Cedera Kepala (Ronald Datu)
-
Upload
ronald-joy-datu -
Category
Documents
-
view
347 -
download
9
Transcript of Cedera Kepala (Ronald Datu)
CEDERA KEPALA
DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.1 Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.2
EPIDEMIOLOGI
Di negara maju cedera kepala merupakan sebab utama kerusakan otak pada generasi
muda dan usia produktif. Di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 55.495 penderita kecelakaan
lalu lintas dan terdapat korban meninggal sebanyak 11.933 orang yang berarti tiap hari ada 34
orang mati akibat kecelakaan lalu lintas. Dari korban yang meninggal ini ± 80% disebabkan
cedera kepala.3
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
80% dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan,
10% cedera kepala sedang dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat. Lebih dari 100.000
penderita menderita berbagai tingkat kecacadan akibat cedera kepala setiap tahunnya. Cedera
susunan saraf pusat (SSP) merupakan penyebab lebih dari 40% kematian dalam dunia
militer.3 Di Inggris, terdapat sekitar 1 juta pasien dengan cedera kepala setiap tahunnya dan
sekitar 5000 pasien meninggal setiap tahunnya setelah mengalami cedera kepala.4
1
ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan istirahat adalah 10mmHg. TIK lebih tinggi
dari 20mmHg, terutama bila menetap, berhubungan langsung dengan hasil akhir yang buruk.5
b. Hukum Monroe-Kellie
Hukum Monroe-Kellie adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan
pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu
konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik (rigid) dan tidak mungkin
mekar. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-
komponennya yaitu volume jaringan otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf) dan
volume darah (Vbl).5, 6
Vic = Vbr + Vcsf + Vbl
Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan darah (hematoma) dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam batas normal. Hal ini masih terkompensasi akibat
tergesernya/pengaliran cairan serebrospinal (CSS) dan darah intravaskuler keluar dari ruang
intrakranial dengan volume yang sama. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui
(mencapai titik dekompensasi) maka kenaikan jumlah massa yang sedikit saja akan
menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.5
c. Tekanan Perfusi Serebral
Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP).
Pada seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat konstan selama
2
MAP berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya autoregulasi dari arteriol
yang akan mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi dalam upaya menjaga agar aliran
darah ke otak berlangsung konstan.6
PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.7 Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).8
Mekanisme cedera:9
- Pada benturan menghasilkan gaya kompresi, akselerasi dan deselerasi
- Pada guncangan menghasilkan gaya akselerasi dan deselerasi
- Pada mekanisme cedera yang terlokalisasi dapat menghasilkan gaya fokal (coup
dan contracoup) atau gaya yang tersebar
3
Gambar 1. Coup dan contercoup8
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.8
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria
ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed.
Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan
dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum,
depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (>1 tabula) memerlukan operasi elevasi.
Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp
4
dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi
perbaikan segera.10
Gambar 2. Linier Skull Fracture
5
Gambar 3. Depressed Skull Fracture
Gambar 4. Diastatic Skull Fracture
6
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila
penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang
sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat
dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.5
Fraktur basis krani merupakan tipe fraktur yang serius. Tanda klinis yang dapat
ditemukan berupa adanya memar di sekeliling mata atau di belakang telinga, atau adanya
cairan yang keluar di hidung atau telinga.11
Gambar 5. Fraktur Basis Krani
7
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak
difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada
tahun-tahun terakhir ini.5
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara
tabula interna dan duramater. Paling sering terletak di regio temporal atau temporoparietal
dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.
Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering
(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik
karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada
status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien
tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.8, 10
8
Gambar 6. EDH
Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan
arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara
korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif.10
9
Gambar 7. SDH
Kontusi dan Hematoma Intraserebral.
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan
temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.10
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)
otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut.
Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi
pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang
didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.6
10
Gambar 8. ICH
KLASIFIKASI
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai
berikut:5
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
11
Tabel 1. Glasgow Coma Scale10
GLASGOW COMA SCALE Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
Klasifikasi cedera otak berdasarkan mekanismenya dibagia atas cedera tumpul dan
cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun
tusukan. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan kelainan morfologi tergantung pada tipe
fraktur dan lesi intracranial yang ditemukan.5
12
PENATALAKSANAAN 3
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari
paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan,
selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, di ruang gawat darurat, kamar
radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa
memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya
penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun
gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik
hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa
sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti
SHI.
13
B. Pasien dengan kesadaran menurun
1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah
pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga
adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran
semakin menurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral
disamping tanda-tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan
tindakannya sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi
leher dan patah tulang ekstremitas
c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu di samping kelainan
serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia
akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
14
o Jalan nafas (airway)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau
perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir
atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan.
o Pernafasan (breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral
adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan
central neurogenik hiperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab
dan kalau perlu memakai ventilator.
o Sirkulasi (circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang
hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan
plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal
serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data
dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan
sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
15
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat atas
indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis
diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK
yang normal adalah berkisar 0-15mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan
urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan
sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg
dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK
naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan
drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,
misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretik
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak
yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan.
16
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5gram/kgBB, setiap 6 jam selama
24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
o Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan
serebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan
manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol.
Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang
tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Steroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada
cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera
kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala
sekitar 20-30º, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau
laterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak
menjadi lancar.
17
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri
dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan
koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl
0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila
tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal
>30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada
keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit, pemasukan cairan
harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of
inappropriate anti diuretic hormone (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar
elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya
kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-
4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik
bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang
terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada
anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien
dengan amnesia post traumatik yang panjang.
18
Pengobatan:
o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung berulang
50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru
oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti
pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang
h. Komplikasi sistematik
o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada fraktur
tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah kerusakan
sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus
diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan
kompres
o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal
lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian
antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombositopenia, hipo hiperagregasi
trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu
cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
19
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf,
memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut
masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis
glutama dan sitikolin
Indikasi Rawat Inap
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:6
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Indikasi Tindakan Operatif
Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi
dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:6
20
1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
tanda fokal neurologis semakin berat
3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis
PROGNOSIS
Prognosis berhubungan dengan derajat kesadaran saat tiba di rumah sakit. Mortalitas
1% pada GCS 15, mortalitas 5% pada GCS 8-12 dan mortalitas 40% pada GCS <8.4
21
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium Trauma Kranio-Serebral tanggal 3
November 2007. Pekanbaru: PERDOSI; 2007.
2. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Diakses dari
http://www.biausa.org pada tanggal 19 Maret 2011.
3. Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. Bagian Bedah FK-USU: 2010.
4. Grace P, Borley N. Surgery at a Glance, 3rd edition. Blackwell Publishing Ltd.: 2006.
90-93
5. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera Kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
6. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra
Grafindo; 2005.
7. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:
Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill;1996.
8. Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed Head Traumatic Brain Injury.
Diakses dari : http://findlaw.doereport.com pada tanggal 19 Maret 2011.
9. Wim de Jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta EGC: 2005. 818-822
10. Saanin S. Cedera Kepala. Diakses dari:
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery.htm pada tanggal 19 Maret 2011.
11. Basuki E. Manajemen Cedera Kepala. 2010
22