Chapter II(6)
description
Transcript of Chapter II(6)
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan
penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder
disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme
primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan
renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok
normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada
tabel 1 dibawah (Gray, et al. 2005).
Tabel 2.1.Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan
Darah
Tekanan Darah Sistolik
(mmHg)
Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 > 160 > 100
The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and
treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO
dengan International Society of Hipertention membuat definisi hipertensi yaitu
apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau
tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat
anti
Universitas Sumatera Utara
hipertensi. Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih
dari 95 persentil dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur
sekurang-kurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah (Bakri, 2008).
2.1.2. Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau
hipertensi renal.
1) Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf
simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan
Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas,
alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul
pada umur 30 – 50 tahun (Schrier, 2000).
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus.
Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing,
feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan, dan lain – lain (Schrier, 2000).
2.1.3. Gejala Klinis
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala
pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan
darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi
esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi
pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya
sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis,
mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan
mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat
dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke
atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat
menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas (Julius, 2008).
2.1.4. Patofisiologi Hipertensi
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam
pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006).
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan
hipertensi esensial antara lain :
1) Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat.
Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada
arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus
ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang
mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan
perifer yang irreversible (Gray, et al. 2005).
Universitas Sumatera Utara
2) Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau
penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et
al.
2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme
(ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan
darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduks i hati, yang oleh
hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I
(dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif).
Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat
sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin
menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume
cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume
cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl
akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan
tekanan darah (Gray, et al. 2005).
Universitas Sumatera Utara
3) Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam
pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara
sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor
lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al.
2005).
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif
lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium
banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan
antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit
(Gray, et al. 2005).
5) Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin
merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin
dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan
sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon
yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah.
Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya
dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005).
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding
pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi
dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama
akan
Universitas Sumatera Utara
semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah
dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat
ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan
atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).
2.1.5. Faktor Risiko Hipertensi
Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui
dengan jelas. Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang
teridentifikasi antara lain :
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Keturunan
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai
orang tua atau salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut
mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang
kedua orang tuanya normal (tidak menderita hipertensi). Adanya riwayat
keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara signifikan akan
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada perempuan dibawah 65 tahun dan
laki – laki dibawah 55 tahun (Julius, 2008).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.
Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin.
Secara umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada
perempuan. Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa
menopause yang mununjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008).
Universitas Sumatera Utara
c. Umur
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin tinggi
umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini disebabkan
elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun dengan bertambahnya
umur. Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum
umur 55 tahun tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada
perempuan. Setelah umur 65 tekanan darah pada perempuan lebih tinggi
daripada laki-laki. Dengan demikian, risiko hipertensi bertambah dengan
semakin bertambahnya umur (Gray, et al. 2005)
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan
darah. Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan
tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan
kesehatan, karena nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam
pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding
pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik, denyut
jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian O2
bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada
pembuluh darah perifer (Gray, et al. 2005).
b. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan
hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya
penambahan berat badan. Peningkatan risiko semakin bertambah parahnya
hipertensi terjadi pada penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak
semua obesitas dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing – masing
individu. Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg
akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan
berat
Universitas Sumatera Utara
badan efektif untuk menurunkan hipertensi, Penurunan berat badan sekitar 5
kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan (Haffner, 1999).
c. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung
lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Pada
binatang percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres menyebabkan
binatang tersebut menjadi hipertensi (Pickering, 1999).
d. Aktifitas Fisik
Orang dengan tekanan darah yang tinggi dan kurang aktifitas, besar
kemungkinan aktifitas fisik efektif menurunkan tekanan darah. Aktifitas fisik
membantu dengan mengontrol berat badan. Aerobik yang cukup seperti 30 – 45
menit berjalan cepat setiap hari membantu menurunkan tekanan darah
secara langsung. Olahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah pada
semua kelompok, baik hipertensi maupu n normotensi (Simons-Morton, 1999).
e. Asupan
1) Asupan Natrium
Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum
normal adalah 136 sampai 145 mEg / L, Natrium berfungsi menjaga
keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut dan keseimbangan asam basa
tubuh serta berperan dalam transfusi saraf dan kontraksi otot (Kaplan, 1999).
Perpindahan air diantara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh
kekuatan osmotik. Osmosis adalah perpindahan air menembus membran
semipermiabel ke arah yang mempunyai konsentrasi partikel tak
berdifusinya lebih tinggi. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler dan kalium
dengan zat – zat organik pada cairan intraseluler, adalah zat – zat terlarut yang
tidak dapat menembus dan sangat berperan dalam menentukan konsentrasi air
pada kedua sisi membran (Kaplan, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi
terutama di usus halus. Mekanisme penngaturan keseimbangan volume pertama
– tama tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi
efektif adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular yang
melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat volume cairan
ekstraseluler umumnya berubah – ubah sesuai dengan sirkulasi efektifnya dan
berbanding secara proporsional dengan natrium tubuh total. Natrium diabsorpsi
secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran darah ke ginjal, disini natrium disaring
dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk
mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang jumlahnya
mencapai 90-99 % dari yang dikonsumsi, dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran
urin ini diatur oleh hormon aldosteron yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila
kadar Na darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk mengasorpsi Na
kembali. Jumlah Na dalam urin tinggi bila konsumsi tinggi dan rendah bila
konsumsi rendah (Kaplan, 1999).
Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang secara genetik sensitif
terhadap natrium, misalnya seperti: orang Afrika-Amerika, lansia, dan orang
hipertensi atau diabetes. Asosiasi jantung Amerika menganjurkan setiap orang
untuk membatasi asupan garam tidak lebih dari 6 gram per hari. Pada populasi
dengan asupan natrium lebih dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat
lebih cepat dengan meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih
sering ditemukan (Kaplan, 1999).
Hubungan antara retriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum
jelas. Namun berdasarkan studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan tekanan
darah ketika asupan garam ditambah (Kaplan, 1999).
2) Asupan Kalium
Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler, cara kerja kalium
adalah kebalikan dari Na. konsumsi kalium yang banyak akan
meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga cenderung
menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah (Appel,
1999).
Universitas Sumatera Utara
Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron. Peningkatan
sekresi aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium dan air juga ekskresi kalium.
Sebaliknya penurunan sekresi aldosteron menyebabkan ekskresi natrium dan air
juga penyimpanan kalium. Rangsangan utama bagi sekresi aldosteron adalah
penurunan volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi
kalium juga dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di tubulus
distal (Appel, 1999).
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah kalium akan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling yang
mengindikasikan terjadinya resistansi pembuluh darah pada ginjal. Pada populasi
dengan asupan tinggi kalium tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih
rendah dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi rendah kalium (Appel,
1999).
3) Asupan Magnesium
Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler otot
halus dan diduga berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan darah. The
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of
High Blood Presure (JNC) melaporkan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara magnesium dan tekanan darah (Appel, 1999).
Sebagian besar penelitian klinis menyebutkan, suplementasi magnesium
tidak efektif untuk mengubah tekanan darah. Hal ini dimungkinkan karena
adanya efek pengganggu dari obat anti hipertensi. Meskipun demikian,
suplementasi magnesium direkomendasikan untuk mencegah kejadian hipertensi
(Appel, 1999).
2.1.6. Kerusakan Organ Target
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, naik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang
umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:
1. Penyakit ginjal kronis
2. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
Universitas Sumatera Utara
b. Angina atau infark miokardium
c. Gagal jantung
3. Otak
a. Strok
b. Transient Ischemic Attack (TIA)
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati (Yogiantoro, 2006).
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ
tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ,
atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap
reseptor ATI angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric
oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi
garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan
organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi
transforming growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro, 2006).
2.1.7. Evaluasi Hipertensi
Hipertensi pada pasien hipertensi bertujuan untuk:
1). Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya
atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan
menentukan pengobatan.
2). Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular
(Yogiantoro, 2006).
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang
keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
Universitas Sumatera Utara
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian
obat- obat analgesik dan obat/bahan lain.
c. Episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d. Episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau
keluarganya d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas
olahraga g. kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attack, defisit sensoris atau motoris
b. Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria
c. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak
kaki d. Arteri perifer : ekstremitas dingin
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya (Yogiantoro, 2006).
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
a. Tes darah rutin
b. Glukosa darah (sebaiknya puasa)
c. Kolesterol total serum
d. Kolesterol LDL dan HDL serum
e. Trigliserida serum (puasa)
f. Asam urat serum
g. Kreatinin serum
h. Kalium serum
Universitas Sumatera Utara
i. Hemoglobin dan
hematokrit j. Urinalisis
k. Elektrokardiogram (Yogiantoro, 2006).
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya
hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan
gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target
meliputi:
1. Fungsi ginjal
a. Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya
proteinuria/mikro- makroalbuminur ia serta rasio albumin kreatinin urin
b. Perkiraan LFG, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat
diperkirakan dengan menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault
sesuai dengan anjuran National Kidney Foundation (NKF) yaitu:
Klirens Kreatinin* = ( 140 - u m u r ) x B e r at B ad an x (0,85 untuk perempuan)
72 x Kreatinin Serum
*Glomerulus Filtration Rate (GFR)/LFG dalam ml/menit/1,73m2.
(Yogiantoro, 2006).
2.1.8. Penatalaksanaan hipertensi :
a. Penatalaksanaan farmakologis
b. Penatalaksanaan non farmakologis ( diet)
Penatalaksanaan non farmakologis (diet) sering sebagai pelengkap
penatalaksanaan farmakologis, selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu
terapi dietetik dan merubah gaya hidup (Yogiantoro, 2006).
Tujuan dari penatalaksanaan diet :
a. Membantu menurunkan tekanan darah secara bertahap dan
mempertahankan tekanan darah menuju normal.
b. Mampu menurunkan tekanan darah secara multifaktoral
Universitas Sumatera Utara
c. Menurunkan faktor risiko lain seperti BB berlebih, tingginya kadar
asam lemak, kolesterol dalam darah.
d. Mendukung pengobatan penyakit penyerta seperti penyakit ginjal, dan
DM (Yogiantoro, 2006).
Prinsip diet penatalaksanaan hipertensi :
a. Makanan beraneka ragam dan gizi seimbang
b. Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi penderita
c. Jumlah garam dibatasi sesuai dengan kesehatan penderita dan jenis
makanan dalam daftar diet. Konsumsi garam dapur tidak lebih dari ¼ -
½ sendok teh/hari atau dapat menggunakan garam lain diluar natrium.
(Yogiantoro,
2006).
2.2. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
2.2.1. Definisi
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kemunduran fungsi ginjal yang
menyebabkan ketidakmampuan mempertahankan substansi tubuh dibawah
kondisi normal (Sowden, 1996).
PGK hadir ketika LFG menurun secara permanen dalam hubungan
dengan hilangnya populasi nefron fungsional. Hal ini ditandai dengan gesekan
terus dari nefron dan variabel tetapi biasanya tak henti-hentinya
perkembangan menuju tahap akhir penyakit ginjal/End Stage Renal Disease
(ESRD) (Fisch, 2000).
2.2.2. Etiologi
Penyebab paling lazim dari ESRD adalah mayority dari pasien hipertensi,
diabetes mellitus, atau keduanya. Penyebab lainnya adalah glomerulonephritis,
penyakit interstisial, cystic/hereditery/congenital dan yang tidak diketahui
penyebabnya (Fisch, 2000).
Penyakit ginjal primer terbatas pada ginjal dan biasanya hadir dengan
gagal ginjal kronis atau sindrom nefrotik tanpa riwayat penyakit sistemik.
Penyakit non-glomerular seperti uropathy obstruktif, nefritis interstisial
Universitas Sumatera Utara
primer,
Universitas Sumatera Utara
dan nefropati iskemik sering diidentifikasi selama hasil pemeriksaan untuk
hipertensi yang baru ditemukan atau hematuria asimtomatik. Pasien menyajikan
dengan proteinuria atau sindrom nefrotik tapi tanpa bukti infeksi, penyakit
kolagen-vaskular, atau keganasan cenderung memiliki glomerulonefritis
idiopatik (Fisch, 2000).
Penyakit ginjal sekunder. Sejarah lengkap dan pemeriksaan fisik
didampingi oleh kerja darah rutin membongkar etiologi dari gagal ginjal kronis
di lebih dari 60% sampai 70% kasus. Hipertensi dan diabetes biasanya hadir
untuk setidaknya 10 tahun sebelum mereka menyebabkan gagal ginjal kronis
dengan hipertensi yang mengarah ke ESRD, hipertensi tidak terkontrol dan
dipercepat adalah yang paling sering (Fisch, 2000).
Menurut Markum (2006), Penyebab dari PGK adalah:
- Tekanan darah tinggi (hipertensi)
- Penyumbatan saluran kemih
- Glomerulonefritis
- Kelainan ginjal, misalnya penyakit ginjal polikista
- Diabetes melitus (kencing manis)
- Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik.
2.2.3. Faktor Risiko PGK
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi ialah hipertensi. Hipertensi dapat
bertindak sendiri atau dengan penyakit lain untuk membujuk penyakit
ginjal kronis dan meskipun kebanyakan pasien dengan hipertensi tidak pernah
mengembangkan penyakit ginjal yang signifikan, kronis tekanan darah tinggi
bertanggung jawab untuk 25% dari kasus baru.
Faktor risiko lainnya yang dapat dimodifikasikan adalah diabetes mellitus.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur dan ras (Schrier,
2000).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Diagnosis PGK
Menurut Fisch (2000), diagnosis klinis dari PGK adalah:
1. Menurunnya LFG
Klasifikasi tingkat penyakit ginjal kronik, sebagai berikut:
• Tingkat 1: kerusakan ginjal dengan normal LFG (>90 mL/menit/1.73 m2)• Tingkat 2: penurunan ringan pada LFG (60-89 mL/menit/1.73 m2)• Tingkat 3: penurunan sedang pada LFG (30-59 mL/menit/1.73 m2)• Tingkat 4: penurunan berat pada LFG (15-29 mL/menit/1.73 m2)• Tingkat 5: gagal ginjal (LFG <15 mL/menit/1.73 m2 atau dialisis)
2. Indikasi lainnya
a. Proteinuria
b. Hematur ia
c. Abnormal urinary sedimen
d. Hipertensi
2.3. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu prosedur untuk membuang racun atau sisa
metabolisme dari dalam darah dengan mengalirkan darah ke suatu tabung ginjal
buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien
dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat (Rahardjo et al, 2006).
Keputusan untuk inisiasi hemodialisis terutama berdasarkan parameter
laboratorium yaitu LFG antara 5-8 ml/menit/1,73 m² (Sukandar, 2006).
Beberapa komplikasi yang mungkin ditimbulkan selama prosedur
hemodialisis ialah emboli udara akibat udara masuk ke sirkuit darah, hipotensi
terkait hemodialisis, hipoksemia, kram otot, mual, muntah, sakit kepala,
sakit dada, dan gatal-gatal. Pengawasan terus-menerus kompartemen darah dan
dialisat sangat penting untuk mencegah semua komplikasi (Sukandar, 2006).