CECANGKRIMAN: ITS FUNCTION AND MEANING AS AN ORAL ...

14
FUNGSI DAN MAKNA TRADISI LISAN CECANGKRIMAN BAGI MASYARAKAT BALI CECANGKRIMAN: ITS FUNCTION AND MEANING AS AN ORAL TRADITION OF BALINESE SOCIETY Ni Nyoman Tanjung Turaeni Balai Bahasa Bali Jalan Trengguli I Nomor 34 Tembau, Denpasar, Indonesia Telepon (0361) 461714, Faksimile (0361) 463565 Ponsel: 081331766533 Pos-el: [email protected] (Makalah diterima tanggal 2 Maret 2020—Disetujui tanggal 17 April 2020) Abstrak:Ungkapan tradisional merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang keberadaannya perlu dipertahankan dan dilestariikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fungsi dan makna tradisi lisan cecangkriman bagi masyarakat Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data dengan teknik catat. Dalam pengolahan data, dilakukan tahapan klasifikasi, penerjemahan, dan analisis data. Sumber data dalam kajian ini, diambil dari Basita Paribasa Bali yang ditulis oleh W. Simpen AB. Untuk mengetahui fungsi dan makna cecangkriman, penulis menggunakan pendekatan teori fungsi folklore yang diungkapkan oleh Bascom dan untuk mengungkapkan makna dibantu dengan teori semiotika yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna yang ada dalam sebuah tanda baik berupa teks maupun benda. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dalam rangka memperkaya khazanah ungkapan tradisional cecangkriman dalam fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya. Kata kunci: cecangkriman, folklore, semiotika, tradisi lisan Abstract: The traditional expression is one of oral tradition forms whose existence needs to be maintained and preserved. This study is aimed to describe the function and the meaning of cecangkriman oral tradition for the Balinese people. The method used in this study was a descriptive qualitative method and the data collection technique was note-taking. In processing the data, classification, translation and data analysis were carried out. The data source in this study was taken from Basita Paribasa Bali, that is written by W. Simpen AB. To find out the function and the meaning of cecangkriman, the author used the approach of folklore function theory proposed by Bascom and to express the meaning, it was assisted by semiotic theory, namely the study of meaning insidethe sign in the form of both text and objects. The results of this study were expected to provide knowledge to enrich the treasury of traditional expressions of cecangkriman alsoits functions and meanings contained therein. Keywords: cecangkriman, folklore, semiotics, oral traditions

Transcript of CECANGKRIMAN: ITS FUNCTION AND MEANING AS AN ORAL ...

FUNGSI DAN MAKNA TRADISI LISAN CECANGKRIMAN BAGI MASYARAKAT BALI

CECANGKRIMAN: ITS FUNCTION AND MEANING AS AN ORAL TRADITION OF

BALINESE SOCIETY

Ni Nyoman Tanjung Turaeni

Balai Bahasa Bali

Jalan Trengguli I Nomor 34 Tembau, Denpasar, Indonesia

Telepon (0361) 461714, Faksimile (0361) 463565

Ponsel: 081331766533

Pos-el: [email protected]

(Makalah diterima tanggal 2 Maret 2020—Disetujui tanggal 17 April 2020)

Abstrak:Ungkapan tradisional merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang keberadaannya perlu

dipertahankan dan dilestariikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fungsi dan makna tradisi

lisan cecangkriman bagi masyarakat Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data dengan teknik catat. Dalam pengolahan data, dilakukan

tahapan klasifikasi, penerjemahan, dan analisis data. Sumber data dalam kajian ini, diambil dari Basita

Paribasa Bali yang ditulis oleh W. Simpen AB. Untuk mengetahui fungsi dan makna cecangkriman,

penulis menggunakan pendekatan teori fungsi folklore yang diungkapkan oleh Bascom dan untuk

mengungkapkan makna dibantu dengan teori semiotika yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna yang

ada dalam sebuah tanda baik berupa teks maupun benda. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pengetahuan dalam rangka memperkaya khazanah ungkapan tradisional cecangkriman

dalam fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya.

Kata kunci: cecangkriman, folklore, semiotika, tradisi lisan

Abstract: The traditional expression is one of oral tradition forms whose existence needs to be

maintained and preserved. This study is aimed to describe the function and the meaning of cecangkriman

oral tradition for the Balinese people. The method used in this study was a descriptive qualitative method

and the data collection technique was note-taking. In processing the data, classification, translation and

data analysis were carried out. The data source in this study was taken from Basita Paribasa Bali, that is

written by W. Simpen AB. To find out the function and the meaning of cecangkriman, the author used the

approach of folklore function theory proposed by Bascom and to express the meaning, it was assisted by

semiotic theory, namely the study of meaning insidethe sign in the form of both text and objects. The

results of this study were expected to provide knowledge to enrich the treasury of traditional expressions

of cecangkriman alsoits functions and meanings contained therein.

Keywords: cecangkriman, folklore, semiotics, oral traditions

JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28

16

PENDAHULUAN

Karya sastra memiliki peranan penting

dalam kehidupan manusia dan

memberikan manfaat dan membimbing

manusia kearah yang lebih positif

(Teeuw, 2003:21). Melalui karya sastra,

pembaca dapat mengetahui keindahan

bahasa dan merenungkan masalah

kehidupan, lebih peka serta dapat

menghargai apa yang dimiliki oleh orang

lain. Melalui karya sastra, baik sastra

tradisional maupun modern dapat

diketahui gambaran kehidupan budaya

pada masanya karena karya sastra

merupakan cermin dan wahana untuk

mengungkap pikiran, gagasan perasaan,

dan kepercayaan yang tercermin di

dalamnya, seperti, agama, bahasa, seni

serta tradisi yang ada.

Tradisi merupakan hasil cipta,

rasa dan karsa manusia terhadap objek

material, kepercayaan, khayalan,

kejadian, atau lembaga yang diwariskan

dari suatu generasi ke generasi, seperti,

adat-istiadat, kesenian, dan properti yang

digunakan. Akan tetapi, sesuatu yang

diwariskan tidak berarti harus diterima.

Namun, tradisi merupakan suatu

gambaran sikap dan perilaku manusia

yang telah berproses dalam waktu yang

cukup lama dan dilakukan secara turun-

temutun dimulai dari nenek moyang, dan

tradisi yang telah membudaya akan

menjadi sumber dalam berakhlak dan

berbudi pekerti bagi seseorang.

Cecangkriman merupakan salah

satu bentuk ungkapan tradisi lisan yang

diformulasi dalam bentuk tembang atau

pupuh. Cecangkriman sama halnya

dengan teka-teki dalam bahasa

Indonesia, akan tetapi dalam ungkapan

tradisi lisan di Bali teka-teki tersebut

dalam bentuk tembang. Biasanya jenis

tembang/pupuh yang digunakan pada

umumnya menggunakan pupuh Pucung.

Simpen (2020, hlm.52) menyebutkan

selain cecangkriman ada beberapa variasi

ungkapan tradisi lisan yang masih sering

digunakan dalam kehidupan bermasyarakat di

Bali, seperti (1) sesonggan; (2) sasenggakan; (3)

wewangsalan; (4) peparikan; (5) sloka; (6)

bladbadan; (7) sesawangan; (8) pepindan; (9)

cecimpedan; (10) cecangkriman; (11) raos

ngempelin; (12) sesimbing; (13) sesemon; (14)

sipta; (15) peparikan; (16) tetingkesan; (17)

cecangitan; dan (18) sesapan.

Cecangkriman adalah sejenis

tembang (pupuh) yang biasanya

digunakan untuk meninabobokan anak.

Cecangkriman tergolong lagu yang

sangat sederhana, lebih sering

menggunakan tembang (pupuh) pucung.

Akan tetapi, tidak semua teks yang

menggunakan tembang pucung

mengandung unsur cecangkriman atau

teka-teki yang ditembangkan. Seperti

contoh tembang pucung berikut /bibi

anu/, /lamun payu/, /luas mandus/,

/antenge tekekang/, /nyatnain ngaba

masui/, tiyuk puntul/, /bawang anggen

pasikepan/ artinya kata bibianu

“menunjuk kepada semua orang (umat)

manusia” lamun payu luas mandus “ jika

ingin membersihkan diri (luas mandus)

antenge tekekang „rajin, dan bertekad

Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)

17

kuat jika ingin mendapatkan tujuan

(kesucian), yatnain ngaba masui

„waspadalah terhadap musuh‟ tiyuk

puntul „tiyuk bermakna senjata dan

puntul artinya kecerdasaran dan

kepintaran‟ bawang anggan pasikepan

„bawang memiliki pengaruh dingin

artinya kebijaksanaan, yang dijadikan

landasan dalam berbuat‟. Nyanyian

tersebut secara tersurat mengandung

makna bahwa simbol “bibi” dalam

menjalani kehidupan hendaknya kita

tahu tentang kebaikan dan keburukan,

kebenaran. Ke mana pun kita melangkah

hendaknya kita selalu waspada karena

selalu membawa musuh yang ada dalam

diri (sad ripu) yaitu enam musuh yang

ada dalam hati, dengan pengetahuan

kebijaksanaan dijadikan landasan untuk

berbuat.

Berdasarkan hal tersebut, ungkapan

tradisional mengandung nilai-nilai budaya

dan norma-norma agama serta adat

istiadat yang perlu dijaga dan dilestarikan,

agar tidak mengalami kepunahan.

Perkembangan dan pengaruh zaman

membawa dampak yang sangat besar

terhadap perkembangan khasanah sastra

daerah. Dalam hal ini, tradisi lisan

khususnya ungkapan tradisional akan

mengalami pergeseran makna. Berdasarkan

dengan itu, penelitian ungkapan tradisional

sangat perlu dilakukan.

Kajian yang berkaitan dengan

penelitian ini belum pernah dilakukan.

Akan tetapi penelitian yang sejenis

mengenai ungkapan tradisional dilakukan

oleh Sumitri (2007) berjudul Nilai-nilai

Sesenggakan dalam Ungkapan Tradisional

Bali (dalam Perspektif Linguistik

Kebudayaan) membahas tentang nilai-

nilai budaya yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat Bali yang kandungan

maknanya berkaitan dengan nilai-nilai

dan normal-normal masyarakat etnis Bali

dalam hubungan fungsional dengan

lingkungan alam dan fungsi sosialnya;

Tanjung Turaeni (2017, hlm. 211—224)

berjudul Pengalihwahanaan Paribasa

Bali Lisan ke dalam lagu Bali populer,

membahas tentang bagaimana bentuk

ungkapan- ungkapan lisan sebagai tradisi

lisan ditransformasikan melalui lirik lagu

popular yang sarat dengan kearifan lokal,

terutama sistem kehidupan masyarakat

dalam berperilaku terhadap lingkungan

yang dapat membangun pembentukan

karakter generasi muda sekaligus melestarikan

kearifan lokal serta memperkenalkan lagu-

lagu Bali populer.

Sehubungan dengan hal tersebut,

salah satu bentuk tradisi lisan cecangkriman

sangat layak dikaji nilai-nilai budaya

yang terkandung didalamnya melalui

bentuk dan fungsinya dalam masyarakat

dan Bali khususnya. Dengan demikian

tujuan dari kajian ini adalah untuk

mengidentifikasi dan mendeskripsikan

fungsi dan makna yang terkandung

dalam cecangkriman sebagai salah satu

bentuk tradisi lisan yang masih berkembang

di Bali

Karya sastra baik sastra tradisional

maupun modern mengandung konvensi

JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28

18

bahasa, sastra, dan budaya. Karya sastra

dapat dikatakan bermakna apabila diberi

arti oleh pembaca. Roman Ingarden dan

Vodicka (dalam Pradopo, 1995, hlm.

106) menyatakan bahwa pemberian

makna terhadap sebuah karya sastra

disebut konkretisasi. Sementara itu,

menurut Saussure (dalam Nurgiantoro,

2007, hlm. 39) tanda sebagai kesatuan

dari dua bidang yang tidak dapat

dipisahkan. Di mana ada tanda, di sana

ada sistem, artinya sebuah tanda (baik

berwujud kata atau gambar) mempunyai

dua aspek yang dapat ditangkap oleh

indera yang disebut signifies, bidang

penanda atau bentuk dan aspek lainnya

disebut signified.

Kemudian dalam mendeskripsi-

kan fungsi dan hubungan antarunsur

yang ada dalam teks, kajian struktural

lebih menekankan pada korelasi antara

unsur-unsur pembentuk sebuah teks

(Badrun, 2006, hlm. 4), yang pada

dasarnya strukturalisme dapat dipandang

sebagai susunan hubungan dari susunan

suatu benda. Dengan demikian dapat

dikatakan setiap unsur yang ada pada

bagian dari sebuah struktur baru

mempunyai makna setelah ada dalam

hubungan dengan unsur-unsur lain yang

ada di dalamnya.

Berkaitan dengan fungsi karya

sastra, terlebih dahulu perlu dipahami

mengenai kata fungsi itu sendiri. Dalam

(KBBI) kata fungsi berarti “kegunaan

suatu hal”, sedangkan jika berkaitan

dengan tradisi lisan (folklore) Dundes

(dalam Danandjaya, 1997, hlm. 32)

menyatakan fungsi folklore adalah (1)

sebagai alat pendidik; (2) sebagai pelibur

lara; (3) sebagai protes sosial; (4) sebagai

proyeksi keinginan terpendam. Sedangkan

Bascom menyebutkan bahwa fungsi

folklore adalah (1) sebagai sistem

proyeksi, yaitu sebagai alat pencerminan

angan-angan kolektif; (2) sebagai alat

pengesahan pranata-pranata dan lembaga

kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan

anak; dan (4) sebagai alat pemaksa dan

pengawas agar norma-norma masyarakat

selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Berdasarkan hal tersebut, tulisan

ini akan mencoba mengindentifikasi dan

mengkaji fungsi dan makna cecangkriman

sebagai ungkapan tradisional Bali yang

masih tumbuh dan berkembang di

masyarakat.

METODE

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah salah satu bentuk ungkapan

tradisional Bali yaitu cecangkriman dalam buku

Basita Paribasa Bali (W. Simpen AB, 2010,

hlm. 52). Pengumpulan data dilakukan dengan

inventarisasi, men- deskripsikan mencatat,

transkripsi dan terjemahan ungkapan tradisional

tersebut dari bahasa Bali ke dalam bahasa

Indonesia. Teknik sampel pengambilan data

secara acak yaitu dengan mengambil beberapa

contoh cecangkriman yang berkaitan dengan

analisis. Sedangkan analisis data digunakan 1)

analisis dokumen yaitu membaca data,

dengan tujuan

Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)

19

untuk mengidentifikasikan, 2) analisis data

dengan metode hermeneutika, dan 3) analisis

deskriptif metode ini dilakukan dengan cara (a)

mengindentifikasi bentuk kata dan jenis kata,

sesuai fungsinya, (b) mengklasifikasi dan

menyeleksi data sesuai hasil pemahaman; dan

(c) menganalisis dan interpretasi data dari

bagian-bagian tertentu kemudian secara

keseluruhan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk dan Struktur Formal

Cecangkriman

Dalam KBBI (2001, hlm. 322)

menyebutkan bahwa fungsi diartikan

sebagai suatu kegunaan suatu hal, dalam

hal ini adalah unsur bahasa sebagai

struktur formal dalam sebuah wacana.

Terkait dengan makna, kata fungsi dalam

sebuah struktur formal sastra geguritan,

karena dalam hal cecangkriman

merupakan tradisi lisan berupa teki-teki

berbentuk tembang (pupuh). Kata pupuh

dimaknai sebagai bentuk lagu yang

terikat oleh padalingsa, misalnya pupuh

sinom, pangkur, durma (Warna, 1990,

hlm. 57). Dalam KBBI (2001, hlm.

909), kata pupuh dimaknai „lagu yang

terkait oleh banyaknya suku kata dalam

satu bait, jumlah larik dalam satu bait,

permainan bunyi. Sehingga dapat

dikatakan bahwa fungsi struktur formal

geguritan adalah merupakan aturan yang

harus dipatuhi. Sebagaimana struktur

formal yang membentuk cecangkriman

yang menggunakan pupuh pucung,

seperti data berikut.

1. Bapa pucung,

Terjemahan:

Bapak Pucung

Maumah di alas agung

Terjemahan:

tinggal di gunung

Bengkuk pengadege,

Terjemahan:

tubuhnya bungkuk

Awake mabulu pipis,

Terjemahan:

badannya berbulu uang

Pawah cakluk,

Terjemahan:

tua renta

Layahe selep-selepang

Terjemahan:

lidahnya dijulur-julurkan

2. Dradat-drudut,

Terjemahan:

mondar-mandir

Bingah-binguh liwat inguh,

Terjemahan:

karena kebingungan

Nyumbil sisin pagehan,

Terjemahan:

menyundul-nyundulkan kepala di pagar

Padidi sing dadi ngranjing,

Terjemahan:

sendiri tidak bisa masuk

Nene catur,

Terjemahan:

dari empat barisan

Nyamane suba di tengah.

Terjemahan:

Saudara sudah berada di dalam

3. Jalan buntu,

Terjemahan:

jalan buntu

Tan masepak nolor terus,

Terjemahan:

tidak bercabang, lurus terus

JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28

20

Nyen mekeneh mentas,

Terjemahan:

jika ingin berjalan/melaluinya

Apang elahang agigis

Terjemahan:

agar lebih lancar

Musti blenggu,

Terjemahan:

harus diikat

Majalan ditu magaang.

Terjemahan:

berjalannya dengan cara merangkak.

4. Berag landung,

Terjemahan:

tinggi dan kurus

Ngelah panak cenik liu,

Terjemahan:

mempunyai banyak anak

Memene slelegang,

Terjemahan:

ibunya disandarkan

Panak ne jekjek enjekin,

Terjemahan:

anaknya dinjak-injak

Menek tuun,

Terjemahan:

naik-turun

Mememne gelut gisiang.

Terjemahan:

ibunya dipegang

5. Cenik mungklung,

Terjemahan:

kecil mungil

tuara kena baan mangitung,

Terjemahan:

tidak bisa menghitungnya

petenge magadang,

Terjemahan:

malamnya begadang

makijap ngebekin langit,

Terjemahan:

berkedip memenuhi langit

langit pelung

Terjemahan:

langit biru

ditu mula ya maumah.

Terjemahan:

Di sanalah tempatnya.

6. Napi iku,

Terjemahan:

apakah itu

Tolih-tolih tan katemu,

Terjemahan:

dilihat-lihat tidak bertemu

Gabag ya bakatang,

Terjemahan:

tetapi dapat diraba

Wenten ya wantah kekalih,

Terjemahan:

dia hanya ada dua

Wiakti iku,

Terjemahan:

apakah itu

Genahnya ada ring raga.

Terjemahan:

Tempatnya ada pada tubuh

7. Uli ilu,

Terjemahan:

dari zaman dulu

Ia luas nuju dalu,

Terjemahan:

Ia pergi pada malam hari

Majalan ngauhang

Terjemahan:

berjalan menuju ke barat

Sundihne ngalangin gumi,

Terjemahan:

sinarnya menerangi bumi

Napi iku,

Terjemahan:

apa itu

Tegarang cening orahang.

Terjemahan:

Anak-anak coba di tebak

Contoh data di atas merupakan jenis

cecangkriman yaitu syair teka-teki, di

mana taka-teki atau tebak-tebak yang

Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)

21

dilagukan. Selain pupuh pucung di Bali

juga ada jenis pupuh/tembang yang lain

disebut dengan sekar alit atau macepat.

Macepat merupakan gending (lagu) yang

sangat populer di Bali yang sering

didendangkan ketika ada upacara

keagamaan. Selain itu sekar alit

digunakan sebagai alat komunikasi atau

ekspresi, juga dapat berbentuk cerita

berbentuk puisi/geguritan dengan

menggunakan Pupuh. Pupuh terikat

dengan aturan padalingsa. Pada artinya

banyaknya suku kata dalam satu kalimat

(carik); dan lingsa artinya perubahan

suara/bunyi (a, i, u, e, o) pada suku kata

terakhir dalam tiap baitnya (Sugriwa,

1977, hlm. 8). Sedangkan penggunaan

bahasa dalam pupuh menunjukkan

pemakaian fungsi puitik bahasa yang

sangat tinggi, karena lebih ditonjolkan

adalah ekuivalensi seperti bunyi, rima,

aliterasi, asonansi yang mempunyai

kesejajaran antara larik dengan larik,

antara pupuh dengan pupuh dan dalam

larik ada kesejajaran yang seluruhnya

disebut sistem matra (Teeuw, 1984, hlm.

76—77). Bahasa yang digunakan dalam

pupuh adalah bahasa Bali Kepara yaitu

bahasa yang umum dipakai oleh

masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-

hari. Selain terikat oleh padalingsa

jumlah baris dalam satu bait; pupuh juga

terikat oleh guru wilang yaitu jumlah

wanda (suku kata) dalam satu baris

(kalimat).

Sebagaimana terlihat dalam

cecangkriman yang digunakan sebagai

sumber data (contoh) di atas, merupakan

salah satu pupuh yang ada dan

berkembang di Bali. Dalam hal ini

penggunaan pupuh pucung tersebut

sebagai bentuk tradisi lisan yaitu

cecangkriman yaitu sejenis teka-

teki/tebak-tebakan, tetapi dibalut dalam

bentuk tembang. Selain ungkapan

tradisional cecangkriman, juga ada jenis

ungkapan tradisional yang hampir sama,

tetapi tidak didendangkan, artinya

ungkapan tersebut tidak dalam bentuk

tembang disebut cacimpedan.

Cecimpedan adalah ungkapan tradisional

yang berbentuk teka-teki, dan dalam

cecimpedan diawali dengan kata tanya

“Apake” “apa” dalam bahasa Indonesia,

namun dalam cecangkriman (syair teka-

teki) menggunakan pupuh lebih tepatnya

pupuh pucung, sebagaimana dalam data

(1) berikut.

(1) Bapa pucung, (4u)

maumah di alas agung (8u)

Bengkuk pengadege, (6a)

Awake mabulu pipis, (8i)

Pawah cakluk, (4u) Layahe selep-selepang (8a)

Menilik ungkapan lisan cecangkriman di

atas, menunjukkan bahwa ungkapan

tersebut berbentuk sebuah nyanyian

dengan menggunakan pupuh pucung.

Sesuai dengan aturan padalingsa, satu

bait pupuh pucung terdiri atas enam

baris, di mana setiap baris memiliki

jumlah suku kata yang berbeda antara

baris satu dengan baris berikutnya.

Seperti contoh di atas baris Bapa pucung

JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28

22

terdiri empat suku kata diakhiri dengan

vokal /u/ (4u); baris kedua maumah di

alas agung (8u); baris ketiga Bengkuk

pengadege (6a); baris keempat Awake

mabulu pipis (8i);baris kelima Pawah

cakluk (4u); dan baris keenam Layahe

selep-selepang (8a). Dalam satu bait

tersebut antara baris/kalimat satu sampai

kalimat keenam merupakan satu kesatuan

sebuah teka-teki atau sebuah pertanyaan

yang makna atau artinya harus dikupas

dan menemukan jawaban dari pertanyaan

yang terkandung dalam tembang tersebut.

Fungsi dan Makna Ungkapan

Tradisional Cecangkriman

Sebagaimana telah dipaparkan di atas,

dalam masyarakat Bali ungkapan

tradisional cecangkriman memiliki

berbagai fungsi yaitu untuk menyampaikan

maksud dari ajaran- ajaran, nasihat-nasihat

dengan cara yang sangat ringan. Sesuai

dengan wataknya pupuh pucung yang

didendangkan melalui sebuah ungkapan

berfungsi untuk menyampaikan ajaran-

ajaran, nasihat-nasihat dengan cara yang

ringan dan bahasa yang mudah dipahami

bagi anak-anak, karena menggunakan

bahasa Bali pada umumnya sedangkan

makna yang dimaksudkan adalah

bagaimana kita diajak untuk belajar

mengolah pikiran untuk berpikir cerdas

untuk menjawab sebuah tebakan atau teka-

teki. Sebagaimana terlihat pada data (2)

berikut.

(2) Dradat-drudut,

Terjemahan:

mondar-mandir

Bingah-binguh liwat inguh,

Terjemahan:

karena kebingungan

Nyumbil sisin pagehan,

Terjemahan:

menyundul-nyundulkan kepala di pagar

Padidi sing dadi ngranjing,

Terjemahan:

sendiri tidak bisa masuk

Nene catur,

Terjemahan:

dari empat barisan

Nyamane suba di tengah.

Terjemahan:

Saudara sudah berada di dalam.

Menilik kutipan di atas, menyiratkan

sebuah benda, yang kebingungan tidak bisa

masuk ke dalam, sambil menyundulkan

kepalanya agar bisa masuk melewati

empat barisan, karena semua saudaranya

sudah berada di tengah/dalam. Secara

tersirat secara keseluruhan makna dan

arti dari bait pupuh tersebut adalah orang

makan sirih dan tembakau. Hal itu dapat

diartikan bahwa benda yang

dimaksudkan adalah tembakau yang

digerakan kesana-kemari melalui

gerakan tangan, namun tidak kunjung

masuk ke dalam mulut. Dan secara

tersurat tembakau yang berfungsi sebagai

pembersih gigi, berbeda halnya dengan

sirih yang bisa dimakan dan fungsinya

bisa sebagai jamu atau obat.

Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)

23

Demikian pula halnya dengan data (3)

berikut.

(3) Jalan buntu,

Terjemahan:

jalan buntu

Tan masepak nolor terus,

Terjemahan:

tidak bercabang, lurus terus

Nyen mekeneh mentas,

Terjemahan:

jika ingin berjalan/melaluinya

Apang elahang agigis

Terjemahan:

agar lebih lancar

Musti blenggu,

Terjemahan:

harus diikat

Majalan ditu magaang.

Terjemahan:

berjalannya dengan cara merangkak.

Kutipan (3) di atas cecangkriman

berbentuk teka-teki dan menjelaskan

maksud dari sebuah benda melalai

rangkaian kalimat-kalimat yang

berbentuk sebuah tembang pucung, yang

intinya ada jalan lurus, tidak bercabang,

jika ingin melintasinya harus dengan

kaki terikat, dan berjalannya pun dengan

cara merangkak. Secara tersurat barisan

kalimat-kalimat tersebut mempunyai arti

dan makna yang terpisah-pisah, tetapi

jika barisan kalimat itu dihubungkan

dengan kalimat-kalimat dan membentuk

sebuat barisan/bait yang utuh akan

memiliki makna yang utuh. Secara

keseluruhan makna dari bait pupuh

pucung (teka-teki) tersebut adalah “orang

memanjat pohon kelapa”, karena secara

tersurat jelas terlihat secara umum ciri-

ciri dari pohon kelapa adalah luruh, tidak

ada cabangnya, dan jika pohonnya cukup

tinggi, bisa menggunakan alat bantu

berupa slengkad (berupa tali yang

dililitkan diantara pergelangan kaki,

dengan cara disilangkan), sehingga

memudahkan untuk bisa naik, dan ketika

naik, seperti orang merangkak. Demikian

pula dengan cecangkriman pada data (4)

berikut.

(4) Berag landung,

Terjemahan:

tinggi dan kurus

Ngelah panak cenik liu,

Terjemahan:

mempunyai banyak anak

Memene slelegang,

Terjemahan:

ibunya disandarkan

Panak ne jekjek enjekin,

Terjemahan:

anaknya dinjak-injak

Menek tuun,

Terjemahan:

naik-turun

Mememne gelut gisiang.

Terjemahan:

ibunya dipegang

Kutipan cecangkriman data (4) di atas,

secara tersurat menjelaskan sebuah

benda yang memiliki fisik berang

landung “kurus dan tinggi” yang

digunakan dalam kehidupan sehari-hari,

tetapi benda tersebut diibaratkan seorang

ibu yang mempunyai banyak anak

“ngelah panak cenik liu”, namun ibunya

JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28

24

disandarkan “memene slelegang”,

kemudian anaknya diinjak naik-turun

“panakne jekjek enjekin menek tuwun,

dan ibunya dipegang dan dipeluk

“memene gelut gisiang. Ketika membaca

dan menyimak nyanyian di atas,

pembaca akan berpikir dan berusaha

mencari jawaban dari nyanyian yang

mengandung teka-teki yang harus

ditebak. Akan tetapi secara tersurat,

bagaimana seorang ibu yang memiliki

postur tubuh kurus, tinggi mempunyai

banyak anak, ibunya disandarkan lalu

anaknya diinjak-injak. Secara tersirat

makna dan arti dari teka-teki tersebut

adalah jan (dalam bahasa Bali) “orang

naik tangga”. Hal ini dapat dilihat dari

kata-kata yang digunakan dalam bait

pupuh tersebut, memiliki postur tubuh

kurus dan tinggi, tiangnya (ibu)

disandarkan, sedangkan banggul(anak)

nya diinjak-injak. Secara keseluruhan

dan secara utuh rangkaian kalimat dari

masing-masing baris dalam bait lirik

nyanyian di atas (data 4) menjelaskan

“orang sedang naik tangga (jan)”.

melihat dari fungsinya dan rangkaian bait

tersebut fungsi jan (tangga) adalah

digunakan ketika seseorang akan

mencari sesuatu di tempat yang lebih

tinggi dan harus menggunakan alat bantu

berupa tangga atau jan.

Fungsi dan Makna Cecangkriman

sebagai Nilai Kearifan Lokal

Dalam menganalisis tradisi lisan, salah

satunya ungkapan tradisional, tidak saja

memahami bentuknya, melainkan juga

memahami fungsi dan maknanya.

Pradopo (2001, hlm. 120) menyebutkan

bahwa tradisi lisan dibangun oleh tanda-

tanda yang bermakna. Di samping itu

tradisi lisan tumbuh dan berkembang

tidak lahir dari sebuah kekosongan atau

dapat dikatakan tidak bisa terlepas dari

situasi budaya yang mendukungnya,

karena hubungan bentuk dan fungsi akan

menentukan makna yang terkandung

dalam tradisi lisan tersebut, bergantung

wilayah perkembangannya. Di samping

itu dalam menganalisis dan memberi

makna sebuah teks sastra, selain

diperlukan kode budaya dan kode sastra,

perlu juga pengetahuan mengenai kode

bahasa yang menjelaskan pesan atau

maksud karya sastra dalam bentuk

bahasa yang dipakai (Teeuw, 1983, hlm.

19). Lebih lanjut disebutkan dalam

menganalisis bahasa yang perlu

diperhatikan adalah kesepadanan

(ekuivalensi) yaitu kesepadanan

antarunsur bahasa dan penyimpangan

(derivasi) yaitu efek kesastraan yang

hendak dicapai.

Berkaitan dengan hal tersebut,

kesepadanan bunyi bahasa yang

digunakan dalam contoh cecangkriman

adanya kesepadanan antarunsur bahasa,

sehingga membentuk satu kesatuan

sebuah bait pupuh pucung. Sebagaimana

terlihat pada data (5) berikut.

(5) Cenik mungklung,

Terjemahan:

kecil mungil

Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)

25

tuara kena baan mangitung,

Terjemahan:

tidak bisa menghitungnya

petenge magadang,

Terjemahan:

malamnya ia begadang

makijap ngebekin langit,

Terjemahan:

berkedip-kedip memenuhi langit

langit pelung

Terjemahan:

langit biru

ditu mula ya maumah.

Terjemahan:

Di sanalah tempatnya.

Memperhatikan data (5) cecangkriman di

atas kesepadanan antarunsur bahasa yang

dipilih untuk membentuk sebuah bait

cecangkriman menjadi sebuah pertanyaan

yang harus ditebak. Pilihan kata tersebut

mempermudah bagi orang yang memberi

jawaban atas pertanyaan dalam bentuk

tembang tersebut. seperti kata Cening

mungklung, „kecil mungil‟; tuara kena baan

mangitun „tidak bisa menghitungnya‟ petenge

magadang „malamnya begadang‟; makijap

ngebekin langit „berkedip memenuhi langit‟

langit pelung „langit biru‟ ditu mula ya

maumah „disanalah tempatnya‟. Secara

tersurat bagi yang mendengarkan dan

menyimak tembang tersebut, akan

mudah menebak apa yang dimaksud oleh

lagu tersebut jawabannya adalah

“bintang”. Hal itu dapat dilihat dari

kepadanan kata atau pilihan kata yang

digunakan dalam tembang tersebut,

seperti kata cenik, petenge magadangmakijap

ngebekin langit ditu mula ya maumah

menunjukkan bahwa ciri-ciri bintang

kecil mungil, tidak terhitung jumlahnya,

adanya di malam hari, berkedip-kedip

memenuhi langit, di langit tempatnya.

Bintang akan kelihatan ketika malam

hari dan langit biru atau cuaca tidak

mendung atau hujan., menunjukkan ciri-

ciri kemunculan benda tersebut di langit,

ketika cuaca lagi cerah. Demikian pula

dengan kutipan data (6) berikut.

(6) Napi iku,

Terjemahan:

apakah itu

Tolih-tolih tan katemu,

Terjemahan:

dilihat-lihat tidak bertemu

Gabag ya bakatang,

Terjemahan:

tetapi dapat diraba

Wenten ya wantah kekalih,

Terjemahan:

dia hanya ada dua

Wiakti iku,

Terjemahan:

apakah itu

Genahnya ada ring raga.

Terjemahan:

Tempatnya ada pada tubuh

Melihat kutipan (6) di atas, kesepadanan

antarunsur bahasa yang digunakan

menunjukkan adanya keserasian dalam

pemilihan kata dari masing-masing

kalimat, mudah dipahami, dan

menunjukkan sebagaimana watak dari

pupuh pucung tersebut sifatnya datar.

Pilihan kata dan bahasa pada kutipan

tersebut mudah dimengerti dan

dipahami, karena bahasa yang digunakan

JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28

26

adalah bahasa sehari-hari, seperti kata

Nap, iku, tolah-tolih, katemu, gabag,

bakatang, wenten, wantah, kekalih,

wiakti, genahnya, ada, ring dan raga

merupakan bahasa percakapan sehari-

hari, sehingga apa yang dimaksud oleh

rangkaian bait pupuh tersebut mudah

ditebak. Apa yang ada pada diri

(manusia) ada dua buah, ketika ia

ditoleh atau dilihat sulit bagi kita, tetapi

kita dapat merabanya. Melihat rangkaian

kata-kata tersebut jawabannya adalah

„kuping”.

Selain cecangkriman, ungkapan

tradisi lisan yang dalam bentuk

lagu/sekar rare adalah cacimpedan.

Dalam bahasa Indonesia cacimpedan

yaitu makna sama tebak-tebakan seperti

teka-teki, yang biasanya diawali dengan

kata „apake‟ „apakah‟. Ada sebuah

gending Bali yang sangat lumrah dan

sering dinyanyikan sebagai salah satu

contoh tebak-tebakan yang sama

jawabannya dengan kutipan di atas,

contoh lagu tersebut adalah sebagai

berikut.

Jalan jani saling pada macimpedan

Apa ento tolih-tolih mangejohan,

Anak cerik laut cekok kajengitin

Ada buin anak labuh masuryak.

Baris kedua pada bait lagu di atas

menunjukkan arti atau maksud yang

sama dengan kutipan data (6), yaitu Apa

ento tolih-tolih mangejohan „apakah itu

kalau dilihat semakin menjauh‟,

jawabannya „kuping/telinga‟Akan tetapi

perbedaannya adalah jika dalam kutipan

(6) menujukkan hanya satu tebak-

tebakan, dan dalam kutipan di atas

menunjukkan tiga tebakan yang harus

dijawab, yakni Anak cerik laut cekok

kajengitin “anak kecil dicekik lalu

kajengitin” jawabannya “orang minum

air dengan caratan dari tanah liat”; Ada

buin anak labuh masuryak“ada lagi

orang jatuh bersorak/menyoraki dirinya

sendiri”, jawabannya danyuh (daun

kelapa yang sudah kering jatuh)”.

Demikian pula halnya dengan kutipan

(7) berikut.

(7) Uli ilu,

Terjemahan:

dari dahulu kala

Ia luas nuju dalu,

Terjemahan:

ia berjalan malam hari

Majalan ngauhang

Terjemahan:

berjalan menuju ke barat

Sundihne ngalangin gumi,

Terjemahan:

sinarnya menerangi bumi

Napi iku,

Terjemahan:

apakah itu

Tegarang cening orahang.

Terjemahan:

anak-anak coba ditebak

Kutipan data (7) di atas menanyakan

tentang sebuah benda yang

keberadaannya sudah ada dari dahulu, ia

berjalan pada malam hari, dari timur ke

barat, sinarnya menerangi bumi, apakah

itu, coba tebak anak-anak. Jawaban dari

nyanyian yang merupakan tebak-tebakan

adalah “bulan”. Hal itu dapat dilihat dari

Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)

27

beberapa kata yang dapat membantu

dalam menjawab tebakan tersebut,

seperti kata Ia luas nuju dalu “perginya

pada malam hari‟. majalan ngauhang

„berjalan ke barat‟, dan sundihne

ngalangin gumi „sinarnya menerangi

bumi‟. Selain ciri-ciri tersebut, untuk

keindahan dari pupuh pucung, juga dilihat

dari formula yang membentuknya, seperti

jumlah suku kata dan bunyi vokal akhir

dalam setiap barisnya. Pendengar atau

orang yang bersama-sama ikut

menembangkan nyanyian tersebut,

secara tidak langsung diajak menyimak,

memahami sekaligus berpikir makna apa

yang terkandung dalam nyanyian itu.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian dan uraian

dalam pembahasan di atas, ungkapan

tradisional yang berbentuk cecangkriman

merupakan syair teka-teki, yaitu sejenis

teka-teki atau tebak-tebakan yang

dilagukan secara umum menggunakan

tembang/pupuh pucung. Ungkapan

tradisional cecangkriman, jika dilihat

dari fungsi dan maknanya dapat

difungsikan sebagai media pengesahan

pranata sosial, sebagai mengasah

kecerdasan atau daya nalar seseorang,

senda gurau, sebagai rasa solidaritas

sosial dan sebagai makna dapat dijadikan

sebagai sarana pendidikan dalam

memperkenalkan nilai-nilai kearifan

lokal kepada anak khususnya tradisi

lisan. Di samping itu cecangkrimandapat

digunakan sebagai sarana belajar sambil

bernyanyi, juga dapat memperkenalkan

salah satu jenis tembang/pupuh pucung

kepada generasi muda. Dengan demikian

secara tidak langsung juga memperkenalkan

tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai

kearifan lokal melalui tembang, dan

mengajarkan kepada anak tentang nilai-

nilai karakter yang terkandung

didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Badrun, A. (2003). “Patu Mbojo:

Struktur, Konteks Pertunjukan,

Proses Penciptaan dan Fungsi.”

(Disertasi). Jakarta: Universitas

Indonesia.

Danantjaya. James. (1997). Folklore

Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti.

Gautama, Wayan Budha. (2007).

Kasusastraan Bali (cakepan

Panuntun Mlajahin Kasusastraan

Bali). Surabaya: Paramita.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan.

(1994). Bahasa Konteks, dan Teks:

Aspek-aspek Bahasa dalam

Paradigma Semiotik Sosial.

Terjemahan dari Language,

contex, and Text: Aspects of

Language in a Social-Semiotic

Perspective. Penerjemah Asrudin

Barori Tou. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Karmini, Ni Nyoman. (2017). Fungsi

dan Makna Sastra Bali

Tradisional Sebagai Pembentuk

Karakter Diri, (dalam Mudra

Jurnal Seni dan Budaya, Volume

32, Nomor 2,

Mei 2017, hlm 149—161).

JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28

28

Koentjaraningrat, (1993). Kebudayaan

Mentallitas dan Pembangunan.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pradopo, Rahmat Djoko. (2001).

Metode Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Hanindita Graha

Widya.

Sumitri, Ni Wayan. (2007). Nilai-nilai

Sesenggakan Dalam Ungkapan

Tradisional Bali (dalam Perspektif

Linguistik Kebudayaan). Linguistika,

Volume 14, No. 26, Maret 2007, SK

Akreditasi Nomor: 39/DiktiKep.2004),

halaman 1—28.

Sihwatik. (2017). Kajian Bentuk, Fungsi

dan Makna Ungkapan Tradisional

Wacana Sorong Sera Aji Krama di

Kabupaten Lombok Barat dan

Relevansinya dalam Pembelajaran

Mulok di SMP. Retorika: Jurnal

Ilmu Bahasa, Volume 3, No. 1

April 2017, halaman 93—103.

Tanjung Turaeni, Ni Nyoman. (2017).

Pengalihwahanaan Paribasa Bali Lisan

ke dalam Lagu Bali Populer. Dalam

Aksara, Volume 29, Nomor 2 Tahun

2017. (Akreditasi Lipi:714/Akred/P2MI-

LIPI/04/2016dan Akreditasi

Ristekdikti: 30/E/KPT/2018).

Teeuw, A. (1983). Membaca dan Menilai

Sastra. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu

Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Simpen. AB. W. (2010). Basita

Paribasa.

Denpasar. PT Usada Sastra.

Sugriwa, I G B. (1977). Penuntun

Pelajaran Kakawin. Denpasar:

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Tim Penyusun Kamus. (2001). Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Tinggen, I Nengah. (1984). Tata

Bahasa Bali Ringkes. Singaraja:

Rhika Dewata.

Warna, I Wayan. (1990). Kamus Bali-

Indonesia. Denpasar: Dinas

Pendidikan Dasar Provinsi Bali.