CVA INFARK.docx
-
Upload
diah-rustanti -
Category
Documents
-
view
84 -
download
3
Transcript of CVA INFARK.docx
LAPORAN PENDAHULUAN
CVA INFARK
1. Pengertian
Stroke/Gangguan Pembuluh Darah Otak (GPDO)/Cerebro Vascular
Disease (CVD)/Cerebro Vascular Accident (CVA) merupakan suatu kondisi
kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan
suplai darah ke bagian otak (Brunner & Suddarth, 2000: 94) atau merupakan
suatu kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang disebabkan
oleh keadaan patologis pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem
pembuluh darah otak (Doengoes, 2000: 290).
Cedera serebrovaskular atau stroke meliputi awitan tiba-tiba defisit
neurologis karena insufisiensi suplai darah ke suatu bagian dari otak.
Insufisiensi suplai darah disebabkan oleh trombus, biasanya sekunder
terhadap arterisklerosis, terhadap embolisme berasal dari tempat lain dalam
tubuh, atau terhadap perdarahan akibat ruptur arteri (aneurisma) (Lynda Juall
Carpenito, 1995).
Menurut WHO stroke adalah adanya defisit neurologis yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Hendro Susilo, 2000).
2. Anatomi Fisiologi
a. Otak
Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih 100
triliun neuron. Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak
besar), serebelum (otak kecil), brainstem (batang otak), dan diensefalon.
Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks
serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang
merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab untuk gerakan-
gerakan voluntar, lobur parietalis yang berperanan pada kegiatan memproses
dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya, lobus
temporalis yang merupakan area sensorik untuk impuls pendengaran dan
lobus oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan primer, menerima
informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna.
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh
duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya
dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks
yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus
dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap tubuh.
Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata,
pons dan mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata merupakan pusat
refleks yang penting untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk,
menelan, pengeluaran air liur dan muntah. Pons merupakan mata rantai
penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis yang menyatukan
hemisfer serebri dan serebelum. Mesensefalon merupakan bagian pendek dari
batang otak yang berisi aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf
asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.
Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus, epitalamus
dan hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima dan pengintegrasi
subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum dapat dimengerti
sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan menimbulkan hemibalismus
yang ditandai dengan gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu
sisi tubuh. Epitalamus berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar
seseorang. Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem
susunan saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi.
(Sylvia A. Price, 1995)
b. Sirkulasi darah otak
Otak menerima 17% curah jantung dan menggunakan 20% konsumsi
oksigen total tubuh manusia untuk metabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi
oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Da
dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk
sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteria karotis komunis
kira-kira setinggi rawan tiroidea. Arteri karotis interna masuk ke dalam
tengkorak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum, menjadi arteri
serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada
struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, kapsula
interna, korpus kolosum dan bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis
dan parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Arteri
serebri media mensuplai darah untuk lobus temporalis, parietalis dan frontalis
korteks serebri.
Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang
sama. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,
setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu
membentuk arteri basilaris, arteri basilaris terus berjalan sampai setinggi otak
tengah, dan di sini bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri
posterior. Cabang-cabang sistem vertebrobasilaris.
Ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan
sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya
memperdarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan
temporalis, aparatus koklearis dan organ-organ vestibular.
Darah vena dialirkan dari otak melalui dua sistem: kelompok vena interna
yang mengumpulkan darah ke vena galen dan sinus rektus, dan kelompok
vena eksterna yang terletak di permukaan hemisfer otak yang mencurahkan
darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan
seterusnya ke vena-vena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung.
Sirkulasi Willisi adalah area dimana percabangan arteri basilar dan karotis
internal bersatu. Sirkulus Willisi terdiri atas dua arteri serebral, arteri
komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan kedua arteri
komunikans anterior. Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi
dari satu hemisfer ke hemisfer yang lain dan dari bagain anterior ke posterior
otak. Ini merupakan sistem yang memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu
pembuluh mengalami penyumbatan. (Hudak & Gallo, 1996: 254)
3. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang
disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat
berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli,
perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia
karena gangguan paru dan jantung). Atherosklerotik sering/cenderung sebagai
faktor penting terhadap otak, thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik,
atau darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan
lambat atau terjadi turbulensi. Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh
darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan ;
1. Iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang
bersangkutan.
2. Edema dan kongesti disekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area
infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-
kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai
menunjukan perbaikan, CVA. Karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika
tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh
embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi
septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi
abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang
tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan
meyebabkan perdarahan cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan
hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan
menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro
vaskuler. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk
jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih dari 10
menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi
salah satunya cardiac arrest.
4. Etiologi
Pecahnya pembuluh darah otak sebagian besar diakibatkan oleh rendahnya
kualitas pembuluh darah otak.Sehingga dengan adanya tekanan darah yang
tinggi pembuluh darah mudah pecah.
Faktor resiko terjadinya stroke ada 2 :
1. Faktor resiko yang dapat diobati / dicegah :
Perokok.
Penyakit jantung ( Fibrilasi Jantung )
Tekanan darah tinggi.
Peningkatan jumlah sel darah merah ( Policitemia).
Transient Ischemic Attack ( TIAs)
2. Faktor resiko yang tak dapat di rubah :
Usia di atas 65.
Peningkatan tekanan karotis (indikasi terjadinya artheriosklerosis yang
meningkatkan resiko serangan stroke).
DM.
Keturunan ( Keluarga ada stroke).
Pernah terserang stroke.
Race ( Kulit hitam lebih tinggi )
Sex ( laki-laki lebih 30 % daripada wanita ).
Klasifikasi
a. Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya , yaitu:
a) Stroke Haemorhagi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas
atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran
pasien umumnya menurun.
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal yang akut
dan disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi
secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh
karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. (Djoenaidi
Widjaja et. al, 1994)
Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
(a) Perdarahan Intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama
karena hypertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan
otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan
menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat,
dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hypertensi
sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons dan serebelum.
(Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat Bedah
Syaraf Indonesia, Siti Rohani, 2000, Juwono, 1993: 19).
(b) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry
atau AVM. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh
darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di
luar parenkim otak (Juwono, 1993: 19). Pecahnya arteri dan
keluarnya ke ruang sub arachnoid menyebabkan TIK meningkat
mendadak, meregangnya struktur peka nyeri dan vasospasme
pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global
(nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese,
gangguan hemi sensorik, afasia, dll). (Simposium Nasional
Keperawatan Perhimpunan Perawat Bedah Syaraf Indonesia, Siti
Rohani, 2000).
Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang
subarachnoid mengakibatkan tarjadinya peningkatan TIK yang
mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul
nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-
tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang
mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada
retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat
mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral.
Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya
perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat
menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme
diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari
darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan
pembuluh arteri di ruang subarakhnoid. Vasospasme ini dapat
mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan
kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik,
afasia danlain-lain).
Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan
O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak
boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan
glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai
70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses
metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah otak.
Tabel 1. Perbedaan perdarahan Intra Serebral (PIS) dan Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
Gejala PIS PSA
Timbulnya Dalam 1 jam 1-2 menit
Nyeri Kepala
Kesadaran
Kejang
Tanda rangsangan
Meningeal.
Hemiparese
Gangguan saraf otak
Hebat
Menurun
Umum
+/-
++
+
Sangat hebat
Menurun sementara
Sering fokal
+++
+/-
+++
Disadur dari Laporan Praktik Klinik Keperawatan Medical Bedah di Ruang
Syaraf
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
b) Stroke Non Haemorhagic (CVA Infark)
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya terjadi
saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak
terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan
selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umummnya baik.
Tabel 2. Perbedaan antara CVA infark dan CVA Bleeding sebagai berikut:
Gejala (anamnesa) Infark Perdarahan
Permulaan (awitan)
Waktu (saat “serangan”)
Peringatan
Nyeri Kepala
Kejang
Muntah
Kesadaran menurun
Sub akut/kurang mendadak
Bangun pagi/istirahat
+ 50% TIA
+/-
-
-
Kadang sedikit
Sangat akut/mendadak
Sedang aktifitas
-
+++
+
+
+++
Koma/kesadaran menurun
Kaku kuduk
Kernig
pupil edema
Perdarahan Retina
Bradikardia
+/-
-
-
-
-
hari ke-4
+++
++
+
+
+
sejak awal
Penyakit lain
Pemeriksaan:
Darah pada LP
X foto Skedel
Angiografi
CT Scan
Opthalmoscope
Lumbal pungsi
Tekanan Warna Eritrosit
Arteriografi
EEG
Tanda adanya
aterosklerosis di retina,
koroner, perifer. Emboli
pada ke-lainan katub,
fibrilasi, bising karotis
-
+
Oklusi, stenosis
Densitas berkurang
(lesi hypodensi)
Crossing phenomena
Silver wire art
Normal
Jernih
< 250/mm3
oklusi
di tengah
Hampir selalu
hypertensi,
aterosklerosis, HHD
+
Kemungkinan
pergeseran glandula
pineal
Aneurisma. AVM.
massa intra hemisfer/
vaso-spasme.
Massa intrakranial
densitas bertambah.
(lesi hyperdensi)
Perdarahan retina atau
corpus vitreum
Meningkat
Merah
>1000/mm3
ada shift
shift midline echo
Disadur dari Makalah Simposium Sehari “Peran Perawat dalam Kegawat
Daruratan” dalam Rangka Dirgahayu PPNI XIX di Tirta Graha Lantai V Jl.
Myjen Prof. Dr. Moestopo No. 2 Surabaya (Gedung PDAM Kotamadya Surabaya
yang diselenggarakan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia Dewan
Pimpinan Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya.
b. Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya :
a) TIA (Trans Iskemik Attack):
Gangguan neurologis setempat yang terjadi selama beberapa menit sampai
beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan
sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b) Stroke involusi:
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan neurologis
terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam
atau beberapa hari.
c) Stroke komplit:
Gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai
dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA
berulang.
5. Tanda dan Gejala
1. Jika terjadi peningkatan TIK maka dijumpai tanda dan gejala :
Perubahan tingkat kesadaran : penurunan orientasi dan respons
terhadap stimulus.
Perubahan kemampuan gerak ekstrimitas : kelemahan sampai
paralysis.
Perubahan ukuran pupil : bilateral atau unilateral dilatasi.Unilateral
tanda dari perdarahan cerebral.
Perubahan tanda vital : nadi rendah, tekanan nadi melebar, nafas
irreguler, peningkatan suhu tubuh.
Keluhan kepala pusing.
Muntah projectile ( tanpa adanya rangsangan ).
2. Kelumpuhan dan kelemahan.
3. Penurunan penglihatan.
4. Deficit kognitif dan bahasa ( komunikasi ).
5. Pelo / disartria.
6. Kerusakan Nervus Kranialis.
7. Inkontinensia alvi dan uri.
6. Penatalaksanaan Medik
a. Pemeriksaan Penunjang.
1. Laboratorium.
a. Hitung darah lengkap.
b. Kimia klinik.
c. Masa protombin.
d. Urinalisis.
2. Diagnostik
a. Scan kepala
b. Angiografi serebral.
c. EEG.
d. Pungsi lumbal.
e. MRI.
f. Xray tengkorak
b. Pengobatan
1. Konservatif.
a. Pemenuhan cairan dan elektrolit dengan pemasangan infus.
b. Mencegah peningkatan TIK.
c. Antihipertensi.
d. Deuritika.
e. Vasodilator perifer.
f. Antikoagulan.
g. Diazepam bila kejang.
h. Anti tukak misal cimetidine.
i. Kortikosteroid : pada kasus ini tidak ada manfaatnya karena klien akan
mudah terkena infeksi, hiperglikemi dan stress ulcer/perdarahan
lambung.
j. Manitol : mengurangi edema otak.
2. Operatif.
Apabila upaya menurunkan TIK tidak berhasil maka perlu
dipertimbangkan evakuasi hematom karena hipertensi intrakranial yang
menetap akan membahayakan kehidupan klien.
3. Pada fase sub akut / pemulihan ( > 10 hari ) perlu :
a. Terapi wicara.
b. Terapi fisik.
c. Stoking anti embolisme.
7. Komplikasi dan Pencegahan
a. Aspirasi.
b. Paralitic illeus.
c. Atrial fibrilasi.
d. Diabetus insipidus.
e. Peningkatan TIK.
f. Hidrochepalus.
Pencegahan :
a. Kontrol teratur tekanan darah.
b. Menghentikanmerokok.
c. Menurunkan konsumsi kholesterol dan kontrol cholesterol rutin.
d. Mempertahankan kadar gula normal.
e. Mencegah minum alkohol.
f. Latihan fisik teratur.
g. Cegah obesitas.
h. Mencegah penyakit jantung dapat mengurangi resiko stroke.
8. Concept map
9. SOP
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PEMBERIAN INJEKSI INTRA VENA LEWAT SALURAN INFUS
A. Pengertian
Memasukan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh darah vena
dengan melalui saluran infus
B. Tujuan
Sebagai tindakan pengobatan
C. Prosedur
1. Pra Tahap Interaksi
a. Mengecek status pasien dan mengkaji kebutuhan pasien terkait
pemberian obat
b. Menyiapkan alat
Baki berisi :
Obat yang akan diberikan
Spuit atau disposibel spuit steril
Desinfektan : Alcohol 70% dan Povidon iodine 10%
Kapas alcohol atau kassa swap
Lidi kapas dan kassa steril pada tempatnya
Pengalas
Bengkok dan galiot (kom kecil)
Jam tangan yang ada detikan
Alat pelindung diri : sarung tangan
Alat tulis, form dokumentasi atau buku catatan injeksi
c. Menjaga lingkungan : Atur pencahayaan, jaga privacy klien, tutup
pintu dan jendela/korden
D. Tahap orientasi
1. Memberikan salam
2. Mengklarifikasi kontrak atau pemberian obat
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemberian obat
4. Memberi kesempatan klien untuk bertanya
5. Mendekatkan alat ke klien
E. Tahap Kerja
1. Perawat mencuci tangan
2. Memakai sarung tangan bersih
3. Menyiapkan obat sesuai dengan prinsip 6 benar
4. Mengatur posisi pasien untk penyuntikan
5. Memasang perlak dan pengalasnya pada area dibawah yang terpasang
infuse
6. Mengecek kelancaran tetesan infuse sebelum obat dimasukkan
7. Memastikan tidak ada udara pada suit disposibl yang berisi obat
8. Mematikan atau mengklame infuse
9. Melakukan disinfektan pada area karet saluran infuse set pada saluran
infuse
10. Menusukkan jarum ke bagian karet saluran infuse dengan hati-hati
degan kemiringan jarum 15-45 derajat
11. Melakukan aspirasi atau menghisap spuit disposable untuk
memastikan bahwa obat masuk ke saluran vena dengan baik. Jika saat
aspirasi terlihat darah keluar ke selang infuse maka obat siap untuk
dimasukkan
12. Memasukkan obat secara perlahan dengan mendorong pegangan
disposable spuit sampai obat habis
13. Mencabut jarum dari bagian karet saluran infuse dengan mendidih
kapas pada lokasi tusukan jarum tadi
14. Membuka klem cairan infuse dan mengobservasi kelancaran tetesan
aliran infuse
15. Membuang disposable spuit ke bengkok
16. Menghitung tetesan infuse sesuai dengan ketentuan program
pemberian cairan
17. Membereskan pasien
18. Membereskan alat-alat
19. Melepas sarung tangan
20. Mencuci tangan
F. Tahap Terminasi
1. Mengevaluasi respon klien
2. Menyimpulkan hasil kegiatan
3. Memberi pesan (menjaga posisi dan kelancaran)
4. Melakukan kontrak selanjutnya (waktu, tempat, topik/kegiatan)
10. Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
1. Biodata
Pengkajian biodata di fokuskan pada :
Umur : karena usia di atas 55 tahun merupakan resiko tinggi terjadinya
serangan stroke.Jenis kelamin : laki-laki lebih tinggi 30% di banding
wanita.Ras : kulit hitam lebih tinggi angka kejadiannya.
2. Keluhan Utama
Biasanya klien datang ke rumah sakit dalam kondisi : penurunan
kesadaran atau koma serta disertai kelumpuhan dan keluhan sakit kepala
hebat bila masih sadar.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu di kaji adanya riwayat DM, Hipertensi, Kelainan Jantung, Pernah
TIAs, Policitemia karena hal ini berhubungan dengan penurunan kualitas
pembuluh darah otak menjadi menurun.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Kronologis peristiwa CVA Bleeding sering setelah melakukan aktifitas
tiba-tiba terjadi keluhan neurologis misal : sakit kepala hebat, penurunan
kesadaran sampai koma.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu di kaji mungkin ada anggota keluarga sedarah yang pernah
mengalami stroke.
6. Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
Apabila telah mengalami kelumpuhan sampai terjadinya koma maka
perlu klien membutuhkan bantuan dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari dari bantuan sebagaian sampai total. Meliputi :
a. mandi
b. makan/minum
c. bab / bak
d. berpakaian dan berhias
e. aktifitas mobilisasi
7. Pemeriksaan Fisik
a. BI ( Bright / pernafasan).
Perlu di kaji adanya :
a. Sumbatan jalan nafas karena penumpukan sputum dan kehilangan
refleks batuk.
b. Adakah tanda-tanda lidah jatuh ke belakang.
c. Auskultasi suara nafas mungkin ada tanda stridor.
d. Catat jumlah dan irama nafas
b. B2 ( Blood / sirkulasi )
Deteksi adanya : tanda-tanda peningkatan TIK yaitu peningkatan
Tekanan Darah disertai dengan pelebaran nadi dan penurunan jumlah
nadi.
c. B3 ( Brain / Persyarafan, Otak )
Kaji adanya keluhan sakit kepala hebat.Periksa adanya pupil
unilateral, Observasi tingkat kesadaran .
d. B4 ( Bladder / Perkemihan )
Tanda-tanda inkontinensia urin.
e. B5 ( Bowel : Pencernaan )
Tanda-tanda inkontinensia alvi.
f. B6 ( Bone : Tulang dan Integumen )
Kaji adanya kelumpuhan atau kelemahan. Tanda-tanda decubitus
karena tirah baring lama.Kekuatan otot.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko peningkatan TIK berhubungan dengan penambahan isi otak
sekunder terhadap hipoksia, edema otak.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese /
hemiplegia
3. Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan
penekanan pada saraf sensori.
4. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
dan kehilangan kesadaran.
5. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan sekunder kehilangan
kesadaran.
6. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama.
C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko peningkatan TIK berhubungan dengan penambahan isi otak
sekunder terhadap hipoksia, edema otak.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien tidak mengalami
peningkatan tekanan intra kranial .
Kriteria hasil :
a. Tidak terdapat tanda peningkatan tekanan intra kranial :
b. Peningkatan tekanan darah.
c. Nadi melebar.
d. Pernafasan cheyne stokes
e. Muntah projectile.
f. Sakit kepala hebat.
g. Pencegahan TIK meningkat di laksanakan.
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau tanda dan gejala peningkatan TIK
a. tekanan darah
b. nadi
c. GCS
d. Respirasi
e. Keluhan sakit kepala hebat
f. Muntah projectile
g. Pupil unilateral
Deteksi dini peningkatan
TIK untuk melakukan
tindakan lebih lanjut.
2. Tinggikan kepala tempat tidur 15-30 derajat
kecuali ada kontra indikasi.Hindari mengubah
posisi dengan cepat.
Meninggikan kepala dapat
membantu drainage vena
untuk mengurangi kongesti
vena.
3. Hindari hal-hal berikut :
a. Masase karotid
b. Fleksi leher atau rotasi > 45 derajat.
c. Rangsangan anal dengan jari (boleh tapi
dengan hati-hati) hindari mengedan, fleksi
ekstrem panggul dan lutut.
Masase karotid
memperlambat frekuensi
jantung dan mengurangi
sirkulasi sistemik yang
diikuti peningkatan
sirkulasi secara tiba-tiba.
Fleksi atau rotasi ekstrem
leher mengganggu cairan
cerebrospinal dan drainage
vena dari rongga intra
kranial.
Aktifitas ini menimbulkan
manuver valsalva yang
merusak aliran balik vena
dengan kontriksi vena
jugularis dan peningkatan
TIK.
4. Konsul dokter untuk mendapatkan pelunak
feces jika di perlukan.
Mencegah konstipasi dan
mengedan yang
menimbulkan manuver
valsalva.
5. Pertahankan lingkungan tenang, sunyi dan
pencahayaan redup.
Meningkatkan istirahat dan
menurunkan rangsangan
membantu menurunkan
TIK.
6. Berikan obat-obatan sesuai dengan pesanan:
a. Anti hipertensi.
b. Anti koagulan.
c. Terapi intra vena pengganti cairan dan
elektrolit.
d. Pelunak feces.
e. Anti tukak.
f. Roborantia.
g. Analgetika.
h. Vasodilator perifer.
Menurunkan tekanan darah.
Mencegah terjadinya
trombus.
Mencegah defisit cairan.
Mencegah obstipasi.
Mencegah stres ulcer.
Meningkatkan daya tahan
tubuh.
Mengurangi nyeri.
Memperbaiki sirkulasi
darah otak.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese /
hemiplegia
Tujuan :
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya
Kriteria hasil :
a. Tidak terjadi kontraktur sendi
b. Bertambahnya kekuatan otot
c. Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas
INTERVENSI RASIONAL
1. Ubah posisi klien tiap 2 jam
2. Ajarkan klien untuk melakukan
latihan gerak aktif pada
ekstrimitas yang tidak sakit
3. Lakukan gerak pasif pada
ekstrimitas yang sakit
4. Berikan papan kaki pada
ekstrimitas dalam posisi
fungsionalnya
5. Tinggikan kepala dan tangan
6. Kolaborasi dengan ahli
fisioterapi untuk latihan fisik
klien
Menurunkan resiko terjadinnya iskemia
jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek
pada daerah yang tertekan
Gerakan aktif memberikan massa, tonus
dan kekuatan otot serta memperbaiki
fungsi jantung dan pernapasan
Otot volunter akan kehilangan tonus dan
kekuatannya bila tidak dilatih untuk
digerakkan
3. Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan
penekanan pada saraf sensori.
Tujuan :
Meningkatnya persepsi sensorik : perabaan secara optimal.
Kriteria hasil :
a. Klien dapat mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi
persepsi
b. Klien mengakui perubahan dalam kemampuan untuk meraba dan
merasa
c. Klien dapat menunjukkan perilaku untuk mengkompensasi
terhadap perubahan sensori
INTERVENSI RASIONAL
1. Tentukan kondisi patologis klien
2. Kaji kesadaran sensori, seperti
membedakan panas/dingin,
tajam/tumpul, posisi bagian tubuh/otot,
rasa persendian
3. Berikan stimulasi terhadap rasa
sentuhan, seperti memberikan klien
suatu benda untuk menyentuh, meraba.
Biarkan klien menyentuh dinding atau
batas-batas lainnya.
4. Lindungi klien dari suhu yang
berlebihan, kaji adanya lindungan yang
berbahaya. Anjurkan pada klien dan
keluarga untuk melakukan pemeriksaan
terhadap suhu air dengan tangan yang
normal
5. Anjurkan klien untuk mengamati kaki
dan tangannya bila perlu dan menyadari
posisi bagian tubuh yang sakit. Buatlah
klien sadar akan semua bagian tubuh
yang terabaikan seperti stimulasi
sensorik pada daerah yang sakit, latihan
yang membawa area yang sakit
Untuk mengetahui tipe dan lokasi
yang mengalami gangguan,
sebagai penetapan rencana
tindakan
Penurunan kesadaran terhadap
sensorik dan perasaan kinetik
berpengaruh terhadap
keseimbangan/posisi dan
kesesuaian dari gerakan yang
mengganggu ambulasi,
meningkatkan resiko terjadinya
trauma.
Melatih kembali jaras sensorik
untuk mengintegrasikan persepsi
dan intepretasi diri. Membantu
klien untuk mengorientasikan
bagian dirinya dan kekuatan dari
daerah yang terpengaruh.
Meningkatkan keamanan klien
dan menurunkan resiko terjadinya
trauma.
Penggunaan stimulasi penglihatan
dan sentuhan membantu dalan
mengintegrasikan sisi yang sakit.
4. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
dan kehilangan kesadaran.
Tujuan
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan
kemampuan klien
b. Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk
memberikan bantuan sesuai kebutuhan
INTERVENSI RASIONAL
1. Tentukan kemampuan dan tingkat
kekurangan dalam melakukan
perawatan diri.
2. Beri motivasi kepada klien untuk
tetap melakukan aktivitas dan beri
bantuan dengan sikap sungguh.
3. Hindari melakukan sesuatu untuk
klien yang dapat dilakukan klien
sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai
kebutuhan.
Membantu dalam
mengantisipasi/merencanakan
pemenuhan kebutuhan secara
individual
Meningkatkan harga diri dan
semangat untuk berusaha terus-
menerus
Klien mungkin menjadi sangat
ketakutan dan sangat tergantung dan
meskipun bantuan yang diberikan
bermanfaat dalam mencegah frustasi,
adalah penting bagi klien untuk
melakukan sebanyak mungkin untuk
4. Berikan umpan balik yang positif
untuk setiap usaha yang dilakukannya
atau keberhasilannya
5. Kolaborasi dengan ahli
fisioterapi/okupasi
diri-sendiri untuk mempertahankan
harga diri dan meningkatkan
pemulihan
Meningkatkan perasaan makna diri
dan kemandirian serta mendorong
klien untuk berusaha secara kontinyu.
Memberikan bantuan yang mantap
untuk mengembangkan rencana terapi
dan mengidentifikasi kebutuhan alat
penyokong khusus.
5. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan sekunder kehilangan
kesadaran.
Tujuan
Tidak terjadi gangguan nutrisi
Kriteria hasil :
a. Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan
b. Hb dan albumin dalam batas normal
INTERVENSI RASIONAL
1. Tentukan kemampuan klien dalam
mengunyah, menelan dan reflek batuk.
2. Letakkan posisi kepala lebih tinggi
pada waktu, selama dan sesudah
makan.
3. Stimulasi bibir untuk menutup dan
membuka mulut secara manual dengan
menekan ringan diatas bibir/dibawah
dagu jika dibutuhkan.
4. Letakkan makanan pada daerah mulut
yang tidak terganggu.
5. Berikan makan dengan berlahan pada
lingkungan yang tenang
6. Mulailah untuk memberikan makan
peroral setengah cair, makan lunak
ketika klien dapat menelan air
7. Anjurkan klien menggunakan sedotan
meminum cairan
8. Anjurkan klien untuk
berpartisipasidalam program
latihan/kegiatan
9. Kolaborasi dengan tim dokter untuk
memberikan ciran melalui iv atau
makanan melalui selang
Untuk menetapkan jenis makanan
yang akan diberikan pada klien.
Untuk klien lebih mudah untuk
menelan karena gaya gravitasi.
Membantu dalam melatih kembali
sensori dan meningkatkan kontrol
muskuler.
Memberikan stimulasi sensori
(termasuk rasa kecap) yang dapat
mencetuskan usaha untuk menelan
dan meningkatkan masukan.
Klien dapat berkonsentrasi pada
mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan dari luar.
Makan lunak/cairan kental mudah
untuk mengendalikannya didalam
mulut, menurunkan terjadinya aspirasi
Menguatkan otot fasial dan dan otot
menelan dan menurunkan resiko
terjadinya tersedak.
Dapat meningkatkan pelepasan
endorfin dalam otak yang
meningkatkan nafsu makan.
Mungkin diperlukan untuk
memberikan cairan pengganti dan
juga makanan jika klien tidak mampu
untuk memasukkan segala sesuatu
melalui mulut.
6. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama.
Tujuan : Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil :
a. Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
b. Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
c. Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
INTERVENSI RASIONAL1. Anjurkan untuk melakukan latihan
ROM (range of motion) dan
mobilisasi jika mungkin
2. Rubah posisi tiap 2 jam
3. Gunakan bantal air atau pengganjal
yang lunak di bawah daerah-daerah
yang menonjol
4. Lakukan masase pada daerah yang
menonjol yang baru mengalami
tekanan pada waktu berubah posisi
5. Observasi terhadap eritema dan
kepucatan dan palpasi area sekitar
terhadap kehangatan dan pelunakan
jaringan tiap merubah posisi
6. Jaga kebersihan kulit dan seminimal
mungkin hindari trauma, panas
terhadap kulit
Meningkatkan aliran darah kesemua
daerah.
Menghindari tekanan dan
meningkatkan aliran darah.
Menghindari tekanan yang berlebih
pada daerah yang menonjol.
Menghindari kerusakan-kerusakan
kapiler-kapiler.
Hangat dan pelunakan adalah tanda
kerusakan jaringan.
Mempertahankan keutuhan kulit.
Daftar Pustaka
Doenges, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3.Jakarta : EGC,
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume
3. Jakarta :
EGC
Price S.A., Wilson L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta.
Rochani, Siti, 2000, Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat
Bedah Saraf Indonesia, Surabaya.
Satyanegara, 1998, Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Susilo, Hendro. 2000. Simposium Stroke, Patofisiologi Dan Penanganan Stroke,
Suatu Pendekatan Baru Millenium III. Bangkalan.
Brunner dan Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta :
EGC
Lynda Jual C. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta :
EGC