Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan ...
Transcript of Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan ...
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 1
Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan
Reaktualisasi Islam di Era Masyarakat Pasca-Kebenaran
Firdausi Nuzula
Email: [email protected]
Institut Agama Islam Nurul Hakim Nusa Tenggara Barat
Abstrak
Perkembangan teknologi dan new media telah memberi ruang bagi hadirnya agama di
ruang publik termasuk Islam. Menyampaikan nilai agama (dakwah) tidak lagi di
batasi oleh ruang dan komunitas tertentu saja. Melainkan, dakwah di era pasca-
kebenaran menyediakan ruang tanpa batas untuk menyampaikan agama hingga pada
level lintas keyakinan. Fenomena baru yang lahir dari masyarakat pasca-kebenaran
dalam arti positifnya adalah hadirnya identitas Islam di ruang publik, dan
memperkuat posisi Islam sebagai agama yang reformatif dan berkelindan dengan
realitas zaman. Fenomena tersebut juga memberi angin segar untuk mengulas
kembali upaya tajdid atau pembaharuan dalam Islam untuk melihat kembali
bagaimana hubungan relasional antara Islam dan instrumen modernitas. Proyek tajdid
dalam Islam ingin mengembalikan Islam ke tampuk peradaban sebagaimana yang
pernah tercatat dalam lembaran sejarah Islam. Intinya, Islam merupakan agama
paripurna, terbuka dengan kemajuan dan pembaharuan dan terjalin dinamisasi antara
dogma dan kebutuhan zaman.
Kata Kunci: Dakwah, Post-truth dan Tajdid.
Pendahuluan
Dalam kontek historis, Islam lahir pada sebuah peradaban yang telah mapan1
sekaligus menjadi agama penyempurna dari agama samawi pendahulu yaitu Yahudi
dan Nasrani. Kesempurnaan Islam tidak lain disebabkan karena mengandung
1 Pada abad ke-6 dan ke-7 Islam, Dataran Arabia yang menjadi tempat kelahiran Islam diapit
oleh dua kekuatan utama yaitu kekaisaran Bizantium yang merepresentasikan kekuatan Kristen yang
kuat dan tegas tetapi secara internal menghadapi dua masalah utama yaitu posisi Kristen sebagai
agama negara yang menyebabkan terjadinya perselisihan teologis yang tidak stabil. Sementara
kekaisaran Persia yang membentang luas mencakup aliran sungai Eufrat dan Tigris hingga ke Iran dan
wilayah Timur yang mewakili agama dan sistem kepercayaan paganisme. Dua kekaisaran ini selama
berabad-abad berkonfrontasi untuk memperluas cengkraman wilayah politiknya. Namun di satu sisi,
konflik Bizantium-Persia membuat iklim perdaganagan karavan yang datang dari Asia Timur melalui
jalur pedagang mengembangkan rute alternatif yang menguntungkan Arabia sebagai penghubung
komersial dan menjadi salah satu ritus tradisional masyarakat Arab politeistik. Lihat.Peter. R. Demant,
Islam Vs Islamism: The Dilemma of the Muslim World, (United Satate: Preager Publisher, 2006), h.3-
4.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 2
seperangkat aturan tentang bagaimana hubungan antara hamba dengan Tuhan
(tauhid) dan berisi aturan sosial yang harus dijalankan. Lebih jauh, Islam tidak lagi
membatasi diri dalam pengertian agama yang mencakup aturan dan peraturan
transenden dan aturan sosial dan lingkupnya, melainkan Islam merepresentasikan diri
sebagai sebuah peradaban yang besar dan mendasari semangat hadirnya peradaban
modern. Representasi Islam dalam kancah peradaban dunia, dapat dibuktikan dengan
proses akulturasi sosial dan pembentukan institusi di wilayah Timur Tengah, Eropa
dan Asia yang diorganisir dalam pola-pola konsep Islam di mana kalangan elit
keagamaan Muslim dari kalangan ilmuan dan ulama membentuk institusi pendidikan
Islam dan hukum-hukum.2
Akulturasi budaya Islam ke dalam institusi sosial masyarakat terdiri dari
struktur sosial multi-kultural dan multi-religius, membentuk masyarakat yang hidup
dalam pluralitas. Islam menyerap budaya dan peradaban lain dan kemudian
memodifikasi dan berinovasi dengan ide-ide baru yang menjadi salah satu ciri dari
bangunan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan pada Islam berada
pada puncaknya dengan hadirnya gerakan penerjemahan yang dimulai secara
perlahan di masa kekhalifahan Al-Mahdi (775-786 M) dan Harun Al-Rasyid (786-
809 M) di mana manuskrip-manuskrip kuno dari Yunani, Persia, India dan China
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.3
Menurut Muzaffar Iqbal, embriologis dari ilmu pengetahuan pada Islam itu
terlihat bahkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw di Madinah. Kehidupan Nabi dan
pengikutnya selalu berhubungan erat dengan kesehatan, penyakit, kebersihan dan cara
pengobatannya yang disusun dan disistematisasi oleh generasi Muslim masa
selanjutnya. Literatur ini kemudian memberikan landasan bagi cabang ilmu
kedokteran dalam Islam yang dikenal dengan Al-Tibb Al-Nabwi atau pengobatan
profetik. Banyak referensi kemudian disimpan dan menjadi catatan awal tentang
bagaimana cabang kedokteran ini muncul tetapi juga menjadi diskusi teoretis yang
2 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I & II (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2000), h.373. 3 Ehsan Masood, A History Science and Islam, (United Kingdom: Icon Books, 2009), h.44.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 3
berkaitan dengan keseharan dan kedokteran Islam.4 Bangunan Islam dalam formulasi
peradaban dapat digambarkan melalui pandangan Al-Qur’an tentang alam dan
hubungannya dengan Tuhan dan kemanusiaan yang bertumpu pada manifestasi sifat-
sifat ketuhanan yaitu perintah Tuhan, adanya qadr dan mizan yang terkait dengan
dunia material. Ketiga konsep ini tidak hanya penting bagi ajaran Islam, tetapi juga
penting untuk memahami pertautan antara Islam dan sains.
Abad kesembilan hingga ketigabelas menandai era perkembangan ilmiah,
agama dan filsafat serta budaya yang skala perkembangannya belum pernah terlihat
dalam sejarah dunia sebelum dan sesudahnya. Meskipun lahir di dataran tandus Arab,
peradaban Islam mencerminkan budaya, agama dan tradisi intelektual yang beragam
dari dataran Spanyol hingga India.5 Dan hasil konkret dari pencapaian peradaban
Islam adalah lahirnya era yang tidak hanya berfungsi sebagai jembatan antara
pengetahuan kuno dan kebangkitan Eropa (renaisans) tetapi telah meletakkan dasar
bagi dunia ilmiah modern.
Islam sebagai agama yang lahir di Mekah yang konsep dasarnya menekankan
pada kesatuan transendental secara tegas memberikan identitas peradaban yang
dibangunnya. Islam memainkan peran penting bagi kemajuan komunitasnya di mana
Islam telah berhasil mengaktifkan semua faktor perkembangan ke arah yang positif,
Islam memberi kekuatan kepada aspek humanitas, yang merupakan kekuatan utama
di balik tegaknya sebuah peradaban di masyarakat. Islam memberi aturan bagi
pemeluknya agar menjadi lebih berkualitas, dan melakukan reformasi secara
menyeluruh dalam sistem sosialnya. Dengan kata lain, Islam berupaya untuk
mengangkat martabat manusia secara moral dan material, menyeimbangkan aspek
material dan spiritual.6Tidak hanya itu, Islam juga memberikan kesakralan makna
hidup, kehormatan idividu dan harta benda, memberi dorongan bagi pengetahuan
sains, dan Islam memberi posisi yang terhormat dan memerintahkan untuk saling
menghormati dan menghargai.
4 Muzaffar Iqbal, Science and Islam, (London: Greeenwood Press, 2007), h.9. 5 Firas Al-Khateeb, Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilization From The Past,
(United Kingdom: C. Hurst, 2014), h.54. 6 Umma Farida, Umer Chapra Contribution in Building Muslim Civilization, Journal ADDIN,
Vol 11, No.2, (2017), h. 272.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 4
Menurut Tijani, ada enam faktor kebangkitan peradaban Islam7; pertama,
kekuatan spiritual (spiritual powers), berupa dorongan kuat yang diberikan oleh
kaum Muslim dalam mengeksplorasi aspek kehidupan melalui ijtihad dan melakukan
pengamatan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dengan tujuan menyebarkan
firman Tuhan. Kedua, kemampuan umat Islam dalam mentransformasikan ide dan
konsep Al-Qur’an dalam perilaku. Al-Qur’an merupakan sumber etika dan moralitas
dan sumber kebangkitan peradaban Islam, dibarengi kemampuan komunitas Muslim
dalam mengubah pesan teoretis Al-Qur’an menjadi pesan praktis. Ketiga, Kebebasan
intelektual (intelectual freedom) yaitu membebaskan akal dari mitos dan berupaya
mencari klaim wahyu dalam memahami fenomena alam. Kelima, kebebasan politik,
di mana umat Islam menyadari aspek ketidakadilan, despotisme dan tirani yang
menjadi keruntuhan suatu bangsa. Maka, umat Islam berusaha menjaga rasa keadilan,
saling musyawarah, kebebasan berbicara dan berekspresi menurut norma syariah
yang selalu dijunjung tinggi bersama. Keenam, Semangat dalam mencari ilmu
pengetahuan, dalam Islam, Al-Qur’an secara tegas memberikan sebuah konsep bahwa
manusia diberikan seperangkat akal yang dapat membantu untuk mencapai
kesimpulan logis.
Selain itu, keberhasilan Islam dalam membangun eksistensi peradabannya
tidak lepas dari bagaimana dakwah sebagai alat untuk membentuk karakter pribadi
yang menjadi unit terkecil dari sebuah struktur sosial. Dakwah secara sederhana
bermakna seruan menjadi dorongan (impulsi) untuk mendorong kesadaran spiritual,
emosional dan intelektual secara keseluruhan. Keberhasilan umat Islam dalam
membangun tatanan sosialnya menghadirkan para ulama yang mewakili ilmuan,
filsuf dan fuqaha sekaligus. Seorang ulama, melekat pada dirinya pakar sains, ahli
filsafat dan ekspert dalam persoalan agama.
Pada abad ke-sembilan belas peradaban Islam berhenti dengan adanya
intervensi bangsa Eropa dengan membawa modernisasi yang dipandang sebagai
proses perubahan universal yang merusak keseimbangan institusi yang telah
7 Tijani Ahmad Ashimi, “Islamic Civilization: Factors Behind Its Glory and Decline”,
International Journal of Business Economics, Vol 9, (2016). Bisa diakses melalui: http://ijbel.com/wp-
content/uploads/2016/06/KLiISC.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 5
membentuk sistem masyarakat Muslim di seluruh penjuru dunia.8Selanjutnya
intervensi Eropa tersebut mengubah keseluruhan sistem institusi umat Islam dan
memaksa untuk menerima sistem baru berupa konsep negara-bangsa. Islam yang
sebelumnya merepresentasikan suatu imperium yang utuh dan bertahan selama lebih
dari seribu tahun, runtuh akibat dari kolonialisme Eropa9, Islam selanjutnya
mengalami stagnasi bahkan mundur disebabkan melemahnya kekuatan politik dan
pecahnya umat Islam secara internal serta hilangnya formulasi pemikiran untuk
membangun peradaban. Struktur sosial dan ekonomi di dunia Islam menghadapi
tantangan yang semakin berat, terjadi ketegangan dan perubahan dalam struktur yang
berakibat pada semakin surutnya dan tersingkirkan Islam di tengah didominasi
peradaban Barat.10
Imperialisme Barat terhadap Islam dan segala agenda sosial dan politik yang
dibawanya, melahirkan berbagai reaksi dari umat Islam terutama dalam upaya untuk
membangun kembali identitas umat Islam. Reaksi umat Islam dalam melihat produk
Barat berupa modernisme dapat dipetakan menjadi tiga aliran pemikiran, pertama;
Islam tradisonalis yang cenderung meyakini bahwa pengetahuan melalui teks adalah
paripurna sehingga modernitas tidak memiliki makna pentingnya ketika berhadapan
dengan konsep paripurna yang tidak mungkin dilampaui.11 Sebab kehidupan umat
Islam sejak awal terbingkai dalam kehadiran teks suci dan berkesinambungan. Bagi
Islam tradisional, semua pengetahuan berhubungan erat dengan prinsip-prinsip
wahyu. Prinsip ini menegaskan otoritas, bahwa kebenaran tidak terdapat di dunia,
8 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial...., h. 3-10. 9 Karena terdesak oleh kebutuhan industri, negara-negara Eropa pasca Perang Dunia pertama
berupaya untuk mencari sumber daya baru untuk memenuhi kebutuhan perang. Wilayah Timur Tengah
secara dominan dikuasai oleh kekaisaran Utsmaniyah pada hingga akhir abad kedelapan belas dan
awal abad kesembilan belas, kekuatan Utsmaniyah mulai melemah disebabkan perpecahan intern
keluarga kerajaan. Utsmaniyah merupakan cerminan dari kekuasaan Islam yang bertahan selama
beberapa abad. Timur Tengah menarik perhatian diplomat dan politisi Barat dan menjadi arena
persaingan great game bagi kekuatan Eropa dan Islam, hingga akhirnya pada tahun 1924 kekaisaan
Utsmaniyah runtuh dan imperialisme Barat mengubah struktur sosial sekaligus sejak saat itu Islam
mengalami pengunduran. Lihat. David Fromkin, The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of
the Modern Middle East, (New York: Henry Hold and Company, 2001), h.24-25. 10 Muhammad Rusydy, Modernitas dan Globalisasi: Tantangan Bagi Peradaban Islam, Tajdid,
Vol.17, No.1. (2018), h.91. 11 Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, Penterj. Khoiran Nahdiyyin
(Yogyakarta: LkiS, 2012), h.xIii.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 6
manusia atau alam, tetapi ada dalam teks, pemahaman terhadap realitas harus sejalan
dengan teks dan pandangan ini anti kritik yang menekankan pemikiran dogmatis.
12Kedua, Islam reformatif yang berangkat dari tidak adanya pengetahuan di masa
lampau yang memungkinkan diganti dengan mengambil sesuatu untuk pemikiran dan
pengetahuan tertentu terutama yang dibawa oleh modernitas. Islam reformatif melihat
bahwa Islam dalam pemikiran selalu mengikuti perubahan zaman sehingga cara
untuk mengembalikan identitas Islam yaitu dengan berupaya mengambil yang baik
dari produk modern dan memformulasikannya ke dalam norma-norma Islam.13
Ketiga, Islam sekular yang beranggapan bahwa pengetahuan dan spiritual mustinya
dipisahkan, sebab otoritas atau teks menjadi salah satu penghambat laju sebuah
peradaban, sehingga dalam pandangan sekular, pengetahuan dan dogma agama
adalah dua entitas yang terpisah. Dengan kata lain, untuk kemajuan, umat Islam harus
meminjam peradaban Barat secara keseluruhan.14
Bagi penulis, fenomena modernitas sebagai produk dari Barat sebenarnya
memberi peluang bagi Islam untuk mencari posisinya dalam peradaban. Dalam
beberapa tahun belakangan, Islam mulai meranjak kembali sebagai sebuah identitas
di ruang publik (public sphare), sebuah potret Islamis di ruang-ruang terbuka sebagai
suatu strategi dalam menyebarkan nilai-nilai Islam di tengah dominasi modernitas.
Islam tampaknya makin berkembang, ia tidak lagi sebatas pada ruang-ruang atau
komunitas kecil, melainkan telah melampaui batas-batas wilayah dan spiritual
sebagai wadah dakwah. Terlebih, dengan hadirnya era pasca-kebenaran (post-truth)
yang ditandai dengan hadirnya media baru yang membuka peluang tanpa batas bagi
instrumen ulama dalam menyampaikan pesan dakwahnya melalui media baru.
Oleh sebab itu, tulisan ini menganalisis bagaimana upaya pemikiran alternatif
Islam dalam menyikapi menemukan formulasi peradabannya? Serta bagaimana Islam
berupaya membangun kembali identitasnya di tengah arus modernitas? Dan
12 Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung: Pustaka,
1994), h. 131. 13 Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran....., h.xIv. 14 Muhammedi, Pemikiran Sosial dan Keagamaan Nurcholish Madjid, Jurnal Tarbiyah,
Vol.24, No.2, (2017). h,358.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 7
bagaimana trend dakwah virtual Islam membangun kesadaran spiritual dan
pengetahuan di era masyarakat pasca kebenaran (post-truth)?.
Kerangka Konseptual
Reformis Islam dan Dasar Pemikirannya
Dalam merespon modernitas, sebagian kalangan Muslim menekankan tradisi
dan interpretasi tekstual Islam sebagai platform ideologisnya di mana mereka
menekankan ketaatan pada teks-teks dasar Al-Qur’an, namun pada gilirannya
digunakan sebagai alat untuk membenarkan agenda politik. Bahkan, kalangan radikal
memanfaatkan teks atau dalil agama untuk melegitimasi seruan dalam melakukan
sebuah kekerasan.15 Sayid Qutb, masih menjadi ideolog Islam paling berpengaruh
yang melakukan pendekatan terhadap tradisi Islam dengan mengambil bentuk
reifikasi Islam sebagai tiruan yang tepat dari ajaran dan praktik komunitas Muslim
awal. Qutb meyakini bahwa penyebab ketidakstabilan politik dan dekandensi moral
yang dirasakan umat Islam disebabkan pada rendahnya internalisasi nilai-nilai Islam
pada umat Islam sekaligus rendahnya kesadaran untuk menjaga persatuan umat.
Oleh sebab itu, salah satu wacana sentral yang digaungkan oleh para ulama
dalam diskursus Islam dan modernitas yaitu berupaya untuk mengartikulasikan
kembali makna reformasi (islah) sebuah konsep untuk memahami kembali peran
umat Islam dalam kehidupan publik. Secara semantis, islah beresonansi dengan nilai-
nilai positif yang memiliki konotasi perdamaian dan rekonsiliasi (sulh), apa yang
benar dan pantas atau berbudi luhur (salih). Bahkan, nash Al-Qur’an menyelaraskan
islah erat dengan misi misi Nabi di mana para Nabi diutus untuk
mengimplementasikan islah atas nama Tuhan.16 Aspek relasional antara islah dan
tajdid ingin menghadirkan dialektika-humanis antara agama dan realitas zaman dan
menentang status quo agama, budaya dan intelektual. Disamping itu, diskursus islah
dan tajdid dalam sejarah Islam lahir dari konsensus yang berkembang dan upaya
15 Nelly Lahoud, Political Thought in Islam: A Study in Intellectual Bounderies, (New York:
ReutledgeCurzon, 2005), h.13. 16 Branon D. Ingram, Revival from Below: The Deoband Movement and Global Islam,
(California: University of California Press, 2018), h.17-18.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 8
menetapkan batas-batas ortodoksi. Pada saat yang sama, diakui bahwa pemikiran
Islam abad kedua puluh tidak lagi dihasilkan secara internal, tetapi secara substansial
dipengaruhi oleh, atau terdiri dari reaksi terhadap tantangan eksternal dari gagasan
dan doktrin Barat dan non-Barat.17
Menurut Abdullah Saed, pembaharuan atau revivalisme (tajdid) selalu
menjadi bagian dari tradisi Islam.18 Proses pembaharuan Islam melalui ide persatuan
yang erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai yaitu menentang atau
mendobrak imperialisme Barat. Islam akan tetap mengalami kemunduran apabila rasa
persatuan dalam umat Islam runtuh. Selain itu, umat Islam saat ini berada dalam
kemunduran di segala bidang disebabkan kejumudan atau tidak menghendaki adanya
perubahan.19 Sehingga pembaharuan (tajdid) diperlukan untuk mengimplementasikan
ajaran Islam sesuai dengan tantangan dan perkembangan kehidupan dan
mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan seperti yang pernah digapai
oleh umat Islam pada abad pertengahan.20
Pemikiran pembaharu dalam Islam berupaya mendamaikan nilai-nilai modern
seperti konstitualisme, penyelidikan ilmiah, metode pendidikan modern, hak-hak
perempuan, kebangkitan budaya dengan nilai-nilai Islam. Sehingga, fenomena
kebangkitan kembali Islam bertujuan untuk memperkuat hubungan antara
pembaharuan (tajdid) dengan berpedoman kepada kitab suci. Alasan dasar dari
pembaharuan Islam tidak lain disebabkan karena modernitas Barat yang menekan
nilai-nilai Islam, berkembangnya nasionalisme dan ideologi sekular selama pasca-
kolonial serta pergumulan antara gerakan Islam dan pemerintah di berbagai negara
Muslim.21
Ada beberapa alasan, pembaharuan (tajdid) dalam Islam perlu dilakukan
disebabkan beberapa alasan: Pertama, keterbukaan ijtihad dengan memadukan unsur
17 Mohammad Hasyim Kamali, Tajdid, Islam and Islamisational Renewal in Islam, ICR,
Vol.5, No.1, (2014), h.393. bisa diakses melalui: https://icrjournal.org/index.php/icr/article. 18 Abdullah Saeed, Islamic Thought; An Introduction, (New York: Routledge, 2006), h.129. 19 Syamsul Bahri, Oktariadi, Konsep Pembaharuan dalam Perspektif Pemikiran Muhammad
Abduh, Al-Murshalah, Vol2, (2016). h.35-36. 20 Akhirudin, Dakwah dan Pembaharuan Pemahaman Islam, Kordinat, Vol.XVII, No.2, 2018.
h.401. 21 Muhammad Hasyim Kamali, Tajdid, Islah....,h.500.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 9
skriptural (teks suci) dan rasionalitas secara bersamaan. Kedua, Islamisasi
pengetahuan (islamiyat al-ma’rifat) yaitu sebuah gerakan reformasi epistemologis
yang berupaya untuk mengatasi krisis peradaban melalui inovasi dan reformasi
metodologis. Artinya reformasi metodologi dalam wacana kelompok ini bersumber
pada bacaan kitab suci yang dipadukan dengan pembacaan realitas ekstensial dengan
tetap mempertimbangkan nilai-nilai Islam. Ketiga, pembaharuan versus globalisasi
(tajdid cum globalization) dengan memberikan pemahaman lebih luas yang tidak
terikat pada suatu metodologi atau kerangka kerja tertentu, tetapi berupaya untuk
mengatasi tantangan modernitas. Keempat, gerakan pembaharuan ini berorientasi
pada pada upaya untuk mengatasi masalah-masalah baru melalui ijtihad di mana
gerakan pembaharu ini mengkaitkan posisi tajdid berdasarkan preseden yang tidak
hanya dipahami hanya berdasarkan pada teks dan kitab suci, tetapi juga madzhab dan
para ulama di masa lalu yang lebih condong kepada taklid tapi kelompok ini secara
terbatas masih terbuka.22
Sementara Hasan Hanafi berupaya untuk melakukan rekonstruksi dengan
mendorong terlaksananya revolusi kultural untuk melawan kolonialisme dan
keterbelakangan, berjuang untuk mewujudkan kebebasan, keadilan sosial dan
menyatukan dunia Islam. Menurutnya, khazanah peradaban Islam harus didasarkan
pada wahyu ilahiyah seperti digambarkan dalam Al-Qur’an. Dari sini, umat Islam
harus berupaya untuk menginterpretasi muatan nash Al-Qur’an dengan
mempertimbangkan perbedaan sosio-kultural zaman. Melalui konsep tradisi dan
pembaharuan (turats wal hadatsah) di mana dalam masyarakat Islam, tradisi
mempunyai peranan penting dan menjadi sumber inspirasi dan sistem nilai. Dengan
demikian, umat Islam mustinya menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang
untuk bisa dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masa kini.23
Upaya pembaharuan umat Islam mengingat kegagalan Barat untuk
mewujudkan pencerahan bagi umat manusia serta goyahnya usaha Islam berbasis
gerakan dalam proses mencapai tujuannya. Refleksi atas visi Islam secara
22 Ibid, h.502-503. 23 Din Wahid, Kiri Islam: Studi atas Gagasan Pembaruan Pemikiran Islam Hassan Hanafi,
Refleksi, Vol.II. No.2, (2000). h.41-43.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 10
keseluruhan mengarah pada sebuah kesimpulan yaitu visi itu sendiri adalah hal yang
paling sulit untuk ditemukan secara ideal, dan konsekuensinya di sinilah reformasi
Islam perlu dilakukan.24 Dengan demikian, penting bagi umat Islam untuk
merumuskan proyeksi Islam yang terintegrasi dalam menghadapi krisis peradaban
dengan memfokuskan pada reformasi pemikiran dan berupaya melakukan kristalisasi
pengetahuan Islam. Sehingga, projek ini bisa dijadikan sebagai mata rantai upaya
reformasi dan meminimalisir kesenjangan antara Barat dan Islam. Akibatnya, umat
Islam harus memperbaharui pemikirannya dan membentuk struktur pemikiran dengan
konseptualisasi Islam tentang kehidupan dan manusia.
Upaya Pembaharu Islam: Diskursus dalam Wacana Modernitas
Selama tiga dekade terakhir, perkembangan sosial dan politik dalam literatur
Barat terhadap Islam didominasi dua tema utama yaitu radikalisme Islam dan
ketidakmampuan Islam bersinergi dengan modernitas dan demokratsasi. Kekurangan
negara-negara Islam ini dikaitkan dengan kekhasan Islam terutama fusi agama dan
politiknya yang dianggap tidak memberi ruang bagi rasionalitas. Kecenderungan
penilaian Barat terhadap Islam tersebut terutama berasal dari dua faktor yaitu
pengaruh orientalisme yang terus-menerus dan meluas serta gagasan berlebihan
tentang ancaman Islam terhadap peradaban Barat. Akibatnya, para sarjana Barat lebih
memperhatikan wacana radikalisme Islam daripada proses moderasi dan reformasi
pemikiran dalam Islam. Parahnya, akibat dari sikap ini adalah kemiskinan kerangka
konseptual dan teoretis dalam diskursus studi Islam dan masyarakat Muslim dan
hubungannya dengan Barat.25
Meskipun demikian, terlepas perbedaan antara Neo-orientalis dan Muslim,
baik reformis, tradisionalis dan radikal menyepakati satu hal bahwa dunia Islam
mengalami penurunan hampir selama tiga abad dan saat ini mengalami stagnasi.
Dalam konteks ini, isu sentralnya adalah modernitas dan perannya terhadap
24 Taha Jabir Al-Alwani, “Major Features of the Reform of Islamic Thought and the
Islamization of Knowledge”, International Institut of Islamic Thought di akses melalui:
https://www.jstor.org/stable/pdf/j.ctvkc67q1.10.pdf. 25 Shireen T. Hunter (Editor), Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity,
(New York: M.E Sharpe, 2008), h.132.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 11
kebangkitan Barat dan bagaimana umat Islam menanggapinya. Dinamika dan respon
terhadap modernitas inilah yang membangkitkan gagasan pembaharu Islam yang
digagas oleh pemikir Muslim untuk menemukan formulasi tepat dalam upaya untuk
menandingi kemajuan Barat dengan berusaha memulihkan jiwa rasionalis Islam
melalui ijtihad, penafsiran independen atas sumber-sumber kitab suci dan hukum
Islam. Para reformis Islam mulai membentuk gerakan dan organisasi untuk
menyebarkan ide dan mempromosikan reformasi untuk mencari dan merekonstruksi
identitas umat Islam.26
Tajdid atau modernisme Islam dipahami sebagai upaya untuk menyelaraskan
paham-paham keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Upaya tajdid
dalam Islam yaitu usaha untuk menyesuaikan penafsiran, penjabaran dan cara-cara
pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang
sedang dan akan dihadapi. Dengan demikian, pembaharuan dalam Islam merupakan
suatu tuntutan untuk menghentikan proses degenerasi umat Islam dalam semua segi
kehidupan dan untuk menutup dan mempersempit kesenjangan antara Islam
konseptual dan Islam dalam tatanan praktis.27 Para reformis percaya bahwa dunia
Islam membutuhkan zaman pencerahan (al-Islam al-Munawwar) yang dimaknai
sebagai gairah untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan saintifik
dengan metodologi ilmu pengetahuan modern dan berupaya untuk membatasi ruang
gerak ortodoksi Islam di mana selama delapan abad menjadi penyebab terhalangnya
keterbukaan pikiran umat Islam tentang relasi Islam dan segala atribut modernitas.
Dalam pandangan Jamaluddin Al-Afghani, Islam mencakup seperangkat nilai
ideal bagi kehidupan, didalamnya terbangun norma toleransi dan semangat ilmiah dan
menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan yang menjadi karakter dari modernitas. Jadi,
kemunduran umat Islam bukan disebabkan ketidaksesuaian Islam dan perkembangan
zaman dan perubahan kondisi, melainkan dipengaruhi oleh taqlid, sikap fatalis dan
melupakan ilmu pengetahuan. Islam pada dasarnya membuka peluang bagi perubahan
26 Ibid, 132-133. 27 Supriadi, Konsep Pebaruan Sistem Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh,
Kordinat, Vol.XV, No.1, (2016), h. 32-33.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 12
dan transformasi pemikiran, Islam menghendaki agar umat Islam bersifat dinamis,
bukan fatalis, berpegang teguh pada akhlak tinggi serta mencintai ilmu
pengetahuan.28
Kesuksesan umat Islam dalam satu milinium terakhir dapat dilihat dari
beberapa aspek; Pertama, historis-Islam sebagai sebuah gambaran ideal Islam yang
mewakili zaman Nabi dan Khulafa’ Rasyidun yang telah sukes membangun ummah
dan memperluas teritorial kekuasaan. Kedua, perkembangan gagasan atau pemikiran
melalui filsafat Islam, dimensi tekstual dalam Islam koheren dengan ilmu
pengetahuan. Sehingga perkembangan pengetahuan modern dapat sejalan dan
beriringan dengan teks Al-Qur’an. Ketiga, Membuka kembali pintu tafsir hukum dan
doktrin (ijtihad) dikombinasikan dengan dalil-dalil pada Al-Qur’an.29 Selain itu,
Afghani juga memberi perhatian besar terhadap persatuan (unity) yang sebagian besar
lahir dari kelemahan negara-negara Muslim berhadapan dengan Barat termasuk
melakukan propaganda politik yang menarik elemen sosial untuk melakukan
perubahan secara radikal.
Agak berbeda dengan Afghani, Muhammad Iqbal mencoba memadukan
filsafat dan pemikiran Muslim modern untuk memahami dampak modernitas
terhadap Islam, Iqbal menyadari sepenuhnya bahwa gagasan dan kehidupan dunia
yang dihuni manusia tidak diberikan, melainkan dibangun secara konstan di mana
masyarakat dibekali melalui seperangkat gagasan dan teknologi yang secara konstan
direkonstruksi seiring dengan imajinasi dan spirit individu.30Iqbal berupaya
mengungkap kembali semangat penyelidikan dengan menemukan kembali makna
konsepsi Al-Qur’an yang mengajak kita untuk berpikir dalam kerangka kehidupan
yang tak terbatas. Selain itu, umat Islam harus bergerak untuk memajukan peradaban,
28 Sulaiman Kurdi, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh: Tokoh Pemikir dan
Aktivis Politik di Dunia Modern, Syariah, Vol.15, No.1, (2015), h.34-35. 29 Nikki R Keddie, An Islamic Respons to Imperialism: Political and Rligious Writings of
Sayyid Jamal ad-Din al-Afghani, (Los Angles: University of California Press, 1968), h.38-39. 30 H.C Hillier & Basit Bilal Koshul (Editor), Muhammad Iqbal: Essays on the Reconstruction
of Modern Muslim Thought, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), h.12-13.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 13
dengan menyesuaikan diri dengan peradaban atau modernitas dengan memahami
kembali sejarah Islam dan proses pembentukan peradaban yang dimilikinya.31
Muhammad Iqbal juga menekankan hubungan antara spiritual dan material.
Spiritual menuntut ketundukaan dari dunia metrial dengan tujuan menjadikannya
dorongan dalam proses perkembangan diri, sementara dunia material adalah cerminan
realitas kehidupan yang terus bergerak. Dengan keduanya, manusia mampu mengasah
kecerdasannya dan membangun budaya dan peradaban maju. Selain itu, dalam
sebuah peradaban, masyarakat berkembang mulai dari unit terkecil dari masyarakat
yaitu diri (self) yang dapat mencapai aktualisasi diri (self-actualization). Dengan
demikian, komponen diri (self) adalah aspek internal dan masyarakat merupakan
bagian eksternal merupakan manifestasi dari peradaban manusia. Terwujudnya
masyarakat ideal dalam pandangan Iqbal, apabila masyarakat memiliki pondasi dasar
yang disebutnya dengan tauhid. Baginya, tauhid adalah ruh masyarakat karena dapat
melahirkan kesatuan pikiran dan perbuatan dalam diri individu yang diikat bersama
oleh masyarakat.32 Struktur masyarakat ideal selanjutnya adalah keyakinan kepada
Nabi, di mana struktur dan kekuatan masyarakat Muslim terletak pada ketaatan
kepada aturan-aturan yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Masyarakat
Muslim juga harus memiliki tujuan yang harus diperjuangkan yaitu melestarikan dan
menyebarkan prinsip-prinsip tauhid.
Diri (self) dalam gagasan Iqbal dibangun di atas keyakinan bahwa dimensi
fundamental dari kehidupan manusia adalah kesadaran. Bahkan, tujuan dari eksistensi
kosmosis alam jagat raya merupakan wadah untuk mencapai kesempurnaan diri. Ia
juga menegaskan bahwa manusia menentukan takdirnya sendiri dan kuncinya terletak
pada karakter individu.33 Terkait dengan pemikiran umat Islam, Iqbal mengkritik
dengan tegas ortodoksi yang mengantarkan Islam makin terpuruk dalam laju zaman.
Baginya, krisis pemikiran Islam terus berlanjut sehingga perlu pembaharuan dan
31 Souleymane Bachir Diagne, Islam and Open Society: Fidelity and Movement in the
Philosophy of Muhammad Iqbal, (Afrika: CODESRIA, 2010), h.51-52. 32 Adibah Binti Abdul Rahim, The Spirit of Muslim Culture According to Muhammad Iqbal,
International Journal of Social Science and Humanity, Vol.5, No.8, 2015. h.725-726. Dapat diakses
melalui: http://www.ijssh.org/papers/547-K015.pdf. 33 Shireen T. Hunter (Editor), Reformist Voices......., h.166.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 14
rekonstruksi dengan menarik gagasan profetik yang diharapkan mampu membantu
umat Islam menemukan titik temu atau jalan membangun kembali peradabannya.34
Landasan pemikiran Iqbal terletak pada sebuah kebutuhan untuk menyadari
sejarah dan memahami nilai spiritnya, dengan berupaya memahami bagaimana
sebuah peradaban mempertahankan dan melanjutkan titah kemajuannya selama
beradab-abad. Salah satu dimensi eksistensial dari peradaban adalah tradisi pemikiran
filosofis yang dipadukan dengan nilai wahyu dan nubuwwah. Menurutnya, manusia
adalah entitas yang mengandalkan intuisi, yang menjadi inti sebuah naluri dan nalar
yang memungkinkan lahirnya perilaku transgresif dan memahami norma-norma yang
sudah mapan yang diharapkan mampu membuka jalan untuk menyadari potensi
pribadi manusia di zaman dan membuat manusia dapat dipahami dalam kaitannya
dengan suatu tradisi. Adapun titik tumpu dari intuisi manusia terletak pada keyakinan
monoteistik dan sekaligus menjadi sintesis dari kesatuan.35 Gagasan rekonstruksi
filosofis Iqbal untuk menguraikan tentang bagaimana jiwa terhubung dengan nilai-
nilai Al-Qur’an dan pikiran yang terbuka terhadap inovasi ilmu pengetahuan saintifik
modern. Ia merujuk pada argumen kosmologis, teleologis dan ontologis tentang
eksistensi Tuhan.
Tokoh reformis Islam lain yang fokus pada pembangunan sosial Islam adalah
Muhammad Khatami yang fokus pada dua diskursus utama dalam Islam yaitu dialog
antar peradaban dan masyarakat sipil. Melalui dialog antar peradaban, dia menyoroti
pentingnya budaya Islam dan hubungannya dengan budaya diluarnya sebagai sebuah
paradigma baru. Pemikiran Khatami juga memberi perhatian pada konsep masyarakat
sipil (sipil society) berisi dimensi praktis yaitu bagaimana masyarakat dapat
mewujudkan cita-cita masyarakat sipil dalam politik dan sosialnya dengan
memperluas hak kewarganegaraan dan partisipasi publik. Sementara dimensi teoretis,
34 H.C. Hillier & Bashit Bilal Koshul, Muhammad Iqbal.......,h.22. 35 Ibid, 27.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 15
mengkaji bagaimana Islam sesuai dengan konsep kebebasan, rasionalitas,
pembangunan dan hak asasi manusia.36
Khatami melihat bagaimana hubungan antara agama, kebebasan dan
demokrasi agama serta tantangan yang ditimbulkan oleh modernitas masyarakat
Muslim, sejauh mana Islam boleh mengadopsi dari Barat serta upaya untuk
membangun dialog peradaban. Landasan filosofis dari pemikiran Khatami pada
hubungan antara Tuhan dan manusia serta penekanannya pada konsep rasionalitas
dan keadilan. Ia melihat rasionalitas dan keadilan harus menjadi pedoman bagi
pemikiran dan tindakan manusia, termasuk menafsirkan sumber-sumber agama dan
menyerukan Islam rasionalis. Meskipun demikian, kehendak bebas manusia harus
diimbangi oleh spiritualitas dan digunakan untuk melayani Tuhan dan ciptaan-Nya.
Menurutnya, agama tanpa rasionalitas akan melahirkan takhayyul, dan akal tanpa
agama dan spiritualitas mengarah pada dehumanisasi dan menjadi sumber
ketidakadilan. Sehingga, untuk mencapai kebahagiaan individu dan kolektif, manusia
membutuhkan akal dan spiritualitas.37 Selain itu, Khatami memiliki pandangan
tentang hubungan antara kebebasan dan agama. dia percaya bahwa agama tanpa
kebebasan menghasilkan kejumudan sebab mencegah pertumbuhan intelektual.
Sementara, kebebasan tanpa agama mengarah pada materialisme dan individualisme
yang berlebihan yang menjadi sumber penyakit sosial.
Pasca periode Nabi Saw, umat Islam menciptakan peradaban baru atas dasar
ajaran Islam, Al-Qur’an dan apa yang generasi masa itu pelajari dari peradaban Persia
dan Yunani. Namun, fakta bahwa masa keemasan peradaban Islam yang telah berlalu
bukan berarti bahwa Islam pun telah layu. Sebaliknya, setiap Muslim harus
mempertahankan iman kepada Al-Qur’an dan Islam otentik sekaligus mecari jawaban
baru atas pertanyaan hari ini berpatokan pada agama. Khatami mengungkapkan
bahwa penyebab stagnasi dalam tubuh umat Islam disebabkan kaum tradisionalis
yang memiliki jargon kembali pada masa lalu. Sedangkan, kaum sekuler-liberal
36 Sayyid Muhammad Khatami, “Islam, Dialogue and Civil Society”, diakses melalui:
https://www.al-islam.org/islam-dialogue-and-civil-society-khatami/dialogue-among-civilizations-and-
world-islam. 37 Ibid, h.60.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 16
merespon Islam mustinya melebur dengan Barat dan berdampak pada makin
tergerusnya budaya Islam sesungguhnya. Yang musti dilakukan umat Islam adalah
mengadopsi semua pencapaian positif Barat tetapi pencapaian tersebut dikaitkan
dengan warisan Islam sehingga umat Islam dapat mengisi kekurangannya.38
Sementara Hassan Hanafi berupaya untuk menjawab tiga tesis yang dihadapi
umat Islam untuk membangkitkan kembali peradaban Islam yakni sikap umat Islam
terhadap tradisi Islam, sikap terhadap tradisi Barat dan sikap umat Islam terhadap
realitas kekinian. Ketiga persoalan ini, pada gilirannya menjadi poros perbincangan
dan perdebatan dalam upaya menggali otentisitas tradisi yang dijadikan sebagai spirit
dalam menghadapi realitas kekinian umat Islam (al-ashalah wa al-mu’asarah).
Dalam pandangannya, masyarakat tradisional yang kesadaran nasionalnya senantiasa
terbuka oleh tradisi terdahulu (qudama) yang merepresentasikan otoritas dalam
kesadaran realistis dengan menerapkan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, pandangan terhadap dunia senantiasa berangkat dari tradisi.39Sedangkan dalam
sejarahnya terhadap tradisi Barat, terus-menerus hadir dan berdialogis dan tidak ada
pemisah kecuali atas reaksi dari kalangan salaf dan gerakan kritik terhadap Barat
sebatas pada paradigma retorika atau dialog, bukan paradigma kritis dan logika
demonstratif. Sedangkan, realitas merupakan sumber pengetahuan yang mengarahkan
pada kepentingan, kebutuhan dan pilihan-pilihan hidup manusia.
Dua sikap kultural pertama memiliki arti harfiah, yaitu biasanya sikap
tersebut berinteraksi dengan budaya-budaya baku dan didominasi oleh tradisi
penerjemahan dengan memalingkan pandangan dari sumbernya baik ilmu-ilmu
terdahulu (qudama) maupun ilmu modern. Hanya sikap yang ketika yang
berhubungan dengan sikap ilmu pengetahuan baik keilmuan klasik dan modern.
Biasanya ketiga sikap umat Islam ini tidak berimbang, terkadang sikap kultural hanya
fokus pada tradisi klasik, dari sini kultur dan gerakan keagamaan, pendidikan
38 Sayyid Muhammad Khatimi, “Reason and Religion” diakses melalui: https://www.al-
islam.org. 39 Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1: Pembacaan atas Tradisi Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
LkiS, 2015), h.3-5.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 17
tradisional, serta sistem berkembang tanpa orientasi.40Terkadang sikap kultural umat
Islam fokus pada tradisi Barat yang bersifat ilmiah rasional, pendidikan reformatif
yang secara optimistis menyokong kepentingan penguasa. Ketidakseimbangan di
dalam sikap kultural inilah yang menyebabkan pupusnya kesatuan identitas (Wahdah
Asy-Syakhsiyah) yang melahirkan sistem pendidikan, aliran politik dan sistem sosial
saling berbenturan dan identitas umat Islam menjadi berantakan.
Islam dalam kaitannya dengan realitas berarti membedakan antara Islam
sebagai religiusitas, spiritual dan manifestasi konteks historis tertentu. Islam dari
sudut pandang tradisional merupakan agama yang akarnya terkandung dalam Al-
Qur’an dan tradisi kenabian baik tertulis dan lisan yang pada ujungnya tidak sebatas
menghasilkan hukum-hukum (syariah) tetapi juga teologi, filsafat, ilmu pegetahuan
saintifik serta sistem pendidikan, sistem politik, ekonomi dan sosial serta norma etika
dan moral. Islam tetap menjadi realitas trans-historis panjang yang menghubungkan
setiap generasi dari waktu ke waktu, terhubung secara spiritual melalui ritus serta
dapat diakses hingga detik ini.41 Namun, dengan hadirnya nasionalisme sekuler,
rasialisme dan humanisme gaya Barat, realitas trans-historis ini terputus dengan
berbagai macam ritual dan pemahaman umat Islam yang berbeda-beda. Ada Muslim
dengan semaksimal mungkin menjalankan syari’ah dan meyakini cara mereka
mengikuti Islam sebagai satu-satunya cara. Muslim lain tidak mengikuti perintah
syari’ah namun menganggap diri mereka sudah pasti Muslim. Dan bahkan ada orang
lain yang tidak melakukan apapun kecuali mengikuti etika humanistik yang senapas
dengan Islam tetap menyebut diri sebagai Muslim sejati. Dan ada pula kelompok
Muslim yang melaksanakan ritus Islam dengan cermat namun banyak melanggar
perintah moral syari’ah.
Perlu dipahami tradisi dalam gagasan reformis Islam merupakan pemaknaan
historis yang merefleksikan penyesuaian dengan keadaan zaman. Berbeda dengan
konsep “tradisi” dalam pemikiran Barat mendefinisikan tradisi sebagai keadaan statis,
40 Ibid, h.5-6. 41 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, (New York: Columbia
University Press, 1994), h.75-77.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 18
menyimpang dan tidak lengkap.42 Dalam pandangan intelektual Barat, terdapat
kesenjangan antara tradisi yang sifatnya ritual keagamaan yang bersifat transendental
sebatas bagaimana hubungan antara hamba dengan Tuhan atau ajaran Islam yang
kaku. Realitasnya, konsep Islam paling fundamental yaitu tauhid merupakan aturan
yang langsung berhubungan dengan keyakinan yang harus di taati. Sebaliknya, tradisi
dalam Islam mengalami perubahan mengikuti keadaan suatu masyarakat. Sehingga,
Tradisi dalam Islam tidak bersifat kaku, tetapi terus berkembang, menyesuaikan diri
dengan sosial masyarakatnya. Adapun, gagasan orientalis yang menuding bahwa
reformis menerima modernitas dengan makna yang terbatas dengan merangkul
inovasi Barat yang mencakup infrastruktur dan pandangan budaya dan filsafatnya
tidak seluruhnya benar, dalam Islam terdapat kaidah atau norma yang menjadi filter
dari budaya masyarakat, melalui proses sublimasi ini, Islam menyerap sekaligus
mendorong mana spirit budaya dan tradisi Barat yang dapat dimanfaatkan untuk
membangun komunitas Muslim yang kuat.
Bagi Hassan Hanafi, Untuk mengembalikan peradaban, upaya yang bisa
dilakukan oleh umat Islam adalah melalui interpretasi tradisi yang menciptakan
paradigma kesadaran bagi manusia. Melalui interpretasi umat Islam dapat membaca
masa kini dan masa lampau dan melakukan analisis komparatif serta mendalam
terhadap perkembangan pengetahuan. Tradisi tidak mempunyai makna objektif dalam
teks maupun dalam pengalaman, tetapi tradisi membawa tuntutan objektif aktual yang
diderivasikan kepadanya. Selain itu, tradisi terkait erat dengan tuntutan dan
kepentingan zaman, ketika zaman menuntut rasionalisme, maka lahirlah tradisi
rasional, ketika tradisi menuntut ilmiah, maka lahirlah tradisi ilmiah dan begitu
seterusnya.43Umat Islam juga dituntut untuk memikirkan jalur alternatif atau
melakukan seleksi ulang sesuai dengan tuntutan zaman seperti menguatkan tradisi
nalar, aql dan naql, teori dan praktis, atau dengan mengembangkan tradisi interpretasi
alegori dan lain sebagainya. Dengan kata lain, perlu mengubah perangkat konseptual
tradisional sesuai dengan perubahan konteks sosial yang telah berlangsung. Perlu
42 Safdar Ahmed, Reform and Modernity in Islam: The Philosophical, Cultural and Political
Discourses among Muslim Reformers, (New York: I.B Taurus & Co.Ltd, 2013), h.17. 43 Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1.......,h.73-74.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 19
adanya rekonstruksi dalam pemikiran umat Islam untuk mewujudkan harapan akan
kemerdekaan, penyatuan kembali identitas, dan kesamaan sosial.44
Untuk mewujudkan kembangkitan Islam, Hassan Hanafi membangun proyek
peradaban dengan fokus pada tiga aspek utama yaitu merepresentasikan hubungan
dialektis antara subjek diri, bagaimana hubungan antara umat Islam dengan tradisi di
luarnya serta bagaimana Barat dalam suatu proses sejarah tertentu.45 Pandangannya
terhadap upaya mewujudkan peradaban Islam dituangkan dalam konsepnya tentang
kiri Islam yang bertujuan untuk memperkuat umat Islam dari dalam dan menjaga
tradisinya untuk melawan arus budaya Barat yang tujuannya melenyapkan
kebudayaan dan hegemoni atas Islam. Dan tugas kiri Islam adalah mengatasi
kemiskinan dengan melakukan redistribusi kekayaan kepada kaum Muslimin dengan
seadil-adilnya serta kiri Islam berjuang untuk mewujudkan hak yang sama untuk
bebas dari keterbelakangan.
Diskursus penting yang diperbincangkan dalam kaitannya Islam dan
modernitas adalah melihat hubungan antara Islam dan demokrasi. Demokrasi
merupakan produk dari modernitas untuk menciptakan kesamaan hak, kebebasan
berpendapat dan partisipasi politik di ruang publik. Lahirnya demokrasi sejalan
dengan konsepsi negara-bangsa yang membelah entitas umat Muslim ke dalam skat-
skat sistem kenegaraan yang berbeda-beda. Intinya, demokrasi memberi peluang bagi
kebebasan berpendapat, partisipasi politik dan hak-hak asasi manusia serta
kesepakatan umum merupakan nilai tertinggi atau dengan kata lain, suara rakyat
adalah kebenaran tertinggi merupakan prinsip dasar dari demokrasi. Dengan hadirnya
sistem demokrasi para reformis Islam berupaya untuk menjawab seputar apakah
Islam kompatibel dengan demokrasi dan hak asasi manusia sebab bagi Islam
demokrasi masih bersifat aksiomatis.46
Sekilas hubungan antara agama dan demokrasi tampak bersifat kontradiktif
dan konfliktual di mana kedua konsep ini berbicara tentang aspek berbeda dari
44 Aisyah, Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaruannya, Sulesna, Vol.6, No.2. (2011), h.64-65. 45 H. Ahmad Munir, Hassan Hanafi: Kiri Islam dan Proyek At-Turats Wa Tajdid, dapat
diakses melalui: ejournal.unisba.ac.id
46 Sayed Khatab, Gary D. Bouma, Democracy in Islam, (New York: Routledge, 2007), h.1-3.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 20
kondisi manusia. Agama adalah sistem kepercayaan dan ritual terkait dengan yang
ilahiah dan secret sedangkan dunia metafisik menjadi orientasi telos-nya. Sedangkan
demokrasi jelas-jelas bersifat profan (duniawi), sekuler dan egaliter dan menyiratkan
persamaan hak dan perlakuan di depan hukum bagi semua warga negara tanpa
diskriminasi. Sistem demokrasi diarahkan pada suatu pengelolaan tanpa kekerasan
untuk menciptakan kehidupan yang baik. Tetapi, justru sifat inklusif demokrasi
sebenarnya memisahkan agama dan sistem politik yang berbasis teologis.47Titik
gesekan antara agama dan demokrasi terletak pada upaya masyarakat dalam
menyisipkan hubungan vertikal dengan Tuhan ke dalam ruang publik horizontal
sebagai cara untuk mengatur hubungan sosial. Dengan kata lain, ketika landasan
moral otoritas publik yang sah tidak lagi semata-mata didasarkan pada sumbu
horizontal (popular sovereighty) tetapi bergeser ke arah sumbu vertikal (divine
sovereighty). Inilah, kenapa dalam pandangan banyak ulama dan intelektual
mengklaim religius politik bertentangan dengan demokrasi sebab pemerintah
demokrasi pada akhirnya bersikeras memisahkan antara agama dan politik.
Setelah satu abad modernisasi, para ahli teori sosial mencoba membedakan
antara fenomena religius (the religious) dan lebih religius (more religious) di mana
Islamisme dalam narasi Barat dipahami dengan terma fundamentalisme, revivalisme,
konservatisme, fanatisme dan ekstremisme yang kesemuanya bernada negatif
khususnya terjadi pada masyarakat Muslim. Ada dua terminologi yang digunakan
untuk menggambarkan konsep masyarakat Islam yaitu dunia Islam (Islamic World)
dan masyarakat Islam (Islamic Society). Dunia Islam merefleksikan sistem tatanan
hukum yang baku dan diterapkan pada wilayah kekuasaan atau pemerintahan secara
universal. Sedangkan, masyarakat Islam merefleksikan suatu entitas yang plural dan
konkret, memunginkan mayoritas Muslim yang memiliki kesadaran diri untuk
mendefinisikan realitas mereka sendiri dengan cara berbeda dan dinamis. Artinya,
masyarakat Muslim yang di dalamnya mencakup budaya atau tradisi dipahami bukan
47 Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory
for Muslim Societies, (New York: Oxford University Press, 2009), h.9.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 21
sebagai seperangkat kode dan perilaku statis tetapi sebagai serangkaian proses yang
selalu berubah dan fleksibel.48
Dalam merespon hubungan antara agama dan politik, masyarakat Muslim
terbelah menjadi tiga pandangan, pertama mereka yang memandang Islam hanya
sebagai agama tanpa hak untuk mengatur kehidupan sehari-hari. Namun, yang lain
memandang Islam merupakan sistem dan tatanan sosal yang mencakup semua bidang
kehidupan termasuk hukum dan sistem pemerintahan. Pandangan ini, merujuk pada
konotasi politik dari banyak terminologi yang digunakan dalam Al-Qur’an yaitu mulk
(pemimpin), ummah (bangsa), sulthan, hakim yang berulang kali disebutkan dalam
Al-Qur’an yang berkonotasi pada otoritas dan pemerintahan dan terminologi tersebut
telah dipakai sejak awal Islam.49 Agama Islam dalam melihat hubungan antara agama
dan masyarakat tidak terbatas pada ritual, dan tidak ada dikotomi antara keduanya.
Agama pada hakikatnya dilengkapi dengan aturan untuk membangun masyarakat dan
menjadi pedoman hidup manusia untuk kebaikan dan kesejahteraan. Agama datang
untuk hidup dalam masyarakat, tidak terkungkung dan diisolir oleh realitas. Jelas,
bahwa agama datang dengan visi etis tentang kebaikan, termasuk di dalamnya tentang
aturan, pandangan untuk mengembangkan denyut nadi kehidupan, politik dan
lainnya. Adanya perbedaan antara pola-pola yang dikembangkan oleh suatu agama
tidak berarti bahwa agama itu kaku dan harus mutlak mengikuti konsep modern.
Agama Islam hadir dengan membawa wawasan etis dan visi abadi untuk
mengoreksi dan menyelaraskan denyut nadi masyarakat. Bagaimanapun, hukum
Islam tidak memisahkan antara agama dari kehidupan sehari-hari, tidak memisahkan
antara agama dan politik, politik dan moral atau moral dan negara. Dalam Islam,
aktivitas individu dan hubungannya dengan negara memiliki landasan metafisik dan
religius. Islam adalah sistem kehidupan praktis manusia dalam segala aspeknya.
Islam menganut konsep ideal dan meyakinkan rasionalitas dalam menguraikan
hubungan antara sang pencipta, alam semesta dan semua aspek kehidupan manusia.
48 Asef Bayat, What Is The Real Question, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007),
h.6. 49 Ibid, 8.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 22
Dan dapat menjelaskan bagaimana posisi umat manusia di alam semesta serta tujuan
akhir dari kehidupan manusia.50
Islam memiliki konsepsi yang menjelaskan bahwa kehidupan merupakan
harmonisasi antara tubuh dan jiwa. Maka, masuk akal apabila antara agama dan
poltik telah terjalin hubungan erat. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk
intelektual yang berbeda dengan idealisme, positivisme dan gagasan lain yang tidak
memiliki realitas praktis. Islam memandang manusia tidak sebatas roh dan materi
semata, atau bukanlah pikiran murni, tetapi makhluk fisik, mental dan spiritual yang
terintegrasi, membentuk satu kesatuan yang utuh dan fungsional.51 Tatanan sosial
Islam didasarkan pada prinsip universal ukhuwwah dan berupaya untuk menjamin
kemakmuran, kebaikan bagi individu dan masyarakat. Dalam pandangan Muhammad
Khalid, Islam memiliki kewajiban hukum dan pemerintahan yaitu mengatur
kehidupan dan mengatur urusan manusia melalui negara Islam yang harus didirikan
dan harus tetap ada. Islam sebagai keyakinan, tidak hanya mengandung ajaran nurani
tetapi mengandung norma yang memiliki kekuatan untuk melindungi masyarakatnya
melalui kekuasaan.
Masyarakat Muslim tidak terbatas pada dimensi spiritual belaka, budaya
nasional, pengalaman sejarah, lintasan politik dan afiliasi dan praktik keagamaan
seringkali menghasilkan budaya dan sub-budaya Islam yang berbeda. Setiap Muslim
di berbagai negara terdiri dari berbagai afiliasi keagamaan sekaligus merefleksikan
proses globalisasi yang cenderung menghasilkan tidak hanya diferensiasi, tetapi telah
mengubah struktur dan proses paralel antara negara-negara Muslim di berbagai
belahan dunia.52 Media dan intelektual Barat memandang Islam adalah akar dari
pemerintahan otoriter. Bagi Barat, Islam itu melanggengkan patriarkal dan tidak
memiliki konsep kewarganegaraan dan kebebasan, karena percaya hanya pada
kedaulatan Tuhan dan mengurangi kekuatan rakyat. Islam dalam pandangan Barat
tidak memiliki nilai kebebasan, keterbukaan dan kreativitas. Rachid Ghanoushi
berusaha untuk mengubah gambaran Barat tersebut dengan melihat titik temu dan
50 Ibid. 51 Ibid. 52 Asef Bayat, What Is The......,h.7.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 23
memastikan kompatibilitas antara Islam dengan demokrasi di mana Islam
menyiratkan nilai-nilai seperti kesetaraan ras dan gender serta kehendak bebas.53
Begitu juga dengan demokrasi, Umat Islam di berbagai belahan dunia
menguji keterhubungan dengan sistem demokrasi. Bahkan, satu abad yang lalu,
ketika kekaisaran Utsmaniyah memulai reformasi demorasi pada kuartal terakhir abad
kesembilan belas. Dilanjutkan dengan beberapa negara termasuk mulai memberikan
hak pilih kepada perempuan di mana anggota parlemen dipilih berdasarkan
perwakilan yang proporsional dan menyediakan ruang bagi etnis minoritas.54 Pada
fase kedua demokratisasi pasca berakhirnya perang dunia kedua, beberapa negara
Islam melaksanakan parlemen pertama dan mengadakan pemilihan legislatif. Namun,
beberapa dekade akhir ini, semakin banyak kelompok dan partai Islam yang
bergabung dalam proses demokrasi, di mana partai Islam seperti Ikhwan al-
Mmuslimin dan partai Islam di berbagai negara berpartisipasi dalam pemilihan
legislatif.
Menurut Fadzlul Rahman, prinsip demokrasi dan Islam berjalan berkelindan.
Bahkan proses demokratisasi dalam sejarah Islam dilaksanakan pasca-Nabi Saw
wafat di mana Abu Bakar As-Shiddiq dipilih oleh umat Islam pasca-sepeninggal
Rasul. Di dalam Islam, mangandung etos egaliter dan menerapkan prinsip
persaudaraan dan kebebasan. Rasa solidaritas antara individu dan kelompok; antara
penguasa dan masyarakat dapat meminimalisir konflik kepentingan dan mengurangi
cengkraman orang yang memiliki hak istimewa.55 Ide dasar dari hukum Islam
umumnya terdiri dari dua kategori pertama aturan yang berkaitan dengan dimensi
spiritual yang mencakup ibadah dan aspek keyakinan. Kedua, aturan hukum yang
mengatur hubungan antara individu dan komunitasnya di dalamnya berisi aturan
tentang hukum pidana, hukum sipil. Islam dengan tegas menghubungkan kedua
kategori ini secara harmonis sehingga Islam sebagai sebuah agama bertujuan untuk
53 Ibid, h.8. 54 Emmanuele Karagianis, The New Political Islam: Human Right, Democracy, and Justice,
(Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2018), h.77. 55 Sayed Khatab, Gary D. Bouma, Democracy....,h.101.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 24
menggapai kebahagiaan di dunia dan kehidupan setelahnya. Karenanya, semua
aktivitas manusia memiliki keterkaitan satu sama lain.
Intinya, Islam merupakan agama yang menghubungkan antara manusia
dengan Tuhannya (transenden) yang mencakup bagaimana peribadatan dan
keyakinan seorang hamba, juga mengatur bagaimana hubungan antara manusia
dengan manusia yang lain (mu’amalah) dan hubungan antara manusia dengan
lingkungan (environmental ethics). Basik Islam terkait mu’amalah yang di dalamnya
berisi aturan hukum, sosial dan politik. Apabila dikaitkan dengan dimensi demokrasi
kultural, Islam tetap kompatibel dengan demokrasi sebab Islam melindungi hak-hak
warga negara, memberikan kebebasan dan memberi ruang bagi perempuan. Konsep
syura bahkan dalam Islam mencerminkan bagaimana partisipasi dan pendapat
dihargai dan kesepakatan adalah kebenaran tertinggi.
Dakwah dan Realitas Zaman: Peran di Era Masyarakat Post-Truth
Fenomen post-truth telah mejadi perhatian publik setelah Donald Trump dan
masalah Brexit di Inggris. Frase post-truth menjadi frase yang familiar yang
berkonotasi pengabaian standar bukti dalam penalaran. Pasca-Kebenaran (post-truth)
menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam
pembentukan opini daripada menarik emosi dan keyakinan pribadi. Artinya,
kebenaran telah dikalahkan dan tidak relevan lagi. Diskursus tentang kebenaran sejak
lama menjadi perhatian para filsuf termasuk Plato memperingatkan bahaya klaim
palsu atas pengetahuan dan mengancam keangkuhan yang berpikir mengetahui
kebenaran cukup untuk bertindak atas kebohongan. Sehingga Aristoteles
mengatakan “mengatakan tentang apa yang bukan, atau apa yang bukan adalah
salah.56 Kaitannya dengan diskurus post-truth dengan agama khususnya umat Islam
yang terkadang kehilangan objektifitas dalam melihat kebenaran, arus informasi
menghadirkan berbagai dampak sosial terutama pada kurangnya kemampuan
mencerna informasi secara benar. Kredibilitas media arus utama yang selalu
digerogoti kepentingan secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk mencari
56 Lee Mcintyre, Post-Truth, (London: The MIT Press, 2018), h.1-6.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 25
informasi alternatif.57 Post-truth juga berpengaruh pada bagaimana citra media Barat
terhadap Islam yang identik radikalisme dan ekstremisme serta berbenturan dengan
budaya lain dan cenderung terjadi konflik kekerasan, media-media Barat memberi
imajinasi yang sangat negatif dan memiliki tendensi dan kepentingan politik dan
ekonomi.58
Meskipun demikian, fenomena yang terjadi di berbagai dunia saat ini adalah
dengan makin menguatnya identitas Islam dalam ruang publik. Keadaan ini kemudian
disebut dengan post-sekulerisme yang mengandaikan bahwa agama memiliki peranan
penting dalam kehidupan masyarakat. Bukti dari pentingnya agama di ruang publik
adalah terletak pada aspek moralnya. Moralitas publik tidak lagi bisa digantikan
dengan rasionalitas dunia modern sebab moralitas merupakan unsur tradisionalis
yang lahir dari kesadaran masyarakat yang meyakini bahwa nilai Islam perlu
disebarluaskan di ruang publik.59Salah satu kelompok yang berperan penting dalam
menyebarluaskan Islam di ruang-ruang publik adalah kelompk Muslim kelas
menengah Muslim dengan proyek meningkatkan kesalehan dalam beragama dan
membentuk identitas kolektif.
Sikap dan perilaku kesalehan masyarakat Muslim di ruang-ruang publik
merupakan proses dari Islamisasi, mulai dari Islamisasi televisi yang berisi televisi
dan menyebarkannya ke media-media sosial. Agenda Islamisasi di ruang publik
semakin menjamur ketika internet dan media sosial mulai banyak digunakan, para
Da’i yang sebelumnya telah sering muncul di televisi disebarkan di media lainnya
seperti youtube, instagram dan media sosial lainnya. Meningkatnya pengaruh media
dalam mengkonstruksi masyarakat inilah disebut dengan fenomena post-truth di
mana di era pasca-kebenaran, media memiliki peranan penting dalam mengkonstruksi
pemahaman agama pada masyarakat modern.60 Keterhubungan antara individu dalam
network society bersifat cair di mana satu individu dapat berinteraksi dengan berbagai
57 Kharisma Dimas Syuhada, Etika Media di Era Ppost-Truth, Jurnal Komunikasi Indonesia,
Vol 5, No.1, (2017), h. 75. 58 Zuly Qodir, Imagination of Religion and Politics in Media Post Truth Era, Profetik Jurnal
Komunikasi, Vol.13, No.1, (2020), h.155. 59 M. Mujibuddin, Rina Zuliana, Post-Sekulersime Islam Populis di Indonesia, Jurnal
Sosiologi Walisongo, Vol.3, No.1, (2019), h. 4-5. 60 Ibid.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 26
sumber. Ruang publik virtual menyimpan potensi positif dan optimistis dengan
keyakinan bahwa publik virtual mampu membuka kemungkinan luas terbangunnya
kemunikasi dan interaksi bagi setiap warga negara tanpa skat ideologi sekaligus
sebagai wadah untuk menyebarkan ideologi tanpa batas madzhab dan melewati batas
keyakinan.61
Bagi kaum Muslimin, fenomena hadirnya Islam di tengah ruang publik dan
dibarengi dengan lahirnya media alternatif dalam mentransfer pengetahuan memberi
harapan optimis dalam upaya untuk mengoptimlisasi peran dan fungsi dakwah di era
modern. Dakwah tidak lagi terbatas pada skat-skat tradisional yang hanya di tempat
terbatas dan jumlah audience yang terbatas pula. Dengan adanya media baru, seorang
pendakwah dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, dapat diakses oleh semua
elemen masyarakat sekaligus sebagai wadah untuk menambah wawasan agama.
Dalam Islam, dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu untuk
menyampaikan dan menyebarkan kebaikan, dasar agama yang memuat perihal
kewajiban untuk menyeru manusia kepada kebaikan terdapat dalam Al-Qur’an:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.62
Dalam konteks nilai profetik, dakwah memiliki tiga pilar yaitu dalam rangka
membentuk khoirul ummah seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu “kamu adalah
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan, kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah. Dalam
ayat lainnya, disebutkan bahwa dakwah terkait dengan amar ma’ruf yaitu
humanisasi, liberasi dan transendensi yaitu aspek relasional antara hamba kepada
Tuhan.63 Sehingga aktivisme dakwah di media sosial sebagai upaya domestikasi
61 Abdulloh Fuadi, Gerakan Sosial Bbaru di Ruang Publik Virtual, Hanifia, Vol.1, No.1
(2018), h. 55-56. 62 Surat An-Nahl ayat 125. 63 Alfiana Yuniar Rahmawati, Menghidupkan Dakwah Profetik Di Era Millenial, Vol.14,
No.1 (2020), h.52.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 27
agama, yaitu menjadikan teknologi sebagai alat untuk penyebaran nilai-nilai agama.
Selain itu, aktivisme dakwah di era pasca-kebenaran sebagai upaya rekonstruksi
identitas agama. Artinya, bahwa dakwah menjadi usaha strategis dalam membangun
identitas melalui simbol-simbol keagamaan dan memperjelas perbedaan identitas
Islam dengan kelompok-kelompok lainnya.64 Dakwah Islam di media sosial
merupakan bentuk aksi sosial keumatan sebagai bentuk upaya pembelaan umat Islam
terhadap fenomena mainstream yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam serta
sebagai tindakan antisipasi atas informasi yang merugikan umat Islam.
64 Qurrota A’yuni, Membumikan Dakwah Berbasis Komunikasi Profetik Di Era Media Baru,
Mumtaz, Vol.2, No.2, (2018), h. 296-299.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 28
Kesimpulan
Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia pada abad pertengahan,
peradaban Islam dibangun atas teks atau dimensi transendental yang menjadi
pondasinya. Melalui transendensi Islam tersebut lahirnya komunitas Muslim yang
mampu bertahan selama lebih dari satu milenium. Namun, semenjak hancurnya
imperium Utsmaniyah, Peradaban Islam mengalami stagnasi dan bahkan
kemunduran. Untuk membangun peradaban Islam di zaman modernisme saat ini,
Islam kembali berupaya menemukan kembali posisinya untuk melawan dominasi
Barat melalui projek tajdid atau dikenal dengan pembaharu Islam dengan melihat
pertalian antara Islam dan atribut dari modernitas. Fenomena kebangkitan Islam
mulai tanpak setelah hadirnya ruang publik sebagai bentuk identitas baru yang
didominasi oleh kalangan agamis termasuk Islam. public sphere merupakan bentuk
lain dari optimisme Islam dalam membangun identitas Muslimnya dengan
memanfaatkan teknologi dan media Baru sebagai alat untuk menyebaran dakwah dan
pengetahuan tentang Islam. Islam di era masyarakat pasca-kebenaran telah melewati
batas ideologi atau keyakinan untuk menyebarkan kebenaran kepada umat manusia.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 29
Daftar Pustaka
Adonis. 2012. Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, Penterj. Khoiran Nahdiyyin
Yogyakarta: LkiS.
Ahmed, Safdar. 2013. Reform and Modernity in Islam: The Philosophical, Cultural
and Political Discourses among Muslim Reformers, New York: I.B Taurus &
Co.Ltd.
Aisyah. 2011. Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaruannya, Sulesna, Vol.6, No.2.
Akhirudin 2018. Dakwah dan Pembaharuan Pemhaman Islam, Kordinat, Vol.XVII,
No.2.
Al-Alwani, Taha Jabir. “Major Features of the Reform of Islamic Thought and the
Islamization of Knowledge”, International Institut of Islamic Thought di akses
melalui: https://www.jstor.org/stable/pdf/j.ctvkc67q1.10.pdf.
Al-Khateeb, Firas.2014. Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilization From
The Past, United Kingdom: C. Hurst.
Ashimi, Tijani Ahmad. 2016. Islamic Civilization: Factors Behind Its Glory and
Decline, International Journa of Business Economics, Vol 9, (2016). Bisa diakses
melalui: http://ijbel.com/wp-content/uploads/2016/06/KLiISC.
A’yuni, Qurrota. 2018. Membumikan Dakwah Berbasis Komunikasi Profetik Di Era
Media Baru, Mumtaz, Vol.2, No.2.
Bahri, Syamsul Oktariadi. 2016. Konsep Pembaharuan dalam Perspektif Pemikiran
Muhammad Abduh, Al-Murshalah, Vol 2.
Bayat, Asef. 2007. What Is The Real Question, Amsterdam: Amsterdam University
Press.
Demant, Peter. R. 2006. Islam Vs Islamism: The Dilemma of the Muslim World,
United Satate: Preager Publisher.
Diagne, Souleymane Bachir. 2010. Islam and Open Society: Fidelity and Movement
in the Philosophy of Muhammad Iqbal, Afrika: CODESRIA.
Farida, Umma. 2017. Umer Chapra Contribution in Building Muslim Civilization
Journal ADDIN, Vol 11, No.2.
Fuadi, Abdulloh. 2018. Gerakan Sosial Bbaru di Ruang Publik Virtual, Hanifia,
Vol.1, No.1.
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 30
Fromkin, David. 2001. The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the
Modern Middle East, New York: Henry Hold and Company.
Hanafi, Hassan. 2015. Studi Filsafat 1: Pembacaan atas Tradisi Islam Kontemporer,
Yogyakarta: LkiS.
Hashemi, Nader. 2009. Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a
Democratic Theory for Muslim Societies, New York: Oxford University Press.
Hunter , Shireen T. 2008. (Editor), Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and
Modernity, New York: M.E Sharpe.
Ingram, Branon D. 2018. Revival from Below: The Deoband Movement and Global
Islam, California: University of California Press.
Iqbal, Muzaffar.2007. Science and Islam, London: Greeenwood Press.
Lapidus, Ira M.2000. Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I & II, Jakarta: RajaGrafindo
Persada
Masood, Ehsan. 2009. A History Science and Islam, United Kingdom: Icon Books.
Rusydy, Muhammad. 2018. Modernitas dan Globalisasi: Tantangan Bagi Peradaban
Islam, Tajdid, Vol.17, No.1.
Nasr, Sayyed Hossein. 1994. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern,
Bandung: Pustaka.
Muhammedi. 2017. Pemikiran Sosial dan Keagamaan Nurcholish Madjid, Jurnal
Tarbiyah, Vol.24, No.2.
Lahoud, Nelly. 2005. Political Thought in Islam: A Study in Intellectual Bounderies,
New York: ReutledgeCurzon.
Kamali, Mohammad Hasyim. 2014. Tajdid, Islam and Islamisational Renewal in
Islam, ICR, Vol.5, No.1, h.393. bisa diakses melalui:
https://icrjournal.org/index.php/icr/article.
Karagianis, Emmanuele. 2018. The New Political Islam: Human Right, Democracy,
and Justice, Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Keddie, Nikki R. 1968. An Islamic Respons to Imperialism: Political and Rligious
Writings of Sayyid Jamal ad-Din al-Afghani, (Los Angles: University of California
Press.
Khatami, Sayyid Muhammad. “Islam, Dialogue and Civil Society”, diakses melalui:
https://www.al-islam.org/islam-dialogue-and-civil-society-khatami/dialogue-
among-civilizations-and-world-islam
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 31
Khatimi, Sayyid Muhammad, “Reason and Religion” diakses melalui:
https://www.al-islam.org.
Khatab, Sayed Gary D. Bouma. 2007. Democracy in Islam, New York: Routledge.
Koshul, H.C Hillier & Basit Bilal (Editor). 2015. Muhammad Iqbal: Essays on the
Reconstruction of Modern Muslim Thought, Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Kurdi, Sulaiman. 2015. Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh: Tokoh
Pemikir dan Aktivis Politik di Dunia Modern, Syariah, Vol.15, No.1.
Mcintyre. 2018. Lee Post-Truth, London: The MIT Press.
Munir, H. Ahmad. Hassan Hanafi: Kiri Islam dan Proyek At-Turats Wa Tajdid, dapat
diakses melalui: ejournal.unisba.ac.id
Mujibuddin, M. Rina Zuliana. 2019. Post-Sekulersime Islam Populis di Indonesia,
Jurnal Sosiologi Walisongo, Vol.3, No.1.
Nasr, Seyyed Hossein. 1994. Traditional Islam in the Modern World, New York:
Columbia University Press.
Saeed, Abdullah. 2006. Islamic Thought; An Introduction, New York: Routledge.
Rahim, Adibah Binti Abdul. 2015. The Spirit of Muslim Culture According to
Muhammad Iqbal, International Journal of Social Science and Humanity, Vol.5,
No.8,. Dapat diakses melalui: http://www.ijssh.org/papers/547-K015.pdf.
Rahmawati, Alfiana Yuniar. 2020. Menghidupkan Dakwah Profetik Di Era Millenial,
Vol.14, No.1.
Supriadi. 2016. Konsep Pebaruan Sistem Pendidikan Islam Menurut Muhammad
‘Abduh, Kordinat, Vol.XV, No.1.
Syuhada, Kharisma Dimas. 2017. Etika Media di Era Ppost-Truth, Jurnal Komunikasi
Indonesia, Vol 5, No.1.
Qodir, Zuly. 2020. Imagination of Religion and Politics in Media Post Truth Era,
Profetik Jurnal Komunikasi, Vol.13, No.1.
Wahid, Din. 2000. Kiri Islam: Studi atas Gagasan Pembaruan Pemikiran Islam
Hassan Hanafi, Refleksi, Vol.II. No.2.