Castanospermine dalam penatalaksanaan kasus demam berdarah dengue.pdf
-
Upload
hendrik-surya-adhi-putra -
Category
Documents
-
view
29 -
download
0
description
Transcript of Castanospermine dalam penatalaksanaan kasus demam berdarah dengue.pdf
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Virus Dengue (DENV)
Dengue virus (DENV) adalah anggota dari genus Flavivirus. Seperti
beberapa flavivirus, virus dengue dewasa terdiri dari genom single-stranded
RNA yang dikelilingi oleh suatu ikosahedral atau isometric nukleokapsid
(Henchal et. al., 1990). Virion dengue merupakan partikel sferis dengan
diameter nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 nm, sehingga
diameter virion kira-kira 50 nm (Jawets et. al., 1995). Genom virus dengue
terdiri dari asam ribonukleat berserat tunggal, panjangnya kira-kira 11
kilobasa. Genom terdiri dari protein struktural dan protein non struktural,
yaitu gen C mengkode sintesa nukleokapsid (Capsid), gen M mengkode
sintesa protein M (Membran) dan gen E mengkode sintesa glikoprotein
selubung/envelope (Jawets et. al., 1995).
Protein E di dalam sel terinfeksi dapat berada dalam bentuk heterodimer
antara prM-E. Pada protein E terdapat tiga kelompok epitop yang terpisah
yaitu epitop A, B dan C. Empat serotipe virus dengue (1 hingga 4) kira-kira
60% - 74% dari seluruh bagiannya merupakan residu asam amino gen E yang
merupakan pembeda antara serotipe yang satu dengan yang lainnya dan
menyebabkan reaksi antibodi (Massi et. al., 2000). Glikoprotein E merupakan
epitop penting karena mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses
netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses
absorbsi pada permukaan sel (reseptor binding), mempunyai fungsi biologis
antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion (Clyde et. al., 2006).
Protein prM adalah glikoprotein dengan berat molekul 22.000 dan pecah
menjadi protein M dan glikoprotein lain menjelang morfogenesis lengkap
7
virion. Pemecahan ini tampaknya merupakan hal kritis bagi morfogenesis
karena pemecahannya diikuti segera dengan naiknya titer virus aktif
Protein C adalah protein pertama yang dibentuk pada waktu translasi genom
virus. Berat molekulnya kira-kira 13.500, kaya asam amino lisin dan arginin
sehingga protein C bersifat basa. Karena sifatnya itu protein C mampu
berinteraksi dengan RNA virion. Selain itu pada ujung karboksilnya, protein
C terdiri dari rangkaian asam amino hidrofobik yang memungkinkan ia
menempel pada membran sebelum dipecah oleh signalase pada ujung protein
prM. Pada akhirnya, ujung hirofobik protein C dilepas oleh enzim protease
yang dikode gen virus sesaat menjelang morfogenesis virion.
Adapun protein non-struktural virus terdiri dari tujuh macam yang dikode
oleh gen terpisah. Protein tersebut adalah NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a,
NS4b, dan NS5. Protein NS1 selama proses infeksi dapat berada di dalam sel,
di membran plasma maupun disekresikan keluar sel. NS1 berperan dalam
morfogenesis virion. Karena terpapar di membran plasma, ia juga berperan
dalam proses imunopatologi infeksi. NS2 terdiri dari dua jenis, yaitu NS2a
yang berat molekulnya kira-kira 20.000 dan NS2b berat molekulnya kira-kira
14.500. Kedua protein ini bukan merupakan glikoprotein. NS2a berfungsi
sebagai enzim proteolitik bagi pematangan NS1. NS3 merupakan protein
hidrofilik dengan berat molekul 70.000 dan berfungsi seperti enzim tripsin. Ia
berperan sebagai enzim yang memecah poliprotein prekursor protein virus,
menyediakan nukleosida trifosfat, berfungsi sebagai helikase dan juga
sebagai komponen dari RNA polimerase viral (Li et. al., 1999). NS4 sampai
saat ini belum memiliki fungsi yang jelas. NS5 merupakan protein terbesar
dengan berat molekul mencapai 150.000 dan bertindak sebagai RNA
polymerase (Massi et. al., 2000).
8
Gambar 1. Struktur Virus Dengue (Tomlinson, 2000)
2.2 Siklus Hidup Virus Dengue (DENV)
Infeksi dengan salah satu serotip DENV dimulai ketika nyamuk vektor
menggigit manusia dan melakukan perlekatan dengan sel inang. Virus
DENV biasanya menginfeksi sel dendritik, monosit, makrofag, sel B, sel T,
sel endotel, sel hepatosit dan sel saraf (An et. al., 2004). Perlekatan dengan
sel inang dilakukan melalui media receptor DC-SIGN (sejenis ubiquitin)
pada membran sel inang. Melalui serangkaian penelitian, DC-SIGN dapat
menjadi reseptor infeksi dari keempat serotip virus DENV (Tassaneetrithep,
2003)
DC-SIGN sebagai receptor mediated endositosis (RME) mengikat virus
dengan perantara karbohidrat moieties (glikoprotein pada Asn 67) pada
envelope virus (Navarro-Sanchez et. al., 2003). Kemudian membran sel
inang membentuk endosome yang mengelilingi virus. Pada proses ini
endosome melakukan asidifikasi sehingga dapat menginduksi fusi dari
membran sel inang dan envelope virus sehingga nukleokapsid dan genom
virus dapat menyusup ke dalam sitoplasma sel inang.
Poliprotein viral (vRNA) kemudian ditranslasi untuk membentuk 3 protein
struktural (protein C, M dan E) dan 7 protein nonstruktural (NS1, NS2a,
NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5). Karena genome vRNA memiliki
positive sense maka vRNA harus ditranslasi terlebih dahulu untuk
menyediakan RNA polymerase dan protein lainnya untuk proses replikasi
selanjutnya. Kemudian polymerase harus menyalin untaian positif RNA
menjadi untaian negatif yang nantinya akan berperan sebagai template
dalam proses replikasi. Selanjutnya pada akhir siklus replikasi terjadi
9
pengikatan protein C pada ujung 3’ RNA yang menghalangi ikatan RNA
polymerase dengan molekul RNA dan tetap membiarkan ujung 5’ berikatan
dengan ribosom (Jawets et. al., 1995). Translasi genom virus dimulai dari
kodon AUG gen protein C, prM, E, NS1, dan seterusnya. Selanjutnya, pada
retikulum endoplasma terjadi proses maturasi berupa modifikasi pos
translasi diantaranya berupa glikosilasi pada envelope, dan pelipatan
(folding) polipeptida membentuk protein fungsional. Pada akhir siklus
replikasi, yaitu menjelang atau bersamaan dengan terbentuknya virion, prM
dipecah menjadi M yang membentuk membran virus (Nathanson et. al.,
1997). Pada dasarnya, morfogenesis lengkap virion berlangsung dalam 4
tahap, yaitu:
1. Perakitan nukleokapsid dari RNA dan protein C
2. Budding nukleokapsid dari membran intraselular yang telah tersisip
oleh prM dan E.
3. Pelepasan virion yang terjadi akibat proses fusi membran plasma
dengan vesikel pembawa virion.
4. Pemecahan prM menjadi M.
Gambar 2. Siklus Hidup Virus DEN (Tomlinson, 2000)
10
2.3 Patogenesis DBD
Pada infeksi pertama dari salah satu serotip DENV akan dihasilkan antibodi
yang memiliki aktifitas netralisasi yang mengenali protein E dan antibodi
monoclonal terhadap NS1, Pre M, dan NS3 dari virus penyebab infeksi.
Aktifitas netralisasi atau aktivasi komplemen kemudian mengakibatkan
terjadinya lisis dari sel yang telah terinfeksi virus tersebut. Akhirnya, banyak
virus yang dilenyapkan dan penderita mengalami kesembuhan. Namun,
apabila terjadi infeksi kedua yang dipicu oleh DENV dengan serotip yang
berbeda, tubuh akan menghasilkan antibodi non-netralisasi yang memiliki
sifat memacu replikasi virus (Barrett et. al., 2008). Pada infeksi kedua ini, sel
T memori salah mengenali 2 serotipe virus dengue yang berbeda sekuens
genetiknya sebagai satu serotype yang sama. Pada akhirnya sel T memori
akan menginduksi sel plasma untuk menghasilkan antibodi yang bersifat non-
netralisasi.
DENV akan berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit
atau makrofag. Makrofag ini menampilkan APC (Antigen Presenting Cell)
yang membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Mayor
Histocompatibility Complex (MHC II). Sebagai usaha tubuh terhadap infeksi
tersebut maka limfosit T akan mengeluarkan substansi Th-1 yang berfungsi
sebagai immunomodulator yaitu IFN γ (Carr et. al., 2003), IL-2 dan CSF
(Colony Stimulating Factor). IFN γ akan merangsang makrofag untuk
mengeluarkan IL-1 dan TNF α yang memiliki efek pada endothelial sel
termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin dan merangsang ekspresi
ICAM 1 (Intercellular Adhesion Molecule 1). Sedangkan CSF akan
merangsang neutrofil, yang oleh pengaruh ICAM 1, neutrofil yang telah
terangsang oleh CSF akan mudah mengadakan adhesi dengan endothel.
Proses ini akan menyebabkan endothel mengeluarkan lisozim yang akan
menyebabkan dinding endothel lisis dan menyebabkan terbukanya dinding
endothel. Selain itu IFN γ juga membawa superoksid (radikal bebas berupa
NO) yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus
11
GMPs. Kemudian terjadi nekrosis pada endothel sehingga terjadi kerusakan
endothel pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya gangguan vaskuler
yang berujung pada terjadinya syok (Malavige et. al., 2004).
Gambar 3. Patogenesis DBD (Clyde, 2006)
2.4 Penatalaksanaan Penderita Demam Berdarah Dengue
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD
seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan
untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan
fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan
trombosit yang tersedia selama 24 jam. Penatalaksanaan penderita DBD
dirumah sakit dilakukan melalui beberapa tahap yakni dengan melihat kondisi
awal pasien dimana apakah pasien bisa minum atau tidak. Lalu dilakukan
monitoring klinis dan laboratorium. Pada monitoring dilakukan pengawasan
mengenai Ht dan Hb setiap enam jam serta trombosit setiap 12 jam.
Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD.
Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien untuk mencatat jumlah cairan
baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta
menampung urin serta mencatat jumlahnya. Selanjutnya dilakukan perbaikan
12
klinis dan laboratorium sampai pasien dapat dinyatakan sembuh atau boleh
pulang.
Apabila selama observasi keadaan pasien membaik dimana anak tampak
tenang, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun,
maka tetesan dikurangi dan akan dihentikan dalam kurun waktu 24-48 jam
setelahnya. Tetapi apabila keadaan tidak membaik maka tetesan dinaikkan
dari 10ml/kgBB/jam dan akan terus dinaikkan bila keadaan semakin buruk.
Gambar 4 . Mekanisme Penatalaksanaan DBD (Darmowandowo, 2006)
Kriteria dari pasien yang dapat dipulangkan antara lain: tampak perbaikan
secara klinis, tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik, tidak dijumpai
distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis), hematokrit
stabil, jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl, tiga hari setelah syok
teratasi, nafsu makan membaik
13
2.5 Castanospermum australe dan Castanospermine
2.5.1 Castanospermum australe
Genus castanuspermum yang termasuk keluarga Fabaceae dan hanya
memiliki satu spesies yakni Castanumspermum australe yang biasa disebut
black bean atau Moreton Bay Chestnut. Tanaman ini mengandung
castanospermine, folat, vitamin B-6, niasin, dan kandungan lainnya.
Tumbuhan ini tumbuh di hutan hujan pada bagian pesisir dan pantai yang
berada di Australia di sekitar Lismore, dari New South Wales sampai Iron
Range, peninsula di sekitar Cape York pada pesisir Queensland dan 160 km
di barat gunung Bunya. Tumbuhan ini juga dapat dijumpai di New
Caledonia dan Vanuatu. Disamping Australia sebagai daerah asli (native),
daerah persebaran lainnya (exotic) antara lain Malaysia, India, Papua
Nugini, Srilanka, dan USA (Orwa et. al., 2009).
Tumbuhan ini bisa tumbuh hingga tinggi 40 meter Tumbuhan ini berbunga
pada antara bulan oktober dan November dan buahnya matang pada bulan
Februari-April. Castanospermum australe tumbuh pada kondisi tertentu.
Castanospermum australe tumbuh pada daerah lembab, subur, memiliki
drainase yang baik pada teras di sisi gunung atau sepanjang sisi aliran
sungai. Biasanya tumbuhan ini hidup di tanah alluvial dan tanah liat yang
dalam. Cahaya matahari merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh tanaman
ini terutama daerah yang sering terpapar matahari walaupun beberapa
kondisi pencahayaan yang rendah masih mampu ditoleransi. Mampu hidup
pada ketinggian 50-750 meter diatas permukaan laut dengan suhu rata-rata
280C. Tumbuhan ini juga membutuhkan curah hujan sekitar 1000-3800
mm/tahun. Tanaman ini dapat berkembang untuk membentuk kanopi
rindang yang melingkar dengan tinggi 8-20 meter dengan lebar penyebaran
hingga 4-8 meter. Karena itulah tanaman ini biasa digunakan sebagai
perindang serta dengan sistem perakaran yang kuat dapat menjadi pencegah
erosi pada daerah sekitar aliran sungai.
14
Gambar 5. Biji dan daun Castanospermum australe (Orwa et. al., 2009)
2.5.2 Castanospermine
Castanospermine (1,6,7,8 tetrahydroxycotahdroindolizine) merupakan
alkaloid hasil ekstraksi Castanospermum australe yang memiliki struktur
formula yakni C8H15NO4. Castanospermine merupakan senyawa yang larut
pada air dan bisa diisolasi pada pada jumlah yang besar melalui sebuah
skema purifikasi yang sederhana (Pan et. al., 1993). Pada sel
castanospermine bekerja sebagai sebuah ER α-glucosidase I inhibititor dan
mereduksi infeksi dari sebuah subset dari amplop RNA dan DNA virus
seperti HIV, bovine diarrhea virus, dan virus influenza. Studi tentang
mekanisme kerjanya adalah mengganggu lipatan dari protein viral dengan
mencegah terjadinya pelepasan residu dari terminal glucose pada N-Linked
glycan. Kekurangan gula mannose dalam jumlah tinggi pada beberapa
protein viral akan menyebabkan penghambatan kebutuhan berinteraksi
dengan lipatan protein chaperones calnexin dan caltereculin (Molinari et. al.,
1999). Beberapa flavivirus menunjukkan kesensitifan pada α-glucosidase
inhibitor seperti castanospermine.
Gambar 6. Strukstur kimia castanospermine (Orwa et. al., 2009)