DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id fileABSTRAK Keterangan saksi yang bersifat testimonium de auditu pada...
Transcript of DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id fileABSTRAK Keterangan saksi yang bersifat testimonium de auditu pada...
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ......................................................................... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ....................................................................... ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ......................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI .............................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ........................................ ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
ABSTRAK .......... ............................................................................................... xiii
ABSTRACT .......................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 13
1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................................ 14
1.4 Orisinalitas Penelitian .......................................................................... 14
1.5 Tujuan Penelitian ................................................................................... 16
1.5.1 Tujuan Umum ............................................................................. 16
1.5.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 17
1.6 Manfaat Penelitian ................................................................................. 17
1.6.1 Manfaat Teoritis ........................................................................... 17
1.6.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 17
1.7 Landasan Teoritis ................................................................................... 18
1.7.1. Asas- Asas Hukum Pembuktian .................................................. 18
1.7.2. Teori Pembuktian ........................................................................ 20
1.7.3. Doktrin Mengenai Pembuktian .................................................... 21
1.8 Metode Penelitian .................................................................................. 21
1.8.1 Jenis Penelitian............................................................................ 22
1.8.2 Jenis Pendekatan ........................................................................ 22
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ................................................................ 23
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .......................................... 24
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................... 25
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM
HUKUM ACARA PERDATA
2.1 Pengertian Pembuktian ................................................................ 26
2.2 Prinsip Hukum Pembuktian ........................................... ............. 29
2.2.1 Pembuktian Mencari dan Mewujudkan
Kebenaran Formil................................................. ............. 29
2.2.2 Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara ..... ............. 32
2.3 Macam- macam Alat Bukti ............................................ ............. 35
2.3.1 Alat Bukti Tertulis atau Surat ........................................... 35
2.3.2 Alat Bukti Saksi ................................................................ 39
2.3.3 Alat Bukti Persangkaan .................................................... 42
2.3.4 Alat Bukti Pengakuan ......................................................... 44
2.3.5 Alat Bukti Sumpah ........................................................... 46
BAB III KETERANGAN SAKSI TESTIMONIUM DE AUDITU
SEBAGAI ALAT BUKTI YANG BERDIRI SENDIRI
DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA
PERDATA
3.1 Pengertian Testimonium De Auditu ............................................. 50
3.2 Testimonium De Auditu diakui Secara Eksepsional ....................... 52
3.3 Variabel Penerapan Testimonium De Auditu ................................. 57
3.3.1 Testimonium De Auditu Secara Umum ditolak
sebagai Alat Bukti ............................................................ 57
3.3.2 Dikonstruksi sebagai Persangkaan ..................................... 58
BAB IV IMPLEMENTASI KETERANGAN SAKSI
TESTIMONIUM DE AUDITU TERHADAP PERKARA
PERDATA
4.1 Penerapan Kesaksian De Auditu pada Perkara Perceraian ............ 61
4.2 Pertimbangan Hakim terhadap Kesaksian De Auditu .................... 68
4.2.1 Penerapan Testimonium De Auditu sebagai
Alat Bukti dalam Yurisprudensi .......................................... 69
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ................................................................................... 75
5.2 Saran ................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
Keterangan saksi yang bersifat testimonium de auditu pada dasarnya
ditolak sebagai alat bukti saksi, karena yang diterangkan saksi dalam persidangan
merupakan pernyataan orang lain. Namun, kesaksian testimonium de auditu dapat
digunakan sebagai alat bukti dalam perkara perdata. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui bagaimana implementasi dari keterangan saksi testimonium de
auditu terhadap perkara perkawinan.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian hukum normatif. Dalam rangka penyempurnaan penelitian ini, penulis
menggunakan data sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.
Berdasarkan hasil penelitian, keterangan saksi Testimonium De Auditu
tidak serta merta ditolak dalam perkara perdata. Dalam kata lain, kesaksian
Testimonium De Auditu bisa dijadikan sebagai alat bukti persangkaan dalam
perkara perceraian, bahkan dalam kondisi tertentu bisa saja dapat diterima sebagai
alat bukti yang berdiri sendiri dengan pertimbangan yang matang dan berpegang
kepada unsur keadilan dan kemanfaatan. Kesaksian de auditu pada pokoknya
tidak terletak pada diterima atau tidaknya sebagai alat bukti, namun terletak pada
sejauh mana kekuatan pembuktian yang melekat padanya. Belum adanya aturan
yang jelas mengenai hal-hal yang bersifat eksepsonal dalam hukum perdata
terhadap penerimaan kesaksian de auditu sebagai alat bukti, sehingga diperlukan
aturan- aturan hukum positif demi menciptakan keadilan dan keseragaman dalam
tata acara peradilan di Indonesia.
Kata Kunci : Pembuktian, Saksi Testimonium de Auditu, Perkara Perdata
ABSTRACT
Wittnesses who are basically testimonium de auditu rejected as evidence
of witnesses, as it explained a witness in the trial is another person's statement.
However, the testimony of the testimonium de auditu can be used as evidence in a
civil lawsuit. The purpose of this research is to know how the implementation of
eyewitness testimonium de auditu lawsuit against marriage.
The methods used in the writing of this thesis is the normative legal
research methods. In order to this refinement of the research, the author uses
secondary data. This research uses the approach of legislation and legal concept
analysis approach.
Based on the results of research, eyewitness Testimonium De Auditu may
not necessarily be denied in the case of civil liability. In other words, the
testimony of the Testimonium De Auditu allowed as evidence persangkaan in the
case of divorce, even under certain conditions may be accepted as evidence in its
own right with careful consideration and cling to the elements of fairness and
expediency. The testimony of de auditu substantially lies not in the accepted or
whether as a means of proof, however, lies in the extent to which the power of
proof attached to it. Yet the existence of clear rules about things that are
eksepsonal in civil law against the acceptance of testimony de auditu as means of
proof, so that the necessary rules of positive law to create uniformity and fairness
in the justice events in Indonesia.
Keywords : Evidentiary, Witness of Testimonium De Auditu, Civil Matters
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hukum acara, khususnya hukum acara perdata, kurang mendapat perhatian
khusus dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang ilmu hukum
lainnya. Hukum acara perdata sebagai salah satu sistem peradilan di Indonesia
memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan hukum lainnya. Demi
tegaknya hukum, khususnya hukum perdata materiil, maka diperlukan hukum
perdata formil.
Hukum perdata materiil tidak mungkin berdiri lepas dari Hukum Acara
Perdata, sebaliknya Hukum Acara Perdata tidak mungkin berdiri sendiri lepas dari
hukum perdata materiil, sehingga kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain
dan memiliki keterkaitan dalam perannya untuk menegakan hukum di dalam
masyarakat.1 Dengan mengetahui perbedaan dan persamaan antara hukum perdata
materiil dan hukum perdata formil, akan lebih mudah untuk memahami pengertian
dari pada hukum acara perdata itu sendiri sebagai bagian dari hukum pada
umumnya.
Hukum materiil sebagaimana terjelma dalam undang-undang maupun
yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang
bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.
Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau
1 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata,
Kencana, Jakarta, h.6
diketahui saja melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati.2 Pada intinya
masyarakat didalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menerapkan hukum
itu sendiri sebagai suatu keseluruhan yang tediri dari bagian-bagian yang saling
kait mengait satu sama lainnya.
Pelaksanaan dari pada hukum materiil, khususnya hukum materiil perdata
dapatlah berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang bersangkutan
tanpa melalui pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi sering terjadi bahwa hukum
perdata materiil itu dilanggar sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah
gangguan keseimbangan kepentingan-kepentingan didalam masyarakat. Dalam
hal ini maka hukum perdata materiil yang telah dilanggar itu haruslah ditegakkan.
Untuk melaksanakan hukum perdata materiil terutama hal ada pelanggaran
atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata materiil dalam hal
tuntutan hak maka diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain
disamping hukum perdata materiil itu sendiri, peraturan hukum inilah yang
disebut hukum formal atau Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim.3 Maka dari
itu hakim sebagai stabilisator hukum harus sungguh-sungguh menguasai Hukum
Acara Perdata.4 Kurangnya pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya
2 Sudikno Mertokususmo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
h.1 3 Ibid. h.2
4 Sunarjati Hartono, CFG, 1975, Peranan Peradilan dalam Rangka Pembinaan dan
Pembaharuan Hukum Nasional, Binacipta, Jakarta, h.8
atau Hukum Acara Perdata pada khususnya atau tidak menguasainya hukum acara
merupakan salah satu faktor penghambat jalannya persidangan.
Menurut Prof. Dr. R.M Soedikno Mertokusumo, S.H mengemukakan
bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim.
Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.5
Dengan memperhatikan apa yang telah dikemukakan oleh sarjana hukum diatas
bahwa hukum acara perdata merupakan serangkaian aturan-aturan hukum bagi
warga masyarakat yang ingin mempertahankan keperdataannya dengan
perantaraan hakim dimuka persidangan pengadilan, dalam rangka melaksanakan
aturan-aturan hukum materiil.
Sebagai salah satu sistem peradilan di Indonesia, hukum acara perdata
bertujuan untuk menyelesaikan pertentangan kepentingan yang sering terjadi di
dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah mengenai sengketa perkawinan,
perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri. Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dapat membentuk suatu
hubungan didalam rumah tangga yang harmonis.
Untuk mencapai ketenangan, kedamaian dan keharmonisan dalam rumah
tangga, harus memiliki prinsip bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan yang
5 Sudikno Mertokususmo, op.cit, h.2
kuat dan harus dijaga keutuhannya hingga selamanya. Bukan dalam waktu
tertentu saja, tetapi perkawinan itu harus dilandasi atas dasar ketulusan, kerelaan,
dan keikhlasan hati sehingga tujuan dari sebuah perkawinan yang langgeng
hingga akhir hayat dapat terwujud.
Untuk mempertahankan suatu hubungan didalam rumah tangga sangatlah
berat dan penuh perjuangan untuk mempertahankannya. Pada dasarnya benturan-
benturan yang sering terjadi didalam rumah tangga bisa dihindari dan diatasi
apabila suami dan istri memliki prinsip saling mengerti dan memahami
kekurangan ataupun kelebihan antara satu sama lain.
Disaat permasalahan didalam rumah tangga sudah terjadi dengan
menimbulkan suatu keretakan dalam hubungan tersebut. Hubungan suami istri
diliputi oleh berbagai hal yang tidak baik, saling mencaci, membenci dan saling
menyakiti satu sama lain baik dengan tindakan ataupun dengan ucapan-ucapan
yang tidak pantas untuk dikatakan. Sehingga hubungan suami istri tersbut sudah
berada diambang kehancuran apabila tidak dilakukannya suatu penyelesaian
antara kedua belah pihak secara pribadi didalam rumah tangga. Dalam UU No. 1
Tahun 1974 pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”
Dalam menyelesaikan suatu perkara perdata dipengadilan, pembuktian
merupakan tahap yang spesifik dan menetukan.6 Dikatakan spesifik, karena pada
tahap pembuktian ini para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk
menunjukan fakta-fakta hukum yang menjadi titik pokok sengketa. Sedangkan
disebut sebagai tahap menentukan, dikarenakan hakim dalam proses mengadili
dan memutus suatu perkara tergantung dari pembuktian para pihak di persidangan.
Oleh karena itu maka sub sistem pembuktian merupakan keseluruhan
tentang pembuktian yang tersusun secara teratur antara yang satu dengan yang
lainnya dan bertujuan untuk dapat menentukan terbukti atau tidaknya suatu
peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak di persidangan.
Pembuktian secara hukum menyangkut tidak hanya benda-benda mati
untuk dijadikan sebagai alat bukti tetapi juga menyangkut tingkah laku manusia
yang harus dinilai termasuk proses. Pada dasarnya pembuktian merupakan proses
untuk menentukan substansi atau hakekat tentang adanya fakta-fakta yang
diperoleh melalui pemikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang
sebelumnya kurang jelas menjadi fakta-fakta yang jelas.
Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari
kebenaran yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa
bukti tertulis, kesaksisan, atau pengakuan yang diajukan oleh pihak-pihak yang
bersengketa bisa saja tidak benar, palsu atau dipalsukan. Sudikno Mertokusumo
mengemukakan pendapatnya mengenai masalah pembuktian yaitu :
6 Lilik Mulyadi, 1999, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan
Indonesia, Djambatan, Jakarta, h.150.
“…Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti
memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak
dipersidangan….”7
Kepastian dan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan tersebut
sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang
bersangkutan. Konsekuensi dari kebenaran itu baru dikatakan tercapai apabila
terdapat kesesuaian antara kesimpulan dari hakim dengan peristiwa yang terjadi.
Dan apabila yang terjadi berbanding terbalik, berarti kebenaran itu tidak tercapai.
Setelah pemeriksaan suatu perkara dipersidangan dianggap selesai dan para pihak
yang bersengketa tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan
memberikan putusannya. Putusan yang dijatuhkan diupayakan agar tepat dan
tuntas. Secara obyektif putusan hakim yang bersifat tepat dan tuntas berarti bahwa
putusan tersebut akan dapat diterima oleh pihak penggugat ataupun pihak
tergugat.
Pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat
penting dan sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan tersebut makin rumit,
dikarenakan pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi peristiwa
atau kejadian di masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun
kebenaran yang dicari bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate absolute),
tetapi kebenaran yang bersifat relatif. Untuk mencari kebenaran yang demikian
7 Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 137
tetap menghadapi kesulitan.8 Pada prinsipnya kesulitan menemukan dan
mewujudkan kebenaran dikarenakan fakta dan bukti yang diajukan para pihak
tidak dianalisis dan dinilai oleh ahli dan kedudukan hakim dalam proses
pembuktian sesuai dengan sistem adversarial adalah lemah dan pasif. Tidak aktif
dalam mencari dan menemukan kebenaran diluar apa yang diajukan dan
disampaikan para pihak kedalam persidangan.
Dalam hukum acara atau hukum formil bertujuan untuk memelihara dan
mempertahankan hukum materiil. Secara formill hukum pembuktian mengatur
bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat dalam RBg (Rechtglement
Buitengewesten) dan HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement). Sedangkan
secara materiil, hukum pembuktian itu mengatur bagaimana diterima atau
tidaknya pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu serta kekuatan pembuktian
dari alat-alat bukti tersebut di persidangan.
Oleh karenanya sudah menjadi communis opinio bahwa membuktikan
berarti memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa
tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus
mengkonstatir peristiwa, mengkualifisirnya dan kemudian mengkonstituirnya
maka tujuan dari pada pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas
pembuktian tersebut.9 Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus
dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui
8 M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.498.
9 Sudikno Mertokusumo, Op.cit. h.136
sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian,
tidak hanya pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya.
Dalam menyelesaikan perkara perdata, yang menjadi salah satu tugas
hakim adalah memeriksa apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan
benar-benar ada atau tidak. Hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang
bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian
bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk
menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak dan menetapkan putusan
berdasarkan hasil pembuktian. Dalam melaksanakan tugasnya, hakim terikat pada
alat-alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan diajukan
oleh para pihak di persidangan.
Dalam Hukum Acara Perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah,
yang diatur oleh undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh mengambil
putusan berdasarkan alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang. Menurut
ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg, 1866 KUH Perdata ada lima macam alat bukti
dalam pembuktian10
, yaitu :
1. Alat bukti tertulis atau surat;
2. Alat bukti saksi;
3. Alat bukti persangkaan;
4. Alat bukti pengakuan; dan
5. Alat bukti sumpah.
10
Abdulkadir Muhhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.133
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH
Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam
segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat
bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila
UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah
alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR
merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila
pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun
telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat
relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai
dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan
tindakan unproffesional conduct.
Dalam perkara perdata, alat bukti saksi mempunyai kedudukan yang
sangat penting karena saksi menerangkan apa yang dialaminya sendiri, apa yang
dirasakamn dan apa yang dilihatnya secara langsung. Disinilah nilai keutamaan
dari alat bukti saksi. Pada Pasal 306 RBg dan Pasal 1905 KUH Perdata ditentukan
bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa suatu alat bukti lain, tidak dapat
diterima sebagai saksi atau dalam bahasa latinnya unus testis nullus testis. Ini
artinya bahwa kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidak boleh
dianggap sempurna oleh hakim kecuali disertai alat bukti lainnya.
Tidak semua orang dapat diajukan sebagai saksi dalam pemeriksaan suatu
perkara. Menurut Pasal 145 HIR (Herzeiene Indonesisch Reglement) dan pasal
172 Rbg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) menyebutkan bahwa :
(1) Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :
1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis
lurus;
2. Istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai;
3. Anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka
sudah berusia lima belas tahun;
4. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.
(2) Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak
sebagai saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata
kedua pihak yang berperkara atau suatu perjanjian kerja.
(3) Orang tersebut dalam pasal 146 pada nomor 1 dan 2, tidak berhak
mengundurkan diri dari tugas memberikan kesaksian dalam perkara
tersebut dalam ayat di atas ini.
(4) Pengadilan negeri berkuasa untuk melakukan pemeriksaan tanpa sumpah
terhadap anak-anak tersebut pada ayat pertama atau orang gila yang
kadang-kadang ingatannya terang; tetapi keterangan mereka itu hanya
boleh dipandang sebagai sebagai pewelasan saja. (KUHPerd. 1910, 1912;
Sv. 145, 147, 149; IR.274.278.)
Menurut dari ketetuan pasal- pasal tersebut mereka ini dapat ditolak
menjadi saksi, kecuali untuk perkara kedudukan sipil atau dalam sengketa
hubungan kerja. Ada juga beberapa orang tertentu atas permintaannya, dapat
dibebaskan untuk menjadi saksi. Mereka itu ditentukan dalam Pasal 146 HIR –
Pasal 174 RBg yang berbunyi :
(1) Yang boleh mengundurkan diri dari member kesaksian adalah :
(KUHPerdata 1909; Sv 145, 148, 274.)
1. Saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki maupun
perempuan;
2. Keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan
perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;
3. Sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya
yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya
tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena kedudukan,
pekerjaan atau jabatan yang itu. (IR.277.)
(2) Pengadilan negerilah yang akan menimbang benar tidaknya keterangan
seorang, bahwa ia diwajibkan menyimpan rahasia. (Sv. 148; IR. 149, 277.)
Jadi dalam hal ini yang dapat diajukan sebagai saksi untuk didengar
keterangannya dalam sidang pengadilan adalah orang-orang selain yang
disebutkan diatas kecuali bagi mereka yang mempunyai hak mengundurkan diri
dan keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi itu mempunyai kedudukan
pembuktian yang sama dengan alat bukti yang lainnya.
Mengenai alat bukti saksi yang keterangannya bersifat testimonium de
auditu bahwa berdasarkan pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUHperdata yang
menyatakan bahwa tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana
saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh
dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian. Jadi keterangan yang
diberikan harus berdasarkan sumber yang jelas dan sumber yang dibenarkan
hukum harus berupa pengalaman, penglihatan, atau pendengaran yang bersifat
langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara
yang disengketakan para pihak.
Pembuktian dengan saksi sangat penting artinya, terutama dalam
mengadili sengketa perceraian. Tugas hakim dalam proses pemeriksaan perceraian
sebelum suatu perkara diputus harus benar-benar meyakini dengan pasti apakah
saksi yang diperiksa dalam persidangan telah memahami dengan baik apa yang
disaksikannya. Sehingga hakim dapat dengan mudah memberi pertimbangan
hukum didalam menjatuhkan putusan. Kedudukan saksi dalam perkara perceraian
sangat penting bagi hakim dalam mempertimbangkan putusan yang akan
dijatuhkan. Sehingga jika keterangan saksi yang kurang jelas, tidak tahu dengan
pasti permasalahan yang disengketakan dapat dikatakan sebagai keterengan yang
lemah (testimonium de auditu).
Meskipun demikian, saksi de auditu secara eksepsional dapat dibenarkan
sebagai alat bukti.11
Salah satu alasan eksepsional dapat dibenarkan dalam
Common Law, apabila saksi utama yang melihat, mendengar dan mengalami
sendiri tersebut meninggal dunia, dan sebelum dia meninggal menjelaskan segala
sesuatu peristiwa itu kepada seseorang. Dan peristiwa yang dipermasalahkan tidak
11 Murphy, 1995, On Envidence. International ISE Students Edition, London, h.172
dapat terungkap tanpa adanya penjelasan dari seseorang yang benar-benar
mengetahuinya.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengkaji permasalahan yang sering terjadi di masyarakat, khususnya dalam
sengketa perceraian dimana dalam sengketa tersbut terjadi permasalahan didalam
rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dan kedua belah
pihak lebih memilih untuk menempuh jalur hukum. Dimana kebenaran peristiwa
yang terjadi antara kedua belah pihak tidak terdapat saksi yang benar-benar murni
menyaksikan, mendengar ataupun mengalami sendiri dari permaslahan rumah
tangga tersebut. Melainkan hanya ada saksi-saksi yang bersifat testimonium de
auditu. Karena saksi-saksi tersebut hanya mendengar keterangan dari yang
bersangkutan dalam perkara perceraian tersebut.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengangkatnya dalam bentuk karya tulis yang judul “Kekuatan Pembuktian
Keterangan Saksi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Dalam
Penyelesaian Perkara Perdata”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat beberapa
permasalahan akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Apakah keterangan saksi testimonium de auditu dapat dibenarkan sebagai
alat bukti yang berdiri sendiri dalam proses penyelesaian perkara perdata?
2. Bagaimanakah implementasi dari keterangan saksi testimonium de auditu
terhadap perkara perdata?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan
mengenai materi yang diatur didalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah
dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun
ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya
mengenai sejauh mana testimonium de auditu dapat dibenarkan
sebagai alat bukti.
2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi
pembahasan mengenai implementasi dari testimonium de auditu dalam
perkara perdata.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis di Kepustakaan Fakultas
Hukum Universitas Udayana maka penelitian dengan judul Kekuatan Pembuktian
Keterangan Saksi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Dalam Penyelesaian
Perkara Perdata belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya.
Namun pada Universitas lain ditemukan penelitian sejenis yang terkait dengan
kekuatan alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata, telah dilakukan
penelusuran diantaranya sebagai berikut:
1. Menemukan skripsi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Salatiga,
pada tahun 2013, atas nama Muhamad Fuad Riza, dengan judul “Kekuatan
Alat Bukti Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perceraian
DiPengadilan Agama”12
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pendapat para hakim terhadap penyelesaian perkara
perceraian dengan alat bukti testimonium de auditu dipengadilan
negeri salatiga?
b. Faktor-faktor apa saja yang dijadikan dasar membenarkan
testimonium de auditu sebagai alat bukti?
2. Menemukan skripsi di Fakultas Syariah Ahwal Syakhsiyyah, Semarang,
pada tahun 2010, atas nama Fatwa Khidati Zulfahmi, dengan judul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekuatan Kesaksian Testimonium De
Auditu Dalam Hukum Acara Perdata”13
dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
a. Bagaimana kekuatan kesaksian testimonium de auditu menurut
hukum perdata?
b. Bagaimana kekuatan kesaksian testimonium de auditu ditinjau dari
hukum islam?
12 Muhamad Fuad Riza, 2013, “Kekuatan Alat Bukti Testimonium De Auditu Dalam
Perkara Perceraian DiPengadilan Agama”, tersedia dalam URL : http://perpus.iainsalatiga.ac.id/
diakses tanggal 5 Juni 2016
13
Fatwa Khidati Zulfahmi,2010, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekuatan Kesaksian
Testimonium De Auditu Dalam Hukum Acara Perdata”,tersedia dalam URL :
http://www.distrodoc.com/ diakses tanggal 5 Juni 2016
Dengan melihat beberapa judul dan pembahasan yang ada dalam dua judul
tersebut maka menurut penulis tidak ada kesamaan yang signifikan. Dengan hal
tersebut maka judul penelitian ini berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa
penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari
segi isinya.
1.5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1.5.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya
dalam bidang ilmu hukum.
2. Untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna mencapai
derajat sarjana hukum dalam ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
3. Untuk melatih diri dalam pembuatan karya ilmiah sehingga
dengan penulisan itu diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan dan daya nalar terhadap permasalahan yang ada.
4. Sebagai karya nyata sekaligus merupakan suatu pertanggung
jawaban bagi saya untuk mengamalkan Ilmu Pengetahuan
Hukum.
1.5.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejauh mana keterangan saksi testimonium
de auditu dapat dibenarkan sebagai alat bukti yang berdiri
sendiri dalam proses penyelesaian perkara perdata.
2. Untuk mempertegas penerapan dari keterangan saksi
testimonium de auditu terhadap perkara perdata.
1.6. Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut :
1.6.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai refrensi tambahan
untuk mengembangkan ilmu hukum secara umum, khususnya di bidang
Hukum Acara Peradilan mengenai tinjauan yuridis terhadap kekuatan
pembuktian keterangan saksi testimonium de auditu sebagai alat bukti
dalam penyelesaian perkara perdata.
1.6.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, diharapkan dapat mengetahui bagaimana kekuatan
pembuktian alat bukti keterangan saksi testimonium de auditu dalam
perkara perdata dan bagaimana penerapan dari keterangan saksi
testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam perkara perceraian.
1.7. Landasan Teoritis
Pengkajian mengenai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
Testimonium De Auditu sebagai alat bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata,
ada beberapa asas-asas, teori-teori dan doktrin mengenai pembuktian yang nanti
digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis masalah
ini.
1.7.1. Asas-Asas Hukum Pembuktian
Didalam ruang lingkup hukum pembuktian perdata dikenal asas-
asas tersendiri yang memiliki perbedaan dengan hukum pembuktian
lainnya. Hukum acara perdata sendiri memiliki karakteristik tersendiri
selaku bagian dari hukum privat. Menurut Achmad Ali dan Wiwie Heryani
asas-asas dalam hukum pembuktian dapat dibagi menjadi enam, 14
antara
lain :
a. Asas Audi Et Alteram Partem
Asas ini menjelaskan bahwa hakim tidak boleh memberi putusan
dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar dari kedua belah
pihak. Dengan asas Audi Et Alteram Partem hakim harus adil dalam
memberikan beban pembuktian kepada pihak yang berperkara, agar
kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua belah pihak tetap
sama, tidak pincang dan berat sebelah.
14 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, op.cit, h.61
b. Asas Ius Curia Novit
Asas ini menjelaskan bahwa hakim itu harus tahu akan hukumnya
perkara yang diperiksanya. Hakim sama sekali tidak boleh memutus
perkara dengan beranggapan bahwa tidak mengetahui hukumnya. Para
pihak didalam pembuktian hanya wajib untuk membuktikan fakta yang
dipersengketakan, sedangkan pembuktian masalah hukumnya adalah
menjadi kewajiban dari pada hakim.
c. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria causa
Asas ini berarti bahwa tidak seorang pun yang boleh menjadi saksi
dalam perkaranya sendiri. Jadi, baik penggugat maupun tergugat sama
sekali tidak dibolehkan sekaligus menjadi saksi didalam pembuktian
perkara mereka sendiri. Saksi sebagai alat bukti harus didatangkan
orang lain yang bukan pihak di dalam perkara yang bersangkutan.
d. Asas Ultra Ne Petita
Asas ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim hanya
boleh mengabulkan sesuai yang dituntu. Hakim dilarang mengabulkan
lebih daripada yang dituntut oleh penggugat. Asas Ultra Ne Petita
dalam hukum pembuktian ini membatasi hakim perdata untuk
“preponderance of evidence” hanya terikat pada alat bukti yang sah.
e. Asas De Gustibus Non Est Disputandum
Asas ini sebenarnya suatu asas yang aneh, karena diterapkannya di
dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera tidak dapat
dipersengketakan. Didalam hukum pembuktian merupakan hak mutlak
dari pada pihak tergugat.
f. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet
Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan
banyak hak dari pada yang ia miliki.
1.7.2. Teori Pembuktian
Didalam menilai kekuatan pembuktian, hakim dapat bertindak
bebas atau terikat oleh undang-undang, untuk itu terdapat 3 teori, yakni :
a. Teori Pembuktian Bebas.
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian sepenuhnya
diserahkan kepada pertimbangan hakim. 15
b. Teori Pembuktian Negatif
Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat
bagi hakim didalam pembuktian. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat
larangan-larangan bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi
kebebasan hakim didalam pembuktian.16
15 ibid, h.87
16
Hari Sasangka, 2005, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa
dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung, h. 23
c. Teori Pembuktian Positif
Dalam teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim. Selain berupa larangan-larangan juga berupa
perintah-perintah.17
1.7.3. Doktrin Mengenai Pembuktian
a. R. Supomo mengemukakan bahwa pembuktian adalah membenarkan
hubungan dengan hukum. Misalnya hakim mengabulkan tuntutan
penggugat, maka pengabulan ini berarti bahwa hakim menarik
kesimpulan bahwa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai
hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat adalah benar.
Intinya adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat bukti
yang sah.18
b. R. Subekti mengemukakan bahwa bukti berarti sesuatu untuk
meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Jadi
pembuktian menurut R. Subekti ialah perbuatan yang dilakukan untuk
meyakinkan kebenaran suatu dalil dimuka pengadilan.19
1.8. Metode Penelitian
Hakekat keilmuan dari ilmu hukum merupakan kajian yang menarik
karena terdiri dari dua unsur yang saling berkaitan yakni fakta kemasyarakatan
17 Hari Sasangka, loc.cit.
18 R. Supomo, 1985, Hukum Acara Perdata Pengadian Negeri, Fasco, Jakarta, h.85
19
R. Subekti, 1978, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h.5
dan kaidah hukum. Disinilah peran penelitian metode hukum untuk
mempertanggungkan sifat ilmiah ilmu hukum sebagai ilmu yang mandiri.
Adapun metodelogi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Peter Mahmud Marzuki
mengatakan penelitian hukum normatif yaitu :
“… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab
permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif
dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru
bagi preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi….”20
Artinya permasalahan tujuan hukum tidak dapat dihindari akan
hadir dalam upaya menjembatani apa yang senyatanya ada berhadapan
dengan apa yang seharusnya. Untuk itu penulis menggunakan pendekatan-
pendekatan tertentu, dari sejumlah pendekatan yang dikenal dalam
penelitian hukum normatif.
1.8.2. Jenis pendekatan
Dalam penelitian karya tulis ini, penulis menggunakan 2 jenis
pendekatan, yaitu :
20
Peter Mahmud Marzuki dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.34.
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statutory Approach)
Penulis menelaah undang- undang maupun peraturan yang
terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani. Peraturan
yang dimaksud dalam skripsi ini adalah dari aspek instrumen
hukum nasional, yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, RBG (Rechtsreglement voor de
Buitengewesten), HIR (Herziene Indonesisch Reglement), dan
Rv (Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering).
2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical and
Conceptual Approach)
Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and
conceptual approach). Penulis menelaah konsep-konsep
hukum yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum
primer maupun sumber lain yang terkait yang relevan dengan
isu yang sedang ditangani. Melalui pendekatan peraturan ini
akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan selanjutnya
dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi
ini diperoleh dari :
1. Bahan hukum primer, yakni bahan-bahan hukum yang
digunakan sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum primer ini bersifat
otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil
tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang
berwenang untuk itu. Bahan hukum primer yang digunakan,
yaitu :
a. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
b. KUHPerdata
c. RBG (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)
d. HIR (Herziene Indonesisch Reglement)
e. Rv (Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering)
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang
dapat berupa peraturan perundang-undangan, hasil penelitian,
buku-buku, karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum
yang termuat dalam media massa dan berita di internet yang
ada hubungannya dengan masalah yang dibahas.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ditelusuri
menggunakan metode bola salju (snow ball method) dan teknik sistem
kartu (card system) yaitu metode dimana bahan hukum dikumpulkan
melalui beberapa literatur awal kemudian dari 3 (tiga) literatur kemudian
dikembangkan menjadi beberapa literatr lainnya yang berkaitan dan
mendukung ketiga literature awal sehingga mendapatkan bahan-bahan
hukum yang dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang
diangkat dalam penulisan karya ilmiah ini.
Bahan hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan dengan
menggunakan sistem kartu (card sistem). Dalam penelitian ini bahan
hukum primer dicatat dalam kartu kutipan adalah mengenai substansi yang
terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam kartu kutipan atas
bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang
dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas
pendapatnya. Selanjutnya bahan sekunder yang diperoleh melalui studi
kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini,
yaitu:
- Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum
maupun non-hukum.
- Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap
suatu pandangan.
- Teknik Konstruksi, berupa pembentukan konstruksi yuridis
dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi
- Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran
hukum.