Daftar Isi -...
-
Upload
vuongthien -
Category
Documents
-
view
234 -
download
0
Transcript of Daftar Isi -...
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1PB WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Daftar IsiDari Redaksi
Produksi rumput laut Indonesia dari tahun 2007 hingga 2014 terus mengalami peningkatan signifikan dengan kenaikan rata-rata sebesar 28,7% per tahun. Kinerja perdagangan luar negeri rumput laut dan produk olahannya selama 5 tahun terakhir (2010-2014) juga menunjukkan kinerja yang positif dan selalu mengalami surplus neraca perdagangan baik untuk rumput laut dalam bentuk raw material maupun produk olahan dengan tren pertumbuhan surplus perdagangan sebesar 16% per tahun.
Berita Pendek Perdagangan
Serba - Serbi
Statistik Perdagangan Pusdatin
Halaman 29
Halaman 34
Halaman 38
Hal. 2
Hal. 14
Hal. 17
Hal. 9
Rumput Laut Berpotensi
Tingkatkan Ekspor
Metrologi merupakan instrumen utama dalam penilaian kesesuaian produk diantaranya pengujian, inspeksi, dan sertifikasi produk. Produk yang telah mendapatkan penilaian kesesuaian akan terjamin standar kualitas, kesehatan dan keamanannya sehingga bisa diterima oleh pasar, baik pasar domestik maupun ekspor.
Mengenal Metrologi Lebih Dekat
Potensi peningkatan ekspor Makanan dan Minuman (Mamin) Olahan Indonesia ke India sangat besar karena besarnya populasi India dan gaya hidup masyarakatnya yang sering mengadakan pesta. Beberapa produk Indonesia yang memiliki potensi ekspor yang tinggi ke India antara lain air mineral serta gula dan kembang gula karena nilai dan pangsa impor India yang masih besar.
Menyikapi Segmentasi Pasar Gula
Segmentasi pasar antara pasar Gula Kristal Putih (GKP) dengan pasar Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diamanatkan oleh Kepmenperindag No. 527/2004 ternyata kurang efektif. Solusi paling logis adalah, untuk jangka pendek, meningkatkan efektivitas segmentasi pasar GKP dan GKR. Sementara untuk jangka panjang, segmentasi pasar harus dihapuskan.
Hal. 22
Alas Kaki, Komoditas Unggulan Ekspor
Sektor alas kaki merupakan salah satu sektor industri pengolahan yang dapat menjadi andalan karena memiliki potensi pasar yang besar. Pangsa ekspor alas kaki Indonesia terhadap ekspor non migas Indonesia selama 5 tahun terakhir terus meningkat dengan tren pertumbuhan sebesar 10,4% per tahun. Dengan demikian, alas kaki merupakan salah satu produk unggulan yang berpotensi meningkatkan ekspor.
Melirik India sebagai Pasar Potensial Ekspor Mamin Olahan
Membangun Sistem Logistik Bawang Merah Hal. 25
Bawang merah merupakan salah satu komoditas pangan strategis. Kegunaan bawang merah tidak dapat digantikan dengan bahan lain (non-complementer). Sistem logistik diperlukan untuk menjamin ketersediaan bawang merah untuk masyarakat sepanjang tahun, tanpa dipengaruhi oleh musim dengan harga yang wajar dan terjangkau.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
ISU PERDAGANGAN
Rumput Laut Berpotensi Tingkatkan Ekspor
Naufa Muna dan Septika Tri Ardiyanti
Ungkapan “Gemah Ripah Loh Jinawi” yang berarti bumi
pertiwi dengan kekayaan alam yang melimpah merupakan satu
ungkapan yang pas untuk menggambarkan keadaan alam
Indonesia. Dua per tiga wilayah Indonesia merupakan wilayah laut
sehingga tidak heran jika Indonesia juga mendapatkan julukan
sebagai “negara maritim”. Luasnya laut Indonesia menyimpan
potensi ekonomi yang luar biasa yang dapat dikembangkan untuk
kesejahteraan masyarakat. Salah satu komoditas sumber daya
laut yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi adalah rumput laut.
Sebagai negara kepulauan yang mempunyai lebih dari
17 ribu pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81
ribu Km, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi
pengembangan dan budidaya komoditas rumput laut. Memiliki
kondisi alam yang baik dan cocok untuk pengembangan rumput
laut menjadikan rumput laut Indonesia memiliki kualitas yang
baik sehingga permintaan dunia akan rumput laut Indonesia,
dalam bentuk bahan baku maupun produk olahan terus
meningkat (Ditjen PEN, 2013).
Indonesia merupakan produsen rumput laut dunia setelah
Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Tahun 2012, produksi rumput
laut Indonesia mencapai 6,5 juta ton (pangsa: 27,4% dari total
produksi dunia), sementara RRT memproduksi rumput laut
sebesar 12,8 juta ton dengan pangsa 54% dari total produksi
rumput laut dunia (Tabel 1).
Tabel 1. Produsen Rumput Laut Dunia
Sumber: FAO (2014)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Produksi rumput laut Indonesia dari tahun 2007 hingga 2014
terus mengalami peningkatan signifikan dengan kenaikan rata-rata
sebesar 28,7% per tahun. Pada tahun 2007, produksi rumput
laut Indonesia dalam bentuk basah hanya mencapai 1,7 juta ton
dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 10,2 juta ton atau naik
490,11% selama 7 tahun (Gambar 1) (KKP, 2015). Sedangkan
rata-rata produktivitas rumput laut kering di Indonesia sebesar
1,14 ton/km (Valderrama, 2013). Angka ini merupakan angka
terendah jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas negara
penghasil lainnya di dunia. Potensi budidaya rumput laut tersebar
di seluruh propinsi di Indonesia, diantaranya propinsi Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang merupakan
propinsi-propinsi terbesar penghasil rumput laut di Indonesia. Dari
total produksi rumput laut nasional di tahun 2012, sebanyak 88,1%
merupakan rumput laut jenis E. Cottoni dan 11,9% merupakan
jenis Gracilaria. Kedua jenis rumput laut tersebut merupakan jenis
rumput laut yang banyak dibudidayakan dan sudah dikembangkan
secara komersial di Indonesia (KKP, 2014).
Kinerja Perdagangan Luar Negeri Rumput Laut dan Produk
Olahannya
Kinerja perdagangan luar negeri rumput laut dan produk
olahannya selama 5 tahun terakhir (2010-2014), menunjukkan
kinerja yang positif dan selalu mengalami surplus neraca
perdagangan baik untuk rumput laut dalam bentuk raw material
maupun produk olahan dengan tren pertumbuhan surplus
perdagangan sebesar 16% per tahun. Selama Januari-Maret 2015,
surplus rumput laut dan produk olahannya mencapai USD 53,1 juta
yang terdiri produk olahan sebesar USD 10,8 juta dan bentuk
bahan baku sebesar USD 42,3 juta (Tabel 2).
Gambar 1. Produksi Rumput Laut Nasional,
2007-2014.Sumber: KKP (2015)
Tabel 2. Neraca Perdagangan Rumput Laut dan Produk Olahannya (USD Juta)
Sumber: BPS (2015), diolah
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Ekspor rumput laut dan produk olahannya selama periode 2010-
2014 terus mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 12,7% per tahun. Tahun 2014, ekspor rumput laut dan
produk olahannya mencapai USD 505,8 juta, yang terdiri dari ekspor
produk olahan sebesar USD 53,3 juta dan rumput laut dalam bentuk
raw material sebesar USD 226,2 juta. Ekspor rumput laut dan produk
olahannya tahun 2014 didominasi oleh ekspor dalam bentuk raw
material dengan pangsa sebesar 80,9%, sementara produk olahan
hanya memberikan kontribusi sebesar 19,1%.
Selama kuartal I 2015, ekspor rumput laut dan produk olahan
mengalami penurunan sebesar 13,6% (Year on Year/YoY). Hampir
keseluruhan Harmonized System (HS) yang tergabung dalam
kelompok rumput laut dan produk olahannya mengalami penurunan
selama kuartal I 2015 kecuali HS: 1212.20.90.00 (Rumput laut dan
ganggang lainnya dari jenis yang digunakan untuk konsumsi manusia
selain HS: 1212202000) yang tetap meningkat sebesar 6,5%. Lebih
lanjut, HS yang mengalami penurunan yang sangat signifikan selama
periode tersebut berasal dari kelompok raw material, yaitu komoditas
yang masuk ke dalam HS 1212201100, HS 1212201900 dan HS
1212202000 yang mengalami penurunan masing-masing sebesar
68,7% (YoY); 75,4% (YoY) dan 62,9% (YoY) (Tabel 3).
Tabel 3. Nilai Ekspor Rumput Laut dan Produk Olahannya
Sumber: BPS (2015), diolah
Penurunan ekspor rumput laut selama kuartal I 2015 tersebut
disebabkan oleh turunnya harga beberapa jenis rumput laut.
Sebagai contoh, rumput laut jenis E. Cottoni turun dari harga
Rp 18.500/Kg menjadi Rp 14.000/Kg, sementara rumput laut jenis
Gracilaria dari harga Rp 10.000/Kg turun menjadi hanya Rp 8.000/Kg
(Republika Online, 2015). Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI)
menyatakan bahwa turunnya harga rumput laut disebabkan oleh
adanya wacana pemerintah untuk mengenakan Bea Keluar (BK)
atas ekspor rumput laut raw material. Wacana pengenaan BK atas
rumput laut tersebut tentu memberikan tekanan bagi petani karena
pasar untuk menjual rumput laut menjadi dibatasi, yang dulunya
untuk pasar luar negeri dan domestik menjadi hanya untuk pasar
domestik. Di samping itu, wacana tersebut tentu menyebabkan
ketakutan dan spekulasi bagi para petani, daripada barang-barang
tersebut tidak laku terjual sehingga dapat menyebabkan adanya
oversupply di dalam negeri maka lebih baik dijual dengan harga
yang lebih murah. Adanya penurunan harga selama kuartal I 2015
tersebut terlihat dari eskpor rumput laut (raw material) yang secara
volume meningkat sebesar 3,9% (YoY) namun secara nilai justru
turun sebesar 14,2% (YoY) (Tabel 4).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Tabel 4. Volume Ekspor Rumput Laut dan Produk Olahannya
Sumber: BPS (2015), diolah
Ekspor produk olahan rumput laut Indonesia pada kuartal I
2015 ditujukan untuk pasar Jerman, Denmark, Amerika Serikat,
Jepang, dan Belanda yang masing-masing ekspornya mencapai
USD 1,9 juta; USD 1,7 juta; USD 1,7 juta; USD 1,3 juta dan
USD 1,1 juta. Ekspor produk olahan rumput laut ke negara Belanda
dan Australia meningkat sangat tajam selama Januari-Maret 2015,
peningkatan ekspor ke kedua negara tersebut bahkan mencapai
5.922,9% (YoY) dan 11.545,7% (YoY) (Gambar 2). Sementara itu,
65,3% ekspor rumput laut raw material selama Januari-Maret 2015
ditujukan untuk pasar RRT. Pada periode yang sama, Filipina dan
Korea Selatan menduduki peringkat ke-2 dan ke-3 negara tujuan
ekspor rumput laut raw material Indonesia dengan pangsa masing-
masing sebesar 7,5% dan 6,7%.
Gambar 2. Ekspor Produk Olahan Rumput Laut Menurut Negara Tujuan.Sumber: BPS (2015), diolah
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Gambar 3. Ekspor Produk Olahan Rumput Laut Menurut Negara Tujuan.Sumber: BPS (2015), diolah
Berbanding terbalik dengan kinerja ekspor, impor rumput laut
dan produk olahannya justru mengalami peningkatan selama
kuartal I 2015 sebesar 3,8% dibandingkan dengan periode
yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan impor tersebut
bersumber dari naiknya impor rumput laut jenis raw material
sebesar 665,5% (YoY), sementara impor produk olahan rumput
laut turun sebesar 54,7% (YoY). Pada kelompok produk olahan
rumput laut, impor agar-agar selama kuartal I 2015 meningkat
Tabel 5. Kinerja Impor Rumput Laut dan Produk Olahannya
Sumber: BPS (2015), diolah
signifikan sebesar 83,6% (YoY), sementara pada kelompok
rumput laut raw material peningkatan impor terjadi pada
jenis rumput laut yang digunakan untuk bahan baku pangan/
konsumsi manusia dengan peningkatan sebesar 63.642,7%
(YoY) (Tabel 5). Kinerja impor rumput laut nasional didominasi
oleh impor produk olahan rumput laut dengan pangsa sebesar
80,7% di tahun 2014, sementara 19,3% lainnya merupakan
rumput laut dalam bentuk raw material.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
RRT dan Filipina menjadi negara asal impor produk olahan
rumput laut Indonesia pada kuartal I 2015. Impor produk olahan
dari kedua negara tersebut masing-masing mencapai USD 0,4 juta
dan USD 0,2 juta. Impor produk olahan yang berasal dari Jerman,
Singapura dan Filipina mengalami peningkatan yang signifikan
Gambar 4. Ekspor Produk Olahan Rumput Laut Menurut Negara Tujuan.Sumber: BPS (2015), diolah
Target Ekspor Rumput Laut (raw material) dan produk olahannya
Salah satu amanat penting Kementerian Perdagangan
dalam mendukung visi dan misi pemerintahan yang baru adalah
“meningkatkan peran Indonesia dalam perdagangan internasional”
melalui peningkatan ekspor Indonesia terutama sektor non
migas. Kementerian Perdagangan menargetkan peningkatan
ekspor nonmigas dalam lima tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Tabel 6. Target Ekspor Produk Rumput Laut dan Produk Olahannya Tahun 2019
Rumput laut dan produk olahannya termasuk ke dalam produk
yang diunggulkan untuk menopang pencapaian target tersebut
mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen rumput laut
terbesar dunia
Ekspor rumput laut raw material serta produk olahannya berupa
agar-agar dan karaginan masing-masing ditargetkan mencapai
USD 356,7 juta; USD 31,3 juta dan USD 48,6 juta (Tabel 6).
Sumber: BPS (2014) & Kemenko Bid. Perekonomian (2015)
Ket: *Target Ekspor 2019
selama periode tersebut (Gambar 4). Sementara itu, untuk impor
rumput laut dalam bentuk bahan baku di tahun 2014, sebagian
besar diimpor dari negara Korea Selatan dan Thailand dengan
pangsa masing-masing sebesar 67,3% dan 29,6% dengan nilai
mencapai USD 840,1 ribu dan USD 369,8 ribu.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Salah satu strategi yang digunakan untuk mencapai target
ekspor tersebut adalah dengan menggunakan strategi pendekatan
produk dengan melakukan hilirisasi industri. Dengan mengekspor
produk hilir maka harga ekspor akan jauh lebih tinggi, tidak lagi
bergantung pada harga internasional serta nilai tambah lebih
banyak dapat dinikmati di dalam negeri. Beberapa kebijakan
hilirisasi pemerintah yang berhasil mendorong peningkatan ekspor
produk bernilai tambah adalah Crude Palm Oil (CPO) dan kakao.
Terbukti setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut,
ekspor CPO dan kakao didominasi oleh produk turunan sehingga
mendongkrak ekspor dari sisi nilai. RRT hingga saat ini masih
menjadi eksportir utama produk olahan rumput laut dunia (pangsa
di tahun 2013: 36,7%), sementara Indonesia hanya menduduki
peringkat ke-7 dengan pangsa 4,1% dari total ekspor produk
olahan dunia berada di bawah Chili, Spanyol, Perancis, AS, dan
Jerman (UN COMTRADE, 2014).
Salah satu permasalahan utama yang dikeluhkan oleh para
pelaku usaha adalah sulitnya mendapatkan bahan baku industri
yang berkualitas hingga pada tahun 2014 yang lalu muncul usulan
wacana pengenaan BK ekspor rumput laut. Namun demikian,
pelaku usaha sektor hulu mengklaim bahwa produksi rumput
laut Indonesia melimpah dan cukup untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Ketidakharmonisan dalam data produksi antara
sektor hulu dan hilir mengakibatkan kesulitan bagi pemerintah
untuk menentukan arah kebijakan pengembangan industri rumput
laut dalam negeri. Oleh karena itu, harmonisasi data antara sektor
hulu dan hilir serta kerjasama antara pemerintah dan pelaku usaha
sektor hulu dan hilir amatlah mutlak diperlukan untuk penyusunan
strategi pengembangan industri pengolahan rumput laut sehingga
target ekspor rumput laut dan produk olahannya sebesar USD
436,6 juta di tahun 2019 dapat tercapai.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Komoditas Unggulan
Septika Tri Ardiyanti
Alas kaki selama ini merupakan salah satu produk utama
dan menjadi unggulan ekspor Indonesia. Hal tersebut terlihat dari
cukup tingginya kontribusi sektor tesktil, barang kulit dan alas
kaki terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meskipun
tren kontribusinya mengalami penurunan. Selama 2012 – 2014,
kontribusi sektor tesktil, barang kulit dan alas kaki terhadap PDB
berkisar 1,8% hingga 1,9% dengan tren penurunan sebesar 1,5%
per tahun (BPS, 2015). Selain itu, sektor alas kaki merupakan
salah satu sektor industri pengolahan yang dapat menjadi andalan
karena memiliki potensi pasar yang besar karena banyak negara di
dunia terutama negara maju telah beralih dari light industry menuju
ke high technology industry.
Selama periode 2009-2013, ekspor produk alas kaki dunia
mengalami pertumbuhan sebesar 12,8% per tahun seperti yang
ditunjukkan dalam Tabel 1. Tahun 2013, ekspor alas kaki dunia
mencapai USD 119,7 miliar, naik 10,6% Year on Year (YoY) yang
didominasi oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan pangsa
lebih dari 42%. Sementara Italia dan Vietnam merupakan negara
dengan ranking kedua dan ketiga dengan pangsa sebesar 9,8%
dan 7,3%. Vietnam merupakan eksportir alas kaki dunia yang
mengalami pertumbuhan signifikan selama lima tahun terakhir
sebesar 20,3% pertahun, sementara Indonesia menduduki
peringkat ke-6 di bawah Belgia dan Jerman dengan pangsa
sebesar 3,2%.
Tabel 1. Eksportir Alas kaki Dunia, 2009-2014*
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah*) Data 2014 belum tersedia untuk semua negara
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Pada periode yang sama,seperti yang terlihat dalam Tabel 2,
impor alas kaki dunia juga mengalami pertumbuhan positif sebesar
8,1% per tahun. Amerika Serikat (AS), Jerman, Perancis, Inggris
dan Jepang merupakan negara importir utama produk alas kaki
dunia dengan pangsa impor masing-masing mencapai 22,3%;
7,9%; 6,1%; 5,5% dan 5,1% di tahun 2013. Korea Selatan dan
RRT merupakan negara yang memiliki pertumbuhan impor alas
kaki yang signifikan selama lima tahun terakhir, yaitu masing-masing
sebesar 21,5% per tahun dan 26,9% per tahun. Tingginya tren
pertumbuhan impor alas kaki Korea Selatan dan RRT menjadikan
kedua negara tersebut merupakan
pasar potensial untuk produk alas
kaki bagi para eksportir dan produsen
alas kaki dunia, termasuk Indonesia.
Meskipun impor alas kaki RRT tumbuh
signifikan, RRT memiliki industri alas kaki
yang sejenis dengan Indonesia, bahkan
dalam skala yang massive, sehingga
RRT justru akan menjadi kompetitor
utama bagi Indonesia dan bukan
sebagai pasar potensial.
Tabel 2. Importir Alas kaki Dunia, 2009-2014*
Sumber: UN COMTRADE (2015), diolah*)Data 2014 belum tersedia untuk semua negara
Kinerja Ekspor Produk Alas Kaki Indonesia
Pangsa ekspor alas kaki terhadap ekspor non migas Indonesia
selama 5 tahun terakhir terus meningkat dengan tren pertumbuhan
sebesar 10,4% per tahun. Pangsa ekspor alas kaki terhadap
ekspor non migas pada tahun 2014 sebesar 2,8%. Total ekspor
alas kaki Indonesia pada tahun 2014 mencapai USD 4.108,4 juta,
meningkat sebesar 6,4% (YoY). Tren pertumbuhan ekspornya
selama 2010-2014 juga menunjukkan angka yang positif yaitu
sebesar 12,2% per tahun. Peningkatan kinerja ekspor alas kaki
di tahun 2014 dibandingkan tahun sebelumnya disebabkan
oleh meningkatnya ekspor jenis sepatu olahraga dan alas kaki
lainnya secara signifikan masing-masing sebesar 2,5% (YoY) dan
11,5% (YoY). Sementara itu, pada Januari 2015, ekspor alas kaki
mencapai USD 395,3 juta, naik 17,6% (YoY). Peningkatan ekspor
alas kaki di bulan Januari 2015 didukung oleh kinerja ekspor jenis
alas kaki lainnya yang meningkat signifikan sebesar 80,3% (YoY),
sementara sepatu olahraga mengalami penurunan sebesar
12,3% (YoY) (Tabel 3).
Ekspor alas kaki Indonesia pada tahun 2014 didominasi oleh
ekspor sepatu olahraga sebesar 54,3%, sementara ekspor sepatu
lainnya yang terdiri dari sepatu dengan luaran kulit, sepatu dengan
luaran karet dan plastik serta meterial tekstil dan lainnya memiliki
pangsa sebesar 45,7%. Di bulan Januari 2015, komposisi ekspor
alas kaki Indonesia hampir seimbang antara sepatu olahraga dan
alas kaki jenis lainnya dengan pangsa masing-masing sebesar
50,5% dan 49,5% (Gambar 1).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Gambar 1. Struktur Ekspor Alas Kaki Indonesia, 2013, 2014 dan 2015 (Januari).Sumber: BPS (2015), diolah
Hampir 30% dari keseluruhan ekspor alas kaki Indonesia di
tahun 2014 ditujukan untuk pasar AS dengan nilai ekspor sebesar
USD 1.120,52 juta, meningkat sebesar 8,5% (YoY). Pasar Belgia
dan Jerman menempati peringkat ke-2 dan ke-3 dengan pangsa
masing-masing sebesar 8,3% dan 6,4%. Negara tujuan ekspor
alas kaki yang mengalami tren peningkatan ekspor yang cukup
signifikan selama 2010-2014 adalah RRT dan Korea Selatan
dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing sebesar 38,5%
dan 34,9%. (Tabel 4).
Tabel 4. Ekspor Alas Kaki Indonesia Menurut Negara Tujuan, 2010-2015 (Januari)
Tabel 5. Target Ekspor Produk Alas kaki Indonesia, 2015-2019
Sumber: BPS (2015), diolah
Target Ekspor Produk Alas Kaki Indonesia
Salah satu mandat Kementerian Perdagangan dalam
mendukung visi dan misi pemerintahan Jokowi-JK yang baru
untuk “meningkatkan peran Indonesia dalam perdagangan
internasional” adalah peningkatan ekspor Indonesia terutama
sektor non migas. Kementerian Perdagangan menargetkan
peningkatan ekspor non migas dalam lima tahun pemerintahan
Jokowi-JK. Alas kaki merupakan salah satu produk unggulan
yang berpotensi dalam meningkatkan ekspor hingga tahun 2019
mengingat tingginya tren pertumbuhan ekspornya selama 5 tahun
terakhir yang kian melejit. Ekspor alas kaki Indonesia ditargetkan
mencapai USD 8,7 miliar di tahun 2019, meningkat 111,2% atau
lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun (Tabel 5).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Salah satu strategi yang digunakan untuk mencapai target
ekspor produk alas kaki tersebut adalah strategi pendekatan
pasar dengan fokus utama pada negara-negara yang memiliki
permintaan impor dan tren pertumbuhan impor yang tinggi seperti
Korea Selatan, namun tetap menjaga kinerja ekspor ke pasar yang
telah menjadi tujuan utama ekspor produk alas kaki Indonesia.
Pasar Alas Kaki di Korea Selatan
Korea Selatan dapat dijadikan sebagai pasar potensial alas kaki
Indonesia dikarenakan selain tren pertumbuhan impornya yang
tinggi, dunia mode dan industri kreatif Korsel juga berkembang
sangat pesat sehingga menarik jumlah wisatawan yang datang.
Selain itu, Korea Selatan telah lama meninggalkan light industries
seperti industri alas kaki sehingga tentu dapat menjadi peluang
bagi Indonesia untuk masuk ke pasar tersebut.
Impor alas kaki Korea Selatan dari Indonesia selama lima tahun
terakhir menunjukkan pertumbuhan yang signifikan yaitu sebesar
42,1% per tahun. Berdasarkan data UN COMTRADE 2015,
pangsa Indonesia di pasar Korea Selatan di tahun 2013 sebesar
9,1%, menempati peringkat ke-3, masih tertinggal dari RRT yang
menempati peringkat ke-1 (pangsa: 55,1%) dan Vietnam yang
menempati peringkat ke-2 (pangsa: 18,6%).
Impor produk alas kaki di Korea Selatan masih dikenakan tarif
Bea Masuk (BM) yang relatif tinggi, yaitu antara 8% hingga 13%.
Produk alas kaki yang dikenakan tarif BM tertinggi sebesar 13%
antara lain produk alas kaki dengan kode Harmonized System
(HS) 6402 (alas kaki dengan sol luar berasal dari karet dan plastik),
HS 6403 (alas kaki dengan sol luar berasal dari karet, plastik, kulit
maupun komposisi kulit) dan HS 6404 (alas kaki dengan sol luar
berasal dari karet, plastik, kulit dan material tekstil). Namun demikian,
dengan adanya kesepakatan ASEAN-Korea Free Trade Area (AK-
FTA) yang ditandatangani pada tahun 2005 dapat memberikan
Tabel 6. Tarif Bea Masuk dan PPN Produk Alas kaki Korea Selatan
keuntungan bagi Indonesia. Adanya AK-FTA menyebabkan tarif BM
Korea Selatan yang dikenakan untuk produk alas kaki Indonesia
lebih rendah dibandingkan tarif Most Favored Nation (MFN) yaitu
berkisar 5% hingga 8% (Tabel 6).
Korea Selatan tidak menerapkan hambatan non tarif/Non
Tariff Measures (NTMs) untuk produk alas kaki dari Indonesia
sehingga pada dasarnya untuk ekspor produk alas kaki tidak
memerlukan izin yang terlampau rumit. Persyaratan dokumen
yang dibutuhkan untuk memasuki pasar Korea Selatan antara
lain (Korea Customs Service, 2015):
a. Persyaratan dokumen dasar yang diperlukan: Faktur (Invoice),
bill of landing, packing list, Surat keterangn Asal (the certificate
of origin);
b. Dokumen yang mengkonfirmasi kondisi dari barang impor
(hanya jika diperlukan): form deklarasi harga, inspeksi oleh
institusi terkait, karantina, persetujuan dan rekomendasi,
Dokumen yang disiapkan untuk kriteria impor tertentu:
Aplikasi untuk penurunan tarif, Aplikasi untuk tarif yang disetujui,
jaminan untuk pajak council, Kimberly process certificate and
certificate of proposed duty rate, dsb.
Dokumen yang disiapkan untuk kriteria tertentu: Sistem
pemantauan Bea Cukai disiapkan untuk pelaksanaan kewajiban
yang berkaitan dengan impor yang telah ditentukan atau diatur
oleh 34 undang-undang untuk mencapai tujuan kebijakan
nasional berupa perlindungan lingkungan, keselamatan dan
perlindungan kesehatan nasional.
Dengan demikian, dokumen yang dibutuhkan untuk ekspor
produk alas kaki ke Korea Selatan hanya berupa persyaratan
dokumen dasar yang terdapat pada poin a.
Dalam pencapaian target ekspor produk alas kaki seperti
pada Tabel 5 di atas tentu menghadapi beberapa tantangan dan
hambatan. Hai (2007) meneliti tentang beberapa hambatan ekspor
Sumber: WTO (2015) & Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional (2009)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
untuk industri alas kaki di Vietnam yang memiliki karakteristik hampir
sama dengan Indonesia. Tantangan tersebut terdiri dari dua aspek,
yaitu internal barriers dan external barriers. Internal barriers berkaitan
dengan sumber daya organisasi perusahaan dan kemampuan
perusahaan untuk memulai, mengembangkan dan mempertahankan
operasi bisnisnya di pasar global atau untuk melakukan ekspor,
sementara external barriers meliputi hal-hal atau lingkungan dimana
perusahaan tersebut beroperasi.
Dengan menggunakan konsep internal dan external export
barriers yang didefinisikan oleh Hai (2007) dan melihat kondisi
industri alas kaki Indonesia saat ini, maka hambatan dalam mencapai
target ekspor alas kaki tersebut antara lain: Internal Barriers meliputi
kurangnya pengetahuan dan informasi tentang peluang pasar Luar
Negeri (LN) seperti distributor dan pembeli prospektif, kurangnya
export marketing research berkaitan dengan desain, kualitas
bahan dan harga; kendala dalam bahasa untuk berkomunikasi
dengan pelanggan dari LN; Tidak adanya kemampuan perusahaan
dalam pembiayaan ekspor terutama untuk melakukan promosi
dan pameran yang memerlukan biaya tinggi serta belum adanya
kemudahan persyaratan dalam mendapatkan kredit sebagai modal
pengembangan usaha sehingga belum ada kemampuan dalam
memasok dalam jumlah barang yang diminta oleh buyer secara
kontinu. External Barriers meliputi kurangnya ketersediaan bahan
baku yang berkualitas; kompetisi yang sangat kuat dengan supplier
alas kaki dunia terutama RRT dan Vietnam.
Oleh karena itu, pemerintah, lembaga dan sektor terkait
harus segera mengambil langkah strategis. Hal-hal yang menjadi
hambatan-hambatan dari sisi internal pada umumnya dapat
diatasi dengan investasi dan program-program peningkatan
keterampilan seperti mendapatkan pengetahuan tentang export
market; revitalisasi mesin-mesin dan teknologi serta memberikan
insentif sehingga meningkatkan minat investasi. Sementara itu,
untuk mengatasi external barriers, maka langkah yang dapat
diambil adalah: perlu adanya kerja sama serta koordinasi dengan
industri hulu seperti industri penyamakan kulit, kulit buatan/imitasi
dll; dukungan pemerintah dalam promosi dan menciptakan brand
image; perbaikan dalam regulasi ketenagakerjaan; peningkatan
infrastruktur. Untuk peningkatan daya saing produk, maka pemerintah
dapat mendorong sertifikasi ke arah produk yang ramah lingkungan
karena ke depan hal tersebut akan sangat diperhatikan terutama di
negara-negara maju. Lebih lanjut, agar produk alas kaki Indonesia
dapat dikenal secara internasional, maka produk Indonesia tentu
harus kuat di pasar domestik. Oleh karena itu, gerakan “Aku Cinta
Produk Indonesia” harus terus digalakkan.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Reni K. Arianti dan Maulida Lestari
Mengenal
Lebih DekatSaat mendengar kata “Metrologi” yang pertama akan terpikir
oleh masyarakat awam biasanya adalah perkiraan cuaca yang
merupakan bagian dari meteorologi. Melalui tulisan ini diharapkan
bisa membuat masyarakat mengenal lebih dekat apa yang dimaksud
dengan metrologi.
Pengukuran (metrologi) menjadi kebutuhan dasar khususnya
bagi perkembangan teknologi dalam segala bidang kehidupan
sejak manusia dalam kandungan hingga meninggal. Pengukuran
juga penting dalam mendukung kegiatan pemerintah, pedagang,
pengusaha, konsumen maupun masyarakat luas. Kegiatan
kemetrologian dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu
bangsa yang diukur melalui penjaminan mutu kehidupan masyarakat
oleh pemerintah, baik dari segi perlindungan konsumen, pemanfaatan
sumber daya alam yang tidak berlebihan, serta peningkatan daya
saing di sektor industri manufaktur dan jasa.
Metrologi juga berperan sebagai alat ukur dalam peningkatan
mutu suatu produk baik barang atau jasa. Hal ini karena metrologi
menjadi salah satu bagian yang mengendalikan proses produksi dan
inovasi, meliputi inovasi teknologi, inovasi pengelolaan manajemen,
inovasi produk, inovasi pelayanan jasa. Inovasi yang terus dilakukan
secara berkala tentunya memberikan dampak pada peningkatan
mutu dari produk maupun pelayanan jasa yang dijual.
Untuk mengukur tingkat konsistensi penjaminan mutu
diperlukan prosedur dengan menggunakan parameter metrologi.
Metrologi merupakan instrumen utama dalam penilaian kesesuaian
produk diantaranya pengujian, inspeksi, dan sertifikasi produk.
Produk yang telah mendapatkan penilaian kesesuaian akan terjamin
standar kualitas, kesehatan dan keamanannya sehingga bisa
diterima oleh pasar, baik pasar domestik maupun ekspor. Negara
tujuan ekspor mengharuskan adanya kepastian bahwa produk yang
diimpor tidak berbahaya bagi konsumen di negaranya. Di sisi lain,
negara pengimpor juga mensyaratkan kehandalan data pengujian,
hasil inspeksi atau sertifikasi dari negara pengekspor. Pernyataan
keamanan produk diukur melalui pembuktian aspek penilaian
kesesuaian yang dilakukan secara profesional. Oleh karena itu,
ketepatan pengukuran dalam penilaian kesesuaian produk menjadi
faktor penting dalam menjamin kepercayaan negara tujuan ekspor.
Jenis Metrologi
Keseragaman penggunaan satuan ukuran, standar ukuran,
alat ukur serta metode pengukuran dari kemetrologian selalu
menjadi topik yang menarik dibahas dalam konvensi internasional,
bahkan seringkali lahir kesepakatan dan aturan baru dari konvensi
tersebut. Organisation Internationale de Metrologie Legale (OIML)
14 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
menyelenggarakan 49th meeting of the International Committee
of Legal Metrology di Auckland, New Zealand pada tanggal 3-6
November 2014, dimana Indonesia tidak menghadiri konvensi ini,
namun telah memberikan kuasa pada Vietnam. Salah satu hasil
kesepakatan konvensi internasional tersebut adalah kesepakatan
sistem sertifikasi tunggal bagi negara anggota OIML. Hal ini
menunjukkan bahwa metrologi memiliki peran yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Kesepakatan dan aturan yang disepakati
melalui konvensi internasional tersebut menjadi acuan bagi sistem
ketelusuran alat ukur dalam menjamin kebenaran dari segi kualitas
dan kuantitas barang atau jasa yang akan diperdagangkan di dalam
negeri maupun luar negeri. Metrologi terbagi atas tiga jenis, yaitu:
a. Metrologi Legal merupakan metrologi yang mengelola satuan-
satuan ukuran, metode-metode pengukuran dan alat-alat ukur,
yang menyangkut persyaratan dan peraturan berdasarkan UU
seperti yang termaktub dalam Ketentuan Umum UU No. 2 Tahun
1981 tentang Metrologi Legal;
b. Metrologi Radiasi Nuklir merupakan metrologi yang berkaitan
dengan persyaratan teknik pemakaian zat radioaktif dan/
atau sumber radiasi yang diatur berdasarkan undang-undang
yang berlaku, diantaranya PP No. 29/2008 tentang Perizinan
Pemanfaatan Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir (Lembaran
Negara RI Tahun 2007 No. 74, Tambahan Lembaran Negara
No 4730), Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir
No 5/2009 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Zat
Radioaktif untuk Well Logging;
c. Metrologi Teknis merupakan metrologi yang berhubungan
dengan persyaratan teknik pengembangan metode pengukuran,
pemeliharaan, serta pengembangan standar nasional pada alat
ukur dan satuan ukur.
Metrologi legal memiliki dua aspek, yaitu aspek filosofis dan
aspek yuridis. Aspek filosofis merupakan hakikat dan tujuan sebagai
pertimbangan untuk membuat Undang-Undang Metrologi Legal.
Tujuan tersebut yaitu “melindungi kepentingan umum” dalam hal
kebenaran pengukuran, artinya perlu adanya jaminan kebenaran
pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam
pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metode pengukuran dan
alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP). Oleh karena
itu, diharapkan dapat tercipta adanya “tertib ukur” di segala bidang.
Aspek berikutnya merupakan aspek yuridis, yaitu aspek yang
menjamin kepastian hukum dalam penggunaan satuan ukur, standar
satuan, metode pengukuran, serta alat UTTP. Dengan kata lain, jika
ada ketidaksesuaian dalam pengukuran yang merugikan orang lain,
maka pihak yang merugikan dapat dituntut secara hukum. Dengan
demikian, diperlukan pengukuran yang legal, yaitu mulai dari alat
ukurnya, metode pengukuran satuan, hingga alat ukur semuanya
harus diatur secara legal.
Kontribusi Metrologi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu faktor penting untuk kemajuan suatu negara adalah
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan
rendahnya hambatan dalam memasuki pasar, rendahnya biaya
transaksi, peningkatan efisiensi perekonomian, dan dukungan
inovasi. Penggerak pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah
perdagangan. Perdagangan di era globalisasi saat ini menuntut
produk-produk yang akan diperdagangkan harus berkualitas
tinggi agar mampu menghadapi persaingan di pasar internasional.
Namun demikian, dalam perdagangan bebas tidak menutup
kemungkinan bahwa produk tersebut akan menghadapi hambatan
teknis. Sehingga dalam menghadapi hambatan teknis perdagangan
diperlukan sebuah sistem metrologi yang sesuai dengan standar
internasional untuk mengetahui kualitas produk tersebut.
Sistem metrologi diperlukan untuk membangun kepercayaan
dan keyakinan negara lain terhadap pengukuran kualitas
produk dalam perdagangan antar negara yang didasarkan pada
kesepakatan internasional. Setiap negara akan memastikan bahwa
pengukuran dalam transaksi perdagangan dilakukan secara akurat
dan adil berdasarkan regulasi internasional melalui uji pengukuran.
Hasil uji pengukuran tersebut baik di negara tujuan ekspor maupun
negara asal harus sama.
Kendala lemahnya infrastruktur metrologi yang diakui
internasional menjadi penyebab utama hambatan teknis produk
untuk masuk ke negara tujuan ekspor, berarti juga menghambat
perkembangan ekonomi suatu negara. Negara berkembang
merupakan negara yang paling dirugikan oleh adanya hambatan
teknis perdagangan ini, termasuk Indonesia. Gempuran produk
manufaktur impor menjadi ancaman bagi industri manufaktur
di dalam negeri. Menghadapi tantangan tersebut, Indonesia
menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk-
produknya termasuk produk yang masuk ke Indonesia. SNI
diperlukan untuk membatasi masuknya produk impor yang tidak
memiliki standar dan berkualitas rendah, sehingga konsumen
tidak dirugikan dan tidak mematikan industri lokal. Namun
demikian, pada kenyataannya pasar produk manufaktur Indonesia
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 15
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
terus digempur oleh produk-produk impor asal Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) yang tidak memiliki standar dan berkualitas rendah.
Hal ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Indonesia, di satu sisi
pemerintah dituntut untuk melindungi industri manufaktur dalam
negeri dari gempuran produk-produk impor RRT yang memiliki
standar dan kualitas rendah namun berharga murah, dan di sisi
lain pemerintah dituntut dapat menjaga kesehatan dan keamanan
konsumen dalam negeri.
Metrologi dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan
kasus hambatan teknis perdagangan. Salah satu contoh adalah
perbedaan aturan dan persyaratan antara American Society
for Testing and Materials (ASTM) dan International Organization
for Standardization (ISO) ternyata tidak berpengaruh terhadap
perdagangan antara dua negara yang menerapkan metoda
metrologi dengan benar (Kasubdit Pengawasan dan Penyuluhan
Direktorat Metrologi, 2015). Selain dijadikan sebagai acuan dalam
penyelesaian kasus hambatan teknis perdagangan, metrologi juga
berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pembentukan tiga Lembaga Metrologi Nasional di dunia
yaitu Physikalisch Technische Bundesanstalt (PTB) di Jerman,
The National Physical Laboratory (NPL) di Inggris, dan National
Institute of Standards and Technology (NIST) di USA bertujuan
untuk menjembatani perbedaan antara penemuan ilmiah dan
praktek nyata dalam kehidupan oleh para pelaku usaha dalam
menciptakan kemakmuran ekonomi. Sejak dibentuknya lembaga
ini, model pengukuran yang digunakan jauh lebih luas mengikuti
perkembangan ekonomi. Pemerintah ketiga negara tersebut juga
mengadopsi sejumlah insiatif kebijakan dari Lembaga Metrologi
Nasional untuk meningkatkan inovasi terhadap perekonomiannya.
Salah satu contoh inisiatif kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
Inggris yang diadopsi dari hasil penelitian Lembaga Metrologinya
adalah (Mason, 2013):
a. Pembiayaan langsung kepada pelaku usaha melalui dana
hibah, kredit lunak, dan keringanan pajak;
b. Memberikan kemudahan melakukan inovasi baik secara gratis
maupun subsidi;
c. Memberikan konsultasi bisnis baik secara gratis maupun subsidi;
d. Menyiapkan payung hukum untuk melindungi hak intelektual;
e. Menyelenggarakan berbagai macam promosi, transfer
pengetahuan, dan pemberian penghargaan kepada pelaku
usaha.
Berdasarkan Birch (2013), perekonomian suatu negara dapat
dinilai dari persyaratan pengurangan takaran atau apakah jumlah
yang diberikan lebih kecil dari yang telah dinyatakan atau dibayar
dalam sistem metrologinya. Pengukuran ini ditentukan oleh
pengukuran yang berada di luar batas kesalahan yang diperbolehkan
(Maximum Permissible Error/MPE). Pada dasarnya penjual
akan menyampaikan sebagian atau seluruh dari MPE nya untuk
memastikan tidak ada pengurangan takaran. Jika nilai MPE dari
pengukuran perdagangan sebesar 0,5% dan jika total pengukuran
perdagangan sebesar 15% dari Gross Domestic Product (GDP),
maka pedagang akan memberikan MPE sebesar 0,075% dari
GDP. Misalnya Indonesia, memiliki nilai GDP sebesar USD 1 triliun,
maka jumlah MPE yang dapat diberikan oleh Indonesia mencapai
USD 1,3 miliar. Jadi ada insentif untuk mengurangi besarnya
jumlah MPE, tetapi hal ini akan mengakibatkan peningkatan biaya
verifikasi. Dari contoh yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa penerapan pengukuran atau metrologi dengan benar akan
memberikan dampak yang nyata pada pertumbuhan ekonomi
suatu negara.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Fitria Faradila dan Naufa MunaPotensi peningkatan ekspor Makanan dan Minuman
(Mamin) Olahan Indonesia ke India sangat besar karena
besarnya populasi India dan gaya hidup masyarakatnya yang
sering mengadakan pesta (KBRI New Delhi, 2015). Populasi
India mencapai 1,3 miliar orang dan merupakan negara kedua
dengan populasi tertinggi di dunia setelah Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) (World Bank, 2013). Tingginya angka populasi
dan konsumsi masyarakat terhadap produk makanan dan
minuman olahan mendorong peningkatan permintaan produk-
produk tersebut di India. Tahun 2013, konsumsi mamin olahan
India mencapai USD 40 miliar (Associated Chambers of
Commerce and Industry of India, 2015).
Industri mamin olahan India tumbuh rata-rata per tahun
sebesar 10,6% selama 2009-2013. Tahun 2013, industri ini
memberikan kontribusi sebesar 1,5% terhadap total Produk
Domestik Bruto (PDB) atau senilai USD 13,2 miliar (Ministry of
Food Processing Industries India, 2013). Pentingnya industri
makanan dan minuman olahan mendorong pemerintah India
untuk memberikan insentif kebijakan untuk menstimulus industri
tersebut melalui bantuan keuangan. Bantuan keuangan tersebut
digunakan untuk: (i) modernisasi unit pengolahan makanan;
(ii) pembangunan infrastruktur; (iii) pengembangan dalam hal
penelitian; (iv) pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM); dan
(v) kegiatan promosi. Selain itu, industri makanan dan minuman
olahan juga dimasukkan ke dalam salah satu sektor prioritas yang
memperoleh pinjaman bank di India (KBRI New Delhi, 2015).
Gambaran Permintaan Impor Mamin Olahan India
Besarnya konsumsi produk mamin olahan di India yang
belum dapat sepenuhnya dipenuhi oleh produksi dalam negeri
mendorong permintaan impor akan produk tersebut. Pada tahun
2014 India mengimpor makanan dan minuman olahan sebesar
USD 1.034,2 juta, meningkat 18,4% Year on Year (YoY). Minuman
beralkohol adalah produk dengan pangsa impor terbesar di tahun
2014 yakni 36,4% (USD 376,6 juta), disusul selanjutnya dengan air
mineral dengan pangsa sebesar 12,8% (USD 132,0 juta). Adapun
pertumbuhan impor tertinggi terjadi pada kopi instan sebesar
97,5% (YoY) pada tahun 2014 (Tabel 1).
Tabel 1. Impor Makanan dan Minuman Olahan India menurut Kelompok Produk
Sumber: Trademap (2015), diolah
No KELOMPOK PRODUK NILAI : USD Juta Perub. % Tren (%) Pangsa (%)
2010 2011 2012 2013 2014 14/13 10-14 2014
Total Impor 1.568,5 763,5 1.208,7 873,4 1.034,2 18,4 (6,7) 100,0 1 Minuman beralkohol 193,4 226,5 271,3 303,0 376,6 24,3 17,6 36,4 2 Air Mineral 41,7 51,3 62,1 91,1 132,0 44,8 33,3 12,8 3 Gula & kembang gula 1.036,3 124,1 476,5 90,4 94,3 4,3 (40,0) 9,1 4 Coklat 39,7 59,4 70,6 76,5 92,0 20,4 21,3 8,9 5 Yeast, ice cream 62,9 84,1 91,6 92,0 82,6 (10,2) 6,6 8,0 6 Teh Kemasan 48,9 44,7 46,2 43,8 53,3 21,7 1,5 5,2 7 Tembakau & rokok (Cigarrettes) 26,1 34,0 49,8 38,4 46,6 21,2 13,6 4,5 8 Olahan tepung lainnya (Kue Kering, Cereal) 24,5 29,4 24,7 27,4 36,6 33,9 7,6 3,5 9 Olahan sayuran diawetkan/diasinkan/diberi cuka 23,6 23,5 26,1 24,9 24,1 (3,3) 0,9 2,3 10 snack/camilan (buah, kacang, kripik dll) 11,6 9,4 12,0 15,0 22,7 51,7 19,8 2,2 11 Juice buah 27,1 36,7 38,4 29,6 22,0 (25,5) (6,1) 2,1 12 Makanan olahan lainnya 7,0 10,9 13,2 13,3 15,4 16,4 19,4 1,5 13 Saus 9,5 12,9 12,0 11,7 12,2 4,8 4,3 1,2 14 Biskuit dan wafers 9,6 10,2 7,3 8,6 10,9 27,1 0,9 1,1 15 Kopi instan 2,1 2,4 3,7 5,0 9,9 97,5 46,5 1,0 16 Mie instan 3,2 2,4 2,4 2,6 2,4 (5,3) (4,5) 0,2 17 Ikan kemasan/kaleng 0,3 0,8 0,3 0,2 0,4 74,1 (8,8) 0,0 18 kepiting & crustacean kemasan/kaleng 1,0 0,7 0,5 0,1 0,1 3,3 (48,8) 0,0
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Menurut negara asal, impor terbesar India untuk produk
Mamin olahan berasal dari Inggris senilai USD 219,3 juta (pangsa
21,2%), diiikuti oleh Amerika Serikat senilai USD 121,9 juta (pangsa
11,8%) dan Nepal senilai USD 120,4 juta (11,6%). Pangsa impor
dari Indonesia hanya sebesar 1,7%, masih kalah bersaing jika
dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti
Singapura (pangsa 4,3%), Malaysia (pangsa 3,2%) dan Thailand
(pangsa 2%).
Tabel 2. Impor Makanan dan Minuman Olahan India menurut Negara Asal
Kinerja Ekspor Mamin Olahan Indonesia ke India
Total ekspor makanan dan minuman olahan Indonesia ke India
tahun 2014 tercatat USD 18,6 juta dengan kenaikan rata-rata per
tahun sebesar 9,2% selama 2010-2014. Pada Januari hingga Mei
2015, total ekspor mencapai USD 5,1 juta, turun 28,5% (YoY). Gula
dan kembang gula merupakan produk dengan pangsa terbesar
(22,0%), diikuti oleh teh kemasan, dan tembakau serta rokok dengan
pangsa masing-masing sebesar 15,4% dan 14,1% (Tabel 3).
Sumber: Trademap (2015), diolah
Tabel 3. Ekspor Makanan dan Minuman Olahan ke India
Sumber: Trademap (2015), diolah
No NEGARA ASAL NILAI : USD Juta Perub. % Tren (%) Pangsa (%) 2010 2011 2012 2013 2014 14/13 10-14 2014
Total Impor 1.568,5 763,5 1.208,7 873,4 1.034,2 18,4 (6,7) 100,0 1 Inggris 88,3 127,8 175,1 185,2 219,3 18,4 24,5 21.2 2 Amerika Serikat 90,9 76,8 97,8 99,2 121,9 22,9 8,8 11.8 3 Nepal 46,8 52,5 62,9 82,8 120,4 45,5 26,4 11.6 4 Belanda 24,5 28,4 33,3 42,4 60,7 43,2 24,8 5.9 5 Singapura 23,2 40,8 44,1 43,7 44,5 1,8 14,7 4.3 6 RRT 40,7 58,4 51,9 35,9 38,4 6,8 (5,8) 3.7 7 Malaysia 33,2 29,5 32,4 20,7 33,3 60,9 (3,5) 3.2 8 Perancis 19,6 26,7 34,9 38,9 29,6 (23,7) 12,8 2.9 9 Jerman 18,1 21,9 21,5 27,2 28,9 6,5 12,3 2.8 10 Italia 13,9 20,9 19,5 25,8 28,7 11,2 18,0 2.8 11 Uni Emirat Arab 42,0 21,3 20,1 27,7 24,8 (10,8) (7,6) 2.4 12 Thailand 124,8 17,2 15,3 13,5 21,0 55,9 (31,7) 2.0 13 Sri Langka 4,8 4,9 5,0 10,1 18,6 83,7 41,3 1.8 14 Indonesia 9,6 11,8 15,7 16,7 17,8 6,8 17,2 1.7 15 Austria 14,1 8,9 9,3 11,4 17,5 54,1 7,0 1.7 Lainnya 974,1 215,9 570,1 192,4 208,9 8,6 (27,3) 20,2
No KELOMPOK PRODUK NILAI : USD Juta Januari-Mei Perub. % Tren (%) Pangsa (%) 2010 2011 2012 2013 2014 2014 2015 14/13 10-14 2014
Total Ekspor 12,1 19,3 20,7 19,6 18,6 7,1 5,1 (28,5) 9,2 100,0
1 Gula & kembang gula 2,2 4,7 4,7 3,5 4,1 1,8 0,6 (65,2) 9,8 22,0
2 Teh kemasan 4,2 3,6 2,4 2,8 2,9 1,3 0,5 (60,3) (9,4) 15,4
3 Tembakau & rokok (Cigarrettes) 0,3 1,4 3,6 3,5 2,6 0,4 0,3 (17,7) 64,8 14,1
4 Biskuit dan wafers 2,1 2,2 2,4 2,2 2,4 0,7 1,3 84,5 2,8 12,8
5 Kopi instan - - 0,4 1,2 2,0 0,8 0,7 (6,5) - 10,8
6 Coklat 2,5 4,9 4,3 3,5 2,0 0,9 1,0 5,7 (8,1) 10,5
7 Yeast, ice cream, concentrates, Non-dairy creamer,dll 0,1 0,7 0,7 0,9 1,2 0,3 0,3 5,8 63,0 6,5
8 Olahan tepung lainnya (Kue Kering dan Cereal) 0,5 1,3 1,2 1,7 0,8 0,3 0,3 (24,1) 13,4 4,1
9 snack/camilan (buah, kacang, kripik, dll) 0,1 0,2 0,6 0,0 0,4 0,4 - (100,0) 12,8 2,1
10 Juice buah 0,2 0,1 0,2 0,1 0,2 0,1 0,0 (96,0) 1,3 1,1
11 Saus 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,0 0,0 (70,3) 131,1 0,5
12 Mie instan 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 77,4 73,2 0,2
13 Air mineral 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,142,9 36,6 0,1
14 kepiting & crustacean kemasan/kaleng 0,0 0,0 0,1 - 0,0 - - - - 0,0
15 Ikan kemasan/kaleng - - - - - - - - - -
16 Makanan olahan lainnya - - 0,0 0,0 - - - - - -
17 Minuman beralkohol - - - - - - - - - -
18 Olahan sayuran diawetkan/diasinkan/diberi cuka 0,0 0,1 - - - - - - - -
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Potensi Ekspor Mamin Olahan ke India
Secara keseluruhan, impor mamin olahan India cenderung
berfluktuatif. Sejak tahun 2010, pergerakan impor setiap tahunnya
cenderung tidak konsisten terkadang meningkat namun tahun
berikutnya menurun. Memasuki tahun 2014, impor kembali
meningkat. Beberapa produk Indonesia yang memiliki potensi
ekspor yang tinggi ke India antara lain air mineral serta gula dan
kembang gula karena nilai dan pangsa impor India yang masih
besar. Sementara, biskuit dan wafer serta kopi instan pun memiliki
potensi yang besar karena nilai pertumbuhan impor produk
tersebut oleh India yang tinggi. Adapun air mineral dan kopi perlu
diprioritaskan mengingat Indonesia mempunyai pasokan bahan
baku yang melimpah di dalam negeri untuk kedua produk ini.
Air mineral merupakan produk makanan dan minuman olahan
kedua tertinggi yang diimpor oleh India. Tahun 2014, impor tercatat
sebesar USD 132,0 juta (pangsa 12,8%), meningkat 44,8%
(yoy) dan meningkat rata-rata per tahun sebesar 33,3% selama
tahun 2010-2014. Tren kekurangan air minum di kota besar dan
perubahan gaya hidup masyarakat yang mendorong kemudahan
dan ketersedian kebutuhan merupakan faktor utama tingginya
permintaan produk air mineral di India. Kendati demikian, pasokan
Tabel 4. Impor Produk Air Mineral India menurut Negara Asal
Tabel 5. Impor Produk Gula dan Kembang Gula India menurut Negara Asal
Sumber: Trademap (2015), diolah
No NEGARA ASAL NILAI : USD Juta Perub. % Tren (%) Pangsa (%) 2010 2011 2012 2013 2014 14/13 10-14 2014
No NEGARA ASAL NILAI : USD Juta Perub. % Tren (%) Pangsa (%) 2010 2011 2012 2013 2014 14/13 10-14 2014
Total Impor 41,7 51,4 62,1 91,1 132,0 44,8 33,3 100,0 1 Nepal 21,0 28,6 42,5 65,8 93,1 41,4 46,4 70,6 2 Austria 10,8 8,4 8,7 11,2 17,3 53,6 12,9 13,1 3 Bangladesh 3,0 4,8 3,1 3,8 7,6 102,5 17,4 5,8 4 Sri Langka 0,0 - - 4,2 6,0 42,6 - 4,6 5 Amerika Serikat 0,8 1,1 0,7 1,3 2,6 103,2 29,9 1,9 6 Bhutan 0,8 0,8 0,3 0,2 1,4 794,2 (5,5) 1,1 7 Thailand 0,2 0,3 1,1 1,2 0,9 (20,9) 55,3 0,7 8 Uni Emirat Arab 1,1 1,1 0,7 0,5 0,7 37,0 (14,8) 0,5 9 Malaysia 0,7 1,7 1,9 0,4 0,5 13,8 (18,1) 0,4 10 Inggris 0,3 0,6 0,5 0,4 0,4 (16,7) 0,2 0,3 20 Singapura 0,1 0,1 0,1 0,1 0,0 (70,2) (21,9) 0,0 29 Indonesia 0,0 0,0 0,1 - 0,0 - - 0,0 Lainnya 2,9 3,8 2,6 2,0 1,5 (25,5) (18,4) 1,1
Sumber: Trademap (2015), diolah
Total Impor 1.036,3 124,1 476,5 90,4 94,3 4,3 (40,0) 100,0 1 Jerman 11,5 13,3 14,2 18,9 20,6 9,1 16,3 21.8 2 Amerika Serikat 8,6 13,8 14,3 15,7 15,6 (0,8) 14,1 16.5 3 Belanda 7,1 8,7 10,9 15,2 12,8 (15,7) 19,0 13.6 4 RRT 13,6 11,6 6,4 6,3 8,0 26,5 (15,5) 8.4 5 Bangladesh 0,3 0,4 0,4 1,4 6,7 377,0 116,1 7.1 6 Selandia Baru 2,3 4,1 5,5 5,1 5,2 1,1 20,3 5.5 7 Indonesia 1,9 3,8 5,1 3,5 4,3 22,4 16,7 4.6 8 Israel 0,9 1,3 1,2 1,7 3,2 85,2 34,0 3.4 9 Kanada 2,6 2,0 2,9 3,2 2,8 (12,2) 6,3 3.0 10 Nepal 0,3 0,7 0,4 0,1 2,4 1.557,9 29,2 2.5 15 Malaysia 11,5 1,6 2,0 2,0 1,1 (44,0) (36,3) 1.2 18 Thailand 109,2 2,4 1,9 0,7 0,9 22,2 (66,2) 0.9 35 Singapura 0,2 0,4 0,6 0,1 0,0 (66,7) (41,2) 0.0 Lainnya 866,4 59,9 410,8 16,4 10,7 (34,7) (63,5) 11,4
dari Indonesia masih cenderung minim. Tahun 2014, impor dari
Indonesia hanya sebesar USD 3 ribu (pangsa 0,002%). Posisi
Indonesia pun jauh berada di bawah negara ASEAN lainnya seperti
Thailand (pangsa 0,7%), Malaysia (pangsa 0,4%) dan Singapura
(pangsa 0,03%). Oleh karena itu, industri air mineral di Indonesia
diharapkan dapat meningkatkan ekspornya ke India (Tabel 4).
Di India walaupun Impor produk gula dan kembang gula
mengalami penurunan rata-rata sebesar 40% per tahun selama
2010-2014, namun ekspor produk tersebut masih potensial seiring
pangsa impor produk tersebut terhadap total impor makanan dan
minuman olahan di India yang masih tinggi yakni sebesar 9,1%,
seperti ditampilkan dalam Tabel 5. Berbeda halnya dengan tren
impor gula dan kembang gula secara total yang mengalami
penurunan, tren impor dari Indonesia justru mengalami kenaikan
rata-rata per tahun sebesar 16,7%. Adapun tren penurunan yang
cukup signifikan terjadi pada impor dari RRT, Malaysia, Thailand
dan Singapura. Kondisi ini dapat menjadi peluang bagi Indonesia
untuk merebut pangsa impor dari RRT dan negara ASEAN lainnya
mengingat pangsa impor dari Indonesia (4,6%) masih unggul
dibandingkan Malaysia (1,2%), Thailand (0,9%) dan Singapura
(0,03%).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Impor biskuit dan wafer India tahun 2014 tercatat USD 10,9
juta, meningkat 27,1% (YoY) dan meningkat rata-rata per tahun
0,8% selama 2010-2014. Tren peningkatan juga terjadi pada impor
dari Indonesia. Indonesia merupakan negara eksportir kedua
terbesar setelah Malaysia. Pangsa impor dari Indonesia sebesar
24,8% dan memiliki tren peningkatan rata-rata sebesar 20,6%
per tahun selama 2010-2014. Selain Malaysia dan Indonesia,
Singapura juga memiliki tren yang tinggi yakni 32,4%. Sementara
itu, rata-rata impor per tahun dari Thailand menurun signifikan
yakni sebesar 33,9% selama 2010-2014 (Tabel 6). Tren penurunan
impor dari Thailand dapat dimanfaatkan Indonesia untuk merebut
pangsa impor dari negara tersebut. Selain itu, untuk menggeser
posisi Malaysia sebagai negara eksportir biskuit dan wafer terbesar
di India, Indonesia perlu merebut pangsa impor dari negara-negara
yang pada umumnya memiliki pangsa impor yang besar, namun
memiliki tren yang menurun selama lima tahun ke belakang, seperti
Uni Emirat Arab (UEA), Italia dan Turki.
Tabel 6. Impor Produk Biskuit dan Wafer India menurut Negara Asal
Impor kopi instan India meningkat signifikan di tahun 2014
sebesar 97,5%, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
impor produk lainnya. Selama tahun 2010-2014, impor kopi instan
meningkat rata-rata sebesar 46,5% per tahun selama 2010-
2014. Impor dari Indonesia memiliki pangsa sebesar 19,1% dan
merupakan negara eksportir kedua terbesar setelah Vietnam
dengan pangsa 56,6%. Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia,
Singapura dan Thailand berada di bawah Indonesia dengan
pangsa masing-masing sebesar 7,6%; 0,4% dan 0,01%. Selama
2011-2014, rata-rata peningkatan impor kopi instan dari Indonesia
per tahun tercatat sebesar 705,9%. Selain itu, impor dari
Indonesia pun tumbuh signifikan tahun 2014 sebesar 45,9% (YoY).
Kendati memiliki nilai tren dan pertumbuhan yang cukup tinggi,
namun posisi Indonesia sebagai negara eksportir kopi instan di
India cukup terancam mengingat kinerja impor dari negara lainnya,
seperti Amerika Serikat, Uni Emirat Arab (UEA) dan Singapura yang
memiliki tren peningkatan yang tajam selama 2010-2014 (Tabel 7).
No NEGARA ASAL NILAI : USD Juta Perub. % Tren (%) Pangsa (%)
2010 2011 2012 2013 2014 14/13 10-14 2014
Sumber: Trademap (2015), diolah
Total Impor 9,6 10,2 7,3 8,6 10,9 27,1 0,8 100,0
1 Malaysia 1,3 1,1 1,3 1,8 3,2 73,7 26,0 28,9
2 Indonesia 1,4 1,1 1,5 2,1 2,7 29,6 20,6 24,8
3 Uni Emirat Arab 1,2 1,3 1,1 0,8 1,1 37,1 (6,1) 10,4
4 Inggris 0,5 0,8 1,1 1,5 0,9 (37,6) 18,6 8,5
5 Polandia 3,7 2,0 - 0,5 0,8 76,2 - 7,7
6 Singapura 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 17,3 32,4 5,6
7 Italia 0,1 0,6 0,1 0,1 0,3 235,8 (6,5) 2,5
8 Turki 0,3 0,3 0,4 0,2 0,3 10,1 (5,6) 2,3
9 Sri Langka 0,1 0,2 0,2 0,2 0,2 (2,7) 16,0 2,0
10 Amerika Serikat 0,0 0,1 0,2 0,1 0,2 98,2 40,2 2,0
18 Thailand 0,1 0,2 0,1 0,1 0,0 (48,0) (33,9) 0,2
Lainnya 0,5 2,1 1,0 0,7 0,6 (18,6) (10,6) 5,1
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Tabel 7. Impor Produk Kopi Instan India menurut Negara Asal
Sumber: Trademap (2015), diolahKeterangan: (*) Tren selama 2012-2014; (**) Tren selama 2011-2014
Potensi ekspor mamin olahan yang tinggi ke India terutama
berasal dari produk air mineral dan kopi instan. Tren peningkatan
impor di India untuk produk air mineral dan kopi instan-pun masih
tinggi yakni masing-masing sebesar 33,3% dan 46,5% selama
tahun 2010-2014. Peluang ekspor ini perlu dimanfaatkan oleh
Indonesia mengingat impor dari Indonesia yang masih cenderung
rendah, khususnya pada produk air mineral.
Tantangan dan Strategi Peningkatan Ekspor Mamin Olahan ke
India
Walaupun pasar makanan dan minuman olahan India
sangat potensial, terdapat dua tantangan yang harus dihadapi
oleh eksportir Indonesia. Pertama, bea masuk rata-rata produk
makanan dan minuman olahan jadi di India sangat tinggi yakni
rata-rata 15%. Tantangan kedua adalah preferensi pengusaha
India yang lebih tertarik melakukan kerjasama bisnis dengan agen
dan distributor lokal India. Untuk mengatasi tantangan tersebut,
strategi yang dapat dilakukan oleh eksportir Indonesia adalah
melakukan investasi pengolahan makanan dan minuman olahan di
India dan penunjukkan agen atau distributor lokal India.
Dengan masih relatif tingginya bea masuk produk mamin
olahan di India, maka investasi pengolahan industri mamin
olahan (dalam bentuk Foreign Direct Investment) di India perlu
ditingkatkan, terlebih lagi adanya kebijakan pembebasan bea
masuk untuk barang modal dan bahan baku untuk keperluan
proses produksi di India sampai nol persen. Dengan strategi ini
produk makanan dan minuman olahan Indonesia dapat bersaing
dengan produk lokal atau produk dari negara lainnya. Namun, perlu
diperhatikan juga promosi brand image makanan dan minuman
olahan Indonesia yang akan dibangun dan informasi persyaratan
produk di India. Penunjukan agen atau distributor, selain dapat
mengurangi keengganan pengusaha India untuk bekerjasama
dengan pengusaha Indonesia, juga dapat membantu eksportir
Indonesia memperoleh informasi yang lebih dalam mengenai
hal tersebut. Untuk memudahkan eksportir Indonesia mencari
agen atau distributor lokal India, diharapkan kegiatan pameran
produk Indonesia di India tidak hanya dimanfaatkan sebagai ajang
perkenalan produk Indonesia, namun juga dapat dimanfaatkan
oleh eksportir untuk mencari local partner di India (KBRI New Delhi,
2015). Melalui dua strategi ini diharapkan ekspor makanan dan
minuman olahan ke India dapat meningkat dan produk Indonesia
dapat unggul di pasar India.
No NEGARA ASAL NILAI : USD Juta Perub. % Tren (%) Pangsa (%)
2010 2011 2012 2013 2014 14/13 10-14 2014
Total Impor 2,1 2,4 3,7 5,0 9,9 97,5 46,5 100,0
1 Vietnam - - 0,4 1,3 5,6 321,9 275,8* 56,6
2 Indonesia - 0,0 0,1 1,3 1,9 45,9 705,9** 19,1
3 Malaysia 1,0 0,9 1,0 0,6 0,8 26,6 (9,7) 7,6
4 Korea Selatan 0,2 0,4 1,2 0,3 0,7 133,2 22,3 6,7
5 Amerika Serikat 0,0 0,1 0,2 0,5 0,3 (30,4) 162,8 3,5
6 Brasil 0,3 0,3 0,2 0,2 0,2 (9,5) (12,9) 1,8
7 Jerman 0,4 0,1 0,3 0,0 0,1 296,8 (27,0) 1,2
8 Uni Emirat Arab 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 57,5 158,7 1,2
9 Inggris 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 36,0 (14,4) 0,7
10 Singapura 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 (27,6) 86,6 0,4
20 Thailand 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (87,5) (42,2) 0,0
Lainnya 0,0 0,5 0,2 0,6 0,1 (80,0) 26,0 1,2
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
TINJAUAN PERDAGANGAN
Menyikapi Segmentasi Pasar
Wayan R. Susila
Periode akhir 1990-an boleh dibilang merupakan masa
suram industri gula nasional. Di tengah pasar gula
internasional yang sangat distortif yaitu nomor 2 setelah beras
(Kennedy, 2001; Groombridge, 2001), pemerintah dengan
terpaksa harus melepaskan semua kebijakan protektif terhadap
industri gula nasional sebagai konsekuensi ditandatanganinya
Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF. LoI
tersebut “memaksa” pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan
(SK) Menperindag No.25/MPP/Kep/1/1998 yang praktis membuat
pasar gula masuk ke era liberalisasi. Konsekuensi SK tersebut
antara lain impor gula bisa dilakukan oleh importir umum dengan
tarif nol persen. Hal ini membuat industri gula domestik berada
di titik nadir, dengan ditutupnya 6 pabrik gula dan produksi gula
nasional mencapai titik terendah sekitar 1,6 juta ton per tahun, jauh
dari rata-rata produksi sebelumnya yang selalu diatas dua juta ton
(Asosiasi Gula Indonesia/AGI, 2014).
Agar industri gula nasional tidak semakin terpuruk,
maka pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan SK
Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan
Impor Gula. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membatasi
akses gula impor dengan mengatur pelaku impor (hanya importir
terdaftar dan importir produsen), volume impor, waktu impor,
pelabuhan impor, harga patokan gula petani, dan segmentasi
pasar antara pasar Gula Kristal Putih (GKP) dengan pasar Gula
Kristal Rafinasi (GKR). Kebijakan tersebut secara umum telah
memberi dampak positif terhadap kinerja industri gula nasional,
seperti ditunjukkan oleh kenaikan produksi dari sekitar 2,05
juta ton pada tahun 2004 menjadi sekitar 2,60-2,82 juta ton
semenjak tahun 2005 (Asosiasi Gula Indonesia, 2014).
Salah satu esensi dari SK tersebut yang sampai sekarang
masih memicu perdebatan dan saling curiga antara produsen GKP
dan GKR adalah segmentasi pasar GKP dengan GKR. Dengan SK
tersebut, pasar gula untuk konsumsi langsung yaitu konsumsi gula
oleh rumah tangga hanya boleh diisi oleh GKP yang diproduksi oleh
Pabrik Gula (PG) di Indonesia. Sebaliknya, GKR yang diproduksi
oleh PG rafinasi hanya boleh dipasarkan untuk industri seperti
industri makanan dan minuman. Pada kenyataannya, hampir
setiap tahun, GKR masuk ke pasar gula konsumsi langsung
sehingga membuat harga GKP menurun. Situasi ini menyulut
ketegangan antara produsen GKP dengan produsen GKR.
Segmentasi Pasar Kurang Efektif
Segmentasi pasar GKP dan GKR yang diamanatkan oleh
Kepmenperindag tersebut ternyata kurang efektif. Hasil monitoring
yang dilakukan oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)
menemukan adanya rembesan GKR yang masuk ke pasar GKP.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Hasil survei yang dilaksanakan oleh Kementerian Perdagangan
(Kemendag) pada tahun 2008-2011, juga memberi indikasi kuat
terjadinya rembesan tersebut. Di wilayah seperti Serang, Gorontalo,
Makasar, Manado, dan Pontianak, dan Lampung, rembesan GKR
ke pasar GKP berkisar antara 3% - 30% dari volume produk GKP
di pasaran mencapai sekitar 2.68 juta ton, tergantung tingkat
harga GKP. Produksi GKR sendiri mencapai sekitar 3.04 juta ton
per tahun selama tiga tahun terakhir (AGI, 2015). Hasil survei yang
dilakukan oleh Kemendag bekerja sama dengan Sucofindo pada
tahun 2013 juga menemukan adanya rembesan GKR ke pasar
GKP sekitar 190 ribu ton.
Rembesan terjadi karena konsumen, pedagang, dan beberapa
pemerintah daerah mendukung atau paling tidak membiarkan
terjadinya rembesan tersebut. Hasil survei Kemendag sepanjang
periode 2008-2011 mengidentifikasi alasan atau motif terjadinya
rembesan tersebut. Dari sisi konsumen, beberapa alasan utama
adalah (i) GKR lebih murah dibandingkan harga GKP; (ii) GKR lebih
mudah diperoleh terutama ketika harga GKP relatif tinggi; (iii) Bagi
konsumen kelas menengah ke atas, GKR dinilai lebih sehat dari
pada GKP seperti yang terjadi di Jakarta, Serang dan Manado.
Selanjutnya, banyak pedagang sengaja melakukan rembesan
tersebut dengan berbagai alasan seperti (i) Lebih mudah
mendapatkan GKR terutama untuk wilayah yang dekat dengan
produsen GKR (Banten, Makasar, dan Gorontalo); (ii) Pasokan GKR
lebih dapat dihandalkan; dan (iii) Margin keuntungan GKR lebih
tinggi. Di sisi lain, pemerintah daerah tidak mampu mengawasi
atau bahkan secara “sengaja” membiarkan terjadinya rembesan
tersebut, terutama di wilayah yang tidak ada Pabrik Gula (PG) GKP.
Hal ini disebabakan (i) Harga gula GKP sering terlalu tinggi karena
terbatasnya pasokan (Gorontalo, Serang, Manado) sehingga
pasokan GKR dapat berfungsi menurunkan harga untuk menekan
inflasi; (ii) Keterbatasan sumberdaya relatif terhadap cakupan
wilayah yang harus diawasi (Pontianak, Gorontalo, Makasar,
Manado, Pontianak) ; (iii) GKR diangkut dengan truk-truk kecil/
pick up, sehingga kesulitan untuk melakukan pengawasan
(Manado, Gorontalo, Makasar), dan (iv) GKR kemasannya diganti
dengan kemasan GKP (Pontianak dan Gorontalo) sehingga
kesulitan untuk mendeteksi.
Solusi Jangka Pendek: Tingkatkan Efektifitas Segmentasi
Pasar
Menyikapi segmentasi pasar gula yang pada kenyataannya
kurang efektif, pemerintah perlu bertindak dengan tegas.
Penggabungan pasar dengan tiba-tiba akan menimbulkan “shock”
bagi PG GKP karena harga GKP akan turun tajam sehingga dapat
mengancam keberlangsungan 63 PG GKP yang melibatkan
sekitar 900 ribu petani. Di sisi lain, membiarkan terus segmentasi
pasar juga bukan pilihan, karena segmentasi pasar membuat
PG GKP sangat lamban untuk berbenah, kebijakan pergulaan
menjadi kompleks dan tidak efektif. Solusi paling logis adalah,
untuk jangka pendek, meningkatkan efektivitas segmentasi pasar
GKP dan GKR. Sementara untuk jangka panjang, sambil PG GKP
berbenah, segmentasi pasar harus dihapuskan.
Untuk jangka pendek (3-5 tahun ke depan) stakeholder utama
terutama pemerintah perlu menerapkan kebijakan dan upaya
yang lebih efektif untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya
rembesan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan
kepada pelaku industri gula bahwa pemerintah melakukan
penegakan hukum secara konsisten. Selama ini ada kesan bahwa
aturan segmentasi pasar hanya sekedar aturan, tanpa perlu
dilaksanakan seperti terjadi di Banten dan Gorontalo. Pembiaran
rembesan tersebut kini juga telah menurunkan minat petani
menanam tebu sehingga menyebabkan terjadinya stagnasi bahkan
kecenderungan penurunan produksi yang dapat mengancam
keberadaan industri gula dan pencapaian swasembada gula.
Rembesan tersebut secara umum dapat dicegah atau
diminimalkan melalui empat cara yaitu (i) Pengendalian volume
impor raw sugar; (ii) Pembatasan kualitas GKR sesuai dengan
standar internasional; (iii) Monitoring yang ketat dalam distribusi
GKR ke industri pengguna; (iii) Monitoring yang efektif di pasar
kosumen. Pengendalian volume impor raw sugar membutuhkan
adanya neraca GKR yang akurat dengan mekanisme pengumpulan
data yang valid dan transparan baik itu data produksi, stok,
dan kebutuhan industri (konsumsi). Untuk itu, pemerintah perlu
memiliki tim yang kuat yang melibatkan stakeholder utama untuk
membangun prosedur pembuatan neraca GKR yang akurat
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
berdasarkan prosedur yang valid dan transparan. Berdasarkan
neraca GKR tersebut, pemerintah menentukan kuota impor raw
sugar untuk PG GKR.
Rembesan dapat lebih mudah dicegah atau diminimalkan
apabila PG GKR dibatasi hanya memproduksi GKR sesuai dengan
standar internasional, yaitu International Commision for Uniform
Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) maksimum 40. Di samping
memudahkan pengawasan, gula dengan ICUMSA maksimum 40
akan lebih sulit masuk ke pasar GKP karena konsumen rumah
tangga diperkirakan tidak akan berminat menggunakan gula
tersebut karena sangat putih dengan kristal yang kecil. Cara ini
juga memastikan bahwa GKR Indonesia sesuai dengan standar
yang berlaku di pasar internasional.
Monitoring yang ketat untuk distribusi GKR dari PG ke industri
pengguna dapat dilakukan dengan membangun mekanisme
penyaluran langsung dari PG ke industri pengguna dengan mekanisme
yang transparan dan dapat dilacak (traceable). Hal ini sudah mulai
dilakukan pemerintah sejalan dengan surat Menteri Perdagangan
Nomor 1.300/M-DAG/SD/12/2014 tentang instruksi pendistribusian
GKR. Esensi dari surat tersebut adalah membatasi distribusi GKR
yaitu langsung dari produsen ke industri pengguna (industri makanan
dan minuman serta farmasi) dan berdasarkan kontrak sehingga lebih
mudah dimonitor. Selanjutnya, basis impor raw sugar oleh GKR juga
didasarkan kontrak antara produsen GKR dengan industri pengguna
sesuai rekomendasi Kementerian Perindustrian.
Monitoring yang efektif di pasar konsumen dapat dilakukan
dengan kemasan dengan tanda yang berbeda antara GKP dan
GKR. Salah satu pembeda yang dapat digunakan adalah berupa
ukuran kemasan (karung). Sebagai contoh, untuk GKP ditentukan
memakai kemasan 50 kg sementara GKR 100 kg.
Solusi Jangka Panjang: Penggabungan Pasar GKP dan GKR
Untuk jangka panjang, penggabungan pasar GKP dengan
GKR adalah pilihan yang rasional. Di samping mampu meniadakan
ketegangan dan kompleksitas kebijakan pergulaan, penggabungan
pasar tersebut dalam jangka panjang diyakini akan memberi
dampak positif sebagai berikut:
a. Pasar/harga gula akan menjadi lebih stabil karena penawaran
dan permintaan gula menjadi lebih elastis; GKP bisa masuk
ke pasar industri dan sebaliknya GKR bisa juga masuk pasar
konsumsi langsung.
b. Konsumen/industri punya lebih banyak pilihan terhadap gula
yang akan di konsumsi/digunakan;
c. Dapat dijadikan sebagai instrumen yang “memaksa” PG GKP
untuk meningkatkan mutu gula dan efisiensi;
d. Pemerintah lebih mudah/sederhana dalam melakukan
pengawasan pasar gula;
Penggabungan pasar tersebut akan menekan PG GKP untuk
lebih serius dan sistematis melakukan upaya peningkatan kualitas
gula dan efisiensi, minimal untuk jangka pendek. Oleh karena itu
PG GKP perlu diberikan dukungan dan bantuan untuk melakukan
beberapa langkah antisipasi. Pertama, pemerintah perlu
memberikan dukungan yang memadai untuk mengkompensasi
dampak negatif (sementara) dari penggabungan pasar tersebut.
Kompensasi tersebut dapat berupa dukungan pendanaan untuk
meningkatkan efisiensi seperti model penyertaan modal negara
(PMN) yang kini tengah dijalankan pemerintah, alokasi impor raw
sugar untuk idle capacity, dan bea masuk raw sugar yang lebih
tinggi untuk gula yang diimpor dari luar ASEAN.
Di samping itu, pemerintah perlu memberi jeda waktu 3-5 tahun
ke PG GKP untuk melakukan persiapan peningkatan efisiensi dan
kualitas, sebelum pasar GKP dan GKR di gabung. Rentang waktu
tersebut perlu dihitung dengan cermat sehingga ketika pasar GKP
dan GKR digabung, dampak negatif yang diterima oleh petani
dan PG menjadi minimal. Jika hal ini bisa terwujud, salah satu
masalah kronis dalam industri dan perdagangan gula sudah dapat
disembuhkan. Semoga!
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Membangun Sistem Logistik
Bawang Merah
Mudatsir
Bawang merah merupakan salah satu komoditas pangan
strategis. Kegunaan bawang merah tidak dapat digantikan
dengan bahan lain (non-complementer). Konsumen rumah tangga
biasanya menggunakan bawang merah dalam bentuk segar
sebagai komponen utama bumbu dapur. Konsumen rumah
tangga merupakan kelompok terbesar pengguna bawang merah.
Kegunaan lain bawang merah antara lain sebagai obat tradisional
dan bahan baku industri (kosmetika, farmasi, dan pangan).
Produksi bawang merah bersifat musiman. Ada masa dimana
pada bulan-bulan tertentu terjadi puncak produksi, tetapi juga
terjadi penurunan produksi pada bulan-bulan lainnya. Produksi
bawang merah fluktuatif, sementara konsumsinya bersifat kontinyu.
Ketidakpastian pasokan dapat menyebabkan fluktuasi harga
dapat terjadi setiap saat. Bawang merah pernah tercatat sebagai
komoditas yang berkontribusi sangat signifikan terhadap kenaikan
inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa bawang merah
berkontribusi signifikan pada inflasi Maret 2013 sebesar 0,44%.
Harga komoditas ini mengalami kenaikan bulanan sebesar 82,3%
dibanding Februari 2013. Selanjutnya pada bulan September 2013
bawang merah memiliki andil -0,49% terhadap deflasi September
dengan perubahan harga terhadap Agustus -38,2%.
Pada bulan Maret 2015 bawang merah kembali menjadi
komponen terbesar penyumbang inflasi. Bawang merah
memiliki andil inflasi 0,1% dengan perubahan harganya 29,05%
karena pasokan berkurang dan curah hujan masih tinggi. Untuk
mengantisipasi kenaikan harga akibat berkurangnya pasokan,
terutama menjelang bulan puasa pemerintah melalui Kementerian
Pertanian dan Perum Bulog melakukan operasi pasar.
Untuk memotong mata rantai pasokan, pemerintah membeli
bawang merah langsung dari petani di sentra bawang merah
(seperti Brebes, Nganjuk, dan Bima) kemudian menjualnya secara
eceran di pasar. Pemerintah menjual langsung secara eceran
dengan maksud memperpendek rantai distribusi dengan haraapan
harga yang diterima konsumen menjadi lebih murah.
Mekanisme ini terbukti berhasil menekan harga eceran bawang
merah dari Rp 30.000/kg menjadi Rp 17.000/kg, akan tetapi
kegiatan ini tidak lebih dari respon reaktif yang hanya berdiri pada
sisi kepentingan konsumen. Pertengahan Juni 2015 pemerintah
menggelar operasi pasar agar harga tertinggi pada kisaran Rp 17
ribu. Belum genap dua bulan sejak operasi pasar, awal Agustus
2015 harga di tingkat petani terjungkal di angka Rp 5-7 ribu.
Gejala ini mengindikasikan mekanisme stabilisasi harga bawang
merah masih belum efektif.
Harga yang melambung tinggi tidak selalu memberi dampak
positif bagi petani, karena harga bibit sebagai input produksi akan
otomatis turut melambung. Harga bibit yang tinggi menyebabkan
biaya produksi yang tinggi. Di sisi lain harga bibit yang mahal tidak
selalu menjamin bahwa saat panen harga tetap tinggi.
Stabilisasi harga bawang merah diperlukan untuk memberikan
kepastian usaha bagi petani dengan harga yang layak, sementara
harga di pasar terjangkau oleh konsumen. Pengendalian harga
dilakukan dengan pengaturan keseimbangan pasokan dan
permintaan pasar. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana
tindakan antisipatif yang perlu dilakukan saat panen raya bawang
merah dan juga saat musim paceklik?
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Sistem Logistik Bawang Merah
Secara nasional volume produksi bawang merah dalam
setahun mampu untuk mencukupi kebutuhan selama setahun.
Mekanisme pasokan bawang merah yang belum terpecahkan
adalah penyerapan hasil panen saat musim panen sehingga
tidak terjadi kelebihan pasokan (over supply) dan menjadikannya
sebagai cadangan (buffer stock) saat musim paceklik.
Tabel 1. Data Produksi dan Kebutuhan
Bawang Merah, 2010-2014No Tahun Produksi(Ton) Kebutuhan(Ton) Surplus/Defisit(Ton)
Konsumsi Benih
1 2010 1,048,934 601,887 241,195 205,852
2 2011 893,124 568,850 206,067 118,207
3 2012 964,221 695,128 218,942 50,151
4 2013 1,010,773 710,235 222,253 78,285
5 2014 1,233,984 775,216 225,648 233,120
Sumber: BPS dan Ditjen Hortikultura (2015), diolah
Sistem logistik diperlukan untuk menjamin ketersediaan
bawang merah untuk masyarakat sepanjang tahun, tanpa
dipengaruhi oleh musim dengan harga yang wajar dan terjangkau.
Sistem logistik bawang merah merupakan tindakan simultan untuk
mengendalikan pasokan bawang merah pada saat paceklik (off
season) maupun saat panen raya (peak season). Sistem logistik
bawang merah menggambarkan alur komoditas bawang merah
sejak panen, pasca panen, penyimpanan, hingga diterima oleh
konsumen akhir melalui mekanisme rantai tata niaga.
Komponen sistem logistik meliputi aspek produksi dan
pengadaan, aspek penyimpanan, aspek distribusi, dan aspek
informasi. Sistem logistik akan memastikan bahwa potensi
produksi, jumlah riil persediaan (termasuk simpanan penyangga),
dan perkiraan kebutuhan (volume dan tujuan pengiriman) harus
terangkum dalam sebuah sistem informasi yang tepat dan akurat.
Informasi persediaan dan sasaran pasokan sangat penting dalam
proses distribusi yang dirancang dengan mempertimbangkan aspek
waktu dan biaya. Kecepatan waktu pelayanan distribusi barang
sangat penting untuk memastikan ketepatan pasokan. Aspek
biaya dirancang untuk meminimumkan biaya transportasi yang akan
berpengaruh terhadap harga pokok barang.
Poros utama sistem logistik adalah badan penyangga yang
berfungsi menyerap dan menyalurkan barang. Fungsi logistik
dikelola oleh lembaga usaha (Bulog atau BUMN Pangan lain)
yang ditunjuk pemerintah untuk mengatur, mengontrol, dan
menjamin ketersediaan bawang merah di pasar. Secara reguler
badan penyangga akan melakukan pembelian bawang merah
melalui koperasi atau gabungan kelompok tani (gapoktan) dengan
sistem kemitraan. Pembentukan kemitraan dengan petani sangat
perlu untuk mencegah persaingan dengan tengkulak yang biasa
melakukan transaksi ijon dengan petani. Seluruh transaksi
direkomendasikan melalui koperasi/gapoktan agar pasokan
kontinyu, kualitas barang terjamin dan keragaman harga di tingkat
petani lebih terkontrol. Pada sisi ini revitalisasi koperasi/gapoktan
menjadi penting sebagai strategi penguatan kelembagaan
ekonomi di tingkat petani.
Harga pembelian oleh Bulog ditetapkan berdasarkan prakiraan
harga Break Event Point (BEP) normal dan harga umum yang
berkembang di tingkat petani. Bulog harus memiliki referensi
harga agar tidak terjadi gap harga antara pembelian oleh Bulog
dengan harga pasar. Untuk itu Bulog tetap perlu memiliki jalur
pembelian melalui lapak (pasar) bawang merah. Pembelian di lapak
merupakan mekanisme kontrol dan harmonisasi harga pembelian
agar tidak terjadi permainan harga di tingkat petani.
Bawang merah bersifat mudah rusak. Dalam periode waktu
tertentu Bulog perlu untuk memperbarui cadangan persediaan
di gudang. Oleh karena itu, di luar kegiatan operasi pasar Bulog
perlu untuk melepas stok di gudang dan menggantinya dengan
pembelian baru. Dalam kondisi normal penjualan cukup dilakukan
melalui distributor ataupun pengecer agar pembentukan harga
terjadi benar-benar mengikuti mekanisme pasar.
Akan tetapi jika mekanisme pasar tidak mampu mengendalikan
harga, Bulog dapat melakukan operasi pasar dengan menjual
bawang merah secara eceran langsung ke masyarakat. Operasi
pasar langsung hanya dilakukan pada saat harga dan kondisi
pasar benar-benar tidak terkendali.
Selain konsumen rumah tangga, kelompok pengguna lain
yang akan diuntungkan dalam sistem ini adalah industri dan petani
bawang merah yang membutuhkan benih. Industri dapat mengatur
dan memenuhi kebutuhan bahan baku bawang merah secara
tepat waktu sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan dan harga
terbaik. Melalui sistem ini lini produksi industri yang menggunakan
bahan baku bawang merah dapat berjalan dengan baik.
Sistem logistik didesain untuk memperpendek mata rantai
tata niaga dari petani hingga konsumen. Rantai distribusi yang
panjang akan menyebabkan kerugian karena selama proses
distribusi bawang merah akan mengalami susut bobot, belum
lagi jika bawang merah rusak dan membusuk. Panjangnya jalur
distribusi menjadi salah satu faktor disparitas harga di tingkat
petani dengan konsumen.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Rantai distribusi yang perlu dipangkas adalah mata rantai
penghubung sebelum bawang sampai ke pasar. Pihak yang paling
banyak bermain pada mata rantai ini adalah para calo (broker) yang
kerap mengambil porsi marjin yang cukup besar dan menjadi
sumber inefisiensi distribusi bawang merah. Oleh karena itu, jumlah
komponen rantai pasok harus diperpendek agar konsumen tidak
menanggung biaya-biaya yang timbul akaibat proses distribusi.
Dengan jalur distribusi yang efisien biaya-biaya dan kerugian-
kerugian distribusi yang ditanggung konsumen akan lebih murah.
Dalam sistem logistik, peran Bulog adalah memotong rantai
distribusi yang diperankan oleh calo, tengkulak, dan pedagang
perantara. Selain memperpendek rantai distribusi pembelian
oleh Bulog diharapkan dapat memberikan kepastian harga dan
pembayaran kepada petani. Berdasarkan fakta di lapangan,
kerugian yang dialami calo, tengkulak, ataupun pedagang
perantara kerap dibebankan kepada petani melalui pemotongan
pembayaran ataupun penundaan pembayaran/pelunasan.
Gambar 1. Rantai Tata Niaga Bawang Merah.
Petani/Kelompok
Penghubung(Calo)
Pasar Bawang(Lapak)
PedagangPengumpul
PedagangBesar
Distributor/Grosir
Pengecer KONSUMEN
Pasar Induk
Pasar LuarPulau/Propinsi
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Mengelola Surplus
Kekurangan pasokan bawang merah selalu terjadi secara
berulang setiap tahun, terutama pada saat terjadi puncak musim
hujan. Pada musim hujan sebagian petani bawang merah
melakukan rotasi tanaman dengan komoditas lain (terutama padi)
karena budidaya bawang merah pada musim hujan resikonya
sangat tinggi. Oleh karena itu pasokan bawang merah pada musim
hujan selalu menurun secara signifikan. Di sisi lain, saat panen
raya pasokan melimpah, melebihi kebutuhan baik untuk benih,
konsumsi, dan industri.
Opsi impor dapat menjadi solusi untuk menambah pasokan
agar harga bawang merah tidak memberatkan konsumen. Akan
tetapi jalan pintas impor akan melanggengkan ketergantungan
pasokan pangan dari negara lain. Apalagi selama ini keputusan
impor lebih didasarkan pada prognosa produksi bulan berjalan.
Jika produksi diproyeksikan akan mencukupi kebutuhan maka
impor ditunda, jika produksi diprediksi kurang maka kran impor
sehingga keputusan impor kerap tidak tepat karena impor masuk
pada saat masuk musim panen. Karenanya tidak salah kalau
disebut bahwa kebijakan impor cenderung hanya menguntungkan
petani negara lain dengan mengorbankan petani dalam negeri.
Langkah lain yang akan dilakukan pemerintah untuk
menambah pasokan adalah dengan menambah luas tanam.
Penambahan kawasan luas tanam bawang merah dilakukan
untuk menambah produksi nasional. Yang harus dipertimbangkan
secara cermat dan matang dalam pengembangan kawasan baru
adalah keseimbangan antara produksi dan kebutuhan agar tidak
menjadi bom waktu membludaknya produksi yang tidak terserap
pasar saat panen raya. Alih-alih kestabilan harga yang didapat,
justru harga makin terpuruk. Jika ini yang terjadi petani yang akan
kembali menjadi korban.
Paradigma yang harus dibangun adalah bahwa penurunan
pasokan bawang merah bukan karena berkurangnya panen
pada saat musim paceklik. Defisit pasokan bukan karena panen
berkurang. Defisit terjadi karena selama ini surplus produksi saat
panen raya tidak dikelola sebagai cadangan. Oleh karena itu solusi
paling tepat yang harus diterapkan adalah mengelola surplus dan
menjadikannya sebagai stok penyangga (buffer stock).
Bulog sebagai salah satu BUMN yang berpengalaman
mengelola distribusi bahan pangan dapat berperan sebagai badan
penyangga. Bulog melakukan penyerapan saat musim panen raya
untuk dijadikan sebagai stok cadangan. Dengan model buffer stock
ini diharapkan saat panen raya harga tidak anjlok dibawah harga
pokok produksi. Selanjutnya pada saat terjadi penurunan produksi
cadangan ini dilepas untuk mengintervensi pasar agar harga tidak
naik. Sesuai hukum penawaran dan permintaan instrumen untuk
mencegah penurunan harga adalah dengan penyerapan kelebihan
produksi. Instrumen untuk menahan kenaikan harga adalah
dengan menambah pasokan.
Stabilisasi harga dibangun dengan mengontrol dan
mengendalikan pasokan bawang merah ke pasar. Ketika surplus
produksi dikelola sebagai cadangan persediaan dan dilepas ke
pasar saat paceklik, sehingga dua problem utama dalam tata
niaga bawang merah dapat terselesaikan secara simultan.
Mengingat bawang merah adalah komoditas hortikultura
yang bersifat perishable dan harus disimpan dalam bentuk umbi
segar (hidup) dalam pengelolaan sistem logistik bawang merah
maka diperlukan gudang khusus yang mampu menekan tingkat
kerusakan dan susut bobot untuk penyimpanan minimal 3 bulan .
Penyimpanan bawang merah yang umum dilakukan petani
saat ini adalah dengan menggunakan gudang konvensional
(kering) dengan resiko susut bobot kurang lebih 30-50% untuk
penyimpanan selama 3 bulan. Agar susut bobot dan resiko
kerusakan dapat ditekan bawang merah harus disimpan dalam
gudang berpendingin (coldstorage) dengan kondisi suhu dan
kelembaban tertentu.
Pemerintah harus menyediakan coldstorage di sentra-sentra
utama bawang merah. Pemerintah dapat mengalihkan dana subsidi
input produksi menjadi subsidi pasca panen untuk pengadaan
infrastruktur dan fasilitas pergudangan, termasuk coldstorage.
Prinsip utama penggunaan coldstorage adalah untuk
menambah umur simpan bawang merah. Jika dengan gudang
konvensional bawang merah hanya mampu disimpan (untuk
konsumsi) maksimal 1 bulan, maka dengan coldstorage bawang
merah bila disimpan sampai 4-6 bulan dengan kualitas yang tetap
terjaga (bawang masih tetap segar).
Penutup
Perbaikan sistem logistik bawang merah diharapkan dapat
mengatasi problem pasokan baik pada musim panen raya maupun
saat tidak panen. Dengan adanya kontrol stok penyangga pasokan
bawang merah segar dan berkualitas tetap terjamin sepanjang
waktu sehingga kebutuhan pasar dapat terpenuhi tanpa dibatasi
oleh musim.
Instrumen pengelolaan pasokan sistem logistik bawang merah
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan konsumen dan
keberlangsungan usaha pada semua titik mata rantai agribisnis
bawang merah. Agar sistem berjalan efektif dan tepat sasaran,
tentu saja perlu mendapat dukungan semua pihak dengan kajian
yang komprehensif yang juga melibatkan semua pihak.
BIODATA PENULIS
Nama : Mudatsir
Pekerjaan : Petani bawang merah
Organisasi : Dewan Bawang Merah Nasional (DEBNAS, Sekretaris
Jenderal)
Email : [email protected]
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Kopi adalah salah satu komoditas pertanian yang prospek
pasarnya terus meningkat. Beberapa daerah di Indonesia
membudidayakan tanaman tersebut, dan menjadikannya sebagai
andalan ekspor yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
petani pedesaan dan pendapatan daerah. Salah satu propinsi
yang merupakan penghasil kopi dan mempunyai potensi untuk
dikembangkan adalah Propinsi Papua.
Papua mempunyai komoditi prioritas hasil pertanian/
kehutanan yang meliputi Crude Palm Oil (CPO), kopi, kakao,
karet, dan udang. Sementara itu hasil industri Papua terdiri dari
furniture, tekstil dan produk tekstil, produk elektronika, alas kaki,
komponen otomotif, barang kerajinan, kulit dan produk kulit,
perhiasan, perlengkapan tulis non kertas, dan alat-alat kesehatan.
Papua juga mempunyai komoditi potensial hasil pertanian/
kehutanan meliputi: obat tradisional/jamu, minyak atsiri, rempah-
rempah, ikan dan produk ikan dan makanan olahan. Dari komoditi
tersebut yang mempunyai peluang untuk menjadi komoditi
ekspor antara lain: kopi, kakao, buah merah, rumput laut, minyak
kelapa sawit, kopra dan minyak kelapa, kelapa parut kering, karet
vanili, barang kerajinan, industri perkayuan, ikan asap dan sagu
(Raker Kemendag, 2015).
Provinsi Papua mempunyai dua daerah utama penghasil kopi yaitu
di Lembah Baliem (dataran tinggi Jayawijaya) yang mengelilingi kota
Wamena dan Lembah Kamu di daerah Nabire di sisi timur dataran
tinggi yang mengelilingi kota Moanemani. Walaupun letak daerah ini
terdapat di pedalaman yang sarana tranportasinya terbatas, tetapi
sudah lama dikembangkan tanaman kopi jenis Arabica.
Kopi Papua termasuk jenis kopi berkualitas baik karena
tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.600 m di
BERITA PENDEK PERDAGANGAN
atas permukaan laut sehingga menghasilkan cita rasa yang
tinggi. Kopi Papua dapat digolongkan ke dalam kopi organik
karena proses pertumbuhannya (tidak memakai pupuk kimia,
pestisida, dan herbisida) serta memiliki kadar asam yang
rendah sehingga aman diminum bagi semua orang. Untuk lebih
meningkatkan cita rasa dari kopi ada beberapa produsen yang
menyimpannya selama satu tahun sebelum di pasarkan sehingga
memberikan aroma woody dan kayu manis dengan karakter
yang ringan dan hangat. Bagi pecandu kopi, rasa kopi Papua
mempunyai kesamaan dengan Jamaica Blue Mountain Coffee
yang merupakan kopi premium. Kopi Papua sudah di ekspor
ke beberapa negara seperti Singapura, Belanda serta Australia.
Sejak tahun 2008 kopi arabika Wamena sudah di ekspor ke
Amerika (Disbun Papua, 2013).
Tahun 2010 produksi kopi di Propinsi Papua sebesar 1.676
ton/tahun, produksinya menurun sebesar 12% dibanding
tahun sebelumnya disebabkan karena rendahnya produktivitas
dan adanya gangguan cuaca. Produksi kopi Papua menurun
kembali tahun 2012 sampai tahun 2013 sebesar 0,6%
dibanding tahun 2011, faktor penyebabnya adalah gangguan
cuaca (Basis Data Kementan, 2015).
Pemerintah daerah Papua berusaha untuk membudidayakan
tanaman kopi sebagai komoditas unggulan daerah, sampai saat ini
sudah lebih dari 10.000 Ha lahan telah di tanami kopi khususnya di
Wamena. Tantangan pemerintah Papua dalam mengembangkan
produk kopi adalah kurangnya mesin pengolahan kopi, rendahnya
jiwa kewirausahaan petani kopi, dan perlunya bantuan penguatan
modal serta kontinuitas supply produk yang belum terjamin
(Raker Kemendag, 2015). (Puspita Dewi)
Mengenal Kopi Papua
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Mengenal Lebih Dekat UPTD Metrologi Legal Kota Batam
Pemerintah wajib melindungi dan memberikan jaminan bagi
warganya dalam hal kebenaran dan ketertiban pengukuran,
serta memberikan kepastian hukum terhadap pemakaian satuan
ukuran, standar satuan, metode pengukuran, dan alat-alat Ukur, Takar,
Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) seperti yang tertuang dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (UUML).
Peningkatan pelayanan kemetrologian yang berorientasi pada tertib
ukur seperti yang termaktub dalam UUML tersebut diharapkan dapat
meningkatkan perlindungan konsumen, pengamanan perdagangan,
serta meningkatkan daya saing nasional.
Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT)/Unit Pelayanan
Terpadu Daerah (UPTD) Metrologi Legal merupakan langkah
pemerintah untuk menjalankan mandat UUML. Saat ini jumlah UPT/
UPTD Metrologi Legal yang dimiliki Indonesia sebanyak 56 UPT/
UPTD, yaitu satu UPT Pusat langsung berada di bawah Direktorat
Metrologi, 52 UPTD Metrologi Legal Provinsi, dan tiga UPTD
Metrologi Legal Kabupaten/Kota (Surabaya, Batam dan Malang).
UPTD Metrologi Legal Kota Batam menjadi Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) pertama di lingkungan kota Batam
yang sudah mendapatkan sertifikat dari International Organization
for Standardization (ISO) 9001:2008 untuk provision of calibration
services (penyediaan jasa kalibrasi) yang berlaku selama tiga
tahun (19 Desember 2014-18 Desember 2017). Dengan sertifikat
tersebut, sistem manajemen mutu di UPTD Metrologi Legal
Kota Batam sudah diakui secara internasional dan Batam sudah
menjadi daerah tertib ukur.
ISO 9001: 2008 merupakan sertifikat penjamin mutu (quality
management system) yang menetapkan persyaratan untuk
sistem mutu manajemen dimana organisasi perlu menunjukkan
kemampuannya secara konsisten dalam menyediakan produk
atau jasa yang memenuhi persyaratan pelanggan berdasarkan
hukum dan persyaratan yang berlaku. Kepuasan pelanggan
didapatkan melalui penerapan sistem yang efektif, termasuk
penilaian dari proses perbaikan yang berkesinambungan.
Dalam wawancara dengan Kepala UPTD Metrologi Legal
Kota Batam, Ahmad Elfasi, bahwa berdasarkan Surat Keterangan
Kelayakan Pelaksanaan Tera dan Tera Ulang, UPTD Metrologi
Legal Kota Batam memiliki 23 wewenang dan wilayah kerjanya
mencakup 12 kecamatan di kota Batam yang terdiri dari tiga
daerah lautan dan Sembilan daerah daratan, serta melingkupi
35 pasar dan 34 SPBU. Saat ini, UPDT Metrologi Legal Batam
sedang dalam tahap penambahan lima wewenang.
Tim Survei Warta Pengkajian Perdagangan Melakukan Kunjungan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Metrologi Legal, Kota Batam.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Jenis-jenis Alat Ukur Timbangan Yang Akan Dilakukan Tera.
Penera UPTD Kota Batam menjelaskan Timbangan yang akan Dilakukan Tera Ulang.
(50 unit); Flow meter/master meter (50 unit); dan Timbangan yang
dimiliki sebanyak 10.000 unit.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota melaksanakan metrologi legal berupa tera, tera ulang
dan pengawasan. Dengan demikian telah terjadi pelimpahan
wewenang fungsi melaksanakan metrologi legal dari Pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Oleh karena itu,
Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota perlu membangun UPTD Metrologi Legal
yang bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
sebaran infrastruktur/sarana dan prasarana kemetrologian
guna mewujudkan tertib ukur sebagai upaya perlindungan
konsumen. Pembangunan UPTD ini tentu saja membutuhkan
modal yang besar dan komitmen yang kuat dari seluruh pihak
yang terlibat. (Maulida Lestari & Reni K. Arianti)
UPTD Metrologi Legal melaksanakan tugas memberikan
pelayanan tera, tera ulang dan pengawasan terhadap alat UTTP.
Pengukuran semua standar peralatan metrologi harus memiliki
ketelusuran kalibarasi. Ruang lingkup kerja UTTP Kota Batam
adalah meter taksi (argo), meteran air, Kwh meter, pompa ukur,
timbangan dan sebagainya. Berdasarkan UU Metrologi legal,
alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya harus ditera
kembali secara berkala. Periode wajib tera masing-masing
peralatan tersebut berbeda-beda, untuk timbangan satu kali
satu tahun, argo taksi juga satu kali satu tahun dan kwh meter
satu kali 10 tahun.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki oleh UPTD Metrologi
Legal Kota Batam sangat terbatas, hanya memiliki empat orang
Penera Ahli. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi UPTD
Metrologi Legal Kota Batam dalam meningkatkan daya saing
pelayanan UPTD ini. Dengan keterbatasan SDM, UPTD Metologi
Legal Kota Batam telah melakukan kerjasama dengan Universitas
Sumatera Utara (USU) dalam menghasilkan lulusan D3 Metrologi
yang handal untuk membantu tugas para penera. Kedepan,
kerjasama serupa diharapkan melebar dengan Institut Teknologi
Bandung (ITB), dan Institut Teknologi Surabaya (ITS).
Potensi UTTP di Kota Batam sangat mendukung kondisi
Batam sebagai daerah industri dan daerah perbatasan dengan
Negara tetangga Singapura dan Malaysia. Adapun potensi yang
dimiliki tersebut antara lain: Meter taksi ada sebanyak 3500 unit;
Tanki Ukur Tegak Silinder Tetap (TUTSIT) sebanyak 550 unit; Tanki
Ukur Silinder Dasar (TUTSIDA) sebanyak 150 unit; Flow meter air
(230.000 unit); Kwh meter (260.000 unit); Tanki Ukur Mobil (TUM)
sebanyak 300 unit; Pompa ukur (400 unit); Timbangan jembatan
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Kementerian Perdagangan (Kemendag) merevisi dan
menerbitkan beberapa peraturan baru (dalam bentuk
Peraturan Menteri Perdagangan/Permendag) sebagai langkah
nyata Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I Pemerintahan Jokowi-
JK tentang Deregulasi dan Debirokratisasi yang diluncurkan
pada 9 September 2015. Menurut Menteri Perdagangan
Thomas Lembong, tujuan dari paket kebijakan deregulasi
dan debirokratisasi untuk sektor perdagangan adalah untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
dan menjaga kepercayaan investor kepada negara. Selain itu
kebijakan ini juga bertujuan menyederhanakan proses perizinan
dan peraturan sehingga dapat mengurangi beban administrasi dan
perizinan yang dinilai sulit oleh para pelaku usaha.
Hingga akhir Oktober 2015, Data Kemendag (2015)
menyebutkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang
dirilis terkait debirokratisasi dan deregulasi adalah:
1. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Angka Pengenal Importir (API);
2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura;
3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan
Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib terhadap Barang dan
Jasa yang Diperdagangkan;
4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 73/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam
Bahasa Indonesia pada Barang;
5. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 74/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal
Rafinasi yang berlaku 28 September 2015;
6. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 75/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 528/MPP/KEP/7/2002
tentang Ketentuan Impor Cengkeh;
7. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 76/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2010 tentang
Ketentuan Impor Mesin, Peralatan Mesin, Bahan Baku,
Cakram Optik Kosong, dan Cakram Optik Isi sebagaimana
Langkah Deregulasi dan Debirokratisasi
Kementerian Perdagangan
telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
35/M-DAG/PER/5/2012;
8. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 41/M-DAG/PER/12/2011 tentang
Ketentuan Impor Sodium Tripholyphosphate (STPP);
9. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 78/M-DAG/
PER/9/2015 tentang Pencabutan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 45/M-DAG/PER/6/2015 tentang
Ketentuan Impor Ban;
10. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 83/M-DAG/
PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak
Lapisan Ozon;
11. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84/M-DAG/
PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Barang Berbasis
Sistem Pendingin;
12. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 85/M-DAG/PER/10/2015
tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil;
13. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86/M-DAG/
PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tekstil Dan
Produk Tekstil Batik dan Motif Batik;
14. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87/M-DAG/
PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu;
15. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/
PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri
Kehutanan.
Inti dari seluruh permendag baru tersebut adalah pencabutan
peraturan lama, penyederhanan proses atau ketentuan,
kemudahan pelaksanaan kegiatan ekspor-impor, pengurangan
persyaratan yang tidak relevan, serta menghilangkan pemeriksaan
yang tidak diperlukan yang selama ini dipersyaratkan oleh berbagai
kementerian atau lembaga pemerintah (Antaranews, 2015).
Adapun isi lengkap dari masing-masing Permendag tersebut
dapat dilihat dan diunduh melalui alamat http://jdih.kemendag.
go.id/id/regulations.
Beban regulasi dan birokrasi memang telah lama menjadi salah
satu penyebab inefisiensi perdagangan dalam memenuhi kebutuhan
industri, konsumsi, dan ekspor. Oleh karena itu respon cepat
Kemendag dalam urusan deregulasi dan debirokratisasi diharapkan
dapat meningkatkan daya saing sektor perdagangan dan memacu
pertumbuhan ekonomi yang melambat. (Primakrisna T.)
32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Merakit Bersama Ponsel Produksi Indonesia
Tahun 2017 akan menjadi tahun pembuktian bagi industri
telepon seluler (ponsel) di tanah air untuk menunjukkan
komitmennya dalam mewujudkan ponsel produksi Indonesia.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian serta Kementerian Komunikasi dan Informatika
pada rapat bersama tanggal 3 Juli 2015 telah menyepakati aturan
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk ponsel 4G sebesar
30% dan jaringan 4G sebesar 40% yang akan berlaku efektif
pada 1 Januari 2017. Aturan ini tertuang dalam Permenkominfo
No. 27 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau
Perangkat-Perangkat Telekomunikasi Berbasis Standar Teknologi
Long Term Evolution. Sebagai langkah awal, aturan TKDN tersebut
akan diterapkan terlebih dulu untuk perangkat dan jaringan 4G
berteknologi Long Term Evolution Frequency Division Duplexing
(LTE FDD) atau yang beroperasi pada pita frekuensi radio 2 100
MHz, 1 800 MHz, 900 MHz, dan 800 MHz (Kominfo, 2015).
Sebagai konsekuensi regulasi ini, industri ponsel atau perangkat
jaringan 4G yang tidak memenuhi kewajiban TKDN akan dilarang
masuk ke pasar Indonesia.
Rapat bersama Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Perindustrian tentang TKDN sektor Telekomunikasi pada 3 Juli 2015 di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Selanjutnya ketiga Menteri sepakat untuk segera menyusun
Surat Edaran Bersama (SEB) dan merevisi aturan terkait di
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
Aturan-aturan yang akan direvisi adalah Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) No. 48/M-DAG/PER/8/2014
mengenai Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan
No. 82/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Impor Telepon
Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet dan Peraturan
Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 69/M-IND/PER/9/2014
tentang Ketentuan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Industri
Elektronik dan Telematika. Pasal-pasal yang akan direvisi untuk
menyesuaikan dengan peraturan terbaru terkait dengan aturan
TKDN ini masih dalam pembahasan.
Menurut data Kementerian Perdagangan, nilai impor ponsel
tahun 2010-2014 mengalami peningkatan setiap tahun, bahkan
pada tahun 2014 meningkat sebesar 25,4% dibandingkan tahun
2010 dengan volume impor 2014 sebesar 13,78 ribu ton. Sebagian
besar impor ponsel tersebut berasal dari Republik Rakyat Tiongkok
(RRT) dengan pangsa sebesar 65,35% (Kemendag, 2015).
Tingginya nilai impor ini juga menjadi alasan bagi pemerintah untuk
segera merealisasikan industri ponsel dalam negeri yang memiliki
pabrik perakitan sendiri atau memberikan kesempatan bagi
investor untuk bekerjasama dengan perusahaan jasa manufaktur
elektronik lokal.
Kementerian Perdagangan bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Perindustrian, melakukan Konferensi Pers Bersama tentang TKDN Perangkat 4G pada 3 Juli 2015 di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Saat ini tercatat 16 merek ponsel yang perakitannya
dilakukan di dalam negeri dan mencapai TKDN 20%. Merek-
merek tersebut adalah Polytron, Evercoss, Advan, Axioo, Mito,
Gosco, SPC, Asiafone, Oppo, Haier, Huawei, Smartfren, Bolt,
Ivo, Lenovo, dan Samsung (Kemenperin, 2015). Dari ke-16
merek tersebut, beberapa diantaranya seperti Samsung dan
Haier sudah mempersiapkan diri dengan persyaratan TKDN
30%, bahkan berencana menambah produksinya di Indonesia
untuk tujuan ekspor. (Primakrisna T. & Dwi Yulianto)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 33
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Policy Dialogue Series #4: Peran Trading House dalam rangka Mendorong
Kinerja Ekspor IndonesiaBadan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan (BP2KP) bekerjasama dengan Australia
Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG)
kembali menyelenggarakan Policy Dialogue Series (PDS). PDS
edisi ke-4 dilaksanakan pada hari Selasa, 11 Agustus 2015 di
Auditorium Kementerian Perdagangan dan secara resmi dibuka
oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan. Acara
ini menghadirkan empat narasumber yaitu Direktur Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan
yang membahas tentang Peran Pemerintah Untuk Peningkatan
Ekspor Melalui Pengembangan Trading House, Head of
Corporate HRD & GA Division KORINDO GROUP yang
membahas Peran dan Kebijakan Pemerintah Korea Selatan
dalam mendukung pengembangan Trading House di Korea
Selatan, Presiden Direktur Japan External Trade Organization
(JETRO) yang membahas Pengalaman Pemerintah Jepang
Dalam Pengembangan Ekspor dan Peningkatan Investasi serta
Perkenalan Konsep General Trading Company (Trading House),
serta Direktur Utama PT. SARINAH yang membahas Konsep
PT. SARINAH tentang Trading House di Indonesia dalam
mendukung pencapaian target peningkatan ekspor di tahun
2019. Seluruh peserta yang hadir dalam acara ini berasal dari
berbagai institusi pemerintahan, para pelaku usaha, asosiasi,
dan tenaga ahli.
SERBA SERBI
Diseminasi Hasil Kajian BP2KP di JakartaBadan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan (BP2KP)
menyelenggarakan Diseminasi Hasil Kajian
di Istana Ballroom Hotel Sari Pan Pasifik,
Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2015.
Acara ini membahas dua hasil kajian BP2KP,
yaitu Analisis Dampak Kebijakan Ekspor
Timah Terhadap Kinerja Timah Indonesia
yang merupakan kajian dari Pusat Kebijakan
Perdagangan Luar Negeri dan Pengawasan
Barang Beredar di Daerah Perbatasan yang
merupakan kajian dari Pusat Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Policy Dialogue Series #5: Effective Rate of
Protection Analysis for IndonesiaKepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan (BP2KP) Kementerian Perdagangan, Ibu Tjahya
Widayanti membuka acara Policy Dialogue Series ke-5 dengan
tema Effective Rate of Protection Analysis for Indonesia yang
berlangsung di Auditorium Kementerian Perdagangan pada hari
Rabu, 19 Agustus 2015. Acara dialog tersebut dimoderatori
Serah Terima Jabatan Eselon II BP2KPKepala Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Perdagangan
(BP2KP), Ibu Tjahya Widayanti memimpin
dan memberikan sambutan pada acara
Serah Terima Jabatan (Sertijab) Kepala
Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan
Internasional (Kapusjak KPI) dan Kepala
Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin)
pada hari Senin, 10 Agustus 2015 di Lantai
15 Kementerian Perdagangan. Sertijab
Kapusjak KPI diserahkan dari Bapak Martua
Sihombing kepada Ibu Sri Nastiti Budianti,
sedangkan Sertijab Kapusdatin diserahkan
dari Bapak Marthin kepada Ibu Tjahya
Widayanti untuk sementara waktu. Acara ini
dihadiri oleh seluruh pejabat Eselon II, III dan
IV di Lingkungan BP2KP.
oleh Staf Ahli Bidang Diplomasi Perdagangan, Ibu Sondang
Anggraini dengan narasumber Mr. Stephen Marks, International
Trade Economist (AIPEG) dan empat orang penanggap, yaitu
Ibu Moekti Soejachmoen (Mandiri Institute), Bapak Harry
Hanawi (GAPMMI), Bapak Hatanto Reksodipoetro (TRAP), dan
Bapak Ade Sudrajat (Asosiasi Pertekstilan Indonesia).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3736 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Rapat Dewan Redaksi dan Mitra Bestari
Buletin Ilmiah Litbang PerdaganganRapat Dewan Redaksi Buletin Ilmiah Perdagangan (BILP)
Edisi II tahun 2015 dilaksanakan pada hari Kamis, 20 Agustus
2015 di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Cirebon Jawa
Barat. Rapat dihadiri oleh Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan
Dalam Negeri BP2KP, Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan
Policy Dialogue Series #6 Pengembangan Jasa
Pergundangan dalam Mendukung Peningkatan Daya Saing
Sistem Logistik di IndonesiaBadan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan (BP2KP) bekerjasama dengan Australia
Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG)
menyelenggarakan Policy Dialogue Series (PDS) ke-6 pada
hari Selasa, 22 September 2015 di Auditorium Kementerian
Perdagangan. Acara yang dibuka oleh Inspektur Jenderal
Kementerian Perdagangan ini menyajikan empat topik
presentasi yaitu Kebijakan Pergudangan di Indonesia,
Membangun Subsektor Pergudangan yang Berdaya Saing,
Strategi Membangun Jasa Pergudangan yang Berdaya Saing:
Peluang dan Tantangan, dan Persepsi Industri terhadap
Industri Penyedia Jasa Pergudangan. Narasumber dalam
acara ini adalah Dr. Samantak Das (Chief Economist &
National Director- Research Knight Frank (India) Pvt. Ltd), Dr.
Nofrisel, SE, MM, CSLP (Direktur Teknik dan Pengembangan
PT Bhanda Ghara Reksa), Bapak Frengki Simanjuntak (Pjs.
Manager Perencanaan Pemasaran PT Pupuk Indonesia
Luar Negeri BP2KP, Akademisi dan Peneliti Senior yang
tergabung sebagai Mitra Bestari serta Redaksi Pelaksana Buletin
Ilmiah Perdagangan. Dalam rapat kali ini, Mitra Bestari menilai
pilihan topik penelitian dan naskah yang layak untuk dimuat pada
Edisi II yang akan terbit pada bulan Desember 2015.
Persero) dan Bapak Jimmy Bella (Direktur Logistik dan Sarana
Distribusi Ditjen PDN Kemendag) dengan moderator Bapak
Ardiansyah Parman.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3736 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
Diseminasi Hasil Kajian BP2KP di Hotel Aryaduta
JakartaBadan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan (BP2KP)
menyelenggarakan Diseminasi Hasil Kajian
ke-2 di Jakarta pada hari Rabu, 30
September 2015di Hotel Aryaduta Jakarta.
Acara ini membahas dua hasil kajian BP2KP,
yaitu Kebijakan Perdagangan dalam
Menghadapi ASEAN Economic Community
(AEC) 2015 dan Analisis Pengembangan
Sektor Jasa Ritel Dalam Rangka Pemanfaatan
ASEAN Framework Agreement in Services
(AFAS) yang seluruhnya merupakan kajian
dari Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan
Internasional.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan (BP2KP) menyelenggarakan acara Bedah
Naskah Info Komoditi Rumput Laut di Ruang Dahlia Gedung I
Kementerian Perdagangan pada hari Rabu, 7 Oktober 2015.
Acara ini dibuka oleh Kepala BP2KP dan menghadirkan
narasumber dari Kementerian Perindustrian, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, dan Asosiasi Industri Rumput
Laut Indonesia (ASTRULI) dengan moderator Kepala Pusat
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri BP2KP. Peserta kegiatan
ini adalah para peneliti, perwakilan dari instansi terkait, serta
akademisi dari Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian
Bogor (IPB), Universitas Trisakti dan School of Government
and Public Policy (SGPP).
Bedah Naskah Info
Komoditi
Rumput Laut
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3938 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
DATA STATISTIK PERDAGANGAN
Catatan: Per Februari Tahun 2013, Satuan Minyak Goreng Kemasan dan Minyak Goreng Curah Berubah Menjadi 1 Liter.Sumber: Dinas Perindag, diolah Ditjen PDN
PERKEMBANGAN HARGA BARANG KEBUTUHAN POKOK
DAN BARANG JENIS LAINNYA SECARA NASIONAL
SELAMA BULAN MEI 2015 SAMPAI DENGAN AGUSTUS 2015
NO KOMODITI SATUAN 2015 AGUSTUS Prbhn
Minggu Rata2 Agu’15:
Agst’15 : Jul’15
(%)
Mei Jun Jul Agt Mg I Mg II Mg III Mg IV
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 Beras Medium Kg 9,925 9,928 10,009 10,122 10,050 10,111 10,156 10,163 10,120 1.13
2 Gula Pasir Kg 12,538 13,120 13,041 12,927 12,959 12,946 12,934 12,889 12,932 (0.87)
3 Minyak Goreng Kemasan Ltr 15,201 15,216 15,190 15,164 15,136 15,135 15,179 15,203 15,163 (0.17)
4 Minyak Goreng Curah Ltr 11,186 11,249 11,212 11,006 11,112 11,069 11,008 10,868 11,014 (1.84)
5 Daging Sapi Kg 102,611 104,842 107,669 108,793 107,095 109,540 109,205 109,320 108,790 1.04
6 Daging Ayam Broiler Kg 29,150 30,995 31,966 33,248 32,447 32,910 33,742 33,889 33,247 4.01
7 Daging Ayam Kampung Kg 60,315 62,002 63,665 64,215 63,750 63,733 64,670 64,609 64,190 0.87
8 Telur Ayam Ras Kg 21,478 22,756 22,602 22,641 22,164 22,392 23,190 22,927 22,668 0.17
9 Telur Ayam Kampung Kg 41,850 41,420 41,501 41,344 41,127 41,361 41,384 41,483 41,339 (0.38)
10 Susu Kental Manis 397g 10,302 10,249 10,251 10,269 10,268 10,269 10,281 10,264 10,270 0.17
11 Tepung Terigu Kg 8,883 8,904 8,983 9,011 9,010 9,005 9,005 9,018 9,009 0.32
12 Kedelai Impor Kg 11,127 11,019 11,054 11,007 11,012 11,047 11,005 10,972 11,009 (0.42)
13 Kedelai lokal Kg 10,890 10,862 10,901 10,823 10,901 10,755 10,822 10,815 10,823 (0.72)
14 Mie Instant Bngks 2,119 2,114 2,122 2,129 2,127 2,127 2,132 2,130 2,129 0.34
15 Cabe Merah Keriting Kg 27,293 32,504 32,653 35,038 33,241 36,388 35,919 34,733 35,071 7.30
16 Cabe Merah Biasa Kg 29,685 32,521 30,976 32,537 31,158 33,721 33,423 32,070 32,593 5.04
17 Bawang Merah Kg 32,612 32,998 25,523 21,311 22,973 21,630 20,795 20,065 21,366 (16.51)
18 Bawang Putih Kg 20,878 21,964 21,719 21,536 21,527 21,379 21,335 21,782 21,506 (0.84)
19 Ikan Teri Asin Kg 66,783 67,103 67,207 67,108 67,489 67,025 67,220 66,811 67,136 (0.15)
20 Kacang Hijau Kg 20,371 20,916 21,307 21,163 21,321 21,268 21,043 21,029 21,165 (0.68)
21 Kacang Tanah Kg 21,686 23,453 24,986 24,762 24,658 24,752 24,778 24,868 24,764 (0.90)
22 Ketela Pohon Kg 5,188 5,165 5,313 5,364 5,348 5,362 5,368 5,428 5,377 0.96
23 Jagung Pipilan Kg 6,454 6,357 6,400 6,488 6,414 6,470 6,536 6,522 6,486 1.38
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 3938 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
PERIODE 2010-2015 (JANUARI-JULI)
No. URAIAN Nilai : Juta USD JAN - JUL Perub Tren
2010 2011 2012 2013 2014 2014 2015 15/14 (%) 10-14(%)
I. Ekspor 157,779.1 203,496.6 190,020.3 182,551.8 176,292.7 102,948.7 89,817.8 -12.75 1.14
- Migas 28,039.6 41,477.0 36,977 32,633.0 30,331.9 18,181.4 11,391.4 -37.35 -0.82
- Non Migas 129,739.5 162,019.6 153,043.0 149,918.8 145,960.8 84,767.2 78,426.3 -7.48 1.59
II. Impor 135,663.3 177,435.6 191,689.5 186,628.7 178,178.8 104,035.4 84,032.0 -19.23 6.14
- Migas 27,412.7 40,701.5 42,564.2 45,266.4 43,459.9 25,968.9 15,391.2 -40.73 10.83
- Non Migas 108,250.6 136,734.0 149,125.3 141,362.3 134,718.9 78,066.5 68,640.8 -12.07 4.82
III. Total Perdagangan 293,442.4 380,932.2 381,709.7 369,180.5 354,471.5 206,984.0 173,849.8 -16.01 3.53
- Migas 55,452.3 82,178.6 79,541.4 77,899.4 73,791.8 44,150.3 26,782.6 -39.34 5.32
- Non Migas 237,990.1 298,753.6 302,168.3 291,281.1 280,679.7 162,833.7 147,067.1 -9.68 3.09
IV. Neraca 22,115.8 26,061.1 -1,669.2 -4,076.9 -1,886.2 -1,086.7 5,785.7 632.41 -
- Migas 626.9 775.5 -5,586.9 -12,633.3 -13,128.0 -7,787.5 -3,999.8 48.64 -
- Non Migas 21,488.9 25,285.5 3,917.7 8,556.4 11,241.9 6,700.8 9,785.5 46.04 -21.17
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
PERIODE: MEI 2015-AGUSTUS 2015*
URAIAN
NILAI (JUTA USD) JAN - AGUPERUBAHAN
MEI JUNI JULI AGU *) 2014 2015* 15/14 (%)
I Ekspor 12,690.2 13,506.1 11,465.8 12,702.8 102,948.7 102,520.6 -0.42
- Migas 1,370.3 1,439.9 1,421.8 1,530.8 18,181.4 12,922.3 -28.93
- Non Migas 11,319.9 12,066.2 10,043.9 11,172.0 84,767.2 89,598.3 5.70
II Impor 11,613.6 12,978.1 10,081.9 12,269.0 104,035.4 96,300.3 -7.44
- Migas 2,080.5 2,577.5 2,294.3 2,108.0 25,968.9 17,499.3 -32.61
- Non Migas 9,533.1 10,400.5 7,787.6 10,161.0 78,066.5 78,801.0 0.94
III Total Perdagangan 24,303.8 26,484.2 21,547.6 24,971.8 206,984.0 198,820.9 -3.94
- Migas 3,450.8 4,017.4 3,716.1 3,638.8 44,150.3 30,421.6 -31.10
- Non Migas 20,853.0 22,466.7 17,831.5 21,333.0 162,833.7 168,399.3 3.42
IV Neraca 1,076.6 528.0 1,383.9 433.8 -1,086.7 6,220.3 -672.40
- Migas -710.2 -1,137.7 -872.5 -577.2 -7,787.5 -4,577.0 -41.23
- Non Migas 1,786.9 1,665.6 2,256.4 1,011.0 6,700.8 10,797.3 61.14
Sumber : BPS (2015), diolah Pusdatin, BP2KP Kementerian Perdagangan
Catatan : *) Angka Sementara
Sumber : BPS (2015), diolah Pusdatin, BP2KP Kementerian Perdagangan
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015 PB40 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume IlI. No. 9, Tahun 2015
EKSPOR - IMPOR INDONESIA,
2O10 - 2O15 (JANUARI-APRIL)(Nilai : Juta USD)
225.000.00
200.000.00
175.000.00
150.000.00
125.000.00
100.000.00
75.000.00
50.000.00
25.000.00
0.0 2010 2011 2012 2013 2014 2014 (Jan-Jul) 2015 (Jan-Jul)
Ekspor 157,779.1 203,496.6 190,020.3 182,551.8 176,292.7 102,948.7 89,817.8
Impor 135,663.3 177,435.6 191,689.5 186,628.7 178,178.8 104,035.4 84,032.0
(Nilai : Juta USD)
30.000,0
25.000,0
20.000,0
15.000,0
10.000,0
5.000,0
0.0
-5.000,0
-10.000,0
-15.000,0
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA,
Periode 2O10 - 2O15 (Januari-April)
Sumber : BPS (2015), diolah Pusdatin, BP2KP Kementerian Perdagangan
Sumber : BPS (2015), diolah Pusdatin, BP2KP Kementerian Perdagangan
2010 2011 2012 2013 2014 2014 (Jan-Jul) 2015 (Jan-Jul)
Migas 626.9 775.5 -5,586.9 -12,633.3 -13,128.0 -7,787.5 -3,999.8
Non Migas 21,488.9 25,285.5 3,917.7 8,556.4 11,241.9 6,700.8 9,785.5
40 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lII. No. 9, Tahun 2015