Chapter II

28
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Merokok 2.1.1. Epidemiologi Konsumsi Rokok Hampir 1 juta milyar laki-laki di dunia merokok, sekitar 35% dari mereka berada di negara maju dan 50% berada di negara berkembang. Sekitar 250 juta perempuan di dunia merupakan perokok. Sekitar 22% dari perempuan tersebut berada di negara maju dan 9% berada di negara berkembang. Rendahnya tingkat konsumsi tembakau pada perempuan di seluruh dunia tidak mencerminkan kesadaran akan kesehatan, namun lebih kepada tradisi sosial dan rendahnya sumber ekonomi pada perempuan. Jumlah perokok di dunia akan terus bertambah terutama karena terjadi pertambahan jumlah populasi. Pada tahun 2030 akan ada sekitar 2 milyar orang di dunia. Meskipun angka prevalensi ini salah, jumlah perokok akan tetap meningkat. Konsumsi tembakau telah mencapai proporsi epidemik global (Mackay & Eriksen, 2002). Indonesia adalah salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia. Secara nasional, konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 berjumlah 182 milyar batang yang merupakan urutan ke-5 diantara 10 negara di dunia dengan konsumsi tertinggi pada tahun yang sama (Depkes RI, 2004). Konsumsi rokok di Indonesia meningkat 7 kali lipat selama periode 1970-2000 dari 33 milyar batang pada tahun 1970 menjadi 217 milyar batang pada tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 1980 konsumsi meningkat sebesar 159%, yaitu dari 33 milyar batang menjadi 84 milyar batang. Antara tahun 1990 dan 2000 peningkatan lebih jauh sebesar 54% terjadi dalam konsumsi tembakau walaupun terjadi krisis ekonomi. Prevalensi merokok di kalangan dewasa meningkat menjadi 31,5% pada tahun 2001 dari 26,9% pada tahun 1995 (Depkes RI, 2003). Prevalensi merokok penduduk usia 15 tahun ke atas adalah 31,5 %, lebih tinggi dibandingkan tahun 1995 yang sebesar 26,9%. Prevalensi ini berbeda menurut jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, kelompok umur, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan. Prevalensi merokok dewasa (umur 15 tahun Universitas Sumatera Utara

Transcript of Chapter II

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Merokok

2.1.1. Epidemiologi Konsumsi Rokok

Hampir 1 juta milyar laki-laki di dunia merokok, sekitar 35% dari mereka

berada di negara maju dan 50% berada di negara berkembang. Sekitar 250 juta

perempuan di dunia merupakan perokok. Sekitar 22% dari perempuan tersebut

berada di negara maju dan 9% berada di negara berkembang. Rendahnya tingkat

konsumsi tembakau pada perempuan di seluruh dunia tidak mencerminkan

kesadaran akan kesehatan, namun lebih kepada tradisi sosial dan rendahnya

sumber ekonomi pada perempuan. Jumlah perokok di dunia akan terus bertambah

terutama karena terjadi pertambahan jumlah populasi. Pada tahun 2030 akan ada

sekitar 2 milyar orang di dunia. Meskipun angka prevalensi ini salah, jumlah

perokok akan tetap meningkat. Konsumsi tembakau telah mencapai proporsi

epidemik global (Mackay & Eriksen, 2002).

Indonesia adalah salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

Secara nasional, konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 berjumlah 182

milyar batang yang merupakan urutan ke-5 diantara 10 negara di dunia dengan

konsumsi tertinggi pada tahun yang sama (Depkes RI, 2004). Konsumsi rokok di

Indonesia meningkat 7 kali lipat selama periode 1970-2000 dari 33 milyar batang

pada tahun 1970 menjadi 217 milyar batang pada tahun 2000. Antara tahun 1970

dan 1980 konsumsi meningkat sebesar 159%, yaitu dari 33 milyar batang menjadi

84 milyar batang. Antara tahun 1990 dan 2000 peningkatan lebih jauh sebesar

54% terjadi dalam konsumsi tembakau walaupun terjadi krisis ekonomi.

Prevalensi merokok di kalangan dewasa meningkat menjadi 31,5% pada tahun

2001 dari 26,9% pada tahun 1995 (Depkes RI, 2003).

Prevalensi merokok penduduk usia 15 tahun ke atas adalah 31,5 %, lebih

tinggi dibandingkan tahun 1995 yang sebesar 26,9%. Prevalensi ini berbeda

menurut jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, kelompok umur, tingkat

pendapatan, dan tingkat pendidikan. Prevalensi merokok dewasa (umur 15 tahun

Universitas Sumatera Utara

ke atas) pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada

perempuan. Pada tahun 2001, prevalensi merokok pada laki-laki sebesar 62,2%

dan perempuan sebesar 1,3%. Penduduk yang tinggal di pedesaan mempunyai

prevalensi merokok yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di

perkotaan. Prevalensi merokok di pedesaan adalah sebesar 34% dan di perkotaan

sebesar 28,2%. Prevalensi merokok laki-laki umur 15 tahun ke atas yang tinggal

di desa adalah sebesar 67% dan yang tinggal di kota 56,1% sedangkan prevalensi

wanita umur 15 tahun ke atas di desa 1,5% dan di kota 1,1%. Di tingkat provinsi,

angka tertinggi laki-laki yang merokok adalah di Gorontalo (69%) dibandingkan

Bali (45,7%). Prevalensi merokok wanita meningkat menjadi lebih dari dua kali

lipat antara tahun 1995 dan 2001 di Papua, Kalimantan timur, Jawa Tengah, dan

Bali, meskipun secara menyeluruh prevalensinya masih tetap sangat rendah

(Depkes RI, 2004).

Menurut Surkesnas (2004), hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

2004 menunjukkan bahwa perokok umur ≥ 1 5 tahun di Ind onesia sebesar 35%,

kisaran menurut provinsi terendah di Nanggroe Aceh Darussalam (24%) dan

tertinggi di Maluku Utara (42%), persentase di atas rata-rata angka nasional

meliputi 13 provinsi. Perokok laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan (63%

dibanding 4,5%). Sebanyak 63% perokok yang merokok ≥ 10 batang per hari,

kisaran menurut provinsi terendah di Maluku (22%) dan tertinggi di Sumatera

Utara (84%).

2.1.2. Merokok

Menurut Sitepoe (2000), merokok adalah membakar tembakau yang

kemudian diisap isinya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa.

Temperatur pada sebatang rokok yang tengah dibakar adalah 900ºC untuk ujung

rokok yang dibakar dan 30ºC untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir

perokok. Definisi perokok sekarang menurut WHO dalam Depkes (2004) adalah

mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan selama

hidupnya masih merokok saat survey dilakukan. Menurut Harrisons (1987) dalam

Sitepoe (2000), asap rokok yang diisap atau asap rokok yang dihirup melalui dua

Universitas Sumatera Utara

komponen: komponen yang lekas menguap membentuk gas dan komponen yang

bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat. Dengan demikian, asap

rokok yang diisap dapat berupa gas sejumlah 85% dan sisanya berupa partikel.

Asap rokok yang diisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap

rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang dihembuskan ke udara oleh perokok

disebut sidestream smoke.

Menurut Drastyawan et al (2001) dalam Nasution (2007), besar pajanan

asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang diisap dan

pola pengisapan rokok tersebut. Menurut Kollapan dan Gopi (2002); Solak et al

(2005) dalam Nasution (2007), faktor lain yang turut mempengaruhi akibat asap

rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya isapan, dan lain-

lain. Berdasarkan lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut:

merokok selama kurang dari 10 tahun, antara 10-20 tahun, dan lebih dari 20

tahun. Jumlah rokok yang dikonsumsi per hari dapat diklasifikasikan sebagai

berikut: ringan (1-10 batang per hari), sedang (11-20 batang per hari), dan berat

(lebih dari 20 batang per hari).

2.1.3. Jenis Rokok

Menurut Sitepoe (2000), di luar negeri bahan baku rokok hanya tembakau,

dikenal dengan istilah rokok putih, sedangkan di Indonesia bahan baku rokok

adalah tembakau dan juga cengkeh atau disebut rokok kretek. Sebagai bahan

baku, di samping tembakau juga ditambahkan kemenyan dan kelembak, atau

disebut rokok kelembak atau rokok siong. Selain rokok yang khusus dijumpai di

Indonesia, ada pula tembakau yang digunakan sebagai rokok pipa dan rokok

cerutu yang tersebar luas di seluruh dunia. Pada rokok pipa, tembakau dibakar

kemudian diisap melalui pipa. Khusus rokok cerutu, daun tembakau kering yang

dirajang agak lebar disusun sedemikian rupa.

Rokok digulung dengan berbagai jenis pembalut atau pembungkus. Ada

yang menggunakan kertas, misalnya rokok kretek dan rokok putih; daun nipah;

pelepah tongkol jagung atau disebut rokok kelobot; dan dengan tembakau sendiri

Universitas Sumatera Utara

atau disebut rokok cerutu; ada juga yang tidak menggunakan pembalut, misalnya

rokok pipa (Sitepoe, 2000).

Baik rokok putih maupun rokok kretek‒demikian pun dengan rokok

pipa‒ada yang menggunakan filter dan ada pula yang tanpa filter. Konsumsi

rokok berfilter banyak dijumpai di kota, sedangkan perokok di pedesaan banyak

menggunakan rokok tanpa filter (Sitepoe, 2000).

Rokok kretek merupakan rokok khusus Indonesia yang hanya diproduksi di

Indonesia. Jenis rokok ini diproduksi dengan mesin yang disebut rokok kretek

mesin dan dapat pula diproduksi secara manual menggunakan tenaga kerja

berjumlah banyak atau disebut rokok kretek tangan (Sitepoe, 2000).

2.1.4. Bahan Kimia yang Terkandung di dalam Rokok

Menurut Mackay & Eriksen (2002), merokok tembakau terdiri dari 4.000

lebih bahan kimia, beberapa dari ini bersifat iritan dan 60 lainnya diketahui atau

diduga bersifat karsinogenik. Bahan kimia tersebut antara lain: aseton, amonia,

arsenik, butan, cadmium, karbonmonoksida (CO), DDT, hidrogen sianida,

metanol, naftalen, toluen, dan vinil klorida.

Menurut Sitepoe (2000), komposisi asap rokok yang diisap tergantung

berbagai faktor, yaitu jenis tembakau; pemrosesan menjadi tembakau: khususnya

kekeringan tembakau; berat bahan baku rokok: tembakau, termasuk cengkeh atau

bahan tambahan lainnya; bahan pembalut rokok; serta ada tidaknya filter:

termasuk panjang filter dan kerapatan filter pada rokok yang diisap.

Filter yang terbuat dari asetat selulosa berfungsi untuk menahan beberapa

tar dan partikel rokok yang berasal dari rokok yang diisap. Filter juga berfungsi

untuk mendinginkan rokok sehingga menjadi mudah diisap (ASH, 2006).

Nikotin terdapat di dalam asap rokok dan juga di dalam tembakau yang

tidak dibakar. Satu-satunya sumber nikotin adalah tembakau. Nikotin memegang

peranan penting dalam ketagihan merokok. Berat rata-rata rokok kretek adalah

1,14 gr/batang dengan komposisi 60% tembakau dan 40% cengkeh. Berat rata-

rata rokok putih adalah 1 gr/batang dengan komposisi seluruhnya tembakau.

Berarti ada kemungkinan berat tembakau di dalam rokok kretek lebih rendah dari

Universitas Sumatera Utara

rokok putih. Tar hanya dijumpai pada rokok yang dibakar. Sumber tar adalah

tembakau, cengkeh, pembalut rokok, dan bahan organik lain yang dibakar. Gas

CO bersifat toksik karena mengganggu ikatan antara oksigen dengan hemoglobin.

Kandungan kadar CO di dalam rokok kretek lebih rendah daripada kandungan CO

di dalam rokok putih. Timah hitam (Pb) merupakan partikel asap rokok. Setiap

satu batang rokok yang diisap diperhitungkan mengandung 0,5 mikrogram Pb.

Batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari. Eugenol hanya

dijumpai di dalam rokok kretek dan tidak dijumpai dalam rokok putih. Eugenol

serupa halnya dengan nikotin, yakni dapat dijumpai dalam rokok yang dirokok

(asap rokok) dan juga di dalam rokok yang tidak dirokok (tembakau) (Sitepoe,

2000).

2.1.5. Merokok dan Kesehatan

Masalah kesehatan yang ada di Indonesia berhubungan dengan perubahan

gaya hidup, seperti perubahan kebiasaan makan, merokok, penyalahgunaan zat,

aktivitas yang kurang, dan lain-lain (WHO, 2006).

Meskipun tembakau digunakan dengan cara mengisap, mengunyah,

menghirup, dan lain-lain, tidak ada cara yang aman untuk menggunakan tembakau

(Mackay & Eriksen, 2002). Berbagai jenis rokok yang diisap ataupun tembakau

yang digunakan tanpa dibakar, dapat mengganggu kesehatan apabila digunakan di

atas ambang tertentu serta digunakan secara berulang-ulang. Gangguan kesehatan

akibat merokok disebabkan oleh bahan kimia yang terdapat di dalam rokok atau di

dalam tembakau yang digunakan (Sitepoe, 2000).

Menurut CDC (2004), merokok membahayakan setiap organ di dalam

tubuh. Merokok menyebabkan penyakit dan memperburuk kesehatan. Berhenti

merokok memberikan banyak keuntungan. Hal ini dapat menurunkan risiko

penyakit dan kematian yang disebabkan oleh rokok dan dapat memperbaiki

kesehatan. Penyakit-penyakit yang dapat disebabkan oleh rokok yaitu kanker

serviks, pankreas, ginjal, lambung, aneurisma aorta, leukemia, katarak,

pneumonia, dan penyakit gusi.

Universitas Sumatera Utara

2.2. Lensa

2.2.1. Anatomi dan Histologi Lensa

Menurut Khurana (2007), lensa transparan, bikonveks, terdiri dari struktur

kristalin yang terletak antara iris dan badan vitreous. Diameter lensa 9-10 mm dan

ketebalannya bervariasi bergantung pada umur. Pada saat lahir diameternya 3,5

mm, dan pada puncak umur diameternya 5 mm. Beratnya juga bervariasi mulai

dari 135 mg (0-9 tahun) hingga 255 mg (40-80 tahun).

Lensa mempunyai dua permukaan yaitu anterior dan posterior. Anterior

mempunyai permukaan yang kurang konveks (jari-jari kurvatura 10 mm) daripada

permukaan posterior (jari-jari kurvatura 6 mm). Kedua permukaan anterior dan

posterior bertemu di ekuator. Lensa terikat dalam posisinya oleh zonula Zinn,

yang terdiri dari serat-serat yang kuat yang menyokong dan berikatan dengan

badan siliaris (Khurana, 2007).

Lensa tidak memiliki suplai atau inervasi dari pembuluh darah setelah

perkembangan fetal, hal ini menyebabkan lensa sangat bergantung pada aqueous

humor untuk memperoleh kebutuhan metabolik dan untuk mengangkut sisa-sisa

metabolisme (Rosenfeld, 2007).

Lensa terus bertumbuh sepanjang hidup. Ketebalan relatif dari korteks

bertambah sesuai umur. Pada waktu yang sama, kelengkungan lensa bertambah

sehingga lensa yang tua lebih memiliki kekuatan refraksi. Meskipun demikian,

indeks refraksi, yang memampukan lensa untuk merefraksi cahaya, semakin

menurun seiring bertambahnya umur, hal ini mungkin disebabkan adanya

peningkatan jumlah partikel protein yang tidak larut (Rosenfeld, 2007).

Lensa dibungkus oleh suatu simpai tebal (10-20 µm), homogen, refraktil,

dan kaya akan karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epitel. Kapsul ini

merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan terutama terdiri atas

kolagen tipe IV dan glikoprotein. Epitel subkapsular terdiri atas selapis sel kuboid

yang hanya terdapat pada permukaan anterior lensa. Lensa bertambah besar dan

tumbuh seumur hidup dengan terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang

terdapat di daerah ekuator lensa. Sel-sel epitel ini memiliki banyak interdigitasi

dengan serat-serat lensa. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai

Universitas Sumatera Utara

struktur tipis dan gepeng. Serat-serat ini merupakan sel-sel yang sangat

terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel subkapsular. Serat lensa akhirnya

kehilangan inti serta organel lainnya dan menjadi sangat panjang, dan mencapai

panjang 7-10 mm, lebar 8-10 mm, dan tebal 2 µm. Sel-sel ini berisikan

sekelompok protein yang disebut kristalin. Serat lensa dihasilkan seumur hidup,

namun kecepatan produksinya makin lama makin berkurang (Junqueira, 2004).

Gambar 2.1. Lensa

Sumber: Lang (2000).

2.2.2. Biokimia Lensa

Lensa manusia mempunyai konsentrasi protein 33% dari berat keringnya, 2

kali lebih besar daripada di jaringan lainnya. Protein lensa dibagi ke dalam dua

kelompok berdasarkan kelarutannya di dalam air. Fraksi yang larut di dalam air

berjumlah sekitar 80% dari protein lensa dan terdiri dari sekelompok protein yang

disebut kristalin. Kristalin merupakan protein intraselular yang tersusun di dalam

epitel dan membran plasma dari serat lensa. Kristalin dibagi ke dalam tiga

kelompok, yaitu: alfa, beta, dan gamma. Namun saat ini beta dan gamma dibuat

menjadi satu kelompok yang disebut kristalin betagamma karena berasal dari

Universitas Sumatera Utara

famili yang sama. Fraksi yang tidak larut di dalam air dibagi lagi menjadi dua

fraksi, yaitu yang larut dan tidak larut di dalam urea 8 molar. Fraksi yang larut

dalam urea terdiri dari protein sitoskeletal yang menjadi penyusun strukturan sel

lensa. Fraksi yang tidak larut di dalam urea menyusun membran plasma serat

lensa (Rosenfeld, 2007).

Lensa membutuhkan suplai energi (ATP) yang terus menerus untuk

transport aktif ion dan asam amino, mempertahankan keadaan dehidrasi lensa, dan

untuk sintesis protein dan glutation (GSH) secara terus menerus. Kebanyakan

energi yang dihasilkan dipakai oleh epitel sebagai tempat utama proses transpor

aktif. Hanya sekitar 10-20% ATP yang digunakan untuk sintesis protein

(Khurana, 2007).

Produksi energi sangat bergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa

memasuki lensa dari akueous humor secara difusi, baik yang sederhana maupun

yang terfasilitasi. Pada lensa, 80% glukosa dimetabolisme secara anaerob oleh

jalur glikolisis, 15% oleh HMP (hexose monophosphate) shunt, dan sebagian kecil

melalui siklus Krebs (Khurana, 2007).

Kebanyakan glukosa yang ditransport ke dalam lensa difosforilasi menjadi

glukosa-6-fosfat (G6P) oleh enzim heksokinase. Sekali terbentuk, G6P akan

memasuki dua jalur metabolisme: glikolosis anaerob atau HMP shunt (Rosenfeld,

2007).

Jalur yang paling aktif adalah glikolosis anaerob, yang menyediakan ATP

dalam jumlah yang banyak yang dibutuhkan untuk metabolisme lensa. Jalur ini

kurang efektif dibandingkan glikolisis aerob, karena hanya menghasilkan dua

molekul ATP dari setiap penggunaan satu molekul glukosa, sedangkan glikolisis

aerob menghasilkan 36 ATP. Karena rendahnya tekanan oksigen di dalam lensa,

hanya sekitar 3% dari glukosa lensa yang melalui jalur siklus Krebs untuk

menghasilkan energi (Rosenfeld, 2007).

Jalur yang kurang aktif dalam menggunakan G6P di dalam lensa adalah

HMP shunt, atau yang biasa dikenal sebagai jalur pentosa fosfat. Aktivitas HMP

shunt di dalam lensa lebih tinggi daripada jaringan tubuh lainnya. Sama seperti di

jaringan lainnya, HMP shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak

Universitas Sumatera Utara

dan biosintesis ribosa dari nukleotida. Juga menyediakan NADPH yang sangat

penting untuk glutation reduktase dan untuk aktivitas aldose reduktase di dalam

lensa. Produk karbohidrat dari HMP shunt memasuki jalur glikolisis dan

dimetabolisme menjadi laktat (Rosenfeld, 2007).

Jalur sorbitol relatif tidak tetap pada lensa normal, bagaimanapun jalur ini

berperan penting dalam terjadinya katarak pada pasien diabetes dan galaktosemia.

Aldose reduktase merupakan enzim kunci dalam jalur sorbitol. Ketika terjadi

peningkatan kadar glukosa di dalam lensa, seperti yang terjadi pada keadaan

hiperglikemia, jalur sorbitol lebih diaktifkan daripada glikolisis, dan sorbitol

terakumulasi. Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol

dehidrogenase. Enzim polyol dehidrogenase ini mempunyai afinitas yang relatif

rendah, ini berarti sorbitol akan terakumulasi sebelum mengalami metabolisme

lanjut. Hal ini, ditambah lagi dengan sifat lensa yang permeabilitasnya rendah,

menyebabkan retensi sorbitol di dalam lensa (Rosenfeld, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Metabolisme Glukosa dalam Lensa

Sumber: Rosenfeld (2007).

Berdasarkan kelarutan di dalam air, ada satu hipotesis yang mengatakan

bahwa dengan bertambahnya waktu, protein lensa menjadi tidak larut dalam air

dan berkumpul membentuk partikel yang sangat besar yang menghamburkan

cahaya sehingga lensa menjadi keruh. Perubahan protein larut air menjadi protein

tidak larut air timbul sebagai proses alami di dalam maturasi serat lensa, tetapi hal

ini dapat dipercepat atau terjadi secara berlebihan pada lensa yang katarak

(Rosenfeld, 2007).

Radikal bebas dihasilkan dalam aktivitas metabolik dan juga menghasilkan

agen eksternal seperti energi radiasi. Radikal bebas yang reaktif tinggi dapat

menyebabkan kerusakan serat lensa. Peroksidasi di dalam serat plasma atau

membran lipid serat lensa plasma diduga sebagai faktor yang menyebabkan

kekeruhan lensa. Di dalam proses peroksidasi lipid, agen pengoksidasi

Universitas Sumatera Utara

melepaskan atom hidrogen dari PUFA (polyunsaturated fatty acid), membentuk

radikal asam lemak yang akan menyerang molekul oksigen untuk membentuk

lipid peroksi radikal. Reaksi ini dapat menyebabkan terbentuknya peroksida lipid

(LOOH) (Rosenfeld, 2007).

Karena tekanan oksigen di dalam lensa rendah, reaksi radikal bebas tidak

dapat melibatkan molekul oksigen; meskipun demikian radikal bebas dapat

langsung bereaksi dengan molekul-molekul lain. DNA merupakan molekul yang

mudah dirusak oleh radikal bebas. Beberapa kerusakan dari lensa dapat

diperbaiki, namun beberapa kerusakan lain mungkin telah permanen. Radikal

bebas juga dapat menyerang protein atau membran lipid di dalam korteks lensa.

Tidak ada mekanisme perbaikan yang dapat mencegah kerusakan yang semakin

meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Pada serat lensa, dimana tidak

terdapat sintesis protein, kerusakan akibat radikal bebas dapat menyebabkan

polimerasi dan ikatan silang dari lipid dan protein sehingga meningkatkan jumlah

protein yang tidak larut di dalam air. (Rosenfeld, 2007).

Lensa mempunyai beberapa enzim yang berfungsi untuk melindungi lensa

dari kerusakan akibat radikal bebas atau oksigen. Enzim-enzim ini termasuk

glutation peroksidase, katalase, dan superoksida dismutase. Superoksida

dismutase mengkatalisis superoksida (O2-) dan menghasilkan hidrogen peroksida:

2O2- + 2H+ → H2O2 + O2. Katalase dapat memecah peroksida dengan reaksi:

2H2O2 → 2H2O + O2. Glutation peroksidase mengkatalisis reaksi: 2GSH +

LOOH → GSSG + LOH + H2O. Glutation disulfida (GSSG) kemudian dikonversi

kembali menjadi glutation (GSH) oleh glutation reduktase dengan menggunakan

nukleotida piridin NADPH yang disediakan oleh HMP shunt sebagai agen

pereduksi: GSSG + NADPH + H+ → 2GSH + NADP+

Vitamin E dan asam askorbat juga ada di dalam lensa. Kedua substansi ini

dapat bekerja sebagai pemecah radikal bebas dan akhirnya melindungi dari

kerusakan oksidatif (Rosenfeld, 2007).

. Oleh karena itu, glutation

bereaksi secara tidak langsung sebagai pemecah radikal bebas di dalam lensa

(Rosenfeld, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Fisiologi Lensa

Selama hidup, sel epitel lensa pada ekuator akan terus membelah dan

berkembang menjadi serat lensa, menghasilkan pertumbuhan lanjut dari lensa.

Area lensa dengan tingkat metabolisme paling tinggi adalah epitelium. Oksigen

dan protein yang akan digunakan untuk sintesis protein serta transpor aktif

elektrolit, karbohidrat, dan asam amino disediakan oleh epitelium lensa. Energi

kimia ini dibutuhkan untuk memelihara pertumbuhan sel dan transparansi lensa.

Karena lensa bersifat avaskular, aqueous humor berfungsi sebagai sumber nutrisi

dan mengeluarkan produk sisa metabolik. Namun, hanya bagian anterior lensa

saja yang dibasahi oleh aqueous humor (Rosenfeld, 2007).

Fungsi lensa kristalin, yaitu memelihara kejernihan lensa, merefraksikan

cahaya, dan berfungsi dalam proses akomodasi (Rosenfeld, 2007).

Lensa manusia normal terdiri dari sekitar 66% air dan 33% protein, dan

jumlah ini sedikit berubah dengan bertambahnya usia. Korteks lensa lebih

terhidrasi daripada nukleus lensa. Kadar natrium di dalam lensa sekitar 20 mM,

dan kadar kalium sekitar 120 mM. Kadar natrium dan kalium di sekitar aqueous

humor dan vitreous humor sedikit berbeda: natrium lebih tinggi, sekitar 150 mM,

sedangkan kalium sekitar 5 mM. Adanya keseimbangan kation antara di luar dan

di dalam lensa menyebabkan permeabilitas dari membran lensa serta aktivitas

pompa natrium (Na+,K+-ATPase) yang berada di dalam membran sel epitelium

dan di setiap serat lensa. Pompa natrium berfungsi memompa ion natrium keluar,

sedangkan ion kalium masuk. Mekanisme ini bergantung pada pemecahan ATP

dan diatur oleh enzim Na+,K+-ATPase. Adanya hambatan pada Na+,K+-ATPase

menyebabkan kehilangan keseimbangan kation dan peningkatan air di dalam

lensa. Namun, penurunan kadar Na+,K+

Akomodasi merupakan mekanisme mata untuk merubah fokus gambar dari

jarak yang jauh ke jarak yang dekat. Mekanisme ini dihasilkan oleh perubahan

bentuk lensa yang disebabkan oleh kerja otot siliar dalam serat zonular. Dengan

bertambahnya usia, kemampuan akomodasi lensa semakin menghilang. Setelah

berusia sekitar 40 tahun, kekakuan nukleus lensa secara klinis mengurangi

-ATPase di dalam perkembangan katarak

kortikal masih belum diketahui (Rosenfeld, 2007).

Universitas Sumatera Utara

akomodasi karena nukleus yang sklerotik tidak dapat merubah kurvatura

anteriornya lagi seperti dulu. Berdasarkan teori klasik dari von Helmholtz,

perubahan akomodasi di dalam bentuk lensa paling banyak terjadi di permukaan

anterior tengah. Kapsul anterior tengah lebih tipis dibandingkan kapsul perifer,

dan serat zonula anterior terletak lebih dekat pada aksis visual daripada serat

zonula posterior, sehingga anterior tengah mencembung dengan akomodasi.

Bagian posterior lensa sedikit mengalami perubahan saat akomodasi. Akomodasi

lensa diperantarai oleh nervus III serabut saraf parasimpatis (Rosenfeld, 2007).

2.3. Katarak

2.3.1. Definisi

Katarak berasal dari bahasa Yunani, Katarrhakies yang berarti air terjun.

Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup air

terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada

lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi

protein lensa, atau terjadi akibat kedua-duanya (Ilyas, 2009)

2.3.2. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab utama katarak adalah proses penuaan, tapi ada banyak faktor yang

dapat mempengaruhinya, antara lain: sinar ultraviolet B, trauma, toksin, penyakit

sistemik (seperti diabetes), merokok, dan keturunan (Ilyas, 2003 dan Vaughan,

2007).

Menurut Brian & Taylor (2001), meskipun banyak studi cross-sectional

tentang faktor risiko katarak telah dilakukan dan hasil dari beberapa studi

longitudinal telah tersedia, pemahaman tentang etiologi umur yang berhubungan

dengan katarak masih belum jelas. Perkembangan terbaru tentang epidemiologi

katarak telah mengidentifikasi adanya komponen genetik yang kuat. Umur secara

jelas telah menunjukkan efek kumulatif dari interaksi yang kompleks antara

paparan terhadap berbagai macam faktor dalam waktu yang lama yang

memberikan kontribusi terhadap perkembangan katarak. Beberapa dari faktor ini

diketahui, sedangkan yang lainnya belum diketahui. Selain faktor risiko penting

Universitas Sumatera Utara

terjadinya katarak yang berhungan dengan umur seperti paparan radiasi sinar

ultraviolet-B (UV-B), diabetes, penggunaan obat-obat untuk terapi seperti

kortikosteroid, nikotin, dan alkohol, terdapat juga faktor risiko lainnya seperti

BMI, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Intervensi yang dapat dilakukan untuk

mengurangi faktor risiko terjadinya katarak hanya dengan mengurangi paparan

radiasi sinar UV-B terhadap mata dan berhenti merokok.

2.3.3. Klasifikasi

Menurut Ilyas (2009), berdasarkan usia katarak diklasifikasikan dalam:

1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun.

2. Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun.

3. Katarak senilis, katarak setelah usia 50 tahun.

Katarak dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai macam kriteria.

Berdasarkan waktu terjadinya, katarak dibagi menjadi katarak yang didapat dan

katarak kongenital (Lang, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Klasifikasi Katarak Berdasarkan Waktu Terjadinya Acquired cataracts (over 99% of all cataracts)

1. Senile cataract (over 90% of all cataracts) 2. Cataract with systemic disease

– Diabetes mellitus – Galactosemia – Renal insufficiency – Mannosidosis – Fabry’s disease – Lowe’s syndrome – Wilson’s disease – Myotonic dystrophy – Tetany – Skin disorders

3. Secondary and complicated cataracts – Cataract with heterochromia – Cataract with chronic iridocyclitis – Cataract with retinal vasculitis – Cataract with retinitis pigmentosa

4. Postoperative cataracts – Most frequently following vitrectomy and silicone oil retinal tamponade – Following filtering operations

5. Traumatic cataracts – Contusion or perforation rosette – Infrared radiation (glassblower’s cataract) – Electrical injury – Ionizing radiation

6. Toxic cataract – Corticosteroid-induced cataract (most frequent) – Less frequently from chlorpromazine, miotic agents, or busulfan

Congenital cataracts (less than 1% of all cataracts)

1. Hereditary cataracts – Autosomal dominant – Recessive – Sporadic – X-linked

2. Cataracts due to early embryonic (transplacental) damage – Rubella (40–60%) – Mumps (10–22%) – Hepatitis (16%) – Toxoplasmosis (5%)

Sumber: Lang (2000).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Khurana (2007), katarak dibagi berdasarkan etiologi dan

morfologi.

A. Klasifikasi berdasarkan etiologi

I. Congenital and developmental cataract

II. Acquired cataract

1. Senile cataract

2. Traumatic cataract

3. Complicated cataract

4. Metabolic cataract

5. Electric cataract

6. Radiational cataract

7. Toxic catarart, e.g: corticosteroids, miotics, copper, iron

8. Cataract associated with skin diseases (Dermatogenis cataract)

9. Cataract associated with osseous diseases

10. Cataract with miscellaneous syndromes

B. Klasifikasi berdasarkan morfologi

I. Capsular cataract

Katarak ini melibatkan kapsul lensa baik anterior maupun posterior.

II. Subcapsular cataract

Katarak ini melibatkan bagian permukaan dari korteks lensa (di bawah

kapsul) baik anterior maupun posterior.

III. Cortical cataract

Katarak ini melibatkan bagian utama dari korteks lensa.

IV. Supranuclear cataract

Katarak ini hanya melibatkan bagian dalam dari korteks (di luar dari

nukleus lensa).

V. Nuclear cataract

Katarak ini melibakan nukleus dari lensa.

VI. Polar cataract

Katarak ini hanya melibatkan bagian permukaan dari korteks di bagian

polar lensa.

Universitas Sumatera Utara

2.3.4. Katarak Kongenital dan Katarak Juvenil

Menurut Ilyas (2009), katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi

sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak

kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama

akibat penanganan yang kurang tepat. Katarak kongenital sering ditemukan pada

bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita penyakit rubela, galaktosemia,

homosisteinuri, diabetes melitus, hipoparatiroidisme, toksoplasmosis, inklusi

sitomegalik, dan histoplasmosis. Penyakit lain yang menyertai katarak kongenital

biasanya merupakan penyakit-penyakit herediter seperti mikroftalmus, aniridia,

koloboma iris, keratokonus, iris, heterokromia, lensa ektopik, displasia, retina, dan

megalo kornea. Kekeruhan pada katarak kongenital dapat dijumpai dalam

berbagai bentuk dan gambaran morfologik.

Katarak juvenil merupakan katarak yang lembek dan terdapat pada orang

muda, yang mulai terbentuk pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan.

Katarak juvenil biasanya merupakan kelanjutan katarak kongenital (Ilyas, 2009).

2.3.5. Katarak yang Didapat (Acquired Cataract)

Pada katarak yang didapat, kekeruhan akibat degenerasi terjadi pada serat

lensa normal yang sudah terbentuk. Mekanisme dan penyebab pasti terjadinya

degenerasi lensa pada katarak ini masih belum jelas. Meskipun demikian, faktor-

faktor secara umum seperti faktor fisik, kimia, atau biologi yang mempengaruhi

keseimbangan air dan elektrolit dalam intra dan ekstraselular atau yang dapat

mengganggu sistem koloid dalam serat lensa dapat menyebabkan kekeruhan

(Khurana, 2007).

2.3.5.1. Katarak Senilis

a) Definisi

Menurut Khurana (2007), katarak senilis yang disebut juga katarak terkait

usia merupakan katarak didapat yang paling sering terjadi pada orang yang

berusia lebih dari 50 tahun. Saat berusia 70 tahun, lebih dari 90% individu

Universitas Sumatera Utara

menderita katarak senilis. Keadaan ini biasanya bilateral, namun mata yang satu

biasanya dipengaruhi lebih awal daripada mata yang lainnya.

Secara morfologi, katarak senilis terdiri dari 3 bentuk, yaitu katarak nuklear,

kortikal, dan subkapsular posterior (Rosenfeld, 2007).

b) Etiologi (Khurana, 2007)

i. Faktor yang mempengaruhi onset usia, tipe, dan maturasi dari katarak

senilis

- Keturunan

- Radiasi ultraviolet

- Faktor diet

- Krisis dehidrasi

- Merokok

ii. Penyebab katarak presenilis

Istilah katarak presenilis digunakan ketika perubahan terjadinya katarak

yang serupa dengan katarak senilis terjadi sebelum usia 50 tahun. Penyebab yang

paling sering antara lain:

- Keturunan

- Diabetes melitus

- Distrofi miotonik

- Dermatitis atopik

c) Mekanisme kehilangan transparansi lensa

Menurut Khurana (2007), mekanisme ini berbeda antara katarak senilis

kortikal dan nuklear. Pada katarak senilis kortikal, penurunan total protein, asam

amino, dan potasium berhubungan dengan peningkatan konsentrasi sodium dan

hidrasi dari lensa, diikuti dengan koagulasi protein. Dengan bertambahnya usia,

ada dua hal yang terjadi. Pertama, penurunan fungsi dari mekanisme pompa

transportasi aktif lensa mengakibatkan rasio Na+ dan K+ terbalik. Hal ini

menyebabkan hidrasi dari serat lensa. Kedua, penurunan reaksi oksidatif akibat

bertambahnya umur menyebabkan penurunan kadar asam amino sehingga sintesis

Universitas Sumatera Utara

protein di dalam lensa juga akan menurun. Kedua hal ini akan menyebabkan

kekeruhan dari serat lensa kortikal akibat denaturasi protein lensa.

Proses degeneratif yang terjadi pada katarak nuklear berhubungan dengan

dehidrasi dan pemadatan nukleus lensa yang mengakibatkan katarak keras. Hal ini

berhubungan dengan peningkatan signifikan protein yang tidak larut dalam air.

Meskipun demikian, jumlah isi protein dan distribusi kation di dalam lenasa tetap

normal (Khurana, 2007).

d) Stadium Maturasi

Menurut Ilyas (2009), katarak senilis secara klinik dikenal dalam 4 stadium,

yaitu insipien, imatur, intumesen, matur, dan hipermatur. Pada katarak insipien

akan terlihat kekeruhan mulai dari ekuator berbentuk jeriji menuju korteks,

anterior, dan posterior (katarak kortikal). Vakuol juga mulai terlihat di dalam

korteks.

Pada katarak intumesen, kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa

akibat lensa yang degeneratif menyerap air. Masuknya air ke dalam celah lensa

mengakibatkan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris

sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding dengan keadaan normal (Ilyas,

2009).

Pada katarak imatur sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak belum

mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur volume lensa dapat bertambah

akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif (Ilyas, 2009).

Pada katarak matur, kekeruhan telah mengenai seluruh lensa. Bila katarak

imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga

lensa kembali pada ukuran yang normal (Ilyas, 2009).

Katarak hipermatur merupakan katarak yang mengalami proses degenerasi

lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Massa lensa yang

berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna

kuning, dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul

lensa. Kadang-kadang pengerutan berjalan terus sehingga hubungan dengan

zonula Zinn menjadi kendor. Bila proses katarak terus berlanjut disertai dengan

Universitas Sumatera Utara

kapsul yang tebal, maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar

sehingga korteks akan memperlihatkan bentuk seperti sekantong susu disertai

dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan

ini disebut katarak Morgagni (Ilyas, 2009).

Menurut Khurana (2007), pada katarak nuklear, proses sklerotik

menyebabkan lensa tidak elastis dan keras, menurunkan kemampuan akomodasi,

dan menghalangi masuknya cahaya. Perubahan ini terjadi dimulai dari tengah,

kemudian menyebar ke perifer dengan lambat, dan mencapai kapsul lensa ketika

telah matang. Nukleus dapat menjadi berawan (keabu-abuan) atau berbercak

(kuning atau hitam) karena deposisi dari pigmen. Katarak nuklear berpigmentasi

yang sering dijumpai meliputi coklat (katarak brunesen), hitam (katarak nigra),

atau yang jarang dijumpai merah (katarak rubra).

Tabel 2.2. Perbedaan Stadium Katarak Senilis Insipien Imatur Matur Hipermatur

Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif

Cairan lensa Normal Bertambah

(air masuk)

Normal Berkurang

(air + massa lensa

keluar)

Iris Normal Terdorong Normal Tremulans

Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam

Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka

Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopos

Penyulit - Glaukoma - Uveitis + glaukoma

Sumber: Ilyas (2009).

e) Gejala Klinis

Menurut Khurana (2007), kekeruhan lensa dapat terjadi dengan atau tanpa

gejala, dan mungkin tidak terlihat dalam pemeriksan okular rutin. Gejala katarak

yang sering muncul antara lain:

Universitas Sumatera Utara

- Silau (glare)

Salah satu dari gejala awal gangguan penglihatan pada katarak adalah silau

atau intoleransi terhadap cahaya yang terang, seperti cahaya matahari atau

cahaya dari lampu kendaraan bermotor.

- Poliopia uniokular (misalnya objek yang terlihat dua atau lebih)

Ini juga merupakan salah satu dari gejala awal katarak. Hal ini terjadi

karena refraksi yang iregular oleh lensa yang bervariasi sesuai indeks

refraksi sebagai akibat dari proses terbentuknya katarak.

- Halo

Ini dapat dialami oleh pasien katarak yang mengalami pemecahan cahaya

putih menjadi spektrum warna karena adanya tetesan air di dalam lensa.

- Titik hitam (black spots) di depan mata dapat terjadi pada beberapa pasien.

- Bayangan kabur, distorsi bayangan, dan bayangan yang berawan/berasap

mungkin terjadi pada stadium awal katarak.

- Kehilangan penglihatan

Kehilangan penglihatan pasien katarak bersifat tidak nyeri dan menurun

secara progresif bertahap. Pasien dengan kekeruhan di sentral mengalami

kehilangan penglihatan lebih awal. Pasien ini melihat dengan baik ketika

pupil berdilatasi karena cahaya yang remang di malam hari. Pada pasien

dengan kekeruhan perifer, hilangnya penglihatan tertunda dan penglihatan

semakin membaik dengan adanya cahaya yang terang ketika pupil

berkontraksi. Pada pasien dengan sklerosis nuklear, penglihatan jauh

semakin memburuk karena terjadi miopia indeks progresif. Pasien ini

mampu membaca tanpa kacamata presbiopi. Perbaikan penglihatan dekat

ini disebut sebagai “second sight”. Penglihatan semakin menurun seiiring

dengan bertambahnya kekeruhan lensa.

f) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak adalah pemeriksaan sinar

celah (slitlamp), funduskopi pada kedua mata bila mungkin, dan tonometer selain

daripada pemeriksaan prabedah yang diperlukan lainnya seperti adanya infeksi

Universitas Sumatera Utara

pada kelopak mata, konjungtiva, karena dapat penyulit yang berat berupa

panoftalmitis pascabedah dan fisik umum (Ilyas, 2009).

Pada katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan sebelum

dilakukan pembedahan untuk melihat apakah kekeruhan sebanding dengan

turunnya tajam penglihatan yang tidak sesuai, sehingga mungkin penglihatan yang

turun akibat kelainan pada retina dan bila dilakukan pembedahan memberikan

hasil tajam penglihatan yang tidak memuaskan (Ilyas, 2009).

Menurut Khurana (2007), pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara

lain:

- Pemeriksaan tajam penglihatan

- Oblique illumination examination

- Tes bayangan iris (shadow test)

- Distant direct ophthalmoscopic examination

- Slit-lamp examination

Pada oblique illumination examination dapat dijumpai warna lensa di daerah

pupil yang bervariasi sesuai dengan tipe katarak (Khurana, 2007).

Tes bayangan iris (shadow test) dilakukan untuk mengetahui derajat

kekeruhan lensa. Dasar dari pemeriksaan ini adalah makin sedikit lensa keruh

pada bagian posterior, maka makin besar bayangan iris pada lensa yang keruh

tersebut, sedangkan makin tebal kekeruhan lensa, maka makin kecil bayangan iris

pada lensa yang keruh (Ilyas, 2009).

g) Penatalaksanaan

Walaupun telah berkembang berbagai teknologi bedah katarak, sampai

sekarang belum ditemukan pengobatan katarak dalam bentuk tablet, salep, tetes

mata, dan gizi tertentu untuk mencegah perkembangan katarak. Tidak satu pun

obat yang dikenal yang dapat menyembuhkan katarak (Ilyas, 2003).

Katarak hanya dapat diangkat dengan cara pembedahan. Setelah

pembedahan lensa diganti dengan kacamata afakia, lensa kontak, atau lensa tanam

intraokular. Pembedahan dilakukan apabila tajam penglihatan telah menurun

sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari dan bila katarak ini

Universitas Sumatera Utara

telah menimbulkan penyulit seperti glaukoma dan uveitis. Pembedahan lensa

dengan katarak dilakukan bila mengganggu kehidupan sosial atau atas indikasi

medis lainnya (Ilyas, 2003).

Ekstraksi katarak adalah cara pembedahan dengan mengangkat lensa

katarak dapat dilakukan dengan intrakapsular atau ekstrakapsular. Tindakan bedah

ini pada saat ini dianggap lebih baik karena mengurangi beberapa penyulit (Ilyas,

2009).

Operasi katarak intrakapsular atau ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK)

merupakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul.

Pembedahan ini dapat dilakukan pada zonula Zinn telah rapuh atau berdegenerasi

dan mudah putus. Pada EKIK, tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan

tindakan pembedahan yang sangat lama populer. EKIK tidak boleh dilakukan

pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen

hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini antara lain:

astigmatisme, glaukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan (Ilyas, 2009).

Operasi katarak ekstrakapsular atau ekstraksi katarak ekstrakapsular

(EKEK) merupakan tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan

pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kasul lensa anterior

(kapsulotomi anterior) dengan meninggalkan kapsul posterior sehingga massa

lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut. Pembedahan ini

dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-

sama keratoplasti, implantasi lensa intraokular posterior, perencanaan implantasi

sekunder lensa intraokular, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma, mata

dengan predisposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata

mengalami bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan

pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada

pembedahan ini, yaitu terjadinya katarak sekunder (Ilyas, 2009).

2.3.5.2.Katarak Metabolik

Diabetes melitus merupakan salah satu etiologi katarak metabolik. Katarak

terkait umur terjadi lebih awal pada penderita diabetes. Katarak nuklear lebih

Universitas Sumatera Utara

sering terjadi dan mempunyai kemungkinan untuk berkembang dengan cepat

(Khurana,2007). Diabetes melitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks

refraksi lensa, dan amplitudo akomodasi lensa. Jika kadar glukosa di dalam darah

meningkat, kadar glukosa di dalam aqueous humor juga meningkat. Karena

glukosa yang berasal dari aqueous humor masuk ke dalam lensa secara difusi,

kadar glukosa di dalam lensa pun akan meningkat. Beberapa dari glukosa tersebut

akan dimetabolisme oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol yang tidak

dapat dimetabolisme lagi, tetapi menetap di dalam lensa. Hal ini akan

menyebabkan peningkatan tekanan osmotik di dalam lensa yang mengakibatkan

serat lensa membengkak. Hidrasi lentikular tersebut dapat mengganggu kekuatan

refraksi lensa (Rosenfeld, 2007)

2.3.5.3.Katarak Toksik

Menurut Rosenfeld (2007), penggunaan jangka panjang kortikosteroid

dapat menyebabkan katarak subkapsular posterior. Insiden ini berhubungan

dengan dosis dan lama pengobatan, serta ada variasi kerentanan individu terhadap

terjadinya katarak yang diinduksi kortikosteroid.

Phenothiazine, golongan utama obat psikotropik, dapat menyebabkan

penumpukan pigmen pada epitelium lensa anterior. Penumpukan pigmen tersebut

bergantung pada dosis dan lama pengobatan (Rosenfeld, 2007).

Penggunaan miotik, antikolinesterase, dapat menyebabkan katarak.

Pembentukan katarak mungkin terjadi pada pasien yang menerima terapi

antikolinesterase dalam jangka waktu yang lama dan yang sering menerima dosis.

Amiodaron, obat antiaritmia, pernah dilaporkan menyebabkan penumpukan

pigmen stellate anterior axial. Pada keadaan ini, kondisi signifikan jarang terjadi

(Rosenfeld, 2007).

Penggunaan statin pada manusia menunjukkan tidak adanya hubungan

dengan peningkatan risiko terjadinya katarak Meskipun demikian, penggunaan

bersama simvastatin dan eritromisin mungkin berhubungan dengan dua sampai

tiga kali peningkatan resiko terjadinya katarak (Rosenfeld, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3.5.4.Katarak Akibat Radiasi

Menurut Khurana (2007), paparan terhadap berbagai jenis energi radiasi

dapat menyebabkan terjadinya katarak akibat kerusakan pada epitelium lensa.

Paparan berlebih (bertahun-tahun) terhadap sinar inframerah dapat menyebabkan

kekeruhan lensa subkapsular posterior dan pengelupasan kapsul anterior lensa.

Hal ini sering terjadi pada orang-orang yang bekerja pada industri kaca, sehingga

sering disebut sebagai “glass-blower’s atau glass-worker’s cataract”. Paparan

terhadap sinar X, sinar γ, atau neutron mungkin berhubungan dengan katarak

iradiasi. Dalam berbagai penelitian, radiasi ultraviolet berhubungan dengan

terjadinya katarak senilis.

2.3.5.5.Katarak Elektrik

Katarak elektrik diketahui terjadi setelah lewatnya listrik yang kuat di dalam

tubuh (Khurana, 2007). Syok elektrik dapat menyebabkan koagulasi protein dan

pembentukan katarak. Awalnya vakuol lensa muncul pada bagian pertengahan

perifer anterior lensa, diikuti dengan kekeruhan linier korteks subkapsular anterior

(Rosenfeld, 2007).

2.4. Merokok dan Katarak

Faktor utama yang menyebabkan gangguan penglihatan akibat penyakit

mata adalah umur, jenis kelamin, status sosioekonomi, penggunaan tembakau,

paparan terhadap radiasi ultraviolet, defisiensi vitamin A, peningkatan massa

indeks tubuh (body mass index/BMI), dan gangguan metabolik. Gangguan

penglihatan paling banyak terjadi pada orang yang berusia 50 tahun atau lebih.

Hasil studi secara konsisten menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan

menunjukkan risiko tinggi yang signifikan untuk menderita gangguan penglihatan

dibandingkan dengan laki-laki, hal ini kebanyakan disebabkan oleh tingginya

angka harapan hidup, serta karena jangkauan pelayanan kesehatan yang masih

kurang pada orang-orang dengan sosial ekonomi yang rendah (WHO, 2007).

Merokok merupakan salah satu faktor resiko terjadinya katarak. Menurut

Tana (2009), dalam penelitian "Determinan Kejadian Katarak di Indonesia, Riset

Universitas Sumatera Utara

Kesehatan Dasar, 2007” yang bertujuan menentukan determinan kejadian katarak

pada masyarakat Indonesia, salah satu determinan yang paling berperan terhadap

kejadian katarak di Indonesia pada usia 30 tahun ke atas adalah merokok (OR=

1,21; CI 95% 1,16-1,26).

Menurut Brian & Taylor (2001), salah satu intervensi yang dapat dilakukan

untuk mengurangi faktor risiko terjadinya katarak berhenti merokok. Data dari

Australia menunjukkan bahwa resiko terjadinya katarak nuklear dengan merokok

adalah sebesar 17% (McCarty, 2000).

Menurut Cheng (2000), hasil studi prospektif selama 30 tahun menunjukkan

bahwa orang yang merokok ≥20 batang rokok per hari mempunyai resiko

perkembangan kekeruhan nuklear lensa lebih tinggi jika dibandingkan dengan

yang tidak merokok (OR=2,84; CI 95% 1,46-5,51) dan dengan yang merokok <20

batang per hari (p<0,002).

Pada penelitian terhadap populasi Cina di Taiwan, merokok berhubungan

dengan katarak nuklear (OR= 1,3%, CI 95% 1,0-1,7). Penelitian yang dilakukan

selanjutnya juga mendukung hasil yang didapat dari penelitian tersebut. Adanya

temuan yang konsisten tersebut menimbulkan pendapat tentang adanya hubungan

antara merokok dengan katarak nuklear (Foster et al, 2003). Pada perokok,

diperkirakan terdapat peningkatan risiko sebesar 9% setiap merokok 10 bungkus

per tahun (pack-years) untuk menderita katarak nuklear berdasarkan studi mata di

Beaver Dam (Klein, 2007).

Hasil penelitian observasional analitik dengan desain kasus kontrol (case

control) yang dilakukan oleh Aradea (2008), menunjukkan bahwa kebiasaan

merokok merupakan faktor risiko katarak (OR=3,368; Cl 95% 1,494-7,596).

Besar risiko katarak menurut lamanya merokok <10 tahun (OR=1,88; Cl 95%

0,342–10,355), >10 tahun (OR=3,65; Cl 95% 1,570–8,470) dibandingkan dengan

yang tidak merokok. Risiko terjadi katarak menurut jenis rokok putih (OR=2,8; Cl

95% 0,429–18,567), rokok kretek berfilter (OR=3,01; CI 95% 1,125–8,065), dan

rokok kretek tanpa filter (OR=4,03; Cl 95% 1,380–11,792). Besar risiko katarak

menurut umur mulai merokok >15 tahun (OR=3,33; Cl 95% 1,355–8,185) dan

umur ≤15 tahun (OR=3,45 Cl 95% 1,087–10,960). Risiko katarak pada perokok

Universitas Sumatera Utara

ringan (OR=2,51; Cl 95% 0,882–7,140), perokok sedang (OR=3,76; CI 95%

1,277–11,100), dan perokok berat (OR=5,02; CI 95% 1,176–21, 430).

Kesimpulan dari dalam penelitian tersebut adalah umur dan kebiasaan merokok

merupakan faktor risiko meningkatkan kejadian katarak.

Meskipun terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan terjadinya

katarak, merokok merupakan faktor risiko yang mempunyai efek dose-response.

Merokok menyebabkan perubahan morfologi dan fungsional pada lensa dan retina

karena efek aterosklerosis dan trombotik pada kapiler okular (Krishnaiah, 2005).

Menurut Christen et al (1992) dan Hankinson et al (1992) dalam Krishnaiah

(2005), terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perokok mempunyai risiko lebih

tinggi untuk mengalami pembentukan katarak dibandingkan yang bukan perokok.

Merokok dianggap meningkatkan risiko merokok dengan cara

meningkatkan stres oksidatif di dalam lensa. Stres oksidatif dapat disebabkan oleh

radikal bebas yang dihasilkan dari reaksi yang terdapat di dalam tembakau rokok

atau polutan udara lainnya; radikal bebas ini dapat merusak protein lensa dan serat

membran sel di dalam lensa secara langsung. Pengggunaan antioksidan telah

menunjukkan penurunan insiden katarak dalam sejumlah penelitian. Berhenti

merokok dapat menghentikan atau memperlambat perkembangan katarak melalui

menghilangkan stres oksidatif atau memperbaiki aktivitas antioksidan (Weintraub,

2002).

Menurut Spector (1995) dalam Lindblad (2004), merokok dapat

meningkatkan stres oksidatif yang ditimbulkan radikal bebas di dalam lensa dan

mengurangi beberapa konsentrasi antioksidan serta enzim proteolisis di dalam

plasma. Enzim tersebut berfungsi membuang protein yang rusak dari dalam lensa.

Sedangkan menurut Cekic (1998) dan Ramakrishnan et al (1995), cadmium juga

ditemukan terakumulasi di dalam lensa perokok yang menderita katarak.

Cadmium dapat mempercepat terjadinya katarak melalui pengaruhnya terhadap

enzim lensa seperti superoksida dismutase dan glutation peroksidase sehingga

memperlemah pertahanan lensa melawan kerusakan oksidatif.

Menurut Sulochana (2002), stres oksidatif yang dibawa oleh Reactive

Oxygen Species (ROS) yang ada di dalam rokok telah diduga terlibat dalam

Universitas Sumatera Utara

patogenesis katarak. Stres oksidatif juga dapat dibawa oleh beberapa elemen

seperti iron (Fe) dan copper (Cu) melalui glikosidasi dan produksi radikal bebas

anion superoksida (O2-) dan hidoksil (OH-

) yang dapat mengoksidasi protein dan

lipid membran lensa. Selain itu, terdapat akumulasi dari cadmium (Cd) seperti

yang telah disebutkan sebelumnya. Ditemukan terdapat akumulasi Fe dan Cu

bersama dengan Cd pada lensa tikus ketika tikus tersebut terpapar dengan rokok

tembakau. Daun tembakau terdiri dari sejumlah Cd yang signifikan yang

diabsorbsi ke dalam tubuh saat seseorang merokok atau mengunyah tembakau. Cd

tersebut dapat mengganti logam bivalen seperti zink (Zn), Cu, dan magnesium

(Mg) dari superoksida dismutase yang berfungsi sebagai antioksidan yang kuat.

Terdapat penurunan kadar Zn yang signifikan secara statistik di dalam darah dan

lensa pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Selain itu terdapat

juga penurunan aktivitas superoksida dismutase pada perokok. Penurunan

aktivitas superoksida dismutase mungkin disebabkan ketersediaan Zn di dalam

darah dan lensa tidak adekuat. Pernah dilaporkan juga bahwa Cd dapat

menurunkan bioavalabilitas selenium (Se) sehingga aktivitas glutation

peroksidase menjadi terganggu. Namun, hasil penelitian yang dilakukan

menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan kadar Se. Hai ini mengindikasikan

bahwa penurunan aktivitas glutation peroksidase mungkin tidak disebabkan oleh

kekurangan Se.

Universitas Sumatera Utara