembuatan proposalSkor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pembuatan proposalSkor 3 Jika cupuk aktif memfasilitasi dalam pembuatan proposalSkor 4 Jika sangat membantu dalam pembuatan proposal
3 Memfasilitasi penyusunan rencana kerja PGM baik mingguan, bulananatau triwulan
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam penyusunan rencana kerjadalam penyusunan rencana kerjaSkor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam penyusunan rencana kerjaSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi dalam penyusunan rencana kerjaSkor 4 Jika sangat membantu dalam penyusunan rencana kerja
4 Membantu membuat laporan keuangan dan kegiatan KGM sesuaipetunjuk pelaksanaan
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam pembuatan laporan keuangan Skor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pembuatan laporan keuanganSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi dalam pembuatan laporan keuanganSkor 4 Jika sangat membantu dalam pembuatan laporan keuangan
5 Memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi gizi melalui kelas ibubagi sasaran kelompok dan individu sesuai rencana kegiatan
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif pelaksanaan penyuluhan dan konsultasiSkor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasiSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasiSkor 4 Jika sangat membantu pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi
6 Memfasilitasi penggerakan sasaran untuk berkunjung ke posyandu padasetiap hari posyandu
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam pergerakan sasaran Skor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pergerakan sasaranSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi dalam pergerakan sasaranSkor 4 Jika sangat membantu dalam pergerakan sasaran
7 Memfasilitasi pemberian paket intervensi gizi pada kelompok sasaranSkor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam pemberian paket intervensi giziSkor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pemberian paket intervensi giziSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi dalam pemberian paket intervensi giziSkor 4 Jika sangat membantu dalam pemberian paket intervensi gizi
8 Membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan gizi (kapsul Vit. A, Taburiadan MP-ASI lokal/Nasional, Tablet tambah darah
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan giziSkor 2 Jika agak sedikit aktif dalam membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan giziSkor 3 Jika cukup aktif dalam membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan giziSkor 4 Jika sangant membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan gizi
9 Sebagai Inisiator rapat/pertemuan berkala KGM, dan menghadiri undangan
INDIKATOR INPUT
INDIKATOR PROSES
Lampiran II
2
PEDOMAN PENILAIAN FM OLEH KGM
A1 Bertempat tinggal disalah satu desa/kelurahan tempat tugasnya
Skor 1 Jika : Tidak, bukan didesa tetangga dan jauh dari desa/kel setempatSkor 2 Jika : Tiadak, bukan didesa tetangga tapi tidak jauh dari desa/kel setempatSkor 3 Jika : Tiadak tapi di desa tetangga dari desa/kel setempatSkor 4 Jika : Ya, FM tinggal di desa/Kelurahan tempat tugas
2 Mengenal wilayah kerja, aparat pemerintah desa tokoh agama, tokoh masyarakatdengan baik
Skor 1 Jika : TidakSkor 2 Jika : KurangSkor 3 Jika : Ya, cukup mengenalSkor 4 Jika : Ya sangat mengenal
B1 Melaksanakan SMD, MMD, DKT dan atau Positif Deviant
Skor 1 Jika : Hanya melaksanakan salah satu diantara empat kegiatan tersebutSkor 2 Jika : Hanya melaksanakan dua diantara empat kegiatan tersebutSkor 3 Jika : Hanya melaksanakan tiga diantara empat kegiatan tersebutSkor 4 Jika : Melaksanakan semua, empat kegiatan tersebut
2 Memfasilitasi pembuatan proposal Paket Gizi MasyarakatSkor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam pembuatan proposalSkor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pembuatan proposalSkor 3 Jika cupuk aktif memfasilitasi dalam pembuatan proposalSkor 4 Jika sangat membantu dalam pembuatan proposal
3 Memfasilitasi penyusunan rencana kerja PGM baik mingguan, bulananatau triwulan
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam penyusunan rencana kerjadalam penyusunan rencana kerjaSkor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam penyusunan rencana kerjaSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi dalam penyusunan rencana kerjaSkor 4 Jika sangat membantu dalam penyusunan rencana kerja
4 Membantu membuat laporan keuangan dan kegiatan KGM sesuaipetunjuk pelaksanaan
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam pembuatan laporan keuangan Skor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pembuatan laporan keuanganSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi dalam pembuatan laporan keuanganSkor 4 Jika sangat membantu dalam pembuatan laporan keuangan
5 Memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi gizi melalui kelas ibubagi sasaran kelompok dan individu sesuai rencana kegiatan
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif pelaksanaan penyuluhan dan konsultasiSkor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasiSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi pelaksanaan penyuluhan dan konsultasiSkor 4 Jika sangat membantu pelaksanaan penyuluhan dan konsultasi
6 Memfasilitasi penggerakan sasaran untuk berkunjung ke posyandu padasetiap hari posyandu
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam pergerakan sasaran Skor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pergerakan sasaranSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi dalam pergerakan sasaranSkor 4 Jika sangat membantu dalam pergerakan sasaran
7 Memfasilitasi pemberian paket intervensi gizi pada kelompok sasaranSkor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam pemberian paket intervensi giziSkor 2 Jika agak sedikit aktif memfasilitasi dalam pemberian paket intervensi giziSkor 3 Jika cukup aktif memfasilitasi dalam pemberian paket intervensi giziSkor 4 Jika sangat membantu dalam pemberian paket intervensi gizi
8 Membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan gizi (kapsul Vit. A, Taburiadan MP-ASI lokal/Nasional, Tablet tambah darah
Skor 1 Jika hanya mendampingi secara pasif dalam membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan giziSkor 2 Jika agak sedikit aktif dalam membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan giziSkor 3 Jika cukup aktif dalam membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan giziSkor 4 Jika sangant membantu sasaran untuk memperoleh pelayanan gizi
9 Sebagai Inisiator rapat/pertemuan berkala KGM, dan menghadiri undangan
INDIKATOR INPUT
INDIKATOR PROSES
Lampiran II
3
Data Umum Desa Nice di Wilayah Kabupaten Jeneponto
Jlm KK KK gakin balita baduta1 Pattiro 1680 410 371 130 59 4 biasa2 Banrimanurung 3058 560 310 286 117 5 biasa3 Kaluku 2913 619 304 202 98 4 sulit4 Camba-Camba 3583 824 336 308 132 4 biasa5 Kapita 5571 1450 966 373 159 10 sulit6 Pappaluang 1330 413 336 172 63 4 sangat sulit7 Pallengu 3779 934 668 276 60 5 biasa8 Pantaibahari 2748 578 220 218 54 4 biasa9 kayuloe Timur 1402 328 211 106 54 2 biasa
10 Bungung Loe 3082 817 730 238 122 5 biasa11 Tonrokassi 5161 1277 635 430 166 5 biasa12 Tonrokassi Timur 3792 1108 622 295 95 4 biasa13 Arungkeke 4259 1129 1025 400 72 6 biasa14 Palajau 3335 1758 875 251 56 5 biasa15 Empoang Selatan 4709 1210 815 344 196 4 biasa16 Bulo-Bulo 2463 648 409 233 118 3 biasa17 Maero 2279 539 339 186 57 3 biasa18 Balumbungang 2121 460 287 161 44 3 biasa19 Bululoe 4594 1254 788 320 167 6 sulit20 Jombe 2106 537 361 150 76 5 biasa21 Sapanang 3344 879 628 231 118 4 biasa22 Empoang Utara 3343 984 643 267 113 5 biasa23 Bulusibatang 4166 1097 878 276 63 4 biasa24 Kareloe 3814 1156 755 263 51 3 sulit25 Bontomanai 1988 411 271 175 75 3 biasa26 Pallantikang 1698 452 231 139 75 4 biasa27 Tolo Selatan 3472 738 335 230 94 4 biasa28 Tombolo 1415 370 247 98 47 2 sulit29 Tarowang 2754 710 301 218 157 4 biasa30 Bontoraya 2194 650 350 174 77 4 biasa31 Kassi 2368 690 313 222 83 6 sangat sulit32 Tompobulu 1531 417 126 139 62 5 sulit33 Panaikang 2427 688 588 222 117 3 biasa34 Balang 4601 1177 535 318 157 4 biasa35 Lentu 2164 497 288 195 89 3 biasa36 Baraya 3430 678 391 224 74 4 biasa37 Bontosunggu 3960 1227 844 377 160 5 biasa38 Borongtala 3921 1953 1515 281 105 3 biasa39 Barana 4469 1063 367 469 273 5 sulit40 Beroanging 4466 1058 341 468 225 6 sangat sulit41 Manjang Loe 1898 477 307 145 62 3 biasa42 Turatea Timur 2281 561 331 160 70 3 biasa43 Bontonompo 1256 392 265 90 53 4 sulit44 Bontotiro 1.829 486 382 163 105 3 biasa45 Parasangan Beru 1.472 388 295 101 34 2 biasa46 Tolo Barat 6.115 1.170 465 207 98 4 biasa47 Kalimporo 3.581 1.016 541 244 52 4 biasa48 Bontorannu 5.392 4.136 2.962 256 82 4 biasa49 Tino 3.338 1.013 408 292 151 3 biasa50 Baltar 2.269 986 541 176 65 4 biasa
Jumlah 154.921 44.373 27.052 11.899 4.952 206
no Nama DesaPenduduk sasaran Jlm Posy Kategori
desa/kelurahan
4
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Data Pribadi
Nama : Hasruddin
Tempat dan Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 17 Mei 1976
Jenis Kelamin : Laki Laki
Agama : Islam
Alamat : Allu, Kel. Benteng, Kec. Bangkala, Kab.
Jenenponto
Riwayat Pendidikan
No STRATA INSTITUT TEMPAT TAHUN LULUS
1 Sekolah dasar SDN. No.2 Watampone Watampone 1989
2 SMP SMP Neg 2 Watampone Watampone 1992
3 SMA SMA Neg. 2 Watampone Watampone 1995
4 Diploma PAM AKZI Makassar Makassar 1998
5 Sarjana UNHAS Makassar 2007
Riwayat Pekerjaan
No INSTANSI TEMPAT KEDUDUKAN PERIODE
1 Hotel Sahid Makassar Makassar Staf Personalia 1999
2 Puskesmas Bangkala Jeneponto Staf TPG 2000 s/d 2009
3 Dinas Kesehatan Jeneponto Staf Binkesmas 2009
4 Dinas Kesehatan Jeneponto Staf DPIU Proyek NICE 2010 s/d 2012
5 Puskesmas Binamu Kota Jeneponto Plt. Kepala Puskesmas 2011 s/d sekarang
Lampiran v
5
6
7
8
9
1
1