Case Report Kdrt Mella
-
Upload
mella-zastia-putri -
Category
Documents
-
view
157 -
download
33
description
Transcript of Case Report Kdrt Mella
LAPORAN KASUS
PENGARUH KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
TERHADAP PSIKOLOGI DAN PERILAKU ANAK DI LINGKUNGAN
SOSIAL DITINJAU DARI HUKUM DAN ISLAM
MELLATI ZASTIA PUTRI
1102011160
BIDANG KEPEMINATAN DOMESTIC VIOLENCE (KDRT)
BLOK ELEKTIF
Tutor : Dr. Endah Purnamasari, Sp.PK.
Kelompok 1
SEMESTER VII
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2014/2015
ABSTRAK
Background : Domestic violence often occurs and the parents do not pay attention to the negative impact on the growth and development of children , especially in terms of psychology and behavior .Case report: A daughter named A ( 12 years old ) fights with classmates. According to her homeroom, she has the temperament of a grumpy and irritable and often fight against the backdrop of disharmony in the family.Discussion : Act of domestic violence led to conditions that are not harmonious family and can result in a lack of affection towards children . This can lead to psychological and behavioral disturbance in the social environment .Conclusion : Harmony and cooperation between family members is very important in supporting a sakinah mawadah warrahmah family. The role of parents as a leader and an example for their children very influential on the development of character and soul of the child . Domestic violence such rude behavior husband to wife and child can cause disturbed child psychology and behavior so violent as fighting . As a parent should be able to observe and maintain domestic harmony so as to create a happy family that also formed a good psychology and behavior of the children.
Keywords : domestic violence , child psychology , child abuse
LATAR BELAKANG
Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu tindakan baik
perkataan maupun perbuatan yang dapat menyakiti fisik maupun psikis . Kasus-kasus
tersebut di kota-kota besar seperti dijakarta sering kita jumpai. Tindak kekerasan
dapat menimbulkan efek langsung dan tidak langsung baik bagi istri , suami, anak
maupun orang sekitar yang berada dalam suatu hubungan berumah tangga.
Kebanyakan korban , adalah seorang istri dan anak-anak , dan tak kebanyakan pula
dari pelaku adalah seorang suami.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat menyebabkan terganggunya tumbuh
kembang anak seperti dari segi psikologis dan perilakunya. Dampaknya bagi anak
adalah kemungkinan kehidupan anak akan disertai dengan kekerasan, peluang
terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat
mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada
pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara
memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya. Begitu
juga yang terjadi pada lingkungan sosialnya, emosional dan perilaku anak akan
terganggu seperti mudah marah dan tersinggung bahkan lebih mudah untuk
melakukan kekerasan terhadap teman-temannya.
1
DESKRIPSI KASUS
Seorang anak perempuan, A (12 tahun) berkelahi dengan teman sekelasnya, B
(14 tahun) di gang dekat sekolah. Perkelahian disebabkan oleh A yang tersinggung
dengan status B di media sosial yang tertulis “cabe-cabean” yang sebenarnya tidak
ditujukan kepada siapa-siapa. Oleh karna itu A yang tersulut amarah mengajak B
untuk berkelahi sepulang sekolah.
Salah seorang teman mereka melaporkan kejadian tersebut ke wali kelas
sehingga menyebabkan orangtua mereka dipanggil. Kedua murid pun berdamai
namun orangtua A tetap merasa tidak terima dikarenakan anaknya mendapatkan bekas
cakaran di pipi dan dahi kanan sedangkan B baik-baik saja. Orangtua A pun
melaporkan B ke polisi dengan laporan penganiayaan terhadap anak.
Menurut keterangan wali kelasnya, A pernah menceritakan mengenai kondisi
keluarganya yang tidak harmonis, dimana Ayahnya seringkali memukuli dan berkata
kasar pada Ibunya dan dirinya. Dia merasa kurang mendapatkan perhatian dan kasih
sayang dari kedua orangtuanya, dan melampiaskannya pada teman-temannya dengan
berkelahi.
DISKUSI KASUS
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 1
Poin 1, yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga ini dilakukan antar orang yang ada di lingkungan
rumah tangga tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 2 Poin
1, yang meliputi lingkup rumah tangga adalah:
suami, istri, dan anak;
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang disebut
diatas karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian,
yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
2
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Menurut konteks kalimat “terutama perempuan” sebagaimana dimaksud
dalam pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004, Pasal 1 Poin1, dapat dipahami bahwa pada kenyataannya memang
perempuan dan anak lebih banyak menjadi korban dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga.
Dalam kasus yang dibahas diatas, anak mendapatkan dampak langsung dari
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1
Poin 1, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berdasarkan Pasal 69 UU Nomor 23 Tahun 2002 ayat 1, perlindungan khusus
bagi anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan
melalui upaya penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-
undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan,
pelaporan, dan pemberian sanksi. Dan ayat 2, yaitu setiap orang dilarang
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Kekerasan terhadap anak merupakan semua bentuk tindakan atau perlakuan
menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran
eksploitasi komersial atau eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan cedera atau
kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak,
tumbuh kembang anak atau martabat anak.
Berdasarkan bentuk perlakuan yang diterima, ada empat macam bentuk
kekerasan terhadap anak dalam lingkup rumah tangga menurut WHO, yaitu:
1. Kekerasan fisik
Cedera fisik sebagai akibat dari hukuman badan diluar batas, kekejaman, atau
pemberian racun.
2. Kekerasan psikis
Berupa pelecehan, makian, hinaan, hardikan yang merendahkan, dan bahkan
sampai tidak mengakui sebagai anak.
3. Kekerasan seksual
3
Memaksa anak melakukan aktivitas seksual yang dapat berbentuk oral genital,
genital, anal/sodomi, termasuk inses.
4. Kekerasan ekonomi
Pemenuhan kebutuhan anak secara ekonomi tidak terpenuhi, seperti kebutuhan
pokok, pendidikan, dan kesehatan. Termasuk disini adalah menyuruh anak
mencari nafkah sehingga putus sekolah. (Wulansari, Suci.2007)
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak yang terjadi
dalam lingkungan rumah. Faktor-faktor tersebut antara lain :
anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme,
terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya,
dan terlalu bergantung pada orang dewasa;
kemiskinan keluarga, banyak anak;
keluarga yang tidak harmonis (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu
jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah;
keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak,
harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted
child), anak lahir di luar nikah;
penyakit gangguan mental pada salah satu orang tua;
pengulangan sejarah kekerasan. Orang tua yang dulu sering ditelantarkan atau
mendapat perlakuan kekerasan, sering memeprlakukan anak-anaknya dengan pola
yang sama;
Kondisi lingkungan sosial yang buruk.( Wulansari, Suci.2007)
Kenakalan anak merupakan hal yang paling sering menyebabkan kemarahan
pada orangtua, sehingga orang tua merasa perlu menghukum anak mereka. Jika hal
tersebut disertai dengan emosi orang tua, maka mereka tidak akan segan untuk
melakukan kekerasan fisik terhadap anak mereka. Hal yang demikian ini, apabila
sering terjadi akan menimbulkan dampak yang buruk bagi kondisi mental seorang
anak.
Anak yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga biasanya masuk ke dalam
tiga kategori utama, yaitu:
1. Mendengarkan peristiwa kekerasan
4
2. Terlibat langsung sebagai saksi mata, campur tangan, atau menjadi korban dari
kekerasan yang terjadi
3. Mencontoh peristiwa kekerasan. (Lien, H.Bragg.2003)
Menurut penelitian, ada tiga kategori masalah anak yang terkait dengan
dampak kekerasan dalam rumah tangga :
Masalah perilaku, sosial, dan emosional
Meningkatnya perilaku agresif, pemarah, mudah terlibat permusuhan, perilaku
oposisi dan ketidaktaatan anak; ketakutan, kecemasan, penarikan diri, dan depresi;
kurangnya hubungan sosial; harga diri yang rendah
Masalah perilaku dan kognitif
Prestasi sekolah yang buruk, kurangnya keterampilan resolusi konflik,
keterbatasan kemampuan memecahkan masalah, penerimaan perilaku dan sikap
kekerasan, kepercayaan stereotip gender yang kaku, dan hak istimewa laki-laki
Masalah jangka panjang
tingginya tingkat depresi, dan gejala trauma, peningkatan toleransi dan
penggunaan kekerasan pada orang dewasa. (Lien, H.Bragg.2003)
Dilihat dari usia anak ketika terpapar oleh kekerasan, terdapat dampak
potensial yang terbagi menjadi tiga fase umur anak, yaitu :
Bayi dan balita
Pada masa ini, anak akan menerima informasi dari dunia sekitar melalui indera
mereka. Suara keras dan gambaran visual yang hidup terkait dengan kekerasan
dapat menjadikan pengaruh negatif terhadap mereka. Mereka akan mempelajari
tentang hal yang mereka amati. Pada masa ini, anak juga akan lebih aktif untuk
belajar mengenai banyak hal, biasanya bermain menjadi pilihan untuk mereka
mempelajari sesuatu. Namun, dengan adanya rasa takut terhadap kekerasan yang
ada disekitar mereka, maka dapat menghambat pembelajaran mereka. Dampak
lainnya adalah anak-anak akan cenderung meniru perilaku agresif yang mereka
saksikan. Orang tua juga mungkin tidak mampu merespon kebutuhan anak
mereka, sehingga itu dapat mempengaruhi ikatan orang tua dan anak.
Anak-anak pra sekolah
Pada masa ini, anak akan mempelajari bagaimana mereka harus mengekspresikan
kemarahan mereka, serta emosi lainnya. Dengan menyaksikan atau mengalami
5
kekerasan, mereka akan mempelajari cara yang tidak baik dalam mengekspresikan
emosi mereka. Mereka juga akan mempelajari hubungan antara peran gender
dengan kekerasan
Anak usia sekolah (6-11 tahun)
Pada usia ini, anak akan lebih menyadari tentang reaksi kekerasan dan dampaknya
(contohnya anak akan lebih memperhatikan keselamatan ibunya). Kompleksitas
berfikir mereka tentang benar dan salah akan meningkat (misalnya mereka
membenarkan bahwa alkohol dapat memicu kekerasan, atau korban pantas
mendapat kekerasan). Penurunan kemampuan untuk belajar. Serta mereka dapat
mempelajari peran gender (misalnya laki-laki sebagai pelaku dan perempuan
sebagai korban). (Baker,et all.2002)
Selain itu ada beberapa dampak kekerasan lainnya terhadap anak secara umum
antara lain adalah :
gejala fisik (sakit kepala, sakit perut)
gangguan tidur (sulit tidur, kekhawatiran akan mimpi buruk, dan bahaya ketika
mereka tidur)
kehilangan keahlian sehari-hari (keterampilan menggunakan toilet)
meningkatnya perilaku agresif dan menjadi pribadi pemarah
ketakutan akan bahaya yang akan menghampiri mereka
suka berkelahi dengan orang lain, menyakiti orang lain atau hewan
penarikan diri dari orang lain dan aktifitas yang ada
perasaan kesepian dan diisolasi
kekhawatiran tentang keselamatan orang yang dia sayangi
rendahnya rasa tertarik terhadap sesuatu
penyalahgunaan zat
kesulitan dalam berkonsentrasi
menurunnya kemampuan belajar
ketakutan akan dipisahkan dari orang yang disayang
mengidentifikasi dengan mencerminkan perilaku pelaku. (Lien, H.Bragg.2003)
Tindak Pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak diatur dalam pasal 77 UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak
6
mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; atau penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Kemudian menurut pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 ayat 1,yaitu setiap
orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah). Selanjutnya ayat 2, yaitu dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Kemudian ayat 3, yaitu apabila anak tersebut mati maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dan pada ayat 4, hukuman pidana ditambah
sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Untuk menangani anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga,
kita perlu mengetahui beberapa aspek yang dibutuhkan anak-anak tersebut. Aspek
tersebut, yaitu :
Anak memerlukan lingkungan rumah yang aman dan nyaman
Setiap anak berhak untuk tumbuh aman dari bahaya dan harus merasa bahwa
orang mereka cintai juga terlindungi. Kekerasan dalam rumah tangga
menghancurkan hak dasar anak untuk merasa nyaman dan aman di dunia. Anak-
anak memerlukan penghentian kekerasan.
Anak perlu tahu bahwa ada orang dewasa yang akan mendengarkan mereka,
percaya dengan mereka, dan melindungi mereka
Orang dewasa yang bekerja dengan anak-anak, termasuk guru, pekerja sosial,
kerabat dan orang tua anak, memerlukan kesadaran dan keterampilan untuk
mengenali dan memenuhi kebutuhan anak-anak yang mengalami kekerasan dalam
rumah tangga dan dapat merujuk anak ke layanan yang tepat. Pendekatan
hubungan dengan anak-anak juga dapat membantu mengurangi stress mereka
7
yang tinggal dalam kekerasan rumah tangga. Anak-anak yang memiliki orang
dewasa yang memberikan mereka cinta, kehangatan, dan kepedulian akan lebih
mudah mengatasinya dibanding mereka yang tidak memiliki. Anak-anak yang
mengalami kekerasan dalam rumah tangga perlu tahu bahwa mereka tidak sendiri
dan kekerasan tersebut bukanlah kesalahan mereka.
Anak memerlukan hidup yang normal dan teratur
Kekerasan dalam rumah tangga dapat mengubah dunia anak-anak. Rutinitas
seperti pergi ke sekolah dan berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi sangat penting
untuk perkembangan anak dan hal tersebut harus dipertahankan.
Anak memerlukan layanan dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan mereka
Respon terhadap anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga harus
komperhensif dan holistik, dengan mempertimbangkan berbagai dampak dan
kebutuhan anak yang berbeda. Anak harus memiliki tempat berlindung yang aman
dan mendukung, apakah itu dengan keluarga atau di tempat penampungan anak
dengan kekerasan dalam rumah tangga. Studi menunjukkan bahwa memberikan
intervensi untuk ibu juga dapat bermanfaat bagi anak, terutama upaya untuk
memenuhi kebutuhan khusus anak
Anak perlu belajar bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah salah dan mereka
perlu mempelajari metode penyelesaian masalah tanpa menggunakan kekerasan.
Harus memberikan penegasan kembali kepada anak bahwa kekerasan dalam
rumah tangga itu salah. Mereka harus melihat contoh peran alternatif dalam
rangka untuk menumbuhkan ide positif dari masa depan. Di beberapa negara
sudah memiliki institusi yang memiliki program untuk mengajari anak-anak muda
bagaimana untuk menghindari kekerasan dalam hubungan pribadi. Sekolah
merupakan kunci dari strategi tersebut. Sekolah berbasis program ini dapat
mengurangi agresi dan kekerasan dengan membantu anak untuk mengembangkan
sikap dan nilai-nilai postif dari keterampilan yang lebih luas untuk menhindari
perilaku kekerasan. Program sukses lainnya menekankan resolusi konflik,
kooperatif dalam bermain, dan peran model yang positif.
Anak memerlukan orang dewasa untuk berbicara dan memecahkan keheningan
Anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga perlu tahu bahwa
semua hal dapat berubah dan kekerasan dalam rumah tangga dapat diakhiri. Anak
memerlukan harapan untuk masa depan mereka. Pendidikan publik dan kampanye
peningkatan kesadaran tentang kekerasan dalam rumah tangga harus lebih fokus
8
pada dampak terhadap anak-anak dan cara-cara khusus untuk menangani masalah
yang tersembunyi. Pemerintah dan lembaga-lembaga publik lainnya harus
berbicara tentang dampak kekerasan dalam rumah tangga pada anak-anak.
(Unicef, 2006)
Menurut saya, lingkungan dan kondisi rumah tangga yang harmonis sangat
berperan dalam terbentuknya karakter anak yang matang dan stabil secara emosional.
Peran orangtua sangat dituntut untuk dapat membimbing dan menciptakan suasana
rumah yang hangat dan nyaman bagi anak. Dalam kasus ini, A kurang mendapatkan
hal tersebut dikarenakan adanya kekerasan dalam rumah tangga keluarganya yaitu
ayahnya yang suka berlaku kasar kepada ibunya dan dirinya serta seringkali
menggunakan kekerasan fisik. Keadaan tersebut tentunya menjadi penyebab mengapa
A menjadi seorang anak yang menyukai kekerasan seperti berkelahi dengan
temannya, mudah tersinggung dan emosional, karena sebagai anak tentunya
mencontoh dari apa yang dilakukan orangtuanya sehingga dia pun terbiasa dengan hal
tersebut. Seharusnya sebagai orangtua perlu memperhatikan dan memahami dampak
negatif dari kekerasan rumah tangga bagi anak, agar tercipta keluarga yang bahagia
dan harmonis serta sesuai dengan ajaran islam.
Dilihat dari segi agama Islam, orang tua harus mendidik anaknya sesuai
dengan yang diajarkan oleh Al-Qur’an, Hadits maupun cara Rasulullah. Konsep
pendidikan anak dalam Islam mempunyai tiga pilar, yaitu :
1. Al Qur’an
Pilar yang pertama adalah bahwa Al Qur’an merupakan sumber pengetahuan yang
pertama dan utama. Al Qur’an banyak mengajarkan manusia tentang tauhid,
muamalah, dan ibadah sehingga anak yang dididik dengan Al Qur’an akan
menjadi manusia yang unggul.
2. Mengkaji Al Qur’an
Pilar yang kedua ini dimaksudkan untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh
Allah dengan cara yang sempurna. Kesempurnaan pengalaman dari Al Qur’an ini
tentu harus didampingi oleh Sunnah Rasulullah sebagai penjabaran
(pengintepretasi) dari Al Qur’an
3. Keislaman
9
Pilar ketiga ini bertugas untuk mengakhiri kekejaman masa silam yang penuh
dengan kemunkaran dan menuju Islam yang penuh amanah dan damai.
Materi pendidikan dalam konsep pendidikan anak dalam Islam meliputi :
Tarbiyah Aqliyah (IQ learning)
Pendidikan ini mengedepankan kecerdasan akal dan naluri berpikir anak. Dalam
pendidikan ini anak belajar bagaimana menggunakan akalnya untuk dapat
memecahkan persoalannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun, bimbingan
dari orangtua, guru, dan masyarakat sekitar juga sangat diperlukan untuk
perkembangannya.
Tarbiyah Jismiyah (Physical learning)
Pendidikan ini merupakan pendidikan yang paling mudah dibelajarkan kepada
anak, karena pendidikan merupakan segala yang berkaitan dengan jasmani anak
yang berguna untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak.
Tarbiyah Khuluqiyyah (SQ learning)
Pendidikan ini berkaitan dengan konsistensi yang dilakukan oleh anak didik
sehingga dia mampu memegang nilai kebaikan dalam situasi dan kondisi apapun
dia berada.
Pendidikan pada masa anak-anak ini sebaiknya dijalankan secara bertahap
sesuai dengan usia, kemampuan berpikir anak, dan kematangan bahasa dan nalarnya.
Imam Muhammad Baqir a.s. dalam hal pendidikan bertahap ini mengatakan,9
له : , تتم حتى يترك ثم مرات سبع الله إال اله ال قل له يقال سنين ثالث الغالم بلغ إذا
مرات : , سبع الله رسول محمد قل له فيقال يوما وعشرون أشهر وسبع سنين ثالث
وآله : محمد على الله صل2ى مرات سبع قل له قال ثم سنين أربع له يتم حتى ويترك
: فإذا ؟ شمالك 2هما أي و يمينك 2هما أي له يقال ثم سنين خمس له يتم حتى يترك ثم
سنين : , سبع له يتم حتى يترك ثم اسجد له ويقال القبلة إلى وجهه حو2ل ذلك عرف
يترك , ثم صل2 له قيل غسلهما فإذا وكفيك وجهك اغسل له قيل سنين سبع له تم فإذا
, وأمر عليه وضرب الوضوء علم سنين تسع له تمت فإذا سنين تسع له يتم حتى
إنشاء ولوالديه له وجل عّز2 الله غفر والصالة الوضوء تعلم فإذا عليها وضرب بالصالة
الله
Artinya : Jika anak telah berumur tiga tahun, ajarilah ia kalimat “Laa ilaaha
illallah” (tiada Tuhan selain Allah) sebanyak tujuh kali lalu tinggalkan ia. Saat ia
10
berusia tiga tahun tujuh bulan dua puluh hari, katakan kepadanya “Muhammad
Rasulullah” (Muhammad adalah utusan Allah) sebanyak tujuh kali, lalu tinggalkan
sampai ia berumur empat tahun. Kemudian ajarilah ia untuk mengucapkan “Shallallah
‘alaa Muhammad wa aalaihi” (Salam sejahtera atas Muhammad dan keluarganya)
sebanyak tujuh kali dan tinggalkan.
Setelah ia genap berusia lima tahun, tanyakan kepadanya mana kanan dan
mana kiri? Jika ia mengetahui arah kanan dan kiri, palingkan wajahnya untuk
menghadap kiblat dan perintahkanlah ia unttuk bersujud lalu tinggalkan.
Setelah ia berumur tujuh tahun, suruhlah ia untuk mencuci wajah dan kedua
tangannya lalu perintahkanlah ia untuk shalat lalu tinggalkan.
Saat ia genap berusia sembilan tahun, ajarilah wudhu dan shalat yang
sebenarnya dan pukullah ia jika meninggalkan kewajiban ini. Jika anak telah
mempelajari wudhu dan shalat dengan benar, maka Allah akan mengampuninya dan
mengampuni kedua orang tuanya, Insya Allah.
Rasulullah SAW bersabda
القرآن : , , وقراءة بيته أهل وحب نبيكم حب2 خصال ثالث على أوالدكم 2وا أدب
Artinya : Didiklah anak kalian tentang tiga hal, cinta kepada Nabi kalian, cinta
kepada Ahlul Baitnya a.s, dan membaca Al-Qur’an
Dr. Yusri Abdul Muhsin mengatakan,
“Faktor terpenting yang membantu anak untuk taat kepada orang tua adalah belaian
kasih sayang dan curahan cinta yang ia dapatkan dari orang tua dan seluruh anggota
keluarganya”.
“Anak akan mudah untuk patuh dan taat kepada orang tuanya jika ia merasa bahwa
semua kebutuhannya akan keamanan, kasih sayang, penghormatan terhadap dirinya,
kebebasan, dan sedikit kekuasaan, telah terpenuhi”.
Jika anak merasakan bahwa ayah ibunya mencintai dan menghormatinya,
otomatis ia akan berusaha untuk menarik hati mereka yang salah satu caranya adalah
dengan patuh dan taat kepada mereka. Ayah dan ibu merupakan penentu utama yang
membuat anak patuh kepada mereka. Rasulullah SAW dalam sebuah hadis
menerangkan tentang cara membantu anak untuk taat. Beliau bersabda,
وتأديبه , , وتعليمه له والتأليف إليه باإلحسان ه علىبر2 ولده أعان عبدا الله رحم
11
Artinya: Semoga Allah menurunkan rahmat atas hamba yang membantu
anaknya untuk patuh kepadanya dengan memperlakukannya dengan baik,
menyayangi, mengajari, dan mendidiknya.
Selanjutnya, Rasulullah SAW juga pernah bersabda,
يرهقه ... , , وال معسوره عن ويتجاوز ميسوره يقبل ه علىبر2 ولده أعان من الله رحم
به ... يخرق وال
Artinya: Semoga Allah merahmati orang yang membantu anaknya untuk taat
kepadanya…menghargai pekerjaannya meskipun sedikit, memaafkan kesalahannya,
tidak memaksanya untuk melakukan pekerjaan di luar kemampuannya, dan tidak
menganggapnya bodoh.
Jika hubungan antara anak dengan orang tuanya adalah hubungan cinta dan
kasih sayang, maka sudah dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan patuh dan taat
kepada mereka berdua. Di lain pihak, baik ayah maupun ibu, harus memerintahkan
sesuatu kepada anak mereka dengan lemah lembut dan dalam bentuk bimbingan atau
anjuran, karena hal itu lebih mudah untuk diterima dan dilaksanakan. Tetapi, jika
orang tua menggunakan cara-cara yang kasar, maka yang akan terjadi justru
sebaliknya.
Para pakar psikologi menekankan untuk menghindari cara kekerasan sebisa
mungkin. Profesor Anwar Jundi mengatakan, “Ketika anak melakukan kesalahan,
sedapat mungkin hindari kekerasan dan cara-cara yang kasar, karena jika anak sering
mendapatkan perlakuan kasar, ia akan terbiasa dengan itu. Ia akan merasa cacian dan
makian sebagai suatu yang biasa dan ini berarti bahwa nasehat tidak akan berbekas di
hatinya”.
Anak yang mendapat curahan kasih sayang yang cukup tidak akan merasa
terbebani ketika harus patuh kepada orang tuanya. Ia juga tidak akan merasa bahwa
ketaatannya itu akan mengganggu kebebasan yang ia miliki. Dengan cinta yang ia
rasakan di lubuk hati, ia akan dengan senang hati meniru tindakan yang dilakukan
oleh orang yang ia cintai, yaitu ayah dan ibunya. Dengan demikian, tindak-tanduk
kedua orang tua itu akan terlihat pada perilaku anak mereka.
Menurut saya, jika anak diperlakukan layaknya seorang manusia yang matang,
ia akan merasa berbesar hati dan menunjukkan tindakan dan sikap yang dewasa
dengan cara yang tidak menyinggung kedua orang tuanya. Anak seperti ini akan
12
dengan mudah belajar patuh dan taat, pertama, kepada orang tuanya, dan selanjutnya,
taat kepada norma-norma luhur dalam masyarakat yang ia dapatkan dari ayah dan
ibunya, sekolah, atau lingkungan sekitarnya.
Ajaran islam sebaiknya ditanamkan sejak dini pada anak-anak karena
merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk perilaku dan psikologi anak.
Karena dalam islam diajarkan untuk dapat menghargai dan menghormati orangtua
serta berperilaku santun. Begitu juga terhadap lingkungan sosial, Islam mengajarkan
untuk saling menyayangi dan menghargai sesama serta melarang berlaku kekerasan
terhadap sesama manusia. Dan bagi orangtua, hendaknya memahami ajaran islam
mengenai bagaimana cara mendidik anak yang baik dan menciptakan keluarga yang
sakinah mawadah warrahmah. Dengan memperdalam dan mengikuti ajaran islam,
kekerasan dalam rumah tangga dapat terhindari dan tercipta keluarga yang bahagia
dan harmonis.
KESIMPULAN
Keharmonisan dalam rumah tangga sangat penting dalam menunjang
permbangunan karakter anak secara psikologi dan perilakunya. Kekerasan terhadap
anak, baik fisik, psikis, seksual dan ekonomi merupakan pelanggaran terhadap hak
dasar anak yang semakin memprihatinkan. Banyak orang tua yang menganggap
kekerasan terhadap anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan bahwa
kekerasan merupakan bagian dari cara mendisiplinkan anak. Padahal kekerasan justru
akan menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak yang dapat
menyebabkan anak tersebut trauma dan meniru apa yang dilakukan orangtuanya
kepada lingkungan sosialnya. Menurut saya, pola pikir orangtua dalam mendidik anak
adalah yang sepatutnya diperbaiki agar anak tidak menjadi korban dari kelalaian
orangtuanya. Serta sebaiknya setiap orangtua memperdalam ajaran agama islam dan
menanamkan nilai-nilai islam pada anak agar tercipta keluarga yang sakinah
mawadah warrahmah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat Nya, saya bisa menyelesaikan case report ini. Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Edi selaku petugas PPA Polres Jakarta Utara. Saya juga
berterima kasih kepada Ibu Atifa yang sudah menceritakan kasus KDRT yang saya
13
tulis di dalam case report ini. Saya berterima kasih kepada pembimbing tutor yaitu
Dr. Endah Purnamasari, Sp.PK. yang membimbing blok kepeminatan KDRT
kelompok 1 sehingga case report dapat dibuat dengan hasil yang memuaskan. Terima
kasih kepada dr. Hj. RW. Susilowati, Mkes dan DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun
sebagai koordinator blok elektif ini serta kepada dr.Ferryal Basbeth, Sp.F sebagai
dosen pengampuh. Kepada semua anggota kelompok 1 KDRT, terima kasih atas
dukungan dan kerjasamanya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Risalah Markaz (2004). Viewed 15 November 2014, from http://www.al-
shia.org/html/id/books/Pendidikan%20Anak/index.htm
Anne Ahira. Metode Mendidik Anak Cara Islam. Viewed 17 November 2014, from
http://www.anneahira.com/mendidik-anak-cara-islam.htm
Baker, L.Linda., Jaffe, G. Petter., Ashboum, Lynda., Carter, Janet (2002). Children
Exposed to Domestic Violence. London : Centre for Children and Families in the
Justice System [internet], pp 8-9, viewed 17 November 2014, from
http://www.lfcc.on.ca/ece-us.PDF
Child maltreatment. Viewed 17 November 2014, from
http://www.who.int/topics/child_abuse/en/
Lien, H.Bragg (2003). Child Protection in Families Experiencing Domestic Violence.
U.S : Departement of Health and Human Services [internet], pp 9-10, viewed 22
November 2014,from
http://www.childwelfare.gov/pubs/usermanuals/domesticviolence/domesticviolen
ce.pdf
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Unicef. (2006). Behind Close Doors The Impact of Domestic Violence on Children.
Viewed 17 November 2014, from
http://www.unicef.org/protection/files/BehindClosedDoors.pdf
Wulansari, Suci (2007). Child Abuse, Fenomena dan Kebijakan di Indonesia.
Surabaya : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan,
viewed 17 November 2014, from
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/101076370_1410-2935.pdf
15
16