DAFTAR ISI -...
Transcript of DAFTAR ISI -...
DAFTAR ISI
BAB 1 PENGANTAR MANAJEMEN
1.1 Pengertian dan Pentingnya Manajemen ………… 1
1.2 Tujuan Manajemen ………………………………… 3
1 3 Peran dan Fungsi Manajemen …………………….. 8
1.4 Perkembangan Teori Manajemen ………………… 10
1.5 Perbandingan Model Manajemen11 ……………… 15
BAB 2 MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
2.1 Dimensi Pelayanan Kesehatan ……………………. 19
2.2. Teori Manajemen Pelayanan Kesehatan ………... 21
2.3 Manajemen Dalam Pelayanan Kesehatan ……….. 26
2.4 Faktor Mempengaruhi Kualitas Pelayanan
Kesehatan ………………………………………….. 27
BAB 3 MANAJEMEN RUMAH SAKIT DAN PUSKESMAS
3.1 Definisi Rumah Sakit ………………………………. 31
3.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit …………………... 33
3.3 Jenis-jenis Rumah Sakit ……………………………. 36
3.4 Jenis Pelayanan dan Standar Selayanan
Rumah Sakit ………………………………………… 40
3.5 Mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit ……. 42
3.6 Definisi Puskesmas ……………………………….... 47
3.7 Fungsi Puskesmas …………………………………. 50
3.8 Ruang Lingkup dan Wilayah Kerja Puskesmas … 52
3.9 Manajemen Layanan Puskesmas …………………. 53
3.10 Tujuan Program Manajemen Puskesmas ………. 53
3.11 Penilaian Mutu Pelayanan Kesehatan di
Puskesmas ………………………………………… 56
BAB 4 KONSEP KUALITAS DALAM PELAYANAN
KESEHATAN
4.1 Teori Kualitas ………………………………………. 59
4.2 Definisi Kualitas Pelayanan ………………………. 65
4.3 Dimensi Umum Kualitas Pelayanan ……………... 71
4.4 Pengertian Kualitas Pelayanan Kesehatan ………. 75
4.5 Manfaat Mutu Pelayanan Kesehatan …………….. 78
4.6 Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan ………….. 79
4.7 Standar Mutu Pelayanan Kesehatan ……………... 81
4.8 Bentuk Program dan Menjaga mutu Pelayanan ... 85
4.9 Hubungan kualitas pelayanan Terhadap
Kepuasan ……………………………………………. 86
BAB 5 MODEL KUALITAS PELAYANAN, KEPUASAN DAN
KESETIAAN
5.1 Definisi Kepuasan Pasien …………………………. 89
5.2 Teori Kepuasan …………………………………….. 92
5.3 Dimensi Kepuasan …………………………………. 98
5.4 Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Kepuasan … 101
5.5 Hubungan Kepuasan dengan Kesetiaan ………… 103
5.6 Definisi Kesetiaan Pasien ………………………….. 106
5.7 Teori Kesetiaan ……………………………………... 107
5.8 Dimensi Kesetiaan …………………………………. 110
5.9 Hubungan kualitasTerhadap Kesetiaan …………. 113
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………. 116
1
BAB 1 PENGANTAR MANAJEMEN
1.1 Pengertian dan pentingnya manajemen
Tanpa kita sadari apa yang kita laukan dalam
kehidupan merupakan suatu proses secara alamiah atau
secara bawah sadar sudah menjadi bagian dari langkah-
langkah yang terencana. Sehingga dalam kegiatan apa saja
atau aktivitas apa saja, agar kegiatan tersebut dapat mencapai
tujuan dengan efektif diperlukan pengaturan yang baik.
Pengaturan yang baik memerlukan manajemen untuk
mengkoordinasi sumber daya manusia dan material kearah
pencapaian tujuan. Kita sering berbicara tentang orang yang
memanage urusan-urusan, konotasi yang bisa menunjukkan
usaha kelompok. Empat unsur dasar yang dapat
diidentifikasikan adalah kearah tujuan, melalui orang-orang,
via teknik dan dalam organisasi.
Bila kita mempelajari literatur manajemen, maka akan
ditemukan bahwa istilah manajemen mengandung tiga
perngertian, yaitu pertama, manejemen sebagai suatu proses,
kedua manajemen sebagai kolektifitas orang-orang yang
melakukan aktivitas manajemen dan ketiga manajemen
sebagai suatu seni dan sebagai ilmu.
Menurut pengertian yang pertama, yakni manajemen sebagai
suatu proses, berbeda-beda definisi yang diberikan oleh ahli.
Adapun beberapa pengertian manajemen adalah sebagai
berikut :
2
a. Manajemen adalah suatu proses dengan nama pelaksanaan
suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi
(Encyclopedia of The Social Science).
b. Manajemen adalah pencapaian untuk mencapai sesuatu
melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha
individu untuk mencapai tujuan bersama. (Haiman).
c. Manajemen adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan
terlebih dahulu dengan mempergunakan kegiatan orang
lain. (George R. Terry).
d. Manajemen adalah setiap kerjasama dua orang atau lebih
guna mencapai tujuan bersama dengan cara seefektif dan
seefisien mungkin. (Kusnadi).
Bila kita lihat empat pengertian manajemen diatas, maka
akan segera muncul bahwa empat pokok dalam definisi-
definisi tersebut, yaitu yang pertama yaitu tujuan yang ingin
dicapai; kedua, tujuan yang ingin dicapai dengan
mempergunakan kegiatan orang lain; ketiga, kegiatan-
kegiatan orang lain itu harus dibimbing dan diawasi;
keempat, adanya kerjasama antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya.
Menurut pengertian yang pertama dan kedua
manajemen adalah kolektivitas orang-orang yang melakukan
kegiatan atau aktivitas manajemen. Jadi atau dengan kata lain,
segenap orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen
tunggak yang disebut dengan istilah manajer. Manajer adalah
pejabat yang bertanggungjawab atas terselenggaranya
aktivitas-aktivitas manajemen agar unit yang dipimpinnya
tercapai dengan menggunakan bantuan orang lain.
3
Menurut pengertian yang ketiga adalah manajemen
adalah seni atau suatu ilmu, mengenai pendapat ini belum
ada yang menjelaskan keseragaman pendapat, segolongan
megatakan bahwa manajemen adalah seni, golongan lain
mengatakan bahwa manajemen adalah suatu ilmu.
Sesungguhnya kedua pendapat itu adalah sama mengandung
kebenarannya. Chester I Barnard dalam bukunya The Funcition
of The Executive mengakui bahwa definisi manajemen itu
adalah suatu seni atau ilmu, demikian pula Hendry Fayol, Alfin
Brown, Harold Koontz dan Cyrril O’ Donnel bahwa manajemen
itu adalah seni atau suatu ilmu.
Manajemen menurut pengertian keempat adalah
kerjasama minimal dilakukan oleh dua orang atau lebih.
Karena kerjasama minimal dilakukan oleh dua orang maka
tentunya dua orang tersebut mempunyai keinginan yang
dicapainya. Oleh karena itu, tidak ada manajemen jika tidak
ada suatu kerjasama antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya.
Memperhatikan pengertian manajemen yang pertama serta
kenyataannya bahwa manajemen itu adalah suatu ilmu
sekaligus seni, maka manajemen itu dapat didefinisikan
sebagai “seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian,
penyusunan, pengarahan dan pengawasan sumber daya untuk
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan”.
1.2 Tujuan manajemen
Pada dasarnya setiap aktivitas atau kegiatan selalu
mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan individu
adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
4
berupa materi dan nonmateri dari hasil kerjanya. Tujuan
organisasi adalah mendapatkan laba(business organization)
atau pelayanan/ pengabdian (public organization) melalui
proses manajemen itu.
Pengertian antara tujuan (objectives) dengan sasaran
(goals) mempunyai perbedaan yang gradual saja. Tujuan
maknanya hasil yang umum (generalis), sedangkan sasaran
berarti hasil khusus (spesialis). Tujuan adalah sesuatu hasil
yang ingin dicapai melalui proses manajemen. Tujuan adalah
hasil yang diinginkan yang melukiskan skop yang jelas, serta
memberikan arah kepada usaha-usaha seorang manajer (G. R.
Terry). Jadi mencakup 4 pokok, yaitu : 1. Tujuan, 2. Skop, 3.
Kepastian, dan 4. Arah.
Sasaran (goals) adalah sesuatu hasil (khusus) yang ingin
dicapai melalui proses manajemen.
Misalnya pertandingan bola kaki, jika hanya ingin
menang (sasaran = goals), maka akan dicapai seperti main
kasar, tidak sportif, dan menghalalkan segala cara. Tetapi jika
ingin mencapai tujuan (objectives), maka akan diperoleh
dengan bermain sportif dan cantik sehingga memuan para
penontonnya. Jadi tujuan tercapai, dan para penonton
(konsumen) merasa puas.
Tujuan yang ingin dicapai selalu ditetapkan dalam suatu
rencana (plan), karena itu hendaknya tujuan ditetapkan “jelas,
realistis, dan cukup menantang” untuk diperjuangkan
berdasarkan pada potensi yang dimiliki. Jika tujuan jelas,
realistis, dan cukup menantang maka usaha-usaha untuk
mencapainya cukup besar. Sebaliknya, jika tujuan ditetapkan
terlalu mudah atau terlalu muluk maka motivasi untuk
5
mencapainya rendah. Jadi, semangat kerja karyawan akan
termotivasi, kalau tujuan ditetapkan jelas, realistis dan cukup
menantang untuk dicapainya.
Dalam menetapkan tujuan ini harus didasarkan da
analisis “data, informasi, dan potensi” yang dimiliki serta
memilihnya dari alternative-alternatif yang ada. Tujuan
organisasi dt diketahui dalam anggaran dasar (AD) dan
anggaran rumah tangga(ART)nya.
Tujuan-tujuan ini dapat kita kaji dari beberapa sudut dan
dibedakan sebagai berikut :
1. Menurut titpe-tipenya, tujuan dibagi atas :
a. Profit objectives, bertujuan untuk mendapatkan laba bagi
pemiliknya
b. Service objectives, bertujuan untuk memberikan
pelayanan yang baik bagi konsumen dengan
mempertinggi nilai barang dan jasa yang ditawarkan
kepada konsumen
c. Social objectives, bertujuan meningkatkan nilai guna yang
diciptakan perusahaan untu kesejateraan masyarakat
d. Personal objectives, bertujuan agar karyawan secara
individual economics, social psychological mendapat
kepuasan di bidang perkerjaannya dalam perusahaan.
2. Menurut prioritasnya, tujuan dibagi atas :
a. Tujuan primer
b. Tujuan sekunder
c. Tujuan individual
d. Tujuan sosial
3. Menurut jangka waktunya, tujuan dibagi atas :
a. Tujuan jangka panjang
6
b. Tujuan jangka menengah
c. Tujuan pendek
4. Menurut sifatnya, tujuan dibagi atas :
a. Management objectives, tujuan dari segi efektif ya harus
ditimbulkan oleh manajer
b. Managerial objectives, tujuan yang harus dicapai daya
upaya atau kreativitas-kreativitas yang bersifat manajerial
c. Administratives objectives, tujuan-tujuan yang
pencapaiannya memerlukan administrasi
d. Economics objectives, tujuan yang bermaksud memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan memerlukan efisiensi untuk
pencapaiannya
e. Social objectives, tujuan suatu tanggungjawab, terutama
tanggung jawab moral
f. Technical objectives, tujuan berupa detail teknis, detail
kerja, dan detail karya
g. Work objectives, yaitu tujuan-tujuan yang merupakan
kondisi kerampungan suatu pekerjaan
5. Menurut tingkatnya, tujuan dibagi atas :
a. Overall enterprise objectives, tujuan semesta (generalis)
yang harus dicapai oleh badan usaha secara keseluruhan
b. Divisional objectives, tujuan yang harus dicapai setiap
divisi
c. Departemental objectives, tujuan yang harus dicapai
setiap bagian
d. Sectional objectives, tujuan yang harus dicapai setiap
seksi
e. Group objectives, tujuan yang harus dicapai setiap
kelompok urusan
7
f. Individual objectives, tujuan yang harus dicapai setiap
individu
6. Menurut bidangnya, tujuan dibagi atas :
a. Top level objectives, adalah tujuan-tujuan umum,
menyeluruh dan menyangkut berbagai bidang sekaligus
b. Finance objectives, adalah tujuan-tujuan tentang modal
c. Production objectives, adalah tujuan-tujuan tentang
produksi
d. Marketing objectives, adalah tujuan-tujuan tentang
bidang pemasaran barang dan jasa-jasa
e. Office objectives, adalah tujuan-tujuan mengenai dang
ketatausahaan dan administrasinya
7. Menurut motifnya, tujuan dibagi atas :
a. Public objectives, adalah tujuan yang harus dicapai
berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang
Negara
b. Organizational objectives adalah tujuan yang harus
dicapai berdasarkan ketentuan-ketentuan Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan statuta organisasi
yang bersifat zakelijk dan impersonal (tidak boleh
berdasarkan pertimbangan perasaan atau selera pribadi)
dalam upaya pencapaiannya
c. Personal objective, adalah tujuan pribadi/ individual
(walaupun mungkin berhubungan dengan organisasi)
yang dalam usaha pencapaiannya sangat dipengaruhi
oleh selera ataupun pandangan pribadi
Kesimpulan bahwa tujuan merupakan hal terjadinya
proses manajemen dan aktivitas kerja, tujuan beraneka
macam, tetapi harus ditetapkan secara jelas, realistis, dan
8
cukup menantang berdasarkan analisis data, informasi dan
pemilihan dari alternatif-alternatif yang ada. Kecakapan
manajer dalam menetapkan tujuan dan kemampuannya
memanfaatkan peluang, mencerminkan tingkat hasil yang
dapat dicapainya.
1.3 Peran dan Fungsi manajemen
Agar manajemen memberikan manfaat maka
manajemen perlu difungsikan. Setiap yang ada didalam
manajemen disebut sebagai fungsi manajemen. Masing-
masing manajemen terdiri dari serangkaian kejadian atau
peristiwa atau aktivitas yang menggerakkan kearah
pencapaian tujuan.
Sampai saat ini, masih belum ada konsensus baik diantara
praktisi maupun diantara para teoritis mengenai apa yang
menjadi fungsi-fungsi manajemen, sering pula disebut sebagai
unsure-unsur manajemen. Dibawah ini beberapa fungsi
manajemen yang diusulkan oleh pakar manajemen :
Tokoh Fungsi Manajemen
George Terry Planning, Organizing, Actuating,
Controlling
L. Gullick Planning, Organizing, Staffing,
Directing, Coordinating,
Reporting, Budgetting
H. Fayol Planning, Organizing,
Communicating, Coordinating,
Controlling
Koonzt O’Donnel Planning, Organizing, Staffing,
9
Directing, Controlling
Haiman & Scot Planning, Organizing, Staffing,
Influencing, and Controlling
Louis A. Allen Leading, Planning, Organizing,
and Controlling
Luther Gullich Planning, Organizing, Staffing,
Directing, Coordinating,
Reporting, and Budgeting
Lyndal F Urwick Forecasting, Planning,
Organization, Commanding,
Coordinating, and Controlling
William H. Newman Resources, Directing, and
Controlling
The Liang Gie Planning, Decision Making,
Directing, Coordinating,
Controlling, and Improving
Jika disimpulkan pendapat para pakar tersebut diatas
maka pada dasarnya fungsi manajemen adalah sebagai
berikut : forecasting, planning, organizing, staffing, actuating,
commanding, coordinating, influencing, assembling, resources,
directing, reporting, budgeting dan controlling.
Tetapi menurut beberapa para pakar tersebut, penulis hanya
menjelaskan hanya empat saja dari fungsi manajemen, yaitu
sebagai berikut :
• Planning (perencanaan) adalah sebuah proses yang dimulai
dengan tujuan organisasi sampai dengan menetapkan
altenatif kegiatan untuk pencapaiannya.
10
• Organizing (pengorganisasian) adalah rangkaian kegiatan
manajemen untuk menghimpun semua sumber daya
(potensi) yang dimiliki oleh organisasi dan
memanfaatkannya secara efisien untuk mencapai tujuan
organisasi.
• Actuating (directing, commanding, motivating, staffing,
coordinating) atau fungsi penggerakan pelaksanaan adalah
suatu proses bimbingan kepada staf agar mereka mampu
bekerja secara optimal menjalankan tugas-tugas pokoknya
sesuai dengan keterampilan yang telah dimiliki, dan
dukungan sumber daya yang tersedia.
• Controlling (monitoring) atau pengawasan dan
pengendalian (wasdal) adalah proses untuk mengamati
secara terus menerus pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
rencana kerja yang sudah disusun dan mengadakan koreksi
jika terjadi penyimpangan.
1.4 Perkembangan Teori Manajemen
Pada jaman kuno ilmu tersebut sudah ada. Hal ini
terbukti dengan adanya ilmu agama, ilmu pengetahuan
tentang hokum, politik, ekonomi, pendidikan tinggi Al Azhar,
bangunan-bangunan yang mmngagumkan seperti piramida,
candi Borobudur, Tembok Besar Cina, dan sebagainya, yang
kesemuanya itu tentu saja berdasarkan pelaksanaan fungsi-
fungsi perencanaan, penggerakan pelaksanaan, pengendalian,
koordinasi, kepemimpinan, pengaturan sumber daya, dan
sebagainya.
Perkembangan teori manajemen seperti yang diketahui
sekarang, dimulai dengan adanya revolusi industry di Eropa
11
pada abad 18. Yaitu bertambah banyaknya pabrik-pabrik dan
para pekerja serta hasil yang berupa barang-barang,
memerlukan berbagai upaya perencanaan, koordinasi,
pengendalian, dan sebagainya yang diperlukan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja.
Kalau diikuti perkembangan teori manajemen tersebut,
diawali dengan adanya kontribusi preklasikal, pandangan
klasik, pandangan behavioral, pandangan kuantitatif dan
pandangan kontemporer.
a. Preklasikal
Robert Owen (1771-1858) menyampaikan ide tentang
perlunya diperhatikan keasaan kehidupan pekerjaan dari
para pekerja. Charles Babbage (1792-1871)
mengembangkansecara praktis perlunya mesin kalkulator
dan prototif dari computer modern, perlunya sosialisasi
pekerjaan mental selain fisik dan pembagian keuntungan
antara pabrik dan pekerja semacam insentif.
b. Pandangan Klasik tentang Manajemen
1. Manajemen Ilmiah
Suatu pendekatan yang menekankan tentang perlunya
studi ilmiah dari suatu metode kerja dengan maksud
untuk meningkatkan efisiensi pekerja. Para ahli yang
mengembangkan tentang hal itu adalah sebagai berikut :
Manajemen sebagai imu menurut Frederick Winslow
Taylor (1856-1915) dikenal sebagai Bapak Manajemen
Ilmiah. Mengemukakan bahwa efisiensi yang lebih tinggi
dapat menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi atau
unt cost yang lebih rendah. Taylor percaya bahwa
manajemen harus ilmiah, tidak hanya berdasarkan seni
12
atau kebiasaan semata-mata. Ada 4 dasar manajemen
ilmiah dari Taylor yaitu sebagai berikut :
a) Studi ilmiah mempelajari masing-masing bagian dari
suatu tugas untuk mengembangkan metode yang terbaik
untuk melaksanakan tugas.
b) Secara hati-hati menyeleksi pekerja-pekerja dan
melatihnya untuk melakukan tugas dengan
mempergunakan metode pengembangan ilmiah
c) Kerjasama sepenuhnya dengan pekerja-pekerja untuk
menjamin bahwa mereka menggunakan metode yang
ditentukan
d) Membagi pekerja dan tanggungjawab sedemikian
sehingga manajemen bertanggungjawab terhadap
metode-metode perencanaan kerja dengan menggunakan
prinsip-prinsip ilmiah dan pekerja-pekerja
bertanggungjawab melaksanakan pekerjaan yang sesuai.
2. Manajemen administrasi
Suatu pendekatan yang difokuskan pada prinsip-prinsip
yang dapat digunakan oleh manajer untuk mengkoor-
dinasi aktivitas internal organisasi.
Henry Fayol (1841-1925) berpendapat bahwa produksi
bias ditingkatkan kalau penerapan fungsi-fungsi
manajemen dilaksanakan dengan baik. Fungsi manajemen
menurut Fayol : “Planning, organizing, commanding,
coordinating, and controlling”. Henry Fayol dikenal
dengan Bapak Teory Administrasi Modern.
Chester I Bernard memandang organisasi dengan
pendekatan sistem kerjasamaa dan kegiatan-kegiatan
koordinasi. Dalam sistem organisasi ada tiga elemen yang
13
diperlukan yaitu komunikasi, kemauan untuk melayani,
tujuan bersama. Teori Bernard tentang teori kewenangan
yang menganggap bahwa kewenangan tidaklah
tergantung banyak pada “orang yang berwenang”
memberikan perintah melainkan pada kemauan dan
orang yang menerima perintah.
3. Manajemen birokrasi
Max Weber (1864-1920) mengemukakan tentang birokrasi
ideal. Birokrasi adalah untuk menggambarkan organisasi
yang besar yang beroperasi berdasarkan hal-hal yang
rasional.
Karakteristik yang ideal (Weber) adalah sebagai berikut :
a) Spesialisasi tenaga kerja
b) Peraturan dan prosedur formal, tertulis
c) Impersonal, bahwa peraturan, prosedur, dan sanksi
berlaku sama bagi semuanya (tidak mengingat orangnya)
d) Hirearki ditetapkan dengan baik
e) Perkembangan karier didasarkan atas jasa yang diberikan
c. Pendekatan perilaku dalam manajemen
Pandangan perilaku (behavioural) adalah suatu pandangan
dalam manajemen yang menekankan pentingnya usaha
untuk memahami bermacam-macam faktor yang mem-
pengaruhi perilaku manusia dalam organisasi.
Ilmu perilaku adalah suatu pendekatan yang menekankan
riset ilmiah sebagai dasar untuk mengembangkan teori-
teori tentang perilaku manusia di dalam organisasi yang
dapat digunakan untuk mengembangkan petunjuk bagi
manaje.
14
d. Pandangan manajemen kuantitatif
Fokus dari pandangan ini adalah penggunaan ilmu
matematika statistic, dan alat-alat informasi untuk
menunjang pembuatan keputusan manajerial dan
efektivitas organisasi. Termasuk dalam pandangan ini
adalah ilmiah manajemen, manajemen operasional, dan
sistem informasi manajemen.
Ilmiah manajemen adalah suatu pendekatan yang
bertujuan meningkatkan efektivitas dengan menggunakan
model matematika dan statistik.
Manajemen operasional adalah fungsi, atau lapangan
keahlianyang secara primer bertanggungjawab untuk
mengolah produksi dan pengiriman dari produk atau
pelayanan organisasi. Seperti manajemen inventaris, skedul
kerja, rencana produksi, lokasi fasilitas, dan desain serta
menjaga mutu.
Sistem informasi manajemen, nama yang diberikan pada
bisang manajemen yang difokuskan pada desain dan
implementasi sistem informasi dasar computer dalam
penggunaannya dalam manajemen.
e. Pandangan kontemporer
1. Pendekatan sistem
Teori adalah suatu pendekatan yang berdasarkan
anggapan bahwa organisasi dapat divisualisasikan
sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen-
komponen atau bagian-bagian yang berkaitan dalam
mencapai tujuan bersama.
Komponen utama dari suatu organisasi ada empat yaitu
input, berupa sumber daya manusia, bahan, perleng-
15
kapan, keuangan, informasi, yang dipergunakan untuk
menghasilkan produk bahan atau jasa; proses, trans-
formasi adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen
dan kemampuan teknologi yang dimaksudkan untuk
mengubah input menjadi output. Output adalah dapat
berupa produk barang atau jasa dan produk organisasi
lainnya. Feedback adalah informasi tentang hasil-hasil
dan keadaan organisasi yang relative berhubungan
dengan lingkungan.
2. Pendekatan kontingensi
Teori kontigensi adalah suatu pandangan yang
menganggap bahwa kegiatan manajerial yang teapt
tergantung pada parameter khusus situasi.
1.5 Perbandingan Model Manajemen
Dalam Model Tradisional, titik beratnya adalah pada
pengawasan dan pengarahan. Model Hubungan Manu-sia,
telah mengalami perubahan dan menekankan pada kebu-
tuhan-kebutuhan sosial dan pribadi.
Model Sumber Daya Manusia, agak berlainan, seorang
manajer dilihat sebagai seseorang yang mendorong pengem-
bangan dan mempermudah bawahannya untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Perbandingan selengkapnya tentang
model tersebut dikemukakan oleh R. E Miles dalam Theories
of Management : Implication for Organizational and Develop-
ment sebagaimana dikemukakan oleh Harold Koontz, Cyrill
O’Donnell, dan Heinz Weirich sebagaimana tabel tersebut
dibawah ini:
16
Tabel Perkembangan Teori Manajemen dan Perbandingan
Model Tradisional Model Perilaku
Manusia
Model Sumber Daya
Manusia
Asumsi-asumsi
1. Bekerja adalah tidak
menyenangkan bagi ke-
banyakan orang
Orang ingin
dianggap ber-
guna dan pen-
ting
Bekerja bukanlah tidak
menyenangkan. Orang
ingin menyumbang-kan
tenaganya untuk tujuan
yang berarti yang
pembentukannya telah
mendapatkan
bantuannya
2. Apa yang dikerjakan
oleh karyawan kurang
penting dibandingkan
pendapatan yang akan
diperoleh
Orang ingin
diakui sebagai
pribadi
Kebanyakan orang akan
dapat berbuat lebih
kreatif,
bertanggungjawab
mengarahkan diri dan
control diri melebihi
persyaratan yang
diminta oleh pekerjaan
sekarang
3. Sangat sedikit orang
dapat melakukan
pekerjaan yang
memerlukan kreativitas,
disiplin dan control atas
pribadi
Kebutuhan lebih
penting
daripada uang
dalam
memberikan
motivasi bagi
seseorang untuk
bekerja
17
Kebijaksanaan-
kebijaksanaan
1. Tugas pokok manajer
adalah membina dan
mengawasi bawahannya
Tugas pokok
manajer adalah
mengusahakan
agar pekerjaan
merasa
diperlukan dan
penting
Tugas pokok manajer
adalah memanfaatkan
sumber-sumber tenaga
yang belum
dipergunakan
2. Ia harus memecah
tugas-tugas hingga
sederhana, berulang-
ulang dan mudah
dipelajari
Ia harus
memberikan
penjelasan-
penjelasan
kepada
bawahannya
dan
mendengarkan
keberatan-
keberatan
tentang
rencananya
Ia harus menciptakan
lingkungan dimana
seluruh anggota dapat
turut berpartisipasi
sebatas kemampuannya
3. Ia harus menetapkan
perincian pekerjaan dan
prosedurnya dan
melaksanakannya dengan
konsekuen
Manajer harus
mengijinkan
bawahannya
untuk
berinisiatif
sendiri dan
mengawasinya
mengenai hal-
hal yang rutin
Ia harus merangsang
partisipasi bawahannya
mengenai hal-hal penting
secara terus-menerus
menambah kekuasaan
bagi bawahannya
18
Harapan-harapan
1. Orang akan suka
bekerja jika upahnya
memadai dan majikannya
baik
Membagi-bagi
informasi
dengan
bawahan dan
melibatkan
mereka dalam
pengambilan
keputusan rutin,
akan
memeberikan
kepuasan atas
keinginan untuk
diikutsertakan
dan dianggap
penting
Memperluas pengaruh
bawahan, dengan
memperluas inisiatif dan
pengawasan sendiri,
akan meningkatkan
efisiensi operasional
2. Apabila tugas
sederhana dan para
pelaksana diawasi
dengan ketat, maka
meraka akan
menghasilkan sesuai
dengan standar
Memberikan
kepuasan akan
meningkatnya
moral dan
mengurangi
tantangan
terhadap
kekuasaan
formal, dan
bawahan akan
bersedia bekerja
sama
Kepuasan kerja akan
meningkat sebagai
produk sampingan
bawahan untuk
mengerahkan segenap
tenaganya
19
BAB 2 MANAJEMEN PELAYANAN
KESEHATAN
2.1 Dimensi pelayanan kesehatan
Kualitas pelayanan rawat inap kesehatan sangat
kompleks berbanding dengan pelayanan lain karena sektor ini
melibatkan banyak risiko (Rashid & Jusoff, 2009). Hasil
penelitian Taner & Antony (2006) menunjukkan bahwa pasien
rawat inap di rumah sakit swasta lebih berpuas hati dengan
kualitas pelayanan berbanding di rumah sakit milik
pemerintah. Terdapat lima dimensi kualitas pelayanan yang
diamalkan oleh organisasi. Antara dimensi tersebut adalah
penampilan yaitu kemudahan fisik, peralatan dan penampilan
karyawan. Keandalan yaitu kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang dijanjikan, boleh dipercaya dan tepat.
Ketanggapan yaitu keinginan untuk membantu pelanggan
dan memberikan pelayanan yang segera. Jaminan yaitu
pengetahuan, kesopanan pekerja dan kemampuan mereka
untuk memberikan kepercayaan dan keyakinan. Empati yaitu
penyayang dan perhatian secara individu yang diberikan
kepada pelanggan.
Pada Gambar 2.8 memberikan pemahaman kepada
pihak rumah sakit untuk memahami bagaimana pasien dan
staf menilai kualitas kesehatan berkaitan dengan setiap
dimensi (Padma, et al., 2009). Berdasarkan model kualitas
pelayanan yang telah dibangun, hal tersebut mengaitkan lima
dimensi kualitas pelayanan yaitu: pendaftaran, pelayanan
perobatan, pelayanan secara keseluruhan, proses keluar dari
20
rumah sakit, dan tanggungjawab sosial dengan menggunakan
skala yang boleh dipercayai dan sah untuk rumah sakit umum
(Aagja & Garg, 2010). Kepuasan pasien dengan dimensi
kualitas pelayanan yang berbeda mempunyai korelasi dengan
kesediaan mereka untuk merekomendasikan rumah sakit
kepada orang lain
Gambar 2.8. Model konseptual yang mengaplikasikan ciri kualitas pelayanan dalam konteks kesehatan (Rashid & Jusoff,
2009).
21
2.2. Teori Manajemen Pelayanan Kesehatan
a. Teori Manajemen Pelayanan
1. Momen Kritis Pelayanan/ Moment of Truth (Albrecht dan
Bradford, 1990), mendefinisikannya sebagai kontak yang
terjadi antara konsumen dengan setiap aspek organisasi
yang akan membentuk opinin konsumen tentang kualitas
pelayanan yang diberikan oleh organisasi tersebut. Untuk
menciptakan pelayanan yang berkualitas, setiap organisasi
harus mengidentifikasikan dan mengelola momen kritis
pelayanan tersebut secara baik. Dengan kata lain, harus ada
kesesuaian/ kompatibilitas antara tiga factor dalam
pengelolaan momen kritis pelayanan, yaitu :
a) Konteks pelayanan (service context)
b) Referensi yang dimiliki konsumen (customer’s frame of
reference)
c) Referensi yang dimiliki anggota organisasi penyelenggara
pelayanan (employee’s frame of reference)
2. Lingkaran Pelayanan/ The Circles of Service (Albrecht dan
Branford, 1990). Untuk dapat memberikan pelayanan yang
prima, pandangan konsumen dan produsen harus sama.
Hal ini sulit diwujudkan karena biasanya organisasi
penyelenggara sudah merumuskan sistem dan prosedur
pelayanan. Untuk mengatasi hal tersebut, Albrecht dan
Bradford, merumuskan konsep lingkaran pelayanan yang
berarti serangkaian momen kritis pelayanan yang dialami
oleh konsumen ketika ia memanfaatkan jasa pelayanan
tersebut.
22
Bagi konsumen, hampir setiap detik adalah momen
kritis pelayanan yang mungkin tidak disadari oleh
penyelenggara pelayanan dan orang-orang yang ada
didalamnya. Konsep lingkaran pelayanan ini dapat digunakan
untuk mengidentifikasi momen kritis pelayanan yang harus
dikelola secara professional.
3. Teori Exit and Voice (Albert Hirschman)
Menurut teori ini, kinerja pelayanan public dapat
ditingkatkan apabila ada mekanisme exit dan voice.
Mekanisme exit mengandung arti bahwa jika pelayanan
public tidak berkualitas, maka konsumen harus memiliki
kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara
pelayanan publik lain yang disukainya. Mekanisme voice
berarti ada kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan
publik.
Penghambat mekanisme exit yaitu :
a) Kekuatan pemaksa dari Negara
b) Tidak tersedianya lembaga penyelenggara pelayanan
publik alternatif
c) Tidak tersedianya biaya untuk menciptakan lembaga
penyelenggara pelayanan publik alternatif
Penghambat mekanisme voice yaitu :
a. Pengetahuan dan kepercayaan terhadap mekanisme yang
ada
b. Aksesbilitas dan biaya untuk mempergunakan mekanisme
tersebut
23
Dengan demikian untuk meningkatkan pelayanan
public diperlukan adanya kesetaraan posisi tawar antara klien
dengan lembaga penyelenggara layanan. Kesetaraan posisi
tawar dapat dicapai dengan cara sebagai berikut :
a. Memberdayakan klien
b. Mengontrol kewenangan/ kekuasaan lembaga penye-
lenggara pelayanan
Keseimbangan posisi tawar antara klien dengan
lembaga penyelenggara pelayanan dapat dicapai dengan
menerapkan konsep-konsep (salah satu atau beberapa konsep
yang sesuai dengan karakteristik pelayanan umum yang
diselenggarakan) sebagai berikut :
a. Cutomer’s charter
b. Customer service standard
c. Customer redress
d. Quality guarantees
e. Quality inspectors
f. Customer complaint systems
g. Ombudsmen
h. Vouchers and reimbursement programs
i. Customer information systems and brokers
j. Competitive bidding
k. Competitive benchmarking
l. Privatization
m. Sistem penggajian berdasarkan prestasi
n. Sistem kerja berdasarkan kontrak
o. Sistem kerja berdasarkan kontrak
p. Sistem evaluasi kerja tiga ratus enam puluh derajat (360ᴼ)
24
4. Model Segitiga Pelayanan (The Service Triangle)
Organisasi-organisasi yang bergerak dibidang pelaya-
nan yang sangat berhasil memiliki tiga kesamaan, yaitu :
a) Strategi pelayanan yang tersusun secara baik
b) Orang di lini depan berorientasi pada pelanggan
c) Sistem pelayanan yang sah
Setiap organisasi penyelenggara pelayanan harus me-
ngelola tiga faktor tersebut untuk mewujudkan kepuasan
pelanggan. Interaksi ketiga faktor tersebut dengan pelanggan
akan menentukan keberhasilan manajemen dan kinerja pe-
layanan organisasi.
5. Model Gap (Zethaml, Parasuraman, dan Berry, 1990)
Ketiga pakar ini mengemukakan bahwa manajemen
pelayanan yang baik tidak dapat terwujud karena adanya 5
gap, yaitu sebagai berikut :
a) Gap I (gap persepsi manajemen)
Terjadi apabila terdapat perbedaan antara konsumen
dengan persepsi manajemen mengenai harapan konsumen.
Misalnya, harapan konsumen mendapatkan pelayanan
prima (harga tidak menjadi masalah), sebaliknya
manajemen mempunyai bahwa konsumen mengharapkan
harga yang murah meskipun kualitasnya agak rendah.
b) Gap II (gap persepsi kualitas)
Terjadi apabila terdapat perbedaan antara persepsi
manajemen tentang harapan-harapan konsumen dengan
spesifikasi kualitas pelayanan yang dirumuskan.
c) Gap III (gap penyelenggara pelayanan)
Terjadi jika pelayanan yang diberikan berbeda dengan
spesifikasi kualitas pelayanan yang dirumuskan
25
d) Gap IV (gap komunikasi pasar)
Terjadi akibat adanya perbedaan antara pelayanan yang
diberikan dengan komunikasi eksternal terhadap
konsumen tidak sama dengan komunikasi eksternal
terhadap konsumen
e) Gap V (gap kualitas pelayanan)
Terjadi karena pelayanan yang diharapkan konsumen tidak
sama dengan pelayanan yang senyatanya diterima/
dirasakan oleh konsumen
Penyebab terjadinya gap adalah sebagai berikut :
Gap I.
1. Kurang/ tidak dimanfaatkannya riset pemasaran
2. Top down komunikas yang kurang efektif
3. Terlalu banyak tingkatan manajemen
Gap II.
1. Komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan yang
lemah
2. Persepsi tentang feasibilitas yang tidak tepat
3. Standarisadi tugas yang tidak tepat
4. Perumusan tujuan yang kurang tepat
Gap III.
1. Ketidakjelasan peran
2. Ada konflik peran
3. Karakteristik pekerja dengan pekerjaan yang tidak cocok
4. Karakteristik pekerjaan dengan teknologi yang tidak cocok
5. Sistem pengawasan yang tidak tepat, control yang lemah
6. Tim yang tidak kompak
Gap IV.
1. Kurangnya komunikasi horizontal
26
2. Cenderung mengobral janji
Gap V. akumulasi dari empat macam gap tersebut.
b. Teori Manajemen Pelayanan Kesehatan
Model Segitiga Peayanan (The Service Triangle),
merupakan salah satu teori manajemen pelayanan
kesehatan untuk organisasi-organisasi yang bergerak di
bidang pelayanan. Didalam memberikan pelayanan orga-
nisasi yang sangat berhasil memiliki tiga kesamaan, yaitu :
1. Strategi pelayanan yang tersusun secara baik
2. Orang yang berada di bagian depan berorientasi pelanggan
(customer oriented)
3. Memberikan system pelayanan yang ramah
Interaksi ketiga faktor tersebut akan memberikan kepuasan
kepada pelanggan sebagai penerima pelayanan dari sebuah
organisasi pelayanan kesehatan.
2.3 Manajemen dalam pelayanan kesehatan
Menurut Satrianegara (2014), ada beberapa model
manajemen yang dapat dipergunakan dalam organisasi
pelayanan kesehatan, yaitu :
a. Model Manajemen P1 – P2 – P3, terdiri dari P1
(Perencanaan), P2 (Penggerakan/
Pelaksanaan), dan P3 (Pengendalian dan Penilaian).
b. Model Manajemen ARRIF (Analisis, Rumusan, Rencana,
Implementasi, dan Forum Komunikasi). Model ini
menitikberatkan pada apa yang selama ini terjadi sesuai
dengan siklus manajemen yang berkaitan dengan fungsi
petugas sebagai Pembina peran serta masyarakat
(Departemen Kesehatan, 1995).
27
c. Model Manajemen ARRIME (Analisis, Rumusan,
Implementasi, Monitoring, dan Evaluasi). Model ini secara
prinsip sama dengan model manajemen ARRIF, hanya
fungsi terakhir F (Forum Komunikasi dibagi menjadi M
(Monitoring) dan E (valuasi). Hal ini dilakukan karena
pada manajemen puskesmas, perlu monitor secara periodic
dan ketat, sehingga aspek monitoring harus ditonjolkan
disamping aspek evaluasi (Departemen Keseshatan, 2002).
d. Model Manajemen POAC/E (Planning, Organizing,
Actuating, Controlling/ Evaluating). Model ini banyak
dipergunakan di puskesmas yang merupakan model
manajemen dari Terry dengan penambahan fungsi
evaluating (penilaian), sehingga fungsi-fungsi manajemen
puskesmas selengkapnya adalah Planning (perencanaan),
Organizing (pengorganisasian), Actuating (penggerakan
dan pelaksanaan), Controlling (pengawasan dan
pengendalian), serta Evaluating (penilaian).
2.4 Faktor Mempengaruhi kualitas pelayanan
kesehatan
Gambar 2.9 menunjukkan antisedan dengan model
kualitas pelayanan yang dilihat berterusan atau maju dan
diuji. Pembinaan utama dalam model ini adalah antisedan
kualitas pelayanan yang dirasakan.
28
Gambar 2.9. Antisedan Persepsi Kualitas Pelayanan
Dalam kualitas pelayanan, tujuan rumah sakit adalah
untuk meningkatkan penjagaan pasien, perawat dan
pengalaman (Khan, 2014). Penggunaan model yang dijelaskan
dalam kajian Coyle & Battles (1999) menunjukkan bahwa
kurangnya korelasi antara proses dan hasil disebabkan
penilaian hasil terdahulu yang kurang memiliki pencantuman
antisedan perawat perobatan (terutamanya faktor risiko
Komunikasi
“Word-of-
Mouth”
Perbandingan
Hubungan
personal
Persepsi
orientasi
pasaran
Persepsi Kualiti
Perkhidmatan
29
pasien dan lingkungan) yang mempunyai pengaruh signifikan
terhadap hasil yang diukur. Kajian Khan (2014)
mengidentifikasi aspek kebersihan dan pelayanan ambulans
adalah penting dalam Rumah sakit, sementara pasien dari
Rumah sakit menggangap tabung darah dan restoran atau
cafeteria sebagai faktor utama dalam penyampaian pelayanan
yang berkualitas.
Antisidan melibatkan konteks lingkungan individu dan
ciri-ciri pribadi seseorang (yaitu genetik, sosio-demografi,
kesehatan, kepercayaan, sikap dan kecenderungan). Selain itu,
faktor lingkungan seperti budaya, sosial, politik, peribadi, fisik
atau profesi berkaitan kesehatan (Coyle & Battles, 1999).
Berbagai kajian mengenai teori kualitas pelayanan yang
menunjukkan kualitas pelayanan sebagai multi-dimensi,
meskipun Hooper, et al., (2013) tidak setuju dengan jumlah
dimensi, satu sub-konstruk yang terus diklasifikasikan sebagai
elemen kualitas pelayanan karena kajian Hooper, et al., (2013)
telah menunjukkan bahwa pengguna menilai skop pelayanan.
Organisasi kesehatan seperti rumah sakit misalnya
diwujudkan bagi memenuhi keperluan masyarakat dalam
membantu menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan
dengan kesehatan (Yusof Boon & N Azlinda Kasma 2011) dan
dapat memberikan rasa puas hati kepada pasien. Kepuasan
pasien memainkan peranan penting dalam memastikan
penggunaan pelayanan kesehatan, perawat berkelanjutan dan
kepatuhan terhadap perawat (Hizlinda Tohid et. al. 2012).
Pelayanan yang disediakan di rumah sakit termasuk
perspektif klinik dan perspektif fisik yang akan menyumbang
kepada kepuasan pengguna terhadap rumah sakit. Menurut
30
kajian oleh Noor Hazilah Abd Manaf dan Phang Siew Nooi
(2009), mengenai perspektif klinik termasuk pelayanan doctor
dan perawat, ubat-ubatan yang ditetapkan, informasi yang
diberikan mengenai keadaan dan juga perspektif fisik
termasuk kebersihan, lingkungan, proses pendaftaran dan
kenyamanan ruangan menuggu dikalangan pasien.
31
BAB 3 MANAJEMEN RUMAH SAKIT DAN
PUSKESMAS
3.1 Definisi rumah sakit
Rumah sakit merupakan institusi penjagaan kesehatan
profesional melalui pelayanan yang disediakan oleh dokter,
perawat, dan staf kesehatan yang lain (Manco, 2003). Menurut
Macmillan Dictionary (2014) rumah sakit merupakan tempat
bagi individu yang sakit atau terluka dan memerlukan
perawat daripada dokter dan perawat. Menurut World Health
Organization (2014) rumah sakit adalah institusi penjagaan
kesehatan yang mempunyai staf perobatan profesional dan
staf lain yang teratur, dan fasilitas pasien rawat inap,
perobatan, keperawat dan pelayanan secara 24 jam dan 7 hari
seminggu. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang
dimiliki sepenuhnya oleh pihak pemerintah dan menerima
dana daripada pemerintah (Manco, 2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 menjelaskan bahwa
rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan untuk
masyarakat dengan ciri tersendiri. Perkembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang kesehatan, kemajuan teknologi,
dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, menuntut
penyelenggaraan pelayanan yang lebih berkualitas dan dapat
dinikmati oleh masyarakat agar tahap kesehatan yang
terulung dapat dicapai.
Rumah sakit menurut Kementrian kesehatan (2009)
adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara sempurna yang
32
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.
Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap individu
yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang diwujudkan untuk meningkatkan
tahap kesehatan masyarakat yang terbaik. Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
dirumuskan bahwa rumah sakit merupakan institusi
pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan kesehatan
kepada pasien rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 983/MenKes/SK/XI/1992, rumah sakit merupakan
sebuah unit yang mempunyai organisasi teratur, tempat
pencegahan dan penyembuhan penyakit, peningkatan dan
pemulihan kesehatan yang dilakukan secara multidisiplin
oleh berbagai kumpulan profesional berpendidikan dan
terlatih, yang menggunakan infrastruktur khas. Rumah sakit
memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar,
spesialis dan sub spesialis.
Rumah sakit juga merupakan pusat pelayanan
kesehatan masyarakat umum, pusat pendidikan dan juga
penelitian kesehatan (Association of Hospital Care, 1947).
Menurut American Hospital Association (1974), rumah sakit
ialah suatu organisasi kompleks yang terdiri dari tenaga
perobatan profesional dan didukung dengan fasilitas
perobatan dalam memberikan pelayanan dokter, perawat
yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit
pasien.
33
Rumah sakit adalah tempat pasien mencari dan
menerima pelayanan dokter serta tempat pendidikan klinik
kepada pelajar perobatan, perawat dan lainnya. Menurut
Undang-Undang tentang rumah sakit bab 1 pasal 1 bahwa
rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang
memberi pelayanan kesehatan perorangan secara sempurna
(Wolper & Pena, 1997).
Peraturan manajemen rumah sakit bertujuan untuk
memudahkan akses atau aksesbilitas masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah
sakit, meningkatkan kualitas dan mematuhi standar
pelayanan rumah sakit, dan memberikan jaminan undang-
undang kepada pasien, staf dan pihak rumah sakit.
3.2 Tugas dan Fungsi rumah sakit
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (2009)
menguraikan fungsi rumah sakit dengan merujuk pada
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 mengenai rumah sakit
antara lain manajemen pelayanan perobatan dan pemulihan
kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit,
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan individu melalui
pelayanan kesehatan yang sempurna dan kemudian tahap
kedua serta ketiga mengikuti keinginan perobatan.
Manajemen pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
amat penting dalam rangka peningkatan kemampuan
pelayanan kesehatan, pelaksanaan penelitian dan
pembangunan serta penyaringan teknologi bidang kesehatan.
34
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
dengan cara mematuhi etika pengetahuan dalam bidang
kesehatan.
Merujuk kepada Manco (2003), terdapat 16 fungsi rumah
sakit. Fungsi tersebut adalah melaksanakan pelayanan
perobatan, pelayanan dukungan perobatan, melaksanakan
pelayanan perobatan tambahan, pelayanan dukungan
perobatan tambahan, melaksanakan pelayanan kehakiman
kedokteran, melaksanakan pelayanan perobatan khusus,
melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan, melaksanakan
pelayanan gigi, melaksanakan pelayanan pendidikan
kesehatan, melaksanakan pelayanan pasien rawat jalan atau
gawat darurat dan pasien rawat inap, melaksanakan
pelayanan pasien rawat inap, melaksanakan pelayanan
adminisasi, melaksanakan pendidikan perobatan, membantu
pendidikan perobatan umum, membantu pendidikan
perobatan spesialis, membantu penelitian dan pembangunan
kesehatan, dan membantu kegiatan penenelitia epidemiologi.
Fungsi rumah sakit yaitu memberi pelayanan perobatan,
pelayanan penunjang perobatan dan bukan perobatan,
pelayanan dokter dan perawat, pelayanan rujukan,
pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan,
serta administrasi dan keuangan (Siregar & Lia, 2004).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 983/MenKes/SK/XI/1992, fungsi rumah
sakit ialah memberikan pelayanan kepada pasien. Pelayanan
pasien yang diperoleh dari rumah sakit terdiri dari pelayanan
perobatan, pelayanan farmasi dan pelayanan perawat.
Disamping itu, untuk membantu pelayanan perobatan, rumah
35
sakit juga menyediakan berbagai jenis laboratorium.
Pendidikan dan pelatihan juga merupakan fungsi penting
daripada rumah sakit modern. Aktivitas penelitian turut
disediakan oleh rumah sakit yang mencakupi perancangan
prosedur diagnosis baru, melakukan uji di laboratorium dan
klinik, pengembangan dan menyempurnakan prosedur
pembedahan yang baru, menilai obat, dan penelitian
menghasilkan obat yang baru. Fungsi utama rumah sakit
adalah membantu komunitas dalam menyembuhkan penyakit
dan meningkatkan tahap kesehatan masyarakat.
Menurut Peraturan menteri kesehatan Republik
Indonesia Nomor 159b/MenKes/Per/1998 menyatakan
bahwa fungsi rumah sakit yaitu memberikan pelayanan
perobatan, pelayanan pengobatan, menyembuhkan penyakit,
pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan,
memberikan tempat pendidikan dan pelatihan dokter,
perawat, ahli farmasi, sebagai tempat penelitian dan
pengembangan ilmu dan teknologi dalam bidang kesehatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah sakit pasal 4 dan 5, dinyatakan bahwa rumah
sakit mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara menyeluruh yaitu pelayanan
kesehatan yang meliputi promosi, pencegahan, pengobatan,
dan pemulihan.
Fungsi rumah sakit menurut Roemer dan Friedman
(1971) antara lain melakukan diagnosis dan memberikan
pengobatan, memberikan pelayanan pasien rawat jalan,
memberikan pendidikan kepada pegawai yang bekerja di
rumah sakit, tempat penelitian dibidang perobatan, dan
36
mengadakan pelayanan pencegahan penyakit dan
meningkatkan tahap kesehatan masyarakat sekitarnya.
Lumenta (1992) menguraikan fungsi rumah sakit yaitu
memberikan bimbingan kepada pasien yang meliputi
pelayanan perobatan dan pemulihan, memberikan pelayanan
kesehatan masyarakat meliputi pelayanan promosi dan
pencegahan, tempat menuntut ilmu bagi pelajar perobatan,
dan merupakan tempat penelitian.
3.3 Jenis-jenis rumah sakit
Sesuai dengan perkembangan rumah sakit di Indonesia
dan perkembangan rumah sakit secara modern. Pada saat ini
rumah sakit dapat dibedakan beberapa macam atau jenis,
yaitu sebagai berikut :
o Menurut pemilik, ada dua macam yaitu rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta
o Menurut filosofi yang dianut, ada dua macam yaitu rumah sakit yang tidak mencari keuntungan dan rumah sakit yang mencari keuntungan
o Menurut jenis pelayanan yang diselenggarakan, ada dua macam rumah sakit yaitu rumah sakit umum dan rumah sakit khusus
o Menurut lokasi rumah sakit dibedakan menjadi beberapa macam yaitu rumah sakit pusat yang lokasinya di ibukota Negara, rumah sakit provinsi, rumah sakit kabupaten atau kotamadya
o Menurut manajemen rumah sakit dalam perspektif sejarah ada enam, rumah sakit milik pemerintah, rumah sakit milik militer, rumah sakit milik yayasan keagamaan, rumah sakit swasta milik dokter, rumah sakir milik swasta yang mencari keuntungan dan rumah sakit milik badan usaha milik Negara.
37
Rumah Sakit di Indonesia
Jika dilihat dari kepemilikannya, maka rumah sait di Indo-
nesia banyak macamnya, yaitu :
a. Rumah sakit pemerintah
Rumah sakit pemerintah dibedakan menjadi dua macam,
yaitu rumah sakit pemerintah pusat dan rumah sakit
pemerintah daerah. Rumah sakit pemerintah pusat
dibedakan menjadi dua macam yaitu Departemen
Kesehatan dan Departemen lainnya. Yang dimaksud
dengan Departeman lainnya adalah Departemen
Pertambangan, Departemen Keamanan dan Pertahanan,
Departemen Perhubungan. Sedangkan rumah sakit
Departemen Kesehatan contohnya adalah Rumah Sakit Dr.
Soetomo di Surabaya dan Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo di Jakarta.
b. Rumah sakit swasta
Jika ditinjau dari kemampuan yang dimiliki rumah sakit di
Indonesia dibedakan atas lima macam, yaitu :
1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedoktoran spesialis dan
subspesialis luas. Yang dimaksud dengan rumah sakit
Kelas A adalah rumah sakit sebagai tempat rujukan
tertinggi.
2. Rumah Sakit Kelas B
Rumah sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedoktoran spesialis dan
subspesialis terbatas. Contoh rumah sakit kelas B adalah
38
rumah sakit di ibukota provinsi yang menampung rujukan
dari tingkatan kabupaten.
3. Rumah Sakit Kelas C
Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedoktoran spesialis terbatas.
Dalam hal ini ada empat macam spesialis yang disediakan,
yaitu spesialis penyakit bedah, spesialis penyakit dalam,
spesialis penyakit anak dan spesialis penyakit kandungan
dan kebidanan. Rumah sakit kelas ini menampung rujukan
dari puskesmas.
4. Rumah Sakit Kelas D
Rumah sakit Kelas D adalah rumah sakit yang memiliki
sifat transisi dikarenakan pada suatu saat akan menjadi
rumah sakit Kelas C. rumah sakit ini hanya memiliki dua
bidang kedoktoran, yaitu kedoktoran umum dan
kedoktoran gigi.
5. Rumah sakit Kelas E
Rumah sakit kelas E adalah rumah sakit yang memiliki
hanya 1 pelayanan saja, yaitu pelayanan kedoktoran.
Contohnya rumah sakit jiwa, rumah sakit Ibu dan Anak.
Rumah sakit swasta ini dibedakan menjadi beberapa rumah
sakit swasta, antara lain :
1. Rumah sakit swasta milik yayasan keagamaan dan
kemanusiaan
Pemilikan rumah sakit milik yayasan keagamaan dan
kemanusiaan di Indonesia banyak sekali, contoh rumah
sakitnya adalah rumah sakit Bethesa di Yogyakarta, RS PGI
Cikini di Jakarta, RS Charitas di Palembang, RS Elisabeth di
Semarang, RS PKU Muhammadiyah di Yogyakarta.
39
Perkembangannya kalau kita amati sangat menarik sekali
dikarenakan sumber pendanaannya sangat baik sekali. Hal
ini bias saja disebabkan karena rasa tingkat kemanusiaan
orang yang satu dengan yang lainnya semakin baik atau
dikarenakan tingkat kebutuhan akan pelayanan kesehatan
yang sangat berkembang dimasyarakat sekarang.
2. Rumah Sakit swasta milik dokter
Kepemilikan rumah sakit milik dokter biasanya bersumber
dari prestasi klinis seorang dokter. Sebagai contoh seorang
dokter spesialis kebidanan dan kandungan, seorang dokter
spesialis penyakit dalam. Contoh seperti RS Jeumpa di
Pontianak.
3. Rumah sakit swasta milik perusahaan yang mencari
keuntungan
Rumah sakit imi sudah dianggap untuk mencari
keuntungan. Karena disebabkan rumah sakit sekarang
mempunyai posisi yang sangat strategis untuk
mendapatkan keuntungan, sebab sudah menjadi
kebutuhan primer apabila seseorang yang ingin berobat
dikarenakan sakit. Dengan demikian, berbagai perusahaan
yang konglomerat memandang perlu mendirikan rumah
sakit. Contoh seperti RS Siloam di Karawaci yang berinduk
pada perusahaan Lippo. Hal ini merupakan fenomena yang
baru melanda Indonesia saat ini. Oleh karena itu sebagai
konsumen, masyarakat harus lebih bias memahami dan
menganalisa tentang rumah sakit tipe ini. Rumah sakit
seperti ini hanya bagi masyarakat yang mampu saja dalam
segi ekonomi.
40
4. Rumah Sakit Milik Militer
Rumah sakit milik militer pertama kali dibawa oleh masa
penjajahan atau colonial Belanda di Indonesia. Hal ini
dikarenakan pada waktu itu Belanda mempunyai misi
untuk berperang dan juga untuk kesehatan para tentara
mereka. Menurut Trisnantoro dalam manajemen rumah
sakit dijelaskan bahwa rumah sakit militer di Indonesia ada
112 unit yang berinduk pada angkatan darat (62), angkatan
laut (19), angkatan udara (16) dan kepolisian (12). Adapun
contoh RS ini adalah RSPAD Gatot Subroto Jakarta dan
Rumah Sakit Pusat Angkatan Laut (RSPAL) di Surabaya.
5. Rumah Sakit Milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Rumah sakit ini memiliki ketergantungan dengan kondisi
keuangan induknya. Misalnya dicontohkan adalah RS
Pertamina Pusat terkenal sebagai RS yang mempunyai
peralatan dan fasilitas medis yang memounyai teknologi
tinggi karena pertamina mampu membiayai dan
pempunyai segmentasi dalam penyediaan peralatannya.
3.4. Jenis Pelayanan dan standar pelayanan Rumah
sakit
Di Indonesia, jenis pelayanandi rumah sakit diatur
berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam pasal 19
menyebutkan bahwa rumah sakit dapat dibedakan
berdasarkan jenis pelayanannya menjadi dua jenis pelayanan,
yaitu:
1. Rumah Sakit Umum
41
2. Rumah Sakit Khusus (mata, paru, kusta, rehabilitasi,
jantung, kanker, dan sebagainya)
Rumah sakit umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tersebut, Rumah Sakit Umum memberikan pelayaan
kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit
Sedangkan rumah sakit khusus, memberikan pelayanan
utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu
berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis
penyakit atau kekhususan lainnya.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44
tahun 2009 tentang rumah sakit, di Indonesia rumah sakit
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Rumah sakit umum, terdiri atas :
a. Rumah sakit umum kelas A
b. Rumah sakit umum kelas B
c. Rumah sakit umum kelas C
d. Rumah sakit umum kelas D
2. Rumah sakit khusus terdiri atas :
a. Rumah sakit khusus kelas A
b. Rumah sakit khusus kelas B
c. Rumah sakit khusus kelas C
Standar pelayanan minimal rumah sakit diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29/Menkes/SK/II/2008
tentang standar pelayanan minimal rumah sakit, dalam
peraturan tersebut menyebutkan jenis-jenis pelayanan, indi-
kator standar pencapaian kinerja pelayanan rumah sakit.
Jenis-jenis pelayanan rumah sakit minimal yang wajib
disediakan oleh rumah sakit meliputi :
42
1. Pelayanan gawat darura
2. Pelayanan rawat jalan
3. Pelayanan rawat inap
4. Pelayanan bedah
5. Pelayanan persalinan dan perinatology
6. Pelayanan radiologi
7. Pelayanan laboratorium patologi klinik
8. Pelayanan intensif
9. Pelayanan rehabilitasi patologi klinik
10. Pelayanan farmasi
11. Pelayanan gizi
12. Pelayanan transfuse darah
13. Pelayanan keluarga miskin
14. Pelayanan rekam medis
15. Pengelolaan limbah
16. Pelayanan administrasi manajemen
17. Pelayanan ambulans/ kereta jenazah
18. Pelayanan pemulasaran jenazah
19. Pelayanan laundry
20. Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit
21. Pencegah pengendalian infeksi
3.5 Mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit
Mutu dalam layanan kesehatan adalah sebuah konsep
manajemen berfokud konsumen yang inovatif dan partisipatif
yang mempengaruhi setiap individu dalam organisasi dan
mutu dapat bertahan melalui transformasi budaya. Tujuan
utama konsep manajemen tersebut adalah terwujudnya
43
pelaksanaan proses perbaikan yang akan berdampak positif
pada outcome layanan kesehatan.
Mutu sebagai sebuah paradigm manajemen yang melingkupi
empat komponen utama sebagai berikut :
1. Penataan ulang mutu
2. Pelatihan mutu
3. Strategi jaminan mutu(Quality Assurance)
4. Perbaikan mutu (Quality Improvement)
Mutu pelayanan kesehatan di rumah askitdapat dikelompo-
kkan menjadi tiga hal, yaitu:
1. Struktur (sarana fisik, peralatan, dan, tenaga kesehatan dan
nonkesehatan, serta pasien)
2. Proses (manajemen rumah sakit baik manajemen
interpersonal, teknis maupun pelayanan keperawatan
yang kesemuanya tercermin pada tindakan medis dan
nonmedis kepada pasien)
3. Outcome
Mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit juga terlihat dari
kepuasan pelanggan dalam menerima pelayanan yang
diberikan organisasi pelayanan kesehatan.
Kepuasan pelanggan dipandang sebagai unsur penentu
penilaian baik buruknya sebuah rumah sakit. Menurut
Heriandi (2007), unsur penentu penilaian baik dan buruknya
sebuah rumah sakit ada tiga komponen yang mempengaruhi
kepuasan, yaitu : aspek klinis, efisiensi dan efektivitas dan
keselamatan pelanggan.
Aspek klinis, merupakan komponen yang menyangkut
pelayanan dokter, perawat dan terkait dengan teknis medis.
Efisiensi dan efektivitas menunjuk kepada pelayanan yang
44
murah, tepat guna, tidak ada diagnose dan terapi
yanberlebihan. Aspek keselamatan pelanggan, adalah upaya
perlindungan pelanggan dari hal-hal yang dapat
membahayakan keselamatan pelanggan, seperti jatuh,
kebakaran, dan lain-lain.
Aspek mutu yang dapat dipakai sebagai indicator untuk
menilai mutu pelayanan rumah sakit, yaitu :
1. Penampilan keprofesian (aspek klinis)
2. Efisiensian efektivitas
3. Keselamatan
4. Kepuasan pasien
Dalam pengalaman sehari-hari, ketidakpuasan pasien
yang paling sering dikemukakan dalam kaitannya dengan
sikap dan perilaku petugas rumah sakit, antara lain :
1. Keterlambatan pelayanan dokter dan perawat
2. Dokter sulit ditemui
3. Dokter yang kurang komunikatif dan informatif
4. Lamanya proses masuk pasien rumah sakit
Beberapa indikator kepuasan pasien di rumah sakit
sebagai indikator mutu pelayanan di rumah sakit, adalah
sebagai berikut :
1. Pelayanan masuk rumah sakit, yaitu :
a. Lama waktu pelayanan sebelum dikirim ke ruang
perawatan
b. Pelayanan petugas yang memproses masuk ke ruang
perawatan
c. Kondisi tempat menunggu sebelum dikirim ke ruang
perawatan
d. Pelayanan petugas Instalasi Gawat Darurat (IGD)
45
e. Lama pelayanan di ruang IGD
f. Kelengkapan peralatan di ruang IGD
2. Pelayanan dokter, yaitu :
a. Sikap dan perilaku dokter saat melakukan pemeriksaan
rutin
b. Penjelasan dokter terhadap pengobatan yang akan
dilakukannya
c. Ketelitian dokter memeriksa pasien
d. Kesungguhan dokter dalam menangani penyakit pasien
e. Penjelasan dokter tentang obat yang harus diminum
f. Penjelasan dokter tentang makananyang harus dipan-
tang
g. Kemanjuran obat yang diberikan dokter
h. Tanggapan dan jawaban dokter atas keluhan pasien
i. Pengalaman dan senioritas dokter
3. Pelayanan perawat, yaitu :
a. Keteraturan pelayanan perawat setiap hari (pemeriksaan
na, suhu tubuh dan sejenisnya)
b. Tanggapan perawat terhadap keluhan pasien
c. Kesungguhan perawat melayani kebutuhan pasien
d. Keterampilan perawat dalam melayani (menyuntik,
mengukur tensi dan lain-lain)
e. Pertolongan sifatnya pribadi (mandi, menyuapi
makanan, dan sebagainya)
f. Sikap perawat terhadap keluarga pasienan pengunjung/
tamu pasien
g. Pemberian obat dan penjelasan ra meminumnya
h. Penjelasan perawat atas tindakan yang akan
dilakukannya
46
i. Pertolongan perawat untuk duduk, berdiri, dan berjalan
4. Pelayanan makanan pasien, yaitu :
a. Variasi menu makanan
b. Cara penyajian makanan
c. Ketepatan waktu menghidangkan makanan
d. Keadaan tempat makan (piring, sendok)
e. Kebersihan makananyang dihidangkan
f. Sikap dan perilaku petugas yang menghidangkan
makanan
5. Sarana medis dan obat-obatan, yaitu:
a. Ketersediaan obat-obatan apotek rumah sakit
b. Pelayanan petugas apotek rumah sakit
c. Lama waktu pelayanan apotek rumah sakit
d. Kelengkapan peralatan medis sehingga tidak perlu
dikirim ke rumah sakit lain untuk pemakaian suatu alat
e. Kelengkapan pelayanan laboratorium rumah sakit
f. Sikap dan perilaku petugas pada fasilitas penunjang
medis
g. Lama waktu mendapatkan kepastian hasil dari
penunjang medis
6. Kondisi fasilitas rumah sakit (fisik rumah sakit), yaitu:
a. Keterjangkauan letak rumah sakit
b. Keadaan halaman dan lingkungan rumah sakit
c. Kebersihan dan kerapian gedung, koridor, dan bangsal
rumah sakit
d. Keamanan pasien dan pengunjung rumah sakit
e. Penerangan lampu pada bangsal dan halaman rumah
sakit di waktu malam
f. Tempat parkir kendaraan dirumah sakit
47
7. Kondisi fasilitas ruang peralatan, yaitu:
a. Kebersihan dan kerapian ruang perawatan
b. Penerangan lampu pada ruang perawatan
c. Kelengkapan perabot ruang perawatan
d. Ruang perawatan beba dari serangga (semut, lalat,
nyamuk
8. Pelayanan adminitrasi keluar rumah sakit, yaitu:
a. pelayanan administrasi tidak berbelit-belit dan
menyulitkan
b. peraturan keuangan sebelum masuk ruang perawatan
c. cara pembayaran biaya perawatan selama dirawat
d. penyelesaian administrasi menjelang pulang
e. sikap dan perilaku petugas administrasi menjelang
pulang
3.6 Definisi Puskesmas
Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) adalah salah
satu sarana pelayanan kesehatan yang menjadi andalan atau
tolak ukur dari pembangunan kesehatan, sarana, peran serta
masyarakat, dan pusat pelayanan pertama yang menyeluruh
dari suatu wilayah.
Menurut Muninjaya (2004), Puskesmas merupakan unit
teknis pelayanan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang
bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pembangunan
kesehatan disatu atau sebagian wilayah kecamatan yang
mempunyai fungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan
masyarakat, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat
pelayanan kesehatan tingkat pertama dalam rangka
48
pencapaian keberhasilan fungsi puskesmas sebagai ujung
tombak pembangunan bidang kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2003), fungsi Puskesmas dalam
melaksanakan dapat mewujudkan empat misi pembangunan
kesehatan yaitu menggerakkan pembangunan kecamatan
yang berwawasan pembangunan, mendorong kemandirian
masyarakat dan keluarga untuk hidup sehat, memelihara dan
meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata
dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan
kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat serta
lingkungannya.
1. Program Kesehatan Puskesmas
Agar dapat memberikan kontribusi dan distribusi terhadap
masyarakat dalam pelayanan kesehatan secara menyeluruh
di wilayah kerjanya, puskesmas memiliki atau menjalankan
beberapa program pokok yang meliputi :
o Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
o Keluarga Berencana (KB)
o Usaha Perbaikan Gigi
o Kesehatan Lingkungan
o Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (P2PM)
o Pengobatan Termasuk Pelayanan Darurat Karena
Kecelakaan
o Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (Promkes)
o Kesehatan Sekolah
o Kesehatan Jiwa
o Laboratorium Sederhana
o Pencatatan Pelaporan dalam Rangka Sistem Imunisasi
Kesehatan
49
o Kesehatan Olahraga
o Kesehatan Usia Lanjut
o Keehatan Gigi dan Mulut
o Pembinaan Obat Tradisional
o Perawatan Kesehatan Masyarakat
Berdasarkan enam belas (16) program puskesmas yang
disebutkan tersebut, dibedakan menjadi dua yaitu program
kesehatan dasar dan program kesehatan pengembangan.
Program kesehatan dasar ada enam atau yang dikenal
dengan The Six Basic yang terdiri dari Promosi Kesehatan,
Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk
Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi, Pemberantasan Penyakit
Menular dan Pengobatan Dasar, sedangkan program
kesehatan pengembangan yang dimaksud disini adalah
program lain yang sesuai kondisi, masalah, dan kemampuan
puskesmas setempat. Misalnya adalah berupa puskesmas
yang letaknya perkotaan, puskesmas daerah wisata
puskesmas daerah industry dan puskesmas daerah terpencil.
2. Kedudukan Puskesmas
Dalam Sistem Kesehatan Nasional (2004), dijelaskan
kedudukan puskesmas adalah sebagai berikut :
o Puskesmas sebagai aspek fungsional, dalam hal ini
puskesmas dibedakan menjadi tiga bidang yaitu bidang
pelayanan kesehatan masyarakat artinya puskesmas
merupakan pelaksana pelayanan kesehatan masyarakat
tingkat pertama yang dibina oleh pihak dinas kesehatan
kabupaten atau kota, yang kedua dibidang pelayanan
medic artinya puskesmas merupakan unit pelayanan medis
50
dasar tingkat pertama yang secara teknis dapat
berkoordinasi dan bekerjasama dengan RSUD kabupaten
atau kota, yang ketiga adalah puskesmas berkedudukan
sebagai pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
merupakan ujung tombak sistem pelayanan kesehatan di
Indonesia.
o Puskesmas sebagai aspek organisasi structural dan
berkedudukan sebagai pelaksana teknis dinas dipimpin
oleh seorang kepala, yang berada dibawah dan
bertanggungjawab kepada kepala kabupaten/ kota dan
secara operasional dikoordinasikan oleh camat.
Secara rumusan organisasi puskesmas sebagai UPTD dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota bahwa puskesmas juga
memiliki peran ganda sebagai tugas teknis operasional
untuk melaksanakan kegiatan teknis yang langsung
berhubungan dengan masyarakat dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota mempunyai tugas untuk menetapkan
struktur organisasi puskesmas dengan pertimbangan beban
kerja dan potensi sumber daya yang ada di puskesmas.
3.7 Fungsi Puskesmas
Puskesmas sesuai dengan fungsinya sebagai pusat
pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan
masyarakat, menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan
yang bermutu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan kesehatan nasional yaitu terwujudnya
kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Fungsi
puskesmas dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu :
51
1. Sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan
kesehatan masyarakat diwilayah kerjanya melalui, sebagai
berikut:
a. Upaya menggerakkan lintas sector dan dunia usaha di
wilayah kerjanya agar menyelenggarakan pembangunan
yang berwawasan kesehatan
b. Keaktifan memantau dan melaporkan setiap program
pembangunan di wilayah kerjanya
c. Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan
penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan
2. Pusat pemberdayaan masyarakat
a. Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat,
keluarga, dan masyarakat memliki kesadaran, kemauan
dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat
untuk hidup sehat serta menetapkan, menyelenggarakan
serta memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya.
b. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis
materi dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan
kepada masyarat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak
menimbulkan ketergantungan.
3. Pusat pelayanan kesehatan pertama
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama
secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan
melalui pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan
kesehatan masyakat.
52
3.8 Ruang lingkup dan wilayah kerja puskesmas
Wilayah kerja puskesmas meliputi satu kecamatan atau
sebagian dari kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas
daerah, keadaan geografi dan keadaan infrastruktur lainnya
merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah
kerja puskesmas. Puskesmas merupakan perangkat
Pemerintah Daerah Tingkat II sehingga pembagian wilayah
kerja puskesmas ditetapkan oleh Bupati atau Walikota,
dengan saran teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota. Sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah
puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap puskesmas.
Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka
puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan
yang lebih sederhana disebut puskesmas pembantu dan
puskesmas keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah
penduduk satu juta lebih, wilayah kerja puskesmas bias
meliputi satu kelurahan. Puskesmas di ibukota kecamatan
dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan
“Puskesmas Pembina” yang berfungsi senagai pusat rujukan
bagi puskesmas kelurahan dan juga mempunyai fungsi
koordinasi.
Dalam perkembangannya, batasan-batasan di atas
makin kabur seiring dengan diberlakukannya Undang-
undang Otonomi Daerah yang lebih mengedepankan
desentralisasi. Dengan otonomi, setiap Daerah tingkat II
mempunyai kesempatan mengembangkan puskesmas sesuai
dengan rencana strategis (renstra) Kesehatan Daerah dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
BIdang Kesehatan sesuai situasi dan kondisi DaerahTingkat II.
53
3.9 Manajemen Layanan Puskesmas
Manajemen puskesmas didefinisikan sebagai rangkaian
kegiatan yang bekerja secara sistematis untuk menghasilkan
luaran puskesmas yang efektif dan efisien. Rangkaian
kegiatan sistematis yang dilaksanakan puskesmas membentuk
fungsi-fungsi manajemen. Manajemen puskesmas dise-
lenggarakan sebagai berikut :
1. Proses pencapaian tujuan puskesmas
2. Proses menyelaraskan tujuan organisasi dan tujuan
pegawai puskesmas menurut Drucker
3. Proses mengelola dan memberdayakan sumber daya dalam
rangka efisien dan efektivitas puskesmas
4. Proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
5. Proses kerja sama dan kemitraan dalam pencapaian tujuan
puskesmas
6. Proses mengelola lingkungan
3.10 Tujuan Program Manajemen Puskesmas
Adapun beberapa tujuan dari program manajemen
puskesmas adalah sebagai berikut :
2. Manajemen puskesmas adalah proses menyelaraskan
tujuan organisasi dan tujuan pegawai puskesmas
(Management by objectives /MBO) menurut Drucker,
pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas bertujuan untuk mendukung tercapainya
tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di
wilayah kerja puskesmas agar terwujudnya derajat
54
kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka
mewujudkan Indonesia Sehat 2010 (Departemen
Kesehatan, 2004). Untuk mewujudkan tujuan puskesmas
tersebut, perlu dijabarkan dalam tujuan, sasaran, dan target
rencana operasional puskesmas, namun tidaklah mudah
memadukan tujuan, sasaran dan target semua pihak yang
berkepetingan (stake holder) organisasi. Sekalipun
demikian, hal ini bukanlah sesuatu yang muskil
dilaksanakan. Pendekatan partisipatif yang telah berhasil
diterapkan adalah melalui management by objectives (MBO)
atau Manajemen berdasarkan sasaran/ tujuan yang
diperkenalkan oleh Drucker (1954) dalam buku The Practice
of Management. MBO menurut Hersey dan Blanchard (1982)
adalah suatu proses dimana pimpinan dan pegawai dalam
suatu organisasi mengidentifikasi tujuan bersama-sama,
menetapkan bidang tanggungjawab pokok setiap pegawai
dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan dari
pegawai, serta menggunakan hal itu sebagai pedoman
pengorganisasian unit kerja dan penilaian kontribusi
masing-masing anggota unit kerja yang bersangkutan.
Kelancaran berfungsinya sistem MBO adalah adanya
kesepakatan antara pimpinan dengan pegawai tentang tujuan
kinerja pegawai dan tujuan kinerja organisasi dalam periode
waktu yang ditentukan. Tujuan-tujuan tersebut menekankan
pada variabel keluaran atau variabel antara atau kombinasi
keduanya. Hal yang penting adalah bahwa tujuan-tujuan itu
ditetapkan dan disepakati bersama-sama, kemudian
dilanjutkan dengan evaluasi bersama-sama, antara pimpinan
dan pegawai terhadap pencapaian kinerja pegawai dan
55
organisasi yang telah disepakati bersama-sama sebelumnya.
Tujuan yang dirumuskan dengan mengikutsertakan pegawai
cenderung lebih dapat diterima daripada tujuan yang
ditetapkan sendiri oleh pimpinan dan dapat mewujudkan
tanggungjawab pegawai untuk memikul tugas dalam upaya
pencapaian tujuan. Sebelum penyusunan tujuan pegawai,
pimpinan menjelaskan tujuan organisasi secara keseluruhan
dan dibandingkan dengan tujuan yang telah dicapai secara
actual, melakukan analisis kesenjangan, melakukan
penyesuaian yang diperlukan dan menghilangkan tujuan
yang tidak tepat. Pada akhir periode waktu misalnya pada
akhir bulan dan akhir tahun dilakukan evaluasi bersama atas
pencapaian kinerja aktual dan target serta tujuan organisasi.
Apabila terdapat ketidaksesuaian antara target dan
pencapaiannya dilakukan langkah-langkah yang perlu untuk
mengatasi masalah yang ada. MBO dapat digunakan sebagai
alat yang efektif untuk mewujudkan kohesivitas dan
produktivitas yang tinggi bagi organisasi dimana pimpinan
menyadari bahwa keikutsertaan pegawai seperti ini sesuai
dengan situasinya. Keberhasilan penerapan MBO menurut
Handoko (2003) terutama didasarkan atas 2 hipotesis, yaitu :
a. Bila seseorang melekat secara kuat pada suatu tujuan, dia
akan bersedia melakukan usaha lebih untuk meraihnya
dibanding bila seseorang tidak merasa terikat, dan
b. Kapan saja seseorang memperkirakan sesuatu akan terjadi,
dia akan melakukan apa saja untuk membuatnya terjadi.
Penerapan MBO pada Penyusunan Rencana Operasional
Tahunan Puskesmas. Langkah-langkah penyusunan rencana
56
operasional (RO) tahunan Puskesmas dengan konsep MBO
adalah sebagai berikut :
1. Kepala Puskesmas menjelaskan dan menetapkan tujuan
dan target kinerja program Puskesmas dalam rencana
strategis (Renstra) Puskesmas meliputi visi, misi tujuan,
kebijakan, strategi dan program/ upaya Puskesmas dengan
mengacu pada Kebijakan Dasar Puskesmas (Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 128/ Menkes/ SK/ 2004),
2. Revisi dan penyempurnaan struktur organisasi dan tata
kerja (SOTK) Puskesmas yang perlu dilakukan meliputi
perubahan penanggungjawab program Puskesmas, uraian
tugas dan fungsi (Tupoksi), hubungan dan kerjasama lintas
program dan lintas sektor, wewenang, rentang kendali, dan
sebagainya.
3.11 Penilaian Mutu Pelayanan Kesehatan di Puskesmas
Penilaian mutu pelayanan puskesmas merupakan suatu
proses manajemen yang dilakukan secara sistematis, obyektif,
terpadu dan berkesinambungan serta berorientasi pada
pelanggan.
Menurut Satrianegara (2014), dari beberapa ahli tentang
mutu, dapat dirangkum ada 9 dimensi mutu, sebagai berikut :
1. Manfaat, pelayanan kesehatan yang diberikan
menunjukkan manfaat dan hasil yang diinginkan
2. Ketepatan, pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien dan sesuai dengan standar
keprofesian
57
3. Ketersediaan, pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
tersedia
4. Keterjangkauan, pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
tersedia
5. Kenyamanan, pelayanan kesehatan dalam suasana nyaman
6. Hubungan interpersonal, pelayanan kesehatan yang
diberikan memperlihatkan komunikasi, rasa hormat,
perhatian, dan empati yang baik
7. Waktu, pelayanan kesehatan yang diberikan
memperlihatkan waktu tunggu pasien dan tepat waktu
sesuai perjanjian
8. Kesinambungan, pelayanan kesehatan yang diberikan
dilaksanakan secara berkesinambungan, pasien yang
memerlukan tindak lanjut perawatan perlu ditindaklanjuti
9. Legitimasi dan akuuntabilitas, pelayanaankesehatan yang
diberikan dapat dipertanggungjawabkan, baik dari aspek
medik maupun aspek hukum.
Penilaian mutu pelayanan puskesmas meliputi sebagai
berikut;
1. Penilaian input pelayanan berdasarkan standar yang
ditetapkan
2. Penilaian proses pelayanan dengan menilai tingkat
kepatuhannya terhadap standar pelayanan yang ditetapkan
3. Penilaian output pelayanan berdasarkan upaya kesehatan
yang diselenggarakan. Yaitu masing-masing program/
kegiatan mempunyai indikator mutu tersendiri, sebagai
contoh angka drop out pengobatan pada program
penanggulangan TB
58
4. Penilaiana outcome pelayanan antara lain melalui
pengukuran tingkat kepuasan pengguna jasa pelayanan
kesehatan
Penilaian mutu pelayanan kesehatan puskesmas saat ini
antara lain diukur oleh :
1. Drop out pelayanan ante natal care/ ANC (K1-K4)
2. Persalinan oleh tenaga kesehatan
3. Error rate pemeriksaan BTA
4. Kepatuhan terhadap standar ANC
5. Kepatuhan terhadap standar pemeriksaan TB paru
6. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan puskesmas
59
BAB 4 KONSEP KUALITAS DALAM
PELAYANAN KESEHATAN
4.1 Teori kualitas
Kata kualitas berasal dari bahasa latin “qualis” yaitu ciri-
ciri utama (keunggulan yang baik dan keunggulan yang
berkualitas) (Wicks & Roethlein, 2009). Menurut (Prajogo &
Sohal, 2001) kualitas merupakan kelayakan pelayanan untuk
tetap kekal bertahan.
Kualitas didefinisikan sebagai keseluruhan penilaian
afektif dari setiap perilaku konsumen yang merasa puas
(Wicks & Roethlein, A Satisfaction-Based Definition of
Quality, 2009). Kualitas adalah kesesuaian dengan ketentuan
dan tidak memiliki cacat cela (Crosby, 1979). Maka untuk
mencapai kualitas pelayanan tanpa membedakan aspek-aspek
penting dari kualitas adalah suatu hal yang mustahil
(Mosahab, et al., 2010). Sharma, et al., (2012) menunjukkan
beberapa definisi kualitas yang diuraikan antara lain, kualitas
adalah menempati syarat atau standar, kualitas adalah
ketepatan menyediakan pelayanan berkualitas berdasarkan
keinginan pasaran, kualitas adalah apa yang konsumen
inginkan, dan keseluruhan ciri dari produk atau pelayanan
yang bertujuan untuk memenuhi keperluan konsumen.
Juran (1992) mendefinisikan kualitas sebagai suatu
standar khusus yang mana kemampuan, kinerja, kekangan,
kemudahan pemeliharaan dan ciri-ciri dapat diukur.
selanjutnya Juran (1998) menegaskan bahwa kualitas
merupakan kesesuaian untuk penggunaan sehingga suatu
60
produk atau pelayanan harus sesuai dengan apa yang
diharapkan pengguna. Juran (1998) juga mengemukakan
dimensi kualitas, di antaranya rancangan sebagai ketentuan
produk atau pelayanan, kesesuaian antara rancangan dengan
produk, ketersediaan yang merupakan aspek kepercayaan,
ketahanan, ketersediaan produk keamanan yang bermaksud
tidak membahayakan, sebagai kegunaan yang dapat
dimanfaatkan pada penggunaannya.
Kualitas menurut Crosby (1979) kualitas adalah tanpa
cacat cela, kesempurnaan dan kesesuaian terhadap
persyaratan. Kualitas memiliki makna ganda yaitu kualitas
terdiri dari ciri-ciri produk yang memenuhi keperluan
konsumen dan dengan demikian memberikan kepuasan
terhadap produk pelayanan, serta kualitas terkait dengan
keperluan konsumen.
Deming (1986) menekankan pada kesesuaian sifat
produk atau pelayanan dengan keperluan pengguna
pelayanan atau produk. Seterusnya, Deming (1986)
menjelaskan beberapa hal penting dalam pengembangan
kualitas produk dan pelayanan yaitu adanya kepastian untuk
perbaikan produk dan pelayanan, mengimplementasikan
falsafah baru yang mana tidak ada cacat, berhenti bergantung
pada inspeksi massal, berhenti melaksanakan bisnis yang hanya
berorientasi harga, konsisten dan melanjutkan perbaikan
sistem pengeluaran dan pelayanan, meningkatkan metode
pelatihan kerja modern, meningkatkan sistem kepimpinan,
menghilangkan persaingan antar instansi, menghilangkan
ketakutan, menghilangkan tujuan yang menumpukan jumlah
pada pekerja, menghilangkan manajemen berdasarkan
61
sasaran, mengurangi hambatan yang dapat merendahkan diri
para pekerja, meningkatkan program pendidikan dan
pelatihan yang teliti, dan menciptakan struktur dalam
manajemen yang dapat mensukseskan transformasi.
Gaspersz (2002) mendefiniskan kualitas sebagai
keseluruhan dari ciri-ciri suatu pelayanan yang mendukung
kemampuan untuk memenuhi keinginan yang diharapkan.
Kualitas kerap dikaitkan dengan segala sesuatu yang
memuaskan seseorang atau kesesuaian terhadap persyaratan
ataupun keinginan. Manajemen pelayanan menekankan pada
kualitas proses, karena pengguna pelayanan terlibat langsung
dalam proses tersebut. Kualitas adalah standar yang harus
dicapai oleh seseorang atau kumpulan atau institusi atau
organisasi yang berkaitan dengan kualitas sumber daya
manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau
produk yang berupa barang atau pelayanan(Triguno, 1997).
Definisi kualitas adalah sesuatu yang memiliki nilai, tingkat
keunggulan yang berkaitan dengan harga (Feigenbaum, 1991).
Hardie (1998) mengidentifikasi beberapa kategori yang
berkaitan dengan kualitas, kategori tersebut adalah kesesuaian
dengan keperluan, kesesuaian tujuan, persepsi konsumen,
pelayanan melebihi harapan konsumen dan unggul dari
pesaing. Arditi & Gunaydin (1997) mendefinisikan kualitas
sebagai sesuatu yang memenuhi syarat peraturan, estetik dan
fungsi. Pengguna dapat tertumpu pada kualitas spesifikasi
produk atau pelayanan, atau membuat perbandingan dengan
pesaing. Ariani (2004) menjelaskan bahwa kualitas menjadi
salah satu aspek yang menjadi pertimbangan pengguna dalam
62
menentukan atau memilih produk dan pelayanan yang akan
digunakan.
Wyckof (2002) menyatakan definisi kualitas ialah tingkat
keunggulan yang diharapkan. Kualitas merupakan tingkat
keunggulan yang diharapkan dan pengendalian tingkat
keunggulan untuk memenuhi harapan seseorang (Lovelock,
1994). Menurut Berry, Zeithaml & Parasuraman (1985) kualitas
yang diterima didefinisikan sebagai penilaian seseorang
terhadap keseluruhan keunggulan produk, sedangkan
kualitas pelayanan yang dirasakan merupakan pertimbangan
secara umum yang berhubungan dengan kelebihan daripada
pelayanan.
Tjiptono (1997) menguraikan bahwa kualitas
didefinisikan sebagai kesesuaian dengan persyaratan atau
tuntutan, kesesuaian untuk pemakaian, perbaikan atau
penyempurnaan yang berkelanjutan, tidak ada kerusakan atau
cacat, memenuhi keperluan seseorang semenjak awal dan
setiap saat, melakukan segala sesuatu secara benar sejak awal
dan boleh membahagiakan seseorang. Kualitas adalah suatu
keadaan dinamik yang berhubungan dengan pelayanan,
manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau
melebihi harapan (Goetsch & Davis, 2000).
Kotler (2000) menguraikan beberapa dimensi kualitas
yaitu prestasi (ciri-ciri pembeda suatu produk utama), ciri-ciri
atau keistimewaan tambahan, jaminan (probabiliti suatu
produk tidak berfungsi atau gagal, kesesuaian dengan
spesifikasi, daya tahan), keupayaan untuk melayani, nilai
estetik (bagaimana suatu produk atau pelayanan dapat
dirasakan dan didengarkan) serta ketepatan persepsi terhadap
63
kualitas produk atau pelayanan. Menurut Render & Herizer
(2004) kualitas dapat mempengaruhi organisasi dalam
berbagai hal diantaranya biaya dan pasar (kualitas yang
ditingkatkan dapat mengarah kepada peningkatan pasar dan
penghematan biaya, keduanya dapat mempengaruhi
keuntungan), reputasi organisasi (reputasi organisasi
mengikuti reputasi kualitas yang dihasilkan),
pertanggungjawaban produk (organisasi memiliki tanggung
jawab yang besar atas segala akibat pemakaian barang
maupun pelayanan), dan implikasi antar negara (dalam era
teknologi, kualitas merupakan perhatian pembeda antar
negara).
Dalam rangka meningkatkan penjualan, para pengurus
harus memanfaatkan berbagai model pelayanan dan standar
yang berhubungan dengan kualitas (Pryor, et al., 2009).
Penyedia pelayanan dan pasien setuju bahwa perawat yang
berkualitas merupakan komponen penting dari prestasi
kesehatan (Shih & Schoenbaum, 2007). Kualitas dianggap
sebagai salah satu faktor penting dalam perbandingan dan
kesuksesan pelayanan yang merupakan asas persaingan
dengan tujuan agar difahami, diukur, dan diaplikasikan oleh
semua organisasi pelayanan kesehatan (Kumar, et al, 2012).
Berikut ini panduan untuk meningkatkan sektor kualitas
atau kualitas umum (Riley & Nwoke, 2007). Kepuasan
konsumen harus menjadi objektif utama dan tolak ukur utama
kualitas. Selain itu memastikan definisi "konsumen"
menyangkut semua dimensi internal (pekerja dalam seluruh
posisi) dan dimensi eksternal (pemasok, petugas pajak,
distibutor, pengguna pelayanan dan lain-lain). Kemudiannya
64
menyebarkan dan menyampaikan pesan dalam organisasi
berdasarkan pandangan konsumen, memberi motivasi kepada
organisasi atau “teamwork”, menggalakkan inovasi, dan
meningkatkan proses kerja dalam semua tingkatan. Sebagai
tambahan pemberian pelatihan secara menyeluruh, memberi
peluang untuk mengembangkan diri di peringkat individu
dan organisasi, serta penglibatan pekerja di semua tingkatan
merupakan hal yang sangat penting.
Gaspersz (2002) menguraikan pandangan tradisional
mengenai kualitas yaitu memandang kualitas sebagai isu
teknikal. Ia juga menyatakan bahwa usaha perbaikan kualitas
dikoordinasikan oleh pimpinan. Kualitas juga memberi fokus
kepada fungsi pengeluaran, daya pengeluaran dan kualitas
merupakan sasaran yang bertentangan. Selain itu kualitas
didefinisikan sebagai kesesuaian terhadap ketentuan atau
standar (membandingkan produk terhadap ketentuan).
Kualitas juga diukur melalui derajat ketidaksesuaian
menggunakan ukuran kualitas internal. Kualitas dicapai
melalui tinjauan secara intensif terhadap produk, beberapa
kerusakan atau cacat diperbolehkan apabila produk telah
memenuhi standar kualitas minimum. Kualitas adalah fungsi
terpisah dan tertumpu pada penilaian pengeluaran serta
hubungannya dengan pembekal yang bersifat jangka pendek
dan berorientasikan harga.
Pandangan modern tentang kualitas menurut Gaspersz
(2002) adalah kualitas dikatakan sebagai isu bisnis. Usaha
perbaikan kualitas diarahkan oleh pengelola. Kualitas
mencakupi fungsi dalam organisasi serta produktivitas.
Kualitas juga merupakan sasaran yang bersesuaian, karena
65
hasil-hasil produktivititas dapat dicapai melalui peningkatan
atau perbaikan kualitas. Kualitas secara tepatnya didefinisikan
sebagai persyaratan untuk memuaskan keperluan pengguna
atau konsumen. Selain itu kualitas sebagai perbandingan
produk terhadap persaingan di pasaran. Kualitas dapat
diukur melalui perbaikan proses produk dan kepuasan
penggunaan atau konsumen secara berkelanjutan. Dengan
menggunakan ukuran-ukuran kualitas berasaskan keinginan
konsumen, kualitas ditentukan melalui desain produk dan
dicapai melalui teknik pengendalian yang efisien. Selain
daripada itu ukuran kualitas dapat dilihat melalui kepuasan
konsumen selama masa pakai produk. Kualitas adalah
bahagian daripada fungsi kitaran hidup produk. Manajemen
juga bertanggung jawab terhadap kualitas produk. Hubungan
dengan pemasok bersifat jangka panjang dan berorientasi
pada kualitas.
4.2 Definisi kualitas pelayanan
Kualitas pelayanan adalah keseluruhan keunggulan
pelayanan (Parasuraman, et al., 1988). Menurut Wang & Shieh
(2006), kualitas pelayanan merupakan perbedaan antara
harapan konsumen dan persepsi pelayanan yang diberikan
oleh organisasi kepada konsumen. Kajian Ramseook-
Munhurrun, et al., (2010) menunjukkan bahwa pelayanan
masyarakat gagal memenuhi harapan konsumen.
Kualitas merupakan suatu keadaan dinamik yang
berikaitan dengan pelayanan, manusia, proses dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan. Makna kualitas
mempunyai banyak pengertian. Sebagai contoh definisi
66
kualitas menurut Tjiptono (2000) adalah mematuhi syarat atau
kriteria sesuai untuk penggunaan, peningkatan secara
berkelanjutan, tiada kerusakan atau kecacatan, memenuhi
keperluan konsumen sepanjang masa, melakukan sesuatu
secara betul, dan sesuatu yang bisa menggembirakan hati
konsumen.
Konsep kualitas dalam pendekatan organisasi yaitu
hubungan antara input, proses dan output. Kualitas dan
organisasi adalah sistem terbuka, malah hubungan antara
organisasi dan elemen kualitas juga amat jelas. Maka,
pemahaman tentang sistem terbuka ini adalah penting bagi
pelaksanaan kualitas dalam organisasi. Pada peringkat
kualitas, input keperluan konsumen perlu diutamakan
sebelum pelaksaan sistem manajemen kualitas. Oleh itu,
organisasi perlu mendapat informasi lengkap mungkin
tentang keperluan konsumen sebelum menetapkan informasi
yang berkualitas. Seterusnya, di tiingkat output organanisasi
juga harus dapat menyediakan pelayanan yang dapat
memberikan kepuasan dan percayaan kepada konsumen
terhadap pelayanan yang disediakan ( Kadir Arifin 2009).
Seterusnya, menurut Sanapiah (2000), memberikan
pelayanan berkualitas bukanlah sesuatu yang mudah untuk
dijalankan. Pelayanan yang berkualitas lebih berkaitan dengan
keupayaan memberikan pelayanan yang berkualitas, efektif
dan efesien. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Batinggi &
Badu, (1997) yang menyatakan bahwa pelayanan yang
berkesan adalah apabila masyarakat atau konsumen yang
puas terhadap pelayanan tersebut. Tanda dalam situasi ini
adalah tidak adanya atau kurangnya keluhan yang diterima.
67
Batinggi & Badu (1997) juga menyatakan bahwa untuk
meningkatkan kualitas pelayanan, maka pihak penyedia jasa
seharusnya senantiasa berusaha untuk melakukan perbaikan
secara berkelanjutan.
Tjiptono (2000) menjelaskan terdapat tiga ciri dari
definisi tentang kualitas yaitu ciri output dari suatu proses
yang memenuhi kepuasan konsumen, kualitas harus
didefinisikan secara operasional dengan cara
mengkombinasikan pemahaman mengenai konsumen dan
pemahaman jelas mengenai proses, dan komponen-komponen
proses yang mempunyai hubungan sebab akibat untuk
pengendalian proses.
Dalam pandangan Parasuraman et al (1988), kualitas
pelayanan merupakan bahan bagi penilaian keseluruhan dari
pelayanan yang dihasilkan di antara penyedia pelayanan dan
konsumen.
Menurut Hu, et al., (2010) model pelayanan menjelaskan
sebab kualitas pelayanan tidak dapat memenuhi permintaan
konsumen, dan menganggap bahwa terdapat lima jurang
kualitas pelayanan dalam memenuhi permintaan konsumen.
Lima jurang tersebut adalah perbedaan antara harapan
konsumen dan penyedia pelayanan, perbedaan antara
manajemen dan tolak ukur kualitas pelayanan, perbedaan
antara tolak ukur kualitas penyedia pelayanan, perbedaan
antara pelayanan yang disediakan dan komunikasi, serta
perbedaan antara pelayanan konsumen dan pelayanan yang
diharapkan.
68
Pelayanan yang berkualitas tinggi sangat penting bagi daya
saing industri pelayanan (Shahin & Samea, 2010). Culiberg &
Rojsek (2010), menjelaskan bahwa kualitas pelayanan dapat
dilihat sebagai keunggulan yang dapat berdaya saing dengan
berbagai pelayanan. Namun dimensi kualitas pelayanan yang
memiliki ciri khas dan sukar untuk ditiru merupakan sumber
keuntungan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, industri
pelayanan harus menitikberatkan dimensi kualitas pelayanan
yang relevan dengan industri masing-masing (Chow & Luk,
2005).
Pemerintah perlu memiliki keupayaan untuk
mengurangkan biaya perawat kesehatan dan meningkatkan
taraf rumah sakit melalui latihan yang terakreditasi bagi
meningkatkan tahap kualitas pelayanan (Sohail, 2003),
seterusnya dapat memajukan organisasi melalui pengawalan
kualitas pelayanan yang dijalankan. Kualitas pelayanan
dianggap sebagai perbedaan antara harapan konsumen dan
ketepatan pelayanan yang diterima (Kumar, Manjunath,
&Chethan, 2012). Aiken, et al., (2002) menjelaskan bahwa
laporan perawat dari perawat menunjukkan kualitas tiga kali
lebih rendah bagi rumah sakit disebabkan staf yang tidak
mencukupi berbanding dengan rumah sakit yang memiliki
cukup staf.
Menurut Boulding, Kalra, Staelin, & Zeithaml (1993),
persepsi dipengaruhi oleh harapan seseorang terhadap
penyedia pelayanan dan juga pelayanan yang diterima.
Sebagai contoh, dua konsumen yang mendapatkan pelayanan
yang sama mempunyai persepsi kumulatif yang berbeda dari
pelayanan apabila mereka mempunyai harapan berbeda
69
terhadap pelayanan tersebut. Menurut Tjiptono (2005),
kualitas pelayanan mempunyai pengaruh besar terhadap
kepuasan konsumen, “word-of-mouth” komunikasi, pembelian
semula, kesetiaan konsumen, keperluan pasar dan keuntu-
ngan. Setelah konsumen memberikan penilaian terhadap kua-
litas pelayanan yang diberikan oleh organisasi, maka kualitas
pelayanan yang memenuhi harapan konsumen tersebut akan
memberikan kepuasan, sebaliknya kualitas pelayanan yang
tidak memenuhi harapan konsumen akan menimbulkan rasa
ketidakpuasan. Konsumen yang puas terhadap pelayanan
yang diberikan organisasi akan melakukan pembelian kembali
secara berkelanjutan sehingga akan menimbulkan perasaan
setia terhadap barang atau pelayanan.
Tahap kualitas pelayanan merupakan aspek penting
dalam penawaran pelayanan. Kualitas pelayanan merupakan
salah satu faktor penting yang menjadi penilaian prestasi
pelayanan oleh konsumen terhadap sebuah organisasi. Dalam
pemasaran produk, kualitas merupakan tahap prestasi suatu
produk, manakala dalam pemasaran pelayanan, kualitas
pelayanan aalah berdasarkan persepsi terhadap prestasi
pelayanan. Kualitas pelayanan yang tinggi adalah prestasi
pelayanan yang diharapkan melebihi atau sama dengan
prestasi yang dipersepsikan oleh konsumen.
Menurut Zeitnhaml, Berry, & Parasuraman (1996),
kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagai tahap per-
bedaan antara harapan dengan persepsi konsumen. Harapan
konsumen terhadap suatu pelayanan dan produk yang
ditawarkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu “word of
mouth” komunikasi yang merupakan segala perkara yang
70
didengar atau yang diterima oleh konsumen melalui orang
lain, “personal needs” yaitu tahap keperluan seseorang ter-
hadap suatu produk atau pelayanan dari suatu organisasi
tertentu, “past experience” yaitu pengalaman yang telah dite-
rima oleh konsumen dalam penggunaan produk atau pela-
yanan suatu organisasi tertentu, “external komunikasi” yaitu
pesan yang disampaikan oleh organisasi kepada masyarakat
umum.
Sementara itu Berry, Zeithaml, & Parasuraman (1985),
berdasarkan kajian mengenai kualitas pelayanan terhadap
konsumen dalam industri pelayanan, mereka telah menge-
tahui lima jurang penyebab kegagalan dalam penyampaian
pelayanan, pertama yaitu jurang antara harapan konsumen
dan persepsi konsumen. Kedua, jurang antara persepsi penye-
dia jasa terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas
pelayanan, pihak penyedia jasa sebagai sebuah organisasi
tidak memahami apa yang diinginkan oleh konsumen secara
tepat. Pihak penyedia jasa mampu memahami secara tepat apa
yang diinginkan oleh konsumen, tetapi mereka tidak mampu
menggunakan standar prestasi yang jelas. Hal ini disebabkan
oleh tiga faktor yaitu komitmen manajemen terhadap kualitas
pelayanan, kekurangan sumber daya manusia dan cara
penyampaian pelayanan. jurang antara spesifikasi kualitas
pelayanan dan penyampaian pelayanan. Hal ini disebabkan
pekerja yang kurang terlatih, beban kerja yang tinggi, tidak
memenuhi standar pekerjaan atau prestasi yang ditetapkan.
jurang antara penyampaian pelayanan dan hasil komunikasi,
harapan konsumen dipengaruhi oleh iklan atau janji yang
dibuat oleh organisasi, risiko yang dihadapi organisasi adalah
71
apabila janji yang diberikan tidak dapat dipenuhi. jurang
antara pelayanan yang diterima dan pelayanan yang diha-
rapkan, jurang ini terjadi apabila konsumen mengukur
prestasi organisasi dengan pandangan yang berbeda ber-
dasarkan persepsi masing-masing terhadap kualitas pelaya-
nan tersebut.
Pada masa ini, konsumen adalah bukan orang yang
terus mendapatkan produk atau pelayanan yang ditawarkan
organisasi secara langsung tanpa memandang kualitas produk
atau pelayanan, ini karena konsumen mempunyai hak dan
pengetahuan tentang kepercayaan produk atau pelayanan
(Kadir Arifin 2009).
Beberapa ahli pemasaran merumuskan dimensi atau faktor
yang digunakan konsumen dalam menilai kualitas untuk
organisasi pelayanan, di antaranya adalah berdasarkan model
yang dijelaskan oleh Gronroos, (1984) dan Zeithaml, Berry, &
Parasuraman, (1996).
4.3 Dimensi Umum kualitas pelayanan
Parasuraman, Zeithaml, & Berry, (1988) dan Mohammad
& Alhamadani, (2011) menyatakan bahwa terdapat sepuluh
kriteria dan dimensi kualitas pelayanan yaitu kepercayaan
yaitu kemampuan organisasi memberikan pelayanan pada
waktu yang tepat dan sesuai dengan janji atau kesepakatan
konsumen yang telah dibuat. respon yaitu kecenderungan dan
kesediaan penyedia pelayanan untuk membantu konsumen
dan memenuhi keperluan mereka seperti kecepatan dalam
memberi respon terhadap pertanyaan konsumen, dan segera
dalam menyelesaikan masalah konsumen. Kompeten yaitu
72
mempunyai kemahiran dan pengetahuan yang membolehkan
pekerja melaksanakan tugas mereka dengan baik. Akses-
belilitas yaitu menyediakan akses yang mudah atau keter-
jangkauan terhadap pelayanan dari aspek lokasi dan
komunikasi melalui telefon, internet, atau kemudahan
lainnya. Kesopanan yaitu memberi pelayanan kepada konsu-
men dengan hormat, mesra, sopan, memahami perasaan
mereka dan menjawab panggilan telefon dengan suara yang
lembut. Komunikasi yaitu komunikasi yang sopan ketika
berinteraksi dengan konsumen, menyampaikan pesan dengan
jelas dan kemudahan komunikasi dengan pekerja. Kredibilitas
yaitu kejujuran dan kepercayaan penuh terhadap penyedia
pelayanan. Keselamatan yaitu pelayanan yang bebas dari
risiko, bahaya, cacat dan keraguan dalam memberikan
keselamatan anggota tubuh badan, jaminan keuangan serta
kesulitan individu dalam mendapatkan pesan. Kefahaman
yaitu kemampuan dalam menentukan keperluan konsumen
serta memahami masalah mereka. Penampilan yaitu merang-
kumi aspek fisik yang berhubungan dengan pelayanan meng-
gunakan instrumen atau peralatan, penampilan fisik dari
karyawan, kemudahan fisik seperti bangunan, hiasan dan
kemudahan pelayanan lain.
Berdasarkan sepuluh dimensi yang telah dikemukakan,
dimensi-dimensi tersebut telah diintegrasikan menjadi lima
dimensi. SERVQUAL yang dibangun oleh Parasuraman et al.
(1988) yang telah banyak digunakan sebagai instrumen untuk
menilai kualitas pelayanan. Berikut adalah alat pengukuran
berdasarkan lima dimensi antara lain keandalan yaitu kemam-
puan untuk memberikan pelayanan yang tepat. Respon yaitu
73
kesediaan untuk membantu konsumen dan memberikan
pelayanan yang segera. Penampilan yaitu kemudahan fisik,
peralatan dan penampilan pekerja. Jaminan yaitu karyawan
yang berpengalaman, kesopanan dan kemampuan untuk
memberikan kepercayaan dan keyakinan serta empati yaitu
perhatian secara individu yang diberikan kepada konsumen.
Gronroos, (1998) mengetahui enam dimensi kualitas
pelayanan yang dapat digunakan untuk menilai kualitas
pelayanan, dimensi-dimensi tersebut adalah profesionalisme
dan kemahiran yaitu konsumen mengetahui bahwa penyedia
jasa, karyawan, sistem pembedahan dan sumber fisik mem-
punyai pengetahuan dan kepakaran yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah mereka dengan cara yang profesional
(kriteria yang berhubungan dengan hasil). Sikap dan tingkah
laku yaitu konsumen merasa bahwa karyawan memberi
perhatian kepada mereka dan berminat dalam menyelesaikan
masalah mereka dengan penuh kerelaan dan keakraban
(kriteria berhubungan dengan proses). Aksesbilitas dan kelu-
wesan yaitu konsumen merasa bahwa penyedia jasa, lokasi
kerja, waktu pekerja dan sistem dirancang dilaksanakan untuk
memudahkan dalam memberikan pelayanan supaya berse-
suaian dengan permintaan dan keinginan pengguna secara
fleksibel (kriteria yang berhubungan dengan proses).
Keandalan dan kejujuran yaitu konsumen mengetahui bahwa
segala perkara yang telah ditetapkan atau dijanjikan akan
dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh penyedia pelayanan,
pekerja dan sistem (kriteria yang berhubungan dengan
proses). Pemulihan yaitu konsumen menyadari bahwa apabila
berlaku perkara negatif atau tidak terjangkau, penyedia jasa
74
akan segera dan proaktif dalam mengambil tindakan untuk
mengawal situasi dan mendapatkan penyelesaian yang dapat
diterima (kriteria yang berhubungan dengan proses). Reputasi
dan kredibilitas yaitu konsumen meyakini bahwa pelaksanaan
dari penyedia jasa boleh dipercaya dan memberi nilai atau
faedah yang sesuai dengan usahanya (kriteria yang
berhubungan dengan citra).
Sementara Parasuraman, Leonard & Zeithaml, (1985)
mengahui sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas
pelayanan, yaitu keandalan yang berkaitan dengan dua per-
kara utama yaitu konsisten dalam bekerja dan dapat diper-
caya. Organisasi memberi pelayanan secara tepat pada kun-
jungan pertama. Selain itu, organisasi memenuhi janjinya
dengan menyampaikan pelayanan berdasarkan jadwal yang
disepakati. respon, kesediaan pekerja untuk menyediakan
pelayanan yang diperlukan oleh konsumen. Kompeten, setiap
orang dalam sebuah organisasi mempunyai kemahiran dan
pengetahuan yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan
tertentu. Aksesbilitas, meliputi kemudahan untuk dihubungi
dan diikuti. Kesopanan, meliputi sikap sopan santun, hormat,
perhatian dan keramahan yang dimiliki para “contact
personnel” (seperti penyambut tamu, operator telefon). Komu-
nikasi, memberikan pesan kepada konsumen dalam bahasa
yang mereka fahami serta senantiasa mendengar cadangan
dan aduan dari konsumen. Kredibilitas, yaitu sifat jujur dan
boleh dipercaya. Kewibawaan dalam aspek nama organisasi,
reputasi organisasi, ciri-ciri pribadi pada “contact personnel”
dan interaksi dengan konsumen. Keselamatan, yaitu kese-
lamatan dari bahaya, risiko atau keraguan. Aspek ini meliputi
75
keselamatan fisik, jaminan keuangan, dan kerahasiaan.
Memahami/mengetahui konsumen, yaitu usaha untuk mema-
hami keperluan konsumen. Penampilan, yaitu bukti fisik dari
pelayanan seperti kemudahan fisik, peralatan yang diguna-
kan, perwakilan fisik pada pelayanan (seperti kartu kredit).
Selanjutnya, sepuluh dimensi kualitas pelayanan
tersebut telah digabungkan menjadi lima dimensi utama saja
oleh Parasuraman et al., (1988). Dimensi kompeten, keso-
panan, kredibilitas, dan keselamatan digabungkan menjadi
jaminan, sedangkan dimensi aksesbilitas, komunikasi, dan
memahami/mengetahui konsumen digabungkan menjadi
empati. Kelima-lima dimensi kualitas pelayanan tersebut
adalah penampilan, yaitu kemampuan memberikan pelaya-
nan yang dijanjikan dengan segera atau tepat pada waktu dan
kepuasan meliputi aspek kemudahan fisik, kelengkapan dan
penampilan staf. Keandalan, yaitu kemampuan menyediakan
pelayanan yang diharapkan dengan penuh keyakinan, kete-
patan dan konsisten. Responsif, yaitu keinginan memberikan
pelayanan dengan segera dan membantu konsumen. Jaminan,
yaitu meliputi pengetahuan, sopan santun dan kemampuan
pekerja memberikan kepastian dan kepercayaan. Empati, me-
liputi perhatian individu pada konsumen dan perhubungan,
komunikasi yang baik dan memahami keinginan para
konsumen.
4.4 Pengertian Kualitas Pelayanan Kesehatan
Kualitas atau mutu pelayanan kesehatan menjadi hal
yang penting dalam organisasi pelayanan kesehatan,
peningkatan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan
76
pelayanan kesehatan mendorong setiap organisasi pelayanan
kesehatan untuk sadar mutu dalam memberikan pelayanan
kepada pengguna jasa organisasi pelayanan kesehatan. Setiap
permasalahan yang muncul dalam organisasi pelayanan
kesehatan khususnya berkaitan dengan mutu layanan
kesehatan, terdapat tiga konsep utama yang muncul. Konsep
tersebut adalah akses, biaya dan mutu. Tentu saja akses
mencakup akses fisik, keuangan, mental atau intelektual
sumber daya manusia terhadap perawatan dan layanan
kesehatan yang tersedia. Dari ketiga konsep tersebut, elemen
kepuasan konsumen merupakan yang terpenting. Jika
konsumen tidak puas dengan mutu layanan yang diberikan,
pasien tidak akan kembali atau mencari layanan lainnya,
walaupun layanan tersebut tersedia, mudah didapat dan
mudah dijangkau.
Oleh karena itu, mutu layanan yang ditawarkan
merupakan hal yang penting dalam layanan kesehatan.
Namun, mutu harus berasal dari perspektif konsumen karena
mutu layanan merupakan jasa yang diterima oleh konsumen
layanan tersebut.
Jadi apa sebenarnya mutu itu? Apakah sesuatu yang
luar biasa? Apakah sesuatu yang terbaik? Belum tentu
demikian. Mutu dapat berarti suatu cara sederhana untuk
meraih tujuan yang dinginkan, dengan cara yang paling
efisien dan efektif, dan penekanan untuk memuaskan pembeli
atau konsumen. Mutu tidak selalu berarti cara yang paling
mahal untuk melaksanakan segala sesuatu. Sebaliknya, mutu
merupakan sebuah kebutuhan untuk melakukan efisiensi dan
penghematan biaya. Mutu tidak harus berupa layanan atau
77
barang-barang yang mahal. Namun, mutu merupakan sebuah
produk atau layanan yang memadai, mudah dijangkau,
efisien, efektif, dan ama sehingga terus-menerus dievaluasi
dan ditingkatkan.
Secara umum mutu pelayanan kesehatan adalah derajat
kesempurnaan pelayanan akan pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan
menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah
sakit atau puskesmas secara wajar dan efisien dan efektif serta
diberikan secara aman dan memuaskan norma, etika, hukum,
dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan
kemampuan pemerintah dan masyarakat konsumen. Selain
itu, mutu pelayanan kesehatan juga dapat diartikan sebagai
berikut :
1. Menurut pasien atau masyarakat adalah empati, respek,
tanggap, sesuai dengan kebutuhan dan ramah
2. Menurut petugas kesehatan adalah bebas melakukansegala
sesuatu secara professional sesuai dengan ilmu
pengetahuan, keterampilan dan peralatan yang memenuhi
standar
3. Menurut manajer atau administrator adalah mendorong
manajer untuk mengatur staf, pasien, atau masyarakat
dengan baik
4. Menurut yayasan atau pemilik adalah menuntut pemilik
agar memiliki tenaga professional yang bermutu dan
cakap.
Untuk memenuhi mutu pelayanan kesehatan maka
dasar yang digunakan untuk mengukur mutu pelayanan
kesehatan adalah memenuhi kebutuhan dan tuntutan para
78
pemakai jasa pelayanan kesehatan yang apabila berhasil
dipenuhi akan dapat menimbulkan rasa puas kepada
konsumen (costumer satisfaction) terhadap pelayanan jasa
kesehatan. Jadi yang dimaksud dengan mutu pelayanan
kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri
setiap pasien. Makin sempurna kepuasan maka maki baik
mutu pelayanan kesehatan.
4.5 Manfaat Mutu Pelayanan Kesehatan
Program menjaga mutu adalah suatu upaya yang
dilakukan secara berkesinambungan, sistematis, objektif dan
terpadu dalam menetapkan masalah dan penyebab masalah
mutu pelayanan kesehatan berdasarkan standar yang telah
ditetapkan, menetapkan dan melaksanakan cara penyelesaian
masalah sesuai dengan kemampuan yang tersedia, serta
menilai hasil yang dicapai dan menyusun saran-saran tindak
lanjut untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan. Adapun
manfaat dari program jaminan mutu adalah :
1. Dapat meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan
Peningkatan efektifitas pelayanan kesehatan ini erat hubu-
ngannya dengan dapat diatasinya masalah kesehatan se-
cara tepat, karena pelayanan kesehatan yang diseleng-
garakan telah sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan ataupun standar yang telah ditetapkan
2. Dapat meningkkatkan efisiensi pelayanan kesehatan
Peningkatan efisiensi yang dimaksudkan ini erat hubu-
ngannya dengan dapat dicegahnya pelayanan kesehatan
yang dibawah standard an ataupun yang berlebihan. Biaya
79
tambahan karena harus menangani efek samping atau
komplikasi karena pelayanan kesehatan dibawah standar
dapat dihindari. Demikian pula halnya mutu pemakaian
sumber daya yang tidak pada tempatnya yang ditemukan
pada pelayanan yang berlebihan.
3. Dapat meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan. Peningkatan penerimaan ini erat
hubungannya dengan telah sesuaia pelayanan kesehatan
dengan kebutuhan dan tuntutan pemakai jasa pelayanan.
Apabila peningkatan penerimaaini dapat diwujudkan,
pada gilirannya pasti akan berperan besar dalam mening-
katkan derajat kesehatan masyarakat secara kseluruhan.
4. Dapat melindungi penyelenggara pelayanan kesehatan dan
kemungkinan timbulnya gugatan hukum pada saat ini
sebagai akibat makin baiknya tingkat pendidikan masya-
rakat, maka kesadaran hukum masyarakat juga telah
semakin meningkat. Untuk mencegah kemungkinan guga-
tan hukum terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan,
antara lain karena ketidakpuasan terhadap pelayanan kese-
hatann, perlulah diselenggarakan pelayanan kesehatan
yang sebaik-baiknya.
4.6 Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan
Pemberi pelayanan adalah pejabat atau pegawai instansi
pemerintah instansi pemerintah yang melaksanakan tugas dan
fungsi di bidang pelayanan, sedangkan penerima pelayanan
adalah orang atau badan hukum yang menerima pelayanan
dari instansi pemerintah. Karakteristik pelayanan umum
menurut Surat keputusan Menpan Nomor 81tahun 1993
80
adalah mengandung unsur kesederhanaan, efisiensi, ekono-
mis, keadilan, serta ketepatan waktu.
Dalam mengukur mutu pelayanan kesehatan dapat
dibagi menjadi tiga elemen dasar mutu, yaitu :
1. Layanan teknik (technical care) yaitu penerapan ilmu dan
teknik kedokteran atau ilmu kesehatan lainnya ke dalam
penanganan masalah kesehatan
2. Layanan interpersonal (interpersonal care) yaitu
manajemen interaksi sosial dan psikososial antara pasien
dengan praktisi kesehatan lainnya misalnya dokter dan
perawat, serta kenyamanan seperti ruang tunggu yang
menyenangkan, ruang periksa yang nyaman, dan lain-lain.
Ukuran mutu yang sering digunakan untuk mengukur mutu
pelayanan, yaitu:
1. Proses pelayanan dilaksanakan sesuai dengan prosedur
2. Petugas pelayanan memiliki kompetensi yang diperlukan
3. Tidak bertentangan dengan kode etik
4. Pelaksanaan pelayanan dapat memuaskan pelanggan,
memuaskan petugas pelayanan
5. Pelayanan mendatangkan keuntungan bagi lembaga
penyedia layanan
Pelayanan kesehatan kepada pelanggan kadang-kadang
tidak sesuai dengan harapan sehingga mengakibatkan
pelayanan kesehatan mengalami kegagalan, antara lain :
1. Perbedaan antara harapan pelanggan dengan prinsip
manajemen. Manajemen tidak selalu tepat dalam
memahami apa yang diinginkan pelanggan
2. Perbedaan antara persepsi manajemen dan spesifikasi mutu
jasa. Manajemen mungkin memahami secara tepat
81
keinginan pelanggan tetapi tidak menetapkan standar
kinerja spesifik
3. Perbedaan antara spesifikasi mutu jasa dan penyampaian
jasa. Petugas mungkin kurang terlatih atau tidak mampu
atau tidak mau memenuhi standar
4. Perbedaan antara penyampaian jasa dan komunikasi
eksternal. Harapan pelanggan dipengaruhi oleh pernyataan
yang dibuat wakil-wakil dan iklan perusahaan
5. Perbedaan antara sa yang dialami dan jasa yang
diharapkan. Hal ini terjadi apabila pelanggan mengukur
kinerja dengan cara yang berbeda dan memiliki persepsi
yang tidak benar tentang mutu jasa.
4.7 Standar Mutu Pelayanan Kesehatan
Untuk menjaga pelaksanaan program pelayanan
kesehatan agar tetap berpedoman kepada standar yang telah
ditetapkan maka disusunlah pedoman petunjuk pelaksanaan,
yaitu pernyataan tertulis yang disusun secara sistematis dan
yang dipakai sebagai pedoman oleh pelaksanaan dalam
mengambil keputusan dan atau dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan.
Untuk mengukur tercapai atau tidaknya standar yang
telah ditetapkan maka dipergunakan indikator, yaitu ukuran
kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Semakin
sesuai suatu yang diukur dengan indikator, semakin sesuai
keadaannya dengan standar yang telah ditetapkan.
Sesuai dengan peranan yang dimiliki oleh masing-masing
unsur pelayanan kesehatan, standar dalam program menjaga
82
mutu secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu :
1. Standar pelayanan dengan persyaratan minimal
Standar persyaratan minimal adalah yang menunjuk
kepada keadaan minimal yang harus dipenuhi untuk dapat
menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bermutu.
a. Standar masukan
Dalam standar masukan ditetapkan persyaratan minimal
unsur masukan yang diperlukan untuk dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu,
yaitu jenis, jumla, dan kualifikasi tenaga pelaksana, jenis,
jumlah dan spesifikasi pada tenaga pelaksana serta jumlah
dana (standar tenaga dan standar sarana).
b. Standar lingkungan
Dalam standar lingkungan ditetapkan persyaratan minimal
unsur lingkungan yang diperlukan untuk dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan bermutu, yaitu
garis-garis besar kebijakan, pola organisasi serta system
manajemen yang harus dipenuhi setiap pelaksana
pelayanan (standar organisasi dan manajemen).
c. Standar proses
Dalam standar proses ditetapkan persyaratan minimal
unsur proses yang harus dilakukan untuk dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu
yaitu tindakan medis dan tindakan nonmedis pelayanan
kesehatan (standar tindakan).
2. Standar penampilan minimal
83
Standar penampilan minimal adalah yang menunjuk
kepada penampilan pelayanan kesehatan yang masih dapat
diterima. Standar ini, karena menunjuk kepada unsur
keluara, disebut dengan nama standar keluaran atau
standar penampilan.
Untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
keempat standar ini perlulah dipantau serta dinilai secara
obyektif dan berkesinambungan. Apabila ditemukan
penyimpangan, perlu segera diperbaiki. Pemantauan dan
penilaian standar ini diukur dari indikator yang sesuai, yang
secara umum dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu
indikator masukan, indikator masukan, indikator lingkungan,
serta indikator keluaran.
Dalam praktek sehari-hari, indikator mutu pelayanan
kesehatan sebenarnya hanya menunjuk pada indikator
keluaran, namun karena pelayanan kesehatan pada dasarnya
merupakan hasil interaksi dari unsur masukan dengan unsur
lingkungan dan proses, menyebabkan ukuran pelayanan
kesehatan bermutu sering dikaitkan pula dengan ketiga
indikator tersebut.
Dengan perkataan lain, indikator masukan, proses serta
lingkungan yang sebenarnya lebih menunjukkan kepada
factor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan,
turut diperhitungkan pada waktu membicarakan mutu
pelayanan kesehatan.
Menurut Azwar (1996), syarat pokok dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu, adalah :
1. Tersedia dan berkesinambungan
84
Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik
adalah pelayanan tersebut harus tersedia dimasyarakat
(available) serta berkesinambungan (continuous). Artinya
semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat dan mudah dicapai oleh masyarakat.
2. Dapat diterima dan wajar
Syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah
apa yang dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat serta
bersifat wajar (appropriate). Artinya pelayanan kesehatan
tersebut tidak bertentangan dengan adat istiadat,
kebudayaan, keyakinan, kepercayaan masyarakat dan
bersifat wajar.
3. Mudah dicapai
Syarat pokok ketiga pelayanan yang baik adalah yang
mudah dicapai (accessible) oleh masyarakat. Pengertian
ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut
lokasi. Dengan demikian untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang baik, maka pengaturan sarana kesehatan
menjadi sangat penting.
4. Mudah dijangkau
Syarat pokok pelayanann kesehatanyang keempat adalah
mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian
ketrejangkauan disini terutama dari sudut biaya.
Pengertian keterjangkauan disini terutama dari sudut biaya
dan jarak. Untuk mewujudkan keadaan seperti ini harus
dapat diupayakan pendekatan sarana pelayanan kesehatan
dan biaya kesehatan diharapkan sesuai dengan
kemampuan ekonomi masyarakat.
5. Bermutu
85
Syarat pokok pelayanan kesehatan yang kelima adalah
yang bermutu (quality). Pengertian mutu yang
dimaksudkan adalah yang menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan,
yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa
pelayanan, dan dipihak lain tata cara penyelenggaraannya
sesuai dengan kode etik serta standar yang telah
ditetapkan.
4.8 Bentuk Program dan Menjaga mutu Pelayanan
kesehatan
Bentuk program menjaga mutu dalam organisasi
pelayanan kesehatan dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu :
1. Program menjaga mutu internal (internal quality
assurance)
Pada program menjaga mutu internal, kegiatan program
menjaga mutu diselenggarakan oleh lembaga kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan
tersebut dapat berupa perseorangan dan atau bersama-sama
dalam suatu organisasi.
2. Program menjaga mutu eksternal (external quality
assurance)
Pada program menjaga mutu eksternal kegiatan
program menjaga mutu tidak diselenggarakan oleh institusi
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, melainkan oleh
suatu organisasi khusus yang berada diluar lembaga
kesehatan.
86
4. 9 Hubungan kualitas pelayanan Terhadap kepuasan
Kajian empirik berikut menjelaskan hubungan antara
dimensi kualitas pelayanan dengan kepuasan yang dijelaskan
antara lain Naik, et al., (2010). menunjukkan dimensi kualitas
pelayanan sangat penting untuk kepuasan konsumen. Yang &
Fang (2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi
kualitas pelayanan utama berpengaruh kepada kepuasan
konsumen, kecuali kemudahan penggunaan yang berkaitan
dengan pelayanan tradisional. Manakala, faktor utama yang
menyebabkan ketidakpuasan adalah akibat daripada kualitas
sistem pesan yang rendah. Hasil kajian Choi, et al., (2005)
menunjukkan bahwa kestabilan hubungan antara dimensi
kualitas pelayanan dan kepuasan. Harr (2008). Penelitian ini
menunjukkan bahwa dimensi pelayanan seperti jaminan,
empati dan bukti fisik merupakan dimensi yang penting
untuk menilai kualitas pelayanan. Duggirala, et al., (2008).
Kajian ini menekankan tujuh dimensi yang berbeda dari TQS
pasien dan pengaruh diantara dimensi tersebut. Terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara dimensi dan
kepuasan pasien. Pengaruh dimensi kualitas pelayanan
terhadap kepuasan pasien juga dikemukakan oleh Ramez,
(2012); Choi, Lee, Kim & Lee, (2005); dan Alghamdi, (2014).
Berbagai kajian empirik menjelaskan hubungan antara
kualitas pelayanan dan kepuasan antara lain kajian oleh
Mohammad & Alhamadani (2011). Kajian ini menjelaskan
bahwa kualitas pelayanan merupakan penyebab penting
tehadap kepuasan konsumen. Naik, et al., (2010)
Membuktikan melalui kajiannya bahwa pelayanan yang
87
ditawarkan mempunyai dampak positif dan signifikan dalam
membangunkan kepuasan konsumen. Chang, et al., (2013)
menunjukkan kualitas pelayanan memberi kesan positif dan
signifikan terhadap kepuasan pasien. Wang & Shieh (2006)
menunjukkan bahwa kualitas pelayanan mempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan. Kajian
Culiberg & Rojsek (2010) menyatakan bahwa terdapat empat
dimensi kualitas pelayanan mempengaruhi kepuasan
konsumen. Hasil penelitian Pantouvakis & Mpogiatzidis
(2013) menunjukkan bahwa ciri-ciri kualitas pelayanan
memberi dampak positif terhadap kepuasan. Menurut Taylor
dan Backer (1994) model kualitas pelayanan dan manajemen
sistem perawat kepada pasien harus menjadi perhatian serta
menjadi keputusan strategis dalam pelayanan kesehatan,
karena hal tersebut merupakan rancangan penilaian kepuasan
bagi pasien. Menurut Woodside (1989) sebagai satu bentuk
pelayanan, kepuasan konsumen merupakan bentuk khusus
dari sikap konsumen terhadap kualitas konsumen yang
memunculkan fenomena suka atau tidak suka terhadap
pelayanan yang diterima. Menurut Cronin dan Taylor (1992)
Hubungan kepuasan dan kualitas pelayanan adalah kepuasan
membantu konsumen dalam menilai persepsinya terhadap
kualitas pelayanan.
Menurut Ali Hasan (2009) mengungkapkan bahwa
kualitas pelayanan adalah faktor yang mempengaruhi
kepuasan konsumen. Dalam menilai digunakan antara lain
kepuasan terhadap penampilan diantaranya ukuran dan
bentuk fisik yang baik, keistimewaan fungsi dari produk,
spesifikasi dari produk. Dari hasil penelitian Handrianto
(2002) bahwa adanya hubugan yang signifikan antara
88
penampilan (fasilitas fisik, kamar pemeriksaan yang bersih
dan tenang, fasilitas lengkap dan modern) terhadap kepuasan.
Menurut Lovelock dan Wright (2005) mendengarkan
dengan hati-hati, memperhatikan kesukaan dan keperluan
konsumen adalah merupakan elemen yang memberikan
kepuasan kepada konsumen. Hasil penelitian Yurina Sari
(2006) menunjukkan bahwa empati merupakan kesediaan
untuk memberikan perhatian secara pribadi kepada
konsumen memiliki tahap kepuasan yang tinggi karena rata-
rata pelayanan yang dirasakan pasien sudah melebihi yang
diharapkannya. Demikian juga dengan hasil penelitian oleh
Kriswanto (2003) yang menunjukkan bahwa empati memiliki
hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien.
Menurut Hart (1988) jaminan merupakan komitmen untuk memberikan kepuasan kepada konsumen dalam memberikan jaminan, meringankan risiko kerugian bagi konsumen dengan kepastian kualitas kerja. Tjiptono dan Gregorius (2005) ketanggapan adalah kesediaan dan kesiapan pegawai untuk membantu konsumen dan menyampaikan pelayanan secara cepat, sehingga mudah diakses, tidak lama menunggu dan bersedia mendengar keluhan. Dalam penelitian Handrianto (2002) aspek kemauan dan daya tanggap pegawai dalam membantu konsumen serta memberikan pelayanan secara cepat, adalah dua hal yang mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan pasien. Nasution M.N. (2005) keandalan adalah kemampuan memberikan keberhasilan dalam menggunakan suatu produk yang dinilai berhasil pada saat produk tersebut memberikan kepuasan kepada konsumen dalam masa tertentu. Hasil penelitian Rosjid (1997) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara keandalan dengan kepuasan pasien.
89
BAB 5 MODEL KUALITAS PELAYANAN,
KEPUASAN DAN KESETIAAN
5.1 Definisi Kepuasan Pasien
Kepuasan adalah aspek dari pengukuran kualitas
pelayanan dan menjadi faktor utama dalam pelayanan.
Kepuasan pelanggan akan berhasil apabila pelayanan
memenuhi keperluan dan keinginan pelanggan (Hanif, et al.,
2010). Kajian Giese & Cote (2002) menyimpulkan beberapa
tinjauan literatur yang disahkan melalui wawancara dengan
para peneliti. Kepuasan pengguna adalah ringkasan andaian
afektif dari berbagai kebaikan. Secara tepatnya andaian afektif
dan tahap kebaikan harus secara jelas atau tersurat
didefinisikan oleh pengkaji bergantung pada konteks
kepentingan. Dengan jangka waktu tertentu dan tempoh yang
terbatas, peneliti harus memilih waktu penentuan yang paling
relevan untuk penelitian dan mengidentifikasi tempoh untuk
ringkasan andaian supaya pengguna secara sedar menentukan
respon kepuasan mereka apabila ditanya oleh peneliti, maka
penentuan waktu adalah amat penting untuk mendapat
informasi tepat. Memberikan tumpuan pada perolehan
produk ataupun penggunaannya bergantung pada identifikasi
tumpuan minat bedasarkan pertanyaan manajemen termasuk
jumlah perolehan atau aktivitas penggunaan.
Pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah pelayanan
yang berorientasikan pada kepuasan setiap pengguna
pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-
rata pengguna pelayanan. Kepuasan ialah suatu keadaan yang
90
mana keperluan, keinginan dan harapan pelanggan dapat
dipenuhi melalui pelayanan yang diberikan
(Haffizurrachman, 2004).
Kepuasan berkaitan dengan kesembuhan pasien
daripada penyakit yang diderita. Hal ini berkaitan dengan
akibat daripada pelayanan kesehatan itu sendiri. Selain
daripada itu hal ini juga berkaitan dengan sasaran dan hasil
daripada pelayanan. Kepuasan pasien dalam menilai kualitas
daripada pelayanan yang baik, merupakan pengukuran
penting yang mendasar bagi kualitas pelayanan tersebut. Hal
ini karena informasi merupakan kejayaan yang dapat
memberi pelayanan berkualitas dengan nilai dan harapan
pasien yang mempunyai kuasa sendiri untuk menetapkan
standar kualitas daripada pelayanan yang dikehendaki
(Hafizurrachman, 2004).
Kepuasan pasien dapat diartikan sebagai sikap
pelanggan yaitu tahap suka atau tidak suka terhadap
pelayanan yang diberikan. Oleh demikian perilaku pelanggan
dapat juga diartikan sebagai model perilaku pembeli (Ilyas,
1999).
Kepuasan pasien merupakan penilaian alternatif yang
dipilih sekurang-kurangnya sama ataupun melebihi harapan
pasien. Dengan demikian kepuasan wujud apabila penilaian
yang diharapkan menunjukkan alternatif yang diambil lebih
rendah daripada harapan pasien (Kusumapraja, 1997).
Menurut Nurachmah (2005), kepuasan pasien
didefinisikan sebagai penilaian selepas penggunaan
pelayanan atau produk yang dipilih memenuhi atau melebihi
harapan pasien. Menurut Hussain (2013), kepuasan
91
menggambarkan kualitas pelayanan yang disediakan oleh
sebuah organisasi. Seseorang pelanggan tidak akan berpuas
sekiranya pelayanan yang diterima tidak berkualitas.
Sebaliknya, pelanggan yang berpuas hati akan lebih compliant
dengan pelayanan yang diberi dan tidak akan membuat
aduan. Oleh sebab itu, kualitas tanggapan dilihat dari
perspektif pelanggan dan termasuk dalam kategori asas
pengguna, maka kualitas yang dikatakan oleh pelanggan dan
usaha merapatkan jurang kualitas ialah tujuan utama
manajemen kualitas pelayanan (Mohd Ashari Idris 2004).
Menurut Sabarguna (2004), kepuasan pasien adalah
merupakan penilaian subjektif terhadap kualitas pelayanan
yang diberikan. Walau bagaimanapun penilaian itu dilandasi
oleh pengalaman, tahap pendidikan, situasi psikologi pada
masa itu dan pengaruh lingkungan. Namun demikian,
kepuasan ini tetap didasari oleh kebenaran dan kenyataan
objektif.
Kepuasan pasien adalah tingkat kepuasan pelayanan
pasien dari persepsi pasien atau keluarga pasien. Kepuasan
pasien akan tercapai apabila hasil yang optimal diperoleh
memberi perhatian terhadap kemampuan pasien ataupun
keluarga pasien, adanya perhatian terhadap keluhan pasien,
adanya perhatian terhadap keadaan lingkungan dan memberi
keutamaan terhadap keperluan pasien. Dengan demikian
maka tercapai keseimbangan antara tahap kepuasan dengan
aduan pasien. (Soejadi, 1996).
Kesimpulannya, organisasi hendaklah memodifikasi
komponen asas kepuasan pengguna bagi mengembangkan
92
definisi yang lebih khusus untuk dijadikan tolak ukur
terhadap penilaian tahap kepuasan (Giese & Cote, 2002).
5.2 Teori Kepuasan
Pasien menginginkan staf kesehatan mempunyai efisiensi dan
memberikan pelayanan yang baik (Vukmir, 2006). Sistem
penyediaan pelayanan kesehatan dapat dihuraikan pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Perawat kesehatan primer dan interaksinya dengan
sektor pelayanan kesehatan yang lebih luas (DoHA,
2013).
93
Penilaian terhadap kepuasan pasien merupakan proses
yang menja tantangan (Puri, et al., 2012). Penilaian kepuasan
pengguna membantu untuk mengidentifikasi keinginan
pengguna (Haron, et al., 2012). Teori kepuasan dalam
perbincangan (Yuksel & Yuksel, 2013) menguraikan teori-teori
utama dalam kepuasan. Teori yang digunakan dalam kajian
ini ialah “the dissonance theory” yang menunjukkan bahwa
seseorang mengharapkan produk bernilai tinggi, sekiranya
mereka menerima kontradiksi kognitif atau “cognitive
dissonance” (Cardozo, 1965). Harapan pelanggan dapat menye-
babkan keadaan percanggahan secara psikologi (Yi, 1989).
Kotler (2000:36) mendefinisikan kepuasan sebagai “a
persons feelings of pleasure or disappointment resulting from
companing a product perceived performance (or outcome) in relation
to his or her expectation”. Artinya, kepuasan adalah perasaan
gembira atau kecewa terhadap perbandingan antara prestasi
produk yang diterima dengan apa yang diharapkan. Jika
pelayanan yang diharapkan dan yang terjadi sesuai dengan
harapan maka seseorang akan merasa puas, sedangkan
apabila pelayanan yang diharapkan tidak sesuai atau kurang
dari harapan maka pelanggan akan merasa tidak puas
(Tjiptono, 2000). Pada asasnya harapan dapat dibentuk oleh
pengalaman masa lalu, informasi daripada saudara serta
informasi dari berbagai media. Seseorang yang puas akan
setia, kurang sensitif terhadap harga dan memberikan
testimoni yang baik tentang penyedia pelayanan tersebut.
Kepuasan akan terpenuhi jika proses penyampaian
pelayanan dari pemberi pelayanan kepada penerima pela-
yanan sesuai dengan persepsi penerima pelayanan. Hal ini
94
dipengaruhi oleh faktor kesubjektifan yang dapat membuat
perbezaan persepsi penerima pelayanan dan penyedia pela-
yanan. Terdapat beberapa jarak dalam kualitas pelayanan
yang dikemukakan oleh Berry, Zeithaml, & Parasuraman
(1998) yaitu jarak antara harapan konsumen dan persepsi
manajemen, jarak antara persepsi manajemen tentang harapan
konsumen dan ketentuan kualitas pelayanan, jarak antara
ketentuan kualitas pelayanan dan pelayanan yang diberikan,
jarak antara penyampaian pelayanan sebenar dan komunikasi
eksternal kepada pelanggan, serta jarak antara pelayanan yang
diharapkan dan pelayanan yang diterima pelanggan.
Menurut Irine (2009) terdapat beberapa metode untuk
menilai kepuasan seseorang yaitu sistem aduan dan saran,
dengan penyediaan kotak saran dan lain-lain untuk
memberikan peluang kepada pasien agar dapat menyam-
paikan aduan, saran, komen dan pendapat mereka. Pelaggan
misterius kadang kala digunakan oleh organisasi. Metode ini
dijalankan organisasi pelayanan kesehatan dengan situasti
tertentu. Seperti mempekerjakan beberapa orang untuk berla-
kon sebagai pasien yang menerima pelayanan organisasi,
kemudian melaporkan pengalaman pelayanan yang diberikan
sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan untuk meningkatkan tahap pelayanan organisasi.
Survei kepuasan pelanggan yang bertujuan untuk mengetahui
kepuasan pelanggan organisasi juga dapat dilakukan melalui
berbagai penelitian atau survei mengenai kepuasan. Kepuasan
terhadap pelayanan kesehatan akan disuarakan atau dinya-
takan melalui komunikasi dari mulut ke mulut, pengalaman
masa lampau dan komunikasi eksternal.
95
Tjiptono (1998) menyatakan bahwa pelanggan merasa
puas terhadap produk atau pelayanan apabila
membandingkan persepsi mereka terhadap prestasi produk
atau pelayanan dengan harapan mereka. Kepuasan dan
ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan mengenai
pengakuan terhadap penilaian yang diterima antara harapan
(norma kerja lainnya) dengan prestasi sebenar produk yang
diterima. Terdapat dua variabel utama yang menentukan
kepuasan pelanggan yaitu jangkaan dan prestasi yang
diterima. Apabila prestasi yang diterima melebihi jangkaan
maka pelanggan akan merasa puas dan apabila terjadi
sebaliknya maka pelanggan akan merasa tidak puas.
Selanjutnya Zeithalm (1994) mengatakan bahwa tahap
kepuasan pelanggan dapat terwujud disebabkan adanya
interaksi antara penyedia pelayanan dengan pelanggan. Hal
ini merupakan keadaan psikologi yang dihasilkan ketika
faktor emosi mendorong harapan yang disesuaikan dengan
pengalaman penggunaan. Antara kepuasan dengan sikap
terdapat perbedaan yaitu sikap pelanggan bersifat relatif
terhadap produk atau proses (contohnya: pelayanan
pelanggan) sedangkan kepuasan adalah relatif emosi
terhadap pengalaman penggunaan.
Kepuasan pelanggan dijelaskan oleh oliver (1980, 1989)
sebagai bentuk jangkaan-prestasi (diskonfirmasi). Toeri
jangkaan-diskonfirmasi menjelaskan bahwa kepuasan atau
ketidakpuasan pelanggan dengan penyedia pelayanan adalah
ditentukan oleh perbedaan antara jangkaan pelanggan dan
prestasi pelayanan yang akan diterima secara nyata oleh
96
pelanggan. Menurut Muslim Amin (2009) bahwa model
jangkaan-diskonfirmasi menjelaskan bahwa kepuasan pelang-
gan sebagai fungsi diskonfirmasi subjektif yang ditentukan
oleh tingkat kepuasan. Dengan demikian akan muncul dis-
konfirmasi positif dari pelanggan ketika prestasi yang dite-
rima lebih baik daripada apa yang diharapkan, sebaliknya,
diskonfirmasi negatif diterima jika prestasi yang diterima
kurang daripada yang diharapkan.
Definisi lain juga dinyatakan oleh Oliver (1997:214)
bahwa “satisfaction is the consumers fulfillment response. It is a
judgment that a product or service feature, or the product or service
it self, provided (or is providing) a pleasurable level of consumption-
related fulfillment, including levels of under-or over fulfillment”.
Kepuasan adalah proses pencapaian atau pemenuhan. Ini
merupakan penilaian terhadap ciri produk atau pelayanan
tersebut, menyediakan pelayanan dengan tahap yang meme-
nuhi, dan kurang atau melebihi tahap pemenuhan.
Kepuasan dipandang sebagai suatu proses karena lebih
mampu mengungkapkan mengenai pengalaman dalam meng-
gunakan sesebuah produk atau pelayanan secara keseluruhan
bila dibandingkan dengan orientasi hasil. Orientasi proses
menekankan persepsi, penilaian, dan aspek psikologi yang
menyumbang terhadap wujudnya kepuasan dan ketidak-
puasan, sehingga masing-masing aspek dapat dikaji secara
lebih spesifik (Suhardan, 2010).
Menurut Irine (2009) terdapat beberapa manfaat
kepuasan yaitu kepuasan merupakan sarana untuk mengha-
dapi persaingan pada masa akan datang. Kepuasan merupa-
kan promosi terbaik, kepuasan merupakan aset organisasi
97
paling penting, kepuasan dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangan organisasi, kepuasan membuat seseorang akan
kembali karena seseorang yang puas akan memberi rujukan
kepada orang lain.
Azwar (1996) mengelompokkan kepuasan terhadap
kualitas pelayanan kesehatan menjadi dua yaitu pertama,
kepuasan yang mengacu pada kode etik serta standar pela-
yanan (hubungan dokter atau perawat dengan pasien,
kenyamanan dan pelayanan yang berhubungan dengan fasi-
litas dari rumah sakit, kebebasan dalam menentukan pilihan,
pengetahuan dan efisiensi teknikal yang merupakan prinsip
utama dalam standar pelayanan dan keamanan). Kedua yaitu
kepuasan yang merujuk kepada penerapan semua persyaratan
pelayanan kesehatan yang mencakupi ketersediaan pelayanan
kesehatan, kewajaran pelayanan kesehatan, kesinambungan
pelayanan kesehatan, penerimaan terhadap pelayanan kese-
hatan, ketercapaian pelayanan kesehatan, keterjangkauan
pelayanan kesehatan, efisiensi dan kualitas pelayanan kese-
hatan tersebut.
Kepuasan terhadap pelayanan kesehatan turut
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pertama, pemahaman
pelanggan terhadap jenis pelayanan yang akan diterima,
dalam hal ini aspek komunikasi memegang peranan penting.
Kedua, empati (sikap peduli) yang ditunjukkan oleh petugas
kesehatan. Sikap ini akan menyentuh emosi pasien. Faktor
tersebut akan berpengaruh pada tahap kepatuhan pasien.
Ketiga adalah biaya. Tingginya biaya pelayanan dapat
dianggap sebagai sumber moral hazard pasien dan keluar-
ganya. Keempat adalah informasi. Informasi terbatas yang
98
dimiliki pihak pasien dan keluarganya tentang perawat yang
diterima dapat menjadi sumber keluhan pasien. Kelima ialah
penampilan fisik petugas. Kebersihan dan kenyamanan ru-
angan. Kenyamanan dalam pelayanan kesehatan dapat ditun-
jukkan dari penampilan fasilitas fisik, peralatan, staf dan
media komunikasi. Kenyamanan tidak hanya menyangkut
fasilitas yang disediakan tetapi menyangkut sikap serta
tindakan para staf ketika menyelenggarakan pelayanan
kesehatan. Keenam adalah Jaminan keamanan yang ditunjuk-
kan oleh petugas kesehatan, ketepatan waktu pemeriksaan,
dan kunjungan dokter juga termasuk dalam faktor ini.
Ketujuh, keandalan dan keterampilan petugas kesehatan
dalam pemberian rawat. Keandalan merupakan andaian
pasien terhadap prestasi petugas kesehatan dalam hal ketepa-
tan data dan pelayanan yang sesuai sehingga memuaskan
pelanggan. Faktor ini juga berkaitan dengan kecepatan petu-
gas dalam memberi andaian terhadap keluhan pasien. Selain
itu, respon merupakan keinginan para petugas kesehatan
untuk membantu para pasien dan memberikan pelayanan
yang cepat serta mendengarkan dan menyelesaikan keluhan
yang disampaikan oleh pasien.
5.3 Dimensi Kepuasan
Secara keseluruhan kepuasan adalah konstruk berda-
sarkan penilaian keseluruhan kepuasan pelanggan yang
berkaitan dengan hubungan pembekal tertentu tanpa mem-
pertimbangkan aspek tertentu dari kepuasan (Homburg &
Rudolph, 2001). Menurut Homburg & Rudolph (2001:26)
dalam kajiannya menyatakan terdapat beberapa dimensi dari
99
kepuasan yaitu “products, salespeople, product-related infor-
mation, order handling, technical services, internal personnel, dan
complaint handling”. Kajian (Etter & Perneger, 1997) menge-
mukakan beberapa dimensi kepuasan, antaranya adalah
kepuasan pelayanan dokter, kepuasan komunikasi, kepuasan
akses dan kepuasan pelayanan asuransi.
Fais & Saleha (2009) menguraikan dimensi kepuasan
pasien antara lain kepuasan yang merujuk pada penerapan
kode etik serta standar pelayanan profesi. Kepuasan yang
dimaksud pada dasarnya mencakup penilaian kepuasan
mengenai hubungan dengan pasien, kenyamanan pasien,
kebebasan melakukan pilihan, pengetahuan dan efisiensi
teknik serta pelayanan yang efektif. Kepuasan yang merujuk
pada penerapan semua persyaratan pelayanan. Satu pelaya-
nan dikatakan berkualitas jika penerapan semua persyaratan
dapat memuaskan pasien. Penilaian terhadap pelayanan yang
berkualitas yaitu ketersediaan pelayanan, kewajaran pelaya-
nan, kesinambungan pelayanan, penerima pelayanan, keter-
capaian pelayanan, keterjangkauan pelayanan, efisiensi pela-
yanan dan kualitas pelayanan.
Tingkat kepuasan pengguna dapat ditentukan
berdasarkan lima (5) faktor utama yang harus diperhatikan
oleh sebuah organisasi (Irawan, 2009), yaitu kualitas produk
yang bermaksud pengguna akan merasa puas apabila hasil
penilaian mereka menunjukan bahwa produk yang mereka
gunakan berkualitas. Kualitas pelayanan yaitu pengguna akan
merasa puas apabila mereka mendapatkan pelayanan yang
sesuai dengan yang diharapkan terutama untuk industri
pelayanan. Emosional yaitu pengguna akan merasa bangga
100
dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum
terhadap pengguna tersebut apabila menggunakan merek
tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan. Harga
yaitu produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi
menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai
lebih tinggi kepada konsumennya. Biaya yaitu konsumen
tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu
membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau
pelayanan, cenderung puas terhadap produk atau pelayanan
tersebut.
Menurut Siskos & Grigoroudis (2001) nilai hierarki dari
dimensi kepuasan pelanggan ditunjukkan pada Gambar 2.3
yang menunjukkan kriteria dan sub kriteria. Kriteria kepuasan
utama meliputi staf, yaitu kriteria yang merangkumi semua
ciri-ciri mengenai staf (kemahiran dan pengetahuan,
ketanggapan, keramahan, komunikasi dan pelayanan dengan
pelanggan). Produk yaitu kriteria yang merujuk kepada
produk yang ditawarkan (kualitas, kuantiti dan harga).
Pelayanan yaitu kriteria yang merujuk pada pelayanan yang
ditawarkan kepada pelanggan, ini termasuklah penampilan
dan kebersihan, waktu menunggu (peak hour or off-peak hour)
dan waktu pelayanan. Aksesbilitas yaitu lokasi dan
kemudahan tempat letak kenderaan.
101
Gambar 2.3. Struktur hierarki dimensi kepuasa (Siskos &
Grigoroudis, 2001)n
5.4 Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Kepusan
Hasil penelitian Hanif, et al., (2010) menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan
merupakan perkara yang penting dan perlu diketahui dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang bertanggungjawab untuk
KEPUASAN
GLOBAL
PERSONAL PRODUK PELAYANAN AKSES
Keterampilan
dan
Pengetahuan
Daya tanggap
Keramahan
Kualitas
makanan
Kuantiti
makanan
Menu
Harga
Penampilan
rumah sakit
Waktu
menunggu
Waktu
menunggu
Waktu
pelayanan
Kebersihan
Lokasi rumah
sakit
Jumlah rumah
sakit
Tempat parkir
kenderaan
102
menghasilkan kepuasan antara pelanggan dengan merek
tertentu. Faktor tersebut diantaranya, pelayanan kepada
pelanggan dan harga yang adil atau ekuiti harga (Hanif, et al.,
2010). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan
pelanggan, namun pelayanan kepada pelanggan adalah salah
satu faktor kepuasan pelanggan yang perlu diutamakan
(Kursunluoglu, 2014).
Kajian Hamed & Salem (2014) menyatakan bahwa
kepuasan pasien adalah tinggi apabila terdapat penyampaian
informasi sebelum pemeriksaan dilakukan oleh pihak jabatan
kesehatan. Menurut kajian Zahran, et al., (2012), tahap
kepuasan pasien terhadap hasil Pembedahan adalah 100
persen yang berpuas hati, manakala 96 persen pasangan
mereka yang berpuas hati. Kepuasan pasien juga dikaji oleh
(Ortiz, Wang, Elayda, & Tolpin, 2013) menjelaskan statistik
peningkatan yang signifikan berdasarkan kuesioner tentang
kepuasan berkenaan dengan pemahaman mengenai jenis
anestesi, pilihan untuk mengawal rasa sakit, perkara yang
harus dilakukan pasien pada hari Pembedahan dan informasi
terperinci yang diberikan berkaitan dengan rencana anestesi.
Kajian tentang kepuasan pasien juga dinilai dari rata-rata skor
kepuasan secara keseluruhan berbeda secara signifikan
dengan kemudahan perobatan dan tahap pendidikan ibu
bapak (Zolaly, 2012). Mayoritas pasien tidak berpuas hati
dengan informasi yang diterima mengenai obat
kardiovaskular. Selain itu, Geffen, et al., (2011) menunjukkan
mayoritas pasien menerima penerangan mengenai obat yang
terbatas di apotek. Seterusnya, kajian tentang kepuasan pasien
juga dikemukakan oleh (Zahran, Osman, & Elaleem, 2011)
103
bahwa pasien yang menerima “intraperitoneumlidocaine”
digabungkan dengan “infiltrasilidocaine” di lokasi toraks
melaporkan nilai kepuasan yang lebih tinggi dengan
penjagaan setelah pembedahan dalam 24 jam pertama.
5.5 Hubungan Kepuasan dengan Kesetiaan
Kajian Kessler & Mylod (2011) menegaskan hubungan
antara kepuasan pasien dengan kesetiaan pasien. Kajian
Mortazavi, et al., (2009) juga menunjukkan bahwa kepuasan
pasien dan kesetiaan mempunyai korelasi positif dalam
peningkatan kepuasan pasien secara keseluruhan
meningkatkan kesetiaan pasien. Kajian Kursunluoglu (2014)
menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan sebanyak 43.2%
dari varian dalam kesetiaan pelanggan. Anbori, et al., (2010).
Penelitian ini adalah efektif secara tersirat dalam perancangan
strategik untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang
dijalankan oleh rumah sakit swasta di Yaman. Menurut Ali
Hasan (2009) terdapat hubungan positif antara kepuasan dan
kesetiaan pelanggan, karena jika produk tidak mampu me-
muaskan pelanggan maka pelanggan akan meninggalkan
produk tersebut.
Ali Hasan (2009) menyatakan jika pelayanan tidak
memuaskan pelanggan maka pelanggan berhenti membeli
merek dan pelanggan menyatakan ketidakpuasannya secara
langsung pada organisasi. Darsono (2004) menyatakan
kepuasan tetap memiliki peranan penting untuk meng-
hasilkan kesetiaan pelanggan.
104
Ali Hasan (2009) adanya pembelian secara berulang dan
kesetiaan pelanggan wujud jika tercapainya kepuasan dari
kualitas pelayanan yang dirasai dengan keinginan, keperluan
dan harapan pelanggan.
Menurut Kotler (2009) jika produk berhasil dipenuhi oleh
penyedia pelayanan maka pelanggan akan merasa puas. Oleh
demikian hubungan kesetiaan akan menjadi positif, karena
produk tersebut sudah dianggap menyenangkan.
Menurut Griffin (2005) kepuasan pelanggan tidak cukup
untuk membentuk asas pelanggan yang setia. Kepuasan
pelanggan yang tinggi belum tentu menghasilkan pembelian
secara berulang dan peningkatan hasil.
Menurut Wazzan (2007) kepercayaan pasien kepada
dokter memiliki hubungan yang positif terhadap kesetiaan
pasien untuk mendapatkan pelayanan daripada rumah sakit
yang sama. Sama halnya bahwa pasien tetap setia kepada
rumah sakit karena kepercayaan pasien kepada dokter dan
bukan karena kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan.
Tabel 2.4. Matriks Penelitian terdahulu
Hubungan Kepuasan dengan Kesetiaan
Peneliti Tahun Hasil Kajian
Kessler &
Mylod 2011
Menegaskan wujud hubungan
antara kepuasan pasien terhadap
kesetiaan pasien.
Mortazavi, et
al 2009
Keseluruhan kepuasan pasien dan
kesetiaan berkorelasi positif.
Hu, et al 2011 Kepuasan pelanggan dipengaruhi
oleh “atribut one dimension” (terdiri
105
dalam lingkungan yang nyaman,
kemudahan lalu lintas, kemudahan
tempat parkir kenderaan, pekerja
berpakaian rapi dan sebagainya)
serta memberi kesan negatif pada
pelanggan.
Rundle-
Thiele, Bus,
& Bus.
2010
Amalan rawat pasien secara
terfokus dapat meningkatkan
kepuasan dan kesetiaan pasien.
Mendoza 2014
Pasien sangat berpuas hati dengan
pelayanan perobatan berkualitas
yang diperolehi.
Bastos 2008
Modelan persamaan structural
menunjukkan semakin banyak
persaingan kesetiaan akan
menurun, Kualitas pelayanan akan
memberi kesan peningkatan
kesetiaan.
Al-Omar 2000
Wujud signifikan antara harapan
dan tahap kepuasan antara swasta
dengan pemerintah.
Anbori, et al. 2010
Tidak ada hubungan yang
signifikan antara dimensi
penampilan dan keandalan
terhadap kesetiaan pasien.
106
5.6 Definisi Kesetiaan Pasien
Definisi kesetiaan oleh Lawler (2001), mengarah pada
teori perubahan sosial. Unit sosial dalam hal ini digunakan
sebagai sumber emosi yang bergantung pada tahap
“jointness”. Dalam penyediaan pelayanan, unit sosial dapat
mewujudkan kaitan antara penyedia pelayanan dan
pelanggan. “Jointness” mengarah pada tahap tanggungjawab
bersama dalam urusan pelayanan yang dapat mewujudkan
emosi atau perasaan sukacita.
Griffin (2003) menjelaskan kesetiaan sebagai perilaku
seseorang yang menggunakan pelayanan secara teratur dalam
jangka waktu yang lama melalui serangkaian keputusan-
keputusan. Tinggi rendahnya kesetiaan seseorang terhadap
suatu pelayanan sangat ditentukan oleh biaya untuk
berpindah ke pelayanan lain, adanya kesamaan kualitas, dan
pelayanan (Setiawan, 2011). Kesetiaan adalah bentuk
komitmen seseorang yang dipegang teguh untuk
menggunakan kembali pelayanan di masa mendatang (Kotler
dan Keller, 2012). Puti (2013) secara spesifik menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesetiaan pasien
antara lain kepuasan, ikatan emosi, kepercayaan dan
kemudahan.
Pengguna yang setia merupakan aset yang berharga
bagi organisasi, ciri-ciri pengguna yang setia menurut Griffin
(2003:31), yaitu keinginan untuk membuat pembelian,
keinginan untuk membeli semua produk dan pelayanan yang
ditawarkan, merekomendasikan kepada orang lain, menun-
jukkan kekebalan terhadap tarikan dari persaingan.
107
Dalam kehidupan realitas, kesetiaan menunjukkan
komitmen pelanggan ketika berurusan dengan organisasi dan
akan merekomendasikan kepada rekan-rekan dan ahli
keluarga untuk membeli sesuatu produk dan pelayanan
(McIlroy & Barnett, 2000). Kesetiaan pasien adalah niat
pelanggan untuk mendapat pelayanan dari sebuah rumah
sakit dan merekomendasikan rumah sakit yang sama kepada
orang lain (Chahal & Mehta, 2013).
5.7 Teori Kesetiaan
Kesetiaan merupakan tujuan utama dalam pemasaran.
Ini didukung oleh berbagai tuntutan tentang bagaimana
organisasi memperolehi keuntungan daripada pelanggan
yang setia (Nordman, 2004). Konsep kesetiaan mempunyai
hubungan dengan nilai yang dapat digunakan untuk
menjangka perilaku seperti cadangan pelanggan, alternatif
dan pengekalan pelanggan (East, et al., 2005).
Status kesetiaan pelanggan menentukan hubungan yang
terbentuk antara pelanggan dan penyedia pelayanan. Definisi
tersebut menunjukkan hubungan daripada perspektif
pelanggan (Nordman, 2004). Kesetiaan pelanggan dalam
tempoh tertentu digunakan untuk menggambarkan kesetiaan
pelanggan secara keseluruhan yaitu perilaku kesetiaan dan
sikap kesetiaan. Matriks dalam Gambar 2.2 menunjukkan
berbagai tahap status kesetiaan pelanggan yang diambil
daripada (Dick & Basu, 1994).
108
Gambar 2.2. Status kesetiaan pengguna dikombinasikan dari
perilaku & sikap pengguna
Berikut ini adalah beberapa langkah pertimbangan
untuk mengembalikan kesetiaan diantaranya, mendefinisikan
semula kesetiaan. Setiap industri pelayanan yang berusaha
untuk mengembalikan kesetiaan pelanggan harus menga-
malkan pemahaman dan persetujuan organisasi mengenai
perilaku dan sikap pelanggan yang bercirikan pelanggan setia.
Setiap penentuan harus dibuat setelah mempertimbangkan
berbagai bentuk kesetiaan yang dapat nilai. Langkah kedua,
tertumpu pada keutamaan pelanggan, pengumpulan infor-
masi tentang demografi pelanggan yang setia, trend pelang-
gan dan keuntungan yang diperoleh. Pengolahan data ini
109
dapat menghasilkan pemahaman tentang berbagai segmen
pelanggan yang berbeda dengan pilihan pelayanan yang
berbeda pula. Langkah ketiga yaitu melihat kembali program
dan proses penyelarasan yang komprehensif berdasarkan
hubungan satu sama lain. Pelaksanaanya melibatkan semua
pihak pelayanan seperti pelanggan, pembekal, pembedahan,
dan teknologi informasi. Langkah keempat, membuat
pelaburan semula terhadap infrastruktur, teknologi dan
latihan untuk memberikan pengalaman berbeda kepada pe-
langgan. Hal ini diberi penekanan pada teknologi karena
dapat dijadikan cara yang efisien untuk berinteraksi dengan
pelanggan.
Menurut Oliver (1999), kesetiaan bukan hanya
pembelian secara berulang terhadap suatu produk, tetapi
pembelian secara berulang terhadap suatu produk meskipun
dipengaruhi oleh situasi yang berpotensi untuk menyebabkan
terjadinya perubahan tindakan (Oliver, 1999). Oliver (1999)
menjelaskan mengenai empat fase pembangunan kesetiaan
yaitu kognitif (keutamaan untuk sifat yang dilihat), afektif
(keutamaan emosi bagi produk), konatif (keinginan membeli
semula) dan tindakan (sengaja mengatasi tantangan untuk
pembelian semula). Menurut model ini, keberbagaian dalam
perilaku pembelian semula bergantung pada sejauh mana
pelanggan akan membeli semula produk bergantung pada
keberbagaian kesetiaan pelanggan. Kesetiaan pelanggan
seharusnya tidak dilihat dari aspek pembelian semula atau
tidak tetapi bergantung pada tahap keteguhan yang tinggi.
110
Blomqvist, (2000) menyatakan terdapat dua langkah
dalam membina kesetiaan pelanggan antara lain dengan
pemasaran yang tepat dan dapat membina asas pelanggan
menjadi setia dengan kekerapan pembelian yang tinggi.
Dengan asas pelanggan yang setia, organisasi dapat mencapai
pasaran stabil dan lebih mudah mengekalkan produk apabila
dibandingkan dengan pesaing. Hasil kajian juga menunjukkan
bahwa biaya sebanyak lima kali lebih besar digunakan untuk
mendapat pelanggan baru berbanding menjaga pelanggan
yang tersedia. Kehilangan pelanggan bermaksud kemerosotan
pendapatan.
Berdasarkan penemuan Paavola (2006) yang
menjelaskan kesetiaan pelanggan berdasarkan kerangka teori
kesetiaan terdiri dari sembilan kategori. Kategori tersebut
adalah kesetiaan “kompulsif”, kesetiaan “routine”, kesetiaan
beralasan, kesetiaan yang mencurigakan, kesetiaan sebagai
permainan, kesetiaan yang diwariskan, kesetiaan sosial,
kesetiaan berbasis gambar, dan kesetiaan politik.
5. 8 Dimensi Kesetiaan
Pada asasnya kesetiaan dapat dianalisis dari perspektif
organisasi dan pengguna (Bobalca, 2013). Pengguna yang setia
merupakan aset yang tidak ternilai bagi organisasi. Pelanggan
yang setia menurut Griffin, (2002) antara lain melakukan
pembelian secara berulang, membeli produk dari pihak yang
sama, merekomendasikan kepada orang lain dan menun-
jukkan kekekalan daya tarik dari produk pesaing.
111
Jones & Taylor (2007) menerangkan tiga dimensi konstruk
perilaku, sikap dan kognitif hubungan interpersonal.
Tabel 2.1. Dimensi Kesetiaan (Jones & Taylor, 2007)
Dimensi Kesetiaan terkait
hasil Definisi
Tingkahlaku
Pembelian Semula
Tujuan pelanggan
untuk mengekalkan
hubungan dengan
penyedia pelayanan
tertentu dan
melakukan
pembelian
berikutnya
Niat Beralih
Tujuan pelanggan
untuk mengakhiri
hubungan dengan
penyedia pelayanan
tertentu dan
mendapatkan
penyedia pelayanan
lain dalam kategori
yang sama
Niat Eksklusif
Tujuan pelanggan
untuk
mendedikasikan
semua
pembeliannya
terhadap penyedia
112
pelayanan tertentu
Sikap
Sikap Relatif
Penilaian semula
pelayanan,
termasuk kekuatan
dari penilaian
tersebut dan tahap
perbezaan dari
alternatif
Kesudian untuk
merekomendasikan
Kesediaan
pengguna untuk
merekomendasikan
penyedia pelayanan
kepada pengguna
lain
Altruisme
Kesediaan
pengguna untuk
membantu
penyedia pelayanan
atau pengguna
pelayanan lain
dalam keberkesanan
penyampaian
pelayanan
Kognitif Kesudian
membayar lebih
Pengguna tidak
mengambil
perbedaan harga
antara penyedia
pelayanan dalam
kategori yang sama
113
Pertimbangan
eksklusif
Sejauh mana
pengguna
menganggap
pelayanan kepada
pelanggan sebagai
atau hanya
pilihannya ketika
membeli kategori
pelayanan tersebut
Pengenalan
Pemilikan
penggabungan
pelayanan dengan
penyedia pelayanan
atau nilai-nilai
kesesuaian antara
penyedia pelayanan
dan pengguna
5.9 Hubungan kualitasTerhadap Kesetiaan
Kajian empirik menjelaskan hubungan antara kualitas
pelayanan terhadap kesetiaan pasien yang dijelaskan yaitu
Kessler & Mylod (2011). Kajian menjelaskan kepuasan mem-
beri kesan signifikan terhadap kesetiaan. Hasil kajian
Tsoukatos & Rand (2006) menjelaskan bahwa kepuasan tidak
memberi dampak signifikan terhadap kesetiaan. Kajian ini
Noyan & Simsek (2014) juga menunjukkan bahwa kepuasan
memberi dampak positif dan signifikan terhadap kesetiaan.
Penelitian Hasnelly & Yusuf (2012) mendapati kepuasan
memberi kesan positif dan signifikan terhadap kesetiaan.
114
Penelitian yang dilakukan Kesuma, Hadiwidjojo, Wiagustini,
& Rohman, (2013); Arab, Tabatabaei, Rashidian, Forushani &
Zarei, (2012), Mortazavi, Kazemi, Shirazi, & Azis-Abadi,
(2009), dan Kaffashi, Keshtkaran, Pourtaleb, Nejatzadegan &
Raadabadi, (2014) menegaskan hubungan antara kualitas
pelayanan terhadap kesetiaan pasien di rumah sakit.
Penelitian yang dilakukan oleh Cronin dan Taylor (1992)
kualitas pelayanan tidak menunjukkan hubungan yang positif
antara kualitas pelayanan dan kesetiaan. Boulding (1993)
menemui hubungan yang positif diantara kualitas pelayanan
dan keinginan menggunakan kembali dan menyarankan
kepada orang lain. Kajian Japarianto (2007) menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang positif antara kualitas
pelayanan dengan kesetiaan pelanggan.
Lain halnya dengan penemuan Bloemer (1999) yang
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dan positif
antara kualitas pelayanan dengan kesetiaan pelanggan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dama (2010) juga menyatakan
bahwa kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap
kesetiaan. Saputro (2010) juga melakukan penelitian yang
hasilnya menunjukkan kualitas pelayanan berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kesetiaan. Selain itu hasil penelitian
Kurniawan (2010) menyatakan bahwa kualitas pelayanan
berpengaruh secara positif terhadap kesetiaan pelanggan.
115
Tabel 2.5. Matriks Penelitian terdahulu
Hubungan Kualitas Pelayanan Terhadap Kesetiaan
Peneliti Tahun Hasil Kajian
Wu 2011
Merek rumah sakit mempunyai kesan langsung dan tidak langsung terhadap kesetiaan pasien. Imej rumah sakit yang positif meningkatkan kesetiaan pasien secara langsung dan meningkatkan kepuasan pasien.
Tsoukatos &
Rand 2006
Kepuasan tidak memberi kesan signifikan terhadap kesetiaan.
Wang,
Hsiao, &
Huang
-
Hasil statistik tidak signifikan tentang kualitas pelayanan teknik dan fungsi memiliki pengaruh yang kurang terhadap kesetiaan pasien.
Aykac, et al. 2009
Dimensi keandalan memberi kesan signifikan terhadap kesetiaan rumah sakit seperti keandalan, daya tanggap, dan empati.
Kitapci,
Akdogan, &
Dortyol
2014
Kepuasan pelanggan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap “word-of-mouth” dan membeli semula.
Naidu 2009
Kualitas pelayanan kesehatan mempengaruhi kepuasan pasien, seterusnya mempengaruhi perilaku kesetiaan pasien.
116
DAFTAR PUSTAKA
Rashid, W. E., & Jusoff, H. K. (2009). Service quality in health
care setting. International Journal of Health Care Quality
Jaminan. Vol. 22 No. 5 , 471-482.
Taner, T., & Antony, J. (2006). Comparing public and private
hospital care service quality in Turkey. Leadership in Heath
Services. Vol. 19 No. 2 , i-x.
Padma, P., Rajendran, C., & Sai, L. P. (2009). A conceptual
framework of service quality in healthcare: Perspectives of
Indian patients and their attendants. Benchmarking: An
International Journal. Vol. 16 No. 2 , 157-191.
Aagja, J. P., & Garg, R. (2010). Measuring perceived service
quality for public hospitals (PubHosQual) in the Indian
context. International Journal of Pharmaceutical and
Healthcare Marketing. Vol. 4 No. 1 , 1750-6123.
Khan, S. (2014). Measuring antecedents of service quality in
hospitals: A comparative study of LRH and KTH hospitals
Peshawar Region, Pakistan. Scholarly Journal of Business
Administration. Vol. 4 (1) , 13-25.
Coyle, Y. M., & Battles, J. B. (1999). Using antecedents of
medical care to develop tepat quality of care measures.
International Journal for Quality in Health Care. Vol. 11. No.
1 , 5-12.
Hooper, D., Coughlan, J., & Mullen, M. R. (2013). The
servicescape as an antecedent to service quality and behavioral
intentions. Journal of Services Marketing. Vol. 27. No. 4 , 271-
280.
117
Yusof Boon & N Azlinda Kasma Azizan. 2011. Kepuasan
pelajar fakulti pendidikan UTM terhadap kualiti perkhidmatan
di pusat kesihatan UTM. Journal of Educational Management
1:103-120.
Hizlinda Tohid, Teoh S.Y., Siti Nurbaiyah K.E., Azrina A.S.,
Mohamad Hafizzudin M.T., Chang L.H & Noraliza M.A.
2012. A cross-sectional study on patient satisfaction with
Universiti Kebangsaan Malaysia Medical Centre (UKMMC)
primary care clinic. Med & Health 7(1): 12-23.
Noor Hazilah Abd Manaf & Phang, S.N. 2009. Patient
satisfaction as an indicator of service quality in Malaysian
public hospitals. The Asian Journal on Quality 10(1):77-87.
Manco, J. (2003). The Heritage of Mercy.
www.buildinghistory.org.
Macmillan Dictionary. (2014). Hospital.
www.macmillandictionary.com.
World Health Organization. (2014). Hospitals. www.who.int.
Wolper, F., & Pena, D. (1997). Management Hospital.
Siregar, C. J., & Lia, A. (2004). Farmasi Hospital: Teori dan
Penerapan. Cetakan Pertama. Jakarta: Buku Kedoktoran EGC.
Roemer, M., & Friedman, J. (1971). Doctors in Hospitals.
Baltimore: Johns Hopkins Press.
Lumenta, N. A. (1992). Penyak Ginjal. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia.
Wicks, A. M., & Roethlein, C. (2009). A Satisfaction-Based
Definition of Quality. Journal of Business & Economic
Kajianes. Vol. 15 No. 1 , 82-97.
118
Prajogo, D., & Sohal, A. (2001). The Relationship Between
TQM practices and Innovation Performance: A Literature
Review and Research Framework. Technovation. 21(9) , 539-
558.
Crosby, P. B. (1979). Quality is Free. New York: Mc-Graw
Hill Book, Inc.
Mosahab, R., Mahamad, O., & Ramayah, T. (2010). Service
Quality, Customer Satisfaction and Loyalty: A Test of
Mediaton. International Business Research. Vol. 3 No. 4 , 72-
80.
Sharma, A., Garg, D., & Agarwal, A. (2012). Quality
Management in Supply Chains: The Literature Review.
International Journal for Quality research. Vol. 6 No. 3 .
Juran, J. (1992). Juran on Quality by Design. New York: The
Free Press.
Juran, J. (1998). Juran on Quality by Design: The New Steps
for Planning Quality into Goods and Services: Planning,
Setting and Reaching Quality Goals. New York: Simon &
Schuster Inc.
Deming, W. (1986). Out of the Crisis. MIT Center.
Depkes RI. (2009). Sistem Kesihatan Nasional. Jakarta:
Depkes RI.
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. (2009). Undang-Undang
Nomor 44 tahun 2009 tentang Hospital. Jakarta: DPR RI.
Gaspersz, V. (2002). Total Quality Management. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
119
Triguno. (1997). Budaya Kerja, Menciptakan Lingkungan yang
kondusif untuk meningkatkan produktivitas kerja. Jakarta:
Golden Teravon Press.
Feigenbaum, A. (1991). Total Quality Control: Fortieth
anniversary edition. New York: McGraw-Hill.
Hardie, N. (1998). The Effects of Quality Management on
Business Performance. Quality Management Journal. 5 , 65-83
Arditi, D., & Gunaydin, H. M. (1997). Total quality
management in the construction process. International Journal
of Project Management. Vol. 15 No. 4 , 235-243.
Ariani. (2004). Pengendalian Kualiti Statistik (Pendekatan
Kuantitatif Dalam Manajemen Kualiti). Yogyakarta: ANDI.
Wyckof. (2002). Prinsip Pemasaran. Edisi Ketujuh. Jilid I.
Jakarta: Erlangga.
Lovelock, C. (1994). Product Plus: How Product+Service=
Competitive Advantage. New York: McGraw Hill.
Berry, L., Zeithaml, V., & Parasuraman, A. (1985). Quality
counts in services too. Business Horizon, Vol. 28 No. 3 , 44-52.
Tjiptono, F. (1997). Strategi Pemasaran. Edisi 1. Yogyakarta:
Andi Ofset.
Goetsch, D. L., & Davis, S. B. (2000). The Total Quality
Approach to Quality Management, 3 ed. New Jersey: Prentice
Hall.
Kotler, P. (2000). Manajemen Pemasaran . Jakarta: PT
Prenhallindo.
Render, B., & Herizer, J. (2004). Operations Management.
International Edition. New Jersey: Upper Saddle River.
120
Pryor, M. G., Toombs, L., & Anderson, D. (2009). What
Management and Quality Theories Are Best for Small
Business? Journal of Management and Marketing Research .
Shih, A., & Schoenbaum, S. C. (2007). Measuring Hospital
Performance: The Importance of Process Measures.
Commonwealth Fund.Vol. 6 .
Kumar, A., Manjunath, S., & K.C, C. (2012). Service Quality
at Hospital - A Study of Apollo Hospital in Mysore. IOSR
Journal of Business and Management (IOSRJBM) Vol. 4 No.1 ,
01-07.
Riley, W., & Nwoke, S. (2007). Review and Analysis of
Quality Improvement (QI) Techniques in Police Departments.
Ohio: University of Minnesota.
Gaspersz, V. (2002). Total Quality Management. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1988).
SERVQUAL: A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer
Perceptions of Service Quality. Journal of Retailing. Vol, 64
No. 1 , 12-40.
Wang, I.-M., & Shieh, C.-J. (2006). The relationship between
service quality and customer satisfaction: the example of CJCU
library. Journal of Information & Optimization Sciences. Vol.
27 No. 1 , 193-209.
Ramseook-Munhurrun, P., Lukea-Bhwajee, S. D., & Naidoo,
P. (2010). Service Quality in the Public Service. International
Journal of Management and Marketing Research. Vol. 3 No. 1
, 37-50.
121
Tjiptono, F. (2000). Manajemen Pelayanan. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Andi Offset.
Kadir Arifin. 2009. Sistem Pengurusan Kualiti: Proses dan
Pelaksanaan di Malaysia. Bangi: Penerbit Universiti
Kebangsaan Malaysia.
Sanapiah, A. (2000). Perkhidmatan yang berorientasi kepada
kepuasan masyarakat. Jurnal Administrasi Negara. Vol. 6 No.
1 .
Batinggi, A., & Badu, A. (1997). Modul Manajemen
Perkhidmatan Umum. Makassar: STIA LAN RI Makassar.
Shahin, A., & Samea, M. (2010). Developing the Models of
Service Quality Gaps: A Critical Discussion. Business
Management and Strategy. Vol. 1 No. 1 , 1-11.
Culiberg, B., & Rojsek, I. (2010). Identifying Service Quality
Dimensions as Antecedents to Customer Satisfaction in Retail
Banking. Economic and Business Review. Vol. 12, No. 3 , 151-
166.
Chow, C. C., & Luk, P. (2005). A strategic service quality
approach using analytic hierarchy process. Managing Service
Quality. Vol. 15 No. 3 , 278-289.
Sohail, M. S. (2003). Service Quality in Hospitals: More
Favourable Than You Might Think. Managing Service Quality.
Vol. 13 No. 3 , 197-206.
Kumar, A., Manjunath, S., & K.C, C. (2012). Service Quality
at Hospital - A Study of Apollo Hospital in Mysore. IOSR
Journal of Business and Management (IOSRJBM) Vol. 4 No.1 ,
01-07.
122
Aiken, L. H., Clarke, S. P., & Sloane, D. M. (2002). Hospital
Staffing, Organization, and Quality of Care: Cross-National
Findings. Nurs Outlook.
Boulding, W., Kalra, A., Staelin, R., & Zeithaml, V. (1993). A
dynamic process model of service quality: From expectations
to behavioral intentions. Journal of Marketing Research. 30(1)
, 7-27.
Tjiptono, F. (2005). Pemasaran Pelayanan. Malang:
Bayumedia Publishing.
Zeithaml, V., Berry, L., & Parasuraman, A. (1996). The
Behavioural Consequences of Services Quality. Journal of
Marketing. Vol. 60 .
Berry, L., Zeithaml, V., & Parasuraman, A. (1985). Quality
counts in services too. Business Horizons. Vol. 28 No. 3 , 44-
52.
Gronroos, C. (1984). A service quality model and its marketing
implications. European Journal of Marketing 18 (4) , 36-44.
Zeithaml, V., Berry, L., & Parasuraman, A. (1996). The
Behavioural Consequences of Services Quality. Journal of
Marketing. Vol. 60 .
Parasuraman, A., Berry, L., & Zeithaml, V. (1988).
SERVQUAL: a multiple-item scale for measuring consumer
perceptions of service quality. Journal of Retailing. Vol. 64.
No. 1 , 12-40.
Mohammad, A. A., & Alhamadani, S. Y. (2011). Service
Quality Perspective and Customer Satisfaction in Commercial
Banks Working in Jordan. Middle Eastern Finance and
Economics. Issue 14 , 60-72.
123
Gronroos, C. (1998). Marketing services: the case of a missing
product. Journal of Business & Industrial Marketing. Vol. 13
Iss 4/5 , 322-338.
Parasuraman, A., Leonard, L., & Zeithml, V. (1985). A
Conceptual Model of Services Quality and Its Implications for
Future Research. Journal of Marketing. Vol. 49 , 41-50.
Naik, C. K., Gantasala, S. B., & Prabhakar, G. V. (2010).
Service Quality (Servqual) and its Effect on Customer
Satisfaction in Retailing. European Journal of Social Sciences.
Vol. 16 No. 2 .
Yang, Z., & Fang, X. (2004). Online service quality
dimensions and their relationship with satisfaction. A content
analysis of customer reviews of securities brokerage services.
International Journal of Service Industry Management. Vol. 15
No. 3 , 302-326.
Choi, K.-S., Lee, H., Kim, C., & Lee, S. (2005). The service
quality dimensions and patient satisfaction relationships in
South Korea: comparisons across gender, age and types of
service. Journal of Services Marketing. Vol. 19 No. 3 , 140-
149.
Harr, K. K. (2008). Service dimensions of service quality
impacting customer satisfaction of fine dining restaurants in
Singapore. Las Vegas: University of Nevada Las Vegas.
Duggirala, M., Rajendran, C., & Anantharaman, R. (2008).
Patient-perceived dimensions of total quality service in
healthcare. Benchmarking: An International Journal. Vol. 15
(5) , 560-583.
124
Duggirala, M., Rajendran, C., & Anantharaman, R. (2008).
Provider-perceived dimensions of total quality management in
healthcare. Benchmarking: An International Journal. Vol. 15
No. 6 , 693-722.
Ramez, W. S. (2012). Patients' Perception of Health Care
Quality, Satisfaction and Behavioral Intention: An Empirical
Study in Bahrain. International Journal of Business and Social
Science. Vol. 3 No. 18 , 131-141.
Choi, K.-S., Lee, H., Kim, C., & Lee, S. (2005). The service
quality dimensions and patient satisfaction relationships in
South Korea: comparisons across gender, age and types of
service. Journal of Services Marketing. Vol. 19 No. 3 , 140-
149.
Alghamdi, F. (2014). The impact of service quality perception
on patient satisfaction in Government Hospitals in Southern
Saudi Arabia. Saudi Med. J. Vol. 35 (10) , 1271-1273.
Chang, C.-S., Chen, S.-Y., & Lan, Y.-T. (2013). Service
quality, trust, and patient satisfaction in interpersonal-based
medical service encounters. BMC Health Service Research. , 1-
11.
Wang, I.-M., & Shieh, C.-J. (2006). The relationship between
service quality and customer satisfaction: the example of CJCU
library. Journal of Information & Optimization Sciences. Vol.
27 No. 1 , 193-209.
Pantouvakis, A., & Mpogiatzidis, P. (2013). The impact of
internal service quality and learning organization on clinical
leaders' job satisfaction in hospital care services. Leadership in
Health Services.Vol. 26 No. 1 , 34-49.
125
Taylor, S.A. & Backer, T.L. 1994. An assessment of the
relationship between service qualitu and customer satisfaction
in the formation of the consumers’ purchase intentions. Jounal
of Retailing 70(2): 163-178.
Woodside., Arch G., Frey, Lisa L., Daly, Robert Timothy.
(1989). Linking Service Quality, Customer Satisfaction and
Behavioral Intention, Journal of Health Care Marketing. Vol 9
No.4, 12-40.
Cronin, J. J., & Taylor, S. (1992). Measuring Service Quality:
Reexamination and Extension. Journal of Marketing .
Ali Hasan. (2009). Marketing. Yogyakarta: MedPress.
Handrianto. (2002). Pengukuran Kepuasan Pasien Melalui
Metode Servqual Pada Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit
Santo Baromeus Bandung.
Lovelock, C. H., & Wright, L. K. (2005). Manajemen
Pemasaran Pelayanan (Agus Widyantorom Penerjemah).
Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Sari, Yurina. (2006). Analisis Kepuasan Pesakit Rawat Inap
terhadap Pelayanan Rumah Sakit Haji dan Hubungannya
dengan Minat Beli Ulang Tahun 2006. Tesis. Depok: FKM UI
Hart, C. W. L. (1988). Thea Power Of Unconditional Service
Guarantees. Boston, Massachusetts : Harvard Busines Review.
Nasution, M.N. (2005) Manajemen Mutu Terpadu. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Hanif, M., Hafeez, S., & Riaz, A. (2010). Factors Affecting
Customer Satisfaction. International Research Journal of
Finance and Economics. Issue 60 , 44-52.
126
Giese, J. L., & Cote, J. A. (2002). Defininig Consumer
Satisfaction. Academy of Marketing Science Review. Vol. 2000
No. 1 .
Haffizurrachman. (2004). Mengukur kepuasan suatu institusi
kesihatan . Jakarta: Majalah Kedoktoran Indonesia. Vol. 54
Nomor 7.283 - 288.
Ilyas, Y. (1999). Kinerja: Teori Penilaian dan Penelitian.
Jakarta: FKM UI.
Kusumapraja. (1997). Quality Jaminan Dalam Kejururawatan.
Jakarta: Kongres VI PERSI dan Hospital Expo.
Nurachmah, E. (2005). Asuhan Kejururawatan Bermutu di
Hospital. Jakarta: FIKUI.
Hussain Md Yatim. 2013. Laporan Kajian Kepuasan Pelanggan
SERVQUAL pesakit luar Hospital Sungai Siput 1/2013.
Sabarguna, B. S. (2004). Pemasaran Hospital. Yogyakarta:
Konsorsium RSI: 1-21.
Soejadi. (1996). Pedoman Penilaian Kinerja Rumah Sakit
Umum. Jakarta: Katiga Bina.
Vukmir, R. B. (2006). Customer satisfaction. International
Journal of Health Care Quality Jaminan. Vol. 19 No. 1 , 8-31.
Puri, N., Gupta, A., Aggarwal, A. K., & Kaushal, V. (2012).
Outpatient satisfaction and quality of health care in Nort Indian
medical institute. International Journal of Health Care Quality
Jaminan. Vol. 25 No. 8 , 682-697.
Haron, S. N., Hamid, M. Y., & Talib, A. (2012). Towards
Healthcare Service Quality: An Kefahaman of the Usability
Concept in Healthcare Design. Procedia - Social and
Behavioral Sciences 42 , 63-73.
127
Yuksel, A., & Yuksel, F. (2013). Consumer Satisfaction
Theories: A Critical Review. Adnan Menderes University.
DoHA. (2013). Annual Report. Canberra
Cardozo, R. N. (1965). An Experimental Study of Customer
Effort, Expectation, and Satisfaction. Journal of Marketing
Research. Vol. II , 244-249.
Yi, Y. (1989). A Critical Review of Consumer Satisfaction.
Michigan: University of Michigan. School of Business
Administration.
Kotler, P. (2000). Manajemen Pemasaran . Jakarta: PT
Prenhallindo.
Tjiptono, F. (2000). Manajemen Pelayanan. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Andi Offset.
Berry, L., Zeithaml, V., & Parasuraman, A. (1998). The
Service-Quality Puzzle. Business Horizons.
Irine, D. (2009). Manajemen Pemasaran Usaha Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Oliver, R.L. 1980. A Cognitive model of the antecedents and
consequences of satisfiaction decisions. Journal of Marketing
Research 17(4): 460-469.
Oliver, R.L. 1989. Processing of the satisfaction response in
consuption: a suggested framework and research propositions.
Journal of Customer Satiscfaction, Dissatisfaction and
Complaining Behavior 2: 1-16.
Muslim Amin. 2009. Kualiti Perkhidmatan Perbankan Islam di
Malaysia dan Pengaruhnya kepada kepuasan dan kesetiaan
pelanggan menggunakan persamaan pemodelan struktur. Tesis
128
Dr. Fal, Pusat Pengajian Sains Matematik, Universiti
Kebangsaan Malaysia.
Oliver, R. (1997). Satisfaction a behavioral perspective on the
consumer. Singapore: McGraw-Hill Education.
Suhardan, D. (2010). Supervisi Profesional. Bandung:
Alfabeta.
Azwar, A. (1996). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan.
Jakarta: Sinar Harapan.
Homburg, C., & Rudolph, B. (2001). Customer satisfaction in
industrial markets: dimensional and multiple role issues.
Journal of Business Research 52 , 15-33.
Etter, J., & Perneger, T. (1997). Tepatating a satisfaction
questionnaire using multiple approaches: a case study. Social
Sciences & Medicine 45 (6) , 879-885.
Fais, S., & Saleha, S. (2009). Buku Ajar Organisasi dan
Manajemen Perkhidmatan Kesihatan Serta Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.
Irawan, H. (2009). 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.
Siskos, Y., & Grigoroudis, E. (2001). Measuring Customer
Satisfaction for Various Services Using Multicriteria Analysis.
Tecnical Universitiy of Crete .
Hanif, M., Hafeez, S., & Riaz, A. (2010). Factors Affecting
Customer Satisfaction. International Research Journal of
Finance and Economics. Issue 60 , 44-52.
Kursunluoglu, E. (2014). Customer Service Effects on
Customer Satisfaction and Customer Loyalty: A Filed
Research in Shopping Centers in Izmir City - Turkey.
129
International Journal of Business and Social Science. Vol. 2
No. 7 .
Hamed, M. A., & Salem, G. M. (2014). Factors affecting
patients' satisfaction in nuclear medicine department in Egypt.
The Egyptian Journal of Radiology and Nuclear Medicine (45)
, 219-224.
Zahran, A.-R. M., Abdeldaeim, H. M., Fouda, K., & Elgebaly,
O. F. (2012). Congenital penile curvature presenting as
unconsummated marriage. Repair by 16-dot plication with
subjectively reported patient and partner satisfaction. Arab
Journal of Urology. 10 , 429-433.
Ortiz, J., Wang, S., Elayda, M. A., & Tolpin, D. A. (2013).
Preoperative patient education: can we improve satisfaction
and reduce anxiety? Revista Brasileira De Anestesiologia , 1-6.
Zolaly, M. A. (2012). Satisfaction of parents of paediatric
patients with physician' Komunikasi skills in Almadinah
Almunawwarah, Kingdom of Saudi Arabia. Journal of Taibah
University Medical Sciences. 7 (1) , 29-34.
Geffen, E. C., Philbert, D., Boheemen, C. v., Dijk, L. v., Bos,
M., & Bouvy, M. (2011). Patients' satisfaction with
information and experiences with counseling on cardiovascular
medication received at the pharmacy. Patient Education and
Counseling (83) , 303-309.
Zahran, K. M., Osman, A. M., & Elaleem, J. A. (2011). Effect
of trochar site lidocaine on postoperative pain scoring and
patient satisfaction after gyneologic laparoscopies - A
randomized clinical trial. Middle East Fertility Society Journal.
16 , 131-136.
130
Kessler, D. P., & Mylod, D. (2011). Does patient satisfaction
affect patient loyalty? International Journal of Health Care
Quality Jaminan. Vol. 24 No. 4 , 266-273.
Mortazavi, S., Kazemi, M., Shirazi, A., & Azis-Abadi, A.
(2009). The Relationship between Patient Satisfaction and
Loyalty in The Private Hospital Industry. Iranian Journal
Public Health. Vol. 38 No. 3 , 60-69.
Kursunluoglu, E. (2014). Customer Service Effects on
Customer Satisfaction and Customer Loyalty: A Filed
Research in Shopping Centers in Izmir City - Turkey.
International Journal of Business and Social Science. Vol. 2
No. 7 .
Anbori, A., Ghani, S. N., Yadav, H., Daher, A. M., & Su, T. T.
(2010). Patient satisfaction and loyalty to the private hospitals
in Sana'a, Yemen. International Journal for Quality in Health
Care. Vol. 22 No. 4 , 310-315.
Ali Hasan. (2009). Marketing. Yogyakarta: MedPress.
Darsono, L. I. (2004). Sebuah Pandangan Komprehensif dalam
Analisa Kesetiaan Pelanggan. Kiherja.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2009). Manajemen Pemasaran,
Edisi 13 Jilid 1. Jakarta.
Griffin, J. (2005). Customer Loyalty. Menumbuhkan dan
Mempertahankan Kesetiaan Pelanggan. Jakarta: Erlangga.
Kessler, D. P., & Mylod, D. (2011). Does patient satisfaction
affect patient loyalty? International Journal of Health Care
Quality Jaminan. Vol. 24 No. 4 , 266-273.
Mortazavi, S., Kazemi, M., Shirazi, A., & Azis-Abadi, A.
(2009). The Relationship between Patient Satisfaction and
131
Loyalty in The Private Hospital Industry. Iranian Journal
Public Health. Vol. 38 No. 3 , 60-69.
Hu, H.-Y., Cheng, C.-C., Chiu, S.-I., & Hong, F.-Y. (2011). A
Study of Customer Satisfaction, Customer Loyalty and Quality
Attributes in Taiwan's Medical Service Industry. African
Journal of Business Management. Vol. 5 (1) , 187-195.
Rundle-Thiele, S., Bus, B., & Bus, M. (2010). Patient influence
on satisfaction and loyalty for GP services. Brisbane:
Queensland University of Technology.
Mendoza, A. M. (2014). Correlation Analysis of Customer
Satisfaction and Loyalty in Carlito Pena Reyes Hospital. Asia
Pacific Journal of Multidisciplinary Research, Vol. 2, No. 4 .
Bastos, J. A. (2008). Pharmacies Customer Satisfaction and
Loyalty - A Framework Analysis. Salamanca: Miguel de
Unamuno.
Al-Omar, B. A. (2000). Patients' expectations, satisfaction and
future behavior in hospitals in Riyadh city. Saudi Medical
Journal, Vol. 21(7) .
Lawler, E. J. (2001). An Affect Theory of Social Exchange.
Chicago: Cornell University ILR School.
Griffin, J. (2003). Customer Loyalty: Menumbuhkan dan
Mempertahankan Pelanggan. Jakarta: Airlangga.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2009). Manajemen Pemasaran,
Edisi 13 Jilid 1. Jakarta.
Puti, W. (2013). Pengaruh Kualiti Perkhidmatan dan
Kepuasan Terhadap Kesetiaan Pesakit Rawat Jalan dan Rawat
Inap Hospital Otorita batam . Bandung: Universitas
Widyatama.
132
Griffin, J. (2003). Customer Loyalty: Menumbuhkan dan
Mempertahankan Pelanggan. Jakarta: Airlangga.
McIlroy, A., & Barnett, S. (2000). Building customer
relationships: do discount cards work? Managing Service
Quality: An International Journal. Vol. 10. No. 6 , 347-355.
Chahal, H., & Mehta, S. (2013). Modeling patient satisfaction
construct in the Indian health care context. International
Journal of Pharmaceutical and Healthcare Marketing. Vol. 7
No. 1 , 75-92.
Nordman, C. (2004). Kefahaman Customer Loyalty and
Disloyalty - The Effect of Loyalty-Supporting and Repressing
Factors. Swedish: Helsingfors.
East, R., Gendall, P., Hammond, K., & Lomax, W. (2005).
Consumer Loyalty: Singular, Additive or Interactive?
Australian Marketing Journal 13 (2) .
Dick, A. S., & Basu, K. (1994). Customer Loyalty: Toward an
Integrated Conceptual Framework. Journal of the Academy of
Marketing Science, Vol. 22, No. 2 , 99-113.
Oliver, R. L. (1999). Where Consumer Loyalty? Journal of
Marketing, 1999, 63 .
Blomqvist, K. (2000). Trust in Knowledge-Based
Organizations. Lappeenranta: Lappeenranta University of
Technology.
Paavola, H. (2006). Categories of Loyalty. Toward Meaning-
based Theory of Customer Loyalty. European Advances in
Consumer Research. Vol. 7 .
133
Bobalca, C. (2013). Study of Customers' Loyalty: Dimensions
and Facets. Management & Marketing, Vol. XI, Issue 1 , 104-
114.
Griffin, J. (2002). Customer Loyalty How to Earn it, How to
Keep it. Kentucy: McGraw-Hill.
Jones, T., & Taylor, S. F. (2007). The conceptual domain of
service loyalty: how many dimensions? Journal of Services
Marketing. Vol. 21, Iss 1 , 36-51.
Kessler, D. P., & Mylod, D. (2011). Does patient satisfaction
affect patient loyalty? International Journal of Health Care
Quality Jaminan. Vol. 24 No. 4 , 266-273.
Tsoukatos, E., & Rand, G. K. (2006). Path analysis of
perceived service quality, satisfaction and loyalty in Greek
insurance. Managing Service Quality. Vol. 16 No. 5 , 501-519.
Noyan, F., & Simsek, G. G. (2014). The antecendents of
customer loyalty. Procedia - Social and Behavioral Sciences
109 , 1220-1224.
Hasnelly, & Yusuf, E. (2012). Analysis of Market-Based
Approach on the Customer Value and Customer Satisfaction
and Its Implication on Customer Loyalty of Organic Products
in Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences 40 ,
86-93.
Kesuma, I., Hadiwidjojo, D., Wiagustini, N., & Rohman, F.
(2013). Service quality influence on patient loyalty: Customer
relationship management as mediation variable (Study on
private hospital industry in Denpasar). International Journal of
Business and Commerce. Vol. 2 No. 12 , 1-14.
134
Arab, M., Tabatabaei, S. G., Rashidian, A., Forushani, A. R., &
Zarei, E. (2012). The Effect of Service Quality on Patient
loyalty: a Study of Private Hospitals in Tehran, Iran. Iranian J
Pub Health. Voll. 41. No. 9 , 71-77.
Mortazavi, S., Kazemi, M., Shirazi, A., & Azis-Abadi, A.
(2009). The Relationship between Patient Satisfaction and
Loyalty in The Private Hospital Industry. Iranian Journal
Public Health. Vol. 38 No. 3 , 60-69.
Kaffashi, S., Keshtkaran, A., Pourtaleb, A., Nejatzadegan, Z.,
& Raadabadi, M. (2014). Health Service Quality: Comment on
"How Outpatient Service Quality in Hospitals Affects Patients'
Loyalty?". Jundishapur Journal of Health Sciences. Vol. 6 No.
2 , 335-342.
Cronin, J. J., & Taylor, S. (1992). Measuring Service Quality:
Reexamination and Extension. Journal of Marketing .
Boulding, W., Kalra, A., Staelin, R., & Zeithaml, V. (1993). A
dynamic process model of service quality: From expectations
to behavioral intentions. Journal of Marketing Research. 30(1)
, 7-27.
Japarianto. (2007). Analisa Kualiti Perkhidmatan Sebagai
Pengukur Kesetiaan Pelanggan Hotel Majapahit Surabaya
dengan Pemasaran Relasional sebagai Variabel Intervening,
34-42.
Bloemer, J., Ruyter, K., and Wetzels, M. 1999, Linking
Perceived Service Quality And Service Loyalty: A Multi-
Dimensional Perspective, European Journal of Marketing. 33
(11/12): 1082-1106.
135
Dama, Hais. Pengaruh Kualiti Perkhidmatan terhadap
Kesetiaan, INOVASI, Vol.7, No. 2, 2010
Saputro 2010 Fakultas Ekonomi“Analisis Pengaruh Kualiti
Produk,Kualiti Perkhidmatan, Dan Kepercayaan Pelanggan
Terhadap Kesetiaan Pelanggan” Universitas Diponegoro
Semarang
Kurniawan E. 2010. Pengaruh Dimensi Relationship Marketing
Terhadap Kesetiaan Pelanggan (Kajian Pada Bengkel AHASS
No.1267 Honggowongso). Skripsi. Surakarta: UNS.
Wu, C.-C. (2011). The Impact of Hospital Brand Image on
Service Quality, Patient Satisfaction and Loyalty. African
Journal of Business Management, Vol. 5 (12) , 4873-4882.
Tsoukatos, E., & Rand, G. K. (2006). Path analysis of
perceived service quality, satisfaction and loyalty in Greek
insurance. Managing Service Quality. Vol. 16 No. 5 , 501-519.
Wang, H. L., Hsiao, Y. C., & Huang, J. Service Quality and
Loyalty in Varying Patient's Knowledge and Perceived
Switching Costs: Lesson From Taiwan. Taiwan: I-Shou
University.
Aykac, D. S., Aydin, S., Ates, M., & Cetin, A. T. (2009).
Effects of service quality on customer satisfaction and
customer loyalty: Marmara University Hospital. Marmara
Universitesi.
Kitapci, O., Akdogan, C., & Dortyol, I. T. (2014). The impact
of service quality dimensions on patient satisfaction,
repurchase intentions and word-of-mouth Komunikasi in the
public healthcare industry. Procedia - Social and Behavioral
Sciences 148 , 161-169.
136
Naidu, A. (2009). Factors affecting patient satisfaction and
healthcare quality. International Journal of Health Care
Quality Jaminan. Vol. 22 No. 4 , 366-381.
Adikoesoemo, Suparto. 2003, Manajemen Rumah Sakit, Sinar
Harapan, Jakarta
Adisasmito, W. 2008, Sistem Kesehatan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Aditama, T.Y. 2007, Manajemen Rumah Sakit, Edisi ke-2,
Universitas Indonesia Press, Jakarta
Alamsyah, Dedi. 2011, Manajemen Pelayanan Kesehatan,
Nuha Medika, Yogyakarta
Azwar, Azrul. 1995, Program Menjaga Mutu Pelayanan
Kesehatan, Binarupa Aksara, Jakarta
___________1996, Pengantar Adiministrasi Kesehatan, Edisi
Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta
Bustami. 2011, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan
Akseptabilitasnya, Erlangga, Jakarta
Depkes RI. 1998, Penerapan Konsep Mutu di Puskesmas,
Jakarta
_______. 1998, Konsep Total Quality Management, Jakarta
_______. 2001, Learning Organization, Jakarta
_______. 2002, Pedoman Penyelenggaraan Puskesmas di Era
Desentralisasi (DRAFT), Jakarta
Gary Dessler. 1980, Organization and Management : A
Contingency Approach, Prentice Hall, Inc., Homewood,
Illinois
Handoko, T.H. 2003, Manajemen, Edisi Kedua, BPFE,
Yaogyakarta
137
Harold Koontz & Cyrill O’Donnell. 1980, Management,
McGraw Hill, Inc. Tokyo
Herlambang, Susatyo. 2016, Manajemen Pelayanan Kesehatan
Rumah Sakit, Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/ MENKES/
SK/X.2003 Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan,
Jakarta
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
128/MENKES/SK/II/2004 Kebijakan Dasar Puskesmas, jakarta
Koentjoro, Tjahjono. Regulasi Kesehatan di Indonesia, Jakarta
Kusnadi, dkk. 2005, Pengantar Manajemen (konseptual dan
perilaku), Universitas Brawijaya Malang, Malang
Manulang. 2001, Dasar-dasar Manajemen, cetakan ke enam
belas, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Muninjaya, Gde AA. 2004, Manajemen Kesehatan, edisi
kedua, EGC, Jakarta
Notoatmodjo, Soekidjo. 1996, Ilmu Kesehatan Masyarakat
Prinsip-prinsip Dasar, Rineka Cipta, Jakarta
Parsons, W. 2008, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik
Analisi Kebijakan, Kencana, Jakarta
Peter F. Drucker. 1982, Pengantar Manajemen (Terjemahan),
LPMM, Jakarta
Pohan, I. S. 2004, Jaminan Mutu Layanan Kesehatan, EGC,
Jakarta
Satrianegara, M. F. 2014, Organisasi dan Manajemen
Pelayanan Rumah Sakit, Salemba Medika, Jakarta
Siagian, S.P. 2002, Teori Pengembangan Organisasi, Cetakan
ke4, PT. Bumi Aksaram Jakarta
138
________. 2004 Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Bumi
Aksara, Jakarta
Wolper, L. F. 2001, Health Care Administration: Principle,
Practice Structure and Delivery, Airlangga University Press,
Surabaya