Chapter II

10
TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Konservasi Menurut Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa bahwa Wilayah Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan penyelamatan tumbuhan serta satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Disamping mempunyai fungsi utama, wilayah konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya disebut sebagai konservasi in-situ. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in-situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: identifikasi, inventarisasi, pemantauan, pembinaan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian dan pengembangan. Sedangkan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ek-situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis. Wilayah Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Museum Zoologi, Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbanum dan Taman Tumbuhan Khusus. Pengertian Ekowisata Ekowisata lebih populer dan banyak dipergunakan dibanding dengan terjemahan yang seharusnya dari istilah ecotourism, yaitu ekoturisme. Yayasan alam mitra Indonesia membuat terjemahan ecotourism dengan ekoturisme. Istilah ekowisata banyak digunakan untuk menggambarkan adanya bentuk wisata yang baru muncul pada dekade delapan puluhan (Fandeli, 1995). Universitas Sumatera Utara

description

skripsii

Transcript of Chapter II

Page 1: Chapter II

TINJAUAN PUSTAKA

Wilayah Konservasi

Menurut Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan

didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999

tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa bahwa Wilayah Konservasi

mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan penyelamatan tumbuhan

serta satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Disamping

mempunyai fungsi utama, wilayah konservasi juga berfungsi sebagai tempat

pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di

dalam habitatnya disebut sebagai konservasi in-situ. Pengelolaan jenis tumbuhan dan

satwa di dalam habitatnya (in-situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: identifikasi,

inventarisasi, pemantauan, pembinaan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis,

pengkajian, penelitian dan pengembangan. Sedangkan pengelolaan jenis tumbuhan

dan satwa di luar habitatnya (ek-situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: pemeliharaan,

pengembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa,

penyelamatan jenis. Wilayah Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Museum

Zoologi, Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani,

Herbanum dan Taman Tumbuhan Khusus.

Pengertian Ekowisata

Ekowisata lebih populer dan banyak dipergunakan dibanding dengan

terjemahan yang seharusnya dari istilah ecotourism, yaitu ekoturisme. Yayasan alam

mitra Indonesia membuat terjemahan ecotourism dengan ekoturisme. Istilah

ekowisata banyak digunakan untuk menggambarkan adanya bentuk wisata yang baru

muncul pada dekade delapan puluhan (Fandeli, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

Kegiatan ekowisata bertumpu pada usahaa pelestarian sumberdaya alam dan

budaya sebagai objek wisata yang dapat dijadikan sumber ekonomi berkelanjutan,

dikelola secara adil dan bijaksana bagi bangsa dan negara. Kecenderungan pariwisata

di dalam dunia mengarah ke ekowisata, wisatawan menghargai alam asli. Wisatawan

ingin mengenal alam, ingin menambah pengalaman dan berkunjung ke hutan asli.

Ekowisata memiliki beberapa pola, yaitu:

1. Ekowisata merupakan salah satu segmen dari wisata alam, yang

mengutamakan elemen alam sebagai interaksinya. Aset budaya yang ada

dalam kawasan wisata turut dilestarikan.

2. Ekowisata merupakan wisata minat khusus, dan sering merupakan wisata

petualangan di kawasan terpencil, dimanaa keadaan alam masih relatif asli.

3. Ekowisata berskala kecil, dengan kelompok wisatawan kecil dan

menggunakan resort yang kecil.

4. Di dalam kawasan lindung, perilaku pengunjung terkendali sesuai dengan

peraturan kunjungan. Dampak ekowisata juga kecil, flora tidak dirusak dan

fauna tidak diganggu.

5. Untuk menjaga kelestarian alam, maka perilaku wisatawan terus-menerus

diatur sesuai dengan peraturan yang ada, maka daya dukung kawasan yang

dilintasi wisatawan terus dipantau dan tidak boleh dilampaui.

6. Kawasaan ekowisata membutuhkaan sarana wisata yang dapat memenuhi

kebutuhan wisatawan. Sarana wisata ini hendaklah dibangun dan dikelola

bersama dengan masyarakat lokal dengan menggunakan tukang dari

masyarakat lokal.

7. Untuk suksesnya wisata minat khusus ekowisata, diperlukan pemandu yang

dapat memberikan informasi sehingga wisatawan dapat ikut melestarikan

kawasan. Pemandu dengan interpretasi akaan turut meningkatkan nilai

kepuasan wisatawan.

8. Membuka kawasan lindung untuk keperluan ekowisata, diarahkan bahwa

ekowisata dapat turut memberi tambahan pendapatan pada kawasan lindung,

yang digunakan untuk penyempurnaan pemeliharaan, rehabilitasi,dan

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

peningkatan konservasi kawasaan yang bersangkutan (Hadinoto, 1996 dalam

Hakim, 2004) .

Suatu kegiatan wisata dapat dikatakan sebuah kegiatan ekowisata bila

memenuhi beberapa komponen, yaitu :

1. Memberikan kontribusi bagi konservasi biodiversitas;

2. Memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat lokal;

3. Adanya kegiatan belajar

4. Adanya kegiatan-kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh wisatawan

dan industri pariwisata;

5. Dilakukan oleh kelompok-kelompok bisnis sekala kecil;

6. Penggunaan seminimal mungkin sumberdaya alam yang tidak dapat

diperbaharui; dan

7. Penekanan pada partisipasi, kepemilikan, dan kesempatan berusaha bagi

masyarakat lokal (Hakim,2004).

Wisata Dan Konservasi

Wisata sifatnya dikondisikan untuk mendukung kegiatan konservasi,

defenisinya selalu memfokuskan pada :

1. Wisata yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.

2. Memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan

3. Berperan dalam usaha-usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.

4. Mendorong konservasi, pembangunan berkelanjutan dan sebagainya

Wearing dan Neil (1999) menyatakan bahwa ide-ide ekowisata berkaitan dengan

wisata yang diharapkan dapat mendukung konservasi lingkungan hidup. Karena

tujuannya adalah menciptakan sebuah kegiatan industri wisata yang mampu

memberikan peran dalam konservasi lingkungan hidup, seringkali ekowisata

dirancang sebagai wisata yang berdampak rendah (Low Inpact Tourism). Untuk

menjawab maksud tersebut, ekowisata dikarakterisasikan dengan adanya beberapa hal

berikut.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

1. Adanya manajemen lokal dalam pengelolaan

2. Adanya produk perjalanan dan wisata yang berkualitas

3. Adanya penghargaan terhadap budaya

4. Pentingnya pelatihan-pelatihan

5. Bergantung dan berhubungan dengan sumberdaya alam dan budaya

6. Adanya integrasi pembangunan dan konservasi.

Di banyak kawasan negara berkembang, pembiyayaan terhadap kawan

konservasi seringkali rendah sehingga fungsi yang dijalankan tidak maksimal.

Penelitian-penelitian untuk menilai sumberdaya kawasan konservasi eksitu dan insitu

jarang dilakukan karena keterbatasan sumber daya. Dalam hal ini, ekowisata dengan

sebuah mekanisme tertentu, harus mapu menyumbangkan aliran dana dari

penyelenggaraannya untuk melakukan konservasi habitat. Tujuan utama, yakni

memelihara integritas fungsi-fungsi ekosistem dari destinasi wisata. Tidak ada

rumusan baku atau mekanisme khusus untuk mengembangkan pola ini. Namun

banyak contoh dapat digunakan sebagai model, bagaimana seharusnya wisata dapat

memberikan keuntungan ekonomi bagi konservasi.(Hakim. L, 2004).

Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam

Penilaian adalah penentuan nilai manfaat suatu barang ataupun jasa bagi

manusia atau masyarakat. Adanya nilai yang dimiliki oleh suatu barang dan jasa

(sumber daya dan lingkungan) pada gilirannya akan mengarahkan perilaku

pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu, masyarakat maupun

organisasi. Jika nilai sumber daya (ekosistem) hutan, ataupun lebih spesifik barang

dan jasa hutan telah tersedia informasinya, seperti halnya harga berbagai produk yang

ada di pasar, maka pengelolaan hutan dapat memanfaatkannya untuk berbagai

keperluan seperti pengambilan keputusan pengelolaan, perencanaan dan lain-lain

(Bahruni, 1999). Tidak tersedianya informasi nilai (harga) dari produk/jasa hutan

maka diperlukan suatu usaha kreatif untuk menduga nilai sumber daya hutan. Belum

tersedianya informasi nilai (harga) dari hutan disebabkan karena produk barang/jasa

hutan tidak seragam/tidak standar, karena merupakan hasil alam, sehingga sulit dibuat

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

harga standar yang berlaku umum. Oleh karena diperlukan suatu usaha untuk

menduga nilai dari sumber daya hutan (Bahruni, 1999). Penilaian ekonomi

merupakan suatu peralatan ekonomi yang menggunakan teknik penilaian sumberdaya

untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu

kawasan. Bahruni (1999) menjelaskan penilaian hutan bukan berusaha untuk

mengadakan nilai yang tidak ada, tetapi suatu upaya bagaimana memunculkan nilai

nilai sesungguhnya yang dimiliki oleh hutan, yang secara nyata dirasakan manfaatnya

oleh individu atau masyarakat, yang oleh berbagai sebab besar nilai tersebut belum

diketahui. Penilaian sumberdaya hutan secara total melalui penilaian hasil hutan baik

yang marketable maupun non-marketable secara lengkap merupakan upaya

peningkatan informasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap manajemen

sumberdaya hutan yang lestari.

Manfaat kawasan hutan terdiri dari nilai guna langsung, nilai guna tidak

langsung, nilai masa depan dan nilai non konsumtif. Nilai guna langsung meliputi

makanan yang dihasilkan dari kawasan, produk laut atau hutan dan manfaat rekreasi.

Manfaat ini sudah dihitung sebagai manfaat ang diperoleh kawasan hutan (seperti

tiket masuk, produk hutan dan non hutan yang dipanen) dan biaya kehilangan-

kehilangan (seperti hilangnya hak atas sumberdaya atau dalam ilmu ekonomi disebut

opportunity cost). Nilai guna tidak langsung terdiri dari manfaat-manfaat fungsional

dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan peranannya kepada

masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh hutan dataran tinggi yang utuh secara

terus menerus memberikan perlindungan pengendalian banjir (Natural Resources

Management Program, 2001).

Berbagai teknik penilaian sumberdaya non marketable berdasarkan Ichwandi

(1996) telah banyak dikembangkan, yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai

berikut:

1. Teknik Berdasarkan Harga Pasar

Merupakan teknik penilaian yang digunakan untuk menilai pengaruh

perubahan kualitas maupun kuantitas dari output, dimana kemudian nilai

output tersebut dinilai secara langsung berdasarkan harga pasar. Sebagai

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

contohnya, kerusakan hutan akan menyebabkan meningkatnya erosi yang

mengakibatkan menumpuknya sedimen pada lahan pertanian di daerah

hilirnya, dan akibatnya selanjutnya adalah menurunnya produksi pertanian

sehingga pendapatan para petani menurun pula.

2. Teknik Berdasarkan “Surrogate/Implicit Market Price

Merupakan teknik penilaian yang menggunakan informasi pasar secara tidak

langsung. Ketika “surrogate good” merupakan subsitusi yang semurna bagi

barang/jasa lingkungan. Teknik ini akan menghasilkan informasi penilaian

yang sangat akurat. Tetapi secara umum bahwa tidak ada barang/jasa yang

mempunyai subsitusi secara sempurna, sehingga pendekatan-pendekatan

harus dibuat.

3. Pendekatan Berdasarkan “ Survey” (Survey Base Approach)

Pendekatan ini disebut juga metode pendekatan penilaian menggunakan pasar

yang dibangun hanya berdasarkan hipotetik.

4. Pendekatan Berdasarkan Biaya

Penilaian berdasarakan pendekatan biaya terdiri dari “opportunity cost

approach” dan “ expenditure based approach”.

Kesediaan Membayar (Wilingness To Pay)

Penilaian manfaat hutan maupun peranan (keterkaitan) ekonomi sumberdaya

hutan terhadap sektor ekonomi lainnya dalam pembangunan ekonomi wilayah dan

nasional pada dasarnya ada dua yaitu: metode atas dasar pasar dan metode

pendekatan terhadap pasar atau pendekatan terhadap kesediaan membayar

(willingness to pay/willingness to accept).

Menurut Yakin (1997) definisi dari willingness to pay/willingness to accept

adalah nilai dari perubahan kondisi lingkungan atau biaya dari kerusakan lingkungan

yang ditentukan oleh semua individu baik secara langsung maupun tidak langsung

yang bisa dinyatakan dalam bentuk uang.

Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar

perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmid, 1987).

Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu,

kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah ‘bahan mentah’ dalam

penilaian ekonomi. Pearce dan Moran (1994) dalam Hufschmidt (1987) menyatakan

kesediaan membayar dari rumah tangga ke i untuk perubahan dari kondisi lingkungan

awal (Qo) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam

bentuk fungsi, yaitu :

WTPi = f(Q1 – Qo, Pown,i, Psub,i, Si, )

Keterangan :

WTPi = Kesediaan membayar dari rumah tangga ke i

Pown = Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan

Psub,i, = Harga subtitusi untuk penggunan sumberdaya Lingkungan

Si, = Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke i

Kesediaan membayar berada di area di bawah kurva permintaan. Kurva

permintaan mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang

dikonsumsi. Kurva permintaan merupakan jadwal keinginan konsumen untuk

membayar jumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Total bidang dibawah kurva

permintaan (OREM) menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu

barang atau merupakan ukuran kemauan membayar total, karena jumlah tersebut

adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari 0 sampai M. dengan

menmgurangkan biaya suatu barang bagi konsumen (ONEM), nilai surplus konsumen

ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE dan merupakan ukuran kemauan membayar

di atas pengeluaran kas untuk konsumsi (Hufschmidt, 1987).

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Pengunjung adalah subyek utama dalam interpretasi lingkungan, sementara

alam yang menjadi obyek dan media untuk program pengenalan lingkungan. Untuk

memahami pengunjung, beberapa prinsip dasar yang harus kita pegang diantaranya,

adalah:

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

1. Pengunjung datang ingin bersenang-senang

2. Pengunjung mempunyai karakteristik/sifat/ciri yang berbeda-beda

berdasarkan latar belakang masing-masing

3. Tiap-tiap pengunjung mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda

Pengunjung pada umumnya bervariasi, sehingga untuk memahami pengun jung,

perlu dilakukan pengelompokan terhadap pengunjung untuk mengetahui ciri dan

kebutuhannya. Pengelompokan ini dapat dilakukan berdasarkan umur maupn kondisi

fisik. Anak-anak termasuk remaja memiliki sifat ingin tahu yang besar, mampu

memahami logika sederhana tapi pengalaman langsung masih penting (Rahayu dan

Hermawan, 2001).

Sinaga (2003) dalam Marnaek (2005) menggolongkan tingkat umur seseorang

dari golongan sangat muda sampai dengan golongan sangat tua. Golongan umur

tersebut dibagi menjadi 5 (lima) kategori, yaitu:

1. Golongan sangat muda berusia kurang dari 20 tahun

2. Golongan berusia muda berusia 21 tahun sampai dengan 30 tahun

3. Golongan dewasa berusia 31 tahun sampai dengan 40 tahun

4. Golongan tua berusia 41 tahun sampai dengan 50 tahun

5. Golongan sangat tua berusia lebih dari 50 tahun

Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) dalam Marnaek (2005) bahwa

secara teoritis pendidikan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan manusia.

Pendidikan pada prinsipnya memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama

dalam membuka pikirannya untuk menerima hal-hal yang masih baru sekaligus dapat

berpikir secara ilmiah. Pendidikan dapat juga mengakibatkan seseorang dalam

masyarakat memilih fakta yang berkenaan dengannya serta menjadi pendorong

pelaksanaan perubahan terhadapnya.

Menurut Sukirno (1985) dalam Marnaek (2005) bahwa besar kecilnya

pendapatan berhubungan dengan kemampuan untuk membiayai kebutuhan hidup.

Bagi masyarakat yang tidak mampu ada kalanya kemampuan untuk membiayai

kebutuhan hidup tidak sebanding dengan keinginan untuk mempertahankan

kehidupannya. Jika hal ini terjadi, maka akan mengakibatkan terjadinya kemerosotan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

moral yang pada akhirnya akan bermuara pada terbentuknya perilaku menyimpang.

Hal ini yang menjadi titik awal terjadinya penyimpangan perilaku akibat dorongan

pemenuhan kebutuhan ekonomi. Selanjutnya Yusnawati (2003) dalam Marnaek

(2005) membagi tingkat pendapatan kedalam 4 (empat) kategori, yaitu:

1. Golongan berpenghasilan rendah sebesar Rp.0,- sampai dengan Rp.400.000,-

2. Golongan berpenghasilan sedang sebesar Rp.401.000,- sampai dengan

Rp.800.000,-

3. Golongan berpenghasilan tinggi sebesar Rp.801.000,- sampai dengan

Rp.1.200.000,-

4. Golongan berpenghasilan sangat tinggi dengan pendapatan lebih dari

Rp1.200.000,-

Hipotesis pendapatan permanen menyatakan bahwa orang lebih menyukai

memiliki pola konsumsi yang relatif stabil untuk tingkat pendapatan yang berbeda-

beda. Pada umumnya orang-orang yang memiliki pendapatan tidak stabil memilih

pola pengeluaran mengikuti pendapatan permanen. Hal ini berarti tidak seluruh

pendapatan yang ia terima merupakan dasar bagi penentuan tingkat konsumsi yang

dilakukan, tetapi lebih berdasarkan tingkat pendapatannya tersebut akan permanen

(Kelana, 1996).

Metode Valuasi Kontingensi

Nilai pilihan seperti nilai flora dan fauna yang saat ini belum dimanfaatkan

yang secara potensial di masa yang akan datang dapat bermanfaat dan nilai

keberadaan dari flora dan satwa langka serta nilai sosial budaya dari sumberdaya

hutan dilakukan penilaiannya dengan metode kontingen (Contingent Valuation

Method). Metode ini dilakukan dengan cara menanyakan langsung kepada responden

(menggunakan kuisioner/daftar pertanyaan) tentang kesediaan membayar (willingness

to pay) atau kesediaan dibayar (willingness to accept) kepada atau oleh pihak lain

sebagai kompensasi telah memelihara keadaan hutan sehingga nilai pilihan atau nilai

keberadaan hutan tersebut tetap terpelihara (Bahruni, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

Menurut Yakin (1997) Metode Valuasi Kontingen (MVK) adalah metode

teknik survei untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka

berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan.

Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa orang yang mempunyai preferensi

yang besar tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian

diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan untuk

mentransformasikan preferensi tersebut ke dalam bentuk nilai uang. Dalam hal ini

diasumsikan bahwa orang akan bertindak nantinya seperti yang dia katakan ketika

suatu hipotesis yang disodorkan kepadanya akan menjadi kenyataan pada masa yang

akan datang.

Universitas Sumatera Utara