Chapter II

27
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Posyandu Menurut Depkes RI (2005), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Posyandu antara lain: Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), KB (Keluarga Berencana), P2M (Imunisasi dan Penanggulangan Diare), dan Gizi (penimbangan Balita). Sedangkan sasaran penduduk Posyandu ialah ibu hamil, ibu menyusui, Pasangan Usia Subur (PUS) dan Balita. 2.1.1 Pengertian Posyandu Program Posyandu merupakan strategi pemerintah dalam menurunkan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate), angka kelahiran (Birth Rate), dan angka kematian ibu (Maternal Mortality Rate). Turunnya IMR, BR, dan MMR di suatu wilayah merupakan standar keberhasilan pelaksanaan program terpadu di wilayah tersebut. Untuk mempercepat penurunan IMR, BR, dan MMR tersebut, secara nasional diperlukan tumbuhnya peran serta masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan Posyandu, karena Posyandu adalah milik masyarakat. Untuk mengembangkan peran serta masyarakat di Posyandu dapat dilakukan dengan penerapan asas-asas manajemen kesehatan (Depkes RI, 2003). Universitas Sumatera Utara

description

posyandu

Transcript of Chapter II

Page 1: Chapter II

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Posyandu

Menurut Depkes RI (2005), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah suatu

bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja

Puskesmas. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Posyandu antara lain:

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), KB (Keluarga Berencana), P2M (Imunisasi dan

Penanggulangan Diare), dan Gizi (penimbangan Balita). Sedangkan sasaran

penduduk Posyandu ialah ibu hamil, ibu menyusui, Pasangan Usia Subur (PUS) dan

Balita.

2.1.1 Pengertian Posyandu

Program Posyandu merupakan strategi pemerintah dalam menurunkan angka

kematian bayi (Infant Mortality Rate), angka kelahiran (Birth Rate), dan angka

kematian ibu (Maternal Mortality Rate). Turunnya IMR, BR, dan MMR di suatu

wilayah merupakan standar keberhasilan pelaksanaan program terpadu di wilayah

tersebut. Untuk mempercepat penurunan IMR, BR, dan MMR tersebut, secara

nasional diperlukan tumbuhnya peran serta masyarakat dalam mengelola dan

memanfaatkan Posyandu, karena Posyandu adalah milik masyarakat. Untuk

mengembangkan peran serta masyarakat di Posyandu dapat dilakukan dengan

penerapan asas-asas manajemen kesehatan (Depkes RI, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

Sistem merupakan suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu sama

lain dan mempunyai suatu tujuan yang jelas. Komponen suatu sistem terdiri dari

input, process, output, effect, outcome, dan mekanisme umpan baliknya (Depkes RI,

2005).

2.1.2 Sistem Pelayanan Terpadu

a. Input. Yaitu sumber daya atau masukan yang dikonsumsikan oleh suatu system

yang disingkat dengan 6 M yaitu: Man, Money, Material, Method, Minute, dan

Market. Man adalah kelompok penduduk sasaran yang akan diberikan pelayanan,

staf puskesmas, kecamatan, kelurahan, kader, pemuka masyarakat, dan sebagainya.

Money adalah dana yang dapat digali dari swadaya masyarakat dan yang disubsidi

oleh pemerintah. Material adalah vaksin, jarum suntik, KMS, alat timbang, obat-

obatan, dan sebagainya. Method adalah cara penyimpanan vaksin, cara

menimbang, cara memberikan vaksin, cara mencampur oralit, dan sebagainya.

Minute adalah waktu yang disediakan oleh staf Puskesmas untuk melaksanakan

kegiatan Posyandu dan waktu yang disediakan oleh ibu untuk suatu kegiatan dan

sebagainya. Market

b.

adalah masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

seperti lokasi kegiatan Posyandu, transport, sistem kepercayaan masyarakat di

bidang kesehatan dan sebagainya.

Process. Meliputi semua kegiatan pelayanan terpadu mulai dari persiapan bahan,

tempat, dan kelompok penduduk sasaran sampai dengan evaluasinya.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

c. Output. Merupakan produk program Posyandu misalnya jumlah anak yang

ditimbang, jumlah bayi, dan ibu hamil yang diimunisasi, jumlah PUS yang

diberikan pelayanan KB.

d. Effect. Terjadinya perubahan pengetahuan dan sikap perilaku kelompok

masyarakat yang dijadikan sasaran program.

e. Outcome. Merupakan dampak atau hasil tidak langsung dari proses suatu sistem

seperti penurunan angka kematian bayi, penurunan fertilitas PUS, dan jumlah

balita kurang gizi.

Fungsi manajemen yang dipakai sebagai pokok bahasan dalam makalah ini

ialah perencanaan, pengorganisasian, penggerakan-pelaksanaan dan pengawasan.

Tiga prinsip pokok penerapan asas-asas manajemen pada pengembangan program

kesehatan adalah upaya peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya untuk

menunjang pelaksanaan program, peningkatan efektifitas pelaksanaan kegiatan untuk

mencapai target program, dan setiap pengambilan keputusan dapat dilakukan secara

rasional karena sudah didasari pemanfaatan data secara tepat (Depkes RI, 2003).

2.1.3 Fungsi Manajemen Posyandu

Ada empat fungsi manajemen pada program pelayanan terpadu, berikut ini

akan dijelaskan keempat fungsi manajemen tersebut (Depkes RI, 2003):

a

Perencanaan merupakan fungsi yang terpenting karena awal dan arah dari proses

manajemen Posyandu secara keseluruhan. Perencanaan program Posyandu dimulai

. Perencanaan

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

di tingkat Puskesmas yang bersifat operasional karena langsung dilaksanakan di

lapangan. Perencanaan program Posyandu terdiri dari lima langkah penting yakni:

(1). Menjelaskan berbagai masalah. Untuk dapat menjelaskan masalah program

Posyandu diperlukan upaya analisis situasi. Sasaran analisis situasi adalah

berbagai aspek penting pelaksanaan program Posyandu di berbagai wilayah

Puskesmas. Dari analisis situasi akan dihasilkan berbagai macam data yang

terdiri dari 5 (lima) aspek.

(a) Aspek epidemiologis yakni kelompok penduduk sasaran (who) yang

menderita kejadian tersebut, dimana, kapan masalah tersebut terjadi.

Misalnya: data jenis penyakit yang dapat dicegah dari imunisasi.

(b) Aspek demografis berdasarkan kelompok umur, jumlah kelahiran dan

kematian, jumlah Angka Kematian Ibu (AKI).

(c) Aspek geografis semua informasi karakteristik wilayah yang dapat

memengaruhi masalah tersebut.

(d) Aspek sosial ekonomi adalah pendapatan, tingkat pendidikan, norma

sosial, dan sistem kepercayaan masyarakat.

(e) Aspek organisasi pelayanan meliputi motivasi kerja staf dan kader,

keterampilan, persediaan vaksin, alat Keluarga Berencana (KB), dan

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

(2). Menentukan prioritas masalah. Prioritas masalah secara praktis dapat

ditetapkan berdasarkan pengalaman staf, dana, dan mudah tidaknya masalah

dipecahkan. Prioritas masalah dijadikan dasar untuk menentukan tujuan.

(3). Menetapkan tujuan dan indikator keberhasilan. Contoh tujuan program

Posyandu: meningkatkan cakupan vaksinasi, mengintensifkan imunisasi

campak di wilayah binaan dan mengkaji hambatan dan kendala. Sebelum

menentukan tolak ukur, perlu dipelajari hambatan-hambatan program

kesehatan yang pernah dialami atau diperkirakan baik yang bersumber dari

masyarakat, lingkungan, Puskesmas maupun dari sektor lainnya.

(4) Menyusun Rencana Kerja Operasional (RKO). Dengan RKO akan

memudahkan pimpinan mengetahui sumber daya yang dibutuhkan dan sebagai

alat pemantau. Contoh format RKO: Jenis kegiatan yang dilakukan untuk

mencapai tujuan, Lokasi kegiatan, Metode pelaksanaan, Sasaran penduduk,

Penanggung Jawab, Dana dan sarana serta Waktu Pelaksanaannya.

Struktur organisasi Puskesmas dapat diketahui mekanisme pelimpahan wewenang

dari pimpinan kepada staf sesuai tugas yang diberikan. Masing-masing kelompok

terdiri dari 2 atau 3 staf yang tiap staf disesuaikan dengan jumlah yang tersedia dan

jumlah kelompok yang diperlukan. Setiap kelompok dikoordinasikan oleh satu

orang senior. Staf bersama kader akan memberikan pelayanan di Posyandu,

membuat laporan, menganalisis cakupan dan mengevaluasi pelaksanaan program

b. Pengorganisasian

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

di lapangan. Tugas-tugas kader hendaknya dibuat jelas dan sederhana disesuaikan

dengan rata-rata tingkat pendidikan kader.

Keberhasilan pengembangan fungsi manajemen ini amat dipengaruhi oleh

keberhasilan pimpinan Puskesmas menumbuhkan motivasi kerja staf dan semangat

kerja sama antara staf dengan staf lainnya di Puskesmas (lintas program), antara

staf Puskesmas dengan masyarakat, dan antara staf Puskesmas dengan pimpinan

instansi di tingkat kecamatan (lintas sektoral). Mekanisme komunikasi yang

dikembangkan oleh pimpinan Puskesmas dengan stafnya, demikian pula antara

pimpinan Puskesmas dengan camat dan pimpinan sektor lainnya di tingkat

kecamatan, termasuk dengan aparat di tingkat desa akan sangat berpengaruh pada

keberhasilan fungsi manajemen ini. Melalui lokakarya mini Puskesmas,

kesepakatan kerjasama lintas program dan sektoral dapat dirumuskan. Perwujudan

kerjasama lintas sektoral akan ditentukan oleh peranan camat dan ketua penggerak

PKK di tingkat kecamatan. Keterampilan untuk mengembangkan hubungan antar

manusia sangat diperlukan dalam penerapan fungsi manajemen ini (Depkes RI,

2005).

c. Penggerakan-pelaksanaan

Posyandu adalah untuk masyarakat dan perlu dikelola oleh masyarakat oleh kader-

kader di tingkat dusun. Pembinaan kader memang sukar dikerjakan oleh pihak

Puskesmas karena kader bekerja secara sukarela sementara kader dihadapkan pada

pilihan bekerja untuk menanggung kebutuhan ekonomi keluarga dan dirinya

sendiri. Tetapi tanpa kader yang diambil dari masyarakat setempat, konsep

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

Posyandu (dari dan untuk masyarakat) akan kabur. Ironisnya sampai saat ini

Posyandu masih tetap dianggap perpanjangan tangan Puskesmas. Tanpa staf

Puskesmas, Posyandu jarang sekali berjalan secara rutin. Ini adalah salah satu

bentuk tantangan pelaksanaan dan pengembangan Posyandu terutama di kota-kota.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melaksanakan program Posyandu

adalah:

(1) Kembangkan mekanisme kerjasama yang positif antara dinas-dinas sektoral di

tingkat kecamatan, antara staf Puskesmas sendiri dan organisasi formal dan

informasi di tingkat desa/ dusun.

(2) Gali potensi masyarakat dan kembangkan kerjasama yang ada (terutama

dengan PKK) untuk dapat menunjang kegiatan program Posyandu.

(3) Kembangkan motivasi kader dan staf kesehatan sebagai anggota kelompok

kerja program Posyandu, sehingga peran serta kader yang optimal dapat

ditingkatkan untuk menunjang pelaksanaan program Posyandu. Dalam hal ini

Hubungan Antar Manusia (HAM) perlu terus dibina dan dikembangkan untuk

menjamin tumbuhnya suasana kerja yang harmonis dan merangsang inisiatif

anggota kelompok kerja Posyandu.

Pimpinan Puskesmas dan koordinator program Posyandu dapat mengevaluasi

keberhasilan program dengan menggunakan Rencana Kerja Operasional (RKO)

sebagai tolak ukur/standar dan membandingkan hasil kegiatan program di masing-

d. Pengawasan dan Pengendalian

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

masing Posyandu. Aspek-aspek yang diawasi selama program Posyandu di

lapangan adalah:

(1) Keterampilan kader melakukan penimbangan program Posyandu

(2) Membuat pencatatan program Posyandu

(3) Membuat pelaporan program Posyandu

Untuk tanggung jawab pengawasan program Posyandu tetap di tangan pimpinan

Puskesmas tetapi wewenang pengawasan di lapangan dilimpahkan pada

koordinator program.

Beberapa langkah penting dalam fungsi Wasdal program Posyandu ini adalah:

(1) Menilai kesenjangan antara target dan standard dengan cakupan dan

kemampuan staf dan kader untuk melaksanakan tugas-tugasnya (aspek

pengawasan).

(2) Analisis faktor-faktor penyebab timbulnya kesenjangan tersebut.

(3) Merencanakan dan melaksanakan langkah-langkah untuk mengatasi

permasalahan yang muncul berdasarkan faktor-faktor penyebab yang sudah

diidentifikasi (aspek pengendalian).

Pengawasan dan pengendalian program Posyandu dilaksanakan secara rutin

dengan menggunakan tolak ukur keberhasilan program sebagai pedoman kerja dan

hasilnya dapat digunakan sebagai umpan balik memperbaiki proses perencanaan

program posyandu. Pimpinan Puskesmas hendaknya selalu mengadakan pemantauan

secara menyeluruh terhadap pelaksanaan program dengan menggunakan laporan staf,

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

analisis cakupan program, laporan masyarakat dan hasil observasi atau supervisi di

lapangan sebagai bahan penilaian (Depkes RI, 2003).

2.1.4 Sistem Informasi di Posyandu (Sistem Lima Meja)

a. Meja I

Layanan meja I merupakan layanan pendaftaran, kader melakukan

pendaftaran pada ibu dan Balita yang datang ke Posyandu. Alur pelayanan Posyandu

menjadi terarah dan jelas dengan adanya petunjuk di meja pelayanan. Petunjuk ini

memudahkan ibu dan Balita saat datang, sehingga antrian tidak terlalu panjang atau

menumpuk di satu meja.

b. Meja II

Layanan meja II merupakan layanan penimbangan

c. Meja III

Kader melakukan pencatatan pada buku KIA atau KMS setelah ibu dan Balita

mendaftar dan ditimbang di meja III. Pencatatan dengan mengisikan berat badan

Balita ke dalam skala yang di sesuaikan dengan umur Balita. Di atas meja terdapat

tulisan yang menunjukan pelayanan yang di berikan.

d. Meja IV

Berat badan anak yang naik atau yang tidak naik, ibu hamil dengan resiko

tinggi, pasangan usia subur yang belum mengikuti KB, penyuluhan kesehatan,

pelayanan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), oralit, vitamin A, tablet zat besi

dilakukan di meja IV

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

e. Meja V

Pemberian imunisasi dan pelayanan kesehatan kepada Balita yang datang ke

Posyandu dilayani di meja V, dilakukan oleh bidan desa atau petugas kesehatan

lainnya. Imunisasi yang diberikan di posyandu adalah imunisasi dasar, yaitu: BCG,

DPT, Hepatitis, Polio, Campak.

Fungsi manajemen posyandu adalah untuk mengetahui keberhasilan program

posyandu, kajian output (cakupan) masing-masing program yang dibandingkan

dengan targetnya adalah salah satu cara yang dapat dipakai sebagai bahan penilaian

cakupan program adalah hasil langsung (output) kegiatan program posyandu yang

dapat dapat dihitung segera setelah pelaksanaan kegiatan program. Perhitungan

cakupan ini dapat dilakukan dengan menggunakan statistik sederhana yaitu jumlah

orang yang mendapatkan pelayanan dibagi dengan jumlah penduduk sasaran setiap

program.

2.1.5 Penilaian Keberhasilan Program Posyandu

Jumlah penduduk sasaran dapat dihitung secara langsung oleh staf Puskesmas

melalui pencatatan data jumlah penduduk sasaran yang ada di Desa atau dusun.

Penduduk sasaran program Posyandu lebih sering dihitung berdasarkan perkiraan

atau estimasi. Estimasinya ditetapkan oleh dinas kesehatan Kabupaten/Kota. Jumlah

penduduk sasaran nyata sering jauh lebih rendah dari jumlah penduduk yang dihitung

dengan menggunakan estimasi sehingga hasil analisis cakupan program di Puskesmas

selalu jauh lebih rendah. Atas dasar perbedaan antara jumlah penduduk sasaran yang

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

dicari langsung (riil) dengan yang diperkirakan (estimasi), perhitungan cakupan

dengan menggunakan kedua jenis penduduk sasaran tersebut sebagai pembaginya

akan memberikan hasil yang berbeda (Depkes RI, 2005).

Staf Puskesmas dalam hal peningkatan efisiensi dan efektivitas

penatalaksanaan program posyandu perlu dilatih keterampilan dan ditingkatkan

kepekaannya mengkaji masalah program dan masalah kesehatan masyarakat yang

berkembang di wilayah binaannya. Keterampilan seperti ini dapat dilatih secara

langsung pada saat supervisi dan juga diarahkan untuk mencari upaya pemecahan

masalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan dengan melibatkan tokoh dan

kelompok masyarakat setempat. Semua kegiatan tersebut diatas adalah bagian dari

proses manajemen program Posyandu (Depkes RI, 2005).

Manajemen program Posyandu di Puskesmas yang diterapkan dapat diamati

dari pelaksanaan kegiatan di lapangan merupakan cara terbaik untuk mengetahui dan

mengevaluasi program posyandu. Hasil dari evaluasi pelaksanaan program Posyandu

dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan peningkatan cakupan pelayanan.

2.1.6 Indikator Kegiatan Posyandu

Ada beberapa indikator dalam kegiatan Posyandu antara lain :

1. Liputan Program (K/S). Merupakan indikator mengenai kemampuan program

untuk menjangkau Balita yang ada di masing-masing wilayah kerja posyandu.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

Diperoleh dengan cara membagi jumlah balita yang ada dan mempunyai Kartu

Menuju Sehat (KMS) dengan jumlah keseluruhan Balita dikalikan 100.

2. Tingkat Kelangsungan Penimbangan (K/D). Merupakan tingkat kemantapan

pengertian dan motivasi orang tua balita untuk menimbang balitanya setiap bulan.

Indikator ini dapat dengan cara membagi jumlah Balita yang ditimbang

(D) dengan jumlah Balita yang terdaftar dan mempunyai KMS (K) dikalikan 100.

3. Hasil Penimbangan (N/D). Merupakan indikator keadaan gizi Balita pada suatu

waktu (bulan) di wilayah tertentu. Indikator ini didapat dengan membagi jumlah

Balita yang naik berat badannya (N) dengan jumlah Balita yang ditimbang bulan

ini (D).

4. Hasil Pencapaian Program (N/S). Indikator ini di dapat dengaan cara membagi

jumlah Balita yang naik berat badannya (N) dengan jumlah seluruh Balita

(S) dikalikan 100.

5. Partisipasi Masyarakat (D/S). Indikator ini merupakan keberhasilan program

Posyandu, karena menunjukkan sampai sejauh mana tingkat partisipasi

masyarakat dan orang tua Balita pada penimbangan Balita di Posyandu. Indikator

ini di peroleh dengan cara membagi jumlah Balita yang ditimbang (D) dengan

jumlah seluruh Balita yang ada (S) dikalikan 100. Tinggi rendahnya indikator ini

dipengaruhi oleh aktif tidaknya bayi dan Balita ditimbangkan tiap bulannya.

Menurut Depkes RI (2005), Posyandu digolongkan pada empat tingkatan

berdasarkan pada beberapa indikator sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

a. Posyandu Pratama adalah Posyandu yang masih belum mantap. Kegiatannya belum

bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas, yakni kurang dari 5 orang.

b. Posyandu Madya adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih

dari delapan kali dalam setahun, dengan rata-rata jumlah kader lima orang atau

lebih. Akan tetapi cakupan program utamanya (KIA, KB, Gizi dan menyusui)

masih rendah yaitu < 50%. Ini menunjukkan kegiatan Posyandu sudah baik tetapi

cakupan program masih rendah.

c. Posyandu Purnama adalah Posyandu yang frekuensinya > 8 kali pertahun, rata-rata

jumlah kader adalah lima orang atau lebih dan cakupan program utamanya > 50%

dan sudah ada program tambahan.

d. Posyandu Mandiri adalah Posyandu yang sudah dapat melakukan kegiatan secara

teratur, cakupan program utamanya sudah bagus. Ada program tambahan dan dana

sehat telah menjangkau > 50% kepala keluarga. Terselenggaranya pelayanan

Posyandu melibatkan banyak pihak, adapun tugas dan tanggungjawab masing-

masing pihak dalam penyelenggaraan Posyandu seperti, Dinas kesehatan berperan

dan membantu pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan (pengadaan alat

timbang, distribusi KMS, obat-obatan dan vitamin) serta dukungan bimbingan

tenaga teknis kesehatan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) berperan dalam penyuluhan, penggerakan peran serta masyarakat dan

sebagainya (Depkes RI, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

2.2 Epidemiologi Gizi dalam Program Posyandu

Fungsi manajemen posyandu yang terkait dengan perencanaan, salah satu

adalah aspek epidemiologis. Ruang lingkup epidemiologi dalam program posyandu

lebih ditekankan pada epidemiologi gizi yang terkait dengan masalah kekurangan gizi

serta penanganan penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi.

Epidemiologi gizi adalah ilmu yang mempelajari determinan dari suatu

masalah atau kelainan gizi dengan : (a) mempelajari distribusi dan besarnya masalah

gizi pada populasi manusia, (b) menguraikan penyakit dari masalah gizi dan

menentukan hubungan sebab akibat, (c) memberikan informasi yang dibutuhkan

untuk merencanakan dan melaksanakan program pencegahan, kontrol dan

penanggulangan masalah gizi di masyarakat, (d) menguraikan penyebab dari masalah

gizi dan menentukan hubungan sebab akibat (Budiarto, 2002).

Menurut Nasry (2008) pendekatan masalah gizi masyarakat melalui

epidemiologi gizi bertujuan untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan

erat dengan timbulnya masalah gizi masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan

terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat. Penanggulangan

masalah gizi masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi lebih mengarah kepada

penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya masalah

tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas pada sasaran individu atau

lingkungan keluarga saja.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

Epidemiologis masalah gizi dihubungkan dengan: faktor dan penyebab

masalah gizi (agent), faktor yang ada pada pejamu (host) serta faktor yang ada di

lingkungan pejamu (environment). Menguraikan penyebab dari masalah gizi dan

menentukan hubungan sebab akibat antara ketiga faktor tersebut yaitu:

(a) masalah gizi : kekurangan atau kelebihan zat gizi, (b) agent: asupan makanan dan

penyakit yang dapat memengaruhi status gizi serta faktor-faktor yang berkaitan,

(c) host: karakteristik individu yang ada kaitannya dengan masalah gizi (umur, jenis

kelamin, suku bangsa, dan lain-lain), (d) environment: lingkungan (rumah, pekerjaan,

pergaulan) yang ada kaitannya dengan masalah gizi (Nasry, 2008).

Masalah gizi yang umum terjadi di Indonesia adalah gizi buruk, yaitu suatu

kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain

status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa

berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi

Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.

Gizi buruk dapat terjadi jika tidak mampu untuk mendapat manfaat dari

makanan yang dikonsumsi oleh balita, contohnya pada penderita diare, nutrisi

berlebih, ataupun karena pola makan yang tidak seimbang sehingga tidak mendapat

cukup kalori dan protein untuk pertumbuhan tubuh. Beberapa orang dapat menderita

gizi buruk karena mengalami penyakit atau kondisi tertentu yang menyebabkan tubuh

tidak mampu untuk mencerna ataupun menyerap makanan secara sempurna.

Contohnya pada penderita penyakit seliak yang mengalami gangguan pada saluran

pencernaan yang dipicu oleh sejenis protein yang banyak terdapat pada tepung yaitu

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

gluten. Penyakit seliak ini mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi

sehingga terjadi defisiensi. Kemudian ada juga penyakit cystic fibrosis yang

memengaruhi pankreas, yang fungsinya adalah untuk memproduksi enzim yang

dibutuhkan untuk mencerna makanan. Demikian juga penderita intoleransi laktosa

yang susah untuk mencerna susu dan produk olahannya (Budiarto, 2002).

Balita yang menderita gizi buruk yang meningkat akhir-akhir ini adalah salah

satu cerminan lemahnya infrastruktur kesehatan, pangan dan gizi; serta terjadinya

kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, kebijakan ekonomi dan politik sehingga

dengan banyaknya kasus gizi buruk dapat menurunkan citra bangsa Indonesia di mata

dunia, dimana kasus gizi buruk yang muncul merupakan fenomena gunung es yang

memerlukan penanganan serius. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan anak, dapat

menyebabkan stunting (postur tubuh kecil pendek). Jika gizi buruk terjadi pada masa

golden period perkembangan otak pada usia 0-3 tahun, kondisi ini akan irreversible

yaitu sulit untuk dapat pulih kembali. Beberapa penelitian menjelaskan, dampak

jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis,

mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan

dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangan

kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan

penurunan rasa percaya diri dan menurunnya prestasi akademik (Budiarto, 2002).

Hasil Riskesdas (2007) menunjukkan prevalensi balita sangat kurus secara

nasional masih cukup tinggi yaitu 6,2%. Besarnya masalah kurus pada balita yang

masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (public health problem) adalah jika

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

prevalensi kurus > 5%. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila

prevalensi kurus antara 10,1% - 15,0%, dan dianggap kritis bila prevalensi kurus

sudah di atas 15,0%. Secara nasional prevalensi kurus pada balita adalah 13,6%. Hal

ini berarti bahwa masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang serius. Bahkan, dari 33 provinsi, 18 provinsi di antaranya masuk

dalam kategori kategori kritis (prevalensi kurus >15%), 12 provinsi pada kategori

serius (prevalensi kurus antara 10-15%).

Posyandu sebagai ujung tombak dalam melakukan deteksi dini dan pelayanan

pertama menjadi vital dalam pencegahan kasus gizi buruk saat ini. Dalam

pelaksanaan kegiatan Posyandu, hambatan yang sering terjadi adalah lemahnya KIE

yang merupakan salah satu tumpuan dalam program gizi di posyandu. Penyuluhan

gizi di Posyandu belum dapat dilaksanakan kader dengan baik, karena kualitas kader

masih rendah, tingkat pendidikan relatif rendah (Purwaningsih, 2009).

Tingkat keberhasilan Posyandu dalam perbaikan gizi balita sangat tergantung

dari kualitas dan kuantitas pengelolaan Posyandu, serta partisipasi masyarakat. Dari

uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan gizi perlu diberikan kepada semua

lapisan masyarakat terutama ibu yang memiliki anak balita agar bisa membesarkan

anak-anaknya sehingga menjadi anak yang sehat dan cerdas, serta kader posyandu

mereka adalah ujung tombak dalam keberlangsungan program-program yang di

laksanakan. Dengan demikian perlu dilakukan pendidikan gizi bagi ibu balita dan

kader posyandu untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan serta

status gizi balita (Purwaningsih, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

2.3 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut teori Anderson dalam Notoatmodjo (2003), perilaku pemanfaatan

pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh faktor :

a. Predisposisi individu (predisposing factor)

Masing-masing individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam

memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat diramalkan dengan karakteristik

pasien yang telah ada sebelum timbulnya episode sakit. Karakteristik ini meliputi :

ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan tentang kesehatan.

b. Enabling factor

Faktor predisposisi harus didukung pula oleh hal-hal lain agar individu

memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor pendukung ini antara lain, pendapatan,

asuransi kesehatan dan ketercapaian sumber pelayanan kesehatan yang ada. Bila

faktor ini terpenuhi maka individu cenderung menggunakan fasilitas pelayanan

kesehatan yang ada pada saat sakit. Penderita penyakit yang tergolong berat

(misalnya harus operasi atau rawat inap di rumah sakit), maka kondisi ekonomi

merupakan penentu akhir bagi individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.

c. Karakteristik kebutuhan (need factor)

Faktor ini lebih menitikberatkan pada masalah apakah individu beserta keluarganya

merasakan adanya penyakit, atau kemungkinan untuk terjadinya sakit. Kebutuhan

diukur dengan “perceived need” dan “evaluated need” melalui : jumlah hari

individu tidak bisa bekerja, gejala yang dialaminya, penilaian individu tentang

status kesehatannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II

Faktor predisposisi dan enabling bila sudah mendukung, maka faktor

selanjutnya adalah kebutuhan berdasarkan persepsi (perceived need) terhadap

posyandu. Persepsi atau cara seseorang menanggapi peran dan manfaat posyandu

dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan dan akan menentukan apakah

memanfaatan pelayanan posyandu.

2.4 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan melakukan penginderaan terhadap

objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan

bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku di dalam diri orang tersebut terjadi proses

berurutan yakni:

a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

stimulus (objek) terlebih dahulu.

b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus.

c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II

d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran

dan sikapnya terhadap stimulus.

Penelitian Rogers (dalam Notoatmojo, 2003) menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku

baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan,

kesadaran dan sikap yang positif (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak

didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif dengan 6 tingkatan yaitu:

a.. Tahu (know). Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan

untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (application). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real

(sebenarnya).

d. Analisis (analysis). Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur

organisasi tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II

e. Sintesis (synthesis). Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk

melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian berdasarkan suatu

kriteria yang telah ada.

2.5 Sikap

Beberapa pengertian tentang sikap adalah sebagai berikut: (a) sikap belum

merupakan suatu tindakan nyata, melainkan dapat berupa predisposisi tingkah laku

Allport dalam Notoatmodjo (1993), (b) Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari

kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau

terarah, respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya.

Sikap itu dinamis dan tidak statis.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam Notoatmodjo (1993) menjelaskan

bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :

1) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :

1) Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

2) Merespon (responding). Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3) Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang

telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap

sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap

membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif

terhadap tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu terwujud didalam suatu tindakan

tergantung pada situasi saat itu, sikap akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada

pengalaman orang lain, sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar

pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

2.6 Peran Bidan Desa dalam Pelaksanaan Kegiatan Posyandu

Konsep peran serta diperkenalkan French et al dalam Cholid (2009), bahwa

peran menunjukkan proses antara dua atau lebih pihak yang memengaruhi satu

terhadap yang lainnya dalam membuat rencana, kebijakan, dan keputusan. Peran serta

lahir dari desakan kebutuhan psikologis pada setiap individu. Keinginan untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II

berperan didorong kebutuhan akan kekuasaan, ingin memperoleh pengakuan, dan

hasrat untuk bergantung pada orang lain, tetapi juga sebaliknya tempat orang

bergantung.

Pengertian peran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005)

adalah perangkat tingkah laku yang dimiliki seseorang sesuai dengan kedudukannya

di masyarakat. Selanjutnya Cholid (2009), menyatakan peran menunjuk pada

tindakan dalam suatu tipe hubungan interaksi khusus. Dua dimensi peran adalah:

kewajiban dan hak, dimana tindakan yang diharapkan akan dilaksanakan oleh

seseorang merupakan kewajiban suatu peran; tindakan atau respon orang lain

merupakan hak. Konsep peran dihubungkan dengan konsep status, sehingga peran

status adalah satuan struktural yang paling mendasar sebagai syarat fungsional yang

harus dipenuhi.

Menurut Meilani et al (2009), peran bidan dalam pelayanan kebidanan

komunitas yang diimplementasikan dalam program posyandu meliputi: (a) sebagai

motivator, yaitu menggerakkan dan membina peran serta masyarakat, (b) sebagai

fasilitator, yaitu memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat seperti:

imunisasi kepada balita, (c) edukator, yaitu membina dan memberikan bimbingan

teknis kepada kader posyandu dan masyarakat, (d) sebagai advokator, yaitu: membina

kerjasama lintas program dan lintas sektoral dan Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM).

Menurut Depkes RI (2002), bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari

pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II

Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi secara sah mendapat

lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Bidan diakui sebagai tenaga

professional yang bertanggung-jawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra

perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat sesuai dengan tanggung

jawabnya dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir, dan bayi. Asuhan ini

mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada

ibu dan anak, dan akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai dengan

tanggung jawabnya.

Bidan desa mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan

kesehatan, tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan

masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan antenatal dan persiapan

menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual

atau kesehatan reproduksi dan asuhan anak.

Implementasi tugas dan fungsi bidan di desa, selain bekerja sama dengan

tenaga non medis seperti dukun, bidan desa juga bekerja sama dengan masyarakat

yang secara sukarela membantu dan melaksanakan posyandu. Biasanya masyarakat

tersebut telah mendapat pelatihan dalam menjalankan tugasnya tersebut sebagai

kader. Tugas dan fungsi utama bidan desa adalah memberikan pelayanan kesehatan

ibu dan anak. Penempatan bidan desa adalah memberikan pelayanan ibu dan anak

serta KB dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta kelahiran.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II

Bidan desa diharapkan kehadirannya mampu memperluas jangkauan

pelayanan yang telah ada sekaligus dapat meningkatkan cakupan program pelayanan

posyandu dalam pencegahan penyakit pada bayi melalui kegiatan penimbangan

balita, imunisasi maupun pemberian makanan tambahan (Depkes RI, 2002). Prinsip

pelayanan kebidanan di desa adalah : (a) pelayanan di komunitas desa sifatnya multi

disiplin meliputi ilmu kesehatan masyarakat, kedokteran, sosial, psikologi,

komunikasi, ilmu kebidanan, dan lain-lain yang mendukung peran bidan di

komunitas, (b) dalam memberikan pelayanan di desa bidan tetap berpedoman pada

standar dan etika profesi yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,

(c) dalam memberikan pelayanan bidan senantiasa memerhatikan dan memberi

penghargaan terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, sepanjang tidak

merugikan dan tidak bertentangan dengan prinsip kesehatan, (d) bidan di desa juga

membuat laporan kegiatan bidan setiap bulan dan diserahkan kepada bidan

koordinator pada saat bidan di desa melaksanakan tugasnya ke puskesmas

(Widyastuti, 2007).

2.7 Landasan Teori

Perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh faktor

predisposisi individu (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors) dan

faktor kebutuhan (need factors), secara skematis digambarkan pada Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II

Gambar 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Sumber: A Behavioral Model of Families Use of Health Services (Andersen, 1974)

Berdasarkan teori perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan, apabila faktor

predisposisi dalam diri ibu yang mempunyai balita dan faktor enabling mendukung

untuk memanfaatkan pelayanan posyandu, serta adanya kebutuhan berdasarkan

persepsi (perceived need) dan kondisi bayi dan balita yang membutuhkan pelayanan

posyandu akan menentukan memanfaatkan atau tidak memanfaatkan pelayanan

kesehatan di posyandu.

Pada konteks pemanfaatan posyandu, faktor yang berperan pada ibu yang

mempunyai balita adalah pengetahuan dan sikap terhadap posyandu sebagai sarana

pelayanan kesehatan, hal ini terkait dengan aspek health belief pada faktor

predisposing sebagaimana dikemukakan Anderson (1974), sedangkan bidan desa

Predisposing Enabling Need

Demografic (Age, Sex)

Social Structure (Etnicity,

Education, Occupation of Head Family)

Health Belief

Family Resources (Income, Health

Assurance)

Community Resources

(Health facility and personal)

Perceived (Symptoms diagnose)

Evaluated (Symptons diagnose)

Health Services

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II

sebagai tenaga kesehatan yang berperan dalam pelaksanaan kegiatan posyandu terkait

dengan aspek community resources pada faktor enabling sebagaimana dikemukakan

Anderson (1974).

2.8 Kerangka Konsep Penelitian

Pemanfaatan pelayanan posyandu balita dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan

ibu balita dan sikap ibu balita tentang posyandu serta sejauhmana peran Bidan Desa

dalam pelaksanaan kegiatan di posyandu. Hal tersebut menjadi kajian dalam

penelitian ini dengan melihat variabel-variabel yang diuraikan pada kerangka konsep

penelitian.

Variabel Independen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Pengetahuan Ibu Balita (X1)

Pemanfaatan Posyandu

Balita (Y)

Peran Bidan Desa (X3)

Sikap Ibu Balita (X2)

Variabel Dependen

Universitas Sumatera Utara