catatan pinggir

337
Benda-benda Februari 15, 2010 Posted by anick in All Posts, Kapitalisme, Pepeling. trackback Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya lenganku bertelekan ke sebuah bantal masih kurasakan sukacita pada benda-benda ini. Konghucu Benda-benda makin lama makin membuat jarak dari kita. Beras, air minum, dan bantal itu kita konsumsi dan kita pakai setiap harimungkin kita nikmatitapi di manakah kita? Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etalase yang gilang-gemilang itu benda-benda diletakkan dengan jarak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari keseharian kita. Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan film Avatar, bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim. Dan ketika kita ketahui harga mereka yang tak dapat diraih kebanyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah berubah. Marx pernah berbicara tentang ”festishisme komoditas”: ketika komoditas jadi jimat, benda yang dianggap punya kesaktian, atau, dalam bahasa Portugis, feitiço. Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx belum melihat gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar atau dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara tentang beberapa potong kayu yang dijadikan meja, dan meja yang dijual di pasar. Syahdan, meja itu kemudian terlepas dari tangan sang pembuat yang berkeringat. Si meja kini seakan-akan berjalan sendiri, tampil untuk dipertukarkan dengan benda lain yang juga lepas dari tenaga sang produsen. Pada saat itu, hubungan yang terjadi praktis bukan lagi hubungan antara manusia. Manusia di luarnya. Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan pantalon yang necis, kita tak tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak peduli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang aktor yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada desainnya, tapi tak peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak merasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di pikiran kita hanya sederet pantalon, sederat jas, sederet hem. Apa yang dikatakan Marx tepat di sini: benda-benda itu kini menampilkan ”sifat metafisik yang halus” dan ”kesantunan theologis”. Tapi ada yang tak disebut Marx: kita datang ke mall itu bukan dengan kepala kosong. Kita bukan tabula rasa. Kita memilih pergi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi, mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk impian sosial. Antara aku dan benda dalam etalase itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh mediamajalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, film ala Hollywood, sinetron ala Raam Punjabi, dan entah apa lagiyang membentuk pelbagai markah: merek, gaya, potongan bentuk, bahkan mall itu seluruhnya menandai ”kecantikan” atau ”kegantengan” atau ”kepatutan”. Berangsung-angsur, markah-markah itu jadi bagian dari kesadaran kita. Merekalah wakil atau representasi dari hal-hal yang sebenarnya tak akan dapat dihadirkan (bagaimana kita bisa

Transcript of catatan pinggir

Page 1: catatan pinggir

Benda-benda Februari 15, 2010

Posted by anick in All Posts, Kapitalisme, Pepeling.

trackback

Dengan beras kasar yang kumakan, dengan air yang kuminum, seraya lenganku bertelekan ke sebuah bantal—

masih kurasakan sukacita pada benda-benda ini.

– Konghucu

Benda-benda makin lama makin membuat jarak dari kita. Beras, air minum, dan bantal itu

kita konsumsi dan kita pakai setiap hari—mungkin kita nikmati—tapi di manakah kita?

Hari ini kita pergi ke sebuah mall di Jakarta. Di deretan etalase yang gilang-gemilang itu

benda-benda diletakkan dengan jarak tertentu. Kalau bukan jarak fisik, ia jarak dari

keseharian kita. Mereka tampak mengimbau karena mereka, seperti satu adegan film Avatar,

bukan bagian dari malam dan siang kita yang lazim. Dan ketika kita ketahui harga mereka

yang tak dapat diraih kebanyakan orang, makin jelas bagaimana benda-benda itu telah

berubah.

Marx pernah berbicara tentang ”festishisme komoditas”: ketika komoditas jadi jimat, benda

yang dianggap punya kesaktian, atau, dalam bahasa Portugis, feitiço.

Pada waktu ia menulis itu, dalam jilid pertama Kapital, Marx belum melihat gaun Max Mara,

tas Louis Vuitton, stoking Pierre Mantoux, jaket Gucci, yang dipamerkan dengan iklan besar

atau dipasang di tubuh manekin langsing. Marx baru berbicara tentang beberapa potong kayu

yang dijadikan meja, dan meja yang dijual di pasar. Syahdan, meja itu kemudian terlepas dari

tangan sang pembuat yang berkeringat. Si meja kini seakan-akan berjalan sendiri, tampil

untuk dipertukarkan dengan benda lain yang juga lepas dari tenaga sang produsen. Pada saat

itu, hubungan yang terjadi praktis bukan lagi hubungan antara manusia. Manusia di luarnya.

Di depan etalase Emiglio Zegna, yang memajang kemeja dan pantalon yang necis, kita tak

tahu siapa Emiglio Zegna. Kita tak peduli apakah itu nama sang desainer atau nama seorang

aktor yang dipinjam untuk jadi merek. Kita mungkin kagum kepada desainnya, tapi tak

peduli siapa yang merancang. Kita bahkan tak merasa perlu tahu siapa yang punya toko. Di

pikiran kita hanya sederet pantalon, sederat jas, sederet hem. Apa yang dikatakan Marx tepat

di sini: benda-benda itu kini menampilkan ”sifat metafisik yang halus” dan ”kesantunan

theologis”.

Tapi ada yang tak disebut Marx: kita datang ke mall itu bukan dengan kepala kosong. Kita

bukan tabula rasa. Kita memilih pergi ke sana dan tertarik karena kita hidup di antara fantasi,

mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri kita, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk

impian sosial. Antara aku dan benda dalam etalase itu ada satu proses perantaraan, terutama

oleh media—majalah Dewi, Esquire, Kosmopolitan, film ala Hollywood, sinetron ala Raam

Punjabi, dan entah apa lagi—yang membentuk pelbagai markah: merek, gaya, potongan

bentuk, bahkan mall itu seluruhnya menandai ”kecantikan” atau ”kegantengan” atau

”kepatutan”.

Berangsung-angsur, markah-markah itu jadi bagian dari kesadaran kita. Merekalah wakil atau

representasi dari hal-hal yang sebenarnya tak akan dapat dihadirkan (bagaimana kita bisa

Page 2: catatan pinggir

menghadirkan ”kecantikan”?), tapi terus-menerus kita hendak menjangkau. Dengan kata lain,

markah-markah itu jadi penanda yang tak dihadiri oleh yang ditandai. Tapi mereka begitu

kuat hingga kita ingin menyatukan diri dengan mereka. Penyatuan itu terjadi dalam ”milik”:

kita ingin memiliki mereka, sementara kita juga dimiliki mereka.

Artinya, kita bukan dalam situasi Konghucu. Beras, air minum, dan bantal itu sudah berubah.

”Apa yang dulu dialami dalam hidup secara langsung kini telah hanya jadi representasi,” tulis

Guy Debord, seorang Marxis yang masygul. Baginya, sejarah kehidupan sosial adalah sejarah

merosotnya ”ada” jadi ”milik” dan ”milik” jadi ”penampilan”. Kita hidup, kita ada, tetapi

dalam kenyataannya kita dibentuk oleh ”penampilan” yang mendorong kita memiliki.

Kita hidup dalam ”masyarakat tontonan”, la socièté du spectacle. ”Tontonan”, yang punya

akar pada kata Jawa ”ton”, menemukan contohnya pada mall itu. Tontonan, tulis Debord,

”bukanlah sebuah himpunan imaji, melainkan persesuaian sosial antara orang-orang, yang

diperantarai oleh imaji-imaji.”

Debord, seperti saya singgung tadi, menilai keadaan ini sebagai kemerosotan. Bukunya, La

socièté du spectacle, adalah tafsir yang lebih jauh atas sinyalemen Marx bahwa di bawah

kapitalisme, manusia sebenarnya hidup dalam ”alienasi”, dalam ”keterasingan”: aku terasing

dari tenaga kerjaku sendiri ketika tenaga kerja itu jadi komoditas yang tak aku kuasai; aku

terasing dari benda yang aku hasilkan, ketika benda itu diperjualbelikan; aku terasing dari

orang lain yang akan membeli dan menggunakan benda itu.

Dalam analisis Debord, keterasingan manusia, sebagai penonton, ada dalam posisi yang agak

berbeda: ketika sang penonton (alias sang konsumen) makin meletakkan diri dalam dominasi

markah-markah yang menandai kebutuhan, ia akan makin kurang ada bersama eksistensinya

sendiri. Ia minum kopi, baca koran, mengunyah kue, pergi main golf, pergi ke mall: tontonan

itu ada di mana-mana. Dan sang penonton? Ia bersama mereka, di mana-mana. Ia tak

berumah.

Tapi saya tak bisa mengatakan ia tak bersukacita. Mungkin tak seperti Konghucu. Mungkin

itu kebahagiaan hidup yang palsu. Tapi adakah yang asli yang bisa kita temui tanpa

representasi? Terutama ketika kapitalisme membangun markah terus-menerus untuk

menunjukkan tentang apa yang kita butuhkan?

Kita boleh berharap kapitalisme akan runtuh kelak. Tapi harus diakui, harapan itu makin

tipis. Maka apa yang harus dilakukan? Mungkin bersahaja: kita harus ingat, kita punya

subyektivitas yang cukup untuk mencoba merebut kembali ”ada” dari ”milik” dan

”penampilan”.

Kita sesekali perlu sejenak jadi Konghucu.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 15 Februari 2010~

Page 3: catatan pinggir

Bendera November 19, 2007

Posted by anick in All Posts, Identitas, Indonesia, Sejarah.

trackback

Di hotel dengan gaya art deco yang elegan dari masa sebelum perang itu, sebuah tim Anglo-

Dutch Country Section menempati kamar No. 33.

Di jalanan, juga di Jalan Tunjungan itu, Surabaya serak oleh suara kemerdekaan. Republik

Indonesia baru berdiri, dengan bangga, yakin, nekat, cemas. Ini revolusi, Bung, kita tak akan

biarkan kolonialisme kembali! Surabaya mendengus siap perang. Sebuah transisi besar terasa

tegang sampai ke saraf kaki.

Bisa diduga kenapa tim yang terdiri atas sekitar 20 orang asing itu ada di sana. ADCS adalah

organisasi intelijen gabungan Inggris-Belanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Kamar

No. 33 hotel itu jadi kantor mereka untuk beroperasi. Mereka harus bekerja agar Indonesia

tak lepas dari kekuasaan Belanda.

Ada yang simbolik dari hotel yang kini bernama ”Majapahit” itu. Saya coba bayangkan hari

itu perasaan orang-orang Belanda yang ada dalam Kamar No. 33. Ketika mereka datang,

hotel yang dibangun di tahun 1910 oleh Lucas Sarkies, orang Armenia, itu telah berubah

nama; sampai tahun 1943, namanya ”Oranje”. Kemudian Jepang datang, pemerintahan

Hindia Belanda bertekuk lutut, dan hotel itu jadi ”Yamato”—yang juga markas tentara.

Militer Jepang telah mengambil alih semuanya, juga nostalgia. Dan ketika di bulan

September 1945 Jepang tak berkuasa lagi, ”Nederlandsche Indie” juga sudah tak ada. Di

mana-mana terdengar pekik ”Merdeka”, dan ribuan orang siap mati untuk kemerdekaan itu.

Saya bayangkan perasaan orang-orang Belanda itu: mereka tak hendak ditampar ketiga

kalinya oleh sejarah. Maka pagi-pagi sekali, pukul enam, di atas hotel itu (ingat, namanya

”Oranje”!), mereka kibarkan Merah-Putih-Biru. Mereka berharap Surabaya akan bangun dari

tidur dan melihat: Belanda tetap di sini….

Apakah sebuah bendera, sebenarnya? Selembar kain yang diberi harga untuk menandai

”kami” yang ”bukan-mereka” dan ”mereka” yang ”bukan-kami”. Bendera adalah saksi

sejarah bahwa identitasku punya arti karena ada perbatasan dengan ”dia” yang di luar diriku.

Dalam arti itu, yang di luar itu jugalah yang membentuk diriku, hingga ”aku” jadi sebuah

totalitas yang seakan-akan utuh. Tapi sementara itu, yang di luar itu pula yang selalu

mengancam akan melenyapkan aku. Identitas selamanya genting.

Pagi itu, bendera di atas Hotel ”Oranje” itu menegaskan kembali perannya dalam suasana

genting. Di tahun 1572 ia bagian dari perlawanan orang Belanda menghadapi penjajahan

Spanyol. Di tahun 1945, di Surabaya, ia bagian dari ingin kembalinya daulat Belanda yang

terancam oleh para ”inlander” yang mau memberontak.

Tapi yang memberontak juga punya bendera. Mereka punya sebuah penanda yang maknanya

secara a priori tak ada, dan sebab itu bisa disambut pelbagai unsur dan interpretasi yang

berbeda-beda. Ketika pagi itu orang Surabaya melihat Sang Tiga Warna berkibar, mereka

tahu: ada penanda lain, bukan milik mereka, yang dipasang oleh ”mereka” yang mengancam

”kami”.

Page 4: catatan pinggir

Maka sebelum hari siang, Sudirman, residen Surabaya, wakil Republik, datang. Ia merasa

punya otoritas dan kewajiban meminta agar bendera Belanda itu diturunkan. Tapi ia

ditampik; konon seorang Belanda dalam tim ADCS itu bahkan mencabut pistolnya.

Di luar, berpuluh-puluh pemuda tak sabar lagi. Bentrokan tak dapat dielakkan. Seorang

Belanda tewas ditikam. Empat orang pemuda Surabaya mati. Beberapa orang memasang

tangga dan mencapai tempat tiang dipasang. Merah-Putih-Biru itu pun diturunkan. Warna

birunya digunting, lalu dibuang. Sisanya, kini jadi Merah-Putih, dikibarkan di tempat yang

semula. Di Jalan Tunjungan orang ramai menyaksikan bendera itu naik. Dengan mata yang

jadi basah, mereka berseru, ”Merdeka! Indonesia merdeka!”

Apakah selembar bendera sebetulnya? Sesuatu yang mewakili sebuah wacana yang disebut

”Indonesia”. Sebuah signan yang dipilih untuk mematok wacana itu: dengan itulah,

”Indonesia”, sepatah kata yang tak henti-hentinya melahirkan arti, telah terpacak (setidaknya

dalam satu atau beberapa jenak) dalam lambang Sang Merah Putih.

Yang menarik dari insiden itu ialah bahwa ”Indonesia” tak dipacak oleh konsep yang jelas

dan lengkap, melainkan oleh perbuatan orang-orang yang tiba-tiba jadi dahsyat, seakan-akan

tiwikrama, seakan-akan berubah dalam sebuah proses di mana kebenaran menggugah. Hari

itu ”Indonesia” lahir dalam sebuah kejadian yang transformatif: untuk meminjam kata Alain

Badiou, karena subyek yang bangkit oleh l’événement.

Tapi kebangkitan itu bukanlah suatu mukjizat. Ia tak datang dari langit. Merah-Putih itu

beberapa menit yang lalu adalah Merah-Putih-Biru. Sebagaimana Merah-Putih-Biru itu juga

lahir dari sejarah, dan sebab itu sebenarnya tak kekal (dulu ia disebut ”Oranje-Wit-Blau”),

”Indonesia” muncul bukan dari ketiadaan total. Ada masa lalu yang tetap membayang.

Tapi pada sisi lain, ”Indonesia” berkibar setelah sebuah pemotongan. Ada yang ditiadakan

dari bendera yang terpasang di atas Hotel ”Oranje” jam 6 pagi tadi. Itu sebabnya saya selalu

ingat: peristiwa di Hotel ”Oranje” itu sesuatu yang heroik, tapi para pahlawan memberi kita

sebuah warisan yang terbelah dan kurang.

Ia terbelah, karena di satu pihak ia lahir dari sebuah kejadian yang transformatif. Tapi di lain

pihak, masa lalu—bahkan masa lalu yang traumatik—terus-menerus membayanginya. Ia

kurang, karena memang begitulah ia dibentuk: dari pemotongan.

Maka Indonesia tak akan henti-hentinya mendamba, berhasrat, agar dirinya utuh. Ia punya

utopianya sendiri yang tak akan pernah ada: Indonesia sebagai sebuah harmoni yang lengkap.

Tapi utopia itu bukanlah khayal tempat kita lari menghibur diri dari pedihnya ketakutuhan

dan kekurangan. Utopia itu, untuk meminjam kata Paul Ricoeur, adalah ”satu tangan kritik”.

Dengan itu kita tahu, ”kerja belum selesai, belum apa-apa”, tapi tiap kali kita bisa

memberinya arti.

~Majalah Tempo Edisi. 39/XXXVI/19 – 25 November 2007 ~

Page 5: catatan pinggir

Bento Januari 14, 2008

— sebuah cerita untuk MUI

Bento dilaknat dan dicampakkan ketika ia baru berumur 24. Hari itu, 27 Juli 1656, majelis

para rabbi di Sinagoga Amsterdam memaklumkan bahwa anak muda itu, yang pernah jadi

murid yang pandai dalam pendidikan agama, dibuang dari kalangan Yahudi, dari ”bangsa

Israel”, karena pendapat dan perbuatannya yang dianggap keji.

Pengumuman hukuman itu dibacakan dengan angker. Dari mimbar kata demi kata dilafalkan,

seraya terompet besar yang meratap menyela sesekali. Sinagoga yang terang itu pelan-pelan

suram. Lampu satu demi satu dimatikan, sampai akhirnya semuanya padam dan ruang jadi

gelap: lambang kematian cahaya rohani dalam diri orang yang dikutuk.

”Terkutuklah ia di hari siang dan terkutuklah ia di hari malam. Terkutuklah ia ketika ia

berbaring dan terkutuklah ia ketika ia bangun. Terkutuklah ia bila ia ke luar dan terkutuklah

ia bila masuk.” Dan kalimat terakhir keputusan para sesepuh Dewan Eklesiastik itu berbunyi:

”…Tuhan akan mencoret namanya dari kehidupan di bawah Langit.”

Kalimat itu garang, tentu, tapi keliru. Berkali-kali sejarah mencatat, dengan keputusan seperti

itu para pembesar agama menunjukkan keangkaramurkaannya dan juga kekonyolannya.

Sejak itu Bento memang mulai harus hidup terasing dari sanak saudaranya. Tapi ia tak mau

takluk. Ia meninggalkan usaha ayahnya yang pernah ia teruskan dan berhasil. Menumpang

sewa dari rumah ke rumah di daerah murah, nafkahnya datang dari menatah lensa buat

teleskop dan mikroskop. Ia mati sebelum umur 45 dan hanya meninggalkan dua pasang

celana dan tujuh lembar kemeja. Tapi ia, Bento, nama panggilan Portugis bagi Baruch de

Espinoza, atau Spinoza pemikir yang menulis Tractacus Theologico-Politicus, tak pernah

tercoret dari muka bumi. Kutukan itu gagal.

Aneh, (tapi mungkin tidak) para ulama Yahudi Amsterdam itu mengambil keputusan sekeras

itu. Mereka sendiri berasal dari para pengungsi Spanyol dan Portugal, tempat Gereja Katolik

dengan lembaga Inkuisisinya membakar orang yang dianggap murtad hidup-hidup, tempat

raja dan gereja memaksa orang Yahudi dan muslim memeluk iman Kristen. Pada suatu hari

di tahun 1506, di Lisabon, 20.000 anak dipaksa dibaptis, sementara 2.000 orang Yahudi

dibantai.

Tapi toh para tetua Yahudi di Amsterdam itu, yang punya kakek-nenek yang lari dari aniaya

di Semenanjung Iberia, menunjukkan sikap tak toleran yang sama terhadap Spinoza,

meskipun tak sekejam membakar orang di api unggun.

Mungkin ada dalam agama-agama Ibrahimi yang membuat iman seperti gembok: kita hidup

dalam bilik yang tertutup dan terpisah. Di situ Tuhan pencemburu yang tak tenteram hati.

Tentu saja bagi pandangan macam itu suara Spinoza—yang diejek sebagai espinas (”duri-

duri”)—bisa sangat mengganggu. Ia dianggap atheis.

Spinoza akan membantah itu. Ia percaya Tuhan ada—dan tak hanya itu. Novalis bahkan

menganggap Spinoza ”orang yang gandrung-akan-Tuhan”. Tapi Tuhan baginya tak mengadili

dan mempidana orang per orang. ”Tuhan tak memberikan hukum kepada manusia untuk

Page 6: catatan pinggir

menghadiahi mereka bila patuh dan menghukum mereka bila melanggar,” tulis Spinoza.

Tuhan bukan person. Sebagaimana Ia tak bisa diwujudkan dalam arca, Ia tak bisa

dibayangkan secara antroposentris. Siapa yang memandang Tuhan dengan memakai sifat dan

fiil manusia sebagai model akhirnya membuat iman jadi absurd: bagaimana Tuhan cemburu

dan menuntut dipatuhi bila Ia mahakuasa?

Bagi Spinoza, Tuhan itu ”substansi”. Substansi itu mengambil ”modus”, dan Tuhan

mengambil modus sebagai Natura naturans, Alam kreatif yang membuahkan ”alam yang di-

alam-kan”, Natura naturata. Ada kesatuan ontologis antara Tuhan dan ciptaannya.

Tapi dengan demikian Tuhan bagi Spinoza bukanlah Tuhan yang akan mencintai, atau

membenci, atau membuat mukjizat. Pada saat yang sama, Tuhan ada di mana-mana, dalam

segala yang ada.

Suara Spinoza tak akan diberangus seandainya ia hidup di zaman lain. Tapi seperti

dikisahkan dengan mengasyikkan oleh Matthew Stewart dalam The Courtier and the Heretic,

tentang pertemuan dan konflik pemikiran Leibnitz dan Spinoza, Tuhan adalah ”nama

persoalan abad ke-17”.

Waktu itu Gereja telah dijatuhkan monopolinya oleh banyak aliran protestanisme; ilmu

pengetahuan mulai mengguncang Kitab Suci; ekonomi dan politik mulai bebas dari intervensi

lembaga agama.

Ada kebebasan berpikir, tapi juga rasa cemas menghadapi kebebasan. Spinoza sejenak

merasakan kemerdekaan justru ketika ia dikeluarkan dari jemaat Yahudi—dan bersyukur ia

hidup di negeri yang tak akan membinasakan orang ”murtad”. Namun pada akhirnya ia tahu:

tak akan ada rasa aman begitu ia jadi duri bagi iman orang ramai.

Pada suatu hari seorang fanatik mencoba menusuknya dengan belati. Ia selamat. Tapi ia tahu

ia harus berhati-hati. Ia, yang tinggal menumpang di Rhinsburg, dekat Leiden, dan di Den

Haag, praktis menghabiskan waktunya menulis di kamarnya sambil tak henti-hentinya

merokok—dan menyelesaikan beberapa buku. Tapi selama 10 tahun Spinoza tak berusaha

menerbitkannya. Seorang penerbit yang mencetak pendapat yang dianggap berbahaya bagi

iman telah dipenjarakan 10 tahun. Di tahun 1675, ketika Spinoza ke Amsterdam untuk

mencetak satu karyanya, ia dengar desas-desus tersebar di kalangan para pakar theologi

Kristen bahwa buku itu berusaha membuktikan Tuhan tak ada. Spinoza pun membatalkan

niatnya.

Baru setelah ia meninggal karyanya yang penting, Ethica, terbit di tahun 1677. Sementara itu

Tractacus-Theologico-Politicus yang terbit di tahun 1670, ketika ia masih hidup, muncul

dengan tanpa nama—dan segera masuk buku terlarang.

Tak mengherankan, bila sejalan dengan pikirannya tentang Tuhan yang terpaut erat dengan

manusia dan semesta—artinya Tuhan tak bisa digambarkan sebagai raja yang bertakhta—

Spinoza menganggap kekuasaan politik para ulama dan pendeta harus ditiadakan. Iman yang

tulus hanya tumbuh dalam kebebasan—dan justru pada kisah Bento yang diusir, kita tahu

Spinoza benar.

~Majalah Tempo Edisi. 47/XXXVI/14 – 20 Januari 2008~

Page 7: catatan pinggir

Berbagi Juni 15, 2009

Posted by anick in All Posts, Demokrasi, Ekonomi, Kapitalisme, Marxisme, Politik.

trackback

Bagaimana kita membebaskan diri dari terkaman Pasar?

Ada sejumlah pemikir murung yang berbicara tentang struktur sosial dan manusia; mereka

umumnya mengatakan: tak ada lagi harapan. Kapitalisme merasuk ke manamana pada abad

ke21 ini. Modal dan Pasar menyulap manusia jadi bukan lagi subyek untuk selamalamanya.

Kita tak bisa berharap dari Negara, yang bagi kaum pemikir yang muram itu tak jauh jarak-

nya dari takhta Sang Modal Besar.

Akhirnya kita tak sanggup melawan. Kini perlawanan terhadap Negara + Modal hanya akan

seperti tusukan pisau yang majal. Tak ada efek. Tidak ada lagi Marxisme yang menyatukan

kaum buruh dan menyiapkan datangnya revolusi. Yang ada hanya protes yang terpecahpecah.

Seperti tembakan mercon yang saling tak berkaitan.

Maka satusatunya cara melawan mungkin dengan menulis, mencerca, atau menertawakan.

Selebihnya ilusi.

Tapi benarkah cengkeraman Kapital itu demikian total?

Jawab saya: tidak benar.

Pada suatu hari saya mendapatkan sebuah hadiah. Saya sedang menulis sebuah risalah dan

membutuhkan satu kutipan dari puisi Toto Sudarto Bachtiar. Tapi saya tak punya lagi

kumpulan puisinya, Suara, yang terbit pada pertengahan 1950an, juga tak ada sajaksajak

dalam buku Etsa. Tibatiba terpikir oleh saya untuk mencarinya di Internet, melalui Google.

Alhamdulillah, saya menemukan apa yang saya cari! Itulah hadiah yang tak disangkasangka

hari itu….

Tapi pada saat itu pula terpikir oleh saya: seseorang telah berbuat baik dengan mengunggah

sajak itu ke alam maya. Ia mungkin seorang pengagum Toto Sudarto Bachtiar, atau seorang

pencinta puisi. Yang jelas, ia seorang yang dengan tanpa mengharapkan balasan apa pun

bersusah payah membuat agar sajak sang penyair dapat dibaca orang lain, dan saya—yang

tak mengenalnya, tak pula dikenalnya—mendapatkan manfaat.

Saya ceritakan ”hadiah” saya itu kepada Antyo Rentjoko, seorang yang disebut sebagai

”Begawan Blogger”, dan ia menunjukkan kepada saya bahwa itulah kehidupan yang

berlangsung di dunia maya: tiap orang yang masuk ke sana akan beramairamai berbagi.

Di sana ada semacam gotongroyong postmodern: tak ada yang memerintahkan, tak ada pusat

komando, tak ada pusat, dan tak ada perbatasan yang membentuk lingkungannya.

Masingmasing orang memberi sesuai dengan kemampuannya. Yang diberikan adalah

informasi, yang didapat juga informasi. Tapi transaksi itu tak menggunakan uang. Pasar dan

Modal Besar tak hidup di sini.

Page 8: catatan pinggir

Dengan gotongroyong postmodern itulah lahir Wikipedia, sebuah ensiklopedia yang bisa

dibaca dan dikutip bebas tanpa bayar. Didirikan pada 2001, ensiklopedia lewat Internet ini

kini sudah terbit dalam 266 bahasa, isinya ditulis oleh 75 ribu penyumbang aktif. Siapa saja

sebenarnya dapat mengisi dan mengedit isinya—dan dengan demikian diasumsikan ada

saling koreksi dalam proses berbagi informasi itu. Dalam komunitas yang terbentuk oleh

Wikipedia ini—tiap bulan ia dikunjungi 65 juta orang sebuah dunia baru tengah mendesak

dunia ensiklopedia lama, yang disusun dengan biaya besar, dan membutuhkan Modal Besar.

Hal yang mirip terjadi dalam gerakan yang dirintis Richard Stallman untuk menyediakan

peranti lunak gratis bagi siapa saja. Beriburibu pengembang software pun bekerja sebagai

sukarelawan bersamasama dan berhasil menciptakan GNU/Linux, sebuah pesaing serius bagi

Sang Modal Besar di belakang Microsoft. Sebanyak 4,5 juta sukarelawan lain menciptakan

sebuah superkomputer paling kuat di muka bumi, SETI@Home.

Melihat gejala ini, Yochai Benkler, guru besar dari Yale itu, menulis The Wealth of

Networks, merasa yakin bahwa kita tengah menyaksikan ”bangkitnya produksi nonpasar”. Ia

menyebutnya ”produksi sosial”yang tak berdasarkan klaim dengan tujuan dijual ke pasar. Tak

ada pula dasar hak milik, misalnya atas paten.

Dalam buku yang dikirimkan Antyo ke saya itu saya temukan suatu totokan ke dalam pikiran

kita yang mulai beku: kapitalisme memang tidak matimati, seperti Vampir pengisap darah,

tapi akhirnya ada cara untuk menegaskan bahwa cengkeraman Sang Modal Besar tak bisa

menaklukkan seantero kehidupan. Kapitalisme tak 100 persen memaksakan komodifikasi

semua hal. Kini Wikipedia, GNU/Linux, dan SETI@Home menunjukkan itu. Subyek,

meskipun dalam kehadirannya yang tak kukuh, tak seluruhnya ditelan hiduphidup.

Maka para pemikir muram (dan mereka yang mimpi jadi Che Guevara di ruangruang

akademi) tak boleh mengatakan dengan geraham gemeretak bahwa kapitalisme adalah sistem

yang menelan ”ruang kehidupan”.

Tapi benarkah Benkler? Tidakkah Modal Besar akan punya kemampuan untuk

memanfaatkan hasil ”produksi sosial” itu—misalnya IBM bisa mendapatkan keuntungan dari

jasa merawat Linux? Bagaimana dengan persaingan?

Barangkali masih terlampau pagi untuk menyimpulkan bahwa telah kita temukan alternatif

baru. Tapi dunia maya telah memperkenalkan kemungkinan lahirnya kehidupan yang lebih

menarik: kehidupan di mana individu ternyata bisa menjalankan kebebasan tapi pada saat

yang sama memilih untuk berbagi.

Manusia sebenarnya tak terlampau buruk.

~Najalah Tempo Edisi 15 Juni 2009~

Page 9: catatan pinggir

Bergman Agustus 6, 2007

Posted by anick in Agama, All Posts, Film, Tokoh, Tuhan.

trackback

Tuhan pernah jadi beban bagi Ingmar Bergman. Tapi kemudian beban itu lepas, bahkan jauh

sebelum sutradara film ini meninggal dalam usia 89—dengan nama harum ke seluruh

dunia—di Pulau Farö di Laut Baltik, 30 Juli yang lalu. ”Superstruktur keagamaan saya yang

berat ke atas telah runtuh,” katanya pada suatu kali—dan ia merasa lega.

Tuhan pernah jadi beban bagi Bergman karena dalam hidupnya, Yang Maha Kuasa diwakili

sosok angker seorang ayah. Ayah itu pendeta Lutheran Swedia yang keras, yang tak jarang

mengurung Ingmar kecil di ruang gelap—seperti yang bertahun-tahun kemudian

digambarkannya dalam tokoh Pendeta Edvard Vergerus, ayah tiri yang tanpa belas kasih itu,

dalam film Fanny och Alexander (1983).

Film ini adalah kisah Alexander, bocah berumur 10 tahun. Ia anak yang peka rasa, agak

pelamun, dan terbuka pada khayal yang hidup. Dibesarkan dalam keluarga Ekhdal yang

longgar, sensual, gembira, dan artistik, ia kemudian masuk ke dunia Pendeta Vergerus,

setelah rohaniwan Lutheran ini menikahi ibunya: sebuah dunia dengan iman yang teguh,

puritan, represif, dan bengis.

Di sela-sela itu, Alexander menemukan dunia yang magis dan remang di antara boneka-

boneka antik sebuah keluarga Yahudi. Satu dimensi lain pun muncul: dalam hidup ada

sesuatu yang ajaib dan mempesona, sesuatu yang bukan duniawi, tapi jauh dari akidah

agama.

Fanny och Alexander, yang mengandung anasir otobiografis yang tebal, praktis sebuah

gugatan kepada ruang terkunci yang bernama ”akidah agama”. Masa kecil Bergman—seperti

dalam kisah si Alexander—adalah tahun-tahun yang dirundung trauma dalam ruang terkunci

itu. Salah satu perasaan yang paling menusuk, bagi Bergman, adalah perasaan direndahkan.

Kini ia melihatnya sebagai salah satu sebab ia memandang muram ajaran agama. Ia

”menentang agama Kristen dengan sangat,” katanya dalam Bergman on Bergman, Interviews

with Ingmar Bergman, ”karena agama ini dilekati motif penghinaan yang sangat ganas.” Bagi

ajaran agama Kristen yang ia warisi, manusia adalah pendosa sejak lahir. Ia selalu berada

dalam posisi untuk diawasi.

Memang agak aneh, Bergman tak melihat segi lain dari iman Kristen: adanya keyakinan akan

Kasih dan Penebusan. Mungkin karena dalam hidup Bergman Tuhan hadir lebih sebagai

tiran—dan teramat kuat pula pembangkangannya lantaran itu. Dalam The Magic Lantern,

otobiografinya, ia mengatakan: ”Saya telah bergulat seumur hidup saya dengan sebuah

hubungan yang menyakitkan dan tanpa suka cita dengan Tuhan”.

Hubungan yang menyakitkan itu pula yang agaknya mendasari film Der Sjunde Inseglet

(versi Inggris, The Seventh Seal, 1957). Dalam film ini aktor Max von Sydow memainkan

peran kesatria Antonius Block yang pulang dari Perang Salib, letih, murung, dan guncang

iman. Diiringi pembantunya, Jöns, ia kembali ke negerinya yang dikerkah wabah. Di tengah

jalan, Ajal menjemputnya. Block mencoba menawar dengan menantang bermain catur: jika ia

kalah, ia bersedia dibawa Ajal pergi. Di sela-sela permainan itu, ia masuk ke sebuah gereja

Page 10: catatan pinggir

kecil. Ia pun mengutarakan kerisauan hatinya kepada seorang pastor—yang ternyata sang

Maut sendiri.

Ajal: ”Apa yang kau tunggu?”

Block: ”Pengetahuan.”

Ajal: ”Kamu mau jaminan.”

Dengan kata lain, Block perlu kepastian—yang ia beri nama ”pengetahuan”—karena ia

berpijak di sebuah dasar yang sudah guyah. ”Aku ingin Tuhan ulurkan tangan-Nya,

tunjukkan paras-Nya, bicara padaku.”

Block memang di ambang murtad. Tapi siapa yang gandrung kepada ”pengetahuan” yang

menjamin adanya Tuhan sebenarnya menanggungkan Tuhan sebagai obsesi. Tak

mengherankan bila di depan seorang perempuan yang dihukum bakar karena dituduh jadi

dukun penyebar sampar, Block hanya tertarik pada persoalan adakah pada saat kematiannya

wanita itu melihat Tuhan. Sang kesatria tak tergerak membawakan air untuk si terhukum.

Justru Jöns yang tak beriman yang punya belas.

Dengan kata lain, antara soal Tuhan dan manusia, mana yang lebih didahulukan? Di satu sisi,

kita saksikan Block dengan obsesi mendapatkan jaminan tentang Tuhan. Di sisi lain, di

bawah matahari yang cerah, kita lihat hidup sederhana dan bahagia keluarga Jof, si pemain

akrobat, yang tak memerlukan itu.

”Saya selalu bersimpati kepada orang seperti Jöns dan Jof…,” kata Bergman. Sebaliknya, ia

memandang obsesi Block sebagai fanatisme: orang yang pikirannya mengabaikan manusia di

dekatnya.

Mungkin itu sebabnya, ketika membuat Vargtimmen (The Time of the Wolf, 1968) Bergman

merasa menemukan makna kesucian yang lain: dalam manusia sendiri. ”Pengertian cinta,”

katanya, ”adalah satu-satunya bentuk kesucian yang bisa kita pikirkan.”

Di sekitar masa itulah ia merasakan ”struktur keagamaan” dalam dirinya, yang ”berat ke

atas”, telah digantikan dengan apresiasi kepada yang ada di ”bawah”: hidup di bumi yang

fana dan penuh salah, tapi mengandung sesuatu yang suci dan mempesona.

Ia merasa lega. ”Ketika segi religius dari kehidupanku terhapus,” katanya, ”hidup terasa lebih

mudah dijalani.”

Agaknya kesimpulan yang mirip bisa ditarik dari ”trilogi keimanannya”, Såsom I en Spegel

(Through a Glass Darkly, 1961), Nattvardsgästerna (Winter Light, 1962), dan Tystnaden

(The Silence, 1963).

Dalam Såsom I en Spegel, Karin yang menderita skizofrenia adalah fokus cinta yang tak

mudah dari ayahnya, David. Tapi dengan itu David juga yang bisa mengatakan bahwa ”cinta

ada di dunia nyata”. Dalam Nattvardsgästerna, Pastor Tomas Ericsson yang susut imannya

akhirnya menjalankan ritual di gereja kosong itu untuk Marta, kekasihnya, yang konkret hadir

di bangku sunyi itu.

Page 11: catatan pinggir

Tanpa persentuhan hati semacam itu, kita akan hidup dalam keterpisahan, seperti kakak

beradik Ester dan Anna yang menginap di sebuah kota asing dalam Tystnaden. Artinya,

sekali kita memutuskan Tuhan tak menjawab lagi, neraka adalah orang lain yang tak peduli.

~Majalah Tempo, Edisi. 24/XXXIIIIII/06 – 12 Agustus 2007~

Bhutto Desember 31, 2007

Posted by anick in All Posts, Elegi, Fundamentalisme, Islam, Kekerasan, Kisah,

Nasionalisme, Perempuan, Politik.

trackback

Sejarah apakah ini, yang dicatat Rawalpindi? Beberapa menit setelah pukul 5:30 sore 27

Desember 2007 itu, seorang lelaki kurus membunuh Benazir Bhutto yang baru selesai

berpidato di rapat umum di Taman Liaquat Bagh. Setidaknya, itulah cerita menurut beberaoa

saksi: tokoh politik itu sudah duduk dalam mobil tapi menjulurkan kepalanya ke luar kap

atap. Sebuah tembakan terdengar. Sebuah bom meledak. Benazir rubuh. Dengan cepat mobil

membawanya ke rumah sakit umum kota itu. Pada pukul 6: 16, ia tak bernyawa lagi.

Ledakan bom itu menewaskan sekitar 30 orang. Kelimun orang itu histeris.

“Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan”.

Itu kata-kata terakhir seorang pemimpin lain, di tahun 1951. Dia Liaquat Ali Khan, perdana

menteri pertama. Ia juga tewas, ditembak, setelah berpidato di taman yang sama – sebuah

alun-alun yang kemudian dikekalkan dengan namanya.

Jika kata-kata terakhirnya sebuah doa, maka doa itu tak dikabulkan Tuhan agaknya. Di pagi

hari 4 April 1979, tak jauh dari taman itu, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto, ayah

Benazir, bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh pemerintahan militer

Jenderal Zia ul-Haq, dengan tuduhan ia telah membunuh seorang lawan politiknya…

Sejarah apakah ini, yang dicatat di Rawalpindi?

Benazir dibunuh: keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan. Tiga dari empat dari anak Zulfikar

dengan isterinya, Nusrat, tewas. Di tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati

di Riviera Prancis dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia diracun. Di tahun 1996, adik

Benazir yang juga jadi musuh politiknya, Murtaza, mati dalam tembak menembak dengan

polisi Pakistan. Fatima Bhutto, anaknya yang kini jadi penyair dan kolumnis, tak pernah

memaafkan Benazir, sang bibi.

Walhasil, riwayat Bhutto adalah bagian dari sejarah kekerasan politik, sejarah kegagalan

mengelola konflik, sejarah kekecewaan.

Pakistan berdiri sebagai bagian dari India yang memisahkan diri, hingga kedua republik itu

lahir di tahun yang sama, 1947. Tapi sementara India kini mulai bangkit sebagai kekuatan

ekonomi, Pakistan – dalam kata-kata Penulis Tariq Ali di kotan The Guardian pekan lalu –

hanya sebuah “conflagration of despair”, rasaputus asa yang menjalar bagaikan gelombang

api.

Page 12: catatan pinggir

Tentu, India juga mengandung sejarah kekerasan dan pembunuhan politik. Tapi sampai hari

ini demokrasi di India bisa bertahan, (meskipun terkadang dengan ledakan yang menakutkan

seperti bengisnya fundamentalisme Hindu), seraya membuktikan dapat menaikkan

pertumbuhan ekonomi sampai 9% setahun.

Pertumbuhan ekonomi Pakistan sendiri tak buruk amat, sampai 7%. Aktifitas politik dan pers

di negeri itu lebih bebas ketimbang di Malaysia atau Singapura yang tenang bak akuarium.

Tapi lembaga yang menopang struktur politiknya dijalari ketak-pastian. Tiap rezim yang

dijaga bedil tentara adalah sebuah rezim yang diam-diam meragukan legitimasinya sendiri.

Maka berkecamuklah politik paranoia. Pintu dan saluran dijaga ketat. Dalam keadaan

bumpet, desakan mudah jadi eksplosi.

Kenapa? Karena “Islam”?

Saya kira bukan. “Islam” adalah sebuah nama yang maknanya dirumuskan dengan beberapa

patokan yang tetap. Yang sering diabaikan ialah bahwa patokan itu – katakanlah hukum

syari’at — tak selamanya mampu mewakili “Islam” yang dianggit, yang diimajinasikan

secara sosial dalam sejarah – imajinasi yang berlapis, beragam dan mengalir terus seperti,

untuk memakai istilah Castoriadis, “magma.”

Di tahun 1930, ketika Mohammad Iqbal, penyair dan filosof itu, merumuskan argumennya

agar minoritas Muslim di India punya tanahairnya sendiri, ia tampak berpikir bahwa

pengertian tentang identitas “Islam” adalah realitas yang sudah siap pakai seperti briket bata.

Iqbal menganggap gampang dan jelas agenda mendirikan negeri kaum Muslimin tersendiri.

Ia tak melihat bahwa tiap wacana tentang identitas sosial selalu mengandung konstruksi atas

arus yang “magmatik”. Konstruksi itu ditentukan oleh sebuah “pusat.” “Pusat” itu adalah

sang pemenang dalam pergulatan mencapai posisi hegemonik.

Saya katakan “pergulatan”: ada gerak politik di dalam tiap perumusan identitas sosial. Itulah

yang tak dilihat Iqbal. Ketika Pakistan dimaklumkan kelahirannya bersama India, dengan

segera tampak jarak antara niat luhur seorang filosof dan politik paranoia yang

mencemaskan.

Politik punya sejarah yang tak hanya terdiri dari membangun imajinasi bersama dan memberi

makna bersama. Machiaveli mengingatkan hal ini sebenarnya: ia berbicara tentang kekuasaan

bukan sebagaimana “seharusnya,” melainkan sebagaimana “adanya.” Politik sebagaimana

“adanya” adalah yang kemudian dirumuskan dengan brutal oleh Carl Schmitt sebagai das

Politische: di dasarnya adalah antagonisme.

Itu sudah tampak sebenarnya ketika perpisahan India-Pakistan dilaksanakan. Tapal batas

digariskan terkadang dengan seenaknya dari meja para administratior Inggris. Syahdan,

sebanyak 14,5 juta manusia bertukar tempat. Karena kedua republik baru itu belum siap

mengelola sebuah migrasi besar-besaran, kebingungan yang meresahkan berakhir dengan

bentrokan yang meluas. Tanah berpindah tangan, keluarga terpisah, komunitas asal retak –

dan sekitar 500 ribu manusia mati hari-hari itu.

Lahirnya Pakistan dan India memang bukan kisah yang suci murni. Tapi bila India lahir tanpa

memakai label agama, dan sebab itu mengakui dirinya tak sempurna – hingga lebih siap

menghadapi apa yang busuk, brutal, dan bingung dalam tubuhnya – dalam kasus Pakistan

label “Islam” telah menutupi apa yang cacat dan yang celaka – juga menyembunyikan yang

Page 13: catatan pinggir

retak. Bertahun-tahun orang hidup dengan ideologi ”keutuhan” itu. Akhirnya adalah

kekerasan – atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa ditolak, bahwa

“Islam” dan “Pakistan”, (ya, bahkan “Bhutto”), adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah

utuh.

“Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan” – dan berkali-kali pembunuhan terjadi di

Rawalpindi.

~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXVI/31 Desember – 06 Januari 2008~

Bintang Agustus 25, 2008

Kita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan paras yang cantik. Ketika partai-partai

politik tak lagi memaparkan apa yang mau mereka capai dengan bersaing dalam pemilihan

umum, ketika mereka cuma memajang bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita

pun tahu: politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita tengah memasuki

”sindrom Italia”.

Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam sederet film porno, La

Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di

Parlemen mewakili ”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengangguran

mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik

ini masih lebih muda, ia pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina

Borghese, Maharani Nimfomaniak.

Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia

kini—meskipun di daftar calon legislator itu belum ada bintang blue film. Kita seakan-akan

mendengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di Roma D’Abraccio berkata

kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu….

Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal,

tapi tak ada yang terjadi.”

Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—yang baru lahir lagi 10 tahun yang

lalu? Saya tak tahu. Tapi orang seperti butuh sesuatu yang gemerlap ketika tak jelas lagi

kenapa para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang di sepanjang abad ke-

20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuatan yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga

dasar perjuangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam jajak pendapat. Tak

ada sebuah agenda yang menggerakkan para pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah republik

yang lebih baik. Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tampaknya sudah

hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno.

Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihilisme itu merayap dan mengambil

tempat dengan tenang.

Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak negeri. November 2007, di

Universitas Pennsylvania sebuah panel diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy

and Disappointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara. Rasa kecewa bertemu

dengan jemu ketika orang tahu bahwa ketidakadilan masih menginjak-injak sementara tak

tampak lagi harapan akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidakadilan itu adalah

Page 14: catatan pinggir

kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala ikhtiar sejak abad ke-18 untuk

meruntuhkannya gagal. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan

modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok adalah bahwa ”vampir

selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati”.

Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?

Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para

nabi yang aktif bersuara tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi

”kebaikan bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan

menolak menjunjung ”akal instrumental” yang selama ini dipakai untuk memanipulasikan

orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.

Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledakkan bom, menebar takut dan maut,

seperti Al-Qaidah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan sesuatu yang lebih hebat

ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu

tak sebanding dengan Partai Komunis internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap

punya sebuah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasaan, dan membangun

sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati.

Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang bertahan itu, kita mengubah

politik jadi parodi terhadap politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang

porno, adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menjalankan

”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya sebagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan

bintang-bintang dan pesohor lain, yang esensial adalah kemasan. Partai jadi komoditas,

lengkap dengan khayalan yang muncul: seakan-akan partai punya nilai dalam dirinya, tanpa

proses kerja keras di jalan dan medan perjuangan.

Kini kita punya media massa yang mempermudah parodi itu. Terutama televisi, sumber

informasi utama dan pabrik (juga ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi

perlu menjangkau khalayak seluas-luasnya; kalau tidak, ia akan gagal sebagai bisnis. Untuk

itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai sesuatu yang gampang dan sedap dipandang,

acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan. Sinetron

tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddharta yang tertegun melihat bahwa dunia

ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah

statemen bahwa serius itu tak bagus.

Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan karena

sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk

ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu

terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita

manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang

palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja),

berseru, ”Cut!”

Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 – 31 Agustus 2008~

Page 15: catatan pinggir

Blangkon Mei 25, 2009

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Kisah, Pepeling, Sejarah.

trackback

Apa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wahidin Sudirohusodo. Sang ”dokter

Jawa” ini mengenakan blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia lulusan STOVIA pada

awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon kebangkitan nasionalisme Indonesia.

Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan sejarah Indonesia pada masa itu

disebutkan bahwa blangkon, surjan, dan kain—dan semua ”pakaian daerah” lain—dikenakan

para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai pernyataan kebanggaan. Blangkon

itu penanda ”inlander”; baju dan songkok itu atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah

menentukan, kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang mengenakan jas

dan pantalon.

Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh tampak seperti orang Barat.

Mereka tak disebut ”dokter” penuh. Mereka hanya ”dokter Hindia” atau ”Jawa”. Gaji mereka

di dinas pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para dokter Belanda. Jika

bepergian, mereka tak boleh naik kereta api kelas I—sementara orang Eropa yang

berpendidikan lebih rendah boleh duduk di sana.

Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih ”orientalisme” yang

kedengarannya murah hati: penguasa Hindia-Belanda, kata mereka, hendak melindungi ke-

”asli”-an para pemuda ”pribumi”.

Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sampai ujung kaki, betapa palsunya

sikap murah hati itu. Mereka pun berontak. Sebab memang tak ada diskriminasi tanpa represi,

dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.

Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mereka bertemu. Di sana dengan

sepenuh hati mereka nyanyikan lagu Revolusi Prancis, dan kata-kata sihir Revolusi itu

agaknya telah terpahat: libèrté, égalité, fraternité ou la mort.

Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung dalam ketiadaan ”kemerdekaan,

kesederajatan, persaudaraan”. Dan dari protes mereka, mereka ada: mereka jadi subyek.

Mereka lemah, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan. Bung Karno berkata dua

dasawarsa kemudian: ”…cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan

sakit!”

Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang ”berkeluget-keluget”—subyek

sebagai trauma karena rasa sakit, subyek yang bergerak untuk menjawab ketiadaan libèrté,

égalité, dan fraternité. Dengan kata lain, subyek yang lahir karena mencoba lepas dari megap-

megap oleh putusnya hubungan dengan ”yang-lain”, dengan liyan, manusia yang berbeda tapi

disebut ”sesama”.

Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia bukan kesibukan yang hanya

mengakui diri sendiri.

Page 16: catatan pinggir

Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi di sebuah dunia di mana ada

sesama yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak sederajat dan bahkan disisihkan,

keberpihakan itu tak terelakkan: para nasionalis itu berpihak kepada sebuah masa depan

ketika tak ada seorang pun yang dihinakan.

Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis tentang ”kemerdekaan,

kesederajatan, dan persaudaraan” yang mencakup semua orang. Itu sebabnya Revolusi

Indonesia melahirkan sebuah mukadimah Konstitusi yang menyebut ”hak semua bangsa”

untuk merdeka. Mereka menyuarakan tuntutan universal. Seperti kaum buruh dalam tesis

Marx: proletariat adalah sebuah kelas yang, dari situasinya yang terbatas dan tertentu,

mengusahakan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di mana saja. Dalam arti ini,

Marxisme adalah sebuah humanisme universal—tapi universalitas yang lahir dari konteks

yang spesifik.

Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuangan, jadi panggilan yang

menggugah. Sebab bukan ”aku berontak, maka aku ada”, melainkan, seperti tulis Albert

Camus dalam l’Homme Révolté, ”aku berontak, maka kita ada”.

Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami”. Bila pengertian ”kita” lebih

menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan

liyan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan kata lain, merindukan agar

”kita” ada.

Dari sini solidaritas lahir dan politik—selamanya sebuah gerak bersama—bangkit.

Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan berubah-ubah, sebab ”kita”

adalah pertautan ”aku/kami” dengan ”engkau” dalam multiplisitas yang tak terhingga.

”Aku/kami” dan ”engkau” masing-masing hanya seakan-akan tunggal pada waktu ke waktu,

tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. ”Kita” tak bisa sepenuhnya terwakili

dalam organisasi dan identitas apa pun.

Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti. ”Budi Utomo” dibentuk sebagai

”aku/kami”, tapi sejarah pergerakan nasional berlanjut setelah itu. Sebab ”aku/kami” bukan

hanya dokter-dokter yang diremehkan. Kemudian muncul juga ”marhaen”, ”proletariat”,

”pedagang kecil”, dan entah apa lagi. Nasionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak

hanya terbatas pada satu kelompok. Bahkan ”nasionalisme” yang merupakan perlawanan

terhadap imperialisme (dan di sini ia berbeda dari ”nasionalisme” Hitler) hanya bisa setia

sebagai perlawanan jika ia jadi bagian dari emansipasi dunia—seperti semangat yang tersirat

dalam lagu Internationale.

Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari ”aku/kami” yang bukan apa-apa

menjadi ”aku/kami” yang harus merupakan segalanya. ”Ich bin nichts, und ich müßte alles

sein,” kata Marx. Dengan kata lain, subyek sebagai trauma yang berontak itu harus mencakup

semua, siapa saja. Bukan hanya para pribumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus

pakai blangkon dengan wajah yang kalem.

~Majalah Tempo Edisi 25 Mei 2009~

Page 17: catatan pinggir

Bom Januari 14, 2001

Posted by bocah in All Posts, Demokrasi, Kekerasan, Tuhan.

trackback

Kita tahu sebabnya: ada orang yang percaya bahwa pembunuhan, bahkan

pembantaian anak-anak, bisa halal.

Ada orang yang percaya bahwa mereka yang tewas itu adalah korban yang diperlukan

untuk memperoleh sebuah efek.

Barang siapa yang kecewa kepada ketidaksempurnaan akan kecewa kepada demokrasi.

Sejumlah bom meledak hampir serentak di beberapa gereja di Indonesia, dan sekitar 20 orang

dibunuh di malam Natal 2000. Kita tahu sebabnya: ada orang yang percaya bahwa

pembunuhan, bahkan pembantaian anak-anak, bisa halal.

Ada orang yang percaya bahwa mereka yang tewas itu adalah korban yang diperlukan untuk

memperoleh sebuah efek. Ada yang bahkan percaya bahwa mereka memang bersalah:

mereka (yang mengikuti misa Natal atau cuma berdiri di dekat gereja), sengaja atau tidak,

telah mengabaikan satu hal yang pokok, yakni mutlaknya permusuhan. Mungkin itu

permusuhan terhadap orang Kristen. Mungkin permusuhan terhadap

Indonesia sebagai sebuah ide persaudaraan. Mungkin permusuhan terhadap kebutuhan untuk

saling menjaga dan mengajak hidup.

Sebuah permusuhan mutlak: sebuah keadaan yang tak memungkinkan momen apa pun untuk

berunding. Sebuah perang habis-habisan, karena yang dibinasakan adalah orang yang tak

sedang dalam keadaan berperang, bahkan juga seorang anak yang sedang bergembira. Sebuah

permusuhan yang mutlak, sebab segala hal diletakkan di bawah pandangan sengit yang

menjangkau ke seluruh penjuru, dan membentuk sebuah panorama yang total.

Gairah untuk membentuk sebuah panorama yang total itu adalah gairah untuk kesempurnaan.

Yang diabaikan ialah kenyataan bahwa kesempurnaan itu mustahil. Dunia selalu menampik

untuk sempurna, sebab sebuah negeri atau sebuah komunitas bukanlah sebuah karya seni

arsitektur. Tiap kali akan selalu ada yang ganjil, yang tak pas, dan gawal. Sebab tiap kali akan

ada seseorang yang mengeluh, menanyakan, atau menulis. Dunia selalu terbuka, atau terusik,

karena akan selalu datang teks yang lain dan juga berjuta-juta tulisan. Tiap tulisan adalah

sebuah coretan atas selembar kertas polos—sebuah interupsi terhadap kesatuwarnaan. Tiap

tulisan adalah sebuah kehadiran yang tak selamanya bisa diduga sebelumnya pada sebuah

dataran yang rata. Tiap tulisan bisa menghadirkan makna yang tak bisa sepenuhnya diringkus

dalam sebuah desain. Singkatnya, (saya kutip dari sebuah buku) tiap tulisan adalah

perlawanan terhadap arsitektur. Tiap tulisan adalah ribuan subversi terhadap panorama yang

mengklaim diri sempurna.

Demokrasi lahir dengan memenggal paradigma kesempurnaan itu. Ia memang lahir dengan

memenggal kepala yang dipertuan. Claude Lefort menampilkan demokrasi dengan melihat

Revolusi Prancis: sebuah tata kerajaan yang absolut ditumbangkan dengan memotong leher

sang raja. Apa yang sebelumnya berlaku di hari itu pun berakhir. Dulu sang raja adalah dua

tubuh: ia sebuah penjelmaan kekuasaan sekuler dan kekuasaan Tuhan sekaligus, ia fana tapi

juga abadi. Ia adalah pucuk dan batu penyangga tata sosial. Maka ketika Revolusi Prancis

Page 18: catatan pinggir

memotong lehernya, yang dibangun sebagai sebuah arsitektur itu pun runtuh. Sejak itu ada

yang gerowong dalam tubuh politik.

Tata yang kemudian disusun adalah tata dengan kekuasaan sebagai “sebuah tempat kosong”

(un lieu vide). Ia tak diisi lagi oleh siapa pun yang bisa diakui sebagai kekuasaan yang

menjelma ke dunia. Sebab itu dalam demokrasi, sumber kekuasaan, tempat kosong itu,

didapat melalui persaingan, dan terbatas masanya. Tapi “tempat yang kosong” itu juga

membawa kekosongan yang lain: demokrasi adalah sebuah sistem yang didasarkan atas tak

adanya sebuah dasar. Setelah yang abadi terpotong dari tubuh politik, dasar yang ada hanya

bisa dianggap bersifat sementara, dan selamanya bisa digugat. Dengan kata lain: ia

sebenarnya bukan dasar, sebab dasar itu absen. Maka barang siapa yang cemas untuk hidup

tanpa sebuah dasar akan cemas pula terhadap demokrasi.

Rasa cemas itu terkadang menyebabkan orang mencari sesuatu yang bisa jadi fondasi yang

kukuh kekal. Di Jakarta, Juli 1945, sebuah panitia persiapan mendirikan Republik

Indonesia tak merasa cukup hanya menyusun sebuah konstitusi. Salah satu anggotanya,

Radjiman Widiodiningrat, yang terpengaruh filsafat Kant dan Hegel, meminta agar konstitusi

itu punya sebuah dasar. Usulnya disetujui. “Pancasila” pun dirumuskan.

Dari catatan sejarah kita tahu bahwa ia sebenarnya satu rumusan yang terdiri atas tak lebih

dari lima kalimat, sebuah ide yang ditawarkan Bung Karno kepada sebuah rapat terbatas,

sebuah gagasan yang disetujui oleh tak sampai 50 orang anggota “panitia persiapan

kemerdekaan”. Dan semuanya berlangsung di sebuah Juli yang penuh dengan ketidakpastian.

Dengan kata lain, “dasar” itu sebenarnya tentatif, terpaut erat pada sebuah insiden sejarah.

Tapi rasa cemas kalau harus hidup tanpa dasar akhirnya membuat rumusan itu jadi “sakti”.

Tapi apa yang sakti? Tak ada. Bahkan tak ada yang sakti dari sebuah tafsir, biarpun oleh para

aulia, tentang wahyu Tuhan. Demokrasi lahir justru karena kepala, yang dianggap inkarnasi

dari Yang Abadi, ternyata bisa dipenggal, dan tak bisa digantikan. Siapa yang merasa bisa

menggantikannya, dan jadi wakil dari Yang Kekal, akan cenderung merasa sah untuk

memenggal kepala orang lain. Atau meledakkan bom ke tubuh anak kita.

Bukan-Jawa Juni 1, 2009

Posted by anick in All Posts, Identitas, Politik.

trackback

Karena kau bukan orang Jawa,” kata orang itu kepada saya dengan senyum mengasihani.

”Karena itu kau tak mengerti….”

Pertunjukan telah selesai. Saya merasa lega. Terus terang, saya tak menyukai tarian itu

sebuah karya abad ke18 yang tak menggugah. Mungkin sebab itu orang itu, yang duduk di

sebelah saya, menyimpulkan saya ”tak mengerti”.

Ia (seorang tokoh setengah fiktif) seorang Eropa yang sudah 20 tahun hidup di Solo,

berbahasa Jawa dengan bagus, pandai memainkan saron dan rebab. Komentarnya

mengingatkan saya akan katakata seorang jurnalis Belanda kepada Minke, tokoh Bumi

Manusia Pramoedya Ananta Toer: seorang Eropa yang merasa lebih kenal rakyat di Jawa

lebih baik ketimbang Minke, sang inlander.

Page 19: catatan pinggir

Dalam novel Pramoedya, Minke merasa bersalah. Dalam kasus saya, saya bingung: apa

artinya saya ”bukan orang Jawa”? Apa itu ”Jawa”?

Kata ini telah lama beredar, dan makin lama makin dianggap jelas, padahal tak pernah

dipertanyakan. Kini orang mengatakan Sultan Hamengku Buwono X itu ”raja Jawa”,

sementara kita dengan sah juga bisa mengatakan bahwa ia—dengan segala hormat—tak lebih

dari seorang sultan dari separuh Yogyakarta. Orang juga mengatakan Bung Karno ”Jawa”,

tetapi bisa juga dikatakan sebenarnya bukan; ia seperti halnya sekarang Boediono, calon

wakil presiden yang mendampingi SBY: seorang yang lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur,

dan sangat mungkin bahasa masa kanaknya bukan bahasa Surakarta.

Sebutan ”Jawa” barangkali seperti sebutan ”Padang” bagi siapa saja yang datang dari

Sumatera Barat, atau ”Ambon” bagi siapa saja yang datang dari Maluku: sebutan yang

sebenarnya tak mengacu ke sesuatu yang tetap….

Saya pernah masuk ke sebuah penjara di Wamena, Papua, tempat sejumlah orang yang

dianggap penggerak ”separatisme” disekap. Untuk mengelabui polisi, saya menyamar jadi

pastor Katolik dari Bali; teman saya, seorang Amerika yang ingin menulis laporan buat

sebuah lembaga hak asasi manusia, mengaku utusan dari sebuah gereja Kristen di Boston. Di

hadapan kami, salah seorang tahanan menyatakan kesalnya kepada ”orang Jawa” yang ”telah

banyak membunuh” orang Papua.

Waktu itu saya mencoba meluruskan. Kekerasan itu, kata saya, tak bisa dijelaskan dengan

dasar kesukuan. Kekerasan itu dilakukan oleh sebuah pemerintahan militer, yang pada

19651966 juga telah membunuhi ”orang Jawa”, bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar.

Tapi saya tak yakin apakah tahanan Papua yang penuh kemarahan itu mengerti. Kata,

sebutan, bahasa, pada akhirnya punya kekerasan dan penjaranya sendiri.

Sepulang dari sana, saya baca kembali buku John Pemberton On the Subject of ’Java’. Buku

itu membantu saya yang sudah agak lama mencoba melacak dari mana ”Jawa”, sebagai

identifikasi, berasal. Saya merasa perlu melacak itu. Saya dibesarkan di pesisir utara Jawa

Tengah di mana orang menggunakan bahasa yang berbedabeda, dan di antaranya jauh dari

bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, di mana orang lebih sering menonton

wayang golek dengan lakon Umar Maya ketimbang wayang kulit dengan lakon Mahabharata,

dan di mana orang tak mengenal serimpi melainkan sintren. Bagaimana jutaan orang dengan

keragaman yang tak tepermanai itu dimasukkan ke satu kelompok dan dengan gampangan

disebut ”Jawa”?

Buku Pemberton terkadang terasa terlampau panjang, tapi saya menyukai telaahnya yang

dengan tajam melihat hubungan lahirnya wacana tentang ”Jawa” dengan modernitas. Wacana

itu dan keinginan membentuk identitas itu—muncul justru ketika modernitas, dalam bentuk

tatapan orang Eropa, masuk menerobos pintu gerbang dua istana yang terpisah dan bersaing

di Surakarta: Keraton Sunan Pakubuwono, yang biasa disebut ”Kesunanan”, dan istana yang

biasa disebut ”Mangkunegaran”.

Dari keduanyalah mulamula orang bicara tentang ”Jawa”. Dunia ”Kesunanan” adalah dunia

”Jawa” yang cenderung bergerak ke pinggir, ke luar dari tatapan dan pemahaman para

pengelola kolonialisme Belanda. Dunia ”Mangkunegaran”, yang lebih muda umurnya, punya

kecenderungan sebaliknya: ada keinginan bergerak ke tengah pemahaman itu. Contoh yang

tak mudah dilupakan diberikan Pemberton: busana resmi yang disebut ”Langenharjan” adalah

Page 20: catatan pinggir

kombinasi yang pintar yang diciptakan Mangkunegara IV pada 1871: paduan antara busana

formal Belanda (rokkie Walandi) yang dipotong ekornya dengan keris dan kain batik.

Berangsurangsur, rokkie Jawi itu diterima sebagai pakaian resmi ”Jawa” bahkan di upacara

pernikahan orang di luar istana.

”Jawa” dengan demikian tak merupakan sesuatu yang kuno, permanen, dan utuh. Namun

bukan hanya itu. Di balik dinding tinggi kedua istana di Surakarta itu tersimpan apa yang

oleh Pemberton disebut sebagai the sense of hidden ’Java’. Ada yang kemudian membuatnya

sebagai misteri yang memikat tentang ”Jawa”. Tapi, bagi saya, janganjangan yang disebut

oleh Mangkunegara IV sebagai (dalam bahasa Belanda!) ”kawruh rahasia Jawa” atau ”de

geheime Javaansche wetenschap” itu satu pengakuan akan tak mungkinnya bahasa mana pun

merumuskan ”Jawa”. ”Jawa”, sebagaimana identitas mana pun, sebagiannya selalu berada di

negeri Antah Berantah.

Mungkin itu sebabnya saya tak mengerti, kenapa orang Eropa itu menganggap saya—yang

berbahasa Jawa dengan baik dan benar, tapi kecewa kepada satu nomor tarian klasik ”bukan

orang Jawa”. Sebagaimana saya tak mengerti kenapa dia merasa mengerti apa itu ”Jawa”

sebuah sebutan yang, seperti umumnya nama, hanya untuk memudahkan percakapan, atau

permusuhan, atau pertalian.

~Majalah Tempo Edisi 01 Juni 2009~

Bukan-Pasar Maret 16, 2009

Posted by anick in All Posts, Ekonomi, Kapitalisme.

trackback

DI tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar. Dan itu dibutuhkan. Ada pohon-pohon yang

meneduhi kaki lima. Ada sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-ramai. Ada

peturasan untuk buang air siapa saja. Dan tak jauh dari sana, ada jalan raya dengan rambu-

rambu lalu lintas.

Semua itu menopang kehidupan pasar itu, meskipun tak jadi bagian yang dikendalikan pasar

dan kesibukannya: tak seorang pun bisa mengklaim pohon, kakus, dan rambu-rambu itu

sebagai milik sendiri untuk dipertukarkan dengan milik orang lain.

Dengan cara yang sama, kita juga bisa bicara tentang apa yang pernah disebut sebagai pasar

metaforik: kegiatan yang tak terbatas pada sebuah lokasi, ketika barang jadi komoditas dan

hubungan antarmanusia adalah hubungan jual-beli.

Dalam pasar metaforik ini pun (yang selanjutnya akan ditulis dengan P) diperlukan hal-hal

yang tak seharusnya diubah jadi benda yang nilainya lahir lewat perdagangan. Ada kebutuhan

akan barang yang bukan benda, yang tak ditentukan oleh harga: hal-hal di luar jangkauan

Pasar, meskipun ada di dalam tubuh Pasar itu sendiri.

Tapi sejak 1980-an, orang mulai lupa akan hal itu. Bersama menonjolnya pengaruh Milton

Friedman, sebuah dikotomi ditegakkan dan bergema: di satu sisi ada Pasar, di sebelah sana

ada Negara. Pasar bahkan berdiri tampak lebih luhur ketimbang Negara. Seri ceramah TV

Friedman, Free to Choose, jadi alkitab bagi mereka yang ogah atau jera akan campur tangan

Page 21: catatan pinggir

Negara dalam ekonomi, mereka yang menampik kekuasaan yang sewenang-wenang

segelintir orang yang terkadang disebut sebagai birokrasi dan hendak mengendalikan perilaku

yang pada akhirnya dipilih oleh masing-masing orang. Dengan diberi dalih oleh pemenang

Hadiah Nobel, tokoh Mazhab Chicago yang fasih dalam berargumentasi itu, ekonomi pun di

mana-mana digerakkan oleh semangat deregulasi dan privatisasi. Negara itu sesuatu yang

buruk. Pasar itu selamanya penting.

George Soros kemudian menyebut pandangan macam itu fundamentalisme pasar; Paul

Krugman menamakannya absolutisme laissez faire. Dalam tulisannya di The New York

Review of Books bertanggal 26 Maret 2009 Amartya Sen tak memberi nama apa pun. Tapi ia

menyebut kesalahan mereka yang tak bisa dengan jelas membedakan keniscayaan (necessity)

pasar dari keserbacukupan (sufficiency) pasar.

Dari sini akhirnya diakui, di tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar dan itu dibutuhkan. Sen

menunjukkan bahwa para penerus Adam Smith, pemikir yang sering disebut sebagai bapak

paham kapitalisme itu, telah keliru bukan karena sang bapak salah. Mereka keliru karena

Smith, dalam bukunya yang pertama, The Theory of Moral Sentiment, bukan orang yang

menganggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk oleh Pasar, oleh

kepentingan diri dan motif mencari untung. Smith, sebagaimana dikutip Sen, juga berbicara

tentang perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat bermasyarakat.

Dan itu adalah sifat-sifat yang tak menentang Pasar. Mereka justru diperlukan Pasar agar

berjalan beres. Sebagaimana dicatat oleh sejarah, menurut Sen, kapitalisme tak muncul

sebelum ada sistem hukum dan praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan memungkinkan

berjalannya perekonomian yang berdasarkan kepemilikan. Tukar-menukar komersial tak

dapat berlangsung secara efektif sampai tumbuh moralitas bisnis yang membuat perjanjian

kontraktual ditaati tanpa ongkos yang tinggi, misalnya karena tak perlu terus-menerus

membayar biaya perkara pengaduan dan peradilan. Investasi dalam bisnis yang produktif tak

dapat berkembang sebelum orang tak dapat hasil yang mudah dan berlebih dari korupsi.

Pendek kata, menurut Sen, kapitalisme yang berorientasi laba selamanya mendapatkan

dukungan dari nilai-nilai institusional yang lain. Nilai-nilai: hal-hal yang bukan komoditas,

tak bisa diklaim sebagai milik dan diukur dengan nilai tukar.

Seperempat abad yang lalu Albert Hirschman sudah mengatakan hal itu dalam esainya,

Against Parsimony: Three Easy Ways of Complicating Some Categories of Economic

Discours: ketika kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat mengabaikan

moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan hanya mengandalkan gairah

mengejar kepentingan diri, sistem itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri. Sebab vitalitas

itu berangkat dari sikap menghormati norma-norma moral tertentu, sikap yang katanya tak

diakui dan dianggap penting oleh ideologi resmi kapitalisme.

Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa rakus itu bagus seperti yang

dikumandangkan oleh risalah macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed pada

akhirnya terguncang oleh skandal Bernard Madoff. Orang iniseorang pebisnis terpandang

berhasil mengeruk US$ 65.000.000.000 dengan menipu orang-orang yang menanam uang

dengan penuh kepercayaan di koceknya.

Page 22: catatan pinggir

Jelas, akibatnya bukanlah cuma uang yang raib. Yang tak kalah rusak adalah sikap percaya-

mempercayai. Bank kini ragu meminjamkan uang, investor ragu menanam dana. Sekarang

terasa betapa perlunya nilai-nilai institusional di luar Pasar. Mereka perlu dijaga.

Tapi tak mudah. Problem besar dewasa ini: dari mana nilai-nilai itu akan datang lagi dan

bagaimana akan dilembagakan. Siapa yang akan secara sistematis menanam pohon,

menegakkan rambu jalan, membuat perigi bersama? Bukankah kini public spirit nyaris tipis

dan pengertian bebrayan dirusak oleh ketimpangan sosial dan korupsi? Apa gerangan yang

harus dilakukan?

Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin sekali bisa menjawab itu.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Maret 2009~

Buku April 26, 2010

Posted by anick in All Posts, Pepeling.

trackback

— untuk Hari Buku, 2010

Buku bisa bertaut dengan trauma, setidaknya dalam pengalaman saya.

Ketika saya berumur hampir enam, tentara pendudukan Belanda menangkap ayah dan

menggeledah seisi rumah. Di hari itu, setelah bapak diikat tangannya dan dinaikkan ke atas

truk, kami sekeluarga duduk ketakutan. Satu kejadian masih saya ingat: dua orang serdadu

mengangkut sejumlah buku dari kamar kerja ayah dan melemparkan jilid-jilid itu ke dalam

sumur.

Saya tak tahu buku apa yang dibuang, dan kenapa. Yang penting bagi saya hanya ini: seorang

serdadu mematahkan bedil kayu mainan saya dan membuangnya juga ke dalam sumur.

Buku dan senapan mainan: tanda permusuhan? Beberapa puluh tahun kemudian seorang

kakak saya yang dekat dengan ayah (saya agak jauh dari beliau) ingat bahwa di perpustakaan

bapak ada buku dengan sampul bergambar Karl Marx. Mungkin kitab macam itu yang harus

ditiadakan. Juga senjata, serius ataupun tidak.

Sebab ada beberapa buku yang tak disentuh. Di antaranya sebuah kamus Wesbter terbitan

1939 bersampul hitam (di halaman pertama ada tandatangan bapak dengan pena celup) dan

sebuah buku sejarah Inggris.

Dari kamus tebal itu saya temukan sebuah ilustrasi: empat orang mengangkat sebuah kotak.

Karena saya tak mengerti apa fungsi sebuah kamus, saya duga di sana digambarkan orang

yang harus mengangkat mayat. Kelak saya tahu, gambar itu hendak memperjelas arti kata

palanquin.

Buku yang satu lagi bersampul hijau daun. Di dalamnya banyak gambar berwarna. Saya tak

pernah lupa dua di antaranya.

Page 23: catatan pinggir

Pertama, ilustrasi yang teliti mirip foto, yang menggambarkan seorang lelaki tertidur dengan

pakaian lengkap, sementara dua lelaki bermantel merah berdiri menatap wajahnya yang

pulas. Waktu itu saya menafsirkannya sebagai gambar seorang lelap yang dikunjungi dua

hantu. Setelah saya bisa membaca bahasa Inggris, saya tahu, itu adalah adegan dari sejarah

Inggris abad ke-17: Raja Charles I semalam sebelum dibawa ke Menara London untuk

dipenggal. Salah satu “hantu” dalam gambar itu mungkin kepala penjara.

Gambar kedua: seorang lelaki tergeletak di sebuah medan yang sunyi. Seorang perempuan

duduk di sampingnya; tangannya yang satu menahan darah ke luar dari luka lelaki yang

telentang itu, tangannya yang lain mengepalkan tinju kemarahan. Bercak darah merah

tampak. Kemudian saya tahu, itu adalah lukisan pembantaian orang Skot oleh pasukan

Inggris di wilayah Glen Coe pada 13 Februari 1692. Wanita itu meneriakkan dendam.

Pembantaian, amarah, orang yang didatangi hantu, empat pengusung mayat, buku-buku yang

dibuang ke sumur sementara ayah diikat…Saya tak tahu sedalam apa trauma itu membekas.

Mungkin ia memperoleh ekspresi lain: rasa gairah saya kepada buku dengan sampul tebal.

Saya dan kakak juga menemukan buku-buku bersampul kukuh karya Karl May tentang

Winnetou. Kami tak tahu milik siapa, sebab ayah agaknya lebih suka Karl Marx ketimbang

Karl May. Di dalamnya ada ilustrasi tokoh Apache itu di tengah rimba yang magis danidyllic.

Tergerak oleh bentuk buku yang mengesankan tapi tak bisa kami nikmati isinya itulah kami

mulai memesan Winnetou Gugur dan Suku Mohawk Tumpas (yang terakhir ini terjemahan

atas karya James Fennimore Cooper The Last of the Mohicans ) dari Noordoff Kolff di

Jakarta, cabang dari penerbit yang berkantor di Groningen, Belanda.

Hari datangnya buku pesanan lewat pos selalu hari yang ditunggu dengan tegang: kami

hampir selalu berebut siapa yang akan membaca lebih dulu.

Seperti halnya pada anak lain, pada saya buku adalah pesawat ajaib: tinggal di kota kecil

tanpa gedung bioskop, hanya dengan buku saya memasuki dunia lain yang sebenarnya tak

pernah tertembus. Tiap kali, dunia itu berubah, berbeda, berkembang, namun selalu terasa

akrab.

Saya tak pernah bisa sepenuhnya membayangkan sosok Winnetou, tapi saya menangis ketika

menjelang pertempuran terakhir, ia tahu ia akan “pergi ke padang perburuan yang kekal”.

Saya menangis untuk Si Jamin dan Si Johan yang teraniaya di sebuah sudut Batavia yang

jauh. Saya sedih untuk Si Dul yang hidup di Jakarta yang belum pernah saya lihat, ketika

ayahnya, seorang sopir, mati kecelakaan dan ketika ia dicerca habis-habisan oleh engkongnya

karena di hari Lebaran ia berpakaian pandu, dengan topi dan sepatu, bukan sarung dan

songkok. Air mata saya keluar untuk Sampek dan Engtai yang mati dalam cerita yang saya

ikut dengarkan waktu beberapa buruh pabrik rokok di rumah sebelah membacanya dalam

bahasa Jawa bergiliran dari sebuah buku tulis.

Setelah saya dewasa, saya bisa mengaitkan trauma masa lalu itu dengan pengalaman

selanjutnya dengan buku. Saya bisa menyimpulkan: buku mati karena ia dihentikan di

perjalanan ke dalam hidup kita, seperti ketika ia hilang dilemparkan ke dalam sumur. Tapi

cerita tak berakhir.

Page 24: catatan pinggir

Sejak 1958, Presiden Sukarno mengubah Indonesia jadi “demokrasi terpimpin” dan

“ekonomi terpimpin”. Atas nama “Revolusi” (kata yang memukau itu), Negara mengambil

alih dunia penerbitan. Apalagi yang terkait dengan modal asing. Oktober 1962 penerbit

seperti Noordoff Kolff dihentikan; ia digantikan perusahaan negara yang disebut “Noor

Komala”. Yang memimpin seorang birokrat. Balai Pustaka, yang bisa bersaing dengan bagus

menghadapi penerbit milik asing, sejak itu dikendalikan seorang jenderal. Ketika kertas,

percetakan, transportasi dan hampir seluruh kehidupan ekonomi jadi “terpimpin”, banyak hal

macet. Usaha penerbitan dalam negeri yang terkemuka, seperti Djambatan, yang menerbitkan

sebuah atlas yang monumental, terjerembab dan tak pernah bisa pulih lagi sejak itu.

Arus buku berantakan. Tak ada lagi buku yang sampulnya terasa hangat dan bau kertasnya

berwibawa tapi ramah. Jenisnya kian kehilangan ragam. “Demokrasi Terpimpin” juga

memulai sejarah kekuasaan yang dengan sekali gebrak melarang sederet buku – sejarah yang

berlanjut hingga kini.

Waktu itu, satu-satunya penghibur adalah karya berjilid tebal terbitan Uni Soviet yang dijual

murah di toko buku milik PKI. Masih ada Dostoyewski, Turgenev dan Tolstoy – dalam

terjemahan Inggris dan diterbitkan oleh Moscow Foreign Publishing House — tapi tak

lengkap. Tak saya dapatkan The Brothers Karamasov atau Fathers and Sons. Moskow punya

sensornya sendiri.

Saya teringat pagi di tahun 1947 itu: dua tentara pendudukan membuang sejumlah jilid ke

sumur. Tapi saya juga tak bisa melupakan para buruh rokok yang membaca cerita bergiliran

dari sebuah buku tulis. Buku mati, tapi tak bisa mati semuanya. Ia punya trauma dan

nostalgianya sendiri. Ia punya cerita yang selalu muncul kembali.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 April 2010~

Bush, Bagdad April 14, 2003

Posted by anick in All Posts, Amerika, Bencana, Elegi, Islam, Kekerasan, Perang, Politik,

Sejarah, Tokoh.

trackback

Bagdad, 10 April 2003: dua lambang, dua momen, mungkin dua kekalahan.

Menjelang pukul tiga, orang-orang bergerak ke arah Lapangan Firdaus, di tepi timur Sungai

Tigris. Marinir Amerika sudah berada di sana. Beberapa buah tank berjaga di kedua sisi Jalan

Sadoon, jalan utama wilayah itu.

Seorang Irak mendekat. Ia menunjuk ke arah patung Saddam Hussein yang setinggi tiga

meter tegak di atas penopang. “Tembak saja, tembak!” katanya kepada seorang marinir.

Orang Amerika itu menggeleng. “Tidak, terlalu banyak orang di situ.”

Orang-orang Irak itu kini mencoba cara lain. Seseorang kurus mencopot pelat tembaga yang

dipasang pada pedestal. Seseorang yang lebih kekar menghantamnya dengan palu. Beberapa

orang lain mendapatkan tali. Sebuah tangga dipasang. Dua orang marinir naik. Tali dan rantai

besi dikalungkan ke leher Saddam. Dalam beberapa menit, Sersan Edward Chin, marinir AS

keturunan Cina dari Myanmar, menutup wajah patung itu dengan bendera Amerika. Tak

Page 25: catatan pinggir

lama—tapi ia telah telanjur masuk ke dalam sebuah adegan yang bersejarah. Setelah Bendera

Bintang-dan-Garis dicopot, selembar bendera Irak berkibar—tapi di sana tak ada lagi tulisan

tangan Saddam yang menyebut “Allahu Akbar”.

Di momen itu, apa yang tak ditendang: tulisan tangan Saddam, monumennya, sejarahnya,

rasa takut orang kepada pembalasannya, sisa-sisa kekuasaannya? Dengan tali dan rantai

patung itu pun dibetot. Sebuah mobil peralatan marinir Amerika membantu. Tak mudah.

Agak alot. Beberapa belas menit lamanya berhala itu bertahan; tangannya masih terangkat

menunjuk ke kaki langit. Akhirnya roboh.

Rakyat Irak pun bersorak.

Dengan rasa campur aduk saya menyaksikan semua itu di layar TV: di Lapangan Firdaus,

saat bersejarah kemenangan Amerika bertaut dengan saat bersejarah kegembiraan rakyat

Bagdad.

Monumen Saddam yang ditumbangkan itu punya cerita yang berbeda dari patung yang

runtuh di Taman Zarwa tiga hari sebelumnya. Di taman pahlawan tak dikenal ini, patung

Saddam Berkuda dijungkirkan oleh peluru tank Amerika; bagian kepalanya yang lepas dibuat

suvenir oleh pasukan Charlie Company Task Force dari Divisi Infanteri ke-3. Di Lapangan

Firdaus, amarah penduduk Bagdadlah yang menjalankan eksekusi. Kini dunia tahu bahwa

Saddam Hussein hanya menimbulkan benci.

Begitulah akhir seorang tiran. Ia ditinggalkan siapa saja, juga oleh prajuritnya. Bagdad tak

dipertahankan sampai titik darah terakhir. Orang tak bertempur untuk membela sebuah tanah

air. Saddam telah menelan Irak ke dalam perutnya dan mengubah patriotisme menjadi

penghambaan. Memang ada yang menyedihkan di hari itu: kita menyaksikan sebuah bangsa

yang tak merasa perlu, juga tak mampu lagi, untuk gagah berani.

Dan kita pun mendengar suara orang-orang Irak bersemangat, “Bush! Bush! Bush! Terima

kasih!” Kita bisa melihat seorang ayah membopong anaknya untuk mencium pipi seorang

marinir. Apa yang dulu diperhitungkan orang di Pentagon ternyata benar: para penyerbu itu,

para agresor itu, disambut sebagai sang pembebas….

Saya terhenyak. Saya kira tiap orang yang menentang perang Bush atas Irak patut terhenyak.

Kegembiraan di Bagdad hari itu memergoki kita dengan pertanyaan: akan adakah suka cita

semeriah itu, seandainya perang ini tak dilancarkan, seandainya Bush mendengarkan seruan

kita? Tidakkah kita yang menentang perang berdosa, karena kita tidak melakukan sesuatu

untuk mengakhiri penindasan?

Saya terdiam. Dua momen itu—bendera Amerika berkibar di patung Saddam, dan berhala

Sang Pemimpin yang dijungkirkan—tampil seakan-akan tanda dua kekalahan. Yang pertama

kekalahan rezim Partai Baath Irak. Yang kedua adalah kekalahan sebuah argumen bahwa

perang ini tak bisa dibenarkan. Dengan kata lain, kita kalah.

Dan bila kitalah yang kalah, apa yang akan dapat kita katakan melihat orang-orang congkak

di Pentagon merasa lebih berhak untuk terus congkak? Kita akan mengunci mulut bila Sang

Super-Kuat seterusnya merasa beralasan jika mengabaikan semua ikhtiar multilateral. Dan

kita akan terpaksa membisu ketika si lemah disisihkan sebagai pigmi yang tak berarti.

Page 26: catatan pinggir

Ada seorang pengarang yang pernah menulis bahwa politik internasional mau tak mau

tumbuh dari Realpolitik: bahwa “tata” yang berlaku adalah sebuah “tata” yang dibentuk

secara brutal oleh yang kuat. Jangan disamakan, katanya, nilai-nilai itu dengan nilai-nilai

dalam kehidupan antarmanusia di sebuah civil society. Keadilan tak boleh berlaku dalam

percaturan antarbangsa.

Tapi, jika begitulah seharusnya, kita akan hidup di dalam dua jenis ethos. Yang satu datang

dari Sun Tzu, yang berarti perang dan penaklukan. Yang lain Gandhi, yang berarti

satyagraha dan kebersamaan.

Saya ragu, bagaimana ukuran ganda itu akan bisa bertahan. Mungkin Sun Tzu pada akhirnya

akan mendesak dan menyingkirkan Gandhi dari kesadaran kita—dan kita akhirnya setuju

bahwa hasil yang baik akan menghalalkan cara apa pun, termasuk cara yang merusak dan tak

adil. Kita akan semakin bersedia untuk mengakui bahwa sebuah niat yang culas akan

disucikan oleh sebuah akhir yang bahagia. Di Bagdad, di Irak, kita telah diberi tauladan: di

dunia nyata, orang-orang yang tertindas membutuhkan kekuatan dari mana saja—bahkan dari

Neraka sekalipun—agar bisa tak tertindas.

Tapi begitukah seharusnya? Saya terdiam. Saya jeri. Saya melihat ke luar jendela: ada sebuah

kebun, dan di sana anak muda saling menyapa di bawah pohon-pohon. Apa yang akan terjadi

pada mereka, jika pada akhirnya kita hidup seraya berkata, seraya percaya, bahwa semuanya

adalah teror, dan itulah jalan yang benar?

~Majalah Tempo, Edisi. 07/XXXII/14 – 20 April 2003~

Cap Februari 8, 2010

Posted by anick in All Posts, Identitas, Pepeling, Politik, Sejarah.

trackback

KADANG-KADANG orang menjepit orang lain dengan kata, menjerat diri dengan kata.

Sejarah politik Indonesia modern bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit dan jerat kata

dari masa ke masa.

Pada tahun 1960-an, di bawah demokrasi terpimpin, jepit dan jerat itu misalnya terbentuk

dalam kata kontra-revolusioner. Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok,

atau satu pola sikap, dapat membuat yang dikenai seakan-akan tertangkap. Dalam posisi itu,

ia berubah jadi sasaran untuk diserang atau dalam kata yang dominan waktu itu diganyang.

Kata kontra-revolusioner sama artinya dengan musuh Republik, pengkhianat tanah air,

penentang Revolusi, dan segala usaha yang sedang digerakkan oleh Sang Pemimpin Besar

Revolusi yang tak bisa dibantah.

Dalam varian kontra-revolusioner ini ada kata PSI dan Masyumi–dua partai politik yang

dibubarkan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi. Kedua partai itu juga dimusuhi oleh dua

kekuatan pendukung, PKI dan ABRI. Para pemimpin PSI dan Masyumi dipenjarakan. Surat

kabar mereka ditutup. Dan melalui serangan verbal lewat media massa, PSI dan Masyumi

(kemudian juga Manikebu) segera jadi kata yang menjepit dan menjerat siapa saja yang

dianggap musuh politik. Buat digebuk.

Page 27: catatan pinggir

Pada tahun 1970-an, di bawah Orde Baru, kata yang dengan lebih buas menjepit dan menjerat

adalah PKI dan G30S atau Gestapu. Dengan kata itu, orang langsung tak dapat bergerak dan

tak mungkin bicara. Acap kali mereka dipenjarakan dan dibunuh, tanpa bekas.

Seperti pada masa sebelumnya, daya jerat dan jepit kata PKI dan lain-lain itu juga dilahirkan

oleh kampanye media massa, yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan

ketakutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma.

Stigma adalah cap. Kata ini berasal dari bahasa Yunani untuk menyebut semacam tanda yang

diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau

pengkhianat. Dengan cap yang melekat di jangat itu, stigma akan menandai orang yang tak

diinginkan. Stigmatisasi terjadi bersama penyingkiran.

Pada zaman komunikasi kata-kata ini, cap itu tak melekat di jangat. Ia hanya jadi metafor. Ia

berbentuk bunyi, penanda yang dikumandangkan ke dalam bahasa. Sebagai bagian dari

bahasa, ia masuk ke kepala dan hati orang ramai, membentuk persepsi dan bahkan sikap dan

laku mereka. Kata sebagai stigma berkembang dalam pusaran kesadaran kita bagaikan racun.

Racun ini kemudian bisa disemburkan ke tiap sosok yang jadi sasaran.

Sebagai racun, ia bergabung dengan racun jiwa yang lain: purbasangka dan paranoia. Maka

dengan mudah ia bisa dipergunakan untuk menyebarkan permusuhan. Yang menakjubkan,

stigma bisa bertahan lama.

Setelah demokrasi terpimpin runtuh, kata PSI dan Masyumi masih merupakan stigma yang

berlanjut. Ketika pada Januari 1974 terjadi gerakan yang membakar dan merusak mobil,

motor, dan gedung di jalan-jalan Jakarta, pihak penguasa menggunakan media untuk

menuduh bahwa yang jadi dalang kekerasan itu PSI dan Masyumi. Sejumlah orang yang

sering diberi label PSI dan Masyumi dipenjarakan. Banyak di antaranya tanpa diadili. Segera

sesudah itu, sebuah buku propaganda diterbitkan dalam bentuk mewah, ditulis oleh seorang

wartawan, Marzuki Arifin. Dakwaan terhadap PSI dan Masyumi, dua partai yang sudah

dibubarkan 14 tahun sebelumnya, dikumandangkan lagi.

Bahasa membentuk endapannya sendiri. Kata-kata ikut bercampur dengan bawah-sadar, dan

diubah-ubah maknanya oleh apa yang bergolak dalam percampuran itu. Oleh hasrat dan

dalam hasrat. Oleh kengerian dan dalam kengerian. Makna tak lagi jelas dan transparan. Dan

tak ingin untuk demikian.

Apa arti PSI? Masyumi? Manikebu? PKI? Gestapu? Tak penting lagi dikaji apa sebenarnya

arti kata-kata itu. Orang tak peduli lagi apa yang terkandung dan tak terkandung di dalamnya.

Sebagai salah satu perumus Manifes Kebudayaan (yang diubah jadi Manikebu, sebagai

langkah awal stigmatisasi), saya sering takjub: sampai hari ini manifesto yang diganyang

habis-habisan pada tahun 1960-an itu masih dianggap mendukung paham “seni untuk seni”.

Endapan racun itu memang berumur panjang. Tak mengherankan jika paranoia masih

mencengkam ketika orang dengar kata ‘komunis’ dan ‘Marxis’, juga 20 tahun setelah Partai

Komunis terbesar di dunia jatuh.

Agaknya kini pun orang sedang memproduksi dan mengawetkan stigma sendiri: ‘neoliberal’,

‘liberal’, ‘sekuler’, ‘fundamentalis’ dan dengan itu pertukaran pendapat tak bisa lagi jernih,

bahkan jadi mustahil. Akhir-akhir ini, dalam kasus Bank Century, bahkan meningkat suasana

Page 28: catatan pinggir

yang mempermudah stigmatisasi itu: orang bicara, dan racun bertaburan di antara tiap bunyi,

tiap rangkaian huruf, tiap penanda.

Stabilitas yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng dengan berlanjutnya politik

sebagai ajang kebencian dan intoleransi. Bahasa adalah arus yang tak henti-hentinya

memelesetkan makna, dan orang memerlukan apa yang disebut psikoanalisis Lacan point de

capiton agar ada pegangan, biarpun sementara, untuk mematok makna kata. Tapi point de

capiton itu bisa menjepit dan menjerat bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri.

Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian jadi doktrin. Kita hanya bisa

membebaskan diri dari jerat dan jepit itu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun

yang melumpuhkan semuanya.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Februari 2010~

Cebolang Februari 23, 2009

Posted by anick in All Posts, Kisah, Seni.

trackback

Teater itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh 300 kilogram lebih ia tetap bisa bergerak

ritmis seperti penari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa sayu, terkadang dramatik terkadang

kocak, sebagaimana laiknya seorang dalang. Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga

seorang aktor penuh. Dialog diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan pause yang

pas. Ia bisa membawakan lagu, ia bisa menggubah lagu dengan cepat, seraya memelesetkan

melodi, tapi pada saatnya, ekspresinya bisa tangis.

Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit yang tanpa jejer. Ia pusat. Tapi

ia bergerak dari pelbagai posisi, dan dengan asyik berpindah dari idiom seni pertunjukan

yang satu ke idiom yang lain.

Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang manapun kini, adalah sosok yang

dibentuk oleh aneka khasanah. Tubuh dengan lapisan lemak yang seperti unggunan bantal itu

– sebuah keistimewaan yang terkadang ia tertawakan sendiri – adalah sebuah sedimentasi

dari sejarah kebudayaan yang panjang.

Sejarah kebudayaan itu dapat disebut “Jawa”, tapi yang tak dapat ditentukan batas-batasnya.

Gundono bisa menembangkan pangkur dan melantunkan suluk, mengalir luwes dari nada

diatonik ke pentatonik, tapi ia juga bisa menyerukan azan dan mengutip Qur’an dengan gaya

qiraat Mesir. Ia memetik ukulele seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar

adalah kasidah. Di sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi Surakarta

berbaur seperti tak sadar dengan bahasa Tegal yang sering dianggap “kasar” dan “kurang-

Jawa”.

Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di kota Slawi di pantai utara Jawa Tengah,

anak seorang dalang dengan 12 keturunan yang tak dipedulikan. Suwati, sang ayah, hampir

tak pernah berada di rumah. Ia mendalang di mana saja, terkadang tanpa dibayar.

Page 29: catatan pinggir

Sebab itu anak-anaknya, khususnya yang laki-laki, mencari bapak sendiri. Slamet

mendapatkan bapak angkatnya seorang kiyai desa. Dari sinilah ia masuk jadi santri. Ia

seorang santri yang keras.

Tapi mimpinya adalah jadi aktor. Ini yang mendorongnya berangkat untuk jadi mahasiswa

Institut Kesenian Jakarta. Ia tak bertahan lama di sana. Ia banyak dimusuhi teman, katanya,

sebab ia gemar mengkhotbahi orang. Baru setelah ia pindah ke Solo dan kuliah di STSI,

sikapnya berubah: di sekolah kesenian itu, di mana seni tradisi mau tak mau bersua dengan

yang di luar wilayahnya, Gundono lebih bisa menerima hal-hal yang dulu ditampiknya.

Selain mendalang — dan jadi penerus ayahnya – ia ikut dalam pentas karya Sardono W.

Kusumo dan akrab dengan Rendra.

“Saya ini seperti Karna”, katanya pada suatu ketika “Tak punya bapak yang jelas. Bapak

biologis saya Suwati, bapak spiritual saya pak kiyai, dan kemudian saya dibesarkan bapak-

bapak lain”.

Tapi Gundono, kini 43 tahun, bukan sebuah ensiklopedia; di pentas itu ia sebuah kejadian. Di

dalam teaternya definisi dan identitas luruh dan puisi timbul: puisi sebagai jejak kebenaran

yang lewat, sejenak, menyentuh, tak terhingga.

Mungkin itu sebabnya ia menemui tempat yang tepat di lantai Teater Salihara, Jakarta,

malam itu: ia memainkan satu fragmen dari Serat Centhini, teks bahasa Jawa abad ke-19

yang berkisah tentang pengembaraan dua putra Kerajaan Giri yang mearikan diri ketika

pasukan Sultan Agung (1613-46) dari Mataram menyerbu.

Gundono beruntung. Centhini — karya 4200 halaman, 722 tembang, 2000 bait itu tak jauh

dari dunia yang amat dikenalnya: yang santri dan yang “abangan”. Di sana ritual dan mistik

Islam berbaur dengan kegembiraan dan keleluasan erotik di pedudunan Jawa –dan

membentuk sebuah dokumen kebudayaan yang padat dan mengasyikkan, puitis dan jenaka,

ganjil dan sehari-hari.

Lebih beruntung lagi, Gundono memakai versi yang berkisah, dengan judul Cebolang

Minggat. Centhini-nya bukan seperti mummi di museum. Sang dalang bekerja sama dengan

Elizabeth D. Inandiak, seorang sastrawan Prancis yang menyadur Serat Centhini dan

mengatakan: “Ini adalah Centhini abad ke-21”.

Inandiak, seperti diakuinya sendiri, bukan seorang pakar bahasa Jawa. Ia, tulisnya, “seorang

petualang dan pencinta Jawa.” Ia menggubah kembali karya panjang yang di sana-sini

membosankan itu jadi narasi yang berjalan dengan kiasan dan pencandraan yang puitis dan

tak terduga, bertaut tapi tak terikat dengan teks asli. Terkadang Inandiak meringkas,

terkadang mengubah. Dan terkadang ia menggerakkan puisi Jawa itu dengan potongan sajak

Victor Hugo dan Baudelaire. Di bagian tertentu, juga masuk anasir yang kocak dari

Gargantua Rabelais. “Centhini, c’est Rabelais!” kata Sejarawan Onghokham kepada sang

penyadur.

Dengan kata lain, ia sebenarnya meneruskan proses semula lahirnya Centhini – teks yang

merupakan pertemuan berbagai alir. Dua ribu bait itu terjadi karena dorongan keasyikan,

nostalgia, dan kreatifitas bermacam-macam orang. Centhini-nya, seperti dikatakan dalam

pengantar, adalah “pengembaraan edan luar batas.”

Page 30: catatan pinggir

Malam itu, di kanan pentas yang mirip panggung pertunjukan dusun itu Inandiak duduk di

depan laptop. Ia membaca dengan tenang, mula-mula frase pembukaan dalam bahasa Prancis,

lalu segera kalimat berbahasa Indonesia: “Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya

penari Ramayana…”

Teks yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu di sana-sini agak kikuk, dan Ianindak

melafalkannya dengan aksen asing yang menghidupkan konsonan akhir – tapi itu justru yang

menyebabkan bunyinya menarik. Apalagi segera setelah itu Gundono meningkahi suasana

dengan janturan seperti dalam wayang, nyanyian seperti dalam orkes kampung, kasidah

seperti dalam upacara santri, dan gamelan, dan joged, dan suara bariton yang berkisah…

Kisah itu, sebagaimana terkenal dari Centhini, terkadang sangat erotis: deskripsi

persetubuhan dalam puisi. Tapi tak berhenti di sana. Cebolang yang melarikan diri dari

rumah, setelah menempuh dosa tubuh dan pengalaman mistis, akhirnya pulang. Ayahnya

menyambutnya. Sang anak disuruhnya menjalankan “ilmu yang paling dasar yang akan

mengantarmu ke semua lainnya”.

“Ayahanda, ilmu apa itu?”

“Cinta”.

~Majalah Tempo Edisi 23 Februari 2009~

Cermin Januari 7, 2008

Posted by anick in All Posts, Identitas, Pepeling.

trackback

Tahun adalah cermin. Di depannya, setiap sehabis 31 Desember, akan saya lihat: guratan

umur makin mengeras. Keriput makin banyak. Pori-pori kulit membesar. Rambut rontok.

Dan waktu kembali jadi angka: jika tahun ini kau rayakan ulangtahun ke-50, atau ke-60, atau

lebih, kita tahu jangka waktu hidup yang sama tak akan tercapai lagi. Ujung jalan itu sudah

tampak.

Dalam arti itulah masa depan jadi lebih tertentu: hidup akan berakhir. Saya pasti tak akan

menyaksikan 7000.000 batang muda yang ditanam tahun lalu tumbuh jadi pohon-pohon

tinggi dan rimbun, seperti deretan pokok asam dan mahoni di tepi jalan di kota saya masa

kecil. Saya tak akan lihat tanahair kaya kembali dengan hutan tropis yang lebat. Saya pasti

tak akan merasakan jalan-jalan tak lagi macet, polusi udara berkurang karena bensin tak lagi

dipakai, dan bulan tak kusam ketika malam purnama, dan di Jakarta, di ibukota, sesuatu yang

lebih manusiawi hadir bahkan di rumah sakit umum, di penjara, di kakilima, dan museum dan

teater dikunjungi, bangunan baru terawat dan bangunan lama selesai dipugar, dan stasiun

kereta api gaya Art Deco di wilayah Kota yang sudah lama tak terawat itu mempersona

kembali. Ya, banyak sekali yang pasti tak akan saya alami.

Tapi siapa yang dapat mengatakan, hal-hal indah itulah yang akan terjadi? Bagaimana bila

sebaliknya? Bagaimana jika kelak ribuan dusun dan kota hilang tenggelam oleh laut yang

menggelegak karena kutub utara jadi cair? Bagaimana jika yang terjadi adalah bentrokan

Page 31: catatan pinggir

berdarah yang tak henti-hentinya, karena masyarakat jadi amat timpang antara kaya dan

miskin, dan sumber-sumber alam kikis, dan orang marah kehilangan rasa keadilan?

Bagaimana jika mereka yang lemah terus tertekan oleh kemahakuasaan uang, ketidak-jujuran

pejabat negara, dan sifat represif dari lembaga-lembaga adat dan agama?

Saya, seperti anda, tak tahu bagaimana menjawab itu. Orang mampu meyusun statistik,

membuat prediksi, memperkirakan probabilitas. Tapi kita tahu hidup tak bisa distatistikkan,

karena yang tak lazim selamanya bisa terjadi – atau memang selalu terjadi.

Ada sebuah sajak Chairil Anwar:

Kalau datang nanti topan ajaib

menggulingkan gundu, memutarkan gasing

memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan

aku sudah lebih dulu kaku

Ketika aku jadi kaku, ketika kematian itu datang, itu adalah “ketika” yang probablilitasnya

praktis 100%. Tapi tak urung, ada kemungkinan yang menakjubkan akan terjadi: “topan

ajaib” yang “menggulingkan gundu, memutarkan gasing…”Bahwa kita bisa merasakan yang

ajaib itu sebetulnya sebuah keajaiban tersendiri. Bahwa kita bisa menghayati, bahkan

menghasilkan, sesuatu yang tak disangka-sangka, itu menunjukkan betapa hidup tak

semuanya buah sebab dan akibat, tapi juga kejutan demi kejutan.

Determinisme selamanya meleset. Ada yang dalam filsafat kini disebut sebagai “kejadian,”

setidaknya semenjak Heidegger menyebutnya sebagai Eregnis: sesuatu yang terjadi di luar

hubungan kausal. Seperti ketika sederet nada muncul dalam sebuah komposisi musik: nada

yang satu tak disebabkan, atau menyebabkan, nada yang di sebelahnya; masing-masing hadir,

terdengar, entah dari mana. Di situ kita tahu, hidup bergerak didorong oleh élan vital yang

kreatif, dan yang tak terduga-duga datang, memukau, bukan oleh satu titik yang kukuh di

ujung sana dari sebuah garis lurus. Tak ada garis lurus. Kita tak tahu dari mana sajak Chairil,

komposisi Cornel Simanjuntak, dan kanvas Zaini mulai. Semuanya “kejadian”. Itu sebabnya

dalam pemikiran Deleuze, “kejadian” sama saja maknanya dengan “penciptaan.”

Maka tahun tak hanya ibarat cermin tempat kita berkaca melihat proses keuzuran. Tahun juga

sebuah tanda waktu yang tak sempurna, “titimangsa” yang hanya satu sisi.

Sebab — jika kita teruskan meminjam uraian Deleuze, (yang mengembangkan buah pikir

para filosof sebelumnya) — ada waktu sebagai Chronos, ada waktu sebagai Aion. Yang

pertama adalah waktu yang merupakan satu rangkaian “kini” yang bisa diukur, diingat, dan

disusun sebagai urutan. Yang kedua adalah waktu kreatif, waktu “kejadian”, waktu kejutan.

Dikatakan secara lain, itulah “waktu yang copot dari sendi”, time out of joint, untuk memakai

kata-kata Hamlet kepada sahabatnya, Horatio, setelah (demikianlah tersebut dalam lakon

Shakespeare) hantu ayahnya datang memberitahu rahasia yang mengerikan di tahta Denmark.

Waktu yang “copot dari sendi” memang terasa mencemaskan. Tapi rasa cemas itu tak

melumpuhkan manusia. Dalam waktu sebagai Aion, manusia seakan-akan terlontar. Ia

mengalami kebebasan dari hukum sebab dan akibat, tapi dengan itu ia masuk di dalam

momen “kejadian”. Seperti nada do dalam B minor yang muncul dalam harmoni, “kejadian”

tak berlangsung dalam waktu yang sudah disusun; ia justru membuka waktunya sendiri.

Bahkan pada akhirnya “kejadian” atau “penciptaan” tak bisa selamanya berada dalam

Page 32: catatan pinggir

harmoni. Deleuze melukiskannya dengan membandingkan musik Baroque dan neo-Baroque:

sebuah peralihan dari penyelesaian atau cakupan harmonis ke dalam sebuah susunan yang

macam-macam nada, termasuk yang sumbang, atau, dalam kata-kata komponis Boulez,

“sebuah polifoni dari pelbagai polifoni.”

Hidup adalah sebuah polifoni, bergerak, memencar, multi-lipatan yang tak henti-henti.

Kematian hanyalah salah satu momen di dalamnya. Haruskah saya sesali, jika itu terjadi?

Tiba-tiba saya temukan lagi satu kutipan yang ditulis Deleuze: “Yang terbaik dari semua

dunia yang mungkin bukanlah dunia yang mereproduksi yang abadi, melainkan yang jadi

tempat di mana ciptaan baru diproduksi”.

Yang abadi tak akan di sini. Di depan cermin tetap akan tampak rambut rontok dan kulit

mengeriput. Juga napas kian lemah. Tapi entah di mana dalam evolusi hidup, ada “topan

ajaib” yang seakan-akan menggerakkan bahkan mainan yang mati: “memutarkan gasing,

memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan.”

~Majalah Tempo Edisi. 46/XXXVI/07 – 13 Januari 2008~

Cicak & Buaya November 9, 2009

Posted by anick in All Posts, Hukum, Politik.

trackback

Dan metafor pun menang. Mungkin itu tak disadari ketika kata cicak melawan buaya dipakai

pertama kalinya dalam pertentangan yang kini disebut sebagai konflik antara KPK dan Polisi.

Saya yakin Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tak memperhitungkan betapa ampuhnya

perumpamaan yang dipakainya dalam majalah Tempo, 16 Juni 2009:

Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya, di situ cicak. Cicak kok melawan buaya.

Dari sana, muncullah dalam gambaran pikiran kita dua pelaku yang bertentangan dan tak

seimbang.

Yang satu reptil kecil. Ia tak lebih dari 10 sentimeter panjangnya, hidup di celah-celah rumah

kita, tak mengganggu, dengan suaranya yang berbisik. Ia bahkan menyenangkan: mangsanya

nyamuk-nyamuk yang menggigiti jangat kita. Anak-anak menyanyikan lagu yang riang

tentang dia, (Cicak-cicak di dinding) dan pada umumnya ia tak membuat takjub siapa pun,

kecuali orang dari Eropa yang tak pernah melihat kadal kecil dari khatulistiwa itu.

Yang seekor lagi reptil besar. Ia bisa sampai 8 meter panjangnya. Kulitnya kasar keras,

moncongnya menakutkan, dan meskipun matanya seakan-akan tertidur, ia mendadak bisa

menyerang. Kecuali ketika diternakkan atau dikurung di kebun binatang, habitatnya jarang

didatangi manusia. Ia pembunuh. Mangsanya hewan lain, juga kita.

Dalam bahasa Indonesia, buaya umumnya sebuah metafor untuk sesuatu yang punya sifat tak

baik: buaya darat, misalnya. Ada memang kata buaya kroncong, yang barangkali dipakai

untuk mengesankan sifat penggemar yang amat doyan jenis musik itu dan penggemar itu tak

gampang puas.

Page 33: catatan pinggir

Maka memang aneh, kenapa justru seorang jenderal polisi mengumpamakan dirinya–

mungkin juga korpsnya–dengan seekor reptil yang ganas. Besar kemungkinan ia hanya

melihat dalam diri buaya faktor kekuatan yang handal. Atau mungkin juga kepintaran yang

agresif. Dalam wawancara yang saya kutip tadi, Susno Duadji melihat pihak sana, yakni

KPK, sebagai cicak yang ‘masih bodoh’. Pihaknya, si buaya, sebenarnya sudah berusaha

‘memintarkan’, tapi sang cicak tak kunjung pandai. Si kecil itu telah diberi kekuasaan, kata

Susno Duadji, tapi ‘malah mencari sesuatu yang enggak dapat apa-apa’.

Dari semua itu tampak, metafor Susno–seperti halnya metafor pada umumnya–tidak berperan

sebagai ornamen. Memang ada yang menganggap sebuah metafor cuma sebingkai hiasan,

karena selalu mengandung sesuatu yang penuh warna dan rupa (dengan kata lain: sesuatu

yang tercerap pancaindra). Tapi orang yang menganggap bahasa metaforik hanyalah hiasan

untuk memperindah sebuah gagasan sebenarnya tak tahu, bahwa bahasa tak dimulai dari ide.

Bahasa bermula dari tubuh. Bahasa berpangkal dari proses indrawi.

Itu sebabnya acap kali bunyi mendahului pemberian arti. Dan ini berlaku sejak kata seru

seperti ‘Wah!’ sampai kata benda yang mengandung bunyi yang menimbulkan imaji dan

asosiasi tertentu di dalam pikiran kita. Kata sulur, misalnya, mengandung bunyi lur yang kita

dapatkan dalam julur, salur, balur: sebuah bunyi yang menimbulkan imaji tentang sesuatu

yang memanjang tapi tak meregang.

Dari sesuatu yang konkret seperti itulah (bunyi dan imaji), dan bukan sesuatu yang rasional

dan kognitif, metafor dilahirkan dan dipergunakan. Metafor memang mirip simbol. Baik

metafor maupun simbol memakai sesuatu yang konkret untuk menyampaikan sebuah

pengertian. Tapi antara keduanya ada beda yang fundamental.

Simbol: kita menemukannya dalam pohon beringin yang dipilih untuk merumuskan cita-cita

Partai Golkar; atau palu-arit untuk menghadirkan dasar kelas sosial dan ideologi PKI. Tapi

bila simbol dipilih dengan rencana yang sadar, metafor lahir lebih spontan; ia lebih bergerak

ke arah asosiasi ketimbang ke arah konsep. Pungguk merindukan bulan adalah sebuah

metafor, bukan simbol, sebab yang muncul dari kalimat itu adalah imaji seekor burung buruk

muka yang hinggap di sebuah dahan ketika malam mengagumi purnama. Antara si pungguk

dan rembulan itu ada kontras yang jelas–juga jarak yang tak akan terjangkau. Metafor itu

lebih memantulkan situasi yang melankolis ketimbang mengikhtisarkan sebuah ide tentang

cinta yang tak sampai.

Juga ketika kata cicak dan buaya dengan spontan dipakai: saya kira yang berperan bukan

sebuah konsep yang dipikirkan. Bahkan ada anasir dari bawah sadar yang bekerja.

Dipakai dalam sebuah suasana konflik, kedua kata itu menyugestikan bahwa yang terjadi tak

berbeda dari perseteruan di alam bebas, di mana penyelesaiannya bukanlah atas dasar hukum

sebagai aturan bersama, melainkan ditentukan oleh kekuatan. Memang Susno Duadji tak

melanjutkan cerita tentang cicak-lawan-buaya itu dengan cerita bentrokan. Ia mengatakan,

sang buaya tak marah, –cuma menyesal–karena menurut penilaiannya si cicak masih tetap

saja bodoh. Namun dengan mengambil ibarat dari dunia hewan, kekerasan dan kebuasan jadi

demikian tampak penting ketika sebuah pertentangan harus diputuskan.

Mungkinkah itu yang sebenarnya tersimpan di kepala: bahwa konflik antarlembaga negara

hanya selesai karena kekuatan fisik, bukan karena aturan yang sudah ada dan rasionalitas

dalam manajemen pemerintahan? Ataukah metafor yang kini dipakai secara luas itu memang

Page 34: catatan pinggir

menunjukkan sebuah pengakuan bahwa hukum selalu punya dimensi konflik politik? Bahwa

pengertian keadilan sesungguhnya ditentukan melalui sebuah persaingan hegemoni atas

bahasa dan makna?

Apa pun jawabnya, sebuah metafor telah menang. Ia bahkan lepas dari keinginan sang

pemakai pemula. Ia ramai-ramai dipungut, mungkin karena imaji yang muncul dari dunia

hewan itu mengasyikkan seperti sebuah fabel. Tapi bukankah dongeng yang kita sukai bisa

bercerita tentang hasrat dan cemas kita yang tersembunyi?

~Majalah Tempo Edisi Senin, 09 November

Connie November 3, 2008

Posted by anick in Agama, All Posts, Amerika, Kapitalisme, Kebebasan, Kisah, Novel,

Pornografi, Sastra.

trackback

Tubuh bisa membuat getar, tapi juga gentar, seperti lautan.

Saya ingat satu pasase dalam Lady Chatterley’s Lover: perempuan itu mengalami ajaibnya

gairah dalam persetubuhan. Dalam pagutan berahi kekasihnya, ia merasa diri ”laut”. Ia deru

dan debur, samudra dengan gelombang gemuruh yang tak kunjung putus. ”Ah, jauh di

bawah, palung-palung terkuak, bergulung, terbelah….”

Apa yang masuk menyusup ke dalam dirinya ia rasakan kian lama kian dalam. Bertambah

berat empasan, bertambah jauh pula ia jadi segara yang berguncang sampai di sebuah pantai.

Baru di sini deru reda, laut lenyap. ”Ia hilang, ia tak ada, dan ia dilahirkan: seorang

perempuan.”

Saya tak sanggup menerjemahkan seluruh pasase ini. Di sini D.H. Lawrence sungguh piawai:

ia uraikan suasana erotik dalam novelnya dalam kalimat dengan ritme yang naik-turun,

membawa kita masuk ke paduan imaji-imaji yang, seperti gerak laut, tak putus-putus,

berulang-ulang….

Agaknya Lawrence, seperti kita semua, harus mengerahkan seluruh kemampuan bahasa

untuk menggambarkan sesuatu yang tak mungkin tergambarkan: pengalaman tubuh ketika

kata belum siap, gejolak zat-zat badan ketika bahasa belum menemukan pikiran.

Seorang sastrawan memang selalu dirundung oleh bahasa yang ingin ekspresif tapi juga ingin

komunikatif—dua dorongan yang sebenarnya bertolak belakang. Yang pertama dituntut

untuk mengungkapkan langsung apa yang berkecamuk di lubuk kesadaran, yang tak

selamanya jelas dan urut. Yang kedua diminta agar berarti: sesuai dengan kesepakatan sosial

dan membawa hasil.

Lawrence mampu menggabung kedua dorongan itu di bagian yang dikutip tadi, tapi bagi saya

sebagai novel Lady Chatterley’s Lover terasa lebih digerakkan keinginan untuk menyatakan

sebuah pendirian. Kalimatnya lebih komunikatif ketimbang ekspresif. Pertautannya dengan

bahasa (untuk tak menyebut ketaatannya pada pesan dan tema) berbeda dengan misalnya

Page 35: catatan pinggir

Cala Ibi Nukila Amal atau Menggarami Burung Terbang Sitok Srengenge, dua novel yang,

dengan bahasa yang puitik, tak hendak mengubah pandangan kita tentang hal-ihwal.

Lady Chatterley’s Lover memang sebuah kritik sosial; ia hendak meyakinkan kita tentang

muramnya masyarakat Inggris sehabis perang pada 1920-an. ”Zaman kita pada hakikatnya

zaman yang tragis, maka kita menolak untuk menyikapinya dengan tragis,” begitulah novel

ini dimulai. ”Kita ada di tengah puing, kita mulai membangun habitat baru kecil-kecilan,

untuk mendapatkan harap baru sedikit-sedikit.”

Dalam novel itu, puing itu sampai ke pedalaman. Masyarakat terjebak lapisan-lapisan kelas,

dan industrialisasi yang mulai merasuk, juga peran uang, membuatnya lebih buruk.

Kritik novel ini tersirat dalam tokoh Constance Chatterley. Ia kawin dengan Sir Clifford, tuan

tanah dan bangsawan pemilik tambang. Lelaki ini luka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh,

juga impoten, dan hanya menunjukkan kelebihannya bila ia mulai memimpin bisnisnya.

Tampaknya perang, industrialisasi, kapitalisme—dan patriarki—menebarkan racunnya dan

membuat hidup perempuan itu, Lady Constance (”Connie”), terpojok. Kesepian, bosan,

hampa, dan tertindas, ia akhirnya menemukan kembali gairah hidup sebagai perempuan

ketika ia disetubuhi Melleors, game keeper Sir Clifford, lelaki yang tinggal menyendiri di

sebuah gubuk di tanah luas itu, mengurusi burung-burung yang esok pagi akan dilepaskan

terbang untuk jadi sasaran tembak sang majikan.

Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Ia memang menghendaki seorang

anak, meskipun percintaannya dengan lelaki kelas bawah itu bukan dimaksudkannya hanya

untuk beroleh keturunan. ”Aku bukan hendak memperalatmu,” bisiknya di tempat tidur.

Mereka saling mencintai. Pada akhirnya Connie meminta cerai dari Sir Clifford, tapi

ditampik. Kisah ini selesai seperti tak selesai: Connie dan Melleors menanti.

Agaknya apa selanjutnya tak penting lagi: protes sudah disampaikan, bahkan dijalani dengan

perbuatan, dan tak seorang pun dihukum. ”Bukan salah perempuan, bukan salah percintaan,

bukan salah seks,” begitulah novel ini bicara. ”Kesalahan itu di sana, di luar sana, dalam sinar

keji cahaya listrik dan gemeretak iblis mesin-mesin. Di sana, di dunia di mana kerakusan

bergerak seperti mesin… dan kerakusan menghasilkan mesin… di sanalah terhampar mala

yang luas itu, siap untuk menghancurkan apa saja yang tak mau menyesuaikan diri. Ia akan

segera menghancurkan hutan, dan bunga kecubung ini tak akan bersemi lagi.”

Dibaca pada awal abad ke-21, protes seperti ini—ketika yang erotik, yang lemah, dan yang

halus dalam diri manusia diancam dunia modern—tak mengejutkan lagi. Bahkan bahasa

Lawrence juga segaris dengan kehendak dunia modern yang ditentangnya, yang serba

mengutamakan pikiran dan hasil, bukan persentuhan yang melibatkan tubuh dalam

pengalaman. Tapi juga ketika dibaca pada awal abad ke-20: Lady Chatterley’s Lover hanya

dianggap karya pornografis. Ditolak di mana-mana, pada 1928, hanya seorang penerbit Italia

yang menerimanya; ia tak begitu paham bahasa Inggris.

Dengan segera novel ini laris dan dikejar-kejar. Yang paling ramai di AS, dengan warisan

puritanisme Kristen yang awet dan semangat kapitalisme yang, seperti digambarkan

Lawrence, ”rakus… seperti mesin” itu, yang melihat tubuh perlu berdisiplin baja dan gairah

seks sebagai ”dosa”, yakni energi yang tak produktif.

Page 36: catatan pinggir

Maka pemilik toko buku yang menjual Lady Chatterley’s Lover pun dibui, kantor pos

menolak mengirimkan novel itu, dan Presiden Eisenhower menganggapnya bacaan yang

”dreadful”. Baru pada akhir 1950-an pengadilan menganggap karya itu tak pornografis.

Anehkah bila bertemu agama dan kapitalisme, juga komunisme, yang rezim-rezimnya

melarang Lady Chatterley’s Lover? Tidak. Bagi mereka, tubuh kita hanya penting sepanjang

bisa dibuat berguna bagi yang mahakuasa, apa pun namanya.[]

~Majalah Tempo Edisi 37/XXXVII 03 November 2008~

Naskah ini pernah dimuat di Tempo edisi 26 Maret 2006

D.L.L. Agustus 21, 2006

Posted by anick in All Posts, Kisah, Politik, Sejarah.

trackback

Teks bersejarah itu sederet kata yang bergegas. Tak panjang. Seluruhnya terekam di atas

secarik kertas separuh folio. Kita mengingatnya kembali saban 17 Agustus, sebab hampir di

tiap hari kemerdekaan itu koran dan majalah memuat kembali foto dokumen ringkas itu, atau

orang mereproduksinya dalam ukuran besar pada papan untuk diarak dalam pawai: ”Kami,

bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia….”

Huruf-huruf itu jelas tulisan tangan Bung Karno yang kita kenal coraknya dari dokumen-

dokumen lain. Mungkin kalimatnya diguratkan dengan sebuah pena yang kasar. Ada coretan

dan perbaikan lebih di satu tempat.

Gugupkah ia waktu menuliskannya? Kita tak tahu. Yang kita hanya dapat bayangkan: sebuah

suasana tegang. Di satu ruangan di kota yang masih dikuasai tentara Jepang, Bung Karno dan

Bung Hatta dikelilingi para pemuda yang tak sabar. Semua telah mendengar dari radio

rahasia bahwa tiga hari yang lalu, 14 Agustus 1945, kemaharajaan Nippon telah kalah perang.

Maharaja Hirohito telah menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Artinya

kekuasaan itu ambruk dan tak punya daya—apalagi hak—untuk mengklaim bahwa ia

berdaulat di Indonesia. Jika Jepang sudah takluk, itulah saat yang baik untuk merebut posisi.

Kekuasaan harus dipindahtangankan. Kapan lagi? Ayo, Bung, ayo! Sekarang juga kita

merdeka!

Bung Karno pun menulis. Waktu sempit. Keadaan mendesak. Para pemuda mendesak.

Momentum tak boleh dilepaskan.

Tapi setelah itu, apa? Setelah kekuasaan berada di tangan ”bangsa Indonesia”, apa yang akan

dilakukan? Teks itu tak sempat menjelaskan. ”…mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l.,

akan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.”

Malam itu, dan 61 tahun kemudian, kita tahu bahwa bangsa ini harus merdeka; sudah

berpuluh-puluh tahun ia ingin bebas dari penjajahan. Tapi agaknya tak ada yang tahu

bagaimana caranya menyelenggarakan pelbagai hal ”dengan cara seksama” dan ”dalam

tempo sesingkat-singkatnya”. Apa pula yang dimaksud dengan kata ”d.l.l.” di dalam kalimat

itu? Apa saja yang tergolong ”dan lain-lain”?

Page 37: catatan pinggir

Tak ada jawab. Mungkin belum perlu ada jawab. Keputusan untuk memerdekakan diri malam

itu tidak berasumsi bahwa segalanya sudah tergambar persis, tinggal dikerjakan. Keputusan

itu sadar, mungkin dengan gemetar, bahwa semua dalam keadaan serba mungkin—dan

betapa mustahilnya mengelakkan momen kehidupan yang tak hanya terbuka untuk pelbagai

kesempatan, tapi juga untuk pelbagai bencana. Keputusan malam itu bukan aplikasi sebuah

program.

Dalam arti itu ia cermin kebebasan bertindak, keberanian, juga kerendahan hati. Sebab di

situlah para pendiri Republik, yang tak 100 persen tahu apa yang akan terjadi, seraya

mengakui ketaktahuan itu melompat masuk ke dalam sejarah. Jika ada di antara mereka yang

seperti Hamlet, yang bimbang dan tak henti-hentinya merenung, akhirnya toh berkesimpulan,

bahwa berlarut-larut dalam pikiran, ”sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat

kita pengecut,” seperti kata pangeran Denmark dalam lakon Shakespeare itu.

Di dalam huruf ”d.l.l.” itulah tampak revolusi Indonesia bukanlah sebuah revolusi Leninis. Ia

tak bertolak dari teori. Ia juga bukan seperti Revolusi Iran, yang berangkat dari ajar-an dan

petuah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika proklamasi itu bisa dianggap bagian penting dari

revolusi kita, ia ekspresi sebuah pragmatisme yang lebih radikal ketimbang Revolusi

Amerika. Pada tanggal 17 Agustus itu, para pendiri Republik kita menampik ”teori penonton”

tentang pengetahuan.

Teori itu, kata pelopor pragmatisme modern, Dewey, memanjakan ilusi ini: menganggap

manusia, dari tempat duduknya di ketinggian, bisa menentukan kebenaran abadi tentang

perikehidupannya. Padahal yang ”benar” tak dapat dipisahkan dari laku. Bagi kaum

pragmatis, hanya dengan laku kita dapat menemukan pijakan pengetahuan tentang dunia.

”D.l.l” adalah pengakuan, jika ”kemer-de-ka-an” adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana

yang belum selesai. Tapi lebih penting lagi naskah proklamasi itu seluruhnya mengisya-

ratkan, bahwa tak ada wacana yang bisa selesai dan memadai merangkum hal-ihwal.

Kita baca: tak ada pelaku atau subyek dalam kalimat ”akan diselenggarakan dengan cara

seksama…” itu. Siapa yang akan menyelenggarakan? Mungkinkah Soekarno-Hatta, seba-gai

dua orang yang menuliskan teks itu ”atas nama bangsa Indonesia”? Bagaimana hal itu terjadi,

sementara ”bangsa Indonesia” belum memilih mereka? Dan bagaimana di malam dan pagi

yang tegang itu, ketika dunia sedang berubah dahsyat begitu Perang Dunia II berhenti, orang

merumuskan apa itu ”bangsa Indonesia”?

Pada mulanya adalah logos, kata Alkitab. Tapi hari itu bukan: pada mulanya bukanlah sabda,

bukan ”kebenaran”, melainkan tindakan. Tak berarti proklamasi itu sebuah loncatan maut

dari kekosongan penuh, tanpa bayangan apa pun mengenai tujuan.

Pada bulan sebelumnya sudah ada rapat-rapat panitia persiapan kemerdekaan. Tanggal 1 Juli

1945 Bung Karno merangkum kesepakatan mereka yang ikut dalam rapat persiapan itu ke

dalam sebuah kata: ”Pancasila”. Tapi ”Pancasila” pun, sebagai hasil rembukan, mengandung

apa yang kemudian tersirat dalam huruf ”d.l.l” itu: tak ada asas yang layak meniadakan asas

yang lain, sebab di dalam kehidupan bersama yang lebih bebas dan lebih adil, selalu ada

”dan-lain-lain” yang muncul, tak terduga-duga, terkadang terasa ganjil. Tak ada wacana yang

tak akan digugat oleh mereka yang tak tertampung.…

Page 38: catatan pinggir

Teks proklamasi itu sederet kata yang bergegas. Tapi keadaan genting yang melahirkannya

mengingatkan: hidup, juga hidup sebuah bangsa, terdiri dari saat-saat yang tak pernah

sempurna. Hidup selalu mengandung ”dan lain-lain” yang belum tercatat. Sebab itu kita harus

terbuka, berseru kepada Republik ini, ”bangunlah jiwanya, bangunlah jiwanya….”

~Majalah Tempo Edisi. 26, 21 – 27 Agustus 2006~

Da Vinci Februari 18, 2008

Posted by anick in Agama, All Posts, Sejarah, Seni, Tokoh, Tuhan.

trackback

Sepotong catatan Leonardo da Vinci, di akhir abad ke-15:

”…manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang berharap mendapatkan musim semi

baru, musim panas baru, dan bulan-bulan yang baru selamanya… tak tahu bahwa dalam

kerinduannya itulah terbawa kuman kematiannya sendiri.”

Sebuah pandangan hidup yang muram mungkin, tapi Da Vinci tak berhenti di situ. Baginya,

kita tak harus menyesali, justru harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh harapan yang tak

pernah sampai. ”Kerinduan” itulah, kata Da Vinci, ”sifat dasar kehidupan,” dan ”Manusia

adalah sebuah tauladan bagi dunia.”

Ya, pelukis Italia itu menyebut manusia sebagai ”tauladan”, sebagaimana laiknya seorang

seniman zaman Renaissance. Dan ia menulis ”Manusia” dengan ”M”, bukan ”m”. Kita tahu

abad ke-15 di Italia adalah abad narsisme: manusia memandang ke dunia, dan yang ia

temukan wajahnya sendiri, makhluk yang mengagumkan.

Di zaman itulah teknik melukis dengan perspektif dikembangkan. Di kanvas, orang tak lagi

menggambar gunung yang jauh terletak rapat dengan pohon yang dekat. Ruang disusun jadi

stabil dengan ukuran yang pasti, berdasarkan posisi pandang sang pelukis. Dunia seakan-akan

dihadirkan kembali (”re-presentasi”), tapi sebenarnya dibentuk. Ia dikonstruksikan oleh sudut

pandang si empunya mata. Manusialah yang mengendalikan costruzione legittima. Sejak itu,

seni rupa tak lagi berpusat dalam Tuhan, melainkan dalam manusia. Manusia, dengan ”M”,

adalah ukuran segala-galanya.

Itu juga pandangan Michel Angelo. Pelukis ini pernah menulis sepotong sajak; di dalamnya

ia katakan bahwa Tuhan hanya menampakkan diri lewat ”cadarnya yang indah”, yakni

manusia. Maka ketika Paus memesannya untuk menghiasi Kapela Sistina di Roma dengan

satu karya fresko, ia gambarkan Tuhan di langit-langit bangunan itu dengan paras seorang tua

yang gagah.

Kita bisa menyangka, di situ Michel Angelo (dan juga Sri Paus) lupa akan satu adegan dalam

Alkitab, di hari ketika Musa dan Bani Israel datang ke kaki Gunung Sinai ”untuk menjumpai

Allah”. Tapi gunung itu sepenuhnya ditutupi asap; Tuhan ”turun ke atasnya dalam api”.

Seluruh gundukan bumi itu gemetar. Bunyi sangkakala terdengar, kian lama kian keras.

Syahdan, Allah pun memanggil Musa ke puncak. Ia peringatkan agar manusia jangan coba

menembus asap untuk mendapatkan dan melihat-Nya. Di saat itu juga turunlah firman:

Page 39: catatan pinggir

”Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau

yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air….”

Sejak itu haramlah patung atau gambar, apalagi yang disembah. Tapi tak mudah firman Allah

itu dipatuhi. Bahkan ketika Musa masih di puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan

turun, Bani Israel membuat sebuah patung lembu emas yang mereka sembah sebagai

pengganti Tuhan yang tak kunjung tampak. Tak ayal, Musa pun turun dan menjatuhkan

hukuman yang mengerikan: mereka yang ”memihak kepada Tuhan” harus membunuh

saudara, teman, dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam Keluaran 32: 28: ”Pada hari itu

tewaslah kira-kira tiga ribu orang….”

Sejarah ikonoklasme—yang kelak akan dipraktekkan dengan garang ketika orang-orang

Kristen dan Islam menghancurkan patung dan gambar sebagai berhala—mendapatkan

momen dramatisnya di kaki Sinai hari itu.

Tapi apa sebenarnya yang dilarang: membuat patung dan gambar, atau membuat berhala

untuk disembah? Dalam sejarah Gereja, Yesus dan Maria dan bahkan Allah bisa dilukis, tapi

gambar-gambar itu tak diperlakukan sebagai sesembahan. Seni Michel Angelo dan Da Vinci

tak dilihat sebagai ikhtiar mimetik, usaha meniru sang sosok yang dilukis. Mereka tak

diperlakukan sebagai re-presentasi, melainkan sebagai ekspresi.

Ekspresi itu tentu saja ekspresi manusia di suatu masa, di suatu tempat. Apalagi di zaman

ketika, seperti kata Leonardo, ”Manusia” hadir sebagai tauladan, juga dalam imajinasi.

Itu sebabnya ketika Da Vinci ingin menghidupkan suasana adegan Perjamuan Terakhir dalam

Injil, ia—yang hidup beratus-ratus tahun setelah peristiwa di Yerusalem itu—menampilkan

Al Masih dengan menggunakan seorang bangsawan dari keluarga Kardinal Mortaro sebagai

model. Latar dan alam benda yang tergambar dengan tempera itu bertaut erat bukan dengan

kemelaratan para rasul di Palestina, tapi dengan zaman Italia abad ke-15: gelas anggur, pisau,

garpu, dan keramik cantik terletak di taplak meja yang bersulam. Semuanya mirip benda

yang digunakan para penghuni biara Santa Maria delle Grazie di Milano, tempat lukisan itu

muncul di dinding batu.

Memang ada ambiguitas di sini: kekekalan itu disampaikan dalam kekinian—satu hal yang

juga dilakukan oleh Emil Nolde, pelukis ekspresionis Jerman di awal abad ke-20, yang

melukis Perjamuan Terakhir dengan goresan kuas yang kasar, warna merah yang pedih, garis

yang bersahaja, dan suasana persatuan penuh tekad seperti dalam poster perjuangan buruh.

Leonardo—yang melukis adegan Injil di biara itu bukan atas pesanan Gereja, melainkan

penguasa Milano, Ludovico Sforza—tentu juga sadar bahwa karyanya hidup dalam zaman

yang disebut Walter Benjamin sebagai masa ”pasca-aura”. Ia, yang juga seorang ilmuwan,

tak hendak membuat berhala, tak ingin membuat aikon.

Beda antara berhala (l’idole) dan aikon (l’icône) seperti yang dipaparkan Jean-Luc Marion,

filosof Katolik dari Prancis itu, pada dasarnya beda cara bersikap terhadap Tuhan. Berhala

adalah ketika tatapan dan konsep manusia merasa mampu merumuskan-Nya. Aikon adalah

peristiwa ketika Allah memberikan diri-Nya sebagai karunia cahaya yang demikian

berlimpah, hingga manusia tak mampu melihat-Nya, dan yang terasa adalah gelap—ya, gelap

yang gemilang.

Page 40: catatan pinggir

Di situlah manusia ada dalam kerinduannya yang tak sampai. Leonardo telah mencatat hal itu

pada suatu hari di abad ke-15.

~Majalah Tempo, Edisi. 52/XXXVI/18 – 24 Februari 2008~

Daging Agustus 16, 2010

Posted by anick in Agama, All Posts, Pepeling.

trackback

Puasa: perut yang harus dibiarkan lapar, tenggorokan yang menahan haus selama 12 jam, alat

kelamin yang tak tersentuh syahwat. Demikianlah yang jasmani dikendalikan: daging harus

dituntun oleh roh. Kalau tidak: dosa.

Maka dari waktu ke waktu, seraya menolak yang jasmani, kita dianjurkan hanya menerima

yang ”rohani”. Sejak pukul 4 dini hari, masjid dan surau penuh suara orang menyebut Tuhan,

menganjurkan ibadat, meneguhkan iman, menjalankan syariat…. Kita dilengkapi dengan

banyak penangkal: kita harus bisa menolak gado-gado, soto, video porno.

Tapi bisakah daging diasingkan? Bisakah tubuh dilihat terpisah? Tampaknya ada yang luput

dilihat di sini. Justru pada bulan Ramadan, yang jasmani diam-diam menyiapkan resistansi.

Mari datang ke pusat-pusat perbelanjaan mewah dan angkringan sederhana di kaki lima. Kita

akan melihat semarak pelbagai penganan lezat yang tak lazim sehari-hari. Ramadan telah jadi

sebuah paradoks: ketika orang diharuskan menahan nafsu, kreativitas menyiapkan hidangan

justru meningkat; omzet perdagangan makanan naik sampai 60 persen. Orang ramai

berbelanja untuk membuat meriah meja berbuka puasa dan sahur mereka.

Ramadan agaknya telah jadi sebuah periode ketika orang berusaha memperoleh kompensasi

istimewa. Tampaknya kuat anggapan bahwa pengekangan atas tubuh kita selama 30 hari itu

adalah sebuah deprivasi, sebuah perenggutan dari hidup yang normal, dan kita, yang merasa

harus menanggungkan itu, menginginkan imbalan yang memuaskan.

Di atas semua itu, setidaknya di Indonesia, orang-orang yang menganggap puasa sebagai

deprivasi yang berat akan bersikap seakan-akan anak manja atau si korban yang dendam:

mereka minta diperlakukan dengan kelas tersendiri. ”Hormatilah orang yang berpuasa!” seru

pengumuman di mana-mana. Maksudnya: ”jangan menggoda atau merayu orang yang

berpuasa untuk batal”.

Barangkali berpuasa telah berubah: menahan haus dan lapar tidak lagi ditandai tekad

melawan godaan, tapi sikap ketakutan akan godaan. Pada bulan ini orang-orang yang

mengatakan bahwa niat mereka berpuasa adalah untuk Allah (dengan kata lain: ikhlas)

ternyata juga orang-orang yang merasa berhak mengklaim proteksi dari kekuatan di luar diri

mereka: Negara.

Maka rumah-rumah hiburan malam pun diharuskan tutup sepanjang bulan. Bahkan panti pijat

yang biasanya dipergunakan keluarga (termasuk anak-anak) tak boleh buka. Tak urung, para

juru pijat, umumnya ibu-ibu yang bekerja untuk menambah nafkah keluarga, berkurang

pendapatan. Di Bekasi, para pemilik dan buruh industri entertainment kecil atau menengah

Page 41: catatan pinggir

mengeluh (ya, mereka akhirnya berani mengeluh) bahwa setiap tahun nafkah mereka putus

selama 30 hari. Padahal mereka juga harus ikut mengumpulkan pendapatan lebih untuk

bersenang-senang pada hari Lebaran.

Dengan kata lain, puasa telah jadi semacam privilese. Orang-orang yang berpuasa bukan saja

harus dihormati secara istimewa, tapi juga orang lain harus bersedia berkorban untuk mereka.

Persoalannya akan berbeda jika kita menganggap berpuasa dengan sikap lain: puasa bukan

sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan

berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang

menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai reduksi agresivitas menghadapi

dunia—agresivitas yang meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.

Dalam puasa reduktif itu, kita sebenarnya melanjutkan pesan Nabi untuk berhenti makan

sebelum kita kenyang dan juga pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: bumi

cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan tiap orang.

Puasa yang macam itu tentu saja tak akan diakhiri dengan kemenangan yang dirayakan

dengan Idul Fitri yang pongah. Puasa yang menampik keserakahan dan agresivitas tak akan

meneriakkan kemenangan, terutama kemenangan diriku sebagai subyek yang perkasa yang

telah mengalahkan tubuh sendiri. Bahkan dalam puasa yang seperti itu, ”aku”, seperti

dikatakan Chairil Anwar di pintu Tuhan, ”hilang bentuk, remuk”.

Tak berarti ”hilang bentuk, remuk” itu menunjukkan wajah manusia yang tertindas dan jadi

asing bagi dirinya sendiri.

Marx memang pernah menganggap, dalam agama (sebagai bentuk alienasi), wujud manusia

hilang: ”semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin sedikit yang ia sisakan

bagi dirinya sendiri….”. Tapi di situ Marx salah. Pada abad ini yang kita saksikan justru

sebaliknya: semakin banyak yang dicurahkan manusia ke Tuhan, semakin menggelembung ia

jadi subyek yang penuh dan perkasa. Dan agresif.

Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang ingin berkuasa.

Kecuali jika puasa membuat kita sadar bahwa kita tak pernah bisa tegak utuh sendiri. Kita,

roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat dunia—meskipun

kesatuan antara roh dan daging itu menyebabkan manusia tak seluruhnya bisa dirumuskan.

Kita ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tuhan—

sebuah variasi dari das Geviert Heidegger. Dalam posisi itu, aku bisa merasakan bumi, langit,

sesama makhluk dan rahmat Tuhan mengasuhku. Dalam posisi itu, aku bisa menghilangkan

ketamakan dan agresivitasku.

Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan kompensasi yang memuaskan buat tubuh

yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadan. Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa

telah direnggutkan, hanya karena mulut tak boleh menelan, lidah tak boleh mencicip. Di situ,

puasa adalah pertemuan kembali dengan tubuh yang sebenarnya lumrah dan patut disyukuri.

Bukan tubuh yang dikurung untuk diwaspadai.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Agustus 2010~

Page 42: catatan pinggir

Dan Agustus 7, 2006

Posted by anick in All Posts, Kisah, Tokoh.

trackback

Empat bulan sebelum meninggal, Dan Lev menjemput saya di tempat saya menginap di

University District, Seattle. Ia masih melangkah gagah pada umur 72. Ia mengenakan jas abu-

abu dan pull-over putih. Hari itu di musim semi, Seattle agak dingin.

Kami berpelukan. Saya lihat rambutnya menipis dan ia pucat.

Saya ingat sepucuk sur-el yang ia kirim di pekan ketiga Januari 2006: ”Baru saja, sesudah

biopsi, ternyata saya kena kanker paru-paru. Belum terang apakah para dokter bisa berbuat

apa-apa…. Akibatnya, saya nggak bisa ke Indonesia tahun ini. Macam-macamlah.”

Seakan-akan kanker itu gangguan yang sepele.… Tipikal Dan: ia tak hendak membuat

persoalannya dramatis. Hari itu dibawanya saya ke sebuah restoran dim-sum di International

District.

Sambil menyetir mobilnya memasuki 24th Avenue East ia mengatakan kemo- dan radioterapi

pada paru-parunya telah dihentikan. Tumornya hanya susut sedikit. Dokter bilang—katanya,

sambil terus memandang ke jalan di depannya—ia akan hidup mungkin hanya enam bulan

sampai setahun lagi. Ia ucapkan itu seperti ia mengulang ramalan cuaca.

Ia tak ingin siapa pun sedih. Terutama hari itu: ia bebas dari kemo- dan radioterapi. Dalam

salah satu surat-elnya ia memang menyebut: ”Kemo itu racun memang… campuran radiasi

semacam penyiksaan yang mungkin bisa saja… dalam imajinasi Bush cs.” Ia masih melucu–

seraya menyodok Presiden Amerika yang tak pernah disukainya itu. Dan saya pura-pura tak

murung.

Di restoran yang tak saya ingat namanya itu ia makan tujuh potong dim-sum tanpa sambal.

Ada yang terasa sakit jika ia menelan yang pedas, katanya. Saya terdiam mendengar itu. Tapi

ia tak melanjutkan. Ia hanya bicara tentang topik yang disukainya akhir-akhir ini: lahirnya

sebuah generasi muda Indonesia yang bagi-nya mengagumkan.

Ia menyebut dua kelompok: pertama, mereka yang bergerak di sekitar ”Islam liberal” dalam

berbagai variasinya, yakni anak-anak muda yang seraya berangkat dari latar sejarah Indonesia

telah membuka cakrawala pemikiran yang tak terjadi di tempat lain di Dunia Ketiga. Kedua,

yang ia kenal lebih dekat, ”anak-anak PSHK”—Pusat Studi Hukum & Kebijakan—yang

bekerja di sebuah kantor di wilayah Kuningan, Jakarta.

Sejak 1999, tiap kali Dan ke Jakarta, ia akan berjam-jam di situ, berdiskusi, menolong

mahasiswa yang perlu dibantu, minum kopi tubruk, merokok, mendengarkan. Bagi Dan

mereka ini harapan masa depan: mereka bukan saja penelaah kehidupan hukum di Indonesia,

tapi juga aktivis yang memperjuangkan perbaikan peradilan seraya menyiarkan informasi

tentang hukum tak henti-hentinya, antara lain dalam satu situs di internet. Bagi Dan,

merekalah contoh bahwa tak semua orang Indonesia menyerah kepada air busuk dunia

yudikatif Indonesia selama ini, tempat polisi, jaksa, hakim, advokat, sipir bui, dan entah apa

lagi, berkubang dalam uang suap, akal-akalan, dan pemerasan.

Page 43: catatan pinggir

Sambil mendengarkan itu saya sadar: Dan tak pernah bicara tentang dirinya sendiri. Rasanya

ia tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ia menahan rasa sedih dan cemasnya entah di

mana. Ketika beberapa tahun yang lalu Arlene, istrinya yang lembut hati itu, sakit, ia berada

di sampingnya dengan tekun, tapi Dan tak pernah menunjukkan wajah waswas. Seakan-akan

ini juga kewajibannya: membuat hidup orang lain tak muram, sebab kita perlu bekerja untuk

sebuah dunia yang tak jadi gila.

Khususnya ia ingin mengabarkan berita baik tentang Indonesia.

Indonesia, bagi Dan Lev, bukanlah sebuah karier akademis. Seperti banyak ”Indonesianis”,

Dan begitu dekat dengan negeri ini; suka-duka yang terjadi di sini seakan-akan ikut

mempengaruhi pandangan tentang diri sendiri dan tentang dunia. Dengan kata lain, Indonesia

bukan hanya satu persoalan ”pengetahuan”.

Ia tetap seorang ilmuwan yang tangguh dari sebuah universitas Amerika. Kelebihannya

adalah, sebagaimana dikatakan sahabatnya, Benedict Anderson, pengarang The Imagined

Communities yang termasyhur itu, kepada The Seattle Times, Dan mau go down the

trenches, ”turun ke dalam parit-parit pergulatan”, bersama orang seperti Yap Thiam Hien,

Adnan Buyung Nasution, Marsillam Simanjuntak, Nursyahbani Kacasungkana, dan sederet

nama lain yang nekat bekerja untuk sebuah dunia yang tak jadi gila—khususnya untuk

sebuah Indonesia di mana hukum tegak dan hukum adil.

Dan tentu saja sadar ia bukan seorang Indonesia. Yang mengagumkan, ia bisa mengambil

jarak yang pas. Ia tak berteriak-teriak di jalan dan di media massa. Tapi, karena ia ikut

tergerak élan perjuangan di negeri ini, secara tak sengaja ia menularkan semangat itu

kembali. Ia tak melihat Indonesia seperti sepetak kelam.

Ia, penelaah sejarah politik dan hukum Indonesia modern, terpesona akan suasana demokratis

1950-an, ketika perdebatan tentang hal-hal yang fundamental berlangsung matang dan

cemerlang, ketika perbedaan sikap politik tak menyebabkan bunuh-membunuh dan bui-

membui. Salah seorang dari PSHK yang dekat dengannya mengatakan sesuatu yang penting:

dengan mengacu ke tahun 1950-an, Dan sebenarnya menunjukkan bahwa cara penyelesaian

konflik yang baik tak perlu dicari dari pengalaman negeri lain. Orang Indonesia sendiri

pernah melakukannya.

Ini tentu karena Dan punya kelebihan: ia kenal pribadi para pejuang demokrasi Indonesia

yang lahir di awal abad ke-20—yang aktif di tahun 1950-an—dan ia juga bergaul dengan

mereka yang kini belum berumur 40.

Hanya tiga hari setelah ia meninggal, Selasa 1 Augustus, dengan cepat sekitar dua ratus

sahabatnya berkumpul di sebuah auditorium Hotel Santika, Jakarta. Di sudut kiri, sepasang

pemain musik memainkan lagu duka pada piano dan biola. Di sudut kanan dipasang layar, di

mana diproyeksikan foto-fotonya, juga rekaman video ketika ia berceramah, dalam bahasa

Indonesia yang amat bagus, tentang sejarah pemikiran hukum di Indonesia.

Seakan-akan ia ada di ruang itu….

~Majalah Tempo Edisi. 24, 07 – 13 Agustus 2006~

Page 44: catatan pinggir

Dari Ambon dan Gedung Hangus Agustus 14, 2006

Posted by anick in Agama, All Posts, Bencana, Elegi, Fundamentalisme, Islam, Kekerasan,

Kisah, Multikulturalisme, Politik, Tuhan.

trackback

Ambon masih dihuni gedung-gedung hangus. Di kiri-kanan jalan: reruntukan suram. Di kota

Maluku ini orang masih bisa bicara dengan rinci tentang kebengisan panjang yang berawal

pada tahun 1999 dan berakhir menjelang 2005 itu: rumah mereka yang hancur dibakar,

gereja, masjid, dan universitas yang dibumihanguskan, bom yang dirakit dan diledakkan,

speed boat yang diserang, preman dan laskar dari luar yang ikut menyulut kebencian, militer

dan polisi yang menghasut, pengungsi yang mungkin tak kembali, ratusan saudara dan teman

yang mati dibantai. Konflik antara penduduk muslim dan Kristen Maluku itu berakhir dengan

sekitar 13 ribu orang tewas; bagaimana orang akan melupakannya?

Yang menakjubkan ialah bahwa pada bulan Juli 2006 itu kota dan penghuninya telah tampak

kembali ramah dan dengan kehalusan yang khas, tak jarang riang—seperti laiknya orang

Ambon. Kehidupan sedang pulih dan seakan-akan ada salam yang kemarin bungkam:

bandara itu kelihatan baru dan lebih bagus ketimbang bandara Surakarta, lebih rapi

ketimbang Surabaya. Di lobi Hotel ”Amans”, tempat para tamu bisa berhubungan dengan

seluruh dunia melalui koneksi Internet wireless, hari itu orang menyambut gadis-gadis

Maluku peserta kontes kecantikan. Dan jalan padat, dan pasar ramai.

Tentu saja saya amat sebentar singgah; saya hanya tamu. Saya tak akan tahu persis jika ada

trauma, dendam, dan perpanjangan curiga yang menyelinap di lorong-lorong. Namun,

rasanya ada yang meyakinkan bila di sepanjang trotoar yang sesak lagu-lagu Maluku populer

mengalun keras dari kedai-kedai CD, perempuan dengan atau tanpa jilbab duduk

bercengkerama di warung-warung rujak orang Kristen di sepanjang pantai, dan pada hari

kapal Lambelu merapat, pelabuhan hibuk oleh pelbagai manusia. Di kakilima di seberang

kantor Firma Abdullah Alie (famili Alie adalah salah satu dari keluarga keturunan Cina

muslim yang hidup di Maluku mungkin sejak abad ke-19) ada penjual koran; di kiosnya

tampak majalah Playboy terbaru dipajang. Agak jauh dari sana, Pasar Mardika penuh dengan

warna: deretan tomat merekah merah, jeruk purut berbutir-butir hijau, sagu di kantong plastik

yang kuning, daging ikan asap secokelat kayu manis.

Di perjalanan sepanjang teluk saya dengar seorang sopir berkata: ”Kita orang bodoh, mau

dibikin baku bunuh.” Ia tentu saja bicara tentang perang saudara yang mengerikan itu.

Ia agaknya tahu sebagaimana dunia tahu, di sini Tuhan pernah disebut di kedua kubu dengan

keyakinan yang berlumuran darah, untuk sebab yang tak jelas, mungkin bagian dari cara

orang di lapisan atas menegakkan posisi, mungkin karena sejumlah preman memperebutkan

lahan pemerasan. Saya tak pasti bersedihkah sopir itu atau mencemooh. Tapi pada akhirnya

terucap kesadaran itu—atau mungkin rasa letih yang tak bisa lagi jadi kemarahan. Kini orang

kembali hidup dari tepi jalan bersama: di perdagangan kecil, di percakapan kecil, di

perbuatan praktis dan persahabatan yang belum sepenuhnya hancur. Mereka menambal dan

menyulam hidup, menyusun rumah dari puing, membalsami luka.

Saya jatuh hati kepada kota ini. Tapi bukan semata-mata karena ia dirias pohon hijau,

didampingi teluk, dilengkapi bukit.

Page 45: catatan pinggir

…no one exists alone;

Hunger allows no choice

To the citizen or the police;

We must love one another or die.

— W.H. Auden

Ada sesuatu yang akhirnya bersuara dari dalam tragedi itu, ”Kita mesti saling mencintai, atau

mati.”

”Cinta” mungkin kata yang terlampau menggelembung. Tapi apa pilihan sebaliknya dari

”mati”?

Sajak Auden itu, September 1, 1939, ditulis di sebuah sudut di 42nd Street di New York,

ketika dunia dihantui sebuah perang besar. Kini baiklah kita bayangkan sang penyair tak

berada di New York, tapi di Ambon—atau di sebuah sudut Indonesia—ketika Republik

terancam ambruk oleh perang-perang saudara lokal seperti yang terjadi di Maluku itu. Ia

mungkin akan juga merasa bahwa ”harapan-harapan yang pintar habis”. Ia mungkin akan

sadar tentang ”sebuah dasawarsa yang culas dan nista”, ketika gelombang marah dan

ketakutan berpusar, ketika ”bau kematian yang tak bisa diucapkan” mengusik malam.

Tapi, seperti halnya di Ambon, hidup bisa menebus dirinya sendiri: selalu ada sebuah

alternatif yang bisa dibangun ketika ”harapan-harapan yang pintar habis”. Di akhir sajaknya

Auden bertanya: bolehkah ia, seperti mereka yang lain, yang terbentuk dari ”cinta dan debu”,

yang dikepung oleh putus-asa yang sama, menunjukkan ada cahaya yang meneguhkan?

Pertanyaan itu memang ragu atau rendah hati. Tapi harapan bukan sesuatu yang mustahil.

Sajak itu menyebut cercah sinar yang ironis (”ironic flash of lights”) yang tampak bagai titik-

titik dalam gelap, tatkala malam tak menawarkan perlindungan.

Kata ”ironi” penting di situ. Konon kata ini datang dari bahasa Yunani, eirôneia, yang berarti

”sikap berpura-pura tak tahu”. Di dalamnya ada jarak, bahkan langkah berbalik

membelakangi sikap ”aku-tahu” yang yakin.

Auden menulis sajak itu pada sebuah masa ketika ”pencakar-pencakar langit yang buta”

berdiri tegak dan dengan tubuh jangkung mereka memaklumkan ”kekuatan Manusia

Kolektif”.

…blind skyscrapers use

Their full height to proclaim

The strength of Collective Man,

Itulah masa ketika pelbagai paham totaliter berkibar-kibar. Itulah masa ketika tiap bahasa

memuntahkan dalih yang angkuh dan penuh persaingan. Seperti di zaman ini: ketika

”manusia kolektif” digalakkan oleh menara-menara pengeras suara, ketika agama yang

Page 46: catatan pinggir

seharusnya menumbuhkan kerendah-hatian justru jadi dalih bagi sikap ”aku-yang-tahu-dan-

benar-dan-suci”, ketika iman berangsur-angsur berubah jadi identitas sosial dan ”umat”—

sebuah sosok manusia kolektif—jadi demikian penting, lebih penting ketimbang kebenaran.

Ironi menunjukkan, sebenarnya ada yang tak pas dalam posisi seperti itu. Dengan mengambil

jarak, kita akan menemukan bahwa tiap identitas sosial sebenarnya tak pernah siap

dirumuskan. ”Umat Islam” atau ”umat Kristen” dapat berarti macam-macam, sebab di

dalamnya ada perbedaan-perbedaan yang tak hendak diakui. Di dalam tiap pembentukan

identitas sosial, juga ketika kita bicara ”umat”, sebenarnya terkandung represi.

Kekerasan sudah berbenih sejak represi itu: pada gilirannya, yang dianggap tak sesuai dengan

”kami” yang kolektif akan dilenyapkan. Di Ambon, 27 April 2001, Radio ”Suara Perjuangan

Muslim Maluku” dikutip menyiarkan peringatan ini: ”Jika masih terdapatlah di antara orang

muslim yang ingin berbicara tentang rekonsiliasi, bunuhlah dia!” Di wilayah Kudamati, dua

kelompok Kristen saling bermusuhan, saling menyerang, dan rumah-rumah dibakar.

Mungkin itu sebabnya tiap identitas sosial mengandung luka, dan sebab itu retak. Bahkan

identitas itu dicoba dibentuk justru karena retakan-retakan itu. Pada saat yang sama, ia

merumuskan diri atau dirumuskan, menamai diri atau dinamai, oleh sebuah bahasa—yakni

bahasa yang tak ia bangun sendirian. Ia memasuki sebuah konvensi. Ia pun bergabung ke

dalam sebuah sistem; sebenarnya ia hanya sebuah penanda. Tak ada yang secara utuh dan

tetap hadir sebagai sesuatu yang ditandainya (apa sebenarnya yang disebut ”umat”?).

Maknanya hanya muncul ketika ia disandingkan dengan identitas sosial lain dan diberi batas

oleh identitas lain itu. Ia berbeda, tentu, dari yang-lain, tapi karena berada dalam sebuah

sistem pemaknaan, ia tak sepenuhnya tertutup; ia tak secara radikal berbeda dari yang-lain.

Bagaimana mungkin ia bisa meniadakan yang-lain?

”Kita mesti saling mencintai, atau mati,” tulis Auden.

Mungkin ”mencintai” bukan kata yang menggelembung. ”Mencintai” berarti terpesona

kepada yang-beda, menyentuh apa yang terbatas dalam diri sendiri pada saat bersua dengan

yang-lain, dan sadar bahwa bahasa tak bisa menangkap apa yang ada dalam diriku dan yang-

lain itu. Dalam kalimat Auden, ”Each language pours its vain, competitive excuse.”

”Mencintai” adalah sebuah laku sederhana.

***

Saya pernah menempuh laut dari Pulau Buru ke Ambon di atas sebuah kapal kecil yang

disebut Landing Craft Material pada tahun 1969. Ombak mengguncang hampir selama 11

jam di dek sempit yang pengap bau minyak kayuputih. Pada akhir Juli 2006 saya kembali

menempuh laut itu, dengan ”kapal cepat” yang lancar selama sekitar tiga jam.

Rantau hampir tak pernah tak terjangkau. Berada di Maluku kita akan menyadari itu dan

menyadari apa arti rantau: tempat yang jauh dari rumah, tapi tak sama sekali asing. Bahasa

Melayu menyebut negeri lain sebagai ”seberang”.

Dengan demikian laut mempunyai dua sisi yang bertentangan, tapi juga bertaut: sebuah

pemisah dan juga perangkai, sebuah antara dan sebuah lokus tersendiri. Ia penuh suspens, ia

memukau.

Page 47: catatan pinggir

Dalam salah satu puisinya yang terkenal, Cerita Buat Dien Tamaela, Chairil Anwar

menghadirkan satu suara sosok mithologis dari Maluku—kita tak tahu persisnya dari mana—

yang menyebut diri, ”Beta Pattirajawane”. Suaranya gemuruh; ia dengan agung

memaklumkan, bahwa ketika ia lahir, orang membawakan kepadanya ”dayung dan sampan”.

Dan ia pun mengajak:

Mari menari!

Mari beria!

Mari berlupa!

Dengan kata lain, laut menandai petualangan yang gairah, kebebasan untuk lupa, kepergian

dari rumah. Terkadang laut adalah zona di antara rumah dan rantau, sebuah transito.

Terkadang ia rantau itu sendiri. Laut tak pernah kosong: ia sumber hidup dan perangkai

perniagaan, perang, pengungsian, dan peradaban.

Dengan itulah terjadi sebuah rumah baru, rumah bukan sebagai tempat asal yang tertutup,

melainkan yang tumbuh justru karena pertemuan dengan yang-beda dan tak disangka-sangka.

Saya ingat apa yang dikatakan Heidegger (yang berbicara tentang arus Sungai Danube yang

disebut dalam sajak Hölderlein, der Ister): ”Pulang…adalah sebuah transit melalui ke-

berbeda-an”.

Mungkin itulah Indonesia, mungkin itulah takdirnya: tempat kita pulang, juga serangkaian

rantau, sebuah tempat yang dijelang tapi juga rumah yang meriah dan rumit dalam

kebhinekaan.

Jakarta, 8 Agustus 2006.

~Majalah Tempo Edisi. 25, 14 – 20 Agustus 2006~

Dari Sebuah Jerit di Jembatan Desember 26, 2005

Posted by anick in Agama, All Posts, Kisah, Revolusi, Sejarah, Tokoh.

trackback

Lukisan yang dicuri dari museum di Oslo di tahun 2004 itu tak akan mudah dilupakan orang

Di tengah kanvas, dalam garis yang tergurat kasar tapi terasa ngilu, tampak sebuah sosok

yang ketakutan. Mukanya pucat, mirip mayat tapi juga mirip bayi yang gagal lahir.

Mulutnya terbuka, menjerit. Matanya membeliak. Tangannya memagut kuping. Ia berdiri di

sebuah jembatan kayu yang tak tampak ujungnya. Di latar belakang kelihatan dua orang lain

berdiri seperti bayang-bayang. Dan tak kurang memukau adalah gelombang warna merah di

angkasa yang terbentang di atas permukaan air fyord yang luas.Edvard Munch menamai

karyanya yang termashur ini Jerit. Di sudut tampak angka tahun ketika sang pelukis

menyelesaikannya: 1893. Kemudian kita tahu ada beberapa baris dalam catatan hariannya

dari tahun 1892. Saya kutip:

Page 48: catatan pinggir

“Aku tengah berjalan di belakang dua orang teman. Matahari turun di punggung sebuah

bukit yang menjulang melatari kota dan fyord. Kurasakan selintas rasa sedih; langit itu

mendadak berubah merah darah. Aku berhenti melangkah, bersandar pada terali, letih

habis. Kedua temanku memandangiku tapi berjalan terus. Kusaksikan mega yang seperti api

di atas fyord dan kota itu…Aku berdiri di sana gemetar oleh rasa takut, dan kurasakan jerit

dahsyat yang tak henti-hentinya menembus alam yang terbentang tak putus-putusnya’.

Lebih seabad kemudian, lukisan itu, lanskap Norwegia yang murung itu, dan terutama langit

di atas kota

Oslo itu, yang menampakkan “darah dan lidah api di atas permukaan air fyord yang hitam-

biru,” menarik perhatian para ahli astronomi. Mereka datang dengan sebuah teori.

The New York Times melaporkannya: dalam jurnal Sky & Telescope nomor Pebruary 2004,

Donald Olson dan rekan-rekannya dari Universitas Negara Texas mengemukakan apa

sebenarnya yang tampak di langit senja hari itu. Di tahun 1883 Krakatau meletus.

Guncangan hebat terjadi di sekitar Indonesia, dan kurang-lebih 30 ribu manusia tewas oleh

tsunami yang menggebrak, tapi yang juga menakutkan ialah bahwa bahkan di Eropa,

senjakala tak putus-putusnya menghadirkan langit merah yang terang sejak November 1883

sampai dengan Pebruari 1884. Olson berpendapat, sangat mungkin itu juga yang terjadi di

Norwegia, dan Munch adalah salah seorang yang menyaksikannya.

Tak begitu jelas bagi saya kenapa baru 10 tahun kemudian sang pelukis menuangkannya di

atas kanvas, dengan tempera, cat minyak, dan pastel di atas karton. Tapi setidaknya teori

Olson telah menjadikan Jerit sebuah pengingat: begitu jauh jarak antara Selat Sunda dan

Skandinavia, begitu berbeda, tapi semua ada di satu bumi, hanya satu bumi. Telah terjadi

bencana besar di sebuah selat, tapi bahkan di abad ke-19, ketika teknologi belum

mempercepat kabar, rasa ngeri di satu tempat bisa menjangkau pelbagai daratan, dan abu

letusan yang membara bisa menjelajah merasuki rembang petang beratus-ratus

kota.

Mungkin Munch melihat itu, mungkin juga tidak. Tapi apapun yang menggerakkan hatinya,

kanvas itu mencuatkan rasa jeri yang sama-sama kita kenal: pekik tersekat di mulut ketika

menghadapi maut, wajah pucat di tengah alam yang, pada saat yang menakutkan, tak

sepenuhnya menjelaskan diri, dan hati ketir-ketir karena kefanaan kita. Di mana pun kita

berada, kita merasakan diri melangkah di sebuah jembatan yang genting; di ujung yang satu

kita adalah sebentuk fetus, di ujung lain kita sebuah jenazah.

“Tak ada yang kecil, tak ada yang besar”, tulis Munch. “Dalam diri kita adalah dunia. Apa

yang kecil membagi diri jadi apa yang besar, apa yang besar membagi diri jadi apa yang

kecil”.

Mungkin itulah yang bisa dikatakan tentang manusia. Bencana alam datang seperti hantaman

raksasa di punggung Krakatau di tahun 1883 dan di daratan Aceh di tahun 2004, dan beribu-

ribu nyawa punah, dan pada saat seperti itu, apa lagi beda “besar” dan “kecil” dalam nasib?

Saya teringat akan Bazarov, tokoh yang paling menarik dalam novel Turgenev, Para Ayah

dan Putra Mereka. Ia merenung: “Di sini, aku berbaring di bawah tumpukan jerami. Ruang

sejentik yang kutempati ini begitu tak tepermanai kecilnya dibandingkan dengan ruang

Page 49: catatan pinggir

selebihnya, di mana aku tak ada…dan jangka waktu yang tersedia untuk hidupku begitu

sepele disandingkan dengan keabadian yang belum dan tak akan pernah kuhuni…

”Bazarov melihat dirinya praktis tanpa arti. Novel itu menampilkannya sebagai seorang

nihilis yang bertanya tentang hidup “kecil” manusia: “Bukankah ini memualkan?”.Tapi

dengan itu sebenarnya ia sendiri melupakan apa yang dikatakannya di ujung renungan itu:

“…dalam zarah ini, dalam titik matematik ini, darah mengalir, otak bekerja dan

berkeinginan…”.

Maka Munch benar: tak ada yang “kecil”, tak ada yang “besar”. Kita bisa menghina diri dan

merasa terhina, atau tidak.Memang pada kita bisa terbit gentar ketika memandang langit

senjakala seakan-akan tengah dijilat lidah api, kita terpesona dan sadar, seperti pada Bazarov,

akan betapa kecilnya bumi di tengah alam semesta. Pada saat seperti itu kita mungkin akan

teringat bahwa sejak Kopernikus di abad ke-15 ilmu telah menjelaskan bumi bukan lagi

sebagai pusat; bahkan ia kini diketahui cuma senoktah planet di antara bermilyar-milyar yang

lain. Tapi soalnya: bagaimana kita memandang apa yang ditemukan Kopernikus.

Ada yang menyimpulkan, sejak itu manusia berhenti jadi angkuh. Nietzsche termasuk yang

berpendapat bahwa sejak itu “pengkerdilan-diri manusia” maju pesat. Tapi sebaliknya ada

juga anggapan bahwa sejak itu maju pesat pula sikap keilmuan: taklid kepada wejangan

agama bahwa pusat alam semesta adalah bumi, tempat lahir Kristus, telah digantikan oleh

pandangan yang meletakkan akal manusia, bukan kitab suci, sebagai pemegang suluh.

Syahdan, dunia modern pun menyingsing, humanisme berkibar.

Humanisme ini terutama berporos pada keyakinan, bahwa manusia mampu dan mempunyai

kebebasan untuk menemukan kebenaran. Kopernikus berpegang pada pandangan ini. Tentu

saja di abad ke-16, ia harus berhati-hati. Dalam keadaan ketika wejangan agama dijaga ketat

Gereja, karyanya, De Revolutionibus, yang terbit di tahun 1543, ia antar dengan sebuah

persembahan bagi Paus Paulus III.Di sana ia mengingatkan bahwa pandangan yang

menganggap bumi sebagai pusat alam semesta sebenarnya hanya berdasarkan otoritas ilmu

dan filsafat Yunani, bukan otoritas Alkitab. Pandangan geosentris itu salah, kata Kopernikus,

dan yang benar adalah teori yang dikemukakannya: matahari itulah sang pusat. Kitab

Kejadian memang tak tampak sesuai dengan teorinya ini, tapi Kopernikus toh bisa mengutip

Mazmur dan menyebut perlunya izin Tuhan bagi manusia untuk menggunakan nalar.

Paus Paulus III kebetulan seorang yang menerima humanisme dengan tenang. Namun

perdamaian antara Kopernikus dan Gereja tak bertahan sampai akhir.Sebab dasar

pendapatnya tetap: bagi Kopernikus, manusia-lah tolok ukur sebenarnya, sebab ia subyek

yang bebas dan mampu menemukan kebenaran, dan dengan metode ilmu yang pasti mampu

mengetahui sesuatu secara obyektif. Tak ayal, Gereja menampik pandangan manusia-sentris

ini. De Revolutionibus pun digolongkan ke dalam Indeks buku yang haram dibaca, satu

ketentuan yang baru dicabut di tahun 1822. Dengan catatan: itu terjadi 70 tahun setelah buku

itu terbit. Juga bukan Paus yang memulai serangan agama Kristen atas Kopernikus,

melainkan Luther, sang pelopor Protestantisme. Ketika itu sang astronom Polandia itu telah

lama wafat.Bentrok yang lebih dramatis terjadi kemudian. Teori Kopernikus berbenturan

sengit dengan Gereja dalam kasus Giordano Bruno. Pebruari 1600, setelah delapan bulan

dipenjara, bekas padri itu dihukum mati di Campo di Fiore di Roma: lidahnya ditusuk

tembilang dan tubuhnya dibakar hidup-hidup.Memang tak cukup bukti bahwa ia dipidana

karena keyakinannya mengikuti Kopernikus. Tapi seperti dikatakan Karsten Harris dalam

Infinity and Perspective, sebuah uraian historis yang jernih dan mendalam tentang pemikiran

Page 50: catatan pinggir

manusia Eropa menghadapi infinitas, ‘yang tak terhingga’, pandangan Bruno tentang kosmos

bertaut dengan penampikannya atas dogma utama agama Kristen.

Dalam arti tertentu, yang diyakini Bruno adalah konsekuensi lanjut dari pandangan yang

menganggap bumi hanya satu noktah di antara jutaan noktah lain di alam semesta — hingga

mungkin tak begitu penting planet tempat Yesus dilahirkan ini. Bumi bukan titik dari mana

kehidupan di luarnya diukur. Bagaimana pusat bisa ditentukan? Matahari juga hanya salah

satu penghuni sebuah galaksi, terselip di antara berjuta galaksi lain.Walhasil, bagi Bruno, tak

ada pusat. Kopernikus cuma mengganti satu pusat (“bumi’) dengan pusat lain (“matahari’). Ia

juga keliru.. Tak pasti pula mana awal dan mana akhir, dalam ruang dan dalam waktu.

Kosmos, menurut Bruno, adalah sesuatu yang tak terhingga, reproduksi diri Tuhan

sepenuhnya. Tuhan dan kosmos membaur.

Di sini teori Kopernikus diteruskan secara radikal, tapi sebenarnya ada yang gagal.

Kopernikus mengklaim telah membuka kemungkinan manusia untuk menangkap kebenaran

tanpa dibatasi sudut pandang yang sepihak, tapi ternyata Nietszche benar: justru karena

Kopernikus, proses “peng-kerdil-an diri” manusia berlangsung..Bagi Nietszche manusia

akhirnya hanya makhluk di sebuah bintang kecil nun jauh. Manusia `merasa menemukan apa

artinya “mengetahui” dan ia hidup dalam satu menit yang takabur yang disebut “sejarah

dunia”. Tapi hanya satu menit. Kemudian bintang itu jadi dingin dan sang makhluk pintar itu

punah.

Hanya begitukah manusia? Kita tahu Nietzsche memaparkannya dengan berlebihan, dan tak

berarti nihilisme ala Bezarov bisa membuat kita arif.Mungkin kearifan datang justru dari

lukisan Munch itu: di kepungan semesta yang perkasa itu, wajah kita guyah, lemah. Tapi apa

salahnya? Telah sering terbukti fatwa agama ternyata salah, penemuan ilmu keliru,

kesimpulan filsafat tak bisa bertahan; maka mengakui kelemahan adalah sebuah kekuatan.

Gianni Vattimo pun bicara tentang il pensiore debole, “pemikiran lemah”.

Bagi Vattimo, seraya menyadari “pemikiran lemah” itu, sebuah kesimpulan, meskipun

ditawarkan agar diterima orang lain, tetap sadar bahwa ia dinamis tapi tak kekal, ia terbuka

tapi penuh risiko. Ia ditawarkan sekedar sebagai tasfir, yang menyingkirkan tafsir lain tapi tak

menghapuskannya habis.

Artinya kita selalu berada di tengah jembatan, bukan di ujung tujuan. Ilham kita bukan Tuhan

yang segagah dalam lukisan Micheangelo, tapi tubuh yang terbungkuk kena dera yang pada

saat yang genting ditinggalkan Bapanya, tanpa sebab, tanpa jawab. Tapi kita tahu, ia tak

sendiri, kita tak sendiri.

~Majalah Tempo Edisi 44/XXXIV/26 Desember 2005 – 01 Januari 2006~

Darwin Februari 16, 2009

Posted by anick in Agama, All Posts, Tokoh, Tuhan.

trackback

Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan. Ini agaknya yang sering dilupakan

orang sampai hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari lahirnya, 12 Februari.

Page 51: catatan pinggir

Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia ”harus puas untuk tetap jadi

seorang agnostik.” Teori evolusinya yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah

penerang segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tuhan, Darwin hanya

mengatakan, ”Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan.”

Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika dilihat di awal perjalanannya

mengarungi laut di atas kapal HMS Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda berumur

22 tahun itu, yang pernah dikirim ayahnya untuk jadi pastor (setelah gagal bersekolah

dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar geologi, amat gemar mengutip Alkitab.

Terutama untuk menasihati awak kapal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s

College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada abad ke-15, Darwin memang

terkesan kepada buku seperti Evidences of Christianity karya William Paley, pemikir yang

gigih membela ajaran Kristen pada zaman ketika rasionalitas dan otonomi manusia

dikukuhkan tiap hari.

Tapi Darwin pelan-pelan berubah pandangan. Otobiografinya mengatakan, ketika ia menulis

karyanya yang termasyhur, On the Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang

”theis”. Sampai akhir hayatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah lima tahun

penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil, ditanggalkannya argumen Paley.

Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta adalah hasil desain Tuhan yang

mahasempurna. Tapi Darwin menemukan bahwa tak ada satu spesies pun yang bisa

dikatakan dirancang ”sempurna”; makhluk itu berubah dalam perjalanan waktu,

menyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.

Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya menyiasati hidup alam di pantai

Amerika Selatan dan ceruk Pulau Galapagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di

zamannya, dan bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila ketidakadilan

begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat

dengan seorang bekas budak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika ia

bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudakan sebagai ”skandal bagi bangsa-

bangsa yang beragama Kristen”. Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga

menyaksikan nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.

Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang adil dan maha-penyayang

menghasilkan desain yang melahirkan keadaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini

dalam kisah kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan” Tuhan di situ bisa

diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak takut?

Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak melihat ada desain dalam

keanekaragaman makhluk hidup dan kerja seleksi alamiah. Lingkungan hidup yang me-

ngontrol nasib kehidupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan. Alam

memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan dan tak optimal, dan tiap

penyelesaian tergantung pada keadaan ketika itu.

Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah bagian dari sejarah yang ikut

menenggelamkan apa yang disebut penyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang

terutama dijunjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang tak percaya

kepada teori evolusi. Di sana pula, para pengkritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya

”desain yang pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan” yang datang

Page 52: catatan pinggir

dari luar alam yang campur tangan ke kancah hidup di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa

berpusar pada flagellum yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.

Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan jenis flagella yang terbangun dari

protein yang sebagian besar berbeda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian

besar komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada dalam bakteria sebelum

struktur yang dikenal kini muncul.

Artinya, tak ada desain, kata para penerus Darwin. Teori evolusi menunjukkan ketidaktetapan

dan kontingensi: hal ihwal selamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan

itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun terbangun tanpa dirancang.

Bahkan terjadi karena koinsidensi. Stephen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu

bagian dari plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek tapi terjadi secara

kebetulan ketika, dan karena, plengkung yang direncanakan itu rampung dibangun.

Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Kita hidup dengan apa yang dalam

bahasa program komputer disebut kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir

yang terjadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flow-chart yang bisa

segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.

Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputusan setelah meraba-raba, dan mungkin juga

loncatan ke dalam gelap di depan. Tapi tak semuanya gagal. Alam penuh dengan perabot

yang ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keterampilan dan kreativitas di

tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is as full of contraptions as it is if contrivance,” kata

Darwin.

Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia tak ada. Mungkin tak ada apa pun

sebelumnya. Bagi Darwin itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan

kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang sama kita bilang ”ya”

kepada hidup.

Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga tawakal.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009~

DD Juni 30, 2008

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Kisah, Sejarah, Tokoh.

trackback

Orang kelahiran Pasuruan itu selalu mengingatkan saya apa arti sebuah tanah air. Ia Ernest

François Eugene Douwes Dekker. Ia mengingatkan apa arti Indonesia bagi saya.

Sekitar akhir Juli 1913 ia disekap di sebuah penjara di Jakarta Pusat. Waktu itu umurnya 33

tahun. Pemerintah kolonial menuduhnya telah ”membangkitkan rasa benci dan penghinaan

terhadap pemerintah Belanda dan Hindia Belanda”. Tuduhan itu tak benar; tapi ia memang

tak menyukai kekuasaan itu, yang, seperti dikatakannya kepada para hakim kolonial,

bertakhta ”di negeri kami ini, di bumi orang-orang yang tak menikmati kebebasan”.

Page 53: catatan pinggir

Dari sebuah berita acara yang bertanggal 11 Agustus kita tahu apa yang ia perbuat

sebenarnya. Partai politik yang didirikannya, ”Indische Partij”, tak diakui sebagai badan

hukum. Tapi Douwes Dekker terus menulis dalam surat kabar De Expres dan lain-lain

sejumlah artikel yang oleh Residen Betawi, yang menginterogasinya hari itu, dianggap

”melanjutkan membuat propaganda” tentang cita-cita partai itu.

Tapi dapatkah itu dielakkan? Dalam sebuah memori pembelaan Douwes Dekker menjawab:

”Adakah kemungkinan saya tak lagi berbuat propaganda? Apakah hati seseorang ibarat jas

luar yang dapat sesuka hati dipakai atau disimpan…? Tidakkah seseorang akan merupakan

propaganda bagi dirinya sendiri selama ia hidup?”

”Saya tak dapat berbuat lain…. Kecuali saya dalam sebuah toko barang loakan dapat

memperoleh watak yang sudah usang, semangat yang telah luntur, dan kedok yang

kelihatannya tak mengerikan.”

Kalimat itu menggugah, meskipun bukan bagian sebuah prosa yang gemilang. Douwes

Dekker ini bukan Douwes Dekker yang lebih termasyhur, yang terbilang masih kakeknya:

penulis Max Havelaar yang memakai nama samaran Multatuli. Douwes Dekker dari Pasuruan

ini bahkan agak enggan dikaitkan dengan sang kakek.

Dalam biografi yang ditulis Paul W. Van der Veur, The Lion and the Gadfly (KITLV Press,

2006)—sebuah buku yang layak dibaca orang Indonesia—dapat kita temukan rasa

enggannya. ”Mengapa saya dibandingkan dengan Multatuli?” Ia merasa itu tak adil. Eduard

Douwes Dekker, sang Multatuli, ”seorang sastrawan cemerlang”. Sedangkan dia, Ernest

François Eugene, ”cuma seorang jurnalis rata-rata”.

Lagi pula, katanya pula, ”Multatuli seorang Belanda….”

Jika Multatuli ”orang Belanda”, orang apakah Ernest, yang oleh Van der Veur disebut ”DD”?

Yang jelas, ia Indo. Ia lahir pada 8 Oktober 1879, anak ketiga dan putra kedua Auguste Henri

Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Ibunya putri seorang Jerman

yang kawin dengan seorang wanita Jawa.

Posisi seorang Indo cukup galau masa itu. Dalam ”negara taksonomi” (istilah Ann Laura

Stoler, dalam telaahnya tentang kekuasaan dan klasifikasi sosial di Hindia Belanda) seorang

Indo akhirnya tak diterima oleh mereka yang mengagungkan yang ”asli” dan ”murni”. Orang

Indo, kata DD, adalah ”makhluk yang nestapa”.

Tapi justru sebab itu DD bisa berdiri memandang ”negara taksonomi” dengan hati kesal dan

mata nyalang: ia tahu, taksonomi manusia adalah laku yang sewenang-wenang.

Maka ia bisa cepat merasakan ketidakadilan dengan tajam. Pada pertengahan 1898 ia selesai

sekolah menengah dan bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren, di lereng selatan

Gunung Semeru, Jawa Timur. Ia akrab dengan para buruh. Seorang kuli tua pernah

mengatakan kepadanya, ”Tuan muda, tuan memperlakukan kami sebagai manusia.” Tapi

majikannya menilai DD tak selamanya tahu bagaimana ”membuat batas”.

Ia pun berhenti bekerja. Ia pindah ke pabrik gula Padjarakan di dekat Probolinggo. Pada masa

itu di Jawa selalu ada sengketa pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani di

Page 54: catatan pinggir

sekitarnya. Ketika DD menemukan bahwa Padjarakan merebut hak petani, ia menyatakan itu

kepada atasannya. Ia diperingatkan. Dari sini ia juga berhenti.

Mungkin juga karena ibunya, yang amat dicintainya, wafat.

Dalam keadaan kehilangan, ia memutuskan meninggalkan Hindia Belanda: ia bergabung

dalam sukarelawan untuk Perang Boer di Afrika Selatan, yang pecah pada awal abad ke-20

itu, ketika orang keturunan Belanda bertempur melawan ekspansi Inggris. Syahdan, Februari

1900, ia naik kapal S.S. Calédonien ke medan perang.

Pertalian dengan yang ”Belanda” tampaknya masih kuat dalam diri DD pada masa itu. Dalam

perjalanan ke Afrika Selatan itu, DD berhenti di Bombay. Seperti dikutip dalam The Lion and

the Gadfly, ia begitu bahagia bertemu dengan konsul Belanda, mendengar suara seseorang

yang bicara dalam ”bahasa Belanda murni” di depan potret ”Ratu Belanda yang tercinta”.

Tapi dalam perang itu DD tertangkap pasukan Inggris. Ia dibuang ke Sri Lanka. Pada 1903, ia

kembali ke Jawa—tapi dengan sikap yang makin berjarak, dan akhirnya sengit, menyaksikan

keserakahan Belanda. Pada 1904 ia menulis: rakyat Jawa dirampok; pada 1908 ia menulis:

api besar yang membakar desa-desa Aceh telah membuat terang ”kebangkrutan moral

Kristiani” pemerintah kolonial.

Akhirnya kita tahu, DD bergerak. Rumahnya di Jakarta jadi tempat para mahasiswa STOVIA

berkunjung—para pemuda yang di asrama mereka gemar menyanyikan lagu Revolusi

Prancis: semangat untuk kemerdekaan, persamaan, persaudaraan. Ketika dua aktivis asal

STOVIA, Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo, ditangkap pemerintah kolonial,

DD menulis: kedua sahabatnya itu, dengan sikap perkasa yang tak bisa ”ditaklukkan di dalam

penjara”, telah ”mempersatukan kita semua”.

Dari sanalah Indonesia lahir. Indonesia adalah sebuah sejarah kerja ke masa depan yang

berharga bukan untuk diri sendiri—dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita.

Indonesia adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang yang berbeda-beda,

bagi orang yang berbeda-beda. Cipto dan Suwardi dibuang, dan DD menulis: ”Anak-anak

berkulit cokelat dan putih… akan menaburkan bunga di atas jalan yang mereka berdua lalui.”

~Majalah Tempo Edisi. 19/XXXVII/30 Juni – 06 Juli 2008~

Debat Juni 22, 2009

Posted by anick in All Posts, Demokrasi, Politik.

trackback

Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan telaah. Memang, dulu

ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik eclenchus, menyoal dan meminta

jawab dan siap dibantah serta membantah, ia tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk.

Ia menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih

bijaksana sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah dengan

berujar lisan.

Page 55: catatan pinggir

Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap kali berakhir

dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel

berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia.

Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah

sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk

menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak

selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang

di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang ”rasional” akan

menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung menganggap bahwa

debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang

di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah

makin beragamnya pendapat dan pendirian.

Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat

mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda—dan teknik Socrates akan

menimbulkan kesadaran itu—mereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada

yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih

sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya momen persentuhan

yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan dan

redanya rasa gentar.

Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya tidak tahu

apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia

pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat

mulai—dan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton

pertandingan badminton atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat

diselenggarakan lebih untuk jam-jam hiburan—dengan segala ketegangan yang dirasakan

dalam menonton itu. Kita tegang, maka kita senang. Juga debat calon presiden. Pendek kata,

debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita bertepuk.

Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik. Sementara

mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan mengumpulkan bahan serta

mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun kata, tuan rumah dari acara itu

sebenarnya punya tujuan yang tak ada hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah

hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu

menyelenggarakan pertandingan gladiator.

Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang disebut Milan

Kundera sebagai ”imagologi”. Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh

media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas

yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang

dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan

kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan

itu makin tak terelakkan.

Page 56: catatan pinggir

Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para komentator

debat—yang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan lebih tak berpikir. Kini

para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang terpenting adalah bahwa mereka

dikenal, atau bisa menarik perhatian. Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya

dasar yang bisa dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih

diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah lama

dikuburkan.

Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton para calon

presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu tak banyak manfaatnya

bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan hiburan. Dan mungkin juga

komodifikasi yang terjadi pada acara yang seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya

peran lain: proses itu membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih

menarik, dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang

ditebarkan televisi.

Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 22 Juni 2009~

Dering Itu Maret 10, 2008

Posted by anick in All Posts, Amerika.

trackback

Dinihari, pukul 3. Anak-anak sedang tidur tenteram di seluruh Amerika. Tiba-tiba telepon

berdering di Gedung Putih. Sesuatu tengah terjadi di dunia. Tampaknya gawat. Siapa

gerangan yang mampu memberi respons yang tepat?

Pertanyaan itu sah, tapi ini baru sebuah pengandaian yang dibawakan sebuah iklan: sebuah

film pendek yang dimulai dengan cahaya biru yang suram, dengan dinihari yang sunyi, anak-

anak yang nyenyak, dan kamar tidur bersih: imaji-imaji yang menyarankan sesuatu yang

tanpa dosa, tapi rapuh, di tengah gelap yang menyembunyikan ancaman.

Dipasang Hillary Clinton di televisi menjelang pemungutan suara untuk melawan

saingannya, Barrack H. Obama, pesan iklan itu jelas: yang bisa menghadapi ancaman itu

hanya seorang presiden Amerika yang kenal “para pemimpin dunia, kenal dunia militer,

seorang yang sudah diuji bisa memimpin di dunia yang berbahaya…”

Bagi para juru kampanye Hillary Clinton, sifat-sifat itu tentu tak ada pada Obama, seorang

yang belum pernah memimpin negeri dalam ancaman perang.

Tiap propaganda memaafkan sendiri keculasannya. Iklan itu tak menyebut bahwa sebenarnya

Hillary juga belum diuji. Ia memang pernah di Gedung Putih, tapi sebagai isteri seorang

Presiden. Ia memang kemudian jadi seorang Senator, tapi satu-satunya keputusan penting

adalah dukungannya kepada Perang Irak Presiden Bush – yang ternyata sebuah keputusan

yang celaka.

Page 57: catatan pinggir

Tapi bahwa iklan semacam itu ditayangkan — dan berhasil meyakinkan pemilih di dua

negara bagian — menunjukkan bahwa pada mulanya bukanlah Hillary atau Obama. Pada

mulanya adalah paranoia.

Kita ingat empat patah kata dalam iklan itu: “dunia yang berbahaya…” Di sana tak ada

kemungkinan lain dalam dering telepon pada jam 3 pagi itu. Tak mungkin pesan itu ternyata

sebuah kabar gembira, misalnya kabar perdamaian yang solid antara Palestina dan Israel, atau

pesawat ruang angkasa Amerika yang menemukan sebuah dataran yang subur di sebuah

planet.

Sebab kabar baik bukanlah yang diharapkan. Iklan itu hendak menampilkan suasana gawat di

mana Hillary Clinton berperan besar; sebab ia kenal betul “dunia militer.”

Saya tertegun. Dengan propaganda macam itu, Amerika macam inikah yang akan tercermin

dalam pemilihan umum 2008: Amerika sebagai kekuatan militer yang memandang dengan

suram sekitarnya yang tak ramah? Bukan Amerika yang dulu pernah membentuk PBB di

dunia yang penuh harapan damai dan kemerdekaan?

Jika demikian, kita pantas murung.

Bush-dan-Cheney memang segera tak akan berkuasa lagi. Negeri yang ditinggalkannya

memang telah jadi negeri yang dibenci di seluruh dunia, yang angkuh ke seluruh dunia, yang

tanpa mengerdipkan mata menyerbu negeri lain dengan alasan yang palsu, seraya tak peduli

melanggar hak-hak asasi manusia di Guantanamo dan di tempat-tempat interogasi yang

disembunyikan. Sungguh buruk peninggalan itu, tapi tampaknya tetap terbuka kemungkinan

Amerika mengukuhkan politik paranoia yang dilembagakan sejak 11 September 2001.

Politik paranoia adalah politik nasionalisme yang gelap. Hari itu, ketika para teroris Al

Qaedah menabrakkan dua pesawat terbang ke dua menara tinggi di New York dan

membunuh hampir 3000 orang, seluruh Amerika terkejut dan ngeri. Tapi Tuan Cheney

menemukan apa yang dicarinya: sebuah musuh baru, setelah Uni Soviet dan Cina mundur.

Dengan musuh itu Amerika dapat memiliki arah yang tegas dan satu.

Nasionalisme, apalagi yang gelap, punya gairah dan daya tersendiri untuk mengukuhkan

kekuasaan yang brutal. Maka perang anti terorisme dari Gedung Putih bukanlah perang untuk

mengakhiri terorisme, melainkan untuk menyambutnya. Tak mengherankan bila sampai hari

ini Al Qaedah belum dihabisi dan Osamah bin Laden masih tersembunyi. Tak mengherankan

bila empat tahun yang lalu Bush-dan-Cheney dipilih lagi.

London, 3 November 2004. Koran Daily Mirror terbit menyambut pilihan rakyat Amerika

yang mendukung kembali Presiden Bush dengan bersemangat, meskipun begitu jelas ia

menyerbu Irak dengan dalih yang bohong. Di halaman depan tabloid itu tampak wajah

George W. Bush melambai. Di bawahnya sebuah kalimat: How can 59,054,087 people be so

DUMB?

Saya ingat seorang Amerika tertawa pahit membacanya. “Saya tak tahu lagi, di mana tanah

air saya”, katanya sedih.

Tapi itu empat tahun yang lalu. Kini ia tak merasa sedih lagi, ketika bersama ribuan orang

muda setanahairnya ia ikut berkampanye untuk Obama dan merayakan kemenangan di

Page 58: catatan pinggir

sebelas negara bagian. “Anak-anak muda ini,” tulisnya, “telah menemukan kembali indahnya

kehidupan berpolitik; kami telah menemukan keberanian untuk berharap.” Di hatinya, judul

buku Obama, the Audacity of Hope, terasa begitu kena. Dengan mata yang berkaca-kaca

karena bangga ia kini bisa mengatakan, The Daily Mirror tak benar, setidaknya di tahun 2008

ini: jutaan pemilih Amerika ternyata tak bodoh.

Mereka bahkan tengah merintis sebuah zaman baru – zaman yang bisa menyambut seorang

Obama, yang bukan 100% “pribumi”, yang tak memamerkan bendera Amerika di lencana

jasnya – tapi yang percaya bahwa ada patriotisme lain yang bisa menggugah: patriotisme

yang membuat sebuah bangsa bersama-sama melepaskan rasa saling curiga dan benci yang

tumbuh di bawah politik paranoia. Juga patriotisme yang bangga kepada tanah air yang bisa

membawa damai ke dunia.

Tapi mungkinkah? Sepekan setelah dering seram di iklan itu, pada pukul 3 pagi sebuah

ledakan terdengar di Times Square, New York. Letupan kecil, dengan kerusakan kecil, dari

sebuah alat sederhana yang dipasang di gedung milik Angkatan Bersenjata. Tak ada yang

terbunuh. Tapi dengan segera keluar statemen Hillary Clinton: “Apapun yang kita ketahui

dari serangan ini, itu sebuah pengingat akan ancaman yang terus menghadang tanah air kita.”

Ancaman. Dering lewat tengah malam…

Kita cemas. Kita cemas memandang Amerika.

~Majalah Tempo Edisi. 03/XXXVII/10 – 16 Maret 2008~

Des Oktober 19, 2009

Posted by anick in All Posts, Sejarah, Tokoh.

trackback

Des Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam miniatur yang padat. Juga berwarna-

warni. Jika kita lihat lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur 100 tahun yang

menaungi halaman hotelnya di Bandaneira, jika kita ingat sosok yang tambun tinggi itu (kini

dalam umur 83 tahun) sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat

Hatta dan Syahrir jadi orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bisa iri

kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu pas

ia di pulau Maluku itu. Begitu ”Indonesia”.

Des Alwi seperti Bandaneira: elemen yang sering tak diingat, tapi saksi penting dari riwayat

Indonesia—dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. ”Di sini,” kata

Rizal Mallarangeng, yang telah dua kali ke Bandaneira dengan rasa kagum kepada para

perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau itu, ”bermula apa yang kemudian menjadikan

Indonesia.” Dia benar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.

Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa dipatahkan; di sini kontingen

orang Portugis terus-menerus diserang hingga mereka batal membangun sebuah benteng.

Hampir seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda mencoba memperkuat

Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut ”orang kaya”, membunuh laksamana asing

itu dengan segenap stafnya.

Page 59: catatan pinggir

Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-20: para penentang VOC

(kemudian Hindia Belanda) diasingkan ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada

mulanya adalah rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemukan di Banda,

yang menggerakkan perdagangan internasional paling awal, seperti minyak bumi pada zaman

ini. Dan bersama perdagangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.

Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku pada abad ke-16, letak Banda yang kaya rempah

itu dirahasiakan para saudagar Arab (atau ”Mur”) yang membawa barang berharga itu ke

Eropa. Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian Belanda dan Inggris.

Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari

jual-beli pala, bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.

Di Bandaneira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante itu ada sebuah sumur di sepetak

halaman. Di sanalah, 8 Mei 1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen

(Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka disewa untuk menyembelih 40

orang pemuka masyarakat Banda yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala.

Tubuh ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deretan tiang.

Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama orang dari pelbagai penjuru

Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja,

Cirebon, Serang, Blitar. Pada abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal: Cipto

Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Syahrir.

Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tampak berbeda: kita tak akan

mengatakan bahwa yang berlangsung selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350

tahun penjajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500 tahun perlawanan.

Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927 di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta,

dan Syahrir—orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin saksi terakhir dari

rangkaian perjuangan panjang itu. Saya menyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa

teman duduk di dekatnya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica yang

berumur 400 tahun. Seakan-akan pada sore itu, sejumlah abad bertemu.

Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda pada 1611. Letaknya dipilih

pada posisi yang bisa mengawasi seantero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara

pengintainya menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam ditembakkan,

destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau

Ai pada 1615, ratusan orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sini pula

tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run setelah pulau itu ditukar-guling dengan

Pulau Manhattan milik Belanda di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian,

pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica.

Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan dengan gigih dan ganas hingga

dunia berubah. Kekuasaan pun tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan….

Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan yang dicoba digagalkan tapi

dilahirkan kembali: Indonesia yang tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku

utama, tapi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca bukunya yang baru,

Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell University, kita dapatkan bukan saja kisah

kelahiran Indonesia, tapi juga kisah seorang yang ”menjadi Indonesia”, sejak dari darah dan

Page 60: catatan pinggir

dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau tidak, dalam peristiwa-peristiwa

besar yang mengguncang dan membentuk tanah airnya.

Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan ”Mur” (nama ”Baadila” ditemukan

di Maroko dan Spanyol), yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Syahrir, yang masa

mudanya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November 1945—adalah contoh bahwa

Indonesia ”men-jadi” dengan riwayat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa

meletup, tapi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang ”luar” dan

”asing”. Kecuali ketika yang ”luar” dan ”asing” itu menegaskan diri dengan senjata dan

pemaksaan. Dan kita melawan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 19 Oktober 2009~

Di Zaman yang Meleset November 24, 2008

Posted by anick in All Posts, Amerika, Bencana, Ekonomi, Tokoh.

trackback

KATA sebuah kisah, John Maynard Keynes pernah membuang sebakul handuk kamar mandi

ke lantai di tengah sebuah pembicaraan yang serius. Orang-orang terkejut. Tapi begitulah

agaknya ekonom termasyhur itu menjelaskan pesannya: Jangan takut berbuat drastis, untuk

menciptakan keadaan di mana bertambah kebutuhan akan kerja. Dengan itu orang akan dapat

nafkah dan perekonomian akan bisa bergerak.

Waktu itu Keynes sedang berceramah di Washington DC pada 1930-an. Krisis ekonomi yang

bermula di Amerika Serikat pada 1929 telah menyebar ke seluruh dunia. ”Depresi Besar”—

dengan suasana malaise—berkecamuk di mana-mana. Di Indonesia orang menyebutnya

”zaman meleset”.

Kata ”meleset” sebenarnya tak salah. Prediksi yang dibuat, juga oleh para pakar ekonomi,

terbentur dengan kenyataan bahwa dasarnya sebenarnya guyah. ”Kenyataan yang sangat

menonjol,” tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan yang mendasari

perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang prospektif.” Kita menyamarkan ketidakpastian

dari diri kita sendiri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa lalu. Ilmu

ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employment, Interest, and Money yang

terbit pada 1936 itu, hanyalah ”teknik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan

dengan masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita sebetulnya tahu sedikit

sekali tentang kelak.

Yang menarik di situ adalah pengakuan: manusia—juga para pakar—tak tahu banyak tentang

perjalanan hidupnya sendiri. Kita ingat ucapan Keynes yang terkenal bahwa yang pasti

tentang kelak adalah bahwa kita semua akan mati. Hidup dan sejarah, menurut Keynes, terdiri

dari proses jangka pendek, short runs.

Ada seorang mantan redaktur The Times yang pernah menulis bahwa kesukaan Keynes akan

jangka pendek hanya akibat ketakmampuannya menghargai nilai yang berlanjut beberapa

generasi. Dan ini, kata penulis itu, disebabkan sifat seksualitasnya: Keynes seorang gay.

Page 61: catatan pinggir

Memang benar, sejak muda, terutama ketika ia masih bersekolah di Eton, Keynes hanya

berpacaran dengan sesama pria, meskipun ia kemudian menikah dengan Lydia Lopokova,

balerina asal Rusia. Tapi tak jelas benarkah ada hubungan antara tendensi seksual itu dan

teori ekonominya—yang sebenarnya juga sebuah teori tentang manusia.

Manusia adalah makhluk yang bisa meleset dalam memperkirakan, tapi dalam teori Keynes,

manusia bukan peran yang pasif. Sejak Adam Smith memperkenalkan pengertian tentang

”Tangan yang Tak Tampak”, yang mengatur permintaan dan penawaran, para ekonom

cenderung memberikan peran yang begitu dominan kepada Sang Pasar. Tapi Keynes ragu.

Sejak 1907, sejak ia bekerja untuk urusan koloni Inggris terbesar, India, Keynes tak begitu

percaya bahwa dengan mekanisme yang tak terlihat, pasar akan bisa memecahkan

problemnya sendiri. Pasar, kata Keynes, ”akan tergantung oleh gelombang perasaan

optimistis atau pesimistis, yang tak memakai nalar tapi sah juga ketika tak ada dasar yang

solid untuk sebuah perhitungan yang masuk akal”.

Tapi kemampuan untuk bertindak ”tak memakai nalar” adalah satu sisi dari manusia. Sisi lain

adalah kapasitasnya untuk mengendalikan pasar. Abad ke-20 bagi Keynes adalah ”era

stabilisasi” yang mencoba mengganti ”anarki perekonomian” dengan pengarahan dan kontrol

atas kekuatan-kekuatan ekonomi, agar tercapai keadilan dan stabilitas sosial. Keynes percaya:

kekuatan politik, khususnya Negara, bisa berperan besar ke arah sebuah hasil yang positif,

dan perencanaan ekonomi sedikit banyak diperlukan.

Adakah ia seorang ”etatis”? Saya pernah membaca seorang penulis yang menunjukkan

bagaimana Keynes, dalam kata pengantar untuk terjemahan Jerman atas bukunya, The

General Theory, menyatakan bahwa teorinya ”lebih mudah disesuaikan kepada kondisi

sebuah negara totaliter”, ketimbang ke sebuah Negara yang pasarnya dibiarkan bebas, laissez

faire. Ini karena, kata Keynes, dalam negara totaliter ”kepemimpinan nasional lebih

mengemuka”.

Keynes memang menyaksikan bagaimana Jerman, di bawah Nazi, bisa mengelakkan

empasan Depresi Besar. Tapi tentu berlebihan untuk menyimpulkan Keynes percaya akan

sebuah sistem yang mengklaim punya jalan keluar yang benar selama-lamanya. Ketika para

intelektual Inggris yang ”kekiri-kirian” pada mengagumi Uni Soviet dan Perencanaan Lima

Tahun ala Stalin, Keynes tak ikut arus.

Suatu hari ia berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan sanak keluarga istrinya di St.

Petersburg. Mereka melarat dan menderita. Keynes melihat bagaimana ajaran Stalin gagal.

Ajaran ini tak bisa dikritik, meskipun hanya ”sebuah buku teks yang sudah kedaluwarsa”

tentang ekonomi.

Manusia adalah kecerdasan yang bisa mengatasi keterbatasan—seraya menyadari

keterbatasan kecerdasan itu sendiri. Manusia bisa merancang dan mengendalikan pasar tapi

juga ia bisa bikin rusak—dan kemudian bisa mengenal dan mengoreksi kesalahan dalam

pengendalian itu. Ada kepercayaan diri yang luar biasa pada Keynes.

Dengan penampilan yang rapi dan dengan perilaku yang khas warga elite masyarakat

Inggris—lebih karena kepiawaian pikirannya ketimbang karena asal-usul sosialnya—Keynes

lahir di Cambridge pada 1883 di keluarga akademisi yang bukan bagian pucuk kehidupan

intelektual di sana. Tapi itu sudah cukup membuat John Maynard seorang pemuda cemerlang

Page 62: catatan pinggir

yang tertarik akan rangsangan hidup yang luas. Ia tak hanya seorang ekonom. Ia kolektor seni

rupa kontemporer, pencinta balet, penggerak kehidupan kesenian; ia juga pemain pasar modal

dan valas yang, meskipun pernah gagal, bisa makmur dan dengan itu membantu rekan-

rekannya yang satu lingkungan.

Di kebun halamannya di Tilton, di wilayah Sussex yang tak jauh dari London, ia adalah tuan

rumah untuk saat-saat minum teh seraya berdiskusi dengan teman-temannya yang terdekat,

semuanya anggota kalangan cendekiawan Inggris yang terkenal. Di sana secara teratur datang

Leonard dan Virginia Woolf, Mary MacCarthy, dan E.M. Foster. Dalam ”Bloomsbury

Group” ini, ekonomi, sastra, dan estetika dibicarakan dengan cemerlang; novel dan teori-teori

terkenal ditulis.

Saya tak tahu apakah dari kalangan ini semacam aristokrasi jiwa tumbuh pada Keynes. Ada

sebuah kritik yang datang dari Friedrich von Hayek, guru besar asal Austria yang mengajar di

London School of Economics. Hayek menyaksikan bagaimana Negara yang gagal mengatur

dananya akan rudin terlanda inflasi. Kekayaan akan menciut habis. Tapi juga Hayek punya

kritik yang lebih mendasar: pandangan Keynes yang meningkatkan jangkauan tangan Negara

akan mematikan kebebasan, dan akan membuat borjuasi terhambat.

Tapi bagi Keynes, jangkauan yang seperti itu tak sepenuhnya berbahaya, kalau dilakukan

oleh satu lapisan elite yang progresif dan cerdas, seperti para lulusan Oxford, Cambridge,

atau Harvard. Aristokrasi ini diharapkan akan bisa merencanakan perekonomian ke arah

terbangunnya ”Negara kesejahteraan”. Setidaknya, dengan kepemimpinan yang pintar dan

bisa dipercaya, Negara sanggup memberikan stimulus yang kuat bukan saja untuk keadilan,

tapi juga untuk pertumbuhan. Contoh handuk yang dilemparkan Keynes ke lantai itu bisa

terus diingat: perlu keberanian para pengambil keputusan politik buat melakukan sesuatu di

luar formula kapitalisme.

Tapi tentu saja bahkan Keynes tak selamanya benar. Pada 1980-an, formula kapitalisme

kembali menguat. Para pemimpin tak mau lagi mencoba menegakkan ”Negara

kesejahteraan”. Niat menyebarkan kesejahteraan ke seluruh masyarakat telah melahirkan

sebuah perekonomian yang terancam inflasi tapi sementara itu hampir mandek. Untuk

kesejahteraan yang menyeluruh dan merata di masyarakat, pajak harus ditarik agar Negara

punya uang untuk bekerja. Tapi dengan demikian orang enggan meraih hasil sendiri. Negara,

sebagai lembaga publik, merasa wajib mengatur perilaku ekonomi, termasuk modal. Tapi

dengan demikian inisiatif melemah dan dinamisme pertumbuhan terganggu.

Pada saat itulah Reagan jadi Presiden Amerika Serikat dan Thatcher jadi Perdana Menteri

Inggris. Kedua pemimpin ini memulai ”revolusi”: pajak diturunkan, regulasi diminimalkan,

dan intervensi Negara praktis diharamkan.

Tapi bila Keynes bisa dibantah oleh dua dasawarsa kemakmuran yang tampak di bawah

perekonomian ala Reagan dan Thatcher, Keynes juga bisa dibenarkan di sisi lain: bukankah

ia pernah mengatakan hidup dan sejarah terdiri dari proses jangka-pendek? Ketika

pemecahan soal di sebuah saat dikukuhkan jadi obat mujarab sepanjang masa, manusia lupa

akan keterbatasan kecerdasannya sendiri.

Itu juga yang ditunjukkan Francis Fukuyama ketika ia menyebutkan di mana salahnya

”Revolusi Reagan”. Sebagaimana semua gerakan perubahan, tulis Fukuyama, ”Revolusi

Page 63: catatan pinggir

Reagan sesat jalan karena… ia jadi sebuah ideologi yang tak dapat digugat, bukan sebuah

jawaban pragmatis terhadap ekses-ekses Negara kesejahteraan.”

Kini tampaknya sejarah jadi jera. Krisis yang sekarang melanda dunia mengingatkan orang

pada Keynes lagi dan bahwa ada keyakinan yang aus—terutama di tengah penderitaan

manusia.

Tahun 2008 ini zaman ”meleset” lagi. Usaha sulit dan para penganggur kian bertambah. Kita

membaca angka-angka itu. Kita cemas. Tapi mungkin kita masih memerlukan pengingat lain

tentang bengisnya keadaan—seperti Amerika merekam pahitnya hidup dilanda Depresi Besar

dalam novel termasyhur John Steinbeck, The Grapes of Wrath, yang terbit pada 1936.

Dalam cerita rekaan ini, sosok Tom Joad dan sanak saudaranya telah jadi orang-orang yang

terusir, kehilangan tanah, kehilangan kerja, bermigrasi ke wilayah jauh. Semuanya

membangun murung yang tak terhindarkan, ditingkah topan debu yang merajalela bersama

putus asa.

Tapi tak semuanya patah. Dalam kesetiakawanan, terbit harapan. Menjelang akhir novel,

Tom Joad menghangatkan hati kita karena tekadnya menyertai mereka yang berjuang dalam

kekurangan: ”Kapan saja orang berantem supaya yang lapar bisa makan, aku akan di

sana….”

Mungkin ini awal semacam sosialisme—yang tak harus datang dari atas.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 24 November 2008~

Diburu Januari 5, 2009

Posted by anick in All Posts, Bencana, Sastra.

trackback

Tahun akan menghadapi krisis, kata para pakar, tapi kita tahu, ”nasib” adalah sebuah cerita

yang senantiasa datang terlambat. Kita baru dapat menyimpulkannya setelah perjalanan

selesai.

Bagaimana sejarah akan usai, itu tak mudah dijawab. Sebab kita adalah anjing diburu dalam

tamsil Catetan Th. 1946 Chairil Anwar, yang

—hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang

Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang.

Pernah ada optimisme bahwa kita bisa menyusun sebuah tambo tentang perubahan, ketika

Lahir orang besar dan tenggelam beratus ribu

Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat.

Page 64: catatan pinggir

Pernah juga ada harapan bahwa nanti, jika kegaduhan selesai, gejolak reda dan rusuh hati

berhenti, jika bencana, jatuh bangunnya kekuasaan, perang dan huru-hara yang berkecamuk

sudah lewat dan hanya tersisa sebagai ingatan yang kabur—jika nanti tiada sawan lagi

diburu/ Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu—kita akan bisa mencoba

menemukan makna dari semua itu: Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir

setempat.

Tapi pada awal abad ke-21 kita tahu bahwa menyusun kembali ”kenangan berdebu”, dan

memberi arti dari pengalaman itu—semua itu tak mudah. Kita, selamanya dibentak oleh batas

ruang dan waktu, makin tak tahu apa sebenarnya yang terjadi. ”Sandiwara sekarang” kian

lama kian hanya secara fragmentaris tampak. Informasi datang lekas dan segera pula berubah.

Perubahan itu meningkat terus tinggi velositasnya: benda-benda teknologi ditemu-ciptakan

dan disebarkan kian cepat dan tanpa istirahat, begitu juga halnya kesimpulan ilmu kian

mudah jadi basi, jumlah dan keanekaan penerima informasi pesat meluas, dan berubah pula

ekologi manusia yang merespons informasi itu.

Semua memergoki kita sebelum kita siap—seakan-akan pada tiap jam berita pagi masa-depan

melewati ambang pintu tanpa mengetuk, mengambil alih masa-kini. Perubahan berarti

keragaman, kompleksitas, inkonsistensi, bahkan chaos, dan apa yang pernah disebut sebagai

”kejutan masa-depan”, the future shock, kini jadi sebuah masalah epistemologis: bagaimana

kita ”tahu” atau ”tak tahu”. Kita ”tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di

ranjang”, tapi juga banyak hal lain tak kita ketahui. ”Kejutan masa-depan” mempercepat

masa-kini jadi masa-lalu, dan menyebabkan masa-lalu berubah dalam gudang kenangan kita,

makin tak stabil dan makin tak mudah diidentifikasi.

Maka jadi problematis pula kesatu-paduan kesadaran kita, dan goyah pula posisi kita sebagai

subyek yang ”mengetahui”. Apa artinya ”mengetahui”? Alain Badiou mencerminkan suasana

zaman ini ketika ia membedakan ”pengetahuan” dari ”kebenaran”.

”Pengetahuan” bersifat melanjutkan, mengulang, menerapkan. Sebaliknya kebenaran

bercirikan sifat ”baru”, sesuatu yang ”kawedar”—sesuatu yang kita temui ketika kita

misalnya membaca puisi, menyaksikan karya seni rupa. Badiou mengutip Heidegger tentang

penyair dan kebenaran: ”Penyair selalu bicara seakan-akan ’ada’ diekspresikan buat pertama

kalinya”.

Badiou berbicara tentang ”proses kebenaran”.

Proses itu menyebabkan ”pengetahuan” tak begitu penting dibandingkan pengalaman dan

perbuatan.

Dua abad yang lalu, para literati Jawa membedakan (dan kemudian mencoba mempertautkan)

antara ngèlmu dan laku, antara ”tahu” (dari mana kata ”pengetahuan” berasal) dan perjalanan

dalam hidup dan pengalaman. Jika kini kita memakai dikotomi ini, dalam arus deras

informasi yang berubah terus dengan cepat ini sejauh manakah ngèlmu membentuk laku dan

sebaliknya laku membentuk ngèlmu?

Hubungan antara pengetahuan, isi kognitif kesadaran kita, dan pengalaman jasmaniah, punya

sejarah sendiri. Ada masanya ngèlmu diasumsikan datang dari Tuhan atau sumber ekstra-

Page 65: catatan pinggir

empiris lain, ada masa lain ketika ngèlmu dianggap berasal dari perjalanan di dunia,

”kalakoné kanti laku”, seperti ditulis dalam syair Wedatama yang terkenal.

Dalam sejarah, manusia tak putus-putusnya terlibat dalam ambivalensi. Di satu pihak ada

dorongan untuk melihat kesadaran, sang subyek, sebagai pembentuk pengalaman. Di lain

pihak ada dorongan semangat empiris untuk melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang

berakar pada dan dibentuk oleh pengalaman itu.

Di satu pihak, ada pengakuan bahwa pengalaman empiris hanya mampu menyajikan

”sebagian dari sandiwara sekarang”—dengan kata lain: sesuatu yang niscaya terbatas. Di lain

pihak ada keyakinan bahwa kita mampu melintasi, dengan transendensi, batas itu.

Di satu pihak, ada pengakuan bahwa tak mungkin kita mempunyai sebuah pandangan yang

total, yang menyeluruh, tentang hal ihwal. Pada akhirnya kita akan mengakui bahwa ketika

manusia menulis sejarah—mencatat, menyusun ngèlmu—ia menjalani sebuah laku, sebuah

perjalanan dalam hidup. Di lain pihak, ada kepercayaan bahwa manusia, dengan bantuan

Kitab Suci atau ilmu pengetahuan, melihat pengalaman itu bagian dari totalitas yang belum

diungkapkan kepada kita.

Tapi semakin lama semakin kita tahu, seperti terbersit dari Catetan Th. 1946, kita selalu

mencoba berdiri dari sejarah yang terguncang. Yang tercatat adalah sesuatu yang tak stabil—

tapi itulah bagian yang tak tercampakkan dari diri manusia: laku, terkadang dengan kreatif,

dalam dunia fisik yang rapuh, sementara, kekurangan.

Pada tahun 2009 yang sulit, haruskah kita jeri? Ada satu baris dari Chairil lagi yang bisa

menjawab:

Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!

~Majalah Tempo Senin, 05 Januari 2009~

Diri April 19, 2010

Posted by anick in All Posts, Identitas, Indonesia, Nasionalisme.

trackback

Di hari ketika Aimee Dawis meluncurkan buku Orang Indonesia Tionghoa-Mencari Identitas

pekan lalu di Jakarta, saya berada di Singapura.

Tuan rumah saya, seorang pebisnis, berbicara tak henti-henti. Saya diam dengan sopan.

Akhirnya pada menit ke-40 ia minta pendapat saya. Dengan catatan: ”Anda ini orang Jawa,

tentu Anda akan mengatakannya tak terus terang….”

Saya ketawa masam. Jawab saya: ”Saya tak tahu apa kah saya orang Jawa, atau bukan orang

Jawa.”

Dia bingung. Tapi saya mengerti kenapa dia bingung. Berada di Singapura (atau Malaysia)

saya sering sekali menemui percakapan macam itu: orang akan secara tersirat atau tersurat

Page 66: catatan pinggir

menyebut seseorang dan mengaitkannya dengan ”bangsa Cina” atau ”bangsa Melayu” atau

”bang sa” apa saja dengan suatu sifat yang mereka anggap khas pada ”bangsa” itu.

Berada di dua negeri ini, di mana ethnisitas menguasai kebijakan politik dan kehidupan

sehari-hari, tendensi itu tampak sudah jadi bagian bahasa yang otomatis. Tak mengherankan

bila di sana saya selalu dipandang dan diletakkan dalam satu kotak identitas. Khususnya yang

terkait de ngan ”perkauman”. Kalau saya bergerak dari kotak itu, orang hilang akal. Seperti

halnya tuan rumah saya malam itu.

Di Indonesia agak lain soalnya. Bagi saya, yang mengganggu di sini adalah bagaimana

identitas diterjemahkan dengan istilah yang seakan-akan keramat, yakni ”jati diri”. Saya

selalu berkeberatan tentang ini, karena tak ada yang keramat di dalamnya. Bahkan ketika

orang mengatakan telah menemukan ”jati diri”, orang sebenarnya tak tahu bahwa ”diri” yang

”(se)-jati” mustahil didapat.

”Diri” atau ”aku” lahir selamanya tak pas, bahkan terbelah. Pendekar psikoanalisis Prancis,

Lacan, menemukan bahwa kesadaran akan ”aku” dimulai ketika seorang bocah berada dalam

”tahap cermin”. Si bocah melihat bayangannya di cermin, dan ia diberi tahu bahwa itulah

dirinya: utuh, rata, stabil. Padahal, pada ketika itu juga, dan untuk seterusnya, ada yang tak

tampak pada cermin: bawah-sadarnya, gejolak biologisnya, kedalaman impian dan

traumanya.

Cermin mengeliminasi itu semua. Sebuah kesatuan atau Gestalt pun muncul. Itulah yang,

kata Lacan, ”melambangkan posisi permanen dari ‘aku’”. Ketika kemudian si bocah diberi

nama oleh si ayah bapak yang menguasai bahasa identitas pun dikukuhkan.

Tapi dengan itu identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia dirumuskan oleh nama dan

bahasa sebuah bangunan simbol yang disusun masyarakat. Identitas tam pak sebagai

perbedaan, dan perbedaan tampak karena perbandingan. Perbandingan selamanya mirip mata

rantai yang tak putus-putusnya antara X dan lain-lain di dunia.

Di sini, saya selalu ingat James Baldwin. Pengarang da ri New York ini ia hitam, gay, dan

melarat mening galkan Amerika dan hidup selama 10 tahun di Eropa. Kemudian tulisnya:

”Aku bertemu dengan banyak sekali orang selama di Eropa. Aku bahkan berjumpa dengan

diriku sendiri.”

Kesadaran akan diri sendiri itu sekaligus kesadaran akan orang lain. Bahkan sifatnya

mengandung antagonisme. ”Identitas ditanya hanya ketika ia terancam,” kata Baldwin, ”…

atau ketika si orang asing datang memasuki gerbang.”

Dalam Mein Kampf, ada satu cerita Hitler. Ketika ia masih muda, pada suatu malam ia

berjalan di pusat kota Wina. Di sana ia bertemu dengan sesosok bayangan berkaftan hitam

dan berambut hitam dikepang. ”Yahudikah ini?” Hitler bertanya pada diri sendiri. Setelah ia

amati lebih jauh, ia bertanya kembali dalam hati: ”Orang Jermankah ini?”

Hitler tak bertanya apakah si bayangan itu seorang seniman atau seorang profesor. Ia

mempersoalkan identitas ethnisnya karena baginya itulah yang terpenting. Tapi dengan itu ia

menganggap identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir karena antagonisme yang

diyakininya adalah sesuatu yang permanen.

Page 67: catatan pinggir

Baldwin, yang terlunta-lunta, orang yang dipojokkan dalam kerangkeng identitas (hi tam,

gay, asing), menampik itu. Baginya iden titas lebih mirip ”garmen yang menutupi

ketelanjangan diri”. Baginya, lebih baik gar men itu dikenakan dengan agak longgar, seperti

pakaian di padang pasir: akan tampak, atau akan dapat diperkirakan, diri yang telanjang yang

terbungkus di sana. Bahkan bagi Baldwin, orang harus punya ”kekuatan untuk mengganti

jubahnya”.

”Anda orang Jawa…,” kata tuan rumah saya, dan saya tersenyum masam. Saya seperti

Baldwin: bagi saya, yang penting bukanlah identitas, yang menyetrap saya dalam sebuah

kotak dan seperangkat baju resmi. Bagi saya, yang penting adalah manusia sebagai agency,

pelaku.

Politik identitas sejak 1970-an punya peran dalam pembebasan orang hitam dan perempuan

dan mungkin minoritas lain yang tak diakui. Tapi politik identitas selamanya mengacaukan

kenyataan bahwa identitas itu se sekali perlu (ketika ia ”terancam”) tapi tak pernah benar-

benar hadir.

Ia konstruksi atas multiplisitas yang inkonsisten, yang serabutan. Untuk meminjam kata-kata

Alain Badiou da lam konteks lain, identitas adalah hasil ”compter-pou run”, ”menghitung

buat jadi satu”. Dengan kata lain, dengan meneguhkan identitas, aku meletakkan diri sebagai

pemersatu dari segala yang carut-marut dan tak terduga dalam diriku.

Maka aku pun jadi Sang Tunggal: di luarku, terkadang terasa mengancam, bergelombang

perbedaan-perbedaan yang membentuk hidup nun di sana dan hidup dalam hidupku. Dan

identitas itu adalah bagian dari paranoiaku.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 19 April 2010~

Drupadi April 30, 2007

Posted by anick in All Posts, Kisah, Tokoh.

trackback

SIAPAKAH yang mendengar suara Drupadi ketika ia diseret pada rambutnya yang panjang

ke balairung perjudian itu? Semua. Semua mendengar. Tapi tak ada yang menolongnya.

Yudhistira, suaminya, yang telah kalah dalam pertaruhan, membisu. Juga Arjuna. Juga

Nakula dan Sadewa. Hanya Bima yang menggeratakkan gerahamnya dalam rasa marah yang

tertahan, hanya Bima yang berbisik, bahwa Yudhistira telah berbuat berlebihan, karena

bahkan pelacur pun tak dipertaruhkan dalam pertandingan dadu. ”Ketika kau jadikan kami,

adik-adikmu, barang taruhan, aku diam, karena kau, kakak sulung, adalah tetua kami. Kami

bahkan rela jadi budak ketika kau kalah. Ketika kau jadikan dirimu sendiri barang

pembayaran, kami juga diam, karena kau sendirilah yang menanggungnya. Tapi apa hakmu

mengorbankan Drupadi di tempat ini? Apa hakmu, Kakakku?”

Yudhistira membisu. Semua hanya menyimak, juga para pangeran di arena itu, juga Baginda

Destarastra yang—dalam gelap matanya yang buta—toh pasti mendengar, dan menyaksikan,

malapetaka yang tengah terjadi: para Pandawa telah menerima tantangan berjudi para

Kurawa, dan Yudhistira yang lurus hati itu dengan mudah kalah, oleh Sangkuni yang pintar,

Page 68: catatan pinggir

sampai milik penghabisan. Harta telah ludes. Kerajaan telah terambil. Adik-adiknya telah

tersita. Juga dirinya sendiri, yang kini duduk bukan lagi sebagai orang merdeka. Lalu

Drupadi, putri dari Kerajaan Pancala yang terhormat itu….

Bersalah apakah wanita ini, kecuali bahwa ia kebetulan dipersunting putra Pandu? Dursasana,

yang matanya memerah saga oleh mabuk, oleh kemenangan dan berahi, menyeretnya pada

rambut. ”Budak!” seru bangsawan Kurawa itu seraya mencoba merenggutkan kain Drupadi.

”Hayo, layani aku, budak!” Suara tertawa—kasar dan aneh karena gugup—terdengar di

antara hadirin. Sangkuni ketawa. Duryudana ketawa. Karna ketawa.

Bima, mendidih sampai ke ruas jantungnya, gemetar, mencoba menahan katup amarah,

menyaksikan adegan kemenangan dan penghinaan itu. Api seperti memercik dari wajahnya,

dan tinjunya yang kukuh mengencang di ujung lengan, tapi Arjuna menahannya. ”Apa boleh

buat, Bima,” kata kesatria tengah Pandawa ini, ”merekalah yang menang, mereka tak menipu,

dan Yudhistira tahu itu—perjudian ini juga sejak mula tak ditolaknya.”

”Baiklah, baiklah,” sahut Bima. ”Jangan tegur aku lagi. Tapi dengarlah sumpahku” (dan ia

tiba-tiba berdiri, mengeraskan suaranya hingga terdengar ke segala penjuru). ”Hai, kalian,

dengarlah sumpahku: kelak, dalam perang yang menentukan antara kita di sini, akan kurobek

dada Dursasana dengan kuku-kuku tanganku” (dan suara Bima terdengar seperti raung,

muram, menggeletar), ”lalu akan kuminum darahnya, kuminum!”

Balairung seolah baru mendengarkan petir menggugur. Beberapa bangsawan Kurawa

mendeham mengejek—bukankah ancaman Bima itu omong kosong, karena ia secara sah

telah jadi budak—tapi sebagian tiba-tiba merasa ngeri: rasanya memang sesuatu yang tak

pantas telah terjadi di tempat terhormat ini.

Tapi, siapakah yang akan menolong Drupadi?

Sekali lagi, Dursasana mencoba menanggalkan kain dari tubuh istri Yudhistira itu. Kain

terlepas…. Tapi entah mengapa, laki-laki perkasa itu tak kunjung berhasil menelanjangi

wanita yang bingung dan pasrah itu. Mungkin ada keajaiban dari langit, mungkin Dursasana

terlalu meradang oleh nafsu, mungkin anggur telah memuncak maraknya di kepala: di

depannya, ia seakan-akan menghadapi berlapis-lapis kain yang menjaga kulit yang lembut

itu. Tiap kali selembar terenggut oleh tangannya yang gemetar, tiap kali pinggul Drupadi

seolah tertutup kembali. Dan Dursasana, pada klimaksnya, terkapar.

Ruangan agung itu seolah-olah melepas napas: memang ada sesuatu yang melegakan ketika

adegan yang menekan saraf itu berakhir begitu hambar. Tapi tidak: persoalan Drupadi belum

selesai. Dan kini wanita itu datang, setengah merangkak, ke hadapan para bangsawan tua

yang selama ini menyaksikan semuanya dengan mata sedih tapi mulut tertutup.

”Paduka, berhakkah Yudhistira mempertaruhkan diri hamba, berhakkah dia merasa memiliki

diri hamba, ketika ia tidak memiliki lagi diri dan kemerdekaannya?”

Kali ini Resi Bhisma—yang termasyhur arif dan ikhlas itu—menjawab, ”Aku tak tahu,

Anakku. Jalan darma sangat subtil. Mana yang benar, mana yang tidak, bahkan orang yang

paling bijaksana pun kadang-kadang hanya menduga. Cobalah kau tanya Yudhistira sendiri.”

Page 69: catatan pinggir

Tapi tak ada ucapan yang terdengar. Hanya, saat itu, di luar menggores jerit burung, dan

suara anjing menyalak, dan langit malam seperti retak. Agaknya sesuatu, yang bukan

termasuk dalam ruang judi para raja itu, yang bisa menjawab: tak seorang pun dapat memiliki

orang lain, juga dalam kemenangannya yang sah. Berlapis-lapis batas tetap memisahkan

antara Drupadi dan penaklukan, antara hamba dan tuan.

~Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIII/30 April – 06 Mei 2007~

Catatan: Naskah ini pernah dimuat di Tempo edisi 24 Januari 1987

El Cambio Agustus 4, 2008

Posted by anick in All Posts, Amerika, Demokrasi, Politik, Tokoh.

trackback

Akhirnya, Obama kembali ke dalam kisah yang biasa: sejarah politik adalah sejarah kembang

api.

Pada suatu hari yang gelap, sebuah partai atau seorang tokoh politik dengan cepat terlontar

bercahaya ke angkasa, bak bintang luncur dengan suara riuh. Tapi tak lama kemudian, ia tak

tampak. Ia malah mungkin jatuh sebagai arang yang getas.

Ketika Obama masuk ke gelanggang persaingan untuk jadi calon presiden, ia seperti

kembang api. Ia berseru, Change!—dan sebagai orang kulit berwarna pertama dalam posisi

itu sejak Amerika berdiri pada abad ke-18, ia seakan-akan pengejawantahan ”perubahan” itu

sendiri.

Tapi benarkah? Waktunya memang tepat. Amerika Serikat kini dalam titik terburuk. Presiden

Bush hanya bisa mengulang kata-kata klise untuk kebijakan yang kuno dan keliru: jingoisme

ala Perang Dingin, paranoia politik ala tahun 1950-an, dan ekonomi pasar yang memproduksi

pengangguran seakan-akan John Maynard Keynes belum lahir. Perang ”antiterorisme”-nya

gagal menyetop bom yang diledakkan dengan pekik ”anti-Amerika”. Perang Irak-nya

berangkat dengan kebohongan besar dan berlanjut tanpa diketahui kapan selesai. Amerika tak

lagi punya wibawa moral dalam perjuangan demokrasi: ia melanggar hak asasi manusia tanpa

malu-malu bertahun-tahun di Guantanamo.

Dengan latar seperti itu, Obama menggugah. Tapi benar dahsyatkah ”perubahan” yang

disuarakannya?

Demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri—juga ketika keadaan buruk dan harus

dijebol. Pemilihan umum adalah mesin yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara

terkurung dalam ”kurva lonceng”: sebagian besar orang tak menghendaki perubahan yang

”ekstrem”. Statistik menunjukkan ada semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang

mengguncang-guncang. Terutama di masyarakat yang melihat diri sendiri dengan puas dan

menyanyi God Bless America tanpa jemu. Statistik itu status quo.

Dalam haribaan ”kurva lonceng”, Obama jinak. Ia tak akan bersedia mengubah politik

Amerika dengan yang baru yang menggebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan

pandangannya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencari dukungan lobi Israel

di Amerika, tak akan nekat bilang akan mengajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak akan

Page 70: catatan pinggir

berani menampik sepenuhnya hak orang Amerika memiliki senjata api pribadi, meskipun

korban kekerasan di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak akan bertekad mengubah sikap orang

Amerika yang cenderung memandang perang sebagai kegagahan patriotik, bukan kekejaman.

Seraya bersaing ketat dengan McCain, ia—yang memproklamasikan diri sebagai pemersatu

Amerika, negarawan yang akan menyembuhkan negeri yang terbelah antara ”biru” dan

”merah”—akan tampil sebagai si pembangun konsensus.

Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi the audacity of hope. Saya teringat Spanyol

pada 1982, ketika kediktatoran Franco sedang digantikan dengan demokrasi yang gandrung

perubahan. Felipe Gonzáles Márquez, waktu itu 40 tahun, memikat seluruh negeri. Partai

Sosialisnya menawarkan lambang kepalan tangan yang yakin dan mawar merah yang segar.

Semboyannya: Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spanyol sampai empat masa

jabatan. Tapi berangsur-angsur, partai yang berangkat dari semangat kelas buruh yang radikal

itu kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di bawah kepemimpinan Gonzáles, Spanyol

jadi anggota NATO dan mendukung Amerika dalam Perang Teluk 1991. Politik jadi biasa-

biasa saja. Sebagai tanda bagaimana demokrasi tak menginginkan yang luar biasa, Partai

Sosialis menang berturut-turut. Kini orang melucu dengan mengatakan, kata cambio

(”perubahan”) berakhir di kios Cambio, penukaran mata uang.

Mungkin itu indikasi bahwa ”perubahan” pada akhirnya harus dibatasi oleh sinkronisasi -

pengalaman orang ramai dan diatur oleh logika toko serba ada. Tiap kampanye politik kian

mirip dengan advertensi makanan-cepat saji: kita tak tahu persis apa beda isi daging McDo-

nald’s dan Burger King; kita hanya menikmatinya karena melihat banyak orang merasa

menikmatinya; dan kita pun merasa kenyang dan sedikit keren.

Itulah haribaan ”kurve lonceng”—di mana tiap Obama akhirnya akan turun dari ketinggian

gemebyar kembang api. Dalam arti tertentu ia bintang. Tapi ia seperti planet mati: bercahaya,

jika dilihat dari jauh. Dari dekat, ia bukan lagi sebuah otoritas. Kehidupan politik yang

melahirkannya kehilangan greget yang subyektif. Keberanian disimpan dalam laci.

Dengan kata lain, kita hidup dalam masa ”pasca-politik”, seperti kata Agamben. Dengan

tontonan yang digelar oleh dan lewat media massa, satu kenyataan telah disamarkan: tiap

orang telah jadi obyek ”biopolitik”. ”Cacah jiwa” berubah jadi ”cacah badan”; dengan itu

seorang warga dikemas dan dikelola administrasi negara, jadi satuan yang diperlakukan

”sekadar hidup”.

Tentu, ada yang dilebih-lebihkan dalam diagnosis sosial ala Agamben. Tapi itu indikasi

bahwa kita kini perlu memikirkan lagi bagaimana menghadapi demokrasi.

Kita bisa memilih bersikap pragmatis: kita terima cacat demokrasi sebagai yang tak

terelakkan dan kita manfaatkan kelebihannya. Sikap pragmatis bisa menenangkan hati, tapi ia

akan mudah menghalalkan penyumbatan darah dalam tubuh sosial. Artinya akan tertutup luka

dan sakit, dan akan tersingkir hasrat, harapan, dan imajinasi yang berani menuntut sesuatu

yang radikal.

Sebab sejarah politik sebenarnya tak selalu hanya sejarah kembang api. Kita bahkan bisa

membacanya sebagai perjalanan antariksa dalam kisah Star Trek yang belum pernah ditulis:

penjelajahan mendapatkan Ratu Adil dalam ketak-berhinggaan semesta. Kita yakin kita akan

Page 71: catatan pinggir

menemuinya, seraya berusaha mengerti kenapa Kafka berkata: ”Sang Juru Selamat hanya

akan datang ketika ia tak dibutuhkan lagi”.

~Majalah Tempo Edisi. 24/XXXVII/04 – 10 Agustus 2008~

Émile Februari 22, 2010

Posted by anick in Agama, All Posts, Kebebasan.

trackback

Bagaimana cara menodai agama?

11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadilan, Paris, sebuah buku dibakar. Karya

itu berbentuk novel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan anak. Dengan

Émile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah bersalah karena “menganggap semua agama

sama-sama baik”.

Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontarkan tuduhan itu; dalam ini buku,

ujarnya, Rousseau telah “berani mencoba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan

nubuatnya”. Ia “mengejek dan menghujat agama Kristen….”

Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu dirobek dan dibakar, tapi juga agar

Rousseau ditangkap.

Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum bukunya dibakar, Rousseau sudah

meninggalkan Prancis dengan bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari

kereta, bersujud dan mencium tanah: “Yang Maha Tinggi, pelindung kebajikan, terpujilah

tuan; hamba menyentuh sebuah negeri kebebasan!”.

Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya di rumah seorang teman di

wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk pindah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25

aristokrat adminstrator itu – disebut “Dewan Yang Duapuluh-Lima” – karya Rousseau juga

dinyatakan dilarang. Émile dan Du contrat social dianggap “penuh dengan hujatan dan

cercaan terhadap agama”.

Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa Katolik mengutuknya, di Jenewa

penguasa kota yang Protestan Calvinis itu juga memerintahkan agar buah pikiran Rousseau

itu dibasami. Pengarangnya, yang sesungguhnya seorang warga Jenewa, harus ditangkap.

Rousseau pun tetap tinggal di wilayah Bern. Tapi tak lama. Sebulan kemudian Senat wilayah

itu memerintahkannya untuk pergi. Rousseau pun pindah ke sebuah dusun di gunung-gunung

Swiss, Môtiers-Travers.

Ia ingin hidup damai di sini, tak hendak menulis apa-apa lagi kecuali surat-menyurat. Ia

bahkan masuk ke dalam jemaat Protestan setempat. Ia menyambung hidupnya dengan jadi

penyalin partitur musik dan menyulam. Seraya demikian ia tampil tak biasa: ia memilih

berpakaian Armenia, juga ketika ke gereja.

Tak jelas apakah orang percaya betul kepada Rousseau sebagai seorang Krsiten yang alim.

Suatu hari ia mengunjungi seorang aristokrat. Tuan rumahnya menyambutnya dengan

Page 72: catatan pinggir

ucapan, “Assalamualaikum”. Para pastor Calvinis di ibukota daerah itu telah memaklumkan

pengarang Émile sebagai “orang murtad”.

Di saat itu pun gereja Protestan dan Katolik bertemu menghadapinya. Agustus 1762, Uskup

Agung Paris menulis 29 halaman kutukan terhadap Émile.

Tapi benarkah buku itu menodai agama?

Dalam prakatanya, Rousseau mengatakan, tujuan Émile adalah untuk menawarkan sebuah

sistem pendidikan, buat jadi pertimbangan para aulia, bukan untuk para ayah dan ibu. Seperti

Plato, Rousseau ingin memisahkan anak dari pengaruh orang tua yang datang dari generasi

yang salah didik. Tapi pendekatannya tak radikal. Seraya meyakini – seperti kalimatnya yang

termashur dalam Du contrat social– bahwa “manusia dilahirkan merdeka dan di mana-mana

ia terikat rantai” — dalam Émile Rousseau menunjukkan jalan agar manusia bisa menerima

ikatan sosial dengan bebas.

Di situlah peran agama. Ketika Si Émile, tokoh anak yang jadi pusat cerita ini berumur 18, ia

mulai bisa diberi pendidikan agama. Rousseau mengecam atheisme.

Dalam novel ini ada seorang padri dusun, vicaire savoyard, dari pegunungan Alpen Italia,

yang sebenarnya meragukan wahyu para nabi dan mukjizat para santo. Tapi padri dusun itu

tak mau menuturkan keraguannya kepada jemaat. Dengan taat ia jalani ritual Gereja Roma.

Sementara itu ia terus berbuat yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Ia menolak doa yang

meminta-minta; doa baginya adalah lagu puja bagi Tuhan dan ekspresi kita yang merunduk

pada Iradat-Nya. Sang padri tahu, meskipun agama melahirkan kekejaman dan represi,

manfaatnya lebih besar. Agama adalah sebuah karunia.

Tapi justru sebab itu tak perlu kita risau melihat perpecahan dalam agama Kristen. Semua

agama baik sepanjang ia memperbaiki fi’il manusia dan merawat harapan. Sungguh

menggelikan untuk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang berbeda dari agama

kita sebagai hal yang “terkutuk”. Kata sang padri: “Seandainya hanya ada satu agama saja di

muka bumi, dan semua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadi…maka Tuhan

dari agama itu akan merupakan Tuhan yang paling kejam dan tak adil.”.

Di sini kita temukan kembali, dalam ekspresi yang lebih lunak, pandangannya dalam Du

contrat social.

Dalam uraiannya tentang negara imajiner yang diidamkannya, Rousseau menyatakan diri

yakin akan kepercayaan dasar Kristen – dan ia tak berkebaratan bila ada agama yang jadi

“dogma positif” bagi masyarakat. Tapi ia hanya akan mentolerir agama yang menunjukkan

toleransi kepada agama lain. Bagi Rousseau, siapa yang mengatakan “di luar Gereja tak ada

penyelamatan” – siapa yang mempersetankan agama lain — harus dibuang ke luar dari

negerinya.

Dibaca di abad ke-21, apa yang dicita-citakan Rousseau tak mengejutkan lagi; kini makin

tampak bagaimana tak adilnya (dan juga tak mudahnya ) manusia membersihkan sebuah

negeri dari perbedaan iman dan tafsir. Di abad ke-18, ketika ia hidup sebagai orang yang

terusir dari kota ke kota, pendirian Rousseau memang sebuah pengganggu bagi mereka yang

bertopang pada iman sebagai kekuasaan.

Page 73: catatan pinggir

Tapi berangsur-angsur sang pengganggu itu makin tampak tak bisa lagi dibantah. Makin

tampak pula bukan dia yang menodai agama, melainkan lawan-lawannya.

Erasmus Oktober 26, 2009

Posted by anick in Agama, All Posts, Tokoh.

trackback

Ini akhir pekan Erasmus. Saya diminta bicara tentang humanisme dalam pandangan

Indonesia untuk ulang tahun tokoh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 itu di

Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme abad ke-15 Eropa, dan yang

pertama kali saya ingat tentang Erasmus adalah apa yang dikatakan Luther tentang dia. Bagi

Luther, pemula Protestantisme yang pada akhirnya mengambil posisi yang tegas keras

menghadapi Gereja itu, Erasmus ibarat ”belut”. Licin, sukar ditangkap.

Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak mudah menunjukkan di mana ia

berpihak, ketika zaman penuh hempasan pertentangan keyakinan theologis. Pada mulanya ia

membela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam, tapi kemudian ia

menentangnya, ketika Luther dianggapnya semakin mengganas dalam menyerang Roma.

Dalam sepucuk suratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus sendiri mengatakan, ”Satu

kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther karena hamba tak menentangnya;

kelompok lain menyalahkan hamba karena hamba menentangnya….”

Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di zamannya sebagai civilitas. Dalam

kata-kata sejarawan Belanda terkemuka, Huizinga, itulah ”kelembutan, kebaikan hati, dan

moderasi”.

Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti sosok tubuhnya. Kita hanya bisa

melihat wajahnya melalui kanvas Holbein di Museum Louvre: kurus, pucat, wajah filosof

yang meditatif dan sedikit melankolis. Tetapi ia—yang merupakan pengarang terlaris di

masanya ini (seorang penjual buku di Oxford pada 1520 mengatakan, sepertiga bukunya yang

terjual adalah karya-karya Erasmus)—juga seorang yang suka dipuji. Dan di balik sikapnya

yang santun, ada kapasitas untuk menulis satire yang sangat berat sebelah yang menyerang

Paus Julius II. Dalam satire ini, Santo Petrus bertanya kepada Julius di gerbang akhirat: ”Apa

ada cara mencopot seorang Paus yang jahat?” Jawab Julius: ”Absurd!”

Pada akhirnya memang tak begitu jelas bagaimana ia harus diperlakukan. Ia meninggal di

Basel, Swiss, pada 1536, tanpa disertai seorang pastor, tanpa sakramen Gereja. Tapi ia dapat

kubur di katedral kota itu.

Agaknya itu menggambarkan posisinya: seorang yang meragukan banyak hal dalam agama

Kristen, tapi setia kepada Gereja. ”Aku menanggungkan Gereja,” katanya, ”sampai pada

suatu hari aku akan menyaksikan Gereja yang jadi lebih baik.”

Mungkin itulah sebabnya yang selalu dikagumi orang tentang pemikir ini adalah seruannya

untuk menghadapi perbedaan pikiran dengan sikap toleran dan mengutamakan perdamaian.

”Tak ada damai, biarpun yang tak adil sekalipun, yang tak lebih baik ketimbang kebanyakan

perang.”

Page 74: catatan pinggir

Dari sini agaknya orang berbicara tentang ”humanisme Kristen” bila berbicara tentang

Erasmus—atau, dalam perumusan lain, ”rasionalisme religius”. Dalam jenis ”rasionalisme”

ini, skeptisisme dan rasa ingin tahu, curiositas, diolah dengan baik, tapi pada akhirnya tetap

dibatasi oleh apa yang ditentukan agama. Tak mengherankan bila Ralf Dahrendorf menyebut

posisi Erasmus sebagai ”leise Passion der Vernunft”, gairah yang lembut untuk akal budi.

Dalam hal itu, Erasmus memang tak bisa diharapkan akan mengatasi pikiran yang umum di

zamannya—yang tak amat leluasa dan luas. Di abad ke-21 sekarang, rasa ingin tahu yang

dikendalikan oleh iman bukanlah sikap ilmiah maupun filsafat. Itu hanya sikap yang

membuat pemikiran buntu.

Dalam kasus lain, Erasmus juga bisa tidak konsisten. Pernah untuk menghadapi kritik pedas

Ulrich von Hutten—seorang tokoh Reformasi Jerman yang teguh tapi sengsara—Erasmus

ikut bersama para tokoh Gereja di Basel untuk mengusir orang itu dari kota. Dalam kasus

lain, Erasmus memang penganjur jalan damai menghadapi Turki, tapi ia tetap memandang

”Turki” sebagai yang tak setara dengan Eropa yang Kristen.

Pendek kata, pada diri Erasmus ada nilai-nilai yang mengagumkan dari humanisme, tapi juga

ada unsur yang menyebabkan humanisme itu dikecam. Humanisme ini sejak mula—dengan

kegairahannya mempelajari khazanah yang tak hanya terbatas pada kitab agama, tapi juga

karya-karya Yunani kuno yang ”kafir”—yakin bahwa kita, sebagai manusia, dapat

menangkap dunia obyektif dengan menggunakan akal budi. Di dalamnya tersirat asumsi

bahwa (tiap) manusia adalah identitas yang tetap, atau ”diri” dan ”subyek” yang utuh dan tak

berubah. Subyek ini menentukan makna dan kebenaran. Pikiran manusia menangkap dunia

sebagaimana adanya dan bahwa bahasa merupakan representasi dari realitas yang obyektif.

Dalam perkembangannya kemudian, pandangan seperti ini terbentur kepada apa yang jadi

tajam sejak abad ke-19 Eropa. Dan itu ketika manusia, sebagai subyek yang ulung, jadi

penakluk ”yang-lain” di sekitarnya. Ternyata sang subyek tak seluruhnya bisa dikatakan utuh,

tetap, dan rasional. Tak berarti manusia sia-sia.

Erasmus sendiri menulis sebuah karya satire yang termasyhur, Encomium Moriae, yang

dalam bahasa Inggris terkenal sebagai The Praise of Folly. Di dalamnya, folly atau laku yang

gebleg, yang tak masuk akal, dipujikan. ”Tak ada masyarakat, tak ada kehidupan bersama,

yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa sikap gebleg.” Dengan sikap gebleg itulah manusia

mencintai, bertindak berani, termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan dengan sikap

yang tak masuk akal pula ia percaya kepada apa yang diajarkan agama.

Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang menyertai satu sisi dari dirinya

dan satu bagian dari dunianya. Yang lain dan yang tak cocok bahkan tak senonoh itu tak

dapat dibungkam—atau manusia hilang dalam kepongahan dan ketidakadilan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 Oktober 2009~

Eropa April 9, 2007

Posted by anick in Agama, All Posts, Identitas, Islam, Kekerasan, Terorisme, Tokoh.

trackback

Page 75: catatan pinggir

”Aku tahu persis, wahai, Eropa, engkau akan runtuh.”

Kalimat itu tertulis di kertas yang bergelimang darah segar. Mohammed Bouyeri

menuliskannya di antara sederet kalimat lain, kemudian memaklumkannya dengan cara yang

mengerikan.

Setelah ia tembak mati Theo van Gogh dan lehernya ia sembelih di tepi sebuah jalan di

Amsterdam di pagi hari 2 November 2004 itu, ia hunus sebilah pisau lain. Dengan itulah ia

cobloskan kertas bertuliskan statemen itu ke dada mayat si korban. ”Aku tahu persis, wahai

Eropa….”

Dan dunia pun terbelalak: pemuda keturunan Maroko yang baru berumur 26 itu merasa

sedang berjihad melawan kekufuran Eropa, benua tempat ia dibesarkan. Pembunuhan Theo

van Gogh adalah bagian dari ”perang suci” itu. Tapi dunia juga tahu, juga dalam ”benturan

peradaban” yang dibayangkan Bouyeri, Eropa tak runtuh. Eropa hanya terperanjat.

Tiba-tiba benua itu sadar bahwa dari kancah 15 juta orang muslim yang kini tinggal di sana

telah muncul sejumlah orang marah yang mengutip ayat yang marah dan melakukan tindakan

yang marah. Dari Hamburg: Mohammad Atta, pemimpin rombongan Al-Qaidah yang

menabrakkan dua pesawat ke menara World Trade Center pada 11 September 2001; ia orang

Mesir yang jadi radikal selama tinggal di Jerman. Di Madrid: orang muslim lain meledakkan

bom di kereta jalur Cercanías, membunuh 191 orang. Di Amsterdam, Mohammed Bouyeri

menggorok Theo van Gogh. Di London, 7 Juli 2005, setidaknya tiga pemuda muslim

meledakkan diri dengan bom di kereta api bawah tanah dan membunuh 52 orang.

Eropa terperanjat, menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri, bertanya, berdebat—

sebuah proses diagnostik sebelum menemukan terapi. Adakah kekerasan itu bagian dari sifat

dasar Islam sejak khalifah kedua dibunuh? Ataukah ada frustrasi mendalam—seperti yang

dialami para imigran muslim yang merasa dihina dan terasing di tanahnya yang baru—yang

mendapatkan jawaban dan alasannya dalam Kitab Suci?

Sebenarnya orang muslim Eropa bisa ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan itu—sepanjang

mereka mau bertanya dan berdebat di antara mereka. Tapi problem yang berkecamuk ibarat

akar mimang: kian sengit kekerasan dilakukan orang muslim, kian buruk pandangan terhadap

Islam di Eropa, dan kian buruk pandangan itu, kian marah pula orang muslim.

”Tunjukkan padaku apa yang baru yang dibawakan Muhammad, dan yang kita dapat hanya

hal-hal yang keji dan tak manusiawi”—itu kalimat di sebuah kitab di akhir 1391. Bahwa

kalimat itu dikutip lagi pada tahun 2005 oleh Paus Benediktus XVI di sebuah pidato di Kota

Regensburg, Jerman—hingga memicu reaksi sengit orang Islam di seluruh dunia—

menunjukkan betapa panjangnya akar mimang yang membelit Eropa sekarang.

Tapi benua itu bertahan, sebab ada kesediaannya untuk masuk ke dalam proses diagnostik

yang terbuka—antara lain karena Eropa telah berhenti jadi pusat dunia. Sejak akhir Perang

Dunia II, Eropa terbiasa mengakui keterbatasannya sendiri. Dan tentu Sri Paus di Vatikan

yang kecil itu tahu, kata-katanya tak bisa mengubah dunia.

Dua setengah bulan setelah pidato di Regensburg, Sri Paus berkunjung ke Turki. Sebenarnya

kunjungan ini sudah disiapkan sejak 2004, ketika Paus Yohanes Paulus masih bertakhta. Tapi

Page 76: catatan pinggir

setelah ucapannya yang menyakitkan hati tentang Islam, kunjungan Paus punya sisi lain yang

mendesak.

Dan di Masjid Biru, Sri Paus Benediktus XVI bergandengan tangan dan berdoa dengan Mufti

Besar Istanbul….

Adakah Paus ini kembali ke semangat Nostra Aetate? Dokumen itu, yang disusun semasa

Paus Yohanes XXIII dan ditandatangani Paus penggantinya pada tahun 1965, sebuah

dokumen bersejarah. Buat pertama kalinya Gereja menyatakan ”rasa hormat” kepada ”kaum

muslimin”, sebab ”mereka memuja Tuhan yang Esa”, yang ”rahman dan mahakuasa,

pencipta langit dan bumi”.

Kita tak tahu, pernahkah Benediktus yang naik ke Takhta Suci pada tahun 2005 itu antusias

terhadap Nostra Aetate. Dalam sebuah tulisan yang terbit di The New Yorker, 2 April 2007,

Jane Kramer menelaah dengan cermat posisi Benediktus XVI dalam menghadapi Islam.

Benediktus, menurut Kramer, tak amat percaya dialog theologis dengan mereka yang bukan

Kristen akan berguna—bahkan malah mustahil. Baginya, Islam tak mudah ”dimasukkan ke

dalam wilayah bebas masyarakat pluralistik”. Maka tak mengherankan bila sepuluh bulan

setelah ia jadi Paus, Benediktus XVI menggeser dialog antaragama (khususnya dengan Islam)

menjadi dialog kebudayaan.

Ia sangat ragu ”Islam” layak diajak bicara perkara theologis….

Tapi jangan-jangan itulah yang seharusnya terjadi. Muhammad Javad Fariszadeh, duta besar

Iran di Vatikan—seorang filosof yang fasih mengutip Nietzsche, Ricoeur, dan Foucault—

mendukung langkah Benediktus. ”Dialog theologis antaragama akan mati begitu ia lahir,”

katanya sebagai dikutip Kramer. Bahasa theologis akan jadi militan ketika harus

mempertahankan agamanya. Maka dalam dialog, kata Fariszadeh, lebih baik ”tinggalkan

theologi di pintu dan kita datang dengan ’bunga’—dan itu bisa berupa ’kebudayaan’”.

Dalam hal inilah Eropa satu saksi yang penting. Tapi ini ”Eropa” yang tak dibayangkan

Benediktus XVI. Ini bukan sebuah ruang yang ditopang satu atau dua sistem kepercayaan,

bukan sebuah kehidupan yang hanya dibaca secara theologis. Ini Eropa yang mau tak mau

jadi tempat orang saling menawarkan ”bunga”.

Sebab kebudayaan, juga di sini, terbentuk oleh laku, oleh hal yang sepele dan sekuler—

dengan atau tanpa Nostra Aetate: pertandingan sepak bola, lagu pop, film televisi, lotere, dan

perdebatan bagaimana menyehatkan pohon di taman. Itulah yang sebenarnya terjadi di Eropa

berabad-abad: yang disebut ”Eropa” adalah sebuah lalu lintas perdagangan dan pengetahuan,

yang selalu membuka ruang yang kemudian disebut kebebasan, biarpun terkadang susah

payah.

Saya tak tahu bagaimana ia akan runtuh, Bouyeri.

~Majalah Tempo Edisi. 07/XXXIIIIII/09 – 15 April 2007~

Estaba la Madre April 20, 2009

Page 77: catatan pinggir

Posted by anick in All Posts, Elegi, Fasisme, Pepeling.

trackback

”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung…”

Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedihan manusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan

seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.

Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terbandingkan. Tapi pada saat yang sama juga

menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.

Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan militer yang

menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu

orang hilang.

Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis,

mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut

nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio, Renee pun

mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru dikuntit sebuah mobil dengan

nomor polisi Argentina—dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.

Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkatan laut menceritakan apa yang

dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mereka akan dibius

dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat. Dari ketinggian

4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu….

Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak mengingatkan orang lagi akan zaman

yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di

YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesunyian dan pentas gelap,

tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul sejenak di layar. Kemudian: wajah,

puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.

Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan yang tak

lazim. ”Inilah orang-orang gila itu,” begitu kita dengar di pembukaan.

Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain menutupi rambut,

dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip

kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang berkabung, bertanya,

menuntut, karena anak-anak mereka telah dihilangkan. Mereka ”gila” karena di negeri yang

ketakutan itu, mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo,

di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun.

”Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak bisa memaafkan.” Ia pun jadi

salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai

”Para Ibu di Plaza de Mayo”—sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Mula-

mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul.

Berangsur-angsur, jumlah itu jadi 400.

Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas

cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre,

Page 78: catatan pinggir

misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi,

menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya

berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di

Golgotha: ”Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…”—”Ibu itu

di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung.”

Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun

menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia

yang ”hilang”.

Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada

tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan

menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis, mereka

menunggunya untuk makan malam di rumah,” demikianlah paduan suara meningkah. Tapi

Samuel tak kembali.

”Ini pukul sembilan.

Ini pukul 10.

Tengah malam

Fajar datang,

dan ia tak pernah pulang.”

Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah

kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?

Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di

pertengahan 1990-an, ketika ”Tim Mawar” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin

sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan

rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari

kebrutalan dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan

legitimasinya sendiri.

Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan

keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina

maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah

dan mengajukan dalih kebersamaan—hingga terdengar menggelikan:

Hidup kemerdekaan!

Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.

Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang

mengaku.

Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka

Page 79: catatan pinggir

menjerit.

Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya

runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pelbagai sudut di Buenos Aires,

kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: ”Kami tak

memaafkan. Kami tak melupakan.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 20 April 2009~

Eumenides November 2, 2009

Posted by anick in All Posts, Hukum.

trackback

Kita kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi tahukah kita dari mana datangnya

keadilan?

Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari “rasa keadilan”. Kata “rasa” di sini

sebenarnya lebih dekat ke arah “kesadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak

hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melainkan juga tumbuh melalui

proses penghayatan. Dengan kata lain, sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari

hasrat yang kita sebut “rasa keadilan” itu.

Tapi “rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya gelap yang mungkin belum juga

selesai.

Ada masanya “keadilan” kurang-lebih sama dengan pembalasan simetris, sesuatu yang kita

dapatkan dalam cerita silat Hong Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari

Jawa abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas nama keadilan, Ken

Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusapati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi

lex talionis yang mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, “satu mata

dibalas satu mata”.

Tapi jika “keadilan” yang sama artinya dengan dendam itu kita temukan dalam pelbagai

cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya dalam sebuah karya Aeschylus di Yunani

abad ke-5 Sebelum Masehi kita temukan bagaimana “keadilan” itu mengalami transformasi.

Dalam lakon Oresteia yang terdiri dari tiga bagian itu, Agamnenon membunuh anaknya yang

perempuan, dan sebagai pembalasan ia dibunuh isterinya sendiri, ibu si gadis. Dalam kisah

berikutnya, si ibu dibunuh oleh Orestes, anak kandungnya.

Memang kepada sahabatya, Pylades, ia bertanya: “Apa yang kulakukan? Membunuh ibu

sendiri, betapa mengerikan!”. Tapi atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya

melakukan hal yang mengerikan itu juga.

Tak ayal, para dewi pembalasan yang disebut ?????? – yang dalam bahasa Inggris disebut

“the furies” – mengejarnya. Orestes harus membayar perbuatannya dengan nyawanya.

Page 80: catatan pinggir

Namun trilogi ini berakhir dengan sebuah transformasi yang radikal: lex talionis digantikan

dengan sebuah proses peradilan. Dewi Athena datang dan memanggil sebuah dewan juri buat

mengambil keputusan dengan pemungutan suara. Athena sendiri memberikan suara untuk

membebaskan Orestes. Lalu diubahnya para peri pembalasan jadi peri budi baik, eumenides.

Dalam kisah ini, mereka ditanam di bawah gedung pengadilan untuk selama-lamanya.

Boleh dikatakan ini adalah lakon lahirnya hukum yang proses dan sikapnya berbeda sama

sekali: prosedur hukum inilah (yang mencoba menterjemahkan “keadilan”) yang agaknya

yang jadi tauladan di Eropa dan Amerika kemudian, sampai hari ini

Tapi di situ tampak juga, betapa hukum meringkas dan meringkus. Hukum yang diletakkan

dasarnya oleh Athena memotong ingatan; kejahatan masa lampau tak bisa dikenang terus

sepenuhnya. Tak ada dendam tujuh turunan.

Hukum itu juga meringkus: ia tak mengijinkan perasaan pribadi seseorang bergejolak jadi

pedoman memutuskan “pembalasan”. Inilah awal pandangan yang disebut “positivisme

hukum”: para hakim tak boleh menggunakan perasaan dan nilai-niai pribadinya. Mereka

hanya harus mengikuti apa yang digariskan undang-undang – biarpun itu dirasakan tak adil.

Dalam sebuah lakon terkenal Sophocles di masa sesudah Aeschylus, Antigone, positivisme

itulah yang jadi prinsip Raja Kreon. Ia melarang salah seorang putra Oedipus yang tewas

dikuburkan di dalam makam Thebes. Pemuda itu mati dalam peperangan yang melawan

tanahairnya sendiri. Ia pengkhanat. Menurut undang-undang yang berlaku, mayatnya harus

dibiarkan tergeletak dimakan gagak di luar dinding kota.

Bagi Antigone, saudara sekandung pemuda yang mati itu, hal itu tak bisa diterima. Untuk itu

Antigone siap melawan dan mengorbankan diri, karena ia percaya ada hukum yang lebih

luhur, yakni hukum dari dewa-dewa. Sebaliknya bagi Kreon, yang baru saja selesai

berperang: negara tak akan kukuh hukumnya bila ia guyah — meskipun putranya sendiri,

tunangan Antigone, membela gadis yang membangkang itu.

Tapi dari kedua lakon Yunani kuno itu kita bisa tahu: di dasar hukum, di awal hukum, ada

kekerasan yang disembunyikan. Para dewi pembalasan yang tertanam di bawah mahkamah

adalah semacam bawah-sadar hukum positif. Dan kita lihat: hukum Kreon adalah kelanjutan

dari peperangan.

Bahkan hukum mengandung kekerasan sejak awal, ketika undang-undang mereduksikan

hidup seseorang yang unik dan khas jadi oknum yang bisa dikenai hukum yang berlaku

umum. Derrida menyebut reduksi ini “kekerasan klasifikasi”.

Dengan kekerasan itu, di manakah keadilan? Jika keadilan telah diubah jadi sesuatu yang tak

lagi pembalasan dendam, dari manakah keadilan datang? Antigone berbicara tentang hukum

dewa-dewa yang lebih adil, sebab para dewa tahu bahwa seorang manusia tak bisa dianggap

sebagai sekedar sebuah kasus legal.

Tapi pada saat yang sama kita tahu para dewa Yunani kuno ikut dalam percaturan yang

berdarah antara manusia. Rasanya tak ada mereka digerakkan oleh rasa keadilan. Dalam

agama Abrahami, Tuhan disebut maha adil, tapi kita tak paham mengapa, dalam Alkitab,

Tuhan menyengsarakan Ayub walaupun lelaki yang baik dan soleh ini tak berbuat aniaya.

Page 81: catatan pinggir

Persoalan seperti ini menyebabkan riwayat keadilan tak selamanya jelas, dan mungkin

memang tak akan jelas. Tapi tiap kali kita tahu, ketika rasa keadilan kita terkoyak, kita

melihat ke sebuah arah, sebuah cakrawala, yang mengimbau kita dan mungkin mengubah kita

jadi seseorang yang berteriak: “Keadilan, atau kehancuran!”.

Seakan-akan keadilan punya dewi pembalasan yang tak bisa dibenamkan oleh bangunan

mahkamah manapun. Hukum selamanya sebuah kekurangan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 02 November 2009~

Fitna April 7, 2008

Posted by anick in Agama, All Posts, Film, Fundamentalisme, Islam, Kebebasan.

trackback

Kita hidup di sebuah zaman ketika benci bisa jadi advertensi. Jika tuan teriakkan rasa muak,

geram, dan tak sabar tuan kepada sekelompok manusia—dengan teriakan yang cukup keras—

tuan akan menarik perhatian orang ramai. Tuan bahkan akan dapat dukungan.

Geert Wilders tahu betul hal itu.

Dalam umur 44, politikus Belanda ini adalah sosok yang cocok bagi zaman yang celaka

sekarang. Tiap kali ia mencaci maki orang imigran—para ”non-pribumi” muslim yang hidup

di Negeri Belanda—ia dengan segera tampak mumbul seperti balon jingga di langit Den

Haag.

Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengahan Februari 2007, inilah yang

dikatakannya: ”Jika orang muslim ingin hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek

dan membuang setengah dari isi Quran.” Katanya pula: ”Jika Muhammad hidup di sini

sekarang, saya akan usul agar dia diolesi ter dan ditempeli bulu ayam sebagai ekstremis, lalu

diusir….”

Syahdan, 15 Desember 2007, radio NOS pun mengangkat Wilders sebagai ”politician of the

year”. Para wartawan surat kabar yang meliput parlemen memuji kemampuannya

mendominasi diskusi politik dan memperoleh publisitas, berkat ucapan-ucapan ringkasnya

yang pas waktu. Ucapan dengan abab yang panas dan bau tentu.

Demikianlah Wilders jadi tokoh publik yang mendapat tepuk tangan karena benci

memperoleh tempat yang strategis. Pada awal November 2004, sutradara film Theo van Gogh

digorok dan ditikam di sebuah jalan di Amsterdam oleh seorang pemuda Islam, Mohammad

Bouyeri, yang menganggap korbannya layak dibinasakan. Van Gogh, seperti Wilders, adalah

penyebar kebencian yang dibalas dengan kebencian. Tak ayal, dukungan melimpah ke partai

yang dipimpin Wilders. Sebuah jajak pendapat mengindikasikan bahwa partai itu, PVV, bisa

memperoleh 29 dari 150 kursi di parlemen seandainya pemilihan umum berlangsung setelah

pembunuhan yang mengerikan itu.

Kini bisa diperkirakan film Fitna yang dibuatnya akan membuat Wilders lebih berkibar-

kibar—terutama jika benci yang ditiup-tiupkannya disambut, jika orang-orang Islam

meledak, mengancam, atau berusaha membunuhnya. Wilders bahkan memperoleh sesuatu

Page 82: catatan pinggir

yang lebih: bila kekerasanlah yang terjadi, Fitna, yang ingin menunjukkan betapa brutalnya

ajaran Islam, akan dikukuhkan.

Saya menonton film ini di Internet. Saya tak menikmatinya. Isinya repetitif. Apa maunya

sudah dapat pula diperkirakan. Dimulai dengan karikatur terkenal dari Denmark, karya Kurt

Westergaard itu—gambar seorang berpipi tambun dengan bom di kepala sebagai sorban

hitam, yang dikesankan sebagai ”potret” Nabi Muhammad—film ini adalah kombinasi antara

petilan teks Quran dalam terjemahan Inggris, suara qari yang fasih membacakan ayat yang

dimaksud, dan klip video tentang kekerasan atau kata-kata benci yang berkobar-kobar.

Ayat 60 dari Surat Al-Anfal yang ditampilkan pada awal Fitna, misalnya—perintah Allah

agar umat Islam menghimpun kekuatan dan mendatangkan rasa takut ke hati musuh—diikuti

oleh potongan film dokumenter ketika pesawat terbang itu ditabrakkan ke World Trade

Center New York, 11 September 2001. Kemudian tampak pengeboman di kereta api di

Madrid. Setelah itu: seorang imam yang tak disebutkan namanya bangkit dari asap,

menyatakan: ”Allah berbahagia bila orang yang bukan-muslim terbunuh”.

Pendek kata, dalam Fitna, Quran adalah buku yang mengajarkan khotbah kebencian yang

memekik-mekik dan tindak biadab yang berdarah. Wilders sebenarnya hanya mengulang

pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De Volkskrant: Quran, baginya,

adalah ”buku fasis” yang harus dilarang beredar di Negeri Belanda, seperti halnya Mein

Kampf Hitler. ”Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan.”

Salahkah Wilders? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool konon menyatakan, setelah

membandingkan film itu dengan Quran secara keseluruhan, ”Saya lebih suka bukunya.” Sang

penulis resensi, seperti kita, dengan segera tahu, Wilders hanya memilih ayat-ayat Quran

yang cocok untuk proyek kebenciannya. Semua orang tahu, Quran tak hanya deretan pendek

petilan itu. Dan tentu saja tiap petilan punya konteks sejarahnya sendiri.

Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat yang lebih dasar: ia berasumsi

bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat

kemungkinan bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam dengan mulut

yang penuh api—mereka itulah yang mengkonstruksikan Quran hingga jadi sehimpun kata

yang berbisa. Ajaran tak selamanya membentuk perilaku; perilaku justru yang tak jarang

membentuk ajaran.

Tapi dalam hal itu Wilders tak sendiri. Kaum ”Islamis” juga yakin, ajaranlah yang mampu

membentuk manusia. Dan seperti Wilders, mereka juga memilih ayat-ayat yang cocok untuk

agenda kebencian mereka. Dan seperti Wilders, mereka tak mengacuhkan konteks sejarah

ketika sebuah ayat lahir.

Benci memang bersifat substraktif. Benci membuat pelbagai hal jadi ringkas—dan membuat

sang pembenci tegas, jelas, menonjol. Benci adalah advertensi Wilders dan iklan para imam

dengan demagogi ”Islam”.

Itulah sebabnya Wilders salah tapi dibenarkan. Ia salah, bila ia hendak menunjukkan

hubungan antara Surat Al-Anfal ayat 39 dan pemenggalan leher wartawan Eugene Armstrong

menjelang akhir film. Tapi bukankah para algojo itu melakukannya karena merasa mengikuti

firman Tuhan?

Page 83: catatan pinggir

Apa mau dikata: inilah zaman ketika firman berkelindan dengan fitnah, ketika yang sakral

bertaut dengan yang brutal. Kita hidup pada masa ketika Jonathan Swift, satiris penulis

Gulliver’s Travels dari abad ke-17 itu, terdengar kembali arif dan sekaligus menusuk: ”Kita

punya agama yang cukup untuk membuat kita membenci, tapi tak cukup untuk membuat kita

mencintai….”

~Majalah Tempo Edisi. 37/VII/07 – 13 April 2008~

Formula Agustus 20, 2007

Posted by anick in Agama, All Posts, Demokrasi, Nasionalisme.

trackback

Tiap gagasan luhur butuh sebuah cemooh. Dalam rekaman sejarah, manusia berkali-kali

menggagas sebuah masyarakat yang sempurna, tapi akhirnya ia perlu sepotong khayal yang

agak lucu. Ia perlu Raja Utopus.

Kini kita akan berpihak pada fantasi Thomas More itu. Utopus berhasil membangun sebuah

negeri yang tanpa sengketa, tanpa ketimpangan, dan tanpa keserakahan—tapi untuk itu ia

harus menggali sebuah kanal dan menegakkan tembok tinggi. Negeri yang sehat walafiat itu

mesti dipisahkan dari negeri lain agar tak kena pengaruh buruk. Kesempurnaan hanya bisa

terjadi dalam isolasi, dan isolasi hanya bisa dengan paksa. Sebelum Kim Il-sung dan anaknya

di Korea Utara, Raja Utopus tahu akan hal itu.

Utopia, negeri itu, akhirnya bukan sesuatu yang layak diidamkan—atau sebuah

kesempurnaan yang mustahil. Dalam kata ”Utopia” (yang bergerak antara uo-topos yang

berarti ”tak bertempat” dan eu-topos yang berarti ”tempat yang baik”) terkandung ironi.

Dalam hal ini, Utopia Thomas More, yang diterbitkan pada awal abad ke-16, telah

mendahului suara akhir abad ke-20.

Pada akhir abad yang lalu, terbukti pelbagai angan-angan luhur telah gagal untuk membuat

manusia bahagia. Terbitlah keperluan buat mengambil jarak dari cita-cita kita sendiri; kita

harus meledeknya sedikit. Keraguan sebaiknya terbit sekali-sekali. Ironi itu sehat.

Tapi ironi mudah mati. Sampai sekarang pun tiap hari ia dihukum gantung di lapangan

umum. Derap langkah mereka yang marah, yang penuh keluh dan protes kepada keadaan,

dengan cepat akan membabatnya. Di pihak lain, mereka yang meluap-luap memimpikan

dunia baru yang bagai surga juga akan memberantasnya. Benar, tiap gagasan luhur butuh tak

hanya doa, tapi juga cemooh, namun cemooh selalu dicap subversi, pengkhianatan, atau

paling sedikit pemborosan waktu.

Saya kira tak adanya ironi itulah yang tampak mencolok ketika Hizbut Tahrir menghimpun

70 ribu orang di Jakarta pekan lalu. Organisasi ini mencita-citakan berdirinya kembali

”khilafah” di dunia Islam, dan sekaligus ia menolak demokrasi. Tak tampak usaha

mengambil jarak dari desain besar itu, tak terdengar selintas pun keraguan—apalagi

cemooh—yang dibiarkan mengganggu. Tampaknya tak diperlukan segera renungan dan

jawaban: Bagaimana sang ”khalifah” di pucuk pimpinan ditentukan? Oleh siapa? Bagaimana

membentuk kekuatan yang bisa menghapus dan mengatasi kedaulatan nasional yang

terbangun selama ini?

Page 84: catatan pinggir

Ironi bukan kenakalan. Ia menandai sebuah kearifan. Sebenarnya kearifan itu bisa datang dari

sejarah dunia muslim sendiri—jika sejarah ditafsirkan sebagai jalan hidup manusia yang

banyak salah, proses di mana kesucian berhenti.

Tapi dengan sikap jiwa yang merasa terpuruk di jurang yang ruwet, para ideolog ”Islamisme”

hanya melihat masa lalu seperti langit jernih penuh bintang. Seakan-akan di sana tak pernah

ada prahara, bahkan hujan darah. Seakan-akan tak pernah ada Murad III (1574-95) yang

punya 103 anak dari sederet istri—sebuah keadaan yang menyulitkan soal kekuasaan dalam

khilafah Usmani. Anaknya, Muhammad III (1595-1603), memulai bertakhta dengan

membunuh 19 orang saudaranya sendiri. Murad IV (1623-40) melakukan hal yang sama, dan

hanya membiarkan seorang adik hidup hanya karena si adik lemah mental.

Pendek kata, sejarah—yang selamanya penuh dengan ketidakpastian—tak diantisipasi

dengan sebuah sistem yang dapat mengelola ketidakpastian secara teratur, tanpa kekerasan,

tanpa darah. ”Islamisme” gagal belajar dari kondisi itu. Yang dijalankannya adalah ”politik

kesempurnaan”: karena Islam dianggap sebagai ”jawaban yang sempurna” untuk membangun

sebuah masyarakat yang ”sempurna”, ada usaha menghapus wajah hidup yang tragis dan

cela. Yang tragis, yang kurang, yang negatif, dianggap tak punya peran dalam politik.

Tak mengherankan bila Hizbut Tahrir, didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani, seorang qadi

dari Yerusalem, pada tahun 1953, menampik demokrasi. Demokrasi berdiri dari kesadaran

akan kondisi yang tragis: ”luruhnya marka-marka kepastian”, seperti dikatakan Claude

Lefort. Dengan catatan: la dissolution des repères de la certitude itu tak hanya disadari sejak

Revolusi Prancis. Masa lalu Islam telah memaparkan itu. Setelah Nabi wafat, terbuka ”tempat

yang kosong” yang mau tak mau minta diisi—tapi untuk mengisinya tak seorang pun yang

akan setara Rasulullah. Tak seorang pun, tak satu golongan Islam pun, yang dapat

mengartikulasikan ke-Islam-an secara sempurna. Si pengisi harus bersedia diganti, atau akan

terpaksa diganti. ”Tempat kosong” itu tak akan kunjung penuh.

Hidup memang tak cocok buat ”politik kesempurnaan”. Hidup adalah tempat ”politik

kedaifan”—politik yang lebih tawakal dan tak cepat marah. Manusia berubah tapi

keterbatasan menyertainya. Ia makhluk yang dilahirkan kurang. Peradaban justru lahir dari

keadaan kurang yang tragis itu. Dostoiwesky benar ketika dalam catatan hariannya ia

menulis: ”Semut tahu formula bukit semut mereka, lebah punya formula sarang mereka….

Tapi manusia tak punya formulanya sendiri.”

Sebuah formula memang ditawarkan Raja Utopus. Tapi ia makhluk khayal yang tak dengan

sendirinya menyenangkan bila malam tiba. Di Utopia, bunyi trompet akan terdengar pada

jam-jam tertentu, isyarat bahwa 30 keluarga akan bersantap bersama-sama dalam sebuah

komunitas. Dunia privat praktis hilang. Keseragaman memerintah. Rumah dan kota semua

tampak mirip. ”Kalau kamu sudah melihat satu, kamu sudah melihat semuanya,” kata tokoh

dalam Utopia yang mengisahkan negeri ajaib itu, Raphael Hythloday.

Dalam bahasa Yunani, konon hythloday berarti ”pembicara omong-kosong”. Kita geli. Tapi

bukankah di awal dan di akhir, ironi tak bisa diabaikan, dan cemooh bagian dari jalan ke

kebenaran?

~Majalah Tempo Edisi. 26/XXXIIIIII/20 – 26 Agustus 2007~

Page 85: catatan pinggir

Fortinbras Desember 8, 2008

Posted by anick in All Posts, Kisah, Sastra, Sejarah, Tokoh.

trackback

DI tiap tikungan sejarah, orang akan menemukan seorang Fortinbras. Pangeran Norwegia

yang masih muda ini hanya punya peran kecil dalam Hamlet Shakespeare, tapi dalam

dirinyalah tindakan adalah keluhuran tapi juga absurditas.

Pada suatu hari, di sebuah padang rumput di luar kota, Hamlet menyaksikan pangeran itu

menggelar pasukan: 20 ribu prajurit yang siap ”masuk ke kubur seakan-akan hendak

berangkat tidur”. Dan semua itu hanya untuk merebut beberapa hasta tanah yang tak berarti,

petak yang begitu kecil hingga tak cukup untuk jadi makam tempat ”mereka yang terbunuh

[akan] disembunyikan”.

Tapi agaknya itulah yang membedakan manusia dari hewan: bahkan demi ”sekerat cangkang

telur” pun orang macam Fortinbras siap menantang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang

tak dapat diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri.

Tentu, ada yang gila, dahsyat, dan merisaukan dalam tiap kepahlawanan. Tapi kegilaan dan

kedahsyatan Fortinbras menggugah Hamlet. Akhirnya pangeran perenung dari Istana Elsinore

ini menyimpulkan betapa salahnya orang yang larut dalam pikiran—”yang sebagian membuat

kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut”. Sejak hari itu, Hamlet menentukan sikap:

ia akan bikin pikirannya ”berlumur darah”—atau sama sekali tak berharga.

Demikianlah ”yang fana dan tak pasti” pun bersiap, nasib dan kemungkinan mati dihadapi.

Orang tak perlu lagi ”memikirkan terlalu persis apa yang terjadi”. Sebab kita tahu

sebagaimana Hamlet tahu: kepastian tentang apa yang benar dan tak benar, adil dan tak adil,

patut atau tak patut, adalah garis-garis yang tak dapat sepenuhnya tajam dan dapat

dikekalkan. Momen keputusan, seperti kata Derrida, selalu merupakan momen yang

mendesak, momen yang digegas. ”Saat keputusan adalah sebuah kegilaan” (ia mengutip

Kierkegaard). Di saat itu yang terjadi adalah interupsi atas pertimbangan pengetahuan, politis,

hukum, dan ethis—tapi itulah kebebasan.

Tapi kita tahu, sejarah juga sebuah sejarah malapetaka. Orang takut akan ”kegilaan”, waswas

akan pikiran ”berlumur darah” dan sikap yang hanya memuliakan tindakan. Tindakan tak

selamanya dihargai sebagai sesuatu yang murni, sepi dari pamrih dan luhur dalam niat.

Dalam salah satu kuliahnya tentang filsafat politik Immanuel Kant, Hannah Arendt menyebut

sebuah parabel Pythagoras tentang festival, yang membedakan sang penonton dari sang

pelaku dalam sebuah pertunjukan pertandingan. Sang pelaku pertandingan tak akan bisa

melihat dari luar gelanggang dan kesibukan dirinya; ia sibuk dengan niatnya memperoleh

kemasyhuran.

Sebaliknya sang penonton: ia melihat semuanya, dan dapat mengambil jarak dari laku yang

terjadi di arena itu. Dialah tamsil sang filosof, orang yang menjalani hidup dengan

mengamati dan merenungkan, bios theôrêtikos. Arendt juga mengatakan bahwa dalam risalah

Plato tentang ”negarawan”, seorang penguasa yang ideal dikatakan tak bertindak sama sekali.

Ia berada di atas perbuatan. Ia ibarat kepala yang sadar bahwa ada kaki-tangan yang bekerja,

Page 86: catatan pinggir

ada bagian yang harus tetap tak tercemar, dan ada bagian yang bila perlu menempuh air yang

bacin dan lumpur yang bernajis.

Tapi bukankah itu menyebabkan Hamlet tak putus dirundung bimbang? Pangeran Denmark

ini, mahasiswa yang perenung ini, harus membalas pembunuhan ayahnya: sebuah kewajiban

yang mengerikan, ketika Denmark berada dalam keadaan seperti ”sebuah penjara”.

Shakespeare menggambarkan anak muda itu berdiri sendiri di salah satu sudut Istana

Elsinore, bergumam dalam solilokui yang paling dikenang dari karya besar ini—gumam

bimbang seseorang yang tiba-tiba mengetahui hal-hal yang dirahasiakan, tapi juga tahu apa

yang mungkin terjadi. Hamlet berdiri di antara nasib dan keputusan, di antara amarah dan

kematian,

Dan rona asli yang mewarnai tekad

jadi kuyu dan lesi, tersaput pikiran pucat

Dan ikhtiar yang bergelora di saat utama

Jadi surut, berpaling jalan

Tak lagi bernama tindakan—

Sampai dengan babak penghabisan, Hamlet tetap tidak bertindak. Tekadnya masih saja

”tersaput pikiran pucat”. Satu hal besar yang berhasil yang dilakukannya justru sebagai

penonton—atau membuat tontonan sebagai substitusi dari tindakan. Di babak III karya

Shakespeare ini tampak ia mengatur sebuah pertunjukan sandiwara yang menyindir Raja,

orang yang kini bertakhta dan mengawini Sri Ratu dan menggantikan ayah Hamlet yang dua

bulan sebelumnya ia bunuh. Tapi salah satu kalimatnya di malam itu, seperti dikatakannya

kepada sahabatnya, Horatio, adalah ”Aku harus seperti tak berbuat apa-apa”.

Saya tak tahu pasti, adakah jalan ini yang dianjurkan Hamlet sebenarnya. Ia telah

menyaksikan Fortinbras. Ia telah merenungkan, dalam hidup sehari-hari, banyak laku

berlangsung tanpa kita mengetahui sepenuhnya apa yang akan terjadi, apa yang sebelumnya

ada, dan sejauh mana yang kita lakukan benar. Agama, ideologi, dan ilmu-ilmu acap kali

menganggap itu sebagai cela. Tapi benarkah itu sebuah cela, bukannya malah sebuah

kebebasan?

Mungkin itu sebabnya di tiap tikungan sejarah, kita akan digerakkan seorang Fortinbras. Pada

akhirnya, di satu ujung jalan, kita akan tahu, tiap proyek manusia selalu serba-mungkin, labil,

dan rentan. Tiap pemecahan masalah kehidupan senantiasa bersifat coba-coba; tak ada yang

untuk selama-lamanya. Kita mungkin hanya selamat kalau kita sadar bahwa yang kekal

adalah ilusi.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Desember 2008~

Fouda Maret 3, 2008

Page 87: catatan pinggir

Posted by anick in Agama, All Posts, Buku, Elegi, Fundamentalisme, Islam, Kebebasan,

Kekerasan, Kisah, Tokoh, Tuhan.

trackback

Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang

bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-luka parah. Kelompok

Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.”

Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari sebelum itu

sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah

menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muhammad al-Ghazali,

membela para algojo: tindakan mereka adalah pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang

yang murtad.

Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 46, orang

yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan

Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat kata pengantar

Samsu Rizal Panggabean.

Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran Buku Kairo.

Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad

al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara agama dan politik, negara dan

agama, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah.

Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah al-

Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-

sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin menegakkan “negara Islam” berdasarkan

ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.

Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut

dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu

“zaman biasa”.

Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian kesimpulan

Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.”

Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan,

khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644

itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir kekuasaannya 12 tahun

kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang

murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak.

Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa

“bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak

ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua

berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat

dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah

pekuburan Yahudi.

Page 88: catatan pinggir

Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh

Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã

karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya

bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya

terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.

Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu saja mereka tak

hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang

kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang

pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan.

Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan

melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”), orang-orang Islam di bawahnya pun

menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka

Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi.

Mereka gagal. “Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,”

tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman–lalu membunuhnya,

lalu menistanya.

Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut

dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang

sangat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan

si penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu

pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.

Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, setelah lima

tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang

kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya

ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan

lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar.

Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul

al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi

tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam

keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-

Saffah pun mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai ke

kuburan.

Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat itu pun didera,

disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup,

apa lagi….

Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah “Si Jagal”, orang macam Fouda harus dibunuh. Ia

mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu kemutlakan. Tapi itu terjadi di

Mesir lebih dari 10 tahun yang silam–bukan di Indonesia. Mungkin ini ciri Islam yang

mengagumkan di sini: justru Departemen Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang

Hilang.

~Majalah Tempo Edisi. 03 – 09 Maret 2008~

Page 89: catatan pinggir

Gandhari Januari 1, 2007

Posted by anick in All Posts, Kisah, Perang, Perempuan.

trackback

Ia bisa diselamatkan dari para penujum, tapi bisakah ia dibela dari nasib? Sejak Raja Subala

mendengar ramalan buruk itu, ia perintahkan agar siapa saja yang hendak membaca masa

depan tak diperkenankan masuk ke istana. Baginda tak akan lupa ucapan brahmana yang

datang di musim semi itu—penujum terakhir yang diantar dengan bergegas ke luar balairung:

”Kelak, putri Paduka akan hidup dalam gelap, mungkin karena getir.”

Tentu saja Gandhari tak mendengar kata-kata itu.

Tapi ia praktis hidup dengan sejenis tabir. Ayahnya, Raja Subala yang lembut hati,

memerintah sebuah kerajaan kecil yang tenang nun di utara, di bagian bumi yang kini disebut

Kandahar. Tapi itu ketenangan yang rapuh. Ketika pada suatu hari datang utusan dengan

sepucuk surat yang ditulis Bhisma, sang wali penjaga takhta kerajaan Hastina, Raja Subala

tak bisa menampik. Kerajaan Hastina di seberang itu begitu kuat. Lagi pula surat itu sebuah

pinangan. Siapa tak akan terbujuk jika Bhisma menyatakan Gandhari akan dipersandingkan

dengan raja muda Destarastra dari wangsa Bharata?

Yang waktu itu tak diberitahukan kepada Gandhari dan keluarga kerajaan Gandara ialah

bahwa sang calon mempelai seorang yang buta; Destarastra seorang yang lemah. Kerajaan

Hastina praktis diperintah Pandu, adiknya yang lahir dari ibu yang berbeda. Si muka pucat

yang jadi pendekar perang dan penakluk wilayah inilah yang memegang tampuk, sampai

akhirnya ia meninggalkan takhta, hidup di hutan dan meninggal sebagai resi. Sejak itu

Destarastra memerintah sendiri.

Gandhari berjumpa pertama kalinya dengan calon suaminya, raja muda yang dituntun itu, di

kursi pelaminan. Ia terkejut. Bukan kebutaan itu yang terutama mengganggunya, tapi sikap

laki-laki itu yang seakan-akan selamanya bingung, setengah pasrah setengah degil—seorang

muda yang jadi ringkih di bawah bayang-bayang keagungan Bhisma dan keperkasaan

Pandu.…

Tapi bisakah ia ditampik? Beranikah Gandhari membuat murka Bhisma hingga

membahayakan kerajaan ayahnya?

”Ah, aku bukan kakakmu,” ia pun menulis surat ke adik-adiknya di Gandara. ”Aku hanya

sebaris tugas. Aku bukan perempuan. Aku perpanjangan dari takhta kita yang ringkih.”

Adik-adiknya, terutama Sengkuni, marah mendengar penderitaan kakak mereka, tapi mereka

tak mampu berbuat banyak. Hanya Sengkuni yang kelak—setelah ia berhasil mendapatkan

posisi penting di Hastina—dengan cerdiknya membalas dendam: dengan tipu muslihat ia

mempercepat meletusnya perang saudara yang membunuh mati Bhisma dan membinasakan

keluarga Bharata.

Tapi sebelum itu, di kamarnya di Hastina, Gandhari hidup seperti murai yang terjepit.

Dayang tua yang mendampinginya sejak kecil menangis. Ia teringat bisik-bisik yang

didengarnya dulu: ada nujum seorang suci dari selatan yang tak boleh disiarkan.

Page 90: catatan pinggir

Tapi nujum bisa dibungkam, nasib tidak. Dan yang tak adil tiap kali datang.

Kita bisa mengatakan, Gandhari adalah sebuah cerita tentang datangnya yang tak adil. Yang

jarang ditafsirkan dari Mahabharata ialah bahwa perempuan ini justru yang menunjukkan apa

yang cela dalam diri Bhisma, tokoh agung itu. Bhisma—sebuah sumpah yang dahsyat.

Bhisma—putra mahkota yang berjanji berkorban bagi ayahnya, untuk tak akan pernah

memegang tampuk kekuasaan dan tak akan pernah menurunkan anak yang kelak akan

berkuasa. Bhisma—yang bersedia membiarkan Hastina diperintah anak-cucu Setiawati,

permaisuri baru yang telah memikat hati si ayah, sang baginda tua. Bhisma—sebuah sikap

mulia yang diberkati para dewa dengan Ichcha Mrityu, kemampuan menentukan saat

kematiannya sendiri. Bhisma—sebuah tauladan gilang-gemilang.

Tapi bukankah ia sebenarnya juga satu kekuatan yang memaksa? Bukankah dulu patriarkh ini

juga yang memperlakukan Ambika dan Ambalika, dua perempuan yang ketakutan—yang

masing-masing melahirkan Destarastra dan Pandu—hanya sebagai hasil sayembara

ketangkasan? Hadiah yang perlu didapat untuk memproduksi anak?

Bhisma: sebuah kontradiksi. Yang agung dan gilang-gemilang ternyata menyimpan yang

brutal dan timpang. Memang mulia keputusannya untuk tak mau duduk di takhta, tapi ia

sebenarnya berkorban untuk seorang ayah yang tak mau berkorban. Ia meneguhkan sebuah

egoisme. Ia memang teguh memegang sumpah, tapi dengan demikian ia tak mencegah ketika

Hastina harus dipecah jadi dua untuk memuaskan para pangeran keluarga Bharata yang

berasal dari rahim dua ibu.

Gandhari memang tak menggugat itu. Tapi ia, si pelengkap penderita dalam epos keluarga

Bharata, justru mengungkap banyak hal. Ini dimulai ketika ia memutuskan untuk menutup

kedua matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati, agar tak melihat apa-apa.

Aduhai, ia istri yang setia, puji sebagian orang: perempuan yang bersedia mengorbankan diri

agar senasib suaminya yang tunanetra.

Bukan, ia perempuan yang getir, cela sebagian yang lain: ia tak hendak melihat bagaimana

anak-anak pasangan Pandu dan Kunti—para Pandawa—jauh cemerlang ketimbang para

Kurawa, anak-anak Gandhari sendiri, yang bebal dan dengki.

Tapi mungkinkah hanya itu? Bagi saya tidak. Gandhari melakukan itu karena ia, yang

menanggungkan kesewenang-wenangan nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan.

Saya bayangkan ia berkata kepada dayangnya yang setia: ”Emban, kututup mataku karena

aku tak ingin hidup hanya mengutamakan penglihatan yang tajam dan cahaya cemerlang—

memuja keunggulan memanah, kemilau baju zirah, berkibarnya panji-panji, tegasnya tapal

batas. Mata dan terang bisa menghadirkan benda di ruang yang jauh, di dalam dan di luar

peta, tapi rabaanku menghargai apa yang dekat dan akrab, telingaku bertaut dengan bunyi

dalam waktu.”

”Dengarkan Emban, derap perang besar itu, seakan-akan ada garis yang lurus yang jelas

antara yang adil dan tidak. Tapi benarkah? Cahaya memang menerangi dunia, tapi ia tak

pernah memperjelas dirinya sendiri. Aku ingin hidup tanpa cahaya.”

~Majalah Tempo, Edisi. 45/XXXV/01 – 7 Januari 2007~

Page 91: catatan pinggir

Gandhi Maret 12, 2007

Posted by anick in Agama, All Posts, Nasionalisme, Tokoh.

trackback

Tuhan tak punya agama,” kata Gandhi.

Tak aneh bila di negeri seperti India kalimat ini datang dari seorang yang dikenal alim, arif,

dan adil. Agama telah jadi tanda yang bengis. Maka terbit pikiran untuk menyelamatkan

pengertian ”Tuhan” dari sempitnya pikiran dan jiwa yang marah.

Gandhi sendiri bukti yang tragis tentang persoalan ini. Menjelang akhir Januari 1948, ia

ditembak mati Nathuram Godse, seorang penganut aliran ”nasionalis” Hindu. Bagi orang

macam Godse, Gandhi praktis berkhianat. Sang Mahatma berkampanye untuk mengingatkan

pemerintah India agar memenuhi janji kepada pemerintah Pakistan, yakni menyerahkan aset

yang telah disepakati merupakan bagian negeri itu.

Gandhi—yang sebenarnya menentang ide perpisahan bekas koloni Inggris itu jadi ”India”

dan ”Pakistan”—mengimbau Republik India agar ingat akan kewajiban moral dan

kehormatan diri. Di balik itu kita bisa dengar pengertian yang sayup tentang keadilan. Tapi

bagi orang macam Godse, dengan rasa terluka dan marah kepada orang Islam yang telah

mendirikan sebuah negeri yang terpisah, Gandhi terlampau lunak terhadap ”musuh”. Ia jadi

suara yang mengganggu.

Godse datang dari sebuah pandangan yang punya akar tua tapi berbentuk baru.

”Nasionalisme”-nya—mengandung kesadaran akan supremasi kasta Brahmana, yang

kemudian dirawat melalui aliansi dengan raja, tuan tanah, kaum pemegang senjata, dan unsur

lain kasta Ksatria—mengukuhkan diri sebagai sebuah ideologi: India adalah Hindu. Hindu

adalah satu. Agama kaum mayoritas adalah wakil paling sah kebudayaan nasional India.

Orang Islam, si minoritas, selalu cemas akan suara sepihak semacam ini. Terutama sejak awal

abad ke-20. Pada 1900, penguasa Inggris di wilayah yang kini disebut Uttar Pradesh, negeri

bagian terbesar India, memenuhi tuntutan kaum Hindu agar bahasa Hindi, dengan aksara

Devanagari, jadi bahasa resmi menggantikan bahasa Parsi yang datang dari bahasa para

Maharaja Mughal. Bagi orang Islam waktu itu, langkah itu awal yang menakutkan:

ditindasnya ekspresi kebudayaan mereka di negeri mereka sendiri.

Mereka bukan mayoritas, tapi mereka ikut membentuk peradaban India sejak abad ke-7

hingga abad ke-14. Maka mereka tak diam. Mereka ubah rasa cemas mereka ke dalam cita-

cita yang kemudian disuarakan Liga Muslimin.

Di tahun 1930, pemimpin Liga Muslimin waktu itu, Mohammad Iqbal, mengumandangkan

cita-cita berdirinya sebuah negeri yang khusus untuk orang Muslim. Ia sebut negeri harapan

itu ”Pakistan”, ”tanah yang murni”.

Saya tak tahu, sadarkah Iqbal, seorang penyair dan pemikir, bahwa wilayah seperti itu butuh

kekuasaan, dan mengaitkan kekuasaan dengan kemurnian sama artinya membuka pintu bagi

kekerasan dan kesewenang-wenangan. Sebab tak pernah jelas siapa yang secara sah berhak

Page 92: catatan pinggir

menentukan ”kemurnian” itu, apalagi jika itu didasarkan atas ukuran yang transendental. Apa

yang harus dilakukan terhadap anasir yang ”tak murni”, selain dibabat dan dicerabut?

Rasa cemas akan ditindas memang menyebabkan Pakistan berdiri. Kehendak untuk jadi

sebuah negeri yang ”murni” menyebabkan Pakistan—sebuah republik Islam dengan hak-hak

istimewa bagi orang muslim—seakan-akan mereproduksi perlakuan tak adil yang dulu

ditakutkan orang Islam sendiri.

Tapi bukan tanpa akibat buruk. Ketika ketakadilan terletak di dasar sebuah sistem politik,

kekerasan pun akan tumbuh di atasnya. Mungkin itu sebabnya dalam empat dasawarsa

terakhir ini problem politik Pakistan selalu diselesaikan tangan-tangan yang bersenjata.

Dengan atau tanpa senjata, kekerasan pula yang sebenarnya jadi dasar ”nasionalisme” Hindu,

dulu dan kini. Mereka juga hendak menegakkan ”negeri yang murni”. Bila bagi mereka

Hindu identik dengan India, dan India hanya murni bila ia Hindu, Islam akan dianggap

sebagai pendatang yang merusak. Maka najis itu harus ditiadakan.

Demikianlah, 6 Desember 1992, kaum militan Hindu menghancurkan Masjid Babri di kota

Ayodhya dan menyerang penduduk muslim di wilayah itu. Tak urung, bentrokan meledak di

seluruh India.

Kaum ”nasionalis” Hindu punya dalih: Masjid Babri dibangun di atas tempat kelahiran

Rama. Kata mereka, sebuah candi Hindu di situs itu dihancurkan orang Islam di bawah titah

Sultan Babur, pendatang dari Asia Pusat di abad ke-16. Maka aksi kekerasan di hari itu

adalah tindakan menuntut hak kembali, dan juga pemurnian.

2.000 orang tewas.

Saya kira suara Gandhi tentang agama akan terdengar lebih masygul seandainya ia masih

hidup dan menyaksikan kekerasan di Ayodhya itu—sebagaimana ia saksikan kerusuhan di

sekitar Pemisahan (”Partition”) India-Pakistan di tahun 1947, ketika tapal batas dibangun dan

dijaga, ribuan keluarga digusur atau memilih pindah, tanah ladang dipecah,. kekerasan

meledak, dan ribuan korban mati. Orang Islam, orang Hindu….

”Tuhan tak punya agama,” kata Gandhi.

Tapi yang menarik ialah bahwa, berbeda dari Nehru, Gandhi tak hendak membuang agama

ke masa lalu. Baginya, agama adalah sumber nilai untuk membangun kehidupan bersama.

Yang tak diuraikan Gandhi ialah kemungkinan agama jadi sumber kekuatan yang tak

mengatasi kekerasan dan ketakadilan, malah justru jadi kekuatan yang memperkukuhnya.

Tapi mungkin Gandhi tak perlu menjawab. Kematiannya telah bicara penuh: pembunuhnya

seseorang yang tak segan-segan menumpahkan darah, karena dalam dirinya datang sebuah

kekuatan: fanatisme.

”Tuhan tak punya agama,” Gandhi berkata. Hari itu ia rubuh dengan tubuh berdarah dan

mulut yang menyebut nama Tuhan, tapi mungkin sebenarnya ia mengatakan, ”Pengorbanan

tak punya agama.”

Page 93: catatan pinggir

Ia memang seorang sekuler yang unik: politiknya berangkat dari nilai-nilai yang terhimbau

oleh Yang Maha Adil, tapi justru itu ia mengambil jarak yang sama dari tiap agama yang

hidup di dekatnya. Ia tak hendak berat sebelah. Keadilan yang mengusik hatinya tak memilih

sebuah ajaran, sebuah sekte, atau sebuah tempat ibadah.

~Majalah Tempo Edisi. 03/XXXIIIIII/12 – 18 Maret 2007~

Gerai Juli 21, 2008

Posted by anick in All Posts, Demokrasi, Indonesia, Politik.

trackback

Mungkinkah Indonesia akhirnya hanya sederet partai?

Sekitar seabad yang lalu, kita tak akan berkeberatan dengan itu. Indische Partij, Partai

Komunis, Partai Sarekat Islam, PNI, dan lain-lain lahir. Mereka datang dengan keyakinan.

Pada masa itu, ”politik” adalah gugatan. ”Politik” adalah usaha membongkar sebuah wacana

yang dianggap cacat, tapi dijejalkan oleh mesin kekuasaan kolonial sebagai konstruksi yang

final. Menghadapi itulah ”politik” adalah ”pergerakan”.

Berarti, di dalamnya ada kehendak mengubah keadaan, ke arah emansipasi sosial dan

musnahnya ketidakadilan. Dengan kata lain, ada social imaginary: sebuah gambaran yang

menggerakkan hati tentang sebuah kehidupan masyarakat yang lain, walaupun gambaran itu

bukan sebuah desain yang siap.

Konon, pada awal abad ke-20, di asrama mereka, para murid STOVIA—yang kemudian jadi

bara pertama perlawanan antikolonialisme—tiap malam menyanyikan lagu revolusi Prancis

dengan berkobar-kobar: ”Kita lawan tirani!”

Berkobar-kobar—Chantal Mouffe menyebut arti passion dalam politik: fantasi, hasrat,

”semua hal yang tak dapat diringkus jadi kepentingan dan rasionalitas”, semua hal yang

membentuk subyektivitas manusia. Dengan catatan: ”subyektivitas” itu bukan tentang ”aku”.

Ia justru timbul karena ada sesuatu yang universal yang datang mengimbau, sesuatu yang

berarti bukan cuma buatku, tapi bagi engkau, bagi sesama, sebuah dunia yang melampaui

jagat kecilku.

Dari situlah passion, atau gelora hati, terbit. Mouffe bahkan menyebut perlunya ”mobilisasi

gelora hati”. Sebab politik sebuah partai yang menganggap dirinya bagian dari pergerakan,

sebuah partai dengan ”imajinari sosial” yang menggugah passion—partai politik yang seperti

itu bukanlah tanda nafsi-nafsi.

Justru sebaliknya: didirikan hanya segelintir orang pun—seperti halnya Indische Partij—

partai seperti itu pada dasarnya ingin menjangkau liyan, mereka yang lain yang juga sesama.

PNI yang berangkat atas nama kaum ”marhaen” dan PKI yang atas nama kaum buruh

keduanya membayangkan sebuah masyarakat di mana marhaen dan proletar akan lenyap,

sebab tak akan ada kelas sosial lagi: manusia akan sama rata, sama rasa.

Tapi adakah partai yang seperti itu sekarang?

Page 94: catatan pinggir

Kini sejumlah partai baru muncul bagaikan lapak dan gerai, kios dan show-room. Inilah

zaman ketika advertensi tak henti-hentinya menyusupi ruang kehidupan. Inilah masa ketika

hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran, ketika

penampilan yang atraktif dan riuh-rendah di televisi lebih efektif ketimbang prestasi dan

gagasan sosial yang menggugah. Berangsur-angsur, dalam lapak dan gerai itu yang lebih

menentukan bukanlah benda yang ditawarkan. Yang lebih penting: kemasan.

Sebuah parodi yang tak disengaja naik pentas: politik jadi pekan raya. Tiap tauke kios akan

berusaha mendapatkan pembeli sebanyak-banyaknya. Tapi ketegangan hanya terbatas di situ:

tak akan ada yang menggugat wacana yang mendukung (dan didukung) pekan raya itu

sendiri.

Jika dulu lahirnya partai politik adalah isyarat tentang apa yang berlubang dalam situasi di

mana ia lahir, kini partai berdiri sebagai indikator sebaliknya: terbukanya peluang untuk

investasi—yang hanya bisa dilakukan mereka dengan kekayaan yang surplus.

Di sini memang politik tampak sebagai jalan yang aman. Partai tak akan jadi pembelot. Tapi

saya kira sebetulnya sebuah fragmentasi diam-diam berlangsung. Sebab inilah politik tanpa

”imajinari sosial”, tanpa gelora hati, tanpa militansi. Inilah politik yang tak membentuk

subyektivitas yang lahir karena terpanggil oleh yang universal.

Memang ada niat menjangkau pelanggan di mana saja, kapan saja. Tapi ini cuma

universalitas sebagai façade. Dalam percakapan para juru kampanye partai, seperti di kantor

perdagangan, orang bicara bukan jangkauan yang tanpa batas, melainkan tentang ”segmen

pasar”.

Tentu, di pekan raya, para tauke memang bisa membuat usaha patungan. Tapi pada awal dan

akhirnya yang berlaku adalah ke-masing-masing-an. Para pemilih akan datang bak

konsumen. Tapi sejauh mana mereka yakin? Inilah zaman ketika kita tahu bahwa iklan

mengandung dusta tapi kita toh membiarkan diri terpikat—zaman berkuasanya perangai

”akal yang sinis”, der Zynischen Vernunft, dalam diagnosis Peter Sloterdijk.

Mungkin kita tak akan punya lagi gelora hati dalam politik. Tapi kita tak bisa mengelakkan

keniscayaan hadirnya partai di sebuah demokrasi. Haruskah kita jadi ronin di luar dinding

Negara? Jangan-jangan. Bagaimanapun, sebuah masyarakat tak akan dapat mengelakkan

dimensi politiknya—politik sebagai pertarungan: konsensus akan selalu berlubang,

ketakadilan akan menimbulkan jerit.

Saya masih percaya, di dalam dan di luar partai, jerit itu tak akan jadi bisu. Akan selalu

muncul mereka yang setia kepada gelora hati para penggugat, segumpal subyektivitas yang

terbit dalam militansi, sujet fidèle dalam pengertian Alain Badiou.

Saya teringat pada senja 22 Juni 1996. Di satu ruang kantor Lembaga Bantuan Hukum di

Jalan Diponegoro, Jakarta, di bawah lampu neon yang tak terang, sejumlah pemuda duduk.

Kurus, lusuh, tapi intens. Di leher mereka terkalung bandana merah. Mereka memaklumkan

berdirinya Partai Rakyat Demokratik, sebuah partai kiri—ketika suasana tambah represif di

bawah ”Orde Baru” dan apa saja yang merah dan kiri dihabisi dan tiap partai alternatif akan

dibabat.

Page 95: catatan pinggir

Di ruang itu saya duduk bersama Pramoedya Ananta Toer memandangi mereka. Kami tahu,

ke sana mata-mata penguasa mengintip, senjata disiapkan, penjara dicadangkan. Tapi anak-

anak muda tetap saja dengan upacara sederhana yang bersejarah itu.

Bersejarah, apalagi bila dibandingkan dengan pesta kelahiran partai-partai hari ini.

~Majalah Tempo, Edisi. 22/XXXVII/21 – 27 Juli 2008~

Gestapu September 24, 2007

Posted by anick in All Posts, Demokrasi, Indonesia, Marxisme, Sejarah.

trackback

Tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-

mula sejumlah jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan

tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau disiksa.

Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah

oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, ”Gestapu”, seperti kita

menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya.

Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang saya kira terpendam di hati orang

banyak: keinginan untuk mampu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan

berulang. Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.

Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah ”Orde Baru” runtuh, setelah sebuah

pemerintahan yang stabil—tapi bersandar pada kapasitasnya membangun rasa takut—

ambruk. Tapi segera terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga

antarkelompok, kebencian, paranoia, dan waswas yang diperkuat oleh agama seakan-akan

malah bergelombang datang. Indonesia nyaris habis harapan. Semuanya seakan-akan mesti

berakhir dengan membunuh.

Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama—bisa disebut ”masyarakat”,

”komunitas”, atau ”bangsa”—yang akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya

cara bersaing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin. Sengketa dan

kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehidupan bersama selalu mengandung

keinginan bersama untuk ”masyarakat yang baik” dan kapasitas untuk mencapai mufakat.

Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya.

Tapi benarkah ”selalu”? Benarkah kita senantiasa bergerak untuk mufakat? Katakanlah tiap

orang, tiap kelompok, memang menghendaki ”masyarakat yang baik”, tapi apa gerangan

yang ”baik”? Selalukah yang ”baik” bagi kami juga ”baik” bagi mereka?

Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk ke dalam pengalaman—dan kita

ragu adakah nilai yang universal. Kondisi ”pasca-modernis” datang. Seorang pemikir seperti

Richard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya contingent, tergantung, kepada

waktu dan tempat. Apa yang ”baik” selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan

dipaksakan. Bahkan keyakinan kita sendiri tentang ”baik” dan ”buruk” perlu dicampur

dengan satu dosis besar ironi.

Page 96: catatan pinggir

Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleransi. Kita tak bisa jadi fanatik

memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah

politik untuk membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak menganggap kita bisa

selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Baginya, tak ada alasan untuk berpangku

tangan ketika kekejaman terjadi.

Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas antarmanusia. Tapi bagaimana rasa

solidaritas itu mungkin? Bagaimana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan

pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang menggerakkan siapa saja,

cair oleh ironi?

Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh-membunuh. Tapi ia tak bisa

memberi jawab bagi keadaan yang mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup

nyaman Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak bukan karena

keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana gagasan tentang ”masyarakat yang baik”

bukan imajinasi waktu senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.

Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak mengherankan dalam latar umum

Afrika, Asia, dan Amerika Latin, orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisis dan

inspirasi dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauan universal: cita-cita tentang

masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai

sesuatu yang tak datang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan perubahan.

Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, dengan sakit dan miskin, dengan

jiwa dan raga. Yang tragis ialah bahwa Marxisme—sebuah alat diagnostik yang cemerlang—

ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa yang tersisa dari Marxisme di

sana sekarang, dengan kemajuan ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah

partai komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri.

Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia meyakinkan kita bahwa ada

rasionalitas yang bisa membawa apa yang ”baik” melintasi batas ruang-dan-waktu.

Komunikasi adalah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunikasi dapat

menghasilkan mufakat tentang ”masyarakat yang baik”.

Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa dorongan untuk bermufakat

berakhir dengan pembunuhan. Indonesia adalah sebuah republik yang luka ketika bersikeras

membentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat tentang ”masyarakat

yang baik”? Akan adakah situasi percakapan yang ideal?

Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marxisme. Kita akan bisa melihat—

seperti Laclau memanggil roh Gramci—bahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia

hasil pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang memandang sejarah

sebagai perubahan, kita akan mengakui bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan

konsensus tentang ”masyarakat yang baik” tak akan kekal. Kekuasaan yang menjaga

konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi cita-cita.

Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang mengakui kekurangan manusia.

Kita lebih berendah hati. Maka sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terus-

menerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos akan terlalu mahal—seperti

Page 97: catatan pinggir

30 September dan 1 Oktober 1965—untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selama-

lamanya.

~Majalah Tempo Edisi. 31/XXXVI/24 – 30 September 2007~

Glung Juli 24, 2006

Posted by bocah in All Posts, Bencana, Tuhan.

trackback

Bola api tampak di langit Pangandaran, suara ”glung” dan ”bleg” terdengar di bawah bumi

Yogya.- Orang pun gentar, setengah terkesima: apa arti semua itu?

Barangkali itu isyarat, bisik sebagian mereka, entah dari angkasa luar, entah dari palung

lautan. Barangkali itu waham, kata yang lain. Barangkali alam dan rasa takut telah berkait,

barangkali alam dan suasana berkabung tumpang-menumpang, dan tak jelas lagi mana yang

menyebabkan dan mana pula yang disebabkan.

Apa boleh buat: bencana menghantam kita berturut-turut—dua kali tsunami dalam jarak

waktu belum dua tahun, dua kali gempa yang membunuh ratusan manusia, Gunung Merapi

yang memuntahkan lumpur panas ber-hari-hari…. Dengan kata lain, kesadaran kita dengan

serta-merta digebrak oleh sesuatu yang tak dapat sepenuhnya dijinakkan penjelasan ilmu, tak

dapat ditata oleh wacana, tak terjangkau utuh oleh tata simbolik. Bahasa kita jadi gagap, dan

bola api itu terasa semakin besar, suara ”glung” dan ”bleg” itu terasa semakin menakutkan,

dan kita semakin berkabung.

Amir Hamzah pernah menggambarkan situa-si manusia dan alam yang dilimbur bencana

dalam sebuah puisi yang dengan plastis memantulkan bunyi-bunyi yang mengerikan bahkan

sejak dari konsonan dan aliterasi kata-kata yang dibariskannya: ”terban hujan, ungkai badai,

terendam karam, runtuh ripuk tamanmu rampak.”

Dan nun di sana tampak

Manusia kecil lintang pukang

lari terbang jatuh duduk

air naik tetap terus

tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam

dalam gagap gempita guruh

kilau kilat membelah gelap

Lidah api menjulang tinggi

Sajak itu sebenarnya bercerita tentang air bah yang didatangkan Tuhan untuk

menenggelamkan dan menghabisi manusia yang tak hendak mengikuti jalan Nuh. Apabila

yang dilukiskan Amir Hamzah terasa relevan se-karang, itu karena di sana juga tergambar

bukan orang-orang yang berdosa, melainkan orang-orang yang tak berdaya—”manusia kecil”

yang dilihat dari atas yang jauh.

Page 98: catatan pinggir

Hanya Nuh yang disebut ”bebas lepas” dan ”lapang”. Hanya ia yang dikatakan duduk dalam

kepastian, bisa bersuara ”sentosa” ketika manusia lain ”di tengah gelisah”.

Sang penyair sendiri tak seperti nabi itu.. Ia bimbang dan galau: kekuatan destruktif Tuhan

bisa demikian menakutkan demi menegakkan kepastian, tapi tetap saja sang penyair tak dapat

memutuskan mana yang harus dipilihnya di tengah sistem kepastian yang berbeda-beda.

Akhirnya ia mengatakan, semua itu tak ada gunanya. Akhirnya ”hanya satu kutunggu hasrat”,

katanya, yakni merasa ”dekat rapat” dengan Tuhan sendiri.

Bola api, suara gemuruh yang ganjil, lahar yang mengancam, kematian yang menyebar—

alam dan ketakutan jemput-menjemput, bersama kemurungan. Para pakar g-eologi,

klimatologi, dan psikologi dapat berbicara fasih men-jelaskan semua itu, tapi benarkah

mereka bisa menjangkau alam itu sendiri? Bukankah ilmu-ilmu pengetahuan tak pernah

menangkap alam itu an sich, melainkan hanya menangkapnya sesudah dijinakkan dalam

kerangka sebuah wacana, dalam keadaan disetel (Gestell, kata Heidegger)? Dengan kata lain

sebenarnya tak ada yang dapat ”de-kat rapat” dengan yang dirindukan untuk dijangkau itu—

yakni yang benar, yang memukau, yang membuat gentar?

Bahkan saat Musa di pucuk Tursina (yang oleh Amir Hamzah dianggap sebagai momen yang

dihasratkannya, momen ”dekat rapat” dengan Tuhan) manusia itu tetap mustahil menangkap

”Wajah” itu..

Mungkin ada yang dapat memberi kita kearifan dari tsunami di Aceh dan Pangandaran serta

gempa dan ancaman magma di Yogyakarta: kita sadar akan kemustahilan seperti itu dan

sebab itu kita berkabung, seperti saya katakan tadi. Kita berkabung karena kita merasa

bersatu dengan yang ditinggal mati dan hilang. Kita juga berkabung karena kita tak bisa

merasa ”bebas lepas”, ”lapang”, dan ”sentosa” di tengah sesama yang gelisah ketika bahkan

ilmu tak dapat lagi bicara pasti.

Berkabung itu memberi kita kearifan, sebab dari sanalah kita sadar betapa mustahil kita untuk

tak menjadi ”manusia kecil”. Kita akan senantiasa ”lintang pukang”. Tapi pada saat yang

sama, justru karena itulah kita merindukan itu: bisa bersentuhan dengan yang abadi, biarpun

sejenak. ”Aku berkabung untuk keabadian, aku berkabung untuk ia yang dalam dirinya

kutanam dan kupupuk keabadian”, tulis Hèlène Cixous dalam Deluge.

Dikatakan secara lain, justru karena kita tak kunjung mendapatkan kepastian, justru karena

kita terbatas, kita pun—seperti Amir Hamzah—menunggu hasrat untuk ”d-ekat rapat”

dengan yang sama sekali lain: yang Maha Tak Terbatas, transcendens yang mutlak.

Kata ”maha” menegaskan betapa radikalnya sifat ”lain” di situ: sifat ”lain” yang tak dapat

dirumuskan, tak dapat dibandingkan, yang hanya dapat disebut, meskipun de-ngan

menyebutnya kita sadar kita hanya mencoba sejenak menafsirkannya. Sebab sifat ”lain” yang

radikal itulah yang menyebabkan kita tak akan pernah rampung dan usai menerjemahkannya:

kita tak akan mungkin membuatnya sedemikian rupa sehingga ”sama” dengan kita.

Agaknya itulah yang membentuk sikap ethis kita: berhadapan dengan yang berbeda, kita

tergetar, tak akan jumawa, bahkan kita menatapnya dengan hormat yang berkabung.

Sebab kita tahu ada yang tetap tersembunyi. Ada misteri yang tak mungkin dianggap sekadar

sebagai problem untuk kecerdasan kita. ”Dunia tak pernah merupakan sebuah obyek yang

Page 99: catatan pinggir

tegak di depan kita dan dapat disimak”, kata Heidegger. Dunia selalu tak berlaku jadi sasaran

subyektif kita, selama ”jalan kelahiran dan kematian, rahmat dan kutuk, tetap membawa kita

ke dalam ada”.

Maka bola api itu mungkin tampak mungkin tidak di langit Pangandaran, bunyi ”glung” itu

mungkin terdengar mungkin tidak di bawah Yogya….

~Majalah Tempo Edisi 22, 24-30 Juli 2006~

Grrr Juni 27, 2011

Posted by anick in All Posts, Seni, Tokoh.

trackback

Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau

dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater

Mandiri.

Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir

semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting

sebagai bagian dari cerita pem-bangun-an—”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.

Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pem-bangun-an ini sebagai

”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan

tersendiri kepada kata.

Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah

ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat

yang besar.

Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai

contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda

itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap

sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.

Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan

Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin; Putu Wijaya tak

tertarik untuk berbicara tentang lapisan-lapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin”

karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak

dari yang ada”.

Saya ingat bagaimana pada 1971 Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu

redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai

yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan.

Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus

itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di

waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam

istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk

Page 100: catatan pinggir

berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater

sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.

Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun

dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang

hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai

benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara pathos dan humor, antara

suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.

Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu

Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite

yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan

tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa ke-bangun-an adalah kebangkitan dari

ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya

kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa

pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu

tersembunyi ketidaksadaran.

Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata

di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana

tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di

mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian

klasik itu yang berlaku.

Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa,

menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat

mengkomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Tapi di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat,

prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi

dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam

puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir

dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi

khotbah. Dan ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal

yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang

kian asing.

Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahasa bukan alat yang

siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa

mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas

Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya

daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan

dalam hidup.

Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dan dari sana kreativitas yang sejati

bertolak.

Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

Page 101: catatan pinggir

Gua Juni 23, 2008

Posted by anick in Agama, All Posts, Identitas, Islam, Kisah.

trackback

Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita

tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga

keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan.

Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam

sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan.

Hari-hari ini, ketika orang-orang Ahmadiyah terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi

itu muncul di kepala saya kembali.

Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima

dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang

perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah,

sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang bersenjata. Bunuh-

membunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan kedua anaknya tak pernah

kembali.

”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun menjelang Hijrah—

seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ketika orang-orang Quraisy

bersimaharajalela,” demikian si adik menulis. ”Apakah saya akan setakut diri saya hari itu,

tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa

bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?”

Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi

saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam

posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orang-

orang yang ingin membinasakan kami di luar itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya

berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.”

Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti

hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua

sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orang-orang berbaring atau

duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa.

Seorang hitam memukul perkusi, sendirian.

Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya berkata, seperti kepada dirinya sendiri:

”Beda—itu perkara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar,

dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.”

Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar

buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia

mengenal agama-agama.”

Page 102: catatan pinggir

”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak

antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya

dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia

kehendaki. Tapi permusuhan?”

Iman: antagonisme? Atau iman sama dengan perisai pelindung—yang juga berarti suatu

kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang?

Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya

ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Me-

ngapa kita harus memakai perisai?”

Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya.

”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar

ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy

mencarinya untuk dibinasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra

Abdullah bersembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang me-

nyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa

pun.”

Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.

Apa yang inspiratif?

Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu

dengan sadar, bahwa yang memisahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis

laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap

antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agresif ke luar dengan yang tenang dan

yakin dalam batin.

Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas

itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi

bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri?

Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun?

Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Saya pun ingat serangga yang gampang

terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang

mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mereka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin

liang, mungkin sarang, yang mengandung rahasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang

juga sebuah rahasia.

~Majalah Tempo Edisi. 18/XXXVII/23 – 29 Juni 2008~

Gus Dur Januari 11, 2010

Posted by anick in All Posts, Tokoh.

trackback

Page 103: catatan pinggir

Ketika Mahatma Gandhi wafat, ia—yang selama hidupnya antikekerasan dimakamkan

dengan upacara militer. Ironis, mungkin juga menyedihkan: bahkan seorang Gandhi tak bisa

mengelak dari protokol kebesaran yang tak dikehendakinya.

Seorang tokoh besar yang wafat meninggalkan bekas yang panjang, seperti gajah

meninggalkan gading. Kadang-kadang ia hadir sebagai ikon: sebuah tanda yang memberikan

makna yang menggugah hati karena melebihi kehendak kita sendiri. Kadang-kadang sebagai

simbol: sebuah tanda yang maknanya kita tentukan, tak perlu menggugah hati lagi, namun

berguna untuk tujuan kita yang jelas.

Sebuah ikon adalah sebuah puisi. Sebuah simbol: alat. Keduanya saling menyilang tak henti-

hentinya.

”Pahlawan mati hanya satu kali,” kata orang hukuman dalam lakon Hanya Satu Kali, yang

disebutkan sebagai terjemahan sebuah karya John Galsworthy tapi yang tak pernah saya

ketahui yang mana.

Gus Dur bisa disebut seorang pahlawan: ia tak akan meninggalkan kita lagi, begitu

jenazahnya dikuburkan. Terutama ketika yang hidup tak akan meninggalkan apa yang baik

yang dilakukannya.

Tapi dalam arti lain pahlawan mati hanya satu kali karena ia tak lagi bagian dari kefanaan.

Tak lagi bagian dari kedaifan. Tak lagi bagian dari pergulatan untuk menjadi baik atau bebas

yang membuat sejarah manusia berarti.

Hanya dalam pergulatan itu, Gus Dur tampak sebagai yang tak sempurna, tapi melakukan

tindakan yang sesederhana dan semenakjubkan manusia: dari situasinya yang terbatas ia

menjangkau mereka yang bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pagar, jadi tak berhingga,

untuk menjabat mereka yang di luar itu. Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau

bahkan dianiaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah. Kita tahu ia

melakukan itu dengan nekat tapi prinsipiil—keberanian yang hampir tak terdapat pada orang

lain.

”Saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,” kata Gus Dur suatu kali.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng: sebuah konstruksi di sebuah wilayah. Benteng

kukuh dan tertutup, bahkan dilengkapi senjata, untuk menangkis apa saja yang lain yang

diwaspadai. Bangunan itu berdiri karena sebuah asumsi, juga kecemasan: akan ada musuh

yang menyerbu atau pecundang yang menyusup.

Iman bagi Gus Dur bukanlah sebuah benteng, melainkan sebuah obor. Sang mukmin

membawanya dalam perjalanan menjelajah, menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal.

Iman sebagai suluh adalah iman seorang yang tak takut menemui yang berbeda dan tak

terduga. Terkadang nyala obor itu redup atau bergoyang, tapi ia tak pernah padam. Bila

padam, ia menandai perjalanan yang telah berhenti.

Saya membayangkan Gus Dur tak pernah berhenti.

Ada sebuah nyanyian Fairouz yang digemari Gus Dur, dikutipkan oleh Mohammad Guntur-

Romly, bersama liriknya. Petilannya, saya coba terjemahkan:

Page 104: catatan pinggir

Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana

Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang,

merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang

Sering saya berpikir kenapa Gus Dur dengan tanpa ragu tak ikut mengutuk novel Salman

Rushdie, The Satanic Verses.

Saya duga karena ia menemukan dalam novel itu empat unsur yang tak terpisahkan:

kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan humor.

Gus Dur tak keberatan dengan keempat unsur itu karena ia yakin Tuhan tak sama dengan

mereka yang terusik oleh kenakalan dan humor. Saya kira Tuhan bagi Gus Dur bukanlah

Tuhan yang terbayang dalam Perjanjian Lama, Tuhan yang menggelisahkan puisi Amir

Hamzah: Tuhan yang ”ganas” dan ”cemburu”.

Yang ganas dan cemburu akan menampik kenakalan dan humor. Tuhan yang antihumor

itulah yang diyakini Jorge, kepala biara dalam novel Umberto Eco, Il nome della Rosa. Di

biara Italia abad ke-14 itu beberapa rahib ditemukan tewas. Kemudian diketahui bahwa

mereka telah terkena racun ketika membuka sebuah buku terlarang di dalam perpustakaan;

sebuah buku tentang tertawa.

Satu paragraf yang tak terlupakan: ”Mungkin misi mereka yang mencintai umat manusia

adalah untuk membuat orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa,

sebab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan diri kita dari

kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran”.

Saya lebih bangga punya seorang Gus Dur yang bukan presiden, ketimbang seorang Gus Dur

di atas takhta.

Betapapun keinginannya, ia tak pernah cocok di sana. Sebab ia bagian yang wajar dari

sesuatu yang bagi saya sangat berharga—ketidakmauan untuk tunduk kepada yang kuasa dan

yang beku— semacam anarkisme yang jinak dan jenaka.

Seorang intelektual publik terkadang yakin bahwa memasuki kehidupan politik (dan

memperoleh kekuasaan) itu perlu. Yang sering dilupakan ialah bahwa ”yang perlu” belum

tentu ”yang niscaya”, dan bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah panggilan

yang muram, sedih.

Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 11 Januari 2010~

Harmoko Maret 24, 2008

Posted by anick in All Posts, Kisah, Politik, Tokoh.

trackback

Page 105: catatan pinggir

Syahdan, dua hari setelah Harmoko berhenti dari jabatannya sebagai Menteri Penerangan

”Orde Baru”, datanglah seorang perempuan ke kantor departemen itu. Wajahnya manis,

senyumnya tulus meski samar-samar. Di meja penerima tamu, ia berkata, ”Saya datang untuk

menghadap Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.”

Petugas penerima tamu itu berkata dengan sopan, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan

Menteri Penerangan lagi.”

”Oh, begitu,” jawab perempuan tamu itu. Dan ia pun pergi.

Tapi esoknya ia datang lagi. Ia menuju meja penerima tamu itu pula dan berkata, dengan

nada suara yang sama dan senyum samar-samar yang sama, ”Saya datang untuk menghadap

Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.”

Petugas itu (orang yang juga sama seperti kemarin) sejenak terhenyak. Ia ingat, ini tamu yang

kemarin juga. Tapi ia menjawab sabar, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri

Penerangan lagi.”

Dan perempuan itu pun pergi.

Tapi esoknya dan esoknya lagi ia kembali, dan adegan, ucapan, dan senyum itu berulang lagi.

Sampai lima kali.

Tak urung, para petugas penerima tamu bingung, kemudian curiga, lalu melapor ke bagian

keamanan dan protokol. Dengan cepat cerita ini menyebar ke seluruh lantai Departemen

Penerangan.

Syahdan, pada hari keenam, para pegawai (yang umumnya memang hanya pura-pura banyak

kerja) pun menunggu. Dengan mengintip-intip. Betul juga: perempuan misterius itu datang

lagi.

Langsung ia dibawa ke lantai ke-3. Sang Sekretaris Jenderal sendiri, dengan didampingi dua

direktur jenderal, duduk menemuinya. Perempuan itu tak tampak gugup atau gentar.

Senyumnya tetap, juga ketika salah seorang direktur jenderal bertanya:

”Ibu sudah lima kali ke kantor ini untuk menghadap Pak Harmoko. Petugas kami sudah

memberi tahu bahwa Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi. Tapi Ibu datang

lagi, datang lagi. Kan sudah jelas bahwa Pak Harmoko tak menjabat lagi? Apa maksud Ibu,

sebenarnya?”

”Oh, saya tak bermaksud apa-apa, Pak,” jawab perempuan itu. ”Saya datang berkali-kali

kemari karena saya senang mendengar kabar baik itu berkali-kali.”

Cerita ini—sebuah fiksi, tentu—hanya lucu jika kita letakkan dalam latar masa ”Orde Baru”,

ketika ada ketaksukaan yang meluas kepada Harmoko: Menteri Penerangan yang tak henti-

hentinya muncul di layar TV, yang tak habis-habisnya omong yang itu-itu juga, seraya tak

putus-putusnya bermulut manis kepada Presiden—di masa ketika media massa dikekang dan

orang takut membantah kebohongan para pembesar.

Page 106: catatan pinggir

Cerita ini hanya lucu jika orang ingat masa itu, ketika keajaiban bisa sangat sederhana:

seorang menteri berhenti.

Kini hal seperti itu tak akan ada lagi. Demokrasi adalah sistem politik yang meniadakan

keajaiban. Ada yang lugas di sini: berhentinya seorang yang berkuasa adalah bagian dari

regularitas.

Tapi kita tahu, proses yang teratur dan ajek itu bukan sekadar tour of duty seperti yang harus

dijalani para birokrat sipil dan militer. Sebab itu kejutan bukan mustahil. Pergantian masih

bisa jadi berita baik. Regularitas dalam demokrasi adalah sebuah struktur yang agonistik:

yang naik dan yang berhenti bergerak dalam sebuah bangunan politik dengan ketegangan,

perjuangan, persaingan, pertentangan. Ada kalah dan menang.

Tapi dalam kondisi seperti itu, struktur itu dibayang-bayangi oleh hantu yang sesekali

memperlihatkan diri, seperti hantu sang raja dalam lakon Hamlet. Ia datang dari Antah

Berantah. Ketika ia muncul, kita sadar bahwa sebuah negeri tak pernah bisa benar-benar jelas

bagi dirinya sendiri.

Tapi sebenarnya tak hanya itu: Antah Berantah itu, yang tak bisa diterangkan dan ditangkap

oleh bahasa dan sistem, oleh artikulasi dan proses politik, bukanlah sekadar bagian yang

turah tak tertampung sistem. Ia lebih mendasar. Bahkan bisa dikatakan tiap negeri berada

dalam orbitnya. Berpusar di sekitar Antah Berantah, tiap negeri sebenarnya genting dan tak

tuntas disalin dalam satu wacana.

Itu sebabnya, meskipun regularitas adalah bagian yang produktif dalam demokrasi, kita tak

akan memandangnya sebagai sebuah kehadiran yang tak bergeming. Kita tak akan lupa

bahwa justru regularitas lahir karena ada yang tak hadir, ada yang negatif, yang traumatis, di

sekitarnya.

Itu sebabnya pemilihan umum, pergantian pemimpin dan manajemennya, perubahan para

legislator dan undang-undangnya—semuanya adalah regularitas yang terjadi dari paradoks

demokrasi: inilah sistem yang (seperti telah saya sebut tadi) meniadakan keajaiban, tapi pada

saat yang bersamaan inilah sistem yang mengakui bahwa ada yang sesekali muncul dari

Antah Berantah.

Itu sebabnya kita selalu perlu risau melihat ke Senayan. Di sana duduk orang-orang yang

dengan yakin, mungkin sedikit pongah, memandang diri sebagai intan dua cahaya: cahaya

pertama adalah cahaya ”wakil suara rakyat”; cahaya kedua, ”pembuat undang-undang”.

Mereka bisa mengatakan, dari tangan merekalah undang-undang sah dan adekuat untuk

kepentingan umum.

Tapi benarkah? Undang-undang pada akhirnya hanya akan mencapai apa yang normatif. Ia

terbatas. Masih ada sesuatu yang tiap kali bisa hilang dalam kehidupan sebuah negeri di mana

yang normatif tak bisa digugat—yakni keadilan.

Sebab keadilan lebih dari norma. Ia tak pernah secara lengkap dipenuhi. Ia juga berada dalam

Antah Berantah. Ia seperti hantu yang sesekali datang sesekali hilang dan, seperti hantu

dalam Hamlet, begitu penting dalam menggerakkan lakon.

Page 107: catatan pinggir

Tapi analogi itu perlu stop di situ. Demokrasi bukanlah sebuah tragedi. Kalaupun keadilan

mirip hantu, ia bukan mukjizat. Ia bisa kita panggil dan bisa kita datangkan sekali-sekali—

dan ia bisa jadi kabar baik yang kita suka mendengarnya berkali-kali.

~Majalah Tempo Edisi. 05/XXXVII/24 – 30 Maret 2008~

Havana September 13, 1999

Posted by anick in All Posts, Kisah.

trackback

Jalan aspal yang telah gripis. Deret bangunan yang tak pernah lagi digilapkan cat. Tembok

yang dilapukkan sawang dan debu. Gedung tepi pantai yang mungkin berumur 100 tahun tapi

kini seakan hanya duduk, seperti kakek yang melamun, mungkin tentang masa silam yang

pernah rapi, mungkin tentang engsel-engsel yang telah lekang, jendela yang sudah kehilangan

kejutan.

Havana. Sedan-sedan tahun 1950-an. Orang yang berkerumun, duduk di bus kota, atau berdiri

lusuh. Havana. Dinding dengan poster ”Che” Guevara. Slogan lama yang yakin, ”Revolusi

itu abadi”, ”Kami percaya pada mimpi”. Rel sepur yang berkarat. Sekolah balet dengan

keramahan kekal anak-anak, para penari kecil di ruang luas yang sepi, seorang pianis tua

yang memainkan Ravel di sudut dan berjalan pulang dengan kaki pincang.

Havana. Penjara yang sudah ditinggalkan, pintu-pintu sel yang bernomor tinta hitam. Havana,

Kuba. Jika kemajuan adalah kapitalisme, Kuba sebuah masa lalu. Ia seakan-akan sebuah

pulau ganjil, dalam tudung sosialisme yang kuno, terpisah dari ekonomi pasar yang global,

gigih, ganas. Milenium akan berakhir, sebuah abad akan hilang, dan masa lalu acap kali sama

dengan sesuatu yang mati.

Tapi Walter Benjamin benar ketika ia menulis tentang Trauerspiel: ”Kematian adalah sebuah

keabadian yang ironis.” Mungkin sebab itu kita punya nostalgia. Nostalgia menghibur kita

dari rasa cemas, dari hidup yang ternyata hanya numpang lewat. Nostalgia—itulah yang

mungkin menyebabkan film terakhir Wim Wenders Buena Vista Social Club jadi memikat.

Dalam film ini seakan-akan masa silam hidup kembali, tanpa luka, kepedihan, kekejian.

Film ini dibuka dengan adegan seorang tokoh yang amat tua tapi periang dan debonair,

Compay Segundo. Pemusik berusia 90 tahun itu datang ke sebuah sudut Havana. Ia mencari

gedung yang dulu jadi tempat ”Buena Vista Social Club”, sebuah klub eksklusif di bukit

sebelah timur kota. Tapi adegan pembuka ini tak berlanjut. Kita tak tahu apakah Compay

berhasil menemukan lokasi itu. Kita tak tahu adakah klub itu masih diingat orang karena ia

mungkin termasuk yang harus hancur oleh sosialisme yang menang di Kuba sejak 1959.

Yang kita tahu akhirnya ialah bahwa ”Buena Vista Social Club”, dalam film ini, hanya

mengacu ke sebuah kehidupan musik yang telah dilupakan di Kuba sendiri (tanpa kita

ketahui kenapa dilupakan). Masa lalu itulah yang disusun kembali oleh seorang pemain gitar

musik blues dari New York, Ry Cooder. Di tahun 1996, Cooder mengumpulkan sejumlah

musisi tua Kuba—umur antara 70 dan 80-an tahun—untuk sebuah proyek rekaman. Hasilnya

laku keras. Dua tahun kemudian Cooder datang bersama Wenders. Sebuah film dokumenter

pun lahir.

Page 108: catatan pinggir

Tapi film ini tak disajikan sebagai ekspresi seorang sineas. Wenders tak mencuri pentas dari

sejumlah seniman musik tua yang seakan-akan balik dari kematian, dan menemukan dunia

kembali buat pertama kalinya: begitu antusias, begitu gembira, dan sebab itu mengharukan.

Laki-laki hitam yang pesek dan bertopi pet seperti Putu Wijaya itu, misalnya. Ibrahim Ferrer

lahir di Santiago 72 tahun yang lalu. Ia tinggal di sebuah kamar di apartemen yang apak

bersama istrinya. Ruang itu agak gelap. Di atas lemari, ada sebuah patung dan altar bagi

Santo Lazarus yang diberi sesaji sebatang cerutu dan segelas rum. Ibrahim seorang religius.

Ia menyanyikan ciptaannya, De Camino a La Vereda, dengan sajak yang tanpa arah tapi

selalu berseru, !Oigame compay! No deje el camino por coger la (”Dengar kawan! Jangan

lepas dari jalan yang benar”).

Di film itu, duduk di kamar tamunya yang reyot, Ibrahim mengatakan sesuatu yang mungkin

akan disetujui Castro dan para rahib: ”Kami telah diselamatkan dari milik. Kalau tidak, kami

sudah akan musnah.” Selintas kita dengar ia memuji masyarakat yang lahir setelah Revolusi,

dan satu baris dalam lagunya memang merekam kembali ketertindasan si kecil dari majikan

perkebunan di masa lalu: ”Ay, h�yanle, h�yanle, h�yanle al mayoral!” (”Lari, lari, larilah

dari si pengawas”), sebab al mayoral suka merampas jatah harian buruh pemotong tebu.

Namun akhirnya bahkan Ibrahim sendiri tak bisa lari. Ia mungkin tak sadar sepenuhnya:

seluruh usaha Ry Cooder dan Wenders menunjukkan bagaimana ia diproses kembali oleh

kapitalisme. Ia sudah dilupakan orang di Kuba, tetapi ada bisnis rekaman yang membiayai

perjalanan nostalgia itu. Ada investasi, pemasaran, perencanaan laba-rugi. Di toko-toko

Towers Records di New York, kini kita akan lihat dua CD dengan gambar wajah Ferrer.

Dalam satu adegan akhir film Wenders, penyanyi miskin itu melihat-lihat New York setelah

sebuah konser yang sukses di Carnegie Hall. Ia berjalan di senjakala Avenue of the Americas,

di antara kilauan etalase dan lampu reklame. Ia terpesona. Masa lalu itu kalah sakti dibanding

masa depan. Ada yang mengatakan, nostalgia menyenangkan karena masa lalu adalah sesuatu

yang aman. Ia bisa kita atur bagaimana ia tampil di dunia kita. Dulu sosialisme juga yakin

bahwa masa depan bisa kita atur, untuk melahirkan dunia yang lebih baik, dan sebab itu

banyak orang yang bersedia gugur, dibunuh, dipenjarakan, dibuang. Tetapi Buena Vista

Social Club mengusik hati karena Havana justru menunjukkan bahwa sosialisme bisa

menyentuh karena ia sesuatu yang nostalgik. Havana seperti ikut menyanyikan Veinte A�os

Hoy represento al pasado No me puedo conformar Lagu itu dibawakan oleh Omara

Portuando, satu-satunya perempuan dalam album Buena Vista Social Club. Di studio

rekaman yang sederhana, paras Omara tampak seperti lanskap kota Havana, anggun tapi

sayu: ”Aku wajah masa lalu. Aku tak berani hadapi perubahan.”

13 September 1999

Herman April 6, 2009

Potret itu dipajang berderet-deret, hampir di tiap pohon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba

saya ingat dia. Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hilang pada 12 Maret

1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu,

nama seorang yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya juga tak

mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya betul.

Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu, bernama lengkap

Herman Hendarwan, lahir pada 29 Mei 1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak

Page 109: catatan pinggir

banyak lagi informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menulis kenangan tentang

kawannya ini dan mengakui: ”Menulis… tentang Herman Hendarwan bukanlah hal yang

mudah. Banyak sekali aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi….”

Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam beberapa rapat seperti itu. Itu

tahun 1998, pada hari-hari ketika tentara Soeharto menangkap dan memburu para anggota

PRD, setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen),

setelah orang-orangnya menduduki dengan kekerasan Kantor PDI-P…. Beberapa orang

sudah dilenyapkan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Nezar Patria,

Bimo Petrus, dan lain-lain….

Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-teman aktivis lain tahu kami

dimata-matai. Di tempat yang kini dikenal sebagai ”Komunitas Utan Kayu”, kami belajar

bagaimana mengamankan diri, setelah markas AJI, organisasi kami, digerebek polisi dan tiga

anggota ditangkap. Satu tim dari kami—Irawan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi

Prasetya, Tedjobayu—mengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan karena

tiap kali diubah.

Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas.

Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara

pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan

terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami

saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.

Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien:

menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66

puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama

dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan

teror itu. Dengan menjajal keberanian.

PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja sama dengan mereka secara lebih

dekat sejak saya mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)—sebuah langkah

ke arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasat untuk mendelegitimasi

pemilihan umum Soeharto (”kami pura-pura memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-

pura mengadakan pemilu”). Harus saya katakan sekarang: para anggota PRD—mereka

umumnya sadar arti gerakan politik, bersemangat, dan tak gentar—adalah sayap yang paling

saya andalkan dalam KIPP.

Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digerebek. Pimpinan mereka, antara lain Budiman

Sudjatmiko, kemudian tertangkap. Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian

untuk meningkatkan perlawanan—”la lutta continua!”—dan sebagian menggagalkan usaha

tentara Soeharto mematahkan bagian gerakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur.

Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, termasuk membangun kontak ke

tempat tahanan. Dari Utan Kayu 68-H, operasi seperti ini, termasuk operasi penyebaran

informasi dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut ”Tim Blok M”. Lewat jaringan

yang dibentuk Irawan kami secara periodik bertemu dengan link PRD”: Andi Arif dan

Bambang Ekalaya. Kemudian Herman—meskipun saya tak mengenalnya betul sebagaimana

ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dijaga, karena bisa saja suatu hari kami

tertangkap dan dipaksa buka mulut.

Page 110: catatan pinggir

Dan benar: pada Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih tepat, diculik. Tak hanya dia; Andi

Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto—semua aktivis PRD

yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat, dengan mata yang diikat dan

kepala yang diselubungi seibo, dan dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut,

dalam testimoninya kemudian, sebagai ”kuil penyiksaan Orde Baru”.

Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hilang. Juga dua nama lain Bimo

Petrus dan Suyat. Wiji Thukul, yang untuk beberapa lama dapat disembunyikan satu tim

teman-teman, juga kemudian lenyap.

Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam penyiksaan.

Nezar pernah menggambarkan bagaimana tentara Soeharto menganiaya mereka: pada satu

bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada.

”Allahu akbar!” ia berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di

dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal.

Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah tersengal-sengal.

Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak

Hr. Bandaharo berkata ”tak berniat pulang, walau mati menanti”. Dan Herman pernah

menulis surat ke orang tuanya: ”Herman sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab

Indonesia, tanah airnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?

Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal.

Tak ada Herman.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 06 April 2009~

Hijau Desember 3, 2007

Posted by anick in All Posts, Identitas, Modernisme, Sastra.

trackback

Di dunia yang letih, orang sering mengutip sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde que te

quiero verde…

Hijau, kumau engkau hijau:

Bintang agung beku dingin

Tiba dengan bayang ikan

Yang merintis fajar

Puisi Lorca mempesona karena loncatan-loncatannya – warna hijau, bintang agung, bayang

ikan, hari fajar — yang tak pernah bisa dipertalikan rapi dalam satu tafsir, tapi memperkaya

kita dengan imaji-imaji yang mengejutkan, baru, segar, tak terulangi, seperti dalam mimpi.

Maka di dunia yang mulai lelah, puisi, atau imaji yang menari, segar, meloncat-loncat, dan

tak disangka-sangka — ya, juga warna hijau – jadi alternatif (yang tak diakui) bagi sebuah

kehidupan yang mengabaikan itu semua. Modal, mesin dan birokrasi telah membuat sistem

yang meringkus tarian seperti itu, sistem yang hanya kenal persisnya lajur laporan keuangan

dan bagan eksak di buku-buku teknik. Baik kapitalisme (digerakkan orang Eropa dan

Page 111: catatan pinggir

Amerika) maupun sosialisme (dimulai di Uni Soviet dan Cina) sama-sama membentuk dunia

dalam garis lurus itu — garis “modernitas” dan “kemajuan”, garis nalar yang menghitung,

mencapai, dan menghasilkan. Itulah garis penaklukan dunia. Puisi yang menari, sebaliknya,

tak hendak menaklukkan. Ia tak hendak memaksa apa yang di luar dirinya, elemen hidup

yang tak terduga. “Le poète ne force pas le réel,” kata René Char.

Sudah lama sebenarnya masalah ini dikemukakan. Tapi sebagaimana Lorca hanya

mengutarakan hasratnya di antara lanskap yang memukau tapi tragis di Andalusia, puisi —

dan pelbagai suara yang gundah menyaksikan “modernitas” dan “kemajuan” — hanya bisa

bicara secara terbatas.

Memang suara yang menghendaki “hijau” itu terkadang membingungkan. Ia tak menawarkan

cara bagaimana menghentikan keniscayaan pertumbuhan ekonomi dan perlunya kemajuan

teknologi. Sesekali bahkan ia mengandung racun kecurigaan dan kebencian: di tahun 1930-

an, di Jerman, pemujaan akan Blut und Boden (“darah dan tanah”) dikobarkan para penganjur

Naziisme, yang ingin menjaga kemurnian Jerman dengan tradisi dan alamnya yang perawan,

agar Volk, bangsa atau ras, tak tercemar oleh persentuhan dengan “yang-asing” dan “yang-

borjuis” di kota besar.

Memang ada yang indah, tapi kuno, juga konyol, atau reaksioner dalam seruan “hijau” di

masa lampau.

Tapi abad ke-21 mengubah semua itu. Sambutan kepada film dokumenter An Incovenient

Truth adalah indikasinya: film dokumenter yang dibuat dengan ongkos satu juta dollar in

begitu laris di mana-mana; ia dapat menghjimpun dana 49 juta dollar lebih. Al Gore, tokoh di

pusat film yang memperingatkan perubahan iklim global itu, mendapatkan Hadiah Nobel

Perdamaian tahun 2007. Berjuta-juta penonton akan selalu ingat suaranya:

“Anda pandang sungai yang lembut mengalir melintasi itu. Anda perhatikan daun berkerisik

pada angin. Anda dengar suara burung; anda dengar katak pohon. Di kejauhan ada lenguh

seekor lembu. Anda rasakan rerumputan itu….Hening; damai. Dan tiba-tiba, ada yang

bergerak berubah dalam diri anda. Rasanya seperti menarik nafas dalam-dalam dan berbisik,

“Ah, ya, aku telah lupa semua ini.”

Kata-kata itu tak istimewa, sebenarnya. Tapi mau tak mau, bersama itulah hasrat Lorca,

“kumau engkau hijau,” menemukan makna dan wibawa lain. “Hijau” telah jadi hasrat untuk

menggapai sesuatu yang terasa begitu menggerakkan hati tapi tak hadir: bumi yang tak rusak

oleh polusi dan keserakahan.

“Hijau”, melalui proses percakapan dan pergulatan kepentingan, berangsur-angsur telah jadi

kepentingan umum. Ia jadi pesan yang universal.

Dalam arti tertentu, di sini telah berlangsung “globalisasi” yang berbeda dengan globalisasi

kapital, justru ketika bangunan global satu-satunya ini terancam musnah. Kini yang diserukan

Barbara Ward dan René Dubos dalam buku mereka yang terkenal, Only One Earth (dalam

bahasa Indonesia, Hanya Satu Bumi), yang ditulis buat Konferensi PBB di Stockholm di

tahun 1972, mendapatkan pendengar. Pelbagai identitas yang berbeda-beda – yang ditandai

nama negara, bangsa, kelompok etnis, kelas sosial, gender — berada dalam posisi setara, di

bulatan bumi yang satu, di sebutir planet yang genting.

Page 112: catatan pinggir

Di saat seperti ini, identitas makin tak bisa berlaku seperti benteng tertutup. Dalam diri tiap

negara, atau bangsa, atau kelompok etnis, atau kelas, atau gender, ada anasir yang akan

membuka diri ke luar, memahami nasib “hanya satu bumi” ini. Tapi ada juga yang justru

akan melihat “hanya satu bumi” hanyalah ilusi; mereka akan kembali menutup pintu,

bersiaga. Dengan kata lain, “globalisasi” kecemasan ini tak berarti akan menghasilkan sebuah

dunia yang tanpa konflik – tak peduli betapa bersemangat, tulus, dan sopannya para kepala

negara berbicara di Bali.

Tapi tak bisakah kita berharap? Saya kira bisa. Justru kini harapan lebih punya sandaran

ketimbang di masa lampau.

Dulu pesan yang universal itu datang secara menakutkan dan mencurigakan, seperti ketika

Eropa mengkristenkan orang Amerika Selatan atau ketika “Pencerahan”-nya mengubah muka

bumi dengan kolonialisme dan “kemajuan” — yang sebenarnya satu ekspansi “peradaban”

sekelompok manusia ke kelompok-kelompok manusia lain.

Kini, apa yang universal adalah sebuah utopia hijau melawan kematian – yakni kematian

yang akan mengenai siapa saja. Juga melawan ketidak-adilan, karena mereka yang kaya

adalah yang paling merusak bumi, sementara yang miskin akan jadi korban pertama kali.

Walhasil, pesan yang universal kali ini datang bukan dari si kuasa, tapi praktis dari siapa saja

yang hidup di bawah lapisan ozon yang berlubang, cemas kehilangan.

Kini aku bukan diriku

Rumahku bukan rumahku

Biarkan aku sebentar naik ke beranda tinggi

Biarkan aku pergi! Biarkan aku naik

Ke beranda hijau

Tempat air bergema pelan

Di balustrada bulan

~(Edisi revisi dari) Majalah Tempo Edisi. 41/XXXVI/03 – 9 Desember 2007~

Hikayat abdullah Agustus 2, 1986

Posted by anick in All Posts, Buku, Islam, Sastra, Sejarah, Tokoh.

trackback

AGUSTUS adalah bulan Asia Tenggara, dan kita layak mengenang seorang yang lahir di

Malaka, jadi termasyhur sejak di Singapura, dan dikenal sehagai salah seorang pelopor

sampai ke Indonesia. Orang itu adalah Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.

Kita tahu, orang ini, satu setengah abad yang lalu, menuliskan Hikayat Abdullah. Tapi karya

ini bukan otobiografi biasa. Hikayat Abdullah, yang rampung ditulis pertengahan 1840-an,

bukan cuma sebuah soal kesusastraan.

A.H. Hill, yang menerjemahkan karya besar Abdullah bin Abdulkadir itu ke dalam bahasa

Inggris sekitar 30 tahun yang silam, menegaskan bahwa Abdullah-lah orang pertama yang

memperkenalkan realisme ke dalam penulisan Melayu. Pelbagai kejadian, dalam Hikayat

Abdullah, tampil sebagai kejadian faktual. Buku itu bukan rangkaian dongeng.

Page 113: catatan pinggir

Dalam hal itu Ahdullah memang bisa disebut sebagai reporter pertama. Ketika api

memusnahkah Market Street, di selatan Sungai Singapura, di Hari Raya Tmlek 1830, rumah

Abdullah juga ikut terbakar. Tapi yang dilakukan Abdullah ialah lari ke sana

kemari, dengan pensil dan kertas di tangan, mencacat apa saja yang disaksikan.

Tentu saja, waktu itu, ia tak tahu buat apa catatan itu. Tapi agaknya bukan soal kegunaan

yang mendorong orang seperti ini: Abdullah hanya menginginkan kebenaran sebagai sesuatu

yang didukung pengalaman empiris. Dan itu berarti mengecek pelbagai hal dengan kesaksian

“mata dan kepala” sendiri.

Itu pula yang mendorongnya menempuh sebuah perjalanan yang berbahaya, menyamar

sebagai pengemis, memasuki tempat pertemuan serikat Thian Tai Huey. Ia pernah mendengar

desas-desus tentang organisasi gelap ini, yang mengerahkan pelbagai perampokan ke

wilayah-wilayah permukiman di Singapura. Dan benar: di sebuah hutan di pedalaman, ia

menyaksikan sendiri — dengan risiko terhunuh — bagaimana serikat rahasia ini menyumpah

para anggotanya yang baru dan menyiksa mereka yang menentang. Abdullah kemudian

melaporkan kesaksiannya ke Residen Crawfurd. Tapi motifnya bukanlah untuk jadi mata-

mata. Motifnya hanya sebuah rasa ingin tahu.

Antara lain berkat itulah ia tak tumbuh dalam tempurung purbasangka — atau hentuk

purbasangka yang lain: takhayul. Dengan setengah ketakutan, misalnya, ia mencoha

pengobatan cara Barat: ia membiarkan diri dioperasi oleh seorang dokter Pasukan India, yang

kebetulan singgah di Singapura. Abdullah, dalam hidupnya, memang sempat menyaksikan

sendiri pelbagai kejutan teknologi dari Barat: kamera, kapal pengukur dalamnya laut, kapal

api.

Tak heran bila ia kemudian menampilkan diri sebagai seorang “modernis”, dalam bentuknya

yang paling awal. Ia menangkis kecenderungan orang-orang Melayu untuk hanya berpegang

kepada apa yang diketahui nenek moyang mereka. Sebaliknya, ia juga

dikecam: “akalnya menerima cara orang putih,” kata orang. Bahkan ayahnya melarangnya

belajar berbahasa Inggris. Kemudian, Abdullah melanggar larangan itu. Dan tak cuma itu ia

juga membantu kaum misionaris menerjemahkan Injil.

Yang menakjubkan ialah, bahwa dalam Hikayat Abdullah, tak tampak ada pergolakan batin

yang gemuruh dan menguncangkan, sebelum tersusunnya sikap seperti itu. Padahal, Abdullah

dibesarkan, dan kemudian dikenal dan akhirnya meninggal, sebagai wakil dari tradisi yang

bukan Barat. Hari-hari masa kanaknya diisi dengan inspeksi yang ketat dari ayahnya,

pembacaan quran, dan pemahaman bahasa Arab. Hikayat Abdullah sendiri, terutama dalam

mengecam peri laku raja-raja Melayu, menggunakan referensi Islam. Di sana-sini Abdullah

juga menyelipkan pantun, petuah, peribahasa. Dan sang pengarang, yang digelari munsy

(guru bahasa) pada usia muda, oleh para tentara India Muslim yang

diajarinya soal agama, di ujung hayatnya berada di Jeddah, dalam perjalanan haji.

Barangkali memang Abdullah adalah tanda pertama zaman ini: ketika pengaruh asing hisa

bergabung dengan pegangan yang dibawa dari rumah, dalam suatu proses yang tak saling

menyobek. Abdullah sendiri, yang penuh semangat untuk bahasa Melayu, lahir dari ayah

Arab dan ibu Tamil — suatu indikator Asia Tenggara yang baru, di mana asal-usul ras tak

menentukan kesetiaan kepada budaya setempat.

Page 114: catatan pinggir

Dan ia juga sebuah petunjuk lain abad ke-20, ketika ia memuji cara Lord Minto dan penguasa

Inggris memperlakukan para hukuman dan ketika ia mengecam sikap sewenang-wenang para

Sultan. Kini memang ada yang menganggap Abdullah terlampau silau kepada para penjajah

putih. Ia tampaknya memang ia tak ikut merasakan kebencian orang setempat kepada bangsa

asing itu. Toh apa yang dipuji Hikayat Ablullah bukanlah hal-hal yang tak bisa kita puji.

~Majalah Tempo Edisi. 23/XIIIIII/02 – 8 Agustus 1986~

Hoppla! April 21, 2008

Posted by anick in Sastra, Tokoh.

trackback

… Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.

Hari-hari ini, ketika ada rasa cemas bila puisi jadi suara yang tak taat dan seni tak alim, saya

ingin mengingat Chairil Anwar. Ia meninggal, mati muda, 28 April 1949. Bagian penting dari

27 tahun dalam hidupnya intens, bergairah, gemuruh, dan khaotis.

Ada satu kalimat goresannya sendiri yang tertulis di secarik kertas:

…wijsheid + inzicht tidak cukup, musti stimulerende kracht + enthousiasme.

Chairil tak ingin cuma punya kearifan dan wawasan. Baginya manusia perlu ”daya rangsang”

dan antusiasme.

Dalam sebuah pidato pada 1943 Chairil mendahului paragraf pertamanya dengan sebuah

sajak:

Mari berdiri merentak

Diri-sekeliling kita bentak

Kehendak menggugah (me-”rentak” dan mem-”bentak”) itu bagian dari yang disebutnya

sebagai ”vitaliteit” atau ”tenaga hidup”. Dalam seni, menurut Chairil, ”tenaga hidup” itu

selalu muncul sebelum keindahan, berupa ”chaotisch voorstadium”, tahap pendahulu yang

galau, yang khaotis.

Kreativitas memang diawali rasa gelisah mencari, kegalauan ingin menemukan, juga niat

merombak. Sesuatu yang destruktif tersirat di dalamnya. Seorang ”pujangga”, kata Chairil

(pada 1943 itu ia masih menyebut sastrawan demikian) tak gentar akan apa pun. ”Pohon-

pohon beringin keramat” ia panjat. Bahkan ia akan ”memotong cabang-cabang yang

merindang-merimbun tak perlu…”.

Inilah statemen Chairil: ”Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah! Tidak

tinggal di pekarangan saja.”

Dengan keberanian menerobos itu ia pun mempertanyakan—bahkan sedikit mencemooh—

ajaran agama.

Page 115: catatan pinggir

Kita ingat sajak Sorga. Sang penyair mula-mula mengikuti tradisi orang tua: ia berdoa agar

masuk surga. Sebab, ”kata Masyumi + Muhammadiyah”, surga itu ”bersungai susu” dan

bertaburan beribu-ribu bidadari. Tapi dalam diri sang penyair ada suara yang ”nekat

mencemooh”: benarkah dengan demikian surga lebih asyik ketimbang dunia? Tidakkah

kehidupan yang berlimpah itu justru membuat manusia kehilangan gairah seperti ketika

pelaut melihat ”gamitan dari tiap pelabuhan”?

Dalam pertanyaan itu, Tuhan praktis ”mati”: tak ada lagi satu sumber yang diakui sebagai

maha-penjamin segalanya, juga hal yang paling ganjil.

Atau Tuhan telah redup: ”caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi”, demikian

kita temukan dalam sajak Doa. Atau Tuhan jadi penyebab tamatnya pengembaraan: sang

kelana tak lagi menemui dunia dengan takjub dan cemas seperti di sebuah negeri asing. ”Aku

mengembara di negeri asing,” kata Chairil. Tapi kemudian, ketika ”di pintu-Mu aku

mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.”

Dengan kata lain, setelah pintu itu, ”tenaga hidup” kehilangan rangsang untuk mencari, untuk

gelisah, untuk berbeda. Tiap kekuasaan yang mengontrol cenderung membuat hidup terbatas

pada yang hadir dan dikenali, berpegang pada satu ensiklopedia yang sudah tersusun rapi.

Dengan demikian, pintu ditutup bagi kebenaran yang tak terduga-duga.

Tapi bisakah pengembaraan yang membuka diri bagi yang tak pernah dikenal itu dihabisi?

Dalam adaptasinya atas sajak Hsu-Chih Mo (1897-1931), A Song of the Sea, Chairil

menghadirkan seorang dara yang sendiri, ”berani mengembara/Mencari di pantai senja”.

Ketika si gadis diseru agar pulang, ia menolak:

”Tidak, aku tidak mau!

Biar angin malam menderu

Menyapu pasir, menyapu gelombang

Dan sejenak pula halus menyisir rambutku

Aku mengembara sampai menemu.”

Penolakan itu menegaskan kebebasan. Tak mengherankan bila Chairil menyambut jatuhnya

kekuasaan Jepang dengan teriakan, ”Hoppla!” Di bawah fasisme Jepang, yang tumbuh adalah

”kebudayaan paksaan.” Diawasi oleh sensor dan doktrin, sastra dan seni harus mengikuti

arahan tertentu. Pada masa pendudukan Jepang, yang harus dipatuhi adalah ”garis-garis Asia

Raya”, seruan agar rakyat menanam pohon jarak, melipatgandakan panen, menabung, bikin

kapal…. Banyak seniman yang patuh. Bagi Chairil, mereka telah ”mendurhaka kepada Kata”.

”Kata” dalam pengertian Chairil bukanlah Logos. ”Kata” tak dibentuk oleh aku-yang-

berpikir, tapi aku-yang-ada-di-dunia. Dalam pemikiran Chairil, ”Kata adalah yang menjalar

mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mimpi, pengharapan,

cinta, dan dendam.”

Artinya ”Kata” praktis sama dengan ”hidup”. Maka ia tak bisa diperbudak; ia bebas-lepas.

Tapi hidup juga selamanya riskan, bisa tak disangka-sangka, bisa gelap. Manusia dan ”Kata”-

nya bukanlah makhluk yang transparan, lurus, dan koheren. Dalam satu coretan pendeknya

yang dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, Chairil menyebut

bahwa dalam diri manusia ada ”gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati

bersembunyi.”

Page 116: catatan pinggir

Itu sebabnya ”Kata” atau ”hidup” punya sifatnya yang tak cerah, bahkan tragis. Dalam sajak

Chairil yang terkenal, Aku, kita dapatkan manusia yang terbuang dan luka. Ia berlari,

kesakitan, berteriak, ”aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi keinginan itu justru

menunjukkan kekurangannya. Ia fana. Ia terbatas.

Mungkin itu sebabnya sajak Hsu-Chih Mo oleh Chairil diberi judul Datang Dara, Hilang

Dara. Di balik kehadiran itu ada ketiadaan. Di akhir sajak, terdengar suara yang memanggil si

dara dari tepi laut yang hampir gelap itu. Tapi ternyata

Di pantai, di senja, tidak ada dara

Tidak ada dara, tidak ada, tidak….

Sang penyair mengakui yang ganjil, yang misterius, dan tak terpahami di luar sana. Puisi jadi

berarti bukan karena menjejalkan isi, melainkan karena menemui sebuah pantai senja yang

kehilangan. ”Aku…,” kata Chairil kepada Ida [Nasution?], ”bukan pendeta atau kiai tentang

sesuatu.”

Sajak-sajak Chairil terus-menerus mempesona kita justru karena itu.

~Majalah Tempo Edisi. 37/IX/21 – 27 April 2008~

Hujan Februari 5, 2007

Posted by anick in Bencana, Elegi.

trackback

Mungkin hari ini kita menyaksikan metamorfosis hujan.

Dulu kita bernyanyi lagu Maluku yang indah itu, ”Kalau hujan sore-sore.” Dulu kita ikut

bersenandung dengan nada lembut Titiek Puspa, ”rintik-rintik, hujan rintik-rintik.” Dulu

hujan adalah melankoli. Kini, tiap kali curah air dari langit menderas, kita dengan telaten tapi

cemas mengikuti berita radio tentang berapa meter tinggi air bah yang merasuki dusun dan

kota, meringsek rumah dan sekolah, klinik dan restoran, melumpuhkan komunikasi telepon

dan mengganggu perdagangan. Seakan-akan kita tengah mengikuti reportase tentang seekor

naga buas yang tengah memporak-porandakan kampung kita.

Sesuatu telah berubah, memang. Kita telah tahu itu. Saya tak mengatakan hal yang baru jika

di sini saya tulis bahwa banjir, tanah longsor, tanggul yang bobol, rel kereta yang rusak, roa-

roa yang remuk—dan akhirnya bumi yang semakin panas karena lapisan ozon yang

melenyap—adalah akibat ”kemajuan” yang rakus dan hasrat ”memperbanyak” yang tak jera.

Tapi apa mau dikata: tak selamanya kita sadar akan sifat tamak yang sering kita pelihara dan

manjakan sendiri itu. Padahal tiap potong kursi yang dibuat dari kayu hutan tropis, tiap are

tanah yang diambil buat pusat perbelanjaan, tiap lembar kantong plastik yang dibuang

sebagai sampah, tiap tetes sabun deterjen yang tercecer, tiap liter bensin yang diuapkan

sebagai karbon dioksida, tiap butir zat kimia sintetis yang mengalir ke kali—semua itu pada

akhirnya menghimpun sebuah daya yang membalik dan destruktif: semula dengan gemuruh

manusia mengalahkan alam, tapi kini ia seperti tak berdaya di depan alam yang hampir

hancur.

Page 117: catatan pinggir

Di situlah kekonyolan: ada kombinasi antara kebakhilan dan ketamakan yang menyebabkan

hujan membawa kerugian di kota semegah Jakarta. Para pemilik hotel, kantor besar,

apartemen tinggi di wilayah Kuningan, misalnya, pernah dirugikan miliaran rupiah oleh air

bah, tapi saya tak melihat ada investasi yang disiapkan untuk mencegah bencana itu berulang.

Yang kelihatan: dengan pesat manusia memperbesar tempatnya—karena keserakahan atau

karena beranak-pinak seperti marmut—tapi pada saat itu pula ia kehilangan dunung-nya.

Kata dunung saya pinjam dari bahasa Jawa. Dalam kamus yang disusun Empu Bahasa

termasyhur itu, W.J.S. Purwadarminta, Baoesastra Djawa, yang terbit pada tahun 1939,

dunung tak cuma berarti tempat (enggon) atau wilayah (wewengkon), tapi juga posisi yang

pas (prenah).

Orang kehilangan dunung ketika ia mengutamakan tempat. Dengan membangun tempat, atau

”kavling”, kita memang menerangi ruang, mengukurnya, memetakannya dan memilikinya

untuk digunakan. Dunia—yang sebenarnya berisi keragaman yang tak tepermanai, juga khaos

yang rumit dan endapan sejarah yang dalam—telah direduksi jadi petak yang jinak. Dunia

jadi sebuah gambar.

Tapi ”gambar dunia” itu (Weltbild, konon kata Heideg-ger) bukanlah gambar tentang dunia,

melainkan ”dunia” yang ditatap, disetel, dan dikonsep sebagai ”gambar”. Kita tak akan dan

tak pernah tinggal di sana sebenarnya. Bahkan di sanalah awal kita jadi terasing.

Sebab di manakah posisi yang pas bagi kita? Karena kita terbiasa mengukur ruang yang bak

gambar itu dengan angka—dengan hektare, volume, dan rupiah—kita pun terbiasa

menyangka bahwa yang pas adalah yang harus dapat dibandingkan dengan posisi orang lain,

atau posisi kita sendiri sebelumnya, sementara perbandingan itu berlangsung tak habis-

habisnya.

Ada sebuah cerita Leo Tolstoy tentang seseorang yang terus-menerus membeli tanah dan tak

pernah kenyang memperluas milik. Pada suatu hari ia mencoba mengukur wilayah

kekuasaannya. Ia membawa meteran, berjalan kaki menghitung petak demi petak. Perjalanan

itu tentu saja jauh sekali, karena tanah itu nyaris tanpa batas. Pada suatu titik, ia lelah, rubuh,

mati, dan dikuburkan. Akhirnya tempatnya adalah sebidang tanah yang tak lebih luas

ketimbang balai-balai si miskin. Di situlah ia di-prenah-kan. Di situlah dunung-nya.

Dunung adalah pengertian yang lahir dari kesadaran akan kefanaan. Meskipun terasa sangat

romantis, ada yang layak direnungkan ketika Heidegger berbicara tentang hubungan kata

Gothis wunian dengan kata Jerman lama bauen. Keduanya berarti ”tinggal”, ”menghuni”.

Tapi kata wunian juga berarti ”ada dalam damai”. Damai berarti tak tersentuh bahaya dan

gejolak. Dari kedamaian itulah kita bisa menilai posisi yang pas bagi kita.

Posisi yang pas itu, dunung, adalah posisi dalam apa yang disebut Heidegger ”empat lipatan”:

di atas bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana, di hadapan yang ilahi. Di sanalah

manusia tak terasing, sebab ia tak melepaskan diri dan tegak sendiri sebagai sang penakluk.

Ia tahu ia tak akan pernah selesai merengkuh. Rakus—tak hanya dalam hal tanah, tapi dalam

segala hal—hanya akan membawanya kepada ilusi tentang kenyang, yang bersifat sementara,

setelah ia memperkosa bumi.

”Bumi seperti seorang anak yang kenal sajak,” kata Rainer Maria Rilke dalam Soneta Buat

Orfeus. Bumi, tanpa kita sadari, mengenal ritme, kejutan, keakraban, keterpautan yang intens

Page 118: catatan pinggir

dengan kita—bumi yang menyebabkan hujan seakan-akan berbicara nyaman, bukan

terancam, bukan mengancam.

Saya tak tahu bisakah kita kembali ke sana. Mungkin saja. Saya mencoba berharap. Tiap kali

hujan menggerojok kota ini dengan dahsyat, akan ada saat berhenti. Di saat itu kita akan bisa

melihat pohon-pohon tampak segar, semakin hijau, seperti dicuci dari debu dan rasa lesu dan

terik yang keras.

~Majalah Tempo, Edisi. 50/XXXV/05 – 11 Februari 2007 ~

Ibrahim November 22, 2010

Posted by anick in Agama, All Posts, Kisah.

trackback

Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak bersalah,

sanggupkah engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu titah Tuhan, agar itulah

yang harus dikerjakannya. Ia sedang diuji, sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang

harus ditaati. Ia berangkat.

Seandainya saya yang diberi perintah, mungkin sekali saya akan menolak. Dengan takzim

dan takut. Saya akan katakan, biarlah saya masuk neraka. Biarlah saya dikutuk, asal anak itu

selamat. Belas kasih kepada bocah yang tak berdaya itu lebih mengguncang diri saya

ketimbang kehendak Yang Maha Kuasa.

Tapi saya bukan Ibrahim. Saya bukan tokoh Kitab Suci. Dalam Frygt og Bæven (Gentar dan

Gementar) yang terbit tahun 1843, Kierkegaard, pemikir Denmark itu, menggambarkan iman

Ibrahim sebagai sesuatu yang mengatasi nilai ”kebaikan” yang universal, yang berlaku buat

siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim bukan siapa saja. Ia unik, tersendiri, bersendiri.

Tindakannya di Bukit Muriah itu tak dapat dibenarkan oleh nilai dan hukum apa pun.

Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibrahim menaruh kepercayaan kepada ”kekuatan

dari sesuatu yang absurd”. Kierkegaard menyebutnya bukan tokoh tragis. Ibrahim bukan

seperti Kaisar Brutus yang dengan sedih harus membunuh anaknya demi hukum Romawi

yang harus ditegakkannya—hukum untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ibrahim, bagi

Kierkegaard, seorang ”ksatria iman”.

Tapi tetap saja tak mudah membayangkan seorang ”ksatria iman” harus memotong leher

anaknya sendiri. Mungkinkah ia sampai hati benar?

Agaknya sebab itu Quran menggambarkan Ibrahim meletakkan anaknya dengan muka yang

menelungkup. Dalam tafsir Al-Tabari disebutkan bahwa si bocah (Quran tak menyebutkan

namanya, Ismail atau Ishak) berkata kepada ayahnya: ”Bila ayah baringkan aku untuk jadi

kurban, telungkupkan wajahku, jangan ayah letakkan miring ke samping; sebab aku khawatir,

bila ayah melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah akan batal

melaksanakan perintah Allah.”

Ada sebuah lukisan Rembrandt, perupa Belanda yang termasyhur itu, yang bertahun 1635.

Judulnya ”Pengurbanan Ishak”. Saya pernah melihatnya di Museum Hermitage di St.

Page 119: catatan pinggir

Petersburg. Saya masih ingat: di kanvas itu tampak Ibrahim menutup wajah anaknya seraya ia

menghunus pisaunya. Ia tak akan tega melihat mata si bocah dalam kesakitan.

Tapi yang menarik, Rembrandt tak melukiskan rasa gentar dan gementar Ibrahim

sebagaimana diuraikan Kierkegaard. Dalam mengutip kisah Kitab Suci itu, sang pemikir

Kristen Denmark itu lebih memilih fokus pada perintah Tuhan yang pertama: Ibrahim, atau

Abraham, harus menyembelih anaknya. Kierkegaard tak melanjutkan bacaannya ke perintah

Tuhan yang kedua. Rembrandt, sebaliknya, justru menangkap momen itu. Sebagaimana

ditulis dalam Kitab Kejadian:

22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk

menyembelih anaknya.

22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: ”Abraham, Abraham.”

Sahutnya: ”Ya, Tuhan.”

22:12 Lalu Ia berfirman: ”Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia.”

Dalam kanvas itu, tampak tangan kanan Ibrahim dipegangi dan dicegah oleh tangan malaikat.

Pisau itu terjatuh. Tangan kirinya masih menutupi wajah si bocah. Matanya menatap ke arah

sang malaikat yang lembut: biji matanya yang hitam itu tampak sebagai bagian dari senyum

yang belum merekah.

Menurut catatan, Rembrandt melukis adegan itu ketika ia, dalam usia 29, baru saja kematian

anaknya yang masih bayi. Agaknya ini membuat lukisannya lebih peka kepada kepedihan

atas hilangnya nyawa seorang anak yang direnggutkan tanpa dosa, tanpa sebab. Ibrahim-nya

bukan yang sedang mematuhi titah pertama Tuhan.

Rembrandt mungkin akan lebih suka membaca tafsir Emmanuel Lévinas. Filosof Prancis

yang erat dengan tradisi Yahudi itu mengkritik pengutaraan Kierkegaard tentang Ibrahim.

Dalam esainya, ”A propos Kierkegaard Vivant”, ia menulis, ”bahwa Abraham mematuhi

suara yang pertama—itu menakjubkan: bahwa ia punya cukup jarak dengan kepatuhan itu

hingga bisa mendengar suara kedua—itu esensial”.

Sebab, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seorang kurban. Wajah bocah. Wajah

manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa jadi obyek. Wajah yang menyebabkan

perintah Tuhan punya makna: ”Jangan engkau membunuh.”

Dan bagi Lévinas, sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah mengetuk diri kita. Kita pun

memberi respons, bertanggung jawab, tak mudah sewenang-wenang. Kita ingat Ibrahim di

saat itu. Ia jadi berarti karena itu.

Majalah Tempo Edisi Senin, 22 November 2010

Indonesia Juni 16, 2008

Posted by anick in Agama, All Posts, Identitas, Indonesia.

trackback

Page 120: catatan pinggir

Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen dimaklumkan pada

pertengahan Juni yang panas: ”SBY Pengecut!”

Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai ”Amir” Majelis Mujahidin

Indonesia, yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq

Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi dan hari itu

dikunjungi sang Amir.

Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang. Suara itu tak

membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.

Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-

17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2007.

Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh dikunjungi ramai-ramai,

dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan,

dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara.

Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan hati-hati—karena para polisi,

jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara

bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil.

Beradab: karena dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk

membela diri; ia bukan hewan untuk korban.

Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu pelik. Ia tak bisa

digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi—juga tak bisa

digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan

yang sebenarnya tak di tangan manusia.

Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak

alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak

dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang mengakui

keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan.

Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau

ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif.

Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat

penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa.

Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca sebuah siaran pers

yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin:

”… ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita

menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan

1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik

antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan

pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.”

Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar

korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan

benci, kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara berdua orang Indonesia,

Page 121: catatan pinggir

seperti saya. Saya mengimbau agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat

yang disebut ”bhineka-tunggal-ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.

Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan meniscayakan

sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan.

Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang

merasa diri sempurna—dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan—akan tertutup bagi

koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.

Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan.

Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya—dan itulah yang

membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.

Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan geografi

tanah air ini—di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana

kerja bersama diperlukan.

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal, ”gotong-

royong”. Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada

yang menarik yang dikatakan Bung Karno: ”gotong-royong” itu ”paham yang dinamis,” lebih

dinamis ketimbang ”kekeluargaan”.

Artinya, ”gotong-royong” mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan prosesnya, dan

pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan ”kekeluargaan”.

Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja—”yang

kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung Karno, ”yang Islam dan yang Kristen”, ”yang bukan

Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”

”Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana

halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan—atau justru karena

membawa nama Tuhan—siapa pun, juga Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, tak boleh

mengutamakan yang disebut Bung Karno sebagai ”egoisme-agama.”

Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan

jadi tempat yang mengerikan jika ”egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut

didengarkan kembali: ”Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya

dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa.”

Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan Ba’asyir. Ataukah

bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?

~ Majalah Tempo Edisi. 17/XXXVII/16 – 22 Juni 2008~

Indonesia Agustus 17, 2009

Posted by anick in All Posts, Identitas, Indonesia, Nasionalisme, Sejarah.

trackback

Page 122: catatan pinggir

KADANG-KADANG saya berpikir, apa gerangan yang ada dalam pikiran bapak saya

beberapa saat sebelum ia ditembak mati. Kadang-kadang saya ingin membayangkan, ia

menyebut nama ”Indonesia” di bibirnya, atau ”Indonesia merdeka”, tapi tentu saja ini satu

imajinasi klise, dan sebab itu tiap kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil bapak

ketakutan di depan regu tembak pasukan pendudukan Belanda itu. Atau ia pasrah? Yang

agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan

(atau sikap pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti keberanian) pun

punah: peluru-peluru menembus batok kepalanya. Darah muncrat, ia roboh, tak akan pernah

pulang lagi.

Di tengah perkabungan, seluruh keluarga kami ketakutan dan menangis. Hanya ibu yang

teguh: seperti tiang rumah yang ajaib. Ia menangis tapi ia menenangkan kami semua dan

mengambil alih persiapan pemakaman dan perkabungan yang tergesa-gesa itu.

Kini saya mencoba mengerti kenapa ibu dapat demikian kuat. Ia mungkin sudah tahu, hidup

suaminya akan berakhir seperti itu, atau sedikit lebih baik ketimbang ditembak mati. Ibu telah

menyaksikan bapak keluar-masuk penjara; ia bahkan menyertai bapak ke pembuangan nun di

Digul, di Papua, yang tak terkirakan jauhnya. Adakah ia ikhlas? Ibu tak pernah berbicara

tentang suaminya dengan kekaguman kepada seorang pejuang; ia hanya sesekali berbicara

tentang sikap keras hati laki-laki itu: ada saat-saat ia seperti bertapa buat menetralisir musuh-

musuhnya (yang tak pernah dijelaskan kepada saya siapa), ada saat-saat ia meninggalkan

rumah untuk sebuah rapat gelap di atas perahu, ada saat-saat ia tak putus-putusnya

mendengarkan radio. Selama itu, ibu tak pernah berbicara tentang ”Indonesia”.

Barangkali karena bagi generasi aktivis politik masa itu—yang terlibat langsung dalam

pergerakan nasional sejak awal abad ke-20—”Indonesia” sudah dengan sendirinya hadir

dalam pikiran, sehingga mulut tak perlu mengucapkannya lagi. Atau kata ”Indonesia” dengan

sendirinya sebuah perlawanan bagi kata ”Hindia Belanda”. Karena setiap saat dalam aktivitas

politik masa itu adalah perlawanan, kata ”Indonesia” sudah tersirat ketika orang siap masuk

penjara. Atau dibuang. Atau ditembak mati.

Ibu membesarkan sisa anak-anaknya yang belum dewasa dengan praktis: mereka harus

makan dan bersekolah. Hampir hanya itu. Dalam percakapan keluarga kami sama sekali tak

ada pesan untuk cinta tanah air. Tapi saya tumbuh, dan saya kira juga saudara-saudara

sekandung saya, dengan ingatan tentang bapak—dan bersama itu, diam-diam, ”Indonesia”

pun menongkrongi diri kami, melibatkan kami. Artinya jadi sangat berarti. Setidaknya saya

tak bisa membayangkan diri saya hidup tanpa pertautan dengan ”Indonesia”.

Saya yakin, saya tak sendirian. Bersama yang lain-lain, saya tak akan bisa merumuskan

dengan fasih apa arti ”Indonesia” bagi saya. Tapi saya melihat teman-teman saya yang tanpa

merumuskan apa pun berdiri menyanyikan Padamu Negeri seraya siap untuk melakukan

tindakan besar bagi orang banyak di negerinya—misalnya melawan mereka yang menindas.

Saya melihat Upik dan Udin yang berangkat ke Aceh untuk membantu mereka yang

terhantam tsunami dan memasang bendera merah-putih kecil di ransel mereka. Saya

mengenal Tati dan Toto yang—meskipun tak menyukai apa saja yang ”politik”—berkaca-

kaca matanya ketika mendengar Indonesia Raya dengan musik yang agung.

Apa yang mendorong mereka demikian? Mungkin karena tanah air adalah ingatan dan

harapan yang menyangkut tubuh: harum padi yang terkenang, rasa rempah yang membekas,

deras arus yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu yang sejuk, batuk

Page 123: catatan pinggir

kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak

akan dibangun, anak-anak akan beres bersekolah, karier akan dicapai. Juga harapan akan

melakukan sesuatu yang berarti.

Tapi tentu saja ada mereka yang menolak itu semua—atau tak merasa terpaut dengan tanah

air yang mana pun. Saya kira, mereka yang bersetia kepada gagasan ”Darul Islam” yang tak

berpeta bumi itu adalah contoh yang baik; mereka berpindah dari satu wilayah ke wilayah

lain, tanpa bertaut ke masing-masing tempat. Mereka tak bertanah air, sebab tanah air adalah

bagian dari bumi dan badan, sedang mereka yakin bahwa hukum—yang bagi mereka adalah

segala-galanya—tak terpaut pada bumi dan badan, ruang dan waktu tertentu. Tak akan

mengherankan bila ”Indonesia” bagi mereka tak berarti apa-apa. Geografi mereka sederhana:

sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wilayah diri. Tak ada yang lain.

Kita tahu mereka siap untuk mati, untuk ditembak mati. Tapi betapa berbedanya dengan

mereka yang merasa terpaut dengan sebuah tempat hidup dan tempat mati. Mungkin sekali di

depan regu tembak itu bapak saya tak menyebut nama ”Indonesia” dengan tekad utuh.

Mungkin sekali ibu saya bekerja dengan tekad untuk anak-anaknya bukan untuk masa depan

negeri ini. Tapi bagi saya mereka seperti kebanyakan kita: bagian dari sesama, yang hidup

fana, di sebuah masa, di sebuah tempat, dan tak pernah bisa ditiadakan dengan hukum dan

senjata.

~Majalah Tempo Edisi 17 Agustus 2009~

Ingatan Februari 24, 2002

Posted by anick in Agama, All Posts, Multikulturalisme.

trackback

Jauh di balik dendam dan perdamaian, terhantar ingatan. Seperti sebuah samudra. Di

sana Tuan memilih mana lokan yang ingin Tuan takik dari dalam laut yang menyimpan masa

lalu itu, dan mana yang ingin Tuan campakkan. Ingatan tak pernah utuh. Masa silam tak

pernah satu. Ada kenangan yang memilih damai. Ada waktu lampau yang mendorong Tuan

berseru: “Kami ingin menuntut balas.” Ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya

menganggap bahwa “sejarah” adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah

tersimpan. Tapi bisakah?

Siapa pun yang “menengok kembali” sebenarnya tak pernah sepenuhnya “kembali”. Saya tak

berbicara tentang Ambon di hari ini, tapi tentang sebuah wilayah lain yang juga mengalami

trauma: Rwanda, di tahun 1994, di mana dalam seratus hari sekitar 800 ribu orang Tutsi

dibunuh oleh orang Hutu karena sejarah yang terasa pahit.

Sejarah yang terasa pahit—tapi di sini pun orang tak bisa sepenuhnya menengok kembali.

Dunia luar memang bisa bicara bahwa, di negeri yang “belum modern” ini, dendam

antarkedua suku itu tertanam akarnya berabad-abad. Tapi cerita Philip Gourevitch dalam We

Wish to Inform You that Tomorrow We Will Be Killed with Our Families, sebuah buku yang

memukau tentang kekejaman di negeri Afrika itu, menunjukkan bahwa akar permusuhan itu

punya umur dan bentuk yang lain: sebuah gabungan antara kenyataan sosial-ekonomi dan

sebuah mitos yang belum tua beredar.

Page 124: catatan pinggir

“Sejarah Rwanda”, tulis Gourevitch, “mengandung bahaya.” Tak ada tradisi historiografi, tak

ada peninggalan alfabet; kisah turun-menurun adalah cerita lisan. Yang direkonstruksi para

peneliti di universitas selamanya bersifat dugaan. Maka, tak ada sebenarnya yang tahu pasti

siapa yang lebih “asli” di antara orang Tutsi dan orang Hutu. Tak jelas siapa yang datang

lebih dulu ke wilayah yang semula dihuni orang Twa, yang kini tersisih itu.

Dalam kenyataannya, kedua kelompok itu memakai bahasa yang sama, memeluk agama yang

sama (sebagian besar, 65 persen, Katolik, dan 17 persen menganut agama nenek-moyang,

selebihnya adalah Protestan dan Islam), dan antarkedua suku itu telah terjadi percampuran

sehingga ada etnografer yang menyimpulkan bahwa sebenarnya keduanya tak bisa disebut

sebagai dua kelompok etnis yang jelas bedanya.

Tapi ada sesuatu yang menyebabkan mereka memilih politik ingatan yang berbeda. Terutama

karena orang Tutsi umumnya hidup beternak, dan orang Hutu berladang, dan yang pertama

dikaitkan dengan posisi yang lebih tinggi sedang yang kedua lebih jelata. Dalam sejarah

kerajaan lama Rwanda, yang jejaknya konon sampai ke akhir abad ke-14 dengan seorang raja

yang disebut sebagai “Mwami”, orang Tutsi memang menduduki jabatan politik dan militer,

sementara orang Hutu jadi bawahan. Konflik pernah meledak di tahun 1959 ketika seorang

aktivis politik Hutu diserang orang Tutsi dan dikabarkan mati. Segera, sebuah “revolusi

sosial” meletus. Orang Tutsi diserbu, rumah-rumah dibakar—sementara pasukan Belgia,

wakil kolonialisme yang ada di sana, tak melindungi mereka.

Dalam proses itu, akhirnya beda antara Hutu dan Tutsi lebih ditentukan oleh hubungan

dengan kekuasaan negara. Untuk mengukuhkannya, keduanya mengembangkan kebudayaan

yang makin berbeda secara negatif: apa yang “Hutu” hanya baru jelas bila ditampilkan

sebagai “bukan Tutsi”, dan sebaliknya. Ingatan akan perbedaan pun kian dipertebal, juga

dalam soal jasmani: orang Hutu umumnya tambun dan berparas bulat, orang Tutsi ramping

berparas panjang; orang Hutu berkulit gelap, orang Tutsi kurang hitam. Meskipun

perkecualian tak sedikit didapatkan, beda itu akhirnya dibuat sah oleh sebuah kekuatan yang

ekspansif dengan pretensi ilmiah dari luar: orang Eropa. Mereka masuk ke suku-suku Afrika,

menulis etnografi, mengukur panjang hidung mereka, dan memilihkan ingatan untuk

mendefinisikan mereka.

Di tahun 1863, seorang Inggris bernama John Hanning Speke datang ke wilayah itu, dan

pulang dengan sebuah teori yang sebenarnya mengulang purbasangka “Barat”: bahwa

peradaban di Afrika Tengah adalah berkat jasa bangsa yang lebih tinggi tubuhnya, lebih

runcing bentuknya, yang mirip dengan orang Eropa, yakni suku yang berasal dari Ethiopia,

anak-cucu Daud dalam Injil. Mereka, misalnya orang Tutsi, tentu saja lebih unggul

ketimbangi ras “Negroid” yang pribumi.

Dalam karyanya, Journal of the Discovery of the Source of the Nile, bahkan Speke punya

rujukan yang ajaib: cerita dalam Kitab Kejadian, tentang Kanaan, anak Ham, yang dikutuk

Nuh untuk menurunkan para budak. Bagi Speke, seperti bagi banyak orang Eropa semasanya,

kutukan Nuh itu adalah awal nasib orang Negroid. Hanya peradaban dari luar yang bisa

menyelamatkan mereka. Ia tentu saja berbicara tentang peradaban Eropa. Tapi ia juga

menyebut peran suku Tutsi, misalnya, yang dianggapnya sebagai (dalam kutipan Gourevitch)

“orang Nasrani yang hilang”.

Ini, tentu, sebuah fantasi kolonialisme. Tapi kolonialisme membubuhkan luka yang dalam ke

dalam ingatan mereka yang pernah dijajah. Di tahun 1992, Leon Mugesera, juru bicara Kuasa

Page 125: catatan pinggir

Hutu, menyerukan agar orang Tutsi “kembali” saja ke Ethiopia, melalui Sungai Nyabarongo.

Ketika mereka tak kembali, pembantaian dimulai. Di bulan April 1994, tulis Gourevitch,

“Sungai itu sesak oleh mayat orang-orang Tutsi, dan puluhan ribu tubuh hanyut sampai ke

tepi Telaga Victoria.”

Kita tak tahu adakah juga hanyut rasa dendam. Sebab, jauh di balik pembantaian atau salam

damai, tersembunyi ingatan, yang tak pernah berdiri utuh, bersih, sendirian.

Ini Pagi, Kata Kartini April 28, 2008

Posted by anick in All Posts, Sejarah, Tokoh.

trackback

It is morning, Senlin says, and in the morning

Should I not pause in the light to remember God?

–Conrad Aiken.

Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan berangkat kerja, naik ojek dengan

motor yang guncang, terpekur di sadel plastik yang gelap, mungkin mengingat ujung mimpi,

mungkin mimpi.

Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, ia akan turun di pengkol gang yang patah,

sebuah lorong dengan nama seorang haji, dan akan menyusuri aspal kusam, dan akan

membayangkan dirinya menyanyi, mungkin sebuah lagu Dewi Persik, mungkin sejumlah

goyang, sejumlah angan-angan, mungkin fantasi.

Ini pagi, kata Kartini, dan bila pagi seperti ini, di tempat kerja itu, di sebuah panti pijat, si

asisten pemilik usaha akan berkata kepadanya: ”Jangan lupa gembok.” Dan ia akan

mengambil di lokernya celana-dalam seragam yang hijau itu, dengan retsliting mengkilap,

dengan gembok kecil yang merah.

”Jangan lupa gembok”. Aku tak akan lupa, tak akan lupa. Gembok itu melindungi perempuan

pemijat dari dosa, kata pegawai jawatan agama kabupaten; gembok adalah teknologi

kealiman, peranti iman, pelindung harmoni keluarga, perisai kesehatan jasmani & rohani.

”Tentu, tentu, tentu. Amin, amin, amin,” kata Kartini, kata Kardinah, kata perempuan-

perempuan pemijat, kata asisten pemilik usaha, dan tak seorang pun yang tak patuh.

Ini pagi, kata Kartini, dan tiap pagi di tempat ini selalu dimulai dengan ingatan tentang dosa,

kekotoran manusia, atau najis, Tuhan yang mengirimkan sifilis, insan yang menyembunyikan

kemungkinan-kemungkinan jorok, syahwat yang hanya sedetik dirasakannya, dan fatwa yang

menyuntikkan ke jantungnya segumpal rasa bersalah seperti dokter menyuntikkan serum

kuda.

Siapa yang bersalah? Ini pagi, kata Kartini, jam-jam pertama ia mencari upah, tak mencari

laki-laki. Ini pagi, kata Kartini, benarkah ia selamanya paham apa yang dikehendaki laki-

laki? Suaminya yang cemburu tapi lapar dan malas mengantar si Ujang ke sekolah; pak cik

yang tiap Jumat datang menagih utang karena ia sendiri hidup dari utang; satpam yang selalu

Page 126: catatan pinggir

sangat ramah kepada istri pemilik warteg di pinggir jalan, dan tukang ojek yang selalu

berkata lewat kaca spion sepeda motornya, seperti mau mengejek, ”Aku tak suka bau badan.”

Siapa yang bersalah? Laki-laki yang tak mau memakai gembok di celana-dalam, kata

Kardinah: bupati yang selalu berpikir tentang seks; anggota dewan yang percaya ada gerakan

pengedar syahwat di selatan khatulistiwa; komandan koramil yang punya senyum mesum;

nyonya kepala jawatan agama yang kalang-kabut mengintip film ”begituan” dan merasa

betapa gemuruhnya godaan dan asyiknya kenikmatan, astaghfirullah, astaghfirullah.

”Jangan lupa gembok”. Laki-laki adalah otak, kata ketua Majelis Ulama setempat, perempuan

adalah badan. Laki-laki matahari, perempuan bumi, katanya lagi. Yang di dekat langit dekat

pula dengan sumber terang dan wahyu, yang dekat bumi mudah tersenggol lendir dan

gonorea. Surya melahirkan tenaga, bumi melahirkan bahan. Memang dari sini datang bau

harum, tapi juga racun. Jangan lupa gembok. Jangan lupa penutup rambut di kepala. Jangan

lupa penutup lengan dan tungkai kaki. Wahai, jangan lupa dari mana datangnya dosa: dari

mata turun ke vagina. Jangan lupa gembok, jangan lupa kunci. O, ya. Jangan lupa celana-

dalam.

Ini pagi, kata Kartini. Pagi adalah menunggu tamu. Pagi adalah dag-dig-dug. Pagi adalah

suara tokek di dinding yang ditebak seperti ramalan feng-sui: rezeki – rugi – rezeki – rugi –

rezeki – tidak.… Dan Kardinah, dan Rukmini, dan Badriyah, dan Sri Urip, dan Zakiyah, dan

seluruh tim pemijat itu, mereka tahu bahwa di antara mereka cemas adalah sesuatu yang sah

dan terduga: para tamu tak akan gampang dan tenang datang ke sini, sebab para tamu adalah

orang yang terhormat, dan orang yang terhormat tak mau dituduh mendekati sesuatu yang

harus diproteksi dengan sepotong logam berwarna merah.

Ini pagi, kata Kartini. Ini pagi, Stella—ataupun siapa nun di luar sana. Di ruang ini hari

dimulai dengan kewaspadaan. Atau kecurigaan. Atau penghinaan. Dan kaum yang lapar,

kaum yang terhina, berderet termangu, duduk, bersalah sebelum diupah.

Ini pagi, kata Kartini, aku turun dari gelap

dan dengan angin yang menghuni,

aku berangkat, entah ke mana.

Sepucuk kunci di kantungku,

arlojiku kuputar siap.

Langit menyuram,aku turun tangga.

Ada bayang-bayang di jendela, melintas,

juga sepotong awan di atas,dan sesosok tuhan di antara bintang—aku akan pergi…

~Majalah Tempo, Edisi. 38/IX/28 April – 04 Mei 2008~

Irfan Mei 1, 2000

Posted by anick in All Posts, Buku, Identitas, Islam, Kisah, Sastra.

trackback

ANAK muda itu, yang diberi nama Irfan—tokoh dalam novel Mehmet Efe, Mizraksis

Ilmihal— bercerita tentang sebuah gairah yang menghidupkan pelbagai hal besar dan

mematikan beberapa hal kecil. Ia adalah mahasiswa Fakultas Sejarah Universitas Istanbul.

Page 127: catatan pinggir

Tapi ia datang dari sebuah kota agak di udik. Ia datang dari keluarga lapisan bawah kelas

menengah. Ia orang pertama dalam keluarganya yang masuk ke universitas, anjungan

pertama untuk naik jenjang sosial di Turki. Dan di Kota Istanbul yang hiruk, beragam,

membingungkan, mempesona, dan sekaligus melelahkan itu, ia menemukan sebuah

komunitas: sebuah jemaah, juga sebuah cita-cita yang agung.

Inilah definisi dirinya yang ia nyatakan sendiri: “Seorang muslim, soleh, Islamis, pejuang

revolusi yang radikal, fundamentalis, pro-Iran, sufi, dsb.… seseorang yang ada di antara

semua itu.” Ia ikut dalam pertemuan-pertemuan agama, dalam demonstrasi anti-Israel dan

anti-Amerika, mendengarkan diskusi panel, mendatangi toko buku Islam, dan di koridor

universitasnya menyatakan, “Kamilah pelaku, pahlawan dari citra yang tumbuh dalam mimpi

kami, yang dibangkitkan oleh revolusi Iran.”

Anak muda itu, yang diberi nama Irfan (yang saya ketahui dari tulisan Nilüfer Göle dalam

jurnal Dædalus nomor musim dingin tahun 2000), agaknya bukan orang yang sangat asing

bagi kita. Mungkin ia—seperti layaknya tokoh novel gagal yang cuma menarik untuk jadi

sebuah tesis—adalah sebuah contoh soal. Nilüfer Göle, guru besar sosiologi di Universitas

Bogazici di Istanbul, memang tidak sedang membahas sebuah karya sastra. Dan tampaknya

Mizraksis Ilmihal juga lebih sesuai untuk jadi sarana bagi sebuah risalah: bagaimana politik

“Islamis” hidup di tepian modernitas.

Dalam novel Mehmet Efe ini, Irfan semula hanya memautkan diri dengan hal-hal besar:

pembebasan, perubahan masyarakat secara revolusioner, keselamatan dunia dan akhirat, cita-

cita tentang dunia yang ideal. Baginya, gairah untuk itu begitu penting, hingga kenikmatan-

kenikmatan diri terasa mengganggu. Dirinya sendiri dalam ruang privat harus ditiadakan.

Hubungan yang dekat jadi soal yang kecil. Mungkin mengacau. Tapi novel menjadi novel

karena sesuatu berubah. Irfan ketemu seorang gadis.

Sudah bisa diduga: Irfan akan tertarik dan ia akan terganggu. Bukankah baginya “seorang

muslim tidak jatuh cinta kepada seorang perempuan, melainkan kepada Allah”?

Tapi ada yang penting dalam Mizraksis Ilmihal: mahasiswa yang baru datang itu, juga

seorang muslimah, bukan saja menggugat Irfan karena soal lelaki dan perempuan, tapi juga

menjadi soal antara cita-cita besar dan diri yang “kecil”. Ia datang ke kampus buat mendaftar.

Hari itu para aktivis “Islamis” sedang memprotes larangan atas jilbab. Irfan mengajaknya

untuk ikut dalam aksi boikot. Tapi gadis itu menolak. “Pernahkah kalian sebelumnya tanya

pendapatku? Kalian laki-laki yang berpidato, dan kami cuma dekor, he?”

Kemudian kita tahu lebih banyak tentang gadis itu, dari catatan hariannya. Ia melihat para

aktivis itu berlalu-lalang di koridor seakan-akan revolusi akan terjadi besok. Ada yang

menyesalkan bahwa “laki-laki muslim terlalu pasif.” Tiap orang dengan segera siap

melakukan “penjantanan” atau maskulinisasi (erkekselesiyor). Mereka pun memberinya

buku-buku—yang menyerukan agar ia jadi idealis, pejuang, gerilyawan, untuk mengubah

segala hal dari dasar. Dan tiba-tiba ia seperti dituding: “Saya kecil. Saya lemah. Saya cewek.

Saya cewek…. CEWEK.”

Tiba-tiba pula ia menemukan kembali identitasnya. Cewek, lemah, kenapa tidak? Dari sini, ia

pun menampik peran kolektif yang disiapkan di pundaknya. Secara ironis, ketika ia kembali

menemukan “kelemahannya”, ia menemukan dirinya, dan juga sebuah daya. Dari sini ia

mampu mengecam ambisi “Islamis” untuk mengubah dunia secara radikal.

Page 128: catatan pinggir

Irfan juga berubah. Cinta dan soal-soal kecil bukan lagi mengacaunya. Justru sebaliknya:

membebaskan. “Aku akan hidup bukan dengan permusuhanku, tapi dengan

persahabatanku…. Aku akan puas dengan hal-hal kecil. Aku tak sanggup menanggungkan

hal-hal universal lagi.”

Dengan itu, dunia tak hendak diubahnya lagi dengan akar yang dicabut. Persoalan yang

belum dikemukakan Irfan adalah bagaimana dengan teman-temannya dulu, yang militan itu.

Ketika Islam hidup di sebuah ruang yang plural, orang-orang “sekuler” memang sering

mencemooh, seperti ketika mereka mencibir jilbab. Tapi haruskah Islam menampik dunia

yang “sekuler” itu, yang plural itu, dengan mempertahankan batas yang gagah dan total?

Bukankah hidup tak bisa mengelakkan hal-hal kecil, yang wajar tapi juga sering tak diduga—

dan sebab itu batas yang total hanya garis imajiner yang datang karena ketakutan?

Di akhir novel, Irfan punya imajinasi lain: ia membelikan saputangan sutra buat si pacar, ia

menikahinya, memasak bersama dengannya, membaca bersama…. Yang dibangunnya

akhirnya sebuah hidup yang bersahaja tapi berarti, bukan sebuah kanal besar untuk ke

kesempurnaan, seperti Kanal Laut Putih yang dibangun Stalin, sebuah saluran untuk

membuktikan bahwa alam bisa dikalahkan oleh ide—dan untuk itu ratusan ribu orang bisa

dikorbankan.

~Majalah Tempo, Edisi. 09/XXIX/01 – 7 Mei 2000~

Isa Agustus 28, 2006

Posted by anick in Agama, All Posts, Islam, Kekerasan, Pancasila, Politik, Sejarah, Tokoh.

trackback

ADA yang menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek, bulat, berkibar-kibar dalam tiap

konfrontasi, tangkas, dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih mengingat sosok dan

namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa

Barat itu, merupakan tonggak tersendiri di Indonesia: orang mengaguminya atau

memandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan untuk mendirikan ”negara

Islam” dipergulatkan dalam perdebatan politik dan persaingan yang terbuka.

Pada tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama secara nasional.

Para sejarawan mencatatnya sebagai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam

kehidupan demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi kekerasan selama

kompetisi politik itu berlangsung.

api tak berarti api tak mulai merayap dalam sekam kehidupan masyarakat. Retorika bisa

begitu berkobar dan percikannya bukannya lekas padam di ruang hampa. Dalam hal ini,

ucapan-ucapan Isa Anshary punya efek bakar yang agaknya jauh—yang mungkin kelak ikut

membuat suasana eksplosif di Indonesia setelah 1959.

Dari pemilihan 1955, ia dipilih jadi anggota Konstituante, dewan perwakilan yang bertugas

merumuskan konstitusi. Ketika pada November 1956 sampai Juni 1959 perdebatan

berlangsung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar negara, Pancasila atau

Islam—pelbagai argumen dikemukakan oleh masing-masing pendukungnya.

Page 129: catatan pinggir

Banyak yang cemerlang, banyak yang membosankan, tapi sedikit yang segalak pidato Isa

Anshary dalam majelis yang bersidang di Bandung itu:

”Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin

secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara.

[Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam, lebih

sempurna dari Islam, lebih universal dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran

dan hukum Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian

itu murtadlah dia dari Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan

secara Islam, tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….

Pidato itu, dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang

diterbitkan Sekretariat Konstituante—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung Nasution,

Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia—sebenarnya tak menunjukkan

perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah pada tahun 1951, dalam majalah

Hikmah, ia menyatakan, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya, yang

tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”

Tentu harus dicatat bahwa Isa Anshary, ”Napoleon” itu, tak memilih jalan perjuangan

bersenjata untuk itu; ia dan partainya, Masyumi, membedakan diri dari cara Darul Islam yang

pada masa itu bergerilya hendak merobohkan Republik dari hutan-hutan Jawa Barat. Namun

mungkinkah sikap yang demikian mutlak—yang mengutuk siapa saja yang tak sependirian

dengan kata ”murtad”, ”kafir”, atau setidaknya ”bejat moral”—pada akhirnya bisa

menghindar dari kehendak menampik dan menyingkirkan secara mutlak pula?

Jarak antara kekerasan dan sikap yang tak mengizinkan perbedaan hanya terbentang beberapa

senti—seperti terbukti dalam sejarah ketika dalil yang absolut dipergunakan dalam bertikai.

Kita tahu, riwayat agama-agama tak bersih dari darah dan kebengisan. Tentu saja tak hanya

agama: yang brutal terjadi tiap kali doktrin tergoda jadi totaliter, ketika ajaran dijejalkan ke

segala pojok hidup dan lubuk jiwa, ketika para ahli agama—sebagaimana kaum ideolog—

merasa diri jadi penyambung lidah Yang Maha Sempurna.

Yang sering diabaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang bermula dari bayangan tentang

kesempurnaan, selalu berakhir sia-sia. Bayangan tentang ”yang sempurna” ini—yang oleh

para psikoanalis akan disebut sebagai fantasi—pada hakikatnya lahir dan tumbuh dari rasa

risau tentang dunia yang apa boleh buat cacat. Ketika yang cacat tak kunjung dapat

dihilangkan, doktrin pun membentuk diri dengan menciptakan apa saja yang harus dikutuk

dan akhirnya dibinasakan: si ”bejat moral”, si ”fasik”, si ”murtad”, si ”kontrarevolusioner”, si

”revisionis”, ”si komunis”, ”si teroris”….

Tapi kita tahu, daftar itu tak akan habis. Masyarakat yang total tak akan pernah tercapai.

”Negara Islam” telah dicoba dalam sejarah, tapi jawaban selalu hanya sebuah iktikad baik

yang mencoba-coba.

Sebenarnya Isa Anshary tahu, dunia tak akan bisa dibereskan sekali pukul dan buat selama-

lamanya. Ia menganggap ”haram” pandangan Bung Karno yang melihat gotong-royong

sebagai hakikat Pancasila. Sebab di sini, menurut dia, ”Tuhan yang Maha Esa” dilebur dalam

kata ”gotong-royong”.

Page 130: catatan pinggir

Dengan kata lain, Tuhan yang Maha Sempurna tak sepatutnya dipertautkan dengan ikhtiar

bersama manusia yang masing-masing terbatas dan daif dan cacat. Tapi jika demikian,

bagaimana mungkin Tuhan diturunkan dari takhta kegaiban dan kesucian untuk mengurus

kehidupan politik yang mau tak mau harus dikerjakan oleh tangan-tangan yang terbatas,

terkadang cela?

~Majalah Tempo Edisi. 27/XXXV/28 Agustus – 03 September 2006~

Isis Juni 11, 2007

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Kisah.

trackback

Hutan tipis yang cuma sisa, burung penghabisan yang bersarang di tebing kering, dan

manusia terakhir yang terdesak di sebuah bumi yang kian panasimajinasi ini memang muram,

menakutkan. Tapi imajinasi ini juga bisa memudarkan ilusi: hidup ternyata bukan seperti

yang dibayangkan George W. Bush. Dengan mesin perang yang besar dan tiap kali

menghancurkan, dengan emisi karbon dioksida yang menghambur dari jutaan knalpot tak

henti-hentinya, dunia tak selamanya secerah, seramah, dan setenang gambar-gambar Norman

Rockwell atau iklan rokok Marlboro.

Tapi sebenarnya bukan hanya hari ini dipersoalkan apa yang terjadi.

Semenjak para ksatria dalam cerita wayang mbabat alas wanamerta membuka hutan dan

memperluas wilayah kekuasaan merekadan dengan ekspansi itu mempersempit daerah yang

dihuni para pertapa untuk bersemadi, telah muncul sebuah tema perseteruan dua sisi, atau dua

impuls, dalam sejarah.

Di satu sisi dorongan untuk merapatkan diri dengan gunung dan rimba, seperti ketika Arjuna

bertapa dalam lakon Begawan Mintaraga. Di sisi lain dorongan menang dan menaklukkan,

seperti ketika Arjuna mencari senjata terdahsyat untuk perang memperebutkan kerajaan. Di

satu sisi muncul kemampuan berempati kepada makhluk yang lain di tengah alam, seperti

ketika Rama bersahabat dengan Kera Sugriwa. Di sisi lain menonjol keampuhan destruktif

tanpa perasaan benci, seperti ketika Rama membunuh Kera Subali yang tak bersalah apa pun

kepadanya.

Di khazanah lain, dalam perumpamaan yang datang dari sejarah pemikiran Yunani, kedua

dorongan itu jadi keyakinan sejak orang membaca kalimat Heraklaitos di abad ke-5 sebelum

Masehi: phusis kruptesthai philei.

Dalam The Veil of Isis versi Inggris dari buku Pierre Hadot yang memaparkan sejarah

perkembangan pengertian ”alam” dalam sejarah pemikiran Barat, diuraikan bahwa kalimat

termasyhur itu sebenarnya punya beberapa arti. Heraklaitos konon bermaksud berkata, ”Alam

suka menyembunyikan diri.” Tapi ia juga bisa bermaksud mengatakan, ”Apa yang dilahirkan,

ia akan menghilang.” Dalam tafsir Hadot, ketidakpastian makna itu khas pemikiran

Heraklaitos, yang keseluruhannya menunjukkan ”ketakjuban di depan misteriusnya

metamorfosis” dalam alam, juga ketakjuban dalam menemukan hidup dan kematian. Alam

yang tak sepenuhnya dapat ditebak dan dipahami menyebabkan kita terkesima dan merunduk

takzim. Alam yang bisa berubah-ubah, bahkan punah, dan menunjukkan betapa fananya dia,

Page 131: catatan pinggir

menyebabkan kita merasa bisa menguasainya atau, kalau tidak, merasa perlu

membekukannya agar abadi.

Ada dalam diri manusia sesuatu yang bisa dilambangkan dalam sosok akan Prometheus.

Tokoh mitologi setengah dewa ini sering dikisahkan sebagai makhluk yang mencuri api yang

disembunyikan Mahadewa Zeus agar tak terjangkau oleh pengetahuan insani. Prometheus

membangkang dan memberikan rahasia itu kepada manusia. Dalam interpretasi Hadot, tokoh

inilah model semangat untuk meraih dan mengetahui apa yang paling dalam dan jauh,

sekaligus lambang kekuatan yang menyelidiki, menginterogasi, dan bahkan menyiksa. Di sini

kita temukan kutipan dari sepucuk surat Francis Bacon: ”Saya sebenar-benarnya

mendatangkan Alam dan anak-anaknya kepadamu, agar ia diikat untuk melayanimu dan

membuatnya jadi budakmu.”

Dari kebrutalan itulah ilmu dan teknologi lahir dan tumbuh. Air gerimis dihentikan alirnya

dan diurai jadi H2SO4. Sugriwa abad ke-20 dimasukkan ke dalam kandang laboratorium

untuk jadi bahan eksperimen kimia, dengan nasib yang tak berbeda dari Subali yang dibantai

di hutan-hutan.

Namun ada juga sifat manusia yang seperti Orfeus, yang dengan nyanyi dan puisi merayakan

pohon hijau, bulan yang jernih, dan sungai deras di kaki bukit. Di sinilah kaum Romantik dan

para penyair seperti Goethe berdiri. Hadot pun mengutip sastrawan Jerman itu: ”Misterius

bahkan di terang siang, Alam tak membiarkan cadarnya ditanggalkan, dan apa yang tak

diinginkannya untuk terbentang di pikiranmu, tak dapat kau paksa….”

Di kalangan para penyair ini alam dilambangkan sebagai Isis, dewi yang bertetek banyak,

yang bercadar. Sungguh menarik untuk mengetahui, dari penuturan The Veil of Isis, bahwa

Goethe meskipun ia menggemari eksperimen ilmu membenci Newton yang menyiksa cahaya

dengan membelah-belahnya jadi satuan-satuan warna. Cadar Isis telah dicoba direnggutkan,

sang Dewi hendak ditelanjangi.

Tentu saja tema pertentangan antara tauladan Prometheus dan Orfeus ini bukan sesuatu yang

baru dan dalam hal ini The Veil of Isis tak menyajikan wawasan yang segar. Bahkan agak

terbatas. Risalah sejarah pemikiran ini kurang mengemukakan pilihan-pilihan sulit yang

dihadapi manusia di benua di mana kelangkaan sesuatu yang lebih mendasar ketimbang

kemiskinan bukan saja membentuk ekonomi, tapi juga perilaku dan kebudayaan.

Kelangkaan pangan dan tempat hidup mendorong manusia membuat sawah dan rumah. Tapi

seakan-akan hendak menebus apa yang direnggutkan oleh cangkul, bajak, gergaji, dan

parang, manusia mencoba mengembalikan bayang-bayang keindahan pada teras sawah Bali,

jejak keabadian pada padi yang disebut sebagai Dewi Sri, gema suara alam pada bunyi merdu

yang ditiup dari bangsi. Rumah pun dibangun, tapi akhirnya tak hanya atap, dinding, dan

pintu. Ada arsitektur, cat merah daun jendela, dan kembang leli di dalam bokor. Yang terluka

hendak dipupus.

Tapi memang ada suatu dinamika lain yang datang, yang membuat kelangkaan seakan-akan

sisi yang tragis dari keserakahan. Itu agaknya yang menyebabkan Indonesia sebuah republik

yang bukan bagian dunia yang kaya jadi negeri No. 3 di dunia dalam menyumbang besarnya

emisi kotor yang mengganggu udara. Mereka yang pernah punya pengalaman traumatik

dalam kelangkaan, telah dengan cemas meraih, meraih, meraih…. Dan hutan-hutan terbakar,

dan kota-kota cemar.

Page 132: catatan pinggir

~Majalah Tempo, Edisi. 16/XXXIIIIII/11 – 17 Juni 2007~

Jakarta Februari 10, 2002

Posted by anick in All Posts, Bencana.

trackback

JIKA kota ini runtuh, pelan-pelan, dan air bah yang mengepungnya selama berhari-hari ini

datang sebagai perusak terakhir yang dingin dan diam, kota ini akan jadi sebuah cerita

tentang negeri yang dihabisi oleh kekuatan jahat yang tak tampak tapi ganas.

Jika hujan tak punya lagi bukit dan hutan, jika curah air tak punya tempat yang menyerap dan

menyimpannya, pasti ada kekuatan keji yang bekerja. Bidang bumi yang vital itu telah

direbut oleh para pembangun perumahan, dan segala aturan yang dibuat untuk mencegah

perebutan itu dilanggar dengan jelas setiap hari, dengan terang, seperti ayam putih terbang

siang. Maka jika kota ini runtuh, ia adalah sebuah kisah tentang para pejabat penjaga

peraturan yang telah tidur selama bertahun-tahun, gubernur-gubernur yang tak bergerak

karena kekenyangan suap, pejabat yang bodoh atau abai, tak melakukan apa-apa.

Jika kota ini runtuh, saya tak tahu bagaimana orang akan bertindak setelah ini. Mungkin

mereka akan kembali mengais-ngais nafkah dari apa saja yang tersisa dari kerusakan ini, dan

bekerja, makan, beribadah, nonton TV, mendengarkan radio, bersetubuh, jalan kaki, tanpa

menyalahkan siapa pun. Lalu lupa. Mungkin akan ada orang yang marah, tahu bahwa banjir

ini adalah anak haram birokrasi yang busuk dan bisnis yang tamak, tapi mereka marah

bersendiri. Mereka akan memaki-maki di gagang telepon atau di pinggir gang yang becek

dengan sejumlah kenalan dan, setelah itu, merasa tak berdaya dan terdiam.

Jika kota ini runtuh, mungkin karena orang-orang tak mengharap bahwa polisi, jaksa, dan

hakim akan menghukum sejumlah penjahat yang mendapat uang berlebihan seraya

menghancurkan Jakarta. Tak ada yang melihat ada jalan yang bisa ditempuh yang

menyelamatkan. Semua tahu bahwa untuk menghentikan persekutuan jahat itu akhirnya harus

ada sebuah alat: kekuasaan. Tapi sudah bertahun-tahun kita hidup dengan asumsi bahwa

kekuasaan adalah sesuatu yang jauh dan ajaib, bukan sesuatu yang bisa diproduksi oleh

proses politik.

Maka di bawah mistifikasi kekuasaan, orang pun mencari jalan lain dengan mistifikasi

ketidakkuasaan. Terkadang dalam bentuk doa, terkadang dalam petuah budi pekerti. Seakan-

akan banjir di hari ini adalah sesuatu yang tak bisa diterangkan—yakni ia bukan sebuah

problem, melainkan sebuah misteri. Seakan-akan penyelewengan dan korupsi tak bisa

ditelaah sebab dan strukturnya, tapi diduga bersembunyi, sebagai akhlak yang bernoda, di

lubuk hati. Seakan-akan untuk lepas dari rawa-rawa sekarang kita hanya bisa dibisiki dan

diangkat oleh Yang Gaib.

Jika kota ini runtuh, pelan-pelan, kehancuran itu mungkin ditandai dengan hadirnya kembali

rasa tak berdaya di depan Yang Gaib: kita ketakutan mendengar petir dan memandang

mendung, seolah-olah itu adalah isyarat buruk dari kahyangan. Sebab setiap kali hujan turun

baru, kita tahu apa yang akan terjadi: jalan jadi sungai kembali, mungkin lebih luas dan deras.

Rumah, toko, bengkel, tempat kerja, akan musnah. Listrik mungkin akan mati. Telepon akan

rusak. Bandara akan tak terjangkau. Bus dan truk antarkota tak akan datang. Tak akan ada

Page 133: catatan pinggir

konsumen, tak ada buruh, tak ada pedagang. Yang ada para pengungsi dan, di sana-sini,

pencoleng kecil di jalan di mana ribuan mobil merayap, dikepung air.

Air, ketakutan, kelumpuhan…. Bayangkan: sebuah ibu kota republik, sebuah kota

metropolitan, sebuah ruang hidup dengan gedung-gedung pemerintah yang megah, dengan

bank-bank yang rajin, dengan Pasar Modal dan World Trade Center, dengan perguruan tinggi

yang bangga, dengan rumah sakit yang beperkakas piawai, dengan ratusan ribu lulusan

universitas, dengan para teknokrat yang pintar, dengan komputer yang tak kenal lelah—

dengan kata lain: sebuah kota pada abad ke-21—ternyata sebuah kota yang rentan dan

ketakutan di bawah hujan. Dusun-dusun yang primitif memang layak gentar kepada alam

yang masih agung dan misterius. Tapi Jakarta: ia lumpuh bukan di hadapan gempa tektonik

yang besar, bukan puting beliung yang bengis, bukan tsunami.

Dengan kata lain, ini adalah sebuah kota yang telah dibuat tak berdaya. Jakarta adalah sebuah

kota di mana korupsi bukan sekadar mencolong. Di kota ini, korupsi bukanlah sekadar

perbuatan jahat para gubernur atau para birokrat yang “membangun” wilayah dengan

menyulap biaya sampai melambung. Bukan sekadar pembuatan proyek fiktif atau tanpa guna

untuk mendapatkan anggaran. Bukan sekadar perilaku rutin para petugas izin bangunan yang

minta sogok dan dengan itu membiarkan lingkungan hancur. Bukan sekadar polisi dan jaksa

dan hakim yang buncit oleh bayaran mereka yang seharusnya dihukum karena penghancuran

itu. Korupsi adalah jumlah dari semua itu ditambah dengan hasil sampingnya yang tak

terelakkan: kelumpuhan di tengah krisis.

Sebuah krisis memerlukan kekuatan bersama untuk mengatasinya. Tapi korupsi telah

menghancurkan apa saja yang “bersama” itu: korupsi adalah sejenis privatisasi dalam jenis

yang menyimpang. Kejahatan ini telah membuat kekuasaan yang lahir dari proses politik

(dengan kata lain: proses bersama) menjadi wilayah dan alat privat orang yang berkuasa.

Korupsi juga melahirkan fragmentasi: sebuah masyarakat yang bukan masyarakat, sehimpun

orang ramai yang berhubungan satu sama lain tapi saling tak mempercayai, karena bahkan

kepercayaan telah jadi komoditi. Maka bisakah mereka akan saling mempercayai ketika krisis

merundung dan harus diatasi?

Tidak. Dan kota pun akan runtuh, pelan-pelan.

Jakarta, 10 September 2004 September 13, 2004

Posted by anick in All Posts, Elegi, Tokoh.

trackback

- sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah

mereka.

Kelak, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca surat ini, yang

ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua

secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan

hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua:

ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin

adalah semacam doa: “Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan

kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap.”

Page 134: catatan pinggir

Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap

adalah bagian dari hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang

mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.

Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa.

Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di

dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka

disebut. Yang pertama bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga

Keserakahan, dan yang keempat Kebencian.

Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan.

Di negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini, Nak, tak semua orang melawan.

Bahkan di masa kami tak sedikit yang menyambut Empat Penunggang Kuda itu, sambil

berkata, “Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka, hidup toh hanya sebuah

rumah gadai yang besar.” Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian

dari diri mereka yang baik.

Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu mereka akan mencapai yang mereka

hasratkan. Sepuluh tahun yang akan datang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat

itu. Terkadang tandanya adalah rumah besar, mobil menakjubkan, pangkat dan kemasyhuran

yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat kekuasaan itu bercirikan panji-panji kemenangan

yang berkibar?yang ditancapkan di atas tubuh luka orang-orang yang lemah.

Ya, ayah kalian melawan semua itu–Empat Penunggang Kuda yang menakutkan itu, hasrat

kekuasaan itu, juga ketika hasrat itu mendekat ke dalam dirinya sendiri–dengan jihad yang

sebenarnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak mengenakan sabuk seorang

samseng, ia tak memasang insinye seorang kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah orang

ramai, dan bersama-sama mereka menanggungkan polusi, risiko kecelakaan, kesewenang-

wenangan kendaraan besar, dan ketidakpastian hukum dari tikungan ke tikungan. Mungkin

karena ia tahu bahwa di jalan itu, dalam kesunyian masing-masing, dengan fantasi dan arah

yang tak selamanya sama, manusia pada akhirnya setara, dekat dengan debu.

Alief, Diva, kini ayah kalian tak akan tampak di jalan itu. Ada yang terasa kosong di sana.

Jika kami menangis, itu karena tiba-tiba kami merasa ada sebuah batu penunjang yang

tanggal. Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu, menopang sebuah ikhtiar bersama

yang keras dan sulit agar kita semua bisa menyambut manusia, bukan sebagai ide tentang

makhluk yang luhur dan mantap, tapi justru sebagai ketidakpastian.

Ayahmu, Diva, senantiasa berhubungan dengan mereka yang tak kuat dan dianiaya; ia tahu

benar tentang ketidakpastian itu. Apa yang disebut sebagai “hak asasi manusia” baginya

penting karena manusia selalu mengandung makna yang tak bisa diputuskan saat ini.

Ada memang yang ingin memutuskan makna itu dengan menggedruk tanah: mereka yang

menguasai lembaga, senjata, dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan

kepastian yang kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan untuk menyanjung atau

menista, label dipasang untuk mengontrol, seperti ketika mereka masukkan para tahanan ke

dalam golongan “A”, “B”, dan “C” dan menjatuhkan hukuman. Juga mereka yang merasa diri

menguasai kebenaran gemar meringkas seseorang ke dalam arti “kafir”, “beriman”,

“murtad”, “Islamis”, “fundamentalis”, “kontra-revolusioner”, “Orde Baru”, “ekstrem

Page 135: catatan pinggir

kiri”?dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari dalam diri

manusia.

Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidakadilan itu. Tak pernah terdengar ia

merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan

ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, “Jangan kita jatuh ke dalam

kelam!”

Tapi akhirnya tiap jihad akan berhenti, Alief. Mungkin karena tiap syuhada yang hilang akan

bisa jadi pengingat betapa tinggi nilai seorang yang baik.

Apa arti seorang yang baik? Arti seorang yang baik, Diva, adalah Munir, ayahmu. Kemarin

seorang teman berkata, jika Tuhan Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di surga. Yang

pasti, ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu mungkin.

Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke mana manusia menjadi luhur. Dari

bumi ia terangkat ke langit, berada di samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika

diberikannya sesuatu yang paling baik dari dirinya?juga nyawanya?kepada mereka yang

lemah, yang dihinakan, yang ketakutan, yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang

terbatas, karena ia ingin mereka berbahagia.

Maka bertahun-tahun setelah hari ini, aku ingin kalimat ini tetap bertahan buat kalian:

ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami

berkabung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa menggantikannya. Tapi tak

ada pilihan, Alief dan Diva. Kami, seperti kalian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.

~Majalah Tempo Edisi. 29/XXXIII/13 – 19 September 2004~

Jalan Juni 2, 2008

Posted by anick in All Posts, Identitas, Pepeling, Seni.

trackback

Jalan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan, ambil risiko, hanya mengulang tapi

bisa juga melakukan yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau ajal. Dan

jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, jalan bisa juga berarti satu wilayah untuk

mengelak.

Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi tak menarik perhatian:

”kluyuran”. Dalam kata ini tergambar bagaimana ruang yang sambung-menyambung dan

berkelok-kelok itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau mengikuti rasa ingin

tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan

apa-apa, tanpa didesak waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus mengalihkan

fokus.

Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang dikehendaki sebuah kota

besar: rasionalitas, efisiensi, produktivitas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (”Bunga

Mala”) dan Le Spleen de Paris (”Limpa Paris”), telah membuat kata flâneur—yang artinya

tak jauh dari ”Bung Kluyur”—jadi begitu penting dalam telaah ilmu sosial dan filsafat,

Page 136: catatan pinggir

karena ia dapat menggambarkan bagaimana ”kluyuran” di kota yang telah diubah jadi

modern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flâneurie seakan-akan menampik

rasionalitas yang diterapkan di Paris mengikuti planologi Baron Georges-Eugène Haussman

selama dua dasawarsa sejak 1852. Sang flâneur menjelajah secara acak, santai, dan

seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar mempertahankan yang sepele, percuma,

lemah, dan kuno. Sang flâneur, seraya tampil sebagai pesolek yang keren, merayakan tapi

sekaligus memandang dengan berjarak dunia Paris yang berubah secara menakjubkan dan

mencemaskan itu.

Di Indonesia, ”kluyuran” tentu saja tak sepenuhnya sama dengan flâneurie. Di sini kontras

antara kota dan udik bisa begitu besar, tapi kota tak terputus secara radikal dari yang bukan-

kota. Seperti pernah dikatakan seorang pakar sosiologi perkotaan, Jakarta tak cuma

mengalami urbanisasi, tapi juga ”ruralisasi”. Rancangan yang rasional, ketertiban yang

efisien, kapital yang mencoba menguasai pembagian ruang dengan perhitungan laba-rugi, tak

henti-hentinya berbenturan dengan arus deras dari bawah yang datang dari desa-desa, barisan

yang tiap kali kalah tapi tiap kali menyerbu kembali.

Kota ini sendiri bukanlah tauladan rasionalitas. Birokrasi begitu korup dan tak becus hingga

planologi tak ada artinya. Kelas menengah tak secara serius menegakkan hukum. Kemiskinan

begitu luas dan juga pengangguran, hingga bukan efisiensi yang terjadi, melainkan involusi.

Involusi adalah cara kelas bawah kota besar berbagi hidup: dalam ruang yang sempit, dalam

pekerjaan yang terbatas, dalam milik yang tak seberapa. Involusi adalah sebuah kiat hidup

dalam keadaan berjejal.

Ketika saya menonton Je.ja.l.an yang dipentaskan Teater Garasi di Teater Luwes Taman

Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Mei yang lalu, saya merasa seakan-akan saya ikut dalam sebuah

”kluyuran”: menyusur jalan-jalan kota, mengamati involusi yang terjadi di sana, terpisah tapi

terpaut.

Jarak antara pentas dan penonton dibuat demikian rapat, hingga mereka yang duduk di meja

VIP (dengan gelas berisi anggur dan bir) juga tak bisa mengelak. Seperti di rumah makan tepi

jalan, pengamen, penjaja kitab dan lain-lain mudah masuk ke sela-sela tamu. Hanya setengah

meter dari sana: barisan drum band, pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling,

perempuan berdandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota yang hendak

menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata. Je.ja.l.an bagi saya mengandung makna

”jejalan”.

Memang banyak adegan yang tak baru: kita telah sering melihatnya, setidaknya di berita

televisi dan koran. Tapi itu justru menunjukkan bahwa yang terpapar bukanlah sesuatu yang

eksotis, bukan pula yang dramatis. Di kota-kota besar Indonesia, kita menemukannya tiap

kali di tiap sudut. Kluyuran bukanlah sebuah darmawisata: karya teater Yudi Ahmad Tajudin

dan kawan-kawan menegaskan hal itu karena ia tak mengajak menyaksikan hal yang

menakjubkan.

Namun tiap karya teater adalah sebuah intervensi terhadap apa yang tak menakjubkan yang

kita temukan di tiap sudut. Realisme dalam teater pada akhirnya mengakui bahwa ”realitas”

bukanlah das Ding an sich. ”Realitas” mengandung sejarah sosial: ia dihadirkan oleh bahasa

dan percakapan. Maka di pentas, kluyuran merupakan konstruksi ganda. Di pentas, ia diberi

Page 137: catatan pinggir

bentuk jadi sesuatu yang lebih intens. Demikianlah teater lahir, membuka peluang bagi dunia

yang tampil sebagai beda, juga ketika ia seakan-akan menampilkan yang itu-itu juga.

Dalam beda itulah hadir sebuah tamasya—tapi bukan tamasya yang tertangkap secara

panoptik, bukan gambaran utuh yang hanya bisa dilihat dari atas. Justru ambisi kota besar

untuk mengikuti sebuah rencana agung terbentur oleh centang-perenang yang mencemooh

perubahan budaya dalam ”urbanisasi”.

Itu sebabnya bagi saya Je.ja.l.an bukan hendak terdiri dari satu statemen, misalnya sebuah

protes sosial karena kemiskinan. Pidato Bung Karno berapi-api, tapi rekamannya yang

diputar tak mendominasi ruang. Kisah seorang miskin yang bunuh diri dibacakan, tapi si

pembaca seperti lelah di ujungnya. Keduanya tak menimbulkan perubahan di pentas itu.

Dialektik antara beda dan sama, antara yang menusuk dan yang banal, antara teriak dan sikap

acuh tak acuh, memantulkan kembali yang kita alami kini: sebuah fragmentasi pengalaman,

sebuah khaos dalam perhatian.

Michel de Certeau, yang juga merenungkan makna kluyuran dalam hidup sehari-hari, seakan-

akan berbicara tentang jalanan kota yang terpapar di pentas malam itu: ”Pengguna kota

memungut fragmen tertentu dari statemen itu, dan dengan demikian mengaktualisasikannya

dalam rahasia”.

~Majalah Tempo Edisi. 15/XXXVII/02 – 8 Juni 2008~

Januari Januari 18, 2010

Posted by anick in All Posts, Revolusi, Sejarah.

trackback

Tiap generasi ingin punya revolusinya sendiri. Di bulan Januari.

15 Januari 1974. Jakarta guncang, tegang, dan suasana menakutkan. Ribuan orang

berdemonstrasi, menyusuri jalan, membakar puluhan mobil dan ratusan sepeda motor,

membumihanguskan pusat belanja di kawasan Senen (yang waktu itu termasuk megah), dan

merusak apa saja yang memakai logo perusahaan Jepang. Sudah beberapa lama

sebelumnya—pada masa ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa—para aktivis

mahasiswa dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada modal Jepang. Dan hari itu

aksi massa meledak.

Revolusi? Mungkin itulah yang dibayangkan para pelakunya. Tapi, bagi saya, hari itu yang

terjadi sebuah laku tanpa ide. Terbiasa membaca Lenin, saya cenderung melihat ”revolusi”

sebagai langkah untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai aksi massa, tapi juga

berkait dengan sebuah ”teori” atau gagasan yang tak cuma datang dari batok kepala,

melainkan dari benturan dengan keadaan.

Revolusi Lenin bahkan bertolak dari telaah tentang keadaan sosial dan ekonomi. Dari telaah

itu disusun ”program umum” dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu perebutan

kekuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan memimpin, jelas pula sistem

politik & ekonomi yang akan diterapkan. Revolusi Oktober 1917 di Rusia jadi teladan.

Page 138: catatan pinggir

Revolusi Prancis memang tak tampak berangkat dari ”program” apa pun, tapi, seperti

dikatakan Lenin, itu juga sebuah revolusi besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan

dan tak bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan—sang raja dipenggal—bahkan jadi tanda

zaman baru: tak ada lagi yang kekal di takhta itu.

Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial, dan sebab itu melibatkan orang

ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir dari konflik sosial itu, yang dirumuskan oleh para

pemikir dan disaripatikan dalam semboyan liberté, egalité, fraternité.

Dengan sedikit penyesuaian, kita bisa mengatakan, yang terjadi di tahun 1945 di Indonesia

(dan 17 Agustus hanya salah satu penanda waktu yang penting) juga sebuah ”revolusi”.

Sebab sejak itu, sejak kekuasaan berpindah tangan dari Hindia Belanda dan Jepang, Indonesia

tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng kolonialisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan

tentang sebuah bangsa dicanangkan dan sejak 1945 bangsa itu bersedia mati untuk merdeka.

Dari kancah mereka yang bersedia mati itu Pramoedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali

Bekasi, bersaksi tentang sebuah ”epos revolusi jiwa”. Revolusi: awal transformasi yang tak

dapat dibalikkan.

Januari 1966. Saya tak tahu bagaimana keadaan waktu itu. Saya tak ada di Indonesia. Dari

sebuah kota kecil di Eropa saya hanya dapat kabar secara sporadis (antara lain dari surat-surat

almarhum Soe Hok Gie, salah satu aktivis yang militan masa itu) tentang aksi mahasiswa

yang tak henti-hentinya.

Sekembali di Tanah Air, saya kemudian tahu bahwa ada kerja sama para mahasiswa itu

dengan militer; ada pembantaian dengan korban para anggota PKI atau yang dicurigai jadi

pendukung. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan busuk. Pelan-pelan tampak bahwa militer

mengambil alih gerak perubahan politik yang dipelopori mahasiswa ke arah sebuah rezim

baru yang antidemokrasi. Tapi membaca surat kabar waktu itu, terutama Kompas dan Harian

Kami, saya bisa tahu, ada hasrat demokratisasi yang kuat di tahun 1966, ketika para aktivis

merobohan sistem ”demokrasi terpimpin” Bung Karno. Suara untuk mengukuhkan hak-hak

asasi manusia terdengar nyaring, usaha menegakkan kemerdekaan pers dan rule of law serius.

Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati. Namun yang terjadi bukan hanya

kemarahan. Juga bukan hanya rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan

untuk gagasan yang datang dari mulut yang tercekik, perut yang tak tenang. Setelah 1966,

demokrasi memang dibalikkan jadi kediktatoran, tapi ada yang sejak itu tak dapat dibalikkan

lagi: sistem ”ekonomi terpimpin” ditinggalkan—30 tahun lebih sebelum Cina dan Vietnam

meninggalkan sistem ”ekonomi sosialis”.

Revolusi? Mungkin ya, mungkin bukan. Kata itu barangkali tak disebut. Tapi ia punya

pukaunya sendiri: dalam historiografi populer Indonesia, ”revolusi” dikaitkan dengan sepatah

kata yang ganjil tapi mempesona: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya dan sebetulnya

membingungkan maknanya. Namun ia dipakai terus. Ia berarti ”generasi”, tapi ia

mengandung juga kesan ”perjuangan” dan ”kekuatan” yang gagah (yang juga kita temukan

dalam ”angkatan bersenjata”). Maka ”Angkatan ’45” disebut, dan orang pun latah:

”Angkatan ’66” menyusul.

Untung, setelah 15 Januari 1974, tak ada lagi yang ditahbiskan dengan sebutan ”angkatan”.

Peristiwa yang disebut ”Malari” itu tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa

disebut, amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi intelijen, selapis tabir untuk menutupi

Page 139: catatan pinggir

konflik antara para jenderal pendukung Soeharto, lengkap dengan dusta dan

propagandanya—sebuah fragmen sejarah yang kelak perlu lebih jelas diungkapkan.

Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah Januari, menunjukkan betapa mudahnya revolusi ditiru.

Meskipun harus dicatat: revolusi seperti puisi: sekali dilahirkan, ia tak bisa diulang. Amarah

yang meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma repetisi. Tiap usaha

mengulangnya akan tampak sok-pahlawan dan absurd. Saya teringat kalimat Marx dalam

Brumaire Ke-18 Louis Bonaparte—dan di sini saya ubah sedikit: ”Kejadian besar dalam

sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali kedua berupa banyolan.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 18 Januari 2010~

Jasih Desember 20, 2004

Posted by anick in All Posts, Bencana, Ekonomi, Kisah, Tokoh.

trackback

Jasih mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus mengaku…. Kita mungkin ikut

membunuhnya, atau kita berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita sampai tak

tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun yang begitu berputus asa hingga ia menghabisi

nyawanya sendiri dan nyawa Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kanker

otak dan tak ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersalah karena Jasih begitu miskin–

utangnya yang lima juta rupiah kepada para tetangga itu begitu menekan–dan kita selama ini

ingkar. Kita tak pernah menengok. Kita tak pernah ingat.

Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Jasih tak hidup di negeri yang jauh. Ia

mati tak di tempat yang jauh. Kejadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta

Utara, pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu. Artinya, sebenarnya

terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau dari tempat Anda. Lagoa bukan di seberang

lautan dan di balik benua. Kecamatan itu hanya beberapa puluh kilometer saja dari orang-

orang (mungkin teman-teman kita) yang baru membeli sebuah apartemen di Paris,

menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta,

menyogok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gereja sebesar 70 juta, naik

haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10 orang teman ke Mekkah, berjudi di London sampai

kalah 1.000 poundsterling, atau hanya menyimpan uang beberapa miliar di bank seraya

menunggui bunga sekian persen?. Daftar itu bisa diperpanjang. Dan bersama itu, kesalahan

kita kian jelas.

Tuan akan berkata, tentu, “Ah, tidak jelas!” Tuan akan bertanya kenapa Tuan disangkutkan

ke dalam “salah”. Maaf, beribu-ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita

(Tuan dan saya) tidak tahu, jika kita (Tuan dan saya) tidak merasa bersalah karena kematian

di Lagoa itu, jika kita merasa tak berurusan dengan Jasih dan Galuh yang putus asa, itu

berarti kita dungu atau tak punya hati. Tuan tahu bahwa sebuah kota, sebuah negeri, bukanlah

tempat yang selama-lamanya longgar, dengan kekayaan yang berlimpah-ruah. Tak ada bagian

dunia yang bebas dari kelangkaan dan kekurangan; itulah sebabnya ekonomi terjadi: orang

berproduksi terus, tukar-menukar tak henti-henti. Dan jika kita berbicara tentang Indonesia,

kita akan lebih tahu apa artinya kelangkaan dan kekurangan itu. Bahkan kita akan tahu apa

yang ada di baliknya: kekayaan yang begitu timpang, kesempatan yang begitu selisih. Dari

sini Tuan tahu apa yang menyebabkan tak ada pengobatan yang murah bagi Galuh. Inilah

Page 140: catatan pinggir

daftarnya, meskipun tak lengkap: karena dokter-dokter yang tak pernah mengulurkan bantuan

ke rumah orang miskin, karena industriawan obat yang hanya memikirkan the bottom line,

karena pejabat Departemen Kesehatan yang mencolong dana buat pelayanan medis dan

pencegahan penyakit di kampung-kampung, karena wartawan-wartawan (rekan-rekan saya)

yang menerima suap dari dokter, industriawan obat atau pejabat dan sebab itu lalai untuk

menceritakan putus asa di kekumuhan itu kepada publik, juga karena para wakil rakyat

yang?setelah beranjangsana ke luar negeri dengan uang ribuan dolar?tak menegur kepala

daerah yang tak banyak berbuat. Tuan dan saya tambah bersalah bila Tuan dan saya tak tahu

itu?apalagi berpura-pura tidak tahu itu. Tuan bersalah, tapi harus saya tambahkan memang:

kesalahan Tuan lebih kecil sedikit ketimbang dosa saya, yang menulis tulisan ini dan sudah

terlambat, yang menulis dan mendapatkan nama, yang ingin menangis untuk Jasih dan Galuh

tapi kemudian merasa bahwa saya juga yang akhirnya mendapatkan manfaat, juga dari tangis

itu. Jasih, Galuh, dan kakaknya, Galang, yang luka-luka, dan Mahfud, bapak anak-anak itu,

yang kehilangan segala yang berarti baginya, tetap tak tertolong. Miskin. Berutang. Hari-hari

yang sudah cacat.

Mereka itu yang benar mengalami: kota begini sempit. Tiap jengkal yang kita miliki berarti

tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah

masyarakat–apalagi masyarakat ini. Ada seorang yang mengatakan bahwa pada saat

seseorang memaklumkan, “Inilah tempatku di bawah cahaya matahari,” itulah bermula

perebutan tak sah seluruh muka bumi. “Kematian orang lain memanggilku untuk ditanyai,”

kata Emannuel Levinas, “seakan-akan, karena sikap acuh tak acuh yang mungkin aku ambil

kelak, aku bersekongkol dengan kematian yang dihadapkan kepada orang lain, kematian yang

tak dapat diketahuinya.”

Jasih, saya tak berharap saya layak kamu maafkan.

~Majalah Tempo Edisi. 43/XXXIII/20 – 26 Desember 2004~

Jazz Desember 4, 2006

Posted by anick in All Posts, Buku, Musik.

trackback

Salena Jones menyanyi ke udara Jakarta dalam Jakjazz 2006. Dalam rasa asyik, tiba-tiba kita

merasakan seakan-akan kota ini sedang menopang sebuah musik yang menjerit, terkadang

serak, melankolik. Kota ini jadi ruang di mana ada yang menjulang tak kunjung terjangkau,

tapi juga ada liang di jalan yang tak diingat, gorong-gorong yang pada saat yang sama

menyembunyikan celurut, sampah, dan mungkin sampar. Kota ini setengahnya sebuah tempat

ekspresi, setengahnya yang lain sebuah ujian stamina.

”Kota seperti ini membuatku bermimpi muluk dan merasa dekat pada hal ihwal…,” kata sang

pembawa cerita dalam Jazz, novel Toni Morrison tahun 1992. ”Baja cerah yang bergoyang di

atas keteduhan di bawahnya itulah yang membuatnya demikian.”

Sang kota, ”the City”, dalam novel yang seakan-akan terdiri dari cetusan improvisasi dengan

pelbagai peserta ini, adalah Harlem, New York, pada tahun 1920-an. Meskipun punya sejarah

yang berbeda dengan kota mana pun, apalagi Jakarta, ia punya pola seperti Jakarta: kota yang

merangsang dan sekaligus membatalkan impian.

Page 141: catatan pinggir

Ia adalah tempat pelarian yang menyingkir dari muramnya hidup di pedalaman. Di Amerika

Serikat masa itu, ”muram” berarti ”hitam” yang dianiaya oleh orang-orang kulit putih di

wilayah Selatan. Di Indonesia masa kini, ”muram” berarti si muda yang terimpit miskin dan

pengangguran. Kedua-duanya berbeda, dan perbedaan itu amat penting, tapi pada akhirnya

kedua-duanya mengiris dan menorehkan kepedihan. Juga kebengisan.

Dalam Jazz, Joe Trace menyingkir dari kota kelahirannya di bagian Selatan itu, Vienna, yang

habis terbakar. Api merah itu bergerak cepat, ”mengosongkan kami dari tempat kami

sedemikian lekas hingga kami lari dari satu bagian ke bagian lain negeri ini—atau tak ke

mana pun”. Dengan kata lain, Joe jadi bagian dari ”900 Negro, digalakkan oleh bedil dan

kanabi, yang meninggalkan Vienna, naik kereta atau berjalan kaki keluar kota itu, menuju

entah ke mana”.

Dengan latar Indonesia, kita bisa bayangkan sebuah eksodus yang mirip: ribuan orang yang

masuk dari pedalaman, bukan karena api yang membuat habis ludes se-buah tempat, tapi

karena sang Nasib seolah-olah membuat mereka terhenyak di sekitar sawah ladang yang

makin sempit. Mereka datang dengan kereta api, bus, kapal, motor, truk, dan entah apa lagi,

untuk kemudian menumpang tinggal di sebuah kamar dan pada esok harinya menyusuri jalan.

Cari kerja, kata mereka, tapi sebenarnya juga cari diri dan kemerdekaan.

Ya, Jakarta punya Joe Trace-nya sendiri. Namanya mungkin Mat Tilas: ia yang muncul di

kota ini—dengan jejak yang kumuh dan penuh lumpur dari masa lalu pedalaman—

menjajakan tahu goreng Sumedang atau air minum di jalan-jalan yang macet, menawarkan

parfum palsu kepada para penumpang di bandara, berjalan kaki dari kecamatan yang satu ke

kecamatan lain di siang yang terik mencoba jadi juru jual pisau dapur yang tak diketahui

siapa yang akan membeli, atau menyediakan jasa yang sebenarnya tak perlu untuk mengatur

lalu-lintas di pengkolan yang ruwet—dan tentu saja mereka yang jadi pelacur di tepi rel

kereta api di Jalan Latuharhary.

Para pembaca akan berkata, ini sebuah cerita yang begitu biasa hingga tak diacuhkan lagi—

dan benar: ini sebuah klise yang, seperti tiap klise, kehilangan daya pukaunya dan tenggelam

dalam bawah sadar seperti manusia-manusia yang tenggelam dari catatan kita seakan-akan

ditelan gorong-gorong kota.

Tidak berarti Jakarta selamanya menakutkan. Malam hari akan datang, cahaya jalanan dan

gedung-gedung akan melipur, dan sang Kota seakan-akan menyediakan sebuah musik lain:

musik yang menjerit, terompet yang ditiup serak, tapi memukau, meskipun mungkin dengan

tenggorokan yang berdarah.

Ada yang menyentuh, mengejutkan, dan mempesona di sana.

Dalam arti itu, riwayat seorang migran dari pedalaman mengingatkan kita akan hasrat

menjangkau sesuatu dari keadaan patah harapan, sebagaimana seorang pemain musik meniti

melodi melalui improvisasi, untuk mendapatkan yang paling memuaskan hati dari kepastian

yang absen.

Sebab begitu pentingkah kepastian? Di kota ini, kepastian hanya terhantar pada kaki lima dan

aspal jalanan. Bagi si Mat Tilas, seperti Joe Trace, seperti bagi jutaan pendatang yang lain,

begitu ”sol sepatu menapak trotoar, tak ada jalan berbalik lagi… Di sana, di sebuah kota,

mereka mungkin bukan diri-diri baru, tapi diri yang lebih kuat, lebih punya risiko.” Bisakah

Page 142: catatan pinggir

kita di sini bicara tentang kota sebagai arah yang dituju sebuah eksodus, Tanah Yang

Dijanjikan oleh Tuhan bagi hamba-Nya yang dianiaya? Tidak, meskipun novel Toni

Morrison agak menyarankan demikian.

Riwayat urbanisasi adalah riwayat sebuah hijrah yang sekuler, dengan hewan korban,

harapan mukjizat, dan keinginan mendapat pahala yang tak henti-hentinya mengisi hidup.

Seperti hijrah atau eksodus dalam agama-agama Ibrahimi, ada tujuan yang meskipun samar-

samar, amat memukau. Memang yang ”sekuler” itu sangat bertaut dengan keinginan akan

perbaikan hidup jasmani, tapi bukankah ”pahala” dalam kosakata keagamaan juga

mengandung hasrat jasmani, semacam hadiah Lebaran?

Maka jika ada yang menonjol dalam hijrah sekuler itu bukanlah adanya keyakinan, tapi

tiadanya teks suci dan kekuasaan mereka yang menjaganya. Bahkan teks suci apa pun tak

akan dapat menguasai sepenuhnya liku-liku hidup orang seperti Joe Trace di New York atau

Mat Tilas di Jakarta—sebagaimana halnya tak ada ortodoksi yang dapat mengendalikan

nada-nada yang muncul dalam karya Theolinus Monk.

Tapi pada akhirnya, itulah yang akan selalu terjadi.

Maka ketika Salena Jones melantunkan lagu, kita tahu jazz—masih sebuah benda asing di

Jakarta—di sana-sini terasa pas dengan kota ini. Jeritnya, paraunya, risaunya, khaosnya,

elannya, gairahnya, juga ketidakpastiannya.

~Majalah Tempo, Edisi. 41/XXXV/04 – 10 Desember 200~

Jenar Januari 12, 2002

Posted by bocah in Agama, All Posts, Elegi, Fundamentalisme, Islam, Kekerasan, Kisah,

Sejarah, Tokoh, Tuhan.

trackback

- untuk Ulil Abshar Abdalla

SIAPA yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian akan mendengar

sepotong kepala yang ketawa. Konon itulah yang terjadi setelah Sunan Kudus, di hadapan

para wali dan para pembesar istana, memancung seorang cendekia yang dianggap sesat, pada

suatu hari Jumat di abad ke-15, di halaman masjid keraton, setelah salat selesai.

Orang itu bernama Jenar. Nama lengkapnya Syekh Siti Jenar—sebuah nama yang tak henti-

hentinya jadi legenda di masyarakat Jawa. Ia memikat karena ia melambangkan perlawanan

yang dianggap sah terhadap kekuasaan para ulama dan penguasa yang mengunggulkan

ortodoksi. Literati Jawa yang berpengaruh pada umumnya memang tak bersahabat dengan

mereka yang gemar membalut hidup dengan syariat serta merasuk ke pemikiran agama yang

legalistis—yang oleh penulis Wedatama di abad ke-19 diejek sebagai orang yang anggubel

sarengat.

Sebuah puisi Jawa yang ditulis pada tahun 1849, Babad Jaka Tingkir, juga dengan halus

mengekspresikan sikap yang sama dengan kisah Syekh Siti Jenar. Nancy K. Florida membuat

telaah khusus tentang puisi itu dalam Writing the Past, Inscribing the Future, yang versi

Page 143: catatan pinggir

Indonesianya akan terbit awal tahun ini, dan dari sana dapat kita peroleh amsal yang menarik

setidaknya dari dua cerita: pembunuhan Jenar dan pembangunan Masjid Demak.

Syahdan, begitu kepala Jenar terpenggal, darah pun mengalir dalam beberapa warna. Tokoh

ini pernah dianggap tiruan Al-Hallaj, yang juga dihukum mati karena pendirian tasawufnya.

Tapi, sementara dalam cerita dari Baghad abad ke-10 itu darah yang tumpah dikatakan

membentuk 84 tetes yang menulis kata “Allah”, dalam kisah Jenar adegan yang menakjubkan

ialah ketika kepala yang copot itu tertawa. Ia berseru agar darahnya segera kembali ke tubuh,

sebab kalau tidak, akan gagal mereka masuk surga. Maka darahnya pun cepat mengalir balik

ke urat nadi, dan bercaknya tak tampak lagi.

Setelah itu, kepala Jenar pun mengitari jasadnya tiga kali, dan akhirnya bertaut pas kembali

ke tubuhnya. Tak ada bekas luka. Bahkan cahaya paras Jenar berpendar dan bersalam:

“Assalamualaikum.” Tampak bahwa hukuman mati oleh Sunan Kudus itu hanyalah sikap

sewenang-wenang yang sia-sia. Kepala, lambang pemikiran, dan tubuh, lambang

pengalaman, tak akan bisa ditundukkan oleh pedang, syariat, dan kekuasaan mana pun. Lagi

pula tubuh Jenar raib, gaib. Momen itu adalah isyarat bahwa apa pun kekerasan yang

dilakukan, ada yang tak bisa mati dan bahkan luput dari rumusan kata dan pikiran (“lenyep

ing kawekasane/pan tan kena winuwus“). Jenar bukanlah sebuah subyek yang terpasung

dalam identitas. Ia bergerak tak tertangkap, tak dapat dipetik (“kesit datan kena pinethik“).

Dengan kata lain, ia sebenarnya seorang manusia pada umumnya. Ia jatimurti, atau sukma-

dalam-wadag, roh-di-dunia, der Geist-im-Welt. Dalam keseluruhan itu, ia hadir dalam “rasa”

yang sebenarnya hanya bisa dikemukakan dalam “bahasa” yang tak diverbalkan, dudu

rerasan. Ia tak bisa dijabarkan dalam kaidah hukum, sebab hukum membuat manusia

dilepaskan dari konteks. Hukum bertolak dari asumsi bahwa dalam menjalankan imannya,

manusia bisa diseragamkan.

Tapi tidak. Iman manusia adalah ibarat Masjid Demak. Babad Jaka Tingkir membuat

pembangunan masjid tertua di Jawa itu sebagai alegori yang sarat makna: bangunan itu

didirikan tanpa lebih dahulu dipastikan arah kiblatnya. Baru setelah rampung, delapan orang

wali yang mengerjakannya berdebat sengit (pradongdi). Akhirnya wali kesembilan yang

dapat menyelesaikan perkara pelik itu. Ia Sunan Kalijaga.

Wali ini, yang dalam pelbagai karya sastra Jawa dianggap wakil “warna lokal” dalam Islam,

tafakur sebentar. Kemudian tangan kanannya menjangkau Ka’bah di Mekah dan tangan

kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditariknya keduanya hingga akhirnya

bertemu, sewujud, bertaut:

Payok Kakbah lawan sirah gada masjid

Dèn-nyataken sawujud

Cèples kenceng datan mènggok

Dengan kata lain, sebagaimana diuraikan Florida, Islam yang “universal” (Ka’bah) bertaut

dengan Islam yang “partikular” (Masjid Demak). Yang satu tak menghilangkan yang lain;

selamanya ada latar sejarah setempat dalam tafsir.

Ortodoksi mencoba menampik unsur sejarah setempat itu, tapi sebenarnya Islam tak lahir

dengan ortodoksi. Seperti ditulis M. Jadul Maulana dalam Syari’at (Kebudayaan) Islam:

Lokalitas dan Universalitas, sebuah esai pendek yang tersiar dua tahun yang lalu dalam

Page 144: catatan pinggir

website LKiS dari Yogya, ortodoksi bermula baru setelah Nabi tak ada lagi. Dalam

memperebutkan pengganti Rasulullah, tiap kubu menghadapi persoalan: bagaimana Nabi,

terasa hadir secara asli? Untuk mendapatkan yang “asli” itulah kemudian agama dibersihkan

dari jejak sejarah, dari lokalitas. Yang dekat pun dihilangkan, yang jauh jadi idaman, sebagai

yang tegar dan tunggal. Masjid Demak tak mengacu kepada semua itu. Imajinasi para aulia di

masa itu membuat Mekah dan Ka’bah jadi dekat, bahkan tampak dalam jarak tiga mil (among

tigang ngemèl tinon). Dan dengan alegori tiang keempat, yang menakjubkan bukanlah yang

tegar dan tunggal. Kalijaga membuat tiang itu bukan dari batu, bata, ataupun balok, tapi dari

tatal. Adapun tatal adalah lapis kayu yang mengeriting yang terbuang ketika permukaan

papan diratakan dengan ketam. Maka masjid dengan tiang tatal ini adalah masjid yang

didukung oleh mereka yang dibuang, mereka yang bukan lapisan yang bisa disamaratakan.

Masjid itu juga bukan rumah Tuhan yang kukuh karena pokok yang solid, lurus, perkasa—

pokok Sunan Kudus, pokok kekerasan dan kekuasaan.

Jeremiah April 16, 2007

Posted by anick in All Posts, Amerika, Novel, Tokoh.

trackback

”Aku Jeremiah”—Kurt Vonnegut Jr.

Tak setiap negeri membutuhkan Jeremiah. Tapi kalaupun harus ada nabi seperti itu—yang

memperingat-kan manusia bahwa Tuhan marah dan kiamat bakal segera datang—orang akan

perlu satu hal lain: momen untuk ketawa.

Kurt Vonnegut Jr. memenuhi kedua keperluan itu sekaligus di Amerika kini—tapi ia

meninggal 11 April pekan lalu di Manhattan, New York. So it goes….

Usianya 84. Penulis novel Slaughterhouse-Five itu, yang tak putus-putusnya mengisap rokok

Pall Mall selama lebih dari 70 tahun, sudah siap mati, tapi ia pergi terlalu cepat. Seandainya

ia hidup terus, kata-katanya yang mencemooh akan terus melubangi ruang kedap suara yang

dibangun pemerintah Bush & Cheney, sebuah bangunan yang akhirnya hanya terdiri atas

dusta & paranoia, ambisi & myopia. Di ruang sesak itu, dibutuhkan celah yang membiarkan

masuk suara ragu, suara lucu.

”Aku Jeremiah,” katanya dalam wawancara dengan Douglas Brinkley di majalah The Rolling

Stone. Tapi ia tak bicara tentang Tuhan. ”Aku bicara tentang kita yang sedang membunuh

planet… dengan bensin.”

Lalu diutarakannya pesimisme yang kita kenal itu: bumi akan punah akibat karbon dioksida.

Dan Vonnegut bisa ekstrem. Ketika ditanya pendapatnya tentang gerakan pembela

lingkungan yang kini kian keras terdengar, setelah orang menonton film dokumenter An

Inconvenient Truth, sang Jeremiah menjawab, ”Tak ada yang bisa mereka lakukan.

Permainan sudah habis, Bung. Kita kalah.”

”Kita-kalah”—itu juga tema yang di abad ke-6 sebelum Masehi disuarakan Jeremiah yang

asli menjelang Yerusa-lem jatuh ke tangan Raja Nebuchadnezar dari Babilonia. Bagi

Jeremiah, bangsanya, Bani Israel, tak punya harapan lagi. Tak urung ia dianggap khianat dan

Page 145: catatan pinggir

ditahan pemerintah Zedekiah. Tapi sang nabi benar. Nebuchadnezar menduduki Yerusalem,

Kenisah Sulaiman dihancurkan, dan bangsa Yahudi dibuang. Konon Jeremiah kemudian

diculik ke Mesir dan dibunuh kaumnya sendiri.

”Aku Jeremiah,” kata Vonnegut, meskipun ia tak disingkirkan. Hanya di awal tahun 1970-an,

Slaughterhouse-Five dilarang di beberapa sekolah dan di sebuah kota di Dakota Utara novel

itu dibakar.

Tapi tindakan itu sudah cukup jadi cacat yang serius di negeri yang konstitusinya menjaga

kebebasan bersuara. Tampaknya, Amerika yang dibanggakan si Kurt kecil dulu telah hilang.

Dan makin hilang. Setahun setelah AS menyerbu Irak, kata-kata Vonnegut brutal: ”Aku tahu

sekarang, tak ada satu kemungkinan di neraka sekalipun Amerika akan jadi manusiawi dan

memakai nalar.” Baginya para pemimpin Amerika seperti ”simpanse yang mabuk kuasa”.

Prosanya memang punya gaya tembak-langsung. Kata-kata yang dipilihnya terasa diulang

dari amarah lama. Tapi Vonnegut memang tak punya pretensi membawa sastra yang ”tinggi”.

Dalam wawancaranya yang terbit dalam Paris Review di musim semi 1977, ia anggap dirinya

”penuh berisi vulgaritas”; itu sebabnya ia dulu menulis buat majalah macam Cosmopolitan

dan Saturday Evening Post.

Agaknya ia akan geli jika harus berbicara khidmat tentang proses kreatif. Ia lihat dirinya

sendiri seorang ”teknokrat” yang ”barbar”. Ia memperlakukan cerita seperti mobil Ford: bisa

dikotak-katik. Tujuannya: memberi kenikmatan kepada pembaca.

Dengan kata lain, Jeremiah Amerika ini ingin juga menghibur. Di masa tuanya ia merasa tak

mampu melucu lagi, tapi ”yang sepenuhnya saya inginkan adalah mem-buat orang merasakan

lega karena ketawa”. Humor seperti tablet aspirin, kata Vonnegut. Dan seperti Mark Twain

yang dikaguminya, ia tangkas membagikan obat itu. Kata-katanya bisa cerdas, mencemooh,

jenaka.

Cerita Harrison Bergeron, misalnya, dimulai dengan kalimat: ”Tahun itu 2081, dan tiap orang

akhirnya setara sama rata. Mereka tak hanya setara di depan Tuhan dan hukum. Mereka

setara dalam segala hal. Tak ada yang lebih pintar ketimbang yang lain. Tak ada yang lebih

rupawan ketimbang yang lain….”

Kisah ini bisa seperti novel 1984 Orwell. Salah satu tokohnya, George, hidup dengan kuping

yang dipasangi radio kecil. Pesawat ini dihubungkan dengan stasiun pemerintah yang tiap 20

detik mengirim suara untuk mengingatkan George agar tak menggunakan kecerdasannya

yang lebih buat menang atas orang lain.

Cerita yang suram, tapi membuat kita terbahak-bahak, setidaknya ketika kita menemukan ada

kantor yang bernama ”United Stated Handicapper General” alias ”Kantor Negara untuk

Pengelolaan Perbedaan Kemampuan” yang para agennya selalu waspada mengawasi para

warga.

Dengan kombinasi geli-dan-ngeri ini, hidup tergambar absurd—mungkin sebuah parodi atas

masyarakat Amerika yang memuja kesetaraan tapi menyangka kesetaraan sama artinya

dengan mediocrity. Sebab itu, orang seperti Bush, sibakat-kodian, tauladan mediocrity, dapat

naik ke Gedung Putih. ”Jika kau orang yang terdidik dan berpikir, kau tak akan diterima di

Page 146: catatan pinggir

Washington, DC,” tulis Vonnegut dalam A Man Without a Country: A Memoir of Life in

George W. Bush’s America.

Tapi benarkah hidup akan mengikuti ramalan mendiang Jeremiah dari zaman Bush dan bumi-

yang-memanas ini? Apa yang jadi penawar agar hidup layak dipertahankan? Vonnegut

sendiri, pada umur lanjut, menjawab: ia menunggu janji pabrik rokok. Sejak dulu, Brown &

Williamson Tobacco Company yang menghasilkan Pall Mall ”sudah berjanji akan

membunuh saya”.

Humornya gelap di kalimat itu, tapi itu tanda bahwa Maut bukan satu-satunya penebus.

Vonnegut masih memberi kita aspirin. Ia juga masih punya penawar lain: musik, terutama

blues, ”satu-satunya bukti bahwa Tuhan ada”. Dengan kata lain: perlawanan kecil-kecilan

terhadap apokalipse yang mendekat….

Kalau tidak, masih ada fantasi tentang planet Tralfamadore, yang menolong Billy Pilgrim di

tengah ganas dan sia-sianya penghancuran Kota Dresden dalam Slaughterhouse-Five.

Tralfamadore: alternatif bagi dunia para nabi yang bermuram durja.

Sebab Jeremiah toh tak melihat semuanya.

~Majalah Tempo Edisi. 08/XXXIIIIII/16 – 22 April 2007~

Juni Juni 14, 2010

Posted by anick in Agama, All Posts, Indonesia, Islam, Kisah, Modernisme, Sejarah, Tokoh,

Tradisi.

trackback

Juni adalah bulan Bung Karno—kesempatan kita mengenang yang kecil dan yang besar dari

tokoh ini.

Ada satu kejadian dalam riwayat yang direkam Cindy Adams: ketika Bung Karno pertama

kali menikah, ketika ia jadi mempelai bagi Utari.

Utari adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, yang menampung

Soekarno sewaktu anak kepala sekolah dari Blitar itu berumur 14 tahun dan datang ke

Surabaya untuk masuk HBS, sekolah menengah Belanda. Hubungan antara Soekarno dan

Tjokroaminoto makin lama makin erat. Pemuda ini praktis jadi kadernya dalam pergerakan.

Ia tinggal di rumah keluarga itu sampai 1920, sampai ia lulus dari HBS dan melanjutkan ke

Technische Hooge School di Bandung.

Tapi, sebelum itu, Nyonya Tjokroaminoto wafat. Kesedihan merundung suaminya, yang

ditinggal dengan beberapa anak yang masih remaja. Mereka dan anak-anak yang indekos,

termasuk Soekarno, pun pindah ke rumah lain. Tapi Tjokroaminoto tak terlipur penuh. Untuk

meringankan hati orang tua itu, Soekarno memutuskan untuk menikahi Utari—meskipun

masih merupakan ”perkawinan gantung”, sebab Utari masih 16 tahun dan Soekarno sendiri

baru 20.

Page 147: catatan pinggir

Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu. Sang mempelai—seorang yang

suka berdandan—datang dengan mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat itu, penghulu

berkeberatan. ”Anak muda,” katanya, ”dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen…

tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam.”

Soekarno membela diri. Cara berpakaian kini ”sudah diperbaharui”.

Sang penghulu membentak, pembaharuan itu hanya terbatas pada pantalon dan jas buka,

katanya.

Menghadapi suara keras itu, Soekarno membalas. Ia tak sudi. Tuturnya: biar ”Nabi sendiri

sekalipun tak kan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi”. Maka ia bangkit dari

kursi dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus mencopot dasi. Ketika penghulu

tak mau mundur, mempelai yang kelak jadi tokoh utama pergerakan politik untuk

kemerdekaan itu berkata: ”Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan

selalu memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari perkawinan saya.”

Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan oleh si penghulu, melainkan oleh

seorang alim yang ada di antara tamu….

Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno, melainkan juga problem Indonesia

zaman itu: bagaimana membebaskan diri dari penjajahan dan sekaligus dari apa yang disebut

Bung Karno ”pendirian yang kolot”.

Orang ada yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil posisi kembali ke akar yang

tertanam di masa lalu. Tapi pemuda Soekarno tak begitu. Juga Hatta, Tan Malaka, dan

sebelumnya Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Pergerakan menentang

kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasionalisme yang lain: melihat ke depan.

Nasionalisme itu berkait dengan agenda modernitas.

Bung Karno, dengan prosanya yang penuh api, pernah mencemooh para ”oude-cultuur

maniak” yang ”pikiran dan angan-angannya hanya merindui candi-candi, Negarakertagama,

Empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”.

Tan Malaka menegaskan bahwa pendapatnya yang dirumuskan sebagai ”Madilog”

(Materialisme, Dialektika, Logika) berlawanan dengan segala yang berhubungan dengan

mistik dan kegaiban. Tan Malaka, seorang Marxis yang bertahun-tahun mengembara di

Eropa, menyebut semua yang ditentangnya itu ”ketimuran”.

Bagi Hatta, sebagaimana dikatakannya pada 1924 di Belanda, Indonesia yang muda harus

memutuskan semua hubungan dengan masa lampau ”untuk membangun kehidupan nasional

baru yang sesuai dengan tuntutan peradaban modern”.

Sebuah konfrontasi tak bisa dielakkan. Nasionalisme itu tak hanya memutuskan kaitan

dengan masa silam yang setengah feodal, yang sering disebut ”kebudayaan daerah” atau

segala yang dikibarkan sebagai bendera identitas lokal. Nasionalisme itu juga ingin

melepaskan diri dari adat yang mengikat kebebasan, lembaga lama yang menindas

perempuan, keyakinan yang tak membuat orang mencari informasi baru. Bagi nasionalisme

ini, kolonialisme harus dihadapi dengan cara yang jadi sumber kekuatan ”Barat”. Para

perintis kemerdekaan Indonesia melihat Jepang sebagai tauladan dan Turki baru sebagai

Page 148: catatan pinggir

inspirasi. Dalam sebuah tulisan panjang tentang Turki pada 1940, Bung Karno mengutip

sebagai pembuka: ”Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju Barat.”

Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno: ia meninggalkan sebuah rapat

Muhammadiyah sebagai protes. Bung Karno tak setuju karena ada tabir yang dipasang di

sana untuk membatasi tempat perempuan dengan tempat laki-laki.

Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Karno menegaskan: tabir

tampaknya ”soal kecil, soal kain yang remeh”. Tapi sebenarnya ”soal mahabesar dan

mahapenting”, sebab menyangkut posisi sosial perempuan. ”Saya ulangi: tabir adalah simbol

dari perbudakan kaum perempuan!”

Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam sejarah sosial. Seperti halnya

kolonialisme, ”perbudakan” seperti itu bukan hasil dari sabda yang kekal. Ia akan berubah. Ia

bisa diubah.

Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimisme. Hatta, misalnya, percaya

kepada dialektika sejarah yang berakar pada Marxisme: tiap keadaan ”menimbulkan syarat

yang mesti mengubah keadaan itu sendiri”.

Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar. Tapi sejak awal abad ke-20

zaman terasa bergerak. Entah ke mana, tapi banyak hal yang tak tumbuh jadi membatu, jadi

benda antik atau ditinggalkan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Juni 2010~

K.A. November 6, 2006

Hidup memang bukan pasar malam, kata seorang tokoh novel Pramoedya Ananta Toer, tapi

mungkin hidup ibarat kereta api. Maka kali ini saya ingin menulis tentang sepur dan

manusia—sepur bukan hanya sebuah sarana perjalanan, tapi juga sebuah ruang pertemuan

dengan orang lain yang bergerak dari dan ke tempat yang berbeda, semacam kebersamaan

dan kesendirian yang tak kekal.

Mungkin karena itulah adegan di kereta api sering masuk ke pelbagai bentuk ekspresi yang

mengemukakan saat yang ajaib, ketika manusia seakan-akan menemukan degupnya kembali,

justru dalam satu trayek lurus yang sebenarnya membuat jemu.

Dalam lagu Sepasang Mata Bola, misalnya. Lagu ini ditulis di masa perjuangan bersenjata

melawan Belanda pada tahun 1940-an—ketika hidup sosial terguncang-guncang, ketika

tempat asal dan tujuan sama-sama jadi hanya sejenis ruang transit, ketika orang dengan cepat

berpindah lokasi dan kelas.

”Hampir malam di Yogya, ketika keretaku tiba

Remang-remang cuaca, terkejut aku tiba-tiba..”

Page 149: catatan pinggir

Lagu itu, yang sampai hari ini dinyanyikan dengan penuh nostalgia dan keharuan,

memaparkan gambar sebuah senja di Stasiun Tugu di Yogya: sepur dari Jakarta datang,

penuh orang yang mengungsi dari pendudukan Belanda. Di antara kerumunan itu tampak

para prajurit muda, dengan senjata dan sikap yang siap. Tiba-tiba sebuah wajah hadir, dan

cerita pun terjadi.

Dalam lirik lagu ini, wajah itu ditandai tatapan mata seorang yang seakan-akan minta

dilindungi dari ancaman ”si angkara murka”. Tak jelas sebenarnya—dalam lirik Ismail

Marzuki ini—siapa yang berangkat perang, yang ”datang dari Jakarta/’nuju medan

perwira”. Tapi terasa ada getaran hati pada sebuah pertemuan, pada sebuah perpisahan,

dalam suasana ketika kata ”pahlawan” disebut, dan semangat mempertahankan Republik

terasa bertaut dengan ketidakpastian. ”Semoga kelak kita berjumpa pula….”

Kereta api datang, kereta api pergi, apa yang memberikan arti di situ? Bukan Stasiun Tugu,

yang menetap seakan-akan prasasti yang dipatok, melainkan perjalanan dan perpindahan—

dan tentu saja keberangkatan untuk mati. Yang sementara, yang fana, justru jadi yang amat

penting.

Itu juga yang terasa dalam lagu Juwita Malam, juga ciptaan Ismail Marzuki: akhir sebuah

perjalanan bukannya melegakan, melainkan menimbulkan rasa sayu.

Kereta kita, segera tiba

di Jatinegara kita kan berpisah

Kita berpisah, akhirnya, tapi tiap perpisahan terjadi karena pertemuan. Yang menarik dalam

Juwita Malam ialah bahwa pertemuan itu adalah pertemuan dengan seseorang yang tak

dikenal: ”Siapakah gerangan tuan? Dari bulankah tuan?”

Dalam kereta api, itulah memang yang sering terjadi—dan itulah yang membuat hidup

menegangkan tapi juga memikat. Dari cerita detektif Agatha Christie Murder at the Orient

Express sampai dengan travelog Paul Theroux The Great Railway Bazaar, ruang kereta api

yang bergerak itu adalah ruang orang-orang yang mungkin ingin saling bertanya kepada

orang segerbong: ”Dari bulankah tuan?”

Ada rasa takjub dan juga rasa ingin tahu di hadapan sesama manusia yang beda—yang

menyebabkan sebuah cerita detektif mendapatkan suspens-nya dan cerita perjalanan

menemukan bumbunya. The Great Railway Bazaar yang terbit pada tahun 1977 adalah

perjalanan panjang dari London, lewat Iran, ke Asia. Tapi kita akan kecewa jika kita

mengharapkan di buku ini akan ada uraian yang rinci tentang tempat-tempat perhentian.

Bahkan terkadang Theroux tak tertarik (misalnya ketika tiba di Teheran) dan terganggu

(ketika memasuki Afganistan). Yang ia tangkap adalah apa yang berlain-lainan pada suatu

momen: lanskap di luar jendela, bau sardin, kubis, dan tembakau, orang Georgia itu, orang

Kanada yang berduka itu, dua pustakawan Australia itu….

Ketika kereta api sampai ke tujuan, semua yang asyik pun usai—seakan-akan hendak

menunjukkan bahwa tempat di luar kereta terlampau luas bagi sebuah pengalaman manusia

yang terbatas.

Page 150: catatan pinggir

Dalam film Tickets, apa yang terjadi dalam sebuah kereta api menuju Roma sanggup

berbicara tentang kehidupan sosial-politik Eropa secara lebih jelas dan tajam ketimbang yang

disiarkan di televisi mengenai dunia di luar gerbong.

Disutradarai bersama oleh Abbas Kiarostami, Ermanno Olmi, dan Ken Loach, film tahun

2005 ini adalah kisah kebersamaan antar-orang-orang asing, justru di suatu masa yang

terganggu oleh kekerasan, paranoia, dan ketimpangan kekuasaan—dunia setelah ”11

September”.

Ada seorang profesor yang pergi ikut pesta ulang tahun cucunya, dan mengkhayalkan sebuah

hubungan romantik dengan seorang perempuan yang nyaris tak dikenalnya. Ada seorang

pemuda yang dengan sabar tapi akhirnya sebal mengawal janda cerewet seorang jenderal.

Ada tiga pemuda pecandu bola dari Skotlandia yang riuh. Ada sebuah keluarga imigran

Albania yang tak punya uang untuk beli tiket. Terhadap yang terakhir inilah para penumpang

tadi jadi kontras tapi sekaligus bagian dari sebuah solidaritas. Si profesor mengantarkan

segelas susu panas bagi si bayi imigran yang terusir dari bordes, trio penggemar bola itu

merelakan tiketnya dicuri si anak Albania.

Dan kereta api pun berhenti di Roma.

Apa yang tersisa? Ingatan tentang sebuah perjalanan yang tanpa suspens karena arahnya

pasti, tapi memukau karena ini cerita orang-orang asing yang punya momen jadi manusia.

Kita jadi manusia ketika kita merasakan ketakutan dan kehilangan orang lain yang tak kita

kenal, dan bersedia ikut menanggungkannya. Di situlah, yang fana—derak dan peluit kereta

yang berjalan di atas rel menuju ke satu titik yang sudah dirancang—adalah yang membuat

kita seakan abadi.

~Majalah Tempo Edisi. 37/XXXV/06 – 12 November 2006~

Kahyangan Januari 2, 2006

Di surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga perbuatan

Dalam tiap adegan kahyangan pada pertunjukan wayang purwa, keabadian digambarkan

dengan kalimat ini: ‘Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi’.

Yang ada adalah ‘terang yang bukan terangnya siang’ dan ‘gelap yang bukan gelapnya

malam’. Tak ada waktu, tak ada ruang, hanya keluasan yang tanpa tepi — mung alam

tumlawung ngalangut datan patepi.

Yang menarik – seperti saya temukan dalam buku yang disusun Anom Sukatno, Janturan lan

Pocapan Ringgit Purwo — dalam janturan yang dilantunkan ki dalang, kahyangan adalah

keadaan tak ada subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.

Kata ‘suwung’ berbeda dengan ‘kosong’ atau ‘hampa’. ‘Suwung’ sebenarnya bukanlah

sebuah defisit. ‘Suwung’ punya wilayahnya sendiri. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati,

Ronggowarsito menampilkan sebuah keadaan paradoksal dalam meditasi: ‘suwung

sakjatining isi’, suwung namun sesungguhnya berisi.

Page 151: catatan pinggir

Maka bila kahyangan digambarkan sebagai ‘suwung’ dan tak ada ‘rasa pribadi,’ yang

dimaksudkan bukanlah sebuah gambaran kekurangan. Bahkan sebaliknya. ‘Cipta, rasa dan

karsa’ tak ada karena tak dibutuhkan. Keheningan itu total – yang juga berarti kebebasan dari

pengaruh perasaan suka dan sedih: datan kaprabawaning rasa bungah lan susah.

Mungkin pengaruh Budhisme ikut membentuk imajinasi para pencipta wayang purwa dalam

adegan ‘Alang-Alang Kumitir’: surga adalah sesuatu yang berada di luar wilayah

pancaindera, seperti yang dilambangkan dengan stupa di pucuk Borobudur itu — polos,

ugahari, tanpa ruang, tanpa celah.

Saya ingat Sanusi Pane. Dalam perjalanannya di India, ia mengagumi Syiwa Nataraja, dewa

yang menari dalam lingkaran api. Beginilah dilukiskannya dalam sebuah puisi panjang dalam

Madah Kelana:

Natésa berdiri

Di atas buta, kanan memegang gendang, kiri

Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan

Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan

Keindahan Patung Syiwa itu ‘dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi’, dan di

hadapan Natésa itulah Sanusi menemukan satu kearifan, tatkala sesaat seakan-akan

didengarnya sebuah suara halus-merdu yang menyeru:

‘Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri

Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi

Dari luar…’ Maka tarian Syiwa-Nataraja bagi Sanusi Pane adalah ‘jalan ringkas…mencapai

kemerdekaan’. Jiwa akan merdeka jika kita membiarkan diri menari dan ‘membakar segala

ikatan buta’ yang kita bikin, jika dalam gerak itu, sang penari tak dijajah oleh hasil, oleh

‘tujuan’. Seperti ketika, dalam sebuah sajaknya yang lain, ia merasa di atas biduk dan merasa

hening dan tenteram, dibawa gelombang tanpa kehendak tanpa arah, menyimak getar

keabadian di langit dan melenyapkan diri ke dalam alam…

Di sini, tindakan berada di titik nol. ‘Diam, hatiku, jangan bercita’, tulis Sanusi dalam Candi

Mendut, ‘Jangan kau lagi mengandung rasa/Mengharap bahagia dunia Maya’.

Maka tindakan jadi ‘laku’: ada di antara posisi yang bukan pasif dan juga bukan aktif. Sajak

Syiwa-Nataraja melukiskan dua gerakan untuk mencapai kemerdekaan: yang satu dengan

metafora ‘menari’, dan pada saat yang sama juga ‘tinggal samadi’.

Tapi persoalannya tetap: bagaimana laku ini menyiapkan sesuatu yang berarti bagi sejarah.

Di dunia, manusia ada dalam keadaan terlempar. Ia tak siap, ia sebuah kekurangan: ikan

langsung dapat berenang begitu ke luar dari indung telur, tapi manusia tidak.

Sebab itulah ia merasa terancam terhimpit oleh dunia sekitarnya. Ia pun mencoba

mengendalikan alam, termasuk jasmaninya sendiri. Untuk itu ia harus berada di atasnya dan

membebaskan diri darinya.

Maka kebudayaan pun terbentuk, dengan produksi dan teknik yang diperbaiki terus menerus.

Tapi juga dengan kesengsaraan dan penindasan.

Page 152: catatan pinggir

Dan di koloni orang-orang yang tertindas, seperti Indonesia di tahun 1930-an ketika Sanusi

Pane menuliskan sajak-sajak yang terkumpul dalam Madah Kelana, tampaknya harus diakui

bahwa konflik-lah yang membentuk manusia. Mungkin sebab itu penyair penganut theosofi

ini tertumbuk pada ruang buntu. Baru beberapa tahun kemudian ia menemukan sebuah jalan

keluar.

Di tahun 1940 ia menulis lakon Manusia Baru, sebuah cerita tentang perjuangan buruh di

Madras,

India. Surendranath Dash, aktivis dari Benggali itu datang membantu para buruh tekstil untuk

menuntut perbaikan nasib. Di sana ia bertemu dengan anak-anak muda kelas menengah,

Sarawaswati Wadia, misalnya. Karena kata-katanya yang menggugah untuk membangun

sebuah India yang baru, yang tak lagi bersifat ‘tenang’ tapi ‘bergerak dalam ketenangan’,

Dash mengubah pandangan orang-orang itu..

Dalam keadaan tertindas, orang memang tak bisa menjalani laku sang kelana yang hanyut

dalam keheningan laut. Ia harus meletakkan diri sebagai subyek. Ia bukan hanya ‘laku’. Ia

‘tindakan’.

Dalam proses itu pula, sang kelana tak lagi menggunakan bahasa ‘pemikiran meditatif’ dan

tak pula memakai bahasa ‘pemikiran puitis’ – bentuk-bentuk yang dipujikan Heidegger

sebagai alternatif bagi ‘pemikiran kalkulatif.’ Telah ditinggalkannya bahasa yang selaras

dengan suara angin di daun-daun. Surendranath Dash tak menulis sajak..

Tapi hidup di tengah dunia yang belum berubah, ‘manusia baru’ hanyalah sekedar model.

Lakon Sanusi Pane tak melukiskan liku-liku psikologi yang pelik dan pergulatan jasmani

yang pasang surut dalam proses transformasi dari yang ‘lama’ menjadi ‘baru’. Manusia Baru

praktis sebuah lakon tanpa tubuh tanpa laku.

Di saat itu Sanusi lupa bahwa hidup adalah hidup dalam keterbatasan jasmani dan keasyikan

tubuh. Dash jadi seperti Faust, yang berkata kepada Ruh: ‘Aku, aku Faust, sejawatmu!’ Ia tak

mau mengaku, bahwa ia berada dalam sejarah.

Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kecewa, tapi mensyukuri apa yang fana..

~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXIV/02 – 8 Januari 2006~

Kaki Langit Oktober 27, 2008

DI makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada seorang yang luar biasa berjasa, tapi ia

tak punya identitas. Ia praktis sebuah penanda yang kosong. Tapi hampir tiap bangsa, atau

lebih baik: tiap ide kebangsaan, memberi status yang istimewa kepada sosok yang entah

berantah yang terkubur di makam itu.

Orang yang pertama kali melihat fenomen itu adalah Benedict Anderson. Dalam Imagined

Communities-nya yang terkenal itu, ia menulis: ”Betapapun kosongnya liang lahat itu dari

sisa-sisa kehidupan yang fana dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat dengan anggitan

tentang ’kebangsaan’ yang membayang bagai hantu.”

Page 153: catatan pinggir

Barangkali sebuah bangsa memang harus selalu menyediakan ruang kosong untuk sebuah

cita-cita. Seperti kita memandang ke kaki langit yang sebenarnya tak berwujud, tapi kita

ingin jelang. Sekaligus, barangkali sebuah bangsa membutuhkan bayangan yang bagai hantu

tentang dirinya: antara jelas dan tak jelas.

Pahlawan Tak Dikenal. Pahlawan Kita. Antara ”tak dikenal” dan ”kita” ada pertautan dan

juga jarak. Ia yang gugur itu adalah seorang yang sebenarnya asing—bukan yang dalam

bahasa Inggris disebut foreigner, melainkan stranger—tapi ia juga bagian terdalam dari aku

dan engkau. Jika tampak ada yang bertentangan di sini, mungkin itu juga menunjukkan

bahwa sebuah bangsa—seperti yang dimaklumkan oleh Sumpah Pemuda pada 1928 itu—

memang mengandung ketegangan dan keterpautan antara yang asing dan yang tak asing

dalam dirinya sendiri.

Seperti sang pahlawan yang tak dikenal itu: yang termasuk dalam ”kita” tak selamanya

datang dari puak kita. Salah satu anasir dalam bangsa bisa bekerja untuk unsur yang lain,

meskipun keduanya tak saling kenal betul, bahkan ada saat-saat ketika yang satu disebut

”asing” oleh yang lain. Itulah sebabnya kepeloporan para pendiri Indische Partij tak dapat

dilupakan: ”orang Indonesia” adalah orang yang bisa melintasi batas, menemui yang ”asing”,

untuk jadi satu—tapi di situ ”satu” sebenarnya sama dengan yang tak terhingga. Sebab

sebuah bangsa yang tak didefinisikan oleh ikatan darah adalah sebuah bangsa yang selalu

siap menjangkau yang beda—dan yang beda tak bisa dirumuskan lebih dulu, tak bisa

dikategorisasikan kemudian. Ia tak tepermanai.

Seperti pahlawan tak dikenal itu: ia memberikan hidupnya buat kau dan aku, tapi ia bukan

bagian kau dan aku.

Maka tak aneh jika dalam semangat kebangsaan, tersirat sebuah paradoks: sesuatu yang

universal ada di dalamnya. Sebab sebuah bangsa pada akhirnya hanya secara samar-samar,

seperti hantu, bisa merumuskan dirinya sendiri. Yang penting akhirnya bukanlah definisi,

melainkan hasrat. Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti

halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti

kecuali mati.

Dalam hal itu, orang sering lupa bahwa bangsa sebenarnya bukan sebuah asal. Ia sebuah cita-

cita—dan di dalamnya termaktub cita-cita untuk hal-hal yang universal: kebebasan dan

keadilan. Bangsa adalah kaki langit.

Kaki langit: impian yang mustahil, sulit, tapi berharga untuk disimpan dalam hati. Sebab ia

impian untuk merayakan sesuatu yang bukan hanya diri sendiri, meskipun tak mudah.

Sebuah bangsa adalah sebuah proses. Jangan takut dengan proses itu, kata orang yang arif.

Tak jarang datang saat-saat yang nyaris putus harapan, tapi seperti kata Beckett dalam

Worstward Ho, ”Coba lagi. Gagal lagi. Gagal dengan lebih baik lagi.”

~Majalah Tempo Edisi 36/XXXVII 27 Oktober 2008~

Kaligrafi April 14, 2008

Page 154: catatan pinggir

Sepotong sajak Turki dari zaman Usmani tertulis di antara bingkai yang dilukis dengan warna

keemasan: sebuah sajak yang cantik dan sebuah karya kaligrafi yang piawai. Di sudut

disebutkan: inilah buah tangan Rikkat Kunt (1903-1986).

Penjelasan lain menyusul: Rikkat adalah seorang perempuan juru kaligrafi Turki yang

terkemuka justru di masa ketika Kemal Attaturk mendekritkan bahwa Turki baru harus

mengganti huruf Arab dengan huruf Latin. Artinya, para seniman kaligrafi adalah makhluk

yang terpencil dan hampir punah, dan Rikkat Kunt lolos dari keterpencilan.

Ia menang dalam kompetisi nasional seni kaligrafi dan dapat posisi mengajar di Akademi

Seni Rupa Istanbul. Tapi ia tak akan diingat orang seandainya karyanya tak ikut dipamerkan

di Museum Louvre pada tahun 2000. Dan seandainya tak ada Yasmine Ghata.

Pada 2004, dari perempuan yang waktu itu berumur 31 itu terbit sebuah novel pertama, La

Nuit des Caligraphes.

Hidupku berakhir pada 26 April 1986: umurku delapan puluh tiga. Istanbul sedang

merayakan Pesta Kembang Tulip di Emirgan…. Kematian tak membuatku takut. Ajal hanya

kejam terhadap mereka yang takut kepadanya.

Dengan kalimat pembuka seperti itu, novel ini—bertolak dari riwayat hidup Rikkat Kunt—

memang mempesona. Dunia sastra Prancis menyambutnya dengan hangat.

Bisa dimengerti kenapa. Prancis, seperti halnya seluruh Eropa, sedang sibuk dengan dua

nama: ”Turki” dan ”Islam”. Imigran Turki ada di mana-mana, Turki ingin jadi bagian dari

Uni Eropa, dan Islam dilihat terkait dengan kekerasan dan ketidakbebasan perempuan, tapi

juga sebagai bagian dari nasib si miskin yang menanggung sebuah peradaban yang terluka.

Pendeknya, ”Turki” dan ”Islam” adalah nama kini bagi ”Si Lain”. Bagaimana

memperlakukan ”Si Lain” dalam sebuah demokrasi? Sebagai sesuatu yang harus dibuat

”tidak beda”, agar tak membelah masyarakat? Atau ditoleransi sebagaimana dia adanya, agar

tak terjadi kesewenang-wenangan?

La Nuit des Caligraphes tak bermaksud menjawab persoalan itu. Yasmine Ghata, anak

seorang novelis dan penyair Libanon, lahir di Prancis dan hidup di negeri itu. Ia tergerak

menulis karena satu hal yang intim: Rikkat Kunt adalah neneknya sendiri.

Tapi novel tentang nenek sendiri ini justru menarik bagi pembaca Eropa karena dari

dalamnya ”Turki” dan ”Islam” tetap ajaib: ”Si Lain” yang tak mudah dijelaskan. Nostalgia

kepada sesuatu yang eksotis terasa meruap dalam prosa Yasmine Ghata: daya imajinatif,

yang selalu menghidupkan prosanya, menyebabkan La Nuit des Caligraphes seakan-akan tak

bercerita tentang abad ke-20 melainkan bagian dari dongeng 1001 malam. Tapi dengan itu

pula kisah Rikkat Kunt menunjukkan bahwa sejarah adalah proses yang tak mudah, tak

gampang diputus-putus. Kaligrafi—seni tua yang tak juga punah, goresan tinta yang mengalir

membentuk kata dari huruf—adalah perumpamaan yang baik tentang kontinuitas.

Sejarah dalam kontinuitas itulah yang menyebabkan masalah besar seperti ”agama” dan

”modernisasi”—yang membayang di belakang novel ini—tak tampil bagaikan dua tenaga

yang berhadap-hadapan dan tak kait berkait. Ini agaknya nilai tambah ketika La Nuit des

Caligraphes diterjemahkan ke bahasa Indonesia (dengan judul Seniman Kaligrafi Terakhir,

Page 155: catatan pinggir

oleh Ida Sundari Husen, terbitan Serambi, 2008). Di Indonesia, sebagaimana di Turki, orang

berada di tengah masalah yang sama: konflik atas nama kemajuan, dan konflik atas nama

Tuhan.

”Tuhan tak tertarik abjad Latin,” kata Rikkat. Napas Tuhan, katanya pula, tak dapat meluncur

di atas huruf-huruf yang pendek, tambun, dan terpisah-pisah itu. Kemal, yang memimpin

Turki agar negerinya maju seperti Eropa, hendak membuat masa lalu lenyap dan membuat

masa depan lekas datang: ia memaksakan penggunaan alfabet Latin ke seluruh negeri. Istilah

lama dari bahasa Arab terkadang diganti dengan istilah Prancis. Para seniman kaligrafi

”terluka”, kata Rikkat.

Luka itu bukan karena kehilangan posisi, tapi karena sebab yang lebih dalam: seni kaligrafi

adalah ibadah yang tulus dan tragis. Semua seniman kaligrafi berusaha ”menangkap

kehadiran Ilahi”, tapi tak seorang pun berhasil. Tapi mereka ingin terus.

Maka kata ”malam” (la nuit) dalam judul asli novel ini mengandung kiasan untuk suasana

sunyi dalam ibadah itu dan juga suasana gelap karena terancam. Dalam arti tertentu, Seniman

Kaligrafi Terakhir mengandung sebuah pembelaan bagi sikap religius di hadapan sekularisasi

yang agresif.

Dengan latar Eropa sekarang, pleidoi itu punya nilai yang penting. Novel ini jadi suara

pengimbang di tengah sebuah masyarakat yang memandang iman dengan cemooh atau

curiga. Tapi perlu dicatat: dalam novel ini, ”iman” dan ”agama” dan ”Islam” dijalani dengan

imajinasi yang subur.

Rikkat percaya pada hantu Selim (”seniman kaligrafi yang berumur 100 tahun”, yang

”menulis di bawah pengawasan ketat Rasulullah”), percaya pada patung-patung kecil darwis

yang ”bergerak tiap kali mendengar suara orang mengaji”, percaya bahwa alat-alat tulis bisa

bergerak sendiri, terkadang menari erotis, juga dalam memuja Yang Maha Suci.

Di hadapan imajinasi yang subur, yang hidup, yang mesra kepada fantasi seperti itu, dan

fantasi yang tumbuh terus dalam kreasi, apa yang lebih yang diberikan ”modernisasi”?

Sesuatu yang terasa terlalu datar, dangkal, dan hanya memikirkan ”guna” dan ”hasil”.

Tapi demikian juga yang diberikan ”agama”—jika ”agama” adalah keyakinan yang cuma

mengerti hukum, yang lurus, kering, dan kaku. Menarik bahwa bukan jalan yang lurus yang

diingat Rikkat menjelang akhir. Ia malah bicara tentang ”zigzag”, ”labirin”, dan ”spiral”—

yang mengembalikannya kepada yang membahagiakan dan menyusahkan dalam hidupnya.

Ya, hidupnya.

~Majalah Tempo Edisi. 08/XXXVII/14 – 20 April 2008~

Kamar Juni 29, 2009

Sajak itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya cuma 3 m x 4 m, “terlalu sempit buat meniup

nyawa”. Penghuninya tujuh. Ruang pun terasa kerdil dan rudin, ketika sebuah jendela

menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu perkasa.

Page 156: catatan pinggir

Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurungan dan kelesuan kamar itu dengan

sederet imaji yang makin lama makin dramatis. Sang ibu “tertidur dalam tersedu”. Sang

bapak “terbaring jemu”. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu yang mungkin hanya sebuah

citra ketidak-berdayaan: gambaran “orang tersalib di batu”. Cahaya terbatas. Malam itu bulan

mengirimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tanpak “sudah lima anak bernyawa di

sini”.

Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan suara. “Keramaian penjara

sepi selalu”.

Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang lalu, di Jakarta yang

penduduknya belum lagi empat juta. Kini kota ini – yang baru saja berulangtahun ke-482 —

dihuni 12 juta orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah ruang (mungkin

sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana pula kelak, di tahun 2025, ketika

diperhitungkan hampir 70% penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita

saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?

Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di Dunia Ketiga. Di pertengahan

abad ke-20, ada sebuah keluhan tentang Paris: “Di Paris tak ada rumah”. Itu tulis Gaston

Bachelard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. “Penduduk kota-kota besar

tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun”. Akhirnya rumaha hanya terbangun

horisontal; ia kehilangan “kosmisitas”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis,

sebagaimana ia kehilangan angkasa, terlepas ari misteri keagungan.

Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia, kerinduan kembali kepada

suasana tempat tinggal yang dengan nyaman dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota

kecil di pedalaman – sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar sejarah sosial-

ekonomi Indonesia.

Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah lama merampas pedusunan dari

suasana sejuk-tenteram seperti yang dulu diidealkan lukisan Dazentje. Petani miskin tak

mampu lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sempit diolah dan

dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian banyak. Sebuah “involusi pertanian”

(dalam istilah terkenal Clifford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-

bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilukiskan Chairil bisa juga

berlaku bagi ruang di rumah-rumah dusun.

Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program pengendalian pertumbuhan

penduduk dua dasawarsa yang lalu berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3%. Tapi jika lihat

Jakarta, kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubungan antara manusia dan

tempat tinggalnya demikian tak membekas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-

nomadisme: orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; “rumah” bukanlah faktor penting

dalam stabilitas.

Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Orang tak lagi mengenal

tempat sebagai dunung, sebuah kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik,

tetapi juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untukku. Tempat telah jadi

komoditi. Ia bukan lagi bagian dari pengalamanku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi

mendapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diriku; ia tidak lahir dari prosesku mengureg

(burrow, bahasa Inggrisnya), proses seperti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya

Page 157: catatan pinggir

dengan membuat liang yang cocok. Para nomad baru tak membangun liangnya; ia masuk ke

sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu.

Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah dan tempat kerja seringkali begitu

jauh, lalulintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di

kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh

malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin

mimpi. Dan pada pukul lima…

Tapi tetap ada benarnya, bahwa seorang nomad tak pernah sempurna sebagai seorang nomad.

Pada tiap kesempatan, manusia mencoba membentuk dunung-nya. Juga di Jakarta. Ada

tempat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di luar apa yang biasa

disebut “rumah”. Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak

bisa diperjual-belikan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan,

sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bis, sebuah tempat

pertemuan…

Di ruang-ruang yang jadi dunung, ada tenaga yang menarik kita ke dalam, membentuk setitik

pusat, membangun dunia yang seakan-akan tanah yang kita ureg. Tapi di zaman ini, ada

tenaga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apapun pada akhirnya hanya sebuah

ruang transit. Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Dan

kita tak menyebut diri “tuna-wisma”.

Hari ini dan mungkin nanti, Jakarta adalah arus di mana “wisma” tak lagi relevan. Yang ada

adalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg. Ada yang hilang dalam kepadatan itu. Tapi

manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, mencoba bisa hidup walaupun dengan sel-

sel sempit yang kehilangan suara, dalam “keramaian penjara sepi selalu.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 29 Juni 2009~

Kanvas November 1, 2010

Di Istana Bogor, patung perempuan di mana-mana. Telanjang. Tubuh dengan lekuk yang

jelas. Badan dengan proporsi yang rapi. Tampilan jangat yang kencang tapi halus. Paras

dengan raut yang tanpa cela.…

Bung Karno telah merias kediaman resmi itu dengan seleranya, selama ia tinggal di sana

sebagai presiden pertama sekitar 10 tahun. Para penggantinya dengan satu dan lain cara

masih menghormatinya. Pajangan koleksi itu tak dihancurkan. Bahkan tampak dirawat.

Tapi Bung Karno telah pergi lebih dari 40 tahun yang lalu. Zaman berubah, pemimpin

berganti. Di masa yang kian konservatif kini, orang tetap menghormati tinggalan itu, tapi

agaknya tak mudah menerimanya. Oktober 2009 saya mengunjungi Istana itu dengan

beberapa sastrawan dalam dan luar negeri; para tamu tertawa geli. Mereka lihat tiap patung

itu ditutupi selembar kain yang dibelitkan. Sensor atau bukan, efeknya justru membuat karya-

karya tiga dimensi itu—yang semula bertaut dengan ruang—seakan-akan melepaskan diri

dari latar belakang. Mereka lebih hadir. Ketelanjangan itu justru menarik perhatian: penutup

itu mengalahkan dirinya sendiri.

Page 158: catatan pinggir

Tapi juga keindahan bisa mengalahkan dirinya sendiri—jika keindahan diartikan seperti yang

tampak di deretan patung di Istana Bogor itu. Bentuk-bentuk itu dimaksudkan sebagai karya

artistik. Tapi ketika yang artistik hanya berarti cantik, yang ”indah” pun jadi sesuatu yang

tunggal. Kecantikan, kerapian, dan keapikan akan menguasai total bentuk-bentuk, dan apa

yang tak cantik, tak rapi, dan tak apik adalah sesuatu yang ”lain”—yang harus dilenyapkan.

Agaknya itu sebabnya selalu ada pemberontakan terhadap keindahan yang seperti itu. Pernah

ada masa ketika seni rupa Indonesia didominasi oleh kanvas-kanvas yang menyajikan gunung

yang biru, sawah yang menguning, sungai yang tenang, petani-petani yang tenteram.

Awalnya bisa ditarik ke masa kolonial, ke awal abad ke-19. Dalam Cultivated Tastes:

Colonial Art, Nature and Landscape in the Netherlands Indies (sebuah disertasi yang layak

dibaca para penelaah sejarah seni rupa Indonesia), Susie Protschky menyebut nama seorang

pelukis amatir, Abraham Salm (1801-1876), yang hidup makmur dari perkebunan tembakau

di Malang. Dialah yang praktis mengedepankan lukisan panorama. Suku kata ”pan” dalam

kata itu (”pan” + ”horama”, kombinasi dua kata Yunani yang berarti pandangan yang

menangkap semua) menunjukkan kehendak untuk mencapai satu totalitas dalam satu kanvas.

Ada hasrat penguasaan terhadap apa yang tampak di luar sana. Dan dalam hal panorama

Salm, penguasaan itu dikukuhkan oleh gambar lanskap yang elok, damai, tertib, sejahtera.

Bagi sang pelukis, yang juga pemilik perkebunan, keindahan hanya punya tempat bagi rust

(ketertiban), dan tidak bagi onrust (kekacauan).

Kecenderungan panorama ini tak terbatas pada Salm. Dalam kanvas, keindahan praktis

diwakili karya Willem Bleckmann (1853-1952), Leo Eland (1884-1952), Ernest Dezentjé

(1885-1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-1936), dan Wakidi

(1889-1980). Di sebuah masyarakat yang pasaran seni bergerak terbatas di antara pejabat

kolonial dan pengusaha yang ingin ketenteraman, karya para pelukis itulah yang dikenal di

dinding dan di penerbitan masa itu.

Begitu dominan kecenderungan itu hingga ia tak berhenti di masa silam. Bung Karno

menggemari Dezentjé, sebagaimana ia menggemari patung perempuan yang bertubuh

harmonis, berwajah siap pasrah, tak menunjukkan pembangkangan—apalagi kekacauan. Juga

sebagaimana ia menggemari karya Basuki Abdullah.

Terhadap keindahan yang menampik onrust itulah sejak 1930-an perupa S. Sudjojono

berontak. Ia mencemooh panorama ala Dezentjé sebagai lukisan ”Mooie Indie”, Hindia

Molek. Dalam buku yang baru saja terbit, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran

S. Sudjojono oleh Aminudin T.H. Siregar, disebutkan bagaimana pelukis itu memandang

kanvas Basuki Abdullah. Lukisan Basuki, kata Sudjojono, cenderung mengutamakan

”artistieke plekken”, lokasi dan tempat yang memang sudah bagus. Yang demikian bukanlah

”Indonesia”. Sebab Indonesia, menurut Sudjojono, berarti ”bersatu, bangun, bekerja, jatuh,

berkorban, dan berjuang terus-menerus”.

Sudjojono, tentu saja, bukan seorang penyusun teori yang siap. Cetusan pikirannya tak

sistematis, sering tanpa argumen yang kukuh. Tapi agaknya bisa diduga, ia menghendaki

sebuah kanvas yang tak cuma berisi panorama dan paras yang elok karena terkendali. Kata-

kata ”bangun, bekerja, jatuh, berkorban, berjuang” mengarah ke pengertian sesuatu yang

dinamis, terkadang sakit dan tak menyenangkan, dan tak seluruhnya dapat dipastikan, karena

selamanya ada perubahan, ada perbedaan.

Page 159: catatan pinggir

Kreativitas, yang menciptakan sesuatu yang esthetis, dengan demikian mengandung sesuatu

yang lebih dalam ketimbang hanya ”indah”, jika makna ”indah” cuma berarti picturesque.

Dalam sesuatu yang esthetis selamanya tersirat sesuatu yang-tak menyenangkan, yang lain,

yang beda, dan sebab itu bisa mengejutkan. Dalam apa yang esthetis bisa terdapat apa yang

grotesque, mungkin mengerikan, rusuh, ganjil, bahkan menjijikkan: dan itulah sebabnya

karya Picasso atau Frida Kahlo, karya Bacon atau Bosch, karya Affandi atau Masriadi, karya

Edi Hara atau Heri Dono—untuk menyebut beberapa saja di ruang sempit ini—tidak saja

memukau, tapi juga mengandung sesuatu yang ethis: kesediaan menampung apa yang tak

lazim, yang diabaikan, bahkan ditolak.

Itu sebabnya saya tak begitu berminat menikmati patung-patung molek di Istana Bogor.

Diberi baju atau tidak.

~Majalah Tempo, Edisi Senin, 01 November 2010~

Karnivalesk Maret 30, 2009

Seorang pengamen, dengan rambut gondrong dan gigi gingsul, dengan jaket yang penuh

ditempeli kancing bergambar, memainkan gitarnya di sebuah tepi jalan di Tangerang.

Namanya Herdy Aswarudi. Dia calon legislator dari Partai Bulan Bintang. Menurut harian

The Jakarta Post, ia bukan sedang cari duit derma; ia, seorang pangamen, sedang

berkampanye.

Di kota lain: satu sosok dengan kedua tangan siap bersarung tinju, dengan mata mengintai ke

depan. Ia terpampang pada sebuah poster di tepi jalan di sebuah kota di sekitar Yogya. Sosok

itu memang tak meyakinkan sebagai petarung: dada yang terbuka itu tampak empuk seperti

bakpao, dan wajah itu tak ganas benar. Ia bukan pelawak. Ia seorang calon legislator,

meskipun saya lupa dari partai apa. Ia menyatakan diri akan melawan korupsi.

Ada sosok lain: berdiri tegak di samping sederet semboyan dengan kostum superhero yang

terkenal. It is not a bird. It is not a plane. It is not Superman. It is…well, dia calon wakil

rakyat, pembuat undang-undang. Sama dengan ambisi yang di tempat lain memperkenalkan

diri dengan huruf-huruf besar sebagai “papinya si X” (nama penyanyi terkenal). Atau

berpotret di sebelah potret besar Obama. Atau memasang wajah di samping gambar

Beckman, pemain bola tersohor itu…

Lalu apa yang harus kita katakan tentang Pemilihan Umum 2009? Mungkin satu hal: inilah

sebuah pemilu tanpa tujuan.

Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah

jelas apa program dan ideologinya, bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda

gambarnya. Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman dalam komunikasi

massa; ia pasti seorang calon politikus yang terlalu banyak maunya.

Juga mungkin terlalu banyak pesaingnya. Ada ratusan nama aspiran anggota parlemen yang

gambarnya dipasang jor-joran di sepanjang jalan – dengan hasil yang sama sekali tak

memikat. Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekad, atau yang rapor

masa-lalunya mengerikan tapi bicara sebagai bapak bangsa, atau seorang yang tak jelas

kenapa gerangan ia maju: karena merasa diri mampu atau karena merasa diri keren?

Page 160: catatan pinggir

Di tengah hiruk-pikuk itu, pejabat penyelenggara pemilihan bekerja seperti orang

kebingungan. Dan di tengah kebingungan itu, birokrasi mendaftar nama pemilih dengan

kebiasannya yang malas dan serampangan.

Jangan-jangan, inilah sebuah pemilu yang diam-diam dianggap tak begitu perlu tapi ajaib.

Saya katakan “tak begitu perlu” karena tampaknya orang tak antusias lagi ikut ramai-ramai

berkampanye. Dugaan kuat: yang ikut pawai di jalan-jalan itu hanya tenaga bayaran. Dugaan

kuat pula: mereka yang tak hendak memilih, “golongan putih” itu, akan lebih banyak

ketimbang jumlah suara sang pemenang nanti.

Walhasil, kalau para pesaing sendiri tak begitu jelas kenapa ikut bersaing, bukankah

sebenarnya lebih baik mereka memilih kesibukan lain – misalnya mendanai (dan ikut main)

satu tim bola kasti, atau lomba andong, atau kompetisi jaipongan?

Tapi “ajaib”. Meskipun tak jelas benar tujuannya, toh bermilyar-milyar rupiah dibelanjakan

untuk itu. Para peserta itu tak peduli bila hasilnya cuma sekedar masuk hitungan dalam daftar

yang umurnya tak lebih tiga bulan.

Tapi kata “ajaib” mungkin tak sepenuhnya tepat. Kata yang lebih tepat mungkin “lucu”.

Pemilihan Umum 2009 tampaknya jadi sebuah parodi atas diri sendiri: orang-orang membuat

sebuah tiruan yang menggelikan atas sebuah proses demokrasi yang tengah mereka tempuh

tapi diam-diam mereka cemooh. Demokrasi yang pernah diejek Sokrates di zaman Yunani

Kuno sedang diejek para pesertanya sendiri.

Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masgul dan mencibir. Ada satu sifat dalam pemilu

2009 ini yang agaknya bisa menghibur para pemerhati politik yang prihatin: bagi sang

pengamen, sang “petinju”, sang “superman” dan lain-lain yang tak meyakinkan kita, ini

sebuah karnaval, Bung!

Keramaian yang “karnivalesk” (istilah ini saya pinjam dari Bakhtin, tentu) mengandung

sesuatu yang kurang ajar, meriah, kacau, berlebihan, tapi bisa kreatif, menghibur, sama rata

sama rasa, melibatkan semua orang, tak ada garis pemisah antara pemain dan penonton, dan

sama sekali tak ingin produktif.

Sebuah bentuk baru kehidupan sosial terbangun dalam karnaval: mereka yang datang dan ikut

serta (kecuali para pengikut pawai bayaran) tak menganggap benda dan manusia sebagai

komoditi. Ruang dan waktu tak dihitung untuk dipertukarkan, melainkan dikomunikasikan.

Dalam saatnya yang paling menggugah, sebuah karnaval adalah saling merangkul pada

pertemuan yang saling menghibur. Ia melawan monolog kebersungguh-sungguhan –

termasuk kebersungguhan para analis politik.

Humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah parodi bisa terhindar dari sikap benci.

Saya kira sebenarnya itulah yang tercapai oleh poster-poster yang ganjil itu: sebuah ekspresi

menertawakan diri sendiri. Lihat, kami gila-gilaan, berjudi dengan nasib, menarik perhatian

bapak dan ibu, dengan merendahkan diri sendiri.

Maka marilah kita jangan terlalu masgul: tak ada jeleknya orang buang uang (yang akan

diserap anggota masyarakat lain) untuk secara sengaja atau tak sengaja jadi lucu.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 30 Maret 2009~

Page 161: catatan pinggir

Kastil Oktober 12, 2009

SEORANG gubernur mengeluh. Saya kebetulan mendengarnya. Maka tahulah saya ada yang

ganjil yang jadi rutin dalam pemerintahan kota yang dipimpinnya, seakan-akan sang gubernur

dan administrasinya muncul dari novel Kafka, seakan-akan Kafka bukan hidup di Praha di

awal abad ke-20 melainkan di Jakarta, mungkin di sekitar Gambir, sejak empat dasawarsa ini.

Tapi cerita ini bukan buah imajinasi seorang sastrawan: pada suatu hari di tahun 1990-an

gubernur itu memang mengirim surat dinas ke direktur kebun binatang di Ragunan. Berhari-

hari ia tak menerima jawaban dari bawahannya itu. Kemudian baru ia ketahui, surat yang

ditandatanganinya itu perlu waktu tiga bulan untuk keluar dari kantor gubernuran.

Berminggu-minggu kertas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di dalam kantor yang

sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud.

Gubernur itu, seorang perwira tinggi angkatan darat yang lurus hati yang diberi jabatan itu

baru satu tahun, bertanya seakan-akan pada dirinya sendiri: ”Kantor macam apa ini?”

Seorang wali kota juga mengeluh. Atau mungkin lebih tepat terenyak. Ia seorang mantan

pengusaha sukses yang dipilih dengan penuh harapan oleh rakyat di kota Jawa Tengah itu.

Tapi pada hari pertama ia masuk kantor balai kota, ia lihat ratusan orang duduk di dalamnya:

para pegawai. Sebagian besar baca koran. Sebagian lagi main catur. Bahkan ada seorang

pegawai perempuan asyik merajang sayur.

Sang wali kota pun pulang ke rumahnya dan termangu di hari pertama masa jabatannya:

”Kantor macam apa itu?”

Jawabannya sangat mengejutkan: itu adalah kantor yang biasa saja, Pak—kantor pemerintah.

Itu adalah kantor di mana mesin yang disebut birokrasi hadir, nongkrong, seakan-akan untuk

membatalkan tesis Max Weber dan mengukuhkan gambaran yang absurd dalam karya-karya

fiktif Kafka—meskipun cerita birokrasi Indonesia tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan

kemuraman Kafka.

Max Weber, kita ingat, mempertautkan birokrasi dengan keniscayaan dunia modern. Berbeda

dari kaki tangan raja-raja di zaman lampau, yang bekerja berdasarkan perpanjangan kharisma

Yang-Dipertuan-Agung, birokrasi merupakan alat sebuah otoritas yang bersifat ”legal-

rasional”. Dalam tesis Weber, birokrasi membawa dalam dirinya aturan dan hierarki yang

jelas. Organisasi itu punya arah atau sasaran yang terfokus, dan ia dengan sadar bersifat

impersonal. Seluruh bangunan itu punya rasionalitas yang mantap.

Tapi apa kiranya yang ”rasional” di kantor sang gubernur dan sang wali kota?

Gubernur kita tak tahu, wali kota kita tak tahu, saya juga tak tahu. Tapi jangan-jangan inilah

”rasionalitas” itu: birokrasi itu adalah sebuah agregat yang lahir dari argumen bahwa ia

diperlukan. Birokrat, kata Hannah Arendt dengan sedikit mencemooh, adalah ”the

functionaries of necessity”. Dengan catatan: necessity itu, keperluan yang tak bisa dielakkan

itu, pada awal dan akhirnya ditentukan oleh dinamika organisasi itu sendiri. Birokrasi tak

perlu punya sasaran untuk dicapai. Mesin itu berjalan mandiri.

Page 162: catatan pinggir

Di sinilah yang absurd berlangsung—sesuatu yang dibuat alegorinya oleh Kafka dalam cerita

pendeknya yang termasyhur, Di Koloni Hukuman.

Di pulau itu, seorang opsir menjelaskan kepada seorang pengunjung tentang proses eksekusi

yang akan dijalani seorang terhukum. Ia akan diletakkan telungkup di bawah sebuah mesin

yang bekerja seperti sehimpun jarum tato raksasa, mesin yang akan menusuki si terhukum

dan dengan itu akan tertulis sebuah kalimat perintah di tubuhnya. Setelah 12 jam, si terhukum

mati.

Yang menarik dari penceritaan Kafka adalah bahwa yang jadi fokus bukan si terhukum;

orang ini cuma diam saja, bahkan tak tahu atau peduli apa kesalahannya. Melalui sang Opsir,

tokoh utama yang muncul adalah mesin yang ganjil, brutal, dan rumit itu. Ketika sang Opsir

yang mengoperasikan mesin itu tahu penggunaannya tak akan diizinkan lagi, ia membiarkan

dirinya jadi korban. Mesin ada, dan sebab itu harus didapatkan sasarannya.

Birokrasi juga menyatakan diri perlu, tapi kita tak tahu apa fungsinya ketika ia hadir, dalam

jumlah yang berlebih dan tak bekerja untuk satu hasil. Dalam aturan yang berlaku, sang wali

kota tak boleh memecat pegawainya—meskipun ia sanggup bekerja dengan 20% saja dari

tenaga yang ada. Bahkan tiap tahun ia harus menerima 700 pegawai baru.

Memang harus ditambahkan di sini: berbeda dari mesin yang digambarkan Kafka, aparat

pemerintahan di kantor-kantor negara tak tampak mengerikan. Bahkan mungkin alegori Di

Koloni Hukuman tak tepat dipakai. Mereka yang duduk menganggur di kantor wali kota itu

tak punya ciri-ciri mesin yang efektif. Jika kita harus memakai kiasan Kafka—mungkin satu-

satunya novelis yang dengan imajinatif menggambarkan dunia modern yang harus

menanggungkan organisasi—maka birokrasi kita lebih mirip sebuah kastil.

Dalam novel Das Schloß, (artinya ”kastil” dan juga ”gembok”), kita dipertemukan dengan

sebuah konstruksi yang mendominasi lanskap desa. Kastil itu menguasai wilayah itu, tapi tak

tampak siapa yang punya. Ketika K datang untuk menghadap, yang disebut hanya seorang

administrator yang bernama Klamm (dalam bahasa Cek berarti ”ilusi”) yang tak pernah bisa

ditemuinya.

Kekuasaan itu tak jelas, tapi terasa, kadang-kadang muncul, melalui lapisan staf dan telepon

yang berdering dan tak disahut. Birokrasi yang impersonal itu pada akhirnya tak menjawab

dan tak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab. Di balik bangunan besar itu, mungkin

sebenarnya hanya ada khaos. Gubernur itu menyerah. Wali kota itu menyerah.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 12 Oktober 2009~

Kata Januari 25, 2010

Jika bedil sudah disimpan…

– Chairil Anwar, ”Catetan Th. 1946”

PERANG (atau kekerasan) punya batas. Ia akan berakhir, betapapun panjang rentang

waktunya. Kalaupun berlanjut, ia tak bisa menjawab segala soal. Jika bedil sudah disimpan,

Page 163: catatan pinggir

dan hancur-menghancurkan telah jadi kenangan yang berdebu, kita akan melihat bahwa

masyarakat manusia juga mengandung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme.

Sebab itu, ”Kita memburu arti…,” kata Chairil Anwar dalam sajak yang saya kutip di

pembuka tulisan ini.

Memburu ”arti” dalam hal ini mencoba mencari makna dan nilai dari luka dan rasa terhina,

dari pengalaman brutal dan getir yang telah terjadi. Perbuatan baik atau burukkah yang telah

kita lakukan? Untuk sesuatu yang berhargakah ia atau cuma sia-sia? Berharga buat apa, buat

siapa?

Kita pun bergulat untuk menjawab deretan pertanyaan itu. Kekerasan dalam bentuk

pengalaman pra-diskursif kita ganti dengan wacana.

Discourse, atau wacana, yang menggunakan kata-kata, merupakan pilihan yang lebih sedikit

ongkosnya ketimbang mesin kekuasaan dan senjata. Orang tak bisa selamanya dan

sepenuhnya akur dengan orang lain hanya karena ia tunduk kepada aura sebuah otoritas. Atau

ia tunduk karena takut dibinasakan. Setelah bedil disimpan, orang hanya bisa setuju karena

pada saling bicara.

Dalam sajaknya di atas Chairil berseru kepada zaman pasca-perang:

… jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,

Tulis…!

Tapi benarkah saling bicara, dengan tatapan mata yang lurus dan dengan pena yang baru

diasah itu, bisa menjawab problem dasar politik—”politik” dalam arti proses

penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial?

Dalam catatan sejarah, komunikasi memang bagian dari kelahiran demokrasi. Ketika para

penghulu agama dan raja bukan lagi otoritas yang menguasai wacana, di tempat yang kosong

itu yang berperan adalah percaturan pendapat. Muncul kelompok-kelompok yang kian leluasa

mengajukan pikiran alternatif, dengan media massa jadi perantaranya. Ini terutama terjadi di

Eropa, tapi juga kita mengalaminya: ketika pemegang monopoli kebenaran runtuh, orang

”memburu”, dan bukan hanya ”menerima”, arti.

Tapi betapa tak mudah. Demokrasi adalah sistem yang membuat mereka yang pegang

kekuasaan dan hegemoni menyadari bahwa status mereka tergantung-gantung dalam

kontingensi. Dalam keadaan yang tak permanen itu, bagaimana ”arti” yang tetap dapat

ditegakkan, dan bagaimana ”arti” itu dirumuskan sebagai kaidah?

Dalam ketiadaan tempat berpegang itu orang umumnya menunjuk kepada ”kebenaran”.

Veritas non auctoritas facit legem. ”Kebenaran”, bukan auctoritas, itulah yang membuat

kaidah.

Tapi tak dengan sendirinya itu gampang. Persoalan klasik kita, bagaimana sanggup

”kebenaran” jadi kaidah, bila ”kebenaran” itu sendiri jangan-jangan dibentuk oleh

kekuasaan? Bagaimana menetapkan kebenaran itu, bila ibarat kata pepatah, ”kepala sama

berbulu, pendapat berlainan”?

Page 164: catatan pinggir

Ada yang percaya, mengikuti Habermas, aksi komunikatif akan mencapai konsensus. Ada

yang percaya, terdapat hubungan yang lempang antara rasionalitas, rembukan—sebagai

proses pertimbangan—dengan ”kebenaran”.

Pandangan ini optimistis sekali. Katakanlah ini optimisme epistemik: ia berpegang pada satu

premis bahwa ada sesuatu dalam bahasa manusia yang menyebabkan sebuah argumen dapat

berpengaruh tanpa dipaksakan. Itulah daya komunikatif. Habermas mengibaratkan daya

komunikatif sebagai sebuah kekuatan yang mengepung, bukan mengambil alih: daya itu

hanya mempengaruhi sekeliling arena tempat berlangsungnya penilaian dan keputusan politik

dan bukan menaklukkan arena itu. Daya aksi komunikatif yang sejati menang tanpa

ngasoraké. Bahkan kata ”menang” itu tak pas untuk dipakai, sebab tak ada yang dikalahkan.

Konsensus bukanlah kekalahan.

Saya tak seoptimistis itu. Tentu saja saya mengakui, konsensus bukan sesuatu yang mustahil

di akhir sebuah proses politik. Demokrasi ”deliberatif”—yang membuka diri pada rembukan

dan saling mempertimbangkan—dengan prosedur yang benar akan bisa mencapai mufakat.

Setidaknya mufakat dalam pengertian Übereinstimmung yang dipakai Habermas: bukan

sepaham, tapi mencapai titik pertemuan yang cocok.

Tapi saya tak yakin—seraya mengasah pena dan menulis, seraya menggunakan bahasa—

dengan sendirinya kita melakukan aksi komunikatif ke titik pertemuan itu. Kita tak bisa jadi

pengarah. Justru kata dan bahasa itulah yang mempergunakan kita, bukan sebaliknya. Seperti

dikatakan sebuah sajak Subagio Sastrowardojo:

Kita takut kepada momok karena kata

Kita cinta kepada bumi karena kata

Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap dalam kata

Dengan kata lain, dalam bahasa, kita terbelah.

Kita hanya mengulang—termasuk mengulang sebutan dari praduga masa lalu, ide yang sudah

lama atau bahkan mati, acuan yang telah lewat. Tapi pada saat itu pula, dalam berkomunikasi

kita ingin semua signatum yang sudah ada mengutarakan apa yang sedang ada pada saat ini.

Makna pun berubah tiap kali. Tak ada yang siap.

Sebab itu aksi komunikatif bukanlah untuk menyampaikan makna, melainkan untuk

membentuknya. Rasionalitas yang komunikatif sekalipun ikut ”terperangkap dalam kata”.

Maka berbahaya bila politik dalam demokrasi dikerahkan untuk merumuskan ”kebenaran”

dan dengan ”kebenaran” itu disusun akidah. Politik dalam demokrasi pada akhirnya harus

mengakui bahwa aksi komunikatif yang terbaik bukanlah dengan bahasa yang sudah terang-

benderang, tapi bahasa yang terbentuk karena krisis, konflik, kekurangan, dalam kehidupan.

Sebaris lagi dari Chairil: ”Tulis karena kertas gersang dan tenggorokan sedikit mau basah.”

~Majalah tempo Edisi Senin, 25 Januari 2010~

Page 165: catatan pinggir

Kayon Februari 4, 2008

Setelah Duryudhana mati, dan berangsur-angsur pagi meluas, dan suara gamelan bertambah

pelan, tancep kayon. Dalang menancapkan lambang gunung itu di tengah-tengah layar. Kisah

berakhir, meskipun sebenarnya banyak hal belum diutarakan. Pertunjukan wayang kulit

semalam suntuk itu selesai.

Kayon: lambang gunung, lambang hutan, isyarat untuk awal, isyarat untuk penutup. Dari jauh

bentuk itu mirip sebuah siluet segi tiga di bawah cahaya. Tapi dari dekat akan kelihatan di

gunungan itu tersembunyi (dalam ukiran yang renik) pohon-pohon rindang dengan cabang

yang merangkul dan pucuk yang tinggi menyembul. Ada sebuah gapura dengan tempat kunci

berbentuk teratai. Ada sepasang raksasa bersenjata yang tegak simetris. Ada harimau,

banteng, kera, burung merak dan burung-burung lain. Juga wajah seram banaspati.

Dengan kata lain, di gunungan itu tersimpan bermacam hal, tapi bertaut dalam satu misteri,

sesuatu yang angker, tapi juga teduh: sebuah wilayah kehidupan yang lain. Ketika arena di

luarnya memaparkan kisah intrik, nafsu, dan perang yang tak henti-hentinya, di kerimbunan

yang agung itu hidup berlangsung anteng dan syahdu. Dalam kayon, waktu yang mengalir

detik demi detik seakan-akan tak ada lagi. Di dalam gunungan, arus menit dan jam seakan-

akan diinterupsi dan distop. Segala hal seakan-akan berada di luar waktu.

Tapi manusia tidak. Ia akan kembali menghadapi, bahkan terlibat dengan, peristiwa-peristiwa

yang berubah dan terkadang mengguncang. Terletak terpisah tapi tak jauh dari medan

peristiwa, kayon adalah sebuah kontras.

Dalam wayang kulit, ketika dalang menghadirkan adegan majelis yang tertib di balairung

atau sebuah pertempuran yang seru di tepi hutan, kayon akan terpasang di sisi layar, seperti

menandai bahwa ada kehidupan yang bertentangan dengan kehidupan manusia yang tak

henti-hentinya berubah dan resah. Meskipun demikian, gunungan itu juga yang

mengisyaratkan pergantian babak atau adegan. Ironis, bahwa yang berada di luar waktu justru

jadi tengara perubahan waktu.

Bahkan sesekali ki dalang akan mengangkat dan menggerakkan kayon untuk melukiskan

angin gemuruh, halilintar yang mengejutkan, dan saat keajaiban yang membuat seorang

ksatria jadi makhluk yang dahsyat.

Dengan kata lain, dengan gunungan, waktu yang tak kekal dalam hidup manusia senantiasa

dibayang-bayangi sebuah wujud rahasia yang hadir di awal dan terpacak di akhir.

Barangkali karena itu Bharatayudha adalah sebuah tragedi. Bukan karena perang besar itu

sia-sia. Memang tak jelas apa sebenarnya arti kemenangan Pandawa dalam merebut kembali

Kerajaan Hastina, jika akhirnya seluruh generasi kedua mereka terbunuh dan, ketika perang

usai, seantero anggota keluarga dibantai Aswatama di sebuah malam yang lengah.

Tapi Bharatayudha terasa sebuah tragedi karena kontras dan ironi kayon tepat mengenai inti

ceritanya. Lihatlah para ksatria itu. Mereka jalani hidup yang berubah-ubah, yang tak mudah,

mereka masuk ke dalam sengketa yang menyakitkan dan buas, mereka ambil keputusan-

keputusan yang rumit dan muskil, tapi mereka tak akan dapat membatalkan perang yang

mengerikan itu. Sudah ditetapkan, Bharatayudha akan terjadi. Baik para Pandawa maupun

Page 166: catatan pinggir

Kurawa tak dapat memilih untuk mati dengan cara lain. Apa arti pilihan dan keputusan

manusia di bawah Nasib dan Kutuk yang permanen?

Pada akhirnya memang tak pernah bisa jelas, dalam waktu yang manakah manusia ketika ia

menanggung sengsara atau berlaku buas, merasa bahagia atau lupa daratan. Ada waktu dari

Nasib, waktu sebagai Kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Di dalam Kala, manusia tak

dapat lepas memilih dan memutuskan masa depannya dengan bebas. Tapi sementara itu ada

waktu sehari-hari: waktu ketika manusia menyakiti dan disakiti, membunuh dan dibunuh,

rindu dan bahagia, heroik dan culas. Itulah waktu ketika manusia jadi subyek, biarpun

sejenak, biarpun tak utuh.

Persoalannya tentu: mungkinkah subyek lahir, subyek yang melawan situasi tempat ia hidup,

merombak kondisi yang membentuknya, subyek yang terlepas dari posisi obyek di bawah

Sang Kala? Dalam Bharatayudha, contoh yang utama bahwa hal itu mungkin adalah Karna.

Ia anak seorang sais. Ia anak sudra, tapi ia berani maju menandingi para ksatria. Ia, seorang

pendekar yang diklaim sebagai saudara seibu para Pandawa, tetap memilih berpihak kepada

Kurawa—meskipun tahu pihak yang dipilihnya akan hancur. Tapi ia bebas.

Mungkin ada saat-saat yang tak dikisahkan ki dalang ketika Karna berdiri sendiri memandang

ke arah kayon. Wilayah itu tak akan pernah dijangkaunya: pohon-pohon dengan cabang yang

agung, gapura yang selalu siap menyambut dan mengunci rahasia, sepasang raksasa yang

berjaga entah atas titah siapa, dan macan, dan banteng, dan kera, dan burung merak…

semuanya suasana angker yang tak mempunyai bahasa.

Pada saat seperti itu ia sadar, ia jauh dari sana, ia hidup dengan waktunya sendiri. Lebih

radikal lagi, ia—yang merasa ada misteri yang membayang dari gunungan itu—memutuskan

untuk bertindak, tanpa merasa siap mengetahui rahasia hidup. Nasib? Sang Kala? Baginya

semua itu lebih baik ia tinggalkan. Terlalu pahit untuk ditanggung. Ia tak terikat dengan

sebuah masa lalu dan sebuah masa depan. Ia hanya punya masa kini dan sebuah pertalian

dengan orang lain: para Kurawa.

Dengan itulah Karna jadi subyek—justru karena ia, seraya melepaskan diri dari Waktu, Kala,

menjangkau orang lain dan bertanggung jawab kepada mereka. Pada dirinyalah sebenarnya

Bharatayudha jadi kisah kepahlawanan dan sekaligus tragedi.

Tapi entah kenapa, para dalang tak pernah mengatakan itu. Karna tewas dihunjam panah

Arjuna, tapi tak ada yang bercerita bagaimana ia dikuburkan. Yang pasti bukan sebagai

pahlawan. Mungkin sebab itu tiap kali gunungan ditancapkan, dan suara gamelan menghilang

dari cerah pagi, kita tahu ada sesuatu yang belum diutarakan dan kita tak mengerti.

~Majalah Tempo, Edisi. 50/XXXVI/04 – 10 Februari 2008~

Kebakhilan Agustus 1, 2011

Ia tak gila. Atau ia bagian dari patologi yang tak tersendiri. Anders Behring Breivik,

memakai seragam polisi, membidik dengan tepat anak-anak muda yang sedang berkemah di

Pulau Utoeya. Sebanyak 68 orang terbunuh di pulau di Danau Tyrifjorden, 38 kilometer dari

Oslo, itu pekan lalu. Delapan lain mati karena ledakan bom. Breivik ditangkap. Pengacaranya

membelanya dengan mengatakan: orang ini sakit jiwa.

Page 167: catatan pinggir

Pada kesan pertama, orang Norwegia itu memang ganjil. Kekerasan dengan darah dingin di

sebuah negeri tempat pemberian Hadiah Nobel Perdamaian? Gerakan sayap Kanan? Begitu

kuatkah gerakan itu di bagian dunia yang pernah dianggap tauladan sosialis-demokrat ini?

Tapi zaman berubah. Sosialisme, dan bersama paham ini semangat yang lebih toleran, tengah

surut di Skandinavia. Juga di seluruh Eropa. Tembakan Breivik yang membunuh para kader

Partai Buruh itu berbareng dengan keruwetan jiwa yang setengah tersembunyi di

masyarakatnya. Sinting atau tidak, apa yang dilakukannya sebuah isyarat: kita tengah

memasuki zaman kebakhilan. Eropalah yang memulainya.

Breivik tak sendirian, meskipun tak semua orang yang sepaham akan mau membunuhi

sejumlah pemuda yang kesalahannya hanya karena mereka pendukung Partai Buruh. Bagi

Breivik, Partai Buruh harus dihabisi; partai inilah yang dengan mudah membiarkan kaum

imigran, terutama yang muslim, masuk ke Norwegia.

Breivik dulu anggota Partai Kemajuan Norwegia, Fremskrittspartiet. Partai ini tak jauh

pandangannya dari sang pembantai, meskipun pemimpinnya, Siv Jensen, menyatakan merasa

sedih bahwa bekas anggotanya bertindak demikian. Yang menegaskan bahwa Breivik tak

sendirian: Partai Kemajuan kini berada dalam posisi yang naik.

Di bagian Eropa lain, seorang tokoh politik sayap Kanan Italia, Francesco Speroni—yang

pernah duduk dalam kabinet Berlusconi yang berkuasa—menyebut gagasan Breivik

bertujuan “membela peradaban Barat”. Eropa sedang terancam oleh Islam, kata mereka,

Eropa sedang berubah jadi “Eurabia”….

Kecemasan itu adalah ekspresi kebakhilan—yang membuat pandangan Kanan kembali jadi

antitesis gerakan Kiri. Inti pandangan ala Breivik dan Speroni adalah eksklusivisme. Bagi

mereka, pelbagai hal di dalam hidup—lapangan kerja, bantuan sosial, peradaban Barat—

adalah milik eksklusif.

Eksklusivisme atau kebakhilan menampik orang lain ikut dalam ruang dan waktu, di sebuah

wilayah yang batasnya mereka tentukan dan tutup sepihak.

Batas itu mereka beri dasar agama; mereka menyebutnya “Kristen”. Seperti halnya di

sementara kalangan Islam, mereka anggap kebenaran dan Tuhan milik eksklusif mereka.

Batas itu mereka beri wilayah: “Eropa”. Dan waktu mereka adalah waktu yang “dulu”—

artinya terbatas, bukan waktu yang berlanjut dan membawa perubahan.

Itu sebabnya mereka konservatif. Konservatisme juga eksklusivisme. Bila pemikiran Breivik

hendak mengembalikan perempuan ke status yang lebih rendah ketimbang yang telah berlaku

sejak akhir abad ke-20, itu juga menunjukkan bahwa konservatisme itu bergabung dengan

kebakhilan: bagi mereka, hak-hak tertentu hanya hak kaum lelaki. Orang harus kembali

seperti dulu, kata mereka. Yang tak mereka sebut, “dulu” itu adalah “dulu” dalam ingatan

yang eksklusif. Ingatan pihak lain, misalnya ingatan kaum perempuan, tak boleh ikut.

Dibandingkan dengan itu semua, kaum Kiri punya tradisi anti-kebakhilan. Tradisi itu bisa

ditarik ke gagasan komunisme awal. Dalam The Idea of Communism (editor: Slavoj Zizek

dan Costas Douzinas), Jean-Luc Nancy menyebut “the Diggers” di Inggris abad ke-16, yang

menganggap tanah sebagai “common treasure” atau harta bersama. Dari sini pula kata

“commonwealth” lahir dan dibawa oleh Republik pertama.

Page 168: catatan pinggir

Dalam semangat commonwealth, kekayaan bukanlah semata-mata milik eksklusif.

Sosialisme menegaskan sah dan adilnya redistribusi sumber-sumber material dan intelektual.

Dan untuk beberapa dasawarsa, sosialisme didengar.

Tapi sejarah sosial dan ekonomi Eropa tak membiarkan itu berlanjut. Kini sosialisme yang

ingin adil pada gilirannya dituduh tak berlaku adil. Agenda partai-partai sosialis adalah

membagikan dana yang ditakik, dalam bentuk pajak, dari hasil jerih payah orang. Hasil itu

dibagikan kepada orang miskin, yang umumnya tak punya kerja dan sebab itu dianggap tak

berjerih payah. Para penerima subsidi—sebagian besar orang yang datang sebagai imigran—

dengan mudah dianggap parasit. Para pembayar pajak marah. Mereka mulai menentang

agenda sosialis. Tak mengherankan bila partai-partai Kanan merebut posisi. Kebakhilan

bergema.

Yang paling mencolok di Belgia. Partai Kepentingan Vlaams dan Partai Aliansi Vlaams Baru

berteriak bukan saja untuk membatasi masuknya imigran dari Dunia Ketiga. Mereka juga

berjuang agar orang berbahasa Vlaams, sebagai “suku” tersendiri, memisahkan diri dari

Kerajaan Belgia. Tapi bukan soal bahasa yang memicunya. Pada dasarnya yang diutarakan

adalah sikap menolak membiayai. Mereka tak mau membiarkan uang pajak mereka dipakai

untuk subsidi bagi orang-orang yang berbahasa Prancis di Belgia Selatan yang lebih miskin.

Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi Belgia bukanlah taal, “bahasa”, melainkan betaal,

“bayar”.

Kebakhilan macam itu kini mudah mendapatkan legitimasi. Pada mulanya adalah milik—

yang jadi bagian kerja kelas borjuis yang mengubah sejarah. Tak semua menyenangkan.

“Kaum borjuis itu seperti babi,” kata sebaris lagu Jacques Brel, penyanyi Belgia termasyhur

itu. Tak terlalu tepat: babi tak ditandai oleh sikap eksklusif. Dari babi tak akan muncul

kebakhilan yang agresif—kebakhilan kaum Kanan baru.

~Majalah Tempo, Edisi Senin, 1 Agustus 2011~

Kim Oktober 30, 2006

Horor tak pernah tampil sebagai yang normal. Juga ketika kita tak bersama cerita hantu.

Dalam kisah Flash Gordon, horor adalah Kaisar Ming; dalam film James Bond: Dr. No;

dalam wayang: raksasa berhidung grotesk.

Hari ini horor dunia juga datang dari sosok yang ganjil, atau dianggap ganjil: sebuah republik

teka-teki, negeri di utara yang dulu disebut ”Kerajaan Pertapa” dan kini benteng tertutup,

sebuah ”demokrasi rakyat” yang menyembah seorang lelaki yang, menurut sejarah resmi,

lahir di pucuk gunung sakral ketika bintang menyilaukan. Ia Kim Jong Il, ahli waris takhta

yang tetap manja pada umur 65, pemimpin yang disanjung dengan gelar yang muluk-muluk,

penguasa yang dikelilingi jenderal berbintang emas, kepala negara yang rakyatnya lapar tapi

menantang seluruh jagat dengan menyiapkan senjata nuklir.

Jarum jam apokalipse itu, yang beristirahat sejak Perang Dingin selesai 20 tahun yang lalu,

kini tampak bergerak lagi. Bahkan lebih mencemaskan: ia tak jauh dari telunjuk sang otokrat

yang duduk tak terjangkau, penuh rahasia, di sebuah istana di Kota Pyongyang.

Dan horor pun bertengger di atas horor; yang menakutkan bertaut dengan yang tak lazim.

Page 169: catatan pinggir

Tapi jika horor selalu berkait dengan yang aneh dan tak terjangkau, bukan berarti ia tak bisa

berupa kejadian sehari-hari. Ia bahkan bisa terasa banal; kita ingat Hannah Arendt pernah

berbicara tentang ”the banality of evil”.

Mungkin itulah yang terjadi kini. Tiap malam kabar datang dari Irak tentang bom yang

meledak dan orang terbunuh berpuluh-puluh, dan kita baca dalam Lancet, jurnal kedokteran

Inggris yang ternama itu, 650.000 jiwa mati selama empat tahun sejak Amerika menyerbu

Bagdad. Berarti, 450 nyawa putus saban hari.…

Jika tak ada yang terasa mengerikan dalam ”the deadliest international conflict of the 21st

century” ini—begitulah Perang Irak disebut dalam Lancet—mungkin karena kita telah

tumpul hati. Tapi lebih mungkin karena kebuasan itu telah ditampilkan sebagai bagian dari

ikhtiar orang yang ”normal”.

Di belakang ikhtiar yang membawa kematian itu memang tak ada tokoh yang ganjil. Tak ada

lelaki tambun berambut disasak seperti Kim. Yang ada mereka yang berjas-dan-dasi seperti

para eksekutif di kantor yang bersih. Bahkan paras para jenderal mereka tak menakutkan,

tentara mereka tampan seperti di film Hollywood, percakapan mereka hidup, terkadang

disertai humor—penampilan yang tersiar ke seluruh dunia dari waktu ke waktu. Mereka

bukan Kaisar Ming, bukan Dr. No. Mereka Bush, Cheney, Rumsfeld, Blair—orang-orang

yang tampak rukun beranak-istri, punya waktu senggang untuk berburu, rajin beribadat.

Tapi tidakkah yang ”normal” sesungguhnya menutupi sesuatu dengan lupa? Lupa, dalam hal

ini, mencoba menenggelamkan ke bawah-sadar segala hal yang tak pas bila kita hendak

tampil jadi ”orang”. Jadi ”orang” artinya mengikuti pola yang dikehendaki Mereka (dengan

”M”), kekuatan-kekuatan efektif yang menyusun tata dan menentukan wacana. Dari wacana

”M” itulah terbentuk yang ”normal”. Orang pun ramai-ramai ikut, meskipun (atau justru

karena) di dalamnya terkandung lupa dan represi.

Membentuk yang ”normal” memang punya kekerasan tersendiri. Sebanyak 650.000 orang

mati di Irak, dan itu bagian dari usaha Tuan Bush untuk membuat negeri itu ”normal”;

350.000 orang mati hampir sekaligus di Nagasaki dan Hiroshima, dan itu karena yang

berkuasa di Amerika ingin membentuk dunia seperti wajah mereka. Dan kita, yang menerima

itu sebagai sesuatu yang wajar, alpa bahwa ada yang mengerikan dari lupa.

Kata ”yang-mengerikan-dari-lupa”, l’horreur de l’oubli, saya pinjam dari Hiroshima Mon

Amour. Film Alain Resnais dari tahun 1960 dengan teks Margaret Duras ini—yang sarat

dengan ingatan tentang bom ganas yang meledak pada pagi 6 Agustus 1945 itu—memang

menghadirkan ketegangan antara kehancuran perang dan percintaan, lupa dan trauma, tempat

dan saat, 14 tahun setelah Hiroshima luluh-lantak dan bangun kembali.

Seorang perempuan datang dari Prancis ke kota itu. Ia bertemu seorang lelaki Jepang, dan

mereka bercinta. Perempuan itu hanya disebut elle, pria itu lui. Kemudian kita tahu: elle

bergulat pedih dengan masa lalunya di Nevers—kekasihnya seorang prajurit Jerman, musuh

yang akhirnya ditembak mati—dan lui dengan ingatan tentang Hiroshima yang binasa. Tapi

hanya itu yang kita tahu. Biodata mereka seakan terhapus.

”Hiroshima, itu namamu,” kata perempuan itu.

”Namamu, untukmu, Nevers,” kata lelaki itu.

Page 170: catatan pinggir

Mereka berpelukan.

Mereka mencoba melupakan, mereka ingin lumat. Tapi justru dalam ke-terhapus-an mereka,

masa lalu tambah mengiris, dengan cara yang sederhana. Lupa, seperti ingat, adalah memilih

mana yang disimpan dan dibuang. Tapi tak urung, yang disimpan dan yang terhapus susup-

menyusupi: ”Seperti kau, juga aku—kucoba sekuat tenaga melawan lupa. Seperti kau, aku

melupakan. Seperti kau, kuinginkan kenangan yang tak mungkin terhibur, kenangan tentang

batu dan bayang-bayang”.

Kepedihan, kontradiksi, dan keretakan diri itulah yang menjadikan mereka tanda luka sejarah

yang dalam, saksi horor 1.000 batu dan bayang-bayang. Justru Hiroshima yang tidak. Kota

itu telah dipermak jadi ruang yang melupakan apa yang terbelah dalam dirinya—ruang yang

normal dan banal.

Banal—itu juga yang bisa dikatakan tentang dalih Bush dan orang sejenisnya. Ketika ribuan

kematian hanya mereka anggap statistik, ketika lupa menghapusnya sebagai tragedi, ketika

kebuasan itu tak diingat sebagai akibat kesalahan fatal mereka sendiri, yang normal dan yang

ab-normal tak bisa lagi dibedakan.

Maka dunia pun seperti menemukan kembali horor yang disangka tak ada lagi, ketika Kim

muncul tak bisa ditebak, menyeringai ke Amerika yang kewalahan, dan menggertak. Ia

memang aneh, dan senjata itu membuat kita jeri—meskipun sebenarnya belum tercatat sudah

berapa ribu orang yang mati.

~Majalah Tempo Edisi. 36/XXXV/30 Oktober – 05 November 2006~

Konstitusi Januari 29, 2007

— kepada para jenderal yang kehilangan kekuasaan

Para jenderal yang kehilangan kekuasaan, lihatlah: konstitusi bukanlah wahyu, bangsa ini

bukan makhluk dongeng.

Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impian, fantasi, rasa kurang, bangga,

hasrat punya harga diri, nafsu untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhana saja.

Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, kepintaran, tapi juga ketololan dan

kekejian. Kita menyimpan kekuatan otot dan juga rasa sakit dari cacingan sampai dengan flu

burung. Kita bukan peri.

Konstitusi kita—yang terkadang kalian perlakukan seperti benda sakti dengan nama ”UUD

45” itu—tak datang dalam dunia peri. Ia dirumuskan sejumlah orang yang berasal dari

himpunan manusia yang konkret dan bisa sakit itu.

Ia bahkan datang dari sebuah ketidakjelasan. Ketika sejumlah orang—kini disebut sebagai

bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia—bertemu di sebuah gedung di Jakarta pada bulan

Juli 1945 sebagai anggota panitia ”persiapan kemerdekaan”, mereka dianggap mewakili

pergerakan rakyat ”Indonesia”. Tetapi ada yang tak mudah dijawab dalam soal ini:

bagaimana itu mungkin, jika saat itu ”Indonesia” belum ditentukan batasannya?

Page 171: catatan pinggir

Siapa pula yang menentukan bahwa mereka mewakili rakyat Indonesia? Penguasa militer

Jepang yang waktu itu sedang akan kalah dalam Perang Pasifik tentu mendengarkan sejumlah

penasihat—termasuk Bung Karno dan Bung Hatta—tentang siapa saja yang harus diundang

ke rapat persiapan itu. Tapi pada akhirnya kekuasaan de facto itulah yang menentukan,

lengkap dengan unsur pemaksaan yang entah harus dipertanggungjawabkan kepada siapa,

sesuatu yang lazim terjadi di masa genting dan tergopoh-gopoh seperti itu.

Dengan kata lain, Indonesia adalah persilangan dua jenis waktu. Yang pertama waktu yang

tak dapat ditandai—waktu yang berlangsung bersama tumbuhnya keinginan kita dan para

pendahulu kita untuk jadi satu bangsa. Yang kedua waktu yang bisa ditandai dalam sebuah

titimangsa, misalnya 17 Agustus 1945.

Bahwa waktu yang kedua itu kemudian melampaui batasnya sendiri—17 Agustus 1945

hanya berlangsung selama 24 jam, tapi ia seakan-akan berlangsung terus hingga 2007—itu

berarti bahwa waktu yang pertama itulah yang menentukan. Keinginan jadi satu bangsa

tumbuh sebelum hari itu, dan terus tumbuh setelah hari itu. Angka ”45” yang sering kalian

anggap keramat itu jadi berarti justru karena ada sesuatu yang tak stop di sana.

Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan, tahukah kalian, konstitusi yang

disebut ”UUD 45” itu hanyalah satu formulasi dari pelbagai keinginan yang belum terpenuhi

semuanya? Angka ”45” hanyalah sebuah momen; naskah yang ditandatangani di hari itu juga

hanya sebuah momen. Waktunya terbatas. Memang momen pada gilirannya dapat berubah

bagaikan sebuah monumen. Tapi itu terjadi ketika dalam keterbatasannya sang momen

mendapatkan peran dan makna karena bertaut dengan waktu yang tak dapat ditandai, waktu

yang datang sebelumnya dan sesudahnya, waktu yang entah di mana berawal dan berakhir,

waktu yang menyebabkan bangsa ini ada dalam sejarah—dan ada dalam keadaan yang serba

mungkin.

Monumen, kita tahu, bukan barang mati. Ia jadi barang mati jika ia tak lagi ditafsirkan terus-

menerus.

Sebuah konstitusi—berbeda dengan sebuah puisi—memang berniat membatasi penafsiran

yang nyaris tak terbatas. Tetapi sebuah konstitusi akan jadi sesuatu yang segera usang jika ia

tak dilihat sebagai teks yang terbatas dan bersifat membatasi—dan dalam posisi itu ia

sebenarnya merupakan ”momen” dari kehendak akan keadilan yang tak kunjung padam

dalam hati manusia. Tiap konstitusi hanyalah jawaban di suatu saat atas imbauan keadilan

yang selalu dijanjikan, keadilan yang selalu akan datang.

Dengan kata lain, wahai para jenderal yang kehilangan kekuasaan, tiap undang-undang dasar

adalah undang-undang dasar sementara. Sebagai tanda bahwa para anggota panitia persiapan

kemerdekaan dan perumus UUD 45 bukanlah sejumlah makhluk ajaib, mereka

mencantumkan satu kalimat yang sederhana, rendah hati dan arif: di sana dibuka

kemungkinan bahwa kelak konstitusi ini dapat direvisi. ”Jangan sekali-kali menyembah

aksara!” kata Bung Karno suatu kali.

Jenderal, kini tahun 2007. Setelah melalui waktu yang lama—dengan rekaman kesalahan

yang panjang pula—aksara itu sebagian diubah dengan drastis. Dalam amendemen yang telah

berlaku kini, seorang presiden tak lagi dibiarkan terus-menerus berkuasa; kita telah melihat

akibatnya di bawah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Hak-hak asasi manusia

dicantumkan dengan tegas, setelah begitu banyak manusia kalian bunuh dan penjarakan

Page 172: catatan pinggir

hanya karena berbeda pendapat dengan yang berkuasa. Diskriminasi rasial ditiadakan.

Presiden dipilih langsung rakyat. Pemilihan umum berlangsung bebas. Genggaman

sentralistis ke daerah praktis dilepaskan….

Para jenderal yang kehilangan kekuasaan, amendemen itu tak sempurna memang. Tapi ingat:

mereka yang melakukan perubahan itu adalah legislator yang dipilih rakyat—yang memang

tak perlu peduli akan suara orang tua yang jadi cengeng. Dan akan lupakah kita bahwa

sejumlah mahasiswa telah tewas buat membuka jalan bagi para legislator itu untuk bisa

bekerja di Senayan, hingga UUD 45 diperbaiki dan demokrasi ditegakkan?

Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan, tahu dirilah kalian! Darah yang

mengalir di kampus Trisakti, di kampus Atmajaya, di pelbagai petak jalan di seluruh Tanah

Air, menunjukkan bahwa amendemen konstitusi itu juga datang bukan dari langit, melainkan

dari marah dan kepedihan. Sekali lagi keadilan mengimbau, dan hari mengandung janji—

dalam pergulatan yang bahkan lebih sengit ketimbang ketika UUD 45 dirumuskan di gedung

yang tenang di Menteng yang nyaman, di Jakarta yang dijaga tentara Jepang.

~Majalah Tempo, Edisi. 49/XXXV/29 Januari – 04 Februari 2007~

Korupsi Desember 18, 2006

KORUPSI adalah korupsi karena sebuah garis batas. Kita ingat Si Mamad. Ia mengambil

setumpuk kertas milik kantor yang kemudian dijualnya—dan ia merasa bersalah. Rasa

bersalah itu begitu kencang mengganggu pegawai kecil ini, hingga ia menggelikan dan

sekaligus mengenaskan, dan sebab itulah film Sjumandjaja dari tahun 1973 ini, yang diolah

dari sebuah cerita Anton Chekov pada abad ke-19, jadi satu kisah menarik. Ia tak

memaparkan kejahatan, melainkan kesadaran. Mamad, dengan baju dinasnya yang kuno dan

kereta anginnya yang tua, sadar bahwa ada sebuah garis batas yang telah dirusaknya, dan

tindak itu adalah korupsi.

Tapi dari mana datangnya garis itu, sebenarnya?

Di permukaan, ia bermula dari perbedaan antara konsep “milik sendiri” dan “milik orang

banyak”. Dalam bentuknya yang terburuk, milik “orang banyak” itu adalah milik “publik”.

Seorang koruptor bukan seorang pencopet yang mencuri dompet milik orang seorang. Namun

benarkah Si Mamad (dalam cerita aslinya ia bekerja di sebuah kementerian) merasa bersalah

karena menyadari ia korupsi?

Mungkin tidak. Ada pendapat, pengertian “publik” adalah bagian dari kesadaran modern. Di

dunia tradisional, demikian dikatakan, tak ada garis batas antara yang “negara” dan yang

“pribadi”, sejajar dengan tak ada garis batas antara yang “publik” dan yang bukan. Ketika

Bupati Lebak dalam novel Max Havelaar meminta rakyat memberikan persembahan bagi

dirinya, Havelaar, asisten residen Belanda itu, mendakwanya “korupsi”. Tapi benarkah? Ada

yang membela bahwa sang Bupati (seperti Raja Louis XIV yang menyatakan l’état c’est moi)

memang sejak dulu menganggap Lebak, juga rakyat dan upeti mereka, adalah bagian dari

miliknya, bahkan dirinya.

Dengan kata lain, Havelaar yang berapi-api itu memakai sebuah dalil “modern” ke sebuah

dunia “pra-modern”. Ia meleset.

Page 173: catatan pinggir

Namun saya mengerti kenapa Si Mamad merasa bersalah dan Havelaar marah. Bukan sebab

kesadaran “modern” rasanya, tapi karena di situ ada sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam,

yakni soal “adil” dan “tak adil”—ihwal yang telah merisaukan manusia sejak sebelum datang

negara modern dengan legislasinya. Saya kira dari situlah lahirnya garis batas yang saya

sebut tadi.

Korupsi dianggap salah karena ia “tak adil”: perbuatan itu menghasilkan sesuatu yang

berlebihan—uang, kekuasaan, nama baik, juga kekejaman—yang secara berlebihan pula

merugikan orang lain yang sedang ada dalam status dan posisi lain. Maka bisa dimengerti

kenapa bukan cuma Havelaar yang marah. Seperti ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo

dalam karyanya yang terkenal tentang pemberontakan petani Banten pada abad ke-19, orang-

orang udik itu pun melawan, seraya berharap datangnya “Ratu Adil”.

Angan-angan atau bukan, ratu yang adil tak selamanya dianggap berasal dari seberang

samudra dongeng. Dulu saya pernah membaca satu fragmen sejarah Jawa Tengah abad ke-7,

tentang Ratu Sima yang melarang orang mengganggu barang yang bukan miliknya. Syahdan,

suatu hari seorang pangeran melihat sekantong emas di jalan. Ia menyepaknya. Baginda Ratu

pun menghukum anak kandungnya itu. Dongeng atau bukan dongeng, cerita ini

mencerminkan hasrat untuk yang “adil”: di sana hukum berlaku bagi siapa saja, dan ada

penangkalan terhadap “nepotisme”—biarpun ini abad ke-7.

Kemudian lahir negara modern. Juga di Indonesia. Negara modern sesungguhnya adalah

sebuah bangunan yang berusaha agar soal “adil” dan “tak adil” tidak diputuskan hanya

karena kebetulan dan karena nasib. Seperti dibayangkan Hegel (dari Eropa yang dirundung

perang dan persengketaan), “Negara” (dieja dengan “N”) berarti Negara Rasional, yang

mengelola kebersamaan tanpa anarki ataupun tirani. Di sana hukum dipatuhi sebagai

pengejawantahan akal budi yang universal, bukan karena dorongan nafsu dan kepentingan

tertentu. Di sana birokrasi digambarkan sebagai struktur yang ajek dan mengikuti nalar.

Marx memang kemudian menunjukkan bahwa Hegel hanya menutup-nutupi fiil yang buruk.

Bagi Marx, “Negara” adalah sesuatu yang menindas. Baru ketika tak ada lagi kelas sosial

yang punya kebutuhan untuk represif, Negara akan lingsir. Tapi seperti Hegel, Marx

membayangkan Negara sebagai suatu kehadiran, utuh, kompak, bergeming—seakan-akan tak

akan pernah terjadi saling terobos antara yang “Negara” dan yang “bukan-Negara”, antara

yang “publik” dan yang “privat”. Hegel dan Marx tak membayangkan Negara sebagai

sesuatu yang tak kunjung selesai.

Seandainya mereka melihat Indonesia sekarang….

Di negeri ini, Negara adalah sebuah paradoks: ia represif dan sekaligus rentan, cerewet dan

sekaligus ceroboh. Polisi yang dengan rajin menyetop sopir yang dianggap melanggar aturan

Negara adalah juga polisi yang siap menerima sogok. Birokrasi yang dengan produktif

mengeluarkan regulasi adalah juga birokrasi yang mengharap agar peraturan pemerintah

sering dilanggar, dan dengan itu si pelanggar akan membayar.

Dengan kata lain, korupsi bukanlah tanda bahwa Negara kuat dan serakah. Korupsi adalah

sebuah privatisasi—tapi yang selingkuh. Kekuasaan sebagai amanat publik telah

diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa

kewibawaan. Keadilan yang dikelola oleh kejaksaan dan kehakiman bisa dibeli dengan harga

tertentu, maka ia berperan tapi tak menjadi keadilan. Kekerasan yang dimonopoli Negara,

Page 174: catatan pinggir

dan dipegang oleh polisi dan tentara, bisa jadi komoditas seperti jasa tukang pijat, ketika

seorang marinir bisa disewa untuk membunuh dan seorang anggota Kopassus bisa dibayar

untuk jadi bodyguard.

Berangsur-angsur, korupsi, yang melintasi sebuah garis batas, berakhir jadi cerita hantu.

Hantu itu bernama “Negara Kesatuan Republik Indonesia”—sesuatu yang sebenarnya bukan

100 persen “Negara”, bukan pula “kesatuan”, sesuatu antara ada dan tiada, seram dan tak

menentu.

~Majalah Tempo, Edisi. 34/XXXII/20 – 26 Oktober 2003~

Kotor Juli 2, 2007

”Aku ini—tanganku kotor. Sampai ke siku. Telah kucelupkan ke dalam tahi dan darah.”

Ucapan Ketua Partai Komunis dalam lakon Les Mains Sales karya Sartre itu kini dikenang

sebagai perumusan kembali petuah Machiavelli dari abad ke-15: siapa saja yang masuk ke

kancah kekuasaan harus siap menyentuh najis. Pengertian Les Mains Sales, ”tangan yang

kotor”, telah jadi kiasan abad ke-20 bagi sebuah kondisi ketika cita-cita yang baik terpaksa

dicapai dengan cara yang tak baik.

Machiavelli menasihati agar para penguasa mampu bertindak bagaikan hewan, bak rubah

yang licik dan singa yang ganas. Sartre menampilkan Hoederer, sang Ketua Partai, untuk

mengatakan bahwa yang suci murni hanyalah ”gagasan para rahib dan fakir”. Ia mengecam

para intelektual yang menyerukan la pureté. ”Kalian, kaum intelektual, anarkis borjuis,” kata

Hoederer, ”kalian pakai kesuci-murnian sebagai dalih untuk tak melakukan apa-apa! Tak

berbuat apa pun, tinggal diam saja, merapatkan lengan ke tubuh, mengenakan sarung

tangan!”

Kata-kata Hoederer bukan tanpa arah ke luar panggung. Lakon ini pertama kali dipentaskan

pada 1948, pada zaman ketika Eropa dibayang-bayangi intrik dan perebutan posisi dalam

Perang Dingin – sementara para pemikir bergulat dengan persoalan moralitas dalam revolusi

dan demokrasi.

Dengan Les Mains Sales, Sartre memasuki perdebatan besar ini. Tapi tiap lakon yang baik tak

berangkat dengan satu premis dan berakhir dengan satu pendirian. Ceritanya berlatar tahun

1930-an, ketika sebuah negeri Eropa Timur bernama Illyria—negeri khayal yang juga dipakai

Shakespeare dalam Twelfth Night—menghadapi ancaman pendudukan Jerman.

Oleh kawan-kawan separtainya, Hoederer dianggap berkhianat. Ia telah membentuk kerja

sama dengan partai ”borjuis” untuk menghadapi musuh dari luar itu. Pemimpin partai yang

lain memutuskan dia harus dihabisi, karena ia sangat berpengaruh. Yang ditugasi adalah

Hugo Barine, seorang pemuda komunis yang sebenarnya lebih seorang intelektual yang

masuk Partai karena keyakinan ketimbang seorang pembunuh.

Anak muda ini bersama istrinya, Jessica, berhasil menyusup sebagai sekretaris sang Ketua.

Dalam percakapan dengan calon pembunuhnya itulah Hoederer mengutarakan argumennya:

kerja sama dengan partai-partai ”borjuis” diperlukan karena baginya Partai Komunis tak

cukup kuat menghadapi ancaman Nazi dari luar. Memang dengan demikian kemurnian

Page 175: catatan pinggir

prinsip jadi bengkok. Tapi mau apa lagi? ”Kau bayangkan orang bisa mengatur kekuasaan

dengan tanpa dosa?” tanya Hoederer kepada Hugo—sebuah tanya yang tak bertanya.

Mengatur kekuasaan adalah sebuah posisi dan tugas yang pada akhirnya diarahkan kepada

sebuah efek. Hasil adalah yang terpenting, dan segala hal lain dinilai berdasarkan itu. ”Semua

cara dinilai baik,” kata Hoederer, ”bila efektif.”

Itu sebabnya ia tak ragu untuk menajiskan tangannya. Tapi apa yang najis dan kurang najis

telah diporak-porandakan Sartre dengan menampilkan Hoederer. Pada akhirnya Hugo

menembak mati Hoederer. Tapi bukan karena dorongan tugasnya. Ia cemburu. Jessica,

istrinya, jatuh hati kepada Hoederer yang jauh lebih tua, lebih matang, dan sebenarnya orang

baik yang gampang mempercayai orang lain.

Yang ironis ialah bahwa akhirnya Partai mengakui benarnya strategi Hoederer dalam

membentuk front bersama dengan partai-partai ”borjuis”. Hoederer dibersihkan namanya. Ia

dinyatakan sebagai pahlawan, bukan seorang yang dibunuh karena telah menyalahi garis

politik, bukan pula karena soal cinta dan cemburu.

Ia akhirnya juga bagian dari dusta, bahkan ketika ia tak berada di kancah perjuangan lagi.

Mungkin Jessica benar ketika ia berkata, ”Indah sekali, manusia yang bersendiri.” Tapi

dengan itu sebuah dilema tak terelakkan. Dalam kesendiriannya, manusia tak perlu

mempengaruhi, menguasai, atau bersekutu dengan orang yang berfiil jahat, tak perlu pula

menggunakan siasat setengah atau 100 persen menipu, tak perlu menyogok dan tak usah

menakut-nakuti. Tapi dalam kesendirian itu bagaimana ia akan mengerti yang baik dan

buruk, dan mengubah hidup? Bagaimana, seperti kata Hoederer, ”orang bisa mengatur

kekuasaan dengan tanpa dosa?”

Makna ”tangan kotor” dalam lakon Sartre memang harus dibedakan dengan cara mereka

yang bergelimang najis untuk kepentingan diri sendiri. Tentu saja tak selamanya jelas, sejauh

mana seseorang tahu, atau tulus, ketika ia mengatakan bahwa ia berbuat sesuatu dengan

”tangan kotor” untuk kepentingan yang lebih besar. Di Indonesia, bahkan tentara yang

dikerahkan atas nama keamanan nasional atau keutuhan teritorial mungkin hanya berdasarkan

perhitungan dana anggaran yang akan dicuri sejumlah jenderal yang gemar bicara tentang

patriotisme….

Itu sebabnya ada kehendak yang sah agar mana yang najis, mana yang mulia, tak ditentukan

berdasarkan tujuan sebuah tindakan. Ada yang, seperti Kant, menegaskan utamanya dasar

nilai yang ”deontologis”: kita berbuat baik karena kewajiban moral, bukan karena akibatnya

yang bermanfaat. Jika seorang pembunuh datang ke Anda dan bertanya di mana orang yang

akan dibunuhnya bersembunyi, Anda tak boleh bohong, bila Anda tahu. Bohong, biarpun

untuk tujuan baik, adalah sesuatu yang secara moral tak bisa dibenarkan.

Saya tak tahu akankah saya berbuat begitu. Ada yang menakutkan dalam tiap pemutlakan.

Apalagi dasar nilai ”deontologis” bisa merupakan problem, karena dalam hal menentukan apa

yang ”kotor” dan ”suci” mungkin terlibat sebuah proses politik yang diam-diam menentukan

siapa yang menang untuk didengar. Hoederer mencoba membongkar konstruksi itu. Ia punya

alasan yang kuat. Tapi ia salah ketika menyimpulkan bahwa ”dunia diciptakan buruk”.

Sebab, jika demikian, yang ”baik” harus dibangun dari titik nol—sementara yang ”baik”

bukan hal yang mustahil ada di antara dan di dalam kita. Bukankah kejahatan selalu

berhadapan dengan kata ”tidak”?

Page 176: catatan pinggir

~Majalah Tempo, Edisi. 19/XXXIIIIII/02 – 8 Juli 2007~

KPK Oktober 5, 2009

Semua bermula di Hong Kong, kurang-lebih. Seorang teman yang telah menonton film baru

sutradara Wong Jing mengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009) menunjukkan

bahwa bentrok antara komisi pemberantasan korupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita

Indonesia.

Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini menceritakan pergulatan

beberapa petugas Independent Commission Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah

perwira polisi Hong Kong yang korup. Wong Jin berusaha untuk tak norak, kata teman itu,

tapi filmnya akhirnya hanya menyajikan sepotong kisah yang disederhanakan.

Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada 1974, dan akhirnya jadi sebuah

ikhtiar yang berhasil (dan dicontoh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan

potongan-potongan cerita yang lurus.

ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira

tinggi polisi yang tak bisa menjelaskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening

banknya. Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekan-rekannya. Dengan gigih,

ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya kembali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan.

Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, merasa terancam. Pada 28 Oktober

1977, beberapa puluh anggotanya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi.

Akhirnya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu disebut ”Governor”) memutuskan untuk

memberikan amnesti kepada hampir semua anggota polisi yang korup yang melakukan

kejahatannya sebelum 1977. Wibawa ICAC pun merosot.

Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah. Sejak amnesti itu polisi Hong Kong

memperbaiki diri. Bahkan HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya oleh

ICAC pada 2008. Dari sini tampak, kekuasaan—apa pun asal-usulnya—tak pernah berada di

sebuah ruang politik yang konstan.

Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak dengan sendirinya lepas dari gugatan

hukum. Wewenangnya untuk menyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui

peradilan. April 2005, seorang hakim pengadilan distrik tak mau menganggap rekaman yang

dihasilkan ICAC sebagai barang bukti. Alasan: tak ada prosedur yang legal yang mengatur

penyadapan itu. Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim pengadilan distrik menganggap

ICAC telah melanggar ”secara terang-terangan” hak empat terdakwa, dengan memberikan

tugas kepada seorang bekas tertuduh merekam percakapan mereka.

ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya adalah tanda keadaan genting. Ia

tak akan ada seandainya polisi, jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas

mereka, seandainya mereka membangun sebuah situasi yang disebut ”normal”.

Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana di Indonesia sampai sekarang, korupsi

menyakiti tubuh masyarakat di tiap sudut. Ada korupsi model Godber, yang mempergunakan

kekuasaannya yang tinggi; ada yang dilakukan pemadam kebakaran yang memungut uang

Page 177: catatan pinggir

sebelum bertugas mematikan api; ada pula para pelayan rumah sakit yang di tiap sudut, dari

ruang ke ruang, meminta uang.

Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghancurkan ”modal sosial”—sebuah

sikap masyarakat yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Korupsi menyebabkan

kepercayaan itu rusak. Ejekan yang memelesetkan singkatan ICAC (jadi ”I can accept cash”,

atau ”I corrupt all cops”) adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”. Negeri telah jadi sederet

labirin yang membusuk.

Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang abnormal: ia mekanisme

penyembuhan yang juga sebuah perkecualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang

KPK bahkan lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong Kong komisi itu tak punya wewenang

menuntut. Di sini, KPK mempunyainya.

KPK juga tak hanya harus bebas penuh dari dikte kekuasaan mana pun. Di Hong Kong,

ICAC bekerja secara independen namun bertanggung jawab kepada ”Chief Executive”, yang

dulu disebut ”Governor”. Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden.

Keluarbiasaan itu mungkin kini tak hendak dibicarakan. Tapi mungkin tak bisa dilupakan:

keadaan yang melahirkan kekuasaan sebesar itu ibarat (untuk memakai kata-kata Agamben)

”daerah tak bertuan antara hukum publik dan fakta politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu

lahir dari kehendak subyektif yang menegaskan kedaulatan.

Tapi pada akhirnya kedaulatan itu bertopang pada legitimasi yang contingent. Tak ada dasar

yang a priori yang membuat kedaulatan itu, dan para pemegang kekuasaan istimewa itu,

datang begitu saja.

Dengan kata lain, di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan justru semakin perlu pembenaran.

Apalagi kekuasaan yang diperoleh ICAC dan KPK bersifat derivatif: bukan datang dari

pilihan rakyat—sumber mandat sebuah demokrasi—melainkan dari badan-badan yang dipilih

rakyat. Ia terus-menerus butuh pihak di luar dirinya. Ia butuh sekutu, dengan segala

risikonya. Bahwa tugas ICAC maupun KPK merupakan tugas luhur yang mengatasi

kepentingan sepihak, tak berarti politik (”the political”) berhenti. Kekuasaan selalu ada

bersama resistansi terhadap dirinya.

Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengketa bahkan bisa lebih panjang

ketimbang sebuah cerita film Hong Kong. Adegannya mungkin kurang brutal dan dramatis,

tapi akan ada korban manusia yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di ”daerah tak

bertuan”, perjuangan melawan korupsi adalah perebutan tiap jengkal ruang strategis yang

tersedia. Tiap benteng harus dikuasai, bukan dikosongkan. Tiap langkah adalah kesetiaan,

dengan kegemasan, tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang 100 tahun.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 05 Oktober 2009~

Kreshna November 5, 2007

Di lereng selatan Himalaya itu malam ketakutan – dan pangeran dari Dwarawati itu

merasakan suasana itu begitu ia tiba. Di bawah bulan yang jadi kusam, bahkan ular ikut

Page 178: catatan pinggir

menyembunyikan diri di bawah batu-batu karang yang menjorok melampaui tebing. Tak ada

cerah yang tersisa, rasanya.

Deretan pertapaan hancur; begitu brutal tentara Raja Bhoma memporakpandakan wilayah itu.

Di tepi hutan, ladang-ladang telah binasa bersama benih kering yang tertanam di antara

pematang. Ilalang hangus, rata. Sebuah padepokan yang asri musnah; dindingnya tak

berbekas. Hari-hari murung. “Dan di pohon-pohon beringin, capung pun bertangis-tangisan

sedih ditinggalkan oleh mereka yang mencintai keindahan.”

Itulah kalimat penyair penggubah Bhomantaka, puisi naratif Jawa Kuno yang ditulis di abad

ke-12. Diterjemahkan oleh A. Teeuw dan S.O. Robson, puisi yang terdiri dari 118 canto ini

mengisahkan perang antara pasukan Kreshna dan balatentara Raja Bhoma yang menyerbu

dan merusak pusat-pusat pertapaan di sekitar Dwarawati.

Syahdan, tak lama setelah para pertapa datang meminta perlindungan, Kreshna pun

mengirimkan Samba, putra mahkota, ke wilayah yang kena gempur. Canto 7 yang saya kutip

di atas adalah adegan ketika Samba dan pasukannya tiba.

Perang yang segera terjadi melawan pasukan gergasi Raja Bhoma itu memang dahsyat,

dengan ribuan gajah, kuda, dan manusia bertabrakan. Di mana-mana leher putus tertebas,

perut robek, jantung tercincang. Samba sempat terluka parah dalam sebuah pertempuran

malam hari yang tak terduga; ia akhirnya gugur. Juga Arjuna, dengan kematian yang diikuti

pekik bumi dan gemuruh laut yang berkabung.

Tak urung, Kreshna pun turun gelanggang. Berhadapan dengan Bhoma yang ganas dan tak

terkalahkan, ia dengan serta merta mengubah diri jadi Wishnu dalam bentuk yang

mengerikan, yang dalam Bhomantaka digambarkan dengan fantastis: “Monster dari tiga

dunia bergantungan dari tiap helai rambutnya, menghitam bagaikan semut, menghunus

berbagai senjata, di antara gelimang darah dan untaian usus manusia…”

Di hadapan wujud yang luarbiasa itu, Bhoma pun kalah, tewas. Kisah telah mencapai dan

melampaui klimaksnya.

Sampai akhir, deskripsi Bhomantaka tak tertandingi indahnya oleh kesusastraan Jawa setelah

abad ke-18; Ranggawarsita hanya akan tampak gagap bila dibandingkan dengan penyair yang

tak bernama yang hidup di masa Jawa Hindu itu.

Tapi bagi saya yang menarik adalah adegan-adegan terakhir cerita ini. Di dua bagian

dikisahkan dengan khidmat bagaimana para dewa memberi Kreshna – yang telah rela

mengorbankan anaknya untuk melindungi para pertapa yang tak bersenjata – sebuah

anugerah.

Di canto 101-102, segera setelah Arjuna tewas, datanglah tawaran kepada Kreshna yang

berduka cita: ia boleh memilih seseorang di antara yang tewas dalam perang itu untuk

dihidupkan kembali. Pilihan itu harus segera diambil. Samba, putranya sendiri? Atau Raja

Basudewa? Atau Arjuna?

Ternyata, tanpa bimbang, Raja Dwarawati ini tak memilih sanak saudaranya sendiri. Yang

dimintanya kembali dari pelukan Maut adalah Raja Druma. Raja pendatang itu seorang yang

tak punya apa-apa lagi. Ia terusir dari tahtanya, menghadap ke Kreshna untuk meminta

Page 179: catatan pinggir

perlindungan, tapi ia tewas bersama anaknya dalam peperangan di sekitar Gunung Rewata

itu.

Di canto 111 kembali para dewa memberi Kreshna anugerah. Kali ini Kreshna minta lebih:

agar semua dihidupkan kembali – termasuk musuh-musuhnya. Katanya:

Cedi, Karna, dan Jarasandha

Semua jelas musuh hamba

Tapi kembalikanlah juga mereka dari kematian

Bersama keluarga mereka

Permintaan Kreshna dikabulkan. Dengan permintaan itu, ia sebenarnya mengingatkan: tiap

perang, tiap perjuangan untuk pembebasan, mengandung pengakuan bahwa ada yang

universal dalam hidup manusia yang tak dapat diabaikan.

Bhoma, “najis pada seantero bumi”, kalêngka ning rat, harus disingkirkan. Tapi bukan agar

mampu meyakinkan secara universal tentang apa yang “najis” maka Kreshna menjelma jadi

Wishnu. Ia jadi Wishnu, jadi subyek yang menakjubkan dan perkasa itu, justru karena

Kebenaran tentang keangkara-murkaan Bhoma menggugah dan mengubah dirinya. Itulah saat

“tiwikrama”. Dalam arti itu Kebenaran yang dialami Kreshna adalah subyektif: ia jadi kukuh.

Tapi juga universal: perang itu, kematian Bhoma itu, bukan buat dirinya sendiri, melainkan

buat semua, juga musuh-musuhnya.

Sesuatu yang subyektif, namun juga universal — itulah paradoks tiap perjuangan politik. Di

awal perjuangan itu harus ada garis yang tegas dan kubu yang tertutup yang memisahkan

kawan dengan lawan. Tapi mungkinkah ketertutupan itu hakiki? Dalam saat “tiwikrama”,

ketika Kebenaran menggugahku, dan aku jadi perkasa, perjuanganku mendapatkan

maknanya. Tapi pada saat yang sama, sifat universal dari Kebenaran itulah yang membuat

makna itu begitu penting.

Tak berarti yang universal sudah ada rumusnya sebelum perjuangan dimulai. Justru yang

universal berangkat dari ketiadaan – sebuah situasi di mana aku tak punya apapun yang

membebani identitas diriku. Ada sebaris kata-kata Marx di tahun 1843 ketika ia mencoba

merumuskan arti “proletariat”: “Aku bukan apa-apa, dan [sebab itu] aku harus jadi

segalanya.” Dari situasi ketiadaan itulah perjuangan ke pembebasan dimulai, tapi bukan

pembebasan untuk satu kelas semata, melainkan untuk hilangnya semua kelas sebagai

perumus identitas.

Dalam Bhomantaka, ada sebuah nasihat Patih Uddawa yang didengarkan Kreshna: “Jangan

bersikukuh ketika si lemah datang kepada Paduka.” Maka mantan raja Druma, yang tak

punya apa-apa lagi, pun dipilih untuk dibebaskan dari kematian. Sebab si lemah, si “bukan

apa-apa”, mengingatkan kita bahwa jika ada yang universal dalam manusia, itu adalah karena

ia bisa hadir sebagai “segalanya”. Ia tak hanya sebagai wakil satu satuan yang akan selama-

lamanya dirumuskan oleh kubunya sendiri.

~Majalah Tempo Edisi. 36/XXXVI/05 – 11 November 2007~

La Police Juli 14, 2008

Page 180: catatan pinggir

Syahdan, Riziq mengunjungi sebuah sekolah di Aceh, setahun setelah Meulaboh dihancurkan

tsunami. Ia dipersilakan bicara di depan sebuah kelas yang baru dibangun kembali. Ia senang,

sebab dulu, sebelum jadi anggota DPR, ia seorang dosen jurusan sastra Inggris.

Ia pun maju. Sambil mengingat bencana yang terjadi di Aceh, ia menulis di papan tulis: T-R-

A-G-E-D-I.

”Anak-anak,” katanya kepada murid-murid sekolah menengah itu, ”kalian tahu apa arti

tragedi?”

”Tahu, Pak!” jawab para murid hampir serentak.

”Bagus! Coba beri contoh bagaimana sebuah tragedi terjadi!”

Murid A: ”Apabila seorang tua memanjat pohon mangga untuk memetik sebuah buat

cucunya yang sakit—tapi ia terjatuh dan mati.”

Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu kecelakaan.”

Murid B: ”Apabila sebuah asrama yang dihuni serombongan olahragawan nasional kena

gelombang tsunami dan semuanya tewas.”

Riziq: ”Oh, itu bukan tragedi. Itu namanya kehilangan besar yang menyedihkan bangsa.

Murid C: ”Apabila Bapak dan tujuh orang anggota DPR lain terbang dengan sebuah

helikopter, dan tiba-tiba pesawat terguncang, terbalik, dan bapak semua jatuh ke dalam

jurang.”

Riziq: ”Nah, itu yang benar—itulah contoh tragedi. T-R-A-G-E-D-I! Coba kamu terangkan

kepada teman-temanmu, kenapa itu bisa disebut tragedi.”

Murid C: ”Pertama, karena itu pasti bukan kecelakaan. Kedua, karena itu pasti bukan sebuah

kehilangan besar yang menyedihkan bangsa.”

Satire yang mencemooh para politikus legislator macam ini pasti kini mulai bermunculan.

Mungkin lucu, mungkin pahit, atau kasar, tapi semuanya sebuah gejala krisis kepercayaan

yang gawat: politik telah kehilangan makna sosialnya.

Bila beberapa orang anggota DPR ditahan karena menerima suap, bila partai didirikan hanya

untuk mengusung pemimpinnya agar jadi presiden, bila mereka yang ingin jadi presiden tak

jelas apa maunya selain mengelus-elus ego sendiri, orang Indonesia akan memandang ke

pemilihan umum pada 2009 dengan angkat bahu: apa gunanya ramai-ramai itu buatku?

Nila setitik memang membuat susu sebelanga rusak. Dari sekian ratus anggota DPR, tentu

banyak yang tak terima suap. Pasti ada yang rajin membahas rencana undang-undang dengan

serius dan tekun mengunjungi orang-orang yang memilih mereka, untuk tahu apa yang

diinginkan agar keadaan bisa lebih baik.

Page 181: catatan pinggir

Tapi tampaknya tak terelakkan: persoalan besar Indonesia, satu dasawarsa setelah kembali ke

demokrasi dengan pemilihan bebas, adalah bagaimana merawat kepercayaan bahwa

pemilihan bebas itu diperlukan.

Tanpa kepercayaan itu, apa jadinya Indonesia? Negeri ini sebuah bangunan dalam waktu: ia

berubah, bersama penghuninya, dengan kelemahan, kekuatan, dan harapan mereka.

Semuanya tak bisa mandek. Bila Indonesia belum berniat bunuh diri, pemilihan bebas adalah

satu cara yang baik untuk mengikuti niat hidup itu. Kalau tidak, tubuh sosial akan kaku-beku

oleh usia—dan mudah retak, bahkan patah.

Tubuh sosial itu diwakili Parlemen. Tapi dengan itu Parlemen tak bisa menganggap diri

identik dengan masyarakat: wakil adalah hanya wakil. Sementara ia tak bisa jadi tempat yang

sanggup menyelesaikan tuntas soal keadilan, ia tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa

dalam tubuh sosial selalu bersembunyi apa yang disebut Rancière la police: struktur yang

diam-diam mengatur dan menegakkan tubuh itu.

La police itu (mungkin ada hubungan kata ini dengan ”polis” sebagai negeri dan ”polisi”

sebagai penjaga ketertiban) bersifat oligarkis. Tubuh sosial mengandung ketimpangan yang

tak terelakkan; selamanya ada yang kuat dan ada yang lemah, yang menguasai dan dikuasai.

Tapi yang kuat hanya kuat jika ia diakui demikian oleh yang lemah—meskipun dengan

mengeluh dan marah. Dengan kata lain, si kuat diam-diam mengasumsikan adanya posisi dan

potensi si lemah untuk memberi pengakuan. Bagi Rancière, itu berarti nun di dasar yang tak

hendak diingat, ada kesetaraan di antara kedua pihak.

Di situ kita menemukan bagaimana di sebuah negeri, polis, hidup: ada la logique du tort. Ada

sesuatu yang salah dan sengkarut tapi dengan begitu berlangsunglah sejarah sosial. Di dalam

”logika” itu, ketegangan terjadi, sebab hierarki yang membentuk masyarakat justru mungkin

karena mengakui kesetaraan. Ketegangan dalam salah dan sengkarut itulah yang melahirkan

konflik, guncangan pada konsensus, dan polemik yang tak henti-hentinya.

Itulah la politique: sebuah pergulatan. Ia bukan seperti aksi komunikasi ala Habermas: di

arena itu tak ada tujuan untuk bersepakat; di medan itu yang hadir bukanlah sekadar usul dan

argumen yang berseberangan, tapi tubuh dan jiwa, ”perbauran dua dunia”, ”di mana ada

subyek dan obyek yang tampak, ada yang tidak”.

Agaknya yang tak tampak itulah yang menyebabkan la politique, atau politik sebagai

perjuangan, mendapatkan makna sosial. Sebab, yang menggerakkan adalah mereka yang

bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal-usul untuk menang. Rancière menyebut kata

”skandal demokrasi”: ia agaknya mau menunjukkan bahwa kehormatan para tulang

punggung la police pada gilirannya akan diguncang oleh demos, mereka yang bukan apa-apa

itu.

Satire adalah usaha skandalisasi yang dicetuskan si lemah. Mereka cuma bisa mengejek.

Tapi, bila lelucon di atas membuat kita prihatin, itu karena di sana tersirat sepotong harap:

proses parlementer akan mewakili perjuangan, terutama perjuangan mereka yang bukan apa-

apa.

Tapi itu ilusi yang terbentur. Pada akhirnya Parlemen hanyalah sebuah konsensus darurat. Ia

penting. Tapi seperti dikatakan Rancière: ”Konsensus mengacu kepada apa yang disensor.”

Page 182: catatan pinggir

Ataukah lelucon di atas mencerminkan sesuatu yang lain? Jangan-jangan kita menghasratkan

ini: mereka yang hidup nyaman dari konsensus dan sensor insya Allah akan jatuh ke dalam

jurang.

~Majalah Tempo Edisi. 21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008~

Langka Desember 24, 2007

Pada mulanya bukanlah Langka. Tiap ekor hewan yang mati disembelih untuk korban adalah

lambang pemberian yang tak hendak dibalas. Ibrahim bersedia membunuh anak yang

dicintainya untuk Tuhan yang tak diharapkannya memberi sesuatu. Di hari itu Tuhan tak

berjanji apa-apa. Dan seandainya pun ada kontrak bahwa pengorbanan itu akan mendapatkan

imbalan, akankah itu punya arti bagi Ibrahim, setelah anak itu mati?

Pengorbanan adalah ”memberi”. Di dalamnya, waktu tak terulangi. Seperti yang dilakukan

Ibrahim, kata kuncinya adalah ”ikhlas”. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak.

Baginya, tak ada ”kelak”. Waktu tak diperlakukan sebagai lingkaran dengan ujung yang akan

bertaut kembali. Seperti dikatakan Derrida, bila waktu-sebagai-lingkaran amat penting dan

menentukan, pemberian akan jadi sesuatu yang ”mustahil”. Yang terjadi adalah pertukaran

antara jasa dan jasa atau jasa dan benda.

Kapitalisme membuat pertukaran jadi paradigma. Sumbangan besar Marcel Mauss dengan

telaah antropologinya dalam Essai sur le don di tahun 1925 adalah melihat bahwa dalam

kehidupan bersama ada proses lain yang penting: ”memberi”.

Dalam pemberian, benda berpindah tangan tanpa berdasarkan kontrak. Tersirat dalam kontrak

adalah pembatasan: dalam kepercayaan, dalam solidaritas, dalam waktu. Ketika kita

”memberi”, batas itu tak ada. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah

lepas tak terhingga. ”Memberi” mengandung premis bahwa ada yang turah, apalagi waktu,

dalam hidup. ”Memberi” tak mengenal Langka.

Tapi hidup kian ribut oleh Langka dan manusia cemas. ”Memberi” makin jadi laku yang

sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba,

dari mana orang menghimpun—dan menghimpun adalah cara menghadapi sebuah kelak yang

masih akan dirundung Langka.

Bahkan sindrom Langka begitu kuat hingga masuk ke dalam wilayah di mana orang mencoba

meniru jejak Ibrahim tapi tak bisa lagi memberi. Di sini pun cemas tak kalah akut, juga

keserakahan yang terbit dari kecemasan itu. Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu

yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan.

Dengan kata lain, beribu tahun setelah Ibrahim, hubungan manusia dengan Tuhan akhirnya

juga jadi proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin

hitung pahala yang dipegang dengan waswas: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Orang

pun berlomba-lomba melipatgandakan ibadat dan jumlah umat, memamerkan masjid, gereja

dan kealiman.

Ada keserakahan yang menyusup di situ, tapi kita tak bisa mengatakan, Rakus, yang lahir

dari sindrom Langka, adalah sifat manusia yang mendasar. Ia dibentuk sejarah.

Page 183: catatan pinggir

Dalam sebuah wawancara, Bernard Lietaer, pengarang The Future of Money: Beyond Greed

and Scarcity, menawarkan satu teori yang diambilnya dari psikoanalisis Jung: 5.000 tahun

sebelum zaman ini, manusia di Barat menyimpan ”Bunda Agung” sebagai archetype, sebagai

citra yang terawat dalam jiwa individual maupun kolektif yang menggerakkan orang ke suatu

arah tertentu. Dalam Sang ”Bunda Agung”—agaknya sama dengan Ibu Pertiwi—ada citra

tentang kesuburan yang berlimpah dan karunia yang rela dan pemurah. Tapi archetype itu

kemudian tersingkir oleh citra Tuhan sebagai Bapa yang membatasi manusia dengan hukum

dan pembalasan. Lima ribu tahun lamanya Sang Bunda Agung tenggelam. Ketika manusia

tak percaya lagi akan kedermawanan semesta, muncullah bayangan Langka dan Rakus.

Puncaknya, kata Lietaer, terjadi di masa puritanisme Inggris. Di masa itulah Adam Smith

merumuskan pemikirannya tentang ekonomi: pada mulanya adalah Langka, dan Langka pun

jadi gerak, dan gerak menuju ke kekayaan. Ekonomi berjalan dari premis itu. Apalagi dari

Langka pula lahir nilai. Ketika kemudian yang berkuasa adalah ”nilai tukar”, uang dan bank

pun kian berperan. Bank, yang memproduksi uang, sekaligus membuat uang sebagai sesuatu

yang terbatas jumlahnya. Dengan memberikan pinjaman seraya memungut bunga, bank akan

memperoleh lebih banyak uang tanpa ia harus memperbanyak uang yang beredar.

Bagi Lietaer, (ia pernah bekerja di bank sentral Belgia), uang dan sistem peredarannya itulah

yang membuat Langka dan Rakus ”terus menerus diciptakan dan diperbesar”. Bank Sentral,

yang merawat langkanya uang dengan menjaga suku bunga, secara tak langsung

menguntungkan mereka yang menyimpan uang di bank. Investasi di sektor riil jadi tak selalu

memikat—terutama ketika dana bisa dengan cepat melintasi batas nasional dalam rangkaian

pinjam meminjam dengan bunga berbunga. Lapangan kerja makin sedikit. Ketimpangan pun

menajam, seperti di Indonesia kini, dan kita tahu apa akhirnya bagi sebuah bangunan politik.

Lietaer mencoba menawarkan alternatif. Ia menganjurkan pemakaian uang lokal dan

menyebut sistem Silvio Gesel di tahun 1890: dalam sistem ini si penyimpan uang bukannya

mendapatkan bunga, melainkan harus membayar ongkos simpan kepada pemerintah. Dengan

demikian, bank tak memberi kesempatan bagi si kaya untuk bertambah kaya seraya tidur.

Tapi mungkinkah pemikiran alternatif itu akan disambut? Mungkin, tapi entah kapan. Uang,

seperti kata Lietaer, telah jadi sebuah cincin besi yang dipasang di cuping hidung manusia,

dan menyeret manusia ke mana saja—juga ke arah menajamnya Langka dan kehancuran

sosial.

Sejauh ini, kita masih terhibur, sebab ”memberi” masih tetap mungkin. ”Memberi”

membebaskan manusia dari cincin besi itu, yang mengikatnya, kata George Bataille, di dalam

”keadaan yang tak hidup dari dunia yang profan”. Hanya dalam memberi, dalam berkorban,

orang menemukan sesuatu yang suci, justru dalam tak adanya faedah.

Mungkin seperti Ibrahim di Moriah: ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri

atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh Rakus,

mengatasi rasa takut akan Langka di ”dunia yang profan”.

~Majalah Tempo Edisi. 44/XXXVI/24 – 30 Desember 2007~

Lapangan Februari 7, 2011

Page 184: catatan pinggir

Ikada, Jakarta, September 1945. Wenceslas, Praha, Januari 1969. Tiananmen, Beijing, Juni

1989. Midan Tahrir, Kairo, Februari 2011.

Di lapangan-lapangan ibu kota, politik dalam pelbagai bentuknya bertemu. Berbenturan.

Orang meriskir diri untuk pembebasan. Atau sebaliknya: orang berjudi dengan represi,

mempertaruhkan masa depan seraya menaklukkan para pembangkang dengan senjata. Atau

kata-kata.

Di Jakarta 1945, sebuah rapat umum digelar untuk mendukung proklamasi yang sebulan

sebelumnya dimaklumkan. Di tengah ketakpastian tentang apa yang akan terjadi, Bung Karno

dan Bung Hatta menyatakan bahwa Indonesia memasuki sebuah posisi baru sama sekali,

yakni merdeka. September itu, di Lapangan Ikada tak ada tentara Jepang yang menembak

orang ramai. Tapi suasana panas, bergelora.

Di Praha 1969, di Lapangan Wenceslas, seorang mahasiswa filsafat membakar diri. Jan

Palach mati pada umur 21. Ia memprotes pendudukan Soviet yang dengan mengirim tank dan

tentara hendak meneguhkan sistem komunisme kembali di Cekoslovakia dan membungkam

rakyat yang menginginkan liberalisasi.

Di Beijing 1989. Puluhan ribu anak muda menuntut. Di tengah-tengah protes yang berhari-

hari itu, di Lapangan Tiananmen sebuah patung ”Dewi Demokrasi” setinggi 10 meter

didirikan tepat berhadap-hadapan dengan gambar besar Mao Zedong. Beberapa hari

kemudian, bentrok terjadi. Anak-anak muda itu diserbu dan ditembaki. Diperkirakan ratusan

yang tewas, tapi tak tercatat.

Hari-hari ini, Februari 2011, di Kairo, Lapangan (Midan) Tahrir menyaksikan thema yang

sama dalam sejarah yang tak sama.

Lapangan, tampaknya, bukan sekadar ruang yang terbentang horizontal. Lapangan adalah

sebuah endapan sejarah politik yang tak selamanya teringat. Sejak ia dikonstruksikan.

Ikada (akronim dari Ikatan Atletik Djakarta) tak dimulai oleh para penggemar olahraga.

Bentangan hijau di pojok timur dari tempat yang kini dikenal sebagai ”Monas” itu didirikan

di awal abad ke-18. Yang punya ide Herman Willem Daendels. Ia ingin merayakan

kemenangan Napoleon Bonaparte di Belanda dengan mendirikan Champ de Mars itu. Setelah

Napoleon kalah, lapangan itu diubah namanya jadi Koningsplein.

Lapangan Wenceslas, yang lebih mirip sebuah boulevard ketimbang alun-alun, bermula

sebagai pasar kuda di abad ke-14. Tapi di sini pun kemudian kekuasaan dilembagakan dan

simbol ditegakkan: sebuah nama baru jadi resmi (dengan nama orang suci), dan sebuah

monumen dibangun.

Terlebih lagi Tiananmen. Didesain di tahun 1651, namanya mengisyaratkan sebuah energi

politik yang mengacu ke stabilitas: ia praktis bagian dari ”Gerbang Kedamaian Surgawi”.

Juga Midan Tahrir Kairo. Ia semula bernama Lapangan Ismailiyah, mengikut nama penguasa

Mesir abad ke-19, Khedive Ismail, yang bertakhta di sana sebagai wakil kekuasaan Turki.

Ketika Mesir jadi republik melalui sebuah revolusi di tahun 1952, lapangan itu diganti

namanya jadi ”Lapangan Pembebasan”.

Page 185: catatan pinggir

Pergantian nama seperti itu mengisyaratkan bahwa tak ada fondasi yang kekal dalam simbol

macam itu. Lapangan adalah konstruksi kekuasaan, tapi samar-samar di balik hasratnya yang

monumental, kekuasaan yang menghadirkannya sepenuhnya bersifat contingent, serba

mungkin, bergantung pada dua energi politik yang bertabrakan. Di satu sisi, energi politik

yang membangun institusi dan kemapanan. Di sisi lain, energi politik yang menjebol

mengguncangkan.

Itulah sebabnya tiap lapangan mengandung sebuah ilusi. Pada mulanya ia impian tentang

sebuah pusat. Tiap lapangan juga hasil impian untuk mencapai yang kekal, yang utuh

berbentuk—tapi yang sebenarnya tak punya dasar. Sebab itu tiap lapangan mencerminkan

politik sebagai Polizei, untuk meminjam istilah Carl Schmitt: daya untuk menjaga tata yang

hendak ditegakkan. Maka tiap lapangan ditandai batas: ada pagar kadang-kadang, ada papan

nama. Pada gilirannya, tiap lapangan hendak mewujudkan politik sebagai Politesse: politik

yang berusaha menutup-nutupi antagonisme yang berlangsung di masyarakat.

Maka lapangan pun jadi tempat bercengkerama dan bermain yang sopan santun. Atau sekadar

wadah pertemuan sengaja atau tak sengaja. Masyarakat akan tampak ”sudah jadi”. Harmoni

seakan-akan sifat dasarnya.

Tapi politik bukanlah gambaran yang ”sudah jadi”. Apa yang bergelora di Ikada, Wenceslas,

Tiananmen, dan Midan Tahrir mengungkapkan bahwa di balik batas-batas lapangan,

selamanya bergerak energi yang tak dapat ditangkap oleh tata simbolik yang dijaga polisi.

Adat-istiadat yang berkuasa tak juga bisa menjinakkannya. Di atas saya sebut energi politik

yang menjebol: energi yang gerah, geram, bergerak dengan gairah, dan mengguncangkan.

Itu sebabnya sejarah lapangan di pusat ibu kota selalu bisa diguncangkan: karena kekuasaan

yang abadi tak diakui lagi (juga di Tiananmen), orang bergulat menempatkan simbol-simbol

baru. Tapi mengubah nama dan membangun patung hanyalah sebagian dari proses itu.

Bagian yang lebih luas adalah laku pertunjukan, act of performance. Lapangan adalah sebuah

teater, karena hanya dengan itu lambang itu punya makna.

Teater itu bisa pedih—seperti yang disaksikan dunia di Lapangan Wenceslas tahun 1969: Jan

Palach, di tengah hari musim dingin di Januari, datang. Ditanggalkannya jas panjang yang ia

pakai, disiramkannya bensin ke seluruh tubuhnya, lalu dinyalakannya korek api. Dalam

beberapa detik, api membakar badannya. Tiga hari kemudian ia mati. Di saku jasnya ada

secarik kertas, dengan tulisan: ”…ini dilakukan untuk menyelamatkan Cekoslovakia dari

pinggir jurang ketiadaan harapan.”

Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Februari 2011

Lembing September 5, 2005

Lima hari setelah Nurcholish Madjid meninggal, di sebuah masjid kecil di Jalan Talang di

Jakarta, seorang khatib berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan sebuah otoritas

yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata Arab, ia mengucapkan sesuatu yang tak

benar. Ia mengatakan bahwa wajah jenazah almarhum menghitam, kata sang pemberi

khotbah ini, karena Nurcholish diazab Tuhan….

Page 186: catatan pinggir

Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu apa peran dusta. Saya tidak tahu

untuk apa fitnah—terutama dari sebuah posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan Rasulullah

diulang, dan yang benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.

Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan sampah. Sampah itu bernama

kebencian: buangan dari zaman ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat

guyah, penuh cemas, dan genting—dan kebencian, biarpun berbau busuk—adalah sebuah

mantra untuk menemukan kekuatan yang melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di sebuah dunia

yang tidak bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang merasa hanya patut beriman bila

mereka tampil dengan wajah sengit. Marah terus-menerus kepada sekitar telah jadi semacam

perisai, dan kata-kata telah jadi lembing. Chairil Anwar pernah menulis tentang para ”ahli

agama dan lembing katanya”.

Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang percuma. Lawan dalam pikiran,

sengketa dalam pendapat, bentrok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan yang tak

pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Tuhan tak bermaksud membuat perbedaan tak pernah

ada. Ketika kata menjadi lembing, apa yang bisa dirobohkan? Apa yang bisa dibinasakan?

Bahkan sejarah—dan dalam hal ini kita bisa berbicara tentang sejarah agama-agama—adalah

sejarah pembantaian yang tak menyebabkan satu pihak menjadi benar dan diterima di mana

saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Syiah dan Sunni tak bisa saling melenyapkan, Katolik

dan Protestan tak kunjung mampu saling meyakinkan.

Setiap usaha untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan tidak adanya ilusi. ”Tidak ada

paksaan dalam agama,” demikian kata Quran: tidak ada kekerasan, dalam laku dan ucapan,

yang akan dapat membuat keyakinan berubah. Kebenaran adalah hal yang selalu bergerak

antara ”tertangkap-menangkap” dan ”terlepas-melepas”. Yang universal tampak sebagai kaki

langit yang bila digapai selalu menjauh—tak henti-hentinya. Tiap konsensus mengandung

ketidakbulatan. Manusia berpikir, berbicara, dan menafsir apa saja—juga Sabda Tuhan—

senantiasa dalam waktu dan dalam cacat.

Bahwa tak ada pintu yang satu ke arah satu keyakinan agama pada akhirnya melahirkan

kesadaran, bahwa tidak ada satu kepala yang bisa menentukan arah apa yang terbaik dari

yang ada. Pemimpin dan khalifah berganti dengan atau tanpa dikecam. Bertahun-tahun

kemudian, setelah pengalaman yang lama, demokrasi datang sebagai cara mengatasi

kekosongan itu. Demokrasi adalah hal yang tak bisa diingkari jika kita sadar akan kefanaan.

Demokrasi sebab itu bagian dari ketegangan, tapi ia tidak akan bisa berjalan dengan

kebencian, jika kebencian membuat yang nisbi menjadi seakan-akan mutlak, tak berubah dan

kekal.

Ada banyak peninggalan kearifan Nurcholish Madjid untuk orang Indonesia, dan salah

satunya adalah bagaimana memahami dan menghadapi ketidak-kekalan. Ketika Golkar begitu

dominan, ia memihak Partai Persatuan Pembangunan. Ketika di bawah Presiden Soeharto dan

kekuasaannya pemilihan umum begitu kotor dan kasar, ia mendukung gagasan Komite

Independen Pemantau Pemilu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto akhirnya bertanya kepada

sejumlah tokoh muslim tak lama sebelum ia turun takhta, Nurcholish juga yang mengatakan

bahwa sang Presiden yang telah berkuasa sejak 1966 itu lebih baik turun. Yang berkuasa atau

tidak, akan selalu bertemu dengan batas.

Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan tentang ketidak-kekalan manusia dan

toleransi kepada iman dan pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah ketika

Page 187: catatan pinggir

mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan ditiadakan dengan ajaran yang kekal

yang mereka anut. Yang mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah, tapi selalu ia

di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi. Nurcholish adalah guru tentang kerendahan

hati.

Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat berjabatan tangan. Kebencian selalu

menjadi angkuh—tetapi kali ini angkuh itu menjadi angkuh karena sebenarnya ada yang

membuat ragu, cemas, dan rapuh. Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus

asa, tapi sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan keyakinan-keyakinan

berubah. Kekuatan sebuah firman tidak datang dari kata yang terhunus bagaikan lembing. Ya,

Nurcholish adalah guru tentang kata-kata yang tidak menusuk, tidak berteriak.

~Majalah Tempo, Edisi. 28/XXXIV/05 – 11 September 2005~

Libanon Juli 31, 2006

Pesawat-pesawat tempur pertahanan,

Mengitari tinggi langit empat kota

Hingga busuk serakah dan nestapa

Tak bisa menggapai mereka.

— Bertolt Brecht

Pesawat tempur yang mengoyak langit memang hanya peduli akan satu hal: meniadakan yang

hidup di bawah sana. Puisi Brecht tentu saja tak menjelaskan ganasnya kapal-kapal terbang

pancar gas Israel di Libanon hari ini. Sajak itu lebih bicara tentang hubungan kapitalisme dan

perang: keperkasaan militer adalah indi-kasi niat bertahan yang lucu, ketika yang berkuasa

tak hendak mengakui betapa busuknya ”serakah dan nestapa”.

Tapi bukankah ”serakah” (Gier) tak hanya berarti hasrat memperbesar milik—modal atau

wilayah—melainkan juga keinginan memperluas rasa jeri di hati musuh dalam tingkat yang

tak sebanding dengan ancaman sang musuh itu sendiri? Yang terjadi di Libanon bukanlah

”satu mata dibalas satu mata”, melainkan ”satu mata dibalas berpuluh-puluh mata”. Belum

sampai 60 orang Israel tewas, termasuk prajurit, setelah dua orang tentara ditangkap

gerilyawan Hizbullah dan roket-roket dilontarkan ke kota-kota Israel, tapi diperkirakan telah

600 orang Libanon mati—sebagian besar warga yang tak hendak berperang.

”Nestapa” dalam sajak Brecht punya arti khusus: kesengsaraan si miskin yang diisap si kaya.

Tapi kini ”nestapa” adalah yang dialami Palestina dan Libanon—dua negeri yang jauh lebih

lemah ketimbang musuh yang menyerbunya. Tapi tak hanya itu: ”nestapa” tampaknya akan

menenggelamkan semua pihak di Timur Tengah dalam bentuk balas-membalas berdarah

yang entah sampai kapan akan berakhir.

Tentu saja semua dilakukan atas nama ”pertahanan”. Keperkasaan militer—biarpun dengan

kebusukan yang ter-sirat di dalamnya—selalu punya daya pikatnya sendiri. Hanya ada

beberapa puluh orang Israel turun ke jalan memprotes perang kali ini, sementara sebagian

besar tidak. Perbandingan ini berlaku di Amerika Serikat, dan mungkin juga di tempat lain:

suara populer adalah suara marah, dari rasa terancam atau terhina yang tersebar, dan sebab itu

senjata dan kata-kata galak disambut beramai-ramai.

Page 188: catatan pinggir

Dari sini juga dapat dilihat makin meluasnya dukungan terhadap Hizbullah di negeri-negeri

Arab, di kalangan Sunni atau bukan—bahkan juga di kalangan pengikut Michael Aoun, tokoh

Kristen yang pernah menentang kehadiran pasukan Suriah di Libanon.

Itu berarti ”pertahanan” telah jadi sesuatu yang demikian mendesak tapi sekaligus demikian

tak jelas; inilah sebuah periode sejarah dengan sebuah khaos yang destruktif. ”Pertahanan”

telah jadi sebuah struktur yang begitu kaya artinya tapi sekaligus begitu terbatas: ia bisa

ditafsirkan tak habis-habis, tapi pada saat yang sama bisa mengimbau segala golongan hingga

tak terasa perlu dipikirkan lagi.

Apa gerangan yang dipertahankan? Bagaimana mempertahankannya? Ketika satu kekuatan

militer yang tak terkait dengan satu wilayah resmi dan tak mewakili satu bangsa (dan

Hizbullah adalah salah satu contohnya) berhasil mengobarkan perang dengan sebuah bangsa

yang mendefinisikan dirinya dengan posisi teritorial, perbedaan antara perang dan terorisme

pun luruh. Akhirnya Israel menerobos perbatasan Libanon seakan-akan garis itu tak ada,

sebagaimana Amerika Serikat menggebuk Afganistan untuk menghancurkan Al-Qaidah yang

entah di mana. ”Perang adalah terorisme dengan anggaran yang lebih tinggi,” demikian

tertulis dalam salah satu poster protes di Tel Aviv.

”Perang pertahanan” memang bukan lagi mengenai terra dan territorium, ketika batas wilayah

dinafikan. ”Pertahanan” jadi sejenis tata yang menggantikan pengertian ”perdamaian”—ia

diimpikan dan tak kunjung tercapai—ketika tata yang ada terus-menerus dianggap tak adil

tapi tak dapat diruntuhkan.

Berangsur-angsur, di wilayah tempat para Nabi pernah bicara dan berjanji itu, tata yang

diimpikan itu telah jadi eskatologi: pengharapan akan sebuah surga di masa ketika dunia

berhenti sebagai dunia. Akhirnya tata itu tak sekadar sebuah kata yang ditafsirkan dengan

perspektif yang terbatas, dan sebab itu nisbi. Ia telah jadi penanda yang isinya terpatri di

langit, absolut tapi tak teruraikan.

Pada saat itu pula tata itu—yang telah identik dengan ”pertahanan”—membuat perang jadi

semacam ritual pengorbanan: darah dan nyawa dipersembahkan, keabadian diseru.

Demikianlah semakin jauh tata itu tercapai, semakin besar peran agama-agama—terutama

Islam dan Yudaisme—di Palestina, Israel, dan Libanon. Nasionalisme yang bicara soal

wilayah di permukaan bumi telah digantikan oleh sebuah semangat yang didasarkan pada

asumsi tentang langit yang menjamin.

Tentu saja dengan begitu tata itu jadi bagian sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar. Ia bukan

lagi ada di dunia yang ruwet tempat manusia, dalam kondisi yang serba terbatas, bertindak

dan memutuskan. Eskatologi dan kesiapan menyelenggarakan ritual pengorbanan bahkan

membuat manusia seakan-akan jadi anasir yang suci, pasti, dan tegak di tataran yang tinggi—

seperti pesawat-pesawat tempur pertahanan yang digambarkan Brecht: ”Hingga busuk

serakah dan nestapa/Tak bisa menggapai mereka.”

Mereka yang angkuh. Mereka yang tak peduli akan cacat dunia dan retaknya gading dalam

diri sendiri. Kehidupan politik pun digantikan pembinasaan. Tak ada negosiasi. Tak ada

penyelesaian konflik yang dilakukan dengan keadilan yang diakui sebagai genting. Sebab

keadilan telah jadi sesuatu yang begitu lurus, keras, dan menakutkan.

Page 189: catatan pinggir

Tragis, memang. Sebab dulu di wilayah ini pernah ada berita bahwa Yang Suci bisa merasuk

ke dalam yang sehari-hari dan Yang Kekal datang di tengah yang temporal—bukan

sebaliknya—dan bahwa keadilan digantikan dengan sesuatu yang tak keras dan menakutkan,

yakni cinta kasih dan kemampuan merasakan nasib mereka yang dinestapakan.

~Majalah Tempo Edisi 23, 31 Juli-6 Agustus 2006~

Logos September 25, 2006

Pada mulanya logos. Kemudian keraguan.

Adapun logos, menurut para pakar, berasal dari kata Yunani legein, ”menghimpun”. Tapi kita

akan terkecoh bila menyangka kata dari zaman kuno itu tak berkait dengan rasionalitas.

Ketika dalam puisi Illiad Homeros menggunakan kata kerja yang akarnya sama dengan logos

untuk menggambarkan laku menghimpun senjata, baju zirah, roti, dan lain-lain, di sana telah

tersirat penyusunan kategori—sesuatu yang kemudian kita kenali dalam katalogus. Yang

termasuk ”senjata” punya anasir yang berbeda dengan ”makanan”. Ada proses abstraksi yang

membentuk konsep: ”panah” lain dari ”lembing”, tapi keduanya dirumuskan sebagai senjata.

Logos pun berarti ”kata”, sesuatu yang merumuskan (dan juga memberi bentuk) benda atau

laku yang beraneka ragam sebagai satu acuan. Logos pula yang menyusun alur dan struktur

cerita dalam prosa, mengatur argumentasi dalam discourse.

Artinya, yang centang perenang diletakkan ke dalam sebuah tata. Keanekaragaman yang

tampak sebagai chaos ditiadakan. Dari ”kekacauan” perbedaan itu ada yang bisa

diidentifikasikan sebagai sejenis, digolongkan sebagai satu. Agaknya sebab itu Herakleitos

mengatakan, siapa yang mendengarkan logos (yang universal) akan mengakui bahwa semua

hal adalah satu.

Tapi ”satu” bisa palsu. ”Satu” juga bisa kaku. Ketika yang bhineka ditampilkan jadi eka,

tidakkah keanekaragaman itu disembunyikan, atau abaikan, mungkin sejenak, mungkin pula

terbungkam seterusnya? Sebuah tata atau ”order” bisa sangat represif. Bahkan undang-

undang yang kita terima sebagai kemestian sosial juga mengandung sikap yang menekan dan

mengetam: kita tahu ancaman penjara yang sama diberlakukan atas satu perbuatan yang

mungkin sekali konteksnya tak sama.

Itu sebabnya hukum memerlukan hakim. Ia seorang yang diharapkan akan menimbang

adilkah penyamaan itu, adakah yang ”logis” dengan sendirinya ”benar”. Hakim adalah unsur

yang diperlukan untuk mempersoalkan sejauh mana undang-undang yang terpatri di kitab itu

bisa diterapkan pada kejadian yang masing-masing sebenarnya unik, tak bisa dipatri.

Hakimlah yang mesti bisa mengimbangi prinsip ekuivalensi—bahwa pelbagai hal perlu

dianggap setara—dengan prinsip perbedaan—bahwa banyak hal niscaya berlainan.

Hakim, seorang manusia, adalah beda itu sendiri. Ia, juga aku dan engkau, tak mungkin sama

sepenuhnya dan selama-lamanya. Siapa pun tak bisa diringkus dalam esensi yang tunggal.

Seorang buruh tak hanya seorang anggita ”kelas” proletar, tapi mungkin juga seorang istri

yang ditindas suaminya yang juga buruh; atau ia seorang yang memiliki sepetak tanah,

sebuah alat produksi.

Page 190: catatan pinggir

Sejak menjelang akhir abad ke20, kian kuat desakan untuk mengakui bahwa ”satu” memang

bisa palsu dan kaku. Logos digugat. Rasionalitas yang tersirat di dalamnya mulai dilihat

sebagai alat untuk mengkotak-kotakkan, mengontrol dan menguasai dunia dan orang lain.

Weber dengan muram menyebutnya sebagai ”nalar instrumental”, bagian dari modernitas

yang akhirnya akan membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Kaum feminis, seperti

Hélène Sixous, melihat ada hubungan antara ”logosentrisme” dan kecenderungan patriarki

yang menindas, dan sebab itu memperkenalkan kata ”phallogosentrisme”. Gilles Deleuze

memuji karya termasyhur Marcel Proust, A la recherche du temps perdu, sebagai pembawa

Antilogos: berbeda dari kecenderungan Yunani yang meletakkan tanda di bawah kendali

logos dan membentuk sesuatu yang sebenarnya telah rusak karena dipermak, dalam novelnya

Proust menghidupkan keragaman yang tak bisa diringkus ke dalam Kesatuan.

Salahkah Kesatuan? Mungkin tidak dengan sendirinya. Tapi Kesatuan bisa terasa sebagai

horor di sebuah zaman yang telah menyaksikan ngerinya totalitarianisme Hitler, Stalin, dan

Mao. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan

karena dianggap tak satu golongan, tak cocok untuk ”berSatu”: perempuan, orang hitam,

orang ”kiri”, orang ”kanan”, gay, dan entah apa lagi.

Yang jarang diingat ialah bahwa Kesatuan itu tak sekadar hasil pemikiran metafisik. Ketika

Kesatuan ditandai dengan satu bendera—”manusia”, ”Kristen”, ”Islam”, ”Barat”, ”Asia”—

yang jarang ditanyakan ialah siapa yang memilih bendera itu dan memancangkannya. Kita

lupa ada unsur proses kekuasaan di dalamnya, kita tak melihat ”the political” terpaut erat di

situ. Kita tak selalu sadar bahwa tiap proses kekuasaan adalah bagian dari dunia yang tak

kekal, terbatas, dan tergantung.

Memang ada yang merisaukan dalam pandangan yang menggugat Kesatuan itu, yang tak

mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua. Ketika

Paus dua pekan lalu mengingatkan bahwa ”pada mulanya adalah logos”, ia sebenarnya

mengungkapkan sebuah peringatan dan kecemasan: bagaimana dialog antarmanusia

mungkin, jika Kesatuan itu ditampik? Tidakkah ada sesuatu yang lain yang bukan

”mengkotakkotakkan” dan ”mengontrol”, dalam logos, ketika kita ”menghimpun”, legein—

dan itu hanya bisa dimengerti bila logos, seperti dalam iman Kristen, juga diartikan Kasih

Allah yang turun ke bumi?

Maka Paus pun menganjurkan perluasan makna kata Vernunft, (yang dalam bahasa Indonesia

lebih dekat ke ”akal budi” ketimbang ”nalar” yang instrumental). Bukan penyempitan,

apalagi penampikan.

Kita bisa memahami Paus di sini. Namun tentu saja jadi soal bila pada saat yang sama

”Eropa”lah yang dinilai mewakili ”akal budi” yang seperti itu. Di Indonesia kita tak perlu

membaca kritik Adorno dan Horkheimer (dua pemikir yang pada suatu saat tersingkir dari

Eropa) untuk melihat ”Eropa” juga bisa berarti penjajahan, ketika pada mulanya logos,

kemudian kita tak bisa lolos.

~Majalah Tempo Edisi. 31/XXXV/25 September – 01 Oktober 2006~

Lupa November 8, 1999

Page 191: catatan pinggir

Ada protes Aceh 1999. Ada juga protes Aceh 1932. Pada bulan Maret 1932, di Kutaraja

orang berapat akbar. Mereka menentang keputusan pemerintah Hindia-Belanda untuk

menggunakan bahasa Aceh di sekolah bumiputra. Rakyat yang serta dalam pertemuan besar

itu justru menghendaki bahasa Indonesia.

Seperti dipaparkan oleh seorang penulis dalam Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya pada

bulan Maret itu, protes yang sama terjadi juga di Padang dan Surakarta.

Bukan karena di Kutaraja orang Aceh ingin mencampakkan bahasa Aceh. Bukan karena di

Padang orang Minang ingin meniadakan bahasa Minang dan di Surakarta bahasa Jawa

hendak dimatikan. Tetapi itu tahun 1932. Nasionalisme Indonesia sedang pasang perbani.

Empat tahun sebelumnya, bulan Oktober yang bersejarah itu, para pemuda berkumpul di

Batavia untuk memaklumkan bahwa mereka ingin punya satu bangsa, satu bahasa, dan satu

tanah air.

Tak ada seorang pun yang tahu persis dari mana sebenarnya “Indonesia” lahir. Namun, bisa

dikatakan bahwa dalam hal bahasa—satu elemen penting dalam nasionalisme Indonesia—

batu fondasinya adalah hasil persenyawaan antara impian dan kepahitan. Juga kebutuhan

untuk melupakan.

Drama ini dimulai dari kegandrungan orang Belanda yang berkuasa untuk menarik garis

pemisah yang lurus dan terang. Dalam desain mereka, ada sebuah batas kolonial buat

inlanders: mereka yang berkulit cokelat itu bukan saja tak boleh masuk ke kamar bola. Mulut

mereka yang berbau durian atau petai itu juga tak boleh mengucapkan bahasa yang dipakai

oleh para meneer dan mevrouw.

Memang luar biasa. Agaknya, hanya penguasa kolonial Belanda yang melarang orang

pribumi menggunakan bahasa sang penjajah. Tak mengherankan bila menurut sensus tahun

1930, hanya 0,3 persen dari orang bumiputra (yang merupakan 97 persen penduduk tanah

jajahan itu) yang bisa berbahasa Belanda–meskipun dengan terbatas, sekadar buat menulis

sepucuk surat yang sederhana.

Henk Maier, yang mengadakan penelitian tentang hal ini, pernah menulis dengan analisis

yang cemerlang dan bahasa yang tajam kenapa penguasa kolonial Hindia Belanda bersikap

demikian. Bagi tuan-tuan itu, tulis Maier, “orang pribumi berbeda dari kita”–dan biarlah

perbedaan itu kekal. Si bumiputra harus sedapat-dapatnya tetap bumiputra. Argumen ini biasa

diberi kemasan yang bagus: “kita harus menghormati keaslian pribumi….”

Tapi, mau tak mau, tersingkap juga motif yang satu ini: apartheid. Kata dari bahasa Belanda

itu tak pernah dipergunakan oleh penguasa Hindia-Belanda (kita tahu, apartheid jadi istilah

yang terkenal busuk di Afrika Selatan), tetapi ujung-ujungnya adalah sejenis pemisahan rasial

juga.

Tak ayal, sebuah gelombang besar muncul. Orang bumiputra membangun bahasanya sendiri.

Tak sulit untuk itu. Menjelang akhir 1925, ada sekitar 200 surat kabar di Hindia Belanda

yang memakai bahasa Melayu, yang kemudian diberi nama bahasa “Indonesia” itu. Kaum

nasionalis bertekad bahwa dengan bahasa ini—yang dengan mudah mempertautkan elite

yang terdidik dengan orang ramai—orang bumiputra akan mendapat dan membangun ilmu

pengetahuan yang setaraf dengan standar internasional.

Page 192: catatan pinggir

Maka, ketika pada tahun 1932 pemerintah Hindia-Belanda hendak memotong elan

nasionalisme itu dengan mengharuskan pemakaian bahasa daerah di sekolah, kaum

pergerakan berteriak “awas, divide et impera! Apalagi banyak bahasa daerah yang terkait erat

dengan struktur sosial yang represif, dan apa pula artinya sebuah “bahasa daerah”? Jawa,

misalnya, tak pernah merupakan sesuatu yang tunggal: ada orang Surakarta dan ada orang

Banyumas. Protes di Kutaraja, Padang, dan Surakarta itu adalah bagian dari kesadaran untuk

mencegah manipulasi kolonial dalam soal identitas.

“Indonesia” pun tumbuh sebagai sebuah proyek besar untuk memberi isi baru pada soal

identitas itu. Kata “baru” sangat menentukan di sini. Renan, pemikir Prancis itu, benar ketika

ia mengatakan bahwa “lupa adalah sebuah faktor yang amat pokok dalam terciptanya sebuah

nasion”. Lupa kepada ikatan lama setiap daerah, lupa kepada tradisi yang mengikat.

“Indonesia” lahir bersama semangat modernitas yang ingin membebaskan.

Tapi itu awal abad ke-20. Menjelang akhir abad, banyak hal berubah. Indonesia dengan

senjata memaksa orang Timor Timur menjadi bagian dari dirinya—sebuah proyek ala

Bismarck melalui “darah dan besi”. Sejak itu, Indonesia tampak bukan sebagai sebuah proyek

bersama yang ikhlas. Militer tidak hanya membunuh orang tak bersalah di Timor Timur,

Irianjaya, dan Aceh. Militer telah membunuh impian nasionalisme sebagai pembebasan.

Kini sebuah generasi harus tumbuh dalam puing-puing kekerasan itu. Mereka akan dengan

berat dan luka-luka harus membangun sebuah visi baru tentang Indonesia, atau lebih tepat

“Nusantara”: sebuah kepulauan yang tidak lagi berada di satu atap, sebuah perpisahan yang

semoga tidak meneruskan kekerasan dan menghalalkan kebencian.

~Majalah Tempo Edisi. 36/XXIIIIIIII/08 – 14 November 1999~

Macbeth Desember 21, 2009

Politik, seperti halnya tragedi, tak akan punya arti tanpa kesangsian. Mungkin itulah

sebabnya Macbeth, tragedi Shakespeare, tak mudah dilupakan, juga oleh seorang presiden.

Pada suatu malam sastra di Gedung Putih, Presiden Clinton bercerita bahwa perkenalan

pertamanya dengan puisi berlangsung di SMP, ketika gurunya memintanya menghafal baris-

baris solilokui dalam Macbeth. Lalu ditambahkannya, setengah melucu: untuk memasuki

kehidupan politik, membaca Macbeth bukanlah awal yang baik.

Ketika acara selesai dan hadirin bergiliran menjabat tangannya, seseorang bertanya masih

ingatkah presiden itu baris-baris Macbeth itu. Di saat itu Clinton pun membacakannya

dengan bagus:

… here upon this bank and shoal of time,

We’d jump the life to come. But in these cases

We still have judgement here, that we but teach

Bloody instructions which, being taught, return

Page 193: catatan pinggir

To plague th’inventor.

Kalimat itu diucapkan Macbeth, ketika tokoh lakon ini sendirian, merenung dalam

kebimbangan. Panglima perang itu berniat membunuh rajanya, Duncan, meskipun ia tahu

baginda menyayanginya dan mempercayainya: Duncan telah menghadiahinya wilayah ke-

kuasaan yang lebih luas dan bersedia datang menginap di kastilnya. Tapi Macbeth berniat

membunuhnya, karena ada ramalan tiga nenek sihir bahwa ia akan jadi raja.

Dan tak kalah penting, karena Lady Macbeth, istrinya yang perkasa, mendesaknya,

meyakinkannya.

Malam itu Macbeth pun membunuh raja, ketika tamu agung itu tengah tidur. Untuk

menghapus jejak, ia tuduh dan ia bunuh para penjaga. Darah yang mengalir tak berhenti di

sana….

Tapi sesaat itu, ketika ia sangsi, ketika ia merasa berada ”di tebing dan laut waktu”, Macbeth

bukan seorang yang keji. Ia merasa ada yang tak patut bila ia jalankan niatnya: ia

mengkhianati rajanya dan membantai seorang ”lemah lembut” (meek), yang ”kebajikannya

akan mengimbau bagaikan malaikat”, hingga akan jatuh kutuk ketika ia dipaksa

meninggalkan dunia.

Memang tak jelas benar apa yang membuat Macbeth bimbang: seperangkat nilai-nilai, sebuah

tatanan moral, atau hanya ketakutan pembalasan. Kita dengar baris yang dibacakan Clinton:

siapa yang membawa ajaran berdarah, kata Macbeth, akan mendapatkan yang sama, yang

berbalik, merongrong ia yang memulanya.

Mungkin dalam ambivalensi itu antara bisikan moral dan dag-dig-dug ketakutan dengan

mudah bujukan Lady Macbeth menjeratnya. Menjerat: sebab Duncan mati, Macbeth jadi raja,

tapi sejak itu yang ada hanya pembunuhan demi pembunuhan. Macbeth tragis karena kita

sebenarnya bisa melihat apa yang baik dalam dirinya tapi nujum dan nasib tak ditolaknya. Ia

jadi keji.

Bukan karena nujum dan nasib itu sebegitu sakti. Macbeth, dengan kemauannya sendiri,

memilih nujum dan nasib dan bukan yang lain. Dia juga yang bolak-balik datang meminta

nujum dari tiga nenek sihir itu, bahkan mencoba mengubah ramalan yang tak disukainya.

Macbeth tragis, sebab kita menyaksikan bagaimana kekuasaan meringkus semuanya.

Termasuk meringkus saat-saat sangsi di depan ”tebing dan laut waktu” sebelum seseorang

meloncat ke masa depan saat-saat ketika bisikan yang lain masih bisa terdengar.

Saya tak kunjung takjub apa sebabnya hasrat ke kekuasaan mampu meringkus semua itu. Apa

yang istimewa dalam kekuasaan? Mengapa segala cara dikorbankan untuk mendapatkannya?

Akhirnya ada yang lebih destruktif ketimbang pembunuhan—yakni sejenis nihilisme, yang

menegaskan bahwa kita tak perlu sangsi karena kita tak perlu nilai-nilai. Tak ada dorongan

yang gigih untuk mempertahankan apa yang baik. Seperti kita lihat di Indonesia kini, uang,

jual-beli pengaruh, lewat lobi dan media, itulah yang akhirnya menentukan apa dan siapa

yang salah dan apa dan siapa yang tidak. Selebihnya: nihil.

Apa lagi gerangan yang dikenang seorang presiden seperti Clinton setelah membaca

Macbeth? Clinton sendiri mungkin tak perlu merenungkan jauh; ia tak perlu bergulat dengan

Page 194: catatan pinggir

dilema yang dahsyat. Ia seorang presiden yang dapat naik dan turun takhta tanpa melalui

pembunuhan.

Maka menarik untuk menyimak apa yang dikatakan Clinton kepada Stephen Greenblatt yang

kemudian menuliskan kesannya dari malam sastra di Gedung Putih itu dalam The New York

Review of Books, 12 April 2007. Karya Shakespeare itu, kata Clinton, adalah kisah tentang

seseorang dengan ambisi yang amat besar yang ”obyeknya secara ethis tak memadai”.

Ada yang baru di sini: bukan si Macbeth yang ”secara ethis tak memadai”, melainkan

sasarannya: kekuasaan. Mungkin yang dimaksud Clinton bukan kekuasaan pada umumnya

(rasanya ia tak hendak berpikir demikian tentang kekuasaan seorang Presiden Amerika),

melainkan kekuasaan yang direbut Macbeth. Dalam lakon ini, kekuasaan bukan saja tampak

tak sah, tapi juga tak ada tujuannya. Atau lebih tepat: kekuasaan dipertahankan demi

menyembunyikan sifatnya yang tak sah. Macbeth adalah cerita tentang nihilisme dalam

bentuknya yang mengerikan dan menyedihkan, karena seorang baik telah mengikuti nujum

dan nasib, dan tenggelam dalam kekejian—seraya menyimpulkan bahwa hidup hanyalah

”kisah yang dibawakan seorang dungu, penuh amarah dan suara seru, yang tak punya arti

apa-apa”.

Suaranya sebenarnya murung. Di saat itu Macbeth justru menunjukkan: nihilisme tak bisa

mutlak. Dengan getir ia sendiri merasakan ada yang hilang di dunia ketika hanya kekuasaan

yang tak menyebabkannya hidup tenteram telah jadi satu-satunya perkara yang

dipertaruhkan.

Syahdan, di kamarnya yang gelap, setelah pembunuhan terjadi, Lady Macbeth tiba-tiba

merasa melihat ada darah di tangannya. Berjam-jam ia coba basuh, tapi tak terhapus juga.

Jejak kejahatan itu tetap bau. Dan akhirnya ia tahu: ”seluruh parfum dari Arabia tak akan

dapat mengharumkan tangan kecil ini”.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Desember 2009~

Macet November 12, 2007

Jalan raya adalah sejarah politik.

Di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk persiapan perang, Daendels

membangun ”jalan raya pos” sepanjang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan

Panarukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa Timur. Ia, seorang opsir tinggi

kerajaan Prancis, yang diangkat Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di

Jawa, berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar gerak pasukan. Ia harus

menghadapi serbuan Inggris.

Dengan tangan besi, Daendels memaksa agar proyek itu rampung dalam setahun. Ribuan

orang di Pulau Jawa mati karena dikerahkan untuk kerja rodi. Pemberontakan timbul tapi

ditindas. Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan hasilnya. Jalan yang

disebut Daendels La Grande Route itu kini sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif

dan brutal.

Page 195: catatan pinggir

Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan, seperti

dilakukan Daendels dan para penguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan

disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”, sebuah istilah yang

kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali

terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu.

Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipukuli, ada bangunan yang

dirusak.

Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di

sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika

forum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sambungan lagi dengan orang

ramai.

Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuhnya monarki di Mesir, sejak Nasser

memimpin, di Timur Tengah para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the

Arab streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rakyat berdesak-desak, bersua,

bertemu, mendengar, bicara, bergembira, marah, benci, tentang segala sesuatu yang

menyangkut negeri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk partai, tak

berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak

ada tempat bagi para politikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara yang

kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.

Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang gemuruh dan spektakuler. Asef

Bayat mengamati satu gejala dalam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street

Politics: Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menyebutnya the quiet

encroachment of the ordinary. Dalam uraian Bayat, proses itu tak punya dampak politik yang

langsung. Tapi masuknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak mendapat

tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-diam adalah sebuah perubahan

tersendiri. Para penguasa yang di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis

Bayat, ”praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan beralih ke ranah

politik.”

Saya ingat sebuah esai pendek Orhan Pamuk setelah ia berkunjung ke Teheran. Ia menyewa

mobil dengan seorang sopir. Di tengah lalu lintas yang kacau itu si sopir mengeluh di kota itu

semua orang tak patuh aturan. Tapi tak urung ia sendiri kemudian melanggar hukum dengan

memotong jalan, sebuah laku yang terlarang.

Begitulah, kata Pamuk, di arus lalu lintas Teheran itu justru ”kehadiran agama” paling terasa:

tiap kali ribuan orang tak mematuhi hukum, tiap kali mereka berhadapan dengan para

ayatullah yang menerapkan dalil Kitab Suci buat segala segi kehidupan. Mereka sedang

berkonfrontasi dengan hukum syariah yang mengawasi perilaku mereka terus-menerus. Nah,

tatkala di belakang setir itulah, kata Pamuk, mereka mendapatkan satu-satunya saat untuk

bisa menafikan semua itu—sebagaimana orang-orang Teheran yang diam-diam menikmati

alkohol dan percakapan bebas di ruang privat mereka.

Dengan kata lain, Pamuk juga telah menunjukkan bagaimana jalan raya adalah sebuah arena

politik—setidaknya the politics of the ordinary. Sayang, Pamuk tak memandang perkara ini

lebih jauh; ia tak melihat bahwa politik dari hal-yang-biasa-saja itu adalah bagian dari gerak

sejarah yang selalu menggagalkan keserakahan. Ketika para sopir Teheran melanggar aturan

lalu lintas, mereka sebenarnya menunjukkan bahwa ambisi Negara untuk menertibkan hanya

Page 196: catatan pinggir

sia-sia. Mereka sebenarnya menolak sikap para mullah yang tak puas-puasnya menghendaki

”ketaatan” atau ”kesucian”. Tapi mereka juga memprotes sikap rakus para pengendara mobil

(ternyata juga mereka sendiri) untuk merebut tiap celah avenue.

Jalan raya adalah sejarah politik—yang sebenarnya juga sejarah keserakahan dan perebutan.

Dengan kata lain, sejarah kelangkaan. Kota-kota di Indonesia kian lama kian dirundung

macetnya lalu lintas. Macet adalah indikasi bahwa ruas jalan tak cukup—sebuah kelangkaan

akibat gagalnya para penghuni kota membebaskan diri dari jeratan ”empat-M” yang

menggerakkan kota-kota Indonesia: modal, milik, mobil, dan mode.

Adapun modal juga yang membuat mobil berubah: ia tak sekadar sebuah alat transportasi; ia

juga sebuah pesona. Dari waktu ke waktu mobil tampil seakan-akan baru: ia berubah karena

sebuah ”musim” berubah dan konon selera juga berubah. Pada saat yang sama, komoditi

yang memancarkan pesona itu bertaut dengan hasrat untuk memiliki. Dan karena pesona itu

selalu merangsang kekurangan, ada dorongan untuk terus-menerus memiliki—tak hanya satu.

Maka lahirlah kelangkaan. Sejarahnya belum selesai. Di jalan raya, keserakahan masih

berkibar, perebutan ruang masih berlangsung. Pergulatan politik untuk membebaskan diri

dari ”empat-M” masih akan terus. Mungkin sampai akhirnya jalan raya musnah, lingkungan

runtuh, dan orang berteriak: ”Kita celaka!”

~Majalah Tempo Edisi. 38/XXXVI/12 – 18 November 2007~

Mahfouz September 4, 2006

Di lorong itu ada kedai kopi Kirsha. Dindingnya yang doyong dihias ragam arabesk

berwarna-warni. Bau racikan jamu menyebar: aroma masa lampau yang jadi bumbu dan obat

orang ramai.

Tapi dari latar yang apak itu ada sikap menampik anasir masa lalu, seakan-akan ingin

menghalau warisan yang membentuk diri dalam ketertinggalan bertahun-tahun. Ketika datang

seorang pengamen tua memainkan alat gesek dua dawai buat mengiringi selawat Nabi,

Kirsha berteriak: ”Kau mau paksa kami dengarkan itu lagi? Sudah, cukup, cukup! ’Kan sudah

kuperingatkan minggu lalu!”

Bagi Kirsha, penyair-penembang tua itu hanya sisa yang dilampaui sejarah. ”Kami hafal

semua kisah yang kau ceritakan…. Orang kini tak menghendaki penyair. Mereka terus-

menerus minta radio, dan aku sudah memasangnya di sudut itu. Pergilah. Tinggalkan

kami….”

Zuqaq al-Midaqq (Lorong Midaq), novel Naguib Mahfouz yang pertama kali terbit pada

tahun 1947, dalam banyak hal bercerita tentang Kairo, tapi juga Mesir, dan juga, dalam arti

tertentu ”Dunia Ketiga”—sebuah dunia yang, menurut Mahfouz dalam pidato penerimaan

Hadiah Nobel-nya pada tahun 1988, tempat orang didera kerja untuk membayar utang,

tenggelam dalam bencana dan rudin dalam kelaparan, tempat manusia didiskriminasikan dan,

seperti orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan, hidup terasing di tanah mereka

sendiri. Tak mengherankan bila novel ini dapat disadur jadi sebuah film Meksiko.

Page 197: catatan pinggir

Tapi bukan kesengsaraan itu sebenarnya yang mengusik. Di dunia seperti yang menghuni

lorong Midaq, hidup bagaikan sepetak tanah genting. Ia terbentang di antara masa lampau

yang bak istana purba yang megah tapi berdebu dan masa depan yang tak jelas tapi gemilang,

karena apa pun bentuknya, yang akan datang niscaya lebih baik ketimbang yang ada

sekarang.

Hamidah, gadis cantik dalam novel ini, yang mendambakan lepas dari masa kininya, bersedia

diperistrikan Abbas, seorang pemuda yang tak menarik hatinya namun bisa menjanjikan jalan

ke luar. Lelaki itu bekerja jadi barbir bagi pasukan Inggris. Hamidah sendiri kemudian jadi

pelacur melayani tentara Sekutu yang bermarkas di Kairo pada masa perang melawan Hitler

itu. Germonya memberinya nama baru, ”Titi”. Hamidah patuh. Nama, baginya, seperti

”pakaian tua, dapat ditanggalkan dan dilupakan”.

Tapi tak semua hal mudah dilupakan. Lorong Midaq, sebagaimana dilukiskan Naguib

Mahfouz, adalah ”permata dari zaman yang telah berlalu yang pernah bercahaya seperti

bintang berkilap dalam sejarah Kairo”. Sejarah memang telah membentuk sedimen yang tebal

di kota itu. Pada 969 para pengikut Fatimah, putri Nabi, menaklukkan kota itu ketika mereka

hendak menegakkan daulat sendiri melawan Daulat Abbasiyah di Baghdad. Nama Kairo pun

dimulai. Al-Qahira berarti ”Yang Menang”. Posisinya menanjak. Pada abad ke-13 ia jadi ibu

kota ketika kaum Mameluk berkuasa, dan begitulah seterusnya, juga ketika yang bertakhta

berganti-ganti.

Saya tak kenal pandangan Mahfouz dan tak tahu bagaimana ia memandang masa silam.

Seperti banyak orang, saya hanya menduga tiap imajinasi tentang Mesir—negeri yang begitu

erat di hati Mahfouz dan praktis tempat ia tak pernah beranjak—dibentuk oleh sejarah yang

memberat di kepala, seperti mahkota yang berbobot. Dalam wawancaranya untuk buku

Mohamed Salmawy, Mon Egypt, sang sastrawan menekankan betapa besarnya sejarah dan

betapa tipisnya geografi Mesir: peradaban kuno itu bermula dari sebilah tanah sepanjang

Sungai Nil. Rasa bangga memandangnya, kata Mahfouz, mirip rasa bangga tentang orang tua

kita.

Tapi bukankah rasa bangga itu sebenarnya yang membuat orang tua kita, bukan sebaliknya?

Masa lalu, istana purba yang megah tapi berdebu itu, dibentuk karena sejenis kehilangan—

dan kehilangan itulah yang tak pernah hilang.

Dalam novel yang kemudian diterjemahkan sebagai The Children of Gebelaawi, sang

patriarkh, Gebelaawi, membangun sebuah rumah agung di satu oasis di gurun gundul. Tapi

gedung itulah kemudian yang jadi sumber pertikaian keluarga. Kapan saja ada yang murung,

menderita atau terhina, ia akan menunjuk ke rumah di arah ke gurun itu, dan berkata, ”Itu

rumah nenek-moyang kita, kita semua anak-anaknya, dan kita punya hak memilikinya.

Kenapa kita kelaparan? Apa yang telah kita lakukan?”

Novel ini, yang mulai ditulis pada 1957 dan diserialkan di koran Al Ahram, dilarang

diterbitkan di Mesir. Para ulama di Universitas Al Azhar mengharamkannya. Baru kemudian,

pada 1967, cerita yang tak dapat dibaca di seluruh dunia Arab itu terbit di Libanon dengan

judul Awlad Haratina (”Anak-anak Gang”).

Memang bukan persoalan tafsir terhadap masa lalu yang menyebabkan lembaga kekuasaan

agama itu murka, melainkan persoalan tafsir atas teks. Novel itu, yang bisa dibaca sebagai

alegori yang muram tentang Mesir di bawah kepemimpinan Nasser, oleh para ahli agama

Page 198: catatan pinggir

dianggap penghinaan kepada Islam: jumlah bab dalam novel ini, kata mereka, sama dengan

jumlah surah Qur’an, dan Gebelaawi, yang dianggap lambang Tuhan, mati di bagian akhir.

Agaknya ketika Mahfouz luka parah setelah dicoba dibunuh pada 1994, tuduhan macam

itulah yang masih berdengung di kepala sang pembunuh.

Tapi bukankah masa lalu juga seperti novel: sebuah teks yang tak dapat dicopot, tapi selalu

dibaca dan dibentuk oleh rasa kehilangan? Dalam hal para ulama Al Azhar, rasa kehilangan

itu datang karena merasa iman terancam dan agama tak lagi utuh dan stabil.

Persoalannya: keadaan terancam itu akan selalu menyertai tiap iman, tiap dogma, karena

sumber Kata tak lagi terjangkau. Tapi anehnya manusia justru bisa nyaman dengan itu.

Seperti dikatakan Kirsha, si pemilik kedai, orang tak butuh lagi penyair yang menembangkan

selawat Nabi. Mereka butuh radio.

Seperti penyair tua di novel itu, Mahfouz pergi, bahkan sebelum ia meninggal pekan lalu.

Bunyi-bunyi lain telah meningkah suaranya yang kian lemah.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXV/04 – 10 September 2006~

Majenun Agustus 23, 2010

DI sana-sini, dunia perlu orang majenun. Atau penyair. Atau kedua-duanya.

”Kenapa kalian, para penyair, begitu terpesona kepada orang gila?”

”Kami punya banyak kesamaan.”

Dialog ini, dalam film Man from La Mancha, berlangsung dalam sebuah penjara bawah tanah

di Spanyol abad ke-17. Si penyair yang menjawab pertanyaan itu adalah Miguel de

Cervantes. Dalam catatan sejarah dialah penulis El ingenioso hidalgo don Quijote de la

Mancha yang lebih dikenal sebagai Don Quixote: dua jilid panjang yang berkisah tentang

seorang majenun. Dalam film ini, diproduksi di tahun 1972, kisah itu diadaptasi dengan

pendekatan yang ingin berbicara untuk zaman kita—zaman yang tak mau menerima kegilaan.

Adapun bagian pertama novel ini terbit di tahun 1605 di Madrid. Ia sebuah satire: Don

Quixote tampil sebagai tokoh yang ditertawakan. Tapi berangsur-angsur dalam Cervantes

terasa tumbuh rasa sayang kepada si majenun ciptaannya. Jika dibaca dengan jilid keduanya

yang terbit di tahun 1615, ada yang sayu dalam kegilaan itu: Alonso Quijana, seorang tua

yang terlalu banyak membaca buku tentang ksatria, tiba-tiba meninggalkan rumahnya,

berkeliling naik kuda dan menganggap dirinya seorang caballero. Seakan-akan Spanyol

masih di zaman dongeng lama ketika para ksatria bertempur untuk hal-hal yang luhur. Alonso

Quijana menyebut diri ”Don Quixote de la Mancha”.

Film Man from La Mancha merupakan adaptasi musikal atas kisah yang sudah beredar 300

tahun itu. Saya tak pernah menyukai musikal, tapi karya sutradara Arthur Hiller dengan

skenario Dale Wasserman ini bagi saya sebuah perkecualian yang tak terlupakan. Terutama

karena Peter O’Toole bermain dengan cemerlang sebagai Cervantes dan sekaligus Don

Quixote—dan terutama karena mise-en-scène yang bisa menggabungkan teater gaya Brecht

dengan layar putih á la Hollywood.

Page 199: catatan pinggir

Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit,

yang ditangkap bersama bujangnya yang setia. Jawatan Inkuisisi, lembaga Gereja Katolik

Spanyol yang dengan tangan besi menjaga keutuhan umat dan iman, menjebloskan mereka ke

dalam kurungan di bawah tanah. Tak ayal, dalam calabozo yang seram itu mereka dikerubuti

para tahanan lain: semua milik yang mereka bawa harus diserahkan.

Cervantes mencoba mempertahankan satu naskah dan satu peti yang dibawanya. Ia siap

membela diri di depan mahkamah kurungan itu. Ia minta diizinkan menyajikan satu lakon.

Pemimpin para tahanan itu setuju. Dengan cepat, sang penyair membuka petinya. Ia kenakan

kostum dan tata rias, dan muncul sebagai Alonso Quijana, pak tua yang terkena delusi berat

dan membayangkan diri sebagai Don Quixote.

Ruang sempit yang pengap itu jadi pentas. Ksatria imajiner itu, dengan diiringi pelayannya,

kini disebut Sancho Panza, naik kuda imajiner. Pada detik-detik berikutnya, kamera

memindahkan adegan itu ke alam luas: kedua orang itu tampak menempuh plateau sunyi La

Mancha. Don Quixote tegak di atas pelana di punggung Rocinante.

Perjalanan mereka tentu saja tak sepanjang yang dikisahkan novel. Teks Wasserman (penulis

lakon yang juga membuat adaptasi karya Brecht, Die Dreigroschenoper) hanya menampilkan

beberapa bab yang penting dari narasi Cervantes.

Yang paling penting: pertemuan Don Quixote dengan pelacur Aldonza, di sebuah losmen.

Kita ingat sang majenun membayangkan losmen buruk itu sebuah kastil dan si pelacur

sebagai Dulcenia—seorang putri bangsawan kepada siapa ia akan mempersembahkan hidup

dan cintanya.

Di sini kisah Don Quixote berhenti sebagai cemooh. Ia jadi sebuah alegori. Kita menyaksikan

wajah kegilaan yang luhur dan sosok bloon yang baik hati. Dalam kemajenunannya, orang

dari La Mancha itu ingin menyelamatkan dunia dari putus asa dan sinisme. ”I hope to add

some measure of grace to the world,” katanya agak malu-malu, sambil memandang Aldonza

dengan lembut, mesra, tapi dengan sinar mata seorang gila.

Aldonza (diperankan Sophia Loren) tak mengerti semua itu. Ia selama itu jadi obyek nafsu

lelaki. Ia merasa nista dan tak pernah punya keyakinan bahwa berkah serta kelembutan bisa

tumbuh dari hidup. ”Dunia adalah seonggok tahi sapi,” katanya ketus dan pahit, ”dan kita

belatung yang merayap di atasnya.”

Don Quixote dengan halus membantah. ”Dalam hati, tuan putri tahu bahwa tak begitu

sebenarnya.”

Aldonza meludah. Baginya, Don Quixote manusia sia-sia yang akan dihajar nasib. Tapi laki-

laki tua yang kurus dan linglung itu menjawab: ”Akan kalah atau menangkah hamba, itu tak

penting.”

Apa yang penting? Yang penting adalah perjuangan itu sendiri, bukan hasilnya: perjuangan

untuk membubuhkan yang mulia di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab, bagi seorang

ksatria, itu sebuah privilese.

To dream the impossible dream,

Page 200: catatan pinggir

To fight the unbeatable foe,

To bear with unbearable sorrow

To run where the brave dare not go

To right the unrightable wrong

Dengan itu, berbeda dari novel Cervantes, Man from La Mancha menampilkan Don Quixote

sebagai seorang yang tulus dan militan—yang tergetar oleh sesuatu yang tak terhingga,

tampak sebagai seorang majenun yang tak punya kalkulasi praktis, seperti halnya seorang

penyair yang masuk menemui malam entah untuk apa.

Gila, tentu. Tapi seperti diucapkan tokoh Cervantes dalam film ini, ”barangkali yang terlalu

praktis, itulah kegilaan”. Barangkali terlalu kuatnya akal sehat—yang melepaskan mimpi—

itulah kegilaan.

Berjuang dengan setia bagi mimpi, untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun

mustahil, adalah kegilaan yang memberi harga kepada manusia. Aldonza akan bisa

menemukan yang luhur dalam hidup. Ia bisa terbebas dari jepitan akal praktis dari zaman

yang hanya mau menghitung laba-rugi. Ia bisa tahu, ia bukan belatung di atas onggokan tahi.

Majalah Tempo Edisi Senin, 23 Agustus 2010~

Mak Mei 5, 2008

Pada suatu peringatan 1 Mei, sejumlah buruh ditangkap, termasuk Pavel—dan Maksim

Gorky menulis novel Mat’. Pramoedya Ananta Toer menerjemahkannya dengan Ibunda. Saya

kira kata yang lebih cocok adalah ”Mak”.

”Ibunda” memang mengandung rasa hormat dan hangat, dan tokoh novel ini, Pelagedia

Nilovna, perempuan yang mendampingi anaknya dalam perjuangan buruh itu, patut disebut

dengan sungkan dan sekaligus mesra, bak Maria yang melahirkan Yesus. Tapi, dalam bahasa

Melayu, ”ibunda” adalah kata panggilan di kalangan atas. Panggilan ”mak” lebih lazim di

lapisan rendah masyarakat.

Namun Pramoedya tak sepenuhnya keliru. Pilihan judul itu mencerminkan paradoks karya

sastra yang hendak mengobarkan semangat perjuangan: menyatakan diri bagian dari

”realisme” tapi condong ke arah mitologi.

Tokoh Mat’ didasarkan pada kisah nyata Anna Zalomova yang berjalan ke mana-mana

menyebarkan pamflet revolusi setelah anaknya ditahan polisi dalam sebuah aksi massa. Tapi,

dalam novel ini, sang ibu—dengan iman Kristennya yang masih utuh, dengan cintanya

kepada Pavel, sang anak yang berubah dari si bandel jadi pejuang buruh—senantiasa hadir

sebagai bayang-bayang sang suci; si mak terasa lebih agung ketimbang manusia sehari-hari.

Di bab terakhir ucapannya fasih-lidah kepada orang ramai, ketika polisi mulai mengepung:

Page 201: catatan pinggir

”Untuk mengubah hidup ini, untuk membebaskan semua, membangunkannya dari kematian,

sebagaimana aku dibangunkan, beberapa orang telah datang, mereka yang secara

bersembunyi-sembunyi telah menyaksikan kebenaran dalam hidup. Bersembunyi-sembunyi,

sebab, kalian tahu, tak seorang pun dapat mengucapkan kebenaran itu dengan lantang. …

Sejauh ini kebenaran adalah musuh bebuyutan dari si kaya, musuh yang tak akan dapat diajak

damai selama-lamanya! Anak-anak kita tengah membawa kebenaran ke dunia.…”

Rangkaian kalimat itu mirip khotbah seorang nabi di depan kenisah: kata ”kebenaran” disebut

berkali-kali. Dan ketika akhirnya polisi menyerbu, Pelagedia Nilovna tak berhenti.

Perempuan ini seakan-akan martir yang tak bisa luka.

Pendek kata, ia tokoh ideal; ia lahir dengan takdir yang didesain sang pengarang. Mungkin itu

sebabnya novel ini tak punya banyak kelok yang rumit tak disangka-sangka. Sekali kita tahu

pesan yang hendak disampaikan Gorky, kita segera temukan garis lurus antara bab pertama

yang melukiskan kehidupan kumuh kaum proletar dan bagian akhir yang menunjukkan

kegagahberanian.

Mungkin itu pula sebabnya novel yang begitu menggugah ketika dibaca di awal abad ke-20

di Rusia, di awal abad ke-21 ini akan disambut dengan satu tarikan napas: tak ada yang baru

di situ.

Zaman memang tak seperti dulu. Kini mitos kian goyah, realisme problematis. Kini manusia

adalah ”orang”, makhluk yang lebih mengasyikkan tapi juga menjengkelkan. Lebih dari satu

dasawarsa setelah Gorky menuliskan novelnya, Freud menunjukkan bahwa kita semua (juga

para nabi dan pahlawan) punya bawah-sadar yang penuh nafsu, naluri, dan hasrat

kenikmatan. Kini kita lebih skeptis memandang pokok & tokoh.

Dan apa arti ”realisme”, jika ”realitas” kian disadari sebagai dunia hasil konstruksi yang

didukung bahasa sendiri?

Dalam Bab XIX, Pavel, buruh muda yang akhirnya jadi kebanggaan maknya, berdiri di

samping bendera merah yang berkibar: ”Kawan semua! Kita telah putuskan untuk

menyatakan secara terbuka siapa kita; kita junjung bendera kita hari ini, bendera nalar,

kebenaran, kebebasan!”

Begitu meyakinkankah ”nalar”?

”Hidup rakyat pekerja!” Pavel berseru pula, dan ratusan suara menyahut, ”Hidup Partai

Pekerja Sosial Demokrasi, partai kita… ibu rohani kita.”

Bagaimana mungkin Partai jadi ”ibu rohani”?

Menjelang Revolusi Oktober 1917, ”nalar” dan partai sebagai ”ibu rohani” adalah bagian dari

iman gerakan Bolsyewik. Tapi, September 1980, kaum buruh Polandia mengibarkan gerakan

mereka, Solidarnosc, yang menentang Partai Komunis yang berkuasa atas nama proletariat.

Kita pun diingatkan kembali: kaum pekerja lahir dari kerja—bukan dari ideologi. Ideologi

adalah hasil dari ”nalar”. Kaum pekerja tumbuh dari bawah, dari otot dan peluh, sedangkan

Partai, ”sang ibu rohani”, akhirnya tak bersentuhan dengan otot dan peluh, elemen jasmani

para proletar.

Page 202: catatan pinggir

Bahkan sang buruh, yang bukan mitos, tak selamanya ingin menghabisi kapitalisme. Di

Indonesia, ada yang lebih menderita: para penganggur, yang tiap kali buruh memperoleh

upah minimum yang lebih tinggi, tiap kali pula para tunakarya itu kehilangan kesempatan

kerja.

Tapi Gorky bisa dimaafkan. Pada tahun 1907, ketika Mat’ terbit, Partai, ”si ibu rohani”,

belum berkuasa dan berubah jadi Bapak yang streng. Baru pada 1918, setelah majalahnya,

Novaya Zhin, diberangus Partai, Gorky tahu apa yang ia hadapi; ia menulis sebuah buku yang

kritis—yang baru bisa diterbitkan di Rusia setelah Uni Soviet runtuh.

Tapi mengherankan, hari-hari itu bahkan Gorky tak mengingat Engels (dalam Anti-Dühring)

yang menunjukkan pentingnya elemen jasmani dalam kerja dan sejarah.

”Kerja”, bukan ”karya”, berasal dari badan yang tegak, ketika manusia tak lagi menggunakan

tangannya untuk merangkak. Tangan yang bebas itulah yang membentuk kerja: menenun dan

meniup serunai, menulis alkisah dan Alkitab. Otak pun berkembang amat jauh, hingga

”nalar” seakan-akan lepas dari jasmani.

Yang jasmani memang tak kekal dan tak pasti. Mungkin itu sebabnya dalam novel ini Si Rus

Kecil berseru: ”Kawan-kawan! Kita telah memulai sebuah prosesi suci atas nama Tuhan yang

baru, Tuhan Kebenaran dan Cahaya, Tuhan Nalar dan Kebaikan!”

Jangan-jangan ini nostalgia tubuh kepada ”roh”, agama yang ngumpet di balik ”materialisme

dialektik”, mitologi yang berbaju ”realisme”. Tak aneh jika para pejuang sering lupa: yang

merasa benar dan kekal akan terasing dari sejarah.

~Majalah Tempo Edisi. 11/XXXVII/05 – 11 Mei 2008~

Makam Mei 28, 2007

Bumi berkarang Kota Yerusalem praktis sebuah kuburan tua yang kini tak jelas batasnya.

Beribu-ribu tahun lamanya penghuni kota ini, apa pun agamanya, mengebumikan jenazah

keluarga mereka di tanah itu. Tak mengherankan bila juga di dekat apartemen milik Tova

Bracha itu, di Talpiot Timur, terdapat sebuah makam kuno.

Tak tampak ada yang istimewa di situs itu—sampai ketika Discovery Channel menyiarkan

sebuah film dokumenter yang menyentakkan dunia. Para pembuatnya, sutradara TV Israel

yang terkenal, Simcha Jacobovici, dan sutradara film Titanic, James Cameron, menyatakan

makam itu adalah makam keluarga Yesus. Bahkan sisa-sisa tubuh tokoh yang disembah

sebagai Kristus, sang Penebus, itu sendiri mungkin diletakkan dalam salah satu dari 10

ossuarium yang ditemukan di dalam rongga di tanah berkarang itu.

Yesus, yang tubuhnya dimakamkan, yang berkeluarga, bahkan mungkin punya istri dan

anak….

Saya menonton versi pendek The Lost Tomb of Jesus pekan lalu di Teater Utan Kayu

bersama hadirin yang berjejal. Setelah itu, ceramah Ioanes Rakhmat, seorang pendeta yang

juga baru menerbitkan bukunya, Yesus, Maria Magdalena, Yudas dan Makam Keluarga. Baik

presentasinya maupun bukunya adalah paparan yang jernih dan sangat terpelajar—yang

Page 203: catatan pinggir

menunjukkan, seperti juga yang hendak dikemukakan film Jacobovici dan Cameron, bahwa

bukan mustahil Yesus sebenarnya tak pernah diangkat langsung dengan seluruh tubuhnya ke

surga di hari ia disalibkan di bukit Golgotha.

Dengan kata lain: apa yang dituturkan dalam Perjanjian Baru dan dengan versi yang berbeda

dalam Quran bisa ”salah”.

Tapi apakah ”salah”, apakah ”benar”? Makam di Talpiot itu memang membuat kita berdebar-

debar. Mungkin saja saya salah. Mungkin akhirnya tak akan ada suatu guncangan yang

dramatis dalam ketaatan religius di abad ke-21 ini. Apabila 10 ossuarium itu akhirnya

membuktikan bahwa keajaiban Tuhan tak terjadi di Golgotha dan sesudahnya—Yesus

ternyata wafat sebagaimana manusia biasa, dengan tubuh yang dimakamkan di bumi—

mungkin banyak orang akan kembali menemukan cara untuk terus tetap beriman. Seperti

dikatakan Jacobovici, orang akan percaya pada yang ia ingin percayai.

Yang kemudian akan tertinggal bagi mereka yang tak mau berhenti berpikir adalah ulangan

perdebatan klasik: mungkinkah mukjizat yang begitu dahsyat—tubuh manusia masuk ke

surga, yang selama ini dilukiskan sebagai bagian dari dunia roh—bisa terjadi dan Tuhan bisa

mengalahkan hukum alam, juga hukum alam yang dikehendaki-Nya? Sejauh manakah beda

dan jarak antara Tuhan dan sejarah?

Betapa tak gampang untuk dijawab. Kehidupan Yesus memang mengundang ketakjuban dan

skeptisisme. Dalam Yesus, Maria Magdalena, Yudas, Ioanes Rakhmat mencoba menjelaskan

dimensi ke-tuhan-an Yesus dan ke-insaniah-annya, dari kata-kata Paulus: ada pembedaan di

antara ”Allah” Sang Bapa dan ”Tuhan” sebagai sebutan Yesus. Ada kontinuitas dan

diskontinuitas antara kedua ”entitas” itu. Dalam diskontinuitas, dengan sendirinya ”Yesus

sejarah” akan didekati sebagai sosok dalam ruang dan waktu.

Itulah sebabnya, sejak abad ke-18 di Eropa, ketika Zaman Pencerahan mulai membuka jalan

seluas-luasnya bagi rasio— persisnya sejak Hermann Samuel Reimarus (1694-1768)—para

penelaah mencoba menjelaskan ”Yesus sejarah” itu dengan bersemangat. Reimarus,

misalnya, melihat pada diri Yesus dari Nazareth seorang revolusioner yang menjanjikan

datangnya Messiah, yang karena kegagalannya menyebabkan para pengikutnya mencuri

tubuhnya sehabis disalibkan, dan dari sini kisah kebangkitan kembali mulai—juga kelanjutan

hidup sebuah agama baru.

Reimarus hanyalah pemula. Dan tak semua yang berbicara tentang ”Yesus sejarah”

berkehendak menggugat iman. Bahkan seperti disebutkan dalam karya Albert Schweitzer

yang terkenal, Von Reimarus zu Wrede (dalam versi Inggris: The Quest of the Historical

Jesus ), para pakar theologi Kristen mencoba mendekati kesejarahan Yesus dalam usaha

mereka menjawab apa yang jadi kecenderungan zaman, ketika mukjizat tak dapat lagi

diterima sebagai mukjizat, melainkan sebagai gejala alamiah.

Pleidoi itu bisa dimengerti, dan bukan mustahil. ”Kekristenan sendiri,” tulis Ioanes Rakhmat,

”sebenarnya mengakui bahwa Yesus itu seorang manusia juga.” Dari dasar ini rasionalisme

abad ke-19 melahirkan pemikir dan theolog yang, seperti Schleiermacher, seorang penerus

Kant, berusaha keras dengan nalar membela agama Kristen dari para pengecamnya.

Tapi tak berarti ”Yesus sejarah” memadai. Schweitzer mengungkapkan hal ini dengan

mengingatkan akan keimanan Paulus, seseorang yang, berbeda dengan rasul-rasul lain, tak

Page 204: catatan pinggir

pernah bertemu dengan Yesus sendiri. Kita mengalami apa yang dialami Paulus, tulis

Schweitzer, ”ketika kita datang lebih dekat ke Yesus sejarah… bahkan sudah mengulurkan

tangan untuk menariknya ke dalam zaman kita, kita harus menyerah dan mengakui kegagalan

kita.” Ia mengingatkan pesan Paulus yang paradoksal: mengenal Kristus dalam daging

sebenarnya tak mengenalnya lagi.

Jarak atau dalam kata Ioanes Rakhmat ”diskontinuitas” itu agaknya harus ditekankan

kembali. Di abad ke-20, sehabis Perang Dunia I, Karl Barth adalah suara yang menegaskan

ini. Tuhan dan manusia berbeda secara radikal. Manusia tak akan mengetahui-Nya. Manusia

hanya bisa menunggu, dalam agama, datangnya wahyu.

Tapi jika jarak antara Tuhan dan manusia begitu mutlak, bila antara keduanya tak ada

dialektika, hanya mungkin ada ”diastatasis”, bagaimana Ia bisa menggerakkan hati kita,

bagaimana pula kita memahami-Nya? Bukankah akan lebih mudah bila kita bayangkan

seorang manusia, yang kesakitan dan mati sebagai manusia, karena ia tahu betapa dekatnya

Tuhan dengan kita yang fana?

Terus terang, saya tak berani menjawab.

~Majalah Tempo, Edisi. 14/XXXIIIIII/28 Mei – 03 Juni 2007~

Mall Mei 7, 2007

JIKA tuan berdiri di salah satu sudut Senayan City, tuan akan tahu bagaimana malam

berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang luas dan disejukkan pengatur

udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik

menyusup lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu

memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.

Sepuluh–bukan, lima–tahun yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, juga kenikmatan

dan kegawatannya.

Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall di Jakarta, dan tiba-tiba

saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa mega-kilowatt listrik dikerahkan untuk membangun

kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, pada suatu

hari di Tokyo, di tepi jalan yang meriah di Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang,

menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang.

“Tahukah Tuan,” tanyanya, “jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di

seluruh Jepang?”

Saya menggeleng, dan ia menjawab, “Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik

yang tersedia buat seluruh Bangladesh.”

Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan rumah-rumah sakit

yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya

daya sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya–mesin yang menawarkan sesuatu yang

sebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.

Page 205: catatan pinggir

Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt

energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan

tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh

tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores.

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu

fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang,

sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi

yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi

yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja–termasuk mereka yang tak

pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang

justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan

dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika

bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi

0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata

menghabisi 11,4 kW.

“Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia,” kata teman Jepang itu pula, “terlalu sulit,

terlalu sulit.”

Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Saya dengar ia hidup di sebuah dusun

di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk

menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga

tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan–tapi kata-katanya masih terngiang-

ngiang, “terlalu sulit, terlalu sulit.”

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan itu: dalam

catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih

dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan

laut di masa depan akibat cairnya es di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di

Lautan Teduh itu–dan tak menenggelamkan Amerika.

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi

ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama

menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi

mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami

mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi

C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika,

Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi

anakcucu kita?

“Terlalu sulit, terlalu sulit,” kata teman Jepang itu.

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. “Lebih layak”

adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya. Kini satu

miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin

Page 206: catatan pinggir

juga baju Polo Ralph Lauren dan parium Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak,

benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India

berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang

selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit

kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu

sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi

benda yang sia-sia.

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala sesuatu yang kita

hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi

sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.

Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada

mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang rahib? Di mall itu,

saya melihat ke sekitar. Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.

~Majalah Tempo Edisi Edisi. 10/XXXIIIIIII/07 – 13 Mei 2007~

Manifes Agustus 9, 2010

Di bulan Agustus 1963, sebuah dokumen ditulis dan diumumkan: ”Manifes Kebudayaan”. Ia

dengan segera menimbulkan kontroversi yang heboh. Isinya dianggap ”kontrarevolusioner”

oleh Lekra dan organisasi-organisasi kebudayaan dan politik yang diakui pemerintah waktu

itu. Kemudian juga oleh Presiden Soekarno.

Pada 8 Mei 1964, dokumen itu—kemudian disebut dengan ejekan ”Manikebu”—dinyatakan

”terlarang”. Para penandatangannya, umumnya sastrawan, tak boleh menerbitkan karya

mereka di mana saja. Di masa ”demokrasi terpimpin”, yang sudah membredel sejumlah surat

kabar dan majalah dan memenjarakan sejumlah orang, misalnya Mochtar Lubis, larangan itu

punya efek yang tak main-main.

Jika hari ini saya menulis tentang dokumen itu bukan untuk mengungkapkan lagi represi

yang terjadi masa itu. Saya menulisnya karena sebentar lagi 17 Agustus.

Inilah tanggal ketika kita umumnya mengingat apa yang diharapkan dari kemerdekaan yang

direbut dan republik yang didirikan. Hampir tiap tahun, Agustus adalah bulan ketika kita

dengar suara kekecewaan yang berulang-ulang seperti sebuah litani: ”Indonesia merdeka tapi

rakyat masih sengsara”, ”tak ada lagi semangat bersama”, ”terpuruk” (kata ini paling sering

disebut), dan bahkan ”gagal”.

Kita jarang bertanya: tidakkah kita punya harapan yang berlebihan dari sejarah, dan sebab itu

berlebihan pula kecewa kepada zaman?

Saya ikut merumuskan ”Manifes Kebudayaan”. Dalam umur 22 tahun itu saya, ketika para

mahasiswa dan lain-lain harus belajar Marxisme, saya menemukan kalimat Marx ini:

”Manusia membuat sejarah, tapi bukan membuatnya semau mereka.” Keadaan yang kita

temui, ketika kita bergerak mengubah dunia, bukanlah keadaan yang kita pilih sendiri. Ia ada

sebelum kita ada. Kita harus bernegosiasi dengan apa yang datang dari generasi yang telah

Page 207: catatan pinggir

mati yang, menurut Marx, memberat di pikiran generasi yang masih hidup bagaikan ”mimpi

buruk”.

”Manifes” agaknya sebuah dokumen pemikiran pertama yang waktu itu mengakui

keterbatasan manusia dalam mengubah sejarah itu. Teks itu menampik utopianisme. Bagi

para penandatangannya, masyarakat yang sempurna tak akan pernah ada:

”Kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena kami menyadari bahwa dunia ini

bukan sorga. Karena berfikir secara dialektik, maka kami mengakui kenyataan-kenyataan

bahwa lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-masalah, dan setiap

tantangan yang kami jawab akan menimbulkan tantangan-tantangan baru.”

Dengan menyebut ”kami berfikir secara dialektik”, ”Manifes” ingin menegaskan bahwa

dialektik tak akan berhenti dalam satu tujuan tertentu. Dengan demikian, sejarah adalah

sebuah proses yang terbuka. Sejarah tak pernah terbentuk sebagai lingkaran totalitas, karena

tak akan ada sebuah kekuasaan yang bisa menguasai masa lalu, masa kini, dan masa depan

sepenuhnya. ”Kebudayaan dari suatu periode adalah senantiasa kebudayaan dari kelas yang

berkuasa,” kata ”Manifes”, mengutip Marx. Tapi sejarah juga mengajarkan: ”Justru karena

tidak termasuk dalam kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan baru.”

Kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan bisa penuh. Ada gema pemikiran

Gramsci, pemikir Marxis Italia itu, dalam teks ”Manifes”: ia sebenarnya berbicara tentang

keniscayaan munculnya ”kontrahegemoni”.

Di sana, ada dua wajah dalam gerak kehidupan politik yang mengisi ruang ”hegemoni” dan

”kontrahegemoni” itu. Di satu sisi, antagonisme politik menarik garis antara kawan dan

lawan. Namun di sisi lain, gerak politik juga mengandung acuan ke sesuatu yang universal.

”Manifes” dikecam karena di dalamnya termaktub kata ”humanisme universal”. Dalam

suasana politik yang mengagungkan konfrontasi yang militan—ketika sikap memihak adalah

mesti—pengertian ”universal” dianggap mengaburkan sasaran perlawanan. Tapi saya kira

ada salah paham di sini. Semangat untuk yang ”universal” justru bisa bertaut erat dengan

semangat untuk memihak.

Jauh setelah ”Manifes Kebudayaan”, pemikir yang pernah jadi aktivis buruh Argentina,

Ernesto Laclau, mengambil contoh seorang pejuang revolusioner yang militan: jika aku ikut

dalam aksi menduduki pabrik dengan tujuan memperjuangkan kenaikan gaji, hari libur

tambahan, dan yang semacam itu, keterlibatanku akan berakhir bila tuntutan setempat itu

terpenuhi.

Sebaliknya jika partisipasiku dalam aksi-aksi itu dilihat lebih luas: sebagai bagian dari

perjuangan revolusioner yang hendak mencapai cita-cita yang universal. Di situ aku mungkin

tak akan terpaut penuh dengan tuntutan kenaikan gaji dan tambahan hari libur, tapi justru

sebab itu aku akan lebih militan: perjuanganku adalah untuk sesuatu yang lebih luas—

masyarakat sosialis, misalnya—yang akan dinikmati siapa saja, di mana saja.

Di mana saja, siapa saja: kita ingat, 17 Agustus 1945 tak bisa dipisahkan dari kalimat terkenal

ini: ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak semua bangsa…”.

Page 208: catatan pinggir

Tapi senantiasa, perjuangan untuk sesuatu yang universal hanya bisa terlaksana dalam

kondisi yang terbatas. Kemerdekaan yang harus diisi untuk siapa saja dan di mana saja

akhirnya hanya diisi oleh (dan untuk) manusia-manusia di ruang dan waktu tertentu. Itu

agaknya bulan Agustus adalah bulan ketika orang mengeluh—seraya mungkin tahu, atau tak

tahu, bahwa tiap keluhan sebenarnya menyembunyikan harapan.

Sejarah adalah dialektika antara keluhan dan harapan, sebab, seperti tertulis dalam ”Manifes

Kebudayaan”, dunia ini ”bukan sorga”.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 09 Agustus 2010~

Maridjan November 8, 2010

Mbah Maridjan: sebuah pertanyaan. Ia tewas di tempatnya bertugas di Gunung Merapi,

karena ia sejak lama menolak turun menghindar dari letusan yang telah berkali-kali menelan

korban itu. Kesetiaannya mengagumkan, tapi apa arti tugas itu sebenarnya?

Ia, meninggal dalam usia 83, mungkin sebagai pelanjut dari alam pikiran yang dikukuhkan

Kerajaan Mataram sejak abad ke-17. Ia pernah bercerita, Merapi adalah tempat terkuburnya

Empu Rama dan Permadi, dua pembuat keris yang ditimbuni Gunung Jamurdipa karena telah

mengalahkan dewa-dewa. Kedua orang itu tak mati. Mereka hidup, menghuni gunung yang

kemudian disebut Merapi itu—yang jadi semacam keraton para arwah. Dan ke sanalah Raja

Mataram (Islam) pertama, Panembahan Senapati (1575-1601), mengirim juru tamannya yang

berubah jadi raksasa. Si raksasa diangkat sebagai “Patih Keraton Merapi”, dijuluki Kiai

Sapujagat. Dengan itu, Panembahan Senapati, yang dikisahkan mempersunting Ratu Laut

Selatan, menunjukkan bahwa kuasanya juga membentang ke arah utara. Dan di situlah

pelanjut Kerajaan Mataram, atau Yogyakarta sejak abad ke-19, mengangkat orang untuk jadi

kuncen Merapi.

Maridjan, yang biasa dipanggil “Mbah”, sejak 1982 diangkat Hamengku Buwono IX untuk

tugas itu. Betapa penting kehormatan itu bagi si jelata yang lahir di Dukuh Kinahrejo di kaki

Merapi itu. Ia menyandang gelar kebangsawanan “Raden”; nama resminya Surakso Hargo.

Tapi ia tak tunduk kepada raja yang sekarang, Hamengku Buwono X. Dalam majalah

National Geographic yang terbit Januari 2008, (“Living with Volcanoes”, tulisan Andrew

Marshall), disebutkan bagaimana Maridjan menganggap HB X membiarkan para pengusaha

mencopoti jutaan meter kubik batu dan pasir dari tubuh Merapi. Juga dikatakan Sri Sultan

enggan ikut dalam upacara nyadran ke Kiai Sapujagat, ketika makanan, kembang, kain, dan

potongan rambut serta kuku raja dipersembahkan untuk melestarikan hubungannya dengan

Keraton Merapi.

Agaknya Maridjan tak mengerti, HB X ada di alam pikiran yang berbeda. Sri Sultan, yang

dalam National Geographic digambarkan mengisap lisong Davidoff dan suka setelan Armani,

mengatakan: “Sebuah bangsa yang besar tak dapat dibangun di atas mithos yang pesimistis.”

Modernitas memang berangkat dengan optimisme. Ia bertolak dari keyakinan manusia bisa

melepaskan diri dari alam sekitarnya. Dengan jarak itu, ia sanggup mengendalikan dunia.

Fisika, geografi, ilmu kimia, dan juga teknologi bertumbuh terus dari kesanggupan

Page 209: catatan pinggir

menaklukkan bumi. Kesadaran modern menganggap alam sebagai materi yang mati. Tak ada

peri menghuni samudra, tak ada raksasa menjaga Merapi.

Di abad ke-18, di Jerman, penyair Schiller menyebut arus modern ini sebagai die

Entgötterung der Natur, “lepasnya dewa-dewa dari alam”.

Tapi tak hanya di Jerman di zaman Schiller dan Goethe tumbuh kesadaran hilangnya sifat

yang magis dari alam. Animisme, yang menganggap benda-benda sekitar punya sukma,

tergusur di Yunani sejak Sokrates dan Plato. Sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, rasionalitas

disambut. Sokrates tak menyukai mereka yang bekerja hanya berdasarkan “naluri”. Plato tak

menghendaki penyair yang memandang alam sebagai sesuatu yang senyawa dengan manusia.

Tak dapat dilupakan: alam jadi mati, sebagaimana animisme terusir, sejak monotheisme

ditegakkan. Pada mulanya adalah agama Yahudi. Yahweh adalah Tuhan yang “cemburu”,

demikian disebut dalam Perjanjian Lama. “Janganlah ada padamu allah lain di hadapan-Ku”,

begitu sabda-Nya. Maka sebagaimana orang-orang penyembah patung lembu dibinasakan,

segala sikap yang menganggap benda apa pun sebagai sesuatu yang punya anima dianggap

menyembah berhala.

Monotheisme yang mengharamkan animisme itu berlanjut dalam agama Kristen dan Islam.

Pada satu titik, agama Ibrahim ini bertemu dengan semangat modern: saat “lepasnya dewa-

dewa dari alam”. Tak mengherankan bila tendensi anti-takhayul tumbuh misalnya di

kalangan Muhammadiyah, yang lazim disebut sebagai pembawa modernitas dalam Islam di

Indonesia. Tak mengherankan bila orang Muhammadiyah (seperti halnya HB X) cenderung

menampik adat nyadran di Merapi dan di mana saja. Nyadran adalah pemberhalaan.

Tapi ada yang sebenarnya hilang ketika adat itu disingkirkan. Max Weber, sosiolog itu, telah

termasyhur dengan telaahnya tentang proses hilangnya yang “magis” dari dunia, yang terjadi

sejak modernitas berkembang biak. Manusia sejak itu hanya menggunakan “akal

instrumental”, memperlakukan alam sebagai sesuatu yang bisa diperalat, dengan hasil yang

bisa diarahkan. Dunia modern dan kerusakan ekologi cepat bertaut.

Yang tak disebutkan Weber: agama-agama pun kehilangan kepekaannya kepada yang

sesungguhnya mendasari iman—kepekaan kepada yang menggetarkan dari kehadiran Yang

Suci, yang dalam kata-kata Rudolf Otto yang terkenal disebut sebagai mysterium,

tremendum, et fascinans. Yang Suci membangkitkan pada diri kita rasa gentar dan takjub

karena misterinya yang dahsyat. Tapi ketika alam dipisahkan dari Yang Suci (karena tak

boleh di-”sekutu”-kan), Tuhan pun berjarak. Ia tak membuat kita luruh. Kita hanya

berhubungan dengan-Nya lewat hukum. Tuhan pun mudah ditebak. Hukuman dan pahalanya

dapat dikalkulasi.

Maka ketika gunung meletus dan tsunami menggebuk, mereka yang merasa bisa

memperhitungkan maksud Tuhan dengan cepat bisa menjelaskan: bencana itu azab, ia terjadi

untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini agama mirip dengan ilmu-ilmu yang merasa bisa

menjelaskan & menguasai alam—dan membuat manusia bersujud kepada Tuhan yang

sebenarnya tak akrab.

Saya kira Mbah Maridjan meninggal dengan bersujud kepada Tuhan yang sama. Tapi Tuhan

itu masih membuatnya gentar, takjub, dan bertanya.

Page 210: catatan pinggir

Majalah Tempo Edisi Senin, 08 November 2010

Marx Juli 10, 2000

Lelucon menentang yang lurus dan yang lumrah. Di panggung atau di layar televisi, Asmuni

atau Kirun menimbulkan gelak karena yang lurus dibengkokkan, yang lumrah dibelokkan. Itu

sebabnya dalam adegan Srimulat para pembantu rumah tangga—yang dalam latar sosial Jawa

mesti seakan-akan tak tampak tapi bekerja patuh di depan para tamu—bukan saja menonjol,

tapi malah mempermainkan sang majikan. Etiket runtuh. Penonton tertawa.

Dalam film bisu awal abad ke-20, Charlie Chaplin melawan ketertiban dengan jadi si

gelandangan kontet yang dengan celana yang terlalu besar mengacaukan agen polisi. Dalam

gaya yang lebih kasar, dalam bentuk slapstick, film-film Abbot dan Castello menggunakan

tubuh sendiri sebagai sasaran kekacauan: kepala yang dipukul penampan, wajah yang

dilumuri kue tart, badan yang jatuh. Dalam film kartun Tom & Jerry, palu dan dinamit

dipakai buat menekankan efek lucu.

Ada yang ganas dalam tiap canda. Mungkin sebab itu dari vaudeville di panggung murah

sampai dengan tingkah laku lucu di layar putih Hollywood, Marx Bersaudara disambut

sebagai badut-badut yang jitu karena di tiap gerak dan suara mereka ada sesuatu yang

nyrempet-nyrempet bahaya—sesuatu yang tak dikenal di alam kelas menengah yang makin

rapi. Tokoh teater Prancis yang kemudian gila, Antonin Artaud, menyambut lelucon Marx

Bersaudara sebagai “penghancuran semua kenyataan yang ada dalam pikiran”.

Tak mengherankan bila film mereka (misalnya Duck Soup, Horse Feathers) dipuja kembali

di Amerika di tahun 1960-an, sebuah zaman ketika generasi muda sedang memberontak.

Film-film itu dibuat di tahun awal 1930-an, sebelum Hollywood ditertibkan oleh kode etik

perfilman yang menuntut agar layar putih mencerminkan selera “orang baik-baik”—sebuah

sikap konservatif yang menyebabkan kehidupan pribadi yang “menyimpang” juga harus

disembunyikan. Ingrid Bergman yang datang dari Swedia itu disisihkan Hollywood lantaran

ia hamil di luar nikah. Rock Hudson yang homoseksual bukan saja harus berperan sebagai

seorang pria yang menyukai perempuan, tapi dalam hidup sehari-harinya dia harus menikah

dengan seorang wanita. Menjelang tata yang mengungkung itu berlaku, di pertengahan 1930-

an, Groucho Marx dan saudara-saudaranya justru mengharu-biru setiap baris yang mapan.

Tapi sejauh mana? Pertanyaan ini memang biasa dimajukan terhadap setiap pembebasan.

Yang lurus dan yang lumrah kian lama kian bisa mencekik, tetapi bisakah hidup terus-

menerus harus berupa letupan lucu?

Beberapa tahun yang baru saja lalu, para pemikir mengecam modernitas sebagai sesuatu yang

sangat terarah dengan fokus untuk menguasai dunia. Sebagai alternatif, tulisan-tulisan

Mikhail Bakhtin disambut. Bakhtin mengumandangkan apa yang disebutnya sebagai

“karnaval”. Yang spontan, tak terduga, bebas, menjadi antitesis bagi semua usaha yang hanya

menuntut efisiensi, efektivitas, kemanfaatan.

Dalam arti tertentu, ini juga sebuah protes kepada hidup yang seperti persegi empat: hidup

yang semua sisinya sama, semua sisinya jadi batas, semua sisisnya sudah bisa diduga.

Marshal MacLuhan mungkin mengungkapkan ini ketika ia mengatakan, dalam sebuah pidato

Page 211: catatan pinggir

di tahun 1969, “Jokes are grievances“: lelucon adalah keluhan. Sadar atau tak sadar, kita

mengeluh kepada beban sebuah dunia yang persegi empat, dan kita melucu.

Tapi Indonesia kini mungkin justru tak sangat membutuhkan itu. Humor memang bagus

untuk menghadirkan sebuah sikap yang lebih leluasa dan tanpa hierarki—dan ini sangat

penting bagi sebuah republik yang selama 32 tahun dipimpin oleh seorang bekas jenderal

yang meskipun sering tersenyum, di balik senyum itu orang lain cemas karena tampaknya si

Boss ada “maksud”. Humor justru bisa membuka hubungan manusia menjadi tanpa maksud

yang tertentu. Tapi pada sisi lain humor juga bisa dipakai untuk menampik apa yang terarah

dan berfokus. Di bawah kepresidenan Gus Dur, bahkan lelucon tampaknya telah jadi cara

melepaskan diri dari tuntutan dan bantahan. Jika Anda datang ke Presiden Republik

Indonesia yang ke-4 dan mengutarakan kritik atau saran, Anda tak akan diberangus. Tapi

Anda akan dijawab dengan penggeli hati—dan semua arah awal pembicaraan pun buyar.

Dalam hal ini, Gus Dur boleh dikatakan seorang Marxis: ia mengikuti gaya Groucho Marx

dan saudara-saudaranya. Tentu saja dengan jauh lebih cerdas. Tapi saya pernah mendengar

seorang wartawan Inggris yang berkata: “Seandainya ekonomi Indonesia bisa ditolong

dengan mengeskpor lelucon, Gus Dur akan berhasil.”

Sayangnya lelucon tak sama dengan barang non-migas, dan seperti dalam canda Marx

bersaudara, ada yang ganas di sana: keganasan mencemooh semua niat untuk efisien dan

efektif, keganasan untuk menafikan keharusan mempunyai rencana. Hidup di Indonesia, kita

tahu, tak semuanya sebuah karnaval ala Bakhtin, ketika banyak orang mati dan jutaan

manusia cemas. Bahkan bagi seorang badut pun kita harus meminta jeda. Seorang perempuan

konon pernah mendengar lelucon Groucho selama tiga hari tanpa putus. Merasa tak bisa lagi

bicara dan tukar-menukar pikiran, ia pun berteriak: “Please, Groucho, stop! Let’s have a nice

quiet normal conversation.”

Agaknya kita juga harus berteriak yang sama kepada Presiden: kita perlu percakapan yang

tenang, enak dan, maaf, produktif.

~Majalah Tempo, Edisi. 19/XXIX/10 – 16 Juli 2000~

Mati Januari 22, 2007

Dan kematian makin akrab.

Begitu banyak orang mati di dekat kita hari-hari ini: dalam sekejap, beberapa ratus

meninggal, bahkan lenyap, karena kecelakaan pesawat terbang di udara yang pekat dan

guncang, karena tenggelamnya kapal di laut yang gaduh, karena tanah longsor yang

membunuh, karena flu burung yang konon berkecamuk—meskipun di sini kematian relatif

tidak kerap—atau karena anjloknya kereta api….

Dan kematian makin akrab—sepotong kalimat dalam sajak Subagio Sastrowardojo.

Kalimat itu mengejutkan, memang. Sebab, dalam imajinasi manusia berabad-abad, tak

terbayangkan ada keakraban antara kematian dan kita sehari-hari. Dalam Kitab Wahyu 6:8

ada gambaran yang mengusik dan mengilhami imajinasi orang Nasrani dari zaman ke zaman:

Page 212: catatan pinggir

imaji seekor kuda berwarna putih pucat yang berderap datang, dan Maut duduk

menungganginya….

Di situ Ajal datang dari jauh. Ia datang dengan deras.

Tapi kalimat puisi Subagio tak aneh, bila, dalam meditasi yang senyap, kita bisa merasakan

betul bahwa ajal sebenarnya tak datang dari ufuk nun di sana. Kematian tersemat dalam

hidup. Ketiadaan berada di dasar ada.

Mungkin jarak antara ajal dan kehidupan adalah beda yang dirumuskan nenek-moyang kita

ketika mereka kemekmek, ngeri, tapi tak mampu memecahkan misteri asal dan akhir

manusia. Bahasa pun memberi nama ”Maut”, dan kita bayangkan ia sebagai satu sosok yang

mengancam: satu makhluk lain dari benua yang terpisah dan tak diketahui.

Dalam pewayangan Jawa, sang Maut adalah Yamadipati, putra Sang Hyang Ismaya dan Dewi

Sanggani. Asal-usulnya dapat ditemukan pada keyakinan Hindu, yang menggambarkan

Yama dalam bentuk buruk dan ganjil dengan kulit yang berwarna hijau atau merah. Ia duduk

di atas punggung kerbau, memegang seutas jerat di tangan kirinya. Dengan jerat itu, ia

sambar nyawa manusia.

Kematian adalah kekerasan—begitulah agaknya yang tersirat dalam citra jerat itu. Sama

dengan yang kita temukan dalam tradisi Eropa: maut adalah sosok yang membawa sabit

panjang, dan dengan itulah kehidupan ditebang dan nyawa dibabat.

Kematian sebagai sesuatu yang datang dari luar diri kita, dan cepat mencekik atau menebas

leher—semua itu menunjukkan penolakan manusia atas ajal. Tapi penampikan yang percuma.

Manusia akan senantiasa kalah. Di situ pula rasa murung merebak ke dalam pelbagai

ekspresi—dalam bentuk doktrin agama, upacara persembahan dan korban, ukiran pagoda,

lukisan gereja, doa di depan altar, kata-kata dalam mantra, kisah sastra, bahkan gambar dalam

sinema.

Kita ingat film Ingmar Bergman yang dibuat pada tahun 1957 itu, Tera Ketujuh: kesatria

Antonius Block pulang dari Yerusalem yang jauh setelah Perang Salib; di negeri Utara itu,

ketika penduduk diserang wabah, ia bertemu dengan Maut. Ia menantangnya bermain catur;

jika ia menang, hidupnya akan lepas dari akhir itu.

Tapi kita tahu apa yang kemudian terjadi. Yang menarik dari karya Bergman ini—dengan

gambaran Maut yang diambilnya dari sebuah lukisan abad ke-15 di gereja di Täby, Swedia—

adalah kehendak untuk membuat kematian merupakan negasi ganda: manusia dikalahkan

olehnya, tapi juga manusia direnggutkan dari arti hidup.

Di sebuah gereja kecil Block membuat pengakuan di depan satu sosok berjubah: ”Aku

berseru kepada Tuhan dalam gelap, tapi kadang-kadang seakan tak ada siapa pun di sana.”

”Bisa saja tak ada siapa pun di sana,” jawab sosok berjubah itu.

”Jika begitu, seluruh hidup hanya horor tanpa makna. Tak seorang pun dapat hidup dengan

maut sebelum ia mati, jika ia merasa bahwa akhirnya ia hanya tak diacuhkan.”

Yang tak diketahui Block ialah bahwa si sosok berjubah adalah Sang Maut sendiri.

Page 213: catatan pinggir

Bagi saya, Bergman melukiskan Maut sebagai sebuah kekuatan yang julig: dengan muslihat

ia kabarkan betapa tak pastinya arti hidup, sebelum ia mengakhiri hidup itu. Memang dalam

agama orang menemukan sebuah penangkal bagi gambaran yang merisaukan itu, tapi justru

itu yang hendak digugat Bergman: dengan agama kita sebenarnya mencoba menutupi

keraguan kita, benarkah ada Tuhan yang memberi makna, bukan hanya Tuhan yang berkuasa.

Tera Ketujuh menandaskan rasa jeri kita.

Tapi di sini Bergman, sang atheis, akhirnya hanya mereproduksi bayangan umum yang

dibawa agama Kristen sejak Abad Pertengahan: Maut memberat bagai kutukan. Bayangan itu

tak universal. Di Bali, misalnya, upacara ngaben mengandung suasana kebersamaan yang

meriah. Dengan kata lain, ada masyarakat yang menerima kematian dengan hati lebih ringan.

Di Indonesia, kita menyebut orang mati dengan eufemisme: ”meninggal(kan) dunia”,

sebagaimana orang Romawi dulu—menurut mereka yang mengetahui—memakai kata

discessit e vita, ”ia telah meninggalkan kehidupan”.

Bahkan di Eropa yang Kristen pun orang tak selamanya mau menanggungkan kemuraman ala

Bergman. Di sebuah kuburan di perbatasan Rumania dan Rusia, ada sebuah dusun yang

punya tempat pemakaman yang unik: tiap kubur diberi nisan salib dari kayu yang digambari

secara lucu satu corak penting hidup si mendiang.

Ada juga sebuah anekdot tentang Maharaja Maximilian I ketika ia berkunjung ke sebuah

biara. Di sana dilihatnya sebuah lukisan yang menggambarkan Maut sebagai kerangka

hidup—satu model yang lazim di Eropa, konon sejak benua itu ditimpa wabah besar.

Maximilian tak berkenan. Dipanggilnya kepala biara untuk menyuruh ubah jerangkong itu

dengan gambar badut.

Syahdan, sejak itu, gambar tentang Maut berubah. Agaknya dari sini pula terbit citra tentang

maut yang menari-nari, danse macabre: yang mengerikan bertaut dengan yang grotesk dan

kocak.

Dan kematian makin akrab. Bila kita dengan pilu mengalami serta menyaksikan beratus

orang meninggal seketika pada hari-hari ini, mungkin kita bisa ingat, Maut tak pernah jauh.

Ia bukan oposan, tapi bagian dari hidup yang juga bisa meriah. Bukankah sebelum Ada,

sesungguhnya Ketiadaan?

~Majalah Tempo, Edisi. 48/XXXV/22 – 28 Januari 2007~

Melayu Maret 17, 2008

Begitu banyak salah paham tentang Amir Hamzah. Penyair ini dibunuh dalam sebuah

pergolakan sosial di Sumatera Utara pada tahun 1946, tak lama setelah Indonesia

diproklamasikan. Kekuasaan Belanda dan Jepang dinyatakan habis, tapi ”negara” dalam

republik yang masih beberapa bulan umurnya itu belum tersusun. Mesin kekuasaan belum

berjalan ketika euforia ”kerakyatan” meletup di mana-mana. Kata ”Revolusi” (dengan ”R”)

diarak. Itu berarti seluruh tata yang lama harus dihancurkan, meskipun tak selalu jelas apa

yang akan menggantikannya.

Amir Hamzah adalah anggota keluarga Sultan Langkat. Dengan demikian ia berasal dari

kelas feodal, bagian masa lalu yang dibenci, meskipun tak pernah tercatat bahwa Amir—yang

Page 214: catatan pinggir

menghabiskan waktu mudanya bukan di istana, melainkan di sekolah-sekolah di Jawa—

melakukan sesuatu yang tak dapat dimaafkan.

Dunia hanya mengenalnya sebagai seorang yang menulis sajak yang menyentuh hati sampai

hari ini. Karya-karyanya adalah serangkaian ekspresi yang merupakan bagian dari ”puisi

baru” Indonesia, dan memang demikian. Amir tak ingin sepenuhnya lepas dari ungkapan

Melayu klasik, tapi banyak kata bentukannya yang datang dari gramatika Jawa. Dalam

sebuah sajak yang indah—gabungan ironi dan kesedihan—ia menyebut diri ”beta, bujang

Melayu”, tapi seluruh kumpulan puisinya, Buah Rindu (yang ditulis pada 1928-35), ia

persembahkan kepada ”Paduka Indonesia Raya”, selain kepada ”ibu ratu” dan kepada

seorang perempuan dengan nama ”Sendari”.

Tampak bahwa Amir Hamzah, seperti teman-teman segenerasinya, S. Takdir Alisjahbana dan

Sanusi Pane, yang aktif di sekitar majalah Poedjangga Baroe, melihat diri bagian dari

generasi yang didera oleh masa depan. Mereka hendak menciptakan sesuatu yang baru dari

sebuah kondisi terjajah, terkebelakang, terhina—sesuatu yang bukan lagi bisa disebut ”Jawa”,

”Melayu”, atau ”Ambon”.

Dalam arti itu, Amir Hamzah adalah sebuah fenomen ”pasca-Melayu”.

Jika kita perhatikan sajaknya yang terkenal itu, kata ”bujang Melayu” itu memang disebut

bukan hendak membanggakan diri. Bahkan sebaliknya: kata itu sejajar dengan frase ”anak

Langkat, musyafir lata,” bagian dari bait-bait yang murung:

Kicau murai tiada merdu

Pada beta bujang Melayu

Himbau pungguk tiada merindu

Dalam telingaku seperti dahulu.

Tuan aduhai mega berarak

Yang meliput dewangga raya

Berhentilah tuan di atas teratak

Anak Langkat musyafir lata.

Zaman memang telah berubah. Graham K. Brown, dalam telaahnya yang membandingkan

terbentuknya identitas politik di Indonesia dan Malaysia (The Formation and Management of

Political Identities: Indonesia and Malaysia Compared), mengutip catatan sejarah: pada masa

kesultanan Malaka, ”Melayu” bukanlah identitas sebuah kelompok etnis, melainkan sebuah

lapisan elite yang masih berhubungan darah dengan raja. Kitab Sejarah Melayu praktis berarti

genealogi para sultan.

Tapi pada 1511 Malaka jatuh diserbu armada Portugis. Keluarga kerajaan melarikan diri ke

Johor. Tak ada lagi pemegang hegemoni yang menentukan apa arti ”Melayu”. Kata itu

akhirnya menyebar bersama diaspora para pedagang pasca-Malaka. ”Melayu” bukan lagi

identitas yang menunjukkan lapisan sosial, melainkan sebuah ”identitas horizontal”. Nama itu

jadi penanda dalam pengelompokan sosial yang berbeda-beda tapi setara—terutama dalam

pandangan kekuasaan kolonial orang Eropa.

Kolonialisme memang tatapan yang membekukan si terjajah. Kolonialisme adalah garis

ruang yang brutal—baik ruang dalam kehidupan sehari-hari maupun ruang dalam lajur daftar

penduduk dan kitab hukum. Jakarta yang didirikan sebagai Batavia oleh VOC pada tahun

Page 215: catatan pinggir

1650-an berkembang jadi kota yang terbangun oleh apartheid: di satu sisi dibatasi tembok

tempat orang Belanda hidup, di sisi lain Ommelanden, tempat yang ”lain” diletakkan.

Dari pemisahan macam ini sang penjajah membangun identitas etnis untuk memudahkan

kontrol dan pembagian kerja. Dengan itu juga berlangsung divide et impera. Dalam telaah

Brown dikutip keputusan VOC di Cirebon, misalnya, untuk memperkukuh batas etnis agar

bisa mengisolasi orang ”peranakan”, keturunan Cina yang semula hidup berbaur sebagai

penasihat politik sultan. Dengan itu, kompeni bisa memperlemah posisi kedua-duanya.

Maka tak mengherankan bila pembebasan dari kolonialisme bertaut dengan kehendak

melepaskan diri dari tatapan yang membekukan itu. Amir Hamzah dan puisinya adalah

bagian dari pembebasan itu: ia tak lagi bisa disebut ”Melayu”. Sejak tahun 1930-an, puisi

Indonesia adalah puisi para ”musyafir lata,” para pejalan yang tak punya apa-apa selain

kebebasannya dalam menjelajah. Indonesia lahir dari penjelajahan itu.

Sebab itulah nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang mengangkut milik yang

diwariskan masa lalu, baik dalam wujud candi maupun ketentuan biologi. Mungkin itu

sebabnya ”Indonesia” dan ke-”Indonesia”-an selalu terasa genting, tapi dengan itu justru

punya makna yang tak mudah disepelekan.

Baru-baru ini saya dengar cerita sejarawan Taufik Abdullah ketika ia di Mekkah. Di kota suci

itu seorang Malaysia bertanya kepadanya apakah ia orang ”Indon”—sebutan yang sering

dipakai orang Malaysia untuk menyebut Indonesia. Taufik Abdullah marah. ”Jangan sebut

’Indon’,” katanya, ”tapi ’Indonesia’.”

Ia menjelaskan kenapa ia marah. ”Saya penelaah sejarah. Saya tahu nama ’Indonesia’

diperjuangkan dengan tidak main-main, sejak awal abad ke-20.”

Sungguh tak main-main: berapa puluh, berapa ratus, berapa ribu orang dipenjara dan mati

untuk nama itu? Bisakah kita melupakannya?

Ada sebuah sajak Rivai Apin pada tahun 1949:

Ingatlah bila angin bangkit

Ingatlah bila angin bangkit

Bahwa daerah yang kita mimpikan

Telah bermayat, banyak bermayat

Sajak itu ditulis tiga tahun setelah Amir Hamzah dibunuh. Tampaknya memang hanya

dengan tragedi kita tahu apa yang seharusnya kita hargai.

~Edisi. 04/XXXVII/17 – 23 Maret 2008~

Melihat April 11, 2011

Dengan ironi yang dahsyat, dengan magnífica ironía, Tuhan memberi Jorge Luis Borges dua

hal: buku-buku dan malam hari. Di tahun 1950-an, pada usia setengah abad, penyair besar

Argentina itu jadi buta sepenuhnya.

Page 216: catatan pinggir

Tapi menarik bahwa dalam sajak yang ditulisnya tentang kejadian itu ia memakai kata

”malam hari”, la noche, untuk menggambarkan ”buta”. Borges yang lahir di akhir abad ke-19

mungkin lupa: abad ke-20 telah memperkenalkan sisi lain dari malam, yaitu cahaya. Bahkan

cahaya itu berpendar mewah, atau bertebar di mana-mana, dan gelap menjadi minoritas.

Malah sebuah cacat. Terutama di kota-kota besar.

Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selamanya dirumuskan: bahwa dunia

bisa dijinakkan karena manusia bisa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan

benar berarti ”melihat”. Bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”, atau ”meraba”. Yang

visual memimpin pengenalan kita kepada dunia.

Tentu saja akan berlebihan bila kita pisahkan masa kini dari masa lalu. Dalam kondisi

pramodern, orang juga sudah menganggap sejarah bergerak karena penglihatan. Melalui

ilmu, misalnya. Orang Jawa menyebut ”ilmu” sebagai kawruh. Kata ini punya akar dalam

kata weruh, yang dalam kamus Jawa susunan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 berarti

”bisa menggunakan penglihatan” dan juga berarti ”mengerti”. Dan bila benar wayang adalah

sumber kearifan, makin jelas bagaimana cahaya (dan akibatnya: bayangan) adalah teknologi

purba untuk pen-cerah-an.

Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan)

itu bahkan sudah ada di Yunani Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum

Plato. Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium sebelum dia, yang

berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap

pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan keabadian.

Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat mengatur hidup. Nah, Dewi Demeter akan

tampil dalam sinar yang terang. Kebenaran akan disampaikan.

Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menantikan informasi. Bukan di Eleusis,

tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada.

Bisa kita bayangkan bagaimana terasingnya Borges–apalagi ketika bahkan buku-buku juga

sedang meninggalkannya. Sejak ia kecil deretan jilid berbaris di rumahnya. Bertahun-tahun ia

sentuh kertas yang membentuk pagina itu dan ia hidu aroma tintanya. Tapi hari ini Kindle

dan iPad dan entah apa lagi sedang menghapus sumber informasi (bahkan ”kebenaran”) itu.

Di pertengahan abad ke-20 Tuhan memberi Borges buku dan malam hari. Kini sejarah

teknologi merenggutkan keduanya. Beruntung ia tak menyaksikan babak baru ini. Ia

meninggal pada 1986.

Saya kira saat itu ia bebas. Maksud saya, ia tak akan digedor iklan yang tanpa jeda. Ia tak

akan dijepit etalase-etalase mal yang memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana

berpotongan memukau. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat bentuknya

ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang mengimbau lidah lewat fotografi. Dan di

atas semua itu: logo, logo, logo. Dengan desain yang tak ingin terabaikan.

Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu

yang hilang. Ia bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan,

yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan hadir dalam alam—gejala yang

terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt. Tapi sejak awal abad ke-

19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsumen yang

Page 217: catatan pinggir

ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, lewat komoditas, pesona

dikembalikan ke dunia.

Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini

menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena

bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang

hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa

bilang, ”Entah.”

Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pesona alam di zaman kuno bisa

menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di

zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang

ke dalam misteri; kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia

tak punya kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani

kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara,

tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan.

Itulah yang saya maksud: mungkin yang didapat Borges sebuah magnífica ironía yang

membebaskan.

Ia beroleh buku: tempat tersimpannya apa yang tak ada di dunia etalase, ruang visual yang

rata. Buku Borges sendiri contohnya: di dalam cerita-ceritanya, fantasi lebih berperan,

bahkan mengecoh fakta. Di sana datang hal yang tak pernah dilihat: Borges menulis The

Book of Imaginary Beings. Di situlah ia hidup bersama ”malam”: fantasi & imajinasi meriah

justru ketika kita tak tergoda untuk melihat. ”Mata adalah peranti yang rapuh,” kata Borges

dalam satu sajaknya.

Artinya, jauh di dalam diri yang tak tampak, ada yang tak tertaklukkan. Kapitalisme mencoba

menangkapnya, tapi kata + kisah yang fantastis, yang ”gelap”, menyembunyikannya kembali.

Mungkin itu sebabnya kita selalu cemas akan kehilangan puisi.

~Majalah Tempo, Edisi Senin, 11 April 2011~

Melodrama November 30, 2009

Politik terkadang butuh melodrama. Pada saat-saat tertentu ia sebuah melodrama tersendiri

bahkan. Seperti dalam sinetron yang silih berganti kita saksikan di TV—lakon-lakon yang

itu-itu juga, Kitsch yang tanpa malu memperdagangkan ajaran budi pekerti yang simplistis—

politik sebagai melodrama bisa juga bicara tentang ”moral” dan pada saat yang sama, tak

meyakinkan.

Melodrama dibangun oleh ”monopati”. Kata ini saya pungut dari Oliver Marchand yang

menulis satu esai yang bagus tentang politik sebagai teater dan teater sebagai politik

(Marchand meminjamnya dari Robert Heilman). Monopathy adalah ”kesatuan perasaan yang

membuat seseorang merasakan diri utuh”. Tokoh-tokoh dalam sebuah melodrama ”tak punya

konflik yang mendasar dalam dirinya”—berbeda dari tokoh-tokoh tragis, yang terobek-robek

antara nasib dan kebebasan, antara kewajiban besar dan gelora hati. Melodrama adalah

konflik manusia dengan manusia lain, sedang tragedi menghadirkan tokoh seperti Hamlet dan

Oedipus, dan dengan demikian tragedi adalah konflik di dalam diri manusia. Maka

Page 218: catatan pinggir

melodrama bergantung pada permusuhan dengan sesuatu yang di luar sana—si jahat atau

bakhil, ideologi yang memusuhi atau kekuasaan yang akan menindas, alam yang destruktif,

dan lain-lain. Dalam melodrama, dunia hanya hitam atau putih.

Maka benar juga jika dikatakan, melodrama mirip politik, tragedi mirip agama—kecuali bila

agama pun jadi proyek politik, bukan lagi merupakan ruang persentuhan aku dan Tuhan,

melainkan ruang persaingan atau benturan antara ”kami” dan ”mereka”.

Revolusi adalah model yang bisa jadi acuan jika kita bicara tentang politik sebagai

melodrama. Dramawan Peter Brooks menunjukkan hal ini. Melodrama, katanya, adalah

”genre dan ucapan dari moralisme revolusi”. Dalam revolusi pesan moral diutarakan tanpa

ambiguitas: di sini kaum revolusioner yang mulia, di sana kaum kontrarevolusioner yang keji.

Tiap revolusi menyangka, atau menyatakan diri, membawa sesuatu yang baru. Revolusi

Prancis menyatakan tahun permulaan kekuasaan baru sebagai ”tahun nol”. Revolusi Rusia

mengubah nama-nama kota terkenal (”St. Petersburg” jadi ”Leningrad”), juga Revolusi

Indonesia menolak nama ”Batavia” dan menjadikannya ”Jakarta”. Bahkan Bung Karno

mengubah nama orang yang mengandung nama ”Belanda”: Lientje Tambayong jadi ”Rima

Melati”, Jack Lemmers jadi ”Jack Lesmana”.

Para sejarawan mungkin tak akan melihat apa yang ”baru” bisa sedemikian absolut. Tarikh

baru bisa dimaklumkan, nama baru bisa diterima umum, tapi senantiasa akan ada endapan

dari masa lampau dalam peristiwa revolusioner yang mana pun. Lagu Revolusi Oktober yang

dinyanyikan dengan menggetarkan oleh paduan suara Tentara Merah menggunakan melodi

yang sama dengan nyanyian Selamat Tinggal, Slavianka yang digubah pada 1912—yang juga

dinyanyikan untuk membangkitkan semangat pasukan Tsar menjelang perang di Balkan.

Sudah tentu, bagi kaum militan yang muncul menegaskan diri dalam revolusi, apa yang

”baru” itulah yang menyebabkan mereka maju dan yakin. Badiou, yang menyebut Revolusi

Prancis dan Rusia sebagai ”kejadian”, l’evénement, mengklaim bahwa kejadian itu adalah

sebuah proses ”kebenaran”, dan ”kebenaran”, (berbeda dari ”pengetahuan”) bersifat ”baru”.

Mungkin seperti puisi yang lahir dan—meskipun menggunakan bahasa yang ada—bisa

dihayati sebagai baru sama sekali.

Persoalannya, sebuah revolusi (sebagai ”kejadian” yang dahsyat sekalipun) bukan hanya

menerobos sebuah ”situasi”, bukan sesuatu yang datang dari luar sejarah, melainkan juga

datang dari sebuah ”situasi”, dari sebuah keadaan yang terkadang disebut status quo. Saya

kira Marx lebih benar ketimbang Badiou: revolusi bagi Marx tak akan terjadi bila tak ada

keadaan obyektif, bila tak terjadi penguasaan total alat produksi di masyarakat oleh kaum

borjuis dan makin meluasnya mereka yang tak punya apa pun, kecuali tenaga.

Dengan kata lain, politik dan revolusi sebagai melodrama bukanlah lakon seru yang tak

dirundung ambiguitas dalam dirinya. Tiap perubahan besar sebuah masyarakat selamanya

mengandung sifat yang tragis: kita bersengketa dengan diri kita sendiri, gerak terasa mundur

dan jadi antiperubahan, tak pastinya proses yang biasa dibayangkan dalam pidato-pidato

”moralisme revolusioner”.

Politik yang tetap tak ingin melihat diri sebagai melodrama akan dengan cepat jadi komedi

atau bahkan farce. Para pejuang yang bukan lagi pejuang tapi terus mengklaim kesucian

motif dalam dirinya dan kemurnian semangat dalam kepejuangannya, akan tampak

Page 219: catatan pinggir

menggelikan, atau semakin tak meyakinkan para penonton. Terutama dalam keadaan ketika

elan perubahan telah bercampur dengan rasa kecewa dan hilangnya keyakinan yang meluas.

Tapi melodrama selalu tersimpan dalam sebuah masyarakat. Hidup terkadang terlalu penuh

warna abu-abu hingga orang menginginkan gambar yang tegas dan sederhana. Yang tragis

menakutkan. Kita pun membuat kisah seperti Ramayana dengan akhir yang jelas dan

bahagia: Sita kembali mendampingi suaminya setelah Dasamuka yang jahat itu mati. Tak ada

dalam cerita kita bahwa Sita harus dibakar untuk membuktikan dirinya ”suci” setelah

bertahun-tahun hidup di bawah kuasa lelaki lain.

Melodrama, dalam pentas dan dalam politik, memang mengasyikkan, dengan atau tanpa air

mata. Tapi memandang politik dengan sikap pengarang sinetron akan cenderung menampik

kesadaran akan yang tragis dalam sejarah—dan kita hanya akan jadi anak yang abai dan

manja.

Hidup tak bergerak dengan monopati.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 30 November 2 009~

Memangku Maret 14, 2011

Para raja di Jawa adalah ekspresi sebuah idaman. Terutama idaman tentang stabilitas. Kita

ingat nama-nama mereka: Amangkurat dan Mangkubumi berarti ”memangku bumi”.

Hamengku Buwono berarti ”memangku benua”. Paku Buwono: ”paku” atau ”pasak” yang

membuat kontinen tak bergerak terus, terpacak tak terguncang-guncang.

Sering kali kita lupa, nama-nama itu relatif baru. Mereka muncul dalam sejarah monarki

Jawa sejak abad ke-17. Sebelum itu, dimulai dengan zaman raja-raja Mataram Lama sampai

awal Mataram Baru, kita hanya menemukan nama-nama pribadi: Sanjaya, Syailendra, Mpu

Sindok, Airlangga, Hayam Wuruk, Raden Patah, Trenggono, Hadiwijaya, Panembahan

Senapati. Kemudian, pada 1641, muncul gelar ”Sultan Agung Senapati ing Ngalaga

Abdurrahman”: transisi dari yang personal ke dalam yang simbolik. Setelah itu, Amangkurat

I.

Simbol, berbeda dengan tanda, mengacu ke sehimpun informasi yang tak persis dan pasti.

Yang simbolik mengandung sesuatu yang tak hendak dikatakan. Dalam nama ”Amangkurat”

atau ”Paku Buwono” terasa satu kesadaran tentang geografi yang berbeda: sang penguasa

membayangkan wilayah yang tak terbatas hanya pada daerah yang dikuasainya langsung.

Tapi sejauh mana wilayah itu, tak ada garis yang persis. Kita ingat mithos yang terkenal itu:

hubungan yang akrab namun misterius Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram,

dengan yang bertakhta di ”Laut Selatan” dan di ”Merapi”. Dalam kisah ini, tersamar hasrat

yang ekspansif yang tak hendak dikatakan.

Mungkin itu pertanda megalomania. Tapi mungkin juga lain. Jika ditilik lebih dalam, nama-

nama itu bukan mensugestikan hasrat menaklukkan. Dalam kata ”memangku” ada makna

”menampung” dan ”merawat”. Pangkuan adalah sesuatu yang mesra, tenteram, dan protektif.

Bahkan ”paku”, dalam nama ”Paku Buwono”, lebih berasosiasi dengan penjagaan.

Page 220: catatan pinggir

Namun pada saat yang sama, ada faset lain yang bisa dicatat: apa yang dipangku dan dijaga

dengan sendirinya sesuatu yang dianggap stabil, tak lasak—sesuatu yang betah dengan wadah

tempat ia berada. Dengan kata lain, negeri atau masyarakat yang ada di haribaan raja

diharapkan tak punya antagonisme dalam diri mereka dan dengan sang raja.

Tentu saja, seperti saya sebut di atas, itu hanya sebuah idaman. Simbol punya peran lain:

bukan representasi sesuatu, melainkan sebuah ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang tak ada.

Dalam sejarah Mataram, yang tak ada itu justru harmoni antara yang memangku dan yang

dipangku. Sejak Amangkurat I, kekerasan berkecamuk. Raja ini membantai 3.000 ulama di

alun-alun dalam waktu setengah jam. Raja ini pula yang akhirnya menimbulkan

pemberontakan Trunojoyo; ia bahkan disanggah anaknya sendiri hingga lari dari istana. Ia

meninggal jauh di pesisir utara.

Kasus Amangkurat I menunjukkan, ikhtiar simbolisme itu lahir bersama kondisi raja sebagai

sosok yang terbelah. Ia bertaut dengan sesuatu yang mithologis; sebagai pemangku bumi ia

tak merupakan bagian dari bumi itu. Dengan posisi itulah ia diharapkan (dan mengharap) jadi

pemersatu alam. Tapi pada saat yang sama, ia berada di dalam kegalauan bumi. Harapan

untuk jadi ”pemersatu” itu berlebihan. Selisih pun timbul.

Amangkurat adalah contoh betapa sebenarnya sang pemangku bukan fondasi stabilitas. Ia

sendiri tak punya penopang. Ia tumbuh dari konflik dan kekerasan yang membentuk sejarah:

sejak Majapahit runtuh, sejak Kesultanan Demak lenyap dan Jipang hilang. Bahkan agaknya

jauh sebelum Ken Arok membangun Tumapel dengan keris dan darah.

Juga sampai hari ini: kita harus mengakui, idaman akan stabilitas adalah idaman yang bagus

tapi sia-sia. Tiap negeri, kerajaan, atau republik, bagaimanapun, terbentuk lewat bentrokan,

persaingan, dan pergulatan hegemoni. Antagonisme tak pernah berakhir. Sejak Kautilya

menulis Arthasastra di India di abad ke-4 sebelum Masehi, sejak Machiavelli menulis Il

Principe di Italia di abad ke-16, sampai dengan kompetisi demokratik abad ke-21, para

pemikir dan pelaku politik sadar: politik itu sejenis perang.

Apa boleh buat. Orang meciptakan kekuasaan untuk dirinya, tapi ia tak dapat menjadikan

kekuasaan itu identik dengan dirinya: kita ingat Amangkurat yang lari dari keraton, raja-raja

yang dimakzulkan dan dipenggal, khalif-khalif yang dibunuh dan dicemarkan. Yang penting

tentu saja bukanlah mengakui kebrutalan itu sebagai sesuatu yang sah. Yang penting adalah

meniadakan ilusi bahwa bumi akan berhenti gonjang-ganjing setelah dipangku dan dipaku.

Kekuasaan selalu bergeser. Orang yang menciptakannya, dalam kata-kata Ernesto Laclau,

”akan sia-sia mendapatkan hari ketujuh untuk beristirahat”.

Kita, di Indonesia, mudah merindukan hari ketujuh itu: tercapainya konsensus. Saya tak

sepenuhnya sepaham dengan Laclau bahwa antagonisme adalah satu-satunya dasar yang

membentuk sebuah masyarakat. Tapi memang tak dapat diasumsikan bahwa konsensus pasti

datang. Para pihak dalam kehidupan politik tak dengan sendirinya akan menemukan

”rasionalitas” dan dengan itu bermufakat. Dalam sejarah Indonesia, dengan atau tanpa

demokrasi, tak ada persaingan tanpa perlawanan. Politik tak mungkin hanya mengejar koalisi

tanpa konfrontasi.

Dalam salah satu kitab Jawa abad ke-19 disebutkan agar para calon pemimpin berlapang hati,

serba memuat dan memangku, ”bagaikan lautan”—den ajembar, momot lan mengku, den

Page 221: catatan pinggir

kaya segara. Petuah itu tampaknya dirumuskan seseorang yang merasa diri aman dari politik

dan ditujukan kepada para pewaris sebuah kekuasaan yang sedang tenteram. Tapi di tanah air

kita, laut bukanlah tasik yang tenang tak beriak. Ia punya prahara dan tsunami.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Maret 2011~

Memberi Maret 27, 2005

Di bandara Meulaboh yang sepi dan tak punya apa-apa lagi, kami menunggu sebuah pesawat

datang di sebuah kedai agak di depan landasan. Gubuk itu setengah berdinding dengan kayu

yang lusuh. Besarnya hanya 3 x 4 meter persegi. Saya dan Sandra, dua orang dari Jakarta,

duduk di bangku di luarnya, di bawah pohon, memesan kopi dan nasi bungkus. Pada pagi

yang lambat itu, hanya ada empat orang pembeli datang silih berganti.

Tujuh meter dari sana, sebuah pos militer yang belum lama didirikan tampak habis bangun

tidur: beberapa prajurit baru saja mandi, seorang tentara muda memberi makan dan mengajak

omong burung, hanya beberapa orang yang sudah siap berseragam. Mereka empat peleton

pasukan khusus Angkatan Udara yang dipasang untuk menjaga bandara kecil itu, yang sejak

tsunami menghantam Meulaboh jadi ramai kapal terbang, membawa pelbagai macam

bantuan, pelbagai macam orang.

Dua helikopter PBB tampak diparkir di landasan. Di sekitar itu, ribuan pohon nyiur, damar,

dan angsana mengepung, sebagian masih tampak hitam seakan-akan hangus, bekas air laut

yang naik pada akhir Desember 2004 itu—setelah gempa dan ombak gergasi yang membuat

sebagian kota pesisir itu luluh-lantak, puluhan ribu orang tewas, hilang, atau hidup tak

bertempat tinggal.

“Kami tinggal di kemah,” perempuan muda pemilik warung itu bercerita. Rumahnya lenyap,

tapi tak ada keluarganya yang tewas. Ia berpakaian rapi, dengan perhiasan sekadarnya,

menandai bahwa ia bukan bagian dari mereka yang hancur total. Tapi ia bisa mengisahkan

penderitaan tetangga dan keluarga yang kematian.

Dengan budi bahasa yang halus, ia mengatakan bahwa mereka yang jadi korban memang

menderita, tapi tabah, karena mereka tak menderita sendirian. Begitu banyak orang mati. Ia

bercerita tentang camat kotanya yang terus-menerus menemani pengungsi, bahkan ikut tidur

dan makan bersama di kemah. Ia menyebut tentang begitu banyaknya bantuan yang datang

dari pelbagai tempat lain di Indonesia, dari banyak penjuru dunia. Semua itu sampai ke kami,

katanya. Bahkan berlebihan, sehingga bantuan pakaian yang sudah rusak terpaksa kami

bakar. Kami bakar diam-diam, agar mereka yang sudah mengirim dan membawanya kemari

tak tersinggung.

Sandra terdiam dan berbisik, mungkin terkesima: “Dalam keadaan yang berat, ia masih

memikirkan perasaan orang lain….” Saya memandang ke jalanan. Apa arti “orang lain”, pada

saat seperti ini? Sebuah sepeda motor gandeng yang sudah tua bercat putih dengan huruf UN

datang tersengal-sengal masuk ke landasan. Sebuah mobil pick-up dengan logo sebuah

organisasi dari Republik Czech menyusul.

Apa arti orang lain itu, apa gerangan Aceh bagi mereka, dan apa arti mereka bagi Aceh? Apa

arti geografi dan sejarah, juga makna tapal batas—sesuatu rekaan yang begitu sering

Page 222: catatan pinggir

diperebutkan dan dibanggakan? Saya mendengarkan tutur pemilik warung itu dan tiba-tiba

merasa: hidup bisa sangat berbeda, jika pusat dunia tidak ada lagi. Kita tahu “pusat” itu

biasanya dilekatkan dengan tapal batas yang sempit di dekat diri sendiri. Dan saat itu rasanya

tapal batas dan pusat raib, dan ruang yang “soliter” pun digantikan oleh yang “solider”. Dunia

jadi ramah. Bahkan yang menderita ingin menjaga perasaan orang yang tak menderita,

sebagaimana juga sebaliknya. Ada yang agak ajaib di sini: ternyata beberapa saat lamanya di

Aceh, ekonomi bisa berhenti.

Ekonomi: sebuah proses yang bertolak bukan saja dari kelangkaan, tapi juga dari pertukaran,

daur “mengambil-menerima”. Pasar membuat prosedurnya. Di sana pusat hadir dalam bentuk

pamrih. Kepentingan diri dianggap patut. Hubungan berlangsung seperti kontrak. Tapi

mungkinkah itu segala-galanya? Kontrak mengandung asumsi bahwa yang-lain akan

menerima yang-seimbang. Tapi hal itu tak akan pernah terjadi. Sebab akan selalu ada benda-

benda yang tak bisa dipindahtangankan—jimat, pusaka, kenangan, harapan, yang terkadang

tersemat dalam benda-benda. Marx mungkin akan menyebutnya lebih mendasar: tiap benda

tak hanya punya nilai-tukar.

Pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain, agar manusia bisa kembali menikmati

hidup bukan sebagai komoditas belaka. Tapi kini pasar menang, dan cita-cita untuk

menggantikan ruang yang “soliter” dengan yang “solider” disisihkan bagaikan barang yang

apak dan lapuk. Memang ia tampak lapuk. Ia cita-cita yang lama. Berabad-abad manusia

telah mendengar petuah kebajikan ini: “jika tangan kananmu memberi, jangan sampai tangan

kirimu mengetahuinya”. Lebih tua lagi Jainisme dan cerita tentang sang rahib yang

menghilang begitu ia menerima amal (atau “dan”) di depan pendermanya. Sebab amal akan

hilang maknanya sebagai amal bila hal itu membuat si pemberi tergoda oleh perasaan mulia.

Derma juga akan hilang maknanya sebagai keikhlasan bila si penerima dibebani utang budi.

Tak ada resiprositas yang harus kelak dilakukan.

Waktu harus seakan-akan tak ada. Tapi betapa penuh paradoks semua itu: si pemberi harus

merasa mampu melepaskan sesuatu dari dirinya, tapi pada saat yang sama ia harus

memandang “sesuatu dari dirinya” itu bagian sebuah konsep yang tak ada artinya—konsep

“mi-lik”. Ia juga harus ikhlas untuk tak menerima balasan, tapi agar tak direndahkan, si

penerima harus punya kesempatan untuk membalas dengan sesuatu yang baginya bernilai.

“Memberi” akhirnya berlangsung sebagai sebuah enigma. Ia seperti sesuatu yang mustahil,

tapi betapa besar artinya. Setidaknya di kedai itu saya tahu, bahwa dunia bisa tetap ramah,

dalam kesedihan, dengan kesedihan. Memberi berarti saling memberi, menerima berarti

saling menerima, dan tolong-menolong adalah sebuah parodi bagi proses yang digerakkan

oleh pasar.

Parodi—sebuah selingan yang sehat, bukan? Tak jauh dari kedai itu ada sebuah kedai kopi

lain, lebih sederhana, setengah ditutup oleh robekan tenda Unicef. Seseorang telah

menggantungkan sebuah papan nama di salah satu tiang bambunya: “Warkop Starbucks”.

~Majalah Tempo, No. 04, 21 – 27 Maret 2005~

Memihak Juni 8, 2009

Politik adalah sebuah tugas sedih: usaha menegakkan keadilan di dunia yang berdosa.

Reinhold Niebuhr, theolog itu, mengatakan demikian untuk siapa saja. Tapi saya kira ini

Page 223: catatan pinggir

terutama berlaku bagi tiap intelektual publik – artinya seseorang yang dengan tulisan dan

ucapannya berbicara ke orang ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak

sebaiknya terjadi bagi kehidupan bersama.

Niehbuhr (dan saya mengikutinya) memakai kata “tugas”. Kata yang aneh, memang. Sebab

tugas itu bukan karena komando sebuah partai atau kekuasaan apapun. Tugas itu muncul, di

dalam diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan sesuatu karena itu.

Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya,

ada sesama yang berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-adilan.

Saya menyebutnya “luka” karena persoalan ketidak-adilan bukanlah sesuatu yang abstrak,

tapi konkrit, menyangkut tubuh, melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga

amarah: Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan orang yang

dilenyapkan di masa “Orde Baru” dan tak pernah diusut, Prita Mulyasari, si ibu, yang

dimasukkan sel oleh jaksa secara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang

dibunuh dengan brutal karena ia mengritik orang yang berkuasa.

Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang terasa tak adil. Meskipun aku

belum bisa merumuskan seluruhnya apa yang adil, aku terpanggil.

Di situlah seorang intelektual publik berbeda dengan seorang clerc dalam pengertian Julien

Benda. Dalam versi Inggris, kata clerc disebut sebagai “intelektuil,” tapi itu adalah padanan

yang tak tepat. Benda menggunakan kata itu untuk mengacu ke zaman lama Eropa, ke

kalangan rohaniawan yang semata-mata mengutamakan nilai-nilai universal, hidup jauh dari

pertikaian politik. Mereka tak memihak; mereka jaga kemurnian akal budi. Dalam La

Trahison des Clercs Benda mengecam para intelektual yang turun ke keramaian pasar,

memihak kepada satu kelompok dan mengobar-ngobarkan “nafsu politik”.

Harus dicatat: Benda seorang rasionalis sejati. Ia tak mengakui bahwa “nilai-nilai universal”

datang dari pergulatan manusia sebagai mahkluk-di-bumi, yang terbatas, yang hidup dengan

liyan, yang fana. Benda memisahkan rasionalitas dari dunia, sebagaimana ia menghendaki

siapapun yang setara dengan clerc tak memasuki arena pergulatan politik di mana nilai-nilai

universal konon ditampik.

Memang harus diakui, di masa Benda, sebagaimana di masa kini, ada perjuangan politik yang

hanya memenangkan cita-cita yang tertutup: kaum Nazi hanya hendak membuat dunia baru

bagi “ras Arya”, kaum “Islamis” hanya untuk menegakkan supremasi umat sendiri.

Tapi kita ingat Nelson Mandela. Ia berjuang sebagai pemimpin kaum kulit hitam, tapi

akhirnya ia tak berbuat hanya untuk kebaikan kaumnya. Ia menang untuk meruntuhkan

kekuasaan apartheid yang memperlakukan orang secara menghina berdasarkan warna kulit.

Maka kemenangan Mandela baru berarti kemenangan bila ia mengalahkan apartheid juga

dalam bentuk baru. Demikianlah Mandela tak mendiskriminasikan orang kulit putih di bawah

pemerintahannya. Di dalam cerita Afrika Selatan, luka ketidak-adilan itu memanggil keadilan

dalam arti yang sebenarnya: keadilan hanya “adil” bila keadaan itu berlaku bagi siapa saja.

Itulah sifat universal yang berbeda dengan universalitas seorang rasionalis. Universalitas

seperti dalam politik Mandela tumbuh dari trauma. Tapi tak hanya itu. Kepedihan itu diakui

sebagai sebuah mala yang tak dapat dibiarkan bercokol di sebuah masyarakat jika masyarakat

Page 224: catatan pinggir

itu ingin hidup. Dengan kata lain, politik, sebagaimana dijalankan Mandela, adalah

perjuangan ke sesuatu yang universal, dari sebuah situasi yang partikular.

Di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil untuk memihak. Dengan itu ia

memandang politik sebagai sebuah tugas, bukan untuk sebuah ambisi. Ia tak duduk di tepi

ongkang-ongkang, merasa harus bermartabat di mahligai. Ia tak berbeda dengan seorang

tetangga yang ikut memadamkan api bila rumah di sudut sana terbakar, bukan hanya untuk

menyelamatkan kampung seluruhnya (dan tentu saja rumahnya sendiri), tapi juga karena ia

terpanggil untuk tak menyebabkan orang lain menderita.

Tapi, seperti disebut di atas, dunia memang berdosa. Penderitaan dan kekejian tak pernah

hilang dari dalamnya. Maka perjuangan, atau pergulatan politik, akan selalu dibayangi cacat.

Kita tak bisa menerima “politik sebagai panglima” bila di sana tak ada kebebasan lagi untuk

mengakui cacat itu, bila pertimbangan kalah dan menang menelan secara total seluruh sudut

hidup kita, selama-lamanya. Sebab tiap perjuangan politik akan terbentur pada

keterbatasannya sendiri.

Maka bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga

memilihnya bukan untuk selama-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat

ini kurang cacat di antara yang amat cacat – sarana sementara untuk mencegah luka lagi,

meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.

Saya katakan tadi: kita bersiap kecewa. Tapi kita tak menyerah. Sebab kita tak akan bisa lupa

Munir: kita tak akan menghalalkan ketak-adilan sebagai kewajaran hidup. Pengalaman

sejarah menunjukkan, di tengah ketidak-adilan yang akut, yang kita derita, manusia selalu

menghendaki keadilan — yang entah di mana, yang entah kapan datang.

Dari perspektif ini, Ratu Adil bukanlah takhayul. Ia sebuah ideal yang tak hadir. Politik

adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang

tangan jadi kotor, hati jadi keras – dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.

Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian penuh

dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak – juga

ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.

Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi,

terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan: di dunia yang berdosa,

pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya

meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita

perkelahikan.

~versi yang berbeda dengan Majalah Tempo, 08 Juni 2009~

Menopause Januari 28, 2001

… ada godaan dari politik yang seperti itu–baik kita seorang fasis atau bukan. Sebab,

di sana banyak hal jadi tegas, lurus, tak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya

pertempuran: ketika dua seteru berhadapan dengan bayonet terhunus…

Page 225: catatan pinggir

Jika revolusi bukanlah sebuah jamuan makan, demokrasi bukanlah sebuah lapo tuak.

Aforisme itu tentu saja tak amat segar, tapi kadang-kadang kita perlu ingat lagi bahwa

demokrasi–betapapun ia sebuah cita-cita yang memikat–adalah seonggok beban. Sistem

(ataukah proses?) ini bukan sebuah ruang tempat orang bisa asyik berdebat, berembuk,

minum-minum, main catur, kalah dengan sebal, dan menang dengan riang, asal membayar.

Ketika sejumlah orang berada bersama di suatu tempat dan hendak mengupayakan hidup

yang tanpa penindasan, mereka akan segera tahu bahwa dalam sebuah demokrasi, politik

adalah sebuah jalan yang musykil. Bahkan kadang-kadang agak aib, menjengkelkan, dan

membosankan.

“Demokrasi,” kata Jean Baudrillard, “adalah menopause masyarakat Barat.” Pemikir Prancis

ini mengatakannya di sebuah tulisan yang terbit pada 1987, hanya dua tahun sebelum

seantero Eropa Timur lebih baik memilih “menopause” itu, setelah partai-partai komunis

lumpuh. Saya tak tahu adakah Baudrillard sekadar mau kedengaran kontroversial, ataukah

ucapannya menunjukkan kejemuan umum para intelektual Eropa terhadap sebuah sistem

yang membuat politik mereka kurang seru ketimbang pertandingan cricket. Tapi jika

demokrasi adalah sebuah menopause, bagaimana dengan yang lain dari demokrasi?

“Fasisme,” kata Baudrillard, “adalah nafsu syahwat [masyarakat Barat] di usia separuh baya.”

Kiasan seperti itu bisa menjerumuskan, terutama jika kita membayangkan bahwa syahwat

separuh baya juga bisa merupakan syahwat orang yang berpengalaman, sesuatu yang lebih

terkendali dan bertahan. Dengan kata lain: fasisme bisa lebih mengasyikkan, terutama ketika

demokrasi tak lagi sesuatu yang menggairahkan. Dan di bayangan kita pun tampak Mussolini

di atas sebuah balkon di Kota Roma: gundul, gempal, bagaikan sebuah lingga yoni, dan

gemuruh. Di jalanan berbaris pengikutnya, ribuan orang yang militan, laskar berseragam

yang galak dan meneriakkan permusuhan kepada siapa saja yang “bukan-kita”. Seakan-akan

hidup adalah gelora yang penuh, kejantanan yang berotot, dan keberanian vivere pericoloso,

“hidup secara berbahaya”. Seakan-akan perang pasti sebuah kebajikan. “Tak jadi soal siapa

yang menang,” ujar Il Duce, (seperti ditemukan dalam catatan harian menantunya), “untuk

membuat satu bangsa jadi besar, perlu untuk mengirim mereka ke peperangan….” Sebulan

sesudah itu ia membawa Italia ke dalam pertempuran dengan Sekutu pada tahun 1940.

Dari sini kita tahu apa yang dibawakan oleh politik fasisme: serangkaian pengganyangan

yang bertalu-talu. Memang ada godaan dari politik yang seperti itu–baik kita seorang fasis

atau bukan. Sebab, di sana banyak hal jadi tegas, lurus, tak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya

pertempuran: ketika dua seteru berhadapan dengan bayonet terhunus, yang menentukan

bukanlah debat dan pertimbangan benar atau tidak, melainkan kemurnian tekad dan tindakan.

Sering, bahwa yang lurus, tegas, dan murni itu bisa terdengar gagah, dan anehnya juga

“moral”.

Politik dalam sebuah demokrasi justru acap kali tak bisa lurus, tegas, ataupun murni.

Prosesnya seperti tak pernah mengalami klimaks: omong, omong, omong, antara pihak “sini”

dan pihak “sana”. Dan jika demokrasi adalah seonggok beban, beban yang terberat adalah

keniscayaan kompromi. Bahkan dengan orang yang paling memuakkan sekalipun. Memang

ada yang memalukan, ada yang terasa aib, dan ada yang kurang bersifat “moral”.

Di Indonesia, proses yang begitu telah jadi sesuatu yang dianggap negatif–dan mungkin itu

sebabnya demokrasi harus mengalami tahap yang sakit. Bertahun-tahun lamanya orang hidup

dengan politik yang haus akan klimaks berkali-kali. Antara 1958 dan 1965, di bawah

Sukarno, politik jadi satu dengan pekik “revolusi”, yang mengganyang dan mengremus

Page 226: catatan pinggir

musuh. “Konfrontasi” adalah sesuatu yang bagus. Antara 1965 dan 1998, di bawah Soeharto,

politik jadi satu dengan kekerasan (juga pembunuhan) dan korupsi. Keputusan diambil

setelah pihak “sana”, lawan bersaing, diancam atau dihancurkan. Atau disuap. Bukan saja

harga diri hancur, tapi juga sisa-sisa yang moral dalam hidup rusak. Nilai-nilai yang

ditawarkan agar bisa diterima dengan martabat yang utuh oleh pihak “

sana”–sesuatu yang universal–tak berlaku. Pada dasarnya: sebuah politik penaklukan.

Bisakah sebuah negeri hidup terus dengan politik seperti itu? Jika kompromi dianggap

mengalah, dan kalah dianggap bukan saja kehilangan harga diri, tapi juga punahnya ruang

hidup, fasisme akan jadi sebuah gaya bersama, disadari atau tidak. Dalam fasisme, “sini”

secara hakiki berlawanan dengan “sana”.

Demokrasi, dan negosiasi, sebaliknya mengandalkan sebuah proses ketika “hakikisme”

seperti itu tak berlaku. Ketika dua kubu (atau lebih) berunding dan bersaing, mereka tak

sekadar perlu mengemukakan kepentingan yang diwakili oleh “sini”, tapi juga

mengemukakan sebuah wacana yang lebih universal, dan sebab itu bisa diterima oleh “sana”.

Dan dengan itu pula kubu “sini” pun membuat pengalamannya sendiri sesuatu yang

universal. Proses ini, seperti dikatakan Ernesto Laclau, memang merupakan “satu wahana

bagi universalisasi”.

Dan kita tahu, universalisasi adalah juga jalan ke arah pembebasan–karena tak ada lagi politik

penaklukan, karena tak akan ada Tuan yang menindas Budak, tak akan ada yang terpasung

sebagai budak atau yang memperbudak. Di sini tampak demokrasi bukanlah sebuah

menopause. Ia juga bukan sebuah proses berahi yang asyik. Ia sebuah alternatif, yang

mungkin hambar, tapi tak bisa dielakkan–ketika kita tak bisa mencintai yang “sana” habis-

habisan, tapi juga tak bisa berperang habis-habisan. Ketika kita mendapatkan kesadaran akan

batas, di hadapan.

Mesh Maret 7, 2011

Kalau ada sumur di ladang

Boleh aku menumpang mandi

TIAP kali ke luar rumah, saya mengutuk. Atau mengeluh. Di dalam mobil.

Mobil, akhirnya, sebuah kontradiksi. Ia berasal dari kombinasi kata auto + mobile. Tapi

”auto” itu pelan-pelan hilang, karena akhirnya tak istimewa lagi ada kendaraan yang bisa

bergerak sendiri. Kini kata ”mobile” yang ke depan—dengan arti ”gerak yang cepat dan

mudah”. Tapi itu sebabnya saya mengutuk: berada di jalan-jalan Jakarta, mobil ternyata

menentang maknanya sendiri.

Tak pelak lagi, benda ini telah berubah peran. Saya coba baca sejarahnya. Ia dimulai sebagai

sesuatu yang eksklusif, salah satu bentuk ”kekayaan posisional” dalam pengertian Fred

Hirsch. Tapi dengan segera tak demikian lagi. Sejak awal abad ke-20, di Prancis Panhard et

Levassor sudah memproduksi mobil secara massal. Tahun 1893, Duryea Motor Wagon

Company jadi perusahaan pembuat mobil pertama di Amerika, disusul oleh Cadillac dan

Ford yang memproduksi ribuan mobil dengan cepat. Transformasi pun terjadi: kendaraan ini

Page 227: catatan pinggir

kini sebuah bentuk ”kekayaan demokratik”—yang diharapkan akan bisa dimiliki siapa saja.

Contoh terakhir: mobil murah Tata Nano di India.

Semangat ”kesetaraan sosial” abad ke-20 punya dampak di sini: tiap orang punya hak sama

untuk punya benda-benda yang dulu bukan dianggap bagian hidup kelas bawah.

Tapi tak cuma itu. Perluasan pasar kapitalisme tak putus-putusnya menebarkan impian baru.

Masyarakat pun membiasakan hasrat untuk ”punya”. Berkecamuklah sikap yang ”dungu dan

satu-sisi”, untuk meminjam kata-kata Marx: orang anggap sebuah barang hanya jadi bagian

dari diri bila langsung dimiliki untuk jadi modal, atau langsung dimakan, diminum,

dikenakan, dihuni. Sebuah sejarah yang muram sebenarnya: seluruh hasrat dan kapasitas

manusia, kata Marx, digantikan oleh kesadaran akan ”punya”, der Sinn des Habens.

Mobil—yang di Jakarta lebih dari 80% milik pribadi—kian menunjukkan sejarah yang

muram itu ketika ia jadi contoh gejala kongesti. Mobil saya terenyak di antara sekitar lima

setengah juta kendaraan pribadi di Jakarta, yang jumlahnya bertambah rata-rata 9,5% per

tahun, ketika panjang jalan hanya bertambah 0,1%.

Macet, kongesti, mandek. Tampaknya tak ada satu kekuasaan yang bisa menyetop

kecenderungan itu. Negara bukan saja dikacau birokrasinya sendiri, tapi juga dilumpuhkan

persekongkolan gelap yang membuat apa yang ”publik” dicincang-cincang kepentingan

privat yang terpisah-pisah.

Pilihan yang ditawarkan pasar memang mampu membebaskan individu dalam mengambil

keputusan. ”Sayangnya,” sebagaimana dikatakan Hirsch dalam The Social Limits to Growth,

buku lama yang masih saya anggap penting, ”pembebasan individual tak membuat

kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan semua individu bersama-sama.”

Demikianlah kita beli motor, mobil, sesuai dengan hak dan kemampuan kita. Tapi akhirnya

kita tak jadi lebih bebas. Macet pada tiap kilometer, mustahil kita mencapai tujuan dengan

waktu yang kita pilih.

Tapi sebenarnya saya capek mengeluh. Apa yang bisa dilakukan?

Mungkin kita perlu menghitung. Juga mengenang. Kita menghitung apa yang terbuang.

Berapa jam dalam sehari sebenarnya kita perlu mobil di kota ini dalam keadaan normal?

Kira-kira kurang dari 5 jam. Tapi kita ingin menguasai milik itu 24 jam. Berapa ruang yang

diambil satu mobil di jalan dan di tempat parkir, sementara pengendaranya hanya dua

manusia? Sekitar 12 meter persegi. Kepentingan privat yang terpisah-pisah akhirnya telah

membuang begitu banyak dana, waktu, ruang bersama. Sebuah telaah memperkirakan, jika

sampai tahun 2020 tak ada perbaikan dalam sistem transportasi di Jakarta-Bogor-Depok-

Tangerang-Bekasi, kerugian ekonomi akan mencapai Rp 65 triliun per tahun, termasuk

kerugian nilai waktu perjalanan: Rp 37 triliun.

Maka kita perlu mengenang: bukan ke masa ketika mobil belum ditemukan, tapi ke masa

ketika orang masih bisa berbagi. Saya teringat lagu itu: ”kalau ada sumur di ladang…”.

Bukan saja sumur masih terletak di tempat terbuka, tapi juga orang masih bisa ”menumpang

mandi”.

Page 228: catatan pinggir

Yang tersirat dari pantun itu adalah sesuatu yang dulu lumrah tapi kini terasa luar biasa: jika

sumur—atau mobil, atau kamar apartemen, atau rumah peristirahatan—hanya dipakai

sesekali oleh yang punya, alangkah baiknya jika di saat sisanya orang lain juga bisa

memakainya. Ini bukan cuma sebuah pesan moral. Ini pesan cara survival.

Di Jakarta, di mana ada orang bisa punya banyak mobil dan banyak tempat tinggal (yang tak

mereka pakai), keserakahan dan kemubaziran pun bertaut. Kita bukan saja hidup dengan

ketimpangan sosial. Kita juga makin membuang ruang untuk hal yang tak banyak

digunakan—hingga kita tak punya taman, wilayah pohon-pohon, arena bertemu dan bermain.

Itu sebabnya gagasan yang dirintis di tahun 2005 oleh Rudyanto, seorang warga Lippo

Village, Karawaci, Tangerang, dengan membuat komunitas online yang ia beri nama

nebeng.com, bisa jadi model untuk membangun cara dan sikap hidup alternatif. Bergabung

untuk nebeng satu mobil mungkin satu jalan kecil ke arah kebebasan dari sikap ”dungu dan

satu-sisi”, dari cengkeraman der Sinn des Habens.

Lisa Gansky, penulis dan entrepreneur yang menunjukkan pentingnya sharing (bukan

owning), akan menamai ide Rudyanto sebagai contoh ”mesh”: jalinan saling berbagi pelbagai

hal, sebuah ekonomi yang dibangun oleh sikap yang tak biasa dianggap ”ekonomi”. Di situ

berbagi tak berarti mengurangi kekayaan, tapi justru mengembalikan kekayaan: hidup di

dunia yang lebih sehat dalam sikap saling mempercayai, sikap yang selama ini dilupakan.

Jika itulah yang akan saya dapatkan di Jakarta, saya pasti tak akan mengutuk lagi.

Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Maret 2011

Mikropolitik Juli 7, 2008

- untuk Rahman Tolleng, pada ulang tahun ke-70.

Soal paling serius dalam politik hari ini adalah harapan.

Haruskah kita terus berjuang dalam politik untuk perubahan, ketika hampir semua hal sudah

diucapkan secara terbuka, tapi Indonesia hanya berubah beberapa senti? Atau begitukah nasib

dunia: sejarah adalah repetisi kesalahan yang tak kita sadari? Atau sejarah sebenarnya tak

punya tujuan, apa pun yang dikatakan Hegel dan Marx?

Rahman Tolleng kini 70 tahun: ia mungkin tak akan menjawab pertanyaan di atas. Tapi ia

saksi yang bisa menunjukkan, kalaupun sejarah hanya sebuah cerita acak-acakan, tak berarti

ia sia-sia. Kalaupun akal budi tak kunjung menang, seperti dicitakan Hegel, tak berarti

manusia takluk. Kalaupun kebebasan tak berhasil terbentang penuh di dunia, seperti

diperhitungkan Marx, tak berarti ia tak layak diperjuangkan.

Entah mengapa, selalu ada orang-orang yang bersedia bekerja untuk menjaga agar sejarah,

yang tujuannya tak jelas, tak bergerak jadi arus yang berakhir dengan pembinasaan—

khususnya pembinasaan mereka yang tak berdaya.

Pada 1 Juni yang lalu saya bertemu Rahman Tolleng di halaman depan Galeri Nasional,

Jakarta. Orang-orang, termasuk anak-anak, berkumpul di sana. Mereka menghindar dari

Page 229: catatan pinggir

Taman Monumen Nasional, setelah sejumlah orang dari mereka yang sedang akan

memeriahkan Hari Lahir Pancasila diserbu dan dipukuli sampai berdarah-darah oleh

sepasukan orang seakan-akan hendak menunjukkan, ”Kami Islam, sebab itu Kami berhak

memukul!”

Hari itu Rahman di tengah orang-orang yang dipukuli itu. Ia tak kelihatan letih. Ini tahun

2008.

Saya coba mengingat, kapan saya bertemu pertama kali dengan dia. Mungkin pada 1962.

Seingat saya, ia muncul di halaman sebuah hotel besar di Bandung yang lampunya hanya

setengah menerangi ruang. Kami diperkenalkan oleh seorang teman. Saya mahasiswa baru

dari Jakarta. Ia sudah aktivis terkemuka Gerakan Mahasiswa Sosialis di Bandung. Tahun-

tahun itu ia harus setengah bersembunyi—terutama karena ia tak mau dibungkam. GMSOS

organisasi yang dekat rapat dengan Partai Sosialis Indonesia yang dilarang Presiden

Soekarno. Para pemimpinnya dipenjarakan.

Setelah itu saya jarang sekali melihatnya. Beberapa orang teman, antara lain Soe Hok Gie (ia

juga aktivis GMSOS), memberi tahu saya bahwa Rahman terus menghimpun dan

memproduksi tulisan yang diam-diam diedarkan dan didiskusikan di antara mahasiswa di

Bandung. Ketika pada 1966 mahasiswa di Bandung dan Jakarta turun ke jalan, mengguncang

”demokrasi terpimpin” yang melahirkan otokrasi, Rahman tak lagi besembunyi. Ia memimpin

mingguan Mahasiswa Indonesia.

Dari sini pula saya menduga apa gerangan yang menyebabkan ia bergerak, menulis,

membentuk kelompok. Politik, baginya, adalah sebuah tugas.

Tapi itu tugas yang murung, agaknya. Seperti tiap orang segenerasinya, Rahman Tolleng tahu

yang terjadi pada 1908 sampai 2008: gerakan antikolonial yang terkadang menyempit jadi

xenofobia, revolusi yang meletus dan segera jadi Negara yang mau mengendalikan segala

hal, perubahan yang berakhir jadi teror, reformasi yang melambungkan harapan tapi segera

kelihatan betapa terbatas jangkauannya. Adakah harapan?

Setelah 1998, kita berusaha percaya bahwa demokrasi konstitusional, dengan parlemen yang

dipilih, adalah jalan perbaikan yang pantas dan rendah hati. Radikalisme hanya bagus buat

pidato.

Tapi kini perangai partai-partai politik mirip tikus besar-kecil yang merusak padi di sawah

kita. Atau, lebih buruk lagi, mirip ”vampir”, seperti kata editorial Media Indonesia, pelesit

yang menghisap darah dari tubuh demokrasi.

Kini parlemen, pengadilan, polisi, kejaksaan, dan media nyaris jadi sederet bordello, di mana

si kaya bisa membeli sukma dan raga manusia. Kini suara rakyat yang diberikan kepada sang

presiden seakan-akan sia-sia: sang presiden tetap tak yakin dan terus-menerus menunggu

mandat. Kini para mahasiswa mencoba mengulang heroisme angkatan sebelumnya, seakan-

akan sejarah bisa diulangi. Di manakah harapan?

Tapi siapa yang menggantungkan politik pada harapan lupa bahwa harapan tak pernah datang

sebelum perbuatan. Siapa yang menggantungkan politik pada harapan akhirnya hanya akan

terpekur, karena harapan selalu samar. Atau sebaliknya, ia akan membuat harapan sebuah

obat yang serba mujarab, dan membikin agenda melambung-lambung.

Page 230: catatan pinggir

Dengan modal harapan semacam itu, politik justru akan mati—”politik” dalam arti the

political: gerak dan gairah melawan kebekuan yang represif.

Saya melihat ke Rahman Tolleng: politik adalah tugas, sering murung karena fana tapi juga

tak terhingga. Saya ingat anjuran Alain Badiou: ”Dalam politik, mari kita berusaha jadi orang

militan dari aksi yang terbatas”. Kita tahu dunia tak akan jadi surga; hanya di surga kita bisa

tahu apa yang akan kita capai. Tapi sebab itu kita tak bisa berhenti.

Bukan karena kita Sisiphus yang perkasa. Kita bukan si setengah dewa yang dengan gagah

menanggungkan hukuman itu: mengangkut batu besar ke puncak gunung, dan segera sesudah

itu akan menggelundung kembali. Kita hanya makhluk yang dituntut, dipanggil, terus-

menerus oleh sesuatu yang tiap saat menyatakan diri berharga. Dalam hal ini, berharga bagi

harkat liyan, bagi liyan yang juga sesama. Simon Critchley menyebut sesuatu yang ”infinitely

demanding”, dan saya kira dengan itulah politik adalah ”ethik” dalam perbuatan.

Di situlah ”mikropolitik” punya makna: ia ”militansi dari aksi yang terbatas”. Ia bukan

rencana mengubah semesta berdasarkan wajah sendiri. Tapi ia tak takut kepada yang

mustahil.

Dan harapan? Mungkin bukan itu soalnya. Politik bisa dengan harapan, bisa tidak. Sebab ia

perlawanan yang membuat hidup kita—di sebuah tempat, di suatu waktu, bersama yang

lain—tak sia-sia.

Juga pada usia 70.

~Majalah Tempo Edisi. 20/XXXVII/07 – 13 Juli 2008~

Minoritas Desember 10, 2007

Sederet tubuh hitam berbaring di pentas, berbaris, bergerak – terkadang seperti patung kayu

dari Asmat, terkadang seperti adegan sehari-hari di sebuah distrik Papua, terkadang seperti

sederet totem dalam warna gelap betutul-tutul putih yang mobil, bergeser, menggedrukkan

kaki, tarik menarik, berpindah-pindah. Koreografi Jacko Siompe, penata tari kelahiran

Sorong, entah kenapa diberi nama In Front of Papua; yang pasti ia memikat kita: sederet

anekdot yang menyambut hidup dalam kontras dan keserempakan, gabungan antara yang

jenaka dan yang sayu, antara yang biasa dan yang tak diduga, mungkin sebuah parodi,

mungkin juga sebuah nostalgia.

Ragam geraknya, yang cenderung dekat rendah ke bumi, dengan tangan dan kaki ditekuk

seperti menirukan kanguru, seakan-akan mengingatkan kita akan sebuah dunia sebelum

manusia dipisahkan dari alam oleh pelbagai ambisi dan lagak.

Sebuah ekspresi khas Papua? Memang ada “warna lokal”, tapi pada akhrnya yang penting

bagi sebuah koreografi yang kuat bukanlah mencerminkan sebuah identitas, “daerah” atau

Page 231: catatan pinggir

“nasional”, “tradisional” ataupun “modern”, melainkan bagaimana membuat sebuah karya

mencengangkan.

Salah satu kekuatan yang lahir dari karya seni justru bukan untuk mengukuhkan identitas,

melainkan menunjukkan ada yang hidup: sesuatu yang tak dapat dirumuskan jadi identitas —

apa yang disebut oleh Adorno sebagai “non-identitas”.

Pikiran itu terlintas di kepala saya, ketika sehabis menyaksikan In Front of Papua yang

memukau di National Museum of Singapore awal Nopember yang lalu, seoang penonton

bertanya: “Apakah ini tarian dari kebudayaan minoritas?”

“Minoritas” — tak seorang pun di Indonesia akan menggunakan kata itu buat orang Papua,

ataupun sebuah suku kecil sekalipun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu mengapa orang ini

bertanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia terbiasa hidup dengan ruang yang

tak bersentuhan langsung dengan alam. Ia mudah melihat ekspresi yang “primitif”, “eksotik”

– yang praktis tak ada di London atau New York — sebagai sesuatu yang terpencil, ganjil,

dan nyaris hilang. Modernitas ada di mana-mana; yang beda dari itu adalah “minoritas”.

Aneh juga kata itu sebetulnya. Di Indonesia ia biasa menandai mereka yang berdarah Cina,

atau Arab, atau Eropa, atau India – seakan-akan sebuah klasifikasi biologis, tapi yang tak

pernah digugat dengan pertanyaan dasar: mengapa klasifikasi penting? Dan mengapa

berdasarkan ras?

Memang, orang telah lama mengenal perbedaan warna kulit dan corak hidung yang berbeda-

beda. Kita misalnya melihatnya dalam wayang kulit: ada sosok sabrangan yang besar dan

kasar dan “raksasa” yang gempal dan bundar, yang berbeda dengan raut wajah dan bentuk

tubuh para Pandawa dalam Mahabharata dan Rama dan Laksmana dalam Ramayana.

Tapi menata wayang – dengan pakem yang tetap — tak sama dengan menata manusia.

Menata manusia adalah obsesi kekuasaan politik. Klasifikasi penduduk adalah keputusan

sebuah sistem yang mau membereskan hal ihwal, mau menguasai dan mengarahkan. Saya

kira David Theo Goldberg benar, (di tahun 2002 ia menerbitkan The Racial State), ketika ia

menunjukkan bahwa kategori “ras” lahir sebagai modus untuk mengelola krisis, mengelola

apa yang dibikin sebagai ancaman, serta mengekang dan mengasingkan “tantangan dari apa

yang tak diketahui”, the challenge of the unknown.

Demikianlah administrasi Hindia-Belanda datang dengan klasifikasi – sebagaimana layaknya

sebuah bangunan modern di kancah yang begitu beragam, yang terasa sebagai khaos dan

kekaburan. Di luar kantor dan tata buku gubernemen, Indonesia harus dibuat rapi. Manusia

pun dibagi dalam kategori: “pribumi”, “Timur Asing”, dan “Eropa”. Dan yang “pribumi”

dibagi lagi dalam “suku”.

Bagaimana menentukan klasifisikasi ini tak pernah jelas. Sebab “pribumi” tampaknya

ditentukan berdasar tempat kelahiran, sedang “Eropa” berdasar asumsi asal usul genetik.

“Timur Asing” tampaknya berdasar atas “ras” dan sekaligus “tempat asal” – sebuah

kategorisasi yang tak akan pas ketika “Timur” berarti juga penduduk yang berasal dari

Thailand, Filipina, Vietnam, Malaya, yang menampakkan ciri-ciri tubuh yang sama dengan

orang Minang, Makasar atau Jawa.

Page 232: catatan pinggir

Kata “asing” juga rancu. Seorang Tionghoa atau Arab yang nenek moyangnya 400 tahun

yang lalu sudah beranak-pinak di Singkawang atau Demak sama sekali tak asing bila

dibanding seorang Melayu yang 10 tahun sebelumnya baru pindah dari Malaka ke Medan.

Dan apa sebenarnya “suku”? Kata ini tampaknya dipakai untuk membuat satu kategori baru

di bawah “pribumi” dan “Timur Asing.” Ada kesan bahwa satu “suku” mengandung satu

identitas budaya, tapi bagaimana menentukan identitas itu tak jelas: jika bahasa dipakai

sebagai cirinya, maka “suku Jawa” tak pernah ada. Sebab yang disebut “bahasa Jawa”, yang

diajarkan di sekolah, sebenarnya hanya bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta,

tapi tidak di Tegal dan di wilayah Banyumas.

Maka tak bisa dikatakan “suku Jawa” adalah satu “mayoritas”. Sama tak masuk akalnya

menyebut orang Indonesia keturunan Cina “minoritas”: pemakai bahasa Hokian agaknya

lebih banyak ketimbang pemakai bahasa Osing di Jawa Timur.

Dengan kata lain, kita sebenarnya mewarisi ambisi mengatasi kekacauan yang ternyata

menghasilkan kekacauan baru. Dengan kata lain, kita harus bongkar Hindia-Belanda dari

bahasa dan manajemen perbedaan kita. Menghadapi apa yang diduga sebagai khaos, menatap

“tantangan dari apa yang tak diketahui,” merasa cemas dengan yang “lain” yang mengancam

kerapian yang palsu, sebenarnya kita justru menemukan sebuah kearifan: Indonesia adalah

bangunan minoritas-minoritas.

Atau serangkaian “non-identitas”: totem-totem gelap bertutul putih yang bergerak antara

yang biasa dan tak terduga.

~Majalah Tempo Edisi. 42/XXXVI/10 – 16 Desember 2007~

Modernitas Agustus 31, 2009

DI kesunyian Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer menonton wayang. Atau ia

memperhatikan orang menonton wayang.

Saya bayangkan malam itu. Di koloni tahanan politik itu, di sepetak lapangan, layar dipasang

dan batang pisang dibaringkan. Deretan wayang kulit tertancap. Sebuah blencong (atau bola

lampu 100 watt?) menyala di atasnya.

Orang berkerumun. Juga prajurit yang berjaga. Dalang siap, tanpa beskap, tanpa keris. Para

pangrawit mulai memainkan gamelan yang seadanya. Dan semua orang tahu, di balik

kebersahajaan itu ada ambisi dan proses kerja yang luar biasa: di pengasingan itu para

tahanan menatah sendiri wayang mereka dari kulit sapi yang mereka ternakkan, dengan pahat

kecil yang diraut dari besi sisa peralatan. Selebihnya: imajinasi.

Saya tak tahu apa lakonnya. Tapi Pramoedya tak begitu bergembira.

Page 233: catatan pinggir

Di catatan di Pulau Buru bertanggal akhir Januari 1973, yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi

Seorang Bisu jilid I, ia anggap wayang—juga gamelan dan tembang—”membawa orang

tertelan oleh dunia ilusi yang menghentikan segala gerak….”

Bagi Pramoedya, dalam wayang, kahyangan terlampau dominan. Padahal manusia-lah yang

harus mengambil peran, bukan para dewa:

Jam tujuh pagi baru selesai: tancep kayon.

Pukulan gong penghabisan. Selesai segala-galanya!

Para dewa, brahmana dan satria kembali masuk ke

kampus ki dalang. Akal dan perasaan bertambah

jenuh dengan pengalaman ulang. Dengan bersinarnya

matahari kembali terhalau para dewa, brahmana dan

satria dalam perspektif bentuknya sendiri.

Lakon memang tak layak dilanjutkan. Khayal wayang ”memukau, memesonakan, mensihir,

mematikan kesadaran, mematikan akal, membebalkan”. Dan setelah itu tak ada pembebasan.

Seorang buruh tani yang ikut menonton mungkin akan masygul seandainya tahu pandangan

sastrawan besar itu. Tapi Pramoedya tak sendiri; ia seperti lazimnya cendekiawan Indonesia

yang tumbuh ketika gagasan kemajuan dan emansipasi sosial (dengan Marxisme) bergema

keras bersama cita-cita kemerdekaan nasional.

Pada 1943, Tan Malaka juga mencemooh cerita Sri Rama. Baginya, telah tiba zaman yang

mengharuskan bangsanya memasuki dunia ilmu empiris (”Ilmu Bukti”). Tan Malaka

menganggap kisah anak panah Sri Rama ”yang bisa menjelma jadi Naga” hanya

”menggelikan hati”. Bahkan bisa membuat marah. Sebab,

”…kepercayaan pada kesaktian semacam itu,

yang bisa diperoleh manusia, pada urat akarnya

memadamkan semua hasrat dan minat terhadap

Ilmu Bukti.”

Tan Malaka berseru untuk teknologi. ”Ciptakan teropong 100 inci,” katanya dalam Madilog,

”yang bisa melihat kesemua penjuru alam 500.000.000 tahun sinar jauhnya…!”

Kini, 2009, kita bisa sedikit mengejek iman yang begitu kuat kepada modernitas itu.

Pramoedya dan Tan Malaka begitu saja menyamakan imajinasi dengan takhayul yang

meremehkan rasionalitas. Seakan-akan sejarah tak dibangun juga oleh kerja dan fantasi

penatah wayang, energi dalang yang berkisah, hasrat tubuh dan kesepian, yang membuat

Page 234: catatan pinggir

riwayat manusia dari abad ke abad tak lurus, tak tunggal, tak konsisten—tapi juga selalu bisa

tak terduga-duga, tak pernah kering.

Di Indonesia yang ingin meninggalkan ”keterbelakangan”, sikap Pramoedya dan Tan Malaka

sikap yang lumrah. Mereka tak mengalami sebuah situasi ketika ”kemajuan” justru tampak

sebagai gerak yang merusak dan meninggalkan unggunan puing, seperti dalam gambaran

”Malaikat Sejarah” Walter Benjamin.

Benjamin, yang bunuh diri di Eropa menjelang Perang Dunia II, menyaksikan modernitas

yang muram: hidup yang melangkah dengan blueprint dan perhitungan, akal yang hanya jadi

instrumen untuk menaklukkan alam & dunia kehidupan.

Dengan itu prestasi modernitas memang dahsyat. Tapi orang bisa juga melihatnya sebagai

progresi ke arah hidup yang bak disekap ”kerangkeng besi”, tunduk kepada kalkulasi dan

tuntutan efisiensi.

Kaum kiri menganggap semua ini akibat kapitalisme. Mereka benar. Tapi kaum Marxis-

Leninis kemudian juga ikut pola ”kemajuan” itu: mereka ubah waktu jadi ruas-ruas homogen

dan terukur. ”Rencana Lima Tahun” dilaksanakan dengan gemuruh. Mereka bentang ruang

jadi bidang yang abstrak agar bisa diformat apa saja. Akal ditentukan oleh hasil, bahkan seni

dan imajinasi harus ikut rancangan. Masyarakat sosialis dibangun bagaikan alam semesta

dijadikan dalam Genesis baru—tapi bersama itu, sebuah ”kerangkeng besi” mengungkung

semuanya.

Kritik kepada modernitas berangkat dari sini. Bahkan sejak dua abad sebelumnya.

”Postmodernisme” hanya memberinya tenaga baru. Tapi sementara kritik ini dimamah-biak

berkali-kali, dengan kutipan dari Benjamin atau Adorno, Derrida atau Foucault, belum ada

yang menjawab: bisakah kita mengalahkan dorongan yang melahirkan modernitas ala Eropa

itu—yang menjanjikan kemajuan yang mempesona, meskipun gawat?

Jangan-jangan riwayat manusia tak bisa mengelakkan itu. Jangan-jangan yang bisa dilakukan

hanya memulihkan kembali pengalaman sebagai sesuatu yang utuh dan berdegup—seperti

ketika kita membaca puisi—dan menebusnya sejenak dari cengkeraman rasionalitas sang

penakluk.

Atau kita bekerja tanpa ilusi bisa lepas dari arus keras modernitas, namun terus dengan

(dalam kata-kata Benjamin) ”daya messianik yang lemah”, schwache messianische Kraft. Di

sana kita sesekali menemukan harapan pembebasan, dan kita pun berjuang kembali,

meskipun tak bisa selamanya kukuh….

Dan kita pun pergi menonton wayang, menemui Karna yang terbelah, Kunti yang tak setia

tapi ibu yang teguh, Bhisma yang membuang Amba tapi berbuat sesuatu yang luhur: serpihan

kisah penebusan, ketika Messiah tak juga datang. Meskipun Pramoedya tak menyukainya.

~Majalah Tempo Edisi 31 Agustus 2009~

Monginsidi, Chairil, Kartini Desember 25, 2006

Page 235: catatan pinggir

Shot? so quick, so clean an ending?

Oh that was right, lad, that was brave

Yours was not an ill for mending,

’Twas best to take it to the grave

– A.E. Housman (1859-1936).

Mereka menembak mati Monginsidi di Pacinang, Makassar, tanggal 5 September 1949.

Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang

ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberi maaf kepada regu serdadu yang bertugas

menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang

dikatakan Yesus di saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia – yang tak mau meminta grasi

kepada pemerintahan kolonial — sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya.

Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi — sepucuk

surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya – ia menggambarkan,

dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya “sebagai bunga yang

sedang hendak mekar…digugurkan oleh angin yang keras”.

Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter Monginsidi baru 24 tahun.

Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si “Woce” di majalah

Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di

Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56 – sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946.

Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan

gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk

melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan.

Pada suatu hari ia luka. Pada suatu hari ia ditangkap. Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap

lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh “Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan

Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan empat tahun

sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang muda – untuk sebuah harapan yang

belum punya kebimbangan.

Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai “Revolusi Pemuda” oleh Benedict

Anderson: babakan sejarah Indonesia ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mithos

tersendiri. Ia termasuk sepucuk “bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh

angin yang keras”. Tapi “angin yang keras itu” membuat yang dilakukannya dikenang, sebab

pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang

menakjubkan pada laku manusia.

**

Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain. Kali ini bukan untuk seorang anak

muda yang tewas oleh senjata api, melainkan untuk seorang atlit yang mati muda: Dua baris

yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young adalah kalimat ini:

Smart lad, to slip betimes away

From fields where glory does not stay

Page 236: catatan pinggir

Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlit: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah

memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya

telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri “dari medan di mana kejayaan

tak bertahan”, from fields where glory does not last.. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlit

baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan. Kini

dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi

“namanya mati sebelum orangnya”, “the name died before the man”.

Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya..

Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat

medali emas di Olympiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih

unggul dalam Olympiade Atlanta di tahun 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang

memenangi lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.

Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers – diam

yang menyertai mereka yang mati, sehabis “bumi menutup kuping” – tak lebih buruk

ketimbang tempik sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di

situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti,

diam adalah sebuah sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero — yang

berubah, fana dan berdosa — tapi sikap hormat ditujukan buat tindakan yang heroik, dari

mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya.

Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat

seperti dia, melainkan oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik.

Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, tapi sebagai kesediaan untuk berkorban

bagi sebuah harapan bersama.

“Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does

not die with the man.

****

Juga Chairil Anwar. Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan

kalimatnya yang terkenal: “sekali berarti, sudah itu mati”.

Ia menuliskan kata-kata itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam

sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir di tahun 1785. memimpin perang

perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian.

Kita memang bisa bayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah

perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200.000

manusia itu. Namun kata-kata “sekali berarti (se)sudah itu mati” — kalimat dramatik yang

menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir –

agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro. Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan

dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan

otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70..

Mungkin ”sekali berarti, (se)-sidah itu mati” lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri.

Page 237: catatan pinggir

Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi

penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan

bersenjata di Polobangkeng itu Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman

ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus?

Karena “angin yang keras” tahun 1940-an?

Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi

Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada lagi penyair yang menulis seperti para

sastrawan Pujanggga Baru di tahun 1930-an menulis.. Bagi saya sumbangannya bagi

perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S.

Takdir Alisyahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai “rujak” belaka: segar tapi

tanpa gizi.

Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya “segar”? Kenapa

sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada “gizi”? Tidakkah dalam “segar” ada sesuatu

yang lebih berarti – yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna?

Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang

menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara

aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang “bocah cilik” menemui hidup

dengan “main kejaran dengan bayangan.”

Kiranya memang hanya si “bocah” – dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam

dirinya — yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil; “main kejaran dengan

bayangan”. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil

dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.

Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini – juga kecemasan orang tua dan para

pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und

Drang — yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan

subyektif dan spontan dalam kreatifitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan

sikap beradab di masa itu – sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu yang

sementara dan tak serius.

Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal,

Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui

gairah dirinya selalu mendekati tarap tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya

banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh

dunia..

Kreatifitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan – itu sebabnya prosesnya

bisa tampak tak tetap, melimpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang

menyebabkan puisi Chairil — yang ditulis di tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh

dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir

– adalah bagian yang terkena “angin yang keras”. Ia melampaui tata yang mati,

meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai “kebudayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-

imaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan menghempas.

Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.

** **

Page 238: catatan pinggir

Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya.

“Gelombang” adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak

dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan.. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di

pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung

seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru.

Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termashur itu –

cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa di

akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan

menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai — Kartini meninggal di tahun 1904.

Umurnya baru 25.

Ia meninggal sebagai seorang ibu. Di akhir hidupnya yang pendek ia isteri kedua seorang

bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak

dari tata yang tertib.

Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya:

dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang – khas suara generasi muda — tapi

terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang

membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan

hampir segalanya.

Pandangan bahwa “tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian

nasional yang memujanya, Kartini dipanggil “Ibu kita”, bukan “sang pelopor”. Citranya tak

lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur

yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan

berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi.

Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi. Pemimpin perjuangan bersenjata

itu berakhir dalam mati, Kartini dalam “tua”. Betapa menyedihkan: ia tak tampak sebagai

seorang atlit yang mati muda. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, lawan dari hidup

bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita

harus mengenang tragedinya.

~Majalah Tempo, Edisi. 44/XXXV/25 – 31 Desember 2006~

Mono Maret 2, 2009

Pada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah bertengkar. Yang satu Muslim dan yang

satu lagi Yahudi. Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas sekalian alam”.

Yang kedua mengunggulkan Musa. Tak sabar, orang Muslim itu menjotos muka Si Yahudi.

Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad, yang memimpin kehidupan kota

itu. Ia ceritakan apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun memanggil Si Muslim dan berkata:

”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat semua umat jatuh pingsan,

dan aku pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan akulah yang pertama bangkit dan sadar,

tiba-tiba aku lihat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah ia tadinya

Page 239: catatan pinggir

juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan

Allah”.

Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’il Musa. Dalam buku Abd. Moqsith

Ghazali yang terbit pekan lalu, Argumen Pluralisme Agama, hadis itu dituturkan kembali

sebagai salah satu contoh pandangan Islam tentang agama yang bukan Islam, khususnya

Yahudi dan Kristen.

Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah ini, datang dengan pendirian yang kukuh: Islam adalah ”sambungan—

bukan musuh—dari agama para nabi sebelumnya”, yang sering disebut sebagai agama-agama

Ibrahimi.

Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad SAW yang dikutip di sana:

”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa”, dan, ”aku tidak tahu…”.

Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama merasa di atas Rasulullah: mereka merasa

tahu keunggulan diri mereka. Mereka akan membenarkan Si Muslim yang memukul Si

Yahudi. Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang ”menyimpang”, walaupun

orang lain itu, misalnya umat Ahmadiyah, membaca syahadat Islam.

Dari mana datangnya kekerasan itu?

Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi lembut, tapi satu

kalimat lain dari sumber yang sama bisa menghalalkan pembunuhan.

Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti banyak hal lain, terbangun dalam

ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-

kitab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari

bumi. Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku.

Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi suci; ia bisa jadi awal sebuah

laku. Kekerasan tak meledak di sembarang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih

sering terjadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercayaan yang berpegang

pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya kata-kata yang direkam beku dalam aksara itu

menghendaki kesatuan tafsir.

Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka ”satu”—dan kita harus bebas dari the

logic of the One.

Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Monotheism. Pakar theologi itu

menuding: ”Oneness, as a basic claim about God, simply does not make sense.” Dunia

sesungguhnya melampaui ke-satu-an dan totalitas.

Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam ”multiplisitas”—yang tak sama artinya

dengan ”banyak”. Kata itu, menurut dia, mencoba menamai cara melihat yang luwes, mampu

menerima yang tak terduga tak berhingga.

Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, menegaskan ”multiplisitas” itu tak

melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak hilang dalam multiplisitas, hanya ambyar

Page 240: catatan pinggir

sebagaimana bintang jatuh tapi sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam perjalanan

benda-benda planeter.

Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi tafsir kita. Bagaimana kalau

terbit intoleransi monotheisme kembali?

Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilangan Fu. Ada sebuah catatan pendek dari

tokoh Parang Jati yang bertanya: ”Kenapa monotheisme begitu tidak tahan pada perbedaan?”

Dengan kata lain, ”anti-liyan”?

Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap ”anti-liyan” itu berpangkal pada ”bilangan

yang dijadikan metafora bagi inti falsafah masing-masing”. Monotheisme menekankan

bilangan ”satu”. Agama lain di Asia bertolak dari ketiadaan, kekosongan, sunyi, shunyat,

shunya, sekaligus keutuhan. ”Konsep ini ada pada bilangan nol,” kata Parang Jati.

Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme, tak mampu menafsirkan

Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam shunya, sebab monotheisme ”dirumuskan sebelum

bilangan nol dirumuskan”.

Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun ia tak begitu jelas

menunjukkan, di mana dan bila kesalahan dimulai. Ia mengatakan, setelah bilangan nol

ditemukan, manusia pun kehilangan kualitas yang ”puitis”, ”metaforis” dan ”spiritual” dalam

menafsirkan firman Tuhan. ”Ketika nol belum ditemukan,” tulis Parang Jati, ”sesungguhnya

bilangan tidaklah hanya matematis.”

Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, melainkan karena ditemukannya nol.

Tapi Parang Jati juga menunjukkan, persoalan timbul bukan karena penemuan nol, melainkan

ketika dan karena ”shunya menjadi bilangan nol”.

Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah dengan memakai ”the logic of the

One”?

Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu saya dapat jawab yang

mencerahkan. Tokoh Buddhisme Indonesia, Badhe Dammasubho, menunjukkan bahwa kata

”esa” dalam asas ”Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sama dengan ”eka” yang berarti ”satu”.

Esa berasal dari bahasa Pali, bahasa yang dipakai kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama

dengan ”nirbana”.

Setahu saya, ”nirbana” berarti ”tiada”. Bagi Tuhan, ada atau tak ada bukanlah persoalannya.

Ia melampaui ”ada”, tak harus ”ada”, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, ”aku tidak

tahu”.

~Majalah Tempo Edisi 02 Maret 2009~

Mukjizat September 8, 2008

Mukjizat tak pernah datang tanpa mengecoh. Manusia punya kemampuan besar untuk

membentuk khayal jadi janji—dan mempercayai janji itu setelah mengemasnya dengan

”iman” atau ”ilmu”.

Page 241: catatan pinggir

Di zaman ”iman”, orang percaya akan deus ex machina, dewa yang keluar tiba-tiba dari

”mesin” dan menyelamatkan manusia dari tebing jurang bencana. Di zaman kini—persisnya

di zaman ketika seorang bernama Heru Lelono hidup di dekat Presiden Indonesia, di masa

ketika kata ”ilmu” & ”teknologi” sering membuat mata silau—orang pun percaya akan blue

energy dan padi ”Super Toy HL-2”.

Tapi, untunglah, tak semua dan tak selamanya orang teperdaya. Mukjizat hanya laris ketika

yang terkecoh dan yang mengecoh bersatu, ketika ada hasrat yang diam-diam mencekam,

agar hari ini yang terpuruk dapat ditinggalkan dengan ”loncatan jauh ke depan”.

Padahal, sejarah tak pernah terdiri atas loncatan seperti itu. Hasrat buat mendatangkan

mukjizat selamanya gawal, bahkan ketika ia didukung ”iman” yang bergabung dengan

”ilmu”.

Contoh yang terkenal adalah cerita Trofim Lysenko di Uni Soviet di masa kekuasaan Stalin.

Pada 1927, dalam usia 29, anak petani Ukraina yang pernah belajar di Institut Pertanian Kiev

ini menjanjikan mukjizat. Koran resmi Pravda (artinya ”Kebenaran”) menyebut Lysenko bisa

”mengubah padang gersang Transkaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak

akan punah karena kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup sepanjang musim

salju tanpa gemetar menghadapi hari esok”.

Dengan proses yang disebutnya ”vernalisasi”, Lysenko mengklaim ia mampu membuat

keajaiban itu. Partai yang berkuasa—yang selamanya ingin dengan segera dapat kabar baik—

mendukungnya, dan Stalin mendekingnya. Tak seorang pakar pertanian pun yang berani

membantah. Sejak 1935, Lysenko bahkan diangkat ke jabatan yang penting: memimpin

Akademi Ilmu-ilmu Pertanian. Di sini ia bisa menggeser siapa saja yang tak menyetujuinya.

Baru pada 1964, hampir sedasawarsa setelah Stalin mangkat, ilmuwan terkemuka Andrei

Shakarov secara terbuka mengecamnya: Lysenko-lah yang bertanggung jawab atas

kemunduran yang memalukan bidang biologi Uni Soviet, karena ”penyebaran pandangan

pseudo-ilmiah”, bahkan penyingkiran dan pembunuhan para ilmuwan yang sejati.

Kehendak untuk mukjizat acap kali berkaitan dengan hasrat untuk super-kuasa: ”iman” atau

”ilmu” seakan-akan bisa membawa seseorang ke sana. Itu sebabnya mukjizat yang mengecoh

tak hanya terbatas pada kasus macam Lysenko. Ada contoh lain dari Cina. Menjelang akhir

1950-an, Mao Zedong—yang beriman kepada sosialismenya sendiri dan merasa sosialisme

itu ”ilmiah”—menggerakkan rakyat di bawah kekuasaannya agar membuat ”loncatan jauh ke

depan”.

Mao ingin agar Cina yang ”terkebelakang” akan dengan waktu beberapa tahun jadi sebuah

negeri industri yang setaraf Inggris. Caranya khas Mao: mobilisasi rakyat. Di pedesaan Cina

yang luas, ribuan tanur tinggi untuk produksi baja dibangun dengan mengerahkan segala

bahan yang ada. Hasilnya: baja yang tak bermutu. Sementara itu, di seantero Cina yang luas,

selama dua tahun berjuta-juta petani telah dikuras tenaganya untuk itu, hingga sawah dan

ladang telantar—dan kelaparan pun datang. Berapa juta manusia yang mati akibat itu, tak

pernah bisa dipastikan.

Keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin sebanding dengan tingkat putus asa yang

menghantui mereka yang mendambakan deus ex machina. Manipulasi Lysenko terjadi ketika

Uni Soviet menghadapi krisis pangan setelah ladang-ladang pertanian diambil alih negara dan

panen gagal bertubi-tubi. Saya kira fantasi Mao tak bisa dipisahkan dari trauma macam yang

Page 242: catatan pinggir

pada 1928 dilukiskan dalam A Learner in China: A Life of Rewi Alley tentang bocah-bocah

buruh perajutan sutra di Shanghai, yang berbaris panjang, berdiri selama 12 jam di depan

kuali-kuali perebus kepompong yang mendidih.

Anak-anak berumur sekitar sembilan tahun itu menatap lelah, sementara jari tangan mereka

bengkak memerah memunguti kepompong ulat sutra yang direbus itu. Para mandor berdiri di

belakang mereka dengan cambuk kawat, tak jarang mendera bocah yang salah kerja. Ada

yang menangis kesakitan. Di ruangan yang penuh uap dan panas itu, ”mereka terlalu sengsara

untuk bisa dilukiskan dengan kata-kata”, tulis Alley.

Kita tahu, kesengsaraan itu juga tanda ketidakadilan. Dan memang tak mudah buat bersabar

di hadapan itu. Maoisme berangkat dari kehendak menghabisinya, dengan rencana yang cepat

dan tepat. Tapi apa yang ”tepat” dalam sejarah yang senantiasa bergerak, berkelok, dan tak

jarang jadi kabur? Baik ”iman” maupun ”ilmu” acap kali membuat hal-hal jadi terlampau

mudah diselesaikan. Apalagi jika, seperti dalam hal blue energy dan ”vernalisasi”, ada

kekuasaan yang bersedia mendesakkan mukjizat itu.

Tentu saja harus dicatat: Indonesia hari ini bukan Uni Soviet di masa Lysenko, bukan pula

Cina di masa Mao. Di sini ”iman” dan ”ilmu” tak dibiarkan memegang monopoli. Informasi

mengalir leluasa, pertanyaan dan keraguan dengan bebas dinyatakan, dan tiap pengetahuan

diperlakukan hanya sampai kepada tingkat pengetahuan, bukan kebenaran. Dan di sini,

bahkan kantor kepresidenan tak bisa dan tak hendak membungkam perdebatan.

Mukjizat Lysenko dalam ilmu biologi berlangsung antara 1927 dan 1964, dengan korban

yang tak sedikit. Mukjizat Mao lebih sebentar, tapi menghancurkan kehidupan jutaan

manusia. Mukjizat blue energy dan ”Super Toy HL-2” lebih pendek umurnya. Mungkin kita

perlu bersyukur. Kita masih bisa melihat keyakinan dan kepastian, ”iman” dan ”ilmu”

sebagai kekuatan yang sementara.

~Majalah Tempo Edisi 29/XXXVII 08 September 2008~

Mulyana Mei 2, 2005

Mulyana atau bukan Mulyana, tiap orang punya detik-detik yang genting, ketika harus

menentukan untuk curang atau tak curang, mencuri atau tak mencuri. Detik-detik itu mungkin

singkat, tapi itulah saat kebebasan yang menakjubkan.

Menakjubkan dan sekaligus membuat gentar: kebebasan itu sunyi dan penuh risiko. Tapi

bagaimanapun ia menandai sebuah otonomi, mengisyaratkan sebuah posisi: manusia

bukanlah sebuah kapal keruk. Sebuah kapal keruk, yang digerakkan sepenuhnya oleh pelaku

di luar dirinya, tak akan bisa dituntut pertanggungjawaban, tak dapat pula diberi

penghormatan. Tak ada mesin yang patut dibui dan layak diberi medali.

Memang bisa dikatakan, keputusan seseorang, Mulyana atau bukan Mulyana, disebabkan

oleh wataknya, dan watak adalah akibat warisan genetik orang tua serta pengaruh sekitar

yang membekas.

Namun dapatkah semua hal diterangkan dengan garis lurus sebab-dan-akibat itu? Ketika saya

memutuskan bertindak A, dan bukan B, saya sebenarnya tak tahu persis adakah hal itu karena

nenek moyang saya Ken Arok, atau karena tubuh saya gemuk, atau karena saya berbakat

main akordeon dan dibesarkan di Cepu. Siapa yang dapat memastikan bahwa sebab X, Y, Z

akan berakibat pada laku A dan bukan B?

Pada akhirnya, inilah yang saya tahu: saya adalah pelaku. Mulyana atau bukan, pada saat-saat

Page 243: catatan pinggir

saya harus memilih apa yang “baik” dan “buruk”, saya bukanlah sebuah akibat. Ada dalam

hidup saya yang dapat dijelaskan dengan sebab-dan-akibat, namun ada yang tidak. Tak

seluruh diri saya digerakkan oleh keniscayaan. Kita sehari-hari menempuh hidup dengan Das

Sein, mengikuti “apa-yang-ada-kini”; tapi juga kita coba menjalankan Das Sollen, “yang-

seharusnya”. Kant mengatakan: kita memiliki “kemerdekaan transendental”.

Kemerdekaan itulah yang membuat manusia sebuah makhluk yang belum selesai.

Ada sepotong kalimat yang pernah mengharukan abad ke-20: “Saya percaya, manusia pada

dasarnya baik”. Anne Frank menuliskan itu di antara ribuan baris catatan hariannya, ketika

gadis kecil Yahudi itu bersembunyi ketakutan selama dua tahun, sebelum akhirnya orang

Nazi menangkapnya beserta seluruh keluarganya dan memasukkannya ke kamp konsentrasi

Bergen-Belsen, tempat ia mati pada akhir musim dingin 1945. Kata-kata itu memberikan

harap pada zaman yang gelap. Tapi sebenarnya tak sepenuhnya tepat.

Bukan karena manusia “pada dasarnya buruk”. Tapi karena kita tak dapat merumuskan satu

sifat apa pun tentang manusia dengan kata-kata “pada dasarnya”. Seseorang jadi pahlawan

atau bajingan bukan karena “esensi”. Saya tak pernah percaya ada “pahlawan” atau

“bajingan”; yang ada hanyalah “laku/momen kepahlawanan” atau “laku/momen

kebajinganan”. Keduanya adalah “eksistensi”, yang datang dari pilihan dan perbuatan.

Sebab itulah pilihan untuk berbuat baik—menolak untuk korupsi, misalnya—adalah sebuah

langkah yang tiap kali mengharukan dan mengagumkan: ia tak dilakukan sebagai kelaziman,

atau sebagai sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan. Ia dilakukan sebagai semacam

“penciptaan”. Ia dilakukan bukan untuk menuruti perintah dari “dia” atau “mereka”, dari

hukum Tuhan atau manusia. Perbuatan baik itu dilakukan secara “spontan”, sebab langsung

ia dilihat sebagai “wajib”. Dalam sebuah kisah kecil Mahabharata, Urinara melindungi

seekor unggas yang nyaris tewas. Seekor elang besar mengejar untuk memangsanya. Urinara

tak kenal unggas yang ketakutan itu, tapi ia tahu ia tak dapat membiarkan keangkaramurkaan

itu terjadi. Ditawarkannya dirinya, jasadnya, untuk jadi makanan pengganti. Si elang pun

menerima tawaran itu, dan mulailah ia memakan sedikit demi sedikit tubuh sang penolong….

Bagi Urinara, keputusannya adalah sebuah “kewajiban”. Ia melakukannya bukan karena ia

senang, bukan karena janji surga, melainkan karena ia sadar itulah yang “baik”, yang “bajik”,

dan tak ada hubungan antara kebajikan dan rasa bahagia. Kebajikan itu ia anggap sebagai

sesuatu yang “seharusnya”, dan ini berlaku universal: harus dilakukan oleh siapa saja, juga

oleh dirinya. Tapi “kewajiban” itu, pada saat yang sama, juga dipilih dengan bebas—bebas

dari pamrih apalagi paksaan. Memang sebuah paradoks: bagaimana sebuah “kebebasan”

menjalankan “kewajiban”? Apa arti “otonomi” di sini? Kant mencoba menjelaskan paradoks

itu dengan susah payah. Tapi saya kira ada jawaban yang sederhana: yang “wajib” itu

tersedia untuk dipilih secara bebas sebab ia memenuhi sebuah gagasan tentang apa yang

“universal”, yang diterima semua orang yang berakal-budi. Tentu saja yang “universal” itu

tak pernah hadir sebagai tata tertib yang jelas dan selesai. Manusia mempersoalkannya

berabad-abad, selalu dalam keadaan setengah gelap. Juga bagi Urinara. Malah mungkin ia tak

berpikir, dapatkah tindakan yang dilakukannya jadi norma yang berlaku bagi orang lain

sebagai “imperatif yang kategoris”. Yang pasti ia tak berbuat untuk jadi teladan. Namun di

situ justru kebajikannya menakjubkan. Tapi tak hanya Urinara. Syahdan, di sebuah tembok di

Kota Kaliningrad yang dulu bernama Köningsberg, tak jauh dari makam Kant yang merapat

di dinding katedral kota itu, ada sebuah kutipan terkenal dari sang filosof, dipahat dalam

bahasa Jerman dan Rusia. Terjemahan bebasnya: “Dua hal memenuhi pikiranku dengan rasa

takjub dan terkesima: angkasa yang penuh bintang di atas sana dan hukum moral nun dalam

diri manusia”. Dua hal—dan di situ tampak keterbatasan manusia tapi juga kelebihannya. Di

tengah alam semesta, ia hanya satu di antara bermiliar-miliar noktah; ia begitu terbatas,

begitu tak mampu untuk mengetahui semuanya. Tapi dalam posisi itu, ia toh dapat, bila ia

mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesamanya. Maka alangkah nistanya, jika Mulyana

Page 244: catatan pinggir

atau bukan Mulyana ternyata memilih mala, memilih evil—dan berpaling dari hal yang

menakjubkan itu.

~Majalah Tempo, Edisi. 10/XXXIV/02 – 8 Mei 2005~

Mumbai Desember 1, 2008

“….yes, it was my Bombay, but also not-mine”

Saleem kembali ke kota kelahirannya, Bombay: tempat tinggal nostalgianya yang paling

dalam. Tapi di awal tahun 1970-an itu, kota itu telah berubah.

Tokoh utama novel Salman Rushdie Midnight’s Children ini tak menemukan kembali toko

penjual tumpukan komik Superman. Dan nun di bukit itu tak ada lagi rumah-rumah megah

yang dirias bunga bougenville, menatap ke laut. Tak ada lagi lapangan sirkus di masa kanak.

Kini yang tampak adalah “monster-monster yang mengangkang menjulang ke langit,

memanggul nama asing yang ganjil: OBEROI-SHERATON…”

Saleem, yang dilahirkan di tengah malam 15 Agustus 1947, persis di hari India lahir,

akhirnya cuma punya masa lalu. Ia memasuki kota itu seraya memeluk erat Aadam, si bocah

yang jadi anaknya, dan berseru gembira: “Back-to-Bom!” Tapi ia tak bisa kembali. Sebab itu

ia harus musnah. Durga telah berkata kepadanya: “…ketika orang kehilangan minat pada hal-

ihwal yang baru, ia membuka pintu bagi Malaikat Hitam”.

Kini Bombay disebut Mumbai – hampir sepenuhnya sebuah hal baru, dibentuk minat baru.

Orang jadi penting bila berlalu lalang di ruang pasar modal yang terus membubung, atau di

koridor industri film yang menjangkau dunia. Dengan glamor dan kalkulator mereka

membuat hotel megah seperti Oberoi dan Taj Mahal bukan ebagai monster yang asing,

melainkan sebuah kegairahan yang tak dimengerti Saleem.

Tapi berbeda dengan Saleem, para penghuni Mumbai di lapisan atas itu tak hendak

sepenuhnya berpijak ke kota yang oleh orang Portugis disebut “Teluk yang Baik” (Bom

Bahia) itu. Dalam sebuah buku yang memukau tentang pesona dan kebrutalan Bombay,

Maximum City, Suketu Mehta menggambarkan sebuah kalangan atas, the society set, yang

sebenarnya benci hidup di sana. Mereka tinggal di Mumbai karena tak bisa hidup di tempat

lain di India. Bila mereka pindah, mereka pindah ke New York atau London. Atau mereka

bawa New York dan London ke ibukota negara bagian Maharashtra itu. “Jika kita berjalan

lepas dari jalanan Bombay yang jorok, kita akan berada di Soho”, tulis Mehta. “Seluruh

usaha dicurahkan untuk membuatnya ‘luar-negeri’: para pelayannya, makanannya,

dekornya”.

Tapi mungkin tak hanya kalangan atas yang memimpikan negeri lain. Dengan akses yang

relatif mudah ke kancah diaspora orang-orang India di seluruh dunia, terutama di Amerika

dan Eropa, sebenarnya tak jelas betul mana yang “asing” dan bukan, mana yang “luar” dan

“dalam”.

Saleem dalam Midnight’s Children — yang riwayatnya oleh Salman Rusdhie diparalelkan

dengan bangsa dan negara “India” – sebenarnya berdarah Inggris; ia anak haram William

Methwold, yang ditukar jadi anak Ahmed dan Amina Sinai. Sampai akhir hayatnya, Saleem

Page 245: catatan pinggir

adalah sebuah keragaman dalam satu sosok, keanekaan yang batasnya tak jelas. Agaknya

menyadari ini, kutipan awal dalam Maximum City diambil dari ucapan Kabir: “Aku

sendirian, tapi beberapa”.

Bahkan dalam kesendirian, apakah makna batas? Di mana ia ditarik? Hari-hari ketika

Mumbai kena gempur sejumlah teroris yang tak dikenal, para pemimpin politik dan

komentator India berbicara tentang “kekuatan luar” dan “perbatasan yang bolong-bolong”

yang menyebabkan serangan sehebat itu terjadi. Tapi jika Mumbai, seperti Saleem – ya,

seperti India seluruhnya – tak hanya satu, melainkan kebhinekaan, maka yang “asing” dan

yang “luar” adalah identifikasi yang mudah runyam.

Maximum City mengutip Victor Hugo: semua kota besar dirundung skizofrenia. Mumbai

dirundung gejala kepribadian ganda yang bisa parah. Mehta berhasil menghadirkan kepada

kita dunia gelap yang tersembunyi di kota terkaya di India ini: ada Monalisa, penari kabaret

yang memotong pergelangan tangannya sendiri, ada Vijay Lal, perwira polisi yang jujur tapi

tak enggan menyiksa tahanannya. Ada Sunil, Satish, dan Mohsin, yang bisa bercerita dengan

acuh tak acuh bagaimana membunuh orang.

Mehta tak menjerit menghakimi mereka, meskipun kita bisa merasakan horor yang merayap

ke dalam laporannya.

Dalam cerita Sunil, misalnya. Ia anggota Shiv Sena, organisasi Hindu yang tumbuh dengan

dendam dan kebencian kepada minoritas Muslim. Pada Januari 1993, setelah sebuah

bentrokan antara Hindu-Muslim, Sunil dan teman-temannya bergerak membabat orang

Muslim, menjarah milik mereka, membakar tubuh mereka hidup-hidup.

Dengan rinci ia gambarkan bagaimana seseorang mati terbakar. “Minyak menetes dari

tubuhnya. Matanya jadi besar, besar.. dan jika kau sentuh tangannya, putihnya kelihatan,

putih, putih…terutama di hidung”.

Horor, dia sendiri mengakui itu. Tapi ia dengan tenang membasmi habis tubuh penjual roti

lengganannya. “Kejahatannya terbesar adalah ia Muslim”, seperti kata seorang anggota Sena

yang lain.

Hal yang sama bisa dikatakan oleh seorang Muslim yang memenggal leher seorang Hindu:

“Kejahatannya terbesar adalah ia Hindu” – dan sebab itu identitas di Mumbai, sebagaimana

dikisahkan Mehta, harus bisa dikaburkan: kartu nama dicetak dalam dua versi, Muslim dan

Hindu.

Ini cara untuk selamat, ini mungkin bukan heroisme, tapi jangan-jangan ini menunjukkan

dasar persoalan: bagaimana kita mendefinisikan diri dan orang lain?

Dalam novel Salman Rushdie, Saleem menutup kisahnya dengan sebuah kalimat amat

panjang. Tapi kata-katanya bukan sebuah ucapan selamat tinggal kepada India yang

beraneka-ragam. Justru sebaliknya:

“Akulah bom di Bombay, simaklah aku meledak, tulang pecah-retak tertekan desakan tak

enak kelimunan manusia, kantung berisi belulang yang jatuh, ke bawah ke bawah ke

bawah…

Page 246: catatan pinggir

….aku telah jadi yang-begitu-banyak-terlampau-banyak…”

“Terlampau banyak”: perbedaan bukanlah sesuatu yang gampang berhenti. Siapa yang

memaksakan sesuatu yang tunggal, akan batal.

~Majalah Tempo Edisi 41/XXXVII 01 Desember 2008~

Murtad Juli 23, 2007

Saya tak akan berpindah agama—dan dengan demikian sebenarnya saya memilih agama saya

sekarang. Tapi saya sedih benar mendengar cerita orang yang dilarang memilih agama yang

ingin dianutnya. Saya sedih mendengar kisah Revathi Massosai.

Perempuan Malaysia ini, yang sudah menikah dan beranak satu, lahir dari ayah ibu yang

beragama Hindu tapi kemudian berpindah jadi Muslim. Dari pasangan ini ia mendapatkan

nama Muslim. Tapi ia dibesarkan oleh neneknya, seorang Hindu, dan Revathi memilih

mengikuti agama sang nenek. Di Malaysia, ini jadi masalah. Di negeri itu, orang yang

berayah Muslim harus jadi seorang Muslim. Dan sebagai Muslimah, Revathi dilarang

berpindah agama atau menikah dengan seorang yang tak seiman. Ia dilarang murtad.

Tapi di tahun 2004 Revathi kawin dengan seorang pria Hindu. Pasangan ini mendapatkan

seorang anak perempuan.

Januari yang lalu ia datang ke mahkamah pengadilan agar secara resmi ia disebut sebagai

seorang Hindu. Bukan saja usahanya gagal; ia malah ditahan para petugas. Ia dimasukkan ke

”pusat pemulihan akidah”. Dia ditahan sampai enam bulan. Tujuan para pejabat syariah Islam

ialah untuk menjaganya agar ia tetap berada ”di jalan yang benar”—tentu saja ”jalan yang

benar” menurut para pemegang otoritas iman di Malaysia.

Selama enam bulan dikungkung itu, ia harus mengenakan jilbab, menegakkan salat, dan lain-

lain. Yang kemudian diceritakannya kepada dunia ialah bahwa juga kepadanya disajikan

daging sapi—sesuatu yang bagi orang Hindu merupakan pelanggaran.

Pengakuan itu agaknya menimbulkan suara marah dari kalangan Hindu di Malaysia, dan para

advokat pembela penguasa syariah di Negara Bagian Malaka itu pun buru-buru menjelaskan

bahwa apa yang dikatakan Revathi tak benar. Mereka yakin, demikian dikutip BBC, bahwa

perempuan itu masih bisa dibujuk untuk tetap tak meninggalkan Islam.

Revathi membantah.

Saya tak tahu, apa yang akan didapat para penguasa syariah Islam di Malaka itu sebenarnya:

seorang Muslimah yang selamat rohnya dari api neraka, atau jumlah penganut Islam yang tak

berkurang, atau seorang yang hanya pura-pura saja beriman kepada Allah tapi hatinya

menderita dan tak ikhlas.

Page 247: catatan pinggir

Saya tak tahu bagaimana orang-orang yang berkuasa di peradilan syariah itu menafsirkan

kearifan terkenal Quran, bahwa ”tak ada paksaan dalam agama”.

Saya juga tak tahu pasti adakah segala usaha mencegah seorang dewasa memilih agamanya

sendiri itu merupakan bagian dari politik waswas yang merundung Malaysia—yang

menyebabkan soal identitas ”Islam” dipertautkan tetap dengan identitas ”Melayu”, hingga

agama bukan lagi diyakini karena kesadaran, melainkan dipegang karena faktor genetik. Saya

orang Indonesia, yang dengan agak bangga bisa mengatakan, di negeri ini keislaman tak

secara otomatis dikaitkan dengan ras. Iman bukanlah sesuatu yang otomatis. Agama adalah

akal, kata Nabi. Akal mengimplikasikan kemerdekaan berpikir dan memilih.

Memang harus saya katakan, saya seorang Muslim karena orang tua saya. Tapi saya

sebenarnya bebas untuk tak mengikuti garis itu—sebagaimana orang-orang Arab dulu bebas

untuk tak mengikuti kepercayaan nenek moyang mereka dan memutuskan untuk mengikuti

Rasul Tuhan, dengan risiko dimusuhi keluarga sendiri dan masyarakat sekitarnya.

Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam agama saya sekarang bukan karena

saya anggap agama itu paling bagus. Saya tak berpindah ke agama lain karena saya tahu

dalam agama saya ada kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada

keburukan yang ada dalam agama saya. Sejarah agama-agama senantiasa terdiri atas bab-bab

yang paling represif dan buas, tapi juga pasase yang paling mulia dan memberikan harapan.

Agama menyumbangkan kepada kehidupan manusia secercah kesadaran, betapapun

mustahilnya keadilan akan datang, nilai itu—dan segala sifat Allah—tetap memberi inspirasi.

Agaknya itulah yang berada dalam inti iman.

Maka pada akhirnya yang penting bukanlah apa agama yang saya pilih dan Revathi pilih,

melainkan bagaimana seseorang tetap berada dalam inti iman itu—bagaimana ia hidup dan

bertindak.

Dalam inti iman, Tuhan tak dipersoalkan lagi. Bahkan seorang murtad tak bisa menggugat—

sebagaimana tokoh Lazaro yang murtad tak bisa untuk tak merasa dekat dengan Don Manuel,

pastor di kota kecil Spanyol dalam novel Migel de Unamuno, Saint Manuel Bueno, Sang

Martir.

Saya teringat akan tokoh novel itu, sebab Don Manuel adalah seorang penolong, penyabar

dan—menurut sang pencerita—suka mendahulukan ”mereka yang paling malang, dan

terutama mereka yang membangkang”. Tapi ia juga padri dengan mata sedih.

Pandangannya meredup ketika ia mengatakan kepada seorang anak bahwa orang harus

percaya kepada Neraka.

Bahkan Lazaro yang meninggalkan iman Kristennya menghormatinya dan jadi pembantunya.

Berdua mereka merawat yang sakit, menemani yang kesepian, memberi makan yang lapar,

menghibur yang berduka.

Pastor itu tak meminta Lazaro tetap jadi seorang Kristen. Ia hanya minta agar pemuda itu

”berpura-pura percaya”, meskipun tetap tak beriman, sekadar agar tak membuat heboh

penduduk kota kecil itu. Don Manuel tak mendesakkan kebenaran, sebab kebenaran, seperti

pernah dikatakannya kepada Lazaro, ”mungkin sesuatu yang begitu tak tertanggungkan,

begitu mengerikan, begitu mematikan, hingga orang-orang biasa tak dapat hidup dengan itu”.

Page 248: catatan pinggir

Ia sendiri mungkin tak percaya akan neraka; ia bersedih bila Tuhan membalas dendam. Tapi

ia tak hendak meninggalkan agamanya, sebagaimana ia membiarkan Lazaro murtad. Pada

saat yang sama, seluruh laku hidupnya menunjukkan bahwa harapan bisa terjadi—harapan

sebagai bayang-bayang Tuhan yang hadir dalam tiap perbuatan baik dan ikhlas bagi mereka

yang luka dan diabaikan.

~Majalah Tempo Edisi. 22/XXXIIIIII/23 – 29 Juli 2007~

Myanmar Oktober 1, 2007

Kau benar, Suu Kyi: keberanian bisa menular. Ia juga bisa menyentuh. Dunia kini tengah

menyaksikan dengan kagum deretan 10 ribu biarawan dan biarawati berjubah merah berbaris

dari Pagoda Shwegadon, menapak jalan-jalan kota Yangoon. Telah sepuluh hari lamanya

mereka utarakan apa yang selama ini telah kau utarakan, mereka ucapkan apa yang selama ini

dibisukan: pemerintahan militer tak bisa diterima! Myanmar tak bisa ditindas!

Mereka juga datang memasuki Avenue Universitas, mendekat ke rumah tempat kau ditahan

selama sebelas tahun. Seratus orang polisi mencegah. Para biarawan itu mundur. Tapi

akhirnya ada yang juga mendekat. Orang-orang melihat kau muncul di jendela. Kau

melambai, menyambut mereka—dengan mata basah.

Aku ingin sekali berada di jalan itu, Suu Kyi. Tiap keberanian untuk keadilan adalah cercah

harapan—benda langka di zaman yang sinis. Seperti berkah yang hilang, seperti wahyu yang

selalu tertunda. Tapi keberanian, biarpun sejenak, bisa menular, kau pernah bilang. Aku tak

heran ketika Aung Way, sang penyair, kemarin berkata, ”Besok banyak lagi yang akan

serta!”

Hari ini, ada yang dihalau dari Myanmar. Tak akan banyak lagi yang akan bilang: ”Kita

semua hanya memikirkan diri sendiri.” Kau pernah katakan, rasa takut itu mengkorup jiwa,

tapi ada yang lebih jahat ketimbang itu, Suu Kyi: ketakpercayaan kepada yang baik dalam

diri sesama. Sinisme itulah yang membinasakan kita.

Memang, orang bilang, sejarah tak selamanya dibikin dari optimisme. Sebab itu aku tak akan

bicara tentang itu. Tapi jelas: kelaliman, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang

dirasakan luas adalah sebuah kehilangan yang menusuk hati. Dari liang luka itulah keadilan

disebut sebagai hasrat yang kuat dan kebebasan jadi pekik yang keras. Tanpa seorang pintar

pun yang mendefinisikannya.

Kau pasti tahu, dari pengalamanmu, sebuah rezim tak dengan sendirinya rubuh di depan

pekik itu. Tapi para jenderal itu—dengan seragam mereka yang wagu tapi yakin—kini tak

bisa lagi mengatakan, ”Hai, kalian tak mewakili bangsa ini! Kamilah yang mewujudkannya!”

Kini ribuan jubah merah yang bergerak itu adalah tanda kesekian dari zaman yang bergerak,

dengan suara yang menggugat: ”Tuan-tuan tidak mewakili kami! Burma telah jadi sebuah

jurang!”

Page 249: catatan pinggir

Tapi tentu saja Myanmar bukan sebuah jurang yang walau dalam tak punya udara lepas.

Sebab bukan hanya protes seperti itu yang kini jadi berarti, Suu Kyi. Di bawah teror bahasa

yang selama 45 tahun dikuasai koran resmi yang buruk, ucapan kecil, ungkapan lucu, saling

tatap yang muram, bahkan senyum dikulum—semuanya jadi bagian dari penolakan. Karena

tiap frase di Myanmar kini adalah klise, karena tiap klise adalah represi, dan tiap represi

membuat gagu. Yang ajaib ialah bahwa gagu itu menjalar tak sepihak. Para jenderal di

podium itu ikut terkena: bahasa mereka tak berbunyi lagi.

Aku ingat Zagana, komedian kota Yangoon yang selama ini dibiarkan oleh rezim karena

cemoohnya dianggap tak berbahaya. Ia sebenarnya sudah lama membangkang, dengan

ucapan-ucapan lucu, mengejek, yang pintar. Tapi kini ia lebih dari kocak. Aku dengar ia

bilang akan menyediakan makanan dan minuman bagi para pemrotes. Itu bukan isyarat

sepele—sebab tentara telah menembak sembilan orang mati, ratusan biarawan disekap,

beberapa biara dikepung, dan jam malam diumumkan.

Beberapa bulan yang lalu, di puncak Bukit Mandalay, di balustrada yang memanjang dari

patung perak Sang Buddha, biarawan muda yang aku belum berani sebut namanya itu

menunjuk jauh ke bawah. Lihat deretan bangunan kuning itu, katanya. Penjara Myinchan.

Dan aku tahu apa maksudnya.

Burma sebuah penjara, ia seperti menirukan Hamlet yang menyimpan dendam. Tahun 1988,

ia berbisik dalam bahasa Inggris yang bagus. Kami semua ingat 1988. Apa yang terjadi di

tahun itu? Ia menjawab: 3.000 demonstran ditembak mati.

Dan dunia tak bisa berbuat banyak. Kau pasti cemas, Suu Kyi. Dunia selalu tak akan bisa

berbuat apa-apa kecuali mengeluarkan kata-kata jika nanti lebih banyak orang ditembak.

Indonesia, negeriku, yang pernah menumbangkan sebuah rezim yang mirip, mungkin juga

akan tak malu untuk hanya diam—sebagaimana ia juga dulu tak malu-malu membiarkan

kaum fasis itu masuk ASEAN. Dan kami, yang di kejauhan menyatakan simpati, yang

menulis, membuat statemen, mengenakan baju merah mengikuti protes di Yangoon dan

Mandalay, hanya bisa sebatas ini.

Tapi keberanian tak hanya menular, Suu Kyi. Keberanian membangun sesuatu ke dalam diri.

Hari-hari ini protes mungkin akan gagal. Tapi bangunan batin itu akan bisa tetap, mungkin

makin meluas dalam mengalahkan ketakutan, mengusir sinisme. Mudah-mudahan ia akan

lebih bertahan ketimbang sebuah rezim—biarpun begitu banyak kekecewaan dalam sejarah.

Sebab Myanmar telah punya sebuah tauladan: engkau. Sebab sejak hari ini tiap pagi harapan

memanjat naik, biarpun pelan, lebih tinggi ketimbang 1.000 pagoda.

~Majalah Tempo Edisi. 32/XXXVI/01 – 7 Oktober 2007~

Nasionalisme Februari 26, 2007

Kita hidup dengan kontradiksi di tapal batas. Kini dengan cerdik dan cekatan pelbagai hal—

buruh, komoditas, korupsi, agenda politik, terorisme—melintasi perbatasan. Tapi di sana-sini

tembok nasional dibangun makin tinggi. Dunia menyempit, dunia kian sengit, dan wajar jika

kita bertanya: Bisakah nasionalisme dielakkan? Haruskah?

Page 250: catatan pinggir

Nasionalisme punya sejarah, punya jejak, dan untuk menjawab pertanyaan itu penting kita

lihat jejak itu kembali. Ada masanya ketika yang tersimpan rekaman kisah yang buruk.

Rabindranath Tagore pernah menggambarkan sebuah keadaan ketika ”bangsa-bangsa yang

saling ketakutan intai-mengintai seperti hewan buas di malam hari”. Dan penyair besar India

itu pun bertanya, ”Haruskah kita bertekuk lutut kepada semangat nasionalisme, yang

menebar-siarkan benih rasa takut, rakus, curiga… ke seluruh dunia?”

Tagore mengucapkan itu pada 1916, ketika sastrawan berbahasa Bengali yang mendapat

penghargaan Nobel pada 1913 itu berkunjung ke Tokyo. Waktu dan tempatnya penting:

kaum nasionalis Jepang sedang menghalalkan postur militer negerinya. Dalam hubungan itu

bahkan Tagore secara tak sengaja mengecam pandangan yang tercantum dalam The

Awakening of Japan, buku berbahasa Inggris yang terbit pada 1904, yang membenarkan

penjajahan Jepang atas Korea: ”Korea terletak bagaikan sebilah keris yang selamanya

terhunus ke jantung Jepang”.

Kalimat itu penting sebab bukan suara seorang militer. Ia ditulis seorang Okakura Tenshin.

Okakura justru seperti Tagore: hidup dan menulis dalam lingkungan di mana seni dan

pengalaman tentang keindahan diletakkan begitu pen-ting dalam hidup manusia. Kedua orang

itu bahkan saling kenal, dan dalam arti tertentu, berteman.

Dalam bukunya terbaru, Another Asia, Rustom Bharuscha—dari mana saya dapatkan kutipan

buat tulisan ini—menggambarkan dengan cermat dan menilik dengan tajam peri kehidupan

kedua ”sahabat” itu. Dari sini dapat kita lihat kembali soal-soal yang timbul tatkala bagian

dunia yang disebut sebagai ”Asia” ini—dengan definisi dan geografi yang tak sepenuhnya

jelas—harus bergulat dengan pertanyaan yang fundamental tentang identitas atau posisinya

dalam sejarah. Diinjak-injak kolonialisme negeri-negeri Eropa, ”Asia” kemudian melihat

bagaimana sebuah negeri Eropa, yakni Rusia, dikalahkan Jepang pada 1905. Sejak itu ”Asia”

sibuk untuk ”bangun”. Nasionalisme adalah jawabannya.

Tapi itu bukan jawaban tanpa sisi yang gelap. Telah disebut bagaimana nasionalisme Jepang

melahirkan imperialisme tersendiri, mula-mula di Korea. Kontradiksi ini sudah terasa ketika

berkumandang suara—seperti juga yang diartikulasikan Okakura Tenshin—bahwa ”Asia” itu

”satu”, bahwa ”Asia” punya ciri yang tersendiri, sebagaimana dinyatakan dalam kesenian dan

kehidupan sosialnya.

Dalam bukunya, Bharuscha menunjukkan kontradiksi itu lebih jauh dengan mengutip

pelbagai ucapan Okakura: justru di bangunan ”Asia” yang ”satu” itu, Jepang tak persis berada

di dalamnya. Jepang berada di atas, dimulai dengan posisinya dalam seni. Bagi Okakura, seni

rupa Jepang—lahir dari alam yang berbeda—berada di tingkat yang lebih unggul ketimbang

seni Cina, yang ditandai ”keluasan yang monoton” dan ketimbang seni India yang punya

”kekayaan yang terlampau membebani”. ”Seni Jepang berdiri sendiri di dunia,” katanya,

sebagaimana halnya ”Jepang berdiri sendiri menghadapi dunia”.

Yang diabaikan Okakura ialah bahwa dalam kata ”menghadapi dunia” ada ”yang lain” yang

dihadapi.

Okakura sendiri sebuah persona. Ia sebuah penampilan. Ia menyusun sebuah koreografi

untuk hadirin yang dihadapinya. Dalam foto-fotonya, ia selalu tampak mengenakan kimono.

Dalam karya-karyanya, Okakura berbahasa Inggris. Bharuscha mengemukakan satu kutipan

Page 251: catatan pinggir

menarik, yakni sepotong nasihat Okakura kepada anaknya: ”Janganlah berpakaian Jepang

jika bahasa Inggris kamu patah-patah.”

Ke-”Jepang”-an sebagai koreografi penampilan, seni yang unik yang menandai identitas

nasional, bangsa yang homogen sebagai nasib—itu semua menunjukkan apa yang tak diakui

Okakura dan kaum nasionalis: ketika kita bayangkan bangsa sebagai sesuatu yang esthetis,

kita lupa ”orang luar” sebenarnya ikut mendesak dan membentuk diri kita, dan ada yang

brutal dalam prosesnya.

Kimono yang dikenakan Okakura, yang menyertai lidah yang fasih berbahasa asing, mencoba

menghilangkan sisi dirinya yang tak murni Jepang. Seni yang disebut ”unik” menampik

sejarah akulturasi: sejak abad ke-8 pelukis Jepang datang ke Cina buat belajar. Dan ketika

bangsa ”Jepang” hanya dibayangkan sebagai kelanjutan ”ras Yamato”; telah terhapus orang

Ainu dari ingatan.

Tak berarti nasionalisme sepenuhnya cerita penghapusan yang berbekas darah dan besi.

Dalam riwayatnya, nasionalisme punya saat-saat yang membebaskan dan membangun.

Kecaman Tagore mengabaikan apa yang pernah dan dapat tercapai ketika sebuah komunitas

bersama dianggit (imagined, kata Benedict Anderson), sebuah negara-bangsa berdiri, dan

sebuah mekanisme politik bekerja, dengan segala kekurangannya, untuk hidup komunitas itu

sehari-hari.

Partha Chatterjee benar ketika ia mengecam pemikiran Tagore: dalam hidup sehari-hari ”kita

mengikuti aturan lalu lintas, membayar pajak, memberikan suara atau tidak, menyiapkan

anak kita ikut ujian, mengecam pemerintah yang tak berfaedah dan politisi yang disogok”.

Kita hanya bermimpi indah jika kita anggap semua itu ada di luar kita.

Tak berarti mimpi indah harus diberangus. Ada yang menyebabkan wacana tentang negara

dan bangsa tak sepenuhnya menguasai ruang hidup. Di dunia Okakura dan Tagore, seperti

ditunjukkan The Other Asia, kita bersua dengan pengalaman tentang keindahan. Di sanalah

wacana yang perkasa, seperti nasionalisme dan anti-nasionalisme, menemui batasnya.

~Majalah Tempo, Edisi. 01/XXXIIIIII/26 Februari – 04 Maret 2007~

Negeri Asal Maret 31, 2008

Pembebasan datang dari yang tak punya nama.

Saya bayangkan ini: ketika dari kapal orang-orang Belanda memandang ke pantai di sebelah

barat Jawa itu, mereka lihat sosok, corak rambut, warna kulit, dan jenis pakaian yang

demikian tak tepermanai ragamnya. Kemudian mereka tinggal di bandar yang gerah dan terik

itu. Sebuah ekonomi pengenalan berlaku: dalam pikiran mereka, manusia itu tersusun dalam

perbedaan yang rapi. Lalu mereka memberi nama.

Maka mulailah klasifikasi manusia penghuni bandar itu—dan di situlah kolonisasi memasang

tonggak dan pagarnya. Sekitar dua setengah abad kemudian, ketika kekuasaan serikat dagang

VOC diteruskan oleh birokrasi yang mewakili Kerajaan Belanda di ”Hindia Timur”, ekonomi

pengenalan berkembang jadi administrasi penamaan.

Page 252: catatan pinggir

Tak jelas apa dasar penamaan itu. Ada yang mengatakan itulah usaha untuk menguasai dan

sekaligus mengasingkan ”apa yang tak diketahui”, the unknown. Tapi tak dikatakan kenapa

justru nama ”inlander”, ”timur asing”, dan ” Eropa” yang dipakai, bukan nama bahasa atau

jenis pekerjaan.

Apa boleh buat. Penamaan mau tak mau bergantung pada sang penguasa bahasa atau bahasa

sang penguasa. Seakan-akan berdasarkan sesuatu yang hadir di luar diri, penamaan adalah

metonimi dalam kesewenangan. Kata ”inlander”, ”timur asing”, dan ”Eropa” merujuk tempat,

tapi tempat belum tentu sama dengan ”asal”. ”Asal” berkait dengan masa lalu. Kenapa masa

lalu dan bukan masa kini? Apa pula masa lalu itu: waktu ketika lahir, atau ketika dibesarkan?

Bukankah masa lalu bisa kupilih, bukan cuma memilihku?

Pada 1935, Edgar du Perron menerbitkan novelnya, Het land van herkomst. Kata ”asal”

dalam judul itu ambigu sebenarnya.

Du Perron lahir pada 1899 di Jatinegara, Jakarta, dan dibesarkan dalam keluarga kaya raya

pemilik perkebunan, dengan darah campuran dan kaitan yang akrab ke kebudayaan lokal.

Ketika Edgar berumur 22, orang tuanya menjual milik mereka dan balik ke Eropa, tanah

leluhur. Mereka membeli sebuah kastil di Belgium dan tinggal dikelilingi pelayan dan

kemewahan. Si Edgar yang tak kekurangan uang menggelandang bak seorang bohemian di

lorong-lorong Paris, bergaul dengan Pascal Pia dan André Malraux. Pengarang Prancis ini

kemudian memperuntukkan novelnya yang termasyhur tentang kaum revolusioner Cina, La

Condition Humaine, kepada pemuda kelahiran Jawa itu.

Pada masa itulah Du Perron mulai mempertanyakan perilaku ayahnya sendiri, sang tuan besar

dalam struktur masyarakat kolonial di Indonesia. Edgar mulai merasa dirinya bukan orang

Eropa—meskipun selama di Hindia Belanda, ke dalam golongan itulah ia dan keluarganya

dinamai.

Het land van herkomst dikisahkan oleh Ducroo, terutama sebagai seorang bocah. Bersama

ayahnya, tuan onderneming itu, Ducroo menyukai novel yang mengungkapkan pedihnya

perbudakan di Amerika itu, Uncle Tom’s Cabin—dengan simpati kepada si budak hitam dan

benci kepada si tuan kulit putih, tanpa si ayah sadar betapa dekat posisinya dengan si pemilik

budak yang kejam. Si anak menyaksikan sendiri bagaimana si ayah memukuli seorang petani,

dan novel ini dibuka dengan menyebut orang Eropa ”bandit yang berniat sungguh-sungguh”.

Para bandit akhirnya tak bisa hidup sendiri. Ayahnya, yang melanjutkan gaya hidup seorang

tuan besar kolonial di negeri yang berbeda, bunuh diri pada 1926, dengan harta ludes. Du

Perron tertinggal miskin, tanpa pendidikan formal, menikah dan cerai dan menikah lagi, dan

semua itu harus ia biayai. Ia terdesak. Pada 1936 ia ke Indonesia—dan dalam arti tertentu, ia

”kembali”.

Di negeri yang sedang hangat oleh gerakan nasionalis ini ia tak betah bergaul dengan kawan-

kawan masa kecilnya: perilaku orang-orang Belanda itu persis seperti yang dibencinya sejak

ia hidup di Paris. Di Jakarta (waktu itu masih Batavia), Du Perron memilih teman lain:

sejumlah intelektual Belanda yang progresif dan orang-orang pergerakan untuk kemerdekaan.

Suwarsih Djojopuspito, pengarang yang merekam hidup kaum pergerakan dalam novel

Buiten Het Gareel, adalah salah satu di antaranya.

Page 253: catatan pinggir

Tapi Du Perron tahu, dengan sedih, di masyarakat kolonial itu tak ada tempat baginya. Ia

seorang sastrawan yang tak hendak percaya bahwa puisi bisa berarti bagi orang banyak. Ia

menganggap pendirian S. Takdir Alisjahbana, yang ingin agar sastra bekerja untuk

”pembangunan bangsa”, sebagai sikap ”seniman serdadu”. Takdir menyerangnya balik.

Du Perron pun kembali ke Nederland. Sebelum pergi, ia berkata, ”Untuk berada di pihak

yang benar, orang harus jadi seorang Indonesia. Saya mungkin akan tetap kritis,

mengganggu, dan suka bertentangan, dengan kata lain, seorang individualis. Tapi saya juga

akan jadi seorang nasionalis sampai ke ulu hati.”

Ia meninggal pada 1940, terkena serangan jantung, lima tahun sebelum perjuangan kaum

nasionalis berhasil.

Kini, jika Anda bertanya, nama apakah yang bisa diberikan kepada Du Perron—”Eropa” atau

”inlander” atau ”timur asing”— tak akan ada yang pas buatnya. Ia bagian dari yang tak

ternamai.

Sebenarnya demikian juga gerakan pembebasan nasionalis sejak sebelum Du Perron kembali

ke Eropa. Pada 1908, sejumlah mahasiswa di Belanda yang datang dari ”Hindia” mendirikan

Indische Vereniging, sebuah himpunan yang meniadakan penamaan yang ada dalam

klasifikasi kolonial. Setelah itu, di Jakarta, Indische Partij didirikan Douwes Dekker pada

1912, untuk membangun ”patriotisme dari semua penduduk Hindia”, berdasarkan kesetaraan

politik bagi orang dari ”ras” (atau nama identitas) yang berbeda-beda.

Artinya, bahasa yang berkuasa sedang dihapus. Politik pembebasan dimulai dari sebuah

komunitas yang, seperti kata Alain Badiou, ada pada ”titik yang tak ternamai”.

Dari titik itu lahir ”Indonesia”. Ini mungkin sebuah nama, tapi yang pasti ia sebuah cita-cita.

~Majalah Tempo Edisi. 37/VI/31 Maret – 06 April 2008~

Neo-Liberal Mei 4, 2009

PADA suatu hari yang tak diumumkan, menjelang tahun 2009, neo-liberalisme terjerembap.

Tapi lakon dengan tema ”Negara & pasar” itu tetap tak mudah diselesaikan.

Di Australia, misalnya. Kevin Rudd, perdana menteri yang berasal dari Partai Buruh, menulis

sebuah esai dalam The Monthly awal tahun ini: krisis yang sekarang menghantam dunia

adalah titik puncak ”neo-liberalisme” yang mendominasi kebijakan ekonomi dunia sejak

1978. Kini, masa kejayaan 30 tahun itu berakhir dengan kegagalan.

Sepanjang zaman itu, di bawah pemerintahan Partai Liberal yang baru saja jatuh,

perekonomian dibiarkan menolak peran aktif Negara. Pasar diyakini sebagai jalan lurus yang

tak perlu diintervensi. Lalu lintas global (terutama dalam pasar saham dan uang) dibebaskan

menerobos perbatasan nasional.

Menjelang akhir 2008, ortodoksi ”neo-liberal” itu membawa krisis yang dahsyat. Rudd

menggantikannya dengan yang berbeda. Ia menyebut agenda baru yang mendasari kebijakan

Page 254: catatan pinggir

ekonomi yang akan ditempuh Partai Buruh di Australia sebagai ”kapitalisme sosial-

demokratik”.

Tak begitu jelas, bagaimana kompromi antara ”sosial-demokrasi” dan ”kapitalisme” itu akan

berjalan. Rudd, yang menjanjikan peran Negara yang aktif tapi yang tetap bertaut dengan

”pasar yang terbuka”, hanyalah salah satu dari artikulasi kesepakatan yang kini tumbuh di

negeri-negeri kapitalis: ternyata pasar tak bisa selamanya dianggap benar; ternyata ia belum

tentu memperbaiki dirinya sendiri. Di Prancis, di sebuah rapat umum di Kota Toulon

menjelang akhir 2008, Presiden Sarkozy mengatakan, ”Pikiran bahwa pasar adalah serba-

kuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun

adalah pikiran yang gila.”

Sebuah kesimpulan yang tak baru, sebenarnya. Pada 1926 John Maynard Keynes menulis

The End of Laissez-faire dan menunjukkan betapa produktifnya sebuah kapitalisme yang

dikelola, bukan yang dibiarkan berjalan seenak nafsu para kapitalis sendiri. Tak lama sejak

itu, Amerika dan Eropa mencoba menggabungkan dinamisme modal dan kecerdasan

teknokrasi Negara—sebuah jalan tengah yang terkenal sebagai ”kompromi Keynesian”.

Adakah kini sebuah ”kompromi Keynesian” baru sedang tersusun? Kita memang melihat,

Amerika Serikat, di bawah Obama, telah jadi sebuah republik di mana pemerintahnya aktif

masuk ke dunia yang dulu sepenuhnya daulat swasta. Tapi Obama masih bisa disebut sebagai

”kompromi Keynesian” yang setengah hati. Bahkan para pengkritiknya melihat agendanya

sebagai ”neo-liberalisme” yang didaur ulang.

Mungkin karena tak bisa orang mengulang apa yang terjadi di dunia pada zaman Keynes

hampir seabad lalu.

Dalam Radical Philosophy (Mei/Juni 2009) Antonio Negri menunjukkan mengapa jalan

Keynesian kini mustahil. Dulu jalan itu dapat ditempuh karena, antara lain, ada sebuah

negara-bangsa yang mampu secara independen mengembangkan kebijakan ekonomi. Kini,

pada abad ke-21, negara-bangsa diterobos oleh proses internasionalisasi di bidang produksi

dan globalisasi finansial.

Dalam pengalaman Indonesia, persoalannya bukanlah hanya karena terobosan itu. Jalan

Keynesian bertolak dari keyakinan bahwa kekuatan yang bukan-pasar (Negara dan para

teknokratnya) harus—dan bisa—memiliki ketahanan untuk mengembangkan nilai yang

berbeda dari nilai yang berlaku di pasar. Adapun nilai yang berlaku di pasar adalah nilai yang

mendorong maksimalisasi kepentingan privat, bukan kepentingan publik. Tapi bagaimana hal

itu akan terjadi di sini?

Di sini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari nilai yang mengutamakan

yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah

amanat publik.

Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi Negara ke dalam

perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tak tahu di mana Negara berada. Rasa waswas

itu menyebabkan ada dorongan yang kuat—dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri—

untuk melucuti tangan birokrasi di pelbagai bidang. Ketika seorang politikus berteriak, ”awas

neo-liberalisme dan pasar bebas”, sang politikus umumnya tak menunjukkan bagaimana

menegakkan Negara di atas aparatnya yang tertular oleh perilaku berjual-beli di pasar bebas.

Page 255: catatan pinggir

Krisis negara-bangsa seperti itulah, krisis karena tubuhnya berlubang-lubang oleh korupsi,

yang sebenarnya lebih merisaukan ketimbang gerakan separatis. Dalam krisis itu, orang akan

menyerah ke sejenis laissez-faire—ke sebuah kondisi ”neo-liberal” yang tak disengaja.

Sebab, hampir di tiap sektor, juga di kalangan birokrasi, ada semacam ”anarki” yang

dicemaskan Keynes. Anarki, karena apa yang merupakan pegangan kebersamaan hampir-

hampir tak ada lagi.

Tapi tak berarti bahwa negara-bangsa telah disisihkan. Justru sebaliknya: dalam keadaan

ketika korupsi merajalela, ada sebuah kekuatan yang paradoksal yang bekerja di sekitar

Negara. Di satu pihak, kekuatan itu cenderung mengaburkan posisi ”Negara” dalam

mengelola pasar: semua keputusan bisa diatur dengan jual-beli kekuasaan. Di lain pihak,

posisi ”Negara” justru diperkuat, agar ada kebutuhan untuk membeli kekuasaan itu.

Itu sebabnya kita sebenarnya tak tahu persis, bagaimana mengatur ”kompromi Keynesian”,

bagaimana mengelola sekaligus pasar yang terbuka dan Negara yang aktif. Tapi orang-orang

masih terus berbicara tentang ”neo-liberalisme”. Ya, saya mendengar, tapi harus saya akui,

saya sering kebingungan. Mungkin karena saya menanti lakon ”Negara & pasar” itu berakhir

dengan Negara yang bersih dan pasar yang tak cemar. Sebuah happy ending.

~Majalah Tempo Edisi 04 Mei 2009~

NKRI Juli 21, 2003

Aceh kini bukan hanya sebuah daerah yang dirajang perang, tapi juga sejumlah pertanyaan.

Pertanyaan itu semuanya berkait dengan apa sebenarnya sebuah “Indonesia”—ya, apa

sebenarnya “Indonesia” yang hendak dipertahankan.

Kata para jenderal dan politikus, keutuhan wilayah itulah yang harus dibela. Tapi apa arti

“wilayah” sebuah negeri? Apa pula “keutuhan” itu? Kita acap lupa “wilayah” adalah sebuah

tempat dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan sekian garis bujur.

Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia membela ruang itu sebagai

membela milik sendiri, tapi dalam hal “Indonesia”, apa artinya “milik”?

“Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu bergerak dalam sejarah.

Seandainya Raffles, orang Inggris itu, terus berkuasa di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini

kepada Belanda pada tahun 1816, mungkin Singapura yang kemudian didirikannya akan jadi

bagian dari sebuah wilayah yang kini disebut “Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga

Yogyakarta akan termasuk sebuah negeri yang disebut “Singapura”. Perang dan

perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang sakral—yang membuat dan menetapkan

peta bumi. Benarkah “wilayah” begitu berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan?

Benarkah begitu penting “keutuhan”?

“Keutuhan”—kata ini pun tak pasti benar dari mana datangnya. Yang jelas, ia mencakup

pengertian yang lebih luas ketimbang sekadar ketentuan tapal batas. “Keutuhan” bukan

sekadar persoalan teritorial. Ia juga bisa berarti sumber alam dan keseimbangan ekologi,

termasuk hutan tropis yang hijau dan biodiversitas hewan yang hidup, juga para penghuni,

kehidupan sosial, dan khazanah kebudayaan mereka. Apa artinya “keutuhan” yang

dipertahankan bila hutan jadi terbakar, sawah dan lumbung hancur, dan suatu masyarakat

Page 256: catatan pinggir

berantakan? Apa artinya “keutuhan” jika kelompok manusia yang berbeda saling membunuh

dan mengusir?

Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankan adalah sebuah “Indonesia” sebagai ingatan

yang berharga. Sejak kita kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang

terbentang dari “Sabang sampai Merauke”, tentang orang-orang Aceh yang menyumbangkan

yang mereka miliki buat Republik Indonesia yang baru berdiri, tentang kolonialisme Belanda

yang justru mempersatukan pelbagai orang di Nusantara.

Kenangan itu sangat intim. Ia bagian dari identitas kita. Tapi setiap catatan dari masa lalu

selalu mengandung apa yang luhur dan juga apa yang brutal, apa yang mengharukan dan juga

apa yang mengerikan, bahkan memuakkan. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” dapat

berisi dokumen yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang

berbeda—niat yang membuat Sumpah Pemuda pada tahun 1928 terjadi dan sebuah generasi

baru dengan ikhlas melupakan ikatan kesetiaan lama mereka, untuk membangun sebuah

ikatan kesetiaan baru.

Tapi sejarah persatuan itu juga dapat berupa sejarah ketidak-ikhlasan. Bahkan sejarah

kekerasan, pemaksaan, dan penyeragaman. Itulah sebabnya Bung Hatta pernah

memperingatkan agar “per-satu-an” dibedakan dari “per-sate-an”.

Maka, sebuah “Indonesia” yang manakah yang hendak kita pertahankan?

Saya termasuk mereka yang akan menjawab: sebuah “Indonesia” yang dengan Aceh ada di

dalamnya, tapi bukan sebuah NKRI (singkatan yang kaku dari “Negara Kesatuan Republik

Indonesia”), yang memaksa Aceh untuk berada di dalamnya. Saya akan menangis bila Aceh

terlepas dari Republik. Tapi saya juga akan menangis bila Aceh dibungkam oleh mereka yang

datang atas nama Republik. “Indonesia” yang utuh adalah Indonesia yang punya cita-cita

yang berharga untuk utuh.

Amerika Serikat adalah contoh yang tak menarik pada hari-hari ini, tapi dulu, pada

pertengahan abad ke-19, ketika sebagian wilayah republik itu hendak memisahkan diri,

seorang presiden yang kurus dan arif terpaksa mengirim tentara untuk memadamkan

“pemberontakan” itu. Tapi bukan karena takut akan hilangnya sekian ribu kilometer persegi

tanah. Ada yang lebih penting ketimbang keutuhan wilayah—yakni keutuhan sebuah cita-cita

yang layak.

Maka, ketika sejumlah negara bagian di Selatan menjadi kekuatan separatis karena ingin

melanjutkan perbudakan, Presiden Lincoln memutuskan: mereka harus dikalahkan. Sebuah

perang pun meletus. Korban berjatuhan, amat dahsyat. Tapi Amerika Serikat waktu itu tahu

untuk apa.

Kalimat pertama pidato Presiden Lincoln di Makam Pahlawan Gettysburg menjawab kenapa

perang itu harus terjadi—dan itu tak jauh dari pertanyaan mengapa Amerika Serikat harus

berdiri: ia adalah “sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam kemerdekaan, dan

dipersembahkan untuk cita-cita bahwa semua manusia diciptakan sama”. Perbudakan jelas

bertentangan dengan cita-cita itu, dan siapa yang akan mempertahankannya dengan

kekerasan harus dikalahkan.

Page 257: catatan pinggir

Di Indonesia belum terdengar alasan yang sejelas itu, tapi di Aceh, tentara telah dikirim.

Perang berkobar. Korban jatuh di kedua belah pihak. Apa sebenarnya sebuah “Indonesia”

yang hendak dipertahankan?

Jawabannya akan menentukan hidup kita kelak. Sebuah “Indonesia” yang masih bercita-cita

atau sebuah “Indonesia” yang tanpa cita-cita? Sebuah “Indonesia” yang pandai bernegosiasi

atau sebuah “Indonesia” yang bagaikan preman, yang menangguk untung dari kekerasan?

Sebuah “Indonesia” yang percaya kepada hak-hak rakyat atau sebuah “Indonesia” yang

sedang hendak menampik demokrasi? Sebuah “Indonesia” yang patut dibanggakan atau

sebuah “Indonesia” yang bahkan oleh bangsanya sendiri berhenti diacuhkan?

Aceh memang sejumlah pertanyaan.

~Majalah Tempo, Edisi. 21/XXXII/21 – 27 Juli 2003~

Nuklir Mei 14, 2007

Tanggal 6 Agustus 1945 pukul 8:15 pagi, bom itu dijatuhkan di atas Kota Hiroshima.

Hantamannya sama dengan 22 kiloton bahan peledak, tapi ada yang lebih mengerikan

ketimbang itu: panas itu luar biasa. Seluas 10 kilometer persegi wilayah kota itu rata dengan

tanah, 100 ribu orang mati seketika. Api yang terbit dari panas itu seakan-akan bertaut

dengan api pembakaran jenazah yang tak putus-putusnya.

Saya akan selalu teringat sebuah foto tentang kiamat itu, yang dipasang di bangunan

peringatan di Hiroshima hari ini: ada sepotong sisa trotoar di dekat bank, dan pada

permukaan semennya tercetak sebuah bekas hitam, seperti siluet sesosok tubuh manusia.

Kata orang, itu adalah bekas tubuh yang musnah dilalap panas sekian ratus derajat Celsius,

dan tertinggal melekat di tanah, ketika ia dihantam panas yang dahsyat.

Kengerian itu sekali-sekali diingat orang kembali, dan lama-kelamaan jadi klise, dan

perasaan jadi tumpul, dan horor di Hiroshima hanya jadi bagian dari petuah: ”Wahai,

saudara-saudara, menggunakan senjata semacam itu dalam perang adalah sebuah perbuatan

yang jahat!”

Sudah tentu. Tapi bahwa sampai hari ini orang masih menyiapkan persenjataan nuklir

menunjukkan bahwa petuah itu tak efektif. Ada argumen bahwa jahat atau tidaknya sebuah

keputusan dalam perang bergantung pada tingkat kecemasan untuk hidup terus, kecemasan

kalau negeri lain—atau apa pun yang disebut ”musuh”—menghantam negeri sendiri sampai

luluh-lantak. Apa yang jahat dan tak jahat bukan lagi persoalan yang relevan ketika manusia

terpaksa.

”Terpaksa” tentu saja keadaan yang ditentukan secara sepihak. Dengan demikian, ”jahat”

atau ”tak jahat” di situ tak mungkin ditentukan secara obyektif. Tapi manusia membutuhkan

penghalalan yang lebih universal. Akan dikatakan bahwa proses menentukan batas

”keterpaksaan” itu dilakukan oleh para pengambil keputusan yang rasional. Dengan demikian

hubungan antara rasionalitas dan kebijakan senjata nuklir dianggap sebagai sesuatu yang

patut.

Page 258: catatan pinggir

Amerika Serikat, satu-satunya negara yang pernah menggunakan senjata atom dalam sejarah,

sejauh ini bisa menunjukkan muka bahwa kepatutan itu ada padanya. Pada Juli 1945 Presiden

Truman bersyukur, dan menulis dalam catatan hariannya: ”Pasti sesuatu yang baik bagi dunia

bahwa kerumunan Hitler dan Stalin tak menemukan bom atom.” Dengan kata lain, bom yang

membunuh 100 ribu manusia sekaligus di Hiroshima dan 40 ribu lagi di Nagasaki pada 1945

itu juga tanda rasionalitas yang ”baik bagi dunia”: penghancuran itu terpaksa dilakukan untuk

mempercepat Jepang kalah dan Perang Dunia II selesai.

Orang lupa bahwa Jerman di bawah Hitler juga akan menganggap ada rasionalitas dalam

keputusan mereka seandainya negeri itu mampu menjatuhkan dua buah bom atom di negeri

musuh. Tapi Hitler dan Stalin telah digambarkan sebagai kekuatan gelap, dan kekuatan gelap

pasti tak ada hubungannya dengan rasionalitas. Kekuatan gelap adalah sesuatu yang ”tak

normal”. Lihatlah kini Ahmadinejad di Teheran dan Kim Jong-il di Pyongyang: orang-orang

yang ganjil….

”Normal” dan ”rasional” adalah kualitas yang ditentukan dengan menyembunyikan apa yang

tak ”normal” dan tak ”rasional” pada diri sendiri atau seorang lain. Sebab tak ada jaminan,

ketika saya tentukan bahwa saya harus mempertahankan diri, kalau perlu dengan cara paling

brutal, ketentuan saya itu tak datang dari paranoia, atau trauma, atau sadisme, atau mungkin

juga keserakahan.

Menjelang akhir 1980-an, ketegangan hilang antara Amerika, Uni Soviet, dan RRC. Dunia

bernapas lega. Sebuah kesempatan untuk membangun perdamaian yang stabil terbuka, ketika

tak ada satu kekuatan pun terpaksa menyiapkan arsenal nuklir yang menakutkan itu.

Dalam semangat ini, pada 1994 para wakil rakyat Amerika di Kongres membuat sebuah

ketentuan: harus jadi kebijakan Amerika Serikat untuk tak melakukan riset dan pembangunan

senjata nuklir tingkat rendah yang baru. Dengan kata lain, senjata nuklir di bawah lima

kiloton tak boleh dihasilkan lagi.

Tapi kemudian datanglah kabar buruk: pemerintahan Bush. Wakil Presiden Cheney sudah

lama menghendaki sebuah situasi yang akan menyatukan Amerika kembali jadi kekuatan

yang ampuh—seperti ketika menghadapi Perang Dunia II dan Perang Dingin, dan sebab itu ia

mendapat alasan yang bagus ketika ”11 September 2001” terjadi. Sejumlah anggota

kabinetnya sudah lama bersiap menunjukkan kekuasaan Amerika di dunia dengan menyerbu

Irak dan mengubah peta Timur Tengah, dan sebab itu dipertalikannya Usamah bin Ladin

dengan Saddam Hussein dan Saddam Hussein dengan ”senjata pemusnah massal”.

Pemerintahan Bush juga yang kemudian memutuskan untuk membangun apa yang disebut

”bunker buster”, senjata nuklir tingkat rendah yang dapat dikirim buat menembus bunker

yang menyembunyikan senjata dan pasukan musuh di bawah tanah. Senjata nuklir mini juga

bisa dipergunakan sebagai perlengkapan taktis di medan perang.

Pada Mei 2003, Senator Dianne Feinstein dan Edward Kennedy mengusulkan satu

amendemen untuk mengembalikan ketentuan tahun 1994. Bagi para pendukung amendemen

ini, mengaktifkan kembali penelitian nuklir akan mendiskreditkan komitmen Amerika sendiri

terhadap perjanjian melarang penyebaran senjata maut itu. ”Seraya kita membujuk Korea

Utara dan Iran untuk mengakhiri program nuklir mereka,” kata Kennedy pada Juni 2004,

”seraya kita meminta bekas Uni Soviet untuk mengamankan lumbung nuklirnya agar tak

Page 259: catatan pinggir

jatuh ke tangan para teroris, pemerintahan Bush kini ingin meningkatkan perlombaan

senjata.”

Tapi Feinstein dan Kennedy kalah suara di Senat. Dan kita tak tahu, siapa yang ”normal” dan

”rasional” dalam memutuskan keadaan ”terpaksa” bagi Amerika Serikat kini.

~Majalah Tempo Edisi. 12/XXXIIIIII/14 – 20 Mei 2007~

Obama Februari 25, 2008

Seandainya Obama seorang perempuan…

Tentu saja ia bukan – dan ini .bisa dikatakan sebagai sebuah kekurangan. Tapi “nobody’s

perfect” – seperti kata si jutawan bego dalam adegan terakhir film Some Like it Hot, ketika

diberitahu bahwa orang yang digandrunginya itu, (“Daphne” yang sebenarnya adalah Jerry)

ternyata laki-laki.

Obama akan nyaris sempurna seandainya ia bisa jadi perempuan, kemarin, atau besok. Sebab

bahkan sekarang pun ia sudah merupakan satu sosok yang unik: ia persilangan (pelbagai)

identitas. Ia contoh bahwa “identitas” bukanlah sebuah cap yang kekal dan kaku. Dalam kata

pengantar edisi tahun 2004 untuk bukunya The Dream of My Father, Obama sendiri

menyebut “the fluid state of identity—the leaps through time, the collision of cultures—that

mark our modern life.” Ia menegaskan apa yang ia ketahui dari tubuhnya sendiri: terutama du

zaman ini, identitas selalu dalam keadaan cair.

Mungkin sebab itu ia politikus Amerika yang bisa dengan wajar menunjukkan bahwa politik

tak bisa hanya mengibarkan panji-panji partikularisme, dengan politik identitas yang

menegaskan apa yang istimewa pada “kami” dan tidak pada “mereka”. Politik pada akhirnya

sebuah proses pencarian dan artikulasi tentang apa yang universal. Politik adalah sesuatu

pergulatan antar kelompok yang mau tak mau terdorong membentuk “kita”.

Obama tak bermula dari “kami” yang pasti. Orang berkata, pria yang hari-hari ini sedang ikut

bersaing untuk jadi calon Partai Demokrat buat jabatan presiden Amerika Serikat, adalah

orang kulit hitam pertama yang berhasil naik ke gelanggang setinggi itu. Tapi sebutan black

bagi Obama berlebihan — dan sekaligus kurang. Ia tak sehitam Mohammad Ali, Stevie

Wonder, atau Jesse Jackson.

Ibu Obama seorang perempuan kulit putih dari Kansas. Malah, jika kita percaya hasil

penelitian trah oleh The New England Historic Genealogical Society, Ann Dunham ada

dalam garis keturunan seorang raja Skotlandia di abad ke-12.

Tapi sementara itu ia juga seorang “Afro-Amerika” dalam pengertian yang harfiah. Ayahnya,

Barrack Hussein, datang dari suku Luo di propinsi Nyanza, Kenya, seorang mahasiswa asing

di Hawaii yang bertemu dan kemudian menikah dengan Ann Dunham.

Seorang bayi yang diberi nama seperti ayahnya lahir di Honolulu, 4 Agustus 1961. Tapi

ketika ia berumur dua tahun, orang tuanya berpisah. Si ayah menyelesaikan studi ilmu

ekonominya di Universitas Harvard. Perpisahan itu jadi perceraian. Pria Kenya itu kembali ke

tanah kelahirannya. Barrack muda bertemu dengan dia ketika si bocah berumur 10. Barrack

Page 260: catatan pinggir

tua kemudian tewas dalam kecelakaan mobil di tahun 1982. Sang ayah jadi nama yang

menandai kehilangan dalam diri anaknya.

Dalam kehilangan itulah pengertian “Afro-Amerika” yang harfiah berubah. Berkat ibunya.

Dalam The Dream of My Father, yang ditulisnya sebelum ia masuk dalam lembaga legislatif,

pemuda separuh Kenya ini menyebut dongeng-dongeng suku Luo di tepi Danau Victoria.

Tapi yang agaknya paling membekas adalah yang diberikan sang ibu selama mereka hidup di

Jakarta.

Ibu itu, Ann –seorang perempuan yang dibesarkan dengan pandangan yang tak konvensional

— menikah dengan seorang mahasiswa dari Indonesia, Sutoro namanya. Di tahun 1967,

keluarga itu pindah ke Jakarta. Mereka punya seorang anak perempuan, Maya.

Sutoro bekerja di kalangan perminyakan. Masa akhir 60-an adalah masa pergolakan di

Indonesia, ekonomi masih berat, dan kepastian belum ampak. Sedikit yang kita ketahui

tentang ayah tiri Obama ini, kecuali bahwa ia tak cukup uang untuk memasukkan Barrack ke

The Jakarta International School. Maka Barrack, (biasa disebut “Barry’) bersekolah di

sekolah negeri di Jalan Besuki. Tapi ibunya menyiapkannya untuk dapat pendidikan yang

lebih baik di Amerika.

Barry belajar memperbaiki bahasa Inggrisnya dari sang ibu, dan harus bangun jam 4 pagi

untuk itu. Sang ibu tak hanya mengajarnya berbahasa Inggris. Ia juga memperkenalkan Barry

dengan lagu-lagu Mahalia Jackson dan pidato Dr. Martin Luther King, Juga kisah tentang

anak-anak hitam yang terjepit di Amerika Serikat bagian selatan.

Dari sinilah Barry memilih apa arti “Afro-Amerika” baginya. Identitasnya bukan masalah

masa lalu, tapi masa depan. Bukan masalah biologis, tapi politis. Bukan keniscayaan, tapi

pilihan. “Afro-Amerika” bagi Obama dengan demikian mengandung sesuatu yang universal:

sejarah perjuangan pembebasan mereka yang disakiti oleh diskriminasi rasial dan

keterbelakangan.

Tapi tentu saja ia tak sepenuhnya ada dalam sejarah itu – dan ia tumbuh jadi seorang pemuda

dengan kulit hitam yang tak dirundung amarah. Ketika gerakan Civil Rights berhasil, dan

hak-hak lebih luas orang hitam didapat, Barrack tinggal menempuh jalan yang lebih luas

terbentang. Tapi ia sudah bertindak, dengan bekerja di komunitas hitam di Chicago. “Hitam”

Obama bukanlah sesuatu yang hanya diwarisi secara pasif, tapi sebuah posisi aktif. “Hitam”

adalah aksi dalam sejarah.

Kini ia tengah ikut membuat sejarah itu – sebuah sejarah yang pernah bernoda oleh larangan

bagi orang hitam untuk berada di satu sekolah, satu bis, dan satu tempat kencing dengan

orang kulit putih, tapi juga sebuah sejarah dengan demokrasi yang ternyata bisa

mengembangkan diri.

Demokrasi itu kini sedang menunjukkan, bagaimana kaum yang paling di pinggiran bisa

bergerak masuk ke tengah – dan ke puncak. Tak hanya itu. Demokrasi itu juga sedang

menunjukkan, bagaimana sebuah bangsa bisa menebus sebagian dari kesalahannya sendiri,

yang telah memilih pemerintahan Bush untuk menumbuhkan antagonisme “kami” dan

“mereka” di mana-mana.

Page 261: catatan pinggir

Obama (terutama jika ia menang) akan jadi indikator, bahwa demokrasi Amerika telah

membuat antagonisme dalam politik tak memutlakkan dasar antagonisme itu sendiri.

Demokrasi itu adalah satu proses perubahan, Di abad ke-21, Amerika Serikat bisa berhenti

jadi negeri yang dibenci. Ia bisa memberikan inspirasi.

~Majalah Tempo Edisi. 01/XXXVII/25 Februari – 02 Maret 2008~

Obama, 2008 November 10, 2008

Weep no more, my lady,

Oh weep no more today

Kau kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di kerimbunan hutan itu. Kau kembali

dengan mesin waktu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My Old Kentucky

Home, lagu murung yang bertahun-tahun terdengar sampai jauh lepas dari Sungai

Mississippi, sejak Stephen Foster menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang

mencoba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan sederhana dari rutin

panjang yang tak pernah dinamai “Penghisapan”. Sebuah sudut hutan yang jadi majelis

tersembunyi. Sebuah ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkumpul dan

bertanya: apa sebenarnya semua ini?

Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu yang tak sempurna kau lihat

seorang perempuan tua berbicara di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut

nama Tuhan. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Beloved Toni Morrison. Kau

dengar ia berbicara tentang sesuatu yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi

tak terduga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menanggung pukulan dan dera

perbudakan, kelenjar yang menitikkan air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh

yang menyembuhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa menyanyi, menari,

menyanyi.

Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Kadang-kadang dengan kegagahan.

Kadang-kadang dengan keindahan. Semuanya terbatas, tapi dengan itu kita menggapai yang

tak terhingga. Semuanya fana, tapi tiap kali memberi arti yang kekal. Maka jangan menangis

lagi.

Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kenapa: mereka ingin percaya. Tapi

mereka juga mendengar, konon di atas tubuh bertahta Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang

lurus dan terang-benderang. Yang tangan-tangannya menebarkan daya tersendiri, merasuki

ke otak, setitik demi setitik.

Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir penjelasan yang gamblang,

bahwa ada nasib yang memasang pigmen dalam kulit. Pigmen kita membuat hakikat kita.

Ada orang hitam, ada kulit “negro”, ada juga yang “putih”. Warna-warna itulah yang

mengarahkan sejarah. Identitas adalah nujum. Ada esensi sebelum eksistensi.

Tapi benarkah Takdir merancang semuanya? Di majelis hutan Mississipi itu, suara

perempuan tua itu merendah: “Saudara-saudaraku, kegelapan menyertai kita.”

Page 262: catatan pinggir

“Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan getah bening. Kegelapan dalam

suara serak, dalam lagu Old Black Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut,

kegelapan kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelapan yang mengelak dari

Takdir yang makin lama makin putih.

“Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang menampik nama bila nama adalah

daftar milik yang jelas dari tuan-tuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang

melindungi kita dari Kebengisan.”

Blood on the leaves

And blood at the root

Black bodies swinging

In the southern breeze

Strange fruits hanging

From the poplar trees

Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang tak sempurna hanya menemukan

potret tubuh George Hughes yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia

dibakar. Ini Sherman, Texas, 1930.

Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: “negro” buruh tani ini ditangkap dengan tuduhan

membunuh majikannya dan memperkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni

itu, bisik-bisik beredar: Hughes adalah “hewan yang tahu betul apa yang dimauinya”.

Para petani kulit-putih yang tinggal di dusun itu telah lama bringas, dan kini punya alasan

buat lebih bringas. Mereka yang selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan

pigmen berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung pengadilan tempat Hughes

ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk.

Polisi tak berbuat apa-apa – malah membantu mengatur lalulintas. Di sebuah lapangan dekat

tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar

dinyalakan.

Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang, terpentang, bergayut, pada pokok

yang rendah.

Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf dari tahun 1934, Negros Colgados.

Lihat, tak cuma satu “negro”. Tubuh-tubuh yang dibunuh itu begelantungan seperti puluhan

buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam Strange Fruits: suaranya setengah

serak, dengan pilu yang seakan-akan telah jadi napas: Darah pada daun/ darah pada akar/

Jasad hitam yang terayun-ayun/di angin selatan/ buah ganjil yang tergantung/ di pohon

poplar.

Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak pada litograf Orosco: pohon

dan dahan itu – tak dihiasi daun-daun — seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus,

lugas, tegak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja Orosco mengingatkan

kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata, adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan

sesuatu yang lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan.

Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: “utuh”, “harmonis”, “mufakat”, seakan-akan

sesuatu yang mulia telah diraih. Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakan-

Page 263: catatan pinggir

akan yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday mengungkapkan

kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan: ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan

Amerika yang punya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut wajah

kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut “harum segar manis kembang

magnolia”, tapi di baris berikutnya “bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba”.

Tiap tata dibentuk dengan taksonomi: “putih”, “hitam”, “borjuis”, “proletar”, “asli”, “tak-

asli”, “mayoritas”, “minoritas”. Tiap taksonomi dimulai dengan kepalsuan dan pemaksaan.

Tapi itu berarti ini tak ada tangan Takdir yang merancang. Tak ada hakikat sebelum apa yang

diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pembagian, apalagi pemisahan rasial,

sepenuhnya hasil sebuah proses politik. Si “hitam” bukan jadi “hitam” karena ia diciptakan

“hitam”, melainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan ke dalam kategori

“hitam”. Sejarah “hitam” dan “putih” adalah riwayat pergelutan, terkadang dengan

pertempuran, terkadang dengan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1000 pekik dari

pita suara yang panas.

Yes, we can

Yes, we can

Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park, Chicago, 4 November 2008

malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sanggup. Kita – kata orang-orang itu – sanggup membuat

seorang Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan dukungan yang

meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan sejarah yang telah memicu Perang Saudara di

abad ke-19. Kita sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang seakan-akan

sebuah struktur yang cantik.

Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa melintasi taksonomi “hitam-

putih”. Ini terutama cerita kemenangan dari pengertian lain tentang “politik”. Sebab yang

datang bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapatkan yang-mungkin. Di

tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita justru menyaksikan “politik” sebagai hasrat, setengah

nekad, untuk menggayuh yang-tak-mungkin.

Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin. Tapi yang-mustahil itu jadi berarti

karena ia memanggil terus menerus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak

terhingga – yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia antri berjam-jam untuk

memilih dan mengubah sejarah: mereka menyebutnya Keadilan, atau Kemerdekaan, atau

nama lain yang menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seperti sajak yang

hanya satu bait tapi menggetarkan.

Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu.

Weep no more, my lady,

Oh, weep no more today.

~Majalah Tempo Edisi 10 Nopember 2008~

Page 264: catatan pinggir

Oklahoma Januari 20, 2002

TUHAN dan kekerasan: seseorang bisa saja mengutip Injil, bukan untuk mencintai musuh,

tapi untuk membinasakan. “Aku datang bukan untuk membawa damai melainkan sebilah

pedang,” begitulah kata Yesus yang termaktub dalam Matheus (10:34). Seseorang bisa saja

mengutip Injil di kalimat itu dan yakin bahwa dengan pedang atau mesiu, manusia menapak

di jalan Tuhan dan setelah sebuah pembunuhan, kekerasan, dan apokalipsa, dunia pun akan

jadi bersih dan setan dikalahkan.

Itu agaknya yang diingat oleh Timothy McVeigh di pagi hari 19 April 1995. Dengan 2.000

kilogram campuran pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel, yang ia taruh di sebuah

truk sewaan, ia meledakkan sebuah bangunan besar di Kota Oklahoma. Gedung itu tempat

pemerintah federal berkantor untuk urusan kesejahteraan sosial dan urusan pengawasan

tembakau, alkohol, dan senjata api. Bunyi gelegar yang dahsyat pun terdengar, dan Gedung

Alfred P. Murrah itu hancur seluruh bagian depannya, dan 168 orang mati, di antaranya anak-

anak, dan lebih dari 500 luka-luka.

Jerit, tangis, ketakutan, marah, mencekam seluruh Amerika Serikat. Sejarah mencatat bahwa

itulah serangan teror terbesar sebelum gedung World Trade Center dihancurkan dua pesawat

pada tanggal 11 September 2001.

Mark Juergensmeyer, guru besar sosiologi dari Universitas California Santa Barbara, dalam

sebuah buku yang ditulisnya dengan teliti, Terror in the Mind of God, menelaah mengapa

McVeigh—yang wajahnya putih cakap, rambutnya cepak rapi, sebagaimana umumnya orang

Amerika “tulen”—melakukan tindakan yang ganas itu. Dalam penelusuran Juergensmeyer,

pemuda ini terpengaruh oleh teologia yang dibawakan oleh gerakan “Christian Identity”. Ia

menerima selebaran The Patriot Report dari cabang gerakan itu di

Arkansas, tapi tak kalah penting: ia membaca buku fiksi The Turner Diaries dengan yakin. Di

dalam novel terbitan tahun 1978 ini dikisahkan dengan detail bagaimana sang tokoh me-

ledakkan sebuah gedung pemerintah federal, dengan hampir 2.000 kilogram mesiu campuran

pupuk amonium nitrat dan bahan bakar diesel. McVeigh, yang menganggap The Turner

Diaries buku sucinya, hampir persis meniru sang tokoh novel.

The Turner Diaries ditulis oleh “Andrew Macdonald”, nama samaran William Pierce,

seorang Ph.D. lulusan Universitas Colorado dan pengajar fisika di Universitas Negeri

Oregon. Novel itu dengan segera, kata Juergensmeyer, menjadi sebuah karya klasik bawah-

tanah: laku cepat 200 ribu eksemplar. Saya tak tahu bagaimana mutunya. Tapi konon di sana

digambarkan semacam armagedon: pertempuran para “pejuang kemerdekaan” yang

bergabung dalam gerilyawan “the Order” melawan kediktatoran pemerintah Amerika.

Perjuangan ini perlu, menurut Pierce, karena Amerika telah diperintah oleh “sekularisme”

yang dibangun oleh komplotan Yahudi dan para intelektual progresif untuk menghabisi

kemerdekaan “masyarakat Kristen”.

Gambaran muram dan keras tentang dunia yang seperti itu juga yang dibawakan gerakan

“Christian Identity”: bagi gerakan ini, Amerika, yang seharusnya merupakan sebuah tanah air

Kristen, telah dikepung dan dikuasai oleh “Si Lain”. Apa dan siapa “Si Lain” itu bisa

bermacam-macam, tapi umumnya dikatakan bahwa musuh itu adalah “Yahudi-dan-PBB”

(dan para pemikir “liberal”). Dan seperti umumnya gerakan militan yang menderita

pandangan dunia yang penuh syak wasangka, “Christian Identity” membentuk laskar.

Page 265: catatan pinggir

Seperti Al-Qaidah, ia membangun kamp latihan militer. Tempatnya di Amerika bagian barat-

tengah, di perbatasan Oklahoma-Arkansas-Missouri, dan namanya “

Endtime Over-comer Survival Training School”—sesuatu yang merupakan bagian persiapan

mengatasi suasana “akhir zaman”. Di dekat kamp itu, rohaniwan mereka, Pendeta Robert

Millar, mendirikan Kota Elohim, yang anggota-anggotanya menghimpun senjata untuk

menghadapi serangan pemerintah Amerika Serikat. Kamp inilah yang dihubungi McVeigh

beberapa saat sebelum ia meledakkan Gedung Alfred P. Murrah.

Tuhan dan kekerasan: McVeigh, yang kemudian ditangkap dan dihukum mati, tidak sendiri.

Pada tahun 1996 “Christian Identity” mengebom Olimpiade di Atlanta, pada tahun 1999

menembaki sebuah tempat penitipan anak Yahudi, dan sebelum itu pada tahun 1985 Pendeta

Michael Bray—yang berpikiran sejenis dan diduga menulis buku petunjuk berjudul Army of

God (Laskar Tuhan)—membakar dan merusak tujuh buah klinik tempat para dokter

membantu pengguguran kandungan. Pada tahun 1994, Pendeta Paul Hill menembak mati

Dokter John Britton di Florida, setelah beberapa tahun sebelumnya seorang perempuan

pengikut Pendeta Bray mencoba membunuh Dokter George Tiller di Kansas. Pendeta Bray

kemudian menulis buku untuk menghalalkan kekerasan seperti itu. Judulnya: A Time to Kill.

Tuhan dan pembunuhan: mengapa semua ini terjadi, tak cuma di kalangan Kristen dan Islam,

tapi—seperti dikumpulkan dan ditelaah oleh Juergensmeyer—juga di kalangan Yahudi,

Hindu, Sikh, dan Buddha? Penulis Terror in the Mind of God menyimpulkan bahwa agama

memang selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai jadi mutlak; agama

dengan itu juga memproyeksikan “perang kosmis”. Sementara itu, agama sering

membenarkan kekerasan, dan kekerasan memperkukuh agama, yang, dalam kehidupan

publik, memberikan mercusuar ke arah tatanan moral.

Yang agaknya diabaikan para “laskar Tuhan” itu ialah bahwa tatanan moral itu akan selalu

mengimbau seperti surya di pangkal akanan. Kita akan selalu mendapatkan hangat dan

cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar ke sana. Tapi mungkinkah mencapai kaki langit itu,

menjangkau terang itu, dengan doa, dengan laku, dengan darah, dengan besi, sekalipun?

Hidup jadi berarti bukan karena mencapai. Hidup jadi berarti karena mencari.

Ong September 3, 2007

SEJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Universitas Indonesia,

Onghokham selalu tampak dengan baju dan celana khaki yang kusut. Ia

selalu membawa satu tas kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-

lain—selalu berlebihan. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang

mencemaskan karena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang

seperti menderita.

Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit merosot—satu hal yang mengesankan

saya yang baru saja jadi mahasiswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa

Reformasi: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terkadang agak

menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya menunjukkan Ong yang perseptif

dalam melihat dan memikirkan sekitar.

Page 266: catatan pinggir

Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia meninggal pekan lalu, ia disebut sebagai

”sejarawan”. Terutama sejak ia kembali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun

1975. Ia sendiri punya versi lain tentang dirinya. Ada dua hal yang dia bawa pulang dari

Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepandaian memasak. Ia lebih bangga dengan yang

nomor dua itu, katanya, tanpa senyum.

Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-jangan perlu juga dilihat bahwa

beda itu tak teramat besar. Keduanya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem

yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sentuhan personal.

Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhormat tentu akan berkeberatan

dengan kesimpulan itu. Tapi bukan hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak

pernah ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu titik dalam waktu. Tiap

karya seorang sejarawan bertolak dari masa-kininya sendiri.

Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara tentang ”genealogi”, yang bisa

dikatakan sebagai penulisan alternatif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja

pernyataan bahwa yang dituju bukanlah ”pengetahuan” dan ”kebenaran” tentang masa lalu

itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.

Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi

Blorong. Hampir tiap bab tergerak untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu

mungkin sebabnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali yang berdasarkan

skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek,

hidangan sekali santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya waktu itu—

dan hampir selamanya terasa tak selesai.

Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke majalah Tempo, saya punya

problem dengan cara Ong menulis: saya selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik.

Tapi kemudian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan yang lezat tak

pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.

Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemukakan sebuah kesimpulan dan teori

besar. Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa,

yang menyebabkan sejarah baginya bukan kisah orang ”atas”. Ia suka menemukan dan

mengemukakan hal ihwal kecil—misalnya ”perhitungan hari baik” dalam masyarakat Jawa,

atau jumlah gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolonial. Tapi

tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel, yang dari detail yang memikat

melahirkan sebuah teori (tentang kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula

seorang sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksikan temuan empiris. Ong

menulis dengan cara hampir seenaknya—tak sampai berkeringat seperti ketika ia bekerja di

dapur.

Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa kategori. Apakah dia

sebenarnya—”sejarawan”, ”kolumnis”, ”intelektual publik”, ”juru masak”—ia tak peduli. Ia

keturunan Tionghoa yang akan menampik stereotip warga ”kebudayaan Cina”—yang disebut

oleh Lee Kuan Yew sebagai ”sinic culture”, sebuah sistem nilai yang katanya berbeda,

bahkan sebuah kontras, dari ”indic culture”, ”kebudayaan ala India”. Dengan bangga,

pemimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya mereka yang berakar pada

Page 267: catatan pinggir

”kebudayaan Cina” yang cocok buat pembangunan ekonomi: pekerja keras, tak suka berleha-

leha, dan pada dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja.

Onghokham menertawakan ”teori” Lee Kuan Yew yang sangat dekat dengan pandangan

rasialis itu. ”Lee bukan menggambarkan watak orang Cina,” katanya. ”Gambaran idealnya

gambaran seorang Kristen Metodis.”

Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis, para santri, para saudagar, atau

ideolog ala Singapura. Baginya Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau

kesempurnaan. Ong jauh dari mereka yang peduli akan prestasi tinggi, karya yang sempurna,

atau posisi yang terhormat. Ia tak mendapatkan gelar ”profesor” karena ia anggap sepele

tetek-bengek administratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang memikat

justru hal-hal yang dianggap ”dosa” oleh Puritanisme: makanan, minuman, waktu bergaul

dan bersenang-senang.

Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang intelektual lain yang hanya

berkutat pada ide besar tentang ”manusia” dan ”masyarakat”.

Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya termasuk sekelompok teman yang

kemudian dikenal sebagai penulis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo

Sukito, Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi di warung di Gang

Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, dengan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang

penuh. Ia gemar mencemooh kami sebagai ”intelektual kota”. Mungkin ia hendak meng-

ingatkan, kami yang suka omong tentang ”Indonesia” acap kali lupa ada yang tak dapat

dirumuskan dari sudut kota Jakarta itu. ”Indonesia” bukanlah hanya ide. ”Indonesia” adalah

kehidupan. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXIIIIII/03 – 9 September 2007~

Padri Desember 1, 1984

PERANG Padri tak dimulai dari titiknol. Sewaktu saya kecil, yang saya baca hanyalah cerita

tentang Imam Bonjol yang melawan para pendukung adat yang dibela Belanda. Setelah mulai

tua, saya baca kisah tentang Tuanku Nan Rinceh, yang kurus tapi dengan matamenyala bagai

api.

Ia muncul dalam arena konflik sosial yang melanda Minangkabau sejak awal abad ke 19. Ia

muncul dan ia mengagetkan.

Di daerahnya di Bukit Kamang yang tinggi, ia memaklumkan jihadnya seperti pedang

berkilat. Merasa ia harus memberi contoh bagaimana ajaran agama mesti ditaati tanpa

ditawar, konon ia membunuh saudara ibu kandungnya. Wanita itu seorang pengunyah

tembakau.

Masyarakat yang ingin ditegakkan Tuanku Nan Rinceh memang masyarakat yang ideal: tak

ada orang menyabung ayam, minum tuak, atau mengisap candu. Tak ada orang memakan

sirih. Pakaian putih-putih haru dikenakan, dan kaum pria haru mengikuti Nabi: membiarkan

diri berjanggut. Wanita haru bertutup muka, tak boleh memakai perhiasan. Kain sutera harus

dijauhi. Syariat Islam harus dijalankan, dan siapa yang tak taat dihukum.

Page 268: catatan pinggir

Memang, ada pengaruh gerakan Wahhabi, yang waktu itu sedang naik pasang di sekitar

Mekkah, dalam semangat Tuanku Nan Rinceh itu. Lurus, sederhana, menuntut sikap yang

serba murni. Tapi zaman tampaknya menghendaki semangat yang lempang dan puritan.

Tuanku Nan Rinceh, mungkin “ekstrem”, bukan fenomena yang tersendiri.

Tak berarti ada persekongkolan di manamana. Sejarah umat Islam adalah sejarah tentang

perbedaan-perbedaan, dan kita bisa sesat bila tak memandangnya secara demikian. Gerakan

“pemurnian” di Bukit Kamang itu toh akhirnya bentrok dengan gerakan Islam di

tempat lain. Khususnya dengan seruan “kembali ke syariat” yang sejak akhir 1700 dibawakan

oleh Tuanku Nan Tua dari Kota Tua di wilayah Agam.

Sengketa itu sengit. Setelah gagal mempertemukan pendapat dalam suatu pertemuan, Tuanku

Nan Rinceh pun menarik garis Orang alim tua dari surau tarikat Syattariyah itu, Tuanku Nan

Tua, yang mengutip pelbagai ayat Quran untuk menunjukkan bahwa Nabi pada dasarnya

mengenggani kekerasan, kemudian dicemooh sebagai “Rahib Tua”. Muridnya, Jalaluddin,

yang mendirikan dusun Muslim di Kota Lawas, dijuluki “Raja Kafir”. Lalu perang pun pecah

selama enam tahun.

Apa gerangan penyebabnya? Tahun lalu terbit sebuah hasil penelitian sejarah Sumatera Barat

oleh Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, sebuah studi

tentang masa riuh 1784-1847. Seperti 1mpk dari judulnya, Dobbin mencoba menunjukkan

maraknya api keagamaan di Minangkabau itu sebagai jawaban sosial atas perubahan ekonomi

yang terjadi, ketika perdagangan kopi untuk ekspor sedang menunggu.

Ketika itulah orang-orang Minang, terutama dari daerah pebukitan, tempat kopi tumbuh

mudah, menemukan dunia baru. Mereka hidup dari suatu proses jual-beli, yang jaringannya

lebih luas ketimbang dusun sendiri – suatu jarimgan yang tentu saja impersonal. Adat

setempat yang mengatur hubungan-hubungan lokal karena itu tak lagi memadai.

Tak mengherankan bila para penghulu, yang lazim memecahkan sengketa sosial dengan

memakai pedoman aturan setempat, jadi repot. Dalam keadaan sedemikian, ketika hukum tak

lagi cukup, sementara perkara yang harus dihakimi bertambah rumit dan

banyak, surau pun tampil sebagai alternatif. Hukum Islam, yang diturunkan di Mekkah di

Dsuatu masyarakat pedagang, memang memungkinkan itu: la tldak asmg dengan kasus-kasus

yang muncul setelah kegiatan komersial berkembang cepat.

Tuanku Nan Tua sendiri bahkan ikut aktif dalam kegiatan itu – dan sukses. Suraunyapun giat

menyerukan agar orang berpegang hukum Islam dalam menyelesaikan soal-soal perniagaan.

Tak ayal, syekh dari surau Syattariyah ini pun dianggap pelindung para

pedagang.

Tapi dalam keadaan yang lebih makmur itu pula orang berkesempatan berfoya-foya. Hampir

di tiap pasar orang mendirikan gelanggang sabung ayam, sementara tuak dan candu dengan

leluasa diedarkan. Semua tingkah ini jadi tambah mencolok buruknya bagi orang ramai,

ketika semangat pedagang hemat, bersahaja, ulet) tengah berblak. Maka, terhadap

kemaksiatan inilah surau-surau angkat suara – dan akhirnya angkat senjata.

Kaum Padri, juga Tuanku Nan Rinceh, pada dasarnya meneruskan semangat itu. Dan dalam

banyak hal mereka berhasil. Desa yang dibangun Haji Miskin pada tahun 1811, misalnya, di

Air Terbit, di lereng Gunung Sago, adalah contoh desa yang teratur serta

makmur. Bahkan orang Belanda juga mengakui hal itu.

Page 269: catatan pinggir

Namun, sayang, tak sepenuhnya masyarakat ideal yang dikehendaki bisa bertahan. Kaum

Padri sendiri berubah. Di Pandai Sikat orang-orang desa mulai kembali makan sirih dan

merokok, pakaian wanita tak jadi setertutup dahulu. Adat setempat tak begitu saja

hilang, dan seperti halnya pihak lain, seperti halnya manusia sepanjang sejarah, kaum Padri

pun akhirnya menerima kompromi. Kemurnian barangkali memang tak ditakdirkan untuk

dunia yang tak kekal, tak tunggal, ini.

~Majalah Tempo Edisi. 40/XIV/01 – 7 Desember 1984~

Pagoda Maret 26, 2007

Agama dimulai dengan senyap. Tak seorang pun hadir di dekat Budha malam itu. Setelah

enyah balatentara Mara, gergasi gaib yang mencoba mengusiknya, Budha melanjutkan

meditasi. Akhirnya sampailah ia pada “ empat kebenaran luhur….”

Agama dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat. Budha di bawah sebatang pohon di

Bodh Gaya, Musa di puncak Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap situasi hadir sebagai situasi

terpuncak, momen yang tak lazim, ketika seseorang mengalami kehadiran sesuatu yang Maha

Lain, yang numinous, sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius, menakutkan,

memukau. Di abad ke-5, atau 500 tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan

perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”.

Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih dan ngeri, ada amor dan horror — tapi

tampaknya sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan ia berakhir dengan sesuatu

yang rapi: konstruksi. Berabad-abad setelah sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu

yang tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita kenisah yang megah, mesjid yang

agung, gereja yang gigantis, patung emas yang terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang

berkilau – dan umat yang makmum, berdesak..

Tampaknya pengalaman religius seseorang (dalam kategori William James, “seorang jenius”)

akhirnya selalu dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh – yang sebenarnya fantasi

tentang yang kekal. Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi tentang yang luhur. Atau

yang gemerlapan – yang sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona.

Tidak, kita tak perlu terburu mengecam. Fantasi itu akhirnya toh menghasilkan seni bangun

yang mengesankan: Gereja Sacré-Coeur, Pura Besakih, Qubbat as-Sakrah, Borobudur, dan

ribuan pagoda yang dari langit Bagantampak bak deretan bringin hutan di sebuah dataran

Myanmar.Fantasi itu buah rindu. Ia tanda damba, takjub dan takzim kepada yang kekal,

luhur, dan mempesona – sesuatu yang mau tak mau akan muncul terus, sebab yang

dirindukan mustahil tercapai..

Maka fantasi adalah jejak ketak-mampuan mencapai..Ia mempertegas sebuah subyek yang

muncul sebagai kekurangan. Tapi juga dengan mudah fantasi bisa jadi pengganti hal yang tak

terjangkau tangan, tak terpeluk hati – seperti berhala yang menggantikan Rupa yang jauh.

Manusia, subyek dalam kekurangan, makhluk yang didefinisikan oleh ingin – bukankah itu

menunjukkan benarnya cattāri ariyasaccāni?

Page 270: catatan pinggir

Ada adalah sengsara, adalah dukkha, begitulah menurut “empat kebenaran yang luhur”.

Dukkha itu disebabkan karena kita tak tahu dan kita terikat. Kita hidup dengan hasrat akan

milik dan milik atas hasrat.

Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari semua itu. Tapi apa

lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya

hanya jadi simptom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orang-

orang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampat yang-

laindi dalam dan di luar diri.

Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih – dan tak hanya berupa

mesjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum.

Yang umumnya tak disadari ialah bahwa konstruksi disusun harus dengan kekuatan yang

terhimpun. Siasat dan alat harus dikerahkan – persis seperti ketika kita membangun imperium

dan mengurus bisnis. Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk waktu. Maka waktu tak

lagi momen ajaib seperti di situasi terpuncak ketika aku gemetar dengan “kasih dan ngeri”.

Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan diukur.

Persis di situlah yang sekuler merasuk ke dalam yang religius: orang menghitung abad,

mendepa seculum. Waktu, seperti uang, harus dikuasai dan dipunyai.

Saya kira Stephan Batchelor benar ketika ia mengatakan, “Salah satu akibat dari proses

formalisasi dan pelembagaan agama adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi

punya”.

Batchelor, yang mengumandangkan lagi tema Gabriel Marcel, pemikir Katolik dari Prancis.

itu, tampaknya melihat dengan masygul betapa kegiatan menghimpun milik ternyata lebih

mendesak ketimbang tafakur menghayati hidup. Ia agaknya sadar, juga dalam kehidupan

beragama berabad-abad lamanya, orang lebih tergerak oleh dimensi “punya” (to have)

ketimbang oleh dimensi “ada” (to be).

Maka Budhisme Batchelor adalah Budhisme yang kembali kepada to be. Ia tak punya dan tak

dipunyai lembaga: ia tinggalkan mazhab Tibet dan ia pilih Zen, dan ia menulis Budhism

without Belief (1997). Batchelor, orang kelahiran Skotlandia yang sejak berumur 18 belajar di

Dharmasala – pusat Budhisme Tibet selama Dalai Lama dalam pengasingan – pada mulanya

seorang biksu yang serius. Tapi enam tahun setelah ia ditahbiskan, ia melepas jubahnya.

Saya kira karena baginya sebuah lembaga mirip sebuah kuil yang megah: fantasi tentang

keagungan yang lupa bahwa dirinya adalah fantasi. Dan seperti pagoda Shwe Dagon di

Yangon, yang pucuknya meruncing 100 meter berlapiskan emas, si lembaga agama

menyembunyikan jejak sekuler yang ikut membentuk kuasanya.

Tapi jejak itu tak hilang. Sore itu saya mengelilingi Shwe Dagon. Di pelbagai sudut orang

berdoa. Di sebuah serambi puluhan orang mendatangi loket penyumbang.

Tapi bisakah orang terbebas dari dukkha, ketika mereka sebenarnya kian tersangkut di sana?

Saya ingat U Po Kyin. Pejabat pengadilan dalam novel Burmese Days George Orwell ini —

korup, licik, ambisius, rakus, buncit – seorang pembangun pagoda yang baik. Ia ingin terlepas

Page 271: catatan pinggir

dari hukuman Sang Budha atas dosa yang tiap hari dibuatnya. Baginya, hidup adalah soal

transaksi: ada asumsi semua bisa diukur dan semua akan tetap. Tapi mungkinkah?

“Segala hal, wahai, pendeta, terbakar. Mata terbakar, bentuk terbakar, kesadaran mata

terbakar..”.

Kalau tak salah, itu suara Sang Budha.

~Majalah Tempo Edisi. 05/XXXIIIIII/26 Maret – 01 April 2007~

Paralisis Januari 21, 2001

Betapapun miripnya ini dengan adegan Bima yang ganas di Kurusetra, sepasang

kepala yang terpasak itu tetap lebih mengganggu perasaan. Ada kebencian yang bisa

berulang di sana, ada kekejaman yang bisa datang setiap waktu.

Berapa banyak orang tewas terbunuh di Indonesia di setiap pekan? Statistik menjelaskan satu

hal, dan ketika angka-angka menaik, ia menjelaskan hal lain: tak semua pembunuhan berawal

dari benci.

Benci punya fokus dan sasaran yang jelas: menjelang babak terakhir Mahabharata, di

medan pertempuran Kurusetra, Bima dengan bengis memenggal kepala Dursasana dan

mereguk darah dari merihnya—karena sebuah kebencian yang tersimpan lebih dari 12 tahun.

Kita mungkin gentar, atau mual, atau asyik, mendengar kisah seperti ini. Tapi setidaknya ada

yang spesifik dan tak akan terulang dalam kekejaman itu: Dursasana tak akan, dan tak bisa,

digantikan oleh korban yang berbeda. Benci, dalam hal ini, berkecamuk dalam sebuah

wilayah yang tertutup. Juga kebrutalan Bima: ia hadir pada momen itu, dan tak akan hadir di

momen lain.

Tapi kita tahu bahwa terkadang benci (dan sebagai akibatnya: kekejaman) mengambil

wilayah yang lebih terbuka, betapapun tetap fokusnya. Di tahun 1965, misalnya, orang

Indonesia yang memegang bedil ataupun yang memegang parang membantai ribuan orang

lain karena mereka ingin menghancurkan “orang komunis”. Namun mereka tak memerlukan

benar nama si korban, atau daftar kesalahannya, atau riwayatnya. “Orang komunis” sudah

menjadi sebuah nama generik. Ia bisa dikenakan kepada siapa saja yang kira-kira cocok,

bahkan yang tak begitu cocok sekalipun. Demikian halnya dengan yang terjadi di Kamboja di

bawah Khmer Merah, ketika “orang borjuis” harus dihabisi. Si Badu, dalam gerak

pengganyangan ini, bisa saja digantikan oleh si Polan, asal si Polan menunjukkan atau

dianggap bahwa ia berasal dari “paham” atau “kelas” yang sama.

Permusuhan “ideologis” adalah kebencian di wilayah yang terbuka. Meskipun dengan korban

yang tertentu atau ditentukan: sebuah gerak rasa benci dan sifat bengis yang menjadi

impersonal. Hal ini juga yang agaknya terjadi pada permusuhan antarkelompok agama dan

rasialisme.

Di situ, ada yang sedikit lebih abstrak. Dengan mudah, rasa benci dan sifat bengis itu menjadi

sesuatu yang melembaga, bahkan mempunyai organisasi, meskipun dalam taraf yang paling

dasar. Orang Dayak dan Madura yang saling membinasakan di Kalimantan Barat, orang Hutu

yang membantai orang Tutsi, orang Nazi Jerman yang membantai orang Yahudi, orang

Page 272: catatan pinggir

Serbia yang membantai orang muslim di Bosnia—semua itu dalam derajat yang berbeda-

beda adalah kejahatan, atau kebrutalan, yang melembaga. Ia bisa saja berulang, diulang, di

suatu masa lain, di sebuah tempat lain. Kita ingat sebuah adegan yang memualkan di

Kalimantan Barat: dua kepala sepasang suami-istri separuh baya yang dipancung dan

dipasang di atas pasak, dengan luka parang yang baru, dengan mulut yang dengan cemooh

disisipi sebatang rokok. Betapapun miripnya ini dengan adegan Bima yang ganas di

Kurusetra, sepasang kepala yang terpasak itu tetap lebih mengganggu perasaan. Ada

kebencian yang bisa berulang di sana, ada kekejaman yang bisa datang setiap waktu.

Tapi dalam hal kekejaman, ada yang bisa lebih dari itu. Mari kita bayangkan kemungkinan

yang nyaris terjadi ini di Indonesia ini: tiga buah granat yang meledak di atas rel, dan sederet

gerbong yang terbelah, dan ratusan orang—termasuk bayi dan anak sebelum remaja—yang

akan terbantai dengan tubuh hancur….

Siapa yang melakukan ini berangkat bukan karena rasa benci kepada satu kelompok yang

spesifik: sebuah tindakan yang sebenarnya tanpa fokus. Bahkan mungkin sekali tanpa

benci—sebab saya tak bisa membayangkan ada orang, atau sekelompok orang, yang begitu

sakit hati kepada setiap orang yang naik kereta api sehingga memasang granat di atas rel.

Di sinilah wilayah yang terbuka untuk kekejaman itu praktis menjadi absolut. Ia tak terbatasi

lagi. Juga alasannya. Jika di sini tak tampak ada rasa benci, meskipun mungkin ada rasa

marah, apa gerangan tujuan orang dengan granat-granat itu? Untuk membuat kehidupan

politik jadi guncang? Untuk membuat kereta api tak menarik sebagai alat transpor? Atau

untuk menikmati pemandangan ini: ketika beberapa ledakan terdengar, seperti mercon besar,

ketika daging manusia terbakar dan tercabik, ketika orang panik dan anak-anak memekik?

Teror, terutama sebagai aksi politik, ingin memutlakkan tak adanya batas. Ketakutan menjadi

ketakutan kepada ketidak-jelasan. Akhirnya, sebuah paralisis ganda: lumpuh karena tak bisa

menangkal ancaman dan lumpuh karena tak bisa memahami ancaman. Ketika polisi tidak

berdaya, ketika negara seperti tak bisa hadir untuk menolong, paralisis akan menantikan

sebuah keajaiban, mungkin satu kekuatan Juru Selamat.

Tapi barangkali yang mungkin datang menyelamatkan bukanlah keajaiban, melainkan sebuah

keganjilan: sikap yang hampir acuh tak acuh kepada kematian. Di Indonesia, orang tetap saja

akan berjejal-jejal naik sepur, sampai ke atap, setelah berkali-kali kecelakaan terjadi, tetap

saja akan berdesak-desak di atas dek, melebihi kapasitas kapal, setelah berkali-kali feri dan

perahu tenggelam, bahkan tetap saja akan beramai-ramai bermain mercon, menikmati

ledakan besar atau kecil, hanya beberapa hari setelah bom membunuh sejumlah orang di

sekitar gereja….

Tentu, bukan karena mereka luar biasa pemberani. Tapi karena apa yang tampak dalam

statistik itu: kematian semakin akrab.

Pelacur Desember 17, 2008

Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia

seorang pelacur.

Page 273: catatan pinggir

Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia seorang istri yang

ditinggalkan suami (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis

yatim.

Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun, berangkat ke sekolah dengan

ojek, Nur datang ke tempat kerjanya. Di sana ia mengangkut batu, kemudian memecah-

mecahnya, untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, empat tahun, anak bungsunya, selalu

dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam sampai tengah hari.

Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrakan mereka, dan Nur bisa bermain

dengan kedua anak itu. Sampai pukul tiga sore.

Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua anaknya ke tempat penitipan milik

Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ribu sehari. Lalu ia berdandan: memasang lipstik tebal, berpupur,

mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia naik ojek dari kampung Mujang itu ke Gunung

Bolo, 45 menit jaraknya dengan sepeda motor.

Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina itu, Nur menjajakan seks. Ia

menjual tubuhnya.

Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang menikah dengan perempuan lain, tak

memberinya nafkah. Ia bertemu dengan lelaki itu pada 1992 dalam bus ke Trenggalek.

Mereka saling tertarik, dan Sutrisno menemukan lowongan buat Nur di Pabrik Rokok

”Semanggi” di Kediri. Pekerjaan mengelinting sigaret itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur

hamil. Ia harus menikah.

Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya di meja judi dan botol ciu. Tak

ada penghasilan. Tak ada pengharapan. Setelah anak yang kelima lahir, dalam keadaan putus

asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang pelacur di Gunung Bolo. Ia bergabung dengan

sekitar 80 pekerja seks di tempat itu, dan jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi

sudah hampir separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan malam mereka

mencari konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif: Rp 10 ribu sepersetubuhan.

”Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang, selama ini, ketika melayani

tamu?”

”Ah, ya ndak ada,” jawabnya.

Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang pahit. Dalam film dokumenter

yang dibuat Ucu Agustin—salah satu dari Pertaruhan, empat karya dokumenter tentang

perempuan yang layak beredar luas di Indonesia kini—kedua pelacur itu berbicara tentang

hidup mereka seperti seorang pedagang kecil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara

tentang kerja mereka sehari-hari.

Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana Shira Foundation yang

memproduksi Pertaruhan, duduk bersama peserta Jakarta International Film Festival di

sebuah kafe di Grand Indonesia—seakan-akan mall megah itu bukan negeri ajaib dalam

mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui mereka di tempat minum Goethe Haus

pekan lalu, Mira duduk seperti di warung yang amat dikenalnya, dengan rokok yang terus

Page 274: catatan pinggir

menyala (tapi ia menolak minum bir), dan Nur memeluk Nova yang dibawanya ikut ke

Jakarta.

Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara, dan aktivis perempuan yang

menjamu mereka tak membuat para pelacur itu asing dan rikuh. Bahkan Tegar dan Nova

diurus panitia seakan-akan kemenakan sendiri—dan dengan kagum saya melihat sebuah

generasi Indonesia yang menolak sikap orang tua dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak

akan mereka kirim ke neraka, di mana pun neraka itu. Ucu Agustin, 32 tahun, sutradara

dokumenter ini, telah berjalan jauh. Ia lulus dari IAIN pada tahun 2000 setelah enam tahun di

pesantren Darunnajah di Jakarta, di mana murid perempuan bahkan dilarang membaca

majalah Femina. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur dan kaumnya.

Di Tulungagung terdapat setidaknya 16 tempat pelacuran. Ada dua yang legal, yang tiap

Ramadan harus tutup. Tapi sia-sia: di tiap bulan puasa pula para pelacur yang kehilangan

kerja datang antara lain ke Gunung Bolo. Pekerja di tempat itu bertambah 50 persen.

Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang dengan hormat ke wajah Nur:

seorang ibu yang mengais dari Nasib untuk mengubah hidup anak-anaknya? ”Mereka harus

sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emak mereka,” Nur berkata, berkali-kali.

Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan melacur ia rata-rata dapat Rp 30

ribu semalam. Dengan itu ia bisa mengirim Tegar ke sebuah TK Katolik sambil membantu

hidup anak-anaknya yang lain yang ia titipkan di rumah seorang saudara. Nur tegak di atas

kakinya sendiri. Ia contoh yang baik ”dialektika” yang disebut Walter Benjamin: seorang

pelacur—seorang pemilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri, seorang

penjaja (Verkäuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) dalam satu tubuh. Ia buruh; ia

bukan.

Bagi saya ia ”Ibu Indonesia Tahun 2008”.

Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang tuan dan

nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut

paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu bagaimana tabah. Kebaikan

hati bukan mustahil. Tegar diberi keringanan membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap

bulan ke Gunung Bolo, seperti ke belasan tempat pelacuran di Tulungagung itu, datang tim

dari CIMED, organisasi lokal yang dengan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke

rumah penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk membantu Tegar berbahasa

Inggris dan mengerti bilangan.

Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakan-Nya). Ia menyebut-Nya ”Yang

di Atas”. Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh—tapi justru tak merisaukannya,

karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam kerelaannya.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 15 Desember 2008~

Pemimpin Juni 21, 2010

Page 275: catatan pinggir

… dia menebarkan ketakutan di benak para musuh kami, dia memberi kekuatan yang lebih

hebat ketimbang 1.000 bek dan 10.000.000 kiper.”— Ri Myong-guk, penjaga gawang Korea

Utara, menjelang pertandingan di Piala Dunia.

Tuhan dan Kim Jong-il tak datang ke Afrika Selatan. Tapi tiap kesebelasan yang bertanding

di Sokkerstad yang mirip belanga Afrika itu harus mengerahkan kekuatan apa saja, termasuk

yang gaib, untuk menang. Bagi kiper Korea Utara, Ri Myong-guk, yang gaib adalah kepala

negaranya, Kim Jong-il. ”Dia pemain terpenting kami,” katanya tentang tokoh sakit-sakitan

yang malam itu mungkin sedang terbaring di Istana Presiden di Pyongyang, 12.447 kilometer

jauhnya dari Johannesburg.

Syahdan, pada malam dingin menggigit itu, Ri dan 10 kawannya berjuang. Ratusan juta

penonton di seluruh dunia menyaksikan bagaimana tim Korea Utara bermain gigih, rapi,

efektif.

Tapi mereka melawan Brasil, juara dunia lima kali. Mereka kalah: 2-1—meskipun kalah

dengan bangga, karena mereka telah menunjukkan permainan yang mengesankan. Dunga,

manajer tim Brasil, mengakui, ”Sangat berat menghadapi lawan yang begitu gigih dan begitu

defensif.” Kata Ri, yang memimpin lini belakang, ”Saat menjaga gawang rasanya seperti

menjaga gerbang tanah airku.”

Kalimat itu hiperbolik, memang. Kita tak tahu, tuluskah Ri atau tidak. Sepak bola di Piala

Dunia punya daya yang ganjil. Ia bisa membuat orang (pemain atau penonton) merasa bagian

dari sebuah puak besar yang berapi-api, dari rambut sampai kuku kaki, mendukung sebuah

tim nasional. Ketika sebelum pertandingan Aegukka, lagu kebangsaan Korea Utara,

dinyanyikan, (”Tekad yang teguh, dipertaut Kebenaran, akan maju tegap ke dunia.”), Jong

Tae-se, pemain nomor 8, menangis.

Antara tulus dan tak tulus, antara ekspresi yang berlebihan dan tidak, tampaknya tak ada garis

yang jelas di Korea Utara.

Korea Utara bukan lagi sebuah bangsa; ia sebuah umat. Marxisme-Leninisme sudah

bertransformasi jadi agama. Sebagaimana agama, ia membentuk struktur yang direkatkan

oleh doktrin. Agama juga butuh batu-sangga yang menopang dan mempertautkan bagian-

bagian bangunan itu. Bagi agama pada umumnya, batu-sangga itu Tuhan; bagi ajaran juche

sebagai ideologi Korea Utara, batu itu Kim Il-sung. Setelah Kim tua wafat dan putranya, Kim

Jong-il, menggantikan peran itu.

Maka sejak masa kanak, rakyat Korea dibentuk untuk memuja Kim. Sebuah studi yang

dikutip The Christian Science Monitor menunjukkan besarnya dana untuk itu. Sementara

pada 1990 biaya untuk pemujaan sang pemimpin meliputi 19 persen anggaran nasional, pada

2004 naik jadi 38,5 persen. Pada masa krisis, ketika alokasi buat pertahanan dan

kesejahteraan rakyat diperkecil, dana untuk sekolah ideologi justru naik. Biaya itu meliputi

perawatan 30.000 monumen Kim, festival olahraga, film, buku, billboard, mural, dan

seterusnya.

Belum lagi buat pendidikan sekolah. Di sini, indoktrinasi untuk memuja sang Ketua sangat

intensif: antara 304 dan 567 jam pelajaran. Para murid SD harus mempelajari sejarah masa

kecil Kim Il-sung 152 jam dan Kim Jong-il juga demikian. Di Universitas Kim Il-sung di

Page 276: catatan pinggir

Pyongyang ada enam fakultas yang khusus mengajarkan riwayat dan pemikiran kedua Kim

Bapak dan Kim Putra.

Dalam sejarah pemerintahan partai komunis, ini melebihi takaran. Tapi sesuatu yang

sebelumnya hanya terdapat pada zaman Nazi Hitler dan Fasisme Mussolini ternyata bisa

terjadi di kubu sosialis. Di Uni Soviet, muncul fenomena Stalin, yang memimpin Uni Soviet

sejak 1922 sampai wafat pada 1953. Di Cina: Mao Zedong, yang jadi Ketua Partai sejak 1943

hingga 1976.

Tentang Stalin, seorang penyair menulis, dengan hiperbol lain:

Wahai, Stalin yang agung

Tuan-lah yang menyuburkan tanah

Tuan-lah yang memulihkan abad

Tuan-lah yang mengembangkan bunga di Musim Semi

Tentang Mao, seorang prajurit yang diangkat jadi manusia tauladan oleh Partai, Li Feng,

menulis catatan hariannya yang terdiri atas 200.000 kata. Hampir semuanya penuh pujaan:

”Bagiku, karya Ketua Mao ibarat makanan, senjata, dan kemudi. Kita harus makan dan dalam

berperang kita harus bersenjata. Tanpa kemudi, kita tak dapat mengendarai mobil, dan tanpa

mempelajari karya Mao Zedong orang tak dapat menempuh karier revolusioner.”

Barangkali manusia selalu butuh pujaan—Tuhan, Nabi, atau Sang Pemimpin. Mungkin juga

kultus itu merupakan respons dari suasana cemas akan terjadinya disintegrasi, yang pada

1960-an tampak juga di Indonesia, dengan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

Tapi ada kombinasi yang ampuh yang menyebabkan kultus sang pemimpin berkembang:

paduan antara kekuasaan politik dan kata-kata yang mendukungnya.

Namun ada batas dan bahaya. Ketika untuk meneguhkan sebuah kekuasaan sederet kata jadi

doktrin, dan doktrin jadi slogan, dan slogan jadi mantra, manusia hidup terasing dari proses

bahasa. Ia hanya menghafal. Ia makin tak pasti dengan makna kata yang diucapkannya. Ia

juga makin kurang yakin akan tafsir yang datang dari dirinya sendiri, karena makna

ditentukan para penguasa. Pada gilirannya, para penguasa (elite Partai, misalnya) juga

mengalami keterasingan, karena dalam keseragaman slogan, mereka tak tahu di mana kata-

kata sendiri.

Walhasil, akhirnya perlu satu Kata: apa yang disabdakan Sang Pemimpin.

Dan lahirlah hiperbol: sindrom rasa cemas kepada makna, karena makna tak dikuasai lagi.

Dengan kalimat yang berlebihan, seseorang mencoba meyakinkan diri dan pendengarnya

bahwa bahasa harus diberi tenaga ekstra, agar sedikit kembali berarti.

Demikianlah Kim Jong-il muncul di kepala dan mulut Ri Myong-guk. Ia Tuhan yang

mencemaskan. Ia juga Tuhan yang menenangkan.

Page 277: catatan pinggir

~Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Juni 2010~

Perang September 1, 2008

Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya tak terlupakan, terutama ketika

senjata masih terus diproduksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-habisnya

sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang yang diluncurkan, tiap roket yang

ditembakkan, menandai sebuah pencurian.”

”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang mengucapkannya, Dwight D.

Eisenhower, tahu apa yang dikatakannya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden

Amerika Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hubungan erat antara

ekonomi persenjataan dan peperangan, sebuah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks

militer-industri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali meletus, sesuatu

yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar dan tak dapat makan, mereka yang

kedinginan dan tak dapat baju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh

dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tembak-menembak. Di bawah

bayang-bayang perang, ”kemanusiaan-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.

Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasawarsa setelah perang besar

menggerus dan mengubah Eropa dan Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit,

menyaksikan dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa di tiap medan

tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan tampak dengan jelas.

Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua itu juga jelas. Tapi orang

Amerika telah memilih persepsi lain tentang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan,

patriotisme, sikap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban sehabis-habisnya.

Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai Demokrat, kalah karena ia

diragukan kepahlawanannya dalam Perang Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai

Republik, John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan dipilih karena nun di

masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebaliknya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang

apa pun, dan menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan kemampuannya

sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena itu.

Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah datang sendiri. Sejarawan Inggris

terkenal, Tony Judt, dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan

sesuatu yang tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang

telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer,

sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para

politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lambang dan pajangan yang

menandai kekuatan bersenjata”.

Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat Amerika remuk. Dalam pelbagai

konflik abad lalu, Amerika tak pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar

wilayahnya karena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat diperkaya oleh dua

perang dunia, Inggris kehilangan imperiumnya. Meskipun merasa dipermalukan dalam

perang neokolonial di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak pernah

menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bisa saja mendua dalam menyikapi

Page 278: catatan pinggir

aksi militer belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang

yang dilancarkan negerinya adalah ”perang yang baik”.

Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan Judt, dalam

Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885

ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Dunia II, sementara AS

kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di

dinding granit hitam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang

Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata

Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.

”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana sejarah

dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11

September 2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan oleh apa yang

tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut, malu, dan dendam yang berkecamuk pada

hari-hari setelah para teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.

Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu. Seperti ditunjukkan

Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”,

dan tak hanya mengenai orang Amerika.

Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel Kurtz

memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada

akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebabkan Perang

Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab” dan yang ”beradab”. Di jantung

kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari

Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi

ia bagian dari konteks yang brutal.

Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang melihatnya dari

jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The

horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat, tahu: dalam perang,

apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan

”kebrutalannya, kesia-siaannya, kebodohannya”.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXVII/01 – 07 September 2008~

Percakapan Maret 8, 2010

Dua orang duduk berdekatan. Dalam lakon Menunggu Godot Samuel Beckket ini mereka

berbicara:

Gogo: Lalu apa?

Didi: Ah! Kita akan bercakap-cakap! (mereka pun saling mendekat, sampai sekitar 10 kaki).

Yah, kurang pelan, mungkin. Begitulah jalannya.

Gogo: Memangnya jalan?

Didi: Ya. Harus.

Page 279: catatan pinggir

Percakapan memang terjadi, dan seperti kata Didi, harus “jalan”. Tapi buat apa? Menunggu

Godot menjawab dengan kering: kata-kata yang bersahut-sahutan itu bagian dari laku

menunggu yang tak berkesudahan.

Mungkin tak seorang pun bertanya: Do we need a point? Apa kita memang perlu ada ide atau

pikiran yang ingin dikemukakan, jika kita masuk ke dalam sebuah percakapan?

Menunggu Godot adalah teater yang mengabarkan bahwa “kabar” selamanya akan “kabur”.

Ini memang sebuah teater, dan di atas pentas diharapkan ada dialog. Tapi justru dalam teater

ini dialog dan percakapan sendiri perlu diragukan. Itu sebabnya Gogo skeptis: “Memangnya

jalan?”.

Syahdan, sejarah mencatat hubungan antar manusia yang putus, perang dan kekerasan tak

henti-hentinya terjadi. Orang sadar, percakapan “harus jalan”. Tapi juga orang sadar, bahasa

adalah himpunan prisma yang berkabut, terkena uap mulut para pembicara (lengkap dengan

pelbagai baunya yang aneka ragam), sementara yang terpancar dari sana adalah dispersi

makna yang bersinar ke arah mana saja.

Beckett melukiskan ambruknya komunikasi manusia dengan menggelikan tapi juga murung.

Kita seakan-akan dibawa untuk menyaksikan sebuah dunia di mana permufakatan tak akan

pernah terjadi…

Tapi benarkah tak akan terjadi? Belum tentu, Dari lakon Beckett itu kita juga bisa dapat

kesan, orang-orang yang “menunggu Godot” itu akhirnya diam-diam sepakat: mereka barus

di sana bersama-sama. Ketika dalam kebersamaan itu kata hanya bunyi, tak lebih dan tak

kurang, pertengkaran, (sebagaimana persetujuan), tak terjadi. Kita bahkan bisa

menyimpulkan: ajaib, dalam suasana negatif itu, ternyata masih ada sesuatu yang bisa

diterima orang yang berbeda-beda. Semacam konsensus tercapai, walaupun bahasa tak punya

arah.

Mungkin dari sini ada harapan: dalam kebersamaan manusia, kalaupun tak ada sesuatu yang

universal, toh masih ada yang dapat ditumbuhkan jadi universal, yang tak ditampik pihak-

pihak yang punya mulut dan abab berbeda-beda.

Itulah harapan politik. Yang saya maksudkan dengan “politik” di sini sedikit kuno: ikhtiar

untuk merawat pertalian sosial. Tak jarang ikhtiar itu melalui persaingan, konflik, dan adu

kekuatan, tapi tak hanya itu. Politik bukan pembasmian. Bila antagonisme saja yang jadi

dasarnya, pertalian sosial selamanya akan mencemaskan; tak akan ada sebuah masyarakat

yang mampu terus menerus menanggungkan itu. Politik bukan hanya “kami” menghadapi

“mereka”, tapi juga (atau justru) “kami” yang berusaha terus menerus membentuk “kita”.

Tapi selama ini, orang bingung. Apa landasan yang membuat “kita” tak mustahil? Dari mana

datangnya “yang universal” yang memungkinkan “kami” dan “mereka” bisa jadi “kita”?

Zaman ini memang menolak mengakui bahwa nilai-nilai yang universal datang dari luar

sejarah manusia, dari sesuatu yang transenden, misalnya agama yang diwahyukan Tuhan.

Bahkan Habermas, seraya percaya akan kemungkinan konsensus, berbicara tentang perlunya

“de-transendentalisasi”.

Page 280: catatan pinggir

Para pemikir yang menolak yang transenden, dan meneguhkan “imanensi”, sejak Marx

sampai Delueze, mencoba menjelaskan bahwa nilai-nilai “universal” mengikuti riwayat

manusia dengan tubuh dan kehidupan sosialnya: berubah-ubah. Para pemikir “post-modern”

malah menunjukkan, yang “universal” hanya kedok bagi asumsi dunia modern yang

memegang dominasi.

Tapi bila begitu, harapan politik untuk membentuk “kita” akan selalu kandas, atau hanya

berhasil karena kekuatan senjata, orang ramai, dan kekayaan. Politik, seperti yang akhir-akhir

ini terasa di Indonesia, akan hidup dengan defisit ethis. Tak adakah kemungkinan lain?

Barangkali. Sebab tanpa bersandar pada apa yang transenden, kita toh bisa lihat, (mengikuti

Karl-Otto Apel), ada yang “transendental” dalam hidup kita – sesuatu yang tumbuh dari satu

tempat dan satu masa, tapi juga mengatasi tempat dan masa itu. Yang “tak adil” memang bisa

berbeda-beda dinyatakan dan dirasakan, tapi kehendak melawan kekejaman tumbuh di mana-

mana.

Apel berbicara tentang “ethika wacana”, Diskursethik : ia tak menganggap penilaain moral

semata-mata subyektif, dan segala hal jadi nisbi. Tapi ia tak bertolak dari dasar yang

dirumuskan Descartes, “aku berpikir” – yang akhirnya hanya berkutat dengan “aku”. Apel

mengajukan alternatif: “aku berargumen”. Dengan kata lain, “aku” menggunakan bahasa,

walaupun pata-patah, dan ada subyek lain yang diajaknya bicara.

Dalam proses itu mau tak mau ada asumsi bahwa yang diajak bicara akan menerima sesuatu

yang bisa ditumbuhkan jadi nilai bersama: sebuah prinsip “universalisasi”. Percakapan,

betapapun sulitnya, bukan untuk saling membunuh. Kita tak tahu bagaimana bentuk dan akhir

percakapan itu — kita tak tahu bagaimana sang Godot — tapi kita tetap melakukannya.

Sebuah pragmatisme sehari-hari.

Do we need a point?

Kita memang perlu sesuatu yang jangan-jangan tak ada – tujuan yang tunggal, tafsir kata-kata

yang bersepakat — tapi kita tetap saja saling bicara. Dalam suasana muram Menunggu

Godot, kita tak melihat sebuah politik yang dengan sinis ingin menyingkirkan, atau membeli,

orang lain.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 08 Maret 2010, dengan sedikit revisid ari penulisnya~

Percakapan Ke-7 September 18, 2006

NASKAH itu berupa 26 percakapan yang dilupakan orang. Semuanya berlangsung

menjelang akhir 1391. Waktu itu Bizantium belum jadi wilayah Turki, tapi penguasanya,

Manuel II, harus merendah: ia masih disebut ”raja” atau ”Autokrator”, namun praktis ia cuma

seorang vasal di bawah daulat sultan yang bertakhta di Anatolia.

Sejak 1379, Bizantium berdiri rapuh dan tergantung. Karena perselisihan takhta dengan

adiknya, Manuel yang waktu itu berumur 29 minta proteksi dari Sultan Murad I. Mulai dari

sinilah Bizantium harus bayar upeti dan ikut dalam aliansi militer dengan negeri tetangganya

di Selat Bosporus itu. Manuel selalu siap patuh.

Page 281: catatan pinggir

Pada tahun 1391 itu ia dititahkan ikut dalam peperangan di pantai Laut Hitam. Tapi agaknya

di Ankara ia punya waktu untuk hal lain. Sejak Oktober sampai Desember ia berbincang

dengan seorang ”kadi” kota itu. Dari sinilah–meskipun mungkin tukar-pikiran itu tak

sepenuhnya terjadi–lahir naskah Dua Puluh Enam Dialog dengan Seorang Parsi. Dokumen

ini umumnya tak ditengok lagisampai ketika Paus Benediktus XVI mengutipnya di sebuah

ceramah di Universitas Regensburg, Jerman, pekan lalu.

Saya tak pernah membaca sendiri tulisan Manuel II. Tapi saya tak akan heran jika di sana

sikap anti-Islam bergema kuat. Sang Autokrator adalah ahli waris konflik dan kekalahan di

hadapan kekuasaan Turki, nama yang waktu itu berarti ”Islam”. Ayahnya memerintah dalam

situasi gawat setelah Daulat Usmaniah menaklukkan Macedonia dan Serbia pada tahun 1380-

an; ia juga harus menghadapi usaha perebutan takhta di dalam negeri. Untuk

mempertahankan ayahnya sebagai Raja Bizantium, Manuel menyediakan diri jadi vasal di

istana Sultan. Ia siap menanggungkan pelbagai penghinaan. Ketika Sultan Bayazid I

melarang tembok Kota Konstantinopel diperkuat, larangan itu disertai ancaman: jika

konstruksi itu tak dihentikan, Manuel akan dibikin buta.

Manuel diam, tapi ia punya kesimpulan. ”Hanya mala dan sifat yang tak manusiawi,” kata

Manuel tentang ajaran yang dibawa Muhammad, Rasul Allah di Mekah itu….

Sumber Manuel memang tak perlu jauh dicari: kitab ”Pembelaan Buat Iman Kristiani”

[terhadap Islam] yang disusun kakeknya, Johanes Cantacuzenus, yang bertumpu pada

polemik yang ditulis Bruder Ricoldo dari Montecroce (meninggal pada 1320), Confutatio

Alchorani, risalah yang membantah Quran.

Tapi tiap polemik mengandung politik kutipan. Ketika Manuel mengutip surah Quran yang

mengatakan ”Tak ada paksaan dalam agama”, ia katakan kalimat itu datang ketika posisi

kaum muslimin lemah. Dengan kata lain, ia memberi konteks sejarah kepada teks. Tapi ke-

sejarah-an itu tak dikemukakannya ketika dalam Percakapan Ke-7 ia menyebut teks lain,

yakni perintah sang Rasul yang katanya ”menyebarkan iman dengan pedang”. Dengan kata

lain, Manuel tak mencoba mencari latar historisnya ketika pedang, dan bukan tegur sapa yang

baik, dianjurkan Nabi.

Islam hanya membawa ”mala dan sifat yang tak manusiawi”, kata Manuel. Tentu saja ini

tipikal suara esensialis, yang menganggap tiap identitas ditentukan ”esensi” yang tak pernah

berubah, dan yang tak mengakui bahwa tiap ”esensi” sebenarnya hasil bentukan wacana.

Seperti Manuel, Paus Benediktus juga seorang esensialis. Ia mengutip Theodore Khoury

(editor penerbitan kembali Dua Puluh Enam Dialog), yang mengutip R. Arnaldez, ”pakar

tentang Islam” dari Prancis, yang pada gilirannya mengutip Ibn Hazn, bahwa Tuhan tak

pernah bisa dikekang bahkan oleh Sabda-Nya sendiri. Dalam pandangan ini, yang tampil

adalah ”citra tentang Tuhan yang semau-maunya (Willkür-Gott), yang tak dibatasi kebenaran

dan kebaikan.”

Harus dicatat, Paus tak menganggap itulah citra yang disiarkan Islam; ia hanya menyebut

itulah pandangan Ibn Hazn. Lebih penting lagi, ia mengemukakan, dalam sejarah pemikiran

Kristen ada Duns Scotus yang hidup pada abad ke-13, yang beranggapan mirip, bahwa kita

hanya tahu voluntas ordinata Tuhan: di atas itu, sepenuhnya kemerdekaan. Tuhan dapat

bertindak bertentangan bahkan dengan yang pernah dilakukan-Nya sendiri.

Page 282: catatan pinggir

Sebenarnya tak hanya Ibn Hazn dan Duns Scotus. Tak disebutkan Paus adalah filosof

”okasionalis” Islam dan Kristen, seperti Al-Ghazali di Iran pada abad ke-11 dan Malebranche

di Prancis abad ke-17. Bagi mereka ini, tiap perubahan dalam obyek dan pikiran adalah

karena iradah Tuhan: ”kapas terbakar api bukan karena disulut geretan, tapi karena dibuat

demikian oleh Allah”. Tak ada hubungan sebab-akibat seperti ditemukan ilmuwan dan

disimpulkan mereka yang memakai nalar. Tuhan ada di atas akal budi.

Tapi bagi Benediktus, nalar adalah logos, kata Yunani yang juga berarti ”sabda” seperti

terdapat dalam Kitab Kejadian. Maka nalar bertaut dengan iman. Manuel, kata Paus, sekadar

mengatakan bahwa tak ada tindakan dengan nalar yang bertentangan dengan Tuhan.

Di sinilah, menurut Paus, pertautan yang intrinsik antara Alkitab dan siasah Yunani. Buahnya

mengubah duniadan terbentanglah fondasi yang disebut ”Eropa”.

Eropa? Tapi jika ”Eropa”, dengan unsur Yunaninya, sama dengan ”Kristen”, bagaimana si

non-Eropa bisa percaya kasih Yesus? Bukankah ”fondasi” itu hanya konstruksi wacana, yang

disusun untuk membedakan diri daridan menyingkirkanyang harus dibuang dibisukan, dulu

Yahudi, kini imigran muslim?

Tampaknya tesis di kampus Regensburg itu hanya sebuah polemik: proses politik kutipan dan

ingatan, ketika informasi A dicatat dan B disembunyikan.

Artinya polemik yang serupa juga bisa dilontarkan orang muslim, dengan menegaskan Islam-

lah yang punya landasan rasional dalam iman, sebab Hadith mengatakan ”agama adalah

akal”. Islam pula, dalam sosok Ibn Rushd, yang memperkenalkan alam pikiran Yunani ke

Eropa.

Artinya agama lain bebal semata….

Dan soal agama dan kekerasan: bukankah yang tergurat jelas dalam sejarah Islam juga

tergurat di masa silam Eropatapi dilupakan hari itu?

~Majalah Tempo Edisi. 30/XXXV/18 – 24 September 2006~

Perempuan April 2, 2006

Seorang isteri guru ditangkap polisi di Tangerang. Ia berada di jalan di sekitar pukul tujuh

malam. Ia harus membuktikan dirinya bukan pelacur. Peraturan Daerah mengharuskan itu.

Tuan-tuan yang berkuasa di Tangerang tampaknya berpendapat, tiap perempuan yang berada

di luar rumah dalam remang itu perlu dicurigai sebagai “jalang”…

Bisakah Tuan-Tuan itu memperkirakan, kini “kaum perempuan di Tangerang dicengkram

ketakutan”?.

Tapi mereka mungkin tak mengacuhkan pernyataan Forum Solidaritas Perempuan Banten, 22

Maret 2006 itu – juga tak membayangkan para ibu yang cemas bila anak mereka pulang

terlambat dari kursus di malam hari dan saudara mereka kembali dari pabrik setelah senja.

Page 283: catatan pinggir

Mungkin Tuan-Tuan itu akhirnya akan menjawab (dengan dukungan Majelis Ulama):

perempuan memang harus tinggal di rumah, “dilindungi”. Tuan-Tuan itu pasti bukan kelas

bawah yang perlu dapat tambahan penghasilan dari upah isteri yang jadi pemijat, penunggu

kios rokok atau bakul jamu. Lagipula ayat suci bisa dikutip, sebagaimana di Arab Saudi

Qur’an dan Hadith dikutip untuk memutuskan: perempuan tak boleh berpakaian lain selain

purdah, perempuan tak boleh menyetir mobil, dan tentu saja tak boleh jual jamu…

Perempuan selalu dekat dengan dosa – itulah mungkin pikir Tuan-Tuan di Tangerang, seraya

mendengar agama berbicara.

Tentu saja agama yang datang dari Timur Tengah.

Saya tak tahu persis kenapa di sana perempuan selalu ditilik demikian. Mungkinkah karena

sebuah pengalaman, yang kemudian jadi paradigma, juga metafor – yaitu dahsyatnya gurun

pasir?

Siapa tahu. Sebab ada seorang tua bernama Apa Sisoes. Ia seorang biarawan di Mesir abad

ke-4.

…murid Apa Sisoes itu berkata kepadanya, “Bapa, bapa telah tua. Mari kita pindah sedikit

ke dekat tanah yang telah dihuni.“ Orang Tua itu menyahut, “Di mana tak ada perempuan,

ke tempat itulah kita harus pergi”. Murid itu pun berkata kepadanya, “Tempat apa lagi yang

tak ada perempuannnya, kecuali gurun pasir?”. Dan Orang Tua itu berkata, “Bawa aku ke

gurun pasir”. Kisah itu diceritakan kembali oleh Peter Brown, gurubesar sejarah di

Princeton University, dalam The Body and Society, sebuah paparan penting tentang iman

dan seksualitas, ketika perempuan ditampilkan sebagai sumber godaan yang tak habis-

habisnya di masa awal agama Kristen — ketika seorang biarawati yang menepuk kaki bapak

uskup yang sepuh dan sakit sudah bisa dianggap merangsang untuk bersetubuh. Maka tak

mengherankan bila di Mesir masa itu ada seorang rahib yang mencelupkan jubahnya ke

bangkai seorang perempuan yang sudah membusuk; ia berharap, bau baseng itu tak akan

membuatnya mau berfantasi tentang wanita.

Bahkan ada seorang calon biarawan yang menggendong ibunya yang tua menyeberangi

sungai seraya membungkus tangannya dengan kain, sebab ia tak mau bersentuhan dengan

kulit ibunya sendiri. “Daging semua perempuan adalah api”.

Perempuan adalah api — daya yang bisa merusak, bagian dari “dunia”, begitulah waktu itu

ada petuah agama yang berkata. Wanita harus dijauhi dan dijauhkan. Ia tak termasuk “gurun

pasir”.

“Gurun pasir”, bentangan alam yang garang itu, waktu itu punya makna tersendiri. Gurun

pasir, dalam catatan Brown, “muncul sebagai tempat yang tak tertandingi dalam heroisme

Kristen”. Di sanalah laki-laki bisa hidup keras dan khusyuk melatih diri bebas dari nafsu

apapun. Dalam kekhusyukan itu, batas harus tegas antara “gurun pasir” dan “dunia”.

Maka ketika dunia diliputi “dosa”, di gurun itu — terbentang dari tepi Danau Maryût sampai

ke arah Iskandariah, terutama di Wadi Natrûn — tinggallah ratusan apotaktikoi, “para

penampik” yang tak menghendaki hidup dengan panca indera yang mencicipi nikmat bumi.

Page 284: catatan pinggir

Penampikan itu tentu saja akhirnya tak hanya terbatas di gurun pasir, dan juga tak hanya di

Mesir. Bahkan sejak abad ke-2, para alim Masehi memandang perempuan sebagai pangkal

kematian. Di bawah pengaruh ajaran Tatian, pelbagai kelompok Gereja Kristen Suriah

meyakininya.

…dan mereka bilang, Juru Selamat sendiri berkata: “Aku datang untuk membatalkan kerja

perempuan”… “Perempuan” di situ ditafsirkan sebagai hasrat seksual, “kerja” diartikan

kelahiran dan maut. Demikianlah dengan was-was komunitas Kristen yang terserak sampai

ke kaki-kaki bukit

Iran memandang “dunia”: kelahiran, perempuan, kematian. Tapi tak hanya mereka

sebenarnya. Juga dari sekitar gurun pasir Timur Tengah, agama Yahudi mengawali rasa was-

was itu. Aliran ortodoksnya menggariskan kol isha yang melarang lelaki mendengarkan

perempuan menyanyi.

Ada yang hanya mengharamkan mereka menyaksikan pertunjukan nyanyi yang “sugestif”..

Ada yang lebih ketat: mereka melarang lelaki mendengarkan suara perempuan bahkan dalam

rekaman. Dan tak cuma itu. Dalam komunitas Yahudi ortodoks zaman modern sekalipun,

perempuan tak boleh berbaju tanpa lengan, memakai blouse dengan potongan krah rendah.

Celana ketat dilarang. Lutut harus ditutupi. Halacha, syariat Yahudi, mengharuskan

perempuan yang sudah menikah menutup rambutnya…

Saya tak tahu, kenapa dari sekitar gurun pasir Tuhan bertitah agar perempuan diperlakukan

demikian. Kenapa di Bali, misalnya, tidak? Mungkinkah karena di sini tak berlaku paradigma

“gurun pasir”: para pertapa tak mengalami alam yang kosong dan garang, melainkan hutan

tropis yang semarak, gua yang dirias pohon dan rumpun, akar dan kembang, bunyi burung

dan biru gunung? Dengan kata lain: sebuah “dunia”, di mana yang indrawi tak ditampik,

hingga pertapaan bukianlah tempat apotaktikoi? Dalam cerita wayang, di situ malah lahir

ksatria Bambang Sumantri dan gadis Shakuntala.yang gemulai.

Apapun sebabnya, di kesunyian hidup brahmana dan resi tak tampak rasa was-was kepada

“dunia”, kepada perempuan. Di sana, tafakur adalah bersyukur.

Tapi itu dulu. Siapa tahu kita telah berubah, dan Tuan-Tuan Tangerang lebih suka paradigma

baru: “

padang pasir”..

Pilkada Juni 18, 2007

”You got to make it out of Badness…. And you know why? Because there isn’t anything else

to make it out of”

—Willie Stark, dalam All the King’s Men.

Sebuah pilkada, di sebuah musim yang gerah pada 32° C. Ekonomi muram dan timpang,

korupsi setengah bersembunyi, dan kemarahan si miskin setengah ditelan. Ini Louisiana

tahun 1930-an: hari-hari depresi, zaman hal-hal yang radikal berkecamuk, ketika Willie Stark

datang, berteriak, dan menang—seorang dengan niat baik yang bergelora dan akal yang

Page 285: catatan pinggir

brutal yang menjamah apa saja. Orang ini akhirnya mati ditembak seorang yang lurus hati,

tapi kematian itu tak menyebabkan apa yang kotor dalam proses politik tertebus.

Novel Robert Penn Warren, All the King’s Men, telah membuat cerita Willie jadi contoh

klasik tentang bagaimana politik, juga di sebuah demokrasi di Amerika Serikat, datang dari

harapan tapi bisa tak memungkinkan tumbuhnya harapan.

Willie dipilih dengan dukungan yang antusias. Ia dikenal sebagai seorang yang memprotes,

ketika sebuah gedung sekolah roboh. Ia orang berani yang menunjukkan bahwa pemerintah

daerah membuat bangunan itu dengan menunjuk seorang kontraktor yang curang. Semula

protesnya tak didengar. Tapi beberapa tahun kemudian, tatkala sebuah tangga kebakaran

roboh dan beberapa anak luka parah, orang ingat benarnya kata-kata Willie. Ia langsung jadi

tokoh yang diharapkan, dan sejumlah operator politik daerah menyiapkannya untuk jadi calon

gubernur.

Yang tak disangka-sangka para operator itu ialah bahwa Willie ternyata bisa tak tergantung

kepada mereka. Dengan keyakinan bahwa ia adalah si jujur yang berani bicara dan bertindak,

dengan kemampuannya memposisikan diri senasib sepenanggungan dengan para hicks yang

miskin dan dibohongi, ia bisa bicara langsung dengan orang ramai itu, memukau langsung

dan didukung langsung oleh mereka.

Dari politik populis ini Willie kian yakin akan keluhuran niat baiknya bagi orang banyak—

sebuah keyakinan yang begitu terang benderang hingga menyebabkan pandangnya silau.

”Cahaya terang yang menerpa matanya membutakannya,” kata Jack Burden, sang pembawa

cerita dalam novel ini. Kekuasaan dan keyakinan yang membuatnya jadi perkasa akhirnya

membuat Willie kebal, juga terhadap rasa sakit orang lain. Willie menyuruh Jack

membongkar masa lalu Hakim Irwin yang menentang rencana politiknya. Ketika Jack

berhasil menemukan sesuatu yang kotor di masa lalu itu, hakim tua itu bunuh diri.

Baru kemudian Jack tahu, Hakim Irwin adalah ayah kandungnya sendiri. Tapi anak muda ini

tak berhenti mengabdi pada Willie—bahkan ketika Willie mengambil Anna jadi gundiknya.

Anna gadis yang bagi Jack sejak masa sekolah telah membuat dirinya seperti diciptakan

kembali dari lempung.

Sepasang manusia telah membuat novel ini memukau secara muram. Keteguhan Willie untuk

tak tersentuh oleh rasa sakit orang lain bertaut dengan pandangan Jack tentang tak pentingnya

subyektivitas dalam laku dan pilihan moral. Anak muda yang pernah ingin menulis sejarah

hidup seorang tokoh ini pada perkembangannya percaya bukan kepada manusia, melainkan

kepada apa yang disebutnya the Great Twitch. ”Kedut agung” ini, dalam pandangannya,

adalah yang menentukan hidup. ”Semua kata yang kita ucapkan tak berarti apa-apa dan hanya

ada degup darah dan kedutan saraf, seperti kaki seekor katak yang mati di tempat eksperimen

ketika setrum listrik itu menjalarinya.”

All the King’s Men—jika novel yang ditulis seorang penyair ini agak disederhanakan—

adalah catatan yang memaparkan nyaris hilangnya harapan. Kedua tokoh utamanya berbicara

dan berlaku dengan keyakinan bahwa tak ada kapasitas manusia buat memihak Kebaikan, apa

pun maknanya. Jack, yang percaya akan kuasa ”the Great Twitch”, menafikan tanggung

jawab seseorang dalam perbuatan baik dan buruk.

Page 286: catatan pinggir

Ini tentu saja semacam nihilisme, tapi juga determinisme: nilai-nilai, seperti halnya bahasa,

dianggap tak berarti apa-apa, sebab manusia tak merdeka, sebab ia ditentukan oleh sesuatu

yang lebih besar ketimbang subyektivitasnya. Willie juga demikian: manusia ada dan tak bisa

bebas dari Keburukan. Badness, dan tak ada yang lain dari itu, mendasari semuanya. Dunia—

juga kemuliaannya—dibangun oleh manusia-manusia yang culas dan korup.

Dengan pandangan itulah politik mereka jalankan di Louisiana. Bisa dikatakan All the King’s

Men adalah sebuah gugatan kepada politik, juga politik demokratis, yang ternyata tak

membuat kehidupan bersama bebas dari nihilisme. Baru di akhir novel Willie Stark dalam

keadaan luka tertembak hampir mati berbisik kepada Jack bahwa keadaan sebenarnya bisa

diubah; dengan kata lain, saat itu ia ingin berbisik: manusia sebenarnya bisa memilih.

Jack sendiri akhirnya tahu: ada yang lebih tahan menggerakkan hidup ketimbang the Great

Twitch yang seperti mesin sejarah itu. Bukan rumusan baik dan buruk, bukan ajaran bukan

agama, melainkan sesuatu yang lebih awal ketimbang itu semua: ketika manusia ternyata bisa

menangis dan bertindak mengulurkan tangan ketika yang tak berdaya, yang kelaparan, yang

dipermalukan dan dihinakan terkapar di halaman.

Politik memang sering menganggap bela rasa itu hanya instrumen. Tapi ada selalu kebutuhan

praktis sebuah kota, sebuah polis, untuk terus-menerus melawan, mencegah, agar orang

seperti Willie Stark, yang hanya tertarik kepada dirinya sendiri dan hanya percaya akan

Keburukan, tak terus-menerus menguasai hidup dan percakapan. Di situ politik berarti sebuah

kerja, ketika engkau mengajakku memulihkan kembali harapan: meskipun Kebaikan tak

selamanya jelas, Keburukan bukanlah dasar segalanya.

~Majalah Tempo Edisi. 17/XXXIIIIII/18 – 24 Juni 2007~

Pintu Desember 7, 2009

Mereka saling tak kenal, tapi masing-masing mereka berjalan ke sebuah pintu yang jauh. Ada

seorang perempuan tua yang memetik tiga butir biji kopi di perkebunan negara. Ada seorang

lelaki setengah baya yang mengambil dua batang ketimun di kebun orang. Ada seorang

perempuan yang dituduh memfitnah karena mengeluh di surat kabar sore kota itu.

Mereka berjalan dari sudut-sudut yang tak dekat. Ketika mereka tiba di gerbang yang

berbeda-beda itu, masing-masing dicegat penjaga.

”Mau ke mana?” tanya juru pintu.

”Ketemu Hukum,” sahut mereka, sebuah jawaban yang sama, dengan logat yang berbeda-

beda, di tempat yang berjauhan.

”Belum boleh masuk,” kata sang penjaga.

Sebelum saya lanjutkan, para pembaca tentu tahu, saya sedang meminjam dari Kafka untuk

cerita ini; maksud saya, saya akan memakai—dengan diubah di sana-sini—parabelnya yang

ganjil dan muram, Vor dem Gesetz (”Di Depan Hukum”), karena meskipun ditulis di Praha di

awal abad ke-20, kali ini rasanya ia diceritakan untuk kita.

Page 287: catatan pinggir

Di depan Hukum, pintu terbuka, tapi perempuan itu, tak bisa melangkah masuk. Ia mencoba

melihat sedikit ke dalam, tapi mengurungkan niatnya, ketika penjaga pintu itu berkata:

”Kalau kamu ingin masuk, meskipun sudah aku larang, silakan saja. Tapi di balik pintu ini

ada pintu lain, dan di baliknya lagi, ada pintu lagi, demikian seterusnya. Tiap pintu ada

penjaganya, yang makin lama makin perkasa dan makin angker. Bahkan di pintu ketiga saja,

si penjaga begitu rupa wajahnya hingga aku sendiri tak berani melihat.”

Perempuan itu diam. Si penjaga menerima suap, dengan alasan: ”Supaya nyonya tak merasa

ada yang ketinggalan,” tapi perempuan itu memutuskan akan menunggu saja. Ia pun duduk di

depan pintu. Dan ia duduk di sana bertahun-tahun, hingga ia hafal bagaimana gerak tangan

penjaga itu menabok nyamuk, membersihkan kutu. Ia bahkan hafal berapa ekor kutu tiap hari

naik ke topi itu.

Sampai akhirnya perempuan itu tua, rabun, dan mati.

Tapi beberapa saat sebelum mati, ia melihat seberkas cahaya bersinar dari bagian dalam

gerbang. Hanya sebentar. Ketika dengan kupingnya yang besar si juru pintu menangkap

bunyi napas itu melemah, ia pun mendekat. Ia berdiri mengangkangi jasad si nenek yang

tergolek. Pada detik-detik terakhir, masih didengarnya bisik itu bertanya: ”Tuan, katakan,

kenapa selama bertahun-tahun ini, tak ada orang lain yang datang kemari? Kecuali saya?”

Penjaga itu melepaskan topinya sebentar, membersihkannya dari kutu No. 72, dan menjawab:

”Orang lain tak ada yang kemari, karena pintu ini memang dibuat hanya untuk kamu.”

Dan ajal pun menjemput perempuan yang datang dari jauh beberapa puluh tahun yang lalu

itu. Dan pintu itu ditutup.

Siapa penjaga itu gerangan? Adakah ia aparat penghambat untuk membuat Hukum, yang

ditulis dengan huruf ”H”, merupakan sesuatu yang melarang dan sekaligus terlarang—

semacam firman suci yang bilang ”jangan” dan seketika itu jadi kata-kata yang tak boleh

disentuh?

Ataukah ia bagian dari façade yang menyembunyikan rahasia bahwa Hukum sebenarnya tak

pernah ada?

Perempuan itu memutuskan tak jadi masuk. Ia hanya menunggu. Menunggu. Entah sabar atau

gentar, entah tawakal atau putus asa. Kita tak tahu sudah pernahkah ia dinyatakan bersalah

sebelum datang ke sana. Kita tak tahu merasakah ia bahwa dirinya tak layak, hingga tanpa

digertak lebih lanjut, ia patuh. Yang kita tahu: dilakukannya itu dengan kemauan sendiri.

Tapi mungkin ia sebenarnya tak bebas. Menunggu adalah sebuah situasi antara bebas dan tak

bebas—terutama menunggu Hukum, yang ditulis dengan ”H”.

Tapi mungkin juga perempuan itu telah terkecoh. Ia menyangka Hukum adalah Keadilan.

Sangkaannya berlangsung sampai akhir: ia melihat (tapi benarkah ia melihat?) berkas cahaya

yang sejenak itu, dan barangkali merasa diyakinkan bahwa di balik itu ada Keadilan itu

sendiri.

Tapi Hukum tak identik dengan Keadilan.

Page 288: catatan pinggir

Hukum bahkan ruang tertutup, dan Keadilan tak selamanya betah di dalamnya. Dalam novel

Kafka, Der Proseß, ada tokoh, Titorelli namanya, seorang perupa yang aneh, yang

menggambar Keadilan dengan sayap pada tumit kaki. Keadilan selamanya akan terbang dari

satu tempat yang terbatas, terutama ketika hukum merasa jadi Hukum, begitu angkuh, kukuh,

dan kaku, bahkan akhirnya jadi bagaikan berhala yang membuat manusia jeri. Berhala:

patung bikinan manusia yang disembah manusia—seakan-akan benda itu bebas dari tangan

manusia, seakan-akan ada roh di dalamnya, atau seakan-akan ia bisa mewakili sang roh

seutuhnya. Padahal mustahil. Sebab itu ada selalu akan datang para ikonoklas, yang dengan

niat baik memperingatkan: berhala hanyalah berhala. Hukum hanya hukum. Yang

transendental tak ada di sana. Dan para ikonoklas pun akan menetakkan kapak ke batu atau

kayu atau logam itu….

Jika Keadilan adalah sesuatu yang transendental, memang mustahil ia diwakili oleh hukum

yang disusun di ruang para legislator, dicoba di depan mahkamah, dan dijaga jaksa dan polisi

dengan sel-sel penjara yang sumpek. Sesuatu yang transendental bukan produk dari dunia ini,

meskipun ia meraga—dari kata ”raga”—di dunia.

Perempuan itu mungkin telah terpengaruh oleh ideologi yang bertahun-tahun mengatakan

bahwa Hukum justru sesuatu yang harus angker, mengandung misteri, hingga tak mudah

dimasuki.

Atau jangan-jangan karena cerita ini tak berasal dari Indonesia, melainkan dari sebuah negeri

tempat hukum dibuat oleh Negara yang dibayangkan Hegel, dengan rasa kagum kepada

Republik Plato: sebuah kesatuan politik, etik, hukum, dan budaya yang utuh. Tapi bagi kita di

Indonesia, apa yang bisa dikatakan tentang ”Negara”, selain sebagai lapisan penjaga pintu

yang jangan-jangan hanya menjaga sesuatu yang praktis kosong, karena tak jelas? Menjaga

”Hukum”, yaitu ketidakpastian?

~Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Desember 2009~

Pizarro Desember 22, 2008

Posted by anick in Agama, All Posts, Kisah, Tokoh, Tuhan.

trackback

DI abad ke-16 ada cerita tentang Tuhan yang aneh. Mungkin ia bukan yang disebut Yesus,

yang digambarkan sebagai bayi dengan ibu yang lembut hati di tiap hari Natal. Tapi apa arti

sebuah nama? Seperti nama Tuhan yang mana pun, pada akhirnya manusialah yang memilih

bagaimana memanggil-Nya dan bagaimana Ia dihadirkan untuk memenuhi kehendak di

dunia.

Itulah riwayat Francisco Pizarro di Peru. Saya akan menceritakannya dengan sedikit

imajinasi.

Pada 1532, perwira Spanyol itu masuk ke wilayah Inca di Amerika Selatan itu dengan 102

orang pasukan dan 62 ekor kuda. Dengan kemauan dan keberanian yang luar biasa opsir

Spanyol itu mengarungi Atlantik, dan tatkala mendarat ia temukan orang-orang kufur, najis,

biadab, sesat. Sebuah alasan yang cukup bagi tiap laskar Tuhan, yang melangkah di atas jalan

lurus yang ditunjukkan agama untuk menghabisi nyawa beberapa ribu orang.

Page 289: catatan pinggir

Syahdan, di lapangan di pusat kota Cajamarca, telah menunggu Atahualpa, raja bangsa Inca.

Ia di sana bersama ribuan hamba sahaya dan pengawal. Ada yang mengatakan, mereka

sebenarnya siap berperang.

Orang-orang Spanyol berpura-pura tidak. Pertemuan dibuka oleh Frater Vicente, rohaniwan

yang datang bersama para conquistador itu. Ia mengulurkan sebuah salib di tangan kanan dan

sebuah buku doa di tangan kiri. Ia memperkenalkan diri sebagai, sebagaimana Pizarro, utusan

Raja Spanyol yang dia sebut sebagai ”sahabat Tuhan”. Ia mengimbau orang Inca agar

meninggalkan dewa-dewa mereka.

Dalam catatan yang ditemukan kemudian, disebutkanlah Atahualpa menjawab bahwa ia tak

dapat mengubah imannya kepada Sang Surya yang abadi. Tapi bagi Vicente itu berarti sesat.

Hanya Tuhannya yang benar dan kekal.

Maka Atahualpa pun bertanya: ”Apa gerangan kewenangan Tuan atas agama Tuan?”

”Semuanya tertulis di kitab ini,” sahut sang rohaniwan.

”Berikanlah kitab itu,” kata Atahualpa, ”agar ia bicara padaku.”

Tapi tentu saja buku itu tak bicara, meskipun dicoba didengarkan di dekat kuping. Dan tanpa

beranjak dari takhta, dengan gerak yang angkuh, yang dipertuan Inca itu membuang kata-kata

suci yang tercetak itu ke tanah.

Vicente berteriak: ”Ia melawan Kristen!”

Maka Pizarro dan seorang letnannya pun menjalankan apa yang sudah direncanakan. Mereka

teriakkan perintah menyerang. Prajurit-prajurit Spanyol menembakkan bedil harquebusier

dan dua kanon kecil mereka ke arah kerumunan orang kafir itu.

Menurut catatan orang Spanyol, orang-orang Inca yang tak pernah menghadapi senjata itu

terkejut, panik, menghambur hendak lari. Tapi pasukan berkuda Pizarro menyerbu. Ribuan

manusia itu berdesak-desak, dan tembok plaza itu runtuh, dan 1.500 orang mati terinjak-

injak.

Atahualpa ditangkap. Beberapa bulan lamanya ia jadi sandera. Ia akhirnya menawarkan emas

untuk memperoleh kebebasannya, dan Pizarro setuju. Orang Spanyol ini menerima 6.000

kilogram emas 22 karat dan 12.000 kilo perak murni. Tapi Atahualpa tetap dikurung. Pada

akhirnya ia dituduh mencoba, dari tempat ia ditahan, memerintahkan agar orang Spanyol

dibunuhi. Tak ayal, ia dijatuhi hukuman mati. Tapi seraya mengingat Tuhan yang

diimaninya, Pizarro memberi raja Inca itu dua pilihan: ia akan dibakar hidup-hidup bila

menolak Yesus, atau ia akan hanya mati dicekik bila bersedia berpindah agama.

Raja Inca yang kalah itu akhirnya tak ingin tetap jadi seorang kafir dan memilih cara

pembunuhan yang kedua. Ia dicekik. Ia dikebumikan di pekuburan Kristen di Cajamarca.

Pizarro berhasil.

Page 290: catatan pinggir

Tapi yang penting dalam tiap cerita penaklukan bukanlah keberhasilan. Seandainya pun

Pizarro gagal, ia tetap menunjukkan bahwa Tuhan ada bersama para penakluk—sebab di sini

Tuhan hadir sebagai ”Aku” yang menaklukkan.

Siapa pun nama-Nya.

~Majalah Tempo Edisi 22 Desember 2008~

Pleonoxia Oktober 13, 2008

Posted by anick in All Posts, Ekonomi, Kapitalisme, Tokoh.

trackback

Apa gerangan yang akan dikatakan pangeran Jawa yang meninggalkan istana itu, Ki Ageng

Suryomentaram, seandainya ia hidup pada hari ini? Seandainya ia berjalan di Sudirman

Business District, Jakarta, antara Pacific Place yang memamerkan benda-benda mentereng

dan ruang BEJ di mana harga saham rontok, para pemilik dana panik, dan di langit-langitnya

bergaung rasa cemas?

Mungkin inilah yang akan kita dengar dari Ki Ageng: ”Yang menangis adalah yang

berpunya. Yang berpunya adalah yang kehilangan. Yang kehilangan adalah mereka yang

ingin.”

Tapi mungkin tak seorang pun akan memahaminya.

Ia memang lain. Ia lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogyakarta. Ia pangeran ke-55 di

antara sederet putra Sultan Hamengku Buwono VII. Ibunya seorang garwa ampilan. Pengeran

kecil ini bersekolah di Srimenganti, yang dikelola istana. Pendidikan formalnya tipis, tapi ia

berbahasa Belanda dengan baik, dan kemudian belajar bahasa Arab dan Inggris. Dan ia

membaca.

Pada umur 18 ia jadi Pangeran, dengan gelar ”Bendara Pangeran Harya Suryomentaram”.

Kita tak tahu bagaimana hidupnya pada masa itu, tapi ada sebuah kejadian yang membuat

masa depannya berubah.

Dalam sebuah tulisan yang dimuat jurnal Archipel (nomor 16, tahun 1978), Marcel Boneff

menceritakan kembali kejadian itu. Pada suatu hari, dalam perjalanan ke sebuah pesta

perkawinan di Keraton Surakarta, dari jendela kereta api sang Pangeran melihat ke luar. Di

bentangan sawah, sejumlah manusia berkeringat, bersusah payah, mencari sesuap nasi.

Sementara itu di gerbong itu ia duduk dengan megah dan nyaman: kenikmatan yang

diperolehnya semata-mata karena ia dilahirkan di suatu tempat yang tak harus diraih. Bisakah

ia berbahagia?

Sejak itu Suryomentaram mempertanyakan hal yang oleh orang lain didiamkan: arti benda

bagi hidup, arti punya bagi manusia.

Dalam bahasa Jawa ada dua kata yang hampir mirip, milik dan mélik. Yang pertama berarti

”punya” atau ”harta”. Yang kedua berarti ”keinginan yang cemburu untuk mendapatkan

sesuatu”.

Page 291: catatan pinggir

Kini milik begitu penting dan mélik dilembagakan sebagai perilaku yang wajar; keduanya

dianggap bagus buat pertumbuhan ekonomi. Dan jika dari kesibukan dengan milik dan mélik

itu lahir sifat tamak, Sudirman Business District adalah saksinya. Di sini bergema kata-kata

Walter Williams, ekonom dari George Mason University, tentang the virtue of greed:

”Sebutlah itu tamak, atau egoisme, atau kepentingan diri yang tak sempit, tapi akhirnya

motivasi inilah yang membuat hal ihwal jadi”.

Mungkinkah itu sebabnya ”pasar”—yang digerakkan milik dan mélik—tak mudah

ditertibkan oleh Negara? Bank sentral dan kementerian keuangan di seluruh dunia bergerak.

Mereka hendak membendung arus jatuh pasar saham, yang makin mempengaruhi

perekonomian secara keseluruhan. Tapi sejauh ini sia-sia. Sejauh ini tampak bahwa Negara,

yang bekerja untuk kepentingan umum, tak berdaya menghadapi pasar yang tamak yang tak

mengacuhkan res publica.

Yang tak selamanya disadari adalah cepatnya gerak milik dan mélik pada zaman ini. Bersama

cepatnya alir kekayaan dari tempat ke tempat—ya, itulah globalisasi—terjadilah akselerasi

hasrat. Kepuasan akan satu benda dengan segera dihapus oleh hasrat baru. ”Benda”—yang

telah berubah jadi komoditas—kini jadi lambang ke-baru-an. Maka ada orang yang punya 10

mobil Jaguar: ketika puas hilang, satu Jaguar lagi terbilang. Terus-menerus.

Menyimpan akhirnya jadi tak menarik. Masa depan, ditandai dengan yang ”baru”, jadi kian

cepat tiba. Menabung kehilangan alasannya. Kapitalisme zaman ini makin mengukuhkan

dalil Leon Levy (”investor genius dari Wall Street”, kata majalah Forbes), bahwa ”tiap satu

persen tabungan naik di masyarakat, laba perusahaan akan turun 11 persen”.

Ada yang patologis dalam gejala itu. Kita hidup dengan ”pleonoxia”, penyakit jiwa yang

didera keinginan segera mendapatkan lagi, lagi, lebih, lebih.

Itu sebabnya saya teringat Ki Ageng Suryomentaram. Apa gerangan yang akan

dikatakannya? Pada masa hidupnya, ia tauladan. Ia melihat bagaimana pleonoxia datang

setapak demi setapak. Pangeran itu mencegahnya dengan drastis: ia meninggalkan keraton.

Sebelum umurnya 30, ia mengajukan surat agar gelar Pangerannya dibatalkan. Salah satu

bangsawan terkaya di Yogyakarta ini pun memberikan mobilnya kepada sopirnya,

menyerahkan kuda-kudanya kepada pekatiknya. Lalu ia berangkat ke arah Banyumas. Ia

memakai nama ”Notodongso” dan praktis menghilang. Ketika Raja menyuruh orang mencari

putranya yang ganjil ini, mereka menemukannya di Kota Kroya: sedang menggali sumur.

Apa yang dicarinya? ”Suprana-supréné, aku kok durung tau kepethuk wong,” konon

begitulah yang dikatakannya. ”Selama ini, aku belum pernah berjumpa manusia.” Ia tahu,

manusia lebur di antara milik dan mélik.

Syahdan, ia pun memilih hidup sebagai petani di Dusun Bringin. Orang melihatnya selalu

hanya memakai kathok pendek hitam, tak bersandal. Di lehernya terkalung sehelai batik

bermotif parang rusak barong yang konon melambangkan resistansi. Mungkin dengan itulah

manusia muncul, kadang-kadang: dalam menampik tamak, ia mencintai hidup dengan cara

sederhana, menghargai liyan dengan mulut membisu.

Syahdan, pada suatu hari ia hendak pergi naik bus. Menjelang masuk, seorang penumpang

lain yang menyangka Suryomentaram seorang kuli menyerahkan sebuah koper agar diangkat.

Page 292: catatan pinggir

Dengan patuh Ki Ageng meletakkannya di dalam bus— dan segera setelah itu, ia turun lagi.

Ia membatalkan pergi. Ia tak ingin penumpang tadi jadi malu, telah salah menyuruhnya.

Begitu merendah—seorang yang tak akan kelihatan dari lantai tinggi Sudirman Business

District, seorang yang seakan-akan menunjukkan: ”Lihat, tanganku di dekat akar rumput.

Lebih banyak yang bisa kita sentuh. Lebih banyak ketimbang yang bisa kau rengkuh.”

~Majalah Tempo Edisi 34/XXXVII 13 Oktober 2008~

Po Kyin Oktober 15, 2007

Posted by anick in All Posts, Buku, Fasisme, Identitas, Novel, Tokoh.

trackback

Apati adalah produk samping kolonialisme yang menyebabkan kemerdekaan dianggap keliru.

Mungkin bukan hanya penindasan orang asing yang jadi soal—melainkan kombinasi antara

bedil, bui, dan bujukan yang efektif, sesuatu yang dulu terjadi di Burma, dan sekarang terjadi

lagi.

Saya teringat U Po Kyin. Lelaki berperut buncit dalam novel Orwell Burmese Days ini

memang tak mudah dilupakan: ia adalah kekejian yang turun ke bumi di sebuah negeri panas

yang tak bisa berharap. Ia menipu, ia memperkosa, ia merancang untuk menghancurkan

orang yang didengkinya, dan ia ingin memperoleh semuanya—juga surga.

Novel ini dibuka dengan adegan ketika Po Kyin, hakim peradilan rendah di Kota Kyauktada,

Burma Utara, sedang duduk di beranda rumahnya. Hari baru setengah sembilan pagi, tapi

langit warna biru laut yang segera mendatangkan tengah hari yang panjang dan gerah. Tapi U

Po Kyin, seperti patung dewa dari porselin, tak bergeming.

Tubuhnya begitu gemuk hingga dalam umur 56 tahun itu ia tak bisa bangkit dari kursinya

tanpa ditolong. Kepalanya gundul, raut mukanya luas, warna kulitnya langsat dan tak

berkerut. Tungkai kakinya tambun, dengan jari-jari yang rata panjangnya. Ia mengenakan

sarung longyi dari Arakan, bergaris-gars hijau dan magenta, yang biasa dipakai orang Burma

untuk acara tak resmi. Mulutnya sibuk mengunyah gambir yang diambilnya dari kotak kayu

dipernis di meja dekatnya.

Ia, U Po Kyin, sedang merenungkan nasibnya yang baik.

Suksesnya dimulai dengan sebuah keputusan ketika ia masih seorang anak yang terkesima

melihat pasukan Inggris berbaris masuk penuh kemenangan ke Kota Mandalay. Memandang

barisan laki-laki bermuka merah dan berseragam merah itu, yang menyandang senapan

panjang di pundak dan melangkah dalam derap yang berat tapi berirama, ia lari.

Kesimpulannya: manusia yang baru datang itu tak akan terkalahkan. Dan Po Kyin kecil pun

bertekad untuk bergabung dengan bangsa itu, nanti bila ia besar. Ia tak hendak memihak

Burma yang kalah.

Pada umur 17 ia mencoba jadi pegawai gubernemen, tapi gagal. Ia miskin dan tak punya

koneksi. Maka tiga tahun lamanya ia bekerja di lorong-lorong pasar Mandalay yang apak dan

bacin, jadi kerani saudagar beras, seraya sekali-sekali mencuri. Pada umur 20 ia dapat 400

Page 293: catatan pinggir

rupiah gara-gara memeras kecil-kecilan, dan dengan uang itu ia berangkat ke Rangoon. Di

ibu kota itu ia berhasil menyuap untuk masuk jadi kerani pemerintah.

Pekerjaan itu memberinya penghasilan yang mudah, meskipun gajinya kecil. Ia menilap

banyak barang dari gudang gubernemen. Tapi nasib terbaiknya datang kemudian: sebuah

lowongan terbuka dan ia berhasil memfitnah pesaing-pesaingnya, yang kebanyakan masuk

penjara, dan dengan itu ia naik.

Kariernya meningkat. Ia akhirnya dapat jabatan hakim peradilan rendah Kota Kyauktada,

dengan sikap adil yang terkenal tapi sebetulnya menyembunyikan sesuatu yang licik: Po Kyin

akan menarik suap dari kedua pihak yang berperkara, dan kemudian memutuskan

berdasarkan hukum yang ada.

Kejahatan orang ini tak hanya sampai di situ, dan saya kira Orwell sedikit berlebihan

menampilkan tokoh yang begitu busuk dalam novelnya. Tapi ini bukan kisah tentang Po

Kyin. Novel ini membidikkan kata-katanya ke sebuah masyarakat yang sakit oleh

kolonialisme—dibelah oleh prasangka dan kebencian rasial, yang pada akhirnya merupakan

garis kebijakan penjajahan juga. Bila ambisi Po Kyin adalah ingin jadi anggota Klub Eropa—

yang anggotanya khusus orang kulit putih atau orang lain yang dianggap setara—kita tahu

sebabnya: diskriminasi dan penghinaan karena warna kulit telah menyusup sampai ke tulang

sumsum siapa saja.

Bahkan mereka yang sebenarnya jadi korban penghinaan itu sendiri mereproduksinya dalam

hidup mereka. Po Kyin akan menghalalkan tindakan apa saja—menghasut, membuat

kerusuhan, memfitnah—untuk dapat disetarakan dengan orang putih di Klub Eropa. Dr

Veraswami, orang India berkulit gelap itu, mengukuhkan supremasi orang Inggris dengan

menganggap bahwa manusia Timur tak akan tertolong tanpa Pax Britanica. Ketika

sahabatnya, Flory, satu-satunya orang Inggris yang dengan mata nyalang melihat akibat

buruk kolonialisme, Veraswami justru membantahnya. ”Lihat Burma di zaman Thibaw,”

katanya, ”dengan kotoran, penyiksaan dan kebodohan, dan lihat apa yang tampak sekarang di

sekitar tuan. Rumah sakit, sekolah, kantor polisi….”

Bagi Po Kyin dan Veraswami, kolonialisme dan penghinaan mereka perlukan. Bagi orang

macam mereka, kemerdekaan tak pernah terpikirkan, sebab mereka tak merasa membutuhkan

sebuah keadaan yang lebih adil, meskipun sebenarnya ketidakadilan mengepung hidup

mereka. Mereka bebas dari bedil dan bui, tapi mereka menyerah ke dalam bujukan yang

menjebak mereka, bahwa bangsa mereka ditakdirkan kalah. Apati yang menang—itu bahkan

terasa dari tangan Orwell ketika ia menggambarkan bangsa yang terjajah itu: tak ada

perlawanan.

Tapi mungkinkah apati bisa bertahan? Yang terjadi di Myanmar hari-hari ini menjawab:

tidak.

~Majalah Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 – 21 Oktober 2007 ~

Pohon Januari 19, 2009

Posted by anick in All Posts, Pepeling.

trackback

Page 294: catatan pinggir

Di separuh Bukit Pasir Tengah di atas Dusun Sarongge, hutan jadi monoton. Pohon-pohon

kayuputih menguasai area. Batang mereka yang lurus menjulang bisa sampai 15 meter,

berjajar rapi, masing-masing dengan kulit yang seakan-akan jangat telanjang yang di sana-

sini terkelupas.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Di bawahnya: hamparan perdu daun wortel. Bumi dibudidayakan dengan telaten di lereng ini.

Dari pucuk bukit, sesekali terdengar deru beberapa sepeda motor tua yang datang untuk

mengangkut hasil bumi itu, tak hendak terhambat oleh jalan mendaki yang buncah dan

bongkah karena deras hujan. Tak lama lagi para pengendaranya akan turun, dengan mesin

yang dimatikan, nekad tapi tangkas seperti pemain sirkus, ke arah tempat pengumpulan di

bawah, melalui ladang cabai dan bawang-daun, melintasi tenda-tenda putih yang melindungi

perkebunan strawberry.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Ekonomi bergerak di kesepian ini. Para petani bekerja dan hidup. Tanah adalah nafkah.

Pohon adalah bagian dari proses produksi manusia. Sebuah perusahaan negara telah

mengubah bukit dan hutan tropis ini untuk maksud itu, dengan perspektif itu.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Tapi hanya beberapa hektar di sebelah sana, tampak lanskap yang berbeda: sisi bukit yang

belum disentuh. Hutan masih penuh ragam dan masih gelap lebat. Batang-batang rasa mala

dan mahoni, suren dan puspa, tampak menongol dengan pelbagai derajat warna, nuansa

coklat-abu-abu-hjiau, bertaut dengan belukar yang tak tepermanai yang mungkin bermula di

zaman purba.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Seorang polisi hutan mengatakan, bahkan di bagian bukit itu masih hidup sekitar 60 ekor

harimau. Di situ manusia belum berdaulat. Pohon-pohon masih punya hayat dan riwayatnya

sendiri.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Dengan sekali pandang, kita memang akan menyaksikan dua sisi tanah tinggi dan kehidupan.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Yang satu disebut secara resmi sebagai “hutan industri”, yang sebenarnya adalah “kebun” –

sesuatu yang telah diolah, tempat di mana alam rapi dan jinak, atau, dalam kata-kata Penyair

Hölderlin, “di mana alam hidup dengan sabar dan mrumah” (häuslich).

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Yang lain, yang di sebelah sana: pohon-pohon yang — seperti pokok eik yang disanjung sang

penyair –- mengorak tanpa dikelola “sekolah manusia”,

Page 295: catatan pinggir

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

… mendesak maju dengan gembira dan bebas, dari akar yang kukuh, saling berjalin,

mencengkeram ruang, dengan lengan perkasa, seperti elang menangkap mangsa…

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--><!--[endif]-->

Kontras antara “kebun” dan “pohon eik” dalam sajak Die Eichbäume itu – yang

diterjemahkan seorang teman Jerman buat saya – memang sebuah kiasan dari masa ketika

sang penyair akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 itu, dalam hidupnya yang menyendiri,

merindukan kemerdekaan. Hanya dengan kebebasan, katanya, ia tak akan menampik das

gesellige Leben, hidup yang asyik nyaman beramai-ramai.

Kini kita hidup di masa yang berbeda, di negeri yang berbeda. Tapi tampaknya kita belum

bisa melepaskan hasrat itu: tak hendak menyerah kepada persetujuan orang banyak yang

hanya tunduk kepada pasar, seperti disentuh Hölderlin dalam sajaknya Menschenbeifall,

(“Persetujuan Orang-orang”). Pasar dan demokrasi memang menjurus ke arah penciptaan

“kebun” ketimbang pohon-pohon yang, seperti pokok eik “tegak, bagaikan para titan”. Tapi

haruskah hidup jadi seluruhnya sebuah hutan industri?

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Hari itu saya, bersama sekitar 80 orang relawan, menanam tunas yang berbeda ke celah-celah

pohon kayuputih – sebuah tindakan yang kami anggap memberikan sebuah alternatif. Tapi

tunas yang berbeda itu bukanlah tunas yang ganjil, yang tak pantas di kawasan itu, bukan

pohon-pohon yang “eksotik”, kata petugas Departemen Kehutanan itu, melainkan yang

“endemik”. Para petani pada akhirnya tak hanya akan hidup dengan pohon-pohon yang

produktif, tetapi sesuatu yang tak produktif — sesuatu yang jauh dari fleissigen Menschen,

“manusia yang bekerja keras untuk hasil”.

Yang tanpa hasil, yang tak produktif, yang tak jelas tujuannya …..Tapi justru “kontra-guna”

itulah yang jadi “guna” ketika jarak antara produksi dan destruksi begitu dekat, ketika hutan

tropis yang menakjubkan itu kehilangan diversitasnya, ketika bumi yang tua itu tak lagi

menyimpan cukup air.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Kini keindahan lembah dan bukit hijau bukan lagi masalah estetik. Ia jadi masalah ethik:

bagaimana saya bersikap ke dunia, ke orang lain, dengan kehendak untuk tak

menghancurkan. Pada gilirannya ia jadi masalah politik. Kehendak untuk menyelamatkan

mau tak mau akan melibatkan orang lain, kekuasaan, dan juga harapan yang mungkin dan tak

mungkin, yang harus dijangkau bersama.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Pohon tegak, “masing-masing bagaikan dewa, dalam sebuah aliansi merdeka”, kata

Hölderlin. Seandainya sang penyair pernah melihat sebuah hutan tropis, (bukan hutan

Jerman), ia mungkin tak akan bicara tentang pohon yang tampak berdiri “masing-masing”. Di

Page 296: catatan pinggir

hutan tropis bukit ini, pohon-pohon saling merapat, terkadang bertaut, semua bergerumbul

dengan semak dari jenis dan zaman yang berjauhan. Di bagian bukit ini Hölderlin tak akan

melihat keterpisahan, bukan hanya dalam ruang, tapi juga waktu.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Manusia tak bisa sebagai dewa ketika membentuk aliansi merdeka – sebab aliansi itu bukan

hanya dengan yang hadir hari ini. Ketika saya menanam tiga tunas rasamala, saya diingatkan

bahwa baru lebih 30 tahun kemudian pohon itu akan setinggi lima meter. Saya tak akan

melihatnya.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Sesaat saya tertegun: jika ada yang berharga dalam apa yang kami lakukan di bukit di

pedalaman Cipanas itu, maka itu adalah membuat sesuatu yang bukan untuk diri sendiri.

Calon pohon-pohon itu mempertautkan mereka yang akan hidup dengan kami yang akan

mati, terbenam seperti humus, dilupakan.

~Majalah Tempo Edisi 19 Januari 2009~

~dengan revisi dari penulisnya~

Politesse Juli 27, 2009

Posted by anick in All Posts, Demokrasi, Indonesia, Politik.

trackback

Di sebuah TPS, pada pukul 9 pagi: para tetangga datang, saling menyapa, saling senyum,

bercakap-cakap agak lirih, duduk menunggu dengan tertib, kemudian bergiliran masuk ke

ruang kotak suara, mencontreng, mencelupkan jari ke tinta hitam, lalu melangkah ke luar,

menyambung senyum dan percakapan, tentang tetangga yang sudah pindah, tentang anak

yang baru menikah, tentang selokan yang belum diperbaiki, tentang segala hal—kecuali

tentang partai atau tokoh yang telah dan akan dipilih hari itu.

Politik: apa gerangan ia sebenarnya? Di TPS itu tak ada gelora yang berapi-api. Para militan

dan partisan sedang mengubah diri jadi warga RT (jangan lupa, artinya, ”Rukun Tetangga”).

Politik seakan-akan berhenti jika politik, (das Politische, kata Carl Schmitt) adalah sebuah

arena kekuasaan, sengketa, dan antagonisme. Tapi benar kah?

Berhari-hari sebelumnya kampanye memang menderu seganas deretan panser dalam perang

yang, dengan bendera yang angkuh, menembakkan kata-kata yang ingin menghancurkan.

Tapi pada hari itu, di TPS itu, para tetangga yang bertentang an dalam menentukan pilihan

dengan serta-merta tampak jinak: orang-orang yang saling mengucapkan selamat pagi.

Mereka seperti saling mengerti: pilihanmu adalah pilihanmu, pilihanku pilihanku. Nanti,

menjelang sore hari, mereka akan dengan tegang menanti hasil penghitungan suara, tapi

setelah itu….

Beberapa minggu kemudian anggota DPR ditentukan, presiden dan wakil pre siden dilantik.

Dan segera setelah itu tak terasa lagi kemeriahan, greget, dan semangat.

Page 297: catatan pinggir

Ada yang menyambut hilangnya gairah yang berapi-api itu sebagai tingkat matang demokrasi

sebuah kebajikan. Ada yang menunjukkan bahwa ajang politik memang bukan medan

tempur. Bagi mereka ini, politik berbeda dari polimos atau perang. Politik, bagi mereka ini,

adalah ruang kemerdekaan dan partisipasi publik. Di sana orang ramai membahas,

menimbang, dan memutuskan nasib bersama. Dengan kata lain, di TPS itu tampak, apa yang

”sosial” dalam hidup manusia ternyata tak dihabisi oleh ”politik”bahkan sebaliknya.

Tapi ada yang menganggap itu hanya façade. Antagonisme memang bisa ditutup-tutupi oleh

proses politik sebagai Politesse. Dipergunakan oleh Schmitt, istilah itu menyarankan sebuah

laga yang sengit tapi sopan. Tapi bagi Schmitt dan para teoritisi politik yang sepaham, politik

tak sama dengan pertandingan Manchester United vs Chelsea. Sebuah masyarakat dan sebuah

bangsa terbentuk dari luar dan dari dalam oleh konflik. ”Saya menegaskan, politik dan

polimos berjalan bergandeng an,” kata Chantal Mouffle.

Tapi jangan-jangan tak begitu sebenarnya, dan barangkali kita di sini bertemu dengan sebuah

hiperbol. Dalam pengamatan sehari-hari, politik tak hanya bergandeng an dengan polimos.

Pada akhirnya Mouffle sendiri mengatakan, berbeda dari Schmitt, ia mengakui perlunya

”pasifikasi”: tujuan demokrasi adalah memungkinkan bentuk-bentuk yang bisa

mengekspresikan konflik tanpa menghancurkan asosiasi politik.

Di TPS itu, senyum dan percakapan ikut membangun proses sederhana yang mengelakkan

sikap saling menghancurkan. Bahkan seakan-akan tempat itu jadi tempat silaturahmi atau

bertandang—meskipun kita tahu, dan orang pun akhirnya mengerti, ada yang tak selamanya

tuntas dalam Politesse. Selalu ada residu dari apa yang brutal dalam politik, selalu masih ada

amarah yang tersisa dan dendam yang tersekat di saat para musuh politik berjabat tangan.

Betapapun berlebih-lebihannya gambaran politik sebagai arena pertempuran, pengalaman

sejarah memang tak pernah menghadirkan sebuah masyarakat yang utuh penuh. Keragaman

tak hanya bisa tampak bagai variasi, tapi juga sebagai pertikaian, bahkan perpecahan.

Manusia bisa rasional, dan itulah dasar yang membuat orang percaya akan efektifnya

demokrasi ”deliberatif”. Tapi manusia tak hanya—dan tak selama-lamanya—membentuk

bangunan sosial-politiknya hanya dengan berembuk.

Apa boleh buat. Krisis gagasan besar kini ada di mana-mana. Juga agama tak selamanya

bersuara dengan meyakinkan lagi. Kita hidup di sebuah masa ketika kita dihadapkan pada

kesadaran yang meluas bahwa manusia adalah bermacam-macam kemungkinan. Seorang

pemikir pernah menyebut zaman ini sebagai ”the age of contingency”.

Politik pada akhirnya adalah pengakuan akan konti ngensi itu. Kontingensi adalah sebuah

lubang besar: tak ada jaminan yang kekal tentang apa yang baik dan tak baik mengenai

masyarakat. Jaminan itu hanya terjadi bukan setelah (dan bukan sebelum) diperjuangkan.

Salah satu bentuk perjuangan terjadi sebenarnya ketika kita masuk ke ruang untuk

mencontreng. Di situ kita sebenarnya membangun jaminan dengan harapan yang setengah

yakin bahwa besok apa yang dibangun itu tak akan runtuh.

Di luar TPS itu tak ada jaminan apa-apa. Tapi setidak nya juga tak ada pisau yang dihunus

dan pistol yang dicabut. Yang kalah akan bersungut-sungut, yang menang akan tersenyum

puas, dan masing-masing akan melanjutkan sikap waspada. Tapi ada satu faktor yang sering

dilupakan dalam politik pada zaman yang serba-mungkin itu: waktu.

Page 298: catatan pinggir

Waktu membuat kita bisa menunggu, menunda, bersiap, berubah posisi atau mengantar kita

ke kematian. Waktu membatasi, tapi juga membuka pintu. Kita mencoba. Dengan kata lain,

kita mengambil langkah sementara. Dalam ”the age of contingency”, demokrasi adalah

politik dengan kesadaran akan kesementaraan—seperti hitam tinta yang melumeri kelingking

kita di TPS itu.

~Majalah Tempo Senin, 27 Juli 2009~

Politik-P April 13, 2009

Posted by anick in All Posts, Demokrasi, Indonesia, Politik.

trackback

DI bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di antara jutaan suara lain, satu noktah

di dalam arus 170 juta manusia, mungkin patahan bisik yang tak akan terdengar. Ini sebuah

pemilihan umum; statusku: sebuah angka.

Di ruang yang sempit itu, beberapa menit aku menatap lembar-lembar kertas yang diberikan

kepadaku. Sederet gambar. Sejumlah nama. 99% tak kukenal. Kalau ada yang kukenal, ia

terasa berjarak dari diriku. Tak ada nama partai dan orang yang tercantum yang

menggerakkan hati saya. Tak ada ada dorongan kesetiaan yang akan membuat aku dengan

gigih memilih sambil berkata pelan tapi bangga, di bilik itu, “Partaiku, wakilku!”.

Aku tertegun: apa aku, apa mereka? Partai-partai itu sehimpun penanda yang tampaknya tak

berkaitan dengan yang ditandai; mungkin bahkan tak ada sama sekali yang mereka tandai.

Yang jelas, mereka tak membuatku mati-matian ingin mengisikan makna, dengan seluruh

keyakinan, ke dalam penanda kosong itu.

Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku mengubah diriku jadi satu satuan

numerik, sebuah unsur dalam sebuah ritus kolektif. Dan dengan demikian pula aku termasuk,

tergabung, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan mungkin sekali tak akan, jadi bagian

hidupku.

Jangan-jangan seluruh ritus ini, setidaknya di tahun 2009 ini, adalah sebuah alienasi. Aku

bayangkan mungkin yang serupa terjadi di sebuah pabrik: seorang buruh mengerahkan

seluruh tubuhnya dan mencucurkan keringatnya untuk sebilah gunting atau sepasang sepatu,

dan pada saat itu juga berubah: ia hanya jadi tenaga-kerja-sebagai-komoditi; ia tak berkaitan

lagi dengan buah tangannya sendiri. Ia terasing.

Aku pun ke luar dari bilik suara, aku melangkah meninggalkan TPS, dan tak merasa amat

peduli mana yang akan menang dan yang akan kalah dalam pertandingan lima tahun sekali

ini. Ada jarak antara aku dan ritus itu. Saling tak kenal lagi, saling terasing. Mungkin inilah

yang aku alami: politik yang telah mati.

Di rumah aku baca lagi bab-bab yang berat dari buku Kembalinya Politik, yang ditulis

beberapa pemikir politik mutakhir Indonesia, dengan pengantar Rocky Gerung, sebuah buku

yang dipersembahkan kepada A. Rahman Tolleng, seorang aktivis yang tak kunjung reda

kesetiaannya kepada politik.

Page 299: catatan pinggir

Tapi di sini, “politik” berarti politik-sebagai-perjuangan, “politik-P”. Bukan politik yang

telah mati. Bukan politik-sebagai-ritus, “politik-R”.

“Politik-R” adalah politik yang tercetak dalam gambar-gambar di lembaran kartu suara 2009

itu. “Politik-R” datang karena ritus adalah repetisi yang diwajibkan dan disepakati. Repetisi

bisa membawa daya magis, seperti mantra yang berkali-kali dirapal, tapi juga sebaliknya:

bahkan sembahyang yang suatu ketika khusyuk juga bisa kehilangan rasa ketika dilakukan

berulang-ulang.

Kita bisa juga mengatakan, “politik-R” adalah politik tanpa la passion du réel — untuk

memakai kata-kata Alain Badiou, pemikir yang banyak dikutip dalam Kembalinya Politik.

Tanpa passion, tak ada gairah. Tanpa gairah untuk bersua dan memasuki le réel, berarti tak

ada tekad untuk membuka diri kepada yang paling tak terduga. Le réel ada dalam tubuh kita,

di bawah-sadar kita, dalam relung gelap kebersamaan kita: wilayah Antah Berantah yang tak

terjaring dalam “pengetahuan”, tak tercakup dalam bahasa, tak dapat diatur dalam tata

simbolik. Di sanalah segala rencana dan doktrin terbentur.

Tapi justru sebab itu, politik adalah perjuangan. “Politik-P”, adalah laku yang militan, karena

ada keberanian mempertaruhkan nasib, menabrak apa yang sudah pasti untuk sesuatu yang

belum. Tapi perjuangan itu memanggil aku, melibatkan diriku, bahkan perjuangan itulah

yang menjadikan aku sebagai subyek — bukan badan pasif yang datang ke kotak suara dan

pergi dengan rasa asing kepada apa yang dilakukannya sendiri.

“Politik-P” itu pernah terjadi ketika Indonesia diproklamasikan merdeka, 17 Agustus 1945,

atau ketika para pemuda melawan Tentara Sekutu di Surabaya, 10 November 1945, atau

ketika para mahasiswa menantang rezim Orde Baru dan tanpa senjata menduduki Parlemen

sampai Suharto terdesak mundur.

Tentu, kejadian itu jarang. Selalu datang “politik-R” menggantikannya. Tapi yang

menyebabkan aku merasa terasing di tahun 2009 bukan semata-mata “politik-R” yang tak

terelakkan. Di atas saya katakan, tanda gambar dan nama politisi itu tak menandai apa-apa –

tapi mungkin saya keliru. Mereka sebenarnya sebuah simptom. Mereka gejala dua nihilisme

yang bertentangan.

Nihilisme pertama menampik politik sebagai proses kebenaran – karena kebenaran dianggap

tak perlu. Hampir semua partai didirikan bukan karena ada satu subyek kolektif yang tergerak

oleh keyakinan tentang yang benar dan yang tidak. Bahkan beberapa partai bukanlah “partai

politik” (yang mengandung “kebersamaan”), melainkan “partai palangki”: dibuat hanya

untuk jadi tempat mengusung sang pemimpin.

Nihilisme kedua juga menampik politik sebagai proses kebenaran. Tapi ia berbeda dari

nihilisme pertama. Bagi para pelakunya, kebenaran ada, tapi bukan sebuah proses. Kebenaran

sudah selesai. Tak ada pengakuan, apalagi gairah, akan le réel. Maka tak ada celah bagi yang

baru, yang tak terduga-duga, yang lain.

Di sini pun sebenarnya yang terjadi hanya pengulangan. Sebab para pak turut dogma

bukanlah orang yang berjuang. Perjuangan dalam arti sebenarya melawan kebekuan dan

represi, juga dalam pikiran sendiri.

Page 300: catatan pinggir

Sekian puluh tanda dan nama, dua nihilisme…

Di tengah itu, bagaimana aku tak akan terasing? Bagaimana aku tak akan merasa diri hanya

sebuah angka kurus di bilik suara, jari penyontreng yang sebentar lagi akan ditelan ritus 170

juta manusia?

~Majalah Tempo, Edisi Senin, 13 April 2009~

Pram April 27, 1999

Posted by anick in All Posts, Demokrasi, Kisah, Sejarah, Tokoh.

trackback

Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah

Park Avenue tulip bermunculan kembali-tiap tahun seperti tak disangka-sangka-dengan rapi,

seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di

auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di

New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu,

ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram.

Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke

belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak.

Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya,

duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin

percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary

Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum

Pramudya menghadapi hadirin.

Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah

proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka-dan riwayat hidup Pramudya

Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan

Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman “Demokrasi Terpimpin”

Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman “Orde

Baru” ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi

tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia

seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak

pernah dikunjunginya-dan ia disambut.

Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama

13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut,

sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya

ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx-

seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena

itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun

di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai

The Mute’s Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel

bukan pula Marx, melainkan sebuah “pesimisme pemikiran, optimisme kehendak”.

Page 301: catatan pinggir

Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang

orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang

juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa

harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen,

ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya-yang terpisah dari dirinya selama bertahun-

tahun itu-bahwa “mereka pernah punya seorang ayah”.

Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi.

Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu

apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak

hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.

George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang “paling anarkis” dalam

kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat “anarkis” itu diartikan penampikan novel kepada

segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel-seperti yang ditulis oleh

Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu-mempunyai dorongan yang dekat dengan

kehendak “mengetahui”. Dan “mengetahui” bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan

anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.

Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur

Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan

sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita

hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke

Amerika Serikat, sebuah negeri yang-seperti diakuinya malam itu-punya kontribusi besar,

berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?

Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan.

Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan

karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak

manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah

berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang

membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara “komunis” dan antikomunis”-

seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal-tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail

Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet

harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.

Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim,

mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: “Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin

itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau

serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan musuh bebuyutan

kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah

cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan

bahwa ia tak berpakaian.”

Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak…. Manusia belum mati-mungkin itulah yang

akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya.

Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia

muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.

~Majalah Tempo No 08, 27 Apr-3 Mei 1999~

Page 302: catatan pinggir

Pramoedya Mei 8, 2006

Posted by anick in All Posts, Kisah, Sejarah, Tokoh.

trackback

Jasad Pramoedya Ananta Toer diturunkan ke liang lahat. Tanah diuruk. Saat itu, sekitar pukul

empat sore, separuh langit Jakarta gelap, udara hamil hujan—seakan-akan persiapan adegan

akhir perkabungan di Karet Bivak itu. Sebuah lagu tiba-tiba terdengar, di-nyanyikan bersama

dengan khidmat, terutama oleh mereka yang muda:

Di negri permai ini

Berjuta Rakyat bersimbah rugah

Anak buruh tak sekolah

Pemuda desa tak kerja…

Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Kalimatnya lurus dan marah, tapi Darah Juang tak berteriak, bahkan agak melankolis:

”Bunda, relakan darah juang kami…” Suasana apa yang melahirkannya? Murung seperti sore

itu?

Beberapa aktivis muda membisikkan kepada saya bahwa- lagu itu digubah oleh dua

mahasiswa di daerah Gejayan, Yogyakarta, pada suatu malam sehabis rapat merencanakan

aksi, pada tahun 1991, ketika rezim Soeharto masih kukuh, ketika ketakutan masih

merajalela, dan kekuatan penentang, kalaupun ada, lemah dan kusut.

Optimisme terasa dibuat-buat dari suasana seperti itu, tapi harapan tidak. Dari harapan yang

tersembunyi—-dengan bahasa yang menyatakan sakit dan miskin, rindu dan dendam—sastra

lahir, politik lahir. Juga pahlawan. Bagi anak-anak muda yang ingin membuat Indonesia le-

bih adil dan merdeka, Pramoedya adalah pahlawan yang pas; sang penggubah epos adalah

sebuah epos tersendiri: di kamp tahanan yang jauh dan bengis, ia tulis empat-serangkai novel

sejarah Indonesia ketika beribu-ribu orang hendak dimusnahkan dari kenangan kolektif,

ketika kata ”kemerdekaan” membuat saat jadi genting.

Dari sini Pram memang bisa jadi suluh.

Dalam hal itu, Indonesia tragis tapi mujur: begitu banyak- orang dibasmi dan dilupakan di

negeri ini, tapi sebuah ge-nerasi tak hanya menggantikan generasi sebelumnya; ia juga

mendapat inspirasi. Dengan itulah sebuah transisi alamiah (ada yang pergi, ada yang datang)

jadi jalinan gerak sejarah. Pramoedya adalah penyambung jalinan itu.

Mungkin awalnya adalah Blora. Dalam Cerita dari Blora, yang terbit pada awal 1950-an,

Pram menghadirkan ”aku” yang mengenang tokoh ”ayah”: seorang yang bersungguh-

sungguh ikut menumbuhkan benih kemerdekaan, seorang yang yakin kemerdekaan sama

artinya dengan ”Indonesia”, seorang saksi bahwa ”Indonesia” yang belum datang itu telah

begitu kuat menggerakkan hati.

Pada tahun 1930-an itu Blora berubah. ”Di waktu-waktu itu nampak… olehku adanya

kegugupan yang meraba kehidupan kota kecil kami,” kata si anak yang mengenang. Orang

Page 303: catatan pinggir

beramai-ramai mendirikan perkumpulan sepak bola dan kesenian, meskipun sebenarnya

”kegugupan” itu ”kegugupan” politik: gema ”kebangunan Asia” terdengar, aktivis pergerakan

nasional seperti Soekarno datang dan berbicara, dan para pandu menyanyi Di timur matahari

mulai bercahaya.

Dalam suasana itu, si ayah mendirikan sebuah sekolah dan rumah itu jadi pusat pergerakan.

Orang datang untuk sekadar bertanya, atau belajar baca-tulis, atau ikut ”kursus politik”,

”kursus guru”, menyiapkan diri jadi pendidik…. ”Tiba-tiba saja rumah kami merupakan

kantor. Semua mesin ketik berdetak-detak.”

Tapi itu tak lama. Polisi kolonial telah mengawasi me-reka. Akhirnya sepucuk surat datang

dari ”gubermen”: kegiatan itu harus disetop. Buku-buku disita, listrik di tempat para murid

belajar dicabut. Sejak itu rumah itu sepi. Sejak itu paras si ayah muram. Sejak itu ia hampir-

tak pernah pulang, menghabiskan hari-harinya berjudi-—seperti ayah yang meninggal dalam

novel Bukan Pasar Malam. Bahkan ketika satu orok lahir lagi, si ayah tak ada. Memang

akhirnya lelaki itu muncul menengok si bayi, tapi si ibu berkata, ”Dia takkan mendapat apa-

apa dari kau. Juga tidak dari tempat dan zamannya. Dia akan tumbuh sendiri.”

Zaman itu adalah ”zaman senja yang mengayunkan dan kadang-kadang mengejuti”, tulis

Pramoedya, dengan struktur kalimat yang ganjil, dengan akhiran kan dan i yang salah tempat,

seakan-akan gagap. Kalimat penutupnya seperti sederet klise: ”Tapi matahari akan terbit lagi

di ufuk timur”.

Tidakkah kegagapan dan klise itu menunjukkan bahwa si anak belum memperoleh bahasanya

sendiri untuk meng-atasi kemurungan ingatannya? Sampai ia meninggal, Pra-moe-dya masih

murung; ia menatap dengan getir sejarah Indonesia. Pelbagai wawancara terakhirnya

mengesan-kan itu. Tapi nada marahnya mungkin sebuah keteguhan: suara seorang yang tak

”mendapat apa-apa” dari ”tempat dan zamannya”, tapi percaya, ”dia akan tumbuh sendiri”.

Ia memang pewaris humanisme yang kekar—humanisme Ontosoroh, tokoh Bumi Manusia.

Dalam prosa Pram, pikiran, emosi, dan gerak manusia mengambil alih ham-pir- seluruh

adegan; alam hanya hadir secara minimal. Tiap kalimat seakan-akan pergulatan ”aku-

manusia” yang susah payah tapi gigih mengatasi ”rumah-penjara bahasa”-, pergulatan yang

tak jarang membuat ungkapan Pram terasa kaku tapi kukuh.

Pergulatan bisa melahirkan kemerdekaan, meskipun humanisme yang mengagungkan

kedigdayaan insani sering akhirnya gagal membebaskan manusia. Tapi yang gagal tak berarti

bersalah. ”Kalau yang buruk jua yang datang, sesungguhnya memang bukan urusan kita

lagi,” kata si ibu kepada suaminya.

”Kalau yang buruk jua yang datang….” Mungkin ibu itu sadar akan batas-batas manusia.

Sore itu, hujan mulai jatuh di pemakaman. Orang-orang mengangkat tangan kiri memberikan

salut pengha-bis-an kepada Pramoedya Ananta Toer. Internasionale dinyanyikan.

Sejarah tak selamanya murung, ternyata, meskipun tak selamanya ceria. Kini orang bebas

menyanyikan lagu ”komunis” itu—meskipun mungkin ada juga rasa ngilu: dulu nyanyian itu

pernah jadi lambang janji masa depan; kini ia seakan-akan hanya bagian dari masa lalu.

Page 304: catatan pinggir

Tapi selalu ada yang menggetarkan dalam nostalgia. Selalu ada yang menggetarkan dalam

kisah perjuangan yang tak sampai, tapi berharga.

~Majalah Tempo Edisi. 11/XXXV/08 – 14 Mei 2006 ~

Protes Desember 7, 1985

Posted by anick in Agama, All Posts, Buku, Fundamentalisme, Islam, Sejarah, Tokoh.

trackback

DI daerah pesisir utara Jawa Tengah yang datar dan berdebu, di pertengahan abad ke-19,

seseorang menulis sejumlah buku. Ia adalah Haji Mohamad Rifangi.

Waktu itu usianya pasti sudah agak lanjut. Ia dilahirkan pada1786 di wilayah Kendal,

beberapa puluh kilometer dari Semarang. Ia juga pasti orang yang berilmu dan berpengikut.

Ia anak seorang pengulu, dan itu berarti bukan seorang santri kampung sembarangan. Pada

satu tahap dalam riwayatnya, ia berangkat ke Mekkah, dan bermukim selama delapan tahun.

Setelah itu, ia kembali, ke tempat ia dilahirkan. Tapi sikapnya berubah.

Ia bentrok dengan para ulama. Baginya, kehidupan beragama sebagaimana yang dilihatnya di

sekitarnya itu keliru. Dan ia mengutarakan soal itu dengan keras. Mungkin karena ini, ia

sempat difitnah dan masuk penjara. Tapi Rifangi punya nasib baik: setelah istrinya

meninggal, ia menikah dengan janda demang yang makmur. Lepas dari penjara, Rifangi pun

pindah ke Kalisalak, mendirikan pusat pengajian dan menulis sejumlah buku.

Sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya,

Protest Movements in Rural Java, Rifangi sebenarnya tak mengumumkan ajaran baru. Karya-

karyanya, yang kumpulannya disebut Tarajumah, sejenis bunga rampai terjemahan dari

pelbagai kitab. Hanya Haji Mohamad Rifangi menyusunnya dalam bentuk tembang

berbahasa Jawa.

Toh bunga rampai itu ia pilih dengan kecaman kepada keadaan di sekitar. Para penguasa

negeri, di mata Rifangi, berdosa. Para pengulu, pejabat keagamaan resmi, tak mau menuruti

perintah menegakkan hukum Allah. Banyak hal menyimpang dari Quran dan Hadis. Maka,

orang harus sadar: para bupati dan wedana dan lurah itu tak lain cuma orang-orang munafik.

Siapa yang menghamba kepada “raja kafir” dalam hal agama, tak lebih baik ketimbang anjing

dan babi.

Sebagaimana umumnya para “reformis”, ada sikap kesucian yang memusuhi praktis siapa

saja dalam pendirian Rifangi. Ia memang ingin membawakan suatu kehidupan beragama

yang tak tercampur dengan noktah apa pun dari luar doktrin. Tak heran bila Rifangi pun

menentang hal-hal seperti wayang dan gamelan.

Kita agaknya kenal dengan tipe ini. Dalam riwayat, pelbagai versi Rifanglisme datang dan

pergi: perawat-perawat yang gigih yang mencoba mensterilkan ruang sejarah ketika

mengarungi waktu. Dalam proses masuk ke luar debu dan lumpur ini, dalam kendaraan yang

terguncang-guncang, tiap kita diharapkan tetap murni, bersih. Untuk itu surga menunggu.

Juga keselamatan di dunia. Dalam Kitab Nalam Wikayah, salah satu karyanya, Haji

Page 305: catatan pinggir

Mohamad Rifangi menggambarkan hal itu: sebuah “Tanah Jawa” yang makmur, tanpa begal

dan penyamun, pencuri dan pendurhaka.

Tak ayal, para pengikut berkerumun disekitar kiai Kalisalak. Pertengahan abad ke-19 dan

seterusnya, Jawa memang resah. Masa kolonial telah mempertemukan kakek-nenek kita itu

dengan lingkungan budaya yang telah retak batas-batasnya. Ada kekuatan yang asing, ada

kekuasaan yang terasa menekan dan tak akrab. Ada orientasi yang berubah, ada bentuk-

bentuk kebahagiaan baru yang tak mudah dicapai atau mencemaskan. Ada frustrasi, ada

penasaran. Ada kebutuhan akan ketenteraman batin, sejenis kepastian dan jaminan, di tengah

perubahan sosial-budaya yang tak tenteram.

Tak heran bila abad ke-19 dan sesudahnya adalah zaman konflik, dan karya seperti Protest

Movements in Rural Java selalu layak dibaca kembali bila konflik sejenis itu, yang sering

kali memakai bendera Islam, meletup.

Haji Rifangi adalah salah satu gejalanya. Dimakmumi oleh para penduduk pedesaan Kedu

dan Pekalongan, ia dengan segera dikenal sebagai pemimpin ngelmu Kalisalak. Para

santrinya, disebut santri Budiah, memisahkan diri dari Muslimin lain. Mereka bukan saja tak

menonton wayang juga tak mau bersembahyang jemaah di masjid, dan – menurut laporan

Residen Pekalongan – mereka menolak kawin di depan penghulu. Para wanita mereka tak

keluar ke tempat umum dan di luar kalangan mereka, tampaknya yang ada hanya kaum yang

sesat.

Haji Mohamad Rifangi memang gencar menyerang – khususnya para pejabat keagamaan

gubernemen. Tak heran bila Rifangi beberapa kali diusulkan, antara lain oleh Bupati Batang,

untuk disingkirkan. Dan benar: di tahun 1859, pengusik itu dibuang ke Ambon. Ia mungkin

dianggap suatu ancaman yang bisa mengganggu ketertiban – meskipun Rifangi tak pernah

angkat golok, dan tak suatu pun terjadi ketika pengikutnya tetap jadi santri Budiah setelah

sang guru tak ada.

Rifangi memang bukan pemberontak. Ia hanya pemimpin suatu gerakan “sektarian”, seperti

dikatakan Sejarawan Sartono, tokoh kelompok yang memisahkan diri, seorang yang merasa

paling di depan dalam menjaga kemurnian agama. Ia layak dihormati. Tapi tak berarti ia bisa

selamanya diikuti.

Dalam Protest Movements in Rural Java, ada disebut suatu “saat dramatik” ketika Rifangi

berdebat, di depan umum, tentang agama, dengan seorang penghulu. Ia “kalah”. Kita tak tahu

bagaimana isi debat besar itu, dan bagaimana ia kalah. Tapi siapa tahu sang penghulu bisa

meyakinkan kekhilafannya: Iman lebih kaya ketimbang kemurnian. Iman adalah bianglala

yang semarak. Rifangi hanya menawarkan sehelai pembalut putih yang steril, tapi manusia

bukan cetakan tunggal mumi Adam di atas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah,

tanpa ketelanjuran kebudayaan.

~Majalah Tempo Edisi. 41/XV/07 – 13 Desember 1985~

Puasa September 17, 2007

Posted by anick in Agama, All Posts, Fasisme, Islam.

trackback

Page 306: catatan pinggir

DI hari-hari ini saya berpuasa dan merasakan sebuah privilese: saya dihormati. Dengan tekad

saya sendiri saya berniat tak makan dan tak minum sejak dini hari hingga senja; selama itu

saya sadar bahwa akan ada saat-saat saya bisa tergoda—tetapi saya selamat. Saya siap untuk

terganggu, tetapi lihat: saya tak boleh diganggu.

Privilese itu kini sudah seperti sesuatu yang semestinya. Demi ibadah saya, yang saya niatkan

sendiri, orang-orang lain tak bisa pergi pijat karena selama sebulan semua panti pijat harus

ditutup—meskipun ini bukan tempat yang mesum sama sekali—dan sekian ratus pemijat

tidak mendapatkan penghasilan. Demi ibadah saya, orang-orang lain tidak dapat minum

minuman beralkohol selama kurang-lebih 30 hari, siang dan malam—meskipun mereka lazim

melakukannya sebagai bagian dari hidup mereka—karena bar tak boleh buka dan kalaupun

ada restoran buka, bir, anggur, wiski, konyak, vodka, dan lain-lain harus masuk kotak.

Terkadang saya tak tahu apakah saya merasa bangga, atau bersyukur, atau merasa bersalah,

ketika di mana-mana dipasang anjuran: ”Hormatilah Orang yang Berpuasa”.

Tentu saja sikap menghormati adalah sebuah sikap yang bisa datang dari hati yang ikhlas dan

sukarela. Tapi sikap itu juga bisa diperlihatkan khalayak ramai karena aturan pemerintah,

para ulama, atau tekanan lain yang menakutkan. Kita sekarang tidak tahu yang mana yang

menentukan. Jika ada polisi atau petugas kota praja—belum lagi kelompok orang galak yang

dengan gampang menyerbu dan merusak—yang membuat penghormatan itu berlaku, saya tak

pernah yakin sejauh mana penghormatan (atau lebih tepat ”apresiasi”) yang ikhlas yang

sedang saya rasakan. Jangan-jangan semuanya adalah penghormatan (atau lebih tepat ”sikap

merunduk”) yang dengan gerutu.

Tapi di sebuah negeri yang tak jarang memperdagangkan kepalsuan, akhirnya soal seperti itu

tak dipersoalkan. Pokoknya: saya berpuasa, sebab itu saya harus dihormati.

Namun saya tak hendak mengomel. Sebab menghormati orang yang berpuasa dapat

berangkat dari sebuah alasan yang bagus. Ramadan sering dikatakan sebagai bulan yang

dekat dengan rohani. Tetapi tak kurang dari itu Ramadan sebenarnya menekankan pentingnya

tubuh—justru dengan mengaktualisasikan tubuh yang tak penuh. Bulan ini adalah bulan yang

berbicara tentang kondisi dasar manusia yang paling kurang. Puasa adalah penegasan diriku

sebagai sesuatu yang lapar dan juga retak: sebagai aku yang ingin dan tak mendapat, aku

yang menolak untuk rakus tapi juga merasa sakit.

Tapi saya, yang berpuasa ini, juga sering tak menyadari bahwa puasa dapat memberi diri

sesuatu yang sama sekali bertentangan: rasa berkelebihan, bahkan supremasi. Aku seakan-

akan dalam kesucian, sebagai yang ”berkorban” dan juga sebagai yang ”tak najis”. Orang

lain? Mereka dosa, loba, penuh syahwat—pendeknya lebih nista dari diriku.

Itu barangkali asal mula orang lain dituntut untuk menghormati aku. Kalau tidak, orang lain

harus aku jauhi. Kalau tidak, orang lain harus aku tobatkan. Aku, si suci, harus

meniadakannya sebagaimana dia adanya, dengan menyisihkan atau mengubahnya.

Salah satu problem besar dunia ialah bahwa kita sering menemukan wajah yang bertentangan

seperti saya sebut tadi dari orang yang berpuasa—atau dari orang dalam ibadat yang mana

pun. Kontradiksi ini disembunyikan atau ditekan karena wacana yang ada diberi sanksi oleh

sebuah bayangan tentang Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna yang menuntut keutuhan

Page 307: catatan pinggir

dan kekuatan, bukan sebuah bayangan tentang Yang Maha Rahman dan Rahim yang

mengampuni si daif dan si retak-cacat.

Dalam wajah yang lapar, yang dekat dengan tubuh, dalam kekurangan dan kefanaan, manusia

hadir mau tak mau mengalami dirinya bukan sebagai sebuah ide, bukan sebuah konsep yang

abstrak. Perut yang meminta nasi dan tenggorokan yang sedikit bau basah tidak ada dalam

Manusia dengan ”M”. Seraya bersentuhan dalam sifatnya yang konkret, manusia mengalami

dan menyadari apa artinya perubahan, apa perlunya perbedaan dari waktu ke waktu,

perbedaan dari satu situasi ke situasi lain.

Tetapi bila puasa bukan menandaskan wajah yang lapar, melainkan kesucian diri yang penuh,

manusia merasa seakan-akan berada di atas segala situasi, di luar waktu, tak tersentuh

perubahan, dan perubahan bahkan dapat berarti najis.

Di hari-hari ini saya berpuasa—dan apakah gerangan yang tumbuh dalam diri saya? Sesuatu

yang menghargai yang fana dan sebab itu berterima kasih atas setiap momen empati? Atau

sesuatu yang meminta dihormati, karena aku adalah sebuah prestasi, sebuah posisi di atas

sana, di mana yang kekal dan sempurna mengangkatku?

Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut dihormati.

~Majalah Tempo Edisi. 30/XXXVI/17 – 23 September 2007~

Puing Februari 11, 2008

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Sejarah, Tokoh.

trackback

1945, 1966, 1998…

Angka-angka itu kini jadi nama. Masing-masing menjuluki sebuah pergantian sejarah: yang

pertama lahirnya Republik Indonesia, yang kedua runtuhnya kekuasaan Soekarno, dan yang

ketiga jebolnya kekuasaan Soeharto.Dengan kata lain, masing-masing angka itu bahkan tak

lagi hanya berarti tahun. Tiap nama/angka yang ditulis merujuk ke sebuah peristiwa besar:

kejadian yang membuat sebuah zaman patah arang dengan zaman sebelumnya, ketika sebuah

situasi runtuh dan seluruh sendi kehidupan berubah, dan setelah itu, datang awal yang sama

sekali baru. Bahkan, jika kita memakai retorika Alain Badiou, datang ”sebuah kebenaran

baru”.

Nama-nama itu juga menunjukkan usaha manusia untuk mengawetkan proses yang terjadi

sejak kejadian besar itu meledak. Sebab tiap kejadian memang sebuah ledakan: keras,

menggetarkan dan menghancurkan, tapi segera surut, larut, lenyap.

1945, 1966, 1998: sederet metonimi. Masing-masing adalah pengganti yang ringkas bagi

sesuatu yang lebih kompleks: ”1945”, misalnya, adalah penanda waktu ketika Soekarno dan

Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dengan metonimi sebenarnya kita

mengakui, ada pelbagai hal—ya, banyak sekali hal, boleh dikata tak terhingga—yang bisa

dihimpun di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Page 308: catatan pinggir

Banyak hal itu membuat kata ”patah arang” dan ”awal yang sama sekali baru” sekadar

sederet hiperbol. Ada yang dilebih-lebihkan di dalam ”patah” dan ”baru”. Sebab di antara

yang muncul sebagai jejak kejadian besar seperti ”1945”, ada hal-hal yang amat kerdil. Di

antara yang ”patah”, ada yang berlanjut dan bahkan menguat. Tak semua hal merupakan

”awal”, dan mungkin tak ada awal yang ”sama sekali baru”.

Itu sebabnya tiap perubahan besar selalu mengandung kekecewaan, diikuti disilusi.

Dalam ”1945”, misalnya. Semangat yang mendorong orang Indonesia membentuk sebuah

republik yang merdeka begitu meluap, begitu sakti. Ribuan pemuda mempertahankan

republik mereka dari usaha kolonisasi kembali. Mereka bergerak dengan sakit dan kematian,

juga dengan sikap tulus dan keberanian. Namun kemudian, cepat atau lambat, semangat yang

sakti itu jadi boyak.

Kita ingat adegan-adegan kepahlawanan dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Di Tepi Kali

Bekasi. Farid, seorang remaja Jakarta, ikut dalam perang kemerdekaan mula-mula hanya

karena keinginan ”masuk Tentara”. Tapi pada akhirnya ia jadi seorang komandan gerilya

yang, tanpa kata-kata heroik, mempertahankan Kranji dan Bekasi, kehilangan Kranji dan

Bekasi, dan bertempur terus, melawan pasukan musuh yang jauh lebih kuat dalam

persenjataan.

Kisah ini, untuk memakai kata-kata pengarangnya sendiri, adalah rekaman ”suatu epos

tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”. Transformasi itu

dahsyat. Sebab ”perubahan atau Revolusi jiwa” itu, tulis Pramoedya pula, ”lebih berhasil

dalam seluruh sejarah Indonesia daripada seluruh Revolusi bersenjata yang pernah

dilakukannya”.

Tapi Revolusi, ledakan besar itu, segera surut, larut, lenyap. Hanya beberapa tahun setelah

pertempuran Farid di sepanjang Kali Bekasi, Indonesia memasuki masa yang

menanggungkan ”royan revolusi”. Novel Ramadhan K.H. memakai kata itu untuk judul.

”Royan”, rasa sakit tubuh yang baru melahirkan, adalah metafor untuk masa tahun 1950-an

yang dirundung frustrasi. Itulah masa ketika situasi tak bertambah baik di dalam republik

yang baru merdeka itu: orang mulai mementingkan diri sendiri, kesetiaan kepada ”1945” tak

ada lagi.

Hal yang sama dapat dikatakan bagi ”1966”. Para mahasiswa yang menumbangkan

”demokrasi terpimpin” yang represif sejak 1958-1965—para pemuda yang bersedia

menanggungkan kekerasan dan tak takut mati untuk sebuah Indonesia yang demokratis—

berangsur-angsur sadar bahwa mereka teperdaya. Rezim yang menggantikan ”demokrasi

terpimpin” ternyata sebuah ”demokrasi terpimpin” lain—malah dimulai dengan pembantaian

yang menyebarkan teror selama tiga dasawarsa

Yap Thiam Hien, pendekar hak asasi manusia itu, ikut mencoba membuka zaman baru di

bawah ”Orde Baru”. Tapi kemudian kita tahu apa yang terjadi. Hukum terus saja diinjak

dengan brutal; kemerdekaan ditendang ke sudut sel; Indonesia dijadikan seperti kerbau yang

dicocok hidungnya.

Kini 2008. Sepuluh tahun setelah Reformasi, sebuah masa setelah Soeharto pergi: bukankah

”royan revolusi” dirasakan lagi dan orang juga mengeluh?

Page 309: catatan pinggir

Agaknya selang-seling antara ”kejadian” dan ”royan” atau antara pengharapan dan

kekecewaan telah jadi sebuah pola yang berulang. Jangan-jangan kita harus kembali melihat

apa arti ”1945”, ”1966”, atau ”1998”.

Jangan-jangan kita sebenarnya memberi nama itu sebagai cara kita bertahan dari serbuan

gelap dan campur-aduk yang membingungkan di tiap transformasi politik. Bukankah bersama

itu ada sebuah hasrat yang radikal terhadap sejarah?

Hasrat itu radikal (Badiou menyebutnya ”kiri-isme yang spekulatif”), karena ingin

memurnikan waktu, menertibkan ruang. Tapi waktu dan ruang selamanya kekusutan,

selamanya dilingkungi khaos.

Setelah 1945, 1966, 1998, kita menemukan bahwa dalam ”kebenaran baru” yang muncul hari

ini ada jejak dari masa silam. Jejak itulah yang tampil menggugah hati kembali. Tapi bersama

itu, ada puing dari zaman lama yang terus teronggok.

Saya teringat malaikat sejarah dalam lukisan Paul Klee—tapi dengan narasi yang lain dari

yang dibawakan Walter Benjamin. Malaikat itu memang menghadap ke belakang, sementara

ia terbang maju. Selama itu ia diikuti sisa-sisa masa lalu yang diruntuhkannya—reruntuhn

yang terus meninggi dan mendesakkan diri, mendorongnya terbang ke depan, melewati

kejadian demi kejadian.

Saya ragu, adakah di sayapnya ada angka-angka 1945, atau 1966, atau 1998. Mungkin tidak;

hanya warna polos yang bergerak.

~Majalah Tempo Edisi. 51/XXXVI/11 – 17 Februari 2008~

Pulang Oktober 22, 2007

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Tradisi.

trackback

Pulang adalah sepatah kata kerja yang bertuah. Berapa juta manusia bersedia berdesak-desak,

menanggung panas dan rasa tak nyaman dan risiko celaka, luka, dan mati, dalam sebuah

ritual raksasa tiap tahun yang disebut ”mudik”?

”Mudik”, sebagaimana ”pulang”, adalah pengertian ruang, tapi juga waktu. ”Pulang” berarti

kembali ke tempat asal, ke titik di bumi dari mana aku berangkat, dulu.

Kini ritual itu kian dikukuhkan. Negara dan pasar menyesuaikan langkah dengan gegap-

gempita: jawatan perhubungan, dinas kepolisian, perusahaan transportasi, pelayanan

telepon…. Bila para peneliti sosial kini bicara tentang orang Indonesia yang semakin

konservatif, ”pulang” adalah salah satu indikasinya.

Pernah ”pulang”, gerak ke masa silam, tak dianggap sebagai bagian dari zaman. Pernah hidup

digerakkan gelora modernitas. Pada tahun 1930-an, S. Takdir Alisjahbana, pelopor Pujangga

Baru itu, menulis sebuah sajak yang juga sebuah manifesto modernitas: temanya bukan

pulang, melainkan pergi.

Page 310: catatan pinggir

”Telah kutinggalkan engkau,” bisik Takdir kepada teluk teduh tempat asalnya. Dalam sajak

yang terkenal itu ia putuskan untuk meninggalkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sang

penyair memilih laut luas tanpa proteksi: ia bebas, sebab itu ia berani menghadapi mara

bahaya dalam ketakpastian cuaca.

Di masa itu, dalam semangat itu, ”pulang” adalah arus balik ke tradisi. Tradisi mengandung

tuntutannya sendiri. Modernitas adalah pembangkangan: ada anak yang hilang.

Tentu ada juga luka. Tentu ada rasa bersalah ketika seorang anak tak hendak kembali dan ada

rasa sakit ketika seutas akar dilepaskan. Tapi ”tak-pulang” adalah kondisi zaman. Bila pulang

kini jadi ritual, dulu pergi adalah sebuah ritus. Hanya seorang yang disunat yang jadi dewasa.

Sajak Sitor Situmorang, Si Anak Hilang, dengan memukau melantunkan kembali melankoli

kehilangan dalam ritus itu—ketika si anak muda pulang dari Eropa, menemui ibunya yang

rindu dan dusunnya yang ingin tahu, tapi ternyata tetap ada yang putus. Saya kutip bagian

akhir sajak itu:

Si anak hilang kini kembali

tak seorang dikenalnya lagi

berapa kali panen sudah

apa saja telah terjadi?

Seluruh desa bertanya-tanya

sudah beranak sudah berapa?

Si anak hilang berdiam saja

ia lebih hendak bertanya

Selesai makan ketika senja

ibu menghampiri ingin disapa

anak memandang ibu bertanya

ingin tahu dingin Eropa

Anak diam mengenang lupa

dingin Eropa musim kotanya

ibu diam berhenti berkata

tiada sesal hanya gembira

Malam tiba ibu tertidur

bapa lama sudah mendengkur

di pantai pasir berdesir gelombang

tahu si anak tiada pulang

Kita lihat, Sitor kembali menggunakan bentuk syair lama, bukan sajak bebas, tapi berbeda

dengan sastra tradisional, dalam Si Anak Hilang terasa sebuah dunia subyektif yang intens.

Anak muda itu berdiam diri, karena di kepalanya berlintasan ”dingin Eropa” yang belum

sepenuhnya ia lupakan. Anak muda itu tak bicara, karena di hatinya ia menjauh dari suara di

sekitarnya, juga suara kangen sang ibu.

Ada sikap mendua yang murung dalam sajak Sitor. Tapi pada akhirnya hanya gelombang

yang berdesir yang tahu bahwa ia memang anak yang hilang. Gelombang: di pantai pasir itu

Page 311: catatan pinggir

ia datang dari jauh, tapi segera kembali ke laut. Kita tak tahu dari mana gelombang berasal,

ke mana ia menghilang.

Dari mana sebenarnya kita berasal? Di tiap zaman selalu terdengar seruan agar kita ingat

akan akar kita. Yang sering dilupakan adalah bahwa asal dan akar bukan sesuatu yang dengan

sendirinya terpacak siap di dunia. Akar dan asal selamanya sebuah hasil seleksi terhadap

ingatan kita sendiri. Seorang tak hanya berakar di Serang atau Seram; ia juga punya akar pada

keluarga tertentu, dengan riwayat tertentu, di lapisan sosial dan dibesarkan dengan nilai

tertentu. Tiap kali sebuah asal diberi nama dan disebut sebagai identitas, timbul masalah.

Saya pernah mengatakan, ”jati diri” adalah sebuah kata yang meragukan. ”Jati” berarti

”benar”; tapi mana sebenarnya ”diri” yang ”benar”? Tak hanya tersedia satu jawaban untuk

itu. Pulang ke dalam ”diri” yang ”benar” pada akhirnya juga sebuah pengembaraan tersendiri,

sebab yang ”benar” itu hanya tercapai sementara, semacam sebuah pelabuhan transito.

Pernah kita kenal sebuah talibun, sebentuk pantun enam baris yang berisi petuah:

Kalau anak pergi ke pekan

Yu beli beranak beli

Ikan panjang beli dahulu

Kalau anak pergi berjalan

Ibu cari sanakpun cari

Induk semang cari dahulu

Kata-kata itu datang dari masyarakat yang merantau, bukan menetap—dari mana lahir Takdir

dan Sitor. Talibun itu memang tak mengekspresikan keputusan yang murung seorang anak

yang hilang, tapi ada yang sejajar: perjalanan adalah pengakuan bahwa teluk yang terlindung

telah ditinggalkan. Sang perantau tak berjalan untuk mencari ibu, melainkan ”induk semang”.

Dengan kata lain, ia siap hidup dengan seseorang yang lain, yang bukan sanak keluarga tapi

bersedia menerima sang perantau, yang juga asing.

Kini zaman berubah. Paradoks masa kini ialah ketika di jaringan Internet tapal batas raib,

justru bertambah rasa takut kepada yang lain, yang bukan sanak sendiri. Suasana kian

konservatif: orang bersiap pulang, walau mati menanti. Di masa lain, untuk sebuah

pembebasan, ”Tak seorang berniat pulang, walau mati menanti.”

Itu sebaris sajak Hr. Bandaharo yang selalu menggetarkan.

~Majalah Tempo Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007~

Qin Februari 24, 2003

Posted by anick in All Posts, Kisah, Revolusi.

trackback

Para pahlawan datang, karena para pendongeng telah datang. Tapi sebelum mereka: hadirin.

Anda bisa mengatakan bahwa dalang bercerita, maka Arjuna ada; bahwa Homeros bersyair,

maka Archilles lahir. Tapi tidak hanya itu. Pertempuran pertama dan penghabisan dalam epos

Page 312: catatan pinggir

yang mana pun, termasuk film Zhang Yimou mutakhir, Hero, adalah peperangan melawan

dua sosok besar dalam hidup: waktu dan lupa.

Epos digubah karena ada orang-orang yang diharapkan untuk mengingat. Mengingat jadi

penting karena waktu berjalan dan manusia terbatas. Epos digubah karena ada sebuah

komunitas yang tak boleh lupa akan cerita-cerita keberanian (epos, dalam bahasa

Indonesia, disebut juga “wiracarita”) di masa lalu.

Tapi tentang kegagahberanian masa lalu, apa yang kita ingat sepenuhnya tertambat dengan

masa kini. Itu sebabnya sebuah wiracarita seperti Hero disusun sebagai sebuah legenda. Ia

berlebihan. Agaknya ia punya hak untuk berlebihan. Di hari-hari ini, ketika yang masih hidup

tak mungkin ditampilkan sebagai makhluk yang menakjubkan (dan sebab itu “pahlawan”

dengan sendirinya berarti sosok yang sudah mati), Zhang Yimou jadi seorang pendongeng

yang menakjubkan.

Dengan kata lain, ia berbicara kepada sebuah hadirin yang telah kehilangan. Saya kira ia

selalu menginginkan itu. Sutradara ini, seperti tampak dari filmnya yang terdahulu, selalu

memandang mesra ke arah hal-hal yang tak lagi ada: upacara kematian dalam film Judou

(1990), penggunaan lampion yang terpajang di gedung-gedung tua dalam Lampion Merah

(1991), permainan wayang dalam Hidup (1994). Tapi seperti umumnya dalam nostalgia, yang

dulu banal pun jadi bagus, yang bersahaja jadi seakan-akan dalam, dan yang terancam punah

seakan-akan jadi azimat. Kita tak peduli lagi bila yang dianggap pernah ada jangan-jangan

hanya sebuah fantasi.

Cerita wu-xia dengan mudah berbicara kepada hadirin yang telah kehilangan. Ia gabungan

antara sebuah epos dan nostalgia. Ia pertautan sebuah fabel dengan sebuah ekspresi zaman

ini. Sinematografi mutakhir, seperti kita lihat dalam Crouching Tiger, Hidden Dragon

(Macan Merendek, Naga Sembunyi) yang disutradarai Ang Lee, demikian pula dalam Hero,

menyulap kungfu jadi sebuah persenyawaan antara yang estetik dan yang brutal.

Dalam film Tiger, Dragon: Li Mu Bai bertempur dari pucuk ke pucuk bambu yang lentur dan

meliuk-liuk; geraknya gerak seorang penari piawai yang tenang. Dalam Hero, yang estetik

tampil di tiap bagian yang ganas. Dalam silat sengit yang dihiasi hujan. Dalam tebas-menebas

senjata besi yang diiringi musik dawai seorang buta. Dalam pertarungan dua perempuan

bergaun merah di musim gugur, ketika loncatan tubuh dan kelebat pedang merontokkan

ribuan daun ke warna magenta. Dalam adegan duel penghormatan di air lazuardi sebuah

danau.

Seakan-akan semua itu belum cukup, kita masih menyaksikan sebuah tarung pedang yang

keras di balairung raja, di antara gelombang kelambu hijau yang berjuntai. Di akhir

pergulatan, kain sutra itu pun runtuh, lepas, lembar demi lembar….

Telah saya katakan di atas, Zhang Yimou punya hak berlebihan. Bukankah ia hendak

menghadirkan sebuah dongeng, sebagaimana kisah Sinbad dalam Seribu Satu Malam dan

Odysseus dalam syair Homeros? Tapi persoalan kita dengan Hero ialah: ketika yang estetik

begitu berkuasa, begitu memukau, benarkah para hadirin tak akan terlampau silau, dan epos

itu pun kehilangan tujuannya, yakni memanggil ingatan?

Mungkin ingatan akan terbit. Dari layar lebar Zhang Yimou mungkin orang akan sadar

tentang sebuah masa yang telah tak ada lagi. Tapi saya kira yang akan didapat dari Hero

Page 313: catatan pinggir

bukanlah sebuah rekaman epik, di mana keberanian merupakan bagian yang esensial dalam

pengorbanan, dan pengorbanan bagian yang penting bagi keadilan. Saya duga yang akan

teringat ialah seperti yang orang ingat tentang

Indonesia di masa lalu: sebuah “mooie Indie“, “Hindia molek” dalam penampilan fotografi

kolonial. Saya kira, film Zhang Yimou ini adalah sebuah penyajian Tiongkok molek,

Tiongkok yang diperindah, ketika Cina dengan cepat berubah, mula-mula melalui sebuah

revolusi sosialis yang ingin memaksa yang estetik jadi traktor, kemudian ke sebuah

transformasi “ekonomi pasar” yang mengubah yang estetik jadi gincu.

Dan Hero adalah sebuah gincu layar lebar. Keindahannya tak tumbuh dari kepedihan.

Tiongkok yang tampak melalui kamera Zhang Yimou sebenarnya tak bergerak, tak bergulat,

tak merasakan luka dan sakit, meskipun bagian sejarah yang dikisahkan di sana adalah

sejarah pembangunan “negara kesatuan” yang brutal di bawah Maharaja Qin.

Para pendekar yang melawan, termasuk si Tanpa Nama, berbicara tentang dendam, tapi kita

tak merasakan mereka sebagai korban. Dalam satu adegan, ribuan anak panah yang

ditembakkan meluncur dari langit bagaikan mega maut yang gelap. Orang-orang terbunuh.

Tapi seakan-akan yang pedih dapat dilupakan dengan yang elegan: lihat, guru tua itu duduk

dengan patutnya dan terus menorehkan kaligrafi, ketika besi-besi tajam itu menghunjam.

Lihat, di atap, si Salju Terbang bagaikan menari tak henti-hentinya ketika ia dengan

pedangnya menangkis beratus-ratus tembakan.

Tak mengherankan bila epos ini akhirnya bukan sebuah konfrontasi berdarah yang

menyebabkan sebuah dunia berubah, seperti epos Revolusi Tiongkok.

Para pahlawan Zhang Yimou adalah mereka yang mengukuhkan apa yang stabil, atas nama

“perdamaian”. Tanpa kita tahu bagaimana prosesnya, sang pembangkang—dimulai oleh si

Pedang Patah yang berkontemplasi dalam silat dan kaligrafi—akhirnya berkesimpulan bahwa

yang penting bukanlah keadilan, melainkan kekuasaan tunggal. Satu “di bawah langit”,

katanya. Dan hadirin pun bertepuk senang. Sang pendongeng tahu: kini revolusi tak bisa

dipasarkan.

~Majalah Tempo Edisi. 52/XXXI/24 Februari – 02 Maret 2003~

Rakus September 22, 2008

Posted by anick in All Posts, Ekonomi, Kapitalisme, Kebebasan, Marxisme.

trackback

Tiap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk, tiap kali Wall Street terbentur, orang jadi

Oliver Stone. Dalam Wall Street, sutradara yang bakat utamanya membuat protes sosial

dengan cara menyederhanakan soal, menampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana

Gekko, diperankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu bagus. ”Rakus itu

benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu… menandai gerak maju manusia.”

Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme” tak cukup bisa dikoreksi

dengan membuat orang insaf. Rakus juga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya

melahirkan ”kapitalisme”.

Page 314: catatan pinggir

Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini.

Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meyakinkan hanya karena dampaknya

bagi pendengar, bukan karena definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata

”pasar”, ”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita.

Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak, nyaris rontok. Setidaknya

sejak Juli yang lalu. Majalah The Economist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di

pusat kekuasaan Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli, Hank

Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga departemennya seakan-akan ia

menteri sebuah negara dengan ekonomi pasar yang baru timbul….”

Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan rencana daruratnya buat

menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan

hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun. Pemerintah memakai

kata ”conservatorship”. Artinya, dewan direksi dicopot, pemegang saham praktis

disingkirkan, tapi perusahaan itu akan terus bekerja dengan Pemerintah jadi penyangga

utangnya. Pendek kata: Pemerintah AS mengambil alih perusahaan itu—kata lain dari

”nasionalisasi”, sebuah langkah yang mirip apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan

akhir-akhir ini di Venezuela.

Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar” dianggap punya daya

memecahkan persoalannya sendiri. Ini terjadi di sebuah era yang masih meneruskan fatwa

Milton Friedman bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal biasanya sama

buruk dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah perekonomian—disebut ”kapitalisme”—

yang prinsipnya adalah siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemungkinan

jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menyepak ke sana-kemari meraih laba di

pasar, kenapa kini mereka harus dilindungi ketika tangan itu patah?

Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri. Tapi tak berarti ”kapitalisme” di

Amerika berhenti sejenak. Memang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan

terhadap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International Group)—menunjukkan

kian besarnya peran ”Negara” dalam perekonomian Bush.

Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebenarnya sebuah simbiosis yang tak

selamanya diakui antara ”Negara” dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie

berarti sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan dana yang dipungut

dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang dilakukan Pemerintah Bush adalah sebuah

”pemerataan” kerugian, bukan ”pemerataan” hak.

Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Negara” juga bisa dilihat dari segi

lain: menurut laporan CNN, selama 10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174

juta untuk melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang ramah kepada

mereka—termasuk ketika tanda-tanda keambrukan sudah terasa.

Tapi jika ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar” ternyata tak sepenuhnya lagi bisa

dipisahkan dengan jelas, apa yang luar biasa? Bukankah sejak abad ke-19 Marx menunjukkan

bahwa ”Negara” selamanya adalah sebuah kekuasaan yang memihak kelas yang berkuasa?

Dikatakan secara lain, bukankah ”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”?

Page 315: catatan pinggir

Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Sejarah politik makin tak mudah

menentukan bagaimana sebuah kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum

pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang lain, dan ”ketidakadilan”

tak hanya menyangkut ketimpangan dalam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis

dan pakar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti memakai mantra dan

makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme” begitu gampang dikatakan.

Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba itu, perang yang melahirkan

mantra dan makian itu, telah sirna. Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu

masih akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama sejarah belum berakhir

dalam mengisi pengertian yang disebut Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara

”keadilan” dan ”kebebasan”, perang tak akan padam.

Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah perjuangan politik. Ketidakadilan

tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, karena administrasi ”Negara”

selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga

tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan budi pekerti, dengan mengubah atau

mengalahkan orang macam Gekko.

Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall

Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone.

~Majalah Tempo Edisi 31/XXXVII 22 September 2008~

Recehan Desember 14, 2009

Posted by anick in All Posts, Elegi, Hukum, Pepeling.

trackback

Di Jakarta yang macet, jalan menampik alasannya sendiri. Sejak Daendels membentangkan

1400 km “La Grande Route” di Jawa di abad ke-18, sampai dengan ketika dinas pekerjaan

umum Republik Indonesia membuka jalur-jalur baru di abad ke-21, jalan diasumsikan

sebagai ruang untuk mobilitas, peringkas waktu tempuh. Ia bagian dari arah dan gerak, dari

dunia modern yang dinamis dan tak tergantung langsung pada alam. Tapi apa yang kita alami

kini? Dengan lekas bisa anda jawab: di Jakarta, jalan sama dengan kelambatan dan hambatan;

jalan adalah bagian kota yang rentan pada gangguan alam. Jalan adalah lahan banjir.

Ada lagi yang menampik alasannya sendiri: mobil. Kendaraan ini berkembang biak dengan

cepat. Dan dengan cepat pula mobil, sebuah tanda modernitas yang lain – teknologi dengan

dinamika tinggi — telah terbalik posisinya: ia malah jadi simptom kesumpekan. Kita bisa

hitung berapa meter persegi wilayah jalan yang diambil oleh satu mobil, dan berapa jadinya

jika ada 500.000 buah jenis kendaraan itu, dibandingkan dengan betapa kecilnya bagian kota

yang tersedia untuk penghuni baru itu. Saya gemar mengutip Hirsch di dalam soal ini: inilah

kongesti, inilah “batas sosial dari pertumbuhan (ekonomi)”.

Mungkin menarik untuk meneliti atau memperkirakan dengan rada persis bagaimana akibat

kongesti ini bagi hidup kejiwaan. Berapa banyak orang makin naik tekanan darahnya jika tiap

hari mereka terjebak macet dan harus menempuh jarak lima kilometer dalam satu jam,

terutama sekitar pukul tujuh malam hari? Atau jangan-jangan telah berkembang sikap sabar

yang tak terhingga?

Page 316: catatan pinggir

Bagi saya, macet memang memberi kesempatan tidur lelap di jok mobil. Atau menulis sajak.

Tapi saya tak tahu bagaimana orang lain memanfaatkan kemacetan itu — yang mengambil

kira-kira tiga jam dalam hidupnya sehari, atau sekitar 18 jam seminggu, atau sekitar tiga hari

kerja dalam sebulan. Yang agaknya jelas adalah implikasinya bagi kehidupan bersama.

Kongesti itu – berjubelnya mobil di jalan-jalan Jakarta tiap hari itu – adalah sebuah gejala

perpecahan sosial.

Kongesti mendorong orang untuk melihat orang lain yang di sebelah, di depan, dan mungkin

juga di belakangnya sebagai pihak yang tak diinginkan. Kompetisi, bahkan antagonisme,

berlangsung diam-diam (kadang-kadang dengan teriak: pakai mulut atau klakson). Menutup

mata tidur juga bisa jadi sikap tak mengacuhkan orang yang di luar sana.

Kemacetan lalu lintas lantaran mobil juga akibat dari yang disebut Hirsch, dalam The Social

Limits to Growth, sebagai ”the tyranny of small decisions”: keputusan individual yang tak

bertautan satu sama lain dalam mengadakan transaksi di pasar. Jika saya membeli mobil, saya

tak memikirkan apa dampaknya bagi kelancaran lalu lintas atau bagi bersihnya cuaca—hal-

hal yang merupakan bagian kebersamaan.

Itu sebabnya, di jalan-jalan, masyarakat – yang biasa dibayangkan sebagai sebuah bangunan

utuh — tak hadir. Polisi lalu lintas – jika pun ada – memperkuat raibnya keutuhan sosial itu,

ketika ia menggunakan kekuasaannya untuk menarik uang sogok.Sebagaimana banyak orang

menghayati mobil dan ruas jalan sebagai milik privat,polisi itu juga memberlakukan

otoritasnya sebagai kekuasaan privat.Saya selalu mengatakan, korupsi adalah privatisasi

kekuasaan yang didapat dari orang banyak.

Kita akhirnya melalaikan bahwa manusia selalu perlu barang dan jasa masyarakat yang,

dalam kata-kata Marx, “dikomunukasikan, tapi tak pernah dipertukarkan; diberikan, tapi tak

pernah dijual; didapat, tapi tak pernah dibeli.” Di kemacetan jalan Jakarta, kita tak lagi

bertanya, tak lagi peduli, di mana gerangan hukum, kelancaran, dan udara bersih.

Berangsur-angsur, tiap orang pun merasa bisa mengabaikan public spirit, moralitas dan

semangat untuk kepentingan publik.

Ada ikhtiar untuk menangkal kecenderungan itu dengan mengendalikan kapitalisme dari

bahaya “tirani keputusan-keputusan kecil”. Itulah inti dari “kompromi Keynesian”, cara

Keynes untuk menyelamatkan kapitalisme dari fragmentasi yang berkelanjutan. “Kompromi

Keynesian” mengakui bahwa tak semua bisa diserahkan kepada pasar. Diakui bahwa public

spirit selamanya perlu.

Ketika zaman neoliberal kini ditinggalkan, ketika “kompromi Keynesian” diangkat untuk

dijadikan kebijakan lagi, timbul lagi keyakinan bahwa perilaku pasar tak bisa dijadikan

tauladan bagi seluruh perilaku sosial. Ada pengakuan bahwa kekuatan yang bukan-pasar

(Negara dan para teknokratnya) harus – dan bisa — memiliki ketahanan untuk

mengembangkan nilai yang berbeda, khususnya nilai yang tak membenarkan manusia

memaksimalkan kepentingan diri.

Tapi benarkah asumsi yang tersirat dalam “kompromi Keynesian” itu, bahwa para para

pejabat Negara yang jadi pengelola sistem sosial-politik dan ekonomi niscaya punya nilai

tersendiri?

Page 317: catatan pinggir

Kenyataannya di Indonesia, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya bebas dari “tirani

keputusan-keputusan kecil”. Di atas saya telah sebutkan korupsi sebagai privatisasi

kekuasaan. Maka kita pun bertanya dengan murung: masih adakah tempat bekerjanya apa

“yang-sosial”, apa yang menampik nafsi-nafsi?

Mungkin jawabnya bukan di kantor pemerintah dan pos polisi di pojok perempatan. Mungkin

jawabnya bukan di jalan-jalan yang macet di mana orang saling hendak menyisihkan.

Jawabnya ada di dekat kita sendiri.

Ketika Prita didenda Hakim – yakni petugas Negara yang tak adil – kita secara spontan

berduyun-duyun datang untuk bersama perempuan yang dizalimi itu. Kita datang dengan

uang recehan – fragmen dari sebuah kesatuan yang tak nampak — yang justru menunjukkan

sesuatu yang mengagumkan: kita belum menyerah kepada “tirani keputusan-keputusan

kecil”. Kita adalah bebrayan: sesama yang bisa punya saat bersama. Setidaknya sampai hari

ini.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Desember 2009~

Rendra, (1935-….) Agustus 10, 2009

Posted by anick in All Posts, Elegi, Sastra, Tokoh.

trackback

SAYA tak bisa mengerti bagaimana Rendra ”pergi selama-lamanya”, kecuali bahwa jasad itu

dimakamkan, 7 Agustus 2009, dalam umur hampir 74. Rendra tak pernah mati: ia telah

memberi kita puisi.

Lalu terdengarlah suara

di balik semak itu

sedang bulan merah mabuk

dan angin dari selatan.

Sajak seperti ini ditulis sekitar setengah abad yang lalu. Tapi deskripsinya yang bersahaja dan

terang tetap menyembunyikan sesuatu yang seakan-akan baru terungkap secara mendadak

buat pertama kalinya hari ini. Rendra menghadirkan yang tak terhingga. ”Tujuh pasang mata

peri/terpejam di pohonan”. Imaji seperti itu terus-menerus tak bisa dibekukan oleh tafsir.

Puisi tentu saja bisa beku, juga puisi Rendra. Ini terjadi ketika apa yang tumbuh dan hidup

dari dalamnya—yaitu yang fantastis, yang ganjil, yang misterius—ditiadakan. Ini yang terjadi

ketika puisi diambil alih perannya oleh ajaran, dengan niat bisa berguna secara efektif. Dan

zaman bisa membutuhkan itu: karena keadaan, kita dengan brutal menuntut puisi untuk mati

suri.

Saya tak ingin Rendra, yang sebagai penyair rela mengorbankan banyak hal—termasuk apa

yang terbaik dari dirinya—harus dikorbankan berkali-kali.

Page 318: catatan pinggir

Sebab itu, ketika kini Rendra hanya diingat sebagai suara kritik dan kearifan sosial yang

menggugah, saya ingin mengenangnya lebih dari sekadar itu.

l l l

Di sekolah menengah pertama sekitar tahun 1955, saya terpesona membaca sajak Litani

Domba Yang Kudus di majalah Kisah. Sajak Rendra ini melantunkan pengulangan yang

berbunyi seperti dalam doa, tapi juga seperti permainan anak-anak yang tangkas, dengan

imaji yang datang dari khazanah yang terasa akrab—yang datang dari latar agama Katolik

yang membesarkan sang penyair. Seperti sebuah sajak lain dari masa ini, yang ditulisnya

sekitar hari sakramen pernikahannya dengan Sunarti Suwandi:

Di gereja St Josef

tanggal 31 Maret 1959

di pagi yang basah

seorang malaikat telah turun.

Seorang malaikat remaja

dengan rambut keriting

berayun di lidah lonceng.

Maka sambil membuat bahana indah

dinyanyikan masmur

yang mengandung sebuah berita

yang bagus.

Dan kakinya yang putih indah

terjuntai

Suara itu sungguh berbeda dari corak umum puisi tahun 1950-an lain. Puisi Rendra adalah

sebuah kecenderungan naratif yang unik, lincah, cerah, dan acap kali amat manis.

Seorang kritikus, Subagio Sastrowardojo, menunjukkan bahwa dalam sajak-sajak Rendra

terdapat pengaruh kuat puisi penyair Spanyol Federico Garcia Lorca, yang di Indonesia

waktu itu diperkenalkan dengan bagus oleh Ramadhan K.H. Tapi orang juga bisa

mengatakan, dalam puisi Rendra masa itu bergema lagu dolanan anak-anak Jawa. Bagi saya

itu menunjukkan, tak seperti Chairil Anwar dan Rivai Apin yang berseru memilih laut dan

meninggalkan daratan, Rendra—seperti Lorca, seperti dolanan anak-anak dusun—lebih akrab

dengan lanskap yang terdiri dari bukit, jalanan, rumpun, daun, dan burung-burung. Dalam

buku Empat Kumpulan Sajak, ada kutipan sepucuk suratnya kepada sahabatnya, D.S.

Page 319: catatan pinggir

Moeljanto, bertahun 1955, yang menyatakan bahwa ia ingin ”tetap bergantung pada daun-

daun, dan air sungai”

Bagi Chairil, Rivai, dan Asrul Sani—mungkin karena mereka datang dari lingkungan yang

terbentuk oleh adat merantau—laut adalah kemerdekaan, dengan risiko menghadapi

malapetaka dan kesendirian. ”Apa di sini,” kata Rivai Apin memaki tanah asal dalam salah

satu sajaknya, ”batu semua!”

Puisi Rendra, sebaliknya, tak merayakan laut, tak menggambarkan diri sebagai kelasi yang

hanya singgah di bandar asing dengan perempuan yang cukup dipeluk untuk beberapa saat.

Pada 1953, dalam sebuah pidato tentang Chairil Anwar di hadapan ”sastrawan-sastrawan

muda Surakarta”, ia mengecam para seniman yang meniru-niru ”jalang”-nya Chairil Anwar.

Para pembuntut macam itu, kata Rendra, hanya ”menjalang dengan otak babinya”.

Rendra tak terbatas mengkritik para epigon Chairil Anwar. Terhadap sikap Chairil sendiri ia

menarik garis. ”Konsekuensi dari ajakan melepas nafsu Chairil dalam sajaknya Kepada

Kawan,” demikian kata Rendra, ”adalah penghapusan undang-undang, yang berarti lebih

dahsyat dari bom atom.”

l l l

Pandangan itu kemudian berubah; kita memang tak bisa berbicara tentang satu Rendra. Ia

kemudian mempesona kita ketika ia berbicara tentang peran soal ”orang urakan”: orang-

orang yang, seperti Ken Arok dalam sejarah, berada di luar ketertiban hukum, bahkan

merupakan antitesis dari ketertiban sebagai ideologi yang berkuasa, dan dengan posisi itu,

para ”urakan” justru berperan untuk pembaharuan, transformasi sosial, dan pembebasan.

Pada akhirnya, posisi ”urakan” bagi Rendra lebih penting dan lebih menarik ketimbang posisi

pembela ketertiban. Meskipun ia tak pernah memaki tanah asal sebagai ”batu semua!”

sebagaimana Rivai Apin, ia tak pernah tergerak untuk mensakralkan tempat tinggal, rumah,

dan negeri asal.

Hubungannya dengan tradisi, dalam hal ini tradisi Jawa, tak akrab. Baginya kebudayaan Jawa

adalah sebuah ”kebudayaan kasur tua”: sebuah tempat mandek yang hanya enak buat tidur

nyenyak.

Tapi ia melihat tradisi dan masa lalu tak satu. Masa lalu yang dikecamnya adalah

”kebudayaan Jawa baru, yang kira-kira dimulai abad ke-18 atau akhir abad ke-17”. Ada masa

lalu lain, yang menurut Rendra dilupakan orang Jawa sendiri. Dalam ”tembang-tembang

kuno,” katanya, ”ada ajaran yang mengajak kita untuk mandiri, untuk berdiri sendiri, untuk

mengada.”

Rendra tak menyebut dengan jelas ”tembang kuno” mana yang mengajarkan demikian. Ia

hanya menyebut kisah Dewa Ruci, kisah tentang Bhima yang mencari dan kemudian

menemukan ”dirinya sendiri”. Agaknya yang jadi soal bukanlah tradisi itu sendiri, tapi

kemandekan yang mencekik individu. Dalam kebudayaan tradisional yang ada, kata Rendra,

”individu belum diketemukan”.

Page 320: catatan pinggir

Pada 1967 ia pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di Kota New York. Dari sana datang

beberapa puisinya yang matang dan memukau, yang terkumpul dalam Blues Untuk Bonnie.

Dalam sepucuk surat yang ditulisnya dari sana, bertanggal 29 Mei 1967, ia mengatakan,

”Perubahan terjadi di dalam saya…. Adapun yang paling memberikan kesan pada kesadaran

saya dewasa ini ialah ilmu pengetahuan. Saya merasakan ini sebagai imbangan yang sehat

untuk kesadaran mistik dan seni yang ada dalam diri saya”.

Dari sini ia berbicara untuk melaksanakan ”firman modernisasi”. Ia bersuara tentang agar

orang Indonesia ”melawan alam”. Ini ditandaskannya kembali ketika ia, bersama awak

Bengkel Teater Yogya memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 1969. Ia berpidato dengan

teks yang ditulis tangan. Ia berbicara bagaimana di Barat kehidupan diatur oleh mesin bikinan

manusia, dan bagaimana di Indonesia individu bagaikan sekrup dan gotri yang ditentukan

perannya oleh semacam mesin lain, yakni alam. Individu tak bisa merdeka, katanya, karena

seluruh hidupnya hanya merupakan onderdil yang sudah ditetapkan status dan tugasnya

dalam tradisi. Panggilan zaman yang sekarang adalah melawannya, kata Rendra.

Di sini ada gema yang kembali dari pemikiran yang dibawakan para sastrawan pada 1930-an,

terutama oleh S. Takdir Alisjahbana. Suara itu kemudian dilanjutkan Soedjatmoko ketika

menulis pengantar buat majalah Konfrontasi pada 1955: ia menjelaskan kenapa harus ada

”konfrontasi” dengan ”faktor-faktor kebudayaan” yang tidak mendukung pembangunan

bangsa. Rendra meneruskan ”firman modernisasi” itu.

Tapi dunia modern, sebagaimana dicemaskan Sanusi Pane, seorang penganut Theosofi yang

memuja masa lalu India, punya sisi gelap. Tak ada yang baru di sini: Max Weber

meramalkan bahwa ”akal instrumental” yang memacu dunia modern pada akhirnya akan

membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Mazhab Frankfurt melihat ”Pencerahan”

yang membawa ”firman modernisasi” pada akhirnya melahirkan penindasan.

Sanusi Pane memandang sisi gelap itu seraya memegang gambaran tentang ”Timur” dalam

idealisasi kaum Orientalis. Akhirnya, sebagai kelanjutan sikap ”anti-Barat”, penyair Madah

Kelana itu memuja semangat Jepang yang fasistis.

Berbeda dari Sanusi, kaum intelijensia Indonesia yang hidup dalam dasawarsa 1970 dan 1980

punya acuan lain.

Inilah masa ketika Soedjatmoko, yang agaknya terpengaruh oleh Schumacher, dan

Schumacher yang terpengaruh oleh Buddhisme, berbicara tentang perlunya ”teknologi

madya”. Ini juga masa ketika Arief Budiman mengedepankan ”teori dependenzia” yang

mengecam ”ketergantungan” Dunia Ketiga kepada modal. Ini juga masa ketika Rendra

mementaskan Mastodon dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga, yang mengkritik

”pembangunanisme” kekuasaan ”Orde Baru”.

Tampak ada perubahan yang tajam dari seruan ”modernisasi” dan ”melawan alam” yang

ditulisnya pada akhir 1960-an. Saya tak tahu, adakah perubahan itu mendasar sifatnya dan

akan menetap. Dunia sedang bergeser lagi. Semangat ”teknologi madya” yang merupakan

”Gandhisme baru” tampaknya tak bergema lagi, mungkin karena dari ide itu tak ada jawaban

bagaimana negeri-negeri miskin akan bertahan menghadapi negeri yang memakai teknologi

tinggi. Teori ”dependenzia” sudah ditinggalkan para teoretikusnya sendiri di Amerika Latin.

Pembangunan sosialis model RRC zaman Mao digantikan pembangunan ala borjuis dengan

gegap-gempita dan mencengangkan dunia.

Page 321: catatan pinggir

Rendra belum menjawab pergeseran besar ini. Tapi ia telah memberi kita sebuah kearifan

yang boleh dibilang inti dari ”firman modernisasi” yang sering dilupakan. Kearifan itu

tersirat dari kata-katanya: ”Kreativitas saya adalah kreativitas orang yang bertanya pada

kehidupan.”

l l l

Puisi bukanlah sebuah pertanyaan, tapi puisi tak ingin menjebak kita dengan jawaban.

Seorang penyair akan merasakan gundah ketika orang ramai menuntutnya jadi pemberi fatwa.

Rendra—di pentas selalu karismatis, suaranya memukau—akan dengan gampang berada

dalam status itu: seorang penyair yang jadi intelektual publik karena keadaan yang tertekan

memaksanya demikian, dan seorang intelektual publik yang kata-katanya berubah jadi

khotbah karena orang ramai—dengan dorongan tersendiri— mendesaknya.

Saya kira ada kegundahan itu dalam Khotbah, salah satu sajak yang akan kekal dalam sejarah

kesusastraan mana pun.

Fantastis.

Di satu Minggu siang yang panas

di gereja yang penuh orangnya

seorang padri muda berdiri di mimbar.

Wajahnya molek dan suci

matanya manis seperti mata kelinci

dan ia mengangkat kedua tangannya

yang bersih halus bagai leli

lalu berkata:

”Sekarang kita bubaran

Hari ini khotbah tak ada”.

Tapi orang-orang tak beranjak. Mereka tetap berdesak-desakan. Mata mereka menatap

bertanya-tanya. Mereka ingin benar mendengar. Mereka pun berdesah, barbareng, dengan

suara aneh. Padri itu menyaksikan semua itu dengan cemas:

”Lihatlah aku masih muda.

Biarkan aku menjaga sukmaku.

Silakan bubar.

Page 322: catatan pinggir

Ijinkan aku memuliakan kesucian.

Aku akan kembali ke biara

Merenungkan keindahan Ilahi.”

Tapi orang banyak itu tak membiarkannya. Mereka tak mau bubar. Mereka akhirnya

mendesak, dan dalam sebuah orgi yang buas dan bernafsu, memperkosa sang padri,

mencincang dagingnya, memakannya, dalam suara gemuruh, ”cha-cha-cha, cha-cha-cha…”

Fantastis.

Jakarta, 8 Agustus 2009

~Majalah Tempo Edisi 8 Agustus 2009~

Like this:

Suka

Be the first to like this post.

Komentar»

1. zul azmi sibuea - Agustus 20, 2009

masih ingat sekali ketika pembagunan-isme itu dilantunkan, isme itu hampir seperti

keber-iman-an baru bagi siapa yang turut serta dan khusu’ dalam ritus itu, bila tidak

akan dicap murtad, artinya keluar dari “kelompok” atau “cult, atau sekte” itu. pada

1953, dalam pidatonya rendra menentang peng “cult” usan dengan gaya sarkasm

terhadap “jalang” nya chairil anwar, dan mengatakan bahwa mereka ”menjalang

dengan otak babinya”.

kita melihat dalam sejarah bagaimana “isme” terbentuk, bagaimana “ke-imanan baru”

lahir, yang selalu bermula dari penyampaian kabar dari ilahi yang dibawa oleh

pembawa pesannya (messenger, utusan,nabi, rasul), kemudian mereka berdakwah

menyampaikan mitos tersebut kesegenap khalayak ramai – jadi cerita pembangunan,

jadi cerita “sijalang yang terbuang” yang pada hakekatnya adalah “mitos” yang

disampaikan oleh “tokoh” nya.

bila tidak demikian, tentu kita tidak mengatakan bahwa w.s.rendra (1935-…)

“legendaris”, ia sudah menjadi tokoh legenda yang diceritakan banyak orang dalam

mitos pengantar tidur.

selamat jalan mas willy.

Balas

2. berbagi informasi - Agustus 20, 2009

Page 323: catatan pinggir

Just can say: selamat jalan burung merak

Balas

3. Nyubi - Agustus 23, 2009

Rendra: A Pigeon with Eagle Eyes

Balas

4. isoelaiman - Agustus 25, 2009

Rendra,

tatkala kata ia sentakkan mantra,

ingin ia memastikan,

agar sang penguasa bergetar,

terkaget, tersipu malu,

menhentikan “kebejatannya”

lalu mendekat ke rakyat,

kemudian, yang terjadi, terjadilah,

heemmm, ia merasa

telah menyampaikan pekikan nuraninya,

dan dengan begitu,

selesailah keberadaannya.

Balas

5. ochidov - Agustus 31, 2009

burung-burung menghentak ketakutan, ikan-ikan meleleh dan daun-daun terbakar…

ketika matari berteriak juga kesunyian mati

Burung Merak tetap tegak

satukan kotang-kotang PSK

keringat di Bantar Gebang

ilusi

dan mereka berujar ;

“kamu belum mati, pun sampai hari ini”

aku masih tak percaya.

Balas

6. Ichan - September 16, 2009

berbicara tentang Rendra, adalah berbicara melampaui zaman, melintasi berbagai

sejarah kehidupan bangsa, berbicara orang2 yang dipinggirkan, pelacur, dekadensi

moral, perjalanan spiritual dan banyak hal lainnya. Rendra adalah persembahan Tuhan

untuk dunia. Semoga akan tumbuh lebih banyak lagi Rendra2 masa depan untuk

bangsa ini.

Balas

Page 324: catatan pinggir

7. raz ghaz - September 20, 2009

aku baru aja sempat menonton baca puisi rendra :”sajak sebatang lisong” dari internet.

mengagumkan sekali. burung merak muda toh tak kalah ketika sudah jadi legenda.

Balas

8. raz ghaz - September 20, 2009

selamat jalan buat engkong rendra..salah seorang putra terbaik indonesia..kami yg

muda yang bercinta, akan selalu memandangmu sebagai suatu suara yang coba

memberi arah penyedaran.,suluh dan jiwa memberontak, yang peduli…menrik2

kearah kekritisan dan sikap intlektual yang perlu mengambil peranan dalam

kehidupan.

“sajakku

pamplet masa darurat

apalah artinya renda2 kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan

apalah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan

kepadamu…

aku bertanya…”

Repetisi Juli 5, 2010

Posted by anick in All Posts, Kapitalisme, Modernisme, Pepeling.

trackback

Pada suatu hari saya berjalan dalam sebuah mall, di sepanjang deretan etalase. Seakan-akan

melangkah di atas ruas jalan yang telah dipindahkan dari tengah kota ke sebuah interior, saya

tertegun. Beberapa detik lamanya, saya tak tahu saya sedang di mana.

Di saat itu saya sadar, sebuah mall bukanlah sebuah titik dalam peta bumi. Ia bukan sebuah

lokasi; berada jauh dari langit dan tanah, ia seakan-akan tak tersentuh waktu + unsur alam. Di

mana pun letaknya, ia sesuatu yang generik: sebuah atau serangkaian bangunan besar yang

berisi pelbagai toko dan restoran. Untuknya, konteks tak diperlukan.

Mungkin karena mall adalah sebuah pengulangan. Saya bisa berpindah dari yang satu ke

yang lain dan mengalami hal yang sama. Toko-toko itu memajang merek yang sama pula dari

satu bangunan ke bangunan lain. Baik di Oxford Road, Singapura, ataupun di Senayan,

Jakarta; baik di Brunswick, Melbourne, ataupun di Queensway, Hong Kong, model-model

yang ditampilkan di pelbagai tempat itu praktis serupa—setidaknya dengan potongan tubuh

dan gaya yang tak berbeda—dengan kaca-kaca etalase yang bermiripan.

Repetisi tampaknya punya peran tersendiri di sini. Ia perpanjangan dari sifat fashion.

Fashion, atau mode, tiap kali memang memperbarui diri, tetapi sebenarnya ia merupakan

cerminan pengulangan. Ia hidup dengan membuat keinginan datang berulang kali untuk

memperoleh merek favorit itu lagi, lagi, dan lagi.

Page 325: catatan pinggir

Ia juga perlu mengulang-ulang kehadirannya karena ia adalah penanda yang ingin diingat.

Sebagai keseluruhan, etalase-etalase dengan manekin dan poster yang itu-itu juga ingin

meninggalkan bekas di bawah sadar kita, agar mereka (Zara, Prada, Giorgio Armani,

Versace…) terkait secara permanen sebagai penanda kemolekan, ketampanan, kemutakhiran,

yang makin memenuhi angan-angan kita.

Di dalam etalase mall itulah agaknya pelbagai komoditas, diwakili manekin berdandan dan

poster wajah + tubuh yang memikat, ”seakan-akan sosok-sosok yang otonom” yang hadir

”dengan kehidupan mereka sendiri”, seperti dikatakan Marx ketika ia berbicara tentang

”fetisisme komoditas” dalam Das Kapital. Benda-benda itu bukan lagi seperti produk dan

kreasi orang. Mereka berhubungan dengan sesama mereka, selain dengan umat manusia.

Demikianlah di kaca-kaca yang tak kunjung habis itu mereka bersaing, tapi semua melihat ke

arah kita, mengajak kita masuk ke dalam dunia di mana mereka jadi pusat. Kaca itu seakan-

akan menyediakan diri sebagai cermin. Dan sebagaimana layaknya cermin, ia menyajikan

ilusi tentang diri yang utuh. Ia juga mendorong kita untuk melihat diri sendiri silih berganti

antara ”tampan” dan ”kurang tampan”.

Dalam peralihan itu, lahirlah hasrat. Hasrat adalah tanda manusia sebagai kekurangan.

”Menghasratkan,” kata Gabriel Marcel, yang menulis sebuah telaah fenomenologis yang

terkenal tentang ”punya” (l’avoir), ”adalah punya tanpa mempunyai.”

”Punya” mengandung ketegangan, antara yang empunya dan yang dipunyai, antara qui dan

quid. Di satu pihak, sesuatu yang dipunyai, quid, adalah sesuatu yang di luar aku yang

empunya, qui. Tapi di lain pihak, ia bagian dari diriku. Itu sebabnya, kata Marcel, ”Ada

semacam penderitaan atau perasaan terbakar yang merupakan satu bagian hakiki dari

hasrat”—satu kesimpulan yang berabad-abad sebelumnya telah disebutkan Sang Buddha

dalam kata dukha.

Termasuk dalam penderitaan, ketakseimbangan, keterasingan itu adalah convoitise, sebuah

sikap yang dalam bahasa Jawa disebut mélik. Dalam Baoesastra Djawa yang dihimpun

W.J.S. Poerwadarminta (1939), kata itu berarti ”hasrat atau keinginan untuk mengambil,

memiliki”.

Salah satu sifat mélik: ia tak punya obyek tertentu. Keinginan itu lebih merupakan keinginan

mempunyai tanpa sasaran yang sudah dipilih sebelumnya. Ada unsur rasa cemburu dan

gelora hati di dalamnya yang berbau busuk. Sebuah kata-kata mutiara Jawa yang terkenal

memperingatkan bahaya itu: mélik nggéndhong lali—hasrat dan kecemburuan untuk

memiliki membawa dalam dirinya sikap melupakan perilaku yang baik.

Tapi mall demi mall, etalase demi etalase, pada akhirnya adalah kuil-kuil di mana fetisisme

komoditas jadi ritual, dan mélik jadi ketaatan. Tentu, tak semua menyebabkan lahirnya

perilaku buruk. Kapitalisme, yang melembagakan hasrat dan iri hati, pada akhirnya

menggerakkan dunia. Bahkan Marx sendiri mengatakan bahwa manusia, sebagai makhluk

yang dibentuk dari tubuh yang melihat, menghidu, menyentuh, mencicip, dan mendengar,

yang haus dan lapar, adalah makhluk yang menderita (leidendes Wesen) dan sebab itu,

dengan gairah, dengan semangat, ia mendapatkan kekuatan menggapai obyeknya.

Tapi saya ingat sebuah lukisan kaca dari Jawa Tengah: Petruk (seperti mengacu ke parodi

wayang terkenal, Petruk Jadi Raja) duduk di kursi, memangku seorang perempuan, salah satu

Page 326: catatan pinggir

tangannya memegang botol minuman. Ruangan besar, ada tanda-tanda kekayaan yang untuk

ukuran sang pelukis rakyat sangat mewah. Di gambar itu tertulis huruf-huruf Jawa: mélik

nggéndhong lali. Hasrat dan convoitise pada akhirnya bukan saja melahirkan nafsu tubuh,

tapi juga hilangnya batas pengertian milik. Milik yang selalu berarti privat, bergerak ke luar.

Dari sinilah akumulasi terjadi: menghimpun modal jadi kekuasaan, menguasai puluhan

rumah secara sah dan tak sah, menyimpan harta dari penyalahgunaan milik publik.

Tapi di mana akhirnya? Mall demi mall, etalase demi etalase, akan selalu mengulangi

ritualnya. Manusia hanya bisa bebas jika ia melintasi obsesi ini: milikku, milikku, milikku.…

~Majalah Tempo Edisi Senin, 05 Juli 2010~

Revolusi Februari 11, 2011

Posted by anick in All Posts, Revolusi.

trackback

Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak

revolusi pertama dalam sejarah modern.

Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika.

Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk

membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun

bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan

cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan

Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang

perempuan.

Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima

bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara

pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis

yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan

seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab:

”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”

Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah

yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa

tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.

Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama—yang

pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”:

”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam

dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun

sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.

Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno

pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah

dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang

berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-

Page 327: catatan pinggir

kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya

sendiri.”

Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina

untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin.

Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba,

dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.

Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di

awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….

Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini,

Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak

Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan

diri dengannya.”

Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini”

di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang

paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan

satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul

Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”

Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun”

dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah

revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?

Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita

menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa

bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan,

kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi

hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek)

tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan

langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah.

Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.

Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk

lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke

”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan

di situ, ”kita” ditiadakan.

Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan,

keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum.

Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan

harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?

Page 328: catatan pinggir

Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia,

dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu

kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang

besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.

Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya

sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai.

Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Februari 2011

Rosa Desember 11, 2006

Posted by anick in Agama, All Posts, Kapitalisme, Marxisme, Perempuan, Sosialisme, Tokoh,

Tuhan.

trackback

Saya ingin bercerita tentang harapan yang tak selamanya berkaitan dengan Tuhan, meskipun

ini bulan Desember. Juga tak ada hubungannya dengan kabar baik yang ditawarkan katedral

baru kapitalisme, di mana lagu Malam Sunyi disebar di ruang terang-benderang bukan untuk

menyambut sunyi—ruang-ruang Pondok Indah Mall, Senayan City, dan entah apa lagi.

Saya ingin bercerita tentang harapan justru dari sebuah sel gelap yang menyekap seorang

yang menolak kapitalisme dan menampik Tuhan. Ia Rosa Luxemburg, tokoh besar dalam

sejarah sosialisme Eropa yang akhirnya mati dibunuh.

Syahdan, pada bulan Desember 1917, Rosa menulis sepucuk surat dari Penjara Breslau.

Perempuan ini disekap pemerintah Jerman karena ia, seorang warga negeri baru, dengan

berani dan berapi-api menentang perang yang tengah berlangsung dengan gegap-gempita

genderang patriotisme.

Tahun-tahun itu banyak hal terjadi: revolusi, aksi massa buruh, perpecahan kaum sosialis,

nasionalisme yang berkibar-kibar, dan ketegangan politik Eropa dalam perang. Rosa

Luxemburg disekap—setahun kemudian ia dibunuh—tapi aneh, sepucuk surat itu tak

membahas hal-hal besar itu.

”Di sinilah aku terbaring,” tulisnya, ”dalam sebuah sel gelap di atas lapik yang keras seperti

batu; gedung ini sesunyi sebuah pelataran gereja, begitu rupa hingga orang sama saja dengan

dikuburkan.”

Seraya rebah itu ia melihat seberkas kecil cahaya jatuh lewat jendela ke atas dipan, cahaya

dari lampu yang menyala sepanjang malam di depan penjara. Sekali-sekali didengarnya

lamat-lamat suara gaduh kereta yang lewat atau, tak jauh dari tempat tidurnya, suara batuk

kering penjaga bui yang dengan sepatu larsnya yang berat jalan-jalan sejenak untuk

meluruskan kaki. Tapi dalam keadaan bosan, tak bebas, dan kedinginan itu ada perasaan

ganjil:

”…jantungku berdetak dengan rasa riang yang tak terukur dan tak dapat dimengerti, seakan-

akan aku tengah memasuki cahaya matahari yang cemerlang yang melintasi ladang bunga.

Dan di dalam gelap aku tersenyum kepada hidup, seakan-akan akulah pemilik tuah yang

Page 329: catatan pinggir

memungkinkan aku mengubah semua yang keji dan tragis ke dalam ketenteraman dan

bahagia”.

Kenapa? Kenapa ia bisa tersenyum kepada hidup justru dalam sel yang dijaga itu? Ia men

Rumah Juni 28, 2010

Posted by anick in All Posts, Identitas, Indonesia, Modernisme.

trackback

DI ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, sebuah dusun di Flores Barat mencoba

mengingat.

Di Desa Wae Rebo itu, orang membangun kembali rumah adat mereka yang berbentuk

kerucut—setelah entah berapa lama hanya empat yang tertinggal dari tujuh yang pernah

berdiri, setelah pohon kayu worok tak mudah lagi didapat untuk bahan tiang utama, setelah

sawah ladang tak cukup bisa membuat surplus. Generasi silih berganti selama 1.000 tahun;

mereka membentuk sejarah, dibentuk sejarah. Kebutuhan baru datang, dan desa didefinisikan

oleh kekurangan yang dulu tak ada. Pada abad ke-21, ingatan tak lagi berwibawa: hanya

sebuah gudang berisikan hal-hal yang aus.

Waktu memang bukan teman untuk Wae Rebo—sebagai nama yang dicoba disimpan dalam

ingatan dan dilambangkan oleh rumah adat. Waktu bukan teman bagi banyak dusun tua lain

di Indonesia, di mana rumah pernah memiliki ”kosmisitas”, di mana (jika saya tafsirkan

pengertian Bachelard ini) orang bisa merasakan getar dari tiang yang menjulang, seakan-akan

tiap saat bumi menjangkau yang kosmis.

Kita, hidup di kota yang makin padat, mungkin bahkan tak lagi sempat mempedulikan yang

kosmis nun di atas. Yang vertikal di tempat tinggal dan tempat kerja kini dilambangkan oleh

bangunan bertingkat yang tiap lantai bisa didatangi dengan lift. Ia jadi sesuatu yang

horizontal. Tubuh kita tak mendaki.

Berbeda dengan nenek moyang orang Wae Rebo, kita tak berteman dengan ruang. Penghuni

Wae Rebo yang hidup di antara gunung itu menyadari mereka bagian dari tamasya yang lebih

luas ketimbang dusun. Sementara itu, di Jakarta, para pembangun rumah susun memaksa

ruang atau dipaksa ruang; konstruksi mereka lahir dari impuls geometris.

Impuls ini—”geometrisme”, kata Bachelard—menggariskan batas yang lurus-kaku, dan

dengan itu memisahkan apa yang di luar dan di dalam. Di hampir semua segi kehidupan,

ruang terbuka dianggap serasa ancaman, karena akan datang yang ajaib dan tak dapat

dikalkulasi. Manusia tak takut klaustrofobia; mereka menanggungkan agorafobia.

Tapi barangkali akan berlebihan bila kita terus-menerus mengeluhkan kota-kota zaman ini

dan menyesali modernitas. Modernitas, yang memacu dan dipacu waktu, mendorong X, Y, Z

ke masa lalu, dan kemudian mengubah semua itu jadi nostalgia. Namun nostalgia justru

menunjukkan bahwa kita terpaut pada masa kini: kita memandang X, Y, Z dari posisi

manusia masa sekarang yang sedang takut kepada lupa.

Page 330: catatan pinggir

Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan. Sebab itu kita tak perlu

mencemoohnya: ia bagian yang memperkaya hidup kita sekarang, karena mengakui ada dari

masa silam yang begitu penting, begitu bagus, dan kita ingin tahu.

Maka jika sejumlah arsitek muda dari Jakarta pada suatu hari di tahun 2009 berjalan berjam-

jam mendaki ke Dusun Wae Rebo, dan di sana mengagumi konstruksi rumah adat itu, jika

mereka kemudian membentuk sebuah yayasan buat menghidupkan lagi kepiawaian

arsitektural di pelosok-pelosok Indonesia, jika kemudian ada dermawan yang membiayai

usaha untuk mensyukuri tanah air dengan cara yang kreatif itu—itu semua menunjukkan

bahwa nostalgia itu adalah bagian dari pencarian hal-hal yang baru dan berbeda. Buku yang

kemudian mereka terbitkan, Pesan dari Wae Rebo (editor Yori Antar, terbitan Gramedia

Pustaka Utama, 2010) adalah rekaman semua itu.

Rasa ingin tahu itu sebenarnya mengandung kritik. Di situ ia sebenarnya bagian dari

modernitas, yang tak mau hanya menerima apa yang ada. Dan modernitas bergerak karena

kritik itu juga tak jarang ia tujukan ke dalam dirinya sendiri.

Salah satu otokritik yang terkenal menunjuk kepada ketakmampuan kita untuk merasakan

tempat kita tinggal sebagai bagian dari Hidup yang tiap kali membuat takjub. Kini kita

kehilangan pesona dunia: harum kembang, suara burung, warna fajar, telah jadi

”pengetahuan”. Rumah telah jadi kamar persegi panjang.

Heidegger, yang dengan suara berat melakukan otokritik kepada abad ke-20, mengingatkan

kita akan makna kata bauen. Baginya, makna kata itu bukan saja mengacu kepada

”membangun”, tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua yang fana, tapi juga

bagian dari apa yang tumbuh—baik karena benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan.

Tapi di mana kini kita bisa bicara seperti itu?

Ini abad ke-21. Otokritik itu juga perlu kritik. Manusia tak lagi, untuk menggunakan kalimat

penyair Hölderlin di Jerman abad ke-18, ”berdiam secara puitis” (dichterisch wohnet der

Mensch). Di kota-kota Indonesia yang padat, manusia berhubungan dengan ruang hidupnya

sebagai prosa dengan angka-angka di akta tanah.

Tapi tak hanya itu. ”Berdiam secara puitis” agaknya hanya bisa diutarakan oleh mereka yang

punya rumah yang sejuk dan tenang, mungkin bahkan dengan hutan dan sungai di dekatnya.

Tak semua orang punya privilese itu. Kuli bangunan yang menginap dari tempat ke tempat,

para pemulung yang membuat kereta-kotak jadi kamar tinggal mereka yang bisa diparkir di

mana saja, punya pengertian lain tentang ”rumah”.

Pada akhirnya, rumah adalah respons kepada kebutuhan tubuh, yang berkembang jadi

rencana dan imajinasi. Ingatan tentang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari

respons itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temunya. Bukan dalam

bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan menemukan cara yang pas, di suatu masa, di

suatu tempat, di sebuah kondisi berkelebihan dan berkekurangan.

Maka kita akan dapat sesuatu yang berharga jika dari Desa Wae Rebo kita temukan sesuatu

yang baru di dalam bentuk fisik yang tampak lama. Kita mengingat, tapi kita tak mengulangi.

Sejarah tak bisa diulangi. Sejarah berubah. Antara lain melalui kreasi.

Page 331: catatan pinggir

~Majalah Tempo Edisi Senin, 28 Juni 2010~

Saladin Januari 19, 1991

Posted by anick in Agama, All Posts, Kisah, Sejarah, Tokoh.

trackback

Saya coba mendoakan arwah Saladin di depan makamnya, di sebuah ruangan di belakang

Masjid Umayyah yang berumur lebih dari 12 abad itu di Damaskus. Tapi konsentrasi diri

saya rasanya tak betul. Barangkali sesuatu telah mengganggu hati saya.

Makam itu –makam orang yang termasyhur dalam sejarah itu, orang yang besar jasanya itu,

orang yang dipuji bahkan oleh musuh-musuhnya itu– terasa kusam. Seperti kesedihan yang

dicoba disembunyikan, ruangan itu kelabu. Sebuah kubur dengan nisan yang tinggi tapi

hanya tampil serasa kayu lapuk, logam yang aus. Sebuah ruang sekitar 4 X 6 meter, yang

seperti kamar yang kehilangan peminat. Warna-warnanya hambar. Cahaya pudar. Sawang

tebal. Debu. Orang tak akan tahu dengan segera bahwa di sinilah Sultan Saladin, pahlawan

Islam dalam Perang Salib, terkubur. Hanya sebuah gambar kertas yang buruk –mungkin

wajahnya– tergantung di dinding.

Makam memang tidak untuk dijadikan ruang pameran. Kubur memang hanya pertanda

kesementaraan kita –juga keterbatasan seorang pahlawan. Tapi tidakkah manusia perlu

berhenti sebentar dan mengenang? “Kenanglah segala yang baik,” kata sebuah baris Chairil

Anwar, “dan cintaku yang kekal.” Tidakkah masa lalu punya sesuatu yang kekal, yang bisa

diwakili dengan sebuah tanda, sebuah simbol, dengan sikap yang hormat?

Saya mencoba berdoa di depan makam Saladin di Damaskus, untuk arwahnya, juga untuk

apa yang baik dalam sejarah –tapi saya merasa ada sesuatu yang meleset dalam ruang ini.

Melangkah keluar, berjalan kembali ke lapangan terbuka di halaman dalam masjid, saya

dengar suara penziarah-penziarah Syiah meraungkan tangis, di dekat peninggalan Hussein

yang gugur di Kerbala berabad-abad yang lalu. Di tembok-tembok tinggi, masih tersisa

bekas-bekas lukisan gaya Byzantium.

Masa lalu memang tidak mudah pergi meskipun kita seperti tak ingin menengoknya. Bahkan

di salah satu tembok Masjid Umayyah yang dulu adalah Katedral Yahya Pembaptis yang

dipermak jadi masjid yang indah di tahun 700-an itu, seorang sejarawan masih menemukan

sisa inskripsi ini: “Kerajaan-Mu, ya, Kristus, adalah kerajaan abadi…”

Tapi jika masa lalu tak mudah pergi, dari bagian manakah dari Saladin yang akan datang

kepada kita kini? Dari ruang makamnya yang kusam, mitos apa yang akan kita teruskan?

Kisah Saladin adalah kisah peperangan. Dari zamannya kita dengar cerita dahsyat bagaimana

agama-agama telah menunjukkan kemampuannya untuk memberi inspirasi keberanian dan

ilham pengorbanan –yang kalau perlu dalam bentuk pembunuhan.

Tapi sebagian besar kisah Saladin –yang tersebar baik di Barat maupun di Timur dari sejarah

Perang Salib yang panjang di abad ke- 12 itu– adalah juga cerita tentang seorang yang

pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan darah. Saladin

merebut Jerusalem kembali di musim panas 1187. Tapi menjelang serbuan, ia beri

kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan

Page 332: catatan pinggir

pasukannya dengan terhormat. Dan ketika pasukan Kristen itu akhirnya kalah juga, yang

dilakukan Saladin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani budak-budak. Saladin malah

membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika

pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Jerusalem, 70 ribu orang muslim kota itu dibantai

dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.

“Anakku,” konon begitulah pesan Sultan itu kepada anaknya, az-Zahir, menjelang wafat,

“…Jangan tumpahkan darah… sebab darah yang terpercik tak akan tertidur.”

Dalam hidupnya yang cuma 55 tahun, ikhtiar itulah yang tampaknya dilakukan Saladin.

Meskipun tak selamanya ia tanpa cacat, meskipun ia tak jarang memerintahkan pembunuhan,

kita toh tahu, antara lain dan film Hollywood sekalipun, bagaimana pemimpin pasukan Islam

itu bersikap baik kepada Raja Richard Berhati Singa yang datang dari Inggris untuk

mengalahkannya. Ketika Richard sakit dalam pertempuran, Saladin mengiriminya buah pir

yang segar dingin dalam salju, dan juga seorang dokter. Lalu perdamaian pun ditandatangani,

1 September 1192, dan pesta diadakan dengan pelbagai pertandingan, dan orang Eropa takjub

bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.

Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu.

Terutama ketika orang hanya mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari

abad ke- 12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh

peperangan. Tapi pentingkah sebenarnya masa silam?

Dari makam telantar orang Kurdi yang besar itu, suatu hari di tahun 1970-an, saya kembali ke

pusat Damaskus, lewat lorong bazar yang sibuk di depan Masjid Umayyah. Kota itu riuh,

keriuhan yang mungkin tanpa sejarah.

~Majalah Tempo, l9 Januari 1991~

Sang Militan Maret 1, 2010

Posted by anick in All Posts, Demokrasi.

trackback

Kita dengar mereka berdebat di dalam dan di luar parlemen. Kita tahu demokrasi sedang marak. Kita ikuti para

politisi mengatakan, ”kami sedang mencari kebenaran”. Tapi saya kira semua itu hanya salah sangka. Atau

sebuah lagak. Sebab ambisi sebuah demokrasi bukanlah, atau tak mungkin, ”kebenaran”.

Jika kita memandangnya sebagai sebuah sistem dan prosedur bagaimana keputusan politik

diambil, kita akan melihat bahwa demokrasi bertolak dan berakhir dalam keadaan yang tak

pernah utuh. Situasi yang dihadapi adalah situasi serba tergantung, serba mungkin. Di sini,

yang membentuknya sering bukan ”kebenaran”, melainkan ”kebetulan”. Castoriadis benar

ketika ia mengatakan, demokrasi adalah sebuah ”rezim yang tragis”.

Demokrasi bermula dari pengakuan bahwa nun di atas yang paling atas di dunia ini, dan juga

nun di dasar paling dasar dari kehidupan, yang ada adalah sebuah growongan tanpa penghuni,

tanpa isi. Sang otoritas yang dulu dianggap punya hak yang abadi, yang didesain Allah, telah

terbukti bisa disingkirkan. Fondasi yang semula dianggap kekal telah ditiadakan.

Page 333: catatan pinggir

Sejarah revolusi-revolusi menunjukkan itu. Siapa pun yang kemudian mengisi liang kosong

itu akan tahu, ia tak identik dengan growongan itu. Ia memegang otoritas, tapi ia tak bisa

menyatakan diri dialah sang penentu sepenuhnya. Posisi itu tak sama dan sebangun dengan

dirinya. Kehidupan beragam dan berubah, tak mungkin itu-itu-saja, mustahil untuk jadi

tunggal. Otoritas yang ada bisa (bahkan dengan sendirinya) goyah. Atau, seperti Ayatullah

Khomeini, sang otoritas tetap seorang manusia yang usianya terbatas.

Dengan demikian memang pada akhirnya harus dikatakan, demokrasi adalah kekurangan

yang juga keniscayaan. Tak ada alternatif yang lebih pas untuk ketidaksempurnaan riwayat

manusia. Dalam hubungan itulah demokrasi bertolak dari asas bahwa mereka, demos, yang

berada di luar pemegang otoritas, itulah yang menentukan.

Tapi demos pun sebuah ketakpastian. Hanya sebagai pengertian yang abstrak demos itu bisa

dianggap tunggal dan kekal. Dalam pengalaman konkret, cuma sesekali ”rakyat” bisa

dihitung sebagai ”satu”.

Agaknya sebab itu pertanyaan para pemikir politik sejak Hobbes hingga Habermas adalah

bagaimana tersusunnya sebuah tata, bagaimana terbangunnya sebuah tertib? Bagaimana

manusia dalam sebuah negeri bisa akur, hingga kehidupan bisa berjalan rapi dan nyaman?

Ada yang menjawab—terutama yang memandang manusia dengan muka muram—bahwa

tata dan tertib hanya bisa terbangun jika ada Leviathan, sebuah kekuasaan besar yang

memaksakannya. Ada yang lebih optimistis: mereka yakin bahwa manusia adalah makhluk

yang tak hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan dengan ”inter-subyektivitas”. Dan

”inter-subyektivitas” itu sudah sejak mula dikukuhkan dalam bahasa. Kita tak bisa mengelak

dari bahasa, kita dibentuk oleh bahasa, dan bahasa bukanlah sebuah produk monolog.

Apalagi jika ditambahkan keyakinan: ada rasionalitas yang membuat manusia bisa mencapai

mufakat.

Tapi mufakat tak dengan sendirinya sama dengan ”kebenaran”. Dalam bentuknya yang

terbaik, mufakat hanyalah jejak-jejak yang menandai ada kebenaran, tapi kebenaran yang tak

kunjung hadir. Demokrasi sebenarnya hanya mendapatkan jejak itu, yang lahir dari proses

tawar-menawar dan kompromi. Proses itu, apa boleh buat, bergantung kepada keadaan saat

itu: perimbangan kekuatan, kehendak masing-masing pihak, dan informasi yang tersedia.

Itu sebabnya, mufakat tak akan mewakili kebenaran yang universal.

Demokrasi adalah sebuah rezim yang tragis, karena ia terpaksa harus bekerja dengan dasar-

dasar yang tak kuat, yang tak berlaku selama-lamanya dan diterima di mana saja.

”Kebenaran”, jika hasil konsensus bisa disebut demikian, hanya buah pertimbangan praktis.

Kita sepakat karena kita tak bisa terus-menerus bertengkar untuk menentukan bahwa A

adalah A. Besok kita harus bekerja untuk hidup, dan untuk itu harus ada stabilitas tertentu.

Ketika kita berkompromi, sering kita tak 100% puas dan tak 100% yakin akan benarnya

kesimpulan yang dimufakati. Apalagi tak jarang kompromi itu merupakan hasil kemenangan

si kuat yang disamarkan.

Page 334: catatan pinggir

Demokrasi yang seperti itulah yang kini dijalankan, juga di Indonesia. Dengan gaya yang

berbeda-beda, dalam demokrasi ini yang diharapkan adalah prosedur bertukar-pikiran yang

sehat, bertolak dari rasionalitas yang praktis.

Tapi jika demikian, di mana gerangan ada kebenaran yang diyakini? Di mana kita temukan

makna yang sangat berarti bagi hidup kita, yang akan kita pertahankan mati-matian?

Bagaimana akan ada semangat yang militan untuk meneguhkan A adalah benar-benar A?

Bagaimana bila semua nilai jadi nisbi dan kita hanya bekerja separuh hati untuk hidup yang

lebih baik, sebab yang ”lebih baik” itu juga tak amat meyakinkan?

Sang militan akan mati. Atau ia harus jadi seorang yang melihat politik seraya melupakan

sifat tragis demokrasi. Ia bisa mengikuti semangat Badiou, yang tergugah penuh oleh

kebenaran sebagai sesuatu yang mengimbau tak terhingga, tak hanya dibatasi oleh jejaknya

sendiri. Sebab militansi hanya bisa bangkit oleh sesuatu yang diakui luhur oleh semua orang

selamanya.

Tapi sang militan bisa jadi sang fanatik. Kecuali bila ia bersedia melihat kebenaran bagaikan

energi dari petir: gelegar dan cahayanya menggetarkan tapi tak akan pernah menetap.

Di situlah demokrasi, tanpa ambisi mencapai yang ”benar”, tetap penting. Sistem ini

memberikan peluang bagi kerendahan hati. Atau kearifan: dalam meraih kebenaran, kita tahu

hidup terdiri atas kesementaraan dan pelbagai kebetulan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 01 Maret 2010~

Sang Pasar September 18, 2000

Posted by anick in All Posts, Ekonomi, Kekerasan.

trackback

Sang Pasar tak pernah pingsan sendirian. Sebuah bom meledak di Bursa Efek Jakarta pada

pertengahan September 2000. Kaca-kaca pecah, tembok berlubang, lebih dari 10 orang tewas.

Tak ada erang yang panjang untuk yang mati dan luka. Yang lebih keras adalah teriak,

“Aduh, Sang Pasar terkena.”

Para pengusaha, para menteri, para pejabat tinggi, para aktivis politik, dan para teknokrat di

IMF dan Bank Dunia secara serentak kecut hati. Setidaknya selama beberapa belas jam. Esok

pagi mereka akan mencari koran dan menatap layar televisi, menyimak suratan grafik dari

menit ke menit: angka yang merosot di semua portfolio, harga saham yang berjatuhan, nilai

rupiah yang limbung. Kita dinujum dengan nada yang gelap. Sang Pasar dalam keadaan

gawat.

Kita cemas, sebab sejak tiga dasawarsa ini Sang Pasar dinobatkan jadi sebuah kekuatan

ampuh yang tak kasat mata. Jika ada tangan magis yang bisa mengarahkan ke mana hidup

bersama akan terbawa, itulah dia. Jika ada daya yang mampu memberi isyarat di mana

kekayaan dan kekuasaan akan berubah dan bergerak, itulah dia. Dialah yang merangsang

perekonomian tumbuh. Dia juga yang agaknya membuat sejarah. Negara, pemerintahan,

birokrasi—semua itu, seluruh jaring-jaring itu, tak akan dapat mengalahkannya. Di Indonesia

bahkan orang mengukur baik-buruknya sebuah kabinet dari sejauh mana ia “disukai Pasar”.

Page 335: catatan pinggir

Tapi bom meledak di Bursa Efek dan kita bisa mempunyai sebuah cerita yang lain. Eksplosi

yang mematikan itu menunjukkan bahwa Sang Pasar—dengan segala kesaktiannya—juga

perlu proteksi. Perlindungan itu baru berarti jika ia datang dari sesuatu yang terkait erat

dengan birokrasi: agar bom tak jahanam lagi, agar si teroris dapat ditangkap, agar dokumen

tak musnah dan komputer aman, Sang Pasar membutuhkan sesuatu yang punya organisasi

efektif, luas jangkauannya, teratur cara bekerjanya—dan berada dalam posisi yang tak

tersentuh oleh Sang Pasar itu sendiri. Daftarnya bisa panjang: sepasukan penjinak bom,

intelijen, batalyon yang bersenjata, penjaga dan administrator rumah tahanan, sederet jaksa,

sejumlah hakim, dan mungkin pula sebuah regu tembak. Mereka itu harus diletakkan di satu

tempat di mana mereka bukan sejumlah komoditi.

Sebab, Sang Pasar membutuhkan ruang yang aman. Pada akhirnya ia memerlukan apa yang

bisa disebut sebagai birokratisasi kekerasan. Ia tak akan bisa bertahan di kancah kekerasan

yang merusak secara tak terduga-duga, seperti bom di Bursa Efek itu. Para perompak lanun di

Laut Cina Selatan yang membajak barang perniagaan di kapal-kapal, para penggarong bank

di kota-kota—semua itu adalah bentuk kekerasan yang justru semakin menakutkan, dan

semakin destruktif, karena salah satu sendinya adalah ketak-pastian.

Tentu, Sang Pasar pintar menari dalam ketak-pastian: Bursa Efek jadi hidup karena ada nilai

saham yang turun dan ada yang naik. Transaksi berlangsung justru karena itu. Tanpa

fluktuasi, spekulasi tak akan bergerak dan orang tak bisa menambah untung. Dengan kata

lain, setiap hari adalah hari yang bisa mengandung kejutan. Saya ingat lelucon Mark Twain

tentang bursa. Oktober, katanya, adalah bulan yang penuh risiko buat bermain di pasar

modal. Begitu juga bulan Mei, Juli, September, Maret, April, November, Agustus, Februari,

Juni, Desember, Januari….

Tapi dalam ketak-pastian yang terus-menerus itu manusia mau tak mau ingin memperkecil

risiko. Kekerasan yang tak terduga-duga harus dibuat untuk bisa masuk hitungan. Dan

birokratisasi pun berkembang.

Italia Utara, tahun 1176. Di Legnano, satu pasukan para kesatria Jerman yang hidup sebagai

garong datang menyerbu untuk menjarah kota itu. Tapi, berbeda dengan di tempat lain, di

Legnano ternyata para penyerbu dapat dikalahkan oleh warga yang mempersenjatai diri dan

bersiap-siaga. Sebuah tindak sukarela.

Kemudian zaman berubah. Kekuatan pertahanan macam itu tak memadai lagi. Pasukan warga

seperti di Legnano hanya bisa efektif bila ada disiplin dan ada pertalian yang tumbuh dari

rasa ikut memiliki. Namun, ketika perdagangan ramai, ikatan primer di dalam tubuh

masyarakat pun retak: ada yang miskin dan ada yang kaya, ada majikan dan ada penjual

tenaga. Kota-kota makin rentan oleh konflik di dalam kancahnya sendiri.

Maka orang pun terpaksa menyewa tenaga orang lain buat pertahanan dan kontrak pun dibuat

dan lahirlah condotierri (dari kata condotta, kontrak). Tenaga kontrakan ini akhirnya bukan

saja menghendaki ketrampilan individual, tapi juga manajemen. Birokratisasi kekerasan lahir,

juga pemegang monopoli kekerasan: hadirlah angkatan perang profesional.

Tapi bersamaan dengan itu sebuah masyarakat memerlukan seperangkat perlengkapan yang

membuat sebuah negara disusun: ada kantor pajak, peradilan, pembuat aturan dan undang-

undang, dan ada kekuatan penjaga keseimbangan. Sang pemegang monopoli kekerasan harus

Page 336: catatan pinggir

bisa tetap tunduk kepada warga yang membayar pajak dan membiayai ongkos birokratisasi

itu. Bedil harus punya tuannya.

Dengan demikian, Sang Pasar diharapkan bebas dan tak menyentuh prasarana itu.

Komersialisasi harus berhenti di wilayah ini. Tentara tak boleh digerakkan oleh penawar

upah yang paling mahal. Nasib buruk akan menimpa sebuah kota bila Sang Pasar juga

merasuk kemari, dan negara tak lagi berlaku sebagai negara, melainkan sebagai sebuah ruang

bursa yang gelap: para jenderal menawarkan servis militer ke para peminat yang ingin

menggunakan kekerasan—mungkin seorang yang ingin menagih utang, mungkin seorang

pemilik kasino gelap dan bordil, mungkin seorang pemasok narkoba, mungkin pula seorang

tokoh yang sakit hati.

Akhirnya siapa yang tak mampu tak akan terlindungi. Persis seperti sopir-sopir yang tewas

oleh ledakan bom di Bursa Efek Jakarta di hari itu: sang korban bahkan tak dibicarakan lagi

beberapa jam setelah televisi dimatikan.

~Majalah Tempo, Edisi. 02/I/18 – 24 September 2000~

Satu Mei Juni 18, 2001

Posted by anick in Agama, All Posts, Marxisme, Sejarah, Tokoh.

trackback

Ketika saya berumur sembilan tahun, saya belajar bernyanyi:

Tanggal satu Mei ‘ni

Perayaan kita,

Kaum proletariat

Di seluruh dunia

Seperti anak-anak umumnya, saya bisa hafal kata dan melodi nyanyian Satu Mei itu, tapi saya

tak paham betul apa maksudnya. Ketika itu kata “kaum proletariat” terkadang diganti jadi

“kaum yang bekerja”, atau terkadang “kaum pekerja”?tapi apa makna “pekerja” tetap saja tak

saya pahami. “Buruh” memang bukan sebuah kata asing, tapi saya jarang bisa mengerti apa

yang khas dari orang-orang yang dihisap tenaganya ini.

Sebab, buruh yang saya ketahui di waktu saya kecil bukan mereka yang tergambar dalam

Ibunda Maxim Gorki yang saya baca semasa remaja. Di sekitar saya tak ada pabrik dengan

cerobong berasap yang tinggi dan peluit tanda kerja yang membentak-bentak hari. Yang saya

kenal adalah nelayan-nelayan yang bekerja buat perahu para juragan?sejumlah lelaki

berpakaian gelap yang tiap malam menyanyikan lagu erotik sambil mendayung perahu

menuju laut. Atau pencangkul sawah ladang yang mengukir kayu sengon di saat mereka tidak

bekerja. Atau, yang paling dekat dengan mesin-mesin, pekerja bengkel yang berlumur

minyak pelumas dan tukang las yang melindungi matanya dari pijar. Ada juga para pengolah

tembakau dan pelinting rokok di sebuah perusahaan sigaret yang terselip di sebuah gang: tapi

saya mengenal mereka hanya ketika mereka, setelah jam enam sore, bergilir membacakan

cerita Sam Pek Eng Tay dalam bahasa Jawa yang mengharukan.

“Proletariat” sebagai “kelas” adalah konsep yang datang kemudian. Marxisme memang bisa

menyadarkan kita: ia mengajarkan tentang penghisapan yang terjadi, karena “nilai-lebih”

yang tak dihargai, karena dusta yang disebarluaskan tentang bagusnya masyarakat yang akur

Page 337: catatan pinggir

dan selaras. Tapi guru yang terbaik adalah pengalaman. Semakin dewasa seseorang akan

semakin tahu ia tentang itu semua?terutama ketika kemudian ia sendiri menjadi orang upahan

di dunia usaha yang tak adil. Saya kira dalam hidup manusia di abad ke-20 selalu ada,

tercetus atau tidak, amarah yang benar.

Itu sebabnya selalu datang saat-saat gagasan radikal, dengan atau tanpa doktrin. Lagu

Internationale berseru dengan bergelora, “Perjuangan penghabisan, marilah, melawan!” tapi

gelora itu bisa datang tanpa sebuah nyanyian partai. Charles Frankel pernah mengatakan

bahwa bukan Marxisme yang meciptakan orang-orang radikal, melainkan setiap generasi

orang radikal yang menciptakan Marx-nya sendiri.

Itu sebabnya amarah dan gagasan yang menghendaki sebuah dunia yang berubah sampai ke

akar yang terdalam, punya sesuatu yang bisa mirip dengan semangat keagamaan. Itu

sebabnya orang seperti Haji Misbach di latar Indonesia tahun 1920-an bisa menggabungkan

Islam dengan komunisme dalam dirinya. Bagi agama, seperti halnya bagi Marxisme-

Leninisme, dunia yang ada kini dan di sini adalah sebuah cacat. Kaki yang berpijak di dunia

yang seperti itu juga kaki yang hendak terbang dari sana?setelah menyepaknya. Dalam agama

dan dalam komunisme ada pandangan etis yang terang berapi-api dalam persoalan

ketakadilan dunia. Ada sesuatu yang?apalagi jika disebut sebagai kehendak Allah, atau

sesuatu yang ilmiah?menjadi mutlak.

Tapi tak seluruhnya gampang. Antara sikap etis dan proses politik terdapat bukan saja sebuah

ngarai, tapi juga ketegangan yang tak kelihatan. Di sebelah sini adalah tuntutan, atau sebuah

gambaran ideal, tentang apa yang adil. Di sebelah sana adalah politik yang, seperti kata

sebuah klise, merupakan “the art of the possible“. Di sebelah sini satu imperatif moral. Di

sebelah sana politik sebagai kiat menemukan modus dan efektivitas kerja dalam kondisi yang

apa-adanya.

Di suatu masa ketika amarah jadi sesuatu yang benar, karena ketidakadilan begitu

menyesakkan napas, imperatif moral itu cenderung diharap jadi dasar. Tapi sejarah

berangsur-angsur membuka perspektif lain. Mungkin sebab itu Max Weber bisa mengatakan

bahwa dalam percaturan politik, ada dua kemungkinan: politik sebagai sebuah pelaksanaan

“etika tanggung jawab” atau politik sebagai sebuah realisasi “etika hati nurani”. Yang

pertama menunjukkan kesediaan menerima batas. Yang kedua menunjukkan kesediaan

mengabdikan diri pada tujuan yang absolut. Yang pertama lebih pragmatis; ia juga bersedia

berkawan kembali dengan sang lawan di medan pergulatan. Yang kedua melahirkan orang-

orang yang digerakkan oleh api kemurnian?dan karena itu tak menghendaki rekonsiliasi.

Bagi Weber, hanya “etika tanggung jawab” yang mungkin jika orang menghendaki

perdamaian dalam kehidupan politik. Tapi tentu saja Weber membayangkan sebuah

masyarakat yang didasari kemufakatan untuk saling menghormati hak sesama?sebuah

masyarakat yang plural. Dalam masyarakat seperti itu manusia diperlakukan sebagai sesuatu

yang lebih majemuk ketimbang sekadar hasil sebuah rumusan. Dalam masyarakat seperti itu

manusia diakui justru sebagai sesuatu yang tak-terumuskan, sesuatu yang tak bisa

diterangkan oleh ideologi?yang menurut Marx sama artinya dengan ide palsu dan topeng bagi

kepentingan tertentu.

Sebab itu, dengan “etika tanggung jawab”, buruh bukan hanya tampil sebagai “proletariat”

yang diseru tiap awal Mei: sebuah makhluk yang telah disulap jadi konsep. Buruh bukan

hantu yang membayang-bayangi zaman, bukan pula dewa yang akan melintasi waktu. Ia

punya impian, kemarahan yang benar, tapi ia ternyata juga punya batas–seperti halnya para

manajer dan majikan. Dan ia tak sendirian, kini dan di kemudian hari.

~Majalah Tempo Edisi. 16/XXX/18 – 24 Juni 2001~