D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI...
Transcript of D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI...
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 1
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Umum
Jembatan kereta api merupakan sebuah sarana transportasi bebas hambatan, secara
historis terdapat cukup banyak jembatan kereta api yang telah dibangun, namun
perancangan jembatan kereta api sendiri pun belum cukup menjadi umum.
meskipun pada dasarnya terdapat kesamaan dan tidak jauh berbeda dengan
jembatan jalan raya tetapi jembatan ini memiliki perbedaan dari segi pembebanan
yang diberikan serta standar acuan yang digunakan.
dari pembebanan tersebut lah maka diperlukan sebuah kajian terhadap desain
mendetail dari jembatan keretaapi
2.2 Detail EngineeringDesign (DED)
Detail Engineering Design merupakan tahap perancangan yang di lakukan guna
mendapatkan sebuah rencana yang sesuai dengan perencanaan secara detail atau
rinci. Sebelum melakukan tahap perancangan secara rinci dibutuhkan sebuah
tinjauan untuk mendapatkan data lapangan yang menunjang untuk perancangan
selanjutnya.
Dengan data yang dimiliki maka tahap perancangan dapat di mulai dengan
melakukan studi awal terhadap lokasi dimana proyek tersebut akan dibangun,
kemudian di lakukan perencanaan dasar dengan memunculkan beberapa
alternative desain yang memiliki spesifikasi yang berbeda, berdasarkan beberapa
kriteriasebagai patokan terhadap desain tersebut maka munculah basic desain
terpilih berdasarkan bobot atas kriteria yang diberikan, kemudian dilakukan
perencanaan teknis secara rinci dari desain yang terpilih yang kemudian akan
menghasilkan sebuah analisis perhitungan serta gambar secara detail
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 2
2.3 Tahap Perancangan
1. melakukan review terhadap desain terdahulu
2. mempelajari data dan gambar dari jembatan eksisting
3. peninjauan untuk mendapatkan data sekunder
2.4 Acuan Perancangan
Acuan Perancangan terhadap jembatan yang akan di rancang memiliki kriteria
sebagai dasar pertimbangan untuk mendapatkan desain yang memenuhi pokok
perencanaan, dan juga standar parameter yang tertuang dalam peraturan
pemerintah sebagai berikut
2.4.1 Kriteria Desain
Perencanaan jembatan kereta api harus memenuhi pokok-pokok perencanaan
sebagai berikut:
1. Kekuatan dan stabilitas struktur.
2. Kenyamanan dan Keselamatan.
3. Kemudahan (pelaksanaan dan pemeliharaan).
4. Ekonomis.
5. Pertimbangan aspek lingkungan, sosial dan aspek keselamatan jembatan.
6. Keawetan dan kelayakan jangka panjang.
7. Estetika.
8. Muka air banjir berdasarkan historis dan perhitungan.
Setelah dilakukan penilaian sesuai dengan kriteria desain, diputuskan opsi mana
yang dipilih, kemudian dilanjutkan dengan melakukan perhitungan desain
struktur.
2.4.2 Parameter Umum
1. Umur Rencana jembatan standar adalah 50 tahun.
2. Pembebanan Jembatan menggunakan RM 1921.
3. Geometrik:
a) Lebar jembatan minimum 5,7 meter.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 3
b) Kemiringan memanjang maksimum 10 ‰.
c) Ruang bebas vertikal di atas jembatan minimal 5,1 meter.
d) Ruang bebas vertikal dan horizontal di bawah jembatan disesuaikan free
board minimal 1,0 meter dari muka air banjir.
e) Untuk kebutuhan estetika tidak menjadi kriteria utama karena jembatan
tidak melintasi daerah tertentu/pariwisata.
f) Geometrik jembatan tidak menutup akses penduduk.
4. Material :
a) Mutu beton lantai K-350, bangunan atas minimal K-350.
b) Mutu baja tulangan menggunakan BJTP 24 untuk < D13, dan BJTD 32
atau BJTD 39 untuk ≥ D13, dengan variasi diameter tulangan dibatasi
paling banyak 5 ukuran.
c) Mutu baja struktur utama menggunakan minimal BJ37 dan jika
menggunakan mutu yang lebih tinggi, tidak melampaui tegangah leleh
550 MPa.
5. Untuk memudahkan validasi koreksi atas gambar rencana, gambar rencana
diusahakan sebanyak mungkin dalam bentuk gambar tipikal dan gambar
standar.
2.5 Pembebanan
Beban yang ditinjau terdiri dari beban tetap (beban mati dan superimposed dead
load) dan beban transien atau beban tidak tetap.
2.5.1 Jenis Beban
Jembatan didesain untuk menahan jenis beban sebagai berikut:
Tabel 2.1 Jenis beban
Tipe Beban Arah Tipe Beban Prinsip Permanent Load (a) Beban Mati Tetap (D1) Vertikal
(b) Beban Mati Tambahan (D2) Vertikal, berupa: berat sendiri komponen struktur baja/beton; berat sendiri rel,
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 4
bantalan dan balas;
(c) Gaya Prategang (PS) Body force (d) Efek Susut dan Rangkak
Beton (SH), (CR) Body force
Variable Load (a) Beban Kereta (L) Vertikal (b) Beban Tumbukan (I) Horisontal (c) Beban Setrifugal (C) Horisontal (d) Beban Lateral Bakal Pelanting
dan Beban Lateral Roda (LF) Horisontal
(e) Beban Pengereman dan Beban Traksi (B)
Horisontal
(f) Beban Kereta Pemeliharaan Jalan Rel (LM)
Vertikal
(g) Beban Kerumunan (Lp) Vertikal (h) Beban Longitudinal Rel
Panjang (LR) Horisontal
(i) Efek Perubahan Suhu (T) Body force (j) Beban Angin (W) Horisontal (k) Tekanan Arus Aliran
(Tekanan Air pasang) (Wp) Horisontal
(l) Tekanan Tanah (EL) Horisontal (m) Beban Selama Konstruksi (ER) Horisontal
Accidental Load (a) Efek Gempa (EQ) Horisontal (b) Beban Tabrakan (M) Horisontal
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
2.5.2 Beban Mati
Berat jenis bahan yang biasanya digunakan dalam perhitungan beban mati adalah
sebagai berikut.
Tabel 2.2 Berat Jenis Bahan
Baja, Baja Cor 78.50 KN/m3
Besi Cor 72.50 KN/m3
Kayu 8 KN/m3
Beton 24 KN/m3
Aspal Anti Air 11 KN/m3
Ballast Gravel atau Batu Pecah 19 N/m3
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 5
2.5.3 Beban Hidup
Beban kereta yang digunakan sebagai beban hidup adalah 100% RM 1921,
sebagaimana tertera pada tabel di bawah. Perhitungan menunjukkan bahwa
biasanya 100% RM 1921 merupakan beban yang paling membahayakan. Rencana
pembebanan ini berlaku baik untuk jembatan baja maupun beton.
Tabel 2.3 Skema Pembebanan RM 1921
Sumber : Rencana muatan 1921
Kemungkinan rangkaian kereta api yang ditinjau adalah:
Loc + Td + Loc + Td
Loc + Td + Td + Loc
Td + Loc + Loc + Td
Td + Loc + Td + Loc
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 6
dengan, Td = Tender
Loc = Lokomotif
Dari skema ini senantiasa dipergunakan yang memberikan hasil yang amat tidak
menguntungkan (berbahaya).
2.5.4 Beban Kejut
Beban kejut diperoleh dengan mengalikan faktor i terhadap beban kereta. Faktor
kejut hanya diberlakukan untuk muatan vertikal saja. Untuk jembatan baja faktor i
adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
a. untuk rel pada alas balas
(2.3)
b. untuk rel pada perletakan kayu
(2.4)
c. untuk rel secara langsung pada baja
(2.5)
dimana i = faktor kejut, L = panjang bentang (m).
2.5.5 Beban Horizontal
2.5.5.1 Beban Lateral Bakal Pelanting dan Beban Lateral Roda (LF)
(1) Beban lateral bakal pelanting dan beban lateral roda bekerja pada
permukaan jalan rel dan bekerja tegak lurus dan arah lateral pada jalan rel.
(2) Nilai karakteristik beban lateral pelanting yang digunakan untuk mengkaji
keadaan batas ultimate adalah sebagai berikut:
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 7
a. Beban Lokomotif
Beban serial yang terdiri dari 15% beban gandar roda pada tempat
bekerjanya merupakan nilai karakteristik beban lokomotif dengan roda
penggerah bogey pada masing-masing bogey pada lokomotif dua kepala
(double-header) harus dianggap sebagai nilai karakteristik beban bakal
pelanting.
b.Beban Kereta Listrik dan Kereta Diesel
Beban serial yang terdiri dari 20% beban gandar pada tempat pembebanan
yang merupakan nilai karakteristik beban kereta dengan roda bogey pada
setiap sisi kopler bakal pelanting, adalah nilai karakteristik beban lateral
bakal pelanting
(3) Nilai karakteristik beban tekanan lateral roda yang digunakan untuk
menganalisa keadaan batas ultimate adalah sebagai berikut:
Beban lokomotif, beban kereta listrik dan kereta diesel yang ditunjukkan
pada Gambar 2.1(a) adalah nilai karakteristik yang berada pada arah di
dalam (lihat Gambar 2.1b). Hal ini harus diperhitungkan untuk bagian
dengan kecepatan tinggi.
(a) Untuk Kereta Biasa (b) Untuk Kereta Cepat Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.1 Nilai Karakteristik Beban Lateral Roda
(4) Hanya salah satu beban lateral bakal pelanting atau beban lateral roda yang
diperhitungkan untuk jalan rel tunggal.
(5) Untuk jalan rel ganda dimana setiap jalan rel memiliki struktur balok
sendiri, beban pada (1), (2), (3) harus dihitung sebagai beban untuk setiap
balok. Untuk jalan rel ganda dimana setiap jalan rel memilik struktur balok
monolit, beban (1), (2), dan (3) harus dilipatgandakan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 8
A max
10S =
A max
10S =
A max ( R-150 )
7500S =
S = 0
Gaya menyamping karena tekanan lokomotif dan tekanan angin dianggap tidak
bekerja bersama-sama.
a. Pada jalur lurus :
(2.6)
b. Pada jalur lengkungan :
R 900 m
(2.7)
150 < R < 900 m
(2.8)
R 150 m
(2.9)
dengan: A = Muatan gandar terbesar (tanpa koef. kejut)
R = Jari-jari lengkungan dalam (m)
Gaya menyamping ini diambil nilai yang paling menentukan dari semua nilai di atas
yang memungkinkan.
2.5.5.2 Beban Rem dan Traksi (B)
(1) Posisi beban rem dan beban traksi harus diperhitungkan pada pusat gravitasi
kereta atau bakal pelanting atau bekerja parallel terhadap jalan rel dan
mempunyai arah horizontal pada jalan rel.
(2) Nilai karakteristik beban rem dan beban traksi yang digunakan pada
keadaan beban ultimate adalah sebagai berikut.
(a) Untuk Beban Lokomotif
Beban yang ditunjukkan pada Tabel 2.4 adalah nilai karakteristik. Tabel 2.4 Nilai Karakteristik Beban Rem dan Beban Traksi pada Beban Lokomotif
Beban Rem 25% dari nilai karakteristik beban kereta Beban Traksi 25% dari beban gandar roda sebagai nilai
karakteristik beban kereta Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 9
Catatan: Panjang beban kereta harus dalam cakupan efek terbesar pada
elemen
(b) Untuk beban kereta listrik atau kereta diesel, beban yang ditunjukkan
pada Tabel 2.5 adalah nilai karakteristik.
Tabel 2.5 Nilai Karakteristik Beban Rem dan Beban Traksi pada Kereta Listrik dan Kereta
Diesel
Beban Rem (0,27 + 1,00 L/M) T Beban Traksi (0,25 + 0,95 L/M) T
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Catatan:
M = Panjang bakal pelanting (1 kereta)
L = Panjang beban kereta dengan efek terbesar pada elemen
T = Beban gandar sebagai nilai karakteristik beban kereta
Tabel 2.6 Nilai Karakteristik Beban Rem dan Beban Traksi pada Kereta Cepat (kecepatan lebih
dari 160 km/jam)
Beban Rem (0,20 + 0,80 L/M) T Beban Traksi (0,19 + 0,76 L/M) T
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Catatan:
M = Panjang bakal pelanting (1 kereta)
L = Panjang beban kereta dengan efek terbesar pada elemen
T = Beban gandar sebagai nilai karakteristik beban kereta
Sumber lain (RM 1921) menyebutkan bahwa gaya rem diperhitungkan untuk
jembatan dengan bentang 20 m dan lebih. Besarnya gaya rem adalah 1/6 berat
lokomotif dan 1/10 berat kereta dengan muatan penuh dimana koefisien kejut tidak
diperhitungkan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 10
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.2 Penempatan beban traksi dan beban rem
2.5.5.3 Beban Kereta Pemeliharaan Jalan Rel (LM)
Nilai karakteristik beban kereta pemeliharaan jalan rel yang digunakan untuk
mengetahui keadaan batas ultimate harus ditetapkan berdasarkan pengaturan
gandar, berat aktual dan kapasitas pembebanan maksimum termasuk kereta
pemeliharaan jalan rel dengan efek terbesar pada struktur dan elemen.
2.5.5.4 Beban Kerumunan (LP)
Nilai karakteristik beban kerumunan harus ditetapkan untuk setiap kondisi batas
yang terkait dengan tujuan penggunaan struktur dan elemen.
Tabel 2.7 Beban Kerumunan (kN/m2)
Elemen Klasifikasi Struktur Normal (kN/m2)
Selama Gempa (kN/m2)
Pelat dan lainnya Jembatan untuk pergantian kereta
5,0 - Pelat tengah pada jembatan elevasi stasiun, pelat kantilever, tepi jembatan (untuk jalan rel dengan ballast) Gelagar platform, pelat kantilever, tepi jembatan (pada jalan rel pelat atau jalan rel tanpa ballast)
3,0 -
Balok dan pilar Jembatan untuk pergantian kereta 3,5 1,5
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 11
Balok tengah untuk jembatan stasiun yang dinaikkan 2,1
Balok platform 2,0 1,0 Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
2.5.5.5 Beban Rel Panjang Longitudinal (LR)
(1) Nilai karakteristik beban longitudinal rela panjang per jalan rel yang
digunakan untuk mengetahui kondisi batas ultimate adalah hasil panjang
keseluruhan struktur menerus yang dikalikan 10 kN/m. Namun demikian
nilai tersebut harus 2000 kN atau kurang.
(2) Nilai karakteristik beban longitudinal rel panjang yang digunakan untuk
mengetahui kondisi batas ultimate dapat berkurang sesuai posisi sambungan
pemuaian dan tipe struktur.
(3) Nilai karakteristik beban longitudinal rel panjang yang digunakan dalam
kajian retak akibat daya tahan dapat dipertimbangkan sebagai pengurangan
nilai beban sampai 80%.
2.5.5.6 Efek Perubahan Suhu
(1) Pada dasarnya, efek perubahan suhu dapat diketahui berdasarkan tipe
struktur, kondisi lingkungan, ukuran elemen, ketebalan selimut dan
komponen lainnya.
(2) Di dalam analisa struktur statis tak tentu, dapat dinilai bahwa gradien
temperatur adalah sama di dalam bagian struktur atau elemen. Dalam hal
ini, peningkatan nilai karakteristik dapat dinilai sebagai perbedaan antara
nilai maksimum dan minimum temperatur rata-rata bulanan dan temperatur
rata-rata tahunan.
(3) Gradien temperatur penampang melintang nominal pada arah vertikal untuk
bentuk penampang melintang struktur atas seperti gelagar boks dianggap
tidak sama.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 12
2.5.5.7 Beban Angin
Tekanan angin dipandang sebagai muatan terbagi rata, tidak dengan kejut. Beban
angin bekerja tegak lurus rel, secara horisontal, tipikal nilainya adalah:
a. 3.0 kN/m2 pada areal proyeksi vertikal jembatan tanpa kereta di atasnya.
Namun demikian, 2.0 kN/m2 pada areal proyeksi rangka batang pada arah
datangnya angin, tidak termasuk areal sistem lantai.
b. 1.5 kN/m2 pada areal kereta dan jembatan, dengan kereta di atasnya,
pengecualian 1.2 kN/m2 untuk jembatan selain gelagar dek/rasuk atau
jembatan komposit, sedangkan 0.8 kN/m2 untuk areal proyeksi rangka
batang pada arah datangnya angin.
c. Besarnya tekanan angin adalah 100 kg/m2 atau sebesar q = V2/16 untuk
konstruksi yang melintang jalan rel, misal flyover, talang air, dimana V =
kecepatan KA (km/jam).
d. Luas bidang yang tertekan angin ditetapkan sebagai berikut:
- Jembatan dinding rangka
Luas bidang yang menerima tekanan angin dapat diambil sama dengan
25% x luas yang dibatasi oleh garis teoritis skema jembatan atau
berdasarkan ukuran-ukuran sebenarnya
- Jembatan dinding pelat
Luas bidang yang menerima tekanan angin sama dengan luas bidang
dinding pelat.
- Muatan Gerak
Luas bidang yang menerima tekanan angin adalah luas persegi empat
setinggi 3 m yang titik beratnya terletak pada 1.5 m diatas kepala rel.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 13
2.5.5.8 Beban Gempa
Metode paling sederhana untuk menganalisa beban gempa adalah metode
pergeseran dasar (atau metoda koefiesien gempa), di mana beban ditetapkan
sebagai berikut:
Kh = Kr
(2.10)
Kv = 0.5 Kh
(2.11)
dengan:
Kh = Koefisien gempa horisontal
Kv = Koefisien gempa vertikal
Kr = Koefisien respons gempa
Zonasi gempa mengacu pada Standar Indonesia SNI 03-2833-1992: Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Jembatan.
Sumber : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan (SNI 2833 -2008)
Gambar 2.3 Zona Gempa
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 14
Dari Gambar di atas, Jembatan KA Babat-Tuban termasuk dalam zona 4, dan
respon spectrum di bawah ini akan digunakan dalam analisa dan factor reduksi
gempa sudah termasuk didalamnya.
Sumber : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan (SNI 2833 -2008)
Gambar 2.4 Respon Spektrum Zona Gempa 4
Adapun penentuan kondisi tanah mengacu pada tabel di bawah ini. Tabel 2.8 Jenis Tanah
Jenis Tanah Kedalaman Endapan (Alluvium) terhadap batuan keras – lapisan tanah keras
(SPT ≥ 40) (a) 0 – 3 m (b) 3,4 – 24,4 m (c) >25 m
Sumber : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan (SNI 2833 -2008)
2.6 Posisi Beban
Posisi beban ini dibedakan berdasarkan jenis jembatan: (a) jembatan dinding pelat,
(b) jembatan dinding rangka.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 15
q bs
P bs
POSISI 2
POSISI 1
13.2 m
13.2 m
TENDER TENDERLOKOMOTIF
TENDERLOKOMOTIF
2.6.1 Jembatan Dinding Pelat
a) Beban Mati
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.5 Beban Mati Untuk Jembatan Dinding Pelat
qbs = Berat sendiri gelegar utama diperhitungkan sebagai sebagai
beban merata yang bekerja sepanjang bentang jembatan;
Pbs = Berat sendiri rel, bantalan, gelegar melintang, memanjang,
ikatan angin dan ikatan rem diperhitungkan sebagai beban
terpusat yang bekerja pada titik gelegar melintang,
b) Beban Hidup
Posisi beban hidup yang dijadikan dasar perhitungan kekuatan struktur,
ditetapkan sedemikian rupa sehingga diperkirakan akan memberikan pengaruh
terbesar terhadap suatu komponen struktur.
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.6 Posisi Beban Hidup Pada Jembatan Dinding Pelat
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 16
H rem
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.7 Posisi Gaya Rem Pada Jembatan Dinding Pelat
2.6.2 Jembatan Dinding Rangka
a) Beban Mati
Berat sendiri struktur jembatan baja diperhitungkan secara langsung oleh software
dengan memasukkan besar berat volume material yang digunakan. Sedangkan untuk
rel dan bantalan diperhitungkan sebagai beban terpusat yang bekerja di titik-titik
nodal seperti yang ditunjukkan dalam gambar dibawah ini.
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.8 Beban Mati Pada Jembatan Dinding Rangka
b) Beban Hidup
Posisi beban hidup yang dijadikan dasar perhitungan kekuatan struktur, ditetapkan
sedemikian rupa sehingga diperkirakan akan memberikan pengaruh terbesar
terhadap suatu komponen struktur.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 17
8,75 t/m1
5 t/m1
POSISI 1
POSISI 2
5 t/m1
POSISI 3
POSISI 4
POSISI 5
POSISI 6
6 x m= m7,80 46,80
7 x 15 t
8,0
13,2 m
2 x 13,2 = 26,4 m
TENDERLOKOMOTIF
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.9 Posisi Beban Hidup Pada Jembatan Dinding Rangka
2.7 Metoda Desain Bangunan Atas Jembatan
Beberapa pedoman umum yang dapat dipertimbangkan dalam desain bangunan
atas jembatan KA adalah:
1. Apabila tidak direncanakan secara khusus maka dapat digunakan bangunan
atas jembatan sesuai bentang ekonomis dan kondisi lalu-lintas air di
bawahnya seperti:
a. Box Culvert (single, double, triple), bentang 1 s/d 10 meter.
b. Voided Slab sampai dengan bentang 6 s/d 16 meter.
c. Gelegar Beton Bertulang Tipe T bentang 6 s/d 25 meter.
d. Gelegar Beton Pratekan Tipe I dan Box bentang 16 s/d 40 meter.
e. Girder Komposit Tipe I dan Box bentang 20 s/d 40 meter.
f. Rangka Baja bentang 40 s/d 60 meter.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 18
2. Penggunaan bangunan atas diutamakan dari sistem gelegar beton bertulang
atau box culvert serta gelagar pratekan untuk bentang pendek dan untuk
kondisi lainnya dapat menggunakan gelagar komposit atau rangka baja dan
lain sebagainya.
Kekuatan dan Kekakuan dari struktur jembatan pada metode Desain Keadaan
Batas didesain dan dinilai berdasarkan tiga keadaan batas yaitu: Keadaan Batas
Ultimate, Keadaan Batas Layanan dan Keadaan Batas Fatik. Secara detail akan
dijelaskan dalam sub bab berikut.
2.8 Keadaan Batas Ultimate
(1) Keadaan Batas Ultimate adalah kekuatan tertinggi struktur dan komponennya
untuk menahan tingkat terbesar pembebanan eksternal. Keadaan Batas
Ultimate tersebut harus dihitung dengan menggunakan faktor bahan γ, pada
setiap bagian struktur, sedangkan selanjutnya adalah kombinasi pembebanan,
masing-masing (i) dikalikan dengan faktor beban, ψ. Keadaan tersebut
dinyatakan dalam rumus matematika sebagai berikut:
(
) (2.12)
dengan: ϒ = faktor material
Sn = kekuatan nominal
Li = masing-masing beban yang digunakan
Φ = faktor beban
n = bagian struktur yang dimaksud
i = nomor identifikasi untuk masing-masing beban
(2) Faktor beban untuk tipikal kombinasi pembebanan, seperti yang tercantum
pada Tabel 2.9 Kombinasi pembebanan ini berlaku untuk jembatan baja.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 19
Tabel 2.9 Faktor Beban
No Kombinasi
Pembebanan
Faktor Beban Tetap Beban Transien
D L I
(L x i)
C (L x α)
LR LF B W1 W2 E
1 1,0 1,1 1,1 1,1 1,0 2 1,0 1,1 1,1 1,1 1,0 1,0 1,0 3 1,0 1,1 1,0 1,0 1,0 4 1,0 1,2 5 1,0 1,1 6 1,1 1,0
7 1,1 1,0
8 1,0 1,0 1,0 1,0 9 1,0 10 1,0 1,0 1,0
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
dengan: D = Beban Mati
L = Beban Hidup
I = (L x i) = Beban Kejut
C = (L x α) = Beban Centrifugal
LR= Beban Rel Panjang Longitudinal
LF= Beban Lateral
B = Beban Pengereman dan Traksi
W1 = Beban Angin (Tanpa Kereta)
W2= Beban Angin (Dengan Kereta)
E = Beban Gempa
(3) Faktor bahan untuk tipikal Keadaan tegangan diuraikan pada Tabel 2.10
Tabel 2.10 Faktor Bahan
Bahan Keadaan Tegangan
ϒ
400 Baja (seperti BJ 36)
Tarik 1,05 Geser 1,05 Lentur 1,05 Tekan 1,05
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 20
5000 Baja (seperti BJ 50)
Tarik 1,15 Geser 1,15 Lentur 1,15 Tekan 1,0
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Catatan: Logam las pada bagian struktur yang dimaksud diberlakukan faktor
bahan yang sama.Kombinasi pembebanan untuk jembatan beton diberikan dalam
table 2.11 berikut.
Tabel 2.11 Kombinasi Pembebanan untuk jembatan beton
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 21
Catatan:
{ } beban variable sekunder.
[ ] beban harus diperhitungkan sesuai keperluan (ditentukan oleh perancang
dan pemilik)
Apabila beban tetap yang lebih kecil tidak menentukan, beban mati harus
dikalikan 0.8–1.0.
2.9 Keadaan Batas Layanan
(1) Struktur dan komponen terkait harus didesain untuk keadaan batas layanan
dengan mengendalikan atau membatasi besar defleksi.
(2) Defleksi balok harus ditetapkan dengan batasan yang sesuai. Defleksi balok
akibat beban mati dan beban hidup pada dasarnya tidak boleh melampui
sebagai berikut:
Tabel 2.12 Tipikal Batas Defleksi
Jenis Kereta Gelagar Rangka
Batang L (m) 0 < L < 50 L ≥ 50 Seluruh
Bentang Lokomotif L/800 L/700
L/1000 Kereta listrik
dan/atau
kereta diesel
V (km/jam)
V ≤ 100 L/700
100 < V ≤
130 L/800 L/700
130 < V ≤
160 L/1100 L/900
dengan: V = kecepatan kereta (km/jam) , L = panjang bentang (m) Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 22
2.10 Bahan
2.10.1 Sifat fisik baja struktur
Modulus Elastisitas: E = 2.10 x 105 MPa
Modulus Geser: G = 81 x 103
MPa
Rasio Poisson: v = 0.30
Koefisien Pemuaian Panas: 12 x 10-6
per °C
Material baja mengacu pada Standar Indonesia SNI 03-1729-2002: Desain
Standar Struktur Baja untuk Bangunan, seperti dalam Tabel di bawah.
Tabel 2.13 Tabel mutu baja
Jenis Baja
Tegangan putus
Minimum, fu (MPa)
Tegangan leleh
minimum, fy (MPa)
Regangan minimum (%)
BJ34 340 210 22 BJ37 370 240 20 BJ41 410 250 18 BJ50 500 290 16 BJ55 550 410 13
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
i. Kekuatan Dasar
Kekuatan Dasar bahan baja struktur adalah Tegangan Leleh sebagaimana
disebutkan di dalam SNI.
ii. Kekuatan Desain
Kekuatan Desain Bahan berdasarkan Tegangan Leleh, fy adalah sebagai berikut:
a. Kekuatan tarik :
σtu=fy (2.13)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 23
b. Kekuatan tekan tergantung pada rasio kelangsingan l/r dari komponen
yang dimaksud, lihat Tabel di bawah.
Tabel 2.14 Kekuatan desain akibat gaya tekan
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Tabel 2.15 Panjang tekuk: l
Panjang Tekuk l Batang dari rangka (truss) Panjang komponen Di luar bidang badan rangka Panjang komponen Pada bidang badan 0.9 kali panjang komponen Kerangka lateral dan perkuatan Panjang komponen
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
c. Kekuatan geser
3τy = fy / S3 (2.14)
Tabel 2.16 Kekuatan Desain untuk Geser u (N/mm2)
Tipe Material SS 400 SM 400
SM 490 SS 490 Y SM 520 SMA 490
SM 570 SMA 570
Kekuatan Desain 135 180 205 260 Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Tabel 2.17 Kekuatan Desain untuk Bearing p (N/mm2)
Tipe Material SS 400 SM 400 SMA 400
SM 490 SS 490 Y SM 520 SMA 490
SM 570 SMA 570
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 24
Kekuatan Desain 350 470 520 570 Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
2.10.2 Bahan untuk Sambungan
2.10.2.1 Baut Biasa (Ordinary Bolt)
Sifat mekanis baut biasa harus ditetapkan berdasarkan tingkat kekuatan
sebagaimana disyaratkan masing-masing pada standar nasional/internasional yang
ada. Tabel 2.18 Desain Baut Biasa (N/mm2)
Kekuatan Desain
Tipe Baut
Kelas 4.6
Geser
Bearing/Tumpu
140
365
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
2.10.2.2 Baut Berkekuatan Tinggi (High Strength Bolt – HSB)
Sifat mekanis dan tingkat kekuatan Baut Berkekuatan Tinggi adalah sebagaimana
ditetapkan pada negara pemasok, seperti:
Amerika ASTM A325, dll
Jepang JIS, F8T, dll
Inggris (Eropa) BS Tingkat 8.8, dll.
Tabel 2.19 Kekuatan Desain untuk Tarik (kN)
Tipe Baut F 8 T F 10 T S 10 T Diameter Nominal
M 16 M 20 M 22 M 24
85 133 165 192
106 165 205 238
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 25
Tabel 2.20 Kekuatan Desain untuk Tegangan Geser (N/mm2)
Tipe Baut B6T B8T
Kekuatan Desain 185 245 Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
2.10.2.3 Baut-High Strength Friction Grip (HSFG)
Kekuatan Desain sampai Slip (Baut-HSFG) Pa (kN)
Tabel 2.21 Desain baut mutu tinggi
Diameter Nominal
Tipe Baut F8 T Kelas 4.6
M 16 34 42
M 20 53 66
M 22 66 82
M 24 77 95
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
2.10.3 Sambungan Las
Kekuatan dasar logam las harus setara dengan bahan utama, dengan ketentuan
bahwa berdasarkan sifat metalurgi cukup digunakan sebagai bahan las (electroda).
Las harus direncanakan sesuai dengan cara rencana keadaan batas ultimit.
Kekuatan kelompok las yang menahan beban yang bekerja, dalam pendekatan ini,
kekuatan las yang ditentukan harus dikalikan dengan faktor sebagai berikut:
a. las tumpul penetrasi penuh..…...……… 0,55
b. jenis las lain.............…..........…..……... 0,44
2.10.3.1 Las tumpul penetrasi penuh dan sebagian
Ukuran Las
Ukuran las tumpul penetrasi penuh pada sambungan T atau sambungan sudut, dan
ukuran las penetrasi sebagian adalah jarak antara ujung luar sampai dengan ujung
dalam persiapan las, tidak termasuk perkuatan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 26
Tebal Rencana Leher
Tebal rencana leher harus sebagai berikut:
a. Las tumpul penetrasi penuh
Tebal rencana leher untuk las tumpul penetrasi penuh adalah ukuran las.
b. Las tumpul penetrasi sebagian Tebal rencana leher untuk las tumpul penetrasi sebagian harus sebagai
dispesifikasi dalam Tabel 2.22. Tabel 2.22 Tebal leher dari las tumpul penetrasi sebagian
Jenis Las Tumpul
Penetrasi Sebagian Sudut Persiapanθ
Tebal Leher Rencana
(mm)
V tunggal θ < 60 0
θ > 60 0
d – 3 mm
d
V ganda θ < 60 0
θ > 60 0
d3 + d4 – 6 mm
d3 + d4
d = kedalaman persiapan, (d3 dan d4 adalah untuk nilai untuk tiap sisi las)
θ = sudut persiapan Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002)
Panjang Efektif Dan Luas Efektif
Panjang efektif las tumpul adalah jumlah dari panjang las ukuran penuh dan luas
efektif las tumpul adalah perkalian panjang efektif dengan tebal rencana leher.
Peralihan tebal atau lebar
Sambungan las tumpul antara bagian dengan tebal berbeda atau lebar tidak sama
yang memikul tarik harus mempunyai peralihan halus antara permukaan atau tepi.
Peralihan harus dibuat dengan melandaikan bagian lebih tebal atau dengan
melandaikan permukaan las atau dengan kombinasi dari keduanya, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 2.10. Kelandaian peralihan antara bagian-bagian tidak
boleh melebihi 1:1. Namun, ketentuan untuk fatik mensyaratkan kelandaian lebih
kecil dari ini atau suatu peralihan lengkung antara bagian untuk beberapa kategori
detil fatik.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 27
Penentuan Kekuatan Las Tumpul
Penentuan kekuatan las tumpul harus sebagai berikut:
a. Las tumpul penetrasi penuh
Kekuatan rencana las tumpul penetrasi penuh harus diambil sama dengan
kapasitas nominal bagian lebih lemah pada bagian-bagian tersambung
dikalikan faktor reduksi kekuatan sesuai untuk las tumpul penetrasi penuh
adalah 0,9 dengan syarat bahwa cara pengelasan sesuai dengan kualifikasi
yang disyaratkan oleh yang berwenang.
b. Las tumpul penetrasi sebagian
Kekuatan rencana las tumpul penetrasi sebagian harus dihitung seperti untuk
las sudut dengan menggunakan tebal rencana leher yang ditentukan. Las
tumpul penetrasi sebagian tidak boleh digunakan untuk menyalurkan beban
tarik atau tekan.
2.10.3.2 Las sudut
Ukuran las sudut
Ukuran las sudut dinyatakan oleh panjang kakinya. Panjang kaki harus ditentukan
sebagai panjang, tw1, tw2, dari sisi yang terletak sepanjang kaki segitiga yang
terbentuk oleh penampang melintang las (lihat Gambar 2.10(a) dan (b)). Apabila
kaki sama panjang, ukuran dinyatakan oleh dimensi tunggal, tw. Bila terdapat sela
akar, ukuran, tw, diberikan oleh panjang kaki segitiga yang terbentuk dengan
mengurangi sela akar seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.10(c).
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 28
Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002)
Gambar 2.10 Ukuran las sudut
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 29
Ukuran Minimum Las Sudut
Ukuran minimum las sudut, selain dari las sudut yang digunakan untuk
memperkuat last umpul, harus sesuai Tabel 2.23, kecuali bahwa ukuran las tidak
boleh lebih besar dari bagian yang paling tipis dalam sambungan. Tabel 2.23 Ukuran minimum las sudut
Tebal Bagian Paling Tebal
t mm
Ukuran Minimum Las Sudut
twmm
3
4
5
6
8
10
12
Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002)
Ukuran Maksimum Las Sudut Sepanjang Tepi
Ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi bahan adalah:
a) Untuk bahan dengan tebal kurang dari 6 mm, diambil tebal bahan (Gambar
2.11a)
b) Untuk bahan dengan tebal 6 mm atau lebih (lihat Gambar 2.11 (b)), kecuali
tebal rencana leher disyaratkan lain pada gambar (lihat Gambar 2.11 (c)),
ukuran las harus diambil sebesar tebal bahan dikurangi 1 mm.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 30
Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002)
Gambar 2.11 Ukuran maksimum las sudut sepanjang tepi
Tebal Rencana Leher
Tebal rencana leher, tt dari las sudut adalah seperti ditunjukkan dalam Gambar
2.12. Untuk las yang dibuat dengan cara pengelasan otomatik, suatu peningkatan
tebal rencana leher B dapat diijinkan seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.12,
dengan syarat bahwa dapat dibuktikan melalui pengujian makro pada hasil las
bahwa penetrasi yang disyaratkan telah tercapai. Bila penetrasi demikian tercapai,
ukuran las yang disyaratkan dapat dikurangi sebanding dengan tebal rencana leher
yang disyaratkan.
Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002)
Gambar 2.12 Las penetrasi dalam
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 31
Panjang Efektif
Panjang efektif las sudut adalah seluruh panjang las sudut berukuran penuh,
termasuk putaran ujung. Tidak perlu mengadakan reduksi panjang efektif untuk
permulaan atau kawah las bila las adalah berukuran penuh pada seluruh panjang.
Panjang efektif minimum las sudut adalah 4 kali ukuran las. Namun, bila
perbandingan panjang efektif las terhadap ukuran las tidak sesuai persyaratan ini,
ukuran las untuk perencanaan harus diambil sebesar 0,25 kali panjang efektif.
Persyaratan panjang minimum berlaku juga untuk sambungan lewatan. Tiap
segmen dari las sudut tidak menerus harus mempunyai panjang efektif tidak
kurang dari 40 mm atau 4 kali ukuran nominal las, diambil yang lebih besar.
Luas Efektif
Luas efektif las sudut adalah perkalian panjang efektif dan tebal rencana leher.
Jarak Melintang Antar Las Sudut
Bila dua las sudut sejajar menghubungkan 2 komponen dalam arah gaya rencana
untuk membentuk unsur tersusun, jarak melintang antar las tidak boleh melebihi
32 tp, kecuali pada ujung unsur tarik jika dipergunakan las sudut terputus-putus,
jarak melintang tidak boleh melebihi 16 tp atau 200 mm, di mana tp adalah tebal
terkecil dari 2 komponen yang disambung. Agar persyaratan di atas terpenuhi,
dizinkan untuk mempergunakan las sudut dalam sela dan atau lubang dalam arah
gaya rencana.
Jarak Antar Las Sudut Tidak Menerus
Kecuali pada ujung unsur tersusun, jarak bersih antara las sudut terputus-putus,
sepanjang garis las, tidak boleh melebihi nilai terkecil dari:
a. untuk elemen yang mengalami tekan 16 tp dan 300 mm.
b. untuk elemen yang mengalami tarikan 24 tp dan 300 mm.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 32
Unsur Tersusun-Las Sudut Terputus-Putus
Las sudut yang terputus-putus tidak boleh digunakan untuk sambungan,
atau pada tempat dimana korosi dapat membahayakan struktur. Bila las sudut
terputus-putus menghubungkan komponen untuk membentuk unsur tersusun, las
harus memenuhi persyaratan berikut:
a. Pada ujung komponen tarik atau tekan dari balok, atau pada ujung unsur tarik,
bila hanya digunakan las sudut pada sisi komponen, panjang las pada tiap
garis sambungan paling sedikit sama dengan lebar komponen yang di
sambung. Bila lebar komponen yang disambung adalah tirus, panjang las
adalah nilai terbesar dari:
1. Lebar bagian yang paling besar, dan
2. Panjang bagian yang tirus
b. Pada pelat penutup atau pelat dasar unsur tekan, las harus mempunyai panjang
pada setiap garis sambungan sebesar paling sedikit lebar maksimum unsur
pada permukaan kontak.
c. Bila balok dihubungkan pada permukaan unsur tekan, las yang
menghubungkan komponen unsur tekan harus mencakup melewati tepi atas
dan tepi bawah balok dan disamping itu:
1. Untuk sambungan tidak terkekang, suatu jarak d di bawah permukaan
bawah dari gelagar, dan
2. Untuk sambungan terkekang, suatu jarak d di atas dan di bawah
permukaan
atas dan bawah gelagar, di mana d adalah dimensi maksimum penampang
melintang dari unsur tekan.
Keadaan batas ultimit untuk las sudut
Las sudut yang memikul gaya rencana per satuan panjang las, Vw*, harus
memenuhi:
(2.15)
Gaya rencana per satuan paniang, Vw *, adalah jumlah vektor gaya rencana per
satuan panjang pada luas efektif las. Kekuatan nominal las sudut per satuan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 33
panjang harus dihitung sebagai berikut:
(2.16)
dengan pengertian :
Ø adalah faktor reduksi kekuatan 0,75
fuw adalah kekuatan nominal las sudut per satuan panjang, dinyatakan
dalam Mega Pascal,(MPa).
tt adalah lebar rencana leher, dinyatakan dalam milimeter, (mm)
kr adalah faktor reduksi yang dapat dilihat pada Tabel 2.7 untuk
memperhitungkan panjang hubungan lebih yang di las, Lw. Untuk
semua jenis hubungan lain, kr =1,0 Tabel 2.24 Faktor reduksi untuk hubungan lebih yang dilas, kr
Panjang las, , (m)
1,00 0,62 Sumber : Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002)
2.11 Lengkungan Lawan Lendut (Chamber)
Lengkungan lawan-lendut tidak diperlukan apabila bentang kurang dari 30 meter.
Selain itu, persyaratan untuk menyeimbangkan defleksi adalah akibat beban mati
dan satu pertiga atau seperempat beban hidup.
Dengan demikian untuk jembatan KA jalur Babat – Tuban, analisa terhadap lawan
lendut hanya akan dilakukan untuk BH20 yang melintasi Sungai Bengawan Solo,
yaitu 5 x 45 meter.
2.12 Sistem Lantai
1. Untuk membentuk sistem lantai lebih disarankan menggunakan sambungan
baut
2. Pada sambungan digunakan pelat pengaku dan siku dengan penambat baut
3. Panjang siku sedapat mungkin harus cukup untuk memenuhi ketinggian
komponen sambungan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 34
4. Balok lantai harus disambungkan ke balok utama atau rangka batang dengan
sudut siku-siku.
5. Apabila balok memanjang ditempatkan di atas balok lantai (pada atas flens
atas), harus didesain tahanan stabilitas yang cukup.
2.13 Bracing
1. Sistem lantai harus didesain cukup kaku untuk mengatasi ketidakstabilan
lateral.
2. Komponen pada bracing ganda harus dapat secara efektif menahan gaya tarik
dan tekan secara bersamaan.
3. Rangka batang penahan rem untuk menahan gaya rem dan traksi apabila
diperlukan harus ditempatkan pada titik tengah balok memanjang tanpa
sambungan expansi.
4. Pada jembatan rangka dinding, kerangka portal disarankan diletakkan untuk
menahan beban lateral yang bekerja pada batang atas rangka batang yang
berdekatan.
2.14 Pelat Gelagar
2.14.1 Ketebalan Pelat Badan
Rasio D/t tidak melampaui 170, kecuali apabila digunakan pengaku sesuai.
dengan: D = tinggi bersih pelat badan
t = ketebalan pelat badan
2.14.2 Pelat Penutup
Areal penampang lintang pelat penutup tidak boleh melampaui dua kali tebal flens
yang akan ditutup. Panjang las harus sepenuh panjang pelat penutup yang
disambungnya.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 35
2.14.3 Pengaku
1. Diperlukan untuk memberikan pengaku
a. pada titik beban terpusat, seperti perletakan jembatan
b. pada titik sambung dengan komponen lainnya, seperti balok lantai
2. Ujung pengaku harus berada rapat dengan flens.
2.14.4 Jarak antara Pengaku Antara
d maksimum dihitung sebagai berikut:
√
(2.17)
dengan: d = jarak antara pengaku (mm)
t = tebal pelat badan
τ = tegangan geser pelat badan antara dua pengaku yang
berdekatan
dalam kgf/mm2
atau dalam 1/10 · N/mm2)
2.15 Rangka Batang
2.15.1 Komponen Rangka Batang
1. Komponen rangka batang bagian ujung disarankan mempunyai penampang
kotak.
2. Penampang melintang tipikal komponen rangka sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 2.13 harus memenuhi γy⟩γx
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 36
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.13 Tipikal penampang melintang komponen batang
2.15.2 Pelat buhul sambungan
Ketebalan minimum pelat buhul sambungan pada titik buhul adalah:
(2.18)
,
atau 11mm, mana yang lebih besar
dengan: t = tebal pelat buhul
P = gaya aksial maksimum yang dipikul oleh komponen (kN)
b = lebar elemen komponen yang disambung ke pelat buhul (mm)
2.16 Perletakan
Perletakan jembatan ini didesain dengan menggunakan perletakan Jenis Roller
atau rocker dikarenakan tipe jembatan ini menggunakan jembatan rangka dengan
koefisien gesek dari perletakan ini yaitu 0,10.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fauzi Alantia, Ridha Mahardika Permana, Detail Engineering Design….. II - 37
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia
Gambar 2.14 Tebal minimum perletakan
Gambar 2.15 Ruang bebas untuk batang yang berdekatan
Sumber : Standar teknis kereta api Indonesia