CRS Meningioma
-
Upload
edward-wijaya -
Category
Documents
-
view
64 -
download
0
description
Transcript of CRS Meningioma
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 54 tahun
Alamat : KP Jawa Rt01/ Rw10, Ciomas, Jawa Barat
Status Pernikahan : Menikah
Suku : Sunda
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMA
Tanggal Masuk RS : 24 Februari 2013
I. ANAMNESIS ( autoanamnesa pada tanggal 26 Februari 2013)
Keluhan Utama : Lemas pada kedua tungkai sejak 1 minggu SMRS
Keluhan Tambahan : Nyeri kepala
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang ke IGD RSMM Bogor dengan keluhan lemas pada kedua tungkai sejak
1 minggu SMRS. Kelemahan terjadi perlahan, semakin lama semakin memberat, sehingga
pasien tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Selain itu, ± 2 tahun belakangan ini Os sering
merasakan nyeri kepala, dirasakan berdenyut di seluruh bagian kepala, nyeri dirasakan
semakin hari semakin hebat, Os sering terbangun pada malam hari karena nyeri kepala, dan
nyeri tidak sembuh dengan mengkonsumsi obat sakit kepala. Pasien juga mengaku tidak ada
mual maupun muntah, pingsan, demam, sulit menelan, tersedak saat makan ataupun minum,
riwayat terjatuh, penurunan berat badan, ataupun gangguan buang air besar dan air kecil.
Adanya rasa baal dan kesemutan disangkal, bicara pelo, mulut mencong disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Sejak 2 tahun Os memiliki riwayat kejang, kejang pada seluruh tubuh, 1-2 kali
kejang dalam sebulan, dengan waktu setiap kejang sekitar 5-10 menit, dan Os masih
menjalani pengobatan rutin oleh dokter spesialis saraf. Pasien menyangkal adanya
1
hipertensi, kencing manis, penyakit jantung, paru, ginjal, maupun alergi terhadap
makanan maupun obat.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang memiliki gejala penyakit
yang sama sepertinya. Terdapat riwayat hipertensi pada keluarganya, namun tidak ada
riwayat kencing manis, penyakit jantung, paru, ginjal maupun alergi terhadap makanan
atau obat di keluarga pasien.
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok, tidak pernah meminum alkohol, ataupun makan makanan
yang asin,bersantan ataupun daging jeroan.
II. PEMERIKSAAN FISIK (Selasa, 26 Februari 2013)
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Sikap : Berbaring
Keadaan Gizi : Cukup
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Suhu : 36,70C
Pernafasan : 20 x/menit
B. Keadaan Lokal
Trauma Stigmata : tidak ada
Pulsasi Aa.Carotis : regular, cukup, equal kanan dan kiri
Pembuluh Darah Perifer : CRT <2`
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba membesar
Columna Vertebralis : lurus di tengah
Pemeriksaan
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2
Palpasi :ictus cordis teraba di ICS VI, 2 cm medial dari linea
midklavikularis sinistra
Perkusi :
- Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
- Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
- Batas kiri : ICS VI, 2 cm medial dari linea
midklavikularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus simetris kedua hemithoraks
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, oedem - -
- -
III. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS =E4M6V5
A. Rangsangan Selaput Otak
Kanan Kiri
Kaku Kuduk (-) (-)
Laseque > 70° > 70°
3
Laseque
Menyilang
(-) (-)
Kernig > 135° > 135°
Brudzinski I (-) (-)
Brudzinski II (-) (-)
B. Saraf-saraf Kranialis
N. I Normosmia kanan dan kiri
N. II KANAN KIRI
Acies Visus 6/60 6/60
Visus
Campus
baik baik
Melihat
Warna
baik baik
Funduskopi Tidak dilakukan
N. III, N. IV, N. VI
Kedudukan Bola Mata Ortoposisi Ortoposisi
Pergerakan Bola Mata
ke nasal atas
ke nasal bawah
ke temporal atas
ke temporal bawah
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
Eksophtalmus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Pupil isokhor isokhor
Bentuk bulat, Ø
3mm
bulat, Ø 3mm
4
RCL (+) (+)
RCTL baik baik
Akomodasi (+) (+)
Konvergensi (+) (+)
N. V KANA
N
KIRI
Cabang Motorik
Cabang Sensorik
Opthalmik
Maxilla
Mandibularis
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
N. VII KANA
N
KIRI
Motorik
Orbitofrontal
Motorik Orbicularis
Pengecap Lidah
baik
baik
baik
baik
baik
baik
N. VIII
Vestibular
Vertigo
Nistagmus
(-)
(-)
Cochlear
Tidak dilakukan pemeriksaan
N. IX, X
Motorik
Sensorik
uvula letak di engah, arcus faring simetris
refleks muntah (+) normal
N. XI KANA
N
KIRI
5
Mengangkat bahu
Menengok
baik
baik
baik
baik
N. XII
Pergerakan
Lidah
Atropi
Fasikulasi
Tremor
tidak ditemukan deviasi ke kanan atau ke
kiri
(-)
(-)
(-)
C. Sistem Motorik
Ekstremitas Superior Proksimal Distal : 5555 5555
Ekstremitas Inferior Proksimal Distal : 2222 2222
D. Gerakan Involunter
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Atetose : (-)
Mioklonik : (-)
Tics : (-)
E. Trofik : Normotrofik
F. Tonus : Normotonus
G. Sistem Sensorik
Proprioseptif : Baik
Eksteroseptif : Baik
H. Fungsi cerebellar dan koordinasi
1. Ataxia : (-)
2. Test Rhomberg : tidak dilakukan pemeriksaan
3. Diadochokinesia : baik
4. Jari - jari : baik
5. Jari - hidung : baik
6
6. Tumit - lutut : baik
7. Rebound phenomenon : (-) / (-)
I. Fungsi Luhur
Astereognosia : (-)
Apraksia : (-)
Afasia : (-)
J. Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi Keringat : Baik
Ereksi : (-)
K. Refleks-refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Kornea (+) (+)
Bisep (+2) (+2)
Trisep (+2) (+2)
Radius (+2) (+2)
Lutut (+1) (+1)
Cremaster Tidak diperiksa
Sfingter Ani Tidak diperiksa
Refleks-refleks Patologis
Kanan Kiri
Hoffman Tromner (-) (-)
Babinsky (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Gordon (-) (-)
Gonda (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus Lutut (-) (-)
Klonus Tumit (-) (-)
L. Keadaan Psikis
7
Intelegensia : Baik
Tanda regresi : (-)
Demensi : (-)
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM (24 Februari 2013)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 13,4 g/dl 13 – 18
Leukosit 9.400 /mm3 4000 – 10000
Trombosit 188.000 mm3 150000 – 400000
Hematokrit 43 U/l 40 – 54
SGOT 33 U/l < 42
SGPT 15 mg/dl <47
Ureum 35,2 mg/dl 10 – 50
Kreatinin 0,57 mg/dl 0,67 – 1,36
Glukosa Sewaktu 101 mg/dl < 140
V. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
CT Scan (27 Februari 2013)
Kesan:
- Masa dengan penyangatan homogen di parafalx anterior terutama
sinistra dan temporal dextra tampak lebih membesar dan
menyebabkan mid line shift ke kanan +/- 2cm, curiga meningioma
8
VI. RESUME
Pasien perempuan, umur 54 tahun datang ke IGD RSMM Bogor dengan keluhan
lemas pada kedua tungkai sejak 1 minggu SMRS. Kelemahan terjadi perlahan, semakin lama
semakin memberat, sehingga pasien tidak bisa bangun dari tempat tidurnya
Selain itu, ± 2 tahun belakangan ini Os sering merasakan nyeri kepala, dirasakan
berdenyut di seluruh bagian kepala, nyeri dirasakan semakin hari semakin hebat, Os sering
terbangun pada malam hari karena nyeri kepala, dan nyeri tidak sembuh dengan
mengkonsumsi obat sakit kepala.
Sejak 2 tahun Os memiliki riwayat kejang, kejang pada seluruh tubuh, 1-2 kali kejang
dalam sebulan, dengan waktu setiap kejang sekitar 5-10 menit, dan Os masih menjalani
pengobatan rutin oleh dokter spesialis saraf.
Pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit ringan dan kesadaran compos mentis
dengan tanda vital dalam batas normal. Status generalis tidak ditemukan kelainan. Status
neurologi didapatkan GCS =E4M6V5=15, terdapat penurunan sistem mororik pada kedua
ekstremitas inferior proksimal distal dan pada pemeriksaan refeleks fisiologis lutut
didapatkan penurunan refleks (+1/+1). Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal,dan
pada pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan CT Scan dengan kesan terdapat
massa dan curiga meningioma.
VII. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : Para Parese, Cephalgia
Diagnosis etiologi : Suspek Meningioma
Diagnosis topik : Parafalx anterior
VIII. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa:
1. Tirah baring
2. Mengedukasikan pasien tentang penyakitnya
10
Medikamentosa
1. IVFD Asering 20 tpm (selanjutnya IVFD tutofusin 16 tpm)
2. Ranitidin 2 x 15 mg IV
3. Phenitoin syr 3 x C
4. Meloxicam 1 x 15 mg
5. Vitamin B6 2 x 1
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia ad malam
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi Selaput Otak
Meningens membentang di bawah lapisan dalam dari tengkorak dan merupakan membran
pelindung dari otak. Terdiri dari duramater, arachmoideamater dan piamater yang letaknya berurutan
dari superfisial ke profunda. Perikranium yang masih merupakan bagian dari lapisan dalam tengkorak
dan duramater bersama-sama disebut juga pachymeningens. Sementara piamater dan
arachnoideamater disebut juga leptomeningens.6
Gambar 1. Potongan melintang tengkorak dan meninges5
Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari lamina meningialis
dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina endostealis melekat erat pada dinding kanalis
vertebralis, menjadi endosteum (periosteum), sehingga di antara lamina meningialis dan lamina
endostealis terdapat ruangan extraduralis (spatium epiduralis) yang berisi jaringan ikat longgar, lemak
dan pleksus venosus. Pada lapisan perikranium banyak terdapat arteri meningeal, yang mensuplai
duramater dan sumsum tulang pada kubah tengkorak. Pada enchepalon lamina endostealis melekat
erat pada permukaan interior kranium, terutama pada sutura, basis krania dan tepi foramen occipitale
magnum. Lamina meningialis mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel,
dan membentuk empat buah septa, yaitu falx cerebri, tentorium cerebeli, falx cerebeli, dan diafragma
sellae.
Falx cerebri memisahkan kedua belahan otak besar dan dibatasi oleh sinus sagital inferior dan
superior. Pada bagian depan falx cerebri terhubung dengan krista galli, dan bercabang di belakang
12
membentuk tentorium cerebeli. Tentorium cerebeli membagi rongga kranium menjadi ruang
supratentorial dan infratentorial. Falx cerebeli yang berukuran lebih kecil memisahkan kedua belahan
otak kecil. Falx cerebeli menutupi sinus oksipital dan pada bagian belakang terhubung dengan tulang
oksipital.6
Duramater dipersarafi oleh nervus trigeminus dan nervus vagus. Nervus trigeminus mempersarafi
daerah atap kranial, fosa kranium anterior dan tengah. Sementara nervus vagus mempersarafi fosa
posterior. Nyeri dapat dirasakan jika ada rangsangan langsung terhadap duramater, sementara jaringan
otak sendiri tidak sensitif terhadap rangsang nyeri. Beberapa nervus kranial dan pembuluh darah yang
mensuplai otak berjalan melintasi duramater dan berada di atasnya sehingga disebut juga segmen
extradural intrakranial. Sehingga beberapa nervus dan pembuluh darah tersebut dapat dijangkau saat
operasi tanpa harus membuka duramater.6
Di bawah lapisan duramater, terdapat arachnoideamater. Ruangan yang terbentuk di antara
keduanya, disebut juga spatium subdural, berisi pembuluh darah kapiler, vena penghubung dan cairan
limfe. Jika terjadi cedera dapat terjadi perdarahan subdural.6 Arachnoideamater yang membungkus
basis serebri berbentuk tebal sedangkan yang membungkus facies superior cerebri tipis dan
transparant. Arachnoideamater membentuk tonjolan-tonjolan kecil yang disebut granulation
arachnoidea, masuk kedalam sinus venosus, terutama sinus sagitallis superior. Lapisan disebelah
profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri dan diantara folia cerebri. Membentuk tela chorioidea
venticuli. Dibentuk oleh serabut-serabut reticularis dan elastic, ditutupi oleh pembuluh-pembuluh
darah cerebral.
Di bawah lapisan arachnoideamater terdapat piamater. Ruangan yang terbentuk di antara
keduanya, disebut juga spatium subarachnoid, berisi cairan serebrospinal dan bentangan serat
trabekular (trabekula arachnoideae). Piamater menempel erat pada permukaan otak dan mengikuti
bentuk setiap sulkus dan girus otak. Pembuluh darah otak memasuki otak dengan menembus lapisan
piamater. Kecuali pembuluh kapiler, semua pembuluh darah yang memasuki otak dilapisi oleh
selubung pial dan selanjutnya membran glial yang memisahkan mereka dari neuropil. Ruangan
perivaskuler yang dilapisi oleh membran ini (ruang Virchow-Robin) berisi cairan serebrospinal.
Plexus koroid dari ventrikel cerebri yang mensekresi cairan serebrospinal, dibentuk oleh lipatan
pembuluh darah pial (tela choroidea) yang diselubungi oleh selapis epitel ventrikel (ependyma).6
13
Gambar 2. Potongan sagital dari kepala6
II.2 Etiologi
Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama terjadinya meningioma.
Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea kapitis maupun dosis tinggi seperti pada
penanganan tumor otak lain (misalnya meduloblastoma) meningkatkan resiko terjadinya meningioma.
Radioterapi dosis tinggi berhubungan dengan terjadinya meningioma dalam waktu yang relative
singkat, antara 5-10 tahun. Sementara radiasi dosis rendah membutuhkan waktu beberapa decade
sampai timbulnya meningioma. Tumor yang timbul akibat radiasi cenderung bersifat multiple dan
secara histology ganas, serta memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk timbul kembali.
Trauma kepala diduga dapat menyebabkan tumor meningens, namun sampai saat ini belum ada
penelitian lebih lanjut yang dapat membuktikan hal tersebut. Foto dental standar bukan merupakan
factor resiko.1 Namun beberapa penelitian epidemiologi menyebutkan terjadi peningkatan insidens
meningioma pada pasien dengan riwayat foto dental.2
Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran yang cukup penting juga
dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan progesterone diduga merupakan salah satu
penyebab timbulnya meningioma karena angka prevalensi yang lebih tinggi pada wanita. Reseptor
estrogen ditemukan pada meningioma, yakni ikatan pada reseptor tipe 2 walaupun tingkat afinitasnya
terhadap estrogen tidak sekuat reseptor yang ditemukan pada kanker payudara. Sebagai perbandingan,
reseptor progesterone diekspresikan pada 80% wanita penderita meningioma dan 40% pada pria.
Lokasi ikatan dengan progesterone lebih jarang pada meningioma yang agresif. Cara kerja reseptor-
reseptor ini masih belum diketahui, namun inhibitor estrogen dan progesterone telah dicoba sebagai
terapi walaupun belum ada bukti keberhasilan.1
14
Infeksi virus seperti SV-40, termasuk dalam pathogenesis meningioma, namun data yang
terkumpul hingga saat ini masih belum meyakinkan. Meningioma diduga timbul melalui proses
bertahap yang melibatkan aktivasi onkogen dan hilangnya gen supresor tumor. Penelitian genetic
molecular telah menunjukan beberapa penyimpangan, yang paling sering adalah hilangnya 22q pada
80% penderita meningioma sporadic. Hal ini mengakibatkan hilangnya NF-2 gen supresor tumor yang
berlokasi di 22q11 dan berkurangnya produk protein merlin yang bertanggung jawab terhadap
interaksi sel.1 Sel yang memiliki defek pada merlin tidak dapat mengenali sel sekitarnya dan terus
menerus tumbuh. Beberapa kelainan telah dideteksi pada kromosom lain, dan diduga beberapa
onkogen dan gen supresor tumor terlibat dalam pembentukan meningioma.2
Beberapa factor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF, insulin-like growth
factors, transforming growth factor I2 dan somatostatin diekspresikan secara berlebih dan dapat
merangsang pertumbuhan meningioma. Meningioma merupakan tumor yang kaya akan pembuluh
darah dan mengandung VEGF (vascular endothelial growth factor) dalam konsentrasi yang tinggi.1
II.3 Klasifikasi
Meskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, meningioma secara mengejutkan memiliki
karakteristik klinis yang sangat luas. Membedakannya secara histologis berhubungan erat dengan
resiko kejadian berulang yang tinggi. Pada kasus yang jarang, meningioma dapat bersifat ganas.3
Klasifikasi dari WHO bertujuan untuk memprediksi perbedaan karakteristik klinis dari
meningioma dengan grading secara histologis berdasarkan statisik korelasi klinikopatologis yang
signifikan. Berdasarkan tingkat keganasannya meningioma dibagi menjadi 3, yaitu jinak (WHO grade
1), atipikal (WHO grade 2), dan anaplastik (WHO grade 3).3
15
Tabel 1. Tipe meningioma berdasarkan pengelompokan WHO3
Tabel 2. Kriteria grading secara histologi menurut WHO3
Sekitar 80% dari seluruh meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat. Variasi histologi
yang paling sering terdiagnosa pada regimen patologis adalah meningioma meningotelial,
fibroblastik, dan transisional. Meningioma meningotelial secara histologis tersusun oleh sel tumor
uniform yang membentuk lobulus dikelilingi oleh septa kolagen tipis. Di dalam lobulus, sel tumor
epiteloid memiliki dinding sel yang menyerupai sinsitium. Pada inti sel terdapat ruangan kosong
16
seperti tidak terisi karyoplasma dan protrusi eosinofil sitoplasma, yang disebut juga pseudoinklusi.
Meningioma fibroblastik terutama disusun oleh sel berbentuk jarum yang menyerupai fibroblas dan
membentuk fasikula saling berpotongan yang tertanam dalam matriks yang kaya kolagen dan
retikulin. Meningioma transisional memiliki ciri-ciri gabungan dari kedua meningioma sebelumnya
dan biasanya muncul dengan gambaran seperti ulir, dimana sel tumor saling membungkus satu sama
lain membentuk lapisan konsentrik. Yang terakhir memiliki kecenderungan untuk berhialinisasi dan
berkalsifikasi membentuk kalsifikasi konsentrik yang disebut badan psammoma (artinya seperti pasir
berdasarkan bentuk mereka yang seperti pasir dan kotor). Tumor yang memiliki banyak gambaran
badan psammoma disebut juga meningioma psammomatosa.3
Meningioma jinak yang tergolong dalam grade 1 WHO dapat menginvasi duramater, sinus dura,
tulang tengkorak, dan kompartmen ekstrakranial seperti bola mata, jaringan lunak, dan kulit.
Meskipun invasi ini membuat mereka semakin sulit direseksi, mereka tidak termasuk meningioma
atipikal maupun malignan. Sebaliknya, invasi otak dihubungkan dengan angka kekambuhan dan
kematian yang hampir sama dengan meningioma atipikal secara umum, meskipun tumor nampak
jinak. Meskipun lebih banyak terjadi pada meningioma tipe baru, invasi otak belum dihubungkan
dengan perubahan genetik tertentu, namun telah dilaporkan terjadi pada tumor tanpa
ketidakseimbangan kromosom yang jelas.3
Angka kejadian meningioma atipikal (grade 2 WHO) berkisar antara 15-20% dari keseluruhan
meningioma. Setelah reseksi total, meningioma jinak dihubungkan dengan angka kekambuhan dalam
waktu 5 tahun sebanyak 5%. Sebaliknya, angka kekambuhan untuk meningioma atipikal yang
direseksi total adalah sekitar 40% dalam waktu 5 tahun dan meningkat seiring berjalannya waktu
pemantauan. Dengan demikian, diagnosis dari meningioma atipikal memperpendek jangka waktu
pemantauan post operasi.3
17
Gambar 3. Histologi meningioma grade 1 WHO3
Gambar 4. Histologi meningioma grade 2 WHO3
Korelasi histologi yang paling dipercaya berhubungan dengan kekambuhan adalah ditemukannya
peningkatan aktivitas mitotik. Namun demikian, jika tidak ditemukan gambaran peningkatan aktivitas
mitosis, gambaran histologi lain berhubungan dengan kemungkinan kekambuhan dan dengan
demikian memiliki implikasi juga. Menurut definisi dari WHO pada tahun 2000, ditemukannya 3 dari
18
5 kriteria berikut mengarah pada diagnosis meningioma atipikal, yakni peningkatan selularitas,
perbandingan yang tinggi antara inti dengan sitoplasma, nukleolus yang menonjol, pertumbuhan tidak
berpola, dan fokus nekrosis spontan (bukan karena emboli). Masalah invasi otak kurang diperjelas
dalam skema WHO, meskipun implikasi klinis yang sama menunjukan bahwa hal ini dapat digunakan
sebagai kriteria lain untuk meningioma atipikal. Tipe meningioma clear-cell dan kordoid dihubungkan
dengan angka kekambuhan yang lebih besar meskipun tidak memenuhi kriteria di atas. Dengan
demikian, meningioma tipe ini digolongkan dalam grade 2 WHO berdasarkan definisinya.
Meningioma clear-cell disusun oleh lembaran sel poligonal dengan sitoplasma jernih kaya glikogen,
positif untuk asam periodat Schiff, dan perivaskular yang padat serta kolagenisasi interstisial.
Meningioma kordoid memiliki daerah yang secara histologi mirip dengan kordoma, dengan untaian
sel-sel tumor epiteloid kecil yang mengandung sitoplasma eosinofilik atau bervakuola yang tertanam
dalam matrix basofilik kaya musin. Meningioma clear-cell sering timbul pada medula spinalis dan
fossa posterior, sementara meningioma kordoid lebih sering pada daerah supratentorial. Meskipun
fitur genetik yang berkaitan dengan meningioma clear-cell masih belum diketahui, suatu translokasi
yang tidak seimbang pada der(1)t(1;3)(p12-13;q11) diduga sebagai penanda sitogenetik spesifik untuk
tipe kordoid. Namun, penemuan ini masih harus dibuktikan karena target gen dari translokasi tersebut
masih belum diketahui.3
Meningioma anaplastik (grade 3 WHO) terhitung sebanyak 1-3% kasus dari keseluruhan kasus
meningioma. Tumor ini memiliki karakteristik klinik serupa dengan neoplasma ganas lainnya, yang
dapat menginfiltrasi jaringan sekitarnya secara luas dan membentuk deposit metastasis. Meningioma
anaplastik dikaitkan dengan angka kekambuhan sekitar 50-80% setelah tindakan reseksi secara bedah
dan nilai median harapan hidup kurang dari 2 tahun. Secara histologis, meningioma anaplastik
memiliki gambaran keganasan dengan index mitosis sebesar 20 atau lebih mitosis per 10 lapang
pandang mikroskopis. Beberapa meningioma anaplastik sulit dikenali sebagai neoplasma
meningotelial karena mereka dapat menyerupai sarkoma, karsinoma atau bahkan melanoma.
Meningioma anaplastik biasanya memiliki daerah nekrosis yang amat luas. Meskipun demikian,
embolisasi terapeutik (iatrogenik) harus dikecualikan sebagai penjelasan alternatif sebelum dilakukan
penilaian.3
19
Gambar 5. Histologi meningioma grade 3 WHO3
Beberapa tipe meningioma secara konsisten dikaitkan dengan perilaku ganas dan karena itu sesuai
dengan grade 3 WHO. Meningioma papiler, yang biasanya menyerang anak-anak, menunjukan invasi
ke otak dan jaringan lokal pada 75% pasien, kekambuhan sekitar 55%, dan metastasi pada 20%
pasien. Meningioma papiler secara histologi dikenal dari pertumbuhan diskohesif, yang menghasilkan
bentuk perivaskuler pseudopapiler dan struktur yang menyerupai pseudorosette yang mirip dengan
gambaran ependimoma. Meningioma agresif lainnya adalah meningioma rabdoid, yang mengandung
sel rabdoid dengan banyak sitoplasma eosinofilik, nukleus yang terletak eksentris, dan inklusi
paranuklear yang secara ultrastruktur sesuai dengan bundel ulir dari filamen intermediat. Gambaran
rabdoid dan papiler keduanya dapat terlihat sebagai perubahan yang berprogresi, karena keduanya
biasanya timbul pertama kali pada saat kambuh dan meningkat seiring perjalanan waktu.3
II.4 Tanda dan Gejala
Meningioma dapat timbul tanpa gejala apapun dan ditemukan secara tidak sengaja melalui MRI.
Pertumbuhan tumor dapat sangat lambat hingga tumor dapat mencapai ukuran yang sangat besar
tanpa menimbulkan gejala selain perubahan mental sebelum tiba-tiba memerlukan perhatian medis,
biasanya di lokasi subfrontal.1 Gejala umum yang sering muncul meliputi kejang, nyeri kepala hebat,
perubahan kepribadian dan gangguan ingatan, mual dan muntah, serta penglihatan kabur. Gejala lain
yang muncul ditentukan oleh lokasi tumor, dan biasanya disebabkan oleh kompresi atau penekanan
struktur neural penyebab.5
20
Gambar 6. Gejala umum dari meningioma6
- Meningioma falx dan parasagital, sering melibatkan sinus sagitalis superior. Gejala yang
timbul biasanya berupa kelemahan pada tungkai bawah.5
- Meningioma konveksitas, terjadi pada permukaan atas otak. Gejala meliputi kejang, nyeri
kepala hebat, defisit neurologis fokal, dan perubahan kepribadian serta gangguan ingatan.
Defisit neurologis fokal merupakan gangguan pada fungsi saraf yang mempengaruhi lokasi
tertentu, misalnya wajah sebelah kiri, tangan kiri, kaki kiri, atau area kecil lain seperti lidah.
Selain itu dapat juga terjadi gangguan fungsi spesifik, misalnya gangguan berbicara, kesulitan
bergerak, dan kehilangan sensasi rasa.5
- Meningioma sphenoid, berlokasi pada daerah belakang mata dan paling sering menyerang
wanita. Gejala dapat berupa kehilangan sensasi atau rasa baal pada wajah, serta gangguan
21
penglihatan. Gangguan penglihatan disini dapat berupa penyempitan lapangan pandang,
penglihatan ganda, sampai kebutaan.5 Dapat juga terjadi kelumpuhan pada nervus III.1
- Meningioma olfaktorius, terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan otak dengan
hidung. Gejala dapat berupa kehilangan kemampuan menghidu dan gangguan penglihatan.5
- Meningioma fossa posterior, berkembang di permukaan bawah bagian belakang otak terutama
pada sudut serebelopontin. Merupakan tumor kedua tersering di fossa posterior setelah
neuroma akustik.1 Gejala yang timbul meliputi nyeri hebat pada wajah, rasa baal atau
kesemutan pada wajah, dan kekakuan otot-otot wajah. Selain itu dapat terjadi gangguan
pendengaran, kesulitan menelan, dan kesulitan berjalan.5
- Meningioma suprasellar, terjadi di atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar tengkorak
dimana terdapat kelenjar pituitari. Gejala yang dominan berupa gangguan penglihatan akibat
terjadi pembengkakan pada diskus optikus.5 Dapat juga terjadi anosmia, sakit kepala dan
gejala hipopituari.1
- Meningioma tentorial. Gejala yang timbul berupa sakit kepala dan tanda-tanda serebelum.1
- Meningioma foramen magnus, seringkali menempel dengan nervus kranialis. Gejala yang
timbul berupa nyeri, kesulitan berjalan, dan kelemahan otot-otot tangan.1
- Meningioma spinal, paling sering menyerang daerah dada terhitung sekitar 25-46% dari
tumor spinal primer. Gejala yang timbul merupakan akibat langsung dari penekanan terhadap
medula spinalis dan korda spinalis, paling sering berupa nyeri radikular pada anggota gerak,
paraparesis, perubahan refleks tendon, disfungsi sfingter, dan nyeri pada dada. Paraparesis
dan paraplegia timbul pada 80% pasien, namun sekitar 67% pasien masih dapat berjalan.1
- Meningioma intraorbital. Gejala yang dominan terutama pada mata berupa pembengkakan
bola mata, dan kehilangan penglihatan.5
- Meningioma intraventrikular, timbul dari sel araknoid pada pleksus koroidales dan terhitung
sekitar 1% dari keseluruhan kasus meningioma.1 Gejala meliputi gangguan kepribadian dan
gangguan ingatan, sakit kepala hebat, pusing seperti berputar.5 Selain itu dapat juga terjadi
hidrosefalus komunikans sekunder akibat peningkatan protein cairan otak.1
II.5 Pemeriksaan Penunjang
Meningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis dari meningioma dapat
ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan gambaran radiologis. Meskipun demikian,
diagnosis pasti serta grading dari meningioma hanya dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan
histologi.5
Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika dibandingkan dengan jaringan
otak normal. Seringkali tumor juga memberikan gambaran berlobus dan kalsifikasi pada beberapa
kasus.1 Edema dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi pada 50% kasus karena pertumbuhan tumor
yang lambat, tetapi dapat meluas. Edema lebih dominan terjadi di lapisan white matter dan
mengakibatkan penurunan densitas. Perdarahan, cairan intratumoral, dan akumulasi cairan dapat jelas
22
terlihat. Invasi sepanjang dura serebri sering muncul akibat provokasi dari respon osteblas yang
menyebabkan hiperostosis pada 25% kasus. Gambaran CT scan paling baik untuk menunjukan
kalsifikasi dari meningioma. Penelitian membuktikan bahwa 45% proses kalsifikasi adalah
meningioma.
Gambar 7. Hasil CT scan meningioma parasagital1
Gambar 8. Hasil CT scan meningioma konveksitas1
23
Gambar 9. Hasil CT scan meningioma sphenoid1
Gambar 10. Hasil CT scan meningioma tentorial1
Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens pada sisanya jika
dibandingkan dengan jaringan otak normal.1 Kelebihan MRI adalah mampu memberikan gambaran
meningioma dalam bentuk resolusi 3 dimensi, membedakan tipe jaringan ikat, kemampuan
multiplanar dan rekonstruksi. MRI dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor, pembesaran arteri,
invasi sinus venosus, dan hubungan antara tumor dengan jaringan sekitarnya.
Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa hipervaskular, menilai aliran darah sinus
dan vena. Angiografi dilakukan hanya jika direncakan dilakukan embolisasi preoperasi untuk
mengurangi resiko perdarahan intraoperatif.1
Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan nekrosis sentral seringkali
menyerupai gambaran glioma dan muncul pada sekitar 15% kasus meningioma. Meningioma
24
malignan sering menunjukan gambaran destruksi tulang, nekrosis, gambaran iregular, dan edema
yang luas. Diagnosis banding secara radiografi meliputi metastasis dural, tumor meningeal primer
lain, granuloma dan aneurisma. Metastasis seringkali dikaitkan dengan edema luas dan destruksi
tulang sementara meningioma dikaitkan dengan edema sedang dan hiperostosis.1
II.6 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis meningioma dapat ditegakan, permasalahan berikutnya adalah memutuskan
diperlukan tindakan pembedahan atau tidak. Beberapa meningioma sering timbul tanpa gejala, hadir
tiba-tiba dengan kejang, atau melibatkan struktur tertentu sehingga reseksi hampir mustahil dilakukan.
Tumor jenis ini tidak memerlukan intervensi segera dan dapat dipantau bertahun-tahun tanpa
menunjukan pertumbuhan yang berarti. Jika pasien menunjukan gejala yang signifikan seperti
hemiparesis, atau ada progresi yang jelas terlihat melalui pencitraan radiologi, maka diperlukan
intervensi segera. Sampai saat ini, penatalaksanaan yang paling penting adalah dengan pembedahan.1
II.6.1 Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer untuk meningioma. Tujuan utamanya adalah
mengangkat jaringan tumor sebanyak-banyaknya tanpa kehilangan fungsi otak.7 Eksisi komplit dapat
menyembuhkan kebanyakan meningioma. Faktor-faktor yang berperan dalam pembedahan meliputi
lokasi dari tumor, defisit nervus kranialis preoperasi, vaskularitas, invasi dari sinus venosus, dan
keterlibatan arteri. Reseksi sebagian dapat menjadi pilihan jika pengangkatan seluruh tumor dapat
mengakibatkan kehilangan banyak fungsi otak.1
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, meningioma digolongkan ke dalam 3 grup berdasarkan
resiko pembedahannya. Cara penggolongannya menggunakan algoritme CLASS, yakni Comorbidity
(komorbiditas), Location (lokasi), Age (umur pasien) Size (ukuran tumor), Symptoms and signs
(tanda dan gejala). Grup 1 dengan skor CLASS lebih dari +1, memiliki angka keberhasilan yang
tinggi, yakni pada 98,1% kasus. Grup 2 dengan skor 0 sampai -1 memiliki hasil yang buruk pada
sekitar 4% kasus. Sementara grup 3 dengan skor di bawah -2 memiliki hasil paling buruk yakni 15%
dari seluruh kasus.2
Teknik terbaru saat ini adalah dengan memanfaatkan rekonstruksi 3 dimensi dengan komputer
untuk membantu ahli bedah dalam merencanakan prosedur operasi. MRI intraoperasi dapat
menunjukan gambaran langsung selama pembedahan. Embolisasi preoperasi dilakukan untuk
mengurangi vaskularitas tumor, memfasilitasi pengangkatan tumor, dan mengurangi resiko
perdarahan. Embolisasi pada ekor dura dapat mengurangi resiko kekambuhan. Namun prosedur ini
tidak banyak dilakukan mengingat tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas maupun personel yang
terlatih dalam bidang ini.1
25
Tindakan pembedahan mampu menghilangkan beberapa gejala neurologis, kecuali neuropati
kranial yang seringkali sulit dihilangkan. Angka morbiditas akibat pembedahan bervariasi antara 1-
14%. Setelah reseksi komplit, angka kekambuhan untuk meningioma grade rendah adalah sekitar 20%
dalam 5 tahun pertama dan 25% dalam 10 tahun. Jika tumor muncul kembali, harus dipertimbangkan
untuk dilakukan reseksi ulang. Secara umum, angka harapan hidup 5 tahun untuk pasien berusia di
bawah 65 tahun adalah sekitar 80%, dan menurun mendekati 50% untuk pasien di atas 65 tahun.1
II.6.2 Radioterapi
Indikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa setelah tindakan pembedahan,
tumor berulang, dan riwayat atipikal atau malignan. Radioterapi digunakan sebagai terapi primer jika
tumor tidak dapat dicapai melalui pembedahan atau ada kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan.
Regresi total terlihat pada 95% pasien dalam 5 tahun pertama dan 92% dalam 10 dan 15 tahun setelah
dilakukan radioterapi dengan atau tanpa eksisi subtotal. Angka regresi tumor untuk 10 tahun pada
pasien yang dilakukan kombinasi reseksi subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara pada pasien
yang hanya dilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu kekambuhan sekitar 125 bulan pada pasien
yang mendapat terapi kombinasi dan 66 bulan pada pasien yang menjalani reseksi subtotal saja. Pada
tumor malignan, angka harapan hidup 5 tahun setelah pembedahan dan radiasi adalah 28%. Angka
kekambuhan tumor maligna adalah 90% setelah reseksi subtotal dan 41% setelah terapi kombinasi.1
II.6.3 Terapi Medis
Interferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah yang mensuplai tumor. Interferon dapat
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kekambuhan dan meningioma maligna. Hidroxyurea
dan obat-obat kemoterapi lain diyakini dapat memulai proses kematian sel atau apoptosis pada
sebagian meningioma. Namun pada uji coba klinis, obat ini dianggap gagal karena meningioma
bersifat kemoresisten. Inhibitor dari receptor progesteron seperti RU-486 juga sedang dievaluasi
sebagai pengobatan untuk meningioma. Namun percobaan klinik terbaru, RU-486 tidak menunjukan
perbaikan apapun. Begitu juga dengan terapi antiestrogen yang tidak menunjukan perbaikan nyata
ssecara klinis pada percobaan. Beberapa agen molekular seperti penghambat receptor faktor
pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor Receptor / EGFR), inhibitor receptor faktor
pertumbuhan derivat platelet (Platelet Derived Growth Factor Receptor / PDGFR), dan penghambat
tirosin kinase masih diuji coba secara klinis. Kebanyakan uji coba ini terbuka untuk pasien dengan
meningioma yang tidak dapat dioperasi atau yang mengalami kekambuhan.7 Kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengontrol edema sekitar tumor namun tidak dapat digunakan dalam jangka
panjang karena efek sampingnya yang merugikan.1
Tergantung pada lokasi dari tumor, gejala yang ditimbulkan, dan keinginan pasien, beberapa
meningioma dapat ditunggu dan dipantau secara hati-hati dan teliti.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritt’s Neurology. 11th ed. New York : Lippincott Williams &
Wilkins.
2. Black, Peter, et al. 2007. Meningiomas : Science and Surgery. Clinical Neurosurgery. vol 54
chapter 16 p. 91-99.
3. Riemenschneider, Markus J, et al. 2006. Histological Classification and Molecular Genetics
of Meningiomas. The Lancet Neurology. December vol 5 p. 1045-1054.
4. Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan 13. Jakarta :
Dian Rakyat.
5. 2011. Meningioma [Internet]. Available from www.cancer.net [accesed Maret 2013]
6. Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Stuttgart : Thieme.
7. 2012. Meningioma [Internet]. Available from www.abta.org [accesed Maret 2013]
27