CSS CA Nasofaring RSUD (Nia Nunie)
Transcript of CSS CA Nasofaring RSUD (Nia Nunie)
CLINICAL SCIENCE SESSIONKARSINOMA NASOFARING
Disusun Oleh :NUNIE ISMI AMRI 12100112015
KURNIA TEJAWATI 12100112043
Preceptor:dr. Endang Suherlan Sp. THT
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas Clinical Science SessionBagian Ilmu THT-KL
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER SMF THT-KL RS AL-ISLAM BANDUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISBABANDUNG
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan suatu penyakit tumor ganas yang paling
banyak di Indonesia. Hampir 60% tumor kepala dan leher adalah karsinoma
nasofaring, yang diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring 16%, serta tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase
yang rendah.
Karsinoma nasofaring berada dalam urutan lima besar dari tumor ganas
tubuh manusia bersama tumor ganas cervix uteri, tumor payudara, tumor kalenjar
getah bening, dan tumor kulit.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Faring1
Gambar 2.1 Anatomi Faring dan Daerah Sekitarnya
Faring merupakan bagian dari sistem pencernaan dan pernafasan yang
berada di sebelah posterior rongga hidung dan rongga mulut, memanjang dengan
berbatasan dengan laring pada bagian inferiornya.
3
Faring merupakan ruangan fibro-muskular dengan panjang + 15 cm
dengan batas-batas sebagai berikut:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : khoana, oleh os vomer dibagi atas khoana kanan dan kiri.
Posterior :
Vertebra cervicalis I dan II
Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
Lateral :
Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
Muara tuba eustachii
Fossa rosenmulleri
Faring dibagi menjadi 3 bagian:
Nasofaring
o Mempunyai fungsi respirasi.
o Terletak di atas palatum molle dan dibelakang nasal cavity
(choana).
o Sejumlah jaringan limfoid pada faring membentuk incomplete
tonsilar ring pada superior faring yang disebut Waldeyer’s ring.
o Jaringan limfoid beragregrasi membentuk pharyngeal
tonsil/adenoid (struktur ini berada dalam membran mukosa dari
atap dan dinding posterior nasofaring).
4
Struktur pada nasofaring :
o Jaringan adenoid, atap dinding posterior
o Fossa rosenmuller’s, dinding lateral pharyng
o Torus tubarius, bagian kartilago dari tuba eustachius yang menonjol
ke dinding lateral nasopharing
o Koana posterior dari rongga hidung.
o Foramen kranial seperti foramen jugular, dimana saraf kranial
glossopharyngeal, vagal dan aksesori spinal.
o Struktur pembuluh darah, sinus petrosal inferior, vena jugular internal,
arteri meningeal, arteri faringeal ascenden.
o Tulang temporal bagian petrous dan foramen lacerum merupakan
bagian lateral dari atap nasopharynx.
o Ostium dari sinus sphenoid
Batas-batas nasofaring adalah seperti berikut:
o Superior : Basis kranii
o Inferior : Bidang datar yang melalui palatum molle
o Anterior : Berhubungan denga cavum nasi melalui choana
o Posterior : Vertebra servikalis
o Lateral : Otot-otot konstriktor faring
Orofaring
o Memiliki fungsi digestif.
o Batas-batasnya adalah:
Superior : Soft palate / palatum molle.
5
Inferior : Pangkal lidah.
Lateral : Palatoglosal dan palatopharingeal arches (pilar tonsil)
meluas dari soft palate ke superior dari epiglotis.
o Terdapat palatine tonsil yang merupakan kumpulan jaringan
limfoid pada masing-masing orofaring antara palatine.
Laringofaring
o Terletak posterior terhadap laring.
o Meluas dari superior epiglotis dan pharyngoepiglotic fold ke
inferior cricoid cartilage yang akan menyempit dan berlanjut ke
esofagus.
o Berada pada vertebra C4-C6.
o Dinding posterior dan lateral dibentuk oleh middle dan inferior
constrictor muscle.
Faring merupakan tabung otot yang mengandung otot-otot:
Otot palatal.
Otot stylopharyngeus.
Otot salpingopharyngeus.
Otot palatopharyngeus.
6
Perdarahan faring berasal dari arteri palatine ascenden, arteri pharyngeal
ascenden, cabang arteri tonsilar yang memperdarahi wajah, cabang arteri
maxillary, dan cabang arteri lingual bagian dorsal.
Persarafan faring berasal dari plexus pharyngeus yang berasal dari saraf
cranial IX dan X. Persarafan motorik otot-otot konstriktor berasal dari nervus
vagus, sementara stylopharyngeus berasal dari saraf cranial IX. Persarafan
sensorik nasofaring berasal dari V2, sedangkan saraf cranial IX mempersarafi
sensorik pada bagian atas faring, dan saraf cranial X mempersarafi sensorik faring
bagian bawah.
Gambar 2.3 Anatomi Faring
8
2.2 Histologi Nafofaring2
Epitel yang melapisi nasofaring adalah epitel bertingkat silindris bersilia
dan terdapat lamina propria yang berisi nodul limfoid. Terdapat banyak kalenjar
yang berisi banyak sel goblet serta terdapat serat elastin.
2.3 Fisiologi Menelan3
Gambar 2.7 Fisiologi Menelan
Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring
pada hampir setiap saat melakukan beberapa fungsi lain di samping menelan
Proses respirasi tidak terganggu akibat menelan.
Pada umumnya, proses menelan dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter
yang mencetuskan proses menelan, (2) tahap faringeal yang bersifat involunter
dan membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus dan (3) tahap
esophageal yang merupakan fase involunter lain yang mempermudah jalannya
makanan dari faring ke lambung.
11
2.3.1 Tahap Volunter dari Penelanan
Bila makanan sudah siap untuk ditelan, secara sadar makanan ditekan atau
digulung ke arah posterior ke dalam faring oleh tekanan lidah ke atas dan ke bela-
kang terhadap palatum, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5, kemudian,
proses menelan menjadi seluruhnya atau hampir seluruhnya berlangsung secara
otomatis dan umumnya tidak dapat dihentikan.
TAHAP FARINGEAL DARI PENELANAN.
Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring,
bolus merangsang daerah receptor menelan di seluruh pintu faring, khususnya
pada tiang-tiang tonsil, dan impuls-impuls dari sini berjalan ke batang otak
untuk mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara otomatis sebagai
berikut:
1. Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi naves posterior, dengan cara
ini mencegah refluks makanan ke rongga hidung.
2. Lipatan palatofaringeal pada kedua sisi faring tertarik ke arah medial untuk
saling mendekat satu sama lain. Dengan cara ini, lipatan-lipatan tersebut
membentuk celah sagital yang harus dilewati oleh makanan untuk masuk ke
dalam faring posterior. Celah ini melakukan kerja selektif, sehingga
makanan yang telah cukup dikunyah dapat lewat dengan mudah sementara
menghalangi lewatnya benda yang besar. Karena tahap penelanan ini
berlangsung kurang dari 1 detik, setiap benda besar apa pun biasanya sangat
dihalangi untuk berjalan melewati faring masuk ke esofagus.
3. Pita suara laring bertautan secara keras, dan laring ditarik ke atas dan
12
anterior oleh otot-otot leher. Kerja ini, digabung dengan adanya ligamen
yang mencegah pergerakan epiglotis ke atas, menyebabkan epiglotis
bergerak ke belakang di atas pembukaan laring. Kedua efek ini mencegah
masuknya makanan ke dalam trakea. Yang paling penting adalah eratnya
tautan pita suara, namun epiglotis membantu mencegah makanan agar
sejauh mungkin dari pita suara. Kerusakan pits suara atau otot-otot yang
membuatnya bertautan dapat menyebabkan strangulasi. Sebaliknya,
pembuangan epiglotis biasanya tidak menyebabkan gangguan yang
serius pada penelanan.
4. Gerakan laring ke atas juga menarik dan melebarkan pembukaan esofagus.
Pada saat yang bersamaan, 3-4 sentimeter di atas dinding otot esofagus,
suatu area yang dinamakan sfingter esofagus bagian atas atau sfingter
faringoesofageal, berelaksasi, sehingga makanan dapat bergerak dengan
mudah dan bebas dari faring posterior ke dalam esofagus bagian atas. Di an-
tara penelanan, sfingter ini, tetap berkontraksi dengan kuat (sebesar tekanan
60 mm Hg di dalam lumen uses), dengan demikian mencegah udara masuk
ke esofagus selama respirasi. Gerakan laring ke atas juga mengangkat
globs keluar dari jalan utama makanan, sehingga makanan biasanya
melewati sisi-sisi epiglotis dan bukan melintas di atas permukaannya-, hal
ini menambah pencegahan terhadap masuknya makanan ke dalam trakea.
5. Pada saat yang bersamaan dengan terangkatnya laring dan relaksasi
sfingter faringoesofageal, seluruh otot dinding faring berkontraksi, mulai
dari bagian superior faring dan menyebar ke bawah sebagai gelombang
peristaltik yang cepat melintasi daerah faring media dan inferior dan
13
kemudian ke dalam esofagus, yang mendorong makanan ke dalam esofagus.
Sebagai ringkasan mekanika tahapan penelanan dari faring: trakea
tertutup, esofagus terbuka, dan suatu gelombang peristaltik cepat berasal dari
faring mendorong bolus makanan ke dalam esofagus bagian atas, dan seluruh
proses terjadi dalam waktu kurang dari 2 detik.
BAB III
14
KARSINOMA NASOFARING
3.1 Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala leher yang
terbanyak di temukan di Indonesia.5
3.2 Epidemiologi dan Insidensi
Ras mongoloid merupakan faktor dominan (Cina Selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia). Ditemukan pula di
Yunani, Afrika Utara.5
3.3 Etiologi
Sudah hampir pasti dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, karena semua penderita nasofaring didapatkan titer
anti-virus EB yang cukup tinggi.4-6
3.4 Faktor Risiko
Banyak faktor yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor
ini, seperti:
a) letak geografis
b) rasial
c) jenis kelamin
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki, mungkin ada
hubungannya dengan faktor grnrtik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-
lain.
d) Genetik
Banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari penderita karsinoma
nasofaring dengan keganasan pada oragan tubuh lain.
e) pekerjaan
f) lingkungan
15
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi bahan kimia, asap
sejenis kayu bakar, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu dan kebiasaan makan terlalu panas.
g) kebiasaan hidup
Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan
(daging dan ikan) terutama pada musim dingin.
h) kebudayaan
i) sosial ekonomi
Sebagian besar penderita adalah golongan sosial ekonomi rendah dan
hal ini pula menyangkut dengan lingkungan dan kebiasaan hidup.
j) infeksi kuman atau parasit.4-6
3.5 Gejala dan Tanda
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu
gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf serta metastasis atau gejala
di leher.
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu:4-6
1. Gejala nasofaring
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk
itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan
nasofaringoskop, karena seringkali gejala belum ada sedangkan tumor sudah
tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa
(creeping tumor).
2. Gejala telinga
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang muncul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustachius (Fossa Rosenmuller). Gangguan dapat
berupa tinitus, rasa tidak nyaman pada telinga, nyeri telinga sampai tuli
16
konduktif unilateral yang terjadi karena otitis media serosa atau otitis media
akut
3. Gejala mata dan saraf
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen lasarum akan
mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke nervus V, sehingga tidak
jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata.
Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf
jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut
akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII jika penjalaran melalui foramen
jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini
sering disebut dengan sindrom Jackson. Apabila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral. Dapat juga disertai dengan destruksi tulang
tengkorak dan bila sudah terjadi demikian bisanya prognosisnya buruk
4. Gejala di leher atau metastasis
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher dapat menjadi
keluhan pasien datang berobat tanpa adnya keluhan lain sebelumnya.
Karsinoma nsofring sering bermetastase ke tulang, paru dan hepar
17
Pemeriksaan Fisik
Nasopharyngoscopy : friable exophytic mass
Otoscopic examination : serous otitis media
Neck mass : painless, firm, often bilateral, upper and middle jugular nodes
Maxillofacial : cranial nerve palsy
Pemeriksaan Laboratorium
o Blood test :
Routine blood work, CBC.
Chemistry profile (liver function test)
o Serologic test :
EBV titers : IgA and IgG antibodies to VCA, and EA
o Cerebrospinal fluid examination
3.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan:
a) CT scan kepala dan leher
b) Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EB
c) Diagnosis pasti ditegakan dengan biopsi nasofaring yang dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung dan mulut. Biopsi dari hidung
dilakukan dengan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy) dengan
memasukan cunam biopsi melalui rongga hidung menyusuri konka media
ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
18
Biopsi melalui mulut dengan menggunakan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang dihidung.
Demikian juga dengan hidung sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik
ke atas kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi
dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masa tumor akan terlihat
lebih jelas. Biopsi dilakukan dengan anestersi topikal Xylokain 10%.5,6
3.7 Histopatologi
WHO telah menyetujui bahwa ada 3 betuk karsinoma (epidermoid) pada
nasofaring, yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak
berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdeferensiasi.5
3.8 Stadium4
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1992) :
T = Tumor primer
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pasa satu lokalisasi saja (lateral/ posterosuperior/ atap dan
lain-lain)
T2 = Tumor terdapat pada 2 lokalisasi atau lenih tapi masih terbatas di rongga
nasofaring
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atatu
mengenal saraf-sraf otak.
TX = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional.
NO =Tidak ada pembesaran
N 1 = Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakan.
N 2 = Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakan.
19
N3 = Terdapat pembesaran baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang
sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastasis jauh
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasih jauh
Stadium I :
T1 dan N0 dan M0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0
Atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0
Atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
Atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1
3.9 Terapi
1. Radioterapi merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer.
Stadium I : radioterapi
Stadium II dan III : kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm : kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm : kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
dengan kemoradiasi
20
2. Pengobatan tambahan:
Diseksi leher
Pemberian tetrasiklin
Faktor transfer
Interferon
Kemoterapi(terapi tambahan terbaik)
o Cis-platinum
o Bleomycin
o 5-fluorouracil
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi dengan mitomycin C dan 5-
fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radio
sensitizer” memperlihatkan hasil yang memberikan harapan akan
kesembuhan total penderita karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan
di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul
kembali setelah penyinaran selesai, dengan syarat tumor induknya sudah
hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan serologik dan radiologik.5
Radiotherapy :
Survival rates 40-50%.
Radiotherapy and chemotherapy :
Survival rates 55-70%.
3.10 Perawatan Paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada penderita dengan pengobatan
radiasi. Membeerikan nasihat kepada pasen untuk makan dengan banyak
kuah, membawa air minum kemanapun pergi, mencoba memakan dan
mengunyah makanan yang rasanya asam sehingga merangsng keluarnya air
liur.
Untuk pasen pasca pengobatan lengkap namun terjadi residu, residif atau
metastasis jauh tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualita hidup pasien.5
21
3.11 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk dengan resiko tinggi
Mengubah kebiasaan hidup tidak srhat menjadi lebih baik
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup sehat
Meningkatkan sosio-ekonomi
Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan anti EA secara masal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.5
3.12 Prognosis
5-year survival rate : 30% - 48%.
Mesic et al. :5-year survival rate 52%
Neel and Taylor : 5-year survival rate 50%
10-year disease-free survival rate : 34%.
Danish : 10-year survival rate 37%.
Chen et. Al : 10-year survival rate of 30.5%.
Recurrent disease :
About half of the patients.
A median of 1.4 years ð 40%.
Improved 5-year survival of 57%.
3.13 Komplikasi
- Mual dan muntah
- Mulut kering
- Mukositis
- Kaku leher
- Sakit kepala
- Hilangnya nafsu makan
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore KL, Dalley AF. Anatomi Klinis Dasar. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Hipokrates; 2002.
2. Juncqueira. Histologi Dasar. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2004.
3. Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2004.
4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke
delapan. McGrawl-Hill. 2003.
5. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
ke lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006.
6. George L. Adams, M.D., J. Lawrence R. Boies, M.D., dan M.D. Peter A.
Higler, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997
23